73
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis) Klasifikasi ikan Tongkol Komo menurut Collette, dkk., (2011) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Scombridae
Genus
: Euthynnus
Spesies
: Euthynnus affinis
Sinonim
: Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi
Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack, Mackerel Tuna, Oceanic Bonito, Bonito (Gambar 2.)
Gambar 2. Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis)
Universitas Sumatera Utara
74
Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis), juga dikenal sebagai tuna kecil, dari family Scombridae yang meliputi tongkol, tuna dan cakalang (bonito). Ikan Tongkol Komo memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan penampang lintangnya membundar. Bentuk tubuh yang demikian memungkinkan ikan berenang dengan sangat cepat. Bentuk kepala meruncing, mulut lebar dan miring ke bawah dengan gigi yang kuat pada kedua rahangnya, serta tipe mulut terminal. Bentuk sisiknya sangat kecil dan termasuk tipe stenoid. Pada batang ekor ikan terdapat 3 buah “keel” (rigi-rigi yang bagian tengahnya mempunyai puncak yang tajam). Keel tengah berbentuk memanjang dan tinggi dibandingkan dengan dua keel lain yang mengapitnya (Fishbase, 2014). Ikan Tongkol Komo adalah tuna kecil khas bergaris-garis gelap dengan pola pada punggung dan bintik-bintik gelap 2-5 di atas sirip ventral. Ini dapat dibedakan dari spesies yang sama dengan pola bergaris dengan bintik-bintik dan jika dibedakan dengan Tongkol krai/tongkol abu (Auxis thazard), kurangnya ruang antara sirip dorsal. Ikan Tongkol Komo dapat tumbuh dengan panjang cagak (FL) 100 cm dan sekitar 20 kg bobot badan tetapi lebih sering sekitar 60 cm dan 3 kg. Makanan mereka adalah ikan kecil, khususnya clupeids (ikan haring, pilchards) dan silversides, serta cumi-cumi, krustasea dan zooplankton. Predator mereka termasuk billfish dan hiu (NSW Government, 2008). Ikan Tongkol Komo mempunyai sirip lengkap yaitu sepasang sirip dada, sepasang sirip perut, dua sirip punggung, satu sirip anal dan satu sirip ekor. Warna daerah punggung biru tua, kepala agak hitam, terdapat belang-belang hitam pada daerah punggung yang tidak bersisik di atas garis sisi. Perut berwarna putih, pewarnaan tubuh yang demikian ini, dimana warna bagian dorsal gelap dan
Universitas Sumatera Utara
75
bagian ventral terang, dinamakan counter shading sebagai salah satu upaya penyamaran (Fishbase, 2014).
Habitat dan Distribusi Ikan Tongkol Komo Ikan Tongkol Komo merupakan ikan pelagis, spesies yang mendiami perairan neritik suhu berkisar 18–29°C Seperti scombridae lainnya, E. affinis cenderung membentuk gerombolan multispesies berdasarkan ukuran, yaitu dengan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp., dan Megalaspis cordyla (carangidae), yang terdiri dari 100 sampai lebih dari 5000 spesies. Meskipun ikan matang secara seksual mungkin ditemui sepanjang tahun, ada puncak pemijahan musiman bervariasi sesuai dengan daerah: contohnya MaretMei di perairan Filipina; selama periode Monsun Timur Laut (Northeast Monsoon) (Oktober-November-April-Mei) sekitar Seychelles; dari tengah periode Monsun Timur Laut (Northeast Monsoon) ke awal Monsun Tenggara (Southeast Monsoon) (Januari-Juli) dari Afrika Timur; dan dari bulan Agustus sampai Oktober di Indonesia (FAO, 2014). Ikan Tongkol Komo atau Kawakawa merupakan spesies tuna pelagis yang bermigrasi secara luas di perairan tropis dan subtropis di wilayah Indo-Pasifik. Di bagian barat Samudra Pasifik, spesies ini didistribusikan di sepanjang benua Asia dari Malaysia timur laut melalui daratan Cina, Taiwan, dan ke selatan Jepang (Yesaki, 1994). Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi ikan tuna yaitu suhu, salinitas, kecerahan, arus, oksigen terlarut, kandungan fosfat, dan ketersediaan makanan. Sedangkan faktor-faktor oseanografi yang langsung mempengaruhi penyebaran tuna besar dan Tongkol adalah suhu, arus, dan salinitas (Hela dan Laevastu, 1961).
