TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : ADI SUPRIATNA NIM :105045101476
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
1
2
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ADI SUPRIATNA NIM :105045101476
Dibawah Bimbingan Pembimbing
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA NIP. 150 165 167
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430H / 2009 M
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam).
Jakarta, 2 Juni 2009 Dekan
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Asmawi.M.Ag NIP. 150 282 934
(…………………)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati M.Ag NIP. 150 282 403
(…………………)
3. Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA (…………………) NIP. 150 165 167 4. Penguji I . 5. Penguji II
: Drs. NorYamin Laini M.A NIP. 150272 388
(…………………)
: Prof. Dr. H. M.Abduh Malik NIP. 150 094 391
(…………………)
4
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT telah diujikan dalam siding Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah (Pidana Islam).
Jakarta, 2 Juni 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Asmawi.M.Ag NIP. 150 282 934
(…………………)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati M.Ag NIP. 150 282 403
(…………………)
3. Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA (…………………) NIP. 150 165 167 4. Penguji I . 5. Penguji II
: Drs. Noryamin Aini M.A NIP. 150 247 330
(…………………)
: Prof. Dr. H. M.Abduh Malik NIP. 150 094 391
(…………………)
5
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 April 2009 Jakarta, 21 Jumadil Awal 1430
Adi Supriatna
6
ا ا ا KATA PENGANTAR
Pertama dan yang paling utama tiada kata dan rasa yang pantas penulis sampaikan yaitu segala puji dan syukur panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kemudahan dalam segala pencarian data, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarganya sahabatnya serta para
pengikutnya yang
senantiasa selalu berjihad di jalanya sampai akhir zaman. Salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi dan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada fakultas Syari’ah dan Hukum di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah menulis karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Skripsi ini berjudul : “Tinjauan Hukum Islam TerhadapTindak Pidana Kekerasan Kolektif Yang Menyebabkan Luka Berat.” Selama proses pembuatan skripsi ini berkat hidayah Allah Swt, dan dengan usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini. .Selanjutnya ucapan
7
terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan pula kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma. SH. MA..MM Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Stafnya yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran administrasi dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA, Dosen Pembimbing saya, yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat,
serta
saran-saran
kepada
penulis,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikanya dengan baik. 3. Bapak Asmawi. MA dan Ibu Sri Hidayati MA.g selaku Ketua dan Sekretaris Program Stadi Jinayah Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan dan bantuan dalam proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan mendidik serta membekali ilmu pengatuhan yang berguna bagi penulis. 5. Pimpinan Serta Staf / Karyawan Pustaka Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kemudahan dalam pelayanan kepada penulis pencarian buku-buku dan data sehingga terselesaikan skripsi ini 6. Ayahanda Ir. Jonih Rahmat. SHI, dan Ibunda Sri Wardani yang telah memberikan dukungan secara materil dan moril serta untaian motipasi dan doa yang tiada henti
8
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Kakak-kakaku Teh Oom, A Suhih, Teh Dedeh, Mas Herman, Teh Ria, A Dedi, Teh Ina, Bang Sarwan, tak lupa juga kepada Adek-adekku Yuyun, Irfan serta keponakanku Icha, Ari yang telah memberikan dukungan spirit serta untaian doanya tiada henti. 8. Bapak, K.H Uu, Bapak Ustadz Yunus, Bapak H. Ali Rahman yang telah memberikan nasehat, petunjuk, ilmunya, serta do’anya sehingga penulis istiqamah dalam menyelesaikan skripsi ini. Demikian penulis mengucapkan terimakasih dan doa semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang berlipat ganda dan akhirnya penulis berharap agar skripsi ini barmanfaat bagi siapa saja yang memerlukanya, Amin.
Jakarta, 17 April 2009 M Jakarta, 21 Jumadil Awal 1430 H
Penulis
9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 19 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 20 D. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 20 E. Metode Penelitian ................................................................................ 22 F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 23 BAB II TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF MENURUT HUKUM ISLAM...................................................................................... 24 A. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan Kolektif ...................................... 24 B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Kekerasan Kolektif................................ 29 C. Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Selain Jiwa..................... 37
10
BAB III HUKUMAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT ......................................................................................... 44 A. Pertanggungjawaban Tindak Pidana dan Macam-macamnya ................ 44 B. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Abu Hanifah ....................... 54 C. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Malik .................................. 56 D. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Syafi’i................................. 60 E. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Ahmad................................ 63 F. Analisis Penulis Tentang Hukum Tindak Pidana Kekerasan Yang Menyebabkan Luka Berat............................................................ 65 BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 74 A. Kesimpulan ......................................................................................... 74 B. Saran .................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 77
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kejahatan bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan sebaliknya kejahatan tampaknya begitu mudah kita sering dengar dan lihat di beberapa media, baik media masa maupun media elektronik, juga kita alami dalam kehidupan sehari-hari mulai dari kejahatan perseorangan sampai kepada kejahatan yang terorganisir seperti pencurian kendaraan bermotor, penyelundupan, pemalsuan surat-surat tertentu. Bahkan sampai pada tindakan tragis yaitu
kekerasan kolektif
mulai dari antar
pelajar, antar kampung bahkan pada saat demontrasipun kerap menimbulkan kerusuhan. Apabila kejahatan ini tidak ditanggulangi, maka tingkah laku tersebut memberi pengaruh terhadap komunitas sosial untuk mentransformasi nilai-nilai kejahatan khususnya tindak pidana kekerasan kolektif dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita lihat dalam aspek filosofi, bahwa tujuan dari syara dalam menetapkan hukumnya ada lima hal atau yang kita sering sebut dengan maqasidu alsyari’ah yaitu lima hal yang harus di jaga keeksistensiannya
dalam kehidupan
manusia. Hal inilah yang disebut hukum Islam yang disyariatkan oleh Allah Swt dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh Aspek kepentingan manusia.
12
Aspek-aspek kepentingan manusia itu, menurut para ulama, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek yaitu: Dharuriyyat (Kebutuhan Pokok atau Primer), hajjiyyat (Kebutuhan Sekunder), dan tahsiniyyat (Kebutuhan Tersier atau Kebutuhan Pelengkap).1 Tahsiniyyat adalah sesuatu yang diperlukan oleh norma dan tatanan hidup, serta berperilaku menurut jalan yang lurus. apabila hal-hal itu tidak ada, tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia seperti ketika tidak adanya hal yang bersifat dhruriyah. juga tidak ditimpa kepayahan ketika tidak adanya hal yang bersifat hajjiyyah. hanya saja kehidupan mereka bertentangan dengan akal yang sehat dan naluri yang suci. hal-hal yang bersifat tahsiniyyat berpangkal dari akhlaq mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia menurut jalan yang paling baik. Apa yang disyariatkan oleh Islam terhadap tahsiniyyat manusia yaitu hal-hal yang bersifat kebutuhan manusia, bertitik tolak pada sesuatu yang membuat indah kondisi manusia, juga membuat hal itu sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak mulia. dalam berbagai masalah, Islam mensyari'atkan beberapa hukum yang berorientasi kepada sesuatu yang membuat elok dan indah. hukum-hukum itu dapat membiasakan manusia pada kebiasaan yang paling baik dan memberi petunjuk manusia kepada jalan yang paling baik dan paling benar. 2 Dalam lapangan uqubah (pidana) Islam melarang membunuh para pendeta,
1
Said Aqil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Pena Madani, 2004), Cet. I, h. 19 2 Abdul Wahab Khalaf Ilmu Ushulul Fiqh : Penerjemah Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), Cet. II, h. 358
13
anak-anak dan kaum wanita. Pada waktu terjadi peperangan, Islam melarang penyiksaan dengan kekerasan baik secara sendiri maupaun secara kolektif, melarang membunuh orang yang tidak bersenjata, dan membakar orang hidup-hidup atau sesudah mati. Dalam lapangan akhlak dan sendi-sendi keutamaan, Islam telah menetapkan atau mengajarkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat, agar dapat berjalan bersama pada jalan yang paling lurus. Sebab, di Dalam aspek tahsininiyyat tersebut, berkumpullah hak dan kewajiban asasi manusia untuk memelihara lima jagat kehidupan. Kelima hal itu yaitu menjaga eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 3 Lalu, bagaimana kaitannya dengan tindak pidana kekerasan secara kolektif yang mengakibatkan luka-luka berat pada tubuh. Hal ini, tentu sangat terkait dengan tindak pidana kekerasan kolektif. sebab kenapa? bahwa tindakan kekerasan tersebut merupakan kejahatan yang mengancam eksistensi kehidupan jiwa manusia. Kemudian kalau dilihat dari aspek sosiologis bahwa tindakan-tindakan tersebut pula ditinjau, disamping dapat mengancam eksistensi tubuh dan jiwa seseorang pada tindakan kekerasan kolektif tersebut, juga
dapat mengancam
stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat umum. Oleh karena itu kalau tindakan kekerasan kolektif tersebut tidak dicegah, maka kejahatan dan tindakan kriminal akan lebih merajalela pada perbuatan yang lebih tragis yang dapat menghilangkan nyawa seseorang. Inilah kaitannya bahwa tindakan kekerasan kolektif yang mengancam
3
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 364
14
eksistensi jiwa manusia. Oleh karena itulah, Al-Qur’an melarang keras terhadap tindak pidana kekerasan kolektif serta menegaskan ancaman hukumannya secara terperinci dan berat atas orang yang melakukan kejahatan tersebut. Dalam kejahatan yang dilakukan secara kolektif itu, maka semua pelaku mendapat sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang dilakukannya masing-masing, baik secara turut secara langusng maupun secara tidak langsung. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 179 :
Artinya:" Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertakwa" (Q.R. Al-Baqarah : 179 Dalam Al-Qur’an kejahatan yang bersifat kekerasan terhadap fisik manusia, pertama kali diperkenalkan oleh anak Adam, yaitu Qabil yang pada waktu itu membunuh saudaranya Habil. Demikianlah seterusnya kekerasan demi kekerasan dengan berbagai bentuknya mengancam tubuh dan jiwa manusia, yang dilakukan oleh dan terhadap anak-anak manusia itu sendiri, berlangsung terus hingga sekarang. 4 Dalam hal ini Islam memiliki konsep yang signifikan untuk menanggulangi masalah kejahatan. Yaitu konsep syari’ah dimana jauh lebih universal dibandingkan dengan konsep para kriminolog modern saat ini. Konsep ini terbukti dengan dasar-
4
JE.Sahetapy, Pictimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1987), Cet. Ke-1, h. l35-136
15
dasar (kaidah) asasi bahwa hukum Islam sejak awal telah ada.5 Contohnya mengenai fase pemikiran disaat seseorang ingin melakukan tindak pidana namun dalam hukum konvensional fase ini baru diakui, dikenal dan diambil semenjak penghujung abad XVIII pasca-Revolusi Prancis. Sebelum itu, niat atau pemikiran dapat dihukum apabila hal itu dapat dibuktikan. Dalam penetapan dasardasar ini, hukum Islam telah mendahului semua hukum konvensional. Tatkala hukum konvesional terlambat mengambil dasar-dasar ini, hukum Islam tetap tidak mempunyai pengecualian (istisnaa) terhadap dasar-dasar ini, sedangkan hukum konvensional memiliki pengecualian-pengecualian terhadap dasar-dasar ini. sebagai contoh, hukum pidana Mesir dan Prancis membedakan antara hukum pembunuhan disengaja yang disertai dengan keteguhan niat atau pengintaian (perencanaan) terlebih dahulu dan pembunuhan disengaja yang tidak didahului oleh keduanya. Kedua hukum pidana negara itu memberikan hukuman yang berat terhadap perkara pertama dan memberikan keringanan pada perkara kedua. 6 Jadi konsep syari’ah merupakan konsep yang telah teruji dalam kurun waktu lama, seperti pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Siddiq ra, Umar bin Khattab ra, Usman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Yang sumbernya berlandaskan pada Al-Qur’an dan AsSunnah yang kita kenal dengan Hukum Pidana Islam. Contoh konkritnya diceritakan dalam sejarah Sudah berhari-hari orang Yahudi itu berjalan menuju Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab, 5 Chairil A Adjis, Kriminologi Syari’ah, (Jakarta: RMBOOKS 2007), Cet. Ke-1, h. 2 6 Prof.K.H. Alie Yafie. dkk, Ensiklopedi Hukum Pidan Islam, (Jakarta, PT.Khalisma Ilmu: 2008), Cet. 1, Jilid. 4, h. 24
16
Amirulmukminin. Ia banyak mendengar kabar bahwa Amirul Mukminin seorang yang terkenal bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Jauh-jauh ia datang dari Mesir dengan sebuah harapan, Khalifah mau memperhatikan nasibnya yang tertindas. Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirulmukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga."Jangan-jangan.....Khalifah tidak mau menerimaku....," katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu.Prajurit masuk menemui khalifah Umar."Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan" sahut prajurit. "Bawalah ke hadapanku," Perintah Khalifah. Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman. "Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya," sambut Khalifah. Rupanya benar.....apa yang kudengar tentang Khalifah, kata orang Yahudi dalam Hati. Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. "Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin...," kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Di Mesir, kami punya sebidang tanah," lanjut orang Yahudi. "Ya..lalu, ada apa? Tanya Amirul Mukminin. "Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi gubernur mau membangun
17
Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu....," tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. "Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana? Jika semua milik kami digusur oleh gubernur.....tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan.". Orang Yahudi memohon dengan memelas. "Oh, begitu ya? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh gubernurku," kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk. Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi. "Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi?" tanya Khalifah. "Tidak!"orang Yahudi menggelengkan kepalanya. "Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun....," Orang Yahudi tetap pada pendiriannya. "Baik-baik, aku akan membantumu," kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi merasa lega karena Amirulmukminin mau membantu kesusahannya. "Hai, Yahudi," kata khalifah kemudian. "Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu!" perintahnya. "Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu....?" tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah. "Ini tulangnya, Tuan. "Orang Yahudi menyerahkan tulang unta kepada khalifah. Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu. "Serahkan tulang ini pada gubernur Mesir!" kata Amirul Mukminin lagi. Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia tidak puas. Kedatangannya menghadap khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada gubernur. "Ya Amirulmukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan
18
membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada gubernur...?" sahut orang yahudi. "Serahkan saja tulang itu!" jawab khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya. "Aneh.... Khalifah Umar Menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada gubernur....," gumamnya sepanjang perjalanan ke negrinya. Setibanya di mesir, orang Yahudi bergegas menuju kediaman gubernur. "Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu, " kata orang yahudi. " Oh kau rupanya.,
ada
apa
lagi?"
kata
gubernur.
