[This is just a draft. Please do not copy.]
1 Satria Hanindyo tahu bahwa dirinya baru saja membuat kesalahan terbesar di usianya yang sebenarnya masih muda itu. Duduk di cubicle kecil dengan dinding yang penuh dengan tempelan pin-pin dan catatan-catatan, ia mengusap pelipisnya untuk mengusir rasa nyeri di kepalanya. Satria sudah terlalu ceroboh selama beberapa bulan terakhir. Ia terlalu banyak mengambil risiko dan sekarang mereka mulai datang menghantui dirinya. Dia melihat jam tangannya. Sudah hampir jam tiga. Meeting akan segera dimulai dalam beberapa menit. Bangkit dari kursinya, ia meluruskan dasi, mengambil napas dalamdalam, lalu berjalan menuju ruang meeting di ujung lorong yang panjang. “Ini hanya permainan,” bisiknya dalam hati, sembari mencoba mengusir rasa gugup dalam dirinya. Ia berjalan menyusuri lorong kantor akuntan internasional terbesar di Jakarta itu. “Tetap fokus. Ini hanya sebuah permainan. Ini cuma sandiwara.” Ruang meeting yang ia tuju adalah salah satu dari delapan ruang konferensi yang ada di kantor Broomfield, di kantornya yang menjulang di pusat kota Jakarta. Sebuah meja rapat terbuat dari marmer halus berwarna putih memanjang di ruangan itu, dikelilingi oleh dua puluh kursi kulit hitam. Ketika Satria memasuki ruangan, ia memandang ke luar jendela, melihat kota yang mulai diselimuti kabut dan angin yang berhembus membawa awan hitam. Dia ingat interview pertamanya dengan Broomfield, hampir dua tahun yang lalu, persis di ruangan ini. Begitu banyak yang berubah selama dua tahun belakangan. Ia hanya samar-samar mengingat kegembiraan yang ia rasakan ketika bergabung dengan perusahaan. Sekarang, dengan karirnya yang berada di ujung tanduk, ia hanya perlu untuk setidaknya bertahan sampai meeting itu selesai. Tiga associate audit lainnya, yang terlebih dulu datang, sudah mengambil duduk dan menghindari kontak mata dengannya. Satria adalah atasan mereka pada pekerjaan audit untuk Astra Graphia Tbk, salah satu dari sepuluh klien terbesar Broomfield. Hubungan mereka pada awalnya sebenarnya cukup bagus, tetapi seiring dengan meningkatnya pressure menjelang deadline laporan audit, segala sesuatunya tiba-tiba berubah menjadi bencana. Sekarang ia dan tiga bawahannya menunggu pertemuan darurat menghadapi bos mereka, Herry Darmawan. Pintu ruangan konferensi terbuka dari luar dan Herry melangkah ke dalam ruangan. Untuk ukuran partner senior yang bekerja rata-rata seratus jam seminggu, pria itu masih punya waktu untuk menjaga tubuhnya tetap fit. Konon gosipnya ia hanya tidur selama empat jam setiap malam. Rambutnya hitam legam dan disisir klimis. Usianya yang sekitar lima puluh tahun itu tertutup oleh energinya yang seolah tak pernah habis. Itulah yang membuatnya jadi salah satu partner yang paling sukses di antara dua puluh partner lainnya di Broomfield. Herry Darmawan hanya berdiri kaku di seberang meja, menatap empat auditor di hadapannya itu tanpa sedikitpun berusaha untuk menyembunyikan amarahnya. 1
[This is just a draft. Please do not copy.]
Dengan lebih dari lima ratus kantor di seluruh dunia, Broomfield adalah salah satu kantor akuntan publik terbesar di dunia. Kantor di Jakarta sendiri ukurannya hampir dua kali lipat dari kantor Broomfield lainnya di Asia Tenggara. Dan Satria juga tahu salah satu kultur yang terbentuk di perusahaan sebesar itu mengharamkan kesalahan sekecil apapun. Absolutely zero tolerance. “Ini adalah bencana yang mengerikan!” Herry Darmawan menggebrak meja dengan kedua tangannya dan mencondongkan badannya ke depan. Dia menatap tajam masingmasing bawahannya itu satu per satu. “Aku tak percaya kalian sampai membuat marah klien yang sudah membayar kita lebih dari satu miliar per tahun! Apa kalian sadar? CFO Astra Graphia sampai-sampai komplain secara langsung kepadaku. Bisa kalian bayangkan itu?” Para auditor muda itu hanya bisa resah dan menggeliat dalam keheningan. Satria sadar bahwa mereka semua berada dalam kesulitan yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan sebelumnya. Herry Darmawan berpaling dari meja dan pindah ke sisi jendela. Tiga puluh tujuh lantai di bawahnya, kota Jakarta seolah menunggu hujan, macet, dan banjir yang sudah menjadi tradisi yang tak bisa dihindarkan. Satria mencoba tetap fokus menjaga ketenangan dirinya. Setengah jam yang lalu, ia berpikir untuk kabur dari kantor dan minum-minum bersama dua teman kerjanya, Andra dan Vino di Kemang. Tapi sekarang, yang ia inginkan hanyalah berusaha agar ia jangan sampai kehilangan pekerjaannya itu. Herry Darmawan berpaling dari jendela, mengusap dahinya. “Dengar,” katanya datar, “Aku sampai menghabiskan tiga puluh menit untuk membahas bagaimana kita harus menanggapi masalah ini. Apakah kalian menyadari betapa serius masalah ini? Kalian menghilangkan faktur asli milik klien. Bagaimana itu bisa sampai terjadi? Satria, kau staf paling senior di penugasan ini. Sudah jadi tugasmu untuk mengawasi tim di lapangan. Kenapa ini bisa sampai yang terjadi?” Meskipun sudah bersusah payah untuk bersantai, Satria bisa merasakan bulir-bulir keringat membasahi dahinya. “Ini hanyalah kesalahpahaman, Pak,” katanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan dokumen itu. Klien kita mengira mereka sudah memberikan faktur itu kepada kami, tapi kami kira mereka masih memegang faktur itu.” “Nah, mana yang benar?” tuntut Herry Darmawan. Itu aku, sialan, Satria mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Dia melanggar policy perusahaan. Dia sengaja mengambil faktur asli dari tempat klien dan menyembunyikannya di bagasi mobil selama dua hari. Tak ada cara lain. “Kami benarbenar tidak tahu,” elaknya. “Dokumen-dokumen itu tiba-tiba saja muncul beberapa hari setelah kami menyadari ada sesuatu yang hilang.”
