ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Ibu Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja Tri Utami Listyaningrum1, Venny Vidayanti2
Prodi S1 Ilmu Keperawatan FIKES UNRIYO Jalan Raya Tajem Km 1,5 Maguwoharjo, Depok, Kecamatan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Email:
[email protected] 1,2
Abstrak Kendala utama dalam pemberian ASI eksklusif adalah ibu bekerja yang kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Selain disebabkan oleh faktor kerja, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Fenomena yang ditemukan masih ada ibu bekerja yang tidak memberikan ASI eksklusif walaupun mendapat dukungan dari keluarga dan lingkungan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif analitik. Populasi adalah seluruh ibu bekerja yang mempunyai bayi 6 bulan - 2 tahun pada bulan Mei 2015. Metode pengambilan sampel menggunakan total sampling berjumlah 37 responden. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s Exact Test dengan tingkat kepercayaan 95% dan 0,05, diketahui p-value= 0,022 menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dengan pemberian ASI eksklusif, sedangkan perhitungan motivasi menunjukkan ada hubungan antara motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif dengan nilai p-value= 0,003. Kesimpulan ada hubungan antara pengetahuan tentang ASI eksklusif dan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates, Klaten. Kata Kunci: tingkat pengetahuan, motivasi, ASI eksklusif, ibu bekerja
Mother’s Level of Knowledge and Mother’s Motivation Related with The Exclusive Breastfeeding among Working Mothers Abstract One of the most problem related to successful exclusive breastfeeding is returning to work after maternity leave. Work and other factors might influence exclusive breastfeeding. It is still found that working mothers do not breastfeed even though their family and their working environment support them. This research is to find out the correlations between mother’s level of knowledge, mother’s motivation and the exclusive breastfeeding among working mothers in PT. Globalindo Intimates Klaten. This research was a quantitative with descriptive analytic design. A total sampling method was used to collect the data from 37 working mothers having sixmonth-old to two-year-old babies. The data were collected in May 2015. The result indicated that there was a positive correlation between mother’s knowledge of exclusive breastfeeding and the practice of exclusive breastfeeding. The Fisher’s Exact Test with the confidence level of 95% and 0.05 data analysis indicate that the p-value was 0.022. The result also indicated that there was a positive correlation between mother’s motivation and exclusive breastfeeding with p-value 0.003. Conclussion, there was a positive correlation between mother’s knowledge of exclusive breastfeeding and mother’s motivation with practice of exclusive breastfeeding among working mothers in PT. Globalindo Intimates Klaten. Keywords: level of knowledge, motivation, exclusive breastfeeding, working mothers
Info Artikel: Artikel dikirim pada 2 Maret 2016 Artikel diterima pada 23 Maret 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).55-62
Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Ibu Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja
55
PENDAHULUAN Masalah kesehatan anak di Indonesia dipengaruhi oleh tingginya angka kematian bayi (AKB). Tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh kelahiran prematur, infeksi saat kelahiran, rendahnya gizi saat kelahiran, kelainan bawaan (kongenital) serta rendahnya pemberian ASI segera setelah bayi lahir (inisiasi ASI) dan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayi (1). Peningkatan program ASI eksklusif merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2014. Upaya pemberian ASI eksklusif bermanfaat bagi bayi dalam meningkatkan kekebalan tubuh dan sebagai nutrisi, hal tersebut berperan dalam menekan Angka Kematian Bayi (2). Capaian ASI Eksklusif Kabupaten Klaten pada tahun 2013 sebesar 80,2% (terdapat 13.142 bayi yang diberi ASI Eksklusif dari jumlah bayi usia 0-6 bulan sejumlah 16.391 bayi (3). Kembali bekerja setelah cuti melahirkan merupakan kendala suksesnya pemberian ASI eksklusif. Selain disebabkan oleh faktor tempat bekerja, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PT. Globalindo Intimates Klaten kepada 5 karyawati melalui wawancara menunjukkan hasil bahwa hanya satu orang yang memberikan ASI saja sampai usia bayinya 6 bulan, sisanya 4 orang memberikan ASI saja kurang dari 6 bulan dengan memberikan tambahan susu formula dan cairan lain. Seorang karyawati mengatakan tidak memberikan ASI saja karena produksi ASInya sedikit dan tidak mencukupi kebutuhan bayinya. Mereka yang tidak memberikan ASI eksklusif mengaku memberikan ASI dengan kombinasi susu formula dengan alasan bekerja dan fasilitas ruang memerah ASI yang disedikan pabrik kurang memadai. Pabrik menyediakan ruang poliklinik yang juga digunakan sebagai ruang laktasi, ruang laktasi hanya dibatasi tirai, ruang tersebut tidak dikhususkan untuk memerah ASI saja tetapi juga sebagai ruang pemeriksaan kesehatan karyawan. Ketika ibu sedang memerah ASI di ruang tersebut, ibu merasa terburu-buru dan tidak nyaman, ibu juga mengatakan waktu istirahat yang terbatas yaitu 30 menit. Alasan tersebut yang membuat mereka tidak lagi memanfaatkan fasilitas memerah ASI. Kelima karyawati juga mengatakan tidak pernah mendapatkan penyuluhan khusus dari 56
pabrik mengenai ASI eksklusif. Mereka memperoleh informasi hanya dari perawat dan petugas poliklinik, sedangkan sumber informasi lainnya diperoleh dari bidan dan petugas posyandu di dekat tempat tinggal mereka. Kelima karyawati tersebut saat ditanya mengenai ASI eksklusif dapat menjelaskan definisi ASI eksklusif yaitu air susu ibu yang diberikan sejak bayi dilahirkan hingga usia 6 bulan atau ASI yang diberikan pada bayi usia 0-6 bulan tanpa diberikan makanan atau minuman tambahan. Seorang responden mengatakan mendapat dukungan dari suami, orang tua kandung, mertua dan perusahaan dalam memberikan ASI eksklusif sehingga memberikan ASI eksklusif pada bayinya, sedangkan empat responden lain mengatakan juga mendapat dukungan dari suami, orang tua kandung, mertua dan perusahaan dalam memberikan ASI eksklusif namun karena keterbatasan fasilitas, waktu dan kesibukan bekerja maka ibu tidak lagi memberikan ASI secara eksklusif. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa ada faktor motivasi ekstrinsik yang mendukung namun belum ada motivasi intrinsik dari ibu. Tujuan penelitian untuk mengetahui tentang hubungan tingkat pengetahuan dan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2015 di PT. Globalindo Intimates Klaten. Jumlah populasinya adalah 37 orang. Teknik pengambilan sampel dengan total sampling. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu ibu yang bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten, bersedia menjadi responden dalam penelitian dan mempunyai anak usia 6 bulan - 2 tahun. Sedangkan kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu ibu yang dalam masa penelitian dalam keadaan sakit dan ibu yang dalam masa penelitian menyatakan keluar atau berhenti bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan membagikan tiga buah kuesioner, yaitu kuesioner untuk menilai tingkat pengetahuan, motivasi ibu dan pemberian ASI eksklusif. Kuesioner pengetahuan dan pemberian ASI eksklusif dibuat sendiri oleh peneliti terdiri dari 17 pernyataan tertutup berupa pernyataan favourable dan unfavourable. Instrumen
Tri Utami Listyaningrum, Venny Vidayanti, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 55-62
untuk mengukur pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja, jumlah pertanyaan 5 soal dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan uji expert judgment dengan meminta pendapat para ahli di bidang Keperawatan Maternitas (4). Kuesioner motivasi diadopsi dari penelitian Suryaningsih, terdiri dari 17 pernyataan dengan hasil uji reliabilitas 0,972 dan item pernyataan sudah dinyatakan valid (5). Analisis univariat untuk mengetahui karakteristik responden (umur, pendidikan dan paritas), pengetahuan tentang ASI eksklusif, motivasi ibu dan pemberian ASI eksklusif. Analisis bivariat menggunakan uji statistik fisher exact. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Distribusi frekuensi karakteristik ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten dibagi berdasarkan usia ibu, pendidikan, dan paritas yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Karakteristik Usia Ibu < 20 tahun 20 – 35 tahun >35 tahun Pendidikan Ibu Dasar Menengah Tinggi Paritas Primipara Multipara Total
n
%
3 32 3
5,4 86,5 8,1
10 25 2
27,0 67,6 5,4
14 23 37
37,8 62,2 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa karakteristik responden berdasarkan usia, mayoritas ibu menyusui termasuk dalam kategori usia 20–35 tahun sebanyak 32 orang (86,5%). Karakteristik responden berdasarkan pendidikan, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan menengah sebanyak 25 orang (67,6%). Karakteristik responden berdasarkan paritas, mayoritas responden termasuk kategori multipara sebanyak 23 orang (62,2%). Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Maulida yang
menyatakan bahwa sebagian besar responden adalah yang berusia 20-35 tahun, yaitu sebanyak 35 responden (72,9%) dan sebagian besar memiliki pendidikan pada kategori menengah yaitu sebanyak 25 responden (52,1%) (6). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari segi umur mayoritas responden di PT.Globalindo Intimates Klaten berusia reproduksi sehat. Umur ibu sangat menentukan kesehatan maternal karena berkaitan dengan kondisi kehamilan, nifas, serta cara mengasuh juga menyusui bayinya. Ibu yang berumur kurang dari 20 tahun masih belum matang dan belum siap secara jasmani dan sosial dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Ibu yang berumur 20-35 tahun termasuk dalam masa reproduksi sehat, di mana masa ini pertumbuhan fungsi tubuh berada pada tingkat yang optimal ditandai dengan rangsangaan kelenjar susu dalam memproduksi ASI oleh hormon progesteron dan estrogen (7). Menurut Arini, pada umur 35 tahun lebih, ibu melahirkan termasuk beresiko karena erat kaitannya dengan anemia gizi yang dapat mempengaruhi produksi ASI. Ibu akan lebih banyak menemukan kendala seperti produksi ASI berkurang dan mudah lelah (8). Karakteristik responden berdasarkan pendidikan hasil penelitian di PT. Globalindo Intimates, Klaten menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan ibu adalah pendidikan menengah. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilainilai yang baru diperkenalkan. Tingkat pendidikan ibu yang tinggi akan semakin memudahkan ibu dalam menyerap informasi tentang pemberian ASI eksklusif (9). Karakteristik responden berdasarkan paritas dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu dengan paritas multipara. Ibu multipara menunjukkan angka yang lebih tinggi dalam memberikan ASI eksklusif dibanding ibu primipara, dimana sebagian besar responden memiliki pengalaman menyusui sebelumnya, pengalaman ini akan memperbesar kemungkinan ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Ibu yang memiliki pengalaman akan lebih mampu menghadapi kendala yang dirasakan karena sebelumnya sudah pernah menemui kendala yang sama (10).
Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Ibu Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja
57
Tingkat Pengetahuan Ibu Bekerja tentang ASI Eksklusif di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015
makanan-makanan lunak lain yang dapat membuat bayi merasa kenyang dan akhirnya tenang (12).
Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ibu bekerja tentang ASI eksklusif di PT. Globalindo Intimates Klaten disajikan dalam Tabel 2.
Motivasi Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang ASI Eksklusif di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Tingkat Pengetahuan Baik Kurang Total
n 19 18
% 51,4 48,6
37
100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif lebih banyak responden termasuk dalam kategori pengetahuan baik sebanyak 19 orang (51,4%). Data tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan tentang ASI eksklusif lebih banyak responden berada pada kategori baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robiwala yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif sebagian besar dalam kategori baik sebesar 87,8% (11). Hasil penelitian masih terdapat responden dengan kategori pengetahuan kurang, kemungkinan hal tersebut dapat terjadi karena responden mengetahui definisi ASI eksklusif namun belum memahami komposisi dan manfaat ASI eksklusif terlihat pada jawaban kuesioner rata-rata responden menjawab salah pada indikator komposisi dan manfaat ASI eksklusif. Hasil penelitian ini didukung oleh Sari, yang menunjukkan bahwa pengetahuan responden sebagian besar adalah dalam kategori kurang yaitu sebanyak 45,7%. Pengetahuan yang kurang dikarenakan ibu yang menjadi responden kurang memahami arti pentingnya ASI eksklusif bagi bayi. Pekerjaan ibu yang sebagian besar sebagai pekerja swasta yaitu sebagai karyawan pabrik dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan informasi mengenai ASI eksklusif tidak dapat dipahami dengan baik. Pengetahuan kurang dalam penelitian ini juga dapat dikarenakan budaya masyarakat yang menganut cara lama dalam mengasuh bayi. Orang tua terdahulu mempunyai anggapan bahwa jika anak menangis adalah pertanda bahwa anak lapar, sehingga ASI saja dianggap tidak cukup dan harus diberikan makanan tambahan lain seperti pisang atau 58
Distribusi frekuensi motivasi ibu bekerja dalam pemberian ASI eksklusif di PT. Globalindo Intimates Klaten disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Motivasi Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif di PT. Globalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Motivasi Tinggi Rendah Total
n 19 18 37
% 51,4 48,6 100
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif yang terbanyak responden termasuk dalam kategori motivasi tinggi sebanyak 19 orang (51,4%) dan motivasi rendah sebanyak 18 orang (48,6%). Data tersebut menunjukkan bahwa motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif lebih banyak responden berada pada kategori motivasi tinggi, meskipun banyak responden dalam kategori motivasi tinggi namun masih terdapat responden dengan motivasi rendah. Hal tersebut terjadi karena masih rendahnya tingkat pendidikan ibu. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nia, didapatkan hasil sebagian besar 26 responden atau (68,4%) ibu bermotivasi rendah dalam pemberian ASI eksklusif (13). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indah dan Dian dari 28 responden, sebanyak 53,6% responden berpendidikan dasar. Motivasi seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan rendah otomatis pengetahuan yang dimiliki juga sedikit, maka maka informasi yang diperoleh akan lebih sulit diterima dengan baik sehingga motivasi yang ada dari dalam diri ibu juga rendah (14). Hasil penelitian tidak sejalan dengan hasil penelitian Maulida, yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki motivasi dalam memberikan ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 21 responden (43,7%), dan sebagian kecil responden memiliki motivasi tinggi yaitu sebanyak 13 responden (27,1%) (6).
Tri Utami Listyaningrum, Venny Vidayanti, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 55-62
Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 Distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif di PT. Globalindo Intimates Klaten disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Pemberian ASI n Eksklusif 18 Tidak Eksklusif 19 Total 37 Sumber: Data Primer Tahun 2015
% 48,6 51,4 100
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja lebih banyak responden termasuk dalam kategori ASI tidak eksklusif sebanyak 19 orang (51,4%) dan sebanyak 18 orang (48,6%) termasuk dalam kategori ASI eksklusif. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wulan, yang menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak memberikan ASI eksklusif, yaitu sejumlah 49 responden (76,6%) (15). Hal ini dikarenakan ibu kurang memahami manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayinya. Padahal menurut Maryunani, keuntungan ASI Eksklusif bagi bayi yaitu mendapatkan zat antibody alami, mengurangi resiko alergi, sterilisai ASI terjamin dan ASI lebih mudah dicerna dan diserap oleh usus bayi. Ibu yang bekerja cenderung akan memberikan susu formula kepada bayinya saat meninggalkan bayinya (16). Berdasarkan hasil penelitian Sari, diketahui bahwa sebagian besar ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak 85,7%. Banyaknya ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya disebabkan oleh berbagai macam faktor. Ibu yang menjadi responden penelitian ini semuanya bekerja di luar rumah.
Aktivitas bekerja di luar rumah inilah yang menjadi faktor penentu rendahnya pemberian ASI eksklusif kepada bayinya hingga usia 6 bulan. Pada ibu bekerja pemberian ASI eksklusif sering kali mengalami hambatan karena jam kerja yang sangat terbatas dan kesibukan dalam melaksanakan pekerjaan (12). Menurut Haryani, pada ibu bekerja yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya, ditemukan beberapa alasan, antara lain: adanya rasa malas dari ibu, karena tuntutan beban kerja yang tinggi, waktu cuti yang sedikit, sarana prasarana yang kurang dan adannya tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Sehingga para ibu tersebut memilih untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya, sebagian besar memberikan ASI hanya 1 bulan saja dan selanjutnya pemberian ASI dicampur atau diganti dengan susu formula (17). Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa pada kategori responden dengan pengetahuan baik sebagian besar memberikan ASI eksklusif sebanyak 13 orang (35,1%) sedangkan responden dengan kategori pengetahuan kurang sebagian besar tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 13 orang (35,1%). Hasil analisis dapat diketahui bahwa p-value =0,022 (<0,05) yang artinya ada hubungan antara pengetahuan tentang ASI eksklusif dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates, Klaten. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diana, yang menyatakan bahwa fenomena kurangnya pemberian ASI eksklusif disebabkan oleh pengetahuan ibu yang kurang memadai tentang ASI eksklusif, beredarnya mitos yang kurang baik, serta kesibukan ibu bekerja dan singkatnya cuti melahirkan merupakan alasan yang diungkapkan oleh ibu yang tidak menyusui secara eksklusif (18). Hal ini kemungkinan disebabkan
Tabel 5. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pemberian ASI Eksklusif di PT. Gobalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Pengetahuan tentang ASI Eksklusif Baik Kurang Jumlah
Eksklusif 13 5 18
Pemberian ASI Tidak % Eksklusif 35,1 6 13,5 13 19
%
Fisher Exact Test
16,2 35,1
0,022
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Ibu Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja
59
karena faktor pekerjaan dimana lingkungan kerja adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan (9). Fenomena yang didapatkan di PT. Globalindo Intimates Klaten bahwa perusahaan sangat mendukung pemberian ASI eksklusif. Adanya fasilitas poliklinik dengan ruang laktasi dengan satu dokter dan perawat dapat memudahkan ibu bekerja untuk mendapatkan informasi, bila ibu kurang memahami tentang ASI eksklusif maka dapat bertanya pada petugas kesehatan di poliklinik. Informasi tersebut yang akan menambah pengetahuan ibu bekerja. Laurance Green dalam Notoadmodjo, mengatakan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor, salah satunya adalah faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dipengaruhi oleh 3 faktor, satu di antaranya adalah pendidikan (19). Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang untuk menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki dan sebaliknya makin rendah pendidikan seseorang maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu dalam menghadapi masalah, terutama dalam pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan ini diperoleh baik secara formal maupun informal. Sedangkan ibu-ibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, umumnya terbuka menerima perubahan atau halhal guna pemeliharaan kesehatannya. Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan. Umur juga mempengaruhi pengetahuan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Arini bahwa semakin meningkat umur maka persentase berpengetahuan semakin baik karena disebabkan oleh akses informasi, wawasan, dan mobilitas yang masih rendah. Arini juga berpendapat bahwa semakin meningkatnya umur dan tingkat kematangan maka kekuatan seseorang dalam berpikir dan bekerja juga akan lebih matang (8). Pengetahuan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif hal ini dapat dilihat dari hasil analisis tabel silang dimana masih terdapat 16,2% responden dengan pengetahuan baik namun tidak memberikan ASI
60
eksklusif, hal ini diasumsikan adanya faktor lain yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif seperti faktor kejiwaan ibu, faktor dari bayi sendiri, kelainan payudara, lingkungan dan kebudayaan. Hubungan antara Motivasi Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif Hubungan antara motivasi ibu bekerja dengan pemberian ASI eksklusif di PT. Gobalindo Intimates Klaten disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Hubungan antara Motivasi Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif di PT. Globalindo Intimates Klaten, pada Bulan Mei 2015 (n = 37) Motivasi Tinggi Rendah Jumlah
Pemberian ASI Tidak Eksklusif % % Eksklusif 14 37,8 5 13,5 4 10,8 14 37,8 18 19
Fisher Exact Test 0,003
Sumber: Data Primer Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pada kategori responden dengan motivasi tinggi sebagian besar memberikan ASI eksklusif sebanyak 14 orang (37,8%), sedangkan responden dengan kategori motivasi rendah sebagian besar memberikan ASI tidak eksklusif sebanyak 14 orang (37,8%). Hasil analisis diperoleh p-value=0,003 (< 0,05). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates, Klaten. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrayani, bahwa ada hubungan dukungan suami dengan motivasi ibu nifas dalam memberikan ASI eksklusif di puskesmas Tegalrejo Yogyakarta dengan nilai p-value=0,002 (20). Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif dimana responden dengan motivasi tinggi akan memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang telah dilakukan di PT. Globalindo Intimates Klaten masih menunjukkan adanya responden dengan motivasi tinggi namun tidak memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar (13,5%), kemungkinan hal tersebut karena mereka terlalu sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka dalam waktu yang lama, sehingga mereka membiasakan bayi mereka minum dari botol dengan susu formula atau makanan tambahan sejak dini. Hasil penelitian
Tri Utami Listyaningrum, Venny Vidayanti, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 55-62
juga menunjukkan masih ada responden dengan motivasi rendah hal tersebut kemungkinan karena belum adanya motivasi intrinsik yang kuat pada responden di mana motivasi intrinsik datang dari hati sanubari umumnya karena kesadaran (21). Hasil analisis regresi Dianning, menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif adalah faktor status pekerjaan (22). Responden yang tidak bekerja berpeluang untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya 4 kali dibanding responden yang bekerja, setelah dikontrol oleh faktor usia, urutan kelahiran bayi, dukungan petugas kesehatan dan sosial budaya. Ketika wanita sudah memutuskan untuk bekerja, wanita harus siap menjalankan peran ganda yang disandangnya. Peran ganda seperti ini yang menjadi permasalahan. Dampak ibu bekerja pada anak sangat luas, dapat menyangkut kesehatan, keamanan, kebahagiaan, pendidikan anak dan sebagainya. Hal ini dikarenakan saat ibu bekerja di luar rumah anak dititipkan pada saudara, atau nenek ataupun pembantu. Dengan demikian, saat ibu bekerja anak sangat tergantung pada siapa tokoh yang menggantikan ibu ketika meninggalkan rumah. Pulang dari kerja, kondisi fisik dan mental yang lelah setelah bekerja sepanjang hari telah menghambat kelancaran produksi ASI. Hal ini mengurungkan niat ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif. Pada ibu yang bekerja, singkatnya masa cuti hamil atau melahirkan mengakibatkan sebelum masa pemberian ASI eksklusif berakhir sudah harus kembali bekerja. Hal ini mengganggu upaya pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif harus dijalani selama 6 bulan tanpa intervensi makanan dan minuman lain, sedangkan cuti hamil dan melahirkan hanya diberikan selama 3 bulan (22). Menurut penelitian Angrayni, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi suksesnya pemberian ASI eksklusif adalah adanya dukungan keluarga yaitu suami. Keluarga adalah orang terdekat dari ibu yang dapat berhubungan langsung secara emosional. Adanya dukungan dari keluarga dapat berupa motivasi bagi ibu untuk terus menyusui seperti membantu pekerjaan rumah selagi ibu menyusui dan membantu menyediakan makanan bergizi bagi ibu yang dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga produksi ASI lebih lancar. Adapun dukungan keluarga yang diperoleh ibu saat memberikan ASI eksklusif seperti keluarga menganjurkan ibu untuk menyusui dibanding memberikan susu formula,
dan tidak pernah disarankan dalam memberi makanan tambahan pada usia bayi 6 bulan pertama. Dukungan keluarga yang rendah akan mengurangi motivasi ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya (23). SIMPULAN DAN SARAN Karakteristik responden mayoritas responden berusia 20-35 tahun, mayoritas responden termasuk dalam kategori pendidikan menengah, sebagian besar ibu termasuk kategori paritas multipara. Tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif lebih banyak responden berpengetahuan baik dibanding responden dengan pengetahuan kurang. Motivasi ibu dalam pemberian ASI eksklusif dibagi dalam dua kategori yaitu responden dengan motivasi tinggi lebih banyak dibanding responden dengan motivasi rendah. Pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten sebagian besar responden termasuk dalam kategori ASI tidak eksklusif, lebih banyak dibanding responden dalam kategori ASI eksklusif, Ada hubungan tingkat pengetahuan dan motivasi ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten. Bagi ibu bekerja di PT. Globalindo Intimates Klaten hendaknya dapat memanfaatkan kebijakan dan fasilitas laktasi di perusahaan secara maksimal untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. RUJUKAN 1. BPS, BKKBN, Kementrian Kesehatan. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Jakarta; 2012. 2. Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013. Jawa Tengah; 2013. 3. Dinkes Kabupaten Klaten. Profil Kesehatan Kabupaten Klaten Tahun 2013. Klaten; 2014. 4. Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2015. 5. Suryaningsih. Pengaruh Demonstrasi ASI dan Pendampingan Menyusui Terhadap Motivasi dan Kemampuan Ibu dalam Pemberian ASI. Universitas Indonesia; 2012. 6. Maulida H, Afifah E, Sari DP. Tingkat Ekonomi
Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Ibu Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja
61
7.
8. 9. 10.
11.
12.
13.
14.
