REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK DI KABUPATEN WAJO
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Oleh:
ANDI MUHAMMAD YUSUF E511 05 027
JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
ABSTRAK Andi Muhammad Yusuf K. (E 511 05 027), skripsi Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo. Dibawah Bimbingan Bapak Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA selaku Pembimbing I (pertama) dan Bapak Dr. Tasrifin Tahara, M.Si selaku Pembimbing II (kedua). Skripsi ini merupakan penelitian yang berisi penggambaran dan telaah mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus dalam skripsi ini adalah bangunan struktur masyarakat Wajo yang dipelajari dari rangkaian sejarah untuk menemukan aspek yakni status tradisional yang menjadi salah satu komponen dalam budaya politik dan setidaknya cukup mempengaruhi bagaimana praktik politik yang dilakukan orang Bugis Wajo. Telah cukup lama diketahui bahwa masyarakat Wajo pada masa kerajaan memiliki tatanan politik yang tidak sedikit, berbeda dengan tatanan politik di belahan negeri Bugis lain disekitarnya yang menekankan pembagian kekuasaan diantara kalangan bangsawan yang menduduki setiap wanua untuk menjabat sebagai Arung Matoa. Hingga hari ini, kedudukan Wajo dalam otonomi daerah menghadirkan kembali tatanan dalam kultur Orang Bugis Wajo yang mendorong legitimasi simbol-simbol budaya seperti status sosial yang direproduksi yang bersinggungan dengan praktik politik dan pergulatan kekuasaan. Penelitian lapangan yang dilakukan antara Januari 2011 sampai Juni 2011 ini mengambil setting di Kabupaten Wajo dan di 3 kecamatan dan beberapa desa yang ada di wilayah administratif kabupaten Wajo. Penelitian ini menekankan pada berbagai peristiwa dalam keseharian orang Bugis Wajo yang diantaranya juga melalui penuturan ataupun penceritaan kembali peristiwa yang telah berlalu. Di samping itu, penelitian ini melingkupi penelitian arsip, dokumen, dan naskah sejarah untuk mendapatkan berbagai informasi terkait dengan kerangka penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Para informan adalah tokoh masyarakat; tokoh agama dan tokoh politik masyarakat Wajo; pejabat dan mantan pejabat di kecamatan/desa; serta orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan berkenaan dengan berbagai peristiwa yang memiliki korelasi dengan masalah politik di Kabupaten Wajo. Hasil penelitian melukiskan tentang perilaku arung dalam melegitimisasi identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dan diproduksi dalam tradisi yang dimunculkan dalam garis keturunan klen para penguasa wanua sebelumnya yakni Bettempola, Talo’tenreng, dan Tuwa. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya, tetapi kemudian justru membentuk keterkaitan dengan relasi struktur patronase (Ajjjoareng-joa). Pada proses konstruksi dan mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya, dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa oleh kelompok masyarakat keturunan arung. Pada kadar tertentu, reproduksi status cukup mempengaruhi kultur masyarakat Wajo dalam menduduki kekuasaan dan dihadirkan pada praktik-praktik politik sebagai bagian dari upaya strategi politik mendominasi kekuasaan. Praktik politik yang termanifestasi dalam momen politik seperti pemilihan legislatif dan kepala daerah memperlihatkan pola dan karakteristik dari praktik Ajjoareng-joa cukup berpengaruh guna mendapatkan dukungan politik dan kedudukan kekuasaan.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dalam segenap rasa dan fikiran penulis sujudkan kepada pemberi segala rahmat Allah SWT. Serta salawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada pembawa teladan dari segala tauladan di dunia ini Rasulullah Muhammad SAW beserta Keluarganya yang telah memperkenalkan risalah keadilan pada umat manusia. Alhamdulillah, penulis akhirnya mendapat suatu momentum untuk merampungkan penulisan dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo”. Dan dari segala apa yang ada dalam karya tulisan ini adalah dimensinya yang tak lepas dari adanya kekurangan dan kelemahan, yang penulis sadari tak mampu menuangkan semuanya dengan adanya batasan ruang dan waktu. Disamping itu, keterbatasan wawasan dan pengetahuan yang penulis miliki masih belum mumpuni untuk berpetualang dalam wahana ilmu yang begitu luas, dan hanya cukup menjadikan karya kecil ini sebagai bagian terkecil dari kisah yang menyajikan pengetahuan. Sealur garis panjang, terlalu panjang malah, sudah terlewati. Dan seperti laiknya, ketika perjalanan menyusur sebuah garis telah tiba di satu titik, dan harus digores lagi garis baru untuk dijelajah, selalu terbetik bermacam rasa yang terpadu: bangga, bahagia, dan haru, tapi juga galau, gelisah, dan sendu. Dalam perjalanan menuju titik ini, skripsi ini, ada banyak tangan yang menuntun, ada banyak kaki yang mengantar, ada banyak telinga yang mendengar, ada banyak mulut yang menghibur, dan ada banyak hati yang mengerti. Ucapan terima kasih, betapapun ditata dengan aksara emas, atau kata-kata berhias, takkan pernah membayar semuanya dengan lunas dan tuntas. Tapi hanya kata sederhana inilah yang bisa diberikan, beserta seuntai doa tulus nan bersahaja: Dia Yang Tak Buta dan Tak Pelupa yang akan mengganjar dengan selaksa kali, saat ini dan nanti. Ucapan terima kasih penulis untuk: 1.
Pihak Dekanat, Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA dan seluruh sivitas akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. v
2.
Untuk Pembimbing I penulis, Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA disela-sela canda versi bapak „Haji memberikan dorongan dan motivasi yang luar biasa untuk penyelesaian penulisan ini serta Pembimbing II, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si yang selalu baik mengingatkan draft akhir tulisan.
3.
Dr. Munsi Lampe, MA dan Drs. Yahya, MA beserta Dosen-dosen pengajar dan staf jurusan yang telah menghadirkan suasana hangat dan bersahaja selama perjalanan studi penulis di Jurusan Antropologi.
4.
Dr. Muhammad Basir, MA yang masih mengingat semua bukunya dan rela meminjamkannya kepada penulis selama penulisan skripsi.
5.
Untuk cerita dan petunjuk Andi Rahmat Munawar, kerabat penulis, bapakbapak, ibu-ibu dan saudara-saudara masyarakat Sabbangparu, Belawa, dan Majauleng.
6.
Sahabat-sahabat E 511 05‟ pemicu tawa dan pemacu motivasi (Ulla‟, Abon, Mail, Waes, Jaya, Bom2, Adhe, Iting, Rancid, Bolla‟,… Anthrop ‟05).
7.
Kerabat Antropologi penghuni HUMAN, senior dan yunior yang telah banyak berbagi canda sepaket ilmu pengetahuan dan rekan-rekan para penggiat KEMA FISIP UNHAS untuk wahana lembaganya.
8.
Adik-adik, kerabat: Ilham, Fadli, Dani, Aliyah, Dwi, Ricta, Ciko‟, Eka, dan Ayi‟ yang menyempatkan diri membantu penulis dalam penelitian lapangan.
9.
Sahabatku, kekasihku, genggaman tanganku, peretas pikiranku Munauwarah dari kesabaran hingga ketulusan.
10. Dan akhirnya untuk Bapa‟ dan Emma‟, dua kaki yang menopang paling kokoh, dua tangan yang menuntun paling lembut, dan dua hati yang mengerti paling dalam. Untuk memungkasi pengantar ini, dari segala kekurangan dan kekhilafan penulis menghaturkan maaf dan berharap semoga lembar-lembar ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Wassalam. Makassar, Januari 2012
Andi Muhammad Yusuf
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... HALAMAN PENERIMAAN ....................................................................... ABSTRAK ..................................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................
i ii iii iv v vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................ B. Fokus Penelitian ......................................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. D. Tinjauan Konseptual ................................................................... E. Metode Penelitian ........................................................................ F. Sistematika Penulisan .................................................................
1 7 9 10 18 29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan dalam Kajian Politik dan Kekuasaan ...................... B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian ....................................... C. Wujud Budaya Praktik Politik Lokal ........................................... D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik ....... E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien ...........
31 41 47 55 60
BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo ............................................... B. Keadaan Geografis ...................................................................... C. Profil Organisasi Pemerintah Daerah ........................................ D. Tatanan Nilai Dalam Sistem Pemerintahan .............................. E. Karakteristik Informan ...............................................................
66 69 70 74 76
BAB IV REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan Kekuasaan .................................................................................... B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik ............. C. Karakteristik Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo ..................
83 112 124
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
133
DAFTAR PUSTAKA
vi
Pendahuluan Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG “ … Jika kita menyadari bahwa diantara semua Negara di Timur … hanya orang Bugis yang telah sampai pada tingkatan pengakuan hak-hak warga Negara, dan satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman.” (James Brooke, 1848)1
Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan dalam catatan perjalanannya ketika mengunjungi kerajaan-kerajaan di semenanjung Sulawesi, Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu dilukiskan sebagai kerajaan
“Demokratis”
yang
oleh
Mattulada
menyebutnya
“Republik
Ariktokrasi”, serta Pelras yang juga memberikan ulasannya. 2 Meski agak berlebihan menyebutnya, namun catatan historis menyebutkan dari berbagai tulisan memberikan gambaran mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang bentuk Negara dan Pemerintahan di Kerajaan tersebut yang mirip dengan sistem demokrasi apalagi dengan bentuk penghargaan terhadap warga Wajo’ sebagai orang merdeka. Tak ada jabatan dalam kerajaan yang dianggap sebagai warisan mutlak, bisa saja hanya menjabat dalam waktu periode tertentu, meskipun tidak sedikit dari kalangan bangsawan atau keturunan penguasa yang mewarisinya. Orangorang yang akan menduduki jabatan dan mengisi struktur pemerintahan dipilih oleh dewan pemilihan khusus yang berdasarkan berbagai kriteria seperti garis keturunan, hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi, dan 1 2
Kutipan Christian Pelras mengenai catatan perjalanan James Brooke yang melukiskan tentang bentuk kekuasaan di Kerajaan Wajo dalam bukunya Manusia Bugis (2006: 202) Ulasan Pelras mengenai sistem kerajaan (Arung Pattapulo) di Wajo yang terbagi kedalam beberapa bagian kekuasaan di daerah-daerah yang terbentuk menjadi lembaga pemerintahan yang kemudian disebutnya menyerupai parlemen.
Universitas Hasanuddin
1
Pendahuluan Pendahuluan
pengaruh
yang
dinilai
dari
jumlah
dan
kualitas
pengikutnya,
tanpa
memperhitungkan di daerah mana ia tinggal.3 Pada masa Kerajaan Wajo, dimana dalam catatan sejarah ditemukan model pranata politik dalam lingkungan sosial budaya para bangsawan yang membentuk struktur kerajaan yang kekuasaannya terbagi. Seorang penguasa dinamai atau disebut Arung Matoa (raja/pemimpin para matoa) yang umumnya selalu diduduki oleh seorang laki-laki, ia dibantu oleh suatu dewan yang disebut Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Arung Ennenngé atau Petta Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga orang Padanréng (sekutu, pendamping) dan tiga orang Baté Lompo (pemegang panji). Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung Mabbicara sebagai lembaga pembuat undang-undang. Disamping itu juga terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Padanreng kepada rakyat, menyampaikan perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan menyampaikan hasil permufakatan dan perintah dari Petta Wajo. Jadi terdapat 40 orang dalam lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6 orang Arung Ennengnge, 3 orang Suro ri Bateng, 12 orang Arung Mabbicara, 18 penasehat). Ke 40 orang atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe’ (pertuanan yang empat puluh) yang bentuknya menyerupai sistem parlemen. Bentuk atau struktur pemerintahan tersebut diperkuat oleh tese Mattulada yang menyebutkan bahwa4:
3 4
Lihat Pelras (2006) ‘Manusia Bugis” Op.cit Hal. 200 Dalam Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (1995). Op.cit, Hal. 408
Universitas Hasanuddin
2
Pendahuluan Pendahuluan
“ … Pola kepemimpinan Wajo dapat disebut lebih dekat kepada sistem patrimonial yang bersifat tradisional, pada kelompok persekutuan tetapi pada pucuk pimpinan yakni Arung Matoa Wajo berlaku pola-pola kepemimpinan rasional yang didasarkan kepada kemampuan pribadi dan penerimaan dari Perwakilan Rakyat (secara terbatas)” Dari masa ke masa, perubahan kompleks secara menyeluruh mulai dari aspek sosial-budaya sampai ekonomi-politik mengantarkan wajah manusia Bugis Wajo dalam ranah modern kedalam struktur dan sistem baru yang telah cukup jauh meninggalkan bentuk negara kerajaan seperti dahulu. Perubahan sistem pemerintahan kerajaan Wajo pada masa penjajahan Hindia Belanda, dimana Arung Patappuloe’ tidak lagi memegang peranan penting dalam kekuasaan tetapi hanya menjadi simbol bagi rakyat Wajo dan para pejabat (Arung) pada saat itu dilarang mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain pada masa itu, hal ini disebabkan karena kekakalahan perang pada tahun 1905 - 1906 yang menyebabkan Wajo’ harus tunduk dan menaati sistem administratif wilayah Zelfbestur5 yang diberlakukan Hindia Belanda. Hingga pada era kemerdekaan, berita kemerdekaan yang di proklamirkan di Jakarta sampai di Tana’ Wajo yang kemudian mendapatkan sambutan dari Arung Matoa pada saat itu Andi Mangkona dan Andi Ninnong yang disebut-sebut sebagai Arung Matoa terakhir mengakui kedaulatan Indonesia yang menjadikan Wajo pada saat itu sebagai bagian. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan kondisi perubahan di Indonesia yang sering disebut masa reformasi oleh 5
Dalam tulisan Mattulada (1995) disebutkan sebagai wilayah di bawah pemerintahan seorang Assistant Resident Belanda yang berkedudukan di Bone.
Universitas Hasanuddin
3
Pendahuluan Pendahuluan
kelompok-kelompok pembaharu yang terdiri atas kelompok cendekiawan kampus dan kelompok mahasiswa, dampak reformasi ini juga membawa agenda perubahan dalam sistem politik dan pembagian kekuasaan di Indonesia. Beberapa daerah yang awalnya berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik) kini menuntut adanya pemerataan pembangunan yang secara radikal didukung oleh gerakan-gerakan kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental dari eforia reformasi pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat sensitif dan mendesak untuk segera diselesaikan. Maka pada tahun 1999 ditetapkanlah Undang-Undang No. 22 mengenai pemerintahan daerah yang berisi tentang peraturan pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota. Hal menarik di Indonesia saat ini yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa telah mengadopsi sistem politik pemerintahan demokrasi yang berasal dari kebanyakan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Model demokrasi seperti ini merupakan wujud dari ide “Trias Politica” yang dikemukakan oleh Motesqueui dan Jhon Locke dimana pembagian kekuasaan negara sampai pemerintahan tingkat daerah terbagi kedalam 3 lembaga negara. Miriam Budiardjo (2004)6 memberikan suatu penjelasan mengenai tiga lembaga tersebut yakni, Eksekutif (lembaga pemerintahan yang melaksanakan undangundang), Legislatif (lembaga pembuat Undang-undang/ peraturan), dan Yudikatif (Lembaga pengawasan, penafsir undang-undang dan pemberi sanksi terhadap pelanggaran undang-undang). Pada masa Orde Baru, bentuk pembagian kekuasaan seperti diatas di nilai oleh banyak kalangan hanya menjadi sekedar jargon belaka tetapi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya, 6
“Dasar-dasar Ilmu Politik” (2004). Op.cit, hal. 315
Universitas Hasanuddin
4
Pendahuluan Pendahuluan
sebaliknya pasca reformasi bentuk demokrasi dan pranata politik yang ada mulai ramai di kaji kembali dan upaya para ilmuwan sosial maupun praktisi politik untuk menempatkan dan menerapkan secara benar sistem demokrasi dalam tatanan negara sehingga wujud dan perannya dapat berfungsi dengan baik. Besarnya kewenangan di tingkat daerah didukung oleh perubahan sistem politik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan penerapan konsep chek and balances kekuatan politik lokal antara legislatif dan eksekutif. Peran dan fungsi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga politik di daerah menjadi lebih besar dibandingkan pada masa Orde Baru. Partisipasi politik lokal semakin meningkat secara signifikan dengan munculnya kepentingan perorangan maupun kelompok yang bisa dikatakan “politisi dadakan” di setiap daerah dalam ranah politik, yang ditengarai dimulai dengan munculnya kelompok bangsawan yang terpelajar serta kelompok masyarakat ekonomi kuat yang memanfaatkan kondisi dalam sistem politik yang secara otonom memberikan ruang politik untuk mencapai kekuasaan baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna mendapatkan kursi di parlemen atau legislatif dan jabatan birokratis di daerah. Bercermin dari pranata politik dan pembagian kekuasaan yang ada di daerah saat ini mengingatkan kita tentang sistem politik kerajaan di Wajo dimasa lalu seperti yang penulis utarakan diawal, dimana kekuasaan tidak berada di tangan raja secara individu tetapi peran setiap wanua7 yang ada di wilayah kerajaan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan politik, baik masalah konflik, perang maupun hal yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi. Kecenderungan pemahaman ini kemudian mengantarkan penulisan ini pada konsepsi budaya politik sebagai bagian dari mainset setiap individu dalam 7
Daerah/wilayah yang di diami oleh kelompok masyarakat yang dipimpin oleh kepala kampong yang memiliki otonomi tersendiri tetap menjadi bagian dari pemerintahan Wajo
Universitas Hasanuddin
5
Pendahuluan Pendahuluan
kelompok masyarakat yang menunjukkan wujudnya dari beberapa rangkainrangkaian peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku maupun pola tindakan. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial. Asumsi awal penulis untuk mencoba menggambarkan dan berupaya untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan pola tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang bugis Wajo dalam ruang lingkup kebudayaannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap berbagai aspek dan nilai budaya lokal dalam wujud implementasi kearifan lokal masyarakat pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan yang cermat, apalagi menginginkan suatu
konsep budaya yang dianggap masih dipegang
teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya mengatasi dampak perkembangan zaman8. Berkaitan dengan itu, fenomena sosial yang sangat aktual dalam kegiatan politik dewasa ini yang dialami oleh masyarakat pada umumnya dan masyarakat Bugis pada khususnya adalah berkaitan dengan pranata politik dan pembagian kekuasaan pemerintahan daerah adalah perilaku politik sebagai aktor dalam lembaga politik di daerah misalnya yang bertanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugas pembuatan peraturan daerah yang sudah terencana melalui mekanisme yang ada dan pelaksanaan kebijakan-kebikakan politik. Implikasi 8
Muhammad Ramli (2008: 7) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yakni pappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakan publik.
Universitas Hasanuddin
6
Pendahuluan Pendahuluan
dari kebijakan politik yang tercermin dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersentuhan dengan masyarakat sedikit banyak mempengaruhi tatanan masyarakat dengan berbagai dinamikanya. Hasil diskusi dengan beberapa rekan-rekan mahasiswa dan kajian terhadap beberapa tulisan terkait masalah politik dan kekuasaan, serta masukan dari dosen penasehat akademik memberikan gambaran awal seperti yang penulis utarakan dalam latar belakang. Dengan tidak hanya melihat sisi politik dalam aspek formalitasnya sebagai bagian tatanan negara saat ini, tetapi penting bagi penulis untuk mengungkapkan sisi-sisi lainnya seperti tatanan nilai-nilai, status sosial (dalam sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial) perilaku dan budaya yang sejalan dan bertautan dengan aspek politik orang Bugis Wajo. Seperti Mattulada (1995) yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya, adat istiadat dalam penyelenggaraan negara
pada
orang Bugis, Mattulada mencoba
memahami kedudukan jalan pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara. Untuk itu, penulis dengan arah kajian antropologi politik mencoba menggambarkan fenomena tersebut melalui penelitian lapangan dengan judul “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo” sebagai tema dasar/lokus bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir dan syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. B. FOKUS PENELITIAN Penelitian ini menyandarkan pada suatu kerangka berpikir yang masih bersifat asumsi-asumsi awal dimana penulis secara sederhana memberikan pendapat tentang fenomena politik dalam sebuah daerah sebagai suatu bentuk arena dalam pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan
Universitas Hasanuddin
7
Pendahuluan Pendahuluan
mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat yang pada awal proses pembentukannya secara sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang ada yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan pemahaman individu dalam interaksi dalam ranah institusi politik. Meski terjadi pergeseran di tingkat institusi tersebut dalam wujudnya, penulis beranggapan bahwa ada struktur berpikir yang tidak berubah9. Jika dalam suatu sistem sosial budaya bertumpu pada penghayatan, pengamalan dan pengalaman terhadap nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem sosial pada interaksi
politik, maka penulis berupaya menemukan dan
memberikan gambaran mengenai pengahayatan dalam budaya yang terwujud dalam perilaku politik orang Bugis Wajo yang dipraktekkan oleh orang Bugis Wajo dalam suatu institusi politik. Dari hal tersebut penulis memfokuskan penelitian ini pada kaitannya dengan bentuk perilaku yang dimunculkan dalam praktek-praktek politik dalam instistusi politik dengan merumuskan beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana sejarah politik orang Bugis Wajo dalam memproduksi status dan kekuasaan dalam tatanan kultural? 2. Bagaimana bentuk reproduksi status orang Bugis Wajo sebagai strategi dalam praktik politik? 3. Karakteristik bagaimana yang mencirikan praktik politik oleh orang Wajo?
9
Seperti kaum strukralisme yang percaya bahwa dalam tatanan yang telah bertransformasi pun, struktur dalam (logika-logika, kerangka pikir) suatu keadaan tersebut tidak berubah. (Levi’-Strauss dalam Ahimsa, 2006:61 )
Universitas Hasanuddin
8
Pendahuluan Pendahuluan
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Usaha dalam studi ini mengenai antropologi politik dalam penelitian in diharapkan mampu menghasilkan: 1. Suatu gambaran sejarah politik mengenai orang Bugis Wajo dalam memproduksi status dan kekuasaan dalam tatanan kultural. 2. Suatu penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku politik orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo. 3. Suatu penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis Wajo yang membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik mereka serta implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakankebijakan politik di Kabupaten Wajo. Kegunaan Penelitian adalah : 1. Secara Praksis, Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi peneliti lain yang berminat pada topik yang sama mengenai budaya politik, sehingga dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai Antropologi Politik. 2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah ataupun lembaga-lembaga yang berkecimpung pada bidang kajian Politik, sehingga dapat memberikan masukan yang berarti terhadap langkahlangkah kebijakan yang akan ditetapkan oleh para penentu kebijakan. Dan diharapkan pula bagi masyarakat agar menjadi warga negara yang menghargai kehadiran yang lain.
Universitas Hasanuddin
9
Pendahuluan Pendahuluan
3. Untuk keperluan akademik dan praktis kemasyarakatan. Dan adapun manfaat penelitian ini secara teoritis untuk memehami suatu budaya yang dinamis, memerlukan pendekatan holistik terhadap suatu problem tertentu. 4. Bagi peneliti sendiri/penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan cakrawala berfikir yang luas dan mendalam mengenai kajian tentang pendekatan antropologi dalam perilaku politik. D. TINJAUAN KONSEPTUAL Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan sampai bentuk-bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk pujian. Salah satu fenomena manusia dan kebudayaan adalah masalah polarisasi sosial yang terbentuk dalam stratifikasi sosial suatu masyarakat. Pada dasarnya stratifikasi sosial relatif beragam, misalnya dimensi usia, agama, pendidikan formal, pekerjaan, penguasaan ekonomi dan lain sebagainya. Berbagai dimensi stratifikasi umumnya memiliki signifikansi dan kadar pengaruhnya juga berbedabeda serta tidak sama kuat yang bergantung pada akomodasi dan bentuknya pada masing-masing kebudayaan dan konteks perkembangan masyarakatnya. Hal yang menarik adalah kecenderungan konsepsi status sosial yang menonjol sebagai signifikansi stratifikasi sosial, utamanya didaerah yang masih menganut
Universitas Hasanuddin
10
Pendahuluan Pendahuluan
akar-akar budayanya, yang dalam tatanan kebudayaannya masih melegitimasi status sosial sebagai salah satu yang mendeterminasi tatanan relasi antar individu dalam masyarakatnya. Meski kemajuan dan perubahan masyarakat berjalan dalam dinamikanya, tetapi kecenderungannya hanya berubah tataran kekuatan dan kadarnya yang memungkinkan status sosial dalam suatu masyarakat masih tereproduksi sehingga orientasi dan implikasinya terlihat dalam struktur masyarakat, salah satunya dalam ranah politik cukup mempengaruhi hirarki kekuasaan. Dalam bentuk sederhana, stratifikasi atas dasar aspek status membagi masyarakat ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disegani atau terhormat dan kelompok masyarakat biasa. Kelompok masyarakat yang terhormat, umumnya menekankan arti penting akar sejarah yang dijadikan dasar untuk membenarkan kedudukan istimewa mereka di masyarakat. Seorang keturunan bangsawan, misalnya akan selalu tampil terhormat di masyarakat, dan dalam beberapa hal tidak memperlihatkan ketertarikan untuk memasuki atau dimasuki kelompok biasa karena ada keinginan untuk mempertahankan kemurnian darah kebangsawanan-nya. Kelompok masyarakat yang dihormati tidak selalu mutlak dari mereka kaum bangsawan atau keluarga raja melainkan juga bisa dari kalangan tokoh atau pemuka agama, orang yang memiliki kekayaan dan penguasaan ekonomi maupun orang yang telah mendapatkan prestasi pendidikan. Salah satu faktor yang dapat dipergunakan untuk menelaah masalah polarisasi sosial dalam masyarakat adalah melalui distribusi kekuasaan10 dimana dimensi kekuasaan tersebut terasosiasi dalam konsepsi stratifikasi sosial yang menghasilkan suatu telaah tentang pengaruhnya dalam praktik-praktik politik.
10
Lihat Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) “ Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Op.cit. Hal. 154
Universitas Hasanuddin
11
Pendahuluan Pendahuluan
Pada ranah politik, suatu fenomena menarik adalah persoalan manakala status dikaitkan dengan praktik-praktik yang dilakukan suatu kelompok masyarakat dalam berpolitik. Suatu akar budaya seperti yang penulis asumsikan sebelumnya tentang rentetan perilaku kelompok tertentu dalam melegitimisasi identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dalam budaya tertentu. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya11. Pada proses konstruksi mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya, dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa dalam masyarakat. Meski bukan merupakan faktor tunggal, namun pada kadar tertentu reproduksi status cukup mempengaruhi dalam kebudayaan tertentu dalam mengakomodasi kekuasaan dan dihadirkan dalam praktik-praktik politik sebagai bagian dari upaya dominasi. Hal yang sama diungkapkan Bourdieu12 dalam konteks pendidikan dimana kekuasaan simbolik diperlukan dalam rangka dominasi atas kelompok yang tidak beruntung, dimana kekuasaan tersebut bekerja dalam memaksakan prinsip-prinsip konstruksi realitas. Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan penguasaan sumber-sumber daya melalui pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat salah satunya adalah melalui pranata politik. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam
11 12
Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) Ibid. Hal. 155 Dalam Richard Harker, etc. (ed.) ‘(Habitus x Modal)+Ranah=Praktik: Pengantar paling Komprehensif Pemikiran Pierre Bourdieu (2009) Yogyakarta: Jalasutra
Universitas Hasanuddin
12
Pendahuluan Pendahuluan
bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosialbudaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. Terkait masalah praktik politik dan penguasaan dalam ranah-ranah politik termasuk dalam ruang institusi politik suatu masyarakat sebagai implikasi dari faktor budaya tertentu, Gabriel Almond13 mengajukan tese bahwa sebelum kebijaksanaan politik dan tujuan ditetapkan, individu-individu atau kelompokkelompok masyarakat, harus menentukan apa yang menjadi kepentingan mereka, yaitu apa yang ingin mereka dapatkan dari politik. Kepentingan dan tuntutan-tuntutan ini kemudian digabungkan dengan menjadikan alternatifalternatif kebijaksanaan selanjutnya dipertimbangkan untuk ditentukan sebagai pilihan. Dengan tese ini ini penulis mengindikasikan implementasi dan proses perwujudan dari kepentingan individu maupun kelompok melalui ruang-ruang politik adalah bagian dari strategi dalam membentuk suatu konstalasi kekuasaan yang direproduksi dari berbagai generasi dalam tatanan kulturalnya. Strategi-strategi politik dapat saja terpengaruh melalui suatu bentuk budaya tertentu, sehingga strategi tersebut dapat diamati melalui cara suatu masyarakat dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Institusi-institusi politik yang digunakan individu atau kelompok semisal di lembaga legislatif, partai politik yang menampung individu-individu secara langsung terlibat dalam
13
Dalam “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” (1986), Op.cit hal. 86
Universitas Hasanuddin
13
Pendahuluan Pendahuluan
arena politik (pemilihan legislatif, pilkada). Dalam kondisi normatif sudah diakomodasi dalam sebuah sistem politik baku melalui undang-undang, namun secara umum dalam kondisi masyarakat plural di Indonesia, praktek-praktek tertentu yang sedikit banyak terpengaruh melalui budaya yang ada dalam satu daerah tertentu misalnya penguasaan modal simbolik ataupun status sosial. Konsekuensinya dapat kita temui dengan munculnya berbagai persoalan otonomi daerah hari ini yang terlihat menyuburkan praktek-praktek reproduksi kekuasaan. Salah satu contohnya adalah ketika adanya kesenjangan antara aturan normatif (perundang-undangan) untuk wajah demokrasi yang ideal menjunjung kebebasan individu dengan realitas kultur yang justru memicu pertarungan para keturunan bangsawan yang secara implisit membagun identitas diri mereka sebagai ‘raja-raja lokal’ baru dengan menggunakan legitimasi akar sejarah untuk keabsahan kekuasaan mereka di daerah. Dibeberapa
literatur,
masalah-masalah
budaya
lokal
selalu
diperbicangkan sebagai bentuk yang dikonstruksikan dan merupakan arena relasi antara sebuah struktur dan kesadaran subyektif individu, sehingga dengan asumsi ini berimplikasi pada pemikiran tentang tema perubahan budaya yang menjadi agenda utama untuk mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya mengenai antropologi politik, Edmund Leach14 memberikan gambaran bahwa setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya dalam melihat kekuasaan yang beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu wilayah melainkan salah satu bentuk dan kondisi dalam keterkaitan relasi diantara manusia. Oleh karenanya, cara mamahami sepenuhnya dan menganalisis kompleksitas kekuasaan adalah dengan menemukan di mana dimensi-dimensi material, psikologis, dan sosial kekuasaan politik beroperasi, dan secara sosial 14
Lihat McGlyyn & Arthur Tuden “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik”, Op.cit, Hal. 3
Universitas Hasanuddin
14
Pendahuluan Pendahuluan
berada, dan apakah serta dengan cara bagaimana dimensi-dimensi ini memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat lain. Kajian politik dengan menggunakan pendekatan antropologi berupaya menelisik kekuasaan dalam konteks sosial-kultural. Karenanya kekuasaan bersifat inklusif yang harus mengkaji bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan dalam setiap masyarakat (Milal dalam Hafid, 2009: 10). Dari kesemua aspek dalam praktik politik dapat berbeda dari satu kebudayaan
dengan
kebudayaan
lainnya,
yang
memunculkan
berbagai
pemahaman dalam pelaksanaan pemerintahan yang berbeda pula. Hal inilah yang kemudian memunculkan kecenderungan adanya karakteristik praktik politik, meskipun di di Indonesia, dari peraturan/perundangan-undangan sampai sistem pemerintahan yang berlaku secara keseluruhan tetapi ada saja aspek tertentu yang memilki ciri khas dalam pelaksanaanya dalam setiap daerah. Almond dan Verba (1984)15 menyatakan pendapatnya mengenai budaya dalam kaitannya dengan karakteristik politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Karakteristik dalam praktikpraktik sebagai bagian dari budaya politik adalah salah satu aspek dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau norma lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia agama, kegiatan ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan memberikan corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan caranya dalam menghadapi suatu masalah-masalah politik, semisal masalah legitimasi,
15
Tulisan Gabriel Almond yang mengaitkan beberapa tingkah laku politik di 5 negara dengan aspek budaya lokal di negara-negara tersebut, Op.cit, Hal. 146
Universitas Hasanuddin
15
Pendahuluan Pendahuluan
pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dinamika partai politik, perilaku aparat negara serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Dalam penelitian yang penulis lakukan dalam ruang lingkup daerah Kabupaten
Wajo
yang
merupakan
bekas
kerajaan,
penulis
berupaya
menggunakan kombinasi catatan sejarah dalam artian penelitian historitas dengan penelitian lapangan. Dengan cara ini, kemudian sekurang-kurangnya penulis mampu untuk menggambarkan atribut-atribut, ciri fisik maupun bentukbentuk cara berbicara dan lain sebagainya yang mengarah pada pamahaman terhadap konsepsi identitas diri yang diasosiasikan dengan status sosial. Dalam beberapa tulisan yang bertemakan politik dan kekuasaan secara implikatif memberikan pemahaman bahwa konsepsi identitas diri kemudian yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana terjadinya suatu konfigurasi, dengan asumsi bahwa dalam suatu masyarakat pada umumnya memiliki suatu bentuk atau model dan kekuatan internal yang berasal dari kebudayaan masyarakat itu sendiri yang kemudian menjadi padu terhadap berbagai elemen budaya masyarakat lainnya, baik yang berbentuk institusi maupun gagasan atau konsep yang ada didalamnya.16 Manakala terjadi semacam keterkaitan masyarakat antara satu sama lainnya dalam satuan yang meluas semisal dalam tingkatan nasional maupun regional, dapat kita indikasikan bahwa telah terjadi interaksi dalam jaringan relasi sosial dalam ranah lokal dan relasi lainnya yang lebih luas. Adanya konstalasi sosial tidak terjadi begitu saja secara internal, namun pada kajian politik dan kekuasaan justru menekankan tentang isi dan bentuk dari kekuasaan
16 Rudiansyah
(2009), Op.cit Hal. 291
Universitas Hasanuddin
16
Pendahuluan Pendahuluan
yang tercipta dan terwujud dalam ranah sosial budaya yang berpadu dengan ranah sosial yang lebih luas dan berasal dari luar. Dipertegas oleh Rudiansyah dalam tulisannya bahwa konfigurasi17 tersebut menjadi sangat menentukan. Secara keseluruhan, penelitian ini menggambarkan sebuah perjalanan atau rentetan munculnya praktik politik yang di mulai dengan melacak aspek kesejarahan untuk menemukan suatu sumber kekuasaan yang termanifestasi dalam status sosial secara internal dalam kebudayaan masyarkat Wajo pada masa lalu, beberapa perubahan akibat terbukanya akses global melalui perdagangan dan kolonialisasi bangsa Eropa yang sedikit banyak mempengaruhi berbagai aspek dalam sistem masyarakat Wajo khususnya sistem politik pada saat itu. Gambaran tentang bagaimana sistem budaya tersebut khususnya masalah reproduksi status dikorelasikan dengan masalah praktik politik masyarakat Wajo dalam sistem yang lebih luas (Negara) sehingga didapatkan cara-cara individu dan karakteristik yang ditemukan meski telah mengalami berbagai dinamika. Upaya telaah tersebut mengantarkan penelitian ini dalam memahami masyarakat Wajo dalam menginterpretasikan dan melakukan praktiknya di arena politik serta konstalasi politik lokal pada era demokrasi hari ini. Seperti halnya Mattulada (1995), yang mengemukakan bahwa pada prinsipnya politik yang dipraktekkan oleh orang Bugis-Makassar, merupakan suatu sistem sosial budaya yang bertumpu pada penghayatan, pengamalan dan pengalaman terhadap nilainilai siri dalam suatu sistem sosial panngaderreng18 pada interaksi politik. Nilai-
17
Istilah yang digunakan Rudiansyah dalam upayanya menggambarkan bentuk-bentuk dan model yang tercipta dalam kekuasaan.
