ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email :
[email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email:
[email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 14, Nomor 2, Oktober 2011
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
109
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan? 113 Meily Ika Permata, Ibrahim, Hidayah Dhini Ari Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly Traded Banks in Asia Wahyoe Soedarmono
135
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009 Tri Mulyaningsih, Anne Daly 151 Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis Tumpak Silalahi, Tevy Chawwa
187
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2011
109
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2011 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,50%. Bank Indonesia juga akan tetap menempuh langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah khususnya dari dampak gejolak pasar keuangan global. Keputusan ini diambil sejalan dengan keyakinan Bank Indonesia bahwa inflasi pada akhir tahun ini maupun tahun depan akan berada di bawah 5%. Selain itu, langkah-langkah tersebut ditempuh sebagai antisipasi untuk memitigasi dampak penurunan kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Ke depan, Dewan Gubernur akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global serta menempuh respons suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan utang dan fiskal di Eropa dan AS. Perhatian terutama ditujukan pada dampak jangka pendek melalui jalur finansial berupa melemahnya bursa saham, meningkatnya indikator risiko utang, dan tekanan pembalikan arus modal portofolio (capital reversals) oleh investor global dari
emerging economies, termasuk Indonesia. Sementara itu, kinerja perekonomian global terindikasi melemah seperti tercermin pada perlambatan kegiatan produksi dan penjualan ritel yang disertai dengan tingkat keyakinan konsumen yang melemah di negara maju dan koreksi sejumlah harga komoditas internasional. Di sisi lain, tekanan inflasi mulai mereda, meski inflasi negara
emerging markets masih relatif tinggi sehingga terjadi pergeseran respons kebijakan moneter ke arah netral atau akomodatif. Ke depan, secara keseluruhan Dewan Gubernur melihat kecenderungan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara maju, melambatnya volume perdagangan dunia, dan menurunnya harga komoditas global. Sementara itu di sektor keuangan, tingginya ekses likuiditas global dan persespi resiko investor masih akan mendorong tetap
110 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
derasnya aliran modal asing masuk ke negara-negara emerging economies, termasuk Indonesia, baik dalam bentuk PMA maupun investasi portofolio. Dewan Gubernur menilai bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap kuat di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2011 diperkirakan akan lebih tinggi, terutama didukung oleh konsumsi dan kegiatan investasi sehingga secara keseluruhan tahun 2011 dapat mencapai 6,6%. Sejauh ini, dampak gejolak ekonomi global lebih dirasakan di pasar keuangan, sementara sektor riil relatif belum terpengaruh. Namun, perekonomian global yang melemah diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekonomi domestik pada tahun 2012, baik melalui dampaknya pada pasar keuangan maupun terhadap kegiatan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekonomi domestik tahun 2012 diprakirakan berada di sekitar 6,2%-6,7%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang meningkat, namun ekspor akan menghadapi tekanan. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ke depan, antara lain sektor industri; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor transportasi dan komunikasi. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2011 diprakirakan akan kembali surplus setelah mengalami tekanan akibat terjadinya aliran modal keluar pada triwulan sebelumnya. Secara keseluruhan tahun 2011, NPI diprakirakan akan tetap mencatat surplus yang cukup besar. Surplus NPI ini diprakirakan akan tetap berlangsung pada tahun 2012 terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang terus meningkat, baik dalam bentuk investasi portofolio maupun investasi langsung. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir September 2011 tercatat sebesar 114,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Jumlah cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk mendukung kestabilan nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah pada triwulan III 2011 mengalami tekanan, khususnya pada bulan September 2011. Pada triwulan III 2011, nilai tukar rupiah melemah 2,42% (ptp) menjadi Rp8.790 per dolar AS dengan volatilitas yang meningkat. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut masih sejalan dengan pergerakan nilai tukar mata uang negara kawasan. Tekanan terhadap rupiah antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya faktor risiko global akibat kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Selain itu, meningkatnya permintaan valas untuk memenuhi pembayaran impor turut menekan nilai tukar rupiah. Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah guna mendukung terpeliharanya kestabilan makroekonomi.
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2011
111
Tekanan inflasi terus menurun. Inflasi IHK pada triwulan III 2011 tercatat sebesar 1,89% (qtq) atau 4,61% (yoy), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan tekanan inflasi ini berasal dari kelompok volatile food dan administered prices seiring dengan membaiknya pasokan, turunnya harga komoditas pangan internasional dan minimalnya kebijakan Pemerintah terkait harga komoditas strategis. Sementara itu, tekanan kelompok inti di luar kenaikan harga emas juga relatif terjaga baik karena kebijakan apresiasi nilai tukar pada periode sebelumnya dan masih cukup memadainya pasokan dalam merespons permintaan. Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada tahun 2011 diyakini akan lebih rendah dari 5%. Tahun 2012, inflasi akan tetap terkendali dan diprakirakan di bawah 5% seiring dengan terjadinya koreksi harga komoditas global dan melemahnya perekonomian dunia. Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik meskipun terjadi gejolak pasar keuangan akibat pengaruh global. Stabilitas industri perbankan masih tetap terjaga dengan baik sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan rendahnya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan kredit yang mencapai 23,8% (yoy) hingga akhir September 2011. Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas sistem perbankan dan mendorong fungsi intermediasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dengan mendorong ke arah pertumbuhan kredit produktif sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian. Kehandalan dan efisiensi sistem pembayaran turut membantu capaian kinerja makroekonomi Indonesia. Dukungan sistem pembayaran terhadap kinerja perekonomian Indonesia terlihat dari ketersediaan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BIRTGS), Bank Indonesia-Scripless Security Settlement System (BI-SSSS) serta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang mencapai 100%. Selain itu, kehandalan sistem pemrosesan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik yang diselenggarakan oleh pihak di luar Bank Indonesia juga tetap terjaga. Bank Indonesia juga tetap mampu memenuhi kebutuhan uang kartal meskipun terdapat kenaikan permintaan uang kartal oleh masyarakat secara signifikan selama Ramadhan dan libur Idul Fitri yang lalu.
112 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
113
APAKAH PERKEMBANGAN FINANSIAL MEREDAM ATAU MEMPERBESAR DAMPAK SUATU KEJUTAN? Meily Ika Permata Ibrahim Hidayah Dhini Ari 1
Abstract
This paper analyzes the role of financial development on economic output in Indonesia. Using vector autoregressive method, the results confirm the positive impact of financial development on output growth. The interaction between the financial development and the shock either in financial or real sector shows that the financial development has a positive role to dampen the negative impact of the shock on the output growth, while strengthen the positive one. Another variable on the model, which significantly affect the output growth are excess money, term of trade, and the price. Compare to these variables, the marginal effect of financial development on output is smaller.
Keywords: Financial development, shock, output volatility, VAR. JEL Classification: E44, O16
1 Meily Ika Pertama (
[email protected]), Ibrahim (
[email protected]) and Hidayah Dhini Ari (
[email protected]) are researchers in Economic Research Bureau, Directorate of Economic and Monetary Policy Research. The author thanks to Dr. Noer Azzam, Dr. Perry Warjiyo, Dr. Iskandar Simorangkir and other colleagues in DKM for the excellent input and suggestion.
114 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN Stabilitas makroekonomi merupakan salah satu syarat perlu bagi kesinambungan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk memahami sumber-sumber instabilitas kondisi makroekonomi merupakan salah satu tantangan yang senantiasa mendapatkan perhatian penting dalam ranah ilmu ekonomi. Peran sektor finansial dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi telah lama menjadi subyek penelitian, khususnya sejak Schumpeter (1912).2 Sejak itu, studi yang dilakukan untuk menguji kaitan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi terus dilakukan. Berdasarkan kajian terhadap berbagai penelitian yang telah dilakukan, hubungan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi cenderung tidak konklusif. Beberapa pandangan meyakini bahwa perkembangan sektor finansial akan mendorong pertumbuhan (diawali oleh Schumpeter, 1911 dan Gurley dan Shaw, 1955) karena sektor finansial dapat mengatasi permasalahan dalam kendala pembiayaan, berkontribusi pada pengalokasian sumber dayasecara lebih efisien, menyalurkan pembiayaan serta berbagai aktivitas lain yang terkait dengan risk sharing dan inovasi finansial,medium bagi transmisi kebijakan moneter (Cecchetti dan Krause, 2001 dan Krause dan Rioja, 2006), mengatasi permasalahan ketidaksempurnaan di pasar dana (imperfect capital market) (Bernanke dan Gertler (1989), Greenwald dan Stiglitz (1993) serta Kiyotaki dan Moore (1997).Pengembangan sektor finansial diyakini juga bahwa berperan positif dalam menurunkan volatilitas variabelvariabel makroekonomi (Dynan, Elmendorf dan Sichel (2006), Denizer, Iyigun, dan Owen (2002), Harvey dan Lundblad (2006),Aghion et. al (2005), Aghion et. al (2009), Cecchetti, Lagunes dan Krause (2006), serta Mendicino (2007)). Namun, Bacchetta dan Caminal (2000), Easterly et al. (2002) dan Kuneida (2008), menunjukkan bahwa kendala dalam pembiayaan (financial constraint) dapat menjadi faktor yang menahan atau justru memperparah dampak kejutan yang terjadi di perekonomian. Sementara itu, Lopez dan Spiegel (2002), Denizer et al. (2002), Silva (2002), dan Tharavanji (2007) justru menemukan hubungan negatif antara perkembangan sektor finansial dan volatilitas pertumbuhan ekonomi. Peneliti lain seperti, Tiryaki (2003), Beck (2006) & Guryal et al. (2007) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sektor finansial dan volatilitas pertumbuhan.
2 Schumpeter, J.A., 1911. The Theory of Economic Development.Cambridge, Mass: HarvardUniversity Press.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
115
8 China Thailand
7
Indonesia EU
Brazil USA
6 5 4 3 2 1
2009Q4
2009Q1
2008Q2
2007Q3
2006Q4
2006Q1
2005Q2
2004Q3
2003Q4
2003Q1
2002Q2
2001Q3
2000Q4
2000Q1
1999Q2
1998Q3
1997Q4
1997Q1
1996Q2
1995Q3
1994Q4
0
Grafik 1. Volatilitas Output Beberapa Negara Berkembang dan Maju
Berdasarkan gambaran di atas, dirasakan suatu kebutuhan untuk melakukan pengujian empiris tentang peran sektor finansial dalam stabilitas makroekonomi, khususnya pertumbuhan PDB, di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang dengan sektor finansial yang masih terus berkembang, kajian terhadap peran sektor finansial dalam konteks stabilitas makroekonomi diharapkan dapat membantu arah perumusan kebijakan moneter yang lebih tepat. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara maju, volatilitas output di beberapa negara emerging secara umum terlihat lebih tinggi, kecuali mulai periode krisis global (Grafik 1). Sementara itu, apabila dibandingkan dengan beberapa negara emerging, volatilitas output Indonesia pascakrisis 1997 terlihat relatif lebih kecil. Secara eksplisit, paper ini mengidentifikasi hubungan antara peran sektor finansial dan volatilitas output di Indonesia. Indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor finansial adalah rasio kredit kepada sektor swasta terhadap GDP. Ukuran ini lazim digunakan dalam penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pemahaman mengenai hubungan antara perkembangan sektor finansial dalam peranannya terhadap stabilitas makroekonomi diharapkan dapat menjadi suatu bahan masukan yang berharga dalam memformulasikan kebijakan moneter yang lebih baik. Bagiankeduadari paper ini mengulas teori dan tinjauan literatur, bagian ketiga mengulas metodologi dan model empiris yang digunakan, sementara hasil dan analisis diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan, implikasi dan rekomendasi kebijakan akan diberikan pada bagian penutup.
116 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
II. TEORI Pandangan bahwa perkembangan sektor finansial akan mendorong pertumbuhan (diawali oleh Schumpeter, 1911 dan Gurley dan Shaw, 1955) disebabkan karena sektor finansial dapat mengatasi permasalahan dalam kendala pembiayaan. Selain itu, keberadaan sektor finansial berkontribusi pada pengalokasian sumber daya, baik finansial maupun nonfinansial, secara lebih efisien. Semakin dalam dan berkembangnya sektor finansial mampu meredam volatilitas dalam perekonomian, melalui kemampuannya dalam menyalurkan pembiayaan serta berbagai aktivitas lain yang terkait dengan risk sharing dan inovasi finansial. Kontribusi sektor finansial dalam menstabilkan kondisi makroekonomi secara umum juga terjadi melalui kemampuannya untuk menjadi medium bagi transmisi kebijakan moneter (Cecchetti dan Krause, 2001 dan Krause dan Rioja, 2006). Bernanke dan Gertler (1989), Greenwald dan Stiglitz (1993) serta Kiyotaki dan Moore (1997) menghasilkan studi yang mengkorfimasi pandangan di atas, dengan menunjukkan bahwa sektor finansial berkontribusi mengatasi permasalahan ketidaksempurnaan di pasar dana (imperfect capital market), dan dengan demikian mengurangi volatilitas output di perekonomian. Dynan, Elmendorf dan Sichel (2006) dan Denizer, Iyigun, dan Owen (2002) serta Beakaert, Harvey dan Lundblad (2006) menyajikan hasil studi yang menunjukkan bahwa pengembangan sektor finansial berperan positif dalam menurunkan volatilitas variabel-variabel makroekonomi. Aghion et. al (2005) dan Aghion et. al (2009) mengkonfirmasi bahwa kendala dalam pembiayaan kredit berkontribusi memperbesar dampak kejutan di perekonomian melalui pilihan terhadap jenis investasi yang dilakukan pelaku usaha. Cecchetti, Lagunes dan Krause (2006) serta Mendicino (2007) membuktikkan bahwa kredit konsumsi berperan positif dalam mengatasi kendala likuiditas di tingkat rumah tangga sehingga dapat membantu menurunkan volatilitas pertumbuhan ekonomi. Namun, Bacchetta dan Caminal (2000) menunjukkan bahwa kendala dalam pembiayaan (financial constraint) dapat menjadi faktor yang menahan atau justru memperparah dampak kejutan yang terjadi di perekonomian, tergantung pada jenis kejutan yang terjadi di perekonomian. Senada dengan Bacchetta dan Caminal, Easterly et al. (2002) dan Kuneida (2008) menemukan sifat hubungan antara perkembangan sektor finansial dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung nonlinear. Dalam hal ini, perkembangan sektor finansial akan menurunkan volatilitas makroekonomi sampai pada titik tertentu, namun melewati titik tersebut kredit ke sektor swasta yang terlalu banyak justru akan meningkatkan volatilitas. Sementara itu, Lopez dan Spiegel (2002), Denizer et al. (2002), Silva (2002), dan Tharavanji (2007) justru menemukan hubungan negatif antara perkembangan sektor finansial dan volatilitas
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
117
pertumbuhan ekonomi. Yang lebih menarik, Tiryaki (2003), Beck (2006) dan Guryay et al. (2007) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sektor finansial dan volatilitas pertumbuhan. Berdasarkan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari model di atas, maka terlihat bahwa hubungan antara perkembangan finansial dan volatilitas output akan bersifat ambigu (tidak konklusif). Sifat hubungan tersebut akan tergantung pada kejutan yang muncul di perekonomian, apakah berasal dari sektor riil atau moneter, dan bagaimana suatu perekonomian merespon kejutan yang muncul tersebut. Salah satu model sederhana tentang perkembangan sektor keuangan dibangun oleh Bacchetta dan Caminal (2000), dan kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Beck (2006). Dasar pemikiran model dibangun dari asumsi perekonomian yang terdiri dari konsumen (consumers) dan pengusaha (entrepreneurs). Setiap pengusaha memiliki akses yang sama terhadap teknologi produksi, yang diwakili oleh f (k), dengan f (0) = 0, f ‘(k) > 0, dan f “ (k) < 0. Meskipun setiap pengusaha memiliki akses yang sama terhadap teknologi produksi, pada dasarnya pengusaha memiliki tingkat kekayaan (wealth) b yang berbeda-beda. Sebanyak β rasio dari pengusaha adalah pengusaha dengan kekayaaan tinggi (High). Dan sebanyak (1- β) rasio dari pengusaha adalah dengan kekayaan rendah (Low). High diasumsikan dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan investasinya dan memiliki kelebihan dana yang disimpan di bank dan mendapat tingkat bunga rD. High diasumsikan tidak memiliki kendala pembiayaan di pasar finansial, dan dengan demikian maksimisasi profit High tercapai pada :
(1) Sementara itu, Low memiliki keterbatasan pembiayaan sehingga harus meminjam dana dengan tingkat bunga r D. Adanya assymetric information dan potensi moral hazard menyebabkan Low dikenakan agency cost ϕ. Dengan kondisi ini, maksimisasi profit Low tercapai pada : (2) Dengan demikian, marginal produktivitas relatif antara High dan Low adalah sebagai berikut : (3)
118 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Semakin besar perbedaan antara rL dan rD serta ϕ, maka semakin tinggi rasio kH / kL dan semakin besar perbedaan marginal produktivitas antara Low dan High. Semakin tinggi ϕ, semakin besar efek realokasi dana antara High dan Low. Realokasi dana ini akan mempengaruhi produktivitas agregat dan akhirnya output perekonomian secara keseluruhan. Pihak intermediari finansial, dalam hal ini bank, diasumsikan bekerja dalam kondisi persaingan sempurna, tanpa biaya, dan hanya memegang aset dalam bentuk pemberian kredit. Meskipun demikian, deposito dikenakan peraturan reserve requirement dari otoritas moneter, yaitu τ. Dengan demikian, kredit yang mampu diberikan bank kepada Low adalah sebesar (1-τ ) dikalikan dengan deposito dari High. Kenaikan dengan demikian akan menurunkan dana yang tersedia untuk dipinjamkan kepada Low, dan sebaliknya. Agregat total pinjaman dari bank dengan demikian adalah :
(4) dimana bH adalah dana internal yang dimiliki High dan kH adalah tingkat investasi yang diinginkan High. Sedangkan kL dan bL masing-masing adalah tingkat investasi yang diinginkan dan dana internal Low. Adapun dana internal Low diasumsikan sangat kecil sehingga tidak bisa memenuhi tingkat investasi yang diinginkan. Selanjutnya, dengan asumsi tidak adanya kemungkinan gagal bayar, maka rasio dari rL dan rD hanya dipengaruhi oleh besarnya reserve requirement, τ , sehingga :
(5)
Dengan adanya assymetric information yang menghasilkan agency cost, maka Low secara natural akan selalu dihadapkan pada kondisi tingkat investasi yang sub-optimal. Hal ini berarti tingkat investasi yang mampu dilakukan akan selalu dibawah yang diinginkan. Agency cost dalam hal ini dinyatakan sebagai berikut :
dimana ω adalah fungsi dari sejumlah parameter teknologi yang bersifat eksogen. Hal ini berarti bahwa agency cost merupakan fungsi negatif linear dari rasio antara dana internal yang dimiliki dan tingkat investasi yang diinginkan Low. Semakin besar dana internal yang
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
119
dimiliki, maka agency cost yang dibebankan bank kepada Low akan semakin kecil. Selanjutnya berdasarkan ini, maka : (6)
Persamaan (6) menunjukkan bahwa Low akan dihadapkan pada kondisi credit-constrained, sehingga tingkat investasi yang mungkin dicapai akan dibawah yang diinginkan. Tingkat investasi Low akan menurun dengan kenaikan rL, ω, dan rasio leverage
.
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas, maka marjinal produktivitas dari High dan Low selanjutnya dapat dijabarkan dalam persamaan berikut :
(7)
Dengan demikian, kondisi market clearing di pasar finansial adalah sbb :
(8) Berdasarkan (7) dan (8) dapat terlihat bahwa investasi relatif kL / kH akan meningkat sejalan dengan meningkatnya rasio bL / kL dan relatif rasio dana internal bL / bH serta menurunnya
agency cost ω dan reserve requirement τ . Berdasarkan persamaan-persamaan di atas maka diperoleh beberapa interpretasi hasil sebagai berikut : 1) Dampak dari kejutan yang terjadi pada sektor riil akan lebih besar pada kondisi assymetric
information di pasar dana. Dampak itu akan makin besar sejalan dengan kenaikan pada agency cost ω. Hal ini terlihat pada persamaan (7) dimana investasi yang dilakukan High akan lebih besar dari Low, sehingga menyebabkan marjinal produktivitas di Low lebih tinggi daripada High. Perbedaan marjinal produktivitas tersebut akan makin besar dengan semakin tingginya agency cost, suatu kondisi yang terdapat pada kondisi pasar dana yang diwarnai
assymetric information. Dengan makin besarnya perbedaan marginal produktivitas, maka dampak dari kejutan kepada output perekonomian akan lebih besar. 2) Dampak dari kejutan yang berasal dari kebijakan moneter yang berpengaruh pada supply
of loanable funds akan berdampak lebih kecil pada kondisi dimana terdapat assymetric
120 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
information di pasar dana. Pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan tingkat reserve requirement τ, akan menaikkan jumlah ketersediaan loanable loan yang pada akhirnya akan menurunkan rL. Meskipun demikian, penurunan tingkat bunga akan menaikkan
leverage dan akhirnya agency cost bagi Low. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi sebagian dari dampak positif penurunan reserve requirement. Sementara itu, turunnya agency cost sebagai dampak dari semakin berkembangnya sektor finansial akan semakin menguatkan dampak positif penurunan reserve requirement ke output. Inilah dasar hipotesis yang akan di uji dalam paper ini.
III. METODOLOGI Penelitian ini akan menggunakan pendekatan ekonometrik guna menguji testable
hypothesis dengan memanfaatkan metode vector auto regression (VAR). Metode VAR ini digunakan untuk melakukan pengujian dengan kasus Indonesia. Model VAR merupakan suatu analisis fungsi linear dari pergerakan data di masa lampau yang dilakukankumpulanvariabel (variabel endogen) dalam suatu periode waktu yang sama (t=1,...,T). Suatu model VAR (p) dapat direpresentasikan dalam persamaan sebagai berikut :
xt = A0 + A1 xt-1 + A2 xt-2 + .... + Ap xt-p + et dimana
et merupakan vektor dari error term yang memenuhi kondisi standar; E(et) = 0, dan
E(et e’t) = Ω . Model VAR sangat sering digunakan dalam analisa makroekonomi. Namun demikian, meskipun pendekatan VAR mempunyai keunggulan dalam memodelkan dynamic behaviour dari variabel ekonomi dan forecasting, namun tak sedikit kritik yang ditujukan terhadap VAR berkaitan dengan pendekatannya yang cenderung bersifat atheoretical, dimana tidak adanya restriksi dalam struktur lag model VAR diasosiasikan sebagai tidak adanya struktur yang mendasari keterkaitan setiap variable dalam system VAR tersebut. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam menginterpretasikan hasil. Model teoritis yang diuraikan sebelumnya telah memberikan hipotesis yang akan diuji. Namun pengujian yang akan dilakukan tidak didasarkan pada bentuk reduced forms yang langsung diturunkan secara ekplisit dari model di atas, melainkan lebih bersifat empiris dan ditetapkan secara ad hoc dengan tujuan agar dapat mengakomodir beberapa variabel kontrol yang tidak tertangkap secara eksplisit dalam model.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
121
Beberapa variabel yang akan diikutsertakan dalam model adalah perkembangan PDB Riil dan pergerakan harga, guna menggambarkan volatilitas variabel makroekonomi. Selain itu diikutkan juga variabel di sektor riil dan moneter.Untuk sektor riil sebagai contoh dapat digunakan variabel terms of trade, sementara untuk sektor moneter dapat digunakan perkembangan excess money. adalah ukuran untuk perkembangan sektor finansial, yang dalam hal ini rasio kredit terhadap PDB. Sementara itu untuk menangkap adanya market imperfection/
assymetric information akan digunakan variable yang dapat menjelaskan adanya resiko seperti spread suku bunga kredit dan SBI. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data triwulanan dengan Periode triwulan pertama tahun 1997 sampai dengan triwulan kedua tahun 2010. Adapun rincian data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. PDB Riil : yang menggambarkan perkembangan output/pertumbuhan ekonomi 2. IHK : yang menggambarkan pergerakan harga 3. TOT : yang mewakili shock dari sektor riil 4. Excess Money : yang mewakili shock dari sektor moneter 5. Kredit/PDB : yang dipakai sebagai ukuran untuk perkembangan sektor finansial 6. Spread Suku Bunga SBI dan Kredit : yang menggambarkan besarnya resiko akibat adanya
market imperfection/assymetric information
IV. HASIL DAN ANALISIS Secara umum, pergerakan indikator makroeknomi Indonesia pada awal periode pengamatan mengalami volatilitas yang relatif besar. Periode krisis tahun 1998 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi terkontraksi lebih dari 13,1% dan inflasi yang melonjak mencapai 69,8% diikuti oleh berbagai indikator lainnya seperti rasio kredit terhadap PDB, excess money, dan indikator risiko yang diwakili oleh indikator selisih suku bunga kredit dengan SBI (Grafik 5). Volatilitas berbagai indikator tersebut semakin membaik sejalan dengan membaiknya pengelolaan moneter.
122 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
80
0,4 Inflasi
0,2
60
0,0 -0,2
40
-0,4 20
-0,6 -0,8
0 PDB -20 Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
-0,10 -0,12 Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 2. Perkembangan Indikator Utama
Grafik 3. Pertumbuhan Finansial (dln FD)
40
20
30
10
20
0
10
-10
0
-20
-10
-30
-20
-40
-30 Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010
-50 Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 4. Excess Money
Grafik 5. Spread Suku Bunga Kredit-SBI
Dari hasil pengamatan lebih detil dengan melihat pergerakan standard deviasi indikator makroekonomi dan finansial diperoleh gambaran pergerakan yang lebih jelas. Secara umum, gambaran volatilitas indikator PDB dengan variabel lainnya bergerak searah. Korelasi volatilitas pertumbuhan dengan rata-rata kredit/PDB mencapai 81% serta korelasi antara volatilitas pertumbuhan & volatilitas inflasi sebesar 78% (Grafik 6). Volatilitas dalam gambar tersebut di hitung dengan cara moving standard deviation selama tiga tahun untuk masing-masing indikator yang kemudian di hitung korelasi dari pasangan indikator yang diamati. Berdasarkan hipotesa awal adanya hubungan yang bergerak searah tersebut, dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode VAR.
123
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
10,00
2,50 Average of Credit/GDP (3 years)
2,00
Rolling StDev of GDP Growth (3 years -yoy) (RHS)
9,00 8,00 7,00 6,00
1,50
10,00
35,00 30,00 25,00 20,00
4,00 3,00
0,00
7,00 5,00 4,00
10,00
3,00
1,00
5,00
0,00
0,00
Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan 1990 1990 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010
8,00
15,00
2,00
0,50
9,00
Rolling StDev of GDP Growth (3 years -yoy) (RHS)
6,00
5,00 1,00
Rolling StDev of Inflation (3 years - yoy)
2,00 1,00 0,00
Mar Jun Sep Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr 1990 1991 1992 1994 1995 1996 1997 1999 2000 2001 2002 2004 2005 2006 2007 2009 2010
Grafik 6. Perkembangan Keterkaitan Indikator Utama
Estimasi VAR diawali dengan melakukan stationary test terhadap setiap variabel dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) unit root test. Hasil uji indikator pengamatan menunjukkan bahwa variabel PDB dan IHK adalah non stationer pada level (tabel 1). Berdasarkan hasil uji unit root test, tersebut variabel- variabel yang dipilih untuk diikutsertakan dalam model VAR dalam kajian ini adalah dLnPDB, dLnIHK, dLnTOT, dLnFD, pertumbuhan risiko dan dan pertumbuhan excess money. Tabel 1. Hasil Uji Unit Root Test Variabel
Level (P-value)
PDB dLnPDB Pertumbuhan PDB IHK dLnIHK Inflasi TOT dLnTOT Pertumbuhan TOT FD dLnFD Pertumbuhan FD Risk Pertumbuhan Resiko Pertumbuhan Excess Money
1.0000 0.0967 0.0943 0.8050 0.0006 0.3043 0.0258 0.0020 0.0057 0.0163 0.0024 0.2049 0.0000 0.0000 0.0002
124 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Optimum lag order untuk prosedur VAR menunjukkan hasil yang mixed. Berdasarkan Schwartz Information Criteria lag yang optimal adalah 1, sementara Akaike Information Criteria dan Hannan Quinn Information Criteria menghasilkan lag optimal 6. Namun demikian, order lag 6 tidak dipilih dalam prosedur kajian ini mengingat jumlah observasi variabel hanya54. Kajian ini juga tidak mengikuti Schwart optimum lag dengan lag order 1, melainkan menetapkan penggunaan lag order 2 untuk dapat lebih baik mencakup dinamika variabel. Berdasarkan uji
Lag Structure, diketahui bahwa estimasi VAR dengan lag order 2 bersifat stabil (stasioner) karena semua roots lebih kecil daripada 1 dan berada di dalam unit circle (Grafik 7).
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial
1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0 -1,5 -1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
Grafik 7. AR Roots Graph
Hasil Granger Causality/Block Exogeneity Test menunjukkan bahwa secara bersamaan variabel pergerakan harga/inflasi, perkembangan TOT, pergerakan excess money, perkembangan finansial dan pergerakan resiko merupakan variabel penjelas pergerakan PDB (Tabel 2). Namun demikian, secara individu variabel perkembangan resiko kurang dapat menjelaskan pergerakan Tabel 2. VAR Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Excluded DLNIHK DLNTOT EXCMON DLNFD GRISK All
Chi-sq 17.48 11.80 8.52 9.53 1.09 56.73
df 2 2 2 2 2 10
Probability 0.000 0.003 0.014 0.009 0.580 0.000
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
125
PDB, namun tetap dipertahankan dalam model, mengingat variabel resiko menjadi variabel kontrol yang menggambarkan besarnya resiko akibat adanya market imperfection/assymetric
information.
4.1. Dampak Terhadap Pertumbuhan PDB Dari hasil impulse response mengenai dampak berbagai variabel terhadap PDB, terlihat bahwa perkembangan finansial berperan positif dalam meningkatkan pertumbuhan PDB dan signifikan pada triwulan 2 (Grafik 8). Sementara itu, terlihat bahwa kenaikan inflasi akan menurunkan pertumbuhan PDB secara signifikan selama 4 triwulan atau selama 1 tahun dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 5. Peningkatan TOT juga secara signifikan akan menurunkan PDB selama 2 triwulan yaitu dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 3. Selain itu, peningkatan
excess money juga akan berdampak menurunkan PDB dan signifikan pada triwulan 2. Namun demikian, dampak peningkatan resiko akibat adanya market imperfection/assymetric
information terhadap PDB cenderung tidak signifikan.
Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNIHK Innovation
.6
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNIHK Innovation
1
.4
0
.2 .0
-1
-.2 -.4
-2 -.6 -.8 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNTOT Innovation
.3
-3 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNTOT Innovation
0,4
.2 .1
0,0
.0 -.1
-0,4
-.2 -.3
-0,8
-.4 -.5
-1,2 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 8. Dampak Shock Inflasi, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money, Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Terhadap Pertumbuhan PDB
126 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit EXCMON Innovation
.002
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit EXCMON Innovation
.004 .000
.001
-.004
.000
-.008 -.001
-.012
-.002
-.016
-.003
-.020 -.024
-.004
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNFD Innovation
Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit DLNFD Innovation
.16
2
24
.8
.12
.6
.08
.4
.04
.2
.00
.0
-.04
-.2 -.4
-.08 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit GRISK Innovation
.000006
2
24
4
8
10
12
14
16
18
20
Accumulated Response of DLNPDB to Nonfactorized One Unit GRISK Innovation
.00003
.000004
6
.00002
.000002 .000000
.00001
-.000002
.00000
-.000004 -.00001
-.000006 -.00002
-.000008 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 8. Dampak Shock Inflasi, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money, Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Terhadap Pertumbuhan PDB (lanjutan)
Jika dilihat secara akumulasi, kenaikan inflasi, peningkatan TOT dan pertumbuhan excess
money akan berdampak menurunkan pertumbuhan PDB. Sementara itu, secara akumulasi perkembangan finansial akan berdampak terhadap kenaikan PDB. Secara kumulatif, kenaikan perkembangan finansial sebesar 1% akan menyebabkan tambahan kenaikan PDB sebesar 2,4%
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
127
Kumulatif Peningkatan PDB % 0,30 0,20 0,10
Shock Peningkatan 1% Perkembangan Finansial Shock Penurunan 1% Perkembangan Finansial
0,00 -0,10 -0,20 -0,30 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20
Grafik 9. Dampak Perkembangan Finansial Terhadap Pertumbuhan PDB
dalam kurun waktu 2,5 tahun (Gambar 9). Sebaliknya, penurunan perkembangan finansial sebesar 1% akan menyebabkan terjadinya akumulasi penurunan PDB sebesar 2,4% dalam kurun waktu 2,5 tahun. Lebih lanjut, dengan analisa variance decomposition, terlihat bahwa perkembangan excess
money, perkembangan TOT dan pergerakan harga merupakan variabel yang berperan besar dalam menjelaskan pergerakan PDB dalam jangka panjang masing-masing sebesar 27%, 11% dan 9% (Tabel 3). Sementara perkembangan finansial hanya berkontribusi sekitar 2,6%. Sedangkan faktor resiko hanya berkontribusi kurang dari 1%.
