STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN ITIK (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan)
ERVA NOORRAHMAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Erva Noorrahmah NRP A156090154
ABSTRACT ERVA NOORRAHMAH. Regional Development Strategy Based on Duck Farming (Case Study in Hulu Sungai Utara District Kalimantan Selatan Province). Under direction of DWI PUTRO TEJO BASKORO and SETIA HADI
Hulu Sungai Utara District is one of the development area of duck farming in South Kalimantan Province. Duck farming play an important role in increasing revenue, job opportunities and regional development. Regional development planning should consider various aspects such as physical and socio-economic aspects. This study aims to identify land suitability for duck feed and its availability, determine the financial feasibility of duck farming, identify the center of duck farming production and priority directions of development policy. Analytical methods used are spatial analysis using ArcGIS 9.3, carrying capacity analysis, financial feasibility analysis, location quotient (LQ) analysis and strengths-weaknesses-opportunities-threats (SWOT) analysis. The results showed that the duck farming is suitable in this area, but local feed availability is insufficient. Duck farming is considered feasible and profitable by revenue and financial feasibility analysis. Regional development for duck farming in Hulu Sungai Utara District have been planned by considering environmental capacity and zoning of duck farming basis sector. Policy priorities of regional development based on duck farming is the provision and expansion of areas for livestock feed. Keywords: regional planning, carrying capacity, duck farming, financial feasibility
RINGKASAN ERVA NOORRAHMAH. Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan SETIA HADI.
Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai nilai ekonomis dan potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan. Populasi ternak itik di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan 0,23%. Sekitar 10,39% populasi ternak itik nasional terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 2009 populasi ternak itik di Kalimantan Selatan berada pada urutan keempat dari populasi itik di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ditjennak, 2009). Ternak itik di Kalimantan Selatan sebagian besar dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang merupakan sentra pengembangan itik Alabio. Populasi itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sekitar 30,16% dari populasi itik di Provinsi Kalimantan Selatan. Ternak itik sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan kondisi lingkungan yang sebagian besar berupa hamparan rawa. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak itik karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan. Beternak itik merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jumlah peternak itik terbanyak dibandingkan peternak lainnya, yaitu sebanyak 4.902 peternak. Kontribusi subsektor peternakan dalam perekonomian Kabupaten Hulu Sungai Utara cukup besar. Sektor pertanian menyumbang 46,26% dari total PDRB Kabupaten dengan peranan subsektor peternakan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan yaitu sebesar 19,15%. Sumbangan dari peternakan itik sekitar 75,97% terhadap subsektor peternakan dan hasilnya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan itik, namun dalam pengembangannya harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek fisik wilayah dan sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan: 1) mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak; 2) menganalisis ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik; 3) mengetahui kelayakan finansial usaha peternakan itik; 4) mengetahui sentra peternakan itik berdasarkan keunggulan komparatif; 5) menentukan arahan pengembangan ternak itik berdasarkan potensi sumberdaya lahan; dan 6) menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik menunjukkan bahwa seluruh areal studi wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara sesuai secara ekologis, karena pada umumnya ternak unggas dapat hidup pada semua kondisi lahan yang ada, baik lahan yang berair maupun kering. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara umumnya memanfaatkan sagu dan dedak sebagai campuran pakan ternak itik. Oleh karena itu, untuk melihat potensi pengembangan ternak
itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara, kesesuaian lahan tanaman sagu dan padi dianalisis. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman sagu menunjukkan luas wilayah yang sesuai sagu sekitar 46.452 ha (51,70%), sedangkan lahan yang tidak sesuai seluas 43.400 ha (48,30%). Berdasarkan syarat tumbuh tanaman sagu faktor pembatas kesesuaian lahan yang menyebabkan lahan tidak sesuai (N) adalah drainase, jenis tanah dan lama genangan. Pada kesesuaian lahan aktual padi, luas wilayah yang terluas pada kelas N (tidak sesuai) yaitu sekitar 53,83%. Dengan perbaikan kondisi kejenuhan basa, perbaikan keasaman tanah (dengan menaikkan pH), dan kondisi genangan (pembuatan saluran air), maka kesesuaian lahan dapat dinaikkan dari N menjadi S3. Dengan demikian, terjadi pengurangan persentase lahan yang tidak sesuai. Pada hasil kesesuaian lahan padi potensial, luas lahan yang tidak sesuai berkurang menjadi 35,77%. Hasil perhitungan ketersediaan dedak dengan populasi ternak tahun 2008 berdasarkan penggunaan lahan eksisting sawah pada masing-masing kesesuaian lahan, diperoleh indeks ketersediaan pakan dedak pada semua kecamatan kurang dari 1. Maka berdasarkan ketersediaan pakan dedak, semua wilayah tidak mencukupi kebutuhan untuk ternak itik. Hasil perhitungan daya dukung dedak berdasarkan potensi pengembangan padi diperoleh indeks daya dukung di Kecamatan Paminggir yang mempunyai status aman kecamatan lainnya nilai indeks daya dukungnya sangat kritis (kurang dari 1). Hasil perhitungan ketersediaan pakan sagu menunjukkan bahwa hanya di Kecamatan Paminggir dan Haur Gading yang memiliki indeks ketersediaan lebih dari 1. Sedangkan perhitungan daya dukung sagu berdasarkan potensi pengembangan sagu menghasilkan status daya dukung sagu aman, pada sebagian besar kecamatan dengan nilai indeks lebih dari 2, kecuali Kecamatan Sungai Pandan dan Amuntai Utara. Daya dukung pakan dedak pada lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan bahwa Kecamatan Paminggir yang mempunyai status daya dukung aman, sedangkan kecamatan lainnya, status daya dukungnya sangat kritis. Daya dukung sagu berdasarkan lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan kecamatan Paminggir, Danau Panggang dan Amuntai Selatan yang mempunyai status daya dukung aman. Selain pakan dedak dan sagu, peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara memanfaatkan pakan lokal lainnya, yaitu keong rawa (biasa disebut kalambuai) sebagai sumber protein. Berdasarkan perhitungan daya dukung keong, semua wilayah kecamatan mempunyai indeks daya dukung >1. Hal ini berarti Kabupaten Hulu Sungai Utara masih mampu memenuhi kebutuhan keong untuk pakan ternak itik. Usaha peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara sudah memiliki spesialisasi usaha yang meliputi antara lain penetasan ternak, pembesaran, penghasil telur tetas, dan penghasil telur konsumsi. Hasil analisis pendapatan dan kelayakan finansial pada faktor diskonto 12 % menunjukkan keempat spesialisasi layak dan menguntungkan. Pada spesialisasi usaha penetasan skala 1000 butir telur tetas yang ditetaskan dengan 12 kali periode penetasan dalam satu tahun yaitu Rp. 7.460.000,-, nilai NPV Rp. 36.971.946,-, nilai BCR 1,38 dan IRR 16,50%. Pendapatan rata-rata dari usaha pembesaran itik pada skala 500 ekor yaitu sebesar Rp 19.050.000,- per tahun, nilai NPV Rp. 63.406.243,-, nilai BCR 1,58, nilai IRR 65,25%. Pendapatan yang diperoleh dari usaha penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas selama satu tahun berturut-turut yaitu Rp 25.311.000,- dan Rp 26.358.000,-. Dengan nilai NPV masing-masing sebesar Rp. 41.739.329,- dan Rp. 22.949.982,-, nilai BCR 1,05 dan 1,02, nilai IRR sebesar 19,66% dan 17,88%. Hasil analisis Location Quotient (LQ) yang diidentifikasi untuk tujuh komoditas ternak, yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam ras,
dan itik, menunjukkan bahwa peternakan itik memusat di Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Nilai LQ paling tinggi di Kecamatan Sungai Tabukan. Penentuan arahan pengembangan wilayah peternakan itik yaitu skenario pertama berdasarkan potensi pengembangan padi dengan wilayah basis, skenario kedua berdasarkan potensi pengembangan sagu dengan wilayah basis dan skenario ketiga berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dengan wilayah basis. Dari potensi tersebut pada wilayah yang memiliki status daya dukung aman dan non basis diarahkan sebagai wilayah penyangga penyediaan pakan, kecamatan yang menjadi basis itik diarahkan sebagai wilayah budidaya, pada kecamatan non basis yang status daya dukungnya sangat kritis dan kritis, diarahkan untuk wilayah perdagangan dan pengolahan hasil. Berdasarkan analisis SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities Threats) didapatkan kekuatan utama yaitu terdapat pusat pemasaran, kelemahan utama yaitu sarana prasarana, peluang yang direspon baik yaitu meningkatnya permintaan telur dan daging itik, sedangkan ancaman yang pengaruhnya sangat kuat yaitu ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas untuk pengembangan ternak berdasarkan ancaman utama yaitu kurangnya ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas pengembangan wilayah berbasis peternakan itik yaitu penyediaan dan perluasan areal tanaman budidaya pakan lokal ternak itik untuk menunjang ketersediaan dan keberlanjutan pakan ternak lokal. Kata kunci: pengembangan wilayah, daya dukung, peternakan itik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN ITIK (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan)
ERVA NOORRAHMAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan) Erva Noorrahmah A156090154
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 25 April 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagai pembelajar sejati tauladan umat. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini yaitu Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Peternakan Itik (Studi Kasus di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus, rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr.Ir. Setia Hadi, M.Si (Anggota Komisi Pembimbing) atas bimbingan, saran perbaikan dan dukungan moril sehingga tesis ini selesai dengan baik, serta kepada Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku penguji luar komisi atas segala sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih pula kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan sekretariat. Disamping itu terima kasih pula kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa pascasarjana yang diberikan kepada penulis juga kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drh. H. Suyadi, Ir. Rusnaidy, Drh. I Gusti Putu Susila atas saran dan masukannya, juga kepada M. Taufik Rizani dan Drh. Sagita Rini atas bantuannya ke lapangan, serta rekanrekan di Dinas Peternakan Kab. HSU dan masyarakat yang telah banyak membantu dan memberi informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Tak lupa kepada sahabat terbaik penulis Sri Jamiatul Khairah atas persahabatan dan bantuannya selama ini juga kepada Eva Agustina. Akhirnya untuk teman-teman PWL kelas khusus angkatan 2009 atas keakraban dan persaudaraan yang indah kita selama ini, takkan terlupakan dan semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih banyak. Rasa hormat, terima kasih dan doa penulis teruntuk keluarga tersayang abah (H. Arbain Lukman) dan mama (Hj. Sakdah) atas segala doa, kasih sayang, nasehat, pengorbanan yang diberikan kepada penulis juga kepada kakak (H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si) atas segala doa dan dukungan yang kuat buat penulis serta untuk ading Zulfadilah Fauzi (alm) yang sangat pengertian selama masa hidupnya. Tidak ada karya manusia yang sempurna, namun harus diusahakan agar sebaik-baiknya. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, April 2011
Erva Noorrahmah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banua Kupang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Juni 1979 dari ayah H. Arbain Lukman dan ibu Hj. Sakdah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si dan adik Zulfadilah Fauzi (Alm). Penulis menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan. Lulus dari SMUN 1 Barabai pada tahun 1998. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan selesai tahun 2003. Kesempatan melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah diperoleh pada tahun 2009 melalui program beasiswa dari Bappenas. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak bulan Januari 2005 sebagai staf di Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebuah karya yang kupersembahkan untuk orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku Abah (H. Arbain Lukman), Mama (Hj. Sakdah) Kakak (H. Taufiqurrahman, S.TP, M.Si) dan ading yang telah pergi mendahuluiku Zulfadilah Fauzi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….
Halaman iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
iv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
v
I
1
II
III
PENDAHULUAN……………………………………………………... 1.1
Latar Belakang…………………………………………………
1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………………….
3
1.3
Tujuan Penelitian ……………………………………………..
4
1.4
Manfaat Penelitian…………………………………………….
4
1.5
Kerangka Pemikiran…………………………………………..
5
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….
7
2.1
Pengembangan Wilayah……………………………………..
7
2.2
Pengembangan Peternakan………………………………….
8
2.3
Ternak Itik………………………………………………………
9
2.4
Pakan Ternak………………………………………………….
11
2.5
Daya Dukung Pakan Ternak…………………………………
12
2.6
Evaluasi Kesesuaian Lahan………………………………….
13
2.7
Sektor Basis……………………………………………………
14
2.8
SWOT………………………………………………………....
15
METODE PENELITIAN………………………………………………
17
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………
17
3.2
Pengumpulan Data……………………………………………
17
3.3
Analisis Data…………………………………………………...
19
3.3.1. Analisis Kesesuaian Lahan……………………………
21
3.3.2. Analisis Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan……
21
3.3.3. Analisis Finansial……………………………………….
22
3.3.4. Analisis Ekonomi Basis………………………………..
25
3.3.5. Arahan Pengembangan Peternakan Itik…………….
26
3.3.6. Analisis SWOT………………………………………….
26
IV
V
VI
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN……………………….
29
4.1
Geografi…………………………………………………….......
29
4.2
Fisik Wilayah…………………………………………………...
30
4.2.1. Topografi………………………………………………..
30
4.2.2. Tanah……………………………………………………
30
4.2.3. Hidrologis dan Drainase………………………………
31
4.2.4. Penggunaan Lahan…………………………………….
33
4.3
Penduduk……………………………………………………….
33
4.4
Ekonomi Wilayah………………………………………………
34
4.5
Peternakan…………………………………………………….
37
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………
43
5.1
Kesesuaian Lingkungan Ekologis Ternak Itik………………
43
5.2
Kesesuaian Lahan Pakan Ternak Itik……………………….
45
5.2.1. Kesesuaian Lahan untuk Sagu……………………….
45
5.2.2. Kesesuaian Lahan untuk Padi………………………..
47
5.3
Penggunaan Lahan Eksisting………………………………..
52
5.4
Potensi Pengembangan Sagu………………………………
52
5.5
Potensi Pengembangan Padi………………………………...
55
5.6
Potensi Pengembangan Padi dan Sagu…………………….
57
5.7
Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan Ternak……………
59
5.8
Pendapatan…………………………………………………….
67
5.9
Kelayakan Finansial…………………………………………..
69
5.10
Ekonomi Basis………………………………………………..
71
5.11
Arahan Pengembangan………………………………………
73
5.12
Strategi Pengembangan………………………………………
79
5.13
Strategi Prioritas……………………………………………….
92
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………
93
6.1
Simpulan………………………………………………………..
93
6.2
Saran…………………………………………………………..
94
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….
95
LAMPIRAN…………………………………………………………….
99
DAFTAR TABEL Halaman 19
1
Tujuan, analisis, data dan keluaran………………………………..
2
Kriteria status daya dukung berdasarkan indeks daya dukung….
22
3
Matriks SWOT……….………………………………………………...
27
4
Kecamatan dalam wilayah administrasi Kab. HSU………………..
29
5
Persebaran jenis tanah……………………………………………….
31
6
Luas kondisi drainase lahan…..……………………………………..
32
7
Luas penggunaan lahan pada setiap kecamatan…………………
33
8
Jumlah rumah tangga dan penduduk di Kab. HSU……………….
34
9
Pertumbuhan PDRB Kab. HSU tahun 2006-2008………………...
35
10
PDRB Kab. HSU tahun 2008 atas dasar harga konstan…………
36
11
Perkembangan populasi ternak di Kab. HSU……………………...
38
12
Luas kesesuaian lahan padi aktual…………………………………
48
13
Luas kesesuaian lahan padi potensial……………………………...
51
14
Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kab. HSU……………………….
52
15
Potensi Pengembangan Sagu……………………………………….
53
16
Potensi Pengembangan Padi………………………………………..
55
17
Potensi Pengembangan Padi dan Sagu……………………………
57
18
Ketersediaan pakan dedak ………..………………………………..
60
19
Daya daya dukung pakan dedak berdasarkan potensi pengembangan padi…………………………………………………
61
20
Rataan komposisis pohon sagu…………………………………….
62
21
Ketersediaan sagu……………………………………………………
62
22
Daya dukung sagu berdasarkan potensi pengembangan sagu…
63
23
Daya dukung pakan dedak dan sagu berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu………………………………………
64
24
Proyeksi daya dukung pakan dedak dan sagu pada populasi itik tahun 2020 berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu.
65
25
Daya dukung keong…………………………………………………..
66
26
Pendapatan usaha penetasan itik skala 1000 butir telur…………
68
27
Pendapatan usaha pembesaran itik skala 500 ekor………………
68
28
Pendapatan usaha penghasil telur konsumsi dan tetas skala 500 ekor………………………………………………………………
69
29
Nilai LQ populasi ternak di Kab. HSU………………………………
71
30
Potensi pengembangan ternak itik berdasarkan potensi pengembangan dedak dan wilayah basis………………………….
73
31
Potensi pengembangan ternak itik berdasarkan potensi pengembangan sagu dan wilayah basis…………………………..
74
32
Potensi pengembangan ternak itik berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dengan wilayah basis……………………………………………………………………
75
33
Matrik IFE……………………………………………………………..
86
34
Matrik EFE……………………………………………………………
88
35
Alternatif strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik…………………………………………………………………….
91
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka pikir penelitian…………….………………………………
Halaman 5
2
Peta lokasi penelitian Kab. HSU…………………………………….
18
3
Diagram alir penelitian………………………………………………..
20
4
Lahan rawa di Kab. HSU…………………………………………….
30
5
Grafik nilai PDRB Kab. HSU….…………………………………….
35
6
37
7
Grafik peranan masing-masing subsektor pada sektor pertanian tahun 2008 atas dasar harga konsta………………………………. Komoditas unggulan peternakan Kab. HSU………………………
8
Pola pemeliharaan secara ekstensif dan intensif
40
9
Peta kesesuaian lahan sagu………………………………………...
46
10
Peta kesesuaian lahan aktual padi………………………………….
49
11
Peta kesesuaian lahan potensial padi……………………...
50
12
Persentase kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial padi….
51
13
Tanaman Sagu di Kec. Sungai Pandan dan Amuntai Utara……..
53
14
Peta Potensi Pengembangan Sagu di Kab. HSU…………………
54
15
Peta Potensi Pengembangan Padi di Kab. HSU………………….
56
16
Peta Potensi Pengembangan Padi dan Sagu di Kab. HSU……...
58
17
Pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa……………………………
61
18
Keong rawa………………………………………………………...
67
19
Peta pewilayahan basis komoditas ternak itik……………………
72
38
20
Peta arahan pengembangan berdasarkan potensi pengembangan padi dan wilayah basis……………………………
76
21
Peta arahan pengembangan berdasarkan potensi pengembangan sagu dan wilayah basis……………………..…..
77
22
Peta arahan pengembangan berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dengan wilayah basis……………………..…………………………………………….
78
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 99
1
Analisa kelayakan finansial usaha penetasan itik skala 1000 butir telur………….........................................................................
2
Analisa kelayakan finansial usaha pembesaran itik skala 500 ekor…………………………………………………………………….
105
3
Analisa kelayakan finansial usaha penghasil telur konsumsi skala 500 ekor ……………………………………………………….
106
4
Analisa kelayakan finansial usaha penghasil telur tetas skala 500 ekor………………………………………………………………..
107
5
Peta Penggunaan Lahan……………………………………………
108
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat penting dalam
menunjang
perekonomian
masyarakat.
Pembangunan
peternakan
memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis selain untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup peternak juga bertujuan untuk pemenuhan dan peningkatan gizi masyarakat khususnya dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani, penyedia lapangan kerja dan pengembangan potensi wilayah. Oleh karena itu, peranan subsektor peternakan harus dapat dimanfaatkan secara optimal. Menurut
Daryanto
(2009)
beberapa
peluang
bisnis
dalam
mengembangkan agribisnis peternakan diantaranya: 1) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ±220 juta jiwa dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4% pertahun merupakan konsumen yang sangat besar, 2) kondisi geografis dan sumberdaya
alam
yang
mendukung
usaha
dan
industri
peternakan.
3) meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi, dan 4) jika pemulihan ekonomi berjalan baik maka akan meningkatkan pendapatan perkapita yang kemudian akan meningkatkan daya beli masyarakat. Selanjutnya Sudrajat (2001) mengatakan misi dari pembangunan peternakan mencakup penyediaan pangan asal ternak, pemberdayaan SDM, penciptaan peluang ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian serta pemanfaatan sumberdaya alam pendukung peternakan. Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan yang mempunyai nilai ekonomis dan potensi yang cukup tinggi, baik sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan tambahan dalam menunjang kebutuhan keluarga. Itik mempunyai beberapa kelebihan dibanding unggas lainnya, antara lain: itik mampu mempertahankan produksi lebih lama dibandingkan ayam sehingga dapat mengurangi biaya penggantian itik setiap tahunnya, angka kematian itik umumnya kecil karena itik merupakan unggas yang tahan terhadap penyakit (Wasito dan Rohaeni, 1994). Ternak itik mempunyai peranan yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan daging dan telur di Indonesia. Populasi ternak Itik di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan 0,23% dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, dimana 10,39% populasi ternak itik terdapat
2
di Provinsi Kalimantan Selatan. Populasi ternak Itik di Kalimantan Selatan pada tahun 2009 termasuk urutan ke empat dari populasi itik di Indonesia setelah Provinsi Jawab Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ditjennak, 2009). Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) adalah salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan yang merupakan daerah sentra peternakan Itik Alabio. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan (2009) populasi itik di Kalimantan Selatan tahun 2009 sebanyak 4.158.452 ekor, populasi terbesar ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara sebanyak 1.254.252 ekor atau sekitar 30,16% dari populasi itik seluruhnya. Itik adalah salah satu unggas air yang sangat cocok dikembangkan di Kabupaten
HSU
dengan
kondisi
lingkungan
berupa
hamparan
rawa.
Berdasarkan pemanfaatan lahan, sebagian besar wilayah di Kabupaten HSU berupa hutan rawa yaitu seluas 29.711 ha (32,52%), sawah 25.492 ha (27,91%), kebun campuran 5.051 ha (5,53%) sedangkan yang dimanfaatkan sebagai pemukiman seluas 4.285 ha (4,69%), selebihnya 26.811 ha (29,35 %) berupa hamparan rumput rawa dan danau (BPS HSU, 2009). Ketersediaan air yang melimpah di rawa merupakan habitat yang paling disukai ternak itik. Jenis itik yang berkembang di lahan rawa lebak adalah jenis itik petelur seperti Itik Alabio (Anas Platyrynchos Borneo) yang merupakan plasma nutfah Kalimantan Selatan. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak ini dibandingkan pada lahan irigasi atau lahan kering karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan yang banyak tersedia secara alami di lahan rawa lebak seperti sagu (Metroxylon spp) dan berbagai sumber pakan berupa gulma air seperti kangkung, enceng gondok, rumput rawa; dan hewan air misalnya siput, gondang/keong mas, ikanikan kecil (Noor, 2007). Beternak itik merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat di Kabupaten HSU. Jumlah peternak itik terbanyak dibandingkan dengan peternak komoditas ternak lain yaitu sebanyak 4.902 orang, peternak ayam sebanyak 465 orang, peternak sapi 150 orang, peternak kerbau 542 orang, peternak kambing 88 orang dan peternak domba 7 orang (Disnak Kab. HSU, 2009). Kontribusi subsektor peternakan dalam perekenomian Kabupaten HSU cukup besar. Sektor pertanian menyumbang 46,26% dari total PDRB Kabupaten HSU dengan peranan subsektor peternakan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan, dengan sumbangan sebesar 19,15%.
