Prosiding Psikologi
ISSN: 2460-6448
Studi Mengenai Domain Children Well-Being pada Anak Usia 8 Tahun yang Tinggal di Daerah Dataran Banjir Babakan Leuwi Bandung 1 1,2
Anglia Rizkita, 2Farida Coralia
Fakultas Psikologi Universitas Bandung, JL Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail :
[email protected],
[email protected]
Abstrak: Tinggal di Dataran Banjir dan menjalani kehidupan sebagai anak yang terbiasa dengan lingkungan banjir suatu kehidupan yang dapat mempengaruhi kebahagiaan anak. Secara umum, permasalahan yang terjadi di lingkungan banjir adalah mengenai lingkungan tempat tinggal anak serta kondisi rumahnya. Lingkungan tempat tinggal anak yang tergolong tempat padat penduduk, membuat kondisi lingkungannya menjadi kumuh, kurang layak, sering becek serta banyak lumut-lumut ditembok membuat anak merasa kurang nyaman untuk bermain di lingkungannya. Untuk mengetahui bagaimana gambaran kebahagiaan pada anak yang tinggal di daerah banjir dapat diketahui melalui domain-domain kebahagiaan. Domain yang paling mendesak adalah domain yang dapat mempengaruhi well-being anak. Domain yang mendesak pada anak yang tinggal di dataran banjir adalah domain mengenai rumah dan lingkungan tempat tinggal. Yaitu mengenai keadaan rumah, orang-orang yang tinggal bersamanya, serta kondisi lingkungan tempat tinggal mereka termasuk fasilitas bermain. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambarandomain Children Well-Being. Subyek dalam penelitian ini adalah anak usia 8 tahun yang tinggal di dataran banjir yang berjumlah 16 subyek. Alat ukur yang digunakan adalah Children Well-being yang berisi item-item mengenai 8 domain Life Satisfaction berdasarkan teori Subyektif Well-Being dari Diener(2006). Data diperoleh dari penyebaran kuisioner secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan pada usia 8 tahun domain yang paling memuaskan yaitu domain mengenai sekolah, artinya anak-anak merasa nyaman dan menganggap bahwa sekolah menjadi rumah kedua mereka, sehingga anak yang merasa aman dan bahagia di sekolah dapat berinteraksi dengan teman sebaya dan guru-gurunya, sehingga anak mampu mencapai prestasi yang diharapkan, dan anak-anak merasa senang jika sedang bergotong royong membersihkan sekolah mereka pasca terkena banjir. sedangkan domain yang paling kurang memuaskan adalah mengenai lingkungan, artinya anak menganggap kondisi lingkungan dapat membahayakan bagi diri mereka, sehingga anak kurang dapat memuaskan hasrat bermainnya di lingkungan sekitar, sehingga membuat anak sedih berada dilingkungan yang sering terkena banjir. Kata Kunci : Children Well-Being, Dataran Banjir, Anak Usia 8 tahun.
A.
Pendahuluan
Banjir yang terjadi belakangan ini sudah merupakan hal yang tiap waktu terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Curah hujan yang tidak menentu dan cukup deras membuat sejumlah daerah tergenang air. Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami bencana alam. Salah satu daerahnya adalah Babakan Leuwi Bandung yang tiap tahun terjadi banjir ketika musim penghujan tiba. Setiap turun hujan, maka daerah ini akan terendam oleh air. Lebih-lebih jika intensitas curah air hujan cukup tinggi dan berdurasi lama, maka dapat dipastikan banjir akan melanda. Bencana banjir beresiko tinggi mengancam keselamatan jiwa para warga serta merusak infrastruktur yang ada. Bukan hanya kerugian secara materi yang menjadi masalah, namun juga dampak psikologis (Pikiran Rakyat, 12 Februari 2015). Banjir yang menggenangi sebagian wilayah Bandung telah lama terjadi. Desa Babakan Leuwi Bandung adalah desa yang kerap terkena banjir lebih parah dari desadesa lainnya, karena letak desa ini berada tepat dipinggir sungai Citarum dan sungai yang berdekatan dengan Desa Babakan Leuwi Bandung ini adalah pertemuan sungai
333
334 |
Anglia Rizkita, et al.
