II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mediasi 1.
Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai
mediator
dalam
menjalankan
tugasnya
menengahi
dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. ‘Berada di tengah’ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mamapu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.5 Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.
5
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 2.
9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.
Pengertian
yang
diberikan
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. Pengertian mediasi secara terminologi dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus dan memaksakan sebuah penyelesaian. Tetapi, banyak para ahli juga mengungkapkan pengertian mediasi di antaranya Prof. Takdir Rahmadi yang mengatakan bahwa mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.6 Pihak mediator tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.
6
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta : RajaGrafindo, 2010, hlm. 12
10
Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat diidentifikasikan unsur-unsur esensial mediasi, yaitu7 : 1) Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak; 2) Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yaitu mediator; 3) Mediator tidak memilikikewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak. 2.
Tujuan dan Manfaat Mediasi
Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa pro aktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mewujudkan kesepakatan damai mereka.
7
Eddi Junaidi, Op.Cit, hlm. 15
mediasi guna
11
Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan di antara mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan i’tikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan i’tikad baik ini, kadang-kadang memerlukan bantuan pihak ketiga dalam perwujudannya. Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain: 1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase. 2) Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hakhak hukumnya. 3) Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
12
4) Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. 5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus. 6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. 7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase. Dalam kaitan dengan keuntungan mediasi, para pihak dapat mempertanyakan pada diri mereka masing-masing apakah mereka dapat hidup dengan hasil yang dicapai melalui mediasi (meskipun mengecewakan atau lebih buruk daripada hal yang diharapkan). Bila direnungkan lebih dalam bahwa hasil kesepakatan yang diperoleh melalui jalur mediasi jauh lebih baik lagi, bila dibandingkan dengan para pihak terus-menerus berada dalam persengketaan yang tidak pernah selesai, meskipun persepakatan tersebut tidak seluruhnya mengakomodasikan keinginan para pihak. Pernyataan win-win solution pada mediasi, umumnya datang bukan dari istilah penyelesaian itu sendiri, tetapi dari kenyataan bahwa hasil penyelesaian memungkinkan kedua belah pihak meletakkan perselisihan di belakang mereka. Pertemuan secara terpisah dengan para pihak dapat lebih meyakinkan pihak yang lemah akan posisi mereka, sehingga mediator dapat berupaya mengatasinya
13
melalui saran dan pendekatan yang dapat melancarkan proses penyelesaian sengketa. Proses mediasi dan keahlian mediator menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pencegahan dan penyalahgunaan kekuasaan.8 3.
Unsur-Unsur Mediasi
Berawal dari ketidakpuasan akan proses pengadilan yang memakan waktu relatif lama, biaya yang mahal, dan rasa ketidakpuasan pihak yang merasa sebagai pihak yang kalah, dikembangkan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penerapan mediasi diberbagai negara secara umum mengandung unsur-unsur9: 1) Sebuah proses sengketa berdasarkan perundingan . 2) Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator (penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan itu. 3) Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa 4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat putusan selama proses perundingan berlangsung Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima para pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
8
Syahrizal Abbas, Op.Cit, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm.27 Gayuh Arya Hardika, Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Trade Union Right Centre, 2004 hlm 4 9
14 4.
Prinsip-Prinsip Mediasi
Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketehaui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.10 David spenser dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut adalah; prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution). Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut, serta sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi yang ia lakukan. Mediator juga tidak dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai penyelesaiannya melalui mediasi. Masing-masing pihak yang bertikai diharapkan saling menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan masingmasing pihak. Jaminan ini harus diberikan masing-masing pihak, sehingga mereka
10
John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediation: Positive Conflict Management, New York: SUNY Press, 2004, hlm. 16
15
dapat mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting untuk menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata. Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keingina dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai, dan oleh karena itu setiap solusi dan jalan penyelesaiannya sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari peemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya. Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Dalam konteks ini, peran seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari slah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
16
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi akan lebih banyak mengikuti keingina kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak. 5.