Tabel 3. Variance Decomposition of DLNPDB Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0,026 0,033 0,040 0,044 0,046 0,048 0,049 0,049 0,050 0,050
DLNPDB 100,000 81,750 70,384 62,215 56,466 52,796 50,784 49,859 49,475 49,281
DLNIHK 0,00 5,535 8,575 9,940 10,170 9,954 9,659 9,440 9,314 9,249
DLNTOT
EXCMON
DLNFD
0,000 11,579 13,504 12,844 11,625 10,869 10,685 10,822 10,998 11,078
0,000 0,623 6,495 13,955 20,609 24,969 27,004 27,481 27,326 27,129
0,000 0,438 0,374 0,423 0,574 0,876 1,308 1,800 2,262 2,629
GRISK 0,000 0,075 0,669 0,622 0,555 0,536 0,560 0,598 0,624 0,633
128 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
4.2. Dampak Terhadap Inflasi Perkembangan finansial dan peningkatan resiko akibat adanya market imperfection/
assymetric information tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi. Faktor yang signifikan dalam mempengaruhi inflasi adalah peningkatan TOT yang secara signifikan akan menaikkan inflasi selama 5 triwulan yaitu dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 6. Selain itu, peningkatan
excess money juga akan berdampak menurunkan PDB dan signifikan selama 11 triwulan yaitu dari triwulan 2 sampai dengan triwulan 12. Hasil impulse response yang memperlihatkan akumulasi dampak, menunjukkan bahwa peningkatan TOT dan pertumbuhan excess money akan berdampak meningkatkan inflasi.
Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNPDB Innovation
3
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNPDB Innovation
12
2
8
1
4
0
0
-1
-4
-2 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
-8 2
Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNTOT Innovation
1,2
2
0,4
1
0,0
0
-0,4
-1
-0,8
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
Cumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNTOT Innovation
3
0,8
4
-2 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 10. Dampak Shock Pertumbuhan PDB, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money, Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Respons Terhadap Inflasi
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit EXCMON Innovation
.012
129
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit EXCMON Innovation
.06 .05
.008
.04 .004
.03 .02
.000
.01 -.004 .00 -.008
-.01 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNFD Innovation
.2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
22
24
22
24
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit DLNFD Innovation
1,2 0,8
.1
0,4 .0
0,0 -0,4
-.1
-0,8 -.2 -1,2 -.3 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
-1,6 2
4
Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit GRISK Innovation
.000016
.00004
.000008
.00002
.000004
.00000
.000000
-.00002
-.000004
-.00004
-.000008
-.00006
-.000012
8
10
12
14
16
18
20
Accumulated Response of DLNIHK to Nonfactorized One Unit GRISK Innovation
.00006
.000012
6
-.00008
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Grafik 10. Dampak Shock Pertumbuhan PDB, Perkembangan TOT, Pertumbuhan Excess Money, Perkembangan Finansial dan Perubahan Resiko Respons Terhadap Inflasi (lanjutan)
130 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Hasil analisa variance decomposition untuk inflasi menunjukkan bahwa perkembangan
excess money, perkembangan TOT dan pergerakan PDB merupakan variabel yang berperan besar dalam menjelaskan pergerakan inflasi dalam jangka panjang masing-masing sebesar 33%, 21% dan 19% (Tabel 4). Sementara perkembangan finansial dan faktor resiko hanya berkontribusi kurang dari 1 %.
Tabel 4. Variance Decomposition of DLNIHK Period
S.E.
DLNPDB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0,021 0,032 0,040 0,045 0,048 0,049 0,051 0,052 0,053 0,053
22,875 42,434 39,753 29,168 23,780 21,424 20,988 20,345 19,593 19,030
DLNIHK 77,125 38,577 33,418 32,137 31,123 28,777 26,287 25,022 25,173 25,862
DLNTOT
EXCMON
DLNFD
0,000 17,416 18,054 22,651 21,890 19,244 18,068 18,978 20,268 20,954
0,000 1,221 8,582 15,769 22,814 30,189 34,240 35,073 34,112 33,133
0,000 0,058 0,047 0,164 0,171 0,189 0,197 0,197 0,209 0,216
GRISK 0,000 0,293 0,146 0,111 0,202 0,177 0,221 0,385 0,646 0,804
4.3. Dampak Interaksi antara Perkembangan Finansial dengan Shock yang Terjadi di Sektor Riil (TOT) dan Moneter (Excess Money) Hasil impulse response yang menggabungkan interaksi antara shock di sektor riil dan moneter dengan perkembangan finansial menunjukkan bahwa perkembangan finansial mempunyai peranan positif dalam meredam dampak kejutan yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan (Grafik 11 dan 12). Sebaliknya, perkembangan finansial akan membantu meningkatkan dampak kejutan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara kumulatif, kenaikan TOT sebesar 1% akan menurunkan PDB sebesar 0.4% dalam waktu 4 tahun, namun apabila pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan perkembangan finansial sebesar 1%, maka dampak kumulatif terhadap penurunan PDB dalam kurun waktu 4 tahun akan cenderung lebih kecil yaitu hanya sebesar 0,17%. Sebaliknya, apabila terjadi penurunan TOT sebesar 1%, maka secara kumulatif akan memberikan tambahan kenaikan PDB dalam kurun waktu 4 tahun sebesar 0.4%. Namun apabila penurunan TOT sebesar 1% tersebut disertai dengan peningkatan perkembangan finansial sebesar 1% maka dampak kumulatif peningkatan PDB selama kurun waktu 4 tahun akan lebih tinggi lagi yaitu sebesar 0,64%.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
131
Kumulatif Peningkatan PDB % 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Shock Peningkatan 1% TOT yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial Shock Peningkatan 1% TOT Shock Penurunan 1% TOT yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial Shock Penurunan 1% TOT
Grafik 11. Dampak Interaksi Shock Perkembangan TOT dan Perkembangan Finansial Terhadap Pertumbuhan PDB
Secara kumulatif, pertumbuhan 1% excess money akan menurunkan PDB sebesar 1% dalam waktu 2 tahun, namun apabila pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan perkembangan finansial sebesar 1%, maka dampak kumulatif terhadap penurunan PDB dalam kurun waktu 2 tahun akan cenderung lebih kecil yaitu hanya sebesar 0,75%. Sebaliknya, apabila
Kumulatif Peningkatan PDB % 1,50 1,00 0,50
0,00 -0,50
-1,00 -1,50 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Shock Peningkatan 1% Excess Money yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial Shock Peningkatan 1% Excess Money Shock Penurunan 1% Excess Money yang disertai dengan Peningkatan 1% Perkembangan Finansial Shock Penurunan 1% Excess Money
Grafik 12. Dampak Interaksi Shock Perkembangan Excess Money dan Perkembangan Finansial Terhadap Pertumbuhan PDB
132 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
terjadi penurunan 1% excess money, maka secara kumulatif akan menaikkan PDB dalam kurun waktu 2 tahun sebesar 1%. Namun apabila penurunan 1% excess money tersebut disertai dengan peningkatan perkembangan finansial sebesar 1% maka dampak kumulatif peningkatan PDB selama kurun waktu 2 tahun akan lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1,25%.
V. KESIMPULAN Perkembangan finansial dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif, dimana semakin meningkatnya perkembangan finansial akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, dampak dari peningkatan resiko akibat adanya market
imperfection/assymetric information cenderung tidak signifikan terhadap PDB. Interaksi antara shock di sektor riil dan moneter dengan perkembangan finansial menunjukkan bahwa perkembangan finansial mempunyai peranan positif dalam meredam dampak kejutan yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan. Sementara itu, dampak kejutan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin dikuatkan. Beberapa faktor yang berpengaruh penting dalam pergerakan pertumbuhan dalam jangka panjang adalah perkembangan excess money, perkembangan TOT dan pergerakan harga. Sementara itu meskipun perkembangan finansial mempunyai peranan positif dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi namun kontribusinya cenderung tidak terlalu besar dibanding faktor di atas. Perkembangan finansial dan peningkatan resiko akibat adanya market
imperfection/assymetric information tidak signifikan dalam mempengaruhi inflasi sejalan dengan temuan bahwa perkembangan finansial dan faktor resiko tidak berkontribusi besar dalam menjelaskan pergerakan inflasi dalam jangka panjang.
Apakah Perkembangan Finansial Meredam atau Memperbesar Dampak Suatu Kejutan?
133
DAFTAR PUSTAKA
Bacchetta, Philippe & Ramon Caminal (2000), ≈Do capital market imperfections exacerbate
output fluctuations?∆. European Economic Review, No. 44, pp. 449-468. Beck, Thorsten, Mattias Lundberg & Giovanni Majnoni (2006), ≈Financial Intermediary
Development and Growth Volatility : Do Intermediaries Dampen or Magnify Shocks?∆. Journal of International Money and Finance, Volume 25, Issue 7, pp. 1146-1167. Enders, Walter (2004), Applied Econometric Time Series, Wiley Series in Probability and Statistics. John Wiley & Sons, Inc. Greene, William H. (2008), Econometric Analysis. Prentice Hall. Guryay, Erdal, okan Veli Safakli & Behiye Tuzel. (2007). ≈Financial Development and Economic
Growth: Evidence from Nothern Cyprus∆. International Research Journal of Finance and Economics, Issue 8. Kuneida, Takuma (2008). ≈Financial Development and Volatility of Growth Rates : New
Evidence∆. MPRA Paper No. 11341. Schumpeter, J.A. (1911),The Theory of Economic Development, Cambridge, Mass. Harvard University Press. Stock, J.H. dan M.W. Watson (2001), ≈Vector Autoregression∆.Journal of Economic Perspectives, 15, 4.
134 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
135
BANK CAPITAL INFLOWS, INSTITUTIONAL DEVELOPMENT AND RISK: EVIDENCE FROM PUBLICLY - TRADED BANKS IN ASIA
Wahyoe Soedarmono1
Abstract
This paper examines the relationship between bank capital inflows and financial stability. Using a sample of publicly-traded commercial banks in Asia over the 2002-2008 period, the empirical results show that higher capital inflows in banking markets measured by the share of foreign liabilities in banking reduces systematic risk, but increases bank-specific risk and total risk. A deeper investigation further suggests that an increase in total risk and bank-specific risk is driven by strong institutional development. Specifically, higher foreign liabilities in banking exacerbate bank-specific risk and total risk in countries with greater economic freedom. Hence, the reinforcement of prudential regulations is necessary to overcome bank-specific risk and total risk, particularly when the countries move to a more liberal economic environment.
JEL Classification : G21, G28, G38 Keywords: Banking Globalization, Economic Freedom, Capital Market Measures of Risk
1 The author holds a PhD in Economics, specialized in Banking and Finance, from the University of Limoges, France. He currently serves as an economic policy analyst at the World Bank Office in Jakarta. The views expressed in this paper is the author»s and do not reflect those of the World Bank. The author can be contacted through the following email:
[email protected] or
[email protected]
136 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN Dampak partisipasi asing terhadap risiko perbankan, khususnya melalui jalur kepemilikan atau penetrasi bank asing ke dalam pasar domestik, telah banyak dibahas pada literatur perbankan terdahulu. Namun, sebagai dampak dari krisis finansial yang terjadi di negara maju akhir-akhir ini, globalisasi finansial yang semakin meningkat di Asia kembali menyiratkan pentingnya menganalisis lebih dalam bagaimana partisipasi asing yang bersumber dari negara maju tersebut berdampak pada stabilitas finansial melalui jalur selain kepemilikan bank atau penetrasi bank asing. Sebagai contoh, meningkatnya partisipasi asing pada perbankan akibat globalisasi finansial dapat berupa meningkatnya kehadiran manajer-manajer asing dalam perbankan domestik, meningkatnya permintaan dari konsumen asing yang membutuhkan pelayanan dari perbankan domestik, atau meningkatnya utang-utang asing akibat aliran modal asing yang masuk. Makalah ini adalah penelitian pertama yang menganalisis hubungan antara partisipasi asing dan stabilitas perbankan di Asia melalui jalur globalisasi finansial, dimana mitra asing dapat memainkan peran dalam mempengaruhi perilaku dan risiko perbankan. Peran asing tersebut dapat diamati dari tingkat liabilitas terhadap pihak asing (foreign liabilities) di dalam suatu pasar perbankan. Semakin tinggi tingkat liabilitas perbankan terhadap pihak asing berarti bahwa ruang bagi pihak asing untuk mempengaruhi kinerja bank semakin terbuka dan berdampak pada stabilitas perbankan secara signifikan. Foreign liabilities yang tinggi juga dapat dihubungkan dengan inovasi teknologi yang lebih baik di dalam perbankan, sehingga bankbank tersebut dapat mengakses pembiayaan dari pasar keuangan internasional dan mendapatkan kepercayaan asing untuk memberikan utang. Meskipun demikian, tingginya foreign liabilities dapat menyebabkan perbankan menjadi lebih rentan terhadap depresiasi nilai tukar sebagaimana yang terjadi pada krisis Asia 1997. Sahminan (2007) menganalisis industri perbankan Indonesia dan menunjukkan bahwa bankbank dengan rasio aset dalam mata uang asing (foreign currency asset) terhadap foreign liabilities yang lebih tinggi, memang memiliki exposure yang lebih kecil terhadap depresiasi nilai tukar, sehingga memiliki risiko insolvensi yang juga lebih rendah pada saat terjadi krisis. Makalah ini berada dalam kerangka acuan Sahminan (2007), namun dengan fokus dan metode analisis yang berbeda. Fokus penelitian ini adalah pada peran foreign liabilities pada industri perbankan secara keseluruhan (agregat) dalam mempengaruhi stabilitas perbankan. Sedangkan Sahminan (2007) melihat dari aspek risiko perbankan sebagai dampak dari depresiasi nilai tukar dengan mempertimbangkan tingat foreign liabilities di masing-masing institusi perbankan. Lebih lanut, makalah ini memiliki tiga kontribusi.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
137
Pertama, analisis di dalam makalah ini menggunakan kerangka lintas-negara dan berfokus pada periode setelah krisis Asia 1997, sementara Sahminan (2007) berfokus pada industri perbankan Indonesia pada periode sebelum krisis Asia 1997. Kedua, aktivitas perbankan saat ini telah berkembang pesat dan tidak hanya berupa aktivitas intermediasi (simpan-pinjam), melainkan juga aktivitas-aktivitas yang memiliki keterkaitan erat dengan investasi dan perdagangan di pasar finansial. Oleh karena itu, makalah ini mempertimbangkan berbagai risiko berdasarkan data-data dari pasar finansial, sehingga tidak hanya berfokus pada indikator risiko berbasis neraca bank semata. Ketiga, makalah ini menambahkan analisis terkait dampak perkembangan institusional (institutional development) dalam mempengaruhi relasi antara globalisasi dan stabilitas perbankan. Perkembangan institusional memang telah menjadi suatu dimensi yang penting dalam menarik partisipasi asing, khususnya melalui penguatan perlindungan terhadap para pemegang saham dan kebebasan menjalankan aktivitas bisnis di suatu negara. Dalam konteks Asia, perkembangan institusional juga memainkan peran penting saat krisis Asia 1997, dimana Furman dkk (1998) menunjukkan bahwa negara-negara dengan kualitas institusional yang lemah adalah negara yang paling terkena dampak paling dalam akibat krisis Asia 1997. Penelitian ini menggunakan sampel bank-bank terbuka dari tujuh negara di Asia selama periode 2002-2008. Negara-negara yang dipilih sebagai sampel adalah negara yang memiliki data globalisasi perbankan, dan mereka yang mendapatkan perhatian khusus karena kapasitasnya meningkatkan aliran modal asing masuk (foreign capital inflows) dalam satu dekade terakhir, dan juga dalam keterbukaannya dalam mengizinkan partisipasi asing dalam perbankan domestik. Negara-negara tersebut adalah India, Indonesia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Filipina. Makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 memberikan penjelasan tentang data dan variabel yang digunakan di dalam studi ini, serta statistik deskriptif yang terkait. Bagian 3 menguraikan hipotesis dan metodologi yang digunakan dalam analisis. Bagian 4 mendiskusikan hasil empiris terkait relasi antara globalisasii finansial, perkembangan institusional, dan risiko perbankan. Bagian 5 memberikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.
II. LANDASAN TEORI Berkenaan dengan hubungan antara partisipasi pihak asing dan stabilitas bank, literatur umumnya berfokus pada hubungan langsung akibat meningkatnya kepemilikan asing pada perbankan.
138 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Demirgüc-Kunt dan Detregiache (1998) menemukan bahwa keberadaan bank-bank asing mengurangi kemungkinan terjadinya krisis perbankan. Detregiache dan Gupta (2004) juga mencatat bahwa keberadaan bank-bank asing memberikan efek stabilisasi pasar pada saat sebelum dan ketika krisis finansial terjadi. Levy-Yeyati dan Micco (2007) lebih lanjut menunjukkan suatu hubungan positif antara penetrasi bank asing dan stabilitas finansial di Amerika Latin. Di negara-negara berkembang di Eropa Tengah dan Timur, Dinger (2009) menemukan bahwa keberadaan bank-bank asing mengurangi risiko likuiditas secara agregat. Bank-bank asing memang telah terbukti memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan bank-bank domestik tanpa partisipasi asing sama sekali. Bank-bank asing mempunnyai inovasi teknologi dan manajemen risiko yang lebih baik, serta akses yang lebih luas ke pasar finansial (Berger dkk., 2001; Bonin dkk., 2005). Meskipun demikian, terdapat pula bukti empiris bahwa bank-bank domestik lebih baik daripda bank-bank asing sebab bank-bank domestik tidak mengalami bias kultural (home-bias) yang dapat menimbulkan masalah-masalah keagenan antara karyawan asing dengan karyawan lokal (agency problem) akibat perbedaan budaya kerja. Bank-bank asing juga cenderung mengalami masalah terkait dengan regulasi setempat, dimana regulasi tersebut tidak selalu harmonis dengan regulasi di negara asal mereka(Berger dkk., 2001; Lensink dan Naaborg, 2007). Dampak partisipasi asing juga dapat dilihat dari tingkat kompetisi di dalam pasar perbankan. Jeon dkk. (2011) mengambil sampel bank-bank di Asia dan Amerika Latin dan menunjukkan bahwa kepemilikan asing pada perbankan meningkatkan kompetisi dalam pasar perbankan. Sementara, hasil empiris terkait dampak partisipasi asing melalui jalur kompetisi bank, terhadap stabilitas finansial belum menemukan sebuah konsensus. Dengan menggunakan data bank-bank komersial dari negara-negara berkembang sepanjang periode 1999-2005, Ariss (2010) menemukan bahwa semakin tinggi kekuatan pasar bank, semakin rendah risiko dan semakin tinggi efisiensi laba dari bank-bank, meskipun kekuatan pasar yang tinggi mengurangi efisiensi biaya. Sebaliknya, Soedarmono dkk (2011a) berfokus pada industri perbankan Asia dan menemukan bahwa bank-bank pada pasar yang kurang kompetitif, cenderung memiliki risiko insolvensi yang tinggi dikarenakan rasio kecukupan modal tidak mencukupi untuk menekan efek moral hazard bank. Di dalam makalah ini, digunakan tiga variabel dependen untuk mengukur stabilitas bank berdasarkan indikator-indikator dari pasar finansial. Indikator tersebut adalah risiko total (TRISK), risiko sistematik (BETA) dan risiko idiosyncratic (SRISK). Indikator-indikator tersebut didasarkan pada model market return sebagai berikut 2. 2 Hasil tidak ditampilkan dalam makalah ini, namun dapat diminta melalui penulis.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
139
(1)
Dimana ri,j,t adalah pengembalian saham bank i pada negara j dan pada hari t, sementara
r mj,t adalah tingkat imbal hasil pasar secara harian yang dihitung berdasarkan indeks gabungan pada pasar domestik di negara j. Sedangkan ri,j,t , dan r mj,t dirumuskan sebagai berikut:
dan
(2)
dimana pi,t dan pm (j),t masing-masing adalah harga saham harian bank dan indeks pasar total. Dalam menyusun persamaan (1), dipertimbangkan pula kriteria khusus untuk menjamin reliabilitas sampel, dimana beberapa bank dihapus dari sampel bila jumlah hari perdagangannya kurang dari 70% dari total jumlah hari-hari perdagangan pasar finansial dimana mereka beroperasi. Selama periode 2002-2008, persamaan (1) diestimasi dengan menerapkan metode Panel
Least Squares secara tahunan agar mendapatkan Persamaan (1) untuk tiap bank i per tahun. Kemudian dari persamaan-persamaan tahunan tersebut, TRISK didefinisikan sebagai standar deviasi tahunan dari pengembalian saham harian bank selama periode 2002-2008, dimana pengukuran pengembalian saham harian bank dinyatakan dengan ri,j,t. Sedangkan, BETA merupakan risiko sistematik atau koefisien β (beta) tahunan yang diperoleh dari Persamaan (1). Risiko sistematik merupakan suatu risiko yang terkait dengan risiko pasar finansial secara keseluruhan dan dengan demikian, sering dirujuk sebagai risiko pasar atau risiko yang tidak dapat didiversifikasi (non-diversifiable risk). Terakhir, SRISK (idiosyncratic risk) merupakan risiko institusi bank secara invidivual atau risiko yang dapat didiversifikasi melalui beberapa manajemen risiko pada tingkat institusional di dalam bank. SRISK dihitung dari komponen sesatan (residual) tahunan yang diperoleh dari Persamaan (1) yang diestimasi tahun per tahun. SRISK adalah komponen ε sebagaimana yang ditampilkan pada Persamaan (1). Sementara, variabel independen yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah tingkat globalisasi finansial dalam perbankan, dan derajat kebebasan ekonomi sebagai proxy perkembangan institusional. Globalisasi finansial dapat dilihat pada bagian posisi investasi internasional (International Investment Position) dari International Financial Statistics. Secara khusus, globalisasi finansial direpresentasikan oleh BLIAB atau rasio liabilitas internasional pada sektor perbankan secara agregat terhadap total liabilitas internasional di suatu negara. BLIAB
140 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang lebih tinggi menandakan adanya partisipasi asing yang lebih besar dalam sektor perbankan domestik. Sementara, derajat kebebasan ekonomi dinilai dengan indeks Economic Freedom (FREEDOM) yang berasal dari Heritage Foundation. FREEDOM merupakan suatu indeks gabungan dari 10 indikator yang mengurutkan kebijakan pada wilayah perdagangan, keuangan pemerintah, intervensi pemerintah, kebijakan moneter, aliran modal dan investasi asing, perbankan dan keuangan, gaji dan harga, hak-hak terkait perlindungan kepemilikan, regulasi dan pencegahan aktivitas pasar gelap. Skor indeks berada pada interval 0 dan 1, dimana skor yang lebih tinggi mengindikasikan kebijakan yang lebih kondusif untuk mendorong kompetisi dan keterbukaan ekonomi. Beberapa variabel kontrol juga dipertimbangkan di dalam penelitian ini. Pertama, rasio total pinjaman ke total aset (LOAN) dipertimbangkan untuk memperhitungkan tingkat transparansi suatu bank (bank opacity). Bank dengan LOAN yang lebih besar cenderung rentan terhadap masalah informasi asimetris antara bank dengan peminjam dan demikian, LOAN cenderung berhubungan positif terhadap risiko bank. Kedua, rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset (DEPO) juga dipertimbangkan sebagai variabel kontrol, karena dana pihak ketiga adalah salah satu sumber utama risiko bank, terutama ketika mekanisme disiplin pasar tidak berjalan baik. Ketiga, rasio penyisihan aktiva produktif (loan loss reserves) terhadap total pinjaman bruto (LLR) dimasukkan juga sebagai variabel kontrol sebagai proxy dari risiko kredit.
LLR cenderung berhubungan positif dengan risiko total, risiko sistematik, atau risiko spesifik bank (Agusman dkk, 2008). Sejalan dengan Agusman dkk. (2008), dipertimbangkan pula rasio ekuitas terhadap total aset (EQTA) dan rasio aset likuid terhadap total aset (LIQUIDITY), masingmasing sebagai proxy risiko daya ungkit (leverage risk) dan risiko likuiditas. EQTA dan LIQUIDITY diharapkan berhubungan positif dengan stabilitas bank atau berhubungan negatif dengan risiko-risiko finansial perbankan.
III. METODOLOGI Makalah ini pada dasarnya menguji dua hipotesis. Pertama, makalah menguji apakah terdapat hubungan antara globalisasi perbankan dan stabilitas perbankan. Dan kedua, makalah melihat lebih dalam apakah hubungan antara keduanya dipengaruhi oleh perkembangan institusional dimana bank-bank tersebut beroperasi. Kedua hipotesis tersebut secara berurutan dapat ditampilkan pada Persamaan (3) dan (4) berikut.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
141
(3)
(4)
RISK terdiri atas TRISK, BETA dan SRISK, sementara Control mewakili sekelompok variabel kontrol sebagaimana dijelaskan di atas. Indeks i, j, dan s masing-masing merepresentasikan indeks bank, negara, dan tahun. Pertama-tama, TRISK, BETA dan SRISK dihitung terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan pada Bagian II di atas. Pada langkah kedua, ketiga variabel tersebut dimasukkan ke dalam Persamaan (3) dan (4) sebagai variabel dependen yang akan diestimasi melalui model regresi efek tetap (fixed-effect regression) dengan BLIAB sebagai variabel independen utama di samping sejumlah variabel-variabel kontrol. Pada akhirnya, langkah ketiga mengulangi langkah kedua, namun pada langkah ketiga ditambahkan variabel interaksi antara BLIAB dan FREEDOM sebagai variabel independen. Makalah ini menggunakan data pada tataran individual bank dan data agregat pada tataran negara. Untuk data pada tataran bank, indikator-indikator finansial diambil dari Bank
Scope Fitch IBCA selama periode 2002-2008. Sampel awal terdiri dari 189 bank komersial terbuka pada tujuh negara Asia. Sementara itu, data globalisasi perbankan sebagai data agregat pada tataran negara berasal dari International Financial Statistics . Sedangkan, data perkembangan institusional (Economic Freedom) berasal dari Heritage Foundation. Untuk membuat Persamaan (1) dalam rangka menghitung TRISK, BETA, dan SRISK digunakan harga saham bank harian dan indeks pasar total harian selama 2002-2008 yang berasal dari Thomson Datastream International. Sebelum memulai analisis regresi, semua nilai yang kurang dari nol dan lebih dari 1 untuk LLR, EQTA dan LIQUIDITY telah dihapuskan. Pada Tabel 1, kami menampilkan statistik deskriptif dari semua variabel yang telah representatif untuk digunakan dalam penelitian ini.
142 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 1. Statistik Deskriptif Variables
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std.Dev.
Obs.
0.00037
0.01215
1181 1181
TRISK
0.024158
0.022083
0.135767
BETA
0.832851
0.876176
1.967998
-0.28694
0.403701
SRISK
0.020088
0.01783
0.134859
0.000369
0.011475
1181
BLIAB
0.191862
0.182324
0.396951
0.021616
0.111458
1323
LOAN
0.58088
0.600438
0.886473
0.032652
0.1294
1219
DEPO
0.867947
0.889310
0.970079
0.073737
0.096575
1225
LLR
0.034881
0.02017
0.80149
5.00E-05
0.05337
1135
EQTA
0.068095
0.05796
0.57868
0.00009
5.089816
1226
LIQUIDITY
0.042605
0.001
0.57
0.0001
0.101373
916
FREEDOM
0.629607
0.637
0.90
0.512
0.094772
1820
Sumber : Perhitungan penulis dari berbagai sumber data
Catatan: TRISK merupakan indikator risiko total diukur dengan standar deviasi tahunan dari pengembalian saham bank harian. BETA merupakan koefisien beta tahunan dari model market return standar. SRISK merupakan komponen sesatan tahunan pada model market return dari data harian. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation.
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Hasil Empiris Tabel 2 menunjukkan hubungan antara foreign liabilities dalam perbankan dan risiko total (TRISK). Dapat terlihat bahwa foreign liabilities yang lebih tinggi dalam perbankan cenderung memperburuk risiko total. Hasil empiris bersifat robust terhadap berbagai modifikasi variabel kontrol yang ditampilkan pada model 1 hingga model 6. Lebih lanjut, pada model 7 terlihat bahwa dampak positif foreign liabilities terhadap risiko total tergantung pada perkembangan institusional. Lebih tepatnya, hanya pada negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih luas, hubungan positif antara globalisasi perbankan dan risiko total dapat bertahan positif. Sebaliknya, negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang rendah, foreign liabilities pada sektor perbankan justru menurunkan risiko total.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
143
Tabel 2. Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan total risiko Explanatory Var. BLIAB
Dependent Var. : TRISK Model 1
Model 2
Model 3
0.0129*** (2.083)
0.0131*** (2.152) -0.0275*** (-5.048)
0.0135*** (2.215) -0.0258*** (-4.643) -0.0125* (-1.655)
1181 0.42
1118 0.42
1118 0.42
LOAN DEPO LLR
Model 4
Model 5
Model 6
Model 7
0.0101*** (2.606) -0.0195 (-1.443) 0.0061 (0.6927) 0.0559*** (3.901)
0.0081** (2.142) -0.0194 (-1.451) -0.0148 (-1.431) 0.0562*** (4.504) -0.0627*** (-2.909)
0.0143*** (3.499) -0.0212 (-1.242) -0.0093 (-0.7805) 0.0541*** (4.316) -0.0667*** (-2.738) 0.0161 (1.565)
-0.3622*** (-4.369) -0.0321*** (-4.421) -0.0126 (-1.179) 0.0505*** (5.147) -0.0698*** (-3.735) 0.0172** (2.464) -0.0354 (-1.079) 0.5964*** (4.944)
1043 0.44
1043 0.45
859 0.44
859 0.51
EQTA LIQUIDITY FREEDOM BLIAB*FREEDOM
Obsevation Adj R-square Sumber: Perhitungan penulis.
Catatan: TRISK merupakan indikator risiko total diukur dengan standar deviasi tahunan dari pengembalian saham bank harian. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model diestimasi dengan model regresi efek tetap (Panel Fixed Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s heteroscedasticity-consistent. Komponen konstan dimasukkan tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%. Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
Tabel 3 menunjukkan dampak foreign liabilities bank (BLIAB) terhadap risiko sistematik (BETA). Dengan mengestimasi berbagai spesifikasi model seperti yang ditampilkan pada model 1 hingga model 6, terlihat bahwa foreign liabilities bank memiliki efek stabilisasi dalam hal menurunkan risiko sistematik. Namun, hubungan antara foreign liabilities bank dan risiko sistematik tidak lagi bermakna ketika kami memperhitungkan peran perkembangan institusional seperti yang ditunjukkan pada model 7. Kebebasan ekonomi pada akhirnya tidak berpengaruh terhadap hubungan antara globalisasi bank dan risiko sistematik.