62
dan Motivasi Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Bidan Praktek Swasta (BPS) Ummi Latifah Argomulyo, Sedayu Yogyakarta. J Ners dan Kebidanan Indones. 2015;3(2):117–23. Rahmawati A, Burhanuddin B, Abdul S. Hubungan antara Karakteristik Ibu, Petugas Kesehatan, dan dukungan Keluarga dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Bonto Cani Kabupaten Bone. Makasar; 2013. Arini. Mengapa Seorang Ibu Menyusui? Yogyakarta: Flash Book; 2012. Mubarak WI. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2007. Lestari A, Mira T, Restuning W. Motivasi Ibu Bekerja dalam Memberikan Asi Eksklusif di PT. Dewhirst Men’s Wear Indonesia. Bandung; 2012. Robiwala ME, Ciptorini D, Handini KD. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Asi Eksklusif Dengan Pemberian Asi Saja Di Wilayah Kerja Puskesmas Kokap 1 Kabupaten Kulon Progo Propinsi Yogyakarta. J Med Respati. 2013;8(1):1–18. S a r i , B u d i , We n i n g . H u b u n g a n Ti n g k a t Pengetahuan Ibu Bekerja dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Sumberejo Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Semarang; 2011. Nia AH. Motivasi pemberian asi eksklusif pada primipara Di Wilayah Kerja Puskesmas Jetis, Ponorogo [Internet]. 2013. Available from: http:// onesearch.id/Record/IOS2857-oai:eprints.umpo. ac.id:326 Indah, Dian. Hubungan antara Motivasi dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan. 2008.
15. Wulan AS. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Bawen Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Ungaran; 2013. 16. Maryunani, Nurhayati. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyakit pada Neonatus. Jakarta: Trans Info Medika; 2012. 17. Haryani. Alasan Tidak Diberikan ASI Eksklusif Oleh Ibu Bekerja Di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat. Universitas Udayana; 2014. 18. Diana. Faktor yang Berperan dalam Kegagalan Praktik Pemberian Asi Eksklusif Studi Kualitatif di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Universitas Diponegoro; 2007. 19. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2007. 20. I n d r a y a n i , Tu t i k , B e r n a d e t a . H u b u n g a n Dukungan Suami dengan Motivasi Ibu Nifas dalam Memberikan ASI Eksklusif di Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta. Yogyakarta; 2011. 21. Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2011. 22. Dianning M, Rahmawati. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Menyusui di Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. J Kesmadaska. 2010;1(1):8–17. 23. Angrayni, Aminuddin, Hendrayati. Gambaran Pengetahuan, Pekerjaan dan Dukungan Keluarga Terhadap Pemberian ASI Eksklusif Pada A Bayi Umur 6-11 Bulan ULAN Di I Puskesmas Antang PERUMNAS Kota Makassar. 2013.
Tri Utami Listyaningrum, Venny Vidayanti, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 55-62
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Kemampuan Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita dengan Gizi Kurang Sulistiyawati1 , M. Ros Mistyca H. Pere
Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2 Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Husada Yogyakarta Jalan Babarsari, Glendongan, Daerah Istimewa Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Gizi merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesehatan. Keadaan gizi kurang pada anak mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya sikap dan tindakan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang mendapat stimulasi terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat stimulasi. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap ibu dalam kemampuan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah survei analitik, dengan metode pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling, jumlah responden 43 orang. Analisis bivariate yang digunakan adalah uji korelasi Spearman rank. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu dengan kategori baik sebesar 25,6%, kategori cukup sebesar 67,4%, dan kategori kurang sebesar 7,0%, sedangkan sikap ibu menunjukkan 23,3% dalam kategori baik, 62,8% dalam kategori cukup, dan 14,0% dalam kategori kurang. Hasil uji statistik diketahui nilai r sebesar 0,467 dengan signifikansi korelasi sebesar 0,002. Kesimpulan ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam kemampuan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta. Kata Kunci: gizi, pengetahuan, sikap, stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
The Knowledge is Related with Mother Attitude in The Ability of Stimulating Growth and Development of Young Children with Less Nutrition Abstract Nutrition is an important factor in determining the level of health. The state of malnutrition in children results in impaired growth and development of children. Knowledge or cognitive domain is very important for the formation of maternal attitudes and actions in stimulating the growth and development of children. Children who are directed stimulation will grow faster than children who did not receive stimulation. The purpose of study is to know the relationship of knowledge with mother attitude in the ability to stimulating growth and development of young children with less nutrition in Banaran village work area Galur II Health Centers Kulon Progo Yogyakarta. This type of research is an analytic survey, with the cross sectional approach. The sampling technique is purposive sampling, with 43 respondents. Bivariate analysis used Spearman Rank correlation. The results showed the knowledge of mothers with 25.6% in good category category, 67.4% in enough category, and 7,0% in less category. While the mother’s attitude showed 18.6% in good categories, and 81.4% in enough category. The results of the statistical test showed r=0.467 with a significance level of correlation coefficient 0.002. Conclusion, the research indicated that significant relationship between knowledge with mother attitude in the ability to stimulating growth and
Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Kemampuan Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita
63
development of young children with less nutrition in Banaran village work area Galur II Health Centers Kulon Progo Yogyakarta. Keywords: nutrition, knowledge, attitude, stimulation of growth and development
Info Artikel: Artikel dikirim pada 9 Januari 2016 Artikel diterima pada 20 Januari 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).63-69
PENDAHULUAN Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan menjadi gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih. Keadaan gizi yang kurang baik bahkan buruk merupakan salah satu penyebab yang paling menonjol terhadap tingginya angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia (1). Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, dimana pada masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, disertai adanya perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi. Dengan demikian balita termasuk kelompok rawan gizi karena mereka lebih mudah menderita kelainan gizi seperti gizi kurang maupun gizi lebih (2). Masalah gizi kurang secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi gizi kurang adalah asupan makanan (energi dan protein) dan penyakit penyerta, sedangkan faktor tidak langsung adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial budaya, ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan (3). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya sikap dan tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sedangkan pengetahuan seseorang akan menentukan suatu keutuhan sikapnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ibu yang baik tentunya dapat menunjang sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan balita yang mengalami gizi kurang (4). Pertumbuhan dan perkembangan setiap anak tidak sama karena banyak faktor yang mempengaruhi baik dari dalam diri anak (genetik)
64
maupun dari lingkungannya (biologis dan psikososial). Untuk lingkungan biologis, salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak balita adalah gizi. Faktor psikososial yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah stimulasi. Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. Oleh karena itu, bagi balita yang mengalami gizi kurang stimulasi yang diberikan oleh ibu menjadi penentu terhadap status gizi anak tersebut (5). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada tanggal 3 Desember 2013, diketahui bahwa Puskesmas Galur II membawahi 3 desa yaitu Desa Banaran, Kranggan, dan Nomporejo. Jumlah balita yang ada di Puskesmas pada bulan November sebanyak 635 balita, sedangkan balita yang mengalami gizi kurang sebanyak 75 balita. Desa Banaran merupakan desa dengan jumlah balita sebanyak 347 balita dengan prevalensi balita gizi kurang tertinggi yaitu sebanyak 43 balita (57,3%). Hasil wawancara yang dilakukan dengan ibu yang memiliki anak balita gizi kurang didapatkan hasil bahwa ibu menganggap kondisi yang dialami anaknya merupakan sesuatu yang seringkali terjadi pada anaknya sejak bayi dan cara untuk meningkatkan status gizi anaknya yaitu dengan memberi asupan gizi seadanya dikarenakan pendapatan keluarga yang kurang memadai. Selain itu, belum ada upaya yang signifikan dari ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena ibu menganggap bahwa anak akan tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia anak. Hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas kesehatan gizi didapatkan bahwa program pemeriksaan dan pemantauan di posyandu, memotivasi ibu balita, konsultasi gizi, adanya pusat pemulihan gizi (PMG) merupakan upaya yang telah dilakukan oleh puskesmas dalam
Sulistiyawati, M. Ros Mistyca H. Pere, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 63-69
penanggulangan masalah gizi anak balita. Masalah gizi kurang atau bahkan buruk disebabkan karena penyakit penyerta, pola asuh orang tua, masalah ekonomi, sanitasi lingkungan yang buruk, serta kurangnya pemahaman orang tua tentang asupan gizi. Tujuan penelitian untuk menganalisis lebih lanjut tentang hubungan pengetahuan dengan sikap ibu dalam kemampuan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimen dengan jenis penelitian survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu dari anak balita gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 43 balita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogykarta, ibu yang berusia ≤40 tahun, ibu yang bersedia menjadi responden dan ibu yang bisa membaca dan menulis. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita gizi kurang yang berusia ≥5 tahun, ibu yang tidak bertempat tinggal di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta, dan ibu yang mengalami gangguan kejiwaan atau keterbelakangan. Alat penelitian menggunakan kuesioner yang sudah dilakukan uji validitas di Desa Kranggan Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada bulan April 2014, tepatnya pada minggu pertama dan dilakukan oleh peneliti. Jumlah responden yang dijadikan sampel sebanyak 20 orang. Analisis bivariate menggunakan korelasi spearman rank. HASIL DAN BAHASAN Analisis Univariate Karakteristik Responden Karakteristik responden terbagi atas 2, yaitu karakteristik ibu dan karakteristik anak. Karakteristik ibu terdiri dari pendidikan, pekerjaan, dan usia ibu, sedangkan karakteristik anak terdiri dari usia anak.
Hasil distribusi frekuensi karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 (n=43) Karakteristik Pendidikan SD SLTP SLTA Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Tani/Buruh Usia Ibu 20-30 tahun 31-40 tahun Usia Balita 0-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun Total
f
%
3 23 17
7,0 53,5 39,5
19 4 20
44,2 9,3 46,5
28 15
67,4 32,6
3 22 18 43
7,0 51,2 41,8 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 1, diperoleh hasil yaitu untuk karakteristik ibu berdasarkan pendidikan, yang memiliki persentase tertinggi adalah SLTP (53,5%) dan persentase terendah adalah SD (7,0%). Untuk karakteristik ibu berdasarkan pekerjaan, diketahui bahwa buruh/tani memiliki persentase tertinggi (46,5%), sedangkan persentase terendah adalah wiraswasta (9,3%). Untuk karakteristik ibu berdasarkan usia, diketahui bahwa ibu usia 20-35 tahun memiliki persentase tertinggi (67,4%), sedangkan persentase terendah yaitu pada ibu usia 31-40 tahun (32,6%). Selanjutnya, untuk karakteristik anak berdasarkan usia diketahui bahwa anak yang berusia 1-3 tahun memiliki persentase tertinggi (51,2%). Berdasarkan karakteristik pendidikan, diketahui bahwa sebagian besar ibu berpendidikan SLTP, hal ini menunjukkan rata-rata pendidikan ibu yang memiliki anak balita gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon progo Yogyakarta adalah tingkat menengah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula dalam hal pengetahuan, sikap, dan praktik. Pendidikan yang rendah menyebabkan ibu sulit menerima informasi tentang stimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita gizi kurang.
Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Kemampuan Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita
65
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan ibu adalah sebagai tani dan buruh. Ibu yang berprofesi sebagai tani dan buruh tidak memiliki banyak waktu untuk dapat memenuhi kebutuhan gizi, mengasuh anak, dan memberikan stimulasi pada anak, sehingga sikap ibu dalam menstimulasi juga dapat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dengan adanya sikap yang baik dari ibu maka akan menunjang perilaku yang baik dalam menstimulasi tumbuh kembang anak. Berdasarkan karakteristik usia ibu, sebagian besar responden berusia 20-30 tahun. Hal ini menunjukkan dari segi usia ibu rata-rata usia reproduktif. Usia reproduktif merupakan usia dimana seorang wanita masih bisa memiliki keturunan, di usia seperti ini diharapkan bagi seorang ibu untuk lebih berperan aktif dalam kegiatan program kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas, agar lebih banyak menerima informasi tentang kesehatan, terutama masalah kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga serta masalah kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan karakteristik usia anak, diketahui bahwa sebagian besar anak usia balita yang menderita gizi kurang adalah yang berusia 1-3 tahun (toddler). Anak usia toddler merupakan anak yang aktif, mereka lebih senang bermain dan memiliki aktifitas yang lebih banyak karena rasa ingin tahunya yang tinggi, sehingga menyebabkan anak susah makan dan anak lebih suka dengan jenis makanan tertentu, apabila hal ini dibiarkan maka akan berdampak pada status gizi dan tumbuh kembang anak terganggu. Pengetahuan Ibu Distribusi frekuensi pengetahuan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan balita dengan gizi kurang di Desa Banaran wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu dalam menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Balita dengan Gizi Kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 (n=43) Pengetahuan Ibu Baik Cukup Kurang Total
f 11 29 3 43
Sumber: Data Primer Tahun 2014
66
% 25,6 67,4 7,0 100,0
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa sebagian besar ibu yang mempunyai anak dengan gizi kurang di Desa Banaran wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta, memiliki pengetahuan cukup yaitu sebanyak 29 orang (67,4%), pengetahuan baik sebanyak 11 orang (25,6%), dan pengetahuan kurang sebanyak 3 orang (7,0%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Kurniawati yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang stimulasi tumbuh kembang balita menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik sebanyak 60% (6). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pengetahuan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta termasuk dalam kategori cukup. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan, dimana sebagian besar pendidikan ibu adalah tingkat menengah (SLTP). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan orang atau keluarga dalam masyarakat. Berdasarkan karakteristik pekerjaan, sebagian besar pekerjaan ibu adalah tani dan buruh, sehingga berakibat pada kurangnya informasi mengenai bagaimana menstimulasi anak dengan gizi kurang sehingga anak tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Informasi juga mempengaruhi pengetahuan karena informasi adalah sebagai pemberitahuan seseorang tentang adanya informasi baru mengenai suatu hal yang memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap yang baik (4). Oleh karena itu, anak membutuhkan lingkungan keluarga (ibu) untuk dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarya melalui pemberian rangsangan (stimulasi), pendidikan, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya (7). Sikap Ibu Distribusi frekuensi sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan balita dengan gizi kurang di Desa Banaran wilayah kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta Pada Bulan Mei 2014 disajikan dalam Tabel 3.
Sulistiyawati, M. Ros Mistyca H. Pere, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 63-69
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sikap Ibu dalam menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan pada Balita dengan Gizi Kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 (n=43) Sikap Ibu Baik Cukup Kurang Total
f 10 27 6 43
% 23,3 62,8 14,0 100,0
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu yang memiliki sikap cukup sebanyak 35 orang (81,4%), sikap baik sebanyak 8 orang (18,6%). Salah satu cara efektif untuk dapat meningkatkan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dengan memberikan informasi yang bermanfaat, baik melalui media massa maupun tenaga kesehatan setempat tentang pentingnya menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan gizi kurang sehingga dapat memberikan pemahaman yang baru dan mengubah pola pikir ibu. Sikap seseorang akan memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Jadi, dengan mengetahui sikap seseorang, orang akan mendapatkan gambaran kemungkinan perilaku yang timbul dari orang yang bersangkutan. Sikap timbul karena adanya stimulus sehingga terbentuknya suatu sikap dimana sikap ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kebudayaan, keluarga, norma, dan adat istiadat (8). Lingkungan atau termasuk kebudayaan sangat berpengaruh dalam membentuk pribadi seseorang karena kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Oleh karena itu, pengalaman pribadi juga akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita
terhadap stimulus sosial sehingga penghayatan itu akan membentuk suatu sikap yang positif atau sikap negatif, tergantung pada berbagai faktor lain (9). Namun tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Seringkali suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego, dan sikap demikian merupakan sikap yang sementara, sehingga dalam hal ini pengaruh orang lain yang dianggap penting sangat dibutuhkan karena orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Orang yang dianggap penting itu adalah orang tua, teman sebaya, teman dekat, istri atau suami dan lain-lain (9). Analisis Bivariat Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu dalam Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan pada Anak Balita dengan Gizi Kurang Hasil analisis data hubungan pengetahuan dengan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta, yaitu ibu dengan pengetahuan baik sebanyak 11 orang (25,6%), pengetahuan cukup sebanyak 29 orang (67,4%), dan pengetahuan kurang sebanyak 3 orang (7,0%). Ibu dengan sikap baik sebanyak 10 orang (23,3%), sikap cukup sebanyak 27 orang (62,8%), dan sikap kurang sebanyak 6 orang
Tabel 4. Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu dalam menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan pada anak balita dengan gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta pada Bulan Mei 2014 (n=43) Variabel Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
Kurang f % 1 2,33 4 9,30 1 2,33 6 14,0
Sikap Cukup f % 6 14,0 19 44,2 2 4,6 27 62,8
Total Baik f 4 6 0 10
% 9,3 14,0 0,0 23,3
f
%
11 29 3 43
25,6 67,4 7,0 100
Rank Spearman
Probabilitas
0,467
0,002
Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Kemampuan Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita
67
(14,0%). Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pengetahuan ibu dan sikap ibu dalam kategori cukup yaitu sebanyak 19 responden (44,2%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman rank antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita dengan gizi kurang, didapatkan nilai koefisien korelasi 0,467, dengan nilai probabilitas sebesar 0,002. Hasil perbandingan antara nilai probabilitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil dari level of significant 5% (0,002<0,05). Nilai koefisien korelasi 0,467 menunjukkan keeratan yang cukup kuat antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam kemampuan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita gizi kurang. Gambaran pengetahuan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pengetahuan cukup memiliki jumlah tertinggi. Selain itu, gambaran sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak menunjukkan bahwa ibu dengan sikap cukup memiliki jumlah tertinggi. Pengetahuan yang baik dapat berpengaruh pada terbentuknya sikap yang baik pada ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Menurut Kusuma, bahwa orangtua memiliki peran yang penting untuk merangsang potensi yang dimiliki oleh anak. Tugas pengasuhan umumnya diserahkan kepada ibu yang didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan ibu. Apabila ibu memiliki pengetahuan tinggi maka akan lebih aktif dalam pengasuhan anak (10). Pengetahuan ibu tentang perkembangan anak sangatlah berpengaruh pada sikap dan perilaku ibu untuk lebih berinteraksi dengan anak serta memberikan stimulasi dini yang tepat sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh pada perkembangan anak. Ibu yang memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak cenderung akan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk munculnya kemampuan anak (11). Tamis-LeMonda melakukan penelitian di Brooklyn dan New York mengenai Pengetahuan Ibu Muda tentang Perkembangan Anak, hasilnya adalah secara umum ibu muda mengetahui tahap- tahap perkembangan anak namun ibu kurang mengetahui onset munculnya kemampuan baru anaknya sehingga terjadi underestimate dan overestimate terhadap milestone perkembangan anaknya (11).
68
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang selalu mempengaruhi sikap. Sikap tersebut lahir sebagai suatu respon yang muncul ketika seseorang dihadapkan dengan stimulus yang berasal dari individu. Biasanya sikap itu muncul dari proses terhadap respon secara sadar yang dinilai positif negatif, baik buruk, menyenangkan atau tidak meneyenangkan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang kuat dengan sikap. Hubungan ini mempunyai arti bahwa semakin baik pengetahuan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita, maka semakin baik pula sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak (9). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan bahasan dapat disimpulkan bahwa karakteristik ibu sebagian besar ibu berpendidikan SLTP, ibu bekerja sebagai buruh dan tani, dan anak balita berusia 1-3 tahun (toddler). Pengetahuan ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita gizi kurang dalam kategori cukup dan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita gizi kurang dalam kategori cukup. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak balita gizi kurang di Desa Banaran Wilayah Kerja Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta. Pengelola Puskesmas Galur II Kulon Progo Yogyakarta diharapkan untuk tetap meningkatkan pelayanan berupa pendidikan kesehatan atau berupa informasi terkait gizi kurang sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan menambah wawasan baru yang berfokus pada ibu yang mempunyai anak balita dengan status gizi kurang dan dengan demikian dapat terbentuk sikap yang baik dari ibu. Selain itu, diharapkan Puskesmas bisa memanfaatkan therapeutic feeding centre (TFC) yang telah tersedia di Puskesmas sebagai suatu pusat terapi yang dapat bermanfaat untuk menurunkan angka kejadian gizi buruk maupun gizi kurang di Wilayah Kerja Puskesmas tersebut. Bagi perawat diharapkan dari banyaknya beban tugas yang dilaksanakan di Puskesmas, perawat tetap memberikan informasi dan pendidikan kesehatan bagi ibu yang memiliki anak balita gizi kurang, sehingga ibu dapat memahami bagaimana cara terbaik untuk tetap mengoptimalkan status kesehatan serta pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Sulistiyawati, M. Ros Mistyca H. Pere, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 63-69
RUJUKAN 1. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2003. 2. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC; 2002. 3. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta; 2010. 4. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. 5. Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2009. 6. Kurniawati A, Hanifah L. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Stimulasi Tumbuh Kembang Balita Dengan Perkembangan Balita Usia 12-36 Bulan Di Posyandu Kasih Ibu 7 Banyu Urip Klego Boyolali Tahun 2014. J Kebidanan Indones
7. 8. 9. 10.
11.
[Internet]. 2015;6(1):83–100. Available from: http://jurnal.akbid-mu.ac.id/index.php/jurnalmus/ article/view/68 Supartini Y. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawan Anak. Jakarta: EGC; 2004. Walgito B. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. 4th ed. Yogyakarta: Andi Offset; 2005. Azwar S. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2009. Kusuma R. Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak dan perkembangan motorik halus balita di Wilayah Kerja Puskesmas Penumping Surakarta. 2012. Tamis-Lemonda CS, Shannon J, Spellmann M. Low-income adolescent mothers’ knowledge about domains of child development. Infant Ment Health J [Internet]. 2002 Feb;23(1-2):88–103. Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/imhj.10006
Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Kemampuan Menstimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita
69
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Senam Otak (Brain Gym) Berpengaruh terhadap Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Kelas V di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta Yunita Dikir1, Atik Badi’ah2, Lala Budi Fitriana3
Universitas Respati Yogyakarta Jalan Raya Tajem Km 1,5, Maguwoharjo, Depok, Kecamatan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Email:
[email protected] 1,2,3
Abstrak Kegiatan belajar yang berlebihan dapat menimbulkan stres pada anak. Penyebab anak stres di Indonesia mencapai 82,8% yang berasal dari rutinitas anak yang sangat padat. Data Komisi Naional perlindungan anak mencatat rata-rata 200 kasus setiap bulan meningkat 28%. Senam otak (brain gym) digunakan sebagai salah satu kegiatan untuk mengatasi masalah stres pada anak dan meningkatkan daya ingat. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh senam otak (brain gym) terhadap tingkat stres pada anak usia sekolah kelas V di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan rancangan One-Group pre and post-test design. Subyek penelitian yaitu seluruh anak kelas V di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta tahun 2014 sebanyak 36 siswa. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling dan analisis data menggunakan uji wilcoxon. Hasil tingkat stres pada anak sebelum diberi perlakuan senam otak (brain gym) sebagian besar berada pada kategori sedang (50,0%) dan sesudah diberi perlakuan senam otak (brain gym) sebagian besar tingkat stres pada anak berada pada kategori normal (75,0%). Uji statistik menggunakan uji wilcoxon menunjukan hasil yaitu p-value 0,000 <0,05. Kesimpulan ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap tingkat stres sebelum dan sesudah perlakuan pada anak kelas V di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Kata Kunci: senam otak (brain gym), tingkat stres, anak usia sekolah
The Effect of Brain Gym on Stress Levels in School-Age Children of Fifth Grade at SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta Abstract Learning activities may cause excessive stress IN children. 82.8% of the causes of stress in children in Indonesian are from their very tight routine. Data of the National Commission for Children Protection show an average of 200 cases per month which increases 28%. Brain gym is used as one of the activities to address the issue of stress in children and to improve memory. This research is aimed at identifying the effect of brain gym on stress levels in school-age children of fifth grade at SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. This research is a quasi-experimental research with one-group pre and post-test design. The subjects of the research were all fifth grade students at SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta in 2014, numbering 36 students. Sampling employed a total sampling and data were analyzed using the wilcoxon test. The results showed that the stress level of children before the brain gym given was mostly in the moderate category (50.0%) and after the brain gym given was mostly in the normal category (75.0%). The statistical test using the wilcoxon test generated p-value of 0.000 <0.05. Conclusion, there was a significant effect of brain gym on stress levels before and after treatment in the fifth grade students at SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Keywords: brain gym, stress levels, school-age children
Info Artikel: Artikel dikirim pada 23 Maret 2016 Artikel diterima pada 23 April 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).70-74
70
Yunita Dikir, Atik Badi’ah, Lala Budi Fitriana, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 70-74
PENDAHULUAN Anak-anak usia sekolah (school-age child) adalah anak-anak yang sedang belajar di sekolah. Anak-anak ini tergolong pada tahap perkembangan akhir masa kanak-kanak (middle childhood). Usia 6 sampai 10 tahun, perkembangan biofisik anak usia 6 sampai 10 tahun mengalami masa stabil tidak seperti pada anak usia 0 sampai 6 tahun. Usia 10 sampai 12 tahun, anak memasuki masa prapubertas, perubahanperubahan biofisik akan dirasakan kembali terutama pada organ-organ seksual (1). Perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson, anak-anak usia 10 sampai 12 tahun berada dalam tahapan industry versus inferriority (kerajinan dan inferioritas) dimana masa ini anak-anak memulai kesiapan menghadapi tugas-tugas yang diberikan, sibuk dengan situasi-situasi yang produktif, dapat melakukan sesuatu bersama-sama dengan orang lain. Masa ini pula konsep diri pada anak mulai terbentuk (2). Catatan lembaga konseling person growth 4 dari 5 anak usia 2-15 tahun mengalami stres. Komisi Nasional Perlindungan anak juga mencatat di tahun 2011 terjadi peningkatan berbagai bentuk pengabaian dan hak anak Indonesia. Komnas perlindungan anak menerima laporan rata-rata 200 kasus setiap bulan dan meningkat 28% dari tahun sebelumnya. 82,8% penyebab anak stres di Indonesia berasal dari padatnya aktivitas anak atau rutinitas anak yang sangat padat sehingga anak merasa jenuh dan kurang memiliki kesempatan untuk bersantai dan bermain untuk menyalurkan energi emosional dan ketegangan yang dialaminya (3). Riset terbaru American Alliance for Health, Physical Education and Dance National Convention, menyatakan bahwa anak yang tidak mampu belajar dapat dibantu dengan memberikan pelatihan berupa olahraga, konsumsi makanan sehat dan mengurangi stres (4). Salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada anak dengan masalah stres antara lain melalui senam otak. Senam otak atau lebih dikenal sebagai brain gym sebenarnya adalah serangkaian gerakan sederhana yang dilakukan untuk merangsang kerja dan fungsi otak secara maksimal. Awalnya senam otak dimanfaatkan untuk anak yang mengalami gangguan hiperaktif, kerusakan otak, sulit konsentrasi dan depresi. Namun dalam perkembangannya semua orang bisa memanfaatkan untuk beragam kegunaan. Saat ini,
di negara bagian Amerika dan Eropa senam otak sudah banyak digemari karena banyak orang yang merasa terbantu melepaskan stres, menjernihkan pikiran, meningkatkan daya ingat dan sebagainya (5). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam otak terhadap tingkat stres pada anak usia sekolah kelas V SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Secara khusus bertujuan untuk mengetahui tingkat stres pada anak usia sekolah, diketahui tingkat stres pada anak usia sekolah di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta sesudah dilakukan senam otak (brain gym). BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah quasi experiment dengan rancangan one-group pre and post-test design. Tempat penelitian yaitu di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 18 April sampai 30 Mei 2014. Besar sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik total sampling, yaitu seluruh anak kelas V SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta dengan responden sebanyak 36 anak. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale) 42, alat ukur dalam penelitian tersebut berupa kuesioner yang terdiri dari 14 pertanyaan. Pada penelitian tidak menggunakan uji validitas dan reliabilitas karena dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang di adopsi dari Lovibond dan Lovibond (6). HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Subjek Penelitian Responden penelitian adalah semua anak kelas V SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta sebanyak 36 anak terdiri dari 21 anak laki-laki dan 15 anak perempuan. Sebanyak 36 anak yang mengalami drop out berjumlah 4 anak karena pulang lebih awal dan tidak mengikuti senam otak (brain gym) sampai evaluasi akhir. Jadi total responden dalam penelitian adalah sebanyak 32 anak. Karakteristik responden dalam penelitian meliputi jenis kelamin, umur, pre test dan post test sebelum dan sesudah melakukan tindakan senam otak (brain gym).