"Saya
baru
saja
menghadap
Amirulmukminin," kata orang yahudi. " Lantas ada apa?". "Saya disuruh memberikan tulang ini ...." Orang yahudipun segera menyerahkan tulang onta ke tangan gubernur. Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat khalifah Umar sudah membuat hati gubernur ketakutan bukan main. "Hai, pengawal!" tiba-tiba ia berteriak keras. "Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid," kata gubernur. Orang yahudi menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan gubenur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari khalifah tadi, gubernur tampak sangat ketakutan. "Hai,, Yahudi! Sekarang juga ku kembalikan tanah dan milikmu, Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati....," sahut gubernur terbatabata. Pesan dalam tulang itu dirasakan gubernur seakan-akan khalifah Umar berada
19
dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirulmukminin. "Tuan Gubernur ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi....? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu....? Padahal Amirulmukminin tidak mengatakan apa-apa?" tanya orang yahudi masih tak mengerti. "Hai, Yahudi Tahukah kau? Sesungguhnya Amirulmukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini," kata Gubernur. Orang yahudi bertambah heran saja. Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang...." Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang onta itu. Kini orang yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirulmukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orang tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin. "Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirulmikminin dan keadilan yang diberikan pemerintah Islam. Karenanya, saya ingin menjadi seorang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata.". Tanpa ragu sedikitpun orang yahudi itu langsung bersahabat dan merelakan tanahnya untuk didirikan msjid.7 Kemudian dalam pembagian pemidanaannya terbagi tiga bagian : yang
7
Anonim “Kisah Teladan” Artikel diakses pada 5 juni 2009 dari http://www.mail_rchive.com/
[email protected]/msg03584.html
20
pertama, Retributif (Pembalasan), kedua Deterence (Pencegahan), yang ketiga Reformatif (Perbaikan). bahkan bukan sekedar itu, bahwa hukum Pidana Islam sebagai solusi di setiap permasalahan yang ada dan membuat efek jera bagi pelakunya dan tetap di perlakukan manusiawi, selain itu korban kejahatan dan masyarakat merasa terbebas dari tekanan kejahatan itu sendiri. 8 Lain halnya dengan hukum pidana diIndonesia hanya sebatas mengancam dengan hukuman dan menghukumnya. Oleh karena itu, kita membutuhkan suatu tatanan hukum untuk memperbaiki tatanan suasana dengan mengadakan suatu aturan hukum, yang disepakati bersama dalam menutup kebobrokan moral, dengan hukum yang tegas dan lugas dalam menyikapi suatu persoalan hukum. Bukan rahasia lagi, di kota-kota besar di seluruh Indonesia banyaknya yang melakukan tindak pidana kekerasan secara kolektif. Misalnya contoh kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar kampung, penganiayaan/pengroyokan oleh geng-geng tertentu bahkan aksi demonstrasi mahasiswapun kerap bisa menimbulkan kerusuhan terhadap tindak pidana kekerasan. Di bawah ini data statistik mengenai tindak pidana kekerasan kolektif. Distribusi Provinsi : Kekerasan Kolektif di Indonesia Provinsi
Data Base Meninggal %
Kejadian %
Maluku Utara
2.794
25,0 %
72
1,7 %
Maluku
2.646
18,3 %
332
7,8 %
8
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: As-Syamil 2000), h. 190
21
Kalimantan Barat
1.515
13,6 %
78
1,8 %
Jakarta
1.322
11,8 %
178
4,2 %
Kalimantan Tengah
1.284
11,5 %
62
1,5 %
Sulawesi Tengah
669
6,0 %
101
2,4 %
Jawa Barat
256
2,3 %
871
20,4 %
Jawa Tengah
254
2,3 %
655
15,3 %
Jawa Timur
165
1,5 %
506
11,9 %
Sulawesi Selatan
118
1,1 %
223
5,2 %
NTB
109
1,0 %
198
4,6 %
Riau
100
0,9 %
165
3,9 %
NTT
89
0,8 %
55
1,3 %
Banten
37
0,3 %
112
2,6 %
10.758
96,4 %
3608
84,5 %
402*
3,6 %
662
15,5 %
11.160
100 %
4270
100 %
Total Total Lainnya Indonesia
* Sumber: Prasodjo (2008) menyitir Varghney, Pangabean, Tandjudin, 2004,hal 34 angka pada total lainnya didasarkan pada estimasi. 9 Kejahatan di Inggris
Pengaruh nilai non-kohesif Liberalisme, dapat juga dilihat pada gambaran kejahatan berikut ini :
2.164.000 kejahatan yang terjadi pada tahun 2007-2008 menimpa orang dewasa di Inggris dan Wales. Kurang lebih 47.000 kasus perkosaan terjadi setiap tahun di Inggris. Tingkat kasus pembunuhan meningkat. Polisi Metropolitan 9
Hendri Teja, ”Psedu-Nasionalisme Rezim Tritarian” Artikel diakses pada 5 juni 2009 dari http://www.scribd.com/doc/8728059/Psedu-Nasionalisme-Rezim-Tritarian
22
melaporkan insiden yang sering terjadi, dengan 167 kasus pembunuhan pada tahun 2007-2008, meningkat dari 158 kasus.
Kejahatan di Amerika Serikat
A.S. juga mengalami kerusakan dan pembusukan sosial. A.S. mengalami :
•
16.204 kasus pembunuhan dalam satu tahun.
•
9.369 kasus pembunuhan dengan senjata api dalam satu tahun.
•
2.019.234 orang dipenjara, dan hal ini telah meningkat sejak tahun 2002.
•
420.637 kasus perampokan setiap tahunnya.
•
11.877.218 total kejahatan setiap tahunnya.
Tampak bahwa Inggris dan A.S. menderita kerusakan dan pembusukan sosial. Keruntuhan sosial pada dua negara yang paling liberal disebabkan oleh pendirian ideologi mereka yaitu Liberalisme. Ada korelasi langsung antara nilai politik nonkohesif Liberalisme dan problematika sosial yang disorot di dalam artikel ini.
Oleh sebab nilai-nilai liberal non-kohesif telah memberikan kontribusi secara langsung terhadap kerusakan sosial, jadi solusi nyata hal ini adalah menyebarluaskan nilai-nilai kohesif dengan bentuk dan mekanisme sosial yang relevan untuk mencapai suatu masyarakat yang kohesif. Hal ini merupakan alasan yang kuat bahwa nilai politik kohesif Islam merupakan satu-satunya jawaban bagi problematika yang dihadapi oleh masyarakat liberal. Pandangan Islam terhadap masyarakat tidaklah
23
berlandaskan pada premis yang salah, namun Islam memiliki pandangan yang unik terhadap masyarakat dan individu. Filosofi ini, dapat dideskripsikan secara baik dengan hadits berikut ini :
Rasûlullâh (Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam) memberikan sebuah perumpamaan kaum yang berada di atas kapal, sebagian mereka berada di atas dek dan sebagian mereka berada di dek bawah. Orang-orang yang berada di dek bawah jika memerlukan air harus melewati dek atas. Orang-orang yang berada di atas dek menolak menggunakan air, sehingga orang-orang pada dek bawah kapal memutuskan untuk membuat lubang di lantai kapal dan mengambil air dari laut. Rasûlullâh bersabda : “Apabila orang-orang di dek atas tidak menghentikan orang-orang di bagian bawah kapal dari membuat lubang, maka kapal akan karam dan orang-orang yang berada di atas kapal akan tenggelam.”
Hadits ini memberikan pandangan yang jelas bahwa individu merupakan bagian dari masyarakat dan masyarakat adalah bagian dari individu. Hal ini menunjukkan kebutuhan hubungan simbiosis antara masyarakat dengan individu. Perbuatan, nilai dan perilaku tertentu dari seorang individu di dalam sebuah masyarakat, dapat mempengaruhinya secara negatif, terutama apabila perbuatan dan nilai-nilai tersebut bersifat non-kohesif. Oleh karena itu, Islam menyebarkan nilainilai kohesif di dalam masyarakatnya untuk mencegah ‘kapal’ supaya tidak karam. Dengan kata lain, mencegah kerusakan sosial dan menfasilitasi kohesif sosial.
24
Nilai-nilai kohesif mencakup keadilan, kasih sayang, empati, pendistribusian sumber daya, toleransi dan tanggung jawab. Sumber teks di dalam Islam, yaitu alQur`ân dan hadits (yang juga dikenal dengan sebutan Sunnah), yang merupakan dasar hukum Islam yang dikenal dengan Syari’ah, menyebarkan nilai-nilai kohesif ini. AlQur`ân dan hadits menekankan nilai-nilai ini secara kuat. Sebagai contohnya:
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Imrân (3) : 104)
!"#$ $% &'()* +,- / 1☺ ,3* - 45 $ 67 89/, - 4:; , Artinya : “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan dia (tidak pula) termasuk orangorang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS al-Balâd (90) : 12-16)
25
Artinya :“wahai oang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlakuadillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (QS al-Mâ`idah (5) : 8)
Nilai-nilai kohesif inilah yang pernah disebarluaskan di dunia muslim. Banyak komentator beralasan bahwa nilai-nilai politik esensial ini telah hilang oleh sebab negeri muslim tidak lagi menerapkan teori politik Islam secara komprehensif. Walau demikian, banyak bukti yang dapat ditunjukkan melalui referensi sejarah, ketika nilai-nilai politik kohesif Islam pernah tersebar di dunia Islam.
Perlu dicatat di sini, bahwa nilai kohesif Islam tidak dapat diterapkan secara sukses tanpa menfungsikan secara penuh pemerintahah Islam, yang juga dikenal dengan nama Khilâfah. Sebab, pemerintahan Islam merupakan sistem yang komprehensif dimana seluruh bentuk dan mekanismenya bersifat interdependen (saling bergantung) dan interlink (saling berkaitan) satu dengan lainnya. Dalam sejarah Islam, ketika nilai-nilai kohesif Islam dipropagasikan via pengimplementasian sistem khilâfah, kesimpulan yang dibuat oleh sejumlah ahli sejarah tidak terpadai.
26
Ahli sejarah Yahudi, Amnon Cohens menyatakan bahwa minoritas Yahudi lebih cenderung mencari keadilan dari pengadian Islam daripada pengadian mereka sendiri, “The Jews went to the Muslim court for a variety of reasons, but the overwhelming fact was their ongoing and almost permanent presence there. This indicates that they went there not only in search of justice, but did so hoping, or rather knowing, that more often than not they would attain redress when wronged…” “Kaum Yahudi, Pergi mendatangi pengadilan muslim untuk alasan yang bervariasi, namun banyak fakta menunjukkan kehadiran mereka yang berkelanjutan dan hampir permanen di pengadilan muslim. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak hanya mencari keadilan, namun mereka melakukan hal tersebut berharap, atau lebih mengetahui, bahwa seringkali mereka tidak akan mendapatkan ganti rugi ketika mereka dirugikan…”
Banyak kaum liberal beralasan bahwa nilai-nilai ini dimiliki oleh semua (sistem); walau demikian, Islam menyebarluaskan nilai-nilai ini dan tidak menciptakan persaingan antara nilai-nilai kohesif dan nilai-nilai non-kohesif seperti yang kita lihat di masyarakat liberal. Oleh karena itu, Islam menjadikan nilai-nilainya yang bersifat kohesif sebagai bagian susunan politik dan sosialnya, yang berlawanan dengan pemikiran individualisme dan atomisme Liberalisme. Islam perlu diselidiki dan digunakan sebagai referensi diskursus politik yang dinamis sebagaimana nilai politiknya memiliki premis yang kuat dan inti nilai politiknya bersifat kohesif.
