sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XXI, Nomor 4, 1996 : 13-24
TEKNOLOGI DAN PROSPEK USAHA PEMBENIHAN IKAN KERAPU Oleh Mayunar l)
ABSTRACT TECHNOLOGY AND AGRIBUSSINES PROSPECT OF GROUPER HATCHERY. The groupers is a dominant and economically important benthic fish in coastal water of Indonesia. Groupers is commercially cultured and highly esteemed as food in Singapore, Hongkong, Taiwan, Malaysia and Indonesia. In Indonesia, groupers commonly know as "kerapu". Furthermore, since this species seem suitable for culture, the development of hatchery techniques is essential to produce large supplies of fries, either for culture to marketable size or for stocking. Hatchery study of grouper species has been started since 1991 in Bojonegara Research Station for Coastal Aquaculture, and natural spawning in captivity succesfull in 1992. The broodstock domestication, reproduction, spawning, larvae rearing and agribussines prospect are discussed in this article.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu bersifat demersal, hidup di perairan karang atau muara-muara sungai. Dalam bentuk benih, ikan kerapu banyak dijumpai pada kedalaman 0,5 - 3,0 m, sedangkan ikan kerapu dewasa pada kedalaman 300 m (MAYUNAR et al., 1991). Benih ikan kerapu lumpur (Ephinephelus tauvina, E. suillus) umumnya terdapat dekat muara-muara sungai dengan dasar lumpur yang banyak ditumbuhi lamun (seagrass), sedangkan benih ikan kerapu lainnya adalah di perairan terumbu karang. Batuan karang merupakan tempat berlindung dari pemangsa, tempat hidup dan sebagai tempat persembunyian untuk menangkap mangsanya (AHMAD et al., 1991).
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang populer di pasaran dan banyak diminati konsumen terutama di Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang dan bahkan Indonesia (Jakarta, Batam, Tanjung Pinang). Disamping memiliki nilai ekonomis tinggi dan rasanya enak, juga mengandung EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Decosahexaenoic Acid) cukup tinggi. EPA dan DHA pada manusia dapat mencegah beberapa penyakit diantaranya : kanker, alergi, menurunkan tekanan darah serta memperlambat proses penuaan/kepikunan.
1) Penelitian pada Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegoro - Serang.
13
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang diperoleh dari alam diseleksi menurut ukuran serta memenuhi syarat antara lain : harus sehat, tidak cacat, ukuran seragam dan matang gonad. Induk diharapkan dapat mewariskan sifat-sifat khusus tersebut meliputi cepat tumbuh, mortalitas rendah, ketahanan terhadap penyakit, fekunditas tinggi, kemampuan mengkonversi pakan secara efisien, umur pada kematangan gonad pertama dan kualitas daging sesuai dengan permintaan pasar. Selanjutnya, pemeliharaan induk ditujukan untuk pematangan dan perkembangan gonad serta pematngan dan perkembangan telur. Wadah yang digunakan dapat berupa bak beton atau keramba jaring apung. Bak beton untuk pemeliharaan induk minimal bervolume 10 m3 dan sebaiknya 30100 m3 (kepadatan 0,3 - 0,5 ekor/m3), sedangkan keramba jaring apung yang digunakan berukuran 5x5x3 m atau 3x3x3 m masing-masing dengan kepadatan 0,2-1,0 ekor/ m\ Makan yang diberikan selama pemeliharaan dan pematangan gonad dapat berupa ikan rucah (tembang, tunjam, japuh, selar) atau campuran antara ikan rucah dan cumi-cumi dengan konversi 3-6% dari total biomassa perhari. Kualitas dan kuantitas pakan merupakan faktor penting untuk memproduksi induk dalam keadaan sehat dan bermutu. Difisiensi nutrien terutama asam amino, vitamin dan mineral dapat menyebabkan perkembangan telur terhambat dan akhirnya terjadi kegagalan ovulasi atau pemijahan (WAYNORIVICH & HORVATH dalam HARDJAMULIA 1988). Pertumbuhan gonad terjadi jika terdapat kelebihan energi untuk pemeliharaan tubuh, sedangkan kekurangan gizi dapat meningkatkan oocyte (telur) mengalami atresia.
