Jurnal TARBAWIYAH
SISTEM MANAJEMEN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL PEMIMPIN PESANTREN Oleh Rulam Ahmadi *)
Abstrak Pesantren merupakan salah lembaga pendidikan nonformal. Kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai pelengkap dan penunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, terutama dalam segi pembinaan mental-spiritual keagamaan (Islam) bangsa. Dengan adanya gejala semakin parahnya kondisi spiritual-keagamaan (Islam) bangsa belakangan ini dan tantangan masa depan bangsa pesantren semakin menjadi alternatif bagi masyarakat. Namun pada sisi lain, keberadaan pesantren menunjukkan eksistensi yang kurang memuaskan sebagaimana yang diharapkan oleh publik. Yang menjadi tantangan dan tuntutan bagi pesantren agar mampu beradaptasi baik dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan masa depan adalah bagaimana pesantren mau dan mampu mengubah dan memperbaiki sistem manajemennya Selain itu keterampilan manajerial pimpinan pesantren merupakan bagian integral dengan sistem manajemen pesantren yang segera harus berubah dengan menerapkan prinsip-prinsip sistem manajemen modern. Ini semua tergantung antara lain pada wawasan dan sikap pimpinan pesantren itu sendiri. Dalam sistem manajemen modern ada beberapa prinsip utama yang hendaknya diterapkan dan dikembangkan dalam pesantren, yakni perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Sedangkan keterampilan manajerial mencakup keterampilan konsep, keterampilan hubungan insani, dan keterampilan teknis. Dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen dan meningkatkan keterampilan manajerial pimpinan pesantren tersebut diharapkan bahwa pesantren akan mengalami perubahan dan perkembangan secara signifikan. Kata Kunci Sistem Manajemen
Keterampilan Manajerial
Pimpinan
Pesantren
A. Latar Belakang Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan non-formal yang titik tekan programnya adalah pada penguasaan ajaran Islam dengan sumber utama kitab kuning. Pesantren juga dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pusat dakwah Islam tertua di Indonesia. Secara historis kapan munculnya pesantren memang sulit diketahui secara pasti. Martin Van Bruinessen menyatakan banyak yang disebut tentang pesantren pada masa awal, sebetulnya hanya merupakan ekstrapolasi dari pengamat akhir abad ke-19 (Bruinessen, 1995:23). Pegeaud dan Graf mendescripsikan bahwa pesantren merupakan pusat Islam kedua di samping masjid pada awal abad ke-16. Pesantren merupakan sebuah komunitas independen yang bertempat di pegunungan dan berasal dari lembaga pra Islam, sejenis mandala dan asrama (Pigeaud dan Graf, 1974:246). Sekarang ini pesantren telah bertebaran di mana-mana mulai di pedesaan hingga perkotaan. Bahkan sebagian perguruan tinggi (universitas) juga mengelola pesantren, seperti Universitas Islam Malang
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
7
Jurnal TARBAWIYAH
(UNISMA) memiliki Pesantren Ainul Yaqien. Tetapi ada juga pesantren yang bernama pesantren mahasiswa, namun tidak berada di bawah naungan perguruan tinggi, seperti Pesantren Al-Hikam di Malang. Belakangan ini pesantren kian menjadi minat publik, yang mungkin karena ketidakpuasan mereka terhadap kemampuan lembaga-lembaga pendidikan formal dalam membina akhlaq peserta didiknya. Itu wajar terjadi karena memang lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) fokus utamanya bukan pada pembinaan mental-spiritual (ke-Islam-an), melainkan pada pelajaran umum. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pesantren pun ikut berkembang dan berusaha merespon perkembangan jaman. Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pendidikannya. Banyak pesantren yang membuka pendidikan dengan sistem klasikal dan memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya. Karakteristik ilmu pengetahuan umum yang empirik dan rasional, jelas berbeda dengan asumsi dasar tradisi keilmuan pesantren yang mengutamakan pendekatan intuitif dan wahyu. Tradisi keilmuan yang bersifat empirik dan rasional memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang masih dalam proses dan dinamis, sehingga dalam proses belajar-mengajar peranan mengatamati dan menalar menjadi sangat dominan seperti pentingnya peranan pendengar dan menghafal dalam proses belajar-mengajar dalam tradisi keilmuan pesantren yang terus berlangsung hingga sekarang. B. Posisi Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional Dalam konteks pendidikan nasional, pesantren merupakan sub-sistem pendidikan non-formal, yakni pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan. Artinya bahwa pesantren itu merupakan lembaga pendidikan yang aturan mainnya berbeda dari aturan main pendidikan persekolahan, walaupun mungkin pada sebagian karakteristiknya ada kesamaan. Menurut Dhofier (1982) bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya memiliki 3 ciri umum, yaitu: 1. Kyai sebagai figur atau sebagai pemimpin sentral. 2. Asrama (pondok) sebagai tempat pusatnya. 3. Adanya pendidikan dan pengajar agama Islam, melalui sistem pengajaran wetan, sorongan dan bandongan, yang sebagian sekarang telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah. Sedang ciri khasnya adalah pemimpin kharismatik dan suasana kehidupan agama yang mendalam. Kepemimpinan kharistmatik inilah yang menjadi sumber kekuatan utama pesantren, sehingga setelah pemimpinnya kharismatiknya meninggal dunia, maka secara berangsur-angsur pesantren itu mengalami penurunan, kecuali penggantinya memiliki sifat kharismatik yang sama. Pesantren memiliki andil yang sangat besar dalam menunjang keberhasilan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 tahun 1989 bahwa sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan pendidikan nasional Indonesia ini secara jelas berkeinginan membentuk manusia yang seimbang antara intlektual dan moral yang mendukung terbentuknya manusia Indonesia
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
8
Jurnal TARBAWIYAH
seutuhnya. Pesantren bisa menjadi penyeimbang dalam merealisir terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan. C. Klasifikasi Pesantren Pesantren itu ada beberapa macam. Semakin lama terdapat perubahan dan perkembangan dalam dunia pesantren mulai dari nama pesantren hingga program-programnya, termasuk sistem manajerialnya. Secara garis besar pesantren dewasa ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu: 1. Pesantren Tradisional, yaitu pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning. Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah umum mulai tingkat dasar, menengah, dan ada pula pesantren yang mengelola perguruan tinggi. Para santrinya (murid dan mahasiswa) diperbolehkan tinggal di pondok atau di luar, tetapi mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab sesuai dengan tingkatan masing-masing. 2. Pesantren Modern, yaitu pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi ke dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Begitu juga dengan sistem yang diterapkan, seperti sorogan dan bandongan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah umum atau studium general (Khasbullah, 1995: 157). Ada perbedaan yang sangat jelas antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada segi manajemennya. Pada pesantren tradisional hampir tidak mengenal manajemen, khususnya manajemen modern. Program kegiatannya boleh dikatakan berjalan secara alamiah dan tergantung pada keputusan Kyai. Sedangkan pesantren modern sudah menerapkan prinsip-prinsip manajemen, walaupun mungkin masih ada yang belum sempurna. Munculnya pesantrenpesantren modern belakangan ini merupakan respon dari kesadaran dan kebutuhan masyarakat Islam tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan Islam di pesantren yang mampu mengimbangi laju pertumbuhan dan perkembangan ilmu dan teknologi. Tujuannya adalah agar para lulusan pesantren nantinya memiliki seperangkat pengalaman dan kemampuan sesuai dengan tuntutan jamannya di masa mendatang. Pesantren yang demikian akan lahir dan terus berkembang apabila dalam proses penyelenggaraannya senantiasa memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen. Hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern pesantren akan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan dan perkembangan serta tuntutan masyarakat Islam. Oleh karena itu para pimpinan pesantren berkewajiban melakukan itu, sehingga pesantren yang dikelolanya akan mengalami kemajuan sepanjang zaman. D. Keterampilan Manajerial Para pemimpin di berbagai lembaga pendidikan, termasuk pesantren, dituntut untuk memiliki kemampuan mengelola atau kemampuan manajerial, yakni kemampuan menerapkan fungsi-fungsi manajemen. Dengan kata lain kemampuan untuk mengatur dan memimpin seluruh bagian serta semua orang
