STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH INFEKSI Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS
DORDIA ANINDITA ROTINSULU
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
September 2008
Dordia Anindita Rotinsulu NRP. B04104003
ABSTRAK DORDIA ANINDITA ROTINSULU. Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan HERNOMOADI HUMINTO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologis akibat infeksi Enterobacter sakazakii secara per oral pada mencit (Mus musculus) neonatus sebagai hewan coba. Sebanyak 30 ekor mencit neonatus dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kontrol (diberi NaCl fisiologis), kelompok I (dosis infeksi 103 cfu/ml), kelompok II (dosis infeksi 104 cfu/ml), kelompok III (dosis infeksi 105 cfu/ml), kelompok IV (dosis infeksi 106 cfu/ml), dan kelompok V (dosis infeksi 107 cfu/ml). Setiap kelompok terdiri atas lima ekor mencit dan pemberian suspensi dilakukan sebanyak 0,1 ml/ekor. Mencit kontrol dieuthanasi pada hari ketiga pasca pemberian NaCl fisiologis per oral, sedangkan mencit yang diinfeksikan suspensi bakteri E. sakazakii diamati hingga mencit mati. Apabila sampai pada hari ketiga mencit yang diinfeksi E. sakazakii tidak mati, maka mencit tersebut dieuthanasi dan dinekropsi untuk dikumpulkan sebagai sampel. Sampel difiksasi dalam Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%. Pengamatan dilakukan secara histopatologi pada usus halus, usus besar, otak besar (cerebrum), medula spinalis, dan limpa dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Perubahan histopatologis yang dapat diamati pada mencit neonatus yang diinfeksi E. sakazakii yaitu peningkatan jumlah sel radang di usus, deskuamasi epitel usus, peningkatan jumlah mikroglia di sistem saraf pusat, deplesi folikel limfoid limpa, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang di limpa. Data kuantitatif, yang terdiri atas jumlah sel radang usus halus dan usus besar, jumlah sel mikroglia cerebrum dan medula spinalis, serta jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit limpa diolah dengan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan data kualitatitif berupa skoring yang terdiri atas kerusakan epitel usus halus, kerusakan epitel usus besar, deplesi folikel limfoid limpa, infiltasi sel radang dan protein radang di limpa, diolah menggunakan analisis statistik nonparametrik melalui uji Kruskal-Wallis. Hasil pengolahan data dan pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa E. sakazakii berpotensi menyebabkan enterokolitis nekrotikan, meningoencephalitis, splenitis, dan sepsis. Virulensi E. sakazakii dipengaruhi oleh potensi bakteri dalam memproduksi toksin. Infeksi E. sakazakii pada usus mencit neonatus terjadi mulai dosis 104 cfu/ml, sedangkan infeksi pada sistem saraf pusat terjadi pada dosis 106 cfu/ml yang terjadi secara signifikan (P<0,05) dengan kontrol. Kata kunci: Enterobacter sakazakii, mencit neonatus, usus, cerebrum, medula spinalis, limpa.
ABSTRACT DORDIA ANINDITA ROTINSULU. Histopathology Study of The Influence of Enterobacter sakazakii Infection in Neonates Mice (Mus musculus). Under direction of SRI ESTUNINGSIH and HERNOMOADI HUMINTO. This research was aimed to observe histopathological changes affected by Enterobacter sakazakii which was infected per oral to neonates’ mice (Mus musculus) as the experimental animal. Thirty neonates’ mice were divided into six groups: control (applied orally with physiologic NaCl), group I (infection dose 103 cfu/ml), group II (infection dose 104 cfu/ml), group III (infection dose 105 cfu/ml), group IV (infection dose 106 cfu/ml), and group V (infection dose 107 cfu/ml). Each group consists of 5 neonates’ mice and the bacterial suspension was given 0.1 ml/mice. Mice’ in control group were euthanized 3 days after the application of physiologic NaCl. Whereas mice’ which were infected by E. sakazakii were observed until they die. If the mice’ didn’t die until the third day after infection, those mice’ were euthanized and then necropzied followed by sample collection in Buffered Neutral Formaline (BNF) 10% for sample fixation. Samples then were processed to become Histopathological slides. The study was done through histopathology examination at small intestine, large intestine, brain (cerebrum), medulla spinalis, and spleen with HematoxilinEosin staining. Histopathology changes observed the increasing of inflammatory cell in intestine, the increasing of microglia cell in central nervous system, the depletion of lymphhpoid follicle of the spleen, infiltration of inflammatory cells and deposition of inflammatory protein in spleen. Qualitative data’s consist of the amount of inflammatory cells in small and large intestine, microglia cells in cerebrum and medulla spinalis, lymphoid follicles and megakaryocites in spleen, were analyzed with ANOVA test and followed by Duncan test. On the other side, qualitative data’s which are the scoring of epithelia desquamation of the small and large intestine, depletion of lymphoid follicles of the spleen, infiltration of inflammatory cell and deposition of inflammatory protein of the spleen, were analyzed with Nonparametric Kruskal-Wallis test. Based on evaluation on those data’s and histopathology observation, E. sakazakii causes enterocolitis necrotican, meningoencephalitis, splenitis and sepsis. Enterobacter sakakzaii’s infection is influenced by its potency to produce toxin. The infection of E. sakazakii to the intestine of neonates’ mice was started at infection dose 104 cfu/ml, whereas the infection of E. sakazakii to the center nervous system of neonates’ mice was started at infection dose 106 cfu/ml which are significant (P<0,05) with the control group. Key words: Enterobacter sakazakii, neonates mice, intestine, cerebrum, medulla spinalis, spleen.
STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH INFEKSI Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS
DORDIA ANINDITA ROTINSULU
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
:
Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus
Nama
:
Dordia Anindita Rotinsulu
NRP
:
B04104003
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi NIP. 131 878 929
drh. Hernomoadi Huminto, MVS NIP. 130 354 144
Diketahui, Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP 131 669 942
Tanggal pengesahan
:
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Papa dan Mama tersayang selaku orang tua penulis, atas kasih sayang, doa, motivasi, nasihat, dan dorongan yang luar biasa dan tidak hentihentinya kepada Penulis. 2. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, selaku dosen pembimbing utama atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu dan pemikiran selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 3. drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan, arahan, dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. drh. R. Ipin R. Manggung selaku dosen pembimbing akademik. 6. Dungdang Panahatan Hutapea atas kasih sayang, dukungan, doa, dan motivasi kepada Penulis. 7. Mbah, Tante Anti, Tante Iwiek sekeluarga, dan Om Yon sekeluarga atas doa dan dukungannya. 8. Tim sakazakii (Mungky Wardanela, Laorizia F. D., dan Getri Grecilia) atas kerjasama, bantuan, dan dukungan selama penelitian. 9. Anny Karyani, Prawira A.T., kak Triono, mbak Dyah, Inge, kak Nona, kak Meis, dan Sada atas bantuan dan dukungan moril dalam penyelesaian skripsi.
10. Dosen Bagian Patologi atas ilmunya, Laboran dan Teknisi Patologi FKH IPB (Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Ibu Melli, Bibi, dan Mbak Kiki) atas segala bantuannya. 11. Teman-teman yang tergabung dalam Asteroidea FKH 41 ”terbaik dan teristimewa”, Komisi Pelayanan Siswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, Persekutuan FKH, HIMPRO HKSA, IMAKAHI, Mahasiswa Berprestasi 2008, serta teman-teman Mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui. Terakhir Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Tidak cukup kata bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala doa, dukungan, dan bantuan kepada Penulis. Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor,
September 2008
Dordia Anindita Rotinsulu B04104003
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dordia Anindita Rotinsulu, dilahirkan di Manado pada tanggal 29 September 1986. Penulis merupakan anak tunggal dari Ayah yang bernama Dr. drh. Fredrik Dotulung Rotinsulu dan Ibu yang bernama Dr. drh. Sri Adiani. Pada tahun 1992-1995, penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di Ludwig Uhland Schule, Giessen, Jerman. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Eben Haezar 02 Manado pada tahun 1998. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Manado pada tahun 2001, sedangkan pendidikan tingkat atas diselesaikan di SMA Negeri 1 Manado pada tahun 2004. Pada tahun yang sama Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi Kepala Divisi Pendidikan HIMPRO Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (2005-2006), Kepala Departemen Zoonosis dan Keamanan Pangan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB (2005-2007), dan anggota Komisi Pelayanan Siswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (2005-2008). Selain itu, Penulis pernah menjadi asisten dosen agama Kristen Protestan IPB (2005-2006) dan pengajar di SMA Kornita Dramaga (2005-2007). Selama masa perkuliahan, Penulis menerima beasiswa dari German Industry Scholarship untuk mengikuti studi banding dan kursus Internasional di Jerman (2007), Beasiswa Prestasi dari PT Romindo Primavetcom, serta beasiswa Aktivis Unggulan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) untuk mengikuti pertukaran pelajar di Universitas Sabah Malaysia (2008). Pada tahun 2008, Penulis menerima penghargaan dari Ditjen Dikti dan Menteri Pendidikan Nasional sebagai Juara I Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………...
x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………… 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………… 1.3 Hipotesis ………………………………………………………... 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mencit ………………………………………………………….. 2.2 Enterobacter sakazakii …………………………………………. 2.2.1 Karakteristik Enterobacter sakazakii …………………….. 2.2.2 Habitat dan Sumber Penyebaran …………………………. 2.2.3 Kejadian Infeksi Enterobacter sakazakii ………………… 2.3 Usus …………………………………………………………….. 2.3.1 Anatomi dan Histologi Usus ……………………………... 2.3.2 Patologi Peradangan pada Usus ………………………….. 2.4 Cerebrum dan Medula Spinalis ………………………………… 2.4.1 Anatomi dan Histologi Cerebrum dan Medula Spinalis …. 2.4.2 Patologi Cerebrum dan Medula Spinalis ………………… 2.5 Limpa …………………………………………………………... 2.5.1 Anatomi dan Histologi Limpa ……………………………. 2.5.2 Patologi Limpa …………………………………………… 3. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………….. 3.2 Materi …………………………………………………………... 3.2.1 Hewan Coba ……………………………………………… 3.2.2 Isolat Enterobacter sakazakii …………………………….. 3.2.3 Bahan dan Alat …………………………………………… 3.3 Prosedur Penelitian …………………………………………….. 3.3.1 Adaptasi, Pre-Treatment, dan Perkawinan Mencit Parental 3.3.2 Pembuatan Suspensi Enterobacter sakazakii …………….. 3.3.3 Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit Neonatus …... 3.3.4 Pembuatan Sediaan Histopatologi ……………………….. 3.3.5 Pengamatan Histopatologi ……………………………….. 3.3.6 Analisis Data ……………………………………………...
1 2 2 3 4 4 6 7 9 9 12 14 14 18 20 20 21 23 23 23 23 23 24 24 25 26 27 28 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morbiditas dan Mortalitas ……………………………………… 4.2 Perubahan Histopatologis Usus ………………………………... 4.2.1 Deskuamasi Epitel dan Udema Lamina propria ………….. 4.2.2 Sel Radang ……………………………………………….. 4.3 Perubahan Histopatologis Cerebrum dan Medula Spinalis …….. 4.4 Perubahan Histopatologis Limpa ………………………………. 4.5 Gambaran Umum Pengamatan Histopatologi Akibat Infeksi Enterobacter sakazakii …………………………………………. 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan …………………………………………………….. 5.2 Saran ……………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. LAMPIRAN ……………………………………………………………
31 33 33 36 38 44 47 51 51 52 59
DAFTAR TABEL
Nomor 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Halaman Sumber penyebaran Enterobacter sakazakii …………………. Laporan kejadian Enterobacter sakazakii dalam makanan dan susu bayi ……………………………………………………... Laporan kejadian akibat infeksi E. sakazakii ………………… Perlakuan terhadap enam kelompok anak mencit usia satu minggu ……………………………………………………….. Hasil pengamatan jumlah kematian dan perubahan patologi anatomi mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………………... Rataan jumlah skoring berdasarkan peringkat dengan uji Kruskal-Wallis untuk deskuamasi epitel pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………………………... Rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………………………………….. Rataan jumlah mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………………………………….. Rataan jumlah limfoid folikel dan megakaryosit pada limpa mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………………………………….. Rataan jumlah skoring berdasarkan uji Kruskal-Wallis untuk deplesi folikel limfoid, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang pada limpa mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral …...
6 7 8 26 32
34 36 41 44
44
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Induk mencit dan mencit neonatus usia tujuh hari ……..
3
2
Enterobacter sakazakii …………………………………
5
3
Histologi usus halus (duodenum) mamalia (babi) ……...
10
4
Histologi usus halus dan usus besar secara skematis …...
10
5
Cerebrum dan medula spinalis ………………………….
14
6
Lapisan pembentuk cortex cerebri secara skematis ……
15
7
Meningen ……………………………………………….
16
8
17
9
Neuron dan neuroglia pada sistem saraf pusat dengan pewarnaan luxol blue dan hematoksilin ………………... Neuron dan neuroglia secara skematis ………………….
10
Limpa …………………………………………………...
20
11
Teknik pemotongan mencit neonatus secara skematis …
27
12
Penimbunan cairan di otak pada mecit neonatus yang diinfeksikan Enterobacter sakazakii …………………… Usus halus dan usus besar mencit neonatus kontrol …… Usus halus mencit neonatus yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml ………………………... Grafik rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral ………….. Meningen cerebrum mencit kontrol yang normal, dan meningitis pada mencit yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml ………………………………… Medula spinalis mencit neonatus kontrol dan yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml …… Grafik rataan jumlah sel mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Limpa normal pada mencit kontrol (kiri) dan splenitis sepsis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml ………………………... Splenitis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis infeksi 106 cfu/ml ………………………...
13 14 15 16 17 18 19 20
18
31 35 35 36 39 39 42 46 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Pemberian Obat pada Mencit ……………………………..
2
Sidik Ragam (Anova:single factor) pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda …………… Uji Wilayah-Berganda Duncan pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda ……………
3 4
Uji Kruskal-Wallis pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda ………………………………….
60 62 66 69
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Enterobacter sakazakii merupakan emerging pathogen yang lebih dari dua puluh tahun terakhir ini dilaporkan menyebabkan beberapa kasus kematian serta penyakit pada bayi. Pada umumnya, laporan mengenai infeksi E. sakazakii menunjukkan bahwa E. sakazakii menyebabkan meningitis, enterokolitis nekrotikan dan sepsis pada neonatus (Lai 2001; Bar-Oz et al. 2001; Taylor 2002; Iversen dan Forsythe 2003). Kelompok bayi yang memiliki resiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (still birth hingga umur 28 hari), bayi immunocompromised, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Kane 2004). Sampai saat ini kasus E. sakazakii yang tercatat dan dilaporkan relatif sedikit. Walaupun demikian, E. sakazakii harus mendapatkan perhatian yang serius karena dapat menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf, fisik dan mental pada bayi yang terinfeksi (Lai 2001) dan angka mortalitasnya tinggi yaitu 40-80% (Pagotto et al. 2003). Habitat alami E. sakazakii sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Enterobacter sakazakii sering ditemukan sebagi salah satu kontaminan dalam 935% susu bubuk formula , 44% sereal, 27% tepung kentang, 23% produk pasta, 31 % peralatan dapur dan tidak ditemukan dalam bubuk rempah-rempah (Kandhai 2004). Selama ini, penelitian mengenai E. sakazakii lebih banyak dilakukan di negara maju dibandingkan di negara berkembang. Data penelitian mengenai E. sakazakii di Indonesia masih terbatas. Hasil penelitian E. sakazakii di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pencemaran E. sakazakii dalam makanan bayi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 13.5% (Estuningsih et al. 2006) dan pada susu formula sebesar 6.52% (Estuningsih 2004). Pada tahun 2006, sebanyak 5 dari 22 atau 22.73% susu formula dan 6 dari 15 atau 40% produk makanan bayi di Indonesia positif terkontaminasi E. sakazakii (Estuningsih et al. 2007). Akibat
minimnya pengetahuan mengenai bahaya E. sakazakii, maka kepedulian terhadap emerging pathogen ini di Indonesia belum tinggi. Penelitian mengenai E. sakazakii yang telah dilakukan umumnya menyangkut aspek mikrobiologi sedangkan patogenitas dan kerusakan jaringan yang terjadi belum dipelajari. Hasil penelitian Pagotto et al. (2003), menunjukkan bahwa faktor virulensi E. sakazakii adalah enterotoksinnya. Namun, studi mengenai perubahan histopatologis jaringan atau organ belum diketahui dengan terperinci. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan studi mengenai perubahan histopatologis akibat infeksi akut E. sakazakii, yang antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan mencit neonatus sebagai hewan model.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu mempelajari histopatologi beberapa organ yaitu usus, otak (khususnya cerebrum), medula spinalis, dan limpa pada mencit neonatus yang diduga mengalami perubahan patologis yang masih akut akibat infeksi E. sakazakii. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan gambaran kerusakan organ akibat infeksi E. sakazakii. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menyediakan basis data mengenai E. sakazakii sehingga dapat membantu pengembangan penelitian lebih lanjut dalam mengurangi resiko dan menanggulangi patogenitas bakteri ini.