3
Sumbangan dari peternakan itik sebesar 75,97% terhadap subsektor peternakan dan hasilnya. Dengan demikian komoditas itik merupakan salah satu komoditas unggulan yang mempunyai potensi untuk terus dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah di Kabupaten HSU. Melihat potensi tersebut didukung dengan program Pemerintah Kabupaten HSU yaitu program rawa makmur 2020, potensi lahan rawa yang prospektif sebagai sumber kemakmuran bagi masyarakat
telah
dimanfaatkan
dan
akan
terus
dioptimalkan
dalam
pengembangan peternakan. Untuk pengembangan usaha peternakan itik tersebut harus mempertimbangkan aspek fisik dan sosial ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan otonomi daerah Kabupaten HSU yang berpisah dengan Kabupaten Balangan sejak tahun 2003, maka peran pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokal untuk pengembangan wilayah. Usaha peternakan itik yang sudah secara turun temurun menjadi mata pencaharian masyarakat di Kabupaten HSU diharapkan menjadi usaha yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan taraf hidup peternak dan penyerapan tenaga kerja dalam rangka pengembangan wilayah. Kabupaten HSU yang menjadi sentra usaha peternakan itik memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan peternakan. Populasi ternak itik di Kabupaten HSU secara signifikan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006 populasi ternak itik sebanyak 1.162.262 ekor, tahun 2007 sebanyak 1.203.114 ekor dan tahun 2008 meningkat lagi sebanyak 1.216.917 ekor. Untuk tahun 2009 populasi itik mencapai 1.254.252 ekor. Usaha peternakan itik di Kabupaten HSU masih sangat tergantung pada lingkungannya yaitu daerah rawa. Sebagian besar peternak memanfaatkan pakan lokal yang tersedia di daerah rawa yaitu dedak padi, sagu, ikan, padi dan keong rawa (kalambuai). Meningkatnya populasi ternak itik membutuhkan pakan ternak yang lebih banyak, sedangkan ketersediaan pakan lokal masih tidak tersedia secara kontinyu. Dalam usaha peternakan, pakan merupakan faktor yang sangat menentukan karena biaya pakan ternak umumnya mencapai 60 sampai 70 % dari seluruh biaya dalam proses produksi peternakan. Penyediaan pakan, baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitas sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan peternakan (Syamsul et al., 2006).
4
Pengembangan
peternakan
di
Kabupaten
HSU
diarahkan
pada
pendekatan komoditas unggulan ternak itik yang menjadi plasma nutfah daerah dengan mempertimbangkan kesesuaian agroklimat, ketersediaan bahan baku, dukungan sosial budaya masyarakat dan pendapatan peternak. Dengan demikian aspek fisik wilayah dan sosial ekonomi menjadi perhatian penting dalam pengembangan peternakan. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan dapat dirumuskan pada penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana kesesuaian lingkungan ekologis dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak itik?
2.
Bagaimana ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik?
3.
Bagaimana kelayakan finansial usaha peternakan itik?
4.
Bagaimana arahan dan strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu: 1. Mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak Itik di Kab. HSU. 2. Menganalisis ketersediaan dan daya dukung pakan lokal ternak itik 3. Menganalisis kelayakan finansial usaha peternakan itik di Kabupaten HSU. 4. Mengetahui sentra peternakan itik berdasarkan keunggulan komparatif 5. Menentukan arahan pengembangan ternak itik berdasarkan potensi sumberdaya lahan. 6. Menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik di Kabupaten HSU 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten HSU dalam pengembangan peternakan itik untuk pengembangan wilayah 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dan swasta yang bergerak dalam usaha pengembangan peternakan itik di Kabupaten HSU.
5
1.5 Kerangka Pemikiran Secara skematik kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan pada Gambar 1. Pemanfaatan Potensi Daerah untuk Pengembangan Wilayah Usaha Peternakan Itik Potensi Lahan untuk Peningkatan Usaha Peternakan Itik Evaluasi Kesesuaian Lahan Penggunaan lahan eksisting
- Ketersediaan Pakan - Daya Dukung Pakan
Lahan-Lahan yang Berpotensi untuk Pengembangan Ternak Itik Wilayah Basis
Kelayakan Usaha
Arahan Pengembangan Usaha Peternakan Itik
Strategi Pengembanganan Wilayah Berbasis Peternakan Itik di Kabupaten HSU Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Alkadri et al., (1999) mengatakan pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Pengembangan wilayah mempunyai dua makna, yaitu: 1) makna sosial ekonomi, yaitu kegiatan pengembangan wilayah dengan jalan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dengan menciptakan sentra-sentra produksi sekaligus membangun prasarana dan adanya layanan logistik; 2) makna ekologis, yaitu pengembangan wilayah bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan akibat terlalu banyaknya campur tangan manusia terhadap lingkungan. Menurut Mangiri dalam Daryanto (2010) konsep pengembangan wilayah secara garis besar terbagi atas empat yaitu: 1.
Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Sumber daya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan manusia. Bentuk sumber daya tersebut yaitu tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial budaya.
2.
Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan Motor penggerak pembangunan wilayah pada komoditas yang dinilai dapat menjadi unggulan atau andalan, baik di tingkat domestik dan internasional
3.
Pengembangan Wilayah Berbasis Efisiensi Pembangunan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai
porsi
lebih
besar
dibandingkan
bidang-bidang
lainnya.
Pembangunan ekonomi tersebut dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempurna (free market mechanism). 4.
Pengembangan Wilayah Menurut Pelaku Pembangunan Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial, lembaga keuangan dan bukan keuangan, pemerintah maupun koperasi). Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) mengatakan
sebagaimana disampaikan dalam “Konferensi Nasional Ekonomi Indonesia” bahwa Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas
8
terhadap
keunikan
karakteristik
wilayah
(ruang).
Pemahaman
terhadap
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan.
2.2 Pengembangan Peternakan Faktor-faktor kritikal yang menentukan kinerja pembangunan pertanian adalah jumlah dan kualitas: (a) modal manusia (terkait dengan pendidikan dan pelatihan); (b) modal sosial (terkait dengan organisasi/kelompok/petani/peternak dan koperasi); (c) infrastruktur fisik (terkait dengan jalan, fasilitas komunikasi, pasokan energi dan air); (d) infrastruktur kelembagaan (terkait dengan penelitian dan penyuluhan, sistem keuangan perdesaan, peraturan dan kelembagaan termasuk hak-hak kepemilikan/property right) dan (e) modal fisik (terkait dengan ketersediaan lahan, infrastruktur peternakan dan investasi). Oleh karena itu, pembangunan
peternakan
harus
dilakukan
dengan
cara
yang
holistik,
komprehensif, tidak sektoral dan tidak parsial (Daryanto, 2009) Kawasan peternakan terdiri atas: 1) kawasan khusus peternakan, merupakan daerah prioritas dengan komoditas unggulan dengan memperhatikan kesesuaian agroekosistem dan agroklimat serta tata ruang wilayah; 2) kawasan terpadu, merupakan sistem integrasi antara ternak dengan tanaman pangan, holtikultura, perkebunan dan perikanan (program lintas subsektor); 3) kawasan agropolitan, merupakan kota pertanian yang dihela oleh desa-desa hinterland (Putri, 2003). Pengembangan peternakan di suatu wilayah perlu diperhatikan dan diukur potensi wilayah tersebut bagi jenis ternak yang akan dikembangkan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan peternakan di suatu wilayah, yaitu 1) persediaan bahan baku; 2) teknologi tepat guna; 3) keahlian yang dibutuhkan atau tenaga terampil; 4) potensi pengembangan peternakan; 5) prioritas pengembangan peternakan di lokasi yang bersangkutan; dan 6) kemungkinan bantuan kredit (Pulungan, 1985). Menurut Sudrajat (2001) pembangunan peternakan merupakan bagian dari suatu totalitas kinerja agribisnis, yang menjadi suatu kesatuan kinerja yang tidak terlepas dari subsistem agribisnis hulu berupa kegiatan ekonomi input produksi peternakan, informasi dan teknologi. Selain itu produksi peternakan
9
merupakan rangkaian yang juga tidak akan lepas dari subsistem agribisnis hilir, yaitu perdagangan, pengolahan dan jasa agribisnis. Pembangunan peternakan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan program yang mengarah pada pemanfaatan sumberdaya lokal untuk membangun peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan serta membangun sistem peternakan nasional yang
mampu
memenuhi
kebutuhan
terhadap
produk
peternakan
dan
mensejahterakan masyarakat (Bahri, 2008).
2.3 Ternak Itik Itik merupakan unggas yang senang berkelompok, makan bersama-sama terutama ketika mencari invertebrata bawah permukaan air (Cherry and Morris, 2008). Itik dapat menyebar ke kawasan yang luas karena bersifat aquatik. Selain itu makanan itik bersifat omnivorus (pemakan segala), mulai dari biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian dan makanan yang berasal dari hewan atau binatang-binantang kecil. Sifat spesifik lain dari itik adalah kakinya relatif pendek dibanding tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh selaput renang, serta bulu-bulunya yang tebal dan berminyak sehingga dapat menghalangi air masuk ke dalam tubuhnya ketika berada dalam air. Dengan demikian meskipun sudah dijinakkan, itik cenderung menyukai hidup di air (Suharno dan Amri, 2010). Beberapa itik lokal diberi nama sesuai dengan lokasinya dan mempunya ciri morphologi yang khas, contohnya Itik Tegal, Itik Alabio, Itik Bali, Itik Magelang, Itik Cirebon (Setioko et al., 1994). Itik Alabio (Anas Platyrynchos Borneo) adalah salah satu komoditas unggulan yang dibudidayakan oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan. Menurut Badan Standar Nasional (2009) persyaratan Itik Alabio jantan muda yaitu sebagai berikut: a) postur tubuh tegak membentuk sudut 70 derajat; b) paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung; c) terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai kebagian belakang kepala dan bulu bagian atas berwarna hitam; d) kaki berwarna kuning jingga; e) bulu leher bagian depan berwarna kuning sedangkan bagian belakang berwarna hitam; f) bulu dada berwarna coklat kemerahan; g) bulu punggung dan perut berwarna abu-abu dengan bercak coklat; h) bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap; i) bulu ekor berwarna hitam dan melingkar ke atas; sedangkan persyaratan untuk Itik Alabio betina
10
muda yaitu: a) postur tubuh tegak membentuk sudut 70 derajat; b) terdapat bulu putih membentuk garis mulai dari pangkal paruh sampai ke bagian belakang kepala dan bulu kepala bagian atas berwarna coklat bercak putih; c) paruh berwarna kuning sampai kuning jingga dengan bercak hitam pada bagian ujung; d) kaki berwarna kuning jingga; e) bulu leher bagian belakang berwarna coklat sedangkan bagian depan berwarna putih; f) bulu dada berwarna coklat; g) bulu perut dan punggung berwarna coklat bercak abu-abu; h) bulu sayap sekunder berwarna biru kehijauan dan mengkilap; i) bulu ekor berwarna coklat bercak hitam. Produktivitas Itik Alabio yaitu mulai bertelur pada umur lebih kurang 6 bulan, produksi telur mencapai 260 butir/ekor/tahun dan berat telur 63,5 gram/butir dengan warna kulit telur hijau kebiruan (Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2009). Sedangkan menurut Wasito dan Rohaeni (1994) masa dewasa Itik Alabio betina pada umur 6 bulan dengan masa bertelur 8-10 bulan per tahun sampai mencapai umur 3,5 tahun, setelah itu diafkir. Itik Alabio termasuk itik petelur yang baik produksi telurnya, bisa mencapai 275 butir/ekor/tahun, tetapi berat telurnya rata-rata lebih ringan dari Itik Jawa atau Itik Bali yaitu 50 – 70 gram. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional bibit induk muda harus berasal dari induk yang mempunyai rataan produksi telur minimal 60% selama masa produksi, daya tetas yang dicapai minimal 60% dari telur yang fertil, bobot telur tetas minimal 58 gram dan telur dengan kerabang berwarna hijau kebiruan. Menurut Clayton dalam Cherry dan Morris (2008) tingginya produktivitas Itik Alabio disebabkan pengalaman beternak dan tidak tergantung pada teknologi genetik dari barat. Itik Alabio termasuk jenis itik petelur yang sejenis dengan Itik Tegal (Jawa Tengah), Itik Mojokerto (Jawa Tengah), Itik Karawang (Jawa Barat), Itik Bali atau Itik Pegagan yang terdapat di Kabupaten Ogan Komiring Ilir Sumatera Selatan. Perbedaan secara fisik antara masing-masing jenis itik petelur tersebut tidak terlalu jauh. Hanya saja, Itik Alabio dikenal cocok dibudidayakan di lahan rawa lebak (Noor, 2007). Cara pemeliharaan Itik Alabio di lahan lebak dibedakan menjadi tiga yaitu ekstensif, intensif dan campuran (semi intensif) (Wasito dan Rohaeni, 1994). Nama Itik Alabio diambil dari nama kota kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan) yang jaraknya dari Amuntai ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara sekitar 5 km, atau dari Banjarmasin ibukota
11
Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 190 km. Alabio dikenal karena sejak lama menjadi tempat perdagangan unggas itik ini. Kota Alabio ini terletak di tengahtengah aliran DAS Sungai Nagara, anak Sungai Barito yang merupakan salah satu kawasan rawa lebak yang terluas di Kalimantan Selatan (Noor, 2007). “Itik Banar” adalah sebutan masyarakat peternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara untuk itik lokal yang kemudian diberi nama Itik Alabio. Pemberian nama Itik Alabio ini juga berlatar belakang karena peternak itik membeli itik yang baik di Pasar Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, 1992). Menurut Cherry dan Morris (2008) cara pemeliharaan dan kandang itik sangat bervariasi di dunia, menggambarkan perbedaan iklim, kelerengan, pembangunan ekonomi dan permintaan pasar. Di beberapa daerah tropis dimana daerahnya banyak perairan, kandang itik dibangun panggung di atas sungai atau danau atau mengembang di atas air sehingga kotorannya ke dalam air.
2.4 Pakan Ternak Menurut Sukria dan Krisnan (2009) biaya pakan bisa mencapai sekitar 70% dari biaya produksi. Oleh karena itu, perlu menerapkan teknologi yang tepat guna yang disertai dengan pemanfaatan lahan dan sumber bahan baku pakan yang efisien, salah satunya melalui optimasi pemanfaatan potensi sumber bahan baku pakan lokal. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Makanan itik Alabio biasanya terdiri dari ati (galih) pohon rumbia atau sagu yang dicincang, ikan air tawar yang direbus, keong rawa (kalambuai) atau bekicot baik isinya maupun kulitnya yang ditumbuk halus. Bahan makanan lainnya yaitu dedak atau gabah. Sagu cincang mengandung energi metabolisme sekitar 2650 kkal/kg dan protein 1,5%-2,2%, dan dapat digunakan dalam ransum itik sedang bertumbuh hingga 25% (Wasito dan Rohaeni, 1994). Selanjutnya menurut Sukria dan Krisnan (2009) dedak padi merupakan bagian dari padi yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi seperti minyak, vitamin, protein dan mineral. Pada kadar air 14%, dedak mengandung pati sebesar 13,8%, serat 23,7-28,6%, pentosan 7,0-8,3%, hemisemiselolusa
12
9,5-16,9%, selolusa 5,9-9,0%, asam poliuronat 1,2%, gula bebas 5,5 – 6,9% dan lignin 2,8-3,0%. Dari kandungan ini maka dedak telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti sumber minyak, pakan ternak dan bahan makanan. Keong mas merupakan hama karena menjadi pemakan tanaman padi di areal persawahan. Pemanfaatan keong untuk pakan itik akan mengurangi hama padi. Itik terbukti efektif dalam pengendalian biologis keong. Kepadatan 5-10 ekor penggembalaan itik per ha di areal persawahan, direkomendasikan dalam pengendalian biologis keong (Teo, 2001). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2000) keong mas baik digunakan untuk campuran pakan itik, karena hewan air ini banyak mengandung protein dan kalsium. Pemberian dalam bentuk segar dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap ternak karena di dalam lendir keong tersebut terdapat zat anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan ternak oleh sebab itu dianjurkan menggunakan keong emas yang sudah direbus, karena zat anti nutrisi yang ada akan berkurang bahkan hilang setelah perebusan selama 15-20 menit.
2.5 Daya Dukung Pakan Ternak Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem untuk menjaga produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaharui (IUCN/UNEP/WWF dalam Thapa et al., 2000). Menurut Rustiadi et al., (2009) daya dukung (carrying capacity) adalah kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas sampai pada level tertentu. Pada dasarnya terdapat banyak komponen yang akan menentukan daya dukung suatu wilayah, antara lain daya lenting ekosistem (ecosystem resilience), tingkat teknologi, preferensi konsumen, permintaan sumberdaya serta isu-isu distribusi dan pemerataan. Dalam perspektif lingkungan, daya dukung meliputi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung (assimilative capacity). Di Indonesia konsep daya dukung lingkungan telah didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah
13
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam suatu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungsi lindung (Rustiadi, et al., 2009). Penilaian daya dukung sangat penting untuk mengukur batas produktif pada area tertentu. Daya dukung merupakan metode untuk
menentukan
batas-batas
yang
berkelanjutan
dalam
perencanaan
penggunaan lahan yang akan datang (Lane, 2010). Menurut Sukria dan Krisnan (2009) ketersediaan bahan baku pakan yang terjamin dengan harga yang kompetetitif merupakan salah satu pilar usaha produksi ternak. Pemanfaatan sumberdaya lokal secara maksimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha, terlebih apabila sumberdaya tersebut bukan merupakan kebutuhan langsung bagi kompetitor lain, yang dalam hal ini adalah manusia dan jenis ternak lain. Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan efisiensi dan kompetisi bahan pakan tersebut, yaitu tersedia secara kontinu, murah dan mudah didapat, mempunyai nilai gizi yang cukup, mudah dicerna serta tidak mengganggu kesehatan ternak.
2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu dan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari.
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman
14
dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan dan kehutanan) (Djaenudin et al., 2003). Menurut Sitorus (1998) evaluasi sumberdaya lahan merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi
sumberdaya
lahan
membutuhkan
keterangan-keterangan
yang
menyangkut tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomis. Manfaat mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah menilai kesesuaian lahan bagi penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensikonsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi (Djaenudin et al., 2003). Hasil penilaian kesesuaian lahan berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survey tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhitungkan aspek ekonomisnya. Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi lahan yang diharapkan dalam rangka pengembangan wilayah pertanian (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.7 Sektor Basis Teori
basis
ekonomi
(economic
basis
theory)
mendasarkan
pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan eskpor dari wilayah tersebut.
Kegiatan ekonomi
dikelompokkan atas kegiatan basis dan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang
15
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Kegiatan basis pada dasarnya adalah kegiatan ekspor yaitu semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal). Sedangkan sektor nonbasis adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal. Karena sifatnya memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005). Menurut Rustiadi et al., (2009) sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sedangkan sektor nonbasis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor belum berkembang. Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan nonbasis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relative antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konstentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi (industri). Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan demikian halnya dengan metode LQ. Kelebihan metode LQ dalam mengindentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan yang rumit, sedangkan keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini maka yang dituntut adalah akurasi data (Hendayana, 2003). 2.8 SWOT (Strengths Weaknesess Opportunities Threats) Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang
16
(opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1997). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi (Marimin, 2004). Menurut Umar (2001) Matriks SWOT merupakan matching tool yang penting untuk membantu mengembangkan empat tipe strategi, yaitu Strategi SO (Strength Opportunity), Strategi WO (Weakness Opportunity), Strategi ST (Strength Threat), Strategi WT (Weakness Threat).
Strategi SO (Strength
Opportunity) menggunakan kekuatan internal untuk meraih peluang-peluang yang ada di luar perusahaan. Perusahaan berusaha melaksanakan strategistrategi WO, ST atau WT untuk menerapkan strategi SO. Oleh karena itu, jika perusahaan memiliki banyak kelemahan, maka perusahaan harus mengatasi kelemahan itu agar menjadi kuat. Strategi WO (Weakness Opportunity) bertujuan untuk
memperkecil
kelemahan-kelemahan
internal
perusahaan
dengan
memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Strategi ST (Strength Threat), melalui strategi ini perusahaan berusaha menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Strategi WT (Weakness Threat) merupakan taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten HSU Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan September sampai dengan Desember 2010. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Secara geografis Kabupaten HSU terletak pada posisi 2017’-2033’ Lintang Selatan dan 1140 52’- 115024’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara
: Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah
- Sebelah Timur
: Kabupaten Balangan
- Sebelah Selatan
: Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan
- Sebelah Barat
: Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah)
3.2 Pengumpulan Data Penelitian
ini
menggunakan
data
primer
dan
data
sekunder.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : a.
Data sekunder terdiri dari data tabulasi yang diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Dinas Peternakan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perikanan, Bappeda, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan, Badan Pusat Statistik dan instansi lain yang berkompeten. Sementara peta administrasi dan peta tanah diperoleh dari Bappeda HSU.
b.
Data
primer
diperoleh
melalui
kuesioner
dan
wawancara
dengan
stakeholder, yaitu Kepala Dinas Peternakan, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Perkebunan, Kepala Bidang (Kabid) Usaha Tani, Kabid Kesehatan Hewan, Kabid Pengolahan dan Pemasaran Dinas Peternakan HSU, Kabid Fisik Sarana Prasarana Bappeda HSU dan peternak. Pengambilan sampel untuk penentuan faktor pengendali analisis SWOT dilakukan dengan metode purposive sampling. Jumlah responden yang dipilih dengan sengaja sebanyak 9 (sembilan) orang dari instansi terkait dan peternak. Untuk penentuan sampel peternak di lokasi sampel yang ditentukan secara sengaja (purposive) pada lokasi peternakan itik yang sudah berspesialisasi usaha yaitu pada spesialisasi usaha penetasan, usaha pembesaran, penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas.
