Teknik Pematahan Dormansi Subang Gladiol (Gladiolus hybridus) Varietas Lokal (Berbunga putih) Retno Dwi A.1, Sri Lestari P.2, dan Lita Soetopo3 1
Mahasiswa Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya 2 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 3 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Abstrak: Benih gladiol secara vegetatif adalah subang. Subang gladiol memerlukan masa dormansi untuk dapat ditanam kembali. Dormansi subang gladiol lokal batu berbunga putih yang memiliki masa dormansi paling lama, yaitu sekitar 4-6 bulan. Tujuan percobaan ini adalah mengetahui apakah CaS2 dapat digunakan untuk menggantikan GA3 untuk mematahkan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih serta mengetahui dosis efektif untuk mematahkan dormansi subang gladiol lokal batu berbunga putih. Percobaan dilaksanakan di Desa Junggo, Kota Batu mulai bulan April sampai Juli 2012 menggunakan Rancangan Acak kelompok 3 ulangan dengan uji lanjutan ortogonal kontras. Senyawa kimia yang digunakan CaS2 dan GA3 untuk mempercepat masa dormansi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kedua senyawa tersebut mampu mempercepat masa dormansi, mempercepat pertunasan, mempercepat waktu muncul daun pertama dan rasio tunas tumbuh per tunas potensial. Dosis efektif yang disarankan untuk pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih adalah CaS2 adalah 1,5g/kg dan GA3 100 ppm. Keyword: gladiol, senyawa, dormansi Gladiol merupakan salah satu komoditas bunga potong potensial untuk dibudidayakan secara luas oleh petani. Gladiol biasanya dibudidayakan dengan cara vegetatif karena mampu lebih cepat menghasilkan bunga dari pada perbanyakan dengan biji (herlina, 1995). Benih gladiol secara vegetatif adalah subang. Seperti organ tanaman seperti umbi-umbian (bulb, tuber, corm), subang gladiol memerlukan masa dormansi untuk dapat ditanam kembali. Lamanya dormansi bervariasi dan berbeda menurut jenis, ukuran subang dan cara penyimpanan (Badriah, 1995). Dari sekian banyak jenis gladiol lokal batu yang dibudidayakan, menurut petani gladiol lokal batu berbunga putih yang memiliki masa dormansi paling lama, yaitu sekitar 4-6 bulan. Dormansi subang gladiol lokal batu berbunga putih cukup menjadi masalah bagi petani, karena permintaan pasar sangat tinggi untuk bunga gladiol berwarna putih. Sedangkan masa dormansi subang gladiol berbunga putih yang mencapai 6 bulan menghalangi produksi. Dari segi sistem usahatani, dormansi subang gladiol berbunga putih merupakan faktor yang merugikan bagi petani. Dormansi dapat memutuskan kontinuitas budidaya gladiol di sepanjang tahun. Sehingga dalam usaha skala luas mengakibatkan terjadinya kelangkaan bunga gladiol di pasaran. Berbagai cara telah dicoba untuk mempercepat pertunasan subang gladiol. Perlakuan menggunakan etilen, ethepon, kalsium sianida dan giberelin sudah digunakan. Namun karena bahan yang digunakan kurang ekonomis dan sulit ditemui dengan mudah dipasaran. Sehingga untuk mengatasi masalah dormansi pada subang gladiol perlu dilakukan dengan bahan atau senyawa yang efektif, ekonomis dan dapat dengan mudah didapatkan dipasaran. Dalam penelitian ini diharapkan pemakaian senyawa kimia pada subang berpengaruh nyata dalam mempercepat pertunasan subang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah CaS2 dapat digunakan unruk menggantikan penggunaan GA3 dalam mematahkan dormansi subang gladiol varietas lokal batu berbunga putih. Serta untuk mengetahui perlakuan terbaik untuk mematahkan dormansi subang gladiol lokal batu berbunga putih. BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilaksanakan di Desa Junggo, Kota Batu mulai bulan April sampai Juli 2012. Percobaan ini menggunkan subang gladiol lokal batu (berbunga putih) yang berumur 7 minggu bulan panen. Subang dikupas kulit penutupnya. Perlakuan pada percobaan ini adalah fumigasi dengan CaS2 dan perendaman dengan GA3. Fumigasi sebelumnya telah ditimbang sesuai dengan perlakuan (g/kg), yang berarti sejumlah CS2 yang diberikan adalah per 1 kg subang gladiol). CaS2 yang telah ditimbang disimpan dalam plastik kedap udara, untuk mencegah CaS2 menguap. Kemudian subang gladiol di timbang masing-masing 1 kg sejumlah perlakuan.
