COLLECTIVE HOUSE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENANGGULANGAN KODOKUSHI Raisha Anefi1006715023 dan Endah Hayuni Wulandari Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia email:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai sebuah alternatif terjadinya fenomena kodokushi di Jepang, terutama bagi para lansia. Fenomena ini diakibatkan oleh semakin merenggangnya hubungan masyarakat Jepang dengan lingkungan sosialnya, hingga menyebabkan perasaan teralienasi atau terisolir dari lingkungannya. Hubungan dan interaksi sosial amat dibutuhkan oleh setiap individu di dunia, terutama ketika sudah menjadi lansia. Tetangga merupakan orang terdekat selain keluarga yang dapat dimintai pertolongan dikala darurat. Oleh karena itu, jika tidak membangun hubungan dengan lingkungan sosial, seseorang akan mengalami kesulitan dimasa tuanya. Berangkat dari masalah itu, penulis akan membahas mengenai collective house sebagai salah satu alternatif yang dapat diterapkan oleh masyarakat Jepang untuk memperbaiki hubungan sosial dan interaksi dengan individu selain keluarga. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam collective house juga dilakukan untuk menjaga daya ingat dan membuat mereka merasa masih berguna untuk orang lain dan tidak bergantung kepada perawatan dari keluarga. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa collective house masih belum dapat menanggulangi terjadinya kodokushi pada lansia Jepang secara efektif. Kata kunci :
Masyarakat Jepang, lansia, kodokushi, collective house
ABSTRACT
This thesis is about one of an alternative to prevent kodokushi phenomenon in Japan. The phenomenon was affected by loosing enchantment between Japanese and their society, finally made an alienation or isolation between the Japanese individual from the society. Social interaction and relationship was the most important thing for everyone in the world, especially for elderly. Neighbor is the nearest person in our live after family, they are the person who we could ask for help in emergency. Thus, if there is a person who did not build a relationship with them, he or she will be in trouble in their old time. For this reason, the writer wrote about collective house as an alternative prevention for kodokushi by open an opportunity for people to connected with the others. This communication build by social activity in the collective house, the tenant should have to work with the others tenant in the housing complex. Not only for open an opportunity to make friends, those activity also made for protecting elderly‟s memories and make them become more independence. This thesis is used cualitative data and explain the solution in description way. The result of this thesis is collective house still cannot be an effective solution to prevent kodokushi for Japan‟s elderly. Key word :
Japanese society, elderly, prevent, kodokushi, collective house
Pendahuluan
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Pada tanggal 24 April 1998, Surat kabar Asahi memuat tentang 207 kasus kodokushi di Jepang. Istilah 孤独死 (Kodokushi) atau dalam Bahasa Indonesia memiliki makna mati dalam kesendirian tanpa didampingi oleh siapapun. Bahkan dalam beberapa kasus kodokushi, jasad baru ditemukan beberapa waktu setelah kematiannya. Sering kali penemu jasad bukanlah kerabat atau keluarga mereka, melainkan orang lain yang tidak memiliki hubungan darah. Kasus kodokushi pertama kali diberitakan oleh media pada tahun 1995, setelah terjadi Gempa Besar Hanshin di Awaji, pada tanggal 17 Januari di Prefektur Hyogo. Setelah kodokushi di Prefektur Hyogo, jumlah kasus kodokushi terus meningkat setiap tahunnya di seluruh Jepang. Terdapat 1.364 kasus pada tahun 2002, kemudian meningkat menjadi 2.718 kasus pada tahun 2007, tahun 2008 menjadi 2.211 orang di Tokyo (Tokyo Medical Examiners Office). Mayoritas dari korban, yaitu 1.321 orang telah berusia 65 tahun ke atas dan sudah tidak bekerja (lansia). Pada tahun 2008 di Tokyo, lebih dari 2.000 orang lansia meninggal dalam kesendirian dan 40% dari mereka tidak dikenali. Meskipun disebut sebagai fenomena, data-data mengenai kodokushi secara menyeluruh di Jepang dan rincian untuk setiap daerah tidak dipublikasikan. Hanya Tokyo yang mengeluarkan data mengenai kodokushi secara detail. Sebaliknya, daerah yang mengumumkan hasil penelitian mengenai collective house hanya Prefektur Hyogo. Penelitian khusus oleh pemerintah wilayah Hyogo semenjak terjadinya gempa pada tahun 1995. Diakibatkan oleh keterbatasan data, pada penelitian ini data kodokushi yang akan dijadikan acuan adalah data dari Tokyo sebagai potret peningkatan kejadian kodokushi di masyarakat Jepang dewasa ini. Selain itu, mengenai penelitian terhadap para penghuni collective house di Jepang akan diwakilkan oleh data dari 9 collective house di Prefektur Hyogo, sebagai gambaran peningkatan jumlah unit collective house di Jepang dan pengaruhnya pada jumlah kasus kodokushi di Jepang. Untuk mencegah terjadinya kodokushi dan memperbaiki interaksi antarindividu Jepang, banyak alternatif yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang dan masing-masing pemerintah daerah, namun salah satu alternatif yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah collective house. Merupakan alternatif yang memberikan kesempatan bagi para penghuni dengan bermacam-macam usia berkumpul dan melakukan aktivitas bersama di dalam ruang yang sama. Collective house merupakan perumahan dengan kamar-kamar pribadi, namun masih memiliki ruangan-ruangan dan fasilitas yang dapat digunakan bersama dan dapat mengadakan aktivitas bersama dengan penghuni lainnya. Dengan adanya komunikasi yang dilakukan oleh para penghuni, diharapkan tidak ada lagi orang yang mengalami kodokushi.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Tinjauan Teoritis Istilah kodokushi mengacu pada pengertian kematian dalam kesendirian tanpa ada orang yang menyadari di sekitarnya. Tidak ada orang di sekitarnya yang dapat dimintai pertolongan dikala darurat. Sedangkan, yang dimaksud dengan collective house adalah perumahan yang memfasilitasi penghuni yang tidak saling mengenal sebelumnya untuk saling memulai interaksi dan aktivitas bersama, seperti sebuah keluarga. Lansia di Jepang merupakan individu yang telah berusia lebih dari 65 tahun dan sudah tidak bekerja dan semakin banyak yang hidup dalam kesendirian. Akibatnya, orang-orang di sekitarnya tidak ada yang tahu keadaannya ketika lansia tersebut ternyata membutuhkan bantuan dari orang lain. Meningkatnya jumlah lansia yang hidup sendiri secara tidak langsung menjadi penyebab peningkatan angka kodokushi di Jepang. Sesuai dengan teori aktivitas yang dikemukakan oleh Kart dan Manard, terdapat hubungan antara aktivitas dan kepuasan hidup. Lansia yang paling sukses dan bahagia hidupnya adalah lansia yang tetap aktif dan dapat menahan perasaan kehilangan (Kart dan Manard, 1981). Di dalam collective house, hubungan di antara penghuni akan terus terjalin, saling berbagi pengalaman hidup dan dapat merasa berguna bagi penghuni lainnya. Meskipun kehilangan sesuatu di dalam hidupnya, lansia yang tinggal di dalam collective house tidak akan mengalami depresi berat karena selalu ada orang yang dapat diajak bicara untuk mengurangi beban masalahnya, dan tidak merasa sendirian di dalam hidup ini. Hidup mereka akan lebih sehat dan berkualitas, baik untuk dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lansia yang hidup dalam collective house akan merasa bahagia dan cenderung terhindar dari kodokushi.
Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Semua data yang berkaitan dengan penelitian dikumpulkan, lalu dianalisis. Semua data diperoleh dari : data pustaka yaitu, data yang terdapat didalam buku-buku bacaan, artikel di internet, serta data statistik atau survei Jepang yang terkait dengan penelitian
yang diperoleh dari lembaga pemerintah
ini.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Pembahasan
Masyarakat Jepang Sebelum Perang Dunia ke-2 Para peneliti mengatakan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen dan didasari oleh sistem keluarga 家 (Ie) yang mengatur keberlanjutan nama keluarga masyarakat Jepang. Bentuk keluarga tradisional Jepang adalah 大家族 (Dai Kazoku) yaitu rumah yang beranggotakan lebih dari 2 generasi, kakek-nenek, anak-anak dan cucu. Generasi muda di rumah memiliki tanggung jawab tidak tertulis untuk merawat orang tua setelah mereka pensiun. Selain itu, sistem bekerja masyarakat tradisional di bidang agrikultur mengharuskan setiap orang untuk bekerja beriringan dan memikirkan rekan kerjanya (tetangga). Terdapat pepatah Jepang mengenai pentingnya hubungan dengan tetangga, yaitu 遠く の親類より近くの他人 (tooku no shinrui yori chikaku no tanin). Peribahasa ini dapat diartikan sebagai “orang lain yang lebih dekat dari pada kerabat jauh”. Maksud dari kata „orang lain‟ dalam peribahasa tersebut adalah orang yang tidak memiliki hubungan darah, yaitu tetangga. Oleh karena itu, jika dimaknai lebih mendalam lagi yaitu orang lain yang lebih dekat dengan diri sendiri lebih berarti daripada keluarga sedarah yang jauh dari kehidupan pribadi. Jika seseorang dapat menjaga kerekatan hubungan dengan tetangga, itu akan lebih berarti, dibandingkan dengan mengharapkan kerabat yang tidak pernah berinteraksi (Fujishima, 2012:26). Tidak hanya itu, pentingnya tetangga di dalam kehidupan juga dapat dilihat pada pepatah 向こう三軒両隣 (muko¯sangen ryo¯donari) yang diartikan sebagai “ tiga rumah di seberang, samping kanan-kiri dan belakang”. Pepatah ini menggambarkan skala kecil dari tetangga. Pepatah-pepatah di atas menggambarkan betapa pentingnya tetangga di dalam kehidupan bermasyarakat. Tetangga merupakan orang terdekat selain keluarga yang dapat dimintai pertolongan di kala darurat. Oleh karena itu, sesedikit apapun komunikasi yang dilakukan dengan tetangga, itu menjadi inventasi penting untuk masa depan (Sugiyama, 1992: 118) dan (Hendry, 2003: 63). Komunikasi atau sosialisasi dengan tetangga pada masyarakat Jepang tradisional biasa dilakukan oleh wanita karena para pria lebih banyak bekerja di luar. Masyarakat Jepang Setelah Perang Dunia ke-2
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Menurut data dari OECD (2013), setelah Perang Dunia ke-2 terjadi, tingkat GDP Jepang (Gross Development Product) menjadi empat kali lipat lebih tinggi pada tahun 1970an. Era itu dinamakan 行 動 経 済 生 長 (Koudou Keizai Seichou) tahun 1953-1970-an (Takatoshi,n.d). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong peningkatan hasil produksi dan membutuhkan lebih banyak karyawan sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja besarbesaran di perkotaan (Kohama, 2007). Para pria - wanita usia produktif (15-64) meninggalkan desa dan keluarganya untuk mendapatkan pekerjaan di kota kemudian mereka mulai membentuk 核家族 (kaku kazoku) dan 単身世帯(tanshin setai) atau single household karena minimnya lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan untuk meningkatkan fokus kepada pekerjaan. Kaku kazoku merupakan keluarga inti dengan anggota sepasang orang tua dan anak kandungnya. Lalu single household adalah rumah yang hanya ditinggali oleh satu orang. Jumlah kaku kazoku di Jepang dari tahun 1960-an ke tahun 1975 mengalami peningkatan sebanyak 64%, sedangkan, single household meningkat menjadi 10.36% dan 5.06% per 1.000 populasi. Pada tahun 2011 jumlah single household mencapai 31.5% dari total perumahan Jepang. Peningkatan drastis dibandingkan dengan jumlah di tahun 2001, l27.9% dari seluruh perumahan berbentuk single household. Berdasarkan National Institute of Population and Social Security Research (JPSS), semenjak tahun 1975 jumlah anak muda yang hidup dengan kakek-nenek mengalami penurunan dari 54.4% menjadi 18.3%, disebabkan oleh migrasi ke kota-kota besar. Dibangunnya pemisahan wilayah khusus untuk hunian dan bekerja mengakibatkan masyarakat Jepang kehilangan aspek-aspek yang dibutuhkan untuk tinggal, lebih jauh lagi menyebabkan kehidupan keluarga yang penuh privasi dan menjadi semakin terisolir dari lingkungannya (Rau 1987: 267-278). Kerenggangan hubungan antartetangga Jepang dapat terlihat dalam jawaban yang diberikan oleh masyarakat Jepang wilayah Tokyo pada survei Desi (2013). Survei yang melibatkan 40 responden berusia 20-30 dan 30-40 tahun, sepuluh pria dan wanita untuk kedua kategori usia. Kira-kira setengah dari responden berusia 20-40 tahun, baik pria maupun wanita menyatakan kondisi pergaulan mereka dengan tetangga tidak begitu dekat. Selebihnya sekitar sepertiga responden mengatakan bahwa mereka cukup bergaul, namun tidak begitu dekat dan ada juga yang tidak bergaul sama sekali dengan tetangganya. Setengah dari responden pria maupun wanita berusia 20 - 40 tahun menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak pernah berkunjung ke rumah tetangga mereka. Selain itu, sepertiga sisanya menyatakan hampir tidak pernah berkunjung ke rumah tetangga.