ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email :
[email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email:
[email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 12, Nomor 3, Januari 2010
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV - 2009 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
263
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia Meily Ika Permata, Yanfitri, Andry Prasmuko
269
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia Sugeng, M. Noor Nugroho, Ibrahim, Yanfitri
311
Analisis Determinan Perubahan Penawaran Barang Ekspor Indonesia Sarwedi
355
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah Andry Prasmuko, Donni Fajar Anugrah
377
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
263
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perekonomian Indonesia di tahun 2009 menunjukkan daya tahan yang cukup kuat di tengah krisis ekonomi global. Hal ini tercermin oleh tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sampai dengan triwulan III-2009 masih mampu tumbuh di atas 4%. Dan untuk keseluruhan tahun 2009, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia dapat tumbuh sebesar 4,3%. Ke depan, untuk tahun 2010 dan 2011, perekonomian Indonesia diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan tingkat pemulihan perekonomian dunia yang lebih baik, semakin kondusifnya pasar keuangan dan perbankan yang dibarengi dengan terjaganya kondisi fundamental domestik. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan akan tumbuh mencapai kisaran 5,0-5,5% dan pada tahun 2011 menjadi 6,0-6,5%. Di sisi perekonomian global, Bank Indonesia memandang bahwa proses pemulihan ekonomi global masih terus berlanjut. Pemulihan tersebut bahkan dirasakan semakin kuat dan merata terjadi di berbagai negara dan sektor ekonomi. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh otoritas fiskal dan moneter selama tahun 2009 telah mampu menahan kejatuhan perekonomian dunia yang lebih dalam. Tanda-tanda pemulihan kondisi perekonomian menguat mulai dirasakan sejak triwulan II-2009. Motor penggerak perekonomian dunia untuk dapat terus bertumbuh di tengah krisis adalah perekonomian di kawasan Asia, seperti China, Korea, dan India. Dampak positif membaiknya kinerja ekonomi negara-negara tersebut dirasakan oleh negara lain di kawasan, termasuk Indonesia, melalui meningkatnya permintaan barang-barang ekspor. Lebih lanjut, paket stimulus yang diluncurkan pemerintah di negara maju yang disertai dengan membaiknya sumber pembiayaan dari perbankan dan tingkat keyakinan konsumen, mendukung perbaikan konsumsi sejak paruh kedua tahun 2009. Meski demikian, proses pemulihan ekonomi global masih dibayangi oleh berbagai faktor risiko. Beberapa risiko tersebut diantaranya berkaitan dengan masih tingginya tingkat pengangguran serta realisasi defisit fiskal di Amerika Serikat yang cukup tinggi sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait dengan kesinambungan operasi keuangan AS.
264 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perbaikan pada perekonomian global juga masih tercermin pada pasar keuangan global yang menunjukkan perkembangan positif. Meski di awal tahun intensitas tekanan di pasar keuangan global masih tinggi, di akhir tahun 2009 tekanan tersebut mulai mereda. Hal ini didukung oleh optimisme terkait terus berlangsungnya pemulihan ekonomi global dan membaiknya kinerja lembaga keuangan di negara maju. Berbagai perkembangan tersebut telah menumbuhkan persepsi positif sehingga mendorong kenaikan harga aset di pasar keuangan global sejak triwulan II-2009. Optimisme terhadap kondisi ekonomi global tersebut mendorong kinerja pasar keuangan dunia yang semakin baik. Indeks harga di pasar saham global meningkat, sementara persepsi risiko terhadap aset pasar keuangan, baik di negara maju maupun emerging markets, juga membaik sebagaimana tercermin pada credit default
swaps (CDS) yang menurun. Berbagai dinamika perekonomian global selama tahun 2009 telah memberikan warna pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan yang terjadi di perekonomian global, bangkitnya ekonomi China dan India, serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati di dalam negeri telah memberi dampak positif pada perekonomian Indonesia. Di wilayah kawasan, Indonesia merupakan negara yang menjadi ≈ flavour of the day ∆ karena daya tahan perekonomiannya sepanjang tahun 2009 di tengah-tengah krisis global. Tumbuhnya perekonomian Indonesia tersebut terutama didukung oleh kuatnya permintaan domestik. Ekspansi ekonomi domestik pada periode tersebut lebih didukung oleh pengeluaran konsumsi akibat tingginya pengeluaran terkait penyelenggaraan Pemilu, rendahnya inflasi, serta berbagai stimulus fiskal untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pengurangan pajak. Sementara itu, seiring dengan proses pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut dan semakin merata, serta harga komoditas global yang meningkat, kinerja ekspor Indonesia menunjukkan perbaikan. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2009 diprakirakan mencapai 4,3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik selama tahun 2009 tersebut juga terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara umum, perekonomian daerah selama tahun 2009 masih menunjukkan kuatnya konsumsi dan ekspor sejalan meningkatnya permintaan produk primer dari China, India dan Korea Selatan. Peningkatan ekspor dari wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua (Kalimantan-Sulawesi-MalukuPapua) terutama berasal dari komoditas karet, nikel, batubara dan CPO. Membaiknya ekonomi daerah tersebut juga tidak terlepas dari masih kuatnya konsumsi domestik terutama di Jabalnustra, Jakarta dan mulai pulihnya aktivitas ekspor, khususnya untuk komoditas perkebunan dan pertambangan dari Kali-Sulampua dan Sumatera, seiring dengan pulihnya ekonomi dunia. Sementara itu, realisasi stimulus fiskal telah mencapai 36,2% dan realisasi belanja modal APBD
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
265
di Kali-Sulampua dan Jakarta, atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2008. Hal ini memberi sedikit dampak pada membaiknya pertumbuhan investasi di daerah, meski masih minimal. Di sisi lain, masih kuatnya konsumsi domestik dan membaiknya ekspor komoditas primer telah direspons oleh meningkatnya aktivitas sektor utama di daerah, yaitu pertanian di Jabalnustra dan Sumatera, pertambangan di Kali-Sulampua serta sektor tersier di Jabalnustra dan Jakarta. Selama tahun 2009, meskipun menghadapi terpaan krisis global, kombinasi ekonomi antara daerah yang berorientasi domestik di Jabalnustra dan Jakarta serta daerah yang berorientasi ekspor di Sumatera dan Kali-Sulampua telah mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional daerah pada level yang lebih baik. Di sisi harga, perekonomian Indonesia di tahun 2009 ditandai oleh tekanan inflasi yang rendah. Inflasi November tercatat sebesar -0,03% (mtm), atau menurun dibandingkan bulan sebelumnya (0,19%). Deflasi pada bulan November terutama terkait dengan kembali terkoreksinya harga barang kebutuhan pokok. Secara tahunan inflasi IHK menurun dibandingkan bulan sebelumnya menjadi sebesar 2,41% (yoy). Dari sisi non fundamental, terjaganya pasokan domestik, lancarnya distribusi, dan harga komoditas internasional yang masih relatif rendah mendukung penurunan inflasi volatile food. Di kelompok administered prices, penurunan tekanan inflasi yang cukup tajam terkait dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga bahan bakar minyak di awal tahun. Dari sisi fundamental, penurunan tekanan inflasi terkait dengan faktor eksternal, yaitu penurunan inflasi mitra dagang dan nilai tukar yang cenderung apresiasi, serta menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Mencermati perkembangan tersebut, inflasi tahun 2009 berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,9% (y-o-y). Kinerja Neraca pembayaran Indonesia (NPI) selama tahun 2009 membaik sejalan dengan perkembangan global yang kondusif. Perbaikan tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan yang membaik sejalan dengan terus menguatnya pemulihan ekonomi global. Selain itu, berlanjutnya kenaikan harga komoditas ekspor Indonesia, terutama komoditas berbasis sumber daya alam, turut mendukung perbaikan transaksi berjalan. Surplus transaksi berjalan juga diprakirakan tetap meningkat di tengah meningkatnya impor nonmigas. Sementara itu, optimisme pemulihan ekonomi global, yang disertai dengan membaiknya persepsi risiko terhadap negara emerging markets diprakirakan dapat menjaga kelangsungan arus masuk modal asing. Sejalan dengan perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia tersebut, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2009 tercatat sebesar USD 65,84 miliar atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.
266 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Membaiknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia berdampak pada kestabilan nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2009. Secara keseluruhan tahun, rupiah bergerak dengan kecenderungan menguat. Persepsi positif di kalangan investor global terhadap ekonomi domestik telah meningkatkan selera risiko (risk appetite) dari investor global terhadap aset pasar keuangan dalam negeri. Hal ini mendorong aliran masuk modal asing terus masuk ke pasar keuangan Indonesia. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak triwulan II-2009 dan mencapai level Rp9.445 per dolar AS pada akhir November atau menguat 15,3% (p-t-p) dari level Rp10.900 per dolar AS di akhir tahun 2008. Di pasar keuangan domestik, berbagai perkembangan perekonomian tersebut telah memberikan dampak positif. Transmisi kebijakan moneter juga membaik yang tercermin pada respons suku bunga pasar uang dan perbankan pada BI Rate. Di pasar obligasi, transmisi kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya dengan tenor jangka pendek mencatat penurunan yield yang paling besar. Meski demikian, untuk tenor jangka panjang, transmisi kebijakan masih cenderung lebih terhambat. Hal ini mengindikasikan persepsi risiko dari para investor jangka panjang yang relatif belum optimal terhadap ekspektasi inflasi dan prospek sustainabilitas fiskal. Di pasar saham, indeks harga menunjukkan peningkatan. Kebijakan moneter Bank Indonesia yang diimbangi oleh pemulihan ekonomi global, telah meningkatkan minat asing pada aset di pasar keuangan emerging markets, serta indikator makro-mikro ekonomi domestik yang cukup kondusif mendorong kinerja IHSG untuk tumbuh lebih baik. Di pasar uang, transmisi suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB) semakin menunjukkan perbaikan. Suku bunga di PUAB overnight (O/N) bergerak di sekitar BI Rate seiring dengan diubahnya sasaran operasional kebijakan moneter ke PUAB O/N sejak Juli 2008. Penurunan tersebut juga diikuti oleh suku bunga PUAB untuk tenor di atas O/N. Transmisi BI Rate ke suku bunga deposito juga telah menunjukkan perbaikan. Sepanjang tahun 2009 suku bunga deposito 1 bulan menurun sebesar 337bps, atau lebih besar dari penurunan BI Rate sebesar 275bps. Dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku bunga kredit, respons penurunan BI Rate mengalami perbaikan perlahan dan secara lebih terbatas. Selama tahun 2009, suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga KMK, KI, dan KK) menurun sebesar 76 bps. Terbatasnya respon suku bunga kredit tersebut terkait dengan berbagai faktor, antara lain seperti persepsi risiko perbankan terhadap kesinambungan sektor riil yang masih tinggi. Terbatasnya respons perbankan tersebut menyebabkan sumber pembiayaan perbankan tumbuh rendah. Hingga Oktober 2009, pertambahan kredit (termasuk channeling) baru mencatat pertumbuhan 4,2% (y-t-d), jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
267
Ke depan, prospek perekonomian domestik di tahun 2009 dan tahun 2010 berpotensi lebih baik dari perkiraan semula. Hal ini juga diperkirakan akan terus berlanjut di tahun 2011. Faktor-faktor yang mendukung perbaikan tersebut adalah kondisi eksternal yang lebih kondusif berupa pemulihan ekonomi dunia yang lebih cepat dari perkiraan semula, serta kondisi domestik yang tetap terjaga dengan dukungan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Penguatan ekspor yang terjadi sejak akhir triwulan I-2009 diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi dunia. Selain akibat perbaikan ekonomi dunia, akselerasi pertumbuhan ekspor juga didukung oleh karakteristik barang ekspor Indonesia yang berbasis komoditas primer yang mengalami pemulihan yang cukup cepat sejalan dengan perbaikan permintaan di negara-negara mitra dagang. Di sisi domestik, meskipun tidak setinggi selama periode Pemilu 2009, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprakirakan tetap relatif kuat dan menjadi penyumbang utama PDB. Kinerja konsumsi tersebut didukung oleh terjaganya tingkat keyakinan konsumen, perbaikan pendapatan akibat kinerja ekspor yang menguat, serta rendahnya laju inflasi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi di tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,0-5,5%, sementara perekonomian Indonesia di tahun 2011 diperkirakan akan tumbuh mencapai 6,0-6,5% Di sisi Neraca Pembayaran, prospek pemulihan ekonomi global akan berdampak positif terhadap Neraca Pembayaran Indonesia di tahun 2010. Perbaikan kinerja NPI didukung baik oleh perbaikan transaksi berjalan maupun neraca transaksi modal dan finansial. Pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut yang disertai dengan berlanjutnya kenaikan harga komoditas dunia akan mendorong penguatan kinerja ekspor. Impor nonmigas diprakirakan mulai meningkat sejak semester II-2009 sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian domestik. Di sisi transaksi modal dan finansial, perbaikan kinerja ditopang oleh kondisi domestik dan eksternal yang lebih kondusif dibandingkan prakiraan sebelumnya. Di sisi inflasi, tren inflasi di tahun 2010 dan tahun 2011 diprakirakan akan kembali ke pola normalnya. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya gerak mesin perekonomian Indonesia yang tumbuh membaik. Oleh karena itu, selama tahun 2010 dan 2011, laju inflasi diprakirakan berada pada kisaran 5%±1%. Di sisi eksternal, prakiraan inflasi tersebut juga disumbang oleh peningkatan inflasi mitra dagang sejalan dengan prakiraan membaiknya ekonomi global dan meningkatnya harga-harga komoditas internasional. Sementara dari sisi domestik, tekanan inflasi juga diprakirakan berasal dari peningkatan harga-harga administered prices. Di sisi inflasi volatile food, gangguan pasokan akibat kemungkinan terjadinya El Nino diprakirakan hanya akan memberikan tekanan inflasi yang minimum.
268 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas dan mengingat bahwa tingkat suku bunga BI rate sebesar 6,50% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi pada tahun 2010 sebesar 5%±1%, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 3 Desember 2009 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,50%. Stance kebijakan saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan intermediasi perbankan.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
269
FENOMENA LABOR SHIFTING DALAM PASAR TENAGA KERJA INDONESIA
Meily Ika Permata Yanfitri Andry Prasmuko1
Abstract
This paper analyzes the labor shifting phenomenon in Indonesian labor market. Labor shifting phenomenon in developing countries, including Indonesia, is considered to be the reason of stable movement from the supply perspective. By using Sakernas data year 1998-2008, this paper analyzes the labor shifting phenomenon, both the direction of labor movement and the characteristics of the shifting labor. The main conclusions obtained in this research are, first, there is no structural break in Indonesian labor market. Second, although most of labors tend to remain in the same sector or intra-sector, the analysis shows there is tendency for the labor to move from non formal sectors especially to Agricultural and Trade sectors. Third, the model estimation result with a series of controlled category shows the biggest three probability of not shifting and remaining in the same sectors are in Electricity sector (70,15%), Financial sector (55,8%) and Mining sector (53,13%). On the other side, the biggest labor mobility opportunity to conduct shifting is on Industry sector (80.14%), Construction sector (64.3%), and Transportation sector (62.4%).
JEL classification classification: J23, J62, J64
Keywords: Demand for Labor, Job Mobility, Labor shifting, Unemployment.
1 Penulis adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Pandangan dan hasil yang dituangkan dalam paper ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan pandangan Bank Indonesia. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Perry Warjiyo, Dr. Iskandar Simorangkir dan Dr. Arie Kuncoro yang telah memberi masukan untuk penyempurnaan hasil penelitian ini.
270 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN Perubahan permintaan terhadap output pada suatu sektor akan menyebabkan perubahan terhadap kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat memicu terjadinya shifting dari dan atau ke sektor lainnya. Pertumbuhan output yang tinggi di suatu sektor akan memicu peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat diisi oleh angkatan kerja baru maupun melalui shifting tenaga kerja dari sektor lainnya, demikian pula sebaliknya. Krisis finansial global tahun 2008 yang menyebabkan terjadinya perlambatan ekonomi dunia diikuti dengan penurunan demand yang cukup tajam. Ini memicu terjadinya penurunan output yang cukup signifikan dan berujung pada rasionalisasi tenaga kerja. Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dapat mencari alterantif pekerjaan ke perusahaan lain di sektor yang sama atau melakukan shifting ke sektor lain, atau justru beralih ke sektor non formal. Krisis global baru-baru ini diperkirakan berdampak pada sekitar 30.000 yang dirumahkan baik dilaporkan maupun tidak, hingga akhir tahun 2008. Ancaman PHK atas sekitar 200 ribu buruh di Indonesia diperkirakan terjadi selang tahun 2009, serta diperkirakan sekitar 70-80 ribu tenaga kerja industri akan terkena PHK hingga akhir 2009 (Kadin). Menurut sumber yang berbeda, korban PHK hingga akhir 2008 mencapai 100.000 orang dari berbagai sektor, khususnya industri padat karya. Lebih lanjut diperkirakan sedikitnya 500 ribu sampai 1 juta tenaga kerja terkena PHK pada tahun 2009 (APINDO). Pemerintah sendiri memperkirakan jumlah PHK sampai Januari 2009 telah mencapai 31.660 orang. Selain krisis keuangan global baru-baru ini, dalam kurun waktu 1998-2008 Indonesia juga telah melalui krisis tahun 1997 yang juga berdampak luas terhadap dinamika dan struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis 1997 ini menyebabkan shifting yang relatif besar, terutama dari sektor formal ke sektor informal2. Pada tahun 1998 sektor informal mengalami peningkatan
share menjadi 65,4% dari 62,8% pada tahun 1997. Meskipun pada waktu krisis 1997-1998 terjadi PHK besar-besaran, namun pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan yang positif yaitu sebesar 2,7% (Tabel II.1). Besarnya penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh terjadinya shifting tenaga kerja ke sektor informal yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 8,7%, sementara sektor formal justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja (-6,6%) akibat banyaknya PHK yang terjadi. Penurunan penyerapan tenaga kerja formal, berlangsung hampir di seluruh
2 Menurut BPS, kegiatan informal adalah berusaha atau bekerja sendiri atas resiko sendiri, berusaha dengan resiko sendiri dengan dibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan non pertanian, serta pekerja yang tidak dibayar seperti mereka yang membantu seseorang memperoleh penghasilan atau keuntungan, namun tidak mendapat upah/gaji baik berupa uang maupun barang.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
271
Tabel II.1 Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja 1997-1998 Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listrik Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan Jasa Total Pertumbuhan Negatif
1997 6,3 8,3 5,5 44,5 13,1 -0,5 -0,2 -5,5 6,2 4,9
Formal 1998 27,5 -13,2 -10,7 -37,8 -20,0 -3,6 -5,4 -5,3 -1,8 -6,6
Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja Informal Total 1999 1997 1998 1999 1997 1998 75,4 -4,8 13,1 -4,0 -4,7 13,3 -0,8 32,6 -39,3 27,8 16,2 -22,9 14,9 0,4 -7,0 18,9 4,1 -9,8 34,4 19,9 -23,2 -36,6 42,1 -36,6 0,5 -8,9 27,2 -25,7 10,7 -15,8 6,7 13,0 1,2 2,6 7,0 -0,8 -5,7 10,4 6,8 7,4 4,8 0,7 0,7 30,0 -22,6 61,0 -4,6 -5,9 -2,3 17,3 0,3 3,6 7,9 -1,4 5,7 -0,1 8,7 -1,1 1,8 2,7
1999 -2,6 7,6 15,9 27,4 -3,0 4,3 1,3 2,6 -1,4 1,3
Pertumbuhan Positif
sektor kecuali sektor Pertanian. Sementara itu di tahun 1998, terjadi peningkatan tenaga kerja informal di sektor Pertanian (13,1%), Bangunan (27,2%), Perdagangan (1,2%), Pengangkutan (6,8%) dan Jasa (0,3%). Berdasarkan asal sektornya pengangguran terbesar berasal dari sektor Industri yaitu ratarata sebesar 3,33%, sektor Perdagangan sebesar 2,13%, dan sektor Jasa sebesar 2,14%. Besarnya persentase pengangguran yang berasal dari sektor Industri cukup mengkhawatirkan mengingat pangsa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dapat dikatakan relatif terbatas. Persentase pengangguran terbanyak dari sisi jumlah berasal dari sektor industri. Ironisnya, pangsa tenaga kerja di sektor industri itu sendiri cukup kecil. Hal ini mencerminkan lebih besarnya kegagalan shifting dari pekerja asal sektor industri dibanding pekerja asal sektor lainnya, terutama pada saat krisis. Pada saat tahun 1998, persentase pengangguran yang berasal dari orang yang sebelumnya bekerja (kena PHK) relatif tinggi. Pada tahun 1998 dan 1999, pengangguran yang berasal dari sektor Industri merupakan yang tertinggi yaitu masing-masing sebesar 6,35% dan 4,05%. Secara agregat, data tahun 1997-1999 menunjukkan bahwa pada masa krisis tidak terjadi penurunan jumlah tenaga kerja, bahkan sebaliknya terjadi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja meskipun dengan tingkat yang relatif rendah (Grafik II.1). Namun demikian, apabila dilihat dari sisi pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan PDB, terjadi penurunan yang tajam di tahun 1998 dan relatif stagnan pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa adanya shifting berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja yang ditandai jumlah penyerapan tenaga kerja relatif tetap bahkan bertumbuh.
272 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel II.2 Pengangguran Berdasarkan Asal Sektornya Sektor 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Pertanian 0,93 0,86 1,22 1,17 1,14 0,66 Pertambangan 0,32 0,23 0,15 0,09 0,09 0,09 Industri 6,35 4,05 3,28 3,68 3,66 2,46 Listrik 0,12 0,14 0,00 0,00 0,04 0,04 Konstruksi 2,87 1,93 1,58 0,89 1,39 1,08 Perdagangan 3,58 2,37 2,09 2,27 1,55 1,38 Transportasi 1,16 1,19 0,56 0,90 0,59 0,45 Keuangan 0,41 0,46 0,34 0,43 0,27 0,32 Jasa 3,71 2,57 1,32 2,09 1,53 1,15 Pengangguran dan Bukan Angkatan Kerja 78,14 82,83 86,05 85,25 86,07 89,41 Bukan Usia Kerja 2,41 3,36 3,43 3,24 3,68 2,95
2004 0,85 0,15 2,36 0,03 1,28 1,39 0,60 0,36 1,22
2005 0,94 0,07 2,66 0,02 1,17 1,81 0,43 0,22 1,15
2006 1,23 0,15 2,68 0,05 1,00 1,63 0,64 0,33 0,86
2007 1,24 0,24 2,18 0,02 1,38 2,27 0,78 0,31 1,51
2008 Rata-rata 1,59 1,08 0,14 0,16 3,29 3,33 0,04 0,05 1,89 1,50 3,10 2,13 0,83 0,74 0,42 0,35 1,98 1,74
88,57 88,61 88,67 88,13 84,87 3,20 2,93 2,75 1,92 1,85
86,06 2,88
Namun demikian, tingkat output yang dihasilkan cenderung menurun karena banyak tenaga kerja yang bekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah. Terjadinya shifting ke sektor yang relatif lebih rendah tingkat produktivitasnya tidak mampu mendorong terjadinya peningkatan penciptaan output yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan yang sangat rendah bahkan negatif. Dengan begitu, pada periode 1997-1998 (masa krisis), tingginya angka penyerapan tenaga kerja dan relatif stabilnya tingkat pengangguran tidak berkorelasi positif dengan angka pertumbuhan ekonomi.
%
15
25 20
10
15
5
10
0
5
-5
0
-10
-5
-15 -20
Productivity Growth Within Effect Static Shift Effect Dynamic Shift Effect
-10 Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Pertumbuhan Tenaga Kerja
Pertumbuhan PDB
90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
Grafik II.1 Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja
-15 -20
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
Grafik II.2 Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
273
Bagaimana sesungguhnya fenomena labor shifiting di Indonesia merupakan subyek yang dianalisis dalam paper ini. Isu ini sebelumnya telah diteliti oleh Permata (2008). Meski demikian penelitian tersebut belum sampai pada gambaran terukur dalam bentuk matriks arus migrasi tenaga kerja lintas sektor dan juga belum menjelaskan karakterisitik dan determinan dari labor
shifting tersebut. Dalam paper ini, secara khusus pertanyaan peneltian yang diangkat adalah bagaimana perilaku labor shifting di dalam sektor yang sama atau ke sektor lain di Indonesia antara tahun 1998 - 2008? Bagian kedua dari paper ini mengulas gambaran permintaan dan penawaran tenaga kerja Indonesia antar tahun, bagian ketiga berisi landasan teori adanya perpindahan tenaga kerja dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, bagian keempat mengulas metodologi yang digunakan dan data serta proses pembersihan data yang dilakukan peneliti untuk keperluan analisis dan bagian kelima akan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja, perpindahan tenaga kerja antar sektor, perpindahan tenaga kerja formal ke informal, serta determinan perpindahan tenaga kerja. Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan akan diberikan pada bagian penutup.
II. TEORI Hubungan antara jumlah lapangan kerja (vacancy) dan tingkat pengangguran secara empiris berbanding terbalik yang diilustrasikan dengan kurva Beveridge. Secara agregat kontraksi perekonomian akan ditandai dengan pergerakan sepanjang kurva ke kanan bawah yakni peningkatan pengangguran dan penurunan pembukaan lapangan kerja.
Lapangan Kerja
Lapangan Kerja
Ekspansi UL, VH Lower Matching Efficiency Kontraksi UH, VL Higher Matching Efficiency
Pengangguran
Grafik II.3 Kurva Beveridge
Pengangguran
274 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kurva Beveridge ini sangat sederhana namun bisa memberikan gambaran awal bagaimana pengaruh perubahan kondisi ketenagakerjaan terhadap pasar tenaga kerja termasuk mobilitas tenaga kerja dapat terjadi lintas sektor dan lintas industri. Kontur kurva ini sesungguhnya menggambarkan karakterstik ketenagakerjaan dalam suatu perekonomian. Perubahan karakterstik tersebut akan menyebabkan pergerakan kurva, baik rotasi, pergeseran bahkan perubahan kontur. Isu labor shifting yakni pergerakan tenaga kerja lintas sektor dan lintas region yang dibahas dalam paper ini salah satunya terkait erat dengan seberapa besar kemungkinan bertemunya pembukaan lapangan kerja dengan pencari kerja (matching process). Secara grafis ketika peluang kecocokan tersebut mengecil atau dengan kata lain peluang si pencari kerja semakin kecil untuk memperoleh pekerjaan, maka kurva Beveridge di atas akan bergeser ke kanan, demikian pula sebaliknya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat utilisasi tenaga kerja dan mobilitas mereka sangat banyak. Mengacu pada Parewangi, AMA (2008) 3, topologi variabel tersebut dapat dibagi kedalam 3 kategori besar yakni (i) dari perspektif mikro perusahaan, (ii) industri dan (iii) perspektif makro. Meski perusahaan, industri dan perspektif makro merupakan level agregasi yang berurutan, namun dalam setiap perspektif tersebut terdapat variabel-variabel khusus yang hanya terdapat pada level agregasi yang bersangkutan. Dalam topologi tersebut, setiap kategori mencakup variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran tenaga kerja serta faktor-faktor yang bersifat exogenous terhadap pasar tenaga kerja tersebut. Dari perspektif mikro perusahaan, terdapat 3 sub kategori variabel penentu yakni (i) skala perusahaan, (ii) kemampuan perusahaan dalam mengkombinasikan input tenaga kerja, input antara, modal dan input lain yang ia perlukan dan (iii) efisiensi penggunaan masingmasing input. Termasuk dalam sub kategori yang ketiga ini adalah kemampuan perusahaan untuk berinovasi yang tercermin pada koefisien teknologi atau sering diacu sebagai technological
progress. Dalam perspektif ini, kultur perusahaan, karakteristik individual perusahaan dan kualitas manajemen internal dapat berpengaruh besar terhadap intensitas penggunaan tenaga kerja dalam perusahaan tersebut. Sudut pandang kedua adalah industri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, meski industri merupakan agregasi dari setiap perusahaan, namun dalam konteks ini variabel penentu atas tingkat serapan tenaga kerja sektoral adalah karakteristik umum industri tersebut yang tidak bersifat firm dependent. Termasuk dalam kategori ini adalah tingkat keterkaitan lintas
3 Parewangi, AMA, 2008, Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro Perekonomian, modul training Fundamental Asia.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
275
sektor (downstream dan upstream), skala pasar, dan peraturan-peraturan yang berlaku spesifik atas industri tertentu (industri specific regulation). Disini tingkat upah, elastisitas serapan dan elastisitas penawaran tenaga kerja juga termasuk dalam kategori industri ini yang secara umum merupakan rata-rata tertimbang dari karakteristik semua jenis perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Sudut pandang yang ketiga adalah perspektif makro yang tidak bersifat industri dependent dan juga tidak bersifat firm dependent, namun dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap tingkat serapan tenaga kerja. Hampir semua variabel makro seperti PDB, inflasi, nilai tukar dan variabel lainnya termasuk dalam kategori ini. Variasi tingkat upah minimum misalnya dapat berpengaruh terhadap pilihan lokasi kerja, termasuk peraturan-peraturan yang bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya termasuk ketentuan pemberian pesangon untuk setiap pemutusan kerja oleh perusahaan. Gejolak makro baik domestic maupun global, juga merupakan variabel-variabel penentu yang mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan, baik dari sisi permintaan maupuan penawaran tenaga kerja. Integrasi dan kesepakatan global misalnya dapat mempengaruhi mobilitas tenaga kerja lintas negara yang berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja domestic. Tergantung pada kondisi ketenagakerjaan pada level perusahaan dan industri, secara empiris dampak perubahan system makro ketenagakerjaan dapat bervariasi. Suatu kebijakan dapat berpengaruh terhadap intensitas peggunaan tenaga kerja tanpa berpengaruh besar terhadap pergerakan tenaga kerja lintas wilayah dan lintas industri. Niederle dan Roth (2003) menganalisis pengaruh sistem pengalokasian (clearinghouse) dokter ahli (gastroenterologists) terhadap intensitas dan mobilitas para dokter tersebut. Niederle dan Roth menemukan bahwa antara sistem clearinghouse yang terdesentralisasi dan tersentralisasi tidak berdampak terhadap lokasi parktek para dokter, dan ini menunjukkan bahwa implementasi clearinghouse yang tersentralisasi tersebut hanya berdampak terhadap koordinasi layanan pasien dan peningkatan cakupan layanan. Tanpa mengurangi generalitasnya, jika diasumsikan hanya terdapat 2 input yang digunakan oleh perusahaan f dalam industri i masing-masing Kfi dan Lfi, maka tingkat produksi perusahaan dapat dispesifikasi mengikuti fungsi Cobb Douglas berikut: Qfi= Afi.Kfi αfiLfi βfi
(II.1)
Dari sisi perusahaan, esensi permintaan tenaga kerja mereka adalah produktivitas marginal yang sesuai dengan upah riil yang mereka bayarkan. Proses optimisasi yang dilakukan oleh perusahaan akan menghasilkan permintaan tenaga kerja:
276 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
(II.2)
Lfi = f ( Afi,wfi,rfi,Sfi,αfi,βfi )
dimana Sfi merefleksikan skala yang dimiliki oleh perusahaan tertentu, Afi adalah technological
progress, sementara wfi dan rfi masing-masing adalah harga input. Dalam spesifikasi tersebut, intensitas relatif penggunaan tenaga kerja dan modal dimungkinkan bervariasi lintas industri dan bahkan dapat bervariasi lintas perusahaan yakni terefleksi pada αfi dan βfi. Input Ki dan Lisendiri dapat dipecah menjadi beberapa jenis. Untuk tenaga kerja misalnya dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan klasifikasi tertentu seperti tingkat pendidikan sehingga Lfi menunjukkan composite labor yang dapat dispesifikasi sebagai nesting tertentu dari serangkaian jenis tenaga kerja4. Secara teknis: untuk Lfi = f (Lfi1, Lfi2, Lfi3, ..., Lfio) untuk o
o
(II.3)
Dengan sendirinya tingkat upah juga merupakan upah komposit dari masing-masing upah setiap jenis tenaga kerja yang ada; wfi = f ( wfi1, wfi2, wfi3, ...,wfio )
(II.4)
Spesifikasi model tersebut memungkinkan pembebanan biaya tenaga kerja yang bervariasi sesuai dengan sistem penggajian dan variasi komponen biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh perusahaan seperti biaya tunjangan kesehatan, bonus, tunjangan transportasi, perumahan dan komponen lainnya. Variasi pengupahan ini merupakan aspek-aspek yang bersifat firm
dependent. Perbedaan sistem pengupahan ini merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap mobilitas tenaga kerja baik lintas perusahaan dalam industri yang sama ataupun lintas industri yang berbeda. Secara empiris penelitian yang dilakukan oleh Alan Auerbach and Laurence Kotlikoff (1998)5 menunjukkan bahwa perusahaan yang menggaji karyawannya lengkap dengan tunjangan, bonus dan fasilitas lainnya akan lebih cenderung memberhentikan pekerjanya dibandingkan mengurangi jumlah jam kerja ketika perusahaan tersebut mengalami penurunan tingkat produksi yang tajam. Pada sisi lain, penawaran tenaga kerja oleh rumah tangga dispesifikasi tergantung pada upah riil wio/P - , dan waktu senggang (leisure) - H. Upah riil ini dapat terdiri dari gaji pokok, tunjangan, bonus dan komponen lain yang dapat dihitung dalam satuan uang. Dalam spesifikasi yang lebih rumit, penawaran tenaga kerja ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, budaya, umur, jenis kelamin, dan serangkaian variabel lainnya yang terangkum dalam vektor Z; Lsio = f (wio, P, H, Z ) 4 Pemilihan bentuk nesting mengacu pada teori dan kesesuaian empiris, (Parewangi AMA., 2008). 5 Alan Auerbach and Laurence Kotlikoff, 1998. Macroeconomics. MIT Press.
(II.5)
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
277
Spesifikasi eksplisit persamaan tersebut merupakan pertanyaan empiris. Secara makro, jumlah populasi yang disertai dengan tingginya angka partisipasi angkatan kerja secara langsung mempengaruhi jumlah suplai tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja ini juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan ketenagakerjaan seperti reservation wage yakni upah minimum yang berkorelasi positif dengan penawaran tenaga kerja, dan unemployment insurance yang cenderung berbanding terbalik dengan penawaran tenaga kerja. Penerima unemployment insurance memiliki kekhawatiran yang tidak terlalu besar untuk mendapatkan pekerjaan baru dan cenderung menolak jenis pekerjaan yang kurang sesuai. Pada level industri, kesimbangan pasar tenaga kerja (labor market clearing) pada industri i dapat tercipta ketika:
ΣΟ
Ο
Σf F L f i = ΣΟ
Ο
LsiΟ
(II.6)
Proses market clearing ini berjalan secara stochastic. Selain itu peluang tenaga kerja untuk menemukan perkerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka dan pada saat yang bersamaan tersedia dan dibutuhkan oleh perusahaan, dipengaruhi oleh serangkaian faktor.6 Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kualitas tenaga kerja yang merupakan fungsi dari tingkat pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja yang tercakup dalam vector Z pada Persamaan 5. Tenaga kerja yang memiliki keahlian lebih tinggi atau kemampuan manajerial lebih berpeluang untuk berpindah dibandingkan tenaga kerja yang hanya memiliki kemampuan teknis. Seberapa besar pengaruh variabel tersebut merupakan salah satu aspek yang diukur dan dianalisis dalam paper ini. Dalam prosesnya, produktivitas tenaga kerja dapat mengalami perubahan dan hal ini terefleksi pada perubahan koefisien teknologi Afi (Lihat Persamaan II.2). Secara empiris, dinamika produktivitas tenaga kerja ini dapat didekomposisi mengikuti Fagerberg (2000) atau Peneder (2003), n
Growth (LP)T =
LPT ,t1 - LPT ,t-1 LPT ,t-1
=
n
Σ (L P i=1
i,t1
n
- LPi,t-1) Si,t-1 + Σ LPi,t-1 ( Si,t1 -Si,t-1 )+Σ (LPi,t1 - LPi,t-1 )(Si,t1 - Si,t-1 ) i=1
i=1
LPT ,t-1 (II.7)
Dimana LPTt adalah produktivitas tenaga kerja total pada suatu waktu, LPitmenunjukkan produktivitas tenaga kerja suatu sektor pada suatu waktu, dan Sit menunjukkan pangsa tenaga kerja suatu sektor pada periode - t.
6 Lihat Parewangi, AMA (2008) untuk spesifikasi model yang lebih lengkap.
278 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Metode dekomposisi tersebut dapat menjelaskan sumber pertumbuhan agregat produktivitas tenaga kerja; (i) apakah karena adanya perubahan produktivitas di tiap sektor (within shift effect), (ii) perubahan pangsa tenaga kerja suatu sektor (static shift effect), atau (iii) karena adanya perubahan baik itu dari sisi produktivitas dan komposisi tenaga kerja antar sektor (dynamic shift effect). Rata-rata produktivitas tenaga kerja dapat diukur dengan membagi total output terhadap jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, rata-rata produktivitas tenaga kerja akan meningkat jika peningkatan output jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan tenaga kerja. Jika diasumsikan within shift effect dan jumlah tenaga kerja tetap, maka shifting tenaga kerja ke sektor yang lebih baik7 akan mengakibatkan rata-rata produktivitas tenaga kerja juga mengalami peningkatan. Sebaliknya, labor shifting tenaga kerja ke sektor yang kurang unggul secara agregat akan menurunkan produktivitas rata-rata tenaga kerja dan secara agregat akan menurunkan tingkat pertumbuhan output. Holzer (1989) mengungkapkan bahwa jenis dari labor shifting mempunyai implikasi yang berbeda pada tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Sebagai contoh, biaya dari perpindahan tenaga kerja antar wilayah akan cenderung lebih besar dibandingkan biaya perpindahan kerja di dalam suatu wilayah yang sama. Selain itu, perpindahan tenaga kerja antar industri yang berbeda tentunya membutuhkan tingkat penyesuaian yang lebih tinggi terutama untuk industri yang membutuhkan tingkat keahlian yang sangat spesifik, dibandingkan bila terjadi perpindahan tenaga kerja pada jenis industri ataupun jenis pekerjaan yang relatif sama. Biaya untuk mendapatkan pekerjaan di daerah baru ataupun di jenis industri baru cenderung lebih tinggi berkaitan dengan transportasi, akomodasi dan tingkat keahlian spesifik yang dibutuhkan. Sejalan dengan spesikasi model di atas, pergesaran permintaan terhadap industri tertentu dapat mengakibatkan perubahan biaya relatif dalam menghasilkan produk. Fenomena ini yang banyak dijumpai dalam literature sebagai sektoral shift. Dalam kasus PHK, pekerja yang mengalami PHK akan berusaha untuk mencari kerja kembali baik itu pada industri dan daerah yang sama, maupun mencari kerja ke sektor lainnya ataupun ke daerah lainnya (shifting). Kondisi terburuk terjadi ketika pekerja tersebut tidak dapat memperoleh pekerjaan di manapun sehingga meningkatkan angka pengangguran.