Proses fumigasi diawali dengan meletakan CaS2 di wadah pada bagian tengah plastik, dan subang gladiol diletakkan disekeliling wadah CaS2. Plastik kemudian ditutup rapat dengan menggunakan tali rafia dan dilapisi dengan isolasi agar udara benar-benar tidak bisa bertukar. Proses fumigasi dilakukan selama 24 jam. Kemudian subang dikeringanginkan selama 1 minggu. Sedangkan proses pemberian GA3 dilakukan dengan cara perendaman dalam larutan GA3 selama 24 jam. Subang yang telah diberi perlakuan fumigasi dengan CaS2 dan perendaman dengan GA3, kemudian dikeringanginkan pada rak selama 1 minggu. Subang kemudian ditanam di lapang dengan menggunakan polibag. Media tanam yang digunakan adalah campuran dari tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Pemberian pupuk nitrogen dilakukan pada umur 14 hari setelah tanam. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Tiap perlakuan terdiri dari 10 tanaman. Data kemudian akan di uji lanjutan dengan meggunakan uji ortogonal linier. Macam perlakuannya adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kontrol (tanpa bahan kimia) C1 = CaS2 0,5 g/kg C2 = CaS2 1 g/kg C3 = CaS2 1,5 g/kg C4 = CaS2 2 g/kg C5 = CaS2 2,5 g/kg G1 = GA3 25 ppm G2 = GA3 50 ppm G3 = GA3 75 ppm G4 = GA3 100 ppm G5 = GA3 125 ppm
Pengamatan meliputi : 1. Berat subang yang digunakan sebagai bahan tanam ditimbang dan dipilih yang sesuai kriteria sebelum diberi perlakuan. Berat subang harus memenuhi kriteria memiliki berat 20-50 gram. 2. Diameter subang yang digunakan diukur dan dipilih yang sesuai kriteria sebelum diberi perlakuan. Diameter subang harus memiliki diameter 3-6 cm. Diameter subang di hitung dari lebar yang maksimum subang. 3. Waktu muncul tunas pertama diamati dengan cara melihat tunas yang tumbuh pada subang dan dihitung dari hari awal tanam. Tunas di anggap sudah tumbuh ketika pada pada mata tunas potensial sudah muncul titik putih ujung tunas. 4. Jumlah tunas yang tumbuh per subang dihitung dari jumlah keseluruhan tunas yang tumbuh per subang. Tunas dihitung adalah tunas yang tumbuh sampai akhir pengamatan. 5. Waktu muncul daun pertama dihitung dari hari awal tanam sampai tunas yang tumbuh termodifikasi menjadi daun. Daun dianggap sudah tumbuh apabila pada ujung tunas sudah berubah bentuk menjadi calon daun. 6. Mata tunas potensial per subang diamati dengan cara melihat mata tunas potensial sebelum diberi perlakuan 7. Rasio tunas tumbuh per tunas potensial dihitung dari jumlah tunas yang tumbuh per subang kemudian dibagi dengan tunas potensial per subang lalu dikalikan 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Diameter dan berat subang Variabel berat subang digunakan sebagai data pendukung untuk menunjukkan keseragaman bahan tanam subang yang digunakan. Berat subang merupakan langkah awal untuk memilih subang yang akan digunakan sebagai bahan tanam. Karena berat tiap subang bervariasi, maka dilakukan uji secara statistika untuk mengetahui apakah berat subang yang digunakan signifikan atau tidak. Diharapkan berat subang tidak signifikan, karena berat subang yang tidak signifikan menunjukan subang yang digunakan sebagai bahan tanam telah seragam. Berat subang yang digunakan pada penelitian ini memiliki berat rata-rata berkisar 22,331 – 24,110 (tabel 1). Sehingga subang yang digunakan pada penelitian ini telah memenuhi kriteria. Variabel diameter subang digunakan sebagai data pendukung untuk menunjukkan keseragaman bahan tanam subang yang digunakan selain variabel berat subang. Diameter subang biasanya berbanding lurus dengan berat subang. Semakin lebar diameter subang maka subang akan semakin berat. Karena diameter tiap subang bervariasi, maka dilakukan uji untuk mengetahui apakah diameter subang yang digunakan signifikan atau tidak. Diharapkan diameter subang tidak signifikan, karena diameter subang yang tidak signifikan menunjukan subang yang digunakan sebagai bahan tanam telah seragam.
