BEDAH BUKU
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN Muhammad Zainal Abidin*) Judul buku : FIQH PEREMPUAN, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Penulis : K.H. Husein Muhammad Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan : V, November 2009
Tebal
: xiiv + 262 Halaman
Kita sadari atau tidak, fakta kehidupan dalam masyarakat kita terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, di mana dalam sebagian besar sektor yang dibangun adalah berlandaskan pada tatanan yang timpang juga, yaitu tatanan nilai yang menjadikan laki-laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat) dan sebaliknya perempuan harus menerima kenyataan menjadi pihak yang inferior (lemah). Tatanan ini terbentuk dengan proses panjang dalam lingkungan sosial budaya di sekitar kita sendiri. Laki-laki dan perempuan seringnya dibedakan karena faktor biologis (jenis kelamin) yang dimiliki, dan perbedaan inilah yang kemudian ditradisikan menjadi ajang untuk menjadikan perempuan menjadi sosok yang lemah, kalah, dan belakang. Parahnya kemudian, pemahaman inilah yang selama ini dianggap sebagai gender, padahal gender adalah bukan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada faktor biologis (apalagi karena faktor beda jenis kelamin) akan tetapi didasarkan pada hasil konstruk sosial dan bukan ciptaan Tuhan. Artinya telah sekian lama terjadi bias atau bahkan kesalahan) dalam memahami gender karena perbedaan secara biologis itu bersifat kodrati, dimana laki-laki mempunyai penis dan perempuan mempunyai vagina, dan lain sebagainya. )
Penulis adalah Alumni STAIN Kudus
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
Kalaupun karena perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadikan beda peran yang didapatkan, dalam pengantar buku ini K.H M.A Sahal Mahfudz menyatakan hal tersebut tidak masalah, dan hal ini akan menjadi masalah ketika peran tersebut menjadikan perempuan menjadi sosok yang rendah dibandingkan laki-laki, misalnya peran perempuan sebagai perawat, pengasuh dan pendidik itu dipandang kurang terhormat dari pada peran yang didapatkan oleh laki-laki, inilah yang beliau sebut sebagai Gender Tradisional. Dan seringnya perbedaan peran gender seperti di atas juga menimbulkan masalah yang baru, misalnya marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, stereotype (pelabelan negatif), dan violence (kekerasan), dan inilah yang membuat kita untuk menggugat, begitu ajak beliau.. Dalam perwujudannya, ketidakadilan gender terhadap perempuan tersebut terjadi secara sistematis dan terstruktur, sehingga menjadikan pihak yang tertindas merasa tidak sadar akan kenyataan itu sehingga sampai menjadi sebuah kebiasaan, tidak hanya kaum laki-laki saja yang ikut mentradisikan ketidakadilan gender, si perempuan juga ikut mengabadikan prilaku tersebut. Karena mereka berasumsi bahwa hal tersebut sudah tidak perlu untuk dikoreksi dan dievaluasi, dianggaplah semua ini merupakan kodrat ilahi yang diberikan kepada makhluknya di bumi. Salah satu faktor yang membentuk dan menghambat proses kesetaraan dan keadilan gender adalah (pemahaman) agama. Diperlukan penafsiran kembali (reinterpretasi) terhadap khazanah ilmu-ilmu keagamaan untuk menemukan dan menjadikan agama lebih memihak pada keadilan gender, atau bahkan melakukan dekonstruksi penafsiran, sehingga nantinya agama lebih dipahami tidak hanya sekedar sebagai momentum kebangkitan untuk perempuan sesaat akan tetapi sejatinya menjadikan seluruh manusia mendapatkan tempatnya yang layak dan tidak dibeda-bedakan. Memang, bukan hal yang mudah untuk melakukan tugas mulia tersebut, dalam melakukannya kita akan terbentur pada fakta bahwa di dalam khazanah ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri malahan telah menjadi tembok yang jelas, kokoh dan tegas dengan menempatkan perempuan sebagai pihak yang memang (di)lemah(kan). Selain itu, dalam melakukan reinterpretasi