144 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 3. Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan risiko sistematik Explanatory Var. BLIAB
Dependent Var. : BETA Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
Model 5
-1.984*** (-11.689)
-2.032*** (-11.924) -0.6573*** (-4.303)
-2.041*** (-11.972) -0.6977*** (-4.485) 0.2874 (1.361)
-2.129*** (-12.319) -0.5690*** (-3.161) 0.1649 (0.6918) -0.2086 (-0.7807)
-2.163*** (-12.493) -0.5684*** (-3.164) -0.1927 (-0.6684) -0.2051 (-0.7693) -1.073** (-2.197)
-2.161*** (-11.786) -0.4779** (-2.381) -0.2190 (-0.7301) -0.1372 (-0.515) -1.109** (-2.134) -0.1841 (-0.9408)
-3.105 (-1.335) -0.4672** (-2.297) -0.2168 (-0.7216) -0.0799 (-0.2903) -1.153** (-2.198) -0.1932 (-0.9849) -0.6407 (-0.6964) 1.245 (0.3679)
1181 0.61
1118 0.61
1118 0.61
1043 0.62
1043 0.62
859 0.64
859 0.64
LOAN DEPO LLR EQTA LIQUIDITY
Model 6
FREEDOM BLIAB*FREEDOM
Obsevation Adj R-square
Model 7
Sumber: Perhitungan penulis.
Catatan: BETA merupakan koefisien beta tahunan dari model market return standar. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model diestimasi dengan model regresi efek tetap (Panel Fixed Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s heteroscedasticity-consistent. Komponen konstan dimasukkan tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%. Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
Dalam kaitannya tetang hubungan antara foreign liabilities bank (BLIAB) dan risiko spesifik bank (SRISK), Tabel 4 memperlihatkan temuan empiris untuk sejumlah spesifikasi model. Foreign
liabilities yang lebih tinggi dalam perbankan meningkatkan risiko idiosyncratic, namun sekali lagi hubungan ini tergantung pada kebebasan ekonomi. Hanya pada negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih luas, foreign liabilities dalam perbankan memperburuk risiko spesifik bank. Penjelasan terhadap hasil terebut dapat berupa bahwa ketika kebebasan ekonomi meningkat, foreign liabilities di dalam bank mungkin berlebihan, dikarenakan bank-bank tersebut mendapatkan kebebasan yang lebih luas untuk menaikkan pendanaan dari pasar
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
145
internasional. Oleh karena itu, negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih besar dapat lebih rentan terhadap depresiasi nilai tukar yang pada akhirnya memperburuk risiko spesifik bank. Temuan-temuan pada makalah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sahminan (2007), dimana terdapat hubungan positif antara depresiasi nilai tukar dan risiko insolvensi untuk bank-bank dengan proporsi kewajiban terhadap pihak asing yang lebih tinggi. Bahwa hanya risiko idiosinkrasi yang memainkan peran yang bermakna dalam menangkap instabilitas bank di Asia (Agusman dkk, 2008), temuan kami juga konsisten dengan Agusman dkk. tersebut. Tabel 4. Hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan risiko idiosinkrasi (risiko spesifik bank) Explanatory Var. BLIAB
Dependent Var. : SRISK Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
Model 5
Model 6
Model 7
0.0221*** (3.969)
0.0212*** (3.945) -0.0362*** (-7.515)
0.0216*** (4.019) -0.0344*** (-7.027) -0.0125 (-1.885)
0.0174*** (3.204) -0.0295*** (-5.197) 0.0054 (0.7135) 0.0546*** (6.489)
0.0157*** (2.896) -0.0294*** (-5.227) -0.0128 (-1.416) 0.0548*** (6.555) -0.0545*** (-3.558)
0.0201*** (3.228) -0.0331*** (-4.876) -0.0082 (-0.810) 0.0524*** (5.817) -0.0589*** (-3.347) 0.0131** (1.969)
-0.1618** (-2.098) -0.0386*** (-5.719) -0.0099 (-0.9901) 0.0503*** (5.519) -0.0602*** (-3.462) 0.0136** (2.099) -0.0141 (-0.4608) 0.2894** (2.579)
1181 0.47
1118 0.49
1118 0.49
1043 0.52
1043 0.52
859 0.51
859 0.53
LOAN DEPO LLR EQTA LIQUIDITY FREEDOM BLIAB*FREEDOM
Obsevation Adj R-square
Sumber : Perhitungan penulis.
Catatan : RISK indikator risiko spesifik bank (idiosyncratic risk) yang merupakan komponen sesatan tahunan dari model market return harian. BLIAB merupakan proporsi agregat dari foreign liabilities pada sektor perbankan terhadap seluruh total foreign liabilities di suatu negara. LOAN merupakan rasio total pinjaman terhadap total aset. DEPO merupakan rasio total dana pihak ketiga terhadap total aset. LLR merupakan rasio penyisihan aktiva produktif terhadap total pinjaman bruto. EQTA merupakan rasio total ekuitas terhadap total aset. LIQUIDITY merupakan rasio aset likuid terhadap total aset. FREEDOM merupakan indeks Economic Freedom yang diambil dari Heritage Foundation. Model diestimasi dengan model regresi efek tetap (Panel Fixed Effect) dengan mempertimbangkan standar kesalahan White»s heteroscedasticity-consistent. Komponen konstan dimasukkan tapi tidak dilaporkan di dalam tabel. ***,**,* mengindikasikan tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1%, 5% dan 1%. Angka dalam kurung adalah nilai t-test.
146 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Secara khusus, risiko sistematik dalam makalah ini bukan merupakan sebuah sumber instabilitas yang penting akibat foreign liabilities bank yang lebih tinggi, tanpa memandang tingkat perkembangan institusional negara. Secara keseluruhan, temuan empiris mengindikasikan bahwa investor pada negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih tinggi lebih terpengaruhi oleh risiko total dan risiko spesifik bank. Melihat variabel kontrol, portofolio peminjaman bank yang (LOAN) berhubungan negatif dengan risiko total, risiko sistematik, dan maupun risiko spesifik bank. Hal ini menyarankan bahwa aktivitas peminjaman bank bukanlah sumber instabilitas. Hasil ini berlawanan dengan sifat alami portofolio kredit. Agaknya, bank-bank Asia cenderung mengalami masalah managerial
entrenchment dimana manajer bank-bank cenderung mengarahkan bank-bank untuk menjadi lebih stabil, dengan menahan portofolio peminjaman berisiko yang lebih sedikit (Bris dan Cantale, 2004; Soedarmono dkk, 2011b). Dana pihak ketiga (DEPO) juga nampaknya bukan merupakan sumber instabilitas. Sejalan dengan Agusman dkk (2008), rasio loan loss reserves (LLR) berhubungan positif dengan risiko total dan risiko spesifik bank. Sementara itu, hubungan antara kapitalisasi bank (EQTA) dan RISK juga memenuhi tanda yang diharapkan. Rasio kapital bank yang lebih tinggi mengurangi risiko total, risiko sistematik dan risiko spesifik bank.
4.2. Uji Robustness Dalam rangka memastikan lebih lanjut akan ketahanan dan kemampuan model dalam memprediksi hubungan antara independen dan dependen variabel, robustness checks perlu dilakukan2. Pertama, telah diperlihatkan bahwa Model 6 dan 7 dari Tabel 2, 3 dan 4, model kehilangan jumlah observasi ketika LIQUDITY masuk sebagai variabel kontrol. Untuk memastikan bahwa hasil empiris diperoleh bukan akibat bias observasi, LIQUIDITY dikeluarkan dari kontrol variabel dan mengestimasi kembali Model 6 dan 7 pada masing-masing kasus untuk melihat dampak pada TRISK, BETA, dan SRISK. Namun, spesifikasi ini tidak mengubah hasil empiris yang telah didiskusikan pada Bagian 4.1. Kedua, dikarenakan bahwa sampel bank dalam makalah ini berasal dari negara-negara dengan tingkat lingkungan makroekonomi yang berbeda, makalah ini kemudian mempertimbangkan pengaruh perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi untuk mengontrol perbedaan kinerja perekonomian masing-masing negara. Dengan kata lain, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita dan tingkat inflasi (INF), dimasukkan sebagai variabel kontrol. Secara keseluruhan, hasil empiris tidak mengubah hubungan antara globalisasi perbankan, kebebasan ekonomi dan stabilitas finansial sebagaimana yang diukur dengan risiko total, risiko sistematik dan risiko spesifik bank.
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
147
V. KESIMPULAN Setelah krisis Asia 1997, globalisasi finansial di perbankan Asia dalam bentuk FDI dan kepemilikan asing, yang mengikuti pertumbuhan aliran modal asing yang memasuki negaranegara Asia akibat krisis kredit 2008 dan krisis utang eropa 2010, memerlukan pemahaman lebih lanjut apakah tidak partisipasi asing dalam perbankan berdampak pada stabilitas finansial. Kemudian, peningkatan partisipasi asing sebenarnya juga menunjukkan bahwa negara-negara Asia telah berada dalam posisi yang lebih baik dalam hal perkembangan institusional. Namun, belum terdapat penelitian yang menganalisis partisipasi asing dan perkembangan institusional terhadap stabilitas finansial dalam konteks Asia. Makalah ini berusaha untuk mengisi ruang tersebut dengan menganalis dampak dari partisipasi asing terhadap stabilitas finansial melalui saluran selain dari partisipasi asing yang umumnya digunakan dalam literatur sebelumnya, seperti kepemilikan asing pada bank, masuknya bank asing, atau kompetisi bank. Dalam makalah saat ini, dipertimbangkan indikator partisipasi asing yang diukur secara agregat dengan rasio
foreign liabilities dalam perbankan dari seluruh foreign liabilities total di suatu negara. Dengan menggunakan sampel bank-bank komersial terbuka pada tujuh negara-negara Asia saat 2002-2009, hasil empiris menunjukkan bahwa foreign liabilities dalam perbankan menurunkan risiko sistematik, namun memperburuk risiko spesifik bank dan risiko total. Namun, analisis lebih jauh menunjukkan bahwa temuan ini hanya terjadi untuk negara-negara dengan kebebasan ekonomi yang lebih luas. Dengan demikian, penguatan regulasi prudensial untuk perbankan yang berada dalam lingkungan dengan kebebasan ekonomi lebih besar sangat diperlukan, sebab bank-bank dalam lingkungan tersebut cenderung lebih mudah memperoleh pendanaan dari pasar finansial internasional. Pada akhirnya, risiko spesifik bank dan risiko total dapat dikurangi, kegagalan bank dapat dicegah, dan risiko sistemik akibat kegagalan bank dapat dihindarkan.
148 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
DAFTAR PUSTAKA
Agusman, A., Monroe, G.S., Gasbarro, D., Zumwalt, J.K., 2008. Accounting and capital market measures of risk: Evidence from Asian banks during 1998-2003. Journal of Banking and
Finance 32, 480-488 Ariss, R.T., 2010. On the implications of market power in banking: Evidence from developing coutnries. Journal of Banking and Finance 34 (4), 765-775 Augier, L., Soedarmono, W., 2011. Intermédiation financière, croissance et effet de seuil. Revue
Economique (forthcoming) Bautista, C., Rous, P., Tarazi, A., 2009. The determinants of bank stock return»s co-movements in East Asia.»Economics Bulletin 29(3), 1596-1601 Berger, A.N., DeYoung, R., Genay, H., Udell, G.F., 2001. Globalization of financial institutions: Evidence from cross-border banking performance. Federal Reserve Bank of Chicago, Working paper 1999-25 Bonin, J.P., Hasan,I.,Wachtel, P., 2005. Bank performance, efficiency and ownership in transition countries.Journal of Banking and Finance29, 31-53 Bris, A., Cantale, S., 2004. Bank capital requirement and managerial self-interest. Quarterly
Review of Economics and Finance 44, 77-101. Demirgüc-Kunt, A., Detregiache, E., 1998.The determinants of banking crises in developing and developed countries.IMF Staff Papers 45 (1). Detregiache, E., Gupta, P., 2004. Foreign banks in emerging market crises: Evidence from Malaysia, IMF Working Paper 04/129 Dinger, V., 2009. Do foreign-owned banks affect banking system liquidity risk?
Journal of Comparative Economics 37, 647-657 Furman, Jason., Joseph E. Stiglitz, Barry P. Bosworth, Steven Radelet. 1998. Economi crisis : evidence and insights from Asia, Brookings Papers on Economic Activity, Number 2, pages 1-135 Jeon, B.N., Olivero, M.P., Wu, J., 2011. Do foreign banks increase competition? Evidence from emerging Asian and Latin American banking markets. Journal of Banking and Finance 35, 856-875 Lensink, R.,Naaborg, L., 2007. Does foreign ownership foster bank performance. Applied
Financial Economics17, 881-885
Bank Capital Inflows, Institutional Development and Risk: Evidence from Publicly - Traded Banks in Asia
149
Levy-Yeyati, E., Micco, A., 2007. Concentration and foreign penetration in Latin American banking sectors: Impact on competition and risk. Journal of Banking and Finance 31, 16331647 Sahminan, S., 2007.Effects of exchange rate depreciation on commercial bank failures in Indonesia. Journal of Financial Stability 3, 175-193 Soedarmono, W., Machrouh, F., Tarazi, A., 2011a. Bank market power, economic growth and financial stability: Evidence from Asian banks. Journal of Asian Economicsdoi: 10.1016/ j.asieco.2011.08.003. Soedarmono, W., Rous, P., Tarazi, A., 2011b. Bank capital and self-interest managers: Evidence from Indonesia. LAPE Working Paper, Université de Limoges
150 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
151
COMPETITIVE CONDITIONS IN BANKING INDUSTRY: AN EMPIRICAL ANALYSIS OF THE CONSOLIDATION, COMPETITION AND CONCENTRATION IN THE INDONESIA BANKING INDUSTRY BETWEEN 2001 AND 2009
Tri Mulyaningsih 1 Anne Daly Abstract
Few large banks dominate the Indonesia banking industry. Furthermore, in the past ten years, there were a series of mergers and acquisitions in the banking market. The facts cause implications on competition. In this paper, we examine these issues exploiting an unconsolidated annual financial report of all commercial banks between 2001 and 2009. The Panzar-Rose method is employed to examine the banks behavior in competition. Estimates indicate that banks in all three subsamples, large; medium-sized and small are working in a monopolistically competitive market. The analysis of market concentration supports the conventional view that concentration impairs competition. The study shows that the most competitive market was the medium-sized banks because it was least concentrated. In contrast, the large market was more concentrated thus it was less competitive. The consolidation policies driven by the Central Bank reduced market concentration because mergers and acquisitions were mostly conducted by the medium-sized and small banks. Further the improvement of market share distribution and the increasing capacity of the merging banks enhanced competition in the Indonesia banking industry.
Keywords: Banking, market competition, market structure JEL Classification: D43, G21
1 Tri Mulyaningsih is Doctoral Student, Faculty of Business and Government, University of Canberra (Corresponding author:
[email protected]). Anne Daly is Professor in Economics, Faculty of Business and Government, University of Canberra; (
[email protected]).
152 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN Industri perbankan Indonesia mengalami perubahan structural pada tahun 1990 dimana jumlah bank meningkat secara sifnifikan. Perubahan struktur pasar ini didorong oleh deregulasi kebijakan sector perbankan pada era 1980-an. Melalui deregulasi Paket Oktober 1988, pemerintah meringankan persyaratan untuk masuk ke industri perbankan; jumlah modal minimum yang dipersyaratkan diturunkan dan juga adanya kemudahan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan penukaran valas (McLeod, 1999). Selain itu, ketika lisensi sudah dipegang, maka seluruh cabang secara otomatis diperbolehkan menyediakan jasa forex.
Tabel 1. Kebijakan Mikro Perbankan di Indonesia 1983 - 1997 Tahun
Kebijakan Deregulasi
Juni 1983
Menghilangkan kontrol atas suku bunga deposito bank pemerintah dan tingkat pinjaman pada perbankan.
Oktober 1988
1. Membuka industri perbankan untuk bank swasta dan joint venture baru dengan cara menurunkan persyaratan modal minimum. 2. Menghilangkan restriksi dan memberikan kemudahan seperti pembukaan cabang baru, kemudahan pinajman antar bank, dan membolehkan bank untuk mendisian produk deposito mereka.
Februari 1992
1. Memperbolehkan investor asing untuk membeli saham perbankan domestk yang tercatat pada bursa saham. 2. Secara parsial melakukan privatisasi dengan memperbolehkan bank pemerintah untuk listing di pasar modal. Regulasi Kembali
1995-1997
1. 2. 3. 4. 5.
Mengontrol kembali peminjaman yang dapat diberikah oleh bank. Meningkatkan kontrol dalam hal penerbitan surat berharga oleh perbankan; Meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan non bank; Memperketat ijin pembukaan cabang baru. Mengenakan denda bagi bank yang melakukan ekspansi lebih cepat dari yang diperbolehkan; 6. Meningkatkan rasio cadangan minimum dan memperketat aturan prudensial perbankan.
Sumber: McLeod (1999, p. 293-295) and Chua, BH (2003)
Setelah serangkaian deregulasi di era 1980-an, otoritas memutuskan untuk memperlambat ekspansi industri perbankan. Pada tahun 1995 dan 1996, bank sentral memperkenalkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan aspek prudensial perbankan. McLeod (1999, p.281-
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
153
285) menjelaskan bawa selama periode tersebut, Bank Indonesia kembali meregulasi industri perbankan dengan mengontrol kembali pinjaman bank (pada tahun 1995); meningkatkan kontrol dalam hal penerbitan surat berharga oleh perbankan (Agustus 1995); meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan non bank (Desember 1995); memperketat ijin pembukaan cabang baru (Juni 1996), Meningkatkan rasio cadangan minimum dan memperketat aturan prudensial perbankan (April 1997). Lebih lanjut, krisis keuangan 1997 telah mempertegas pentingnya restrukturisasi perbankan dan juga peningkatan aspek prudensial. Konsolidasi dimulai pada bulan Desember 1997. Krisis keuangan 1997 menyebabkan distress bagi industri perbankan. Dalam rangka peningkatan kinerja bank pemerintah, bank sentral memutuskan memerger beberapa bank-bank pemerintah. Otoritas juga menutup 23 bank pada tahun 1997. Kebijakan likuidasi ini berkontribusi dalam mengurangi jumlah bank. Proses konsolidasi ini dilanjutkan dengan memeperkenalkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada Januari 2004. Pada dasarnya kebijakan ini mendorong bank untuk mencapai skala ekonomi dan mempercepat penciptaan sistem perbankan yang sehat.
Tabel 2. Kebijakan Mikro Perbankan periode 1997 - 2010 Tahun
Kebijakan Konsolidasi
1997
1. Likuidasi 23 bank. 2. Rekapitalisasi bank. 3. Merger 4 bank pemerintah menjadi Bank Mandiri
2003
Privatisasi bank-bank yang di-bailout dibawah skema Indonesia Banking Restructuring Agency (IBRA)
2004
Pembuatan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
2004 - 2010
Serangkaian merger dan konsolidasi perbankan dilakukan untuk memenuhi Single Presence Policy dan kebutuhan modal minimum.
Sumber: Chua, BH (2003) dan Central Bank of Indonesia (2010)
Arsitektur perbankan menyediakan arah bagi pengembangan sistem perbankan Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun kedepan. Kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan struktur perbankan yang kuat, sehat dan efisien. Untuk mencapai tujuan ini, bank sentral membuat 6 pilar yakni; menciptakan industri perbankan yang sehat, merumuskan sistem regulasi perbankan
154 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang efektif berdasarkan standar internasional; meningkatkan fungsi monitoring bank sentral berdasarkan standar internasional; menciptakan industri perbankan yang kuat, kompetitif dengan pengelolaan usaha yang baik; mewujudkan infrastuktur yang baik untuk mendukung penciptaan system perbankan yang sehat; dan meningkatkan proteksi dan pemberdayaan konsumen (Bank Indonesia, 2010). Kami menduga bahwa paling tidak terdapat 2 kebijakan dibawah API yang secara langsung berpengaruh terhadap struktur dan tingkat kompetisi perbankan di Indonesia. Pertama adalah jumlah modal minimum yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2005. Kebijakan kedua adalah kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy) yang tertuang pada Peraturan Bank Sentral No.8/16/PBI/2006. Dibawah API, bank harus meningkatkan modal untuk mencapai skala usaha. Modal yang lebih besar memungkinkan bank mempertahankan usaha dan resiko serta melakukan pengembangan teknologi serta peningkatan kapasitas penyaluran kredit. Modal dapat berupa modal yang bersumber dari investor (paid-in capital) dan modal yang terungkap (disclosed). Berdasarkan peraturan ini, semua bank termasuk yang dibuat oleh pemerintah daerah harus memiliki modal minimum sebesar Rp100 milyar sebelum 31 Desember 2010, atau Bank Indonesia
Modal (Triliun)
Bank Internasional
50
Bank Nasional 10 Bank dengan Fokus tertentu
Lokal
Perusahaan
Ritel
Lain-lain
0.1
Bank Mikro
Bank Usaha Terbatas
Sumber: Bank Sentral Indonesia, (2010), Arsitektur Perbankan Indonesia, www.bi.go.id
Gambar 1. Visi Kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia 2014
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
155
akan mengenakan serangkaian restriksi kepada bank yang bersangkutan. Dalam rangka meningkatkan modal, bank diperbolehkan menerima tambahan modal dari pemilik lama, melakukan merger, atau diakuisisi oleh bank yang lebih besar, atau menjual saham pada pasar modal. Dalam 10 atau 15 tahun kedepan, bank sentral merencanakan menurunkan jumlah bank menjadi sekitar 60 buah, terdiri dari 2-3 bank internasional, 3-5 bank nasional dan 30-50 bank spesialis (Bank Indonesia, 2010). Kebijakan kepemilikan tunggal dilakukan untuk mengatur ulang struktur kepemlikan bank. Kebijakan ini merujuk pada kondisi dimana satu pihak merupakan pemilik saham terbesar dalam satu bank. Regulasi ini diterapkan bagi pemegang saham lebih dari 25%, atau kurang dari 25% namun dapat mengontrol bank. Dengan aturan ini, maka harus ada penyesuaian struktur kepemilikan dengan cara mentransfer sebagian atau semua kepemlikan hanya ke satu bank. Dengan demikian, mereka menjadi pemegang saham terbesar hanya pada satu bank saja. Lebih lanjut, bank-bank dengan pemilik yang sama, didorong untuk melakukan merger, paling tidak membuat Holding Company Bank. Studi ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap dampak kebijakan konsolidasi perbankan terhadap kondisi pasar. Kebijakan konsolidasi ini dimulai sejak krisis keuangan 1997 dan dilanjutkan dengan pembentukan API pada Januari 2004. Tabel 3 menunjukkan bahwa sejumlah merger dan akusisi dilakukan selama rentang 1997 √ 2010. Satu merger bank besar dilakukan oleh Bank Niaga dan Bank Lippo untuk memenuhi kebijakan kepemilikan tunggal. Selain itu, juga terdapat 7 buah merger yang dilakukan oleh bank berukuran sedang dan 7 merger oleh bank berukuran kecil. Serangkaian merger dan akuisi ini jelas menurunkan jumlah bank. Hal ini memunculkan isu penting antara lain apakah jumlah bank yang lebih sedikit ini telah menurunkan atau malah meningkatkan konsentrasi industri perbankan. Selain itu juga menarik untuk menganalisis dampak konsolidasi tersebut terhadap tingkat kompetisi perbankan.
156 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table 3. Daftar Merger dan Akuisis antara tahun 2000 - 2010 Kategori Bank
No
Bank yang Merger
Tahun
Bank Besar
1
2008
PT Bank CIMB Niaga Tbk
Bank ukuran sedang
1
PT Bank Niaga PT Bank Lippo Bank Dai-Ichi Kanggo Bank IBJ Indonesia Bank Bali Bank Artha Media Bank Universal Bank Prima Express Bank Patriot PT Bank Sumitomo Mitsuo Indonesia Sakura Swadarma Bank UFJ Indonesia Bank Tokai Lippo Bank UFJ Indonesia PT Bank of Tokyo Mitsubishi Bank Hagakita Bank Haga Bank Rabobank Duta Bank Buana Bank UOB Indonesia Bank Pikko Bank CIC Bank Danpac Bank Artha Graha Bank Inter-pacific Tbk. Commonwealth Indonesia Artha Niaga Kencana Bank Multicor Bank Windu Kentjana Bank Harmoni International Bank Index Selindo Bank Haga Bank Hagakita Bank OCBC Bank NISP
2000
PT Bank Mizuho Indonesia
2001
PT Bank Permata Tbk
2001
PT Bank Sumitomo Mitsuo Indonesia
2001
UFJ Indonesia Bank
2006
PT Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd.
2008
PT Bank Rabobank International Indonesia Bank
2010
PT Bank UOB Buana Tbk
2001 2001 2004 2005
PT Bank Mutiara Tbk
2
3
4 5
6
7 Bank kecil
1
2 3 4 5
6 7
Sumber: Banks» Annual Financial Report Published by the Central Bank of Indonesia
2007 2007
Nama Bank yang Tebentuk
PT Bank Artha Graha International Tbk PT Bank Commonwealth
2008
PT Bank Windu Kentjana International Tbk. PT Bank Index Selindo
2008
Rabobank Duta Bank
2009
PT Bank OCBC-NISP Tbk
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
157
II. TEORI Banyak studi yang menganalisis dampak konsolidasi terhadap tingkat konsentrasi dan kompeitisi. Beberapa lainnya membahas kaitan antara tingkat konsentrasi dan kompetisi. Terdapat 2 pendekatan terkait dengan isu ini yakni pendekatan struktural dan non-struktural (Bikker dan Haaf, 2002). Menurut pendekatan pertama, terdapat hubungan langsung antara struktur pasar, perilaku perusahaan dan kinerja industri. Pendekatan ini berdasarkan pendekatan tradisional structure-
conduct-performance (SCP). Pendekatan kedua non struktural, sebagaimana dijelaskan oleh Shaffer (1994a), kondisi yang kompetitif seperti harga yang efisien dapat dicapai dalam kondisi pasar yang tidak terkonsentrasi maupun yang terkonsentrasi sehingga hubungan antara struktur pasar dan kinerja adalah tidak linear. Pandangan ini menyarankan untuk lebih fokus pada
competitive conduct dari bank ketimbang pada struktur pasarnya (Biker dan Haaf, 2002).
2.1. Pendekatan Struktural Dasar dari pendekatan tradisional SCP dibangun oleh Manson (1939). Dia menyimpulkan bahwa lebih sedikit perusahaan di pasar akan mendorong pasar yang tidak kempetitif, tercermin dari harga yang lebih tinggi dan jumlah barang yang lebih sedikit, seperti kondisi pasar monopolistik. Lebih jauh, pasar yang terkonsentrasi akan menghasilkan kinerja kompetitif yang lebih rendah dimana rasio harga terhadap biaya akan lebih besar, dan mengorbankan kesejahteraan konsumen. Jumlah perusahaan yang lebih kecil juga dapat mendorong mereka untuk bekerjasama dengan saingan mereka. Kolusi ini yang akan meningkatkan harga, jauh lebih besar dari biaya marjinal (Yeyati dan Micco, 2003b). Pada sisi lain, kompetisi pasar akan menghasilkan kondisi efisien dimana biaya marjinal akan sama dengan harga. Meningkatnya jumlah perusahaan akan mendorong kondisi yang lebih kompetitif dengan menurunkan harga dan tingkat keuntungan yang lebih sedikit. Lebih lanjut, pendekatan SCP percaya bahwa pasar yang kompetitif karena tingkat konsentrasi yang rendah, akan memberikan kesejahteraan bagi konsumen yang lebih besar (Shaffer, 1994a). Perusahaan yang efisien akan dapat memproduksi output yang lebih besar pada tingkat harga yang lebih rendah. Bain (1951) menguji hipotesa SCP untuk indusri di Amerika Serikat selama periode 19361940. Ia mengkonfirmasi hipotesa SCP tersebut. Dengan menggunakan uji skor Z, dia membandingkan profit antara group perusahaan dengan tingkat konsentrasi yang tinggi dan yang rendah. Dia menemukan bahwa keuntungan pada perusahaan dengan tingkat konsentrasi
158 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
penjualan yang tinggi, secara rata-rata lebih besar dibandingkan pada group dengan tingkat konsentrasi yang rendah. Calem dan Carlino (1991) menemukan korelasi yang kuat antara konsentrasi pasar dengan kinerja pada industri perbankan. Bain menggunakan profit untuk mengukur kinerja pasar, sementara Calem dan Carlino menggunakan harga. Kesimpulan mereka mendukung pendekatan SCP tradisional bahwa tingkat konsentrasi pasar dapat berkontribusi pada perilaku kolusif. Lebih jauh, penelitian ini mengklaim bahwa pasar yang terkonsentrasi tidak efisien karena harga lebih besar dari biaya marjinal, dan juga tidak adil karena pasar yang terkonsentrasi menghasilkan profit yang lebih tinggi dengan biaya yang dibebankan ke konsumen (Berger dan Hanna, 1989). Pendekatan struktural sudah menjadi dasar dari kebijakan antitrust di berbagai negara. Departemen Kehakiman AS mengacu pada pandangan ini dengan mempertahankan kebijakan eksplisit yang menentang merger antara perusahaan yang saling bersaing yang menimbulkan tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dari threshold (Shaffer, 1994b). Undang-undang No.5 tahun 1999 menganut pendekatan struktural untuk menentukan tindakan perusahaan yang melawan hukum berdasarkan dampaknya terhadap tingkat persaingan usaha. Hukum ini berlaku untuk seluruh sektor. Lebih jauh, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.28/ 1999 pasal 8(2), bank yang melakukan merger tidak boleh memiliki aset melebihi 20% dari total aset perbankan. Angka 20% ini dijadikan threshold.
