Tim Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana
Duta Wacana University Press
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Indonesia Damai dalam rangka peringatan Hari Perdamaian Internasional 2015 I timPusat Studi dan Pengemb angan Perdamaian.
Penata Naskah
& Desain Sampul:
Sumantyo Kartika Nugroho
Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2015
2l}hlm.; 130 x 170 cm. rsBN
97 8-602-6806-0
1
-7
1. Perdamaian. I. Universitas Kristen Duta Wacana. Fusat Studi dan Pengembangan Perdamaian.
327.t1i
DAFTAR ISI
ooi--Kata Pengantar
105--Jalan Damai Mahatmanto 11
iii-Sekapur Sirih Editor Tim PSPP 00
0
1
--Transformasi Konflik Menuju Indonesia Damai Judo Poerwowidagdo
l3--Kekerasan daa Agama Wahju S. Wibowo
029-- Hukum Progresif dan Perdamaian: Meretas Jalan Perdamaian Melatui Hukum yang Membebaskan Siti Rofiah
O48--Kepemimpinan Perempuan dalam Upaya Perdamaian di Indonesia Tabita Ikistiani 066--Yogyakarta dan Kekerasan di Kalangan peLajar: Menggugah tanggung Jawab Institusi Agama? Jozef Mepibozef Nelsun Hehanussa 094--Lingkungan Yang,Mendamaikan,, Hendra Sigalingging
6--Pengembangan Perdamalan Melalui Pelatihan: Catatan Lapangan Bersama PSPP Endah Setyowati
l29--Merajut Relasi demi Perdamaian: I(asus Konflik di Poso Iftisni Noor Patrianti 1
4O--Kelas Antardisiplin, Keragaman Perspektif, dan Pengembangan Perdamaian Alviani Permata
154--Suatu Model Pendidikan Agama llristen bag Pengembangan Perdamaian Pratomo Nugroho Soetrana L69 - - Ngudari
Ruwet Renteng : Rekonsiliasi Berbasis Local Wisdom Nani Minarni
1
89--Jajaghu dan Tantri Perdamaian R. Bima Adi
197--Kabar Duka di Sebuah Pesantren Desa Indro Suprobo vi
Kekerasan dan Agama Wahju S. Wibowo2
Boko Haram
di Nigeria, Israel-Palestina, konflik IRA di
Irlandia yang belum selesai atau tindakan kekerasan bernuansa agama lainnya seperti pengeboman klinik aborsi di Alabama dan Georgia, Amerika pada tahun 1997.
Pengantar Indonesia pernah mengalami situasi memprihatinkan akibat kekerasan yang bernuansa agama, khususnya
peristiwa konflik berdarah di Maluku dan Poso. Walaupun banyak analisis dan penelitian yang mengatakan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor pemicu, namun juga tidak disangkal bahwa sentimen agama turut berperan dalam konflik tersebut. Di Indonesia, konflik berdarah di Poso itu dapat mereda, namun tidak demikian dengan situasi di berbagai belahan dunia lainnya. Setelah dunia digemparkan dengan keberadaan A1 Qaeda yang membawa-bawa ajaran keagamaan, muncul kemudian ISIS di daerah Timur Tengah yang menyebabkan jutaan orang Timur Tengah berbondong-bondong pergi ke Eropa, k*rususnya
Jerman, dan menjadi pengungsi. Situasi ini menimbulkan krisis pengungsi
di Eropa. Belum lagi
'Wahlu S. Wibowo, Ph.D. adalah staf pengajar Fakultas Teologia dan terlibat aktif di Pusat Studi Pengembangan Perdamaian (PSPP), Universitas Kristen
Situasi seperti itu amat dipahami oleh setiap peserta pelatihan PSPP. Semua sependapat bahwa konflik yang
membawa aspek keagamaan amat sulit untuk diselesaikan. Agama menjadi faktor determinan kelierasan yang bisa dimanfaakan ketika bersinggungan rlengan kekuasaan dan politik. Legitimasi llahi'menjadi cap ampuh untuk melakukan tindakan kekerasan. Agama menjadi motivasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Film The Kingdom of Heauen ditutup dengan rulegan seorzrng bangsawan ksatria Perang Salib yang lrr:rkata, "alst b,erpikir bahwa aku berperang demi Tulwn, tnmun terngata aku berperang demi kekuasaano. Para prajurit di lapangan sungguh berpikir bahwa mereka lrr:rperang untuk membela Ttrhan, apalagi ketika st:butan'martir' disematkan kepada mereka. Artikel ini mengemukakan beberapa pemikiran lxrgaimana agama bisa begitu 'dekat'dengan kekerasan. l)iawali dengan bagian yang 'sedikit' Iilosofis berkaitan rk.ngan kemampuan epistemologis yang sudah melekat :rt'lragai'bawaan' dalam diri manusia.
