SKRIPSI
APLIKASI PATI SAGU TERMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK PEMBUATAN BIHUN INSTAN
Oleh: KURNIA RAMADHAN F24104079
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Kurnia Ramadhan. F24104079. Application of Heat Moisture Treatment Modified Sago Starch for Instant Bihon-Type Noodles Production. Supervised by Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc and Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. ABSTRACT The objectives of this research were to obtain the suitable heat moisture treated sago starch with the best characteristics to be applied for instant bihontype noodles production, and to obtain formula and process to produce the best instant bihon-type noodles. Native sago starch was known to have the type-A pasting profile. This type of sago starch was not suitable to make noodles and pasta products. Heat moisture treatment (HMT) modification would change the pasting profile of starch from type-A to type-B which was more suitable to make noodles. The best result of HMT was modified sago starch with 4 hours heating time. Texturizers were used in order to get better textures of bihon-type noodles. Combination of sodium tri poly phosphate and guar gum gave the best characteristics of product. They were applied into the production of bihon-type noodle made of modified sago starch. There were four different compositions of sago starch used to produce bihon-type noodles, i.e.: 100% native sago starch, mixture of 75% native sago starch and 25% modified sago starch, mixture of 50% native sago starch and 50% modified sago starch, and 100% modified sago starch. The results showed that modified sago starch made cooking time became shorter and decreased the hardness and stickiness of bihon-type noodle textures. The results of sensory evaluation showed that the most prefered bihon-type noodles were made from mixture of 50% native sago starch and 50% modified sago starch.
Kurnia Ramadhan. F24104079. Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi Heat Moisture Treatment untuk Pembuatan Bihun Instan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. RINGKASAN Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pati sagu termodifikasi heat moisture treatment (HMT) dengan karakteristik terbaik yang sesuai untuk diaplikasikan pada pembuatan produk bihun instan sagu, serta mendapatkan formula dan kondisi proses untuk menghasilkan bihun instan sagu terbaik. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan pendahuluan, yaitu karakterisasi pati sagu alami jenis Yepha Hungleu, modifikasi pati sagu dengan teknik HMT, karakterisasi profil pasta pati HMT, pembuatan bihun instan dengan pati sagu alami, formulasi bahan pengatur tekstur dalam adonan bihun instan, serta penelitian utama berupa pembuatan bihun instan dari pati sagu termodifikasi HMT. Karakterisasi pati sagu alami menunjukkan profil pasta pati dengan kestabilan yang rendah ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi (590 BU), viskositas breakdown yang tinggi (350 BU), viskositas pasta dingin yang rendah (345 BU). Berdasarkan grafik Brabender amilograf, pati tersebut diketahui sebagai pati tipe A yang kurang sesuai untuk membuat produk bihun. Pati sagu dimodifikasi dengan teknik HMT dalam tiga taraf perlakuan, yaitu waktu pemanasan 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Profil pasta pati termodifikasi HMT paling stabil terdapat pada HMT dengan pemanasan 4 jam dengan viskositas pasta dingin yang tinggi serta viskositas puncak breakdown yang lebih rendah. Pati sagu termodifikasi HMT termasuk dalam pasta pati tipe B. Pati termodifikasi yang digunakan dalam pembuatan bihun instan adalah pati HMT dengan waktu pemanasan 4 jam. Pembuatan bihun instan diawali dengan pembuatan binder adonan dari 20% berat total tepung sagu yang digunakan dalam adonan. Perbandingan tepung dan air untuk binder adalah 1:2. Binder dicampurkan dengan tepung kering dan diadon hingga merata. Adonan dicetak menggunakan multifunctional noodle machine. Proses pengukusan untaian bihun selama 2 menit harus dilakukan secara bertahap, masing-masing tahapan satu menit. Bihun dikeringkan dalam tray dryer selama satu jam. Penggunaan pengatur tekstur (texturizer) ditujukan untuk memperbaiki tekstur bihun yang dihasilkan. Pengatur tekstur yang digunakan dalam penelitian adalah sodium tripolyphosphate (STPP), guar gum, dan air kansui. Penambahan STPP dan air kansui dapat meningkatkan nilai kekerasan dan kelengketan pada tekstur bihun. Penambahan guar gum dapat meningkatkan nilai kekenyalan pada tekstur bihun. Kombinasi penambahan STPP dan guar gum menghasilkan bihun dengan karakteristik terbaik sehingga dapat diterapkan pada pembuatan bihun instan dari pati sagu termodifikasi HMT. Pembuatan bihun instan dari pati termodifikasi dibedakan menjadi empat komposisi formula, yaitu 100% pati alami, 75% pati alami dan 25% pati termodifikasi, 50% pati alami dan 50% pati termodifikasi, serta 100% pati termodifikasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan pati sagu termodifikasi dapat mempersingkat waktu rehidrasi, menurunkan nilai kekerasan
dan kelengketan pada profil tekstur produk. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa bihun instan dari 50% pati alami dan 50% pati termodifikasi paling disukai oleh panelis. Hasil akhir dapat disimpulkan bahwa penggunaan pati sagu termodifikasi HMT terbaik adalah dalam komposisi 50% dikombinasikan dengan pati sagu alami 50%.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI PATI SAGU TERMODIFIKASI HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK PEMBUATAN BIHUN INSTAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: KURNIA RAMADHAN F24104079 Bogor,
April 2009
Disetujui oleh :
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc
Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Kurnia Ramadhan dilahirkan di Jakarta pada 3 Mei 1987, merupakan putera kedua dari Bapak H. Tatang Toniman dan Ibu Hj. Wildana Syiba. Penulis mengenyam dunia pendidikan formal dimulai pada tahun 1992-1993 di TK Islam Mamba’ul-‘Ulum Jakarta Timur, tahun 1993-1999 di SD Islam PB Soedirman, Cijantung, Jakarta Timur, tahun 1999-2002 di SLTP Islam PB Soedirman Cijantung, Jakarta Timur, tahun 2002-2004 di SMA Dwiwarna (Boarding School) Parung, Bogor melalui program akselerasi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB, 2004-2005), DPM Fateta (2005-2006), Forum Bina Islami Fateta (2005-2006), DPM KM IPB (2006-2007). Penulis juga turut aktif sebagai asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam untuk mahasiswa TPB (2006-2007). Penulis berpartisipasi dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXI tahun 2008 di Semarang sebagai anggota salah satu tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan
(PKMK), dan berhasil mendapatkan
penghargaan sebagai Tim Penyaji Poster Terbaik I. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan menulis skripsi berjudul ‘Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi Heat Moisture Treatment untuk Pembuatan Bihun Instan’ di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan alam semesta Penguasa jiwa-jiwa hamba-Nya, atas segala ni’mat yang tidak akan mampu untuk menghitungnya, salah satunya adalah dengan tuntasnya skripsi yang berjudul ‘Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi Heat Moisture Treatment untuk Pembuatan Bihun Instan’. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan hidup di dunia sebagai perjalanan menuju akhirat, Rasulullah Muhammad SAW. Kesempatan ini penulis gunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada: 1. KKP3T Badan Litbang Departemen Pertanian RI tahun 2008 yang telah mendanai penelitian ini. 2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Pembimbing I Skripsi, atas nasihat dan bimbingan yang diberikan. 3. Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi, atas kesempatan penelitian, arahan, dan bimbingan yang diberikan. 4. Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si selaku dosen penguji, atas masukan dan arahan yang diberikan. 5. Ibu
Dian Herawati, STP dan Mba’ Findya atas kerjasama dalam
penelitiannya. 6. Ibuku dan ayahku tercinta atas segala kasih sayang, pengorbanan, dan kesabarannya yang tak putus selama ini dan hingga nanti. 7. Kakakku, Aa Jaka dan adikku, Neng Sarah yang membuat diri ini semangat untuk segera menyelesaikan studi juga atas nasihat, arahan, kebersamaan, dan keceriaan dalam keluarga. 8. Ustadz Drs. H. M. Thamrin atas segala bimbingan, perhatian, bantuan dan kekeluargaan yang hangat, serta keluarga besar Majlis Ta’lim Subulus Salam. 9. Drs. H. Dede Martin, MBA atas bantuannya sejak memulai studi hingga masa kuliah di IPB berakhir. 10. MAZISKA PT. Pelabuhan Indonesia II atas bantuan yang diberikan. 11. Keluarga besar Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid Bogor atas bantuan dan kebersamaannya.
i
12. Madani Crew sejak 2005 hingga 2009 atas kebersamaan dan tolongmenolongnya, terutama Mas Burhan dan Bang Sandra atas fasilitas yang dipinjamkan, juga Uda Aji, Triyadi, Syafrul, Mas Nowo, Yuda, Zahid, Cahyo, Iqbal, Vicky, Azan, Mas Dany, Vabi, Ute, Dindin, Oci, Wahyu, Donie, Mas Ahmad (Madinah). 13. Saudara-saudara seperjuangan di Majelis Pertimbangan FBI-F 2008 atas persaudaraan yang saling melengkapi dan kesungguhannya: Didin, Aang, Catur, Ade, Tika, Ely, Mely, Lisma, Panji, Fitrah, Shafeg. 14. Saudara-saudara seperjuangan da’wah kampus di IPB atas persaudaraan dan pengorbanannya, terutama para pengurus: Bang Ocim, Rangga, Harry, Komar, Helmi, Oki, Ihsan, Bang Roni, Bang Irawan, Didik, Ari, Fahmi, Okta, Fauzan. 15. Rekan-rekan satu bimbingan, Rizka dan Sisi atas dukungannya untuk saling menyemangati supaya lulus. 16. Saudara-saudara di ROHIS ITP41, Kedai Pagi, semoga tetap dalam naungan Islam hingga akhir hayat kita. 17. Teman-teman ITP41, semoga kita semua bisa memberikan yang terbaik untuk negeri ini. 18. Tim
PKM
Rozelt
atas
kesempatan
dan
kebersamaan
hingga
menghantarkan menjadi juara penyaji poster dalam PIMNAS 2008: Kani, Dyah, Aji. 19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Bogor, 12 April 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..... iii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………....
vi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... vii PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
A. LATAR BELAKANG ..………………………………………….......
1
B. TUJUAN PENELITIAN…………………………..............................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………....
4
I.
A. SAGU………….................…………………………………………
4
B. GELATINISASI PATI……………………………………………….
6
C. MODIFIKASI PATI..............................................................................
9
D. BIHUN INSTAN.............. ................................................................... 11 E. PENGATUR TEKSTUR...................................................................... 14 III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………………....... 15 A. BAHAN DAN ALAT.....………………………………….................
15
B. METODE PENELITIAN……………………………………………. 15 1. Karakterisasi Pati Sagu Alami....................................................... 17 2. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik HMT..................................
17
3. Penentuan Komposisi Binder Adonan Bihun Instan....................
19
4. Penentuan Cara Pengukusan Bihun............................................... 21 5. Formulasi Bahan Tambahan Pengatur Tekstur.............................
24
6. Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi HMT untuk Bihun Instan........
25
C. METODE ANALISIS.................................................. ...............…….. 25 1. Analisis Kadar Air Metode Oven.................................................. 26 2. Pengukuran pH Pati Sagu.............................................................. 26 3. Pengukuran Profil Pasta Pati.........................................................
26
4. Analisis Warna............................................................................... 27 5. Penentuan Waktu Rehidrasi........................................................... 27 6. Analisis Profil Tekstur dengan Texture Analyzer TAXT-2........
27
iii
7. Pengukuran Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan....................................................................................
28
8. Uji Organoleptik ..........................................................................
29
D. ANALISIS DATA ................................................................................ 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………. 30 A. KARAKTERISASI PATI SAGU ALAMI.......………….....................
30
B. MODIFIKASI PATI SAGU..................................................................
32
C. PENENTUAN KOMPOSISI BINDER ADONAN BIHUN INSTAN..
35
D. PENENTUAN CARA PENGUKUSAN BIHUN..................................
36
E. PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN PENGATUR TEKSTUR TERHADAP KARAKTERISTIK BIHUN INSTAN...........................
37
1. Warna Produk .................................................................................
38
2. Waktu Rehidrasi .............................................................................
41
3. Profil Tekstur ..................................................................................
43
4. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan dan Daya Serap Air.........
46
F. APLIKASI PATI SAGU TERMODIFIKASI HMT UNTUK BIHUN INSTAN................................................................................................
48
1. Pengamatan terhadap Adonan dan Untaian Bihun ........................
48
2. Waktu Rehidrasi .............................................................................
49
3. Profil Tekstur ..................................................................................
51
4. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan dan Daya Serap Air.........
54
G. UJI ORGANOLEPTIK ........................................................................
55
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...........………………………………….. 57 A. KESIMPULAN……………………………………………….….......
57
B. SARAN……………………………………………………..…….....
58
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 59 LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 64
iv
DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan..........................................
5
Tabel 2. Komposisi pati dan air pada adonan bihun instan.................................
20
Tabel 3. Formula adonan bihun instan dengan bahan pengatur tekstur............... 24 Tabel 4. Formula adonan bihun instan dengan komposisi pati HMT..................
25
Tabel 5. Profil pasta pati sagu alami dan HMT pada berbagai perlakuan...........
33
Tabel 6. Karakteristik adonan dengan berbagai kandungan air pada binder........ 36 Tabel 7. Hasil pengukusan bihun dengan tiga cara yang berbeda........................ 36 Tabel 8. Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi bihun instan........... 42 Tabel 9. Nilai KPAP dan daya serap air pada bihun instan sagu.......................... 47 Tabel 10.Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi bihun instan HMT 50 Tabel 11. Nilai KPAP dan daya serap air pada bihun instan HMT...................... 54 Tabel 12. Hasil uji organoleptik bihun instan sagu.............................................. 55
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur amilosa dan amilopektin......................................................
6
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati..............................................................
7
Gambar 3. Ilustrasi bentuk granula pati ............................................................. 10 Gambar 4. Proses pembuatan bihun kering dan bihun instan.............................. 13 Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian......................................................... 16 Gambar 6. Diagram alir pembuatan pati sagu termodifikasi HMT................… 19 Gambar 7. Diagram alir pembuatan bihun instan sagu ....................................... 23 Gambar 8. Sagu Yepha Hungleu asal Sentani, Jayapura, Papua ....................... 30 Gambar 9. Kurva brabender amilograf pati sagu Yepha Hungleu alami............ 31 Gambar 10. Kurva brabender amilograf pati sagu alami dan HMT..................... 33 Gambar 11. Nilai kecerahan bihun instan pada berbagai penggunaan BTP........ 38 Gambar 12. Hasil pengukuran nilai a bihun instan berbagai penggunaan BTP.. 39 Gambar 13. Hasil pengukuran nilai b bihun instan berbagai penggunaan BTP.. 40 Gambar 14. Nilai kekerasan bihun instan dengan perbedaan penggunaan BTP. 43 Gambar 15. Nilai kelengketan bihun instan dengan perbedaan BTP.................. 45 Gambar 16. Nilai kekenyalan bihun instan dengan perbedaan BTP................... 46 Gambar 17. Nilai kekerasan bihun instan pada formula yang berbeda............... 51 Gambar 18. Nilai kelengketan bihun instan pada formula yang berbeda............ 52 Gambar 19. Nilai kekenyalan bihun instan pada formula yang berbeda............. 53
vi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Penampakan bihun instan dengan BTP yang berbeda ................…. 64 Lampiran 2. Data analisis warna bihun instan menggunakan chromameter.......