2.2. Pendekatan Non Struktural Argumen Pertama bertentangan dengan pandangan tradisional SPC dari Demzet (1973) dan Pelzman (1977). Menurut mereka, sumber konsentrasi adalah efisiensi dan bukan kekuatan pasar. Temuan mereka diberi nama hipotesis Efisiensi √ Struktur. Mereka menjelaskan bahwa perbedaan efisiensi lintas perusahaan dalam suatu pasar dapat menciptakan market share yang berbeda dan tingkat konsentrasi yang tinggi. Perbedaan efisiensi dapat berasal dari manajemen dan teknologi produksi yang lebih baik (Neuberger, 1977). Manson secara eksplisit mengasumsikan bahwa tingkat konsentrasi pasar mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga. Dengan demikian ketika harga meningkat lebih besar dibandingkan biaya marjinal, dianggap sebagai kondisi yang kurang efisien. Shaffer (1994b) mengatakan bahwa harga yang lebih rendah bukan indikator yang baik untuk mengukur efisiensi pasar. Dia mempertahankan ide tersebut dengan menjelaskan bahwa efisiensi yang lebih besar diantara perusahaan besar dalam pasar yang kompetitif, cenderung mendorong harga yang lebih rendah, dan bukan lebih tinggi.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
159
SCP mengasumskan hubungan satu arah antara struktur, perilaku dan kinerja. Dengan demikian, struktur pasar mempengaruhi perilaku perusahaan yang akhirnya mempengaruhi kinerja pasar. Hubungan kausalitas menjadi tidak jelas karena keputusan perusahaan untuk memasuki pasar mungkin dipengaruhi oleh ekspektasi tingkat kompetisi pasar (Vesalla, 1995). Pendekatan non struktural menyatakan bahwa baik struktur pasar maupun perilaku perusahaan bersifat endogen karena terdapat feedback dari perilaku terhadap struktur pasar. Lebih lanjut, kinerja perusahaan dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk masuk ke pasar. Pendekatan non struktural menyatakan bahwa profit merupakan indikator yang lemah atas kekuatan pasar. Vesalla (1995) menyatakan bahwa kekuatan pasar dan profit tidak harus berkorelasi positif. Perusahaan monopolis cenderung kurang efisien dan mempengaruhi keuntungan perusahaan, dan perilaku inefisiensi ini justru akan menurunkan keuntungan. Setelah perkembangan ini, beberapa peneliti mencoba menggunakan Learner Index untuk mengukur kinerja pasar. Shaffer (1994b) mengevalusi penggunaan Learner Index dan menemukan bahwa indeks ini lemah dalam menunjukkan kesejahteraan sosial karena keterkaitan antara indeks dan total kesejahteraan tidak bersifat monotonic. Penurunan jumlah perusahaan dapat mengurangi surplus konsumen namun dapat meningkatkan surplus produsen. Dengan demikian, merger dapat meningkatkan total surplus jika dampak terhadap peningkatan surplus produsen lebih besar dari penurunan surplus konsumen. Lebih lanjut, Shaffer menyarankan pengukuran struktur biaya sebagai dampak kebijakan konsolidasi; dalam hal ini apakah struktur biaya menjadi lebih efisien atau tidak. Argumen pendekatan non struktural menyatakan bahwa hubungan antara konsentrasi dan kompetisi adalah tidak linear karena tergantung pada berbagai faktor. Teori contestable
market yang dicetuskan Baumol et.al (1982) dirujuk oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan penetapan harga yang kompetitif pada pasar yang terkonsentrasi. Karakteristik utama dari teori contestable market ini adalah kebebasan untuk masuk dan keluar dari pasar. Dalam pasar seperti ini, perusahaan yang masuk akan menarik pelanggan dengan harga yang lebih rendah dan masih tetap dapat menutupi biaya entry; dan ketika perusahaan lama membalas dengan menurunkan harga, maka dia akan meninggalkan pasar. Karena terdapat kebebasan untuk masuk ke dan keluar dari pasar, maka pasar dapat menciptakan harga yang kompetitif karena perusahaan yang tidak efisien akan keluar dan digantikan dengan yang lebih efisien. Pendekatan non struktural berfokus pada informasi yang diperoleh dari perilaku kompetitif perusahaan. Mereka percaya bahwa dalam mempelajari pasar, kita harus berkonsentrasi pada perilaku perusahaan daripada konsentrasi pasar. Dalam hal kompetisi, Panzar dan Rose (1987)
160 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
mengembangkan model berdasarkan struktur biaya perusahaan2. Metode ini mencoba membedakan tingkat kompetisi pasar dengan melihat hubungan antara pendapatan dengan perubahan harga input. Mereka memberikan implikasi terukur yang dapat diuji terkait dengan perilaku maksimisasi profit perusahaan. Model ini fokus pada penjumlahan elastisitas input dari persamaan pendapatan yang sudah tereduksi (reduced form). Elastisitas ini menangkap efek pergerakan proporsional dari biaya marginal, biaya rata-rata dan biaya total bahkan ketika data biaya ini sendiri tidak tersedia. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa pada pasar monopoli, elastisitas akan bernilai negatif karena kenaikan harga input akan meningkatkan biaya marjinal, menurunkan output keseimbangan dan akhirnya mengurangi pendapatan; akibatnya elastisitas akan bernilai nol atau negatif (Bikker dan Haaf, 2002). Dalam kondisi persaingan sempurna, nilai elastisitas adalah satu karena biaya rata-rata akan bergerak secara proporsional dengan harga input. Banyak studi yang sudah menggunakan metode Panzar-Rose (PR) untuk mengukur dampak kebijakan konsolidasi terhadap kompetisi pada industri perbankan. Awal era 1980-an, deregulasi suku bunga deposito pada beberapa negara berkembang telah meningkatkan kompetisi dan menggiring pada gelombang merger dan akuisisi. Shaffer (1982), Molyneux et al (1994), Bikker and Haaf (2002) dan Bandt dan Davis (2000) menganalisa dampak konsolidasi perbankan terhadap tingkat kompetisi di wilayah AS dan negara Eropa. Konsolidasi di perbankan AS hampir sepenuhnya digiring oleh pasar, sebagaimana merger yang dianggap sebagai satu jalan untuk meningkatkan diversifikasi, efisiensi serta kekuatan pasar, (Shaffer, 1994). Dengan menggunakan sampel bank di beberapa negara bagian AS selang periode 1979-1980, Shaffer (1982) membuktikan bahwa pasar perbankan bersifat kompetitif. Studi ini menemukan bahwa hampir di setiap pasar, uji signifikansi atas elastisitas menolak adanya kekuatan pasar. Lebih lanjut, perbankan Eropa juga menghadapi perubahan struktural setelah implementasi pasar bersama Eropa, termasuk pasar keuangan. Dalam kondisi itu, tidak ada batasan sama sekali untuk memasuki pasar anggota negara lain (Molyneux et.al., 1994). Molyneux meneliti dampak konsolidasi terhadap tingkat persaingan pada periode awal implementasi, dengan fokus periode 1986-1989. Hasilnya mirip dengan Shaffer (1982) bahwa lingkungan yang kompetitif pada industri perbankan terpelihara dengan baik. Kondisi monopolistic competition ditemukan di Jerman, Inggris, Perancis dan Spanyol. Meskipun demikian, kondisi pasar perbankan di Itali memiliki bentuk monopoli atau diduga berbentuk oligopoli variasi jangka pendek.
2 Panzer, J.C., Rose, J.N., (1987) mengembangkan ukuran tingkat kompetisi berdasarkan perilaku bank. Statik-H menunjukkan elastisitas harga input terhadap pendapatan bank.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
161
Data yang lebih baru digunakan oleh Bandt dan Davis (2000). Hampir sama dengan temuan Molynuex et.al. (1994). Mereka mengukur tingkat kompetisi lintas beberapa kelompok bank yakni besar, sedang dan kecil selama periode 1992-1996. Menurut mereka, bank-bank besar di Jerman dan Perancis bekerja dalam kondisi monopolistic competition, sementara bank yang lebih kecil berbentuk monopoli. Untuk Italia, baik bank kecil dan besar berada dalam kondisi pasar monopoli. Dengan sampel negara yang lebih besar, Bikker dan Haaf (2002) menginvestigasi perilaku kompetisi perbankan di 23 negara maju selang periode 1989-1998. Pasar perbankan di 23 negara ini diindikasikan berbentuk monopolistic competition. Temuan ini didukung oleh De Band dan Davis (2000) dimana kompetisi diantara bank besar lebih kuat dibandingkan kelompok bank sedang dan kecil. Terdapat sedikit studi yang dilakukan untuk negara berkembang, dan Gelos dan Roldos (2002), Claessens dan Laeven (2004), dan Yeyati dan Micco (2007) merupakan beberapa diantaranya. Penelitian tentang perilaku bank di negara berkembang menjadi penting karena kondisinya berbeda dengan pasar yang sudah mapan. Negara Amerika Latin juga mengalami konsolidasi dengan jumlah merger dan akuisisi yang signifikan. Konsolidasi ini dimulai oleh pemerintah melalui bank sentral dan selanjutnya mengikuti kekuatan pasar. Gelos dan Roldos menjelaskan bahwa tiga bank umum di Brazil memulai konsolidasi untuk meningkatkan daya saing mereka. Di Argentina, lima bank besar memperoleh market share yang signifikan melalui kombinasi antara pertumbuhan organik dan akuisisi. Konsolidasi terbukti meningkatkan konsentrasi pada pasar Amerika Latin.Meskipun demikian, pasar yang terkonsentrasi ini tidak mendorong kondisi kompetitif. Kesimpulan ini diperoleh oleh Gelos dan Roldon, Claessnes dan Laeven serta Yeyati dan Micco.Prinsip contestable
market mungkin dapat menjelaskan situasi ini. Menghilangkan restriksi untuk masuk ke pasar, menjamin lingkungan yang kompetitif (Classens dan Laeven, 2004). Pada sisi lain, konsolidasi yang didorong oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di negara Asia, terlihat memberikan hasil yang berbeda. Bukannya peningkatan konsentrasi, gelombang merger dan akuisisi ini justru menurunkan tingkat konsentrasi (Gelos dan Roldos, 2002). Terkait dengan kompetisi, tingkat konsentrasi yang lebih rendah ini dapat dianggap sebagai kompetitif. Ilustrasi temuan-temuan di atas jelas mendukung pandangan non-struktural bahwa hubungan antara konsentrasi, perilaku dan kinerja pasar tidak berhubungan linear. Konsolidasi ini sendiri dengan berbagai variasi bentuk kebijakan, dapat menyebabkan peningkatan atau justru penurunan tingkat konsentrasi pasar. Lebih lanjut, kompetisi dalam pasar yang terkonsentrasi dapat diperoleh dengan mengurangi hambatan untuk masuk ke pasar.
162 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.3. Pendekatan Panzar dan Rose Sebagaimana telah diilustrasikan sebelumnya, kita tidak dapat bergantung pada informasi struktur pasar untuk menentukan tingkat kompetisi pada pasar perbankan. Kemungkinan kesimpulan berbaga studi yang membuktikan adanya hubungan linear antara struktur pasar dan kompetisi, adalah menyesatkan. Lebih lanjut, Bikker dan Haaf (2002) membuktikan bahwa indeks konsentrasi seperti concentration ratio (CR) dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI) tampaknya berhubungan terbalik dengan jumlah perusahaan. Negara dengan jumlah bank yang sedikit, cenderung memiliki tingkat konsentrasi yang lebih tinggi. Dalam upaya mengukur tingkat kompetisi pasar, studi ini menggunakan metode yang digunakan oleh Panzar dan Rose (1987). Metode ini didasarkan pada bentuk reduksi dari persamaan penerimaan, dengan menggunakan data pendapatan perusahaan dan harga. Metode ini menilai perilaku kompetitif bank untuk menentukan struktur pasar. Metode PanzarRose menghitung penjumlahan elastisitas pendapatan terhadap harga input. Jumlah ini diberi symbol H (Vesalla, 1995). Nilai elastisitas ini mengandung informasi tentang perilaku bank yang akan menentukan struktur pasar. Properti H memungkinkan secara empiris membedakan proses pembentukan harga dalam teori persaingan tidak sempurna untuk perbankan Indonesia, yakni apakah dari monopoli/ kolusi sempurna, kompetisi monopolistik atau dari persaingan sempurna (Bikker dan Raaf, 2002). Model empiris Panzar-Rose ini mengasumsikan bahwa bank memiliki fungsi pendapatan dan biaya yang berbentuk log linear,
(1)
(2)
Dimana OUT adalah output, n adalah jumlah bank, FIP adalah harga input dan EXIRevenue dan EXICost masing-masing menunjukkan variabel yang mempengaruhi penerimaan dan fungsi biaya bank. Pendekatan aplikasi empiris Panzar dan Rose mengasumsikan fungsi log-linear marginal cost untuk bank i (Bikker and Haaf, 2002).
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
163
Selanjutnya, model Rose Panzar mengasumsikan maksimisasi keuntungan masing-masing bank. Bank yang memaksimalkan keuntungan ini akan berproduksi pada level dimana marginal
cost sama dengan marginal revenue, menghasilkan nilai ekuilibrium untuk output:
(3)
Dalam analisis empiris, bentuk reduksi dari persamaan pendapatan ini yang digunakan (Bikker dan Haaf, 2002, p.2196): (4)
Dimana, TIR adalah rasio pendapatan bunga terhadap neraca total, AFR adalah harga pendanaan; HALE adalah biaya tenaga kerja (tingkat upah); PCE adalah harga dari pengeluaran modal; OI adalah rasio dari pendapatan lain terhadap neraca total, dan BSF adalah faktorfaktor spesifik bank yang bersifat eksogen, seperti komponen risiko, perbedaan deposit mix dan ukuran aset riil bank (Yeyati dan Micco, 2007, p.1637) . Dalam kondisi ini, H menunjukkan jumlah dari elastisitas pada persamaan reduksi penerimaan yang digambarkan oleh faktor harga.
(5)
Tingkat persaingan menentukan nilai dari H, apakah monopoli/kolusi sempurna, persaingan monopolistik atau persaingan sempurna. Di bawah ini adalah rumus untuk menghitung H, di mana H adalah jumlah elastisitas, yang terdiri dari elastisitas pendapatan terhadap perubahan biaya pendanaan ( β ), elastisitas pendapatan terhadap perubahan pengeluaran sumber daya manusia ( γ ) dan elastisitas pendapatan terhadap perubahan harga modal ( δ ).
H = β + γ +δ
(6)
Panzar dan Rose membuktikan bahwa dengan monopoli, kenaikan harga input akan meningkatkan marginal cost, mengurangi output ekuilibrium dan kemudian mengurangi pendapatan; maka H akan menjadi nol atau negatif (Bikker dan Haaf, 2002). Dengan kata lain,
164 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
pasar di mana terdapat kekuatan monopoli akan menghasilkan hubungan negatif antara kedua variabel, karena pendapatan kotor akan bergerak berlawanan arah dari perubahan unit cost (Vesala, 1995). Hasil yang sama juga ditemukan dalam persaingan monopolistik tanpa adanya ancaman entry, yaitu dengan jumlah bank yang tetap. Pasar terdiri dari beberapa bank, namun ada hambatan untuk memasuki pasar, sehingga jumlah bank tidak berubah. Vesalla (1995) membuktikan bahwa di pasar seperti tersebut H adalah nol atau negatif, mirip dengan temuan Rose-Panzar di pasar monopoli. Dalam menganalisis persaingan monopolistik, pendekatan Panzar-Rose didasarkan pada analisis statika komparatif dari model kesimbangan persaingan monopolistis Chamberlinian (Bikker dan Haaf, 2002). Dalam kasus model persaingan monopolistik, dimana produk bank dianggap sebagai substitusi yang sempurna satu sama lain, model Chamberlinian menghasilkan solusi kompetisi yang sempurna, karena elastisitas permintaan mendekati tak terhingga (Bikker & Haff: 2002: hal 2195). Dalam pasar kompetitif sempurna, peningkatan harga input akan meningkatkan rata-rata biaya secara proporsional. Keluarnya beberapa bank akan meningkatkan permintaan yang dihadapi oleh bank-bank yang tersisa, yang menyebabkan kenaikan harga dan pendapatan yang setara dengan kenaikan biaya (Bikker dan Haaf, 2002). Akhirnya, nilai H di pasar persaingan sempurna adalah sama dengan satu.
P1 AC
P1
AC1 (W1)
P0
AC0 (W0)
y*
Gambar 2. H dalam Persaingan Sempurna
y
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
165
Dalam kasus model persaingan monopolistik dimana terdapat diferensiasi produk, maka nilai H akan positif tetapi kurang dari satu. Seperti ditunjukkan pada gambar 3, persaingan monopolistik merupakan kasus antara kondisi pasar monopoli dan persaingan sempurna. Persaingan monopolistik menghasilkan «kapasitas berlebih» di mana output yi* diproduksi pada biaya rata-rata (titik A) yang lebih tinggi daripada biaya rata-rata minimum (titik B). Selain itu, harga pi* melebihi marginal cost (MC), dibandingkan dengan solusi kompetitif pc (Vesalla, 1995).
P1 AC
P1
AC1 (W1)
P0
AC0 (W0)
y*
y
Gambar 3. Keseimbangan Free entry (Chamberlinian) Pasar Monopolistik
Bank dalam ekuilibrium Chamberlinian tidak terlepas dari kekuatan pasar tetapi mereka tidak dapat memperoleh keuntungan supernormal, karena harga sama dengan biaya rata-rata (Vesalla, 1995). Oleh karena itu, nilai dari H dalam kondisi ini adalah positif tetapi kurang dari satu. Ini berarti perubahan harga input positif mempengaruhi pendapatan tetapi kurang dari satu. Model ini lebih konsisten dengan pengamatan bahwa bank cenderung untuk melakukan diversifikasi dengan serangkaian variasi kualitas produk dan iklan, meskipun layanan inti yang mereka sediakan sesungguhnya homogen (Vesalla, 1995, hlm 50). Diferensiasi produk sangat penting untuk menciptakan permintaan yang tidak begitu elastis (Tirole, 1988). Jika produk kurang terdiferensiasi, maka kekuatan menentukan pasar akan kecil sehingga nilai H akan
166 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
lebih tinggi. Tingginya biaya untuk beralih (switching) juga merupakan sumber kekuatan pasar. Pemegang rekening bank menanggung switching cost yang tinggi untuk berpindah dari satu bank ke bank yang lainnya. Jika pelanggan merencanakan untuk berpindah bank, maka mereka harus membuat nomor rekening baru. Ini mengisyaratkan banyak dokumen. Selain itu, pelanggan harus menginformasikan tentang perubahan hubungan bisnis mereka (Canoy et.al, 2001). Akhirnya, di pasar oligopoli, nilai H dapat juga bernilai positif, yakni ketika terdapat interaksi strategis antara sejumlah bank dengan jumlah yang tetap (Bikker dan Haaf, 2002). Namun, dalam kasus kolusi yang sempurna dalam oligopoli, metode Rose dan Panzar menghasilkan nilai negatif untuk H, mirip dengan model monopoli.
Tabel 4. Ringkasan Kekuatan Diskrimminasi Nilai H
Lingkungan yang kompetitif
H<0
Keseimbangan Monopoli: masing-masing bank beroperasi secara independen dan maksimisasi keuntungan layaknya di bawah kondisi monopoli ( H adalah fungsi menurun dari elastisitas permintaan ) atau kartel sempurna.
0
Keseimbangan persaingan monopolistikdengan kondisi free entry ( H merupakan fungsi menaikdari elastisitas permintaan ).
H=1
Persaingan sempurna. Ekuilibrium free entry dengan utilisasi kapasitas penuh yang efisien.
Sumber: Bikker dan Haaf (2002, p. 2195)
Ada lima asumsi yang perlu diterapkan dalam metode Panzar-Rose. Pertama, bank diperlakukan sebagai perusahaan dengan produk tunggal yang bertindak sebagai perantara keuangan. Oleh karena itu bank menghasilkan pendapatan bunga dengan menggunakan dana, tenaga kerja dan modal sebagai input (De Bandt dan Davis, 2000). Kedua, kita harus mengasumsikan bahwa harga input yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan kualitas layanan yang lebih tinggi yang menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Gelos dan Roldós (2001) menjelaskan bahwa jikalaupun ada korelasi, mungkin ada bias dalam menafsirkan H. Asumsi ketiga adalah bahwa pasar berada dalam kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Asumsi keempat dan kelima mempertimbangkanbank sebagai lembaga yang memaksimalkan laba dan mereka biasanya memiliki fungsi pendapatan dan biaya (Gelos dan Roldós, 2002, hal 13-14)
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
167
3. METODOLOGI 3.1. Model Empiris Dalam mengukur persaingan di pasar perbankan Indonesia antara 2001 dan 2009, kami akan menggunakan model regresi untuk menghitung bentuk reduksi persamaan pendapatan berikut. Dalam persamaan berikut, empat variabel penjelas diluar tanda kurung mewakili faktor spesifik bank.
(7)
Tabel lima memberikan informasi yang detail tentang spesifikasi variabel. Dijelaskan jugadefinisi dan proksi yang digunakan untuk mengukur setiap variabel.
Tabel 5. Spesifikasi Variabel Spesifikasi Variabel
Variabel TIR (pendapatan)
Rasio pendapatan bunga terhadap total aset tahunan
AFR (tk. pendanaan)
Rasio pengeluaran bunga terhadap total deposito tahunan
HALE (tingkat upah)
Rasio pengeluaran upah dan gaji terhadap total aset tahunan
PCE (tk. modal)
Rasio pengeluaran lain terhadap aset tetap
OI (Pendapatan lain)
Rasio pendapatan lain (pendapatan operasional dan non-operasional) terhadap total aset
EQ (resiko modal)
Ekuitas dibagi dengan total aset
LO (resiko pinjaman)
Pinjaman dibagi dengan total aset
BDEP (deposit mix)
Rasio deposito interbank terhadap total deposito
DDC (deposit mix)
Rasio demand deposit terhadap total deposito dan pembiayaan jangka pendek
Penelitian ini akan menggunakan regresi panel, khususnya fixed effect model (FEM). Ada beberapa alasan yang mendasari penerapan model regresi panel, pertama, karena penerapan regresi cross section secara implisit mengasumsikan bahwa semua bank memiliki akses ke faktor pasar yang sama maka dari itu mereka hanya berbeda dalam skala operasi (De Bandt dan Davis, 2000, hal 1050). Dengan kata lain, regresi cross section tidak mampu menangkap dinamika lintas waktu variable ke dalam model. Vesalla (1995) menyimpulkan bahwa sulit untuk melakukan pengujian inferensial atas perubahan tingkat kompetisi dari waktu ke waktu jika kita bergantung pada estimasi H dengan
168 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
menggunakan regresi cross section untuk setiap tahunnya. Beberapa studi seperti Vesalla (1995) dan Yeyati dan Micco (2003) menyarankan untuk pengkonsolidasian data individu bank menjadi kumpulan data panel. Estimasi yang disurvei akan menghasilkan perkiraan H yang lebih akurat karena pengujian dapat dilakukan terhadap perilaku bank-bank dari waktu ke waktu. Pertimbangan kedua adalah bahwa studi ini juga akan mengeksplorasi hubungan antara tingkat konsentrasi dan persaingan sepanjang waktu. Oleh karena itu kami menekankan dimensi yang dinamis, yang tidak dapat dimasukkan dalam regresicross section (Yeyati dan Micco, 2003a). Manfaat ketiga dari penggunaanmetode regresi panel bergantung pada kemampuan untuk menangkap penentu pendapatan bank yang tidak berubah lintas waktu. Penerapan Fixed effect model memungkinkan dimasukkannya efek tetap bank yang dapat digunakan untuk mengontrol heterogenitas antara bank yang tidak termasuk dalam model. Fixed effect modelmemungkinkan untuk memasukkan kondisi spesifik bank yang dapat digunakan untuk mengontrol heterogenitas antar bank yang tidak tertangkap dalam model. Ini dilakukan oleh dengan memperkenalkan intersep yang berbeda lintas bank untuk menangkap variabel bank tertentu yang tidak tertangkap secara eksplisit dalam spesifikasi regresi (De Bandt dan Davis, 2000). Untuk melihat dampak dari kebijakan konsolidasi terhadap perilaku bank, penelitian ini menguji perubahan pada koefisien input harga. Mengacu kepadaGelos dan Roldós (2002) pengujian dapat dilakukan dengan membagi periode pengamatan menjadi dua sub-periode dan dengan menginteraksikan input variabel harga (ln (AFR), ln (HALE) dan ln (PCE)) dengan variabel dummy yang bernilai satu pada sub-periode kedua. Variabel interaksi akan menunjukkan apakah kebijakan konsolidasi secara signifikan mengubah perilaku bank; jika variabel interaksi menghasilkan nilai-nilai yang signifikan, maka akan nampak patahan struktural dalam hubungan statistik antara pendapatan dan harga input (Gelos dan Roldós, 2002, hal 15). Selain itu, nilai variabel interaksi akan menentukan arah perubahan tingkat persaingan. Jika mereka positif, kita dapat menyimpulkan bahwa konsolidasi telah meningkatkan persaingan atau justru sebaliknya. Lebih lanjut jika H-statistik adalah positif dan bernilai antara 0 dan 1 dan secara kumulatif nilai variabel interaksi positif, maka ini mengisyaratkan sebuah kompetisi yang lebih kuat (Vesala, 1995, hlm 56)3. Periode pertama adalah 2001-2003 dan periode kedua dimulai dari tahun 2004. Penelitian ini memilih 2004 sebagai tahun terjadinya patahan struktural karena mulai dari 2004, Bank Sentral Indonesia secara resmi memberlakukan proses konsolidasi dengan memperkenalkan kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). 3 Merujuk kepada Bikker dan Haaf (2002, p. 2203). Mereka menjelaskan bahwa hasil Vesala (1995) mengimplikasikan interpretasi H-statistik antara 0 and 1 adalah pengukuran level kompetisi yang kontinu. Selanjutnya Bikker dan Haaf (2002) menggambarkan nilai H yang lebih tinggi dapat digunakan sebagai indikasi tingkat kompetisi yang lebih kuat (hal. 2203).
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
169
Salah satu asumsi berdasarkan metode Panzar dan Rose adalah pasar berada dalam kondisi keseimbangan (Claessens dan Laeven, 2003). Kita harus menguji apakah asumsi ini terpenuhi. Mengacu pada beberapa studi, pengujian keseimbangan pasar harus dapat memvalidasi bahwa statistik Panzar-Rose dapat memberikan hasil yang akurat (De Bandt dan Davis, 2000). Untuk menguji keseimbangan, beberapa studi mencoba sebuah pengujian apakah harga input berkaitan dengan pendapatan industri. Di sini, kita akan memodifikasi bentuk reduksi persamaan penerimaan dengan mengganti variabel dependen dengan rasio laba bersih terhadap total aset sebagai variabel endogen (De Bandt dan Davis, 2000).
(8)
Ekuilibrium didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana nilai ekuilibrium E-statistik adalah nol. E-statistik didefinisikan sebagai penjumlahan dari β, γ, dan δ. Selanjutnya, kita dapat menggunakan F-test untuk memastikan signifikansi statistik uji apakah E = 0 (Claessens dan Laeven, 2003).
3.2. D a t a Data diperoleh dari Bank Indonesia yang terdiri dari neraca tahunan (unconsolidated) dan laporan pendapatan bank-bank komersial. Sampel tersebut terdiri dari kurang lebih 128 bank untuk setiap tahun, namun jumlah sampel untuk setiap tahunnya bervariasi. Variasi tahunan pada jumlah bank disebabkan oleh merger, akuisisi, likuidasi bank dan masuknya bank-bank baru selama periode observasi. Dalam kasus merger dan akuisisi, database hanya menyimpan data dari lembaga baru yang biasanya merupakan bank yang lebih besar. Tabel 6 memberikan informasi detail tentang jumlah bank untuk setiap kategori. Menurut database, Bank Sentral membagi bank komersial menjadi enam kategori. Saat ini Indonesia memiliki 4 bank milik negara, 68 bank swasta lokal yang terdiri dari bank-bank dengan layanan valuta asing dan yang tidak. Meskipun Bank Sentral telah mengelompokkan 68 bank-bank ke bank lokal, sebenarnya beberapa dari mereka dibeli oleh investor luar negeri selama kebijakan privatisasi pada 1990-an. Ada 20 bank patungan, di mana pemiliknya adalah investor asing dan lokal. Ada 11 bank asing yang biasanya merupakan cabang-cabang dari bank asing. Terakhir, terdapat 25 bank regional yang biasanya beroperasi di provinsi mereka. Para pemegang saham bank-bank daerah adalah pemerintah provinsi dan kotamadya.
170 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 6. Ukuran Sampel Jumlah Bank
Tipe Bank (berdasarkan kategorisasi Bank Sentral) Bank Pemerintah
4
Bank Swasta - Valuta asing
39
Bank Swasta - Tidak melayani valuta asing
29
Bank Patungan
20
Bank Asing
11
Bank Daerah
25
Total
128
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2009, Bank Sentral Indonesia
Dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara, jumlah bank di Indonesia lebih banyak. Namun, pasar terkonsentrasi menjadi beberapa bank besar yang mendominasi. Neraca bank menunjukkan bahwa rata-rata 3 dari 113 bank mengontrol lebih dari empat puluh persen industri antara 2001 dan 2009. Informasi statistik deskriptif tentang distribusi aset dan modal mendukung gagasan tentang pasar yang sangat terkonsentrasi ini. Tabel 7 menggambarkan distribusi aset dan ekuitas dari semua bank pada 2009. Untuk aset, seperempat pasar didominasi oleh bank tunggal yang adalah Bank Mandiri dengan aset 370 trilyunRupiah dan ekuitas lebih dari 35 triliun rupiah. Aset Bank Mandiri adalah 15 kali lebih besar dari rata-rata dan ekuitasnya 17 kali lebih besar dari rata-rata. Tabel 7. Statistik Deskriptif Aset dan Ekuitas di Tahun 2009 (dalam Juta Rupiah) Statistics Mean Median
Asset 22.158.195
Equity 2.267.144
3.978.396
547.938
Q4 (100% data)
370.310.994
35.108.769
Q3 (75% data)
13.356.445
1.370.931
Q2 (50% data)
3.923.234
539.862
Q1 (25% data)
1.523.057
164.954
4,44
4,16
Skewness Kurtosis Jarque-Bera Probability of JB
23,26
21,00
2.242,80
1.803,03
0,00
0,00
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
171
Karena bentuk distribusi pasar condong ke kanan (positively skewed), maka median adalah ukuran tendensi sentral yang dipilih. Tabel 7 menunjukkan bahwa semua statistik yangtidak mendukung kondisi distribusi normal data. Nilai-nilai kemiringan baik untuk aset dan ekuitas, menunjukkanbentuk distribusi yang condong ke kanan. Nilai JB positif dan berbeda dari satu secara signifikan,menunjukkan bahwa data menolak asumsi normalitas. Mengacu pada data, setengah dari bank (56 bank) memiliki ekuitas kurang dari 550 miliar rupiah. Selain itu, lebih dari 66 persen (85 bank) memiliki ekuitas kurang dari 1.371 miliar rupiah. Di sisi lain, terdapat porsi yang sangat kecil √yakni kurang dari 1 persen atau hanya 7 bank, yang memiliki ekuitas lebih dari 10 miliar. Angka-angka di atas akan digunakan untuk menghitung break point untuk membagi sampel berdasarkan ukuran. Pembagian sampel menjadi kelompok bank besar, menengah dan kecil penting untuk mengamati perilaku riil bank dalam bersaing dengan bank lain dalam kategori mereka. Bank-bank besar diasumsikan bekerja di tingkat nasional bahkan internasional, sementara bank-bank berkecil fokus pada industri lokal atau spesifik dan sering tidak memiliki pelanggan di luar pangsa pasar mereka.
Tabel 8. Tiga Kategori Bank Berdasarkan Nilai Ekuitas Kategori
Ekuitas (IDR)
Ukuran Sampel 4
Bank Besar
> 10 trilliun
7
Bank Menengah
1 - 10 trilliun
36
Bank Kecil
< 1 trilliun
70
Total
113
Nilai ekuitas pada tahun 2009 akan digunakan sebagai dasar untuk membagi sampel menjadi bank besar, menengah, dan kecil. Bank-bank besar adalah mereka dengan ekuitas lebih dari 10 triliun rupiah. Bank menengah bekerja dengan modal dari 1 sampai 10 triliun rupiah.Yang terakhir, bank-bank kecil adalah yang ekuitasnya kurang dari 1 triliun rupiah. Dalam hal jumlah bank, kategori bank kecil mendominasi pasar, namun pasar dikendalikan oleh kelompok yang lebih besar.
4 Kategorisasi berdasarkan data perbankan Indonesia 2009.
172 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Kompetisi Pada Industri Perbankan Temuan dalam paper ini robust dengan penggunaan dua pengukuran pendapatan yang berbeda sehubungan dengan tingkat persaingan di industri perbankan Indonesia. Beberapa studi menggunakan rasio pendapatan bunga terhadap aset total untuk mengukur pendapatan bank. Bikker dan Haaf (2002) menjelaskan bahwa proksi ini lebih konsisten dengan asumsi yang mendasari metode Panzar dan Rose, di mana bank-bank diasumsikan menjadi perusahaan produk tunggal yang bertindak sebagai perantara keuangan. Oleh karena itu bisnis utama bank adalah intermediasi keuangan. Di sisi lain, De Bandt dan Davis (2000) berpendapat bahwa sebagai respon terhadap kompetisi yang semakin ketat, bank-bank meningkatkan minat mereka terhadap kegiatan nonpendapatan bunga - termasuk pendapatan manajemen aset, reksa dana dan asuransi (hal. 1047). Mereka mengusulkan untuk menggunakan kedua pengukuran pada rasio pendapatan bunga terhadap aset dan rasio total pendapatan terhadap aset sebagai metode validasi untuk menguji apakah model tersebut kuat. Secara keseluruhan kedua spesifikasi menghasilkan hasil yang serupa. Namun spesifikasi pendapatan bunga menunjukkan beberapa koefisien yang lebih besar. Kami memilih untuk menggunakan proksi pertama karena industri perbankan Indonesia masih sangat bergantung pada pendapatan berbasis bunga. Data dari laporan keuangan tahunan dari semua bank antara 2001 dan 2009 menunjukkan 88 persen dari pendapatan bank «itu berasal dari pendapatan bunga. Oleh karena itu proksi pertama akan melihat potret nyata dari persaingan di industri perbankan Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memasukkan penghasilan lainnya yang berarti penghasilan yang berasal dari kegiatan non-bunga juga merupakan salah satu variabel penjelas untuk melihat pertumbuhan tren pendapatan berbasis non-bunga pada pendapatan bank. Salah satu asumsi kritis dengan metode Panzar-Rose adalah apakah pengamatan berada dalam ekuilibrium jangka panjang. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, kami telah melakukan tes ekuilibrium dengan menggunakan regresi dari bentuk reduksi persamaan pendapatan dengan mengganti variabel dependen dengan pendapatan ekuitas. Kami menerapkan metode yang diperkenalkan oleh Claessens dan Laeven (2003) untuk menurunkan Return on Asset (ROA). Karena ROA dapat digunakan dengan nilai yang (negatif) kecil, mereka menyarankan untuk menghitung variabel dependen ROA dengan menggunakan rumus Ln (1 + ROA) (hal. 11). Estimasi menunjukkan bahwa gabungan koefisien β, γ dan δ tidak secara signifikan berbeda dari nol (silakan lihat lampiran untuk hasil estimasi yang lengkap). Oleh
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
173
karena itu, metode Panzar-Rose cocok untuk mengukur persaingan di pasar perbankan Indonesia antara 2001 dan 2009. Model Panzar-Rose telah diterapkan untuk sekitar 128 bank antara 2001 dan 2009.