27
KonklusiLiberalisme telah gagal secara kemanusiaan. Premis LiberalismeIndividualisme tidak tepat secara filosofis karena memandang manusia sebagai entitas yang abstrak yang terpisah dari ikatan sosial yang diperlukan. Liberalisme juga menghasilkan tendensi atomis pada masyarakat modern yang berakibat pada kerusakan dan pembusukan sosial. Nilai-nilai inti politik liberalisme tentang kebebasan individu dan kedudukan tinggi hak seorang individu merupakan nilai nonkohesif yang telah menfasilitasi problematika sosial yang tengah dihadapi oleh masyarakat liberal. Nilai-nilai yang bersifat non-kohesif ini, yang disebarluaskan di negara barat telah mempengaruhi perilaku kolektif mereka. Sebaliknya, Islam memiliki pandangan yang unik tentang masyarakat dan nilai kohesifnya yang tersebar, telah menghasilkan sesuatu yang positif.
Secara signifikan, harus dicatat bahwa kebijakan dan perubahan legislatif tidak akan menyelesaikan krisis sosial yang dihadapi oleh masyarakat liberal. Kami telah
mencoba
metode
tersebut
dan
gagal.
Sekarang
waktunya
untuk
mempertanyakan nilai-nilai yang mendasari negara liberal dan mencari solusi yang dapat dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai kohesif yang akan membawa kita keluar dari pembusukan sosial ini. Saya percaya, bahwa nilai-nilai kohesif ini haruslan nilainilai Islam dan solusi yang dapat dilaksanakan adalah pemerintahan Islam, yang juga dikenal sebagai khilâfah. Cara yang paling praktis untuk dapat dicapai adalah, pemerintahan Islam harus diimplementasikan di dunia muslim. Dengan melakukan hal tersebut, hal ini
28
dapat menjadi contoh bagi negara liberal di barat, dengan harapan mereka mau menyadari bahwa Islam adalah solusi positif bagi masyarakat kita yang rusak.10 Maka dari itu, penulis tertarik dan berkepentingan membahas persoalan ini dalam bentuk skripsi dan memberinya judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Yang Menyebabkan Luka Berat ” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, antara orang yang tidak dikenal ataupun orang yang saling mengenal, seperti tetangga dengan tetangga, bahkan antar saudara kandungpun bisa terjadi, dan tidak menutup kemungkinan ada pula anak yang menganiaya bahkan membunuh orang tuanya ataupun sebaliknya. Banyak kasus yang sering terangkat ke permukaan adalah kekerasan kolektif yang dilakukan oleh para pelajar yaitu tawuran, tawuran antar kampung, penganiayaan/pengroyokan oleh geng-geng tertentu bahkan aksi demonstrasi mahasiswapun kerap bisa menimbulkan kerusuhan terhadap tindak pidana kekerasan. Dari pembatasan masalah tersebut, maka pokok masalah dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tindak pidana kekerasan kolektif menurut hukum pidana Islam 2. Bagaimana tindak pidana kekerasan kolektif yang mengakibatkan luka berat yang diatur dalam hukum pidana Islam
10
Abu Salma, “Liberalisme dan Pembusukan Sosial” Artikel diakses pada 5 juni 2009 darihttp://www.childrenssociety.org.uk/
29
3. Apa sanksi terhadap tindak pidana kekerasan kolektif yang mengakibatkan luka berat menurut hukum pidana Islam. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan memberikan Penjelasan tindak pidana kekerasan kolektif berdasarkan hukum pidana Islam 2. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran akibat tindak pidana kekerasan kolektif menurut hukum Islam 3. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran tentang penjatuhan sanksi hukuman terhadap tindak pidana kekerasan kolektif menurut hukum pidana Islam. Sedangkan manfaat yang dapat diambil
dari penelitian ini diharapkan
menjadi bahan informasi dan memberikan penjelasan serta memberikan khazanah pengetahuan tentang masalah tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat serta hukumannya. D. Review Studi Terdahulu
Karya Abdul Qadir AudahAt-tasyri Al-Jina’i fil Islami, Beirut : Al-Risalah, 1992, Al Islam wa Audhauna al Qanuniyah, Beirut, Dar Fikr 1989. karya Muhammad
30
Abu Zahra Al-Jarimah Wal Uqubah Fil Fiqh Al-Islam Beirut, Darul Fikr Arab, 1998 adalah sebuah buku monumental dan berhasil menciptakan perubahan besar pada kaum intelektual Mesir khususnya, dan dunia Islam umumnya. Buku tersebut memaparkan
keunggulan
syariat
Islam
atas
undang-undang
konvensional.
Kesungguhannya menjadikan syariat Islam sebagai sandaran hukum konvensional bukan saja ditunjukkannya dalam praktek hukum, Syariat Islam mendahului sistemsistem ciptaan manusia dalam merespon problematika umat manusia, permasalahan masyarakat, hak-hak umat dan Negara.
Skripsi karya Zakaria yang berjudul Kejahatan Kekerasan Kolektif dalam Perspektif Kriminologis Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (2003), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syrif Hidayatullah Jakarta. Pada tulisannya beliau menguraikan perspektif kriminologis hukum positif dan hukum pidana Islam, tidak menjelaskan secara meluas, mendalam mengenai luka berat terhadap korban dan pelaksanaan hukumannya yang diberikan kepada pelaku menurut empat Imam Mazhab serta tidak menganalisis pelaksanaan hukumannya. Kelebihan pada penulisan beliau adalah membahas tentang bagaimana pandangan terhadap kekerasan kolektif menurut hukum positif dan hukum pidana Islam. Pada tulisan kali ini penulis berusaha mendalami dalam tinjauan hukum Islam terhadap tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat, dalam uraiannya penulis membahas lebih dalam mengenai pertanggungjawaban pidana serta
31
pelaksanaan hukumannya menurut empat Imam Mazhab serta menganalisis atas pelaksanaan hukumannya. Perbedaan antara penulis dengan tulisan sebelumnya adalah terletak pada pelaksanaan hukumannya dan batasan yang mengakibatkan atau akibat luka terhadap korban serta analisis terhadap pelaksanaan hukumananya menurut empat Imam Mazhab. E. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini, Penulis menggunakan metode sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari penomena yang diteliti, berupa mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai tindak pidana kekerasan kolektif yang mengakibatkan luka berat. 2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Adapun teknik analisis atas data digunakan dengan tinjauan kualitatif yaitu dengan melihat dari beberapa literatur dan referensi-referensi yang berhubungan dengan bahasan mengenai tindak pidana kekerasan kolektif dan beberapa argumen para imam mazhab. Dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas, sistematik, objektif, kritis menggambarkan, menguraikan sesuatu hal menurut apa adanya. Baik berupa ucapan atau lisan tidak dipersempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, melainkan dipandang sebagai suatu keseluruhan.
32
(cara pandang) 3. Teknik Penulisan Adapun metode dalam penulisan ini, penulis berpedoman pada pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan memudahkan penelitian ini penulis membaginya menjadi beberapa Bab, Yaitu : BAB I :
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang: Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.
BAB II : Merupakan bab pembahasan Pengertian Tindak Pidana Kekerasan Kolektif, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Kolektif, Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Selain Jiwa. BAB III : Pertanggungjawaban Tindak Pidana dan Macam-macamnya, Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Abu Hanifah, Pelaksanaan Hukumnya Menurut Imam Malik, Pelaksanaan Hukumnya Menurut Imam Syafi’i, Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Ahmad. dan Analisis Penulis Tentang Hukum Tindak Pidana Kekerasan Kolektif yang Menyebabkan Luka Berat.
33
BAB IV: Merupakan Penutup yang Mencangkup Kesimpulan dan Saran
34
BAB II TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLEKTIF MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Kekerasan menurut Kadish yang di kutip oleh Tb. Roni Nitibaskara bahwa kekerasan menuju pada semua tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan luka berat bahkan kematian pada seseorang. Dalam kamus terdapat istilah “Geweld” yang berarti paksaan atau ancaman dengan kekerasan.11 Secara umum kekerasan berasal dari kata keras, sedangkan menurut etimologi berarti perihal yang bersifat dan berarti keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan mati atau menyebabkan kesakitan pada tubuh atau luka-luka pada orang lain.12 Para fuqaha telah sepakat dalam merujuk bentuk kejahatan kekerasan kolektif dengan istilah turut serta (Isytirak) dalam pengertian bahasa, sedangkan dalam pengertian istilah Abdul Qadir Audah memberikan Pengertian yang cukup komprehensif, yaitu :
د ر آبار رد واد و د ر آ ا را د دون هم آل م
11
Simangki, Rudi.T, Erwin JT. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Akasara Baru 1982), h. 65 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), Cet. Ke- 2, h. 424 12
35
13
ذه او ون ر ذه
Artinya : “Turut serta dalam suatu tindak kejahatan dapat terjadi bila berbilangnya pelaku, dimana setiap dari mereka memberikan bagiannya dalam melaksanakan tindak kejahatan itu, atau mereka saling bantu membantu dengan yang lainya atas terjadinya tindak kejahatan.” Contohnya seseorang dengan berencana sebelumnya untuk melakukan tidak pidana kekerasan terhadap orang lain dengan membagi tugas masing-masing ketika pelaksanaanya ada yang memegang, mengikat, memukul, dan menembaknya sehingga mengakibatkan kematian dengan kerjasama mereka untuk memudahkan tujuannya tercapai maka mereka semua mendapatkan bagian hukumannya. Kalau di indonesia kasus terhahangat mengenai pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Banjaran, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia yang melibatkan ketua KPK Antasari Azhar. Adapun dalam pelaksanaan tindak pidana kekerasan kolektif, terbagi menjadi beberapa kategori. 1. Pelaku melakukan tindak kejahatan kekerasan bersama-sama orang lain (memberikan bagiannya dalam melaksanakan tindak kejahatan kekerasan). Artinya secara kebetulan mereka bersama-sama. 2. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan kejahatan kekerasan. 3. Pelaku menyuruh (menghasut) orang lain untuk berbuat tindak kejahatan
13
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Al-Risalah, 1992), Juz. 1, Cet ket-2, h.357
36
kekerasan untuk memberikan bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya tindak kejahatan kekerasan dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.14 Dalam hal adanya perbuatan kolektif pelaku, para fuqaha mengadakan pemisahan. Apakah kolektivitas pelaku dalam mewujudkan suatu tindak kekerasan itu terjadi secara kebetulan, atau memang sudah direncanakan bersama-sama sebelumnya. Keadaan pertama di sebut “ Tawafuk ” dan keadaan kedua disebut “ Tamalu ”.15 Pada tawafuk bermakna niat orang-orang yang turut serta dalam tindak pidana adalah untuk melakukan, tanpa adanya kesepakatan (permufakatan) sebelumnya di antara mereka. Dengan kata lain, masing-masing pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pkirannya yang timbul seketika itu.16 Hal ini seperti yang terjadi pada kasus kerusuhan yang terjadi secara spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada permufakatan (persepakatan) sebelumnya dan melakukan berdasarkan dorongan pribadi dan pikirannya secara spontanitas. Pada kasus ini, dan yang semisalnya diartikan bahwa diantara para pelaku terjadi secara kebetulan. Karena itu, masing-masing dari mereka hanya bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak menanggung akibat perbuatan orang lain. Contohnya pada saat demonstrasi yang dilakukan mahasiswa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak atau dilakukan olek pekerja buruh menimta 14
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993) cet. Ke-5,
h. 136 15
A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997) cet. Ke-2, h. 17 Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidan Islam, (Jakarta, PT.Khalisma Ilmu: 2008), Cet. 1, Jilid. 4, h. 37 16
37
kenaikan gaji dan THR. disaat seperti ini sering terjadi keributan yang menimbulkan tindakan kekerasan. Sedangkan dalam kasus Tamalu, para pelaku telah bersepakat untuk melakukan suatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil tindak pidana itu. Apabila dua orang bersepakat untuk membunuh seseorang kemudian keduanya pergi menjalankan aksinya, seorang di antara keduanya mengikat korban, sedangkan yang lain memukul kepalanya hingga mati, keduanya bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.17 Pernah terjadi peristiwa Tamalu (pelaku kejahatan yang merencanakan sebelumnya) yakni pada masa Khalifah Sayidina Umar bin Khatab r.a, dimana seorang wanita tinggal di Shan’a ia ditinggal oleh suaminya. Sang suami meninggalkan seorang anak agar tetap tinggal bersama isterinya, suatu ketika isteri terpengaruh oleh godaan setan, dia mencari kekasih lagi, wanita itu berkata kepada sang kekasih : “Anak ini akan mengganggu kebahagian kita”. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuhnya, dan terkumpullah enam orang laki-laki dan seorang wanita sebagai tersangka pembunuh. Dalam riwayat yang lain dikatakan jumlahnya kurang dari itu. Pada waktu yang telah ditentukan mereka sepakat membunuhnya, lalu memasukkannya kedalam sebuah tempat yang terbuat dari kulit dan dilemparkan ke sebuah sumur tua di pinggir desa. Anak tadi ditemukan oleh masyarakat desa dalam keadaan tidak bernyawa. Kekasih wanita tadi mengakui kesalahannya, begitu
17
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 38
38
pula sang isteri yang menyeleweng tadi. Gubernur Shan’a Ya’la bin Umaya menulis surat kepada Umar bin Khatab untuk memberitahukan kasus tesebut, Umar meminta pendapat dari pada sahabatnya. Ali berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapat anda jika ada sekelompok orang bersama-sama melakukan pencurian terhadap unta yang sudah disembelih yang ini mengambil sepotong dan yang lainnya lagi mengambil sepotong, apakah anda akan memotong tangannya. Umar menjawab: “Benar”. Ali berkata lagi: dalam kata-katanya yang terkenal Umar berujar: Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik.
