TESIS
EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA
GEDE RAY ARDIAN MACHINI YASA
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
GEDE RAY ARDIAN MACHINI YASA NIM. 1092461035
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
1
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 1 OKTOBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH
Dr. Putu Tuni Cakabawa L, SH.,M.Hum
NIP : 196502211990031005
NIP : 19580321 198602 1 001
Mengetahui, Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH.
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S (K)
NIP : 19650221 199003 1 005
NIP : 19590215 198510 2 001
4 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Gede Ray Ardian Machini Yasa
NIM
: 1092461035
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Eksekusi Obyek Jaminan kendaraan bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non bank yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia Di Kota Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 1 Oktober 2013 Yang membuat pernyataan
(Gede Ray Ardian Machini Yasa)
5 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat Asung Kerta Wara Nugraha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (tesis) dengan judul: “EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA DI KOTA DENPASAR”. Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Magister pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH., Pembimbing I dan Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa L., S.H., M.Hum., Pembimbing II yang telah membimbing penulis dengan sepenuh hati disela-sela kesibukannya, memberikan nasehat serta memberikan kepercayaan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD, Rektor Universitas Udayana
Denpasar, Ibu Direktur Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, serta Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, atas segala fasilitas dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti studi di Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Demikian juga kepada Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H., dalam kedudukannya sebagai Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar, Bapak I Made Tjatrayasa,
6
S.H.,M.H., Sekretaris Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar, penulis menyampaikan terima kasih banyak atas dukungannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih banyak kepada Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH., Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH.,M.Si, dan Bapak Dr. I Gede Yusa,SH.,MH., berturut-turut sebagai Anggota Penguji atas segala saran dan masukannya untuk kesempurnaan tesisi ini. Demikian juga kepada segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum maupun Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan I mandiri Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar, yang penuh rasa persaudaraan dan kekeluargaan telah memberikan semangat dalam penyusunan tesis ini. Akhirnya secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud kepada Ayahanda I Ketut Rochineng, SH.,MH dan Ibunda Ni Made Sri Ardiani. S.Pd yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta Rai Irma Santini, SH yang selalu mendampingi, dan memberikan cinta kasihnya, serta dorongan baik secara materiil dan rohani sehingga penulis terpacu untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis juga sampaikan ucapan terima kasih tidak terhingga kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan, doa, serta partisipasinya yang diberikan hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
7
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, maka dari itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan dalam penyempurnaan tesis ini. Penulis memohon maaf apabila dalam penulisan tesis ini masih dijumpai adanya kesalahan. Semoga diantara kekurangannya, tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Denpasar, 1 Oktober 2013
Penulis
8 ABSTRAK EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN NON BANK YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah memberikan aturan mengenai pelaksanaan eksekusi atas objek Jaminan Fidusia, namun faktanya di lapangan pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan non bank dijumpai tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan terhadap lembaga pembiayaan non bank di Kota Denpasar ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pihak kreditur melakukan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia dan akibat hukum pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia. Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum empiris yang mengkaji kesenjangan antara ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 dengan pelaksanaannya di lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung ke beberapa responden dan informan yang terkait. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tertier sesuai permasalahan yang akan dibahas. Data yang telah terkumpulkan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa klausula didalam perjanjian pembiayaan konsumen menyatakan bahwa apabila pembeli lalai (wanprestasi) dalam membayar angsuran, maka kendaraan bermotor tersebut diambil kembali oleh penjual dan dijual dengan harga pasaran. Hal ini merupakan alasan hukum bagi pihak kreditur untuk melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan Lembaga Pembiayaan Non Bank terhadap debitur yang cidera janji di Kota Denpasar. Mengenai akibat hukum pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka secara normatif kreditur tidak sah menggunakan parate executie (eksekusi langsung), dan proses eksekusinya harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. .
Kata-kata Kunci : Eksekusi, Perjanjian, Lembaga Pembiayaan, Jaminan Fidusia.
9 ABSTRACT
THE EXECUTION OF OBJECT OF MOTOR VEHICLE WARRANTY ON NON BANK FINANCING AGREEMENT THAT IS FIDUCIARY GUARANTEE UNREGISTERED
The article 29 paragraph (1) of the Act Number 42, Year 1999 on Fiduciary Guarantee has provided rules on the execution of the object Fiduciary, but in factually the execution by non-bank financial institutions found not abide by the rules applicable legislation. Therefore, the research conducted in the non-bank financial institutions in the city of Denpasar is intended to study and analyze the background of the creditor to execute against the collateral of motor vehicles that are not registered fiduciary and the legal consequent of execution against the motor vehicles that is Fiduciary guarantee unregistered. This study was qualified into empirical legal research that examines the gap between the provisions of Article 29 paragraph (1) of Act Number 42 of Year 1999 with implementation in the field. The primary data in this study was obtained through field research by direct interviews to some respondents and informants. Secondary data in this study was obtained through the study literature on primary, secondary, and tertiary legal materials appropriate issues to be discussed. The data have been accumulate in this research further be analyzed by qualitative analysis. The results of the research showed that some of the clauses in consumer financing agreement states that if the buyer negligent (default) in installments, the motor vehicle was taken back by the seller and sold at market price. This is a legal reason for the creditor to execute directly with its own powers without a court decision has been made as a Non-Bank Financial Institution against debtors who default in Denpasar City. Regarding the legal repercussions execution Fiduciary Guarantee was not registered in terms of the debtor in default the lender normative unauthorized use parate executie (direct execution), and the execution must be carried out by way of filing a civil action by the District Court Civil Procedure until the fall of the judge decision who has permanent legal force.
Keywords: Execution, Agreements, Financing Institution, Fiduciary Guarantee.
10 RINGKASAN
Judul penelitian ini adalah “Eksekusi Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia”. Pada bab I sebagai bab pendahuluan diuraikan mengenai latar belakang yang melandasi lahirnya penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni yang melatarbelakangi pihak kreditur melakukan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan non bank dan akibat hukum pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan non bank. Disamping latar belakang dan rumusan masalah, pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai permasalahan yang dibahas, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini, sumber-sumber bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik pengumpulan bahan hukum serta teknik pengolahan dan analisa bahan hukum. Bab II tentang tinjaun umum terkait dengan perjanjian dan jaminan fidusia, yang merupakan pengembangan dan kajian teoritis pada bab I. Pembahasan pada bab ini dibedakan dalam 5 (lima) sub bab, yakni tinjauan umum perjanjian, tinjauan umum tentang jaminan fidusia, tinjauan umum tentang pembiayaan konsumen, tinjauan umum tentang eksekusi, tinjauan umum perjanjian kredit Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan ada 3 (tiga) pembahasan yakni, dasar hukum yang dijadikan pedoman oleh kreditur dalam eksekusi terhadap barang jaminan, faktor yang menjadi sebab terjadinya eksekusi oleh kreditur terhadap barang jaminan dan pelaksanaan eksekusi oleh kreditur terhadap barang jaminan. Bab IV sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah II dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan ada 3 (tiga) pembahasan yakni, kewenangan kantor wilayah Hukum dan HAM dalam mengawasi mensertifikatkan barang jaminan fidusia, legalitas eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak disertifikatkan dikaji dari UU No.42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia dan perlindungan hukum terhadap debitur atas eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak disertifikatkan oleh kreditur. Bab V sebagai penutup ini dikemukakan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, beberapa klausula didalam perjanjian pembiayaan konsumen dijadikan alasan hukum yang sah bagi pihak kreditur untuk melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan lembaga pembiayaan terhadap debitur yang cidera janji. Sedangkan menurut UUJF diterangkan
11 bahwa yang dapat melakukan eksekusi langsung hanyalah bentuk perjanjian yang mempunyai kekuatan eksekutiroal.Dalam hal ini perjanjian pembiayaan tersebut harus dibuat dengan akta otentik dan di daftarkan.Dan akibat hukum pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam hal debitur melakukan wanprestasi kreditur tidak bisa menggunakan parate executie (eksekusi langsung), tetapi proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara perdata hingga turunnya putusan hakim. Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan fidusia pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 H.I.R/258 RBG, yang prosedur pelaksanaanya memerlukan waktu yang lama.
Selain kesimpulan juga dalam bab ini dikemukakan beberapa saran yang terkait beberapa kelemahan yang dijumpai dari penelitian ini yakni, dalam perjanjian pembiayaan konsumen hendaknya pelaksanaan eksekusi dilakukan melalui Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan hingga turunnya putusan hakim. Eksekusi yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan dapat dikatakan perbuatan melawan hukum karena motor tersebut sebagian adalah milik konsumen dan sebagian milik kreditur. Untuk kepastian hukum serta untuk memposisikan lembaga pembiayaan pada posisi yang lebih menguntungkan, maka disarankan kepada lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan konsumen dibuat dengan akta otentik (akta notaris) serta mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Fidusia, sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.
12 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….
i
HALAMAN PRASYARAT GELAR ………………………………………...
ii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………..……………………
iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………… UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………….....
iv v
ABSTRAK …………………………………………………………………...
viii
ABSTRACT …………………………………………………………………..
ix
RINGKASAN ………………………………………………………………..
x
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. BAB
xii
I PENDAHULUA N ............................................................................
1
1.1 Latar belakang masalah ...............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................
9
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................
9
1.3.1 Tujuan Umum ...................................................................
9
1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................
10
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................
10
13
BAB
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................
10
1.5 Landasan Teoritis dan Definisi Operasional ...........................
11
1.5.1 Landasan Teoritis ........................................................
11
a. Teori Negara Hukum ..............................................
11
b. Teori Kepastian Hukum .........................................
14
c. Teori Perlindungan Hukum ....................................
17
d. Teori Penegakan Hukum .........................................
18
e. Konsep Akta Notaris…… ......................................
20
f. Konsep Jaminan Fidusia .........................................
21
1.5.2 Batasan Operasional ....................................................
25
1.6 Hipotesis .............................................................................
26
1.7 Metode Penelitian .................................................................
26
1.7.1 Jenis Penelitian ............................................................
26
1.7.2 Jenis Pendekatan .........................................................
27
1.7.3 Lokasi Penelitian .........................................................
28
1.7.4 Sumber Data ................................................................
29
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data ...........................................
30
1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...........................
31
II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN DAN JAMINAN FIDUSIA .................................................................
32
2.1 Tinjauan Perjanjian ...............................................................
32
14 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian .......................
32
2.1.2 Unsur-unsur Perjanjian ................................................
35
2.1.3 Syarat Sahnya Perjanjian ..............................................
40
2.1.4 Asas-asas Perjanjian ....................................................
43
2.2. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia ........................................
47
2.2.1 Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia .......................
47
2.2.2 Ciri-ciri Lembaga Fidusia ............................................
53
2.2.3 Objek dan Subjek Jaminan Fidusia ...............................
55
2.2.4 Proses Terjadinya Jaminan Fidusia ...............................
58
2.2.5 Hapusnya Jaminan Fidusia ...........................................
62
2.3 Tinjauan Tentang Pembiayaan Konsumen..............................
64
2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen ...............................
64
2.3.2 Pentingnya Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen ...................................................................
BAB
67
III EKSEKUSI TERHADAP BARANG JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK TERDAFTARKAN OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN NON BANK ..........................................................
69
3.1 Eksekusi Barang Jaminan ......................................................
69
3.2 Dasar Hukum yang Melandasi Kreditur Melakukan Eksekusi Terhadap Barang Jaminan.......................................
76
15 3.3 Faktor-Faktor Yang Menjadi Sebab Terjadinya Eksekusi Oleh Kreditur Terhadap Barang Jaminan ...............................
90
3.4 Pelaksanaan Eksekusi Oleh Kreditur Terhadap Barang Jaminan ................................................................................
BAB
99
IV AKIBAT HUKUM PELAKSANAAN EKSEKUSI BARANG JAMINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA OLEH PIHAK KREDITUR ............................................
110
4.1 Kewenangan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Dalam Mengawasi Kewajiban Kreditur Mensertipikatkan Barang Jaminan Fidusia ........................................................
110
4.2 Legalitas Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Roda Dua Yang Tidak Didaftarkan Dikaji Dari Undang-Undang Jaminan Fidusia ..........................................
116
4.3 Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Yang Tidak
BAB
Didaftarkan oleh Kreditur .....................................................
120
V PENUTUP .........................................................................................
132
5.1 Kesimpulan .................................................................................
132
5.2 Saran...........................................................................................
133
DAFTAR PUSTAKA
16
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di bidang ekonomi dan perdagangan telah mempengaruhi berkembangnya aneka jenis perjanjian dalam masyarakat. Salah satunya adalah perjanjian pinjam-meminjam melalui lembaga pembiayaan dengan perjanjian standar. Perjanjian standar adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya distandarisasi oleh pembuatnya dan kemudian diberikan ke pihak lain, dan pihak lain itu pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan isinya.
1
Dengan kata lain, isi perjanjian standar ditetapkan secara sepihak dan dicetak
dalam bentuk formulir tertentu yang digunakan berulang-ulang untuk perjanjian sejenis. Perjanjian pinjam meminjam ini tentunya menimbulkan hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan suatu perbuatan yang tidak asing lagi bagi kehidupan di masyarakat. Utang piutang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya lemah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang ekonominya relatif mampu. Suatu utang diberikan pada dasarnya atas integritas atau kepribadian debitur, yakni kepribadian yang menimbulkan rasa kepercayaan dalam diri kreditur, bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik. Akan tetapi belum menjadi jaminan bahwa nanti pada saat jatuh tempo, pihak debitur dengan niat baik akan mengembalikan pinjaman. 2
1
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo Jakarta,
hal 119. 2
J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 97.
17
Kondisi di atas menyebabkan dalam kegiatan transaksi pinjam meminjam uang, agar lebih memberikan jaminan atas pengembalian utang yang telah diberikan oleh kreditur maka diikutkan dengan perjanjian tambahan. Perjanjian tambahan dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kreditur dan pihak debitur memiliki dorongan untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik. Salah satu bentuk perjanjian tambahan yang dimaksudkan adalah perjanjian jaminan yang sejalan dengan teori Schuld dan Haftung yang memberikan gambaran bahwa pada prinsipnya kalau ada yang berbuat hutang maka harus ada yang dijaminkan. Adanya jaminan akan dapat memberikan kenyamanan kepada kreditur termasuk juga lembaga pembiayaan sebagai penyandang dana terhadap dana yang dipinjamkan kepada debitur, meskipun hal ini tidak dapat dijamin sepenuhnya bahwa debitur pasti tidak akan wanprestasi. Keberadaan lembaga pembiayaan di Indonesia saat ini perkembangannya cukup signifikan, salah satunya yang hendak dibahas dalam penelitian tesis ini yaitu mengenai lembaga pembiayaan melalui perjanjian kredit untuk kendaraan bermotor. Perjanjian ini merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan untuk pembiayaan konsumen. Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem angsuran atau kredit dengan tujuan untuk membantu perorangan ataupun perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan dan permodalan mereka khususnya untuk pembelian kendaraan bermotor. Dalam transaksi pembiayaan konsumen, ada tiga pihak yang terlibat. Pertama, adalah pihak Lembaga Pembiayaan Konsumen (Pemberi dana Pembiayaan atau Kreditur). Kedua, pihak konsumen (Penerima dana pembiayaan atau debitur), dan ketiga pihak supplier (Penjual atau Penyedia Barang). Adapun hubungan yang terjadi antara pihak kreditur dengan pihak debitur adalah suatu hubungan kontraktual dalam hal
18
pembiayaan konsumen. Pada sistem pembiayaan konsumen ini pihak Lembaga Pembiayaan Konsumen memberikan pembiayaan berupa pinjaman dana untuk pembelian suatu barang. Pihak konsumen selanjutnya akan menerima fasilitas dana untuk pembelian barang tertentu dan membayar hutangnya secara berkala atau angsuran kepada Lembaga Pembiayaan Konsumen. Pihak penjual atau supplier menyediakan barang yang dibayar lunas oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen. 3 Dalam hal pemberian fasilitas pembiayaan bagi debitur, maka lembaga pembiayaan juga membutuhkan adanya suatu jaminan dari pihak debitur. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu keyakinan dan keamanan bagi pihak kreditur atas kredit yang diberikannya mendapat jaminan pelunasan dari pihak debitur. Keberadaan lembaga dimaksud menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889), selanjutnya disebut UUJF. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para konsumen untuk menguasai benda yang dijaminkan untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Dalam kaitannya dengan pemberian jaminan bagi pihak kreditur, tindakan yang dilakukan lembaga pembiayaan adalah dengan melakukan eksekusi benda jaminan. Dengan kata lain, apabila konsumen (debitur) melalaikan kewajibannya atau cidera janji yang berupa lalainya konsumen memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya sudah waktunya untuk ditagih, maka dalam peristiwa seperti itu, kreditur dapat melaksanakan eksekusi atas benda Jaminan Fidusia. Mengenai eksekusi Jaminan
3
Muhammad Chidir, 1993, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Bandung, Mandar Maju, hal. 166.
19
Fidusia diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUJF yang menyebutkan apabila debitur atau konsumen cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: 1. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Lembaga pembiayaan; 2. Penjualan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan lembaga pembiayaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan lembaga pembiayaan jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. UUJF telah memberikan aturan mengenai pelaksanaan eksekusi atas objek Jaminan Fidusia, namun faktanya di lapangan pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak jarang pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan terjadi penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum. Lembaga pembiayaan juga dapat ditemukan tidak melakukan kontrak pembiayaan dengan debitur dihadapan notaris, sehingga perjanjian tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian dibawah tangan karena tidak ada akta notaris sebagai kekuatan hukum atas perjanjian tersebut. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat objektif yaitu suatu hal tertentu dan objek yang halal. Apabila kemudian syarat objektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Perjanjian itu dianggap tidak
20
ada, dan tidak ada hak untuk pihak manapun melakukan penuntutan pemenuhan perjanjian tersebut di mata hukum. Selain pelanggaran dengan dibuatnya perjanjian pembiayaan secara dibawah tangan, lembaga pembiayaan juga dapat dijumpai tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia yang diberikan kepada kantor pendaftaran Jaminan Fidusia untuk kemudian mendapatkan sertifikat Jaminan Fidusia. Sementara itu, dalam UUJF dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pendaftaran Fidusia disebutkan salah satu syarat pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan Akta Notaris yang disebutkan di atas. Dengan demikian perjanjian yang dibuat dibuat dibawah tangan tanpa akta notaris maka tidak dapat dibuatkan sertifikat fidusia. Pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan ini tentu berdampak pada perlindungan hukum dan kekuatan hukum dari perjanjian Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan dengan pihak debitur selaku konsumen. Akibat dari Jaminan Fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat fidusianya maka objek Jaminan Fidusia tersebut tidak mempunyai hak eksekusi langsung. Pada saat terjadi wanprestasi atau kemacetan dari konsumen, maka pihak lembaga pembiayaan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan tersebut. Lembaga pembiayaan justru melakukan eksekusi secara sepihak tanpa melalui instansi pemerintahan terkait dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal perbuatan mereka tersebut dapat dikategorikan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dan konsumen pun dapat melakukan gugatan ganti rugi dengan mendasarkan pada dasar hukum tersebut. Dalam hal terjadi eksekusi atas objek Jaminan Fidusia maka, lembaga pembiayaan melakukan eksekusi secara sepihak. Pada awalnya mungkin yang
21
diturunkan adalah karyawan lembaga pembiayaan tersebut, dimana rata-rata berpendidikan di atas SLTA, maupun Sarjana, sehingga masih memiliki sopan santun dalam menagih konsumen yang terlambat hingga konsumen melakukan pembayaran. Akan lain lagi jika konsumen tetap tidak memiliki kemampuan membayar, maka lembaga pembiayaan biasanya menugaskan debt collector untuk menagih konsumen agar membayar. Dalam proses ini biasanya debt collector sudah tidak lagi menagih pembayaran hutang, tetapi berusaha mengambil kendaraan yang dibeli oleh konsumen. Hal ini mengingat mereka bukan karyawan lembaga pembiayaan, tetapi tenaga lepas yang dibayar apabila berhasil menarik kendaraan milik konsumen. Kalaupun konsumen dapat membayar biasanya lembaga pembiayaan mengenakan biaya tambahan guna membayar debt collector. Dalam melakukan kegiatannya debt collector tadi sering ataupun sudah bertindak seperti preman agar konsumen membayar ataupun menyerahkan kendaraannya. Bahkan debt collector, untuk memuluskan jalannya eksekusi ataupun penagihan seringkali membawa pengawalan, baik oknum polisi, TNI, ataupun preman yang lebih senior. Apabila eksekusi yang dilakukan dengan cara kekerasan tersebut tidak berhasil, lembaga pembiayaan akan menyewa lawyer/advokat kemudian melaporkan kasus tersebut kepada Polisi dengan tuduhan Pasal 372 jo. 378 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan atau Pasal 35 dan 36 UUJF. Cara ini dilakukan dengan harapan agar Polisi dapat menyita kendaraan tersebut, kemudian dipinjam pakai oleh lembaga pembiayaan, sehingga kendaraan kembali kepada lembaga pembiayaan untuk dijual dan mengembalikan dan/atau melunasi hutang konsumen. Kondisi seperti di atas sempat dimuat dalam laporan Media Bali Post pada hari Kamis tanggal 30 Mei 2013 dengan mengutip pendapat Direktur Lembaga Perlindungan Konsumen Bali I Putu Armaya yang menyatakan bahwa “jumlah pengaduan terkait pelayanan lembaga pembiayaan di
22
Bali belakangan ini sangat tinggi”. Salah satu konsumen dikemukakan mengadukan buruknya pelayanan lembaga pembiayaan karena hanya terlambat membayar cicilan selama tiga bulan kendaraan langsung ditarik.4 Kasus seperti ini tentunya menunjukkan bahwa lembaga pembiayaan melakukan pelanggaran dalam kaitannya dengan pemberian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia dan pelaksanaan eksekusinya pun cenderung tidak memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pihak konsumen. Dengan demikian lembaga jaminan perlu mendapat perhatian serius sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia dalam praktik kehidupan masyarakat dalam rangka pembangunan hukum Indonesia, khususnya dibidang kredit. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka aktual dan menarik untuk diangkat sebagai tesis dengan judul “Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia”. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan sebagaimana dapat ditunjukkan dari hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan berkaitan dengan Jaminan Fidusia, yaitu : a. Tesis dari I Wayan Sridana Putra, NIM 0720112223, Alumni Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Tahun 2011 dengan judul tesis adalah “Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi Dalam Terjadiinya Wanprestasi Pihak Debitor Pada Pengikatan Jaminan Fidusia”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu: 1. apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dari pihak debitor dalam pengikatan Jaminan Fidusia?