Redundant test digunakan untuk menguji apakah penggunaan intercept yang berbeda untuk setiap unit cross section untuk mengukur heterogenitas lintas bank adalah signifikan. Uji Fterestriksi dan uji χ2 untuk fixed effect terbukti. Mereka memperlihatkan bahwa fixed effect model lebih handal memperlihatkan informasi tentang apa yang berkontribusi terhadap perbedaan lintas bank, (Lihat Lampiran).
Table 9. Hasil Empiris dengan menggunakan Fixed effect model Pendapatan Bunga sebagai Variabel Dependen, Seluruh Bank between 2001 dan 2009
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.46***
0.49***
0.51***
0.46***
(34.74)
(18.56)
(28.52)
(24.50)
0.21***
0.08***
0.26***
0.19***
(11.52)
(2.53)
(10.10)
(7.50)
0.02
0.01
0.03***
0.018
(1.50)
(0.40)
(2.12)
(0.88)
0.45***
0.17
0.52***
0.457***
(14.04)
(1.20)
(11.51)
(9.41)
0.002
0.18***
0.10***
-0.028
(0.19)
(2.68)
(4.02)
(-1.83)
0.03***
0.025
0.007
0.02
(2.06)
(0.81)
(0.33)
(1.29)
Deposit Mix -
-0.001
-0.021***
-0.003
0.001
Deposito Interbank
(-0.60)
(-2.17)
(-0.97)
(0.40)
Deposito Mix Permintaan Deposito
Pendapatan Lain
-0.008
0.04
-0.022
-0.010
(-0.83)
(1.54)
(-1.64)
(-0.77)
Jumlah Pengamatan
892
63
309
520
R2
0.89
0.94
0.94
0.87
H (kompetisi)
0.69a
0.59a
0.80a
0.66a
Struktur Pasar
Kompetisi
Kompetisi
Kompetisi
Kompetisi
Monopolistik
Monopolistik
Monopolistik
Monopolistik
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam kurung adalah t-statistic; *** Signifikan pada 99% confidence level; ** signifikan pada95% confidence level; * signifikan padat 90% confidence level
174 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 9 menyediakan informasi lengkap tentang hasil estimasi persamaan bentuk reduksi pendapatan. H-statistik untuk semua bank adalah 0,69. Uji F menunjukkan bahwa nilai secara signifikan berbeda dari nol sehingga menolak hipotesis bentuk pasar monopoli. Hal ini juga secara signifikan berbeda dari satu, sehingga juga menolak hipotesis persaingan sempurna. Berdasarkan ini, kami dapat menyimpulkan bahwa sektor perbankan bekerja pada persaingan monopolistis. Perubahan faktor harga akan meningkatkan pendapatan kurang dari proporsional karena produk terdiferensiasi dan biaya switching tinggi. Selanjutnya, kompetisi telah meningkat dari waktu ke waktu. Kesimpulan ini didasarkan pada perbandingan antara temuan kami dengan studi yang dilakukan oleh Classens dan Laeven (2003). Menurut mereka, dari 1994 sampai 2001, nilai H-statistik untuk perbankan Indonesia adalah 0,62. Analisis antar kelompok memberikan pemahaman pasar yang lebih luas. H-statistik yang bervariasi dari 0,59-0,80 menunjukkan bahwa pasar perbankan di semua kelompok bekerja dalam bentuk persaingan monopolistik. Kelompok bank besar adalah pasar paling tidak kompetitif, dengan H-statistik 0,59. Kelompok bank menengah adalah pasar yang paling kompetitif. H-statistik untuk kelompok bank menengah cukup tinggi (0,80), dan itu sebanding dengan pasar perbankan di negara maju dan berkembang lainnya seperti Bank Amerika Latin (Yeyati dan Micco, 2007). Hal ini cukup mengejutkan karena di negara lain termasuk Eropa, pasar perbankan bank yang lebih besar lebih kompetitif dibandingkan dengan bank-bank kecil yang biasanya melayani pasar lokal (Bikker dan Haaf, 2002). Seperti yang diperkirakan, deposito atau dana adalah input yang paling penting. Koefisien untuk tingkat pendanaan adalah kontributor utama dari elastisitas. Angka ini konsisten di seluruh kelompok yang berbeda. Sumber daya manusia merupakan input utama kedua di industri perbankan. Tanda koefisien juga positif menunjukkan bahwa kenaikan tingkat upah ditransmisikan ke pendapatan. Input penting selanjutnya adalah modal. Koefisien pada harga modal bernilai kecil, dan dalam beberapa estimasi, mereka tidak signifikan. Risiko kredit adalah penjelas penting dari pola pendapatan. Koefisien positif untuk risiko kredit mengimplikasikan bank dengan proporsi pinjaman yang lebih tinggi di neraca mereka menghasilkan pendapatan bunga yang lebih tinggi per aset rupiah. Kesimpulan yang sama juga berlaku pada variabel risiko modal. Koefisien bernilai positif bagi bank-bank besar dan menengah. Jadi untuk bank yang lebih besar, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi proporsi ekuitas terhadap aset maka akan semakin tinggi pendapatan. Variabel deposito campuran tidak signifikan dalam menjelaskan pergerakan pendapatan, kecuali proporsi deposito antar bank terhadap total simpanan pada pasar bank-bank besar. Tanda koefisien yang negatif menunjukkan bahwa semakin besar porsi deposito antar bank terhadap total deposito, maka semakin kecil pendapatan .
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
175
4.2. Kompetisi dan Struktur Pasar Bagian ini akan menjelaskan hubungan antara konsentrasi dan persaingan. Penelitian ini menggunakan dua jenis tipe indeks yang sering diterapkan sebagai proksi konsentrasi pasar. Indeks pertama disebut rasio konsentrasi k-bank ( CRk ) yang mengambil pangsa pasar dari k bank terbesar di pasar, dan mengabaikan bank-bank yang tersisa. Indeks kedua adalah indeks Herfindahl-Hirschman (HHI), yang mengambil saham pasar sebagai bobot, dan menekankan pentingnya bank yang lebih besar dengan memberi mereka bobot yang lebih besar daripada bank kecil (Bikker dan Haaf, 2002)5. Pengukuran konsentrasi ini dapat dianggap akurat untuk mengukur konsentrasi pasar, karena semua proksi menghasilkan hasil yang serupa. Data menunjukkan bahwa pasar perbankan di Indonesia menjadi kurang terkonsentrasi. Temuan ini mengejutkan. Berbeda dengan negara maju di mana konsolidasi meningkatkan konsentrasi6 pasar, perubahan kebijakan justru mengurangi konsentrasi di pasar perbankan Indonesia. Temuan kami selaras dengan studi yang dilakukan oleh Gelos dan Roldós (2002). Mereka berpendapat bahwa konsolidasi tidak meningkatkan konsentrasi pasar di negara-negara Asia
0,7 0,6 0,5 0,4
CR3 CR4 CR5 HHI
0,3 0,2 0,1 0 2001
2002 2003
2004
2005
2006 2007
2008 2009
Gambar 4. Konsentrasi Perbankan dengan Menggunakan Empat Pengukuran yang Berbeda, Seluruh Bank, 2001 √ 2009
5 Dibawah ini adalah formula untuk menghitung konsentrasi rasio (CR) danindeks Herfindahl-Hirschman dimana s adalah pangsa pasar bank.
CRk = Σki = 1 si
HHI = Σmi = 1 si2
6 Silahkan lihat De Bandt dan Davis (2000) dan Bikker dan Haaf (2002).
176 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
karena perubahan struktural sebagian besar didorong oleh pemerintah. Sementara di negaranegara maju dan pasar yang lebih matang negara-negara berkembang di Amerika Latin, merger dan akuisisi didorong oleh pasar. Dalam pasar tersebut, persaingan ketat memaksa bank-bank besar untuk bergabung untuk meningkatkan daya saing mereka. Sebaliknya, merger dan akuisisi di perbankan Indonesia, kebanyakan dilakukan oleh bank-bank menengah dan kecil dalam rangka untuk mematuhi kebijakan kepemilikan tunggal dan kebutuhan modal minimum. Konsolidasi ini meningkatkan skala ekonomi bank yang bergabung. Namun tidak meningkatkan konsentrasi industri karena merger didominasi oleh bank-bank kecil dan menengah. Ini menyiratkan bahwa konsolidasi di pasar perbankan Indonesia ini tidak menciptakan pasar lebih terkonsentrasi tetapi meningkatkan distribusi pangsa pasar. Dalam kasus bank-bank besar, aturan kepemilikan telah secara efektif mengurangi konsentrasi dengan berkonsolidasinya PT Bank Niaga Tbk. dan Bank Lippo pada tahun 2008. Pangsa pasar bank merger, PT. CIMB Niaga, meningkat sekitar 3 persen. Merger ini secara signifikan mengurangi konsentrasi pasar karena bank yang baru bergabung tersebut bukan merupakan tiga bank besar. Oleh karena itu sebagai bagian dari meningkatnya penggabungan bank, distribusi pangsa pasar berubah di mana saham terbesar tiga bank menurun dari 74 persen pada tahun 2001 menjadi 66 persen pada 2009. Merger dan akuisisi di pasar bank-bank menengah dan kecil bertujuan untuk meningkatkan kinerja bank setelah krisis ekonomi tahun 1997 atau untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan single presence dan kebutuhan modal minimum. Ada tujuh merger dalam
Tabel 10. Konsentrasi Perbankan antar Group 2001 - 2009 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
CR3
HHI
CR3
HHI
CR3
HHI
CR3
HHI
0,47 0,46 0,45 0,42 0,38 0,36 0,37 0,37 0,39 0,41
0,10 0,10 0,09 0,08 0,07 0,06 0,07 0,06 0,07 0,08
0,74 0,74 0,73 0,71 0,67 0,65 0,64 0,64 0,66 0,69
0,24 0,23 0,22 0,21 0,20 0,17 0,18 0,18 0,18 0,20
0,30 0,30 0,27 0,26 0,25 0,23 0,23 0,23 0,24 0,26
0,06 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,05 0,05
0,35 0,30 0,30 0,29 0,33 0,29 0,30 0,32 0,28 0,31
0,05 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,05 0,06 0,05 0,05
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
177
kategori bank-bank menengah antara tahun 2001 dan 2009. Jumlah bank dalam kelompok kecil juga berkurang. Konsolidasi bank-bank kecil di pasar didominasi oleh likuidasi bank dengan kinerja yang buruk dan konsolidasi untuk mematuhi kebijakan Kebutuhan Modal Minimum. Silahkan lihat tabel 3 untuk daftar rinci merger antara 2001 dan 2009. Dibandingkan dengan bank-bank besar, bank-bank menengah dan kecil memiliki tingkat konsentrasi yang jauh lebih rendah. Mereka memiliki distribusi pangsa pasar yang lebih baik, karena tiga bank terbesar dalam kelompok tersebut hanya mengontrol kurang dari 35 persen pangsa pasar. Analog dengan bank besar, tingkat konsentrasi untuk bank menegah dan bank kecil juga berkurang. Tetapi jika kita membandingkan nilai perubahan konsentrasi, perubahan tingkat konsentrasi bank menengah dan bank kecil relatif kecil, terutama jika kita merujuk pada indeks Herfindahl-Hirschman. Informasi dari konsentrasi dan persaingan pasar pada bank menengah dan bank kecil membantu dalam memahami fenomena ini. Pasar bank-bank menengah dan kecil sangat kompetitif dan kurang terkonsentrasi, sehingga merger dan akuisisi hanya sedikit mengurangi konsentrasi pasar. Ada konsistensi antara konsentrasi dan persaingan pasar dalam tiga kelompok yang berbeda. Bank-bank besar memiliki tingkat persaingan terendah karena pasar lebih terkonsentrasi (CR3rata-rata = 0,69; HHIrata-rata = 0,20). Di sisi lain, pasar bank menengah adalah yang paling kompetitif karena lebih terkonsentrasi (CR3rata-rata = 0,26; HHIrata-rata= 0,05). Bank-bank kecil juga bekerja di lingkungan yang cukup kompetitif karena setiap bank memiliki pangsa yang kecil dari total pasar (CR3rata-rata= 0,31; HHI rata-rata= 0,05). Hasil fixed effect model yang menggunakan variabel interaksi untuk semua bank menunjukkan bahwa gelombang kedua konsolidasi melalui pengenalan Arsitektur Perbankan
Tabel 11. Hasil Empiris dengan menggunakan Metode Efek Tetap dengan Variabel Interaksi (Seluruh Bank antara 2001 dan 2009) Rincian H (Level Kompetisi)
0.68
∆H (Setelah Kebijakan Konsolidasi 2004)
0.027
Significance test on ∆H , F test¡
3.5074240.0615*
Uji pada perubahan H
Tidak dapat menolak peningkatan H-statistics
Struktur Pasar
Persaingan Monopolistik
N (Jumlah Pengamatan)
892
Catatan: *** signifikan padat 99% confidence level; ** signifikat pada 95% confidence level; * Signifikan pada 90% confidence level
178 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Indonesia meningkatkan nilai dari H-statistik. Peningkatan terjadi sekitar 0,027 dari 0,68 pada periode pertama sampai 0,70 pada periode kedua. Uji signifikansi dengan menggunakan uji F menunjukkan bahwa peningkatan persaingan signifikan pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hasilnya menegaskan bahwa kebijakan konsolidasi meningkatkan persaingan di industri perbankan Indonesia. Kebijakan konsolidasi efektif untuk mendorong bank-bank menengah dan kecil untuk bergabung dalam rangka untuk memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum dan kebijakan single presence. Secara signifikan ini meningkatkan skala ekonomi bank yang bergabung dan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk bersaing dengan bank lain. Selanjutnya merger bank kecil meningkatkan distribusi pangsa pasar. Peningkatan distribusi pangsa pasar mengurangi konsentrasi pasar dan meningkatkan kompetisi.
V. KESIMPULAN Ada beberapa temuan menarik dalam studi ini. Pertama, data menunjukkan bahwa struktur pasar perbankan Indonesia cukup rentan. Dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, jumlah bank di Indonesia lebih besar. Namun, pasar terkonsentrasi pada beberapa bank. Bank-bank besar mengontrol pangsa pasar yang substansial. Di sisi lain, ada lebih dari setengah bank-bank berskala kecil dengan modal kurang dari 1 triliun rupiah. Selain itu, konsentrasi pasar pada kelompok bank besar jauh lebih tinggi daripada di bank-bank kecil.
Kedua, pasar perbankan menjadi kurang terkonsentrasi selama pelaksanaan kebijakan konsolidasi. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan konsolidasi di Indonesia memiliki pola yang sama dengan yang diterapkan di negara-negara Asia lainnya. Sebaliknya, konsolidasi kebijakan di negara Amerika Latin dan negara-negara maju lainnya meningkatkan konsentrasi pasar. Seperti dijelaskan oleh Gelos dan Roldós (2002), kebijakan konsolidasi yang didorong oleh pasar akan meningkatkan konsentrasi. Di sisi lain, kebijakan konsolidasi di Indonesia didorong oleh otoritas pemerintahan melalui likuidasi bank, merger bank milik negara dan pemberlakuan Arsitektur Perbankan Indonesia. Mereka telah secara efektif mendorong bankbank menengah dan kecil untuk berkonsolidasi. Hal ini meningkatkan distribusi pangsa pasar dan mengurangi konsentrasi pasar.
Ketiga, selama pelaksanaan kebijakan konsolidasi, industri perbankan bekerja pada bentuk pasar persaingan monopolistis. H-statistik adalah 0,69. Jika kita bandingkan dengan nilai Hdata statistik pada 1994-2001 yang dihitung oleh Claessen dan Laven (2003), kompetisi telah meningkat dari waktu ke waktu. Analisis persaingan sub-kelompok menunjukkan bahwa bankbank besar bekerja di pasar paling tidak kompetitif sedangkan bank menengah bekerja di
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
179
pasar yang paling kompetitif. Pola persaingan perbankan di Indonesia berbeda dengan negaranegara maju di mana bank-bank besar lebih kompetitif (Bikker dan Haaf, 2002). Temuan berikutnya adalah membahas dampak dari kebijakan konsolidasi pada persaingan. Estimasi menunjukkan bahwa industri perbankan menjadi lebih kompetitif dalam periode kedua dari pelaksanaan kebijakan konsolidasi. Meningkatnya skala ekonomi bank yang bergabung dan peningkatan distribusi pangsa pasar meningkatkan kompetisi. Akhirnya studi ini menunjukkan bahwa pasar yang terkonsentrasi memberikan kontribusi pada lingkungan yang kurang kompetitif. Ini mungkin merupakan alasan mengapa bank-bank besar di Indonesia bekerja di pasar yang kurang kompetitif dibandingkan bank-bank kecil. Bank-bank besar memiliki kekuatan monopoli yang memungkinkan mereka untuk berperilaku monopolis atau oligopolis.
180 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
DAFTAR PUSTAKA Bain, Joe E. (1951). Relation of Profit Rate to Industri Competition: American Manufacturing, 1936 √ 1940. The Quarterly Journal of Economics 65.hal. 293-324 Bain, Joe E. (1956). Barriers to New Competition. Cambridge. Mass: Harvard University Press. Berger, Allen N., dan Timothy H. Hannan. (1989). The Price-Concentration Relationship in Banking. Review of Economics and Statistics 71.Hal.291-99. Bikker, Jacob A., dan Katharina Haaf. (2002). Competition, concentration, dan their relationship: An empirical analysis of the banking industri. Journal of Banking and Finance 26.hal. 21912214. Boumol, William, John C. Panzar, dan Robert D. Willig.(1982). Contestable Markets and the
Theory of Industri Structure. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich. Buletin Bisnis. (2007). Daftar Akuisis dan Merger Bank di Indonesia. Retrieved from website: http://buletinbisnis.wordpress.com/2007/12/11/daftar-akuisisi-dan-merger-bank-diindonesia/. Calem, Paul, dan Gerald Carlino. (1991). The Concentration/ Conduct Relationship in Bank Deposit Market. Review of Economics and Statistics 73.hal. 268-76. Canoy, Marcel, Machiel van Dijk, dan Jan Lemmen. (2001). Competition and Stability in Banking. CPB Netherland Bureau for Economic Analysis. Netherland. Bank Sentral Indonesia.(2010). Arsitektur Perbankan Indonesia. dikutip dari website: www.bi.go.id. Aturan Bank Sentral Indonesia Republik Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 Tentang Kebutuhan Modal Minimum Aturan Bank Sentral Indonesia Republik Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 Tentang Kebijakan
Single Presence. Central Bank of Indonesia.(2009). Indonesia Banking Statistics 2009. Chan, Donald, Christopher Schumacher, dan David Tripe.(2007). Bank Competition in New
Zealand and Australia.Finsia_MCFS.The Melbourne Center for Financial Studies. Retrieved from website: http://www.melbournecentre.com.au/ Chua, H.B. (2003). FDI in financial sector: the experience of ASEAN countries over the last
decade, in CGFS (2004), the Central Bank paper submitted by Working Group members. Retrieved from website: www.bis.org/publ/cgfs22mas.pdf
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
181
Claessens, Stijn, Asli Demirhuc-Kunt, dan Harry Huizinga.(1998). How Does Foreign Entry Affect the Domestic Banking Market. Policy Research Working Paper. The World Bank. Claessens, Stijn, dan Luc, Laeven. (2004). What Drives Bank Competition? Some International Evidence.World Bank Policy Research Paper. No.3113, August. De Bandt, O., dan Davis, E.P., (2000). Competition, contestability and market structure in European banking sectors on the eve of EMU. Journal of Banking and Finance 24, 1045√ 1066. Demsetz, Harold. 1973. Industry Structure, Market Rivalry, and Public Policy. Journal of Law
and Economics 16 (April).hal. 1-10. Gelos, Gaston., R dan Jorge Roldos. (2002). Consolidation and Market Structure in Emerging Market Banking Systems.IMF Working Paper WP/02/186. Legislation number 5/ 1999 Regarding the Indonesian Competition Regulation Legislation of Republic of Indonesia Number 7/1998 Regarding Banking Sector. McLeod, Ross. (1999). Control and competition: Banking deregulation and re-regulation in Indonesia. Journal of the Asia Pacific Economy, No 4(2), p. 258-297. Molyneux, Phillip, John Thornton, dan D. Michael Llyod-Williams.(1991). Competition and
Market Contestability in Japanese Commercial Banking.Mimeo. Washington, D,C. International Monetary Fund. Molyneux, Phillip, John Thornton, dan D. Michael Llyod-Williams.(1994). Competition condition in European Banking. Journal of Banking and Finance 18. hal.445-459. Nathan, Ali, dan Edwin H. Neave. (1989). Competition and Contestability in Canada»s Financial System: Empirical Results. Canadian Journal of Economics 22 (June).Hal.576-94. Nueberger, Doris. (1997). Structure, Conduct and Performance in Banking Markets.University
Rostock, Working Paper No. 12. Panzer, John C., dan James N. Ross. (1987). Testing for ≈Monopoly Equilibrium∆. The Journal
of Industrial Economics.hal.443-456. Pelzman, Samuel. (1977). The Gains and Losses from Industrial Concentration. Journal of Law
and Economics 20.hal. 229-63. Shaffer, Sherrill. (1982). A Nonstructural Test for Competition in Financial Markets. Proceedings
of a Conference on Bank Structure and Competition (Federal Reserve Banks of Chicago) on May. hal.225-43. Shaffer, Sherrill. (1994a). Bank Competition in Concentrated Market.Business Review.March/
April. Shaffer, Sherrill. (1994b). Structure, Conduct, Performance, and Welfare.Review of Industrial
Organization 9.hal. 435-450.
182 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tirole, J. (1987). The Theory of Industrial Organization.MIT Press, Cambridge, MA. Vesala. (1995). Testing Competition in Banking: Behavioral Evidence from Finland. Bank of
Finland Studies Working Paper No. E1. Yeyati, Eduardo, Levy dan Micco, Alejandro. (2003a). Concentration and Foreign Penetration in Latin American Banking Sectors: Impact on Competition and Risk. Inter-American
Development Bank.Retrieved from website: http://www.oecd.org/dataoecd. Yeyati, Eduardo Levy dan Micco Alejandro.(2003b). Banking Competition in Latin America.
Latin-American Competition Forum. Retrived from website: http://www.oecd.org/dataoecd. Yeyati, Eduardo, Levy dan Micco, Alejandro. (2007). Concentration and Foreign Penetration in Latin American Banking Sectors: Impact on Competition and Risk. Journal of Banking and
Finance 31.hal. 1633-1647.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
183
Appendix A. Spesifikasi Alternatif, Hasil Empiris Model Panel dengan Fixed Effect, Total Pendapatan sebagai Variabel Dependen (Seluruh Bank antara 2001 dan 2009)
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Deposito Mix Permintaan Deposito Deposit Mix Deposito Interbank Pendapatan Lain
Jumlah Observasi
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.43***
0.43***
0.40***
0.46***
(35.05)
(19.02)
(23.65)
(29.85)
0.17***
0.065***
0.21***
0.14***
(10.30)
(2.13)
(8.91)
(6.93)
0.067***
0.01
0.04***
0.05***
(5.32)
(0.58)
(2.60)
(3.01)
0.39***
0.08
0.41***
0.41***
(13.34)
(0.66)
(10.50)
(10.21)
0.037***
0.16***
0.09***
0.02
(3.10)
(2.69)
(4.00)
(1.52)
0.03***
0.04
0.001
0.02
(2.61)
(1.22)
(0.08)
(1.63)
-0.005***
-0.022***
-0.008***
-0.003
(-2.52)
(-2.66)
(-2.55)
(-1.26)
0.12***
0.16***
0.15***
0.08***
(13.19)
(7.85)
(11.90)
(7.48)
892
63
309
520
R2
0.87
0.94
0.93
0.86
H (Competition)
0.66a
0.51a
0.65a
0.66a
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam kurung adalah t-statistic; *** Signifikan pada 99% confidence level; ** signifikan pada 95% confidence level; * signifikan pada 90% confidence level
184 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Appendix B. Uji Ekuilibrium √ Return on Asset sebagai variable dependen Seluruh Bank Tingkat Pendanaan
-0.067 (-1.55)
Tingkat Upah
0.16 (2.63)
Harga Modal
-0.074 (-1.52)
Resiko Pinjaman
-0.70 (-6.16)
Resiko Modal
0.004 (0.095)
Deposito Mix - Permintaan Deposito
0.093 (2.06)
Deposit Mix - Deposito Interbank
-0.028 (-3.26)
Pendapatan Lain
0.19 (5.61)
Jumlah Observasi
R2
862
0.75
H (Kompetisi)
0.024a
Uji Ekuilibrium F test
0.072
ρ (1,742)
0.789
H = 0 tak dapat ditolak (level confidence 99.9%) Nilai dalam tanda kurung adalah t-statistik.
Competitive Conditions in Banking Industry: An empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009
Appendix C. Uji RedundantModel Fixed Effect Seluruh Bank F-test df (degree of freedom) χ2 statistics
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
13.73
9.42
20.27
9.42
(112;771)
(6;48)
(35;265)
(69;442)
978.28
49.04
NA
470.23
df (degree of freedom)
(112)
(6)
(NA)
(69)
Jumlah Observasi
892
63
309
520
H = 0 adalah (level confidence 99.9%)
Appendix D. Hasil Empiris Fixed Effect Modeldengan Dummy Waktu Seluruh Bank antara 2001 dan 2009
Tingkat Pendanaan
Tingkat Upah
Harga Modal
Resiko Pinjaman
Resiko Modal
Seluruh Bank
Bank Besar
Bank Menengah
Bank Kecil
0.43***
0.53***
0.41***
0.48***
(24.73)
(9.62)
(17.87)
(17.61)
0.23***
0.033
0.28***
0.18***
(12.62)
(0.61)
(9.96)
(7.18)
0.028***
-0.0025
0.06***
0.015***
(2.1)
(-0.063)
(3.34)
(0.76)
0.42***
0.0008
0.40***
0.46***
(12.70)
(0.0061)
(9.51)
(9.15)
0.016
0.21***
0.19***
-0.024
(1.25)
(2.30)
(6.73)
(-1.56)
Deposito Mix -
0.0009
0.03
-0.046
0.011
Permintaan Deposito
(0.069)
(0.77)
(-1.94)
(0.62)
Deposit Mix -
0.00045
-0.028***
0.0005
0.002
Deposito Interbank
(0.178)
(-2.75)
(0.124)
(0.70)
Pendapatan Lain
-0.0004
0.064
-0.042***
-0.015
(0.177)
(1.66)
(-2.82)
(0.70)
892
63
309
520
Jumlah Observasi
R2
0.90
0.95
0.94
0.87
H (Kompetisi)
0.69a
0.55a
0.76a
0.68a
a) Nilai F test menunjukkan bahwa H tidak secara signifikan berbeda dari 0 dan 1 (level confidence 99%) Nilai dalam kurung adalah t-statistic; *** Signifikan pada 99% confidence level; ** signifikan pada 95% confidence level; * signifikan pada 90% confidence level
185
186 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
187
RELATIVE EFFECTIVENESS OF INDONESIAN POLICY CHOICES DURING FINANCIAL CRISIS1
Tumpak Silalahi2 and Tevy Chawwa3
Abstract
The objective of this paper is to review the impact of crisis and policy measures taken during the crisis, to evaluate the effectiveness of those measures and to analyze the exit strategy in Indonesia. The econometric model was used to evaluate the impact of monetary and fiscal policy to economic output using quarterly data from 1990 - 2010. The result shows that monetary and fiscal policies have significant impact to economic output. In the short run the changes in real GDP is significantly affected by changes in real monetary supply in the previous three quarter and real fiscal expenditures. The lesson learned from this research among other are that cooperation and coordination among the policy makers and the timely responses are very important in tackling the crisis; an effective conventional monetary policy in normal times may become less effective in a crisis thus unconventional monetary policy indeed necessary as timely policy response and the improvement for more timely disbursement of government expenditure is important to increase the effectiveness of this policy to stimulate economic output. Moreover, several Indonesian exit strategy and policies to face future challenges are very important to reach the ultimate objective of sustainable economic growth while maintaining macroeconomic stability.
JEL Classification: E52, E62, E63 Keywords: monetary policy, fiscal policy, financial sector policy, global financial crisis.
1 This is a collaborative research project with several central banks coordinated by SEACEN Research and Training Centre. 2 Associate Senior Economist at Directorate of Economic Research and Monetary Policy - Bank Indonesia, email :
[email protected] 3 Junior Economist at Directorate of Economic Research and Monetary Policy - Bank Indonesia, email :
[email protected] . The views expressed in this paper are those of the authors and do not reflect the views of Bank Indonesia
188 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. PENDAHULUAN Sebelum krisis global, khususnya selama tahun 2007, harapan optimis tentang perekonomian Indonesia merupakan pola pikir yang umum bagi para forecaster. Harapan ini didukung oleh berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan prestasi luar biasa dari perekonomian Indonesia pada tahun 2007 setelah krisis Asia pada tahun 1997. Tren pertumbuhan PDB Indonesia terus meningkat sejak tahun 2005 dan untuk pertama kalinya setelah krisis, pertumbuhan PDB mencapai lebih dari 6% pada tahun 2007. Pada dasarnya, pertumbuhan pada tahun 2007 didorong oleh konsumsi domestik yang kuat dan permintaan eksternal yang menyebabkan surplus neraca berjalan. Selain itu, sentimen positif disertai dengan imbal hasil yang menarik pada investasi portofolio rupiah yang membantu mendorong arus masuk modal. Pergeseran dana ke aset pasar berkembang berkontribusi pada apresiasi positif mata uang di kawasan itu. Surplus neraca berjalan saat ini dan kenaikan arus masuk modal portofolio pada tahun 2007 telah meningkatkan cadangan mata uang asing Indonesia sampai 13% dari PDB atau cukup untuk menutupi impor barang dan jasa untuk rata-rata tujuh bulan. Pasar finansial Indonesia dan lembaga keuangan juga dalam kondisi lebih kuat didasarkan pada indikator keuangan. Pelajaran dari krisis 1997 menghasilkan implementasi yang cukup ketat dari peraturan prudensial di sektor korporasi dan perbankan sebagai akibat dari yang memimpin industri perbankan Indonesia menjadi lebih sehat dengan dasar yang lebih kuat untuk menyerap berbagai guncangan dalam perekonomian. Permintaan tekanan pada tahun 2007 relatif tinggi ditunjukkan oleh output gap yang positif, meskipun masih jauh di bawah
output gap pada tahun 1996. Selain itu, pemerintah telah mencoba untuk mengurangi ketergantungannya pada utang luar negeri, baik jangka pendek dan jangka panjang. Semua perbaikan ini mengakibatkan Indonesia telah dinilai sebagai negara berisiko rendah dan mencapai skor ICRG (International Country Risk Guide) tertinggi sejak tahun 1997. Pada tahun 2007, kebijakan fiskal ditargetkan menjaga stabilitas harga untuk energi dan kebutuhan pokok, sementara juga memberikan stimulus ekonomi. Meningkatnya harga minyak dunia dalam kombinasi dengan lifting target bawah minyak domestik menyebabkan tekanan yang cukup besar dalam defisit anggaran pemerintah. Dalam kebijakan moneter, sikap BI dapat dibagi menjadi 2 periode, periode penurunan suku bunga BI (Januari-Juli 2007) dan periode pergerakan datar ditingkat kebijakan suku bunga (Agustus-November 2007). Bank Indonesia juga menerapkan kebijakan nilai tukar yang fleksibel, yang memungkinkan rupiah untuk bergerak sejalan dengan fundamental ekonomi. Untuk mengelola volatilitas dalam rupiah, Bank Indonesia melakukan intervensi pasar valuta asing pada skala terbatas. Meskipun banyak perbaikan, seperti koordinasi fiskal dan moneter yang lebih baik, diperkenalkan untuk memperkuat efektivitas pilihan kebijakan di Indonesia, gangguan dari guncangan eksternal seperti kenaikan komoditas/
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
189
harga minyak dan guncangan internal seperti kegagalan panen atau peristiwa musiman merupakan faktor penting yang mempengaruhi kondisi makroekonomi Indonesia. Krisiskeuangan globalpada tahun 2008 telahmembalikkanpola pikiroptimissebelumnya dari para peramalekonomi. Tekanan likuiditas global telah menyebabkan arus keluar modal portofolio jangka pendek besar-besaran diikuti dengan penurunan kinerja pasar keuangan Indonesia. Disektor riil, yang mencerminkan masukan dari perlambatan global, terjadi penurunan ekspor dan berdampak tidak langsung terhadap pendapatan rumah tangga dan sektor swasta, yang menyebabkan penurunan konsumsi dan investasi Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan PDB Indonesia pada 2009 menurun menjadi 4,5% (yoy). Beberapa langkah kebijakan diterapkan di sektor moneter, fiskal dan finansial untuk menangani krisis keuangan global. Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan moneter yang akomodatif dalam rangka untuk menjaga pencapaian pertumbuhan yang cukup setidaknya dengan mempertahankan likuiditas pasar keuangan yang difasilitasi oleh inflasi yang relatif rendah. Tingkat suku bunga kebijakan turun pada bulan Desember 2008 dengan maksud untuk menurunkan suku bunga kredit bank. Beberapa langkah-langkah kebijakan moneter yang tidak konvensional seperti penyempitan koridor suku bunga deposito dan fasilitas pinjaman juga telah diambil untuk mengatasi masalah likuiditas. Di sisi fiskal, pemerintah memberikan respon kebijakan untuk menjaga permintaan domestik dengan beberapa stimulus fiskal dan kebijakan perdagangan. Ada juga koordinasi antara Departemen Keuangan, Bank Sentral dan lembaga lain dalam rangka menjaga stabilitas keuangan dan makroekonomi. Dengan latar belakang ini, paper ini bertujuan untuk meninjau langkah-langkah kebijakan yang diambil selama krisis, mengevaluasi efektivitas dan menganalisis strategi penyelesaian untuk mencapai tujuan akhir dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Pada gilirannya ini diharapkan untuk membuat kontribusi untuk sebuah evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas langkahlangkah kebijakan dalam ekonomi SEACEN. Untuk menangani isu-isu yang luas di media cetak, dua metodologi digunakan, pertama, dengan analisis deskriptif menggunakan statistik sederhana dan grafis, dan kedua, dengan model ekonometrik untuk menganalisis efektivitas relatif dari pilihan-pilihan kebijakan. Bagian kedua dari paper ini mengulas teori dan kondisi empiris dampak krisis, bagian ketiga membahas metodologi yang digunakan, sementara bagian keempat membahas hasil dan analisis. Kesimpulan akan diberikan pada bagian akhir dan menutup uraian dari paper ini.
