Representasi Subjektivitas Perempuan dalam Dua Cerita Pendek Bahasa Inggris Aquarini Priyatna Prabasmoro, Ekaning Krisnawati, Eva Tuckyta Sari Suyatna Abstract In the Western normative thinking of subjectivity as reflected in the Cartesian idea of mind and body, subjectivity lies primarily in the mind while the body is regarded to be a mere container. Looking at the six short stories of three women writers (Enough Rope, Hair Jewellery, The Blush) and three men writers (Pinkland, Nude on the Moon, A Rose for Emily), only two of which are delineated in this article, we find that subjectivity as represented by the women/”women” characters are not determined merely by the mind. The short stories show that the body plays a significant role in the construction of the subjectivity of the women characters’ subjectivity. We also find that in all novels, all women characters’ subjectivity is always in transformation as signified by the travellling, the clothing, the ever-changing identities and the resistance to the [hetero]normative construction imposed on them. In comparing the idea of women’s subjectivity as reflected in the short stories by the women and men writers, we find that basically there is no “inherent” tendency in picturing women, or those identitified as women as stereotypes in the six short stories that we analysed,. Rather, we find that some men writers are actually capable of writing women in feminist perspective. Keywords : woman, subjectivity, feminist/feminism, literatutre
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Gagasan subjektivitas pada pemikiran Barat menurut Weedon (2001) mengasumsikan bahwa inti, ke-subjek-kan seorang individu ada pada daya nalar, keunikan, keterpisahan dan perbedaannya dengan yang lain. Yang paling dominan dalam pembentukan gagasan subjektivitas dalam kebudayaan Barat adalah pemikiran Descartes yang terkenal dengan gagasan “Cogito Ergo Sum.” Dalam pandangan ini,
1
esensi subjek ada pada daya nalar dan pemikirannya sedemikian sehingga tubuh cenderung untuk dikonstruksi sebagai suatu kontainer yang tidak memainkan peran signifikan dalam subjektivitas seseorang. Gagasan subjektivitas juga dibangun dengan menormalisasikan/me-norma-kan tubuh laki-laki yang tidak pernah berubah (un-altering) sedemikian sehingga tubuh perempuan yang mengalami perubahan (menstruasi, tumbuh payudara, hamil, menyusui, menopause) adalah suatu penyimpangan, atau bahkan ketidaknormalan. Hal ini menjadi isu penting dalam feminisme yang melihat bahwa gagasan keterpisahan antara tubuh dengan nalar sebagai sesuatu yang tidak mungkin terutama jika melihat fakta bahwa tubuh perempuan selalu berubah sedemikian sehingga subjektivitas perempuan juga tidak pernah ajeg (Weedon 2001). Beauvoir (1997) menulis bahwa perempuan selalu ada di dalam proses menjadi (becoming). Oleh karena itu, persepsi terhadap tubuh merupakan bagian penting dalam membangun subjektivitas atau rasa menjadi Subjek/Diri. Dalam pemikiran feminis, misalnya menurut Battersby (1998), tubuh adalah Diri yang menubuh (embodied Self). Persoalan Subjek dan tubuh menjadi lebih signifikan dalam konteks ideologi gender yang mengatribusikan fakta biologis tubuh (laki-laki atau perempuan) sebagai atribusi sosial kultural. Dalam hal ini, seorang bertubuh perempuan harus menunjukkan identitas feminin termasuk melakukan tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan yang dianggap/berada di ranah feminin. Demikian pula mereka yang bertubuh laki-laki harus menunjukkan identitas maskulin dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap maskulin dan/atau berada di ranah maskulin/publik. Sejalan dengan perkembangan pemikiran feminis, resistensi terhadap ideologi gender terlihat dari berkembangnya teori queer. Dalam pemikiran teori queer, identitas gender bahkan identitas seks bukan merupakan suatu hal yang ajeg. Lebih dari itu, identitas seks dan identitas gender dipertanyakan.
2
Identitas, dalam hal ini, bukan merupakan subjektivitas, melainkan bagian dari subjektivitas. Seperti dikatakan Braidotti (1994), “identity bears a privileged bond to unconscious processes, whereas political subjectivity is a conscious and willful position”(418). Dengan demikian, identitas menurut Braidotti adalah suatu keterikatan yang menguntungkan dari proses tidak sadar sementara subjektivitas politis adalah suatu posisi yang sadar dan penuh kesadaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa subjektivitas merupakan konstruksi yang disadari oleh seorang subjek. Konstruksi tersebut, seperti dikatakan Kristeva, merupakan suatu proses yang terus menerus yang menempatkan subjek dalam suatu “pengadilan”, karena identitas kita dalam hidup terus menerus dipertanyakan, diadili, dan diabaikan (1986, 351). Braidotti mengatakan bahwa pada dasarnya “perempuan” tidak lagi merupakan suatu model preskriptif dari subjektivitas perempuan karena subjektivitas perempuan lebih merupakan suatu topos yang dapat diidentifikasi untuk keperluan analisis. Dengan perkataan lain, subjektivitas perempuan tidak selalu berarti ditubuhi perempuan karena, dengan menyingkat pemikiran teoris lain, Braidotti, subjektivitas perempuan merupakan “konstruk (De Lauretis), topeng (Butler); esensi positif (Irigaray), atau jebakan ideologis (Wittig)” (1994, 417). Dengan demikian, tidak seperti subjektivitas dalam pemikiran [tradisional/konvensional] Barat seperti direspresentasi pemikiran Cartesian, subjektivitas perempuan tidak selesai, tidak uniter, tidak selalu rasional, tidak mengabaikan tubuh, tidak individual dan tidak tunduk pada gagasan “universal” tentang subjek. Lebih dari itu, meskipun ada perdebatan mengenai persoal esensi dan konstruksi, kami berpendapat bahwa ada bagian “esensial” yang memainkan peran penting dalam pembentukan subjektivitas perempuan/”perempuan” dan pemahaman itu tidak selalu berarti bahwa kami percaya esensialisme. Seperti dikatakan Kristeva, meskipun identitas [dan karena itu subjektivitas] tidak stabil, tetapi selalu ada “a certain type of stability” (1986, 352)., Dalam hal ini, tubuh sangat mungkin menawarkan stabilitas temporal itu.