1.3 Hipotesis H0 :
Tidak terdapat perbedaan gambaran histopatologis pada usus, sistem saraf pusat (cerebrum dan medula spinalis), dan limpa antara mencit neonatus kontrol (tidak diinfeksi oleh E. sakazakii) dengan mencit neonatus yang diberi perlakuan (diinfeksi oleh E. sakazakii).
H1 :
Terdapat perbedaan gambaran histopatologis pada usus, sistem saraf pusat (cerebrum dan medula spinalis), dan limpa antara mencit neonatus kontrol (tidak diinfeksi oleh E. sakazakii) dengan mencit neonatus yang diberi perlakuan (diinfeksi oleh E. sakazakii).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mencit Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mencit neonatus (Gambar 1). Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke19. Hingga kini, mencit menjadi hewan penelitian yang paling banyak dipakai untuk
mempelajari
teratologi,
genetik,
gerontologi,
toksikologi,
dan
karsinogenitas. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran kecil, harganya relatif murah, dan mudah dipelihara (Sirois 2005).
Gambar 1 Induk mencit dan mencit neonatus usia tujuh hari. Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Besselsen 2004): kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
subordo
: Sciurognathi
famili
: Muridae
subfamili
: Murinae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus
Smith
dan
Mangkoewidjojo
(1988)
menyatakan
bahwa
mencit
laboratorium merupakan hewan yang semarga dengan mencit liar atau mencit rumah (domestik). Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui pengembangbiakan selektif. Mencit dimasukkan dalam ordo rodensia karena memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam dengan sendirinya. Mencit adalah hewan crepuscular yang akan lebih aktif pada senja dan malam hari. Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, bahkan beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan masa produksi ekonomisnya selama sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada hari ke-35. Setelah usia delapan minggu mencit sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingan mencit adalah 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium dapat dikandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium atau baja tahan karat (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
2.2 Enterobacter sakazaki 2.2.1
Karakteristik Enterobacter sakazakii Enterobacter sakazakii (Gambar 2) merupakan bakteri gram negatif
anaerob fakultatif, berbentuk koliform (kokoid), dan tidak membentuk spora (Lai 2001; Iversen dan Forsythe 2003). Bakteri ini termasuk dalam famili Enterobacteriaceae (Taylor 2002). Sampai tahun 1980 E. sakazakii dikenal dengan nama Enterobacter cloacae berpigmen kuning (van Acker et al. 2001).
Farmer et al. (1980) mengukuhkan bakteri ini dalam genus Enterobacter sebagai suatu spesies baru yang diberi nama Enterobacter sakazakii untuk menghargai seorang bakteriolog Jepang bernama Riichi Sakazakii. Reklasifikasi ini dilakukan berdasarkan studi DNA hibridisasi yang menunjukkan kemiripan 41% dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan Enterobacter cloacae.
Gambar 2 Enterobacter sakazakii (http://www.marlerblog.com). Iversen et al. (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan yang filogenetik dari E. sakazakii mengunakan 16S ribosomal DNA (rDNA) dan peruntunan hsp60. Masing-masing analisa membagi strain E. sakazakii menjadi empat kluster yang menandakan heterogenitas substansiil secara taksonomi. Strain E. sakazakii tipe 16S rDNA menunjukkan 97.8% kesamaan urutan DNA dengan Citrobacter koseri namun juga 97.0% kesamaan urutan dengan E. cloacae. Mekanisme spesifik patogenitas yang menjelaskan tentang sifat virulen E. sakazakii belum dapat teridentifikasi, namun diketahui bahwa bakteri ini memiliki kesamaan respon imunologi dengan Escherichia coli dan coliform lain. Berdasarkan uji DNA hibridisasi, ternyata terdapat kesamaan DNA hingga 50% antara E. sakazakii dengan Citrobacter diversus (Farmer et al. 1980). Menurut Iversen et al. (2004), E. sakazakii bersifat lebih resisten terhadap pengeringan dan stres osmotik dibandingkan dengan spesies lain dari Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki tingkat adaptasi yang tinggi untuk berkembang pada kisaran temperatur 37- 440C. Namun bakteri ini tidak termasuk dalam golongan tahan panas karena dapat mati pada temperatur 600C.
Enterobacter sakazakii memiliki kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik sehingga mengurangi kemampuan eliminasi oleh tubuh. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan E. sakazakii mampu bertahan dalam proses lingkungan yaitu respon terhadap pengeringan, toleransi terhadap
pemanasan,
menghasilkan
suatu
bentuk
polisakarida
yang
memungkinkan terjadinya perlekatan, dan membentuk sebuah biofilm yang menyebabkan resisten terhadap bahan pembersih dan disinfektan (Hassel 2004). Farmer et al. (1980) menemukan bahwa seluruh galur E. sakazakii rentan terhadap gentamycin, kanamycin, chloramphenicol, dan ampicilin; lebih dari 87% E. sakazakii bersifat rentan terhadap nalidixic acid, streptomycin, tetracycline, dan carbenicilin; 71 dan 67% bersifat rentan terhadap sulfadiazine dan colistin; hanya 13% yang bersifat rentan terhadap cephalothin. Seluruh galur bersifat resisten terhadap penicillin; hanya satu dari lebih dari 100 galur yang diuji menunjukkan resistensi terhadap antibiotik berganda.
2.2.2 Habitat dan Sumber Penyebaran Berdasarkan temuan para peneliti diketahui bahwa E. sakazakii dapat bersumber dari lingkungan dan berbagai makanan (Tabel 1). Enterobacter sakazakii bukan merupakan mikroorganisme normal pada saluran pencernaan hewan dan manusia, sehingga disinyalir bahwa tanah, air, sayuran, tikus dan lalat merupakan sumber infeksi (Iversen dan Forsythe 2003). Enterobacter sakazakii juga ditemukan sebagai salah satu kontaminan dalam berbagai produk makanan (Hassel 2004). Tabel 1 Sumber penyebaran Enterobacter sakazakii Lingkungan Sumber makanan dan peralatan Minyak mentah Daging mentah Lalat Gelas bir Peralatan pembuatan makanan Susu bayi (susu sapi dan kedelai) Peralatan rumah sakit Beras Tanah Tahu Air Susu bubuk Tikus Sayur-sayuran (Iversen dan Forsythe 2003; Hassel 2004)
Enterobacter sakazakii ditemukan sebesar 9-35% dalam susu bubuk formula, 44% dalam sereal, 27% dalam tepung kentang, 23% dalam produk pasta, 31% dalam peralatan dapur dan tidak ditemukan dalam rempah-rempah (Kandhai et al. 2004). Organisme ini telah diisolasi dari berbagai makanan termasuk keju, roti, tahu, teh asam, daging yang dikuring, dan sosis. Enterobacter sakazakii juga ditemukan pada khamir roti karena organisme ini merupakan bagian dari flora permukaan biji sorghum (Gassem 1999 dalam Iversen dan Forsythe 2003). Selain itu, organisme ini ditemukan pada biji padi (Cottyn et al. 2001 dalam Iversen dan Forsythe 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran E. sakazakii dalam makanan bayi di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 13.5% (Estuningsih et al. 2006) dan pada susu formula sebesar 6.52% (Estuningsih 2004). Pada tahun 2006, sebanyak 5 dari 22 atau 22.73% susu formula dan 6 dari 15 atau 40% produk makanan bayi di Indonesia positif terkontaminasi E. sakazakii (Estuningsih et al. 2007). Adapun laporan kejadian E. Sakazakii dalam makanan dan susu bayi di beberapa negara disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Laporan kejadian Enterobacter sakazakii dalam makanan dan susu bayi Negara USA Netherlands Czechia 35 negara Canada USA Israel
Produk terkontaminasi Susu bubuk Susu bubuk rekonstitusi, susu bubuk formula Susu bubuk formula Susu bubuk pengganti ASI Susu bubuk rekonstitusi, susu bubuk formula Susu bubuk formula Susu bubuk formula, blender
Referensi Farmer et al. (1980) Muytjens et al. (1983) Postupa and Aldova (1984) Muytjens et al. (1988) Nazarowec-White dan Farber (1997) Simmons et al. (1989) Bar-Oz et al. (2001); Block et al. (2002)
2.2.3 Kejadian Infeksi Enterobacter sakazakii Bayi neonatus lebih rentan terinfeksi E. sakasakii dibandingan individu dewasa. Menurut Kane (2004), kelompok bayi yang memiliki resiko tertinggi terinfeksi E. sakazakii yaitu neonatus (still birth hingga umur 28 hari), bayi immunocompromised, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Berdasarkan 31 literatur, kasus E. sakazakii di Inggris (1960-1999) terjadi pada kisaran umur 3 hari hingga 4 tahun. Tingkat infeksi pada umur ≤ 1 minggu mencapai 50%, < 1 bulan mencapai 75%. Sebanyak 55% infan yang terinfeksi E. sakazakii memiliki berat badan ≤ 2,5kg, sedangkan 75% merupakan bayi prematur atau bayi yang mengalami komplikasi peripartum (Lai 2001). Laporan mengenai infeksi E. sakazakii menunjukkan bahwa bakteri ini dapat menyebabkan meningitis dan enterokolitis nekrotikan pada neonatus (Taylor 2002). Sebanyak enam dari dua belas neonatus yang mengalami enterokolitis nekrotikan positif terhadap kultur E. sakazakii (van Acker et al. 2001). Gangguan sistem saraf akibat E. sakazakii antara lain meningitis (khususnya ventrikulitis), abses otak, pembentukan kiste, dan hidrosephalus (Lai 2001; Bar-Oz et al. 2001). Enterobacter sakazakii merupakan agen kausatif meningoensephalitis pada bayi yang berusia lima minggu (Kleimen et al 1981 dalam Pagotto et al. 2003). Semua pasien yang mengalami infeksi sistem saraf pusat akibat E. sakazakii akan mengalami hambatan dalam perkembangan fisik dan mental (Lai 2001). Selain gangguan pada sistem saraf dan peradangan pada usus, E. sakazakii juga menyebabkan sepsis (Muytjens et al. 1983; Muytjens dan Kollee 1990; Bar-Oz et al. 2001; Kane 2004). Adapun beberapa laporan kejadian akibat infeksi E. sakazakii dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Laporan kejadian akibat infeksi E. sakazakii Negara Belanda USA
Jumlah neonatal/bayi 8 4
Jumlah Kematian 6 0
Iceland Israel
3 2
2 0
Belgia
12
2
Gejala Klinis Meningitis Sepsis, diare berdarah Meningitis Bakterimia, meningitis Enterokolitis
Referensi Muytjens et al. (1983) Simmons et al. (1989) Biering et al. (1989) Bar-Oz et al. (2001); Block et al. (2002) van Acker et al. (2001)
Sinave (2003) menyatakan bahwa, Enterobacter sp. terutama Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes adalah patogen nosocomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi termasuk bakteremia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi traktus
urinarius, infeksi intra-abdominal, endokarditis, artritis sepsis, osteomyelitis, dan infeksi optalmik. Menurut Iversen dan Forsythe (2003), secara umum bakteri pada genus Enterobacter merupakan penyebab 50% kasus infeksi nosocomial. Faktorfaktor predisposisi infeksi-infeksi tersebut adalah waktu perawatan di rumah sakit yang lama, terutama dalam ruang Unit Gawat Darurat; perlakuan lebih dahulu dengan antibiotik, kelemahan yang umum, dan imunosupresi (Sinave 2003). Mortalitas akibat infeksi E. sakazakii mencapai 40-80% (Pagotto et al. 2003). Sebanyak 50% pasien yang dilaporkan menderita infeksi E. sakazakii meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa (Lai 2001). Hingga kini belum ada penentuan dosis infeksi E. sakazakii, namun sebesar 3 cfu/100 gram dapat digunakan sebagai perkiraan awal dosis infeksi (Iversen dan Forsythe 2003).
2.3 Usus 2.3.1 Anatomi dan Histologi Usus Usus merupakan salah satu organ sistem pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah makanan menjadi lebih kecil dan sederhana yang dapat diserap oleh sirkulasi tubuh guna menunjang kehidupan organisme (Frappier 2006). Gabungan antara usus halus dan usus besar merupakan salah satu organ terbesar pada mencit. Panjang usus halus (pilorus sampai sekum) mencit dewasa kira-kira 35 cm, sedangkan panjang usus besar (kolon dan sekum) mencit dewasa kira-kira 14 cm (Shackelford dan Elwell 1999). Usus halus merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus ke usus besar. Secara makroskopis, usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum yang kontinyu satu sama lain dan pada dasarnya mempunyai struktur histologis hampir sama (Genesser 1994). Lapisan-lapisan penyusun dinding usus halus mulai dari dalam ke luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006) (Gambar 3, Gambar 4).
Gambar 3 Histologi usus halus (duodenum) mamalia (babi) (Eurell dan Frapier 2006). Keterangan: (L) lumen, (E) epitel, (LP) propria mukosa utuh, (MM) muskularis mukosa, (V) vili usus, (K) kripta usus, (TM) tunika muskularis.
Gambar 4 Histologi usus halus (1) dan usus besar (2) secara skematis (Eurell dan Frapier 2006). Keterangan: (E) epitel, (F) lamina propria, (G) lamina muskularis, (H) Tela submukosa, (I) tunika muskularis lapis sirkuler, (J) tunika muskularis lapis longitudinal, (K) serosa, (PP) Daun Payer.
Tunika mukosa terdiri atas epitel, berbagai kelenjar dan lamina propria (Frappier 2006). Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel Paneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri atas jaringan ikat retikular dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf, maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999).