antara Bandung dan Majalaya. Maka dari itu daerah ini mengalami banjir tidak hanya saat hujan, jika daerah Kota Bandung atau Majalaya mengalami hujan, air kiriman darisana akan membuat desa tersebut mengalami banjir.Ditambah lagi dengan sampah kiriman yang dapat menyumbat aliran-aliran sungai, dan tanah-tanah yang terbawa oleh arus sungai juga menghambat selokan-selokan didaerah pemukiman warga. Akibat banjir bukan hanya air sungai yang meluap, namun dari selokan-selokan yang berada disekitar rumah warga juga ikut meluap. Kondisi perumahan di daerah ini termasuk rumah padat penduduk, jarak antar rumah saling berdempetan dan berhadapan dengan jarak sekitar 1 meter. Penduduk setempat sudah dihimbau oleh pemerintah untuk meninggalkan desa tersebut dan berpindah ke rumah susun yang telah disediakan oleh pemerintah.Namun terdapat alasan mereka untuk sulit diminta pindah dari bantaran sungai, Dikarenakan tidak mendapatkan uang ganti rugi, mereka tidak mau pindah ke rumah susun karena jika tinggal disana mereka harus membayar perbulannya karena kondisi ekonomi mereka yang kurang mencukupi.Sedangkan jika mereka tetap tinggal mereka tidak perlu memikirkan uang kontrakan perbulan, karena sebagian besar warga disana tinggal dirumah sendiri bukan mengontrak. Selain itu, sebagian besar warga disana sudah tinggal sejak lahir, sehingga mereka tetap ingin tinggal dengan kondisi seperti itu. Warga menganggap bahwa disitulah kampung halaman mereka, tempat mereka lahir dan dibesarkan. Beberapa warga yang sedang merantaupun akan pulang kampung ke daerah tersebut. Jika kampung halaman mereka hilang, mereka akan merasakan kerinduan terhadap kampung halamannya. Kerinduan pada kampung halaman tidak bisa diatasi dengan cara instan, dan akan mengalami gangguan psikologis (Phillips Exeter Academy, Chris Thurber dan Edward Walton, dalam Journal American Academy of Pediatrics, 1980). Hubungan dengan tetanggapun sangat akrab dan sudah seperti saudara mereka masing-masing, sehingga mereka enggan untuk berpindah dan mengawali kehidupan baru lagi. Walaupun nantinya satu rusun, mereka tetap tidakmau berpindah karena suasana rusun berbeda dengan suasana tempat biasa mereka tinggal. Meskipun orang tua (orang dewasa) sudah merasa desa tersebut sebagai kampung halamannya dan enggan untuk pindah dari desa itu, belum tentu anak-anak merasakan hal yang sama pula. Menurut Ehreinreich (2001) sepertiga dari korban bencana adalah anak-anak. Hal ini dapat dipahami karena dari jumlah seluruh populasi suatu masyarakat, anakanak merupakan bagian dari populasi tersebut. Ehreinreich (2001) juga menjelaskan bahwa kejadian bencana mengakibatkan “trauma” psikologis pada korban khususnya pada anak-anak. Dampak bencana berbeda-beda untuk setiap orang yang mengalaminya.Sebanyak 60 persen anak-anak di dunia ternyata merupakan korban bencana alam. Hal ini menjadi persoalan serius karena pada 10-20 tahun mendatang dampak bencana akan mempengaruhi fisik serta psikologi mereka. Anderson (2005) mengemukakan bahwa penelitian sosial mengenai anak dalam bencana juga masih kurang, dan hal ini dikarenakan status sosial anak dalam masyarakat yang menempatkan anak sebagai individu yang belum bisa berperan dalam fungsi kemasyarakatan. Dengan keadaan demikian anak sering tidak diperhitungkan dalam tanggap bencana maupun aktifitas di dalamnya (Anderson 2005). Pada kenyataannya, anak justru mewakili kelompok rentan. Bayi dan anak kecil khususnya, secara fisik sangat rentan terhadap bencana yang tiba-tiba muncul ataupun bencana kronis. Ini dikarenakan anak masih sangat tergantung pada orang dewasa. Selain rentan fisik, anak yang sedikit berusia lebih dewasa rentan pada