3
Persoalan subjektivitas ini akan kami analisis dalam enam cerita pendek yang menjadi objek penelitian kami.
1.2 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini kami membahas representasi subjektivitas perempuan di dalam enam cerita pendek yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan (tiga laki-laki dan tiga perempuan). Pertanyaan yang ingin kami jawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain terhadap Diri tokoh utama. 2. Bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh dalam membentuk subjektivitasnya? 3. Apa perbedaan representasi subjektivitas perempuan yang ditampilkan oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan.
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian atas enam cerita pendek yang terdiri dari tiga karya penulis perempuan dan tiga karya penulis laki-laki. Pemilihan ini kami maksudkan untuk dapat memberikan gambaran perbedaan atau tidak adanya perbedaan antara penulis perempuan dan laki-laki. Tiga karya penulis perempuan tersebut adalah : Enough Rope (Poppy Z Brite), Hair Jewellery (Margaret Atwood), The Blush (Elizabeth Taylor). Tiga karya penulis laki-laki adalah Pinkland (Graham Joyce), Nude on the Moon (Paul Magrs), A Rose for Emily (William Faulkner). Meskipun demikian, karena keterbatasan ruang, kami hanya membahas dua cerita pendek saja, yakni Hair Jewellery (Margaret Atwood), dan A Rose for Emily (William Faulkner).
4
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menunjukkan bagaimana subjektivitas perempuan disajikan, dalam bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain terhadap Diri tokoh utama. 2. Memperlihatkan bagaimana persepsi tokoh terhadap tubuh dalam membentuk subjektivitasnya? 3. Mengetahui perbedaan representasi subjektivitas perempuan yang ditampilkan oleh penulis laki-laki dan penulis perempuan.
1.4 Kontribusi Penelitian Kontribusi yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lainnya yang sejenis; 2. Dapat dijadikan model untuk mengetahui representasi subjektivitas perempuan dalam karya sastra lain.
1.5 Metode Penelitian Kami melakukan penelitian dengan cara menganalisis teks dengan mempergunakan kritik sastra dengan menganalisis struktur karya sastra melalui perwatakan, sudut pandang dan latar dengan pendekatan feminis. Kami juga mencermati pendekatan feminis terhadap subjektivitas perempuan untuk melihat representasi subjektivitas perempuan terutama dalam konteks tubuh dan seksualitas.
5
2. Contoh Pembahasan Karya Penulis Perempuan 2.1 Hair Jewellery 2.1.1 Ringkasan Cerita Hair jewellery merupakan cerita seorang perempuan dalam perjalanan hidupnya dari miskin hingga menjadi seorang terpelajar dan kaya. Perjuangan hidupnya ditandai dengan subjektivitasnya yang berubah sejalan dengan apa yang dialaminya. Secara keseluruhan, cerita dalam Hair Jjewellery adalah flashback yang berkembang secara kronologis. Pada awal cerita, narator bercerita bahwa ia ingin menulis sesuatu tentang masa lalu dan ia menyadari bahwa tindakan itu dapat menyakitkan hatinya, atau paling tidak akan menghidupkan lagi kesakitan yang pernah diterimanya di masa lalu. Pada awal narasinya, “I” mengatakan betapa subjektivitasnya sangat erat berkaitan dengan penampilannya, terutama dengan pakaian yang dikenakannya. Bahwa keseluruhan memorinya bekerja dalam hubungannya dengan pakaian yang dikenakannya pada waktu peristiwa tertentu terjadi. Lebih dari itu, pakaian merupakan aspirasinya terhadap transformasi serta kehidupan yang baru. Selama ini ia membeli baju dari gudang yang menjual baju kualitas bagus dengan harga murah, tetapi bukan merupakan ukuran yang tepat untuknya. Melalui narasinya, diketahui pula bahwa ia seorang mahasiswa Sastra [Inggris] di suatu universitas dan ia hidup dari uang beasiswa yang diterimanya. Ia juga bercerita tentang hubungan cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan penampilannya yang seringkali membuat orang memandangnya dengan pandangan yang aneh. Setelah penghianatan kekasihnya, ia kemudian menikah dengan seorang arsitek, dan karir akademiknya juga menanjak sehingga ia cukup kaya untuk dapat membeli pakaian bagus yang membuatnya lebih percaya diri. Ketika ia tanpa sengaja bertemu lagi dengan bekas kekasih yang meninggalkannya, “I” menghampiri bekas kekasihnya. Pandangan laki-laki itu kepadanya menyiratkan kekecewaan karena, tidak seperti yang
6
diduganya, “I” tidak menjadi menderita karena perpisahan itu bahkan sebaliknya “I” telah menjadikan dirinya lebih baik daripada masa ketika mereka bersama.