65
Lampiran 3. Data pengukuran profil tekstur bihun instan..................................
66
Lampiran 4. Data pengukuran KPAP dan daya serap air bihun instan...............
67
Lampiran 5. Data hasil uji organoleptik bihun instan.........................................
68
Lampiran 6. Hasil pengolahan data parameter kekerasan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0................................................................
69
Lampiran 7. Hasil pengolahan data parameter kelengketan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0...........................................
70
Lampiran 8. Hasil pengolahan data parameter kekenyalan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0...........................................
71
Lampiran 9. Hasil pengolahan data overall pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0................................................................
71
Lampiran 10. Penampakan alat multifunctional noodle machine.........................
72
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Krisis ketersediaan pangan di Indonesia dapat menjadi ancaman yang sangat membahayakan jika tidak dilakukan upaya pencegahan dan penyelesaian. Ketergantungan pada komoditas pangan pokok tertentu menjadi salah satu penyebab sulitnya mengatasi masalah krisis ketersediaan pangan. Salah satu upaya untuk mengatasi ketersediaan pangan adalah dengan melakukan diversifikasi pangan pokok sebagai sumber energi bagi masyarakat. Pangan pokok sumber karbohidrat yang bersifat lokal (indigenous) banyak ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia. Konsumsi pangan pokok lokal dan pengolahannya secara tradisional sudah berlangsung turun temurun di berbagai daerah di Indonesia. Kondisi yang demikian itu sangat potensial untuk usaha penelitian dan pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan pokok lokal. Hal ini akan mempermudah tindak lanjut terhadap hasil penelitian yaitu sosialisasi kepada masyarakat, sehingga penerimaan masyarakat terhadap produk baru cenderung lebih mudah. Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu potensi besar pangan lokal Indonesia. Sebanyak 51,3% dari 2,2 juta ha areal lahan sagu di dunia, terdapat di Indonesia. Daerah potensial penghasil sagu di Indonesia meliputi Riau, Sulawesi, Maluku dan Papua. Sebanyak 90% areal sagu Indonesia berada di Papua (Sumaryono, 2007). Menurut Maturbongs et al. (2001), setiap pohon sagu yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah dengan kisaran 85-1000 kg pati sagu basah per batang. Pemanfaatan pati sagu umumnya terbatas sebagai bahan utama atau campuran untuk pembuatan kue dan makanan kecil seperti empek-empek, bakso, kue lapis, dan cendol. Masyarakat Indonesia timur mengolah sagu menjadi kue kering bagea. Pengolahan sagu sebagai makanan pokok dikonsumsi dalam bentuk papeda. Namun hingga saat ini tingkat konsumsi
1
sagu sebagai makanan pokok menurun akibat beralihnya masyarakat kepada konsumsi beras. Pola konsumsi makanan pokok yang banyak ditemukan pada masyarakat Indonesia terdapat dalam bentuk nasi, mi dan roti. Konsumsi mi sudah sangat diterima masyarakat Indonesia, khususnya mi berbahan baku terigu. Namun untuk memenuhi kebutuhan terigu, Indonesia harus mengimpor gandum. Hal ini menguatkan alasan untuk mengembangkan produk mi berbahan baku lokal, dan salah satunya adalah sagu. Konsumsi mi sagu telah dilakukan oleh masyarakat di daerah Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Produk mi sagu tersebut dikenal dengan istilah mi golosor. Mi golosor hingga saat ini diperjualbelikan dalam bentuk mi basah dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Penyajian mi golosor masih terbatas sebagai hidangan pelengkap pada makanan seperti soto dan sebagainya. Pembuatan mi golosor juga menggunakan bahan tambahan dan pewarna yang belum terjamin keamanannya. Purwani
et
al.
(2006)
telah
melakukan
penelitian
untuk
mengembangkan mi sagu dalam bentuk mi instan. Waktu pemasakan mi instan sagu yang dihasilkan berkisar antara 7-9 menit. Hal ini masih jauh dibandingkan dengan produk mi instan pada umumnya yang hanya membutuhkan waktu pemasakan selama 3-4 menit. Collado et al. (2001) menjelaskan bahwa bihun yang dibuat dari 100% pati ubi jalar termodifikasi HMT memiliki waktu pemasakan yang paling singkat selama 2,5 menit dan daya serap air yang paling tinggi dibandingkan dengan komposisi pati termodifikasi yang lebih rendah. Hormdok dan Noomhorm (2007) menghasilkan bihun dari pati beras termodifikasi HMT dengan waktu pemasakan selama 4 menit. Berdasarkan hasil penelitian tersebut masih dibutuhkan penyempurnaan produk mi instan sagu. Penelitian kali ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi instan sagu. Perbaikan karakter mi dilakukan melalui aplikasi pati sagu HMT, dan penggunaan bahan tambahan pengatur tekstur. Mi instan sagu dibuat dalam ukuran yang lebih kecil sehingga dapat dikategorikan sebagai bihun instan. Pengecilan ukuran diharapkan dapat mempersingkat
2
waktu rehidrasi. Penggunaan bahan tambahan pengatur tekstur diharapkan dapat meningkatkan mutu bihun instan. Penggunaan pati sagu termodifikasi HMT diharapkan dapat menghasilkan bihun instan dengan karakteristik terbaik.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah memperoleh pati sagu termodifikasi HMT dengan karakteristik terbaik yang sesuai untuk diaplikasikan pada pembuatan produk bihun instan, serta mendapatkan formula dan kondisi proses untuk menghasilkan bihun instan sagu terbaik.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Sagu termasuk tumbuhan monokotil dalam famili Palmae, subfamili Lepidocaryoideae serta genus Metroxylon. Nama genus Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “metra” yang berarti isi batang (empulur) dan “xylon” yang berarti xylem (Flach, 1983). Pohon sagu dapat tumbuh dengan cepat, dalam satu tahun pertambahan tingginya dapat lebih dari 1,5 meter pada kondisi optimal (McClatchey et al., 2004). Tinggi batang pohon sagu yang sudah tua berkisar antara 9-15 meter. Umur pohon sagu berakhir setelah 15 tahun. Untuk kebutuhan komersial pohon sagu yang dipilih biasanya berumur 8 tahun (Corbishley dan Miller, 1984). Batang tanaman sagu merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung pada umur dan spesies tanaman sagu, serta lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Semakin tua umur tanaman sagu, kandungan pati dalam empulur semakin besar dan pada umur tertentu kandungan pati tersebut akan menurun (Flach, 1983). Tanaman sagu di Indonesia tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, dan pulau Mentawai yang pada umumnya merupakan spesies Metroxylon sagu (McClatchey et al., 2004). Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produksitifitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan. Pati sagu diperoleh dari empulur batang sagu
dengan cara ekstraksi.
Untuk membebaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dibutuhkan perombakan
dinding
sel
dengan
pemarutan
atau
penggilingan
dengan
menggunakan air sebagai pelarut. Ekstraksi pati dilakukan dengan memarut
4
empulur batang sagu. Hasil parutan ditambah air dan diremas-remas di atas ayakan sehingga pati dan ampasnya terpisah. Suspensi pati dialirkan menuju wadah, diendapkan beberapa saat dan selanjutnya dijemur. Rendemen pati sagu yang dihasilkan empulur batang sagu berkisar antara 15-30%. Jika dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 – 60% pati dan 40 – 46% ampas. Sedangkan jumlah pati yang dihasilkan dari tiap pohon adalah berkisar antara 90-325 kg (Flach, 1983). Tanaman sagu yang tumbuh dalam kondisi paling baik dapat menghasilkan 15-25 ton pati sagu kering per hektar (Flach, 1997). Sagu sebagai bahan pangan pokok memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bahan pangan lainnya, yaitu dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta kecilnya resiko terkena penyakit tanaman (Djoefrie, 1999). Swinkels (1985) mengemukakan bahwa perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati sagu 27 berbanding 73. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan Komponen
Jumlah
Kalori (kkal)
353
Protein (g)
0.7
Lemak (g)
0.2
Karbohidrat (g)
84.7
Air (g)
14.0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
5
B. GELATINISASI PATI Pati merupakan butiran kecil yang disebut granula di dalam sel tanaman. Ukuran dan bentuk dari granula pati berbeda untuk setiap jenis tanaman. Granula pati tidak larut di dalam air dingin (Parker, 2003). Granula pati sagu berbentuk elips dengan ukuran 5-80 µm dan relatif lebih besar dari pati serealia (Wirakartakusumah et al.1986). Pati terdiri atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi tersebut berperan dalam menentukan karakteristik fisik, kimia, dan fungsional pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003). Struktur kimia amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1.
CH2
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
CH2
CH2
CH2 O
O
O
O
O
O
O
n CH2O O
n
O
O
O O
CH2O
O
CH2O
CH2 O
O
O
O O
O
O
n
O O
O
O O
Gambar 1. Struktur amilosa dan amilopektin (Haworth projection) (Baianu, 1992)
Amilosa merupakan homopolimer lurus dari D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α – 1,4 dengan struktur cincin piranosa. Gugus hidroksil yang banyak terdapat pada senyawa polimer glukosa menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik. Molekul amilosa terdiri dari 200 hingga 2000 unit glukosa yang berbentuk heliks pada ujung antara unit-unit glukosa. Amilopektin merupakan
molekul
polisakarida dengan rantai cabang. Ikatan α – 1,4 terdapat pada rantai utama, sedangkan ikatan pada rantai cabang berupa α – 1,6. Molekul amilopektin
6
memiliki lebih dari dua juta unit glukosa, dan pada setiap 20 hingga 30 unit glukosa terikat oleh α – 1,6 (Young, 1984; Petersen et al., 1999). Jika pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, maka granula pati akan menyerap air dan mengembang. Namun jumlah air yang terserap dan pengembangannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55o C sampai 65o C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada konsisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Pengembangan granula pati bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi. Granula pati yang telah mengembang dapat kembali ke ukuran semula setelah suhu diturunkan. Jika pemanasan telah mencapai suhu gelatinisasi, pengembangan granula pati menjadi tidak bolak-balik (irreversible). Granula pati membengkak lalu pecah dan rusak, sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula (Greenwood dan Munro, 1979). Mekanisme gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 2.
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1990)
7
Pati yang telah tergelatinisasi dan tidak mengalami pemanasan lebih lanjut, maka pati tersebut akan mengalami pengkristalan. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada dibagian luar granula yang membengkak. Jika gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno, 1997). Menurut McCready (1970), semakin meningkatnya suhu suspensi pati dalam
air
maka
pengembangan
granula
semakin
besar.
Mekanisme
pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di lain pihak molekul-molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula. Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk kedalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan. Jika suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Jika energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula tersebut. Indeks refraksi pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat translusi (Winarno, 1997). Menurut Fennema (1985), suhu gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini
8
disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah. Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh konsentrasi pati. Semakin kental larutan pati akan semakin lama untuk mencapai suhu gelatinisasi, hingga suhu tertentu kekentalan tidak bertambah bahkan terkadang turun. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan menggunakan alat viskometer dan polarized microscope (Winarno, 1997).
C. MODIFIKASI PATI Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional yang berbeda. Sifat fungsional pati yang terbatas menyebabkan terbatasnya pula aplikasi pati tersebut untuk produk pangan. Peningkatan sifat fungsional dan karakteristik pati dapat diperoleh melalui modifikasi pati (Manuel, 1996). Pati modifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu sifat kimia dan/atau fisiknya sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki (Wurzburg, 1989). Modifikasi pati dapat dilakukan dengan perlakuan fisik, diantaranya dengan pemanasan pada kadar air tertentu (hydrothermal atau heat moisture treatment). Modifikasi pati dengan perlakuan kimia adalah dengan perlakuan ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi,dekstrinasi dan konversi asam (Light, 1990). Perlakuan fisik untuk modifikasi pati cenderung lebih aman dan alami dibandingkan perlakuan kimia (Collado, 2001). Menurut Lorenz dan Kulp (1981), heat moisture treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Kadar air yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 18-30% dan suhu yang digunakan adalah 100oC. Purwani et al. (2006) melakukan modifikasi pati sagu dengan HMT pada kadar air 25% pada suhu 110oC. Pukkahuta dan Varavinit (2007) melakukan modifikasi pati sagu dengan HMT pada kadar air 20% pada suhu 100, 110 dan 120oC. Kadar air yang berbeda mempengaruhi besarnya peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas pasta pati (Hoover dan Manuel, 1995). Peningkatan suhu gelatinisasi pada pati sagu termodifikasi HMT menandakan
9
perubahan bentuk granula pati (Pukkahuta dan Varavinit, 2007). Menurut Manuel (1996) perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya perubahan struktur pada area berkristal (crystalline) dan area tak beraturan (amorphous) pada granula pati, serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak bentuk granula pati hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area amosphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas. Ilustrasi bentuk granula pati dan lapisan-lapisan penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Ilustasi bentuk granula pati (Manuel, 1996)
Menurut Pukkahuta dan Varavinit (2007), modifikasi pati sagu menyebabkan profil pasta pati memiliki viskositas puncak dan breakdown yang lebih rendah, serta viskositas akhir yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kecenderungan pati termodifikasi untuk mengalami retrogradasi. Penelitian yang dilakukan oleh Olayinka et al. (2006) menunjukkan profil pasta
10
pati sorghum putih termodifikasi HMT memiliki viskositas puncak, breakdown dan setback yang lebih rendah dari pati alami. Schoch dan Maywald (1968) menggolongkan pati dalam beberapa tipe berdasarkan sifat amilografi. Pati tipe A memiliki pembengkakan yang besar dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti oleh pengenceran yang cepat selama pemanasan, viskositas breakdown yang tinggi, serta viskositas pasta dingin yang rendah. Pati tipe B memiliki pembengkakan yang sedang dengan viskositas pasta yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Pati tipe C memiliki pembengkakan terbatas dan cenderung tidak memiliki puncak viskositas, tetapi viskositasnya yang tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Modifikasi pati ubi jalar dengan teknik HMT yang dilakukan oleh Collado dan Corke (1999) dapat mengubah profil pasta pati ubi jalar yang memiliki sifat alami pasta pati tipe A menjadi tipe C. Tanaman yang memiliki sifat alami sebagai pati tipe C adalah kacang hijau yang dikenal sebagai bahan terbaik dalam membuat mi atau bihun dari pati (Lii dan Chang, 1981).