Volume 2, No.1, Tahun 2016
Studi Mengenai Domain Children Well-Being pada Anak Usia 8 Tahun yang Tinggal di Daerah …| 335
gangguan emosi dan psikis yang mucul akibat bencana (Anderson 2005). Bagi anak yang tinggal di dataran banjir kerap merasakan stress berada di lingkungan yang rawan banjir. Kerap merasakan kecemasan pula jika banjir melanda karena takut rumah mereka tergenang, dan sulit untuk bermain keluar karena kondisi yang sedang banjir. Belum lagi ditambah suasana pengungsian yang bising dan kurang nyaman untuk mereka istirahat. Dalam jangka panjang anak akan mengalami gangguan emosional karena seringnya kebutuhan bermain mereka kurang terpenuhi atau karena banyak barang-barang mereka yang sering ikut hanyut saat banjir. Selain masalah psikologis, anak yang tinggal didaerah dataran banjir akan mengalami masalah pendidikan karena seringnya aktivitas belajar yang terganggu dan perkembangan yang tertunda. Misran, Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com pada 14 Juni 2015 mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya. Hasil observasi peneliti pada 26 Desember 2014 ketika daerah tersebut terkena banjir, terlihat sekitar 13 anak korban banjirturun ke jalan untuk mengemis, setelah ditanya lebih lanjut ternyata mereka anak-anak yang sedang mengungsi di gereja yang berdekatan dengan daerah tersebut. Mereka disuruh oleh orang tuanya untuk mencari tambahan uang untuk makan selama mengungsi dan banjir melanda, sedangkan beberapa dari ibu mereka ada yang membantu memasak didapur bersama dekat gereja. Bapaknya mencari uang dengan menarik perahu yang diberikan oleh Pemerintah untuk membantu warga sekitar menyebrang agar kegiatan warga bekerja atau berpergian tidak terganggu, dengan begitu bapaknya mendapatkan upah dari warga yang akan menyebrang. Selama banjir mengakibatkan lumpuhnya perekonomian warga, serta bantuan Pemerintah masih dianggap kurang sehingga mereka membutuhkan uang lebih. Faktor keuangan ini menjadi salah satu masalah bagi anak-anak, karena beberapa anak mengeluh dengan harus meminta-minta mereka merasa cape karena membersihkan rumah mereka yang tergenang air. Mereka tinggal didalam rumah yang tidak layak huni, karena keadaan rumah mereka yang kotor dan lembab, ada pula yang harus membantu membersihkan sekolah mereka yang tergenang air. Beberapa anak yang mengungsi merasa kurang nyaman karena mereka tidak dapat istirahat dengan cukup ketika berada dipengungsian, karena kondisi pengungsian yang berisik, berdesak-desakan serta mereka tidak nyaman karena tidur dengan kasur yang tipis, sehingga mereka merasa kedinginan, maka dari itu anak-anak banyak yang merasa sedih dan kecewa jika banjir mulai terjadi. Dampak dari banjir bagi anak-anak ini selain mereka harus mengemis, mereka juga terkadang dapat kehilangan seragam, alat-alat sekolah, dan barang-barang yang mereka miliki. Selain kerugian materi, anak-anak juga harus mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dan perasaan yang tidak menyenangkan karena hidup di daerah dataran banjir. Dengan datangnya para relawan dan bantuan-bantuan pada musim banjir termasuk suatu kebahagian bagi para korban banjir, khususnya anak-anak. Karena terkadang dari salah satu relawan tersebut dapat menghibur dan bermain bersama anak-anak untuk menghilangkan kecemasan dan ketakutan sejenak pada anak jika situasi banjir sedang melanda, dan anak merasa mendapatkan afeksi yang lebih. Dengan sudah saling akrab dengan tetangga membuat mereka mudah untuk meminta
Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016
336 |
Anglia Rizkita, et al.