Para Pihak Dalam Mediasi
Dalam proses mediasi kehadiran dan partisipasi para pihak memegang peranan penting dan menentukan berjalan tidaknya proses mediasi ke depan. Misalnya para pihak adalah sebuah perusahaan swasta atau instansi pemerintah, maka seharusnya yang mewakilinya adalah pegawai senior dengan kewenangan penuh untuk bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan. Dalam kasus di mana pihak tidak mungkin atau tidak praktis bagi otoritas puncak untuk hadir dalam mediasi, misalnya menteri yang memimpin departemen atau chief executive officer (CEO) sebuah perusahaan multinasional, maka wakil mereka harus diberikan kewenangan yang layak untuk membuat sebuah komitmen yang secara bertanggung jawab diharapkan dapat disetujui oleh pembuat keputusan akhir. Tentang diperlukannya penasihat bagi para pihak, hal itu adalah masalah masingmasing pihak. Setiap pihak bebas membawa siapa pun yang diharapkan dapat mendukung, membantu, menasihati atau berbicara untuk itu. Dalam perselisihan yang masih sederhana, satu atau kedua belah pihak mungkin lebih suka menangani diskusi mereka sendiri dengan pengarah mediator yang netral dengan atau tanpa kehadiran seorang teman atau pembantu lainnya.
17
Untuk perselisihan yang kompleks, kedua belah pihak biasanya mengharapkan penasihat profesional seperti pengacara, akuntan, atau ahli tertentu, yang dapat membantu pencapaian perselisihan. Penasihat profesional diikutsertakan oleh “kliennya” bertujuan un tuk memberikan nasihat dan dukungan kepadanya. Dalam praktik, penasehat profesional kadang-kadang bertindak sebagai juru bicara pada tahap tertentu atau pada aspek tertentu atau bahakan untuk keseluruhan perselisihan itu.11 B. Sengketa Medis 1.
Pengertian Sengketa Medis
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni “konflik”, sedangkan dispute dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik, biasanya pihak tertentu belum mengetahui atau menyadari adanya perselisihan, dan hanya disadari oleh pihak yang bertikai. Perselisihan mulai mengemuka di mana salah satu pihak atau para pihak yang terlibat telah melakukan tindakan-tindakan yang menbuat pihak yang tidak terlibat mengetahui atau menyadari adanya suatu 11
Syahrizal Abbas, Op.Cit, Jakarta : Kencana, 2011, hlm.36
18
permasalahan. Konflik berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medis adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dengan demikian sengketa medis merupakan sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medis dengan pelaku pelayanan medis dalam hal ini rumah sakit dengan pasien. Sengketa medis mengandung pengertian sengketa yang objeknya adalah pelayanan medis. Pelayanan medis selalu melibatkan health provider (pemberi layanan) dan health receiver (penerima layanan). Pelayanan medis tersebut dilakukan dengan tujuan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam kaitan ini, baik rumah sakit maupun dokter yamg berpraktik di rumah sakit dapat menjadi health provider, sedangkan pemahaman terhadap health receiver secara umum adalah pasien.
19
Sengketa medis tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undangundang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan: 1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. 2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. 3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan mediasi.
2.
Sengketa Medis Dalam Hukum
Sengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik. Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan saja tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi kesehatan. Pengertian malpraktik adalah any professional misconduct or
20
unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct.12 Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum seragam. Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum), penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti. Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya (dan hampir tidak mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi kesehatan. Hal itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai dengan beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan setiap komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tidak adanya standar pelayanan profesi kesehatan yang legal dan banyaknya rumah sakit yang menerbitkan standar yang berbeda dengan rumah sakit lainnya akan menyebabkan kesulitan dalam membedakan malpraktik dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan di lapangan. Lebih lanjut hal tersebut juga menyebabkan pembuktian malpraktik akan semakin sulit jika pasien berpindahpindah rumah sakit.13 Dengan demikian yang paling tepat dan berhak menentukan pengingkaran atas standar pelayanan profesi kesehatan adalah Komite Medik di rumah sakit yang bersangkutan. Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus malpraktik tersebut hanya masuk “peti es” dan 12
Black’s Law Dictionary, 7ed, Minnesota: West Publishing Company; 1999. http://albertdeprane.blogspot.com/2009/04/penerapan-mediasi-di-pengadilan diakses pada senin 10 feruabri 2014 pukul 11.39 WIB 13
21
tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan pihak pasien berpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya. Sebaliknya, kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau digugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Bahkan seringkali, pihak pasien (melalui pengacaranya) telah mempublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat dalam beracara dipengadilan gugatan malpraktik tersebut masih harus dibuktikan dan ditetapkan melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut profesinya menjadi terlalu sangat berhatihati dan timbul yang dinamakan negative defensive professional practice, yang mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional.