Penyebaran atau distribusi serta daerah penangkapan ikan kerapu hampir meliputi semua perairan Indonesia dan terbesar adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Riau, Aceh, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur. Produksi ikan Kerapu di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1984, hasil tangkapan tercatat 9.285 ton dan pada tahun 1991 sebanyak 16.197 ton, sedangkan untuk ekspor meningkat dari 57 ton pada tahun 1988 menjadi 85 ton pada tahun 1991 (ANONYMOUS 1993). Di luar negeri, sebagian besar ikan kerapu dikonsumsi dalam bentuk hidup, sedangkan di Indonesia hanya sebagian kecil dan pada beberapa daerah dijadikan ikan asin. Harga ikan kerapu hidup ukuran konsumsi (300-1500 g) bervariasi menurut jenis dan lokasi. Harga kerapu sunu (Plectropomus sp.) bekisar Rp. 30.000 - 35.000, kerapu lumpur (Epinephelus tauvina, E. suillus) Rp. 15.000 17.500 dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) Rp. 75.000 - 100.000, sedangkan kerapu macan (E. fusguttatus) berkisar Rp. 15.000 - 17.500. Mengingat permintaan pasar domestik dan internasional makin meningkat dan belum diimbangi dengan produksi hasil tangkapan, maka usaha pembesaran dan pembenihan (hatchery) akan semakin penting dimasa datang. Menyadari hal-hal diatas dan untuk usaha pengembangannya, penulis mencoba memberikan informasi tentang teknologi dan proyek pembenihan ikan kerapu. PENYEDIAAN DAN PEMELIHARAAN INDUK Pemilihan induk yang tepat dan baik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pematangan dan pemijahan. Induk
14
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kemudian dikeluarkan telurnya, baru dilanjutkan dengan pengambilan sperma dan induk jantan, segera dicampur dalam sebuah wadah dan diaduk-aduk dengan bulu ayam. Selanjutnya telur yang dibuahi dicuci dengan air beberapa kali sampai bersih. Metoda pembuahan yang demikian disebut metoda kering (dry method). Selain metoda kering juga dapat digunakan metoda basah (wet method) yang caranya hampir sama dengan metoda kering. Pada metoda basah, tempat penampungan telur diisi sedikit air dan selanjutnya dimasukkan sperma dan ikan jantan hasil pemijatan.
TEKNIK PEMIJAHAN Secara umum, pemijahan pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu lumpur (E. tauvina, E. suilllus) dapat dibagi atas pemijahan alami (natural spawning), pemijahan buatan (stripping atau artificial fertilization) dan rangsangan hormon (induced spawning). Pemijahan alami dapat dilakukan dalam bak terkontrol (captivity), sedangkan pijah rangsang menggunakan hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin), HCG plus Puberrogen atau LHRHa (Luteinizing Hormone Releasing Hormone analogue). Induk betina kerapu macan yang dapat digunakan untuk pemijahan minimal 3 kg (TL 58 cm) dan jantan 6 kg (TL 65 cm), sedangkan induk betina kerapu lumpur 3 kg (TL 52,8 cm) dan jantan 11 kg (TL 74 cm).