7 Sektor yang «lebih baik» atau unggulan dapat diidientifikasi dengan melihat laju pertumbuhan sektor tersebut,»output multiplier,»income multiplier,»forward dan backward linkage-nya.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
279
Namun demikian, berdasarkan teori sektoral shift model, proses realokasi tersebut akan membutuhkan waktu sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan angka pengangguran dan penurunan output yang bersifat temporer. Adanya lag tersebut karena dibutuhkan waktu sebelum tenaga kerja yang di PHK tersebut mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain ataupun di sektor lainnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan antara lain membantu proses relokasi tenaga kerja yaitu membantu tenaga kerja yang di PHK tersebut untuk mencari kerja di sektor lainnya. Pengambil kebijakan harus tanggap mengenai sektor yang akan mengalami PHK besar-besaran sebelum PHK tersebut terjadi dan dapat membantu dengan memberikan bekal keterampilan pada tenaga kerja agar dapat lebih fleksibel dalam mendapatkan pekerjaan di sektor lainnya. Beberapa studi empiris sebelumnya telah melakukan dekomposisi terhadap migrasi tenaga kerja. Pack, Howard dan Christina Paxson (1999) menemukan bahwa pekerja yang pindah ke sektor yang relatif lebih dekat dari sektor awalnya, akan bekerja lebih produktif. Kedekatan sektor ini dapat diidentifikasi dengan melihat backward linkage, forward linkage, atau korelasi antas sektor. Karakteristik labor shifting dalam kondisi perekonomian normal dapat berbeda dengan karakteristik labor shifting dalam kondisi krisis. Pada saat kondisi normal perpindahan tenaga kerja dapat disebabkan oleh adanya perubahan produktivitas sektoral sementara dalam kondisi krisis, perpindahan tenaga kerja cenderung bergerak ke sektor yang merupakan ≈jaring pengaman∆ dalam perekonomian, seperti sektor informal. Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian empiris tentang perpindahan tenaga kerja. Analisis labor shifting yang dilakukan oleh Permata (2008), menunjukkan bahwa pada masa normal, tenaga kerja cenderung melakukan shifting ke sektor yang lebih menjanjikan yaitu sektor yang relatif tinggi tingkat produktivitasnya yang tercermin dari nilai static shift effect yang positif. Dengan demikian adanya labor shifting diharapkan membawa dampak positif terhadap peningkatan agregat produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi sumbangan positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pada tahun 1998 (masa krisis) terjadi pertumbuhan negatif pada static shift effect dan within effect sektoral. Nilai witihin effect yang negatif menunjukkan bahwa secara umum hampir semua sektor mengalami penurunan produktivitas tenaga kerja. Sementara nilai static shift effect yang negatif mengindikasikan terjadinya fenomena shifting tenaga kerja ke sektor yang mempunyai tingkat produktivitas tenaga kerja lebih rendah.
280 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perilaku shifting pada tahun 1998 (krisis) ternyata mempunyai perbedaan dengan perilaku shifting pada tahun yang lain. Pada tahun 1998, shifting yang dilakukan merupakan upaya untuk menghindari terjadinya pengangguran dan cenderung terjadi peralihan ke sektor yang relatif lebih rendah produktivitasnya, sehingga sumbangan terhadap pembentukan output cenderung kecil. Selain itu, pekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah cenderung mendapatkan tingkat pendapatan yang juga relatif rendah, sehingga dari sisi daya beli akan mengalami penurunan. Penurunan daya beli tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
III. METODOLOGI Salah satu kontribusi utama dari paper ini adalah konstruksi matriks transisi tenaga kerja lintas sektor dan lintas formal-informal. Mengingat data ini memiliki peran penting saat pengolahan data dan tentunya hasil estimasi yang diperoleh, maka berikut ini dijelaskan langkahlangkah yang dilakukan. Pertama adalah mengekstraksi data yang ada di Sakernas mencakup periode 19982008. Data mentah Sakernas berisi informasi individual dari tiap responden berdasarkan jawaban masing-masing responden untuk setiap pertanyaan dari kuesioner Sakernas. Data tersebut tidak dapat langsung digunakan untuk keperluan analisis, oleh sebab itu, yang harus pertama kali dilakukan adalah menyaring (filtering) data dengan mengacu pada definisi International Labor Organization (ILO): 1. Penduduk Usia Kerja = usia 15-64 tahun 2. Angkatan kerja = penduduk usia kerja yang bekerja dan pengangguran. 3. Bukan angkatan kerja = penduduk usia kerja yang tidak termasuk angkatan kerja dan melakukan kegiatan yaitu sekolah, mengurus rumah tangga, atau lainnya. Memperhitungkan pengaruh dampak krisis 1998 yang lalu, maka terdapat pembedaan definisi untuk periode sebelum dan sesudah krisis keuangan globar tersebut. Untuk data tahun 1998-1999, konsep dan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria: 1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau; 2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu. 2. Pengangguran didefinisikan sebagai responden yang memenuhi 4 kriteria berikut: 1. Berada pada usia kerja, 2. Tidak bekerja seminggu yang lalu
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
281
3. Bukan sementara tidak bekerja dan 4. Sedang mencari pekerjaan Sementara untuk data tahun 2000-2008 digunakan konsep dan definisi berikut: 1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria: 1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau; 2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu. 2. Pengangguran didefinisikan sebagai berikut 1. Yakni responden yang memenuhi 4 kriteria berikut: (a) berada pada usia kerja, (b) tidak bekerja seminggu yang lalu, (c) tidak mempunyai pekerjaan selama tidak bekerja, dan (d) sedang mencari pekerjaan, atau; 2. Sedang mempersiapkan usaha. 3. Tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja.
PENDUDUK
BUKAN USIA KERJA
USIA KERJA
BUKAN ANGKATAN KERJA
ANGKATAN KERJA
BEKERJA
PENGANGGURAN
MENCARI PEKERJAAN
SEKOLAH
MEMPERSIAPKAN USAHA
MENGURUS RUMAH TANGGA
MERASA TIDAK MUNGKIN MENDAPATKAN PEKERJAAN
LAINNYA
SUDAH PUNYA PEKERJAAN TETAPI BELUM MULAI BEKERJA
SEMENTARA TIDAK BEKERJA
SEDANG BEKERJA
PENGANGGURAN KRITIS (<15 JAM)
SETENGAH PENGANGGURAN (<35 JAM)
JAM KERJA NORMAL (>35 JAM)
Grafik II.4 Proses Penyaringan Data Sakernas berdasarkan Definisi ILO
282 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dari seluruh data reponden yang sesuai filter diatas, selanjutnya dilakukan pengkodean untuk dapat mendeteksi perpindahan tenaga kerja. Coding ini mengikuti logika sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik II.5.
Mulai Bekerja Sebelum 31 Agustus Setelah 31 Agustus Pernah Bekerja Sebelumnya Ya
Tidak Sektor laluTetap
Ya
Tidak Pengangguran / BAK
STOP STOP Apakah Berhenti Bekerja/Pindah Setelah 31 Agustus 2006 Ya Ya Tidak Tidak Sektor laluPengangguran Pindah Pindah Tetap / BAK Sektor Sektor STOP STOP
Grafik II.5 Recoding Labor shifting Antar Sektor
Setelah data tersebut sudah siap, langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi silang terhadap data mentah Sakernas untuk menghasilkan matriks migrasi tenaga kerja antar sektor dalam suatu periode waktu sekaligus menggali informasi mengenai jumlah penyerapan tenaga kerja baru dan tingkat pengangguran dari tahun 1998-2008. Format hasil tabulasi ini ditunjukkan dalam Tabel II.3.
Kondisi Awal Pada Periode - t
Tabel II.3 Matriks Migrasi Tenaga Kerja
U 1 2 3 4 5 6 7 8 9
U m UU m1U m2U m3U m4U m5U m6U m7U m8U m9U
1 mU1 m11 m21 m31 m41 m51 m61 m71 m81 m91
2 mU2 m12 m22 m32 m42 m52 m62 m72 m82 m92
Kondisi Setelah Periode - t 3 4 5 6 mU3 mU4 mU5 mU6 m13 m14 m15 m16 m23 m24 m25 m26 m33 m34 m35 m36 m43 m44 m45 m46 m53 m54 m55 m56 m63 m64 m65 m66 m73 m74 m75 m76 m83 m84 m85 m86 m93 m94 m95 m96
7 mU7 m17 m27 m37 m47 m57 m67 m77 m87 m97
8 mU8 m18 m28 m38 m48 m58 m68 m78 m88 m98
9 mU9 m19 m29 m39 m49 m59 m69 m79 m89 m99
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
283
Sel mij menunjukkan perpindahan tenaga kerja dari kondisi i ke kondisi j. Untuk i, j = U berarti pekerja berada pada kondisi menganggur, dengan demikian sel mUU menunjukkan kondisi status pekerja dari kondisi menganggur menjadi tetap menganggur, sementara mio menunjukkan tenaga kerja yang awalnya bekerja di sektor kemudian menjadi menganggur. Untuk i, j = 1, …, 9 maka mi j menunjukkan volume perpindahan tenaga kerja dari sektor - i ke sektor -j , sementara mii misalnya menunjukkan tenaga kerja yang tetap bekerja pada sektor yang sama yakni sektor -i . Pengujian atas faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan tenaga kerja (labor shifting) dilakukan dengan teknik estimasi regresi multinomial logistic dengan spesifikasi model empiris sebagai berikut: P(Y =1|Xj) = β0+βj.Xj+εj
(II.8)
Dimana Y menunjukkan status perpindahan tenaga kerja. Variabel dependen ini merupakan variabel binary Y =1 dimana untuk menunjukkan responden melakukan shifting (berpindah kerja), sementara untuk Y =0 menunjukkan responden tidak melakukan shifting dan menjadi kategori pembanding. Vektor Xj menunjukkan serangkaian karakteristik tenaga kerja meliputi (i) jenis kelamin dengan coding SEX = 1 untuk jenis kelamin Laki-laki dengan kategori Perempuan SEX = 0 sebagai pembanding, (ii) usia pekerja (UMUR) yang merupakan variabel kontinue, (iii) tingkat pendidikan8 dengan coding EDUC_CAT=1 untuk pekerja yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dengan kategori EDUC_CAT=0 sebagai pembanding, (iv) status pengalaman kerja dengan coding FORMAL_CAT=0 untuk pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, dengan kategori FORMAL_CAT=1 sebagai pembanding, (v) upah dengan coding untuk upah tinggi dengan kategori upah rendah () sebagai pembanding, dan (v) level jabatan dengan coding untuk level manajer atau diatas dengan kategori sebagai pembanding. Estimasi dilakukan untuk satu periode waktu yaitu tahun 2004 yang dianggap sebagai kondisi normal. Regresi tersebut tidak dilakukan secara panel, tetapi dalam satu periode waktu tersebut untuk melihat bagaimana peluang perpindahan tenaga kerja didasarkan pada karakteristiknya (jenis kelamin, umur, pendidikan, berasal dari sektor formal, upah, dan kerah putih)9.
8 Tingkat pendidikan rendah (EDUC_CAT = 0) adalah responden dengan tingkat pendidikan maksimal SLTP. 9 Alternatif spesifikasi model yang lebih kuat adalah panel logistic. In(Nijt) = δi + θj + µt + β0.Zijt + β1.Xijt + εijt dimana Nijt = jumlah tenaga kerja yang berpindah dari industri i ke industri j pada periode t, θi = set dari dummy variabel untuk industri asal, ϑj = set dari dummy variabel untuk industri tujuan, µt = dummy variabel untuk waktu, Zijt = Kedekatan antar sektor (industy proximity), Xijt = Karakteristik tenaga kerja (usia, tingkat pendidikan, formal/informal, white/blue collar) yang berpindah dari industri i ke industri j pada periode t.
284 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Metode Paired Sample Test juga diaplikasikan untuk mengidentifikasi apakah terjadi structural break pada struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Per definisi, structural break diartikan sebagai perubahan besar baik dalam tingkat serapan maupun mobilitas tenaga kerja, antara satu titik waktu tertentu dengan titik waktu lainnya.
IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Structural Break pada Pasar Ketenagakerjaan di Indonesia Identifikasi struktur ketenagakerjaan dengan menggunakan Paired Sample Test menunjukkan bahwa tidak ada perubahan struktur dalam pasar tenaga kerja Indonesia selang periode 1998-2008 yang diobservasi (lihat Tabel II.4). Terdapat beberapa alasan yang diduga melatarbelakangi hasil tersebut, pertama adalah adanya undang-undang tenaga kerja yang melindungi para pekerja sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan pengurangan tenaga kerja menjadi mahal. Kedua, turnover pekerja lama dengan pekerja baru mencapai kurang lebih 20-30 tahun dimana perubahan struktur dapat terjadi pada rentang waktu tersebut. Ketiga, adanya keterbatasan skill dari tenaga kerja di Indonesia sehingga menyulitkan para pekerja untuk berpindah. Point terakhir ini akan diuji dalam model faktorfaktor yang mempengaruhi perpindahan tenaga kerja.
Tabel II.4 Hasil Analisis Paired Sample Test Paired Differences Mean Pair 1 Pair 2 Pair 3 Pair 4 Pair 5 Pair 6 Pair 7 Pair 8 Pair 9 Pair 10
TH1998 - TH1999 TH1999 - TH2000 TH2000 - TH2001 TH2001 - TH2002 TH2002 - TH2003 TH2003 - TH2004 TH2004 - TH2005 TH2005 - TH2006 TH2006 - TH2007 TH2007 - TH2008
-,00030 -,01281 -,0011 ,0005 ,0007 -,0005 ,0006 ,0005 ,0005 ,0008
Std. Deviation ,008222 ,065595 ,00920 ,01061 ,01176 ,00567 ,00551 ,00445 ,00874 ,00612
Std. Error Mean ,001012 ,008688 ,00122 ,00133 ,00143 ,00070 ,00068 ,00055 ,00102 ,00068
95% Confidence Interval of the Difference Lower -,00232 -,03021 -,0035 -,0022 -,0021 -,0018 -,0007 -,0006 -,0015 -,0006
Upper ,00172 ,00460 ,0014 ,0031 ,0036 ,0009 ,0020 ,0015 ,0026 ,0021
t
df
-,299 -1,474 -,864 ,354 ,516 -,652 ,893 ,830 ,532 1,097
65 56 56 63 67 65 65 65 73 79
Sig. (2-tailed) ,766 ,146 ,391 ,725 ,608 ,517 ,375 ,410 ,596 ,276
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
285
Dalam periode tahun 1997-2008 tersebut, terdapat beberapa periode yg berpotensi memberikan perubahan besar dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, pertama adalah periode tahun 1997-1998 yang ditandai dengan terjadinya krisis keuangan Asia, namun tetap disertai dengan kenaikan jumlah tenaga kerja; kedua adalah periode tahun 2000-2004 yang relatif stabil dan dapat dikategorikan sebagai kondisi normal; ketiga adalah periode tahun 2005 dan 2008 dimana terjadi mini krisis, yang disertai dengan penurunan jumlah tenaga kerja; dan keempat adalah periode tahun 2006-2007 yang ditandai dengan peningkatan jumlah tenaga kerja. Meski secara statistik hasil paired sample test di atas menunjukkan tidak ada structural break, namun pengaruh dari gejolak domestik dan eksternal tetap memberikan dinamika tingkat penyerapan tenaga kerja dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pada saat krisis 1997-1998 telah terjadi PHK besar-besaran namun pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja justru mengalami peningkatan yang positif yaitu sebesar 2,7% (Tabel II.1). Ini berarti secara agregat tingkat serapan tenaga kerja pada saat krisis berlangsung relatif tetap dan yang terjadi adalah perpindahan tenaga kerja khususnya ke sektor informal. Hal ini sejalan dengan uji paired sample di atas. Pada saat krisis 1997-1998 tersebut, shifting tenaga kerja ke sektor informal tercatat sebesar 8,7% yang berlangsung pada hampir seluruh sektor kecuali sektor Pertanian. Sebagaimana diilustrasikan sebelumnya pada bagian Pendahuluan, peningkatan tenaga kerja informal di sektor Pertanian adalah sebesar 13,1%, Bangunan 27,2%, Perdagangan 1,2%, Pengangkutan 6,8% dan sektor Jasa sebesar 0,3%. Krisis kedua yang dialami Indonesia terjadi pada tahun 2008 dengan skala yang lebih kecil. Dengan menggunakan data primer melalui survey yang dilakukan oleh Bank Indonesia10, Hasil survei DSM menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan tenaga kerja dari tahun 2007 - Triwulan I 2009, bahkan mengalami pertumbuhan negatif yakni minus 2.48% pada Triwulan I 2009 (Grafik II.6). Dari Grafik II.7 terlihat bahwa sebagian besar tenaga kerja yang digunakan perusahaan adalah tenaga kerja tetap11 (59.06%). Akan tetapi komposisi tenaga kerja kontrak, apabila
10 Survei Khusus Sektor Riil (SKSR) dilakukan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM), Bank Indonesia, terhadap 256 perusahaan di sektor Pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan. 11 Definisi yang digunakan: NAKER TETAP adalah tenaga kerja memiliki jam kerja yang tetap setiap hari dan memperoleh jaminan pension, NAKER KONTRAK adalah tenaga kerja yang diikat berdasarkan kontrak / proyek tertentu dan tidak memperoleh jaminan pensiun dan NAKER TIDAK TETAP adalah tenaga kerja dengan jam kerja tertentu dan tanpa jaminan pensiun atau fasilitas perusahaan.
286 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
dibandingkan tahun 2006-2008, mengalami peningkatan tiap tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan mencoba berusaha mengurangi biaya tenaga kerja yang besar yang timbul bila perusahaan melakukan pemberhentian tenaga kerja.
Jumlah (Ribuan)
% yoy
530
4 Jumlah yoy
525
524
2.75
TK Kontrak (11.25 %)
3
520 2
1.92
514
515
511
510 505
TK Tidak Tetap (29.69 %)
0
500
500
1 TK Tetap (50.06 %)
-1
495 -2
490
-3
485 2006
2007
2008
TW I 2009
Grafik II.6 Pertumbuhan Tenaga Kerja Tahun 2007 Triwulan I 2009
Grafik II.7 Status Tenaga Kerja yang Digunakan Perusahaan
Sementara akibat krisis global pada tahun 2008 ini, terdapat sebanyak 9.77% perusahaan yang melakukan pengurangan jam kerja pada Triwulan-4 dan 8.59% perusahaan melakukan pengurangan pada Triwulan-1 2009 (Grafik II.8). Sebagian besar perusahaan melakukan pengurangan jam kerja secara berturut-turut pada tahun 2008 dan 2009 dengan rata-rata 1 shift.
9.77% 90.23%
15.62%
38.29%
21.48%
Tidak melakukan pengurangan Pengurangan jam Kerja TW 4 2008 8.59% 61.71%
84.38%
78.52%
Pengurangan berturut2 Pengurangan tidak berturut2
Tidak melakukan pengurangan tenaga kerja Pengurangan tenaga kerja TW 4-2008
91.41%
Tidak melakukan pengurangan tenaga kerja Pengurangan tenaga kerja TW 1-2009
Pengurangan jam kerja TW I-2009 Tidak melakukan pengurangan jam kerja
Grafik II.8 Pengurangan Jam Kerja (Shift)
Grafik II.9 Pengurangan Tenaga Kerja
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
287
Pengurangan tenaga kerja terbesar yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar 15,62% yang terjadi pada Triwulan 4-2008 dan 21.48% pada Triwulan 1-2009 (Grafik II.8). Tenaga kerja yang dikurangi sebagian besar merupakan tenaga kerja kontrak, dengan sifat pengurangan adalah permanen (PHK) baik di tahun 2008 maupun 2009. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukanan bahwa perusahaan cenderung mensubstitusi tenaga tetapnya dengan tenaga kerja kontrak untuk mengurangi komponen biaya upah selain gaji pokok. Berdasarkan hasil survey, alasan utama perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja adalah efisiensi biaya (37,61%), penurunan permintaan luar negeri (34,19%), dan penurunan permintaan dalam negeri (19,66%). Mayoritas perusahaan yang melakukan pengurangan tenaga kerja adalah perusahaan dengan orientasi penjualan ekspor. Saat krisis tersebut, ekspor mengalami pertumbuhan negatif sejak bulan November 2008 hingga Juli 2009 (lihat Grafik II.10).
yoy % 60 50
milyar USD
Pertumbuhan Ekspor
40
14 12
30
10
20
8
10 0
6
-10
4
-20
2
-30 -40
JanJul JanJul JanJul JanJul JanJul JanJul JanJul JanJul JanJul JanJulJanJul JanJul JanJul 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
Grafik II.10 Nilai Ekspor (Milyar USD) dan Pertumbuhannya (%)
Dari sisi penawaran tenaga kerja, selang periode tahun 1990 √ 2008 angkatan kerja Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2.30% per tahun (Grafik II.11). Pertumbuhan angkatan kerja sempat turun menjadi -0.46% pada tahun 2003. Secara ratarata sebagian besar angkatan kerja berada pada usia 20-29 tahun (31%), usia 30-39 tahun (24%), dan 39-40 tahun (18%) seperti terlihat pada Grafik II.12. Komposisi yang besar pada kedua rentang usia tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki penduduk yang produktif untuk bekerja.
288 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
%
Juta Orang
10
% 120
Angkatan Kerja Pertumbuhan AK
100
5
80 0
100 90 80 70 60
60
50 40
-5
40
-10
20
30 20 10
0
-15 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 15-19
20-29
30-39
40-49
50-59
> 60 tahun
Grafik II.12 Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja 1990-2008 Berdasarkan Usia
Grafik II.11 Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja 1990-2008
Rata-rata pertumbuhan jumlah tenaga kerja (yoy) dari tahun 1997-2009 adalah sebesar 1,90% (grafik II.10). Sementara itu penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor Pertanian (45,39%), kemudian diikuti oleh sektor perdagangan (18,62%), dan sektor Jasa (12,51%) seperti pada Grafik II.13.
%
6
%
Juta Orang
8
120 Pertumbuhan Bekerja Bekerja
100
4
80
2
60
0
40
2
20
4
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Agriculture, Forestry and Fishery Manufacturing Industry Construction Transportation, Storage and Communication
Grafik II.13 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Tahun 1990-2008
Mining and Quarrying Electricity, Gas and Water Wholesale/Retail Trade, Restaurant, Hotels Finance, Insurance, Real Estate & Business
Grafik II.14 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Tahun 1990-2008 Berdasarkan Sektor
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
289
Rata-rata pertumbuhan jumlah pengangguran Indonesia pada tahun 1990-2008 adalah 10,50% (Grafik II.15). Pada masa-masa krisis, terjadi peningkatan pengangguran, yaitu pada tahun 1998 dan 2005. Sebagian besar pengangguran merupakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah yaitu SD √ SMU (Grafik II.16).
%
Juta Orang
Juta Orang 12
6
1
5
4
8
4
2
6
3
0
4
2
-2
2
1
8 6
Pengangguran Bekerja
<SD
0
-4
Feb
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2004
Grafik II.15 Perkembangan Pengangguran Indonesia 1990-2008
SMP
Nov 2005
SMU
Feb
Diploma/Akademi
Agust 2006
Feb
Universitas
Agust 2007
2008
Grafik II.16 Perkembangan Pengangguran Indonesia 2004-2008 Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Deskripsi dari sisi penawaran tenaga kerja ini menunjukkan bahwa penduduk yang masuk usia produktif pada masa krisis cenderung menjadi pengangguran karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang baru. Sementara tenaga kerja yang lama cenderung akan melakukan perpindahan lintas sektor, terutama perpindahan menuju sektor informal untuk mempertahankan keberadaan mereka di dalam pasar tenaga kerja. Fenomena ini cukup sejalan dengan hasil paired sample test yang menunjukkan tidak ditemukannya structural break dalam pasar ketenagakerjaan di Indonesia.
4.2. Determinan Perpindahan Tenaga Kerja Hasil perhitungan matriks tenaga kerja menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja tidak melakukan perpindahan sektor atau melakukan perpindahan lintas sektor. Alasan paling utama yang melatarbelakangi adalah keterbatasan skill/kemampuan tenaga kerja tersebut di sektor yang lain. Sektor yang memiliki persentase tenaga kerja yang relatif tetap bekerja di sektor tersebut adalah sektor Pertanian dengan rata-rata persentase sebesar 97,8%.
290 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Terlihat bahwa tahun 1999 (krisis) persentase tenaga kerja yang tidak berpindah pada beberapa sektor relatif lebih rendah yang mengindikasikan relatif besarnya migrasi tenaga kerja ke sektor lain ataupun yang menjadi pengangguran (Tabel II.5 dan Grafik II.17). Dari matriks transisi tahun 1998-2008 (Lampiran) terlihat bahwa matriks transisi cenderung tidak bersifat simetris yang mengindikasikan ketidakseimbangan dalam pola migrasi tenaga kerja lintas sektor. Tabel II.5 Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Tidak Berpindah dari Sektornya (%) Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa
1998 1999 97 90 90 86 86 96 95 90 94
2000 2001
97 91 91 84 87 96 95 86 95
97 94 94 94 91 96 96 93 96
99 94 94 96 93 96 96 93 95
2002
2003
99 95 94 92 92 97 96 93 96
99 96 95 95 94 98 98 94 97
2004 2005 99 95 95 97 93 98 97 93 96
97 96 94 96 93 97 97 95 96
2006 2007 2008 97 95 94 94 93 97 96 94 96
97 92 92 94 91 95 94 91 95
96 92 91 93 90 94 94 89 94
Rata-rata 98 94 93 93 91 96 96 92 95
% 98 96 94 92 90 88
Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Keuangan
86 84 82
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Grafik II.17 Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Tidak Berpindah
Hasil pengujian inferensial atas fenomena labor shifting dengan menggunakan binomial logistic diberikan dalam Tabel II.6 sementara penghitungan lebih lanjut menghasilkan marginal effect dari setiap regressor yang hasilnya diberikan dalam Tabel II.7. Estimasi dilakukan secara parsial sebagaimana ditunjukkan dalam kolom sektor yang berkesesuaian. Hal ini dilakukan dengan tujuan melihat secara langsung pengaruh masing-masing karakteristik yang dimiliki tenaga kerja terhadap peluang perpindahan mereka.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
291
Secara umum hasil estimasi menunjukkan bahwa perbedaan faktor pendidikan (EDUC_CAT) berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja kecuali pada sektor Listrik dan Transportasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka peluang perpindahan tenaga kerja akan semakin besar dari sektor Perdagangan dan sektor Keuangan. Sebaliknya, pada sektor Pertanian, Pertambangan, Industri dan Listrik, pekerja yang berpendidikan rendah memiliki peluang lebih kecil untuk keluar dan berpindah dari sektor-sektor tersebut. Variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada perpindahan tenaga kerja di sektor Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja laki-laki memilik peluang perpindahan yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja perempuan, dan marginal effect terbesar terdapat di sektor Transportasi dimana probablilita pekerja Laki-laki untuk berpindah kerja, lebih besar 21,9% dibandingkan tenaga kerja perempuan. Sementara itu usia pekerja (UMUR) tidak memilik pengaruh signifikan terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan hanya terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil yakni hanya 0,12%. Perbedaan tingkat upah (WAGE_CAT) hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian, Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7% dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAT_CAT) sangat berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dan berlaku pada semua sektor. Menarik untuk mencermati bahwa pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal memiliki kecenderungan rata-rata untuk berpindah 45% dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja formal tersebut. Bahkan pada sektor Industri, pekerja dengan pengalaman kerja formal tersebut memiliki kecenderungan berpindah 66,4% lebih tinggi dan merupakan marginal effect terbesar diantara 9 sektor yang diteliti. Analisis lebih lanjut atas hasil pengujian inferensial ini dilakukan dengan mengkonfrontasikan kondisi sektoral dan persepsi responden atas berbagai kondisi ketenagakerjaan yang mereka rasakan.
292 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel II.6 Hasil Estimasi Model Peluang Perpindahan Tenaga Kerja Regressor Constant UMUR EDUC_CAT WAGE_CAT JOB_CAT FORMAL_CAT SEX
1. Sektor Pertanian
2. Sektor Pertambangan
-3,24164* -4,12619* -0,00108 0,001959 -0,33363* -0,2539** 0,346283* 0,160391 -0,18475* 0,049521 1,489618* 1,705862* 0,325428* 0,270156**
3. Sektor Industri
4. Sektor Listrik
5. Sektor Konstruksi
-3,74457* -0,00067 -0,1336** 0,669032* -0,4289* 2,657704* 0,209467*
-4,22396* -0,00513 0,080468 0,020468 0,099896 1,396568* NA
6. Sektor Perdagangan
7. Sektor Transportasi
8. Sektor Keuangan
-3,80427* -3,49798* -4,0437* -4,07752* -0,00495* 0,002101 -0,00034 -0,00485 -0,20646* 0,119588** 0,047819 0,570363* 0,274938* 0,183175* 0,188146* -0,04253 0,091564 -0,03583 -0,1528** -0,5498* 1,64088* 1,623373* 1,605011* 2,06662* 0,746603* 0,089385 0,863927* -0,02985
9. Sektor Jasa -3,53118* 0,002225 -0,08274 0,281982* -0,21861* 1,998386* 0,029078
Keterangan: Estimasi dilakukan dengan teknik refresi logistic. Dependent variabel: Y=1 (shifting) dan Y=0 (non-shifting). *t) Signifikan pada ? = 1%, **) Signifikan pada ? =10% , ***) Untuk sektor Listrik, variabel SEX dikeluarkan karena respon variabel yang berkesesuaian sempurna dengan variabel dependen. Kolom i menunjukkan hasil estimasi untuk sektor yang bersangkutan.
Tabel II.7 Marginal effect Regressor Constant UMUR EDUC_CAT JOB_CAT WAGE_CAT FORMAL_CAT SEX
1. Sektor Pertanian
2. Sektor Pertambangan
3. Sektor Industri
-0,81041* -1,03155* -0,00027 0,00049 -0,08341* -0,06348** 0,086571* 0,040098 -0,04619* 0,01238 0,372404* 0,426466* 0,081357* 0,067539**
4. Sektor Listrik
5. Sektor Konstruksi
6. Sektor Perdagangan
7. Sektor Transportasi
8. Sektor Keuangan
9. Sektor Jasa
-0,93614* -1,05599* -0,95107* -0,8745* -1,01093* -1,01938* -0,88279* -0,00017 -0,00128 -0,00124* 0,000525 -8,60E-05 -0,00121 0,000556 -0,0334** 0,020117 -0,05162* 0,029897** 0,011955 0,142591* -0,02069 0,167258* 0,005117 0,068734* 0,045794* 0,047037* -0,01063 0,070496* -0,10723* 0,024974 0,022891 -0,00896 -0,0382** -0,13745* -0,05465* 0,664426* 0,349142* 0,41022* 0,405843* 0,401253* 0,516655* 0,499596* 0,052367* NA 0,186651* 0,022346 0,215982* -0,00746 0,00727
Keterangan: Marginal effect dihitung sesuai prosedur standar dengan menggunakan distribusi logistik. Dengan coding Y = 0 untuk kategori Non-Shifting, maka nilai marginal effect ini menunjukkan pengaruh marginal dari regressor terhadap peluang perpindahan tenaga kerja. Nilai marginal effect = 1 menunjukkan peluang perpindahan yang pasti atau 100%. Script program tersedia pada penulis.
Sektor Konstruksi (b5) merupakan sektor dengan persentase tenaga kerja yang melakukan perpindahan terbesar antar waktu yaitu rata-rata sebesar 4,6% dan diikuti dengan sektor Pertambangan dengan rata-rata sebesar 3,9% dan sektor Listrik sebesar 3,7% (Tabel II.8 dan Tabel II.8 Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Berpindah Antar Sektor (%) Sektor
Pertanian Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa
1998 1999
0,6 5,6 3,8 7,9 6,9 1,1 2,9 3,8 2,2
0,4 5,4 3,4 9,0 6,6 1,3 2,4 5,4 2,0
2000 2001
0,4 2,8 2,3 1,0 5,0 1,1 1,9 2,6 1,6
0,4 4,6 2,4 3,0 4,1 1,4 2,3 3,1 1,9
2002
2003
0,5 3,2 2,1 5,5 4,0 0,9 2,6 3,1 1,6
0,4 2,4 1,7 2,0 3,3 0,7 1,1 2,7 1,1
2004 2005
0,5 3,0 1,9 1,8 3,3 0,7 1,4 2,7 1,3
0,4 2,5 1,8 1,5 3,1 0,7 1,7 2,2 1,1
2006 2007 2008
0,6 2,6 1,7 2,1 3,6 0,9 2,1 2,7 1,1
0,9 5,4 3,2 3,5 5,2 1,6 3,8 4,2 1,8
1,1 4,9 3,4 3,8 4,8 2,0 3,4 5,4 2,3
Rata-rata
0,55 3,86 2,50 3,75 4,55 1,13 2,33 3,46 1,65
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
293
Grafik II.18). Terlihat bahwa tingkat migrasi tenaga kerja relatif tinggi di tahun 1998 ,1999, 2007 dan 2008, dimana pada tahun tersebut terjadi guncangan dalam perekonomian Indonesia.
% 10 9 8 7
Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Keuangan
6 5 4 3 2 1 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Grafik II.18 Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Berpindah Antar Sektor
Hasil estimasi menunjukkan kecuali tingkat upah (WAGE_CAT), semua variabel lain berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja pada sektor Konstruksi12. Pada sektor ini, pekerja Laki-laki memiliki peluang lebih besar 18,7% untuk berpindah kerja ke sektor lain. Untuk pekerja manajer atau dengan tingkatan yang lebih tinggi, peluang perpindahan kerjanya 6,87% lebih besar dibandingkan tenaga buruh. Hasil estimasi juga menunjukkkan tenaga kerja yang berpendidikan memiliki peluang berpindah kerja lebih kecil 5,1% dibandingkan tenaga kerja yang tidak berpendidikan. Karakteristik tenaga kerja yang berpengaruh besar terhadap peluang perpindahan ke sektor lain adalah pengalaman kerja sebelumnya; bagi pekerja yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka peluang untuk berpindah dari sektor Konstruksi lebih besar 41,02%. Berdasarkan data Sakernas, sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Konstruksi adalah sektor Pertanian dengan rata-rata 1998-2008 sebesar 2,35% dan disusul oleh sektor Pedagangan (0,77%). Pada tahun 1998 dan 1999, persentase tenaga kerja sektor Konstruksi yang melakukan migrasi ke sektor Pertanian mencapai sebesar 4,1% dan 3,1%. Sementara itu, secara rata-rata, dapat dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor Konstruksi ke sektor Listrik dan sektor Keuangan sangatlah kecil.
12 Perlu dicatat bahwa hasil estimasi tersebut adalah untuk periode 2005. Potensi dinamika pengaruh variabel lintas waktu (time varying effect) tidak diperhitungkan dalam paper ini.
294 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Hasil survey menunjukkan alasan utama tenaga kerja yang pindah atau berhenti dari sektor Konstruksi adalah akibat tidak adanya permintaan/berhenti usaha dengan rata-rata selama tahun 1998-2007 sebesar 41,6% (Grafik II.19). Alasan kurang memuaskan juga menjadi salah satu faktor yang menjadi alasan tenaga kerja melakukan pindah/berhenti kerja dari sektor ini, namun faktor ini kurang berlaku pada tahun 1998. Sementara itu faktor PHK terlihat cukup tinggi pada tahun 1998 dan 1999. % 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1998
1999
2000
Lainnya Tidak cocok dengan lingkungan kerja
2001
2002
2003
2004
2005
Pendapatan kurang memuaskan Tidak ada permintaan/usaha berhenti
2006 PHK
Grafik II.19 Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti Bekerja Pada Sektor Konstruksi
Pada tahun 1998 dan 1999, sektor Pertanian merupakan sektor tujuan migrasi terbesar dari sektor lainnya. Sebaliknya jumlah tenaga kerja yang bermigrasi dari sektor Pertanian ke sektor lainnya cenderung lebih kecil. Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Pertanian dengan rata-rata persentase yang relatif besar tahun 1998 adalah sektor Industri, sektor Perdagangan dan sektor Konstruksi dengan persentase masing-masing sebesar 0,15%, 0,13% dan 0,12%. Bahkan bisa dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor Pertanian ke sektor Listrik dan sektor Keuangan sangat sedikit. Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh besar terhadap perpindahan tenaga kerja pada sektor Pertanian adalah status pekerjaan sebelumnya. Bagi pekerja yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk meninggalkan sektor Pertanian lebih besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal dari sektor non-formal. Pekerja di sektor Pertanian yang berpendidikan tinggi memiliki peluang berpindah 8,3% lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki kecenderungan berpindah yang lebih kecil yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
295
Secara umum, pekerja laki-laki yang berumur 35 tahun13, berpendidikan tinggi, memiliki level manajer, memiliki upah tinggi, dan sebelumnya telah bekerja di sektor formal memiliki peluang 40,92% untuk tetap bekerja dalam sektor Pertanian. Semakin tua si pekerja maka peluang untuk tetap di sektor Pertanian akan semakin besar. Berdasarkan hasil survei Sakernas, proporsi rata-rata responden tahun 1998-2008 yang berpindah kerja karena alasan pendapatan yang kurang memuaskan adalah sebesar 21,5%. Perpindahan karena alasan tidak adanya permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 21,98% sementara alasan faktor lainnya adalah sebesar 47,4% (lihat Grafik II.20).
% 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Lainnya Tidak cocok dengan lingkungan kerja
Pendapatan kurang memuaskan Tidak ada permintaan/usaha berhenti
PHK
Grafik II.20 Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti Bekerja Pada Sektor Pertanian
Sektor Pertanian merupakan tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan. Sementara itu, migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor Listrik dan sektor Keuangan sangat kecil. Hasil estimasi menunjukkan hanya variabel Jenis Kelamin, Pendidikan dan pengalaman kerja dari pekerja yang berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Pertambangan, sementara faktor umur, tingkatan jabatan dan upah tidak berpengaruh terhadap perpindahan tenaga kerja pada sektor Pertambangan ini. Pada sektor Pertambangan, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal memiliki peluang perpindahan kerja 42,6% lebih besar. Tingkat pendidikan sendiri berpengaruh negatif dalam pengertian pekerja yang memiliki tingkat pendidikan tinggi justru memiliki peluang lebih kecil 6,3% lebih rendah untuk berpindah dari sektor Pertambangan.
13 Penentuan umur 35 tahun ini didasarkan pada rata-rata umur responden pada 2 kategori variabel independent. Meski demikian besaran usia lain dapat dipilih untuk melihat kecenderungan perpindahan tenaga kerja pada usia yang dipilih.