18
Dijelaskan bahwa konsep panngaderreng ialah tak lain adalah sama dengan aturan-aturan adat dan sistem norma. Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh daripada itu, ialah adanya semacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah bagian integral dari panngaderreng.
Universitas Hasanuddin
17
Pendahuluan Pendahuluan
nilai siri’ mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku; jujur, cerdas, berani yang merupakan satu kesatuan yang utuh. KERANGKA PEMIKIRAN
INTERNAL Bentuk Strategi Praktik dalam Kontestasi Politik
Aspek Kesejarahan (Reproduksi Status)
EXTERNAL
Karakteristik
E. METODE PENELITIAN 1. Tipe/Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan ditelaah dengan
menggunakan
pendekatan
fenomenologi.19
Hasil
kajiannya
merupakan sebuah deskripsi dan pemahaman tentang arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu. Dimana aspek subyektif dari perilaku obyek akan menjadi penekanan dalam penggalian informasi yang dibutuhkan. Pemahaman akan dunia konseptual dari obyek berupaya dipahami sedemikan rupa sehingga dalam penelitian ini didapatkan berbagai pemahaman atau pengertian yang dikembangkan oleh individu, pada berbagai peristiwa yang mereka hadapi dan pada perilaku yang mereka lakukan. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan Panngaderreng adalah bagian dari dirinya sendiri dan keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya. (Mattulada, 1995: hal. 2) 19 Dalam Lexy Moleong dalam “Metode Penelitian Kualitatif” (2007) Op.cit. Hal. 17
Universitas Hasanuddin
18
Pendahuluan Pendahuluan
penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan Burhan Bungin20, cukup membantu peneliti mengarahkan penelitian ini dalam menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitiannya, oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk selalu cermat, tanggap dan mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan. Dengan karakteristik tersebut. Selain itu ada 2 hal penelitian kualitatif yang mendorong penelitian ini, yakni: 1.
Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat terungkap secara mendalam dan mendetail.
2.
Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan deskriptif. Disamping penelitian lapangan, dalam penelitian ini juga dilakukan
telaah terhadap naskah-naskah sejarah yang penulis dapatkan. Dengan mencermati naskah-naskah sejarah, cukup membantu dalam penelitian ini dalam memberikan gambaran tentang bagaimana ideologi kekuasaan dibangun dan diproduksi dalam sejarah dan kebudayaan di Kabupaten Wajo
20
Lihat Burhan Bungin dalam “Penelitian Kualitatif” (2008). Op.cit. Hal. 68
Universitas Hasanuddin
19
Pendahuluan Pendahuluan
pada masa lampau. Bahkan teknik kombinasi antara penelitian sejarah dan penelitian lapangan, menjadi salah satu teknik yang dilakukan para peneliti sebelumnya dalam menelaah masalah transformasi dalam suatu kontiunitas.21 2. Teknik Pemilihan Informan Salah satu teknik yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan ini adalah teknik yang memiliki karakteristik layaknya studi kasus sehingga berbagai sumber yang ada dapat dimanfaatkan dengan tetap berpedoman pada fokus dan jangkauan ruang lingkup penelitian. Dengan demikian teknik cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive). Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan kondisi sosial, sejarah, dan beberapa peristiwa-peristiwa politik dalam kaitannya dengan konteks kebudayaan informan bersangkutan tapi tidak terlepas dari kerangka pertanyaan penelitian ini. Informan yang oleh penulis menjadi subjek yang diwawancarai selama melakukan penelitian di lapangan mengacu pada apa yang diutarakan Spradley tentang pembicara asli (native speaker), bahwa informan merupakan sumber informasi atau secara harfiah informan menjadi guru bagi penulis22. Dengan teknik ini, sekurang-kurangnya penulis berusaha mendapatkan narasi dan penggambaran yang didapatkan dari wawancara terhadap informan berupa penceritaan yang mengarahkan penulis untuk mengambil kesimpulan tentang bentuk-bentuk organisasi sosial dan praktik individu yang ada dalam peristiwa yang dialami kelompokkelompok masyarakat (sampling) di Kabupaten Wajo yang memiliki pemaknaan dan orientasi ke arah tindakan politik (melalui intrepretasi 21 22
Dalam Rudiansyah, Op.cit Hal. 5 Dalam Metode Etnografi. Edisi kedua (2007) Op.cit. Hal. 35
Universitas Hasanuddin
20
Pendahuluan Pendahuluan
peneliti maupun informan itu sendiri). Oleh karenanya, terdapat beberapa subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber data. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan dengan menggunakan beberapa macam cara. Teknik pengumpulan data selama penelitian lapangan disesuaikan dengan sifat penelitian dan fokus penelitian dalam usaha menggambarkan bentuk struktur yang terbangun dalam kelompok sosial, rentetan peristiwa dalam sejarah maupun peristiwa aktual yang dialami individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat serta gejala-gejala sosial lainnya yang memiliki korelasi dengan budaya dan praktik politik di Kabupaten Wajo. Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis merujuk pada teknik yang diajukan Bungin tentang teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi).23 Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Paton bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami
persepsi,
perasaan,
dan
pengetahuan
seseorang
adalah
wawancara mendalam dan intensif.24 Sekurang-kurangnya dengan teknik ini mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid.
23 24
Bungin (2008) Op.cit. Hal. 139 Dalam Ruslam Ahmadi “ Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif” (2005). Op.cit. Hal 57
Universitas Hasanuddin
21
Pendahuluan Pendahuluan
Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat kualitatif. Untuk itu, dalam penelitian ini, penulis mengkombinasikan beberapa teknik yang lazimnya digunakan dalam kualitatif agar data yang didapatkan tetap padu sesuai sesuai dengan tujuan penelitian, seperti teknik yang penulis utarakan sebagai berikut: a) Observasi Jenis pengamatan yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah pengamatan biasa (tidak berperanserta), dimana peneliti memposiskan diri dengan jarak subjek yang akan diteliti dan hanya melakukan pengamatan dari luar dan mengamati kedalam lingkungan dan terhadap aktifitas beberapa subjek yang penulis identifikasi memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan politik. Hal ini dikarenakan kondisi di lapangan dan momentum tertentu (kegiatan-kegiatan politik semsal pilkada dan sebagainya) tidak memungkinkan bagi penulis untuk melakukan peran serta dimana institusi dan kegiatan politik selain ada bersifat formal juga memiliki momentum tersendiri sehingga tidak semua kondisi aktual dapat diamati langsung. Penulis dalam penelitian lapangan tetap berupaya untuk melakukan pengamatan terhadap 2 situasi, yakni (1) dimana subjek dalam penelitian berada dalam situasi formal seperti misalnya penggambaran terhadap perilaku (cara berbicara, ekspresi, emosi/perasaan, tata kelakuan, cara berkomunikasi dan sebagainya) dari subjek pada saat terlibat dalam perbincangan ataupun pertemuanpertemuan dalam lingkungan sosial yang dikategorikan sebagai arena subjek melakukan praktik yang sifatnya mengarah pada situasi yang
Universitas Hasanuddin
22
Pendahuluan Pendahuluan
politis; (2) Penulis dalam kurun waktu tertentu mengamati aktifitas keseharian subjek sendiri (yang secara sengaja dipilih) dan bagaimana subjek ketika bersama dengan keluarga, kerabat, teman dan rekan-rekan kerja. Pada pengamatan ini akan tertuju tentang bagaimana subjek dengan lingkungan sekitarnya meski tak berada dalam situasi atau tidak sedang beraktifitas tentang masalah-masalah politik . Dengan teknik ini penulis mendapatkan adanya data tentang bentuk dan pola interaksi dan aktifitas subjek dalam penelitian secara umum yang menjadi acuan untuk menyimpulkan model interaksi dan praktik masyarakat Wajo (dari beberapa subjek/sampling yang diamati) dengan lingkungan sosial maupun arena politik lainnya, serta institusi-institusi sosial yang memiliki kaitan dengan aktifitas sosial politik. b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Proses wawancara yang dilakukan selama melakukan penelitian lapangan
menggunakan
teknik
wawancara
mendalam
(indepth
Interview). Dengan kegiatan wawancara yang dilakukan secara mendalam, penulis dapat menggali beberapa topik yang memberikan pemahaman dan memperdalam pengetahuan peneliti mengenai topik praktik-praktik politik dan organisasi sosial yang sedikit banyak berorientasi politik. Beberapa rangkaian wawancara dilakukan untuk memperoleh barbagai macam penjelasan yang relevan dengan masalah penelitian misalnya yang peneliti dapatkan dalam penuturan beberapa informan yang menceritakan dirinya dalam aktifitasnya sehari-hari, dari rangkaian penjelasan tersebut peneliti mendapatkan potongan-potongan peristiwa konkrit tentang praktik politiknya meskipun secara samar-
Universitas Hasanuddin
23
Pendahuluan Pendahuluan
samar dan dalam penjelasan informan agak sulit untuk didalami karena faktor “adat berbicara” dan status informan dalam lingkungan sosialnya yang menyebabkan adanya kesenjangan hubungan pembicaraan dengan peneliti sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak hanya
terfokus pada satu topik saja, namun juga diantarai topik lainnya, tergantung kesediaan informan dan petanyaan yang diajukan oleh peneliti. Model ini ditempuh guna mendalami situasi dan kondisi, serta lebih memperhatikan aspek informan agar dapat mengetahui informasi yang diperlukan, peneliti tidak terpaku pada pedoman pertanyaan penelitian, melainkan memperhatikan sifat dan ciri unik dari informan pada saat wawancara. Dengan begitu, wawancara lebih memunculkan kesan obrolan, sambil bercanda, sambil melakukan hal-hal yang sifatnya tidak kaku. Wawancara mendalam dilakukan untuk menjawab segenap fokus penelitian yang telah dirumuskan. c) Studi Pustaka Dengan melakukan studi pustaka, peneliti melakukan pembacaan terhadap beberapa buku-buku terkait dengan kajian-kajian antropologi dan politik dan literatur lainnya yang berkenaan dengan fokus penelitian guna dijadikan bahan dan acuan penelitian lapangan. Selain itu, dengan teknik ini penulis berupaya mengelaborasi dan membangun pemahaman tentang pendekatan antropologi politik dan ilmu politik untuk mendapatkan perbandingan dan acuan untuk penulisan nantinya. Buku-buku yang mendeskripsikan dan yang mengkaji tentang orang Bugis Wajo, serta buku-buku dan dokumen yang menceritakan sejarah Orang Bugis terkait masalah perilaku dan peristiwa-peristiwa yang
Universitas Hasanuddin
24
Pendahuluan Pendahuluan
dialami pada masa lalu. Dengan pembacaan terhadap buku dan tulisan tersebut penulis bisa mendapatkan gambaran tentang berbagai fenomena berupa peristiwa, bagaimana orang-orang Bugis Wajo pada masa lampau membangun serta membentuk pranata-pranatanya dalam kondisi sosial-budayanya yang banyak terdapat dalam dokumendokumen dalam bentuk naskah-naskah Lontara’ (apalagi pada saat ini telah ada beberapa buku yang merupakan hasil terjemahan dan transliterasi Lontara’ kedalam bahasa Indonesia). Artikel, Makalah, tulisan dalam Internet serta ulasan dalam Surat Kabar yang memberitakan informasi tentang peristiwa-peristiwa aktual yang terkait masalah politik di Kabupaten Wajo, yang umumnya banyak mengulas, mengkaji serta kritik terhadap kebijakan-kebijakan politik menjadi perhatian penulis dalam penyusunan tulisan ini. 4. Deskripsi Penelitian Lapangan Pada awal penelitian ini, penulis/peneliti melakukan observasi awal sambil sesekali mewawancarai beberapa orang yang dapat penulis temui di lapangan. Sambil tetap mengkaji beberapa bahan-bahan yang terkait dan mendiskusikannya dengan beberapa pihak yang berkompeten dengan lokasi dan tema yang peneliti minati. Hal ini terasa penting, untuk menentukan tema dan arah penelitian ini dirancang. Selepas diskusi dan kajian-kajian terkait, peneliti malakukan langkah-langkah sesuai dengan yang dirancang sebelumnya dimana aktivitas penelitian di lapangan tergambar sebagai berikut: Pertama, yang peneliti lakukan adalah berupaya untuk mencari akses untuk memasuki lapangan, harapan peneliti adalah untuk memudahkan proses
Universitas Hasanuddin
25
Pendahuluan Pendahuluan
penelitian selanjutnya. Di lapangan penelitian (baca: wilayah administratif Kabupaten Wajo), dari beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon dengan beberapa orang baik itu teman maupun kerabat yang penulis anggap dapat memberikan referensi menghasilkan nama beberapa informan (subjek) yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama orangorang (subjek) tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai melakukan persiapan dengan mengidentifikasi subjek tersebut yang dijadikan informan dalam penelitian lapangan. Akan tetapi langkah ini kemudian justru lebih berkembang dengan bertambahnya informasi yang didapatkan pada saat penulis mulai melakukan penelitian lapangan pada tahap berikutnya. Kedua, yaitu tahap masuknya peneliti secara resmi ke lapangan. Di tahap ini peneliti menyelesaikan berbagai prosedur penelitian secara resmi, dimulai dengan mendapatkan surat pengantar penelitian dari kampus yang ditujukan ke Balitbangda Prov. Sulsel untuk diterbitkan ijin penelitian selama 2 bulan (antara Januari dan Februari) yang selajutnya dibawa ke pemerintah daerah Kabupaten Wajo sebagai lokasi yang dimaksud dalam penelitian. Jangka waktu penelitian yang diberikan menjadi kendala sebab tidak cukup bagi penulis
dalam
melakukan
pengumpulan
data
di
lapangan;
alasan
pengembangan teknik penelitian lapangan (masalah keinginan membuat rapport agar mendapatkan informasi yang mendalam); dan dengan alasan
Universitas Hasanuddin
26
Pendahuluan Pendahuluan
situasi dan kondisi lapangan yang membutuhkan waktu yang relatif lama dalam rangka pengumpulan data. Hal ini juga menyebabkan beberapa aktifitas penelitian di lapangan tetap dilanjutkan meski jangka waktu yang diberikan telah habis. Ketiga, untuk tahap ini peneliti melakukannya dalam prosesi yang membutuhkan waktu banyak yaitu pengamatan sehari-hari di lingkungan dimana informan yang dipilih melakukan aktifitasnya. Di sini penulis menghabiskan waktu relatif cukup banyak untuk melakukan pengamatan (sebagai salah satu teknik pengambilan data) terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh obyek penelitian di lapangan (observasi). Teknik yang penulis lakukan adalah proses pembauran dengan beberapa aktivitas dimana penulis secara kebetulan tepat berada pada saat itu yang kemudian dibarengi dengan beberapa obrolan-obrolan ringan dan pertanyaan-pertanyaan oleh penulis tentang hal ihwal yang dilakukan subjek tetapi tetap memperhatikan kaidahkaidah kesantunan untuk menghindari ketersinggungan subjek. Kemudian penulis
berusaha mendokumentasikan dalam catatan harian lapangan
sambil terus untuk membangun suatu ringkasan-ringkasan yang dibarengi dengan asumsi-asumsi tentang apa-apa yang telah dilakukan subjek dalam peristiwa tersebut. Keempat, adalah tahapan utama yaitu pengambilan data lewat wawancara dengan beberapa informan. Tahap ini sekiranya akan berjalan maksimal apabila peneliti melalui tahap-tahap sebelumnya. Dimana peneliti punya berbagai kerangka pemikiran dari hasil pengamatan di lapangan yang telah peneliti lakukan sebelumnya, untuk kemudian dikonfirmasikan dengan data yang peneliti peroleh dari wawancara pada tahap ini. Hasilnya adalah
Universitas Hasanuddin
27
Pendahuluan Pendahuluan
kutipan-kutipan wawancara yang sesuai dengan bangunan-bangunan kesimpulan tentang kejadian ataupun peristiwa yang peneliti hadapi yang merujuk pada fokus penelitian ini. Meski beberapa hasil wawancara dikumpulkan tetap saja selalu berubah-ubah sesuai simpulan penulis dalam menginterpretasi dengan semakin banyaknya situasi yang peneliti amati di lapangan. Kelima, adalah tahap akhir dari fase penelitian ini yaitu penulisan laporan. Setelah semua proses yang telah peneliti lalui maka penulisan laporan menjadi tahap akhir dari agenda penelitian ini, semua catatan lapangan dikumpulkan dan hasil rekaman dijabarkan kembali dalam tulisan untuk dimasukkan dalam tulisan tetapi catatan lapangan tetap disimpan untuk keperluan sewaktu-waktu nantinya. Dalam agenda terakhir tahap ini tentunya tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang telah membantu penulis melalukan penelitian di lapangan. Dan untuk tahap ini penulis tetap akan merasa banyak kekurangan sehingga tetap membuka diri untuk kembali ke lapangan sebagai komitmen dari kekurangan tersebut, untuk kemudian benar-benar keluar dari lapangan dan menyelesaikan penelitian secara total.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Secara umum sistematika penulisan dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan penggambaran tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam skripsi, mengenai tata-urut dan hubungan antara pokok-pokok pikiran satu dengan yang lainnya dalam satu kesatuan terpadu. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Universitas Hasanuddin
28
Pendahuluan Pendahuluan
Pada Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian pada Bab kedua, memuat tinjauan pustaka yang berisi tentang pengertian konsep-konsep dan pendekatan antropologi dalam perilaku politik dan kekuasaan; aspek-aspek historis yang menggambarkan tentang tatanan sosial, tradisi dan nilai-nilai yang terbangun dalam dinamika sejarah; wujud budaya lokal dan konfigurasi tatanan sosial dalam bentuk
praktik politik
suatu kelompok masyarakat; status dan
kekerabatan dalam pelapisan sosial yang menjadi modal simbolik dalam kekuasaan masyarakat bugis; dan terakhir muatan dalam tinjauan pustaka adalah fokus dalam pendekatan yang mengkaji masalah reproduksi dikaitkan dengan tatanan dalam dinamika kesejarahan sampai munculnya ajjoareng-joa’ sebagai model pertarungan dalam arena politik. Pada Bab tiga, berisi tentang gambaran umum, yang memuat tentang sejarah singkat berdirinya Wajo yang dilukiskan dari berbagai cerita dan dokumen-dokumen dalam naskah lontara’ orang Bugis Wajo serta catatancatatan KTLV (pemerintah Belanda pada masa itu) yang banyak diulas dalam beberapa buku-buku dan memberikan penggambaran tentang bagaimana asalmuasal terbentuknya struktur sosial masyarakat Wajo (masalah kekuasaan, pembagian wilayah atau wanua dan hubungan antara penguasa dengan rakyat serta kelompok-kelompok penguasa lainnya)
sampai Wajo pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian bab tiga tersebut memuat tentang keadaan geografis di kabupaten Wajo; pemerintahan di Wajo ketika
mulai
diberlakukannya sistem pembagian wilayah kabupaten; struktur pemerintahan; tatanan nilai dalam sistem pemerintah dan masyarakat Wajo; dan terakhir tentang karakteristik informan yang diwawancara.
Universitas Hasanuddin
29
Pendahuluan Pendahuluan
Bab empat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan muatan-muatannya yakni, penggambaran dan penjelasan tentang sejarah politik mengenai orang Bugis Wajo dalam memproduksi status dan kekuasaan dalam tatanan kultural; Penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku politik orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo; dan penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis Wajo yang membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik mereka serta implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakan-kebijakan politik di Kabupaten Wajo. Bab lima, atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang diharapkan nantinya dapat memberikan implikasi teoritis dan refleksi dari keseluruhan penggambaran mengenai praktik dan budaya politik di Kabupaten Wajo.
Universitas Hasanuddin
30
Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan dalam Kajian Perilaku Politik dan Kekuasaan Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik pada salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsurunsur tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya secara terpisah, atau hanya sebagian saja dalam pranata masyarakat yang berimplikasi pada pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik. Masalah politik bahkan
kemudian cenderung untuk dilihat terpisah
sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam pranata politik yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam masyarakat bernegara yang justru kemudian membiaskan suatu konsep dimana masyarakat dan individu dikonsepsikan sebagai subjek yang memiliki orientasi pemahaman terhadap negara sesuai dengan subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak bernegara sama sekali seperti dalam masyarakat tradisional. Dampak lainnya dari pemahaman ini adalah
justru melahirkan suatu kondisi dimana
kelihatannya suatu kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi justru dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”25. Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan adalah bahwa aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah satu sudut pendekatan bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya dengan aspekaspek yang nampaknya tak memiliki relevansi dalam kacamata ilmu politik, seperti masalah simbolisasi dan ritual keterkaitan unsur seperti pranta-pranata dalam korelasinya dengan konteks politik. Dalam banyak hal, suatu kebudayaan
25
Dalam Balandier, “Antropologi Politik” .1986.CV . Rajawali. Jakarta. Hal vi
Universitas Hasanuddin
31
Tinjauan Pustaka
merupakan suatu keseluruhan yang utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan aspek budaya yang saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi pada satu unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau aspek lainnya. Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek tidak mungkin dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya. Terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional A.R. Radcliffe-Brown yang juga kala itu menjadi bagian dasar setiap penelitian setelahnya, EvansPritchard dan Fortes kemudian memberikan jalan baru dalam kajian subantropologi terkait masalah-masalah politik26. Secara terpisah membahas hasil penelitiannya di Afrika yang mengkaji perilaku politik dan secara spesifik mengajukan tese tentang pemahaman antropologi dalam konteks politik, seperti yang ia katakan bahwa konsep politik dalam antropologi sebagai “… struktur atau hubungan yang memelihara atau menegakkan ketertiban sosial di dalam kerangka teritorial, dengan menyelenggarakan latihan atau kekuasaan kekerasan melalui penggunaan, atau kemungkinan penggunaan kekuatan fisik” 27. Pendapat ini kemudian memberikan beberapa pemahaman tentang bagaimana politik sebenarnya (dalam pendekatan antropologi) dalam suatu kelompok masyarakat yang kemudian dijadikan model perintisan kajian antropologi politik pada penelitian-penelitian selanjutnya28. Dalam pendekatan struktural-fungsional, struktur sosial (dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan yang bersifat pertarungan kekuasaan dan politik) dilihat sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata antar individu 26
Sub-disiplin antropologi lahir sebagai spesialisme baru didalam disiplin antropologi pada tahun 1940, pada saat terbitnya buku yang diedit bersama oleh E.E. Evans-Pritchard dan Meyer Fortes yang berjudul “African Political System”. The Nuer yang juga berbicara mengenai aspek politik orang Nuer di Uganda dan Kenya, Afrika. (Balandier 1986:14)
27
Kutipan McGlynn dan Arhtur Tuden dalam buku yang di suntingnya “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik” terjemahan yang diterbitkan UI Press 2000. Op.cit Hal 14
28
Pada bagian awal bukunya George Balandier (1986) menegaskan tentang penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji masalah politik di Afrika. Hal 14.
Universitas Hasanuddin
32
Tinjauan Pustaka
atau antar kelompok dalam masyarakat29. Hal itu berarti bahwa termasuk juga dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Dalam hubungannya
dengan
praktik
politik,
pendapat
demikian
memberikan
kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian tingkah laku politik tidak lain adalah bagian dari struktur dalam masyarakat. Pendapat seperti ini, juga berorientasi pada pemahaman tentang fenomena politik tidak lain dari upaya pemahaman terhadap mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang mekanisme tertib sosial atau kondisi dimana memungkinkan terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Dalam kaitannya dengan politik, juga menjadi pertanyaan tentang fungsi organisasi politik, Malinowski seperti yang diulas oleh Claessen30 memberikan pendapat tentang adanya tiga fungsi utama dari organisasi politik: (1) Upaya mempertahankan
keadaan
ekuilibrium
antara
golongan-golongan
atau
kelompok-kelompok, lembaga-lembaga dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat dengan menggunakan kekuasaan; (2) Menjamin dan melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (3) melakukan pertahanan dan atau agresi. Dengan menggunakan pemikiran strukturalfungsional seperti ini, dapat dikatakan memiliki tujuan dalam upayanya memperlihatkan bagaimana struktur-struktur dalam hal ini hubungan-hubungan 29
Koentjaraningrat juga memberikan kesimpulan mengenai konsep struktur sosial yang dikemukakan A. Radcliffe- Brown dalam Sejarah Teori Antropologi. UI Press. 1987, op cit, hal. 181
30
Dalam Balandier (1986: 42)
Universitas Hasanuddin
33
Tinjauan Pustaka
sosial politik saling menjalin satu sama lain dan bagaimana berfungsi dalam rangka penegakan tertib sosial. Dari tese yang digagas Evans-Pritchard dan Fortes mengandung beberapa pemahaman mengenai aspek politik meski pada dasarnya sangat bersifat strukutural yang pada masa itu memang telah banyak terinspirasi oleh gaya pendekatan yang digagas Radcliffe-Brown. Namun secara nyata kita dapat mendapati beberapa pokok gagasan tentang pendekatan antropologi
yang
cenderung mengarahkan aspek politik pada wilayah tingkah laku sosial secara umum, melihat seluruh bagian yang terkait dalam ranah struktur yang terkesan terikat pada wilayah-wilayah sosial itu berlaku dan dalam kurun periode tertentu kelompok masyarakat tersebut hidup. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu apalagi dalam masyarakat tradisional, membutuhkan perhatian pada hubungan antara berbagai pranata. Pranata politik misalnya tak dapat dipisahkan dengan pranata kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga dan sebagainya. Implikasi pada sisi tertentu dari tese yang diajukan Evans-Pritchard dan Fortes bisa dianggap lebih luas dibandingkan pengertian pada ilmu politik sendiri yang terkesan kaku pada satu pandangan saja dalam melihat bagaimana tingkah laku suatu kelompok masyarakat dioperasionalisasikan dalam konteks tatanan politik. Konsep yang pada umumnya lebih banyak diartikan dan dihubungkan dengan institusi-institusi formal dan mengakar pada konteks politik negara. Pemahaman lain tentang pendapat yang diajukan antropolog seperti yang dibahas diatas, dalam kajian masalah politik adalah bentuk dari suatu tatanan yang
menciptakan
tertib
sosial
di
dalam
wilayah
teritorial
tertentu.
Konsekuensinya kemudian menjadikan pendekatan ini terlihat statis melihat fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat seperti sifat dari pendekatan
Universitas Hasanuddin
34
Tinjauan Pustaka
struktural pada umumnya yang mengarahkan perhatiannya pada unit-unit sosial, fungsi politik dilihat pada saling pengaruh kepentingan dan proses timbal balik dalam antara pranata dalam masyarakat tak bernegara seperti di Afrika. Arahnya kemudian tak jauh dari orientasi konsep yang melahirkan klasifikasi tipe-tipe masyarakat dalam kaitannya perilaku politik atas dasar hubungan-hubungan sosial, seperti pada apa yang di uraikan Evans-Pritchard sendiri dalam karangannya31. Kecenderungannya sangat mengabaikan ke-dalaman historitas dan terlebih lagi topik mengenai perubahan sosial kemudian dibiaskan pada konteks dimana situasi politik itu berlaku. Pada hasil penelitian selanjutnya, banyak kritik yang dilontarkan terhadap tujuan asli para ahli antropologi berjalan lebih jauh daripada perselisihan mengenai varian-varian yang mungkin dari ketiga tipe dasar sistem
politik.