D. BIHUN INSTAN Berbagai jenis mi dapat ditemukan pada berbagai negara di dunia. Berdasarkan jenis bahan baku yang digunakan, mi dibedakan menjadi mi terigu (wheat noodle), mi soba (buckwheat noodle), mi pati (starch noodle), dan mi beras (rice noodle). Berdasarkan ketebalannya, mi dapat dikategorikan ke dalam mi beruntaian tebal dan mi beruntaian tipis. Bihun termasuk dalam kelompok mi beras yang beruntaian tipis (Kim, 1999; Fong, 2003). Bihun dikenal di berbagai negara dengan berbagai istilah, seperti bihon, bijon, bifun, mehon, dan vermicelli. Istilah bihun berasal dari bahasa Cina, yaitu bie yang berarti beras dan hun yang berarti tepung. Bihun pada awalnya hanya dibuat dari tepung beras. Di Filipina, bihun dapat dibuat dari tepung beras, pati jagung, dan pati kacang hijau. Terdapat pula bihun bermutu tinggi yang dibuat hanya dari pati kacang hijau dengan sebutan sotanghon. Bihun yang beredar di pasaran dijual dalam bentuk bihun kering dan bihun instan. Penyajian bihun kering harus melalui perendaman dalam air hangat, selanjutnya bihun baru dapat dimasak, digoreng atau digunakan sebagai bahan pelengkap misalnya untuk
11
campuran sup. Penyajian bihun instan berbeda dengan bihun kering, yaitu dengan pemasakan di dalam air mendidih paling lama tiga menit, selanjutnya dicampurkan dengan bumbu serbuk seperti mi instan pada umumnya. Dalam proses pembuatannya, bihun instan memiliki beberapa perbedaan dibandingkan pembuatan bihun kering, yaitu menggunakan tambahan air kansui, pemasakan adonan yang lebih lama, serta ukuran lubang pencetak bihun yang lebih kecil (Astawan, 2000; Collado et al, 2001; Fong, 2003; Koswara, 2006). Diagram alir proses pembuatan bihun kering dan bihun instan dari tepung beras dapat dilihat pada Gambar 4. Proses pembuatan bihun dari pati adalah sebagai berikut: sebanyak 5% pati dari total pati untuk adonan dicampur air dengan perbandingan 1:7 lalu dipanaskan sehingga tergelatinisasi. Gelatinisasi sebagian pati (pre-grelatinisasi) dengan porsi yang lebih besar dapat memudahkan proses pematangan akhir lebih cepat. Adonan dengan tingkat pre-gelatinisasi 10 hingga 20% dapat menghasilkan bihun yang baik. Pati yang telah tergelatinisasi tersebut digunakan sebagai binder adonan. Binder berfungsi sebagai perekat pati sehingga dapat membentuk adonan dengan baik. Binder dicampurkan dengan pati kering dan diadon hingga merata. Jika jumlah binder kurang dari jumlah yang seharusnya, dapat berakibat kurangnya pengikatan adonan sehingga bihun rapuh dan mudah patah. Sedangkan jika binder terlalu banyak dapat menyebabkan adonan terlalu lengket. Adonan selanjutnya dicetak menjadi untaian bihun dengan alat pencetak bihun atau ekstruder. Untaian bihun direbus dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit, kemudian direndam air dingin, dan ditiriskan. Bihun dikeringkan pada suhu 40oC di dalam convection drier (Kim et al, 1996; Collado et al, 2001; Susilawati, 2007). Mutu mi dan bihun sangat dipengaruhi oleh mutu bahan baku yang digunakan. Menurut Lii and Chang (1981), mi pati dengan mutu yang baik dapat dihasilkan dari bahan baku dengan karakteristik pati yang memiliki viskositas puncak rendah dan cenderung mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Pati seperti ini dapat menghasilkan mi pati dengan kelengketan dan padatan terlarut yang rendah serta berat rehidrasi yang tidak terlalu tinggi.
12
Tepung beras 100 mesh + air Pengepresan Pemasakan tahap pertama:selama 1 jam
Pembentukan lembaran
Tepung beras 100 mesh + air kansui Pengepresan Pemasakan tahap pertama:selama 1,5 jam
Pembentukan lembaran
Pencetakan bihun dengan ekstruder
Pencetakan bihun dengan ekstruder
Pemasakan tahap kedua selama 1,5 jam
Pemasakan tahap kedua selama 2 jam
Penjemuran
Penjemuran
Pengemasan
Bihun kering (biasa)
Pengemasan
Bihun instan
Gambar 4. Proses pembuatan bihun kering dan bihun instan (Koswara, 2006)
Kehilangan padatan akibat pemasakan adalah faktor penting dalam menilai mutu produk mi atau bihun dari pati. Nilai kehilangan padatan akibat pemasakan yang lebih rendah menunjukkan mutu mi atau bihun yang baik. Struktur pati pada mi pati dipertahankan sebagai jaringan tiga dimensi bercabang yang dihubungkan oleh kristal amilosa (Mestres et al., 1988). Jaringan amilosa mengembang selama mi direbus dalam air, disebabkan masuknya air pada area amorphous dalam granula pati. Jaringan amilosa semakin berkurang seiring lamanya waktu pemasakan, sehingga kandungan amilosa yang larut dalam air untuk merebus semakin bertambah. Kandungan amilosa yang terlarut dalam air menunjukkan kehilangan padatan akibat pemasakan (Kim et al., 1996).
13
E. PENGATUR TEKSTUR Pengatur tekstur (texturizer) merupakan bahan kimia yang digunakan untuk memperbaiki tekstur produk pangan (Winter, 1978). Pembuatan produk mi dan bihun instan komersial biasanya menggunakan bahan pengatur tekstur. Bihun instan dibuat dengan penambahan air kansui. Air kansui merupakan campuran dari air dengan garam-garam yang sebagian besar bersifat alkali (basa) seperti kalium karbonat, natrium bikarbonat, sodium tripolyphosphate (STPP), serta natrium klorida (bukan basa) dengan perbandingan tertentu (Koswara, 2006). Jumlah maksimum penambahan STPP pada produk pangan yang diperbolehkan adalah 2000 mg/kg berdasarkan standar CODEX untuk mi instan (CODEX STAN 249-2006). STPP merupakan bahan pengikat, penstabil dan sekuestran yang bersifat basa serta mudah larut dalam air (Igoe, 1983). Guar gum atau guaran berasal dari endosperma polisakarida pada biji tanaman Cyamopsis tetragonolobus, termasuk dalam famili Leguminosae yang tumbuh secara alami di India dan Pakistan, juga telah dijadikan komoditi dagang di Amerika Serikat. Guar gum dapat meningkatkan viskositas larutan dalam air dingin. Konsentrasi guar gum 1% dalam larutan memiliki nilai viskositas sekitar 6000 cps, dengan dipengaruhi oleh temperatur, kekuatan ion, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Penggunaan guar gum pada makanan biasanya berada pada kisaran kurang dari hingga 1% dan dapat meningkatkan kekenyalan produk pangan (Whistler dan Daniel, 1990). Guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah, 2005).
14
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sagu) jenis Yepha Hungleu yang berasal dari Papua, aquades, air, sodium tripolyphosphate (STPP), guar gum, garam, natrium bikarbonat, dan kalium karbonat. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: timbangan digital, sendok, alat gelas, loyang bertutup, oven pengering, multifunctional noodle machine, steam blancher, tray dryer, timbangan analitik, oven kadar air, texture analyzer, alat memasak (kompor, panci, dan lain-lain).
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu karakterisasi sagu alami, modifikasi pati sagu dengan teknik heat moisture treatment (HMT), penentuan komposisi pati dan air untuk binder adonan bihun, penentuan cara pengukusan bihun, formulasi bahan tambahan pengatur tekstur (texturizer) dalam pembuatan bihun instan, serta aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk pembuatan bihun instan dengan komposisi pati sagu termodifikasi HMT yang berbeda. Setiap tahapan memiliki metode analisis yang berbeda. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Tahapan karakterisasi pati sagu alami terdiri atas kegiatan analisis kadar air sagu alami, pengukuran pH, dan pengukuran profil pasta pati sagu alami. Pada tahapan modifikasi pati sagu termodifikasi HMT terdapat analisis profil pasta pati sagu termodifikasi HMT. Pada tahapan penentuan komposisi pati dan air untuk binder adonan bihun terdapat pengamatan secara visual. Pada tahapan penentuan cara pengukusan bihun terdapat pengamatan secara visual. Pada tahapan formulasi bahan tambahan pengatur tekstur (texturizer) dalam pembuatan bihun instan terdapat analisis sifat fisik terhadap bihun instan dari pati sagu alami meliputi analisis warna, waktu pemasakan (rehidrasi), analisis profil tekstur,
15
kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air. Pada tahapan aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk pembuatan bihun instan terdapat analisis sifat fisik terhadap bihun instan
meliputi penentuan
waktu pemasakan (rehidrasi), analisis profil tekstur, kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air, serta dilakukan pula uji organoleptik.
Karakterisasi pati sagu alami
Modifikasi pati sagu dengan teknik HMT
Penentuan komposisi pati dan air untuk membuat binder adonan
Penentuan cara pengukusan bihun
Analisis kadar air, pengukuran nilai pH, pengukuran profil pasta pati
Analisis kadar air, pengukuran profil pasta pati Pengamatan secara visual pada adonan yang terbentuk dan bihun yang telah dicetak
Pengamatan secara visual bihun yang telah dikukus pada kelengketan dan tingkat kematangan
Formulasi bahan tambahan pengatur tekstur
Analisis warna, penentuan waktu rehidrasi, analisis profil tekstur, pengukuran nilai kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air
Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk pembuatan bihun instan
Penentuan waktu rehidrasi, analisis profil tekstur, pengukuran nilai kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air, uji organoleptik
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian
16
1. Karakterisasi Pati Sagu Alami Kegiatan yang dilakukan dalam karakterisasi pati sagu alami meliputi analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995), pengukuran pH pati sagu alami, dan pengukuran profil pasta pati (Wattanachant et al., 2002). Analisis kadar air dilakukan terlebih dahulu, karena data yang didapatkan dari analisis kadar air pati sagu selanjutnya digunakan dalam pengukuran profil pasta pati dan modifikasi pati sagu dengan teknik HMT.
2. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik HMT Prosedur teknik HMT mengacu pada Adebowale et al. (2005) yang dimodifikasi. Tepung sagu dianalisis kadar airnya terlebih dahulu. Proses modifikasi pati sagu dengan teknik HMT adalah sebagai berikut: sebanyak 200 gram pati diatur kadar airnya sampai 28% dengan cara menyemprotkan aquades. Jumlah aquades ditentukan berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa. Contoh perhitungan kesetimbangan massa adalah sebagai berikut:
(100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2 (100% - 11,49%) x 200 g = (100% - 28%) x BP2 88,51% x 200 g = 72% x BP2 177 g = 72% x BP2 BP2 = 245,86 Jumlah aquades = BP2 - BP1 = 245,86 g - 200 g = 45,86 g
Keterangan: KA1 = Kadar air pati kondisi awal KA2 = Kadar air pati yang diinginkan BP1
= Bobot pati pada kondisi awal
BP2
= Bobot pati setelah mencapai KA2
17
Pati basah yang telah mencapai kadar air 28% selanjutnya ditempatkan di dalam loyang bertutup kemudian diaduk. Pati didiamkan dalam refrigerator selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Loyang berisi pati basah dipanaskan dalam oven bersuhu 110oC. Waktu pemanasan dibedakan menjadi tiga perlakuan, masing-masing selama 2, 4 dan 6 jam. Pati diaduk setiap 2 jam untuk menyeragamkan distribusi panas. Setelah didinginkan, pati termodifikasi dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50oC. Diagram alir proses pembuatan pati sagu termodifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 6. Pati termodifikasi HMT selanjutnya dianalisis kadar airnya dan dilakukan pengukuran profil pasta pati. Hasil pengukuran profil pasta pati sagu termodifikasi HMT dibandingkan dengan profil pasta pati sagu alami untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan. Profil pasta pati termodifikasi HMT antar perlakuan juga dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui profil yang terbaik. Pati termodifikasi HMT dengan profil pasta pati yang terbaik selanjutnya digunakan untuk pembuatan bihun instan.
18
200 gram pati sagu Ditambah aquades hingga kadar airnya 28%
Pati basah
Ditempatkan dalam loyang bertutup
didiamkan dalam refrigerator selama satu malam Dimasukkan dalam oven bersuhu 110oC selama 2,4 dan 6 jam sambil diaduk setiap 2 jam Didinginkan Dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 4 jam Pati sagu termodifikasi HMT Gambar 6. Diagram alir pembuatan pati sagu termodifikasi HMT
3. Penentuan Komposisi Binder Adonan Bihun Instan Metode pembuatan bihun instan mengacu pada Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Pada tahapan ini bihun instan dibuat dari pati alami. Pembuatan bihun instan terdiri atas beberapa tahap, meliputi pembuatan binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan, dan pengeringan. Tahap pertama dalam pembuatan bihun instan ini adalah menentukan komposisi pati dan air yang terbaik untuk membuat binder adonan. Binder terbaik akan menghasilkan untaian bihun terbaik dengan sifat tidak lengket, tidak mudah hancur jika ditekan dan
19
tidak mudah putus jika ditarik. Binder terbaik dapat diketahui setelah melalui tahapan proses pencetakan bihun.
a. Pembuatan Binder Adonan Binder adonan dibuat dengan cara mencampurkan sebanyak 20% pati sagu dari total pati yang digunakan untuk adonan, dengan air hingga terbentuk suspensi. Perbandingan pati sagu dengan air yang digunakan adalah 2:7, 2:6, 2:5 dan 2:4. Selanjutnya suspensi pati dipanaskan hingga mengental. Pati yang telah mengental atau tergelatinisasi seluruhnya digunakan sebagai binder. Formula binder dan adonan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi pati dan air pada adonan bihun instan Perbandingan pati : air 2:7 2:6 2:5 2:4
Pati (g) 20 20 20 20
Binder Air (ml) 70 60 50 40
Pati kering (g) 80 80 80 80
b. Pembuatan Adonan Adonan dibuat dengan mencampurkan binder dan pati kering. Campuran diaduk dan diadon hingga merata. Adonan yang sempurna terbentuk ketika pati kering telah tercampur merata dan terikat oleh binder sehingga dapat menyatu saat digenggam. Adonan yang terbentuk dari beberapa perbandingan pati dan air selanjutnya diamati secara visual.
c. Pencetakan Bihun Pencetakan bihun dilakukan dengan menggunakan multifunctional noodle machine. Alat tersebut memiliki ulir tunggal yang dapat berputar sehingga adonan yang dimasukkan dapat terdorong keluar. Lubang cetakan (die) yang digunakan adalah yang berukuran kecil untuk mencetak bihun. Adonan yang telah terbentuk selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah adonan pada multifunctional noodle machine dengan kondisi ulir
20
sedang berputar, dengan jumlah sedikit demi sedikit untuk mendapatkan untaian bihun yang seragam. Selama proses pencetakan berlangsung, gesekan antara ulir yang berputar dan adonan
akan menghasilkan
panas. Panas tersebut
menyebabkan suhu adonan meningkat dan mengalami gelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekenyalan adonan. Kelembaban adonan juga menurun selama pencetakan akibat panas tersebut. Untaian bihun keluar melalui lubang-lubang kecil dan ditampung dalam wadah. Bihun yang baru dicetak masih dalam kondisi panas, sehingga perlu diistirahatkan beberapa saat hingga mencapai suhu ruang. Untaian bihun yang dihasilkan dari beberapa adonan dengan perbandingan pati dan air yang berbeda selanjutnya diamati secara visual. Untaian bihun yang dihasilkan dari beberapa adonan dengan perbandingan pati dan air yang berbeda selanjutnya diamati secara visual. Untaian bihun terbaik dengan sifat tidak lengket, tidak mudah hancur jika ditekan dan tidak mudah putus jika ditarik dengan tangan, kemudian diproses pada tahapan selanjutnya yaitu pengukusan.