2.1.2 Pembahasan Dengan narasi yang bertutur “I” kepada petutur “You”, cerita ini seolah-olah menghadirkan percakapan antara “I” dengan bekas kekasihnya yang menghianatinya. Cerita pendek ini bahkan seperti diary dengan kesadaran bahwa diary ini akan dibaca. “I” menyadari proses penulisan yang dilakukannya, seperti ditulisnya di awal cerita, There must be some approach to this, a method, a technique, that’s the word I want, it kills germs. Some technique then, a way of thinking about it that would be bloodless and therefore painless; devotion recollected in tranquility. I try to conjure up an image of myself at that time, also one of you, but it’s like conjuring the dead. How do I know I’m not inventing both of us, and if I’m not inventing then it really is like conjuring the dead, a dangerous game… The usual explanation is that they have something to tell us. I’m not sure I believe it; in this case it’s more likely that I have something to tell them. Be careful, I want to write, there is a future…. (1994, 379) Bagian pendahuluan ini tampaknya menjelaskan mengapa karakter “I” perlu menulis cerita ini. Dari kutipan di atas terlihat adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali citra dirinya dan juga citra bekas kekasihnya. Ada kebutuhan dari “I” yang sekarang untuk melakukan retrospeksi terhadap cerita hidupnya, untuk menemukan “I” yang dulu sehingga ia dapat memahami “I” yang sekarang. Cerita pendek ini melingkupi perjalanan “I” kini yang mencoba memahami rasa sakit dan kebahagiaanya, untuk memahami perkembangan subjektivitasnya. Secara keseluruhan, narator banyak melakukan flashback yang disertai dengan perenungan atas apa yang terjadi pada waktu suatu peristiwa terjadi. Narator dalam cerita ini mengambil sudut pandang orang pertama yang sesungguhnya memungkinkan dibacanya cerita ini sebagai semacam karya autobiografis. Yang paling menarik dari penggambaran konstruksi subjektivitas karakter dalam cerita ini adalah keterikatan karakter dengan penampilannya, terutama pakaiannya, yang
7
menurutnya merupakan “teknik untuk menegakkan diri”. Lebih dari itu, pakaian baginya merupakan identitas yang melekat pada dirinya, tetapi pada saat yang sama, penghubungan pakaian dengan identitas juga memungkinkan adanya ruang untuk berganti-ganti identitas sejalan dengan berubahnya pakaian yang dikenakan, yang dapat dimaknai sebagai ketidakajegan subjektivitasnya. Pada awal cerita,”I” menerangkan :
That’s my technique, I resurrect myself through clothes. In fact it’s impossible for me to remember what I did, what happened to me, unless I can remember what I was wearing, and every time I discard a sweater or a dress I am discarding a part of my life. I shed identities like a snake, leaving them pale and shrivelled behing me, a trail of them, and if I want any memories at all I have to collect, one by one, those cotton and wool fragments, piece them together, achieving at last a patchwork self… (1994, 379) Dalam kutipan di atas terlihat bahwa pakaian bukanlah semata-mata memiliki karakter fungsional sebagai penutup tubuh atau pelindung dari cuaca panas ataupun dingin, melainkan sebagai lapisan identitas diri, yang seperti ditulis “I” merupakan bagian dari bagian-bagian dirinya yang lain. Subjektivitasnya tidak terdiri dari satu elemen semata melainkan kombinasi dari berbagai jenis identitas diri. “I” sendiri menggambarkan dirinya sebagai pecinta pakaian yang bermutu baik, meski ia tidak mampu membelinya dengan harga normal. Filene’s Basement adalah tempatnya membeli pakaian dengan harga murah, tetapi tidak mudah baginya menemukan ukuran yang cocok dengannya yang di satu sisi membuatnya “hilang”, di sisi lain dengan pakaian yang kedodoran justru ia menjadi perhatian orang lain justru karena ia menjadi “menarik perhatian” dalam pengertian ia “berbeda” dari “yang seharusnya”. Selain pakaian, persoalan subjektivitasnya juga berkaitan dengan uang yang [tidak] dimilikinya. Filene' s Basement menjadi pilihan karena dengan keuangannya yang sangat terbatas sehingga ia tidak mempunyai pilihan lain. Lebih dari itu, “I” berpendapat bahwa setiap orang yang pergi ke Filene' s Basement berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap hidupnya, dan pakaian menjadi semacam penanda [tidak] adanya perubahan itu,
8