Tujuan para ahli antropologi sosial menyoal klasifikasi sistem-sistem politik atas`dasar satuan-satuan sosial semata, telah banyak diserang. Bahkan Lloyd (1954) juga dalam buku yang disunting McGlynn dan Arthur Tuden32 menyarankan bahwa, untuk memahami perilaku politik, suatu studi tentang komponen-komponen struktural tidaklah cukup, dan dia berpendapat bahwa klasifikasi tipe-tipe tidaklah dipandang sebagai tujuan utama penelitian mengingat faktor-faktor lain dan konsep-konsep yang lebih bersifat umum seperti kewenangan, pembentukan badan-badan pembuat keputusan dan dasar kewenangan serta kepemimpinan juga muncul secara mencolok. Sebenarnya, setelah banyak memeperhatikan satuan-satuan sosial tersebut di mana struktur serupa terjadi, sehingga pembentukan perilaku politik dapat benar-benar berbeda pada akhirnya. 31
McGlynn dan Arthur Tuden (2000) yang juga memberikan ulasan mengenai kecenderungan kelemahan analisis struktural-fungsional, Hal. 16
32
Ibid, Hal. 17
Universitas Hasanuddin
35
Tinjauan Pustaka
Selain
kurangnya
perhatian
struktural-fungsional
terhadap
bentuk
pengoperasian suatu unit sosial atau dalam hal ini kita bahasakan sebagai pranata politik yang hanya mengarahkan pada hubungan-hubungan atau relasi disetiap unsur yang tetapi tidak terlalu memperhatikan tentang bagaimana suatu capaian dalam proses dimana gejala politik itu muncul. Hal ini kemudian memunculkan berbagai kajian yang mengarahkan pada dimana proses-proses persaingan yang terwujud di antara individu-individu atau di antara kelompokkelompok yang saling merebut kepentingan umum serta strategi-strategi yang digunakan untuk mencapai maksud tersebut33. Konsep proses yang kemudian pada fase lanjutan dalam memahami fenomena perilaku politik dijadikan salah satu kunci dalam pendekatan antropologi politik. Analisis tentang fenomena politik terarah pada rentetan aktifitas yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar orang-orang atau antar kelompok-kelompok dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya atau hasil dari proses tersebut seperti penyusunan kembali hubungan-hubungan kekuasaan, munculnya kelompok-kelompok elit baru, terdapatnya sumbersumber baru dalam ranah politik. Leach (1954)34 bahkan secara lebih luas menyatakan semua perubahan sosial dan kebudayaan bersumber dari orangorang-orang yang berusaha mencari kekuasaan. Jadi studi tentang aspek politik harus dilakukan dalam konteks diakronis. Itu berarti bahwa dalam pendekatan proses perhatian beralih dari perspektif ekuilibrium kepada perspektif perubahan. Selain itu, gejala politik berhubungan dengan proses-proses umum, jadi perhatian harus diberikan kepada perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang terkait dengan kepentingan 33
Ibid, Hal. 23
34
Dalam McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
Universitas Hasanuddin
36
Tinjauan Pustaka
umum. Dalam pengaturan kepentingan umum dalam pemahaman prosesual, bahwa diperlukan support atau dukungan. Alat dukungan yang paling penting, menurut para penganut pendekatan proses, adalah legitimacy35 atau keabsahan yang diperoleh melalui persetujuan. Pola pendekatan yang seperti ini kemudian cenderung untuk menelisik masalah dasar-dasar yang muncul dalam aspek kekuasaan36. Konsep mengenai kekuasaan juga diajukan oleh M. G. Smith37 yang diklasifikasikannya kedalam dua bentuk kekuasaan, yaitu: kekuasaan konsensus, adalah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang bermanifestasi dalam mitologi, agama atau pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan ideologi, menjadi sumber peng-absahan kekuasaan. Berbeda dengan kekuasaan paksaan yang berdasarkan kekuatan fisik adalah bentuk kekuasaan yang menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan tertentu. Kekerasan fisik itu dapat berupa hukuman badaniah atau hukuman material. Perlu di tegaskan disini bahwa dua bentuk kekuasaan tersebut tidak perlu dipertentangkan perbedaannya melainkan harus dilihat sebagai dua pola
35
Legitimasi dalam penngertian tulisan ini adalah pengakuan bersama oleh pemimpin dan pengikut terhadap kekuasaan yang ada. Akibat dari pengakuan bersama itu ialah semua perintah dalam bentuk aturan-aturan (tertulis maupun bersifat lisan) yang berasal dari pemimpim dianggap benar dan oleh karena itu diterima dan dilaksanakan oleh para pengikut (Claessen (1970:310)
36
McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
37
Dalam Balandier (1986) Op.cit, hal 44
Universitas Hasanuddin
37
Tinjauan Pustaka
ekstrem pada satu kontinum38. Claessen merinci kontinum kekuasaan dalam bentuk model seperti berikut: ”… konsep kekuasaan merupakan suatu payung yang dibawahnya bernaung berbagai bentuk kekuasaan yang secara berangsurangsur dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Pada satu ujung garis kontinum terdapat bentuk kekuasaan paksaan yang didasarkan atas kekerasan, beralih pada bentuk ancaman dan kemudian beralih pada bentuk manipulasi. Selanjutnya dari bentuk manipulasi beralih kepada bentuk kemampuan meyakinkan orang lain dan berakhir pada bentuk legitimasi di ujung lain dari garis kontinum tersebut.” Pandangan lain mengenai kekuasaan ketika diasumsikan sebagai ajang kompetisi dimana fungsi kekuasaan39 dilihat dalam rangka mempertahankan kelemahan-kelemahan sebuah masyarakat, menjaga “tata aturan” yang baik dan jika perlu, demikian perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip dasarnya. Akhirnya, begitu terbangun hubungan-hubungan kekerabatan maka kompetisi dapat dilihat terbangun di antara kelompok-kelompok dan individuindividu, masing-masing mencoba mempengaruhi keputusan-keputusan yang lahir dari kesepakatan konsensus sesuai dengan kepentingan-kepentingan khusus mereka sendiri atau masyarakat itu. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan politik pun muncul sebagai hasil dari kompetisi dan sebagai wadah kompetisi itu. Satu kesimpulan bisa ditarik dari catatan awal ini, bahwa kekuasaan politik adalah inheren dalam setiap masyarakat. Ia menumbuhkan penghormatan bagi aturan-aturan yang menjadi landasannya, suatu bentuk kekuasaan juga mampu
38
Menurut Claessen, sifat kontinum dari dua bentuk kekuasaan itu dapat dilihat pada gejala makin meningkatnya penggunaan kekerasan fisik pada saat makin melemahnya pengakuan terhadap kepemimpinan yang ada (Claessen dalam Claessen 1974: 40).
39
Lihat Balandier (1986), op.cit, Hal. 45.
Universitas Hasanuddin
38
Tinjauan Pustaka
mempertahankan masyarakat dari hal yang tidak melengkapi dari tatanannya dan akibat-akibat dari kompetisi individu-individu dan kelompok-kelompok. Selain konsep-konsep analisis yang sudah dibicarakan di atas, dalam pendekatan proses juga memiliki alat analisis lain dalam mengkaji fenomena politik, yakni konsep field dan arena40. Konsep field dapat kita terjemahkan dengan kata medan sebagai suatu kumpulan dari semua orang yang terlibat dalam kejadian-kejadian politik sepanjang waktu. Sedangkan konsep arena diartikan sebagai ruang lingkup sosial dan budaya dari medan politik. Kedua konsep akan menjadi pendekatan yang akan banyak penulis gunakan untuk melihat realitas lapangan tidak hanya pada posisi dimana relasi dari kekuasaan berlaku tetapi juga penggambaran digunakan untuk menjelaskan tentang bentuk pertarungan dalam setiap proses tersebut membentuk polanya. Strategi dalam pola tersebut dimaknai tidak semata-mata statis tetapi juga pergerakan, dimensi pengaruh-pengaruh yang menyebabkan adanya bentuk yang tidak berada pada polanya. Kedua pendekatan yang telah dikemukakan diatas memang berbeda dilihat dari konsep-konsep analisis yang digunakan serta tujuan yang ingin dicapai dalam pengkajian masing-masing. Jika pada pendekatan struktural-fungsional konsep-konsep struktur, fungsi, ekuilibrium merupakan konsep-konsep kunci, maka pada pendekatan proses, konsep-konsep proses, dukungan, legitimasi, kekuasaan medan dan arena adalah konsep-konsep kuncinya. Lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan struktural fungsional adalah pengkajian terhadap organisasi politik dan bentuk-bentuk dari sistem politik,
40
Metode yang serupa digunakan Swartz, Turner dan Tuden (1966) yang diulas dalam McGlynn &Arthur Tuden (2000) op.cit. hal 33.
Universitas Hasanuddin
39
Tinjauan Pustaka
sedangkan perhatian utama dari pendekatan proses adalah cara bekerjanya suatu sistem politik tertentu. Pada saat muncul pertanyaan pendekatan mana yang lebih baik untuk pengkajian
politik,
Claessen41
struktural
fungsional
dan
berpendapat:
pendekatan
“…Sungguhpun
proses
pendekatan
dipertentangkan
sebagai
pendekatan-pendekatan yang berbeda, namun jelas bahwa dua pendekatan tersebut
tidak
bertentangan.
Kehadiran
struktur-struktur
tidak
mengesampingkan proses-proses politik, sebab proses-proses politik sematamata berlangsung dalam struktur-struktur politik atau menjembatani strukturstruktur yang berbeda”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap pendekatan mempunyai segi kelemahan pada satu dimensi dan kekuatan pada dimensi
lainnya.
Masing-masing
memberikan
sumbangan
penting
bagi
pemahaman fenomena atau dengan kata lain saling melengkapi. Dari pengertian yang telah diutarakan diatas, penulis mengupayakan kombinasi
pemahaman
dalam
menggambarkan
struktur
masyarakat
di
kabupaten Wajo yang diarahakan pada langkah penelitian pemetaan bentuk stratifikasi sosial kelompok-kelompok ataupun individu-individu (status sosial), tatanan yang terbangun dari kekerabatan dan bentuk jaringan yang terdapat didalamnya. Tetapi tidak hanya pada batasan dimana struktur itu terbentuk, penulis juga menggambarkan bagaimana struktur itu bekerja melalui individu atau
kelompok
begitupun
sebaliknya.
Dengan
mengasumsikan
upaya
menjembatani dikotomi individu dengan objek dengan tidak memisahan perilaku beserta sifat-sifat subjektifitas individu yang menyertai didalamnya dengan jaringan struktur yang membangun pola objektifitasnya dalam tatanan sosial. Dengan pengertian ini, memudahkan penulis untuk menggambarkan bentuk 41
Claessen (1987), op.cit, Hal. 28
Universitas Hasanuddin
40
Tinjauan Pustaka
proses yang tidak terputus dari sumbernya atau berkesinambungan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa catatan tentang bentuk-bentuk dan cara masyarakat dalam kondisi sosial yang ada sebelumnya untuk menemukan bagiamana perubahan berlaku tetapi tetap memperhatikan bentuk yang sebenarnya tidak hanya menyesuaikan tetapi juga nampak seperti “selalu lahir” di setiap kondisi sosial budaya dalam periode sejarah tertentu. B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian. Pendekatan
yang
mengkaji
masalah
sejarah/histori
dan
beberapa
pendekatan dalam antropologi mengenai praktik politik dan kekuasaan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pendekatan antropologi yang pada awalnya sangat terpengaruh pada metodologi yang berorientasi sinkronik mempunyai kelebihan pada wilayah aspek local or social depth42 yang dengan menggunakan metode dapat dengan jelas dikemukakan penggambaran mengenai kedalaman lokal/sosial dalam realitas masyarakat yang dikaji. Namun pada aspek penelitian lapangan, pendekatan penelitian yang bersifat sinkronik memiliki kelemahan dalam memberikan penggambaran mengenai masyarakat yang hidup pada masa-masa sebelumnya atau seperti yang dikutip Rudiansyah dalam Vansina yakni ‘timeless present’ atau ‘the zero-time fiction’43 tentang kelemahan pendekatan penelitian antropologi yang mengabaikan aspek kesejarahan berpengaruh pada putusnya beberapa elemen yang membentuk unsur dalam perkembangan struktur sebuah masyarakat dimana ia berasal.
42
Istilah yang digunakan Burke (1990) dalam uraiannya tentang masalah yang dihadapi pengkajian sejarah, sehingga memunculkan suatu upaya kombinasi pendekatan untuk memecahkan masalah pemahaman antara kondisi masyarakat pada suatu masa dan masa dimana masyarakat itu dianalisis. Konsep ini juga lebih menyerupai oleh yang diungkapkan Geertz ‘michroscopic study’. Dalam Rudiansyah (2009), Op.cit, Hal. 8
43
Lihat Rudiansyah, Op.cit, Hal. 17
Universitas Hasanuddin
41
Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian bersifat etnografis untuk mendapatkan penggambaran menyeluruh yang menjadi ciri khas dari metodologi dalam pendekatan antropologi diperlukan kombinasi dengan penelitian yang bersifat sejarah, bahkan hal ini diperlukan guna mensyaratkan suatu bentuk penelitan lapangan yang menyeluruh44. Kecenderungan kesenjangan antara kedua pendekatan pada posisi tertentu selayaknya diakomodasi, apalagi pada penjelasan sebelumnya bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masingmasing. Pendekatan etnografis akan memberikan kedalaman lokal/sosial (local or social depth), sedangkan pendekatan historis akan memberikan suatu kedalaman historis (historical depth). Dengan kombinasi kedua pendekatan tersebut dapat memberikan penggambaran secara terkait antara struktur dalam sebuah proses dan bagaimana proses dalam mengkonstruksi tatanan struktur seperti yang dibahas dalam sub-bab sebelumnya dan pemikiran ini merupakan upaya yang dimaksud Rudiansyah dalam penelitiannya di Buton yang juga berupaya memberikan argumentasi kerangka deskriptif mengenai sebuah proses dalam historicization of anthropology dan anthropologization of history45. Perkembangan yang menarik dewasa ini adalah semakin munculnya berbagai penelitian yang mengkombinasikan kedua disiplin ilmu ini46, bahwa kebudayaan terbentuk melalui rentetan atau proses dalam dinamika yang terjadi dalam sejarah, sebaliknya sejarah juga terwujud melalui mediasi dalam 44 45 46
Ibid, Hal. 17 Ibid, Hal. 18 Seperti penelitian yang di lakukan Tony Rudiansyah di Buton yang kemudian diterbitkan pada tahun 2009 (Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya) dan Tasrifin Tahara yang juga melakukan penelitian di Buton dalam mengkaji keterkaitan sejarah dengan pelapisan sosial yang memunculkan reproduksi stereotipe yang berpotensi konflik antar lapisan sosial dalam disertasi tahun 2010 (Reproduksi Stereotipe dan Resistensi Orang Katobangke Dalam Struktur Masyarakat Buton) Universitas Indonesia, serta penelitian yang jauh sebelumnya yang dilakukan oleh Mattulada yang juga menngkaji tentang dasar-dasar pemikiran dari kebudayaan orang Bugis dalam berpolitik (Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis) yang diterbitkan bukunya pada tahun 1995, Universitas Hasanuddin Press.
Universitas Hasanuddin
42
Tinjauan Pustaka
kebudayaan. Dari kesimpulan tersebut dapat kita asumsikan bahwa diantara keduanya telah terjadi dialektika antara pelaku-pelaku sejarah (aktor) dan struktur dalam suatu tatanan kebudayaan, tetapi dalam asumsi ini tidak ada maksud untuk melakukan benturan antara aktor dengan struktur seperti yang sering diwacanakan sebagai dikotomi yang terlalu dilebih-lebihkan bahkan nampak seperti sulit menemukan perbedaan kedua dikotomi aktor dan struktur dalam realitas masyarakat. Setiap maksud dan tujuan individu pada dasarnya selalu ditafsirkan secara budaya, sebaliknya kebudayaan seperti struktur pemaknaan, nilai-nilai dan ideologi pada dasarnya selalu di ekspresikan ke dalam pikiran dan perilaku individu yang menafsirkannya. Pada kerangka pemikiran yang serupa, Mattulada juga mengajukan tesenya tentang konsepsi ‘transformasi’ yang dipergunakan untuk menerangkan tentang adanya kesinambungan unsur-unsur lama dari suatu kebudayaan yang tetap mempertahankan diri dalam proses dimana terjadi proses pembauran unsurunsur baru dalam ranah kebudayaan47. Suatu pendekatan yang banyak menggunakan catatan sejarah seperti yang ia gunakan dalam menelaah naskahnaskah Lontara’, catatan perjalanan, catatan sejarah yang dibukukan oleh seorang pencatat atau penulis yang berada di suatu periode peristiwa pada masa lampau seperti yang di lakukan pemerintah kolonial Belanda pada masa pendudukannya di kepulauan Indonesia yang sedikit banyak menceritakan berbagai peristiwa sebagai suatu bentuk kebudayaan orang Bugis guna digunakan sebagai bahan dalam menyusun sistem administrasi kolonial di daerah jajahan. Dari naskah tersebut didapatkan gambaran bagaimana suatu peristiwa dalam tempo waktu tersebut dalam sistem pemaknaannya, didapatkan pula mengenai
47
Dijelaskan Mattulada pada pendahuluan tulisannya dalam Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Op.cit Hal. 1
Universitas Hasanuddin
43
Tinjauan Pustaka
gambaran-gambaran struktur, stratifikasi sosial, nilai-nilai dan tata tradisi yang terkonstruksi dan telah melewati beberapa proses perubahan dalam dinamika perkembangannya. Namun, seperti yang dilakukan Mattulada bahwa inti dari penelusuran naskah-naskah tersebut adalah bagaimana upaya dalam penelitian, ditarik suatu kesimpulan yang memiliki relasi dari aspek kesejarahan yang tidak terlepas dari dinamikanya terhadap kondisi masyarakat yang ada pada masa penelitian dan dilakukan. Dalam pengkajian masalah politik dan kekuasaan, penelitian Mattulada terarah pada bagaimana konstruksi tatanan berpikir orang Bugis yang didasari dari hasil penafsiran terhadap konsepsi Latoa48 yang didalamnya terkandung beberapa cara orang Bugis dalam sistem politik dan kekuasaanya dimasa lampau, memahami penerimaan suatu kelompok individu atas suatu kekuasaan, ketaatan, dan respon yang diberikannya kepada suatu bentuk
kepemimipinan,
serta
sifat-sifat
kepemimpinan
yang
ditaatinya
berdasarkan suatu sistem nilai yang hidup dalam kebudayaanya. Dengan mengungkap dan menelaah naskah-naskah dalam Lontara’ yang dilakukan Mattulada yang secara fundamental memberikan relasi yang ketat antara sejarah dengan kondisi sosial-budaya dalam perpolitikan dimana terlihat adanya upaya pemahaman orientasi penelitiannya tentang kedudukan, peranan, jalan pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara. Dengan demikian praktik politik dengan penggunaan status sosial seorang individu dalam struktur yang dijadikan sebagai model praktik politik dan kekuasaan yang menjadi perihal pokok pemikiran dalam tulisan ini, dilihat sebagai tak terpisahkan dari dialektika kebudayaan dan sejarah serupa itu. Lebih
48
Latoa merupakan Lontara’ atau naskah berbahasa Bugis yang berasal dari kerajaan Bone. Penulisannya diperkirakan pada masa pemerintahan raja Bone ke 7 sekitar awal abad ke-15. Menurut beberapa keterangan Latoa merupakan penncatatan dari pembicaraan Raja Bone dan Penasehatnya pada masa itu. (Lihat Mattulada dalam Latoa, Hal. 79)
Universitas Hasanuddin
44
Tinjauan Pustaka
tepatnya apa yang di kemukakan Rudiansyah tentang pergeseran kerangka pemikiran dalam kajian antropologi yang tadinya bersifat deskriptif dan kondisional menuju kepada suatu model yang lebih bersifat reflektif (dalam arti lebih melihat kebudayaan sebagai konstruksi yang lahir dari perenungan si peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya). Di awal tulisan ini, telah dikemukakan sebelumnya tentang upaya penggambaran konstruksi dan tatanan dalam historitas orang Bugis Wajo, serta berupaya untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan pola tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang Bugis Wajo dalam ruang lingkup kebudaayannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap berbagai aspek dan nilai budaya lokal49 masyarakat pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan yang cermat untuk mendapatkan bagian dari penggambaran kebudayaan yang terkait dengan praktik-praktik politik dan kekuasaan, apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih dipegang teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya mengatasi dampak perkembangan zaman. Penelusuran naskah dalam Lontara atau naskah sejarah-sejarah lainnya ditekankan pada perihal struktur pemaknaan dalam tradisi, adat istiadat dalam nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa yang diceritakan dalam naskah, semisal pada kronik raja-raja pada masa lampau50. Nilai-nilai budaya sebagai pedoman yang memberikan arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat sangat 49
Muhammad Ramli (2008:1) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yakni pappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakan publik.
50
Lihat Eliza Maiyani (Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis Bone” Disertasi) Tahun 2008. Op.cit, Hal. 92
Universitas Hasanuddin
45
Tinjauan Pustaka
umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bersifat khusus, sedangkan perumusannya biasa sangat terperinci, jelas, tegas, dan tak meragukan51. Dari perspektif antropologi, adat istiadat merupakan yang merupakan endapan dari nilai-nilai kultural yang menjadi acuan setiap individu dalam bertindak masyarakat setempat. Karena sifatnya sebagai pedoman, adat mengikat setiap kelompok dalam melaksanakan aktifitasnya. Bagi masyarakat yang terikat dengan adat-istiadat, status sosial seseorang ditentukan oleh apa yang sudah menjadi adat dan dilaksanakan sesuai dengan adat. Karena pentingnya adat-istiadat dalam masyarakat, maka adat yang merupakan produk budaya yang dijadikan oleh setiap orang untuk bertindak. Pada masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Bugis pada umumnya mengenal adat yang sering di istilahkan Panggadereng. Konsepsi Panggadereng dalam masyarakat Bugis pada umumnya merupakan pola dasar dalam tatanan kehidupan yang berisi norma kehidupan yang dapat menuntun manusia mencapai kesempurnaan hidup52. Oleh karena itu, adat istiadat dalam masyarakat tertentu merupakan standar kelakuan yang ada dalam bahasa antropologi merupakan salah satu institusi sosial (social institution) atau biasa dikonsepsikan “social capital” dalam studi sosiologi. Dalam masyarakat yang sederhana, dimana sejumlah pranata dalam kehidupan masyarakat masih sedikit, dan dimana jumlah norma dalam suatu pranata juga kecil, maka satu orang ahli adat dapat mencakup pengetahuan mengenai suatu norma dalam banyak pranata, bahkan seringkali semua pranata yang ada dalam masyrakatnya sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat yang kompleks dimana jumlah pranatanya yang diikuti dengan norma-normanya yang 51
Koentjaraningrat (1981: 195) dalam Meiyani, Ibid, Hal.90
52
Meiyani (2008), Ibid, Hal. 93
Universitas Hasanuddin
46
Tinjauan Pustaka
begitu banyak pula, seorang ahli seperti “ahli adat” dalam masyarakat yang sederhana, tak dapat lagi menguasai seluruh pengetahuan mengenai semua sistem norma yang ada dalam kehidupan masyarakat. Demikian ada ahli-ahli khusus mengenai beberepa norma yang inheren dalam pranta-pranata. C. Wujud Budaya dan Bentuk Praktik Politik Lokal Ranah
politik secara umum tidak dapat dipisahkan dengan unsur
kebudayaan manusia yang merupakan bagian tata perilaku berorganisasi dari keseharian suatu masyarakat. Budaya politik muncul dalam bentuk interaksi antar masyarakat sebagai warga negara dengan pemerintah, dan institusiinstitusi di luar pemerintah (non-formal), dan inilah yang kemudian menghasilkan dan membentuk keberagaman dalam pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik politik dalam semua ranah politik. Oleh karena itu seringkali kita bisa melihat dan mendapatkan fenomena-fenomena yang menarik ketika bersentuhan dengan pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap masyarakat terhadap negaranya, pemerintah, pemimpin dan lain sebagainya. Munculnya konsepsi budaya politik dalam kelompok masyarakat tertentu merupakan implikasi dari pemahaman kebudayaan setempat yang lebih kompleks dalam warna pada pandangan dan cara masyarakat tersebut memainkan perannya dalam pranata politik. Pada era modern ini, kekhasan tersebut muncul dalam cara masyarakat lokal semisal dalam cara suatu kelompok masyarakat mengelola pengetahuan mereka dan cara mereka menghadapi masalah dalam praktik politik seperti masalah dalam legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, kegiatan kelompok politik (partai, NGO, dsb), perilaku aparat negara.
Universitas Hasanuddin
47
Tinjauan Pustaka
Meski dalam sistem kenegaraan yang ada di Indonesia berlaku sistem politik yang lebih banyak dipinjam dan berasal dari luar negeri, tetapi karakteristik budaya lokal dalam orientasinya dengan praktik politik justru menyesuaikan dan malah menyuburkan praktik-praktik budaya lokal di Indonesia dengan kebaragaman kebudayaan di setiap sudut wilayahnya. Budaya politik53 sebagai suatu sikap orientasi yang khas masyarakat terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan suatu individu yang ada dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat suatu bangsa. Lebih jauh dikatakan, bahwa negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka didalam sistem politik54. Bentuk budaya lokal yang mendorong praktik politik suatu masyarakat menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap pergerakan/mobilitas, prioritas dalam melahirkan kebijakan55. Dengan pemahaman ini, memberikan suatu konsepsi yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan pemahaman yang bersifat individual ini, bukan berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung dan bercorak individualisme. Tetapi dalam pandangan ini melihat
53
54 55
Almond dan Verba yang banyak terinspirasi dari teori Struktural-fungsional Malinowski dan Radcliffe Brown, tentang bagaimana masyarakat kemudian bersikap dengan nilai-nilai yang mereka miliki kemudian dioperasionalkan dalam pranata-pranata yang ada dalam kebudayaanya, termasuk pranata politik. (Almond & Verba 1984 “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5 Negara) Almond dan Verba (1984), Ibid hal 83 Almond dan Verba (1984), Ibid hal 153
Universitas Hasanuddin
48
Tinjauan Pustaka
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari sikap individual. Pada pengkajian kebudayaan yang umumnya dilakukan melalui disipilin ilmu sosiologi, antropologi, dan psikologi, banyak membicarakan tentang fenomena masyarakat, tetapi selain daripada itu, dalam membicarakan politik ini, kebudayaan merupakan faktor yang sangat penting karena mengkaji berbagai pola perilaku seseorang atau pun sekelompok orang (seperti kelompok etnis) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelengaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat-istiadat, dan norma kebiasaan yang berjalan, berpikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban. Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, tentu sulit sekali, tetapi inilah yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang diwarisi nilai-nilai luhur nenek moyang. Untuk itu, perlu utarakan dalam bagian ini mengenai sub-sub kultur yang terdapat di Indonesia. Budaya kedaerahan yang mempengaruhi masing-masing suku dalam khasanah budaya Indonesia yang kaya ini dapat dirumuskan. Inilah yang disebut oleh Mpu Prapanca beberapa abad yang lalu sebagai “Bhinneka Tunggal Tan Hanna Mangrwa”56. Budaya kedaerahan akan diuraikan berikut, baik yang bersifat kawula gusti dalam kebudayaan orang-orang Jawa maupun yang bersifat partisipan, di satu segi masih akan ketinggalan dalam menggunakan hak dalam memikul tanggung jawab di bidang politik, yang disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, 56
Pembahasan Didin Saepuddin dengan memberikan beberapa kategorisasi terhadap budaya di daerah dan kaitannya dengan sistem politik yang dianut Indonesia saat ini (Budaya Politik Indonesia, artikel), Op.cit, Hal 2.
Universitas Hasanuddin
49
Tinjauan Pustaka
pengaruh penjajahan, nepotisme, primordialisme, dan feodalisme. Namun bukan berarti kita menggugurkan ciri asli kedaerahan. Berikut berbagai budaya politik yang ada dalam masyarakat Indonesia berdasarkan daerahnya Budaya Politik Jawa: Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji dari etika Jawa, yang terkenal tabah juga ulet. Mereka memang sudah sejak dulu terpatri dengan kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup. Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut “nrimo”
(menerima
dengan
pasrah).