4
Harian Bali Post, 2013, “Lembaga Pembiayaan di Bali Banyak Melanggar Hukum”, hal. 3.
23
2. bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur akibat terjadinya wanprestasi oleh pihak debitor dalam pengikatan Jaminan Fidusia? 3. mengapa
para
pihak
memilih
penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan/nonlitigasi dalam hal terjadi wanprestasi pihak debitor dalam pengikatan Jaminan Fidusia? b. Tesis dari I Gusti Agung Surya Tamrin, NIM 1092461039, Alumni Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, Tahun 2012 dengan judul tesis “Tanggung Jawa Debitur Atas Berpindah Tangannya Benda Jaminan Yang Diikat Secara Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu: 1. Bagaimanakah
tanggung
jawab
debitor
berkaitan
dengan
berpindahtangannya objek Jaminan Fidusia? 2. Upaya-upaya hukum apakah yang dilakukan oleh kreditur atas berpindahtangannya benda jaminan debitor dalam perjanjian kredit bank? Berdasarkan penelusuran beberapa tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian yang sama dengan judul “Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia” belum ada yang membahasnya. Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya.
24
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan di atas maka dapatlah ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang melandasi pihak kreditur melakukan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia dalam perjanjian pembiayaan non bank ? 2. Bagaimanakah akibat hukum pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia dalam perjanjian pembiayaan non bank ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun kedua tujuan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Mengenai tujuan umum dari penelitan ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan materi Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia.
1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, maka adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:
25
a. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis latar belakang pihak kreditur melakukan eksekusi terhadap barang jaminan kendaraan bermotor roda dua yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia; b. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis
akibat hukum terhadap
pelaksanaan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia oleh kreditur.
1. 4 Manfaat Penelitian Mengenai manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya pada bidang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, dan Hukum Jaminan Fidusia terkait eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor dalam perjanjian pembiayaan non bank yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan kajian tentang pelaksanaan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor dalam perjanjian pembiayaan non bank yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemerintah, notaris, maupun masyarakat terkait pelaksanaan eksekusi barang Jaminan Fidusia pada perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor roda dua, yakni : a.
Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi mengenai pelaksanaan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor dengan perjanjian pembiayaan non bank yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia;
26
b.
Bagi notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terkait substansi dari Akta notaris atas barang Jaminan Fidusia pada perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor roda dua;
c.
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan terkait persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan Akta fidusia dalam perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor roda dua beserta perlindungan hukum dalam hal terjadi eksekusi terhadap barang Jaminan Fidusia.
1.5. Landasan Teoritis dan Definisi Operasional 1.5.1. Landasan Teoritis Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas yang digunakan menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan berhubungan dengan eksekusi barang Jaminan Fidusia pada perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor, yaitu teori negara hukum, teori kepastian hukum, serta beberapa konsep, seperti konsep perlindungan hukum, konsep akta, konsep Jaminan Fidusia. a. Teori Negara Hukum Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. 5 Pada dasarnya ada tiga unsur dari pemerintahan
yang
berkonstitusi.
Pertama,
pemerintahan dilaksanakan
untuk
kepentingan umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum serta bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-
5
HR. Ridwan, 2011, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 2.
27
paksaan. Sementara itu menurut O. Notohamidjojo, negara hukum diartikan dengan “negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum”. 6 Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan. Sejalan dengan itu, Sudargo Gautama mengemukakan negara hukum ialah “negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat”.7 Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan mengenai unsur-unsur terpenting dalam negara hukum, yakni: 1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya. 2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka. 3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de staatsmacht). 4. Ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. 5. Ada jaminan persamaan kedudukan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas hukum (undang-undang). 8 Sejalan
dengan
pendapat
di
atas,
Sri
Soemantri
Martosoewignjo
mengkemukakan unsur-unsur negara hukum Indonesia, yaitu: 1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara; 2. Adanya pembagian kekuasaan;
6
O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hal. 36. 7 Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 13. 8 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 35
28
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis; 4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya. 9 Philipus M Hadjon dalam kaitan di atas secara lebih tegas memberikan ciri negara hukum Pancasila sebagai berikut: a.
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
b.
Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
c.
Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
d.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban.10
Uraian di atas menunjukkan unsur dari rechtsstaat memiliki kesamaan dengan unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Berdasarkan Dari uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas legalitas dalam unsur
rechtsstaat
mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting dalam penyelenggaraan tindakan pemerintahan termasuk yang dilakukan oleh pejabat Notaris agar tidak melanggar HAM dan/atau seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat perlindungan hukum. Pemikiran ini sejalan dengan yang dikemukakan K.C. 9
Ibid., hal. 277. Philipus M Hadjon,1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 90 10
29
Wheare yakni “first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly legal, in the sense that courts of law will recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called”. 11 Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Dengan kata lain, Notaris yang mendapat kewenangan untuk membantu sebagian tugas-tugas pemerintahan dalam menata hubungan hukum antar para pihak juga berkewajiban tunduk pada hukum yang berlaku. b. Teori Kepastian Hukum Mengenai pengertian hukum menurut E. Utrecht sebagaimana dikutip Yulies Tiena Masriani mengemukakan bahwa “hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu”.12 Selanjutnya dikutip pendapatnya Immanuel Kant yang mengartikan hukum sebagai “keseluruhan syaratsyarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.13 Dari pendapat para sarjana yang dikutip tersebut dapat disimak bahwa hukum pada hakikatnya merupakan aturan atau norma yang mengatur tingkah laku
11
K.C Wheare, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London,
p. 1. 12
Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 6-7. 13 Ibid.
30
masyarakat dalam pergaulan hidup yang disertai sanksi hukum atas pelanggaran norma bersangkutan. Mengenai tujuan hukum, menurut Apeldoorn adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.14 Dalam hubungan dengan tujuan hukum, maka terdapat beberapa teori yang dikembangkan, yaitu: 1. Teori Etis, berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa peseorangan. 2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The greatest happiness for the greatest number artinya, kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme. 3. Teori Pengayoman yang mengemukakan
tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang
14
L. J. Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 10.
31
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: a.
Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;
b.
Mewujudkan kedamaian sejati;
c.
Mewujudkan keadilan;
d.
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. 15
Sementara itu, mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan pendapat Gustav Radbruch yang mengembangkan Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar. Ketiga hal dasar yang dimaksudkan, meliputi : 1.
Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
2.
Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).
3.
Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi. 16
Dengan demikian, agar hukum dapat berlaku dengan sempurna, maka perlu memenuhi tiga nilai dasar tersebut. Berdasarkan teori-teori tujuan hukum di atas maka dapat diketahui bahwa tujuan dari hukum yaitu untuk memberikan kepastian, keadilan terutama dalam pemberian 15
Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hal. 24-28. 16 I Dewa Gede Atmadja, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 68.
32
kredit dengan Jaminan Fidusia. Lembaga pembiayaan dalam kaitan itu seharusnya membuat perjanjian fidusia dengan akta notariil dan mendaftarkan Jaminan Fidusia pada kantor pendaftaran fidusia agar diperoleh sertifikat Jaminan Fidusia yang memberikan kekuatan eksekutorial dalam hal terjadinya wanprestasi pihak debitur. c. Konsep Perlindungan hukum Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, pada setiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, dan untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka dibutuhkan adanya hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Dengan demikian, setiap produk hukum termasuk perjanjian berkewajiban memberikan rasa nyaman kepada semua pihak yang terkait dengan produk hukum bersangkutan. Setiap perjanjian atau kontrak idealnya harus memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Namun, nyatanya tidak selalu demikian, kadang-kadang ada pihak yang dirugikan. 17 Terkait hal itu, maka perlu adanya perlindungan hukum sebagai
17
Jehani Libertus, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian. Dilengkapi Contoh-Contoh : Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Pinjam Pakai, Perjanjian Pinjam Meminjam, Perjanjian Kerja, Perjanjian Franchise, Surat Kuasa, Jakarta : Visimedia. hal. 1
33
antisipasinya. Perlindungan hukum merupakan suatu usaha memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan dunia perbankan, wujud perlindungan bagi pihak bank maupun debitur tertuang dalam bentuk perjanjian kredit. Dalam perjanjian yang dibuat antara bank dengan debitur, pada substansinya akan berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak. Terhadap isi perjanjian tersebut, para pihak harus menjalankan atau mentaati dengan sebaik-baiknya. d. Konsep Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut dengan “Law Enforcement”. Dalam Black’s Law Dictionary, Law Enforcement diartikan sebagai “The act of putting something such as a law into effect; the execution of law the arriying out of a mandate or command”18 yakni suatu tindakan untuk mengakhiri pelanggaran atau tindakan menerapkan hukum melalui suatu mandat atau perintah. Dalam hal ini, hukum dipandang sebagai kenyataan sosial, hukum sebagai alat pengendali sosial atau yang dikenal dengan istilah Tool of Sosial Engineering. Penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. 19 Penegakan hukum harus memperhatikan kemanfaatan atau kegunaan bagi masyarakat. Sebab hukum justru dibuat untuk kepentingan masyarakat (manusia). Oleh karena itu pelaksanaan dam penegakan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Penegakan hukum merupakan proses sosial, yang bukan merupakan proses tertutup, melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu, penegakan hukum akan bertukar aksi 18
Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul Minesota, West Publishing, p. 2145 19 Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, hal. 15.
34
dengan lingkungannya, yang dapat disebut sebagai pertukaran aksi dengan unsur manusia, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Menurut Soerjono Soekanto faktorfaktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 20 Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektivitas penegakan hukum. Oleh karena itu, hakikat penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah dengan sikap tindak manusia sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sementara itu, Lawrence M. Friedman terkait dengan sistem hukum menyatakan bahwa :“a legal system in actual is a complex in wich structure, substance and culture interact”.21 Dengan demikian, ketiga unsur hukum yang terdiri dari 3 komponen yaitu Substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) menjadi sangat penting diperhatikan dalam kaitan dengan penegakan 20
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8 21 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, p.4
35
suatu bidang hukum. Terkait dengan struktur hukum, maka dalam pembentukan suatu produk hukum agar memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan oleh Fuller secara negatif sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h.
Failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty . Failure to make rules public to those required to observe them. Improper use of retroactive lawmaking. Failure to make comprehensible rules. Making rules which contradict each other. Making rules which impose requirements with which compliance is impossible. Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly unclear. Discontinuity between the stated content of rules and their administration in practice.22 Kedelapan larangan di atas terkait dengan persoalan kepastian hukum sampai
pada konsistensi dalam penormaan diharapkan untuk diperhatikan dalam penyusunan suatu produk hukum agar produk hukum bersangkutan dapat ditegakkan. e. Konsep Akta Notaris Akta pada dasarnya adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta Notaris berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan di hadapan notaris. Sementara itu, akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Akta otentik haruslah dibuat dalam bentuk tertentu dalam artian memenuhi ketentuan undang undang. Akta yang dibuat oleh notaris merupakan salah satu bukti hak atas tanah untuk kelengkapan di Kantor Pertanahan. Oleh karen itu, akta yang dibuat notaris sangat penting artinya dalam proses pendaftaran tanah. Sejalan dengan
22
Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, 1996, Textbook On Jurisprudence (Second Edition), Blackstone Press Limited, Inggris, hal. 89-90
36
uraian di atas, pengertian akta otentik juga diatur pada Pasal 1868 KUHPerdata. Pada ketentuan tersebut dikemukakan “Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau dihadapan pejabatpejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana aktanya dibuatnya”. Akta otentik sebagai alat pembuktian maka termasuk dalam hukum pembuktian yang diatur dalam buku IV KUHPerdata (Burgelijk Wetboek). Alat bukti sebagaimana yang diciptakan oleh akta otentik dan syarat-syarat yang terkandung didalamnya diatur pada Pasal 1870 KUHPerdata. Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa “suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu bukti yang ssempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”. Akta otentik dalam hal ini
merupakan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat umum, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undangundang. Oleh karena itu, akta notaris menjadi salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimak bahwa sesuai dengan jabatan notaris sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik yang berfungsi untuk memberikan kepastian hukum terkait perbuatan hukum yang terjadi berkenaan dengan perjanjian fidusia. f. Konsep Jaminan Fidusia Pada prinsipnya, sistem hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (zakelijkezekerheids) dan jaminan perorangan (persoonlijkerheids). Jaminan kebendaan termasuk Jaminan Fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahulu di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengakui benda-benda yang bersangkutan. Konsep fidusia, menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi “fides” yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah
37
lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fidusiare Eigendom Overdracht (F.E.O. ) yaitu suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fidusiary Transfer of Ownership. Dengan demikian, fidusia sering diartikan sebagai pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Karakter kebendaan pada Jaminan Fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Karakter kebendaan yang dimiliki Jaminan Fidusia ini, kreditur atau lembaga pembiayaan merupakan kreditur yang preferen dan memiliki sifat zaaksgevolg. Jaminan fidusia dapat dipastikan memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para pemakainya. Pemberian Jaminan Fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta kekayaan si konsumen untuk pemenuhan kewajibannya. Konsumen dalam hal ini telah melepaskan hak kepemilikannya secara yuridis untuk sementara waktu. Debitur yang memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang tersebut. Kekuasaan yang dimaksud bukanlah melepaskan kekuasaan benda secara ekonomis melainkan secara yuridis. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh si konsumen untuk melanjutkan usaha bisnisnya. Dengan demikian, dapat disimak bahwa dalam perjanjian Jaminan Fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi Jaminan Fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima Jaminan Fidusia bertindak sebagai pemilik yuridis.
38
Perkataan fidusia sendiri berasal dari kata fidusiare yang berarti bersifat kepercayaan, yang dapat diduga merupakan singkatan dari istilah yang dulu ada kalanya juga dipakai yaitu fidusiaire eigendoms overdracht. Lembaga ini disebut dengan bermacam-macam nama. Zaman Romawi menyebutnya “fidusia cum creditore”. Asser Van Oven menyebutnya “zekerheids-eigendom” (Hak milik sebagai jaminan) Blom menyebutnya “bezitloos zekerheidsrecht” (Hak jaminan tanpa penguasaan). Kahrel memberi nama “Verruimd Pandbegrip” (pengertian gadai yang diperluas), A. Veehoven menyebutkan“eigendomsoverdracht tot zekerheid” (penyerahan hak milik sebagai jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah “fidusia” saja. 23 Pasal 1 ayat (1) UUJF menetapkan pengertian fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) UUJF disebutkan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan konsumen, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada lembaga pembiayaan terhadap kreditur lainnya. Penyerahan hak milik secara fidusia sebagai jaminan adalah lembaga jaminan bentuk baru atas benda bergerak, disamping hak gadai. 24 Jaminan Fidusia yaitu pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan 23
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-bab Tentang Creditverband Gadai dan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 89 24 Ibid
39
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 25 Perkataan fidusiair yang berarti "secara kepercayaan" ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara bertimbal-balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa apa yang keluar ditampakan sebagai pemindahan milik, sebenarnya (kedalam, intern) hanya suatu jaminan saja untuk suatu utang.26 Dalam kaitan ini, fidusia merupakan pengalihan hak milik sebagai jaminan yang pada dasarnya hanya berlaku untuk benda bergerak. Fidusia dalam bahasa latin berarti kepercayaan. 27 Sebagai istilah hukum, maka fidusia adalah barang yang oleh debitur dipercayakan kepada kreditur sebagai jaminan utang. Dengan kata lain, fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak tertentu, yang melekat atau mengikuti kreditur, dengan ketentuan : a. Kreditur memindahkan hak milik atas benda jaminan itu atas dasar kepercayaan. b. Bendanya sendiri tetap dalam kekuasaan dan dalam tangan debitur sehingga tetap dapat digerakkannya untuk bekerja sehari-hari. Sifat penyerahan itu adalah penyerahan dengan melanjutkan penguasaannya atau secara constitutum possessorium. Dalam hal tersebut, kreditur menjadi pemilik benda jaminan, maka kedudukannya lebih lewat daripada pemegang" gadai atas benda bergerak. Namun, setelah debitur membayar lunas kreditnya, maka hak debitur itu kembali ke debitur lagi. 25
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 157 26 R. Subekti, 1991, Loc. Cit. 27 R. Subekti, R. Tjitrosoedibio, 1994, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 42
40
c. Perjanjian accessoir yang akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus. Perjanjian pokoknya : peminjaman uang. 28 Sesuai dengan arti kata fidusia yakni kepercayaan, maka hubungan (hukum) antara debitur (konsumen) dan kreditur (lembaga pembiayaan) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Konsumen percaya bahwa lembaga pembiayaan mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya
lembaga
pembiayaan
percaya
bahwa
konsumen
tidak
akan
menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.29 1.5.2. Batasan Operasional Berkenaan dengan judul penelitian Eksekusi Terhadap Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank, adapun beberapa batasan operasional yang dipergunakan adalah : 1. Eksekusi adalah pelaksanaan suatu ketentuan hukum dalam hal suatu pihak dapat dibuktikan tidak melaksanakan suatu kewajiban (wanprestasi) yang wujudnya antara lain dapat berupa tindakan untuk menyerahkan suatu barang, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang; 2. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 3. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam 28
Thomas Soebroto, 1995, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotik, Fidusia, Penanggungan dan Lain-lain, .Dahara Prize, Semarang, hal. 123 29 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Seri Hukum Bisnis "Jaminan Fidusia" PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta, hal. 113
41
penguasaan konsumen, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada lembaga
pembiayaan
terhadap kreditur lainnya. 4. lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk suatu usaha tertentu atau individu dalam bentuk penyediaan dana, baik dalam bentuk dana tunai atau uang dapat dan/atau dalam bentuk barang modal. 1.6. Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis atas permasalahan tersebut di atas maka dapat diberikan jawaban sementara sebagai berikut: 1. Bahwa yang melandasi kreditur melakukan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor dalam perjanjian pembiayaan konsumen adalah karena debitur tidak mampu memenuhi prestasinya (wanprestasi) sebagaimana disepakati dalam perjanjian yang dibuat para pihak. 2. Bahwa akibat hukum pelaksanaan eksekusi oleh kreditur terhadap barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan Jaminan Fidusia adalah tidak memiliki hak eksekutorial.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono berpendapat bahwa penelitian hukum pada hakikatnya dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi, sebagai berikut: 1. Penelitian Hukum Normatif, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
42
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum; dan e. Penelitian perbandingan hukum. 2. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap identifikasi; b. Penelitian terhadap efektivitas hukum. 30 Berdasarkan klasifikasi tersebut di atas, maka jenis penelitian dalam penulisan tesis ini dikualifikasikan kedalam jenis penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action/in abstracto pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).31 Sehubungan dengan itu, maka penelitian ini yang akan mengkaji kesenjangan antara ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 dengan pelaksanaannya di lapangan sehingga dapat dikualifikasikan sebagai penelitian hukum empiris. Adapun kesenjangan tersebut akan berimplikasi terhadap pelaksanaan eksekusi terhadap barang Jaminan Fidusia terkait perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor. 1.7.2. Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penelitian hukum empiris terdapat beberapa pendekatan yaitu :
30
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 42-43. 31 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 134
43
a. Pendekatan kualitatif, adalah suatu cara pendekatan terhadap hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Oleh karena itu peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan penelitian. Oleh karena itu dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data, artinya peneliti melakukan analisis terhadap data-data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas saja. Peneliti yang menggunakan
metode
analisis
kualitatif
tidak
semata-mata
bertujuan
mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga memahami kebenaran tersebut. b. Pendekatan kuantitatif, adalah cara pendekatan terhadap data hasil penelitian berdasarkan jumlah data yang terkumpul. Analisis dengan pendekatan kuantitatif ini akan sangat diperlukan apabila peneliti akan mencari korelasi dari dua variabel atau lebih. 32 Dalam penulisan karya ilmiah ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini akan dibahas menggunakan jenis pendekatan kualitatif. 1.7.3. Lokasi Penelitian Mengenai lokasi yang dipilih untuk mendapatkan data primer adalah pada lembaga pembiayaan yang berkantor di Denpasar. Lokasi penelitian ini dipilih dengan
32
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, hal. 192
44
menggunakan teknik purposive/jugmental sampling, yaitu “sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan atau penelitian subyektif dari peneliti”, 33 karena lokasi tersebut telah memenuhi karakteristik yang representatif untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan diteliti. Jadi, dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden dan informan mana yang dianggap dapat mewakili populasi. 1.7.4. Sumber Data Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer (data dasar) dan diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan data sekunder.34
Adapun data yang dipergunakan
dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber, yaitu: 1. Data primer Untuk mendapat data primer dilakukan penelitian lapangan (Field Research), yaitu dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke lapangan yang berasal dari para informan, yaitu para pegawai PT. FIF Group, konsumen, dan pegawai Kementrian Hukum dan HAM wilayah Provinsi Bali. 2. Data sekunder Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari menelaah literatur, majalah di bidang hukum guna menemukan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Mengenai data sekunder ini berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
33
Burhan Ashshofa, op. cit, hal. 91 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 12 34
45
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai peraturan perundangundangan yang terdiri dari: 1) KUHPerdata 2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 4) PP No. 8 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia 5) Keppres No. 61 Tahun 1998 tenang Kedudukan, Tugas, Susunan Oganisasi dan Tata Kerja Departemen b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, seperti buku, majalah, artikel di bidang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, serta Hukum Jaminan; c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tertier dalam penulisan tesis ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Black Law Dictionnary. 1.7.5 Teknik pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data primer adalah melalui wawancara. Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.35 Wawancara ini dilakukan dengan pelaku bisnis dan konsumen yang terkait. Disamping itu agar tercapai proses tanya jawab yang
35
Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 57.