2
[This is just a draft. Please do not copy.] “Mereka hanya ‘muncul’ begitu saja?” kata Herry Darmawan, mengangkat alisnya dengan penuh sindiran. “Saya yang menemukan mereka, Pak,” kata perempuan berambut sebahu yang duduk di sebelah Satria. Jari-jarinya gelisah di atas meja tanpa dia sadari. “Mereka terselip di bawah beberapa kertas kerja di audit room.” Ia terlihat benar-benar cemas dan ketakutan. “Jadi faktur-faktur itu sebenarnya ada bersama dengan working paper kita selama ini?” tanya Herry Darmawan. “Jadi klien kita benar. Kita lah yang menyimpan dokumendokumen itu?” “Tidak,” sanggah perempuan itu. “Kami sudah mencari dan memeriksa semua tempat ketika dokumen itu hilang. Kami mencari ke semua tempat. Saya berani bersumpah, demi Allah, dokumen-dokumen itu tidak ada di situ sebelumnya, Pak.” “Tapi dokumen itu ada di sana, Shinta,” desak Herry Darmawan. “Kalau saja kamu menemukan dokumen-dokumen itu sewaktu kamu pertama kali mencarinya, kita semua mungkin akan terhindar dari masalah ini.” “Jangan ganggu dia,” Satria seperti ingin mengatakan hal itu. Ini salahku, katanya dalam hati. Setelah dua hari, Satria meletakkan faktur-faktur itu di tumpukan working paper di mana ia yakin seseorang akan menemukan dokumen itu. Shinta tidak bersalah. Tapi yang terucap dari mulut Satria adalah, “Ini bukan salahnya, Pak Herry. Kita semua menumpuk working paper di mana-mana, dan klien sering membawa keluar masuk banyak dokumen. Mungkin saja faktur itu berpindah tempat.” “Bukan itu maksudku,” sanggah Herry Darmawan. “Salah meletakkan dokumen selama beberapa hari mungkin tidak akan membuat dunia kiamat. Yang jadi masalah adalah tuduhan ini. Kalian menuduh faktur-faktur itu ada di tangan klien, padahal sebenarnya selama ini faktur itu ada bersama kalian. Ini benar-benar membuat klien marah besar.” “Tuduhan itu,” kata Satria. Herry Darmawan mengangguk. “Itu suduah keterlaluan, sudah kelewat batas. Apakah kalian menyadari betapa buruk menuduh klien sudah lupa menyimpan dokumen, padahal ternyata dokumen itu ada pada kalian sepanjang waktu? Apakah kalian tahu seberapa serius masalah itu? Manajer pengadaan di Astra Graphia begitu ketakutan akan dipecat. Controller di sana sudah kena damprat dari CFO-nya. Kemudian dokumen itu muncul di file kalian, dan semua orang menyadari bahwa ternyata semuanya benar-benar kesalahan kita. Ya Tuhan, orang-orang berpikir mereka akan kehilangan pekerjaan mereka. Ini sungguh keterlaluan. Aku akan melakukan segala sesuatu yang aku bisa agar kita tidak kehilangan mereka.” “Pak Herry,” kata Satria, “Saya minta maaf. Ini sungguh berada di luar kendali kami. Tapi saya sudah meminta maaf kepada CFO dan orang-orang lain yang terlibat. Kami 3
[This is just a draft. Please do not copy.] telah berbicara panjang lebar dengan mereka, jadi mudah-mudahan ini akan membuat mereka tenang di Astra Graphia.” “Nah, itu benar, tapi mungkin tak banyak berpengaruh. Dan ini juga sudah terlalu terlambat. Aku juga terkejut bahwa kamu tidak mendokumentasikan transaksi penjualan mereka dengan hati-hati. Kamu harus tahu bahwa kamu sudah melalaikan hal-hal yang penting. Kamu sungguh ceroboh, Satria.” “Saya minta maaf tentang masalah itu, Pak,” kata Satria, “dan saya bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi, tapi saya pikir kita masih bisa...” Herry Darmawan mengangkat tangannya, menyanggah pembelaan Satria. Ia lalu menggelengkan kepalanya seolah-olah mengatakan tidak ada gunanya melanjutkan diskusi. “Ini tidak penting lagi. Kalian semua akan ditarik dari penugasan ini. Itu permintaan klien, dan kalau boleh jujur, kali ini aku setuju dengan mereka. Kita tidak bisa kehilangan mereka. Kalian akan menyerahkan semua file kalian kepadaku, dan aku akan meneruskannya kepada tim baru yang akan berada di sana minggu depan.” Herry Darmawan melangkah menuju pintu dan membukanya sambil memberi isyarat untuk semua orang meninggalkan ruangan. “Aku masih harus memutuskan apa yang akan aku lakukan dengan kalian berempat. Tapi untuk saat ini aku pikir kalian semua perlu memikirkan dengan serius semua ketidakberesan pada penugasan ini.” Para staf auditor itu bangkit dari meja rapat dengan penuh rasa malu. Mereka meninggalkan ruangan dengan kepala tertunduk, tak berani menatap senior partner mereka. Satria menempatkan dirinya di barisan terakhir supaya ia bisa mengucapkan satu permintaan maaf akhir kepada atasannya. Tetapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, Herry menutup pintu sehingga hanya mereka berdua di dalam ruangan. “Ini adalah proyek ketigamu berturut-turut di mana ada kesalahan yang serius,” katanya. “Ya, saya tahu, Pak,” jawab Satria. Tapi dia tidak memberikan penjelasan apa-apa, tidak berusaha mempertahankan diri, tidak juga berusaha melawan tuduhan itu. Dia tahu dia telah menganggap terlalu remeh masalah ini. Ia merasa peruntungannya sedang bagus. Tak mungkin kesalahannya itu akan membuatnya terjebak dalam masalah. Tapi kini ia berpikir, barangkali ia sudah salah. Melihat bahwa Satria tidak berusaha mengelak atau membela diri, Herry Darmawan menggelengkan kepalanya. “Yang lainnya semua akan mendapatkan evaluasi negatif dalam catatan HRD mereka, tetapi buatmu ini sedikit lebih serius.” Dia melihat jam tangannya. “Aku mau mendinginkan kepala sebentar, tapi nanti aku perlu bicara denganmu di ruanganku lima belas menit lagi.” “Baik, pak.” Satria akhirnya berjalan keluar dari ruangan. Ia melihat jam tangannya dan membuat catatan singkat. Lima belas menit. Mungkin memberinya cukup waktu
4
[This is just a draft. Please do not copy.] untuk meninggalkan gedung sejenak dan membuat panggilan darurat seandainya masalah ini sampai menjadi akhir dari karirnya di Broomfield. Satria berjalan menyusuri lorong secepat mungkin tanpa menarik perhatian. Ia menyusuri jajaran cubicle dan ruangan-ruangan kaca, lalu berbelok menuju lift. Setelah menekan tombol lift, ia melangkah mundur dan melihat jam tangannya lagi. Empat belas menit. Dia harus segera bergegas.
2 Satria berjalan keluar melalui pintu kaca lalu melangkah menuju taman di samping gedung kantor Broomfield. Untuk memastikan ia tak didengar oleh siapapun yang datang dan pergi dari gedung, ia berjalan ke sudut jauh taman yang lebih sepi. Ia sengaja melangkahkan kakinya ke tempat terbuka, menundukkan kepala, lalu menekan tombol di telepon genggamnya. “Satria!” suara di seberang menjawab setengah terkejut. “Kau seharusnya tidak menghubungiku seperti ini. Bukankah jadwal update meeting kita minggu masih depan?” “Iya, iya, aku tahu. Tapi ini mendesak, tak bisa menunggu sampai minggu depan, Denny.” “Oke, oke. Ceritakan singkat padaku.” “Ada masalah besar hari ini,” Satria memulai paparannya. “Aku rasa aku melakukan beberapa kesalahan fatal pada penugasanku di Astra Graphia.” “Kesalahan apa?” Satria mengusap rambutnya, mengusir butiran keringat di dahinya, lalu duduk di sisi taman itu yang lebih teduh. “Aku nggak menyangka ini akan jadi masalah besar. Sebelumnya aku pernah mengalami hal seperti ini. Jadi aku berasumsi mungkin aku masih punya banyak waktu untuk sedikit bernapas dengan Broomfield. Tapi…” “Asumsi? Dasar bodoh!” “Sial kau. Ini hampir peak season. Aku masih yakin perusahaan tak mungkin membiarkan membiarkan siapapun keluar tahun ini. Ini satu-satunya cara agar pekerjaan ini berhasil, dan kau tahu itu, Denny.” “Tidak. Tidak kalau sampai kau dipecat, Satria. Kalau sampai itu terjadi, berarti kamu menghancurkan segalanya.” 5
[This is just a draft. Please do not copy.] Satria meremas kuat-kuat telepon genggamnya. Ia cuma bisa menggerutu. Sementara itu jam tangannya menunjuk waktu enam menit. “Aku ditarik dari penugasan di Astra Graphia. Semua anggota timku akan dipindahkan. Dan sebentar lagi aku harus menghadap Herry Darmawan.” “Gila! Apa yang sudah kau lakukan?” Suara yang dikenal sebagai Denny di seberang berkata dengan nada tinggi, “Dengar, terlalu banyak yang sudah kita korbankan. Aku tak peduli apa yang akan kau lakukan. Aku hanya perlu memastikan bahwa kamu masih memiliki pekerjaan di Broomfield. Terlalu banyak orang yang bergantung padamu, Satria. Aku tak tahu apa jadinya nanti kalau kau sampai gagal.” “Oke, oke, aku tahu,” kata Satria berusaha menenangkan lawan bicaranya itu. “Aku harus buru-buru. Aku cuma ingin kasih update saja. Aku kabari lagi nanti.” Satria mengumpat dalam hati sembari bergegas menuju kembali ke kantor Broomfield. Dalam imajinasi Satria, bangunan itu sebenarnya terlihat modern, memantulkan sinar matahari menjelang sore, tetapi juga menyiratkan kesuraman dan keputusasaan. Dalam perjalanannya kembali, ia merasa seolah-olah hendak memasuki kandang singa. Tapi ia mengingat betul pesan Denny di benaknya, bahwa ia harus mempertahankan pekerjaan ini, bahwa banyak orang bergantung padanya. Denny benar. Semua yang sudah mereka lakukan bersama-sama selama tiga tahun terakhir ini bisa hancur berantakan kalau sampai Satria mengacau lagi. *** “Satria, silakan masuk.” Kali ini sikap Herry Darmawan sedikit melunak sejak kemarahannya berkobar membara di ruang meeting lima belas menit lalu. Tapi itu justru membuat Satria makin kuatir. Biasanya sikap manis seperti itu diberikan pada seseorang sebelum mereka akan dipecat. Satria memandang sekeliling ruangan milik atasannya itu, seolah-olah dengan menunjukkan antusiasmenya, ia berharap masih bisa menyelamatkan karirnya. Di rak tersusun foto-foto keluarga, dalam format hitam putih, dengan latar belakang Jakarta di masa Orde Baru. Di sebelahnya bertengger ijazah dari Universitas Indonesia dan sejumlah sertifikasi profesional dari asosiasi profesi akuntan publik. Sementara di dindingnya terpajang lukisan seorang perempuan penari bali yang tersenyum manis karya Basoeki Abdullah. Lukisan itu Herry peroleh dari pelelangan Christie’s di Singapura tahun 1996 lalu. “Nah, Satria,” Herry Darmawan memulai, “Aku ingin langsung to the point. Aku tahu kau punya sedikit masalah Anda di beberapa penugasanmu belakangan ini. Karena masalah-masalah itu, sekarang para partner Broomfield mulai menaruh concern terhadap masa depan kamu di perusahaan ini.” Jleb. Kini jantung Satria mulai berdegup tak karuan.