Rangsangan Hormonal Penyuntikan hormon dapat dilakukan melalui empat lokasi yaitu : melalui daging (intramuskular), melalui selaput dinding perut (intraperitonial), melalui rongga dada (chest cavity) dan melalui tempurung kepala (intracranial). Penyuntikan melalui intracranial daya reaksinya cepat tetapi dianggap kurang aman, demikian juga secara intraperitonial mempunyai resiko terhadap kerusakan organ dalam. Cara yang paling banyak digunakan orang adalah melalui intramuskular dan chest cavity. Supaya tidak banyak bergerak sewaktu penyuntikan, sebaiknya ikan dibius dengan MS-222 50 ppm, Ammonium Benzoat 1 ppm atau Ethyleneglycol Monophenyl Ether 100150 ppm (MAYUNAR 1992). Rangsangan hormon dalam pemijahan ikan dapat bersifat akut atau kronis. Pemijahan bersifat akut bila menggunakan hormon dalam bentuk larutan atau suspensi, sedangkan bersifat kronis bila menggunakan dalam bentuk pellet yang biasanya dimasukkan bersama makanan atau melalui implantasi. Penggunaan HCG untuk pemijahan ikan kerapu lumpur berkisar 500-1000 IU/kg
Pemijahan Buatan Pemijahan dengan menggunakan metoda stripping (pemijatan) merupakan salah satu cara yang cukup baik untuk memproduksi benih. Metoda ini digunakan bagi lokasi pembenihan yang dekat dengan sumber induk (daerah pemijahan) dan tidak mempunyai induk hasil pemeliharaan. Induk yang digunakan dalam kegiatan pemijahan betul-betul baik dan siap pakai yakni memiliki telur dengan diameter ± 450 mikron dan sperma +2. Untuk dapat melakukan dengan baik dan berhasil, diperlukan keterampilan khusus agar induk yang digunakan tidak luka atau cacat sewaktu dan sesudah digunakan, termasuk telur dan sperma yang akan digunakan. Untuk melakukan stripping diperlukan minimal 2 orang. Pemijatan pertama dilakukan pada induk betina, yakni dengan cara meletakkan induk tersebut diatas sebuah wadah
15
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dewasa akan mengalami perubahan kelamin (sex change) menjadi jantan, sehingga secara umum berat tubuh (BW) induk jantan lebih besar dari betina. Perubahan kelamin pada kerapu betina tergantung ukuran, umur dan spesies. Pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), panjang minimum betina yang matang adalah 45-50 cm (sebagian besar 5070 cm) dan transisi gonadnya terjadi pada panjang total (TL) 66-72 cm dan testis mulai matang pada TL 74 cm atau berat tubuh 1011 kg (BOUAIN & SIAU, 1983). MAYUNAR et al., (1994) melaporkan, berat minimum ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) betina matang gonad adalah 2,5 kg (sebagian besar 3-7 kg) dan induk jantan 5,4 kg (sebagian besar diatas 7 kg). Selanjutnya, pada kerapu bebek (Cromileptes altivelis), induk betina matang gonad adalah 0,8 kg dan induk jantan 2,5 kg.
(HUSSAIN & HIGUCHI 1980; MAYUNAR 1992), sedangkan kerapu macan 450 - 1000 IU/kg berat badan atau HCG plus Puberogen 100-150 IU/kg (MAYUNAR et al., 1993). Induk betina yang potensial dipijahkan adalah pada stage IV atau V, dimana rata-rata diameter telur (oocyte) lebih besar dari 400 mikron, sedangkan induk jantan +1 (sperma diketahui dengan kanulasi) atau +2 (sperma keluar apabila distripping). Pemijahan Alami. Pemijahan alami dalam bak/tangki pemeliharaan biasanya berlangsung sama seperti pada pemijahan yang terjadi diperairan terbuka (alam). Di Indonesia, kerapu yang dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol adalah kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu lumpur (E. tauvina, E. suillus), kerapu sunu (Plectropomusmaculatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Selain itu, jenis lain yang telah berhasil adalah E. akaara, E. fasciatus, E. malabaricus, E. salmoides dan E. micrvdon. Secara alami, pemijahan kerapu macan dalam bak terkontrol terjadi 3-7 musim/tahun, kerapu lumpur 2 musim/tahun, sedangkan karapu sunu hampir sepanjang tahun. Perbandingan induk jantan dan betina dapat 1 : 2 atau 1 : 3 , dimana makanan yang diberikan selama pemeliharaan adalah ikan rucah dengan cumi-cumi dengan konversi 3-6% dari total biomassa perhari.