Menurut Dellmann dan Brown (1992), pencernaan di usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili. Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri khas usus halus. Tinggi vili ini bervariasi tergantung pada daerah dan jenis hewannya. Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedangkan pada sapi vili pendek dan lebar. Panjang vili usus halus pada mencit neonatus lebih pendek dibandingkan mencit dewasa (Shackelford dan Elwell 1999). Akhirnya, permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus sehingga penyerapan lebih efisien (Dellmann dan Brown 1992). Di antara dasar-dasar vili terdapat kelenjar-kelenjar yang meluas ke dalam bagian bawah mukosa yang disebut kripta. Sel-sel kripta menyediakan sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel permukaan vili yang terbuang ke dalam lumen usus (Bevelander dan Ramaley 1988). Pada mencit dewasa, sel kripta epitel usus membagi setiap 10-14 jam dan waktu transit sel dari kripta ke ujung vili terjadi selama 48 jam (Shackelford dan Elwell 1999). Tunika submukosa terdiri atas jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan pembuluh limfe yang lebih besar. Pada duodenum terdapat kelenjar Brunner (Genesser 1994). Pada hewan dewasa, di lapisan ini ditemukan banyak limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil, dan sel mast (Shackelford dan Elwell 1999). Tunika muskularis terdiri atas lapisan eksterna yang mempunyai serabut otot longitudinal dan lapisan interna yang mempunyai serabut otot halus berbentuk sirkuler (Shackelford dan Elwell 1999). Kedua lapisan ini dipisahkan oleh suatu jaringan ikat berisi pleksus saraf parasimpatis yang disebut plexus Mienterikus atau Auerbach’s (Genesser 1994). Suplai darah untuk usus halus diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa (Frappier 2006). Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa terdiri atas lapis mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Genesser 1994; Frappier 2006). Usus besar dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu sekum (termasuk usus buntu), kolon dan rektum dengan saluran anal (Genesser 1994). Fungsi usus besar menurut Underwood (1992), yaitu (1) menyimpan dan eliminasi sisa makanan,
(2) menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, dan (3) mendegradasi bakteri. Secara makroskopis usus besar dapat dibagi menjadi enam bagian, yaitu sekum, kolon asenden, kolon transversus, kolon desenden, sigmoid, dan rektum (Underwood 1992). Keenam bagian ini sulit dibedakan secara histologis. Karakteristik utama pada sekum, kolon, dan rektum yaitu tidak membentuk vili seperti usus halus, memiliki kelenjar yang panjang dan berbentuk tubuli sederhana, tidak memiliki sel granuler asidofilik (sel Panneth), dan memiliki jumlah nodul limfatik yang banyak (Frappier 2006). Menurut Genesser (1994), gambaran histologis usus besar secara umum yaitu mengandung kripta Lieberkuhn yang lebih panjang dan lebih lurus pada tunika mukosa dibandingkan dengan usus halus. Epitel usus besar berbentuk silinder dan mengandung jauh lebih banyak sel Goblet dibandingkan usus halus. Lamina propria usus besar terdiri atas jaringan ikat retikuler dan nodulus limfatikus. Seperti pada usus halus, tunika muskularis mukosa pada usus besar terdiri atas lapisan sirkular sebelah dalam dan lapisan longitudinal sebelah luar. Tunika mukosa terdiri atas jaringan ikat longgar, lemak, dan pleksus Meissner. Di sebelah luar tunika mukosa terdapat tunika muskularis eksterna dan tunika serosa. Tunika serosa ini terdiri atas mesotelium dan jaringan ikat subserosa. Suplai pembuluh darah untuk usus besar berasal dari arteri mesenterica inferior dan superior. Pembagian suplai darah usus besar yaitu sebagai berikut: (1) sekum, kolon asenden, dan kolon transversus proksimal disuplai oleh cabang dari arteri mesenterica superior, (2) kolon transversus distalis, kolon desenden, colon sigmoid dan rektum bagian atas disuplai oleh cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan (3) sisa rektum disuplai oleh arteri rektalis tengah dan inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaca interna dan arteri pudenda interna (Underwood 1992). Pengetahuan mengenai suplai darah ini penting untuk mengetahui bagian dan konsekuensi dari iskemia.
2.3.2 Patologi Peradangan pada Usus Peradangan pada usus disebut enteritis, sedangkan peradangan pada usus dan kolon disebut enterokolitis. Apabila peradangan ini membentuk jaringan nekrosa maka disebut enterokolitis nekrotikan. Enterokolitis nekrotikan
merupakan salah satu penyakit yang dapat disebabkan oleh E. sakazakii (Taylor 2002). Enterokolitis nekrotikan akibat E. sakazakii dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu iskemia usus, kolonisasi mikroba di usus, dan kelebihan substrat protein di dalam lumen usus (van Acker et al. 2001). Enterokolitis nekrotikan dikenal sebagai penyakit gastrointestinal yang paling banyak diderita oleh neonatus. Tingkat mortalitas akibat enterokolitis nekrotikan pada bayi manusia yang prematur antara 40-100%, pada bayi yang memiliki berat badan kurang dari 1.500 gram berkisar antara 10-44%, dan bayi yang memiliki berat badan lebih dari 2.500 gram antara 0-20%. Beberapa gejala yang dapat diamati akibat enterokolitis nekrotikan yaitu intoleransi makanan, penundaan pengosongan lambung, pembesaran abdomen, dan eritrema dinding abdomen (Springer dan Annibale 2006). Beberapa indikator terjadinya peradangan pada usus yaitu vili usus menjadi lebih panjang, dinding usus menebal, dan jumlah jaringan limfatik menjadi lebih banyak (Shackelford dan Elwell 1999). Berdasarkan gambaran histopatologi, pada inflamasi akut terjadi edema di lamina propia disertai infiltrasi leukosit dalam jumlah yang ringan dan didominasi neutrofil. Selain itu, ruang antar vili dan kripta menjadi lebih lebar. Pada infeksi kronis, infiltrasi sel radang didominasi limfosit dan sel plasma, serta penyebaran kripta menjadi lebih lebar karena berisi leukosit dan sel debris. Dalam beberapa kasus, dapat terjadi inflamasi akut dan kronis secara bersamaan disertai nekrosa, trombosis, dan mineralisasi (Shackelford dan Elwell 1999). Peradangan dapat menyebabkan terjadinya erosi dan ulcer di usus. Istilah erosi digunakan untuk menggambarkan hilangnya epitel usus pada fokus tertentu tanpa disertai hilangnya muskularis mukosa. Sedangkan ulcer digunakan untuk menggambarkan kerusakan epitel sampai muskularis mukosa atau bahkan lebih dalam lagi. Lesi ulcer biasanya terjadi pada lapisan submukosa atau mukosa dan kadangkala disertai adanya edema. Pada tepi ulcer biasanya terjadi hiperplasia epitel mukosa (Shackelford dan Elwell 1999). Selain akibat bakteri, peradangan usus dapat disebabkan oleh parasit, jamur (kapang dan khamir), virus, sistem autoimun, atau bahan toksik.
2.4. Cerebrum dan Medula Spinalis 2.4.1 Anatomi dan Histologi Cerebrum dan Medula Spinalis Sistem saraf dapat dibedakan menjadi sistem saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan sistem saraf tepi (nervus cranialis, spinalis termasuk ganglia, dan serabut saraf) (Beitz dan Fletcher 2006). Otak dapat dibagi menjadi batang otak, cerebellum (otak kecil) dan cerebrum (otak besar) (Aughey dan Frye 2001; Beitz dan Fletcher 2006). Otak mencit divaskularisasi oleh arteri carotis interna (Radovsky dan Mahler 1999). Apabila otak disayat, dapat dibedakan adanya bagian substansia putih, substansia abu-abu, dan campuran substansia putih dan abu-abu (Gambar 5). Substansia putih mengandung banyak akson bermyelin, sedangkan substansia abu-abu mengandung badan sel saraf, neurofil dan neuroglia (Beitz dan Fletcher 2006). Neurofil merupakan bagian non-anatomik otak pada pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) yang mencakup bagian otak selain badan neuron dan inti sel-sel neuroglia.
Gambar 5 Cerebrum (kiri) dan medula spinalis (kanan) (Eurell dan Frappier 2006). Keterangan: (g) girus, (s) sulcus, (sp) substansia putih, (sa) substansia abuabu, (m) meningen.
Pengamatan otak pada penelitian ini dilakukan terhadap cerebrum dan medula spinalis. Permukaan cerebrum membentuk bukit ke arah meningen (girus) dan lekukan ke dalam (sulcus) (Radovsky dan Mahler 1999) (Gambar 5). Lapisan
superfisial cerebrum berupa substansia abu-abu, yang disebut juga cortex cerebri, sedangkan lapisan profundal berupa substansia putih (Aughey dan Frye 2001). Adapun keenam lapisan pembentuk cortex cerebri berdasarkan morfologi dari sel neuron yang membentuknya (Gambar 6) dari lapisan superfisial sampai profundal yaitu (1) lapisan molekuler, (2) lapisan granuler eksternal, (3) lapisan piramidal eksternal, (4) lapisan granuler internal, (5) lapisan piramidal internal, dan (6) lapisan multiform (Beitz dan Fletcher 2006). Berbeda dengan cerebrum, lapisan superfisial medula spinalis berupa substansia putih, sedangkan lapisan profundalnya berupa substansia abu-abu (Aughey dan Frye 2001).
Gambar 6 Lapisan pembentuk cortex cerebri secara skematis (Eurell dan Frappier 2006). Keterangan: (I) lapisan molekuler, (II) lapisan granuler eksternal, (III) lapisan piramidal eksternal, (IV) lapisan granuler internal, (V) lapisan piramidal internal, (VI) lapisan multiform, (wm) substansia putih.
Otak
maupun
medula
spinalis
dibungkus
oleh
meningen
yang
mengandung unsur kolagen dan fibril yang elastis (Radovsky dan Mahler 1999) serta cairan cerebrospinal (Beitz dan Fletcher 2006). Dari superfisial ke profundal, terdapat tiga lapisan meningen, yaitu dura mater, arachnoid dan pia mater (Gambar 7).
Gambar 7 Meningen (Eurell dan Frappier 2006). Keterangan: (a) tulang, (b) dura mater, (c) arachnoid, (d) sub arachnoid, (e) pia mater, (f) pembuluh darah, (g) otak.
Dura mater kadangkala disebut pachimeningen karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada dura mater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid. Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen (Beitz dan Fletcher 2006). Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural (Junquera dan Carneiro 1988). Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan cerebrospinal ke darah sinus venous (Junquera dan Carneiro 1988; Bevelander dan Ramaley 1988). Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang menembus otak (Beitz dan Fletcher 2006). Secara histologis, jaringan parenkim saraf terdiri dari neuron (sel saraf) sebagai unit fungsional dan struktural sistem saraf serta neuroglia sebagai jaringan penyokong (Beitz dan Fletcher 2006). Secara morfologis, bagian-bagian neuron terdiri atas badan sel saraf (perikaryon) dan pejuluran sel saraf (akson dan dendrit). Nukleus sel saraf terletak di tengah, berbentuk sperikal atau ovoid dan
cenderung eukromatik. Akson merupakan awal segmen saraf dan berakhir di cabang terminal atau dendrit neuron yang lain. Akson berbentuk silinder, panjang, diselubungi myelin dan mengandung sel Schwann dan Nodus Ranvier. Dendrit lebih pendek daripada akson namun berjumlah lebih banyak. Dendrit akan menerima stimulus elektris dari ujung akson dari neuron yang lain. Pada pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), hanya dapat dilihat badan sel dengan inti sel neuron (Aughey dan Frye 2001). Neuroglia (Gambar 8, Gambar 9) merupakan jaringan penyokong susunan saraf yang memiliki banyak penjuluran (serabut) dan terdiri atas astrosit, oligodendrosit, mikroglia, sel ependimal, sel Schwann, sel satelit dan kapsula (Beitz dan Fletcher 2006). Astrosit berwarna pucat, bernukleus ovoid dan merupakan jenis neuroglia terbanyak. Dengan pewarnaan HE astrosit hanya tampak intinya saja dengan kromatin halus tanpa nukleolus. Oligodendrosit berinti bulat, piknotik, bercabang banyak dan lebih kecil daripada astrosit (Radovsky dan Mahler 1999). Mikroglia memiliki inti kromofilik berukuran kecil berbentuk bulat atau lonjong. Sel ependim berbentuk silinder atau kubus dan memiliki silia yang motil. Sel Schwan merupakan pembungkus akson dan pembentuk mielin. Sel satelit dan kapsula nengelilingi badan sel ganglion (Beitz dan Fletcher 2006).
Gambar 8 Neuron dan neuroglia pada sistem saraf pusat dengan pewarnaan luxol blue dan hematoksilin (Eurell dan Frappier 2006). Keterangan: (n) inti sel neuron, (m) mikroglia, (a) astrosit, (o) oligodendrosit .
Gambar 9 Neuron dan neuroglia secara skematis (Fox 2004).
2.4.2 Patologi Cerebrum dan Medula Spinalis Dalam kondisi normal, sistem saraf pusat (SSP) steril. Apabila SSP terinfeksi suatu agen maka infeksi akan menyebar dan antara lain mengakibatkan peradangan pada meningen (meningitis). Meningitis terutama terjadi pada bagian subarachinoid yang melibatkan arachnoid dan pia mater. Namun tidak menutup kemungkinan bila meningitis juga terjadi di dura mater (Ironside 1994). Meningitis dapat disebabkan oleh beragam agen, misalnya bakteri, virus, fungi dan protozoa (Percy dan Barthold 2001). Lebih dari dua pertiga kasus meningitis manusia pada neonatus di negara maju disebabkan oleh Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif berbentuk batang di usus (Saez-Liorens dan McCracken 2003). Macfarlane et al. (2000) membagi meningitis oleh bakteri menjadi dua tipe yaitu meningitis pyogenik dan meningtis granulomatous. Meningitis pyogenik dapat disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus, sedangkan meningitis granulomatous dapat disebabkan oleh Tubercle bacillus dan Treponema pallidum. Apabila meningitis akibat bakteri yang bersifat akut tidak diobati, maka terjadi peningkatan cairan di ventrikel otak dan penyebaran bakteri lewat aliran cairan serebrospinal yang mengakibatkan kehilangan kesadaran bahkan kematian. Ciri meningitis secara histopatologi yaitu adanya infiltrasi sel radang di meningen.
Cairan serebrospinal pada meningitis bakterial mengandung banyak netrofil, bakteri, protein dalam konsentrasi tinggi, namun glukosa dalam konsentrasi rendah (Ironside 1994). Komplikasi bakterial meningitis berupa infark otak,
hidrosephalus
obstruktif,
subdural
empyema,
epilepsi,
serebral
tromboplebitis dan abses. Pus tergenang pada sulkus serebralis dan di sekitar dasar otak maupun di medula spinalis. Pembuluh darah pada meningen mengalami kongesti disertai hemoragi perivaskular. Patologi otak manusia pada neonatal manusia akibat infeksi E. sakazakii menunjukkan abses pada serebral, infark, formasi kiste dengan berbagai gangguan saraf (Lai 2001). Selain pengamatan terhadap meningen, kondisi patologis pada otak dapat dilakukan dengan mengamati neuron dan neuroglia yang memiliki hubungan yang sangat kompleks dan vital. Seringkali reaksi pada neuroglia memberikan gambaran terbaik mengenai kondisi patologis sistem saraf (Radovsky dan Mahler 1999). Encephalitis adalah peradangan substansi otak dengan ciri adanya infiltrasi sel-sel radang perivaskuler (perivasculer cuffing) dan gliosis. Gliosis merupakan peningkatan jumlah sel glia yang biasanya mencakup respon astrosit yang mencolok. Gliosis dapat terfokus atau difus. Selain itu, bila terjadi infeksi SSP maka sel glia akan berkumpul di tempat terjadinya lesi atau mengubah bentuk dan fungsinya (Damjanov 2000). Menurut Damjanov (2000), kerusakan SSP akibat infeksi mikroorganisme menyebabkan sel mikroglia memfagosit sel-sel mati atau rusak pada SSP melalui pembentukan nodulus glia. Sel mikroglia yang dijumpai di sekitar infark atau abses otak memfagosit myelin kaya lemak sehingga sitoplasmanya bervakuol dan tampak berbusa. Sel ini disebut sel gitter. Malacia merupakan pelunakan atau pengempukan bagian atau jaringan. Di sistem saraf pusat, malacia merupakan tanda terjadi nekrosa jaringan saraf. Malacia di medula spinalis disebut myelomalacia sedangkan malacia di otak disebut encephalomalacia. Bila malacia terjadi di substansi abu-abu maka disebut poliomalacia, sedangkan malacia di substansi putih disebut leukomalacia (Koestner dan Jones 2006). Malacia antara lain dapat disebabkan oleh toksin bakteri, misalnya enterotoksemia akibat Clostridium sp. (Jubb et al. 1993).
2.5. Limpa 2.5.1 Anatomi dan Histologi Limpa Limpa termasuk salah satu organ sistem limfoid, selain timus, tonsil, dan kelenjar limfe (Aughey dan Frye 2001). Sistem limfoid berfungsi untuk melindungi tubuh dari invasi dan kerusakan akibat zat asing. Sel-sel pada sistem ini dikenal dengan sel imunokompeten yaitu sel yang mampu membedakan sel tubuh dengan zat asing dan menyelenggarakan inaktivasi atau destruksi bendabenda asing. Sel imunokompeten terdiri atas (1) sel utama bergerak, yakni sel limfosit dan makrofag, dan (2) sel utama menetap, yakni retikuloendotel dan sel plasma (Junqueira dan Carneiro 1982). Limpa merupakan ogan limfoid terbesar dan terletak di bagian dorsocranial rongga abdomen di antara diafragma dan lambung (Geneser 1994). Secara anatomis, tepi limpa yang normal berbentuk pipih. Fungsi limpa yaitu mengakumulasi limfosit dan makrofag, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah, dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah (Junqueira dan Carneiro 1982).
Gambar 10 Limpa (Eurell dan Frappier 2006). Keterangan: (c) kapsula, (t) trabekula, (m) pulpa merah, (p) pulpa putih.