Hasil analisis bobot subang dan diamater subang menunjukan hasil tidak berbeda nyata pada semua perbandingan. Hal ini berarti bahwa bahan tanam yang digunakan sudah seragam. Selain itu hasil ini juga menunjukan bahwa seluruh subang yang digunakan sudah memenuhi kriteria. Sesuai dengan pernyataan (Herlina, 1995) yaitu subang yang dapat dijadikan bahan tanam adalah yang memiliki diameter 3-5 cm dengan berat antara 20-50 gram. Sehingga diharapkan perbedaan pada pertumbuhan subang yang didapat adalah sebagian besar akibat pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Hasil analisis ragam menunjukan tidak ada perbedaan pada berat dan subang setelah perlakuan. sehingga pemberian senyawa CaS2 dan GA3 pada berbagai dosis tidak memebrikan pengaruh pada berat dan diameter subang setelah perlakuan. Hal ini disebabkan oleh cara budidaya yang dilakuakan didalam polibag sehingga perakaran gladiol tidak dapat tumbuh dengan maksimal dan batang gladiol mudah rebah. Waktu muncul tunas Hasil analisis ragam menunjukan terjadi perbedaan waktu muncul tunas pada semua perlakuan. Pemberian perlakuan jenis senyawa dan dosis pada subang gladiol secara terpisah juga berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya tunas. Rerata waktu muncul tunas subang gladiol akibat pemberian jenis senyawa dan dosis disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa rerata waktu munculnya tunas pada seluruh perlakuan ialah berbeda nyata. Pada perlakuan C3 (CaS2 1,5 g/kg), G4 (GA3 100 ppm) dan G5 (GA3 125 ppm) terbukti mampu memunculkan tunas dalam waktu yang singkat. Kontrol membutuhkan waktu yang paling lama untuk memunculkan tunas per subang. Perbandingan nilai perlakuan kontrol, CaS2 dan GA3 dalam mempengaruhi waktu munculnya tunas per subang dapat dilihat pada Tabel 5. Pada perbandingan 1 (kontrol dengan CaS2 dan GA3) dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan kontrol, pemberian senyawa CaS2 dan GA3 mampu memunculkan tunas dengan waktu yang lebih cepat. Pada perbandingan 2 (CaS2 dan GA3) dapat diketahui bahwa penggunaan GA3 ternyata lebih cepat dalam memacu waktu munculnya tunas dibandingkan dengan CaS2. Variabel waktu munculnya tunas merupakan indikator suatu subang sudah patah dormansinya. Pengaruh pemberian senyawa pada berbagai dosis berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya tunas. Munculnya tunas pada subang gladiol sangat dipengaruhi oleh faktor internal ( genetik) dan eksternal (lama simpan). Hasil uji menunjukan perbandingan berbeda sangat nyata pada perbandingan 1 (Kontrol dibandingkan dengan CaS2 dan GA3). Hal ini menunjukkan bahwa subang yang diberi perlakuan waktu munculnya tunas lebih cepat jika dibandingkan dengan subang yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Pada perbandingan 2 (CaS2 dan GA3) hasilnya menunjukan berbeda sangat nyata menunjukan bahwa permberian GA3 lebih cepat daripada CaS2 dalam memacu munculnya tunas pada pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih. Pada perbandingan 3 (C1 vs C2,C3,C4,C5) dengan perbandingan rerata 28,48 vs 21,58 hst menunjukan bahwa perlakuan CaS2 dengan dosis 0,5 gr/kg tidak lebih baik dari rerata perlakuan C2,C3,C4 dan C5. Hal ini sama dengan perbandingan 4 dan perbandingan 5 (tabel 5), ini menunjukan bahwa peningkatan dosis pemberian CaS2 mampu mempercepat waktu munculnya tunas pada pematahan dormnasi subang gladiol varietas lokal berbunga putih. Pada perbandingan 6 (C4 vs C5) tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata. Sehingga dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan pada perlakuan C4 (2 g/kg) dan C5 (2,5 g/kg) apabila diberikan pada subang gladiol varietas lokal berbunga putih, tidak akan memunculkan perbedaan waktu muncul tunas. Perbandingan 9 (G3 vs G4,C5) menunjukan hasil yang berbeda sangat nyata .Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi dosis GA3 yang diberikan maka mampu mempercepat munculnya tunas pada subang gladiol varietas lokal berbunga putih. Pada perbandingan 10 (G4 dan G5) tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada uji. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada dosis yang digunakan pada perlakuan G4 (100 ppm) dan G5 (125 ppm) apabila diberikan pada subang gladiol varietas lokal bunga putih, tidak akan memunculkan perbedaan waktu muncul tunas. Pada tabel 1 menunjukan dari hasil uji BNJ didapatkan perlakuan yang mampu untuk mempercepat muncul tunas dalam pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih adalah C3 (1,5 g/kg), G4 (100 ppm) dan G5 (125 ppm). Pada perlakuan C3 diduga pada dosis ini jumlah gas asetilen yang dilepaskan mampu mengkatalisasi enzim-enzim yang mempercepat proses biosintesis dan pertumbuhan tunas (Meijer, 1972). Menurut Herlina (1993) Konsentrasi acetilen dalam karbit adalah 40%. Selain itu diduga karena karbit mengandung gas lain seperti H2S sehingga berpengaruh terhadap perangsangan pertunasan gladiol. Penggunaan bahan-bahan mengandung sulfur seperti H2S dapat mematahkan dormansi pada gladiol. Sedangkan penurunan waktu muncul tunas yang dimulai pada dosis 2g/kg dapat dijelaskan sebagai akibat dari dosis yang tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan pada umbi (Meijer, 1972). Sedangkan untuk perlakuan GA3 mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzimenzim hidrolik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat (Arpiwi, 2007)
Jumlah tunas tumbuh per subang Pada karakter jumlah mata tunas yang tumbuh per subang, hasil uji menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata secara statistik pada semua perbandingan. Data variabel jumlah tunas tumbuh per subang menunjukan bahwa hampir pada semua perlakuan rata-rata tunas yang tumbuh berkisar antara nilai 1,433 – 1,8 (tabel 2). Jika dilihat selisih memang cukup besar. Namun pada uji statistika nilai ini ternyata tidak signifikan. Tabel 1. Data rerata waktu muncul tunas, muncul daun pertama, berat subang dan diameter subang Perlakuan
Waktu muncul tunas
Muncul daun pertama
47,07 d
Berat subang sebelum perlakuan 24,11
Diameter subang sebelum perlakuan 4,31
K (kontrol)
41,60 d
C1 (CaS2 0,5 gr/kg)
28,47 d
33,83 cd
23,76
4,34
27,26
3,70
C2 (CaS2 1 gr/kg)
28,03 cd
33,47 d
23,47
4,30
28,73
3,93
C3 (CaS2 1,5 gr/kg)
19,53 a 26,10 bc
22,33 22,98
4,20 4,26
27,75
4,18
C4 (CaS2 2 gr/kg)
14,57 a 21,17 bc
28,18
3,79
C5 (CaS2 2,5 gr/kg)
22,57 cd
28,27 cd
23,18
4,28
28,28
3,88
G1 (GA3 25 ppm)
21,97 cd 21,20 cd
28,40 cd 27,70 cd
23,31 23,30
4,26 4,29
29,78
4,05
28,18
3,94
G3 (GA3 75 ppm) G4 (GA3 100 ppm)
23,20 cd
29,07 cd
23,07
4,27
14,17 a
19,20 a
23,42
4,30
29,24 27,95
4,05 3,91
G5 (GA3 125 ppm)
15,57 ab
21,13 ab
23,53
4,31
27,02
4,07
6,42
6,49
tn
tn
tn
tn
G2 (GA3 50 ppm)
BNJ 5%
Berat Diameter subang subang setelah setelah perlakuan perlakuan 28,61 4,09
Meskipun dosis dan jenis hormon memberikan pengaruh yang signifikan terhadap waktu muncul tunas, ternyata dosis dan jenis hormon tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap mata tunas yang tumbuh persubang di seluruh perbandingan (tabel 4). Terlihat bahwa subang yang diberi perlakuan CaS2 maupu GA3 tidak menunjukan banyak perbedaan. Meskipun dalam data hasil pengamatan terjadi selisih nilai yang cukup besar, namun secara statistika nilai tersebut tidak berbeda nyata. Sehingga perlakuan jenis dan dosis hormon tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah mata tunas yang tumbuh persubang. Tidak berpengaruhnya CaS2 dan GA3 dalam penelitian ini mungkin dipengaruhi oleh faktor genetik dan mungkin juga berkaitan dengan organ sasaran. Hal ini terbukti dari penelitian (Nuraini, 1991) yang melaporkan bahwa pembentukan kuncup bunga gladiol dipercepat dengan pemberian GA3 pada fase pertumbuhan awal. Waktu muncul daun pertama Hasil analisis ragam menunjukan terjadi perbedaan waktu muncul daun pertama pada semua perlakuan. Rerata waktu muncul daun pertama pada subang gladiol akibat pemberian jenis senyawa pada berbagai dosis disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa rerata waktu munculnya daun pertama pada seluruh perlakuan ialah berbeda nyata. Pada perlakuan C3 (CaS2 1,5 g/kg), G4 (GA3 100 ppm) dan G5 (GA3 125 ppm) terbukti mampu memunculkan daun pertama dalam waktu yang singkat. Kontrol membutuhkan