tolong, hal ini membuat anak-anak mereka tetap tinggal di desa tersebut, menikmati masa kanak-kanak yang seharusnya tidak layak namun menurut mereka dengan kondisi lingkungan yang seperti itu mereka dapat kebahagiaan tertentu karena hidup di daerah dataran banjir. Dilihat dari kondisi diatas, walaupun tinggal didaerah dataran banjir yang dapat menimbulkan kesulitan dan ketidaknyamanan pada beberapa aspek tertentu, seperti tempat tinggal yang lembab dan tidak layak huni, lingkungan sekitar yang kotor, sekolah yang sering libur jika terkena banjir, dan tempat pengungsian yang bising dan sempit hal ini tidak membuat anak-anak tersebut mengalami ketidaksejahteraan. Anakanak terlihat bahagia dengan kondisi lingkungan yang seperti itu. Hal ini dihayati oleh anak menjadi hal yang cukup menyenangkan tinggal di dataran banjir, karena kondisi banjir tidak sepenuhnya membuat ketidaknyamanan bagi anak. Menurut Diener (2009, h. 1) Subjective Well-Being (SWB) adalah situasi yang mengacu pada kenyataan bahwa individu secara subyektif percaya bahwa kehidupannya adalah sesuatu yang diinginkan, menyenangkan dan baik. Oleh karena itu rumusan masalahnya adalah, “Bagaimana gambaranmengenaidomain Children Well-Being pada anak yang tinggal di daerah dataran banjir usia 8tahun di Babakan LeuwiBandung”.Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh data empiris mengenai domain Children WellBeingpada anak yang tinggal di daerah dataran banjir usia 8 tahun di Babakan LeuwiBandung. B.
Landasan Teori
Pengertian yang dikemukakan oleh UNICEF dalam Children’s Well-Being From Their Own Point Of View (2012). Children Well-Being (CWB) adalah pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita seorang anak mengenai kehidupannya. Menurut UNICEF pula Subjective Well-Being merupakan pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita dari seseorang (dalam kasus ini khususnya adalah anak) mengenai hidupnya dan kondisi kehidupannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ferran Casas, Armando Bello, Monica Gonzales & Mireia Aligue yang bekerja sama dengan UNICEF (2013) mengukur Children well-being dilihat dari 8 domain kehidupan, yaitu: a. home satisfaction yaitu pemaknaan anak terhadap tempat tinggalnya (rumahnya) yang didalamnya mengenai orang-orang yang tinggal bersamanya, dan mengenai kondisi rumahnya, b. satisfaction with material things yaitu pemaknaan anak terhadap benda-benda yang dimilikinya, c.satisfaction with area living in yaitu pemaknaan anak terhadap area di lingkungan rumahnya, d.satisfaction with interpersonal relationship yaitu pemaknaan anak terhadap hubungan dengan orang-orang terdekat seperti dengan teman sebaya, e.satisfaction time organization yaitu pemaknaan anak terhadap pengorganisasian waktu yang dilakukannya, f. satisfaction with school yaitu pemaknaan anak terhadap sekolahnya, g. satisfaction with health yaitu pemaknaan anak terhadap kesehatannya, h. personal satisfaction yaitu pemaknaan anak terhadap dirinya sendiri. C.
Metode Penelitian
Penelitian mengenai domain Children Well Being ini menggunakan teknik deskriptif. Dalam penilitian ini menggunakan alat ukur Children Well-Being yang dibuat dalam bentuk kuesioner yang berisi item-item berupa pernyataan mengenai 8 domain life satisfation dari UNICEF. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak
Volume 2, No.1, Tahun 2016
Studi Mengenai Domain Children Well-Being pada Anak Usia 8 Tahun yang Tinggal di Daerah …| 337
yang tinggal di dataran banjir Babakan Leuwi Bandung yang berusia 8 tahun dan berjumlah 16 anak. D.