Universitas Sumatera Utara
76
Ikan Tongkol Komo adalah spesies pelagis besar yang ditemukan di perairan tropis Indo-Pasifik (Gambar 3). Meskipun juga menghuni perairan laut, ikan Tongkol Komo lebih memilih untuk tetap dekat dengan pantai dan ukuran juvenil bahkan ditemukan di teluk dan pelabuhan. Ini adalah spesies yang beruaya dan sering membentuk gerombolan besar yang sering bercampur dengan spesies scombridae lainnya (NSW Government, 2008).
Gambar 3. Peta Sebaran Ikan Tongkol Komo (FAO, 2014) Satu-satunya informasi yang tersedia untuk Samudera Hindia: 1,4 kg betina (48 cm panjang cagak), sedangkan betina dengan bobot 4,6 kg (65 cm panjang cagak). Rasio jenis kelamin pada ikan dewasa adalah sekitar 1:1, sedangkan laki-laki mendominasi dalam tahap dewasa. E. affinis adalah predator yang sangat oportunistik makan tanpa pandang bulu pada ikan, udang dan cumi. Pada gilirannya, ada saatnya dimangsa oleh marlins dan hiu (FAO, 2014).
Universitas Sumatera Utara
77
Alat Tangkap Terdapat 6 alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar yaitu payang, pukat cincin, Gill net, bagan tancap, rawai tetap dan pancing tonda. Namun berdasarkan pendekatan General Linier model berdasarkan urutan alat tangkap yang memangkap ikan Tongkol Komo adalah rawai tetap, gill net, pancing tonda, pukat cincin, payang dan bagan tancap (Lelono, 2011). Purse Seine (Pukat Cincin) Purse seine (pukat cincin) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Alat tangkap ini digolongkan dalam kelompok jaring lingkar (surrounding nets). Von Brandt (1984) diacu oleh Iriana, dkk., (2012) menyatakan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang lebih efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil di sekitar permukaan air. Pukat cincin di buat dengan dinding jaring yang panjang, dengan panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada jaring pukat cincin. Karakteristik jaring purse seine terletak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Universitas Sumatera Utara
78
Gambar 4. Cara Kerja Alat Tangkap Pukat cincin (Dirjen KKP, 2015) Pukat cincin adalah alat (gear) yang digunakan untuk menangkap ikanikan “pelagic shoaling species” yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombol), berada di dekat permukaan air (sea surface) dan sangatlah diharapkan pula densitas shoal tersebut tinggi yang berarti jarak ikan dengan ikan yang lainnya haruslah sedekat mungkin. Pukat cincin pertama kali dipergunakan di perairan Rodhe Island untuk menangkap ikan menhaden (Brevoortia tyrannus). Pada tahun 1870 panjang pukat cincin diubah dari 65 fathom menjadi 250 fathom (1 fathom = 1,825 m). Dan bentuk inilah pukat cincin diperkenalkan ke negara-negara Scandivania pada tahun yang sama (Sudirman dan Mallawa, 2012).