ا&رك ن ' ( د ن د ن ب$ ا#ل ا" ! ر را& او رل و ل+,: ل# $ان ر ا( ا&طب ر* ا ل ا" ! و د0 م./ اهل# - و ل ر و او646ن أو ا4 م ام و ون إذا ل ار2 ت ددا ن ا ن و م# دا و+7ر ا6أآ
18
Artinya: Imam As-Syafi’I berka r.a.Imam Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Said dari Said Ibnu Musayab bahwasannya Umar bin Khatab r.a. berkata lima atau tujuh orang jika membunuh satu orang membunuhnya dengan modus pembunuhan bersekongkol. Dan Umar berkata seandainya Negeri Shan’a bersepakat membunuh maka niscaya akan aku bunuh. Dalam riwayat ini Imam Syafi’i mendengar kemudian berkomentar bahwa banyak dari para mufti dan telah sampai kepada beliau, bahwa mereka berkata jika dua, tiga atau lebih orang yang membunuh satu orang dengan sengaja. 18
Abu Abdillah Bin Muhammad Idris As-Syafi’i, al-Umm (Beirut Libanon: Darul Fikr, 1990), Jilid 3, h. 24
39
Maka walinya harus membunuh mereka semua. B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Kekerasan kolektif dapat dibedakan atas tiga kategori yaitu : kekerasan kolektif primitif, kekerasan kolekftif reaksioner, dan kekerasan kolektif modrn. yang di kutip Tb Roni Nitibaskara dalam artikelnya beliau menuliskan sebagai berikut : 19 Kekerasan kolektif primitif pada umumnya bersifat nonpolitis. Ruang lingkupnya terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya, pengeroyokan dalam bentuk pemukulan atau penganiayaan terhadap pencopetan yang tertangkap tangan. Peristiwa pengroyokan dan pembaian terhadap dukum teluh di berbagai daerah lainnya di indonesia termasuk kategori ini. Kasus pembunuhan terhadap dukun santet di Bayuwangi dan Ciamis barubaru ini masih perlu dipertanyakan apakah termasuk kategori ini. Tawuran di kalangan siswa antar sekolah vndalisme kerusuhan sepak bola tampaknya juga termasuk kategori ini. Kekerasan kolektif reaksioner umumnya merupakan reaksi diterhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu kkomunitas lokal, melainkansiapa saja yangmerasa berkepentingna dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur
19
Tb Roni Nitibaskara, (Lingkaran Kekerasan) Artikel diakses 9 juni 2009 dari http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/26/opini/588421.htm
40
Termasuk kategori ini adalah kasus angkot mogok di Bandarlampung (10-121996). Ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa) karena disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp 400-menjadi Rp 800. Contoh lain adalah perlakuan kerusuhan Tanahabang (27 Januari 1997). Adanya sikap dan perilaku petugas Tramtib dianggap semena-mena oleh para pedagang,menyulut kekerasan kolektif. Sementara kerusuhan Sumedang (Rancaekek 31 Januari 1997), yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap pabrik dan kendaraan bermotor, yang disebabkan tuntutan kenaikan THR juga termasuk kekerasan kolektif reaksioner. Reaksioner modern merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan biak. Kekerasan dalam pemogokan buruh di Medan (April 1994) dimana para buruh industri yang melakukan kekerasan dan kerusuhan massal yang menyebar ke seluruh kota adalah kekerasan kolektif modern. Sementara bermacam-macam terorisme dan kekerasan politik di masa kampanye pemilu juga termasuk ketegori ini. Peristiwa kekerasan kolektif yang paling memakan korban harta, jiwa adalah kerusuhan 14 Mei 1998 yang lalu, diduga merupakan campuran dari kekerasan primitif dan kekerasan kolektif modern. Timbul pertanyaan mengapa massa menjadi begitu beringas dan tidak terkendali? Secara teoritis, khususnya dalam jenis kekerasan kolektif primitif, sangat sedikit ditemukan bukti bahwa tingkah laku itu dierencanakan dan direkayasa sebelumnya. Kebanyakan kerusuhan merupakan ledakan spontanitas dari kelompok
41
yang kecewa, yang memberikan reaksi terhadap peristiwa dan isu yang muncul. Menurut Horton dan Hunt yang dikutif oleh Tb Roni Nitibaskara,
kerusuhan
mencakup pameran kekuatan, penyerangan terhadap kelompok yang tidak disenangi, perampasan dan perusakan harta benda terutama milik kelompok yang di benci. Setiap kekerasan kolektif memberikan dukungan kerumunan (Crowd) dan kekebebasan dari tanggung jawab moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan dorongan hati. Secara psikologis terhadap orang yang berada. Dan dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan dan mengenalnya. Dan dalam kerumunan orang banyak, orang menjadi gampang meniru. Perbuatan orang lain. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas kendali, sehingga memungkinkan seseorang melakukan tindakan agresif dan deskruktif. Dari sinilah lahir tingkah laku manusia yang kejam dan sadistik. Terjadi proses penurunan intelektual dan moral serta hilangnya nasionalistis dari para individu yang ada dalam kerumunan tadi.20 Kejahatan kekerasan kolektif dalam keterlibatannya masing-masing peserta terbagi dua bentuk, yaitu : 1. Turut Serta Secara Langsung (Tabi’al-Mubasir) Yang dimaksud dengan turut serta secara langsung adalah orang yang secara langsung terikat atau turut serta dalam melakukan tindak kejahatan kekerasan. Dalam istilah Fiqh Jinayah peristiwa seperti ini disebut Isytirak Mubasyir, dan pelakunya di 20
Tb. Roni Nitibaskara, Lingkaran Kekerasan, Arikerl diakses 9 Juni 2009 dari http://www2.kompas.com /kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm
42
sebut Mubasyir. Menurut istilah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:
ﺵ راك ود دد اة:ل أنهذا اوع ن ا/-اﺵ راك اﺵرنا اذن ﺵرون Atinya : ”Turut serta secara langsung, pada dasarnya bentuk turut serta semacam ini baru terjadi dalam hal banyaknya para pelaku yang secara langsung mereka melakukan kejahatan21 Jelaslah turut serta secara langsung juga dapat terjadi, manakala seorang melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat, yang dimaksudkan untuk melaksanakan kejahatan kekerasan yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selasai atau tidaknya suatu kejahatan tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut serta secara langsung. Pengaruhnya terbatas pada berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan padanya. Jadi dianggap sebagai pelaku langsung, jika masing-masing pelaku mengarahkan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan tersebut. Disini tidak dipermasalahkan tembakan siapa yang tepat dan tembakan siapa yang meleset sehingga masing-masing dianggap melakukan pembunuhan secara langsung. Demikian pula apabila mereka bersama-sama melakukan pencurian atau perampokan. Dipandang sebagai pelaku langsung, ialah pelaku yang menjadi sebab (tidak lansung) apabila pelaku tindak kejahatan kekerasan secara langsung adalah kaki tangannya (orang kepercayaan). Pendapat ini disetujui oleh para fuqaha, meskipun
21
Audah, At-Tasyri’al-Jinai al-Islami, h. 360
43
dalam penerapannya terdapat perbedaan pendapat. Sebagai contoh, jika seorang menyuruh orang lain untuk membunuh, kemudian suruhan itu melakukannya, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pelaku langsung. Pendapat ini menurut Imam mazhab meskipun ia tidak melakukan perbuatan itu secara tidak langsung, namun dalam keadaan demikian orang yang disuruh hanya merupakan alat.22 Berbeda dengan Abu Hanifah, beliau berpendapat mengenai orang yang menyuruh tidak dianggap sebagai pelaku langsung, kecuali suruhannya itu mengandung unsur paksaan (ikrah), jika tidak sampai pada tingkat paksaan, maka suruhan itu dianggap turut serta tidak langsung. 2. Turut Serta Secara Tidak Langsung (At-Tabi’ Goyru Al-Mubasir) Yang dimaksud turut serta tidak langsung disini ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak kejahatan kekerasan atau menyuruh (membujuk) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbutan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan. Dalam istilah Fiqih jinayah, peristiwa seperti ini disebut dengan Isytarak bit-tasabbubi dan pelakunya disebut Mutasabbib. Lebih lanjut Abdul Qadir Audah mengemukakan istilahnya dengan
ن رض0 و# ب0 رﺵرآ ن ا ق ر ار آب ل ق أو:دانا/ هذا ا ل وﺵ رط اﺵرك أنآون#ر أو أ 23
22 23
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 139 Audah, At-Tasyri’al-Jinai al-Islami, h. 356.
ا رض أو ا> ار
44
Artinya:”Dikatakan turut serta secara tidak langsung yaitu orang mengadakan persekongkolan dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak kejahatan atau menyuruh orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut”. Pada tindak kejahatan kekerasan kolektif, dimana ada beberapa pelaku tidak turut serta secara tidak langsung, para fuqaha sepakat untuk memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi a. Perbuatan, dimana orang yang berbuat tidak langsung memberikan bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pelaku langsung harus dihukum pula. Jadi ada kemungkinan pelaku langsung, itu masih dibawah umur atau hilang ingatannya. b. Dengan kesepakatan atau bujukan atau bantuan, dimaksudkan agar kejahatan tertentu dapat terlaksana. Jika tidak ada kejahatan tertentu yang dimaksudkan maka ia dianggap turut berbuat pada tiap tindak kejahatan yang terjadi. c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan, menyuruh dan membantu, lebih jelasnya cara ini akan diuraikan kembali. 24 1). Kesepakatan Kesepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan kesamaan untuk melakukan kejahatan kekerasan, jika tidak adanya kesempatan sebelumnya maka tidak ada turut serta. Untuk terjadinya turut serta suatu kejahatan kekerasa
24
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 145
45
kolektif harus merupakan akibat kesepakatan, jika seorang bersepakat dengan orang kedua untuk membuhuh orang ketiga, kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat tersebut terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tersebut, dan orang ketiga itu hendak membuhuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang kedua dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela diri maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai persepakatan. Meskipun terdapat orang kedua dijatuhi sanksi hukum karena alasan pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum karena kesepakatan jahatnya orang lain. sebab kesepakatan jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat yang dapat dihukum baik dilakukan ataupun tidak. 25 Dalam menyikapi turut serta secara tidak langsung dalam kejahatan kekerasan kolektif dan terjadi kesepakatan antara seseorang dengan orang lain, dimana satu menjadi pelaku langsung, sedangkan yang lainnya tidak berbuat, tetapi ia menyaksikan tindak kejahatan kekerasan itu, maka orang yang menyakasikan tersebut dianggap sebagai turut berbuat langsung. 2). Menyuruh Yang dikatakan dengan menyuruh ialah membujuk orang lain untuk melakukan kejahatan kekerasan, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukannya kejahatan kekerasan. Dan jika orang yang mengeluarkan suruhan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang disuruh, seperti atasan kepada bawahannya
25
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 146
46
maka suruhan tersebut dianggap paksaan yang tidak mempunyai sanksi hukuman bagi pelakunya. Namun dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan maka yang disuruh itu harus bertanggungjawab atas kematian korban, sedangkan yang menyuruh dikenakan sanksi ta’zir. 3). Memberikan bantuan Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam melakukan kejahatan kekerasan dianggap sebagai turut serta secara tidak langsung, meskipun tidak ada kesepakatan untuk itu sebelumnya. Perbedaan antara pelaku langsung, dengan pemberi bantuan adalah jika pelaku langsung itu bersentuhan langsung dengan kejahatan kekerasan yang dimaksud, sedangkan pemberi bantuan biasanya tidak bersentuhan langsung, dengan kejahatan, melainkan hanya membantu mewujdkan kekerasan yang dimaksud. C. Kejahatan Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Selain Jiwa Menurut para fuqaha, tindak pidana atas selain jiwa (Penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Ini adalah pendapat yang sangat teliti disetiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa di gambarkan, sehingga masuk didalamnya: melukai, memukul, mendorong, menarik, memeras, menekan, memotong rambut dan mencabutnya, dan lain-lain.26 Para fuqaha membagi tindak pidana atas selain jiwa, menjadi lima bagian.