“No one went there who did not aspire to a shape change, a transformation, a new life, but the things never did quite fit.” Under the black coat I wear a heavy tweed skirt, grey in colour, and brown sweater with only one not very noticeable hole, valued by me because it was your cigarette that burned it. Under the sweater I have a slip (too long), a brassiere (too small), some panties with little pink roses on them, also from Filene' s Basement, only twenty-five cents, five for a dollar, and a pair of nylon stockings held up by a garter belt which, being too large, is travelling around my waist, causing the the seams at the backs of my legs to spiral like barbers’ poles. I am lugging a suitcase which is far too heavy – no one carried packsacks then except a summer camp – as it contains another set of my weighty, oversized clothes as well as six nineteenthcentury Gothic novels and a sheaf of clean paper. (1994, 380) Seperti terlihat dalam kutipan di atas, “I” secara mendetail menggambarkan pakaian serta barang yang dikenakan dan dibawanya, dan itu menandai betapa pentingnya penampilan (termasuk pakaian, pakaian dalam dan tas serta barang-barang lain) dalam pembentukan subjektivitasnya. Peristiwa ini juga dapat diparalelkan dengan keinginannya untuk melarikan diri dari “kenyataan” [bahwa ia tidak diinginkan/cintanya ditolak]. Di balik pakaian ia bersembunyi dan menampilkan semacam “subjektivitas” diri yang lain, yang berbeda dengan diri ketika ia bebas dari pakaian yang dikenakannya, seperti dikatakannya, “My platonic version of myself resembled an Egyptian mummy, a mysteriously wrapped object that might or might not fall into dust if uncovered” (1994, 381). Sejalan dengan subjektivitasnya yang ditampilkan melalui keterikatannya dengan pakaian, perkembangan subjektivitas “I” juga ditampilkan melalui karirnya sebagai mahasiswa yang kehidupannya bergantung pada beasiswa yang diterimanya. Beasiswa itu sendiri dapat merupakan penanda subjektivitasnya sebagai orang yang mempunyai kemampuan dan intelektualitas tinggi serta berkemauan keras, seperti dinarasikan “I”,
the academic paper required for my survival as a scholar would emerge, like a stunted dandelion from a crack in the sidewalk… shocking into action my critical faculties, my talent for word-chopping and the construction of plausible footnotes
9
which had assured so far the trickle of scholarship money on which I subsisted. (1994, 381) Di satu sisi “I” menyadari potensi dirinya, tetapi di sisi lain, dan hal ini menarik menurut kami, “I” menyadari bahwa potensi itu sebenarnya merupakan suatu “pertunjukan” semata. Intelektualitasnya, yang tampil dalam tulisan akademiknya, sebenarnya hanyalah merupakan citra yang sengaja dibangun untuk memastikan keberlangsungan hidupnya melalui beasiswa (yang jumlahnya tidak banyak) yang diterimanya, “the construction of plausible footnotes which had assured so far the trickle of scholarship money on which I subsisted” (1994, 381). Yang lebih menarik, cinta, penelitian (kehidupan akademik/kehidupan publik) dan pakaian sebenarnya merupakan elemen yang memiliki kesamaan dan saling berkait dalam pembentukan subjektivitasnya. Kesadarannya akan potensi kesakitan dari hubungan cinta dikaitkannya dengan pengalamannya melakukan penelitian,
My academic researches had made me familiar with the moment at which one’s closest friend and most trusted companion grows fangs or turns into a bat; this moment was expected, and held few terror for me. (1994, 381) Penelitian akademis, menurut “I” berpotensi untuk menampilkan keaslian seseorang, seorang teman terpercaya dapat saja berubah menjadi serigala yang atau berubah menjadi kelelawar. Potensi kekecewaan ini sejak awal diantisipasi oleh “I” dalam hubungannya dengan laki-laki. Ketika akhirnya cintanya bersambut, “I” menerangkan bahwa “You” – yang bekas kekasihnya – adalah jenis manusia berbeda dari yang telah diceritakan sebelumnya. “I” mengatakan “You were, of course, the perfect object” (382). Tetapi hubungan itu tidak dapat dengan mudah diwujudkan dalam suatu hubungan seksual karena menurut “I” mahasiswa pascasarjana perempuan “were supposed to be like nuns, dedicated and unfleshly” (1994, 387). Dengan perkataan lain, sebagai seorang yang berpendidikan
10