395
396
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
atau dekonstruksi, dibutuhkan kemampuan intelektual yang mumpuni, misalnya menguasai bahasa arab, tafsir, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lainnya, belum lagi kita harus punya bekal dalam melakukan kompilasi, membandingkan dan mampu untuk merekonstruksinya kembali. Kalaupun saat ini banyak orang yang menguasai dan mampu untuk melakukan proyek tersebut, tapi perspektif sosial mereka terhadap keadilan gender masih minim, sehingga yang muncul adalah keberlanjutan (pemahaman) khazanah ilmu-ilmu keagamaan yang bias terhadap keadilan dan kesetaraan gender, lebih bernuansa mendukung dan mengamini ketidakadilan tersebut. Menurut Sahal Mahfudz, ada tiga asumsi yang menjadikan masyarakat yakin dan mengabadikan akan fakta sosial yang ada bahwa perempuan harus di bawah, setelah, dan di belakang laki-laki, yaitu Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap, di mana kehadiran perempuan dijadikan sebagai ban serep saja dan diperlukan di saat dibutuhkan. Asumsi yang Kedua, menyebutkan bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah, hal ini berujung pada kenyataan bahwa seluruh prilaku, kinerja dan hasil dari perempaun dianggap kurang terhormat (lagi-lagi) dibandingkan laki-laki. Ketiga, pandangan materealistik, di mana pandangan ini mengatakan bahwa ideologi masyarakat yang sudah berjalan sejak era-Makah pra-islam yang memandang rendah perempuan dalam proses produksi. (hal. xiii) Pemikiran yang menuntut akan terjadinya keadilan dan kesetaraan gender pada perempuan memang sudah sejak lama didengung-dengungkan, sebut saja tokoh pemikir dari mesir, Rifa’ah Rafi At-Tahtawi adalah salah satunya, beliau hidup pada tahun 1801 – 1873. Melalui bukunya yang bertitel Takhlis Al-ibriz fi Talkhis Bariz, At-tahtawi menyerukan kepada dunia islam untuk memberikan pendidikan kepada kaum perempuan dan mengajak mereka untuk bekerja, selanjutnya Qasim Amin (1865 – 1908), seorang pemikir keturunan Turki ini dalam bukunya memberikan gambaran bahwa roda kehidupan ini tidak akan berjalan kalau tanpa ada kaum perempuan, sehingga mereka harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, apalagi saat itu perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas kenikmatan laki-laki saja, setelah puas kemudian dibuang. Selain itu Qasim juga mengajak perempuan untuk melepas jilbabnya, agar leluasa untuk bekerja, menurutnya. Dan juga menolak
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
poligami yang lebih disebabkan karena alasan yang tidak adil Berikutnya adalah pemikir dari Tunisia, Tahar Haddad (1899 – 1935), ide yang disampaikan hampir memiliki kemiripan, menurut Tahar, perempuan Tunisia harus melakukan reformasi secara total, mulai dari keharusan mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki sampai mengecam talak yang dilakukan oleh kaum laki-laki kepada perempuan secara sepihak. Sedangkan di Indonesia, salah satunya adalah K.H. Husein Muhammad, pemikir dengan hasil kerja intelektualnya telah berhasil menerbitkan buku yang berjudul FIQH PEREMPUAN, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Dalam buku ini, Husein tidak hanya memaparkan alasan dan gugatan terhadap realitas kehidupan yang terjadi secara perspektif sosial, akan tetapi juga melakukan kajian dan koreksi terhadap teks khazanah keagamaan kita. Kemampuan ini didukung oleh latar belakang Kiai Husein adalah