296 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Secara umum, pekerja laki-laki di sektor Pertambangan yang berusia 35 tahun, berpendidikan tinggi, sebelumnya telah memiliki pengalam kerja formal, memiliki upah tinggi dengan jabatan manajer, akan memiliki peluang untuk berpindah kerja , memiliki peluang yang lebih besar 53,14% untuk tetap bekerja pada sektor pertambangan. Semakin tua si pekerja, maka peluang untuk tidak berpindah akan semakin besar. Alasan utama yang menyebabkan tenaga kerja dari sektor Pertambangan berhenti atau pindah kerja adalah faktor lainnya sebesar 26,57% dan tidak ada permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 23,8%. Untuk sektor Industri, tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor lainnya cenderung lebih besar dibandingkan dengan yang masuk. Sektor yang merupakan tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Industri adalah sektor Pertanian dan sektor Perdagangan, terutama pada tahun 1998, 1999 dan 2008. Penelusuran hasil estimasi dapat memberikan penjelasan tentang fenomena ini. Semua variabel kecuali usia, berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Industri. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pekerja dengan upah tinggi memiliki kecenderungan berpindah kerja 10,7% lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Hal ini sejalan dengan data survey yang menunjukkan faktor pendapatan yang kurang memuaskan hanya memiliki proprosi lebih dari 16,6% dari seluruh responden. Pada sisi lain, pekerja dengan level white collar memiliki peluang untuk berpindah kerja 4,0% lebih besar dibandingkan pekerja buruh. Pekerja sektor Manufaktur yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih kecil 3,34% lebih kecil dibandingkan pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Secara total, pekerja laki-laki di sektor Industri yang berumur % 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008 Lainnya Tidak cocok dengan lingkungan kerja
Pendapatan kurang memuaskan Tidak ada permintaan/usaha berhenti
PHK
Grafik II.21 Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti Bekerja Pada Sektor Industri
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
297
35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer, memiliki tingkat upah tinggi dan sebelumnya telah bekerja di sektor formal lainnya, akan memiiki peluang yang lebih besar 19,86% untuk tetap di sektor Industri ini. Ini berarti pekerja dengan karakteristik tersebut memiliki peluang yang lebih besar 80,14% untuk meninggalkan sektor Industri. Peluang perpindahan ini merupakan yang terbesar diantara 9 sektor yang diteliti. Di sektor Industri ini, alasan utama perpindahan kerja adalah karena adanya PHK yakni mencapai 41,3% pada tahun 2005. Untuk sektor Perdagangan, bersama dengan sektor Pertanian sektor ini merupakan sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor lainnya. Pada tahun 1998, 1999 dan 2008, persentase tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor ini dari sektor Keuangan relatif besar yaitu masing-masing sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%. Selain faktor lainnya, alasan utama tenaga kerja melakukan migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah karena alasan pendapatan yang kurang memuaskan (rata-rata 1998-2008 sebesar 29,32%). Hasil estimasi menunjukkan bahwa diantara semua variabel penjelas yang diinternalisasi kedalam model, hanya variabel tingkat pendidikan (EDUC_CAT), level jabatan (JOB_CAT), dan pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT) yang berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor lain. Pada sektor Perdagangan ini, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal memiliki peluang berpindah yang lebih besar 40,58%. Pekerja white collar memiliki peluang 4,58% lebih besar untuk berpindah sementara pekerja dengan tingkat pendidikan tinggi juga memiliki peluang berpindah yang lebih besar 2,99% dibandingkan pekerja berpendidikan rendah. Secara agregat, pekerja laki-laki yang bergelut di sektor Perdagangan, berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi dan memiliki upah tinggi, memiliki jabatan manajer dan sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, akan memiliki kecenderungan yang lebih besar 36,12% untuk tetap di sektor Perdagangan. Ini berarti, pekerja dengan karakterstik tersebut memiliki peluang yang lebih besar 63,88% untuk berpindah dari sektor Perdagangan. Sepintas hasil estimasi tersebut cukup menarik mengingat perpindahan dari sektor Perdagangan relatif kecil karena pekerja cenderung menekuni sektor Perdagangan. Sektor Transportasi memiliki karakteristik yang relatif sama dengan sektor Perdagangan. Pekerja yang sudah berkecimpung dalam sektor ini, relatif akan tetap berada dalam sektor tersebut. Berdasarkan hasil estimasi, hanya usia (UMUR) dan tingkat pendidikan pekerja (EDUC_CAT) yang tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Transportasi. Setelah variabel pengalamn kerja formal (FORMAL_CAT), marginal effect terbesar kedua adalah jenis kelamin (SEX) dimana tenaga kerja sektro Transportasi laki-laki memiliki peluang
298 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
lebih besar 21,59% lebih besar dibandingkan perempuan. Pekerja level manajer sendiri hanya memiliki peluang perpindahan kerja 4,7% dibandingkan pekerja buruh. Dari sejumlah responden yang beralih dari sektor transportasi ini, alasan utama perpindahan tersebut adalah faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi rata-rata sebesar 35,98% untuk selang periode 1998-2008. Secara statistik pengujian inferensial menunjukkan bahwa pekerja dengan tingkat upah rendah memiliki peluang berpindah yang lebih besar 3,82% lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan upah tinggi. Besaran marginal effect dari upah di sektor Transportasi ini merupakan yang terbesar ke-5 setelah sektor Keuangan, Industri, Jasa dan sektor Pertanian. Untuk sektor Jasa, tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Pertanian dan sektor Pedagangan. Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang paling berpengaruh terhadap fenomena labor shifting pada sektor Jasa adalah pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT) dengan marginal effect sebesar 49,9%. Dalam sektor ini, jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja sebagaimana sektor Keuangan dan sektor Perdagangan yang cenderung bukan sex-dependent sebagaimana setkor Pertambangan, Konstruksi, Industri dan Pertanian. Umur dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja di sektor Jasa. Pekerja dengan tingkat upah tinggi cenderung memiliki peluang 5,46% lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Hal ini sedikit kontradiktif dengan hasil survey Sakernas bahwa alasan utama tenaga kerja pindah/ berhenti dari sektor Jasa adalah karena faktor lainnya dan faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi ratarata sebesar 22,34% selang 1998-2008. Pada sisi lain, pekerja level menajer atau lebih tinggi memiliki kecenderungan 7,05% lebih besar untuk meninggalkan sektor Jasa dibandingkan dengan pekerja buruh. Sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara 9 sektor yang ada. Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Perdagangan (1,22%), sektor Jasa (0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Bahkan pada tahun 1998, 1999 dan 2008 persentase tenaga kerja dari sektor ini yang melakukan migrasi ke sektor Perdagangan sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%. Penyebab utama tenaga kerja pindah/berhenti dari sektor ini adalah akibat PHK terutama pada tahun 1998 dan 1999 yang mencapai 49,5% dan 53,3% (Grafik II.22). Faktor pendapatan yang kurang memuaskan juga menjadi salah satu alasan migrasi, namun alasan ini tidak berlaku pada masa krisis.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
299
% 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Lainnya Tidak cocok dengan lingkungan kerja
Pendapatan kurang memuaskan Tidak ada permintaan/usaha berhenti
2006 PHK
Grafik II.22 Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti Bekerja Pada Sektor Keuangan
Untuk pekerja sektor Keuangan berjenis kelamin laki-laki, berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan upah tinggi dan telah memiliki pengalaman kerja formal sebelumnya, akan memilik peluang 55,8% lebih besar untuk tetap di sektor Keuangan. Lebih lanjut, pekerja Laki-laki dengan umur 35 tahun, namun berpendidikan rendah, tergolong buruh (blue collar), memiliki upah rendah dan sebelumnya belum pernah bekerja di sektor formal akan memilki peluang pasti (100%) untuk tetap di sektor ini. Selain sektor Keuangan, karakteristik terakhir ini hanya dimiliki oleh sektor Listrik. Variabel penjelas yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari sektor Keuangan adalah pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT), pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect 51,67%, 14,26% dan 13,75%. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang perpindahan tenaga kerja ini merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang diobservasi. Pada sisi lain marginal effect dari variabel pengalaman kerja formal pada sektor Keuangan, merupakan yang terbesar kedua setelah sektor Industri. Karakteristik seperti ini menegaskan dinamisnya pergerakan tenaga kerja di sektor keuangan, ditambah dengan karakteristik tingginya tingkat exposure sehingga mudah terpengaruh oleh guncangan. Secara relatif, sektor Keuangan ini mencatat tingkat pengangguran terbesar kedua yakni 3,00% setelah sektor Konstruksi (3,08%), dan lebih besar dibandingkan sektor Industri (2,54%). Lihat Tabel II.9 dan Grafik II.23.
300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel II.9 Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Menjadi Pengangguran Sektor
Pertanian Pertambangan Industri Listrik Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa
1998 1999
2000 2001
2002
2003
2004 2005
2006 2007 2008
0,15 3,02 3,71 4,29 4,62 1,34 1,67 3,71 1,75
0,26 2,88 2,27 0,00 3,58 0,94 1,00 2,97 1,11
0,23 1,17 2,70 2,12 2,87 0,89 1,37 2,41 1,28
0,16 1,26 2,02 2,46 2,48 0,79 0,88 2,27 1,11
0,23 1,44 2,07 1,11 2,73 0,76 1,08 3,02 1,14
0,36 1,89 2,48 2,32 2,31 0,96 1,24 2,65 0,84
0,21 2,90 3,05 5,37 4,67 1,24 2,47 5,78 1,82
0,26 0,78 2,44 0,00 1,87 1,11 1,62 2,93 1,49
0,28 0,96 2,59 1,16 2,95 1,22 0,89 2,25 1,32
0,23 1,41 2,09 1,17 2,55 1,13 1,25 2,40 1,06
0,39 1,28 2,47 1,68 3,22 1,42 1,27 2,64 1,42
Rata-rata
0,25 1,72 2,54 1,97 3,08 1,07 1,34 3,00 1,30
% 7 Industri Konstruksi Keuangan
6 5 4 3 2 1 0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Grafik II.23 Persentase Tenaga Kerja Asal Sektoral yang Menjadi Pengangguran
V. KESIMPULAN DAN SARAN Paper ini telah mengulas fenomena labor shifting di Indonesia sekaligus mengukur faktorfaktor yang mempengaruhi kecenderungan atau peluang perpindahan tenaga kerja tersebut. Kesimpulan pertama yang diperoleh dari paper ini adalah tidak ada perubahan struktur dalam pasar tenaga kerja Indonesia. Meskipun tidak terdapat perubahan struktur dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, namun pengaruh gejolak domestik dan eksternal memberikan dinamika dalam penyerapan TKI dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan. Kesimpulan kedua, sebagian besar tenaga kerja tidak melakukan perpindahan sektor. Diantara 9 sektor yang diteliti, sektor pertanian melakukan perpindahan paling sedikit. Hal tersebut disinyalir karena keterbatasan skill untuk tenaga kerja di sektor tersebut yang didukung
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
301
oleh negatifnya faktor Pendidikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Pertanian. Dalam sektor Pertanian ini, pekerja yang berpendidikan tinggi memiliki peluang berpindah 8,34% lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki kecenderungan berpindah yang lebih kecil yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan relatif kecilnya marginal effect dari pengalaman kerja formal sebelumnya dari pekerja dibandingkan sektor lain yang diteliti. Bagi pekerja yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk meninggalkan sektor Pertanian lebih besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal dari sektor non-formal. Secara rata-rata untuk seluruh sektor, bagi pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal akan memiliki kecenderungan berpindah 45% lebih besar dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja formal tersebut. Bahkan pada sektor Industri, kecenderungan berpindah ini 66,4% lebih tinggi. Kesimpulan ketiga, sektor Industri merupakan sektor yang mengalami pengurangan tenaga kerja yang konstan dan tidak diikuti migrasi tenaga kerja ke sektor tersebut. Selain itu sebagian besar pengangguran juga berasal dari sektor Industri. Perpindahan tenaga kerja sebagian besar disebabkan karena adanya pendapatan yang kurang memuaskan, PHK, usaha terhenti, dan karena memperoleh pendapatan yang sama dibandingkan pekerjaan sebelumnya . Hal ini didukung oleh hasis estimasi model yang menunjukkan bahwa bagi pekerja berjenis kelamin laki-laki, berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan upah tinggi dan telah memiliki pengalaman kerja formal sebelumnya, maka 3 peluang terbesar untuk tidak shifiting dan tetap berada disektor yang sama terdapat pada sektor Listrik dengan peluang 70,15% lebih besar, sektor Keuangan (55,8%) dan sektor Pertambangan (53,13%). Pada sisi lain, peluang perpindahan tenaga kerja untuk melakukan shifting, terbesar ada pada sektor Industri (80,14%), Konstruksi (64,3%) dan Transportasi (62,4%). Kesimpulan keempat, perpindahan tenaga kerja cenderung ke arah sektor Pertanian dan perdagangan. Sektor ini dapat merupakan jaring pengaman pada saat terjadi pengurangan tenaga kerja yang banyak. Di sisi lain, sektor Pertanian juga mampu menyerap pengangguran dan bukan angkatan kerja. Kesimpulan kelima, faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja pada sektor Listrik dan Transportasi. Untuk sektor Perdagangan, semakin tinggi tingkat pendidikan maka peluang tenaga kerja untuk berpindah kerja dari sektor tersebut akan semakin tinggi 2,98%. Hal yang sama berlaku untuk sektor Keuangan dengan peluang lebih tinggi 14,26%. Marginal effect pada sektor Keuangan ini merupakan yang tertinggi diantara semua sektor.
302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kesimpulan keenam, variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada sektor Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik yang relatif dapat dikategorikan sebagai sex-dependent sektor. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja laki-laki memilik peluang perpindahan yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja perempuan, dan kecenderungan yang terbesar terjadi di sektor Transportasi dengan peluang 21,9% lebih besar dibandingkan tenaga kerja perempuan. Kesimpulan ketujuh, usia pekerja tidak memilik pengaruh signifikan terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil yakni hanya 0,12%. Kesimpulan kedelapan, tingkat upah hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian, Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7% dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Kesimpulan kesembilan, sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara 9 sektor yang ada, dengan target migrasi terbesar ke sektor Perdagangan (1,22%), sektor Jasa (0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Variabel penjelas yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari sektor Keuangan adalah pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT), pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect 51,67%, 14,26% dan 13,75%. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang perpindahan tenaga kerja ini merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang diobservasi. Pada sisi lain pengaruh pengalaman kerja formal terhadap peluang shifting pada sektor Keuangan, merupakan yang terbesar kedua setelah sektor Industri. Paper ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut yakni pengembangan pemodelan menjadi panel logistic baik dengan memperhitungkan variasi lintas sektor (cross sectional variation) dan lintas waktu (time varying effect) dari variabel penjelas. Selain itu, pemodelan dapat dikembangkan untuk dapat menginternaliasasi faktor-faktor structural seperti ukuran dan pertumbuhan sektoral, tingkat exposure masing-masing sektor, serta variabel lain yang memiliki landasan kuat dan atau keterkaitan empiris yang erat dengan fenomena labor shifiting.
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
303
DAFTAR PUSTAKA
Auerbach, Alan dan Laurence Kotlikoff. 1998. ≈Macroeconomics∆. MIT Press. Blanchard, Olivier. 2005.≈Macroeconomics∆. Prenctice Hall. Holzer, Harry J. 1989. ≈Employment, Unemployment and Demand Shifts in Local Labor Market∆.∆NBER Working Paper Series 2858. Jovanovic, B. 1978. ≈Job-Matching and the Theory of Turnover.∆∆Ph.D. Thesis. University of Chicago. Lilien, David M. 1982. ≈Sektoral Shift and Cyclical Unemployment∆. Journal of Political Economy No. 4. Lee, Donghoon dan Kenneth I. Wolpin. 2006.≈Intersektoral Labor Mobility and The Growth of The Service Sektor∆. Econometrica Vol. 74 No. 1. Mincer, Jacob dan Boyan Jovanoic. 1982. ≈Labor Mobility and Wages∆. NBER Working Paper No. W0357. Niederle, M. dan Roth Alvin E., 2003, Unraveling Reduces Mobility in a Labor Market: Gastroenterology with and without a Centralized Match, Journal of Political Economy, Vol.111 No.6. Permata, Meily Ika. 2008. ∆Labor Productivity Growth : Labor shifting or Sektoral Productivity Growth∆.∆Laporan Hasil Penelitian. Bank Indonesia. Pack, Howard dan Christina Paxson. 1999.∆∆Inter-industri labor mobility in Taiwan, China. Policy∆∆Research Working Paper Series 2154. World Bank. Parewangi, AMA, 2008, Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro Perekonomian, modul training Fundamental Asia, mimeo. Shrek, James. 2008.∆Job to Job Transitions: More Mobility and Security in The Workforce∆∆Center For Data Analysis 08-06.The Heritage Foundation.
304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Lampiran: Matriks Transisi Tenaga Kerja lintas Sektor Tahun 1998 Matriks Transisi
Bekerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
Bukan Usia Kerja
32.323 44.313 23.984 0 21.466 2.334 7.879 2.599 0 2.301 32.754 103.877 30.810 2.661 38.017 3.186 2.311 0 0 609 3.096.868 31.441 25.525 925 16.958 18.581 14.749.254 19.693 295 25.006 9.578 34.990 3.807.345 1.181 12.968 280 14.329 547 570.377 2.750 23.108 71.751 26.745 874 11.503.044
53.771 18.650 366.277 7.111 165.651 206.354 66.947 23.374 214.157
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 1.896 121.192 63.640 0 2.704 2.280 1.953 148.142 62.117 0 1.224 1.456 1.993 14.813 37.457 3.827 138.997 37.807 0 3.102 12.462 704 7.534 2.539 4.883 95.642 81.431
19.154
112.186
12.653
76.560
139.010
2.843.969
179.653
390.381
29.331.158
8.372.886 22.728.593 4.840.348 434.317 536.869
2.409
234.469 995.230
159.233
28.551
469.746
4.509.898
1.808.779
51.859
Bukan Usia Kerja
72.927 19.804 342.567 11.762 163.150 200.615 100.841 39.190 217.113
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 3.852 133.688 50.197 0 1.665 1.470 2.573 151.931 41.872 0 1.037 2.545 774 17.438 29.001 4.995 119.958 36.773 1.269 3.389 10.339 0 11.574 4.152 1.899 84.572 54.193
55.421
283.714
2.752.644
160.267
258.884
161.699
29.104
461.574
7.004.468
1.769.466
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
2
3
33.971.710 17.217 159.337 5.458 145.537 80.849 39.833 3.899 113.002
14.983 558.143 4.648 1.503 7.753 1.833 7.933 0 2.273
58.939 0 1.684 318 8.875.428 617 0 142.913 20.007 0 20.068 0 9.458 0 2.389 0 30.629 0
561.788
11.712 119.100
0
0
Pengangguran
436.299 1.227 42.198 0 16.888 111.823 8.074 1.547 43.413
Tahun 1999 Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1 33.156.354 19.086 135.228 8.283 121.699 75.710 34.883 4.684 96.334 58.213
2 16.029 623.192 4.244 0 2.896 0 2.635 0 613
3
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
24.070 0 2.840 0 10.245.619 0 1.041 183.912 31.017 0 45.098 0 18.888 0 8.010 0 33.709 539
539.902 8.896
152.268
12.462 37.249 13.428 0 19.568 924 7.874 1.770 826 3.798 24.421 118.657 39.289 2.485 54.571 2.713 4.770 711 0 2.188 3.040.719 35.598 21.575 0 16.995 22.077 15.454.187 22.847 881 41.339 1.959 26.693 3.861.291 1.269 13.694 1.269 13.063 5.498 584.719 4.427 23.314 54.536 24.171 2.711 11.289.871 0
28.566.966 8.142.446 22.315.681 4.328.816 485.939
15.249
113.362
9.759
0
618.232
3.129
229.884 1.042.186
Pengangguran
469.663 0 51.979 0 16.256 125.793 8.134 1.805 49.361
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
305
Tahun 2000
Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
3
36.259.963 6.979 95.483 0 74.905 68.936 20.794 3.195 44.366
6.417 385.991 962 0 0 2.833 0 2.137 0
408.802
2.098 102.906
4.308.188 498.864 576.602
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
Bukan Usia Kerja
27.627 33.846 14.519 0 17.744 0 711 962 0 0 19.666 89.351 31.921 2.674 22.803 704 0 0 0 0 3.128.963 32.180 26.826 1.323 10.029 16.126 16.819.056 33.191 3.034 29.656 5.801 38.161 4.214.866 1.337 12.559 962 6.742 4.178 820.456 5.592 14.496 43.795 12.268 6.112 8.893.861
95.190 11.804 256.037 0 123.411 163.294 43.700 26.273 103.398
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 1.159 120.118 26.153 0 1.022 0 2.576 113.875 35.569 0 3.516 0 0 1.296 8.982 1.968 111.717 27.263 0 3.474 32.090 0 3.312 7.994 0 74.914 52.443
0
14.084
65.158
17.919
1.323
56.214
267.766
2.765.521
91.591
278.377
27.875.284
0
220.686
682.756
158.681
37.461
360.663
6.726.636
7.982.191
22.397.998
972.733
45.367
Bukan Usia Kerja
50.164 0 2.740 0 10.566.920 0 0 68.689 25.611 0 34.857 1.337 5.266 0 0 0 25.705 0
Pengangguran
539.599 0 55.765 0 14.423 144.092 9.308 2.505 36.958
Tahun 2001
Matriks Transisi
20.202 38.161 19.458 531 21.763 0 0 0 0 14.763 20.777 80.792 24.968 1.817 35.024 1.136 291 2.184 0 0 3.386.364 30.578 16.522 947 15.524 24.916 15.123.545 28.784 5.446 44.892 6.751 33.751 4.097.100 0 5.117 1.758 5.519 4.188 1.044.167 6.393 23.257 52.496 17.784 4.719 10.169.157
89.735 6.791 282.054 0 67.990 173.804 69.398 33.037 160.239
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 0 107.783 42.676 475 3.976 0 185 131.073 27.994 0 0 854 841 7.052 5.807 3.907 114.217 26.818 0 5.562 13.022 2.143 9.172 4.032 706 98.165 49.956
13.303
84.162
11.384
51.885
248.289
2.819.413
119.984
256.072
28.322.509
417.317 6.538.941 8.071.566 24.228.413 2.756.026
57.008
4.216.049 987.149
723.624
4.643
276.496
1.451.484
189.586
56.518
Bekerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
2
3
33.870.491 21.794 106.922 0 65.454 68.509 32.919 3.642 70.050
14.121 821.923 1.437 588 2.656 4.416 4.792 0 5.736
39.894 0 3.524 0 10.823.328 0 0 134.147 16.385 0 44.384 1.746 13.566 0 13.159 0 33.929 0
404.655
11.269 113.450
0
185
Pengangguran
39.893 0 25.869 0 11.753 22.040 2.120 766 50.166
306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tahun 2002
Matriks Transisi 2
3
Bekerja
1 46.551 13 92 0 32 44 18 1 2 16 895 4 1 2 3 3 0 3 99 3 12.844 1 29 80 28 7 4 2 0 4 216 0 4 1 0 5 104 3 27 1 4.687 34 21 2 6 56 1 44 1 16 20.478 25 11 7 42 3 25 0 17 33 5.423 5 8 6 1 3 0 4 23 6 1.508 9 4 35 1 20 64 29 9 13.734 Pengangguran 10 103 0 19 100 8 0 Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja 5.068 1.503 653 6 325 1.465 247 51
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8 19 1 37 2 12 44 24 7 184
110 11 369 5 146 187 78 39 2
Bukan Bukan Angkatan Kerja Usia Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Kerja Tangga 1 131 62 29 1 1 135 41 10 1 1 0 6 31 7 6 109 29 18 1 8 15 3 12 10 0 63 87 63 44 518
58
388
3.704
154
260
92.745
443
10.225
11.860
33.463
2.215
62
Pengangguran
Tahun 2003 Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja
Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
39.348.575 9.037 53.476 2.575 77.764 42.147 17.598 6.589 36.339
13.622 680.725 2.591 0 0 1.254 1.372 0 848
237.038
3.939
3
4
5
46.452 0 2.484 0 11.009.325 3.132 0 145.093 14.033 0 22.125 589 5.082 0 2.984 0 17.529 2.612
6
7
8
9
42.971 30.350 12.803 1.766 12.295 1.064 1.512 2.989 0 0 24.286 62.448 22.604 3.705 25.774 0 0 0 146 386 3.868.493 17.421 15.992 3.104 10.037 10.908 16.240.012 12.827 2.463 15.326 9.216 13.187 4.746.875 1.760 5.639 3.148 15.390 3.709 1.262.165 4.430 8.274 25.363 16.226 3.189 9.522.612
Bukan Usia Kerja
62.292 8.945 232.982 3.757 102.469 130.869 42.577 30.555 108.791
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 0 52.914 14.985 0 1.546 2.420 452 68.627 23.596 0 194 444 430 7.173 12.644 1.797 44.609 13.797 0 799 7.780 146 7.156 5.623 88 39.389 22.839
Pengangguran
13.930 283 8.284 0 6.423 8.787 171 3.917 21.204
56.074
0
3.599
50.436
8.805
2.661
27.862
278.669
2.717.598
132.432
174.334
27.464.983
3.890.057 1.173.004 90.747
405
34.626
261.425
57.526
13.040
68.079
8.454.963
8.761.266
27.563.295
549.121
16.192
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
307
Tahun 2004
Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
36.405.915 18.305 60.522 375 81.773 43.905 28.658 3.848 54.293
20.163 966.492 827 0 7.262 670 3.114 315 1.497
271.261
3.536
3
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
32.167 0 49.981 315 0 3.843 10.561.890 1.580 22.474 1.112 221.378 0 11.931 0 4.274.037 22.604 0 6.759 12.283 0 7.346 8.994 85 1.596 19.960 1.626 4.625 64.857
0
Bukan Usia Kerja
82.892 14.590 230.635 2.522 125.014 136.354 58.781 35.211 119.074
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 922 84.236 40.671 0 2.671 1.464 0 70.861 31.851 0 0 0 0 4.367 13.084 388 50.631 14.065 157 2.236 16.032 252 8.450 4.767 135 72.973 41.668
42.675
313.056
2.834.987
128.366
189.586
29.694.780
3.724.198 1.072.867 136.946
1.890
110.517
512.408
46.222
18.203
Bukan Usia Kerja
108.969 8.215 307.433 2.221 134.786 208.734 49.255 25.100 133.273
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 1.274 111.899 34.334 0 0 2.881 1.479 96.613 32.191 0 0 2.415 466 5.782 18.218 1.315 100.199 16.898 1.285 4.610 13.205 1.820 3.547 0 0 76.185 32.644
30.340.813
34.890 23.954 2.569 2.716 65.027 25.093 0 2.680 30.876 9.825 17.712.480 17.726 19.256 5.282.695 7.547 4.548 40.279 10.302
8.545
66.477
127.779 8.661.744 8.746.091 28.461.281 818.753
13.882
2.286 15.463 0 2.716 2.317 28.150 0 0 245 11.001 3.457 27.338 1.104 6.707 1.082.694 4.619 4.689 10.028.201
9.181
0
Pengangguran
35.790 0 13.921 0 6.846 3.129 5.385 2.530 29.424
Tahun 2005 Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja
Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
37.433.969 9.857 60.293 520 90.609 47.324 34.597 6.189 42.339
16.064 822.578 549 0 2.021 6.279 1.862 1.193 0
295.055
2.662
3
4
5
32.634 0 30.833 1.798 572 2.027 11.180.158 0 31.739 1.228 182.790 667 8.685 530 4.250.763 26.311 0 13.449 11.454 0 11.551 3.979 0 0 11.005 0 8.584 56.727
0
6
7
32.745 23.514 3.663 1.577 69.845 31.741 0 489 20.099 15.625 16.607.708 8.574 27.524 5.342.400 8.285 1.045 37.541 10.171
8
9
1.768 17.451 0 2.255 1.839 21.038 0 0 0 5.227 8.254 18.462 759 6.703 1.055.392 4.221 3.641 9.715.928
Pengangguran
577.836 4.541 38.578 412 16.777 115.424 12.943 2.702 34.392
16.175
47.927
6.736
717
33.194
338.638
3.653.017
135.099
218.451
422.140 35.337 495.525 51.278 164.518
512.212
162.241
10.338
4.060.784
761.667
293.830
10.246.105
9.921.287 28.061.906
308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tahun 2006
Matriks Transisi 2
Bekerja
1 36.373.563 26.798 2 11.804 819.780 3 60.486 2.260 4 1.269 0 5 86.352 5.289 6 51.823 2.243 7 33.122 6.614 8 5.564 855 9 40.580 1.050 Pengangguran 262.927 8.673 Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja 335.029 9.559.990
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
3
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8 42.394 28.381 3.962 1.605 65.524 21.515 1.144 0 31.115 14.390 17.796.258 32.086 24.189 5.357.609 7.874 4.977 36.012 9.097
Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Mengurus Pengangguran Sekolah Rumah Lainnya Kerja Tangga 1.790 18.865 132.920 3.410 179.227 52.926 459.224 0 3.348 16.364 641 2.407 2.162 2.671 1.261 20.508 289.478 1.110 118.087 27.189 50.779 0 1.993 5.319 0 2.694 383 0 3.716 10.376 108.003 0 8.011 17.491 7.845 6.707 23.905 175.504 5.474 80.046 24.394 108.367 2.602 12.675 69.452 616 7.481 17.190 12.737 1.251.650 11.365 35.457 0 9.588 2.456 2.160 1.498 10.621.217 92.585 1.737 91.773 35.979 45.978
53.643 674 11.012.175 504 18.433 30.516 21.489 3.653 23.934
1.354 0 513 216.246 1.182 0 0 0 819
35.693 1.312 21.868 0 4.369.185 22.273 13.882 1.937 11.972
60.373
0
5.608
67.654
10.481
1.484
40.754
296.413
3.524.476
105.014
204.780
9.385.829
9.992.696 29.202.196 438.884
39.864
4.214.510 622.441
369.611
5.822
170.344
546.081
122.616
45.316
Tahun 2007 Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
3
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8
Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Mengurus Pengangguran Sekolah Rumah Lainnya Kerja Tangga 94.404 38.836 2.945 31.053 120.302 5.849 280.252 66.336 547.719 7.822 4.070 344 2.024 11.899 860 3.790 5.641 3.992 98.336 32.798 7.748 35.793 304.833 10.724 215.771 39.605 50.183 906 1.037 567 414 3.616 0 255 1.323 401 49.665 21.619 1.522 15.607 161.882 2.968 13.299 41.171 19.914 18.589.627 42.420 16.565 48.416 257.735 15.551 226.979 41.538 161.196 48.086 5.521.695 5.153 22.363 73.127 6.099 14.167 20.758 20.469 20.836 8.078 1.266.421 6.362 38.993 3.043 15.711 5.893 5.197 70.803 24.299 8.951 11.211.887 171.370 19.914 184.066 54.235 42.090
36.624.593 23.765 120.017 1.513 142.816 116.593 61.584 5.996 92.726
22.503 886.959 3.758 277 8.810 4.335 5.420 559 3.926
92.314 4.205 11.186.265 288 28.700 64.255 26.803 6.903 34.893
496 0 1.583 163.733 2.154 306 85 642 620
96.458 5.827 36.578 804 4.746.556 35.352 30.071 4.506 14.492
384.966
7.347
88.744
64
19.388
93.465
13.184
2.123
38.202
201.579
3.297.997
184.678
252.683
30.480.872
8.603.517 10.414.328 27.925.073 4.141.489 680.218
424.076
36.770
564.926
4.455
212.717
65.277
371.068
738.306
173.849
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
309
Tahun 2008
Matriks Transisi
Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengangguran Bukan Angkatan Kerja Bukan Usia Kerja
Angkatan Kerja
Usia Kerja
1
2
3
Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja 7 9 4 5 6 8 5.147 35.807 309 2.319 10.902 44.349 0 1.105 4.418 21.669 17.386 81.641 5.653 23.946 1.328.691 15.768 7.382 12.255.901
Bukan Usia Kerja
149.471 13.177 308.206 3.459 176.916 290.365 77.632 39.277 185.799
Bukan Angkatan Kerja Mengurus Sekolah Rumah Lainnya Tangga 5.383 330.696 95.762 494 7.669 6.545 5.894 233.092 56.268 321 321 2.273 3.443 26.195 47.929 15.629 221.990 59.999 2.931 21.134 21.320 3.723 23.485 6.805 8.392 225.959 49.749
Pengangguran
36.977.787 25.241 113.639 2.028 112.662 126.530 53.405 11.853 93.186
35.341 949.020 4.899 869 7.537 6.056 3.826 422 4.999
99.083 5.089 11.413.852 742 36.436 84.450 23.610 6.092 53.587
318 73 402 190.953 610 775 817 0 904
115.085 6.299 52.906 128 4.960.259 47.940 28.479 7.645 15.784
100.594 44.541 6.710 4.496 150.633 45.427 2.691 325 54.341 26.944 19.283.645 48.030 66.348 5.759.310 28.827 10.494 95.955 29.272
529.015 2.768 55.007 772 13.659 150.025 15.180 5.362 45.507
337.722
8.866
82.872
67
16.259
110.748
15.740
2.064
47.962
173.570
3.602.852
210.219
285.652
31.305.998
327.968 7.954.034 9.577.004 28.129.408 4.264.221 636.941
304.286
30.998
396.682
4.584
137.182
579.729
118.195
43.968
310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
311
PENGARUH DINAMIKA PENAWARAN DAN PERMINTAAN VALAS TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH DAN KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA Sugeng M. Noor Nugroho Ibrahim Yanfitri 1
Abstraksi
This study examines the influence of forex demand and supply interaction on Rupiah's exchange rate. Estimation results show that the movement of rupiah is influenced by the forex supply and demand, where the foreign players are dominating. Furthermore, the demand and supply of foreign exchange is asymmetric. This paper also shows the impact of exchange rate movements on output is only in the short term with a more significant influence to the import, while the depreciation of Rupiah has a larger impact than its appreciation.
Keywords: Foreign exchange, inflation, exchange rate. JEL Classification: E31, F31
1 Sugeng (
[email protected]), M. Noor Nugroho (
[email protected]), Ibrahim (
[email protected]) dan Yanfitri (
[email protected]) adalah peneliti di Biro Riset Ekonomi - DKM Bank Indonesia. Penulis berterima kasih kepada Bapak Made Sukada, Dr. Iskandar Simorangkir dan seluruh peneliti lain atas komentar dan masukan dalam paper ini.
312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN Nilai tukar merupakan indikator ekonomi penting yang memiliki peran strategis dalam suatu perekonomian. Pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap berbagai aspek perekonomian, termasuk perkembangan harga (inflasi), kinerja ekspor-impor yang pada gilirannya berpengaruh pada output perekonomian. Selain berpengaruh luas, pergerakan nilai tukar bagaikan pedang bermata dua, misalnya, pada saat terjadi depresiasi pihak eksportir diuntungkan karena harga relatif produk ekspor Indonesia yang menjadi lebih murah. Sebaliknya, depresiasi rupiah merugikan importir dan debitur utang luar negeri dengan meningkatnya biaya impor dan beban pembayaran utang LN (ekivalen dalam mata uang domestik). Depresiasi juga meningkatkan tekanan inflasi dimana apabila inflasi meningkat cukup signifikan akan berdampak negatif bagi seluruh perekonomian. Dampak akhirnya akan sangat bergantung pada perbandingan besarnya dampak positif dan negatif dari depresiasi rupiah. Pada kasus apresiasi rupiah akan berlaku sebaliknya. Indonesia sebagai penganut perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar mengambang juga menghadapi dilema di atas, terlebih saat rupiah bergerak sangat fluktuatif seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008 setelah krisis keuangan global. Hal ini berdampak negatif terhadap pasar keuangan domestik dan perekonomian secara keseluruhan. Mengingat pergerakan nilai tukar rupiah yang cukup volatile dan dampak negatifnya yang luas bagi perekonomian, upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah merupakan tantangan yang tidak mudah bagi Bank Indonesia di tengah perekonomian yang sangat terbuka dengan sistem devisa bebas dan regim nilai tukar mengambang. Stabilitas rupiah menjadi semakin krusial terkait dengan pencapaian target inflasi mengingat dampak nilai tukar terhadap inflasi dan ekspektasi inflasi yang cukup besar (Kurniati, 2007, Kurniati dkk, 2008). Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar perlu terlebih dahulu dikenali faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakannya. Banyak kajian telah dilakukan untuk menyusun model nilai tukar yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta mengukur signifikansi dan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut. Di Bank Indonesia, beberapa kajian mengenai nilai tukar rupiah dengan menggunakan pendekatan fundamental makroekonomi juga telah dilakukan, seperti model behavioral equilibrium exchange rate (BEER) yang menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah riil secara signifikan dipengaruhi oleh faktor risiko dan beberapa variabel makroekonomi, yaitu interest rate differential, terms of
trade, produktivitas dan net foreign asset. Kajian tersebut menunjukkan bahwa pergerakan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor risiko daripada variabel makroekonomi. Selain untuk keperluan evaluasi atau asesmen pergerakan rupiah, model BEER ini juga dimanfaatkan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
313
untuk proyeksi nilai tukar rupiah. Model lain yang juga dikembangkan - sebagai pembanding model BEER - adalah model fundamental equilibrium exchange rate (FEER) dan effective real
exchange rate yang juga menggunakan pendekatan makroekonomi. Dalam praktek penelitian, memodelkan nilai tukar merupakan salah satu topik yang sangat sulit untuk dilakukan. Akibatnya, jarang sekali ditemukan model nilai tukar yang dapat menjelaskan fenomena pergerakan nilai tukar dengan sangat memuaskan, terlebih untuk keperluan forcasting. Suatu model mungkin dapat menjelaskan dengan baik perkembangan nilai tukar di suatu negara dan dalam suatu periode tertentu, namun di saat yang lain, dengan model yang sama mungkin tidak dapat ladi digunakan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut banyak ekonom dan praktisi (dan juga bank sentral) membangun beberapa model alternatif sehingga model-model tersebut dapat saling melengkapi untuk dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar secara akurat. Dengan memperhatikan berbagai hal di atas, kajian ini ditujukan untuk memberikan model nilai tukar alternatif (serta dengan pendekatan alternatif) agar dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah dengan lebih baik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penawaran dan permintaan valuta asing (valas) di pasar valas domestik. Secara teoritis, interaksi antara permintaan dan penawaran valas - sebagai komoditi yang diperdagangkan di pasar valas - akan membentuk harga yang dalam hal ini adalah nilai tukar rupiah (rupiah terhadap dolar AS). Mengacu pada teori tersebut, model nilai tukar yang akan dihasilkan oleh penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan pengaruh dinamika penawaran dan permintaan valas terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Selain mengukur pengaruhnya terhadap nilai tukar, lebih jauh lagi akan diukur pengaruhnya terhadap harga dan output perekonomian. Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang dinamika penawaran dan permintaan di pasar valas domestik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari model nilai tukar yang dihasilkan, penelitian ini juga akan menganalisis struktur pasar valas yang mencakup pelaku pasar, karakteristiknya dan transaksi valas yang dilakukannya, serta dampaknya terhadap perkembangan nilai tukar rupiah. Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa hal yang memiliki pengertian yang sangat luas atau bahkan spesifik. Pasar valas dapat diartikan sebagai terjadinya pertukaran atau jual-beli antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Oleh karena itu, transaksi valas yang terjadi antar satu orang dengan orang lainnya tanpa memperhatikan tempat transaksinya, seperti transaksi valas di pedagang valuta asing (money changer), di bank, dan transaksi valas antar bank, dapat diartikan sebagai pasar valas. Dalam penelitian ini pasar valas dibatasi hanya pada transaksi valas yang terjadi di perbankan domestik (bank berfungsi sebagai
314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
pasar valas), dan dilaporkan oleh bank ke Bank Indonesia melalui Laporan Harian Bank Umum (LHBU) yang mencakup (i) individual, (ii) korporasi, (iii) bank domestik dan (iv) pihak luar negeri. Bank sebagai pasar valas, karena perannya yang berfungsi sebagai intermediasi untuk mempertemukan penawaran dan permintaan. Bank dapat dipersamakan sebagai pasar valas oleh karena bank cenderung netral, walaupun bank juga dapat melakukan transaksi untuk kepentingannya sendiri dan mengambil posisi long atau short valas. Namun demikian, posisi bank relatif terbatas (mendekati netral) oleh karena: " Manajemen risiko bank akan mengarahkan bank pada posisi netral untuk menghindari risiko nilai tukar, dan " Apabila bank mengambil risiko dengan mengambil posisi long/short valas, bank dibatasi oleh ketentuan posisi devisa neto. Penawaran dan permintaan valas dalam penelitian ini merupakan penawaran dan permintaan efektif, karena telah terealisasikan dalam bentuk transaksi valas. Penawaran atau permintaan valas dibedakan dari sudut pandang bank - sebagai pasar valas - berdasarkan aliran valas yang terjadi akibat dari transaksi valas yang dilakukan oleh bank. Penawaran valas adalah aliran valas masuk ke pasar, sehingga transaksi valas yang merepresentasikannya adalah transaksi beli valas (jual rupiah) oleh bank dimana bank menerima valas dari counterpart (lawan transaksi) dan sebagai lawan transaksinya, bank menyerahkan rupiah kepada counterpart dengan jumlah yang ekivalen. Sebaliknya, permintaan adalah aliran valas keluar dari bank yang direpresentasikan oleh transaksi jual valas oleh bank. Akumulasi dari seluruh transaksi beli dan jual valas oleh seluruh bank akan menunjukkan posisi bank sebagai net beli (transaksi beli lebih besar dibandingkan dengan transaksi jual) atau net jual yang juga dapat dipersamakan dengan excess supply atau
excess demand. Bagian kedua dari paper ini mengulas teori yang mendasari penelitian ini, bagian ketiga membahas data dan metodologi yang digunakan. Bagian keempat mengulas hasil estimasi dan analisis sementara kesimpulan dan saran akan menjadi penutup.