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
9
Jurnal TARBAWIYAH
yang terlibat di dalam proses pencapaian tujuan bersama dari tujuan lembaga pendidikan, khususnya pesantren. Secara umum fungsi-fungsi manajemen adalah: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Koontz & O’Donnel mengatakan bahwa fungsi manajemen itu meliputi Perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pengarahan dan kontrol. Fayol (1977) menyebutkan bahwa fungsi-fungsi manajemen meliputi: planning, organizing, commanding, coordinating dan controlling. Sedangkan Terry (1988) menyatakan fungsi-fungsi manajemen meliputi planning, organizing, actuating dan controlling. Penekanan fungsi-fungsi tersebut dari segi proses. Tentu banyak ahli yang mengetengahkan fungsi-fungsi manajemen yang relatif beragam, namun intinya hampir sama satu sama lain. Setiap pemimpin pesantren perlu mempelajari dan memahami fungsifungsi manajemen dan sekaligus menerapkannya dalam proses pengelolaan pesantren. Tingkat kemampuan pemimpin pesantren dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen berpengaruh pada proses penyelenggaraan pendidikan dan lulusan pesantren. Semakin mampu pemimpin pesantren menerapkan kemampuan manajerialnya diharapkan semakin bermutu lulusan pesantren bersangkutan. Pemimpin pesantren hendaknya juga memiliki kemampuan yang berkaitan dengan manajemen, yaitu apa yang disebut dengan istilah keterampilan manajerial. Menurut Winardi (1990) bahwa keterampilan manajerial yang efektif itu meliputi: (1) keterampilan teknik, (2) keterampilan manusiawi, dan (3) keterampilan konsep. Konsep ini pada dasarnya dikembangkan oleh Robert L Katz (1974). Keterampilan teknik merupakan kemampuan untuk menggunakan alatalat, prosedur atau teknik bidang khusus yang menjadi tanggungjawabnya. Keterampilan manusiawi merupakan kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang-orang dalam lingkungan kerjanya. Keterampilan konseptual adalah kemampuan untuk memahami dan merangkum semua aktifitas dan kepentingan organisasi yang bersangkutan. Ketiga keterampilan manajerial tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam uraian berikut. 1. Keterampilan Konsep Semua manajer harus mempunyai kemampuan untuk melihat suatu situasi secara luas serta mampu memecahkan permasalahan yang ada, memberikan manfaat bagi mereka yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan laju perjalanan organisasi. Untuk memiliki kemampuan manajer terutama keterampilan konsep, para manajer tertinggi diharapkan: (1) selalu belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para bawahan, (2) melakukan observasi secara terencana tentang kegiatan-kegiatan manajemen, (3) Banyak membaca tentang hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan, (4) memanfaatkan hasil-hasil penelitian orang lain, (5) berpikir untuk masa yang akan datang, dan (6) merumuskan ide-ide yang dapat diuji cobakan (Komaruddin, 1974, 47-48). Untuk menerapkan dalam manajemen pesantren, Pimpinan pesantren akan dihadapkan dengan kemampuan dan pengalaman baru, yang tentunya, tidak mudah dilakukan, walau mudah didilogkan. Apapun jenis perencanaan itu selalu mengikuti langkah-langkah tertentu. Langkah-langkah itu tidak persis sama antara yang dilakukan oleh seorang ahli
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
10
Jurnal TARBAWIYAH