Sebaliknya
dalam
meniadakan
kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah “ojo dumeh” (jangan mentang-mentang). Bila menghormati orang yang dituakan, lalu mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan dibenamkan dalam-dalam apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut “mikul dhuwur mendem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam). Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah “mangan ora mangan pokok-e kumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul). Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian memerlukan waktu, mereka beristilah “ alon-alon waon kelakon” (pelan-pelan asal tercapai). Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan bertindak, walaupun terhadap bawahan sekali pun, mereka memberi istilah “ngono yo ngono, ning ojo ngono”. Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama walaupun terhadap pihak yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah “ngluruk tanpa bolo, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake”. Dalam politik orang Jawa relatif lebih merendah dibandingkan suku-suku lain di Indonesia, yang terwujud dari bagaimana cara mereka memasang keris. Bila orang Bugis-Makassar, Minangkabau, Banjarmasin, dan Aceh, masingmasing menyelipkan badik, keris, mandau, dan rencong mereka pada dada dan
Universitas Hasanuddin
50
Tinjauan Pustaka
perut (di depan) maka orang Jawa menyimpan kerisnya di punggung (di belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang menilai kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang Jawa lebih senang berkelahi dari belakang dari pada berhadap- hadapan.57 Budaya Politik Minangkabau: Budaya politik partisipan sebenarnya dapat dikaji dari Ranah Minangkabau, mengapa orang Padang terkenal ulet besilat lidah dan tidak mau mengalah karena di dalam berpetatah-petitih, mereka sudah sejak dulu mempunyai pandangan tentang filsafat hidup, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dalam mempertahankan gengsi, kewajiban, dan persamaan derajat, mereka mengatakan “tagak samo tinggi, duduak samo rendah” (berdiri/tegak sama tinggi, duduk sama rendah). Begitu pula dalam mengelola kehidupan mereka berpedoman : “nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di nan manang, nak cadiak sungguah baguru, nak kayo kuak mancari” (agar menjadi orang yang mulia berlakulah yang baik, ingin maju teladanilah orang yang telah berhasil, ingin pintar belajar sungguh-sungguh, ingin kaya harus kuat/ulet berusaha). Untuk pemanfaatan tenaga kerja, mereka mengatakan bahwa, “nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan binguang disuruah-suruah, nan kuek pambao beban, nan cadak lawan berundiang” (yang buta menembus lesung, yang tuli pelepas badil/menembak, yang lumpuh penunggu rumah, yang menganggur untuk disuruh-suruh, yang kuat pembawa beban/barang, yang pintar untuk lawan berunding). Hal ini sejalan dengan peredaman emosi antusiasme, yaitu “ mamanjang sarantang tangan, mamikua sakuek bahu, malampek saayun langkah, bakato sapanjang aka” (memanjang serentang tangan, memikul sekuat bahu, melompat seayun 57
Ibid, Hal. 21
Universitas Hasanuddin
51
Tinjauan Pustaka
langkah, berkata sepanjang akal). Bagi penyesuaian diri mereka berpedoman pada “bakato di bawah-bawah,mandi di ilia-ilia” (berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir) sehingga tepat dengan usaha mempertahankan prinsip, yaitu “baa di wang baitu pulo di awak, talanjuakluruih kalingkiang bakaik” (bagaimana halnya pada orang begitu pula pada kita, telunjuk lurus kelingking berkait). Penggambaran posisi pemimpin pemerintahan diibaratkan pohon beringin, yaitu “daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo” (daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila). Namun demikian tetap diperlukan introspeksi diri sebagai berikut : “ kok kuek urang indak ka balinduang, kok bagak urang indak kabaparang” (jika kaya orang tidak akan meminta, jika pintar /cerdik orang tidak akan bertanya, jika kuat orang tidak akan berlindung, jika berani orang tidak akan berkelahi/berperang). Dalam hubungan dan komunikasi kepemimpinan dengan bawahan mereka berpedoman “duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang” (duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang). Itulah sebabnya setelah kekalahan dalam peristiwa PRRI orang awak ini sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.58 Budaya Politik Aceh: Orang Aceh lebih suka dikatakan sebagai penjahat ketimbang dinilai telah meninggalkan agama Islam karena sudah begitu terpatri dalam darah daging budaya Aceh. Masyarakat Aceh cukup eksis dalam hidupnya serta memiliki ketersinggungan jiwa yang sensitif. Berkenaan dengan hasrat hati masyarakat Aceh dalam menantang perjuangan dengan gigih mereka bersendi 58
Ibid, Hal 25
Universitas Hasanuddin
52
Tinjauan Pustaka
pada istilah “de teuron dari rumoh neugisa ngon darah” (maksudnya: kalau turun dari rumah jangan harapkan pulang nama, tetapi harus tetap pulang darah). Hal ini dekat dengan ayat Al Quran yang mengatakan “Faa-izza azamta fa tawaqal allallah” (artinya, apabila engkau telah membulatkan tekad maka serahkanlah kepada Allah SWT.). Sejarah memang telah membuktikan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. Kaum kolonialisme begitu sukar menembus daerah ini, kecuali mengelabuhi para syuhada Serambi Makkah ini. Namun demikian, sebagai akses dari keuletan daerah ini, mereka tampak eksistensialis ketimbang fatalisme; jihad diperlukan lebih mutlak ketimbang sufisme, bahkan tariannya saja alat gendering hampir tidak diperlukan karena cukup memukul dada. Di kampung-kampung tidak ditemui rumah ibadah agama lain selain masjid, tetapi untuk memusnahkan ladang ganja pemerintah harus campur tangan. Untuk itu dalam penyelenggaraan politik diperlukan pendekatan religi. Namun sayang rasa kecewa masyarakat Aceh sudah tertimbun sehingga mereka tidak lagi berharap untuk menerima Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam.59 Budaya Politik Bali: Unsur kehidupan masyarakaat dan kebudayaan di Bali, berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur yang berasal dari budaya agama Hindu Jawa, terutama berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan Singosari dan Majapahit. Hal ini tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh pedanda, nama-nama yang menunjukkan kasta, upacara pembakaran mayat, berbagai tarian dan arsitektur bermotif Hindu. Ini berpengaruh pula dalam budaya politik. Namun kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi tradisi modern, sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh banyaknya wisatawan asing dan domestik yang masuk ke Bali. Dengan demikian, 59
Ibid, Hal 28
Universitas Hasanuddin
53
Tinjauan Pustaka
pendidikan dan budaya serta pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak membawa perubahan, terutama dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang paling penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah adanya asas gotong royong, baik sebagai nilai budaya maupun dalam sistem perilaku. Gotong royong telah menjadi landasan dari berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali sehingga tampak sangat mengerakan kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat Bali. Bentuk gotong royong tersebut diberi berbagai istilah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh yaitu : (1) Ngoupin (gotong royong antarindividu atau keluarga); (2) Ngedeng (gotong royong antar perkumpulan); (3) Ngoyah (gotong royong untuk keperluan agama). Itulah sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk memisahkan
diri
dibandingkan
daerah-daerah
lain
di
Indonesia,
rasa
kegotongroyongan mereka terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati kesempatan untuk hal tersebut memungkinkan melihat potensi pariwisata yang mereka miliki. Bayangkan betapa banyak para turis dari manca negara yang mengatakan “see Bali before your die” artinya bila meninggal orang perlu mendambakan surga maka sebelum mati orang perlu mendambakan Bali. Sayang keberadaan
kasta
yang
sebenarnya
adalah
untuk
menentukan
tingkat
pemahaman seorang umat Hindu, dimodifikasi oleh penjajah asing menjadi kelas dalam masyarakat.60
60
Ibid Hal 29
Universitas Hasanuddin
54
Tinjauan Pustaka
D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik. Beberapa pemahaman mengenai stratifikasi sosial oleh beberapa teoritis (Talcott Parson, Weber, K. Marks & Petirim Sorokin)61 mengungkapkan tentang adanya pola pelapisan sosial dalam masyarakat yang terbentuk sebagai implikasi dari hubungan-hubungan ekonomi seperti kepemilikan atau harta kekayaan dan ada pula yang terbentuk karena seseorang memiliki sesuatu yang dihargai atau dibanggakan dalam jumlah lebih daripada yang lainnya. Beberapa pendapat tentang penyebab stratifikasi sosial tersebut menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sangat penting dibahas dalam kaitannya dengan masalah pengaruhnya dalam praktik politik dalam setiap pelapisan sosial yang ada dalam struktur suatu masyarakat. Pengetahuan mengenai pelapisan sosial berati mengetahui dan mencari latar belakang pandangan, perspektif atau sifat-sifat yang mendasari kebudayaan dari suatu masyarakat. Selain itu, mengetahui pelapisan masyarakat dapat ditemukan penggambaran tentang bentuk hubungan-hubungan, kejadiankejadian dalam peristiwa yang ada dalam masyarakat yang kemudian pada orientasinya ditujukan tentang pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk tingkah laku segenap individu atau kelompok dalam masyarakat. Terkait masalah pelapisan sosial, dalam kebudayaan Bugis yang sarat dengan pengaruh tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan adanya pelapisan sosial berdasarkan kekerabatan. Pada periode tertentu dalam sejarahnya dimana kemunculan stratifikasi sosial ini diuraikan dalam cerita epos La Galigo62 yang menceritakan tentang mitos tentang nenek moyang orang Bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang “berdarah putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang 61
Lihat Soerjono Soekanto (Beberapa teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, CV. Rajawali Jakarta, 1983) Hal. 254-255
62
Lihat Pelras (Manusia Bugis),Op.cit Hal. 196;2006
Universitas Hasanuddin
55
Tinjauan Pustaka
”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Ditekankan kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur. Meskipun konsepsi aturan strata dalam kebudayaan Bugis ini sudah semakin longgar bahkan sudah tidak ditemukan lagi seiring waktu bergulir. Pada sistem kekerabatan yang cikal bakal pelapisan sosial dikenal beberapa prinsip dalam karya pertama yang fundamental tentang sistem kekerabatan masyarakat manusia bersumber dari beberapa ahli antropologi (J.Lubbock; J.J. Bachhofen; J.F. McLennan; dan G.A. Wilken)63. Inti dari semua tulisan tentang semua sistem kekerabatan tersebut jika dilihat dari perspektif antropologi sosial memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan untuk bertindak baik dalam kelompok maupun diluar kelompok. Beberapa prinsip pokok yang dapat ditarik dari berbagai sistem-sistem kekerabatan yang dianut dari beberapa kelompok masyarakat yaitu: Pertama, sistem kekerabatan masyarakat manusia bersifat dinamis dari satu pola ke pola selanjutnya sesuai dengan perkembangan kebudayaannya; Kedua, dalam sistem kekerabatan berlaku stratifikasi sosial dalam pembentukan dan pengembangan keluarga; Ketiga,
adanya
pengaruh
adat
istiadat
terhadap
pembentukan
dan
pengembangan sistem kekerabatan; Keempat, sistem kekerabatan dipengaruhi oleh unsur mitos baik dalam pembentukan dan pengembangan kekerabatan; Kelima, dalam sistem kekerabatan dikenal konsep keluarga inti dan bukan keluarga inti64. Dalam konsepsi kelompok sosial juga, seseorang dikatakan berkerabat apabila orang tersebut mempunyai hubungan “darah” dengan seorang individu
63
64
Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi, Pokok-pokok Etnografi II, op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142 Kesimpulan dari tese Koentjaraningrat tentang sistem dan pola-pola dalam kekerabatan yang diajukan Meiyani dalam Disertasinya “Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan” , Op.cit, Hal. 91.
Universitas Hasanuddin
56
Tinjauan Pustaka
tadi baik melalui ibunya maupun melalui ayahnya. Terbentuk hubungan darah antara satu orang dengan orang lain yang jumlahnya banyak, namun seseorang dapat mengenali silsilah kekerabatannya berdasarkan “kekerabatan biologis” dan dapat membedakannya dengan “kekerabatan sosiologis”65. Selain itu, hubungan kekerabatan biologis dapat diketahui dari ciri-ciri tertentu seperti dapat menjadi ahli waris, berhak atas suatu gelar, berhak atas kedudukan tertentu dalam masyarakat dan lain sebagainya66. Oleh sebab itu dalam menetunkan posisi seseorang dalam suatu sistem kekerabatan berlaku beberapa prinsip keturunan yang dapat menjadi acuan menentukan posisi seseorang agar dapat digolongkan sebagai kerabat. Munculnya pelapisan sosial juga dapat disebabkan karena kedudukan seseorang dalam masyarakat yang ditentukan berdasarkan besar kecilnya kekuasaan, kekayaan, kepandaian, keterampilan, pengetahuan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut sehingga menentukan posisi atau statusnya dalam pelapisan sosial. Perihal ini juga dipertegas oleh Koentjaraningrat67 dengan mengemukakan tentang sebab-sebab terjadinya pelapisan sosial seperti adanya: (1) kualitas serta keahlian, (2) senioritas, (3) keaslian, (4) hubungan kekerabatan dengan kepala masyarakat, (5) pengaruh dan kekuasaan, (6) pangkat, dan (7) kekayaan. Dari keseluruhan faktor penyebab terjadinya pelapisan sosial dapat dilihat dari sejumlah masyarakat didunia, seperti pelapisan sosial masyarakat Bugis yang ada di Sulawesi Selatan yang menjadi cikal bakal munculnya kecenderungan tatanan sosial yang bersifat patronase yang didasarkan pada faktor kekerabatan dalam pelapisan kaum bangsawan Bugis serta bagaiamana lapisan sosial ekonomi menengah dalam memunculkan diri yang membentuk suatu kelompok lapisan 65 66 67
Meiyani (2008) Ibid, Hal. 96 Koenjraningrat (1988: 197) dalam Meiyani (2008:104) Koentjaraningrat (1988: 158) dalam Meiyani (2010: 109)
Universitas Hasanuddin
57
Tinjauan Pustaka
tersendiri dalam bentuk-bentuk patronase dan kesemuanya berimplikasi pada bagaimana pola-pola tatanan masyarakat Bugis dalam pemahaman dan praktikpraktik dalam kebudayaanya yang dalam penulisan ini akan banyak dikaitkan tentang bagaimana impilikasinya dalam fenomena politik dan kekuasaan yang di masyarakat Bugis Wajo. Untuk menelaah dan memetakan hirarki dalam masyarakat tradisional Bugis maka umumnya ditemukan beberapa simbol-simbol tertentu yang menunjukkan status sosial mereka68. Dengan simbol ini maka masyarakat kemudian mengetahui bagaimana mereka berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan tata cara berperilaku yang seharusnya menurut nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis yaitu kedudukan status seseorang berdasarkan “warna darah” atau keturunan berdasarkan kekerabatan dan kedua adalah tatanan sistem pemerintahan yang terdiri atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing. Mengenai masalah teritorial dan wilayah hukum, pendapat ini diperkuat oleh penggambaran Korn & Ossenburggen69 tentang wilayah di Sulawesi Selatan yang ditemukannya daerah yang benar-benar merupakan kota hingga abad ke-17. Makassar sebelum diambil alih oleh pemerintah Belanda bukanlah kota yang menyatu, melainkan kompleks yang terdiri dari desa-desa yang tersebar di antara sawah dan perkebunan kelapa dan tergabung dalam wilayah atau domain (seperti dalam istilah yang dikemukakan Pelras) yang berbeda dan dibawah penguasa-peguasa yang berbeda. Diwilayah pedalaman kerajaan, tempat pemukiman kepalanya hanyalah sebidang tanah yang dilindungi lereng bukit
68
Lihat Pelras (2006: 196) tentang tanda-tanda status dalam masyarakat Bugis Tradisional
69
Lihat Pelras dalam kumpulan tulisan yang disunting Kathryn Robinson & Mukhlis Paeni, Tapaktapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Inninawa. 2006. Op cit, Hal 48.
Universitas Hasanuddin
58
Tinjauan Pustaka
tanah, melingkupi ladang, kebun, taman dan beberapa rumah panggung yang mudah dipindahkan. Pelras70 juga mengemukakan ciri dari desa dalam masyarakat Bugis yang tidak mengenal komunitas desa sebagaimana digambarkan desa di Bali, sehingga bentuk kekuasaan pemimpin dalam desa pun bebeda. Namun dewan penasehat ditemukan ditingkat yang lebih tinggi yakni wanua (wilayah) yang berada dibawah pemerintahan seorang arung (penguasa), sehingga hal inilah yang mengantarkan penggambaran penulis tentang adanya karakteristik pembagian kekuasaan yang berasal dari bentuk kerajaan federasi dalam sejarah orang Bugis yang berbicara tentang demokrasi aristokrat seperti yang penulis kutip dari Pelras diawal tulisan. Adalah pada masa kerajaan Wajo pada yang memiliki prinsip kerajaan federasi yang secara turun menurun menjadi prinsip dan adanya keberadaan jaringan penguasaan dalam setiap teritorial, hubungan kekuasaan pemimpin dan pengikut serta hubungan politik yang ada dalam setiap wanua yang dianalogikan tidak lain menyerupai sebuah negara bagian. Implikasi dari pola-pola seperti yang digambarkan diatas adalah kecenderungan terjadinya persaingan atau perselisihan antar mereka yang sederajat dan kadangkala terbangun asosiasi atau bentuk-bentuk relasi kerjasama antar strata sosial, baik yang sederajat ataupun yang tidak sederajat. Hingga pada titik tertentu akan terjadi afiliasi-afiliasi atau bisa dikatakan hubungan persekutuan antar kelompok atau antar individu untuk merealisasikan atau mempertahankan suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pada fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut patron-klien.
70
Pelras (2005) Op.cit Hal. 48
Universitas Hasanuddin
59
Tinjauan Pustaka
E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien Sistem kekerabatan orang Bugis karena menganut sistem kekerabatan bilateral, tidak mengarah pada pembentukan kelompok kekerabatan yang ketat, juga tidak mengenal kelompok bilateral yang mengakui nenek moyang bersama seperti yang dianut dalam sistem kekerabatan orang-orang di Toraja. Sebaliknya dalam sejarahnya, orang Bugis terstruktur oleh sistem jaringan patron-klien yang dibarengi dengan pola kekerabatan yang begitu meresap dan saling berpautan. Pada dasarnya, sifat dari hubungan antara seorang pemimpin dan pengikutnya adalah hubungan antara individu71. Implikasi dari tatanan masyarakat dengan pola pemimpin-pengikut, adalah relasi antar individu yang menempatkan masyarakat situasi dimana kelompok lapis atas mereproduksi status ataupun sifat hak istimewa dari seorang keturunan bangsawan. Penempatan status sosial oleh kalangan lapis atas sebagai suatu previlese atau hak memimpin yang dalam bentuk bagiamana kekuasaan dipertahankan umumnya dilakukan dengan mereproduksi streotip-streotip tertentu yang dikenakan pada kelompok lapis bawah atau pengikut72. Upaya membedakan diri dari kelas-kelas sosial lain merupakan bagian dari strategi kekuasaan. maka kecenderungan kelas yang didominasi adalah mengikuti budaya kelas dominan dan pola-pola pikiran mereka. Kelompok masyarakat, atau lapisan sosial atas yang pernah berkuasa dan menduduki stratifikasi sosial yang tinggi menjadikan ruang-ruang yang ada dalam masyarakat untuk mereproduksi status sosialnya, misalnya dengan konstkrusi cerita kepahlawanan dalam sejarah atau melalui garis keturunan dan sistem kekerabatan seperti disinggung diatas
71
Lihat ulasan Pelras tentang tradisi modernitas orang Bugis (dalam Robinson & Mukhlis Paeni, 2005:46)
72
Dalam Tahara “Reproduksi Streotip dan Resistensi Orang Katobengke Dalam Struktur Masyarakat Buton (Disertasi) Op.cit, Hal. 27
Universitas Hasanuddin
60
Tinjauan Pustaka
tentang kecenderungan masyrakat Bugis di Wajo dengan membangun struktur patron-klien yang dioperasionalisasikan dalam kekuasaan melalui reproduksi status. Konsep tatanan patron-klien sebenarnya bisa dilacak dalam struktur sosial masyarakat dahulu sejak zaman Romawi kuno73 dimana terjadi persaingan melalui diplomasi dan perang antara
kaum bangsawan beserta pengikut-
pengikutnya dalam memperbutkan tahta kekuasaan Senat. Konsepsi ini menggambarkan tatanan dalam bagian-bagian disetiap bangsawan (patronus) mempunyai sejumlah pengikut-pengikut dari tingkat strata yang lebih rendah (clientes) yang berharap perlindungan dan jaminan keamanan dari kekuasaan patron-patron lainnya para clientes pada umumnya adalah orang-orang yang berstatus bebas namun ikatan-ikatan dengan patron tidak menjadikan sepenuhnya mereka bebas. Hubungan antara pemimpin dan pengikut sangat dekat, hal ini dapat dilihat penamaan nama belakang dari klien yang cenderung mengikuti nama patronnya. Begitu pula apabila diadakan upacara, para klien selalu melibatkan diri misalnya dalam upacara pemujaan keluarga bangsawan yang mereka anggap sebagai pelindung. Pola politik serupa juga terjadi di Jepang74 sebelum dan sesudah berdirinya dinasti Ieyasu Tokugawa sekitar abad ke-16 yang juga dalam sejarahnya ditemukan kecenderungan struktur yang serupa dengan pola patron-klien. Hubungan patron dan klien di Jepang dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal-balik, dengan pengikut yang setia dan bersifat turun temurun bahkan siap mati demi melindingi patron yang yang membuat Jepang sangat terkenal dengan ksatria Samurai-nya. Kaum
73
Dalam A. Yani “Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal”. 2006. Op cit hal 4
74
Dalam Film Dokumenter “Warrior: Shogun Ieyasu Tokugawa” (2008) yang merupakan hasil penelusuran sejarah yang dirilis BBC London Inggris .
Universitas Hasanuddin
61
Tinjauan Pustaka
bangsawan sebagai patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuhmusuh dan melindunginya dari tuntutan hukum. Disamping itu patron juga membantu keluarga kliennya dalam hal ekonomi, dengan memberikan lahan kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya. Di sisi lain, klien juga berkewajiban untuk membantu patronnya dalam kondisi tertentu, seperti menebus sang patron jika ditangkap sebagai
tawanan perang, atau
membayar biaya perkara yang harus dibayar patron75. Bentuk dari struktur seperti patron-klien ini juga diterapkan pada berbagai kelompok masyarakat dan suku bangsa dalam berbagai periode sejarah. Hubungan patron-klein menjadi bagian dalam sistem sosial politik masyarakat di beberapa belahan bumi seperti di Eropa, misalnya di Italia76. Begitu pula bentuk patron-klien di Asia Tenggara juga terjadi di Burma, Filipina, Thailand, dan Malaysia77. J.C. Scott78 memberikan pemahaman terkait kondisi sosial-budaya yang memunculkan dan mendorong terbangunnya pola patron-klien dalam suatu masyarakat terutama di kawasan Asia Tenggara yang sejak masa lalu bahkan sampai sekarang tetap memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk-bentuk patron-klien dalam praktik-praktik masyarakat dalam beberapa aspek. Suatu kondisi dalam suatu kebudayaan dikatakan turut mempengaruhi dalam membentuk pola patron-klien. Ada beberapa kondisi sosial-budaya yang kemudian menjadi pendukung bentuk struktur patron-klien, diantaranya adalah kondisi dimana terdapat perbedaan (inequality) yang terjadi dalam masyarakat menyangkut pemenuhan kekayaan dan kekuasaan. Umumnya, seorang patron mengorientasikan dirinya pada tujuan yang menyangkut pengaturan kekuatan 75
Dalam A. Ahmad Yani (2006) tentang pola hubungan patron klien dalam praktik politik.
76
Lihat Sydel F. Silverman (dalam McGlyyn & Arthur Tuden 2000: 237)
77
Pelras (1981:13) dalam Yani (2006)
78
Dikutip Heddy S. Ahimsa Putra (33-34;1988) dalam tulisan Ahmad Yani (2006), Op.cit, hal 5
Universitas Hasanuddin
62
Tinjauan Pustaka
serta pertarungan dalam mendapatkan kedudukan jabatan, namun pada periode awal sebenarnya sifatnya tidak mendasarkan pada hubungan-hubungan dalam pewarisan kedudukan atau kepemilikan tanah. Namun pada masa pemerintahan kolonial yang menerapkan komersialisasi ekonomi, sehingga kondisi tersebut mengalami pergeseran yang memunculkan kembali nilai-nilai dalam orientasi kepemilikan tanah yang kemudian justru menjadi pemicu adanya gejala patronklien. Dengan menggunakan pemahaman tentang patron-klien yang diutarakan J.S. Scott memberikan kerangka bagi penulis untuk mendeskripsikan situasi yang melatarbelakangi hubungan patron-klien yang tumbuh dalam praktik politik orang Bugis Wajo, dimana adanya hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam masyarakat Bugis disebut Ajjoareng-Joa’79. Dalam masyarakat Bugis, individu yang dikatakan patron biasanya diduduki oleh kalangan bangsawan yang disebut Ajjoareng atau Pappuangeng. Sedang klien berasal dari kalangan masyarakat biasa yang disebut joa’ atau ana’ guru (pengikut). Hubungan patron dan klien merupakan hubungan kewajiban timbal-balik. Seorang patron berkewajiban untuk melindungi joaqnya dari kesewenang-wenangan dari bangsawan lain, pencurian, atau berbagai ancaman lain, serta memperhatikan kesejahteraan dan melindungi mereka dari kemiskinan. Sebaliknya, klien berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada patronnya, misalnya, dengan bekerja di lahan atau rumah tuannya, atau menjadi prajurit, dan mengerjakan berbagai kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam sistem politik orang Bugis Wajo tradisional, garis keturunan bukanlah jaminan untuk mendapatkan posisi jabatan dalam kerajaan maupun
79
Mattulada juga memberikan khusus mengenai gejala demikian sebagai bentuk stratifikasi sosial orang Bugis. (1995:491)
Universitas Hasanuddin
63
Tinjauan Pustaka
dalam konteks jabatan politik sekarang. Hal ini disebabkan masyarakat Wajo tradisional tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung. Justru dalam hal kepemimpinan kerajaan yang meliputi beberapa daerah (wanua) mereka bersama-sama memilih pemimpinnya (matoa) yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya di Wajo calon matoa bisa berasal dari tiga kelompok masyarakat yang juga merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman dalam proses suksesi suatu kerajaan diantara ketiga kelompok besar tersebut, namun terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk jabatan tertentu, calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari sekian banyak keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal dari status tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak yang kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut. Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan pertarungan adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak serta didukung oleh pengikut yang paling berpengaruh. Jadi secara mendasar pengikut (joa’) dapat dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut dari kalangan orang biasa, yang mengabdi langsung kepadanya dengan, misalnya, menjadi prajurit dalam pasukannya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri. Berangkat dari fenomena dalam sejarah Bugis Wajo tersebut di atas, maka seorang patron harus berupaya untuk memperluas jaringan kliennya dalam rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan. Dan menariknya ini menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya. Perubahan regulasi
Universitas Hasanuddin
64
Tinjauan Pustaka
di tatanan negara diikuti oleh perubahan sistem politik lokal. Perubahan mendasar yang berkaitan dengan sistem politik lokal adalah pemilihan kepala daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat propinsi secara langsung yang disebut Pilkada (pemilihan kepala daerah). Upaya untuk membangun demokrasi di tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan alasan penyelenggaraan pilkada. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan. Diantara kelompok-kelompok tersebut mulai melibatkan diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik. Model ajjoareng’-joa’ ini ditengarai seperti bertahan dalam regulasi otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota. Diawali dengan sistem pemilihan konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk menjadi anggota DPRD apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio penduduk didaerah tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan momentum ini dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan kekuasaan ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik.
Universitas Hasanuddin
65
Gambaran Lokasi Penelitian
BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Untuk mengetahui lebih jauh mengenai daerah penelitian, penulis kemudian memberikan gambaran umum daerah penelitian, dimana sangat memberikan
andil
dalam
pelaksanaan
penelitian
terutama
pada
saat
pengambilan data, dalam hal ini untuk menentukan teknik pengambilan data yang digunakan terhadap suatu masalah yang diteliti. Di sisi lain dengan mengetahui daerah penelitian ini, mempengaruhi penulis dalam pengambilan data dan memudahkan pelaksanaan penelitian dengan mengetahui situasi yang tercatat dalam sejarah; kondisi politik dan pemerintahan; dan tatanan nilai-nilai dalam pemerintahan di kabupaten Wajo. Dalam bagian gambaran lokasi yang penulis ingin utarakan diawal adalah sejarah-sejarah yang menggambarkan bagaimana stuktur kekuasaan di awal berdirinya Wajo sampai pada integrasi Wajo dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nilai-nilai yang terkandung dalam proses pelaksanan pemerintahan Wajo yang kemudian dengan metode penulisan ini akan mengantarkan pada penjabaran pada proses tumbuh berkembangnya Wajo dalam dinamika tradisi kesejarahan politik dan kekuasaan. A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo Pada beberapa wilayah Bugis di Sulawesi Selatan yang merupakan bekasbekas kerajaan proses pendiriannya diawali dengan kemunculan sosok misterius yaitu To Manurung seperti yang diceritakan dalam epos La Galigo, ini berbeda dengan Wajo yang terbentuk dari bekas kerajaan lama. Namun senantiasa kontrak sosial terbangun antara pemerintah dan rakyat. Hal ini menandakan ciri hubungan kekuasaan yang bercorak demokratis antara pemimpin dan yang dipimpin meski bentuk pemerintahan yang dianut bukan republik hingga selama
Universitas Hasanuddin
66
Gambaran Lokasi Penelitian
600 tahun lebih mengalami proses perubahan pasang surut dalam pemerintahan di Wajo. Mulai dengan digunakannya gelar Kebataraan dimana raja adalah penguasa yang mutlak berdasar genetik dengan menggunakan sistem monarki absolut. Kemudian lahirnya perjanjian di Lapaddeppa di mana muncul konstitusi kemerdekaan orang Wajo dan masuknya pada fase Arung Matowa, dimana terjadi pembatasan kekuasaan raja terhadap rakyat. Wajo mencapai zaman keemasan pada pemerintahan Arung Matowa Latadampare Puangrimaggalatung, dimana pada masa kepemimpinanya berhasil memperluas wilayah kerajaan Wajo, jauh dibanding batas yang kita kenal hari ini. Disamping itu, dalam masa kekuasaannya sebagai Arung Matoa yang dalam catatan sejarahnya sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan mengajarkan kearifan dalam kepemimpinan. Pada fase Arung Matowa, Wajo mengalami pasang surut. Titik nadir pemerintahan kerajaan Wajo ketika perang tahun 1669 yang menyebabkan perlakuan sewenang-wenang dan kemiskinan terhadap rakyat Wajo. Pemerintahan Arung Matowa menyikapi dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan lembaga ekonomi yang menyerupai koperasi yang berfungsi memberikan pendanaan terhadap pedagang sehingga memicu munculnya lapis to sugi pada struktur masyarakat dan menguatnya ekonomi masyarakat sehingga menaikkan posisi Wajo dari segi pembangunan ekonomi dibandingkan pada kerajaan tetangganya dalam hubungan luar negerinya. Setelah Belanda melancarkan ekspedisi militer dan menaklukkan kerajaan-kerajaan pada tahun 1905-1906 maka terjadi banyak perubahan dalam konstalasi politik dan sistem pemerintahan Wajo. Misalnya penyederhanaan sistem wanua bukan pada kepengikutan pada Limpo tapi berdasarkan kedekatan geografis. Selain itu, pengebirian peran pejabat kerajaan Arung Ennengge oleh
Universitas Hasanuddin
67
Gambaran Lokasi Penelitian
pemerintah kolonial Belanda yang merupakan intervensi politik untuk memudahkan kontrol terhadap jajahan. Pada zaman penjajahan Jepang, tidak banyak perubahan pada sistem pemerintahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan karena Jepang tidak cukup banyak waktu untuk mengkaji kebudayaan lokal. Namun yang pasti, bagaimanapun bentuk pemerintahan lokal dalam hal ini pemerintahan kerajaan Wajo, tentulah Jepang tetap memiliki kepentingan politis dalam mendukung konsep perang Asia Raya Jepang. Setelah terusirnya Jepang dan kembalinya Belanda, membuat sistem pemerintahan kerajaan kembali terusik. Semangat nasionalisme berhasil memadamkan kolonialisme dan juga menghapuskan kerajaan-kerajaan di Nusantara termasuk kerajaan Wajo. Wajo berubah menjadi Onder-Afdeling bersama Bone dan Soppeng dalam Ofdeling Bone. Selanjutnya menjadi kewedanan dan akhirnya menjadi Kabupaten pada tahun 1957. Wajo pada mulanya membawahi 4 kecamatan berdasar aspek historisnya, antara lain Kecamatan Majauleng (Bettempola), Kecamatan Sabbamparu (Talo Tenreng), Kecamatan Takkalalla (Tua) dan Kecamatan Pitumpanua. Dalam perkembangannya berubah menjadi 10 kecamatan. Antara lain kecamatan Tempe, Pammana, Sabbamparu, Majauleng, Takkalalla, Belawa, Maniangpajo, Tanasitolo, Pitumpanua dan Sajoanging. Selanjutnya dimekarkan 4 kecamatan baru yaitu kecamatan Bola yang merupakan pemekaran kecamatan Takkalalla. Kecamatan Gilirang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Maniangpajo. Kecamatan Keera yang merupakan pemekaran dari kecamatan Pitumpanua dan kecamatan Penrang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Sajoanging. Wajo yang dulunya adalah kerajaan yang sangat sempit dengan jumlah penduduk sedikit dan memiliki mekanisme yang khas dalam mengelola
Universitas Hasanuddin
68
Gambaran Lokasi Penelitian
rakyatnya, kini telah menjadi Kabupaten, daerah tingkat II dalam Negara Kesatuan Indonesia. Namun yang pasti bahwa orang Wajo senantiasa memegang slogan mereka dari sejak berdirinya kerajaan hingga di zaman Republik modern ini. Yaitu Maradeka to WajoE Ade’na Na Popuang. Dimana antara pemerintah dan rakyat senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum dalam pemerintahan dan pengelolaan hajat hidup orang banyak. Wajo dulu dan sekarang telah banyak berubah. Dalam tinjauan tatanan politik dan kekuasaan, Wajo mengalami perubahan dari kerajaan elektif menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Selatan. Perubahan kedaulatan dari kerajaan menjadi kabupaten inilah yang menjadi hal penting untuk dibahas. Sebab perubahan tersebut meniscayakan berubahnya struktur dalam pranata politik yang otomatis berpengaruh terhadap bagaimana sistem pemerintahan di Wajo. B. Keadaan Geografis Wajo Wajo terletak di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan tepatnya pada 3.39’-4.16 LS dan 119.53’-120.27’ BT. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap. Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sidrap. Bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng. Luas wilayah kabupaten Wajo sekitar 2.506,19 km² (250.619 ha) atau 4,01% dari luas wilayah provinsi Sulawesi selatan, dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 86.142 ha (34,37%) dan lahan kering 164.77 ha (65,63%). (Data BPS Kab. Wajo 2009).