26
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 19
47
Pembagian ini didasarkan pada akibat perbuatan pelaku. Ini karena pelaku tindak pidana penganiayaan di kenai hukuman yang sesuai dengan akibat perbuatannya walaupun ia tidak bermaksud pada akibat tersebut, tanpa peduli apakah perbuatan tersebut disengaja atau tidak disengaja. Pembagian tersebut adalah: 1. Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya 2. Menghilangkan manfaat anggota badan, tetapi anggota badannya tetep ada 3. Melukai kepala dan muka (al-syijjaj) 4. Melukai selain kepala dan muka (al-jirah) 5. Yang tidak termasuk empat jenis sebelumnya 1. Memisahkan Anggota Badan atau Sejenisnya Yang dimaksud memisahkan anggota badan adalah memotong anggota badan dan sesuatu yang mempunyai manfaat serupa. Termasuk dalam bagian ini adalah memotong tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung, penis, dua belah pelir (testis), telinga,bibir,mencungkil mata, memotong pelupuk mata, mencabut gigi dan menghancurkannya, mencukur atau mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis dan kumis. 2. Menghilangkan Manfaat Anggota Badan Tetapi Anggota Badannya Tetap Ada Menghilangkan manfaat anggota badan tetapi anggota badannya tetap ada artinya, menghilangkan manfaat anggota badannya. Jika anggotanya hilang, tindakan tersebut bagian pertama. Masuk dalam jenis ini adalah menghilangkan pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, manfaat bicara, kemampuan bersetubuh, melahirkan
48
memukul, dan berjalan. Termasuk di dalamnya, berubah nyawa karena gigi menjadi hitam, merah, hijau dan lainnya. Juga masuk bagian ini adalah menghilangkan akal dan lainnya. 3. Melukai Kepala dan Muka Yang dimakdud asy-syijaj adalah melukai kepala dan muka secara khusus. Adapun melukai tubuh selain kepala dan muka disebut al-jirah. Menamakan luka badan dengan asy-syijaj merupakan penamaan yang salah karena orang Arab memisahkan antara penggunaan asy-syajjah dengan jirahah. Mereka menamakan luka di kepala dengan asy-syajjah, sedangkan luka pada tubuh dengan al-jirahah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa asy-syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak. Adapun organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lain-lain tidak termasuk syajjaj. Dalam hal ini menurut Imam Abu Hanifah, syajjaj terbagi sebelas jenis diantaranya : 1. Al-kharishah, yaitu pelukaan atas kulit, tetapi tidak sampai mengeluarkan darah 2. Ad-damiyah, yaitu pelukaan yang berakibat mengalirkan darah
49
3. Al-badhi’ah yaitu pelukaan yang sampai memotong daging 4. Al-mutalahimah, yaitu pelukaan yang memetong daging lebih dalam daripada Al-Badhi’ah. 5. As-simhaq, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam lagi, sehingga kulit halus (selaput) antara daging dan tulang kelihatan. Selaputnya itu sendiri disebut juga simhaq 6. Al-mudhihah, yaitu pelukaan yang lebih dalam, sehingga memotong atau merobek selaput tersebut dan tulangnya kelihatan. 7. Al-hasyimah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi, sehingga memotong atau memecahkan tulang. 8. Al-munqilah, yaitu pelukaan yang bukan hanya sekedar memotong tulang, tetapi sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya. 9. Al-ammah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada ummud dimagh, yaitu selaput antara tulang dan otak. 10. ad-damighah, yaitu pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otaknya kelihatan. 27 Pendapat Imam Malik bahwa asy-syijaj hanya ada sepuluh. Yang pertama 27
563
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar Al-Qalam Al-Araby, 1973), Jilid I dan IV, h. 562-
50
disebut ad-damiyah, kedua al-kharisah, ketiga as-samhaq, keenam maltah (luka kulit kepala). Imam malik membuang luka ke delapan, yaitu al-hasyimah (luka yang memecahkan tulang). Imam Malik berpendapat, al-hasyimah adalah luka pada tubuh. Bukan pada kepala atau muka. Selain hal tersebut, Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam as-Syafi’i dan Ahamad bin Hambal berpendapat bahwa asy-syijaj hanya sepuluh. Keduanya membuang jenis yang kedua dalam pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu ad-dami’ah. Sepuluh sisanya mereka akui. Imam Ahmad bin Hanbal menamakan ad-damiyah dengan nama yang sama (addamiyah) atau al bazilah Imam asy-Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal menamakan yang ke sepuluh dengan al-ma’mumah atau al-amah. 28
4. Melukai Selain Kepala dan Muka (al-jirah) Yang dimaksud al-jirah adalah luka pada badan, selain kepala dan muka. Luka ini dibagi dua : al-jaifah dan gairu ja’ifah. Al-ja’ifah adalah luka yang sampai ke dalam rongga dada dan perut, baik luka tersebut di dada, perut, punggung, dua lambung, antara dua buah pelir, dubur, Maupun tenggorokan. Adapun gair ja’ifah adalah luka yang tidak sampai ke rongga tersebut. 5. Luka yang Tidak Termasuk Empat Jenis Sebelumnya Masuk dalam jenis ini adalah semua bentuk kejahatan atau bahaya yang tidak
28
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 21
51
mengakibatkan hilangnya anggota badan atau manfaatnya dan tidak mengakibatkan luka pada kepala atau muka, juga badan. Masuk di dalamnya adalah semua penganiayaan yang tidak meninggalkan bekas atau meninggalkan bekas yang tidak dianggap jarh atau asy-syajjah. Tindak pidana penganiayaan disengaja adalah kesengajaan pelaku melakukan perbuatan yang menyentuh tubuh korban atau memengaruhi keselamatannya. Dalam kondisi apapun. Perbuatan tidak disyaratkan harus berupa pukulan atau melukai, tetapi cukup berupa perbuatan yang membahayakan atau tindakan melawan hukum dengan segala bentuknya, seperti memukul, melukai, mencekik, menarik, mendorong, menekan, atau memelintir. Pelaku tidak harus menggunakan alat tertentu untuk menyiksa. Menggigit, memotong rambut atau mencabutnya, menyikut, dan lain-lain. Penganiayaan terkadang menggunakan tangan, kaki, atau gigi, terkadang menggunakan tongkat, pisau, pedang, senapan, alat yang membahayakan, atau racun. Karena tindak pidana penganiayaan tidak dimaksudkan untuk membunuh dengan alat tertentu dan bukan juga dengan alat yang lain,, semua alat hukumnya sama
52
BAB III HUKUMAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN KOLETIF YANG MENGAKIBABKAN LUKA BERAT
A. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Dan Macam-Macamnya Apabila menusia melanggar hak-hak orang lain baik hak perorangan maupun hak masyarakat maka ada pertanggungjawaban pidana (al-masuliyah al jinayah), untuk menjaga mereka dari hal–hal yang mafsadah, karena Islam sebagai rahmat bagi semesta alam untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. 29 Pertanggungjawaban pidana menurut Hukum Pidana Islam didasarkan pada prinsip, yaitu : 1. Perbuatan delik itu berupa perbuatan yang dilarang, artinya ditentukan oleh nash baik Al-qur’an maupun Al-hadist yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan. Prinsip ini dikenal dengan unsur material. 2. Adanya perbuatan yang membentuk jinayah, dikenal dengan urusan material (alrukn al-madi), perbuatan disini harus berdasar pada kehendak, artinya pembuat delik tidak dalam keadaan terpaksa.
3. Mukallaf sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan, dikenal dengan unsur moral (al-rukn al-adabi)30
29 30
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. 1, h. 279 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 3
53
Hukuman harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an dan hadis, selain itu hukuman harus bersifat pribadi hanya dijatuhkan kepada mereka yang melakukan kejahatan saja. Kalangan fuqaha, umumnya membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan tidaknya oleh al-qur’an atau al-hadis mereka membaginya menjadi tiga macam bentuk sesuai aspek yang ditonjolkan, yaitu 1. Jarimah hudud, jarimah ini meliputi perzinaan, qadzaf, minum khamar, pencurian, perampokan, pemberontakan dan murtad. 2. Jarimah qishas atau diyat, yaitu meliputi pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja dan pelukaan semi sengaja. 3. Jarimah Ta’zir jarimah ini terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu : a. Jarimah hudud sudah merupakan perbuatan maksiat misalnya, percobaan perampokan dan percobaan pembunuhan. b. Jarimah yang ditentukan al-qur’an dan al-hadits namun tidak ditentuakn sanksinya, misalnya penghinaan dan sumpah palsu. c. Jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum, hal ini diuraikan dalam bidang Ushul fiqh misalnya pelanggaran lalu lintas. 31 Demikianlah pembagian jarimah dalam syariat Islam, sehingga dapat diambil pengertian bahwasannya Islam dalam menetapkan sanksi hukuman mempunyai dua cara, yaitu: 31
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), Cet. Ke-I, h. 28
54
1). Sanksi hukum yang telah ditentukan dalam nash al-qur’an dan al-hadits atau dalam istilah uqubah mashshiyah. 2). Sanksi hukum yang penanganannya diserahkan kepada ulul amri atau hakim dikenal dengan uqubah tafwidliyah. Dalam hal adanya jarimah yang dilakukan oleh lebih dari seorang, para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kolektivitas pelaku dalam mewujudkan jarimah kekerasan itu terjadi secara langsung turut serta bersama-sama atau tidak langsung hal ini disebabkan oleh keadaan yang dapat mempengaruhi sanksi jarimah daripada peserta dinilai sesuai keterlibatannya: 1. Turut serta secara langsung Menurut Hukum Pidana Islam banyaknya pelaku kejahatan kekerasan tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atasnya seperti masing-masing dari mereka melakukan tindak kejahatan kekerasan sendiri. 32 meskipun demikian masing-masing pelaku bisa dipengaruhi oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri seperti dalam suatu tindak kejahatan kekerasan kolektif, bisa terjadi salah satu pelaku kejahatan kekerasan kolektif melakukan perbuatannya karena membela diri, karena gila, salah sangka sementara hal itu tidak ada pada diri pelaku lainnya, maka hukuman yang akan dijatuhkanpun tidak sama. Jika seseorang melukai orang lain dengan maksud untuk membela diri kemudian datang orang ketiga dengan sengaja membuhuh orang lain tersebut, kemudian orang itu meninggal dunia atas perbuatannya maka pelaku pertama tidak 32
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 142
55
dijatuhi hukuman sebab membela diri, sedangkan pelaku kedua dijatuhi sanksi qishas sebab pembunuhan dengan sengaja. Menurut pendapat mazhab empat, semuanya diancam hukuman qishas bila mereka semuanya melakukan pembunuhan itu secara langsung hal ini terjadi karena ada kesepakatan untuk membunuh maka orang yang membantu dianggap pembunuh meskipun perbuatannya bukan membunuh namun perbuatanya bersama peserta lain menyebabkan kematian korban dan kematian korban itu sebagian akibat dari perbuatan kelompok itu.33 Mereka berbeda pendapat bila kelompok itu bersepakat untuk membunuh seseorang, namun ada seseorang, dari mereka tidak hadir ketika pembunuhan yang direncanakan itu berlangsung. Artinya ia hanya membantu secara tidak langsung. Menurut Imam Malik, dalam kasus ini setiap orang yang hadir dianggap membantu, meskipun tidak langsung, perbuatan demikian diancam dengan qishas, serperti seorang dari mereka hanya menjaga pintu dan yang lain hanya mengawasi kalaukalau ada orang yang datang sedangkan orang yang tidak hadir, meskipun ia membantu terjadinya pembunuhan maka ia hanya dikenai sanksi ta’zir Orang yang memegang orang yang akan dibunuh, dan ia memegang bukan untuk membunuh, maka tidak dapat dituntut qishas. Sedangkan bila ia memegangnya dengan maksud untuk membunuhnya, dan pembunuhnya orang ketiga, maka dikalangan fuqaha ada perbedaan pendapat.
33
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 148
56
Imam Malik berpendapat bahwa kasus ini mereka diancam dengan qishas, bila ia tahu bahwa orang yang dipegang tersebut akan dibunuh. Dengan kata lain ia tahu hanya dengan dipeganglah pembunuhan terhadap orang tadi akan lebih mudah dilakukan. Bila orang yang diperintahkan itu sudah baligh dan berakal dan bagi orang yang memerintah tidak memiliki kekuasaan terhadap orang yang diperintah, menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman qishas itu diancamkan kepada orang yang diperintah, sedangkan yang memerintah dikenai hukuman ta’zir. Menurut Imam Mazhab empat, qishas itu dikenakan kepada orang yang memaksa dan yang dipaksa membunuh, dengan alasan karena orang yang memaksa itu penyebab pembunuhan sedangkan yang dipaksa itu melakukan pembunuhan demi menyelamatkan diri sendiri. Dalam kasus ini perbuatan sebab dan langsung itu seimbang. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, hukuman qishas diancamkan kepada orang yang memaksa saja, karena Rasulullah saw bersabda:
A ر ن أ ' ا&ط$ و م ل ان ا# $ ا/ ن ان س ن ا !# روا ان# وان و ا آرهوا Artinya: Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw, bersabda sesungguhnya akan“Diangkat dari umatku kesalahan, lupa dan perbuatan yang dipaksakan kepada mereka”.(H.R. Baihaqi dari Ibnu Majah dari Abas)34 Begitulah aturan pokok yang telah dikemukakan oleh para fuqaha, namun perbedaan pendapat hanya terjadi dalam penerapan aturan”menghindari hukumanhukuman had karena ada syubhat”, dan perbedaan itu hanya sebatas pada peristiwa 34
642
Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr, 1995), jilid I, h.