tinggi, subjektivitasnya diatur untuk berdedikasi kepada pekerjaan “otak’nya yang salah satu konsekuensinya adalah penegasian terhadap tubuh, “unfleshly” – tidak bertubuh. Pembaca sendiri selalu diingatkan “I” akan posisinya sebagai seorang mahasiwa pascasarjana dengan referensinya yang terus menerus mengenai tugas menulisnya. Subjektivitasnya sebagai perempuan, meski berkaitan dengan hubungannya dengan laki-laki, tidak sepenuhnya bergantung dari itu. Lebih daripada itu, dengan selalu dibayangkannya perpisahan serta pakaian yang akan dikenakannya ketika itu terjadi, “I” melihat perpisahan itu sebagai semata-mata kegiatan berganti pakaian. Dengan perkataan lain, perpisahan itu hanyalah sebuah peristiwa biasa yang dialaminya sebagaimana ia memilih baju tertentu untuk acara tertentu. Meskipun demikian, perpisahan tetap menyisakan kesakitan apalagi karena hal itu disebabkan tersingkirkannya ia oleh perempuan lain. Alih-alih ketenangan yang ditampilkannya, pembaca dapat merasakan kesakitan “I” :
The soles of my feet turned cold, my legs went numb. I had realized suddenly that she was not just an old friend, as you had told me. He had been a lover, she was still a lover, she was serious, she had taken pills because she found out I was arriving that day and she was trying to stop you; yet all this time you were calmly writing down the room number, the phone number, that I was just calmly giving you. We arranged to meet the next day. I spent the night lying on the bed with my coat on. (1994, 389) Seperti yang sudah diceritakan “I” pada awal cerita, ia tidak dapat mengingat suatu peristiwa kecuali ia dapat mengingat pakaian yang dikenakannya. Dalam narasinya yang pahit tentang peristiwa di New York itu, “I” dapat secara akurat mengingat apa yang terjadi dengan sepatunya dan apa yang dipakainya sepanjang malam. Rasa sakit “I” direpresentasi dengan perasaan dingin yang dialaminya, “The soles of my feet turned cold”, “my legs went numb” dan ia memakai jaket sepanjang malam. Perhiasan rambut (hair jewellery) yang dilihatnya di perpustakaan di Salem menjadi pertanda akan datangnya perpisahan yang menyakitkan ini. Perhiasan rambut, seperti dijelaskan oleh
11
pegawai perpustakaan, digunakan untuk tamu yang datang ke suatu pemakaman di jaman Victoria. Itulah barangkali yang seharusnya dikenakan “I” ketika ia pergi ke New York; perhiasan untuk datang ke pemakaman, perhiasan untuk sebuah perpisahan. Secara fisik, perjalanan subjektivitas “I” telah melampaui transformasi yang signifikan. Transformasi itu sendiri, meski tampak dalam hal-hal yang bersifat fisik, tidak terlepas dari transformasi lain yang dialaminya, misalnya keputusannya untuk menikah dengan seorang arsitek, meningkatnya karir akademiknya serta secara keseluruhannya meningkatnya kemampuan finansialnya. Dengan kemampuan finansial yang meningkat, “I” tidak lagi harus pergi ke Filene' s Basement untuk mendapatkan pakaian berkualitas baik (meski dengan ukuran yang salah). Ia kini dapat memilih pakaian yang sesuai dengan ukurannya dan itu mengubah bukan saja cara pandang dirinya terhadap tubuhnya dan keseluruhan subjektivitasnya melainkan juga pada cara pandang orang lain terhadap dirinya. “I” yang sangat sadar diri misalnya mengingat ketika orang-orang memandangnya sebagai makhluk aneh, “they stared at me like frogs in a pond” (1994, 384) atau “the waitress and the proprietor… stood with folded arms, watching me suspiciously while I ate as though expecting me to leap up and perform some act of necromancy with the butter knife” (1994, 385). Dalam narasinya mengenai peristiwa ketika ia bertemu lagi dengan kekasihnya, “I” menceritakan transformasi itu. The drab, defiantly woolen wardrobe you may remember vanished little by little into the bins of the Salvation Army as I grew richer, and was replaced by a moderately chic collection of pantsuits and brisk dresses… My coats no longer flap, and when I attend academic conferences nobody stares. (1994, 390-391) Dengan narasinya itu, “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian penting dari subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan juga penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Respon serta reaksi karakter lain terhadapnya atau terhadap penampilannya adalah juga unsur pembangun
12
subjektivitasnya sebagai perempuan. ketika ia dianggap sebagai si buruk rupa, begitulah ia melihat dirinya, dan ketika ia tidak lagi menjadi objek cemoohan, ia dapat menghargai dirinya lebih baik. Pada akhirnya, “I” dapat sungguh-sungguh mengenyahkan bayangbayang bekas kekasihnya itu ketika ia melihat bahwa bekas kekasihnya itu sama sekali tidak menghargainya, baik itu penampilan fisiknya yang jauh lebih menarik, karir akademiknya yang menanjak, ataupun lompatan finansial yang telah dilakukannya serta kesuksesannya sebagai ibu rumah tangga.