sosok yang kental dan selalu bergumul dengan kitab kuning sebagai pengasuh pondok pesantren Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Fiqh Perempuan Dalam pengantarnya, penulis (K.H. Husein Muhammad) menjelaskan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan ini terbentuk dan tertradisikan dalam realitas kehidupan kita adalah karena andil agama, dalam posisi ini ditemukan idealitas agama yang terlibat dalam arus budaya yang sudah tidak adil pada perempuan. Hasil “perkawinan’ yang salah antara sistem budaya dan agama tersebut menghasilkan perempuan berada dalam posisi subordinat dan tertindas. Harus diakui dan diyakini bahwa agama dengan nilai idealitasnya tidak akan mungkin memberlakukan diskriminasi terhadap perempuan dalam aspek kehidupan kita, akan tetapi realitas sosial telah menunjukkan pada kita bahwa semakin mapannya sistem diskriminasi yang menimpa perempuan dalam menjalani relasi kehidupan dengan kaum laki-laki. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabadabad, Keberlangsungannya tidak hanya dalam ruang domestik saja, melainkan juga sudah merambah dalam ruang publik, begitu penulis menyebutnya. Sepertinya ada ruang yang tidak yambung dan padu antara idealitas agama dengan realitas sosial,
397
398
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan sekali lagi, ini benar-benar terjadi dalam realitas kehidupan kita. Apalagi orang sudah salah dalam memahami khazanah ilmu-ilmu keagamaan (misal fiqh), dianggaplah fiqh sebagai agama yang haram untuk dikritisi dan dikoreksi, padahal sejatinya fiqh adalah hasil kerja intelektual ulama’ zaman dulu dalam memahami dan menjalankan agama, sehingga bersifat kontekstual dan bisa dikembangkan sesuai dengan ruang-waktu yang ada. Dalam buku ini, penulis mengawali gagasan pemikirannya dengan memberikan landasan berpikir tentang mengapa kita harus melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender, menurut Kiai Husein, budaya patriarki yang terjadi pada realitas masyarakat kita telah menjadikan laki-laki sebagai pihak yang bisa melakukan apa saja, dan perempuan sebagai kaum yang mendapatkan posisi subordinat, taruhlah di masyarakat Jawa, perempuan lebih diposisikan sebagai konco wingking, sebagai seorang istri (perempuan) akan mengikuti apapun yang akan diperoleh oleh laki-laki (suami), termasuk swargo nunut neroko katut. Masyarakat lebih sepakat dengan peran perempuan (istri) yang nrimo terhadap apa yang diterimanya, kalaupun itu menyakitkan hati dan perasaannya, dan dianggaplah (istri) ini sebagai sosok perempuan ideal. Sedangkan istri yang berani bangkang dan lancang terhadap perintah suami, dan selalu protes maka di sebut istri yang kurang baik. Tradisi di masyarakat yang mengawinkan perempuan di bawah umur (kawin muda), juga masih sering kita temukan. Mereka menganggap bahwa perempuan yang kawin muda adalah lebih baik, khususnya ini terjadi di daerah pedesaan. Masyarakat lebih sepakat kalau anak perempuan mereka secepatnya kawin, agar bisa cepat lepas dari tanggung jawab orang tua, karena sejatinya tugas perempuan adalah di dapur, mengurus rumah tangga, menjadi istri dan ibu, sangat jarang kita temukan alasan orang tua mengawinkan muda anak perempuannya karena didasari alasan agar tidak melakukan hubungan seks pranikah walaupun sebenarnya kadang juga kita temukan orang tua yang mengawinkan muda anak perempuannya lebih didasari karena faktor ekonomi, padahal dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 secara tegas dan jelas sangat tidak mengijinkan praktek tersebut. Apalagi di Jawa Barat, perempuan yang selalu melakukan kawin-cerai adalah sosok perempuan yang laku keras dan menjadi sebuah kebanggan.