Universitas Sumatera Utara
79
Gillnet (Jaring Insang) Jaring insang adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas dan pemberat ris bawah. Besar mata jaring disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap. Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (piece). Dalam operasi penangkapan jaring insang terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang. Jaring insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989 dalam Aprillia, 2011). Alat tangkap jaring insang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Alat Tangkap Jaring Insang (PERMEN 8, 2008)
Universitas Sumatera Utara
80
Long Line (Pancing Rawai) Hasil tangkapan pancing rawai bisa berupa ikan kerapu, kembung, tongkol dan lainnya. Pancing rawai adalah alat tangkap pancing yang berjumlah 400 mata pancing. Pengoperasian dilaksanakan pada siang dan malam, pada saat siang hari disebut perlakuan pertama, kemudian pada malam hari adalah perlakuan berikutnya, dilakukan secara bergantian siang dan malam. Sementara untuk mengetahui perbedaan jenis umpan, pada waktu siang hari pengoperasian pancing menggunakan umpan ikan juwi kemudian juga menggunakan umpan udang putih, begitu juga pada malam hari dilakukan perlakuan yang sama, sehingga dapat diketahui hasil tangkapan terbanyak dapat tertangkap dengan perbedaan waktu pengoperasian dan umpan yang sudah ditentukan. Umpan ikan juwi dan umpan udang putih kemudian diikatkan pada mata pancing (Rikza, dkk., 2013). Pengoperasian alat tangkap rawai dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengoperasian Pancing Rawai (Musthofa, 2011)
Universitas Sumatera Utara
81
Hubungan Panjang dan Bobot Dalam biologi perikanan, hubungan panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumberdaya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul dan Hongskul
(1966) diacu oleh Merta (1993). Lebih lanjut Richter (2007) dan
Blackweel (2000) yang diacu oleh Mulfizar, dkk., (2012), menyebutkan bahwa pengukuran panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui variasi bobot dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa
hubungan
panjang bobot juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu. Hubungan panjang bobot sangat penting dalam biologi perikanan, karena dapat memberikan informasi tentang kondisi stok. Data biologi berupa hubungan panjang bobot melalui proses lebih lanjut akan menghasilkan keluaran terakhir berupa tingkat penangkapan optimum dan hasil tangkapan maksimum lestari. Hubungan panjang bobot dapat menyediakan informasi yang penting untuk salah
satu
spesies ikan dari suatu daerah. Meskipun
informasi
tentang
hubungan panjang bobot untuk salah satu spesies ikan dapat menggunakan ikan dari daerah lain dalam pengkajian (Masyahoro, 2009).
Universitas Sumatera Utara
82
Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b yang lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa tipe petumbuhan ikan tersebut bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot lebih besar dibandingkan petumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan ikan bersifat allometrik negatif, yakni pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Jika nila b sama dengan 3, tipe pertumbuhan ikan bersifat isometrik yang artinya pertumbuhan panjang sama dengan petumbuhan bobot. Tipe pertumbuhan memberikan informasi mengenai baik atau buruknya pertumbuhan ikan yang hidup di lokasi pengamatan, sehingga akan ada gambaran mengenai ekosistem yang sesuai atau tidak untuk tempat ikan tersebut (Effendie, 1979).
Pertumbuhan Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, bobot, volume, jumlah dan ukuran) persatuan waktu baik individu, stok maupun komunitas, sehingga pertumbuhan ini banyak dipengaruhi faktor lingkungan seperti makanan, jumlah ikan, jenis makanan, dan kondisi ikan. Pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Moyle dan Cech 2004 dalam Tutupoho 2008). Widodo dan Suadi (2006) Berpendapat laju pertumbuhan ikan di tentukan oleh: (i) faktor genetik yang berbentuk dalam setiap spesies, (ii) jumlah pakan, (iii) temperature, (iv) siklus hormonal, dan (v) beberapa faktor lain seperti suasana berdesak-desakkan (crowding) yang menekan pertumbuhan ikan.