6
[This is just a draft. Please do not copy.] Herry berhenti sejenak sebelum melanjutkan komplainnya. “Ada beberapa partner yang ingin kamu meninggalkan Broomfield. Dan setelah apa yang kalian kerjakan di Astra Graphia, mereka mungkin akan mencari KAP lain tahun depan. Kita bisa kehilangan klien yang selama ini sudah memberi income cukup besar ke perusahaan ini. Dan to be honest, sangat sedikit orang yang bisa selamat setelah melakukan kesalahan fatal seperti apa yang kamu lakukan kemarin.” Satria tidak mengatakan apa-apa. Dia duduk dalam diam, mempertahankan kontak mata dengan atasannya itu, dan menganggukkan kepalanya. Ia begitu khawatir karena salah kata atau salah gesture sedikit saja bisa merubah nasibnya di perusahaan ini. “Ketika kamu bergabung dengan perusahaan ini dua tahun yang lalu, kamu adalah kandidat terbaik yang kita punya. Kau lolos dengan skor tes masuk terbaik yang pernah ada. Ujian sertifikasimu sangat memuaskan. Kau juga berhasil lulus CFA level 2. Kamu adalah salah satu young gun yang paling menjanjikan di perusahaan ini. Tapi selama enam bulan terakhir kau nampaknya sudah kehilangan minat dalam pekerjaanmu. Evaluasi kinerjamu sebelumnya ‘exceeded expectations’, lalu turun jadi ‘met expectations’, malah sekarang berubah menjadi ‘needs improvement’. Aku sungguh tak mengerti, Satria. Apakah ini benar-benar profesi yang kamu inginkan selama ini? Ada apa sebenarnya yang terjadi padamu?” Satria hanya bisa menatap meja di hadapannya. Apa yang akan ayahnya katakan jika ia mengetahui semua ini? Professor Hanindyo adalah salah satu profesor akuntansi dan keuangan yang paling dihormati di negeri ini. Ia telah menulis puluhan textbook, memenangkan penghargaan nasional, dan pernah menjadi staf ahli kepresidenan semasa pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Satria takut membayangkan bagaimana reaksi ayahnya bila ia tahu anaknya berada di ambang pemecatan dari sebuah kantor akuntan publik sebesar Broomfield. Ia menerawang ke luar jendela. Hujan kini perlahan turun mengguyur kota Jakarta. Titik-titik air mulai menetes dan mengalir melalui kaca-kaca jendela. Perkataan Herry ada benarnya, bahwa Satria sudah mulai lelah dengan pekerjaannya ini. Yang Satria inginkan saat ini adalah keluar, minum-minum, dan bercanda bersama Andra dan Vino. Mengapa ia harus menyiksa diri sendiri seperti ini? “Tidak, hanya butuh bertahan sedikit lagi. Hanya sebentar lagi. Dan kamu akan bebas setelahnya,” katanya dalam hati mencoba menguatkan dirinya. Dia bisa merasakan mata Herry Darmawan padanya. “Saya sedang mengalami beberapa masalah pribadi akhir-akhir ini, Pak,” katanya berbohong. “Satria, kita semua memiliki masalah pribadi. Tapi di lingkungan semacam ini kita perlu untuk tetap profesional menangani masalah-masalah seperti itu. Atau kita tidak akan pernah berhasil.” “Saya tahu. Saya tahu itu, Pak,” katanya meminta maaf.
7
[This is just a draft. Please do not copy.] “Dengar, kita semua ingin kamu bisa sukses di sini. Tapi situasi ini sudah telanjur begitu parah sehingga kita perlu untuk secara resmi memasukkan kamu ke program ‘action plan’. Kamu harus membuat rencana aksi yang detil berisikan hal-hal yang jadi prioritas perbaikan apa yang akan kamu lakukan dan bagaimana rencana-rencanamu untuk mencapai target itu. Aku perlu melihat beberapa perbaikan segera.” Herry Darmawan terdiam sejenak sembari mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Ia lalu melanjutkan kembali, “Biasanya program ‘action plan’ ini lamanya tiga puluh hari, tetapi karena kita sedang ada di minggu kedua peak season seperti ini, aku kasih perpanjangan ke enam puluh hari. Kamu harus bisa tunjukkan progress yang bagus selama enam puluh hari peak season ini kalau kau benar-benar ingin melanjutkan karirmu di Broomfield.” Sejumlah bayangan berlompatan di pikirannya. Oke, ia masih bertahan di Broomfield dan tak dipecat dari pekerjaannya. Setelah semua kekacauan yang terjadi belakangan ini, ia masih bisa menjaga reputasinya tanpa dipecat. Insiden terakhir kemarin sudah hampir menjadi kiamat bagi Satria, tapi entah bagaimana, setelah semuanya cooling down, ia masih berdiri tegap. Denny benar, ia sudah telah terlalu ceroboh. Dan tidak ada toleransi bagi orang-orang yang ceroboh di dunia ini. “Terima kasih untuk kesempatan yang bapak berikan,” katanya. “Saya akan menyelesaikan masalah-masalah pribadi saya sampai tuntas, lalu memfokuskan seratus persen energi saya untuk memperbaiki performa saya.” “Aku tahu,” partner senior itu tersenyum. “Sekarang segera kau buat action plan-mu dalam beberapa hari ke depan supaya kita bisa melihat bagaimana kau akan mengatasi masalah-masalah ini. Tapi yang jelas, aku harus menarikmu dari penugasan di Astra Graphia. Kita akan menjadwalkan kamu pada klien yang lain minggu depan, dan kemudian kita bisa...” Herry Darmawan memotong ucapannya sendiri ketika telepon di mejanya berdering. Dia melihat di layar kecil teleponnya dan kemudian kembali pada Satria. “Kita ketemu lagi besok pagi. Kau siapkan action plan-mu.” Dia berbalik lalu mengangkat telepon. Satria membalik mapnya lalu membuat catatan singkat. Kemudian ia menutup foldernya, lalu berdiri untuk meninggalkan ruangan Herry. “Ya, Tuhan, Innalillahi,” kata Herry Darmawan ke telepon. “Nggak, nggak. Terima kasih, tapi biar nanti saya yang akan mengumumkannya ke semua orang. Tidak apa-apa... Biar saya yang nanti akan mengurusnya.” Satria berbalik untuk melihat atasannya itu setelah partner senior itu menutup teleponnya. Herry Darmawan menunjukkan wajah bingung. “Ada apa, Pak?” Herry Darmawan menggeleng. “Itu sekretarisku. Dia bilang baru mendapat telepon dari orang tua Andra. Andra baru saja mengalami kecelakaan setelah menelusur gua. Pagi ini tadi mayatnya ditemukan mengapung di sungai.”
8
[This is just a draft. Please do not copy.] Seumur hidupnya, Satria bukan orang yang bisa menghadapi kematian dengan tenang. Dia mencoba untuk mengambil napas dalam-dalam, tetapi udara terasa begitu dangkal seolah tak ada cukup ruang di paru-parunya. Dia merasa seakan-akan lehernya sedang dicekik. Bayangan mengerikan itu terpatri di dalam pikirannya. Penari bali dalam lukisan dinding itu kini seolah-olah tertunduk suram menunjukkan kesedihannya. Andra? Tidak. Itu tidak mungkin. Kehilangan salah satu rekan kerja terbaiknya tak pernah ada dalam benak Satria. Dia harus segera meninggalkan ruangan Herry Darmawan. Ia harus berhenti perusahaan. Dia harus keluar. Tapi seperseratus detik kemudian ia tersadar. Tak peduli betapa besar keinginannya untuk memulai hidup baru, ia tahu bahwa ia tidak mungkin bisa meninggalkan Broomfield. Setidaknya sampai semua sandiwara ini berakhir.