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
Dalam pembagian ruang kerja pun, perempuan masih saja mengalami peran yang diskriminatif, perempuan yang bekerja di sawah, di kantor dan di pabrik lebih dianggap sebagai peran tambahan (samben), karena sebenarnya peran perempuan adalah di wilayah domestik, di dalam rumah, dan parahnya, hasil kerja mereka juga tidak dihargai, termasuk tidak dibayar. (hal. 6). Belum lagi peran perempuan pada ruang publik, posisi perempuan seringnya selalu dijadikan pertimbangan terakhir, dan pilihan pertamanya selalu jatuh pada laki-laki, masyarakat lebih beranggapan bahwa selama masih ada laki-laki, maka lai-laki adalah pilihan yang paling tepat. Dan secara tegas, kaum feminis dengan gerakannya sangat tidak sepakat terhadap tindakan yang tidak berkeadilan gender tersebut. Mereka juga sering menemukan kesalahan berpikir yang berkembang di masyarakat, dianggaplah bahwa ketika gerakan kesetaraan gender ini berlangsung maka budaya patriarki akan diganti dengan budaya matriarki, di mana perempuanlah yang menjadi penguasa. Pola berpikir inilah yang ditolak oleh kaum feminis, karena inti gerakan feminisme adalah lebih memposisikan lai-laki dan perempuan pada level yang manusiawi dan adil, perempuan dapat memperoleh akses politik, ekonomi, pendidikan dan sosial yang sama dengan laki-laki, dan laki-laki pun dapat berpartisipasi penuh terhadap urusan di rumah dan merawat anak. (hal. 9) Karena pada dasarnya peran perempuan (di dapur, ngurus rumah) dan laki-laki (di kantor, di pabrik) merupakan hasil konstruk sosial bukan kodrat dari Tuhan, sehingga peran tersebut dalam satu waktu dan tempat dapat berubah. Berangkat dari Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 34, Ulama’ yang selama ini dipandang memiliki otoritas keagamaan dan sebagai panutan masyarakat juga lebih memilih untuk sepakat kalau laki-lakilah yang punya wewenang untuk menjadi pemimpin perempuan, menurut az-Zamakhsyari, dibandingkan perempuan, laki-lai lebih unggul dalam hal akal (al-‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-azm), keperkasaan (al-quwwah), dan keberanian atau ketangkasan (al-farusiyyah wa ar-ramy), termasuk ulama’ yang sepakat dengan keunggulan laki-laki dibandingkan perempuan adalah Fakhruddin ar-Razi, Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, Syaikh ath-Thabathaba’i, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali. Akan tetapi menurut Fakhruddin
399
400
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ar-Razi juga, bahwa kesimpulan yang didasarkan pada teks-teks otoritatif tersebut dapat ditolak kalau tidak didasari atas faktafakta empiris, dimana keunggulan-keunggulan tersebut di atas dapat berubah, dan realitas budaya sekarang pun memperlihatkan bahwa tidak jarang perempuan yang mempunyai kemampuan intelektual dan kecerdesan pikir lebih unggul daripada lakilaki. Al-Qur’an menyatakan dirinya untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Yunus : 57), dan Nabi Muhammad SAW dengan misi kerasulannya bertujuan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya : 107), artinya secara jelas disebutkan bahwa cita-cita dari turunnya Al-Qur’an dan misi Rasulullah SAW adalah menegakkan kehidupan yang menghargai nilainilai kemanusiaan unversal (humanisme universal) sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan dan pengakuan hak orang lain tanpa ada perbedaan, baik jenis kelamin atau status sosial yang melekat dalam diri manusia. Selain itu dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an untuk menjawab persoalan yang muncul, kita juga harus mempunyai pandangan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diturunkan merupakan jawaban terhadap masalah tersebut, sehingga mengapa Allah SWT menurunkannya secara bertahap, selain karena ini adalah kearifan yang luar biasa dari Tuhan, juga agar kita sadar dan tahu bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan terlepaskan dari kondisi situasi, tempat dan waktu saat itu, sehingga diperlukan kontekstualisasi pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Qur’an dalam menjadikannya sebagai petunjuk dalam menghadapi permasalahan partikular pada masa sekarang. Kiai Husein juga menyerukan agar kita melakukan penafsiran dengan perspektif gender, dimana posisi laki-laki dan perempaun adalah sama dalam penciptaannya, sebagai ciptaan yang sempurna.