Duta Wacana.
13
1.4
rlan tidak diperhatikan. Untuk itu ada Akar Epistemologi dalam Keagamaan Dalam kosa kata keagamaan, kita' yang menunjuk pada komunitas tertentu dan 'mereka'yang menunjuk
pada orang lain
di luar komunitas amat sering
digunakan. Hat ini wajar, sebagai bagran dari peneguhan diri dalam komunitas. Namun identifikasi bisa bergerak jauh jika pada 'mereka' diberi muatan tertentu untuk menegaskan adanya keterpisahan yang tajam. Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah memerintahkan Israel agar
.tidak menyebarkan fitnah di antara orang-or€mg
kegagalan pcngenalan akan orang lain. 'Aku' senantiasa mencari rlan melihat yang lain dalam jangkauan 'radar' kelompok rrtau jenis tertentu, entah etnis, agama, atau bangsa. "l)ia orang Kristen", "Dia orang Islam", "Dia anggota polisi", atau "Ia berkulit kuning'. Pada tahap ini 'aku' rnencoba mengidentifikasi bagian mana yang sama dan bagian mana yang tidak. Upaya ini disebut kolektifikasi. I)alam kehidupan sehari-hari jika betemu dengan orang llatak, maka segera identifikasi bermain dalam pikiran orang Batak sebagai *kelompok
rlan mengelompokkan
Seorang filsuf Yunani Kuno bernama Empedokles telah mengemukakan bahwa .yarrg sama mengenal yang sama". Yang seagama, sebangsa, sesuku, atau seideologi hanya mengenal sesamanya. Yang lain tidak dianggap
orang berkarakter keras". Orang Jawa membedakan diri tlcngan tegas dari orang Batak dengan mengatakan, "Kami tidak seperti orang Batak'. Persepsi ini kemudian rlipakai untuk mengidentifikasi siapa pun yang dikenal yang berasal dari suku Batak. Generalisasi kemudian tcrjadi. Walaupun barangkali orzmg tersebut tidak pernah bertemu dengan orang Batak, generalisasi itu sudah terlanjur bermain dan menjadi penanda awal perjumpaan dengan orang lain. Secara popular hal ini bisa disebut sebagai lrasangka'. Bagaimana mengubah prasangka ini? Tentu saja dengan melakukan kontak terus menerus. Perubahan dilakukan dengan perjumpaan pribadi secara intensif. Jika itu dilakukan maka generalisasi dan pengelompokkan itu akan mencair. Yang nampak bukan lagi si Ucok yang or€mg
15
15
sebangsamu...tidak menaruh dendam kepada orang sebangsamu" (Imamat 19:16, 18). Nisbah antara bangsamu' dan bangsaku' amat jelas. Hal ini banyak muncul dalam kitab Perjanjian Lama. Tentu dari segi sosiohistoris bisa dipahami bahwa Israel saat itu sedang mengkonsolidasi diri untuk sejajar dengan bangsabangsa lainnya. Tentu ha1 ini juga bisa terjadi dalam tradisi keagamaan lainnya. Namun pertanyaan menarik adalah mengapa secara eksplisit penekanannya hanya kepada yang sebangsa? Struktur epistemologis apa yang ada?
Batak, tapi
si Ucok yang saya kenal secara pribadi
sebagai Ucok. Hanya dengan perjumpaan terus menerus
prasangka bisa mencair dan individu bisa muncul sebagai individu tanpa embel-embel generalisasi yang dilekatkan kepadanya. Dalam komunitas keagamaan, seringkali struktur epistemologis ini bermain dengan kuat; kita' dengan 'mereka', 'aku' dengan 'dia' dipisahkan secara tajarn lewat ajaran atau khotbah-khotbah yang tidak memberi kesempatan kepada umat untuk melakukan klarifikasi. Dalam kekristenan seringkali yang muncul adalah istilah kita orang beriman". Nah, lalu pertanyaannya jika .kita orang beriman', maka yang bukan kita adalah tidak beriman? Berulang-ulang dan ratusan kali disebutkan dalam khotbah, akhirnya menjadi identitas kolektif yang mendekam di benak umat tentang keberadaan kita'dan ?nereka'. Jika si pengkhotbah mempunyai kesan buruk tentang si A, dan si A beragama tertentu, bisa jadi itu muncul dalam khotbah d.an mempengaruhi komunitas.