22
C. Rumah Sakit 1.
Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit dalam bahasa Inggris disebut hospital. Kata hospital berasa dari kata bahasa Latin hospitali yang berarti tamu. Secara lebih luas kata itu bermakna menjamu para tamu. Rumah Sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan yang diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan14. Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan oleh berbagi kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyedikan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Menurut American Association Rumah Sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien, pelayanan tersebut 14
Charles J.P.Siregar, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan , Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003, hlm.7
23
merupakan diagnostik dan terapeutik untuk berbagai jenis penyakit dan masalah kesehatan baik yang bersifat bedah maupun non bedah.15 Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang–undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit : “Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat ”. Yang dimaksud dengan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat adalah sebagai berikut : 1) Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit Pemerintah dan swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap.16 2) Pelayanan rawat jalan adalah suatu bentuk dari pelayanan kedokteran. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap.17 Pelayanan rawat jalan ini termasuk tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang telah lazim dikenal
15
Cecep Tribowo, Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit Sebuah Kajian Hukum Kesehatan ,Yogyakarta:Nuha Medika,2012, hlm.31 16 Jauhari, Analaisis Kebutuhan Tenaga Perawat Berdasarkan Beban Kerja di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum, Medan : PPS-USU Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, 2005, hlm. 32 17 Asmuni Suarni, Waktu Tunggu Pasien Pada Pelayanan Rekam Medis Rawat Jalan di Rumah Sakit, Bandung: Bina Cipta, 2008, hlm. 26
24
rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien serta di rumah perawatan. 3) Pelayanan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera untuk menyelamatkan kehidupannya. Instalasi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan gawat darurat disebut Instalasi Gawat Darurat. Tergantung dari kemampuan yang dimiliki, keberadaan instalansi gawat darurat (IGD) tersebut dapat beraneka macam, namum yang lazim ditemukan adalah yang tergabung dalam rumah sakit.18 2.
Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 18 bahwa rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaanya yaitu, sebagai berikut : 1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. a) Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit; b) Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. 2) Sedangkan berdasarkan pengelolaanya rumah sakit dibagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat yaitu sebagai berikut : 18
Ibid, hlm. 20
25
a) Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan
badan
hukum
yang
bersifat
nirlaba
yang
diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat. b) Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. 3) Klasifikasi berdasarkan Kepemilikan terdiri atas Rumah Sakit pemerintah, Rumah Sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatann Klasifikasi berdasarkan kepemilikanterdiri atas Rumah Sakit pemerintah; terdiri dari: a) Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan, Rumah Sakit Pemerintah Daerah, Rumah Sakit Militer, Rumah Sakit BUMN, dan Rumah Sakit Swasta yang dikelolaoleh masyarakat. 4) Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanannya, rumah sakit terdiri atas: Rumah Sakit Umum, memberi pelayanan kepada pasien dengan beragam jenis penyakit dan Rumah Sakit Khusus, memberi pelayanan pengobatan khusus untuk pasien dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah. Contoh: rumah sakit kanker, rumah sakit bersalin.