2.2Contoh Pembahasan Karya Penulis Laki-laki 2.21 A Rose for Emily 2..21.1 Ringkasan Cerita A Rose for Emily adalah cerita mengenai seorang perempuan bernama Emily yang eksentrik dan bahkan gila. Ia lahir dari keluarga bangsawan dan setelah kematian ayahnya ia hidup sendirian dengan ditemani seorang laki-laki kulit hitam pembantunya. Sebagai keluarga bangasawan, keluarga Emily Grierson menjadi semacam pusat perhatian warga kota. Warga, misalnya menunggu saat-saat Emily menikah karena waktu itu Emily sudah berusia di atas tiga puluh tahun dan mereka ikut bergembira ketika Emily tampak dekat dengan seorang laki-laki pendatang bernama Homer Barron. Warga kemudian ikut bersedih untuk Emily ketika akhirnya diketahui bahwa Homer sesungguhnya adalah seorang homoseksual. Ketika suatu waktu Emily membeli pakaian pengantin laki-laki lengkap dengan segala peralatannya serta memesan toilet set bagi laki-laki dari perak, warga gembira karena mengira bahwa Emily akhirnya akan menikah dengan Homer Barron. Kegembiraan mereka berganti menjadi rasa kaget karena setelah itu Homer Barron menghilang. Warga mengira menghilangnya Homer merupakan strategi agar kedua sepupu yang tinggal bersama Emily setelah kematian ayahnya segera meninggalkan rumah Emily. Tiga hari setelah kedua sepupu itu pergi, Homer Barron
13
kembali ke kota itu. Beberapa warga melihatnya diterima oleh pembantu laki-laki kulit hitam yang bekerja di rumah Emily. Setelah itu, warga tidak pernah lagi melihat Homer Barron dan hanya sesekali melihat Emily. Hanya sang laki-laki kulit hitam yang melakukan aktivitas keluar masuk rumah. Ketika warga melihat lagi Emily, ia sudah menjadi sangat gemuk dan rambutnya sudah mulai beruban. Setelah itu, warga tidak pernah melihatnya lagi kecuali selama enam atau tujuh tahun ketika ia berusia sekitar empat puluh tahun. Waktu itu Emily memberikan kursus melukis keramik kepada keturunan perempuan Kolonel Sartoris, walikota yang memerintahkan remiten pajak baginya. Tahun berganti tahun, warga hanya melihat laki-laki kulit hitam itu keluar masuk rumah dan hanya sesekali melihat Emily di lantai bawah rumahnya. Ia kemudian diketahui meninggal. Adalah pembantu kulit hitamnya yang membuka pintu bagi warga untuk menengok jasad Emily dan mengurusnya. Ia sendiri kemudian menghilang dan hingga akhir cerita tidak diketahui identitasnya, bahkan tidak namanya pun sekalipun. Tapi kematian Emily itu membawa kegemparan baru bagi warga kota karena mereka menemukan mayat Homer Barron dengan sejumput rambut uban di sampingnya di sebuah kamar di atas yang tidak pernah dilihat siapapun. Cerita ditutup dengan tidak menggambarkan reaksi warga atas penemuan mayat dan uban itu.
.22..1.2 Pembahasan Cerita ini dinarasikan dari sudut pandang orang pertama jamak, “We”. “We” dalam hal ini menyuarakan penduduk kota yang menceritakan apa yang dilihat mereka dari kehidupan Emily Grierson. Yang menarik dari sudut pandang ini adalah ketika objek narasi mereka adalah Emily Grierson yang tumbuh dan bertambah umur, “We” itu sendiri seolah-olah tidak bertambah umur. Tidak ada perubahan sudut pandang yang berarti
14
dalam narasi narator seolah-olah warga kota adalah orang yang sama yang tetap berusia sama sepanjang hidup Emily.
Ketika Emily meninggal, warga kota diceritakan sangat antusias untuk datang ke pemakamannya., dan lebih dari itu, warga sebenarnya lebih antusias lagi untuk melihat rumah yang selama ini ditinggalinya sendiri dengan ditemani seorang pembantu laki-laki kulit hitam. Dengan banyaknya orang yang merasa berkaitan dengan Emily, narator menceritakan posisi sosial Emily bagi kota itu dan warganya. Seperti dinarasikan narator, Emily adalah suatu tradisi, suatu tugas dan kewajiban kota. Emily mempunyai privilese tertentu yang diberikan kepadanya oleh walikota Sartoris, termasuk keringanan pajak. Kekerasan hati serta gambaran fisik Emily pertama kali dinarasikan ketika perwakilan dari dewan kota menemuinya di rumahnya yang kotor dan berdebu untuk menagih pajak kepadanya..
They rose when she entered – a small, fat woman in black, with a thin gold chain descending to her waist and vanishing into her belt, leaning on an ebony cane with a tranished gold head. Her skeleton was small and spare; perhaps that was why what would have been merely plumpness in another was obesity in her. She looked bloated, like a body long submerged in motionless water, and of that pallid hue. Her eyes, lost in the fatty ridges of her face, looked like two small pieces of coal pressed into a lump of dough as they moved from one face to another while the visitors stated their errand. (341) Gambaran fisik Emily menunjukkan bahwa pada dasarnya Emily tidak mempunyai sosok yang menarik, tetapi sebagai seorang bangsawan, Emily mempunyai karakter yang kuat. Dalam kunjungan itu, Emily sama sekali tidak mengijinkan tamunya duduk. Ia juga berbicara dengan nada yang dingin dan menolak apapun yang diungkapkan oleh tamunya itu. Akhirnya, Emily mengusir tamunya, dan sikap seperti itu telah ditunjukkannya selama tiga puluh tahun. Ia telah mengusir paling tidak dua generasi dewan kota yang datang hendak menuntut pembayaran pajak darinya. Dari sikapnya itu
15