Limpa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapisan, yaitu satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula. Trabekula mengandung arteri, vena, saraf, dan pembuluh limfe (Aughey dan Frye 2001). Parenkim limpa
disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih (Gambar 10). Pulpa merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa (Genesser 1994). Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofag, dan sel debri (Ward et al. 1999).
2.5.2 Patologi Limpa Peradangan limpa disebut splenitis. Patologi limpa akibat inflamasi dapat bersifat akut, kronis, granulomatous, atau abses. Hal ini biasanya dapat diamati di pulpa merah. Selain itu, inflamasi limpa sekunder dapat terjadi akibat tumor. Hemoragi dapat terjadi akibat paparan bahan kimia atau iradiasi. Metode euthanasi dapat menyebabkan kongesti. Secara histologis, terdapat kesulitan untuk membedakan hemoragi, kongesti, atau angiektasis dari kondisi fisiologis limpa karena organ ini memiliki banyak sel eritrosit (Ward et al. 1999). Peradangan yang sistemik akan menimbulkan respon limpa. Pada kondisi sepsis dan injeksi endotoksin atau bakteri gram negatif akan terjadi peningkatan akumulasi neutrofil di zona mantel dan sinus limpa. Pada area ini terjadi destruksi bakteri dan pengolahan antigen. Splenitis dan sepsis ditandai dengan pembesaran limpa, hiperemi akut, degenerasi dan aktivasi folikel limfoid, hiperplasia dan mobilisasi sel retikulum (Valli dan Parry 1993). Pada hewan muda, histopatologi splenitis akibat toksin yang akut yaitu adanya pusat germinal epiteloid. Selain itu, infeksi bakteri gram negative yang parah di saluran pencernaan pada hewan muda dapat menyebabkan terbentuknya fokus kolonisasi bakteri di limpa (Valli dan Parry 1993). Pada hewan yang lebih tua, histopatologi splenitis yaitu terjadi infiltrasi neutrofil pada zona mantel sinus dan penurunan populasi sel pada sentra germinativum. Selain itu terjadi transudasi cairan plasma protein ke dalam sentra germinativum, yang dikenal dengan hialinisasi intrafolikular (Valli dan Parry 1993). Menurut Cheville (1999), pada inflamasi akut, terjadi peningkatan permeabilitas endotel pembuluh darah. Hal ini terjadi karena efek kompleks dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang secara langsung mengaktivasi endotel
dan leukosit. Endotel yang teraktivasi meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi aliran protein plasma dan eksudat dari leukosit dari lumen pembuluh darah ke jaringan interstisial. Albumin, fibrinogen, dan protein plasma lainnya mengalir ke dalam jaringan dan dikenal dengan deposisi protein radang. Splenitis dapat berkembang menjadi sepsis, yaitu kondisi terjadinya inflamasi yang sistemik. Sepsis dapat dibedakan menjadi sepsis mikriptogenik dan sepsis hemoragik. Sepsis mikriptogenik adalah sepsis yang fokus infeksinya tidak nyata pada waktu masih hidup. Sedangkan sepsis hemoragik adalah sepsis yang ditandai dengan perdarahan pada berbagai organ dan jaringan tubuh. Salah satu penyebab septikemia hemoragik adalah Pasteurella multocoida. Selain itu, infeksi Streptococcus zooepidemicus pada hamster dewasa dapat menyebabkan limfadenitis dan septikemia (Percy dan Barthold 2001).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Januari 2007 sampai Mei 2008.
3.2 Materi 3.2.1 Hewan Coba Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tiga puluh mencit neonatus (Mus musculus albinus) berumur satu minggu dengan bobot awal 3-4,5 gram. Mencit neonatus tersebut diperoleh dari hasil perkawinan mencit parental (F1) dengan anak mencit F1 (in breeding).
3.2.2 Isolat Enterobacter sakazakii Penelitian ini menggunakan suspensi bakteri Enterobacter sakazakii koleksi Sri Estuningsih dari Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Isolat Enterobacter sakazakii tersebut telah teruji melalui penelitian sebelumnya sebagai isolat yang dapat menghasilkan enterotoksin tahan panas melalui uji in vitro untuk sitotoksik mengikuti Pagotto et al. (2003) (Grecilia 2008). Suspensi bakteri Enterobacter sakazakii yang digunakan diencerkan menggunakan Phosphate Buffer Saline (PBS) secara bertingkat sehingga diperoleh dosis 103 colony forming unit (cfu)/ml, 104 cfu/ml, 105 cfu/ml, 106 cfu/ml, dan 107 cfu/ml mengikuti metode Mc Farlane.
3.2.3 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk membuat suspensi bakteri E. sakazakii terdiri atas Tripsic Soy Agar (TSA), Brain Heart Infusion Broth (BHI Broth), Phosphate Buffer Saline (PBS), dan larutan standar Mc Farlane I. Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini yaitu pelet pakan
mencit hasil formulasi Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB, air mineral AQUA® untuk minum mencit, NaCl fisiologis,
anthelmentik
(Albendazol®),
antibiotik
(Amoxicilin®
dan
Ciprofloxacin®), dan akuades. Bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaan histopatologis yaitu sebagai berikut: larutan Mayers Hematoksilin, larutan Eosin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 100%), xilol, eter, Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%, parafin cair, albumin dan metanol. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ose, sentrifus, tabung reaksi, kandang mencit, kertas label, sekam kering, timbangan digital, kapas, syringe, sonde lambung Knopfkanüle buatan Jerman, kulkas, aluminium foil, anaerobic jar, stiroform, jarum pentul, cawan petri, dan peralatan bedah (gunting, pinset, dan skalpel). Peralatan untuk pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi terdiri atas tissue casset, automatic tissue processor, mikrotom, pencetak parafin, gelas objek, gelas penutup, mikroskop cahaya, dan alat mikrofotografi.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Adaptasi, Pre-Treatment, dan Perkawinan Mencit Parental Mencit neonatus yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil perkawinan mencit jantan dan mencit betina dewasa (mencit parental) yang telah dipelihara sebelumnya. Mencit parental yang digunakan berjumlah sepuluh ekor mencit betina dan dua ekor mencit jantan. Pemeliharaan mencit parental dilakukan dalam kandang plastik beralaskan sekam yang ditutup kawat untuk sirkulasi udara. Sebelum diberikan pre-treatment dan dikawinkan, dilakukan proses adaptasi mencit dalam kandang selama satu minggu. Selama masa adaptasi dan pre-treatment, pemeliharaan mencit jantan dan betina dilakukan secara terpisah sehingga perkawinan tidak terjadi. Mencit diberi pakan dan minum secara ad libitum. Pakan yang diberikan berbentuk pelet dan telah disterilisasi melalui proses iradiasi dengan kekuatan 10 kGray di Badan Tenaga Atom dan Nuklir (BATAN), Jakarta. Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan mencit maka kandang dan alas diganti dan dibersihkan setiap tiga hari sekali.
Mencit parental yang digunakan merupakan mencit Non-specific Pathogen Free
(NSPF)
dan
diberi
pre-treatment
sebelum
dikawinkan.
Sebagai
®
pre-treatment diberikan Amoxicilin dengan dosis 125 mg/kgBB selama lima hari berturut-turut, kemudian mencit diistirahatkan selama tiga hari. Setelah itu, mencit diberi Ciprofloxacin® dengan dosis 100 mg/kgBB selama tiga hari berturut-turut. Selain itu, sebagai anthelmentik diberikan Albendazole® 5% dengan dosis tunggal 10 mg/kg BB dengan 3 kali pengulangan berjarak satu minggu. Perkawinan mencit parental dilakukan dengan cara membagi mencit ke dalam dua kandang yang masing-masing berisi lima ekor mencit betina dan satu ekor mencit jantan. Apabila mencit betina menunjukkan tanda telah bunting, maka mencit betina tersebut ditempatkan di kandang terpisah. Kurang lebih 21 hari setelah dikawinkan, mencit betina melahirkan mencit neonatus yang tetap disatukan dengan induknya sampai akan diinfeksikan bakteri E. sakazakii.
3.3.2 Pembuatan Suspensi Enterobacter sakazakii Kultur Enterobacter sakazakii yang telah ada dibuat menjadi kultur baru dengan cara mengisolasi bakteri tersebut pada Tripsic Soy Agar (TSA) selama 24 jam. Selanjutnya hasil kultur E. sakazakii di TSA diisolasikan pada Brain Heart Infusion Broth (BHI Broth) selama 24 jam. Kemudian, kultur E. sakazakii dalam BHI Broth disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang sedangkan pelet dicuci menggunakan Phospate Buffer Saline (PBS) sebanyak tiga kali. Pada proses pencucian, larutan disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm selama 15 menit. Supernatan pada proses pencucian ketiga dibuang. Selanjutnya pada pelet ditambahkan PBS dengan jumlah tertentu sehingga kekeruhannya sama dengan larutan standar Mc Farlane I yang memiliki densitas bakteri sebanyak 3,0 x 108 cfu/ml. Dengan demikian, suspensi E. sakazakii yang terbentuk mengandung 108 cfu/ml. Untuk membuat suspensi E. sakazakii dengan densitas yang lebih rendah maka suspensi E. sakazakii diencerkan dengan PBS. Yaitu, untuk membuat suspensi E. sakakzakii 107 cfu/ml maka sebanyak 1 ml suspensi E. sakazakii 108 cfu/ml dilarutkan dalam 9 ml PBS. Demikian seterusnya.
3.3.3 Infeksi Enterobacter sakazakii pada Mencit Neonatus Sebanyak tiga puluh mencit neonatus berumur satu minggu dibagi menjadi enam kelompok yang masing-masing terdiri atas lima ekor mencit. Setiap kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Adapun perlakuan yang diberikan pada setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perlakuan terhadap enam kelompok anak mencit usia satu minggu No. 1. 2.
Kelompok Kontrol I
3.
II
4.
III
5.
IV
6.
V
Perlakuan NaCl fisiologis secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor 103 cfu/ml suspensi bakteri E. sakazakii PBS secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor 104 cfu /ml suspensi bakteri E. sakazakii dalam PBS secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor 105 cfu /ml suspensi bakteri E. sakazakii dalam PBS secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor 106 cfu /ml suspensi bakteri E. sakazakii dalam PBS secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor 107 cfu /ml suspensi bakteri E. sakazakii dalam PBS secara per oral sebanyak 0,1 ml/ekor
Mencit kontrol dieuthanasi menggunakan eter pada hari ketiga pasca pemberian NaCl fisiologis per oral, sedangkan mencit yang diinfeksikan suspensi bakteri Enterobacter sakazakii diamati hingga mencit mati. Apabila sampai pada hari ketiga mencit yang diinfeksi E. sakazakii tidak mati, maka mencit tersebut dieuthanasi menggunakan eter dalam anaerobic jar. Setelah mencit mati maka bagian ventral mencit disayat secara longitudinal mulai dari bagian hipogastrium sampai di dagu sehingga rongga abdomen dan thoraks terbuka. Selanjutnya dilakukan penyayatan bagian dorsal leher mencit sampai ke hidung. Mencit dikoleksi dan diawetkan dengan cara memasukkan mencit neonatus yang telah disayat ke dalam larutan BNF 10%. Organ dalam tubuh mencit ini dipersiapkan untuk pembuatan sediaan histopatologi.
3.3.4 Pembuatan sediaan Histopatologi Mencit neonatus yang telah diawetkan dalam larutan BNF 10% dipotong dengan ketebalan ± 3 mm secara melintang dalam lima bagian (Gambar 11). Bagian pertama, yaitu kepala, diperoleh dengan cara memotong mencit tepat di sendi yang memisahkan tulang tengkorak dengan os vertebrae cerivicalis I, kemudian menyayat sulcus cerebri secara longitudinal sehingga otak kiri dan otak kanan terpisah. Bagian mulut dipotong agar tidak menyulitkan sewaktu pemotongan dalam parafin. Potongan kedua dilakukan tepat di belakang tangan, potongan ketiga dilakukan di bagian epigastrium, potongan keempat dilakukan di bagian mesogastrium, dan potongan kelima dilakukan di bagian hipogastrium, sebelum kaki belakang.
Potongan ke- 1
2
3
4
5
Gambar 11 Teknik pemotongan mencit neonatus secara skematis Potongan organ mencit neonatus dimasukkan ke dalam tissue casset. Untuk setiap mencit neonatus digunakan dua tissue casset. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan cara merendam sediaan tersebut secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xilol I, xilol II, parafin I dan parafin II. Masing-masing proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama dua jam dan berjalan secara otomatis dalam alat tissue processor. Pada tahap selanjutnya, potongan organ dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai parafin mengeras. Setelah itu, jaringan dipotong dengan ketebalan 5 µm menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air
hangat (45oC) dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Selanjutnya sediaan dikeringkan dalam inkubator suhu 60oC selama satu malam. Sediaan dimasukkan ke dalam xilol untuk dideparafinisasi sebanyak dua kali, masing-masing selama dua menit. Selanjutnya sediaan melalui proses rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, yang masing-masing lamanya dua menit. Setelah itu, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Selanjutnya, sediaan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum akhirnya dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama satu menit dan xilol II selama dua menit. Sediaan ditetesi perekat permount, ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat dan setelah perekat kering diamati menggunakan mikroskop cahaya.
3.3.5 Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif maupun kuantitatif menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali (40x objektif dan 10x okuler). Organ-organ yang diamati terdiri atas usus halus, usus besar, otak besar (cerebrum), medula spinalis, dan limpa. Pengamatan pada usus halus dan usus besar dilakukan untuk melihat respon inflamasi usus akibat infeksi E. sakakzakii. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang untuk usus halus dan lima lapang pandang untuk usus besar pada setiap mencit neonatus. Data kuantitatif diperoleh dengan menghitung jumlah sel radang, sedangkan data kualitatif diperoleh melalui skoring deskuamasi epitel pada usus halus dan usus besar. Adapun kriteria skoring deskuamasi epitel yang digunakan, yaitu:
0
: normal, tidak terjadi deskuamasi epitel
1
: ringan, deskuamasi epitel terjadi sampai 33,33 % lapang pandang
2
: sedang, deskuamasi epitel terjadi sampai 66,67 % lapang pandang
3
: berat, deskuamasi epitel sampai 99 % lapang pandang.
Pengamatan pada otak dan medula spinalis dilakukan untuk mengamati terjadinya inflamasi pada sistem saraf pusat akibat infeksi E. sakazakii. Data kuantitatif diperoleh dengan menghitung jumlah sel mikroglia setiap mencit neonatus melalui pengamatan pada 10 lapang pandang untuk cerebrum dan 5 lapang pandang untuk medula spinalis. Selain itu, dilakukan pengamatan mengenai ada tidaknya malacia di medula spinalis. Pengamatan pada limpa dilakukan untuk melihat respon umum jaringan tubuh. Parameter data kuantitatif yang digunakan yaitu jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit pada sepuluh lapang pandang. Selain itu, sebagai data kualitatif dilakukan skoring tingkat deplesi folikel limfoid, infiltrasi sel radang, dan protein radang pada 10 lapang pandang di setiap mencit neonatus. Adapun kriteria skoring yang digunakan, sebagai berikut: Deplesi 0
: tidak terjadi deplesi, normal, sel kompak
1
: deplesi ringan, sampai 33.33 % lapang pandang
2
: deplesi sedang, sampai 66.67 % lapang pandang
3
: deplesi berat, sampai 99% lapang pandang.
Infiltrasi sel radang 0
: jumlah sel radang normal
1
: jumlah sel radang sedikit
2
: jumlah sel radang sedang
3
: jumlah sel radang banyak.
Protein radang 0
: tidak ada protein radang, normal
1
: protein radang sedikit, sampai 33.33 % lapang pandang
2
: protein radang sedang, sampai 66.67 % lapang pandang
3
: protein radang banyak, sampai 99% lapang pandang.
Perubahan jaringan yang terjadi dibandingkan antara mencit kontrol (mencit yang diberi NaCl fisiologis) dengan mencit perlakuan, yaitu mencit yang diinfeksikan 103 cfu/ml, 104 cfu/ml, 105 cfu/ml, 106 cfu/ml, dan 107 cfu/ml suspensi bakteri E. sakazakii.