dengan ahli-ahli lainnya, misalnya pada Robbins, Johnson dan Kaufman. Namun pada prinsipnya langkah-langkah itu hampir sama yaitu: a. Menentukan kebutuhan, kemudian memprioritaskan satu atau beberapa dari padanya menjadi tujuan perencanaan. b. Melakukan ramalan (Forecasting) dan menentukan program serta alternatif-alternatif pemecahannya. c. Menspesifikasi program. d. Menentukan standar performan baik tentang hasil yang diinginkan maupun cara kerja tugas. e. Memilih alternatif pemecahan yang disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia yang mencakup metode, orang, alat dan waktu. Diantara langkah-langkah diatas yang paling rumit ialah melakukan ramalan (forecasting). Ramalan ialah melihat ke masa yang akan datang melalui penglihatan sekarang. Membuat asumsi tentang apa yang bakal terjadi di masyarakat yang dapat mempengaruhi lembaga dan mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan lembaga. Atas dasar ini kemudian membuat aktivitas atau program tertentu yang dapat membuat lembaga tetap bertahan dan lebih maju (Robbins, 1982:146). Umumnya pesantren tidak melakukan hal-hal di atas dengan berbagai alas an, misalnya, adanya kesibukan dan keterbatasan yang ada pada diri pemimpin pesantren. Biasanya semuanya sudah dipersiapkan oleh pesantren, khususnya tentang program (pelajaran) yang dilaksanakan. Hampir belum pernah ada pimpinan pesantren yang melakukan penelitian atau identifikasi terlebih dahulu tentang program apa yang diminati oleh para santri, melainkan semua santri tinggal menjalankan apa yang telah ditentukan oleh pimpinan pesantren. 2. Keterampilan Hubungan Insani Hampir ketiga tingkat manajer harus menguasai keterampilan manusiawi, walaupun diharapkan yang paling terampil ialah para manajer madya, sebab ketiganya menghadapi manusia. Keterampilan manusiawi pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk mengadakan kontrak hubungan kerjasama secara optimal kepada orang-orang yang diajak bekerja dengan memperhatikan kodrat dan harkatnya sebagai manusia. Tujuan mengadakan antara hubungan kerjasama dengan para bawahan dalam suatu organisasi ialah agar para bawahan itu dapat memanfaatkan potensinya secara optimal dalam bekerja demi kepentingan organisasi dan para anggotanya. Sebab sebagaimana disebutkan oleh Teori Z (Reddin, 1970:190) bahwa manusia itu mempunyai kemampuan sendiri-sendiri, mereka bisa berbuat baik atau jahat, perilakunya dipengaruhi oleh situasi motivasinya dapat berubah atas dasar bergantung dengan yang lain, dan bersikap tidak selalu optimis atau pesimis tetapi obyektif sesuai dengan keadaan. Oleh sebab itu, sebenarnya manusia itu bisa diatur atau bisa diajak berunding untuk mengatur diri bersama. Kuncinya adalah bagaimana para manajer menangani mereka sebagai bawahan agar dedikasi dan perjuangan mereka semakin meningkat dalam pendidikan. Likert mengatakan bahwa menangani komponen personalia suatu organisasi adalah tugas manajer yang paling penting, sebab segala sesuatu bergantung kepada sampai seberapa bagus tugas ini dapat diselesaikan (Huse, 1977:232). Jadi sesungguhnya tidak pada tempatnya kalau suatu lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren hanya mengutamakan penanganan teknik/kurikulum dengan menomorduakan
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
11
Jurnal TARBAWIYAH
aspek yang lain. Semua aspek harus ditangani secara berimbang. Likert malah memandang justru penanganan terhadap personalia yang paling banyak sebab berhasil atau tidak suatu pekerjaan bergantung kepada cara kerja mereka. Tugas manajer adalah bagaimana mengisi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, atau dorongan-dorongan ini agar personalia merasa puas dengan tidak merugikan organisasi pendidikan. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan atau kompetensi mereka sudah diasumsikan memadai sebab mereka telah lulus ujian penerimaan sebagai petugas pendidikan dan mereka telah memiliki ijazah yang sebagian terbesar tepat dengan tugasnya. Jadi seharusnya para manajer cukup menangani motivasi para personalia saja dengan persyaratan agar mereka bekerja lebih baik. Namun karena asumsi itu tidak sepenuhnya benar, maka manajer juga membina perkembangan profesi dan karier mereka. Dalam dunia pesantren kemampuan hubungan insani ini adalah bagaimana pimpinan pesantren mampu menjalin hubungan dengan para pengurus pesantren yang berada di bawah kepemimpinannya. Hubungan yang perlu dikembangkan adalah hubungan dengan sistem komunikasi terbuka, yang memberikan peluang dialog-etis, sehingga segala perosalan, pebutuhan, dan masukan alternatif-alternatif pemecahan masalah atau pengembangan pesantren akan berjalan secara dengan baik. Hubungan insani ini bukan hanya dibangun secara internal, tetapi juga secara eksternal, yakni dengan individu, masyarakat, atau organisasi luar yang bersifat lintas sektoral. 