Musim pemijahan Menurut LOUBEN (dalam SHAPIRO 1987), kematangan gonad dan musim pemijahan ikan kerapu tergantung pada jenis dan kondisi atau lokasi perairannya. Misalnya Epinephelus guttatus (di Jamaica) pemijahan terjadi antara bulan Desember - April (puncaknya Januari - Februari), sedangkan di Bermuda terjadi antara Mei-Juni (puncaknya Juni). Selanjutnya di Indonesia (teluk Banten) musim pemijahan alami ikan kerapu lumpur (E. suillus) terjadi pada bulan Juni-Nopember, sedangkan kerapu sunu (Plectropomus sp.) di Kep. Riau berkisar antara Februari-Mei (IMANTO & BASYARIE 1993). Untuk lebih jelasnya, pada Tabel 1 disajikan musim pemijahan di alam beberapa spesies ikan kerapu pada berbagai lokasi.
REPRODUKSI DAN MUSIM PEMIJAHAN Reproduksi Ikan kerapu (grouper) bersifat "protogynous hermaprodit" dimana betina
16
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Musim pemijahan di alam beberapa spesies ikan kerapu pada berbagai lokasi
SHAPIRO (1987) menyatakan, beberapa spesies ikan kerapu dapat memijah (spawning) 6-8 bulan/tahun dan pada umumnya 1-5 bulan, dimana pemijahan awal (pre spawning) 1-2 bulan/tahun. Perhitungan waktu pemijahan di dasarkan pada siklus bulan lunar, misalnya Epinephelus tauvina memijah hari ke 13-27, E. striatus hari ke
14-18 dan E. merra hari ke 3-4 pada bulan lunar. Selanjutnya pada ikan kerapu macan, E. fuscoguttatus, pemijahan terjadi pada akhir bulan sampai minggu pertama bulan baru (MAYUNAR et al. 1991a). Pada tabel 2 disajikan musim pemijahan alami beberapa spesies ikan kerapu dalam wadah terkontrol.
17
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Musim pemijahan alami beberapa spesies ikan kerapu dalam wadah terkontrol.
FEKUNDITAS DAN FREKUENSI PEMIJAHAN
meningkatnya bobot. Misalnya E. aeneus, pada BW = 1.4-3.7 kg dapat menghasilkan telur 600.000-1.900.000, sedangkan pada BW = 8.6-11.8 kg berkisar 6.000.000-12.500.000 butir. Fekunditas atau jumlah telur hasil pijah rangsang berkisar 1,3-3,3 juta butir dengan ukuran induk 5,1-5,8 kg, dimana jumlah telur yang dihasilkan lebih sedikit dari pemijahan alami. MAYUNAR et al.(1991a) melaporkan, pemijahan alami kerapu macan, E fuscoguttatus ukuran 3-6 kg dapat menghasilkan telur 2-6 juta butir, sedangkan ukuran 5,9-11,5 kg berkisar 3-9 juta butir. Frekuensi pemijahan induk kerapu macan yang diberi pakan ikan tembang berkisar 2-5 kali, cumi-cumi 3 kali, campuran ikan tembang dan cumi-cumi 2-6 kali, campuran ikan tongkol dan cumi-cumi 2-4 kali. Selanjutnya campuran ikan tembang, ikan tongkol dan cumi-cumi 3-4 kali.
