SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN Abstract Saldo Anggaran Lebih yang berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran dari Tahun Anggaran yang lalu dan TA yg bersangkutan (setelah tutup tahun anggaran) merupakan bumper penting dalam mengamankan APBN dan perekonomian Indonesia. Penggunaan SAL telah diatur dalam UU APBN 2013, yang menyebut, dengan persetujuan DPR, Pemerintah berwenang menggunakan SAL antara lain, jika realisasi penerimaan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran negara pada saat tertentu, kekurangannya dapat dipenuhi salah satunya dari SAL, dana SAL juga dapat digunakan untuk menutup kekurangan pembiayaan.
A. Pendahuluan Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 206/PMK.05/2013 tentang perubahan atas PMK nomor 203/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih menyatakan bahwa SAL digunakan dalam rangka menutup kekurangan pembiayaan APBN, memenuhi kebutuhan pengeluaran negara pada saat realisasi penerimaan negara tidak mencukupi membiayai pengeluaran tersebut, penggunaan SAL terlebih dahulu memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir Tahun Anggaran sampai dengan TA berjalan serta awal TA berikutnya. Pada akhir TA 2013 Saldo Anggaran Lebih tercatat dalam LKPP sebesar Rp66,59 triliun. B. Pembiayaan Belanja Awal Tahun Sebagaimana diketahui bersama bahwa penyerapan belanja Kementerian Negara/Lembaga belum menunjukkan tingkat penyerapan yang proporsional disetiap triwulan, dengan trend pola belanja K/L yang terjadi baik di tingkat pusat maupun di daerah yang selalu ditenggarai dengan karakteristik tingkat penyerapan belanja yang rendah pada triwulan pertama bahkan sampai dengan triwulan ke tiga dan menumpuk pada akhir tahun anggaran, pada akhirnya akan mengganggu rencana kinerja kebijakan APBN terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan sesuai dengan kebijakan fiskal yang telah ditetapkan, yang akan menimbulkan potensi rendahnya kualitas output yang dihasilkan, serta berdampak juga kepada penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan dalam proses penyerapan anggaran dengan memulai kebiasaan belanja yang cenderung kejar target menjelang akhir tahun, dapat dirubah menjadi dimulai sejak awal tahun.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 87
Grafik 1. Realisasi Semester I Belanja K/L, 2007-2013
Berdasarkan Grafik Realisasi Semester I Belanja K/L tahun 2007-2013, penyerapan anggaran belanja K/L dalam semester I 2013 mencapai 26,2 persen (Rp163.019,1 miliar) dari pagu alokasi anggaran belanja K/L yang ditetapkan dalam APBNP 2013 sebesar Rp622.008,7 miliar, yang berarti lebih rendah dibandingkan dengan realisasinya pada periode yang sama tahun 2012 yang mencapai 30,0 persen terhadap APBNP 2012. Realisasi belanja K/L tersebut berdasar sumber dananya terdiri dari rupiah murni sebesar Rp155.318,0 miliar (28,1 persen); pinjaman luar negeri sebesar Rp2.016,3 miliar (6,9 persen); hibah sebesar Rp168,6 miliar (17,4 persen); pinjaman dalam negeri sebesar Rp77,4 miliar (10,3 persen); surat berharga syariah negara project based sukuk sebesar Rp142,5 miliar (17,8 persen); pagu penggunaan pendapatan negara bukan pajak sebesar Rp2.002,6 miliar (12,3 persen); dan badan layanan umum sebesar Rp3.293,7 miliar (15,5 persen). 1 Sejatinya dana SAL dapat digunakan sebagai dana talangan di awal tahun pelaksanaan anggaran, yaitu antara lain untuk pembayaran gaji, tunjangan, dan dana transfer ke daerah. Sebagai contoh, pada awal tahun 2014 penggunaan SAL sebesar sekitar Rp40 triliun pada awal tahun. Dana SAL di awal tahun juga dapat digunakan oleh K/L untuk membiayai belanja barang/jasa, Perpres No. 70 tahun 2012 sudah mengatur mengenai pelelangan/seleksi sebelum tahun anggaran, dimana kelompok kerja ULP (Unit Layanan Pengadaan) dapat mengumumkan pelaksanaan pengadaan setelah RKA K/L disetujui oleh DPR untuk pengadaan yang bersumber dari APBN, dengan pengumuman mencantumkan kondisi DIPA belum ditetapkan.