18
Lokasi Penelitian
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Kabupaten HSU
19
3.3 Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis sesuai dengan tujuan untuk menjawab permasalahan yang diangkat. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis kesesuaian
lahan
dengan
Sistem
Informasi
Geografis
(SIG),
analisis
ketersediaan dan daya dukung pakan, analisis pendapatan dan kelayakan finansial, analisis Location Qoutient (LQ). Hubungan antara data, analisis, tujuan dan keluaran disajikan dalam Tabel 1, sedangkan diagram alir disajikan pada Gambar 3. Tabel 1 Tujuan, Analisis, Data, dan Keluaran No
Tujuan
1
Mengetahui kesesuaian lingkungan ekologis ternak itik dan kesesuaian lahan untuk pakan ternak
2
Analisis
Data
Keluaran
Kesesuaian lahan
- Peta tanah - Peta administrasi - Syarat hidup ternak itik - Syarat tumbuh tanaman pakan ternak (sagu & padi)
Lahan yang sesuai untuk lingkungan ekologis ternak dan pakan ternak (padi dan sagu)
Menganalisis ketersediaan & daya dukung pakan lokal ternak itik
Ketersediaan, daya dukung
- Produksi pakan - Populasi ternak - Kebutuhan pakan
Potensi pakan ternak
3
Menganalisis kelayakan finansial
Pendapatan & kelayakan finansial
- Kuesioner - wawancara
Bahan pertimbangan untuk pengembangan ternak itik
4
Mengetahui sentra peternakan itik
LQ
- Populasi ternak
Wilayah basis peternakan itik
5
Menentukan arahan pengembangan peternakan itik
Potensi pengembangan & wilayah basis
- Indeks daya dukung pakan potensial - Wilayah basis
Bahan rekomendasi pengembangan peternakan itik
6
Menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik
SWOT
- Kuesioner - Wawancara - Daya dukung
Bahan rekomendasi untuk strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik
20
Data karakteristik kesesuaian lahan
Peta Tanah Peta Administrasi
Peta Kesesuaian lahan
Kelas Kesesuaian Lahan Padi Aktual
Kelas Kesesuaian Lahan Sagu Peta Penggunaan Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan Padi Potensial
Populasi Ternak Itik Kebutuhan Pakan
- Ketersediaan Pakan - Daya dukung Pakan
Produksi Pakan Peta Potensi Pengembangan
Survei Responden
Wilayah Basis Itik (Analisis LQ)
Arahan Pengembangan
Kelayakan Finansial Analisis SWOT
Strategi Pengembangan Wilayah
Gambar 3 Diagram Alir Penelitian
21
3.3.1 Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik dilakukan dengan cara mencari kriteria lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan ternak itik. Kriteria lingkungan ekologis ternak itik menggunakan parameter dari studi pustaka dan survey di lapangan. Penilaian kesesuaian lahan untuk pakan ternak yaitu untuk beberapa jenis pakan yang dominan digunakan pada usaha peternakan itik di Kabupaten HSU dan berpotensi dikembangkan di lokasi penelitian. Pada penelitian ini penilaian kesesuaian lahan dilakukan terhadap tanaman sagu dan padi. Penilaian kesesuaian lahan dengan cara matching antara kualitas/ karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Untuk kriteria syarat tumbuh tanaman sagu diperoleh dari studi pustaka karena belum ada yang membuat kriteria kesesuaian untuk tanaman sagu. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk sagu pada ditetapkan pada tingkat ordo. Ordo merupakan tingkat keadaan kesesuaian secara global. Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). Adapun kesesuaian lahan untuk padi berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah lebak mengacu pada kriteria dari Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian Balai Besar Penelitian Tanah Departemen Pertanian. Peta yang digunakan yaitu peta jenis tanah tingkat sub group dengan skala 1 : 50.000 dan peta administrasi skala 1 : 50.000. 3.3.2 Analisis Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan Analisis tingkat ketersediaan pakan ternak dilakukan dengan menghitung ketersediaan pakan ternak aktual dan daya dukung pakan ternak. Daya dukung didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem yang dapat menjaga produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaharui (IUCN/UNEF/WWF dalam Thapa el al,. 2000). Daya dukung wilayah terhadap ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal (Ardhani, 2008). Sumberdaya lokal yang umumnya digunakan untuk pakan ternak itik yaitu ati (galih) pohon rumbia atau sagu yang dicincang, ikan air tawar yang direbus, dedak padi, dan keong air tawar (kalambuai) baik isinya maupun kulitnya yang ditumbuk halus.
22
Jumlah ternak dengan sumberdaya lahan yang dapat didukung dianggap sebagai daya dukung, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Sumanto dan Juarini, 2006).
Indeks ketersediaan dan daya dukung dihitung dengan cara sebagai berikut :
Berdasarkan nilai indeks daya dukung diperoleh kriteria status daya dukung seperti pada tabel 2.
Tabel 2 Kriteria Status Daya Dukung Berdasarkan Indeks Daya Dukung No 1
Indeks daya dukung ≤1
Kriteria Sangat kritis
Keterangan -
2
Ternak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia Terjadi pengurasan dalam agroekosistemnya
1-1,5
Kritis
-
Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumberdaya tetapi belum terpenuhi aspek konservasi
3
1,5-2
Rawan
-
Pengembalian bahan organik ke alam paspasan
4
2
Aman
-
Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien Sumber : kriteria Sumanto dan Juarini (2006)
Proyeksi ketersediaan dedak dihitung dari konversi produksi padi dengan asumsi produksi dedak sebesar 10% dari produksi padi (Rahayu, 2008).
3.3.3 Analisis Finansial Untuk mengetahui tingkat keuntungan peternak per spesialisasi usaha maka dilakukan analisis pendapatan berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian.
Pada keempat spesialisasi usaha yang
mana yang paling
menguntungkan. yaitu dengan menganalisis biaya, penerimaan dan keuntungan
23
usaha ternak itik. Pendapatan usaha ternak itik merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya (Soekartawi,1995).
Pdi = TRi - TCi
Yaitu : Pdi = pendapatan usaha ternak itik TRi = penerimaan usaha ternak itik TCi = biaya total usaha ternak itik Dimana i = 1,2,3,4 1 = usaha ternak penetasan itik 2 = usaha ternak pembesaran itik 3 = usaha ternak penghasil telur konsumsi 4 = usaha ternak penghasil telur tetas
Kelayakan usaha ternak itik ditentukan dengan analisis finansial yaitu dengan menghitung NPV (Net Present Value), Net BCR (Net Benefit Cost Ratio), dan IRR (Internal Rate of Return) (Rustiadi, et al., 2009). a.
Net Present Value (NPV) NPV merupakan nilai sekarang dari suatu usaha dikurangi dengan biaya sekarang dari suatu usaha pada tahun tertentu. NPV menghitung nilai sekarang dari aliran kas yaitu merupakan selisih antara Present Value (PV) manfaat dan Present Value (Biaya).
dimana: Bt : manfaat yang diperoleh sehubungan dengan suatu usaha atau proyek pada time series (tahun, bulan, dan sebagainya). Ct : biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan proyek pada time series ke t tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian, peralatan, tanah, konstruksi dan sebagainya) i
: merupakan tingkat suku bunga yang relevan
t : periode (1, 2, 3,…,n)
24
dengan kriteria yaitu: 1). Apabila nilai NPV > 0, maka pengembangan usaha ternak itik layak untuk dikembangkan 2). Apabila NPV = 0, maka pengembangan usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi 3). Apabila NPV < 0, maka pengembangan usaha ternak itik tidak layak dikembangkan
b. Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) Net BCR adalah perbandingan antara Present Value manfaat bersih positif dengan Present Value biaya bersih negatif. Dengan demikian Benefit Cost Ratio merupakan tingkat besarnya tambahan manfaat setiap penambahan satu satuan rupiah biaya yang digunakan. Net BCR dirumuskan sebagai berikut:
atau
Dengan kriteria yaitu: 1) Apabila nilai B/C > 1, maka pengembangan usaha ternak itik layak untuk dikembangkan. 2) Apabila nilai B/C = 1, maka pengembangan usaha ternak Itik Alabio tidak untung dan tidak rugi 3) Apabila nilai B/C < 1, maka pengembangan usaha ternak Itik Alabio tidak layak untuk dikembangkan c. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol, dan benefit cost ratio sama dengan satu. IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk untuk sumberdaya yang digunakan. IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat suatu usaha atau Industri akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha atau industri. Suatu usaha akan diterima bila IRR nya lebih besar dari suku bunga yang didiskonto
25
yang telah ditetapkan dan pada kondisi sebaliknya maka usaha akan ditolak. (Rustiadi et al., 2009). Perhitungan IRR
Dimana: i
: tingkat discount rate pada saat NPV positif
ii
: tingkat discount rate pada saat NPV negatif
NPV’
: nilai NPV positif
NPV”
: nilai NPV negatif
3.3.4 Analisis Ekonomi Basis Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis dapat digunakan metode location quotient (LQ). (Rustiadi, et al., 2009). Pada penelitian ini analisis LQ digunakan untuk menentukan komoditas unggulan berdasarkan jumlah populasi ternak menurut wilayah kecamatan yang ada dalam satu kabupaten. Nilai LQ diketahui dengan rumus:
X ij / X i.
LQij
X . j / X ..
Keterangan: LQij
=
indeks lokasi/wilayah ke-i untuk aktivitas ke-j
Xij
=
derajat pada wilayah ke-i untuk aktivitas ke-j
Xi.
=
derajat aktivitas total pada wilayah ke-i
X.j
=
derajat aktivitas ke-j pada total wilayah
X..
=
derajat aktivitas total wilayah
i
=
wilayah yang diteliti (kecamatan atau kabupaten)
j
=
aktivitas ekonomi yang dilakukan (komoditas pertanian atau sektor ekonomi)
Hasil perhitungan LQ menghasilkan 3 (tiga) kriteria yaitu: Apabila LQij > 1; artinya komoditas itu menjadi basis atau menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas memiliki keunggulan komparatif, hasilnya tidak saja
26
dapat memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah Apabila LQij
= 1; artinya komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki
keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor, Apabila LQij < 1; artinya komoditas ini termasuk non basis. Produksi komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar.
3.3.5 Arahan Pengembangan Peternakan Itik Arahan pengembangan ternak itik dilakukan berdasarkan wilayah potensi pengembangan yang ditentukan dari luas lahan potensial padi dan lahan potensial sagu, indeks daya dukung pakan dedak padi, sagu dan wilayah basis. Berdasarkan wilayah potensial tersebut diperoleh wilayah yang memiliki status daya dukung aman/rawan/kritis/sangat kritis dan wilayah basis atau non basis. Arahan pengembangan peternakan itik berdasarkan status daya dukung dan wilayah basis.
3.3.6 Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. Analisis Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) (Rangkuti, 1997). Menurut Marimin (2004) proses yang dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1.
Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal
2.
Tahap analisis yaitu pembuatan matriks SWOT
3.
Tahap pengambilan keputusan
27
Tahapan pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal a.
Faktor Strategi Internal Faktor strategi internal ditentukan dengan cara membuat daftar kekuatan dan kelemahan, kemudian diberi bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Selanjutnya menghitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 1 sampai dengan 4. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik), sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya. Selanjutnya untuk menentukan skor pembobotan dengan mengalikan bobot dengan rating.
b.
Faktor Strategi Eksternal Faktor strategi eksternal ditentukan dengan cara membuat daftar peluang dan ancaman, kemudian diberi bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Selanjutnya menghitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 1 sampai dengan 4 (1 = jawaban jelek, 2 = jawaban rata-rata, 3 = jawaban di atas ratarata, 4 = jawaban superior), selanjutnya untuk menentukan skor pembobotan dengan mengalikan bobot dengan rating. Matrik SWOT digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yang
menggambarkan peluang dan ancaman eskternal yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis sebagai berikut:
Tabel 3 Matriks SWOT INTERNAL
STRENGTHS (S) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
WEAKNESSES (S) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal
OPPORTUNIES (P) Tentukan faktorfaktor peluang eksternal
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATHS (T) Tentukan faktorfaktor ancaman eksternal
STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
EKSTERNAL
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Geografi Kabupaten HSU memiliki luas wilayah seluruhnya 913,5 km persegi atau hanya 2,38 % dari luas Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten HSU terletak pada koordinat 2 17’-2 33’ Lintang Selatan dan 114 52’-115 24’ Bujur Timur (BPS HSU, 2009). Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Tabalong; sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Balangan; dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten HSU dengan ibukota Amuntai terbagi dalam 10 kecamatan, 219 desa dan 5 kelurahan. Berikut adalah kecamatan yang berada dalam wilayah administrasi Kabupaten HSU (Tabel 4).
Tabel 4 Kecamatan dalam Wilayah Administrasi Kabupaten HSU
16
Luas Wilayah (km2) 133,5
Paminggir
7
217,5
Babirik
Babirik
23
74,0
4.
Sungai Pandan
Alabio
33
61,5
5.
Sungai Tabukan
Sungai Tabukan
17
17,5
6.
Amuntai Selatan
Telaga Silaba
30
174,0
7.
Amuntai Tengah
Amuntai
29
80,5
8.
Banjang
Banjang
20
89,5
9.
Amuntai Utara
Sungai Turak
26
37,0
10.
Haur Gading
Haur Gading
18
28,5
219
913,5
No
Kecamatan
Ibukota Kecamatan
1.
Danau Panggang
Danau Panggang
2.
Paminggir
3.
JUMLAH Sumber data: BPS dan Bappeda Kab. HSU, (2009)
Jumlah Desa/ Kelurahan
30
4.2 Fisik Wilayah 4.2.1 Topografi Kabupaten HSU merupakan wilayah yang terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 – 25 m dari permukaan laut. Sejak pemekaran dengan Kabupaten Balangan pada tahun 2003, daerah yang tersisa dari pemekaran wilayah adalah daerah yang didominasi oleh lahan rawa baik yang tergenang secara permanen maupun tergenang secara periodik. Dari kisaran ketinggian dari permukaan laut tersebut, luasan yang terbesar adalah yang berkisar antara 0-7 m di atas permukaan laut dengan luasan sekitar 91.050 ha. Sekitar 300 ha berada di ketinggian 7-25 m yaitu di Kecamatan Banjang dan Amuntai Utara. Seluruh wilayah Kabupaten HSU mempunyai kelerengan antara 0 – 2 %. Dengan demikian Kabupaten HSU mempunyai lahan yang landai pada seluruh wilayahnya.
Gambar 4 Lahan Rawa di Kabupaten HSU.
4.2.2 Tanah Ada 4 (empat) jenis tanah yang terdapat di kabupaten HSU yaitu kompleks podsolik merah kuning dan latosol; podsolik merah kuning; alluvial; dan organosol gleihumus. Tabel 5 menggambarkan persebaran jenis tanah pada masing-masing kecamatan di Hulu Sungai Utara.
31
Tabel 5 Persebaran Jenis Tanah Jenis Tanah (ha)
Kecamatan
1
2
3
Jumlah (ha)
4
Danau Panggang dan Paminggir
-
-
19.182
18.880
38.062
Babirik
-
-
7.744
-
7.744
Sungai Pandan dan Sungai Tabukan
-
-
7.424
-
7.424
Amuntai Selatan
-
-
7.396
10.920
18.316
Amuntai Tengah
-
2.330
7.470
-
9.800
Banjang
-
-
-
-
-
605
-
6.724
595
7.924
Amuntai Utara dan Haur Gading
605
Jumlah
2.330
55.940
30.395
89.270
Sumber data : Bappeda Kab. HSU, 2009 Keterangan :
1 2 3 4
: kompleks podsolik merah kuning dan latosol : podsolik merah kuning : alluvial : organosol gleihumus
Secara keseluruhan jenis tanah yang dominan ditemukan di kabupaten HSU adalah alluvial yakni seluas 55.940 ha (61,24%). Jenis tanah alluvial ini terdapat pada seluruh kecamatan yang ada dan yang terluas di kecamatan Danau Panggang seluas 19.182 ha. Pada kecamatan lainnya juga umumnya didominasi oleh jenis tanah ini dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Jenis tanah lainnya yang agak dominan selain alluvial adalah organosol gleihumus yang terdapat di kecamatan Amuntai Utara seluas 595 ha, Amuntai Selatan seluas 10.920 ha dan Danau Panggang dengan luas persebaran 18.880 ha. Untuk jenis tanah kompleks podsolik merah kuning dan latosol hanya terdapat di kecamatan Amuntai Utara seluas 605 ha, dan jenis tanah podsolik merah kuning terdapat hanya di Amuntai Tengah dengan luas 2.330 ha. 4.2.3 Hidrologi dan Drainase Keadaan hidrologi di Kabupaten HSU ditunjang dengan beberapa sungai besar yang melintasi daerah kabupaten yang dijadikan sarana transportasi bagi masyarakat baik antar kabupaten maupun antar propinsi. Selain itu air sungai
32
digunakan sebagai sumber air bersih untuk keperluan pertanian dan peternakan. Sungai-sungai besar yang mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar bagi masyarakat yaitu Sungai Tabalong (mengalir dari arah Kabupaten Tabalong), Sungai Balangan (mengalir dari arah Kabupaten Balangan) dan Sungai Nagara serta sungai-sungai kecil lainnya. Drainase tanah di Kabupaten HSU terdiri dari tiga kelas, yaitu tidak pernah tergenang (A), tergenang periodik (B), dan tergenang terus-menerus (C). Kondisi daerah yang dominan adalah tergenang secara periodik, yang mencapai luas 89.696 ha atau mencapai 98 % dari total luas wilayah. Kondisi drainase lahan pada setiap kecamatan di Kabupaten HSU disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas Kondisi Drainase Lahan
Kecamatan
Drainase Lahan (Ha) A B C Tidak pernah Tergenang Tergenang tergenang secara periodik secara terus menerus
Jumlah
Danau Panggang
-
13.350
-
13.350
Paminggir
-
21.081
669
21.730
Babirik
-
7.400
-
7.400
Sungai Pandan
-
6.150
-
6.150
Sungai Tabukan
-
1.750
-
1.750
Amuntai Selatan
-
16.380
570
17.400
Amuntai Tengah
-
8.050
-
8.050
Banjang
-
8.950
-
8.950
Amuntai Utara
115
3.585
-
3.700
Haur Gading
-
2.850
-
2.850
115
89.696
1.239
91.350
Sumber data : BPS Kab. HSU, (2009)
Data drainase tanah Kabupaten HSU sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan hanya di Kecamatan Amuntai Utara yang memiliki wilayah dengan drainase tanah tidak pernah tergenang.
Selain itu di Kecamatan
Paminggir dan Kecamatan Amuntai Selatan memiliki wilayah yang tergenang secara terus-menerus dan selebihnya adalah daerah yang secara keseluruhan wilayahnya tergenang secara periodik terdapat di 10 kecamatan dalam wilayah Kabupaten HSU.
33
4.2.4 Penggunaan Lahan Berdasarkan data dari BPS Kabupaten HSU Tahun 2009 luas penggunaan lahan di wilayah Kabupaten HSU untuk kampung/pemukiman seluas 4.285 ha, sawah seluas 25.492 ha, kebun campuran seluas 5.051 ha, hutan rawa seluas 29.711 ha, rumput rawa seluas 23.095 ha. Secara jelasnya pemanfaatan lahan pada masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten HSU dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7 Luas Penggunaan Lahan pada Setiap Kecamatan Luas Penggunaan Lahan (Ha) Kecamatan Pemukiman
Sawah
Kebun campuran
Hutan rawa
Rumput rawa
Danau
Lainnya
Danau Panggang
399
3.761
648
1.926
5.646
525
445
Paminggir
200
-
-
11.902
8.949
375
324
Babirik
656
4.802
73
86
958
800
25
Sungai Pandan
745
2728
864
-
1.702
79
32
Sungai tabukan
300
907
438
-
-
75
30
Amuntai Selatan
423
2.903
797
12.049
858
100
270
Amuntai Tengah
441
4116
316
450
2.519
175
33
Banjang
218
3.561
288
2.477
2.211
165
30
Amuntai Utara
605
1.835
1.120
-
-
116
24
Haur Gading
298
879
507
821
252
82
11
25.492
5.051
29.711
23.095
Jumlah
4.285
2.492
1.224
Sumber data : BPS Kab. HSU, (2009)
4.3 Penduduk Berdasarkan data dari BPS Kabupaten HSU tahun 2009, jumlah penduduk di Kabupaten HSU berjumlah 216.181 jiwa yang tersebar pada 10 kecamatan, 219 desa/kelurahan dan terdiri dari 53.679 rumah tangga. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2009 terbanyak adalah penduduk perempuan yaitu 108.631 jiwa, sisanya laki-laki sebanyak 107.324 jiwa. Jika dilihat dari persebaran penduduk per kecamatan pada Tabel 8, maka Kecamatan Amuntai Tengah merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan kecamatan lainnya, yaitu sebanyak 46.631 jiwa. Daya tarik sebagai ibukota kabupaten merupakan salah satu faktor penyebab
34
banyaknya penduduk yang bermukim di daerah ini. Kecamatan Sungai Pandan merupakan kecamatan berpenduduk padat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 26.822 jiwa dan diikuti Kecamatan Amuntai Selatan sebanyak 26.545 jiwa. Kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit yaitu Kecamatan Paminggir berjumlah 7.165 jiwa. Dari total luas wilayah di Kabupaten HSU, maka terdapat kepadatan penduduk rata-rata per km2 adalah sebesar 236 jiwa. Komposisi umur penduduk didominasi oleh penduduk usia dewasa yaitu sekitar 60% yang berumur 15-55 tahun. Dengan demikian menunjukkan besarnya angkatan kerja yang memerlukan lapangan pekerjaan.
Tabel 8 Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk Kabupaten HSU Jenis Kelamin
Rumah Tangga
Laki-laki
Perempuan
Jumlah Penduduk
Danau Panggang
4.837
10551
10340
20.891
Babirik
4912
9552
9413
18.965
Sungai Pandan
6864
13.125
13697
26.822
Amuntai Selatan
7504
13.088
13457
26.545
Amuntai Tengah
11.387
23.292
23339
46.631
Banjang
3678
8.440
8179
16.619
Amuntai Utara
5224
10.138
11124
21.262
Haur gading
3585
7.595
7980
15.575
Sungai Tabukan
3936
7945
7760
15.705
Paminggir
1752
3597
3569
7.165
Jumlah
53.679
107.324
Kecamatan
108.857
216.181
Sumber data : BPS Kab. HSU, (2009)
4.4 Ekonomi Wilayah Perekonomian regional Kabupaten HSU dilihat dari besaran nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama periode 2006-2008 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, PDRB atas dasar harga berlaku mencapai 951,22 milyar rupiah, meningkat pada tahun 2007 menjadi 1,026 trilyun rupiah dan pada akhirnya tahun 2008 meningkat menjadi 1,116 trilyun rupiah.
Apabila dihitung dengan menggunakan harga konstan maka nilai
35
nominal PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 maka pada tahun 2006, mencapai 700,96 milyar rupiah, meningkat pada tahun 2007 menjadi 735,48 milyar rupiah dan pada akhirnya tahun tahun 2008 meningkat menjadi 768,87 milyar rupiah.
Gambar 5 Grafik Nilai PDRB Kabupaten HSU Tahun 2006-2008.
Pada gambar di atas dapat dilihat nilai nominal PDRB selalu mengalami kenaikan baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Ini menunjukkan bahwa kinerja ekonomi di Kabupaten HSU terus menunjukkan situasi yang membaik.
Tabel 9 Pertumbuhan PDRB Kabupaten HSU Tahun 2006-2008 Tahun
Harga Berlaku (ribuan rupiah)
Pertumbuhan
Harga Konstan (ribuan rupiah)
Pertumbuhan
2006
951.218.420
8,06%
700.956.621
4,06%
2007
1.026.829.221
7,95%
735.480.562
4,93%
2008
1.116.771.462
8,76%
768.866.102
4,54%
Sumber data : BPS Kab. HSU, (2009)
Pertumbuhan perekonomian Kabupaten HSU selama kurun waktu tahun 2006-2008 mengalami peningkatan besarannya pada kisaran lebih dari 4 %. Kinerja perekonomian ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan. Peranan Kabupaten HSU terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Selatan relatif kecil yaitu sebesar 2,6 % pada tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh
36
berkurangnya potensi perekonomian sejak sebagian wilayah kabupaten ini dipecah menjadi Kabupaten Balangan. Sebagian besar wilayah yang memiliki potensi pertambangan dan pertanian di Kabupaten HSU menjadi bagian wilayah Kabupaten Balangan.
Tabel 10 PDRB Kabupaten HSU Tahun 2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Ribuan Rupiah) SEKTOR I
2008
%
PERTANIAN
257.180.204
33,45
a. Tanaman Bahan Makanan
121.904.043
47,40
b. Tanaman Perkebunan
12.266.579
4,77
c. Peternakan dan Hasilnya
52.290.401
20,33
d. Kehutanan
1.795.089
0,70
e. Perikanan
68.924.092
26,80
115.102
0,02
II
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
III
INDUSTRI PENGOLAHAN
80.055.090
10,41
IV
LISTRIK DAN AIR MINUM
4.175.393
0,54
V
BANGUNAN
48.081.208
6,25
VI
PERDAGANGAN, RESTORAN DAN PERHOTELAN
151.288.577
19,68
VII
PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
55.202.391
7,18
31.733.174
4,13
140.994.963
18,34
VIII BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA IX
JASA-JASA JUMLAH
768.866.102
100,00
Sumber data : BPS Kab. HSU, (2009)
Pada tahun 2008 sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kabupaten HSU dengan nilai tambah mencapai
338 milyar rupiah. Demikan juga pada PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (ADHK) mencapai 257 milyar rupiah (33,45%) dari total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor dominan sebagai penggerak roda perekonomian di Kabupaten HSU. Setelah itu sektor perdagangan, restoran dan perhotelan dengan kontribusi sebesar 19,68%, sektor jasa-jasa (18,34%) dan sektor industri pengolahan (10,41%).