Fiqh Ibadah Dalam buku ini, Kiai Husein memulai gagasan pemikirannya dalam masalah Fiqh Ibadah untuk memenuhi kebutuhan akan tafsir baru di dalamnya. Kepemimpinan
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
perempuan dalam imam shalat misalnya, hampir seluruh kitab fiqh mengatakan bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi imam shalat, karena dalam kitab tersebut selalu disyaratkan bahwa imam shalat harus islam, berakal, baligh, dan laki-laki. Termasuk juga menurut Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi, bahkan imam maliki mengatakan bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi imam shalat walaupun dikalangan kaum perempuan sendiri. Disamping, pandangan mainstream, Husein juga menginformasikan beberapa pemikir yang menyatakan kebolehan perempuan menjadi imam dalam shalat bahkan dengan makmum campuran yang laki-laki dan perempuan. Husein merujuk pada pandangan Qadhi Abu Thayyib dan Al Abdari yang menyatakan beberapa ulama’ sepakat dengan kepemimpinan perempuan dalam imam shalat, baik untuk makmum laki-laki maupun perempuan sebagaimana Abu Tsaur (mujtahid terkenal), Ibn Jarir AthThabari (mufassir terkemuka dan sejarawan), dan Imam alMuzani (murid utama Imam Syafi’i). Untuk mendudukkan persoalan ini, Husein mendiskusikan hadist yang digunakan rujukan oleh kedua pendapat tersebut, dan yang tidak kalah penting adalah akar masalah yang digunakan sebagai bahan dasar untuk menyepakati perempuan tidak sah menjadi imam shalat. Dalam masalah khitan untuk perempuan, buku ini menjelaskan bahwa khitan ini sebenarnya merupakan hasil dari tradisi kuno bukan ajaran agama, dimana dengan khitan, seorang laki-laki dapat meningkatkan kesehatan dan gairah seks secara optimal sedangkan seorang perempuan malahan akan dikontrol agresivitas seksnya karena melakukan khitan. Khitan yang dalam bahasa arabnya berarti memotong, dan menurut Fiqh adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu lebih berpihak pada kepentingan laki-laki. Sehingga perempuan yang seharusnya juga punya hak untuk menikmati hubungan seks, dengan adanya khitan, kenikmatan tersebut menjadi tidak optimal dan hanya laki-laki yang boleh mendapatkannya. Bahkan menurut salah satu ulama’ fiqh kontemporer Mahmud Syaltut, dia mengatakan bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan adalah tidak terkait dengan teks-teks agama, apalagi di dalam hadist shahih pun tidak yang menerangkan tentang khitan, hal ini juga terjadi perbedaan pendapat pada ulama’ terdahulu, dimana hanya Imam Syafi’i saja yang mewajibkan khitan untuk
401
402
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
laki-laki dan perempuan, sedangkan Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali lebih condong pada pendapat bahwa khitan untuk laki-laki adalah sunnah mu’akkad (dekat dengan wajib) dan untuk perempuan adalah suatu kemuliaan. Apalagi secara medis, khitan untuk laki-laki lebih berujung pada kebaikan, dan dapat menjaga kesehatan serta gairah dalam melakukan hubungan seks, akan tetapi kalau perempuan malahan bisa berpotensi pada kematian bayi, dan agresfitasnya seks perempuan akan berkurang, karena dalam khitan, terjadi pemotongan klentit (clitoris) yang merupakan bagian yang cukup sensitif terhadap gesekan atau ransangan. Kajian lain adalah diskusi tentang aurat laki-laki dan perempuan seyogyanya harus ditutup dengan pakaian yang tidak tembus pandang dan tidak membentuk lekukan tubuh, karena dengan terbukan dan terlihatnya aurat akan berujung pada timbulnya fitnah (khauf al-fitnah). Adapun batasan aurat laki-laki, hampir seluruh ulama’ berpendapat sama, yaitu bagian anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki. Sedangkan untuk perempuan, beberapa ulama’ berbeda pendapat, baik untuk perempuan merdeka atau hamba. Perintah menutup