dapat dikatakan bahwa Emily sangat keras dan tidak mau berkompromi. Ini menjadi karakter penting dalam membangun cerita pendek ini. Warga sendiri menganggap bahwa ada suatu keanehan dalam diri Emily. Ketika usianya mencapai tiga puluh tahun, ia belum juga menikah. Warga merasa bahwa Emily telah bersikap sombong dan menganggap dirinya terlalu tinggi, “People in our town… believed that the Grierson held themselves a little too high for what they really were. None of the young men were quite good enough for Miss Emily and such” (342). Emily menjadi semacam mitos, suatu sosok yang tidak nyata. Barulah ketika ayahnya meninggal dan Emily menjadi yatim piatu, miskin dan sendirian, Emily menjadi manusia nyata, “she became humanized”. Meskipun demikian, bagi warga Emily semakin menunjukkan kecenderungan gilanya karena ia tidak mengakui kematian ayahnya dan tidak mengijinkan warga untuk mengurus jenazah ayahnya. Ia bahkan berdandan seperti biasa dan tidak menunjukkan kesedihan sama sekali. Sampai tahap ini, seperti diungkapkan narator, warga masih belum menganggap Emily gila melainkan bahwa Emily menderita kesedihan dan rasa kehilangan mendalam yang membuatnya tidak mau kehilangan [jenazah] ayahnya. Emily, yang pada bagian lebih awal merupakan Emily yang lebih tua, digambarkan sebagai perempuan gemuk yang tidak menarik, pada periode hubungannya dengan Homer Barron digambarkan sebagai “anak gadis” dan “malaikat”. Kedua citra itu merupakan citra positif dan feminin. Dengan demikian, pada periode Homer Baron, subjektivitas Emily sebagai perempuan dianggap berterima oleh masyarakat yang juga tercermin dari kebahagiaannya yang juga dirasakan oleh warga kota, “At first we were glad that Miss Emily would have an interest,…” (343). Subjektivitas Emily sebagai perempuan yang berbahagia dengan hubungannya dipaksa berhadapan dengan identitas sosialnya sebagai bangsawan. Subjek bagaimanapun selalu berhadapan dengan pengobjekkan. Seperti diceritakan narator “But
16
there were still others, older people, who said that even grief could not cause a real lady to forget noblese oblige – without calling it noblise oblige” (343). Ungkapan para pemuka masyarakat dan para tetua itu menunjukkan bahwa subjektivitas Emily tidak dapat secara didefinisi oleh dirinya sendiri karena sebagian subjektivitasnya merupakan keterikatannya dengan status sosialnya sebagai seorang bangsawan. Dalam hal ini, Emily bukanlah seorang subjek melainkan objek dari konstruk sosial yang melingkupinya (dalam Bahasa Inggris, she is subject to social construct). Subjektivitas Emily juga terganggu karena pilihannya terhadap Homer Barron menjadikan dirinya, sekali lagi, objek rasa kasihan karena Homer Barron diketahui warga sebagai seorang homoseksual, “Homer himself had remarked – he liked men” (344). Narator sendiri tidak menceritakan episode ini dengan jelas, ia mengimplikasinya melalui bisikan-bisikan yang dilakukan warga atas hubungan Emily dan Homer Barron. Pembaca harus menebak-nebak apa makna bisikan-bisikan itu. Kemampuan pembaca membaca makna di balik bisikan-bisikan yang tidak jelas itu mengimplikasi adanya kesamaan pandangan atas norma-norma yang berlaku di masyarakat Emily dan masyarakat pembaca/kami. Narator memberikan petunjuk persoalan homoseksualitas Homer Barron dalam paragraf berikut, “And as soon as the old people said, ‘Poor Emily,’ the whispering began. ‘Do you suppose it’s really so?’ they said to one another. ‘Of course it is…’ …. ‘Poor Emily.’” (343) Yang perlu diperhatikan dari kutipan di atas adalah bahwa homoseksualitas Homer Barron dipersepsi sebagai ketidakberuntungan Emily. Warga sendiri tidak begitu memedulikan homoseksualitas Homer Barron kecuali bahwa hal itu menyedihkan bagi Emily. Paparan ini menarik karena “partisipasi” aktif warga dalam kehidupan Emily tidak disertai empati terhadap perasaan Emily. Emily seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Pembacaan yang empatik terhadap karakternya akan melihat bahwa kegilaan Emily
17
sesungguhnya merupakan produk dari ketidakpedulian warga atau orang-orang di sekitarnya terhadap apa yang menimpa Emily. Warga hanya tertarik untuk menjadi penonton episode tragis yang dibintangi Emily tanpa berniat menjadikan episode yang dimainkannya tidak berakhir tragis. Hubungannya dengan Homer Barron terus berlangsung dengan terbuka meski mendapat kecaman banyak orang. Sekali lagi tampak bahwa Emily memiliki kekerasan hati yang luar biasa, tetapi juga tampak bahwa warga kota menempatkannya sebagai objek semata dan bukan sebagai subjek dengan subjektivitas sendiri yang dapat saja berbeda dengan warga lain. Emily dituntut untuk menjadi “normal”, “biasa-biasa saja” yang patuh pada aturan dan norma di dalam masyarakat. Kenormalan serta ke-biasa-an itu yang layak dipertanyakan karena pada prinsipnya, Emily bukan orang biasa. Dengan demikian, subjektivitas yang dibangun Emily sangat mungkin berbeda dengan warga atau lebih spesifik perempuan-perempuan lain, termasuk kedua sepupu dan istri pendeta yang memrotes perilakunya. Setelah kedua sepupu Emily meninggalkan rumahnya, Homer Barron diketahui warga memasuki rumah Emily, dan sejak itu warga tidak pernah lagi melihat Homer Barron. Warga mengira Homer Barron meninggalkan Emily. Misteri ini baru jelas terungkap ketika jenazah Homer Barron ditemukan terbaring di kamar atas, pada bantal di sebelahnya terserak uban panjang. Narator menghentikan ceritanya di sini. Pembaca kemudian harus menyelesaikan cerita ini dengan mengingat gambaran yang beberapa kali ditekankan narator akan rambut Emily yang semakin kelabu. Dengan ditemukannya mayat Homer Barron, pembaca dan warga yang selalu ingin tahu, dapat menyatukan potongan-potongan informasi yang diketahuinya; bahwa Emily membunuh Homer Barron dengan menggunakan arsenik dan bahwa selama ini Emily tidur bersama mayat Homer Barron. Penemuan itu menutup subjektivitas Emily sebagai orang gila. 3. Simpulan
