PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
REKONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN MASYARAKAT Studi tentang anggota Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Blora Jawa Tengah
TESIS Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.)
Oleh: SAEFUDIN AMSA 106 322 003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Tema agama dan pengalaman manusia menjadi hal yang menarik bagi saya. Dalam sejarahnya, agama -baik sebagai institusi atau pengalaman spiritual- banyak bersinggungan dengan berbagai dimensi dalam kehidupan manusia, antara lain politik, kekuasaan, ekonomi, seni dan sebagainya. Selama itu pula persinggungan tersebut menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri manusia. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat. Kehidupan masyarakat global masuk dalam kondisi-kondisi modern dan menjangkau ke seluruh belahan bumi. Globalisasi –suatu fenomena perubahan yang terjadi secara cepat dan merupakan ciri dari modernitas- mempengaruhi tatanan masyarakat serta diri manusia di dalamnya. Agama kemudian menjadi semacam tempat pelarian, terbukti dari maraknya gerakan atau kelompok keagamaan dengan berbagai varian, namun memiliki ciri dan agenda yang sama yakni memperbaiki diri dan masyarakat sebagai respon atas berbagai persoalan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi dan kehidupan modern. Itulah yang menjadi salah satu dasar dari pembuatan tesis ini yakni keberadaan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) sebagai organisasi Islam puritan dengan struktur organisasi yang kuat mampu berkembang pesat dan menjangkau masyarakat, terutama di pedesaan. Sebagai sebuah karya untuk mendapatkan gelar Magister, saya merasa bahwa tesis ini masih jauh dari target dan harapan. Banyak hal yang tidak maksimal karena
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai kendala selama proses penelitian atau di tengah proses penulisan. Meski demikian saya mengapresiasi tesis ini sebagai proses akademis yang akan terus diperbaiki di masa mendatang. Tesis ini juga merupakan hasil dari kerja keras dan dukungan berbagai pihak dan kepada mereka semua saya ingin mengucapkan terimakasih dan mempersembahkan karya ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada seluruh dosen dan karyawan Universitas Sanata Dharma khususnya program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB). Secara khusus ucapan terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada dosen sekaligus pembimbing tesis yakni Dr. St. Sunardi. Adalah suatu kebanggaan dan keuntungan tersendiri bagi penulis selama proses penulisan tesis ini karena mendapat bimbingan dari seorang intelektual terkemuka dengan reputasi dan keluasan ilmu di bidang humaniora. Terimakasih yang tulus juga untuk Dr. B Hari Juliawan SJ yang sempat memberi bimbingan di awal penulisan, juga kepada Dr. FX Baskara T Wardaya SJ, Dr. G Budi Subanar SJ, Dr. A Budi Susanto SJ, Dr. Haryatmoko SJ, Dr. Hari Susanto SJ, Prof. Dr. A Supratiknya Dr. Katrin Bandel, Dr. George J Aditjondro, dan seluruh dosen pengampu di IRB. Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk mbak Desi di sekretariat IRB yang terus mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tesis dan memberi dukungan sampai di menit terakhir sebelum ujian. Tesis ini adalah karya berharga yang bisa saya persembahkan untuk keluarga. Sembah bakti dan doa penulis kepada almarhum ayahanda KH AF Marzuqi yang
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
telah mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa ilmu pengetahuan adalah kenikmatan paling lezat di muka bumi ini. Terimakasih dan doa kebaikan untuk ibunda Hj. ibunda Siti Zaenab yang senantiasa tekun mendaraskan restunya atas pilihan-pilihan yang saya ambil dalam kehidupan ini. Semoga Allah Swt melimpahkan kebahagiaan dan ketentraman serta melindungi beliau dari segala mara bahaya. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku terkasih dan seluruh keponakan serta kerabat keluarga besar KH AF. Marzuqi untuk doa dan dukungannya. Lebih khusus lagi, tesis ini saya persembahkan untuk kekasih Ida Fitri Dianingrum untuk pertemanannya di hari-hari yang panjang selama ini. Juga untuk kesabaran dan permaklumannya ketika kuliah dan tesis ini mengorbankan banyak kesempatan dan waktu bersama. Terimakasih untuk bintang kecilku Freya Naury yang tumbuh besar saat penulis sedang menjalani hari-hari di IRB, juga untuk si kecil Kafaa Marzuqi yang hadir di tengah proses penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan IRB angkatan 2010; mas Windarto yang menjadi satu-satunya hadirin dalam ujian tesis saya, Zuhdi Sang yang diam-diam saya kagumi, kawan Irfan yang hajinya baru sekali, Alwi Atma untuk puisi-puisi dahsyatnya, Mas Benny untuk obrolan-obrolan yang tidak pernah selesai, Gintani dan Lisis yang sering menjadi teman saat terlambat kuliah, pak Mardison dengan khotbah subversifnya, bang Pongkot yang rajin, bang Armando yang mengingatkan saya untuk menggambar lagi, juga Nelly dan Nana serta seluruh teman-teman IRB dari berbagai angkatan lainnya.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ucapan terimakasih yang tulus juga saya sampaikan kepada seluruh warga dan perangkat desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Jawa Tengah yang menjadi lokasi penelitian ini. Secara khusus terimakasih kepada Pak Saji selaku Kamituwo dusun Bangkerep dan keluarga yang telah memberikan persinggahan yang nyaman dan ramah, serta kepada warga dusun Bangkerep yang dengan tangan dan hati terbuka menerima keberadaan penulis selama proses penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pengurus dan keluarga besar Majelis Tafsir Al Quran (MTA) di dusun Bangkerep maupun MTA Pusat atas kesediannya berbagi informasi dan pengalaman yang secara langsung terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya terimakasih kepada keluarga besar Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia yang selama beberapa tahun memberi banyak inspirasi dan energi luar biasa untuk menjaga keseimbangan antara berkarya dan belajar menganalisis persoalan kemanusiaan saat ini. Tesis ini juga saya persembahkan kepada kawan-kawan seperjuangan di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) seluruh Indonesia, semoga tetap menjadi militan sambil bekerja. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman dan keluarga besar SOS Children‟s Village Semarang, yang memberi dukungan di saat-saat akhir tesis ini. Semarang, 11 September 2014 Saefudin Amsa