46
terbuka dari responden, maka tanya jawab tersebut dikembangkan disekitar pokok permasalahan sehingga relevan dengan permasalahan yang dibahas. Sementara itu, untuk mendapatkan data sekunder sebagai pendukung data primer maka bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system).36 Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada. 1.7.6 Teknik pengolahan dan analisis data Setelah semua data terkumpul, baik data lapangan maupun data kepustakaan diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan. Data tersebut dianalisa dengan teori-teori yang relevan. Kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab masalah. Akhirnya data tersebut disajikan secara deskriptif analisis.
36
Winarno Surakhmad, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode & Teknik, Tarsito, Bandung, hal. 257.
47
BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN DAN JAMINAN FIDUSIA
2.1 Tinjauan Perjanjian 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perjanjian dipandang sebagai hubungan hukum antar dua pihak yang berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan memberikan kesempatan pada pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.37 Dalam praktek, istilah kontrak atau perjanjian terkadang dipahami secara rancu dan pelaku bisnis mencampuradukkan istilah itu seolah-olah pengertian yang berbeda 38. Dasar hukum mengenai perjanjian di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Didalam KUHPerdata sendiri menggunakan istilah overeenskomst dan contract untuk pengertian yang sama, hal ini terlihat pada Buku III title kedua tentang perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Pengertian perjanjian dapat dijumpai pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut para sarjana dipandang kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-kelemahan dan terlalu luas pengertiannya, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah 37
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, hal. 19. 38 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dan Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 13. 32
48
perbuatan melawan hukum.39 Hal ini senada dengan pendapat Abdulkadir Muhammad yang berpendapat bahwa “Rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata masih ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahankelemahan yang dimaksudkan, antara lain meliputi: a. Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. b. Dalam pengertian ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatighedaad) tidak mengandung suatu konsesnsus. Perbuatan yang dimaksud di atas adalah perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. c. Pengertian penjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan Hukum Keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). d. Tanpa menyebut tujuan.40 Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.41
39
R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
hal. 49. 40 41
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 134. Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
49
Untuk melengkapi kekurangan mengenai pengertian perjanjian yang termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana memberikan pendapatnya. Salah satu sarjana yang memberikan pendapat mengenai perjanjian dikemukakan oleh Rutten seperti dikutip Purwahid Patrik. Rutten menyatakan bahwa perjanjian adalah “perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dan peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik”.42 Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.43 Pendapat lain mengenai perjanjian juga dikemukakan oleh Subekti yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjan adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 44 Selanjutnya Abdulkadir Muhammad memberikan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 45 Berdasarkan beberapa definisi mengenai perjanjian yang telah diuraikan tersebut di atas terliht bahwa terdapat hubungan antara para pihak yang terikat dalam perjanjian. 42
Purwahid Patrik, 1998, Azas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, FH UNDIP, Semarang, 1982, hal. 1-3. 43 R. Wiryono Prodjodikoro, 2004, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal. 4. 44 R. Subekti, Hukum Perjanjian, 1985, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1. 45 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 78.
50
Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendati pelaksanaan itu datang dari satu pihak, misalnya dalam perjanjian pemberian hadiah atau hibah. Dengan perbuatan memberi hadiah itu, pihak yang diberi hadiah setuju untuk menerimanya, jadi ada konsensus yang saling mengikat. Dengan demikian terbangun hubungan timbal balik yang terjadi dalam suatu perjanjian. 2.1.2 Unsur-unsur Perjanjian Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana yang telah diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian termuat unsur-unsur sebagai berikut: a. Ada pihak-pihak sedikitnya 2 (dua) orang sebagai subyek; b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus); c. Ada tujuan yang akan dicapai; d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan; e. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan; f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Herlien Budiono dalam kaitan di atas mengemukakan bahwa untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai suatu perjanjian atau bukan perjanjian, sangatlah diperlukan mengetahui unsur-unsur dari suatu perjanjian tersebut. Unsur-unsur yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : a. Kata Sepakat dari dua pihak atau lebih; Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak beberapa orang. Artinya, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerjasama dari dua orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh perbuatan beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. Unsur Pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya dua orang atau badan hukum dan
51
harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian harus dibedakan dengan perbuatan hukum sepihak. Perbuatan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak dari cukup satu orang saja dan pernyataan ini menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum sepihak mencakup perbuatan-perbuatan seperti penerimaan suatu warisan, membuat wasiat, pengakuan anak diluar kawin. b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak; Kata sepakat tercapai pihak satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak lainnya. Kehendak para pihak tersebut tidaklah menimbulkan akibat hukum apabila kehendak tersebut tidak dinyatakan. Perjanjian terjadi apabila para pihak saling menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan diantara para pihak. c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; Tidak semua janji dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum. Walaupun janji yang dibuat seseorang dapat memunculkan suatu kewajiban sosial atau kesusilaan, akan tetapi hal itu muncul bukanlah sebagai akibat hukum. Ada kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya berakibat hukum. Kesemuanya tergantung pada keadaan dan kebiasaan didalam masyarakat. Faktor itulah yang perlu dipertimbangkan terkait suatu pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji yang akan memunculkan akibat hukum atau sekedar kewajiban sosial dan kemasyarakatan semata. d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; Suatu keinginan para pihak tidak selalu memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya suatu perjanjian maka diperlukan adanya unsur akibat hukum tersebut
52
untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain. Mengenai akibat hukum suatu perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga. e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan Format perjanjian pada umumnya bebas ditentukan oleh para pihak. Namun demikian undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian diharuskan dalam format tertentu. Penetapan oleh undang-undang mengenai bentuk perjanjian yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak untuk terjadinya perbuatan hukum tersebut.46 Mengenai beberapa contoh perjanjian yang damanatkan oleh undang-undang untuk dibuat dengan akta adalah : 1. Hibah (ketentuan Pasal 1682 dan 1687 KUHPerdata). 2. Pemisahan dan pembagian warisan dalam hal tertentu (Pasal 1071 jo. Pasal 1072 dan 1074 KUHPerdata). 3. Perjanjian kawin (Pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 147 ayat (1) KUHPerdata). 4. Pendirian Perseoran Terbatas (Pasal 7 butir (1) Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). 5. Jaminan Fidusia (Pasal 5 butir (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). 6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Bangunan yang Berkaitan dengan Tanah).
46
Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9.
53
7. Pendirian yayasan bukan merpakan perjanjian, namun dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mensyaratkan bahwa yayasan harus didirikan dengan akta notaris, namun SKMHT seperti yang disebutkn di atas selain dibuat dengan akta Notaris juga dapat dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan secara tertulis. Dalam hal dibuat secara tertulis, maka perjanjian ini bersiftat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman untuk beberapa perjanjian, undang-undang telah menentukan dengan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu menjadi tidak sah.47 Dengan demikian bentuk tertulis suatu perjanjian tidak hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi juga merupakan syarat adanya perjanjian. Selain unsur-unsur perjanjian sebagaimana dinyatakan oleh Herlien Budiono, pendapat lain mengenai unsur-unsur perjanjian juga dikemukakan oleh J. Satrio yang menyatakan suatu perjanjian apabila diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada didalamnya, maka dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Unsur Esentialia Hal ini berkaitan dengan unsur perjanjian yang selalu harus ada atau unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya, “Sebab yang halal” merupakan esensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti
47
Marial Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hal. 137.
54
bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal. Sama halnya dengan perjanjian sewa menyewa, unsur-unsur perjanjian tersebut adalah : 1. Memberikan kenikmatan dari sesuatu barang; 2. Jangka waktu sewa; 3. Pembayaran uang sewa; 4. Bentuk tertulis. Sedangkan unsur essensial dalam seuatu perjanjian sewa menyewa pada daasarnya meliputi 4 hal, yakni: 1. Sepakat dari para pihak; 2. Objek Sewa; 3. Jangka Waktu; 4. Uang sewa; b. Unsur Naturalia Unsur Naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasar sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjiakan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari perjanjian ini bersifat mengatur termuat didalam ketentuan peraturan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Disini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). Contohnya : kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin (vriwaren) yang dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Ketentuan yang bersifat mengatur yang merupakan unsur Naturalia dalam perjanjian sewa menyewa adalah
55
1. Jika barang yang disewakan musnah sebagaian, penyewa dapat memilih meminta pengurangan harga sewa atau pembatalan. Namun, untuk kedua hal tersebut tidak berhak menuntut ganti rugi. 2. Penyewa dilarang mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis pemilik. 3. Penyewa tidak berhak mengoperkan hak sewa/memindahkan hak penghunian atau mengulangsewakan/menyewakan kembali tanpa izin dari pemilik. 4. Perjanjian
sewa-menyewa
tidak
berakhir
dengan
meninggalnya
atau
dibubarkannya salah satu pihak. 5. Perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa berhak menuntu ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas. c. Unsur Accidentalia Unsur ini berkaitan dengan unsur perjanjian yang ditambahkan para pihak karena tidak diatur dalam undang-undang. Didalam suatu perjanjian jual beli, benda-benda pelengkap tertentu dapat dikecualikan, seperti dalam jual beli rumah para pihak dapat sepakat untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman rumah.48
2.1.3 Syarat sahnya Perjanjian Mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan
48
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, PT. disebut J. Satrio I), hal. 57.
Intermasa, Jakarta (selanjutnya
56
adanya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.49 Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena khilaf atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sepakat yang dmaksud adalah sepakat yang harus diberikan secara bebas tanpa paksaan pihak mana pun kepada para pihak. b. Kecakapan. Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Seseorang dianggap tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Dengan demikian, adapun yang dimaksud tidak cakap adalah orangorang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengawasan (curatele), dan orang yang sedang sakit jiwa. c. Suatu hal tertentu Setap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya. Setidak-tidaknya dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan
49
R. Subekti, Op. cit., hal. 20.
57
apa yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing. 50Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurangkurangnya ditentukan jenisnya. Pasal 1333 ayat (2) mengatakan bahwa jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dari ketentuan pasal tersebut di atas selanjutnya dapat disimak bahwa yang diperjanjikan dalam perjanjian itu harus jelas dan dapat ditentukan dikemudian hari, jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya perjanjian kredit yang fiktif. d. Suatu sebab yang halal Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Didalam Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Selanjutnya pada Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan “Jika tidak dinyatakan semua sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah“. Penjanjian itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undangundang, baik mengenali hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang perjanjian itu sendiri. 51 Suatu sebab yang halal mengenai hal yang melekat pada objeknya, misalnya tidak boleh membuat perjanjian jual beli dari hasil curian, sebab pihak penjual
50
C. S. T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 194. 51 R. Subekti dan R. Tjipto Sudiro, 2001, KUHPerdata, Padnya Paramita, Jakarta, hal. 339.
58
sebenarnya tidak memiliki hak terhadap barang yang dijualnya tersebut, sedangkan sebab yang halal yang berhubungan dengan perjanjian itu adalah sesuatu yang menyebutkan orang yang membuat perjanjian, sebab disini artinya dilihat dari isi perjanjian itu sendiri, menggambarkan apa yang akan dicapai oleh para pihak, misalnya perjanjian perjudian atau perjanjian untuk membunuh seseorang. Perjanjian ini tidak halal karena dilarang oleh undang-undang. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata memberi ketentuan tentang sebab yang halal yaitu sebab yang dapat dilaksanakan secara nyata dan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sebab yang halal adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang merupakan tujuan bersama dari para pihak yang mengikatkan diri pada penjanjian dan tujuan tersebut harus halal dan diperbolehkan karena jika dilarang atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kedua syarat yang pertama dikualifikasikan sebagai syarat-syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan kedua syarat berikutnya dikualifikasi sebagai syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
2.1.4 Asas-asas Perjanjian Asas-asas hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian diadopsi oleh pembuat undang-undang sehingga menjadi aturan hukum. Akan tetapi, tidak semua asas hukum dapat dituangkan
59
menjadi aturan hukum. Meskipun demikian, asas ini tdak boleh diabaikan begitu saja, melainkan harus tetap dirujuk. Pentingnya peran asas hukum sebagai sumber hukum. Satu dan lain alasannya adalah bahwa asas-asas hukum memainkan peran penting dalam keseluruhan proses penafsiran hukum. Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bermuara dan mempunyai dasar pada asas- asas hukum. Mengenai fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin untuk mewujudnyatakan standard nilai (wardenmaatstaven) atau tolok ukur yang tersembunyi didalam atau melandasi norma-norma, baik yang tercakup didalam hukum positip maupun praktik hukum. Asas hukum dapat juga menjadi dasar dari beberapa ketentuan hukum, sekumpulan peraturan bahkan melandasi stelsel atau suatu sistem hukum. Dengan hukum positif, asas-asas hukum dengan norma hukum memiliki keterakitan erat dalam artian bahwa “aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar berlakang asas-asas hukum yang selaras dengan atau terkait pada hukum positif”52. Menurut Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara umum53. Asas-asas hukum tersebut dikembangkan dalam kebudayaan yuridis dari Eropa Barat dikuasai oleh kitab Undang-undang atau Corpus Iuris Civil yang diundangkan antara tahun 529 dan 534, maupun dalam hukum Inggris yang didasarkan pada kebiasaan dari putusan hakim dan merupakan dasar dikembangkannya hukum. 54 Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi landasan berfikir, yaitu dasar 52
Herlin Boediono, Op cit, hal. 28 Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Surabaya, hal. 196 54 C.AE Uniken Venema Zwalve, 2000, Common Law & Civil Law, W.E.J Tjeenk Willink, Deventer, p. 25. 53
60
ideologis aturan-aturan hukum. Apabila berbicara tentang hukum, maka yang pertama terpikirkan adalah ketentuan perundang-undangan, yakni aturan-aturan yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang dalam bentuk perundang-undangn, baik asas-asas hukum maupun aturan-aturan hukum mempunyai cirri serupa. Kedua hal tersebut memberikan pedoman bagi manusia dalam bersikap dan sebab itu dapat dipergunakan sebagai ukuran dalam menilai perbuatan manusia. Asas-asas hukum merupakan dasar yang bersifat fundamental dan dikenal didalam hukum kontrak yang klasik adalah asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat, asas kebebasan berkontrak, dan asas keseimbangan. Mengenai pengertian dari masing-masing asas tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1.
Asas Konsesualisme Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah secara sah bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah adalah mengikat, karena didalam asas ini terkandung kehendap para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.
2.
Asas Kekuatan Mengikat Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati didalam perjanjian yang telah mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum sehingga para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Perjanjian dibuat oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat hukum
61
dan berlaku bagi pihak seolah-olah undang-undang. Keterikatan suatu perjanjian terkandung didalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri. 3.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan dirinya dengan siapa pun yang dikehendaki. Pihak-pihak juga bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan. Dengan kata lain, KUHPerdata pada hakikatnya menganut asas terbuka dalam pembuatan perjanjian.
4.
Asas Keseimbangan Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang invidualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia di pihak lain. Asas keseimbangan perlu ditambahkan sebagai asas dalam Hukum Perjanjian Indonesia mengingat kenyatan bahwa KUHPerdata disusun dengan mendasarkan pada tata nilai dan filsafat hukum barat.