waktu yang paling lama untuk memunculkan daun pertama per subang. Dan kontrol tidak berbeda nyata dengan perlakuan C1 (CaS2 0,5 g/kg), C2 (CaS2 1 g/kg), C5 (CaS2 2,5 g/kg), G1 (GA3 25 ppm), G2 (GA3 50 ppm), G3 (GA3 75 ppm). Perbandingan nilai perlakuan kontrol, CaS2 dan GA3 dalam mempengaruhi waktu munculnya tunas per subang dapat dilihat pada Tabel 5. Pada perbandingan 1 (kontrol dengan CaS2 dan GA3) dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan kontrol, pemberian senyawa CaS2 dan GA3 mampu memunculkan daun pertama dengan waktu yang lebih cepat. Pada perbandingan 2 (CaS2 dan GA3) dapat diketahui bahwa penggunaan GA3 ternyata lebih cepat dalam memacu waktu munculnya daun pertama dibandingkan dengan CaS2. Variabel waktu munculnya daun pertama merupakan indikator suatu subang yang telah patah masa dormansinya untuk segera tumbuh. Variabel ini penting untuk mengetahui apakah subang yang diberi perlakuan
senyawa CaS2 dan GA3 hanya mampu mematahkan dormansi saja atau mampu mendukung pertumbuhan tunas setelah masa dormansi. Dan hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pengaruh pemberian jenis senyawa pada berbagai dosis berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya daun pertama. Pada variabel waktu muncul daun pertama, hasil uji ortogonal menunjukan perbandingan berbeda sangat nyata pada perbandingan 1 (K CaS2 dan GA3). Hal ini menunjukan bahwa subang yang diberi perlakuan waktu muncul daun pertama lebih cepat jika dibandingkan dengan subang yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Pada perbandingan 2 (CaS2 dan GA3) berbeda sangat nyata yang menunjukan bahwa permberian GA3 lebih baik daripada CaS2 untuk memacu munculnya daun pertama pada pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal bunga putih. Hal ini sama dengan perbandingan 4 dan 5 (tabel 5 ), ini menunjukan bahwa peningkatan dosis pemberian CaS2 mampu mempercepat waktu munculnya tunas pada pematahan dormansi subang gladiol dengan perlakuan optimum pada C3. Pada perbandingan 9 (G3 vs G4,C5) menunjukan hasil yang berbeda sangat nyata .Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi dosis GA3 yang diberikan maka mampu mempercepat munculnya daun pertama. Pada perbandingan 6 (C4 vs C5) tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata. Sehingga dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan pada perlakuan C4 (2 g/kg) dan C5 (2,5 g/kg) apabila diberikan pada subang gladiol berbunga putih, tidak akan memunculkan perbedaan waktu munculnya daun pertama. Sama seperti perbandingan 6, pada perbandingan 10 (G4 dan G5) dengan rerata (25,76 vs 28,30 hst) tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada uji ortogonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada dosis yang digunakan pada perlakuan G4 (100 ppm) dan G5 (125 ppm) apabila diberikan pada subang gladiol varietas lokal berbunga putih, tidak akan memunculkan perbedaan waktu munculnya daun pertama. Pada tabel.3 menunjukan dari hasil uji BNJ didapatkan perlakuan yang mampu mempercepat munculnya daun pertama dalam pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih adalah C3 (1,5 g/kg), G4 (100 ppm) dan G5 (125 ppm). Waktu muncul daun pertama dipengaruhi oleh waktu munculnya tunas. Semakin cepat tunas muncul, maka akan semakin cepat pula muncul daun pertama. Pada pengamatan waktu muncul daun pertama, perlakuan yang mampu mempercepat waktu muncul daun pertama adalah C3,G4 dan G5 hal ini sesuai dengan pengamatan waktu muncul tunas, dimana perlakuan C3,G4 dan G5 dinyatakan mampu mempercepat waktu muncul tunas, leih baik dari perlakuan lainnya. Pada pengamatan di lapang, selisih antara waktu munculnya tunas dengan waktu muncul daun pertama berkisar antara 6-10 hari. Selisih waktu tersebut hampir sama pada semua perlakuan. Tabel 2. Rerata perlakuan jumlah subang yang dihasilkan, mata tunas potensial, tunas tumbuh dan rasio mata tunas tumbuh per tunas potensial Perlakuan
Jumlah subang anakan yang dihasilkan 1,53
Mata tunas potesial per subang 4,100
Jumlah tunas tumbuh per subang 1,53
Rasio mata tunas tumbuh per tunas potensial (%)
C1 (CaS2 0,5 gr/kg)