Muncullah prasangka, padahal dalam komunitas keagamaan hal seperti ini sangat dimungkinkan terjadi. Apalagi jika dalam komunitas umat tersebut banyak yang tidak punya pengalaman personal dengan kelompok atau orang tertentu. Ketika seseorang berada dalam kelompoknya, atau disebut sebagai massa karena sebenarnya dia bersifat 17
rrrronim, ra tidak akan mengenal orang lain secara rrrdividu sama seperti seringkali ia juga tidak mengenal
tlirinya sebagai individu. Mengapa? Kolektivitas
kr:lompok atau massa amat kuat di dalam dirinya. l't:ngenalan akan orang lain mengalir mengikuti arus ;rt:ngenalan kelompoknya. Yang biasanya terjadi adalah .Oh, dia adalah sligmatisasi terhadap orang lain. l(roris", atau "Orang Kisten itu kaga". Situasi ini rrrcnjadi jalan pengenalan yang paling sederhana, rnudah, dan akhirnya diterima sebagai kebenaran begitu snja. Akhirnya, bisa muncul identitas bahwa orang lain rrtlalah musuh. Penegasan bahwa orang lain adalah rrrusuh amat berbahaya. Identilikasi sebagai musuh ndalah tahap akhir sebelum akhirnya keluar keputusan 'lrancurkan' atau tunuh'. Hanya musuh yang harus rlihancurkan dan dibunuh. Pada pihak lain bisa muncul
kr:takutan terhadap kelompok lain. Ketakutan ini rlirespon justru dengan menutup diri lagi! Biasanya orang takut mengambil tindakan dalam dua bentuk. l)crtama, ia akan keluar secara nekat untuk rnenghancurkan orang lain, atau ia masuk ke dalam kclompoknya dan membenarkan perasaan bahwa ia lakut, karena musuh akan menghancurkannya. Pada rrkhirnya, stigmatisasi yang sedang berproses semakin lrertambah kuat. 1_8
Dengan demikian, kegagalan aku dalam pengenalan terhadap or€mg lain, membawaku pada keterikatan dalam satu struktur massa tertentu yang pada akhirnya bersifat destruktif. Namun, bisa juga terjadi sebalilorya, yaitu tatkala aku berusaha keluar dan menolak massa atau kelompok yang kepadanya aku terikat, amat mungkin juga terjadi kekerasan. Hegel mengemukakan bahwa masalah kekerasan merupakan masalah human conflict. Hal ini terjadi karena proses pengenalan yang
ada di dalam diri manusia. Manusia adalah makhluk komunal, tetapi mereka justru menemukan esensinya hanya dengan melepaskan diri dari komunalitas itu. Being for ltself hanya dapat ditemukan dengan menolak lingkungan komunal. Kekerasan bisa terjadi tatkala proses penolakan ini terjadi. Kekerasan dari aku terhadap orang lain yang berada dalam lingkungan komunal itu. Bagr Hegel penolakan atas komunalitas itulah yang potensial memunculkan kekerasan. Kalau aku merasa bahwa untuk menemukan identitasku aku harus keluar dari struktur kelompok tempat aku berada, bisa jadi justru aku melakukan kekerasan terhadap kelompok itu. Barangkali aspek kekerasan di sini sudah agak bergeser, bisa ke arah kekerasan individu. Dari pertanyaan itu sebenarnya bisa muncul pertanyaan lain, yaitu kita sedang berada dalam proses mengenali orang lain, tetapi bagaimana mungkin dalam proses mengenali 19
orang lain, orang yang kita kenali itu dihancurkan. l)roses pengenalan itu sendiri kemudian dihancurkan rlengan tindakan menghancurkan orang lain! Kegagalan pengenalan ini tertanam dalam struktur t:pistemologis manusia karena manusia mengenali 'aklr' rlan bukan aku'. 'Aku'kemudian mencari kesamaan dan pengenalan dengan yang sejenis. Yang tidak sejenis dikategorikan sebagai bukan aku'. Predikat bukan aku' bisa berdampak sangat luas. Kekerasan terhadap oruul.g lnin karena orang itu bukan aku'. Agama yang rnengembangkan struktur epistemologis seperti ini akan tlengan mudah masuk ke dalam tindakan kekerasan tt:rhadap orang lain.