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena gairah kebangkitan Islam yang dialami penduduk di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah yang bergabung ke dalam organisasi Islam Puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo, Jawa Tengah. Fokus tesis ini mencoba mendapatkan informasi mengenai faktor yang membuat seseorang yang semula meyakini kepercayaan dan melaksanakan praktekpraktek tradisi lokal berubah menjadi seseorang yang sangat religius dan taat dalam menjalankan ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain itu tesis ini juga mengeksplorasi sejauh mana proses perubahan orientasi beragama tersebut mempengaruhi identitas diri mereka dalam memaknai dunia yang ada di sekitar mereka.
Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam skala global dan berlangsung amat cepat menjadi alasan dibalik perubahan orientasi beragama warga di pedesaan Blora tersebut. Fenomena globalisasi sebagai gejala modernitas telah menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT This study aims at illustrating the rise of puritan religious movement amongst the villagers in Blora, Central Java. The research attempts to investigate the supporting factors of one‟s belief from the local-sincretic religious practice to a pure religious practice merely based on Quran dan Hadith guidance. Moreover, the research attempts to explore to what extent the transformation affects their self-identity in perceiving the surrounding society.
This thesis conclude that the social transformation and the globalization as the main factors which change the individual‟s and community‟s religious orientation and selfidentity. The researcher‟s argumentation which also being described in hypothesis that globalization often eliminates people‟s belief on the traditional values and shifts into the more secure and exact values to live in the global world. In addition, globalization gives an impact on the self-identity so that tough and firm religious practices are the preferred way to establish the individual‟s and community‟s identity.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI
i ii iii iv v ix x xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Modernitas dan Globalisasi 2. Kepercayaan, Resiko dan Keamanan Ontologis 3. De-tradisionalisasi 4. Refleksifitas E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian 2. Subyek dan Wilayah Penelitian 3. Jenis dan Sumber Data 4. Metode Pengumpulan Data 5. Metode Analisis Data
1 6 8 9 16 20 22 24 27 27 28 29 30 31
BAB II: MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM KONTEKS GLOBALISASI A. Pengantar B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan Internasional 1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global 2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia 3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA 1. Doktrin dan Ideologi Organisasi 2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi 3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota 4. Pola Interaksi dan Solidaritas Antar Angggota 5. Jihad Harta dan Jihad Diri D. Kesimpulan
xi
33 36 39 46 58 67 67 70 72 77 79 80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III: DINAMIKA BANGKEREP: ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN PURITANISME A. Pengantar 82 B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep 83 1. Kehidupan Sosial Ekonomi Bangkerep 86 2. Bangkerep dan Tradisi Masyarakat Petani 90 3. Perubahan Sosial di Bangkerep 107 C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep 110 1. Konflik 110 2. Satu Dusun Dua Masjid 116 3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik 119 4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora 122 BAB IV: REKONSTRUKSI IDENTITAS A. Pendahuluan B. Kondisi-kondisi Modernitas dan Globalisasi serta Pengaruhnya Terhadap Tatanan Masyarakat Di Bangkerep 1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru 2. Ketika Tradisi Dipertanyakan 3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA 4. Antara Kamituwo dan Ustadz 5. Kelahiran Kembali C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis 1. Doktrin Kemurnian 2. Dukungan Ekonomi dan Jaringan Informasi 3. Idiom dan Formasi Sosial D. Rekonstruksi Identitas 1. Identitas Diri yang Baru 2. Dari Diri ke Masyarakat E. Konsekuensi 1. Kedisiplinan 2. Keuangan 3. Dogmatisme baru
132 134 134 137 141 143 148 155 159 161 166 170 170 174 177 177 181 184
BAB V: KESIMPULAN
177
DAFTAR PUSTAKA
184
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena meningkatnya gairah keagamaan di kalangan masyarakat di pedesaan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam
secara murni (puritan). Fenomena tersebut bisa dilihat dari pesatnya
perkembangan organisasi dakwah Islam yang memiliki misi utama mengajak umat Islam untuk meninggalkan
praktek-praktek keagamaan yang menyimpang atau
dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam dengan
mengamalkan ajaran Islam sesuai