II. TEORI II.1. Teori Permintaan dan Penawaran Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
315
dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan. Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara harga dan penawaran. Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah nilai tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya meningkat berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal. Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi. Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar). Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya naik (rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh (rupiah terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip yang sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow terhadap pergerakan nilai tukar. Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu pihak kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh karena berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli. Dalam konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif (+) untuk order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negatif (-) untuk order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan dan Lyons (2005) mempengaruhi nilai tukar. Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung berbagai informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order, pemberi order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi (Rime, 2007), dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang pada akhirnya menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut, pemberi order menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan. Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi, akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan arah pergerakan nilai tukar. Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order
flow sering disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan
316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
antara order flow dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin memberikan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow adalah sebagai berikut:
∆Pt = f(X, I, Z) + εt dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya. Kajian dengan pendekatan permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank Indonesia oleh Husman (2005). Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang memadukan permintaan dan penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud adalah sebagai berikut: st = α0 + (pt - p*t) + α1(it - i*t) + α2sdvt + α3tott + α4poil + ut dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*t adalah price differential, it - i*t adalah interest rate differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tott adalah term of trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
II.2. Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas terhadap perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui berbagai jalur transmisi: • Direct passthrough • Indirect passthrough • Inflation expectation Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang (dalam mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama yang terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang impor ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya tersebut atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam hal importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan dibebankan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
317
kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya importir bersedia menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka dampak depresiasi rupiah akan minimal pada harga konsumen. Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga barang ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam negeri, hal ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih menguntungkan jika barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di dalam negeri. Akibat perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal (inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung meningkat. Ekspektasi ini direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan antisipatif penyesuaian harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat. Dalam kajian ini akan diestimasi pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap harga (inflasi) melalui direct passthrough. Oleh karena itu, estimasinya akan dibagi dalam 2 tahap; tahap pertama atau first round effect adalah pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga impor, dan second round effect, pengaruh harga impor terhadap harga konsumen. Model persamaan yang digunakan mengacu pada Kurniati (2007) dengan persamaan sebagai berikut: Pm = f(et, Pint'l, Poil, Y); first round effect P = f(Pm, Poil, Yt); second round effect dimana P adalah IHK, Pm adalah harga impor, e adalah nilai tukar, Pint'l adalah indikator harga negara mitra dagang, Poil adalah harga minyak dunia, dan Y adalah PDB.
II.3. Determinan Kinerja Ekspor dan Impor Ekspor dan impor merupakan implementasi dari sistem perekonomian terbuka dimana suatu negara melakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Dinamika ekspor dan impor akan mempengaruhi neraca pembayaran dan juga output perekonomian secara keseluruhan. Nilai tukar terkait erat baik dengan ekspor maupun impor dimana pergerakan nilai tukar mempengaruhi daya saing (competitiveness) produk ekspor (dalam hal harga relatif). Depresiasi nilai tukar suatu negara terhadap mata uang negara lainnya menjadikan daya saing produk ekspor negara tersebut meningkat, sehingga ekspor meningkat. Di saat yang sama, impor menjadi lebih mahal bagi negara tersebut, sehingga impor cenderung menurun. Kombinasi
318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
peningkatan ekspor dan penurunan impor memperbaiki kondisi neraca pembayaran, dan lebih jauh lagi akan meningkatkan pendapatan. Dampak sebaliknya terjadi jika nilai tukar terapresiasi, yaitu kinerja neraca pembayaran dan pendapatan nasional memburuk. Selain nilai tukar, ekspor dan impor juga dipengaruhi oleh terms of trade, sisi pasokan barang ekspor dan sisi permintaan (ekspor dan impor). Terms of trade yang membaik akan berdampak positif terhadap ekspor, namun berdampak negatif terhadap impor. Bagi negara pengekspor, ketersediaan pasokan barang dapat tercermin pada produksinya. Di sisi permintaan, permintaan barang dicerminkan oleh pendapatan. Dengan demikian, persamaan ekspor dan impor dapat diekspresikan sebagai berikut: X = f(e, TOT, IP*) M = f(e, TOT, Y) dimana X adalah ekspor, M adalah impor, e adalah nilai tukar, TOT adalah terms of trade, IP* adalah industrial production index, negara mitra dagang yang merepresentasikan pendapatan. Selanjutnya, ekspor dan impor mempengaruhi pendapatan nasional sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan identitas domestic output dalam sistem perekonomian terbuka: Y = C + I + G + (X - M) dimana Y adalah PDB, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan X - M adalah net ekspor (Ekspor - Impor).
III. METODOLOGI Metode analisis dibedakan menjadi dua, pertama analisa deskriptif pasar valas perbankan domestik untuk mengetahui struktur mikro pasar valas, termasuk meneliti para pelaku pasar dan karakteristiknya, perkembangan permintaan dan penawaran dan nilai tukar, serta pola transaksi. Bagian kedua merupakan analisis mengaplikasikan teknik estimasi ekonometrik persamaan simultan. Berdasarkan model yang dibangun dilakukan simulasi guncangan yang terjadi baik pada permintaan maupun pada penawaran valas. Simulasi ini juga dilakukan untuk mempertajam analisis dan menguji robust tidaknya model.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
319
III.1. Model Empiris Kerangka model empiris yang dibangun dalam penelitian ini merupakan system persamaan simultan. Model persamaan simultan yang akan diestimasi terdiri dari 5 persamaan perilaku (behavioral equation) dan 1 persamaan identitas: et
= b10 + b11SD_LNt + b12SD_LNt-1 + b13SD_DNt + b14SD_DNt-1 + b15RISKt + b16NEERt + u1t
(III. 1)
Xt
= b20 + b21et + b22TOTt + b23IP*t + u2t
(III. 2)
Mt
= b30 + b31et + b32TOTt + b33Yt + u3t
(III. 3)
Yt
= Ct + It + Gt + Xt - Mt
(III. 4)
Pmt = b40 + b41et + b42P*t + b43Poilt + b44Yt + u4t
(III. 5)
Pt
(III. 6)
= b50 + b51Pmt + b52Poilt + b53Yt + u5t
dimana e adalah nilai tukar nominal, SD_LN dan SD_DN adalah net permintaan dan penawaran valas dari pihak luar negeri dan dalam negeri, RISK adalah faktor risiko, NEER adalah nilai tukar komposit beberapa mata uang global, X adalah ekspor, TOT adalah term of trade, IP* adalah industrial production index negara mitra dagang, M adalah impor, Y adalah pendapatan/output domestik, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, Pm adalah harga impor, P* adalah harga luar negeri, Poil adalah harga minyak dunia, dan P adalah harga konsumen. Mengingat persamaan-persamaan di atas bersifat satu arah pengaruhnya (e t mempengaruhi Pmt , Pt , Xt dan Mt, dan selanjutnya Xt dan Mt mempengaruhi Yt) dan tidak terdapat looping atau pengaruh sebaliknya atau saling mempengaruhi, maka estimasi persamaan-persamaan tersebut akan dilakukan secara parsial. Selanjutnya, hasil estimasi parsial dimaksud akan digabungkan dalam satu sistem persamaan simultan. Dengan metode tersebut diharapkan estimasi menjadi efisien dan dapat dihasilkan persamaan yang konsisten. Persamaan pertama adalah persamaan nilai tukar yang konsisten dengan pendekatan
order flow yang dikembangkan oleh Lyons (2001), yakni: ∆Pt = b0 + b1Xt + b2It + b3Zt + εt dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar rupiah (Rp/USD), Xt adalah order flow, It adalah cadangan valas yang dimiliki market maker, dan Zt adalah indikator lainnya. Indikator lain yang akan dimasukkan dalam persamaan adalah faktor risiko dan nilai tukar global.
320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Variabel Xt - net beli valas oleh bank - diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar; apabila net beli atau excess supply (lihat penjelasan di bawah) meningkat, rupiah akan terapresiasi (kuotasi Rp/USD turun). Sebaliknya, penurunan net beli mengakibatkan rupiah terdepresiasi. Cadangan valas It juga diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar. Cadangan valas bank yang tinggi akan mendorong bank yang bersangkutan untuk melepas valas. Dalam penelitian ini, data order flow digantikan oleh transaksi spot yang terjadi di perbankan domestik (bank ∪ dealer dalam konsep market microstructure). Untuk itu beberapa istilah penyebutan perlu diperjelas: -
Bank dipersamakan dengan dealer dalam hal perannya sebagai pasar valas terkait dengan beberapa persamaan yang krusial, yaitu: • Bank dapat melakukan transaksi 2 arah (jual dan beli) sehingga dapat mempertemukan permintaan dan penawaran valas, serta mendistribusikan excess supply/demand ke seluruh pasar. • Netralitas; bank cenderung netral -excessive supply/demand valas diteruskan ke pelaku pasar lain- oleh karena bank cenderung risk averse dan - apabila bank mengambil posisi (long/short valas) - posisi bank dibatasi oleh prudential regulation Posisi Devisa Neto.
-
Penawaran valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan konsekuensi aliran valas masuk ke bank, yaitu transaksi beli valas (jual valas dari sisi counterpart bank).
-
Permintaan valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan konsekuensi aliran valas keluar dari bank, yaitu transaksi jual valas (beli valas dari sisi counterpart bank).
-
Apabila transaksi beli (penawaran) diberikan tanda positif dan transaksi jual (permintaan diberikan tanda negatif, maka akumulasi transaksi tersebut adalah net beli - jika positif berarti bank mengalami excess supply dari transaksinya dengan counterpart-nya, atau sebaliknya, negatif berarti bank mengalami excess demand. Persamaan III.5 dan persamaan III.6 merupakan persamaan harga impor dan persamaan
harga konsumen. Estimasi pengaruh nilai tukar terhadap harga (exchange rate passthrough) mengacu pada kajian yang telah ada yang disusun oleh Kurniati (2007). Dalam penelitian dimaksud, diukur pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga melalui jalur langsung (direct
passthrough). Sebelum mempengaruhi harga konsumen, pengaruh perubahan nilai tukar akan ditransmisikan melalui harga impor. Peningkatan biaya impor akibat perubahan harga akan mendorong importir untuk menjual harga barang impornya di pasar domestik dengan harga yang lebih tinggi untuk mempertahankan keuntungannya.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
321
Selain akibat perubahan nilai tukar, harga impor juga secara langsung dipengaruhi oleh perkembangan harga di negara asal barang impor, harga minyak, dan pendapatan domestik. Perubahan harga barang impor di negara asalnya secara langsung berdampak pada biaya impor yang harus ditanggung oleh importir, sehingga kenaikan harga di negara mitra dagang berpengaruh positif terhadap harga impor. Harga minyak dapat mempengaruhi harga impor meskipun harga barang impor tersebut tidak ada keterkaitan langsung dengan minyak - melalui kenaikan biaya produksi mengingat hampir seluruh proses produksi membutuhkan sumber energi (minyak). Kenaikan harga minyak dengan demikian akan meningkatkan harga impor. Harga minyak juga berdampak pada kenaikan biaya produksi dalam negeri yang pada gilirannya menaikkan harga barang secara umum. Sementara itu, pendapatan domestik juga berpengaruh kuat terhadap permintaan impor dan juga permintaan produk domestik, sehingga harga impor dan harga konsumen. Mengacu pada uraian ini maka Persamaan 5 menunjukkan first round effect sementara persamaan III.6 menunjukkan second round effect. Persamaan III.2 dalam model simultan di atas menunjukkan persamaan ekspor, sementara persamaan III.3 merepresentasikan persamaan impor. Nilai tukar berpengaruh langsung terhadap kinerja ekspor dan impor suatu perekonomian melalui efek price competitiveness. Depresiasi menjadikan harga barang domestik relatif lebih murah sehingga memberikan insentif bagi konsumen luar negeri untuk membeli lebih banyak yang berarti meningkatkan ekspor. Namun, nilai tukar bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ekspor. Ekspor ditentukan oleh interaksi antara sisi permintaan yang pada umumnya diwakili oleh pendapatan negara mitra dagang yang dalam hal ini - oleh karena estimasi menggunakan data bulanan - diwakili oleh Industrial Production Index AS. Di sisi lain, impor negara tersebut menerima dampak yang berkebalikan dengan ekspor sebagaimana dijelaskan di atas. Jika depresiasi menguntungkan ekspor, impor justru tertekan oleh karena harga barang impor relatif menjadi lebih mahal. Akibatnya, impor menurun dengan terdepresiasinya mata uang domestik. Namun, dampak akhirnya tergantung dari kuatnya permintaan domestik atas barang impor yang direpresentasikan oleh pendapatan domestik. Semakin tinggi pendapatan domestik, semakin tinggi permintaan impor. Faktor lain yang mempengaruhi impor, dan juga ekspor, adalah term of trade, namun pengaruhnya sangat tergantung pada kondisi ekspor dan impor. Efek perubahan nilai tukar - dalam hal ini apresiasi - terhadap peningkatan ekspor dan penurunan impor pada gilirannya akan meningkatkan trade balance, neraca pembayaran, dan lebih jauh lagi output - apabila Marshall-Lerner condtion terpenuhi.
322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Untuk menutup sistem persamaan tersebut, digunakan satu buah persamaan identitas yakni pendapatan nasional; Y = C + I + G + (X - M). Secara visual, keterkaitan simultan antar seluruh variabel yang terlibat diilustrasikan dalam bagan berikut:
HARGA EKSPOR
DEMAND LUAR NEGERI
NET S-D LUAR NEGERI EKSPOR
KONSUMSI
IMPOR
GDP
HARGA IMPOR
INFLASI
INVESTASI
NET S-D DALAM NEGERI NILAI TUKAR RISK
REGIONAL CURRENCY
Oil Price
Skema III.1. Model Persamaan Simultan
III.2. Identifikasi Awal Pengujian endogenitas (endogeneity test) dan order and rank condition of identification (atau juga dikenal dengan order condition) terlebih dahulu dilakukan untuk mengidentifikasi model simultan. Hasil Granger causality test menunjukkan bahwa terdapat endogeneity pada seluruh persamaan (Lihat Tabel III.7). Pengujian order condition dilakukan dengan mengikuti prosedur Gujarati (1995) yakni K - k ⊕ m - 1 ; dimana K adalah jumlah variabel predetermined dalam model, k adalah jumlah variabel predetermined dalam persamaan tertentu, m adalah jumlah variabel endogen dalam persamaan tertentu. Apabila (K - k) = (m - 1) maka persamaan dikatakan exactly identified atau terindentifikasi dengan tepat, dan apabila (K - k) > (m - 1) persamaan dikatakan over identified. Sebaliknya, apabila (K - k) < (m - 1) persamaan tersebut dikatakan under identified dan tidak dapat diestimasi. Pada sistem persamaan simultan di atas terdapat 11 variabel predetermined dan 6 variabel endogen. Mengikuti prosedur identifikasi order condition, keseluruhan persamaan tersebut adalah over identified. Dengan menggunakan formulasi lain - yaitu (K-M) > (G-1), dimana K adalah jumlah variabel yang digunakan dalam sistem (17), M adalah jumlah variabel dalam persamaan tertentu (6), dan G adalah jumlah persamaan (6), sehingga (17-6) > (6-1) - juga diperoleh kesimpulan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
323
yang sama, yaitu over identified. Oleh karena hasil estimasi order condition menunjukkan bahwa persamaan parsial dalam sistem persamaan simultan over identified, maka estimasinya akan menggunakan metode Two Stage Least Square. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan ini dibahas berikut ini.
Rangkuman Hasil Endogeneity Test ER SDLN SDDN RISK NEER P INTERNASIONAL OIL P IP DOMESTIK ER SDLN SDDN RISK NEER Y P INTERNASIONAL OIL P Y IP DOMESTIK P IMPOR Y P EKSPOR TOT IP INTERNASIONAL IMPOR
Y
Y Y Y
Y Y Y Y Y Y Y
Y Y Y Y
Y Y Y Y
Y
Y
Y Y
Y Y Y Y Y Y
Y Y Y
Y Y Y
Y
P IMPOR P Y Y Y Y Y Y Y
EKSPOR TOT IP INTERNASIONAL IMPOR
Y
Y Y Y
Y Y
Y Y Y
Y Y Y
Y
Y
Y Y
Y
Y Y
Y Y Y Y Y Y
Y
Y
Y Y Y Y
Y Y
III.3. Data Dengan memperhatikan berbagai model persamaan di atas yang akan diestimasi maka data yang akan digunakan adalah: -
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR), sumber Bloomberg,
-
Transaksi beli (supply) dan jual (demand) valas, sumber LHBU,
-
Rasio aset LN terhadap kewajiban LN bank (FA/FL), sumber DSM,
-
Indeks EMBIG sebagai indikator risiko (Risk), sumber JP Morgan-Chase,
-
Nilai tukar beberapa mata uang mitra dagang untuk diolah menjadi indeks komposit Nilai tukar nominal (NEER), sumber Bloomberg,
-
Indeks harga konsumen (CPI), sumber DSM,
-
Indeks harga impor (Pm), sumber DSM
-
Inflasi negara mitra dagang, sumber CEIC
-
Harga minyak dunia, sumber Bloomberg
-
PDB, sumber BPS,
-
Term of trade, sumber DSM,
-
Industrial Production Index AS, sumber CEIC.
324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Estimasi model akan menggunakan data bulanan sepanjang periode pengamatan Januari 2004 s.d. Desember 2008. Khusus untuk analisis bedah pasar valas akan menggunakan data harian transaksi valas dengan periode pengamatan Januari 2004 - April 2009.
IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS IV.1. Telaah Pasar Valas Berdasarkan analisis struktur mikro pasar valas terdapat beberapa temuan menarik dari perkembangan, karakteristik dan perilaku dari pasar valas dan para pelaku pasar di dalamnya. Temuan dimaksud antara lain adalah perkembangan pasar valas yang kurang berimbang (balance), pelaku luar negeri yang meskipun transaksinya bukan yang terbesar namun mampu mempengaruhi pelaku pasar lainnya, indikasi 'hot money' dana pelaku luar negeri yang masuk ke pasar valas (capital inflows), dampak asimetrik dari inflows dan outflows terhadap pergerakan nilai tukar, dan pola transaksi antar pelaku pasar. Temuan-temuan tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
IV.1.1. Perkembangan Pasar Valas Pasar valas berkembang cukup baik dan mampu mendukung aktivitas perekonomian terutama yang terkait dengan perdagangan internasional dan cross-border investment. Volume transaksi pasar valas rata-rata meningkat sekitar 25,9% (yoy, dalam periode 2004 - 2008),
%
USD million
%
25
80
80,000
20
60
70,000
SPOT FORWARD
60,000
SWAP
40
15
20
50,000 40,000
10 0 5
-20
0 GDP
-5
FOREX MARKET TRANSACTION
Export
Import
30,000 20,000
-40
10,000
-60
0
Fx Market Volume (rhs)
Mar Jun Sep Dec Mar Jun Sep Dec Mar Jun Sep Dec Mar Jun Sep Dec 2005 2006 2007 2008
Grafik III.1. Pertumbuhan PDB, Ekspor, Impor dan Volume Pasar Valas
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik III.2. Perkembangan Transaksi Valas
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
325
sementara ekspor dan impor tumbuh rata-rata tumbuh 11,1% dan 11,5% (Grafik II.1). Namun, perkembangan yang pesat hanya terjadi pada segmen transaksi spot dimana volume transaksi bulanannya sempat mencapai USD72 miliar (September 2008) atau rata-rata per hari sebesar USD3,3 miliar, sebelum menurun drastis saat meledaknya krisis finansial global pada Oktober 2008 (Grafik III.2). Berkembangnya transaksi spot, terutama di 2008, juga terlihat pada peningkatan nilai dan frekuensi (jumlah transaksi) transaksi spot. Nilai dan frekuensi transaksi spot masing-masing meningkat sebesar 10,3% dan 80,6% (dibanding tahun 2007) menjadi USD506,6 miliar dan 3,4 juta kali transaksi. Sementara itu, meskipun nilai transaksi spot cenderung menurun pada akhir 2008, secara keseluruhan tahun 2008 transaksi rata-rata harian meningkat 12,2% menjadi USD2,1 miliar Sementara itu, transaksi swap dan forward relatif stagnan (Grafik III.2). Volume transaksi
swap menurun drastis sejak diberlakukannya pembatasan transaksi swap yang tidak dilandasi oleh aktivitas ekonomi pada pertengahan 2005. Pangsa ketiga segmen pasar tersebut adalah sekitar 77% transaksi spot, 19% transaksi swap, dan 4% transaksi forward. Perkembangan yang kurang berimbang juga terjadi pada transaksi valas berdasarkan mata uang yang diperdagangkan. Transaksi perdagangan US dollar (USD) terhadap rupiah mendominasi pasar dengan rata-rata pangsa pasar mencapai 76% (Grafik III.3). Perdagangan mata uang kuat lainnya, seperti euro dan yen Jepang, hanya memiliki share masing-masing sebesar 1%. Komposisi tersebut sejalan dengan perdagangan internasional Indonesia yang Tabel III.1 Komposisi Transaksi Ekspor-Impor Berdasarkan Mata Uang
% 100 95
USD JPY
EUR SGD
GBP
SHARE of FOREX TRANSACTION by CURRENCY
Keterangan
90 85 80 75 70 65 60
Jan Apr Jul 2006
Oct Jan Apr Jul 2007
Oct Jan Apr Jul 2008
Oct Jan 2009
Grafik III.3. Perkembangan Komposisi Transaksi Valas Berdasar Mata Uang
Ekspor nonmigas USD - US$ SGD - SINGAPORE $ EUR - EURO JPY - JAPANESE YEN lainnya Impor nonmigas USD - US$ SGD - SINGAPORE $ JPY - JAPANESE YEN EUR - EURO lainnya
Jenis Mata Uang Pangsa (%) 93.3 2.0 1.7 1.6 1.4 83.7 4.8 4.6 4.1 2.9
326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
sebagian besar (93% dari total ekspor dan 83,7% dari total impor) menggunakan mata uang dolar AS untuk pembayarannya (Tabel III.1). Selain itu, komposisi utang LN Indonesia juga didominasi oleh mata uang US dollar. Pangsa utang luar negeri swasta per Februari 2009 dalam bentuk US dollar mencapai 88% atau setara dengan USD53 miliar. Sementara proporsi terbesar kedua adalah dalam Yen sekitar 9%.
4.1.2. Pelaku Pasar Pelaku pasar valas pada dasarnya dapat dipisahkan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu (1) market maker yang berperan sebagai pasar dan (2) pelaku pasar yang berperan sebagai counterpart yang melakukan transaksi valas dengan market maker. Market maker dalam lingkup kajian ini adalah bank yang dikelompokkan menjadi Bank Persero, BUSN Devisa, BUSN NonDevisa, BPD, Bank Campuran dan Bank Asing. Bank berfungsi sebagai pasar oleh karena sifatnya yang cenderung netral terhadap posisi long/short valas. Netralitas bank disebabkan oleh manajemen risiko bank yang cenderung risk averse, prudential regulation posisi devisa neto (PDN) yang membatasi posisi valas bank, dan bank menerima order pembelian/penawaran valas sehingga dapat mendistribusikan permintaan dan penawaran ke seluruh pasar. Sementara itu, counterpart bank dapat dikelompokkan menjadi korporasi, nasabah individual (perorangan), dan pelaku luar negeri. Pelaku pasar yang dianggap penting atau significant player adalah pelaku pasar yang memiliki peran khusus di pasar valas. Untuk kelompok market maker Bank Asing merupakan
significant player oleh karena memiliki jaringan transaksi terluas, termasuk menjadi pintu gerbang
% 50
Forex Transaction by Bank Group 40
0.13% 17%
27% 2%
13% 41%
Foreign Bank Joint Bank State Bank Reg.Devl. Bank Private Fx Bank Private Non-Fx Bank
30 20 10 0 2002
2003
2004
BANK ASING BUSN DEVISA
Grafik III.4. Pangsa Pasar Kelompok Bank
2005
2006
2007
BANK PERSERO BANK CAMPURAN
Grafik III.5. Perkembangan Pangsa Pasar
2008
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
327
bagi pelaku asing untuk masuk ke pasar keuangan domestik. Jaringan yang luas menjadikan Bank Asing menguasai market share sebesar 41% dari total transaksi (Grafik II.4). Perkembangan pangsa pasar Bank Asing relatif stabil di atas 40% sejak tahun 2003. Pangsa pasar BUSN Devisa cenderung menurun dan digantikan oleh Bank Persero dan Bank Campuran yang pangsanya meningkat (Grafik III.5). Meskipun bank asing memiliki market share tertinggi, market share tertinggi secara individual bank adalah Bank Mandiri (bank persero) dengan market share 8,7% dari total transaksi valas tahun 2008. Bank Asing yang memiliki market share signifikan adalah Standard Chartered Bank, Citibank, HSBC, ABN Amro Bank, Deutsche Bank dan JP Morgan Chase. Untuk kelompok counterpart bank, kelompok pelaku luar negeri (offshore) merupakan significant player meskipun market share-nya (25%) lebih rendah dibanding transaksi interbank (35%) dan korporasi (28%) (Grafik III.6). Predikat significant player lebih disebabkan oleh transaksi pelaku LN yang relatif besar dengan rata-rata nilai transaksi sepanjang periode pengamatan sebesar USD1,6 juta (dibanding pelaku domestik yang hanya USD242 ribu per transaksi). Hal ini menjadikannya mampu mempengaruhi nilai tukar dan membentuk ekspektasi nilai tukar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi transaksi valas pelaku pasar lainnya. Transaksi valas kelompok pelaku luar negeri terkonsentrasi dengan Bank Asing sebagai partner utama dengan pangsa mencapai sekitar 80% dari total transaksi pelaku LN (Grafik III.7). Satu hal yang perlu diperhatikan dari struktur pelaku pasar valas ini adalah adanya dominasi dari sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar valas dikuasai hanya oleh beberapa bank dimana 10 besar bank menguasai sekitar 62% dari total transaksi di pasar
% 120 Forex Transaction by Group of Counterpart
28%
Partner Dalam Negeri
60 12%
INTERBANK CORPORATION
35%
Partner Luar Negeri
80
25%
40
INDIVIDUAL OFFSHORE
20
0
Grafik III.6. Pangsa Pasar Counterpart Bank
Bank Asing
Bank BUSN Bank Asing BUSN Campuran Devisa Devisa
Bank Bank Persero Campuran
Grafik III.7. Pangsa Transaksi Bank menurut Partner (rata-rata tahun 2006-2008)
328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
valas. Apabila daftar bank terbesar tersebut diperpanjang menjadi 20 bank terbesar, pangsanya meningkat menjadi 87% dari total transaksi valas. Serupa dengan kelompok market maker, transaksi valas di kelompok pelaku LN juga didominasi oleh beberapa pelaku saja, dimana 10 dan 20 pelaku LN dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki pangsa 56% dan 73% dari total transaksi valas pelaku LN. Di kelompok korporasi relatif lebih merata dimana 10 korporasi dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki porsi sebesar 29%, dan 20 korporasi terbesar market share-nya sekitar 34%. Namun demikian, pada kelompok ini justru terdapat 1 pelaku pasar yang sangat dominan, yaitu Pertamina.
4.1.3. Karakteristik Pelaku Pasar Pelaku pasar valas memiliki perilaku dan peran yang berbeda. Salah satu faktor yang menjadi pembeda karakteristik pelaku pasar adalah motivasinya dalam melakukan transaksi valas. Sebagian pelaku pasar melakukannya dalam rangka mendukung atau terkait dengan aktivitas bisnisnya, misalnya eksportir secara rutin menjual valas hasil ekspor yang dilakukannya, importir membeli valas untuk membayar barang-barang yang diimpornya, debitur utang LN membeli valas untuk melunasi utangnya, perusahaan PMA yang menjual valas yang bersumber dari dana operasional yang berasal dari perusahaan induknya di luar negeri, dan sebagainya. Transaksi dengan motivasi ekonomi seperti ini sering disebut genuine demand atau genuine
supply. Implikasi dari motivasi transaksi genuine ini pada perilaku pelaku pasar adalah kecenderungan transaksi yang satu arah (jual saja atau beli saja) secara persisten, sehingga selisih antara transaksi jual dan beli valas (net transaksi secara absolut) yang dilakukannya mendekati total transaksi (jual + beli). Di sisi lain, sebagian pelaku pasar melakukan transaksi valas untuk memperoleh keuntungan dari transaksi 2 arah - jual dan beli - yang dilakukannya dalam periode waktu yang singkat, bahkan dalam satu hari (intraday). Transaksi seperti ini sering disebut trading dan kental dengan nuansa spekulatif. Implikasinya pada transaksi valas adalah total transaksi relatif tinggi - frekuensi jual dan beli relatif tinggi - namun posisi akhirnya cenderung square (beli ? jual). Oleh karena tidak dilandasi oleh underlying aktivitas ekonomi tertentu yang sifatnya permanen, transaksi valas pelaku LN menjadi sangat fleksibel - dapat berganti peran dengan cepat dari net supply menjadi net demand, atau sebaliknya - dalam rangka memaksimalkan keuntungan.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
FOREX TRANSACTION by OFFSHORE PLAYERS Genuine Transaction
% 100
329
Trading 83.9
80 60 40 20 7.4
0
2.7
0-10 10-20
1.5
0.1
0.6
0.6
0.2
0.3
2.8
Ratio of Net Forex Sell-Buy to Total Transaction
20-30 40-50 60-70 80-90 30-40 50-60 70-80 90-100
Grafik III.8. Indikasi Trading oleh Pelaku LN
Mengacu pada pembedaan karakter pelaku pasar di atas, perilaku pelaku luar negeri relatif sama, yaitu transaksi valas yang mengarah untuk trading. Hal ini ditunjukkan oleh rasio antara net beli terhadap transaksi total yang mendekati nol, bahkan sebagian besar (84%) dari total transaksi valas pelaku asing berada pada range rasio terendah, yaitu kurang dari 10% (Grafik III.8). Perilaku yang serupa dari para pelaku luar negeri disebabkan oleh karena hampir seluruh pelaku luar negeri yang aktif melakukan transaksi valas adalah lembaga keuangan internasional atau institutional investors yang tujuan utamanya adalah untuk investasi di pasar keuangan domestik.
FOREX TRANSACTION by CORPORATION Genuine Transaction
40 Trading
30 37.9 20 10.3 20.8
10
17.6 2.2 0
1.8
1.5
1.4
2.9
3.8
Ratio of Net Forex Sell-Buy to Total Transaction
0%-10% 20%-30% 40%-50% 60%-70% 80%-90% 10%-20% 30%-40% 50%-60% 70%-80% 90%-100%
Grafik III.9. Indikasi Trading oleh Korporasi
330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kelompok korporasi terpecah dua dengan proporsi yang hampir berimbang, 53% korporasi cenderung melakukan trading dan 47% lainnya cenderung melakukan transaksi valas karena genuine demand/supply (Grafik III.9). Korporasi yang transaksi valasnya didorong oleh genuine demand/supply pada umumnya adalah yang bergerak di sektor riil (misalnya Pertamina, PLN, dan Indofood), sedangkan yang melakukan trading adalah lembaga keuangan. Sementara itu, nasabah individual tidak dapat diidentifikasi karakternya oleh karena sifat datanya yang agregat (tidak tersedia data individual). Dengan memperhatikan bahwa hampir seluruh pelaku luar negeri dan 50% korporasi melakukan trading maka transaksi di pasar valas didominasi oleh transaksi trading dengan proporsi yang cukup besar. Di satu sisi, transaksi trading menjadikan pasar valas lebih likuid, namun di sisi lain potensial meningkatkan gejolak nilai tukar. Tingginya transaksi trading pelaku luar negeri mengindikasikan bahwa capital inflows didominasi oleh hot money. Besarnya aliran hot money dikonfirmasi oleh struktur financial account di neraca pembayaran yang didominasi oleh aliran portfolio investments, sehingga pasokan valas yang lebih permanen relatif kecil. Karakteristik portfolio investment sebagai investasi jangka pendek menjadikan pasar valas dan pasar keuangan domestik menjadi sangat rentan terhadap risiko capital reversal. Karakter spesifik lain dari pelaku pasar adalah pelaku luar negeri yang berperan sebagai market movers. Transaksi valas yang dilakukan asing cenderung diikuti oleh pelaku domestik, (meskipun dengan arah yang berlawanan oleh karena perbedaan base currency), oleh karena: 1. Nilai transaksinya relatif besar (sebagaimana dijelaskan sebelumnya) sehingga mampu mempengaruhi atau menciptakan ekspektasi nilai tukar rupiah ke depan. Hal ini mendorong pelaku domestik untuk mengikutinya melakukan transaksi valas untuk memperoleh keuntungan. 2. Pelaku luar negeri yang merupakan lembaga keuangan atau institutional investor dipercaya melakukan analisis komprehensif dengan memanfaatkan berbagai metode analisis dan informasi yang relevan sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi. Oleh karena sebagian besar pelaku domestik tidak dapat melakukan hal tersebut, pelaku domestik cenderung mengikuti transaksi yang dilakukan oleh pelaku luar negeri.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
331
Untuk mendukung hipotesa di atas dilakukan Granger causality test dengan menggunakan sampel data harian untuk periode Januari 2004 - April 2009 dan data intraday (transaksi menit ke menit) untuk beberapa periode yang mewakili kondisi tertentu di pasar valas. Pertama adalah periode Mei 2007 yang merepresentasikan kondisi dimana pasar valas mengalami net capital inflows dalam jumlah besar. Periode April 2008 dipilih untuk mewakili kondisi normal pasar valas dimana rupiah bergerak dengan stabil (volatilitasnya rendah). Sebaliknya, periode Oktober 2008 dipilih untuk merepresentasikan kondisi pasar valas disaat krisis, yaitu pada saat meledaknya subprime mortgage crisis di AS (Grafik III.10).
USD thousand 4,000,000
Net Flows
Volatility,% 160
Volatilitas
3,000,000
140
2,000,000
120
1,000,000
100
0
80
-1,000,000
60
-2,000,000
40
-3,000,000
20
-4,000,000
0 Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar
2007
2007
2009
Grafik III.10. Perkembangan Net Capital Flows dan Volatilitas Rupiah
Perkembangan transaksi di pasar valas pada ketiga periode khusus tersebut ditunjukkan oleh Tabel III.2. di bawah ini. Secara umum, nilai transaksi valas pelaku luar negeri (dengan bank) jauh lebih kecil dibanding nilai transaksi pelaku dalam negeri, namun nilai rata-rata per transaksinya jauh lebih besar dibanding pelaku dalam negeri. Satu hal yang menarik adalah pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil sepanjang April 2008 didukung oleh permintaan dan penawaran valas dari luar negeri (net supply) dan dalam negeri (net demand) yang relatif berimbang (hanya ekses supply sebesar USD39 juta). Sementara nilai tukar rupiah sepanjang periode Mei 2007 diwarnai oleh net supply dari pelaku luar negeri relatif besar (USD1,9 miliar) sehingga rupiah cenderung menguat. Berbeda dengan kedua periode tersebut, periode Oktober 2008 merupakan periode krisis dengan nilai tukar yang bergejolak. Kondisi permintaan dan penawaran valas pada saat itu terjadi excess demand - baik dari pelaku dalam maupun luar negeri - yang besarnya mencapai USD2,4 miliar.
332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel III.2 Komposisi Transaksi Ekspor-Impor Berdasarkan Mata Uang Mei-07 Transaksi Jual Bank VS LN Total Nilai Transaksi (USDribu) Rata-rata per transaksi (USDribu) Jumlah Transaksi (frekuensi) Bank VS DN Total Nilai Transaksi (USDribu) Rata-rata per transaksi (USDribu) Jumlah Transaksi (frekuensi) Transaksi Beli Bank VS LN Total Nilai Transaksi (USDribu) Rata-rata per transaksi (USDribu) Jumlah Transaksi (frekuensi) Bank VS DN Total Nilai Transaksi (USDribu) Rata-rata per transaksi (USDribu) Jumlah Transaksi (frekuensi) Netto Bank VS LN (USDribu) Bank VS DN (USDribu) Total Netto (USDribu)
Apr-08
Okt-08
Rata-rata keseluruhan (Tiga Periode)
Bank VS LN 6.111.802 5.135.634 Jumlah transaksi (frekuensi) 4.192 3.401 Nilai per transaksi (USDribu) 1.458 1.510 Bank VS DN Jumlah transaksi (frekuensi) 25.330.557 19.960.854 19.708.011 Nilai per transaksi (USDribu) 2.192 1.751 1.947 11.556 11.397 10.121 4.378.078 3.491 1.254
7.533.516 3.198 2.356
1.841 3.095 10.973 1.939
6.492.548 3.342.554 2.498 1.789 2.599 1.868
24.093.852 19.618.986 19.054.528 2.151 1.732 1.862 11.199 11.330 10.236 3.155.438 -1.236.705 1.918.734
380.745 -1.793.079 -341.868 -653.482 38.877 -2.446.562
Note : transaksi spot valas antara jam 8.00-17.00 Tanda transaksi netto minus (-) berarti net demand
Hasil uji untuk periode panjang (Januari 2004 - April 2009) menunjukkan bahwa transaksi valas yang dilakukan oleh pelaku luar negeri menyebabkan terjadinya transaksi oleh pelaku domestik. Pada periode stabil dan krisis, transaksi pelaku luar negeri tetap menjadi pendorong transaksi pelaku domestik, meskipun dengan tingkat keyakinan 10%. Hanya pada periode dimana terjadi inflows dalam jumlah besar transaksi pelaku domestik justru mempengaruhi transaksi pihak luar negeri - juga dengan rentang keyakinan 10%. Tabel III.3 Hasil Uji Kausalitas: Transaksi Pelaku Luar Negeri Transaksi dan Pelaku Domestik Jan04 s/d Apr09 Mei 2007 F-Stat Prob. F-Stat Prob. Konsep Netto (supply/demand) LN DN DN LN
2.47574 0.00453 0.38775 0.88729 1.72918 0.06206 1.99501 0.06298
Apr 2008 F-Stat Prob.
Okt 2008 F-Stat Prob.
1.403 0.09995 2.44601 0.08681 1.142 0.29166 0.54828 0.57800
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
333
4.1.4. Permintaan dan Penawaran di Pasar Valas Permintaan dan penawaran valas dapat dilihat menurut kelompok pelaku pasar. Kelompok korporasi cenderung sebagai excess atau net demand valas hampir sepanjang waktu periode pengamatan. Excess demand korporasi terutama disebabkan oleh relatif besarnya permintaan valas sebagian korporasi untuk mendukung aktivitas bisnisnya (genuine demand), misalnya untuk pembiayaan impor dan pembayaran utang LN, dibandingkan pasokan valas dari sebagian korporasi lainnya. Oleh karena kebutuhan valas tersebut bersifat permanen maka excess demand yang ditimbulkannya juga cenderung persisten. Serupa dengan korporasi, nasabah individu juga cenderung mengalami net demand. Namun kelompok ini sedikit lebih fleksibel sehingga frekuensi terjadinya net supply pada kelompok ini sedikit lebih sering dibanding korporasi (Grafik III.11). Market size kelompok nasabah individu juga relatif kecil dibandingkan kelompok korporasi.
USD million
USD million 1,5
DOMESTIC NET FOREX SUPPLY-DEMAND
1
5
OFFSHORE NET FOREX SUPPLY-DEMAND
4
5
3
800 700 600
0
2
-5
1
500
-1
0
400
-1,5
-1
300
-2
-2
-2,5
Corporations
-3
Individuals All Domestic
-3,5 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik III.11. Net Supply-Demand Valas Pelaku Domestik
200
-3 -4
OFFSHORE PLAYERS
EMBIG
100 0
-5 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik III.12. Net Supply-Demand Pelaku Asing dan Indeks EMBIG
Karakteristik kelompok korporasi yang cenderung ekses demand tidak terlepas dari motivasi transaksi valas yang sebagian merupakan genuine demand/supply sehingga menjadikannya tidak fleksibel. Motif transaksi genuine demand/supply relatif berimbang dengan motif trading yang lebih fleksibel. Transaksi kelompok nasabah individu, meskipun tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, namun terdapat indikasi bahwa nasabah individu cenderung lebih ke arah trading.