18
Subjektivitas perempuan dalam keenam cerita pendek yang diteliti dilakukan melalui pemaparan bentuk deskripsi fisik tokoh utama, perilaku serta pandangan tokoh tersebut dan tokoh lain terhadap diri tokoh utama. Secara keseluruhan tokoh-tokoh perempuan, atau tokoh yang ditandai sebagai perempuan, memersepsi tubuhnya sebagai bagian penting subjektivitasnya. Cerita pendek Hair Jewellery dinarasikan melalui sudut pandang orang pertama, “I”. Tokoh utama yang juga narator “I” menunjukkan bahwa penampilan adalah bagian penting dari subjektivitasnya sebagai perempuan dan pada saat yang sama penampilan juga penting karena subjektivitas adalah konstruk yang tidak berdiri sendiri. Subjektivitas perempuan dalam cerita ini dibangun saling berkaitan antara fungsi dan unsur domestik/feminin (pakaian, perkawinan) serta unsur-unsur publik (karir, kemampuan finansial). Melalui karakter Emily dalam A Rose for Emily, kami menginterpretasi bahwa subjektivitas perempuan memang bukan proyek perempuan itu sendiri melainkan suatu bentuk dialog dengan elemen-elemen lain, termasuk di antaranya hubungannya dengan kekasihnya, tubuh dan penampilannya, serta konstruk sosial budaya yang melingkupinya. Subjektivitas tokoh Emily yang paling menonjol tampaknya dibentuk melalui kebangsawanannya yang membangun rasa harga dirinya yang tinggi. Karakter itu kemudian menyebabkannya menjadi orang yang keras, dan dalam hal ini dapat dikatakan tidak feminin, jika feminin dimaknai sebagai lemah lembut, tunduk dan pasif. Kegilaannya itu sendiri dapat diinterpretasi sebagai konsekuensi logis dari cara hidupnya yang terpencil dan menyendiri atau juga merupakan konsekuensi dari sifat-sifat yang diturunkan secara genetis, seperti pendapat yang dicoba ditawarkan oleh narator bahwa cara Emily hidup mirip dengan ayahnya atau bahwa keanehan Emily mengingatkan warga akan salah satu bibinya yang gila.
19
Pembacaan empatik mungkin akan melihat subjektivitas Emily memang distingtif karena Emily ingin melepaskan diri dari konstruk sosial yang selama ini membelenggunya. Menjadi gila, dengan perkataan lain, merupakan bentuk penegasian atau bahkan merupakan bentuk perlawanan terhadap konstruk yang memenjarakan perempuan dalam ruang sempit; rumah [tangga]. Pembacaan akan kegilaan perempuan seperti ini merupakan salah satu pembacaan feminis seperti yang telah dilakukan oleh Sandra Gilbert dan Susan Gurbar dalam bukunya The Madwoman in the Attic : The Woman Writer and the Nineteenth=Century Imagination (1979). Dengan membandingkan gagasan mengenai subjektivitas perempuan sebagaimana terefleksi dalam cerita pendek yang ditulis oleh penulis perempuan dan lakilaki tersebut, kami berpendapat bahwa pada dasarnya tidak ada kecenderungan “inheren” dalam penggambaran perempuan, atau mereka yang dianggap perempuan, sebagai semata-mata stereotipe tertentu. Lebih jauh, kami berpendapat bahwa beberapa penulis laki-laki bahkan mempunyai kemampuan untuk menulis dengan menggunakan perspektif feminis. Daftar Pustaka Atwood, Margaret, “Hair Jewellery”, The Oxford Book of Modern Women’s Stories, Oxford, New York, Oxford University Press, 1994 Battersby, Christine (1998), The Phenomenal Woman – Feminist Metaphysics and the Patterns of Identity, Polity Press, Oxford. Beauvoir, Simone de (1997), H.M. Parshley, terj., ed., The Second Sex, Vintage Book Edition Braidotti, Rosi, “Nomadic Subjects : Embodiment and Sexual Difference in Contemporary Feminist Theory” dalam Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A Reader, Second Edition, Blackwell Publishers, 1996.
20
Butler, Judith, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, Routledge, 1990. Faulkner, William, “A Rose for Emily” in Sylvan Barnet, Morton Berman, William Burto eds., Literature for Composition, 2nd edition, Scott, Foresman and Company, Boston, London, 1988. Gilbert, Sandra dan Susan Gurbar, The Madwoman in the Attic : The Woman Writer and the Nineteenth=Century Imagination¸New haven and London, Yale University Press, 1979. Kristeva, Julia, “A Question of Subjectivity : An Interview’ Women’s Review” dalam dalam Mary Eagleton ed., Feminist Literary Theory- A Reader, Second Edition, Blackwell Publishers, 1996. Roberts, Edgar V., (1983) Writing Themes about Literature, Edisi ke-5, Prentice Hall inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Weedon, Chris (1997), Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Blackwell Publishers, Oxford, Massachusetts.
21