1,60
3,967
1,60
41,16
C2 (CaS2 1 gr/kg) C3 (CaS2 1,5 gr/kg)
1,63 1,53
3,933 3,867
1,63 1,53
41,83 40,17
C4 (CaS2 2 gr/kg)
1,80
4,033
1,80
45,11
C5 (CaS2 2,5 gr/kg)
1,77
4,000
1,77
44,33
G1 (GA3 25 ppm)
1,60
3,933
1,60
41,11
G2 (GA3 50 ppm) G3 (GA3 75 ppm)
1,67
4,100
1,67
41,72
1,63
4,200
1,63
41,22
G4 (GA3 100 ppm)
1,43
4,200
1,43
58,44
G5 (GA3 125 ppm)
1,40
4,000
1,40
53,50
K (kontrol)
39,50
Tabel 3. perbandingan rerata waktu muncul tunas, muncul daun pertama, berat subang dan diameter subang menurut uji ortogonal No 1 2
Komponen Pembanding K1 vs C1,C2,C3,C4,C5 dan G1,G2,G3,G4,G5 C1,C2,C3,C4,C5 vs G1,G2,G3,G4,G5
3 C1 vs C2,C3,C4,C5 4 C2 vs C3,C4,C5 5 C3 vs C4,C5 6 C4 vs C5 7 G1 vs G2,G3,G4,G5 8 G2 vs G3,G4,G5 9 G3 vs G4,G5 10 G4 vs G5
Waktu muncul tunas 41,6 vs 21,09 ** 22,96 vs 19,22 ** 28,48 vs 21,58 ** 18,03 vs 19,43 ** 14,58 vs 21,58 ** 21,17 vs 22,57 tn 21,97 vs 18,53 * 21,20 vs 17,64 * 23,2 vs 14,87 ** 14,17 vs 15,57 tn
Muncul daun pertama 47,06 vs 26,67 ** 28,24 vs 25,1 ** 33,83 vs 26,84 ** 33,47 vs 24,63 ** 19,53 vs 27,18 ** 26,1 vs 28,28 tn 28,4 vs 24,28 ** 27,7 vs 23,13 ** 29,07 vs 20,17 ** 19,2 vs 21,13 tn
Berat subang 24,11 vs 23,24 tn 23,14 vs 23,33 tn 23,76 vs 22,99 tn 23,47 vs 22,83 tn 22,33 vs 23,08 tn 22,98 vs 23,18 tn 23,31 vs 23,33 tn 23,3 vs 23,34 tn 23,07 vs 23,48 tn 23,42 vs 23,53 tn
Diameter subang 4,31 vs 4,28 tn 4,28 vs 4,29 tn 4,34 vs 4,26 tn 4,3 vs 4,25 tn 4,2 vs 4,27 tn 4,26 vs 4,28 tn 4,26 vs 4,29 tn 4,29 vs 4,29 tn 4,27 vs 4,3 tn 4,3 vs 4,31 tn
Tabel 4. perbandingan rerata variabel jumlah tunas potensial, tunas tumbuh per subang dan rasio tunas tumbuh per tunas potensial menurut uji ortogonal No 1 2
Komponen Pembanding K1 vs C1,C2,C3,C4,C5 dan G1,G2,G3,G4,G5 C1,C2,C3,C4,C5 vs G1,G2,G3,G4,G5
3
C1 vs C2,C3,C4,C5
4
C2 vs C3,C4,C5
5
C3 vs C4,C5
6
C4 vs C5
7
G1 vs G2,G3,G4,G5
8
G2 vs G3,G4,G5
9
G3 vs G4,G5
10
G4 vs G5
Jumlah Tunas Potensial per subang 4,1 vs 4,02 tn 3,96 vs 4,09 tn 3,97 vs 3,96 tn 3,93 vs 3,97 tn 3,87 vs 4,02 tn 4, 03 vs 4 tn 3,93 vs 4,13 tn 4,1 vs 4,13 tn 4,2 vs 4,1 tn 4,2 vs 4 tn
Jumlah Tunas tumbuh per subang 1,53 vs 1,61 tn 1,67 vs 1,55 tn 1,6 vs 1,68 tn 1,63 vs 1,7 tn 1,53 vs 1,78 tn 1,8 vs 1,77 tn 1,6 vs 1,53 tn 1,67 vs 1,49 tn 1,63 vs 1,42 tn 1,43 vs 1,4 tn
Rasio tunas tumbuh per subang per tunas potensial 39,5 vs 44,86 tn 42,52 vs 47,20 * 41,16 vs 42,86 tn 41,83 vs 43,20 tn 40,17 vs 44, 72 tn 45,11 vs 44,33 tn 41,11 vs 48,72 tn 41,72 vs 51,06 * 41,22 vs 55,97 ** 58,44 vs 53,50 tn
Jumlah subang yang dihasilkan Jumlah subang yang dihasilkan sesuai dengan jumlah tunas yang tumbuh per subang. Hal ini disebabkan karena setiap tunas yang tumbuh akan menghasilkan satu subang. Sehingga semakin banyak tunas yang tumbuh maka jumlah subang yang dihasilkan pun juga semakin banyak. Namun semakin banyak tunas yang tumbuh perngaruh pada berat dan diameter subang yang dihasilkan. Jika hanya satu tunas yang tumbuh per subang maka akan menghasilkan satu subang baru yang memiliki ukuran besar. Namun apabila ada banyak tunas yang tumbuh dalam satu subang, maka julah subang yang dihasilkan akan sesuai dengan jumlah tunas tersebut namun dengan ukuran berat dan diameter yang kecil. Semakin banyak tunas yang tumbuh per subang, semakin kecil pula berat dan diameter subang yang dihasilkan. Jumlah mata tunas potensial per subang Variabel jumlah mata tunas potensial per subang digunakan untuk menentukan rasio tunas tumbuh per tunas potensial per subang. Jumlah mata tunas diamati sebelum subang diberi perlakuan. Rata-rata jumlah tunas potensial yang dimiliki oleh subang adalah berkisar antara 3 sampai 6 buah per subang. Namun nilai rata-rata dari 3 ulangan jumlah mata tunas potensial per subang berkisar antara 3 sampai 4 buah per subang (tabel). Hasil jumlah mata tunas potensial menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata untuk semua perbandingan (tabel 4). Pada variabel pengamatan jumlah mata tunas potensial per subang menunjukan hasil tidak berbeda nyata pada semua perbandingan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan bahan tanam yang seragam sehingga variasi jumlah mata tunas