37
Peranan sektor pertanian di Kabupaten HSU sangat tergantung pada alam, karena sebagian besar lahan pertaniannya adalah lahan rawa. Kontribusi sektor pertanian ini terutama berasal dari sub sektor tanaman bahan makanan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutan. Peranan masing-masing subsektor dapat digambarkan pada grafik di bawah ini.
Gambar 6. Grafik Peranan masing-masing subsektor pada sektor pertanian PDRB Tahun 2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000.
Dari
grafik
tersebut
dapat
dilihat
bahwa
subsektor
peternakan
mempunyai peranan cukup penting setelah subsektor tanaman bahan makanan dan perikanan dengan kontribusi 20,33%. Sektor perdagangan yang utama adalah kerajinan dan industri kecil yaitu kerajinan anyaman purun, meubel rotan, dan kerajinan lampit rotan. Berdagang merupakan salah satu karakteristik masyarakat HSU yang diwariskan secara turun temurun.
4.5 Peternakan Perkembangan subsektor peternakan di Kabupaten HSU didukung dengan adanya komoditas unggulan peternakan yaitu kerbau rawa dan Itik Alabio, bahkan Itik Alabio merupakan salah satu ikon yang ada di Kabupaten HSU.
38
Gambar 7 Komoditas Unggulan Peternakan Kab. HSU (Itik Alabio dan Kerbau Rawa).
Usaha peternakan di Kabupaten HSU tidak hanya difokuskan pada ternak kerbau rawa dan Itik Alabio, namun berkembang juga ternak ayam buras, ayam ras pedaging, sapi, kambing dan domba sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11 Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten HSU Jenis Ternak Sapi
2006 (ekor)
2007 (ekor)
2008 (ekor)
2009 (ekor)
168
1.218
1.237
1.281
Kerbau
8.028
8.207
8.393
8.599
Kambing
2.563
2.636
2.650
2.810
319
318
306
312
Ayam Ras Pedaging
677.743
679.877
685.835
703.591
Ayam Buras
920.684
964.778
973.040
1.005.787
1.162.262
1.203.114
1.216.197
1.254.252
Domba
Itik
Sumber data : Disnak Kab. HSU (2009)
Dari data tersebut di atas, menunjukkan populasi ternak di Kabupaten HSU empat tahun terakhir meningkat kecuali komoditas ternak domba yang menurun pada tahun 2007 dan 2008. Populasi ternak yang paling tinggi setiap tahunnya yaitu ternak itik. Walaupun komoditas ternak lainnya juga diusahakan oleh peternak di Kabupaten HSU, namun usaha peternakan itik dan kerbau rawa yang diusahakan dalam jumlah skala besar oleh masyarakat dan merupakan usaha rakyat secara mandiri dan dikembangkan secara turun temurun oleh masyarakat setempat.
39
Pengembangan ternak itik sangat di dukung oleh keadaan alam di Kabupaten HSU yang didominasi daerah rawa. Terkonsentrasinya pemeliharaan itik di daerah tertentu terjadi karena pengaruh pemeliharaan secara tradisional yang sangat tergantung pada tersedianya lahan-lahan penggembalaan (Suharno dan Amri, 2010). Ekosistem rawa lebak sangat mendukung pengembangan itik karena unggas ini menyenangi adanya air. Selain itu, didukung oleh pengalaman beternak yang tinggi karena usaha ternak tersebut merupakan usaha turun temurun, teknologi setempat telah berkembang terutama dalam sistem penetasan, dan mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Jenis itik yang dibudidayakan masyarakat di Kabupaten HSU yaitu jenis itik lokal yang dikenal Itik Alabio (Anas platyrhincos Borneo). Itik Alabio terutama diusahakan untuk penghasil telur baik telur tetas maupun telur konsumsi. Itik-itik betina pasca produksi segera diafkir dan dijual sebagai itik potong. Di Kabupaten HSU banyak terdapat warung makan yang menjual itik panggang. Usaha peternakan itik di Kabupaten HSU sudah berspesialisasi usaha meliputi: 1.
Usaha penetasan ternak, berpusat di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan, hampir semua peternak di desa tersebut memiliki usaha pembibitan ternak itik. Usaha ini dilakukan dari telur tetas sampai menetas dan umumnya dijual pada saat ternak itik berumur 7-10 hari.
2.
Usaha pembesaran, biasanya dilakukan sejak DOD sampai ternak itik siap berproduksi (sekitar umur 6 bulan), usaha pembesaran dilakukan hampir di semua kecamatan di Kabupaten HSU. Pembesaran biasanya dilakukan peternak yang modalnya tidak terlalu besar dan tidak memerlukan keahlian yang spesifik.
3.
Usaha penghasil telur tetas, umumnya dilakukan oleh peternak di Kecamatan Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Babirik dan Danau Panggang. Usaha ini berkembang karena harga telur relatif stabil dan lebih tinggi dari harga telur konsumsi.
4.
Usaha penghasil telur konsumsi, usaha ini berkembang di hampir semua kecamatan di Kabupaten HSU. Dari pola pemeliharaannya, peternakan itik dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu pola tradisional (ekstensif), semi intensif dan intensif. Pola tradisional, ternak itik dari pagi sampai sore dilepas di sawah atau rawa-rawa, pemberian pakan seadanya, kandangnya di atas tanah diantara rawa-rawa yang
40
diberi pagar keliling. Keuntungan cara pemeliharaan yang demikian ini, biaya pakan relatif murah karena itik dibiarkan mencari makannya sendiri sehingga sumber pakannya sangat tergantung pada keberadaan lahan rawa dalam menyediakan makanan. Pola pemeliharaan secara ekstensif biasanya dilakukan oleh peternak usaha pembesaran. Penggembalaan biasanya dilakukan pada saat umur itik mencapai dua bulan, karena bulu ternak itik sudah tumbuh dengan lengkap dan sudah pandai berenang serta tahan terhadap udara dingin. Pemeliharaan dilakukan sampai umur 6 bulan.
Gambar 8 Pola Pemeliharaan Secara Ekstensif dan Intensif.
Pola semi intensif, ternak itik sudah mulai dikandangkan, namun pada waktu-waktu tertentu itik digembalakan, pakan diberikan secara teratur, tingkat produksi lebih baik daripada itik yang dipelihara dengan tradisional. Pola intensif, ternak itik dipelihara dengan sistem terkurung dan kandang panggung. Kandang digunakan untuk melindungi ternak itik dari angin, hujan, panas matahari dan serangan binatang lain. Keadaan alam di Kabupaten HSU yang umumnya daerah rawa sehingga kandang panggung dibangun di atas rawa. Pada pola pemeliharaan secara intensif pakan diberikan secara teratur yang diberikan tiga kali sehari. Tingkat produksinya lebih baik daripada pola yang lainnya. Pakan ternak itik yang umumnya digunakan oleh peternak di Kabupaten HSU yaitu sumber pakan yang biasanya tersedia di daerah rawa seperti dedak padi, sagu yang dicincang, keong dan ikan. Penggunaan bahan pakan lokal yang murah, tidak bersaing dengan manusia dan bermutu baik sangat disarankan agar usaha beternak itik dapat menguntungkan (Wasito dan Rohaeni, 1994).
41
Pemasaran ternak itik relatif mudah karena di Kabupaten HSU terdapat pusat pemasaran telur, bibit, pakan dan ternak itik yang terletak di Alabio Kecamatan Sungai Pandan dikenal dengan sebutan Pasar Alabio. Pasar itik Alabio ini sudah terkenal di dalam daerah maupun luar provinsi Kalimantan Selatan. Pembeli ternak itik tidak hanya dari pembeli lokal (Kabupaten HSU), juga pembeli dari kabupaten lain di dalam Provinsi Kalimantan Selatan bahkan dari luar Kalimantan Selatan yaitu dari Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur. Letak daerah Kabupaten HSU yang merupakan penghubung antara Provinsi Kalimantan Selatan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur juga memudahkan pemasaran ternak itik ke luar provinsi.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kesesuaian Lingkungan Ekologis Ternak Itik Hasil penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak itik menunjukkan bahwa seluruh areal studi wilayah Kabupaten HSU sesuai secara ekologis. Menurut Juarini dan Sumanto (1999), Ardhani (2008) kesesuaian lahan untuk ternak menggambarkan kondisi lahan yang dapat digunakan untuk bidang usaha peternakan. Luas lahan yang sesuai untuk kelompok unggas dapat dikatakan mencapai 100%, karena pada umumnya ternak unggas dapat hidup pada semua kondisi lahan yang ada, baik lahan yang berair maupun kering. Itik termasuk golongan unggas air, oleh karena itu itik memerlukan penyediaan air. Akan tetapi itik tidak selalu membutuhkan kolam asalkan ada air yang dapat digunakan untuk mencelupkan kepala atau air untuk membasahkan bulunya. Pencelupan kepala itu adalah salah satu hal yang penting agar mata dan lubang hidung itik selalu bersih. Kalau tidak maka dapat timbul berbagai gangguan atau penyakit pada mata ataupun pada saluran pernapasan (Blakely dan Bade, 1991). Usaha peternakan itik sangat cocok dikembangkan di Kabupaten HSU, Itik yang berasal dari kabupaten ini yaitu Itik Alabio. Habitatnya di daerah rawa yang memiliki kelembaban tinggi. Pemeliharaan itik secara tradisional umumnya terbatas pada daerahdaerah yang memungkinkan seperti daerah rawa, danau, pinggiran sungai atau persawahan
yang
luas
yang
sangat
tergantung
pada
lahan-lahan
penggembalaan. Ternak itik juga bisa dibudidayakan secara intensif yaitu itik yang dikandangkan secara terus menerus dengan kolam air atau kering tanpa kolam air. Penelitian oleh Suharno dan Amri (2010) mengenai pemeliharaan itik secara intensif yang dikurung dalam kandang dengan kolam air atau tanpa kolam air menunjukkan bahwa walaupun konsumsi makanannya hampir sama, pemeliharaan itik tanpa kolam air menghasilkan produksi telur lebih tinggi (65%) dibandingkan dengan itik yang dipelihara dalam kandang dengan kolam air (55%). Keunggulan ini terutama dalam hal jumlah maupun berat telur yang dihasilkan. Artinya, itik yang dipelihara intensif dalam kurungan tanpa disediakan kolam menghasilkan jumlah telur lebih banyak dan lebih besar. Hal ini membuktikan bahwa itik sebenarnya tidak mutlak memerlukan air untuk berenang, hal terpenting justru air minum yang harus tersedia sepanjang waktu.
44
Tingginya produksi telur pada ternak itik yang dikurung tanpa kolam air karena jika disediakan kolam itik lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain air. Di Kabupaten HSU, usaha peternakan untuk penghasil telur konsumsi umumnya dilakukan secara intensif, yaitu sistem pemeliharaan secara dikandangkan. Kandang umumnya dengan bentuk panggung yang dibangun di atas rawa. Sementara untuk usaha peternakan penghasil telur tetas, telur berasal dari itik betina yang dibuahi itik jantan. Telur tetas yang dihasilkan lebih baik berasal dari itik yang digembalakan bersama pejantan atau yang dipelihara dengan kolam yang menggunakan pejantan. Karena itik hanya mau kawin kalau ada air maka pemeliharaan untuk menghasilkan telur tetas ini harus dilengkapi dengan kolam khusus yang berisi air (Suharno dan Amri, 2010). Menurut Rohaeni dan Wasito (1994) telur-telur yang dihasilkan dari itik yang dipelihara dengan digembalakan memberikan daya tunas dan daya tetas yang lebih baik, Hal ini disebabkan dengan dilepasnya di rawa/air, secara naluri keinginan itik untuk melakukan perkawinan cukup tinggi, dengan media air tingkat keberhasilan dalam pembuahan juga baik. Dengan demikian telur-telur yang dihasilkan mempunyai daya tunas baik. Selain itu dengan dilepas di rawa yang banyak mengandung sumber makanan bergizi, secara naluri itik memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menghasilkan daya tetas yang tinggi. Usaha pembesaran ternak itik di Kabupaten HSU umumnya dilakukan dengan digembalakan, ternak itik digembalakan pada umur kurang lebih dua bulan sampai dengan umur 6 bulan yaitu pada saat itik sudah mulai berproduksi. Penggembalaan ternak merupakan usaha peternak untuk mengurangi biaya pakan, karena keuntungan yang diperoleh tidak langsung, berbeda dengan usaha peternakan untuk penghasil telur yang memperoleh biaya penggantian pakan dari penjualan telur. Terkonsentrasinya pemeliharaan itik di daerah tertentu terjadi karena pengaruh pola pemeliharaan secara tradisional. Pemeliharaan itik secara tradisional sangat tergantung pada tersedianya lahan-lahan penggembalaan (Suharno dan Amri, 2010). Perkembangan peternakan itik di Kabupaten HSU selain sesuai dengan potensi alam yaitu daerah rawa dan kebiasaan masyarakat sebagai usaha turun temurun dalam beternak.
45
5.2 Kesesuaian Lahan Pakan Ternak Itik 5.2.1 Kesesuaian Lahan untuk Sagu Peternak di Kabupaten HSU memanfaatkan empulur sagu yang diparut untuk pakan ternak itik dengan dicampur dengan bahan pakan lainnya. Tanaman sagu tumbuh dengan baik di beberapa tempat meskipun belum dibudidayakan secara meluas. Secara alami, tanaman sagu dapat tumbuh baik pada kawasan rawa air tawar, iklim tropis, jenis tanah aluvial (inceptisol atau entisol) yang kaya bahan organik. Tipologi lahan rawa yang yang umumnya ditempati tanaman sagu adalah rawa lebak dangkal dan rawa lebak tengahan. Keunggulan tanaman sagu selain dapat dipanen setiap waktu, tidak tergantung musim, adaptif di lahan rawa, juga mempunyai daya simpan lebih lama sehingga memudahkan dalam pengolahan hasil (Noor, 2007). Selanjutnya Bintoro et al., (2010) menyebutkan bahwa lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air mineral berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman sagu menunjukkan luas wilayah yang sesuai untuk sagu sekitar 46.452 ha (51,70%), sedangkan lahan yang tidak sesuai seluas 43.400 ha (48,30%). Faktor pembatas lahan yang tidak sesuai adalah lama genangan dan drainase. Peta kesesuaian ditunjukkan pada Gambar 9. Kondisi genangan yang cocok untuk tanaman sagu yaitu tidak permanen. Menurut Bintoro (2008) kawasan yang kadang-kadang tergenang sangat disukai tanaman sagu, namun apabila kawasan tersebut selalu tergenang akan mengakibatkan pertumbuhan sagu lambat dan kadar patinya rendah, sedangkan Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) mengatakan pada genangan tetap pertumbuhan sagu pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat dengan akibat produksi pati per pohon rendah dan jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit. Pertumbuhan dan produksi tampak cukup baik pada lahan dengan penggenangan berkala atau yang tidak tergenang.
46
Lokasi Penelitian
Gambar 9 Peta Kesesuaian Lahan Sagu di Kab. HSU.
47
Drainase yang sesuai untuk tanaman sagu yaitu tergenang secara periodik. Akar sagu yang terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat, walaupun pati yang terkandung dalam batang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam lebih dari 1 m selama beberapa hari (Bintoro et al., 2010). Tumbuhan sagu membutuhkan banyak air untuk dapat tumbuh maksimal. Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair tawar, rawa yang bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air dan hutan-hutan rawa yang yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi (Haryanto dan Pangloli dalam Bintoro et al., 2010). Tanaman sagu dapat tumbuh dengan baik di ketinggian sampai 400 m dari permukaan laut (Bintoro, 2008). Dengan demikian di seluruh wilayah Kabupaten HSU dapat tumbuh tanaman sagu dari segi ketinggian karena seluruh wilayah Kabupaten HSU berada pada ketinggian 0-25 m dari permukaan laut. 5.2.2 Kesesuaian Lahan untuk Padi Penilaian kesesuaian lahan untuk padi berdasarkan kriteria yang disusun oleh Djaenudin et al., (2003) dengan memperhatikan beberapa parameter diantaranya tekstur tanah, drainase, KTK, kejenuhan basa, pH, kedalaman pirit, kedalaman dan kematangan gambut, lama genangan. Penilaian kesesuaian lahan padi dilakukan untuk kesesuaian lahan padi aktual dan potensial. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survey tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Berdasarkan penelitian Khairah (2011), di Kabupaten HSU terdapat tiga kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi yaitu S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal) dan N (tidak sesuai). Luas wilayah lahan S2 (cukup sesuai) adalah seluas 20.454 ha (22,76%), S3 (sesuai marginal) seluas 21.031 ha (23,41%) dan N (tidak sesuai) seluas 48.367 ha (53,83%). Secara lebih detil luas kelas kesesuaian lahan padi aktual dapat dilihat pada Tabel 12, hasil penilaian kesesuaian lahan aktual padi disajikan pada Gambar 10.
48
Tabel 12 Luas Kesesuaian Lahan Padi Aktual di Kabupaten HSU No
Kecamatan
Luas Kesesuaian Lahan (Ha) S2
S3
Jumlah
N
1
Amuntai Selatan
2.018
179
13.711
15.907
2
Amuntai Tengah
1.787
2.128
4.161
8.077
3
Amuntai Utara
4.201
-
-
4.201
4
Babirik
1.402
2.756
3.291
7.449
5
Banjang
2.072
3.504
2.772
8.348
6
Danau Panggang
1.677
2.511
10.584
14.773
7
Haur Gading
1.676
-
2.005
3.680
8
Paminggir
380
7.398
11.767
19.544
9
Sungai Pandan
3.819
2.192
19
6.030
10
Sungai Tabukan
1.423
363
57
1.843
20.454
21.031
48.367
89.853
Jumlah Sumber: Khairah (2011)
Pada tabel di atas dapat dilihat kesesuaian lahan S2 yang terluas yaitu di Kecamatan Amuntai Utara (4.201 ha) dan luas yang terkecil di Kecamatan Paminggir (380 ha). Usaha-usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan yaitu dengan perbaikan kejenuhan basa, perbaikan keasaman tanah (dengan menaikkan pH) dan kondisi genangan (pembuatan saluran air). Dengan upaya perbaikan tersebut, secara potensial luas lahan yang tergolong cukup sesuai (S2) meningkat menjadi 41.485 ha (46,17%). Lahan yang tergolong sesuai (S2) tersebut lebih luas dari lahan S3 (sesuai marginal) seluas 16.229 ha (18,06%) dan N (tidak sesuai) seluas 35,77%. Wilayah yang luasan S2 paling besar yaitu di Kecamatan Paminggir, kemudian Kecamatan Sungai Pandan dan Banjang, dapat dilihat pada Tabel 13.
Gambar 10 Peta Kesesuaian Lahan Aktual Padi Kab. HSU
Lokasi Penelitian
49
50
Lokasi Penelitian
Gambar 11 Peta Kesesuaian Lahan Potensial Padi Kab. HSU
51
Tabel 13 Luas Kesesuaian Lahan Padi Potensial di Kabupaten HSU No
Luas Kesesuaian Lahan (Ha)
Kecamatan
S2
S3
Jumlah
N
1
Amuntai Selatan
2.196
222
13.490
15.907
2
Amuntai Tengah
3.915
-
4.161
8.077
3
Amuntai Utara
4.201
-
-
4.001
4
Babirik
4.158
1.826
1.465
7.449
5
Banjang
5.576
-
2.772
8.348
6
Danau Panggang
4.189
4.888
5.697
14.773
7
Haur Gading
1.676
2
2.003
3.680
8
Paminggir
7.777
9.224
2.542
19.544
9
Sungai Pandan
6.011
11
9
6.03
10
Sungai Tabukan
1.786
57
-
1.843
41.485
16.229
32.138
89.853
Jumlah Sumber: Khairah (2011)
Adanya upaya perbaikan menyebabkan terjadi peningkatan kelas kesesuaian lahan dari S3 menjadi S2 dan mengurangi persentase kesesuaian lahan yang tidak sesuai, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 12.
Persentase Kelas Kesesuaian Lahan Aktual dan Potensial Padi Kesesuaian lahan aktual padi Kesesuaian lahan potensial padi
54 46 36 23
S2
23
S3
18
N
Gambar 12 Persentase Kelas Kesesuaian Lahan Aktual dan Potensial Padi.
52
5.3 Penggunaan Lahan Eksisting Berdasarkan
penelitian
Khairah
(2011),
terdapat
sembilan
kelas
penggunaan lahan/tutupan lahan eksisting pada tahun 2010 yaitu belukar rawa, hutan rawa sekunder, kebun campuran, perkebunan, pemukiman, rawa, sawah, tanah terbuka dan tubuh air. Klasifikasi penggunaan lahan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Klasifikasi Penggunaan Lahan di Kabupaten HSU No
Kelas Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Belukar rawa
29.133
32,4
2
Hutan rawa sekunder
13.682
15,2
3
Kebun campuran
1.984
2,2
4
Perkebunan
3.662
4,1
5
Pemukiman
2.980
3,3
6
Rawa
10.445
11,6
7
Sawah
24.205
26,9
8
Tanah terbuka
3.108
3,5
9
Tubuh air
654
0,7
89.853
100,00
Jumlah Sumber: Khairah (2011)
Dari Tabel 14 tersebut di atas dapat dilihat bahwa penggunaan lahan terluas di Kabupaten HSU adalah belukar rawa sebesar 32,4%, diikuti oleh sawah (26,9%), hutan rawa sekunder (25,2%) dan rawa (11,6%). Lahan yang digunakan untuk pemukiman relatif kecil (3,3%), hal ini sesuai dengan jumlah penduduknya yang tidak terlalu banyak.
5.4 Potensi Pengembangan Sagu Berdasarkan hasil overlay antara kesesuaian lahan sagu dengan penggunaan lahan eksisting, maka dapat diketahui areal yang berpotensi untuk pengembangan sagu yaitu belukar rawa dan rawa. Luas potensi pengembangan sagu disajikan pada Tabel 15.
53
Tabel 15 Potensi Pengembangan Sagu Kecamatan
Potensial Sagu
Tidak Potensial Sagu
Jumlah (ha)
Danau Panggang
3.407
11.366
14.773
Paminggir
3.845
15.698
19.544
198
7.251
7.449
-
6.030
6.030
Sungai Tabukan
199
1.644
1.843
Amuntai Selatan
1.534
14.373
15.907
Amuntai Tengah
993
7.084
8.077
1.653
6.695
8.348
-
4.201
4.201
26
3.655
3.680
11.855
77.998
89.853
Babirik Sungai Pandan
Banjang Amuntai Utara Haur Gading Jumlah
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa Kecamatan Paminggir dan Danau Panggang mempunyai potensi pengembangan sagu paling luas. Sementara Kecamatan Sungai Pandan dan Amuntai Utara tidak potensial pengembangan sagu, walaupun pada kondisi di lapangan di Kecamatan Amuntai Utara dan Sungai Pandan, pada umumnya sagu tumbuh di pinggir-pinggir jalan dan di sela-sela rumah masyarakat.