aurat yang merupakan ajaran agama, dan batasan aurat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek adalah salah satu titik poin yang tertuang dalam buku ini, sehingga untuk menentukan aurat, diperlukan mekanisme yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat agar anggota tubuh manusia tidak dieksploitasi secara rendah dan murahan. (hal. 86) Kiai Husein, dalam menulis Buku Fiqh Perempuan juga membahas tentang persoalan Fiqh Munakahat, yang merupakan bagian kedua setelah Fiqh Ibadah, di antaranya adalah Hak Kawin Muda, Hak Memilih Pasangan, Hak Pelayanan Kesehatan dalam Keluarga dan Hak Mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Dalam persoalan Kawin di bawah umur (kawin muda), yang merupakan fenomena hidup di indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Dalam hal ini keberadaan fiqh klasik masih menjadi rujukan dan pedoman bagi masyarakat, orang belum bisa memahami dan menjalankan dengan baik UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974. Padahal kalau ita cermati secara seksama banyak ulama’ termasuk Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum kawin akan
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
menjadi makruh kalau yang bersangkutan belum mampu untuk memenuhi kewajiban yang harus dipikul, apalagi kalau dia masih bisa menahan diri dari zina. Dan dalam hal ini para ahli fiqh berpandangan tentang ada atau tidaknya maslahat, sangat disayangkan kalau malah akan menimbulkan kemudaratan, kerusakan dan keburukan, karena salah satu maksud perkawinan adalah sebagai upaya untuk memelihara kehormatan diri (hifzh al-‘irdh) dari terjerumus perbuatan yang terlarang, dapat memelihara keberlangsungan hidup manusia (hifzd an-nasl) yang sehat dan mendirikan kehidupan rumah tangga yang saling mengasihi dan membantu. Apalagi kalau kawin muda ini benar-benar dijalankan, bagi perempuan diperlukan syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1). Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya (ayah atau kakek), (2). Tidak ada permusuhan atau kebencian yang nyata antara perempuan dengan calon suami, (3). Calon suami harus kufu’ (setara/sesuai), dan (4). Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas. Dan dalam bagian berikutnya, yang ketiga adalah tentang Fiqh Mu’amalah-Siyasah, Kiai Husein menitikberatkan pembahasannya pada persoalan pemberian hak nafkah dalam keluarga, dan hal ini masih terkait dengan relasi seksual antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri), dimana mereka harus mempunyai pandangan yang sama tentang kesetaran manusia, tidak ada yang tersubordinatkan, di antara mereka harus saling kerjasama dan pengertian dalam menjalani roda kehidupan ini sehingga nanti akan tercipta suasana keluarga yang harmonis dan maslahat, tidak hanya bagi mereka berdua tetapi juga untuk keluarga, masyarakat dan negara. (hal. 182) Penulis juga membahas tentang kepemimpinan perempuan dalam aspek kehidupan, dalam hal ini sosial-politik. Lagi-lagi otoritas keagamaan selalu menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tidak tepat untuk mendapatkan peran atau posisi sebagai pemimpin, apalagi sebagai kepala negara, gubernur atau kepala daerah. Bahkan secara jelas Syah Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan bahwa syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat dan dapat berbicara. Landasan awal yang digunakan rujukan dalam menentukan pendapat tersebut adalah Surat an-Nisa’ ayat 34, dan para mufassir memberikan
403
404
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