potensial per subang tidak berbeda nyata antara satu subang dengan subang yang lainnya Rasio tunas tumbuh per tunas potensial per subang Meskipun pada analisis jumlah mata tunas tumbuh per subang dan jumlah mata tunas potensial per subang menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Namun rasio tunas tumbuh per tunas potensial per subang ketika diuji dengan menggunakan ortogonal linier menunjukan bahwa pada beberapa perbandingan menunjukan hasil yang berbeda nyata. Variabel pengamatan rasio jumlah tunas tumbuh per jumlah tunas potensial per subang menunjukan hasil yang berbeda nyata pada perbandingan 2,8 dan 9. Sedangkan pada perbandingan 1,3,4,5,6,7 dan 10 menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Pada perbandingan 2 (C1,C2,C3,C4,C5 vs G1,G2,G3,G4,G5) dengan perbandingan (39,5 vs 44,86) menunjukan bahwa pemberian senyawa GA3 mempengaruhi nilai rasio jumlah tunas tumbuh per jumlah tunas potensial per subang yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian senyawa CaS2. Sehingga pemberian GA3 dapat dikatakan mampu merangsang mata tunas potensial untuk tumbuh lebih banyak dibandingkan dengan CaS2. Pada perbandingan 8 (G2 vs G3,G4,G5) dengan perbandingan rerata 41,72 vs 51,06 menunjukan bahwa perlakuan GA3 dengan dosis 50 ppm tidak lebih baik dari rerata G3,G4 dan G5. Sehingga mengindikasikan bahwa semakin besar dosis GA3 yang diberikan, maka akan meningkatkan rasio jumlah tunas tumbuh per tunas potensial per subang. Hal ini semakin dikuatkan ketika melihat pada perbandingan 9 (G3 vs G4,G5) dengan perbandingan (4,2 vs 4,1) yang menunjukan bahwa GA3 dengan dosis 75 ppm tidak lebih baik dari rerata G4 dan G5. Sehingga apabila ingin mematahkan dormansi subang gladiol varietas lokal berbunga putih menggunakan GA3 dengan dosis 100 ppm maupun 125 ppm, maka hasilnya tidak aka berbeda. Dilihat dari rasio jumlah tunas tumbuh per tunas potensial per subang sampai minggu ke 7 pengamatan, menunjukan bahwa senyawa kimia sangat dominan mempengaruhi nilai rasio mata tunas tumbuh per tunas potensial per subang. Namun apabila penggunaan kedua ssenyawa kimia GA3 dan CaS2 dibandingkan, maka nilai rasio jumlah tunas tumbuh per tunas potensial lebih baik pada perlakuan GA3 (tabel 4). Dari hasil penelitian ini dapat diambil manfaat bahwa pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal bunga putih selain dapat dilakukan dengan menggunakan GA3, juga dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa CaS2. Hasil pematahan dormansi subang varietas lokal berbunga putih dengan menggunakan kedua senyawa tersebut sama baiknya. Namun penggunaan kedua senyawa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keuntungan dari penggunaan CaS2 untuk mematahkan dormansi subang gladiol varietas lokal bunga putih adalah harganya yang murah dan mudah didapatkan dipasaran. Senyawa ini pun lebih dikenal oleh petani dibandingkan dengan GA3. Namun kekurangan penggunaan CaS2 adalah pada cara aplikasinya. Aplikasi CaS2 yaitu dengan cara fumigasi, cenderung lebih rumit jika dibandingkan dengan cara aplikasi GA3.
Sedangkan keuntungan dari penggunaan GA3 adalah aplikasinya yang mudah, hanya perlu mencampurkan GA3 ke dalam air, dan kemudian subang direndam. Namun kekurangan penggunaan GA3 adalah harganya yang mahal dan sulit untuk mendapatkan GA3 secara bebas dipasaran. Namun bila dilihat dari segi ekonomis dan efisien, maka penggunaan CaS2 lebih disarankan. Karena harga yang murah dan lebih mudah didapatkan dipasaran sehingga menyebabkan petani lebih mudah dalam mendapatkan CaS 2 dan biaya produksi dapat ditekan.
KESIMPULAN 1. Senyawa CaS2 dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan senyawa GA3 dalam pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal bunga putih. 2. Dosis efektif yang dapat disarankan untuk digunakan dalam pematahan dormansi subang gladiol varietas lokal bunga putih adalah C3 (CaS2 1,5 g/kg), G4 (GA3 100 ppm), dan G5 (GA3 125 ppm)
SARAN Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan senyawa CaS2 apakah juga memacu pertumbuhan vegetatif tanaman, dan mempengaruhi kualitas bunga yang dihasilkan.