57
yang boleh jadi perbuatan salah seorang dari para pelaku kekerasan kolektif itulah yang dapat menimbulkan akibat yang dapat dihukum, bukan perbuatan pelaku lainnya. Seperti peristiwa kematian karena perbuatan dua orang, yang satu sengaja membunuh sedangkan yang lainnya karena khilaf semata-mata. Menurut sebagian fuqaha syubhat (kesamaran) yang timbul, yang itu kepada perbuatan siapa peristiwa kematian itu dipertalikan, menimbulkan syubhat (kesamaran), yang karenanya para pelaku kekerasan kolektif lainnya tidak dikenakan sangsi hukum. Menurut fuqaha lainnya pada peristiwa tersebut tidak ada kesamaran yang bisa menghapuskan hukuman had, dan masing-masing pelaku kekerasan kolektif di jatuhi hukuman yang semestinya, sesuai dengan jenis dan peran mereka dalam kekerasan yang terjadi. 35
2. Turut serta secara tidak langsung Menurut Hukum Pidana Islam sanksi hukum yang telah ditentukan jumlahnya,seperti kejahatan kekerasan yang diancam had atau qishas dijatuhkan atas pelaku kejahatan kekerasan kolektif secara langsung bukan atas pelaku secara tidak langsung. Berdasarkan aturan tersebut mereka yang turut serta secara tidak langsung dalam kejahatan kekerasan kolektif yang diancam had atau qishas, tidak dijatuhi sanksi yang telah ditentukan jumlahnya, bagiamanapun bentuk turut serta tidak lansung itu, melainkan dijatuhi hukuman ta’zir. Adapun alasan pengkhususan tersebut untuk kejahatan kekerasan yang di ancam had atau qishas ialah karena pada umumnya sanksi hukum yang telah 35
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, 143
58
ditentukan jumlahnya itu sangat berat bagi pelaku. atau mungkin pelaku pada umumnya lebih berbahaya dari pada pelaku secara tidak langsung. Sebagaimana yang di gambarkan oleh Imam Malik bahwa bagaimanapun caranya, dianggap sebagai pelaku langsung apabila ia menyaksikan terjadinya kejahatan kekerasan, sebab dapat dimungkinkan apabila pelaku langsung tidak sanggup menyelesaikan bisa jadi pelaku tidak langsung yang akan menyelesaikannya atau bekerjasama dengan orang lain jelasnya pelaku langsung hanya menjadi alat.
Oleh karena pelaku kejahatan pelaku kolektif lebih dari seorang maka sangsi hukum bagi mereka baru dapat diterapkan setelah memperhatikan kepada faktor yang mempengaruhi keadaan diri para pelaku kejahatan kekerasan, antara lain: a. Cara terjadinya kejahatan kekerasan b. Keadaan para pelaku c. Niat para pelaku36 Hukum Islam menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana penganiayaan ketika perbuatan tersebut terjadi secara tidak sengaja, dengan menyesuaikan akibat perbuatan yang ditimbulkan, yaitu seperti dalam pembunuhan disengaja. Karenanya, hukuman atas orang yang menghilangkan anggota badan atau menghilangkan manfaatnya adalah lebih berat dibandingkan hukuman atas luka yang sembuh tanpa meninggalkan cacat. Hukuman atas orang yang menghilangkan penglihatan manusia itu lebih berat dibandingkan hukuman atas orang yang menghilangkan sebagian 36
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung, Asy Syamil, 2000), h. 165
59
penglihatannya. Demikian seterusnya. 3. Sengaja Melakukan Perbuatan Menurut Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pembagian kisas menjadi dua yaitu : kisas jiwa dan kisas selain jiwa atau kisas anggota badan (termasuk pelukaan).37 Agar suatu perbuatan dihukum tindak pidana sengaja perbuatan harus berasal dari kehendak pelaku dan dilakukan dengan maksud melawan hukum (pelanggaran). Jika pelaku tidak menghendaki perbuatan, atau menghendaki tetapi tidak bertujuan melawan hukum, perbuatan tersebut tidak tianggap perbutan yang disengaja, tetapi tidak disengaja (tersalah). Pelaku dijatuhi hukuman sesuai dengan maksud dengan sadar kemungkinan akibat (qasd ihtimali/doluseventualis). Pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang ia lakukan, bukan atas tujuan sewaktu ia melakukan perbuatan. Jika perbuatannya mengakibatkan anggota badan atau manfaaatnya hilang, mengakibatkan luka hingga tulangnya terlihat, mengakibatkan luka sampai menimbulkan lubang atau lebih kecil dari itu, pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya walaupun ia tidak bermaksud menimbulkan akibat tersebut ketika melakukan perbuatan. Pelaku harus bertanggungjawab atas tujuannya yang tidak terbatas. Orang yang melemparkan batu kepada segolongan orang dengan maksud melukai salah seorang dari mereka, maka ia harus bertanggungjawab atas akibat perbuatannya, baik 37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang : Al-Syifa, 1990), jilid. II, h. 528
60
pelaku mengenal orang-orang tersebut maupun tidak.38 Dalam tindak pidana penganiayaan, hukumannya sama antara pelaku yang melakukan perbuatan secara sengaja, namun tidak bermaksud membunuh dan pelaku yang sengaja melakukan perbuatan dengan maksud ingin membunuh, selama perbuatannya tidak mengakibatkan kematian. Ini karena hukum Islam tidak menjatuhkan hukuman terhadap percobaan pembunuhan jika percobaaan tersebut menjadi tindak pidana penganiayaan secara utuh, apa pun akibat tindak pidana tersebut, baik berupa melukai badan, melukai kepala dan muka, melukai rongga perut, menghilangkan manfaatnya. 4. Otak Pelaku Kemudian sehubungan dengan orang yang memiliki suatu perencanaan sebelumnya atau otak pelaku dari segala kejahatan. Maka penulis memahami bahwa orang tersebut dapat di hukum berdasarkan sejauh mana perbuatan yang direncanakan yang akan dilakukan terhadap korban. Apakah korban mengakibatkan kematian atau hanya mengalami pelukaan, hilangnya salah satu tubuh korban. Maka hukuman bagi otak pelaku bisa lebih berat atau sama sesuai dengan apa yang terjadi pada tubuh korban, dalam hal ini penulis bersandar pada pendapat Ibnu Rusyd beliau mengatakan bahwa hukuman kisas dibagi menjadi dua yaitu: kisas terhadap jiwa dan kisas selain jiwa atau kisas anggota badan (termasuk pelukaan).39 38
39
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 24 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2 h. 528
61
Dari sini dapat dipahami bagi otak pelaku dapat dihukum lebih berat. Karena orang yang disuruhpun mendapat hukuman. Mengenai pemotongan anggota badan, Manusia memiliki anggota tubuh diantaranya ada yang merupakan organ tunggal, seperti hidung, lidah, dan penis. Di samping itu ada pula organ-organ yang berpasangan, seperti kedua mata, telinga, bibir janggut, kaki, tangan, pelir, buah dada, pantat dan kedua bibir kemaluan wanita. Apabila seseorang merusak anggota tunggal atau yang berpasangan milik orang lain, maka wajib ia membayar diyat sepenuhnya (diyat penuh). Jika merusak salah satu darianggota yang berpasangan maka wajib membayar setengah diyat. Kemudian diyat itu berbeda-beda menurut perbedaan jenis dan kekufuan. Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan diyat adalah kewanitaan, kekafiran, dan kehambaan.40 B. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Abu Hanifah Mengenai hak dalam turut serta dan sebab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Arti sebab itu diartikan dengan luas sedangkan pengertian langsung di artikan dengan pengertian sempit, maksudnya dari sini dapat dipahami bahwa, pendapat Imam Abu Hanifah ini, lebih menekankan pada perbuatan yang langsung dilakukan oleh pelaku dimana pelaku langsung yang harus menerima hukuman kisas. 41 Imam Abu Hanifah membedakan antara jiwa dan selain jiwa. Tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) bisa di bagi-bagi karena hanya memotong sebagian
40
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, h. 570 Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wal Uqubah fil Fiqh, Al-Islam, (Beirut: Darul Fikr Arab: 1998), Juz. II, h. 292 41
62
anggota badan dan membiarkan sebagian yang lain. Berbeda dengan tindak pidana atas jiwa karena menghilangkan jiwa tidak bisa dibagi-bagi. Pendapat Imam Abu Hanifah ini sama dengan satu pendapat dalam mazhab Hambali. 42 Dalam hal ini juga Imam Abu Hanifah tidak membedakan antara disengaja dan menyerupai disengaja kecuali pada tindak pidana atas jiwa. Menurutnya, dalam tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan), niat berbuat saja sudah cukup. Tidak ada hambatan Imam Abu Hanifah menyaratkan jumlah korban dan pelaku harus sama. Ia mewajibkan pelaku harus satu jika memang ingin dikisas. Jika pelaku lebih dari satu, maka mereka tidak wajib kisas ketika mereka saling membantu dalam melakukan satu perbuatan. Misalnya, mereka momotong tangan seorang laki-laki, jari-jari, menghilangkan pendengaran, penglihatan, mencabut gigi, atau beberapa anggota badan yang wajib dikisas bila dilakukan satu orang. Dari sini, mereka wajib membayar diat melukai yang dibagi di antara mereka secara sama. Jika masingmasing melakukan perbuatan secara sendiri-sendiri, masing-masing wajib dikisas atas perbuatan yang ia lakukan. Alasan Imam Abu Hanifah, persamaan dalam tindak pidana penganiayaan merupakan syarat dasar bagi kisas dan tidak ada persamaan antara satu anggota badan dan bebeapa anggota badan yang lain, seperti satu tangan dengan beberapa tangan, baik secara fisik, manfaat, maupun perbuatan. Secara fisik jelas, tidak ada persamaan
42
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, 28
63
antara jumlah orang berbilang dengan satu orang tunggal. Jika anggota badan yang sehat tidak dipotong karena memotong anggota badan yang lumpuh dengan alasan tidak ada persamaan dari segi sifat walaupun sama dari segi zat, tangan pelaku lebih berhak tidak dikisas jika tidak ada persamaan dalam fisik. Adapun secara manfaat, manfaat dua tangan tentu lebih banyak dibandingkan manfaat satu tangan. Di antara manfaat ada yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan dua tangan, seperti menulis dan menjahit. Adapun secara perbuatan, mereka masingmasing memotong sebagian tangan, sedangkan kisas memotong seluruh tangan lebih banyak dibandingkan memotong sebagian tangan. C. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Malik Yahya menyampaikan kepadaku, dari Malik, dari Umar ibn Husayn, mawla Aisya bin Qudama, bahwa Abd al-Malik ibn Marwan menekankan pembalasan terhadap seseorang yang membunuh seorang mawla dengan sebuah tongkat, maka tuan mawla membunuh orang tersebut dengan tongkat juga. Imam Malik berkata: “ Cara yang disepakati di masyarakat kita, yang tidak ada perselisihan di dalamnya, adalah jika seseorang memukul orang lain dengan sebuah tongkat atau melemparnya dengan sebuah batu atau dengan sengaja memukulnya, maka itu adalah cedera yang disengaja dan ada pembalasan (qisas) untuk itu. 43 Imam Malik berkata: “ pembunuhan yang disengaja menurut pendapat beliau apabila mengakibatkan kematian maka pelakunya dihukum dengan hukuman qisas 43
Imam Malik ibn Anas Al-Muwatta, Penerjemah : Dwi surya Atmaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. 1, h. 506
64
dan
apabila
kekerasan
yang
mengakibatkan
luka
dan
kemudian
korban
mengakibatkan meninggal maka hal ini juga pelaku dihukum dengan hukuman qisas.44 Mengenai hak dalam turut serta dan sebab Imam Malik dan Hambali pendapatnya kebalikan dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa yang ditekankan oleh Imam Abu Hanifah adalah Pelaku langsung yang harus mengalami hukuman kisas sedangkan kedua Imam ini yaitu Imam Malik dan Hambali beliau berpendapat bahwa baik pelaku langsung dan pelaku tidak langsung keduanya mendapat hukuman.45 Malik berkata: “Qisas tidak diterapkan terhadap siapapun juga sampai cedera pihak penderita sembuh. Kemudian qisas diterapkan atas pelakunya. Jika cedera yang telah diterapkan kepada orang tersebut sama dengan cedera orang pertama ketika itu sembuh, maka inilah dia pembalasan (qisas). Jika cedera orang yang terkena pembalasan (qisas lebih berat atau ia meninggal dinia, maka tidak ada pembalasan diberikan terhadap orang yang melakukan pambalasan. Jika cedera orang yang menrima pembalasan sembuh dan cedar pihak pertama juga telah sembuh namun ada bekas (codet) atau cacat, orang yang telah menreima pembalasan tidak harus dipatahkan lagi tangannya, dan pembalasan lebih lanjut juga tidak dilakukan untuk cederanya.” Ia juga berkata: “Tapi ada denda darinya sesuai dengan apa yang telah ia rusak atau cacatkan pada tangan pihak yang terkena cedera. Cedera tubuh juga seperti
44 45
Ibid, h. 507 Atmaja, Terjemahan Al-Muwatta Imam Malik Ibn Anas, h. 508
65