3.3.6 Analisis Data Dalam penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto, nilai hasil perhitungan (kuantitaif), dan nilai skoring (kualitatif) perubahan histopatologi dari organ. Nilai data kuantitatif, yang terdiri atas jumlah sel mikroglia cerebrum dan medula spinalis, jumlah sel radang usus halus dan usus besar, jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit limpa, ditampilkan dalam bentuk Mean ± Standar Deviation, dan dilanjutkan dengan Duncan test untuk membandingkan antar kelompok. Kebermaknaan dalam perbedaan hasil didapatkan dengan metode one-way ANOVA untuk menilai multi kelompok. Nilai P<0,05, ditetapkan hasilnya bermakna atau signifikan berbeda nyata. Data skoring yang terdiri atas kerusakan epitel usus halus, kerusakan epitel usus besar, deplesi folikel limfoid, infiltasi sel radang, maupun deposisi protein radang di limpa, diolah menggunakan statistik nonparametrik dengan uji Kruskal-Wallis.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Morbiditas dan Mortalitas Hasil infeksi berbagai dosis Enterobacter sakazakii secara per oral menunjukkan bahwa bakteri ini dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas mencit neonatus yang digunakan sebagai hewan coba (Tabel 5). Sebanyak 1 dari 5 mencit (20%) yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi tertinggi, yakni 107 cfu/ml mati 9 jam sesudah infeksi. Selain itu, sebanyak 2 dari 5 (40%) mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis 105 cfu/ml mati 29 jam dan 47 jam sesudah infeksi. Secara umum gejala yang ditunjukkan sebelum kematian yaitu lemas, tidak mau menyusu, dan kejang-kejang. Sedangkan perubahan patologi anatomi yang teramati berupa penimbunan cairan berwarna kemerahan di dalam abdomen dan di meningen otak (bagian sub arachnoid) (Gambar 12).
Gambar 12 Penimbunan cairan di otak (anak panah) pada mecit neonatus yang diinfeksikan Enterobacter sakazakii. Penimbunan cairan serebrospinal yang berwarna kemerahan di meningen (Gambar 12) dan perdarahan otak yang ditemukan merupakan salah satu bukti lesi patologi akibat infeksi E. sakazaki yang dapat menimbulkan meningitis akut. Menurut Lai (2001), E. sakazakii dapat menyebabkan kerusakan otak yang ditandai dengan penimbunan, dilatasi ventrikel, dan infark otak. Penimbunan cairan dan darah di dalam abdomen merupakan tanda telah terjadi hiperemi atau vasodilatasi vaskula serosa abdomen di usus yang parah. Vasodilatasi serosa usus sering menyertai enteritis yang parah. Hal ini medukung data van Acker et al. (2001) mengenai kontaminasi E. sakazakii dalam susu bubuk formula sehingga menyebabkan enterokolitis nekrotikan. Gejala klinis enterokolitis nekrotikan ditandai dengan sakit pada bagian abdominal, perut yang menggembung dan
diare. Usus halus yang paralisis dapat berkembang menjadi infark saluran pencernaan, sepsis dan shok. Kasus enterokolitis nekrotikan paling sering terjadi pada bayi yang diberi susu dalam botol (bottle-fed babies). Penyebab utamanya yaitu iskemia saluran pencernaan, kolonisasi bakteri dan substrat protein yang berlebih dalam lumen usus (van Acker et al. 2001). Tabel 5 Hasil pengamatan jumlah kematian dan perubahan patologi anatomi mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III
Dosis NaCl fisiologis 103 cfu/ml 104 cfu /ml 105 cfu /ml
Jumlah Mati 40%
IV
106 cfu/ml
-
V
107 cfu/ml
20%
Patologi Anatomi Normal Normal Normal Abdomen dan meningen berisi cairan dan darah. Abdomen dan meningen berisi sedikit cairan dan darah. Abdomen dan meningen berisi cairan dan darah.
Berdasarkan hasil penelitian, mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii sebanyak 103 cfu/ml, 104 cfu/ml, dan 106 cfu/ml tidak mati sampai hari ketiga post infeksi sedangkan mencit neonatus yang diinfeksi E. sakazakii sebanyak 107 cfu/ml dan 105 cfu/ml mati sebelum hari ketiga post infeksi. Kematian mencit neonatus yang diberi dosis infeksi 107 cfu/ml dan 105 cfu/ml disebabkan oleh daya tahan tubuh individu yang lemah. Kasus infeksi E. sakazakii pada manusia menunjukkan bahwa bakteri ini terutama menginfeksi neonatus (still birth hingga umur 28 hari), bayi immunocompromised, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Kane 2004). Dengan demikian, kondisi kesehatan dan status imunitas mencit neonatus sebagai hewan coba mempengaruhi keparahan infeksi E. sakazakii. Mencit yang tidak mati memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan mencit yang mati. Hal ini disebabkan oleh kondisi kesehatan induk mencit yang baik sehingga dapat melahirkan mencit neonatus yang umumnya sehat. Induk mencit yang digunakan telah mengalami pre-treatment melalui
pemberian anthelmentik dan antibiotik. Selain itu, pakan yang diberikan telah diiradiasi sehingga mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tahan tubuh induk. Berbagai perubahan histopatologis dapat diamati pada usus, cerebrum, medula spinalis, dan limpa pada mencit neonatus, baik yang mati maupun tidak mati akibat infeksi E. sakazakii.
4.2 Perubahan Histopatologis Usus Saluran pencernaan, termasuk usus, merupakan tempat utama rangsangan antigen pada hewan. Usus dapat menjadi barier sekaligus jalur masuk bahan toksik dan karsinogenik ke dalam tubuh yang masuk melalui rute per oral (Schackelford dan Elwell 1999). Partikel antigen seperti bakteri dapat dengan mudah menembus mukosa usus dan melalui cara ini masuk ke pembuluh laktil dan pembuluh porta (Tizard 1987). Infeksi bakteri patogen dapat menyebabkan inflamasi usus (enteritis) yang ditandai dengan (1) infiltrasi sel radang, (2) deskuamasi epitel usus (3) udema pada lamina propria, (4) kongesti arteri pada lapisan superfisial, (5) dilatasi jaringan Peyer’s patches, (6) hemoragi, dan (7) ditemukannya perlekatan bakteri pada batas mikrovili usus (Barker et al. 1993). Pada penelitian ini, paramater pengamatan histopatologi usus yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya peradangan akibat infeksi E. sakazakii terdiri atas deskuamasi epitel usus, udema pada lamina propria, dan jumlah sel radang.
4.2.1 Deskuamasi Epitel dan Udema Lamina Propria Deskuamasi epitel merupakan kejadian lepasnya sel epitel dari permukaan jaringan. Menurut Barker et al. (1993), deskuamasi epitel merupakan salah satu tanda umum inflamasi usus. Selain akibat kondisi patologis, secara fisiologis tubuh akan meregenerasi epitel usus setiap 5-7 hari (Price dan Wilson 1995). Pengamatan histopatologis pada penelitian ini dilakukan 3 hari post infeksi sehingga tubuh belum sempat meregenerasi epitel yang mengalami deskuamasi. Infeksi bakteri dapat menyebabkan terjadinya enteritis hemoragika yang antara lain ditandai dengan deskuamasi epitel dalam jumlah banyak (Barker et al. 1993). Hasil pengamatan skoring deskuamasi epitel dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Rataan jumlah skoring berdasarkan peringkat dengan uji Kruskal-Wallis untuk deskuamasi epitel pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III IV V
Dosis Infeksi NaCl fisiologis 103 cfu/ml 104 cfu/ml 105 cfu/ml 106 cfu/ml 107 cfu/ml
Usus Halus 4 9.4 15 15.4 20.2 26
Usus Besar 11 11 11 11 11 15.6
Kelompok kontrol tidak memperlihatkan deskuamasi epitel usus halus maupun usus besar, lamina propria tidak berisi banyak sel radang, dan kripta masih padat dan normal (Gambar 13). Sedangkan infeksi E. sakazakii pada mencit neonatus menyebabkan deskuamasi epitel usus halus dan usus besar, udema pada lamina propria terutama di bawah membran basal epitel usus, dan penebalan kripta (Gambar 14). Derajat keparahan deskuamasi epitel akibat infeksi E. sakazakii di usus halus lebih parah dibandingkan usus besar. Menurut analisis statistik non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis, terdapat perbedaan nyata (P<0,05) skoring deskuamasi epitel usus halus antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diinfeksikan E. sakazakii. Sedangkan pada usus besar, skoring deskuamasi epitel tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Dengan demikian, usus halus lebih peka terhadap E. sakazakii dan/atau toksinnya dibandingkan dengan usus besar. Semakin besar dosis infeksi, semakin banyak deskuamasi epitel usus halus yang terjadi. Dekuamasi epitel usus besar hanya terjadi pada kelompok V yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis tertinggi yaitu 107 cfu/ml. Selain deskuamasi epitel, terjadi udema di lamina propria walaupun pada beberapa vili usus deskuamasi epitel belum terjadi. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut di usus terjadi udema di lamina propia. Usus yang mengalami deskuamasi epitel dan udema lamina propria menjadi rapuh dan hal ini merupakan awal enteritis nekrotikan. Mencit neonatus yang diinfeksikan 107 cfu/ml E. sakazakii mengalami enteritis nekrotikan yang ditandai dengan nekrose sel-sel di tunika mukosa dan infiltasi sel radang terutama di lamina propria (Gambar 14). Epitel berperan sebagai pelindung mukosa usus sehingga
bila telah terjadi deskuamasi epitel maka usus akan mudah diinfeksi mikroorganisme.
Gambar 13 Usus halus (kiri) dan usus besar (kanan) mencit neonatus kontrol. Keterangan: (l) lumen usus, (e) epitel utuh, (lp) lamina propria, (k) kripta, tunika muskularis (tm). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.
Gambar 14 Usus halus mencit neonatus yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml. Keterangan: (de) deskuamasi epitel, (PMN) infiltrasi sel radang polimorfo nuklear neutrofil di lamina propria, (u) udema lamina propria, (N) enteritis nekrotikan, (tm) tunika muskularis. Pewarnaan HE. Pembesaran 200x.
4.2.2 Sel Radang Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut terjadi infiltrasi leukosit dalam jumlah yang ringan dan didominasi oleh sel polimorfo nuklear (PMN) neutrofil. Dengan demikian, sel radang merupakan indikator terjadinya inflamasi usus. Jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 15. Pengamatan tidak dilakukan pada setiap lapisan usus karena lapisan usus mencit neonatus belum berkembang secara sempurna sehingga sulit untuk dibedakan. Tabel 7 Rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III IV V
Dosis Infeksi NaCl fisiologis 103 cfu/ml 104 cfu/ml 105 cfu/ml 106 cfu/ml 107 cfu/ml
Usus Halus 14,12 ± 1,33a*) 24,92 ± 2,59ab 29,70 ± 2,57bc 31,15 ± 3,73bc 40,44 ± 11,97cd 50,84 ± 16,83d
Usus Besar 16,29 ± 2,95a 16,28 ± 2,10a 17,75 ± 1,90a 18,92 ± 2,92a 22,40 ± 2,25a 33,32 ± 19,29b
*) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Gambar 15 Grafik rataan jumlah sel radang pada usus halus dan usus besar mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0,05) jumlah sel radang pada usus halus mencit neonatus yang diberi perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Sel radang juga ditemukan pada mencit kontrol
karena secara fisiologis memang terdapat sel radang di usus, misalnya di tunika mukosa dan tunika submukosa (Shackelford dan Elwell 1999) (Gambar 13). Jenis sel radang yang dihitung melalui pengamatan preparat histopatologi pada penelitian ini terdiri atas limfosit, makrofag, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Berdasarkan hasil pengamatan, sel radang pada mencit yang mati dalam tiga hari paska infeksi didominasi neutrofil. Sedangkan pada mencit yang bertahan hidup sel radang didominasi limfosit. Menurut Barker et al. (1993), neutrofil ditemukan pada inflamasi akut akibat infeksi bakteri sedangkan limfosit ditemukan pada inflamasi kronis. Dengan demikian, mencit yang mati mengalami inflamasi akut sedangkan mencit yang tidak mati mengalami inflamasi kronis. Pada hewan yang diberi perlakuan, jumlah sel radang di usus halus lebih banyak dibandingkan dengan di usus besar. Hal ini menunjukkan bahwa derajat keparahan inflamasi yang terjadi di usus halus lebih tinggi dibandingkan dengan usus besar. Iversen dan Forsythe (2003) memperkirakan dosis infeksi awal E. sakazakii sebesar 103 cfu/100 mg. Jika dibandingkan dengan kontrol, infeksi E. sakazakii dengan dosis terendah, yakni 103 cfu/ml menyebabkan peningkatan ratarata jumlah sel radang yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun, terdapat perbedaan nyata (P<0,05) pada nilai rataan sel radang usus akibat infeksi E. sakazakii dengan dosis 104 cfu/ml dan 105 cfu/ml dengan kontrol. Data ini menunjukkan bahwa dosis infeksi awal E. sakazakii terhadap usus halus sebesar 104 cfu/ml. Sedangkan, nilai rataan sel radang pada infeksi E. sakazakii dengan dosis 106 cfu/ml dan 107 cfu/ml sangat berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol maupun dosis infeksi lain yang lebih rendah. Data di atas membuktikan bahwa semakin besar dosis infeksi E. sakazakii yang digunakan, maka semakin banyak jumlah sel radang. Semakin tinggi jumlah sel radang menjadi indikator semakin parahnya inflamasi. Rataan jumlah sel radang usus besar mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis 103, 104, 105, dan 106 cfu/ml tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kontrol. Walaupun demikian, terjadi peningkatan rata-rata jumlah sel radang berbanding lurus dengan peningkatan dosis infeksi. Peningkatan sel radang, misalnya limfosit, walaupun hanya dalam jumlah sedikit merupakan indikasi telah terjadi inflamasi (Barker et al. 1993). Berbeda dengan
pemberian E. sakazakii dengan dosis infeksi yang lebih rendah, infeksi E. sakazakii dengan dosis 107 cfu/ml berbeda nyata dengan kontrol. Dosis infeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang digunakan Pagotto et al. (2003). Menurut Pagotto et al. (2003), infeksi E. sakazakii pada dosis 108 cfu/ml secara intra peritoneal dan per oral dapat menyebabkan kematian mencit neonatus. Berdasarkan pengamatan histopatologis, pada penelitian ini ditemukan peningkatan jumlah limfosit dan netrofil terutama di lumen dan tunika mukosa usus halus. Netrofil juga ditemukan di sekitar daerah yang mengalami nekrosa. Kehadiran sel radang misalnya neutrofil dalam jumlah banyak merupakan indikator terjadinya inflamasi. Namun, neutrofil tidak selalu ditemukan di mukosa usus karena biasanya masuk ke lumen usus bila ada invasi bakteri (Barker et al. 1993). Lisosom neutrofil mengandung banyak enzim lisozim yang berfungsi sebagai
faktor
antibakteri
yang kuat
pada
jaringan.
Lisozim
mampu
menghancurkan beberapa bakteri gram negatif. Akibatnya, neutrofil cenderung berkumpul di daerah perbarahan akut termasuk tempat invasi bakteri (Tizard 1987). Deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang di usus akibat E. sakazakii dan/atau toksinnya membuktikan bahwa E. sakazakii dan/atau toksinnya dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan. Enterokolitis nekrotikan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga inang yang terinfeksi dapat mengalami malnutrisi.
4.3 Perubahan Histopatologis Cerebrum dan Medula Spinalis Sistem saraf pusat (SSP) terlindungi dari invasi bakteri melalui adanya meningen, tengkorak otak, dan blood-brain barrier. Ketiga lapisan meningen berfungsi sebagai barier penyebaran infeksi sehingga infeksi dapat terjadi di epidural, subdural, subarachinoid, atau otak (Reid dan Fallon 1992). Dalam kondisi normal, sistem saraf pusat (SSP) steril. Apabila SSP terinfeksi bakteri maka infeksi akan menyebar dengan cepat dan mengakibatkan meningitis (Ironside 1994).
Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa mencit yang diinfeksikan 107 cfu/ml E. sakazakii mengalami meningitis ringan, dan bukan meningitis purulenta. Hal ini ditandai dengan penebalan arachnoid meningen, infiltrasi sel radang dan udema di sub arachnoid (Gambar 16, Gambar 17).