(a)
(b)
Gambar 13 Tanaman Sagu di (a) Kec. Sungai Pandan, (b) Kec. Amuntai Utara
54
Lokasi Penelitian
Gambar 14 Peta Potensi Pengembangan Sagu di Kab. HSU
55
5.5 Potensi Pengembangan Padi Untuk melihat kemungkinan wilayah pengembangan padi di Kabupaten HSU, dilakukan overlay antara peta kesesuaian lahan potensial padi dengan peta penggunaan lahan eksisting. Berdasarkan hasil analisis, lahan yang berpotensi untuk pengembangan padi yaitu belukar rawa dan rawa. Menurut Khairah (2011), di Kabupaten HSU terdapat wilayah yang secara aktual tidak sesuai untuk budidaya padi, namun kenyataannya di lokasi tersebut telah eksisting sawah. Luas wilayah yang berpotensi untuk pengembangan padi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Potensi Pengembangan Padi Luas kelas kesesuaian dan ketersediaan lahan (Ha)
No
1 2
Kecamatan
Danau Panggang Paminggir
Potensial S2 (Eksisting sawah)
Potensial S3 (Eksisting sawah)
1.987
506
N (Eksisting sawah)
Potensial S2 (eksisting belukar rawa dan rawa)
Potensial S3 (eksisting belukar rawa dan rawa)
Tidak potensial
Jumlah
96
1.804
3.467
6.914
14.773
-
-
-
6.569
7.795
5.180
19.544
Babirik 3.212 Sungai 4 4.923 Pandan Sungai 5 1.240 Tabukan Amuntai 6 1.261 Selatan Amuntai 7 2.327 Tengah 8 Banjang 1.805 Amuntai 9 2.357 Utara Haur 10 934 Gading Jumlah 20.046 Sumber: Khairah, (2011)
1.370
49
684
404
1.730
7.449
9
3
549
2
545
6.030
19
-
378
34
171
1.843
61
663
528
159
13.235
15.907
-
906
994
-
3.850
8.077
-
-
1.709
-
4.834
8.348
-
-
230
-
1.614
4.201
1
477
259
-
2.009
3.680
1.966
2.193
13.705
11.860
40.082
89.853
3
Dari Tabel 16 di atas terlihat bahwa potensi pengembangan padi cukup luas, dari potensial S2 dan S3 pada eksisting belukar rawa dan rawa. Kecamatan yang mempunyai potensi pengembangan terluas yaitu Kecamatan Paminggir dan Danau Panggang dan Banjang, karena memiliki wilayah belukar rawa dan rawa yang luas.
56
Lokasi Penelitian
Gambar 15 Peta Potensi Pengembangan Padi di Kab. HSU
57
5.6 Potensi Pengembangan Padi dan Sagu Untuk melihat potensi pengembangan padi dan sagu berdasarkan hasil overlay penggunaan lahan eksisting, kesesuaian lahan padi potensial dan kesesuaian sagu. Lahan yang potensial dikembangkan yaitu sawah eksisting, belukar rawa dan rawa. Jika lahan sesuai padi namun tidak sesuai sagu maka wilayah tersebut potensial padi. Untuk lahan sesuai padi dan sagu, maka di wilayah tersebut dianggap potensial untuk dikembangkan padi, dibandingkan pengembangan sagu karena kebutuhan padi lebih banyak dibandingkan sagu. Padi merupakan makanan pokok masyarakat, dan dedaknya dimanfaatkan untuk pakan ternak itik. Tingkat kebutuhan ternak itik terhadap pakan dedak lebih tinggi yaitu sekitar 0,15 kg/ekor dibandingkan pakan sagu yang hanya 0,06 kg/ekor. Lahan yang potensial dikembangkan sagu yaitu lahan yang tidak sesuai padi tapi, sesuai sagu. Sementara lahan yang tidak potensial yaitu lahan yang penggunaannya tidak dapat dikembangkan padi dan sagu, juga lahan belukar rawa dan rawa tapi kesesuaian lahannya tidak sesuai.
Tabel 17 Potensi Pengembangan Padi dan Sagu No
Kecamatan
Potensial Padi S2 (ha)
Potensial Padi S3 (ha)
N (Eksisting Sawah) (ha)
Potensial Sagu (ha)
Tidak Potensial (ha)
Jumlah (ha)
96
1.034
5.880
14.773
1
Danau Panggang
3.791
3.973
2
Paminggir
6.569
7.795
-
283
4.898
19.544
3
Babirik
3.896
1.774
49
-
1.730
7.449
4
Sungai Pandan
5.472
11
3
-
545
6.030
5
Sungai Tabukan
1.619
53
-
-
171
1.843
6
Amuntai Selatan
1.790
220
663
1,260
11.975
15.907
7
Amuntai Tengah
3.321
-
906
-
3.850
8.077
8
Banjang
3.514
-
-
-
4.834
8.348
9
Amuntai Utara
2.587
-
-
-
1.614
4.201
Haur Gading
1.193
1
477
31
1.978
3.680
Jumlah
33.751
13.827
2.193
2.607
37.475
89.853
10
Dari Tabel 17 di atas dapat dilihat bahwa luas wilayah potensial padi S2, lebih luas dibandingkan potensial padi S3 dan potensial sagu. Seluruh kecamatan berpotensi dikembangkan padi, terutama di Kecamatan Paminggir. Kecamatan yang potensial dikembangkan sagu di Kecamatan Danau Panggang, Paminggir, Amuntai Selatan dan Haur Gading.
58
Lokasi Penelitian
Gambar 16 Peta Potensi Pengembangan Padi dan Sagu di Kab. HSU
59
5.7 Ketersediaan dan Daya Dukung Pakan Ternak Pakan ternak merupakan faktor penting dalam pengembangan usaha peternakan itik, karena kebutuhan biaya pakan merupakan biaya produksi yang terbesar bagi pemeliharaan itik secara intensif. Dengan demikian pemberian pakan harus efisien, murah dan berkualitas. Berkembangnya usaha peternakan itik di Kabupaten HSU sangat tergantung dengan sumberdaya alam yang ada. Peternak itik terutama menggunakan pakan yang tersedia di daerah rawa seperti padi, dedak padi, keong, sagu dan ikan. Peternak umumnya menyusun sendiri ransum untuk pakan ternak itik, masing-masing peternak memiliki kemampuan menyusun ransum walaupun tidak berdasarkan kandungan nutrisinya namun hanya berdasarkan pengalaman mereka yang sudah cukup lama beternak. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994) komposisi ransum untuk 130 ekor ternak itik per minggu yang dipelihara secara intensif yaitu beras 140 liter, dedak 140 kg, sagu 3 paras/potong, ikan kering 5,6 kg dan keong 6,4 kg. Pada waktu surut biasanya petani memanfaatkan lahan rawa untuk ditanami
padi.
Peningkatan
produksi
padi
sangat
bermanfaat
bagi
pengembangan peternakan itik, karena dedaknya dapat digunakan sebagai bahan pakan itik. Fluktuasi ketersediaan pakan yang sangat tergantung dengan musim sangat mempengaruhi perkembangan peternakan itik. Untuk itu perlu dilakukan penghitungan ketersediaan pakan lokal yang banyak terdapat di daerah rawa dan digunakan oleh peternak untuk pakan ternak itik. Proyeksi ketersediaan dedak dihitung dari konversi produksi padi dengan asumsi produksi dedak sebesar 10% dari produksi padi (Rahayu, 2008). Ternak itik membutuhkan dedak sekitar 0,15 kg/ekor/hari. Tingkat produktivitas pada setiap tingkat kesesuaian lahan dihitung berdasarkan indeks produksi. Menurut Sutaadmadja (2005) kisaran indeks produksi pada masing-masing kelas yaitu pada kelas S2 = 0,60 - 0,80 dari produksi optimal, S3 = 0,40 - 0,59 dari produksi optimal. Diasumsikan pada perhitungan ini menggunakan indeks produksi tertinggi. Pada lahan tidak sesuai padi namun eksisting sawah dengan indeks produksi 0,40. Produktivitas padi rata-rata di Kabupaten HSU 5,8 ton/ha (Dinas Pertanian Kab. HSU, 2009). Produksi padi ditentukan dengan menghitung luas masing-masing kelas kesesuaian lahan yang sesuai dikalikan dengan masing-masing indeks produksi dan tingkat produksi rata-rata.
60
Hasil perhitungan ketersediaan dedak berdasarkan penggunaan lahan eksisting sawah pada masing-masing kesesuaian lahan, untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 18. Indeks ketersediaan pakan ternak dedak menggambarkan status ketersediaan pakan ternak dedak pada masing-masing kecamatan apakah tergolong aman, rawan, kritis atau sangat kritis.
Tabel 18 Ketersediaan Pakan Dedak Kecamatan
Populasi Ternak Itik (ekor)
1
Danau Panggang
187.277
1.117.364
20.408
0,11
Sangat kritis
2
Paminggir
4.570
-
-
0,00
Sangat kritis
3
Babirik
186.798
1.970.314
35.987
0,19
Sangat kritis
4
Sungai Pandan
185.029
2.287.873
41.788
0,23
Sangat kritis
5
Sungai Tabukan
95.020
582.117
10.632
0,11
Sangat kritis
6
Amuntai Selatan
256.589
759.989
13.881
0,05
Sangat kritis
7
Amuntai Tengah
196.731
1.289.866
23.559
0,12
Sangat kritis
8
Banjang
45.346
837.482
15.296
0,34
Sangat kritis
9
Amuntai Utara
55.583
1.093.613
19.975
0,36
Sangat kritis
No
Produksi Dedak (kg)
Kapasitas Tampung (ekor)
Indeks Ketersediaan
Status
10 Haur Gading 41.309 544.557 9.946 0,24 Sangat kritis Keterangan: produksi dedak berdasarkan perhitungan luas lahan pada penggunaan lahan eksisting sawah
Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa indeks ketersediaan dedak padi pada semua kecamatan kurang dari 1 (sangat kritis). Dengan demikian dilihat dari ketersediaan dedak di semua kecamatan tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak itik sehingga dibutuhkan dedak dari luar kabupaten. Adanya ketergantungan pakan ternak dedak dari kabupaten lain menyebabkan biaya produksi lebih tinggi karena biaya transportasi. Daya dukung pakan dedak potensial pada masing-masing kecamatan dihitung dengan mengkombinasikan data penggunaan lahan sawah eksisting dan lahan lain yang berpotensi untuk dijadikan sawah dengan tingkat kesesuaian lahan S2 dan S3. Status daya dukung pakan dedak berdasarkan hitungan tersebut dilihat pada Tabel 19.
61
Tabel 19 Daya Dukung Pakan Dedak berdasarkan Potensi Pengembangan Padi No
Kecamatan
1
Danau Panggang
2
Paminggir
3
Populasi Ternak Itik (ekor)
Dedak (kg)
Daya Dukung (ekor)
Indeks Daya Dukung
Status
187.277
3.118.488
56.959
0,30
4.570
5.715.228
104.388
22,84
Babirik
186.798
2.414.800
44.106
0,24
Sangat Kritis
4
Sungai Pandan
185.029
2.542.499
46.438
0,25
Sangat Kritis
5
Sungai Tabukan
95.020
769.268
14.051
0,15
Sangat Kritis
6
Amuntai Selatan
256.589
905.555
16.540
0,06
Sangat Kritis
7
Amuntai Tengah
196.731
1.540.932
28.145
0,14
Sangat Kritis
8
Banjang
45.346
1.630.421
29.779
0,66
Sangat Kritis
9
Amuntai Utara
55.583
1.200.459
21.926
0,39
Sangat Kritis
10
Haur Gading
41.309
554.077
10.120
0,24
Sangat Kritis
Keterangan: produksi dedak setelah di masing-masing kecamatan
diperhitungkan
potensi
Sangat Kritis Aman
pengembangan
padi
Indeks daya dukung untuk mendukung populasi ternak itik eksisting pada penggunaan lahan potensial padi menunjukkan bahwa hanya di Kecamatan Paminggir mempunyai status daya dukung aman dengan indeks daya dukung 22,84, sedangkan kecamatan lainnya nilai indeks daya dukungnya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum daya dukung pakan dedak masih belum mencukupi kebutuhan ternak itik di Kabupaten HSU. Pakan lokal lainnya yang biasa dimanfaatkan peternak itik yaitu empulur sagu yang dicincang atau diparut. Sagu tumbuh secara alami di rawa-rawa Kabupaten HSU, namun masih belum dibudidayakan, sehingga ketersediaannya masih sangat tergantung tanaman yang tumbuh secara alami.
Gambar 17 Pohon Sagu yang Tumbuh di Rawa-Rawa
62
Ketersediaan pakan ternak sagu dihitung berdasarkan data luas tanam sagu yang menghasilkan. Luas tanaman sagu yang menghasilkan pada tahun 2008 yaitu 237,20 ha (BPS HSU, 2009). Menurut Prihatman (2000) perkiraan pada kondisi liar, produksi sagu 40-60 batang/ha/tahun. Total berat empulur sagu pada satu batang pohon sagu 850 kg (Tabel 20).
Tabel 20 Rataan Komposisi pohon sagu Komponen Batang Korteks Empulur Pati Air Ampas
Total berat segar (kg) 1250 400 850 250 425 175
Perbandingan terhadap total berat segar (%) 100 32 68 20 34 14
Perbandingan terhadap empulur segar (%) 100 29 50 21
Sumber : Flach (2005)
Tabel 21 Ketersediaan Sagu No
Kecamatan
Populasi Ternak Itik (ekor)
Produksi Empulur Sagu/ Tahun (kg)
1
Danau Panggang
187.277
1.275.000
2
Paminggir
4.570
3
Babirik
4
Kapasitas Tampung (ekor)
Indeks Ketersediaan
Status
58.219
0,31
Sangat Kritis
1.224.200
55.890
12,23
Aman
186.798
902.700
41.219
0,22
Sangat Kritis
Sungai Pandan
185.029
1.708.500
78.014
0,42
Sangat Kritis
5
Sungai Tabukan
95.020
1.351.500
61.712
0,65
Sangat Kritis
6
Amuntai Selatan
256.589
1.810.500
82.671
0,32
Sangat Kritis
7
Amuntai Tengah
196.731
1.224.000
55.890
0,28
Sangat Kritis
8
Banjang
45.346
663.000
30.274
0,67
Sangat Kritis
9
Amuntai Utara
55.583
918.000
41.918
0,75
Sangat Kritis
10 Haur Gading 41.309 1.020.000 46.575 Data dianalisis berdasarkan sumber data dari BPS Tahun 2009
1,13
Kritis
Dari Tabel 21 dapat dilihat Kecamatan Paminggir yang indeks ketersediaan pakannya lebih dari satu (status aman), karena di Kecamatan Paminggir populasi itik tidak terlalu banyak. Kecamatan Haur Gading memiliki status kritis. Secara keseluruhan dari Tabel 21 menunjukkan bahwa ketersediaan produksi sagu setiap tahunnya tidak mencukupi untuk kebutuhan pakan ternak
63
itik, sehingga diperlukan dari kabupaten lain. Untuk memenuhi kebutuhan pakan sagu maka tanaman sagu perlu dibudidayakan. Perhitungan luas lahan potensial sagu dilakukan dengan overlay antara penggunaan lahan eksisting dengan kesesuaian lahan sagu. Lahan yang berpotensi untuk budidaya tanaman sagu yaitu belukar rawa dan rawa. Daya dukung sagu didapatkan dari produksi sagu pada lahan yang berpotensi untuk ditanami tanaman sagu. Hasil perhitungan daya dukung sagu dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Daya Dukung Pakan Sagu berdasarkan Potensi Pengembangan Sagu No
Kecamatan
1
Danau Panggang
2
Paminggir
3
Populasi Ternak Itik (ekor)
Produksi empulur sagu/tahun (kg)
Daya Dukung (ekor)
Indeks Daya Dukung
Status
187.277
173.757.000
7.934.110
42,37
Aman
4.570
196.095.000
8.954.110
1959,32
Aman
Babirik
186.798
10.098.000
461.096
2,47
Aman
4
Sungai Pandan
185.029
-
-
0,00
Sangat Kritis
5
Sungai Tabukan
95.020
10.149.000
463.425
4,88
Aman
6
Amuntai Selatan
256.589
78.234.000
3.572.329
13,92
Aman
7
Amuntai Tengah
196.731
50.643.000
2.312.466
11,75
Aman
8
Banjang
45.346
84.303.000
3.849.452
84,89
Aman
9
Amuntai Utara
55.583
-
-
0,00
Sangat Kritis
10
Haur Gading
41.309
1.326.000
60.548
1,47
Kritis
Keterangan: produksi sagu berdasarkan luas lahan potensi pengembangan sagu.
Perhitungan daya dukung sagu untuk masing-masing kecamatan berdasarkan lahan sesuai sagu yang dapat ditanam tanaman sagu 60 batang per ha. Status daya dukung tanaman sagu sebagian besar berstatus aman dengan nilai indeks lebih dari 2, kecuali Kecamatan Sungai Pandan, Amuntai Utara dan Haur Gading. Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan penanaman budidaya sagu di lahan yang sesuai sagu maka kebutuhan pakan ternak sagu akan dapat dipenuhi dari dalam Kabupaten HSU. Sementara daya dukung pakan dedak dan sagu berdasarkan potensi pengembangan padi dan sagu dapat dilihat pada Tabel 23. Daya dukung padi berdasarkan lahan yang potensial padi dan eksisting sawah, sedangkan daya dukung sagu berdasarkan lahan yang potensial sagu setelah diperhitungkan lahan potensial padi.
64
Tabel 23 Daya Dukung Pakan Dedak Pengembangan Padi dan Sagu No
Kecamatan
Populasi Ternak Itik (ekor)
DD Dedak (ekor)
dan
IDD Dedak
Sagu
Status
1
Danau Panggang
187.277
57.364
0,31
Sangat kritis
2
Paminggir
4.570
104.388
22,84
Aman
3
Babirik
186.798
44.315
0,24
4
Sungai Pandan
185.029
46.450
5
Sungai Tabukan
95.020
6
Amuntai Selatan
7
berdasarkan
DD Sagu (ekor)
Potensi
IDD Sagu
Status
2.407.429
12,85
Aman
658.375
144,06
Aman
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
0,25
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
14.051
0,15
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
256.589
19.350
0,08
Sangat kritis
2.933.196
11,43
Amuntai Tengah
196.731
31.982
0,16
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
8
Banjang
45.346
29.779
0,66
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
9
Amuntai Utara
55.583
21.926
0,39
Sangat kritis
-
-
Sangat kritis
10
Haur Gading
41.309
12.139
0,29
Sangat kritis
72.791
1,76
Rawan
Jumlah
1.254.252
381.745
Aman
6.071.791
Pada Tabel 23 di atas dapat dilihat, daya dukung pakan dedak pada lahan potensial pengembangan padi dan sagu menunjukkan bahwa Kecamatan Paminggir yang mempunyai status daya dukung aman sedangkan kecamatan lainnya, status daya dukungnya sangat kritis. Secara keseluruhan daya dukung dedak tidak mencukupi kebutuhan ternak itik eksisting. Untuk daya dukung pakan sagu, kecamatan Danau Panggang, Paminggir, Amuntai Selatan
yang
mempunyai status daya dukung aman, dan Kecamatan Haur Gading dengan status daya dukung sagu rawan, sedangkan kecamatan lainnya statusnya sangat kritis karena lahan yang potensial untuk pengembangan sagu di kecamatan tersebut juga berpotensi untuk padi. Akan tetapi dari keempat kecamatan yang memiliki status daya dukung pakan sagu aman dan rawan tersebut mampu mencukupi kebutuhan ternak itik sebanyak 6.071.791 ekor. Dengan demikian jika dilakukan budidaya sagu di lahan potensial sagu, masih mampu mencukupi tambahan ternak itik sebanyak 4.817.539 ekor. Populasi ternak itik selalu meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,83% pertahun, sehingga diproyeksikan pada tahun 2020,
65
jumlah populasi ternak sebanyak 1.531.151 ekor, dengan kebutuhan pakan ternak dedak sebesar 83,830,510 kg, pakan sagu sebesar
33.532.204 kg dan
keong sebesar 5.588.701 kg.
Tabel 24 Proyeksi Daya Dukung Pakan Dedak dan Sagu pada Populasi Itik Tahun 2020 berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Sagu
No
Kecamatan
Populasi Ternak Itik (ekor)
DD Dedak (ekor)
IDD Dedak
Status
DD Sagu (ekor)
IDD Sagu
Status
1
Danau Panggang
228.622
57.364
0,25
Sangat kritis
2
Paminggir
5.579
104.388
18,71
Aman
3
Babirik
228.037
44.315
0,19
Sangat kritis
-
Sangat kritis
4
Sungai Pandan
225.878
46.450
0,21
Sangat kritis
-
Sangat kritis
5
Sungai Tabukan
115.997
14.051
0,12
Sangat kritis
-
Sangat kritis
6
Amuntai Selatan
313.236
19.350
0,06
Sangat kritis
2.933.196
7
Amuntai Tengah
240.163
31.982
0,13
Sangat kritis
-
Sangat kritis
8
Banjang
55.357
29.779
0,54
Sangat kritis
-
Sangat kritis
9
Amuntai Utara
67.854
21.926
0,32
Sangat kritis
-
Sangat kritis
10
Haur Gading
50.429
12.139
0,24
Sangat kritis
72.791
Jumlah
1.531.151
381.745
2.407.429
10,53
Aman
658.375
118,01
Aman
9,36
1,44
Aman
Rawan
6.071.791
Berdasarkan proyeksi populasi ternak itik tahun 2020, dengan luas lahan potensial dan tingkat produktivitas padi dan sagu tetap, dapat dilihat tingkat kekritisan dedak semakin tinggi, untuk sagu masih bisa dipenuhi jika dibudidayakan. Dengan demikian pakan dedak, membutuhkan pasokan dari luar kabupaten untuk memenuhi kebutuhan ternak itik. Selain pakan dari dedak dan sagu, peternak itik di Kabupaten HSU juga memanfaatkan keong (biasa disebut kalambuai) untuk pakan ternak itik sebagai sumber protein. Keong mas menyukai habitat berupa perairan jernih bersubstrat lumpur yang kaya dengan tumbuhan air yang selalu menggenang serta proses pergantian secara terus menerus. Umumnya keong mas air tawar adalah vegetarian, yakni makanan utamanya berupa tumbuhan air yang berada di bawah permukaan air. Makanan utamanya berupa daun dan batang tumbuhan
66
air yang masih muda (Sihombing, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rawa Pening, keong mas paling sering memakan tumbuhan air yang terendam dalam air kolam, terutama yang mengakar ke dasar (Soewignyo et al., dalam Sihombing, 2002). Dengan demikian keong tidak banyak yang hidup di daerah yang terlalu dalam karena akar tanaman air tidak mencapai dasar. Namun ketersediaan keong tersebut bersifat musiman, jika musim kemarau maka ketersediaannya akan berkurang karena air surut. Dalam penelitian ini perkiraan hidup keong di daerah yang tergenang secara periodik, dengan asumsi 10 ekor keong dalam 1m2. Luas area yang tergenang secara periodik yaitu 89.696 ha. Jika area yang tergenang secara periodik pada musim kemarau diasumsikan setengah dari luas area tergenang periodik, maka daya dukung keong dapat dilihat pada Tabel 25. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994) 10 ekor keong berat isi keong lebih kurang 400 gram.