Hasil dan Pembahasan Diagram 3.1 Children Well-Being Usia 8 tahun 90 80 70 60 50 40 30
72,9
79,2 65,6 54,5
53,8
57,3
62
20 10
29,7
0 Kepuasan Mengenai Tempat Tinggal Kepuasan Mengenai Barang yang Di Miliki Kepuasan Mengenai Hubungan Interpersonal Kepuasan Mengenai Lingkungan Tempat Tinggal Kepuasaan Mengenai sekolah Kepuasan Mengenai pengaturan waktu yang dimiliki Kepuasan Mengenai Dirinya Sendiri Kepuasan Mengenai Kesehatannya
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa hasil domain yang kurang memuaskan yaitu domain mengenai lingkungan tempat tinggal, tempat tinggal anak-anak ini termasuk kedalam tempat yang kumuh atau tidak layak huni, dapat terlihat disini permukiman yang ditempatinya tidak memiliki penataan yang bagus, kurangnya fasilitas listrik, drainase, tempat membuang sampah, WC umum yang tidak terawat, yang semuanya jauh dari layak, sehingga kesan kumuh dalam permukiman padat penduduk sangat melekat. Dengan tinggal di daerah dataran banjir yang tidak layak huni ini dirasakan anak kurang puas dengan keadaan lingkungannya yang becek, berdesak-desakan, akses jalan yang memasuki jalan kecil dan berkelok, serta sering terjadinya banjir membuat lingkungannya menjadi tidak nyaman untuk dipakai bermain, lingkungan yang kotor dan licin membuat anak tidak aman saat berjalanjalan di lingkungan sekitar karena dapat membahayakan dirinya, sehingga anak merasa kurang puas dengan hal ini. Domain yang dirasakan paling memuaskan pada kelompok anak usia 8 tahun Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016
338 |
Anglia Rizkita, et al.
yaitu mengenai sekolah, terlihat dari anak yang merasa nyaman saat berada di sekolah walaupun kondisi sekolah yang kurang layak anak-anak tetap merasa senang saat bersekolah, karena anak menganggap dapat bermain dengan teman-temannya disekolah dan hubungan dengan guru nya yang terjalin dengan baik. Anak menghayati bahwa sekolah adalah rumah kedua anak karena anak menghabiskan setengah waktunya berada disekolah, anak-anak disini merasa bahwa disekolah guru-gurunya dianggap ramah, baik, dan dapat mendengarkan keinginan siswa, sehingga anak memunculkan emosi-emosi yang positif muncul dengan perilaku seperti asertif, giat dalam tindakan sekolah, dan kreatif. Perkembangan pada anak usia sekolah dasar ditandai dengan berkembangnya hubungan, disamping dengan keluarga juga memulai dengan adanya ikatan baru dengan teman sebaya. Kemampuan social ini membuat anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat. Dalam proses belajar di sekolah kematangan dalam kemampuan sosial ini dapat digunakan dalam memberikan tugas-tugas kelompok. Tugas-tugas kelompok ini memberikan kesempatan kepada anak untuk menunjukan prestasinya (Yusuf,2004). Pada anak dataran banjir disini anak memiliki semangat sekolah yang tinggi, memiliki prestasi yang baik, dan juga adanya rasa diterima dan di akui serta dapat menjalin pertemanan dengan teman sebaya di sekolah dan anak menilai bahwa lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang menarik dan menyenangkan. Domain mengenai pengelolaan waktu anak merasa dalam keadaan cukup memuaskan, terlihat dari anak belum menikmati waktu senggangnya dan anak belum mampu membagi waktunya yang mereka miliki karena waktu mereka banyak digunakan untuk membantu orangtua untuk mencari nafkah maupun bergotong royong dalam membersihkan lingkungannya, sehingga anak kurang puas dengan hal ini. Pada domain mengenai rumahpun anak merasa cukup puas dengan hal ini. Anak merasa kurang puas dengan keadaan rumahnya dilihat dari anak merasa kurang nyaman saat berada dirumah dan kurang nyaman dengan orang-orang yang berada dirumahnya. Anak juga merasa bahwa kondisi rumahnya yang lembab dan dingin serta kurang perhatian dari orang tua dan jarang memiliki waktu bersama dengan keluarga membuat anak kurang memiliki kepuasaan terhadap rumah. Anak merasa kurang puas dengan orang-orang yang tinggal bersamanya, karena anak merasa kurang diperhatikan dan kurangnya memiliki waktu bersama keluarga ,membuat anak kurang nyaman dengan rumahnya. Kesejahteraan psikologi yang baik akan hadir ketika situasi menyenangkan terjadi dalam keluarga individu tersebut. Kefungsian keluarga menjadi pengaruh yang sangat kuat dalam mempengaruhi kesejahteraan psikologis anak dan orang tua dalam menerima kebahagiaan sepanjang waktu ( Hassan, Yussof & Alavi, 2012). Domain yang mendekati terhadap kepuasaan yaitu domain mengenai barang yang dimiliki, terlihat dari anak yang merasa bahwa barang-barang yang mereka punya sudah memuaskan bagi dirinya, dan anak menganggap bahwa barang yang mereka inginkan sudah mereka miliki, dan barang-barang yang sering hilang saat terjadinya banjir tidak dihiraukan oleh anak, domain mengenai kesehatan pun cukup mendekati terhadap kepuasaan karena anak merasa tubuhnya dalam keadaan sehat dan anak bersyukur memiliki tubuh yang jarang terkena penyakit walaupun hidup di lingkungan yang kurang layak.