3 “Ding!” Pintu lift di lantai sepuluh kantor The Times itu terbuka. Seorang perempuan muda berambut lurus diikat seperti ekor kuda memasuki sarang para wartawan dan editor di sana. Para jurnalis itu sibuk dengan laptop mereka masing-masing. Beberapa pencari berita sibuk menelepon narasumbernya sembari membuat catatan dengan notes di cubicle mereka masing-masing. Kesibukan di kantor itu seolah-olah mengabaikan kehadiran perempuan ini. “Ya, Tuhan, Karin. Kenapa kamu ke sini?” tanya seorang editor senior sembari bangkit dari meja dan berjalan menuju ke arahnya. “Bu Wanda,” kata perempuan itu, “Pak Ferdi ada?” Editor senior itu menghampiri perempuan itu kemudian meraih bahunya, seolah ia baru saja kembali dari medan perang dengan tubuh penuh luka. “Karin, aku turut berduka cita, ya. Ini pasti berat buatmu,” kata wanita itu sambil memeluknya erat. “Kamu tahu kan, kamu tidak perlu datang ke kantor. Orang-orang bisa mengerti keadaan kamu sekarang.” “Terima kasih, Bu Wanda.” Ia hanya berusaha bersikap sopan. “Apa Pak Ferdi ada di kantor?” tanya Karin lagi dengan suara yang lebih tenang. Editor senior itu kemudian melepaskan pelukannya. “Ada, sayang, dia ada di ruangannya.” Karin mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu. Sungguh. Aku hanya perlu menyampaikan beberapa hal ke Pak Ferdi.” Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu mengangguk singkat sebelum bergegas meninggalkan editor senior itu menuju ke kantor kepala redaksi. 9
[This is just a draft. Please do not copy.]
Karin menggunakan buku-buku jari dan punggung tangannya untuk mengetuk pintu kaca kantor kepala redaksi. Ferdi Suwandi mendongak dari teleponnya sembari memberi isyarat dengan tangan menyuruhnya masuk. Ferdi duduk membungkuk di mejanya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda yang digulung sampai siku. Setelah selesai berbicara dengan suara di seberang, ia segera meletakkan gagang telepon di tempatnya. “Karin, kamu seharusnya jangan berada di sini,” katanya sambil berdiri. “Saya kan sudah beri kamu satu minggu cuti penuh.” “Pak, saya punya informasi yang perlu diselidiki lebih lanjut.” “Informasi? Ya, Tuhan! Apa yang kamu pikirkan saat ini? Kamu kan sedang berduka. Kamu tidak perlu melakukan investigasi apa-apa saat ini.” Dia menggelengkan kepalanya dengan bingung. “Pulanglah, Karin. Tolong luangkan waktumu untuk beristirahat dan menenangkan diri. Ini bukan saran. Ini perintah.” Karin tetap berdiri pada posisinya tak bergeming sama sekali. “Pak, sewaktu saya berhasil membuka skandal korupsi pengadaan di DPR, bapak berjanji saya boleh mengerjakan investigasi apapun yang saya inginkan. Bukan begitu janji bapak waktu itu?” “Iya, kamu boleh menginvestigasi isu apapun. Tapi kamu perlu waktu beberapa hari untuk menenangkan diri dulu. Aku belum pernah tahu ada wartawan yang bisa langsung bekerja setelah mengalami masalah berat sepertimu. Ambillah seminggu cuti, Karin, lalu nanti kita bahas investigasi ini setelah kamu kembali.” Karin mulai putus asa sekarang. Dia tidak membayangkan akan mendapat penolakan dari kepala redaksinya. Dia tahu kepala redaksinya itu hanya berusaha untuk membantu, tapi dia juga tahu bahwa dirinya tidak punya banyak pilihan. “Masalahnya informasi ini tak bisa menunggu, Pak,” katanya dengan derak frustrasi dalam suaranya. “Saya sudah mulai mengerjakan kulitnya. Kalau bapak tidak mendukung saya, lebih baik saya berhenti dan pindah ke Tempo atau ke Kompas.” “Ayolah, Karin...” Kepala redaksinya itu berjalan dari belakang meja, mengamati baikbaik ekspresi wartawannya itu dengan seksama. “Kau tahu, kamu ini reporter muda terbaik yang pernah kulihat dalam sepuluh tahun terakhir karirku di media. Aku tidak mau kehilangan kamu. Aku tahu kau punya kemampuan lebih. Kamu punya determinasi tinggi dan analisa yang kuat. Aku cuma berpikir itu terlalu dini buatmu untuk kembali ke sini. Aku sudah berkali-kali melihat jurnalis muda berbakat yang jatuh karena terlalu ambisius mengejar pencapaian di karir mereka. Ini adalah pekerjaan yang sulit, kamu tahu itu kan? Kamu akan belajar banyak. Dan untuk sementara waktu ini, cobalah kamu belajar untuk mendengarkan apa yang diminta oleh kepala redaksimu.”
10
[This is just a draft. Please do not copy.] “Pak Ferdi, cerita ini jauh lebih besar daripada skandal DPR itu.” Dia berjalan ke depan dan meraih salinan koran edisi pagi ini di mejanya. Karin mengambil pena merah, lalu menuliskan sesuatu di sisi halaman koran itu. Kepala editornya membungkuk untuk membacanya, dan matanya terbelalak menatap Karin. “Itu gila.” Karin hanya menggelengkan kepalanya. “Aku tak percaya padamu,” katanya. “Informasi apa yang kamu punya?” “Saya tidak bisa memberitahu bapak. At least, belum bisa untuk saat ini.” Ferdi berbalik dan berjalan ke luar jendela. Dia menatap gang-gang sempit yang membentang di sela-sela gedung perkantoran yang padat ini. Beberapa pejalan kaki berjalan melintasi lapak-lapak pedagang yang membuat jalan itu makin sempit. Di selasela kiri-kanannya duduk beberapa pengangguran dan peminta-minta mengharapkan belas kasihan orang yang lalu-lalang. “Oke,” katanya. “Pergilah ke Jogja. Aku akan beri kamu ijin untuk menyelidiki masalah ini. Tapi kamu harus buktikan informasi ini benar adanya. Jangan hanya sekedar omong kosong seperti cerita skandal lainnya. Kalau kamu benar-benar menemukan sesuatu, kita akan mendiskusikannya sambil jalan bersama-sama dengan yang lain. Tapi untuk sementara waktu, sebaiknya masalah ini tetap off-the-record di antara kita saja. Mengerti?” Ketika Ferdi berbalik untuk melihat Karin, ia hanya melihat pintu kaca berayun dan bayangan perempuan itu sudah pergi meninggalkan ruangan kantornya. *** Hari Rabu pagi, Satria berjalan memasuki ruangan Herry Darmawan yang masih kosong. Laptop Herry masih menyala dengan deru kipas yang terdengar halus. Ia bisa menduga atasannya itu pasti tidak jauh. “Pagi, Satria,” kata Herry Darmawan sambil berjalan memasuki ruangan. “Senang kau bisa datang ke sini.” “Pagi.” “Satria, ini soal Andra. Aku tahu kalian berdua teman baik. Andra juga salah satu dari lima senior associate, seperti kamu. Dia kan mengawasi salah satu klien terbesar kita.” “Intermedia,” kata Satria, menyebut nama perusahaan software terbesar di negeri itu. Mereka mengkhususkan diri dalam perangkat lunak aplikasi bisnis yang juga digarap oleh Oracle, Microsoft, dan Metrodata. Yang menarik, berbeda dengan kebanyakan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang berbasis di Jakarta, kantor pusat 11