Tabel 25 Daya Dukung Keong No
Kecamatan
Populasi Ternak Itik (ekor)
Luas area yang tergenang periodik (m2)
Produksi keong (kg)
Daya Dukung (ekor)
Indeks Daya Dukung
1
Danau Panggang
187.277
66.750.000
26.700.000
7.315.068
39,06
2
Paminggir
4.570
105.405.000
42.162.000
11.551.233
2527,62
3
Babirik
186.798
37.000.000
14.800.000
4.054.795
21,71
4
Sungai Pandan
185.029
30.750.000
12.300.000
3.369.863
18,21
5
Sungai Tabukan
95.020
8.750.000
3.500.000
958.904
10,09
6
Amuntai Selatan
256.589
81.900.000
32.760.000
8.975.342
34,98
7
Amuntai Tengah
196.731
40.250.000
16.100.000
4.410.959
22,42
8
Banjang
45.346
44.750.000
17.900.000
4.904.110
108,15
9
Amuntai Utara
55.583
17.925.000
7.170.000
1.964.384
35,34
Haur 41.309 14.250.000 5.700.000 Gading Data dianalisis berdasarkan sumber data dari BPS Tahun 2009
1.561.664
37,80
10
Berdasarkan tabel di atas, indeks daya dukung untuk semua kecamatan lebih dari 1. Dengan demikian produksi ketersediaan keong di Kabupaten HSU mencukupi kebutuhan pakan ternak itik.
67
Gambar 18 Keong Rawa (kalambuai)
5.8 Pendapatan a. Usaha Penetasan Ternak Itik Usaha penetasan di Kabupaten HSU terpusat di Desa Mamar yang umumnya sudah menggunakan mesin tetas untuk menetaskan telur itik. Pada usaha penetasan itik, telur ditetaskan pada mesin tetas selama 14-15 hari, kemudian dua minggu berikutnya diletakkan di balai penetasan sampai telur menetas. DOD (Day Old Duck) dipelihara peternak sampai lebih kurang umur sepuluh hari baru kemudian dijual ke pasar atau peternak pembesaran. Pada skala 1000 telur tetas yang ditetaskan, dengan daya tetas 60% menghasilkan 600 ekor yang terdiri dari 300 ekor DOD betina dijual dengan harga Rp. 6.500,- per ekor dan 300 ekor DOD jantan dengan harga lebih murah yaitu Rp. 3.500,- Penerimaan usaha penetasan itik berasal dari penjualan anak itik, sedangkan biaya variabel yaitu biaya pembelian bibit, pakan dan vitamin, listrik serta peralatan. Untuk biaya tetap dari biaya pembuatan kandang dan pembelian mesin tetas. Biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan karena seluruh peternak menggunakan tenaga kerja sendiri dalam menjalankan usahanya. Pada satu periode penetasan pada skala 1000 butir telur yang ditetaskan, penerimaan yang
diperoleh
sebesar
Rp.
3.000.000,-
dan
biaya
variabel
rata-rata
Rp. 2.070.000,- dan biaya tetap sebesar Rp. 4.000.000 maka peternak masih belum kembali modal yaitu minus Rp. 3.070.000,-
68
Tabel 26 Pendapatan Usaha Penetasan Itik skala 1000 butir telur No
Uraian
1 2
1 periode penetasan 1 tahun (12 kali penetasan)
Penerimaan (Rp) 3.000.000 36.000.000
Biaya (Rp) Variabel Tetap 2.070.000 4.000.000 24.540.000 4.000.000
Pendapatan (Rp) -3.070.000 7.460.000
Satu periode penetasan dalam waktu satu bulan, maka dalam satu tahun dapat dilakukan sampai 12 kali penetasan, karena selama telur dipindah ke balai penetasan, dapat dimasukkan kembali telur yang baru ke mesin tetas. Pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun atau 12 kali penetasan yaitu sebesar Rp. 7.460.000,b. Usaha Pembesaran Ternak Itik Satu kali periode usaha pembesaran itik dilakukan selama 6 bulan, karena itik dipelihara mulai umur 1 minggu sampai umur 6 bulan. Penerimaan usaha pembesaran diperoleh dari penjualan itik betina produktif umur 6 bulan dengan harga Rp. 60.000,- per ekor. Pada pemeliharaan ternak pembesaran sebanyak 500 ekor, dengan mortalitas sekitar 3% maka penerimaan yang diperoleh yaitu Rp. 25.500.000,- dan total biaya sebesar Rp. 18.075.000,sehingga total pendapatan untuk satu kali periode pembesaran sebesar Rp. 7.425.000,- dalam satu tahun dapat dilakukan dua kali periode pembesaran. Rata-rata pendapatan dalam satu tahun sebesar Rp. 19.050.000,-
Tabel 27 Pendapatan Usaha Pembesaran Itik skala 500 ekor Penerimaan (Rp)
Biaya (Rp)
Pendapatan (Rp)
No
Uraian
1
1 periode pembesaran
25.500.000
13.075.000
5.000.000
7.425.000
2
1 tahun (2 kali pembesaran)
51.000.000
26.950.000
5.000.000
19.050.000
Variabel
Tetap
c. Usaha Penghasil Telur Konsumsi Usaha penghasil telur konsumsi dimulai dari umur bibit enam bulan selama satu periode usaha 12 bulan atau sampai umur itik mencapai 18 bulan. Penerimaan untuk usaha penghasil telur konsumsi dari penjualan telur dan itik afkir. Pada pemeliharaan skala 500 ekor ternak itik, biaya untuk pembelian bibitnya mencapai Rp. 30.000.000,-. Biaya paling besar yaitu pada pembelian pakan, vitamin dan obat-obatan sebesar Rp. 97.500.000,-. Penerimaan yang
69
diperoleh dari penjualan telur dan itik afkir sebesar Rp. 161.861.000,- sehingga pendapatan yang diperoleh selama 1 tahun yaitu Rp. 25.311.000,-. dapat dilihat pada Tabel 28. d. Usaha Penghasil Telur Tetas Usaha penghasil telur tetas membutuhkan bibit ternak jantan, sehingga ada biaya pembelian untuk bibit ternak jantan. Perbandingan jantan dan betina sekitar 1 : 9. Harga bibit jantan lebih murah dibandingkan harga bibit betina. Bibit jantan sebesar Rp. 30.000,- sedangkan bibit betina mencapai Rp. 60.000,-. Pada skala pemeliharaan 500 ekor, penerimaan diperoleh dari penjualan telur dan itik afkir yaitu Rp. 177.418.000,-. Harga penjualan telur tetas lebih mahal dibandingkan harga telur konsumsi yaitu Rp. 1.500,- per butir. Biaya yang diperlukan sekitar Rp. 151.060.000,- sehingga pendapatan yang diperoleh yaitu Rp. 26.358.000,Tabel 28 Pendapatan Usaha Penghasil Telur Konsumsi dan Telur Tetas Skala 500 ekor per tahun No
Spesialisasi Usaha
Penerimaan (Rp)
Biaya (Rp) Tetap
Variabel
Pendapatan (Rp)
1
Penghasil telur konsumsi
161.861.000
128.550.000
8.000.000
25.311.000
2
Penghasil telur tetas
177.418.000
151.060.000
7.000.000
26.358.000
5.9 Kelayakan Finansial a. Usaha Ternak Penetasan Itik Usaha penetasan ternak itik dilakukan dalam periode satu bulan. Analisis kelayakan finansial untuk usaha penetasan itik dilakukan selama 5 tahun (60 bulan) dan dihitung per bulan. Perhitungan kelayakan finansial usaha penetasan dilakukan dengan pengurangan antara manfaat dengan biaya. Faktor diskonto menggunakan tingkat suku bunga rata-rata pada tahun 2010 yaitu sebesar 12%. Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial diperoleh nilai NPV sebesar Rp.36.971.946,-. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pendapatan bersih saat ini yang diterima peternak selama 5 tahun (60 bulan). Nilai B/C ratio sebesar 1,38 artinya perbandingan penerimaan yang diperoleh peternak lebih besar dari biaya
70
yang dikeluarkan yaitu peternak mendapatkan Rp.1,38 dari pengeluaran sebesar Rp.1.00,- Nilai IRR yang diperoleh menunjukkan 16,50% sehingga investasi yang ditanamkan pada usaha penetasan itik dinilai masih layak dan menguntungkan dilakukan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan suku bunga yang berlaku.
b. Usaha Pembesaran Ternak Itik Usaha pembesaran dilakukan peternak dalam 1 periode selama 6 bulan. Perhitungan analisis kelayakan finansial usaha pembesaran itik dilakukan selama 10 periode pembesaran atau sekitar 5 tahun. Hasil perhitungan NPV pada faktor diskonto 12% sebesar Rp. 63.406.243,-. Nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat ini yang diterima peternak selama 5 tahun. Nilai B/C ratio 1,58, artinya peternak akan mendapatkan Rp.1.58,- setiap biaya pengeluaran sebesar Rp.1,00,- Nilai IRR menunjukkan angka 65,25%. Hal ini berarti investasi yang ditanamkan untuk usaha ternak pembesaran itik dinilai layak dan sangat menguntungkan
karena
tingkat
pengembalian
internalnya
lebih
besar
dibandingkan suku bunga yang berlaku.
c. Usaha Penghasil Telur Konsumsi Periode usaha penghasil telur konsumsi selama 1 tahun, setelah itu ternak itik diafkir karena produksinya sudah menurun dan membeli ternak itik yang siap produksi. Analisa usaha kelayakan finansial dihitung selama 10 tahun. Hasil perhitungan analisis finansial yaitu nilai NPV sebesar Rp. 41.739.329,yang berarti nilai tersebut merupakan pendapatan besih nilai saat ini yang diterima peternak selama 10 tahun. Nilai B/C ratio sebesar 1,05 yang berarti perbandingan penerimaan yang diterima peternak selama 10 tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkannya. Nilai IRR sebesar 19,66% berarti investasi yang ditanamkan pada usaha ternak penghasil telur konsumsi dinilai layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari suku bunga yang berlaku. d. Usaha Penghasil Telur Tetas Periode usaha ternak penghasil telur tetas sama dengan usaha penghasi telur konsums yaitu selama 1 tahun. Hasil analisis kelayakan finansial usaha
71
ternak itik selama 10 tahun menunjukkan nilai NPV sebesar Rp. 22.949.982,yang artinya nilai tersebut merupakan pendapatan bersih nilai saat ini yang diterima peternak selama 10 tahun. Nilai B/C ratio sebesar 1,02 menunjukkan bahwa penerimaan yang diterima peternak 10 tahun lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Nilai IRR sebesar 15,88% berarti nilai investasi yang ditanamkan pada usaha ternak penghasil telur tetas dinilai masih layak dan menguntungkan, karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dibandingkan suku bunga yang berlaku.
5.10 Ekonomi Basis Analisis LQ digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan berdasarkan jumlah populasi ternak menurut wilayah kecamatan yang ada. Hasil analisis LQ yang diidentifikasi pada tujuh komoditas ternak di 10 kecamatan di Kabupaten HSU yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam ras dan itik menunjukkan bahwa peternakan itik menjadi basis di Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Nilai LQ paling tinggi untuk komoditas ternak itik di Kecamatan Sungai Tabukan. Walaupun jumlah populasi ternak itik di kecamatan ini tidak terlalu besar namun jumlah populasi ternak lainnya juga tidak terlalu banyak maka nilai LQ nya paling tinggi.
Tabel 29 Nilai LQ Populasi Ternak di Kabupaten HSU No
Kecamatan
Sapi
Kerbau
Kambing
Domba
Ayam Buras
Ayam Ras
Itik
1
Danau Panggang
0,00
0,00
0,32
0,00
1,53
0,20
1,04
2
Paminggir
0,00
213,66
0,00
0,00
0,14
0,00
0,80
3
Babirik
0,11
0,00
0,45
0,00
1,72
0,05
0,97
4
Sungai Pandan
2,07
0,16
2,03
1,22
0,22
0,32
2,01
5
Sungai Tabukan
0,19
0,00
1,68
0,43
0,28
0,21
2,02
6
Amuntai Selatan
0,46
0,00
0,73
0,00
1,13
0,81
1,01
7
Amuntai Tengah
1,16
0,05
1,15
2,84
0,44
2,07
0,85
8
Banjang
8,55
0,00
3,64
7,50
1,71
0,26
0,84
9
Amuntai Utara
1,34
0,00
1,02
0,58
0,64
2,36
0,54
10
Haur Gading
0,52
0,00
1,00
0,00
0,70
2,43
0,44
Data dianalisis berdasarkan sumber data dari Dinas Peternakan Tahun 2009
72
Gambar 19
Lokasi Penelitian
Peta Pewilayahan Basis Komoditas Ternak Itik di. Kab. HSU
73
5.11 Arahan Pengembangan Arahan pengembangan peternakan itik di Kabupaten HSU ditentukan berdasarkan tiga skenario yaitu skenario pertama berdasarkan indeks daya dukung (IDD) pakan dedak dengan wilayah basis, skenario kedua berdasarkan IDD pakan sagu dengan wilayah basis dan skenario ketiga berdasarkan IDD pakan dedak dan sagu dengan wilayah basis.
a.
Skenario pertama Penentuan wilayah potensi pengembangan usaha peternakan itik
berdasarkan IDD pakan dedak dengan wilayah basis. Berdasarkan hasil analisis diperoleh tiga potensi pengembangan peternakan itik yaitu 1) IDD aman dan non basis; 2) IDD sangat kritis dan basis; 3) IDD sangat kritis dan non basis. Hasil analisis tidak ada kecamatan yang memiliki IDD aman dan basis.
Tabel 30 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Dedak dan Wilayah Basis Nilai LQ Itik
Keterangan
0,31
1,04
IDD sangat kritis dan basis
22,84
0,80
IDD aman dan non basis
Babirik
0,24
0,97
IDD sangat kritis dan non basis
4
Sungai Pandan
0,25
2,01
IDD sangat kritis dan basis
5
Sungai Tabukan
0,15
2,02
IDD sangat kritis dan basis
6
Amuntai Selatan
0,08
1,01
IDD sangat kritis dan basis
7
Amuntai Tengah
0,16
0,85
IDD sangat kritis dan non basis
8
Banjang
0,66
0,84
IDD sangat kritis dan non basis
9
Amuntai Utara
0,39
0,54
IDD sangat kritis dan non basis
10
Haur Gading
0,29
0,44
IDD sangat kritis dan non basis
No
Kecamatan
1
Danau Panggang
2
Paminggir
3
IDD Dedak
Secara spasial kecamatan yang memiliki daya dukung aman dan non basis yaitu Kecamatan Paminggir. Pada kecamatan ini pengembangannya diarahkan sebagai wilayah penyangga bagi penyediaan pakan. Kecamatan yang memiliki IDD sangat kritis dan basis yaitu pada Kecamatan Danau Panggang, Amuntai Selatan, Sungai Tabukan dan Sungai Pandan. Pada kecamatan tersebut preferensi masyarakatnya dalam beternak itik tinggi, namun daya dukungnya sudah tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak itik, sehingga
74
diarahkan sebagai daerah budidaya dengan penyediaan pakan ternak dari kecamatan lain. Kecamatan yang status daya dukungnya sangat kritis dan non basis yaitu Kecamatan Babirik, Amuntai Tengah, Amuntai Utara dan Haur Gading dan Banjang. Pada kelima kecamatan ini daya dukungnya sudah tidak mencukupi kebutuhan pakan ternak itik meskipun masyarakatnya banyak yang bermata pencaharian sebagai beternak itik, namun banyak juga yang beternak ayam dan sapi sehingga menjadi wilayah non basis. Kelima kecamatan tersebut diarahkan pada kegiatan perdagangan dan pengolahan hasil ternak itik terutama di Kecamatan Amuntai Tengah yang merupakan daerah perkotaan.
b.
Skenario Kedua Skenario kedua berdasarkan perhitungan IDD pakan sagu dengan
wilayah basis. Hasil analisis menunjukkan kecamatan dengan IDD aman dengan wilayah basis yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Tabukan, dan Amuntai Selatan. Pada kecamatan tersebut daya dukungnya masih mampu menampung tambahan populasi ternak itik. Pada Kecamatan Sungai Pandan yang memiliki IDD sangat kritis dan basis, merupakan kecamatan yang masyarakatnya memiliki preferensi beternak itik tinggi namun di kecamatan tersebut tidak potensial pengembangan sagu sehingga nilai IDD sagunya 0, maka diarahkan sebagai daerah budidaya.
Tabel 31 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Sagu dengan Wilayah Basis No
Kecamatan
1
Danau Panggang
2
Paminggir
3
IDD Sagu
Nilai LQ Itik
Keterangan
42,37
1,04
IDD aman dan basis
1959,32
0,80
IDD aman dan non basis
Babirik
2,47
0,97
IDD aman dan non basis
4
Sungai Pandan
0,00
2,01
IDD sangat kritis dan basis
5
Sungai Tabukan
4,88
2,02
IDD aman dan basis
6
Amuntai Selatan
13,92
1,01
IDD aman dan basis
7
Amuntai Tengah
11,75
0,85
IDD aman dan non basis
8
Banjang
84,89
0,84
IDD aman dan non basis
9
Amuntai Utara
0,00
0,54
IDD sangat kritis dan non basis
10
Haur Gading
1,47
0,44
IDD kritis dan non basis dan
75
Untuk kecamatan yang memiliki IDD aman dan non basis yaitu pada Kecamatan Paminggir, Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, dan Haur Gading diarahkan untuk penyediaan pakan, perdagangan dan pengolahan hasil. Sementara Kecamatan Amuntai Utara yang IDDnya sangat kritis dan non basis, serta Kecamatan
Haur Gading yang IDDnya kritis dan non basis diarahkan
sebagai wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.
c.
Skenario Ketiga Skenario ketiga berdasarkan IDD pakan dedak, sagu dan wilayah basis.
Perhitungan IDD dedak dan sagu dari potensi pengembangan padi dan sagu. Kecamatan yang menjadi wilayah basis diarahkan untuk wilayah budidaya yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan dan Amuntai Selatan. Kecamatan Paminggir dengan IDD dedak dan sagu aman diarahkan sebagai wilayah penyediaan pakan. Sementara kecamatan lainnya diarahakan untuk wilayah perdagangan dan pengolahan hasil.
Tabel 32 Potensi Pengembangan Ternak Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Sagu dengan Wilayah Basis No
Kecamatan
IDD Dedak
IDD Sagu
Nilai LQ Itik
0,31
12,85
1,04
IDD dedak sangat kritis, IDD sagu aman dan basis
22,84
144,06
0,80
IDD dedak dan sagu aman, non basis
Keterangan
1
Danau Panggang
2
Paminggir
3
Babirik
0,24
-
0,97
IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis
4
Sungai Pandan
0,25
-
2,01
IDD dedak dan sagu sangat kritis, basis
5
Sungai Tabukan
0,15
-
2,02
IDD dedak dan sagu sangat kritis, basis
6
Amuntai Selatan
0,08
11,43
1,01
IDD dedak sangat kritis dan IDD sagu aman, basis
7
Amuntai Tengah
0,16
-
0,85
IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis
8
Banjang
0,66
-
0,84
IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis
9
Amuntai Utara
0,39
-
0,54
IDD dedak dan sagu sangat kritis, non basis
Haur Gading
0,29
1,76
0,44
IDD dedak sangat kritis dan IDD sagu rawan, non basis
10
76
Lokasi Penelitian
Gambar 20 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Wilayah Basis.
Gambar 21 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Sagu dan Wilayah Basis
Lokasi Penelitian
77
78
Lokasi Penelitian
Gambar 22 Peta Arahan Pengembangan Peternakan Itik Berdasarkan Potensi Pengembangan Padi dan Sagu dengan Wilayah Basis.
79
5.12 Strategi Pengembangan Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. Untuk menyusun strategi tersebut perlu dilakukan analisa yang mendalam. Faktor Strategi Internal Faktor internal merupakan faktor yang ada di Kabupaten HSU yang terdiri atas kekuatan dan kelemahan. a.
Faktor Kekuatan Faktor
kekuatan
adalah
faktor
strategis
yang
dapat
mendukung
pengembangan di Kabupaten HSU.
1.
Sumberdaya Alam Sumberdaya alam Kabupaten HSU sebagian besar wilayahnya berupa hutan rawa yaitu seluas 29.711 ha (32,52%), sawah 25.492 Ha (27,91%), kebun campuran 5.051 ha (5,53%) sedangkan yang dimanfaatkan sebagai pemukiman seluas 4.285 ha (4,69%), selebihnya 26.811 ha (29,35 %) berupa hamparan rumput rawa dan danau (BPS HSU, 2009). Ketersediaan air yang melimpah di rawa merupakan habitat yang paling disukai ternak itik. Kondisi rawa lebak memudahkan pemeliharaan ternak ini dibandingkan pada lahan irigasi atau lahan kering karena ditunjang oleh ketersediaan air dan pakan yang banyak tersedia secara alami di lahan rawa lebak seperti sagu (Metroxylon spp) dan berbagai sumber pakan berupa gulma air seperti kangkung, enceng gondok, rumput rawa; dan hewan air misalnya siput, gondang/keong mas, ikan-ikan kecil (Noor, 2007). Selain itu posisi Kabupaten HSU yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Tengah memberikan kemudahan dalam pemasaran ke luar provinsi.
2.
Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia Peternak merupakan salah satu faktor kekuatan dalam
pengembangan
peternakan.
Beternak
itik
salah
satu
mata
pencaharian yang banyak digeluti masyarakat di Kabupaten HSU. Jumlah peternak itik sekitar 4.902 orang. Paling banyak dibandingkan peternak komoditas ternak lain.
80
3.
Plasma Nutfah asli daerah Itik Alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan terutama Kabupaten HSU. Itik Alabio termasuk itik lokal unggul dwi fungsi, karena selain mampu memproduksi telur yang tinggi, rata-rata 215 butir/tahun juga potensial sebagai penghasil daging dibandingkan itik lokal lain di Indonesia (Suryana, 2007). Populasi ternak itik di Kabupaten HSU paling banyak dibandingkan di kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari populasi ternak di Kalimantan Selatan tahun 2009 sebanyak 4.158.452 ekor, populasi ternak itik di Kabupaten HSU mencapai 30,16% dari populasi itik di Provinsi Kalimantan Selatan.
4.
Dukungan Pemerintah Pemerintah kabupaten sampai dengan pemerintah pusat sangat mendukung pengembangan peternakan itik di Kabupaten HSU tersebut. Setiap tahunnya selalu ada kegiatan dan bantuan lembaga sosial dalam upaya peningkatan usaha peternakan itik. Pemerintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara melakukan penyebaran ternak itik setiap tahunnya. Penyebaran ternak diarahkan pada peningkatan usaha, populasi dan pendapatan petani peternak dalam upaya otonomi daerah yang berpedoman kepada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan. Sejak tahun 2006 pemerintah pusat melalui dana tugas pembantuan memberikan bantuan lembaga sosial APBN untuk usaha peternakan itik, pada tahun 2006 sebesar Rp. 125.000.000,-, tahun 2007 sebesar Rp. 314.000.000,- dan pada tahun 2008 sebesar Rp. 115.000.000,-. Melalui dana APBD juga telah diberikan bantuan penyebaran ternak itik, pengadaan mesin pemarut paya, mesin pemecah keong, obat-obatan, handsprayer, desinfektan, spuit otomatis. Adanya lembaga pembina seperti Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan,
Perkebunan
dan
Pertambangan,
Dinas
Perikanan,
dan
dinas/instansi lain yang terkait. Diharapkan menjadi fasilitator utama dalam pembinaan baik dari semua aspek, dari pakan sampai pasca panen baik dari pemeliharaan, pemasaran sampai manajemen usaha. 5.
Dukungan sosial budaya masyarakat Faktor dukungan sosial masyarakat sangat berperan dalam pengembangan peternakan itik. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakatnya mempunyai usaha peternakan itik baik skala besar maupun kecil.
81
6.
Terdapat Pusat Penetasan Usaha peternakan itik di Kabupaten HSU sudah berspesialisasi, untuk menghasilkan bibit itik terdapat pusat penetasan dan pembibitan yaitu di Desa Mamar Kecamatan Amuntai Selatan. Teknologi untuk penetasan di desa ini telah berkembang, dimana mereka sudah menggunakan mesin tetas untuk penetasan tidak secara tradisional. Jumlah bibit yang tersedia di pusat penetasan ini cukup besar mencapai 60.000 ekor/minggu. Dengan demikian ketersediaan bibit itik alabio relatif mudah.