62
2.2. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia 2.2.1. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia a. Sejarah Jaminan Fidusia Fidusia yang merupakan suatu hubungan hukum berdasarkan kepercayaan sudah dikenal sejak zaman Romawi, akan tetapi perkembangan hukum belum sampai pada hukum jaminan sehingga praktek pada masa itu masih menggunakan konstruksi hukum yang ada, yaitu pengalihan hak milik dari debitur kepada kreditur atau fiducia cum creditore55. Dengan fiducia cum creditore, kreditur diberi kewenangan yang lebih besar, sebagai pemilik dari yang diserahkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalah gunakan wewenang yang diberikannya itu, akan tetapi debitur akan hanya mempunyai kekuatan moral bukan kekuatan hukum, sehingga apabila kreditur tidak mau mngembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan, debitur tidak dapat berbuat apa-apa. Sejarah perkembangan Jaminan Fidusia ini berawal pada abad ke-19. Pada waktu itu terjadilah masa krisis dalam bidang usaha pertanian sebagai akibat dari serangan hama, sehingga para pengusaha pertanian membutuhkan bantuan modal yang diharapkan datang dari pihak bank. Bank pada masa itu hanya mau memberikan kredit dengan jaminan gadai alat-alat pertanian. Jaminan tersebut sulit dipenuhi oleh para pengusaha karena pengusaha sendiri membuthkan alat-alat tersebut. Keadaan yang seperti inilah menimbulkan adanya jaminan baru yang disebut oogstsverband (ikatan panen), dimana hasil panen dijadikan jaminan sebagai jaminan tambahan. Untuk mengatasi krisis dalam bidang pertanian, yang dialami juga oleh negeri Belanda, orang mencari jalan keluar yang lain. Karena kekurangan dari oogstsverband sebagai pengalaman yang tidak menguntungkan yang dialami di Indonesia, maka perluasan hak 55
Rachmadi Usman, Op cit, hal. 154
63
gadai melalui campur tangan pembuat undang-undang tidak diterima, termasuk pendaftaran benda jaminan gadai. Dengan demikian muncul suatu keadaan, dimana disatu pihak ada kebutuhan untuk dikembangkannya gadai tanpa menguasai benda jaminan, tetapi di pihak lain tidak dikehendaki adanya ketentuan baru tentang pendaftaran benda gadai. Jalan keluarnya ditemukan sendiri didalam praktek, yaitu melalui lembaga yang sekarang kita kenal dengan pernyerahan hak milik secara kepercayaan (fiduciare eigendomsoverdracht) atau dikenal dengan lembaga fidusia.56 Menurut ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata terkait gadai, mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai (azas inbezitstelling). Hal ini tentunya merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. 57 Hambatan tersebut kemudian diatasi dengan mempergunakan lembaga fidusia yang diakui oleh Yurisprudensi Belanda tahun 1929 dan diikuti oleh Arrest Hooggerechtshof di Indonesia tahun 1932, bahwa pada hakekatnya dalam hal Jaminan Fidusia memang terjadi pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda berdasarkan kepercayaan antara Konsumen dan Lembaga pembiayaan. Pengalihan hak kepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan utang bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Lembaga pembiayaan. Mengenai perkembangan fidusia di Indonesia melalui berbagai yurisprudensi, karena Didalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai fidusia, hal ini dikarenakan Belanda didalam meresepsi dari Hukum Romawi yang tidak mengatur mengenai fidusia. Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Keberadaan Jaminan 56
Rachmadi Usman, Op. cit., hal. 155 Purwahid dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminana Fidusia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 34-35. 57
64
Fidusia itu didasarkan atas kasus peminjaman uang oleh Pedro Clignett dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Lahirnya Arrest Hooggerechtshof tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-undangan fidusia sangat lambat, karena undang-undang yang mengatur tentang Jaminan Fidusia baru diundangkan pada tahun 1999, berkenaan dengan bergulirnya era reformasi. 58 Dengan semakin banyaknya kebutuhan akan pemberian kredit di masyarakat dengan menggunakan sistem Jaminan Fidusia, maka untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai Jaminan Fidusia. Undangundang yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. b. Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia atau lengkapnya “Fiduciaire Eigendomsoverdracht” sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik Secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak disamping gadai di mana dasar hukumnya yurisprudensi. Pada fidusia, berbeda dari gadai, yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditur adalah hak milik sedang barangnya tetap dikuasai oleh debitur, sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possessorium. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UUJF, menyatakan bahwa: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
58
Salim H. S. , 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 60.
65
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Berdasarkan perumusan pengertian fidusia tersebut di atas dapat diketahui unsur-unsur dari suatu Jaminan Fidusia, yaitu: 1.
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
2.
Dilakukan atas dasar kepercayaan;
3.
Kebendaanya tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Dengan demikian, dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang diajukan atas dasar fiduciaryatau kepercayaan dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya tersebut diserahkan dan dipindahkan kepada lembaga pembiayaan tetap dalam penguasaan pemilik benda (konsumen). Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemilinya kepada kreditur (lembaga pembiayaan) adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditur (lembaga pembiayaan), sementara hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut masih tetap berada dalam penguasaan pemiliknya. Dalam hal inilah kepercayaan sangat diperlukan dalam hal lembaga pembiayaan percaya bahwa walaupun barang jaminan berada dalam penguasaan debitur namun elunasan atas utang yang telah diberikan oleh kreditur tetap terjamin. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa kepercayaan merupakan syarat utama di dalam lalu lintas perkreditan. Seorang nasabah memperoleh kredit karena adanya kepercayaan dari bank. Dalam fidusia, benda jaminan tidak diserahkan secara nyata oleh debitur kepada kreditur, yang diserahkan hanyalah hak milik secara kepercayaan. Benda jaminan masih tetap dikuasai oleh debitur dan debitur masih tetap dapat mempergunakan untuk keperluan sehari-hari. Pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian secara tertulis. Biasanya dalam memberikan
66
pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan pelunasan utangnya. 59 Dalam Black’s Law Dictionary memberi pengertian mengenai Fiduciary Contract, yaitu:“an agreement by which a person delivers a thing to another on the condition that he will restore to him”.60 Lebih lanjut mengenai Fiduciary Relation, Black’s Law Dictionary memberi definisi sebagai berikut:“A relation substisting between two persons in regard to a business, contract, or a piece of property, or in regard to the general business or estate or of one of them, of such a character that each must repose trust and confidence in the other and must exercise a corresponding degree of fairness and good faith.”61 Dari pengertian yang diungkapkan tersebut dapat diketahui bahwa suatu hubungan yang hidup diantara dua orang berkaitan dengan bisnis, kontrak, atau properti, pada dasarnya masing-masing harus meletakkan kepercayaan dan keyakinan satu dengan lainnya. Lebih lanjut berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 2 UUJF menyatakan
pengertian Jaminan Fidusia sebagai berikut : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda brgerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Konsumen, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada lembaga pembiayaan terhadap kreditur Iainnya.
59
Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 21. 60 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co. , St. Paul, Minn, p. 625 61 Ibid., p. 626
67
Berdasarkan permusan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF sebagaimana diuraikan di atas maka unsur-unsur dari Jaminan Fidusia, dapat diidentifikasi meliputi: 1.
Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan;
2.
Kebendaan bergerak sebagai objeknya;
3.
Kebendaan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan juga menjadi objek Jaminan Fidusia;
4.
Kebendaan menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut dimaksudkan sebagai agunan;
5.
Untuk pelunasan suatu utang tertentu;
6.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepeda lembaga pembiayaan terhadap kreditur lainnya.
Bentuk perjanjian fidusia tidak terikat oleh bentuk tertentu. Untuk kredit dalam jumlah besar dan dengan tanggungan barang-barang yang berharga, maka biasanya perjanjian fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan untuk perjanjian kredit dalam jumlah yang kecil, biasanya dituangkan dalam bentuk formulir tertentu, yang memuat rumusan perjanjian fidusia, dikaitkan atau merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian membuka kredit yang berstatus sebagai perjanjian pokok. Karena sifatnya yang accessoir, maka perjanjian pemberian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian bersyarat, dengan syarat pembatalan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1253 jo Pasal 1265 KUHPerdata. Konsekuensinya, pemberian Jaminan Fidusia itu dengan sendirinya berakhir atau hapus apabila perjanjian pokoknya hapus, antara lain yang terjadi karena adanya pelunasan.62
62
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 197.
68
2.2.2. Ciri-ciri Lembaga Fidusia Seperti halnya hak tanggungan, lembaga Jaminan Fidusia yang kuat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Fidusia memberikan kedudukan yang diutamakan (Droit de Preference). Sifat droit de preference atau diterjemahkan sebagai hak mendahului atau diutamakan. Droit de preference ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 27 dan Pasal 28 UUJF. Ketentuan Pasal 27 UUJF menyatakan : (1) lembaga pembiayaan memiliki hak yang didahulukan terhada kreditur lainnya. (2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak lembaga pembiayaan untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (3) Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi konsumen. Lembaga pembiayaan dapat memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur Iainnya. Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak lembaga pembiayaan untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Hak yang didahulukan dari penenima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan likuidasi konsumen. Ketentuan dalam hal ini berhubungan dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia merupakan agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Disamping itu, ketentuan dalam undang-undang tentang kepailitan menentukan bahwa benda yang menjadi obyek jaminan fidusa berada diluar
69
kepailitan dan atau likuidasi.63Apabila atas benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia Iebih dari 1 (satu) penjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan ini diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia. b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapa pun objek itu berada (droit de suite) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUJF. Menurut ketentuan Pasal 20 UUJF menyatakan bahwa “Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia”. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda itu benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.64 Ketentuan ini merupakan pengakuan atau prinsip “droit de suite” yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (inrem). Dengan adanya sifat droit pada Jaminan Fidusia, maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya kepada siapapun dia berpindah, termasuk terhadap pihak ketiga pemberi jaminan. c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF. Akta Jaminan Fidusia yang dibuat Notaris sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: 63
Ibid, hal. 36-37. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007, Jaminan Fidusia, PT. Grafindo Persada, Jakarta hal. 133. 64
Raja
70
1) Identitas pihak pemberi dan lembaga pembiayaan; 2) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia; 3) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek fidusia; 4) Nilai penjaminan; 5) Nilai benda yang menjadi objek fidusia; Selanjutnya benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini merupakan terobosan penting yang melahirkan fidusia dapat memenuhi asas publisitas (semakin terpublikasi jaminan hutang, akan semakin baik, sehingga kreditur atau khalayak ramai dapat mengetahui atau punya akses untuk mengetahui informasi-informasi penting di sekitar jaminan hutang tersebut). d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 UUJF) Dalam hal debitur atau konsumen cidera janji, konsumen wajib menyerahkan obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh kreditur atau lembaga pembiayaan, artinya langsung melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi atau penjualan obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dan hasil penjualan. Dalam hal akan dilakukan penjualan dibawah tangan, maka harus dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan lembaga pembiayaan. 2.2.3. Objek dan Subjek Jaminan Fidusia a. Obyek Jaminan Fidusia Sebelum diaturnya Jaminan Fidusia dalam UUJF, maka yang menjadi obyek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Setelah
71
berlakunya UUJF, maka obyek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek Jaminan Fidusia dibagi 2 macam, yaitu : benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 4 UUJF memberikan batasan yang dimaksud dengan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia bahwa “benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek”. Berdasarkan rumusan objek Jaminan Fidusia tersebut, maka dapat diketahui bahwa objek Jaminan Fidusia dapat berupa: 1. Benda bergerak berwujud, contohnya: a. Kendaraan bermotor seperti, mobil, sepeda motor, bus, truck dan lain-lain. b. Mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah atau bangunan pabrik. c. Alat-alat inventaris kantor. d. Perhiasan e. Persediaan barang atau inventory, stock barang, stok barang dagangan dengan daftar mutasi barang. f. Kapal laut berukuran dibawah 20 m³. g. Perkakas rumah tangga seperti mebel, radio, televisi, almari es, mesin jahit. h. Alat-alat pertanian seperti traktor pembajak sawah, mesin penyedot air dan lain-lain.
72
2. Benda bergerak tidak berwujud, contohnya: a. Wesel b. Sertifikat deposito c. Konosemen d. Deposito berjangka e. Saham f. obligasi g. Piutang yang diperoleh pada saat jaminan diberikan atau yang diperoleh kemudian. 3. Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan baik benda bergerak berwujud atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. 4. Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia diasuransikan. 5. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas negara (UU No. 16 Tahun 1985) dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain sesuai ketentuan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang saat ini telah diganti dengan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 6. Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun piutang yang diperoleh kemudian hari. b. Subjek Jaminan Fidusia Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 UUJF yang menjadi konsumen, dapat orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
73
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UUJF menyatakan bahwa lembaga pembiayaan dapat orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Didalam UUJF tidak terdapat pengaturan yang khusus dengan syarat Lembaga pembiayaan, berarti perseorangan atau korporasi yang bertindak sebagai lembaga pembiayaan ini dapat warga Negara Indonesia atau pihak asing, baik yang berkedudukan didalam maupun di luar negeri, sepanjang dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subjek Jaminan Fidusia adalah mereka yang dapat mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia, yang terdiri dari atas pihak Konsumen sebagai pemberi fidusia dan Lembaga pembiayaan. Dengan demikian, konsumen adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia, sedangkan lembaga pembiayaan adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 65 Kedudukan kreditur (Lembaga pembiayaan) itu sebagai pemegang jaminan, sedang kewenangan sebagai pemilik yang dipunyainya ialah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri. Oleh karena itu, dikatakan pula kewenangannya sebagai pemilik yang terbatas. 2.2.4 Proses Terjadinya Jaminan Fidusia Mengenai proses terjadinya suatu Jaminan Fidusia pada dasarnya dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu: 1.
Tahap Pembebanan Jaminan Fidusia Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam
bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Dengan demikian, akta notaris
65
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. cit, hal. 39.
74
di sini merupakan syarat materil untuk berlakunya ketentuan-ketentuan UUJF atas perjanjian penjaminan Fidusia, disamping juga sebagai alat bukti. Perlu diketahui, bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak lahir pada saat penuangannya dalam suatu akta, tetapi sudah ada sebelumnya, yaitu sudah ada sejak adanya kesepakatan antara para pihak yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata dan penuangannya dalam akta hanya dimaksudkan untuk mendapatkan alat bukti saja. Akta notarill merupakan salah satu wujud akta otentik sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1868 dan Pasal 1870 KUHPerdata yang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak dan ahli waris atau orang yang memdapatkan hak dari padanya. Alasan Undangundang menetapkan akta Jaminan Fidusia dengan Akta Notaris adalah : a. Akta Notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian sempurna; b. Objek Jaminan Fidusia pada umumnya adalah benda bergerak; c. Undang-undang melarang adanya fidusia ulang; Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UUJF menyatakan bahwa akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat mengenai: a. Identitas pihak pemberi dan lembaga pembiayaan, identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal atau kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan. b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian, dan utang yang dijamin dengan fidusia. c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut, dan dijeIaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusa
75
merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, maka akta Jaminan Fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dan benda tersebut. d. Nilai penjaminan e. NiIai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
2.
Tahap Pendaftaran Jaminan Fidusia Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan termasuk benda
yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan konsumen dan dilakukan pada kantor Pendaftaran Fidusia yang merupakan bagian dalam lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan pendaftaran fidusia tersebut adalah untuk melahirkan Jaminan Fidusia bagi lembaga pembiayaan, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia, dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum. 66 Permohonan pendaftaran dilakukan oleh lembaga pembiayaan, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan dokumen pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia, yang meliputi: a. Identitas pihak dan lembaga pembiayaan; b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin f’idusia;
66
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. cit., hal. 41.
76
d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; e. Nilai penjaminan, dan f. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. 67 Kantor Pendaftaran Fidusia selanjutnya mencatat jaminan dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran guna melakukan pengecekan data setelah dilakukan pendaftaran, maka kantor Pendaftaran fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada lembaga pembiayaan pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran Jaminan Fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran fidusia. Tanggal pencatatan Jaminan Fidusia dalam buku Daftar Fidusia ini dianggap sebagai Iahirnya Jaminan Fidusia. Dengan demikian pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan Jaminan Fidusia. Penegasan Iebih lanjut dapat di lihat dalam ketentuan Pasal 28 UUJF yang menyatakan apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan lebih dan 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu mendaftarkannya adalah lembaga pembiayaan. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditur yang menjadi pihak dalam perjanjian Jaminan Fidusia, karena hanya lembaga pembiayaan, kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia. Sebagai bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan penerima Jaminan Fidusia adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. 67
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. cit., hal. 42.
77
Sertifikat Jaminan Fidusia ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga Sertifikat Jaminan Fidusia mempuyai kekuatan eksekutorial yang bernilai sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui proses pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. 68 Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pendaftaran objek Jaminan Fidusia pada kantor pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan kedudukan yang kuat bagi pihak kreditur selaku penerima fidusia. Pendaftaran objek Jaminan Fidusia agar kemudian mendapatkan sertifikat Jaminan Fidusia tentunya menjadi penting karena objek Jaminan Fidusia masih berada dalam penguasaan debitur. Oleh karena itu, pendaftaran Jaminan Fidusia menjadi sangat penting dan strategis guna memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya. 2. 2. 5 Hapusnya Jaminan Fidusia Hapusnya jaminan fidusia secara hukum disebabkan oleh hal-hal tertentu. Bertalian dengan itu, ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Lembaga pembiayaan; atau c. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 68
Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. cit., hal. 43.
78
Sesuai dengan sifat accessoir dari Jaminan Fidusia, maka keberadaan dari Jaminan Fidusia sangat tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Sebagaimana suatu perjanjian accessoir maka suatu Jaminan Fidusia akan hapus demi hukum apabila utangnya pada perjanjian pokok yang menjadi sumber Iahirnya perjanjian penjaminan Fidusia telah dilunasi. Dengan demikian, Jaminan Fidusia akan hapus karena beberapa alasan, yakni: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia Sesuai dengan sifat ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan Fidusia tercantum pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut habis karena hapusnya utang, maka dengan sendirinya Jaminan Fidusia yang bersangkutan hapus, dan hapusnya utang ini dapat dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya hutang yang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur. Adapun mengenai utang yang pelunasannya dijamin dengan Jaminan Fidusia dapat berupa : 1) Utang yang telah ada; 2) Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang dikenal dengan istilah “kontijen”, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. 3) Utang yang pada eksekusinya dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi prestasi. Utang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan dikemudian. 69
69
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op, cit., hal. 156-157.
79
b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh lembaga pembiayaan Hapusnya fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh lembaga pembiayaan adalah wajar, mengingat pihak lembaga pembiayaan sebagai pihak yang memiliki hak atas fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya. c. Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tidak akan menghapus klaim asuransi, kecuali diperjanjikan lain. Jadi apabila benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka klaim asuransi akan mengganti Jaminan Fidusia. 2.3.Tinjauan Tentang Pembiayaan Konsumen 2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen Pranata hukum “Pembiayaan Konsumen” dipakai sebagai terjemahan dan istilah “Consumer Finance Institution”. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dan sejenis kredit konsumsi (Cunsumer Credit). Namun demikian, kredit konsumsi diberikan oleh bank sedangkan pembiayaan konsumen dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh Lembaga pembiayaan, di samping kegiatan lembaga pembiayaan, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dan pembiayaan konsumen ini sudah jelas, yaitu para konsumen dan bukan kepada pihak produsennya. Menurut Abdurrahman, pengertian kredit konsumsi sebenarnya secara substansif dikemukakan sama saja dengan pembiayaan konsumen. Pendapat beliau dapat disimak
80
dalam bukunya yang berjudul “Ensiklopedi Ekonomi Keuangan Perdagangan” sebagai berikut : 70 Kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian itu dapat mengandung resiko yang Iebih besar dari pada kredit dagang biasa maka dari itu, biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Keputusan Menkeu No. 1251/KMK. 013/1988 selanjutnya memberikan pengertian terkait pembiayaan konsumen sebagai “suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya diIakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.” Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimak mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen, antara lain : a. Subjek hukumnya adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaan konsumen, yaitu Lembaga Pembiayaan Konsumen (kreditur), dan penyedia barang; b. Objeknya adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televise, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan. c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara Lembaga Pembiayaan Konsumen serta jual beli antara dealer dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen.
70
A. Abdurrahman, 1999, Ensiklopedi Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 242.
81
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu Lembaga Pembiayaan Konsumen wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya secara tunai kepada dealer. Konsumen wajib membayar secara anggsuran kepada Lembaga Pembiayaan Konsumen, dan dealer wajib menyerahkan barang kepada konsumen. e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan. Jaminan Utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampai selesai. Berdasarkan unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas, dapat diidentifikasi karakteristik dari pembiayaan konsumen serta perbedaannya dengan kegiatan sewa guna usaha, khususnya dalam bentuk financial lease. Mengenai karakteristik dari pembiayaan konsumen dapat diidentifiasi adalah sebagai berikut: a.
Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan barang-barang konsumsi.
b.