Pemijahan ikan kerapu macan dalam kelompok (group mating) dengan jumlah induk betina 3-7 ekor (BW = 3.3-11.5 kg) dan induk jantan 2-5 ekor (BW = 5.4-10.7) dapat menghasilkan telur 4-48 juta butir per musim (bulan) atau 3-9 juta/ekor. Diameter telur hasil pemijahan alami berkisar 816-933 mikron, sedangkan diameter gelembung minyak (oil globule) 191-241 mikron. SHAPIRO (1987) melaporkan, jumlah telur yang dihasilkan oleh satu ekor induk kerapu betina tergantung pada bobot dan spesies. Misalnya E. guttatus (90.000-3.365.000), E. morio (312.OOO-5.735.OOO) dan E. diachantus (63.000-233.000). Selanjutnya BOUAIN & SIAU (1983) menyatakan, telur yang dihasilkan oleh induk kerapu betina bertambah sejalan dengan
18
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
morula (15-16 jam), gastrulla (18-29 jam), embryonik (23 jam) dan menetas 26-35 jam pada temperatur 27-30°C. Selain kualitas telur, faktor lain yang berperan dalam penetasan telur kerapu macan adalah salinitas, temperatur, gerakan air dan luas permukaan wadah (MAYUNAR 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa derajat penetasan telur kerapu macan berkurang dengan turunnya salinitas. HUSSAIN & HIGUCHI (1980) Melaporkan, penetasan telur kerapu lumpur pada temperatur 27-30°C lebih cepat daripada temperatur 2325 °C.
MAYUNAR et. al. (1991a) melaporkan, berdasarkan jumlah telur dan frekuensi pemijahan, ikan kerapu macan, E. fuscoguttatus, memijah lebih efektif dalam bentuk kelompok (grop mating) daripada berpasangan (pair mating). Seterusnya juga dikatakan bahwa jenis dan mutu pakan induk sangat berpengaruh terhadap produksi telur, derajat pembuahan, derajat penetasan dan frekuensi pemijahan.
PEMBUAHAN DAN PERKEMBANGAN EMBRYO Telur kerapu yang telah dibuahi biasanya melayang atau mengapung dipermukaan, bentuknya bundar, permukaan licin, transparan dan berdiameter 816-935 mikron, sedangkan gelembung minyak (oil globule) 191-214 mikron. Telur yang dibuahi ditempatkan dalam bak penetasan yang sebelumnya sudah diisi air laut bersih dengan salinitas 30-34 ppt dan diaerasi secukupnya. Setelah telur dibuahi, 43 menit kemudian dimulai perkembangan embriyo. Dimulai dari stadium 1 sel, 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel, 128 sel (many cell), morula, blastula dan gastrula dan kemudian meningkat menjadi embryo yang sudah berkepala serta memiliki bola mata dan tunas ekor. Beberapa menit kemudian jantungnya mulai berfungsi, ekornya tumbuh dan badannya mulai bergerak-gerak sampai akhirnya telur itu menetas. Secaia keseluruhan, waktu inkubasi telur ikan kerapu macan berkisar 16-22 jam pada temperatur 28-30°C dan salinitas 32-34 ppt (MAYUNAR et al., 1991a). HUSSAIN et al. (1975) melaporkan, pembelahan pertama pada telur ikan kerapu lumpur E. tauvina, terjadi 40 menit setelah dibuahi (2 sel), stadium 8-32 sel (5,5 jam),
TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA Pemeliharaan Larva Pemeliharaan larva kerapu dilakukan dalam bak/tangki fiberglass berbentuk persegi panjang dan bulat dengan volume 0,5; 1, 2, 3, dan 10 m3. Bak-bak diisi air laut bersih dan diberi aerasi secukupnya. Larva yang dipelihara bisa langsung dari telur yang sudah menetas baru dipindahkan ke bak/tangki pemeliharaan. Untuk menekan peningkatan kadar amonia, kedalam tangki pemeliharaan larva diinokulasikan Chlorella atau Tetraselmis. Kepadatan yang ideal untuk Chlorella adalah 50 x 104 sel/ml, dan untuk Tetraselmis 5 x 104 sel/ml. Selain stabilizer mutu air, Chlorella dan Tetraselmis juga berfungsi sebagai pakan rotifera di dalam tangki pemeliharaan (ANONYMOUS 1985). Pembersihan tangki harus dilakukan secara periodik dengan menggunakan sipon. Larva berumur 7-10 hari, dasar tangki harus dibersihkan setiap 2 hari, sedangkan larva berumur diatas 10 hari pembersihan dasar tangki dilakukan setiap hari. Selanjutnya, larva berumur dibawah 7 hari tidak
19
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
REDJEKI & MAYUNAR (1991) melaporkan, salinitas yang baik untuk pemeliharaan larva kerapu macan, E. fuscogutatus, berkisar 25 30 ppt, sedangkan temperatur 27 - 33 °C (PURBA & MAYUNAR 1990).