[This is just a draft. Please do not copy.] Intermedia justru berada di Yogyakarta. Jauh dari riuh-rendah ibukota yang bising dan melelahkan. “Ya. Nah, kita semua terkejut dengan kematiannya yang mendadak. Tapi kita masih punya beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Kita berada tepat di tengah-tengah tiga bulan pekerjaan yang dijadwalkan untuk akhir tahun audit keuangan mereka. Tim kita sebelumnya sudah bekerja di Intermedia selama enam minggu terakhir, dan Andra mensupervisi mereka di lapangan. Kita berada dalam schedule yang begitu ketat. Jadi kamu akan kita tugaskan untuk menggantikan Andra sampai kita menyelesaikan pekerjaan ini. Aku tahu itu mungkin berat bagimu, mengambil alih pekerjaan dari rekan kerjamu begitu cepat setelah kematiannya. Tapi kita harus membereskan semua ini. Aku tahu kepergian Andra adalah berita buruk, tapi di sisi lain ini adalah kesempatan emas buatmu. Kamu bisa lepas dari masa percobaanmu.” Satria tak bisa berkata-kata. Kemarin lehernya seperti disumbat, namun hari ini dia justru diminta memimpin tim audit Intermedia. Ia hampir tidak bisa percaya akan keberuntungannya. Selama kuliah, ia telah menulis dengan begitu lengkap tentang Intermedia dan pendirinya yang karismatik, Gunawan Pradana. Dalam tesisnya, Satria meneliti korelasi antara kepemimpinan korporasi yang ambisius dan strategi inovatif yang mendorong pertumbuhan keuangan. Sosok Gunawan sudah menjadi legenda dalam dunia high-tech. Berawal dari bawah, berjuang merintis Intermedia, sampai menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini. Tidak ada pengusaha lain yang Satria hormati seperti halnya Gunawan Pradana. Tapi kegembiraan Satria segera dikalahkan oleh realita yang ada di hadapannya. Dia merasa bersalah menyelesaikan proyek yang sudah dikerjakan setengah jalan oleh Andra, sahabat karibnya sendiri. Sudah kurang dari dua puluh empat jam sejak ia pertama kali mendengar tentang kematiannya, dan sekarang ia harus mengumpulkan dan menyaring file serta working paper dari ruang kerja dan laptop temannya itu untuk mencari informasi yang relevan dengan penugasan audit yang ia kerjakan. Dia merasa canggung. Bagaimana bisa dia bekerja pada Intermedia seperti mimpi yang seolah-olah tidak pernah terjadi? Tapi bagaimana bisa dia menyingkirkan bayangan tentang kematian teman baiknya itu? “Kira-kira kapan bapak ingin saya pergi ke Intermedia?” tanya Satria, berharap ia akan diberikan waktu untuk mencerna semua ini. “Secepatnya,” kata Herry Darmawan datar. “Aku e-mail segera informasi kontak dan arahan kerjanya. Working paper Andra ada di ruang audit mereka di Intermedia. Aku sudah minta departemen IT untuk mencari file dari laptopnya. Apapun yang berhubungan dengan Intermedia. Kamu harus segera berkoordinasi dengan mereka selambat-lambatnya sore ini.” Satria berdiri dan berbalik untuk meninggalkan ruangan, namun Herry Darmawan menghentikannya. “Oh ya, satu hal lagi. Aku harus mempercayakan penugasan ini semua kepadamu. Ini adalah kesempatan terakhir kau untuk bisa berhasil di perusahaan ini. Kalau kamu melakukan semua yang aku minta, tidak akan ada masalah. Kita hanya perlu 12
[This is just a draft. Please do not copy.] melewati bulan depan, sampai proyek ini selesai dikerjakan. Tapi awas, jangan sampai kau mengacau lagi.” “Baik, Pak.” Satria mengangguk. Tapi dalam hati sebenarnya ia memiliki kecurigaan. Agak aneh bagi Herry Darmawan untuk menempatkan dirinya untuk mengerjakan audit dari salah satu klien terbesar perusahaan. Ia tahu bahwa scheduling committee mungkin tidak menemukan pilihan lain yang lebih baik setelah kematian mendadak Andra. Tapi ditugaskan Herry untuk menangani klien besar setelah melakukan kesalahan yang berulang adalah sebuah tanda tanya besar. Instingnya kini berada dalam siaga tinggi.
4 Keesokan harinya, pesawat Garuda Indonesia GA-200 yang membawa Satria mendarat di Bandara Adi Sutjipto. Suasana bandara hari itu cukup ramai. Hampir bersamaan dengan datangnya pesawat Satria, tiga pesawat domestik dan satu pesawat dari Singapura mendarat di sana. Segera setelah mendapatkan kopernya dari ban berjalan, Satria segera bergegas keluar pintu kedatangan. Seorang kurir menunggunya di depan, membawakan Honda Jazz hitam untuk Satria sewa selama dua bulan ke depan. Broomfield sudah mengatur penyewaan mobil dan apartemen yang bisa Satria gunakan hingga penugasan di Intermedia selesai. Walaupun kota Jogja tak sebesar Jakarta, sudah menjadi kebijakan kantor untuk menyediakan transportasi dan akomodasi bagi staf audit mereka. Selain mobil dan apartemen yang disediakan kantor, Satria juga dibekali kartu kredit perusahaan yang bisa ia gunakan untuk membayar pengeluaran yang nantinya bisa ia tagihkan kepada perusahaan. Tak sampai setengah jam kemudian, Satria tiba di Intermedia Building, kantor berlantai sembilan yang akan menjadi tempat kerjanya selama dua bulan ini. Melangkah keluar dari mobilnya, ia menyandang messenger bag berwarna kulit kecoklatan yang berisi laptop dan sejumlah dokumen. Koper yang ia bawa dari Jakarta ia tinggalkan di dalam mobil. Jadi, inilah kantor pusat Intermedia, perusahaan yang lima belas tahun lalu mengakuisisi tiga perusahaan sekaligus dan mengalahkan penawaran hostile takeover dari perusahaan besar dari Jepang. Itulah turning point yang membuat Intermedia jadi sebesar ini sekarang. Selama lebih dari lima tahun terakhir, Satria selalu mengikuti perkembangan Intermedia. Di halaman depan Bisnis Indonesia pagi ini, perusahaan dilaporkan berhasil membukukan laba yang melampaui ekspektasi analis di pasar. Harga sahamnya terus menanjak dari waktu ke waktu setelah krisis finansial yang terjadi beberapa tahun lalu. Satria masih belum percaya bahwa dirinya kini menjadi person in charge untuk mengerjakan audit atas laporan keuangan Intermedia yang menarik begitu banyak analis dan investor pasar modal. 13
[This is just a draft. Please do not copy.] Memasuki Intermedia Building, lobi kantor itu didominasi warna biru yang sejuk, dengan lantai marmer hitam yang elegan, luasnya hampir seukuran lapangan futsal. Logo Intermedia yang menyerupai diamond dengan tulisan putih di bawahnya terpampang dengan begitu elegan di salah satu dindingnya. Dua kursi panjang terbuat dari kayu jati berukiran tradisional memisahkan antara pintu masuk dengan meja security di sisi lain. Satria berjalan menuju petugas security yang sedari tadi sudah memperhatikan kedatangannya. “Saya ingin bertemu dengan Bapak Frans Tarigan,” kata Satria. “Saya auditor dari Broomfield.” “Ini pertama kalinya bapak datang ke Intermedia?” Tanya penjaga dengan nada ramah sambil tersenyum. “Ya.” “Sebentar,” petugas security itu berbalik untuk mengecek di komputernya. “Nama bapak?” “Satria Hanindyo.” “Yak, ini dia. Tapi sepertinya ID card bapak harus di-extend.” “Iya, saya memang rencananya akan berada di sini selama dua bulan.” “Mari saya antar bapak untuk ke bagian security,” kata petugas security itu. Sembari berjalan menyusuri koridor, lalu menuruni lift, ia menjelaskan, “Di kantor ini, bapak perlu ID card untuk naik ke lantai atas, tetapi tak perlu ID card untuk turun. Nanti mereka akan memeriksa identitas bapak dan membuatkan ID card khusus. Kemudian setelah itu silakan bapak datang kembali lagi ke resepsionis, dan saya akan memberitahu Bapak Frans kalau bapak sudah siap.” “Oke, terima kasih,” jawab Satria. Pintu lift terbuka di lantai basement. Setelah menunjukkan ruangan yang dimaksud kepada Satria, petugas security itu lantas kembali ke atas. Ia tidak terkejut dengan keamanan yang superketat semacam ini. Maklum, kode pemrograman dan intellectual property adalah urat nadi setiap perusahaan software. Jika sampai ada orang yang salah bisa mendapat akses ke informasi sensitif dalam gedung ini, maka perusahaan bisa rugi besar dan kehilangan semua kerja kerasnya selama ini. Satria menghabiskan lima belas menit berikutnya menunggu ID card miliknya. Setelah itu, ia kembali ke lift, lalu menunggu di lobi untuk bertemu dengan Frans. Seorang pria berusia sekitar empat puluhan, dengan badan yang tegap dan rambut yang nyaris botak, berjalan menghampirinya.
14
[This is just a draft. Please do not copy.] “Satria?” kata pria itu sembari mengulurkan tangan kanannya. “Selamat datang di Jogja.” Satria tersenyum, menjabat tangan pria itu. “Pak Frans?” Pria itu mengangguk. “Mari, silakan ikuti saya. Saya akan ajak Anda berkeliling.” Mereka berjalan menuju lift, lalu Frans menekan tombol kemudian berbalik untuk melihat kembali koridor. Sesaat setelah pintu lift terbuka, ia bergeser sedikit ke samping, memberi isyarat kepada Satria untuk memasuki lift terlebih dahulu. “Sugeng rawuh di kantor Intermedia, Satria.”