Universitas Sumatera Utara
83
Pola pertumbuhan dapat memberikan informasi tentang hubungan panjang bobot dan faktor kondisi ikan, merupakan langkah utama yang penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan. Pola pertumbuhan dalam pengelolaan
sumberdaya
perikanan sangat
bermanfaat dalam penentuan
selektivitas alat tangkap agar ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Mulfizar, dkk., 2012). Pertumbuhan merupakan proses utama dalam hidup ikan, selain reproduksi. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran ikan dalam jangka waktu tertentu, ukuran ini bisa dinyatakan dalam satuan panjang, bobot maupun volume. Ikan bertumbuh terus sepanjang hidupnya, sehingga dikatakan bahwa ikan mempunyai sifat pertumbuhan tidak terbatas (Rahardjo, dkk., 2011). Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley, 1972 yang diacu oleh Tutupoho, 2008). Pertumbuhan sebagai salah satu aspek biologi ikan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kesehatan individu, populasi, dan lingkungan. Pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai. Selain itu, pengetahuan tentang struktur populasi dapat menjadi dasar pengelolaan yang lebih baik. Pengetahuan yang tepat tentang umur ikan merupakan hal penting untuk mengungkap permasalahan daur hidup ikan,
Universitas Sumatera Utara
84
seperti ketahanan hidup, laju pertumbuhan, dan umur ikan saat matang gonad (Rounsefell dan Everhart 1962 yang diacu oleh Syahrir 2013). Seperti telah dikemukakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Dalam suatu kultur, faktor keturunan mungkin dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari ikan yang baik pertumbuhannya. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan. Namun dari kedua faktor itu belum diketahui faktor mana yang memegang peranan lebih besar (Effendie, 2002). Royce (1973) dalam Febriani (2010) menyatakan kombinasi dari kedua faktor ini biasanya sangat berpengaruh di daerah perairan temperate atau wilayah artik yang membeku pada musim dingin. Hal ini dikarenakan ketika suhu mendekati 0°C maka aktivitas metabolisme dan pertumbuhan bersifat minimal. Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis hubungan panjang bobotnya. Bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Nilai praktis yang didapat dari perhitungan panjang bobot dapat digunakan untuk menduga bobot dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendie, 2002).
Universitas Sumatera Utara
85
Faktor Kondisi Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokkan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 yang diacu oleh Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Satuan faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaanya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Variasi nilai faktor kondisi bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam tahap perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah mengindikasikan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 1979). Pada analisis hubungan panjang bobot ikan tongkol di Kepulauan Anambas yang diteliti oleh Susilawati, dkk., (2013) bahwa ikan tongkol yang memiliki pola pertumbuhan Allometrik Negatif. Tidak terjadi variasi temporal nilai faktor kondisi ikan pada setiap harinya secara ekstrim bahkan relatif nilai yang berkisar antara 1 – 3 maka dari data hasil yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa ikan dalam keadaan baik dan memiliki bentuk yang kurang pipih. Hal ini menyebabkan kemontokan ikan kurang dikarenakan pengaruh makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Pertumbuhan ini disebut dengan pertumbuhan allometrik karena nilainya kurang dari 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan
panjangnya lebih cepat dari
pertambahan bobotnya.
Universitas Sumatera Utara
86
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktifitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi karena kematian akibat predasi, penyakit, dan umur. Laju mortalitas total (Z) ikan jantan lebih besar dibanding ikan betina sehingga stok ikan jantan lebih rentan dibandingkan ikan betina. Sementara laju mortalitas alami (M) ikan betina lebih besar dibanding dengan ikan jantan, hal tersebut karena laju pertumbuhan (K) ikan betina lebih besar daripada ikan jantan. Perbedaan laju mortalitas diakibatkan karena perbedaan nilai L∞ dan K. Selain itu mortalitas alami juga disebabkan akibat pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas alami yang tidak sama antara ikan jantan dan betina mengakibatkan komposisi antar ikan jantan dan betina yang berbeda. Perbedaan laju mortalitas, pertumbuhan, dan tingkah laku bergerombol antar jantan dan betina mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah jantan dan betina (Putri, 2013). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari populasi ikan yang ditangkap selama periode waktu tertentu (1 tahun), sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan. Eksploitasi optimal dicapai jika laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M), yaitu 0.5 (Pauly, 1984).
Universitas Sumatera Utara