Objek pembiayaan berupa barang-barang untuk kebutuhan atau konsumsi konsumen.
c.
Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen kepada masing-masing konsumen relative kecil, sehingga resiko pembiayaan relatif lebih aman karena pembiayaan tersebar pada banyak konsumen.
82
d.
Pembayaran kembali oleh konsumen kepada Lembaga Pembiayaan Konsumen dilakukan secara berkala/angsuran. 71
2.3.2 Pentingnya Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Mengingat bahwa perjanjian pembiayaan konsumen merupakan perjanjian kredit yang memerlukan sejumlah uang dan kemungkinan terjadinya kelalaian oleh pihak konsumen yang tidak memiliki itikad baik dlam menjalankan perjanjian tersebut, untuk menjamin kelancaran dan ketertiban pembayaran angsuran serta mencegah timbulnya kerugian bagi lembaga pembiayaan, maka perlu adanya jaminan. Jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank pada umumnya, khususnya kredit konsumsi. Jaminan dalam perjanjian pembiayaan dibagi dalam tiga kelompok yaitu : a. Jaminan Utama Sebagai suatu kredit, maka jaminan pokoknya adalah kepercayaan dari kreditur kepada konsumen bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Disini prinsip pemberian kredit berlaku, yaitu : Prinsip 5C (Collateral, Capacity, Character, Capital dan Condition of Economy). b. Jaminan Pokok Sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana tersebut. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk Fiduciary Tranfery of Ownership (Fidusia). Karena adanya fidusia tersebut, maka
71
Sunaryo, 2009, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 97
83
biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak pemberi biaya hingga kredit lunas. c. Jaminan Tambahan Disamping itu sering juga diminta jaminan tambahan terhadap transaksi pembiayaan konsumen ini, biasanya jaminan tambahan tersebut berupa pengakuan hutang (promissory notes), kuasa menjual barang dan (cessie) dan asuransi, juga jaminan berupa
persetujuan suami/istri untuk
konsumen pribadi dan persetujuan
komisaris/RUPS untuk konsumen perusahaan, sesuai ketentuan anggaran dasarnya.
84
BAB III EKSEKUSI TERHADAP BARANG JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK TERDAFTARKAN OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN NON BANK
3.1. Eksekusi Barang Jaminan Eksekusi berasal dari bahasa Belanda disebut Executie atau Uitvoering, dalam kamus hukum diartikan sebagai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Menurut R. Subekti, “Eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan putusan”. 72 Lebih lanjut dikemukakannya bahwa pengertian Eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengandung arti, bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan dengan kekuatan hukum. Dengan kekuatan hukum ini dimaksudkan pada polisi, kalau perlu polisi militer (Angkatan bersenjata). 73 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata menyatakan, bahwa Eksekusi adalah Tindakan paksaan oleh Pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.74 Sedangkan
Sudikno Mertokusumo,
menyatakan pelaksanaan putusan / Eksekusi ialah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. 75
72
Subekti,1989, Hukum Acara Perdata, PT. Bina Cipta, Bandung, hal. 128. Ibid, hal. 130. 74 Renowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, PT. Mandar Maju, Bandung, hal. 10. 75 Sudikno Mertokusumo, 1989, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 206. 73
69
85
Masih sejalan dengan pendapat tersebut di atas M Yahya Harahap menyatakan bahwa : Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, Eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari seluruh proses Hukum Acara Perdata. Eksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR/Rbg. 76 Selanjutnya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 29 UUJF memberikan pengertian mengenai Eksekusi adalah sebagai “pelaksanaan titel eksekutorial oleh lembaga pembiayaan, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.” Bertitik tolak pada ketentuan Bab kesepuluh bagian V HIR dan title keempat Rbg, pengertian Eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan pengadilan. Melaksanakan isi putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum bila pihak yang kalah (pihak tereksekusi/pihak tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela. 77 Menurut R. Soepomo, hukum eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjalankan keputusan Hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang teah ditentukan. 78 Pendapat lain mengenai Hukum Eksekusi juga dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyatakan “hukum eksekusi adalah Hukum yang mengatur tentang pelaksanaan 76
M. Yahya Harahap, 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 1. 77 Ibid, hal. 5. 78 R. Soepomo, 1989, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, 1989, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 119.
86
hak-hak kreditur dalam perutangan yang tertuju terhadap harta kekayaan debitur, manakala perutangan itu tidak dipenuhi secara sukarela oleh debitur”.79 Hukum Eksekusi ini sebenarnya tidak diperlukan apabila yang dikalahkan dengan sukarela mentaati bunyi putusan. Namun demikian, dalam kenyataan tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya. OIeh karena itu diperlukan suatu aturan bila putusan itu tidak ditaati beserta tata cara pelaksanaannya.80 Apabila dilihat pengertian eksekusi menurut para sarjana di atas, tampak bahwa konsep eksekusi terbatas pada eksekusi oleh Pengadilan (putusan hakim), padahal yang juga dapat dieksekusi menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku yakni HIR dan Rbg, yang juga dapat dieksekusi juga termasuk terhadap salinan/grosse Akta yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa” dan mengatur adanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang. Hal ini sejalan dengan pendapat Bachtiar Sibarani yang mengemukakan mengenai pengertian eksekusi bahwa “Eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap/pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.81 Pendapat mengenai pengertian eksekusi yang Iebih luas juga dikemukakan oleh Mochammad Dja’is, yang menyatakan “Eksekusi adalah upaya kreditur mereaIisasi hak secara paksa karena debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya. Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa hukum. Menurut pandangan
79
Sri Soedewi, Op. Cit. , hal. 31. Aten Affandi, Wahyu Affandi, 1983, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, Alumni, Bandung, hal. 32. 81 Bachtiar Sibarani, 2001, Haircut atau Pareta Eksekusi, Jurnal Hukum Bisnis, hal. 6. 80
87
hukum Eksekusi obyek Eksekusi tidak hanya putusan hakim dan Grosse Akta”.82 Dengan demikian dapat disimak bahwa pengertian eksekusi dalam perkara perdata adalah upaya pihak kreditur untuk merealisasikan hak-haknya secara paksa dalam hal pihak debitur tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya yang tidak hanya putusan hakim, tetapi pelaksanaan Grosse Akta serta pelaksanaan putusan dari institusi yang berwenang atau bahkan kreditur secara langsung. Mengenai jenis-jenis eksekusi dapat dilihat dari beberapa pendapat para sarjana. Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata eksekusi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, adapun pembagian jenis eksekusi meliputi : a. Eksekusi Pasal 196 HIR, yaitu eksekusi pembayaran sejumlah uang. b. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, yaitu menghukum seorang melakukan sesuatu perbuatan. c. Eksekusi RiiI yang dalam praktek banyak dilakukan tetapi tidak diatur dalam HIR. 83 Apabila dilihat berdasarkan obyeknya, eksekusi tersebut dapat dibedakan menjadi 6 (enam) jenis, yakni : a. Eksekusi Putusan Hakim b. Eksekusi Benda Jaminan c. Eksekusi Grosse Akta d. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak dan kewajiban. e. Eksekusi Surat Pernyataan bersama. f. Eksekusi Surat Paksa.
82
Mochammad Dja’is, 2000, Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum, disampaikan dalam rangka Dies Natalis ke-43, Fakultas Hukum, Undip, hal. 7. 83 Retnowulan, Op. cit. , hal. 130.
88
Selanjutnya berdasarkan prosedur eksekusi, maka
jenis eksekusi dapat dibedakan
menjadi : a. Eksekusi Putusan Hakim yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. b. Eksekusi Riil, dibedakan menjadi : 1) Eksekusi Riil terhadap putusan hakim untuk mengosongkan suatu benda tetap dan menyerahkan kepada yang berhak. 2) Eksekusi Riil terhadap obyek Ielang. 3) Eksekusi
RiiI
berdasarkan
Undang-undang,
diatur
dalam
Pasal
666
KUHPerdata. 4) Eksekusi Riil berdasarkan perjanjian (perjanjian dengan kuasa dan perjanjian dengan penegasan terhadap piutang sebagai jaminan dan benda miliknya sendiri). c. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan perbuatan, mengingat dalam perkara perdata tidak boleh dilakukan siksaan badan, maka eksekusi ini berkaitan dengan perbuatan yang harus dilakukan dan dapat dinilai dengan sejumlah uang. d. Eksekusi dengan pertolongan hakim, yaitu eksekusi atas Grosse Akta. e. Parate eksekusi atau eksekusi langsung. f. Eksekusi dengan penjualan dibawah tangan, yang dimaksud disini adalah eksekusi dilakukan dengan penjualan dibawah tangan sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya. g. Penjualan di pasar atau bursa. Dalam hal obyek jaminan gadai atau fidusia adalah barang perdagangan atau efek yang dapat diperdagangkan atau dijual di pasar atau bursa, maka jika debitur wanprestasi pihak kreditur pemegang gadai fidusia dapat
89
menjual obyek jaminan gadai atau fidusia di pasar bursa Pasal 1155 (2) KUHPerdata, Pasal 31 UUJF. h. Eksekusi berdasarkan ijin hakim. Dalam hal debitur wanprestasi, pemegang gadai dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menentukan cara penjualan obyek gadai atau menentukan suatu jumlah uang tertentu sebagai harga barang yang harus dibayar oleh penerima gadai kepada pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai menjadi milik penerima gadai Pasal 1156 KUHPerdata. Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan pembagian jenis-jenis eksekusi sebagai berikut: a. Eksekusi Putusan yang menghukum untuk membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 196 HR/Pasal 208 Rbg. b. Eksekusi Putusan yang menghukum orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 Rbg. c. Eksekusi Rill, yaltu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, diatur dalam Pasal 1033 RV, HIR hanya mengenal Eksekusi Riil dalam penjualan lelang, diatur dalam Pasal 200 HIR/Pasal Rbg. 84 Dalam hal eksekusi dilaksanakan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri, maka eksekusi bersangkutan baru dapat dilaksanakan jika putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini, baik penggugat maupun tergugat telah menerima putusan yang dijatuhkan dan tidak lagi melakukan upaya hukum yang tersedia.
84
Sudikno Mertokusumo, Op. cit. , hal. 210.
90
Dalam pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia terkadang tidak selalu sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Salah satu ciri Jaminan Fidusia adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, apabila pemberi fidusia (debitor) cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, namun dipandang perlu juga untuk memasukkan secara khusus ketentuan mengenai eksekusi dalam UUJF terkait dengan ketentuan mengenai lembaga parate eksekusi.85 Apabila dikemudian hari debitur wanprestasi, maka menurut keketentuan Pasal 29 UUJF dapat dilakukan eksekusi atas objek Jaminan Fidusia dengan cara sebagai berikut : a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 (2) oleh Lembaga pembiayaan; b. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan lembaga pembiayaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan lembaga pembiayaan jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Dalam
rangka
pelaksanaan eksekusi
Jaminan
Fidusia,
debitur
wajib
menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Apabila debitur tidak menyerahkan jamian fidusia tersebut pada waktu eksekusi dilaksanakan, kreditur berhak mengambil benda yang menjadi obyek jamian fidusia tersebut dan kalau perlu meminta bantuan pihak yang berwenang. Dalam hal benda yang menjadi obyek jamian fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat diperjualbelikan di pasar bursa
85
Rachmadi Usman, Op. cit., hsl. 229
91
efek, atau penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap obyek Jaminan Fidusia dengan cara bertentangan dengan ketentuan tersebut di atas batal demi hukum serta setiap janji memberikan kewenangan kepada konsumen untuk memiliki benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji adalah batal dem hukum. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai seluruh sisa seluruh utang debitur, kreditur wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitur, namun apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar. 3.2. Dasar Hukum yang Melandasi Kreditur Melakukan Eksekusi Terhadap Barang Jaminan Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran berkala. lembaga pembiayaan ini sesuai dengan Keppres No. 61 Tahun 1998 harus berbentuk badan hukum, yaitu Perseroan Terbatas atau Koperasi. Dalam transaksi pembiayaan konsumen, Lembaga Pembiayaan Konsumen berkedudukan sebagai kreditur, yaitu pihak pemberi biaya kepada konsumen. Pembiayaan konsumen merupakan lembaga pembiayaan yang kegiatannya berupa penyediaan dana oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen kepada konsumen untuk pembelian suatu barang dari dealer, yang pembayarannya dilakukan secara berkala (angsuran) oleh konsumen. Dengan demikian, dalam transaksi pembiayaan konsumen, ada tiga pihak yang terlibat dalam hubungan hukum pembiayaan konsumen, yaitu Lembaga Pembiayaan Konsumen, konsumen, dan dealer.
92
Adapun yang dimaksud dengan Konsumen adalah pembeli barang yang dananya dibiayai oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Keppres No. 61 Tahun 1988 tidak ditentukan tentang status konsumen. Dengan demikian, konsumen tersebut dapat berstatus perseorangan dapat juga berstatus badan usaha. Dalam transaksi pembiayaan konsumen, konsumen ini berkedudukan sebagai debitur, yaitu pihak penerima biaya dan Lembaga Pembiayaan Konsumen. Selain konsumen dalam suatu lembaga pembiayaan dikenal istilah dealer. Adapun yang dimaksud dengan Dealer adalah penjual, yaitu perusahaan atau pihakpihak yang menjual atau menyediakan barang-barang yang dibutuhkan konsumen dalam rangka pembiayaan konsumen. Barang-barang yang dijual atau disediakan oleh dealer merupakan barang-barang konsumsi, seperti kendaraan bermotor, barang-barang elektronik, komputer, kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya. Pembayaran atas harga barang-barang yang dibutuhkan konsumen tersebut dilakukan oleh lembaga pembiayaan kepada dealer. Selanjutnya, hubungan antara pihak-pihak dalam pembiayaan konsumen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Perjanjian jual beli KONSUMEN
DEALER
perjanjian bersyarat LEMBAGA PEMBIAYAAN
Perjanjian pembiayaan konsumen
93
a. Hubungan antara lembaga pembiayaan dan Konsumen Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan perjanjian yang melandasi terjadinya hubungan antara lembaga pembiayaan dan konsumen. Berdasarkan atas dasar perjanjian yang sudah mereka tanda tangani, secara yuridis para pihak terkait akan hak dan kewajiban masing-masing. Konsekuensi yuridis selanjutnya adalah perjnajian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral unavoidable). Adapun kewajiban lembaga pembiayaan adalah menyediakan dana (kredit) berupa sejumlah uang yang dibayarkan secara tunai kepada dealer untuk melunasi sisa pembelian motor. Adapun kewajiban dari konsumen adalah membayar kembali secara berkala (angsuran) sampai lunas kepada lembaga pembiayaan. Jadi hubungan antara lembaga pembiayaan dengan konsumen, sejenis dengan perjanjian kredit pada umumnya. Dengan demikian ketentuan-ketentuan tentang perjanjian kredit dalam KUHPerdata berlaku sepanjang tidak ditentukan lain. Hak dari lembaga pembiayaan adalah menerima pembayaran kembali dana (kredit) secara berkala (angsuran) sampai lunas dari konsumen. Sedangkan hak konsumen adalah menerima pembiayaan dalam bentuk dana (kredit) sejumlah uang yang dibayarkan secara tunai kepada dealer untuk pembelian barang yang dibutuhkan konsumen. b. Hubungan antara lembaga pembiayaan dan Dealer Dalam hubungan yang terjadi antara lembaga pembiayaan dan dealer tidak ada hubungan kontraktual. Antara lembaga pembiayaan dan dealer tidak ada hubungan hukum yang khusus, kecuali hanya lembaga pembiayaan sebagai pihak
94
ketiga yang disyaratkan. Maksud persyaratan tersebut adalah pembayaran atas barang-barang yang dibeli dari dealer akan dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu lembaga pembiayaan. c. Hubungan antara Konsumen dan dealer. Untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan, maka konsumen akan datang atau menghubungi dealer sebagai penjual atau penyedia barang. Dengan demikian, dalam transaksi pembiayaan konsumen ada 2 (dua) hubungan kontraktual, yaitu : 1. Penjanjian pembiayaan konsumen antara lembaga pembiayaan dan konsumen; 2. Perjanjian jual beli antara dealer dan konsumen Uraian tentang perjanjian pembiayaan antara lembaga pembiayaan dan konsumen sudah dibahas di atas. Adapun hubungan antara konsumen dan dealer terjadi karena adanya perjanjian jual beli, dalam hal ini perjanjian jual beli bersyarat. Dalam hal perjanjian jual beli bersyarat bahwa pembayaran atas harga barang akan dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu lembaga pembiayaan. Dengan demikian, apabila karena alasan apapun pihak ketiga, dalam hal ini lembaga pembiayaan melakukan wanprestasi, yaitu tidak melakukan pembayaran secara tunai kepada dealer, maka jual beli antara dealer dan konsumen akan dibatalkan (voidable). Karena hubungan antara dealer dan konsumen terjadi atas dasar perbuatan jual beli, maka semua ketentuan tentang jual beli berlaku dalam pembiayaan konsumen sepanjang relevan dan/atau tidak ditentukan lain. Ketentuan-ketentuan dimaksud misalnya tentang ketentuan kewajiban menanggung dari pihak dealer bahwa barang tidak ada cacat tersembunyi, dan kewajiban layanan purnajual (after sale service).
95
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersirat bahwa ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Adapun yag menjadi sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak namun kontrak yang dibuatnya tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan, norma kesopanan dan ketertiban umum. Berlakunya asas konsensualisme menurut
hukum perjanjian Indonesia
memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa adanya kata sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksakan kehendaknya untuk sepakat atas suatu perjanjian. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Apabila dalam suatu perjanjian kemudian terjadi paksaan, menunjukkan tidak adanya sepakat. Maka yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it). Berdasarkan hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihakmanapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan
96
yang tercantum dalam pasal ini dapat disimak bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Kemudian lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata, menyatakan bahwa andaikata seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang cakap. KUHPerdata tidak mengatur mengenai larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya begitupula dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimak bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta dibawah tangan atau akta otentik. Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud dalam KUHPerdata bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
97
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat diketahui bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 KUHPerdata dan 110 KUHPerdata menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa Pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku. Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menyatakan ”suatu hal tertentu” merupakan pokok perjanjian sehingga dapat diketahui bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian bersangkutan. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas
98
yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum . Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut klausa yang dilarang oleh undang-undang. Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah perjanjian itu batal demi hukum. Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam Pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis yang dapat dijadikan obyek suatu perjanjian. Mengenai pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimak dalam ketentuan yang tercantum Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Mengenai isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syaratsyarat yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak. Menurut Pasal 1347 KUHPerdata, elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi :
99
a. isi perjanjian itu sendiri, b. kepatutan, c. kebiasaan, d. Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata jo. Pasal 1763 KUHperdata, adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya cidera janji atau juga dikenal dengan istilah wanprestasi oleh seorang debitur adalah sebagai berikut : 1. Telah lalai dalam memenuhi suatu perjanjian; 2. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan; 3. Tidak berbuat sesuai yang telah diperjanjikan dalam tenggat waktu yang ditentukan; 4. Tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan. Eksekusi atas barang jaminan dalam hal terjadinya wanprestasi tehadap pembayaran angsuran oleh konsumen dilakukan oleh lembaga pembiayaan sebagai pemberi fasilitas.