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Delapan dari sepuluh responden pria usia 20 - 30 tahun dan perempuan usia 30 - 40 tahun menyatakan menyapa ketika berpapasan dengan tetangga di jalan, sedangkan dua orang menyatakan tidak menyapa. Selanjutnya pada pria usia 30 - 40 tahun, perbandingan menyapa dan tidak menyapa menjadi 6 : 4 dan wanita usia 20 - 30 tahun memiliki perbandingan 7 : 3. Diketahui bahwa lebih dari 50% responden masih mengenal dan menyapa ketika bertemu tetangga di jalan, meskipun mereka tidak bergaul dengan baik. Delapan wanita berusia 20 - 40 tahun mengatakan tidak begitu sering mengobrol, Sedangkan, pria usia 20 - 30 mengalami hal yang sama, tetapi enam dari sepuluh pria usia 30 - 40 tahun menyatakan sama sekali tidak pernah mengobrol dengan tetangganya. Survei selanjutnya mendapati bahwa mayoritas responden tidak menganggap tetangga sebagai hal yang diperlukan dalam menjalani kehidupan sehingga mereka tidak merasa perlu untuk berkomunikasi dengan tetangga. Lebih dari 50% responden menyatakan bahwa hubungan dengan tetangga tidak begitu diperlukan. Hal ini berkebalikan dengan masyarakat tradisional yang selalu mengutamakan tetangga tanpa hubungan darah dibandingkan dengan kerabat yang jauh secara fisik dan emosi. Kedekatan masyarakat Jepang dengan tetanganya dapat dilihat dari hasil beberapa survei di atas. Jika individu usia 20 - 40 tahun jarang berinteraksi dengan individu lain di sekitarnya, para lansia yang fisiknya sudah melemah semakin sulit untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Individu yang tidak berinteraksi dengan tetangganya cenderung terisolir dari ligkungan disekitarnya setelah ia pensiun. Hasil survei memperlihatkan bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa mereka tidak begitu memerlukan tetangga dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Pengenalan Kodokushi Perubahan bentuk masyarakat Jepang secara tidak langsung menimbulkan sebuah fenomena 孤 独 死 (Kodokushi). Kodokushi menurut Yasutomo Arai dan Tokyo Shimbun (2010) adalah “Seseorang yang hidup dalam kesendirian dan meninggal di rumahnya tanpa ada orang di dekatnya”. Kerenggangan hubungan antarindividu dan tetangga Jepang menjadi penyebab utama kodokushi pada tahun 2010-an, sedangkan sebelumnya kodokushi terjadi akibat bencana alam. Pada 17 Januari 1995 terjadi gempa dahsyat di Kobe, wilayah Hanshin, Prefektur Hyogo. 60% dari korban meninggal telah berusia lebih dari 60 tahun. Proses evakuasi dan pemulihan kondisi yang memakan waktu membuat mereka semakin khawatir, tertekan, dan lelah secara mental (Nagle, 1998:19). Pada akhirnya mereka cenderung
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
mengalami kodokushi karena merasa „sendirian‟ di dunia ini dan tidak ada yang dapat dimintai pertolongan (“Look Japan”, 2001). Selama lima tahun setelah gempa, telah terjadi 233 kasus kodokushi di dalam lingkungan yang sama (Tadashi & Kobayashi, 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Doshisha, 30% penghuni hidup sendirian dan 40%-nya tidak memiliki teman di sekitar rumahnya yang baru (survei oleh Asahi Shimbun). Pada tahun 2010, kata kodokushi mulai menjadi kosa kata baru yang muncul pada acara Muen Shakai~“Muen-shi” 3 man 2 sen nin no shōgeki (無縁社会~“無縁死”3 万 2 千人の衝撃~) atau dalam Bahasa Indonesia menjadi “Muen Shakai : Realitas Mengejutkan 32.000 Kematian Terabaikan” pada Stasiun Televisi NHK. Dokumentasi yang dibuat oleh NHK Project ini memaparkan kenyataan bahwa setiap tahunnya di Jepang 32.000 orang mati tanpa ada yang peduli sama sekali, tidak ada orang yang mengurus serta merawat mereka. NHK menyebutkan dan kodokushi sebagai akibat dari merenggangnya hubungan masyarakat Jepang (muen shaka) dewasa ini. Grafik di bawah menunjukkan presentasese seberapa cepat orang menemukan jasad orang-orang yang mengalami kodokushi. Hanya 25% - 34% jasad yang ditemukan sehari sampai dengan 3 hari setelah kematian, 75% dan 65% sisanya baru ditemukan 2 hari sampai dengan satu tahun lebih. Hal ini memperlihatkan tidak adanya orang terdekat yang mengetahui kejadian.
