TINJAUAN PUSTAKA
Botani Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ketela pohon (ubi kayu) berasal dari Benua Amerika, Brasil (Darjanto dan Murjati, 1980; Purwono dan Purnamawati, 2008). Ubi kayu diantaranya dikenal dengan nama cassava (Inggris), ketila, keutila, ubi kayee (Aceh), ubi parancih (Minagkabau), ubi singkung (Jakarta), batata kayu (Manado), bistungkel (Ambon), kasapen, sampeu, huwi dangdeur, huwi jendral, ubikayu (Sunda), bolet, kasawe, tela pohung, kaspa, kaspe, katela budin, katela jendral (Jawa), blandong, manggala menyok, puhung, pohong, sawe, sawi (Madura), kesawi, ketela kayu, sabrang sawi (Bali), kasubi (Gorongtalo, Baree, Padu), lame kayu (Makasar), lame aju (Bugis, Majene), kasibi (Ternate, Tidore) (Purwono dan Purnamawati, 2008). Secara taksonomi ubi kayu ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas
: Dycotiledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot esculenta Crantz.
(Prihandana et al., 2007).
Ubi kayu (Mannihot esculenza Crantz) termasuk tumbuhan berbatang lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi pada bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Batang ubi kayu panjang (tingginya sekitar 1-5 m, tergantung varietas), bulat (diameter bervariasi bedasarkan umur, sekitar 3-6 cm) dan lurus, serta berbuku, warna batang biasanya bervariasi dari merah kecoklatan sampai hijau, daun ubi kayu memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-11 lembar
6
(Balagopalan et al., 1988). Umbi ubi kayu berasal dari pembesaran sekunder akar adventif, daunnya menjari, batangnya berbuku-buku, setiap buku batang terdapat tunas (Purwono dan Purnamawati, 2008). Ubi kayu dapat menghasilkan 5-20 umbi akar (Suwarto, 2005). Umbi ubi kayu terdiri dari kulit luar 0.5-2 % dan kulit dalam antara 8 - 15 % dari bobot seluruh umbi, dengan sebagian besar umbi ubi kayu terdiri dari karbohidrat sebanyak 30-36 % tergantung dari varietas dan umur panen (Gafar, 1991). Pati merupakan bagian dari karbohidrat yang besarnya antara 64-72 % (Wijandi, 1976 dalam Gafar, 1991)
Syarat Tumbuh Ubi kayu umumnya ditanam di lahan kering yang sebagian besar kurang subur (Balitkabi, 2005). Tanaman ubi kayu sebaiknya tidak ternaungi karena jika ternaungi batangnya kerdil dan tumbuhnya kurang baik (Lingga, 1989). Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ini antara 1500-2500 mm/tahun, kelembaban udara optimal antara 60-65 %, suhu udara minimal 10
0
C (jika kurang,
pertumbuhan tanaman akan terhambat dan kerdil karena pertumbuhan bunga kurang sempurna), dan membutuhkan sinar matahari sekitar 10 jam/hari (Purwono dan Purnamawati, 2008). Ubi kayu membutuhkan banyak Kalium untuk pertumbuhannya (Darjanto dan Murjati, 1980). Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4.5-8.0 dengan pH ideal 5.8 (Purwono dan Purnamawati, 2008). Ubi kayu dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian sampai 2300 m (Cock, 1985 dalam Suwarto, 2005), sedangkan ketinggian tempat yang ideal untuk pertumbuhan ubi kayu antara 10-700 m dpl dengan toleransi antara 10-1500 m dpl (Purwono dan Purnamawati, 2008). Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan tanaman tiap fase pertumbuhan. Pada umumnya daerah sentra produksi ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E (Wargiono et al., 1993).