Universitas Hasanuddin
69
Gambaran Lokasi Penelitian
Karakteristik dan potensi lahan di Kabupaten Wajo dalam khasanah Lontara Sukkuna Wajo’80 diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan posisi “mangkangulu ribulue, Massulappe ripotanangange, mattoddang ritasie/tappareng” yang artinya Wajo memiliki lahan dengan tiga dimensi, yakni: tanah berbukit yang berjejer dari selatan Kecamatan Tempe ke utara semakin tinggi, utamanya di Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Gilireng dan Kecamatan Pitumpanua yang merupakan hutan dan tanaman industri, perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembalaan ternak. Tanah dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan perkebunan/tegalan pada wilayah bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe dan sekitarnya, serta hamparan laut terbentang di pesisir Teluk Bone disebelah timur merupakan potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Potensi sumber daya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat di danau dan sungai-sungai besar yang ada, seperti Sungai Bila, Sungai Walennae, Sungai Cenrana, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo. C. Profil Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Wajo Wilayah administratif Wajo kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan terakhir pada tahun 2003 terjadi pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri dari 14 kecamatan 48 kelurahan dan 128 desa. Sebagai penerus dan pelanjut citacita perjuangan para pendahulu Wajo dan seiring dengan perubahan bentuk pemerintahan, Wajo telah dipimpin oleh 12 orang bupati, yaitu81:
80
Lihat tulisan Indar Arifin (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik di Kabupaten Wajo”. Pustaka Refleksi. Makassar
81
Dalam Munawar (2008). Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan Di Wajo Sejak Terbentuknya Hingga Integrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIA Puangrimaggalatung. Sengkang
Universitas Hasanuddin
70
Gambaran Lokasi Penelitian
1. H. Andi Tanjong 2. Andi Magga Amirullah 3. Andi Bahtiar, SH 4. Andi Hasanuddin Oddang 5. H. Andi Unru 6. H. Rustam Efendi 7. Dr. Ir. Rady A. Gany 8. Drs. H. Dachlan Maulana, MS 9. Drs. H. Naharuddin Tinulu 10.H. Andi Asmidin 11. Ir. Andi Idris Syukur, M. Si 12.Drs. H. Andi Burhanuddin Unru, MM Wakil Bupati, yaitu: 1. Drs. H. M. Saleh Radjab, MM 2. Drs. H. Abdul Salam Yahya 3. H. Amran Mahmud, S. Sos. M.Si Ketua DPRD, yaitu: 1. Syaikh Abdul Kadir Tahir 2. H. Andi Muri 3. H. Parenrengi 4. H. Andi Mungkace 5. H. Andi Modding 6. H. Andi Asmidin 7. H. Dai Basri, BA 8. H. Andi Asriadi Mayang, SH. MH 9. Drs. H. Imran Hameru 10.H. M. Yunus Panaungi, SH. Sekretariat Daerah Kabupaten Wajo sesuai Perda No. 5 Tahun 2008 untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Wajo terdiri dari:
Universitas Hasanuddin
71
Gambaran Lokasi Penelitian
1. Sekretaris Daerah 2. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat: a.
Bagian Administrasi Pemerintahan Umum
b.
Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat
c.
Bagian Administrasi Kemasyarakatan
d.
Bagian Administrasi Kerjasama Antar Daerah
3. Asisten Perekonomian dan Pembangunan: a.
Bagian Administrasi Pengembangan Potensi Daerah
b.
Bagian Administrasi Pembangunan
c.
Bagian Administrasi Sumber Daya Alam
d.
Bagian Administrasi Perekonomian
4. Asisten Administrasi Umum: a.
Bagian Hukum dan Perundang-undangan
b.
Bagian Organisasi dan Tata Laksana
c.
Bagian Umum
d.
Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol
Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo,Sesuai Perda No. 5 Tahun 2008 82 untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo terdiri dari: 1. Sekretaris DPRD 2. Bagian Umum 3. Bagian Keuangan 4. Bagian Perundang-udangan 5. Bagian Risalah dan Persidangan
82
Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Universitas Hasanuddin
72
Gambaran Lokasi Penelitian
Nama-nama
dinas
dalam
lingkup
pemerintah
Kabupaten
Wajo
Sesuai Perda No. 6 Tahun 2008: 1. Dinas Pendidikan 2. Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata 3. Dinas Kesehatan 4. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika 6. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 7. Dinas Pekerjaan Umum 8. Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, Perindustrian dan Perdagangan 9. Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan 10.Dinas Kelautan dan Perikanan 11. Dinas Tata Ruang, Kebersihan, dan Pasar 12.Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah 13.Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi dan Sumber Daya Mineral Nama-nama lembaga teknis dalam lingkup pemerintah Kabupaten Wajo sesuai Perda No. 7 Tahun 200883: 1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2. Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah 3. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa 4. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian 5. Badan Lingkungan Hidup Daerah 6. Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat 7. Badan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera JL. Beringin 83
Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Universitas Hasanuddin
73
Gambaran Lokasi Penelitian
8. Inspektorat Daerah 9. Rumah Sakit Umum Daerah 10.Kantor Perpustakaan dan Arsip 11. Satuan Polisi Pamong Praja 12.Kantor Pelayanan Terpadu Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. D. Tatanan
Nilai
Dalam
Sistem
Pemerintahan
dan
Politik
Masyarakat Wajo Visi dan Misi Kabupaten Wajo84 Visi Kabupaten Wajo “Menjadikan kabupaten wajo sebagai kabupaten terbaik dalam pelayanan hak dasar dan pemerintah yang profesional.” Misi Kabupaten Wajo Untuk mewujudkan visi tersebut, ada empat misi yang akan dilakukan: Penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber daya aparatur. 1. Meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan dalam proses pemenuhan hak dasar masyarakat. 2. Menciptakan iklim yang kondusif bagi kehidupan yang aman, damai, religius dan inovatif serta implementasi pemberdayaan masyarakat. 3. Mengakselerasi laju mesin-mesin pertumbuhan dalam proses produksi berbasis ekonomi kerakyatan.
84
Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Universitas Hasanuddin
74
Gambaran Lokasi Penelitian
Filosofi, Etika dan Etos Kerja Pemerintahan dan Masyarakat Wajo85 Filosofi pemerintah dan kemasyarakatn Wajo yang tercermin pada kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo yang sejak 600 tahun yang lalu yaitu sejak Wajo lahir sekitar 1399, kemudian mengkristal pada 3 kata yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S, yaitu: (1) Sipakatua; (2) Sipakalebbi; (3) Sipakainge yang menjadi tatanan yang tak terpisahkan satu sama lain. 1. Sipakatau (saling memanusiakan) a. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME. b. Semua mahluk disisi Tuhan YME adalah sama, yang membedakan adalah keimanan dan ketaqwaan. 2. Sipakalebbi (saling memuliakan/menghargai) a. Menghormati posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan. b. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda, yang sederajat saling menghormati dan menyayangi. c. Berperilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan pemerintah. 3. Sipakainge (saling mengingatkan/demokrasi) a. Menghargai nasehat, saran, kritikan positif dari siapapun. b. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan. c. Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak luput dari kekurangan, kekhilafan dan diperlukan kearifan untuk saling mengingatkan dan
85
Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Universitas Hasanuddin
75
Gambaran Lokasi Penelitian
menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan Sipakatau dan Sipakalebbi. Pada transisi pelaksanaan otonomi daerah yang penuh tantangan dan efouria kebebasan perlu dibangun suatu persepsi, pandangan yang sama antara pemerintah dan masyarakat Wajo dalam wujud adanya etika pemerintah dan kemasyarakatan yang dapat dijadikan tolak ukur kinerja pemerintah dan masyarakat. Etika pemerintahan dan kemasyarakatan tersebut tercermin pada prinsip kerja yaitu,
(1) Taat Asaz; (2) Keterbukaan; (3) Kemitraan; (4)
Pelayanan; (5) Rasa Malu (Siri’); dan (6) Iman dan Taqwa Etos Kerja 1.
Kewajiban (Nasseriki’): -
Tidak seorang manusiapun yang luput dari suatu kewajiban menurut status dan fungsinya.
-
Kewajiban tersebut akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat sesuai norma hukum (adat) yang berlaku.
2. Bekerja (Resopa): -
Tidak seorang yang luput dari bekerja untuk kepentingan sendiri, masyarakat dan negara. Tidak bekerja berarti malas (makuttu)
3. Optimal (Temmangingi): -
Puncak dedikasi kerja yang diharapkan adalah optimal, artinya sungguh tidak setengah-setengah hati dan penuh rasa tanggungjawab (resopa temmangingngi nalateti pammase dewatae)
E. Karakteristik Informan Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data-data atau keteranganketerangan mengenai suatu peristiwa yang ingin dicapai dalam penulisan
Universitas Hasanuddin
76
Gambaran Lokasi Penelitian
penelitian ini, dengan rentang waktu penelitian maka, didapatkan sejumlah keterangan dan informasi dari beberapa informan yang dipilih secara selektif dengan mempertimbangkan bahwa informan tersebut adalah orang-orang atau subjek yang mampu memberikan gambaran dan menceritakan suatu peristiwa di masa lalu melalui penceritaan-penceritaan yang yang subjek tersebut dapatkan, serta pada situasi dimana informan turut berperan dalam peristiwa tersebut dalam konteks terjadinya suatu konstalasi politik. Dan bahkan adapun informan yang dipilih salah satunya adalah Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten Wajo yang selama ini aktif dalam ranah perpolitikan di Kabupaten Wajo. Pemilihan informan-informan ini dilakukan secara sengaja oleh penulis yang tentunya berdasarkan pada kenyataan bahwa. Pertama, informan yang dipilih memiliki kedekatan secara emosional dengan penulis, kedua, informan tersebut merupakan individu yang memahami tentang situasi konteks dimana Wajo sebagai arena dan bangunan konstalasi politik, informan-informan di kategorikan sebagai pengamat yang sering melakukan perbincangan terkait masalah sosial-budaya dan politik yang terjadi di kabupaten Wajo; Kedua, informan yang dipilih tersebut merupakan individu yang terlibat dalam suatu peristiwa di masa lalu, meski tak terlibat secara langsung tetapi dengan tipe informan seperti ini dapat memberikan gambaran sejarah yang informan dapatkan dari para pedahulunya; Ketiga, informan yang dipilih juga merupakan beberapa pejabat birokrasi, pengamat politik, tokoh masyarakat, serta pemuka agama yang memiliki kaitan dengan historitas yang ada di kabupaten Wajo, baik itu merupakan keturunan bangsawan maupun diantaranya berasal dari kelompok ekonomi menengah. Dengan ketiga alasan tersebut diharapkan oleh penulis akan
Universitas Hasanuddin
77
Gambaran Lokasi Penelitian
memudahkan dalam proses wawancara dan penulisan ke Bab Pembahasan dan Hasil Penelitian. Berdasarkan pengamatan dan penggalian informasi yang ditelusuri penulis di lapangan di dapatkan keterangan bahwa informan-informan yang yang mampu menggambarkan sosial-budaya seperti informan yang memiliki pengetahuan-pengetahuan dalam
sejarah, pengamat masalah sosial-budaya
(tokoh masyarakat), pejabat pemerintahan dijadikan objek penelitian berasal dari beragam identitas (dalam hal umur, pendidikan, dan status pernikahan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut : Tabel I Daftar nama informan berdasarkan umur, pendidikan, dan status pernikahan No
Nama Informan
Umur
Pekerjaan
1
A. Mariattang, S.Sos
Anggota DPRD Sul-sel
2
A. Rahmat Munawar, S.Sos
Anggota KPU Wajo
3
A. Ayatullah Ahmaad, S,Sos
PNS
4
H. Anwar Sadat
Anggta DPRD Wajo
5
Abdul Rahim Mendo
Pensiunan Kades
6
Drs. A. Kandacong
Guru/Pengajar SLTP
7
Ir. A. Mungkace
Konsultan Proyek
8
Haris Panaungi, S.Sos
PNS
9
A. Sadapotto
Mahasiswa
10
Muhammad Idris
Pensiunan PNS
11
A. Isnandar
Pengusaha
Universitas Hasanuddin
Ket
78
Gambaran Lokasi Penelitian
12
Rahim Ambong
Tim Sukses Kampanye
13
H. A. Kile’
Mantan Kades
14
H. Sulaiman
Tokoh Agama
Sumber : Data Lapangan yang diolah tahun 2011 Berdasarkan data wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat tujuh karakter dari keterangan yang diberikan oleh informan yang mewarnai kehidupan atau aktifitas kesehariannya, sebagai berikut : -
Kategori keturunan bangsawan
-
Kategori terpelajar, mahasiswa, cendikiawan dan lain sebagainya.
-
Kategori kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan politik (pemilih, tim sukses, dsb).
-
Kategori pelaku dalam peristiwa dan penutur sejarah. Demikian pengambaran informan yang sempat diwawancara di lapangan
yang telah memberikan informasi dan data-data sekaitan dengan hasil yang ingin dicapai oleh penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Universitas Hasanuddin
79
Pembahasan dan Hasil Penelitian
BAB IV REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK Diawali dengan sebuah perbincangan dengan rekan-rekan mahasiswa antropologi di kampus mengenai studi lapang penulis yang akan dilakukan di daerah yang konon merupakan tanah kelahiran leluhur penulis. Seorang rekan bertanya “Kalo’ mengenai daerah yang paling kau (penulis, red) kuasai jalanannya, di Wajo atau di Makassar?, dengan spontan penulis menjawab “lebih saya kuasai Makassar…”. Jawaban yang kemudian memcerminkan suatu kondisi dimana penulis merasa bahwa sudah mulai muncul hambatan mental dalam proses pengumpulan data di lapangan. Selama
kurun
waktu
hampir
10
tahun,
penulis
lebih
banyak
menghabiskan waktu di kota Makassar dengan mengikuti beberapa jenjang pendidikan, aktifitas pergaulan dan interaksi dengan masyarakat dengan karakateristik urban di kota Makassar yang heterogen dengan berbagai latar etnis dan, pemikiran-pemikiran kontemporer dan gaya kampus terbaru selalu diikuti demi label ‘ikut trend’ membuat ketertarikan dan perhatian penulis tidak lagi tertuju dengan berita-berita terbaru, perkembangan daerah, perubahanperubahan di kampung halaman, masalah-masalah yang ada dalam masyarakat serta peristiwa-peristiwa yang menceritakan kondisi sosial-budaya saat ini di Kabupaten Wajo. Suatu kondisi yang kurang lebih mengalami kesenjangan dengan tuntutan studi pada akhirnya setelah penulis membaca secara seksama metode penelitian lapangan beserta kerangka penelitian yang ada dalam proposal yang mengharuskan penelusuran masalah sejarah dan kondisi masyarakat di Kabupaten Wajo saat ini. Serupa atau tidak masalah yang penulis hadapi dalam pengumpulan data di lapangan, pada umumnya semua peneliti yang berlatar dari disiplin antropologi dari berbagai cerita dan kisah tetap juga mereka mengalami
Universitas Hasanuddin
80
Pembahasan dan Hasil Penelitian
kendala-kendala maupun hambatan dalam penelitian lapangan dan kesemuanya seperti teratasi dengan cara yang mereka dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat yang mereka teliti, dibeberapa diskusi dengan teman-teman cara tersebut sering diistilahkan “metode antropologi”. Sekitar pertengahan bulan Januari 2011, untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di daerah yang penulis sebut dengan kampung halaman. Langkah pertama untuk memulai studi lapangan adalah menghubungi kerabat dan keluarga yang penulis anggap dapat memberikan gambaran sesuai dengan maksud penelitian. Beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon dengan beberapa orang baik itu teman maupun kerabat menghasilkan nama beberapa orang yang dapat dijadikan informan yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama orang-orang tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai melakukan persiapan dengan mengidentifikasi orang tersebut untuk dijadikan informan dalam penelitian lapangan. Diantara nama-nama orang disebut dan penulis identifikasi memiliki relevansi dengan masalah penelitian adalah A.Rahmat Munawar, salah seorang tokoh masyarakat Wajo yang menurut informasi cukup intensif melakukan kajian-kajian sejarah dan memiliki koleksi dokumen sejarah. Setelah menyatakan kesediaannya untuk bertemu pada 26 Januari 2011, penulis mulai melakukan diskusi terkait masalah penelitian dengan melontarkan beberapa pertanyaanpertanyaan singkat tentang kondisi Wajo saat ini, sampai kesediannya untuk
Universitas Hasanuddin
81
Pembahasan dan Hasil Penelitian
menunjukkan beberapa koleksi dokumen sejarah yang ia punyai diantaranya adalah karya J. Nourdyn (1955) Buginese Histografie, Peta Kuno Wilayah Bugis buatan VOC yang tercatat tahun 1775, Lontarak Attoriolongne Wajo yang telah ditransliterasi, sebuah skripsi tua yang dibuat pada tahun 1960 dan file-file beberapa peneliti yang telah melakukan studi di Wajo serta Lontaraq Akkarungeng ri Wajo yang juga telah ditransliterasi. Naskah yang terakhir penulis sebut, berhasil dipinjam dan dari dokumen tersebut penulis mempelajari beberapa catatan sejarah untuk dipadukan dengan beberapa referensi yang penulis temukan melalui tulisan di buku-buku. Mempelajari beberapa tulisan maupun naskah sejarah masyarakat Bugis Wajo menjadi teknik yang ditempuh guna mendapatkan gambaran mengenai dinamika masyarakat dalam rentetan sejarah dan bentuk kekuasaan serta ideologi di bangun dalam masyarakat tersebut.86 Sebagaimana umumnya, bentuk-bentuknya terwujud dalam petuah-petuah, mitos maupun kronik raja yang menceritakan langsung dan diterjemahkan sebagai bangunan pranata politik dan kekuasaan dalam masyarakat di masa lalu. Pranata politik yang diciptakan sebagai sarana organisasi untuk mempertahankan diri dari serangan luar, akan tetapi, dengan demikian struktur kekuasaan juga memberi sarana kepada kelas yang berkuasa untuk mengabadikan kekuasaannya, demi untuk mempertahankan secara secara politik kekuasaan antara pihak pemerintah dan pihak yang diperintah.
86
Lihat Rudiansyah, Op.cit Hal. 5
Universitas Hasanuddin
82
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan Kekuasaan A.1. Periode Kepemimpinan Tradisional Kabupaten Wajo yang dinamikanya diceritakan dalam sejarah, berawal kurang lebih 600 tahun yang lalu, melalui rentetan sejarah yang panjang dengan berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan panjang kondisi sosial budaya masyarakat Wajo hingga seperti hari ini. Beberapa penceritaan dan kisah awal berdirinya Tana Wajo dalam catatan sejarah memiliki versi berbeda diantaranya adalah Pau-pau ri kadong87. Kisahnya diceritakan secara singkat sebagai berikut: Seorang putri dari kerajaan Luwu yang dihanyutkan ke sungai akibat mengidap penyakit
kulit
dan
ditakutkan
menjadi
wabah
di
daerahnya.
Dalam
pembuangannya, putri tersebut beserta pengikutnya terdampar di Tosora88. Secara dramatis diceritakan sang putri tiba-tiba sembuh dari penyakit kulitnya setelah dijilat kerbau putih. Selanjutnya terjadi pertemuan dengan pangeran yang berasal dari kerajaan Bone, keduanya lalu menikah sampai beranak pinak sampai pada keyakinan beberapa kelompok masyarakat bahwa keturunan merekalah yang kemudian pada awal mulanya membentuk masyarakat Wajo. Untuk cerita versi Pau-pau ri kadong, penulis asumsikan sebagai sebuah bentuk cerita rakyat dan sebagai wujud tradisi lisan yang ceritanya sejak kecil penulis telah dengarkan melalui orang-orang tua dahulu, meski perlu dikaji lagi tentang lahir dan bertahannya cerita ini dipahami sebagai cerminan struktur berpikir ditengah perkembangan masyarakat Wajo. Namun di pihak lain beberapa kelompok
87
88
Kalau artinya secara harfiah “tuturan yang di benarkan”, lebih banyak diceritakan oleh orang-orang tua dahulu sesuai sejarah tradisi lisan masyarakat Bugis. Yang unik adalah ketika orang-orang tua menceritakannya biasa dimulai dengan tarikan nafas panjang kemudian berucap “Belle ipau lebbi mabbelle pi tau marengkalingae nasaba nissengni belle natepperi mupi” yang berarti “Bohong yang dikatakan lebih berbohong lagi orang yang mendengar sebab telah diketahui bohong akan tetapi masih mempercayainya” Salah satu desa di Kabupaten Wajo yang berjarak 10 km dari kota Sengkang (Ibukota kabupaten Wajo) Desa ini merupakan daerah yang penting dimasa kerajaan dan selalu disebutkan dalam dalam cerita epik raja maupun lontara di Wajo.
Universitas Hasanuddin
83
Pembahasan dan Hasil Penelitian
masyarakat Wajo justru menganggap cerita ini sebagai sebuah produk konstalasi tatanan politik pada masa-masa sebelumnya, masalah ini penulis simpulkan ketika teringat dari wawancara singkat dengan seorang kerabat yang setelah menceritakan sejarah Wajo tersebut, justru kemudian menanggapi kembali apa yang telah dia ceritakan dengan mengatakan seperti dikutip dibawah ini: “ ini cerita tentang putri dari Luwu dan pangeran dari Bone sebenarnya, masih perlu dipertanyakan…, kenapa kita orang Wajo seolah-olah seperti keturunan dari Bone dan Luwu, bagaimana kalo ternyata bukan. Padahal dulu katanya samasama ji semua kerajaan, masih perlu di cek yang sebenarnya kerajaannya duluan terbentuk, kalau kerajaan Luwu mungkin dari dulu ji ada”89 Pernyataan informan tersebut dapat dengan mudah dan mendasar penulis asumsikan sebuah bentuk pernyataan yang menggambarkan dimensidimensi psikologis dan sosial dalam kaitannya dengan identitas diri sebagai orang Wajo selain itu merupakan masalah kekuasaan dan kepentingan politik yang cenderung stereotipik dalam persepsi masyarakat sekarang mengenai kerajaan masa lampau yang seperti penulis ketahui, Luwu dan Bone merupakan kerajaan besar yang berdampingan dengan Wajo, dalam hubungannya dengan kedua kerajaan itu juga mengalami pasang surut dalam hal saling menguasai. Pernyataan informan tersebut juga memperlihatkan bagiamana cerita tersebut mempengaruhi persepsi beberapa kelompok masyarakat di Wajo yang memposisikan suatu kondisi psikologis dan sosial yang berada/beroperasi ditengah-tengah masyarakat serta gambaran tentang bagaimana dimensidimensi yang terbangun dalam cerita sejarah tersebut memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk cerita rakyat.
89
Wawancara dengan Andi Kace pada tanggal 29 Januari 2011, alumnus teknik UMI yang kini bekerja di sebuah developer dalam beberapa pembangunan infrastruktur di Kabupaten Wajo.
Universitas Hasanuddin
84
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Berbeda dengan penceritaan sejarah Pau-pau ri kadong, dalam Lontara Sukkuna Wajo yang disusun Andi Makkaraka Arung Bettempola dan juga dipertegas dalam tulisan Zainal Abidin, Wajo dikisahkan dalam naskah tersebut berawal dari sebuah pemukiman yang dibangun oleh beberapa pendatang dari berbagai daerah yang melakukan aktivitasnya di pinggir danau. Pada perkembangannya komunitas ini kemudian berkembang menjadi kelompok masyarakat yang disebut Boli’, selanjutnya mulai terbentuk tatanan masyarakat dengan struktur bercorak kerajaan yang disebut kerajaan Cinnongtabiq dan pada akhirnya seperti dalam catatan sejarah membentuk kerajaan Wajo. Seperti diriwayatkan dalam Lontara Sukkuna Wajo, tentang kelompok masyarakat
pendatang
yang
menurut
keterangan
sejarahnya90
adalah
sekelompok masyarakat yang berbahasa Bugis dan kemudian membuat perkampungan disekitar pesisir danau Lampulung91. Mereka dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan supranatural yang dikenal sebagai Puang ri Lampulung. Seperti pada umumnya masyarakat pada masa lampau yang didasarkan atas hubungan merata (egalitarian) kemudian muncul dalam corak masyarakat yang penulis asumsikan sebagai bentuk organisasi masyarakat bertingkat92 yang dasar organisasinya masih merupakan hubungan kekerabatan. Komunitas ini membuka lahan di tanah yang subur di pinggiran danau kemudian mereka bercocok tanam, beternak, menyadap tuak dan menangkap ikan. Sepeninggal Puang ri Lampulung, masyarakat Lampulung kehilangan pegangan sehingga mereka terpecah, sampai kemudian dikisahkan komunitas ini mendapat kabar tentang seorang yang memiliki kemampuan serupa Puang ri Lampulung dalam memimpin komunitas yang mereka sebut sebagai Puang ri Timpengeng 90 91 92
Juga dituturkan oleh informan Muhammad Idris Danau ini masih merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang dimanfaat oleh masyarakat di Wajo saat ini. Lihat Fried (1968) dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199
Universitas Hasanuddin
85
Pembahasan dan Hasil Penelitian
yang berasal dari Boli’. Masyarakat yang tanpa pemimpin ini kemudian mengangkat Puang ri Timpengeng sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya, komunitas ini disebut sebagai masyarakat Boli’. Sampai Puang ri Timpengeng meninggal, komunitas tersebut kemudian tercerai berai. Datangnya putra Datu Cina (Pammana) yaitu La Paukke. Masyarakat Boli’ yang tadinya tercerai berai kemudian berkumpul dibawah pimpinan La Paukke dan kemudian mereka mengangkat La Paukke sebagai Arung Cinnongtabiq sehingga sisa-sisa masyarakat Lampulung dan Boli telah melebur menjadi kesatuan masyarakat Cinnongtabiq. Dalam sejarah tercatat ada 5 generasi yang memimpin kerajaan Cinnongtabiq sampai kerajaan Cinnongtabiq memiliki dua raja bersaudara yang sekaligus memerintah. Mereka memerintah bersamaan yang dalam Lontara disebut sebagai raja yang diperseberangsungaikan. Yang pertama adalah La Tenri Bali dan adiknya La Tenri Tippe. Kelompok masyarakat Lampulung dan Boli’ menurut riwayat Lontara Sukkuna Wajo pada dasarnya masih merupakan tipologi masyarakat sedang93 dengan pola kepemimpinan dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat tersebut. Untuk menciptakan keteraturan, mereka mengangkat tokoh mistis sebagai pemimpin mereka. Para pemimpin pada masyarakat sedang memerlukan power atau kekuasaan sebagai landasan kepempimpinan mereka yang diperoleh karena memiliki beberapa sifat yang seolah-olah merupakan syarat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Wajo pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang banyak.
93
Koentjraningrat membagi kelompok masyarakat berdasarkan kerangka kepemimpinan yakni masyarakat sedang, masyarakat negara kuno, dan masyarakat kontemporer. Masyarakat sedang, adalah kesatuan-kesatuan sosial yang lebih besar dan kompleks bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan sosial yang terdiri dari 10 – 15 individu saja dengan seorang pemimpin kadangkala. Biasanya tidak bisa hidup tanpa pemimpin kadang-kadang, yang hanya muncul pada waktu tertentu saja, pada waktu mendesak atau pemimpin khusus yang mampu menyelesaikan masalah. Tipologi masyarakat seperti ditemukan hidup di pegunungan Papua, Papua New Guinea, dan Melanesia. (Koentjaraningrat. 1990. Op.cit Hal 220-221)
Universitas Hasanuddin
86
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun, bertani, keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi dan sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan warga masyarakat pra-wajo pada masa itu semisal bermurah hati. Dalam sejarah yang diceritakan Lontara Sukkuna Wajo dikisahkan ketika komunitas ini didatangi oleh Opu Balirante dari Luwu yang datang untuk memungut Widattali94. Puang ri Lampulung yang saat itu selaku pemimpin kelompok tersebut dengan kemampuan diplomasinya mampu menolak permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan besar seperti Luwu. Kepemimpinan masyarakat Pra-wajo (masyarakat Lampulung dan Boli’) pada masa lalu itu juga mencirikan seseorang dapat menjadi pemimpin jika kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh warganya atas dasar kemampuan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan upacara ritual yang bersifat keagamaan95 hal ini ditandai dengan karakter dalam kepemimpinan masyarakat Pra-wajo yang memiliki kekuatan supranatural maupun mistis, sifat yang mewujudkan komponen kharisma bagi pemimpin dalam kekuasaan. Bentuk kekuasaan konsesus berdasarkan kesepakatan bersama antara beberapa pihak kepentingan dalam kelompok masyarakat Wajo masa lalu nampak dalam sejarah Bugis Wajo tergambarkan dalam penggalan sejarah kerajaan Cinnongtabiq yang menceritakan saat Arung Cinnongtabiq ketiga yang merupakan cucu La Paukke, yang menikah dengan La Rajallangi, kemudian diangkat menjadi Matoa yang tugas-tugasnya menyerupai fungsi perwakilan rakyat yang dalam aktualisasinya mengadakan musyawarah untuk memutus suatu perkara.
94 95
Sejenis Upeti atau sesembahan bagi kelompok yang lebih berkuasa. Lihat Koentjraningrat (1990) Op.cit Hal. 221
Universitas Hasanuddin
87
Pembahasan dan Hasil Penelitian
….Ianaro Puetta La Rajallangi Arungnge ri Babauae mula taro Matoa ri Cinnongtabik na onroi maddeppungeng anana’ to malolo to matoa naewatoi sipetangngareng…. (…. Ialah tuan kita La Rajallangi yang mengangkat matoa [seorang yang dituakan] di Cinnongtabiq, tempat berhimpun anak-anak, orang muda, orang tua kemudian dilawannya bermusyawarah)96 Model
kepemimpinan
ini
kemudian
mengindikasikan
hubungan-
hubungan kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Manakala pejabat yang disebutkan bahwa Matowa Pabbicara ini diberi tugas yang antara lain membantu Arung Cinnongtabik memutuskan suatu kebijakan. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para pemimpin.
Biasanya
nilai-nilai
dan
norma
dalam
masyarakat
yang
bermanifestasi dalam pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan ideologi, seperti misalnya dalam kerajaan Bugis ditemukan konsepsi Ade’ Assituruseng97 yang merupakan suatu mekanisme untuk melahirkan suatu kebijakan atau keputusan yang penulis mencoba mengilustrasikannya sebagai bentuk pertemuan yang terlembagakan dalam hukum adat di Wajo. Mengenai Ade’ Assituruseng ini ditempuh untuk mengatasi suatu persoalan
yang
belum
diatur
dalam
Ade’
(Undang-undang),
Rapang
(Yurisprudensi), Wari’ (aturan khusus dan keprotokoleran), dan Bicara (Permufakatan). Tatanan nilai dan norma masyarakat di Wajo ini bisa dikatakan menjadi sumber pengabsahan kekuasaan seperti kutipan dibawah ini, penulis
96 97
Zainal Abidin dalam Munawar (2008) Op.cit Hal. 27 Tata nilai dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa adat dan rakyat.