5 Lantai sembilan kantor Intermedia adalah sekumpulan cubicle dengan ruang kerja yang terbuka. Hampir seluruh meja terisi dengan karyawan yang sibuk dengan komputer masing-masing. Frans menunjukkan kepada Satria kantor bagian akuntansi sebelum mereka akhirnya berpindah ke sudut lantai tersebut. Sebuah ruang konferensi berpintu kaca membentang sepanjang lorong tampak seperti terisolasi dari kesibukan kegiatan kantor Intermedia. Tumpukan dokumen setinggi hampir dua meter berjajar di dalamnya hampir menutupi meja berukuran besar yang ada di tengah-tengah ruangan itu. “Ini ruang meeting yang sudah disiapkan untuk auditor eksternal,” kata Frans sembari melirik arlojinya. “Seperti yang Anda lihat tadi, orang-orang sedang sibuk saat ini. Akan ada meeting dewan direksi, jadi semuanya serba tegang.” “Oh, ada meeting direksi hari ini?” kata Satria sambil meletakkan messenger bag di meja. “Iya. Mereka segera terbang ke sini segera setelah kami mendapat kabar adanya takeover bid dari Metrodata.” Frans segera menyadari mimik muka Satria yang keheranan. “Anda belum tahu soal itu, ya? Saya rasa publik baru mendapat informasi ini beberapa jam lalu. Begini, kemarin Metrodata mengajukan penawaran informal untuk men-takeover Intermedia. Merger ini akan membuat Intermedia-Metrodata menjadi perusahaan software terbesar ketiga di Asia Pasifik. Beberapa direksi ada yang mendukung rencana ini. Tapi ada beberapa juga yang menolak. Saya kuatir situasi mungkin akan memanas karena rencana ini.” “Oh, I see,” kata Satria. Dia bertanya-tanya dalam hati mengapa Herry Darmawan tidak pernah mengatakan apa-apa kepadanya, padahal seorang partner senior seharusnya sudah mengetahui informasi rahasia itu sebelum diumumkan kepada publik. 15
[This is just a draft. Please do not copy.] “Silakan tinggalkan barang-barang Anda di sini. Kita bisa melanjutkan jalan-jalan.” Satria meletakkan tasnya di sisi meja konferensi, kemudian mereka berdua berjalan menyusuri lorong. Dia belum pernah melihat kantor seperti ini. Ruangannya elegan, simpel, mengesankan suasana yang modern dan trendi. Boleh jadi ini adalah kantor terbersih yang pernah Satria audit selama ini. Tapi di sudut yang lain, kantor ini juga menunjukkan nuansa tradisional jawa yang klasik. Tak henti-hentinya Satria mengagumi Intermedia. Setelah mengitari sebagian besar lantai, mereka sampai di koridor terakhir. Yang mengejutkan Satria, koridor ini lebih tradisional. Karpetnya begitu halus, dengan lorong berpanel kayu yang dipenuhi gantungan foto-foto kota Jogja di masa lalu. Ada foto perempatan tugu dengan latar belakang Gunung Merapi yang indah. Ada foto alun-alun di akhir tahun 1800an. Ada pula foto Malioboro dan Pasar Beringharjo yang baru selesai dibangun. “Ini adalah executive wing,” kata Frans mengantisipasi pertanyaan Satria. “Kantor saya berada di ujung lorong. Itulah kantor Pak Gunawan Pradana.” Frans menunjuk ke sudut suite yang besar. Di dalam dinding kaca, Satria bisa melihat sebuah meja kayu jati klasik yang mewah. Ada dua kursi duduk menghadap meja yang sepertinya diletakkan hanya untuk formalitas belaka. Ada dua sofa kulit di bagian lain ruangan itu. Satria menyimpulkan bahwa sepertinya beberapa pertemuan Pak Gunawan itu berlangsung dalam suasana yang lebih santai. “Pak Gunawan mungkin tidak akan berada di sini sampai besok,” lanjut Frans. “Beliau biasanya ada di sini hanya satu atau dua hari dalam seminggu. Kadang beliau bepergian untuk bisnis, tapi beliau bekerja tidak terlalu lama belakangan ini.” “Apa yang biasanya Pak Gunawan lakukan ketika tidak ada di sini?” Frans berhenti dan berbalik menatapnya. “Cuaca sedang bagus dan laut sedang surut beberapa hari ini. Mungkin beliau sedang memancing.” “Memancing?” Satria tidak berusaha untuk menyembunyikan keheranannya. “Bukannya Pak Gunawan sudah sepuh? Kalau tidak salah sudah tujuh puluh lima?” “Iya. Menarik, bukan?” kata Frans. “Pak Gunawan itu tak seperti orang sepuh kebanyakan. Beliau masih suka menyetir sendiri jip hardtop-nya ke bukit-bukit pantai selatan Gunung Kidul. Beliau dan beberapa temannya menghabiskan waktu semalaman mendaki bukit, mencari spot-spot yang belum terjangkau orang lain, lalu semalaman memasang kailnya.” Frans bersandar ke arah Satria, sampai ia menyadari seolah ia terlalu banyak menceritakan hal pribadi tentang sosok miliarder itu. “Pak Gunawan juga punya vila mewah di dekat Pantai Indrayanti. Beliau biasa menghabiskan sebagian besar waktunya di sana. Beliau bahkan sering menghabiskan seminggu penuh di sana.”
16
[This is just a draft. Please do not copy.] “Tapi...,” kata Satria, “siapa yang bertanggung jawab menjalankan perusahaan jika beliau pergi begitu sering?” Frans mengangguk ke arah ruangan di sisinya. “Pak Gunawan punya seorang anak laki-laki, Damon Pradana. Ia menyelesaikan MBA-nya dari Amerika empat tahun lalu, dan Pak Gunawan sudah menyiapkan dia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan CEO. Sebagai co-president, ia bertanggung jawab atas sebagian besar operasional sehari-hari Intermedia. Tetapi ia juga memainkan peran CEO ketika Pak Gunawan sedang tidak berada di sini.” Tiba-tiba, suara teriakan meledak dari sebuah pintu di dekatnya. Tak satu pun dari Satria maupun Frans bisa menyimak apa yang dikatakan. Tapi suara itu jelas menujukkan adu argumen yang begitu keras. Frans mencoba untuk mengalihkan perhatian Satria untuk kembali ke sisi kantor Intermedia yang lain, tapi Satria dengan mudah mengabaikannya. Ia justru berusaha untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik ke arah ruangan itu. Ia bisa melihat seorang marah dan berteriak di telepon sembari memukul-mukul lengannya. “Ayo, mari kita kembali,” kata Frans lebih tegas sambil meletakkan tangannya di bahu Satria. Frans melangkah di depannya. “Pak Damon mungkin sedang membahas masalah sensitif. Sekarang, tolong, Anda kembali ke ruang audit.” Satria tersenyum dengan terpaksa, lalu mengangguk. Mereka berbalik dan berjalan kembali ke arah tadi mereka datang. “Well, monggo silakan Anda atur segala sesuatunya,” kata Frans. “Tumpukantumpukan kertas di sana adalah bekas pekerjaan Pak Andra terakhir.” Dia bergerak menjauh, kemudian berbalik di ambang pintu. “Oh iya, kapan sisa tim audit Anda akan datang?” “Akan ada dua staf lagi datang besok, Pak. Mereka akan ada di sini selama empat minggu. Mungkin Pak Herry Darmawan juga akan datang minggu depan untuk meninjau beberapa kertas kerja.” Frans mengangguk. “Oke, beri tahu saya kalau Anda butuh sesuatu.” Lalu ia melangkah pergi. Satria mengeluarkan laptop yang dibawa dari kantornya, mencolokkan kabel LAN untuk menyambung koneksi jaringan, lalu menyalakannya. Dia melihat sekeliling ruang itu dengan perasaan yang aneh mengingat ia harus tenggelam dalam pekerjaan yang sedang dikerjakan temannya yang kini sudah tiada. Ia memandang tumpukan kertas yang telah mengisi pikiran temannya itu sebelum kematiannya. Bahkan mungkin ia sedang menduduki kursi Andra. Sembari mengambil napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar secara perlahan, Satria membuka e-mail dari Herry Darmawan. Semua file untuk Intermedia telah diambil dari komputer Andra. Dia mencoba untuk mengendalikan pikirannya sendiri dan 17
[This is just a draft. Please do not copy.] membuang bayangan buruk itu jauh-jauh. Ini adalah penugasan audit yang besar dan ia harus fokus agar bisa menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu. Tetapi bahkan saat ia mulai membuka beberapa file di layar laptopnya, pikirannya terus berkelana kembali ke Damon Pradana. Apa yang ia teriakkan tadi? Tapi yang lebih penting, mengapa Pak Gunawan yang legendaris itu bukannya menghadiri pertemuan darurat dengan dewan direksi untuk membahas takeover bid yang mengancam Intermedia? Mengapa ia malah pergi memancing, bukannya mengurus perusahaan yang telah dibangunnya susah payah selama tiga puluh tahun terakhir ini?