dengan dua sumber pedoman resmi yaitu Al Quran dan Hadits sekaligus membangun masyarakat yang berlandaskan kedua hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Fokus penelitian ini ingin mendalami faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi beragama masyarakat Islam di pedesaan yang sebelumnya masih melestarikan praktek-praktek agama yang bercampur dengan tradisi lokal kemudian mengalami konversi dalam waktu yang relatif singkat menjadi umat yang teguh mempelajari dan mengamalkan Islam secara ketat sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisa pemaknaan identitas mereka sebagai seorang muslim setelah bergabung dalam organisasi Islam yang bercorak puritan maupun dalam konteks identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat lokal dan global.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selama ini pemahaman terhadap perilaku keagamaan masyarakat Islam di Indonesia mengacu pada seberapa jauh hukum dan prinsip keagamaan menjadi landasan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta ketaatan mereka dalam menjalankan kegiatan ritual agama. Pendekatan tersebut menghasilkan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan budaya sinkretis, yakni perpaduan antara Islam dengan budaya lokal yang datang dari masa pra-Islam seperti selametan, sedekah bumi, ruwatan, upacara memperingati hari kelahiran dan kematian dan berbagai praktek lainnya. Pandangan ini terutama diwakili oleh Clifford Geertz (1981) dengan konsep trikotomi Abangan, Santri, dan Priyayi yang menjelaskan bahwa Abangan adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yakni mereka yang menganut Islam hanya kulit luarnya saja tetapi dalam keyakinan dan tindakannya dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan Animisme. Abangan mewakili karakter masyarakat Jawa yang beragama Islam tetapi tidak terlalu taat dalam mempraktekkan ajaran Islam dan sebaliknya masih teguh memelihara dan menjalankan tradisi-tradisi lokal yang diwarnai oleh pra-Islam seperti Hindu, Budha dan animisme, dalam hal ini adalah para petani di pedesaan. Sementara Santri adalah mereka yang berkomitmen menjalankan agama Islam dan diwakili oleh kalangan pedagang, dan Priyayi merujuk pada kelompok birokrat yang secara perilaku dekat dengan budaya Abangan. Oleh Geertz, Islam dan tradisi lokal cenderung diposisikan sebagai entitas yang berlawanan dan tidak mungkin
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bersenyawa dan pada akhirnya akan melahirkan pemahaman tentang Islam yang mengalami penyimpangan dari keasliannya.1 Meski konsep trikotomi Geertz tidak relevan dengan perubahan situasi sosial politik maupun pengaruh modernisasi yang mencairkan pembedaan-pembedaan di masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa masih kurang dalam pemahaman maupun mempraktekkan ajaran Islam dan pada saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan lokal. Pada saat yang sama reaksi muncul dari gerakan keagamaan yang berupaya melakukan pemurnian Islam (puritanisme) dan menganggap pemahaman dan praktek sinkretisme sebagai unsur penyimpangan (bid‟ah), syirik dan takhayul. Meningkatnya faham keagamaan yang puritan di kalangan masyarakat pedesaan di Jawa belakangan ini merupakan hal menarik mengingat berbagai kajian utama menyatakan bahwa gerakan pemurnian agama dari berbagai unsur atau elemen lokal hanya berkembang di daerah perkotaan atau urban. Ernest Gellner mengatakan bahwa kota menyediakan basis yang tepat bagi gerakan keagamaan puritan karena kekakuan (skriptualisme) dalam faham keagamaan membutuhkan kemampuan melek
1
Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mark R Woodward (1989) yang mengemukakan bahwa antara Islam dan budaya lokal terjadi proses akulturasi yakni hubungan yang saling melengkapi atau saling memberi dan menerima. 1 Sementara Niels Mulder (1997) menyatakan bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yakni bahwa agama asing yang datang dan menyerap tradisi lokal yang sudah ada, termasuk Islam di Indonesia khususnya Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa Islam Jawa hakekatnya adalah Islam yang menyerap tradisi lokal. Andrew Beatty (1999) dalam penelitiannya di Banyuwangi menjelaskan adanya titik temu antar masyarakat dengan latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda dalam satu tradisi berupa slametan.1
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
huruf.2 Purifikasi merupakan proses rasionalisasi dalam kehidupan para pelakunya, dan terutama terkait dengan agama dan tradisi (Peacock, 1978); gerakan pemurnian agama akan mudah beradaptasi dengan masyarakat urban yang menganut pola hubungan transaksional, birokratis dan rasional (Federspiel, 2001); kota menyediakan basis yang kuat bagi organisasi keagamaan puritan karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang tinggi (Tamney, 1980). Secara umum, fenomena meningkatnya gairah keagamaan puritan di pedesaan tersebut bisa dianalisa melalui tiga kerangka. Pertama, religiusitas yang meningkat merupakan kelanjutan dari fenomena kebangkitan Islam di Indonesia yang dimulai pada tahun 1970-an dan kembali menemukan momentum pasca tumbangnya pemerintah Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan atau organisasi Islam. Kedua, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu yang relatif cepat (globalisasi) berdampak pada tradisi dan identitas diri individu, termasuk mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Individu yang berada dalam pusaran globalisasi mengalami kegamangan, kecemasan dan ketidakamanan yang membuat mereka mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut, yang dalam hal ini adalah prinsip-prinsip keagamaan yang ketat dan murni yang ditawarkan oleh organisasi Islam puritan. Ketiga, strategi yang digunakan organisasi Islam puritan dalam menjalankan dakwahnya mampu menjawab kebutuhan utama masyarakat.