Referensi Arpiwi, Ni luh. 2007. Pengaruh Konsentrasi Giberelin Terhadap Produksi Bibit Kentang Badriah, D.S. 1995. Botani dan Ekologi Gladiol, dalam A. Muharam, T. Sutater, Sjaufullah, dan S. Kusuma (Eds.) Gladiol. Balai Penelitian Tanaman Hias. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Cianjur ___________. 2007. Booklet Petunjuk teknis Budidaya Gladiol. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta ___________. 2011. Budidaya Tanaman Gladiol dan Pengelolaan Pascapanen. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cianjur Bewley, J.P. and M.Black. 1985. Physiology and Bichemistry of Seeds in Relation to Germintation Vol 1. Plenum Press. New York and London Budiman, Ginarti. 1989. Budidaya Bunga Potong Anyelir dan Gladiol di Desa Cihideung, Kec.Cisarua Kabupaten Bandung. Copeland, L.O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Third Editision. Chapman &Hall. USA Efendi, Raswen. 2007. Pengaruh Dosis dan Lama Pemeraman dengan Karbit (Kalsium karbida) dalam Proses Degreening Jeruk Bangkinang. SAGU vol.6 No.2. Riau Herlina, D; Asgar, Ali dan Sutater, Toto. 1993. Penggunaan Bahan Kimia untuk Memacu Pertunasan Subang Gladiol Kultivar Dr.Mansoer. Jurnal hortikultura vol.5 no.1 Irwanto. 2001. Pengaruh Hormon IBA Terhadap Persen Jadi Stek Pucuk Meranti Putih (Shorea montigena). Thesis. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. ISTA. 1999. Rules, International Rules for Seed Testing. Seed Science and technology. International Seed Testing Association. Zurich. Switzerland Kamil, J. 1982 dalam Sinambella, Donna. 2008. Kajian Perkembangan dan Informasi pada Biji Padi (Oryza sativa) pada Varietas Ariza dan Sunggal serta Pemecahannya. Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta Khan, AA. 1982. The Physiology and Biochemistry of Seed Development, Dormancy, and Germination. New York State Agricultural Experiment Rotation Cornell University. Genewa and New York Komar, D. Dan K. Effendie. 1995. dalam A. Muharam, T. Sutater, Sjaufullah, dan S. Kusuma. 2000.Agroekonomi Gladiol. Balai Penelitian Tanaman Hias.Cianjur. Kuswanto, H. 1996. Dasar-dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Penerbit Andi, Yogyakarta
Muhit, Abdul. 2011. Teknik Pengujian Tingkat Suhu dan Lama Penyimpana Umbi Terhadap Pembungaan Lili. Buletin Teknik Pertanian vol.16 no.1 Murray, David R. 1984. Seed Physiology Volume 2 : Germination and Reserve Mobilization. Biology departement the university of wollongong. New South Wales Ningsih, Irma; Nasruddin, Andi dan Baharuddin. 2007. Pengaruh Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pemecahan Dormansi Benih Kentang (Solanum tuberrosum L.) dan Tingkat Kerusakan Akibat Penyakit Busuk Umbi (Erwinia carotovora). Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda. Sulawesi Selatan Nuryanah. 2004. Pengaruh NAA, GA3 dan Ethepon Terhadap Ekspresi Seks Pepaya (Carica papaya L.). Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Bogor Rao, I.V Ramanuja dan Ram, H.Y.Mohan. 1982. Specificity Gibberellin and Sucrose Promoted Flower Bud Growth in Gladiolus Samanhudi. 2010. Kajian Konsentrasi BAP dan NAA Terhadap Multiplikasi Tanaman Artemisia annua L. Secara In vitro. Penelitian Hayati Edisi Khusus Sanjaya, Lia. 1995. Pengaruh GA3 dan Ukuran Subang terhadap Pematahan Dormansi Subang Gladiol (Gladiolus hybridus) cv.Queen Occer. Jurnal Hortikultura vol.5 no 1 Sastrosupandi, Adji. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian Edisi Revisi. Kanisius. Jogjakarta Setiawati, Erlina. 2003. Teknik Kultur Jaringan Gladiol. Buletin Teknik Pertanian Vol.8 Nomor 1 Sucipto, Imam. 1994. Studi Pematahan Dormansi pada Corm Gladiol (Gladiolus hybridus L.) dengan Penggunaan Bahan Kimia Karbon Disulfida (CS2). Universitas Muhammadiyah Malang. Malang Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta Tandi, Olvie G., Matindas, Luise, Turang, Arnold. 2002. Usahatani Gladiol dan Potensi Pengembangan di Lokasi Primatani Kota Tomohon. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Vacha, G.A. and Harvey, R.B. 1995. The Use of Ethylene, Propylene, and Similiar Compounds in Breaking The Rest Period of Tuber, Bulbs, Cuttings and Seed Weinard, F.F. and Decker S.W. 1987. Experiments in Forcing Gladiolus. Buletin 357. University Of Illinois Agricultural Experiment Station. Illinois. Wuryaningsih, S.Soejono, Badriah D.S., Abdurahman A. 1995. Peran Giberelin, Pupuk dan Paklobutrazol pada Pembesaran Subang Gladiol Asal Biji. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cianjur