6 Karin berjalan memasuki kedai kopi Starbucks yang ada di seberang Sarinah. Ia menatap sekeliling sampai matanya menemukan wajah yang familiar baginya. Duduk di sudut belakang kedai kopi, seorang laki-laki sepantaran usianya terlihat gugup. Karin bergegas menghampiri, melewati bangku dan sofa yang dipenuhi orang-orang kantoran, menyisakan space yang tak bisa dibilang memadai. Matanya seakan-akan tersenyum, tetapi mulutnya menunjukkan raut yang serius. “Kamu nggak mau pesan minum dulu?” kata laki-laki itu sambil menjabat tangan Karin. “Nggak. Aku nggak lama kok.” “Aku kira kita nggak akan melakukan hal seperti ini lagi,” kata laki-laki itu kepada Karin. Ia mencondongkan badannya ke depan seraya mengangkat bahunya seolah berusaha menyembunyikan diri. “Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” “Kamu bilang udah nggak akan melakukan ini lagi.” “Dan kamu percaya gitu aja?” kata Karin sambil tersenyum. Laki-laki itu menghela nafas. “Nggak. Aku nggak pernah berpikiran kalau bakalan secepat ini.” “Kamu terlalu baik, Putera. Pantas saja gadis-gadis itu semua tergila-gila mengejarmu.” Ia tersenyum. “Ah, kamu.” Ia melirik ke bahu kanannya pada sekelompok ibu-ibu muda yang sedang ramai bergosip beberapa meja di sisinya. “Oke, baiklah. I’m here. What can I do for you?” 18
[This is just a draft. Please do not copy.] “Kamu punya teman di Broomfield?” “Broomfield? Tentu saja aku punya kenalan di sana. Tapi buat apa? Bukannya kakakmu ada di sana? Kalau kamu butuh sesuatu, kamu kan tinggal tanya sama Andra. Dia tahu semuanya.” Raut muka Karin kemudian tertunduk lesu. “Jadi, kamu belum dengar berita itu?” katanya dengan suara yang nyaris tertelan riuh rendah ibu-ibu arisan di seberang. “Berita apa, Karin? Kamu baik-baik aja, kan?” “Andra meninggal.” Karin membungkuk dan menatap kakinya di bawah meja. Bayangan tentang kematian kakak kandungnya memang masih terasa sangat asing baginya. Ia begitu membenci dirinya sendiri. Masih terlalu sulit baginya untuk menerima fakta yang menyedihkan itu. Ia ingin sekali berpura-pura bahwa ini hanyalah lelucon April Mop. Ia ingin sekali terbangun dari mimpi buruk yang begitu ia benci ini. “Hah?” Putera nampak terkejut. “Bagaimana bisa?” “Kecelakaan. Ia terjatuh sewaktu caving di gua bawah tanah.” “Innalillahi, Karin. Andra… Andra meninggal? Aku… aku turut berduka.” Karin menyeka air mata yang tak terasa sudah membasahi pipinya. “Thanks, Putera. Tapi aku… aku ke sini bukan untuk itu. Aku butuh bantuanmu di Broomfield. Kamu bisa bantu aku, kan?” “Tentu. Tentu saja. Apapun yang aku bisa, akan aku bantu. You tell me.” “Ini,” kata Karin, sembari menarik secarik kertas surat bergaris dari tasnya. “Aku menulis semuanya di situ. Itu yang aku butuhkan saat ini.” Putera mengulurkan tangannya meraih secarik kertas surat itu lalu membacanya. Jarijarinya mengetuk-ngetuk meja, seolah merasakan ada sesuatu yang tak bisa ia ceritakan semuanya. “Kamu perlu ini buat apa? Headline apa yang mau kamu tulis dari ini?” kata Putera sembari melipat surat itu. “Ini bukan soal manajer proyek yang mengkorup tender pemerintah kan? Ini jauh lebih besar dari itu, Karin. Aku akan coba hubungi kenalanku di Broomfield. Tapi aku belum bisa menjanjikan kamu apa-apa saat ini.” Karin menatapnya dengan mata sedih yang mendalam. “Kamu adalah mahasiswa hukum terbaik yang aku kenal, Putera. Suatu hari kelak kamu akan jadi lawyer yang hebat atau jaksa agung di negeri ini. Aku tahu kamu akan melakukan yang terbaik untuk membantuku. You know me. Tolong bantu aku. Tak perlu aku jelaskan buat apa. Yang jelas ini sesuatu yang penting.”
19
[This is just a draft. Please do not copy.] “Oke. Katakan saja itu bukan sesuatu yang pribadi. Just tell me it has nothing to do with Andra, okay?” Karin tak menanggapi. Ia bangkit dari duduknya, lalu menjabat tangan Putera. “Thanks, Putera.” Lalu ia berbalik dan berjalan ke pintu keluar dimana matahari sore menyambutnya dengan sinar jingga yang menyilaukan mata.
7 Tepat pukul enam Jum’at pagi, Satria berjalan melewati bayang-bayang lantai sembilan kantor Intermedia. Sensor gerak otomatis menyalakan deretan lampu menerangi lantai itu. Baginya, kantor ini adalah perkawinan yang harmonis antara unsur modern yang progresif dan unsur tradisional Jawa yang terkesan mistis. Ia melirik satu kamera CCTV yang mengintip keluar dari bola hitam kaca di langit-langit. Satria bertanyatanya dalam hati apakah di suatu tempat di ruang security kantor ini ada mata manusia yang sedang mengawasi gerak-geriknya. Setelah hanya satu hari kemarin bekerja dengan klien barunya, Intermedia, ia sudah membaca sebagian besar dokumentasi dalam file audit. Sejauh ini, ia tidak melihat sesuatu yang tidak wajar dengan account milik Intermedia selain pertumbuhan laba yang mengesankan selama beberapa tahun terakhir. Broomfield menyimpan semua working paper dengan rapi, tetapi ia tidak juga menemukan catatan merah di file audit Intermedia. Tapi ia juga menemukan bahwa Andra ternyata sedang melakukan uji audit dalam urutan yang tidak biasa. Ini mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi Satria merekam baik-baik dalam ingatannya untuk diinvestigasi lagi kemudian. Ia berjalan menuju pantry, mengambil mug, lalu menyalakan coffee maker. Ia mengamati sekeliling dengan seksama. Bagi orang yang selama ini bekerja di Jakarta, ia belum terbiasa menerima kenyataan bahwa di jam seperti ini belum ada orang lain yang muncul untuk bekerja. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai orang pertama yang tiba di kantor pagi hari dan yang terakhir meninggalkan kantor di larut malam. Tapi kebanggaan itu harus ia hapuskan setelah mendapati seorang laki-laki yang keluar dari ruangan membawa cangkir teh sambil mengapit koran di lengannya. “Pagi,” kata pria itu ramah. Dia mungkin berusia enam puluhan, tetapi postur tubuhnya terlihat kuat seperti seorang atlet. Rambutnya berwarna keperakan dipotong pendek dengan pakaian bermotif batik parang penggede. Motif ini didominasi warna coklat gelap dengan pola bunga yang sedang merekah dan kupu-kupu besar yang indah menggambarkan kebesaran pemiliknya. Kesan pertama yang ia tangkap dari laki-laki itu adalah kesederhanaan, ketenangan, dan kebijaksanaan yang dominan. “Selamat pagi,” jawab Satria. 20
[This is just a draft. Please do not copy.] “Belum banyak orang yang muncul sepagi ini,” kata orang tua itu dengan senyum hangat. “Bahkan mungkin cuma ada kita.” “Mungkin sebentar lagi orang-orang akan datang,” kata Satria sembari memutar badannya kembali menuju coffee maker. Pikirannya masih tertuju pada pekerjaan audit yang dilakukan Andra. Ia tidak sedang ingin berbasa-basi. “Hmmm,” gumam laki-laki itu kepada Satria. “Saya belum pernah melihat sampean di sini. Sampean orang baru?” “Oh, saya salah satu auditor, pak. Saya baru datang ke sini kemarin.” “Jadi, sampean dari Broomfield. Siapa nama sampean?” “Satria Hanindyo,” katanya sembari menjabat tangan laki-laki tua itu. Ia kembali memutar badannya dari coffee maker terpaksa harus melayani basa-basi laki-laki itu. “Selamat datang di Intermedia, Satria. Nama saya Gunawan Pradana. Saya harap semua orang di sini bisa membantu mendapatkan apa yang sampean butuhkan.” “Ya, semua orang di sini sangat baik dan kooperatif,” kata Satria sambil mengutuk dirinya sendiri karena tidak mengenali lawan bicaranya itu. Melihat lebih seksama, ia sekarang menyadari sosok laki-laki di hadapannya itu sebenarnya menunjukkan citra yang sama seperti yang ia lihat