Gambar 3.2 Presentase Waktu Penemuan Jasad Kodokushi Sumber: Japan Ministry Health and Welfare
Penemuan korban kodokushi paling banyak dan paling cepat adala pada wanita, sekitar 33% dari korban wanita ditemukan sekitar 0 - 1 hari setelah kematian, sedangkan korban pria 25%-nya baru ditemukan 2-3 hari kemudian. Penyebabnya adalah kurangnya interaksi sosial yang dilakukan oleh pria dibandingkan wanita sehingga seringkali tetangga maupun keluarga
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
tidak menyadari kondisi korban. Menurut Rosalind Edwards, seorang profesor di bidang sosiologi, hubungan atau ikatan di dalam keluarga Jepang semakin melemah, terutama di wilayah perkotaan (2009 : 267-289). Seperti yang ditampilkan oleh tabel di bawah, 60-70% dari penemu jasad yang mengalami kodokushi bukanlah keluarga korban, melainkan orang lain seperti polisi, pemilik apartemen, dan lain-lain yang tidak memiliki hubungan darah dengan korban (橘木俊詔, 2012 : 4). Tabel 3.1 Penemu Korban Kodokushi Usia Penemu Jasad
Jumlah Keseluruhan
65-69 tahun
70-74 tahun
75-79 tahun
Lebih dari 80tahun
JumlaKeseluruhan
2211(100%)
411(100%)
493(100%)
456(100%)
821(100%)
Anggota Keluarga
34.60%
23.40%
30.20%
36.40%
42.30%
Petugas Publik
16.80%
13.20%
16.60%
15.10%
19.70%
Tetangga
14.30%
16.60%
14.20%
13.80%
13.40%
Pemilik Apartemen
14.10%
22.40%
16.20%
13.80%
8.50%
Teman
11.20%
16.60%
13.40%
10.70%
7.30%
Polisi
1.20%
1.60%
1.20%
0.70%
1.20%
Tukang Pos
2.90%
2.00%
2.60%
3.30%
3.20%
Lainnya
4.90%
4.30%
5.50%
6.10%
4.40%
Sumber : 橘木俊詔, 2012
Lamanya masa penemuan korban kodokushi dipengaruhi oleh perubahan bentuk perumahan keluarga Jepang dari dai kazoku menjadi kaku kazoku dan single household. Yokota (2010), seorang asisten supervisor divisi lahan untuk penduduk lansia berpendapat, bagi orang yang hidup dalam kesendirian, mereka cenderung mengalami kodokushi (Nobel, 2010). Menurut anggota OECD, orang yang hidup dalam kesendirian jarang meluangkan waktu dengan orang selain keluarga. Jepang merupakan negara dengan masyarakat yang paling jarang atau tidak pernah menghabiskan waktu dengan orang di luar keluarga (Fukue, 2010). Berdasarkan data dari Ministry of Health and Welfare, jumlah orang yang mati tanpa keluarga maupun teman terus meningkat setiap tahunnya, dari 587 orang pada tahun 2009 menjadi 636 orang di tahun 2010 dan 727 orang pada tahun 2011. Keifer menemukan bahwa kecenderungan masyarakat kelas ekonomi menengah hidup di dalam kompleks apartemen yang sangat luas memberikan peluang untuk menarik diri dari lingkugan dan tetangga (1980:439).
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Adanya perasaan Meiwaku wo kakenai (迷惑を掛けない) berarti tidak merepotkan orang lain. Nilai ini merupakan salah satu karakteristik utama dari masyarakat Jepang yang kolektif ( Kronenfeld., ed. 2012: 81). Lalu, mereka akan menjaga jarak dengan orang lain karena khawatir dapat mengganggu orang lain di sekitarnya. Akibatnya mereka terisolir dari lingkungan sosialnya. Isolasi ini lagi dapat mengakibatkan kodokushi (mati dalam kesendirian) atau meninggal tanpa ada yang menyadarinya (Fukue, 2010). Pria Paling Sering Menjadi Korban Kodokushi Dari 115 kasus kodokushi yang terjadi semenjak tahun 2005 hingga 2007, 68 kasus terjadi pada pria dan 47 sisanya adalah wanita. Pria menyumbang hampir 60% dari total kasus, yaitu 33 kasus dan kasus pada wanita. Menurut Goldstein et al (1996: 9), jumlah kasus kodokushi pada pria dua kali lipat lebih tinggi dibanding wanita. Sekitar setengah dari total jumlah kasus kodokushi terjadi pada pria berusia 50-60-an tahun (Otani, 2010).
25 20 15 10 5 0
Pria Wanita 30 40 60 tahun tahun 50 80 tahun tahun 70 tahun tahun
Pria
Gambar 3.3 Jumlah Kasus Kodokushi Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Sumber: Universitas Kobe, 1997
Berdasarkan grafik di atas, jumlah kasus terbanyak terjadi pada pria berusia 50-60-an tahun. Kodokushi lebih banyak terjadi pada pria karena jam kerja yang sangat padat sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar perusahaan. Menurut Fujimori (2010), manager and chief research associate of social policy di Mizuho Information and Research Institute, seseorang yang hidup dalam kesendirian dan tidak memiliki teman, cenderung terisolir dari lingkungan sosialnya (Fukue, 2010). Mayoritas Korban Kodokushi adalah Lansia
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Diprediksi jumlah pria lansia yang hidup sendiri pada tahun 2030 menjadi 1.68 juta jiwa dari 260.000 jiwa pada tahun 2005 (Fujimori, 2010). Para lansia sudah menua dan tidak dapat hidup sendiri, membutuhkan orang lain untuk merawat mereka (Fukue, 2010). Biasanya di saat darurat, pasangan maupun keluarga dekat memberikan dukungan, tetapi jika tidak ada keluarga yang dapat memberikan bantuan, kondisi ini dapat menyebabkan kodokushi (Bowling dan Browne, 1991). Natsuko dan Mc Clatchy (2010) dalam Tokyo Medical Examinners Office mengumumkan jumlah kasus kodokushi di Tokyo pada lansia berusia 65 tahun lebih yang meningkat pesat jika dibandingkan dengan 1.364 kasus pada tahun 2002, menjadi 2.211 kasus pada tahun 2008. Allen (2008: 291) menyatakan bersamaan dengan meningkatnya usia harapan hidup, semakin banyak waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dengan perawatan khusus maupun bantuan dari keluarga (Danely, 2008: 291).Hal ini disebabkan pola makan yang tidak teratur jika ia hidup sendiri, tidak ada yang mengontrol kebutuhannya sehari-hari. Sensus Nasional yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan bahwa satu dari sepuluh pria lasia dan satu dari empat wanita lansia hidup dalam kesendirian. Jika dijumlahkan, terdapat 3.86 juta lansia yang hidup dalam kesendirian. Lebih dari 2.700 orang hidup di rumahnya sendiri dan butuh perhatian. Hilangnya kebiasaan bekerja dan beraktivitas dapat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental. Masalah berupa kehilangan urutan hierarkis dan perintah di