2
Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge: 1981, Cambridge University Press, hal 147
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kecenderungan meningkatnya faham
keagamaan puritan di kalangan
masyarakat pedesaan itu juga yang dialami masyarakat di Blora, Jawa Tengah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di pedesaan Blora yang bergabung dalam Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi dakwah yang berpusat di Surakarta. Fenomena ini menjadi menarik mengingat masyarakat Blora selama ini dikenal memiliki karakter abangan sinkretis, yang ditandai dengan masih banyaknya berbagai praktek-praktek seperti sedekah bumi, kesenian Barongan, selamatan desa atau upacara-upacara siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian). Sementara Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang bertujuan mengajak masyarakat untuk menuju pada kemurnian agama Islam dengan mempelajari Al Quran dan menggunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kesehariannya, anggota organisasi MTA menunjukkan pemahaman dan praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual yang menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati. Perubahan orientasi keagamaan tersebut tentu saja mendapat reaksi dari warga lainnya yang tidak bergabung dengan MTA atau warga yang masih menjalankan berbagai ritual yang bersumber dari tradisi para leluhur mereka. Pada rentang waktu tahun 2000-2003, terjadi konflik horizontal antara warga yang bergabung dengan MTA dan warga non-MTA di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena warga dusun tidak senang
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan sikap warga anggota MTA yang menolak mengikuti berbagai upacara sedekah bumi sehabis panen dengan alasan tidak sesuai dengan akidah juga syariat Islam.3 Selain penolakan terhadap penyimpangan dalam ibadah, warga MTA juga menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi mereka, Islam adalah agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan hanya dengan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang muslim sejati.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi beragama masyarakat di pedesaan di Blora dari masyarakat
3
Konflik di dusun Bangkerep ini mendapat banyak perhatian dari berbagai media massa di tanah air. Selain itu, kasus yang sama juga terjadi di berbagai wilayah lainnya di Jawa. Di Magetan, konflik terjadi ketika sebagian besar warga desa Ringinagung membubarkan pengajian MTA yang digelar di rumah salah seorang warga setempat. Seorang tokoh lokal, Wasis, mengatakan bahwa warga resah sejak adanya pengajian MTA dan tidak bisa menerima ajaran yang yang melarang acara tahlilan, selametan orang meninggal dan ritual pemakaman lainnya yang sudah menjadi tradisi (Jawa Pos Radar Madiun, 24 Maret 2008). Konflik antara warga MTA dan non-MTA juga terjadi di Purworejo yang memicu polemic antara Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj yang menulis artikel yang berjudul Menyikapi Kegarangan Puritanisme,yang berisi keprihatinan atau “protes” atas tindakan beberapa orang anggota organisasi MTA yang dianggap melakukan provokasi di sebuah desa di Purworejo, Jawa Tengah dengan menghalang-halangi warga setempat yang hendak pergi melakukan acara tahlilan.
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Abangan yakni masyarakat pedesaan yang kurang dalam pemahaman Islam serta masih kental dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan dalam pengamalan dan praktek keagamaan. Tujuan dari penelitian tersebut akan dicapai melalui rumusan masalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana dinamika sosial politik ekonomi berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya dan keagamaan masyarakat dusun Bangkerep yang berkarakter tradisional dan masih mempraktekkan praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal ? 2. Apa saja faktor-faktor yang berkaitan dengan modernitas dan globalisasi yang membuat sebagian warga dusun Bangkerep bergabung dengan organisasi MTA dan dalam praktek kesehariannya meninggalkan praktek keagamaan dan kebiasaan lokal yang tidak bersumber dari Al Quran dan Hadits yang sebelumnya mereka lakukan? 3. Bagaimana warga dusun Bangkerep yang bergabung dalam organisasi MTA memaknai perubahan orientasi beragama mereka serta apa konsekuensi-konsekensi yang timbul –baik sebagai individu maupun sosialdalam konteks keyakinan dan praktek beragama mereka yang mereka anggap murni (sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits)?