dalam foto-foto di koran dan majalah: semangat muda, kecerdasan yang luar biasa, serta kepercayaan diri yang tinggi. “Bagus. Kita punya beberapa orang hebat yang bekerja di sini, jadi saya yakin mereka akan membantu sampean dan teman-teman dengan sebaik mungkin.” Gunawan selesai menyeduh tehnya lalu beranjak pergi. Tak diragukan lagi, laki-laki itu sudah membungkus pikiran briliannya dengan masalah-masalah berat yang harus ia hadapi hari ini. Sementara itu, kembali ke ruang konferensi dengan kopinya, Satria segera tenggelam dalam setumpuk pekerjaan. Ia berada di ruang itu selama lebih dari satu jam sampai ia mendengar dua suara mendekat. Dua staf audit yang muda masuk ke ruang konferensi. “Pagi,” katanya. “Pagi, pak.” jawab mereka serentak. Firman memiliki rambut yang gelap, tebal, dan alis yang gelap. Ia sedikit lebih pendek dari rekan kerja wanitanya. Ia terlihat bingung, seolah-olah ia terus-menerus merenungkan masalah yang tidak akan pernah ia selesaikan. Sementara Dita rambutnya lurus panjang hingga ke punggung. Ia tampak seolah-olah baru saja selesai keramas dan keluar dari kamar mandi. Satria tersenyum kecut pada
21
[This is just a draft. Please do not copy.] dirinya sendiri. Peak season di kantor audit baru akan dimulai beberapa minggu lagi, tapi bekerja dengan fresh graduate seperti ini sudah menambah pusing Satria. Dia sempat terpikir untuk meminta mereka menginvestigasi mengapa Andra melakukan uji audit yang tidak seperti biasanya. Tapi sedetik kemudian ia memutuskan untuk menyimpannya bagi dirinya sendiri untuk saat ini. *** Putera meninggalkan Gedung KPK dan bergegas menuju jembatan penyeberangan. Sejak ia mengambil pekerjaan di tempat itu, hidupnya selalu berpacu melawan waktu. Putera mengambil ponsel di sakunya lalu mencari nama Karin. Ia berhenti sesaat sambil melihat sekeliling, kemudian ia menekan tombol hijau, hingga nada dering terdengar di seberang. “Halo, Putera?” suara di seberang menjawab dengan latar belakang yang dipenuhi suara orang-orang yang sibuk berbicara satu sama lain. “Hai, Karin. Aku sudah dapatkan apa yang kamu punya. Kita ketemu di Grand Indonesia 30 menit lagi? Kafe biasa.” “Oke. I’ll be there in a minute.” Putera menuruni jembatan penyeberangan lalu bergegas menyetop taksi kosong yang lewat di depannya. Ia melihat sekeliling sebelum menaiki taksi, seolah-olah kuatir dirinya sedang dibuntuti seseorang. *** Karin tiba lebih dahulu di tempat yang dijanjikan. Kantor tempatnya bekerja hanya berjarak dua halte busway dari mall ini. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela sambil menatap dinding pencakar langit di luar. Ia berfikir siapakah mereka ini? Ia hanyalah reporter yang baru satu setengah tahun ini bekerja. Sedangkan Putera baru punya pengalaman hukum kurang dari tiga tahun. Tapi mereka pikir mereka bisa melacak setiap elemen korup dalam pemerintahan, mengekspos setiap penjahat yang mencuri uang rakyat—itu adalah hal yang sering mereka bicarakan dengan antusias semasa mereka berdua masih kuliah. Seorang jaksa muda dan seorang jurnalis junior seolah seperti kombinasi yang sempurna saat itu. Putera bisa memberinya informasi yang tidak bisa dia peroleh. Sebaliknya, ia bisa menulis artikel untuk membentuk opini publik yang nantinya akan memudahkan investigasi Putera. Kolaborasi ini, di atas kertas, terlihat sempurna. Tapi sekarang mereka telah menjadi terlalu ambisius. Sebelumnya mereka hanya mengerjakan korupsi dan suap pemerintah di tingkat daerah, kini mereka mencoba menguak skandal korporasi yang besar. Bukan tidak mungkin orang-orang pemerintah pusat terlibat. Wajar bila Putera menjadi sangat gugup. Karin hanya berharap ia bisa meyakinkan Putera bahwa semua ini akan berhasil. Ia hanya butuh sedikit waktu lagi.
22
[This is just a draft. Please do not copy.] Lamunannya buyar saat Putera datang menghampirinya. “Siapa itu?” tanya Karin sambil menunjuk seorang pria berbadan tegap mengenakan pakaian safari hitam. “Entahlah. Aku tak merasa ada yang mengikuti. Apa laki-laki itu mengamatimu sedari tadi?” Putera balik bertanya. “Oh, nggak,” sahut Karin sambil mempersilakan ia duduk. Putera menyerahkan sebuah USB flash disk. “Ini beberapa data yang kamu minta.” “Beberapa?” “Ini informasi yang sensitif. Aku belum bisa memberikan semuanya.” “Kenapa?” Sambil mencondongkan badannya ke depan, Putera membetulkan posisi duduknya, lalu berbisik lirih, “Kita harus berhati-hati tentang hal ini, Karin.” “Ada perbedaan tipis antara apa yang legal dan apa yang tidak,” katanya. “Sumberku memberikan daftar klien yang sesuai dengan penugasan perusahaan. Aku juga minta dia untuk mengecek nama-nama supervisor mereka. Ini dokumen internal milik Broomfield. Ini dianggap sebagai informasi rahasia oleh aturan hukum, tapi aku bisa membela tindakan kita kalau memang kita akan mem-whistle-blowing Broomfield. Aku bisa bilang bahwa sumberku datang kepadaku membawa informasi ini karena curiga dengan aktivitas perusahaan. Tapi aku tak bisa bergerak lebih jauh dari itu. Kita juga belum punya kecurigaan apa-apa yang terbukti, bukan?” Karin tahu dia benar. Dia begitu bersemangat untuk mendapatkan informasi tentang Broomfield dan Andra. Ia baru saja menerabas jalan ke depan, meminta suatu informasi sensitif, tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukumnya. “Tapi setidaknya nama semua karyawan, supervisor, manajer, dan penugasannya ada di data ini, bukan?” Ia menyandarkan lagi kepalanya ke jendela, bertanya-tanya apakah flash disk kecil ini berisi cukup informasi untuk mengidentifikasi siapa yang bekerja dengan Andra di Broomfield. “Ya. Ini data terakhir.” “Sebenarnya, ada apa sih?” tanya Putera. Karin menatap ke arah luar. Langit beranjak gelap dan titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Lalu lintas di jalanan terlihat padat merayap, membuatnya enggan kembali ke kantor. “Andra bilang kepadaku tentang Broomfield beberapa minggu sebelum kematiannya,” katanya masih melihat keluar. “Ia curiga. Ia bilang dia menemukan sesuatu yang mungkin perlu aku tulis dan angkat ke media. Dia pikir ia mungkin punya beberapa jenis skenario. Katanya ia belum bisa mengatakan apa-apa sampai ia melihat 23
[This is just a draft. Please do not copy.] lebih dalam lagi. Tapi sekarang ia sudah tiada. Aku harus cari tahu apa yang kakakku cari. Aku hanya tahu dia ingin aku melakukan ini.” Putera beranjak pergi. “Hati-hati dengan investigasimu,” gumamnya. “Kamu mungkin akan menemukan sesuatu yang tak akan kamu sukai.” “Menurutmu aku akan menemukan apa?” Putera menggelengkan kepalanya. “Entahlah. Pokoknya berhati-hatilah. Aku tak mau kamu mereka-reka cerita yang cuma ada di kepalamu saja karena Andra. Kamu harus tetap obyektif. Tapi juga hati-hati. Ini informasi yang sangat sensitif.” “Dia sedang menyelidiki sesuatu,” jawab Karin. “Aku cuma tahu itu. Dan dia juga tahu itu. Kamu tak melihat sorot matanya. Aku melihatnya. Aku yakin.” Karin menunduk ke arah flash disk yang ada di tangannya seolah-olah itu adalah harta karun yang terpendam lama. “Andra takut dengan seseorang yang ada di Broomfield. Seseorang yang bekerja dengannya. Seseorang yang mungkin ada di dalam flash disk ini.” Ia menyelipkan flash disk itu ke dalam tasnya. “Ini bisa jadi sesuatu yang besar, Putera. Aku tahu kakakku orang yang cerdas. Kalau dia pikir ada sesuatu yang salah, maka kita harus mencarinya. Kita harus menyelesaikan apa pun yang dia mulai. Apapun yang belum sempat ia selesaikan.”
Last updated: 9 April 2013 @imanomics 24