hari-hari biasa, sakit-sakitan, kesepian, bunuh diri serta kodokushi kemudian menjadi fenomena sosial (Okamoto, 1994: 33). Pentingnya Interaksi Sosial Bagi Lansia Nakazawa dan beberapa NPO menyatakan interaksi dan hubungan dengan orang lain sangatlah penting karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri (Fukue, 2010). Kondo (head of the Center for Wellbeing and Society at Nihon Fukushi University in Aichi, central Japan) menyatakan betapa pentingnya interaksi sosial karena dapat mengurangi dan menghilangkan stres pada lansia dan mereka dapat bertukar informasi. Babatunde Osotimehin (secretary general of the UN’s Population Fund) juga mengatakan bahwa para lansia yang aktif berkegiatan di dalam komunitas lebih jarang jatuh sakit dibandingkan dengan lansia yang tidak. Orang-orang yang menolak untuk bertemu orang lain, menghindari berbelanja, dan tidak beraktifitas (memasak, berkebun, dan lain-lain) cenderung mengalami demensia dan depresi.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Pada keluarga modern, perawatan orang tua sudah menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Para ahli mengatakan bahwa meskipun sarana dan prasarana untuk kesehatan dan perawatan lansia sudah cukup banyak, para lansia tetap membutuhkan bantuan dari anggota keluarganya (Fukue, 2010). Asuransi kesehatan membantu mengurangi biaya pengobatan yang harus dibayar, namun tidak semua biaya yang dibutuhkan dapat terbayar. Akan tetapi, jumlah lansia yang hidup dalam kesendirian terus meningkat, oleh karena itu disaat-saat seperti itu peran tetangga sangat dibutuhkan. Para lansia yang tidak mendapat perhatian dari keluarganya juga tidak menjalin hubungan dengan tetangga akan merasa kesepian dan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi lalu meninggal dalam kesendirian. Collective House Sebagai Alternatif Perekat Hubungan Masyarakat Untuk mengembalikan komunikasi dan interaksi masyarakat Jepang, pemerintah serta organisasi-organisasi nonprfit (NPO) membentuk komunitas-komunitas yang memberikan kesempatan bagi generasi tua dan muda untuk berinteraksi. Komunitas ini dibuat untuk mencegah terjadinya isolasi sosial bagi para lansia (Maeda dan Ishikawa, 2000). Selain itu, menurut Thang (2000), komunitas juga berfungsi untuk menimbulkan dukungan emosional bagi lansia melalui interaksi sosial tanpa harus menggantungkan diri pada anggota keluarga (Tanaka, 2008: 53-54). Dalam hal memulai interaksi kembali, collective house sebagai salah satu alternatif penanggulangan kodokushi unggul dengan fasilitas dan progam kerja di dalamnya. Collective house merupakan sebuah sebuah bentuk perumahan dengan konsep perumahan dari Swedia yang dibuat berdasarkan sistem kolektif, yaitu kebersamaan dan saling mendukung satu sama lain. Dibuat dengan melihat kondisi masyarakat Jepang yang kurang berinteraksi dengan tetangga, collective house dibangun untuk membangun komunikasi kembali dengan tetangga yang lebih jauh lagi akan memberikan banyak manfaat (Foreign Press Center Japan, 2006). Hubungan dengan tetangga diperbaiki melalui pengadaan fasilitas bersama, kewajiban berbagi tugas yang rutin dilakukan, serta diadakannya acara-acara bersama. Oleh karena itu, orang yang hidup di dalam collective house lebih memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan tetangga sehingga dapat mencegah terjadinya kodokushi.
Rumah dengan ruang
berbagi yang besar memberikan kesempatan besar untuk para penghuni berinteraksi dan bermanfaat bagi kondisi kesehatan dibandingkan dengan rumah tanpa ruang bersama (Schat, et al., ed, 2010: 43). Program rutin yang diadakan untuk merekatkan hubungan para penghuni adalah : memasak bersama untuk pesta makan malam sebulan sekali, membuat jadwal
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
perawatan dan pembersihan fasilitas-fasilitas bersama di dalam rumah, menonton bersama, dan lain-lain. Perasaan nyaman yang didapat dari komunikasi yang baik, memberikan pengaruh positif bagi kesehatan fisik dan mental para lansia. Dengan terus bekerja dan berkomunikasi, ingatan akan terus terasah, mencegah penuaan dan kepikunan. Berada di collective house juga memberikan semangat untuk hidup mandiri bagi para lansia. Keuntungan lainnya adalah, penghuni mendapatkan teman untuk berkomunikasi agar penghuni tidak merasa kesepian dan tidak akan mengalami kodokushi. Penghuni lansia juga mendapatkan bantuan jika mereka membutuhkan, meningkatkan kepekaan sekaligus kesadaran bagi generasi muda untuk membantu generasi tua, saling menolong di dalam kehidupan (Shad, et al., ed. 2002:47-49). Hasil Survei Collective House Untuk mengetahui pengaruh collective house pada penghuni lansia, diadakan survei pada sembilan collective house yang dibangun oleh pemerintah di Prefektur Hyogo yang mencakup 160
unit rumah dari total 269 unit (56%). Berikut adalah hasil survei yang
didapatkan : Mayoritas penghuni collective house adalah lansia, dengan perbandingan usia 10% usia 64 tahun ke bawah, 80% berusia 65 tahun ke atas, dan 10% penghuni tidak menjawab. Hal ini terjadi karena awalnya collective house dibuat untuk menanggulangi kodokushi setelah Gempa Besar Hanshin-Awaji. Sebanyak 60% korban selamat pada saat itu adalah lansia sehingga penghuni collective house terbanyak adalah lansia. Para lansia yang masih hidup terus bertahan dan tinggal di dalam collective house, namun masyarakat luar mengira bahwa collective house adalah perumahan yang dikhususkan untuk lansia, seperti panti jompo (老人ホーム, roujin ho-mu). Akibatnya, generasi muda tidak tertarik untuk tingal di dalam collective house. Alasan para penghuni
menggunakan collective house adalah: 42% karena biaya