Senam Otak (Brain Gym) Berpengaruh Terhadap Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Kelas V
71
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur pada Anak kelas V di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta Karakteristik
f
%
Laki-Laki
19
59,4
Perempuan
13
40,6
10
7
21,9
11
15
46,9
12
8
25,0
13
2
6,3
Total
32
100
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 1 menunjukan bahwa karakteristik responden sebagian besar mempunyai jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 anak (59,4%) dan responden berusia 11 tahun yang berjumlah 15 anak (46,9%). Tingkat Stres pada Anak Sebelum Dilakukan Senam Otak (Brain Gym) Berdasarkan Tabel 2 menunjukan bahwa sebagian besar tingkat stres pada anak sebelum dilakukan perlakuan berada dalam kategori ringan sebanyak 13 anak (40,6%) dan kategori sedang sebanyak 16 anak (50,0%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres pada Anak Sebelum Dilakukan Senam Otak (Brain Gym) di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta Mei 2014 Tingkat Stres Normal Ringan Sedang Total
Kelompok Kasus n % 3 9,5 13 40,6 16 50,0 32 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1 tingkat stres anak sebelum dilakukan senam otak (brain gym) menunjukan hasil pada kategori sedang sebanyak 16 anak (50,0%). Penelitian yang dilakukan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sari yang menyatakan bahwa stres anak terbesar berada pada kategori stres sedang. Masalah ini bersumber dari keluarga misalnya kurang perhatian
72
dan tuntutan dari orang serta bersumber dari sekolah yang berkaitan dengan tugas sekolah misalnya pemberian tugas mata pelajaran yang berlebihan yang diberikan setiap hari (7). Penelitian yang dilakukan oleh Noviekayanti yang menyatakan bahwa penyebab stres dikarenakan tuntutan dari orang tua. Pemberian tugas yang berlebihan dari orang tua menyebabkan anak kurang dapat bermain dengan kelompoknya sehingga menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman (8). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, terdapat 11 anak mengatakan bahwa ada pemberian tugas tambahan yang diberikan dari orang tua yaitu dengan mengikuti les tambahan diluar pelajaran jam sekolah anak. Hal inilah yang memicu terjadinya stres pada anak. Hal senada juga dijelaskan oleh Wibisono, bahwa anak-anak bisa mengalami stres karena kegiatan sehari-harinya. Banyaknya tuntutan dari sekolah dan juga tuntutan dari orang tua dalam meningkatkan prestasi belajar anak sehingga menambah beban anak menjadi berat. Rasa tertekan inilah yang dapat menimbulkan dampak negatif pada anak, baik secara fisik maupun psikis (9). Tingkat Stres pada Anak Sesudah Dilakukan Senam Otak (Brain Gym) Berdasarkan Tabel 3 menunjukan bahwa sebagian besar tingkat stres pada anak sesudah dilakukan perlakuan senam otak (brain gym) berada dalam kategori normal sebanyak 24 anak (75,0%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres pada Anak Sesudah Dilakukan Senam Otak (Brain Gym) di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta Mei 2014 Tingkat Stres Normal Ringan Sedang Total
Kelompok Kasus n % 24 75,0 6 18,8 2 6,3 32 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Berdasarkan hasil penelitian Tabel 3 tingkat stres pada anak usia sekolah sesudah diberi senam otak (brain gym) selama 7 minggu didapatkan tingkat stres sebagian besar dalam kategori normal sebanyak 24 anak (75,0%) saat dalam pemberian perlakuan senam otak (brain gym) anak melakukan
Yunita Dikir, Atik Badi’ah, Lala Budi Fitriana, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 70-74
gerakan dengan penuh konsentrasi dan rasa nyaman. Sedangkan sebanyak 2 anak (6,3%) masih tetap berada dalam kategori sedang disebabkan anak kurang berkonsentrasi saat pemberian perlakuan senam otak (brain gym) berlangsung. Hasil penelitian didukung oleh penelitian yang dilakukan Widyastuti dan Purwanyo tentang efektivitas brain gym dalam menurunkan stres pada anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadinya penurunan yang signifikan dalam meningkatkan stres pada anak setelah diberikan gerakan senam otak (brain gym) (10). Sularyo dan Setyo memaparkan bahwa gerakan senam otak (brain gym) dapat meningkatkan dan mengembangkan kedua belah hemisfer yaitu hemisfer kiri dan kanan (11). Keadaan stres, batang otak merupakan fokus aktivitas otak yang berfungsi untuk survival (tendon guard reflex) bila menghadapi bahaya. Refleks bisa terkunci atau terhambat oleh lingkungan, stres emosi seperti pekerjaan, ujian serta menghambat akses ke memori (sistem limbik) dan kemampuan berpikir (neo-cortex). Senam otak dapat memperbaiki kemampuan semua area otak dengan cara mengaktivasi semua fungsi sehingga sangat bermanfaat bagi anak seperti kemampuan untuk berpikir jernih, memecahkan masalah, kemampuan komprehensi, organisasi dan komunikasi secara efektif. Sesuai dengan pendapat Ayinosa yang menyatakan bahwa brain gym dapat memberikan manfaat yaitu dengan menciptakan suasana belajar lebih rileks dan senang sehingga tidak menimbulkan perasaan tertekan pada anak yang dapat memberikan dampak negatif (12). Analisis Bivariat Pengaruh Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Tingkat Stres pada Anak Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa tingkat stres pada anak sebelum dilakukan senam otak (brain gym) pada kategori sedang sebanyak 16 anak (50,0%) dan sesudah dilakukan senam otak (brain gym) sebagian besar tingkat stres pada anak berada pada kategori normal sebanyak 24 anak (75,0%). Berdasarkan hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p-value (p=0,000) < 0,05 maka disimpulkan bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap tingkat stres sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nuryanti dan Setiyo
tentang efektifitas brain gym dalam menurunkan kecemasan dengan responden sebanyak 24 orang yang terbagi dalam 2 kelompok dengan masingmasing responden 12 orang sebagai kelompok eksperimen dan 12 orang lainya sebagai kelompok kontrol. Rata-rata nilai kecemasan sebelum dan sesudah diberikan senam otak (brain gym) pada kelompok eksperimen terjadi penurunan dan kelompok kontrol terjadi peningkatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa latihan senam otak (brain gym) menurunkan kecemasan pada siswa saat menghadapi ujian sekolah (13). Hasil penelitian didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Sari, tentang pengaruh senam otak terhadap tingkat stres pada anak. Sampel berjumlah 60 responden yang terbagi dalam 2 kelompok (7). Rata-rata nilai tingkat stres sesudah diberikan senam otak (brain gym) pada kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tingkat Stres pada Anak Sesudah Dilakukan Senam Otak (Brain Gym) pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok kontrol Tingkat Stres Ringan Sedang Tinggi
Eksperimen n % 13 43 17 57 0 0
n 7 19 4
Kontrol % 23 64 13
Sumber: Data Primer Tahun 2014 Berdasarkan Tabel 5 diketahui nilai tingkat stres anak sesudah dilakukan senam otak (brain gym) pada kelompok eksperimen sebagian besar berada pada kategori sedang sebanyak 17 anak (57%) sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar tetap berada pada kategori sedang sebanyak 19 orang (64%). Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa latihan senam otak dapat menurunkan tingkat stres pada anak usia sekolah. Penelitian didukung oleh teori Dennison, brain gym dengan gerakan alami yang sehat seperti gerakan yang berada di dalam dimensi pemusatan antara lain minum air putih, saklar otak, tombol bumi, tombol imbang, tombol angkasa, menguap berenergi, pasang telinga, kait relaks, dan titik positif bisa dilakukan untuk menyegarkan fisik dan pikiran siswa setelah menjalani proses pembelajaran yang membutuhkan konsentrasi tinggi yang mengakibatkan kelelahan pada otak (14). Kelelahan pada otak dapat menyebabkan stres. Stres dalam aktivitas tubuh dikendalikan
Senam Otak (Brain Gym) Berpengaruh Terhadap Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Kelas V
73
oleh system saraf simpatis. Pada saat tingkat stres meningkat, tingkat adrenalin naik sehingga terjadi penurunan tegangan di membran sel-sel saraf dan menyiapkan tubuh untuk bereaksi. Tubuh bereaksi dan memusatkan energi elektrik menjauhi neocortex dan ke sistem saraf simpatik. Gerakan meningkatkan energi dan menunjang sikap positif mengaktifkan neocortex sehingga dapat mengfokuskan kembali energi elektrik kepusatpusat yang berpikir positif (15). Sehingga stres yang menurun menyebabkan penurunan stimulasi medulla dan kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon epinefrin dan nonepinefrin (katekolamin). Senam otak (brain gym) yang dilakukan secara benar dan teratur pada anak membuat bagianbagian otak dapat bekerjasama sehingga stres akan berkurang dan otak semakin baik serta dapat meningkatkan daya ingat anak, mengoptimalkan motorik halus, meningkatkan konsentrasi dan menjaga badan agar tetap relaks (16). Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang mendukung bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) dalam menurunkan tingkat stres pada anak. SIMPULAN DAN SARAN Tingkat stres pada anak sebelum dilakukan senam otak (brain gym) di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta sebagian besar berada pada kategori sedang. Tingkat stres pada anak sesudah dilakukan senam otak (brain gym) di SD Negeri Pokoh 1 wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta sebagian besar terjadi penurunan pada kategori normal. Terdapat perbedaan tingkat stres sebelum dan sesudah perakuan senam otak (brain gym) pada anak di SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Bagi Ilmu Keperawatan Anak diharapkan dapat menggunakan senam otak (brain gym) sebagai salah satu kegiatan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi stres pada anak. Bagi guru olahraga SD Negeri Pokoh 1 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta diharapkan dapat mengenalkan kegiatan senam otak (brain gym) kepada siswa dan memasukan kegiatan senam otak (brain gym) dalam agenda sekolah.
74
RUJUKAN 1. Harris M, Butterworth G. Developmental Psychology. A student’s Handbook. New York: Psychology Press; 2004. 2. Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. A child’s world: Infancy through adolescence. 9th ed. Boston: McGraw-Hill; 2002. 3. Fazriyati W. Mengapa anak usia 2-15 mengalami stres ? [Internet]. 2012 [cited 2012 Mar 20]. Available from: http://female.kompas.com/ read/2012/03/1927597/ 4. Dennison PE, Gail ED. Buku panduan lengkap brain gym-senam Otak. Jakarta: Grasindo; 2006. 5. Gunadi T. 24 Gerakan meningkatkan kecerdasan anak. Jakarta: Penebar Plus; 2009. 6. Lovibond SH, Lovibond PF. Manual for the Depression Anxiety Stres Scales. The Psychology Foundation of Australia Inc; 1995. 7. Sari OF. Pengaruh senam otak terhadap tingkat stres pada anak usia sekolah kelas 4 dan 5 di SD Negeri Wojo Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta. Yogyakarta; 2010. 8. Noviekayati IGAA, Suroso. Pemetaan Penyebab stres pada anak di surabaya. J Univ 17 Agustus 1945. 2010; 9. Wibisono S. Jangan biarkan anak stres [Internet]. 2009 [cited 2010 Jan 22]. Available from: http:// gentong-duit.blogspot.com/2009/11/janganbiarkan-anak-stres.html 10. Widyastuti R, Purwanyo S. Efektifitas brain gym dalam menurunkan stres pada anak. J Kesehat. 2009;2(2). 11. Sularyo TS, Setyo H. Senam otak. J Sari Pediatr. 2002;4(1):36–44. 12. Ayinosa 11. Brain Gym (Senam Otak) [Internet]. 2009 [cited 2010 Jan 15]. Available from: http:// book.store.co.id/2009 13. Nuryanti, Setiyo P. Efektifitas brain gym dalam menurunkan kecemasan siswa menghadapi ujian sekolah. J Kesehat. 2010;3(2). 14. Dennison PE. Brain gym and me. Jakarta: Gramedia; 2008. 15. Dennison PE, Gail E. Buku panduan lengkap brain gym. Jakarta: Gramedia; 2002. 16. Yanuarita FA. Memaksimalkan otak melalui senam otak (brain gym). Yogyakarta: Teranova Books; 2012.
Yunita Dikir, Atik Badi’ah, Lala Budi Fitriana, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 70-74
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Dukungan Informasional Keluarga Berpengaruh dalam Pemberian ASI Eksklusif di Desa Timbulharjo Sewon Bantul Nur Indah Rahmawati1
Prodi D III Kebidanan Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut hasil survei demografi dan kesehatan (SDKI) mencapai AKB 32 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 2012. Riset WHO menyebutkan bahwa 88% kematian balita terkait dengan malnutrisi yang sering kali terkait dengan asupan ASI. Keluarga merupakan orang terdekat yang dapat membantu ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Untuk itu dukungan keluarga sangat penting dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan dukungan informasional dalam keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di desa Timbulharjo, Sewon, bantul. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik yang menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan 76 responden yang memiliki bayi berusia 6-24 bulan yang mengikuti posyandu di desa Timbulharjo pada bulan April-Mei dengan teknik purposive sampling. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Data yang di peroleh selanjutnya di analisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, chi-square dalam bentuk persentase dan odd ratio (OR). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan informasional dalam keluarga keluarga dengan pemberian ASI eksklusif dengan nilai korelasi chi-square p=0,000 dan nilai OR=16, ibu yang mendapatkan dukungan informasional tidak baik berpeluang 16 kali lebih banyak untuk tidak memberikasn ASI eksklusif pada bayinya. Kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan emosional dalam keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul. Kata Kunci: ASI eksklusif, dukungan informasional dalam keluarga
Informational Support in Family Influential of Exclusive Breastfeeding in Timbulharjo Village, Sewon, Bantul Yogyakarta Abstract Infant Mortality Rate (IMR) in Indonesia according to the Demographic and Health Survey (IDHS) reached IMR was 32 per 1.000 live births in 2012. Research WHO states that 88% of child mortality linked to malnutrition, which is often associated with the intake of milk. Family is the closest person who can help the mother to give exclusive breastfeeding. For that family support is very important in the success of exclusive breastfeeding. The aim of research to determine the relationship of the family with the informational support exclusive breastfeeding in the village Timbulharjo, Sewon, Bantul. This study was observational analytic cross sectional approach. This study uses the 76 respondents who had infants aged 6-24 months that follow posyandu in Timbulharjo village in April-May with a purposive sampling techniques. The instrument used in this study was a questionnaire. Data were obtained subsequently analyzed using frequency distribution table, chi square as percentages and odds ratios (OR). The results of this study indicate that there is a significant relationship between the informational support to the families with exclusive breastfeeding correlation value chi square p=0.000 mothers who get no good informational support 16 times more likely to not memberikasn exclusive breastfeeding her baby. Conclusion There is a significant relationship between emotional support in the family with exclusive breastfeeding in the village Timbulharjo, Sewon, Bantul. Keywords: exclusive breastfeeding, informational suport in family
Info Artikel: Artikel dikirim pada 9 Juni 2016 Artikel diterima pada 20 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).75-78
Dukungan Informasional Keluarga Berpengaruh dalam Pemberian ASI Eksklusif di Desa Timbulharjo Sewon Bantul
75
PENDAHULUAN Menurut Manuaba, salah satu upaya untuk peningkatan sumber daya manusia antara lain dengan jalan memberi air susu ibu (ASI) sedini mungkin (1). World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa ASI adalah makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi (2). ASI merupakan makanan pertama, utama, dan terbaik bagi bayi yang bersifat alamiah. Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mencapai AKB 32 per 1.000 kelahiran hidup ditahun 2012 kurang menggembirakan dibandingkan target Renstra Kemenkes yang ingin dicapai yaitu 24 per 1.000 kelahiran hidup juga target MDGs sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup ditahun 2015. Angka kematian bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di DIY mempunyai angka yang relatif lebih tinggi, yaitu sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup (taget MDG’s sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015). Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013 menunjukan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Indonesia sebesar 61,5%. Tahun 2008 cakupan ASI eksklusif di Provinsi DIY baru mencapai 39,9%, menurun pada tahun 2009 yaitu sebesar 34,56%. Tahun 2010, cakupan ASI Eksklusif meningkat mencapai 40,57% (target 80%). Sedangkan pada tahun 2011, cakupan ASI Eksklusif kembali menunjukkan peningkatan menjadi 49,5%. Lebih rinci, cakupan ASI eksklusif di Kabupaten Sleman sudah mencapai ≥60%, di Gunung Kidul masih 20-39%, sedangkan di Kabupaten/Kota Bantul masih berkisar 42,34% (3). Caplan dalam Friedman menjelaskan bahwa keluarga memiliki fungsi dukungan yaitu dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional (4). Menurut Sudiharto dukungan keluarga mempunyai hubungan dengan suksesnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi (5). Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai sebuah keluarga diseminator atau penyebar informasi tentang semua informasi yang ada dalam kehidupan. Keluarga berfungsi sebagai pencari informasi yang berhubungan dengan masalah menyusui dari tenaga kesehatan, dan melakukan
76
konsultasi, serta mencari informasi dari media cetak maupun sumber lain yang mendukung. Contohnya keluarga mencari informasi dari luar seperti Buku bacaan, majalah. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan dukungan informasional dalam keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di desa Timbulharjo, Sewon, Bantul. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi pada penelitian ini meliputi seluruh ibu yang memiliki bayi beruisia 6-24 bulan yang berjumlah 320 orang dan penelitian dilakukan pada bulan April-Mei di desa Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dimana banyaknya sampel di hitung dengan rumus Slovin. Sampel kemudian dipadukan dengan kriteria inklusi: Ibu yang menyusui, Ibu yang bersedia menjadi responden, Ibu yang datang keposyandu pada saat penelitian, dan kriteria eksklusi: Ibu yang tidak hadir di posyandu pada saat melakukan penelitian, Ibu yang pindah domisili. Variabel bebas (independen) yaitu dukungan keluarga dan variabel terikat (dependen) yaitu pemberian ASI eksklusif. Instrument pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang diadopsi dari penelitian Yuniar Dwi Irmawati pada tahun 2011 yang telah di uji validitas dan reabilitas (6). Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisa univariat yang berguna untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi masing-masing variabel dan analisis bivariat yang berguna untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Uji yang digunakan adalah chi-square dan OR (odd ratio). HASIL DAN BAHASAN Desa Timbulharjo merupakan sebuah desa di Kecamatan Sewon, Bantul dimana sebagian besar warganya merupakan suku Jawa Desa timbulharjo ini dibawah naungan puskesmas sewon I. Desa Timbulharjo memiliki16 dusun yaitu Dadapan, Tembi, Gatak, Balong, Gabusan, Dagan, Sewon, Mriyan, kowen I, Kowen II, Dobalan, Sudimoro, Bibis, Ngasem, Kepek, dan Ngentak. Dari beberapa dusun ini memiliki 1 posyandu yang dibina oleh kader dan dan di bawah naungan Puskesmas Sewon I.
Nur Indah Rahmawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 75-78
Tabel 1. Tabel Karakteristik Ibu di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul Karaktristik Umur < 25 tahun 25-35 tahun > 35 tahun Pendidikan Tidak tamat SD SD SMP SMA Perguruan Tinggi Perkerjaan IRT Swasta Buruh dan Karyawan Wiraswasta PNS Jumlah
f
%
22 37 17
28,9 48,7 22,4
1 6 22 34 13
1,3 7,9 28,9 44,7 17,1
55 9 8 2 2 76
72,4 11,8 10,5 2,6 2,6 100
Berdasarkan Tabel 1 hasil penelitian umur, pendidikan dan pekerjaan dapat disimpulkan bahwa usia ibu yang menyusui masih di dominasi usia reproduktif yaitu usia 25-35 tahun dengan jumlah 37 dari 76 orang (48,7%), sedangkan dari pendidikan mayoritas ibu berpendidikan SMA yaitu 34 dari 76 orang (44,7%) dan terakhir dari ibu yang bekerja yaitu IRT dengan frekuensi 55 dari 76 orang (72,4%). Dukungan Distribusi responden berdasarkan variabel dukungan instrumental di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Dukungan di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul Dukungan Instrumental Baik Tidak Baik Total
n 22 54 76
% 26,2 64,3 100
Dukungan informasional di dapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu mendapatkan dukungan informasional baik yaitu 42 orang (55,3%). Pemberian ASI Ekslusif Distribusi pemberian ASI eksklusif dan tidak eksklusif di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Pemberan ASI di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul Pemberian ASI Eksklusif Tidak Eksklusif Total
n 23 53 76
% 30,3 69,7 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya yaitu sebanyak 53 orang (69,7%). Hubungan Dukungan dengan Pemberian ASI Ekslusif Hasil analisis hubungan antara dukungan informasional dengan pemberian ASI eksklusif di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul disajikan dalam Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga yaitu dukungan informasional dengan pemberian ASI eksklusif di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul. Menurut Indiarti ASI eksklusif merupakan pemberian ASI pada bayi selama enam bulan tanpa makanan tambahan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air the dan air putih serta tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim (7). Hasil tabulasi silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mendapatkan dukungan informasional tidak baik
Tabel 4. Hubungan Dukungan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul Dukungan Informasional Baik Tidak Baik Jumlah
Pemberian ASI Eksklusif Tidak Eksklusif n % n % 21 27,6 21 27,6 2 2,6 32 42,1 23 30,2 53 69,8
Total n 42 34 76
% 55,3 44,7 100
X2 hitung
p- value
OR
17,329
0,000
16,00
Dukungan Informasional Keluarga Berpengaruh dalam Pemberian ASI Eksklusif di Desa Timbulharjo Sewon Bantul
77
dan tidak memberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 32 orang (32%). Hasil nilai OR adalah sebesar 16,00. Hal ini berarti bahwa jika ibu tidak mendapatkan dukungan informasional dengan baik maka akan berpeluang 16,00 kali lebih banyak untuk tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya. Dukungan informasional adalah dukungan yang diberikan kepada seseorang dengan memberikan informasi, nasehat, saran dan petunjuk. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang mendapatkan dukungan informasional tidak baik dan tidak memberikan ASI secara eksklusif yaitu 32 orang (42,1%). Nilai OR juga menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan dukungan informasional tidak baik berpeluang 16 kali lebih banyak untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan dukungan informasional dengan pemberian ASI eksklusif dengan nilai p-value=0,000, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan informasional dengan pemberian ASI ekslusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wicitra, yang menyatakan terdapat hubungan signifikan dukungan informasional keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif (p=0,031), dan 76,2% ibu yang tidak mendapatkan dukungan informasional tentang pemberian ASI mempunyai tindakan pemberian ASI yang tidak eksklusif (8). Senada dengan penelitian Fauzie, di ketahui salah satu yang paling penting diperhatikan dalam pemberian ASI secara eksklusif adalah pemberian informasi tentang ASI dan manfaat ASI khususnya oleh petugas kesehatan (9). SIMPULAN DAN SARAN Dukungan informasional pada ibu sebagian besar baik dan sebagian besar ibu memberikan ASI eksklusif dan ibu yang mendapatkan dukungan informasional baik berpeluang 16 kali untuk memberikan ASI eksklusif. Ada hubungan dukungan informasional dengan pemberian ASI eksklusif. Kepada anggota keluarga khususnya suami penting memotivasi dan mendukung ibu dengan meningkatkan upaya-upaya yang mengarah pada
78
pendekatan untuk memberikan ASI secara ekslusif bagi bayinya.Diharapkan kepada petugas kesehatan terutama bidan yang bertugas di daerah tersebut agar lebih kreatif dalam mengumpulkan warga untuk menyampaikan penyuluhan pendidikan dan mempromosikan ASI eksklusif serta informasiinformasi yang berhubungan dengan pemberian ASI ekslusif kepada seluruh anggota keluarga dengan di bantu oleh kader setempat. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode lain dalam melakukan penelitian tentang dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif. RUJUKAN 1. Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC; 2006. 2. World Health Organization United Nations Children’s Fund. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva, Switzerland; 2003. 3. Dinkes DIY. Profil Kesehatan Propinsi DIY Tahun 2012. Yogyakarta; 2012. 4. Friedman MM. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Jakarta: EGC; 2013. 5. Sudiharto. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC; 2007. 6. Dwi Y. Hubungan antara Dukunga Keluarga pada Ibu Menyusui dengan Pemberian ASI Eksklusif di BPS Umu Hani Kasongan Bantul 2011. Yogyakarta; 2011. 7. Indiarti MT. Buku Pintar Ibu Kreatif, ASI, Susu Formula dan Makanan Bayi. Yogyakarta: Khasanah Ilmu Terapan; 2010. 8. Wicitra A. Faktor Dukungan Suami dan Faktor Pengetahuan Ibu Mengenai ASI Hubungannya dengan Lama Pemberian ASI pada Ibu Pegawai Swasta di Beberapa Perusahaan di Jakarta. Jakarta; 2009. 9. Fauzie R, Suradi R, Rezeki SS, Hadinegoro. Pattern and influencing factors of breastfeeding of working mothers in several areas in Jakarta. Paediatr Indones. 2007;47(1):27–31.