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian: 1. Mengetahui sejauh mana fenomena globalisasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya berpengaruh terhadap latar belakang perubahan orientasi keagamaan
masyarakat
Dusun
Bangkerep
dari
masyarakat
yang
sebelumnya masih teguh menjaga tradisi lokal Abangan ke Islam puritan 2. Mengetahui makna perubahan dan konsekuensi individu maupun sosial dari perubahan orientasi keagamaan masyarakat dusun Bangkerep dalam konteks identitas baru mereka sebagai umat Islam yang mengamalkan keyakinan mereka secara murni yang bersumber dari sumber utama Islam, yaitu Al Quran dan Hadits. Manfaat Penelitian : 1. Memberi gambaran dan pemahaman tentang pola perubahan orientasi keagamaan dalam suatu komunitas (dalam relasi mereka dengan dunia. 2. Memberi gambaran sejauh mana globalisasi berdampak pada upaya suatu komunitas dalam memelihara, mempertahankan atau bahkan meninggalkan tradisi yang ada di komunitas mereka. 3. Memberi sumbangan pada kajian akademik yang berhubungan dengan agama, masyarakat dan perubahan-perubahan di tingkatan global.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori Wacana kembali ke Al Quran dan Hadits secara murni serta penerapan nilainilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tema pokok dalam gerakan Islam di Indonesia maupun global. Dalam berbagai literatur, fenomena tersebut ditandai dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung tema Islam dengan bermacam sebutan seperti puritanisme (Robert D Lee, 1997; Khaled Abou El Fadl, 2005), revivalisme (John Esposito, 1992; RH Dekmejian, 1988), fundamentalisme (Oliver Roy, 1994), Islam politik (Graham R Fuller, 2003) dan sebagainya. Ide pemurnian Islam yang mendasari fenomena kebangkitan Islam dalam skala global merujuk pada munculnya gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi yang terinspirasi dari pemikiran Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M). Gerakan ini sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah (menyimpang) serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami. Gerakan ini kemudian mendasari munculnya gerakan reformisme oleh Jamaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935) yang mendukung pemikiran modernisme dalam Islam. Pada periode berikutnya, pada rentang waktu 1970 sampai 1980, terjadi fenomena kebangkitan Islam yang berorientasi politik yang dipelopori oleh Hasan Al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1906-1948) ) atau Abu A‟la Al Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan Jama'at-i Islami di Pakistan. Gerakan ini
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutama menginginkan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di bidang politik. Melalui beberapa tahapan dan diwakili oleh munculnya berbagai gerakan atau kelompok, fenomena kebangkitan Islam global memiliki benang merah yaitu ketika dihadapkan pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat global. Menurut Ira M Lapidus, gerakan Islam kontemporer merupakan respon sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan
negara atau perkembangan
ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu tetapi sebaliknya usaha untuk mengatasi persoalan sosial kontemporer dengan cara peneguhan kembali pada nilainilai prinsip dalam Islam (Lapidus: 1997). Sementara Robert D. Lee melihat bahwa gerakan purifikasi muncul bukan semata karena aspek doktrinal Islam tetapi dipengaruhi oleh faktor sosio-politik umat Islam di mana kebutuhan penemuan kembali Islam di negara-negara ketiga merupakan jawaban atas kegagalan developmentalisme, liberalisme dan modernism, di mana kalangan yang menolak ketiga isme tersebut berusaha untuk melawan dengan berpegang pada konsep keotentikan atau kemurnian (Lee, 1997:2-3). Dalam konteks Indonesia, puritanisme terkait erat dengan tarik-menarik antara upaya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan pihak yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sebagai wilayah dengan keragaman dan kekayaan budaya, maka Islam dianut oleh masyarakat Indonesia dengan beragam ekspresi,