7
Teknologi Budidaya Bibit yang umum digunakan berupa stek batang berukuran 20-30 cm, ujung stek bagian bawah dipotong miring (45 0) untuk memperluas daerah perakaran dan sebagai tanda bagian yang ditanam (Purwono dan Purnamawati, 2008). Pembibitan menggunakan batang yang sehat dan berumur 8-12 bulan dengan diameter 2-3 cm, kedalaman optimum untuk penanaman sekitar 5 cm (Balagopalan et al., 1988). Di daerah beriklim basah, biasanya petani menggunakan stek dari bibit tanpa melalui penyimpanan karena bibit ubi kayu tidak mempunyai masa dormansi (Efendi, 2002). Bibit yang dianjurkan untuk ditanam adalah stek dari batang bagian tengah dengan diameter batang 2-3 cm, panjang 15-20 cm, dan tanpa penyimpanan (Roja, 2009). Tabel 1. Daya Tumbuh dan Hasil Ubi Kayu Berdasarkan Kondisi Bibit Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Kondisi Bibit Bagian Batang Tengah Pangkal Pucuk Diameter Stek < 2 cm 2-3 cm > 3 cm Panjang Stek 2 mata 3 mata 12 mata (20 cm) Lama Penyimpanan 0 minggu 4 minggu 8 minggu
Daya Tumbuh (%)
Hasil (%)
100 95 33
100 88 62
94 100 95
93 100 90
95 96 100
88 98 100
100 87 60
-
Sumber: Wargiono et al. (2006) dalam Roja (2009) Pembibitan dengan stek keuntungannya yaitu tanaman yang di tanam akan mempunyai sifat yang sama dengan induknya, pembiakan dengan biji hanya dilakukan untuk keperluan pemuliaan (Darjanto dan Murjati, 1980). Kebutuhan bibit per hektar sekitar 10 000-15 000 stek (Balitkabi, 2005).
8
Penanaman ubi kayu sebaiknya dilakukan secara vertikal karena dapat memacu pertumbuhan akar dan menyebar merata di lapisan olah. Stek yang ditanam dengan posisi miring atau horizontal akarnya tidak tersebar secara merata (Roja, 2009). Tabel 2. Pengaruh Posisi Penanaman Stek Terhadap Daya Tumbuh dan Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Posisi Stek Vertikal Miring (45 0) Horizontal
Musim Hujan Daya Tumbuh Hasil Relatif (%) Relatif (%) 100 100 100 96 92 69
Musim Kemarau Daya Tumbuh Hasil Relatif (%) Relatif (%) 100 100 92 92 71 58
Sumber: Tonglum et al. (2001) dalam Roja (2009). Hasil Penelitian Perbanyakan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Upaya pengadaan bibit ubi kayu dalam rangka menjamin tercapainya peningkatan produksi ubi kayu telah dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya: secara in vitro dan penggunaan stek berdasarkan jumlah mata tunas per stek. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan (in vitro) dilakukan karena perbanyakan dapat dilakukan setiap saat tanpa tergantung musim serta dapat menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Tetapi perbanyakan melalui cara ini masih mengalami kendala dalam aklimatisasi. Menurut penelitian Fauzi (2010) hasil aklimatisasi planlet kultur in vitro ubi kayu menunjukkan masih rendahnya daya hidup planlet di lingkungan in vivo. Penggunaan metode jumlah mata tunas per stek sebagai upaya untuk penghematan bibit ubi kayu juga sudah dilakukan . Gurnah (1974) dalam Toro dan Atlee (1980) menemukan bahwa hasil meningkat dengan jumlah mata tunas per stek sampai dengan lima dan peningkatan jumlah mata tunas di luar lima mata tunas per stek tidak mempengaruhi hasil. Hasil penelitian Effendi (2002) dengan menggunakan ukuran stek 1, 2, dan 3 mata tunas (sebelum penanaman stek disemai selama 2-3 minggu) menunjukan bahwa penggunaan stek tiga mata tunas dapat menghemat bibit 75-80 % dengan tingkat hasil umbi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan cara konvensional.
9
Hama dan Penyakit Menurut Roja (2009) bila di lapangan diperlukan pengendalian hama penyakit, maka tindakan yang dilakukan sebagai berikut: 1. Tungau/kutu merah (Tetranychus bimaculatus) dikendalikan secara mekanik dengan memetik daun sakit pada pagi hari dan kemudian dibakar. Pengendalian secara kimiawi menggunakan akarisida. 2. Kutu sisik hitam (Parasaissetia nigra) dan kutu sisik putih (Anoidomytilus albus) dikendalikan secara mekanis dengan mencabut dan membatasi tanaman sakit menggunakan bibit sehat. Pengendalian secara kimiawi menggunakan perlakuan stek insektisida seperti tiodicarb dan oxydemeton methil. 3. Penyakit bakteri B. manihotis dan X. manihotis menyerang daun muda dan P. solanacearum menyerang bagian akar tanaman sehingga tanaman layu dan mati. Pengendalian dapat dilakukan menggunakan varietas tahan/agak tahan. 4. Penyakit lain adalah cendawan karat daun (Cercospora sp.), perusak batang (Glomerell sp.), dan perusak umbi (Fusarium sp.). Pengendalian dianjurkan menggunakan larutan belerang 5%.
5. Penyakit virus mosaik (daun mengerting) belum ada rekomendasi pengendaliannya.