Komunitas Agama
Agama selalu mempunyai komunitasnya sendiri. Komunitas dengan perangkat ritual, pemimpin, dan rr.jarannya. Secara sederhana, agama mempunyai komunitas yang berproses dengan 'aturan mainhya scndiri. Pemisahan yang tajam, seperti sudatr rlikemukakan sebelumnya, menjadi cara agar setiap orang tetap setia. Biasanya semakin takut pengikut ngamanya keluar atau memisahkan diri, semakin kuat lrcmisahan yang dibuat antara kita' dan ?nereka' dan bisa jadi para pemimpinnya semakin membuat umat rrrereka terisolasi 20
Hannah Arendt dalam analisisnya mengenai negara
totaliter melihat, bahwa gerakan totaliter adalah organisasi massa dari individu-individu yang teratomisasi dan terisolasi.3 Massa yang teratomisasi dan terisolasi dari situasi sosialnya memudahkan para pemimpinnya untuk memasukkan ideologi. Ideologi totaliter bercirikan dua hal, pertama ia mengklaim dapat menjelaskan segala-galanya. Dengan mengklaim diri dapat menjelaskan segala-galanya, ideologi totaliter menutup diri atas setiap perbedaan pendapat yang ada. Individu tidak diberikan kesempatan mengembangkan pemahaman yang berbeda dengan ideologi partai. Kedua ia tidak dapat belajar dari pengalaman atau dibantah olehnya. Ia kebal terhadap sentuhan realitas. Rearitas kehidupan manusia sehari-hari, termasuk di dalamnya pluralitas manusia, sama sekali tidak membuat ideorogi totaliter mau untuk belajar. Karena ia merasa tahu segala-galanya, maka realitas apa pun yang diatami individu dalam kehidupan sosialnya, tidak relevan bagi dirinya. Di sinilah potensi kekerasan muncul. Dalam bahasa sederhana dapat diungkapkan "hatinya kebal dan kaku" terhadap realitas apa pun yang dialami orang lain.
Agama bisa jatuh pada hal seperti itu. Walaupun Arendt berbicara dari sudut komunitas negara, namun proposisinya dapat menjelaskan situasi komunitas kr:agamaan. Istilah totaliter memang biasanya muncul rlnlam konteks negara. Dalam konteks agama, jarang rlipakai istilah totaliter, walaupun agama juga rrrengandung unsur itu. Biasanya agama alerE jtka rlikatakan totaliter. Ketika satu komunitas keagamaan ltrisolasi dari kelompok lainnya, maka individu yang It'rdapat dalam komunitas itu tidak diberi kesempatan rrntuk melihat hal yang berbeda. Realita yang dihidupi rlnn dialami hanyalah realitas dirinya sendiri, mereka ht'bal terhadap realita yang lain. Narasi yang terdapat dalam agama dan dihidupi oleh
komunitasnya bisa dengan sengaja dipakai secara
rrk:ologis yang bersifat tertutup dan tidak rrrr:mungkinkan sudut-sudut pembacaan yang berbeda lrisa berdialog.a Dengan pembacaan yang tertutup sifat irlt:ologis menyeruak dengan kencang dan menghantam nl)a pun yang berbeda. Untuk itu dalam hermeneutika, nrrrlut-sudut pembacaan yang berbeda 'dihalalkan' agar lrrrnbacaan tidak bersifat ideologis. Narasi -cerita apa '
3
Hannah Arendt. 1995. Asolus ulTotalitarionisme.Jilid lll. Diterjemahkan oleh JM Soebijanta, YOl. hlm. 31.
2L
I
,l
the Bible and the Legitimation vol. 7, J. Harold Ellens of Religion violence" dalam The Destructive Power
rlr. John Collins. 2004. 'The Zeal of Pinehas,
(t,rl ). Connecticut: Praeger Publisher. hlm. 17.