Lembaga pembiayaan mengambil kembali barang jaminan pada
dasarnya sesuai dengan klausul perjanjian yang sudah disepakati tentang Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan. Menurut Bapak I Wayan Sutedja, selaku Remedial Section Head pada PT. FIF Group Cabang Denpasar, menyatakan bahwa apabila pembeli lalai atau melakukan wanprestasi dalam hal pembayaran angsuran, maka kendaraan bermotor tersebut diambil kembali oleh penjual dan dijual dengan harga pasaran. Hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk melunasi angsuran-angsuran, denda-denda yang belum dibayar oleh pembeli, maupun biaya-biaya yang dikeluarkan
100
penjual untuk pengambilan kembali kendaraan tersebut. Apabila dari hasil penjualan masih ada kekurangan, maka pembeli wajib melunasi sisanya, sebaliknya apabila ada kelebihan maka kelebihan tersebut akan diserahkan kepada pembeli. (berdasarkan hasil wawancara pada pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2013). Dengan demikian, pembeli menanggung sepenuhnya resiko dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian pembiayaan. Bahkan dalam klausula perjanjian disebutkan bahwa apabila terjadi sesuatu pada barang kendaraan bermotor baik seluruh ataupun sebagian yang menyebabkan musnahnya barang karena sebab apapun, termasuk pada keadaan memaksa (overmacht) sekalipun, pembeli wajib membayar kerugian kepada penjual sejumlah harga yang disesuaikan dengan nilai barang kendaraan bermotor tersebut. Akta perjanjian pembiayaan konsumen dalam praktek berbentuk perjanjian baku (standard contract), dengan judul Surat Perjanjian Pembiayaan konsumen. Lembaga Pembiayaan Konsumen tersebut menyodorkan bentuk perjanjian yang berbentuk formulir dengan klausul-klausul yang sudah ada. Akta perjanjian itu dapat langsung mengikat para pihak apabila konsumen setuju mengenai klausul-klausul dari akta perjanjian melalui pembubuhan tanda tangani kedua belah pihak. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari Ibu Made Arwati selaku konsumen PT. FIF Group yang menyatakan bahwa sebagai bukti dari terjadinya pengikatan perjanjian pembiayaan beliau hanya diberikan surat perjanjian pembiayan konsumen oleh PT. FIF Group. (berdasarkan hasil wawancara pada hari Senin tanggal 24 April 2013) Dalam suatu akta perjanjian diterangkan hubungan yang dikehendaki para pihak antara lembaga pembiayaan sebagai pihak pertama atau pelaku usaha atau penjual,
101
dengan konsumen atau disebut pembeli atau pihak kedua selanjutnya disebut pembeli. Kemudian dalam akta tersebut dinyatakan bahwa penjual telah menyerahkan kepada pembeli, sebagaimana pembeli telah menerima dari penjual atas dasar perjanjian pembiayaan konsumen. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dipergunakan oleh pihak kreditur terhadap debitur agar debitur menyerahkan barang Jaminan Fidusia sebagaimana isi dari Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. FIF antara lain : a.
Barang tersebut tetap dipegang oleh debitur, tetapi debitur tidak lagi sebagai pemilik melainkan sebagai peminjam atau pemakai saja dari kreditur.
b.
Debitur mengetahui dan menyetujui bahwa faktur atau BPKB akan dikeluarkan atas nama debitur, akan tetapi selama hutang debitur kepada kreditur belum dibayar lunas, maka surat-surat bukti kepemilikan kendaraan bermotor tersebut akan ditahan dan disimpan kreditur dan untuk dipergunakan dimana dan bilamana perlu debitur dengan cara dan alasan apapun juga tidak berhak untuk meminta atau meminjam BPKB dan faktur tersebut di atas selama seluruh hutang debitur kepada kreditur belum dibayar lunas.
c.
Debitur
dilarang
untuk
meminjamkan,
menyewakan,
mengalihkan,
menjaminkan atau menyerahkan penguasaan atau penggunaan atas barang tersebut kepada pihak ketiga dengan jalan apapun juga. d.
Debitur wajib memelihara dan mengurus barang tersebut sebaik-baiknya dan melakukan segera pemeliharaan dan perbaikan atas biaya sendiri dan bila ada bagian dari kendaraan yang diganti atau ditambah, maka itu termasuk dalam penyerahan secara fidusia kepada kreditur.
102
e.
Kreditur atau kuasanya berhak untuk sewaktu-waktu jika dianggap perlu memasuki tempat-tempat dimana barang tersebut disimpan atau terdapat, atau diduga oleh kreditur berada di tempat tertentu untuk memeriksa keadaanya serta melihat kondisinya. Kreditur berhak pula mendapat pengembalian biaya dari debitur agar barang tersebut dalam keadaan baik dan terpelihara.
f.
Segala pajak dan beban lainnya yang sekarang telah dan atau kemudian hari akan dikenakan terhadap barang wajib dipikul dan dibayar seluruhnya oleh debitur. Debitur harus mengasuransikan barang tersebut bahaya/kecelakaan dengan
premi
yang
dibayar
oleh
debitur.
Apabila
debitur
lalai
mengasuransikan barang tersebut maka segala resiko terhadap kecelakaan dan kehilangan sepenuhnya ditanggung oleh debitur. Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan atau menunda kewajiban pembayaran angsuran debitur kepada kreditur. g.
Apabila tidak melunasi hutangnya, atau tidak memenuhi kewajibannya kepada atau terhadap kreditur, maka kreditur berhak dan dengan diberikuasa dengan hak substitusi oleh debitur untuk menjual secara dibawah tangan atau dengan perantara pihak lain siapapun adanya barang tersebut di atas, demikian dengan harga pasar dengan layak dan syarat-syarat serta ketentuan yang dianggap baik oleh kreditur.
h.
Setelah barang ditarik atau diambil oleh kreditur, debitur melepaskan haknya untuk membayar jumlah angsuran yang telah lewat waktu jatuh tempo tersebut dan kreditur berhak penuh melaksanakan penjualan atau barang
103
yang diambil tersebut. Untuk menghadap kepada siapapun dan dimanapun, memberikan dan meminta keterangan membuat atau menyuruh pembuat akta atau perjanjian. Perjanjian yang dimaksudkan antara lain: akta jual-beli, atau risalah lelangnya, menandatangani tanda penerimanya, menyerahkan barang tersebut kepada yang berhak menerimanya dan selanjutnya melakukan tindakan tanpa ada yang dikecualikan guna tercapainya penjualan tersebut di atas. Kreditur selanjutnya berkewajiban setelah uang hasil penjualan dibayarkan ke semua ongkos pajak lainnya, untuk mempergunakan sisa uang hasil penjualan itu melunasi semua hutang dan dendanya dan memenuhi semua kewajiban debitur, kepada atau terhadap kreditur. Oleh karena itu, dalam hal uang hasil penjualan masih kurang, maka debitur tetap berkewajiban wajib membayar sisa hutang tersebut kepada kreditur tersebut dalam waktu 2 minggu setelah pemberitahuan kreditur kepada debitur. i.
Kreditur pada waktu menggunakan haknya berdasarkan perjanjian ini dan atau surat perjanjian lainnya yang dibuat oleh kreditur, berhak untuk menentukan sendiri seluruh jumlah penagihannya terhadap debitur. Tagihan yang dimaksudkan baik berupa pokok hutang atau sisa pokok hutang, denda, biaya pelelangan atau penjualan, honorarium pengacara atau kuasa untuk menagih serta biaya-biaya atau jumlah uang lainnya yang wajib ditanggung atau dibayar oleh debitur. Debitur dengan ini melepaskan semua haknya untuk mengajukan keberadaan atau tuntutan hasil penjualan barang dan potongannya serta jumlah hutangnya atau sisa hutang bunga dan biaya-biaya
104
lain, denda, ongkos yang bersangkutan dengan pengambilan kembali dan penjualan barang sebagaimana yang diuraikan di atas. j.
Dengan tidak mengurangi kewajiban debitur untuk membayarkan, maka dalam hal ini terlambat diserahkannya barang tersebut dari debitur atau pihak lain yang menguasai barang tersebut dan atau berhak pula dengan pertolongan alat-alat negara yang berwenang mengambil atau menyita barang-barang tersebut untuk keperluan eksekusi atau penjualan satu dan lainnya atas biaya dan resiko segalanya berada di debitur.
k.
Semua piutang kreditur terhadap debitur berdasarkan perjanjian ini atau perjanjian lainnya antara debitur dengan kreditur dapat dialihkan oleh kreditur pada pihak lain, siapapun adanya dan debitur dengan ini memberikan persetujuan di muka atau pengalihan tersebut, tanpa diperlukan pemberitahuan resmi atau dalam bentuk apapun juga.
l.
Semua kuasa tersebut di dalam akta ini bersifat tetap dan tidak dapat ditarik kembali, selama debitur masih mempunyai hutang kepada kreditur atau belum memenuhi semua kewajibannya terhadap kreditur.
m. Debitur wajib memberitahukan secara tertulis kepada kreditur mengenai alamat
yang
akan
digunakan
untuk
surat-menyurat
sehubungan
denganperjanjian ini, dan alamat baru setiap kali debitur pindah alamat. n.
Apabila timbul perselisihan sebagai akibat dari perjanjian, pertama-tamaakan diselesaikan secara musyawarah antar kedua belah pihak, tetapi apabila tidak tercapai penyelesaian dalam musyawarah, kedua belah pihak sepakat agar sengketa yang timbul diselesaikan di Pengadilan Negeri.
105
Berdasakan klausul-klausul sebagaimana tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa kreditur melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap debitur yang cidera janji. Sementara itu, menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia bahwa yang dapat melakukan eksekusi secara langsung hanyalah bentuk perjanjian yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial ini didapatkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Dapat diketahui dalam hal klausula sebagaimana tersebut di atas menjelaskan risiko yang terjadi dalam perjanjian ini dibebankan pada Pembeli sepenuhnya. Hal ini diasumsikan sesuai dengan ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, bahwa risiko terhadap penjualan barang yang sudah ditentukanditanggung pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya. Sehubungan dengan itu bahwa ada kecenderungan pihak kreditur melakukan tindakan sepihak kepada debitur yang cidera janji khususnya dalam melaksanakan eksekusi. Hal ini tentunya merugikan pihak konsumen karena posisinya berada di pihak yang lemah. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, kedua belah pihak dapat menetapkan kehendaknya masing-masing sehingga tercapai persesuaian kehendak atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan kedua belah pihak tersebut mencerminkan asas konsesualisme perjanjian. Dengan demikian isi dari perjanjian pembiayaan konsumen tidak hanya ditetapkan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan atau asas konsensualisme, tetapi juga berdasarkan asas keadilan, kepatutan dan itikad baik. 3.3. Faktor –Faktor Yang Menjadi Sebab Terjadinya Eksekusi Oleh Kreditur Terhadap Barang Jaminan Menurut ketentuan yang tercantum dalam UUJF maka dapat diketahui bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
106
yang tidak berwujud dan benda bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan debitur, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada lembaga pembiayaan terhadap kreditur lainnya. Adapun yang dapat dijadikan obyek Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut : a. Benda bergerak yang berwujud seperti benda dagangan, inventory (benda dalam persediaan), peralatan mesin, kendaraan bermotor dll b. Benda bergerak yang tidak berwujud termasuk saham, piutang; c. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, misalnya bangunan milik debitur yang berdiri di atas tanah milik orang lain atau tanah hak pakai dari pihak lain. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF menyatakan bahwa “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. Selanjutnya Pasal 14 ayat (3) UUJF menyatakan bahwa “ Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia”. Berdasarkan kedua aturan yang telah ditetapkan dalam UUJF maka dapat diketahui bahwa pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan hal yang penting bagi pemegang Jaminan Fidusia. Hal ini disebabkan apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi atau permasalahan maka dengan didaftarkannya Jaminan Fidusia ini maka eksekusi atas barang Jaminan Fidusia dapat dengan mudah dilaksanakan. Namun pada kenyataannya banyak terjadi tidak didaftarkannya Jaminan Fidusia ini oleh para pihak, terutama sekali pihak kreditur sebagai pihak yang berkepentingan.
107
Menurut Bapak I Wayan Sutedja, selaku Remedial Section Head pada PT. FIF Group, menyatakan bahwa “salah satu faktor penyebab tidak dilaksanakannya aturan pembebanan dan pendaftaran Jaminan Fidusia ini sebagaimana diatur dalam UndangUndang Jaminan Fidusia adalah faktor biaya dan tempat pendaftaran fidusia. ” Menurut beliau, untuk mentaati ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam UUJF diperlukan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu biasanya pihak lembaga pembiayaan hanya mencantumkan saja dalam perjanjian secara fidusia. Dalam hal ini pihak kreditur tidak menjalankan proses sebagaimana yang ditetapkan oleh UUJF namun hanya dibuat dibawah tangan saja. Kemudian beliau juga menyatakan bahwa faktor lain penyebab pendaftaran fidusia belum sepenuhnya dapat dilaksanakan juga karena kantor pendaftaran tersebut belum dapat dijalankan secara utuh, dan kantor pendaftaran hanya berada di tingkat propinsi serta minimnya sarana dan prasarana. (berdasarkan hasil wawancara pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2013) Dilakukannya pendaftaran atas objek Jaminan Fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, maka kedudukan kreditur akan menjadi kuat. Hak yang dimiliki pihak kreditur dalam hal itu merupakan “hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap siapapun”. 86
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UUJF, maka pendaftaran fidusia itu
merupakan suatu keharusan. Dengan kata lain, kedudukan kreditur sebagai pemegang Jaminan Fidusia baru sah bila Jaminan Fidusia yang dipergunakan untuk menjamin kredit yang disalurkannya sudah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
86
Betty Dina Lambok, 2008, Akibat Hukum Persetujuan Tertulis dari Penerima Fidusia kepada Pemberi Fidusia untuk Menyewakan Objek Jaminan Fidusiakepada Pihak Ketiga, Jurnal Hukum ProJustitia, Bandung, hal. 26
108
Dalam hal pemberian kredit kepada konsumen memiliki peluang terjadinya risiko,hal ini dapat dikarenakan konsumen melakukan wanprestasi, perubahan undangundang, krisis moneter, dan bencana alam. Risiko terbesar yang terjadi dalam pemberian pembiayaan khususnya dengan Jaminan Fidusia adalah tidak terbayarnya angsuran atau wanprestasi yang dilakukan oleh konsumen atau cidera janji. Untuk meminimalisir risiko tersebut, maka jaminan dapat dijadikan sebagai kepastian pelunasan hutang pembiayaan dikemudian hari, karena seberapa pun kecil peluang untuk muncul pemberian pembiayaan akan selalu dihadapkan dengan resiko terjadinya cidera janji (wanprestasi). Pada
waktu
terjadinya
kesepakatan
dan
ditandatanganinya
perjanjian
pembiayaan konsumen dengan Jaminan Fidusia antara pihak Lembaga Pembiayaan Konsumen dengan debitur, maka masing-masing pihak tanpa terkecuali wajib untuk menjalankan dan mematuhi isi dari perjanjian pembiayaan yang telah disepakati yang mana dalam perjanjian tersebut mengenai hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana tercantum pada syarat-syarat perjanjian pembiayaan. Syarat-syarat perjanjian pembiayaan ini merupakan satu kesatuan dan atau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian pembiayaan. Para pihak baik lembaga pembiayaan selaku kreditur dan juga konsumen selaku debitur sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian. Adapun yang menjadi hak dari pada kreditur dalam suatu perjanjian yaitu: a. Kreditur berhak menuntut pemenuhan perjanjian di luar pengadilan. b. Jika debitur tidak mau membayar, kreditur dapat menggugat di pengadilan.
109
c. Jika ada keputusan pengadilan, kreditur memaksa debitur untuk melaksanakan keputusan tersebut. Sedangkan yang menjadi kewajiban dari pihak debitur dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut: a. Kewajiban memenuhi prestasi. Jika ia berhutang, maka ia berkewajiban untuk mengembalikan uang tersebut Kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi ini disebut "schuld". b. Debitur wajib bertanggungjawab terhadap gugatan. c. Debitur berkewajiban membiarkan barang-barang miliknya untuk dilelang/ pelaksanaan putusan pengadilan. Kewajiban debitur yang
demikian ini
dinamakan "haftung" Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban krediturmelalui hasil penjualan bendabenda tertentu milik debitor. Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang piutang kreditur kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Eksekusi obyek Jaminan Fidusia dalam perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor dilakukan karena terjadi wanprestasi yang disebabkan ketidakmampuan debitur melakukan kewajibannya dan sebagai cara penyelesaian terakhir karena upaya penyelamatan tidak berhasil. Adapun penyebab debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya dapat disebabkan karena 5 hal antara lain:
110
a. Adanya unsur kesengajaan, yakni konsumen sengaja untuk tidak melakukan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan. Sehingga tidak adanya unsur kemauan untuk membayar utang pembiayaannya (character). b. Adanya unsur tidak sengaja, yakni konsumen mau membayar tapi tidak mampu karena adanya keadaan atau hal-hal tertentu (Capacity). c. Adanya unsur tidak sengaja, yakni konsumen mau membayar tapi tidak mampu karena modal yang tidak mencukupi (Capital). d. Konsumen mau membayar tapi menganggap barang yang dijaminkan setara dengan apa yang diperolehnya (Collateral). e. Adanya unsur untuk membayar namun kondisi ekonomiyang tidak mencukupi (condition of economy). 87 Selanjutnya untuk dapat menyatakan seorang debitur telah melakukan perbuatan wanprestasi ada beberapa syarat yaitu: 1. Syarat meteriil, yaitu adanya kesengajaan berupa: a. Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain, b. Kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan dimanaseseorang yang wajib berprestasi seharusnya tabu ataupatut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
87
Arie S. Hutagalung, 1997, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, cet,1, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 241-242.
111
2. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditur menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Biasanya peringatan itu dilakukan oleh seorang juru sita dari Pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaan itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asalkan jangan sampai dengan mudah dipungkiri si debitur. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditur berupa akta kepada debitur, supaya debitur melakukan prestasi dengan mencantumkan tanggal terakhir debitur harus berprestasi dan disertai dengan sanksi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai. Menurut Bapak I Wayan Sutedja, selaku Remedial Section Head pada PT. FIF Group Cabang Denpasar, menyatakan bahwa “apabila debitur melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian yang telah disepakati, maka pemenuhan kewajiban debitur untuk membayar utang atau kewajibannya dapat dipaksa melalui jalan eksekusi terhadap barang jaminan.” (berdasarkan hasil wawancara pada pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2013). Dengan terjadinya wanprestasi oleh debitur, maka debitur dapat dikenakan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Adapun sanksi yang dapat dikenakan apabila debitur wanprestasi oleh pihak lembaga pembiayaan non bank di Kota Denpasar, yaitu: a. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; b. Peralihan resiko; c. Membayar ganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur atau;
112
d. Membayar biaya perkara, apabila sampai diperkarakan di depan hakim. KUHPerdata dalam kaitan ini memberikan batasan mengenai apa saja yang boleh dituntut untuk ganti rugi. Sejalan dengan hal itu, ketentuan Pasal 1247 KUHPerdata menyatakan bahwa “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. Lebih lanjut ketentuan Pasal 1248 KUHPerdata terkait dengan ganti rugi menyatakan bahwa ”Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”. Sehubungan dengan pembatalan perjanjian yang disebabkan karena kelalaian debitur dapat dijumpai pada Pasal 1266 KUHPerdata. Ketentuan tersebut mengaturnya sebagai berikut : Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan Penentuan saat terjadinya wanprestasi seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat, kapan debitur diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Mengenai saat terjadinya wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
113
“si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan di anggap lalai dengan lewatnya waktu yang dihentikan”. Wanprestasi mempunyai akibat yang sangat penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur telah melakukan wanprestasi dan apabila hal tersebut disangkalnya harus dibuktikan dimuka hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat tiga cara untuk menentukan bahwa debitur wanprestasi, yaitu: 1. Dengan surat perintah 2. Dengan akta sejenis 3. Dengan isi perjanjian yang menetapkan lalai dengan lewatnya batas waktu dalam perjanjian Apabila debitur telah melakukan wanprestasi maka akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”. Menurut Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, wanprestasi mengakibatkan kreditur dapat menuntut kepada debitur berupa: 1. Pemenuhan prestasi 2. Pemutusan prestasi 3. Ganti rugi
114
4. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 5. Pemutusan perjanjian disertai ganti rugi Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok kemudian melahirkan perjanjian turunan yang bersifat accessoir yaitu perjanjian Jaminan Fidusia dari lembaga pembiayaan (Kreditur) kepada Konsumen (Debitur) demi melindungi dan memberikan kepastian bagi Kreditur bahwa hutang atau kredit yang diberikan kepada Debitur akan terbayar jika terjadi Debitur cidera janji, yaitu dengan eksekusi objek benda Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia sendiri merupakan suatu jaminan atas benda bergerak yang penguasaannya masih dalam penguasaan Debitur meskipun telah terjadi pengalihan kepemilikan. Oleh karena itu pentingnya untuk mendaftarkan objek Jaminan Fidusia tentunya untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya.