1
Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN 2013 Semester I. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 88
C. Optimalisasi SAL Sejak beberapa tahun terakhir, kebijakan fiskal masih tetap diarahkan pada kebijakan eskpansif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Terkait hal itu, Pemerintah masih tetap menerapkan kebijakan defisit anggaran sehingga alokasi anggaran belanja negara lebih besar daripada potensi anggaran pendapatan negara. Tabel 1. Realisasi APBN 2009-2103 (dalam triliun)
Realisasi APBN Pendapatan Negara dan Hibah Belanja Negara Surplus (Defisit) Anggaran Pembiayaan Neto SiLPA (SiKPA) Pembiayaan SAL SAL akhir tahun Sumber : LKPP
TA 2009 TA 2010 TA 2011 Realisasi % Realisasi % Realisasi % 848,76 97,45 995,27 100,29 1.210,60 103,48 937,38 93,66 1.042,12 92,54 1.295,00 98,05 -88,62 88,62 -46,85 35,03 -84,4 55,99 112,58 86,71 91,55 68,45 130,95 86,82 23,96 44,71 46,55 51,9 17,35 40,3 66,52 97,74 105,34
TA 2012 Realisasi % 1.338,11 98,52 1.491,41 96,33 -153,30 80,64 175,16 92,14 21,86 56,2 70,27
TA 2013 Realisasi % 1.438,89 95,80 1.650,56 95,62 -211,67 94,42 237,39 105,89 25,72 30 66,6
Dari tabel di atas, terlihat sejak tahun anggaran 2009 hingga 2013 defisit anggaran semakin besar seiring dengan meningkatnya Produk Domestik Bruto Indonesia, dimana UU No. 17 tahun 2003 memberikan ruang bagi Pemerintah untuk melakukan kebijakan defisit setiap tahun pengecualian pada tahun 2010 dimana sektor pendapatan dapat melampaui target yang telah ditetapkan dan belanja negara masih belum mampu mencapai realisasi 100%. Untuk pemenuhan pembiayaan defisit anggaran diprioritaskan dari sumber pembiayaan nonutang, akan tetapi karena terbatasnya sumber pembiayaan nonutang, Pemerintah tetap menggunakan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit anggarannya, namun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Sebagai konsekuensinya, outstanding utang Pemerintah mengalami peningkatan, demikian pula dengan beban utang. Peningkatan beban utang tersebut pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran bunga utang atas total outstanding utang Pemerintah dan biaya dari penerbitan dan atau pengadaan utang baru.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 89
Tabel 2. Perkembangan Pembiayaan Anggaran Utang dan Non Utang
Keterangan Surplus (Defisit) Anggaran Pembiayaan Neto I. Non Utang II. Utang SiLPA (SiKPA) SAL akhir tahun Pembiayaan SAL
TA 2009 TA 2010 TA 2011 TA 2012 TA 2013 -88,62 -46,85 -84,4 -153,30 -211,67 112,58 91,55 130,95 175,16 237,39 28,7 4,6 28,3 38,1 8,8 84,0 87,0 102,7 137,0 215,4 23,96 44,71 46,55 21,86 25,72 66,52 97,74 105,34 70,27 66,6 51,9 17,35 40,3 56,2 30,0
Sumber : LKPP (dalam triliun) Dalam perkembangan pembiayaan anggaran utang dan non utang, hingga saat ini terlihat sangat jelas bahwa sumber pembiayaan yang berasal dari utang memberikan kontribusi lebih dari 75% dalam pembiayaan untuk menutup defisit. Oleh karena itu diperlukan optimalisasi dalam hal perencanaan & pelaksanaan kegiatan belanja negara karena dengan realisasi penyerapan anggaran yang maksimal, maka jumlah SiLPA yang terjadi setiap tahun nilainya tidak akan begitu besar, mengingat sumber pembiayaan defisit anggaran adalah lebih dari 75 % berasal dari utang. Kedepan diharapkan Pemerintah, mengurangi pembiayaan yang berasal dari utang dan dapat memanfaatkan dana SAL untuk pembiayaan defisit anggaran tentunya setelah melakukan peramalan terhadap belanja negara awal tahun ditambah dana cadangan untuk kejadian force majeur. Sehingga beban utang yang harus dibayarkan oleh Pemerintah tidak semakin besar, mengingat berdasarkan data dari LKPP untuk pembayaran bunga utang TA 2013 sebesar Rp113,04 triliun. Selain itu Pemerintah juga diharapkan bisa memaksimalkan dalam