memerlukan pergantian air, sedangkan umur 7-10 hari pergantian air 10-30 %, umur 10-20 hari (20-40%), umur 20-35 hari (50-75 %), dan umur diatas 35 hari pergantian air 75-100 %. Pergantian air tidak boleh dilakukan sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit. Disamping hal-hal diatas yang tidak kalah pentingnya adalah pengelolaan mutu air dalam bak/tangki pemeliharaan seperti : temperatur, salinitas, oksigen terlarut, intensitas cahaya, amonia dan nitrit. Menurut BOYD & LIN CHOPLER (1979), pertumbuhan ikan yang baik adalah pada temperatur 25-35 °C, pH 6,5 - 9,0 dan oksigen terlarut diatas 5 ppm. Selanjutnya
Pakan dan Cara Pemberiannya Jasad pakan yang diberikan pada larva kerapu macan adalah rotifer, artemia, throcopore (telur tiram), copepoda, udang rebon atau cacahan daging ikan. Untuk lebih jelasnya,pemberian pakan dapat dilihat pada skema dibawah ini.
20
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Larva umur 1-3 hari masih berwarna pucat dan berangsur-angsur menjadi kehitaman, dan umur kurang lebih 10 hari mulai tumbuh sirip dorsal pertama yang bentuknya panjang seperti antene, sedangkan metamorphosa diperkirakan terjadi pada umur 21-24 hari. Dalam waktu 50-60 hari larva berubah menjadi benih, bergerak aktif dan tumbuh dengan cepat. Karena ikan kerapu macan bersifat kanibal, maka perlu dilakukan seleksi (grading). Seleksi bisa dimulai pada minggu ke-5 (umur 35 hari) dengan menggunakan saringan berbagai ukuran, sehingga berbagai ukuran benih dapat dipisahkan dengan mudah. Secara alami, produksi larva ikan kerapu dari ukuran larva sampai gelondongan (fingerling) masih sangat rendah. Kendala yang sering ditemui dalam pembenihan kerapu macan adalah masih tingginya kematian larva pada minggu pertama yakni pada saat pergantian sumber nutrisi dari dalam tubuh (endogenous) ke sumber nutrisi luar tubuh (exogenous) dan setelah umur 35 hari (kanibalisme). Teknik pemeliharaan larva dengan penerapan pemberian pakan tepat waktu, jumlah dan mutu (Tabel 3) ternyata mampu menghasilkan larva umur 35 hari dalam jumlah cukup memadai, namun tingkat kanibalisme yang cukup tinggi pada umur 35-40 hari mengakibatkan tingginya mortalitas sampai menjadi benih (umur 50-60 hari).