334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Berbeda dengan kelompok pelaku DN, pelaku LN lebih banyak berperan sebagai net supplier valas sehingga berfungsi sebagai penyeimbang net demand di sisi pelaku DN. Perannya sebagai penyeimbang berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung menguat dan lebih stabil. Meskipun pasar valas secara keseluruhan masih mengalami excess demand, adanya pasokan valas dari LN dapat mendorong apresiasi rupiah.
USD million
USD juta
Rp/USD
5
7.000
4 8.000
3
9.000
1 0
10.000
-1 -3 -4
3 2
2
-2
4
11.000 Domestic Net S-D Offshore Net S-D Overall Net S -D IDR/USD
-5 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan MaySep Jan MaySep Jan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 0 -1 -2
12.000 13.000
Grafik III.13. Net Supply-Demand Valas dan Nilai Tukar Rupiah
-3
SBI
SUN
Saham
Net Flows
-4 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik III.14. Net Capital Flows dan Investasi Portfolio Asing
Dibalik efek positif pasokan valas LN juga terdapat permasalahan yang melekat dengan pasokan valas dari LN ini, yaitu karakter aliran dana asing yang merupakan hot money. Dana milik pelaku LN tersebut ditempatkan pada aset keuangan rupiah yang sangat likuid (portfolio investment), seperti SBI, SUN dan saham. Grafik III.14 menunjukkan perkembangan dan besarnya
net capital flows yang relatif sama dengan investasi portofolio asing di 3 aset keuangan rupiah, yaitu SBI, SUN dan saham. Alternatif lainnya bagi investor asing untuk investasi di Indonesia adalah ditempatkan di pasar uang atau digunakan untuk trading valas. Karakter hot money sebagai investasi jangka sangat pendek terlihat pada grafik di bawah dimana inflows dan outflows terjadi saling bergantian dalam jumlah yang relatif sama. Misalnya,
net inflows yang terjadi dalam periode Maret 2007 - Mei 2007 sebesar USD6,0 miliar diikuti oleh periode net outflows dengan jumlah yang hampir sama sebesar USD5,5 miliar.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
USD million
335
USD million
500
1,000
400
800
300
600
200
400
100
200 0
0
-200
-100 Net Flows (rhs)
Outflows
Inflows
-400
-200 Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar 2007 2008 2009
Grafik III.15 Net Capital Flows dan Investasi Portfolio Asing
Akibatnya dari sifatnya sebagai penempatan jangka pendek, investor asing dapat menarik dananya setiap saat sebagaimana terjadi pada beberapa periode dimana faktor risiko meningkat. Pada saat terjadi outflow, rupiah terdepresiasi dan pergerakannya lebih fluktuatif. Berdasarkan Tabel III.4
Tabel III.5
Perkembangan Pasar Valas pada Periode Inflows dan Outflows
Perkembangan Pasar Valas pada Periode Apresiasi dan Depresiasi
EVENT Cap. Cap. Inflows Inflows Cap. Cap. Outflows Outflows # of Events Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) Domestic Net Fx Supply-Demand Supply-Demand Domestic Net Fx Supply # of Events Amount (avg, $ mio) mio) Domestic Net Fx Demand # of Events Amount (avg, $ mio) mio) Exchange Rate Novements Appreciation # of Events Average Depreciation # of Events Average Exch. Rate Volatility (avg)
708 97,449 97.449
601 -98,761 -98.761
12.99% 12,99% 92 33.46 87.01% 87,01% 616 -101.48 -101,48
56.41% 56,41% 339 78.62 43.59% 43,59% 262 -56.63 -56,63
66.08% 66,08% 450 0.43% 0,43% 33.92% 33,92% 231 -0.26% -0,26% 10.25% 10,25%
29.29% 29,29% 169 0.28% 0,28% 70.71% 70,71% 408 -0.50% -0,50% 12.14% 12,14%
EVENT Cap. Inflows Cap. Depreciation Outflows Appreciation ## of of Events Events Offshore's % change Net (avg)Fx S-D (avg, $ mio) Domestic Fx Supply-Demand Exch. RateNet Volatility (avg) Domestic NetSupply-Demand Fx Supply Domestic Net Fx # of Events Domestic Net Fx Supply Amount (avg, $ mio) # of Events Domestic Fx Demand AmountNet (avg, $ mio) # of Events Domestic Net Fx Demand Amount (avg, $ mio) # of Events Exchange Rate Novements Amount (avg, $ mio) Appreciation Capital Flows (Offshore Net S-D) # of Events Capital Inflows Average # of Events Depreciation Avg., $ mio # of Events Capital Outflows Average # of Events Exch. Rate Volatility (avg) Average
708 670 97,449 0,36% 10,76% 12.99% 92 15,97% 33.46 107 87.01% 45,46 616 84,03% -101.48 563 -102,95 66.08% 450 71,19% 0.43% 477 33.92% 117,96 231 28,81% -0.26% 193 10.25% -68,35
601 639 -98,761 -0,41% 11,50% 56.41% 339 0,70% 78.62 324 43.59% 76,75 262 49,30% -56.63 315 -61,53 29.29% 169 36,15% 0.28% 231 70.71% 55,09 408 63,85% -0.50% 408 12.14% -113,15
336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
data historis, pada saat terjadi inflows terdapat 66% peluang rupiah akan terapresiasi dan apresiasi yang terjadi relatif smooth sehingga volatilitas yang ditimbulkannya rata-rata hanya sebesar 10%. Namun pada saat terjadi outflows, peluang rupiah terdepresiasi sedikit lebih besar (71%) dan level depresiasinya lebih tajam sebagaimana tercermin pada rata-rata volatilitas pada periode outflow yang mencapai sekitar 12%. Dari deskripsi di atas terlihat adanya assymetric impact dari kejadian inflows dan outflows. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya assymetric tersebut adalah kondisi permintaan dan penawaran domestik yang cenderung excess demand. Sehingga pasokan valas dari luar negeri terlebih dahulu harus menambal excess demand domestik sebelum mendorong apresiasi rupiah.
4.1.5. Pola Transaksi Antar Kelompok Pelaku Pasar Transaksi valas yang dilakukan oleh pelaku pasar valas membentuk suatu pola umum yang relatif persisten dalam periode penelitian. Selain itu, meskipun tidak dapat mengidentifikasi terjadinya segmentasi pasar, pola transaksi tersebut menunjukkan pasar dikuasai hanya oleh sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar dikuasai oleh bank asing (hanya oleh 6 bank), bank pemerintah (3 bank) dan sedikit bank dari kelompok bank campuaran (1 bank) dan BUSN devisa. Bank-bank tersebut menguasai sekitar 86% market share, sisanya diperebutkan oleh lebih dari 100 bank domestik lainnya. Terkait dengan pola transaksi, bank asing menjadi kelompok bank yang memiliki akses terbesar ke seluruh pelaku pasar. Bahkan, lebih dari 80% transaksi bank dengan pelaku LN dilayani oleh bank asing, sehingga bank asing menjadi 'gate' pelaku LN untuk masuk ke pasar keuangan domestik. Dalam kondisi normal, pelaku LN menjadi pemasok valas bagi bank asing dan kelompok bank lainnya. Selain itu, bank asing juga menerima pasokan valas yang lebih besar dari korporasi. Pasokan valas tersebut hampir seluruhnya didistribusikan oleh bank asing ke bank lainnya, terutama bank persero dan BUSN devisa. Secara keseluruhan bank asing mengalami excess demand yang cukup besar. Bank persero, selain menerima pasokan valas dari pelaku asing (secara langsung) dan bank asing, juga memperoleh pasokan valas dalam jumlah besar dari nasabah individu. Pasokan valas tersebut disalurkan untuk memenuhi permintaan valas korporasi (termasuk Pertamina) yang sangat besar, sehingga secara keseluruhan bank persero juga mengalami defisit aliran valas. Satu-satunya kelompok bank yang mengalami surplus pasokan valas adalah BUSN devisa. Kelompok ini menerima pasokan valas dari seluruh kelompok bank, kecuali BUSN non-devisa,
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
337
dan pelaku LN secara langsung. Pasokan valas tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan valas korporasi dan nasabah individu, sementara kelebihannya menambah cadangan valas kelompok bank ini. Tabel III.6 Pola Transaksi Valas Antar Kelompok Pelaku
NET FOREX BUY and SELL BY
NET FOREX SELL and BUY BY
ALL Period FOREIGN BANK JOINT BANK STATE BANK PRIVATE FX BANK REG DEVL BANK PRIVATE Non-FX BANK CORPORATION INDIVIDUAL OFFSHORE
FOREIGN BANK 0 663.807 -3.985.576 -16.817.638 -548.785 -629.034 11.404.656 -2.076.875 2.421.232 -9.568.213
JOINT BANK STATE BANK PRIVATE FX BANK -756.207 3.985.576 0 -1.607.367 1.551.367 0 -11.078.014 -10.361.111 -1.750 193.175 -602.332 -454.428 5.020.344 -48.475.487 862.379 11.558.071 2.212.527 2.736.218 -2.791.686 -42.425.353
16.813.438 11.019.864 10.361.111 0 588.686 -328.135 -3.142.302 -24.633.484 2.916.468 13.595.646
ALL BANK 20.042.807 10.076.304 7.926.902 -38.256.763 231.326 -2.013.929 -35.192.789 -14.289.909 10.286.445
NET FOREX BUY and SELL BY
NET FOREX SELL and BUY BY
ALL Period FOREIGN BANK JOINT BANK STATE BANK PRIVATE FX BANK REG DEVL BANK PRIVATE Non-FX BANK CORPORATION INDIVIDUAL OFFSHORE
FOREIGN BANK 0 679.223 1.859.500 567.760 41.365 -46.811 229.960 85.342 -2.671.868 744.471
JOINT BANK STATE BANK PRIVATE FX BANK -679.223 0 1.327.475 -809.148 0 -114.680 -11.399 -23.719 500.799 190.105
-1.859.500 -1.327.475 0 -1.929.275 -35.060 -102.200 -2.780.567 425.388 100.839 -7.507.850
-567.760 809.148 1.929.275 0 12.150 -46.737 -893.360 -264.810 267.014 1.244.920
ALL BANK -3.106.483 160.896 5.116.250 -2.170.663 18.455 -310.428 -3.455.366 222.201 -1.803.216
Dalam kondisi krisis, seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008, arah pola aliran transaksi valas sebagaimana dijelaskan di atas berbalik arah, sehingga kelompok bank asing dan bank campuran justru mengalami ekses pasokan. Sementara itu, bank persero tetap mengalami defisit (seperti dalam kondisi normal) dan BUSN devisa tetap mengalami surplus pasokan. Kondisi ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan distribusi valas, meskipun masih mungkin menjadi balance melalui berbagai jalur lainnya, misalnya transfer dana atau melalui PUAB.
338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4.2. Hasil Estimasi 4.2.1. Persamaan Nilai Tukar Berdasarkan hasil pengolahan dengan menggunakan metode ECM diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar baik dalam jangka panjang maupun pendek. Dalam jangka panjang, net supply valas dari pelaku luar negeri merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar. Kenaikan 1% net supply valas dari pelaku luar negeri akan menyebabkan apresiasi nilai tukar sebesar 0,06%. Sementara dalam jangka pendek, faktor risiko merupakan faktor utama yang memengaruhi pergerakan nilai tukar. Koefisien regresi faktor risiko sebesar 0,70 yang mengimplikasikan setiap risiko memburuk dimana indeks risiko meningkat sebesar 1% akan menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0,70%. Hasil pengolahan tersebut menunjukkan sentimen pelaku pasar terhadap pasar valas masih mendominasi. Faktor kedua yang berpengaruh signifikan adalah pergerakan nilai tukar regional sebesar 0,46. Adapun indeks nilai tukar regional tersebut merupakan indeks komposit dari mata uang negara Jepang, Euro, dan Singapura yang mewakili nilai tukar regional. Nugroho dkk (2008) menunjukkan bahwa pergerakan keempat mata uang tersebut memiliki korelasi yang kuat dengan pergerakan rupiah, sebagaimana terlihat pada grafik berikut.
EUR
SGD
IDR Thousand
1.3
13 EUR/USD IDR/USD
1.2 1.1
12
IDR Thousand
1.8
13 SGD/USD IDR/USD
1.7
11
left side
1.6
1
right side
10 0.9
12 11 10
1.5 9
9
0.8
8
0.7 0.6
7
1.4
8 7
1.3
2000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
2000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Grafik III.16. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Euro
Grafik III.17. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Singapore Dollar
Selain itu faktor permintaan dan penawaran memengaruhi nilai tukar secara signifikan, dengan komposisi sebagai berikut:
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
339
a. Permintaan dan penawaran luar negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,06 di masa saat ini dan 0,04 di masa lalu. Pengaruh sesaat dari permintaan dan penawaran tersebut lebih besar di masa sekarang. Hasil tersebut sejalan dengan teori simultaneoustrade model bahwa perilaku pelaku pasar saat ini merupakan informasi bagi pelaku pasar selanjutnya yang selanjutnya akan melakukan perilaku yang serupa. Selain itu, hasil ini juga sejalan dengan analisis sebelumnya yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari perilaku pelaku domestik terhadap luar negeri. Artinya koefisien yang lebih besar saat ini merupakan akumulasi informasi saat ini dan informasi pelaku di masa lalu untuk sesama pelaku luar negeri serta dalam negeri. b. Permintaan dan penawaran dalam negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,05 saat ini. Perilaku masa lalu tidak memengaruhi kondisi saat ini, menunjukkan bahwa seluruh informasi pasar sudah diserap pada periode t. Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa pengaruh dari permintaan dan penawaran domestik lebih kecil dari permintaan dan penawaran luar negeri. Pengujian ini memperjelas hasil analisis sebelumnya. Pangsa pasar pemain asing dalam perdagangan valas dengan denominasi USD/IDR masih pada kisaran 40% dan menggunakan bank asing di dalam melakukan transaksinya. Sementara keterkaitan bank asing sebagai partner utama bank-bank domestik semakin meningkat. Magnitude yang besar dari pelaku LN relatif terhadap DN juga dapat berasal dari adanya kecenderungan perilaku trading pelaku asing, sehingga perubahan nilai tukar yang lebih besar menunjukkan adanya expected gain/loss yang lebih besar juga bagi pelaku LN. Sementara pelaku DN cenderung melakukan real transaction sehingga pembelian dan penjualan valas bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar, tetapi kebutuhan valas. Tabel berikut menampilkan hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) dalam jangka panjang dan jangka pendek. Tabel III8 Hasil Estimasi Persamaan Nilai Tukar SD Luar Negeri Long Term Short Term -0,07*** (0,02)
-0,06*** (0,01)
SD Luar Negeri (-1) SD Dalam Negeri Risk NEER SD Dalam Negeri (-1) Coef. of Long Term Short Term Long Term Short Term Long Term Short Term Long Term Short Term Long Term Short Term adjusment -0,04*** (0,01)
-0,07 (0,06)
-0,05*** (0,02)
-0,03*** (0,02)
0,18 (0,16)
0,76*** (0,20)
Short Run Long Run R-squared DW stat
84% 1,72
83% 1,56
-0,48 (0,31)
0,55*** -0,34*** (0,21 ) (0,17 )
340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4.2.2. Persamaan Output Persamaan output merupakan fungsi identitas dari variabel konsumsi, investasi, pemerintah, ekspor, dan impor. Untuk variabel konsumsi, investasi, pemerintah merupakan variabel eksogen dalam pembentukan output, sementara variabel impor dan ekspor ditentukan dalam model (endogen). a. Ekspor Sebagaimana telah dijelaskan di dalam metodologi, persamaan ekspor yang digunakan merupakan fungsi dari nilai tukar, pendapatan partner dagang, dan terms of trade (harga ekspor dibandingkan dengan harga impor). Pada persamaan ekspor juga dilakukan metode pengolahan dengan menggunakan metode ECM, karena beberapa variable eksogen yang tidak stasioner pada level tetapi memiliki kointegrasi dalam jangka panjang2 . Hasil pengolahan dalam jangka panjang menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan partner dagang (komposit pertumbuhan partner dagang utama Jepang, USA, dan Singapura) merupakan faktor utama yang memengaruhi ekspor Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut memiliki share mencapai 44,58% dari total keseluruhan ekspor Indonesia. Konsentrasi yang tinggi pada ketiga negara tersebut menyebabkan ketergantungan ekspor Indonesia yang kuat juga terhadap mereka. Sementara dalam jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi pergerakan ekspor adalah faktor harga yang ditunjukkan oleh term of trade, kenaikan 1% harga ekspor (relatif terhadap harga impor) menyebabkan penurunan ekspor sebesar 2,2%. Selanjutnya faktor yang memengaruhi ekspor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga barang-barang ekspor di pasar internasional menjadi relative lebih murah sehingga dapat meningkatkan ekspor. Adapun koefisien hasil pengolahan data sebesar 1,185, dimana kenaikan 1% dari nilai tukar akan menyebabkan kenaikan 1,19% pada ekspor. Persamaan ini juga menunjukkan pengaruh nilai tukar pada ekspor dapat langsung ataupun tidak langsung. Jalur yang tidak langsung yaitu melalui harga barang impor yang menjadi mahal akibat kenaikan nilai tukar, sehingga harga barang ekspor menjadi lebih murah yang pada akhirnya meningkatkan ekspor. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini:
2 Pengujian stasioneritas, heterokedastisitas, autokorelasi, stasioneritas dan normalitas residual disajikan di dalam lampiran.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
341
Tabel III.9. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Term of Trade Long Term Short Term -0,65 (0,56)
Indeks Produksi Long Term Short Term
-2,2* (1,23)
1,91*** (0,35)
0,57 (0,50)
Nilai Tukar Long Term Short Term 0,21 (0,18)
1,19* (0,64)
Coef. of adjusment -0,61*** (0,15)
Short Run Long Run 60% 64% 2,06 2,18
R-squared DW stat
b. Impor Persamaan impor juga merupakan fungsi dari nilai tukar, terms of trade (harga ekspor dibandingkan dengan harga impor), serta pertumbuhan Indonesia. Berdasarkan hasil pengolahan dengan menggunakan ECM, diperoleh bahwa dalam jangka panjang, faktor yang paling memengaruhi pergerakan impor di Indonesia adalah harga relative antara ekspor dan impor. Kenaikan 1% terms of trade menyebabkan penurunan impor sebesar 1,25%. Sementara dalam jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi impor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi nilai tukar sebesar 1 % menyebabkan penurunan impor sebesar 1% juga. Faktor lainnya yang memengaruhi pergerakan impor adalah pertumbuhan ekonomi, dimana kenaikan 1 % dari pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan kenaikan impor sebesar 0,64%. Tidak seperti persamaan ekspor sebelumnya, yang menunjukkan adanya efek nilai tukar yang langsung ke ekspor dan efek nilai tukar yang ditransmisikan melalui terms of trade, pada persamaan impor ini efek nilai tukar berdampak langsung pada pergerakan impor, sementara dalam jangka pendek tidak terdapat efek tidak langsung melalui terms of trade. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini: Tabel III.10. Hasil Estimasi Persamaan Impor Term of Trade Short Term Long Term -1,25** (0,56)
Indeks Produksi Short Term Long Term
0,87 (0,58)
0,15 (0,29)
0,65*** (0,08)
Nilai Tukar Short Term Long Term 0,06 (0,30)
Short Run Long Run R-squared DW stat
76% 2,52
86% 2,57
-1,00** (0,38)
Coef. of adjusment -0,44*** (0,08)
342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4.2.3. Persamaan Harga a. Harga Impor Persamaan ini digunakan untuk melihat hubungan antara nilai tukar dan harga impor. Hasil pengujian dengan menggunakan metode ECM, menunjukkan bahwa di dalam jangka panjang, faktor yang paling memengaruhi harga impor Indonesia adalah harga-harga internasional, yaitu sebesar 1% kenaikan harga internasional menyebabkan kenaikan harga impor sebesar 0,99%. Faktor kedua yang berpengaruh di dalam jangka panjang adalah perubahan nilai tukar, dengan pengaruh sebesar 0,42. Angka exchange rate pass-through ini sejalan dengan hasil temuan Kurniati (2008) yang memperoleh pengaruh nilai tukar terhadap harga impor sebesar 0,45 pada periode post crisis. Sementara dalam jangka pendek, faktor nilai tukar paling memengaruhi harga impor dengan koefisien sebesar 0,333 , yang kemudian diikuti dengan faktor supply shock (oil price) dengan koefisien sebesar 0,20. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka pengaruh nilai tukar terhadap pergerakan harga impor terutama di dalam jangka pendek semakin membesar. Artinya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya akibat adanya magnitude yang besar pada permintaan dan penawaran luar negeri terhadap nilai tukar, akan berdampak juga pada tekanan harga impor. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka panjang maupun pendek ditunjukkan oleh tabel berikut ini: Tabel III.11. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Harga Internasional Nilai Tukar Long Term Short Term Long Term Short Term 0,99** (0,39)
0,67 (0,61)
0,42*** (0,13)
0,33*** (0,08)
Supply Stock Long Term Short Term 0,20*** (0,03)
PDB Long Term Short Term
0,21*** (0,03)
0,02 (0,02)
0,01 (0,02)
Coef. of adjusment -0,26** (0,12)
Short Run Long Run R-squared DW stat
73% 1,79
99% 2,06
b. Harga Konsumen Second round effect adanya perubahan nilai tukar adalah tekanan pada harga keseluruhan. Akibat kenaikan harga barang-barang impor menyebabkan harga keseluruhan di perekonomian 2 Hasil penelitian Kurniati (2008) menemukan exchange rate pass through sebesar 0,.20 dalam jangka pendek pada periode paska krisis.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
343
menjadi meningkat. Dalam jangka panjang, faktor yang memengaruhi kenaikan harga di dalam perekonomian adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yaitu kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,01%. Sementara dalam jangka pendek, perubahan harga domestik disebabkan oleh kenaikan harga barang impor, yaitu kenaikan 1% harga barang impor menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 0,05%. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya tingkat ketergantungan impor yang besar di dalam keseluruhan kegiatan produksi.
Tabel III.12. Komoditas Impor Utama Indonesia, 2000-2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Komoditas
Minyak bumi dan olahannya Kimia organis Besi dan baja Mesin industri dan perlengkapannya Mesin industri khusus Gandum dan gandum olahan Bahan plastik Mesin pembangkit tenaga Serat tekstil dan sisanya Benang tenun, kain tekstil, dan hasilnya Bahan kimia lainnya Pulp dan Kertas Logam tidak mengandung besi Barang-barang logam lainnya Makanan ternak Kimia inorganis Biji logam dan sisa-sisa logam Bahan celup dan pewarna lainnya Gula, olahan gula, dan madu Hasil susu dan telur
Rata-rata Pangsa 200-2008 28% 8% 6% 6% 5% 3% 3% 3% 3% 3% 3% 2% 2% 2% 2% 1% 1% 1% 1% 1%
344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Apabila dilihat lebih detail pada tabel II.12 di atas, barang impor utama yang masuk ke Indonesia sebagian besar merupakan barang utama pembuatan industri, seperti minyak bumi dan olahannya, kimia organis, besi dan baja. Barang-barang ini sebagai komoditi utama produksi industriindustry di Indonesia, sehingga apabila ada perubahan nilai tukar yang menyebabkan kenaikan tekanan pada harga impor, juga akan memberikan dampak yang kuat terhadap harga domestik. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) selengkapnya baik dalam jangka panjang maupun pendek dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel III.13. Hasil Estimasi Persamaan Harga Konsumen
Harga Impor Long Term Short Term -0,01 (0,02)
Long Term
0,05* (0,03)
PDB Short Term
-0,01*** (0,00)
0,00 (0,00)
Supply Shock Long Term Short Term -0,00 (0,00)
0,01 (0,01)
Coef. of adjusment -0,08 (0,20)
Short Run Long Run R-squared DW stat
85% 1,81
99% 2,22
4.2.4. Simulasi Model Simultan Berdasarkan penggabungan model parsial diperoleh hasil kesesuaian antara baseline dan actual seperti grafik II.18. Pada grafik tersebut terlihat bahwa sebagian besar baseline (data hasil estimasi model parsial) dapat mengestimasi besaran angka aktual. Untuk persamaan nilai tukar, harga impor, dan harga domestik, persamaan parsial mampu menangkap pergerakan data aktual dengan baik. Akan tetapi pada beberapa periode, terutama untuk persamaan ekspor, model parsial belum dapat menangkap pergerakan data aktual secara sempurna. walaupun arah dari pergerakan data aktual relatif dapat ditangkap. Selanjutnya dari hasil pengolahan dengan menggunakan model simultan dilakukan beberapa simulasi terutama terkait dengan kenaikan/penurunan permintaan dan penawaran valas luar dan dalam negeri sebagai berikut : 1. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa kenaikan penawaran valas dan permintaan valas sebesar 20%. Simulasi kenaikan penawaran valas yang berasal dari pelaku LN sebesar 20% menyebabkan apresiasi nilai tukar 4,44% yang diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Begitu pula ketika terjadi kenaikan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
ER
345
M
13000
10000 Actual ER (Baseline)
Actual M (Baseline)
9000
12000
8000 7000
11000
6000 10000
5000 4000
9000
3000 8000
2000 2004
2005
2006
2007
2004
2008
2005
P
2007
2008
PM
150 140
2006
280 Actual P (Baseline)
240
130
200
120
160
110
110
100
120
90
Actual PM (Baseline)
80 2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
X
2006
2007
2008
Y
35000
190000 Actual X (Baseline)
180000
30000
Actual Y (Baseline)
170000 25000
160000 150000
20000
140000 15000 130000 10000
120000 2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
2008
Grafik III.18. Model Simultan 6 Persamaan Parsial
permintaan valas yang berasal dari LN sebesar 20% menyebabkan depresiasi nilai tukar sebesar 4,68% yang diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa dampak dari kenaikan penawaran valas LN lebih kecil dibandingkan dengan dampak kenaikan permintaan valas LN. Hal tersebut menunjukkan opportunity rupiah terdepresiasi lebih besar untuk setiap kenaikan permintaan valas LN.
346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Apabila dilihat dampaknya ke variabel makroekonomi lainnya, dapat dilihat, bahwa dampak depresiasi lebih besar berpengaruh pada variabel ekspor, sementara apresiasi lebih besar berpengaruh pada variabel impor. Sementara variabel lain seperti PDB, harga impor, harga domestik, memiliki pengaruh yang sama pada saat apresiasi maupun depresiasi. Secara lengkap, hasil simulasi kedua skenario tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel III.14. Kenaikan Penawaran LN 20% ER Scenario 1 Baseline M Scenario 1 Baseline P Scenario 1 Baseline PM Scenario 1 Baseline X Scenario 1 Baseline Y Scenario 1 Baseline
EVENT 9379 Cap. Inflows 4,44% Cap. Outflows 9815 8667,5 8405,7
3,11%
141,8 142
-0,14%
219,5 223,5
-1,79%
273,66 28008
-22,9%
173174 174078
-0,52%
Tabel III.15. Kenaikan Permintaan LN 20% ER Scenario 2 Baseline M Scenario 2 Baseline P Scenario 2 Baseline PM Scenario 2 Baseline X Scenario 98152 Baseline Y Scenario 2 Baseline
EVENT 10274 Cap. Inflows 4,68% Cap. Outflows 9815 8155,6 8405,7
-2,98%
142,2 142
0,14%
227,5 223,5
1,79%
28669 28008
2,36%
174989 174078
0,52
2. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa penurunan penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Berdasarkan simulasi tersebut skenario tersebut, dapat dilihat bahwa dampak penurunan penawaran valas oleh pihak LN (yang menyebabkan depresiasi rupiah) lebih besar dibandingkan dengan dampak penurunan permintaan valas. Seperti halnya skenario pada point pertama, dapat dilihat bahwa dampak depresiasi rupiah lebih berpengaruh pada ekspor sementara apresiasi rupiah lebih berpengaruh pada impor.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
Tabel III.16. Penurunan Penawaran LN 20% ER Scenario 3 Baseline M Scenario 3 Baseline P Scenario 3 Baseline PM Scenario 3 Baseline X Scenario 3 Baseline Y Scenario 3 Baseline
EVENT 10381 Cap. Inflows 5,77% Cap. Outflows 9815 8101,2 8405,7
-3,62%
142,2 1,42
0,14%
228,4 223,5
2,19%
28820 28008
2,90%
175195 174078
0,64%
347
Tabel III.17. Penurunan Permintaan LN 20% ER Scenario 4 Baseline M Scenario 4 Baseline P Scenario 4 Baseline PM Scenario 4 Baseline X Scenario 4 Baseline Y Scenario 4 Baseline
EVENT 9285 Cap. Inflows -5,40% Cap. Outflows 9815 8727,8 8405,7
3,83%
141,8 142
-0,14%
218,6 223,5
-2,19%
27225 28008
-2,80%
172973 174078
0,63%
3. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa kenaikan penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Besarnya depresiasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan permintaan valas di DN sebesar 0,79% lebih besar dari adanya apresiasi akibat kenaikan penawaran valas oleh pelaku DN yaitu sebesar 0,78%. Tidak seperti halnya dampak perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang berpengaruh pada variabel ekspor dan impor, perubahan permintaan dan penawaran valas DN menyebabkan perubahan yang berbeda pada harga impor, dimana pengaruh apresiasi lebih besar dibandingkan pengaruh depresiasi nilai tukar. Sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memiliki pengaruh yang sama. Temuan lainnya yang juga menarik adalah besarnya pengaruh perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang lebih besar daripada perubahan permintaan dan penawaran valas DN. Nilai perbedaan tersebut berkisar antara 3-4%. Hal tersebut membuktikan bahwa pasar valas Indonesia rentan terhadap pergerakan permintaan dan penawaran valas dari LN.
348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel III.18. Kenaikan Penawaran DN 20% ER Scenario 5 Baseline M Scenario 5 Baseline P Scenario 5 Baseline PM Scenario 5 Baseline X Scenario 5 Baseline Y Scenario 5 Baseline
EVENT 9738 Cap. Inflows -0,78% Cap. Outflows 9815 8450,3 8405,7
0,53%
142 142
0,00%
222,8 223,5
0,31%
27895 28008
0,40%
173921 174078
-0,09%
Tabel III.19. Kenaikan Permintaan DN 20% ER Scenario 2 Baseline M Scenario 2 Baseline P Scenario 2 Baseline PM Scenario 2 Baseline X Scenario 98152 Baseline Y Scenario 2 Baseline
EVENT 9893 Cap. Inflows 0,79% Cap. Outflows 9815 8361,5 8405,7
0,53%
142 142
0,00%
224,1 223,5
0,27%\
28121 28008
0,40%
174236 174078
0,09%
4. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa penurunan penawaran valas 20% dan penurunan permintaan valas 20%. Skenario ini menunjukkan bahwa walaupun secara neto memiliki perilaku yang sama, tetapi depresiasi yang ditimbulkan oleh penurunan penawaran lebih besar daripada akibat kenaikan permintaan valas. Jadi untuk mencegah depresiasi yang besar, adalah mencegah penurunan penawaran valas yang besar. Begitupula dampak penurunan permintaan valas lebih besar daripada kenaikan penawaran valas dalam mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
Tabel III.20. Penurunan Penawaran DN 20% ER Scenario 7 Baseline M Scenario 7 Baseline P Scenario 7 Baseline PM Scenario 7 Baseline X Scenario 7 Baseline Y Scenario 7 Baseline
EVENT 9494 Cap. Inflows 0,85% Cap. Outflows 9414 8256,9 8292,1
-0,42%
141 141 230,1 229,3
0,35%
27921 27802
0,43%
172299 172145
0,09%
349
Tabel III.21. Penurunan Permintaan DN 20% ER Scenario 8 Baseline M Scenario 8 Baseline P Scenario 8 Baseline PM Scenario 8 Baseline X Scenario 8 Baseline Y Scenario 8 Baseline
EVENT 9721 Cap. Inflows -0,96% Cap. Outflows 9815 8460,4 8405,7
0,65%
142 142
0,00
222,6 223,5
0,40%
27870 28008
-0,49%
173885 174078
-0,11%
350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Dari penelitian ini baik dari segmen telaah pasar maupun dari segmen analisis regresi dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Interaksi antara permintaan dan penawaran valas secara signifikan mempengaruhi nilai tukar rupiah, dan pengaruh permintaan dan penawaran valas dari pelaku luar negeri lebih dominan dibandingkan dari pelaku dalam negeri. a. Lebih dominannya pengaruh permintaan dan penawaran valas dari luar negeri dikonfirmasi oleh hasil analisis bedah pasar valas yang menunjukkan bahwa pelaku luar negeri merupakan pemain utama oleh karena perannya sebagai market mover dan penyeimbang permintaan dan penawaran pelaku domestik yang cenderung excess demand. b. Namun demikian, permintaan dan penawaran valas luar negeri memberikan dampak yang asimetrik terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Apabila terjadi net supply (capital inflows) dan besarnya dapat mengimbangi net demand DN maka rupiah akan terapresiasi secara gradual. Sebaliknya, apabila terjadi net demand rupiah oleh luar negeri akan terdepresiasi dan gerakannya lebih volatile. c. Pelaku LN relatif sangat fleksibel - dapat beralih dengan cepat dari net supply menjadi net demand, atau sebaliknya - oleh karena aktivitas transaksi valasnya bersifat trading untuk mendukung investasi jangka pendek investor asing (portfolio investment). Sementara pelaku DN terbagi dua, sebagian untuk mendukung aktivitas bisnis di sektor riil (genuine transaction) dan sebagian lainnya trading untuk memperoleh keuntungan. 2. Lebih jauh lagi, nilai tukar memengaruhi perkembangan harga dan output perekonomian. Pengaruh nilai tukar pada harga pada first round effect - yaitu dari nilai tukar ke harga impor - relatif kuat dan signifikan, namun pada second round effect-nya ke harga konsumen lebih terbatas. Pengaruh nilai tukar ke ekspor dan impor hanya signifikan di jangka pendek dengan pengaruh yang lebih signifikan ke impor. Ekspor dan impor selanjutnya berpengaruh terhadap output perekonomian. Selain itu dampak asimetrik nilai tukar juga terjadi di dalam perekonomian. Dampak depresiasi nilai tukar lebih besar dibandingkan dampak apresiasi terutama dampak langsung terhadap ekspor dan impor. Perbedaan ini menimbulkan akumulasi dampak terhadap perekonomian yang berbeda. 3. Dengan demikian, pasar valas menghadapi beberapa permasalahan yang berpotensi mempengaruhi nilai tukar rupiah, yaitu:
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
351
a. Ketergantungan pasar valas dan nilai tukar terhadap pasokan valas dari pihak luar negeri cukup tinggi, dan selama ini dipenuhi oleh pasokan valas yang bersifat jangka pendek. b. Tingginya aktivitas trading - oleh hampir seluruh pelaku LN dan sebagian pelaku DN mengindikasikan tingginya spekulasi terhadap nilai tukar rupiah. c. Perkembangan pasar valas kurang seimbang dimana hanya pasar spot yang berkembang, sementara pasar forward dan swap stagnan. Pasar forward dan swap yang tidak berkembangnya menjadikan hedging tidak efisien, padahal hedging sangat diperlukan dalam kondisi pasar didominasi oleh aktivitas spekulasi. Selain itu, kebutuhan untuk melakukan transaksi forward atau swap pada gilirannya menjadi beban bagi pasar spot. Permasalahan di atas menjadikan pasar valas dan nilai tukar sangat rentan terhadap capital reversal dan koreksi nilai tukar apabila pergerakannya karena transaksi spekulatif tidak sejalan dengan faktor fundamental perekonomian.
V.2. Rekomendasi Kebijakan Permasalahan yang terjadi di pasar valas berpotensi menjadikan nilai tukar tidak stabil dan lebih jauh lagi berdampak pada laju inflasi, ekspor dan impor, serta output. Untuk meminimalisir dampak negatif dapat dilakukan beberapa langkah kebijakan sebagai berikut: Menyeimbangkan Permintaan dan Penawaran Valas 1. Upaya menyeimbangkan harus diawali dengan pemantauan perkembangan permintaan dan penawaran di pasar valas, termasuk aktifitas significant players, untuk mengantisipasi terjadinya imbalances dan gejolak nilai tukar. Apabila terjadi ketidakseimbangan yang signifikan perlu dilakukan upaya penyeimbangan.supply-demand valas dengan cara: a. meningkatkan penawaran valas DN atau mengurangi permintaan valas DN, Langkah untuk mengurangi permintaan valas relatif terbatas oleh karena Bank Indonesia tidak memiliki wewenang untuk membatasinya. Yang dapat dilakukan BI adalah tidak melakukan intervensi untuk menyerap valas dari pasar, dan berkoordinasi dengan Pemerintah untuk menghimbau agar pembelian valas oleh BUMN dibatasi atau diatur timing-nya, misalnya pada saat terjadi capital inflows dalam jumlah besar. Sebaliknya, BI dapat melakukan upaya untuk meningkatkan pasokan valas, yaitu dengan intervensi jual valas. BI perlu melanjutkan intervensi jual valas yang telah dilakukan secara rutin dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan (yaitu untuk memenuhi genuine demand) dan waktu pelaksanaannya (yaitu pada saat terjadi outflows dan rupiah tertekan).
352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
b. menarik lebih banyak pasokan valas dari LN, terutama yang lebih permanen (seperti FDI, hasil ekspor yang ditempatkan di luar negeri, worker remittance, pengeluaran wisatawan asing, dan sebagainya), atau mencegah terjadinya capital reversal. Untuk mencegah terjadinya capital reversal perlu dilakukan upaya untuk menjaga kondisi atau iklim investasi portofolio di Indonesia agar tetap menarik bagi investor asing. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga stabilitas rupiah, mempertahankan kebijakan makro yang prudent dan transparan, serta berkoordinasi dengan pemerintah untuk mendorong diterbitkannya instrumen investasi baru (menambah alternatif outlet investasi). Sementara untuk menarik lebih banyak pasokan valas melalui FDI, worker remittance dan wisatawan asing, perlu diupayakan bersama pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, mendorong lebih banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri (terutama yang terlatih dan terdidik) dan meningkatkan daya tarik obyek wisata di Indonesia. Menyiasati Tingginya Trading Valas dan Mendorong Perkembangan Hedging Market 2. Ditengah tingginya aktivitas trading yang cenderung spekulatif, perlu dilakukan upaya untuk melindungi genuine demand/supply, terutama yang terjadual seperti pembayaran impor, penerimaan ekspor dan pembayaran utang LN, dengan mengembangkan pasar hedging (forward dan swap). Langkah yang dapat dilakukan BI adalah lebih mengaktifkan intervensi valas melalui transaksi forward dan swap, serta menjadikan fasilitas re-swap hedging yang telah ada agar menjadi lebih menarik bagi bank.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
353
DAFTAR PUSTAKA
Evans, Martin D.D., dan Richard K. Lyons. 2005. "Understanding Order Flow". Working Paper #11748, NBER, Massachusetts. Husman, Jardine A. 2005. "Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit". Bank Indonesia Working Paper 07/2005. Jakarta. Kurniati, Yati, Tri Yanuarti dan Yanfitri. 2008. "Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan Inflasi Inti" Inti". Bank Indonesia, Catatan Riset 10/6/DKM/BRE/CR. Kurniati, Yati, 2007 "Exchange Rate Pass-Through In Indonesia" Lyons, Richard K. 2001. "The Microstructure Approach to Exchange Rates". MIT Press, Cambridge, Massachusetts. Rime, Dagfinn, Lucio Sarno, dan Elvira Sojli. 2007. "Exchange Rate Forecasting, Order Flow,
and Macroeconomic Information". Oslo ANO 2007/2.