3.4. Pelaksanaan Eksekusi Oleh Kreditur Terhadap Barang Jaminan Salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan adalah manakala hak tanggungan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum. Misalnya, ketentuan eksekusi fidusia di Amerika Serikat yang membolehkan pihak kreditur mengambil sendiri barang obyek Jaminan Fidusia asal dapat menghindari perkelahian atau percekcokan (breaking the peace). Barang tersebut boleh dijual dimuka umum, atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik dengan cara yang commercially reasonable. 88
88
Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia cetakan kedua revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 57.
115
Mengenai eksekusi, M. Yahya Harahap mengemukakan pengertiannya dalam bukunya “Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”. Beliau memberikan pengertian sebagai berikut : “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu
eksekusi tiada
berkesinambungan dari seluruh proses Hukum Acara Perdata”.89 Sehubungan dengan penerapan asas perjanjian pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan Fidusia dibawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya. Selama ini sebelum keluarnya UUJF, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi objek Jaminan Fidusia. Oleh karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya, banyak yang menafsirkan eksekusi objek Jaminan Fidusia dengan memakai prosedur gugatan biasa (lewat pengadilan dengan prosedur biasa) yang panjang, mahal dan melelahkan.90 Selanjutnya dengan lahirnya UUJF, hal ini semakin mempermudah dan memberi kepastian bagi kreditur dalam pelaksanakan eksekusi.
89
M. Yahya Harahap, 1998, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,PT. Gramedia, Jakarta, hal. 1. 90 Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta hal. 229.
116
Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (konsumen) cedera janji. 91 Eksekusi Jaminan Fidusia sering sekali terjadi di dalam praktek dan memberikan dampak negatif berupa bantahan, ataupun perlawanan. Pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia dengan tujuan untuk menyelenggarakan
eksekusi
secara
aman,
tertib,
lancar,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan untuk melindungi keselamatan penerima Jaminan Fidusia, pemberi Jaminan Fidusia, dan/atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/atau keselamatan jiwa. Pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia kemudian diatur dalam UUJF. Salah satu cara eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang di daftarkan dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga ketika debitur cidera janji, kreditur dengan menggunakan sertifikat Jaminan Fidusia tersebut langsung dapat melaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat, para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Untuk melaksanakan eksekusi atas Jaminan Fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu: 1. ada permintaan dari pemohon; 2. objek tersebut memiliki akta Jaminan Fidusia; 3. objek Jaminan Fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia; 4. objek Jaminan Fidusia memiliki setifikat Jaminan Fidusia; 5. jaminan Fidusia berada di wilayah negara Indonesia.
91
Ibid.
117
Meskipun UUJF tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan UUJF dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam UUJF yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang. Lembaga Pembiayaan Konsumen tersebut dalam melakukan perjanjian penjaminan benda bergerak telah memenuhi prinsip dari Jaminan Fidusia. Namun demikian, tidak semuanya memenuhi standar yuridis untuk disebut sebagai Jaminan Fidusia, karena di dalam ketantuan Pasal 37 ayat (3) UUJF mengatur “jika dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. ” Berdasarkan ketentuan dalam pasal ini berarti dapat diketahui bahwa apabila bentuk perjanjian tidak sesuai dengan UUJF, maka perjanjian jaminan tersebut bukan merupakan jaminan atas benda bergerak. UUJF telah memberikan aturan sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi yang terjadi pada praktek Lembaga Pembiayaan Konsumen Non Bank di Kota Denpasar dijumpai bahwa dalam melakukan perjanjian mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Namun demikian, perjanjiannya dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan dan tidak di daftarkan pada kantor pendaftaran fidusia sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Dalam perjanjiannya secara tegas diatur bahwa kedua belah pihak setuju untuk membuat perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia.
118
Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan, untuk itu perjanjian pokoknya tetap sah meskipun perjanjian jaminannya pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, tetapi untuk tindakan eksekutorialnya tidak dapat dilaksanakan dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), karena seperti yang dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (2) UUJF, yang menyatakan bahwa “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Lebih lanjut Pasal 15 ayat (3) UUJF menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, lembaga pembiayaan mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Berdasarkan uraian pasal di atas dapat dilihat bahwa hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan saja mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak dapat menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya putusan hakim. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan
119
tersebut.92 Sebaliknya, putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut misalnya verzet, banding dan kasasi. Pada dasarnya
suatu putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap yang dapat dijalankan. Pengecualiannya yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap harus dijalankan. Dalam hal ini yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan. Bapak I Wayan Sutedja selaku Remedial Section Head pada PT. FIF Group Cabang Denpasar mengemukakan bahwa, apabila debitur wanprestasi maka terjadilah penyitaan, proses penyitaan itu sendiri dimulai dengan adanya surat perintah sita. Seorang debitur dikatakan wanprestasi hingga harus terjadi proses penyitaan atas barang jaminan menurut pendapat beliau disebabkan oleh beberapa hal yaitu: a. berdasarkan catatan pembayaran yang buruk yang dapat dilihat dari catatan pembayaran hutang perbulannya yang disetor oleh debitur; b. usaha debitur yang berbeda dari data yang ada; c. obyek jaminan yang digadaikan untuk keperluan lain sehingga ada unsur penggelapan barang jaminan ataupun obyek jaminan berada di tangan pihak ketiga tanpa sepengetahuan kreditur untuk mengambil tindakan cepat yaitu penarikan obyek jaminan dari penguasaan debitur. 92
hal. 2
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta,
120
Lebih lanjut beliau juga menyatakan bahwa ada beberapa tugas prosedur yang dilakukan departemen collection lembaga pembiayaan dalam upaya melakukan penagihan antara lain: 1. Desk Call Desk call mempunyai tugas mengingatkan konsumen atas kewajiban angsuran. Biasanya kegiatan ini mulai dilakukan 3 hari sebelum jatuh tempo dan 3 hari setelah jatuh tempo angsuran konsumen.
Jika upaya yang dilakukan desk call tidak
berhasil, maka selanjutnya penanganan dilimpahkan ke field collector baget 1 atau kolektor lancar. 2. Kolektor baget 1. Tugas dari kolektor baget 1 yaitu menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan oleh Desk call sampai waktu keterlambatan konsumen mencapai 30 hari. Kolektor baget 1 melakukan kunjungan ke konsumen untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya keterlambatan angsuran konsumen, kemudian menyerahkan Surat peringatan ke 1 yang dilanjutkan dengan surat peringatan ke 2 apabila Surat peringatan 1 tidak ditanggapi oleh konsumen, melakukan negoisasi menyangkut pembayaran angsuran, dan menerima pembayaran angsuran konsumen. Untuk konsumen-konsumen yang belum berhasil ditangani oleh kolektor lancar, selanjutnya dilimpahkan ke field collector baget 2. 3. Kolektor baget 2. Tugas kolektor baget 2 adalah menangani konsumen dengan waktu keterlambatan 30 (tiga puluh) hari sampai dengan 60(enam puluh) hari. Penanganan yang dilakukan kolektor baget 2 lebih intensif lagi karena tingkat kesulitan yang ada dalam baget 2
121
lebih tinggi. Kolektor baget 2 melakukan penagihan ke konsumen dengan menindaklanjuti penanganan yang telah dilakukan oleh kolektor baget 1, menyerahkan surat peringatan ke 3, melakukan negoisasi dan menerima angsuran konsumen. Konsumen-konsumen gagal bayar yang tidak dapat ditangani oleh kolektor baget 2 selanjutnya dilimpahkan ke kolektor tarik atau remedial. 4. Kolektor tarik/remedial. Adapun yang menjadi tugas dari kolektor tarik atau remedial adalah menindaklanjuti penanganan yang dilakukan oleh kolektor baget 2. penanganan ini lebih menekankan pada penarikan unit tapi tidak menutup kemungkinan menerima angsuran jika konsumen ternyata dapat melakukan pembayaran angsuran. Untuk konsumenkonsumen gagal bayar yang tidak dapat diselesaikan oleh kolektor internal, selanjutnya kebijakan yang diambil oleh pihak lembaga pembiayaan adalah menyerahkan penangannya ke pihak ke tiga yaitu Debt collector atau pihak external. (berdasakan hasil wawancara pada pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2013). Debt Collector/external adalah pihak luar yang dimintai bantuan oleh pihak lembaga pembiayaan yang diberi kuasa bekerja atas nama lembaga pembiayaan dengan didahului oleh kesepakatan yang dibuat antar mereka, kemudian diberi surat tugas untuk melakukan penanganan konsumen-konsumen bermasalah. Tugas yang diberikan pada Debt collector hanya untuk penarikan unit bukan menarik atau menerima angsuran. Permasalahan bad account yang biasanya dilimpahkan ke debt collector antara lain : 1.
Konsumen susah ditemukan;
2.
Kendaraan telah berpindah tangan ke pihak lain;
122
3.
Kendaraan hilang/tidak diketahui keberadaannya;
4.
Kendaraan berada di luar pulau.
Pada prakteknya pihak lembaga pembiayaan non bank di Kota Denpasar dalam melakukan penagihan atas angsuran yang macet bekerjasama dengan pihak ketiga yaitu debt collector external untuk melakukan eksekusi barang jaminan kredit yang bermasalah yang tidak dapat ditangani collector regular. Debt collector external bukanlah berstatus sebagai karyawan lembaga pembiayaan, tetapi pihak diluar perusahaan yang diberi kuasa untuk bekerja atas nama lembaga pembiayaan untuk menangani konsumen yang mengalami gagal bayar atau kredit macet. Kebijakan untuk melibatkan pihak ketiga dalam menangani konsumen-konsumen gagal bayar dilakukan lembaga pembiayaan setelah prosedur dan upaya yang dilakukan pihak kolektor reguler dalam kurun waktu tertentu tidak menunjukkan hasil. Ketidakberhasilan ini dapat dikarenakan faktor kurang kerasnya usaha yang dilakukan kolektor reguler, dapat juga karena tingkat kesulitan yang tinggi dari permasalah yang ada pada konsmumenkonsumen gagal bayar tersebut, sehingga lembaga pembiayaan tidak mau mengambil resiko mulurnya penyelesaian kredit bermasalah tersebut. Menurut pendapat Bapak I Nengah Sugina selaku debt collector external PT. FIF Group menyatakan bahwa sebagai pihak yang diberi tugas oleh lembaga pembiayaan berdasarkan kesepakatan, tentunya ada imbalan yang akan diterima oleh debt collector atas penyelesaian tugas yang dikuasakan kepadanya. Negoisasi besar kecilnya imbalan atau fee yang akan diterima oleh debt collector externalbiasanya tergantung dari tingkat kesulitan dan resiko yang dihadapi. Imbalan atau disebut succes fee baru diberikan oleh lembaga pembiayaan setelah debt collector external berhasil melaksanakan tugasnya. Lebih lanjut beliau berpendapat bahwa sebagai pihak luar yang diberi tugas oleh
123
lembaga pembiayaan, motif utama pekerjaannya adalah mendapatkan uang atas jasa yang diberikan. Rasa tanggung jawab mereka hanya sebatas pada pekerjaan yang diberikan, sehingga cara kerja mereka pun terlepas dari prosedur yang ditetapkan oleh lembaga pembiayaan. beliau bekerja dengan caranya sendiri sesuai dengan pola yang biasa mereka lakukan, dengan satu tujuan selesaikan tugas kemudian dapat uang. (berdasarkan hasil wawancara pada hari kamis 20 Mei 2013) Apabila pihak debitur yang menguasai obyek Jaminan Fidusia akan ditarik tidak ada ditempat, maka diperlukan saksi pada saat akan dilakukannya penarikan. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi kecurigaan juru sita memasuki pekarangan dan rumah secara paksa. Adapun yang bertandatangan dalam berita acara penarikan yaitu penerima dan pemberi jaminan atau pihak berwenang jika turut hadir dalam proses penyitaan obyek jaminan. Dalam pelaksanaan eksekusi terkadang pihak debt collector rentan menimbulkan tindakan-tindakan premanisme. Tindakan premanisme yang sering dilakukan oleh para debt collector untuk menarik kendaraan tersebut antara lain : 1. Melakukan Intimidasi. Pertama kali yang dilakukan oleh debt collector dalam menjalankan tugasnya biasanya mendatangi konsumen. Tujuannya adalah untuk meminta pertanggung jawaban konsumen untuk menyelesaikan kewajibannya, selain itu juga untuk mencari tahu kronologi dan informasi keberadaan kendaraan. Disini biasanya debt collector melakukan intimidasi, ancaman dan meminta paksa sejumlah uang ke pada konsumen. 2. Perampasan kendaraan. Debt collector juga meminta secara paksa kendaraan dari tangan konsumen dan dapatnya tindakan ini disertai dengan kekerasan, ancaman dan perbuatan yang tidak
124
menyenangkan, sehingga konsumen dengan terpaksa membiarkan kendaraan itu dibawa oleh pihak debt collector. Dengan banyaknya terjadi tindakan pemanisme oleh para debt collector maka sebaiknya pihak lembaga pembiayaan lebih hati-hati lagi dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan permasalahan kredit macet yang dimilikinya kepada debt collector selaku pihak ketida. Hal ini berpengaruh pada nama baik dan kredibilitas dari lembaga pembiayaan itu sendiri agar tidak hilang, hanya demi mengejar keuntungan semata tanpa memperdulikan etika dan hak-hak konsumen.
125
BAB IV AKIBAT HUKUM PELAKSANAAN EKSEKUSI BARANG JAMINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN JAMINAN FIDUSIA OLEH PIHAK KREDITUR
4.1 Kewenangan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Dalam Mengawasi Kewajiban Kreditur Mensertipikatkan Barang Jaminan Fidusia Jaminan fidusia telah dikenal dan digunakan di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda sebagai bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang berasal dari jaman Romawi. Bentuk jaminan ini biasanya digunakan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam, hal ini sebagai akibat bentuk jaminan ini dianggap lebih sederhana dan mudah, walaupun tanpa disadari adanya kekurangan dalam kepastian hukum. Pada saat pertama kali diberlakukan tidak ada keharusan untuk mendaftarkan Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia, hal ini tentunya memberi kemudahan bagi para pihak yang mengunakannya, terutama pihak lembaga pembiayaan. Keadaan seperti itu justru tidak memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditur karena akan dapat dimanfaatkan oleh pihak konsumen yang tidak memiliki iktikad baik dalam melaksanakan perjanjian. Konsumen dapat menjaminkan lagi benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain tanpa diketahui oleh lembaga pembiayaan yang pertama. Hal ini terjadi karena belum ada ketentuan yang mengatur tentang pendaftaran Jaminan Fidusia. Dengan tidak ada pengaturan mengenai pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut dianggap sebagai kekurangan dan kelemahan dari pranata lembaga Jaminan Fidusia, sebab dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memenuhi asas publisitas sehingga sangat susah untuk dikontrol. Oleh sebab itu, pemerintah membentuk suatu aturan yang dikenal dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dalam ketentuan yang 110
126
tercantum pada Undang-undang Jaminan Fidusia mengatur mengenai pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Selain memberikan kepastian hukum juga dapat memberikan hak untuk didahulukan (preferent) atas pelunasan piutangnya kepada lembaga pembiayaan. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas maka dapat diketahui bahwa maksud dan tujuan dari sistem pendaftaran Jaminan Fidusia yaitu untuk : 1. memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan terutama terhadap kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani jJaminan Fidusia; 2. melahirkan ikatan Jaminan Fidusia bagi kreditur; 3. memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada kreditur (lembaga pembiayaan) terhadap kreditur lain, berhubung konsumen tetap menguasai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan; 4. memenuhi asas publisitas. Pendaftaran suatu benda ataupun suatu ikatan jaminan yang dimaksudkan untuk melindungi hak pemilikan benda atau pemegang jaminan yang bersangkutan terhadap pihak ketiga yang mengoper benda jaminan, agar pihak ketiga tidak dapat mengemukakan haknya atas benda yang terdaftar atas dasar itikad baik. Pendaftaran ikatan Jaminan Fidusia baru tampak manfaatnya, kalau benda Jaminan Fidusia merupakan benda terdaftar. Kewajiban untuk mendaftarkan benda yang dijaminkan secara fidusia dicantumkan dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUJF yang menyatakan bahwa “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 11 UUJF dinyatakan bahwa pendaftaran benda yang dibebani dengan Jaminan fidusia dilaksanakan ditempat kedudukan Konsumen. Pendaftarannya
127
mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa benda yang dibebani Jaminan Fidusia tidak hanya benda yang berada di wilayah Republik Indonesia saja, termasuk juga benda yang berada di luar wilayah Indonesia. Ketentuan mengenai tempat pendaftaran Jaminan Fidusia diatur didalam Pasal 12 ayat (1) UUJF yang menyatakan bahwa pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia. Selanjutnya dialam Pasal 12 ayat (2) UUJF menyatakan untuk pertama kali, kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 12 ayat (3) UUJF menyatakan bahwa kantor pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman yang saat ini telah diganti dengan nomenklatur Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mengenai kedudukan kantor pendaftaran fidusia, ketentuan Pasal 12 ayat (3) menegaskan bahwa kantor pendaftaran fidusia berada dalam lingkup tugas Kantor Wilayah Hukum dan HAM. Penjelasan atas Pasal 12 Undnag-undang Jaminan Fidusia ini antara lain juga menegaskan bahwa kantor pendaftaran fidusia merupakan bagian lingkungan Kementria Hukum dan Hak Asai Manusia bukan isntitusi yang mandri atau unit pelaksana teknis, melainkan salah satu unit pelaksana teknis. Dengan demikian dapat disimak bahwa tempat pendaftaran Jaminan Fidusia itu dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Pada kantor inilah akan dilakukan pendaftaran Jaminan Fidusia berserta dengan surat pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia dan kelengkapan lainnya dalam suatu register atau buku pendaftaran fidusia. Kantor pendaftaran fidusia tersebut
128
berfungsi untuk menerima, memeriksa, dan mencatat pendaftaran Jaminan Fidusia dalam buku pendaftaran fidusia, dan selanjutnya akan menerbitkan sertipikat Jaminan Fidusia. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 139 tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap Ibu kota Provinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia berada di kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Dengan sendirinya wilayah kerja kantor pendaftaran fidusia dimaksud meliputi wilayah kerja kantor Kementerian Hukum dan HAM yang bersangkutan. Mengenai pendaftaran Jaminan Fidusia tentunya menjadi wewenang dari Departemen Hukum dan HAM diwilayah yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud wewenang sendiri kalau dilihat dari arti kata dalam bahasa Inggris berarti authority dan dalam bahasa Belanda berarti bevoegdheid. Menurut Philipus M. Hadjon, “wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht)”.93 Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Adapun unsur-unsur kewenangan adalah : 1. Pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum. 2. Dasar Hukum ialah bahwa wewenang itu selalu dapat ditunjukkan dasar hukumnya
93
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII, hal. 1
129
3. Konformitas hukum ialah mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar khusu untuk jenis wewenang tertentu.94 Kewenangan
sendiri
membatasi
agar
penyelenggaraan
Negara
dalam
pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya sehingga menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan. Ada beberapa macam wewenang diantaranya: 1. Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. 2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. 3. Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada si pemberi mandat. Menyimak konsep wewenang seperti di atas, maka kewenangan pendaftaran oleh Kanwil Kementeriaan Hukum dan HAM di Provinsi Bali dapat dikualifikasikan dilakukan atas dasar kewenangan mandat karena tanggung jawab pendaftaran berada pada Kementeriaan Hukum dan HAM.
94
Ibid., hal. 2.