Nur Indah Rahmawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 75-78
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Gambaran Penerapan Prinsip Benar Pemberian Obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Fatma Siti Fatimah1 1 Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasian Bantul Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstrak Insiden keselamatan pasien sangat merugikan pasien serta dapat menimbulkan hilangnya nyawa. Di Indonesia kesalahan pemberian obat merupakan insiden terbanyak. Insiden dapat terjadi dikarenakan salah satunya human error dari petugas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik responden dalam penerapan prinsip benar pemberian obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Jenis penelitian ini adalah diskriptif kuantitatif. Responden diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 32 orang perawat yang memenuhi kriteria inklusi. Instrumen menggunakan lembar observasi. Karakteristik responden berdasarkan usia paling banyak usia 25-35 tahun 56,2%, jenis kelamin yaitu perempuan 90,7%, lama bekerja yaitu <1 tahun 68,8%, pendidikan yaitu D3 84,4%. Persentase penerapan prinsip benar pemberian obat paling banyak adalah dalam kategori cukup yaitu sebesar 69,4%. Karakteristik responden berdasarkan usia paling banyak 25-35 tahun, jenis kelamin yaitu perempuan, lama bekerja yaitu <1 tahun, pendidikan yaitu D3. Penerapan prinsip benar pemberian obat adalah dalam kategori cukup. Kata Kunci: usia, pendidikan, lama bekerja, benar obat
Overview of Giving Right Medicine Principle in PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Hospital Abstract Patient safety incidence make adverse patient and cause loss of life. Drug administration errors in Indonesia is the highest incidence. Incidents can occur due to human error one of health workers. This study aims to describe the characteristics of the respondent in the application of the principles of correct drug administration in PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Hospital. This research type is descriptive quantitative. Respondents were taken by purposive sampling, were 32 nurses who fulfill the inclusion criteria. The instrument uses an observation sheet. Characteristics of respondents by age at most <25 years of 56.2%, based on sex is 90.7% female, long work is <1 year 68,8%, education D3 84.4%. The percentage of correct application of the principle of drug administration most is in enough category is 69.4%. Characteristics of respondents by age at most <25 years, gender is female, long work is <1 year, namely education D3. Application of principles of correct drug administration is in fair category. Keywords: age, education, work period, right medicine principle
Info Artikel: Artikel dikirim pada 2 Juni 2016 Artikel diterima pada 23 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).79-83
Gambaran Penerapan Prinsip Benar Pemberian Obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
79
PENDAHULUAN DepKes dalam panduan keselamatan pasien di rumah sakit melaporkan insiden keselamatan pasien yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kesalahan pemberian obat (1). Menurut Cahyono, setiap perawat wajib menerapkan keselamatan pasien (patient safety) untuk mencegah timbulnya kerugian yang dialami oleh pasien (2). Insiden kesalahan obat harus zero error di Rumah Sakit karena dampak yang ditimbulkan akan menyebabkan pasien memperpanjang hari rawat inap, menambah biaya perawatan, serta yang terburuk bisa mehilangkan nyawa pasien (3). Joint Commission International (JCI) & Wolrd Health Organitation (WHO) melaporkan beberapa negara sebanyak 70% insiden kesalahan pengobatan dan sampai menimbulkan cacat permanen pada pasien (4). Di Indonesia kesalahan pemberian obat tidak jarang menjadi tuntutan hukum (1). Indonesia sangat serius dalam memperhatikan keselamatan pasien sehingga mengadopsi dari JCI dan WHO terkait sasaran keselamatan pasien yang dimasukkan dalam akreditasi setiap rumah sakit, ini akan membuat setiap Rumah Sakit akan meningkatkan keselamatan pasien demi terjaminnya keselamatan pasien di rumah sakit (1). Data di Rumah Sakit X di Sleman dimana insiden keselamatan pasien (IKP) paling banyak adalah kesalahan pemberian obat dibandingkan dengan pasien jatuh, salah identifikasi pasien, salah lokasi operasi, infeksi nosokomial. Tahun 2012 ada 2 insiden kesalahan pemberian obat oleh perawat di ruang rawat inap, 1 insiden di laboratorium salah pemberian label. Data tahun 2013 bulan Januari sampai Juni juga didapatkan laporan terbanyak IKP yaitu 2 insiden kesalahan pemberian obat di ruang rawat inap, masing-masing 1 kasus insiden pasien jatuh, kejadian nyaris cidera (KNC) salah transfusi darah pada pasien dan salah aff infus. Hal ini menunjukkan masih terjadi insiden keselamatan pasien terutama kesalahan pemberian obat, dimana seharusnya kesalahan pemberian obat tidak boleh terjadi. IKP kesalahan pemberian obat dapat dicegah dengan cara setiap perawat melakukan prinsip benar dalam memberikan obat pada pasien (3). Kesalahan pemberian obat dapat terjadi jika petugas kesehatan termasuk perawat tidak menerapkan prinsip benar dalam pemberian obat. Menurut Tambayong, Berman et al, Potter & Perry pemberian obat meliputi prinsip 10 benar yaitu obat, 80
dosis, pasien, rute, waktu, informasi, kadaluarsa, pengkajian, evaluasi dan dokumentasi (3,5,6). Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam menerapkan prinsip benar ini untuk meningkatkan keselamatan pasien. Faktor penyebab IKP menurut Cahyono adalah kegagalan komunikasi dan human error yang menyebabkan kejadian malpraktek, meningkatkan biaya operasional, biaya perawatan penyembuhan dan menghambat proses pemberian asuhan keperawatan (2). Hasil penelitian Anugraheni menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi penerapan pedoman patient safety salah satunya faktor individu yaitu usia, pendidikan, masa kerja (7). Di dukung oleh penelitian Fachri masa kerja dan ciri kepribadian sangat mempengaruhi seseorang untuk berubah (8). Sehingga faktor kepribadian dan karakteristik individu inilah yang kemungkinan berkontribusi dengan insiden keselamatan pasien dan tidak menutup kemungkinan juga mempengaruhi seseorang untuk menerapkan prinsip benar dalam pemberian obat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dalam penerapan prinsip benar pemberian obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, Notoatmodjo menyebutkan penelitian ini menggunakan diskriptif kuantitatif (9). Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang rawat inap bangsal Zaitun dan Wardah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang berjumlah 32 perawat. Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ini adalah kriteria inklusi: perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, pendidikan D3 Keperawatan dan Ners serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Kriteria ekslusi yaitu perawat pelaksana yang sedang cuti, perawat yang mengikuti pendidikan lanjutan yang meninggalkan tugasnya dirumah sakit. Variable independent: tingkat pendidikan, lama bekerja dan jenis kelamin Perawat pelaksana dan variable dependent: prinsip benar pemberian obat. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir yang diperoleh seorang perawat dalam penelitian ini
Fatma Siti Fatimah, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 79-83
adalah pendidikan D3 dan Ners. Lama bekerja adalah waktu seorang perawat terhitung mulai perawat bekerja di rumah sakit. Jenis kelamin adalah ciri atau karakteristik indivudu yang dibedakan menjadi perempuan dan laki-laki. Prinsip benar pemberian obat adalah Kegiatan perawat dalam melaksanakan tugas memastikan pemberian obat pada pasien yang menerapkan prinsip 10 benar yaitu benar pasien, rute atau jalur, nama obat, dosis, waktu, pengkajian, informasi, kadaluarsa, efek samping dan dokumentasi, cara pengukuran dengan menggunakan lembar observasi yang berisi 24 pernyataan dengan jawaban ya dan tidak, skala data yang digunakan adalah ordinal. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner meliputi: Nama (diisi inisial), jenis kelamin, usia, pendidikan dan lama bekerja perawat. Lembar observasi digunakan untuk mengukur pelaksanaan prinsip benar pemberian obat injeksi berdasarkan kriteria standar pelaksanaan pemberian obat yang dikembangkan dari prinsip 10 benar pemberian obat menurut Tambayong, Berman et al, Potter & Perry tentang indikator kesalahan pemberian obat dan penelitian Yani antara lain benar pasien, benar rute atau jalur, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar pengkajian, benar informasi, benar Kadaluarsa, benar evaluasi dan benar dokumentasi yang terdiri dari 24 pernyataan antara lain; benar pasien: perawat menanyakan identitas pasien sebelum pemberian obat, memastikan pemberian obat dengan melihat gelang identifikasi dan menyimpan obat pasien di kotak penyimpanan obat dan diberi nama pasien, benar rute atau jalur: perawat memberikan obat sesuai dengan instruksi dokter dan memastikan rute obat pada label obat, benar obat: perawat memastikan nama obat pada label, memastikan nama obat sesuai dengan buku injeksi atau rekam medis pasien dan memberikan obat dengan menggunakan label obat, benar dosis: perawat menyiapkan dosis obat sesuai dengan rekam medis dan memberikan obat sesuai dengan dosis, benar waktu: perawat memberikan obat pada pasien tepat waktu sesuai order dokter dan memberikan obat sesuai jadwal atau paling tidak 30 menit sebelum dan 30 menit sesudah jadwal ditetapkan, benar pengkajian: perawat melakukan pengkajian terkait diagnosis klien, benar informasi: perawat memberikan informasi terkait nama obat, menjelaskan cara pemberian obat dan menjelaskan fungsi atau kerja obat, benar kadaluarsa: perawat memastikan
tanggal kadaluarsa obat dan memberikan obat pada pasien yang belum kadaluarsa, benar efek samping atau evaluasi: perawat melakukan evaluasi pasien setelah selesai pemberian obat dan memantau reaksi pasien terhadap pemberian obat, benar dokumentasi: perawat mencatat pemberian obat dalam rekam medis sesudah obat diberikan, mencatat waktu pemberian obat, mencatat rute pemberian obat dan memberikan paraf atau nama terang setelah pemberian obat (3,5,6,10). Instrumen penelitian ini disusun dari Tambayong, Berman et al, Potter & Perry, serta penelitian Yani sehingga peneliti tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas. Peneliti tidak melakukan uji normalitas karena skala data penelitian ini adalah ordinal. Analisa data yang digunakan adalah univariat karena dianalisis untuk satu variabel (11). Analisis univariat untuk mengetahui karakteristik penelitian hanya satu variabel. Etika penelitian yang dilakukan peneliti antara lain: Ijin di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, informed consent, confidentiality, anonimity dan justice. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden penelitian ini dapat dilihat di Tabel 1 yang menunjukkan karakteristik perawat di bangsal rawat inap berdasarkan usia, jenis kelamin, lama bekerja dan pendidikan. Tabel 1. Gambaran Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Karakteristik responden Usia <25 tahun 25-35 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Lama bekerja < 1 tahun 1-5 tahun Pendidikan D3 Sarjana S1 atau Ners Total
Nn
%
14 18
43,8 56,2
3 29
9,3 90,7
22 10
68,8 31,2
27 5 32
84,4 15,6 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Kemudian secara umum karakteristik berdasarkan penerapan prinsip benar pemberian obat dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambaran Penerapan Prinsip Benar Pemberian Obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
81
Tabel 2. Prinsip pemberian obat Penerapan prinsip Benar Baik Cukup Total
Nn 13 19 32
% 40,6 59,4 100
Sumber: Data Primer Tahun 2014
Karakteristik responden dalam penelitian ini antara lain: jenis kelamin, usia, pendidikan dan lama bekerja, meskipun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji korelasi terhadap prinsip pemberian obat dikarenakan jumlah sampel yang minimal, namun hasilnya dapat dijelaskan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 25-35 tahun yaitu sebanyak 18 responden (56,2%), dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 29 responden (90,7%), rentang usia semua responden masih dalam kategori dewasa muda. Karakteristik responden berdasarkan usia yang terbanyak adalah usia 26-35 tahun yaitu 18 responden (43,8%), walaupun demikian usia responden penelitian masih belum berbeda jauh karena berada dalam rentang 22-35 tahun. Menurut Robbins usia rentang tersebut masih dalam kategori dewasa muda yaitu diantara usia 20-40 tahun (12). Robbins juga menambahkan semakin bertambah usia maka semakin bertambah pengalaman, etika kerja yang kuat dan komitmen terhadap mutu. Hal ini juga menunjukkan, semua responden masih mempunyai kesempatan yang sama dalam hal belajar untuk meningkatkan mutu rumah sakit termasuk berkomitmen terhadap keselamatan pasien. Pada umumnya semua responden masih dalam rentang usia dewasa muda menurut Prof Sumiyati dalam Efendi dan Makhfudli (13). Sehingga dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang lebih didominasi D3 serta lama pengalaman kerja perawat di rumah sakit didominasi oleh perawat baru maka bisa di simpulkan pada usia dewasa muda ini untuk berubah menjadi ke arah lebih baik yakni dalam hal menjalankan prinsip benar pemberian obat masih sangat mungkin dilakukan dan ketika prinsip dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku maka akan menciptakan keselamatan pasien. Usia merupakan sesuatu hal yang penting yang dapat mempengaruhi pengetahuan serta sejalan dengan pengetahuan maka akan mempengaruhi tingkah laku seseorang, semakin usia bertambah maka pengetahuan akan meningkat (14). Jenis kelamin mempengaruhi terkait dengan cara bersikap
82
dengan orang lain khususnya dengan lawan jenis (12). Tidak menutup kemungkinan juga mempengaruhi baik sesama rekan kerja perawat ataupun dengan pasien, seseorang akan lebih bertindak hati hati dengan lawan jenis. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja didominasi karyawan baru yang bekerja kurang dari 1 tahun sebanyak 22 responden (68,8%). Lama bekerja merupakan salah satu faktor individu yang berhubungan dengan perilaku dan prestasi individu. Dalam memandang sesuatu pekerjaan karyawan baru akan beroriantasi berbeda dengan karyawan yang sudah bekerja 10 tahun (15). Karyawan baru akan berorientasi pada terselesaikannya tugas dengan baik dan menganggap keberhasilannya adalah prestasi. Pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam berperilaku sejalan dengan pendidikan atau pelatihan dan masa kerja seseorang akan mempengaruhi kemampuan perawat menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah responden perempuan yaitu 29 responden (90,7%), faktor jenis kelamin menurut Sopiah menyatakan pegawai wanita cenderung lebih rajin, teliti dan sabar dibandingkan laki-laki (16). Hal ini didukung oleh pendapat Ekstorm dalam Mustika, bahwa perawat perempuan cenderung lebih baik dan teliti dalam memberikan asuhan keperawatan dibandingkan laki laki (17). Terbukti dalam penelitian ini seluruh perawat sebanyak 90,7% menerapkan prinsip benar dalam kategori cukup dan tidak ada dalam kategori kurang. Karakteristik lama bekerja paling banyak adalah karyawan baru yang bekerja <1 tahun yaitu 22 responden (68,8%), Faktor lamanya masa kerja menurut Sopiah semakin lama karyawan bekerja semakin meningkat juga loyalitas serta pengalaman karyawan tersebut (16). Karakteristik berdasarkan pendidikan paling banyak adalah D3 keperawatan yaitu 27 responden (84,4%). Pengetahuan berhubungan dengan proses penerimaan infomasi, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat penerimaan informasi dan mendorong untuk melakukan sesuai dengan penerimaan individu. Robbins menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan seorang karyawan, semakin baik karyawan dalam melakukan pekerjaannya (12). Penelitian ini semua responden merupakan seorang perawat yang sudah menempuh pendidikan tinggi, sehingga harapannya semua perawat mampu menerima melakukan pekerjaannya
Fatma Siti Fatimah, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 79-83
dengan baik seperti menerapkan prinsip 10 benar dalam pemberian obat. Penerapan prinsip benar pemberian obat oleh perawat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu cukup dan baik serta tidak ada perawat yang kurang dalam penerapan prinsip ini. Dari Tabel 2 dapat dilihat persentase perawat dalam penerapan prinsip benar dalam kategori baik yaitu sebanyak 13 perawat (40,6%) dan paling banyak dalam kategori cukup yaitu sebanyak 19 perawat (59,4%). Berdasarkan karakteristik responden dan hasil observasi pelaksanaan prinsip benar pemberian obat ini maka dapat diketahui bahwa rata rata responden mempunyai karakteristik yang hampir sama. Sehingga hal ini yang kemungkinan menyebabkan persentase penerapan prinsip benar tidak ada yang dalam kategori kurang. Untuk membuktikan ini maka diperlukan penelitian lanjutan terkait faktor yang berhubungan dengan penerapan prinsip benar pemberian obat tentunya dengan jumlah sampel yang lebih banyak yang bisa digeneralisirkan nanti hasilnya. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan bahasan dapat ditarik kesimpuan bahwa karakteristik responden berdasarkan usia paling banyak 25-35 tahun 56,2%, berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan 90,7%, lama bekerja yaitu <1 tahun 68,8%, pendidikan D3 yaitu 84,4% dan persentase penerapan prinsip benar pemberian obat paling banyak adalah dalam kategori cukup yaitu sebesar 69,4% dan dalam kategori baik sebanyak 40,6 %. Diharapkan untuk perawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah dan seluruh petugas kesehatan untuk meningkatkan penerapan prinsip benar pemberian obat kepada pasien sehingga menciptakan keselamatan pasien di rumah sakit. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menilai korelasi dari karakteristik individu dengan penerapan prinsip benar pemberian obat kemudian menambah jumlah sampel penelitian. RUJUKAN 1. Depkes RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety). 2nd ed. Jakarta: Depkes RI; 2008.
2. Cahyono. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Yogyakarta: Kanisius; 2008. 3. Potter PA, Perry AG. Fundamental of nursing fundamental keperawatan. 7th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 4. World Health Organization & Joint Comission International. Communication during patient hand-overs [Internet]. [cited 2014 Jan 1]. Available from: http://www.who.int/patientsafety/solutions/ patientsafety/PS-Solution3.pdf 5. Tambayong J. Farmakologi Keperawatan. Ester M, editor. Jakarta: Widya Medika; 2005. 6. Berman A, Snyder S, Kozier B, Erb G. Buku ajar praktik keperawatan klinis. 5th ed. Ariani F, editor. Jakarta: EGC; 2009. 7. Anugraheni C. Hubungan faktor individu dan organisasi dengan kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman patient safety di RSAB Harapan Kita Jakarta. Depok; 2010. 8. Fachri MW. Hubungan ciri kepribadian usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin dengan kesiapan untuk berubah. Jakarta; 2008. 9. N o t o a t m o d j o S . M e t o d o l o g i P e n d i d i k a n Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2009. 10. Yani S. Evaluasi penerapan pemberian obat secara parenteral dalam menyelenggarakan patient safety di instalaasi rawat inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul. Yogyakarta; 2012. 11. Dahlan SM. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. 5th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2011. 12. Robbins PS, Judge TA. Perilaku organisasi. 12th ed. Jakarta: Salemba Empat; 2008. 13. Efendi F, Mahkfhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas teori dan praktek dalam keperawatan. Nursalam, editor. Jakarta: Medika Salemba; 2009. 14. Hurlock EB. Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Kehidupan. 5th ed. Jakarta: Erlangga; 2015. 15. Laurens JM. Arsitektur dan perilaku manusia. Diana N, editor. Jakarta: Grasindo; 2005. 16. Sopiah. Perilaku organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi; 2009. 17. Mustika AS, Effendy C, Setiyarini S. Gambaran penerapan prinsip enam benar pada pemberian obat pada tindakan injeksi. JIK. 2008;3(3):151–8.