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutama pemahaman dan praktek Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal. Gerakan puritanisme muncul sebagai reaksi terhadap situasi tersebut, yang dimulai ketika sejumlah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan memiliki akses terhadap ajaran Islam yang dianggap asli. Kaum puritan ini berupaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sumber dasar utama Islam yakni Al Quran dan Hadits dan meninggalkan berbagai praktek yang tidak Islami seperti bid‟ah (inovasi), khurafat (mistisisme) dan takhayul. Dalam perkembangannya gerakan puritanisme tidak hanya upaya pemurnian Islam dengan dari budaya lokal, tetapi berkembang ke arah proses revitalisasi Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik praktis. Kajian tentang gerakan puritanisme yang cukup komprehensif di Indonesia dijelaskan oleh Yon Machmudi yang menjelaskan gerakan puritanisme di Indonesia muncul dalam beragam model, yakni revivalisme, modernisme dan konservatisme. Gerakan revivalisme berupaya melakukan purifikasi tanpa kompromi dalam menjalankan praktek Islam yang sesuai dengan sumber hukum Islam Al Quran dan Hadits. Gerakan ini diwakili oleh Gerakan Padri di Sumatera Barat yang dengan keras menentang adat yang bertentangan dengan Islam termasuk dengan menghukum siapapun yang menolak menjalankan aturan atau syariat Islam. Pada masa berikutnya yakni tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi Persatuan Islam (Persis) yang mendeklarasikan sebagai agen pemurnian Islam melalui dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi kader, Persis berupaya membangun komunitas Islam yang
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berkomitmen menjalankan Islam secara murni tanpa terkontaminasi elemen di luar Islam. Sementara kelompok modernis melakukan upaya purifikasi dengan mengajak umat Islam meninggalkan praktek-praktek non-Islami yang tidak rasional dan menggunakan Al Quran dan Hadits sebagai dasar untuk menjalani kehidupan di dunia modern. Di Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta. Dengan kata lain penerimaan terhadap kehidupan modern mensyaratkan ijtihad, yakni penggunaan akal dalam melakukan tafsir terhadap kedua sumber hukum tersebut. Dalam prakteknya, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan dan layanan sosial. Kelompok konservatif adalah mereka yang berasal dari gerakan revivalis yang bertujuan mempraktekkan Islam secara ketat sesuai dengan model kehidupan Nabi Muhammad dan sahabatnya. Mereka juga disebut kelompok Salafi. Mereka menciptakan kantong-kantong komunitas (enklaf) yang ekslusif untuk hidup sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi dan sahabatnya, termasuk dalam hal berpakaian, berkeluarga, makan dan minum. Dalam perkembangannya kemudian muncul kelompok Jamaah Tarbiyah yang berupaya mempromosikan ajaran Islam dalam berbagai aspek dan mewujudkannya melalui politik praktis. Jamaah Tarbiyah ini merupakan embrio dari Partai Keadilan (PK) yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).4 Fokus tesis ini adalah perubahan sosial atau globalisasi sebagai faktor yang mengubah orientasi beragama dan identitas suatu komunitas atau individu. Hipotesis 4
Yon Machmudi, Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party., edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press: 2008, hal 53-63
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang penulis kemukakan adalah bahwa globalisasi menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah kehidupan global. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut. Ada beberapa teori yang membahas globalisasi dan identitas, makna dan dampaknya terhadap masyarakat. Roland Robertson (1992) mengatakan globalisasi adalah "the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole".5 Globalisasi membuat dunia menjadi tempat yang tunggal dan menghilangkan otonomi aktor dan segala sesuatu yang berada dalam pusaran globalisasi dibatasi untuk memposisikan diri dan mendefinisikan identitasnya.6 Oliver Ray (2007) mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia yang lebih kompleks dan cair di mana hidup di era globalisasi menciptakan suatu identitas campuran. John Tomlinson (1999) menjelaskan bagaimana : “… the globalization of mundane experience may make a stable sense of “local” cultural identity (including national identity) increasingly difficult to maintain, as our daily lives become more and more interwoven with, and penetrated by, influences and experiences that have their origins far away.