4. Penentuan Cara Pengukusan Bihun Proses pengukusan berperan penting dalam pematangan bihun. Cara pengukusan yang tepat dapat menghasilkan bihun dengan mutu terbaik. Untaian bihun yang telah dicetak selanjutnya disusun di atas plat aluminium berlubang. Susunan untaian bihun tidak boleh menumpuk terlalu tinggi juga tidak boleh terlalu tipis. Alat pengukus yang digunakan pada tahap ini adalah steam blancher. Sebelum bihun dikukus uap dialirkan menuju steam blancher hingga suhu pada ruang pengukusan mencapai 95oC. Bihun dengan alas plat dimasukkan ke dalam ruang pengukusan steam blancher. Proses pengukusan berlangsung selama 2 menit yang dilakukan dengan tiga cara berbeda. Cara pertama adalah bihun dikukus selama 2 menit hingga selesai. Cara kedua adalah bihun dikukus selama 1 menit kemudian dikeluarkan untuk dibalikkan susunannya. Selanjutnya
21
bihun dikukus kembali selama 1 menit. Cara ketiga adalah bihun dikukus selama 30 detik, kemudian dikeluarkan dan dibalikkan posisinya. Selanjutnya dikukus kembali selama 30 detik, dan dilakukan cara yang sama berulang kali hingga tercapai waktu pengukusan selama 2 menit. Bihun yang dikukus dengan tiga cara berbeda kemudian diamati secara visual dan dibandingkan satu sama lain. Berdasarkan hasil pengamatan selanjutnya dipilih satu cara pengukusan yang terbaik. Cara pengukusan yang terbaik menghasilkan bihun dengan tingkat kematangan yang seragam dan tidak lengket. Bihun dari cara pengukusan terbaik kemudian dilanjutkan pada proses berikutnya, yaitu pengeringan. Bihun yang telah dikukus kemudian dikeringkan dalam tray dryer selama satu jam. Bihun instan yang telah kering dikeluarkan dari dalam tray dryer kemudian didiamkan beberapa saat supaya mengalami penurunan suhu hingga suhu ruang tercapai. Bihun instan sagu dikemas dalam kemasan plastik. Diagram alir proses pembuatan bihun instan dapat dilihat pada Gambar 7.
22
20 gram pati + 70, 60, 50 atau 40 ml air Dipanaskan Binder adonan
80 gram pati
Dicampurkan Diadon sampai homogen Dicetak Untaian bihun
Dikukus pada suhu 95oC selama 2 menit, 2 x 1 menit, atau 4 x 30 detik Dikeringkan selama 1 jam Bihun instan sagu Gambar 7. Diagram alir pembuatan bihun instan sagu
23
5. Formulasi Bahan Tambahan Pengatur Tekstur Pada tahapan ini pembuatan bihun dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis bahan tambahan pengatur tekstur (texturizer) yang umum digunakan dalam pembuatan produk mi atau bihun instan komersial, seperti STPP, air kansui dan guar gum. Pati yang digunakan sebagai bahan baku adalah pati alami. Penggunaan bahan pengatur tekstur ditujukan untuk mendapatkan bihun dengan karakteristik yang baik, meliputi warna, tekstur, serta kehilangan padatan akibat pemasakan. Adonan dibuat menjadi empat formula yang berbeda, yaitu adonan tanpa penambahan pengatur tekstur, adonan yang ditambahkan STPP, adonan dengan penambahan kombinasi STPP dan guar gum, serta adonan dengan penambahan kombinasi air kansui serta guar gum. Cara membuat bihun instan dalam tahap ini sama dengan pembuatan bihun instan pada tahap sebelumnya. Binder yang digunakan merupakan komposisi binder terbaik dari tahap sebelumnya. Formula adonan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Formula adonan bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Formula
1 2 3 4
Pati (g) 20 20 20 20
Air (ml) 40 40 40 40
Binder Larutan STPP NaHCO3 (g) (g) 0,2 0,2 0,2 0,1
K2CO3 (g) 0,1
Pati kering (g)
Guar gum (g)
80 80 80 80
1 1
STPP ditambahkan pada air untuk membuat binder sebanyak 0,2% dari berat total pati untuk adonan. Guar gum dicampurkan merata pada bagian pati kering sebanyak 1% dari berat total pati untuk adonan. Air kansui merupakan kombinasi STPP sebanyak 0,2% dari berat total pati, natrium bikarbonat (soda kue) 0,1% dari berat total pati dan kalium karbonat 0,1% dari berat total pati yang dilarutkan dalam air. Air kansui dicampurkan dengan pati sagu untuk membuat binder. Pengaruh penggunaan pengatur tekstur pada bihun instan diketahui dari hasil analisis sifat fisik bihun instan pada beberapa parameter,
24
meliputi warna, waktu rehidrasi, profil tekstur, kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air. Penggunaan pengatur tekstur dengan hasil terbaik selanjutnya digunakan dalam pembuatan bihun instan dari pati sagu termodifikasi HMT.
6. Aplikasi Pati Sagu Termodifikasi HMT untuk Bihun Instan Pembuatan bihun instan dari pati sagu termodifikasi HMT dilakukan dalam beberapa komposisi formula adonan. Perbandingan antara pati sagu alami dan pati sagu termodifikasi HMT dibedakan menjadi empat formula. Formula adonan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Formula adonan bihun instan dengan komposisi pati HMT Perbandingan Formula pati sagu alami : HMT A B C
100 : 0 75 : 25 50 : 50
D
0 : 100 Tahapan
Pati kering Binder Pati Pati Air STPP Alami HMT alami HMT (g) (g) (g) (g) (g) (g) 20 40 0,2 80 20 40 0,2 55 25 20 40 0,2 30 50 -
proses
20 pembuatan
40
0,2
bihun
instan
-
80 dari
pati
Guar gum (g) 1 1 1 1 sagu
termodifikasi sama dengan pembuatan bihun instan pada tahap sebelumnya. Profil adonan dan untaian bihun yang dihasilkan dari masingmasing formula sebelum proses pengukusan diamati secara visual. Bihun yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis sifat fisiknya meliputi waktu rehidrasi, profil tekstur, kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air, serta dilakukan pula uji organoleptik.
25
C. METODE ANALISIS Analisis yang dilakukan terhadap pati sagu meliputi analisis kadar air, pengukuran pH, dan pengukuran profil pasta pati. Analisis sifat fisik bihun instan meliputi analisis warna, penentuan waktu pemasakan (rehidrasi), pengukuran profil tekstur, pengukuran daya serap air dan kehilangan padatan akibat pemasakan, serta uji organoleptik.
1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Analisis kadar air dilakukan dengan cara sebagai berikut: cawan aluminium kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan kering ditmbang. Kemudian sebanyak 5 gram pati sagu ditimbang dengan cepat ke dalam cawan kering, dan dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, cawan berisi pati sagu beserta tutupnya dikeringkan dalam oven suhu 100oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi pati sagu dipindahkan ke dalam desikator, ditutup dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali. Cawan dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat konstan.
2. Pengukuran pH Pati Sagu Pengukuran pH pati sagu dilakukan dengan menimbang pati sagu seberat 5 gram dicampurkan dengan 50 ml aquades, kemudian diaduk hingga homogen. Selanjutnya campuran tersebut diukur menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali hingga didapatkan pH pati sagu yang konstan.
3. Pengukuran Profil Pasta Pati (Wattanachant et al., 2002) Pengukuran
terhadap
profil
pasta
pati
dilakukan
dengan
menggunakan alat Brabender amilograf. Pati sagu yang telah diketahui kadar airnya, dicampurkan dengan aquades. Suspensi pati yang terbentuk diatur sehingga mengandung 6% pati dalam 400 ml air. Suspensi dipanaskan dari suhu 30oC sampai 95oC dengan kecepatan peningkatan
26
suhu sebesar 1.5oC/menit. Setelah mencapai 95oC, suhu dipertahankan selama 20 menit. Suhu kemudian diturunkan sampai 50oC dan dipertahankan selama 20 menit. Selanjutnya akan diperoleh data berupa suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas puncak gelatinisasi, viskositas setelah dipertahankan pada suhu 95oC, viskositas pada saat didinginkan sampai 50oC (breakdown), dan viskositas setback.
4. Analisis Warna (Hutching, 1999) Sampel bihun dipotong 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah yang transparan. Selanjutnya sensor alat didekatkan pada sampel dan tombol pengukur ditekan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0 = hitam sampai 100 = putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru).
5. Penentuan Waktu Rehidrasi (Purwani et al., 2006) Air sebanyak 300 ml dipanaskan sampai mendidih, kemudian beberapa untai bihun dimasukkan dalam air mendidih. Setelah 2 menit direbus, untaian bihun diambil dan diamati tingkat kematangannya. Pengamatan dilakukan setiap 30 detik dengan melihat penampakan bihun yang semakin transparan dan kekerasan bihun dengan cara ditekan. Bihun yang matang adalah bihun yang transparan dan tidak keras saat ditekan. Penentuan waktu rehidrasi dihitung dari mulai bihun dimasukkan ke dalam air mendidih sampai bihun matang dan siap untuk dikonsumsi.
6. Analisis Profil Tekstur dengan Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah pre test speed 2,0 mm/s, test speed 0,1 mm/s, rupture test distance 75%, mode TPA (Texture Profile Analysis) untuk pengukuran profil tekstur mi. Sebanyak empat untai bihun
27
yang telah direhidrasi dengan ukuran panjang melebihi diameter probe, diletakkan di atas landasan kemudian ditekan oleh probe sebanyak dua kali. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. TPA dihitung berdasarkan dua siklus kompresi probe terhadap sampel. Dari data tersebut dapat diketahui nilai kekerasan, kelengketan dan kekenyalan. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal. Kekerasan adalah gaya maksimum yang terjadi selama proses kompresi pada siklus pertama (Clark, 1992). Nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Keduanya menggunakan satuan gram force (gf). Sedangkan nilai kekenyalan merupakan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama dan menggunakan satuan gram second (gs).
7. Pengukuran Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Purwani et al., 2006) Sebanyak 5 gram bihun instan yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam air mendidih (100 oC) dengan lamanya waktu sesuai dengan waktu rehidrasi, kemudian ditiriskan. Segera setelah itu dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan ditimbang (A). Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 3-5 jam atau sampai beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (B). Daya Serap Air dihitung dengan rumus:
Daya serap air =
(A-B) - (KAm x BSm)
x 100%
BSm (1-KAm) Kehilangan padatan akibat pemasakan = ( 1 -
(B – C)
) x 100%
BSm (1-KAm)
Keterangan: A
= Berat cawan + sampel setelah direhidrasi
B
= Berat cawan + sampel setelah dikeringkan
C
= Berat cawan
KAm = Kadar air mula-mula BSm = Berat sampel mula-mula
28
8. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan untuk menganalisis tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk bihun instan sagu dengan kriteria kekerasan, kekenyalan, kelengketan dan penampakan keseluruhan (overall). Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik rating terhadap atribut produk dengan menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skala hedonik yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 5. Panelis diminta menilai berdasarkan kesukaannya dan memberikan nilai mulai dari 1 untuk sangat tidak suka hingga nilai 5 untuk sangat suka. Pengolahan data hasil uji organoleptik dilakukan dengan program SPSS 14.0.
D. ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap karakteristik produk selanjutnya diuji secara statistik. Pengolahan data untuk uji statistik menggunakan program SPSS 14.0. Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan analisis ragam dengan oneway ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada karakteristik produk. Setelah diketahui bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh
nyata, selanjutnya dilakukan uji
lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa apakah perlakuan yang diberikan menyebabkan perbedaan yang nyata pada setiap sampel atau tidak.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI PATI SAGU ALAMI Jenis sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sagu Yepha Hungleu yang didatangkan langsung dari tempat asalnya Sentani, Jayapura, Papua. Pati sagu alami berwarna putih dikemas dalam plastik dengan ukuran berat satu kilogram setiap kemasan. Pati tersebut merupakan pati siap saji yang biasa digunakan untuk membuat papeda, makanan pokok tradisional masyarakat Papua. Penampakan pati sagu dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Sagu Yepha Hungleu asal Sentani, Jayapura, Papua
Untuk keperluan karakterisasi pati, dilakukan analisis kadar air terlebih dahulu pada tepung sagu. Kadar air pati penting untuk diketahui supaya pengamatan terhadap profil pasta pati dengan Brabender Amilograf dapat dilakukan. Berdasarkan pengukuran dapat diketahui bahwa kadar air tepung sagu yang digunakan untuk penelitian kali ini adalah 11,49%. Hasil pengukuran pH pati menunjukkan pati sagu Yepha Hungleu berada dalam kondisi asam yang ditunjukkan dengan nilai pH sebesar 4,75. Hasil pengukuran profil pasta pati sagu dapat dilihat pada kurva Brabender amilograf. Pada tahap pemanasan awal dari 30oC hingga 95oC dapat diketahui viskositas puncak, suhu awal gelatinisasi dan suhu puncak gelatinisasi. Viskositas puncak terjadi saat nilai viskositas mencapai titik
30
tertinggi. Suhu gelatinisasi awal merupakan suhu pada saat nilai kurva viskositas pasta mulai meningkat. Suhu puncak gelatinisasi merupakan suhu pada saat viskositas puncak terjadi, yaitu saat granula pati mulai pecah. Nilai suhu dapat diketahui dengan memperhitungkan peningkatan suhu pada alat sebesar 1,5oC setiap menit. Tahap pemanasan pasta pati selama 20 menit pada suhu 95oC menunjukkan kestabilan pasta pati selama proses pemanasan berlangsung. Viskositas breakdown dihitung dari selisih viskositas puncak dengan viskositas pasta panas. Penurunan suhu dari 95oC hingga mencapai 50oC menunjukkan viskositas setback, yaitu kemampuan pati membentuk gel kembali setelah gelatinisasi atau bisa disebut kemampuan retrogradasi. Pasta pati yang dipertahankan pada suhu 50oC selama 20 menit menunjukkan viskositas pasta dingin. Kurva hasil pengukuran profil pasta pati menggunakan Brabender Amilograf dapat dilihat pada Gambar 9.
Titik Puncak gelatinisasi
Titik awal gelatinisasi
Gambar 9. Kurva brabender amilograf pati sagu Yepha Hungleu alami
Kurva pada Gambar 9 menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi terjadi pada 73,5oC. Suhu puncak gelatinisasi terjadi pada 87oC dengan nilai viskositas puncak 590 BU. Viskositas pasta panas pati turun drastis hingga 240 BU. Viskositas breakdown pasta pati adalah 350 BU. Viskositas pasta dingin hanya sebesar 345 BU. Nilai viskositas breakdown yang sangat besar
31
dan viskositas pasta dingin yang lebih rendah dari viskositas puncak, menunjukkan pati sagu alami memiliki profil pasta pati yang tidak stabil selama pemanasan. Berdasarkan klasifikasi Schoch dan Maywald (1968) profil pasta pati sagu Yepha Hungleu alami termasuk dalam pasta pati tipe A. Kondisi seperti ini sejalan dengan hasil pengukuran profil pasta pati sagu alami dari berbagai asal daerah yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006) dan Pukkahuta dan Varavinit (2007). Profil pasta pati sagu Yepha Hungleu alami yang tidak stabil dinilai kurang sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku pembuat mi pati, termasuk bihun. Menurut Lii dan Chang (1981), mi pati dengan mutu yang baik dihasilkan dari pati dengan profil pasta yang viskositasnya stabil selama pemanasan dan pengadukan dalam Brabender Amilograf. Dengan demikian dibutuhkan modifikasi pati secara fisik dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) untuk mendapatkan pasta pati sagu Yepha Hungleu yang lebih sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku mi pati.