354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
355
ANALISIS DETERMINAN PERUBAHAN PENAWARAN BARANG EKSPOR INDONESIA Sarwedi1 Abstract
This study analyzes the effects of structural economic movement on the change of indonesia»s exports and examines the validity of the ignacy theory concerning structural economic movement in relation to the changes of of export composition. The study utilize an ordinary mechanism of WLS, namely the Wald model, The estimation resulted through the combination of ECM and WLS shows that the price of export goods/merchandises has a positive effect and is significant in the short-term. Yet, over the long-term period, the increase in export commodity price causes the decrease in export volumes. Meanwhile, the relationship between export volume and inflation is not significant, either in the short-term or long-term. Foreign exchange interestingly has a positive and significant relationship with the export volume over a short-term period, but in the long-term it has a reverse effect, that is, it decreases export volume. Foreign investment has a positive and significant relationship with export volume in the long-term, the significance, however, weakens over the short-term period. The structural economic movement has a positive and significant relationship over a short-term period with export volume, but over long-term period the relationship is not statistically strong. Thus, the structural economic movement towards more on the growth of industry sector could stimulate the growth in export aggregately. This evidence provides further support on the Ignacy theory (1980) if it is applied on Indonesian international economy, especially for the period of 1983-1997.
JEL Classification: C32, F14, O24
Keyword: Weighted Least Square, Error Correction Model, Structural Economic Movement, Export Change
1 Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Ketua ISEI Pengurus Cabang Jember; sebelumnya adalah dekan FE Unej;
[email protected].
356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN Hampir setiap negara berkembang dewasa ini telah menjadikan pembangunan sebagai komitmen bangsa untuk mengejar ketertinggalannya dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspeknya adalah pembangunan ekonomi yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional suatu negara. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang yang dapat mendorong perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tersebut, Indonesia melakukan pembangunan di segala sektor ekonomi. Salah satu sektor ekonomi yang mendapat perhatian adalah sektor perdagangan yang membawa konsekuensi pada keterbukaan ekonomi domestik terhadap perkonomian internasional. Menurut pandangan kaum klasik dan neo-klasik, alasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah terciptanya keuntungan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan. Perdagangan suatu negara dengan negara lainnya terjadi tidak lain karena kedua negara tersebut mengharapkan untuk saling memperoleh keuntungan berupa peningkatan efisiensi produksi. Oleh karena itu dengan melakukan perdagangan, suatu negara dapat membeli dengan harga yang lebih rendah dibandingkan apabila memproduksi sendiri dan mungkin dapat menjual ke luar negeri pada tingkat harga yang relatif tinggi. Perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara juga berkaitan dengan corak pergeseran struktur ekonominya. Sedangkan corak pergeseran struktur ekonomi ditentukan oleh perubahan komposisi produksi (primary oriented), sektor industri (industry
oriented), atau keseimbangan kedua sektor tersebut. Corak pergeseran struktur ekonomi juga ditentukan oleh perbedaan faktor timing dimana pergeseran strukturekonomi berlangsung. Dengan demikian, terlihat adanya hubungan yang relatif erat antara pergeseran struktur ekonomi dengan corak perdagangan suatu negara. Beberapa studi empiris yang berkaitan dengan ekspor adalah: The Supply and Demand
for Exports: A Simultaneous Approach (Goldstein dan Khan, 1979: 278-286), Export Demand and Supply for Group of Non Oil Developing Countries (Bond, 1985: 56-77), An Econometric Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to the World (Bond, 1987: 191-227), India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors (Ali, 1987: 152163), The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong (Riedel, 1988: 138-148), dan Demand and Supply Factors in the Determinants of NIE Export: A Simultaneous
Error-Correction Model for Hong Kong (Muscatelli et al., 1992: 1467-1477). Dengan mendasarkan pada studi empiris sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai penulis adalah untuk mengetahui dampak pergeseran struktur ekonomi terhadap perubahan
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
357
ekspor Indonesia, serta menguji validitas teori Iqnacy tentang pergeseran struktur ekonomi dalam kaitannya dengan komposisi ekspor; menganalisis dampak perubahan nilai tukar terhadap perubahan ekspor Indonesia, dan menguji tesis Poot, Kuyvenhoven, dan Jansen (1991) tentang peranan penting nilai tukar terhadap perubahan ekspor; menganalisis dan menguji dampak investasi asing terhadap perubahan ekspor Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Booth and Cawley (1982); menganalisis dan menguji teori penawaran ekspor tentang dampak perubahan harga ekspor terhadap perubahan ekspor Indonesia; menganalisis dampak perubahan inflasi yangb bercirikan cost push inflation (Indrawati, 1996) terhadap perubahan ekspor Indonesia; menganalisis dampak pergeseran struktur ekonomi, perubahan nilai tukar, investasi asing, perubahan harga ekspor, dan inflasi secara bersama-sama terhadap perubahan ekspor Indonesia. Namun demikian fokus utama dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara kuantitas ekspor dengan pergeseran struktur ekonomi dengan menggunakan dasar pemikiran Iqnacy (1980).
II. TEORI Teori Iqnacy pada dasarnya mengarah pada analisis dengan menggunakan empat sektor ekonomi, yaitu: sektor yang menghasilkan mesin-mesin dan peralatan-peralatan (sektor M), sektor yang menghasilkan mineral, bahan baku pertanian, dan input seperti pupuk, baja (sektor
I(KN) E(KN)
E(M) I(M) KNt/KNm
M
E(R I(R)
Rt/Rm
KLt/KLm
E(KL)
I(KL)
Sumber : Iqnacy (1980): 105.
Gambar IV.1 Hubungan Empat Sektor Ekonomi, Pasar Luar Negeri, Industri dan Perkembangan Ekonomi
358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
R), sektor yang menghasilkan barang kebutuhan konsumen utama, seperti makanan (sektor KN), dan sektor yang menghasilkan kebutuhan konsumen lain yang bersifat mewah atau sektor KL (Iqnacy, 1980: 103-105). Di samping itu, Iqnacy juga membuat dikotomi pada sektor R, KN, dan KL dalam subsektor tradisional (t) dan modern (m). Teori mengenai pergeseran struktur pada mulanya timbul dari para ekonom aliran Neo Klasik. Fisher (1939) mengemukakan teori tentang pola pergeseran struktur ekonomi dan didukung oleh kajian data statistik oleh Clark (1940). Teori ini berfokus pada perubahan produksi dan penggunaan faktor produksi yang digunakan dengan hipotesis akan terjadi perubahan nilai produksi dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja dengan semakin berkembangnya suatu perekonomian. Pembahasan yang sistematis tentang pergeseran struktur produksi dan struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi dimulai oleh Fisher dengan memperkenalkan konsep tentang produksi ke dalam kegiatan primer, sekunder dan tersier. Kegiatan primer meliputi kegiatan ekonomi pada sektor pertanian, peternakan dan pada beberapa versi termasuk pertambangan. Kegiatan sekunder meliputi kegiatan ekonomi pada sektor manufaktur yang pada umumnya menyangkut sektor pertambangan dan konstruksi. Sedang kegiatan tersier meliputi kegiatan ekonomi pada sektor-sektor transportasi dan komunikasi, perdagangan besar dan kecil, pemerintah, jasa-jasa domestik dan personal. Teori lain mengenai pergeseran struktural yang terkenal adalah teori pola-pola pembangunan dari Chenery. Chenery melakukan studi di banyak negara dan hasil studinya menyimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang dapat diamati dimana ciri-cirinya hampir sama untuk semua negara. Pergeseran struktur ekonomi dalam proses pembangunan di suatu negara dapat dibedakan berdasarkan pada persentase tenaga kerja yang berada di sektor primer, sekunder dan tersier. (Syrquin, 1988:212) Taylor dan Chenery (1968) membagi struktur produksi ke dalam sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor industri (industri pengolahan dan bangunan) dan sektor jasa (terdiri dari sisanya). Syrquin dan Chenery (1975) membagi struktur produksi ke dalam empat sektor, yang terdiri dari : sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor industri, sektor unitily (listrik, gas, air minum, pengangkutan dan komunikasi) dan sektor jasa. Selain dari jumlah dan banyaknya sektor, perbedaan lain antara model Chenery dan Syrquin dengan model Chenery dan Taylor terletak pada jumlah dan jenis variabel yang menjelaskan tentang pola pergeseran struktur produksi dengan variabel yang mempengaruhinya. Clark (1949), mengumpulkan data statistik mengenai persentase tenaga kerja yang bekerja di ketiga sektor diatas. Data yang dikumpulkan itu menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, semakin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Sebaliknya, sektor industri semakin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
359
Lewis, Fei, Ranis dan Todaro (1969) mengemukakan teori yang sering disebut dengan teori tentang dualisme ekonomi (economic dualism) atau teori tentang interaksi dua sektor (two-sectors interaction). Pada dasarnya teori-teori ini mengelompokan perekonomian ke dalam dua sektor atau bagian yaitu : (i) sektor tradisional/pedesaan/pertanian disatu sisi dan (ii) sektor modern/perkotaan/ industri pada sisi yang lainnya (Ranis, 1988: 76-85; Stiglitz, 1988: 105135). Dalam teori ini ditekankan bahwa proses perkembangan ekonomi akan terjadi interaksi antara kedua sektor atau bagian tersebut dan sekaligus mengakibatkan akan terjadinya perubahan peranan masing-masing sektor dalam perekonomian. Kecenderungan umum yang terjadi adalah semakin berkembang suatu perekonomian, semakin cenderung didominasi oleh peranan sektor modern. Landasan pokok dari teori ini adalah asumsi yang menyatakan bahwa tenaga kerja disektor pertanian tidak terbatas (unlimited of labor). Tenaga kerja dari sektor ini akan berpindah ke sektor modern jika terdapat perbedaan insentif dimana tingkat upah melebihi tingkat upah subsisten di sektor tradisional. Kuznets (1965) dan beberapa penulis lainnya, telah mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai pergeseran struktur ekonomi dalam proses pembangunan. Kuznets bukan saja menyelidiki tentang perubahan persentase penduduk yang bekerja di berbagai sektor dan sub sektor, melainkan juga menunjukkan perubahan sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional (Chenery dan Srinivasan, 1988: 198). Sementara untuk mengetahui bagaimana corak perubahan dalam struktur ekonomi pada masa yang lalu, Kuznets mengumpulkan data mengenai sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional di 13 negara, yang sekarang ini termasuk dalam kelompok negara-negara maju. Kesimpulan yang diperoleh adalah peranan sektor pertanian menurun selama proses pembangunan, sektor industri dalam menghasilkan produksi nasional meningkat, sumbangan sektor-sektor jasa dalam menciptakan produksi nasional mengalami perubahan yang berarti dan bersifat tidak konsisten. Chenery dan Syrquin (1975), menggambarkan bagaimana corak pergeseran struktur ekonomi yang terjadi dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang. Teori ini berkaitan dengan transformasi sektoral pada suatu perekonomian yang sedang berkembang, yang didukung oleh bukti empirik berdasarkan kajian mereka sendiri. Pada dasarnya kajian tersebut menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita suatu negara akan disertai oleh perubahan komposisi output secara sektoral (Syrquin, 1988: 205-214). Corak perubahan komposisi output sektoral tersebut adalah dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita meliputi : (i) proporsi produksi bersih sektor primer cenderung menurun, (ii) proporsi produksi sektor industri cenderung semakin meningkat, (iii) proporsi produksi sektor jasa cenderung semakin meningkat dengan kecepatan yang lepih lambat dibandingkan dengan kecepatan peningkatan pada sektor industri.
360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dua strategi industri penting yang terkait dengan perdagangan adalah produksi barang untuk pasar dalam negeri untuk pengganti barang impor (import substituting industrialization) dan produksi barang untuk pasar luar negeri (export-oriented industrialisation). Banyak negara sedang berkembang mengawali proses industrialisasinya dengan menerapkan industri substitusi impor (ISI), menurut Nafzieger(1997 : 506-508) alasan mengapa negara sedang berkembang menerapkan import substituting industrialization adalah untuk: 1. Menghemat penggunaan devisa; 2. Memperbaiki Neraca Pembayaran; 3. Memenuhi kebutuhan sendiri akan berbagai barang industri; 4. Mengembangkan kegiatan ekonomi dalam negeri. Kebijakan orientasi ekspor timbul karena kegagalan strategi ISI. Kaum Neo≠ Klasik mengemukakan bahwa penerapan strategi orientasi ekspor akan memberi hasil yang lebih unggul, dalam arti efisiensi alokasi dan pertumbuhan ekonomi (Gammel, 1994: 102-103). Studi yang dilakukan mulai dari Tyler (1981), Jung dan Marshall (1985), Basmani-Oskooee dan Alse (1993), Dodaro (1993) dan pakar ekonomi lainnya yang mendukung hipotesis bahwa ekspor sebagai lokomotif pembangunan ekonomi suatu negara. Kegiatan dan peningkatan ekspor merupakan suatu insentif bagi pertumbuhan dan kemajuan sektor-sektor lain. Pertumbuhan ekspor menimbulkan permintaan baru di negara-negara pengekspor baik bagi input dalam pertukaran produksi maupun sebagai hasil peningkatan pendapatan faktor-faktor peroduksi. Perluasan ekspor mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi melalui rangsangan permintaan terhadap sektor lain (Balassa, 1985; Wong, 1986; Sprout dan Weaver, 1993). Krugman (1994) menyatakan bahwa tujuan suatu negara melakukan perdagangan internasional adalah untuk mendapatkan keuntungan dan mencapai skala ekonomis (economies
of scale) dalam produksi. Perdagangan dapat menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang untuk mengekspor barang-barang yang diproduksi dengan sumber daya yang melimpah. Perdagangan juga memungkinkan setiap negara melakukan spesialisasi produksi pada barang-barang tertentu untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan skala produksi yang besar. Merujuk problematika perdagangan tersebut, teori Heckscher-0hlin (H-0) sering menjadi obyek pengujian empiris untuk memperkirakan dampak perdagangan terhadap distribusi pendapatan dan pola perdagangan. Berdasarkan intensitas faktor produksi, H-O (1933) mengemukakan model dua faktor produksi dari dua negara dengan dua komoditas, yaitu komoditas padat karya dan komoditas padat modal. Kekayaan relatif akan modal fisik akan menyebabkan produksi dan ekspor didominasi oleh barang padat karya/tenaga kerja. Disamping
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
361
itu suatu negara yang mempunyai tenaga trampil akan mempunyai keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditas padat keahlian (Ballasa, 1988: 10). Hipotesis technological gap diajukan oleh Postner tahun 1961, dengan menggunakan rangkaian inovasi dan imitasi yang mempengaruhi ekspor. Ketika produk baru berkembang dan mulai menguntungkan di pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi untuk sementara waktu memperoleh keuntungan monopoli. Sehingga dengan mudah memasuki pasaran internasional karena masalah entry lag. Keuntungan yang kian meningkat pada gilirannya akan merangsang imitasi di negara lain, terutama kalau inovasinya telah didesimilasi. Untuk memiliki keunggulan dalam mengekspor, negara yang bersangkutan harus selalu mengusahakan terjadinya inovasi. Sebagaimana tesis Linder, hipotesis Postner secara implisit dapat dikategorikan sebagai teori spillover, yakni ekspor baru akan terjadi kalau konsumsi domestik telah terpenuhi. Banyak bukti menunjukkan bahwa pola sedemikian tidak selalu terjadi. Kelemahan lainnya, baik Postner maupun Linder tak dapat memberikan alasan tentang tahaptahap sejak dari inovasi hingga imitasi dan lamanya proses tersebut (Basri, 1991: 23). Selanjutnya, Vernon menjeneralisasi pemikiran tersebut dalam Product Life Cycle Theory
(PLC). Teori ini tidak menganggap variabel dalam perekonomian sebagai fixed dan exogeneous, tetapi variabel-variabel tersebut senantiasa berubah dan perubahannya terjadi di dalam model dan menggunakan perubahan variabel≠ variabel tersebut sebagai driving motives timbulnya perdagangan internasional, karena itu teori PLC disebut sebagai teori dinamik.
III. METODOLOGI Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai lembaga dan instansi, antara lain berasal dari Nota Keuangan Rencana Anggaran dan Belanja Negara, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia-BI, Statistik Indonesia-BPS, dan International Financial Statistics-IMF serta berbagai penerbitan lain yang mendukung dan berhubungan dengan penelitian ini. Semua data yang diambil adalah data runtut waktu (time series) kuartalan untuk periode pengamatan tahun 1983 kuartal I hingga 1997 kuartal IV.
Spesifikasi model empiris penawaran ekpor diformulasikan sebagai berikut:
X = β0 + β1 PX + β2 INF + β3 ER + β4 TSE + β5 INV + εt
362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Keterangan:
X
= nilai ekspor barang;
PX
= harga barang ekspor;
INF
= Inflasi;
ER
= kurs valuta asing;
TSE
= variabel pergeseran struktur ekonomi
INV
= Investasi Asing (PMA)
et
= error term Kecuali variable inflasi, semua variable dalam persamaan di atas diberikan dalam bentuk
logaritma natural. Transformasi tersebut membawa beberapa keuntungan, antara lain, dari derivasi tingkat pertama dapat diketahui angka elastisitas, yang nilainya sebesar koefisien variable yang bersangkutan, dan kentungan kedua, akan memperbaiki pengujian statistik yang dilakukan. Sebagai catatan, variabel INF tidak termasuk dalam variabel yang ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural karena inflasi merupakan bentuk perubahan dari variabel harga, yang mungkin bernilai negatif sehingga tidak akan mungkin dilogaritmakan. Teknik estimasi yang dapat digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) apabila asumsi linearitas, homoscedasticity, tidak adanya serial korelasi dan multikolinearitas dapat terpenuhi (Engle and Granger, 1987; Mukherjee and Naka, 1995; Masih and Masih, 1996). Dalam kondisi asumsi tersebut gagal terpenuhi, contohnya terdapat kasus heteroscedasticity, maka teknik estimasi Weighted Least Square (WLS) menjadi pilihan untuk diterapkan. Sebelum estimasi dilakukan, pengujian stasioneritas dilakukan untuk setiap variabel yang terlibat dalam model, dengan menggunakan metode Dickey-Fuller (DF) dan metode PhillipPerron (PP). Sesuai dengan sifat alamiah dari variabel yang bersangkutan, pengjian stasioneritas dapat berbentuk memiliki pengaruh trend atau ADF (T,n), hanya memiliki konstanta ADF (C,n), dan adanya white-noise error term atau ADF (N,n) (Gujarati, 1995: 718). Dalam kondisi variabel tidak stastioner, maka prosedur standar yang dapat dilakukan adalah dengan mendiferensiasi variabel tersebut, hal ini berguna untuk menghindari terjadinya spurious regression. Terdapat kemungkinan bahwa variabel-variabel yang tidak stasioner dalam level, mungkin memiliki hubungan jangka panjang. Dalam hal ini, variabel-variebel tersebut dikatakan terkointegrasi. Pengujian kointegrasi ini dapat dilakukan dengan uji Engle-Granger Cointegration Regression Durbin-Watson (CRDW). Jika derajat diferensiasi setiap variabel tersebut sama, maka spesifikasi model dapat mengarah pada Error Correction Model (ECM) untuk satu variabel dependen atau Vector Error Correction Model (VECM) untuk serangkaian persamaan dengan jumlah variabel dependen yang lebih dari satu. Dengan lain perkataan, uji kointegrasi dapat
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
363
dijadikan dasar penentuan estimasi persamaan yang digunakan memiliki keseimbangan dalam jangka panjang atau tidak. Apabila persamaan estimasi lolos dari uji ini maka persamaan estimasi tersebut memiliki keseimbangan jangka panjang (Thomas, 1997: 425). Masih terkait dengan aspek stasioneritas ini, kemungkinan lainnya adalah ketika setiap variabel yang terlibat dalam model ternyata stasioner pada derajat diferensiasi yang berbeda. Dalam kondisi ini, maka alternative model yang dapat diterapkan adalah Autoregressive
Distributed Lag (ARDL). Model ini juga dapat dikembangkan menjadi model ARDL-ECM untuk lebih mengkaji perbedaan karakteristik keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dari variabel-variabel yang diteliti. Validasi atas model dapat dilakukan dengan pengujian CUSUM yang menguji stabilitas model. Selain itu, validasi model juga dapat dilakukan dengan melihat kemampuan model tersebut dalam mereplikasi kejadian aktual (model fitting), daya prediksi atas kejadian masa lampau (backcasting) dan kemampuannya untuk melakukan peramalan masa mendatang (forecasting).
IV. HASIL DAN ANALISIS Pengujian stasioneritas menunjukkan bahwa variabel memiliki derajad stasioneritas yang berbeda-beda. Sebagimana disebutkan sebelumnya, perbedaan derajad stasioneritas ini dapat saja mengakibatkan persamaan estimasi OLS tetap memiliki sifat stasioneritas dalam persamaan (Gujarati, 1995: 726-727). Oleh sebab itu, langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi, yaitu uji stasioneritas pada persamaan estimasi. Tabel IV.1. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger Variable C LPX INF LER LTSE LINV R-squared Adjusted R-squared Durbin-Watson stat
Coefficient 6.7181 0.1430 0.0004 0.0223 1.6393 0.0284 0.971 0.967 0.458
t-Statistic 8.6270 2.1381 0.0716 0.2816 11.8601 1.0695 F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.000 0.037 0.943 0.779 0.000 0.289 356.90 0.000
Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322
364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa persamaan OLS LX= f (LPX,INF,LER,LTSE, LINV) menunjukkan adanya kecenderungan terkointegrasi pada taraf 5%. Kesimpulan tersebut didasarkan pada angka statistik Durbin-Watson persamaan estimasi yang sebesar 0,458. Dengan demikian, persamaan LX= f(LPX,INF,LER,LTSE, LINV) merupakan persamaan keseimbangan jangka panjang yang memiliki bentuk persamaan: LX = 6.718 + 0.143LPX + 0.0004INF + 0.022LER + 1.639LT SE + 0.028LINV (8.63) (2.14) (p=0.00) (0.04)
(0.07) (0.94)
(0.28) (0.78)
(11.86) (0.00)
(1.07) (0.29)
Dalam pengujian kointegrasi, terdapat sedikit perbedaan antara model kointegrasi EngleGranger CRDW dengan Johansen. Model Johansen lebih memfokuskan diri pada kointegrasi pada sistem persamaan (system equation) dan bukan pada persamaan tunggal (single equation) sebagaimana Engle-Granger CRDW. Dibandingkan dengan Engle-Granger CRDW, model Johansen tidak menuntut adanya sebaran data yang normal (Phillips, 1991; Mukherjee and Naka, 1995).
Tabel IV.2. Rekapitulasi Uji Kointegrasi Johansen Type Kointegrasi Johansen Test assume no deterministic trend in data: no intercept or trend in CE Test assume no deterministic trend in data: with intercept (no trend) in CE Test allows for linear deterministic trend in data: intercept (no trend) in CE Test allows for linear deterministic trend in data: intercept (no trend) in CE Test allows for quadratic deterministic trend in data: intercept and trend in CE
H0: No Cointegration Estimation Reject Reject Reject Reject Reject
Ha: Cointegration Estimation Do not reject (2 cointegrating equation) Do not reject (2 cointegrating equation) Do not reject ( 2 cointegrating equation) Do not reject (1 cointegrating equation) Do not reject (1 cointegrating equation)
Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322
Dari hasil pengujian kointegrasi Johansen dengan menggunakan berbagai asumsi, terlihat bahwa hasil tersebut memiliki konsistensi dari sisi ada atau tidaknya kointegrasi. Secara ringkas hasil pengujian kointegrasi Johansen dapat dilihat pada Tabel IV.2.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
365
IV.1. Hasil Perhitungan Error Correction Model (ECM) Model dinamis yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat perhatian besar dari kalangan ekonom adalah model koreksi kesalahan (the error correction model/ECM). Dalam dunia nyata terlihat bahwa pelaku ekonomi bereaksi tidak spontan dalam menanggapi aksi. Hal ini merupakan alasan dibentuknya model dinamis khususnya model koreksi kesalahan. Eksistensi koreksi kesalahan menghasilkan koefisien koreksi kesalahan yang menunjukkan adanya fenomena dikoreksinya penyimpangan menuju ekuilibrium. Dengan ECM dapat diketahui apakah variabel-variabel yang diamati berkointegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan error correction
term yang signifikan, atau dengan kata lain model koreksi kesalahan sahih (valid) dan variabel yang diamati berkointegrasi. Hasil perhitungan dengan menggunakan ECM adalah sebagai berikut:
Dari hasil penghitungan ECM dapat disimpulkan bahwa model ECM tersebut memiliki kelemahan dalam pengujian diagnostiknya. Khususnya untuk uji normalitas Jarque-Bera dan uji heteroskedastisitas White. Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan kelemahan uji diagnostik tersebut adalah adanya indikasi kuat tidak terpenuhinya asumsi homoschedasticity, sebagaimana model dasar OLS sebagaimana ditunjukkan pada bagian terdahulu. Dengan demikian, sebagaimana pemecahan persoalan heteroschedasticity, maka akan digunakan prosedur WLS untuk kedua model ECM tersebut.
366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
IV.2. Weighted Least Square Pada Model ECM Dari indikasi yang terlihat bahwa model estimasi ECM juga mengalami gejala heteroschedasticity, maka model ECM akan dilakukan dengan menggunakan prosedur WLS untuk mengeliminasi efek dari heteroschedaticity. Hasil estimasi dengan menggunakan WLS untuk model ECM adalah sebagai berikut:
Interpretasi hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat dilakukan dengan pembedaan interpretasi antara jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek interpretasi difokuskan pada variabel analisis yang diderivasi pada tingkat pertama, yaitu d(LPX), d(INF), d(LER), d(LTSE), dan d(LINV). Sedangkan untuk jangka panjang dapat dilihat dari variabel yang diperlakukan sebagai backward lag operator, yaitu LPX(-1), INF(-1), LER(-1), LTSE(-1) dan LINV(-1). Namun, khusus untuk jangka panjang, koefisien yang akan ditafsir harus terlebih dahulu di bagi dengan koefisien ECT. Dalam jangka pendek hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat diinterpretasikan sebagai berikut: -
Apabila variabel tingkat harga ekspor mengalami perubahan sebesar 1% akan berdampak pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.42% (inelastis) dengan seignifikansi 0% (kuat)
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
-
367
Apabila variabel inflasi domestik mengalami penurunan sebesar 1% tidak akan banyak berpengaruh pada volume ekspor karena koefisien sangat kecil dan signifikansinya sangat lemah (79%)
-
Apabila terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar sebesar 1% maka akan terjadi peningkatan volume ekspor sebesar 0.847 % (inelastis) dengan signifikansi yang kuat (0%)
-
Apabila terjadi pergeseran struktur ekonomi sebesar 1% dalam artian perubahan sektor industri lebih besar 1% dibandingkan dengan sektor pertanian, maka akan berdampak sangat kuat pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.899% (elastis) dengan signifikansi yang kuat (0%)
-
Sedangkan variabel perubahan investasi asing berpengauh positif terhadap kuantitas ekspor namun pengaruhnya secara statistik sangan lemah (98%)
Dalam jangka panjang ECM dengan penimbang dapat diformulasikan sebagai berikut: Perhitungan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: -
Apabila terjadi peningkatan harga produk ekspor sebesar 1% maka volume ekspor akan meningkat sebesar 0.425%
-
Apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar 1% maka volume ekspor akan menurun sebesar 0.994%
-
Apabila terjadi peningkatan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (apresiasi) maka volume ekspor akan menurun sebesar 0.239%
-
Apabila terjadi perubahan struktural yang diakibatkan oleh kenaikan sektor industri 1% lebih besar daripada sektor pertanian, maka volume ekspor akan meningkat 0.108%
-
Variabel investasi asing menunjukkan pengaruh positif dan signifikan pada taraf 8%. Bila investasi naik 1% maka akan mengakibatkan kenaikan jumlah ekspor sebesar 0.54%
IV.3. Pembahasan Hubungan ekspor dengan tingkat harga ekspor dalam jangka pendek menunjukkan hubungan positif, dapat diartikan dalam jangka pendek kenaikan harga di pasar internasional akan membawa dampak peningkatan jumlah ekspor. Peningkatan jumlah ekspor ini dimungkinkan terjadi karena kenaikan harga dapat lebih cepat terjadi dibandingkan dengan perubahan variabel lain yang mungkin berdampak sebaliknya, sehingga diperlukan waktu untuk
368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
mencapai keseimbangan baru. Dalam jangka panjang terdapat kecenderungan peningkatan harga akan menurunkan perubahan ekspor. Temuan ini menunjukkan bahwa pasar internasional sangat kuat dibandingkan dengan posisi tawar menawar eksportir. Tingkat inflasi berperan besar dalam perkembangan volume ekspor. Apabila inflasi sebagai perubahan indeks harga konsumen, maka faktor pendorong menurunnya ekspor adalah demand
domestic pull. Bila terjadi kenaikan permintaan domestik yang lebih tinggi daripada kenaikan permintaan luar negeri maka terdapat kecenderungan komoditi akan memenuhi pasaran domestik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadinya kenaikan relatif permintaan domestik terhadap permintaan luar negeri maupun produksi komoditi akan menyebabkan kenaikan harga komoditi tersebut di dalam negeri. Adanya kecenderungan terjadinya kekakuan harga upah, yang merupakan elemen penting dalam produksi, maka kenaikan harga komoditi tersebut tidak diikuti oleh kenaikan ongkos produksi. Dengan demikian margin keuntungan produsen akan semakin lebar di pasaran domestik. Margin keuntungan domestik tersebut dianggap sebagai dorongan bagi produsen untuk meningkatkan penawarannya di pasar domestik. Keterbatasan kapasitas produksi dalam jangka pendek untuk mengikuti perkembangan pasar menyebabkan peningkatan penawaran di pasar domestik hanya akan tercapai bila mengurangi penawaran ekspor komoditi tersebut. Inilah penyebab penurunan ekspor dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, dampak inflasi dapat dianggap sebagai faktor yang akan meningkatkan tingkat biaya produksi, dengan telah terpengaruhnya tingkat upah dan variabel input lainnya. Peningkatan biaya produksi tersebut diartikan sebagai peningkatan dalam harga komoditi, dengan demikian, dalam jangka panjang insentif harga domestik tidak dapat dipertahankan lagi. Bila produsen akan meningkatkan kembali aksesnya di pasar internasional, maka produsen berhadapan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada sebelumnya. Uraian tersebut menyisakan pertanyaan penting, yaitu bila harga ekspor √ volume ekspor, dalam jangka pendek menunjukkan hubungan positif mengapa dalam hubungan antara inflasi √ volume ekspor menunjukkan hubungan negatif, padahal inflasi berpengaruh positif atau akan mendorong kenaikan harga. Penjelasannya adalah sebagai berikut, dalam jangka pendek terdapat asumsi kemampuan produsen untuk meningkatkan kapasitas produksi terbatas karena adanya unsur kekakuan perubahan harga maupun kuantitas penggunaan input tambahan, namun fleksibilitas peningkatan kapasitas produsen dapat dicapai bila produsen bekerja dalam kapasitas yang lebih besar daripada permintaan. Dengan kata lain, produsen menerapkan reserve
capacity yang dijadikan sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan permintaan konsumen yang bersifat mendadak. Pada waktu yang bersamaan, ketika harga internasional naik dan di dalam negeri terdapat peningkatan inflasi maka produsen akan memiliki kemampuan untuk
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
369
menyesuaikan kapasitas produksi secara cepat tanpa mendapat kesulitan karena faktor kekakuan harga guna meningkatkan pasokan domestik dan sekaligus pasokan internasional. Hubungan ekspor dengan perubahan nilai tukar dalam jangka panjang adalah negatif. Dampak negatif merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dirasakan oleh produsen bila barang input yang dimiliki banyak tergantung pada barang impor. Karena depresiasi nilai rupiah, produsen membayar lebih banyak uang dalam bentuk rupiah daripada sebelumnya. Kesulitan memperoleh input yang berasal dari luar negeri inilah yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan produksi. Namun hambatan terhadap ekspor tersebut terjadi pada jangka panjang, karena produsen menikmati murahnya mata uang rupiah selama produsen memiliki persediaan input impor. Perubahan yang terjadi dalam jangka pendek pada nilai tukar berdampak pada daya saing harga dari produk-produk ekspor Indonesia. Bila nilai tukar rupiah menurun terhadap US Dollar, maka harga produk ekspor Indonesia ke luar negeri dalam bentuk US Dollar, menghasilkan rupiah yang lebih besar. Mekanisme ini berdampak positif bagi eksportir karena rupiah yang diperolehnya dapat mendorong kemampuan produksi. Dampak ini hanya berjangka pendek karena pasar akan sampai pada keseimbangannya yang baru. Grafik IV.1 , memperlihatkan time lag perubahan nilai tukar dengan perubahan volume ekspor. Pada tahun 1983 ketika rupiah terapresiasi dalam kurun waktu kurang lebih satu semester nilai ekspor meningkat tapi tidak terlalu tinggi kemudian mengalami penurunan yang cepat pada 1984-1986. Tahun 1986, ketika pemerintah mendevaluasi rupiah, volume ekspor tidak otomatis meningkat namun membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan untuk bereaksi. Kurang lebih enam bulan kemudian volume ekspor berada pada posisi rata-rata. Pada saat itu
1500 D(X)
D(ER)
1000 500 0 -500 -1000 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 Sumber:BPS, Statistik Indonesia.
Grafik IV.1 Hubungan Antara Variabel Ekspor dengan Nilai Tukar
370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
pasar input domestik telah bereaksi terhadap perubahan. Disamping itu, persediaan input impor telah kehilangan pengaruh positifnya terhadap volume ekspor karena produsen membeli input yang berasal dari impor dengan harga rupiah yang baru. Rendahnya tingkat signifikansi pergeseran struktur ekonomi dalam mempengaruhi volume ekspor dapat diartikan sebagai tidak berartinya perubahan volume ekspor dalam jangka panjang. Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan fakta jangka panjang tersebut adalah banyak output industri yang juga dilempar ke pasar domestik. Semakin tingginya pendapatan masyarakat, sebagai akibat pergeseran struktur ekonomi tersebut, masyarakat akan mengkonsumsi jumlah output industri yang lebih banyak. Pergeseran struktur ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pergeseran sektoral yang terjadi pada pendapatan kotor nasional dari sisi produksi. Pergeseran yang terjadi pada perekonomian Indonesia adalah pergeseran dari dominasi sektor pertanian terhadap GDP menjadi dominasi sektor industri. Pergeseran struktur ekonomi tersebut membawa dampak jenis komoditas yang diekspor maupun yang diimpor. Banyak negara yang menggunakan sektor industri sebagai jalan menuju ke percepatan pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut didasarkan pada alasan bahwa output yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki nilai tambah yang relatif besar bila dibandingkan dengan sektor pertanian. Tingginya nilai tambah sktor industri tersebut maka semakin banyak output sektor industri yang dihasilkan maka akan semakin tinggi pula GDP akan terbentuk. Karena alasan serupa maka output sektor industri juga diarahkan ke pasaran luar negeri atau ekspor, terdapat hubungan positif antara pergeseran struktur ekonomi, yang secara lebih spesifik dapat disebut industrialisasi, dengan volume ekspor. Semakin tinggi bagian GDP yang berasal dari sektor industri, akan semakin tinggi output sektor industri yang akan dilempar ke pasar ekspor yang berarti pula ekspor didominasi sektor industri. Kebijakan investasi yang mampu mendorong ekspor non-migas, yang kemudian dikenal dengan Paket 6 Mei, efektif diumumkan pada tahun 1986. Paket 6 Mei tersebut pada dasarnya memiliki beberapa point penting, yaitu mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85% outputnya diekspor dalam bentuk pengadaan input impor dengan biaya murah melalui subsidi, memberikan fasilitas pinjaman dana bank bila sekurang-kurangnya 75% equity dimiliki oleh orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51% equity ditawarkan di Jakarta Stock Exchange, dan bila sekurang-kurangnya 51% equity dimiliki oleh orang Indonesia plus sekurang-kurangnya 51% equity yang ditawarkan 20% diantaranya ditawarkan di Jakarta Stock Exchange (Poot, Kuyvenhoven, Jansen, 1991: 236-238). Setelah melalui berbagai revisi kebijakan investasi tersebut, dapat terlihat bahwa sejak periode 1986 terjadi peningkatan realisasi investasi. Sebagaimana terlihat pada Grafik III.2 ,
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
371
peningkatan laju pertumbuhan realisasi investasi asing (PMA) maupun PMDN terjadi sejak periode 1985/1987. Periode sebelum adanya kebijakan investasi hanya tumbuh 19,43% untuk PMDN dan 4,26% untuk PMA maka dalam periode setelah adanya kebijakan Paket 6 Mei, yang diasumsikan benar-benar efektif terjadi setelah satu tahun berjalan, PMDN tumbuh 18,91% pada satu tahun setelah kebijakan dan PMA tumbuh dengan 27,12%. Peningkatan tersebut berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1989/1991, PMDN tumbuh dengan 92,63% dan PMA tumbuh dengan 42,17%.
100 PMDN PMA
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 83/85
85/87
87/89
89/91
91/93
93/95
95/97
97/99
Sumber: Bank Indonesia, SEKI.
Grafik IV.2 : Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN (% dari Total Investasi)
Dampak kebijakan Paket 6 Mei adalah meningkatnya nilai ekspor. Hasil perhitungan mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut direspon positif oleh para investor, khususnya investor sektor industri, karena investor menginginkan pemerintah memberikan prioritas pada sektor tersebut sebagai leading sektor. Perkembangan ekspor periode 1983-1985 mengalami kelesuan karena perkembangan ekonomi internasional yang dihadapi Indonesia tidak mendukung bagi perkembangan ekspor andalan Indonesia, yaitu migas. Harga migas mengalami kejatuhan pada tahun 1984/1985, yang mengakibatkan ekspor migas menurun secara drastis pada rentang waktu 1986 √ 1989. Tercatat penurunan ekspor migas tersebut mencapai ±10% per-tahun dalam kurun waktu lima tahun (1984 √√ 1989). Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekspor non-migas, yang hanya dapat tercapai bila terdapat peningkatan investasi untuk sektor nonmigas, terutama sektor industri. Grafik IV.3 terlihat bahwa terdapat kebangkitan sektor diluar migas dalam bentuk peningkatan ekspor. Dampak dari kebijakan investasi terhadap peningkatan ekspor memang
372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
tidak dapat berlangsung seketika. Faktor perbedaan waktu antara kebijakan dan hasil yang dicapai yang hanya sekitar 1 √ 2 tahun dapat dijadikan indikator bahwa sektor industri yang cepat bereaksi terhadap peningkatan investasi adalah sektor industri yang tidak padat modal atau padat teknologi. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan yang tajam untuk sektor industri kelompok barang SITC-6, sektor industri menurut bahan, yang didalamnya terdapat komoditas plywood dan tekstil.
800 D(X) 600 400 200 0 -200 -400 -600 84
86
88
90
92
94
96
Sumber: Biro Pusat Statistik.
Gambar IV.3. Perkembangan Volume Ekspor Non-Migas
Posisi strategis industri plywood dan tekstil dalam pengembangan ekonomi suatu negara. Industri tersebut, khususnya industri tekstil, memiliki backward linkage dan forward linkage yang panjang, merupakan daya tarik untuk dikembangkan di negara sedang berkembang.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan metode analisis yang dikembangkan, yaitu Error Correction Model yang dioperasikan dengan menggunakan Weighted Least Square diperoleh hasil variabel harga ekspor (PX) dalam jangka pendek menunjukkan pengaruh positif dan signifikan untuk menjelaskan perubahan volume ekspor agregat. Sedangkan dalam jangka panjang variabel harga ekspor justru berpengaruh negatif (dan signifikan) terhadap volume ekspor agregat Hasil ini menunjukkan posisi eksportir Indonesia sebagai penerima harga (price taker). Hasil pengamatan jangka panjang menunjukkan kesesuaian hasil dengan pengamatan Marian E. Bond (1987).