190 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
II. TEORI Sebagai perekonomian terbuka yang kecil, Indonesia tidak bisa kebal dari dampak guncangan eksternal. Integrasi di sektor keuangan telah menempatkan banyak negara terutama untuk perekonomian terbuka, menghadapi risiko penularan. Sebuah studi empiris oleh Santoso et.al. (2009 ) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hubungan penularan dengan beberapa negara di Asia, seperti Jepang, Taiwan, Korea, Hong Kong dan India. Pasar keuangan domestik bergerak erat dengan gerakan di pasar keuangan global. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penularan langsung antara bursa saham Indonesia dan indeks Dow Jones dan indeks NASDAQ. Jadi, jika Indonesia terpengaruh oleh krisis global, bukan efek langsung dari pasar AS tetapi lebih kepada efek tidak langsung dari pasar modal di Asia yang memiliki hubungan langsung dengan pasar modal AS. Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa Indonesia lebih merupakan shock absorber ketimbang transmitter, khususnya berkaitan dengan negara maju (Jepang, Australia, Jerman, Inggris dan AS). Di sektor riil, ekspor Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Penelitian oleh Kurniati et al (2008) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia yang paling sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi Singapura (1,19), diikuti oleh AS (0,84), Jepang (0,81) dan China (0,3). Terkait dengan krisis keuangan global saat ini, Kurniati dan Permata (2009) menemukan bahwa kejutan dalam penghindaran risiko global (global risk aversion) mempunyai dampak negatif yang cepat terhadap aliran modal ke Indonesia, terutama dari investasi portofolio yang menyebabkan depresiasi rupiah. Dampak melalui saluran keuangan pada variabel keuangan bersifat sementara dan relatif pulih lebih cepat (self-market correction). Efek putaran kedua krisis global terjadi melalui saluran perdagangan. Kejutan negatif dari pertumbuhan PDB AS menyebabkan penurunan kontemporer pada ekspor Indonesia yang selanjutnya berakibat pada penurunan pertumbuhan PDB domestik riil, arus modal dan depresiasi rupiah. Dampak pada ekspor tampaknya persisten dan perlu respon kebijakan dari yang berwewenang. Efektivitas kebijakan moneter tergantung pada lingkungan ekonomi domestik dan gangguan dari guncangan eksternal. Studi yang dilakukan oleh Arifin (1998) yang menganalisis efektivitas kebijakan suku bunga untuk stabilisasi rupiah selama krisis 1997/1998 di Indonesia menyimpulkan bahwa kebijakan suku bunga efektif untuk stabilisasi rupiah hanya jika tidak ada gangguan dari faktor non-ekonomi lainnya, seperti rumor negatif, mobilisasi dan kerusuhan masa. Dengan demikian, kebijakan tingkat suku bunga menjadi kurang efektif untuk mengurangi tingkat inflasi karena inflasi juga dipengaruhi oleh tekanan faktor penawaran seperti produksi dan distribusi.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
191
Penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir dan Adamanti (2010) meneliti dampak dari stimulus fiskal dan pemotongan suku bunga pada perekonomian Indonesia selama krisis keuangan global dengan menggunakan pendekatan Financial Computable General Equilibrium (FCGE). Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi dari ekspansi fiskal dan ekspansi moneter meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara efektif. Dibandingkan dengan efektivitas hanya ekspansi fiskal tanpa ekspansi kebijakan moneter atau hanya ekspansi moneter tanpa ekspansi fiskal, maka kombinasi dari dua kebijakan ini akan lebih efektif. Hasil lain dari paper ini menunjukkan bahwa melihat ke dalam komponen PDB, kombinasi dari ekspansi fiskal dan moneter memiliki efek multiplier yang besar, mendorong permintaan agregat melalui peningkatan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Sementara itu, dari sisi produksi, kombinasi ekspansi fiskal dan moneter memiliki efek positif pada peningkatan produksi semua sektor ekonomi. Efek ini berasal dari insentif fiskal (pajak yang lebih rendah, bea masuk rendah, dll) dalam meningkatkan investasi. Selain itu, peningkatan permintaan agregat juga mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi mereka. Paper ini juga menemukan bahwa pelonggaran stimulus fiskal dan moneter secara institusional telah meningkatkan pendapatan dan daya beli rumah tangga miskin dan kaya di daerah pedesaan dan perkotaan. Peningkatan ini pada gilirannya mendorong konsumsi semua jenis rumah tangga yang lebih tinggi. Beberapa penelitian lain yang terkait dengan efektivitas kebijakan fiskal selama krisis mencatat bahwa hal yang penting untuk diperhatikan ketika pemerintah memberikan stimulus fiskal adalah: (i) koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dan (ii) kemampuan pemerintah daerah dan pusat untuk mencairkan uang dengan cepat. Untuk mencapai ini, proses pengadaan dan praktek administrasi yang rumit perlu disederhanakan dan dibuat lebih transparan. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2009 menyelidiki peran program Jaring Pengaman Sosial dan Program Stimulus Fiskal (terutama infrastruktur dan program padat karya) dalam memitigasi dampak krisis keuangan global (GFC) dan menemukan bahwa: -
Terdapat beberapa masalah yang terkait dengan pelaksanaan program-program Jaring pengaman sosial yang mengganggu efektivitasnya:(i) sebagian pejabat pemerintah daerah kurang memiliki informasi spesifik tentang dampak GFC terhadap masyarakat, (ii) tidak ada sistem informasi mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tersedia secara hirarkis, periodik dan sistematis, (iii) kurang responsif terhadap perubahan harga atau tanda-tanda lain dari krisis.
192 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
-
Terkait dengan program stimulus fiskal (FSP), beberapa masalah yang terjadi yaitu: (i) Pemerintah pusat tidak mensosialisasikan FSP secara formal kepada pemerintah daerah, (ii) Tidak ada hubungan antara tingkat dampak GFC dan alokasi dana untuk daerah, (iii) Tidak ada hubungan antara sektor yang terkena dampak dan proyek-proyek sektor yang didanai, (iv) Terdapat peran penting dari pemerintah pusat untuk menginformasikan pemerintah lokal tentang ketersediaan proyek yang akan didanai, (v) Dana yang dialokasikan ke daerah juga tergantung pada peran aktif dari upaya pemerintah daerah untuk melobi pemerintah pusat. Masalah ini juga menunjuk pada analisis Yudo et.al. (2009) tentang program jaring
pengaman sosial, yang dikenal sebagai JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang diperkenalkan pemerintah Indonesia untuk menanggapi krisis 1997/1998. Evaluasi program anti-kemiskinan yang meliputi keamanan pangan, pekerjaan dan pemeliharaan pendapatan, dan menyediakan akses terhadap pendidikan dan kesehatan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus terjadi salah sasaran dan juga terdapat variasi tingkat efektivitas lintas program dan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa kabupaten lebih baik daripada yang lain dalam melaksanakan program umum nasional, yang mengisyaratkan perlunya perbaikan besar dalam pelaksanaan program, khususnya dalam menargetkan penerima manfaat dari program tertentu dan peningkatan cakupan dalam kelompok-kelompok sasaran. Penelitian lebih lanjut menegaskan kembali kesimpulan awal bahwa terdapat heterogenitas kinerja baik lintas program maupun lintas wilayah. Hal ini bisa terjadi karena desain diprogram, alokasi anggaran di seluruh program dan wilayah, dan kapasitas daerah untuk mengimplementasikan program. Satu pelajaran utama yang dapat ditarik dari penilaian ini adalah bahwa penargetan membutuhkan bimbingan administrasi yang rinci dan juga keterlibatan masyarakat jika keduanya dapat efektif dan dapat diterima secara sosial dan politik. Terlebih, penargetan administrasi yang statis, tidak akan mampu mendata rumah tangga miskin yang baru atau yang terkena shok. Sebagai bagian dari ekonomi pasar yang berkembang, Indonesia dipengaruhi oleh krisis keuangan global yang mengakibatkan mendadak berhentinya aliran modal ke negara-negara pasar berkembang dan penurunan pertumbuhan ekonomi global. Dampak indikator makroekonomi dapat dikelompokkan ke dalam efek putaran pertama dan kedua yang dijelaskan pada bagian berikut.
2.1 Efek Bagian Pertama Krisis Keuangan Global 2.1.1 Dampak Terhadap BOP dan Pergerakan Nilai Tukar Selama kuartal III Tahun 2008, perkembangan ekonomi global memberikan tekanan pada keseimbangan pembayaran Indonesia. Prospek pesimis untuk ekonomi global pada tahun 2008
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
193
ditandai oleh lembaga-lembaga internasional yang diperkuat pesimisme di kalangan pelaku pasar. Investor melihat prospek suram dan risiko lebih tinggi pada penempatan dana dipasar yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Persepsi risiko tinggi terhadap pasar Indonesia dapat terlihat pada indikator seperti Credit Default Swap (CDS) dan Bond Yield Government yang meningkat secara signifikan (Grafik 1 dan 2). Kemudian, dalam rangka untuk menghindari risiko, investor memindahkan dana mereka ketempat yang aman dalam bentuk US Treasuries.
1400
25 1 YR 5YR
1200
20
1000
10YR
800
15
600 400
10
200 0 Jan FebMarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan FebMarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan FebMarApr Mei Jun
2008
2009
Sumber : Bloomberg
Grafik 1. CDS (Credit Default Swap)
2010
5 Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun
2008
2009
2010
Sumber : Bloomberg
Grafik 2. Hasil Saham Pemerintah
Sebuah sentimen negatif yang disebabkan oleh turbulensi di pasar keuangan global memicu gelombang arus keluar modal seperti yang terlihat pada Grafik 3. Pada saat itu, investor asing mengurangi kepemilikan mereka atas sekuritas pemerintah Indonesia sebesar Rp4,4 triliun atau sekitar US$ 387 juta. Perilaku investor asing untuk mengakhiri investasi portofolio mereka kemudian diikuti oleh investor domestik menarik aset mereka dan tindakan ini membawa investasi portofolio pada triwulan IV-2008 mengalami net outflow. Selanjutnya, para agen domestik memindahkan account mereka dari dalam ke bank luar negeri dan beberapa dari mereka gagal mendapatkan pembiayaan luar negeri yang baru sebagaimana ditunjukkan oleh komponen investasi lain yang tercatat defisit. Defisit peningkatan investasi lain juga dapat dijelaskan dengan garis kredit perusahaan yang lebih tinggi, yang didorong oleh permintaan valuta asing korporasi yang besar untuk membayar impor pada tahun 2008. Sebaliknya, investasi langsung masih tercatat sebagai surplus bersih karena kegiatan akuisisi bank domestik oleh investor asing. Krisis keuangan global juga melemahkan kinerja neraca berjalan Indonesia pada kuartal I sampai kuartal IV tahun 2008 (Grafik 4). Eskalasi dalam defisit neraca berjalan ini terutama
194 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
bn US$
bn US$ 12,0
6,0
2009 : 10,75
CA Balance (Quarterly) CA Balance (Annual)
10,0
4,0 8,0
2,0 6,0
0,0
4,0
-2,0
2,0
-4,0
0,0
-6,0 Mar
-2,0 Mar
Jun Sep 2008
Dec
Mar
Jun Sep 2009
Dec
Mar Jun 2010
2008 : 0,13
Jun
Sep 2008
Des
Mar
Jun
Sep 2009
Des
Mar Jun 2010
Sumber : Bank Indonesia
Portfolio Investment
Direct Investment
Other Investment
Capital Account Balance (Quarterly)
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4. Neraca Berjalan
Grafik 3. Neraca Keuanganl/Modal
disebabkan penurunan ekspor akibat kontraksi ekonomi global dan jatuhnya harga komoditas ekspor. Transfer berjalan terpengaruh oleh remitansi pekerja yang juga menurun meskipun tetap positif. Pada tahun 2008, transfer masuk dari remitansi pekerja menghasilkan surplus US$ 5,2 miliar kemudian menurun menjadi US$ 4,8 miliar pada 2009. Menurunnya BOP pada gilirannya memicu depresiasi nilai tukar yang kuat disertai dengan volatilitas tinggi. Tekanan permintaan untuk mata uang asing yang berasal dari aliran modal portofolio asing dan penurunan penawaran mata uang asing karena turunnya ekspor juga menyebabkan tekanan depresiasi besar pada nilai tukar. Tekanan penurunan juga dialami oleh mata uang regional yang melemah akibat dari efek spillover turbulensi eksternal. Selain itu,
13000 12500 12000 11500 11000
October : - Several exchange rate stabilization policy : RR Ratio, Daily Balance Position, FX Swap tenor, Foreign currency provision -Policy governing lowering rupiah RR ratio
December : Policy governing the transaction of foreign currency against rupiah & prohibition of structured product transaction
10500 10000 9500
November : Policy governing the purchase of foreign currency through bank
9000 8500 8000
Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb MarApr Mei Jun
2008
2009
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 5. Pergerakan Nilai Tukar
2010
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
195
efek samping dari kebijakan Bank Indonesia dalam menurunkan persyaratan rasio cadangan juga memberikan efek kelebihan likuiditas rupiah di pasar dan menyebabkan rupiah terdepresiasi. Perkembangan ini menyebabkan Rupiah jatuh kelevel terendah Rp12.400 per US$ pada bulan November 2008 (Grafik 5). Bank Indonesia merespon dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk mengurangi tekanan dan mencegah volatilitas nilai tukar rupiah yang berlebihan, seperti kebijakan stabilisasi nilai tukar, kebijakan yang mengatur pembelian valuta asing melalui bank, kebijakan yang mengatur transaksi valuta asing terhadap rupiah dan larangan produk transaksi yang terstruktur. Kebijakan ini akan dibahas secara rinci pada bagian berikutnya.
2.1.2 Dampak Terhadap Pasar Saham Perilaku investor untuk menarik dana mereka dari negara-negara berkembang selama krisis global menyebabkan jatuhnya indeks pasar saham dari pasar berkembang termasuk Indonesia. Jatuhnya harga komoditas pertambangan dan pertanian di pasar dunia juga mempengaruhi indeks pasar saham secara berlawanan. Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menurun tajam dan ditutup pada 1,355 saat akhir periode 2008, turun 50,64% dibandingkan dengan triwulan II 2008 (Grafik 6). Dengan kinerja buruk ini, Bursa Efek Indonesia ditempatkan pada level 5 di Asia dan Pasifik, setelah Vietnam, Shanghai, Shenzhen dan Mumbai. Kinerja yang mengecewakan dari BEI telah menyebabkan jatuhnya volume dan nilai transaksi di pasar saham terutama dikuartal keempat tahun 2008 (Grafik 7). Jumlah perusahaan yang sudah memegang izin prinsip untuk mengeluarkan saham juga memutuskan untuk menunda emisi saham mereka.
3500
300.000
3000
250.000
Trading Volume (mn) Trading Value (IDR bn)
200.000
2500
150.000 2000 100.000 1500
50.000
1000 Jan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun
2008
2009
Sumber : CEIC
0
Jan FebMarAprMei Jun Jul Ags SepOkt NovDes Jan FebMarAprMei Jun Jul Ags SepOkt NovDes Jan FebMarAprMei Jun
2010
2008
2009
2010
Sumber : CEIC
Grafik 6. Indeks Bursa Saham Jakarta
Grafik 7. Nilai dan Volume Perdagangan
196 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Untuk menghindari jatuh lebih lanjut dikinerja pasar saham, pemerintah memutuskan untuk menghentikan perdagangan BEI pada tanggal 9 dan 10 Oktober 2008, menerbitkan peraturan tentang pembelian kembali, larangan short selling dan perdagangan marjin terbatas. Kebijakan-kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi investor untuk berpikir rasional di tengah gejolak pasar finansial yang disebabkan oleh krisis.
2.1.3
Dampak Terhadap Likuiditas Pasar Tekanan keuangan global juga menyebabkan kekurangan likuiditas dipasar uang domestik,
yang tercermin dalam laju yang lebih lambat dari pertumbuhan uang sempit (M1) dan broad
money (M2) (Grafik 8). Pada triwulan IV-2008 rata-rata pertumbuhan M1 dan M2 lebih lambat sebesar 1,5% (yoy) dan 14,9% (yoy), menurun dari 19,9% (yoy) dan 17,2% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Persepsi yang kuat dari ketatnya likuiditas perbankan dan spillover dari kondisi global juga tercermin dalam premi peningkatan likuiditas, yang semakin melebar untuk tenor yang lebih panjang. Dengan kondisi yang ketat di pasar uang, beberapa bank yang biasanya memasok likuiditas, kini meninjau ulang garis kredit dan batas kredit kepada rekananan mereka. Hal ini mengakibatkan distribusi likuiditas yang lebih tidak merata dan menyebabkan kecenderungan pasar yang lebih besar untuk tersegmentasi, karena hilangnya kepercayaan dalam transaksi. Pergerakan suku bunga antar bank masih di atas suku bunga kebijakan (BI rate) selama JuliOktober 2008, bersamaan dengan volume transaksi yang berkurang drastis dan peningkatan selisih suku bunga overnight tertinggi dan yang terendah (Grafik 9). Setelah kondisi ini, bank dengan posisi jangka panjang di pasar uang lebih memilih untuk mengalihkan likuiditas mereka ke Bank Indonesia untuk investasi jangka pendek.
Billion Rp
% 40000
25,0 M2 Growth (yoy) M1 Growth (yoy)
20,0
35000 30000 25000
15,0
20000 10,0
15000 10000
5,0
5000 0,0 Mar
0 Jun Sep 2008
Des
Mar
Jun Sep 2009
Des
Mar Jun 2010
Sumber : IFS, IMF
Grafik 8. Pertumbuhan M1 dan M2
Jan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun JulAgsSepOktNovDesJan FebMarAprMei Jun
2008
2009
2010
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 9. Volume Pasar Antar Bank per hari
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
197
2.1.4 Dampak Terhadap Lembaga-Lembaga Keuangan Dampak krisis keuangan pada lembaga-lembaga keuangan Indonesia tidak separah di negara lain karena bank-bank di Indonesia dan juga lembaga keuangan nasional tidak terpengaruh besar akibat dari subprime mortgage. Salah satu faktor penyumbang dalam hal ini adalah karakteristik dari bank-bank dan lembaga keuangan Indonesia, yang masih bersandar pada instrumen investasi konvensional. Faktor lain adalah peningkatan kualitas pengawasan disektor perbankan dan lembaga keuangan non-perbankan sebaik di pasar modal. Pelajaran dari krisis Asia 1997 telah menyebabkan Bank Indonesia untuk memperkuat struktur perbankan Indonesia di bawah Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai bagian dari sektor keuangan. Lagi pula, bank-bank dengan disiplin tinggi dalam mengikuti prinsip kehati-hatian, telah membatasi eksposur mereka terhadap masalah-masalah yang lebih besar terkait dengan produk derivatif. Namun, likuiditas yang ketat di pasar uang membuat sulit bagi bank untuk mengelola dananya. Pada bulan Oktober 2008, tiga bank pemerintah mengusulkan dukungan likuiditas dari pemerintah sebesar Rp15 triliun (sekitar US$ 1,36 miliar). Bank kecil dan menengah juga mempunyai masalah lebih berat akibat penyetor pemindahan dana penyetor ke bank yang lebih besar karena adanya kekhawatiran kemungkinan likuidasi bank seperti yang dialami pada tahun 1997. Saat itu, bank bersaing untuk menarik deposito dengan menawarkan suku bunga deposito yang tinggi. Akibatnya, suku bunga kredit juga meningkat. Kondisi ini menyebabkan penurunan kinerja bank seperti yang ditunjukkan oleh Rasio Kecukupan Modal (CAR) dan Kredit Bermasalah (NPL) (Grafik 10).
%
%
4,1
21 CAR (RHS) NPL Ratio
3,9
20
3,7
19
3,5
18
3,3 17
3,1
16
2,9 2,7 2,5 Mar
15
.
14 Jun Sep 2008
Des
Mar
Jun Sep 2009
Des
Sumber : CEIC
Grafik 10. Kinerja Bank Komersial
Mar
Jun 2010
.
198 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.2 Efek Bagian Kedua dari Krisis Keuangan Global 2.2.1 Dampak Terhadap Ekspor Melemahnya permintaan global dan keterpurukan harga komoditas dunia memperburuk pendapatan ekspor Indonesia secara signifikan, khususnya pada quarter I tahun 2009 (Grafik 11). Pertumbuhan ekspor menurun drastis ke -18.73% (yoy) dari 13.64% (yoy) pada kuarter yang sama di Tahun 2008 (Grafik 12).
bn US$ 25
40,0
Import Export
35,0
19,99
20
14,60
15 13,64 12,36 10,63 10
30,0 25,0
5
20,0
0
3,67
1,99
-5
15,0
-10
10,0
-7,79
-15
5,0
-20
0,0 Mar
-25
Jun Sep 2008
Des
Mar
Jun
Sep 2009
Des
Sumber : IFS, IMF
Grafik 11. Ekspor dan Impor
Mar
Jun 2010
-15,52 -18,73 Q1
Q2 Q3 2008
Q4
Q1
Q2 Q3 2009
Q4
Q1
Q2 2010
Sumber : IFS, IMF
Grafik 12. Pertumbuhan Ekspor (yoy)
Sekalipun ada pergeseran dalam tujuan pokok ekspor Indonesia ke China sejak 5 tahun yang lalu, tetapi pasar Jepang dan Amerika masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. Awal krisis tahun 2007, berdasarkan negara tujuan, proporsi ekspor Indonesia ke Jepang sebesar 21,71% dan ke Amerika sebesar 10,67% dari total ekspor (Grafik 13). Tujuan berikutnya adalah Singapura (9,65%), China (8,89%) dan Korea Selatan (6,97%). Implikasi dari konsentrasi ini merupakan akibat beberapa perlambatan pertumbuhan ekonomi di tujuan ekspor besar yang dialami pada krisis global yang berdampak buruk terhadap ekspor Indonesia. Tidak seperti negara maju lainnya yang ekspornya didominasi oleh peralatan elektronik dan perlengkapan kantor, struktur ekspor Indonesia didominasi oleh minyak dan gas sebagaimana halnya produksi industri berteknologi rendah. Jadi, sektor utama khususnya minyak, gas alam, nilai komoditas pertambangan dan pertanian ini yang banyak memiliki proporsi yang besar dalam ekspor Indonesia. Ketergantungan pada sektor primer ini membuat ekspor Indonesia lebih mudah terpengaruh oleh kejutan eksternal khususnya fluktuasi pada harga komoditas internasional.
199
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
% Others, 19,92%
Japan, 21.71%
Germany, 2,13%
60 50 40
Taiwan, 2.39%
30
Netherlands, 2,53%
USA, 10,67%
Thailand, 2,81%
20 10 0
Australia, 3,12%
-10
India, 4,54% Malaysia, 4,68%
China, 8,89%
South Korea, 6,97%
Singapore, 9,65%
Agriculture, Hunting And Fishing
-20
Mining And Quarrying
-30
Manufacturing
-40 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 14. Pertumbuhan Volume Eksporberdasarkan Sektor
Grafik 13. Negara Tujuan Ekspor Indonesia pada 2007
Pertumbuhan volume ekspor di seluruh sektor utama mengalami penurunan (Grafik 14). Pertumbuhan ekspor dari sektor pertambangan tiap tahun menurun dengan tajam dari 47.83% pada 2006 ke 7.98% pada 2007 dan menjadi -0.43% pada 2008. Pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur terus negatif pada 2009, tetapi ekspor sektor pertambangan berubah positif dan mencatat pertumbuhan sebesar 13,79%.
2.2.2 Dampak Terhadap Sektor Industri, Pengangguran dan Kemiskinan Jatuhnya ekspor selama krisis memberikan pengaruh yang buruk pada sektor tradable. Selama kuarter I tahun 2008 sampai kuarter III tahun 2009, pertumbuhan sektor manufaktur menurun dari rata-rata di atas 4% ke 1,5% (yoy) sejalan dengan penurunan ekspor produk
Rubber And Plastics Products
-6%
-8%
Textiles
-9%
Furniture Coke, Refined Petroleum Products
-13%
Office, Accounting And Computing
-14%
Wood And Of Products Of Wood And
-21% -22%
Chemicals And Chemical Products
-31%
-36,20% -44.25%
Other Non-Metallic Mineral Products -35 -30 -25 -20 -15 -10 %
-5
0
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 15 Volume Penurunan Ekspor dalam Subsektor Manufaktur 2008
Tobacco Products Other Non-Metallic Mineral Products Paper And Paper Products Tanning And Dressing Of Leather Furniture Medical, Precision And Optical Electrical Machinery And Apparatus Basic Metals Fabricated Metal Products Wearing Apparel; Dressing And Dyeing Other Transport Equipment Chemicals And Chemical Products Motor Vehicles, Trailers Machinery And Equipment N.E.C.
-1,83% -2,77% -3,99% -6,30% -9,03% -9,54% -11,50% -19,40% -19,85% -21,66% -25,07% -25,90%
Basic Metals
-8%
-50 %
-40
-30
-20
-10
0
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 16 Volume Penurunan Ekspor dalam Subsektor Manufaktur 2009
200 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
manufaktur. Subsektor yang terkena dampak mendalam pada 2008 adalah produk non-logam lainnya, produk bahan kimia dan produk kayu, yang volume ekspornya menurun sebesar 20 √ 30% dari tahun sebelumnya. Pada 2009, volume ekspor pada perlengkapan dan kendaraan bermotor menurun sebesar 44% dan 36% dibandingkan dengan ekspor tahun 2008 (Grafik 15 dan 16). Kemunduran kinerja sektor tradable pada saatnya menyebabkan penurunan serapan kerja. Tekanan dari krisis global mendorong beberapa perusahaan membuat perubahan dalam operasi dan menaikkan efisiensi bisnisnya. Akibatnya, beberapa pabrik ditutup atau mulainya pemberhentian karyawan, yang menyebabkan penurunan daya beli pada tahun 2008. Menurut Departemen Transmigrasi, jumlah pekerja yang secara temporer diberhentikan sebanyak 10.306 sampai Desember 2008. Analisis Bank Indonesia yang menggunakan Tabel Output Input Indonesia menunjukkan bahwa untuk setiap 1% penurunan ekspor Indonesia mengakibatkan 0,42% pengurangan pekerjaan industri (Tabel 1). Tabel 1. Dampak Kemunduran Ekspor terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan Tenaga Kerja (%) Skenario Total ekspor menurun sebesar 1% Ekspor Agrikultur menurun sebesar 1 % Ekspor tambang menurun sebesar 1 % Ekspor Manufaktur turun sebesar 1 %
Semua Sektor
Sektor Industri
-0.166 -0.009 -0.005 -0.091
-0.416 -0.001 -0.002 -0.400
Sumber: Indonesia Economic Outlook, Januari 2008
Merosotnya sektor yang memiliki ketergantungan ekspor saat krisis keuangan global, memberikan tekanan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan. Dampak penurunan pada jam kerja dan pemecatan di beberapa perusahaan menyebabkan banyak rumah tangga yang kehilangan pendapatannya. Selain itu, pendapatan petani di sektor pusat mulai menderita pada Oktober 2008, mengikuti jatuhnya harga komoditas. Tekanan inflasi yang tinggi pada 2008 juga membuat penurunan tingkat gaji riil untuk para pekerja. Untungnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2008 membantu perbaikan di berbagai indikator kesejahteraan seperti kemiskinan dan pengangguran. Program pemerintah dirancang untuk memberantas pengangguran, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk memberikan bantuan, pembayaran Kredit Usaha Rakyat (KUR), Gerakan Pengurangan Pengangguran dan distribusi Bantuan Langsung Tunai juga terlihat mempunyai beberapa pengaruh positif dalam peningkatan indikator kesejahteraan.