B. MODIFIKASI PATI SAGU Proses pembuatan pati sagu HMT dilakukan dengan tiga perlakuan yang berbeda. Perbedaan yang diberikan adalah durasi waktu pemanasan pati. Pemanasan dilakukan selama dua, empat dan enam jam dalam oven bersuhu 110oC. Pengukuran profil pasta pati sagu termodifikasi HMT dilakukan dengan Brabender Amilograf. Hasil pengukuran tersebut selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengukuran profil pasta pati sagu alami. Kurva hasil pengukuran pasta pati dapat dilihat pada Gambar 10. Parameter hasil pengukuran profil pasta pati sagu termodifikasi HMT diuraikan pada Tabel 5.
32
o
Suhu ( C) 30
95
700
95
50
50
Viskositas (BU)
600 500 400 300 200 100 0 -100 0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit) Alami
HMT 2 jam
HMT 4 jam
HMT 6 jam
Gambar 10. Kurva brabender amilograf pati sagu alami dan HMT
Tabel 5. Profil pasta pati sagu alami dan HMT pada berbagai perlakuan Alami HMT 2 jam HMT 4 jam HMT 6 jam
Parameter Suhu awal gelatinisasi (oC)
73,5
76,9
78,8
78
Suhu puncak gelatinisasi ( C)
87
82,5
84
83,6
Viskositas puncak (BU)
590
475
438
435
Viskositas pasta panas (BU)
240
Viskositas breakdown (BU)
350
378 97
346 92
338 97
Viskositas pasta dingin (BU)
345
580
525
522
Viskositas setback (BU)
105
202
178
184
Tipe
A
B
B
B
o
Kurva pada Gambar 10 memperlihatkan perubahan profil pasta pati termodifikasi HMT. Pati sagu termodifikasi HMT cenderung mengalami penurunan viskositas puncak dan breakdown, serta peningkatan viskositas pasta dingin dan setback. Sesuai dengan pernyataan Stute (1992) bahwa perlakuan HMT dapat mengakibatkan profil pasta pati mengalami penurunan viskositas puncak dan breakdown, serta peningkatan viskositas pasta dingin.
33
Modifikasi pati dengan HMT mengakibatkan peningkatan suhu gelatinisasi dan penyempitan rentang suhu gelatinisasi (French, 1984). Pada Tabel 5 dapat diketahui pati sagu HMT dengan pemanasan 2, 4, dan 6 jam mengalami peningkatan suhu awal gelatinisasi dan penurunan suhu puncak gelatinisasi, artinya rentang suhu gelatinisasi berkurang. Kurva Brabender amilograf menunjukkan pati sagu termodifikasi HMT lebih stabil selama pemanasan. Saat proses HMT berlangsung, sebagian kristal granula pati meleleh, dan setelah proses pendinginan kembali bentuk pati menjadi lebih stabil dibandingkan bentuk pati alami (French, 1984). Profil pasta pati sagu termodifikasi HMT dapat diklasifikasikan sebagai profil pasta pati tipe B, karena masih memiliki viskositas puncak. Hasil pengukuran pasta pati sagu termodifikasi HMT sejalan dengan hasil penelitian Purwani et al. (2006) dan Pukkahuta dan Varavinit (2007) yang mengubah pasta pati sagu termodifikasi HMT menjadi tipe B. Namun hasil modifikasi tersebut belum dapat mencapai hasil seperti yang diperoleh Collado dan Corke (1999). Penelitian tersebut berhasil mengubah pasta pati ubi jalar alami yang memiliki pasta pati tipe A dengan modifikasi HMT menjadi pasta pati tipe C, yang kurvanya hampir tidak memiliki puncak viskositas dan peningkatan viskositas terus terjadi selama pemanasan hingga akhir pendinginan di dalam Brabender Amilograf. Perlakuan HMT dengan pemanasan selama 4 dan 6 jam memberikan hasil dengan viskositas puncak dan breakdown lebih rendah dibandingkan pemanasan selama 2 jam. Hal ini menunjukkan tingkat kestabilan pasta pati sagu termodifikasi HMT selama 4 dan 6 jam lebih tinggi dibandingkan perlakuan HMT selama 2 jam. Perlakuan HMT 4 dan 6 jam memiliki profil yang tidak jauh berbeda. Atas dasar pertimbangan efisiensi waktu pemanasan, maka pati sagu termodifikasi HMT yang digunakan untuk pembuatan bihun instan adalah pati sagu termodifikasi selama 4 jam.
34
C. PENENTUAN KOMPOSISI BINDER ADONAN BIHUN INSTAN Tahap pembuatan binder dimulai dengan penentuan jumlah air yang digunakan dalam membuat binder adonan. Perbandingan yang tepat antara jumlah tepung dan air untuk binder sangat menentukan karakteristik adonan. Penelitian kali ini menggunakan 100 gram total pati untuk adonan. Pati yang digunakan untuk binder sebanyak 20% dari total pati untuk adonan. Binder merupakan bagian pati yang telah mengalami gelatinisasi sehingga membentuk gel dan berperan penting sebagai perekat dalam adonan. Selama proses pemanasan suspensi pati untuk membuat binder, ikatan hidrogen yang membentuk struktur pati melemah sehingga molekul air dapat mudah masuk ke dalam granula pati dan mendorong amilosa terdorong keluar. Granula pati akhirnya rusak dan terjebak dalam matriks amilosa sehingga membentuk gel (Harper, 1990). Binder selanjutnya dicampurkan dengan 80 gram pati kering dan diadon hingga merata. Pengadonan dilakukan secara manual menggunakan tangan. Adonan yang terbentuk diamati secara subyektif. Sifat adonan yang dihasilkan dari beberapa perbandingan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa formula binder yang terbaik adalah formula dengan perbandingan 20 gram pati dan 40 ml air. Kondisi adonan yang tidak terlalu basah dapat dicetak dengan baik menggunakan alat multifunctional noodle machine. Proses pembuatan bihun instan selanjutnya menggunakan perbandingan 20 gram pati dari berat pati total 100 gram dan 40 ml air dalam pembuatan binder, atau sama dengan dua bagian pati berbanding empat bagian air.
35
Tabel 6. Karakteristik adonan dengan berbagai kandungan air pada binder Perbandingan tepung : air Karakteristik adonan untuk binder Adonan sangat basah, menempel di ulir dan tidak 20 gram pati : 70 ml air dapat terdorong keluar ekstruder. Adonan basah, menempel di ulir dan tidak dapat 20 gram pati : 60 ml air terdorong keluar ekstruder. Adonan agak basah tapi untaian bihun sudah dapat keluar dari ekstruder. Untaian yang terbentuk tidak 20 gram pati : 50 ml air putus tapi masih lengket, sehingga sangat mudah hancur saat ditekan. Adonan agak kering dan untaian yang dihasilkan 20 gram pati : 40 ml air tidak mudah putus, tidak lengket, dan tidak mudah hancur saat ditekan.
D. PENENTUAN CARA PENGUKUSAN BIHUN Untaian bihun yang telah dicetak selanjutnya disusun di atas plat berlubang dan dimasukkan ke dalam steam blancher. Bihun dikukus pada suhu 95oC selama 2 menit. Bihun yang telah dikukus dinyatakan matang setelah warna bihun menjadi lebih transparan. Hasil pengukusan bihun dengan tiga cara yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengukusan bihun dengan tiga cara yang berbeda Cara pengukusan 1 x 2 menit 2 x 1 menit 4 x 30 detik
Bihun yang dihasilkan Tingkat kematangan tidak seragam dan untaian bihun saling melengket Tingkat kematangan cenderung seragam dan untaian bihun tidak terlalu lengket Tingkat kematangan cenderung seragam dan untaian bihun tidak terlalu lengket
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa pengukusan selama 1 x 2 menit menghasilkan bihun dengan tingkat kematangan yang tidak seragam dan kelengketan antar untaian bihun sangat tinggi. Selama pengukusan berlangsung, uap panas datang dari arah bawah steam blancher, sehingga permukaan bihun bagian bawah menerima uap panas lebih awal dan lebih banyak. Uap panas tersebut juga mengakibatkan peningkatan kadar air pada
36
bihun. Selama pengukusan berlangsung proses gelatinisasi pati terjadi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna untaian bihun menjadi lebih transparan. Proses gelatinisasi pada permukaan bihun terjadi lebih awal dibandingkan pada bagian tengah. Keberadaan air yang menempel pada permukaan bihun dengan kondisi proses gelatinisasi terus terjadi, mengakibatkan kelengketan antar untaian bihun tidak dapat dihindarkan. Sehingga, teknik membolakbalikkan bihun saat pengukusan adalah cara untuk menghindari tingkat gelatinisasi berlebih yang dapat menyebabkan untaian bihun terlalu lengket akibat banyaknya padatan yang keluar dari granula pati (Susilawati, 2007). Pengukusan dengan cara 2 x 1 menit dan 4 x 30 detik memberikan hasil yang lebih baik dan tidak berbeda satu sama lain. Tingkat kematangan bihun cenderung seragam pada seluruh permukaan. Untaian bihun tidak terlalu lengket setelah pengukusan. Atas pertimbangan efisiensi dalam proses kerja, maka cara pengukusan 2 x 1 menit yang digunakan pada pembuatan bihun di tahapan selanjutnya. Setelah proses pengukusan selesai, bihun dikeringkan dalam tray dryer selama satu jam. Udara panas yang dihembuskan pada tray dryer berkisar antara 75 sampai 80oC. Bihun instan sagu yang sudah kering kemudian didiamkan beberapa saat supaya mengalami penurunan suhu hingga suhu ruang tercapai. Bihun instan sagu dikemas dalam kemasan plastik.
E. PENGARUH
PENGGUNAAN
BAHAN
PENGATUR
TEKSTUR
TERHADAP KARAKTERISTIK BIHUN INSTAN Bihun instan pada tahapan ini dibuat dengan empat formula yang berbeda. Bihun instan pada formula pertama dibuat dengan tanpa menggunakan penambahan bahan tambahan pangan (BTP) berupa pengatur tekstur (texturizer). Formula kedua menggunakan penambahan Sodium Tripolyphosphate (STPP). Formula ketiga menggunakan penambahan STPP dan guar gum. Formula keempat menggunakan penambahan air kansui dan guar gum. Pengamatan dilakukan terhadap karakteristik bihun meliputi warna, waktu pemasakan, profil tekstur, daya serap air, dan kehilangan padatan akibat pemasakan.
37
1. Warna Produk Pengamatan terhadap warna bihun dilakukan secara visual dan juga dilakukan pengukuran intensitas warna bihun instan secara kuantitatif menggunakan metode Hunter dengan alat Chromameter. Analisis warna dengan metode ini didasarkan pada tiga parameter, yaitu nilai L yang menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Skala nilai L mulai dari 0 untuk sampel paling gelap hingga 100 untuk sampel paling cerah. Nilai a menunjukkan warna kromatik campuran merah dan hijau. Nilai a positif artinya warna sampel cenderung berwarna merah. Nilai a negatif artinya sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b menunjukkan warna kromatik campuran kuning dan biru. Nilai b positif artinya warna sampel cenderung berwarna kuning. Nilai b negatif maka sampel cenderung berwarna biru. Hasil analisis warna bihun instan disajikan dalam bentuk grafik. Nilai L (kecerahan) dapat dilihat pada Gambar 11, nilai a pada Gambar 12, dan nilai b pada Gambar 13.
Gambar 11. Nilai kecerahan (L) bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
38
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh yang berbeda pada nilai kecerahan (L) sampel. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan terhadap nilai L sampel. Hasil uji lanjut menunjukkan nilai L paling tinggi terdapat pada sampel bihun dengan penambahan STPP dan sampel bihun tanpa bahan pengatur tekstur, nilai L keduanya tidak berbeda nyata. Jika dibandingkan dengan bihun tanpa bahan pengatur tekstur, penambahan STPP tidak memberikan pengaruh nyata pada nilai L sampel. Bihun dengan penambahan kombinasi STPP dan guar gum mengalami penurunan nilai L yang juga berbeda nyata dengan sampel yang lain. Bihun instan dengan penambahan guar gum dan air kansui merupakan sampel yang paling gelap. Nilai L sampel bihun ini paling kecil dan juga berbeda nyata dengan sampel yang lain. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa penambahan guar gum pada adonan menyebabkan penurunan nilai kecerahan sampel bihun. Kondisi pH basa akibat penambahan air kansui mengakibatkan warna pati sagu berubah menjadi merah kecoklatan. Hal tersebut juga mengakibatkan penurunan nilai kecerahan sampel bihun.
Gambar 12. Hasil pengukuran nilai a bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh yang berbeda pada nilai a sampel.
39
Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan terhadap nilai a sampel. Hasil uji lanjut menunjukkan nilai a paling tinggi terdapat pada sampel bihun dengan penambahan STPP, kemudian nilai a pada sampel dengan penambahan air kansui dan guar gum, selanjutnya nilai a pada sampel dengan penambahan STPP dan guar gum. Ketiga sampel tersebut memiliki nilai a yang tidak berbeda nyata antar sampel. Ketiga sampel tersebut mendapatkan kondisi pH basa dari STPP dan air kansui yang ditambahkan, sehingga warna pati sagu berubah menjadi semakin merah. Penambahan guar gum juga mengakibatkan sedikit penurunan warna kromatik campuran merah pada bihun. Bihun tanpa penambahan bahan pengatur tekstur memiliki nilai a yang paling kecil dan berbeda nyata terhadap ketiga sampel yang lain. Pati sagu tanpa penambahan bahan pengatur tekstur masih dalam kondisi asam, sehingga warna pati belum berubah menjadi semakin merah.