Universitas Hasanuddin
88
Pembahasan dan Hasil Penelitian
dapat simpulkan merupakan perwujudan keseimbangan kekuasaan beberapa kelompok dalam sejarah Bugis Wajo. “ Pejabat kerajaan yang tidak atau kurang menguasai peraturan adat harus melepaskan jabatannya karena adat itu keramat dan berbahaya jikalau tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Jabatan itu harus diserahkan kepada yang ahli karena puraonro (adat yang sudah ditetapkan bersama) adalah milik orang banyak dan raja”.98 Perilaku politik yang ditunjukkan dalam sejarah Wajo ini, pada dasarnya memiliki struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik99. Tindakan-tindakan yang ada didalamnya kemudian dikatakan berdasar pada kewenangan yang sebelumnya telah dirumuskan dalam budaya masyarakat Wajo. Untuk melaksanakannya dalam tindakan politik, setiap individu tergambarkan sebagai orang yang mampu memerintah dan menggunakan kekuasaan secara efektif. Perkembangan selanjutnya dalam catatan sejarah, dikatakan bahwa kekecawaan rakyat terhadap La Tenri Tippe (pemimpin pada ujung periode Cinnongtabiq) yang dianggap
kurang mampu dalam memerintah, akibatnya
beberapa rakyatnya berpindah ke wilayah yang dipimpin oleh La Tenri Bali. Melihat kondisi ini, sepupu La Tenri Bali yaitu La Tenri Tau, La Tenri Pekka dan La Matareng kemudian melantik La Tenri Bali sebagai raja mereka sekaligus membubarkan kerajaan Cinnongtabiq sehingga memunculkan sebuah tatanan baru dengan identitas Wajo sebagai sebuah periode baru, namun tatanan organisasinya tidak banyak berubah dari sebelumnya. Perjanjian diadakan dibawah bayang-bayang pohon Bajo (Wajo-wajona pong BajoE), sehingga kerajaan yang baru dibentuk disebut Kerajaan Wajo. Sebagai Raja, La Tenri Bali digelar dengan Batara Wajo, sedang ketiga sepupunya diangkat menjadi
98 99
Zainal Abidin dalam Sadapotto (2010) Op.cit Hal. 77 Dalam McGlynn dan Arhtur Tuden (2000). Op.cit Hal 43
Universitas Hasanuddin
89
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Pa’danreng100 masing-masing sebagai Pa’danreng Bettempola, Pa’danreng Talotenreng dan Pa’danreng Tuwa. Tiap Pa’danreng mengepalai sebuah Limpo101 dan masing-masing Limpo terdiri dari 4 anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni Bettempola, Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Talo Tenreng membawahi anak limpo yakni Talo Tenreng, Ciung, Palekkoreng dan Ta’. Limpo Tuwa membawahi anak limpo yakni Aka’, Menge, Limpo dan Kampiri. Mereka menamakan wilayahnya sebagai Lipu Tellu Kajurue. Tiap anak Limpo dibawahi oleh Arung Mabbicara yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undangundang dalam kerajaan Wajo. Tiap Limpo memiliki seorang Pa’bate Lompo yaitu panglima perang utama yang pemegang panji perang dan tiap anak limpo memiliki seorang Pa’Bate Caddi. Perubahan yang terjadi seperti diutarakan diatas dalam pendekatan evolusi diistilahkan oleh Fried (1968)102 sebagai perubahan ke arah masyarakat berlapis (stratified societies) yang disebabkan oleh meluasnya daerah teritorial, jumlah penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam yang tidak dapat lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk organisasi lainnya sebagai tambahan yang dimantapkan dalam berbagai aturan, adat istiadat, struktur oraganisasi dan lain sebagainya.
100
101
102
Pa’danreng merupakan unit dari kesatuan sosial dan juga merupakan kelompok kekerabatan yang menguasai beberapa wilayah-wilayah tertentu. Pada awal terbentuknya ketiga Pa’danreng merupakan komunitas yang memiliki karakter masyarakatnya masing-masing tergantung pada kemampuan mereka dalam mengelola lingkungan alamnya. Misalnya Tuwa dalam bidang perikanan (karena pada masa itu mata pencaharian komunitas masyarakatnya berada di sekitar danau); Bettempola dalam bidang pertanian dan perkebunan; sedangkan Talo’tenreng dibidang penyadapan sari tumbuhantumbuhan (sarinyameng) yang dijadikan minuman. Seiring dengan bergulirnya periode kesejarahan Wajo, bentuk Pa’danreng juga semakin kompleks dengan berbagai simbolitas alat kelengkapan kekuasaan yang menyertainya. Inilah kemudian yang menjadi cikal-bakal kelompok kekerabatan yang berkuasa di Wajo yang masih tersisa sampai sekarang. Merupakan wilayah kekuasaan yang didalamnya adalah sekumpulan wilayah kelompok masyarakat, Limpo bias juga diilustrasikan menyerupai distrik atau kecamatan yang membawahi desa/kelurahan. Dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199
Universitas Hasanuddin
90
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A.2. Kekuasaan Terbagi (Organisasi Klen Besar Dalam Tubuh Kerajaan Wajo) Dalam sebuah sesi wawancara penulis dengan A. Rahmat Munawar yang begitu mengalir dalam caranya menceritakan tentang sejarah kerajaan Wajo pada masa lalu, mulai tentang struktur kerajaan yang unik dikatakan menyerupai negara-negara bagian dari sekian banyak wanua (daerah sekelompok masyarakat yang didalamnya terdapat pemimpinnya sendiri), tersebutlah istilah Pa’danreng sebagai suatu entitas kekuasaan tersendiri dan Ranreng sebagai pemimpinnya yang membawahi beberapa wanua dan selalu dihubung-hubungkan dengan kebijakan yang akan diambil kerajaan. Dituturkannya bahwa keputusan Arung Matowa (pemimpin/raja) sangat dipengaruhi oleh ketiga Pa’danreng yang manakala kadang-kadang keputusan diambil berdasarkan pemungutan suara untuk mendapat dukungan dari ketiganya. Secara sederhana penulis mencoba untuk mengambil suatu asumsi tentang adanya kekuasaan yang tidak mutlak ditangan pemimpin atau Arung Matowa tetapi justru terjadi penghargaan terhadap hak-hak pada ketiga Pa’danreng yang membentuk suatu struktur pembagian kekuasaan. Mengenai masalah ini juga diceritakan dalam beberapa catatan sejarah Wajo, seperti dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo. Masih pada periode Batara Wajo seperti diriwayatkan bahwa ketika La Tenri Bali diangkat sebagai raja dengan gelar Batara Wajo oleh ketiga kerabat dekatnya. Tidak mengherankan bagi penulis ketika menelaah masalah ini dengan melihat tatanan sosial dalam kebudayaan Bugis yang sarat dengan pengaruh tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan adanya kelompok sosial berdasarkan kekerabatan, beberapa tulisan103 juga memuat beberapa telaah tentang semua sistem kekerabatan jika dilihat dari perspektif antropologi 103
Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi, Pokok-pokok Etnografi II, Op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142
Universitas Hasanuddin
91
Pembahasan dan Hasil Penelitian
memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan untuk bertindak baik dalam kelompok maupun diluar kelompok. Pengorganisasian kerajaan diatur sedemikian rupa dalam tatanan yang seimbang, dengan membagi peran-peran kekuasaan dalam sistem kerajaan. Hal ini kemudian diwujudkan dalam tata aturan yang terdiri: Ade’ MarajaE, Ade’ AbiasangngE, Tuppu, Wari’, Rapang, Bicara. Mengenai pembagian peran kekuasaan ini kemudian dikisahkan dalam pesan La Tenri Bali Batara Wajo kepada sepupunya yang dikutip dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo104 sebagai berikut: “ Makkedani Batara Wajo ripaddanrengnge iyatellu narekko engka bicara tenrita unganna deqi ri arungnge, deqtoi ri ade marajae, deqtoi ri adeq abiasangnge, deqtoi wari e, deqtoi ri tuppue, inappami riyassamaturusi arumpanua macowa malolo napada mutanaiwi nalae nawa-nawana baraq engkamuwa deceng nabbereyang dewata seuwae naiyana ri pappalalowang temakkulleni tenri ola iyana riyaseng temmaunnyi, temmapute, temmacella, temmalotong. Iyani riyassiturusi, iyani riyabbinruseng, iyani riyaseng adeq assituruseng, narekko ja napucappaq ripinrai, narekko madecemmuwi cappaqna ripannennungengi, naripakkoling-koling pigauq. Iyana riyaseng adeq maggiling jawara. Narekko engka assituruseng tempedding ripinra sangadinna majaq majaqi ancajangenna rimunri maddupana masituruni pinrai gangka rilolongengna pabbunganna. Nasiduppa buwa buwana. Naye adeq assituruseng, narekko siewa mopi tangngae ri sese bicara yena riduwai seddie, rebbani seddie. Apagi narekko ritelluiwi paliwuni, oncommi riyammaneng-manengi, narekko lebbini ritellue tunruqni nasilaowang pada pinrai naccappaki deceng, yapa nakulle riduppai narekko engkai tosiattangngarengnge pada tudang mapaccing atinna, malempu nawa-nawanna, mataui ri Dewata Seuwae, masiiri ripadanna ripancaji mawewei ri padanna tau naye tau raga sellae atinnai sarawae nawa-nawanna tau temmatauwe ri Dewata Seuwae. Temmasiri ri padanna tau temawewe ripadanna ripancaji iyanaritu tau tempedding riyewa siyattangngareng. Makkadetopi Batara Wajo La Tenribali naye adeq assiturusengnge weddimuwa ripinra-pinra gangka naddupana naccapaki deceng, sangadinna adeq pura onroe tempeddingsa, ripinra temakkulleto rirebba, apagisa riyasenggeripalenneq. Nasabaq ye adeq pura onroe temmakullei ri tangnga temmakkulletoi ribicara rekko engkana pura napowada. Apaq naposolangi wanuae rekko teripakkuwai sabaq ye riyasengnge pura onro nappunnai tanae arung mangkauqe appunnanai to maegae taro-tarona toi to matowa mariyoloe.” 104
Dalam Munawar
Universitas Hasanuddin
92
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih seperti berikut : “ Berkata Batara Wajo kepada ketiga paddanreng, jika ada “bicara” tidak diketahui awalnya, tidak ada pada arung, tidak ada juga pada “adeq marajae”, tidak ada pada adeq abiyasangnge”, tidak ada juga pada “Wari”, tidak ada juga pada “Tuppu”, barulah dimusyawarahkan oleh arumpanuwa, tua-muda, kemudian ditanya pada orang yang ditemani musyawarah agar tetap diberikan kebaikan oleh Dewata Seuwae, dan itulah yang dilakukan, tidak bisa jika tidak dilakukan, inilah yang disebut tidak kuning, tidak putih, tidak hitam, apa yang disepakati itulah yang diikuti, inilah yang disebut “adeq assituruseng”, jika berakhir pada keburukan maka diubahlah, jika berakhir pada kebaikan maka tetaplah dilanjutkan, dilakukan secara berulang-ulang, inilah yang disebut “adeq maggiling jawara”, jika ada kesepakatan tidak bisa diubah kecuali bila terbukti berakhir dengan keburukan, dan sepakatlah mengubahnya sehingga berakhir kebaikan, demikianlah hingga disebut “adeq maggiling jancarak”, bisa dibalik atau, bisa dipindahkan kekiri sampai ditemukan ujungnya, agar bisa dinikmati hasilnya. Sedang adeq assituruseng jika masih dipertentangkan disisi “Bicara” maka yang diduai yang satu, yang satunya dibatalkan, apalagi jika sudah bertiga maka sudah dijatuhkan, apalagi kalau sudah semua mendukung, jika sudah lebih dari tiga, maka menurutlah pada perubahan yang berakhir kebaikan, barulah bisa dibuktikan jika semua yang hadir bermusyawarah hadir duduk dengan hati bersih dan pikiran yang jujur, takut pada Dewata Seuwae, malu kepada sesama ciptaan, segan pada sesama manusia, sedangkan orang yang raganya berbeda dengan hatinya maka hatinya akan menderita, orang yang tidak takut pada Dewata Seuwae, tidak malu pada sesama manusia, tidak segan kepada sesama ciptaan, orang seperti itu tidak bisa diajak bermusyawarah Berkata pula La Tenribali Batara Wajo, adapun “adeq assituruseng” masih bisa diubah sepanjang berakhir pada kebaikan, kecuali “adeq pura onro” tidak bisa lagi diperhatikan juga tidak bisa lagi dibicarakan, jika sudah yang diucapkan, sebab akan merusak wanua jika tidak demikian, sebab yang disebut “pura onro” adalah milik negeri, juga milik wanua, warisan milik Arung Mangkauq, juga milik orang banyak juga merupakan simpanan orang dahulu La Tenri Bali dan para Pa’danreng berserta rakyatnya merumuskan suatu perjanjian
mengenai
hubungan-hubungan
kekuasaan,
tata
pelaksanaan
kebijakan kerajaan maupun dalam pemutusan suatu perkara yang antara lain:
Universitas Hasanuddin
93
Pembahasan dan Hasil Penelitian
a.
Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan dan ketiga Pa’danreng yang menguasai ketiga Limpo105.
b.
Segala ketentuan hukum adat yang telah ada didaerah-daerah Limpo tetap berlaku dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur boleh dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang menyangkut kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut harus ditetapkan melalui musyawarah (assipetangngareng)
c.
Tiap Limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat, pemutusan perkara, dan mengawasi jalannya pemerintahan Batara Wajo. Dalam transkripsi dan transliterasi Lontara Sukkuna Wajo yang bukukan
Andi Makkaraka Arung Bettempola No. 128106 juga menceritakan tentang kedudukan Pa’danreng dan hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin di Wajo yang terkesan adanya pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih memegang beberapa tata aturan yang diatur sebelumnya oleh pemimpin sebelumnya yang mewariskan tahtanya, termasuk kecenderungan penegasan mengenai pemantapan antara kelompok kerabatnya sendiri maupun dengan lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat pengokohan struktur kekuasaan kelompok kerabat ditingkat internal yang diorganisasi dalam sebuah pranata kekerabatan. Pengaturan kekuasaan diantara ketiganya tetap berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam pengokohan struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang diberikan oleh masyarakat yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan, yang menarik adalah berdasarkan musyawarah diantara ketiganya dan rakyat Wajo pada masa itu. 105
106
Istilah yang diartikan menyerupai daerah bagian kekuasaan yang memiliki hak yang sama, seperti halnya negara bagian. Dalam Zainal Abidin, A (tahun….)
Universitas Hasanuddin
94
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Naia Tellu-Kajuru’e, tellu limpo, makkedani taue Tellue tunrungengLakka ri Wajo. Naia Batara Wajo La Mataesso malempuinamagetteng taro bicaranna, maserotoi naelori sipetangngareng Pa’danreng, ina taue ri adecengenna tana’e ri Wajo: naerekki mui tennalerei tarona ambo’na. Napatattaung tettong Batara Wajo La Matesso, natepuna Wajo, sekutoni tamana taue temmassau ri Wajo. Adapun Tellu-Kajuru’e, ketiga daerah, hanya orang menyebutnya Tellue-turungeng-Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso, jujur dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pula bermusyawarah dengan (para) Pa’danreng dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri Wajo, diteguhkannya jua dan tidak dilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat tahun diangkatnya Batara Wajo La Mataesso, sempurnalah Wajo, sekian pula lamanya masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo. Konsepsi Pa’danreng dalam khasanah politik kekuasaan di Wajo termasuk juga dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Hal ini ditunjukkan dalam catatan sejarah tentang kepengikutan Limpo dalam tiga kelompok besar tersebut. Limpo sendiri merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang juga memiliki pemimpin didalamnya. Dalam hubungannya dengan praktik politik, pola perilaku demikian memberikan kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian pola kepengikutan Limpo sebagai entitas kelompok masyarakat tersendiri terhadap Pa’danreng tidak lain adalah bagian dari struktur dalam masyarakat Wajo pada masa itu. Dalam catatan sejarah selanjutnya diceritakan tentang kekecewaan beberapa kelompok kekerabatan yang berasal dari Pa’danreng sendiri dan rakyat Wajo pada masa itu terhadap kepemimpinan Batara Wajo yang ketiga yakni La Pateddungi To Samallangi. Kekecewaan ini didasarkan atas perilaku Batara
Universitas Hasanuddin
95
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Wajo yang dianggap tidak sejalan dengan hukum adat yang berlaku pada masa itu yang menyebabkan ia dipaksa turun dari jabatannya oleh salah satu tokoh yang berasal dari kelompok Pa’danreng, La Tiringeng To Taba107 yang menjabat sebagai Arung Saotanre yang sebelumnya telah mengumpulkan beberapa kelompok kerabat dan rakyat yang menentang kepemimpinan La Pateddungi To Samallangi yang pada akhirnya kemudian dipaksa turun dari jabatannya sebagai Batara Wajo dan keluar dari negeri Wajo108. Sebagai langkah selanjutnya, diantara para pemimpin klen ini berkumpul dan merumuskan kembali tata organisasi kerajaan, tata hukum yang termaktub dalam adat kerajaan melalui perjanjian La Paddeppa yang salah satu isinya menyepakati La Palewo To Palippu sebagai Arung Matowa Wajo. Peristiwa ini kemudian menandai berakhirnya masa kepemeritahan Batara Wajo dan digantikan dengan sistem kerajaan Arung Matowa yang pembagian kekuasaannya lebih terbuka melalui perjanjian La Paddeppa. Namun pada dasarnya struktur kekuasaan kerajaan Wajo masih mengacu pada struktur kerajaan sebelumnya namun terjadi penambahan dengan memposisikan Arung Mabbicara109 berjumlah 10 orang pada tiap limpo. Pada periode Arung Matowa selanjutanya, pembagian kekuasaan yang diorganisir lebih kompleks lagi dengan penambahan beberapa posisi para kelompok kekerabatan dibawah kerajaan yang disertai simbol-simbol yang menggambarkan 107
108
109
kedudukan
dan
tugasnya
dalam
organisasi
kerajaan.
Salah seorang yang kemudian menjadi tokoh kunci pada fase awal pemerintahan Arung Matowa. Meski tidak menjabat sebagai Arung Matowa namun perannya menurut sejarah turut mempengaruhi struktur kekuasaan yang ada di Wajo karena posisinya sebagai Inanna Tau Maegae melalui suatu perjanjian. Dikisahkan juga bahwa La Pateddungi To Samallangi kemudian di bunuh oleh La Tenritumpu To Langi. Arung Mabbicara seperti yang diutarakan Mattulada dapat dianggap sebagai parlemen Tana-Wajo yang bertugas Maddette’ bicara (menetapkan hukum/undang-undang); Mattetta’, mappano’ patee bicara (mengesahkan/mengusulkan dan menyampaikan hal ikhwal tentang penyelenggaraan peraturan/undang-undang) untuk ditangani oleh Petta I Wajo.
Universitas Hasanuddin
96
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Hubungan-hubungan kekuasaan dilegitimasi melalui kesepakatan bersama seperti dalam perjanjian La Paddeppa sebelumnya, struktur kekuasaan ditingkat pemimpin terkesan seperti terbagi dengan adanya tiga Ranreng110 atau tiga pembesar yang bertugas mendampingi kepemimpinan Arung Matowa, selain Pa’bate Lompo yang memegang peranan sebagai panji-panji kaum yang tidak lain merupakan tiga kelompok kekerabatan sebagai tiga bagian yang membentuk Wajo, Bate Lompo Bettempola, Bate Lompo Talotenreng dan Bate Lompo Tua dengan gelar masing-masing Pilla (merah), Patola (aneka warna) dan Cakkuridi (Kuning) yang juga memiliki daerah kekuasaannya masing-masing111. Hingga pada masa pemerintahan La Obbi Settiariware sebagai Arung Matowa yang juga merupakan mantan Ranreng Bettempola selama lima tahun (±1481-1486) mendapatkan usulan dari Datu Luwu Dewaraja untuk melengkapi struktur kerajaannya dengan memberikan panji112 AnynyarangparaniE kepada Bettempola, TutturumpulawengngE kepada Talotenreng, dan CakkuridiE kepada Tuwa sebagai Pa’bate Lompo. Dibentuk pula jabatan Suro Palele Toana atau Suro Ri Bateng. Tambahan kedudukan ini kemudian menetapkan struktur dalam pelembagaan kelompok-kelompok dalam kerajaan menjadi 40 orang yang berkedudukan dengan perannya masing-masing. Struktur inilah yang lebih dikenal dengan istilah Arung Patappulo atau Puang ri Wajo yang di pertegas oleh Mattulada (1995) tentang pemerintahan kerajaan Wajo memiliki corak struktur yang menyerupai “Republik Aristokrasi”. Hal ini, penulis dapat simpulkan bahwa struktur kekuasaan dalam mekanisme jalannya kerajaan 110
111 112
Hasil wawancara penulis dengan A. Kandacong, mengatakan bahwa Ranreng diartikan sebagai pengapit Arung Matowa, sebagai suatu jabatan dalam kerajaan yang diilustrasikannya bahwa Arung Matowa tidak bisa memutuskan kebijakan begitu saja apabila tidak dibicarakan dengan ketiga Ranreng tersebut. Bahkan beberapa Arung Matowa yang dipilih berasal dari mantan pejabat Ranreng. Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 405 Bendera berupa: Anynyaramparanie (kuda berani), tuturumpulawengnge’ (tanduk emas) Cakkuridie (kuning).
Universitas Hasanuddin
97
Pembahasan dan Hasil Penelitian
terbagi berdasarkan daerah ketiga kelompok (Limpo), hubungan ini diatur dalam melembagakan beberapa kedudukan yang terdiri dari satu orang Arung Matowa berdampingan dengan tiga orang Ranreng ditambah tiga orang Pa’bate Lompo113 disebut Petta i Wajo (pertuanan di Wajo). Disini, penulis juga mencoba mengasumsikan secara implisit bahwa kekuasaan Arung Matowa dalam wewenangnya mesti sejalan dengan tiga Ranreng yang peran kekuasaannya terlembagakan dalam Arung EnnenngE, dan menurut keterangan yang penulis dapatkan bahwa keputusan diambil oleh lembaga ini apabila tidak bisa dimusyawarahkan, maka jalan yang ditempuh adalah melalui pemungutan suara seperti yang penulis kutip dari salah satu informan yang menggambarkan tentang bagaimana para Ranreng dalam menyepakati keputusan Arung Matoa yang tidak dapat memutuskan suatu perkara melalui assipatangngareng (musyawarah) seperti kutipan yang penulis dapatkan dibawah yang bunyinya kurang lebih sama dengan apa yang dituliskan dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo. “ Narekko riduai, rebbai seddie, oncoppesi narekko ritelluiwi…” “ Apabila dua diantaranya telah memutuskan, maka salah satunya digugurkan, terlebih apabila diputuskan dari ketiganya…” 114 Hal senada mengenai kekuasaan Arung Matowa dalam wewenangnya dalam
hubungannya
dengan
tiga
Ranreng
yang
peran
kekuasaannya
terlembagakan dalam Arung EnnenngE, diceritakan bahwa pada masa Arung Matowa di jabat oleh Petta La Palewo To Palippu menyatakan hubungan kekuasaan mereka dengan rakyat Wajo pada masa itu.
113
114
3 orang Ranreng dan 3 orang Pa’bate Lompo lebih sering disebut Arung Ennengnge (Pertuanan Enam) yang kemudian melembaga dalam struktur kerajaan yang mewakili daerah kekuasaan masingmasing dan peran dalam kerajaan. Wawancara dengan Andi Isnadar
Universitas Hasanuddin
98
Pembahasan dan Hasil Penelitian
“ Makkedai arung Matoae ri Ranreng ri limpoe ri Wajo: Tasiala painge, maingeppi napaja, nadeceng napocappa, tasitajeng batacella nasa’bi dewata seuawe’. Nabbicara lemputa mua pawekke’i Wajo, makkedatoi : narekko ade’na Wajo ritanga’ temmakullei riakkeda ceua-uang. Makkumutoi abiasangengnge, temmakkullei sia’bokobokoreng, sisoe-soeang ri ase ri awa arumpanua. Apa’ ia Wajo temmakullei rigau ceua-uang.” “ Berkata Arung Matoa kepada para Ranreng dan para pejabat limpo di Wajo: kita saling menerima peringatan sampai kita sadar dan berakhir pada kebaikan, mengikat pada keturunan, disaksikan oleh Dewata Yang Esa. Peradilan yang jujur jua yang menumbuhkan Wajo. Berkata pula ia: Bila adat Wajo dipertimbangkan, tidak boleh diputuskan oleh seorang saja. demikian juga menurut kebiasaan, tidak boleh orangorang lapisan atas dan lapisan bawah, pemerintah dan rakyat, saling membelakangi dan saling mengayungkan tangan (= tidak boleh orangorang lapisan atas dan bawah saling bertentangan dan saling menghalangi), karena Wajo tidak boleh diperintah oleh seorang saja” 115
Adapun Arung Mabbicara sebanyak 10 (sepuluh) orang tiap limpo, jadi total sebanyak 30 (tiga puluh orang). Terakhir adalah 3 (tiga) orang Suro ri Bateng atau Suro Palele Toana yang bertugas sebagai duta kerajaan Wajo dalam menyampaikan kepada rakyat, semua hasil permufakatan dan perintah dari Pa’danreng serta menyampaikan pada rakyat, hasil permufakatan dan perintahperintah dari Petta I Wajo116. Ketika kerajaan Wajo dalam perkembangannya melakukan perluasan wilayah dan berperang melawan Sekkanasu dan Belogalung yang berhasil ditaklukkan, untuk pertama kalinya Wajo memiliki lili yang dimasukkan dalam koordinasi salah satu dari limpo. Dalam pengelolaannya, lili ini dikoordinir oleh punggawa yang merupakan salah seorang Matoa (Arung Mabbicara) yang menghubungkan dengan Ranreng. Gambaran seperti ini, juga berorientasi pada pemahaman tentang fenomena politik dan kekuasaan antar kelompok kekerabatan di dalam maupun
115 116
Dalam Lontara Sukkuna Wajo. Sadapotto, Op.cit Hal. 96 Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 407
Universitas Hasanuddin
99
Pembahasan dan Hasil Penelitian
diluar kelompoknya tidak lain merupakan bentuk mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang kondisi dimana memungkinkan terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Tiga kelompok Pa’danreng (kekerabatan) yang awalnya dari tiga kerabat/sepupu sebagai tokoh kunci dalam sejarah yang menginisiasi didirikannya pemerintahan di Tana Wajo. Diibaratkan ketiganya seperti tiga negara (tiga kekuasaan) kembar, kalau seperti yang diilustrasikan seperti 3 Baki’ (wadah makanan/lauk pauk) yang memiliki isi yang sama 117 yakni Bettempola yang kemudian disebut-sebut sebagai yang saudara dituakan, kemudian Talo’ Tenreng, kemudian Tuwa’ disesuaikan dengan jenjang usia La Tenri Tau, La Tenri Pekka dan La Matareng. Meskipun pada awalnya merupakan bentuk pembagian kerja berdasarkan keahlian dalam mengelola lingkungan alam sebagai mata pencaharian (pengolah lahan sawah, pencari ikan, dan peracik tuak), namun dalam perkembangan selanjutnya bertambah fungsi menjadi bentuk struktur organisasi kelompok kekerabatan dalam tatanan pengusaan wilayah (Limpo) dan organisasi pemerintahan di Wajo. Tiap Pa’danreng kemudian memposisikan diri dalam penguasaan Limpo, yakni Bettempola yang mengawal di bagian tengah, Talo’tenreng di bagian barat, dan Tuwa’ di bagian timur Wajo yang kemudian setiap pemimpinnya (Arung) yang dijabat oleh Ranreng. Mengenai sistem politik dan tata pemerintahan pada masa lalu ditanggapi beberapa kalangan masyarakat Wajo saat ini yang masih memiliki pengetahuan dan kurang lebih memahami tentang sejarah, berpendapat bahwa tatanan
117
Wawancara dengan Muhammad Idris
Universitas Hasanuddin
100
Pembahasan dan Hasil Penelitian
demikian merupakan wujud kebebasan atau yang paling sering disebut amaredakangeng-nya orang Wajo, masing-masing kelompok dan rakyat Wajo memiliki hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Hingga kesimpulan penulis ini ambil ketika teringat dalam suatu kunjungan disalah satu warung kopi di kota Sengkang, tempat dimana beberapa masyarakat Wajo biasa memperbincangkan kondisi sosial politik di Kabupaten Wajo. Bersama dengan rekan penulis saat itu, karena kebetulan berada dalam satu meja, penulis sempat berbincang dengan salah seorang pengunjung yang memperkenalkan dirinya bekerja sebagai PNS di salah satu Instansi Pemerintah Kabupaten (Pak Haris, yang namanya kemudian penulis ketahui melalui pelayan warung). Dalam kesempatan itu, setelah mengutarakan beberapa hal terkait penelitian penulis, dengan spontan ia memberi komentar bahwa kerajaan Wajo dulu itu seperti Malaysia yang memiliki banyak kerajaan bagian yang menyatu. Dibeberapa daerah yang masuk wilayah Wajo
memiliki
pendekar-pendekar-nya118
sendiri
yang
konon
dapat
dikumpulkan untuk melakukan pertemuan jikalau ada masalah-masalah di kerajaan Wajo. Dan seperti tidak ingin dilewatkan pernyataannya, ia beberapa kali mengungkapkan bahwa Wajo agak berbeda dengan banyak kerajaan Bugis lainnya yang merupakan tetangganya sendiri semisal Bone, Luwu, maupun Soppeng apabila berbicara tentang ‘tata negara’, disini ia menyimpulkan perbedaan itu tentang sifat demokratis pemerintahan masa lalu. Menurutnya, ketika banyak orang mengatakan bahwa kerajaan Bugis dulu bersifat feodalisme dan otoriter, sepertinya Wajo merupakan ‘pengecualian’ di Sulawesi Selatan, tapi sekarang sudah banyak perubahan apalagi setelah reformasi semakin banyak lagi
118
Untuk istilah ini, penulis menyimpulkan bahwa yang Pak Haris maksud adalah pemimpin dalam sebuah wanua (wilayah). Dan setelah perihal didalami melalui pertanyaan, ia sempat menyebutkan istilah Arung semisal Datu Pammana, Petta Tempe, dan Puang ri Tosora dan ketiganya tidak lain adalah gelar bangsawan yang mengusai bagian-bagian tersebut dalam wilayah Wajo.
Universitas Hasanuddin
101
Pembahasan dan Hasil Penelitian
figur-figur yang muncul sebagai tokoh politik. Dan ditutupnya perbincangan itu dengan menghisap rokoknya begitu dalam lantas dimatikannya diatas asbak, dan ketika ia beranjak dari tempat duduknya ia masih sempat mengatakan “tambah banyak lagi pendekar”. ‘Perubahan adalah keniscayaan’, begitu kata orang-orang yang selalu memposisikan dirinya dalam dinamika sosial-budaya suatu masyarakat. Begitu pula dalam rentetan sejarah Wajo pada masa lampau.
Universitas Hasanuddin
102
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Iliustrasi Struktur Pemerintahan Wajo oleh Christian Pelras dalam Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo' (suite et fin) Archipel, Année 1971, Volume 2, Numéro 1 p. 197 - 223
Pembahasan dan Hasil Penelitian STRUKTUR KERAJAAN WAJO PERIODE PEMERINTAHAN ARUNG MATOWA I - XII ARUNG SIMETTEMPOLA
ARUNG MATOWA
Kemudian bergelar Inangna LimpoE
LIMPO BETTEMPOLA
Arung Parujung Aju Parujung Tanah Paddippung Ade
Arung Penrang (Arung Lili)
LIMPO TUWA
LIMPO TALOTENRENG
1. 2.
Ranreng (Kepala Limpo) a. Bate Lompo (Pilla) b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
1. 2.
Ranreng (Kepala Limpo) a. Bate Lompo (Pilla) b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
1. 2.