201
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
2.2.3
Pengaruh pada Pertumbuhan GDP Penurunan pada ekspor, semakin buruknya pada produksi dan pendapatan yang lebih
rendah secara serentak tercermin pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6.3% ditahun 2007 ke 6.0 di tahun 2008 dan 4.55% di tahun 2009.Dibandingkan negara lain di dunia, kinerja GDP Indonesia selama krisis secara relatif luar biasa. Pertumbuhan GDP di tahun 2009 adalah yang ke tiga terbesar di dunia setelah China dan India. Prestasi ini di dukung oleh kinerja dari beberapa sektor yang tak terkait dengan perkembangan eksternal seperti elektrisitas, gas dan kebutuhan air, konstruksi, transportasi dan komunikasi, dan sektor jasa. Pertumbuhan pada sektor listrik, gas dan air bersih mencapai 13,78% dan pertumbuhan pada sektor transportasi dan komunikasi mencapai 15,53%, secara berturut - turut (Tabel 2). Pada sisi permintaan, ekspansi ekonomi pada tahun 2009 di dorong oleh permintaan domestik yang kuat, terutama konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang tumbuh sebesar 6,21% (Tabel 3). Tabel 2. Pertumbuhan GDP Growth pada Sektor (% yoy) 2008
2009
Q1
Q2
Q3
Q4
6,44
4,81
3,25
Total
Q1
Q2
Q3
2010 Q4
Total
Pertanian Pertambangan dan Galian Manufaktur Listrik, Gas dan Air Bersih
(1,62) -0,37 2,32 4,28 4,23 4,31 12,34 11,77 10,41
5,12 4,83 5,91 2,43 0,68 2,61 1,85 3,66 1,50 9,34 10,92 11,25
2,95 3,29 4,61 4,13 3,37 6,20 5,22 4,37 1,53 1,28 4,16 2,11 15,29 14,47 13,99 13,78
Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
8,20 8,31 7,76 5,88 7,51 6,25 6,75 7,68 7,59 5,47 6,87 0,63 18,12 16,57 15,64 16,12 16,57 16,78 8,34 8,66 8,60 7,42 8,24 6,26
-0,02 -0,23 4,17 1,14 17,03 16,45 12,22 15,53 5,33 4,90 3,77 5,05
Jasa PDB
5,52 6,21
6,51 6,30
6,95 6,25
5,93 5,27
6,23 6,01
6,70 4,53
6,09
7,73
7,19 4,08
6,04 4,16
8,03
5,69 5,43
7,05
6,40 4,55
Q1
Q2
3,00 3,08 3,70 8,18
3,08 3,77 4,29 4,76
7,05
7,18
9,36 9,63 11,92 12,91 5,34 6,10 4,62 5,69
5,25 6,17
Sumber: Bank Indonesia
Tabel 3. Pertumbuhan GDP Pada Sisi Permintaan 2008
Konsumsi
2009
Q1
Q2
Q3
Q4
5,47
5,49
6,34 6,42
Total
Q1
Q2
Q3
2010 Q4
Total
Q1
Q2
2,52
3,12
5,94
7,28
6,27
5,44 5,91
6,21
Investasi
13,88 12,16 12,30 9,40 11,86
3,46
2,37
3,24 4,18
3,32 12,45 10,13
Ekspor
13,64 12,36 10,63 1,99
9,53 -18,73 -15,52
-7,79 3,67
-9,70 19,99 14,60
Impor
17,99 16,11 11,10 -3,73 10,00 -24,42 -21,04 -14,67 1,62 -14,97 22,60 17,74
PDB Sumber: Bank Indonesia
6,21
6,30
6,25 5,27
6,01
4,53
4,08
4,16 5,43
4,55
5,69
6,17
202 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
2.3. Perbandingan antara Krisis Tahun 1997/1998 dan Krisis Tahun 2007/2008 Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainya telah mengalami dua krisis keuangan. Yang pertama adalah krisis Asia yang terjadi di tahun 1997 dan yang kedua yaitu krisis yang dikenal sebagai krisis keuangan global yang terjadi 10 tahun berikutnya di tahun 2008. Dalam hal skala dan besaran, terdapat kesamaan antara kedua krisis tersebut. Perhitungan durasi, amplitudo, skala dan slope kerugian kumulatif akan menunjukan gambaran kedua kejadian tersebut.4 Dibandingkan krisis tahun 1997/1998, pengaruh krisis 2007/2008 terhadap sektor riil relatif lebih kecil. Pada krisis tahun 1997/1998 crisis, pertumbuhan GDP terus mengalami penurunan selama 8 triwulan dengan total sebesar -28,53%. Faktanya pertumbuhan GDP pada saat itu negatif selama 5 triwulan. Pada krisis 2008/2009, penurunan pertumbuhan GDP hanya terjadi selama 3 triwulan dengan amplitudo sebesar 2,16%.
Tabel 4. Durasi, Periode, Amplitude, Slope dan Kerugian Kumulatif pada Krisis Saat Ini dan Krisis 1997/1998 Crisis Economic Growth Recession (% yoy) Duration Period Amplitude Slope Cummulative Losses Domestic Credit Growth (% yoy) Duration
2008/2009 Crisis
8 quarters
3 quarters
Q1 1997 √ Q4 1998
Q4 2008 √ Q2 2009
28,53%
2,2%
4%
0,72%
115,16%
4,86%
4 quarters
4 quarters
Q3 1998 √ Q2 1999
Q4 2008 √ Q3 2009
Amplitude
150,4%
25,2%
Slope
37,6%
6,3%
Cummulative Losses Stock Prices (Index)
370,8%
56,8%
5 quarters Q3 1997 √ Q3 1998
4 quarters Q1 2008 √ Q4 2008
Period
Duration Period Amplitude
448
1390
Slope
90
348
1411
2999
Cummulative Losses Sumber: CEIC, dihitung
4 Penjelasan lebih mengenai persamaan dan perbedaan krisis tahun 1997 dan krisis tahun 2008 dapat dilihat pada lembar lampiran.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
%
%
GDP Growth Indonesia (yoy) 100,0
15 10
203
Dec-96, 10.28% Sep-08, 6.25% Jun-10, 6.17%
Dec-99, 5.36%
5 Jun-09, 4.08%
0
80,0
Jun-98, 90.5%
60,0 Sep-08, 34.8%
40,0
Sep099.6%
20,0 0,0
-5
-20,0
-10
-40,0 -15
-60,0
Dec-98, -18.26%
-20
Jun-99, -59.9%
-80,0 Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: CEIC,diperkirakan
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010
Sumber: CEIC,diperkirakan
Grafik 17b. Puncak dan Palung Pertumbuhan Kredit
Grafik 17a. Puncak dan Palung Pertumbuhan PDB
3500 Dec-07, 2,746
3000 2500 2000 1500
Dec-08, 1,355 Jun-97, 725
1000 Sep-98, 276
500 Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010 Sumber: CEIC,diperkirakan
Grafik 17c. Puncak dan Palung Indeks Bursa Saham
Sebagaimana di indikasikan oleh kerugian kumulatif, pengaruh dari krisis finansial saat ini pada kredit domestik lebih kecil dari pada krisis pada tahun 1997/1998. Gambar menunjukan bahwa kerugian kumulatif adalah masing-masing 370,8% dan 56,8%. Meskipun durasi penurunan kredit hampir sama yakni selama 4 triwulan, amplitudo krisis tahun 2008/2009 lebih kecil (25,2%) dari pada krisis tahun 1997/1998 (150,4%). Pada pasar uang, meski secara absolut pengaruh krisis saat ini lebih besar terhadap indeks pasar saham yang menurun 1390 poin, namun secara relatif persentase penurunan tersebut lebih rendah (50,6%) daripada krisis pada tahun 1997 (61,9%). Begitu juga dengan durasi-nya yang lebih pendek.
204 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
III. METODOLOGI Dalam menganalisis efektifitas kebijakan moneter dan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kita menggunakan prosedur 2 langkah estimasi Engle and Granger yang memungkinkan pengujian kointegrasi dan spesifikasi Error Correction Model (ECM) secara eksplisit. Model empiris pada paper ini dimaksudkan untuk menguji hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan variabel kontrol lainya.
(1)
Dimana Y adalah ukuran aktivitas ekonomi, MP, adalah kebijakan moneter, FP ukuran kebijakan fiskal dan Z adalah variabel kontrol lain yang dapat mempengaruhi aktifitas ekonomi. Pada akhirnya, bentuk umum dari spesifikasi Error Correction Model (ECM) pada paper ini adalah: (2)
Dimana: Y
= variabel bergantung/dependen (economic output)
X
= variable bebas/independen, terdiri dari variabel moneter, variabel fiskal, dan variabel kontrol lainya.
ECM = sisa/residuals dari bentuk persamaan jangka panjang n
= jumlah variable penjelas pada model
p
= jumlah lag yang digunakan untuk mewakili dinamika berjalan pendek pada model Terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai proxy aktifitas ekonomi,
kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan variabel kontrol sebagaimana diurakan pada tabel dibawah. Kita menggunakan data triwulan dari tahun 1990 Q1 hingga 2010 Q2. Untuk menangkap efek periode krisis finansial terhadap efektifitas pilihan - pilihan kebijakan, kami menambahkan variabel interaksi dari dummy resesi dan variabel √ variabel kebijakan. Beberapa variabel diatur untuk seasonalitas menggunakan metode sensus X12.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
205
Tabel 5. Daftar Variabel Indikator Pertumbuhan Fiskal
Moneter
Efek Inflasi
Sektor eksternal Dummy resesi
Variabel
Sumber
GDP Riil GDP Nominal Keseimbangan fiskal Pendapatan pemerintah Pembelanjaan pemerintah Pembelanjaan primer
IFS, estimasi staff IFS BI BI BI 1.1.4.1.1.1
Saldo Primer M1 M2 Suku bunga Kebijakan
BI IFS IFS BI
Penurun GDP/ GDP Deflator CPI Exchange Rate Current Account Balance Resesi 1997/1998 Resesi 2008/2009
IFS, estimasi staff BI IFS IFS Ter estimasi Ter estimasi
Catatan
Pembelanjaan pemerintah pembayaran bunga
Sebelum Q3 2005, kami menggunakan SBI 1 bulan sebagai proksi untuk suku bunga kebijakan
Q1 1997 √ Q4 1998 Q4 2008 √ Q2 2009
Catatan : Semua variabel dalam logaritma, kecuai keseimbangan fiskal, saldo primer, neraca berjalan (karena terdiri dari nilai-nilai negatif) dan dummy resesi (biner 1/0)
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Hasil Empiris Untuk melihat karakteristik runtut waktu dari setiap variabel , kami menggunakan metode
Augmented Dickey-Fuller (ADF) danPhillips Perron (PP). Pendekatan PP ini lebih sesuai dibandingkan ADF karena data menunjukan patahan struktural/structural break sebagai effek dari krisis 1997/1998. Baik tes ADF dan PP mengindikasikan kebanyakan series bersifat nonstasioner dalam level, kecuali keseimbangan fiskal, saldo primer, suku kebijakan, dan neraca berjalan. Namun first-differencing series tersebut menghilangkan komponen non-stasioner dalam semua kasus dan hipotesis nol yang menyatakan non stasioner dapat ditolak pada tingkat signifikansi 5%, mengindikasikan bahwa semua variabel dapat terintegrasi pada I(1). Dengan demikian, langkah pengujian untuk hubungan ko-intergrasi hanya akan dilakukan dengan I(1).
206 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 6. Uji Stasioneritas untuk Variabel Variables
Abbreviation
ADF Test Result Phillips Perron Test Result 1st difference Level of Level 1st difference Level of t-stat p-values integration t-stat p-values t-stat p-values integration -2.139 0.032 I(1) -2.327 0.415 -8.320 0.000 I(1) -5.929 0.000 I(1) -2.117 0.529 -5.491 0.000 I(1)
Real GDP Nominal GDP
RGDP NGDP
Level t-stat p-values -2.631 0.268 -2.038 0.572
Real GDP_Adjusted Nominal GDP_Adjusted Fiscal Balance Government Revenue Government Expenditure Primary Expenditure Primary Balance Fiscal Balance_Adjusted Government Revenue_Adjusted Government Expenditure_Adjusted Primary Expenditure_Adjusted Primary Balance_Adjusted
RGDP_SA NGDP_SA FB GR GE PRIM_GE PB FB_SA GR_SA GE_SA PRIM_GE_SA PB_SA
-2.214 -1.913 -4.231 5.943 5.327 5.137 -5.436 -3.074 4.040 3.562 4.400 -1.843
0.475 0.639 0.006 1.000 1.000 1.000 0.000 0.003 1.000 1.000 1.000 0.063
-5.216 -1.957 -6.526 -17.544 -20.666 -20.657 -6.289 -12.525 -15.234 -10.192 -11.337 -12.502
0.000 0.049 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
I(1) I(1) I(0) I(1) I(1) I(1) I(0) I(0) I(1) I(1) I(1) I(0)
-1.921 -1.869 -9.025 2.972 2.100 1.976 -7.132 -8.552 3.211 4.154 3.046 -7.297
0.634 0.661 0.000 0.999 0.991 0.988 0.000 0.000 1.000 1.000 0.999 0.000
-5.159 -2.939 -29.488 -42.299 -36.833 -42.757 -26.702 -20.894 -15.292 -18.761 -18.449 -23.681
0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
I(1) I(1) I(0) I(1) I(1) I(1) I(0) I(0) I(1) I(1) I(1) I(0)
M1 M2 M1_Adjusted M2_Adjusted Policy Rate GDP Deflator GDP Deflator_Adjusted CPI Exchange Rate Current Account Balance GDP US GDP Japan
M1 M2 M1_SA M2_SA PR GDPDEFL GDPDEFL_SA CPI ER CAB USGDP JPGDP
-2.348 -0.933 -1.496 -0.864 -3.265 -2.125 -2.271 -2.402 -1.845 -3.021 -0.215 1.014
0.404 0.947 0.823 0.955 0.020 0.524 0.444 0.376 0.673 0.003 0.992 0.917
-1.880 -8.250 -3.371 -6.885 -7.633 -4.443 -3.798 -3.049 -5.637 -11.764 -2.199 -3.321
0.058 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 0.028 0.001
I(1) I(1) I(1) I(1) I(0) I(1) I(1) I(1) I(1) I(0) I(1) I(1)
-2.369 -0.933 -1.641 -0.941 -3.000 -1.871 -1.849 -2.208 -1.221 -3.021 -0.249 1.351
0.393 0.947 0.768 0.946 0.039 0.661 0.672 0.478 0.899 0.003 0.991 0.955
-7.610 -8.248 -5.250 -3.738 -7.646 -4.293 -3.798 -4.278 -6.479 -16.024 -3.144 -16.482
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.002 0.000
I(1) I(1) I(1) I(1) I(0) I(1) I(1) I(1) I(1) I(0) I(1) I(1)
Merunut pada metode two step Engle and Granger, pada langkah selanjutnya kami mengestimasi hubungan ekuilibrium jangka panjang antar variabel dengan menggunakan uji stasioner terhadap galat, menggunakan nilai kritis untuk uji ko-integrasi Engle - Granger yang disajikan pada Enders (2004). Setelah mengestimasi beberapa model alternatif, ditemukan persamaan ko-integrasi yang paling baik sebagai berikut:5
RGDP_SA =
5.13 + (0.05)***
0.88 RM1_SA (0.03) ***
+ 0.20 RGE_SA (0.25) ***
(3)
R2 = 0.94
5 RM1_SA di definisikan sebagai real seasonally adjusted M1 yang sebanding dengan nominal M1/ Deflator GDP . RGE_SA didefinisikan sebagai pembelanjaan pemerintah yang sebanding dengan nominal pembelanjaan pemerintah /GDP Deflator.Nilai di dalam ( ) menunjukan standar error. *** signifikan padaα = 1%, ** signifikan padaα = 5%, * signifikan padaα = 10%. Kami menyadari bahwa mungkin terdapat hubungan endogenitas antara RM1_SA dan GDP_SA, namun untuk sejalan dengan metodologi yang disetujui, kami mengasumsikan hanya terdapat hubungan satu jalur/one-way relationshipantara mereka dan menggunakan ECM. Untuk uji robust, kami juga menggunakan VECM dan menemukan hubungan jangka panjang antara variabel tersebut.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
207
Nilai kritis dari pengujian unit rootresidual persamaan ini adalah -6.61,dan dengan nilai kritis uji Engle - Granger Cointegration untuk 2 variabel yakni -4.123 pada signifikansi1%, maka variable GDP riil, M1 riil dan pembelanjaan pemerintah riil dikatakan ter ko-integrasi. Kami selanjutnya berganti pada model jangka pendek dengan mekanisme koreksi kesalahan:
(4) Dimana X terdiri dari M1 riil, pembelanjaan pemerintah riil dan variabel kontrol lain, sementara itu ECM adalah residual/sisa dari persamaan (3). Untuk mengidentifikasi dampak dari krisis, kami juga menggunakan variabel dummy resesi CR97 dan CR08 dan variabel interaksi antara resesi di tahun dan ukuran √ ukuran kebijakan. Secara umum diantara beberapa kombinasi kami menemukan model terbaik sebagai berikut: Tabel 7. Model Koreksi Kesalahan Variabel
Dependen : GDP Riil Koefisien
M1 Riil(-3)
0.06
t-stat 1.83
*
Pembelanjaan Pemerintah Riil
0.03
3.80
***
ECM(-1)
-0.07
-2.04
**
Nilai Tukar (-1)
-0.05
-3.00
***
Inflasi(-1)
-0.29
-5.47
***
Krisis 1997
-0.01
-2.04
**
Krisis 2008
0.01
0.75
3
M1 Riil(-3) *Krisis 2008
0.14
0.51
4
Pembelanjaan Pemerintah Riil * Krisis 2008
0.08
0.42
5
Konstanta
0.02
11.36
***
R2
0.66
6
7
DW-Stat
1.98
8
9
SIC
-5.40
10
11
*** signifikan pada α = 1%, ** signifikan pada α = 5%, * signifikan pada α = 10%
Hasil √ hasil empiris menunjukan bahwa GDP Riil ter ko-integrasi dengan M1 riil dan√ belanja fiskal riil. Mengacu pada informasi ini, dikembangkan sebuah model koreksi kesalahan
208 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
yang sebelumnya telah ditunjukkan terspesifikasi relatif lebih baik dan secara parsimoni dapat mewakili set data. Dari model √ model koreksi kesalahan, kita dapat menyimpulkan bahwa pada jangka pendek, perubahan pada GDP riil sangat dipengaruhi secara signifikan oleh belanja fiskal riil dan perubahan moneter riil. Perubahan GDP riil sebelumnya tidak signifikan untuk mempengaruhi perubahan GDP riil. Krisis di tahun 1997 menurunkan GDP riil secara signifikan, sementara itu efek krisis di tahun 2008/2009 tidak signifikan. Model tersebut menunjukan bahwa pada periode krisis di tahun 2008, pengaruh perubahan M1 dan belanja fiskal terhadap
output secara relatif serupa dengan pengaruh pada periode normal. Meskipun begitu, kedua variabel tersebut masih signifikan dalam mempengaruhi outuput meskipun dalam periode krisis. Hasil tersebut juga menunjukkan error term yang terdefinisikan dengan baik, dan mengindikasikan umpan balik sebesar 7% dari diseqilibrium triwulan sebelumnya dari pasokan uang jangka panjang dan belanja fiskal terhadap aktifitas ekonomi. Untuk mengevaluasi kinerja model, kami melakukan beberapa prakiraan sampel dan membandingkan hasilnya dengan data aktual. Hasilnya cukup baik sebagaimana ditunjukan oleh grafik 20. The root mean square
error (RMSE) pada prakiraan hanya sebesar 0,01.
13,4 LRGDP_SAF
LRGDP_SA
13,2 13,0 12,8 12,6 12,4 12,2 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010
Grafik 18. Evaluasi Model
Efektifitas relatif dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan, ditentukan oleh ukuran dari sumbangan instrument kebijakan yang dilaksanakan tersebut untuk membatasi dampak atas kondisi yang memburuk, dalam rangka mendapatkan hasil positif yang lebih besar. Sementara beberapa ekonom berpendapat bahwa kebijakan moneter sebaiknya berada pada garis pertama dalam pertahanan selama turbulensi, yang lain menentang dan menyatakan bahwa kebijakan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
209
fiskal memiliki peran yang lebih penting terutama ketika ukuran kebijakan moneter konvensional tidak cukup untuk mengatasi kerugian pada output dalam kondisi ekonomi yang melemah. Meskipun tidak secara spesifik mengacu periode krisis, hasil estimasi menunjukkan bahwa lag yang dibutuhkan oleh kebijakan moneter relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan fiskal (tabel 6); ini menunjukan bahwa pengaruh kebijakan fiskal terhadap GDP lebih cepat daripada kebijakan moneter.
Hasil ini sejalan dengan Elmendorf and Furman (2008) yang menyatakan bahwa kunci keuntungan potensial stimulus fiskal dibandingkan stimulus moneter, adalah bahwa dia dapat meningkatkan aktifitas ekonomi dengan lebih cepat, dan stimulus fiskal yang di implementasikan secara langsung dan benar, dapat menyediakan daya pendorong ekonomi jangka pendek yang lebih besar dibandingkan kebijakan moneter.
4.2. Analisis Pada model empiris diatas, kami menggunakan M1 untuk indikator kebijakan moneter dan pembelanjaan pemerinah riil untuk indikator kebijakan fiskal. Sementara itu, setelah penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), pada Juli 2005, Bank Indonesia telah mengubah fokus operasi moneter kepada tingkat suku bunga jangka pendek, menggantikan target operasi jumlah uang beredar. Pada level operasi ITF, stance kebijakan moneter tercermin pada suku bunga kebijakan (BI rate) yang diharapkan dapat mempengaruhi suku bunga pasar uang dan selanjutnya terhadap suku bunga deposito dan suku bunga kredit dalam sistem perbankan. Pada tingkatan yang lebih awal dari penerapannya, suku bunga BI dimaksudkan hanya tercermin pada tingkat diskon surat berharga Bank Indonesia berternor satu bulan (SBI 1 bulan). Sejak akhir Januari 2008, beberapa langkah bertahap telah dilakukan untuk lebih mem-fokuskan pada pengaturan suku bunga pasar jangka pendek sekitar level suku bunga BI. Efektif sejak 9 Juni, 2008, BI telah secara resmi mengganti target operasi dari suku bunga SBI 1 bulan ke suku bunga overnight pasar uang antar bank (PUAB O/N). Perubahan pada tingkat suku bunga ini akan mempengaruhi
output dan inflasi. Selain suku bunga kebijakan tersebut, terdapat juga beberapa instrumen moneter yang digunakan dalam mengendalikan agregat permintaan dekonomi. Mengingat hal tersebut, pada bagian ini, analisis kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang telah dilakukan akan di perluas, tidak hanya M1 dan pembelanjaan pemerintahan. Karena nilai tukar juga signifikan dalam mempengaruhi output, akan ada analisis mengenai kebijakan devisa.
210 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
4.2.1 Kebijakan Moneter Bank Indonesia mengambil serangkaian kebijakan sebagai respon terhadap ketidakstabilan keuangan global. Pada umumnya kebijakan moneter ditentukan dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dan karakteristik makroekonomi. Sebagaimana ditunjukan oleh gambar dibawah, selama periode Januari 2008 hingga November 2008, Bank Indonesia meningkatkan suku bunga kebijakan dari 8% ke 9.50% dalam rangka meredam tekanan naiknya IHK. Meski tekanan dari sudut pandang stabilitas keuangan lebih tinggi sebagaimana ditunjukan oleh tinginya suku bunga overnight, suku bunga bank dan tingkat yield dari surat berharga pemerintah yang meningkat karena kurangnya likuiditas global pada saat itu. Meski demikian, saat itu BI memutuskan untuk meningkatkan suku bunga kebijakan terkait kekhawatiran pada inflasi. Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, inflasi juga menurun selama tahun 2008 √ 2009. Untuk itu, suku bunga kebijakan, juga diturunkan sejak Desember 2008. Lebih jauh, sebagai respon terhadap krisis finansial global, Bank Indonesia mengambil bebarapa kebijakan untuk mengatasi isu likuiditas dalam sektor finansial. Akibat, diumumkannya kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008, pasar antar bank meroket tajam dari 6.98% ke nilai 9.37% Q-1 hingga Q-III 2008. Selain itu, volume transaksi Rupiah antar bank menurun 41% selama periode tersebut dikarenakan jatuhnya kepercayaan pasar terhadap institusi perbankan. Tujuan utama dari kebijakan non-konvensional tersebut sebagai mana ditunjukkan pada Tabel 4 adalah untuk membawa suku bunga antar bank agar konvergen menuju tingkat suku bunga kebijakan. Dalam rangka mengurangi guncangan yang berlebihan di pasar keuangan antar bank, koridor suku bunga dipersempit pada 4 September 2008 dan pada 16 September 2008. Seperti halnya pada bank sentral lain, Bank Indonesia juga merespon masalah likuiditas dalam sektor keuangan dengan mengurangi reserve requirement, diikuti dengan penyediaan fasilitas likuiditas dalam rangka mengalirkan dana pada pasar uang. Selanjutnya, terdapat koordinasi antara bank sentral dan pemerintah untuk mengatasi isu kepercayaan dan juga menjawab ledakan harga asset. Beberapa kebijakan juga telah diambil untuk mengatasi isu kepercayaan dan juga menjawab ledakan harga aset. Penjelasan kebijakan √ kebijakan yang diambil oleh √ Bank Indonesia selama krisis global dapat dilihat pada lembar lampiran.
a. Evaluasi Kebijakan Suku Bunga Terdapat perbedaan yang signifikan antara pergerakan suku bunga kebijakan saat krisis tahun 1997/1998 dengan krisis yang baru saja terjadi. Mengantisipasi tekanan inflasi yang sangat tinggi pada krisis tahun 1997/1998 (hampir 83% pada Q-IV 1998), bank sentral meningkatkan
Jan-08
Feb-09
BI Rate 8.25%
Jan-09
BI Rate 8.75%
Jan-09
Mar-08
Feb-09
Jan-08 - Apr-08 BI Rate 8%
Feb-08
BI Rate 7.75%
Mar-09
Mar-09
BI Rate 7.50%
Apr-09
Apr-09
BI Rate 7.00%
Jun-09
BI Rate 6.75%
Jul-09
Jul-09
Aug-09
Nov-08
Sep-09
23-Oct-08
Dec-08 BI Rate 9.25%
Dec-08
Oct-09
Dec-08
BI Rate 6.50%
Nov-09
Dec-09
Implementation of 2.5% secondary reserve requirement
Aug-09 - Dec-09
Oct-09
9-Des-08
Dec-08
- Open window repo of 2-14 day tenure
Lowering Reserve Requirement Rupiah Deposit to 5%
Oct-08 - Nov-08 BI Rate 9.50%
Oct-08
Gambar 1 Kebijakan Moneter Pada Tahun 2008 dan 2009
BI Rate 7.25%
May-09
May-09 Jun-09
14-Oct-08
Sep-08 BI Rate 9.25%
Sep-08
Lowering Reserve Requirement Rupiah Deposit to 7.5% Foreign Deposit to 1%
Aug-08 BI Rate 9%
Aug-08
Sep-09
Jul-08 BI Rate 8.75%
Jul-08
23-Sep-08
4-Des-08 Fasbi Corridor : BI Rate - 50 bps Repo Corridor : BI Rate + 50 bps
Expanding time period of FTO from 14 days to 3 month
Open window repo of 3 month tenure
Jun-08 BI Rate 8.5%
Jun-08
Fasbi Corridor : BI Rate - 200 bps Repo Corridor : BI Rate + 300 bps
4-Sep-08
Apr-09
May-08 BI Rate 8.25%
May-08
16-Sep-08 Fasbi Corridor : BI Rate - 100 bps Repo Corridor : BI Rate + 100 bps
Open window repo of 1 month tenure
Apr-08
O/N interbank rate replaced the 1 month SBI rate as the operational target - Fasbi Corridor : BI Rate - 300 bps Repo Corridor : BI Rate + 300 bps
3-Apr-08
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
211
212 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
suku bunga SBI secara signifikan ke nilai 68% dan secara bertahap menurunkan ke 11,03% pada Q-I 2000. Pada sisi lain, sebelum krisis 2008 terjadi, tekanan inflasi tidak terlalu tinggi, dan meskipun begitu, suku bunga kebijakan dinaikan hingga 9,25%. Pada saat itu, kebijakan BI untuk meningkatkan suku bunga kebijakan pada triwulan II, III dan IV tahun 2008 sangat bertentangan dengan bank sentral lainya di negara lain yang justru menurunkan suku bunga Tabel 8. Durasi, Periode, Amplitude dan Slopedari Suku Bunga dan Inflasi
Policy Rate (%) Duration Period Amplitude Slope Lending Rate (%) Duration Period Amplitude Slope Inflation (% yoy) Duration Period
Krisis 1997/1998
Krisis 2008/2009
6 kuartal
lebih dari 6 kuartal
Q4 1998 √ Q1 2000
Q1 2009 √ Q2 2010 (belum meningkat)
57.73%
2.75%
10%
0.46%
9 kuartal
lebih dari 6 kuartal
Q4 1998 √ Q4 2000
Q1 2009 √ Q2 2010
18.1%
2.0%
2.0%
0.3%
6 kuartal
5 kuartal
Q4 1998 - Q1 2000
Q4 2008 - Q4 2009
Amplitude
83.6%
9.36%
Slope
13.9%
1.9%
Sumber : CEIC, diperkirakan
%
80 70
Policy Rate Working Capital Lending Rate
Sep-98, 68.76
50,0
Sep-98, 35.7
40,0
30
10 0
Sep-98, 82.4%
60,0
50
20
80,0 70,0
60
40
90,0
30,0 Dec-00, 17.65
Dec-08, 15.22 Jun-10, 13.26
20,0
Mar-00, -1.2%
10,0 Mar-00, 11.03
Jun-10, 6.5
0,0
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
-10,0
Dec-08, 9.25
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grafik 19a Puncak Pergerakan Suku Bunga
Sep-08 12.1% Dec-09 2.8%
Mar Jul NovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMarJulNovMar
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 20092010
Grafik 19b Puncak Pergerakan Inflasi
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
213
mereka untuk mengatasi isu likuiditas dan mengurangi aktifitas ekonomi. BI memulai mengurangi suku bunga kebijakannya secara bertahap pada QI 2009 dan bertahan pada nilai 6,5% hingga sekarang. Selama kedua periode krisis tersebut, besarnya penurunan suku bunga pinjaman ratarata sektor perbankan, ternyata lebih kecil daripada penurunan suku bunga BI. Hal ini terefleksi pada spread suku bunga pinjaman dan BI rate. Dari perspektif mikro bank, terdapat beberapa faktor yang menyumbang terhadap pergerakan tingkat pinjaman termasuk biaya dari dana dan resiko premi yang condong meningkat selama krisis, dan profit margin. Sebuah studi sebelumnya menunjukan bahwa penurunan agregat biaya dana perbankan tahun 2009 condong lebih lambat daripada penurunan suku bunga BI. Lebih lanjut, resiko premi pada ekonomi pada saat itu masih dianggap tinggi dan terdapat indikasi bahwa industri perbankan lebih suka mempertahankan profit margin. Kesemua ini berkontribusi dalam mengurangi efektifitas pengaruh kebijakan suku bunga terhadap tingkat suku bunga pinjaman. Tabel 9. Rata- Rata Selisih BI Rate dengan Suku Bunga Pinajaman Selama Periode Ekspansi Non - Krisis
Krisis
Q2 1996 - Q1 1997
Q2 1999 - Q1 2000
6,12 %
8,23 %
Q1 2006 - Q4 2006
Q1 2009 - Q4 2009
4,29 %
7,41 %
b. Evaluasi Penurunan Cadangan Minimum Kebijakan cadangan minimal dipergunakan untuk menyediakan likuiditas Rupiah yang lebih banyak dalam sistem perbankan untuk mengimbangi desakan likuiditas dan mengurangi volatilitas di pasar antar bank. Pengaruhnya dapat dilihat pada suku bunga pasar antar bank yang menurun setelah pengumuman kebijakan tersebut. Volatilitas suku bunga antar bank juga berkurang. Sebagaimana diukur melalui standar deviasi, selama periode 1 bulan sebelum penerapan kebijakan, volatilitas suku bunga antar bank adalah 0,22% dan berkurang menjadi 0,08% setelah penerapan kebijakan tersebut. Volume transaksi antar bank juga meningkat meskipun peningkatannya lebih rendah dan pengaruhnya tidak tiba √ tiba layaknya suku bunga. Salah satu alasan peningkatan yang lebih rendah pada transaksi pasar antar bank adalah ekspansi pada fine tuning operation yang dilakukan bank sentral pada saat itu, yang meningkatkan akses terhadap likuiditas dari sentral bank, dengan demikian mengurangi kebutuhan peminjaman dari pasar antar bank. Hal ini
214 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Billion Rp 10,20
Lowering RR Policy, 23 Oct '08
10,00
35000 30000
9,80
25000
9,60
20000
9,40
15000
9,20
10000
9,00
5000
8,80
0
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29 Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Lowering RR Policy, 23 Oct '08
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29 Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 20. Suku Bunga Pasar Antar Bank
Grafik 21. Volume Transaksi Pasar Antar Bank
juga di dukung oleh perubahan fasilitas likuiditas untuk bank komersil dari bank sentral, yang aksesnya lebih luas dan lebih lama dibandingkan fasilitas inter-day biasa. Alasan lain pada saat itu adalah untuk mengurangi pembayaran pinjaman oleh bank komersil yang sejalan dengan permintaan kredit yang lebih rendah dikarenakan krisis global dan meskipun kebutuhan yang lebih rendah untuk meminjam dana. Perlu dicatat bahwa terdapat efek samping dari kebijakan ini. Meningkatnya pasokan rupiah telah membawa naiknya peredaran uang di pasar (M0), dan hal ini dapat menyebabkan depresiasi terhadap Rupiah.
c. Evaluasi Penyempitan Koridor Suku Bunga untuk Standing Deposit Facility/ Lending Facility (Repo) Kebijakan ini di arahkan untuk mengurangi volatilitas yang merebak di pasar uang antar bank dan meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia. Semakin rendahnya spread suku bunga antar bank dan suku bunga kebijakan, mengindikasikan semakin tingginya derajat kredibilitas bank sentral. Dari grafik 22, kita dapat melihat bahwa setelah pengaturan koridor yang pertama dan kedua, penyebaran suku pasar antar bank dan suku kebijakan relatif lebih tinggi dan hal tersebut kontradiktif dengan tujuan dari kebijakan tersebut. Salah satu alasan bisa saja meningkatnya tekanan likuiditas karena persepsi resiko yang lebih tinggi pada bulan September menyusul kebangkrutan dari Lehman Brother. Sementara itu pengaturan ketiga berhasil mengurangi
spread suku bunga (Tabel 10). Sebagai perbandingan, praktek yang paling baik pada penyebaran ini di beberapa negara ITF yaitu sekitar 20 bps.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
13,0
215
Adjustment of Corridor of Overnight Interest Rate
12,0 11,0 10,0 9,0 8,0 7,0
Adjustment of Corridor of O/N Interest Rate
Interbank O/N Rate BI Rate Operational Corridor
6,0 5,0
1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29 Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008 Sumber : Bank Indonesia
Grafik 22. Koridor Suku Bunga (%)
Tabel 10. Penyebaran Suku Kebijakan dan Suku Pasar Interbank Periode
Penyebaran
Catatan
1 bulan sebelum pengaturan pertama
9.08 bps
1 bulan setelah pengaturan pertama
11.72 bps
Lebih tinggi
1 bulan setelah pengaturan kedua
27.42 bps
Lebih tinggi
1 bulan sebelum pengaturan ketiga
35.57 bps
Ω
1 bulan setelah pengaturan ketiga
17.59 bps
Lebih tinggi
Catatan: pertama : 4 September 2008; kedua : 16 September 2008; ketiga : 4 Desember 2008 Sumber: Bank Indonesia, diperkirakan dari data harian
4.2.2 Kebijakan Fiskal Seperti negara √ negara lainya, Indonesia meluncurkan kebijakan fiskal sebagai kebijakan
counter-cyclical untuk melawan melambatnya efek langsung pada agregat permintaan. Dalam rangka mengurangi pengaruh krisis yang baru saja terjadi, pemerintah Indonesia mengambil sepuluh langkah untuk tujuan stabilitas perekonomian dan menyelamatkan anggaran negara. Sebagai tambahan, pemerintah menawarkan paket stimulus fiskal sebesar Rp.73,3 triliun atau US$7,56 milliar (2,6% dari GDP) dengan tujuan sebagai berikut, a. Mempertahankan daya beli rumah tangga untuk menjaga pertumbuhan konsumsi diatas 4%. b. Meningkatkan kekuatan dan daya saing sektor riil untuk menghindari lebih banyaknya PHK perkerja . c. Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan perdagangan. d. Menciptakan kesempatan kerja bagi penganggur/pekerja yang di PHK, dengan meluncurkan proyek infrastruktur pada karya. e. Perlindungan sosial dan penurunan kemiskinan yang anggarannya telah diputuskan tahun 2009.