130
Dalam kaitannya dengan pendaftaran Jaminan Fidusia saat ini, Kementerian Hukum dan HAM telah membentuk sistem pendaftaran fidusia secara online. Sejalan dengan itu, pada tahun 2012 Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan Nomor 130/ PMK. 010/ tahun 2012 yang mewajibkan Lembaga Pembiayaan Konsumen kendaraan bermotor dengan Jaminan Fidusia untuk mendaftarkan jaminan tersebut. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan tidak ada lagi lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia. Menurut Bapak Drs. I Gusti Kompiang Adnyana, MM selaku Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali, bahwa kewenangan Kementerian Hukum dan HAM didalam mengawasi pensertipikatan jamian fidusia adalah terkait dengan kewajiban kreditur mensertipikatkan Jaminan Fidusia melalui kewenangan atribusi yang diberikan oleh negara berdasarkan Pasal 12 UUJF. Sebagian kewenangan tersebut terkait teknis pelaksanaan dan pengawasan pendaftarannya dimandatkan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi, termasuk juga yang ada di Provinsi Bali. Lebih lanjut beliau berpendapat bahwa, Kementerian Hukum dan HAM untuk mengatasi cara pendaftaran sebelumnya dilakukan secara manual dan memakan waktu sangat lama maka dibuatlah sistem fiidusia online. Kementerian Hukum dan HAM menjamin keabsahan sertifikat fidusia yang diterbitkan melalui cara online. Keabsahan sertifikat itu ditunjukkan dengan adanya tanda tangan elektronik dari masing-masing Kepala Kantor Wilayah dan juga dibubuhi stempel. Sebagai pihak yang mengeluarkan izin sertifikat sudah tegas menyatakan bahwa sertifikat tersebut sah. Jika ke depannya ada persoalan, Kantor Wilayah Hukum dan HAM siap mempertanggungjawabkan sertifikat yang telah diterbitkannya. (berdasarkan hasil wawancara pada hari selasa tanggal 17 Mei 2013)
131
4.2 Legalitas Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Roda Dua Yang Tidak Didaftarkan Dikaji Dari Undang Undang Jaminan Fidusia Setiap perjanjian Jaminan Fidusia yang diadakan oleh Lembaga Jaminan Fidusia (termasuk juga Lembaga Jaminan Fidusia Non Bank), tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UUJF. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian accessoir yang berarti bahwa lahir dan hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia bergantung pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang atau perjanjian pembiayaan). Pasal 4 UUJF menyatakan bahwa: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Kemudian pada Pasal 11 ayat (1) UUJF menyatakan bahwa “Jaminan Fidusia wajib didaftaran”. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK. 010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi lembaga pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, bahwa lembaga pembiayaan wajib mendaftarkan Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Pembebanan jaminan Fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang disebutdengan akta Jaminan Fidusia, adapun akta ini harus memenuhi syarat-syarat berupa Akta Notaris dan didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Dengan pendaftaran ini, diharapkan agar pihak debitur, terutama debitur yang tidak memiliki itikad baik tidak dapatlagi membohongi kreditur atau calon kreditur dengan memfidusiakan lagi atau bahkan menjual barang Obyek Jaminan Fidusia tanpa sepengetahuan kreditur.
132
Dalam konsideran UUJF merumuskan bahwa keberadaan undang-undang ini diharapkan memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi yang berkepentingan dan jaminan tersebut perlu didaftarkan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Adapun pengaturan mengenai terjadinya eksekusi dalam UUJF dapat dijumpai pada Pasal 29 ayat (1) UUJF. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa dalam hal debitur atau Konsumen cidera janji, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Mengenai cara-cara yang dapat diterapkan dalam melakukan eksekusi menurut Pasal 29 ayat (1) UUJF adalah melalui : a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Lembaga pembiayaan. b. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan lembaga pembiayaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan lembaga pembiayaan jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Ketiga cara eksekusi Jaminan Fidusia tersebut di atas masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Berbeda dengan penjualan dibawah tangan pelaksanaanya harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain adanya kesepakatan antara konsumen (debitur) dan lembaga pembiayaan (kreditur). Alasanya untuk memperoleh nilai penjualan yang lebih baik untuk memperoleh harga tertinggi. 95 Perjanjian fidusia dibuat dengan akta otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan dibawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya
95
Netty SR Naiborhu, 2006, Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Berdasarkan Parate Eksekusi oleh Kreditur, Jurnal wawasan Hukum, hal. 164.
133
di pengadilan. Fidusia yang dilakukan dibawah tangan tidak dapat dijerat dengan UU UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian Jaminan Fidusia yang dibuat. Berdasarkan uraian sebagaimana disebutkan dalam pasal di atas maka dapat diketahui bahwa perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sedangkan di dalam UUJF dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pendaftaran Fidusia disebutkan salah satu syarat pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan Akta Notaris. lembaga pembiayaan dalam memberikan Jaminan Fidusia hanya dibuatkan secara dibawah tangan sehingga tidak ada akta notaris dan berakibat pula bahwa jaminan tersebut tidak dapat didaftarkan. Sehingga dapat disimak bahwa lembaga pembiayaan telah dengan sengaja melanggar UU No. 42 Tahun 1999 Jo. PP No. 86 Tahun 2000. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi, apabila perjanjian tersebut hanya dibuatkan dibawah tangan tanpa didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka kreditur tidak dapat menggunakan parate executie (eksekusi langsung). Proses eksekusinya harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat Jaminan Fidusia, maka pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR jo. Pasal 258 RBg. Fakta yang terjadi dilapangan dalam hal eksekusi dilakukan oleh lembaga pembiayaan terhadap barang jaminan, dilakukan malalui bantuan pihak debt collector
134
dengan berdasarkan pada surat kuasa resmi dari kantor lembaga pembiayaan untuk mengeksekusi suatu barang jaminan. Secara normatif, hal ini adalah tindakan yang tidak sah menurut UUJF. Dalam hal ini kreditur dapat dilaporkan juga karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua, baik kreditur dan debitur. Oleh karena itu, dibutuhkan putusan hakim melalui proses Pengadilan Negeri setempat untuk mengadilinya sesuai porsi masing-masing pemilik barang. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Dalam konsepsi Hukum Pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan
termasuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana terkait melakukan tindakan pemaksaan dan ancaman perampasan. Adapun ketentuan Pasal 368 KUHPidana menyebutkan: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Ketentuan tersebut menunjukkan dalam menyelesaikan sesuatu permasalahan dilarang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkualifiaksi pemerasan, Lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2012 dikatakan bahwa lembaga pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda Jaminan Fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan
135
sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya kepada lembaga pembiayaan. Jika lembaga pembiayaan tersebut tidak mendaftarkan perjanjian Jaminan Fidusia, maka lembaga pembiayaan tersebut tidak dilindungi hak-haknya oleh UUJF. Hal ini menunjukkan lembaga pembiayaan tersebut tidak memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur lain untuk mendapatkan pelunasan utang debitur dari benda yang dijadikan Jaminan Fidusia tersebut. 4.3 Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Atas Eksekusi Barang Jaminan Kendaraan Bermotor Yang Tidak Didaftarkan Oleh Kreditur Sengketa antar manusia muncul pada hakikatnya diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Masing-masing manusia
dapat melakukan hal yang sama,
tetapi tujuannya dapat berbeda-beda. Sejak jaman dahulu manusia mempunyai tujuan untuk melakukan kerja sama sekaligus semangat persaingan di antara mereka. Dalam semangat persaingan inilah sebuah kelompok akan berhadapan dengan kelompok lainnya guna mengejar tujuan masing-masing. Berbagai cara ditempuh orang guna menyelesaikan sengketa diantara mereka. Sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, beragam alternatif digunakan orang guna meredam ketegangan diantara para pihak, baik alternatif tersebut menggunakan cara kekerasan atau tidak. Terkait dengan Lembaga Pembiayaan, dalam menjalankan usahanya sering ditemukan lebih memilih menggunakan jasa para debt collector, karena lebih gampang eksekusinya. Dengan demikian, meskipun menggunakan jasa para debt collector berisiko tinggi namun tetap ditempuh oleh Lembaga Pembiayaan. Bagi masyarakat peminjam (debitur) yang awam tentang hukum, mau tidak mau akan ketakutan karena mereka juga merasa bersalah akibat gagal membayar hutangnya. Namun demikian, bagi
136
masyarakat yang mengerti hukum, tindakan semena-mena yang dilakukan pihak Lembaga Pembiayaan melalui debt collector-nya tidak jarang dilaporkan ke aparat penegak hukum. Perbuatan debt collectordidalilkan sebagai perbuatan yang melanggar hukum karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur. Pelaksanaan Eksekusi yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Non Bank di Kota Denpasar dikemukakan didasarkan atas dasar alasan sesuai dengan klausulaklausula dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh konsumen. Padahal isi perjanjian tersebut bertentangan dengan kepentingan konsumen sesuai dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821), terutama Pasal 18 tentang klausula baku. Selain itu, karena perjanjian tersebut berisi tentang jaminan kebendaan secara fidusia, isi perjanjian dan segala akibat hukumnya tidak boleh bertentangan UUJF. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa asas yang dikembangkan dalam membangun hubungan harmonis antara konsumen dengan pelaku usaha. Asas yang dimaksudkan dijumpai pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu: 1. Asas manfaat Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha. Oleh karena itu, terkait hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha tidak ada satu pihak yang
137
kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. 2. Asas keadilan Asas inimengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. 3. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum Sementara itu mengenai tujuan dari pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dijumpai pada Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan tersebut menyatakan mengenai tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
138
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen Mengenai hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan Pasal 4 menyatakanmengenai hak daripada konsumen yaitu : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
139
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhan atas barang atau jasa. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujr serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuat dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya. Selanjutnya mengenai kewajiban dari konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa kewajiban konsumen adalah : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yng disepakati. 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Perjanjian pembiayaan yang merupakan perjanjian baku apabila kemudian didalamnya terdapat hal-hal yang secara tidak langsung merugikan pihak konsumen maka hal ini tentunya melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 UndangUndang Perlindungan Konsumen dan perjanjian dengan mencantumkan klausula baku
140
tersebut dinyatakan batal demi hukum. Akibat pelanggaran terhadap pencamtuman Klausula baku tersebut, Lembaga Pembiayaan dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2. 000. 000. 000,00 (dua miliar rupiah). Sanksi ini termuat dalam Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Indonesia memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) yang didirikan tingkat Kabupaten/kota untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Dalam Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan”. Dengan demikian, sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen diberi kebebasan sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan melalui BPSK. Dengan kata lain, BPSK bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum. BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri. Didalam menangani dan mengatur permasalahan sengketa konsumen, maka BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain. Mengenai keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan merupakan penyelesaian akhir bagi para pihak. Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah
141
dibebankan kepada APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen pengadu dapat mengajukan gugatan tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa. Mengenai tugas BPSK didalam menangani dan mengatur permasalahan sengketa konsumen antara lain : 1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi 2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku 3. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 4. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 5. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
142
7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; 8. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 9. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Dengan demikian, setiap konsumen yang dirugikan akibat menggunakan barang/jasa yang tidak memenuhi aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha melalui BPSK. Pengaduan dilakukan dengan mengisi formulir yang disediakan BPSK dengan menyebut nama dan alamat pengadu (konsumen), pelaku usaha dan melampirkan barang/jasa yang diadukan, bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dll), keterangan tempat dan waktu diperolehnya barang/jasa tersebut. Tata cara penyelesaian sengketa penyelesaian sengketa di BPSK dapat dilakukan dengan 3 cara, hal ini tergantung pilihan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa yaitu dengan cara: a. konsiliasi Konsiliasi berupaya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan, supaya kedua belah pihak dapat melewati perselisihan tersebut. Karena proses konsiliasi memperbolehkan kedua
143
belah pihak yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, maka ini memungkinkan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain. Hal ini akan dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang dikarenakan prasangka atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata. Semua informasi yang didapatkan dalam proses konsiliasi akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan. Konsiliasi membantu para pihak yang berbeda untuk merundingkan penyelesaian dengan cara: a. mengidentifikasi permasalahan dan memahami fakta dan keadaan b. mendiskusikan masalah c. memahami kebutuhan para pihak d. mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu sama lain Pertemuan konsiliasi berupaya membawa pihak yang berkepentingan untuk bersama sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan. Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan dan kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti rugi uang, dsb. b. Mediasi Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir
144
yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Dengan demikian, mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihakpihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider. Dengan tahapan mediasi antara lain: a. Para pihak yang bersengketa mendaftarkan kasusnya ke PMN b. Para pihak bersama-sama menunjuk mediator yang sesuai dengan sifat perkaranya c. Mediator yang ditunjuk mengadakan pertemuan dengan seluruh pihak membahas peran mediator, prosedur dan biaya Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik. c. arbitrase. Arbitrase adalah sebuah proses di mana kedua belah pihak setuju untuk menggunakan penengah independen (orang yang tidak memihak) yang memberikan keputusan yang mengikat dalam hal ini. Orang membuat klaim (penggugat) harus memilih antara pergi ke pengadilan arbitrase danbiasanya tidak mungkin untuk
145
mengambil klaim ke pengadilan setelah telah melalui arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut: a. Kecepatan dalam proses b. Pemeriksaan ahli di bidangnya c. Sifat konfidensialitas Dalam hal para pihak kemudian memilih konsiliasi atau mediasi, maka BPSK hanya bertindak sebagai fasilitator mempertemukan para pihak, mendamaikan secara aktif, memberikan saran dan anjuran dan menerangkan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta perbuatan dan tanggung jawab pelaku usaha. Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan oleh para pihak yang bersengketa bukan oleh BPSK, namun BPSK wajib memberikan masukan yang seimbang kepada para pihak yang bersengketa. Bilamana tercapai kesepakatan/perdamaian antar pihak maka hal itu dituangkan dalam surat perjanjian perdamaian yang ditandatangani kedua pihak yang berperkara, selanjutnya surat perjanjian perdamaian tersebut dikuatkan oleh Majelis BPSK dalam bentuk Surat Putusan BPSK. Para pihak jika memilih penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, maka konsumen memilih arbiter dari salah satu unsur konsumen yang ada di BPSK. Demikian juga pelaku usaha dapat menempuh dengan cara yang sama. Arbiter dari konsumen dan arbiter dari pelaku usaha memilih arbiter ketiga dari unsur pemerintah yang akan menjadi Ketua Majelis. Adapun yang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan
146
sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada Majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK Hal ini tentu saja menjadi catatan lembaga pembiayaan untuk merevisi klausul baku dalam perjanjian untuk menyesuaikan dengan peraturan hukum yang berlaku. Perlu diketahui bahwa antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah saling mengisi. Masing-masing merupakan lex specialis derogat legi generalis. Namun, perlu diketahui Undang-Undang Jaminan Fidusia dibentuk setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada alasan pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Fidusia melampaui aturan yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
147
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari permasalahan dan proses analisis terhadap data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan kepustakaan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pihak kreditur melakukan eksekusi barang jaminan kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia didasarkan padan klausula didalam perjanjian pembiayaan konsumen menyatakan bahwa apabila pembeli lalai (wanprestasi) dalam membayar angsuran, maka kendaraan bermotor tersebut diambil kembali oleh penjual dan dijual dengan harga pasaran. Hal ini merupakan alasan hukum yang sah bagi pihak kreditur untuk melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan
sebagaimana yang selama ini
dilakukan Lembaga Pembiayaan Non Bank terhadap debitur yang cidera janji di Kota Denpasar. Sedangkan menurut UUJF diterangkan bahwa eksekusi dapat dilaksanakan jika barang jaminan telah disertifikatkan agar mempunyai kekuatan eksekutiroal melalui pembuatan akta notaris tentang Jaminan Fidusia dan didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM. 2. Akibat hukum pelaksanaan eksekusi jamnian fidusia yang tidak didaftarkan dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka secara normatif kreditur tidak sah menggunakan parate executie (eksekusi langsung), dan proses eksekusinya harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui
132
148
proses Hukum Acara Perdata hingga turunnya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat Jaminan Fidusia, maka pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 H. I. R/258 RBG, yang prosedur pelaksanaanya memerlukan waktu yang lama.
5.2 Saran-saran Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dengan banyaknya terjadi tindakan pemanisme oleh para debt collector maka sebaiknya pihak lembaga pembiayaan lebih hati-hati lagi dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan permasalahan kredit macet yang dimilikinya kepada debt collector selaku pihak ketiga. Hal ini berpengaruh pada nama baik dan kredibilitas dari lembaga pembiayaan itu sendiri agar tidak hilang, hanya demi mengejar keuntungan semata tanpa memperdulikan etika dan hak-hak konsumen. 2. Pemerintah agar mengefektifkan penerapan Peraturan Menteri Keuangan PMK.130 tahun 2012 terkait sanksi hukum bagi lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia. Hal tersebut dimaksudkan agar memberikan kepastian hukum serta untuk memposisikan lembaga pembiayaan pada posisi yang lebih menguntungkan dan memperoleh hak eksekutorial (parate eksekusi) langsung sehingga memiliki dasar hukum yang jelas dalam melakukan eksekusi terhadap objek yang dijadikan Jaminan Fidusia apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.
149
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Abdurrahman, A. 1999, Ensiklopedi Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita. Affandi, Aten dan Wahyu Affandi, 1983, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, Alumni, Bandung. Apeldoorn, L. J. Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ashshofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet.III, Rineka Cipta, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1991, Bab-bab Tentang Creditverband Gadai dan Fidusia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. ----------,, 1991, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------, 1994, Aneka Hukum Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiono, Herlien, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Campbell, Black Henry, 1990, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul Minesota, West Publishing Chidir, Muhammad, 1993, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York. Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung. Hanitijo, Ronny, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke20, Alumni, Bandung.
134
150
Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hernoko, Agus Yudha, 2010, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dam Kontrak Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hutagalung, Arie S., 1997, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, cetakan 1, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,. Kansil, C.S.T., 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Libertus, Jehani, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian. Dilengkapi Contoh-Contoh : Perjanjian Jual Beli, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Pinjam Pakai, Perjanjian Pinjam Meminjam, Perjanjian Kerja, Perjanjian Franchise, Surat Kuasa, Visimedia, Jakarta. Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung. Manan; Bagir, 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika. ----------, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, 1996, Textbook On Jurisprudence (Second Edition), Blackstone Press Limited. Mertokusumo, Sudikno 1993, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta ----------, 1989, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1992,Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Notohamidjojo, O.,1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta. Patrik, Purwahid, 1998, Hukum Perdata II, Jilid I, Sinar Grafika, Jakarta Prodjodikoro, R. Wiryono, Bandung.
2004, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju,
Purwahid dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminana Fidusia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
151
Rahardjo, Satjipto, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung Ridwan, HR, 2011, Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta Salim H.S., 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Satrio,J., 1991, Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, Bandung.
-------, 1992, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa. Jakarta, --------, 2002, Hukum Jaminan Hak. Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Setiawan, R., 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta.
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,. Soebroto, Thomas, 1995, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotik,Fidusia, Penanggungan dan Lain-lain, Dahara Prize, Semarang Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta. Soepomo, R., 1989, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, 1989, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Subagyo, P. Joko,, 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1994, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, 1982, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,Bandung ---------, 1989, Hukum Acara Perdata, PT. Bina Cipta, Bandung. ---------, 1991, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Sunaryo, 2009, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Surakhmad, Winarno, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode & Teknik, Tarsito, Bandung.
152
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, PT. Mandar Maju, Bandung. Tiong, Oey Hoey, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. Wheare, K.C., 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta. ----------, 2007,Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zwalve, C.AE Uniken Venema, 2000, Common Law & Civil Law, W.E.J Tjeenk Willink, Deventer.
Karya Ilmiah/Makalah:
Atmadja, I Dewa Gede, 1993, Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Dja’is, Mochammad, 2000, Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum, disampaikan dalam rangka Dies Natalis ke-43, Fakultas Hukum, Undip. Hadjon, Philipus M., 1997, Tentang Wewenang, Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII. Lambok, Betty Dina, 2008, Akibat Hukum Persetujuan Tertulis dari PenerimaFidusia kepada Pemberi Fidusia untuk Menyewakan Objek Jaminan Fidusia kepada Pihak Ketiga, Jurnal Hukum ProJustitia,. Naiborhu, Netty SR, 2006, Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Berdasarkan Parate Eksekusi oleh Kreditur, Jurnal wawasan Hukum, Vol. 14. Sibarani, Bachtiar, 2001, Haircut atau Pareta Eksekusi, Jurnal Hukum Bisnis.
Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
153 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departamen