masuk dan biaya sewa yang murah, serta 41.3% karena adanya fasilitas yang menguntungkan lansia (fasilitas kesehatan dan perbelanjaan). Biaya awal masuk berkisar antara 9.000-13.000 Yen, lalu rata-rata biaya sewa perbulan adalah 4.500 Yen. Selain itu, di dalam collective house terdapat fasilitas perawatan kesehatan untuk lansia. Dengan adanya fasilitas kesehatan, para penghuni lansia dapat menjaga kondisi tubuh mereka. Setelah 10 tahun tinggal di dalam collective house, 56% dari penghuni menyatakan cukup puas dan 18%-nya sangat puas. Di sisi lain 26% penghuni tidak puas dengan kehidupan di dalam collective house. Berikut ini adalah hal-hal yang membuat para penghuni merasa
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
puas, yaitu mudahnya akses menuju tempat berbelanja dan pemeriksaan kesehatan (43.8%). Biaya sewa termasuk murah meskipun terdapat fasilitas kesehatan di dalamnya (40%). Banyak orang yang tinggal di dalam collective house juga menjadi satu nilai positif yang didapatkan oleh penghuni (2.5%). Keunggulan dari collective house adalah terbukanya kesempatan bagi para penghuni untuk mengenal orang baru dan memulai hubungan dengan mereka (10.6%). 19.4% penghuni senang karena mendapatkan banyak kenalan dari generasi yang sama sehingga mendapat teman untuk saling bercerita mengenai kisah pengalaman. 12.5% penghuni mengatakan kebahagiaannya karena dapat hidup saling membantu, mereka merasa hidupnya tidak sendirian dan dibutuhkan oleh orang lain. 13.8% menyukai kemudahan pemakaian fasiitas di dalam sana komunikasi sebagai dan interaksi antarpenghuni dapat dimulai serta menghilangkan kekakuan dan pikiran akibat pekerjaan. Lalu 26.9% penghuni menyatakan bahwa ruangan-ruangan yang ada mudah digunakan. Para penghuni merasa lebih dapat membuka diri dan memercayai orang lain (15.6%). Selanjutnya, beberapa faktor penyebab ketidakpuasan penghuni adalah : banyaknya generasi lansia yang menjadi beban bagi penghuni generasi muda (34.4%). Para lansia yang sudah berusia 70-an tahun kondisi fisiknya telah melemah sehingga tidak dapat bekerja dengan porsi yang sama dengan penghuni muda. Sebanyak 28.8% menyatakan bahwa hubungan antarmanusia menyulitkan. Pendapat ini muncul karena masyarakat Jepang dewasa ini jarang mengadakan interaksi dengan orang selain keluarga mereka karena mereka sangat menjaga privasi orang lain dan tidak ingin saling mengganggu. Terutama bagi penghuni lansia, kondisi fisik yang melemah semakin membuat mereka jarang keluar kamar. Sedangkan, selebihnya merasa tidak puas karena sulit menggunakan ruang bersama (18.1%). Sebagian penghuni merasa privasi (13.3%) dan keamanan (11.9%) para penghuni tidak dijadikan prioritas perumahan. Beberapa penghuni merasa sedikit orang yang dikenalnya didalam collective house (5.6%), Beberapa penghuni merasa masih belum dapat memaksimalkan kehidupan dengan saling membantu antarpenghuni (18.1%). Adanya pemikiran meiwaku wo kakenai pada masyarakat Jepang membuat para penghuni menjadi membuat jarak dan pembatas kepada orang lain dan merasa segan untuk memberi dan meminta pertolongan kepada orang lain. Meskipun banyak penghuni yang memilih collective house karena biayanya murah, masih ada 17.5% penghuni yang merasa sebaliknya. 15% penghuni merasakan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada penghuni untuk beraktivitas. Sebanyak 8.1% penghuni merasa biaya sewa tinggi dan 13.1% merasa bahwa akses untuk ke rumah sakit dan berbelanja sulit. Selain itu, sisanya 6.9% menyatakan hal lain selain yang telah disebutkan.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Kehadiran fasilitas bersama seperti dapur, ruang makan, ruang bersantai, halaman, dan koridor merupakan keunggulan dari collective house. Berdasarkan survei, responden menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menggunakan fasilitas tersebut, mereka khawatir mengotori dapur tersebut. Selain itu para penghuni sudah mendapatkan dapur kecil di kamar pribadinya sehingga mereka merasa tidak perlu untuk menggunakan dapur bersama. Akibatnya, jarang sekali penghuni benar-benar menggunakan fasilitas bersama 61% dari penghuni sudah saling menyapa dan 27% penghuni telah bergaul dengan baik dengan penghuni lainnya di dalam collective house. 7% penghuni hampir tidak pernah berinteraksi dengan penghuni lainnya karena kondisi fisik melemah serta penggunaan fasilitas bersama yang belum efektif. Akibatnya, baik penghuni itu maupun penghuni lainnya tidak sempat untuk berinteraksi sehingga mereka tidak dapat saling mengenal dan memahami kondisi masing-masing penghuni. Setelah sepuluh tahun berlalu, diketahui bahwa 47% penghuni tidak merasakan adanya perubahan pada interaksi mereka. Sedangkan, 29% merasa interaksi yang dilakukan menurun dari sebelum tinggal di collective house. Sebagian kecil penghuni, 16% mengatakan bahwa interaksi yang dilakukan meningkat, lalu 8% sisanya tidak menjawab. Tidak adanya perubahan yang dirasakan oleh para penghuni diakibatkan oleh adanya fasilitas dapur pribadi sehingga para penghuni tidak harus berinteraksi dengan penghuni lainnya jika ingin memasak. Selain itu, 28.8% penghuni yang tidak terbiasa dengan hubungan antarmanusia masih menjaga jarak dengan penghuni lainnya. Oleh karena itu, disaat ada kegiatan yang harus dilakukan bersama, mereka akan meminimalisir interaksi dan berakibat kepada penghuni lain yang menjadi tidak dapat menjalin hubungan dengan mereka. Meskipun terdapat banyak kendala dalam hidup di collective house, namun 57% penghuni mengatakan ingin terus tinggal di dalam collective house. Dengan rincian 21% ingin melanjutkan dan 36% ingin terus tinggal jika keadaan memungkinkan. Hanya 13% penghuni yang ingin pindah dan pergi dari collective house, Sedangkan, 30% penghuni masih belum menentukan sikap dan tidak menjawab. Para penghuni yang ingin terus tinggal ingin terus merasakan kehidupan yang nyaman dan dapat saling membantu dengan penghuni lainnya. Sedangkan, para penghuni yang ingin pindah, mayoritas dikarenakan tidak ingin merasa terbebani oleh tanggung jawab orang lain. Keinginan untuk terus tinggal di dalam collective house juga diiringi dengan harapan agar collective house dapat memperbaiki fasilitas dan sistem yang sudah ada.