26
5) Klasifikasi berdasarkan lama tinggal Berdasarkan lama tinggal, rumah sakit terdiri atas rumah sakit perawatan jangka pendek yang merawat penderita kurang dari 30 hari dan rumah sakit perawatan jangka panjang yang merawat penderita dalam waktu ratarata 30 hari. 6) Klasifikasi berdasarkan status akreditasi Berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah sakit yang telah diakreditasi dan rumah sakit yang belum diakreditasi. Rumah sakit telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu. 7) Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah sakit Umum Pemerintah pusat dan daerah
diklasifikasikan
menjadi Rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan. a) Rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. b) Rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurangkurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas. c) Rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
27
d) Rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik. 3.
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Pada umumnya tugas Rumah Sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan19. Selain hal tersebut tugas Rumah Sakit adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan. Guna melaksanakan tugasnya, Rumah Sakit mempunyai berbagai fungsi yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, dan non medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, penelitian dan pengembangan serta administrasi umum dan keuangan.20 Berdasarkan Undang – Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit fungsi Rumah Sakit adalah21 : 1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar Rumah Sakit. 2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. 3) Penyelengaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. 19
Charles J.P.Siregar,Op.Cit,hlm.10 Ibid, hlm.10 21 Cecep Tribowo,Op. Cit, hlm. 34 20
28
4) Penyelengaraaan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan kesehatan. 4.
Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Hak rumah sakit adalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk membuat sesuatu. Rumah sakit mempunyai hak-hak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada Pasal 30 antara lain, sebagai berikut : 1) Menentukan jumlah, jenis, dan kulifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit. 2) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan. 3) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Menggugat pihak yang mengalami kerugian. 5) Mendapatkan pelindungan hukum. 6) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit. Kewajiban rumah sakit menurut Pasal 29 Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009, disebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban sebagai berikut : 1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.
29
2) Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, nondiskriminasi dan efektif mengutamakan kepentingan pasien. 3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. 4) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. 5) Menyelenggarakan rekam medis. 6) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien. 5.
Pasien
Pasal I ayat (10) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran menyatakan : “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menyatakan : “Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit”. Pasien adalah subjek memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan hanya sekedar objek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasaan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasaan pasien
30
dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.22 Oleh karena harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi23 : 1) Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan 2) Membantu
dan
memberikan
pelayanan
dengan
tanggap
tanpa
membedakan unsur SARA (suku, agama, ras,dan antar golongan) 3) Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan 4) Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien. Pasien mempunyai hak-hak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 32 Undang– Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu : 1) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit. 2) Memperoleh infomasi tentang hak dan kewajiban pasien. 3) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi. 4) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. 5) Memperoleh layanan efektif dan efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik dan materi. 6) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan. 7) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.
22
Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta: Salemba Medika, 2011, hlm. 80 23 Ibid
31
8) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit. 9) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data - data medisnya. 10) Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan. 11) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. 12) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis. 13) Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya. 14) Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit. 15) Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya. 16) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. 17) Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
32
18) Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 52 Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik kedokteran juga menyebutkan hak-hak pasien sebagai berikut : 1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). 2) mendapatkan pendapat dokter atau dokter gigi lain. 3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. 4) Menolak tindakan medis. 5) Mendapat isi rekaman medis. Kewajiban pasien menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran dalam Pasal 53 menyebutkan sebagai berikut : 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. 2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi. 3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehat, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berdasarkan keterangan di atas, rumah sakit harus bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajibannya yang bertujuan untuk memberi kesehatan yang baik dan perlindungan pelayanan yang baik kepada pasien. Dalam pelayanan, rumah sakit harus memiliki standar pelayanan rumah sakit yaitu semua standar pelayanan
33
yang berlaku di rumah sakit antara lain standar operasional prosedur, standar pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dirasa sudah cukup dalam mengatur kewajiban rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. Namun yang perlu ditingkatkan adalah dalam hal praktik di lapangan agar dapat menjalankan amanat sesuai dengan yang di atur dalam undang-undang tersebut guna menghindari sengketa yang dapat timbul karena praktik yang tidak sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Kemudian yang perlu mendapat perhatian bersama oleh seluruh pihak di rumah sakit adalah menyangkut pelaksanaan etika profesi dan etika rumah sakit sehingga penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara beretika akan sangat mempermudah seluruh pihak dalam menegakkan aturan-aturan hukum.