Gambar 16
Meningen cerebrum mencit kontrol yang normal (kiri), dan meningitis pada mencit yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml (kanan). Keterangan: Gambar kiri: arachinoid dan piamater tipis, tidak ada infiltrasi sel radang di sub arachnoid. Gambar kanan: (anak panah) penebalan arachnoid, infiltrasi sel radang, udema di sub arachnoid, (g) gliosis difus. Pewarnaan HE. Pembesaran: 100x.
Gambar 17 Medula spinalis mencit neonatus kontrol (kiri) dan yang diberi E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml (kanan). Keterangan: Kiri: (Sp) Substansi putih, (CC) Canalis centralis, meningen normal. Kanan: (Meningitis) penebalan arachnoid, kongesti, (mi) peningkatan microglia, (ma) malacia, (CC) canalis centralis. Pewarnaan HE. Pembesaran: 200x.
Perubahan histopatologis cerebrum dan medula spinalis menunjang hasil pengamatan perubahan patologi anatomi akibat infeksi E. sakazakii, dimana terjadi penimbunan cairan berwarna kemerahan di sub arachnoid pada kepala mencit yang dinekropsi (Gambar 12). Penyebab meningitis dan encephalitis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii diduga berasal dari toksin E. sakazakii karena infeksi bersifat akut, dan tidak ditemukan koloni bakteri maupun pus di meningen. Toksin memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan bakteri sehingga lebih mudah menembus blood brain barrier. Blood-brain barrier sebagai salah satu pelindung otak dibentuk oleh satu lapis sel endotel. Blood-brain barrier berfungsi mengatur perpindahan molekul antara darah dan cairan interstitial otak. Selain itu, blood-brain barrier efektif menangkal berbagai neurotoksin (Lu 1995). Gangguan fungsional pada bloodbrain barrier pada meningitis menyebabkan peningkatan aktivitas pinositik yang diikuti dengan pemisahan kerapatan hubungan interseluler (intercelluler tight junction) (Reid dan Fallon 1992). Infeksi bakteri terhadap SSP merupakan proses dinamis yang dipengaruhi berbagai faktor, antara lain predisposisi, tingkat virulensi mikroorganisme, dan rute infeksi. Beberapa faktor predisposisi infeksi bakteri ke SSP yaitu (1) bayi prematur karena pertahanan yang kuat pada epitel choroid baru terbentuk pada akhir masa gestasi, (2) kondisi imunosupresi, (3) disfungsi limpa, dan (4) penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) (Reid dan Fallon 1992). Oleh karena itu, infeksi E. sakazakii lebih sering terjadi pada neonatus, bayi immunocompromised, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi prematur, dan bayi yang lahir dari ibu yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Kane 2004). Mencit neonatus yang digunakan pada penelitian secara umum memiliki daya tahan tubuh yang baik dan dilahirkan dari induk mencit yang sehat. Oleh karena itu, meningitis yang terjadi bersifat ringan. Terdapat tiga rute infeksi bakteri ke SSP, yaitu: (1) penyebaran secara langsung akibat infeksi bakteri di lokasi yang berdekatan dengan SSP, misalnya sinus paranasalis, telinga tengah, fraktura pada tulang tengorak (Ironside 1994), (2) penyebaran melalui aliran darah yang terjadi bila tubuh mengalami sepsis atau emboli septik (Reid dan Fallon 1992), (3) infeksi iatrogenik yang mengikuti
infeksi organisme ke dalam cairan cerebrospinal (Ironside 1994). Meningitis akibat E. sakazakii dan/atau toksinnya diduga berasal dari sepsis. Menurut SaezLiorens dan McCracken (2003), sebanyak 25% neonatus yang menderita sepsis berlanjut menjadi meningitis. Infeksi terhadap SSP sangat berbahaya karena bila organisme patogen berhasil menembus pertahanan otak maka proliferasi organisme tersebut akan paling cepat terjadi di otak dibandingkan organ lain karena keterbatasan sistem pertahanan di otak (Reid dan Fallon 1992). Pelepasan mediator inflamasi oleh organisme dapat menstimulasi sel makrofag otak (misalnya astrosit dan mikroglia), endotel kapiler cerebral, atau keduanya untuk membentuk sitokin (Saez-Liorens dan McCracken 2003). Sel glia seperti astrosit, oligodendroglia, mikroglia dan sel ependim akan berespon ketika terjadi cedera pada SSP. Respon tersebut berupa gliosis dan satelosis. Gliosis merupakan peningkatan jumlah sel glia yang biasanya mencakup respon astrosit yang mencolok. Selain itu, bila terjadi infeksi SSP maka sel glia akan berkumpul di tempat terjadinya lesi atau mengubah bentuk dan fungsinya (Damjanov 2000). Kerusakan SSP akibat infeksi mikroorganisme menyebabkan sel mikroglia memfagosit sel-sel mati atau rusak pada SSP melalui pembentukan nodulus glia. Sel mikroglia yang dijumpai di sekitar infark atau abses otak memfagosit myelin kaya lemak sehingga sitoplasmanya bervakuol dan tampak berbusa. Sel ini disebut sel gitter. Adapun rataan jumlah sel mikroglia pada cerebrum dan medula spinal mencit neonatus pada penelitian ini disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 18. Tabel 8 Rataan jumlah mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III IV V
Dosis Infeksi NaCl fisiologis 103 cfu/ml 104 cfu /ml 105 cfu /ml 106 cfu /ml 107 cfu /ml
Cerebrum 34,84 ± 9,76a*) 40,64 ± 8,13ab 44,76 ± 6,53ab 50,15 ± 13,50ab 55,08 ± 12,58b 79,57 ± 15,19c
Medula Spinalis 54,02 ± 21,27a 50,04 ± 7,79a 51,76 ± 21,85a 73,40 ± 25,20a 74,02 ± 12,12a 71,37 ± 15,95a
*) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Gambar 18 Grafik rataan jumlah sel mikroglia pada cerebrum dan medula spinalis mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral. Berdasarkan Tabel 8, infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi menyebabkan peningkatan jumlah mikroglia di otak dibandingkan dengan kontrol. Rataan jumlah mikroglia di cerebrum pada dosis infeksi 103 cfu/ml, 104 cfu/ml, dan 105 cfu/ml tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kontrol. Pada cerebrum, rataan jumlah mikroglia dengan dosis infeksi 106 cfu/ml berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol, sedangkan rataan jumlah mikroglia dengan dosis infeksi 107 cfu/ml sangat berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol. Dengan demikian, dosis infeksi terendah E. sakazakii terhadap SSP yaitu 106 cfu/ml. Selain itu, peningkatan dosis infeksi berbanding lurus dengan peningkatan jumlah mikroglia otak. Peningkatan mikroglia di otak menunjukkan bahwa E. sakzakii dan/atau toksinnya dapat menyebabkan encephalitis. Pada gambaran histopatologis diidentifikasi terjadi gliosis difus di cerebrum (Gambar 16) dan medula spinalis (Gambar 17). Berbeda halnya dengan cerebrum, rataan jumlah mikroglia di medula spinalis mencit neonatus akibat pemberian E. sakazakii secara per oral pada berbagai dosis infeksi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kontrol. Walaupun demikian, terdapat perbedaan mencolok antara mencit kontrol, kelompok I (dosis infeksi 103 cfu/ml), dan kelompok II (dosis infeksi 104 cfu/ml) dengan kelompok III (dosis infeksi 105 cfu/ml), IV (dosis infeksi 106 cfu/ml), dan V (dosis infeksi 107 cfu/ml). Rataan jumlah mikroglia medula spinalis kontrol, kelompok I, dan kelompok II berjumlah lima puluhan, yakni secara berturut-turut 54,02, 50,04, dan
51,76 sel. Sedangkan rataan jumlah mikroglia medula spinalis kelompok III, kelompok IV, dan kelompok V lebih banyak, yakni secara berturut-turut 73,40, 74,02, dan 71,37. Selain meningitis dan peningkatan mikroglia, pada medula spinalis mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii terjadi malacia (myelomalacia) (Gambar 17). Malacia yang paling parah terjadi pada mencit di kelompok V, yakni yang diinfeksi E. sakazakii dengan dosis 107 cfu/ml. Malacia merupakan pelunakan atau pengempukan bagian atau jaringan. Di sistem saraf pusat, malacia merupakan tanda terjadi nekrosa jaringan saraf. Nekrosa pada otak biasanya bersifat nekrosa kolikuasi karena otak mengandung banyak lipoid yang mudah mengalami autolisis (Koestner dan Jones 2006). Menurut Koestner dan Jones (2006), gambaran histopatologi malacia susunan saraf pusat ditandai dengan adanya massa tanpa struktur yang di dalamnya masih ada pembuluh-pembuluh darah yang belum rusak. Selain itu, di luar daerah nekrosa terlihat edema, perdarahan, gliosis, dan degenerasi neuron. Hal ini sesuai dengan temuan histopatologi pada medula spinalis mencit perlakuan di penelitian ini. Pada medula spinalis mencit perlakuan terjadi edema, gliosis difus, dan perdarahan (Gambar 17). Malacia dapat disebabkan oleh gangguan vaskularisasi, radang bernanah, infeksi jamur, toksin, dan defisiensi gizi (Jubb et al. 1993; Koestner dan Jones 2006). Hasil penelitian ini yang menunjukkan terjadinya meningitis dan peningkatan sel mikroglia di cerebrum, serta meningitis, malacia dan peningkatan sel mikroglia di medula spinalis pada mencit neonatus sebagai hewan coba mendukung data bahwa E. sakazakii dan/atau toksinnya berpotensi menyerang SSP dan menyebabkan meningoencephalitis. Menurut Bar-Oz et al. (2001), E. sakazakii memiliki kecenderungan menyerang SSP sehingga menyebabkan gangguan saraf dan penderitaan pasien. Selain itu, ventrikulitis, hidrosephalus, kiste, dan abses akibat E. sakazakii juga pernah dilaporkan (Lai 2001; Bar-Oz et al. 2001). Hingga kini belum ada data mengenai tempat masuknya E. sakazakii ke otak. Plexus choroid merupakan tempat masuknya infeksi bakteri ke otak yang menurut Reid dan Fallon (1992) paling sering terjadi.
Dosis infeksi E. sakazakii terhadap SSP lebih tinggi dibandingkan dengan usus karena sebelum menyerang SSP tubuh berupaya mengeleminir bakteri ini melalui sistem kekebalan tubuh. Infeksi E. sakazakii dan/atau toksinnya terhadap usus terjadi secara langsung, sedangkan infeksi E. sakazakii dan/atau toksinnya terhadap SSP merupakan lanjutan infeksi di usus akibat mengalirnya bakteri dan/atau toksinnya dalam darah (bakterimia/sepsis).
4.4 Perubahan Histopatologis Limpa Pengamatan terhadap limpa dilakukan untuk melihat potensi E. sakazakii dalam menyebabkan splenitis dan sepsis. Adapun hasil data kuantitatif pengamatan limpa, yakni rataan jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit disajikan pada Tabel 9. Sedangkan data kualitatif yang meliputi skoring deplesi, infiltrasi sel radang, dan infiltrasi protein radang disajikan pada Tabel 10. Tabel 9 Rataan jumlah limfoid folikel dan megakaryosit pada limpa mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III IV V
Dosis Infeksi NaCl fisiologis 103 cfu/ml 104 cfu/ml 105 cfu/ml 106 cfu/ml 107 cfu/ml
Limfoid Folikel 0,81 ± 0,13a 0,56 ± 0,22a 0,58 ± 0,06a 0,64 ± 0,26a 0,74 ± 0,14a 0,70 ± 0, 37a
Megakaryosit 4,10 ± 0,41a 4,83 ± 1,14a 3,68 ± 2,64a 3,96 ± 1,60a 3,30 ± 1,54a 3,58 ± 0,81a
*) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Tabel 10 Rataan jumlah skoring berdasarkan uji Kruskal-Wallis untuk deplesi folikel limfoid, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang pada limpa mencit neonatus akibat infeksi E. sakazakii dengan berbagai dosis infeksi secara per oral Kelompok Kontrol I II III IV V
Dosis Infeksi
Deplesi folikel limfoid
Infiltrasi Sel Radang
NaCl fisiologis 103 sel/ml 104 sel/ml 105 sel/ml 106 sel/ml 107 sel/ml
4,13 7,30 15,80 14,00 19,00 24,60
3,38 9,10 12,80 19,00 15,60 25,80
Deposisi Protein Radang 5,50 6,30 15,00 17,13 17,40 24,40
Berdasarkan data pada Tabel 9, tidak ada perbedaan nyata (P>0,05) untuk rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit antara mencit yang diberi E. sakazakii dengan kontrol. Folikel limfoid berfungsi untuk memproduksi antibodi (Valli dan Parry 1993). Proses hematopoiesis pada rodensia dapat berlangsung di limpa. Pada fokus terjadinya hematopoiesis ditemukan adanya megakaryosit (Smith et al. 1974). Megakaryosit merupakan sel raksasa, multilobular, dan berfungsi untuk memproduksi platelet darah (Harvey 2001). Peningkatan megakaryosit terjadi apabila ada perdarahan yang hebat. Tidak adanya peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit antara mencit kontrol dan mencit perlakuan yang berbeda nyata (P>0,05), menunjukkan bahwa peradangan dan perdarahan yang terjadi pada mencit perlakuan tidak terlalu hebat. Berdasarkan hasil pengolahan data statistik non-parametrik menggunakaan uji Kruskal-Wallis pada Tabel 10 diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0,05) antara mencit yang diinfeksikan E. sakazakii dengan mencit kontrol untuk deplesi folikel limfoid, infiltasi sel radang, dan deposisi protein radang di limpa (Gambar 19). Hasil data kualitatif secara umum menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis infeksi, maka semakin parah tingkat deplesi, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang yang terjadi di limpa. Secara histopatologi juga ditemukan sitolisis sel limfoid (Gambar 20) yang diduga disebabkan oleh toksin E. sakazakii. Menurut Pagotto et al. (2008), E. sakazakii dapat memproduksi sitotoksin dan enterotoksin. Pada limfadenitis akut terjadi hemoragi dan nekrosa, sedangkan pada limfadenitis akut yang sederhana terjadi hiperemi, udema yang menyebar di antara jaringan, infiltrasi neutrofil dan monosit dalam sinus, dan migrasi sebagian netrofil ke dalam folikel limfoid (Jubb et al. 1993). Deplesi folikel limfoid terjadi karena sel limfoid mengalami sitolisis meninggalkan fragmen-fragmen inti. Sel radang terutama ditemukan pada pulpa merah dan didominasi neutrofil. Hal ini menjadi indikator telah terjadi infeksi bakteri. Deposisi protein radang terjadi akibat respon peradangan pada limpa (Valli dan Parry 1993). Dengan demikian, E. sakazakii dan/atau toksinnya berpotensi menyebabkan splenitis (radang limpa) yang dapat berkembang menjadi sepsis.
Gambar 19 Limpa normal pada mencit kontrol (kiri) dan splenitis sepsis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis infeksi 107 cfu/ml. Keterangan: (pm) Pulpa merah, (k) kapsula, (m) megakaryosit, (fl) folikel limfoid, (d) deplesi folikel limfoid, (sr) infiltrasi sel radang, (pr) deposisi protein radang. Pewarnaan HE. Pembesaran 100x.
Gambar 20 Splenitis pada mencit yang diinfeksikan E. sakazakii dengan dosis infeksi 106 cfu/ml. Keterangan: (M) megakaryosit, (PMN) infiltrasi PMN, (S) sitolitik terhadap sel limfoid, (pr) deposisi protein peradangan. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x.
Sepsis atau septikemia adalah kondisi terjadinya proliferasi bakteri patogen dan/atau toksinnya yang kemudian memasuki darah sehingga menyebabkan penyakit sistemik (Underwood 1992). Menurut Macfarlane et al. (2000), sepsis dapat: (1) bersifat primer, biasanya disebabkan oleh Meningococci, Streptococci pyogenes, (2) menyertai sindrom shok yang diinisiasi oleh kausa lain, misalnya infeksi organisme koliform yang terutama terjadi bila infeksi melibatkan dan terjadi di saluran pencernaan, (3) terjadi selama pengobatan bila mekanisme sistem imun mengalami gangguan, misalnya pada infeksi oportunistik. Sepsis yang terjadi pada mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii diduga berasal dari infeksi E. sakazakii dan/atau toksinnya pada saluran pencernaan.