Poin utama yang diharapkan oleh para penghuni adalah ingin
merasakan hidup yang saling membantu untuk generasi yang sama (20.6%), selebihnya ingin
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
agar akses masuk ke collective house menjadi lebih mudah (19.4%), lebih sering mengadakan kegiatan berkumpul dan saling membantu dengan penghuni lainnya (17.5%), beberapa penghuni juga merasakan bahwa collective house yang sekarang sudah cukup memuaskan (16.9%). Meskipun collective house dibuat dengan tujuan mempererat hubungan antarpenghuni dan memberikan kehidupan dimana orang asing dapat hidup saling membantu dengan orang lainnya tetapi diketahui bahwa para penghuni collective house saat ini belum merasakan kehidupan tersebut dengan maksimal. Mengenai cara masuk, tidak diketahui bagaimana sebenarnya sistem pendaftarannya sehingga tidak dapat dijelaskan lebih rinci di dalam penelitian ini. 17.7% penghuni berharap agar di masa depan para penghuni dapat lebih sering mengadakan kegiatan berkumpul dan hidup saling membantu. Intensitas waktu yang diluangkan oleh seseorang untuk berkumpul masih sedikit, selain itu masih ada beberapa penghuni yang belum merasa nyaman untuk berkumpul dengan orang lain. Oleh karena itu, diharapkan pihak pembuat collective house dapat mengubah pola pikir penghuni serta orangorang di luar collective house (11.9%) . Mereka harus merasakan keindahan hidup bersama dengan orang lain (6.3%). Kehidupan yang saling membantu sangat dibutuhkan, bagi para penghuni yang masih bekerja, mereka sangat terbantu jika ada penghuni yang dapat dimintai tolong untuk menjaga anaknya selama ia bekerja. Di lain sisi, para penghuni yang sudah berusia lansia juga membutuhkan bantuan penghuni lain untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga maupun tugas di dalam collective house. Para penghuni generasi muda berharap agar lebih banyak lagi penghuni dari generasi yang sama dengan mereka sehingga jika ada pembagian pekerjaan tidak akan membebani pihak lain (13.1%). Meskipun diadakan pembagian tugas dalam bekerja, ada tugas yang tidak dapat dikerjakan oleh para lansia, agar tidak selalu membebankan generasi muda. Mereka berharap agar collective house dapat mendatangkan orang - orang yang ingin membantu (6.3%), bisa juga sukarelawan (5.6%). Banyaknya kegiatan yang dilakukan juga berarti banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya. 11.9% penghuni berharap mendapatkan subsidi lebih banyak lagi dari sebelumnya. 13.8% penghuni ingin agar hubungan antara pemerintah prefektur dan pemerintah kota lebih bekerjasama lagi dalam pembangunan collective house di wilayah masing-masing. Adanya kegiatan makan, menonton, serta memasak bersama rupanya dinilai masih belum cukup banyak, 10.6% penghuni ingin ada lebih banyak aktivitas lagi untuk menghabiskan waktu dan menjaga kesehatan mereka. 7.5% penghuni ingin agar banyak penduduk lokal yang ikut menjadi penghuni, karena selama ini jumlah unit yang dibangun
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
terbatas, maka tidak banyak orang yang dapat tinggal di sana. Masalah selanjutnya adalah para pengembang tidak begitu memikirkan akses transportasi untuk keluar lingkungan collective house, karena diperkirakan penghuni akan beraktivitas di sekitar collective house saja. Oleh karena itu, 8.8% penghuni ingin akses ke alat transportasi dimudahkan. Sedangkan, 5% penghuni menjawab selain itu.
Kesimpulan Bentuk masyarakat Jepang mengalami perubahan yang sangat signifikan semenjak Era Koudou Keizai Seichou (tahun 1953-1970-an). Masyarakat Jepang yang awalnya sangat kolektif dan komunal berubah menjadi individualis. Untuk mempermudah perpindahan dalam pekerjaan dan menyesuaikan diri dengan lahan yang sempit di perkotaan, masyarakat Jepang mulai membentuk keluarga inti (kaku kazoku) dan hidup sendiri (single household). Orangorang yang hidup dalam kesendirian, terutama lansia, rentan untuk mengalami kodokushi. Kodokushi pada tahun 2010-an yang terjadi akibat kerenggangan hubungan antarindividu Jepang. Anggota keluarga jarang berinteraksi dengan tetangga, apalagi mengikuti kegiatankegiatan di dalam komunitas. Para tetangga tidak mengetahui kondisi orang-orang di sekitarnya sendiri sehingga ketika keadaan mendesak yang membutuhkan bantuan orang lain, tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Ketika seorang lansia pensiun dan hidup dalam kesendirian, tidak ada yang ia kenal cukup dekat untuk dimintai pertolongan. Oleh karena itu, jika tidak ada keluarga yang sering memeriksa kondisi, tetangga berperan besar dalam pemberian bantuan jika seseorang sedang berada di dalam kesulitan. Akan tetapi, jika pada masa muda ia tak memanfaatkan waktu untuk berinteraksi dengan tetanga, pada masa tua tidak ada tetangga yang ia kenal maupun mengenalnya. Untuk mencegah terjadinya kodokushi, telah dilakukan berbagai cara oleh beberapa pihak. Akan tetapi kebanyakan program-program yang telah dibuat hanya berfokus kepada pemeriksaan kondisi para lansia di wilayahnya, untuk segera mengetahui jika kodokushi terjadi. Program-program tersebut tidak berfokus kepada cara mengembalikan interaksi antartetangga di dalam masyarakat Jepang, yang merupakan masalah terbesar penyebab kodokushi pada lansia. Lansia yang aktif dan menjalin interaksi dengan sekitarnya cenderung lebih sehat dan bahagia daripada yang tidak. Oleh karena itu, cara untuk menghindari kodokushi adalah dengan memberikan kehidupan yang aktif dan penuh interaksi kepada para lansia yang hidup
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
dalam kesendirian. Collective house muncul sebagai salah satu alternatif penanggulangan kodokushi yang memberikan kesempatan untuk berinteraksi dan tetap hidup aktif bersama dengan penghuni lainnya. Diharapkan dengan berbagai fasilitas dan program yang ada, secara tidak langsung dapat mengurangi jumlah kasus kodokushi di Jepang. Namun, kenyataannya supaya ini tidak berjalan lancar dan tidak dapat dikatakan berhasil karena setelah sepuluh tahun collective house berdiri jumlah kasus kodokushi tetap meningkat. Beberapa penyebabnya adalah : 1) Jumlah lansia yang hidup sendiri dengan jumlah unit collective house tidak seimbang sehingga masih banyak lansia yang tidak dapat hidup di dalam collective house mengalami kodokushi. Banyaknya jumlah collective house tentu juga dipengaruhi oleh tingkat kepopulerannya di dalam masyarakat Jepang. Collective house tidak populer di kalangan generasi muda, karena dianggap sebagai tempat tinggal khusus untuk lansia. Akibatnya, sekitar 80% penghuni collective house adalah lansia dan mereka mengalami kesulitan dalam beraktivitas di dalam kegiatan rutin karena kondisi fisik yang sudah melemah. 2) Masih ada banyak masalah dalam sistem dan fasilitas collective house yang perlu diperbaiki untuk menjadikan collective house sebagai alternatif penanggulangan kodokushi yang efektif.