22
pun yang terdapat dalam kitab suci-selalu bisa dibaca terbuka. Justru keterbukaan ini akan membuka horizon-horison baru. Memang bisa jadi dengan sengaja hortzon ini ditutup demi mempertahankan aspek
rlrrlam proses
ideologis agama.
perjuangan batin Arjuna ketika berperang melawan arrr rdara-saudaranya dalam perang Mahabharata. Arjuna lrrrkata, "Saga ttdak dapat melihnt bagaimana hal-hal ttuttg baik dapat diperoleh kalau saAa memburuth sanak ,tutd.ara sendii dalam perang ini [...] Wahai pemelihnro r*'nlua makhluk hidup (Sri Khresna, red), iangankan rtrttuk bumi ini, untuk imbalan seluruh ttga dunia ini pun rtula tidak bersedia bertempur [...] Bagaimana kita bisa ln'rlnhagia kalau kita membunuh".6 Namun Sri Khresna, Enng titisan Ilahi menjawab bahwa seorang ksatria tidak lrolt:h menolak kalau ditantang pihak lain untuk lrrrtcmpur, dan perang, bunuh membunuh itu hanyalah Frrnu belaka. Dalam dunia yang sebenarnya tidak ada grrr irng dan tindakan bunuh-membunuh. Suara Sri
Warisan Kekerasan
Apakah agama membenarkan adanya kekerasan? Sampai tahap tertentu selalu ada pembenaran terhadap kekerasan dalam agama tertentu. pengalaman agamaagama menunjukkan bahwa mereka bisa suruiue setelah melewati beragam pengalaman kekerasan. Teks-teks kitab suci yang mengandung nunsa kekerasan dipakai sebagai pembenaran atas tindak kekerasan yang dilakukan.
Apa yang dibicarakan dalam teks-teks itu? Pertentangan antara yang baik dan jahat. Identifikasi kebaikan dengan kelompok tertentu yang harus mengalahkan kejahatan dalam kelompok lainnya menghasilkan kekerasan.s Dalam sejarah agama-ag€una, identifikasi ini mengental ddrm bentuk kekerasan yang amat telanjang. Peperangan demi peperangan dilewati
ini. Yang Ilahi dilibatkan dalam
prrmohonan untuk memenangkan peperangan demi l,('l)erangan atas narna kebaikan dari Yang Ilahi lrr
sebut. Bhagavadgita, misalnya, berisi
kisah
lu-r:sna adalah suara ilahi yang melegitimasi krlx:naran. Arjuna dikuatkan dengan legitimasi itu r rr rl uk berperang dan melakukan pembunuhan, li
wrrlaupun suara hatinya mengatakan hal yang berbeda.
Nrrr:rsi
ini tentu bukan hanya terjadi dalam
s
Francois Houtart. 2002. "Kultus Kekerasan Atas Nama Agama,,, dlm. Keke ro san : Ag a m a T a n p a Keke rosa n. Thomas sa ntoso ( ed. Ja ka rta p usta ka ). Utan Kayu. hlm. 12. :
23
u
',w.rmi Prabhupada, Sri Srimad Bhaktivendanta, (ed.). L989. Bhagovodgita, shrk,r 1.31-36. Jakarta: Hanuman Sakti.
24
Bhagavadgita. Dalam teks-teks kitab suci lainnya juga bertebaran. Banyak narasi Perjanjian Lama juga berisi cerita kekerasan seperti perang dan pembunuhan, bahkan ujian iman kepada Abraham mengambil bentuk kekerasan karena ia harus (seolah-o1ah?) mengorbankan analcrya sendiri. Narasi ini diwariskan secara komunal, mau tidak mau, sebagai warisan kekerasan yang melekat dalam diri agama. Akhirnya, dalam dunia modern, yang semakin rumit oleh karena aspek geopolitik, sosial, dan ekonomi, warisan ini menyeruak dalam alam sadar komunitas keagamaan. Israel, dalam konflik dengan Palestina, menarik sampai jauh ke narasi Perjanjian Lama, dengan kerumitan situasi geopolitik, sosial, dan ekonominya saat ini yang tentu berbeda. Karena sifuasinya sudah berbeda, maka hanya sebagian kecil dari narasi yang kelihatannya relevan. Namun, bag, kalangan yahudi
ekstrem, narasi kebenaran suci Perjanjian Lama
mengatakan bahwa bangsa terpilih
wajib mempertahankan tanah yang sudah diberikan Tuhan kepada mereka. Agama akan melakukan kekerasan ketika dirinya terancam oleh pihak lain. Persepsi bahwa komunitasnya diserang dan itu berarti kebenaran yang diyakininya terancam, membawa pada sikap kekerasan. Tidak peduli apakah serangan itu sungguh nyata atau tidak. Di 25
Irrrlonesia, isu kristenisasi adalah wujud serangan yang rlr;rrrsepsi oleh sebagian umat Islam. Sementara banyak lrrrrrl Kristen mengatakan tidak ada kristenisasi, tanpa prrlrrli akan persepsi yang ditangkap oleh umat Islam kirhru pun persepsi itu keliru. Akhirnya, kekerasan demi krltt'rasan terus menerus muncul karena masing-masing urrr'{rsa terancam. Mungkin kesadaran inilah yang rr rr.r ryebabkan Yesus justru membiarkan diri-Nya lrrrr.iadi korban kekerasan ketika melawan kekerasan lrrnpl kekerasan; Mahatma Gandhi justru membiarkan rlir
rrrya berada dalam situasi bahaya, justru ketika
rnrlirwan kekerasan tanpa kekerasan.