Gambar 13. Hasil pengukuran nilai b bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh yang berbeda pada nilai b sampel. Sampel bihun yang dianalisis cenderung memiliki campuran warna kromatik biru, karena nilai b yang terukur bernilai negatif. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan terhadap nilai b sampel. Hasil uji lanjut menunjukkan nilai b
40
setiap sampel berbeda nyata satu sama lain. Nilai b paling negatif terdapat pada bihun dengan penambahan STPP. Penambahan STPP sedikit meningkatkan intensitas warna biru dibandingkan sampel bihun tanpa penambahan bahan pengatur tekstur. Sampel bihun dengan penambahan STPP dan guar gum mengalami penurunan nilai b yang cukup signifikan. Penggunaan guar gum turut mempengaruhi penurunan nilai warna kromatik campuran biru pada bihun. Sampel bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum memiliki campuran warna biru dengan intensitas paling kecil. Kondisi pH basa pada sampel tersebut mengakibatkan warna pati menjadi merah kecoklatan, sehingga intensitas warna kromatik campuran biru menurun. Pati sagu Yepha secara genetik memiliki sifat warna kemerahan (Limbongan, 2007). Pati sagu yang baru dikeluarkan dari kemasan memiliki warna putih. Nilai pH pati tersebut berada dalam kondisi asam yaitu 4,75 (1 gram tepung dalam 10 ml air). Pati sagu Yepha yang digunakan pada penelitian ini mengalami perubahan warna seiring dengan perubahan pH. Pati sagu diketahui memiliki kandungan senyawa fenolik, berupa DL-epicathechin dan D-cathechin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya proses pencoklatan (Ozawa et al., 1991). Proses pencoklatan disebabkan aktivitas enzim polifenol oksidase yang mengoksidasi senyawa fenol (Okamoto et al., 1991). Jumlah senyawa fenol yang teroksidasi semakin meningkat seiring peningkatan pH dan suhu pati sagu. Aktivitas enzim juga dapat dipicu oleh keberadaan ion-ion di dalam air selama proses pengolahan yang dapat berinteraksi dengan senyawa fenol (Anthonysamy et al., 2004)
2. Waktu Rehidrasi Salah satu parameter penting dari produk bihun instan adalah waktu rehidrasi. Proses rehidrasi untuk bihun instan sagu dilakukan dengan merebus sampel di dalam air mendidih hingga matang. Proses perebusan dapat menyempurnakan gelatinisasi pada seluruh bagian bihun. Bihun yang matang terlihat transparan dan tidak keras saat ditekan atau digigit. Pengamatan
41
terhadap tingkat kematangan dilakukan secara subjektif. Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi bihun instan Penggunaan texturizer
Tanpa BTP
STPP
STPP dan guar gum
Air kansui dan guar gum
2 menit Area transparan masih sedikit dan bihun masih keras Area transparan belum terlihat dan bihun masih keras Area transparan masih sedikit dan bihun masih keras
Setelah direbus selama 2,5 menit 3 menit 3,5 menit
4 menit
Area Area Seluruh transparan transparan area membesar dominan transparan dan bihun dan bihun dan bihun agak cukup sangat melunak lunak lunak
Seluruh area transparan dan bihun mudah hancur
Area Area Area transparan transparan transparan masih membesar dominan sedikit dan bihun dan bihun dan bihun agak cukup masih melunak lunak keras
Seluruh area transparan dan bihun sangat lunak
Area Area Seluruh transparan transparan area membesar dominan transparan dan bihun dan bihun dan bihun agak cukup sangat melunak lunak lunak
Seluruh area transparan dan bihun sangat lunak dengan ukuran yang mengembang
Area Seluruh area Area Area Seluruh transparan transparan transparan transparan area masih dan bihun membesar dominan transparan sedikit sangat lunak dan bihun dan bihun dan bihun dan bihun dengan agak cukup sangat ukuran yang masih melunak lunak lunak keras mengembang
Berdasarkan hasil pengamatan, maka bihun mencapai tingkat kematangan pada saat area transparan pada bihun dominan dan tekstur cukup lunak saat ditekan atau digigit. Jika melewati waktu rehidrasi optimal, maka tekstur bihun mudah hancur. Hasil pengukuran waktu rehidrasi untuk bihun yang tanpa bahan pengatur tekstur adalah 3 menit. Bihun dengan penambahan STPP membutuhkan waktu rehidrasi selama 3,5 menit. Keberadaan STPP
42
sebagai bahan pengikat meningkatkan kerapatan antar molekul pati dalam adonan, sehingga waktu yang dibutuhkan oleh air untuk masuk ke dalam pati lebih lama. Bihun dengan penambahan STPP dan guar gum, serta air kansui dan guar gum, masing-masing membutuhkan waktu rehidrasi selama 3 menit. Penggunaan guar gum menurunkan waktu rehidrasi, karena sifat guar gum yang sangat mudah larut dalam air. Menurut Astawan (2000), waktu pemasakan (rehidrasi) bihun instan membutuhkan waktu paling lama 3 menit. Dengan demikian, waktu rehidrasi untuk bihun instan sudah memenuhi kriteria bihun instan.
3. Profil Tekstur Penambahan bahan pengatur tekstur pada formula bihun instan ditujukan untuk menghasilkan bihun dengan profil tekstur yang baik. Pengukuran profil tekstur dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Sebelum dilakukan analisis tekstur, bihun terlebih dahulu melalui proses rehidrasi sesuai dengan kebutuhan waktu rehidrasi yang telah diketahui. Profil tekstur yang didapat dari pengukuran adalah kekerasan, kelengketan dan kekenyalan. Hasil pengukuran nilai kekerasan bihun instan dapat dilihat pada Gambar 14, nilai kelengketan pada Gambar 15, dan kekenyalan pada Gambar 16.
Gambar 14. Nilai kekerasan bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf berbeda pada label data menunjukkan perbedaan nyata antar sampel (P<0.05)
43
Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh nyata pada nilai kekerasan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan berbeda nyata antar sampel. Berdasarkan Gambar 14, sampel bihun tanpa bahan pengatur tekstur memiliki nilai
kekerasan
paling
rendah.
Sampel
dengan
penambahan
STPP
menunjukkan penambahan STPP mengakibatkan peningkatan nilai kekerasan paling tinggi. Sampel bihun dengan penambahan STPP dan guar gum mengalami penurunan nilai kekerasan. Sampel bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum memiliki nilai kekerasan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan bihun dengan penambahan STPP dan guar gum. Data tersebut menunjukkan bahwa penambahan bahan pengatur tekstur yang bersifat basa, seperti STPP dan air kansui dapat meningkatkan nilai kekerasan. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Miskelly (1999) bahwa penambahan alkali (basa) pada adonan menghasilkan mi dengan tekstur yang lebih keras. STPP sebagai bahan pengikat dalam adonan meningkatkan kerapatan molekul pati, sehingga gaya yang dibutuhkan probe untuk menekan bihun lebih besar. Berdasarkan data pula dapat diketahui bahwa penambahan guar gum berperan dalam penurunan nilai kekerasan dibandingkan bihun tanpa penambahan guar gum. Nilai kekerasan sampel bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum sedikit lebih tinggi dibandingkan bihun dengan penambahan STPP dan guar gum, karena air kansui memiliki pH alkali yang lebih tinggi. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan semua sampel berbeda nyata satu sama lain.
44
Gambar 15. Nilai kelengketan bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh nyata pada nilai kelengketan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kelengketan berbeda nyata pada beberapa sampel. Sampel bihun tanpa bahan pengatur tekstur memiliki nilai kelengketan paling rendah dan berbeda nyata dengan sampel yang lain. Penambahan bahan pengatur tekstur yang bersifat basa, seperti STPP dan air kansui, mengakibatkan peningkatan nilai kelengketan sampel. Sampel bihun dengan penambahan STPP memiliki nilai kelengketan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel bihun dengan penambahan STPP dan guar gum. Keberadaan guar gum berperan dalam mengurangi kelengketan bihun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fadlillah (2005) bahwa guar gum dapat mengurangi kelengketan. Sampel bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum memiliki nilai kelengketan paling tinggi. Sifat basa yang tinggi pada air kansui lebih dominan dibandingkan peranan guar gum dalam mengurangi kelengketan. Nilai tersebut tidak berbeda nyata terhadap sampel bihun dengan penambahan STPP. Data tersebut menunjukkan nilai kelengketan meningkat seiring penambahan alkali. Namun keberadaan guar gum sedikit menurunkan nilai kelengketan. Bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum tetap
45
memiliki nilai kelengketan yang paling tinggi, disebabkan kondisi pH alkali yang tinggi pada air kansui.
Gambar 16. Nilai kekenyalan bihun instan dengan bahan pengatur tekstur Keterangan: Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh nyata pada nilai kekenyalan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan sampel bihun tanpa bahan pengatur tekstur dan sampel bihun dengan penambahan STPP memiliki nilai kekenyalan yang tidak berbeda nyata. Sampel bihun dengan penambahan STPP dan guar gum memiliki nilai kekenyalan yang lebih tinggi dari kedua sampel sebelumnya. Sampel ini memiliki nilai kekenyalan yang berbeda nyata terhadap sampel yang lain. Nilai kekenyalan yang paling tinggi adalah pada bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum. Data tersebut menunjukkan bahwa penambahan guar gum dapat meningkatkan nilai kekenyalan pada tekstur bihun. Keberadaan STPP tidak berpengaruh pada nilai kekenyalan. Air kansui yang bersifat lebih basa dibandingkan STPP, bersama guar gum memberikan pengaruh berupa nilai kekenyalan yang tinggi.
4. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan dan Daya Serap Air Saat proses pemasakan bihun instan berlangsung, terdapat sebagian padatan dari bihun yang terlarut dengan air. Hal ini dapat terlihat dengan
46
berubahnya warna air rebusan mi menjadi lebih keruh. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP atau cooking loss) merupakan salah satu parameter penting untuk produk bihun instan karena mempengaruhi penampakan produk saat dikonsumsi. Daya serap air adalah kemampuan bihun untuk menyerap air akibat proses pemasakan. Hal ini dapat diamati dari pengembangan ukuran bihun setelah direhidrasi. Hasil pengukuran KPAP dan daya serap air bihun instan sagu dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai KPAP dan daya serap air pada bihun instan sagu Penggunaan STPP + Guar Tanpa BTP STPP BTP gum Kehilangan Padatan Akibat 14,26a +0,39 7,15b + 1,52 5,00c + 0,39 Pemasakan (%) Daya Serap Air 175,74a +1,99 166,53b +3,01 153,85c +6,38 (%)
Air kansui + guar gum 11,41d + 1,55 144,53d +6,76
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan penggunaan bahan pengatur tekstur memberikan pengaruh nyata pada nilai kehilangan padatan akibat pemasakan dan daya serap air sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bihun tanpa bahan pengatur tekstur memiliki nilai KPAP dan daya serap air paling tinggi. Nilai KPAP dan daya serap air terus menurun dengan penambahan STPP dan guar gum. Keberadaan STPP dan guar gum memainkan peran sebagai pengikat padatan di dalam bihun. Semakin sedikit padatan yang hilang maka air yang terserap juga semakin berkurang. Padatan dalam bihun saling berikatan dengan kuat sehingga ruang untuk masuknya air sangat terbatas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fadlillah (2005) bahwa guar gum berperan dalam menurunkan cooking loss. Nilai KPAP pada bihun dengan penambahan STPP dan guar gum juga telah memenuhi kriteria yang dikemukakan oleh Lii dan Chang (1981) bahwa kehilangan padatan akibat pemasakan pada mi pati yang diterima oleh standar mi pati di China dan Thailand memiliki nilai yang tidak lebih dari 10%. Namun pada sampel bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum, KPAP meningkat sedangkan
47
daya serap air tetap menurun. Uji lanjut Duncan menunjukkan nilai KPAP dan daya serap air masing-masing sampel berbeda nyata satu sama lain. Hasil pengukuran karakteristik bihun instan dengan berbagai penggunaan bahan pengatur tekstur pada parameter warna, waktu rehidrasi, profil tekstur, daya serap air dan KPAP, menunjukkan bihun instan dengan penggunaan STPP dan guar gum memiliki karakteristik paling baik. Hal ini dapat diketahui dengan warna bihun yang masih memungkinkan diterima konsumen, waktu rehidrasi yang telah memenuhi kriteria instan, profil tekstur yang proporsional, tidak terlalu keras, tidak terlalu lengket, dan tidak terlalu kenyal, serta KPAP dan daya serap air yang kecil. Bahan pengatur tekstur yang digunakan pada pembuatan bihun instan di tahapan selanjutnya adalah STPP dan guar gum.
F. APLIKASI PATI SAGU TERMODIFIKASI HMT UNTUK BIHUN INSTAN Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk pembuatan bihun instan, dilakukan dalam beberapa komposisi formula adonan bihun. Sebanyak empat buah formula adonan dibuat dengan komposisi yang berbeda dalam penggunaan pati sagu alami dan termodifikasi HMT. Adonan dan untaian bihun yang dihasilkan sebelum proses pengukusan diamati secara visual.
1. Pengamatan terhadap Adonan dan Untaian Bihun Pembuatan adonan dilakukan dengan cara yang sama pada tahapan sebelumnya. Bahan pengatur tekstur yang digunakan adalah STPP dan guar gum. Adonan formula A, B dan C menggunakan binder dari tepung sagu alami disebabkan daya lengket (kohesivitas) tepung sagu alami lebih tinggi dibandingkan tepung HMT. Sifat tersebut sangat dibutuhkan untuk membuat adonan yang baik. Adonan yang dibuat dari formula A bersifat sangat lengket dan kenyal dibandingkan adonan dari formula B, C, dan D. Kondisi sebaliknya terjadi pada adonan yang dibuat dari formula D, dengan sifat adonan yang tidak terlalu lengket dan tidak kenyal. Adonan tersebut sangat mudah terburai dan
48
agak sulit menyatu saat digenggam. Hal ini sangat mempengaruhi proses pencetakan dan sifat untaian bihun yang dihasilkan. Proses pencetakan untaian bihun yang dihasilkan dari formula D sangat cepat, karena untaian bihun keluar dari ekstruder dengan mudah. Daya lengket (adhesivitas) formula D yang rendah mengurangi jumlah adonan yang menempel di dinding dan ulir mesin. Namun daya kohesivitas juga menurun, sehingga untaian bihun sangat mudah putus. Hal ini yang sangat menyulitkan ditahapan selanjutnya, sehingga sampai tahapan akhir proses produksi untaian bihun dari formula D banyak yang terputus dan berukuran pendek. Bentuknya yang sedemikian rupa tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai bihun. Kodisi demikian mengakibatkan bihun dari formula D tidak dapat diukur dan diamati parameter profil teksturnya. Formula D tidak dilanjutkan pada tahapan proses pembuatan dan pengamatan selanjutnya. Adonan yang dibuat dari formula B lebih lengket dan lebih kenyal dibandingkan adonan yang dibuat dari formula C. Hal ini disebabkan penggunaan tepung alami yang lebih banyak pada formula B. Jeda waktu keluar bagi untaian dari ekstruder pada adonan formula C berlangsung lebih cepat dibandingkan formula B. Untaian bihun yang dihasilkan dari formula B dan C memiliki bentuk yang baik dan tidak mudah putus. Dengan demikian, pembuatan bihun, analisis dan pengukuran pada parameter waktu rehidrasi, profil tekstur, daya serap air dan KPAP dapat dilanjutkan pada bihun instan dengan formula A, B, dan C.
2. Waktu Rehidrasi Proses rehidrasi untuk bihun instan sagu dilakukan dengan merebus sampel di dalam air mendidih hingga matang. Bihun yang matang terlihat memiliki area transparan yang dominan dan tekstur cukup lunak, tidak keras saat ditekan atau digigit. Pengamatan terhadap tingkat kematangan dilakukan secara subjektif. Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 10.