4.5 Gambaran Umum Pengamatan Histopatologi Akibat Infeksi Enterobacter sakazakii Hasil penelitian eksperimental yang dilakukan dengan menginfeksikan E. sakazakii pada mencit neonatus dapat menjelaskan beberapa kejadian yang mirip terjadi pada bayi neonatus manusia yang terinfeksi E. sakazakii. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa infeksi E. sakazakii secara per oral menyebabkan enterokolitis nekrotikan dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi pada usus halus dibandingkan dengan usus besar. Pada neonatus manusia, infeksi E. sakazakii juga dilaporkan menyebabkan enterokolitis nekrotikan (Taylor 2002; van Acker 2001). Enterobacter sakazakii yang menginfeksi tubuh melalui rute oral dapat melakukan adhesi pada permukaan epitel usus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mange et al. (2006) dengan 50 stain E. sakazakii yang diujikan pada sel lestari HEp-2 dan Caco-2, serta sel lestari
HBMEC menyimpulkan bahwa
kemampuan adhesi dari E. sakazaki tidak dipengaruhi oleh adanya enzim tripsin, hemaglutinin, dan manosa yang diperantarai oleh suatu struktur fimbrie seperti yang ditemukan pada sebagian besar strain enterobacteria. Menurut Darfeuille-Michaud et al. (1990), keberadaan suatu reseptor pada permukaan bakteri yang tersusun atas protein atau glikoprotein menyebabkan bakteri mampu melakukan perlekatan spesifik dengan membran sel. Kapsul polisakarida yang mengelilingi bakteri juga berfungsi untuk memperkuat ikatan
antara bakteri dengan sel, sehingga bakteri dapat terus menempel dan membentuk koloni. Setelah melakukan adhesi dan kolonisasi, bakteri dapat melepaskan toksin ke dalam sel. Menurut Pagotto et al. (2008), E. sakazakii dapat memproduksi sitotoksin dan enterotoksin. Pelepasan toksin dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan tekanan osmotik dalam sel sehingga akhirnya terjadi kematian sel (Darfeuille-Michaud et al. 1990). Deskuamasi epitel terjadi akibat kematian epitel usus. Pada inflamasi akut, terjadi peningkatan permeabilitas endotel pembuluh darah (Cheville 1999). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan produksi toksin oleh E. sakazakii memungkinkan bakteri dan/atau toksin bakteri ini menembus dinding pembuluh darah dan mengalir dalam peredaran darah tubuh sehingga terjadi sepsis. Bila bakteri dan/atau toksinnya berhasil melewati sistem pertahanan otak yang berupa blood brain barrier maka akan terjadi meningitis dan/atau encephalitis. Bagian buluh darah otak banyak terdapat pada regio sub Arachinoidea yang berbatasan dengan meningen yang kaya dengan mikrokapiler. Pada bagian inilah akumulasi bakteri dan/atau toksinnya dapat terjadi sehingga meningen dan cortex cerebri rusak. Meningoencephalitis akibat infeksi akut E. sakazakii diduga disebabkan oleh toksin yang diproduksi E. sakazakii karena pada lapisan meningen tidak ditemukan pus, koloni bakteri, dan hanya terdapat sedikit infiltrasi sel radang. Toksin juga memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri sehingga toksin lebih mudah menembus blood brain barrier. Pada manusia, terdapat banyak laporan kasus meningitis akibat E. sakazakii. Neonatus memiliki sistem kekebalan yang belum matang (Pagotto et al. 2008). Pada mencit neonatus, blood brain barrier belum terbentuk secara sempurna sehingga infeksi bakteri pada otak dapat menimbulkan kerusakan yang parah, misalnya meningitis purulenta. Namun, mencit yang diinfeksi E. sakazakii pada penelitian ini hanya mengalami meningitis ringan dan tidak mengalami meningitis purulenta. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor agen, yaitu E. sakakzakii dan host, yaitu mencit neonatus.
Diduga patogenitas bakteri E. sakazakii yang digunakan untuk diinfeksikan secara per oral pada mencit neonatus rendah karena telah disimpan dalam waktu lama. Selain itu, E. sakazakii memiliki kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik yang dapat mengurangi kemampuan eliminasi oleh tubuh (Iversen et al. 2004). Kapsul polisakarida pada bakteri biasanya tersusun atas 2-3 jenis gula yang menjadi karakterisktik organisme tersebut. Fungsi utama kapsul yaitu melindungi bakteri dari fagositosis. Sebagai contoh, kapsul Salmonella typhi (Vi) menyeliputi tempat perikatan C3 pada lipopolisakarida. Hal ini mengurangi efektifitas ikatan reseptor C3 pada PMN. Kapsul tipe K1 pada Escherichia coli sangat bersilia. Kapsul ini mencegah aktivasi jalur komplemen alternatif melalui ikatan faktor H pada permukaannya (Anonim 2007). Kapsul polisakarida pada beberapa bakteri berperan sebagai alat mimikri karena memiliki struktur yang mirip dengan sel normal tubuh. Keberadaan kapsul polisakarida ini menyebabkan sel radang sulit mengenali bakteri tersebut dan jumlah sel radang yang ditemukan tidak terlalu banyak. Mencit neonatus sebagai host yang digunakan dalam penelitian ini diduga memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik sehingga sebagian besar E. sakazakii yang menginfeksi usus telah mampu dieliminir oleh sistem kekebalan tubuh sehingga tidak terjadi sepsis maupun meningitis yang berat. Sepsis digambarkan dengan adanya perdarahan pada manusia. Pada mencit neonatus yang diberi dosis infeksi 107 cfu/ml dan 105 cfu/ml juga terjadi perdarahan pada otak dan abdomen. Mencit yang diberi dosis infeksi 107 cfu/ml mati 9 jam sesudah infeksi, sedangkan mencit neonatus yang diberi dosis infeksi 105 sel/ml mati 29 jam dan 47 jam sesudah infeksi. Inflamasi antara lain ditandai oleh peningkatan infiltrasi sel radang. Pada penelitian ini, PMN tidak banyak ditemukan pada mencit yang diberi dosis infeksi yang rendah, namun di lain pihak tiga dari 25 mencit neonatus mati akibat infeksi E. sakazakii. Kematian ketiga mencit ini dapat disebabkan oleh adanya kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik pada E. sakazakii sehingga mengurangi kemampuan eliminasi oleh tubuh (Iversen et al. 2004). Selain itu diduga daya tahan tubuh ketiga mencit neonatus tersebut lemah.
Beberapa kemungkinan penyebab tidak ditemukannya PMN yaitu waktu nekropsi yang terlalu lama, yakni tiga hari pasca infeksi sehingga tubuh telah mampu mengeliminir E. sakazakii yang diinfeksikan dan jumlah PMN akibat inflamasi yang telah menurun. Kemungkinan kedua yaitu E. sakazakii yang diinfeksikan mungkin menimbulkan infeksi yang dapat berlangsung kronis.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan Enterobacter sakazakii dan/atau toksinnya berpotensi menyebabkan enterokolitis nekrotikan, meningoencephalitis, splenitis, dan sepsis. Kerusakan jaringan akibat infeksi E. sakazakii diduga disebabkan oleh toksin yang diproduksi bakteri tersebut. Infeksi E. sakazakii pada usus mencit neonatus terjadi pada dosis 104 cfu/ml, sedangkan dosis infeksi pada sistem saraf pusat yaitu 106 cfu/ml. Perubahan histopatologis yang dapat diamati pada mencit neonatus yang diinfeksikan E. sakazakii yaitu di usus terjadi deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan peningkatan jumlah sel radang. Pada sistem saraf pusat terjadi peningkatan jumlah mikroglia, malacia, dan meningitis. Di limpa terjadi deplesi folikel limfoid limpa, infiltrasi sel radang PMN terutama neutrofil, dan deposisi protein radang.
5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian infeksi E. sakazakii menggunakan hewan model yang mengalami imunosupresi. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan waktu penelitian yang lebih panjang, interval nekropsi yang lebih singkat, dan jumlah hewan coba yang lebih banyak. 3. Perlu penelitian mengenai keberadaan kapsul, aktivitas, dan kapasitas fagositosis E. sakazakii. 4. Perlu penelitian yang dilengkapi dengan re-isolasi E. sakazakii. 5. Perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji profil infeksi E. sakazakii yang subklinis atau berpotensi menjadi infeksi kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Enterobacteriaceae Review Notes. http://www.ratseamicro.com/ Enterobacteriaceae. [2 Mei 2008]. Anonim. 2008. Case News Enterobacter sakazakii Infections Associated with Powdered Infant Formula. http://www.marlerblog.com [ 2 Mei 2008]. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London: Iowa State University Press. Hlm 215-226, 250-251. Barker IK, Van Dreumel AA, Palmer N. 1993. The Alimentary System. Di dalam Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N, Editor. Pathology of Domestic Animals Volume 2. Ed ke-4. California: Academic Press. Hlm 125-133, 200-254. Bar-Oz, B, Preminger A, Peleg O, Block C, Arad I. 2001. Enterobacter sakazakii Infection in The Newborn. Acta Paediatr 90: 356-358. Beitz AJ, Fletcher TF. 2006. Nervous System. Di dalam: JA Eurell, BL Frappier, editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 91-116. Besselsen DG. 2004. Biology of Laboratory http://www.ahsc.arizona.edu/ [22 Desember 2006].
Rodent.
Bevelender G, Ramaley JA. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Ed ke-8. Gunarso I, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari Essentials of Histology, 8th Ed. Hlm 252-267, 422-423. Biering G, Karlsson, Clark NC, Jonsdottir KE, Ludvigsson P, Stringrimsson O. 1989. Three Cases of Neonatal Meningitis Caused by Enterobacter sakazakii in Powdered Milk. J Clin Microbiol 27:2054-2056. Block C, Peleg O, Minster N, Bar-Oz B, Simhon A, Arad I, Shapiro M. 2002. Cluster of Neonatal Infections in Jerusalem Due to Unusal Biochemical Variant of Enterobacter sakazakii. Eur Clin Microbiol Infect Dis 21: 613616. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke 2. Iowa: Iowa State University Press. Hlm 101-154.
Cottyn B et al. 2001. Bacteria Populations Associated with Rice Seed in The Tropical Environment. Phytopathology 91: 282-292. Damjanov I. 2000. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi. Pendit UB, penerjemah; Himawan M, editor. Jakarta: Widya Medika. Terjemahan dari Histopathology-A color Atlas and Textbook. Darfeuille-Michaud et al. 1990. Adhesion of Enterotoxigenic Escherichia coli to the Human Colon Carcinoma Cell Line CaCO2 in Culture. Infect Immun 58: 893-902. Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner Jilid 2. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology. Hlm 375-390. Estuningsih S. 2004. Present Work and Future Research Needs on Enterobacter sakazakii. Seminar and Workshop: Enterobacter sakazakii in Infant Foods: Current Updates and Issues. Side event at the FAO/WHO Regional Conference on Food Safety for Asia and the Pacific, 24.-27.5.2004, Sembaran, Malaysia. Estuningsih S, Naim R, Wibawan IWT. 2006. Potensi Kejadian Meningitis pada Neonatus Akibat Infeksi Enterobacter sakazakii yang Diisolasi dari Makanan dan Susu Bayi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Insitut Pertanian Bogor. Estuningsih S, Wibawan IWT, Huminto H. 2007. Laporan Penelitian Potensi Kejadian Meningitis pada Neonatus akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang diisolasi dari Makanan dan Susu Bayi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Insitut Pertanian Bogor. Eurell JA, Frappier BL, editor. 2006. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 99-115, 171. Farmer JJ, Asbury MA, Hickman FW, Bernner DJ. 1980. Enterobacter sakazakii: a New Species of Enterobacteriaceae Isolated from Clinical Specimens. Int J Syst Bacteriol 30: 569-584. Fox SI. 2004. Human Physiology. Ed ke-8. New York: Mc Graw-Hill Companies. Hlm 155.
Frappier BL. 2006. Digestive System. Di dalam: JA Eurell dan BL Frappier, Editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 170-211. Gassem MAA. 1999. Study of The Microorganism Associated with the Fermented Bread (khamir) Produced from Sorghum in Gizan Region, Saudi Arabia. Journal of Applied Microbiology 86: 221-225. Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi Jilid 2. Gunawijaya AF, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Textbook of Histology. Grecilia G. 2008. Uji Sitotoksik Enterobacter sakazakii Isolat Asal Makanan dan Susu Bayi pada Sel Lestari Vero [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bone Marrow of Domestic Animals. Philadelphia: Saunders Company. Hal: 82-83. Hassel S. 2004. Enterobacter sakazakii in Powdered Infant Formula. FAO/WHO Regional Conference on Food Safety for Asia and the Pacific. May 26, Seremban, Malaysia. Ironside JW. 1994. Central and Peripheral Nervous Systems. Di dalam: Underwood JCE, editor. General and Systematic Pathology. New York: Churchill Livingstone. Hlm 747-802. Iversen C, Forsythe S. 2003. Risk profile of Enterobacter sakazaki. Trends in Food Science and Technology 14: 443-454. Iversen C, Waddington M, On SLW, Forsythe S. 2004. Identification and Phylogeny of Enterobacter sakazakii Relative to Enterobacter and Citrobacter Species. J Clin Microbiol 42 (11): 5368-5370. Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke4. New York: Academic Press. Hlm 84-178, 370-375. Junquereira LC, Carneiro J. 1982. Histologi Dasar. Ed ke-3. Dharma A, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Basic Histology. Hlm 287308, 323-335. Kane V. 2004. Faster Detection of Enterobacter sakazakii in Infant Formula. http://www. Rapidmicrobilogy.com [ 13 Februari 2007].
Kandhai C, Reiji MW, Gorris LGM, Guillaume-Gentil O, van Schothorst M. 2004. Occurence of Enterobacter sakazakii in Food Production Environments and Households. The Lancet 363: 39-40. Kleiman MB, Allen SD, Neal P, Reynolds J. 1981. Meningoencephalitis and Compartmentalization of the Cerebral Ventricels Caused by Enterobacter sakazakii. J Clin Microbiol 14: 352-354. Koestner A, Jones TC. 2006. The Nervous System. Di dalam Jones TC, Hunt RD, King NW, editor. Veterinary Pathology. Ed ke-6. Iowa: Blackwall Publishing. Hlm 1259-1274. Lai KK. 2001. Enterobacter sakazakii Infections Among Neonates, Infants, Children, and Adults. J Medicine 80: 113-122. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Ed ke-2. Nugroho E, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Basic Toxicology: Fundamentals, Target Organ and Risk Assesment. Hlm 230235. Macfarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5. Edinburgh: Churchill Livingstone. Hlm 62-77. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: [IPB] Institut Pertanian Bogor, Pusat Studi Antar Universitas. Mange JP, Stephan R, Borel N, Wild P, Kim KS, Pospischil A, Lehner A. 2006. Adhesive Properties of Enterobacter sakazakii to Human Epithelial and Brain Microvascular Endothelial Cells. BMC Microbiology, 6:(58):10.1186/1471-2180-6-58. http://www.biomedcentral.com/ 14712180/6/58. [16 Agustus 2008] Muytjens HL, Zanen HC, Sonderkamp HJ, Kollee LAA, Wachsmuth IK, Farmer JJ III. 1983. Analysis of Eight Cases of Neonatal Meningitis and Sepsis Due to Enterobacter sakazakii. J Clin Microbiol 18 (1): 115-120. Muytjens, HL, Roelofs-Willemse H, Jaspar GHJ. 1988. Quality of Powdered Substitutes for Breast Milk with Regard to the Members of the Family Enterobacteriaceae. J Clin Microbiol 26: 743-746.