itu”46 Malik berkata: “jika seseorang dengan sengaja mendatangi istrinya untuk mencungkil matanya, mematahkan tangannya, memotong jarinya, atau yang semacam ini, dan ia melakukannya dengan dengan sengaja, pemabalasan (qisas) dilakukan terhadapnya. Sedangkan untuk seseorang yang memukul istrinya dengan tali ataupun cambuk dan meukul bagian yang tidak aia maksudkan untuk dipukul atau melakukan apa yang tidak ia maksudkan, maka ia harus membayar denda untuk apa yang telah ia pukul sesuai dengan prinsip ini, dan pembalasan tidak titerapkan atas dirinya”. Yahya menyampaikan kepadaku, dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm melakukan pembalasan (qisas) untuk pematahan kaki.47 Kemudian adapun Imam Malik membedakan antara berencana dan kebetulan. Jika mereka berencana, masing-masing harus dikisas sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadap korban, baik perbuatan masing-masing bisa dibedakan maupun tidak. Jika mereka mencukil mata korban, memotong kaki dan tangannya, masingmasing harus dicukil matanya, dipotong tangan dan kakinya. Adapun jika mereka tidak berkelompok, jika perbuatan mereka berbeda-beda, masing-masing harus dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya. Jika perbuatan mereka tidak bisa dibedakan mereka harus dikisas sebagaimana jika mereka berkolektif. Akan tetapi
46 47
Ibid, h. 509 Atmaja, Terjemahan Al-Muwatta Imam Malik Ibn Anas, h. 509
66
ada pendapat bahwa mereka tidak dikisas, tetapi hanya wajib membayar diat.48 Dalam hal ini Imam Malik berpendapat juga mengenai tindak pidana yang dilakukan secara tidak langsung maka pelaku harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Misalnya seseorang yang mengejar orang lain dengan hunusan pedang kemudian orang itu lari kemudian orang itu tertinpah genteng yang mengakibatkan luka atau patah. Maka dalam hal ini dia telah memaksa untuk lari sehingga atas perbuatannya itu untuk mempertanggungjawabkan. Hukuman pokok tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) disengaja adalah hukumannya kisas dan diat. 49 Mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukannya secara berencana maka pelaku harus di kisas sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadap korban, baik perbuatannya itu bisa di bedakan maupun tidak. Misalnya jika mereka mencukil mata korban, memotong kaki dan tangannya maka hukuman masing-masing harus di cungkil, matanya, dipotong kaki dan tangannya. D. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Syafi’i Mengenai hak dalam turut serta dan sebab menurut Imam Syafi’i beliau berpendapat bahwa lebih demokratis artinya pendapat beliau ketika melihat kasus siapa pelaku, dengan beberapa orang maka di setiap pelakunya itu di hukum sesuai dengan apa yang di perbuat masing-masing.50 Kemudian Imam asy-Syafi’i berpendapat dijelaskan dalam karangannya
48
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 29 Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 25 50 Yafie, dkk Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 21 49
67
dibagian bab kitabul jaraahul ambdi bahwa perbuatan
sengaja di dalam
penganiayaan, adakalanya murni disengaja atau menyerupai di sengaja. Murni di sengaja adalah perbuatan yang biasanya menimbulkan akibat. Adapun menyerupai disengaja adalah perbuatan yang biasanya tidak menimbulkan akibat. Misalnya, seseorang yang menampar kepala orang lain kemudian kepala tersebut bengkak sampai terbelah sehingga terlihat tulangnya, maka perbuatan tersebut dianggap tindak pidana menyerupai disengaja. Dikatan menyerupai disengaja karena biasanya tamparan tidak mengakibatkan luka yang sampai terlihat tulangnya. Jika ada orang melempar dengan kerikil kemudian kerikil tersebut membuat bengkak dan mengakibatkan luka sampai terlihat tulang, perbuatan tersebut dianggap tindak pidana menyerupai disengaja karena biasanya lemparan kerikil tidak mengakibatkan luka sampai terlihat tulangnya.51 Didalam bab At-salaasah yaqtuluuna rojula yushiibunahu bi jarohin (orang bertiga membunuh satu orang lalu menyebabkan terluka), Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang melakukan pengroyokan atau tindak kekerasan secara kolektif terhadap satu orang dengan tindakan yang sama misalnya dengan melakukan pemotongan tangannya atau memotong anggota badan lainnya maupun dengan cara lemparan secara bersama-sama maka perbuatan ini dapat di hukum dengan hukuman qisas.52 51
Abu Abdillah Bin Muhammad Idris As-Syafi’i, , Al-Umm,( Beirut Libanon: Darul Fikr, 1990), juz. 6, jilid. 3 hal. 8 52
Ibid, hal. 24
68
Kebersamaan mereka pada anggota badan tidak bisa dibedakan antara perbuatan yang satu dan yang lain. Adakalanya mereka memberi kesaksian yang menyebabkan pemotongan kemudian mereka mencabut kesaksiannya, atau memaksa orang lain untuk memotong anggota badan, maka orang yang memaksa dan dipaksa wajib dipotong. Bisa juga mereka bersama-sama melemparkan batu pada korban sehingga anggota badan korban terpotong, atau memotong tangan dan mencukil mata dengan satu pukulan, atau meletakkan besi pada persendian lalu mereka bersamasama menaiki sampai persendiannya terputus. Jika masing-maising memotong satu bagian, atau salah seorang memotong bagian persendian lalu yang lain meneruskan, atau masing-masing memukul dengan satu pukulan, atau mereka meletakkan gergaji diatas persendian, kemudian setiap orang menjalankanya sampai tangannya terpotong di sini tidak ada kisas kerena masing-masing dari mereka tidak memotong tangan dan tidak bersama-sama memotong semuanya. Jika perbuatan masing-masing bisa dikisas secara sendirisendiri, masing-masing harus dikisas.53 Sedangkan tindak pidana kekerasan kolektif itu, dilakukannya dengan masing-masing memotong salah satu anggota tubuhnya atau melakukan pemukulan dengan tangan masing-masing satu pukulan atau bahkan ada yang meletakan gergaji di pahanya sehingga patah kakinnya. Maka perbuatan ini tidak di kisas secara bersamaan melainkan di kisas secara sendiri-sendiri sesuai apa yang dilakukannya
53
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h 29
69
masing-masing. Perlu diingat dalam pendapatnya Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal mereka mengatakan bahwa tidak mensyaratkan adanya rencana dalam tindak pidana penganiayaan. Faktor kebetulan juga cukup membuat mereka harus dikisas. Pembagian tindak pidana penganiaayaan menjadi disengaja dan menyerupai disengaja, maka hukumannya kisas bagi yang disengaja, sedangkan menyerupai disengaja hukumannya diat. Hal ini mereka berpedoman pada syarat tindak pidana atas jiwa. E. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Ahmad Dalam mazhab Hambali berpendapat bahwa tindak pidana penganiayaan ada yang disengaja dan ada yang menyerupai disengaja. Ia membedakan keduanya bahwa yang pertama berhak mendapat kisas dan yang kedua berhak dihukum diat. Mereka membedakan antara disengaja dan menyerupai disengaja. Yang pertama bermaksud memukul dengan sesuatu yang biasanya tidak menimbulkan akibat. Misalnya memukul dengan kerikil yang secara kebiasaan tidak mengakibatkan luka, namun ternyata mengakibatkan luka. Perbuatan tersebut tidak wajib dikisas karena termasuk menyerupai disengaja. 54 Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih unggul dalam mazhab Hambali. Adapun pendapat yang lain menyebutkan bahwa semua pelukaan hukumnya disengaja dan wajib dikisas. Allah berfirman
54
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h 22
70
Artinya : Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim.(Q.S. Al-Maidah Ayat : 45) Dasar hukuman kisas dari ijma yaitu: sesungguhnya harta tidak layak dipakai sebagai bayaran untuk pelaku pembunuhan senaja, begitupun dengan penganiayaan sengaja, maka kedua perbuatan tersebut hukumannya kisas, kecuali pada perbuatan penganiayaan menyerupai disengaja hukumannya diat. Berkaitan dengan hukuman penganiayaan yang disengaja. Karena harta tidak sepadan dengan nyawa, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa anak adam itu pemilik penguasa, sementara harta itu adalah sesuatu yang dimiliki dan dikuasai. Bagaimana mungkin jiwa digantikan dengan harta. Karena itu seyogyanya pembalasan adalah sesuatu yang seimbang. Hal ini mengandung hikmah terjaganya kemaslahatan hidup dan kehidupan dan sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukannya. F. Analisis Penulis Tentang Hukum Tindak Pidana Kekerasan yang
71
Menyebabkan Luka Berat Analisis Ra’yu, Penulis bisa melihat terhadap pendapat empat Imam mazhab diantara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa keempat mazhab ini, bahwa substansinya mereka berpendapat sama, maksudnya dimana dalam pendapatnya, mereka memberikan hukuman bagi para pelaku tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat. Dengan alasan karena pada dasarnya hukuman di jatuhkan bertujuan untuk mendidik bagi yang melakukan tindak pidana kekerasan atau sebagai pelanggaran dan mencegah pelaku yaitu masyarakat untuk tidak melakukan
perbuatannya
kembali dan menjadi contoh agar tidak meniru dari tindak pidana kekerasan kolektif tersebut.55 Hanya saja, dalam syarat dan alasan mereka berbeda pendapat. Misalnya kalau melihat pendapat Imam Abu Hanifah beliau berpendapat bahwa syarat pelaku dapat dikisas maka harus sama yaitu pelakukanya satu orang. Jika pelaku lebih dari satu orang dalam satu perbuatan yang sama misalnya secara bersama memotong tangan korban atau beberapa anggota badan yang wajib dikisas, maka hukuman bagi mereka wajib membayar diat. 56 Alasan Imam Abu Hanifah bahwa persamaan dalam tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat. beberapa anggota badan yang lain, seperti satu tangan dengan beberapa tangan baik secara fisik, manfaat, maupun pebuatan. Dan 55 56
Abu Zahrah, Al-Jarimah wal Uqubah fil Fiqh Al-Islam, h. 219 Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 28
72
perlu diperhatikan dalam pendapat Imam Abu Hanifah beliau lebih menekankan pada pelaku langsung yang harus mendapat hukuman kisas. Hal ini dijelaskan Al-Jaziri bahwa hukuman qisas dalam tindak pidana kekerasan kolektif ditetapkan olek kitabullah, hadits Rasul dan ijma.57 Dalam hal ini dilandaskan pada firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah; ayat 178-179 :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka denan orang merdeka, hamba sahaya dengan hambasahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklahdia mengikutinya dengan baik, dan memebayar diat (tebusan) kepadanya dengnabaikk (pula). Yang demikianitu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih”. (Q.S. Al-Baqarah;178) Sedangkan menurut pendapat Imam Malik bahwa pelaku dapat dikisas jika adanya perencanaan terlebih dahulu baik perbuatannya itu berbeda-beda misalnya tindakan pelaku terhadap korban ada yang memukul, memotong, menampar, 57
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut : Dar Al-Fikr ArAraby, 1989), Jilid V, h. 336
73
mencongkel mata. Maka pelaku dihukum dengan hukuman sama yaitu kisas.58 Sedangkan tindakan kekerasan yang dilakukan tidak secara langsung maka hukumannya bagi pelaku harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya misalnya seseorang yang dikejar dengan hunusan pedang kemudian orang itu lari kemudian tertimpan genting kemudian terjatuh mengakibatkan patah kaki dan tangan, maka orang yang mengejar itu harus mempertanggungjawabkan akibat patahnya kaki korban yang di kejar tadi. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam pendapatnya sama bahwa perbuatan tindak pidana kekerasan koletif yang menyebabkan luka berat terhadap orang lain, maka pelaku dapat dikenai hukuman kisas. Walaupaun caranya berbeda misalnya tujuanya memotong tanganya caranya dengan melempar atau dengan pukulan. Syarat kebersamaan mereka pada anggota badan tidak bisa dibedakan antara perbuatan yang satu dan yang lainnya, misalnya orang yang memaksa dan dipaksa maka wajib di potong. Kemudian apabila tindakannya berbeda-beda maka hukumannya disesuaikan dengan apa yang mereka lakukan. 59 Dalam hal ini Ibnu Qudamah berpendapat bahwa dijelaskan kitabnya yaitu karyanya Al-Jarimah wal Uqubah fil Fiqh Al-Islami beliau membagi empat perkara mengenai tindak pidana kekerasan ini, dimana kekerasan melalui orang lain maupun karena keinginannya sendiri, 60 1. adanya seseorang yang benci kepada orang lain sehingga ingin membunuh atau 58
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 29 Ibid, h. 29 60 Abu Zahrah, Al-Jarimah wal Uqubah fil Fiqh Al-Islam, h. 291 59
74