Volume 2, No.1, Tahun 2016
Studi Mengenai Domain Children Well-Being pada Anak Usia 8 Tahun yang Tinggal di Daerah …| 339
E.
Kesimpulan 1. Pada kelompok anak usia 8 tahun yang tinggal di Babakan Leuwi Bandung didapatkan hasil mengenai domain yang paling tidak memuaskan adalah domain mengenai lingkungan. Lingkungan tempat tinggal anak yang berada di dataran banjir tentu membuat sebagian anak kurang nyaman karena seringnya mengalami banjir membuat jalanan menjadi becek, licin, tembok-tembok berlumut, dan hilangnya tempat bermain. Sehingga anak-anak kurang merasa puas akan lingkungan tempat tinggalnya karena kondisi tersebut dapat membahayakan bagi anak, dalam hal kesehatan maupun keamanannya. 2. Domain yang paling memuaskan yaitu mengenai sekolah karena anak menganggap bahwa sekolah adalah tempat mereka bertemu dengan temanteman sebaya mereka dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama teman-teman.
Daftar Pustaka Arikunto, S. (2007). Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Amawidyati. (2007) Religiusitas dan Psychological Well-Being Pada Korban Gempa.Yogyakarta :Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Caldera, T et al. 2001. Psychological impact of The Hurricane Mitch in Nicaragua in a one-year perspective. Soc Psychiatry epidemiol 2001, 36 : 108-114 Diener, Ed., Lucas, Richard E & Oishi, Shigero. (2003). Personality, Culture, And Subjective Well Being: Emotional And Cognitive Evaluation Of Life. Annua Reviews. Diener, Ed & Schimmack, Ulrich. (2003). Brief report : Predictive validty of explicit and implicit self-esteem for subjective well-being. Journal of Research in personality 37, 100-106. Diener, Ed. The Science of Well-Being. Th Collected Works of Ed Diener.2009.New York: Springer Enarson, Elaine. 2000. Gender and Natural Disaster :working paper 1. Recovery and Reconstruction Departemen, Geneva. Lauten. (2008). A Look at the Standards Gap: Comparing Child Protection Responses in the Aftermath of Hurricane Katrina and the Indian Ocean Tsunami. Children, Youth and Environments 18(1):158201. doi: http://www.colorado.edu/journals/cye. Michelle T. E. (2008). Disaster Risk Reduction and Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the Comprehensive Disaster Management Framework. Children, Youth and Environments 18(1): 389-407. doi: www.colorado.edu/journals/cye. Noor Hasanudin, (2009). Psikometri Aplikasi dalam Penyusunan Instrumen Pengukuran Perilaku. Bandung : Fakultas Psikologi Unisba Santrock, J.W. (1999). Life Span Development. Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill Sarwono., & Sarlito. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo. Sugiyono. 2006. MetodePenelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. penerbit Alfabeta Bandung. UNICEF. (2012). Children’s Well-Being From Their Own Point Of View. Espana Madrid, UNICEF.
Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016
340 |
Anglia Rizkita, et al.
Weissbecker. (2008).Psychological and Physiological Correlates of Stress in Children Exposed to Disaster: Review of Current Research and Recommendations for Intervention. Children, Youth and Environments 18(1): 30-70. doi: www.colorado.edu/journals/cye
Volume 2, No.1, Tahun 2016