Muytjens HL, Kollee LAA. 1990. Enterobacter sakazakii Meningitis in Neonates: Causative role of Formula. The pediatric infectious disease journal 9(5): 372-373. Nazarowec-White M, Farber JM. 1997. Enterobacter sakazakii : A review. J Food Microbiol 34: 103-113 Pagotto FJ, Nazarowek-White M, Bidawid MS, Farber JM. 2003. Enterobacter sakazakii: Infectivity and Enterotoxin Production in Vitro and in Vivo. J Food Protect 66: 370-375. Pagotto FJ, Farber JM, Lenati R. 2008. Pathogenicity of Enterobacter sakazakii. Di dalam JM Farber, SJ Forythe, Editor. Enterobacter sakazakii. Washington: ASM Press. Hlm 127-144. Percy DH, Barthold SW. 2001. Pathology of Laboratory Rodents and Rabbits. Ed ke-2. Iowa: Iowa State Press. Postupa R, Aldova E.1984. Enterobacter sakazakii: A Tween 80 Eterase-Positive Representative of the Genus Enterobacter Isolated from Powered Milk Specimens. J Hyg Epidemiol Microbio Immunol 28 (4): 435-40. Press CM, Landsverk T. 2006. Immune System. Di dalam: Eurell JA, Frappier BL, editor. Dellmanns’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing. Hlm 134-152. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisologi Konsep Klinis Proses Kejadian Penyakit. Anugrah P, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Hlm 110-119, 461-464, 1006-1044. Radovsky A, Mahler JF. 1999. Nervous system. Di dalam: RR Maronpot, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of The mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115. Reid H, Fallon RJ. 1992. Bacterial Infections. Di dalam: JH Adams, Editor. Greenfield’s Neuropathology. Ed ke-5. London: Edward Arnold. Hlm 302-317. Saez-Liorens X, McCreacken GH. 2003. Bacterial Meningitis in Children. The Lancet 361: 2139-2148.
Shackelford CC, Elwell MR. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentary. Di dalam: RR Maronpot, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115. Simmons BP, Gelfand MS, Haas M, Metts L, Ferguson J. 1989. Enterobacter sakazakii Infections in Neonates Associated with Intrinsic Contamination of a Powdered Infant Formula. Infect Control Hosp Epidemiol. 10 (9): 398401. Sinave CP. 2003. Enterobacter infections. http://www.emedicine.com [13 Februari 2007]. Sirois, Margi. 2005. Laboratory Animal Medicine. United of State America: Mosby, Inc. Hlm 87-115. Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1974. Veterinary Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: Lea and Febiger. Hlm 125, 1181. Smith JB, Mangkuwidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. Hlm 10-36. Springer SC, Annibale DJ. 2006. http://www.emedicine.com [3 Mei 2007].
Necrotizing
Enterocolitis.
Taylor, CJ. 2002. Health Professionals Letter on Enterobacter sakazakii Infections Associated with Use of Powdered Dry Infant Formulas in Neonatal Intensive Care Unit. US: US Department of Health and Human Services. www.cfsan.fda.gov [3 Mei 2007]. Tizard I. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Partodiredjo M, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immonology. Hlm 203-217. Underwood JCE. 1994. General and Systematic Pathology. New York: Churchill Livingstone. Hlm 365-385, 747-788. Valli VEO, Parry BW. 1993. The Hematopietic System. Di dalam: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N, Editor. Pathology of Domestic Animals Volume 3. Ed ke-4. California: Academic Press. Hlm 234-236. Van Acker J et al. 2001. Outbreak of Necrotizing Enterocolitis Associated with Enterobacter sakazakii in Powdered Milk Formula. J Clinical Microbiology 39 (1): 293-297.
Ward JM, Mann PC, Morishima H, Frith CH. 1999. Thymus, Spleen, and Lymph Nodes. Di dalam: Maronpot RR, GA Boorman, BW Gaul, Editor. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 333-357.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pemberian Obat pada Mencit
AMOXICILIN® Dosis anak 3 x sehari
= 125 mg/25 kgBB 1x pakai = 25 mg/kgBB = 75 mg/kgBB
BB 1 ekor mencit ± 25 grm. 25 mg/1000 mg x 75 mg =1,875 mg/hari = 2 mg/hari Larutan Amoxicilin® yang tersedia mengandung 125 mg/5 ml= 25 mg/ml. Diperlukan 2 mg/125 mg x 5 ml = 0,08 ml / ekor mencit. Diencerkan menjadi 10 kali. Misalkan: 10 ml larutan Amoxicilin® + 90 aquadest. Sehingga pemberian: Dewasa : 0.8 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut). Anak : 0.4 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut). CIPROFLOXACIN® Tablet Ciprofloxacin® 500 mg. Dosis : 500 mg/ 50 kg BB 10 mg/kg BB Namun berdasarkan penelitian tikus aspirin tidak mempan, sehingga dinaikkan menjadi 100 mg/kgBB. BB 1 ekor mencit ± 25 grm. Dibutuhkan 25/1000 x 100 mg =2,5 mg/mencit. Sehingga 1 tablet (500 mg) dapat digunakan untuk 200 mencit. Ingin diberikan kepada mencit dalam bentuk larutan 1 ml/mencit yang mengandung 2,5 mg Ciprofloxacin®. Maka: 1 tablet dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Dosis untuk setiap mecit: Dewasa : 1 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut). Anak : 0.5 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut).
ALBENDAZOL® Konsentrasi larutan yang tersedia Dosis untuk setiap ekor mencit Berat-badan mencit
: 10 mg/ml : 10 mg/kg : 30 mg/ekor
Albendazole® yang dibutuhkan untuk setiap ekor mencit Larutan Albendazole® baru Larutan Albendazole® yang tersedia (10 mg/ml) Pelarut (Aquadest) Kandungan larutan baru
= 5,0 mg/100ml = 0,05 mg/ml Pemberian untuk setiap ekor mencit = 0, 025 mg/ml
: 0,00033 mg/ekor ~ 0,0004 mg/ekor : 0,5 ml : 99,5 ml + 100,0 ml
Lampiran 2. Sidik Ragam (Anova : Single Factor) pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda Hipotesis: H0 : μi = μj H1 : Minimal ada sepasang μi ≠ μj
a. Jumlah Sel Radang pada Usus Halus Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan Sisa
5 22
4004,0143 1801,2700
800,8029 81,8759
9,7807
2,6613
Total
27
5805,2843
Fhitung
= 9,7807;
Ftabel
= 2,6613
Keputusan
: Fhitung > Ftabel maka tolak H0
Kesimpulan
: Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa minimal terdapat sepasang perlakuan yang menghasilkan jumlah sel radang yang berbeda nyata pada usus halus.
b. Jumlah Sel Radang pada Usus Besar Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan
5
1020,7564
204,1513
2,6893
2,6848
Sisa
21
1594,1398
75,9114
Total
26
2614,8962
Fhitung
= 2,6893;
Ftabel
= 2,6848
Keputusan
: Fhitung > Ftabel maka tolak H0
Kesimpulan
: Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa minimal terdapat sepasang perlakuan yang menghasilkan jumlah sel radang yang berbeda nyata pada usus besar.
c. Jumlah Mikroglia pada Otak Besar Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan Sisa
5 24
6204,6613 3101,8331
1240,9323 129,2430
9,6015
2,6207
Total
29
9306,4944
Fhitung
= 9,6015;
Ftabel
= 2,6207
Keputusan
: Fhitung > Ftabel maka tolak H0
Kesimpulan
: Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa minimal terdapat sepasang perlakuan yang menghasilkan jumlah mikroglia yang berbeda nyata pada otak besar.
d. Jumlah Mikroglia pada Medula Spinalis Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan Sisa
5 24
3363,4078 8106,1980
672,6816 337,7583
1,9916
2,6207
Total
29
11469,6058
Fhitung
= 1,9916;
Ftabel
= 2,6207
Keputusan
: Fhitung < Ftabel maka gagal tolak H0
Kesimpulan
: Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa seluruh perlakuan menghasilkan jumlah mikroglia yang tidak berbeda nyata pada medula spinalis.
e. Jumlah Folikel Limfoid pada Limpa Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan Sisa
5 22
0,1225 1,1394
0,0245 0,0518
0,4732
2,6613
Total
27
1,2620
Fhitung
= 0,4732;
Ftabel
= 2,6613
Keputusan
: Fhitung < Ftabel maka gagal tolak H0
Kesimpulan
: Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa seluruh perlakuan menghasilkan jumlah folikel limfoid yang tidak berbeda nyata pada limpa.
f. Jumlah Megakaryosit pada Limpa Sumber keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Ftabel
Perlakuan Sisa
5 22
2,9619 51,9051
0,5924 2,3593
0,2511
2,6613
Total
27
54,8670
Fhitung
= 0,2511;
Keputusan Kesimpulan
Ftabel
= 2,6613
: Fhitung < Ftabel maka gagal tolak H0 : Pada selang kepercayaan 95%, diyakini bahwa seluruh perlakuan menghasilkan jumlah megakaryosit yang tidak berbeda nyata pada limpa.
Lampiran 3. Uji Wilayah-Berganda Duncan pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda Bila │µi - µj│> Rx, maka ditarik kesimpulan bahwa µi dan µj berbeda nyata Bila │µi - µj│< Rx, maka ditarik kesimpulan bahwa µi dan µj tidak berbeda nyata Misalkan untuk jumlah mikroglia dengan menggunakan dosis 106 dan 107 pada otak besar. Karena µ7 - µ6= 24,49 > R2 = 14,84, maka ditarik kesimpulan bahwa µ7 dan µ6 berbeda nyata Merupakan kelaziman untuk meringkaskan kesimpulan dengan cara menarik garis dibawah rata-rata perlakuan yang tidak berbeda nyata. a. Jumlah Mikroglia pada Cerebrum µK 34.84
µ3 40.64
µ4 44.76
µ5 50.15
2 2.92 14.84
3 3.07 15.59
4 3.16 16.07
µ4 44.76
µ5 50.15
µ6 55.08
µ7 79.57
Keterangan : k=kontrol; a= dosis 103; b= dosis 104; c= dosis 105; d= dosis 106; e=dosis 107
p rp Rp
5 3.23 16.40
6 3.28 16.66
Kesimpulan : µK 34.84
µ3 40.64
µ6 55.08
µ7 79.57
b. Jumlah Sel Radang pada Usus Halus µK 14.12
µ3 24.92
µ4 29.70
µ5 31.15
µ6 40.44
µ7 50.84
p
2
3
4
5
6
rp
2.93
3.08
3.17
3.24
3.29
Rp
13.26
13.93
14.34
14.66
14.88
(Bila ni= nj= 4)
Rp
12.58
13.22
13.61
13.91
14.12
(Bila ni= 4 dan nj= 5)
Rp
11.86
12.46
12.83
13.11
13.31
(Bila ni= nj= 5)
µ4 29.70
µ5 31.15
Keterangan : k=kontrol; a= dosis 103; b= dosis 104; c= dosis 105; d= dosis 106; e=dosis 107
Kesimpulan : µK 14.12
µ3 24.92
µ6 40.44
µ7 50.84
c. Jumlah Sel Radang pada Usus Besar µ3 16.28
µK 16.29
µ4 17.75
µ5 18.92
µ6 22.40
µ7 33.32
p
2
3
4
5
6
rp
2.94
3.09
3.18
3.25
3.30
Rp
13.83
14.54
14.94
15.27
15.50
(Bila ni= 3 dan nj= 4)
Rp
13.23
13.90
14.29
14.60
14.82
(Bila ni= 3 dan nj= 5)
Rp
12.81
13.46
13.83
14.14
14.35
(Bila ni= nj= 4)
Rp
12.15
12.77
13.12
13.41
13.62
(Bila ni= 4 dan nj= 5)
Rp
11.46
12.04
12.37
12.64
12.84
(Bila ni= nj= 5)
µ4 17.75
µ5 18.92
Keterangan : k=kontrol; a= dosis 103; b= dosis 104; c= dosis 105; d= dosis 106; e=dosis 107
Kesimpulan : µ3 16.28
µK 16.29
µ6 22.40
µ7 33.32
Lampiran 4. Uji Kruskal-Wallis pada Berbagai Pengamatan dengan Perlakuan yang Berbeda Hipotesis: H0 : μi = μj H1 : Minimal ada sepasang μi ≠ μj
a. Jumlah Epitel pada Usus Halus Peringkat ke-
r n Rata-rata
h
=
Kontrol 4 4 4 4 4 20 5 4
3
10 4 4 9 13 17 47 5 9,4
104 21 13 9 17 60 4 15
105 17 13 13 21 13 77 5 15,4
106 25 19 9 25 23 101 5 20,2
107 29 21 27,5 25 27,5 130 5 26
12 ⎡ 202 47 2 130 2 ⎤ + + + ... ⎢ ⎥ − (3)(30 ) = 20,7283 29(30) ⎣ 5 5 5 ⎦
χ2(0,05) = 11,07 Keputusan
: h > χ2(0,05) maka tolak H0
Kesimpulan
: Terdapat bukti yang cukup untuk menolak hipotesis yang mengatakan bahwa jumlah epitel pada usus halus sama untuk keenam perlakuan yang diberikan.
b. Jumlah Epitel pada Usus Besar Peringkat ke-
r n Rata-rata
h
=
Kontrol
103
104
105
106
107
11 11 11
11 11 11 11 11
11 11 11
11 11 11 11
11 11 11
11 11 23 11 22
33 3 11
55 5 11
33 3 11
44 4 11
33 3 11
78 5 15,6
12 ⎡ 332 552 782 ⎤ + + + ... ⎢ ⎥ − (3)(24) = 1,8 23(24) ⎣ 3 5 5 ⎦
χ2(0,05) = 11,07 Keputusan
: h > χ2(0,05) maka gagal tolak H0
Kesimpulan
: Tidak terdapat bukti yang cukup untuk menolak hipotesis yang mengatakan bahwa jumlah epitel pada usus besar sama untuk keenam perlakuan yang diberikan.
c. Jumlah Deplesi Folikel Limfoid pada Limpa Peringkat ke-
r n Rata-rata
h
=
Kontrol
103
104
105
106
107
1,5 3,5 3,5 8
10 9 11 1,5 5
12 6,5 14,5 20 26
14,5 18 6,5 17
14,5 21 23 22 14,5
24 27 28 19 25
16,5 4 4,125
36,5 5 7,3
79 5 15,8
56 4 14
95 5 19
123 5 24,6
12 ⎡16,52 36,52 1232 ⎤ + + + ... ⎢ ⎥ − (3)(29 ) = 19,3672 28(29) ⎣ 4 5 5 ⎦
χ2(0,05) = 11,07 Keputusan
: h > χ2(0,05) maka tolak H0
Kesimpulan
: Terdapat bukti yang cukup untuk menolak hipotesis yang mengatakan bahwa jumlah deplesi folikel limfoid pada limpa sama untuk keenam perlakuan yang diberikan.
d. Jumlah Infiltrasi Sel Radang pada Limpa Peringkat ke-
r n Rata-rata
h
=
Kontrol
103
104
105
106
107
1,5 3 5 4
6 7,5 12 1,5 18,5
20 9 14,5 13 7,5
21 22 16,5 16,5
11 18,5 10 24 14,5
26 27 28 25 23
13,5 4 3,375
45,5 5 9,1
64 5 12,8
76 4 19
78 5 15,6
129 5 25,8
12 ⎡13,52 45,52 129 2 ⎤ + + + ... ⎢ ⎥ − (3)(29 ) = 20,4061 28(29 ) ⎣ 4 5 5 ⎦
χ2(0,05) = 11,07 Keputusan
: h > χ2(0,05) maka tolak H0
Kesimpulan
: Kita mempunyai bukti yang cukup untuk menolak hipotesis yang mengatakan bahwa jumlah PMN pada limpa sama untuk keenam perlakuan yang diberikan
e. Deposisi Protein Radang pada Limpa
Peringkat ke-
Kontrol 1,5 9 7 4,5
r n Rata-rata
h
22 4 5,5
3
10
104
105
106
107
9 6 3 1,5
17 14 4,5 15,5
22 20 11 15,5
9 18 27 20
25,5 25,5 28 20
12
24
13
23
31,5 5 6,3
75 5 15
87 5 17,4
122 5 24,4
68,5 4 17,125
12 ⎡ 222 31,52 122 2 ⎤ = + + ... + ⎢ ⎥ − (3)(29) = 18,046 28(29 ) ⎣ 4 5 5 ⎦
χ2(0,05) = 11,07 Keputusan
: h > χ2(0,05) maka tolak H0
Kesimpulan
: Terdapat bukti yang cukup untuk menolak hipotesis yang mengatakan bahwa jumlah deposisi protein radang pada limpa sama untuk keenam perlakuan yang diberikan.