49
Tabel 10. Hasil pengamatan dan pengukuran waktu rehidrasi bihun instan HMT Formula
A (Pati sagu alami 100%)
B (Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikas i HMT 25%)
C (Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikas i HMT 50%)
2 menit Area transpara n masih sedikit dan tekstur bihun masih keras Area transpara n membesa r dan tekstur bihun agak melunak Area transpara n dominan dan tekstur bihun cukup lunak
Setelah direbus selama 2,5 menit 3 menit 3,5 menit Area transpara Area n Seluruh area transparan membesa transparan dominan dan r dan dan tekstur tekstur tekstur bihun sangat bihun cukup bihun lunak lunak agak melunak Area Seluruh area transpara transparan n Seluruh area dan tekstur dominan transparan bihun sangat dan dan tekstur lunak tekstur bihun sangat dengan bihun lunak ukuran yang cukup mengemban g lunak Seluruh area Seluruh transparan area dan tekstur transpara Tekstur bihun sangat bihun n dan lunak mudah tekstur dengan bihun hancur ukuran yang sangat mengemban lunak g
4 menit Seluruh area transparan dan tekstur bihun sangat lunak dengan ukuran yang mengemban g
Tekstur bihun mudah hancur
Tekstur bihun sangat mudah hancur dan larut bersama air
Berdasarkan uraian pada Tabel 10, dapat diketahui bahwa penggunaan pati termodifikasi HMT mempengaruhi penurunan waktu rehidrasi. Formula B yang mengandung 25% pati termodifikasi memiliki penurunan waktu rehidrasi selama 30 detik, menjadi 2,5 menit. Formula C yang mengandung 50% pati termodifikasi memiliki waktu rehidrasi yang paling singkat, yaitu 2 menit. Waktu rehidrasi yang dibutuhkan tidak jauh berbeda dengan produk bihun instan komersial yang membutuhkan waktu pemasakan 2-3 menit. Hasil ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian Purwani et al. (2006) yang menghasilkan mi instan sagu dengan waktu rehidrasi 7 hingga 9 menit. Pengecilan ukuran mi menjadi bihun sagu menyebabkan waktu rehidrasi
50
berlangsung lebih singkat, karena luas permukaan bihun lebih besar sehingga air lebih cepat masuk ke dalam pati melalui celah yang lebih banyak. 3.
Profil Tekstur Sebelum dianalisis profil teksturnya, bihun terlebih dahulu melalui
proses rehidrasi sesuai dengan kebutuhan waktu rehidrasi yang telah diketahui. Profil tekstur yang didapat dari pengukuran adalah kekerasan, kelengketan dan kekenyalan. Hasil pengukuran untuk nilai kekerasan bihun instan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 17, untuk nilai kelengketan pada Gambar 18, dan untuk kekenyalan pada Gambar 19.
6161,40a
3215,53 b
3240,56 b
Keterangan: A = Pati sagu alami 100% B = Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikasi HMT 25% C = Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikasi HMT 50% Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Gambar 17. Nilai kekerasan bihun instan pada formula yang berbeda Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan pati sagu termodifikasi HMT memberikan pengaruh nyata pada nilai kekerasan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekerasan sampel bihun formula A berbeda nyata terhadap formula B dan C. Nilai kekerasan sampel bihun formula B tidak berbeda nyata dengan formula C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pati sagu termodifikasi HMT dapat menurunkan nilai kekerasan pada tekstur bihun. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
51
Purwani et al. (2006) yang menunjukkan pati sagu termodifikasi meningkatkan kekerasan tekstur mi pati. Nilai kekerasan sampel bihun formula A paling tinggi dan nilai kekerasan sampel bihun formula B dan C lebih rendah dari formula A. Daya kohesivitas pati sagu termodifikasi HMT mengalami penurunan, sehingga berakibat pada berkurangnya kerapatan antar molekul pati di dalam untaian bihun. Hal ini mengakibatkan bihun dengan komposisi pati sagu termodifikasi HMT yang lebih banyak menghasilkan tekstur yang lebih lunak dibandingkan pati sagu alami.
-1094,41c -1581,00b
-2381,95a Keterangan: A = Pati sagu alami 100% B = Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikasi HMT 25% C = Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikasi HMT 50% Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Gambar 18. Nilai kelengketan bihun instan pada formula yang berbeda
Hasil analisis ragam menunjukkan penggunaan pati sagu termodifikasi HMT memberikan pengaruh nyata pada nilai kelengketan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kelengketan antar sampel berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukkan penggunaan pati sagu termodifikasi HMT mempengaruhi penurunan nilai kelengketan sampel bihun. Kondisi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Collado et al. (2001) bahwa penggunaan pati termodifikasi HMT dapat menurunkan kelengketan tekstur
52
bihun. Formula A memiliki nilai kelengketan paling tinggi. Pada formula B yang mengandung 25% pati sagu termodifikasi mengalami penurunan nilai kelengketan. Formula C yang memiliki kandungan pati sagu termodifikasi sebanyak 50% memiliki nilai kelengketan paling rendah. Daya adhesivitas pati sagu termodifikasi HMT mengalami penurunan, sehingga bihun dengan komposisi pati sagu termodifikasi HMT yang lebih banyak cenderung tidak lengket.
0,494b 0,3867a 0,3377a
Keterangan: A = Pati sagu alami 100% B = Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikasi HMT 25% C = Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikasi HMT 50% Huruf yang berbeda pada label data menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Gambar 19. Nilai kekenyalan bihun instan pada formula yang berbeda
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata pada nilai kekenyalan sampel. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai kekenyalan sampel bihun formula A berbeda nyata dengan formula B, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula C. Sampel bihun formula B memiliki nilai kekenyalan paling tinggi dan berbeda nyata dengan sampel yang lain. Dari hasil pengukuran tersebut belum dapat disimpulkan pengaruh komposisi pati termodifikasi HMT terhadap nilai kekenyalan sampel bihun.
53
4. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan dan Daya Serap Air Hasil pengukuran terhadap nilai KPAP dan daya serap air sampel bihun dari ketiga formula dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata pada nilai KPAP dan daya serap air sampel bihun. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai KPAP sampel bihun formula A berbeda nyata dengan sampel bihun formula C, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel formula B meskipun nilai KPAP formula B lebih besar daripada formula A. Hasil tersebut menunjukkan komposisi pati sagu termodifikasi HMT yang lebih besar dapat meningkatkan nilai KPAP sampel bihun. Daya kohesivitas pati sagu termodifikasi HMT yang lebih rendah mengakibatkan kerapatan dan ikatan antar molekul pati dalam bihun turut berkurang, sehingga padatan yang hilang lebih besar.
Tabel 11. Nilai KPAP dan daya serap air pada bihun instan HMT Formula Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (%)
A
B
C
5,00a + 0,39
5,87a + 0,67
11,18b + 1,08
Daya Serap Air (%)
153,85a + 6,38
195,86b + 15,88
229,41c + 22,33
Keterangan: A = Pati sagu alami 100%. B = Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikasi HMT 25% C = Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikasi HMT 50% Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Pola yang serupa terjadi pada nilai daya serap air. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan nilai daya serap air berbeda nyata antar sampel. Formula C yang mengandung pati termodifikasi 50% memiliki nilai daya serap air paling besar. Formula A yang tidak mengandung pati termodifikasi memiliki nilai daya serap air paling kecil. Hasil tersebut menunjukkan komposisi pati sagu termodifikasi HMT yang lebih besar dapat meningkatkan nilai daya serap air sampel bihun. Padatan yang banyak hilang menyebabkan air lebih mudah terserap ke dalam bihun.
54
G. UJI ORGANOLEPTIK Uji organoleptik yang diterapkan adalah uji kesukaan (rating hedonik). Uji rating hedonik dilakukan untuk mengetahui formula yang menghasilkan bihun instan terbaik meliputi beberapa parameter tekstur yaitu kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan, juga penampakan secara keseluruhan (overall). Pengujian dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Kisaran penilaian yang diberlakukan adalah mulai angka 1 sampai 5. Nilai 5 diberikan untuk sampel yang sangat disukai dan nilai 1 adalah untuk sampel yang sangat tidak disukai. Pengolahan data hasil penilaian oleh panelis menggunakan perangkat lunak berupa program SPSS 14.0. Data hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil uji organoleptik bihun instan sagu Parameter Formula A Formula B
Formula C
Kekerasan
2,63a
3,23b
3,60b
Kelengketan
2,37a
3,00b
3,37b
Kekenyalan
3,17
3,43
3,53
Overall
2,63a
2,97a
3,60b
Keterangan: A = Pati sagu alami 100%. B = Pati sagu alami 75% : pati sagu termodifikasi HMT 25% C = Pati sagu alami 50% : pati sagu termodifikasi HMT 50% Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (P<0.05)
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata pada penilaian panelis terhadap parameter kekerasan sampel bihun. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kekerasan sampel bihun formula A paling rendah dan nilainya berbeda nyata dari sampel bihun formula B dan C. Tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kekerasan sampel bihun formula B dan C lebih tinggi dari formula A, serta memiliki nilai yang tidak berbeda nyata di antara keduanya.
55
Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran parameter kekerasan dengan Texture Profile Analyzer, sampel bihun formula A memiliki nilai kekerasan paling tinggi. Hasil pengukuran profil tekstur secara kuantitatif pada sampel bihun formula B dan C memiliki nilai yang lebih rendah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel yang tidak terlalu keras. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata pada penilaian panelis terhadap parameter kelengketan sampel bihun. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kelengketan sampel bihun formula A paling rendah dan nilainya berbeda nyata dari sampel bihun formula B dan C. Tingkat kesukaan panelis terhadap parameter kelengketan sampel bihun formula B dan C lebih tinggi dari formula A, serta memiliki nilai yang tidak berbeda nyata di antara keduanya. Pengukuran profil tekstur kelengketan sampel bihun secara kuantitatif menunjukkan sampel bihun formula A memiliki nilai kelengketan paling tinggi. Sampel bihun formula B memiliki nilai kelengketan paling rendah. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel bihun dengan kelengketan yang rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata pada penilaian panelis terhadap parameter kekenyalan sampel bihun. Angka rata-rata menunjukkan sampel bihun formula A memiliki nilai paling rendah, sampel bihun formula B lebih tinggi, dan sampel bihun formula C paling tinggi. Hasil pengukuran profil tekstur kekenyalan secara kuantitatif tidak dapat dibandingkan dengan hasil uji organoleptik. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata pada penilaian panelis terhadap penampakan sampel bihun secara keseluruhan (overall). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap sampel bihun formula C paling tinggi dan berbeda nyata terhadap sampel bihun formula A dan B. Tingkat kesukaan panelis terhadap sampel bihun formula A dan B lebih rendah dan tidak berbeda nyata di antara keduanya.
56
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Profil pasta pati sagu Yepha Hungleu alami menunjukkan viskositas puncak yang tinggi 590 BU, viskositas breakdown yang tinggi 350 BU, dan viskositas pasta dingin yang rendah 345 BU, dengan kestabilan viskositas yang rendah sehingga termasuk pasta pati tipe A yang kurang sesuai sebagai bahan baku bihun instan. Modifikasi pati sagu dengan teknik HMT dapat mengubah profil pasta pati menjadi lebih stabil dan sesuai untuk pembuatan bihun. Profil pasta pati termodifikasi HMT memiliki kestabilan yang lebih baik ditandai dengan viskositas puncak dan breakdown yang lebih rendah serta viskositas pasta dingin yang meningkat sehingga termasuk dalam pasta pati tipe B. Pati sagu termodifikasi HMT selama 4 jam memiliki profil yang terbaik dengan viskositas paling stabil sehingga dipilih untuk digunakan dalam pembuatan bihun instan. Komposisi terbaik yang digunakan dalam pembuatan binder adonan bihun instan adalah perbandingan satu bagian pati dengan dua bagian air sehingga dapat menghasilkan untaian bihun yang tidak mudah putus, tidak lengket, dan tidak mudah hancur saat ditekan. Pada proses pembuatan bihun instan sagu, cara pengukusan yang terbaik adalah selama 2 menit dilakukan secara bertahap, satu menit pertama dikukus kemudian dibalikkan dan dilanjutkan pada satu menit yang kedua. Dengan demikian kelengketan antar untaian bihun dapat dikurangi. Penggunaan bahan pengatur tekstur ditujukan untuk memperbaiki tekstur bihun yang dihasilkan. Penggunaan STPP dan guar gum menghasilkan bihun instan terbaik sehingga dapat digunakan untuk pembuatan bihun dari pati sagu termodifikasi HMT. Bihun dengan STPP dan guar gum memiliki intensitas warna dengan nilai L 35,42, nilai a 4,75 dan nilai b -18,51, profil tekstur terbaik dengan nilai kekerasan 6161,4 gf, kelengketan -2381,95 gf dan kekenyalan 0,3867 gs, waktu rehidrasi paling singkat selama 3 menit, nilai KPAP dan daya serap air yang lebih kecil.
57
Bihun instan dengan komposisi 50% pati sagu alami dan 50% pati termodifikasi HMT memiliki hasil yang terbaik dengan waktu rehidrasi paling singkat yaitu 2 menit, profil nilai kekerasan 3240,56 gf, nilai kelengketan 1094,41 gf, nilai kekenyalan 0,3377 gs, nilai KPAP yang cukup besar tetapi masih mendekati salah satu standar yang berlaku. Hasil uji organoleptik sampel bihun pada parameter kekerasan, kelengketan dan penampakan secara keseluruhan (overall) menunjukkan tingkat kesukaan panelis paling tinggi terhadap bihun dengan komposisi 50% pati sagu alami dan 50% pati termodifikasi.
B. SARAN Adanya kesulitan dalam mendapatkan bihun yang seragam dalam proses pencetakan bihun dari tepung sagu alami dalam jumlah besar menggunakan multifunctional noodle machine, disebabkan peningkatan suhu selama proses pencetakan berlangsung. Oleh karena itu perlu diatur cara ataupun alat yang lebih efisien dalam proses pencetakan. Dibutuhkan desain alat atau bentuk khusus untuk mengukus untaian bihun dari sagu supaya untaian bihun tidak saling melengket. Suhu tray dryer sebaiknya lebih rendah supaya pemerataan kadar air bihun di bagian dalam dan permukaan lebih mudah didapatkan. Butuh penyempurnaan formula dan/atau proses pembuatan bihun kombinasi pati sagu alami dan termodifikasi untuk mengurangi nilai KPAP.
58
DAFTAR PUSTAKA Adebowale, K.O., B.I. Olu-Owolabi, O. O. Olayinka dan O.S. Lawal. 2005. Effect of Heat Moisture Treatment and Annelaing on Physicochemical of Red Sorgum Starch. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp. 928-933. Anthonysamy, S.M., N.B. Saari, K. Muhammad, F.A. Bakar, dan R. Muse. 2004. Browning of sago (Metroxylon sagu) pith slurry as influenced by holding time, pH, and temperature. Di dalam: A.A. Karim, A. Pei-Lang Tie, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree — Properties, Prospects, and Challanges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety vol.7, 2008: 215-228. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Inc. Arlington. Astawan, M. 2000. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Baianu, I.C. 1992. Physical Chemistry od Food Procesess, Volume 1. Van Nostrand Reinhold. New York. Clark, R. 1992. Sensory-Texture Profile Analysis Correlation in Model Gels. Di dalam: Rengaswami dan Chandrasekaran. Editors. Frontiers in Carbohydrate Research-2. Elsevier Applied Science, New York. CODEX Standard for Instant Noodles. 2006. CODEX STAN 249-2006. Collado, L.S. dan H. Corke. 1999. Heat-moisture treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chemistry 65: 339 – 346. Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates dan H. Corke. 2001. Bihon-type of Noodles from Heat Moisture Treated Sweet Potato Starch. J. Food Sci. 66(4): 604-609 Corbishley, D.A. dan W. Miller. 1984. Tapioca, Arrowroot, and Sago Starches. Di dalam: Whistler, R.L., J. N. Bemiller dan E. F. Paschall. Editors. Starch: Chemistry and Technology. Academic Press, Inc. Florida. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya aksara, Jakarta. Djoefrie, H. M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Orasi Ilmiah. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999.