hal realisasi belanja anggaran tidak hanya sekedar penyerapan anggaran tetapi juga lebih memperhatikan output yang dihasilkan, mengingat dalam sumber dana pembiayaan belanja negara sebagian berasal dari hutang yang harus di bayarkan di tahun berikutnya beserta bunga nya. D. Pengelolaan SAL Pada hasil pemeriksaan BPK atas LKPP 2013 didapati temuan berupa Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2013 masih berbeda dengan rincian fisik kas. Temuan sejenis juga diperoleh pada hasil pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 yang mengungkapkan adanya selisih lebih atas saldo fisik masing-masing sebesar Rp232,13 milyar, meningkat di tahun 2005 menjadi Rp1,49 triliun kemudian selisih fisik tersebut menjadi
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 90
Rp1,93 triliun di tahun 2006, dan akhirnya trend tersebut menurun ditahun 2013 hingga Rp2,3 milyar yang tidak dapat ditelusuri. Tabel 3. Perkembangan Selisih Fisik SAL (dalam milyar) Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : LKPP
Selisih Fisik 232,13 1.490,26 1.927,50 1.340,49 461,52
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Selisih Fisik 261,78 39,87 17,43 8,15 2,26
Atas selisih catatan SAL dengan fisiknya tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan selalu menyesuaikan catatan SAL dengan fisiknya pada awal tahun berikutnya tanpa adanya penelitian penyebab selisih catatan dan fisik yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan nilai SAL yang sebenarnya. Selama ini saldo fisik dianggap sebagai saldo yang benar sehingga saldo menurut catatan disesuaikan dengan saldo fisiknya. Akan tetapi, apabila dilihat dari catatan SAL, setiap tahun selalu ada koreksi saldo kas di awal tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa saldo fisik kas juga tidak dapat diandalkan keakuratannya mengingat banyak rekening yang menjadi bagian dari SAL. Selain itu, terdapat koreksi/penyesuaian SAL/SiLPA yang tidak tepat dan belum didukung dengan dokumen sumber yang memadai. Pada tahun 2013, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan PMK nomor 203/PMK.05/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 206/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih yang mengatur perhitungan SAL, penyimpanan dana SAL, penggunaan SAL, akuntansi dan pelaporan SAL dan penyelesaian selisih angka SAL. Meskipun selisih fisik dengan catatan semakin menurun, diharapkan Pemerintah dapat memberikan penjelasan terhadap selisih fisik yang terjadi setiap tahun sesuai dengan prinsip akuntansi yang dianut Pemerintah kas menuju akrual. Sejak APBN 2009 Pemerintah mulai memasukkan anggaran penggunaan SAL ke dalam komponen APBN. Tapi angka yang disajikan masih belum menjelaskan secara mendetail penggunaan SAL tersebut. Mengingat penggunaan SAL harus melalui persetujuan DPR, sebaiknya Pemerintah secara teratur, misalnya secara triwulan, menyampaikan laporan posisi SAL dan SiLPA untuk tahun berjalan agar mempermudah dalam pengawasan. 2
2 Catatan
Tentang SAL dalam LKPP 2010, Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 91
E.
Penutup Saldo Anggaran Lebih dapat menjadi pengaman APBN disaat penerimaan negara awal tahun belum mencapai target dan menutupi defisit anggaran. Dengan pemanfaatan dana SAL secara maksimal dalam menutupi belanja barang/jasa di awal tahun & menutupi pembiayaan defisit, diharapkan realisasi belanja negara dapat tercapai sejalan dengan output berkualitas yang dihasilkan serta mengurangi pembiayaan yang berasal dari hutang. Untuk itu diperlukan peran serta Pemerintah melalui perencanaan, sosialisasi sampai dengan unit terbawah satker pengguna anggaran beserta dan pengawasan dalam hal penggunaan dan pengelolaan dana SAL.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 92