Gambaran Penerapan Prinsip Benar Pemberian Obat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
83
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Bayi umur 0 – 12 bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah Oktaviana Maharani1
Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya no.1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak (UNICEF) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare di Indonesia. Kejadian diare pada balita salah satunya disebabkan oleh higiene termasuk pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI (Air Susu Ibu) sebelum usia 6 bulan. Menurut World Health Organization, bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI sebelum berusia enam bulan akan mempunyai resiko 17 kali lebih besar mengalami diare. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pemberian makanan pendamping ASI dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi umur 0–12 bulan yang berada di kecamatan Dampal Utara, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah yang berjumlah 36 ibu. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik total sampling atau sampling jenuh. Teknik analisis data menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pemberian makanan pendamping ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan di Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Kata Kunci: MP ASI, diare, bayi
Giving Weaning Food Related with the Incidence of Diarrhea in Infants 0-12 months in the District of North Dampal, Tolitoli, Central Sulawesi Abstract Diarrhea is the number one cause of infant mortality worldwide. The United Nations Children’s Emergency Fund (UNICEF) estimates that every 30 seconds there is a child who died of diarrhea in Indonesia. The incidence of diarrhea in young children one of them caused by hygiene including the knowledge and attitudes of mothers in feeding, where the baby has been fed besides breast milk (breast milk) before the age of 6 months. According to the World Health Organization, infants who received complementary foods before six months of age will have a 17 times greater risk of experiencing diarrhea. The aim of research to determine feeding complementary relationship with the incidence of diarrhea in infants aged 0-12 months in the District of North Dampal, Tolitoli, Central Sulawesi. The population in this experiment is all mothers with babies aged 0-12 months who are in the district of North Dampal, Tolitoli, Central Sulawesi, which amounted to 36 mothers. Samples were taken using a total sampling. Data were analyzed using chi-square test. The results showed there are significant relationship between the giving weaning food with the incidence of diarrhea in infants 0-12 months in North Dampal, Tolitoli, Central Sulawesi. Keywords: weaning food, diarrhea, baby
Info Artikel: Artikel dikirim pada 12 Mei 2016 Artikel diterima pada 20 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).84-89
84
Oktaviana Maharani, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 84-89
PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Badan Perserikatan Bangsa bangsa untuk urusan anak (UNICEF) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare di Indonesia, merupakan pembunuh balita nomor dua setelah infeksi saluran akut (ISPA) dan setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (1). Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. Menurut hasil Riskesdas 2007, diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke-empat (13,2%). Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada semua umur sebesar 214 per 1.000 penduduk dan angka kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 penduduk (2). Data Riskesdas 2013 menunjukan bahwa insiden diare berdasarkan gejala sebesar 3,5% (kisaran provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalence diare berdasarkan gejala sebesar 7%. Kejadian diare tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Provinsi Sulawesi tengah termasuk dalam 10 besar Provinsi dengan prevalensi kejadian diare tertinggi di Indonesia sebesar (2). Diare pada balita cukup berbahaya, karena dapat menimbul kan kematian bayi maupun balita serta angka kejadiannya cukup tinggi setiap tahunnya. Lima juta anak berusia kurang dari lima tahun meninggal setiap tahun akibat diare (3). Kejadian diare pada balita salah satunya disebabkan oleh higiene termasuk pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI (Air Susu Ibu) sebelum usia 6 bulan (4). Menurut World Health Organization, bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI sebelum berusia enam bulan akan mempunyai resiko 17 kali lebih besar mengalami diare dan 3 kali lebih besar kemungkinan terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dibandingkan bayi yang hanya mendapat ASI eksklusif dan mendapatkan MP ASI dengan tepat waktu (5). Setelah usia 6 bulan, kebutuhan nutrisi bayi baik makronutrien maupun mikronutrien tidak dapat
terpenuhi hanya oleh ASI. Selain itu, keterampilan makan (oromotor skills) terus berkembang dan bayi mulai memperlihatkan minat akan makanan lain selain susu (ASI atau susu formula). Oleh karena itu, memulai pemberian MP ASI pada saat yang tepat akan sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi. Periode ini dikenal pula sebagai masa penyapihan (weaning) yang merupakan suatu proses dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun tekstur dan konsistensinya sampai seluruh kebutuhan nutrisi anak dipenuhi oleh makanan. Masa peralihan ini yang berlangsung antara 6 bulan sampai 23 bulan merupakan masa rawan pertumbuhan anak karena bila tidak diberi makanan yang tepat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dapat terjadi malnutrisi (6). Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular yang termasuk diare. Situasi gizi masyarakat tidak hanya berperan dalam program penurunan prevalensi balita pendek, namun juga terkait erat dengan tiga program lainnya, mengingat status gizi berkaitan dengan kesehatan fisik maupun kognitif, mempengaruhi tinggi rendahnya risiko terhadap penyakit infeksi maupun penyakit tidak menular dan berpengaruh sejak awal kehidupan hingga masa usia lanjut. Oleh karena itu penting untuk memberikan MP ASI tepat pada waktunya, agar penyakit tidak menular seperti diare dapat dikendalikan sehingga menurunkan angka kesakitan pada bayi dan balita (7). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0–12 bulan di Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode survey observasional analitik yaitu suatu penelitian yang mencoba mengetahui mengapa masalah tersebut biasa terjadi, kemudian melakukan analisa hubungan antara faktor resiko (faktor yang mempengaruhi efek) dengan faktor efek (faktor yang dipengaruhi oleh resiko) (8). Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional. Populasi dalam penelitin ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi umur 0–12 bulan yang berada di Kecamatan Dampal Utara, Kabupaten Tolitoli,
Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Bayi umur 0 – 12 bulan
85
Sulawesi Tengah yang berjumlah 36 ibu. Dalam penelitian ini, sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik total sampling atau sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (9). Lokasi penelitian dilaksanakan yaitu di Kecamatan Dampal Utara, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 19 Mei – 05 Juni 2014. Bahan dan alat yang digunakan adalah kuesioner Survey Kesehatan Masyarakat Pencerah Nusantara yang diadaptasi dari Riset Kesehatan Dasar, Riset Fasilitas Kesehatan, Indonesia Youth and Adulth Reproductive Health Survey, serta Antenatal Care Model yang bersumber dari Kementrian Kesehatan RI, BKKBN, dan WHO. Pengembangan instrument kuesioner dilakukan berdasarkan indikator MDGs. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian MP ASI dini oleh ibu di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian diare pada bayi umur 0–12 bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Distribusi frekuensi jenis makanan/minuman yang diberikan kepada bayi disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi jenis makanan/ minuman yang diberikan kepada bayi Jenis makanan/minuman Susu formula Susu lain Air putih Air gula Air beras Madu Makanan lumat Lainnya
f 18 2 25 5 2 5 21 4
% 50 5 69 14 5 14 58 11
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar bayi diberikan air putih yaitu sebanyak 25 bayi (69%). Beberapa bayi juga sudah diberikan makanan lumat 21 bayi (58%), susu formula 18 bayi (50%), madu 5 bayi (14%), air gula 5 bayi (14%), air beras 2 bayi (5%), dan susu lain (susu kental manis) 2 bayi (5%). Bayi lainnya sudah ada yang diberikan nasi atau kue sebanyak 4 bayi (11%). Responden yang memberikan madu
86
beralasan bahwa madu baik bagi bayi. Responden yang memberikan air gula atau air beras beralasan karena ketidakmampuan ekonomi sehingga tidak mampu beli susu. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dalam pemberian makanan pendamping ASI yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, serta makanan tersebut sehat, memberikan energi, protein dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak serta sesuai dengan tahapan usia bayi (10). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Umur Pertama Kali Bayi Diberikan MP ASI Umur pertama kali bayi diberikan MPASI <1 bulan <4 bulan 4 - <6 bulan >6 bulan
f
%
6 6 13 11
17 17 36 30
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 36 responden yang memiliki bayi usia 0–12 bulan, 13 responden (36%) diantaranya memberikan makan pertama kali di usia 4 sampai kurang dari 6 bulan. Sebanyak 11 responden (30%) memberikan MP ASI di usia bayi lebih dari 6 bulan. Beberapa responden memberikan bayi makan di usia kurang dari 4 bulan bahkan ada yang kurang dari 1 bulan, masing-masing sebesar 6 responden (17%). Penerapan pemberian MP ASI yang kurang tepat pada 70% responden biasa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pemberian MP ASI pada bayi. Selain itu, beberapa responden beranggapan bahwa produksi ASI sangat sedikit sehingga bayi merasa lapar terus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa makanan pendamping ASI (MP ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan pada bayi atau anak yang berumur 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya (11).
Oktaviana Maharani, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 84-89
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Status Gizi Bayi Berdasarkan BB/TB Status Gizi BB/TB Baik Wasted Overweight
f 32 2 2
% 90 5 5
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar bayi responden memiliki status gizi yang baik atau normal yaitu 32 bayi (90%), selebihnya wasted dan overweight masingmasing sebesar 2 bayi (5%). Pemberian MP ASI akan sangat mempengaruhi status gizi bayi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa sesudah usia bayi 6 bulan pemberian ASI saja tidak lagi dapat memberikan cukup energi serta zat gizi untuk meningkatkan tumbuh kembang anak secara optimal, dan makanan lengkap (MP-ASI) harus ditambahkan dalam makanan anak tersebut untuk meningkatkan gizi bayi (12). Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) Distribusi frekuensi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) Pemberian MPASI dini Diberikan >6 bulan Diberikan <6 bulan
f 11 25
% 30% 70%
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa 25 responden (70%) memberikan MP ASI dini atau tidak tepat pada waktunya (kurang dari 6 bulan). Sedangkan responden yang memberikan MP ASI tepat pada waktunya yaitu lebih dari 6 bulan umur bayi sebesar 11 responden (30%). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Kecamatan Dampal Utara Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah sebagian besar ibu belum mengetahui kapan waktu seharusnya memberikan makanan pendamping ASI. Hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa seharusnya MP ASI dianjurkan pada bayi setelah umur 6 bulan karena setelah bayi umur 6 bulan, system pencernaannya sudah relative sempurna dan siap menerima makanan pendamping ASI. Menjelang 6 bulan umumnya bayi menjadi kurang mendapatkan energy dan zat gizi dari ASI semata. Sedangka ayi harus tumbuh 2 kali atau lebih dari waktu lahir sehingga pada umur setelah 6 bulan perlu diberikan MP ASI (12). Makanan pendamping ASI diberikan agar bayi cukup memperoleh kebutuhan energy, protein dan zat-zat gizi lain untuk tumbuh kembang secara normal. ASI harus tetap diberikan karena mengandung sejumlah energi dan protein yang bermutu tinggi (13).
Kejadian Diare pada Bayi Usia 0-12 Bulan Distribusi frekuensi kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Bayi umur 0-12 bulan Kejadian Diare Diare Tidak diare
f 12 24
% 33% 77%
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa sebagian besar sebanyak 24 bayi (77%) tidak mengalami diare, namun 12 bayi (33%) mengalami diare. Kejadian diare masih banyak pada bayi umur 0-12 bulan di Kecamatan Tolitoli Sulawesi Tengah. Namun berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Dampal Utara sebagian besar tidak mengalami kejadian diare. Penyakit diare adalah frekuensi BAB lebih dari empat kali pada bayi, konsentrasi feses encer, dapat berwarna hijau, bercampur lender, kadang darah. Penyebab diare antara lain infeksi, mal absorbsi, makanan, psikologis. Faktor makanan merupakan salah satu penyebab terjadinya diare misalnya makanan pendamping ASI yang diberikan terlalu dini atau faktor alergi terhadap makanan (14). Saat bayi diare, keseimbangan air dan garam (elektrolit) di dalam tubuhnya terganggu. Kondisi ini dapat memicu dehidrasi yang dapat mengancam nyawa, terutama pada bayi yang baru lahir. Oleh karena itu walaupun di Kecamatan Dampal utara hanya terdapat beberapa bayi yang mengalami diare, upaya pencegahan tetap harus dilakukan agar tidak terjadi kematian pada bayi. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan, perbaikan cara penyapihan ASI, membiasakan cuci tangan pada air mengalir dengan memakai sabun dan membuang tinja di jamban yang memenuhi syarat kesehatan (14). Hasil Survey Kesehatan Masyarakat tahun 2014, hanya 49% RT yang memiliki jamban. SIsanya, sebanyak 51% tidak memiliki jamban dan BAB di pinggir pantai, kebun, atau sungai. Kondisi inilah yang dapat mendukung terjadinya diare di Kecamatan Dampal Utara. Hubungan Pemberian MP ASI Dini dengan Kejadian Diare pada Bayi Umur 0-12 Bulan Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa hasil hubungan pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan diperoleh
Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Bayi umur 0 – 12 bulan
87
Tabel 6. Hubungan Pemberian MP ASI dini dengan Kejadian Diare pada Bayi Umur 0-12 bulan Pemberian MPASI <6 bulan >6 bulan
Kejadian Diare Diare Tidak Diare n % n % 11 44 14 56 1 9,1 10 90,9
ada 11 (44%) bayi yang diberikan MP ASI dini dan mengalami diare. Sedangkan diantara bayi yang diberikan MP ASI >6 bulan hanya 1 (9,1%) yang mengalami diare. Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai p-value <0,05 yaitu sebesar 0,014 yang artinya ada hubungan pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Sedangkan hasil analisis nilai OR 7,8 artinya bayi yang mendapatkan MP ASI dini mempunyai peluang 7,8 kali megalami diare. Hal ini sejalan dengan penelitian Sasongko yang menyatakan terdapat hubungan antara waktu pemberian MP ASI dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan. Hal ini terjadi karena faktor pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, karena system pencernaan bayi pada umur 0-6 bulan masih belum matur dan belum siap menerima berbagai jenis makanan. Dalam menyajikan makanan kurang terjaga. Kebersihan cara penyimpanan yang kurang baik (terbuka), sehingga makanan terkontaminasi oleh bakteri juga merupakan penyebab diare (15). Penelitian dari Conkle juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh pemberian makanan pendamping ASI dengan peningkatan resiko terjadinya diare pada bayi umur <10 bulan. Sesuai dengan teori yang ada bahwa faktor makanan dapat menyebabkan diare pada bayi, hal ini dikarenakan system pencernaan bayi belum siap menerima berbagai jenis makanan pendamping itu dalam pengolahan dan penyimpanan yang kurang baik dapat merangsang timbulnya bakteri, dalam usus akan mengganggu pencernaan dan menyebabkan diare (16). Pola pemberian MP ASI yang tidak sesuai dengan umurnya di Kecamatan Dampal Utara ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu, adat istiadat serta masalah/gangguan dalam produksi ASI. Dengan pemberian makanan tambahan yang terlalu dini dapat menimbulkan gangguan saluran pencernaan sehingga mudah terserang diare.
88
Total n 25 11
% 100 100
OR-95%
p-value
7,8 0,7-71,1
0,014
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar bayi diberikan air putih yaitu sebanyak 69%, yang memiliki bayi usia 0–12 bulan 36% diantaranya memberikan makan pertama kali di usia 4 sampai kurang dari 6 bulan, sebagian besar bayi responden memiliki status gizi yang baik atau normal yaitu 90%, bahwa 70% responden memberikan MP ASI dini atau tidak tepat pada waktunya (kurang dari 6 bulan) dan sebagian besar sebanyak 77% tidak mengalami diare. Ada hubungan pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0-12 bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah serta bayi yang mendapatkan MP ASI dini mempunyai peluang 7,8 kali mengalami diare. Petugas Kesehatan diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan dan motivasi kepada ibu khususnya ibu menyusui tentang pentingnya memberikan MP ASI sesuai dengan umur bayi, dan bagi ibu menyusui agar dapat lebih memberikan perhatian kepada bayinya dalam hal pemberian MP ASI dengan tepat waktu, serta bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan mengkaitkan variabel yang lain. RUJUKAN 1. Buletin Jendela Situasi Diare di Indonesia,Triwulan II [Internet]. 2011 [cited 2016 Feb 20]. Available from: http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin Diare_Final(1).pdf 2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta; 2014. 3. Afriyanti M, Kriswi KS, Massudi S. Hubungan Perilaku Pemberian MPASI dengan Kejadian Diare pada Bayi Usia 6 Bulan – 1 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Mangkang Tahun 2013. Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro [Internet]. 2013. Available from: http://eprints. dinus.ac.id/id/eprint/7891 4. Oluwafemi F, Ibeh IN. Microbial contamination of seven major weaning foods in Nigeria. J Health
Oktaviana Maharani, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 84-89
5. 6.
7.
8.
9.
10.
Popul Nutr [Internet]. 2011 Aug;29(4):415–9. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21957681 WHO. World Health Statistic 2008. Swiss; 2008. Sri SN. Makanan Pendamping ASI (MPASI) [Internet]. 2015 [cited 2016 Feb 20]. Available from: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/ makanan-pendamping-asi-mpasi Departemen Kesehatan RI. Info Datin, Situasi Gizi [Internet]. 2016 [cited 2016 Feb 20]. Available from: www.depkes.go.id Suratun, Srimaryani, Tien H, Rusmiati, Saroha. Pelayanan Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media; 2008. Hidayat AA. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika; 2010. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2007.
11. Departemen Kesehatan RI. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Depkes RI; 2007. 12. Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC; 2008. 13. Asydhad LA, Mardiah. Makanan Tepat Untuk Balita. Depok: Kawan Pustaka; 2006. 14. Sunaryo D. Buku Pintar ASI Eksklusif, Pengenalan, Praktek, dan Kemanfaatan-kemanfaatannya. Jakarta: Diva Press; 2009. 15. Sasongko A. Hubungan Antara Pemberian MPASI dengan Kejadian Diare pada Bayi Umur 0-6 bulan di Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten. Yogyakarta; 2012. 16. Conkle J, Ramakrishnan U, Freeman MC. Prechewing infant food, consumption of sweets and dairy and not breastfeeding are associated with increased diarrhoea risk of 10-month-old infants in the United States. Matern Child Nutr [Internet]. 2016; Available from: http://doi.wiley. com/10.1111/mcn.12303
Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Bayi umur 0 – 12 bulan
89
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul Imram Radne Rimba Putri1 1 Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasian Bantul Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstrak Pemasangan infus merupakan salah satu prosedur invasif yang dilakukan di rumah sakit. Pasien yang menjalani rawat inap mendapatkan terapi cairan infus dan diberikan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah terjadinya flebitis. Flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara lama pemasangan infus dengan kejadian flebitis pada pasien di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, jumlah sampel ditentukan dengan perhitungan slovin sebanyak 133 orang, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling. Data hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan lama pemasangan infus <3 hari sebanyak 37 responden (32,8%) yang tidak mengalami flebitis 31 responden (10,8%) dan yang mengalami flebitis 6 responden (26,2%). Sedangkan untuk responden dengan lama pemasangan infus ≥3 hari sebanyak 76 responden (67,2%) yang mengalami flebitis 74 responden (53,8%) dan yang tidak mengalami flebitis 2 responden (22,2%). Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti nilai signifikan lebih kecil dari taraf signifikan α: 0,05, itu berarti hipotesis penelitian ini diterima. Kesimpulannya bahwa ada pengaruh lama pemasangan infus terhadap kejadian flebitis. Oleh karena itu dapat disarankan untuk tim kesehatan di rumah sakit untuk melakukan perawatan infus pasien sesuai prosedur, terutama untuk pasien dengan pemasangan infus lebih dari 3 hari, untuk menghindari terjadinya flebitis. Kata Kunci: infus, lama pemasangan infus, flebitis
The Effect of Infusion Duration with The Incidence of Phlebitis in Patients at Internal Medicine Wards and Nerves Hospital Nur Hidayah Bantul Abstract Infusion is one invasive procedure performed in a hospital. Inpatient therapy and intravenous fluids are given continuously in the long term will increase the likelihood of complications from infusion, one of which is the occurrence of phlebitis. The purpose of this study was to determine the effect of treatment duration infusion with the incidence of phlebitis in patients on the ward and neurological disease in the Nur Hidayah hospital in Bantul. This research is an analytic observational study with cross sectional approach, the number of samples is determined by calculation slovin as many as 133 people, with the sampling technique used purposive sampling. Data results from this study showed that respondents with a longer infusion <3 days a total of 37 respondents (32.8%) who did not have phlebitis 31 respondents (10.8%) and those with phlebitis 6 respondents (26.2%). As for respondents with a longer infusion ≥3 days as many as 76 respondents (67.2%) who experienced phlebitis 74 respondents (53.8%) and who had not had phlebitis 2 respondents (22.2%). Based on the results of data analysis using chi-square test values obtained p-value of 0.000, which means the value significantly smaller than the significance level α: 0.05, it means that the research hypothesis is
90
Imram Radne Rimba Putri, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 90-94
accepted. In conclusion, that there is a long infusion influence on the incidence of phlebitis. Therefore, it may be advisable for the health care team in a hospital for treatment of patients infusion according to the procedure, especially for patients with infusion of more than 3 days, to avoid the occurrence of phlebitis. Keywords: infusion, infusion installation, phlebitis
Info Artikel: Artikel dikirim pada 20 Mei 2016 Artikel diterima pada 23 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).90-94
PENDAHULUAN Pemasangan infus merupakan prosedur invasif yang sering dilakukan di rumah sakit untuk mengobati berbagai kondisi penderita di lingkungan perawatan rumah sakit. Pasien yang menjalani rawat inap mendapatkan terapi cairan infus dan diberikan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah infeksi (1). Infeksi nosokomial atau Hospital Acquired Infection (HAIs) pada pasien yang mendapat terapi infus merupakan salah satu indikator adanya infeksi akibat kesalahan pemasangan atau pemasangan infus yang tidak sesuai prosedur terutama masalah teknik septik-aseptik. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial Hospital Acquired Infection (HAIs) dan untuk Asia Tenggara sebanyak 10,0% (2). Flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena (3). Flebitis yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam. Kejadian flebitis menjadi salah satu indikator mutu pelayanan rumah sakit dengan standar yang ditetapkan oleh The Infusion Nursing of Practice yaitu 5% (4). Data insidensi flebitis di Indonesia secara nasional belum ditemukan namun hasil penelitian terdahulu di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang menunjukkan bahwa angka kejadian flebitis di rumah sakit tersebut sebesar 51,2%, yang berarti angka tersebut tergolong tinggi (5). Flebitis dapat menjadi bahaya, karena bekuan darah atau tromboflebitis bisa menyebabkan emboli, hal ini dapat menimbulkan
kerusakan permanen pada vena. Kejadian flebitis meningkat sesuai dengan lamanya infus terpasang, dari kejadian tersebut dapat mengakibatkan pasien menjalani perawatan yang lebih lama sehingga pasien harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak (1). Setelah dilakukan studi pendahuluan di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Nur Hidayah Yogyakarta oleh peneliti didapatkan data dari Tim PPI Rumah Sakit Nur Hidayah menunjukkan bahwa jumlah pasien Rawat inap yang dilakukan pemasangan infus 4 bulan terakhir sebanyak 2.185 pasien dan yang mengalami fl ebitis sebanyak 8 (0,5%) sedangkan pada bulan Agustus pasien yang dilakukan pemasangan infus sebanyak 474 pasien dan yang mengalami fl ebitis sebanyak 2 (0,6%). Presentase kejadian tersebut menurut standar indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit dapat dikatakan sesuai bahkan lebih rendah dengan standar kejadian ≤1,5% (4), namun data tersebut tidak sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap perawat pelaksana di Bangsal Penyakit Dalam & Saraf dan Bangsal Bedah yang mengatakan bahwa data kejadian flebitis 3-5 pasien tiap bulan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data yang berasal dari tim PPI RS Nur Hidayah kurang valid dan bisa saja angka kejadian flebitis di RS tersebut lebih tinggi dari data yang di dapat tim PPI. Hal tersebut dapat menjadi perhatian khusus karena salah satu indikator mutu akreditasi KARS 2012 adalah angka kejadian infeksi rumah sakit (HAIs), dan salah satu indikator angka kejadian infeksi adalah angka kejadian fl ebitis di Rumah Sakit. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh lama perawatan infus dengan kejadian flebitis pada pasien di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul.
Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf
91
BAHAN DAN METODE Desain dalam penelitian ini menggunakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang digunakan untuk pengaruh lama perawatan infus dengan kejadian flebitis pada pasien di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang terpasang infus di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul, dengan jumlah sampel ditentukan dengan perhitungan Slovin sebanyak 133, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang dinilai dengan Infusion Phlebitis Score (4). Analisa data yang digunakan menggunakan analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji chi-square.
faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya flebitis. Pasien dengan tindakan infus lebih dari 3 hari berisiko terkena infeksi nosokomial bila dibandingkan dengan pasien yang menggunakan infus kurang dari 3 hari, hal tersebut dikarenakan lokasi penusukan/ insersi infus yang lebih dari 3 hari akan menyebabkan organisme flora normal tumbuh secara berlebih sehingga menyebabkan infeksi (6). Senada dengan penelitian terdahulu dengan judul Hubungan Lama Pemasangan Infus (Intravena) Dengan Kejadian Flebitis pada Pasien di Irna F Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandau Manado, didapatkan angka kejadian flebitis dalam waktu pemasangan infus lebih dari 72 jam sebesar 27,6% (7). Karena pada saat terpasang infus tubuh beresiko terkontaminasi dengan mikroorganisme, terlebih penggunaan keteter intravena dalam ja ngka waktu yang lama, tanpa dilakukan rotasi penusukan setiap 72 jam, hal ini dapat menyebabkan terjadinya flebitis.
HASIL DAN BAHASAN Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemasangan Infus
Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Flebitis
Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama pemasangan infus di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul disajikan dalam Tabel 1.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian Flebitis di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemasangan Infus di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Flebitis di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul.
Lama Pemasangan Infus <3 hari ≥3 hari Total
f 37 76 113
% 32,8 67,2 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 1 menjelaskan bahwa hasil penelitian ini sebagian besar responden dirawat inap ≥3 hari yaitu sebanyak 76 responden dengan persentase 67,2%. Lama pemasangan infus dapat mempengaruhi terjadinya infeksi salah satunya adalah flebitis, hal ini dikarenakan pada saat pasien terpasang infus berarti kita seperti memasukan benda asing kedalam tubuh pasien, semakin lama terpasang infus maka dapat menimbulkan infeksi. Karena pada saat terpasang infus akan menyebabkan trauma sehingga mikroorganisme yang menyebabkan flebitis dapat dengan mudah masuk, terlebih pada saat pemasangan infus tidak dilakukan sesuai SOP, begitupula dengan perawatan infus yang tidak sesuai SOP akan menjadi salah satu
92
Kejadian Flebitis Flebitis Tidak flebitis Total
f 80 33 113
% 70,8 29,2 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 2 menjelaskan bahwa hasil penelitian ini sebagian besar responden mengalami flebitis yaitu 80 responden dengan persentase 70,8% dibandingkan dengan yang tidak mengalami flebitis yaitu 33 responden dengan persentase 29,2%. Kejadian flebitis diketahui dengan cara mengobservasi lokasi insersi atau tusukan infus dengan melihat adanya tanda dan gejala flebitis yang meliputi nyeri sepanjang kanul, eritema atau kemerahan pada lokasi insersi, demam pada tempat penusukan, adanya indurasi dan vena cord teraba (6). Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat dikatakan angka flebitis di ruang rawat inap sangat tinggi melebihi standar yang ditetapkan oleh Intravenous
Imram Radne Rimba Putri, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 90-94
Nurses Society (INS) 5% (4). Hal ini dikarenakan perawatan infus dilakukan tidak sesuai dengan teori yang seharusnya. Hal ini didukung dengan ruang rawat inap yang jarang dilakukan sterilasi dan masih kurangnya kesadaran perawat dalam melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan sehingga meningkatkan angka HAI’s di bangsal tersebut. Flebitis merupakan peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena dan kejadiannya meningkat sejalan dengan lamanya kanulasi atau waktu pemasangan (8). Hasil penelitian ini didukung penelitian terdahulu yang berjudul kejadian flebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya dengan hasil dari 90 responden yang diobservasi 32,2% mengalami flebitis dan 67,8% tidak mengalami flebitis dan dari hasil uji chi-square dan coeffisient contingenci didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor resiko pemasangan infus dengan p-value sebesar 0,031, faktor usia dengan p=0,000 dan status gizi pasien dengan p=0,007 dengan kejadian flebitis (9). Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis Hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian Flebitis di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul Kejadian Flebitis Lama p-value Tidak Pemasangan Flebitis Total Flebitis Infus n % n % n % <3 hari 31 10,8 6 26,2 37 32,8 ≥3 hari 2 22,2 74 53,8 76 67,2 0,000 Total 33 29,2 80 70,8 113 100 Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 3 terdapat 2 kategori yaitu lama pemasangan infus dan kejadian flebitis. Tabel di atas menjelaskan bahwa responden dengan lama pemasangan infus <3 hari sebanyak 37 responden (32,8%) yang tidak mengalami flebitis 31 responden (10,8%) dan yang mengalami flebitis 6 responden (26,2%). Sedangkan untuk responden dengan lama pemasangan infus ≥3 hari sebanyak 76 responden (67,2%) yang mengalami flebitis 74
responden (53,8) dan yang tidak mengalami flebitis 2 responden (22,2%). Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti nilai signifikan lebih kecil dari taraf signifikan 5% atau nilai p-value=0,000 lebih kecil dari 0,05, maka dapat dinyatakan ada pengaruh lama pemasangan infus terhadap kejadian flebitis, Sehingga menjawab hipotesis dalam penelitian ini yaitu adanya pengaruh antara lama pemasangan infus pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang berjudul hubungan lamanya pemasangan infus (intravena) dengan kejadian flebitis pada pasien di Irina F Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yang analisis datanya dilakukan dengan menggunakan uji chi-square, pada tingkat kemaknaan 95% (α 0,05) menunjukkan nilai p=0,000, nilai ini lebih kecil dari α=0,05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan lamanya pemasangan infus (intravena) dengan kejadian flebitis pada pasien di Irina F Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado (7). Hasil penelitian ini juga terdapat data yang menunjukkan bahwa ada 6 pasien yang sudah mengalami flebitis sebelum lama pemasangan infus tiga hari. Berdasarkan hasil observasi peneliti yang dilakukan ditempat penelitian, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan bahwa kejadian flebitis pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah tidak hanya dipengaruhi oleh lamanya terpasang infus pada pasien, akan tetapi kejadian flebitis juga di pengaruhi oleh perawatan infus, jenis terapi injeksi dan terapi cairan yang diberikan. Hasil analisa tersebut didukung oleh penelitian terdahulu yang berjudul hubungan perawatan infus dengan kejadian flebitis pada pasien yang terpasang infus di puskesmas Krian Sidoarjo menyatakan bahwa dari 20 responden 12 (60%) di lakukan sebagaian besar perawatan infus, 2 (10%) dilakukan semua perawatan infus, 2 (10%) tidak di lakukan perawatan infus. Sedangkan 20 responden sebanyak 14 (70%) tidak terjadi flebitis, 6 (30%) terjadi flebitis. Dari hasil uji spearman’s rho diperoleh nilai p-value 0,000 karena p-value <0,05, hal ini berarti ada hubungan signifikan antara perawatan infus dengan kejadian flebitis (10). Hal tersebut sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa banyak faktor penyebab flebitis antara lain; tehnik cuci tangan yang tidak baik saat pemasangan atau pun perawatan infus, tehnik aseptik yang kurang
Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf
93
baik pada saat penusukan, teknik penusukan yang kurang tepat, pemasangan yang terlalu lama dan jenis terapi atau cairan yang masuk melalui kateter infus (11). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan bahasan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden di bangsal penyakit dalam dan syaraf rumah sakit Nur Hidayah Bantul adalah ≥3 hari, yaitu sebanyak 76 responden dengan persentase 67,2 %, sebagian besar responden mengalami flebitis yaitu 80 responden dengan persentase 70,8% sedangkan yang tidak mengalami flebitis yaitu 33 responden dengan persentase 29,2%. Ada pengaruh antara lama pemasangan infus pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam dan syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. Disarankan untuk tim kesehatan di rumah sakit terutama perawat dalam melakukan perawatan infus sebaiknya dilakukan setiap hari atau sesuai dengan prosedur perawatan infus yang sesuai. Terutama untuk pasien dengan pemasangan infus lebih dari 3 hari. Sejak awal pemasangan infus juga dilakukan sesuai prosedur. Serta perlunya koordinasi dengan bagian sanitasi untuk melakukan penjadwalan seterilisasi ruangan. Serta peningkatan kesadaran tim kesehatan dalam melakukan cuci tangan 6 langkah atau sesuai SPO sebelum melakukan tindakan terutama yang terpapar langsung dengan pasien sehingga dapat menurunkan angka flebitis Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. RUJUKAN 1. Hinlay. Terapi Intravena pada pasien di Rumah Sakit. Yogyakarta: Nuha Medika; 2006.