7
Globalisasi juga mengubah koneksi antara identitas dengan tempat
geografis yang sebelumnya saling berkaitan dan mengubah hal tersebut lewat 5
Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: 1992, Sage, hal. 8 Roberston, ibid, 29 7 John Tomlison, Localization and Culture, Cambridge: 1999, Polity Press, hal. 113 6
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
penyebaran kebudayaan yang berbeda-beda, mobilisasi orang dari satu tempat ke tempat lain, serta mekanisme pasar yang memudarkan kebudayaan lokal dan kemudian mengubah identitas individu. Namun alih-alih menghancurkan, globalisasi adalah kekuatan penting dalam menumbuhkan identitas kultural.8 Manuel Castells (1997) mengatakan bahwa kehidupan saat ini dibentuk oleh kecenderungan konflik antara globalisasi dan identitas.9 Globalisasi menciptakan apa yang disebut „the widespread surge of powerful expressions of collective identity that challenge globalization.”10 Identitas menurut Castells adalah sumber makna dan pengalaman.11 Untuk menjelaskan faktor penyebab meningkatnya gairah keagamaan masyarakat bercorak Abangan di pedesaan menjadi Islam puritan dan pemaknaan identitas mereka, penelitian ini didasarkan pada pemikiran Anthony Giddens tentang masyarakat post-tradisional sebagai konsekuensi dari modernitas dan globalisasi yang mempengaruhi masyarakat dan tradisi yang mereka miliki. Giddens (1991) mendefinisikan globalisasi sebagai „the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa‟. Konsep Giddens mengenai time-space distanciation menjelaskan bahwa interaksi dan relasi sosial di dunia pada hari ini tidak tergantung pada kehadiran fisik dalam lokasi tertentu, sejak teknologi memfasilitasi dan membuat relasi serta interaksi di dunia tidak lagi tergantung pada 8
John Tomlison, Globalization and cultural identity, Held D dan Mc Grew, A, “The Global Transformations Reader”, Oxford: 2003, Polity Press, hal 269-277. 9 Manuel Castells, The Power of Identity Malden. MA: 1997, Blackwell, hal. 1 10 Castells, ibid, hal 2 11 Castells, ibid, hal 6
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehadiran fisik dalam lokasi tertentu dan membuat hubungan yang semakin erat antara “…orang lain yang “tidak hadir”, yang secara lokasi berjauhan pada situasi apappun”12 Dalam Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age (1991), Giddens menjelaskan bahwa modernitas adalah suatu tatanan posttradisional di mana pertanyaan “bagaimana seharusnya saya hidup” merupakan pertanyaan yang harus dijawab dan diputuskan dalam kehidupan sehari-hari tentang bagaimana berperilaku, pakaian apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan dan pertanyaan-pertanyaan lainnya serta bagaimana memaknainya dalam proses perkembangan identitas diri yang terus berlangsung.13 Masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional; “Apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya bertindak? Harus menjadi apa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting bagi setiap orang yang hidup dalam situasi modern.14 Dengan kata lain, masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas. Situasi ini merujuk pada ketidakpastian yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta intervensi manusia terhadap kehidupan sosial dan alam –terutama melalui kemajuan teknologi
12
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Cambridge: 1990, Polity Press, hal. 18 Anthony Giddens, Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age. Cambridge: 1991, Polity Press, hal. 14 14 Giddens, ibid, 70 13
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
komunikasi- sehingga menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terhubung satu sama lain (globalizing cosmopolitan society) dan pada akhirnya menyebabkan tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan.15 Lalu ketika globalisasi menghilangkan nilai-nilai tradisional, maka identitas ”..has to be created and recreated on a more active basis than before”.16 Pada
tahap
inilah
muncul
yang
disebut
oleh
Giddens
sebagai
fundamentalisme, yakni ketika individu mencari atau menciptakan ulang tradisi lain sekaligus meneguhkan identitas diri mereka di tengah pusaran globalisasi. Kelompok fundamentalis menurut Giddens berkeinginan untuk kembali kepada teks-teks suci dan membacanya secara literal dan berupaya menerapkan doktrin tersebut dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.17 Ada beberapa kata kunci dari pemikiran Giddens mengenai masyarakat posttradisional yang akan digunakan dalam tesis ini, antara lain; modernitas dan globalisasi, kepercayaan, resiko dan keamanan ontologis, detradisionalisasi dan refleksifitas. 1. Modernitas dan Globalisasi Modernitas menurut Giddens adalah suatu kondisi masyarakat pasca tradisional yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu pemisahan ruang dan waktu; 15
Chantal Mouffe, On The Political, Thinking in Action. Routledge, 2005, hal. 242. Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm. Tulisan ini merupakan salah satu dari beberapa kuliah Anthony Giddens yang kemudian dibukukan dengan judul Runaway world: How Globalization Reshaping Our Lives. Di Indonesia diterbitkan dengan judul Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 17 Giddens, ibid, paragraf 31 16
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
keterlepasan dari institusi sosial yang ditandai dengan adanya pertukaran simbolik (uang) dan sistem ahli, serta refleksifitas institusi.18 Dalam masyarakat pramodern, waktu selalu berkaitan dengan ruang dan biasanya tidak ada ketepatan dalam pengukuran waktu, sementara dalam masyarakat modern ukuran waktu dibakukan (standardized) dan hubungan antara ruang dan waktu menjadi terputus.19 Dalam masyarakat pramodern, ruang ditentukan oleh kehadiran secara fisik, sementara modernitas membuat ruang dilepaskan dari tempat sehingga memungkinkan orang masih bisa berhubungan meski berjauhan secara fisik.20 Giddens menyebutkan istilah phantasmagoric, yaitu “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu”.21 Sementara keterlepasan (disembedding) menurut Giddens berarti “terangkat”nya hubungan sosial dari konteks lokal dan perubahannya yang melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas.22 Keterlepasan ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu tanda simbolik dan sistem keahlian.23 Contoh tanda simbolik yang paling terkenal adalah uang yang memungkinkan setiap orang berhubungan dalam konteks ekonomi meski berjauhan. Sementara 18