59
Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., New York. Flach, M. 1983. The Sago Palm. Food and Agriculture Organization of United Nation. Rome. Flach, M. 1997. Sago Palm: Metroxylon Sagu Rottb. Institute of Plant Genetics and Crops Plant Research (Gatersleben) and International Plant Genetic Resource Institute (Rome, Italy). Fong, Stella. 2003. The Noodle in Asia. Di dalam: http://www.answers.com/topic/the-noodle-in-asia.htm French, Dexter. 1984. Organization of Starch Granules. Di dalam: Whistler, R.L., J. N. Bemiller dan E. F. Paschall. Editors. Starch: Chemistry and Technology. Academic Press, Inc. Florida. Greenwood, C.T. dan D.N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Ahza. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harper, J. M. 1990. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida. Hormdok, R. dan A. Noomhorm. 2007. Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of noodle qualitiy. Swiss Society of Food Science and Technology. Elsevier Ltd. Hutching, J.B. 1999. Food and Appearance, second edition. Aspen publ. Inc. Gaitersburg. Maryland Igoe, Robert S. 1983. Dictionary of Food Ingredients. Di dalam: http://food.oregonstate.edu/glossary/s/sodiumtripolyphosphate.html Kim, Y.S., D.P. Wiesenborn, J.H. Lorenzen, dan P. Berglund. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. Cereal Chem. 73(3):302-308 Kim, S.K. 1999. Instant Noodles. Di dalam : Kruger, J.E., R.B. Matsuo, dan J.W. Dick. Editors. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota. USA. Koswara, S. 2006. Bihun. Di dalam: http://www.ebookpangan.com/ ARTIKEL /BAHAN% 20BAKU%20DAN%20PEMBUATAN%20BIHUN.pdf Lii, C.-Y. dan Chang, S.-M. 1981. Characterization of red bean starch and its noodle quality. Di dalam: Kim, Y.S., D.P. Wiesenborn, J.H. Lorenzen, dan
60
P. Berglund. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. Cereal Chem. 73(3):302-308 Limbongan, J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua. Jurnal Litbang Pertanian, 26 (1): 16 – 24. Lorenz, K. dan Kulp. K. 1981. Heat-moisture treatment of starches II: Functional properties and baking potential. Di dalam: Manuel, H. J. 1996. The Effect Of Heat-Moisture Treatment On The Structure and Physicochemical Properties of Legume Starches. Thesis. Department of Biochemistry, Memonal University of Newfoundland Canada. Maturbongs, L., P. Istalaksana, A. Rochani, D.N. Kesaulija dan I. Musaad. 2001. Pengembangan Komoditas Sagu di Kabupaten Biak Numfor dalam rangka Menunjang KAPET Biak. PPUS UNIPA. Matz, S.A. 1962. Food Texture. The AVI Publishing Co. Westport. Connecticut. McClatchey, W., H. I. Manner dan C. R. Elevitch. 2004. Metroxylon amicarum, M. Paulcoxii, M. Sagu, M. Salomonense, M. Vitiense, and M. Warburgii (sago palm). Version 1.0, November 2004. McCready, R.M. 1970. Starch and Dextrin. Di dalam: T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Ahza. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mestres, C., P. Colonna, dan A. Buleon. 1988. Characteristics of starch networks within rice flour noodles and mung bean starch vermicelli. Di dalam: Manuel, H. J. 1996. The Effect Of Heat-Moisture Treatment On The Structure and Physicochemical Properties of Legume Starches. Thesis. Department of Biochemistry, Memonal University of Newfoundland Canada. Miskelly, D. M. 1999. The Use of Alkali for Noodle Processing. Di dalam: Kruger, J.E., R.B. Matsuo, dan J.W. Dick. Editors. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota. USA. Miyazaki, A. 2004. Di dalam: Limbongan, J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua. Jurnal Litbang Pertanian, 26 (1): 16 – 24. Munarso, S.J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembuatan Mie Beras Instan. Disertasi. Program Studi Ilmu Pangan. Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
61
Okamoto, A., T. Ozawa, Y. Arai. 1991. Studies on the deterioration mechanism of sago starch. Di dalam: A.A. Karim, A. Pei-Lang Tie, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree — Properties, Prospects, and Challanges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety vol.7, 2008: 215-228. Ozawa, T., A. Okamoto, H. Imagawa, Y. Arai. 1991. Oxidases for phenolic compounds contained in sago palm pith. Di dalam: A.A. Karim, A. PeiLang Tie, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree — Properties, Prospects, and Challanges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety vol.7, 2008: 215-228. Parker, Rick. 2003. Introduction to Food Science. Delmar, Thomson Learning Inc. New York. Petersen et al. 1999. Potential of Biobased Materials for Food Packaging. Review: Trends in Food Science & Technology 10:52-68 Pukkahuta, C. dan S. Varavinit. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch/Stärke 59 (2007) 624–631 Purwani, E.Y., Widianingrum, R. Thahrir dan Muslich. 2006. Effect of Moisture Treatment of Sago Starch on Its Noodle Quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7(1): 8-14. Schoch, T.J. dan Maywald, E.C. 1968. Di dalam Collado, L.S. dan Corke, H. 1999. Heat-moisture treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chemistry 65: 339 – 346. Stute, R. 1992. Hydrothermal modifcation of starches: the difference between annealing and heat moisture treatment. Di dalam Collado, L.S. dan Corke, H. 1999. Heat-moisture treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chemistry 65: 339 – 346. Sumaryono. 2007. Tanaman Sagu sebagai Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian vol. 29 no. 4. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Susilawati, I. 2007. Mutu Fisik dan Oganoleptik Mi Basah Jagung dengan Teknik Ekstrusi. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swinkels, J. J. M. 1985. Sources of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beydum, G. M. A. V. dan J. A. Roles. Editors. Starch Conversion and Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
62
Wattanachant, S., S.K.S. Muhammad, D.M. Hasyim, R.A. Rahman. 2002. Suitability of Sago Starch as a Base for Dual-Modification. Songklanakarin J. Sci. Technol., 2002, 24(3) : 431-438 Whistler, R. dan Daniel J. R. 1990. Functions of Polysaccharides in Foods. Di dalam: Branen, A.L., Davidson P.M. dan Salminen S. Editors. Food Additives. Marcel Dekker, Inc. New York. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winter, R. 1978. A Consumer’s Dictionary of Food Additives. Di dalam: http://food.oregonstate.edu/glossary/t/texturizer.html Wirakartakusumah, M.A., Apriyantono A., Ma’arif M., Suliantari S., Muchtadi D., Otaka. 1986. Isolation and Characterization of Sago Liquid Sugar. Paper FAO-BPPT. Jakarta. Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. Boca Raton Florida: CRC Press Inc. Young, A.H. 1984. Fractionation of Starch. Di dalam: Whistler R.L., J.N. Bemiller, E.F. Paschall. Editors. Starch: Chemistry and Technology. New York: Academic Press, Inc.
63
Lampiran 1. Penampakan bihun instan dengan perbedaan bahan pengatur tekstur Penggunaan bahan pengatur tekstur
Gambar Bihun Instan Sagu
Bihun tanpa penggunaan bahan pengatur tekstur
Bihun dengan penambahan STPP
Bihun dengan penambahan STPP dan guar gum
Bihun dengan penambahan air kansui dan guar gum
64
Lampiran 2. Data analisis warna bihun instan menggunakan chromameter Penggunaan BTP Tanpa BTP
STPP STPP + guar gum
Air kansui + guar gum
Ulangan 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata
L 44,56 44,52 44,54 45,45 44,94 45,20 34,93 35,90 35,42 20,69 22,65 21,67
a 2,39 2,72 2,55 5,49 6,16 5,83 4,72 4,78 4,75 5,64 4,30 4,97
B -21,92 -22,01 -21,96 -23,37 -23,35 -23,36 -18,12 -18,60 -18,51 -11,68 -12,16 -12,18
65
Lampiran 3. Data pengukuran profil tekstur bihun instan Jenis Bihun
Tanpa BTP
STPP
STPP+Guar Gum
Air Kansui + Guar Gum
HMT 50%
HMT 25%
Ulangan U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Rata-rata SD
Kekerasan 3447,79 3232,60 3424,83 3348,68 3363,47 96,99 8804,67 8803,58 8637,42 8507,32 8688,25 143,96 6213,81 6017,73 6172,14 6241,93 6161,40 99,98 6614,37 6424,33 6588,27 6618,37 6561,34 92,31 3370,10 3234,06 3263,08 3095,00 3240,56 113,31 3312,47 3087,92 3073,18 3388,54 3215,53 159,04
Area 2 1153,26 946,43 1053,42 1048,60
2804,47 2597,37 2930,79 2536,26
2532,11 2444,08 2239,26 2312,37
2787,25 2832,48 2766,93 2898,13
1133,55 1183,50 1039,59 1021,00
1550,75 1561,92 1792,74 1418,61
Kelengketan -1153,26 -946,43 -1053,42 -1048,60 -1050,43 84,46 -2804,47 -2597,37 -2930,79 -2536,26 -2717,22 182,88 -2532,11 -2444,08 -2239,26 -2312,37 -2381,95 131,16 -2787,25 -2832,48 -2766,93 -2898,13 -2821,20 58,15 -1133,55 -1183,50 -1039,59 -1021,00 -1094,41 77,16 -1550,75 -1561,92 -1792,74 -1418,61 -1581,00 155,44
Kekenyalan 0,3345 0,2928 0,3076 0,3131 0,3120 0,0173 0,3185 0,2950 0,3393 0,2981 0,3127 0,0205 0,4075 0,4061 0,3628 0,3705 0,3867 0,0234 0,4214 0,4409 0,4200 0,4379 0,4300 0,0109 0,3364 0,3659 0,3186 0,3299 0,3377 0,0202 0,4682 0,5058 0,5833 0,4186 0,4940 0,0694
66
Lampiran 4. Data pengukuran KPAP dan daya serap air bihun instan Jenis Bihun
Tanpa BTP
STPP
STPP+Guar Gum
Air Kansui + Guar Gum
HMT50
HMT25
Ulangan U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 Ratarata SD
13,70 14,22 14,46 14,67
Daya serap air (%) 177,46 173,60 176,33 175,59
14,26 0,39 8,48 8,43 5,81 5,86
175,74 1,99 163,89 164,03 168,46 169,74
7,15 1,52 4,54 4,86 5,43 5,18
166,53 3,01 157,75 153,10 145,16 159,40
5,00 0,39 10,25 9,90 12,65 12,83
153,85 6,38 149,35 151,23 137,66 139,88
11,41 1,55 12,34 11,81 10,51 10,04
144,53 6,76 204,27 218,65 240,13 254,59
11,18 1,08 5,42 5,36 5,88 6,81
229,41 22,33 206,25 212,46 184,51 180,21
5,87 0,67
195,86 15,88
KPAP (%)
67
Lampiran 5. Data hasil uji organoleptik bihun instan No. Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kelengketan 558 519 395 2 2 3 1 2 3 1 2 2 3 4 3 4 2 4 2 4 3 3 3 2 4 4 3 2 5 3 1 2 4 2 4 5 2 3 2 3 2 4 2 2 4 2 3 4 2 2 3 2 4 5 2 3 4 3 4 5 1 2 2 1 2 2 4 5 4 3 3 2 3 3 4 4 5 3 2 4 3 2 2 3 3 2 4 2 3 4 3 2 4 71 90 101 2,37 3,00 3,37
Kekenyalan 558 519 395 2 5 3 4 4 3 4 4 4 4 5 4 4 5 5 2 2 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 2 2 3 4 3 4 3 4 4 4 2 3 4 2 3 4 4 3 2 4 4 2 3 4 2 3 4 3 4 4 2 2 2 4 2 4 4 5 4 4 3 3 3 2 3 4 5 5 2 3 4 4 3 3 2 3 4 3 5 2 2 2 4 95 103 106 3,17 3,43 3,53
Kekerasan 558 519 395 2 3 3 2 4 3 2 2 3 3 4 3 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 2 2 4 4 5 5 2 4 4 2 2 4 3 2 5 3 4 4 1 4 4 2 3 3 3 3 4 3 3 4 1 1 4 4 3 4 3 5 3 3 3 4 3 2 3 2 4 3 2 2 2 3 4 4 2 2 2 2 4 3 2 2 3 79 97 108 2,63 3,23 3,60
558 2 2 3 3 4 2 4 4 3 2 4 2 3 4 2 2 1 2 3 2 2 3 3 3 2 2 3 2 3 2 79 2,63
Overall 519 395 2 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 5 4 2 4 3 4 4 4 1 3 2 3 4 4 2 3 4 5 3 4 4 4 2 4 2 3 2 4 3 3 3 3 2 4 4 4 2 4 2 4 3 4 3 4 89 108 2,97 3,60
Keterangan: 558 = Bihun Formula A 519 = Bihun Formula B 395 = Bihun Formula C
68
Lampiran 6. Hasil pengolahan data parameter kekerasan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kekerasan Source Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
950.289(a)
32
29.697
54.315
.000
panelis
39.822
29
1.373
2.512
.001
sampel
14.289
2
7.144
13.067
.000
Error
31.711
58
.547
Total
982.000 90 a R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .950)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets kekerasan Duncan Subset sampel A
N
1 30
2 2.63
B
30
3.23
C
30
3.60
Sig.
1.000 .060 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .547. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
69
Lampiran 7. Hasil pengolahan data parameter kelengketan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kelengketan Source Model
Type III Sum of Squares 820.689(a)
panelis sampel
df 32
Mean Square 25.647
F 37.839
Sig. .000
42.622
29
15.356
2
1.470
2.168
.006
7.678
11.328
Error
.000
39.311
58
.678
Total
860.000
90
a R Squared = .954 (Adjusted R Squared = .929)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets kelengketan Duncan Subset sampel A
N
1 30
2 2.37
B
30
3.00
C
30
3.37
Sig.
1.000
.090
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .678. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
70
Lampiran 8. Hasil pengolahan data parameter kekenyalan pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kekenyalan Source Model
Type III Sum of Squares 1068.822(a)
panelis sampel
df 32
Mean Square 33.401
F 52.107
Sig. .000
39.822
29
1.373
2.142
.007
2.156
2
1.078
1.681
.195
Error
37.178
58
.641
Total
1106.000
90
a R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .948)
Lampiran 9. Hasil pengolahan data overall pada uji organoleptik menggunakan SPSS 14.0 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: overall Source Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
879.133(a)
32
27.473
43.221
.000
Panelis
18.267
29
.630
.991
.497
Sampel
14.467
2
7.233
11.380
.000
Error
36.867
58
.636
Total
916.000 90 a R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .938)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets overall Duncan Subset Sampel A
N
1
2
30
2.63
B
30
2.97
C
30
3.60
Sig.
.111 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .636. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
71
Lampiran 10. Penampakan alat multifunctional noodle machine
72