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
373
2. Variabel tingkat inflasi dalam jangka pendek tidak dapat menjelaskan perubahan yang dialami oleh volume ekspor agregat, sedangkan inflasi dalam jangka panjang memiliki pengaruh negatif yang kuat untuk mempengaruhi perubahan volume eskpor sebagaimana temuan Goldstein and Khan (1978). Temuan ini dapat diartikan bahwa peningkatan inflasi akan menurunkan ekspor melalui mekanisme peningkatan harga produksi yang berakibat pada penurunan daya saing produk ekspor. 3. Variabel perubahan nilai tukar dalam jangka pendek memiliki pengaruh positif dan signifikan sedangkan dalam jangka panjang memiliki pengaruh negatif. Penurunan nilai tukar mata uang domestik (depresiasi) akan mendorong ekspor dalam jangka pendek sedangkan dalam jangka panjang penurunan nilai tukar (depresiasi) justru akan menurunkan perubahan ekspor. Dalam pengamatan jangka pendek sesuai dengan hasil pengamatan Bond (1978); Riedel (1988). 4. Berbeda dengan studi-studi tentang pergeseran struktur ekonomi yang lain, penelitian ini mengungkapkan persoalan yang relatif baru yaitu peranan pergeseran struktur ekonomi dalam mendorong perubahan ekspor. Variabel pergeseran struktur ekonomi membawa dampak positif terhadap perubahan volume ekspor dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang dampaknya mulai tidak signifikan meskipun masih bersifat positif. Temuan ini menunjukkan bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia memiliki peranan yang penting bagi peningkatan ekspor, dan sekaligus mendukung hipotesis Iqnacy tentang perkembangan struktur perekonomian. 5. Variabel penanaman modal asing (PMA) membawa dampak positif tetapi hanya memiliki signifikansi pada jangka panjang bagi perubahan volume ekspor. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pengamatan Ali (1987). 6. Dari beberapa contoh kasus yang diestimasi dengan menggunakan model yang sama, terlihat adanya perbedaan hasil untuk setiap komoditas ekspor. Fakta ini menunjukkan bahwa setiap komoditas ekspor memiliki sifat yang unik, yang berbeda dengan komoditas lain. Dari hasil estimasi dan problematika yang dihadapi dalam penelitian ini, peneliti ingin mengajukan saran yang dapat digunakan bagi para peneliti lain untuk bidang analisis yang sama, dan bagi para pengambil keputusan tentang perdagangan luar negeri di Indonesia, yaitu: 1. Perlunya melakukan modifikasi model estimasi yang memiliki perspektif jangka panjang dan jangka pendek dengan model estimasi yang mampu mengatasi problema ketidak sesuaian data dengan tuntutan asumsi linear klasik. Untuk itu perlu dipertimbangkan adanya model analisis Error Correction Model yang dioperasionalkan dengan metode Maximum Likelihood yang tidak menuntut asumsi yang ketat untuk data analisis.
374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
2. Di samping itu juga disarankan untuk secara lebih intensif mengamati perilaku komoditas ekspor sebagai sebuah kasus. Hal ini diperlukan mengingat dari hasil estimasi yang telah dilakukan tiap komoditas memiliki kecenderungan untuk bersifat unik.
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Kinerja Perekonomian Indonesia
375
DAFTAR PUSTAKA Ali, I. , 1987, ≈India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors∆, The Developing
Economics Journal, Juni 1987, XXV(2), hal.152-163. Balassa, B., 1985, ≈Exports, Policy Choices, and Economic Growth in DevelopingCountries After the 1973 Oil Shock∆, Journal of Development Economics, 1985, 18, hal. 23-35. Ballasa, B., 1988, ≈Essay in Development Strategy∆, San Fransisco International Center for Economic Growth. Working Paper. 1988. Bond, M., E., 1985, ≈Export Demand and Supply for Group of Non Oil Developing Countries∆, IMF Staff Paper, vol. 32: 56-77, 1985. Bond, M.E., 1987, ≈An Econometric Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to the World∆, IMF Staff Paper, hal. 191-227, 1987 Chenery, H.B., 1978,
Structural Change and Development Policy, Oxford University Press, London. Chenery, H.B. dan Keesing, D,B., 1979, ≈The Changing Composition of Developing Countries Exports∆, World Bank Staff Working Paper, No. 3/4, January 1979. Chenery, H.B. dan M, Syrquin, 1975, Patern of Development 1950-1970, Oxford .University Press, London. Dodaro, S., 1993, ≈Exports and Growth: A Reconsideration of Causality∆, The Journal of
Developing Areas, 1993, 27, hal. 227-244. Engle, R.F. dan C.W.J Granger, 1987, ≈Cointegration and Error Correction; Representation, Estimation, dan Testing∆, Econometrica, 1987, 55(2). Hal. 251-276. Gemmell, N. 1994, Ilmu Ekonomi Pembangunan; Beberapa Survai, terjemahan, LP3ES, Jakarta. Goldstein, M. dan M.S. Khan., 1979, ≈The Supply and Demand for Exports: A Simultaneous Approach∆, The Review of Economics and Statistics, 1979, 60, hal. 278-286. Gujarati, D., 1995, Basic Econometrics, McGraw Hill Inc, New York. Indrawati, S.M., 1996, ≈Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia∆, Makalah Seminar ISEI Jaya 18 Januari 1996.
376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Krugman dan Obstfeld. 1994, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijaksanaan terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta. Mukherjee, T.K. dan A. Naka., 1995, ≈Dynamic Relations Between Macroeconomic Variables and The Japanese Stock Market: An Application of A Vector Error Correction Model∆. The
Journal of Financial Research, 1995, XVIII (2), hal. 223-237. Muscatelli, V. A., T.G. Srinivasan, dan D. Vines., 1992, ≈Demand and Supply Factors in the Determinants of NIE Export: A Simultaneous Error-Correction Model for Hong Kong∆. The
Economic Journal, 1992, 102, hal. 1467-1477. Nafziger, E.W., 1997, The Economics of Developing Countries. Prentice-Hall, New Jersey. Poot, H., A. Kuyvenhoven, dan J. Jansen, 1991, Industrialisation and Trade in Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ranis, G., 1988, Analytics of Development: Dualism, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan, eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers. Riedel, J., 1988, ≈The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong∆.
The Economic Journal, 1988, 98, hal. 138-148. Stiglitz, J.E., 1988, Economic Prganization, Information, and Development, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan, eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers. Syrquin, M., 1988, Patterns of Structural Change, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan, eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers. Wong, C.M., 1986, ≈Models of Export Instability and Empirical Test for Less-Developed Countries∆. Journal of Development Economics, 1986, 20, hal. 263-285.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
377
DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Andry Prasmuko Donni Fajar Anugrah1
Abstract
This paper discusses the impact of global financial crisis to the Indonesia»s economy by using the simultaneous macro model approach.The analysis and simulation results of such model show that the impact of the global financial crisis is dominantly distributed through the trade line, which decreases the regional output.To the components of aggregate demand, the movement of exchange rate has major effect to the exports and imports, whereas to the consumption and investment, it gives relatively small effect.The impact of external shock, which causes the depreciation of Rupiah, is relatively small to the increase of inflation.
JEL classification: C32, E44
Keywords: Financial crisis, simultaneous model, Indonesia.
1 Andry Prasmuko (
[email protected]) dan Donni Fajar Anugerah (
[email protected]) adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Kesimpulan dan argumentasi dalam paper ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dari Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih terima kasih Dr. Iskandar Simorangkir, Meily Ika Permata, Yanfitri, referee, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam studi ini.
378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN Krisis keuangan global sebagai dampak yang dipicu oleh tragedi subprime mortgage di Amerika, selanjutnya mendorong penurunan perekonomian di beberapa negara maju. Rambatan dari krisis tersebut melalui jalur keuangan (financial channel) serta perdagangan (trade channel). Pada jalur keuangan, krisis yang terjadi mendorong peningkatan dana yang akan digunakan untuk kegiatan yang terduga (precautionary saving), diiringi dengan turunnya harga asset yang mengakibatkan pelemahan sentiment konsumen sehingga menarik belanja konsumen. Selanjutnya kedua hal tersebut bersama-sama mengakibatkan kontraksi aktivitas perekonomian domestik, yang pada akhirnya menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu krisis keuangan global juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi sentimen para investor untuk segera menarik penanaman di sektor keuangan, yang tentunya akan berpengaruh juga terhadap penurunan PDB. Krisis yang melanda mengakibatkan perlambatan ekonomi terutama di negara maju, selanjutnya berdampak pada penurunan permintaan baik dari luar maupun domestik. Hal ini didorong oleh kurangnya permintaan ekspor, sehingga perusahaan cenderung menurunkan produksinya. Selain itu juga terjadi pengurangan kegiatan re-ekspor yang selanjutnya menggeser turun perdagangan jasa yang berhubungan dengan aktivitas tersebut. Disisi lain terjadi juga penurunan aktivitas yang berhubungan dengan jasa pariwisata. Turunnya kegiatan ekspor dan pariwisata serta kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut, mengakibatkan terjadi pengurangan belanja investasi yang selanjutnya memberi dampak pada penurunan PDB. Sementara itu, kondisi perekonomian yang tidak kondusif serta adanya pengurangan belanja investasi akan mendorong perusahaan untuk melakukan pemotongan upah, pengurangan jam kerja serta pemutusan hubungan kerja. Tentunya hal tersebut berakibat pada penurunan pendapatan yang dapat mempengaruhi terjadinya pelemahan minat belanja dari Tabel V.1 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan
Total Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah PMTB Ekspor barang & jasa Impor barang & jasa Produk Domestik Bruto Sumber: BPS, diolah
Q1-08
Q2-08
Q3-08
5,5 5,7 3,6 13,7 13,6 18,0 6,2
5,5 5,5 5,3 12,0 12,4 16,1 6,4
6,3 5,3 14,1 12,2 10,6 11,0 6,4
Q4-08
6,4 4,8 16,41 9,1 1,8 (3,5) 5,2
Q1-09
Q2-09
7,2 5,8 9,2 3,5 (19,1) (24,1) 4,4
6,3 4,8 17,0 2,7 (15,7) (23,9) 4,0
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
379
konsumen, selanjutnya berpengaruh pada turunnya pengeluaran konsumen domestik secara keseluruhan. Penurunan tersebut pada akhirnya berdampak pada turunnya pertumbuhan PDB, lihat Tabel V.1. Perekonomian nasional mengalami penurunan yang signifikan sejak triwulan IV-2008 yang diduga sebagai dampak dari penurunan ekspor karena melemahnya perekonomian mitra dagang, sementara itu pertumbuhan konsumsi domestik juga mengalami perlambatan diduga merupakan akibat dari turun akses pembiayaan dan upah. Seiring dengan hal tersebut investasi juga mengalami penurunan berbarengan dengan perlambatan permintaan domestik maupun eksternal. Perlambatan ini mengakibatkan komoditas impor barang modal, konsumsi dan bahan baku cenderung mengalami penurunan. Sementara itu dari sisi penawaran, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak triwulan 4-2009 kecuali sektor listrik, gas dan air serta sektor transportasi. Hal ini terkait dengan masih tingginya ketidakpastian perekonomian global sehingga membuat pelaku usaha melakukan penundaan investasi dan ekspansi usaha. Pertumbuhan sektor industri pengolahan terus mengalami perlambatan yang diduga terkait dengan belum membaiknya permintaan terutama permintaan ekspor. Lemahnya permintaan ini berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan kapasitas yang tersedia, sehingga mendorong perusahaan untuk menunda kegiatan investasinya. Apabila dilihat dari strukturnya, distribusi penurunan terbesar sektor industri pengolahan berasal dari subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya, subsektor makanan, minuman dan tembakau serta subsektor kimia dan barang dari karet. Lihat Tabel V.2. Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) terus melambat terutama yang diduga disebabkan oleh menurunnya permintaan karena melemahnya daya beli masyarakat akibat turunnya penghasilan dan masih meningkatnya jumlah PHK, serta menurunnya kinerja impor. Tabel V.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran Q1-08
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdag,, Hotel & Rest, Transportasi Keuangan Jasa-jasa PDB Sumber: BPS, diolah
6,3 (1,7) 4,3 12,3 8,0 6,9 18,3 8,3 5,9 6,2
Q2-08
4,8 (0,5) 4,2 11,8 8,1 8,1 17,3 8,7 6,7 6,4
Q3-08
Q4-08
3,4 2,1 4,3 10,4 7,6 8,4 15,5 8,6 7,2 6,4
4,7 2,1 1,8 9,3 5,7 5,6 15,8 7,4 6,0 5,2
Q1-09
5,3 2,4 1,5 11,4 6,3 0,5 17,1 6,3 6,8 4,4
Q2-09
2,4 2,4 1,5 15,4 6,4 (0,1) 17,5 5,3 7,4 4,0
380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Sebagian besar kelompok komoditas menunjukkan tren perlambatan terutama untuk barang tahan lama, demikian halnya dengan rata-rata tingkat hunian hotel di Jakarta dan Bali yang juga mengindikasikan adanya perlambatan. Sementara itu kredit perbankan yang telah disalurkan pada sektor perdagangan juga tumbuh melambat. Perlambatan di sektor pertanian diperkirakan karena telah berlalunya musim panen raya, hal ini juga dipengaruhi oleh subsektor perkebunan yang mengalami perlambatan terkait dengan turunnya permintaan ekspor dan menurunnya harga komoditas perkebunan. Sementara itu, perlambatan terbesar sektor pertanian berasal dari subsektor tanaman bahan makanan, demikian halnya kinerja subsektor perkebunan, kecuali kelapa sawit. Penurunan pertumbuhan PDB, tidak terlepas dari dinamika naik turunnya pertumbuhan ekonomi daerah, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa propinsi yang masing-masing tentunya memiliki karakteristik yang relatif berbeda. Oleh sebab itu, dampak dari krisis keuangan global pada perekonomian daerah diduga mempengaruhi variabel ekonomi daerah sesuai kondisi perekonomian di daerah tersebut. Selain itu, adanya beberapa faktor ekonomi maupun non ekonomi yang berbeda antar daerah tentunya sangat mempengaruhi intensitas dampak dimaksud pada tiap-tiap daerah. Terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tajam dimulai triwulan III-2008, hal ini terjadi hampir di semua wilayah baik Sumatra, Jakarta, Jabalnustra maupun Kalisulampua. Untuk wilayah Sumatera penurunan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah Tabel V.3 Pertumbuhan Ekonomi (yoy, %) 2007
2008
2009
Tw I
Tw II
Tw III Tw IV Tw I
Tw II Tw III
Tw IV Tw I
Nasional 6,0 Sumatera 4,3 Sumatera Bag, Utara 3,4 Sumatera Bag, Tengah 4,8 Sumatera Bag, Selatan 4,6 Jakarta 6,3 Jabalnustra 5,7 Jawa Bag, Barat 5,7 Jawa Bag, Tengah 4,4 Jawa Bag, Timur 5,5 Bali-Nusa Tenggara 13,0 Kalisulampua 5,9 Kalimantan 2,4 Sulawesi-Papua 11,3
6,6 5,5 6,3 4,5 6,1 6,3 6,2 6,2 6,1 6,2 6,1 6,2 3,2 10,7
6,6 5,4 5,5 5,1 5,8 6,4 6,0 6,4 5,7 6,3 2,2 3,4 3,6 3,0
6,4 4,9 1,8 7,1 5,4 6,1 5,2 4,5 5,2 6,3 3,7 4,8 5,9 3,2
5,2 3,9 3,1 5,4 2,6 6,2 5,0 4,8 4,0 5,4 6,6 5,9 2,8 10,4
Sumber: BPS, diolah
5,8 4,7 2,1 5,5 6,7 6,7 6,3 7,1 5,7 6,4 2,5 3,4 4,8 1,4
6,2 4,9 3,0 5,2 7,1 6,3 6,2 7,0 6,0 6,0 3,3 3,5 5,7 0,3
6,4 4,8 1,8 6,8 5,4 6,1 6,3 6,6 6,4 6,2 4,8 7,3 5,4 10,1
4,4 3,1 2,0 4,0 2,7 5,2 4,5 4,4 4,1 4,5 6,4 5,4 1,7 11,0
Tw II 4,5 3,2 2,9 3,1 3,7 5,1 4,4 4,1 4,7 4,5 5,1 5,8 2,9 9,9
Pangsa (rata-rata)
21,6 7,1 9,0 5,5 17,7 45,5 18,1 9,4 15,3 2,7 15,0 8,8 6,2
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
381
Sumatera bagian Selatan dan Tengah, hal ini ditengarai sebagai akibat penurunan ekspor dan konsumsi rumah tangga. Penurunan ekspor terutama terjadi untuk komoditas primer seperti minyak kelapa sawit, karet, migas dan hasil tambang lainnya. Selain itu terjadi penurunan harga komoditas ekspor, sehingga semakin mendorong turunnya pendapatan yang pada akhirnya berdampak pada turunnya konsumsi. Kinerja perekonomian seluruh daerah mengalami pertumbuhan yang melambat. Perlambatan pertumbuhan terjadi di sebagian besar provinsi, termasuk provinsi-provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional tumbuh melambat. Walaupun secara umum dampak krisis dapat dirasakan, namun masih terdapat provinsi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi, seperti Sulawesi Tengah dan Kepulauan Riau. Krisis keuangan global yang berlangsung sejak semester II- 2008 telah memperlambat kinerja ekspor dan konsumsi di daerah sehingga mempengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah yang perekonomiannya bertumpu pada ekspor selanjutnya mengalami imbas akibat turunnya permintaan dunia dan harga komoditas. Perlambatan pertumbuhan ekspor terutama terjadi di daerah Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian Jawa sehingga menyebabkan pendapatan masyarakat mengalami penurunan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan melambatnya dukungan pembiayaan konsumsi di daerah, khususnya untuk kredit konsumsi.
Juta US$
%, yoy 120
12.000
100 10.000
80 60
8.000
40 6.000
20 0
4.000
(20) 2.000 0
(40) (60) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5
2007
2008
Nasional
gSumatera (rhs)
gJabalnusra (rhs)
gKali-Sulampua (rhs)
2009 gJakarta (rhs)
Grafik V.1 Perkembangan Nilai Ekspor Wilayah
382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Ribu Ton
%, yoy
35.000
100
30.000
80 60
25.000
40
20.000
20 15.000
0
10.000
(20)
5.000 0
(40) (60) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5
2007
2008
2009
Total Ekspor
gSumatera (rhs)
gJabalnusra (rhs)
gKali-Sulampua (rhs)
gJakarta (rhs)
Grafik V.2 Perkembangan Volume Ekspor menurut Wilayah
Konsumsi rumah tangga juga melambat yang ditandai dengan turunnya penjualan kendaraan bermotor dan pertumbuhan impor barang konsumsi. Hal ini seiring dengan masih adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga tekanan terhadap daya beli masyarakat diperkirakan masih berlanjut. Namun demikian, penghasilan yang bersumber dari musim panen pada akhir triwulan I-2009 dan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke-13, serta pengeluaran menjelang Pemilu Pilpres diperkirakan menahan perlambatan konsumsi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, beberapa indikator konsumsi menunjukkan perbaikan di Jabalnustra, Jakarta dan Sumatera sebagaimana terlihat dari indikator penjualan eceran di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Selain itu dari hasil survei konsumen, seluruh wilayah menunjukankan
%,yoy
Indeks
30,0
130
20,0
120 110
10,0
100
0,0
90
(10,0)
80 (20,0)
70
(30,0)
Jakarta Bandung
(40,0) 1
2
3
4
Semarang Surabaya 5
6
7
2008
8
60 9
10 11 12
1
2
3
4*) 5*)
2009
Grafik V.3 Perkembangan Indeks Riil Penjualan Eceran
50
Sumatera
Jakarta
Jabalnustra
Kali-Sulampua
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
2007
2008
Grafik V.4 Indeks Keyakinan Konsumen
2009
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
383
keyakinan konsumen cenderung menguat sejak awal 2009 karena didukung oleh ekspektasi perbaikan penghasilan dan membaiknya ketersediaan lapangan kerja. Secara kasat, uraian di atas mendeskripsikan dampak yang terjadi pasca krisis. Paper ini melakukan pengujian inferensial tentang signifikan tidaknya pengaruh krisis global ini terhadap kondisi makro perekonomian Indonesia sebagaimana ilustrasi di atas. Lebih dari itu, paper ini juga menguji signifikansi dan tingkat keterkaitan antara besaran makro yang satu dengan lainnya dalam satu kerangka model makro simulatn. Riset yang dilakukan difokuskan pada analisis dampak krisis pada perekonomian nasional dan beberapa daerah ditinjau dari sisi output dan komponen pembentuknya yaitu konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, serta inflasi. Data yang digunakan merupakan data triwulan dengan periode waktu dari triwulan I/1993 sampai dengan triwulan IV/2008. Bagian berikut dari paper ini menjelaskan dasar teori dan bagian ketiga membahas methodologi penelitian dan data yang digunakan. Hasil estimasi dan analisis diberikan dalam bagian keempat sementara kesimpulan dan rekomendasi menjadi penutup.
II. TEORI Permintaan terhadap output perekonomian suatu negara dengan ekonomi terbuka berasal dari konsumsi (C), investasi (I) , belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Bagian ini akan mengulas teori dasar yang mempengaruhi masing-masing komponen agregat tersebut. Teori konsumsi Keynes menyebutkan bahwa konsumsi dipengaruhi terutama oleh
disposable income atau pendapatan disposable (Mankiw, 2003). Pendapatan disposable merupakan pendapatan dikurangi pajak, Yd = Y − T dimana pajak merupakan faktor eksogen atau faktor yang sudah ditentukan. Dalam analisis inter-temporal, perilaku konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga (i). Suku bunga yang tinggi akan mendorong pengurangan konsumsi karena masyarakat cenderung menggeser konsumsinya ke periode mendatang. Sebaliknya, ketika suku bunga turun masyarakat memilih untuk berbelanja daripada menabung. Model empiris yang dapat digunakan dengan mempertimbangkan kedua variabel tersebut adalah: Ct = αt + βYdt + λit + et Dimana it adalah suku bunga riil dan αt menunjukkan konsumsi dasar yang tidak terpengaruh oleh tingkat pendapatan. Slope dari pendapatan disposable merupakan variasi dari pendapatan yang bersifat permanen dengan transitory (Friedman, 1957).
384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Komponen agregat yang kedua adalah investasi yang sangat bergantung pada biaya modal atau suku bunga riil (Mankiw, 2003). Namun beberapa penelitian lain, memasukan beberapa variable lain di dalam persamaan investasi. Stiroh (2000) menyatakan bahwa output mempengaruhi investasi. Investasi merupakan konsumsi dalam bentuk barang modal (pabrik dan peralatan), bangunan, dan persediaan barang (inventory) yang meningkatkan stok barang modal (capital stock). Dalam penentuan investasi, pengusaha akan mempertimbangkan suku bunga pinjaman, dimana bila suku bunga pinjaman tinggi pengusaha akan mengurangi permintaan kredit. Sebaliknya, bila suku bunga pinjaman turun, pengusaha akan meningkatkan permintaan kreditnya (Ehrman dkk, 2001). Menurut Mojon2 suku bunga pinjaman atau suku bunga pasar dipengaruhi oleh suku bunga acuan central bank atau otoritas moneter. Faktor lain yang juga mempengaruhi investasi yaitu faktor kondisi perekonomian yang tercermin dari
output (PDB atau PDRB). Dalam kondisi ekonomi yang baik, perusahaan akan melakukan investasi lebih banyak. Formulanya sebagai berikut: It = αt + βit + λcrt +λYt + et Dimana It = Investasi, id = suku bunga riil, cr = country risk dan Y adalah output sebagaimana notasi sebelumnya.
Country risk suatu negara mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap prospek perekonomian negara yang bersangkutan, yang tercermin dari keputusan keputusan investasi yang akan dilakukan di negara tersebut. Tingginya resiko akan menurunkan kepercayaan investor asing dan akan memberikan tekanan negatif terhadap investasi. Adapun belanja pemerintah yang dinotasikan dengan simbol G merupakan faktor eksogen yang sudah ditentukan. Konsumsi pemerintah merupakan alat yang sangat penting dalam mempengaruhi output, inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek karena memiliki efek multiplier yang lebih besar daripada konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah sangat tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari pajak (ekspor dan penghasilan) serta pembiayaan. Dalam penelitian ini, pengeluara pemerintah ditempatkan sebagai variabel eksogen dengan pertimbangan bahwa variabel tersebut sangat tergantung pada keputusan pemerintah dan tidak ditentukan dalam sistem. Bila perekonomian suatu negara atau daerah bersifat terbuka, maka perdagangan antar negara atau daerah akan terjadi. Sehingga faktor ekspor dan impor akan turut mempengaruhi output perekonomian negara atau daerah tersebut. Ekspor yang berarti pengiriman atau penjualan barang dari dalam negeri atau daerah ke luar negeri atau daerah itu. Nilai ekspor akan ditentukan oleh tingkat perekonomian Negara atau daerah tujuan. Faktor output luar 2 Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy ∆, ECB Working Paper No. 40, 2000.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
385
negeri akan berpengaruh positif, dimana peningkatan output luar negeri akan meningkatkan permintaan ekspor dalam negeri. Faktor nilai tukar juga memiliki peran dalam mempengaruhi permintaan ekspor. Depresiasi nilai tukar dalam negeri akan membuat harga produk dalam negeri menjadi murah, sehingga daya saing produk dalam negeri juga meningkat. Sehingga penurunan nilai tukar akan diikuti dengan peningkatan ekspor dan berdampak juga pada peningkatan output (Hallwood and MacDonald, 2000). Selain itu, faktor output negara lain juga mempengaruhi ekspor. Ketika output suatu negara (negara A) menurun, maka daya beli negara A akan menurun dan berakibat pada pengurangan impor negara tersebut. Sementara itu, negara B yang merupakan pengeskpor utama ke negara A akan terkena imbasnya berupa penurunan ekspornya. Jadi penurunan output negara lain dapat berakibat pada penurunan ekspor negara kita, terutama bila negara tersebut merupakan negara tujuan ekspor utama dari negara kita, misalnya USA, Jepang, dan China. Berkaitan dengan peran minyak dunia dalam kegiatan perdagangan internasional yang cukup besar, maka variabel harga minyak dunia turut mempengaruhi besaran ekspor, terutama negara kita yang termasuk pengekspor minyak. Jadi persamaan ekspor dapat dituliskan sebagai berikut: Xt = αt + βet + λYt *+ δoilt + µDt + et Dimana X = ekspor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y* = output US, oil = harga minyak dunia dan D adalah variabel dummy krisis. Sedangkan impor lebih dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri, dimana pendapatan mencerminkan daya beli masyarakat. Nilai impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk impor barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang impor akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat. Persamaan impor dapat dijabarkan sebagai berikut: Berbeda dengan ekspor, impor memiliki marginal propensity to import sehingga sangat dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri. Besarnya impor dibandingkan dengan ekspor merupakan bentuk konsumsi domestik yang mengalir ke luar negeri sehingga memperkecil output perekonomian. Selain output domestik, impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk impor barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang impor akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat, seperti
386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
yang dijabarkan pada persamaan berikut: Mt = αt + βet + λYt + δ Pt *+ µDt + et Dimana
M = impor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y = output nasional, P*= CPI US dan D = dummy krisis. Secara agregat, dalam kondisi terbuka, output perekonomi dari sisi permintaan mengikuti identitas berikut:
Y=C+I+G+X√M Model inflasi berdasarkan teori Philips Curve (Mankiw, 2003) dengan memasukan variabel ekspektasi inflasi, output gap dan supply shock. Untuk variabel ekspektasi inflasi akan digunakan variabel proxy yaitu inflasi lag 1 bulan dengan asumsi masyarakat melakukan ekspektasi inflasi saat ini berdasarkan inflasi 1 bulan sebelumnya (teori adaptive inflation). Output gap merupakan selisih antara PDRB aktual dan PDRB potensial, dimana variabel PDRB potensial berupa trend PDRB. Sedangkan variabel supply shock akan diwakilkan oleh harga BBM atau nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Formulanya sebagai berikut:
πt = πt e + β (Yt - Yt ) + v t Dimana π = inflasi, π e = ekspektasi inflasi, Y = output aktual, Y = output potensial dan v =
supply shock Krisis keuangan dunia berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, termasuk perekonomian daerah di dalamnya. Krisis keuangan ditandai dengan gejolak pada pasar saham dan pasar valas. Dalam pasar valas, dapat dirasakan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US dollar berdampak langsung pada ekspor dan impor. Sementara itu, penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang ditandai dengan turunnya GDP pada hampir semua negara di dunia mendorong penurunan permintaan akan ekspor. Dari dalam negeri penurunan perekonomian berimbas pada turunnya konsumsi dan investasi.
III. METODOLOGI III.1 Teknik Estimasi Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik yaitu simultaneous equations atau lebih dikenal dengan istilah model simultan. Model simultan akan digunakan untuk menangkap setiap perubahan variabel yang dipengaruhi oleh krisis keuangan dunia dalam bentuk simulasi. Hasil simulasi ini diharapkan dapat menjelaskan dampak krisis terhadap perekonomian di Indonesia.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
387
Sistem persamaan simultan merupakan himpunan persamaan di mana variabel dependen dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel independen dalam beberapa persamaan lainnya. Secara ringkasnya, variabel dalam model simultan dapat berperan ganda, baik sebagai variabel independen, maupun variable dependen (Gujarati, 2003). Identifikasi struktur model merupakan langkah awal dalam menyusun model simultan yang menentukan apakah estimasi parameter dapat diselesaikan atau tidak. Secara umum, terdapat tiga kondisi dari hasil identifikasi yaitu: 1. Exactly identified, kondisi dimana nilai parameter diperoleh yang unik yaitu hanya ada satu nilai untuk setiap koefisien parameter struktural. 2. Over identified, kondisi dimana nilai parameter persamaan struktural yang diperoleh lebih dari satu. 3. Under identified, dimana nilai parameter persamaan struktural tidak dapat diperoleh karena kondisinya tidak memenuhi persyaratan untuk penghitungan minimal salah satu parameternya. Proses identifikasi dapat menggunakan dua metode yaitu Order Condition dan Rank
Condition (Enders, 2004), dimana prosedur order condition saja tidak cukup dan perlu ditambahkan prosedur rank condition sebagai syarat kecukupan (sufficient). Agar sebuah sistem persamaan simultan dengan M persamaan struktural dapat diidentifikasi, maka setidaknya harus memiliki (M-1) variabel endogen. Untuk sejumlah m variabel endogen dalam model, K total variabel penjelas (predetermined), k jumlah variabel penjelas pada persamaan tertentu, maka order condition mengikuti ketentuan berikut: a. Jika (K√k) = (m√1) maka persamaan tersebut dikatakan√exactly identified. b. Jika (K√k) > (m√1) maka persamaan tersebut over identified. c. Jika (K√k) < (m√1) maka persamaan tersebut under identified. Jika suatu persamaan over identified atau exactly identified maka persamaan tersebut dapat diselesaikan. Terdapat 3 teknik estimasi yang dapat digunakan, (i) Indirect Least Squares (ILS); metode ini digunakan pada persamaan struktural yang tepat terindentifikasi (exactly identified); (ii)
Ordinary Least Square (OLS); metode ini digunakan pada persamaan struktural yang over identified, namun dengan kondisi tidak terdapat endogenity problem. Dengan kata lain tidak terdapat keterkaitan antar persamaan satu dengan lainnya. Dalam kondisi ini, estimasi persamaan simultan akan memberikan hasil yang sama ketika masing-masing persamaan diestimasi secara terpisah. Bila terdapat masalah endogeneity, maka metode yang digunakan sebaiknya Two
388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Stages Least Squares (TSLS); (iii) Teknik yang ketiga adalah Two Stages Least Squares (TSLS). Teknik ini digunakan untuk memperoleh nilai parameter struktural pada persamaan yang teridentifikasi berlebih (over identified) dan memiliki endogeneity problem. Pemilihan teknik estimasi yang lebih tepat didasarkan pada 2 hal, (i) identifikasi perbandingan jumlah variabel endogen dan eksogen sebagaimana telah dijelaskan di atas, dan (ii) permasalahan endogenitas yang terdapat dalam persamaan strukturalnya3. Secara teknis, permasalahan endogenitas ini dapat tercermin pada struktur matriks kovarian galat antar persamaan yang pengujiaannya dapat dilakukan menggunakan Hausman specific test.
III.2 Model Empiris Persamaan Simultan Persamaan-persamaan yang selanjutnya digunakan di dalam pembentukan model simultan adalah sebagai berikut: 1.
Ct = α t + β Ydt + λit −3 + et
2. I t = α t + β it −4 + λ crt −4 + γ Yt −4 + et 3. X t = α t + β ert + λYt * +δ oilt + µ Dt + et 4. M t = α t + β ert + λYt −1 + δ Pt * + µ Dt + et 5. Yt =Ct +It +Gt +Xt – Mt _
6. π t = π t e + β (Yt − Y t ) + ert + e Keterkaitan simultan antar variabel dan lintas keenam persamaan tersebut digambarkan di dalam bagan berikut:
Krisis Keuangan Dunia
CR Y*
id
e
P*
Oil
C
I
G
T Y Yp TT
Grafik V.5 Flow Chart
3 Lihat Hamilton (1994) untuk penjelasan yang lebih rinci.
X
M
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
389
Dengan menggunakan prosedur order condition dan rank condition, keenam persamaan struktural tersebut adalah over-identified. Dengan demikian persamaan-persamaan yang ada dapat diselesaikan dengan metode OLS dan TSLS. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah satu kelemahan penggunaan metode OLS pada persamaan simultan yaitu masalah endogeneity, yang bila dalam persamaan tersebut mengandung endogeneity problem maka penggunaan metode OLS akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak efisien. Dari hasil pengujian dengan Hausman specific test diperoleh bahwa persamaan konsumsi, investasi, dan impor mengandung endogenity problem. Oleh karena itu, ketiga persamaan tersebut harus menggunakan TSLS untuk meraih hasil yang tidak bias dan konsisten. Sementara itu, persamaan ekspor dan inflasi menggunakan metode OLS dalam estimasinya. Setiap persamaan diestimasi secara parsial dengan asumsi error pada satu persamaan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan lainnya. 4 Model makro simultan di atas, diaplikasikan pada data nasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data triwulanan mencakup 1996Q1 s.d 2008Q4. Untuk periode data tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 dilakukan interpolasi dari data tahunan menjadi data triwulanan, karena keterbatasan data. Struktur model yang sama juga diaplikasikan secara independen pada masing-masing daerah, mencakup Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. 5 Aplikasi model pada masing-masing daerah disesuaikan dengan karakteristik daerah yang bersangkutan. Salah satu bentuk penyesuaian yang dimaksud adalah pemilihan indikator untuk mewakili variabel tertentu seperti permintaan asing (didekati dengan PDB negara asing) yang berbeda untuk beberapa daerah sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Sumber data dari BPS dan CEIC Data. Data yang digunakan mencakup periode tahun 1993-2008.
IV. HASIL DAN ANALISIS IV.1 Estimasi Persamaan Konsumsi Sejalan dengan teori dasar Keynes, hasil estimasi model konsumsi dengan pendekatan TSLS menunjukkan positifnya pengaruh disposable income terhadap konsumsi. Lebih lanjut tingkat suku bunga memiliki pengaruh yang negatif terhadap konsumsi, sejalan dengan membesarnya opportunity cost dalam membelanjakan uang. Hasil estimasi diberikan sebagai berikut: 4 Kami memahami bahwa asumsi ini terlalu kuat. Pelepasan asumsi ini akan menjadi target penelitian mendatang. 5 Dilakukan oleh masing-masing KBI yakni KBI Medan, KBI Padang, KBI Palembang, KBI Bandung, KBI Semarang, KBI Surabaya, KBI Banjarmasin, dan KBI Manado.
390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Ct = 7.1 2 + 0.6 3 Y d t - 0.003 i t (0.36)*** R 2
R2= 0.92,
(0.04)***
3
+et
(0.002)*
DW = 1.23, Instrument list:
Seluruh variabel diestimasi dalam bentuk logaritma natural. Hasil estimasi tersebut menunjukkan autonomous consumption yang memiliki nilai positif dan signifikan sesuai sesuai dengan teori. Marginal Propensity to Consume (MPC) sebesar 0.63 untuk skala nasional menunjukkan perubahan konsumsi sebesar 0.63% untuk setiap 1% perubahan disposable
income. Dibandingkan periode sebelum krisis, 1986-1996, besaran MPC Indonesia ini menurun sedikit dari angka 0,63. Secara relatif, MPC di Indonesia relatif hampir sama dengan Korea dan Jepang masing-masing 0,634 dan 0,620. Kecenderungan mengkonsumsi ini lebih tinggi dibandingkan Cina (0,540) dan Singapura (0,478), namun lebih rendah dibandingkan Philipina (0,835) dan Hong Kong (0,846)6. Penelusuran lintas propinsi yang diobservasi menunjukkan besaran MPC yang yang sedikit berbeda dibandingkan MPC nasional. MPC tertinggi dimiliki Propinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 0.94 (Tabel IV.4). Sebaliknya Propinsi Sumatera Selatan memiliki MPC terendah yaitu sebesar 0.40. Hal ini terkait dengan karakteristik masing-masing daerah yang berbeda. Tabel V.4 Marginal Prospensity to Consume Regional No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Disposabale Income 0.94 0.88 0.40 0.82 0.66 0.86 0.89 0.77
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Terhadap variabel tingkat suku bunga, hasil estimasi menunjukkan respon konsumsi yang relatif kecil terhadap perubahan tingkat suku bunga. Elastisitas konsumsi terhadap tingkat suku bunga adalah sebesar -0,003 yang berarti peningkatan suku bunga sebesar 10%, hanya 6 Estimasi negara-negara ini menggunakan data peride 1985-1996. Dokumen ini dapat didownload dari http://www.gsid.nagoyau.ac.jp/project/apec/outcomes/paper99/27/Appendix1.pdf
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
391
direspon dengan penurunan konsumsi sebesar 0,03%. Secara teoritis, peningkatan suku bunga deposito akan meningkatkan biaya penggunaan uang periode sekarang sehingga mendorong konsumen untuk mengurangi konsumsi dan mengalihkannya ke periode mendatang. Hasil estimasi yang menunjukkan kecilnya respon konsumsi tersebut sangat potensial diakibatkan oleh taraf hidup masyarakat yang masih rendah dan bergulat pada pemenuhan kebutuhan dasar.