94
2. World Health Organization. WHO 2007 Word alliance of patient safety and ,WHO Guidelines on hand hygiene in health care advanced draft, Asummary cleans hands. 2015. 3. Darmadi. Infeksi nosokomial. Problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika; 2008. 4. Alexander M, Corrigan A, Gorski L, RN, MS, C, et al. Infusion Nursing: An Evidence Based Approach. Alexander M, editor. Saunders Elsevier Inc; 2010. 5. Indraningtyas. Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan kejadian Flebitis Di RSUD Tugurejo Semarang. Semarang; 2013. 6. Potter PA, Perry AG. Fundamentals of Nursing. 7th ed. Elsavier; 2010. 7. Cristian MK, Lucky K, Franly O. Hubungan lama pemasangan Hubungan Lama Pemasangan Infus (Intravena) dengan Kejadian Flebitis pada Pasien di Irina F Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandau Manado. Manado; 2014. 8. Gabriel J, Bravery K, Dougherty L, Kayley J, Malster M, Scales K. Vascular access: indications and implications for patient care. Nurs Stand [Internet]. 19(26):45–52. Available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15789996 9. Prastika D, Susilaningsih FS, Amir A. Kejadian Flebitis di Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya. students e-journals. 2012;1(1):1–11. 10. A p r i l i n H . H u b u n g a n P e r a w a t a n I n f u s denganTerjadinya Flebitis pada Pasien yang Terpasang Infus di Puskesmas Krian Sidoarjo. J Keperawatan. 2011;1. 11. M a k a r y M A , S e x t o n J B , F r e i s c h l a g J A , Millman EA, Pryor D, Holzmueller C, et al. Patient safety in surgery. Ann Surg [Internet]. 2006 May;243(5):628–32; discussion 632–5. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/16632997
Imram Radne Rimba Putri, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 90-94
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Usia Berpengaruh Dominan terhadap Perilaku Perawatan Luka Perineum pada Ibu Nifas di RSUD Sleman Prasetya Lestari1
Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas sangat penting. Hal ini berkaitan dengan rentan terhadap kejadian infeksi post partum. Ibu nifas perlu selalu menjaga kebersihan seluruh tubuhnya, pakaian yang dikenakannya serta kebersihan lingkungannya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara usia dan paritas dengan perilaku perawatan luka perineum pada responden. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 di RSUD Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian ini korelasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh ibu nifas di RSUD Sleman Yogyakarta dengan jumlah sampel 67 responden. Teknik sampling yang digunakan yakni accidental sampling. Instrument penelitian ini berbentuk kuesioner. Analisa data multivariat dengan uji regresi linear ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berperilaku cukup dalam hal perawatan luka perineum pada ibu nifas (mean 18,37). Sebagain responden berusia 20-23 tahun (73,14%). Mayoritas responden dengan paritas 1-2. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan perilaku perawatan luka perineum (p=0,000, r=0,549), ada hubungan antara paritas dengan perawatan luka perineum (p=0,000, r=0,535). Hasil analisis multivariat dengan regresi linier ganda menunjukkan bahwa antara usia dan paritas berhubungan signifikan dengan perawatan luka perineum pada ibu nifas, akan tetapi pada hasil uji t menunjukkan hasil bahwa usia lebih dominan berhubungan dengan perilaku perawatan luka perineum. Simpulan ada hubungan antara usia dan paritas dengan perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas di RSUD Sleman Yogyakarta. Usia lebih dominan berhubungan dengan perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. Kata Kunci: usia, paritas, perilaku perawatan luka perineum, ibu nifas
Age Dominant Influence of Behavior Perineum Wound Care in The Postpartum Women Hospital Sleman Abstract Behavior perineal wound care in postpartum mothers is very important. This is related to prone to the incidence of infection, mothers need to always maintain the cleanliness of the whole body, clothes and cleanliness of their environment. The purpose of this study to determine correlations between age and parity with perineal wound care behaviors among respondents. This study was conducted in January 2016 in Sleman Hospital District of Yogyakarta. This type of research is correlational with cross sectional design. The population in this study postpartum mothers in Sleman hospitals Yogyakarta with a sample of 67 respondents. The sampling technique that is accidental sampling. This research instrument in the form of questionnaires. Multivariate data analysis with multiple linear regression analysis. The results showed that the majority of respondents to behave fairly in terms of perineal wound care in the postpartum mother (mean 18.37). Sebagain respondents aged 20-23 years (73.14%). The majority of respondents with parity 1-2. The results of the bivariate analysis showed that there is a relationship between age and behavior of perineal wound care (p = 0.000, r = 0.549), there is a relationship between parity with perineal wound care (p = 0.000, r = 0.535). Multivariate analysis with multiple linear regression showed that between age and parity significantly associated with perineal wound care in the postpartum mother, but the t test results showed that the dominant age relates to the behavior of
Usia Berpengaruh Dominan Terhadap Perilaku Perawatan Luka Perineum pada Ibu Nifas di RSUD Sleman
95
perineal wound care. Conclusion, there is relationship between age and parity with the behavior of perineal wound care postpartum mother at Sleman hospitals Yogyakarta. The age more dominant associated with behavior perineal wound care in postpartum mothers. Keywords: age, parity, behavior perineal wound care, postpartum mother
Info Artikel: Artikel dikirim pada 23 Mei 2016 Artikel diterima pada 29 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).95-101
PENDAHULUAN AKI menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebanyak 359/100 ribu kelahiran hidup dan AKB 32/1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2013). Sedangkan target MDG’s AKI 2015 102/100 ribu kelahiran hidup dan AKB 23/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia meliputi perdarahan (30,5%), infeksi (22,5%) dan gestosis (17,5%) (1). Angka kematian ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menurut Dinkes DIY (2013) angka kematian ibu dilaporkan sebesar 87,3 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 25 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data tersebut, maka masalah kematian ibu dan kematian bayi merupakan hal yang serius yang harus diupayakan penurunannya agar target MDG’s dapat dicapai (1). Salah satu penyebab infeksi postpartum, karena adanya luka pada bekas perlukaan plasenta, laserasi pada saluran genital termasuk episiotomi pada perineum, dinding vagina dan serviks (1). Luka pada perineum akibat episiotomi ruptura uteri atau laserasi merupakan daerah yang tidak mudah kering (2). Angka kejadian infeksi karena episiotomi masih tinggi, diperkirakan insiden trauma perineum atau episiotomi dialami 70% wanita yang melahirkan pervaginam sedikit banyak mengalami trauma perineal. Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang terjadi pada hampir persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Sebagai akibat persalinan terutama pada seorang primipara, biasa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam, akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak (3). 96
Prasetya Lestari, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 95-101
Menjaga kebersihan bagi ibu nifas sangatlah penting karena ibu nifas sangat rentan terhadap kejadian infeksi,ibu perlu selalu menjaga kebersihan seluruh tubuhnya, pakaian yang di kenakannya serta kebersihan lingkungannya. Anjuran pada ibu nifas salah satunya untuk membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air setiap kali selesai BAK/BAB. Membersihkan di mulai dari daerah sekitar vulva dari depan ke belakang, baru kemudian membersihkan daerah sekitar anus (4). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Sleman Yogyakarta didapatkan data persalinan spontan pada bulan Oktober-Desember 2014 sebanyak 201 persalinan spontan, dari jumlah yang mengalami infeksi tersebut di lakukan episiotomi dan mengalami laserasi jalan lahir tanpa episiotomy sebanyak 150 dari bulan Oktober-Desembar 2014. Upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKI adalah upaya Safe Motherhood.Safe Motherhood dirintis untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI di negara maju dengan negara berkembang. Upaya Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan aman, serta menghasilkan bayi yang sehat.Tujuan upaya Safe Motherhood adalah untuk menurunkan angka kesakitan ibu hamil, bersalin, nifas, disamping menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui distribusi frekuensi usia responden, jumlah paritas pada responden dan mengetahui hubungan antara paritas dengan perilaku perawatan luka perineum pada responden. Untuk mengetahui hubungan antara paritas dengan perilaku perawatan luka perineum pada respondn serta mengetahui korelasi antara usia dan paritas dengan perilaku perawatan luka perineum pada responden
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 di RSUD Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian ini korelasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian yakni seluruh ibu nifas di RSUD Sleman Yogyakarta dengan jumlah sampel 67 responden ibu nifas. Teknik sampling yang digunakan yakni accidental sampling. Instrument penelitian ini berbentuk kuesioner. Instrumen peneilitian dibuat sendiri oleh peneliti dengan terlebih dahulu dilakukan uji validitas indtrumen di RSUD Panembahan Senopati Bantul pada bulan September 2015 terhadap 20 responden ibu nifas dengan pernyataan 30 item dan setelah dilakukan uji validitas yang valid ada 27 item dan yang tidak valid ada 3 item. Reliabilitas instrumen nilai alpha 0,688. Analisis data yang digunakan yakni analisis multivariat dengan uji regresi linear ganda.
RSUD Sleman Yogyakarta berada pada usia 20-35 tahun yaitu sebanyak 49 orang (73,14%). Mayoritas responden berpendidikan SMP yaitu sebanyak 27 orang (40,30%). Mayoritas responden memiliki pekerjaan sebagai IRT sebanyak 54 orang (80,60%). Mayoritas responden di RSUD Sleman Yogyakarta memiliki jumlah anak 1 dan 2 masing-masing sebanyak 27 orang (40,30%). Tabel 2. Distribusi Skor Perilaku Ibu Nifas Berdasarkan Perilaku Perawatan LukaPerineum Indikator Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum
Perilaku 18,37 20,00 15 4,093 11 26
Sumber: Data Primer Tahun 2016
HASIL DAN BAHASAN Analisis Univariat Karakteristik Responden Distribusi frekuensi karakteristik ibu nifas berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan, dan paritas disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas di RSUD Sleman Karakteristik Umur <20 tahun 20 – 35 tahun >35 tahun Pendidikan SD SMP SMA Pekerjaan IRT Swasta PNS Paritas 1 2 3 4 5 Jumlah
n
%
9 49 9
13,43 73,14 13,43
21 27 19
31,30 40,30 28,40
54 4 9
80,60 6,00 13,40
27 27 9 2 2 67
40,30 40,30 13,40 3,00 3,00 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 1 karakteristik reponden menunjukkan bahwa sebagian besar responden di
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di RSUD Sleman Yogyakarta memiliki nilai 15 dalam hal perilaku perawatan luka perineum dikategorikan cukup. Nilai rata-rata perilaku respon yakni 18,37 dengan kategori cukup. Dapat disimpulkan bahwa perilaku perawatan luka perineum pada responden dikategorikan cukup. Analisis Bivariat Hasil analisis menggunakan pearson product moment untuk variabel paritas dan usia disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Pearson Product Moment Variabel Paritas Usia
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) 0,535 0,000 0,549 0,000
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara paritas dengan perilaku perawatan luka perineum dengan kekuatan hubungan sedang r = 0,535. Arah korelasinya searah, berarti semakin besar nilai paritas semakin besar pula nilai perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. Ada hubungan positif antara usia dengan perilaku perawatan luka perineum denagn kekuatan hubungan tingakt sedang (r=0,549). Arah korelasi searah, berarti dapat diinterpretasikan semakin besar nilai usia semakin besar pula nilai perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas.
Usia Berpengaruh Dominan Terhadap Perilaku Perawatan Luka Perineum pada Ibu Nifas di RSUD Sleman
97
Analisis Mulivariat Hasil uji regresi linier ganda untuk mengetahui pengaruh variabel paritas dan usia disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Regresi Linier Ganda Parameter Uji F R R2 Adjusted R2
Nilai 16,114 0,579 0,335 0,315
Sig. 0,000
Berdasarkan Tabel 4 di atas nilai sig. pada uji F sebesar 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95% secara bersamasama variabel paritas dan usia berpengaruh signifikan terhadap perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. Nilai Sumbangan efektif variabel bebas terhadap variabel terikat dapat dilihat dari adjusted R square yakni sebesar 0,335. Dapat diinterpretasikan bahwa sumbangan efektifitas paritas dan usia terhadap perilaku perawatan luka perineum sebesar 33,5% sehingga 66,5% diberikan oleh variabel lain. Tabel 5. Hasil Analisis Uji t
(Constant) Paritas Usia
Unstandardized Coefficients Beta 7,531 1,376 0,277
t
Sig.
2.542 1.804 2.173
0,013 0,076 0,034
Berdasarkan Tabel 5 di atas dapat diperoleh hasil persamaan regresi linier ganda dengan rumus Y = 7,531 + 1,376X1 + 0,277X2, konstanta (a) sebesar 58,867, berarti jika tidak ada variabel usia dan paritas nilai perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas sebesar 7,531. Nilai koefisien 1,376 menunjukkan bahwa peningkatan paritas sebesar 1, maka akan memberikan kenaikan perilaku perawatan perineum sebesar 1,376. Dapat diinterpretasikan bahwa paritas memberikan perubahan besar dan positif pada perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. Nilai koefisien 0,277 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 pada variabel usia akan memberikan kenaikan nilai perilaku perawatan luka perineum sebesar 0,277. Nilai uji t menunjukkan tingkat signifikansi konstanta dan variabel independent. Signifikansi 98
Prasetya Lestari, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 95-101
variabel konstanta sig.=0,013<0,05 ini menunjukkan bahwa konstanta mempengaruhi secara signifikan dalam regresi ganda. Signifikansi variabel paritas sig.= 0,076>0,05 menunjukkan bahwa paritas tidak berpengaruh secara signifikan dalam regresi ganda. Signifikansi variabel usia sig.=0,034<0,05 menunjukkan bahwa usia berpengaruh secara signifikan dalam regresi ganda. Pada umumnya, masa nifas cenderung berkaitan dengan proses pengembalian tubuh ibu ke kondisi sebelum hamil, dan banyak proses diantaranya yang berkenaan dengan proses involusi uterus, disertai dengan penyembuhan pada tempat plasenta dan luka pada perineum. Keberhasilan involusi tersebut sangat penting untuk kesehatan ibu, tetapi selain dari pedoman nutrisi dan saran yang mendasar tentang higiene dan gaya hidup (5). Infeksi postpartum yang merupakan penyebab kematian maternal pada urutan kedua setelah perdarahan jika tidak segera ditangani (6). Infeksi postpartum terjadi di traktus genitalia setelah kelahiran yang diakibatkan oleh bakteri, hal ini akan meningkatkan resiko infeksi postpartum yang salah satunya disebabkan oleh luka episiotomi yang dapat menyebabkan syok septic (7). Infeksi perineum dapat dihindari bahkan penyembuhan dapat dipercepat bila dilakukan perawatan secara cepat dan tepat, perawatan yang tidak tepat dapat merugikan pasien. Nyeri perineum merupakan sumber masalah yang signifikan bagi banyak perempuan setelah melahirkan, tidak hanya pada periode pascalahir langsung tetapi juga dalam jangka panjang.Luka pasca episiotomi harus dirawat dengan benar sehingga luka cepat sembuh dan tidak terjadi infeksi (5). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian responden berperilaku cukup dalam hal perawatan luka perineum. Hal ini diinterpretasikan dari nilai mean perilaku perawatan luka perineum pada responden yakni 18,37. Perilaku perawatan luka perineum pada responden dikategorikan cukup. Keseberhasilan perilaku tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis bivariat bahwa antara paritas dan usia memiliki pengaruh terhadap perilaku perawatan perineum pada ibu nifas dengan keeratan hubngan tingkat sedang (>0,5). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Darling B
pada penelitian perawatan diri ibu nifas di Madurai menunjukkan hasil bahwa ada korelasi positif antara paritas dengan perawatan diri ibu nifas (8). Melalui pengalaman di masa lalu seseorang dapat belajar cara merawat diri. Apabila ibu sudah mengenal manfaat perawatan diri atau tehnik yang akan dilakukan, maka ibu akan lebih mudah dalam melakukan perawatan diri pascasalin. Dalam hal ini pengalaman memberikan pengaruh pada perilaku ibu untuk melakukan perawatan diri pascasalin. Pengalaman ibu dimana ibu yang multipara akan lebih realistis dalam mengantisipasi keterbatasan fisiknya dan dapat lebih mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya, dukungan dimana ibu yang mendapat dukungan dapat memperkaya kemampuan menjadi orangtua dan mengasuh anak (9). Menurut Stright, ada faktor-faktor yang berpengaruh dalam perawatan diri Ibu pascasalin adalah faktor pengalaman pascasalin meliputi sifat persalinan, jumlah kelahiran, tujuan kelahiran, persiapan persalinan/kelahiran, peran menjadi orang tua sebelumnya (10). Aktivitas merawat diri akan berbeda pada setiap individu. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh, usia, pendidikan, karakter, keadaan kesehatan, tempat lahir, budi pekerti,kebudayaan. Pada Ibu usia muda perawatan pascasalin yang dilakukanakan berbeda dengan Ibu yang memiliki usia lebih dewasa. Demikian juga dengan pendidikan semakin tinggi pendidikan Ibu, maka kepeduliannya terhadap perawatan diri semakin baik. Pada analisis multivariat dengan regresi linier ganda bahwa kedua variabel, baik variabel paritas maupun variabel usia memiliki pengaruh yang signifikan dalam regersi linier ganda. Namun pada korelasi dengan uji t variabel usia lebih dominan memberikan perngaruh pada regresi linier. Perilaku perawatan perawatan perineum di pengaruhi oleh faktor predisposisi. Adapun faktor predisposisi yang sangat berpengaruh dalam perilaku menurut Notoadmodjo yakni usia, paritas, pendidikan, sikap, pekerjaan, kebudayaan dan pengetahuan. Selain paritas, usia berpengaruh dalam perilaku perawatan luka perineum.hal ini sesuai dengan teori bahwa usia menunjukkan perkembangan kemampuan untuk belajar dan bentuk perilaku pengajaran yang dibutuhkan. Usia dapat mempengaruhi kematangan fisik, psikis dan kognitifseseorang. Kematangan seseorang dapat berkembang dengan belajar dari diri sendiri atau pengalaman orang lain (11).
Hal ini sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh Harijati, didapatkan bahwa 26 responden (86,67%) berperilaku positif tentang vulva hygiene dan 4 responden (13,33%) berperilaku negative tentang vulva hygiene (12). Hal ini dipengaruhi oleh umur yang matang, tingkat pendidikan dan informasi yang didapat. Penelitian Chasanah menyatakan perilaku perawatan luka perineum yang banyak dilakukan yaitu pada perilaku membersihkan daerah kelamin setiap kali selesai buang air besar sebanyak 40 responden (100%) (13). Perilaku perawatan luka perineum yang paling jarang dilakukan yaitu pada perilaku mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum membersihkan daerah kelaminnya sebanyak 35 responden (87,5%). Hasil penelitian berdasarkan bahan dan alat menunjukkan bahwa sebagian besar responden di RSUD Sleman Yogyakarta menggunakan alat dan bahan yang benar yaitu 62 orang (92,54%) dan besar responden yang menggunakan alat dan bahan dengan salah yaitu 5 orang (7,46%) yang disebabkan oleh kebiasaan responden yang membersihkan luka perineum tidak menggunakan sabun dan betadin. Menurut Andriani, faktor yang berhubungan dengan perawatan luka perineum antara lain yaitu kemampuan ibu dalam menyediakan sarana dan prasarana dalam perawatan luka perineum, misalnya kemampuan dalam menyediakan antiseptic (14). Agar luka jahitan perineum tidak terjadi infeksi maka menggunakan pembalut yang bersih setiap 4-6 jam sekali kemudian eratkan sehingga pembalut tidak bergerak maju mundur, setiap kali cebok menggunakan sabun dan luka bisa diberi betadin (15). Menurut Harijati, perawatan vulva dilakukan setiap pagi dan sore sebelum mandi, sesudah buang air kecil atau buang air besar. Cara perawatan vulva dimulai dari cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka, setelah BAK atau BAB cebok dari arah depan ke belakang, ganti pembalut setiap kali basah atau setelah BAK dan BAB (12). Menurut Notoatmodjo, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, faktor predisposisi antara lain adalah pengetahuan dan sikap seseorang terhadap kesehatan (16). Faktor yang mungkin antara lain adalah sarana prasarana atau fasilitas kesehatan.
Usia Berpengaruh Dominan Terhadap Perilaku Perawatan Luka Perineum pada Ibu Nifas di RSUD Sleman
99
Berdasarkan hasil analisis sumbangan efektif usia dan paritas sebesar 33, 55 sehingga dapat disimpulkan masih ada faktor lainyang berhubungan dengan perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku diantaranya adalah emosi, persepsi, motivasi, belajar, dan intelgensia. Suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar seseorang, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi (17). Menurut Tarwaoto dan Wartonah, personal hygiene diperngaruhi oleh faktor body image, status sosial, pengetahuan, budaya, kebiasaan dan kondisi fisik (18). Hasil ini sesuai dengan penelitiannya Dennis, pada fase early postpartum, ibu nifas memerlukan bantuan dan dukungan dari keluarga (19). Menurut Harijati, akibat dari perawatan perineum yang tidak benar dapat mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lokea dan lembab akan mengakibatkan perkembangan bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya infeksi perineum (12). Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada saluran kandung kencing ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi pada kandung kencing maupun pada jalan lahir. Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman dari luka itu sendiri. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan bahasan dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden ibu dengan usia 20-35 tahun, mayoritas responden berpendidikan SMP, mayoritas responden sebagai IRT, dan mayoritas responden memiliki anak 1-2. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan perilaku perawatan luka perineum dan terdapat hubungan antara paritas dengan perilaku perawatan lukaperineum dengan tingkat korelasi antar variabel bebas yakni dalam tingkatan sedang. Berdasarkan analisis multivariat regresi linier ganda, hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor usia memiliki pengaruh yang dominan terhadap perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas di RSUD Sleman.