7.
Terdapat Pusat Pemasaran Di Kabupaten HSU terdapat pusat pemasaran itik (telur, bibit pakan) dan peralatan pemeliharaan itik yang terletak di Alabio Kecamatan Sungai Pandan. Peternak dari Kabupaten HSU maupun dari luar kabupaten bahkan luar provinsi biasanya mencari bibit itik yang bagus di pasar ini. Ternak itik diperjualbelikan secara langsung, namun untuk pembelian skala besar, pembeli umumnya hanya melihat contoh ternak di pasar dan selanjutnya transaksi jual beli dilakukan dengan dikirim oleh penjual atau langsung diambil oleh pembeli. Dengan semakin mudahnya akses komunikasi sebagian peternak dari luar umumnya cukup hanya memesan lewat telepon ke peternak yang sudah dipercaya. Wilayah pemasaran telur sekitar 30% di Provinsi Kalimantan Selatan, 55 % dari Provinsi Kalimantan Tengah dan 15% dari Provinsi Kalimantan Timur, sedangkan wilayah pemasaran untuk anak itik betina sekitar 60% di dalam kabupaten dan sisanya luar Kabupaten HSU (Disnak Kab. HSU, 2009).
8.
Informasi Pasar Adanya siaran televisi lokal (Amuntai TV) dan radio yang memberikan informasi harga-harga sarana produksi, hasil produksi, sehingga para pelaku usaha dengan cepat mengetahui perkembangan harga di pasar sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melakukan transaksi dan analisa usaha peternakan. Selain itu, Dinas Peternakan Kabupaten HSU juga mempunya website yang selalu memberikan informasi perkembangan harga, sehingga pelaku usaha dari luar kabupaten dan provinsi dapat dengan cepat mengaksesnya. Hal ini memudahkan calon pembeli dari luar daerah untuk mengetahuinya
82
9.
Tingkat Keuntungan Usaha Dilihat dari analisis pendapatan peternak per spesialisasi usaha penetasan, pembesaran, penghasil telur konsumsi dan penghasil telur tetas, semuanya menguntungkan peternak.
b.
Faktor Kelemahan Faktor kelemahan adalah faktor yang dianggap sebagai kendala dalam pengembangan usaha peternakan itik di Kabupaten HSU.
1.
Sarana dan Prasarana Beberapa daerah di sentra pengembangan ternak itik cukup sulit dijangkau karena belum ada akses jalan yang memadai, bahkan hanya dapat dilalui dengan
titian
panjang
dari
kayu
dengan
kondisi
sudah
cukup
memprihatinkan, sehingga sangat menyulitkan untuk membawa ternak itik dan hasil produksinya. Bahkan ada daerah yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan perahu kecil (klotok). Belum berfungsinya tempat pemotongan unggas karena keterbatasan sarana prasarana RPU (Rumah Potong Unggas), sehingga masyarakat lebih menyukai memotong unggas di rumah masing-masing, padahal di rumah potong unggas sudah disediakan alat pencabut bulu. Hal ini menyebabkan sedikitnya pengawasan yang dapat dilakukan pada penjual daging itik. Belum adanya puskeswan di kecamatan-kecamatan, sehingga masyarakat kesulitan untuk melaporkan ternak itik yang sakit, karena memerlukan waktu yang cukup jauh untuk ke kabupaten, sehingga lambat dalam penanganan penyakit. 2.
Kemampuan Modal Usaha Modal yang dimiliki peternak umumnya berasal dari modal sendiri, sehingga mereka memiliki keterbatasan untuk meningkatkan skala usaha apalagi modal yang dibutuhkan untuk usaha peternakan itik cukup besar terutama untuk biaya pembelian bibit dan pakan. Biaya pakan bisa mencapai 60-70% dari biaya produksi. Sementara bantuan modal yang disediakan oleh pemerintah masih terbatas.
3.
Keterbatasan Tenaga Pembina Dinas Peternakan Kabupaten HSU masih memiliki sumbardaya manusia yang terbatas dalam membina peternakan terutama pembinaan usaha
83
peternakan itik. Tercatat saat ini hanya ada 3 orang dokter hewan, 10 orang sarjana peternakan dan 13 orang penyuluh peternakan. 4.
Kurangnya Koordinasi antar Lembaga Terkait. Masih kurangnya koordinasi antar lembaga dalam pembinaan maupun pemberian bantuan sosial ke peternak itik menyebabkan tidak terdapat kegiatan yang sinergis, sehingga kadang terjadi tumpang tindih bantuan.
Faktor Strategi Ekternal Faktor eksternal terdiri dari peluang yang dimanfaatkan dan ancaman yang harus dihindari untuk keberhasilan pengembangan usaha peternakan a.
Peluang
1.
Meningkatnya Permintaan Telur dan Daging Itik Salah satu keunggulan dari ternak itik yaitu telurnya dapat dibuat telur asin. Itik Alabio selain sebagai penghasil telur juga dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Selama ini yang dimanfaatkan untuk penghasil daging hanya itik afkir dan itik jantan, belum banyak peternak yang memelihara itik alabio jantan untuk tujuan penghasil daging, karena dianggap tidak terlalu menguntungkan, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Apalagi nilai jual itik jantan setengah dari itik betina. Namun ini merupakan salah satu peluang baik bagi pengembangan itik penghasil daging, ada sekitar 30.000-60.000 ekor/minggu anak itik jantan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Prasetyo (2010) animo masyarakat mengkonsumsi daging bebek meningkat 5 tahun terakhir, hal ini ditandai dengan meningkatnya restoran yang menyajikan menu daging bebek, padahal sebelumnya daging bebek belum banyak digemari. Sebagian pedagang di Jakarta dan Tangerang
mengklaim mampu menjual bebek
potong 5.000 – 10.000 ekor bebek setiap minggu. Jika perkiraan kasar di Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) ada sekitar 25 pedagang maka ada lebih dari 200 ribu ekor bebek per minggu terserap untuk dipotong. 2.
Teknologi Informasi Teknologi informasi sudah berkembang dengan pesat, apalagi aksesnya sudah bisa dijangkau di pelosok pedesaan di Kabupaten HSU. Teknologi informasi seperti handphone, televisi dan internet dapat dimanfaatkan
84
sebagai peluang untuk pengembangan peternakan dalam hal kemudahan informasi teknologi baru, informasi pasar. Dengan kemudahan akses komunikasi dapat dengan cepat memenuhi permintaan pasar dari luar daerah. 3.
Otonomi daerah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan
hukum
kesempatan
otonomi
untuk
daerah,
mengatur
maka
dan
pemerintah
merencanakan
daerah sendiri
diberi dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal untuk pengembangan wilayah. Apalagi Kabupaten HSU berpisah dengan Kabupaten Balangan sejak tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003. Dengan demikian Kabupaten HSU harus mampu memanfaatkan sumberdaya lokal dan komoditas unggulan daerah dalam pengembangan wilayah. 4.
Teknologi Peternakan Semakin majunya teknologi tentu sangat penting bagi perkembangan usaha peternakan. Sebagian peternak sudah mulai menerapkan teknologi baru antara lain sudah mengunakan mesin tetas untuk penetasan. Selain itu perlu adanya teknologi terapan lainnya baik dalam pemeliharaan maupun teknologi pasca panen dalam menunjang pengembangan peternakan unggas.
5.
Memanfaatkan Hasil Ikutan Ternak Itik Ternak itik selain daging dan telurnya dapat dimanfaatkan, juga bulu itik bisa digunakan untuk pupuk, makanan ternak dan perhiasan, juga bahan pengisi perlengkapan tidur. Kotoran itik juga bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara belum ada yang memanfaatkannya, sehingga merupakan peluang besar.
6.
Ketersediaan Kredit Adanya Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yaitu investasi yang diberikan
oleh
bank
pelaksana
(BRI
dan
Bank
Kalsel)
kepada
petani/peternak, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat (LM3) dapat dimanfaatkan untuk membantu modal peternak.
85
b.
Ancaman
1.
Tingkat inflasi Tingkat inflasi juga mempengaruhi dunia perunggasan, termasuk usaha peternakan itik. Tingginya tingkat inflasi yang diakibatkan naiknya bahan bakar minyak berdampak pada meningkatnya biaya produksi, pengolahan dan transportasi hasil-hasil peternakan.
2.
Penyakit ternak Timbulnya kejadian penyakit ternak terutama penyakit yang bersifat zoonosis (penyakit hewan yang menular kepada manusia) seperti isu penyakit flu burung (Avian Influenza) menjadi ancaman bagi kehidupan ternak dan manusia yang hidup berdampingan dengan ternak dan mengkonsumsi ternak.
dengan
demikian
kejadian
penyakit
ternak
menyebabkan
berkurangnya permintaan masyarakat terhadap komoditas unggas termasuk ternak itik. Kejadian penyakit ternak tersebut selain mempengaruhi permintaan juga mempengaruhi usaha peternakan. Banyaknya ternak yang mati menyebabkan peternak menderita kerugian. 3.
Ketersediaan Pakan Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan peternakan termasuk usaha ternak itik. Penggunaan pakan pada produksi unggas mencapai sekitar 60-70% dari total biaya produksi. Ketersediaan pakan lokal yang biasa dimanfaatkan peternak juga semakin tidak mencukupi, karena populasi ternak yang terus meningkat dan tidak ada budidaya pakan lokal seperti penanaman pohon sagu. Dilihat dari ketersediaan pakan lokal ternak selama ini, belum mencukupi kebutuhan ternak itik di Kabupaten HSU kecuali pakan dari keong, namun keong juga sangat tergantung dengan musim.
4.
Komoditas Ternak Itik Daerah Lain Itik Alabio yang merupakan plasma nutfah asli daerah harus dilestarikan dan dijaga keasliannya yang merupakan komoditas unggulan penghasil telur. Masuknya komoditas ternak itik daerah lain mengancam keaslian plasma nutfah asli, kalau terjadi perkawinan antar komoditas ternak.
86
Evaluasi Faktor-Faktor Strategis A. Internal Factor Evaluation (IFE) Hasil perhitungan bobot dan rating faktor strategis internal berdasarkan kuesioner dengan responden untuk menentukan faktor-faktor strategis dalam pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. a.
Faktor kekuatan Faktor kekuatan terdiri dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia, plasma nutfah asli daerah, dukungan pemerintah, dukungan sosial budaya masyarakat, terdapat pusat penetasan, kemudahan pemasaran, informasi pasar. Hasil perhitungan dari kuesioner maka diperoleh bobot masing-masing faktor kekuatan yaitu terdapat pusat pemasaran 0,089, sumberdaya manusia 0,084, tingkat keuntungan usaha 0,084, dukungan sosial budaya masyarakat 0,081,
informasi
pasar
0,081,
sumberdaya
alam
0,078,
dukungan
pemerintah 0,073, terdapat pusat penetasan 0,073 dan plasma nutfah asli daerah 0,053.
Tabel 33 Matriks IFE Pengembangan Peternakan Itik di Kabupaten HSU No
Faktor Strategis Internal
Bobot
Rating
Total Skor
A. Kekuatan 1
Sumberdaya alam
0,078
4
0,314
2
Sumberdaya manusia
0,084
4
0,334
3
Plasma nutfah asli daerah
0,053
3
0,159
4
Dukungan pemerintah
0,073
4
0,294
5
Dukungan sosial budaya masyarakat
0,081
4
0,324
6
Terdapat pusat penetasan
0,073
3
0,220
7
Terdapat pusat pemasaran
0,089
4
0,354
8
Informasi pasar
0,081
4
0,324
9
Tingkat keuntungan usaha
0,084
4
0,334
Jumlah
0,696
2,658
B. Kelemahan 1
Sarana prasarana
0,084
1
0,084
2
Kemampuan Modal Usaha
0,081
1
0,081
3
Keterbatasan tenaga pembina
0,071
2
0,142
4
Kurangnya koordinasi antar lembaga terkait
0,078
2
0,137
Jumlah
0,331
0,443
TOTAL
1,000
3,101
87
Tabel
33
menunjukkan
bahwa
kekuatan
utama
dalam
pengembangan wilayah berbasis peternakan itik yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dukungan pemerintah, dukungan sosial budaya masyarakat, terdapat pusat pemasaran, informasi pasar dan tingkat keuntungan usaha. Hal ini terlihat dari nilai rating 4 pada faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor-faktor yang lain memiliki kekuatan kecil.
b.
Faktor Kelemahan Tidak banyak faktor kelemahan dalam pengembangan wilayah berbasis peternakan itik dibandingkan faktor kekuatan. Faktor kelemahannya yaitu sarana prasarana dengan bobot 0,084, kemampuan modal usaha (0,081), keterbatasan tenaga pembina (0,071) dan kurangnya koordinasi antar lembaga terkait (0,078). Faktor yang memiliki kelemahan utama yaitu sarana prasarana dan kemampuan modal usaha sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 33 yang ditunjukkan dengan nilai rating 1. Faktor keterbatasan tenaga pembina dan kurangnya koordinasi antar lembaga terkait merupakan kelemahan kecil dilihat dari ratingnya yang bernilai 2.
B. External Faktor Evaluation (EFE) Hasil perhitungan bobot dan rating faktor strategis eksternal berdasarkan kuesioner dengan responden untuk menentukan faktor-faktor strategis dalam pengembangan wilayah berbasis peternakan itik. a.
Faktor Peluang Faktor peluang pengembangan wilayah berbasis peternakan itik terdiri dari permintaan telur dan daging itik dengan bobot 0,126, teknologi informasi 0,104, otonomi daerah 0,058, teknologi peternakan 0,119, manfaat hasil ikutan ternak itik 0,094 dan ketersediaan kredit 0,104. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa peluang yang direspon sangat baik dalam pengembangan peternakan yaitu meningkatnya permintaan telur dan daging itik dan teknologi peternakan ditunjukkan dari nilai rating 4. Teknologi informasi, manfaat hasil ikutan ternak itik dan ketersediaan kredit direspon baik dan otonomi daerah diresponnya agak baik.
88
b.
Faktor Ancaman Faktor ancaman dalam pengembangan peternakan yaitu ada 4 faktor yaitu tingkat inflasi, penyakit ternak, ketersediaan pakan dan komoditas ternak itik daerah lain, masing-masing memiliki bobot berturut-turut 0,097, 0,115, 0,129 dan 0,054.
Tabel 34 Matrik EFE Pengembangan Peternakan Itik di Kabupaten HSU No
Faktor Strategis Eksternal
Bobot
Rating
Total Skor
A. Peluang 1
Permintaan telur dan daging itik
0,126
4
0,503
2
Teknologi informasi
0,104
3
0,313
3
Otonomi daerah
0,058
2
0,115
4
Teknologi peternakan
0,119
4
0,475
5
Menfaat hasil ikutan ternak itik
0,094
3
0,282
6
Ketersediaan kredit
0,104
3
0,313
Jumlah
0,604
1,406
B. Ancaman 1
Tingkat inflasi
0,097
3
0,291
2
Penyakit Ternak
0,115
4
0,460
3
Ketersediaan pakan
0,129
4
0,518
4
Komoditas ternak itik daerah lain
0,054
2
0,108
Jumlah
0,493
1,377
TOTAL
1,000
2,783
Faktor penyakit ternak dan ketersediaan pakan merupakan faktor yang pengaruhnya sangat kuat dilihat dari nilai ratingnya 4, tingkat inflasi memiliki pengaruh kuat, sedangkan komoditas ternak itik daerah lain pengaruhnya kecil.
Berdasarkan faktor internal dan eksternal maka dapat disusun alternatif strategi yaitu Strategi Strength Opportunities (SO), Strategi Strengths Threats (ST), Strategi Weaknesses Opportunities (WO), Strategi Weaknesses Threats (WT). a.
Strategi Strength Opportunities (SO) Strategi
ini
menggunakan
kekuatan
dan
peluang
dengan
pengembangan agribisnis peternakan itik dari sektor hulu ke hilir. pembinaan dan optimalisasi produk dan nilai tambah usaha ternak itik untuk
89
meningkatkan skala usaha dalam memenuhi permintaan telur dan daging itik yang terus meningkat. Untuk memanfaatkan hasil ternak itik seperti bulu dan kotoran yang belum didayagunakan perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan peternak. Selain itu juga mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi yang tersedia di daerah maupun di luar daerah melalui koran lokal atau bulletin pertanian dalam mempromosikan tentang harga komoditas ternak dan produk-produk peternakan. Pengembangan teknologi peternakan pada sektor budidaya, pakan dan pasca panen. Pengolahan pasca panen lebih dioptimalkan baik dibuat makanan itik panggang, dendeng itik, telur asin, sehingga meningkatkan nilai tambah selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menyerap tenaga kerja. Ternak itik Alabio dikenal sebagai komoditas unggulan sebagai ternak petelur, dengan demikian mutu sumberdaya genetik ternak itik lokal harus terus dilestarikan, sehingga perlu adanya standarisasi bibit dan pencegahan agar Itik Alabio tidak terkontaminasi itik pendatang.
b.
Strategi ST Strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman yang ada yaitu dengan perluasan dan budidaya tanaman untuk pakan ternak di lahan yang potensial. Tanaman sagu yang selama ini tumbuh secara alami perlu dibudidayakan, terutama di daerah yang sesuai untuk pengembangan tanaman sagu sehingga ketersediaan untuk pakan dapat dipenuhi
dari
dalam
Kabupaten
HSU.
Begitu
juga
peningkatan
pengembangan tanaman padi pada wilayah yang potensial untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan dedaknya untuk pakan ternak agar kesinambungan pakan ternak dapat diatasi. Dengan terpenuhinya pakan dalam daerah kabupaten akan mampu mengurangi biaya produksi. Pembinaan
kepada
peternak
untuk
memanfaatkan
potensi
sumberdaya alam lainnya yang murah tersedia melimpah serta tidak bersaing dengan manusia sebagai alternatif campuran pakan ternak itik. Adanya penyakit ternak yang menyerang ternak itik dan dapat memusnahkan ternak dengan cepat seperti penyakit flu burung, sehingga perlu dilakukan pembinaan kepada peternak untuk selalu meningkatkan
90
biosekuriti sehingga dapat segera diatasi, dan selalu melaporkan ke dinas peternakan apabila ada kematian ternak mendadak.
c.
Strategi WO Strategi
ini
memanfaatkan
peluang
yang
ada
dengan
cara
meminimalkan kelemahan yaitu dengan peningkatan kualitas SDM aparat pembina dan peternak. Dilakukan dengan mengikutsertakan, memfasilitasi dan mengadakan pelatihan, magang, temu usaha untuk meningkatkan pengetahuan informasi, teknologi baru dan keterampilan dalam beternak itik. Peningkatan
dan
perbaikan
sarana
prasarana
sangat
mendukung
pengembangan peternakan, baik itu sarana jalan untuk memudahkan transportasi dalam memasarkan produk peternakan itik. Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) sampai sekarang belum ada di Kabupaten HSU yang merupakan sentra peternakan, sehingga sangat diperlukan dibangun Puskeswan dengan tenaga medik dan paramedik veteriner terutama di sentra-sentra peternakan agar penyakit ternak dapat segera diatasi dengan cepat. Adanya bantuan modal dari APBN, APBD I dan APBD II sangat membantu kelompok ternak dalam mengatasi masalah kekurangan modal. Selain itu ada kredit ketahanan pangan (KKP-E) yaitu kredit investasi dana atau modal kerja untuk petani/peternak oleh bank pelaksana meliputi BRI dan Bank Kalsel melalui kelompok tani atau koperasi. Program tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu peternak.
d.
Strategi WT Strategi ini dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman yaitu dengan mengawasi lalu lintas ternak dari dan ke luar daerah untuk mencegah penyebaran penyakit ternak. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya peternakan terutama tenaga medis dan paramedis veteriner sangat diperlukan untuk pengembangan peternakan itik. Tingginya populasi ternak itik dan banyaknya jumlah peternak yang bermata pencaharian sebagai peternak itik, sangat memerlukan tenaga ahli bidang peternakan.
91
Tabel 35 Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan di Kabupaten HSU Faktor Internal
Faktor Eksternal PELUANG (O) 1. Meningkatnya permintaan telur dan daging itik 2. Teknologi informasi 3. Otonomi daerah 4. Teknologi peternakan 5. Memanfaatkan hasil ikutan usaha ternak itik 6. Ketersediaan kredit
ANCAMAN (T) 1. 2. 3. 4.
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
1. Sumberdaya alam berupa lahan rawa yang luas 2. Sumberdaya manusia yang bekerja di peternakan itik 3. Plasma nutfah asli daerah 4. Dukungan pemerintah 5. Dukungan sosial budaya masyarakat 6. Terdapat pusat penetasan 7. Terdapat pusat pemasaran 8. Informasi pasar 9. Tingkat keuntungan usaha STRATEGI SO
1. Sarana prasarana seperti rusaknya jalan, tidak tersedianya pusat kesehatan hewan 2. Kemampuan modal usaha peternak masih rendah 3. Keterbatasan tenaga pembina 4. Kurangnya koordinasi antar lembaga terkait
STRATEGI WO
1. Pengembangan 1. Pembinaan dan agribisnis peternakan itik peningkatan SDM 2. Pembinaan dan aparat pembina dan optimalisasi produktivitas peternak ternak itik 2. Peningkatan dan 3. Optimalisasi perbaikan sarana pemanfaatan teknologi prasarana informasi yang tersedia 3. Memanfaatkan kredit 4. Pengembangan teknologi untuk membantu peternakan pada sektor peternak untuk modal budidaya, pakan dan usaha pascapanen 5. Mempertahankan keberadaan plasma nutfah itik lokal untuk menjaga keasliannya STRATEGI ST STRATEGI ST
Tingkat inflasi 1. Penyediaan dan Penyakit ternak perluasan budidaya Ketersediaan pakan lokal tanaman untuk pakan Komoditas ternak ternak itik itik daerah lain 2. Pengembangan potensi sumberdaya lokal alternatif untuk pakan ternak 3. Pengendalian dan pencegahan wabah penyakit ternak
1. Pengawasan lalu lintas ternak 2. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM, khususnya tenaga medis dan paramedis
92
5.12 Prioritas Strategi Pengembangan Berdasarkan permasalahan utama ketersediaan pakan lokal yang tidak mencukupi kebutuhan ternak dilihat dari daya dukung pakan terutama pakan dedak maka alternatif strategi yang dapat dikembangkan yaitu perlu penyediaan dan perluasan tanaman padi terutama di daerah yang potensial pengembangan padi selain itu mengembangkan kelembagaan untuk pengadaan pakan dedak terutama di sentra-sentra wilayah produksi padi dengan aksesibilitas yang relatif mudah dijangkau sehingga kesinambungan pakan dedak dapat tercukupi walaupun sangat tergantung dengan ketersediaan dari luar kabupaten. Tanaman sagu sebaiknya dibudidayakan di lahan potensial sagu, tidak hanya dibiarkan tumbuh secara alami saja. Budidaya tanaman sagu hendaknya direncanakan secara baik dan berkesinambungan di bina oleh instansi terkait yaitu Dinas Perkebunan HSU. Perlu dicari alternatif pengganti pakan lokal yang lebih murah dan ketersediaannya masih cukup banyak dan belum termanfaatkan seperti memanfaatkan enceng gondok dan rumput rawa sebagai sumber vitamin yang selama ini masih banyak tumbuh di rawa-rawa Kabupaten HSU. Pembinaan dan pelatihan peternak sangat penting dalam memanfaatkan pakan alternatif lain tersebut dan penggunaan pakan lokal secara efisien.
93
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1.