Larva yang baru menetas mempunyai persediaan kuning telur yang cukup besar, namun diserap dengan cepat dan habis 87 jam setelah penetasan (umur 3-4 hari), sedangkan gelembung minyak habis diserap setelah 94 jam (umur 4 hari). Selanjutnya larva mulai membuka mulut 55 jam setelah menetas dan mulai memakai rotifer setelah 62 jam (umur 3 hari). Menurut SUNYOTO et al., (1990) dan WASPADA et al. (1991), kepadatan jasad pakan yang diberikan tergantung pada umur larva. Larva umur 3-7 hari diberikan rotifer 510 ind/ml dan trocophore 5 ind./ml, umur 715 hari (10-15 ind/ml) dan umur 15-40 hari 15-25 ind./ml. Selanjutnya, artemia mulai diberikan pada umur 15 hari (0,2-1,0 ind./ml) dan terus ditambah saat pemberian rotifer dikurangi. Larva berumur 25 hari perlu diberi copepoda dari alam dan umur 35-60 hari selain artemia dan copepoda, juga diberikan cacahan daging ikan atau udang rebon. Pertumbuhan dan Perkembangan Larva Larva yang baru menetas berukuran panjang 1,34 - 1,64 mm dengan panjang kuning telur (yolk) 0,88 mm dan tinggi 0,66 mm, sedangkan gelembung minyak memiliki diameter 0,20 m. Larva tumbuh cepat dalam 24 jam pertama setelah menetas, kemudian laju pertumbuhannya menurun sampai hari ke-8 dan setelah itu bersifat eksponensial. Kuning telur dan gelembung minyak merupakan makanan cadangan setelah menetas. Kuning telur habis diserap 87 jam (umur 3-4 hari) dan gelembung minyak 94 jam (umur 4 hari). Larva mulai membuka mulut 55 jam setelah menetas dan mulai memakan rotifer setelah 69 jam. Selanjutnya, pembentukan pigmentasi mata secara lengkap terjadi 62 jam setelah menetas (KDHNO et al. 1990).
Panen dan Pemasaran Kematian benih dapat terjadi pada waktu panen akibat penanganan yang tidak baik atau cara yang salah. Penanganan dan penggunaan alat secara tepat dapat mempertahankan jumlah benih yang dipanen, ditransportasikan dan terjual yang pada gilirannya meningkatkan keuntungan. Pemanenan benih harus dilaksanakan dengan
21
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
selama 5-10 menit. Obat-obatan tersebut berfungsi untuk mencegah serangan penyakit. Dalam transportasi benih, faktor yang harus diperhatikan adalah cara dan metoda transportasi serta kepadatan. Transportasi benih dengan waktu tempuh kurang lebih 48 jam, sebaiknya kepadatan 7-10 ekor/1 dan suhu air 15-20 °C. Cara transportasi yang baik adalah dengan truk pendingin (refrigerated truck) dan bis AC, dimana suhu air dapat dipertahankan, sedangkan yang lebih baik lagi adalah dengan pesawat terbang, karena cepat sampai ditujuan tetapi biayanya lebih mahal.
memperhatikan alat, bahan, kondisi dan umur benih serta cara panen. Panen dapat menggunakan serokan yang terbuat dari bahan halus dan 1 hari sebelum panen, benih tidak diberi pakan, hal ini untuk mencegah penumpukan hasil metabolisme. Benih kerapu umur 50-60 hari dapat dipasarkan kepada para petani untuk dipelihara sampai mencapai tokolan (fingerling) yang selanjutnya dibesarkan dalam keramba jaring apung atau tambak hingga mencapai ukuran konsumsi. Benih-benih yang akan dipasarkan, sebaiknya diobati terlebih dahulu dengan acriflavine 5 ppm atau copper sulfate 0,5 ppm
Tabel 3. Kelangsungan hidup larva dan benih ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. pada berbagai periode pemeliharaan
*) Larva yang menjadi benih kurang dari 1000 ekor.
22
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HUSSAIN, N.A. and M. HIGUCHI. 1980. Larval rearing and development of the brow spotted grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Aquaculture 19 : 339350.
DAFTAR PUSTAKA AHMAD, T, et al. 1991. Operasional pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros : 59 pp.
IMANTO, P.T. dan A. BASYARIE. 1993. Budidaya ikan laut, pengembangan dan permasalahannya. Dalam E. DANAKUSUMAH, RACHMANSYAH, A.M. PIRZAN dan N.A. RANGKA (eds.), Prosiding Rapat Teknis Ilmiah Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Tanjungpinang, 29 April - 1 Mei 1993 : 93 - 106.
ANONYMOUS. 1985. Pembenihan ikan laut. Seri ke Delapan. Kerjasama Sub Balitkandita Bojonegara - Serang dengan JICA : 20 pp ANONYMOUS. 1993. Statistik Perikanan Indonesia tahun 1991 No. 21. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian : 73 pp.