100
Bagi tenaga medis hendaknya perlu memberikan pendidikan kesehatan yang lebih baik terhadap pasien terutama dalam hal perawatan luka perineum dengan harapan pasien mampu berperilaku yang lebih baik dalam perawatan luka perineum untuk mencegah terjadinya infeksi nifas. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti lebih lanjut terkait faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku perawatan luka perineum pada ibu nifas. RUJUKAN 1. Depkes RI. Angka Kematian Ibu di Indonesia. Jakarta; 2012. 2. Manuaba. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC; 2010. 3. Rukiyah AY. Asuhan Kebidanan (Patologi Kebidanan). Jakarta: Trans Info Media; 2010. 4. Dewi VNL, Sunarsih T. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba Medika; 2011. 5. Boyle. Pemulihan Luka. Jakarta: EGC; 2008. 6. Hamilton. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC; 2006. 7. Cunningham FG. Obstetri Williams. Jakarta: EGC; 2005. 8. Darling BJ, Benjamin BA. Knowledge And Attitude Of Postnatal Mothers Regrarding Self Care Aftar Childbirth Selected Maternity Centres In Madurai. J Sci. 2014;4(1):40–4. 9. Bobak, Duncan M. Perawatan Maternitas dan Ginekologi Bandung. Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung; 2008. 10. Stright. Panduan Belajar Perawatan Ibu dan Balita. Jakarta: EGC; 2005. 11. Potter PA, Perry AG. Fundamental Keperawatan Buku 1. 7th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 12. Harijati. Gambaran Perilaku Ibu nifas Tentang Vulva Hygiene Di RB/BKIA Ny. Harijati. Ponorogo; 2012. 13. Chasanah. Gambaran Perilaku Ibu Nifas Dalam Perawatan Luka Perineum Di Kelurahan Kabupaten Brebes. J Poltek Tegal. 2015;4(1):65–7. 14. Andriani Y. Perilaku Merawat Luka Perineum Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Darma Rini Kabupaten Temanggung. Semarang; 2015. 15. 15. Eisenberg. Handbook of Child Psychology Sixth Edition. New Jersey: John Willey & Sons Inc; 2006.
Prasetya Lestari, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 95-101
16. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2003. 17. Handayani R. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Perawatan Luka Perineum yang Benar di RSUD Surakarta Tahun 2012. 2012. 18. Tarwoto, Wartonah. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. 4th ed. Jakarta: Salemba Medika; 2010.
19. Dennis C-L, Fung K, Grigoriadis S, Robinson GE, Romans S, Ross L. Traditional postpartum practices and rituals: a qualitative systematic review. Women’s Heal [Internet]. 2007 Jul;3(4):487–502. Available from: http://www.futuremedicine.com/ doi/abs/10.2217/17455057.3.4.487
Usia Berpengaruh Dominan Terhadap Perilaku Perawatan Luka Perineum pada Ibu Nifas di RSUD Sleman
101
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena di Ruang Bedah Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih Wahyu Rizky1
Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Kejadian phlebitis menjadi indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit dengan standar kejadian ≤ 1,5%. Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih masih tinggi berkisar antara 8% s/d 17%. Angka kejadian phlebitis tertinggi pada bulan Februari sebesar 17%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena. Penelitian ini menggunakan deskripsi korelasi dengan metode cross sectional. Penelitian ini dilakukan di ruang bedah Ibnu Sina Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Responden yang digunakan sebanyak 92 responden dengan menggunakan total sampling dan lembar observasi sebagai alat ukur. Metode analisis yang digunakan yaitu data univariat dan bivariat. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan jenis cairan intravena terhadap kejadian phlebitis dengan pengaruh signifikan nilai p=0,000. Selain itu, perawatan kateter intravena dan penyakit penyerta tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian phlebitis dengan nilai p=0,643. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi rumah sakit, terutama untuk tenaga medis dalam melakukan tindakan pemasangan kateter intravena harus memperhatikan faktor pendukung terjadinya phlebitis. Kata Kunci: pemasangan kateter intravena, phlebitis, perawatan kateter intravena
Analysis Factor Related To Incident Phlebitis Patient Installation Intravenous Catheter In Surgical Room Ar. Bunda Prabumulih Hospital Abstract Incidence of phlebitis is an indicator of the quality of hospital services with minimal rate of ≤1,5% standard. The incidence of phlebitis in Hospital AR. Bunda Prabumulih still high ranging from 8% to 17%. Highest incidence of phlebitis is in February amounted to 17%. This research to analyze the factors related incidence phlebitis in patient intravenous catheter. This research use description of the correlation with cross sectional method. This research was conducted in the surgical room (ibnu sina) AR. Bunda Prabumulih Hospital. Involving 92 respondens using total sampling and observation sheet as a measuring instrument. The method of analysis used in this research is both univariate and bivariate data. The result this test analysis research show that there is relationship between age and type of intravenous fluid toward phlebitis with significant influence p-value=0.000. In addition, intravenous catheter care and comorbidities no significant relationship with the incidence of phlebitis with p-value=0.643. The result is expected to be a reference to hospital, mainly for medical personnel in carrying out act of intravenous catheters still consider the factors supporting the occurence of phlebitis. Keywords: installation of intravenous catheter, phlebitis, dressing
Info Artikel: Artikel dikirim pada 20 Mei 2016 Artikel diterima pada 23 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).102-108
102
Wahyu Rizky, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 102-108
PENDAHULUAN Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada pasien ketika berada di rumah sakit atau ketika berada di fasilitas kesehatan lainnya. Phlebitis adalah infeksi nosokomial yang berasal dari mikroorganisme yang dialami pasien yang diperoleh selama pasien di rawat di rumah sakit yang diikuti dengan manifestasi klinis yang sekurang-kurangnya 3x24 jam (1). Pencegahan infeksi umumnya tergantung pada penempatan pembatas antara orang yang rentan dan mikroorganisme. Pembatas pelindung adalah prosesproes fiskal, mekanikal atau kimiawi yang dapat membantu mencegah penyebaran mikroorganisme infeksi dari orang ke orang (pasien, klien, atau petugas kesehatan), intrumen, dan permukaan lingkungan sekitar manusia (2). Di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang pravalensi kejadian phlebitis, kemugkinan disebabkan oleh penelitian dan publikasi yang berkaitan dengan phlebitis jarang dilakukan. Data Depkes RI Tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70%. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013) di RSUD Prof. Dr. Aloe Saboe Gorontalo, di dapatkan kejadian phlebitis sebesar 7,51%. Insiden kejadian phlebitis di rumah sakit tersebut dikatakan tinggi karena masih di atas standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤1,5%. Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Prabumulih. Persaingan ketat antar rumah sakit yang ada di Kota Prabumulih saat ini khususnya dalam penanganan patient safety, mengharuskan setiap rumah sakit untuk selalu meningkatkan pelayanan rumah sakit pada pasien rawat inap yang baik sehingga bisa memenangkan persaingan. Hal ini didukung oleh adanya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/ PER/VII/2011 tentang keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit dan salah satu sasarannya, yaitu pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan yang dijelaskan bab IV pasal 8 (3). Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih turun naik, pada Bulan Januari 8% kemudian pada bulan Februari 2014 jumlah pasien yang phlebitis meningkat sebesar 17%, dan angka ini lebih besar dari bulan yang lainnya. Penilaian phlebitis dilakukan dengan melihat tanda-tanda
kejadian phlebitis pada pasien seperti terasa nyeri, panas, kemerah-merahan dan terdapatnya edema (bengkak) pada permukaan kulit, dengan metode perawatan infus yang sama. Secara keseluruhan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih pada tahun 2014 sebesar 12%. Karakteristik angka kejadian phlebitis yang terjadi berdasarkan penyebabnya masih variatif, penyebab yang sering terjadi pada pasien sering dipengaruhi diantaranya adalah faktor usia, penyakit kronis (misalnya: diabetes mellitus, hipertensi, gagal ginjal kronik, dan kanker), jenis cairan yang diberikan (osmolaritas cairan), juga teknik pemasangan yang salah serta masih ditemukan petugas yang tidak melakukan dressing atau perawatan kateter intravena yang seharusnya dilakukan setiap hari Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang bedah Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskripsi korelasi, yaitu mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena. Rospektif (4). Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Jumlah populasi di ruang perawatan Bedah (Ibnu Sina) berjumlah 92 sampel. Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa lembar observasi untuk screening sampel pada hari pemasangan infus dengan memberi jawaban pada kolom pengamatan sesuai hasil pengamatan dan lembar observasi penilaian untuk melihat kejadian phlebitis mulai hari pertama pemasangan infus sampai dengan infus dilepas atau pasien pindah ruangan atau pulang atau pasien meninggal, dengan memberi tanda pada kolom “ya” atau “tidak” sesuai kriteria yang telah ditentukan dan memberi jawaban pada kolom pengamatan sesuai hasil pengamatan dan catatan keperawatan pada hari tersebut. Untuk menilai skala phlebitis peneliti menggunakan visual infusion phlebitis score (VIP score) dari Andrew Jackson (5). Analisis yang digunakan adalah univariat dan bivariat. Univariat digunakan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik setiap variabel independen yaitu: usia, jenis cairan, aseptic dressing, dan faktor penyakit penyerta kejadian phlebitis. Analisa bivariat
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena
103
Tabel 4. Hubungan Kejadian Phlebitis dengan Kategori Usia Kategori Usia Remaja Dewasa Lansia Total
Phlebitis Tidak f 6 46 20 72
% 100 94 54 78
f 0 3 17 20
digunakan untuk mencari hubungan antara data satu variabel independen dengan variabel dependen yang berupa data kategorik, dianalisa hubungan dengan menggunakan uji chi-square. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 92 responden tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang bedah Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi Phlebitis Karakteristik Responden Usia Remaja Dewasa Lansia Cairan Isotonik Hipotonik Hipertonik Dressing Tidak Ya Penyakit Penyerta (diabetes mellitus) Tidak Ya Phlebitis Tidak Ya Phlebitis Score Skor 1 (tanda dini phlebitis)
f
%
6 49 37
7 53 40
67 1 24
73 1 26
7 85
8 92
57 35
62 38
72 20
79 21
20
100
Distribusi frekuensi berdasarkan faktor yang mempengaruhi phlebitis berdasarkan usia didapatkan hasil mayoritas responden berusia dewasa sebanyak 49 orang (53%), sedangkan yang paling sedikit responden berusia remaja sebanyak 6 orang (7%).
104
Total
Ya
Wahyu Rizky, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 102-108
% 0 6 46 21
f 6 49 37 92
% 100 100 100 100
p value
0,000
Distribusi frekuensi berdasarkan faktor yang mempengaruhi phlebitis berdasarkan jenis cairan yang digunakan didapatkan cairan isotonik yang paling banyak digunakan reponden sebanyak 67 orang (73%), sedangkan cairan hipotonik yang paling sedikit digunakan responden sebanyak 1 orang (1%). Distribusi frekuensi berdasarkan faktor yang mempengaruhi phlebitis berdasarkan dressing, kebanyakan responden dilakukan dressing di area pemasangan kateter intravena sebanyak 85 orang (92%). Distribusi frekuensi berdasarkan faktor yang mempengaruhi phlebitis berdasarkan penyakit penyerta yaitu didapatkan responden yang mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus sebanyak 35 orang (38%). Distribusi frekuensi berdasarkan faktor yang mempengaruhi phlebitis berdasarkan adanya phlebitis, menunjukkan bahwa angka kejadian phlebitis di ruang bedah (ibnu sina) sebanyak 20 orang (21%). Analisis Bivariat Hubungan antara kejadian phlebitis dengan kategori usia di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, reponden yang sering mengalami phlebitis terjadi pada rentang usia dewasa sebanyak 17 orang (46%), usia lansia sebanyak 17 orang (46%), dan untuk rentang usia remaja tidak ada kejadian phlebitis, dengan pengaruh bermakna yaitu p-value=0,000. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kejadian phlebitis dengan peningkatan usia dikarenakan daya tahan tubuh lansia menjadi kurang efektif terhadap pertahanan infeksi dalam tubuh terutama pada sel T-limfosit sebagai hasil penuaan. Pada usia lanjut (>60 tahun) vena akan menjadi rapuh, tidak elastis, dan mudah hilang atau kolaps dikarenakan lansia mengalami perubahan
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Phlebitis dengan Dressing Phlebitis Dressing Tidak Ya Total
Tidak f 5 67 72
Total
Ya % 71 79 78
f 2 18 20
dalam struktur dan fungsi kulit seperti turgor kulit yang menurun dan epitel menipis, akibatnya kulit lebih mudah mengalami abrasi atau luka (6). Kejadian phlebitis ditandai dengan adanya thrombus yang terdapat di dinding vena. Adanya thrombus meningkat di usia lebih dari 40 tahun, sehingga usia dianggap faktor resiko terjadinya thrombus. Keadaan hiperkoagulasi meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya usia yang disebabkan oleh peningkatan aktivasi koagulasi dan faktor degenerasi sel-sel tubuh (7). Penelitian yang dilakukan oleh Darmanto yang berjudul hubungan pemasangan infus dengan kejadian phlebitis pada pasien berbagai tingkat usia diruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak diperoleh dari 33 responden, usia 31–40 tahun yang mengalami phlebitis sebesar 12,1% dan sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati hasil penelitiannya menyebutkan bahwa umur responden yang lebih banyak terkena phlebitis adalah usia antara 41-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara usia responden dengan kejadian phlebitis karena phlebitis dapat terjadi pada siapa saja tanpa batas usia, walaupun kejadian phlebitis sering terjadi pada pasien yang berusia di atas 40 tahun (8). Phlebitis bisa disebabkan karena adanya kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu. Penggantian balutan yang jarang dan tidak teratur mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama sehingga kuman semakin berkurang, sedangkan penggunaan balutan yang transparan mudah untuk dilakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam (9). Dressing (perawatan infus) adalah upaya atau cara untuk mencegah masuknya mikroorganisme pada vaskuler sehingga tidak menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang kateter intravena dengan cara: mencuci tangan, memakai sarung tangan,
% 29 21 22
f 7 85 92
% 100 100 100
p value
0,643
membasahi plaster dengan alkohol dan buka balutan dengan menggunakan pinset, membersikan bekas plaster, perawat memeriksa tempat penusukan IV setiap hari, perawat mengganti seluruh infus set sedikitnya setiap 3 hari, membersihkan daerah tusukan dan sekitarnya dengan NaCl, mengolesi tempat tusukan dengan iodin, dan menutup dengan kasa steril dengan rapi. Sementara itu perawatan pada tempat penusukan juga harus dilakukan, antara lain: balutan steril diperlukan untuk menutup tempat masuk kanula IV perifer. Balutan harus di ganti jika balutan menjadi basah, kotor, atau lepas. Beberapa jenis balutan, meliputi balutan trasparan, perban steril, kasa, dan plaster, dapat digunakan sepanjang sterilisasi dapat di pertahankan (10). Hasil penelitian didapatkan responden yang mengalami phlebitis terhadap dressing sebanyak 18 orang (21%) sedangkan responden yang tidak terjadi phlebitis tetapi mendapatkan dressing sebanyak 67 orang (79%), dan untuk pengaruh kemaknaan didapatkan hasil p-value=0,643 yang artinya tidak ada hubungan antara terjadinya phlebitis dengan dressing. Hal ini didukung didukung oleh tingginya angka dressing dalam penelitian, perawat dalam rumah sakit ini telah berupaya memaksimalkan untuk membiasakan dressing sebagai rutinitas dalam perawatan sehari-hari, selain itu penyebab terjadinya phlebitis pada pasien sebenarnya tidak hanya di karenakan oleh dressing saja namun bisa juga berasal dari tingkat usia, cairan, penyakit penyerta, status gizi, stress, jenis kelamin, kepatuhan klien dan sebagainya (11). Penggantian balutan dilakukan tiap hari, tapi saat ini telah dikurangi menjadi 48 sampai 72 jam sekali yaitu bersamaan dengan penggantian daerah pemasangan kateter intravena (10). Aseptik dressing yang dilakukan di ruang bedah Ibnu Sina Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih setiap 72 jam sekali, hal ini memungkinkan dapat terjadinya phlebitis pada pasien. Menurut penelitian Jarumiyah, dressing tidak ada kaitannya dengan phlebitis, yang ada lama pemasangan kateter intravena yang mempengaruhi
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena
105
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Phlebitis dengan Cairan Phlebitis Cairan
Tidak f 60 1 11 72
Isotonik Hipotonik Hipertonik Total
Total
Ya % 90 100 46 78
f 7 0 13 20
% 10 0 54 22
f 67 1 24 92
% 100 100 100 100
p-value
0,000
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Phlebitis dengan Penyakit Penyerta Penyakit Penyerta Tidak Ya Total
Phlebitis Tidak f 45 27 72
% 79 77 78
f 12 8 20
terjadianya phlebitis pada pasien rawat inap di Bangsal Menur dan Bakung RSUD Wonosari, dibuktikan dengan nilai korelasinya 0,007 (12). Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian Pasaribu di Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling dominan menimbulkan kejadian phlebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan kateter intravena (OR=2,771) bukan proses perawatan kateter intravenanya (13). Pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh masuk ke pembuluh darah vena untuk memperbaiki atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit, darah, maupun nutrisi (14). Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan kondisi kehilangan cairan pada pasien, seberapa besar cairan tubuh yang hilang. Pemberian cairan intravena merupakan salah satu tindakan invasif yang dilakukan tenaga kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa responden yang mengalami phlebitis dengan cairan hipertonik sebanyak 13 orang (54%) dan isotonik sebanyak 7 orang (0%), dengan pengaruh bermakna yaitu p-value=0,000. Hal ini menyatakan terdapat hubungan antara cairan dengan kejadian phlebitis. Data penelitian ini didukung oleh pernyataan Perry dan Potter yang menyatakan bahwa cairan yang bersifat hipertonis memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah, misalnya: Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate dan Manitol (14). Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel106
Total
Ya
Wahyu Rizky, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 102-108
% 21 23 22
f 57 35 92
% 100 100 100
p- value
0,643
sel mengkerut. Apabila diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar dapat menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. Osmolalitas dapat diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H2O (1). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280-310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (15). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Asrin, Triyanti dan Upoyo tentang analisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kejadian phlebitis di RSUD Purbalingga, yang menyatakan bahwa cairan intravena yang diberikan merupakan salah satu penyebab terjadinya phlebitis. Penelitian ini terbukti secara signifikan dengan angka signifikan p-value=0,01 pada cairan intravena hipertonis (16).
Hal ini terjadi akibat cairan tersebut masuk sel endotelial sehingga terjadi ruptur. Iritasi dapat juga terjadi ketika cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% dicampurkan dengan air yang dimasukan dalam terapi intravena. Cairan hipertonik seperti D5% dalam NaCl dan D5% dalam RL dapat menyebabkan phlebitis dengan sel endotelial terjadi kerusakan yaitu membran pembuluh darah menyusut dan terbuka. Kedua cairan (hipotonik dan hipertonik) dapat mengakibatkan iritasi pada pembuluh darah (17). Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis, misalnya pada pasien Diabetes Mellitus yang mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat luka mudah mengalami infeksi (14). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa sebagian kecil responden memiliki penyakit penyerta yaitu sebanyak 8 responden (23%) dengan pengaruh bermakna yaitu p-value=0,643 Penyakit penyerta yang diderita oleh pasien dalam penelitian ini adalah penyakit Diabetes Mellitus, kanker, hipertensi dan gagal ginjal. Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain, serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Sistem imun bertugas utuk mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia. Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respon imun dengan peningkatan usia, hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik (diabetes mellitus, hipertensi, gagal ginjal kronik dsb). Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (18).
Penyakit penyerta gagal ginjal kronik juga merupakan salah satu penyebab terjadinya phlebitis. Phlebitis pada gagal ginjal kronik ini dikaitkan pada posisi pemasangan kateter intravena. Pemasangan kateter intravena pada daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal memiliki resiko lebih besar untuk menyebabkan phlebitis karena daerah tersebut merupakan lokasi yang sering digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah) (19). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai jawaban atas permasalahan yang ada didalam penelitian ini, yaitu: Angka kejadian phlebitis di ruang perawatan bedah Ibnu Sina Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih sebesar 20 orang (21%), angka ini jauh lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI yaitu ≤1,5%. Usia responden memiliki pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena dengan p-value=0,000. Jenis cairan kateter intravena yang digunakan oleh responden memiliki pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena dengan p-value=0,000. Pihak Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih disarankan agar dapat meningkatkan pelayanan khususnya keselamatan pasien (patient safety) rawat inap sebagai berikut: Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih hendaknya membentuk Tim PPIRS (Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit) yang sebelumnya di pimpin oleh Kasie Keperawatan, sehingga dengan adanya Tim PPIRS angka kejadian phlebitis dapat diturunkan sebagai indikator mutu pelayanan minimal rumah sakit. Rumah Sakit AR. Bunda perlu meningkatkan kemampuan, tindakan, dan pengetahuan perawat dalam pemasangan kanula intravena sehingga kualitas pelayanan menjadi lebih baik, memberikan motifasi kepada perawat untuk mengikuti pelatihan dan seminar khususnya tentang infeksi nosokomial sehingga angka kejadian phlebitis dapat dikurangi. Membiasakan untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah dengan sabun ketika melakukan pemasangan kateter intravena kepada pasien yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Tenaga kesehatan di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih hendaknya menerapkan Standar Oprasional Prosedur
Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena
107
(SOP), menggunakan bahan yang tepat, dan monitoring yang ketat selama pengobatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih apabila pemberian terapi intravena harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis pada pasien, seperti: usia paien, jenis cairan intravena yang digunakan, dressing, dan penyakit penyerta pada pasien. Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih diharapkan terus melakukan survei kembali yang berkaitan dengan kejadian phlebitis sebagai bahan evaluasi manajemen rumah sakit terhadap indikator mutu pelayanan di rumah sakit terutama tentang keselamatan pasien (patient safety). Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan faktor penyebab phlebitis (Faktor kimia yang meliputi: jenis obat yang dimasukan dan jenis kateter infus, dan faktor bakteri yang meliputi: tehnik pencucian tangan yang buruk, tehnik aseptik yang tidak baik, tehnik pemasangan kanula yang buruk, dan perawatan infus) sehingga akan terlihat faktor penyebab yang paling banyak menimbulkan phlebitis. RUJUKAN 1. Darmadi. Infeksi nosokomial problema dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika; 2008. 2. Tietjen L, Bossemeyer D, McIntosh N. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. 1st ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiryohardjo; 2004. 3. Permenkes. Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/ VII/2011 tentang keselamatan pasien di rumah sakit. 2011. 4. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3rd ed. CV Sagung Seto; 2010. 5. Andrew Jackson Consultant Nurse. I.V. Therapy and Care. The Rottenham NHS Foundation Trust UK; 1997. 6. Darmawan I. Phlebitis, apa penyebabnya dan dan bagimana cara mengatasinya? [Internet]. 2008 [cited 2016 Jun 18]. Available from: http://www.otsuka.co.id/? content=article_ detail&id=68&lang=id 7. Bakta IM. Trombosis dan Usia Lanjut. J Intern Med. 2007;8(2):148–60. 8. Brunnert, Suddart. Keperawatan Medikal Bedah. 8th ed. Jakarta: EGC; 2002.
108
Wahyu Rizky, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 102-108
9. Ruswoko A. Analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. Manado; 2006. 10. Aprilin. Hubungan Perawatan Infus Dengan Te r j a d i n y a F l e b i t i s P a d a P a s i e n Ya n g Terpasang Infus Di Puskesmas Krian Sidoarjo [Internet]. 2011 [cited 2016 Jun 18]. Available from: http://webcache.googleusercontent. com/se arch?q=cache:2UkYGZvzPDkJ:www. dianhusada.ac.id/jurnalimg/jurper1-2-het.pdf+& cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id&client= firefox-a 11. Gayatri D, Handiyani H. Hubungan Jarak Pemasangan Terapi Intravena Dari Persendian Terhadap Waktu Terjadinya Flebitis. J Keperawatan Indones. 2007;11(1). 12. Jarumiyah. Hubungan Lama Pemasangan Kateter Intravena dengan Kejadian Flebitis. Yogyakarta; 2011. 13. Parasibu M. Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Pemasangan Infus Terhadap Kejadian Plebitis di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Haji Medan [Internet]. 2008 [cited 2016 Jun 18]. Available from: http://repository.usu. sc.id/handle/123456789/6809 14. Potter PA, Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan, konsep, proses dan praktik. 4th ed. Jakarta: EGC; 2006. 15. Rocca JC, Otto SE. Terapi Intravena, Alih Bahasa Aniek Maryuni. Jakarta: EGC; 1998. 16. Ari E, Triastuti L, Heni S. Perbedaan Tehnik Mendesinfeksi Alkohol 70% antara Cara Spray dengan Oles Saat Pemasangan Infus dalam Menurunkan Jumlah Bakteri pada Site Infuse di RS Santo Yusup Bandung. Maj Keperawatan Unpad. 2010;12(1):77–84. 17. Wahyunah. Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian plebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap RSUD kabupaten Indramayu [Internet]. 2011. Available from: http://digilib.ump.ac.id/files/ disk1/ 20/jhptump-ump-gdl-lintasfebr-955-2babii.pdf 18. Fatmah F. Low Immunity Response in the Elderly. Makara J Heal Res [Internet]. 2010 Oct 14;10(1). Available from: http://journal.ui.ac.id/index.php/ health/article/view/169 19. Weinstein SM. Buku saku terapi intravena. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2000.