Ranreng (Kepala Limpo) a. Bate Lompo (Pilla) b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
3.
a. 4 Orang Mabbicara Paddette Bicara yang mempunyai wilayah b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’ bicara tanpa wilayah, yang bergelar Arung Ijjabbusekkang (Arung Paddokorokko) Punggawa (Koordinator lili) Arung Lili yang berjenis-jenis gelarnya Kepala Dusung-Addusungeng yang bergelar macam-macam
3.
a. 4 Orang Mabbicara Paddette Bicara yang mempunyai wilayah b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’ bicara tanpa wilayah, yang bergelar Arung Ijjabbusekkang (Arung Paddokorokko) Punggawa (Koordinator lili) Arung Lili yang berjenis-jenis gelarnya Kepala Dusung-Addusungeng yang bergelar macam-macam
3.
a. 4 Orang Mabbicara Paddette Bicara yang mempunyai wilayah b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’ bicara tanpa wilayah, yang bergelar Arung Ijjabbusekkang (Arung Paddokorokko) Punggawa (Koordinator lili) Arung Lili yang berjenis-jenis gelarnya Kepala Dusung-Addusungeng yang bergelar macam-macam
4.
5. 6. 7.
4.
5. 6. 7.
Ilustrasi Munawar yang dikutip dari Museum Sengkang
4.
5. 6. 7.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A.3. Melemahnya Tatanan Struktur Ditengah Pergeseran Kekuasaan Belanda baru dapat benar-benar menaklukkan Sulawesi pada tahun 1905 dengan berakhirnya perlawanan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang Somba Gowa. Pada saat itu, Wajo dibawah Ishak Manggabarani Arung Matowa adalah sekutu dari Bone. Kekalahan dari Bone menyebabkan Wajo juga menanggungnya berupa pembayaran upeti kepada pemerintah kolonial. Dengan demikian Sulawesi, dalam hal ini Wajo telah jatuh pada kekuasaan pemerintahan kolonial. Kedaulatan Wajo sebagai sebuah
kerajaan/negara
berubah
menjadi taklukan.
Berdasarkan
Korte
Veklaring yaitu perjanjian singkat antara pemerintah kolonial dengan kerajaan Wajo yang ditandatangani oleh Ishak ManggabaraniArung Matowa Wajo pada tanggal 31 Agustus 1905 dan disahkan pada tanggal 19 Juli 1906, maka Wajo menjadi Onder-Afdeling. Dominasi kolonial terhadap kerajaan-kerajaan Nusantara termasuk Wajo, melakukan perubahan struktural pemerintahan. Raja (Arung Matowa) Kerajaan Wajo menjadi Onder-Afdeling dibawah Afdeling Bone yang merupakan bagian dari
Keresidenan Celebes yang berpusat di Makassar. Sedangkan Keresiden
Celebes adalah bagian dari Grote Ost yang merupakan gubernemen yang dibawahi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sehubungan dengan awal-awal pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, Edward Poelinggomang119 menjelaskan dalam Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 19061942 (83-84 :2004) Wilayah Sulawesi selatan dan tenggara dijadikan satu wilayah pemerintahan yang dikenal dengan Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Bawahan (Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden). Wilayah itu dibagi kedalam tujuh bagian pemerintahan (afdeeling) yaitu : Makassar, Bonthain, 119
Dalam Munawar, Op.cit. Hal 53
Universitas Hasanuddin
105
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Bone, Pare-pare, Luwu, Mandar dan Buton dan Pesisir Timur Sulawesi (Boeton en Oostkust Celebes) secara secara resmi pada tahun 1911. Kepala pemerintahan diembankan kepada seorang pejabat pemerintahan yang disebut gubernur (gouvernour). Di bagian pemerintahan (Afdeeling) ditempatkan seorang asisten residen yang berkedudukan sebagai pimpinan di wilayah itu……..masa itu juga ditandai dengan perubahan-perubahan struktur pemerintahan. Kerajaan-kerajaan sekutu dilenyapkan dan wilayahnya beralih dibawah pemerintahan dan kekuasaan langsung Pemerintah Hindia Belanda…..bagian pemerintahan dibagi kedalam beberapa cabang pemerintahan (Onderafdeeling). Pada setiap cabang pemerintahan ditempatkan seorang kontroleur (controleur) untuk melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan. Pada masa itu, Pemerintahan Kolonial belum sepenuhnya diterima oleh pribumi. Akibatnya Pemerintah Kolonial lebih memperhatikan persoalan stabilitas kekuasaan daripada pengelolaan administrasi pemerintahan. Arung Enneng sebagai raja-raja utama yang mengontrol kebijakan Arung Matowa, diturunkan posisinya menjadi setingkat pembantu raja. Pejabat kerajaan, ditetapkan sebagai Zelf-Bestuur yang bertanggung jawab kepada Controleur, yaitu Pejabat Pemerintah Kolonial yang membawahi Onder Afdeling. Pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi pemerintahan Wajo yang semulanya wanua, kampung, lili yang mengikut pada limpo menjadi kepengikutan secara kedekatan geografis. Sehingga tidak jarang ditemukan ada wanua, kampung, atau lili yang mengikut pada salah satu limpo, kemudian mengikut pada limpo lain. Hubungan antara kerajaan-kerajaan Bugis otonom antara satu wanua (wilayah) atau a’karungeng dengan wanua atau a’karungeng lain, yang sebelumnya diatur dalam perjanjian (kontrak) yang bersifat lebih fleksibel, diganti oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan prinsip hirarki kaku yang membagi-bagi menjadi kabupaten dan kecamatan, seperti telah lama mereka terapkan diJawa. Di Wajo, wanua yang sebelumnya tergabung dalam tiga limpo (berdasarkan jenis hubungan mereka masing-masing dengan salah satu dari tiga ranreng) diubah menjadi tiga wilayah terpisah, sehingga banyak wanua yang tergabung pada limpo tertentu harus pindah ke limpo lain. Sementara itu, wanua yang dianggap terlalu kecil digabung begitu saja atau dimasukkan ke dalam wanua yang lebih besar dan selanjutnya dijadikan kampung (dusun) - suatu entitas kelompok kecil yang belum pernah ada sebelumnya dalam sistem komunitas orang Bugis. (Pelras 327-8:2005)
Universitas Hasanuddin
106
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Onder Afderling Wajo dibagi menjadi 4 distrik berdasar pembagian limpo, antara lain Distrik Bettempola, Distrik Talotenreng, Distrik Tuwa dan ditambahkan dengan Distrik Pitumpanua. Masing-masing Distrik dikepalai oleh Ranreng yang berhak, kecuali Distrik Pitumpanua dijabat oleh Dulung. Selanjutnya, Distrik membawahi lili atau wanua (Adat Gemenschaap). Adapun pengelompokan wanua pada distrik sebagai berikut : 1.
Distrik Bettempola antara lain : Wanua Tempe, Wanua Tancung, Wanua Lowa, Wanua Anabanua, Wanua Gilirang, Wanua Belawa Orai, Wanua Belawa Alau, Wanua Paria, Wanua Rumpia, Wanua Tosora (meliputi ketiga pokok perkampungan Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla)
2.
Distrik Talotenreng antara lain : Wanua Singkang, Wanua Wage, Wanua Ugi, Wanua Liu, Wanua Pammana.
3.
Distrik Tuwa antara lain : Wanua Akkotengeng, Wanua Bola, Wanua Peneki, Wanua Penrang. (Salahudin 112:1965)
4.
Distrik Pitumpanua meliputi wilayah pitumpanua Adapun susunan Zelf-Bestuur pada zaman Arung Matowa La Oddang
Pero sebagai berikut : 1. Arung Matowa sebagai pimpinan Zelf-Bestuur 2. Ranreng Bettempola sebagai Kepala bagian pemerintahan yang mengurus sosial kepolisian dan kepegawaian. 3. Ranreng Talotenreng sebagai kepala bagian perekonomian dan penyaluran distribusi. 4. Ranreng Tuwa sebagai kepala bagian peradilan dan kepenjaraan 5. Pilla mengkoordinir bagian LandSchapwerken (Pekerjaan Umum, Pendidikan dan kesehatan rakyat).
Universitas Hasanuddin
107
Pembahasan dan Hasil Penelitian
6. Patola mengkoordinir keuangan dari Landschap dan Landschap Kas houder. 7. Cakkuridi mengurus kantor Arung Matowa dan mengekerjaan pekerjaan mulai dari pencatatan buku harian sampai dengan pelaksanaan pembagian tugas. Sebelum tentara Jepang datang ke Indonesia, pemerintah Hindia Belanda membagi
nusantara
dalam
3
gewest.
Pemerintah
Balatentara
Jepang
melanjutkan dengan istilah syuu. Di Jawa dan Madura dijabat oleh Angkatan Darat Jepang. Sedangkan Sumatra dan Sulawesi (grote ost) dijabat oleh Angkatan Laut Jepang. Pemerintah pemerintahan
Balatentara
Belanda,
Jepang
terutama
tidak
dalam
hal
banyak
merubah
pembagian
sistem
administrasi
pemerintahan. Selain Gewest, Afdeling diganti dengan Ken. Onder Afdeling diganti Bunken. Distrik diganti Gun, Onder Distrik diganti Son. Dan desa atau wanua diganti Ku. Controleur Belanda diganti pejabat Jepang yang disebut Bunken Kanrikan. Karena masa pemerintahan kolonial Jepang tidak lama, maka tidak banyak hal yang Jepang dapat pengaruhi terhadap pola hidup masyarakat. Yang menjadi tujuan utama Jepang adalah memenangkan perang Asia Timur Raya. Oleh karena itu, rakyat semulanya dianjurkan untuk menanam komuditas tertentu, berubah menjadi paksaan. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II segera disusul dengan kemerdekaan Republik Indonesia serta kedatangan tentara sekutu (NICA). Pada tanggal 23 Desember 1946 terbentuk Negara Indonesia Timur (N.I.T) yang yang merupakan bagian dari R.I.S atau Republik Indonesia Serikat. RIS membawahi 13 daerah otonom yang salah satunya adalah Daerah Sulawesi Selatan. Daerah Sulawesi Selatan memiliki 4 badan pemerintahan yaitu :
Universitas Hasanuddin
108
Pembahasan dan Hasil Penelitian
1. Hadat Tinggi 2. Majelis Harian Hadat Tinggi 3. Ketua dan Ketua Muda Hadat Tinggi 4. Dewan Perwakilan Sulawesi Selatan Setelah Arung Matowa A. Mangkona mengundurkan diri pada tahun 1949, beliau diganti oleh Sumange Rukka selama beberapa bulan. Kemudian Sumange Rukka digantikan lagi oleh A. Ninnong bekas Ranreng Tuwa selama 40 hari. Pada masa ini adalah masa kekacauan disebabkan adanya pemberontakan APRIS pimpinan A.Azis dan dimulainya DI/TII. Akibatnya adalah roda pemerintahan tidak dapat berjalan dengan normal. Setelah A. Ninnong melepaskan jabatan dan berdiam di Makassar, maka jabatan Arung Matowa berganti menjadi KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). A. Pallawarukka diangkat menjadi KPN. Sementara hampir semua pejabat inti kerajaan Wajo telah kosong, kecuali Arung Lili. Sebagaimana yang disebutkan dalam Lontara Attiriolongna Wajo (I) sebagai berikut : Massulle tudangeng ri onronna akkarungeng matowangengnge riyaseng KPN=Kepala Pemerintahang Negeri. Apaq ripapekkeq ni onronna Petta I Wajo. Sabaq deqtona tau monroi tudangengna. Pada laoni sappa jamang laing. Ye situjue ri alena. Iyakiya arung lilie deqto namarusaq ri onrongna. Makkumaniro ri Sulawesi maniyangnge. Tungkeq-tungkeq purae mancaji arung bocco marusaq maneng akkarungengna. Sangadinna onrong tudangengna meni pura uppetorokengnge iyanaro ipinra mancaji kapala pemerintahang negeri. Ri bahasa jawana riyaseng wedana. Ye talloe mupa riyawana parenta riyasengnge kabupateng. Jaji ye kawedanang Wajo tallo mopi ri yawa parenta na kabupateng Bone. Yenae Pallawarukka makketenniangngi apparentangnge ri Wajo (135:2007) Terjemahan Berganti kedudukan “akkarungmatowae” dengan “KPN” (Kepala Pemerintahan Negeri. Sebab sudah ditetapkan tempatnya Petta I Wajo, sebab sudah tidak juga orang menduduki kedudukannya, semua mencari pekerjaan lain yang cocok bagi mereka, akan tetapi Arung Lilie tidak berubah kedudukannya. Demikianlah yang terjadi di Sulawesi Selatan. Setiap yang pernah menjadi Arung Bocco berubahlah “Akkarungengnya” kecuali tempat kedudukan “Appetorokengnge” (Petor=Kontroleur) itulah yang menjadi Kepala Pemerintahan Negeri.
Universitas Hasanuddin
109
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Dalam bahasa Jawa disebut Wedana. Menjadi pula Wajo disebut kewedanan yang masih dibawah pemerintahan kabupaten, sehingga kawedanan Wajo berada dibawah kabupaten Bone. Pallawarukkalah yang menjalankan pemerintahan (310:2007) Masih di tahun 1950, La Magga Sullewatang Mpugi menggantikan Pallawarukka menjadi KPN berdasar surat dari gubernur Sudiro. Tak lama, La Magga dipindahkan ke Makassar. Kembali A. Pallawarukka Pilla Wajo menjadi KPN. Pada tahun 1954, Wajo dipersiapkan menjadi kabupaten. Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 4 tahun 1957 maka dibubarkanlah Daerah Bone dengan Swapraja Bone, Wajo dan Soppeng. Pembubaran ini terjadi di ke-38 (tiga puluh delapan) daerah swapraja di Sulawesi Selatan. Sehingga dengan demikian resmilah Wajo menjadi Kabupaten dalam wilayah Administrasi Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah administratif Wajo kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan terakhir pada tahun 2003 terjadi pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri dari 14 kecamatan 48 kelurahan dan 128 desa. Masa transisi, periode pendudukan bangsa asing di Wajo turut memberikan dampak perubahan yang besar pada tatanan kekuasaan pada masa itu. Kepentingan Belanda maupun Jepang di tanah air dalam mendapatkan berbagai sumber daya untuk di pasok ke nagara mereka dan kepentingan perang. Dari sisi politik, bangsa asing ini menerapkan sistem yang membatasi dan cenderung
mengontrol
kondisi
masyarakat,
sehingga
mempermudah
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah asing dalam mendapatkan berbagai akses sumber daya, terutama sumberdaya manusia yang dijadikan bagian untuk memerangi kerajaan lain maupun sumber daya alam yang ada di Wajo. Kebijakan sistem administrasi misalnya, sangat mempengaruhi para penguasa lokal yang
Universitas Hasanuddin
110
Pembahasan dan Hasil Penelitian
beralih fungsi petugas administrasi. Pada suatu sesi wawancara120 dengan Haji Sulaiman seorang tokoh agama di Belawa, mengatakan bahwa iapun sering diceritakan oleh orang tuanya tentang orang kulit putih di Sengkang yang hanya sesekali terlihat keluar dari bola’ batu (gedung kantor), namun para Arung saat itu silih berganti masuk kedalam bola’ batu itu. Tak lama berselang kadang Arung datang kepada masyarakat menceritakan hasil pertemuannya dengan orang yang di temuinya di rumah batu, ia teringat tentang bagaimana saat ia diceritakan tentang pelarangan penangakapan beberapa jenis ikan di danau Tempe. Menurut Haji Sulaeman, saat itu sebetulnya orang-orang Belanda secara tidak langsung telah memerintah masyarakat Wajo, bahkan sampai menjaring ikan di danau pun harus dibatasi ikan tertentu. Ia juga meyakinakan penulis pada saat wawancara, Arung yang ia maksud namun telah lupa namanya, memang selalu mengurusi masalah danau dan ia mengatakan bahwa pada masa itu Arung tersebut mungkin di tugasi oleh Belanda untuk mengurusi masyarakat yang menjaring ikan di danau Tempe seperti yang Haji Sulaiman simpulkan dari cerita yang ia dapatkan dari orang tuanya. Periode ini dapat kita asumsikan bahwa penguasaan bangsa asing dengan menempatkan para penguasa Wajo (Arung) sebagai pejabat-pejabat administrasi bisa dikatakan sebagai bentuk politik yang memaksakan pengakuan masyarakat Wajo terhadap keberadaan dan kekuasaan bangsa asing di Tana Wajo. Hal yang menarik pada perkembangan selanjutnya adalah kebijakan politis Belanda yang menempatkan para penguasa lokal atau golongan bangsawan pada jabatan administrasi pemerintahan kolonial maupun pada saat pendudukan Jepang juga memberikan andil dan penagruh pada sistem birokrasi
120
Wawancara pada tanggal 23 januari 2011 di dusun Timoreng sebuah daerah pesisir danau Tempe bagian selatan kecamatan Belawa.
Universitas Hasanuddin
111
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pemerintahan kita hari ini. Pada masa transisi ke NKRI, dan sejak masyarakat Wajo melalui Arung Matoa terakhir mengakui kedaulatan dan menjadi bagian dari NKRI, jabatan-jabatan admnistrasi yang sebelumnya tidak lepas begitu saja namun tetap dipercayakan pada para penguasa lokal, para keturunan bangsawan di bekas-bekas wanua dengan jabatan birokrasi seperti Camat. Kondisi ini didukung oleh sikap para bangsawan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, namun adapula golongan bangsawan yang tetap pada sikap-sikap ‘tradisional’. A. Kandacong mengutarakan bahwa121, banyak diantara keturunan bangsawan yang mudah mendapatkan akses pendidikan maupun militer pada masa kemerdekaan, dibandingkan dengan masyarakat biasa. Sehingga tidak mengherankan mereka-mereka yang menjabat kepala desa misalnya tidak lain merupakan keturunan bangsawan, terlebih lagi faktor pengaruh nama besar orang tua mereka dimasa lalu, yang menyebabkan masih banyak masyarakat yang mempercayakan kepemimpinan desa kepada keturunan bangsawan. B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik B.1. Reproduksi Status Melalui Perkawinan Dalam masyarakat Bugis Wajo, perkawinan masih cukup dipengaruhi oleh stratifikasi sosialnya. Dalam lapisan anakarung (keturunan bangsawan) misalnya, persoalan lapisan sosial masih diperhitungkan. Masih sering melakukan penelusuran keturunan yang disebut maccuccung bati. Implikasi dari realitas ini menyebabkan efek yakni, mencuri darah (mennau dara) dengan jalan membuat (dibuatkan) silsilah yang dihubungkan dengan seorang anakarung sebagi nenek atau buyutnya. Silsilah buatan yang dilegalisasi oleh oknum masyarakat tertentu.
121
Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011, di Belawa.
Universitas Hasanuddin
112
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Tapi pada sisi lain, proses reproduksi yang paling sering dilakukan adalah melalui perkawinan antar lapisan sosial. Perkawinan dengan sepupu sederajat pertama yang umumnya lebih banyak berlangsung pada lapisan-lapisan tertinggi dalam stratifikasi sosial, akan tetapi tidak lumrah di kalangan tosama’. Perkawinan yang paling ideal dalam rang mereproduksi status sosialnya pada kalangan tosama adalah perkawinan dengan sepupu derajat kedua. Dalam kaitannya kemudian, dalam mempertahankan status sosialnya memunculkan sistem kekerabatan masyarakat Wajo yang memprioritaskan perkawinan dikalangan kerabat sendiri
yang disebut siampaiko masseajing, tenri batu
malepang. Beberapa istilah kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Wajo, seperti Ambo’, Indo, Emma, Etta’, Lakkai, Puang, Petta dan pada umumnya didepan namanya selalu ditambahkan istilah Andi yang merujuk pada status sosial
keturunan
bangsawan.
Dalam
praktiknya,
penggunaan
sebutan
kekerabatan dan status sosial tersebut memiliki makna original dan virtual serta dapat dimaknai sebagai simbol dan sapaan kekerabatan, bahkan sampai pada interaksi dengan masyarakat lainnya. Dewasa ini banyak upaya-upaya masyarakat yang masih menempatkan status sosial seperti Andi yang sematkan pada nama yang dilakukan melalui perkawinan antar lapisan yang santer disebut mangalli dara. Analoginya dalam penelitian ini ditemukan pada kasus perkawinan Abdullah dan Andi Sanawiyah122. Abdullah adalah adalah laki-laki Bugis yang bukan merupakan keturunan bangsawan, akan tetapi selama dalam perantaunnya di Samarinda mendudukkan ia dalam posisi ekonomi yang cukup berada yang selalu diistilahkan
122
todeceng.
Faktor
keberadaan
Abdullah
kemudian
menjadi
Hasil wawancara dengan Andi Isnadar yang memberikan contoh mengelli dara
Universitas Hasanuddin
113
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pertimbangan keputusan keluarga Andi Sanawiyah yang awalnya tidak mau menikahkannya dengan keluarga lain selain dari kalangan kerabatnya sendiri. Meskipun telah diketahui bahwa sebelumnya Abdullah dan Andi Sanawiyah telah memilki hubungan-hubungan personal dan emosional, tapi kondisi tersebut tidak serta merta menjadi alasan bagi keluarga perempuan yang berasal dai lapisan anakarung untuk menikahkan keduanya. Apalagi Andi Sanawiyah adalah seorang Pegawa Negeri Sipil pula, suatu pekerjaan yang cukup diperhitungkan dan memilki derajat tersendiri dalam masyarakat Wajo. Konsekuensinya kemudian, keluarga Abdullah disodori uang belanja yang begitu tinggi, meski agak berlebihan kalau disebutkan hampir 80 juta rupiah, selain beberapa syarat-syarat lain yang harus dipenuhi pihak keluarga Abdullah. Perkawinan ini dilakukan tetap melalui proses yang umumnya dikenal dalam masyarakat Wajo, mulai dari tahap penjajakan, mammamnuk; tahap pelamaran, madduta; tahap akad nikah, dan tahap sesudah hari pernikahan. Tapi ada yang menarik dari proses yang pada umumnya dikenal adalah, adanya prosesi menaikkan uang belanja (mappaenre balanca) seperti yang dilakukan keluarga Abdullah, dengan menggunakan jasa bank, mentransfer uang belanja ke rekening pihak perempuan. Upaya-yang yang dilakukan oleh Abdullah merupakan bagian dari strategistrategi dalam konfigurasi budaya yang menempatkan Abdullah dalam kerangka struktur tradisional yang masih menginginkan kedudukan sosial dalam stratifikasi masyarakat Wajo. Apa yang terjadi 3 tahun setelah perkawinannya dengan Andi Sanawiyah, Abdullah setelah menunaikan ibadah Haji tampil menjadi salah satu calon legislatif dari Partai Amanat Nasional yang kaderkadernya umumnya berasal dari kerabat Andi Sanawiyah. Selain kekuatan
Universitas Hasanuddin
114
Pembahasan dan Hasil Penelitian
ekonomi
yang
dimiliki
Abdullah
untuk
maju
sebagai
calon
legislatif,
kedudukannya sebagai kerabat keluarga Andi Sanawiyah cukup efektif untuk menjaring suara konstituen dikalangan kerabat-kerabatnya, meski pada akhirnya tidak berhasil duduk sebagai anggota legislatif. B.2. Keturunan Bangsawan Dalam Kepemimpinan dan Praktik Kekuasaan. Setiap sistem politik mempunyai individu-individu yang menjalankan kepemimpinan. Satu pertanyaan komparatif yang kritis adalah mengapa para pemimpin ini dipilih. Setiap kelompok mempunyai peraturan dan pola tentang seleksi pemimpin, dan tidak ada masyarakat yang menyerahkan rekruitmen kepemimpinan mereka pada keberuntungan atau nasib. Di dalam beberapa masyarakat, pemimpin dipilih dari kelompok keluarga tertentu, jadi rekruitmen kepemimpinan itu diambil dari bagian sangat kecil dari seluruh masyarakat. Didalam beberapa kasus, seorang pemimpin diseleksi dari jajaran kemungkinan yang bahkan lebih kecil – mereka berasal dari keturunan para saudara laki-laki dan perempuan. Didalam sebuah masyarakat kelas, para pemimpinannya biasanya direkrut hanya dari kelas-kelas tertentu, jarang terjadi pemimpin dari kelas bawah terpilih. Disamping adanya orientasi kelompok dalam penyeleksian kepemimpinan, semua masyarakat mempunyai kriteria lain yang mereka tuntut dari para pemimpin mereka. Usia dan gender masuk dalam campuran tersebut, tetapi beberapa masyarakat, dalam beberapa kasus tidak memperhatikan faktor gender. Namun sebagian besar masyarakat cenderung memperhatikan faktor gender dan karena itu kaum lelakilah yang direkrut untuk berbagai jabatan kepemimpinan. Kepemimpinan dalam suatu masyarakat cukup memberikan pengaruh dalam menentukan apakah masyarakat memiliki kecenderungan kualitas atau
Universitas Hasanuddin
115
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tidak. Sebab, kepemimpinan dalam suatu masyarakat merupakan salah faktor dalam terbentuknya komunitas yang terdiri dari beberapa faktor utamanya. Dimasukkannya kepemimpinan sebagai salah satu komponen masyarakat karena setiap masyarakat pasti mempunyai pemimpin yang ditokohkan dalam komunitasnya. Penokohan seseorang dalam komunitas ditentukan kualitas dan jatidiri seseorang itu sendiriyang secara teoritis memiliki syarat-syarat diangkat sebagai tokoh atau pemimpin123. Dalam tradisi masyarakat Bugis umumnya pada periode kerajaan atau pada periode sekarang ini pun, penempatan seseorang menjadi tokoh di landaskan pada beberapa hal dengan kualitas tertentu seperti, memilki kualitas sebagai to warani, sebagai to acca, atau mempunyai silsilah dengan pemimpin sebelumnya ana arung. Beberapa catatan dalam sejarah Wajo menyebutkan seperti yang diutarakan di awal, kepemimpinan pada padanreng pada umunya selalu diikuti oleh keturunannya, berbeda dengan kepempinan arung matoa yang umumnya dipilih dari kalangan arung berdasarkan kualitas kecerdasan, kebajikan serta jumlah pengikutnya dalam wanua maupun limpo. Otonomi daerah yang menyerahkan pemerintahan pada masyarakat Kabupaten Wajo memunculkan kepemimpinan di tingkat lokal. Kepemimpinan lokal ini umunya berangkat asumsi yang berorientasi politik yang mendudukkan pimpinan suatu daerah berasal dari elit lokal. Kepemimpinan lokal mencari elit lokal sebagai ujung tombak untuk melakukan pembaharuan pembangunan, karena sistem pemerintahan yang dianut bukanlah asas desentralisasi. Elit lokal ini merupakan putra daerah yang dirasa mengerti potensi daerahnya dan perlu untuk dikembangkan, tentunya pola pengembangan daerah ini berbasis tradisi dan lokalitas yang ada. Lokalitas yang bersumber pada identitas kesukuan ini tentunya berbeda di setiap daerah, dan pembangunan di tingkat lokal bukan lagi 123
Meiyani, (2008) Op.Cit Hal. 150
Universitas Hasanuddin
116
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pembangunan yang berbasis penyeragaman. Seorang kepala daerah akan berwenang dalam menentukan kebijakan untuk pengembangan daerahnya dan pengelolaannya di daerah. Seperti Wajo yang sampai hari berkutat pada penyelesaian masalah danau Tempe dan pemberdayaan desa-desa tertinggal. Kepemimpinan berdasarkan keturunan kebangsawanan ini identik dengan kepemimpinan para arung yang ada sebelumnya di daerah, namun kepemimpinan lokal pasca Orde Baru berbeda dengan kepemimpinan di zaman kerajaan. Jika institusi arung menjadi control atas segala urusan pemerintahan (eksekutif, legislative dan yudikatif) maka kepemimpinan lokal ini akan mengisi berbagai aspek dalam dimensi kekuasaan di Wajo. Di beberapa wilayah Wajo masih mempertahankan konsepsi Ponggawa atau Addatuang yang ada, meski ini bukan lagi sebagi pengatur pemerintahan, namun sebagai institusi yang mempengaruhi prosesi pemerintaha daerah. Dan beberapa keturunan arung yang masih tetap menganut tradisi lokal menjadi daya tawar tersendiri dalam pemilihan kepala daerah. Karena lokalitas itu dominan dalam otonomi daerah, selanjutnya keturunan arung berkesempatan menjadi actor lokal dalam politik. Dalam konteks sosial-politik di kabupaten Wajo saat ini, dengan berbagai sistem politik yang berlaku, tata negara, peraturan perundang-undangan hingga budaya masyarakat Wajo seturut saling mempengaruhi. Otonomi daerah kemudian memperkenalkan pemilihan kepala daerah atau bupati secara langsung dimana setiap anggota masyarakat memiliki hak suara dalam pemilihan tersebut disisi lain sistem kepartaian sebagai bagian dari pilar politik di tingkat kabupaten dinilai cukup memberi andil dalam mempengaruhi jalannya pemilihan kepala daerah. Dari segi mekanisme politik, partai politik menempati posisi dalam mendorong calon atau kandidat kepala daerah untuk maju dalam pemilihan. Umumnya partai politik berisikan orang-orang yang mendukung
Universitas Hasanuddin
117
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pasangan calon, dan pada kondisi inilah yang menarik bahwa anggota-anggota partai tersebut banyak diantaranya yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pimpinan partai maupun orang yang akan didukung dalam pemilihan kepala daerah banyak diantaranya yang mendukung dan menyokong partai mereka dengan potensi mereka masing-masing. Hal ini didukung oleh Rahman Ambong124 yang merupakan salah tim sukses dan salah satu kader partai, mengatakan bahwa mereka dalam partai atau tim sukses pasangan calon kepala daerah, secara sadar sendiri maupun instruksi dari ketua partai memilki tugas masing-masing dalam capaian mereka dalam berpolitik. Menurut Rahman Ambong, ia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pasangan calon kepala daerah atau pimpinan partai, ia juga tidak memiliki banyak harta dalam menyokong partai atau kandidat. Ia menjelaskan bahwa loyalitasnya ia tunjukkan dengan bekerja keras di lapangan, misalnya dalam mempersiapkan orang-orang yang akan mengikuti kampanye, membuka wacana tentang pasangan yang ia dukung dengan mencitrakan berbagai hal yang baik dan mampu mempengaruhi seseorang untuk ikut mendukung bahkan ia pun sempat mengitarakan bahwa ia pun turut dalam praktek-praktek yang berbau kriminal dalam meneror pendukung pasangan lain dalam bentuk intimidasi dengan merusak posko-posko berlabel pasangan lain. Namun ketika penulis bertanya, kenapa ia mau saja melakukan hal-hal seperti itu?, Rahman Ambong, kembali mengungkapkan bahwa kembali lagi bahwa itu “kesadaran kita dalam mendukung calon kita”. Rahman Ambong juga menceritakan dirinya pertama kali bertemu dengan pasangan calon ia dukung, ia begitu bangga berjabat tangan dengan kandidat tersebut, orang yang bapaknya merupakan ‘idola’ bapak Rahman Ambong pula. Dalam pandangan Rahman Ambong, kandidat tersebut 124
Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011 di salah satu warung kopi di kota Sengkang.