Saran Jika ingin menjadikan collective house sebagai alternatif penanggulangan kodokushi, hal utama yang harus pemerintah Jepang lakukan adalah mempromosikan collective house lebih luas lagi. Tampilkan collective house sebagai wadah untuk para penghuni dapat berinteraksi dan saling membantu satu sama lain. Collective house terbuka untuk siapa saja, tidak terbatas hanya untuk lansia saja. Tujuannya adalah mengundang generasi muda untuk hidup didalam collective house dan dapat melakukan pembagian kerja dengan lebih adil. Selain itu,untuk memaksimalkan peran dapur bersama, lebih baik minimalisir kualitas dapur di kamar-kamar pribadi agar para penghuni menggunakan dapur bersama dan dapat berkomunikasi dengan penghuni lain.
Daftar Referensi Buku :
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Hirohisha, Kohama. (2007) Industrial Development in Postwar Japan. Routledge : In US and Canada Hendry, J. Understanding Japanese Society. Routledge : Taylor & Francis e-Library. 2003. Jennie Jacobs Kronenfeld., ed. Issues in Health and Health Care Related to Race/Ethnicity, Immigration, SES and Gender. Emerald Group Publishing. 2012. hlm 81. Kart, C, S., dan Manard, B. B. Ed. Aging in America : Readings in Social Gerontology (Edisi ke-3). 1981. Palo Alto, CA : Mayfield Möhwald, Ulrich. Changing Attitudes towards Gender Equality in Japan and Germany. Iudicium : Munchen. 2002. hlm 18 OECD. (2013) National Account at a Glance 2013. OECD Publishing Saito, Makoto. Silencing Identity Through Communication : Situated Enactments of Sexual Identity and Emotion in Japan. ProQuest. 2007 Schad, Annette,et al., ed. Demographic Change in Japan and the EU: Comparative Perspectives. düsseldorf university press GmbH: Düsseldorf. 2010. hlm 43, 47-49 Takie Sugiyama Lebra. Japanese Social Organization. University of Hawaii Press : United States. 1992. Rau, Edith (1987) : Wohnen in den Stadten. Eine Beschreibung aus Sozialer Sicht. In : Renate Herold (ed): Wohnen in Japan . Berlin : Erich Schmidt Verlag, hlm 251-283 Koran : Asahi Shimbun, 16 Januari 2009 Survey from the End of the Month Lonely Death of the Old Man Asahi Shimbun, 19 November 2945 Skripsi, Disertasi, dan Tesis : Danely, Jason Allen.Departure and Return: Abandonment, Memorial, and Aging in Japan. Disertasi. 2008. hlm 291 Desi, Setiyawati A. Kerenggangan Hubungan Antartetangga di Tokyo: Salah Satu Aspek dari Muen Shakai. Skripsi. 2013. hlm 34-46 Tanaka, Kimiko. (2008), Aging in Japan : Importance of Social Integration. Disertasi. Michigan State University
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
Waode, Hanifah I. (2012), Hubungan Struktur Keluarga Tanshin Setai dan Kerenggangan Hubungan Manusia dengan Fenomena Kodokushi Pada Lansia di Masyarakat Jepang Kontemporer. Skripsi. Universitas Indonesia
Internet : http://japantimes.co.jp/news/2000/10/01/national/collective-houses-pushed
-for-seniors-
living-alone/#.UwxCzc6KGJk (Diakses pada tanggal 20 Februari 2014, pukul 22.54 WIB) http://www.mongabay.com/reference/country_studies/japan/SOCIETY.html (Diakses pada tanggal 21 Februari 2014, pukul 23.32 WIB) search.proquest.com/docview/616027848/CD04FB6AC3994531PQ/2?accountid=17242 (Diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 23.09 WIB) www.fukushihoken.metro.tokyo.jp/kansatsu/kodokusitoukei24.filess/kodokusisuu.pdf (Diakses pada tanggal 22 Februari 2014, pukul 23.33) http://lang-8.com/kumasup/journals/1712580 (Diakses 13 Mei 2014, pukul 10.54) http://www.ritsumei.ac.jp/acd/gr/gsce/ce/2011/kh01b.pdf (Diakses 18 Maret 2014, pukul 14.14) http://www.dawncenter.or.jp/english/publication/edawn/0512/05.html (Diakses pada tanggal 28 Maret 2014, pukul 12.19) https://sites.google.com/site/japansurbanizationandhealth/ (Diakses pada tanggal 01 April 2014, pukul 01.08) Search.proquest.com/docview/616027848/CDO4FB6AC39945318Q/2?accountid=17242 (Diakses pada tanggal 03 Mei 2014, pukul 02.33) https://sites.google.com/site/japansurbanizationandhealth/ (Diakses pada tanggal 01 April 2014, pukul 01.08) http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1976952,00.html (Diakses pada tanggal 04 Mei 2014, pukul 22.14) Search.proquest.com/docview/616027848/CDO4FB6AC39945318Q/2?accountid=17242Diak ses pada 03 Mei 2014, pukul 02.33 https://workfamily.sas.upenn.edu/glossary/f/family-definitions (Diakses pada tanggal 24 Mei 2014, pukul 14.36) Fukue, Natsuko. McClatchy - Tribune Business News [Washington] 21 July 2010
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014
(Diakses pada tanggal 22 Mei 2014, pukul 17.20) http://www.bloomberg.com/news/2012-10-04/seniors-engaged-pursuing-sports-to-cultureliving-longer.html (Diakses pada tanggal 08 Juni 2014, pukul 12.41)
Jurnal : Hrdlicka, Anna. The Future of Housing and Technology in Japan : the Connectedness Homes Group Study Tour. 2003. hlm 7. Shigesato Takahashi (2004) The Japanese Journal of Population Vol. 2, No. 1: Demographic Investigation of the Declining Fertility Process in Japan. Kishimoto, Tatsuya. Future Challenges of Collective Housing. n.d.
Collective house..., Raisha Anefi, FIB UI, 2014