Seluruh
wilayah
Kabupaten
HSU
sesuai
secara
ekologis
untuk
pengembangan ternak itik, karena ternak itik dapat hidup pada semua kondisi lahan yang ada. Berdasarkan hasil perhitungan kesesuaian lahan untuk sagu dan padi sebagai pakan ternak, maka lahan di Kabupaten HSU sangat besar potensinya untuk pengembangan budidaya sagu dan padi. 2.
Tingginya populasi ternak itik di Kabupaten HSU menyebabkan ketersediaan pakan ternak di wilayah ini masih belum mencukupi kebutuhan. Daya dukung dedak hanya di Kecamatan Paminggir yang status daya dukungnya aman, daya dukung sagu dan keong mampu mencukupi kebutuhan ternak itik.
3.
Hasil analisis pendapatan pada empat spesialisasi usaha, yaitu penetasan, pembesaran, penghasil telur konsumsi dan telur tetas, semuanya dinilai menguntungkan bagi peternak. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial dengan discount factor 12%, keempat spesialisasi usaha peternakan dinilai layak dan menguntungkan.
4.
Hasil analisis sektor basis berdasarkan populasi ternak menunjukkan daerah yang menjadi basis ternak itik adalah Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Sungai Tabukan, dan Amuntai Selatan.
5.
Arahan potensi pengembangan ternak berdasarkan indeks daya dukung pakan dedak dengan wilayah basis,
indeks daya dukung pakan sagu
dengan wilayah basis dan indeks daya dukung pakan dedak dan sagu dengan wilayah basis. 6.
Hasil analisis SWOT didapatkan kekuatan utama yaitu terdapat pusat pemasaran, kelemahan utama yaitu sarana prasarana, peluang yang direspon baik yaitu meningkatnya permintaan telur dan daging itik, sedangkan ancaman yang pengaruhnya sangat kuat yaitu ketersediaan pakan lokal. Strategi prioritas untuk pengembangan ternak berdasarkan ancaman utama yaitu kurangnya ketersediaan pakan lokal yaitu penyediaan dan perluasan areal tanaman budidaya pakan lokal ternak itik untuk menunjang ketersediaan pakan ternak lokal pada lahan yang potensial.
94
6.2. Saran Berdasarkan hasil analisis, permasalahan yang paling utama adalah ketersediaan pakan lokal. Dalam konteks hubungan antarwilayah, pemenuhan kebutuhan pakan ternak itik memang bisa didapatkan dari wilayah lain. Namun untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan nilai tambah daerah serta penyerapan tenaga kerja, sebaiknya strategi penyediaan pakan lokal perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Hal ini didukung oleh potensi fisik Kabupaten HSU yang memang memungkinkan untuk pengembangan usaha pakan ternak itik.
DAFTAR PUSTAKA Alkadri, Muchdie, Suhandojo. 1999. Tiga Pilar Pembangunan Wilayah. Jakarta : Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi. Ardhani F. 2008. Wilayah Potensial untuk Penyebaran dan Pengembangan Peternakan di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. EPP.Vol.5 No.1.2008 http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/51083643.pdf [23 Januari 2011] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Bibit Induk (parent stock) Itik Alabio Muda. http://www.ditjennak.go.id/regulasi\SNI 7556_2009 bibit induk itik alabio muda.pdf [15 Juni 2010] Bahri S. 2008. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Ternak. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Bogor. 11-12 Nopember 2008. Bogor: Puslitbangnak, Balitbangtan. Hlm 4-14. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Penyusunan Ransum untuk Itik Petelur. Jakarta: Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2009. Data Pokok dan Album Peta untuk Informasi dan Bahan Perencanaan Pembangunan Daerah Tahun 2009. Bappeda Kabupaten Hulu Sungai Utara. Amuntai. Bintoro MH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor: IPB Press. Bintoro MH, Purwanto YJ, Amarillis S. 2010. Sagu di Lahan Gambut. Bogor: IPB Press. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2009. Hulu Sungai Utara dalam Angka tahun 2009. Amuntai: BPS Kab. Hulu Sungai Utara Blakely J, Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan edisi keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Cherry P, Morris TR. 2008. Domestic Duck Production Science dan Practice. UK: Biddles Ltd, King’s Lynn Daryanto. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor: IPB Press Daryanto, Hafizriandi Y. 2010. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press [Disnak Kab. HSU] Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 2009. Laporan Tahunan 2008. Amuntai: Dinas Peternakan Kab. Hulu Sungai Utara.
[Disnak Prov. Kalsel] Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 1992 Laporan Pembibitan Ternak Itik (Village Breeding Centre Duck) Tahun 1991/1992. Banjarbaru: Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan [Disnak Prov. Kalsel] Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 2009. Laporan Tahunan 2008. Banjarbaru: Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. [Ditjennak]. 2009. Statistika Peternakan Indonesia Tahun 2008. Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. Djaenudin D, Hendrisman M, Subagyo H, Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Flach M. 2005. A Simple Growth Model for Sago Palm cv. Molat-Ambutrub and its implications for cultivations [abstracts] of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for the Promotion Jlaell;C. Hardjowigeno, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Qoutient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Bogor: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-ile/rahmadi12.pdf [26 Nopember 2010]. Juarini E, Sumanto. 1999. Lahan Potensial untuk Penyebaran dan Pengembangan Peternakan di Propinsi Bali. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. 18-19 Oktober 1999. Bogor: Puslitbangnak Balitbangtan. Hal. 527-542. Khairah SJ. 2011. Potensi Pengembangan Lahan Rawa Lebak untuk Perluasan Lahan Padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lane M. 2010. The carrying capacity imperative: Assessing regional carrying capacity methodologies for sustainable land-use planning. Land Use Policy 27:1038-1045. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Strategi Pengembangan Wilayah dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Nasional yang Lebih Merata dan Adil. Makalah ini disampaikan dalam rangka “Konferensi Nasional Ekonomi Indonesia” Putaran ketiga: Mengagas Format Grand Strategy Ekonomi Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 9-11 Desember 2003 di Makasar, Sulawesi Selatan. http://www.penataanruang. net/taru/Makalah/Men_20101203,Makalah.pdf [14 Agustus 2010] Noor M. 2007. Rawa Lebak. Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Notohadiprawiro T, Louhenapessy JE. 1992. Potensi Sagu dalam Penganekaragaman Bahan Pangan Pokok Ditinjau dari Persyaratan Lahan. Makalah ini disampaikan dalam rangka Simposium Sagu Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 12-13 Oktober 1992 di Ambon. http://soil.faperta.ugm.ac.id/tj/1991/1992pote.pdf [10 Mei 2010] Prasetyo LH. 3 Oktober 2010. Bebek Lokal Jangan Sampai Terkuras. Trobos: 22-23(kolom 1). Prihatman K. 2000. Sagu (Metroxylon sp). Sistem Informasi Manajeman Pembangunan di Perdesaan, Proyek PEMD Bappenas. Jakarta : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. www.warintek.ristek.go.id/pertanian/sagu.pdf [20 Oktober 2010] Pulungan I. 1985. Perencanaan Pengembangan Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Putri TS. 2003. Strategi Pengembangan Peternakan melalui Pendekatan Kawasan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal. Jakarta: Direktorat Pengembangan Peternakan. Rahayu TM. 2008. Akankah Terjadi Kesenjangan Bahan Baku Pakan (Jagung dan Dedak) Tahun 2012?. www.ditjennak.go.id/publikasi [14 Agustus 2010]. Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Rustiadi E, Saefulhakim S. Panuju D.R. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Setioko A, Syamsudin A, Rangkuti M, Budiman H, Gunawan A. 1994. Budidaya Ternak Itik. Bogor: Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.. Sihombing DTH. 2002. Satwa Harapan I Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya Cacing Tanah, Bekicot, Keong Mas, Kupu-Kupu dan Ulat Sutra. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Sitorus SRP. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito Bandung Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sudrajat S. 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Unggas Air di Indonesia (Policy on Waterfowl Development in Indonesia). Prosiding. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Ciawi. 6-7 Agustus 2001. Bogor: Fakultas Peternakan IPB, Balitnak, Puslitbangnak. Hal 15-21. Suharno B, Amri K. 2010. Panduan Beternak Itik Secara Intensif. Jakarta: Penebar Swadaya. Sukria H, Krisnan R. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor: IPB Press
Sumanto, Juarini E. 2006. Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah. Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Suryana. 2007. Prospek dan Peluang Pengembangan Itik Alabio di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian 26(3). http://www.pustaka.litbang. deptan.go.id/publikasi/p3263074.pdf Sutaatmadja DS. 2005. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Syamsu JA, Natsir A, Ahmad S, Abustam E, Kadir N, Ali HM, Mukarram M, Arasy AM, Setiawan AH. 2006. Limbah Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan Ruminansia (Potensi dan Daya Dukung di Sulawesi Selatan). Makasar. Yayasan Citra Emulsi dan Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara Thapa GB, Paudel GS. 2000. Evaluation of livestock carrying capacity of land resources in the Hills of Nepal basedon total digestive nutrient analysis. Agriculture, Ecosystems and Environment 78:223-235 Teo SS. 2001. Evaluation of different duck varieties for the control of the golden apple snail (Pomacea canaliculata) in transplanted and direct seeded rice. Crop Protection 20:599-604 Umar H. 2001. Strategic Management in Action. Konsep, Teori, Teknik Menganalisis Manajemen Strategis. Strategic Business Unit Berdasarkan Konsep Michael R. Porter, Fred R David, dan Wheelen-Hunger. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wasito, Rohaeni ES. 1994. Beternak Itik Alabio. Yogyakarta: Kanisius
Lampiran 1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penetasan Itik Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
Bulan 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
1.0000 -
3,000,000 0.9901 2,970,297
3,000,000 0.9803 2,940,888
3,000,000 0.9706 2,911,770
3,000,000 0.9610 2,882,941
3,000,000 0.9515 2,854,397
3,000,000 0.9420 2,826,136
3,000,000 0.9327 2,798,154
3,000,000 0.9235 2,770,450
3,000,000 0.9143 2,743,019
100,000 1,500,000 420,000 50,000 2,500,000 1,500,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
6,070,000 1.0000 6,070,000
1,970,000 0.9901 1,950,495
1,970,000 0.9803 1,931,183
1,970,000 0.9706 1,912,063
1,970,000 0.9610 1,893,131
1,970,000 0.9515 1,874,387
1,970,000 0.9420 1,855,829
1,970,000 0.9327 1,837,455
1,970,000 0.9235 1,819,262
1,970,000 0.9143 1,801,249
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
(6,070,000) (6,070,000) (6,070,000)
1,030,000 1,019,802 (5,050,198)
1,030,000 1,009,705 (4,040,493)
1,030,000 999,708 (3,040,785)
1,030,000 989,810 (2,050,975)
1,030,000 980,010 (1,070,966)
1,030,000 970,307 (100,659)
1,030,000 960,700 860,040
1,030,000 951,188 1,811,228
1,030,000 941,770 2,752,998
Lampiran 1 (Lanjutan) Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
Bulan 10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
3,000,000 0.9053 2,715,861
3,000,000 0.8963 2,688,971
3,000,000 0.8874 2,662,348
3,000,000 0.8787 2,635,988
3,000,000 0.8700 2,609,889
3,000,000 0.8613 2,584,048
3,000,000 0.8528 2,558,464
3,000,000 0.8444 2,533,132
3,000,000 0.8360 2,508,052
3,000,000 0.8277 2,483,220
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
100,000 1,500,000 420,000 50,000 800,000
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%)/tahun Present Value Cost
1,970,000 0.9053 1,783,415
1,970,000 0.8963 1,765,758
2,870,000 0.8874 2,546,979
1,970,000 0.8787 1,730,965
1,970,000 0.8700 1,713,827
1,970,000 0.8613 1,696,858
1,970,000 0.8528 1,680,058
1,970,000 0.8444 1,663,424
1,970,000 0.8360 1,646,954
1,970,000 0.8277 1,630,648
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
1,030,000 932,446 3,685,444
1,030,000 923,213 4,608,657
130,000 115,368 4,724,025
1,030,000 905,022 5,629,048
1,030,000 896,062 6,525,110
1,030,000 887,190 7,412,300
1,030,000 878,406 8,290,706
1,030,000 869,709 9,160,415
1,030,000 861,098 10,021,512
1,030,000 852,572 10,874,084
Lampiran 1 (Lanjutan) Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
Bulan 20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
3,000,000 0.8195 2,458,633
3,000,000 0.8114 2,434,291
3,000,000 0.8034 2,410,189
3,000,000 0.7954 2,386,325
3,000,000 0.7876 2,362,698
3,000,000 0.7798 2,339,305
3,000,000 0.7720 2,316,144
3,000,000 0.7644 2,293,212
3,000,000 0.7568 2,270,507
3,000,000 0.7493 2,248,026
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
100,000 1,500,000 420,000 50,000 800,000
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
1,970,000 0.8195 1,614,503
1,970,000 0.8114 1,598,517
1,970,000 0.8034 1,582,691
1,970,000 0.7954 1,567,020
2,870,000 0.7876 2,260,315
1,970,000 0.7798 1,536,144
1,970,000 0.7720 1,520,934
1,970,000 0.7644 1,505,876
1,970,000 0.7568 1,490,966
1,970,000 0.7493 1,476,204
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
1,030,000 844,131 11,718,215
1,030,000 835,773 12,553,988
1,030,000 827,498 13,381,486
1,030,000 819,305 14,200,791
130,000 102,384 14,303,175
1,030,000 803,161 15,106,337
1,030,000 795,209 15,901,546
1,030,000 787,336 16,688,882
1,030,000 779,541 17,468,423
1,030,000 771,822 18,240,245
Lampiran 1 (Lanjutan) Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
Bulan 30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
3,000,000 0.7419 2,225,769
3,000,000 0.7346 2,203,731
3,000,000 0.7273 2,181,912
3,000,000 0.7201 2,160,309
3,000,000 0.7130 2,138,920
3,000,000 0.7059 2,117,743
3,000,000 0.6989 2,096,775
3,000,000 0.6920 2,076,015
3,000,000 0.6852 2,055,460
3,000,000 0.6784 2,035,109
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
100,000 1,500,000 420,000 50,000 800,000
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
1,970,000 0.7419 1,461,588
1,970,000 0.7346 1,447,117
1,970,000 0.7273 1,432,789
1,970,000 0.7201 1,418,603
1,970,000 0.7130 1,404,557
1,970,000 0.7059 1,390,651
2,870,000 0.6989 2,005,915
1,970,000 0.6920 1,363,250
1,970,000 0.6852 1,349,752
1,970,000 0.6784 1,336,388
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
1,030,000 764,181 19,004,426
1,030,000 756,614 19,761,040
1,030,000 749,123 20,510,163
1,030,000 741,706 21,251,870
1,030,000 734,363 21,986,232
1,030,000 727,092 22,713,324
130,000 90,860 22,804,184
1,030,000 712,765 23,516,949
1,030,000 705,708 24,222,657
1,030,000 698,721 24,921,378
Lampiran 1 (Lanjutan) Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
Bulan 40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
3,000,000 0.6717 2,014,959
3,000,000 0.6650 1,995,009
3,000,000 0.6584 1,975,257
3,000,000 0.6519 1,955,700
3,000,000 0.6454 1,936,336
3,000,000 0.6391 1,917,165
3,000,000 0.6327 1,898,183
3,000,000 0.6265 1,879,389
3,000,000 0.6203 1,860,781
3,000,000 0.6141 1,842,358
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
100,000 1,500,000 420,000 50,000 800,000
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
1,970,000 0.6717 1,323,157
1,970,000 0.6650 1,310,056
1,970,000 0.6584 1,297,085
1,970,000 0.6519 1,284,243
1,970,000 0.6454 1,271,528
1,970,000 0.6391 1,258,938
1,970,000 0.6327 1,246,473
1,970,000 0.6265 1,234,132
2,870,000 0.6203 1,780,147
1,970,000 0.6141 1,209,815
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
1,030,000 691,803 25,613,180
1,030,000 684,953 26,298,134
1,030,000 678,171 26,976,305
1,030,000 671,457 27,647,762
1,030,000 664,809 28,312,571
1,030,000 658,227 28,970,797
1,030,000 651,709 29,622,507
1,030,000 645,257 30,267,764
130,000 80,634 30,348,398
1,030,000 632,543 30,980,940
Lampiran 1 (Lanjutan) Uraian Benefit Penjualan DOD betina (ekor) Penjualan DOD jantan (ekor)
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
1,950,000 1,050,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Telur Tetas 3. Pakan, vitamin,obat-obatan 4. Listrik 5. Kandang 6. Mesin Tetas 7. Penyusutan
3,000,000 0.6080 1,824,116
3,000,000 0.6020 1,806,056
3,000,000 0.5961 1,788,174
3,000,000 0.5902 1,770,469
3,000,000 0.5843 1,752,940
3,000,000 0.5785 1,735,584
3,000,000 0.5728 1,718,400
3,000,000 0.5671 1,701,386
3,000,000 0.5615 1,684,541
3,000,000 0.5560 1,667,862
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
1,500,000 420,000 50,000 -
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
1,970,000 0.6080 1,197,836
1,970,000 0.6020 1,185,977
1,970,000 0.5961 1,174,234
1,970,000 0.5902 1,162,608
1,970,000 0.5843 1,151,097
1,970,000 0.5785 1,139,700
1,970,000 0.5728 1,128,416
1,970,000 0.5671 1,117,244
1,970,000 0.5615 1,106,182
1,970,000 0.5560 1,095,230
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
1,030,000 626,280 31,607,220
1,030,000 620,079 32,227,300
1,030,000 613,940 32,841,239
1,030,000 607,861 33,449,101
1,030,000 601,843 34,050,943
1,030,000 595,884 34,646,827
1,030,000 589,984 35,236,811
1,030,000 584,143 35,820,954
1,030,000 578,359 36,399,313
1,030,000 572,633 36,971,946
Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio IRR
36,971,946 1.38 16.50%
Lampiran 2 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembesaran Itik Skala 500 Ekor Uraian Benefit Penjualan Itik Dara (ekor)
per 6 bulan 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
25,500,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun)
1.0000
25,500,000 0.9434
25,500,000 0.8900
25,500,000 0.8396
25,500,000 0.7921
25,500,000 0.7473
25,500,000 0.7050
25,500,000 0.6651
25,500,000 0.6274
25,500,000 0.5919
Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Anak Itik umur seminggu 3. Pakan dan Vitamin 4. Kandang 5. Penyusutan kandang
-
24,056,604
22,694,909
21,410,292
20,198,388
19,055,083
17,976,494
16,958,956
15,999,015
15,093,411
200,000 3,250,000 9,625,000 5,000,000 -
3,250,000 9,625,000 1,000,000
200,000 3,250,000 9,625,000 -
3,250,000 9,625,000 1,000,000
200,000 3,250,000 9,625,000 -
3,250,000 9,625,000 1,000,000
200,000 3,250,000 9,625,000 -
3,250,000 9,625,000 1,000,000
200,000 3,250,000 9,625,000 -
3,250,000 9,625,000 1,000,000
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
18,075,000 1.0000 18,075,000
13,875,000 0.9434 13,089,623
13,075,000 0.8900 11,636,703
13,875,000 0.8396 11,649,718
13,075,000 0.7921 10,356,625
13,875,000 0.7473 10,368,207
13,075,000 0.7050 9,217,359
13,875,000 0.6651 9,227,667
13,075,000 0.6274 8,203,417
13,875,000 0.5919 8,212,591
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
(18,075,000) (18,075,000) (18,075,000)
11,625,000 10,966,981 (7,108,019)
12,425,000 11,058,206 3,950,187
11,625,000 9,760,574 13,710,761
12,425,000 9,841,764 23,552,525
11,625,000 8,686,876 32,239,401
12,425,000 8,759,135 40,998,536
11,625,000 7,731,289 48,729,825
12,425,000 7,795,599 56,525,423
11,625,000 6,880,820 63,406,243
Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio IRR
63,406,243 1.58 65.25%
Lampiran 3 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Telur Konsumsi Skala 500 Ekor Uraian Benefit Penjualan telur Penjualan itik afkir
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
148,281,000 13,580,000
1.0000 -
161,861,000 0.8929 144,518,750
161,861,000 0.7972 129,034,598
161,861,000 0.7118 115,209,463
161,861,000 0.6355 102,865,592
161,861,000 0.5674 91,844,278
161,861,000 0.5066 82,003,820
161,861,000 0.4523 73,217,696
161,861,000 0.4039 65,372,943
161,861,000 0.3606 58,368,699
250,000 30,000,000 97,500,000 8,000,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
250,000 30,000,000 97,500,000 800,000
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
135,750,000 1.0000 135,750,000
128,550,000 0.8929 114,776,786
128,550,000 0.7972 102,479,273
128,550,000 0.7118 91,499,351
128,550,000 0.6355 81,695,849
128,550,000 0.5674 72,942,722
128,550,000 0.5066 65,127,431
128,550,000 0.4523 58,149,492
128,550,000 0.4039 51,919,189
128,550,000 0.3606 46,356,419
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
(135,750,000) (135,750,000) (135,750,000)
33,311,000 29,741,964 (106,008,036)
33,311,000 26,555,325 (79,452,710)
33,311,000 23,710,112 (55,742,599)
33,311,000 21,169,743 (34,572,856)
33,311,000 18,901,556 (15,671,300)
33,311,000 16,876,389 1,205,089
33,311,000 15,068,205 16,273,294
33,311,000 13,453,754 29,727,048
33,311,000 12,012,281 41,739,329
Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio IRR
41,739,329 1.05 19.66%
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Bibit Itik Dara 3. Pakan dan Vitamin 4. Kandang 5. Penyusutan kandang
Lampiran 4 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Telur Tetas Uraian Benefit Penjualan telur Penjualan itik afkir
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
164,250,000 13,168,000
Total Benefit Discount Rate (12%/tahun) Present Value Benefit Cost 1. Peralatan 2. Bibit itik betina 3. Bibit itik jantan 3. Pakan dan Vitamin 4. Kandang 5. Penyusutan kandang
1.0000 -
177,418,000 0.8929 158,408,929
177,418,000 0.7972 141,436,543
177,418,000 0.7118 126,282,628
177,418,000 0.6355 112,752,346
177,418,000 0.5674 100,671,738
177,418,000 0.5066 89,885,480
177,418,000 0.4523 80,254,893
177,418,000 0.4039 71,656,155
177,418,000 0.3606 63,978,709
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 7,000,000 -
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
250,000 27,000,000 1,500,000 115,310,000 700,000
Total Cost Discount Rate (12%/tahun) Present Value Cost
151,060,000 1.0000 151,060,000
144,760,000 0.8929 129,250,000
144,760,000 0.7972 115,401,786
144,760,000 0.7118 103,037,309
144,760,000 0.6355 91,997,597
144,760,000 0.5674 82,140,712
144,760,000 0.5066 73,339,921
144,760,000 0.4523 65,482,072
144,760,000 0.4039 58,466,136
144,760,000 0.3606 52,201,907
Net Benefit Present Value Net Benefit Net Benefit Kumulatif
(151,060,000) (151,060,000) (151,060,000)
32,658,000 29,158,929 (121,901,071)
32,658,000 26,034,758 (95,866,314)
32,658,000 23,245,319 (72,620,994)
32,658,000 20,754,749 (51,866,245)
32,658,000 18,531,026 (33,335,219)
32,658,000 16,545,559 (16,789,660)
32,658,000 14,772,821 (2,016,839)
32,658,000 13,190,018 11,173,180
32,658,000 11,776,802 22,949,982
Net Present Value (NPV) Net B/C Ratio IRR
22,949,982 1.02 15.88%
Lampiran 5 Penggunaan Lahan di Kabupaten HSU
Lokasi Penelitian