216 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
% of GDP
% of GDP
% of GDP
2,50
25,0
25,0
20,0
20,0
20,0%
2,00 1,50
1,7%
1,5%
1,8%
0,8%
1,7%
0,3%
0,1%
0,00 -0,1%
-0,50 -1,00
15,0
15,0
2,7%
-1,0%
10,0
10,0
5,0
5,0
0,0
0,0
4,0%
-1,3%
-1,50
-1,6%
-1,6%
-2,00 2004
2005
2006
Fiscal Balance Expenditure (RHS) Poly, (Fiscal Balance)
2007
2008
2009
2010*
Primary Balance Revenue (RHS)
2,0% 2,4%
2,4%
3,2%
-0,5% -0,9%
18,4% 2,2%
2,3%
1,00 0,50
18,6%
4,4%
2,7%
1,2%
5,7%
5,4%
2004
2005
1,6%
19,2% 2,3% 2,0% 3,8%
19,9% 17,1%
2,3%
2,3%
1,8%
1,7%
5,6%
2,9% 1,6%
1,5%
1,3%
6,8%
6,4%
5,9%
5,5%
2006
2007
2008
2009
Transfer to Region Capital Expenditure Material
Other Routines Subsidy Personnel
Social Assistance Interest Payment Total Expenditure
Sumber : Kementerian Keuangan
Sumber : Kementerian Keuangan
Grafik 24. Total Komponen Pembelanjaan
Grafik 23. Operasi Keuangan Negara
Meski pada periode krisis realisasi keseimbangan fiskal pada akhir 2008 mengalami peningkatan secara signifikan dengan defisit yang kecil. Pada tahun 2009, karena stimulus fiskal dan rendahnya penerimaan pemerintah karena melambatnya perekonomian, membuat defisit fiskal yang lebih tinggi yaitu 1,6% dari GDP (Grafik 23). Berdasarkan pada komponennya, belanja terbesar pemerintah pada tahun 2008 dan 2009 adalah untuk transfer ke daerah dan subsidi (Grafik 24). Tabel 11. Rencana dan Realisasi Stimulus Fiskal No 1
2
3
Description Tax Savings Reductions in Income Tax Rates Lower Corporate Tax Rate Lower Personal Income Tax Rate Income tax-free band raised to IDR 15.8 million Tax/Import Duty Subsidies for Business/Targeted Households VAT on oil/gas exploration, cooking oil Import duties on raw materials and capital goods Payroll tax Geothermal tax Pro-business/Jobs subsidies + budget expenditures Reduced price for automotive diesel Discounted electricity billing rates for industrial users Additional infrastructure expenditures+subsidies+government equity injection Upscaling of Community Block Grants (PNPM) TOTAL
Notes : 1) Realization until October 2009, more updated data is not available 2) Realization until December 2009
Plan
Realization
(IDR Trillion) 43.0 32 18.5 13.5 11 13.3 3.5 2.5 6.5 0.8 17 2.8
(IDR Trillion) 20.5 18 12.8 5.2 2.5 3.7 2.5 0.3 0.1 0.8 14.0 2.8
1.4 12.2 0.6 73.3
1 10.18 n/a 38.2
Sumber: Departemen Keuangan dan sumber lain
% of Realization 1)
47.7% 1) 56.3% 1) 69.2% 1) 38.5% 1) 22.7% 1) 27.8% 1) 71.4% 1) 12.0% 1) 1.5% 1) 100.0% 82.2% 1) 100.0% 1)
71.4% 2) 83.4% 52.1%
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
217
Keberhasilan pemerintah memperoleh kondisi fiskal yang berkelanjutan pada tahun 2008 disebabkan oleh, (1) selama sepuluh tahun terakhir, kebijakan fiskal telah mengurangi rasio utang publik. (ii) Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk mengurangi subsidi bahan bakar yang memungkinkan untuk meningkatkan pengeluaran baik di tingkat pemerintah pusat dan daerah. (iii) Pemerintah telah meningkatkan total pengeluaran untuk pendidikan. Namun, dalam kasus Indonesia, permasalahan stimulus fiskal terjadi di mana kemampuan pemerintah daerah untuk dapat menyelesaikan anggaran mereka tepat pada waktunya sangat terbatas. Oleh karena itu, paket stimulus tersebut tidak digunakan secara optimal seperti yang
Tabel 12. Prinsip Evaluasi Stimulus Fiskal Efektif Prinsip
Penjelasan
Langkah Untuk Stimulus Fiskal Indonesia
Tepat Waktu
FS tidak seharusnya diberlakukan secara prematur, tertunda terlalu lama, atau terdiri dari pemotongan pajak atau peningkatan pengeluaran yang akan memakan waktu terlalu lama untuk dilakukan atau untuk meningkatkan produksi
Meskipun pemerintah segera memberi instruksi untuk FS, ada permasalahn yang menyebabkan penundaan pelaksanaan pencairan dana. Pengeluaran pemerintah itu sebagian besar disalurkan pada Q-4 (Grafik 26). Ini akan lebih baik jika pencairan di setiap kuartal cukup seimbang. Jadi dalam hal prinsip-prinsip tepat waktu, stimulus fiskal Indonesia adalah kurang efektif
Ditargetkan
Pemotongan pajak dan kenaikan belanja harus diarahkan sehingga dapat memberikan manfaat yang besar bagi orang-orang yang paling terkena dampak negatif dari perlambatan ekonomi
Proporsi terbesar dari FS adalah pengurangan pajak. Hal ini bisa menstimulus output ekonomi dari investasi dan secara tidak langsung akan meningkatkan lapangan kerja dan upah. Kemudianakan ada peningkatan dalam konsumsi dan output ekonomi. Selain itu, pengeluaran besar di infrastruktur akan baik karena meningkatkan pertumbuhan yang berkelanjutan jangka panjang dan bukan hanya jangka pendek. Dengan demikian dari prinsip-prinsip yang ditargetkan, stimulus fiskal Indonesia cukup efektif.
Sementara
FS seharusnya tidak meningkatkan defisit anggaran dalam jangka panjang
Sumber dana untuk stimulus fiskal berasal dari kelebihan penggunaan anggaran (SILPA 7) tahun 2008 dan utang. Dana dari kelebihan penggunaan anggaran tidak akan mempengaruhi anggaran pemerintah berikutnya tetapi penggunaan utang, dalam jangka panjang dapat mempengaruhi defisit anggaran. Selain itu, defisit rencana anggaran tahun 2010 masih relatif tinggi (1,6% PDB) (Tabel 15). Jadi dari prinsip-prinsip sementara, stimulus fiskal di Indonesia cukup efektif
7 SILPA: Sisa Lebih Pembiayaan dan Anggaran tahun lalu
218 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Trillion Rp 400000
1.400
Q1 Q2 Q3 Q4
300000
Change of Tax Revenue (yoy) 1.200
Change of GDP (yoy)
1.000 800
200000
600 400
100000
200 0
90
92
94
96
98
00
02
04
06
08
10
2003
2004
2005
2005
2007
2008
2009
2010*
Sumber : CEIC
Grafik 25. Pengeluaran Pemerintah Triwulanan
Grafik 26. Penerimaan Pajak versus Perubahan PDB
dapat di intepretasikan dari data bulan Oktober dan Desember 2009 yang menunjukkan bahwa hanya 52,1% dari rencana stimulus fiskal yang dapat diwujudkan. Kurangnya sosialisasi, pengeluaran yang hemat, dan implementasi regulasi yang lambat menyebabkan rendahnya penyerapan dari stimulus fiskal tersebut. Jadi, untuk meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal, diperlukan suatu konfigurasi standar prosedur operasi yang efektif dan mudah dipahami untuk pelaksanaan kebijakan fiskal, baik di daerah maupun pusat. Untuk menganalisis efektivitas kebijakan fiskal dalam meningkatkan kegiatan ekonomi setelah krisis bukanlah hal yang mudah, sehingga kami mencoba untuk mengadopsi evaluasi stimulus fiskal (FS) berdasarkan prinsip-prinsip Elmendorf dan Furman (2008) sebagai berikut: Tabel 13. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Anggaran Pemerintah Periode
Jumlah Fiskal Dalam% dari PDB
Jumlah Primer Dalam % dari PDB
1990-1996 Rata-rata
0,26%
2,05%
1997-1998 Rata-rata
-1,45%
1,13%
1999
-2,84%
1,05%
2001-2008 Rata-rata
-1,16%
1,92%
2009
-1,56%
0,12%
2010 Perkiraan
-1,59%
0,28%
Sumber: Kementrian Keuangan
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
219
4.2.3 Kebijakan Devisa Untuk menghindari penurunan nilai tukar dari rupiah yang lebih rendah, Bank Indonesia memperkenalkan langkah-langkah kebijakan fiskal seperti FX swap tenor yang diperluas, mengeluarkan aturan mengenai pembelian devisa oleh bank, dll (rincian dapat dilihat pada Appendix). Langkah-langkah kebijakan devisa cukup efektif untuk mengurangi guncangan nilai tukar selama krisis. Walaupun nilai mata uang Rupiah melemah secara terus menerus setelah diberlakukannya beberapa kebijakan devisa di bulan Oktober dan November 2008 dikarenakan adanya aliran modal keluar secara besar-besaran, guncangan nilai tukar menjadi relatif lebih kecil setelah dikeluarkannya kebijakan baru.
13000
Prohibition of structured product transaction
12500 12000
- Abolishing the limit of daily balance position of short term foreign loan - Foreign Exchange Provision for Domestic Corporation - The extension of FX Swap tenor
11500 11000 10500
Tabel 14. Guncangan Devisa Setelah Berlakunya Kebijakan FX Policies 15 October's policies
Regulation governing the purchase of Foreign Exchange by Banks
10000 9500 9000 8500
Std Deviation of Rp/US$ 1 week 1 week Result before after 94.58
69.61
Lower
13 November's policies
349.90
244.21
Lower
16 December's policies
338.22
73.40
Lower
8000 1 11 21 31 10 20 30 10 20 30 9 19 29 9 19 29 Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Oct Oct Oct Nov Nov Nov Des Des Des
2008 Sumber : CEIC, diperkirakan
Grafik 27 Dampak dari Kebijakan Devisa
4.2.4 Kondisi Ekonomi Indonesia setelah Krisis Banyak pekembangan yang terjadi pada ekonomi Indonesia selama 2009 dan 2010 yang meningkatkan optimisme atas sustainabilitas proses pemulihan ekonomi. Kinerja ekonomi yang positif mencakup peningkatan indikator-indikator resiko, kinerja di pasar saham, neraca, penguatan Rupiah, dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Pertumbuhan ekonomi di triwulan II pada thaun 2010 meningkat sebesar 6,17% yang lebih tinggi 2,07% poin dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan yang sama di tahun sebelumnya. Dari sisi permintaan, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah permintaan domestik khususnya yang berasal dari investasi sebesar 2,35% dan konsumsi sebesar 2,06%. Dari perspektif sektoral, kontributor terbesar adalah sektor Transportasi dan
220 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Tabel 15. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB 2010 Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Manufaktur Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan Jasa PDB
Tabel 16. Kontribusi dari sisi Permintaan Terhadap Pertumbuhan PDB
2010 Q1
Q2
0,42 0,25 0,97 0,06 0,45 1,55 1,02 0,52 0,44 5,69
0,43 0,31 1,12 0,04 0,45 1,61 1,13 0,58 0,50 6,17
Permintaan Konsumsi Investasi Ekspor (net) Ekspor Impor Statistic Discrepancy PDB
2010 Q1 1,65 2,82 1,18 7,85 6,67 0,04 5,69
Q2 2,06 2,35 0,42 6,02 5,60 1,34 6,17
Sumber: Bank Indonesia
Komunikasi (1,13%); Perdagangan, Hotel, dan Restoran (1,61%) dan sektor Manufaktur (1,12%). Indikasi bahwa pemulihan global berproses lebih cepat dari perkiraan telah meningkatkan optimisme terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Optimisme tersebut juga didukung oleh pemulihan ekonomi domestik yang lebih cepat dan juga bertahan dari dampak krisis global. Meningkatnya optimisme terhadap gambaran ekonomi Indonesia juga didukung oleh naiknya peringkat Indonesia yang dilakukan oleh agen pemeringkat internasional di awal tahun 2010. Kondisi positif ini mendukung hasil empiris dari penelitian ini dimana kebijakan moneter dan fiskal memberikan dampak yang signifikan terhadap output. Akan tetapi, ada beberapa tantangan untuk perkembangan ekonomi Indonesia. Dari sisi eksternal, tantangan tersebut utamanya berhubungan dengan dampak dari strategi-strategi negara maju dalam merespon krisis global, termasuk pelonggaran moneter dan trend ekspansi fiskal, polarisasi tren perdagangan global dan ketimpangan yang cukup besar dalam kinerja ekonomi global. Dari sisi domestik, tantangan yang paling utama berkaitan dengan beberapa isu yang dapat mengganggu efektifitas kebijakan moneter, seperti likuiditas bank yang berlebihan, dominasi arus masuk modal jangka pendek dalam struktur arus modal masuk, potensi penggelembungan harga aset, pasar modal yang tidak stabil, dan serangkaian permasalahan struktural pada sektor riil.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
221
V. KESIMPULAN Indonesia telah terpengaruh oleh dampak dari tertahannya aliran modal di negara-negara emerging ekonomi dan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi akibat krisis keuangan global. Paper ini telah mengidentifikasi dampak putaran pertama dan kedua dari krisis terhadap indikator makroekonomi. Pelajaran pertama dari krisis yang terjadi baru-baru ini adalah Indonesia sebagai negara berkembang secara jelas telah menunjukkan efektifitas dari kebijakan moneter, fiskal, dan kebijakan sektor keuangan yang telah membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Indonesia dan beberapa negara Asia telah mengalami dua krisis keuangan selama 10 tahun terakhir ini. Krisis Asia yang pertama terjadi pada tahun 1997, yang mengakibatkan reformasi yang begitu signifikan pada kebijakan dan institusi di sektor keuangan. Namun, pada krisis kedua di 10 tahun berikutnya yang dikenal sebagai krisis global yang terjadi di tahun 2008, reformasi yang terjadi tergolong lebih kecil dan tidak signifikan dibandingkan krisis pertama. Pelajaran kedua adalah kerjasama dan koordinasi yang lebih erat antar para pembuat kebijakan sangat penting dalam mengidentifikasi dan menangani tantangan yang ditimbulkan oleh krisis global. Selaku otoritas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan moneter yang akomodatif untuk mendukung pertumbuhan yang cukup moderat dengan inflasi yang relatif rendah. Kebijakan suku bunga mulai diluncurkan pada Desember 2008 dengan maksud untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit bank. Beberapa langkah dan kebijakan moneter yang tidak konvensional juga telah diambil untuk mengatasi masalah likuiditas. Di sisi fiskal, pemerintah berupaya menjaga permintaan domestik dengan beberapa stimulus fiskal dan kebijakan perdagangan. Ada juga koordinasi antar Departemen Keuangan, Bank Sentral dan lembaga lainnya dalam rangka mempertahankan pasar keuangan dan stabilitas makroekonomi. Langkah-langkah kebijakan yang diambil selama krisis telah dirumuskan secara tepat waktu dengan tujuan akhir pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi di Indonesia. Berdasarkan model koreksi error, kami menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek perubahan GDP riil secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan penawaran uang riil pada kuartal ketiga sebelumnya dan pengeluaran fiskal yang riil. Ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan fiskal terhadap PDB relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter. Merujuk pada kesimpulan dari penelitian ini, implikasi kebijakan yang harus diperhatikan di masa depan adalah sebagai berikut: 1. Kerjasama dan koordinasi antar pembuat kebijakan dan respon yang tepat waktu sangat penting dalam mengatasi krisis. Dengan demikian, dalam menangani krisis, kebijakan
222 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
moneter tidak bisa berdiri sendiri tetapi membutuhkan koordinasi dengan kebijakan fiskal dan kebijakan di sektor lainnya. 2. Kebijakan moneter konvensional yang efektif dalam kondisi normal dapat menjadi kurang efektif dalam krisis karena tingginya tingkat ketidakpastian terutama tekanan yang berasal dari luar. Dengan demikian, kebijakan moneter yang khusus memang diperlukan sebagai respon kebijakan yang tepat waktu. 3. Sehubungan dengan kebijakan fiskal, pencairan pengeluaran pemerintah yang lebih tepat waktu sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan ini agar dapatmerangsang output perekonomian.
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
223
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul, (1998), ≈Effectiveness of Interest Rate Policy for Rupiah Stability during Crisis,
Bank Indonesia Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, December 1998. (Available on Bahasa). Bank Indonesia, Indonesian Economic Outlook 2009-2014, ≈Global Financial Crisis dan the Impact on Indonesian Economy∆ Enders, Walter, (2004), ≈Applied Econometric Time Series∆, John Wiley & Sons, Inc, USA Elmendorf, Douglas dan Furman Jason, (2008), ≈If, When, How: A Primer on Fiscal Stimulus∆, Bookings Institution, The Hamilton Project Strategy Paper Kurniati Y, et all, (2008), ≈Sensitivity of Mainstay Export Commodities to Slowing Trading Partner Growth dan Changing International Prices∆, Bank Indonesia Research Notes: October. (Available on Bahasa) Kurniati Y dan Meily Ika Permata, (2009), ≈Transmission of External Shock to Indonesian Economy∆.Bank Indonesia Working Paper.(Available on Bahasa). Santoso et all, (2009), ≈Impact of Contagion Risk on the Indonesian Capital Market∆.∆Bank
Indonesia Financial Stability Report No 12: March. Simorangkir, Iskdanar dan JustinaAdamanti, (2010), ≈The Role of Fiscal Stimulus dan Monetary Easing in Indonesian Economy during Global Financial Crisis: Financial Computable General Equilibrium Approach∆, Presented at Call for Papers - EcoMod2010, Istanbul, July 7-10, 2010. Yehoue, Etienne B et all, (2009), ≈ Unconventional Central Bank Measures for Emerging Economies∆. IMF Working Paper No. 09/226 Yudo, Teguhet all, (2009), ≈The Impact Of The Global Financial Crisis On Indonesia»s Economy∆. Centre for Strategic dan International Studies (CSIS) Bank Indonesia (2008) Economic Report On Indonesia. Bank Indonesia Annual Publication Bank Indonesia (2009) Economic Report On Indonesia. Bank Indonesia Annual Publication
224 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
APPENDIX Tabel A. 1 Indikator Kunci: Mengukur Kerentanan Ekonomi Terhadap Guncangan Resesi Eksternal √ 1997/98 dan 2008/09 Indikator
1996
1997
US $ Miliar % dari PDB US $ Miliar % dari PDB 227.37
432.04
-
22%
118.01
27%
17.82
8%
54.74
13%
44.24
19%
85.26
20%
Rata-rata impor bulanan
3.69
-
7.10
-
Impor Bulanan Yang Terpenuhi
4.83
-
7.70
-
PDB (nominal) Ekspor Barang dan Jasa
50.19
Cadangan Devisa Impor Barang dan Jasa
Saldo Rekening Koran Total Hutang Pemerintah Hutang Luar Negeri Komposisi kewajiban Eksternal
Ω
-7.80 Ω
-3% Ω
110.17 Ω
48%
10.49
2.4%
147.51
34.1%
141.18 Ω
Ω
32.7% Ω
Jangka Pendek
22.03
9.7%
27.49
6.4%
Jangka Panjang
88.14
38.8%
113.69
26.3%
Debt Service Payment (asing)
2.82
1.24%
2.8
0.7%
Keseimbangan Primer
4.55
2.00%
3.3
0.8%
Defisit Fiskal
1.73
0.76%
-5.5
-1.3%
Indikator Rasio Pinjaman terhadap Deposito Bank
1996 109,26
1997 69,22 4,64
Kredit macet % Rasio Kecukupan Modal Bank
11,82
19,30
ICRG
70,00
70,50
Indeks harga Saham
637,43
2.745,83
Pertumbuhan PDB (yoy)
7,8%
6,3%
5,12%
5,60%
149.293
10.852
S & P Rating Inflasi Output Gap*
BB -
Catatan : * dihitung menggunakan metode HP Filter yang menggunakan data tahunan PDB riil dalam miliar rupiah Sumber : IFS, CEIC, Bank Indonesia dan estimasi staf
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
225
Table A. 2 Persamaan dan Perbedaan antara Krisis 1997/1998 dan Krisis Global 2008 di Indonesia Persamaan
Keduanya merupakan konsekuensi dari krisis ekonomi global, karena saling ketergantungan ekonomi dan keuangan antara negara-negara; Dampak krisis menyebabkan turunnya nilai rupiah terhadap mata uang asing; Dampak krisis akan mempengaruhi sektor ekonomi yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
Perbedaan
krisis 1998 adalah krisis multi dimensi antara ekonomi, politik, sosial, ideologi, pertahanan dan keamanan, sementara itu krisis global cenderung disebabkan oleh krisis keuangan dan ekonomi; krisis 1998 dimulai dari krisis mata uang Bath-Thail dan sedangkan krisis global dimulai dari akibat dari Sub-Prime Mortgage di AmerikaSerikat; 1998 Krisis ekonomi menyebabkan aksi anarkis masyarakat sedangkan krisis global tidak; krisis 1998 menyebabkan penuntutan perubahan kepemimpinan negara, sedangkan krisis global tidak; Fokus kebijakan moneter pada tahun 1998 krisis adalah pengetatan, sementara dalam krisis global adalah pengenduran.
226 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table A. 3 Kebijakan Moneter ysng Diambil Selama Krisis Keuangan 2008 - 2009 Kebijakan Moneter Konvensional
Kebijakan
Hasil
Tingkat suku bunga kebijakan meningkat hingga 9.25 % pada September 2008 BI Rate meningkat menjadi9,5% (Oktober dan November2008),menurun menjadi 9,25% (Desember2008) dan kemudian menurun secara bertahap menjadi 6,75% pada bulan Juli 2009 Menurunkan Reserve Requirement untuk mata uang Rupiah dari 9,1% menjadi 7,5% yang terdiri dari 5% cadangan primer (cadangan kas) dan 2,5% (23Oktober 2008) cadangan sekunder Menurunkan Reserve Requirement untuk mata uang asing dari 3% menjadi 1% (23 Oktober 2008)
Untuk mencegah tekanan inflasi seperti efek putaran kedua dari kenaikan harga BBM dan makanan serta harga dibarang-barang lain. Untuk mempertahankan momentum bisnis di tengah pelambatan ekonomi global sambil menjaga stabilitas makroekonomi Untuk menyediakan lebih banyak likuiditas rupiah di sistem perbankan
Untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas USD untuk digunakan oleh bank-bank dalam transaksi mereka dengan pelanggan.
Kebijakan Moneter Tidak Konvensional
Kebijakan Mempersempit koridor suku bunga untuk Staanding Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate-200bps (dari BI Rate-300bps dan mempertahankan Fasilitas Pinjaman (Repo) pada BI Rate+300bps (4 September 2008) Mempersempit koridor suku bunga untuk Standing Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate - 100 bps dan Fasilitas Pinjaman (Repo) untuk BI Rate + 100 bps (16 September 2008) Memperpanjang periode waktu untuk operasi Fine Tuning dari 14 hari sampai 3 bulan (23 September 2008) Perubahan Peraturan mengenai Fasilitas Likuiditas bagi Bank Umum (18 November 2008).
Fasilitas Open Standing (repo) tenor 2-14 hari (9 Desember 2008) Peraturan tentang Fasilitas Likuiditas Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (10 Desember 2008) Mempersempit koridor suku bunga untuk Standing Deposit Facilities (Fasbi) untuk BI Rate - 50 bps dan Fasilitas Pinjaman (Repo) untuk BI Rate + 50 bps (4 Desember 2008) Open Window repo 1 bulan (FTE) (17 April 2009)
Hasil • Untuk mengurangi volatilitas yang berlebihan di pasar uang antar bank.
Untuk mengurangi tekanan berlebihan dipasar Uang antar Bank dan menjaga kecukupan likuiditas di Industri Perbankan dengan baik. Untuk menyediakan fleksibilitas yang lebih luas bagi manajemen likuiditas dipasar uang antar bank Untuk memperlancar pengoperasian sistem pembayaran yang didukung oleh agunan bernilai tinggi dan likuid Untuk memberikan akses lebih luas kepada bankdengan menawarkan pendanaan dengan horison waktu lebih lama dibandingkan fasilitas pendanaan harian (inter day) Untuk memungkinkan agar bank yang menderita kesulitan likuiditas untuk solven dan menghindari dampak sistemik Untuk memfasilitasi kebutuhan likuiditas jangka panjang bank Untuk memberikan kesempatan yang sama bagi bank pedesaan untuk memanfaatkan fasilitas pendanaan jika terjadi kekurangan likuiditas jangka pendek Untuk mengatasi masalah segmentasi di pasar uang antar bank
Untuk memfasilitasi kebutuhan likuiditas jangka panjang bank
Relative Effectiveness of Indonesian Policy Choices during Financial Crisis
227
Table A. 4 Kebijakan Yang Diambil Untuk Isu Kepercayaan dan Lonjakan Harga Aset Kebijakan Bersama
Hasil
Melaksanakan pembelian kembali Obligasi Pemerintah dan mempersiapkan Program pembelian kembali saham perusahaan milik negara
Untuk mengurangi persepsi risiko yang tinggi diportofolio keuangan Indonesia yang dapat mendistorsi mekanisme transmisi kebijakan moneter, Menteri Keuangan telah membeli kembali Obligasi senilai IDR41 miliar (US $ 3.890.000) Pemerintah menggunakan dana pemerintah di rekening bank sentral.
Memperbolehkan penggunaan alternatif teknik evaluasi surat berharga seperti arus kas terdiskonto disamping marked to market value (siaran pers bersama -Bank Indonesia, Bapepam - LK dan Ikatan Akuntan). Memperbolehkan bank komersial untuk menukar portofolio obligasi dari kategori tersedia dan diperdagangkan ke kategori held to maturity.
Untuk memberikan kepercayaan pasar untuk obligasi pemerintah terutama ketika tidak ada harga pasar yang tersedia. Untuk meminimalkan dampak guncangan Keuangan Indonesia dengan memberikan kesempatan kepada bank komersial untuk mengatur kategori portofolio.
Mempertahankan tingkat cadangan devisa yang cukup.
Untuk mendukung rupiah dan lebih berfokus pada pencegahan gerakan rupiah yang terlalu besar.
Menempatkan beberapa pembatasan short selling di pasar modal. Pembatasan pembelian mata uang asing tanpa mendasari transaksi hingga US $ 100,000 untuk mencegah terjadinya spekulasi
Untuk mengurangi persepsi risiko yang tinggi
Melarang perdagangan pada produk bank terstruktur / produk derivatif yang memberikan kesempatan bagi nasabah bank untuk membeli mata uang asing termasuk deposito mata uang dana yang dapat ditarik kembali.
Untuk mengurangi spekulasi dan volatilitas nilai tukar yang diharapkan.
228 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
Table A. 5 Kebijakan Devisa Kebijakan Bersama
Hasil
Menghapus batas harian posisi saldo pinjaman luar negeri jangka pendek (13 Oktober 2008)
Untuk mengurangi tekanan pembelian USD di karenakan transfer rekening rupiah ke rekening mata uang asing oleh nasabah asing.
Penyediaan Valuta Asing untuk Korporasi Domestik melalui Bank (15 Oktober 2008)
Untuk meningkatkan jaminan dalam memenuhi permintaan mata uang asing oleh perusahaanperusahaan dalam negeri
Perpanjangan tenor FX Swap dari maksimal 7 hari menjadi maksimal 1 bulan (15Oktober 2008)
Untuk memenuhi permintaan sementara mata uang USD dan dalam rangka memberikan waktu penyesuaian yang lebih panjang bagi bank/pelaku pasar sebelum benar-benar menyesuaikan komposisi portofolio mereka
Peraturan yang mengatur pembelian Valuta Asing oleh Bank (13 November 2008).
Untuk mendukung keseimbangan kondisi pasokan dan permintaan valuta asing di pasar domestik Untuk mengakomodir tekanan yang berlebihan pada nilai tukar rupiah Untuk mengurangi pembelia nmata uang asing untuktujuan spekulatif Untuk mendukung tindakan kehati-hatian bank melalui Prinsip Mengenal Nasabah (KYC).
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Derivatif (larangan transaksi structured product) (16 Desember 2008)
Untuk meminimalkan transaksi spekulatif valuta asing
Koordinasi dengan Bank Sentral lainnya, seperti: - Penandatanganan Kesepakatan Swap Mata Uang (BCSA) antara Bank Indonesia dan Bank Rakyat China (23 Maret 2009) - Penandatanganan perjanjian untuk peningkatan jumlah Bilateral Swap Arrangements maksimum antara Jepang dan Indonesia dalam Chiang Mai Initiative (6 April 2009)
Untuk meningkatkan perdagangan dan investasi langsung antar kedua negara Untuk membantu menyediakan likuiditas jangka pendek untuk stabilisasi pasar keuangan dan membantu Indonesia mengatasi ketatnya likuiditas internasional
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to:
[email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
230 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Oktober 2011
I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.