3. Keterampilan Teknis Keterampilan teknis sebagian besar perlu dikuasai oleh manajer terdepan. Dalam penelitian ini yang dikatakan manajer terdepan adalah pengasuh/Kyai, sebab manajer terdepan berhadapan langsung dengan perencanaan pengelolaan pesantren. Para manajer terdepan sekaligus bertindak sebagai pengasuh yang berkewajiban membina dan membimbing pada santri agar mampu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik dan mandiri serta berkepedulian dan bertanggung jawab terhadap anggota masyarakat (Shertzer & Stone, 1980) Supaya dapat membimbing dan mengontrol secara betul, maka para manajer terdepan perlu faham akan teknis-teknis yang dipakai dalam memproses perencanaan pengelolaan program pesantren secara menyeluruh. Teknis-teknis ini pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu teknis pertama, merencanakan konsep-konsep secara universal. Adapun teknis yang kedua, manajer terdepan harus mampu membuat program kegiatan baik secara harian, ataupun bulanan. Misalnya manajer tertinggi (top manajer) merencanakan program kegiatan pembangunan unit gedung serba guna, maka manajer madya (middle manajer) perlu memikirkan bagaimana mengarahkan kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan kebijaksanaan organisasi, sedangkan manajer garis pertama (first line) bertugas dan bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain atau disebut pengawas teknis atau seringkali disebut supervisor. Dalam pesantren, yang menjadi top manajernya adalah, tentu, Kiai itu sendiri, manajer madyanya adalah pengurus utama pesantren, dan selanjutnya adalah tenagatenaga teknis yang dipilih dari para santri yang berkualitas dan amanah. Berdasarkan ketiga konsep kemampuan manajerial tersebut di atas, maka penerapannya dalam manajemen pesantren sangat ditentukan oleh kemauan dan kemampuan para pimpinan pesantren itu sendiri. Ada kemauan
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
12
Jurnal TARBAWIYAH
saja sudah merupakan awal dari keberhasilan, karena dengan adanya kemauan para pimpinan pesantren untuk menerapkan system manajemen modern, jalan menuju perubahan dan kemajuan akan terbentang lebar. Pimpinan pesantren bisa melakukan kerjasama dengan individu atau lembaga-lembaga profesional lain untuk ikut membantu membenahi sistem manajemen pesantren. Namun untuk pesantren yang pimpinannya sudah memiliki kemampuan professional di bidang manajemen, maka penerapan sistem manajemen moden dalam pengelolaan pesantren akan lebih memungkinkan. Semua itu tetap tergantung pada para pimpinan pesantren apakah ingin menciptakan perubahan dan perbaikan atau melanggengkan keterbelakangan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Bruinessen. 1995. Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan Kesinambungan Tradisi Pesantren, Ulumul Qur’an II (4), 73-83. Dhofier. Z. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Fayol. 1977. Huse & Browditch. 1977. Behaviour is Organizations: A System Approach to Managing. California: Wesley Publishing Company. Khasbullah. 1995. Komaruddin. 1974. Manajemen Organisasi. Bandung: Tarsito. Koontz & O’Donnel. 1987. Manajement. Diterjemahkan oleh Gunawan Hutauruk. Jakarta: Erlangga. Pigeaud dan Graf. 1974. Reddin. 1970. Managerial Effectiveness. Tokyo: McGraw-Hill Kunaghusa, Ltd. Robbins. 1982. Management. Second edition. New Jersey: Prentice-Hall. Robert L Katz. 1974. Skill of Effective Administrator. Howard Business Review, 52 No. 5. Shmetch, B Z Stone. 1980. Fundamental of Guidance. Boston: Houghton Mifflin Company. Terry. 1988. Principle of Management, 7th Edition. Richard D. Irwin, Inc. Homeood Illinois. Winardi. 1990. Azas-azas Manajemen. Bandung: Bandar Maju. *) Penulis adalah Dosen Tetap Pascasarjana STAI Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo.
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
13