ISSN2354-7642 JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia Tersedia online pada: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/JNKI
Faktor yang Memengaruhi Keluarga Berencana (KB) Pria dengan Paritisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Wilayah Kerja Puskesmas Sedayu II Susi Ernawati1
Universitas Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Email:
[email protected] 1
Abstrak Angka partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya 2,1% peserta KB pria dan mereka umumnya memakai kondom. Persentase tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Iran 12%, Tunisia 16%, Malaysia 9-11%. Dari total jumlah akseptor KB di Indonesia sekitar 97% adalah perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keluarga berencana (KB) pria dengan paritisipasi pria dalam keluarga berencana di wilayah kerja Puskesmas Sedayu II. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pasangan Usia Subur yang aktif ber-KB di Puskesmas Sedayu II. Jumlah populasi sebanyak 170 orang, jumlah sampel 63. Analisa data yang digunakan adalah analisa Bivariat dan multivariat. Hasil penelitian partisipasi pria tidak langsung dengan umur 20-30 tahun sebanyak 100%, partisipasi pria tidak langsung dengan pendidikan SLTP sebanyak 93,3%, partisipasi pra tidak langsung dengan jumlah Anak <2 sebanyak 100%, partisipasi pria tidak langsung dengan pendapatan Rp. ≥1.168.300 sebanyak 100%, partisipasi pria tidak langsung dengan pengetahuan cukup sebanyak 100%, partisipasi pria tidak langsung dengan sosial budaya mendukung sebanyak 100%. Hasil uji multivariat didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, pendidikan, jumlah anak, pendapatan, pengetahuan, sosial budaya dengan partisipasi pria dalam KB. Kata Kunci: KB pria, partisipasi
Factor That Influences Family Planning (FP) Man with Participant Man in Family Planning in The Work Area of PuskesmasSedayu II Abstract The enrollment man in the use of contraceptives in indonesia is still very low only 2.1% kb participants men and they generally wearing a condom .This percentage lower if than in other countries, like iran 12%, tunisia 16%, malaysia 9-11%.Of the total number of acceptors in indonesia about 97% are women .The purpose of this research is to know what factors affecting family planning (KB) man with paritisipasi man in family planning in the work area of Puskesmas Sedayu II.Population in research it is a whole fertile couples active attending the program at Puskesmas Sedayu II. A population of as many as 170 persons, the sample of the 63.Analysis the data used was analysis bivariat and multivariate. The results of the study participation man not directly to the days of 20 to 30 years as many as 100%, participation man not directly with junior as many as 93.3%, participation pre indirect the number of children <2 as many as 100%, participation man not directly with income ≥ rp. 1.168.300 as many as 100%, participation man not directly with knowledge enough as many as 100%, participation man not directly with social and cultural back 100%.Multivariate test results obtained not a significant relation exists between the ages of, education, the number of children, income, knowledge, social and cultural by participation man in family planning. Keywords: FP man, participation
Info Artikel: Artikel dikirim pada 3 Mei 2016 Artikel diterima pada 23 Juni 2016 DOI : http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(2).109-116
Faktor yang Memengaruhi Keluarga Berencana (KB) Pria dengan Paritisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
109
PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara terluas dengan jumlah penduduk terbanyak di antara 10 negara anggota ASEAN. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2012 dan data penduduk sasaran program pembangunan kesehatantahun 2011-2014, luasnegara Indonesia sebesar 1.922.570 km2 dengan jumlah populasi sebanyak 244.775.797 orang. Jumlah kepadatan penduduk per km2 sebesar 128 orang. Indonesia memiliki wilayah terluas di antara negara ASEAN dan menempati peringkat pertama sebagai Negara dengan jumlah penduduk tertinggi, sedangkan Brunei Darussalam memiliki jumlah penduduk paling rendah di kawasan ASEAN yaitusekitar 0,4 juta jiwa dengan kepadatan penduduk per km2 sebesar 72 orang (1). Keluarga Berencana (KB) merupakan program pemerintah untuk membatasi jumlah dengan mencegah kehamilan, kelahiran yang dapat menunda kehamilan, jarak anak yang diinginkan untuk mengaturlajupertumbuhan penduduk (2). Program Keluarga Berencana terdapat berbagai jenis Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) diantaranya Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Alat kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) dan Kontrasepsi Mantap seperti Vasektomi (MOP) dan Tubektomi (MOW). Vasektomi adalah metode kontrasepsi untuk pria/suami yang tidak ingin memiliki anak lagi, perlu prosedur bedah untuk melakukan vasektomi sehingga diperlukan untuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya untuk memastikan apakah seorang klien sesuai untuk menggunakan metode ini (3). Angka partisipasi pria dalam penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya 2,1% peserta KB pria dan mereka umumnya memakai kondom. Persentase tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Iran 12%, Tunisia 16%, Malaysia 9-11%, bahkan di Amerika Serikat mencapai 32%. Sangat sedikit pria yang mau menggunakan alat kontrasepsi baik kondom maupun vasektomi, dari total jumlah akseptor KB di Indonesiasekitar 97% adalah perempuan, oleh sebab itu sosialisasi program KB dikalangan pria harus ditingkatkan (4). Laporan hasil pelayanan kontrasepsi di Indonesia pada tahun 2012 didapatkan data peserta KB dengan rincian pengguna kontrasepsi suntik 30.649 peserta (49,7%), pil 12.068 peserta (19,57%), IUD 8.200 peserta (13,30%), implant 6.408 peserta (10,39%), MOW 2.009 peserta (3,26%), kondom 110
Susi Ernawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 109-116
2.264 peserta (3,67%) dan MOP 75 peserta (0,12%). Laporan bulan Oktober 2013 tercatat hasil pelayanan peserta KB baru di Indonesia yaitu sebanyak 96.270 peserta. Rincian hasil pelayanan peserta KB baru sebagai berikut: sebanyak 46.883 peserta suntikan (48,70%),17.693 peserta pil (18,38%), 14.728 peserta IUD (15,30%), 10.618 peserta implant (11,03%), 3.393 peserta MOW (3,52%), 2.909 peserta kondom (3,02%), dan 46 peserta MOP (0,05%) (5). Program KB yang digalakkan oleh pemerintah menjadi sangat penting sebagai pengendalian peledakan penduduk. Pencapaian peserta KB aktif semua metode kontrasepsi yang diperoleh dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Yogyakarta tahun 2013, jumlah akseptor KB aktif sebanyak 5.287.343 peserta. Rincian pengguna kontrasepsi pil 824.502 peserta (15,59%), implant 537.385 peserta (10,16%), IUD 460.128 peserta (8,70%), suntik 348.730 peserta (10.99%), MOW 289.549 peserta (5,48%), kondom 110.837 peserta (2,10%) dan MOP 57387 peserta (1,09%).Provinsi D.I Yogyakarta pada bulan Desember tahun 2013 didapatkan data peserta KB dengan rincian pengguna kontrasepsi suntik 11051 peserta (31,69%), IUD 10437 peserta (29,93%), kondom 6243 peserta (17,90%), pil 3834 peserta (10,99%), MOW 2093 peserta (6,00%), implant 989 peserta (2,84%), dan MOP 226 peserta (0,65%) (6). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2014 dilaporkan sebesar 8,9 % dari 150.105 Pasangan Usia Subur adalah Akseptor KB Baru. Peserta KB aktif dilaporkan 79,9% dari PUS, dengan metode kontrasepsi terbanyak menggunakan metode suntik (7). Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Sedayu II pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan bulan November didapatkan 170 akseptor KB antara lain akseptor akseptor suntik 41,7%, akseptor IUD 24,7%, akseptor implant 17,6%, akseptor pil 12,9%, akseptor kondom 1,76% orang dan akseptor MOW 1,17%. Berdasarkan informed consent istri yang menggunakan KB di Puskesmas Sedayu II sebanyak 50 akseptor KB hanya 10 suami yang mendukung dalam pemilihan dan penggunaan kontrasepsi. Rendahnya jumlah partisipasi pria dalam KB membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi KB pria dengan Partisipasi Pria Dalam KB di Puskesmas Sedayu II (8).
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey analitik. Rancangan penelitian dalam penelitian ini adalah rancangan cross sectional atau rancangan dengan pendekatan cross sectional (9). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pasangan Usia Subur yang aktif ber-KB di Puskesmas Sedayu II. Jumlah populasi sebanyak 170 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampling dengan jumlah sampel 63. Analisa data yang digunakan adalah analisis Bivariat dan multivariat. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan jumlah 22 item pertanyaan yang sudah diuji validitas dan reliabilitas di Puskesmas Gamping II. HASIL DAN BAHASAN Analisis Bivariat Distribusi frekuensi responden berdasar umur dibagi menjadi 3 kategori yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasar Umur Golongan Umur 20 - 30 tahun 31 – 40 tahun 41 – 45 tahun Jumlah
f 13 24 26 63
% 20,6 38,1 41,3 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa responden pria yang dilibatkan dalam penelitian ini sebagian besar berusia 41-45 tahun yaitu sebanyak 26 orang (41,2%). Daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini maka dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan dan perilaku berpartisipasi dalm KB berkurang (10). Tabel 2. Analisis Umur dengan Partisipasi Pria dalam KB Partisipasi Total Umur Langsung Tidak Langsung p-value χ2 f % f % % 20-30 0 0 13 100 100 0,438 0,05 31-40 1 4,2 23 95,8 100 Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jumlah responden yang berumur 20-30 tahun sebanyak 13 orang (20,6%), dan yang berumur 31-40 tahun sebanyak 24 orang (38,1%), umur 41-45 sebanyak 26 orang(41,3%). Bisa dilihat dari tabel diatas responden yang berumur 20-30 tahun 100% berpartisipasi secara tidak langsung, kemudian yang berumur 31-40 tahun 23 orang (95,8%) berpartisipasi secara tidak langsung dan yang berpartisipasi secara langsung hanya 1 orang (4,2%). Umur 41-45 tahun 100% berpartisipasi secara tidak langsung. Berdasarkan hasil uji bivariat dengan menggunakan uji chi-square diketahui (p>0,05) yaitu 0,438 sehingga secara statistik dapat dilihat tidak ada hubungan antara umur dengan partisipasi pria dalam KB. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Novianti tentang faktor persepsi dan dukungan isteri yang berhubungan dengan partisipasi KB priadapat dilihat bahwa dari 64 responden, pengguna KB pria rata-rata berusia 41 tahun yaitu sebanyak 64 responden (11). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasar Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA/SMK Tamat PT Total
f 1 4 15 41 2 63
% 1,5 6,3 23,8 65,1 3,2 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pendidikan responden pria dalam penelitian ini sebagian besar berpendidikan tamat SLTA/SMK yaitu sebanyak 41 orang (65,1%). Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa jumlah responden yang berpendidikan tidak tamat SD 1 orang (1,6%), tamat SD 4 orang (6,3%), tamat SLTP 15 orang (23,8%), tamat SLTA/SMK 41 orang (65,1%), dan tamat perguruan tinggi 2 orang (3,2%). Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang berpartisipasi secara langsung hanya responden yang berpendidikan tamat SLTP yaitu 1 orang (6,7%) dan yang berpartisipasi secara tidak langsung 14 orang (93,3%), dan responden yang berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTA/SMK, tamat Perguruan tinggi 100% berpartisipasi secara tidak langsung.
Faktor yang Memengaruhi Keluarga Berencana (KB) Pria dengan Paritisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
111
Tabel 4. Analisis Pendidikan dengan Partisipasi Pria dalam KB
Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA/sederajat Tamat PT/sederajat Total
Partisipasi Langsung Tidak Langsung f % f % 0 0 1 100 0 0 4 100 1 6,7 14 93,3 0 0 41 100 0 0 2 100 1 1,6 62 98,4
Total f
% 100 100 100 100 100 100
p-value
χ2
0,517
0,05
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 4 hasil uji chi-square diketahui (p>0,05) yaitu 0,517 sehingga secara statistik dapat dilihat tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan partisipasi secara dalam KB. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saptono tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana, dari 100 responden, sebagian besar mempunyai pendidikan SMA dengan jumlah 34 orang (34,0%), kemudian dilakukan hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan partisipasi pria dalam KB (12). Hal ini kemungkinan disebabkan di dunia pendidikan formal juga tidak ada materi khusus yang membahas tentang kesehatan reproduksi khususnya tentang keluarga berencana sehingga disini seseorang mengetahui tentang partisipasi pria dalam KB bukan dari sektor pendidikan formal melainkan dari teman dan media terutama dari surat kabar dan televisi. Pendidikan adalah upaya yang memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat (13). Pendidikan akan berpengaruh pada pengetahuan responden, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. Masih kurangnya informasi yang didapatkan responden dan kurangnya responden dalam memanfaatkan media yang ada untuk mendapatkan informasi seperti buku, majalah, internet dan lainlain sehingga hal tersebut menyebabkan rendahnya pengguna alat kontrasepsi (14).
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasar Jumlah Anak Jumlah Anak <2 ≥2 Total
f 16 47 63
% 25,3 74,6 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa responden yang memiliki jumlah anak <2 sebanyak 16 orang (25,3%) dan responden yang memiliki jumlah anak ≥2 sebanyak 47 orang (74,6%). B e r d a s a r k a n h a s i l Ta b e l 6 d i k e t a h u i bahwa responden yang memiliki anak <2 100% berpartisipasi secara tidak langsung. Responden yang memiliki anak ≥2 yang berpartisipasi secara tidak langsung sebanyak 46 orang (97,9%) dan responden yang berpartisipasi secara langsung 1 orang (2,1%). Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square didapatkan hasil (p>0,05) yaitu 0,556 sehingga secara statistik diketahui tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan partisipasi pria dalam KB. Penelitian yang dilakukan Ramdani tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi suami dalam penggunaan alat Kontrasepsi di Desa Tegal Rejo,Tamantirto, Kasihan Bantul Yogyakarta, dari 52 responden, sebagian besar yaitu 22 orang (42,3%) memiliki jumlah anak 1. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji regresi linear
Tabel 6. Analisis Jumlah Anak dengan Partisipasi Pria dalam KB Jumlah Anak <2 ≥2 Total
Langsung f % 0 0 1 2,1 0 1,6
Tidak Langsung f % 16 100 46 97,9 62 98,4
Sumber: Data Primer Tahun 2016
112
Susi Ernawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 109-116
f
Total % 100 100 100
p-value
χ2
0,556
0,05
ganda didapatkan paritas (jumlah anak) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi suami dalam penggunaan alat kontrasepsi (15). Hal ini dikarenakan suami dalam penggunaan alat kontrasepsi masih belum efektif. Misalnya suami sudah menggunakan kondom namun tetap saja istri bisa hamil, istri sudah menggunakan alat kontrasepsi pil namun cara minumnya tidak teratur sehingga menyebabkan kehamilan. Kegagalan dalam menggunakan alat kontrasepsi bisa menyebabkan jumlah anak yang diharapkan dalam keluarga tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan jumlah anak tidak berpengaruh terhadap partisipasi suami dalam p enggunaan alat kontrasepsi (15). Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasar Pendapatan Pendapatan berdasarkan UMR** < Rp. 1.168.300 ≥ Rp. 1.168.300 Total
f 27 36 63
% 42,9 57,1 100
**UMR (Upah Minimum Regional) untuk Kab. Bantul DIY
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan
0,05) yaitu 0,244 sehingga secara statistik dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan antara jumlah anak dengan partisipasi pria dalam KB. Hasil penelitian Wijayanti dengan judul hubungan antara tingkat pengetahuan dengan gender suami dan pemilihan metode kontrasepsi
pada ibu akseptor KB di BPS elis Djoko P Banyuanyar Surakarta, akibat ketidaktahuan masyarakat tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai alasan, salah satunya biaya MOP atau vasektomi yang mahal. Alasan tersebut dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap tidak akan mampu menjangkau. Bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya sebenarnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali selamanya (16). Tabel 9. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Pengetahuan Cukup Kurang Total
f 19 44 63
% 30,2 69,8 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang tentang KB pria sebanyak 44 orang (69,8,%). Responden yang berpengetahuan cukup tentang KB pria sebanyak 19 orang (30,2%). Berdasarkan Tabel 10 diketahui jumlah responden dengan pengetahuan kurang menunjukkan hanya 1 orang (2,3%) yang berpartisipasi secara langsung dalam KB, bisa dikatakan lebih banyak responden yang berpartisipasi secara tidak langsung dalam KB yaitu 43 orang (97,7%). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa semua responden hanya berpartisipasi secara tidak langsung. Kemudian dilakukan perhitungan statistik menggunakan uji chi-square diperoleh p-value sebesar (p>0,05) bisa disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang KB pria dengan partisipasi pria dalam KB. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Saptono yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul, kurangnya partisipasi secara langsung dibandingkan
Tabel 8. Analisis Pendapatan dengan Partisipasi Pria dalam KB Pendapatan
Langsung f % 1 3,7 0 0 0 1,6
Tidak Langsung f % 26 96,3 36 100 62 98,4
Total f % 27 100 36 100 63 100
p-value
χ2
0,556
0,05
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Faktor yang Memengaruhi Keluarga Berencana (KB) Pria dengan Paritisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
113
Tabel 10. Analisis Bivariat Pengetahuan Tentang KB Pria dengan Partisipasi Pria dalam KB Pengetahuan tentang KB Pria Kurang Cukup Total
Partisipasi Langsung Tidak Langsung f % f % 1 2,3 43 97,7 0 0 19 100 1 1,6 62 98,4
Total f 44 19 63
% 100 100 100
p-value 0,439
χ2 0,05
Sumber: Data Primer Tahun 2016
yang tidak langsung disebabkan masih banyak pengetahuan tentang KB pria yang belum diketahui oleh responden, masih banyak responden yang belum mengetahui tentang jenis-jenis kontrasepsi pria hanya 69% responden yang mengerti suntik KB bukan merupakan salah satu metode kontrasepsi pria. Selain itu metode vasektomi juga masih kurang dipahami oleh responden (12). Hal ini dapat dilihat dari hampir separuh responden (44%) berpengetahuan salah bahwa vasektomi dapat menurunkan kejantanan pria, masih ada 42% responden juga berpengetahuan salah bahwa vasektomi tidak hanya dilakukan sekali seumur hidup dan masih 41% responden yang tidak tahu vasektomi merupakan salah satu metode kontrasepsi pria (10). Berkembangnya mitos di masyarakat bahwa vasektomi dapat menurunkan kejantanan pria (44%) menyebabkan seseorang masih takut dalam mengikuti program KB pria (12). Penelitian yang dilakukan Ditta, Sumarah dan Hartini tentang Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Partisipasi Suami dalam Ber-KB di Kelurahan Catur Tunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman DIY tahun 2012, pengetahuan suami tentang KB bisa dipengaruhi oleh letak geografi dari tempat tinggal, jika tempat tinggal responden dekat dengan kota kemungkinan pengetahuan responden tentang KB lebih baik jika dibandingkan dengan yang bertempat tinggal di desa, karena letak geografi yang dekat dengan kota bisa memudahkan dalam memperoleh informasitentang KB. Upaya pemerintah dalam meningkatkan partisipasi suami baik secara langsung dan tidak langsung dalam KB yaitu dengan upaya memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan dimana mencakup keterjangkauan tempat pelayanan dan keterjangkauan pengetahuan baik melalui ikln dan media informasi lain (17). Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh oleh mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Jika pengetahuan tentang KB
114
Susi Ernawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 109-116
yang mereka miliki kurang, maka mereka tidak akan mengetahui alat kontrasepsi apa saja yang bisa digunakan oleh pria, maksud dan tujuan dalam berKB sehingga akan berpengaruh terhadap partisipasi dalam ber-KB. Sebaliknya jika responden mempunyai pengetahuan yang baiktentang jenis alat/cara KB, pengetahuan pria tentang tujuan KB dan segala hal yang terpenting dalam ber-KB, sumber pelayanan KB, maka secara relatif akan meningkatkan partisipasi pria dalam KB (17). Pengetahuan sebelum melakukan tindakan itu adalah hal yang penting (12). Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Budaya Sosial Budaya Mendukung Tidak mendukung Total
f 45 18 63
% 71,4 28,6 100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 11 di atas sebagian besar responden memiliki sosial budaya yang mendukung 45 orang (71,4%) dan sebagian kecil responden yang memiliki sosial budaya yang tidak mendukung 18 (28,6%). Berdasarkan Tabel 12 menunjukkan bahwa kelompok responden dengan budaya mendukung 100% berpartisipasi tidak langsung. Sebagian kecil responden dengan tidak mendukung dan berpartisipasi tidak langsung sebanyak 17 responden (94,4%) dan berpartisipasi secara langsung hanya 1 orang (5,6%). Hasil perhitungan statistik menggunakan chi-square seperti terlihat pada Tabel 12 diketahui bahwa nilai signifikan atau p-value sebesar 0,111 (p >0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan sosial budaya tentang KB pria dengan partisipasi pria dalam KB. Analisis Multivariat Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa dari keenam variabel bebas setelah dianalisis multivariat
Tabel 12. Tabulasi silang dan hasil uji statistik hubungan sosial budaya tentang KB dengan partisipasi pria dalam KB Partisipasi Budaya Mendukung Tidak mendukung Total
Total
Tidak Langsung f %
Secara Langsung f %
45
100
0
17
94,4
62
98,4
p-value f
%
0,0
45
100
1
5,6
18
100
1
1,6
63
100
0,111
χ2 0,05
Sumber: Data Primer Tahun 2016 Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Logistik Variabel bebas Umur Pendidikan Jumlah Anak Pendapatan Pengetahuan Sosial Budaya
SE 1,398 1,283 8541,164 6165,613 7992,377 5705,179
Wald ,545 ,003 ,000 ,000 ,000 ,000
dengan uji regresi logistik diperoleh hasil tidak ada yang paling dominan dalam partisipasi pria dalam KB, karena diperoleh (p 0,05) yaitu variabel umur 0,460, variabel pendidikan 0,953, variabel jumlah anak 0,998, variabel pendapatan 0,999, variabel pengetahuan 0,998 dan variabel sosial budaya 0,997 yang artinya tidak ada hubungan antara umur, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan dan sosial budaya dengan partisipasi pria dalam KB.
Sig ,460 ,953 ,998 ,998 ,998 ,997
Exp ,356 ,927 40855768,349 ,000 ,000 ,000
95% CI for Exp (B) Lower Upper ,023 5,519 ,075 11,466 ,000 . ,000 . ,000 . ,000 .
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah informasi dan dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengetahuan KB pria dengan partisipasi pria dalam KB. Bagi Bidan di Puskesmas Sedayu II Hasil penelitian ini diharapkan tenaga kesehatan bisa lebih memberikan informasi tentang pengetahuan KB pria agar bisa meningkatkan partisipasi pria dalam KB. RUJUKAN
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan persentase terbanyak responden berumur 4145 tahun (41,2%) dan 100% berpartisipasi tidak langsung, berpendidikan tamat SLTA/sederajat (65,1%) dan berpartisipasi tidak langsung, jumlah anak ≥2 = 2 (74,6%) dan 97,9 berpartisipasi tidak langsung, pendapatan≥ 1.168.300 =1.168.300 dan 100% berpartisipasi tidak langsung, responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 44 orang (69,8%) dan yang berpartisipasi tidak langsung 97,7%, responden yang sosial budayanya mendukung sebanyak 45 orang (71,4%) dan 100% berpartisipasi tidak langsung. Hasil uji multivariat dengan menggunakan uji linear logistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, pendidikan, jumlah anak, pendapatan, pengetahuan, sosial budaya dengan partisipasi pria dalam KB.
1. Depkes RI. Profil Kesehatan 2012. Jakarta; 2013. 2. Sulistyawati A. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Salemba Medika; 2013. 3. Affandi, Saifuddin, Bari A, Baharudin M, Soekir S. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. 4. Mardiya. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Keikutsertaan Suami dalam Pemilihan Alat Kontrasepsi Di Puskesmas Gamping II Sleman. Yogyakarta; 2012. 5. BKKBN. Rencana Strategis Program Keluarga Berencana Nasional. Jakarta; 2013. 6. BKKBN. Program KB Nasional. Yogyakarta; 2013. 7. Dinas Kesehatan Bantul. Profil Kesehatan. Yogyakarta; 2015. 8. Puskesmas Sedayu II. Register Keluarga Berencana Puskesmas Sedayu II. Yogyakarta; 2015.
Faktor yang Memengaruhi Keluarga Berencana (KB) Pria dengan Paritisipasi Pria dalam Keluarga Berencana
115
9. Machfoedz I. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Fitramaya; 2013. 10. Hamid S. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Unmet Need Keluarga Berencana. Jakarta; 2012. 11. Novianti S, Gustaman RA. Faktor Persepsi dan Dukungan Isteri yang Berhubungan Dengan Partisipasi KB Pria. J Kesehat Komunitas Indones. 2014;2(10):1017–2027. 12. Saptono. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Pria dalam Kelurga Berencana di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Universitas Diponegoro; 2008. 13. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. 14. Erfandi. Pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi [Internet]. 2011 [cited 2016
116
Susi Ernawati, 2016. JNKI, Vol. 4, No. 2, Tahun 2016, 109-116
Jun 10]. Available from: http://forbetterhealth. wordpress.com 15. Ramdani H. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Suami dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi di DesaTegal RejoTamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta. Yogyakarta; 2013. 16. Wijayanti. Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan gender suami dan pemilihan metode kontrasepsi pada ibu aseptor KB di BPS Elis Djoko P Banyuanyar Surakarta. Universitas Respati Yogyakarta; 2013. 17. Tourisia D, Sumarah, Hartini. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Dengan Partsipasi Suami dalam Ber-KB di Kelurahan Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman DIY. Universitas Respati Yogyakarta; 2012.