Arpok Penyeimbang
'lhntu bukan hanya unsur kekerasan yang ada
rlirlrrrn agarna, namun juga bertebaran unsur damai dan r rltonsiliasi. Masalahnya adalah manakah yang rlrprrlrami sebagai universal? Untuk itu, agama perlu trrrrs menerus memediasi dialog antara aspek universal rlirlrrrn dirinya dan aspek konteks. Aspek universal akan nrrn.yerap yang lokal menjadi bagran dari pemahaman. lr.trtrr sebagian pemikir posmodern bisa menolak hal ini rlt'rrgrrn mengatakan bahwa dalam dunia sekarang tidak
unsur universal yang bisa menjajah yang lokal irlrru konteks tertentu karena semua berdiri sejajar. Nirrrrtrn pemikirannya bukan siapa menjajah siapa,
,rrLr lagi
26
namun prinsip apa yang bisa diberlakukan secara universal untuk mengatasi atau sebagai aspek penyeimbang bagi kekerasan, kalau kekerasan sendiri tidak bisa diperlakukan universal. Jika kita mengakui bahwa kekerasan tidak bisa diperlakukan universar padahal narasi itu ada dalam teks kitab suci, maka
mestilah harus dicari yang dapat dianggap sebagai universal. Tentu ketegangan antara universal-rokal atau kontekstual, atau kontinuitas- diskontinuitas akan selalu ada. Justru dengan memediasi terus menerus aspek ini, agama berada dalam pergerakan yang dinamis untuk terus menerus menjadi aspek penyeimbang dalam gerakan humanis. Berikutnya adalah keterbukaan demi keterbukaan dalam diri agama. Keterbukaan menjadi unsur penyeimbang yang membuat pengenalan akan ,aku, lebih berwarna karena aku mengenal 'mereka,. perjumpaan individu yang terbuka secara terus menerus menjadi panggilan agama apa pufl, khususnya era global seperti sekarang. Tanpa itu era global sekadar menakutkqn, dan akhirnya setiap orang kembali masuk ke tempu*\masing-masing dan melukakan hakikat kodratinya
untuk berjumpa dengan orang lain. pada
Feoul rrp
I'rr:url Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) urrrtyir(lrrri benar kerumitan aspek agama dalam setiap rl,ayir pt:r'damaian. Untuk itu, studi atau penelitian tFrnri nl(:r)erus dan pemberdayaan bagr masyarakat trrtrrk lx'rani berjumpa dengan 'mereka'alias orang lain rn,'rrlrrrli s;rngat menentukan peran PSPP di kemudian lrot
t
llefter Pustaka Af . rr l, I lannah. 1995. Asal-usul Totalitananisme. Jtlid lll. I)iterjemahkan oleh JM Soebijanta, YOI. t rrllruri,.Iohn. 2004. "The ZeaTof Pinehas, the Bible and r
I
tlrc Legitimation of Violence" dalam The Destructiue l\tttrcr of Religion uol. l. J. Harold Ellens (ed.). ('orrnecticut: Praeger Publisher. llrrr rlrrr l. Francois. 2002. "Kultus Kekerasan Atas Nama Agrrma", dalam Kekerasan: Agama Tanpa K?kerasan. Thomas Santoso (ed.). Jakarta: Pustaka I Itan Kayu. iiwrr r r ri l'rabhupada, Sri Srimad Bhaktivendanta, (ed.). l()89. Bhagauadgita, sloka 1.31-36. Jakarta: llnnuman Sakti.
zarrlar-
sekarang, keterbukaan adalah niscaya, dan karena keniscayaan itu maka ketertutupan jelas kontradiktif. 27
28