arti qawwam adalah pemimpin, pelindung, pendidik, pengatur dan penanggungjawab, menurut mereka hal ini cukup beralasan karena keunggulan laki-laki atas perempuan adalah terkait akal dan fisik. Dan beberpa ulama’ lain juga berpendapat hampir sama terkait keunggulan laki-laki atas perempaun tersebut, di antaranya adalah ar-Razi, az-Zamakhsyari, ath-Thabathaba’i, alQurthubi, Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, dan al-Hijazi. Realitas sosial hari ini memperlihatkan pada kita bahwa tidak jarang seorang perempuan yang menjadi kepala daerah, gubernur dan presiden. Karena sejatinya ide dasar dari surat anNisa’ ayat 34 tersebut adalah memposisikan perempuan menjadi lebih mulia, di mana pada zaman jahiliyah dulu, peran dan posisi perempuan sangat tidak dihormati, artinya secara bertahap Allah SWT telah memberikan kearifan yang luar biasa untuk perempuan. Sehingga pandangan yang mengatakan bahwa sudah menjadi kodrat dan alamiah ketika perempuan berada di bawah laki-laki. Dan pertanyaan, apakah perempuan mampu untuk memimpin? Secara jelas sejarah telah menjawab, sebelum Islam dikenal Ratu Bilqis, dia seorang pemimpin perempuan yang berhasil memakmurkan rakyat, contoh yang lain adalah Indira Gandi, Margaret Tacher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Butho dan Syaikh Hasina Zia, mereka adalah bukti bahwa perempuan tengah mengalami perubahan dan terbukti mampu memimpin. Husein berargumentasi pada dua kaidah yang disepakati oleh para ahli hukum : al-hukm yaduru m’a illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum bergerak menurut illat/kausalitasnya) dan la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-ahwal wa alazminah (tak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan dan zaman). Sejatinya faktor penting dalam persoalan yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan dan politik adalah kemaslahatan, apalagi untuk menjadi seorang pemimpin, yang jadi pertimbangan bukanlah jenis kelamin, tetapi kemampuan dan intelektualitas. Tasharruf al-imam ‘ala arra’iyyah manuthun bi al-maslahah (tindakan penguasa atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan mereka). Sehingga sangat tidak layak kalau laki-laki jadi pemimpin tapi tidak membawa kemaslahatan, dan sebaliknya sangat layak menjadi pemimpin bagi seorang perempuan kalau membawa kemaslahatan. (hal. 206).
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin)
Dalam buku ini, Kiai Husein juga melakukan refleksi dan tanggapan terhadap peristiwa pemerkosan dan penjarahan “akbar” yang terjadi di negara Indonesia pada bulan Mei 1998, negara yang sebelum kejadian tersebut mengakui sebagai Negara Religius. Dalam bukunya Kiai Husein diterangkan bahwa pelaku pemerkosaan tersebut dikenakan hukuman ganda, pertama hukuman atas perzinaan, yaitu cambukan 100 kali atau rajam dihadapan khalayak, kedua hukuman atas penganiayaan, yaitu Qishash (dibalas dengan hukuman yang sebanding). Sedangkan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan tersebut tidak berhak mendapat hukuman, adapun anak yang dikandung dari hasil pemerkosaan, beberapa ulama’ berpendapat bahwa perempuan tersebut boleh untuk menggugurkan, hal ini juga didasari faktor sosiologis masyarakat islam yang tidak menerima anak dari hasil tidak sah. Al-hasil, Pada dasarnya, penulis berpandangan bahwa hasil pikiran, fiqh, horma-norma dan ideologi yang melanggar hak-hak asasi manusia harus dilakukan perubahan, dan sudah saatnya kita melakukan perubahan pada sistem budaya yang telah dikonsruk secara tidak adil menuju konstruksi baru yang seide dan selaras dengan hak-hak asasi manusia, dimana hal ini merupakan prinsip-prinsp moral-universal yang dipercaya oleh semua agama dan aspek kemanusiaan. Dan untuk melakukan hal ini, dibutuhkan partisipasi dari semua phak, masyarakat, pemimpin agama, dan pemerintah. Dan pada bagian penutup, penulis memaparkan tentang ulama’ besar dari Indonesia, Muhammad Nawawi bin Umar yang berpredikat Sayyid al-Ulama’ al-Hijaz, dengan karnya yang sangat populer yaitu Uqud al-Lujain.
405