Universitas Hasanuddin
118
Pembahasan dan Hasil Penelitian
adalah pemimpin yang ideal, sama seperti bapak si kandidat yang juga merupakan mantan Bupati Wajo, Andi Unru. Dikalangan keluarga Rahman Ambong mengenal betul sosok Andi Unru saat menjabat sebagai Bupati Wajo, dimana salah satu kakek Rahman Ambong merupakan pengikut setianya pada masa itu. Kemudian satu pernyataan dari Rahman Ambong yang kemudian penulis untuk catat adalah dalam persoalan mendukung meskipun menurutnya tidak ada hubungan keluarga tapi ada perasaan “…assitane-tanekeng taue” dalam mendukung pemimpin kita. Dan disela-sela perbincangan ia sempat menunujukkan salah satu kendaraan motor yang parkir di depan warung kopi pada saat itu dan ia mengungkapkan bahwa motor itu adalah hadiah dari pasangan calon yang ia dukung. Pada aspek ini, penulis mengambil kesimpulan bagaimana tatanan sosial budaya masyarakat Wajo pada dasarnya mendorong bagaimana kepemimpinan bedasarkan konsepsi ajjoareng atau kepengikutan masih mengakar di beberapa kalangan masyarakat. Sehingga calon-calon penguasa atau raja-raja lokal di kabupaten mesti memiliki beberapa kriteria tertentu dalam memposisikan dirinya dalam memimpin nantinya. Dari aspek kultural misalnya, nampak kita masih menemui bagaimana simbol-simbol kebangsawanan atau arung melalui garis keturunan masih mempengaruhi mainset anggota masyarakat dalam memilih atau mendukung seorang pemimpin. Seperti penulis ketahui, salah satu mantan bupati yang disebutkan oleh Rahman Ambong adalah adalah keturunan dari salah satu Ranreng (Ranreng Bettempola) yang pernah memimpin salah satu padanreng pada masa kerajaan. Sadar atau tidak beberapa keturunan bangsawan yang memiliki akses politik di kabupaten Wajo memanfaatkan potensi kultural ini dalam melahirkan kembali identitas mereka sebagai keturunan pemimpin dan bahkan cenderung melegitimasi keturunan bangsawan
Universitas Hasanuddin
119
Pembahasan dan Hasil Penelitian
sebagai sosok yang layak menjadi pemimpin. Seperti yang diutarakan Andi Ayatullah125, bahwa modal utama untuk menjadi kepala daerah di Wajo adalah memiliki tanda ‘Andi’ di depan namanya dan sudah menjadi rahasia umum menurutnya kalau bukan ‘Andi’ maka akan sulit menduduki posisi nomor satu di kabupaten Wajo. Karena menurutnya kondisi politik di kabupaten Wajo hanya dikelilingi oleh keturunan para Ranreng atau Arung yang pernah berkuasa di Wajo. Seperti yang penulis utarakan sebelumnya bahwa pada satu periode pendudukan bangsa asing di Tana Wajo, di mana pemerintahan admnistratif masih dipegang oleh ketiga kelompok padanreng, pilla, limpo dan lili yang masing-masing memegang peranan di berbagai tingkatan pemerintahan. Meski kekuasaannya pada saat itu terbatas tetapi hubungan para arung dengan masyarakat masih terjalin. Pejabat-pejabat ini kemudian lebih banyak mengurus hal-hal yang sifatnya admnistratif maupun teknis dalam menjalankan kebijakan pemerintah kolonial seperti masalah pertanian, perikanan, sampai mengurusi sebuah desa, dan disisi lain pada kenteks masa itu, kepemimpinan mereka atas beberapa komunitas masyarakat cukup mengakar sehingga ajjoareng mereka tetap terjaga, seperti pada gambaran Rahman Ambong. Implikasinya pun dapat ditemukan hari ini, era otonomi daerah dimana pengaturan daerah lebih banyak diserahkan ke daerah masing-masing sehingga memunculkan banyaknya “rajaraja lokal” yang memakai identitas ke”arung”an mereka sebagai sebuah strategi politik guna mendapatkan kekuasaan di daerah. Dan dapat kita bayangkan besarnya kewenangan yang didapatkan apabila dapat memimpin sebuah daerah dengan seluas 2.506,19 km2 dengan berbagai sumber daya alam (gas) dan sumber
125
Wawancara pada tanggal 25 januari 2011
Universitas Hasanuddin
120
Pembahasan dan Hasil Penelitian
daya manusia (pengusaha-pengusaha) yang ada didalamnya serta pengelolaan anggaran daerah yang dikelola sendiri. Seturut dengan gambaran diatas Andi Rahmat Munawar126 membenarkan bahwa ada kondisi sosio-kultural di kabupaten Wajo yang cukup mempengaruhi iklim demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sebagai anggota KPU ia cukup hati-hati dalam menggawangi peraturan yang terkait dengan pemilihan. Ia memahami sistem pemilihan dengan aturannya sendiri dalam hal kebebasan individu untuk memilih dan dipilih, tapi tidak dapat dinafikan begitu saja faktor kulutur seperti masalah ajjoareng di kalangan masyarakat dengan tingkat stratifikasi yang ada di Kabupaten Wajo sebagai bekas kerajaan masih mempengaruhi pandangan masyarakat yang masih menyisakan paham-paham masa lampau meski di era demokrasi. Ia juga menuturkan bahwa, kultur masyarakat tersebut sebenarnya bagian dari dinamika, dan bisa jadi menjadi potensi yang dimanfaatkan sebagai sebuah strategi politik. Di tingkat wanua atau kecamatan untuk istilah sekarang juga terjadi hal serupa dalam konsepsi kepemimpinan, cerita Datu Passamula seorang punggawa wanua misalnya seperti yang dituturkan Abdul Rahim Mendo, seorang mantan kepala desa yang juga dikenal dekat dengan Datu Passamula. Datu Passamula merupakan arung keturunan yang berasal dari Luwu, lahir pada tahun 1923. Juga keturunan bangsawan di Belawa, pernah menjadi TNI dan sempat memberontak dengan ikurt bergabung diorganisasi DI-TII dan kemudian kembali ke NKRI. Sebelum dan saat menjadi Kepala Desa Belawa, beliau memimpin sebuah klub sepakbola yang berasal dari Belawa dan membawa nama Belawa cukup besar dalam pertandingan sepak bola di Sengkang. Selama masa pemerintahannya, ia dikenal memiliki sikap keras. Sampai-sampai ia pernah 126
Wawancara pada tanggal 24 Februari 2011 di kediaman rumah Andi Rahmat Munawar
Universitas Hasanuddin
121
Pembahasan dan Hasil Penelitian
dijuluki si “tangan besi”. Pada tahun 1950-an, rumah-rumah di Belawa masih dalam keadaan terpisah-pisah. Datu Passamula kemudian membuat rumahrumah warga tersebut teratur dan berdekatan. Ia menyuruh warga mengangkat rumah-rumah mereka untuk ditata sedemikian rupa dan mengatur jalanan. Perintah Datu Passamula dituruti oleh warga dengan berat hati dan terpaksa. Mereka tidak mengetahui apa tujuan Datu Passamula pada saat itu. Setelah lama hidup dalam keadaan seperti itu, masyarakat baru menyadari perubahan yang ada. Ternyata akses jalan untuk warga menjadi semakin mudah. Baru kemudian masyarakat menjadi senang dengan hasil dari apa yang dilakukan oleh “tangan besi” Datu Passamula. Datu Passamula memiliki kelompok pengikut yang dikenal dengan nama “To Sagena”. To Sagena merupakan massa dari Datu Passamula berlambang ayam jantan yang juga ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah yang ada pada masa pemerintahannya. Jika terdapat masalah yang harus dibahas bersama Bupati, Datu Passamula mengundang bapak Bupati untuk duduk bersamanya beserta kolompok To Sagena. Datu Passamula adalah seseorang yang sangat tertarik pada permainan sepak bola. Pada sebuah pertandingan sepak bola, ia mengundang Bupati Sengkang A. Unru untuk menghadiri pertandingan tersebut. Terjadi suatu masalah yang melibatkan wasit dan pemain pada saat itu. Datu Passamula mengambil keputusan untuk membubarkan pertandingan. Bapak bupati yang saat itu ikut menonton pertandingan tersebut merasa tidak dihormati oleh Datu Passamula, sehingga ia mencabut jabatan Datu Passamula sebagai kepala desa Belawa pada saat itu setelah menjabat ± 8 tahun. Datu Passamula menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2007, ketika berusia 84 tahun.
Universitas Hasanuddin
122
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Kini salah satu anaknya duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Wajo, dan salah satu anak dan menantunya pernah menjabat sebagai Camat Belawa. Pada bagian ini penulis memahami bahwa berbagai komponen dalam praktik kekuasaan diantaranya adalah modal simbolik yang cukup memberikan andil dalam kontestasi kekuasaan. Untuk kasus di Kabupaten Wajo, status sosial sebagai modal simbolik tidak hadir begitu saja tetapi status-status sosial seperti ini memiliki sejarah panjang dalam dinamikanya. Tatanan yang ada kemudian menjadi sebuah arena yang diikuti berbagai praktik-praktik politik seperti yang tergambarkan di Wajo, dimana stratifikasi sosial yang ditunjukkan dalam status sosial tidak begitu saja bersifat kaku untuk menjelaskan posisi seorang keturunan ‘arung, tetapi lebih dari itu status tersebut merupakan alat strategis dalam praktik yang berorientasi kekuasaan. Mengikuti apa yang dikatakan Bourdieu bahwa gambaran mengenai reproduksi sederhana dapat terlihat dalam korelasi struktur-struktur, praktik, dan habitus127. Kasus lain bagaimana reproduksi kultural kelompok keturunan arung sebagai elit politik adalah pada hari jadi Kabupaten Wajo yang ke-612 adalah bagian dari sebuah pertunjukan pengukuhan identitas kultural, yakni bagaimana beberapa kelompok keturunan bangsawan yang saat ini berkuasa di Kabupaten Wajo mengeluarkan kebijakan peringatan hari jadi Wajo di laksanakan di Paria, Atapanngnge. Tidak seperti biasanya peringatan hari jadi Wajo dilaksanakan di kota Sengkang sebagai ibukota kabupaten. Hal ini memicu berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat termasuk penulis tentang peristiwa ini. Berbagai pandangan telah dikemukakan termasuk diantaranya adalah masalah persaingan tiga padanreng (Bettempola, Tuwa, Talo’tenreng) dalam mengukuhkan kekuasaan salah satu kekuatan berkuasa di antara ketiganya di kabupaten Wajo. 127
Bourdieu (2009) Op.cit Hal. 129
Universitas Hasanuddin
123
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Dari penuturan Andi Rahmat Munawar, mengatakan bahwa Paria merupakan tempat dimana La Madukkelleng dilantik menjadi Arung Matoa, yang merupakan salah satu tokoh pahlawan Wajo yang melawan Belanda pada masa itu. Pada aspek ini Bupati Wajo melalui peringatan hari jadi Wajo ingin memperlihatkan bahwa nasionalisme masyarakat Wajo juga terlihat dari upaya La Maddukelleng dalam melawan Kolonial Belanda. Tapi disisi lain ditemukan bahwa Paria merupakan daerah yang pernah menjadi bagian dari Bettempola, sementara Andi Burhanuddin sendiri memiliki garis keturunan yang lebih kuat dari Bettempola. Diantara respon masyarakat yang mengemuka, Andi Rahmat Munawar mengataka dari sisi kultur historis, Andi Burhanuddin Unru selaku Bupati Wajo ingin mengukuhkan identitas kulturnya melalui garis keturunan Bettempola.
Dan dari sisi inilah proses reproduksi status dan hak istimewa
(privelese) dalam kepimpinan elit-elit politik keturunan arung ditunjukkan dalam drama hari jadi Wajo. C. Karakteristik Dari Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo Runtuhnya rezim orde baru yang sentralistis menjadi ‘akses’ kebijakan desentralisasi dan dan otonomi daerah. Sentralisasi yang memusatkan kekuasaan dan kewenangan di tangan presiden diganti dengan mereformasi seluruh politisi. Rezim orba digantikan karena kegagalannya menangani krisis ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat yang telah memuncak. Penggantian sentralisasi menjadi desentralisasi ini ‘diamini’ oleh momentum besar yakni reformasi 1998. Adanya desentralisasi dilegalkan dengan UU no 22 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UndangUndang
Dasar
1945
memberikan
keleluasaan
kepada
Daerah
untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah ini berarti
Universitas Hasanuddin
124
Pembahasan dan Hasil Penelitian
suatu daerah dapat menentukan masa depan daerahnya karena mengatur pemerintahan dan pendapatan daerahnya sendiri. Seorang kepala daerah dapat membuat kebijakan apa saja yang dapat menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) namun merujuk pada peraturan yang diatasnya. Kebijakan yang dibuat ini tentunya bukan kebijakan yang harus dilegalkan pusat, namun disetujui mahkamah konstitusi berdasarkan pertimbangan tertentu per wilayah. Di dalam otonomi daerah yang sedang berjalan, ada beberapa aspek yang memang istimewa di suatu daerah dan membedakannya dengan daerah lain. Otonomi daerah menawarkan identitas suatu daerah yang memang dimunculkan untuk pengembangan wilayah tanpa peyeragaman seperti orde baru. Lokalitas (budaya lokal) dan tradisi lokal bermunculan sebagai akibat desentralisasi serta otonomi yang mengembalikan kebijakan dan kewenangan pada daerah. Salah satu karakteristik praktik politik di kabupaten Wajo adalah Ajjoareng-joa, meski pada umunya di wilayah sekitarnya. Namun yang menjadi ciri khas Ajjoareng di Wajo adalah kepengikutannya di antara tiga kelompok besar keturunan Padanreng, termasuk kepengikutan wanua terhadap ketiganya. Namun pada umumnya pemilihan calon matoa bisa berasal dari tiga kelompok masyarakat yang juga merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Begitu pula dalam konteks sekarang, pengaruh garis keturunan kelompok ini masih besar dan berimplikasi pada keluarga-keluarga yang ada didalamnya beserta pengikutnya. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman dalam proses suksesi suatu diantara ketiga kelompok besar tersebut, namun terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk jabatan tertentu, calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari sekian banyak keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal dari status
Universitas Hasanuddin
125
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak yang kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut. Pada pemilihan kepala daerah misalnya yang santer di kabarkan bahwa persaingan antara Bettempola yang diwakili oleh Andi Burhanuddin Unru dengan Talo’Tenreng yang diwakili oleh Andi Asmidin. Meski telah terjadi perkawinan, dan garis keturunan telah bercampur diantaranya tetapi saja ada kecenderungan dimana salah satu kandidat lebih merapatkan garis kekerabatannya guna mendapatkan dukungan dari semua kerturunan yang berasal dari salah satu padanreng. Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan pertarungan adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak diantara keturunan arung dari ketiga padanreng serta didukung oleh pengikut yang paling berpengaruh, seperti yang di ungkapkan Andi Mariattang128. Jadi secara mendasar pengikutnya pun (joa’) dapat dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut dari kalangan orang biasa, yang mengabdi langsung kepadanya misalnya, yang pernah menjadi pengikut dari kalangan biasa dan menurunkannya kepada anaknya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri. Bentuk dari ajjoareng’-joa’ pada dasarnya disuburkan oleh sistem otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota yang melahirkan ‘raja-raja lokal’. Penulis berusaha menelaah dalam mekanisme pemilihan misalnya, diawali dengan sistem pemilihan konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk menjadi anggota DPRD apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio penduduk didaerah tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam 128
Wawancara tanggal 17 Januari 2011
Universitas Hasanuddin
126
Pembahasan dan Hasil Penelitian
masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan momentum ini dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan kekuasaan ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik. Dana ketika penulis telaah melalui beberapa literatur juga memperlihatkan adanya praktik yang berbeda dalam setiap periode kesejarahan. Pelras129 membagi praktek patron klien di Sulawesi
Selatan dalam
beberapa fase. Fase pertama adalah pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Terdapat
banyak
perubahan
dalam
rangka
mengefisienkan
sistem
pemerintahanan. Meskipun penunjukan pemimpin dan pejabat tinggi dilakukan dalam prosedur tradisional tetap dipertahankan, namun campur tangan Gubernur Jenderal Belanda sangat besar dalam pengambilan keputusan terakhir. Kondisi ini berimplikasi pada nilai pengikut menjadi berkurang, demikian halnya dengan peran patron sebagai pelindung menjadi tidak begitu penting lagi. Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kalangan bangsawan mengalami perpecahan. Salah satu pihak mendukung kebijakan-kebijakan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda untuk tetap berupaya berada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena harapan bahwa basis-basis kekuasaan mereka dapat tetap dipertahankan. Namun, sikap mereka menjadi boomerang karena mengakibatkan mereka ditinggalkan banyak pengikut yang menginginkan kemerdekaan, sehingga para bangsawan semakin kehilangan pengaruhnya. Di sisi lain terdapat sebagian kalangan bangsawan Bugis, Makassar, dan Mandar yang lebih menyukai perubahan sosial sehingga berpihak kepada Republik Indonesia. Kelompok bangsawan ini dengan suka rela mengorbankan kedudukan 129
Dalam A. Yani (2005) Op.Cit. Hal 3
Universitas Hasanuddin
127
Pembahasan dan Hasil Penelitian
politik dan ekonomi demi cita-cita republik mereka. Karena, sebagai pemimpin (patron), mereka menghabiskan sebagian besar harta benda untuk membantu pengikut yang membutuhkan, yang mengalami penderitaan karena peran serta mereka dalam perang kemerdekaan. Pada masa pemerintahan modern yang dibedakan dalam dua periode. Periode pertama adalah masa transisi, dimana banyak posisi kekuasaan baik dipi lih maupun ditunjuk diduduki oleh keturunan raja sebelumnya. Seperti yang terjadi di Wajo, dimana ketiga puluh bekas wanua warisan Pemerintahan Kolonial Belanda disatukan menjadi 10 kecamatan, semua camat adalah mantan arung dari sejumlah wanua terdahulu. Para arung yang tidak ditunjuk menjadi camat diberi jabatan lain. Periode kedua atau pasca masa transisi penunjukan semua pejabat baru dari atas tidak lagi berlaku, sistem klien pun kembali berlaku tapi dengan nilai yang berubah. Sistem kroni atau hubungan patronase menjadi suatu kelebihan dalam menduduki jabatan dibandingkan memiliki jumlah pengikut yang banyak. Begitu pula dengan peranan kelompok militer pada masa pemerintahan orde baru sangat signfikan dalam sistem sosial masyarakat. Hal ini kemudian berdampak dalam sistem Ajjoareng-Joa’ di masyarakat Bugis. Bangsawan yang memiliki latar belakang militer atau memiliki keluarga dari kelompok militer akan semakin mengangkat wibawanya di masyarakat. Meskipun keamanan masyarakat stabil pada masa ini, namun sistem AjjoarengJoa’ tetaplah penting dalam hal penguasaan sumberdaya-sumberdaya tertentu yang akan melanggengkan status sosial atau kekayaan. Pada masa orde baru hubungan Ajjoareng-Joa’ memilki bentuk yang cenderung merupakan sekedar reorganisasi daerah, kalau pada sebelumnya para pemimpin sebuah wanua atau addatuang sering disebut arung, pada masa orde baru pemimpinnya disematkan jabatan ‘camat’. Dari penelitian yang dilakukan di
Universitas Hasanuddin
128
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tiga kecamatan, menunjukkan pola kekuasaan yang sama meski berbeda penamaan jabatan karena adanya sistem administrtasti. Namun pada dasarnya arung memiliki relasi kekusaaan terhadap joa yang ada dibawah kepemimpinan arung tersebut tidak memilki perbedaan dengan jabatan camat pada masa tersebut. Signifikansi pertama adalah umumnya yang ditunjuk menjadi camat adalah tidak lain merupakan bekas arung di wanua tersebut yang berubah menjadi daerah admnistrarif kecamatan. Kedua adalah umumnya yang menjadi camat di suatu kecamatan adalah keturunan atau kerabat bangsawan seperti di kecamatan Belawa, dari beberapa periode kepimpinan camat, selalu dijabat oleh kerabat atau keturunan yang pernah menjadi arung di Belawa, salah satunya adalah Andi Bau Budi, menantu dari Datu Passamula, penguasa arung yang paling disegani di Belawa. Satu kasus ditunjukkan salah mantan kepala desa di Wele, Belawa (Andi Kile’) ketika ia terpilih menjadi kepala desa, ia adalah keturunan arung di desa tersebut yang juga seorang pengusaha. Ia merasa terpilih sebagai kepala desa karena merasa di dukung oleh keluarga keturunan lainnya disamping sebagai pengusaha penggilingan gabah, ia memilki banyak pengikut dari kalangan petani maupun pekerja di pabrik penggilingannya. Dengan dukungan dari keluarga keturunan ia secara tidak langsung mendapat dukungan pengikutnya masingmasing. Dari hasil observasi, penulis membuktikan bahwa setiap pengikut untuk memberikan dukungan ke salah satu patron yang mendukung pasangan kandidat misalnya pada saat penulis sedang bersenda gurau dengan beberapa rekan-rekan sejawat penulis dikampung mengenai Bupati Wajo yang menjabat saat ini. mereka bekerja sebagai penggarap sawah si patron, salah satu diantaranya bernama Andi Baru’. Ketika penulis bertanya pada saat pemilihan siapa yang ia pilih, salah satu diantaranya menjawab dengan ekspresi datar dan senyum
Universitas Hasanuddin
129
Pembahasan dan Hasil Penelitian
mengatakan “anggotae mi u waccerri wettu na mappitte taue….” (saya hanya mengikut sama teman pada saat pemilihan itu) sembari ia memalingkan wajah dan menunjuk ke arah Andi Baru’ yang saat itu baru saja mau masuk kedalam rumah. Fenomena
praktik
politik
masyarakat
Wajo
tersebut
di
atas,
memunculkan seorang patron yang harus berupaya untuk memperluas jaringan kliennya dalam rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan sehingga menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya, dimana salah satu arung berhak menjadi penguasa lokal. Ditengah upaya membangun demokrasi di tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan alasan penyelenggaraan berbagai pemilihan kepala desa. Para keturunan bangsawan dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis mulai melibatkan diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik. Hal menarik lainnya adalah kecenderungan adanya perubahan komposisi kepemimpinan yang mengakibatkan sistem Ajjoareng tidak lagi berdasarkan semata-mata karena faktor “anakarung” atau keturunan bangsawan. Karena cukup banyak diantara mesyarakat yang telah melek ‘sistem’ yang didapatkan dan tersosiaslisasi melalui wacana-wacan politik yang ada di media. Seringkali masyarakat Wajo sendiri menggaggap tatanan lama sering dianggap sebagai hambatan kemajuan seperti yang diungkapkan Andi Kace’, bahwa masyarakat sekarang di Wajo adlah masyarakat terdidik sudah banyak diantara yang telah melalui jenjang pendidikan mulai dari menengah maupun tinggi dan hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum keturunan bangsawan seperti pada masa lalu tetapi juga pendidikan telah menyentuh masyarakat yang selama ini dianggap
Universitas Hasanuddin
130
Pembahasan dan Hasil Penelitian
golongan ata’ atau yang selama ini hanya mengikut pada pemimpin bangsawan. Sehingga, seperti yang diungkapan Andi Kace, masyarakat saat ini tidak lagi-lagi bersusun-susun mulai dari ata ke bawah tetapi merata. Apalagi kalau berbicara masalah politik menurutnya sudah banyak kelompok yang mau memperlihatkan dominasinya. Seperti yang tercatat pada masa kerajaan, ada masa pada pemerintahan Arung Matowa menyikapi dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan lembaga ekonomi yang menyerupai koperasi yang berfungsi memberikan pendanaan terhadap pedagang sehingga memicu munculnya lapis to sugi pada struktur masyarakat dan menguatnya ekonomi masyarakat sehingga menaikkan posisi Wajo dari segi pembangunan ekonomi dibandingkan pada kerajaan tetangganya dalam hubungan luar negerinya. Implikasi ini, seperti yang diungkapkan informan bagaimana suatu proses reproduksi status tradisional yang berkembang menjadi status yang bersifat achievment, dimana dimensi prestasi melalui pendidikan dan potensi ekonomi mendapatkan aksesnya dalam ranah-ranah politik dan kekuasaan. hal ini ditunjukkan dengan bergesernya komposisi elit baru di terdiri atas mulai dari kelompok keturunan bangsawan, pegawai negeri serta intelektual, dan pengusaha. Pada dasarnya ketiga kelompok elit ini saling berpenetrasi, karena seorang bangsawan juga bisa jadi pegawai, intelektual, atau pengusaha. Dalam ketiga kategori tersebut, secara mendasar dapat dibagi lagi menjadi militer dan non-militer. Proses reproduksi status dan pola-pola ajjoareng-joa yang dipraktekkan di Wajo sebenarnya merupakan suatu upaya dalam memperluas pasrtisipasi agar orang lain ikut terlibat dalam relasi-relasi politik sejauh hal itu bisa memperkuat atau mempertahankan kekuasaan mereka dan bisa mencapai tujuan-tujuan lain.
Universitas Hasanuddin
131
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Sementara bagi kelompok-kelompok dan individu yang berada di Kabupaten Wajo sebagai begaian dari NKRI terlibat dalam politik bukanlah merupakan tujuan umum karena mereka lebih cenderung untuk berusaha memperbaiki status sosial dan posisi kekuasaan bahkan sampai pada kesejahteraan materil. Bila kepentingan ini terpenuhi, bisa jadi mendorong seseorang mau berperilaku, berpartisipasi menjadi seorang pengikut demi mendapatkan perlindungan melalu relasi dalam unsur-unsur masyarakat atau alasan instrumental lain, sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain dan besar sekali kemungkinan keterlibatan sesorang dalam ranah politk dan kekuasaan dengan merproduksi status sebagai pola praktik muncul sebagai akibat sampingan dari tujuan lain yang ia kejar.
Universitas Hasanuddin
132
Kesimpulan dan Saran
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam penelitian ini, pada dasarnya mengarah pada sebuah argumentasi mengenai fenomena politik dalam sebuah daerah yang tidak lain merupakan pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat pada umumnya memiliki aspek historisnya masing-masing yang pada awal proses pembentukannya secara sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang ada yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan pemahaman individu dalam interaksi dalam ranah institusi politik. Meski terjadi pergeseran di tingkat institusi tersebut dalam wujudnya, melalui penelitian ini berusaha menunjukkan adanya struktur berpikir individu dalam sejarah masyarakatnya yang tidak berubah, korelasi antara struktur masyarakat dan praktik individu dalam rentang berbagai dinamika perubahan menyebabkan adanya proses reproduksi. Dalam penelitian ini ditemukan suatu fenomena politik dimana simbolsimbol kebangsawanan sisa dari bekas kerajaan masih efektif sebagai modal dalam pertarungan politik. Bahkan berbagai strategi ditunjukkan para elit penguasa lokal dalam mengukuhkan identitas mereka melalui tatanan kultural yang masih berlaku selain legitimasi tersebut yang justru didukung oleh adanya mainset masyarakat di kabupaten Wajo yang masih memiliki budaya menghormati para patron mereka di masa lalu. Implikasinya kemudian, sistem tata pemerintahan kita hari ini yang mengenal otonomi daerah turut menyuburkan pertarungan elit-elit lokal yang tidak lain merupakan keturunan dari penguasa sebelumnya. Dengan cara yang tak jauh berbeda pada masa lampau, elit lokal sekarang ini melakukan berbagai pendekatan-pendekatan kepada masyarakat guna mengokohkan kekuasaan ‘raja-raja lokal’ ini.
Universitas Hasanuddin
133
Kesimpulan dan Saran
Kecenderungan ini sudah cukup terlihat pada bagaimana tatanan budaya yang masih mengenal konsepsi patron-klien yang berorientasi politis. Dan pada momentum tertentu, seperti Pilkada misalnya, karakteristik praktik seperti ini selalu saja muncul, meski dari berbagai kalangan hal ini dinilai mengurangi nilainilai kebebesan individu dalam berdemokrasi, tetapi pada posisi penghargaan terhadap suatu golongan etnis, penelitian ini tidak menafikan pengaruh budaya lokal dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah bagaimana pemangku kepentingan melalui penelitian ini, sekiranya dapat menyadari realitas masyarakat yang masih memiliki akar budaya agar dalam menerapkan berbagai kebijakan politis selalu memperhatikan berbagai aspek dalam implementasinya. Kecenderungan benturan budaya dengan sistem politik yang ada hari ini, bisa saja berpotensi konflik. Sehingga seyogyanya dalam perumusan kebijakan nantinya tidak melulu melandaskan pada peraturan-peraturan yang sifatnya formal, tetapi juga nilai-nilai, tradisi, maupun adat isitiadat perlu diterjemahkan secara baik sehingga mampu bersinergi dengan arah kebijakan nasional. Dari sisi akademis, catatan sejarah di bumi kita sendiri telah banyak menggambarkan tentang bagaimana konstruksi budaya yang terbangun pada masa lampau dan masih perlu dipelajari lebih dalam. Terlebih lagi pada bidang politik misalnya, sejauh mana kalangan akademis belajar tentang demokrasi, kalau ternyata kampung halaman kita menyimpan harta karun yang tak ternilai harganya, yakni budaya kita di masa lampau yang dicatat sebagai negara yang cukup demokratis dalam suatu sistem republik meski selalu dikatakan menyerupai oleh para ahli yang pernah meneliti sebelumnya.
Universitas Hasanuddin
134
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo Abad XV – XVI. Penerbit Alumni: Bandung Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Kepel Press: Jogjakarta Ahmad Yani, A. 2006. Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal. Makalah. Disampaikan dalam acara peluncuran buku Christian Pelras “Manusia Bugis”: Makassar Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Universitas Negeri Malang. Malang.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara: Jakarta. Arifin, Indar (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik di Kabupaten Wajo”. Pustaka Refleksi: Makassar Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta. Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia: Jakarta Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Burke, Peter. 2007. Sejarah dan Teori-teori Sosial. Pustaka Belajar: Jakarta Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga: Jakarta. Eriksen, Thomas Hylandd. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar (terj: Yosef Maria Florisan). cetakan ke-1. Ledalero: Yogyakarta. Hafid, Abdul. 2008. Warung Kopi : Arena Segmen Masyarakat Kota dalam Membangun Wacana Tentang Pilkada di Makassar (dalam Tinjauan Antropologi Politik). Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar. Harker, Richard. Etc (ed.). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Jalasutra: Yogyakarta.
Universitas Hasanuddin
135
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi . Aksara Baru: Jakarta. ___________ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia Press: Jakarta. ___________ . 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia Press: Jakarta. Lontaraq Akkarungeng ri Wajo. 2007. Transliterasi dan terjemahan. Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan: Makassar. Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang. McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. UI Press: Jakarta Meiyani, Eliza. 2008. Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang BugisBone (Suatu Analisis Antropologi Sosial). Disertasi. Universitas Hasanuddin: Makassar Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Remaja Rusda Karya: Bandung. Munawar, Andi Rahmat. 2008. Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan di Wajo Sejak Terbentuknya Hingga Integrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIA Puangrimaggalatung: Sengkang Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (terj). Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta- Paris, EFEO: Jakarta. Ramli, Muhammad. 2008. Local Wisdom Dalam Implementasi Kebijakan Publik. Yayasan Yapma Makassar: Makassar. Rudiansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Rudy, T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta. Sadapotto, Andi. 2010. Hubungan Good Govenance Dengan Nilai-nilai Budaya Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Wajo. Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar
Universitas Hasanuddin
136
Daftar Pustaka
Saepuddin, Didin. 2009. Budaya Didinsaepuddin.blogspot.com.
Politik
(artikel).
dalam http. www.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. CV. Rajawali: Jakarta. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Edisi kedua. Cetakan I: Januari. Tiara Wacana: Yogyakarta. Suseno, Frans Magnis. 1995. Filsafat Kebudayaan Politik Butir-Butir Pemikiran Kritis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Tahara, Tasrifin. 2010. Reproduksi Stereotipe dan Resistensi Orang Katobangke Dalam Struktur Masyarakat Buton (Disertasi) Departemen Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia: Depok. Therik, Wilson M.A. 2008. Modern Versus Patrimonial (artikel) dalam http://wilson-therik.blogspot.com. Tol, Roger. Kees van Dijk. Greg Acciaioli. 2009. Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Inninawa: Makassar. Wijaya, Albert. 1982. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. LP3ES: Jakarta.
Universitas Hasanuddin
137