IV.2 Estimasi Persamaan Investasi Persamaan investasi menggunakan variabel suku bunga riil dan output sebagai variabel utama, serta memasukan variabel resiko suatu negara (country risk) yang telah mencakup resiko politik, ekonomi, dan keuangan. Hasil persamaan regresi dengan metode TSLS sebagai berikut: IiYcre 2.290.020.580.03 I =+++ 2.2 9 - 0.0 2 i + 0.5 8Y ttttt 44
t
t-4
(1.72)
t-4
(0.008)**
+ 0.03 crt + et (0.14)***
(0.005)***
R2 = 0.52, DW=0.77, Instrument list: Dari hasil regresi tersebut diperoleh bahwa suku bunga riil berpengaruh negatif dan signifikan terhadap investasi, dimana hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan hubungan antara suku bunga riil dan investasi riil berlawanan arah (Mankiw, 2003). Kenaikan suku bunga riil akan menyebabkan penurunan invetasi, namun pengaruhnya relatif kecil, dimana koefisiennya sebesar minus 0.019 berarti bahwa kenaikan suku bunga riil sebesar 1% akan menyebabkan penurunan investasi sebesar 1.9%. Sebaliknya, bila suku bunga riil turun sebesar 1% maka akan diikuti dengan kenaikan investasi sebesar 1.9%. Di Indonesia dan umumnya negara berkembang, besarnya biaya modal (cost of capital) dan aksessibilitas atas modal tersebut masih menjadi kendala yang dominan. Bersamaan dengan melemahnya permintaan eksternal serta adanya faktor ketidakpastian perekonomian global telah memperlambat pertumbuhan investasi sejak triwulan IV-2008. Hal ini diindikasikan oleh indikator penuntun investasi yang berada pada siklus kontraksi serta menurunnya indikator pertumbuhan impor barang modal. Perlambatan investasi terutama terjadi di Sumatera dan Jabalnustra terutama disebabkan adanya penurunan investasi non-bangunan terkait dengan masih rendahnya daya serap eksternal dan belum membaiknya risiko ketidakpastian global. Terhadap variabel country risk, hasil pengujian inferensial menunjukkan tanda yang berlawanan atau kontradiktif dengan teori. Besaran elastisitas yang diperoleh adalah 0,03 yang
392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
berarti peningkatan resiko 1% justru menyebabkan peningkatan investasi sebesar 0,03%. Anomali ini perlu dikaji lebih lanjut. %, yoy
%, yoy
(%,yoy)
200,0
1200,0
150,0
1000,0
40 35
100,0
800,0
30
600,0
25
Jakarta
Jabalnustra
Sumatera
Kali-Sulampua
20
50,0 0,0 (50,0) (100,0)
45
400,0
15
200,0
10
0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2008 gSumatera
gJabalnustra
1
2
3
4
(200,0)
5 0 -5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2009 gJakarta
2007
2008
2009
gKali-Sulampua (rhs)
Grafik V.6 Pertumbuhan Volume Impor Barang Modal di Indonesia
Grafik V.7 Pertumbuhan Kredit Riil Investasi di Indonesia
Terhadap variabel output domestic, hasil estimasi menunjukkan pengaruh positif output terhadap investasi. Output suatu negara atau daerah yang tinggi akan mendorong peningkatan investasi baik berupa investasi domestik maupun investasi asing. Hal ini disebabkan tingginya
output menunjukan prospek perekonomian suatu negara atau daerah sehingga menodorong minat investor untuk berinvestasi di negara atau daerah tersebut. Hasil regresi secara nasional menunjukan bahwa output dengan lag setahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,58. Dibandingkan dengan variabel penjelas lainnya, pengaruh output paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi atau prospek perekonomian nasional merupakan faktor yang penting dalam penentuan investasi. Implementasi struktur model yang sama atas delapan propinsi terpisah di Indonesia menunjukan hasil yang signifikan pada variabel penjelas utamanya yaitu PDRB dan suku bunga riil dengan arah sesuai dengan teori. Dari kedelapan propinsi tersebut, pengaruh output terhadap investasi pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Jawa Barat relatif paling besar dengan tingkat elastisitas masing-masing sebesar 1,29 dan 1,27. Sementara itu, tingkat elastisitas output Propinsi Sumatera Selatan paling rendah yaitu sebesar 0.11 (Tabel V.5). Sedangkan koefisien suku bunga riil beberapa propinsi relatif sama yaitu minus 0,01 s/d minus 0,03 yang relatif berdekatan dengan koefisien suku bunga riil secara nasional yaitu minus 0,02 , kecuali propinsi Jawa Tengah yang memiliki koefisien sebesar minus 0,78.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
393
Tabel V.5 Elastisitas Investasi terhadap PDRB dan Suku Bunga Riil No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi
PDRB
Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Suku Bunga Riil
1.29 0.35 0.11 1.27 0.71 0.79 0.92 0.61
-0.01 -0.01 -0.002 -0.01 -0.78 -0.001 -0.03 -0.01
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Pertumbuhan investasi non-bangunan cenderung melambat sejalan dengan penurunan permintaan mesin dan perlengkapan luar negeri serta melemahnya impor barang modal. Tertundanya penyaluran stimulus fiscal dan realisasi proyek infrastruktur juga mendorong lemahnya tendensi bisnis pelaku usaha meskipun kondisi dalam negeri menjelang Pemilu Pilpres relatif stabil. Indikasi ini didukung oleh adanya pertumbuhan konsumsi semen yang berangsur menurun di Jawa dan Sumatera. Selain itu dukungan pembiayaan investasi berupa kredit investasi riil juga diindikasikan menurun. Seiring dengan hal tersebut, minat kegiatan investasi pelaku usaha mengalami sedikit penurunan, yang tercermin dari Indeks Tendensi Bisnis yang menurun karena berkurangnya order barang input dan order luar negeri yang disertai penurunan harga jual riil.
%, yoy
%, yoy
50
40
40
35
30
30
20
25
10
20
0
15
(10) (20) (30)
10 Sumatera Jakarta
Jabalnusra Kali-Sulampua
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5
2007
2008
2009
Grafik V.8 Perkembangan Konsumsi Semen di Indonesia
0
Sumatera
Jakarta
Jabalnustra
Kali-Sulampua
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2007
2008
2009
Grafik V.9 Pertumbuhan Kredit Model Kerja menurut Wilayah di Indonesia
394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
IV.3 Estimasi Persamaan Ekspor Persamaan Ekspor menggunakan variabel independen GDP USA sebagai perwakilan pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini sangat penting mengingat tujuan utama dari penelitian ini ingin melihat dampak krisis keuangan dunia yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. Selain itu, persamaan ekspor juga memasukan variabel harga minyak dunia dan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Hasil uji empirik dengan menggunakan metode OLS diperoleh sebagai berikut:
X t = 4.0 5 + 0.8 4 Y t * + 0.00 6 o i l t + 0.3 1 ∆ e t + 0.19 Dt + et (2.09)**
(0.23)***
R2 = 0.84;
(0.001)***
(0.10)***
(0.06)***
DW=1.3
Hasil regresi menunjukan bahwa perekonomian dunia yang diwakili GDP USA berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor dalam skala nasional dengan elastisitas sebesar 0.84. Hal ini sesuai dengan teori dan besarnya elastisitas tersebut tidak terlalu mengherankan mengingat Amerika Serikat bersama dengan Jepang, merupakan partner dagang utama Indonesia dan negara di kawawan. Sementara itu, harga minyak dunia berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor. Hal ini selaras dengan masih banyaknya ekspor migas, sehingga kenaikan harga minyak akan diikuti dengan kenaikan ekspor. Pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar juga positif dan signifikan. Sesuai dengan teori, depresiasi nilai tukar akan diikuti dengan peningkatan nilai ekspor. Variabel dummy yang digunakan merupakan dummy periode krisis 1998, dimana hasilnya signifikan berpengaruh pada ekspor. Dampak krisis keuangan global tidak hanya menimpa perekonomian nasional, namun juga terasa dampaknya pada perekonomian daerah. Hal ini terlihat dari regresi persamaan Tabel V.6 Marginal Prospensity to Consume Regional No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
GDP (Negara) 1,26 (Japan) 0,05 (China) 1,35 (USA) 8,54 (USA) 0,73 (USA) 0,67* (China) 1,14 (Japan) 0, 69(China)
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
395
ekspor di daerah yang diwakilkan oleh delapan propinsi. Tabel II.6 menunjukan bahwa pengaruh GDP dunia yang diwakilkan oleh tiga negara yaitu USA, China, dan Jepang berdampak positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas yang cukup tinggi. Pengaruh ekonomi USA pada Propinsi Jawa Barat misalnya sangat besar, terlihat tingkat elastisitas GDP USA terhadap ekspor Jawa Barat sebesar 8.54. Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Jawa Barat, dimana penurunan 1% GDP USA akan mendorong penurunan ekspor di Jawa Barat sebesar 8.54%. Dampak dari krisis keuangan global di Jawa Barat ditandai dengan penurunan ekspor terutama untuk jenis mesin dan peralatan elektronik.
Ribu Ton
USD Juta 800
60
Nilai Volume
50
600 40 30
400
20 200 10 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2007
2008
0
2009
Grafik V.10 Nilai dan Volume Ekspor di Jabar
Besarnya pengaruh PDB partner dagang seperti Amerika Serikat juga terlihat pada wilayahwilayah lain yang ada di Indonesia. Hal ini kasat terlihat dari perkembangan ekspor beberapa komoditas nonmigas unggulan terutama lemak dan minyak hewan/nabati serta karet dan barang dari karet yang terus menurun. Berdasarkan data yang ada, kondisi penurunan kinerja ekspro ini tidak berlangsung terusmenerus. Memasuki tahu 2009, harga komoditas internasional dan kinerja negara mitra dagang utama seperti India dan China semakin membaik, sementara permintaan dari negara emerging
market semakin juga mulai kembali meningkat terutama untuk komoditas CPO dan batubara, (Lihat Grafik V.11 s.d. Grafik V.14). Indikasi pemulihan ekspor di daerah juga mengindikasikan adanya perbaikan paling tidak penurunan yang melambat pada komoditas utama di masingmasing wilayah, antara lain CPO, Karet (Sumatera), batu bara, tembaga (Kali-Sulampua), dan TPT, alas kaki (Jabalnustra).
396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Ribu Ton
Ribu Ton
100 TPT
Mebel
Kulit dan Alas Kak (rhs)i
90 80
Ribu Ton 15
45.000
14
40.000
13
35.000
12
30.000
70
11
60
10
50
9 8
40
25.000 20.000 15.000
7
10.000
30
6
5.000
20
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2007
2008
Batu Bara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2009
Grafik V.11 Perkembangan Volume Ekspor Unggulan di Jabalnustra
2007
2008
2009
Grafik V.12 Perkembangan Volume Ekspor Unggulan di Kali-Sulampua
%, y-o-y 450 400 350 300
600
1800 Karet
Peralatan listrik
500
Besi/baja Ikan olahan
1600
Minyak Sawit
1400
400
250 200
1200 1000
300
150 100
800
200
50 0
100
-50 -100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
Grafik V.13 Perkembangan Volume Ekspor Unggulan di Jakarta
600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
Grafik V.14 Perkembangan Volume Ekspor Unggulan di Sumatera
IV.4 Estimasi Persamaan Impor Untuk persamaan impor, penelitian ini menggunakan faktor output dalam negeri, indeks harga dunia yang diwakilkan oleh CPI USA, nilai tukar riil dan dummy krisis. Hasil pengujian empirik sebagai berikut:
M t = − 14.3 − 0.3 2 e t − 0.00 7 pt * + 2.2 3 Yt − 1 + 0.4 Dt + et (4.91)***
(0.15)**
R2 = 0.82, DW = 1.1,
(0.003)***
(0.40)**
Instrument list: : C dt C dt-1 Tt Ct-1
(0.18)***
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
397
Hasil regresi persamaan impor dengan menggunakan metode TSLS menunjukan bahwa pengaruh output dengan lag satu triwulan positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas sebesar 2.23. Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat output suatu negara atau daerah akan mendorong peningkatan permintaan impor. Sementara itu, pengaruh nilai tukar terhadap impor negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar minus 0.32. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar akan diikuti dengan penurunan impor. Hal tersebut disebabkan oleh pengurangan permintaan impor karena naiknya harga barang impor akibat jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (US Dollar). Hal sebaliknya terjadi bila nilai tukar terapresiasi yang berdampak pada penurunan harga barang impor dalam bentuk rupiah, sehingga permintaan barang impor meningkat. Harga barang luar negeri turut berpengaruh pada impor, dimana kenaikan barang luar negeri yang terukur dengan consumer price index (CPI) luar negeri berdampak pada penurunan impor. Sehingga hubungan antara impor dan harga barang luar negeri berlawanan arah. Hasil regresi menyebutkan bahwa CPI USA yang mewakili harga barang luar negeri berpengaruh negative dan signifikan dengan koefisien sebesar minus 0.007. Variabel dummy krisis juga signifikan dari hasil pengujian tersebut. Tercatat dari hasil pengujian empirik pada persamaan impor daerah yang diwakili delapan propinsi, output di daerah tersebut berpengaruh positif dan signifikan. Tingkat elastisitas PDRB pada impor di Jawa Barat terlihat paling besar dibandingkan tujuh propinsi lainnya yaitu sebesar 2.93 (Tabel V.7). Hal ini mengindikasikan perilaku konsumtif terlebih proporsi impor Jawa Barat yang dominan adalah berupa impor barang konsumsi. Secara umum, pergerakan barang impor pada setiap wilayah ditunjukkan dalam Grafik IV.15 s.d. Grafik V.18. Tabel V.7 Pengaruh PDRB pada Impor No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
GDP (Negara) 1,34 2,37 0,60 2,93 1,50 1,6 0,94 1,96
398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
%, yoy
%, yoy
50 40
gTotal
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)
30
%, yoy 50
140
250
40 30 20 10
120
200
20 10
150
0
100
-10
50
-20
0
-30 -40
(50)
-50
(100) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
%, yoy
-40 -50 -60
80 60 40 20 0 (20) (40) (60) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009 gTotal
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)
Grafik V.16 Perkembangan Volume Impor di Jakarta
%, yoy
%, yoy 200
120 100
60
150
40 100
20
%, yoy gTotal
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Bhn.Baku
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
50
-20
0
-40 gTotal
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)
-80
(50)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
3500 3000
60
2500 2000
20
1500
0
1000
-20
500
-40
0
-60 (100)
4000
80 40
0
-60
100
0 -10 -20 -30
Grafik V.15 Perkembangan Volume Impor Sumatera
80
%, yoy
300
-80
(500) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
Grafik V.18 Perkembangan Volume Impor KaliSulampua
Grafik V.17 Perkembangan Volume Impor Jabalnustra
IV.5 Estimasi Persamaan Inflasi Persamaan inflasi ini sesungguhnya mewakili sisi penawaran dalam suatu perekonomian. Spesifikasi standar yang digunakan adalah Philips Curve dengan tiga komponen utama yaitu ekspektasi inflasi,output gap, dan supply shock yang diwakili oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Hasil estimasi atas sisi penawaran ini diberikan sebagai berikut:
πt = 0.64 πte + 0.64 (yt - yt ) + 0.27et + 19.7 Dt + et (0.08)*** R2 = 0.89, DW =1.09
(0.31)**
(0.09)***
(5.85)***
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
399
Ekspektasi inflasi memiliki pengaruh yang signikan terhadap tingkat inflasi dengan besaran koesifisien yang tergolong tinggi yakni 0,64. Dalam model ini perilaku agen dispesifikasi mengikuti proses pembentukan ekpektasi yang adaptif yakni berkaca pada tingkat inflasi sebelumnya. Dari hasil pengujian empirik persamaan inflasi pada delapan provinsi diperoleh hasil yang relatif sama dengan hasil regresi secara nasional, dimana faktor ekspektasi inflasi memegang peranan yang cukup penting. Bahkan koefisien ekspektasi inflasi pada beberapa daerah di atas koefisien ekspektasi inflasi nasional. Tercatat empat propinsi memiliki koefisien ekspektasi inflasi di atas nasional yaitu Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi Kalimantan Selatan yang masing-masing sebesar 0,76 , 0,74 , 0,72 , dan 0,66 (Tabel V.8).
Tabel V.8 Pengaruh Ekspektasi Inflasi terhadap Inflasi Daerah No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
GDP (Negara) 0,76 0,40 0,64 0,72 0,27 0,74 0,66 0,49
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Output gap yang merupakan selisih antara output aktual dan output natural berpengaruh positif terhadap inflasi dengan elastisitas sebesar 0,64. Kondisi output gap yang positif secara umum menunjukkan pergerakan roda perekonomian yang lebih cepat, dan dalam kondisi ini tekanan inflasi mengalami peningkatan. Aktifitas perekonomian domestik bukan satu-satunya Output gap bukan satu-satunya penyabab infilasi. Dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing juga memberikan pengaruh. Variabel nilai tukar ini diinternalisasi kedalam model empiris untuk mewakili shock eksternal yang berpengaruh terhadap sisi penawaran. Sebuah mata uang yang mengalami inflasi memiliki kecenderungan untuk terdepresiasi dan sebaliknya, sebuah negara yang mata uangnya terdepresiasi akan mengalami peningkatan daya saing, mendorong permintaan agregat dan selanjutnya memberikan tekanan peningkatan inflasi. Hasil estimasi menunjukkan variabel tukar riil ini memiliki pengaruh signifikan terhadap
400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
kenaikan harga secara umum. Sejalan dengan teori dasar ini, setiap 1% depresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat akan meningkatkan inflasi sebesar 0,27%. Sejak triwulan IV-2008 aktivitas perekonomian tumbuh melambat seiring penurunan permintaan. Pertumbuhan sektoral yang lebih rendah ini dapat dikonfirmasi oleh beberapa indikator yaitu utilisasi kapasitas produksi yang turun cukup signifikan dan Indeks Tendensi Bisnis BPS beserta seluruh faktor pembentuknya mengindikasikan adanya perlambatan. Adapun variabel pembentuk indeks tendensi bisnis BPS yang turun adalah penggunaan kapasitas produksi, pendapatan usaha, serta jumlah jam kerja. Selain itu terdapat indikasi jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengalami peningkatan. Perlambatan sisi penawaran bervariasi lintas sektor dan lintas wilayah. Pada sektor pertanian misalnya, perlambatan kredit pertanian di Sumatera telah terlihat sejak Mei 2008, sementara hal peningkatan justru terjadi di region Kali Sulampua. Untuk industri pengolahan, meski wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan sektor ini tumbuh relatif rendah akibat turunnya pertumbuhan sektor industri pengolahan di Jabalnustra dan Kali-Sulampua, lihat Grafik V.19. Tabel V.9 Pertumbuhan Sektoral 2008-Q1 s.d. 2009-Q2 Sektor Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdag. Hotel & Rest. Transportasi Keuangan Jasa-jasa PDRB Sektor Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bangunan Perdag. Hotel & Rest. Transportasi Keuangan Jasa-jasa PDRB
Sumatera
Jakarta
Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 6,8 (3,2) 3,7 5,8 9,7 6,6 9,1 13,3 7,5 4,9
5,1 0,4 3,7 5,1 8,3 6,1 7,9 10,9 7,2 4,9
4,1 (2,2) 5,0 3,9 7,9 7,5 9,1 12,2 7,4 4,8
1,5 (0,1) 3,1 5,3 7,9 6,0 8,9 7,2 (1,1) 3,9
1,7 (0,3) 0,8 6,0 5,6 5,2 8,3 5,0 7,9 3,1
2,8 (2,2) 2,0 5,8 5,3 5,6 7,6 5,9 7,1 3,2
1,4 1,5 4,1 6,8 7,5 6,9 15,0 4,1 6,3 6,3
(0,3) 0,1 3,8 7,0 7,6 6,3 14,8 4,2 6,1 6,1
Jabalnustra
1,4 0,0 3,6 5,9 7,8 5,7 15,0 4,8 5,9 6,2
1,4 0,0 3,6 5,9 7,8 5,8 14,8 4,8 5,9 6,2
1,4 0,4 1,6 6,2 6,3 3,9 15,6 4,3 5,5 5,2
(0,4) 0,3 (0,2) 6,4 6,5 4,3 15,1 4,4 5,8 5,1
Kali-Sulampua
Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 11,1 3,7 5,1 5,2 3,8 6,3 4,1 5,9 5,3 6,4
(1,4) (2,1) 7,0 5,2 4,0 7,7 5,3 7,8 4,9 5,2
0,9 3,9 5,2 2,8 9,5 5,1 6,0 7,8 5,8 4,9
0,8 5,6 5,4 4,9 9,8 5,4 5,6 7,3 5,1 5,0
4,0 2,3 2,3 2,7 5,6 5,7 9,9 6,9 6,2 4,5
4,8 7,0 1,2 7,3 6,5 6,2 8,6 6,3 5,7 4,4
5,8 8,3 3,9 7,8 11,0 9,2 10,4 8,4 6,3 7,1
5,6 7,5 3,8 6,8 12,5 10,3 10,6 9,4 6,0 7,2
4,2 6,2 0,2 8,3 10,3 10,1 10,7 8,3 6,6 5,8
0,1 11,8 0,1 5,8 9,3 7,4 9,5 7,6 8,9 5,9
1,6 8,3 (0,1) 8,5 9,9 8,5 8,1 7,4 8,9 5,4
3,6 9,2 4,3 6,6 7,2 6,1 4,4 3,6 6,4 5,8
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
401
%, yoy 40,0 gJabalnustra
35,0
gSumatera
gKali-Sulampua
30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 (5,0) (10,0) 1
2
3
4
5
6 7 2008
8
9
10 11 12 1
2 3 2009
4
Grafik V.19 Pertumbuhan Riil Kredit Sektor Pertanian
Perlambatan ini terindikasi dari penurunan volume impor bahan baku, kapasitas produksi, dan pertumbuhan riil kredit sektor industri. Faktor utama yang mempengaruhi adalah melemahnya permintaan eksternal akibat krisis perekonomian global sehingga menurunkan kinerja sektor industri, terutama subsektor industri yang berorientasi ekspor, seperti industri logam dasar bukan besi, industri bambu, kayu, dan rotan, serta industri minyak dan lemak, (Lihat Grafik V.20 dan Grafik V.21).
%, yoy
%, yoy
100,0
40,0
80,0
35,0
60,0
30,0
40,0
25,0
20,0
20,0
0,0
15,0
(20,0)
10,0
gJabalnustra
gKali-Sulampua
gJakarta
5,0
(40,0) (60,0) (80,0)
gSumatera
1
gSumatera
gJabalnustra
gJakarta
gKali-Sulampua
2
3
4
5
6 7 2008
8
9
0,0 (5,0) 10 11 12 1
2 3 2009
4
Grafik V.20 Pertumbuhan Volume Impor Bahan Baku
1
2
3
4
5
6 7 2008
8
9
10 11 12 1
2 3 2009
4
Grafik 1V.21 Pertumbuhan Riil Kredit Sektor Perindustrian
Sektor pertambangan membaik didorong oleh meningkatnya produksi tambang nonmigas. Membaiknya harga komoditas tambang dan adanya kontrak jangka panjang menjadi insentif bagi kenaikan produksi nikel, tembaga dan batu bara di Kali-Sulampua. Meskipun sektor ini mengalami kontraksi di Sumatera akibat menurunnya produksi migas di NAD dan Riau.
402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perlambatan yang terjadi terutama disebabkan melemahnya permintaan ekspor serta turunnya harga komoditas seperti ditunjukkan oleh perkembangan ekspor batubara, ekspor bijih, kerak dan abu logam, serta ekspor alumunium. Selain itu, perlambatan sektor pertambangan dan penggalian juga terkait dengan menurunnya tingkat produksi pertambangan migas, terutama di Riau dan NAD akibat sumur-sumur pengeboran yang sudah tua.
Tabel V.10 Perkembangan Harga dan Produksi Tembaga dan Emas Indonesia Indonesia Mining Operations Copper (millions of recoverable pounds) Production Sales Average realized price per pound Gold (thousands of recoverable ounces) Production Sales Average realized price per ounce
Ribu Ton
First Quarte 2009
2008
404 369 $1,80
200 207 $3,82
570 521 $904
246 251 $932
USD/mt
450
10000
400
9000 8000
350
7000
300 250 200
6000 Vol. Ekspor Price Copper (rhs)
150
5000 4000 3000
100
2000
50
1000 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2007 2008 2009
Grafik V.22 Perkembangan Harga, Produksi dan Volume Ekspor Tembaga di Kali-Sulampua
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
403
Juta Ton 70.000.000
25
60.000.000
20
50.000.000
15
Sumbagsel Sumbagteng Sumbagut Total Sumatera
40.000.000 30.000.000 20.000.000
10 5
10.000.000 0
0 Tw IV Tw I 2006
Tw II Tw III 2007
Tw IV Tw I
Tw II Tw III 2008
Tw IV
1
2
3
4
5
6 7 2008
8
9
10 11 12
1
2 3 2009
4
Sumber : DSM-BI
Grafik V.23 Perkembangan Produksi Minyak Bumi Sumatera (Barrel)
Grafik V.24 Perkembangan Volume Ekspor Batubara Kalimantan
Dinamika output sebagaimana analisis diatas, saling berinteraksi dengan pergerakan nilai tukar dan ekspektasi inflasi dalam mempengaruhi tingkat inflasi aktual yang terjadi. Ketiga variabel ini secara simultan juga memiliki interaksi dengan variabel-variabel lain yang ada dalam persamaan konsumsi, investasi, ekspor dan persamaan impor. Persamaan yang menutup dan merekatkan setiap persamaan parsial tersebut adalah persamaan identitas permintaan agregat;
Y = C + I + G + X √ M. Validasi model makro simultan ini dilakukan dengan membandingkan data aktual dengan data hasil model simultan (baseline). Grafik V.25 menunjukan bahwa antara data aktual dan hasil baseline cukup fitted, sehingga dapat disimpulkan bahwa model simultan tersebut cukup valid untuk digunakan dalam melakukan simulasi atau proyeksi. 7
7 Uji sensitivitas atas masing-masing parameter tidak dilakukan.
404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
CONS
INFY 100
360000 Actual
Actual
CONS (Baseline)
320000
80
280000
60
240000
40
200000
20
160000
0
120000
INFY (Baseline)
-20 1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
1994
1996
1998
2000
INV
2002
2004
2006
2008
M 280000
160000 Actual
INV (Baseline)
Actual
140000
240000
120000
200000
100000
160000
80000
120000
60000
80000
M (Baseline)
40000
40000 1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
1994
1996
1998
X
2000
2002
2004
2006
2008
2002
2004
2006
2008
Y 650000
360000 Actual
X (Baseline)
Actual
600000
320000
Y (Baseline)
550000
280000
500000
240000
450000 200000
400000
160000
350000
120000
300000
80000
250000 1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
1994
1996
1998
2000
Grafik V.25 Perbandingan hasil model (baseline) dengan data aktual
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
405
IV.6 Simulasi Pada tahap selanjutnya, dalam penelitian ini dilakukan simulasi untuk melihat dampak depresiasi nilai tukar, perubahan pertumbuhan ekonomi dunia yang diwakili oleh US dan perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili oleh US.
Simulasi Nilai Tukar Pada simulasi nilai tukar dibagi dalam tiga skenario depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US dollar dengan prosentasi depresiasi yang berbeda. Hasil simulasi menunjukan bahwa jika nilai tukar Rupiah depresiasi sebesar 13,5% menjadi Rp 11.000 per US dollar, konsumsi dan investasi relatif tetap. Hal tersebut juga terjadi ketika nilai tukar terdepresiasi sampai dengan 18,6% dan 23,8% menjadi masing-masing sebesar Rp 11.500/USD dan Rp 12.000/USD. Hal ini bisa disebabkan pengaruh nilai tukar tidak langsung berdampak pada konsumsi dan investasi.
Tabel V.10 Simulasi Nilai Tukar Skenario 1: Nilai tukar depresiasi 13.5% menjadi Rp 11.000/USD
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif tetap
Naik 0,1
Relatif tetap
Turun -0,52%
Naik 0.45%
GDP Naik 0,44%
Skenario 2: Nilai tukar depresiasi 18.6% menjadi Rp 11.500/USD
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif tetap
Naik 0,1
Relatif tetap
Turun -0,93%
Naik 0,82%
GDP Naik 0,79%
Skenario 3 : Nilai tukar depresiasi 23.8% menjadi Rp 12.000/USD
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif tetap
Naik 0,1
Relatif tetap
Turun -1,32%
Naik 1,18%
GDP Naik 1,13%
Sementara itu, ekspor dan PDB nasional meningkat seiring dengan bertambahnya prosentasi depresiasi nilai tukar (Tabel V.10), dimana proporsi peningkatan ekspor dan PDB relatif sama. Sedangkan inflasi nasional yang juga terkena dampak depresiasi juga turut meningkat namun kecil yaitu sebesar 0,1. Ketika depresiasi nilai tukar dari Rp 11.000/USD s/d Rp 12.000/USD, kenaikan inflasi tetap hanya 0,1. Hasil ini membuktikan bahwa efek depresiasi nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil.
406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Sebaliknya, kinerja impor justru menurun dengan adanya depresiasi nilai tukar, dimana penurunannya bertambah ketika proporsi depresiasi nilai tukar bertambah. Hal ini disebabkan makin tingginya harga barang impor yang dikonversikan ke dalam rupiah. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa impor lebih banyak pada barang konsumsi dan ekspor lebih banyak barang yang berasal dari sumber daya alam bukan barang produksi manufaktur. Sehingga ekspor yang meningkat atau menurun tidak selalu diikuti oleh peningkatan atau penurunan impor. Secara regional, beberapa hasil simulasi dengan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar dari 1 USD= Rp 11.000 sampai dengan 1 USD= Rp 12.000 menunjukan bahwa pengaruh depresiasi masing-masing daerah relatif hampir sama. Tercatat penurunan nilai tukar berdampak pada penurunan PDRB dan konsumsi, kecuali di Propinsi Sumatera Barat yang berdampak sebaliknya. Sementara itu, dampak depresiasi Rupiah terhadap US Dollar pada turunnya investasi dan impor di keempat propinsi (Tabel V.11). Ekspor meningkat seiring dengan penurunan nilai tukar, kecuali Propinsi Jawa Tengah yang efeknya relatif tetap. Begitu juga dengan dampaknya pada inflasi, ketiga propinsi lainnya menunjukan peningkatan inflasi, namun propinsi jawa Tengah justru menurun. Tabel V.11 Hasil Simulasi Nilai Tukar Regional Perubahan variabel
Sumatera Barat (Rp11.000/USD)
Jawa Barat (Rp11.000/USD)
PDRB Konsumsi Investasi Ekspor Impor Inflasi
Naik 0,17% Naik 0,05% Turun 0,33% Naik 0,50% Turun 0,31% Naik 1,21%
Turun 0,88% Turun 0,72% Turun 1,83% Naik 2,1% Turun 4,24% Naik 1,77%
Jawa Tengah (Rp11.000/USD)
Jawa Timur (Rp12.000/USD)
Turun 0,75% Turun 0,51% Turun 5,23% Relatif Tetap Turun 1,13% Turun 5,97%
Turun 3,89% Turun 9,33% Turun 9,87% Naik 40,08% Turun 60,3% Naik 1,54%
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Simulasi Pelambatan Ekonomi Dunia Dampak langsung dari krisis keuangan global yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi dunia, terutama US dan beberapa negara Eropa. Bahkan diperkirakan akan tumbuh negatif pada tahun 2009. Untuk melihat dampak pelambatan ekonomi dunia ini, maka disusun scenario turunnya pertumbuhan GDP US menjadi tiga skenario yaitu 0,5%, 0,1% dan -1%.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
407
Tabel V.12 Simulasi Penurunan GDP US Skenario 1: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0,5%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Turun -0,25%
Turun -0,62%
GDP Turun -0,2%
Skenario 2: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0.1%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Turun -0,39%
Turun -0,9%
GDP Turun -0,28%
Skenario 3 : Pertumbuhan GDP US turun dari 1.28% menjadi -1%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Impor
Ekspor
Turun -0,98% Turun -1,86%
GDP Turun -0,52%
Tabel V.12 menunjukan hasil simulasi GDP US turun dari 1.28% menjadi 0.5% berdampak pada turunnya ekspor dan impor, serta PDB. Sementara itu, variable makro lainnya seperti konsumsi riil, investasi riil, dan inflasi relatif tetap. Ketika simulasi dilanjutkan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi US semakin menurun menjadi 0,1% dan minus 1,0%, ekspor dan impor semakin turun. Hal tersebut juga diikuti dengan semakin menurunnya perekonomian nasional yang ditandai dengan menurunnya PDB. Sementara itu, hasil simulasi pada propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara dengan menggunakan skenario perekonomian China mengalami pertumbuhan yang menurun ternyata berdampak pada pelambatan perekonomian kedua propinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Kalimantan Selatan yang merasakan dampak dari penurunan perekonomian Jepang, dimana hasil simulasi penurunan GDP Jepang berakibat pada penurunan PDRB kedua propinsi tersebut. Sementara itu penurunan ekonomi Amerika Serikat akibat krisi keuangan global terasa dampaknya pada Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi Jawa Tengah (Tabel V.13).
408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel V.13 Hasil Simulasi Pelambatan Ekonomi Negara Lain Perubahan variabel PDRB Konsumsi Investasi Ekspor Impor Inflasi
GDP Japan menurun (Sumut)
GDP China menurun (Sumbar)
Turun 0,74% Turun 0,03% Turun 0,18% Turun 0,01% Turun 9,20% Turun 0,004% Turun 8,06% Turun 0,1% Turun 25,25% Turun 0,04% Turun 0,20%
GDP USA menurun (Sumsel)
GDP USA menurun (Jabar)
GDP USA menurun (Jateng)
GDP Japan menurun (Kalsel)
GDP China menurun (Sulut)
Turun 1,27% Turun 0,77% Turun 0,22% Turun 2,42% Turun 1,03% Turun 2,84%
Turun 1,47% Turun 1,21% Turun 1,36% Turun 4,19% Turun 4,24% Turun 0,09%
Turun 5,61% Turun 3,82% Turun 4,03% Turun 12,15% Turun 8,27% Turun77,94%
Turun 0,69% Relatif Tetap Turun 0,64% Turun 1,49% Turun 0,65% Turun0,76%
Turun5,01% Relatif Tetap Relatif Tetap Turun9,75% Relatif Tetap Relatif Tetap
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Simulasi Perubahan CPI Dunia Untuk melihat dampak krisis keuangan global, penelitian ini melakukan simulasi perubahan CPI dunia sebagai alat ukur perubahan harga barang dan jasa di dunia. Skenario yang digunakan yaitu CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0% dan -1,0%. Selain itu, simulasi juga menggunakan scenario kenaikan harga barang dan jasa di USA yang diukur dalam bentuk kenaikan CPI US dari 0,1% menjadi 1%. Hasil simulasi pada dua skenario pertama yaitu CPI USA turun menjadi 0% dan -1% menghasilkan kenaikan pada impor riil masing-masing sebesar 1,16% dan 1,83%. Imbas pada kenaikan impor disebabkan penuruna harga barang dan jasa US membuat permintaan impor meningkat. Semakin turun harga barang luar negeri yang dalam kasus ini diwakili oleh CPI US berdampak semakin bertambahnya impor riil, dimana kenaikan impor riil akan diikuti dengan penurunan output riil. PDB nasional turun masing-masing sebesar 0,48% dan 0,76%. Skenario ketiga yaitu CPI USA naik menjadi 1% memiliki dampak yang berbeda yaitu turunnya nilai impor sebesar 0,22% dan diikuti kenaikan output riil sebesar 0,09%. Harga barang luar negeri yang tinggi akan mengurangi permintaan impor sehingga nilai impor akan berkurang. Hal tersebut akan diikuti oleh kenaikan output riil, dimana scenario ketiga mencatat kenaikan PDB riil sebesar 0,09%. Bila dilihat dari perubahan (naik/turun) impor sebagai respon dari perubahan harga barang luar negeri (turun/naik), terdapat perbedaan prosentasi respon impor saat naik dan turun.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
409
Tabel V.14 Simulasi Perubahan CPI USA Skenario 1: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Naik 1,16%
Relatif Tetap
GDP Turun -0,48%
Skenario 2: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi -1%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Naik 1,83%
Relatif Tetap
GDP Turun -0,76%
Skenario 3 : Pertumbuhan CPI USA naik dari 0,1% menjadi 1%
Perubahan dibandingkan baseline
Konsumsi
Inflasi
Investasi
Impor
Ekspor
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Relatif Tetap
Turun -0,22%
Relatif Tetap
GDP Naik 0,09%
Prosentasi penurunan impor ketika harga naik ternyata lebih kecil dibandingkan penurunan impor ketika harga turun. Jadi meskipun harga naik, impor hanya sedikit menurun. Hal ini menunjukan bahwa impor Indonesia lebih banyak merupakan barang yang sangat dibutuhkan seperti bahan baku.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Dampak krisis keuangan global berpengaruh pada perekonomian nasional dan daerah melalui jalur perdagangan dengan luar negeri (ekspor-impor). Kinerja ekspor baik nasional maupun daerah menurun pada akhir tahun 2008 membuktikan efek dari krisis keuangan global langsung terasa dampaknya. Turunnya kinerja ekspor berdampak langsung pada penurunan output nasional dan daerah. Terlihat pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah sedikit menurun dari perkiraan semula. 2. Sementara itu, konsumsi yang sedikit menurun tetap menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi baik dalam skala nasional maupun daerah. Tingginya jumlah populasi turut berperan dalam mempertahankan tingginya konsumsi di Indonesia. Selain itu, konsumsi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik seperti disposable income baik dalam skala nasional maupun regional.
410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
3. Dari hasil simulasi diperoleh bahwa konsumsi dan investasi relatif tetap nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap US dollar. Sementara itu ekspor dan impor langsung merespon perubahan nilai tukar. Inflasi meningkat ketika rupiah terdepresiasi, namun dengan peningkatan yang kecil mengingat efek passtrough nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil. 4. Bila terjadi pelambatan ekonomi dunia dengan mensimulasikan penurunan GDP US dan perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili CPI US, perekonomian dalam negeri terkena imbasnya. Dalam skala nasional, ekspor dan impor langsung merespon perubahan tersebut. Hal ini disebabkan turunnya perekonomian dunia menyebabkan turunnya permintaan ekspor. Sebaliknya bila harga barang luar negeri turun, maka permintaan impor akan meningkat. Dari kesimpulan yang disampaikan sebelumnya yang intinya krisis keuangan global berdampak pada perekonomian nasional dan regional, dimana dampak tersebut sulit untuk dihindari. Namun demikian, beberapa saran dari hasil penelitian ini untuk dapat meminimalisir dampak tersebut sebagai berikut: 1. Pemerintah dapat berperan dengan peningkatan belanja pemerintah, dimana kegiatan ini dapat mendorong peningkatan output mengingat secara teoritis belanja pemerintah (G) berperan langsung dalam pembentukan PDB. Hal tersebut juga dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, sehingga dapat mendorong perekonomian regional. 2. Selain itu, belanja pemerintah baik di pusat dan di daerah sebaiknya dalam bentuk kegiatan yang menciptakan lapangan kerja. Misalnya, pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya akan menciptakan suatu lapangan kerja bagi penduduk di daerah tersebut. Hal ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan juga menampung tenaga kerja yang menganggur akibat efisiensi yang dilakukan beberapa perusahaan. Pembangunan infrastruktur juga dapat mendorong minat investor untuk berinvestasi. 3. Peran Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat berupa pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan BI rate yang menjadi acuan suku bunga bagi perbankan. Dengan turunnya suku bunga, termasuk suku bunga kredit, diharapkan konsumsi dan investasi dapat meningkat. Hal ini akan mendorong roda perekonomian, dimana konsumsi yang tinggi akan mendorong produksi barang juga meningkat. Selanjutnya, sektor riil yang tumbuh akan menarik minat investor untuk meningkatkan investasi mereka.
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
411
DAFTAR PUSTAKA
Ehrmann, Michael, L. Gambacorta, J. Martinez-Pages, P. Sevestre, and A. Worms,∆Financial System and The Role of Banks in Monetary Policy Transmission in The Euro Area∆, Working Paper European Central Bank, December 2001. Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, Wiley, 2004 Friedman, Milton, A Theory of the Consumption Function, First Edition, Princeton University Press, 1957 Gujarati, Damodar, Basic Econometrics, Fourth Edition, West Point Military Academy, 2003 Hamilton, James D., Time Series Analysis, Princeton University Press, 1994 Hallwood, C. Paul and MacDonald, Ronald,International Money and Finance, Third Edition, Blackwell Publishers Inc, 2000 Mankiw, N. Gregory, Macroeconomics, Fifth Edition, Worth Publishers, 2003 Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy∆, ECB Working Paper No. 40, 2000. Patterson, Kerry, An Introduction to Applied Econometrics: A Time Series Approach, First Edition, Palgrave, 2000 Romer, David, Advanced Macroeconomic, Second Edition, McGraw-Hill, 2001, p.472. Stiroh, Kevin J., ≈Investment and Productivity Growth: a Survey from the Neoclassical and New Growth Perspectives∆, Research Publications Program Industri Canada, Occasional Paper Number 24, June 2000
412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to:
[email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch,, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel.. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John.. ≈Can Parental Decision Explain U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston,, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.