KOHNO, H., S. DIANI, P. SUNYOTO, B. SLAMET and P.T. IMANTO. 1990. Early development event associated with changeover of nutrient sources in the grouper, Epinephelus fuscoguttatus, larvae. Bull Penel Perikanan, Spec. Edition 1 : 51 - 64.
BOUAIN, Y and Y SIAU 1983. Observation of the female reproductive cycle and fecundity of three of groupers (Epinephelus) from the Southeast Tunusia Seashores. Mariculture Biology. 73 : 210 - 220.
MAYUNAR, P.T. IMANTO, S. DIANI dan T. YOKOKAWA. 1991. Pemijahan ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Penel. Perikanan, Special Edition 2 : 1 5 - 2 2 .
BOYD, C.E. and L. LINCHOPLER, 1979. Water quality management in pond fish culture. Series No. 22. Auburn University. Alabama : 30 pp. GAIGER, P.J. 1989. The market potensial for Indoesian seafarmed product : I. Finfish. A consultancy report for UNDP/ FAO, seafarming development Project in Indonesia (INS/81/008) under the auspices of Directorate General of Fisheries, Departement of Agriculture, Goverment of Indonesia. FAO Rome: 67 pp.
MAYUNAR., S. DIANI dan B. SLAMET. 1991a. Fekunditas, derajat pembuahan dan derajat penetasan telur ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus yang diberi ransum berbeda. J. Penel. Budidaya Pantai 7 (2) : 1 - 9. MAYUNAR. 1991. Daya penetasan telur ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus pada berbagai salinitas dari hasil pemijahan alami dan penyuntikan. Bull. Penel. Perikanan, Special Edition 2 : 59 - 65.
HARDJAMULIA, A. 1988. Penyediaan induk untuk usaha pembenihan ikan air tawar. Seminar Pembenihan Ikan dan Udang, Bandung 5 - 6 Juli 1988 : 26 pp.
23
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
fuscoguttatus pada berbagai salinitas dan ukuran tangki. J. Penel Budidaya Pantai 7 (2) : 51 - 56
MAYUNAR, 1992. Pijah rangsang dan pemeliharaan larva kerapu lumpur, Epinephelus tauvina. Oseana 13 (2) : 69 - 82.
SHAPIRO, P.Y 1987. Reproduction in grouper. In : Tropical snappers and groupers, biology and fisheries management, J.J. Polovina and S. Ralston (ed.). Westview Press/Boulder and London : 295 - 327.
MAYUNAR., B. SLAMET dan S. DIANI. 1993. Pemijahan ikan kerapu macan,
Epinephelus fuscoguttatus, dengan rangsangan hormon. Laporan Penelitian Sub Balitkandita Bojonegara : 10 pp. MAYUNAR., S. DIANI dan T. AHMAD. 1994. Studi pendahuluan perubahan kelamin dan reproduksi ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. J. Penel Bud. Pantai, 9 ( 1 ) : 125-134.
SUNYOTO, P., A. BASYARIE, B. SLAMET dan H. KOHNO. 1990. Kelulushidupan dan pertumbuhan larva kerapu macan yang diberi pakan rotifer dan gabungan rotifer dengan trochopore tiram/telur. Bull. Penel. Perikanan, Special Edition 1 : 56 - 59.
PURBA, R. dan MAYUNAR. 1990. Pengaruh salinitas dan temperatur terhadap kelulushidupan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Penel Perikanan, Special Edition 1 : 45 - 49.
WASPADA., MAYUNAR dan T PATONI. 1991. Upaya peningkatan gizi rotifera, Brachionus plicatilis untuk menunjang keberhasilan pembenihan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. J. Penel. Budidaya Pantai 7 (2) : 73 - 80.
REDJEKI, S dan MAYUNAR. 1 9 9 1 . Kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerapu macan, Epinephelus
24
Oseana, Volume XXI no. 4, 1996