memotong anggota tubuhnya atau melukainya karena kebencian yang dalam, memungkinkan juga menghilangkan seluruh hartanya, dalam hal ini tersangka yang terkena hukuman adalah orang yang memiliki niat bukan orang yang melakukan secara langsung. Hal ini adalah pendapat jumhur. 2. Tindak Pidana kekerasan dalam satu orang seperti kekerasan banyakan dalam satu orang seperti yang satu menunggu dan dan lainnya memukul atau bersepakat dan ada juga orang-orang yang tidak mau mencegah maka semuanya dikenai hukuman hal ini pendapat para Fuqaha, dengan alasan bahwa kekerasan itu tidak akan terjadi kalau seandainya ada orang yang mencegah, artinya maka dari itu orang yang diam saja pun ketika melikat kekerasan maka ia akan dikenai hukuman. 3. Ikut serta secara langsung dan tidak secara langsung, maka kesaksian yang menyebabkan kematian atau kerusakan anggota badan, Maka orang yang menjelaskannya sebagai saksi adalah pelakunya. Dan apabila ada diantara mereka yang mengatakan atau menjelaskan dengan kesaksian palsu maka hal ini tetap di kenai hukuman hal ini pendapat jumhur, begitupun apabila terjadi pembunuhan dengan dua dan diantara salah satunya menjadi saksi palsu maka tetep keduaduanya harus di kenai kisas dengan alasan untuk mengurangi kekerasan di bumi, pendapat ini ketika zaman para sahabat sangat sepakat, namun seiring dengan berjalannya waktu maka di kalangan para fuqaha berbeda pendapat. Dimana sesuai kasus di atas dapat dilihat sejauhmana para pelaku melakukan tindak kekerasan apakah mereka berbuat secara langsung atau sekedar membantu atau
75
orang yang di suruh. Maka semuanya diberi hukuman sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. 4. Orang yang menyuruh tidak bisa di sebut sebagai pelaku langsung dalam kasus pembunuhan karena yang menyuruh bukan atau tidak bersentuhan langsung dengan korban karena itu orang yang menyuruh termasuk sebagai tindakan krimininal penyuruhan. Analisis Atsar, Bila hukum Islam di tegakkan mengenai hudud dan qishash dan di terapkan dalam suatu Negara, maka sudah dapat dipastikan tidak ada yang berani berbuat maksiat dan kriminalitas terutaman berkaitan dengan tindak pidana kekerasan kolektif. Otomatis, angka kejahatan kekerasan kolektif akan berkurang drastis. Survai membuktikan bahwa negara yang menerapkan hudud dan qishash sepertia Arab Saudi mampu mengurangi kriminalitas dengan angka yang sangat minim dibandingkan negara yang tidak menerapkan hukum Islam. Bahkan jumlah kriminalitas yang terjadi sehari di Amrika, Inggris dan negara-negara barat lainnya setingkat dengan angka kriminalitas selama setahun di Arab Saudi. 61 Hukum Islam menentukan hukuman lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya. Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan lebih bersifat preventif, sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena dengan semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin
61
M.Yusran Hadi, Lc.MA, Hukum Pidana dalam Prespektif Islam, Artikel diakses pada 9 juni 2009 dari http://harian-aceh.com/opini/85-opini/2004-membumikan-hukum-islam-di-serambimekkah.html
76
akan ditaati. Dengan kata lain, tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Akhirnya kita berharap kepada Pemerintah Indonesia baik pihak eksekutif maupun legislatif, sebagai pemegang amanah sehingga dapat menerapkan syariat di negara yang kita cintai bersama, kita ketahui bahwa satu hal yang patut disyukuri, dewasa ini seiring mulai meratanya pendidikan Islam di berbagai pelosok Negeri, pemahaman tentang syariah terasa mulai membaik. Ada kemauan berbagai pihak untuk memahami, mendalami dan mempraktekkan hakikat syariah. Pada sektor bisnis keuangan dan perbankan, misalnya, mulai digali dan diterapkan nilai-nilai syariah. Terkait dengan kehormatan perempuan dan sikap serba boleh sudah ada Undang-undang Anti pornografi meski masih menyimpan berbagai kekurangan. Di beberapa kegiatan (termasuk tayangan populer sinetron media elektronik), masyarakat juga semakin akrab dengan terminologi syariah. Terlepas dari kekurangan yang ada, secara langsung maupun tidak langsung, kondisi ini diprediksikan dapat secara lambat tetapi pasti menghilangkan sikap antipati terhadap syariah. Jika situasi demikian terus berlangsung, akan menciptakan suasana yang ramah bagi ruang dialog syariah, perundang-undangan positif, dan realitas kekinian secara objektif, demokrasi dan tidak terbayang-bayangi oleh beban sejarah. Karena syariah tidak bolek menjadi nilai dan kerangka pemahaman yang memfosil. Syariah memiliki daya fleksibilitas dan kreativitas yang tinggi, seperti
77
telah ditunjukan oleh para pemikirnya sepanjang zaman. Ibara pohon, syariah dapat ditanam dimana pun meski dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda-beda. Dengan kata lain, dalam kontek negara kebangsaan seperti Indonesia, syariah dapat berfungsi sebagai substansi nilai yang potensial memberikan akar bagi tumbuhnya ketaatan yang murni dan tulus terhadap konstitusi dan perundangundangan yang ada. Ia hadir memberikan makna hidup berbangsa dan bernegara memerlukan roh, semangat ketulusan, rasa memiliki dan komitmen terhadap konsensus srta keputusan hukum bersama, sebagai kelanjutan dari adanya kedalaman penghayatan dan keterpanggilan yang tumbuh dan berkembang dari pemaknaan hidup yang berdimensi keilahian. Pada keterkaitan pemaknaan yang demikian, perangkat dan produk perundang-undangan yang ada bukanlah semata aturan duniawi yang hanya layak dijadikan acuan kognifit dan otak-atik pengertian semantik perundang-undangan (begriff und Normwissenschaft) dalam sengketa dan perdebatan teknis-yuridis-formil, tetapi lahir dan ada untuk ditaati dan dijadikan pedoman berdasarkan ketulusan dan kemurniaan prinsip ketaatan. Maka, melalui syariah manusia Indonesia pada dasarnya dapat diajarkan untuk hormat konstitusi dan taat kitab suci.62 Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa, ayat 58-59 :
62
JM.Muslimin, Ilmu Syariah dan Aplikasi Hukum Artikel diakses pada 9 juni 2009 dari http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel.html?start=30
78
Artinya : “(58) Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil sungguh, Allh sebaik-baik yang mmeberi pengajaran kepadamu, Sungguh Allah MahaMendegar, Maha Melihat.”(59)” Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, mkaka kembalikanlahkepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa : 58-59)
79
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam skripsi ini, yang menjadikan landasan hukumnya menyangkut pada tindak pidana kekerasan kolektif menurut hukum pidana Islam dimana bersumberkan pada Al-Qur’an dan as-sunnah Rasul dan diperkuat dengan pendapat para Imam mazhab. Sekripsi ini juga tidak hanya menjelaskan hukumannya melainkan beberapa persoalan yang terkait masalah yang lain sehingga sekripsi ini berbeda dengan skripsi lain dan skripsi ini memiliki kelebihan tersendiri Dari beberapa uraian pembahasan yang telah penulis kemukakan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum Syara, turut serta dalam suatu tindakan kejahatannya dapat terjadi dimana pelakunya lebih dari satu, kemudian setiap dari pelaku memberikan bagiannya dalam melaksanakan tindak kejahatan itu, atau mereka saling Bantu membantu dalam pelaksanaannya.
2.
Menurut para fuqaha tindak pidana kekerasan kolektif (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan dan mengakibatkan luka pada tubuh seseorang atau orang lain. Dalam hal ini para fuqaha mengadakan pemisahan apakah
80
kolektifitas pelaku dalam mewujudkan tindak pidana kekerasan itu terjadi secara langsung turut serta secara bersama-sama atau tidak secara langsung. Hal ini di sebabkan oleh keadaan yang mempengaruhi sangsi tindak pidana kekerasan tersebut dari pada peserta diakui sesuai keterlibatan. 3.
Imam Abu Hanifah berpendapat jika pelaku lebih dari satu dan melakukan satu perbuatan menghilangkan pendengaran, penglihatan, mencabut gigi, memotong tangan, jari-jari atau anggota badan yang wajib dikisas, maka mereka tidak wajib dikisas, akan tetapi mereka wajib membayar diat. Alasan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa dalam hal ini, persamaan dalam tindak pidana kekerasan merupakan syarat dasar bagi kisas. Dan tidak ada persamaan antara satu anggota badan dan beberapa anggota badan yang lain, seperti satu tangan dengan beberapa tangan, baik secara fisik, manfaat maupun perbuatan. Imam Malik berpendapat hukuman pokok tindak pidana kekerasan dengan
sengaja adalah kisas dan diat. Bahwa jika perbuatan tindak pidana kekerasan dilakukan secara bersama dan berencaan maka masing-masing di kisas sesuai dengan apa yang mereka lakukan terhadap korban. Kemudian mengenai tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara tidak langsung maka bagi pelaku harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang melakukan kekerasan kolektif terhadap satu orang dengan tindakan yang sama misalnya memotong tangannya maka perbuatan ini dapat di hukum dengan hukuman kisas.
81
Kemudian jika pelaku melakukan kekerasan dengan berbeda-beda tindakannya misalnya yang satu memukul dan yang lainnya memotong tangannya maka hukuman bagi pelaku tidak ada kisas yang sama. Tetapi pelaku dihukum dengan hukuman sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Dengan syarat adanya rencana dalam tindak pidan kekerasan tersebut, kemudian faktor kebetulan juga cukup menjadi syarat membuat mereka harus di kisas. B. Saran 1. Setelah menganalisis dari beberapa pendapat Imam Mazhab mengenai hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pindana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat para Imam mazhab berpendapat substansinya sepakat memberikan hukuman pada setiap orang yang melakukan tindak pidana kekerasan kolektif baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh karena itu sepatutnyalah kita mengikuti apa yang telah dicontohkan kesemua Imam mazhab tersebut untuk bersikap tegas dan lugas dalam menangani permasalahan-permasalahan khususnya mengenai tindak pidana kekerasan kolektif. 2. Dalam menghadapi permasalahan kejahatan kekerasan kolektif dengan pembahasan yang mendalam serta mengalisis beberapa pendapat Imam Mazhab maka penulis memberikan saran kiranya skripsi ini mejadikan bahan acuan dan khazanah pengetahuan serta bisa di implementasikan dalam kehidupan sehingga kita berani mengatakan dan memutuskan yang benar itu
82
benar dan yang salah itu salah disetiap permasalahan atau perkara-perkara tindak pidana.
83
DAFTAR PUSTAKA
A Adjis dan Chairil. Kriminologi Syari’ah, Jakarta: RMBOOKS 2007 Abu Zahrah, Imam Muhammad. Al-Jarimah wal Uqubah Fil Fiqh Al-Islami, Kairo: Darul Fikr Al-Arabi, 1998 Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala A-l Madzahib Al-Arba’ah, Beirut : Dar Al-Fikr Ar-Araby, 1989 Al-Qazwiny, Muhammad Bin Yazid. Sunan Ibnu Majah, Beirut: Darul fikr, 1995 Anomim
“Kisah
Teladan”
artikel
diakses
pada
5
juni
2009
dari
http://www.mail_rchive.com/
[email protected]/msg03584.htm Ash-Shiddieqy, Hasbi. Fiqh Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 As-Syafi’i, Abu Abdillah Bin Muhammad Idris. Al-Umm Beirut Libanon: Darul Fikr, 1990 Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’al-Jina’i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun alWad’iy, Beirut: Al-Risalah, 1992 Djazuli, A. Fiqih Jinayah Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999 Djazuli, A. Fiqih Jinayah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997 Hadi M.Yusran, Hukum Pidana dalam Prespektif Islam, Artiker diakses pada 9 juni 2009 dari http://harian-aceh.com/opini/85-opini/2004-membumikan-hukum-islam-diserambi-mekkah.html Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993 Husin, Said Aqil. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Pena Madani, 2004
84
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, Penerjemah Masdar Helmy Bandung: Gema Risalah Press, 1997 Malik, Imam ibn Anas. Al-Muwatta, Penerjeman Dwi surya Atmaja., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999 Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Muslimin JM., Ilmu Syariah dan Aplikasi Hukum Artikel diakses pada 9 juni 2009 dari http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel.html?start=30 Nitibaskara Tb. Roni, Lingkaran Kekerasan, Arikerl diakses 9 Juni 2009 dari http://www2.kompas.com /kompas-cetak/0309/26/opini/580421.htm Prasetyo, Simangki dan Rudi.T, Erwin JT., Kamus Hukum, Jakarta: Akasara Baru 1982 Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Semarang : Al-Syifa, 1990 Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah, Beirut : Dar Al-Qalam Al-Araby, 1973 Sahetapy, JE. Piktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1987
Salma, Abu. “Liberalisme dan Pembusukan Sosial” Artikel diakses pada 5 juni 2009 dari http://www.childrenssociety.org.uk/
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: As-Syamil 2000. Teja Hendri, ”Psedu-Nasionalisme Rezim Tritarian” artikel diakses pada 5 juni 2009 dari http://www.scribd.com/doc/8728059/Psedu-Nasionalisme-Rezim-Tritarian Tim Penyususun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka
85
1989 Yafie, Alie dkk Penerjemah At-Tasyri’al-Jina’i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun alWad’iy: Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT.Khalisma Ilmu, 2008