Giddens, Modernity and Identity, 20 Ritzer, G & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta: 2004, Kencana, hal. 555 20 Ritzer, Goodman, ibid, 555 21 Ritzer, 555; lihat juga Giddens, Consequences of Modernity, 19 22 Giddens, Consequences of Modernity, 21. 23 Ibid, 22 19
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sistem keahlian bisa dilihat dari beragamnya profesi seperti pengacara, dokter, insinyur yang menciptakan mesin dan seterusnya. Refleksifitas sebagai ciri modernitas bermakna “praktek sosial yang terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu”.24 Dengan kata lain, dunia modern memiliki kecenderungan untuk memahami seluruh aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan orang lain yang mempengaruhi sudut pandang dan pemahaman terhadap dunia itu sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka untuk direfleksikan dan dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam tahap selanjutnya, modernitas kemudian menyebar luas.25 Proses penyebarluasan modernitas itu disebut globalisasi, yaitu intensifikasi atau penguatan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menyambungkan lokalitas-lokalitas melalui suatu cara di mana momen-momen yang terjadi di wilayah yang berjauhan saling mempengaruhi satu sama lain. 26 Globalisasi adalah suatu proses yang mempengaruhi atau secara dialektis berhubungan dengan aspek kehidupan sehari-hari dari kehidupan manusia, yang disebut
24
Ibid, 38 Ibid, 63 26 Ibid, 64 25
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Giddens sebagai keintiman, yang mempunyai peran penting dalam relasirelasi personal yang dipengaruhi oleh situasi-situasi global.27 Selain ekonomi, globalisasi terjadi pada seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu politik, teknologi dan budaya yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi yang dimulai sejak akhir abad 1960.28 Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya mempermudah hubungan masyarakat, tetapi juga mengubah keseluruhan kehidupan masyarakat global sampai pada lingkupnya yang paling kecil, yaitu individu. Menurut Giddens, globalisasi bukanlah fenomena “diluar sana”, jauh dan
terpencil
dari
individu,
melainkan
fenomena
“di
sini”
yang
mempengaruhi kedekatan dan aspek personal dalam kehidupan manusia.29 Sebagai contoh, globalisasi mempengaruhi tatanan keluarga tradisional yang bertransformasi, seperti misalnya perubahan peran perempuan dalam keluarga menjadi lebih setara sebagai suatu fenomena yang sangat luar biasa dan revolusioner dalam sejarah masyarakat.30 Dalam aspek budaya, globalisasi telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan sirkulasi barang-barang dan konsumsi di seluruh dunia. Fenomena tersebut menurut Giddens bisa dilihat
27
Anthony Giddens, Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash, ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity, 1994, hal. 95 28 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm. 29 Ibid, paragraph 17 30 Ibid, paragraph 17
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dari adanya kesamaan minat orang-orang dalam bidang musik, makanan, fashion, olahraga dan sebagainya.31
2. Kepercayaan (trust), Resiko (risk) dan Keamanan Ontologis (ontological security). Kepercayaan merupakan hal penting bagi kehidupan masyarakat modern. Giddens mendefinisikan kepercayaan sebagai “...kepercayaan terhadap keandalan (realiability) seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis)”.32 Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui adanya pemisahan ruang dan waktu serta sistem abstrak (pertukaran simbolik dan keahlian) sebagai ciri modernitas yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh adalah penggunaan uang sebagai alat tukar yang membutuhkan kepercayaan dari orang-orang yang menggunakannya. Pada sisi lain, kepercayaan masyarakat modern juga dibayang-bayangi oleh resiko. Globalisasi sebagai perluasan modernitas memunculkan kesadaran terhadap resiko. Menurut Giddens, modernitas adalah kultur yang beresiko, di mana modernitas pada satu sisi mengurangi resiko pada bidang 31 32
Anthony Giddens, Sociology, Fifth Edition. Cambridge: 2005, Polity Press, hal. 63 dan 130 Giddens, The Consequences of Modernity, hal 34
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan gaya hidup tertentu tetapi pada saat yang sama memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar tidak pernah dikenal pada era sebelumnya.33 Resiko menurut Giddens pada bahaya yang secara aktif diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi, hanya ada dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari masa lalu.34 Konsep resiko menurut Giddens merupakan pengganti dari berbagai konsep tentang nasib, keberuntungan atau takdir pada masyarakat tradisional. Ada dua jenis resiko menurut Giddens, yaitu resiko eksternal yang berasal dari alam, sementara resiko yang diciptakan mengacu pada dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan campur tangan manusia dalam kehidupan.35 Kepercayaan yang dibangun masyarakat modern dibutuhkan untuk meminimalisir resiko yang mungkin timbul dan selanjutnya menciptakan apa yang disebut Giddens sebagai Keamanan Ontologis (Ontological Security). Menurut Giddens, keamanan ontologis adalah suatu „keyakinan yang dimiliki manusia terhadap kontinuitas identitas diri dan stabilnya lingkungan material
33
Giddens, Modernity and Self-Identity, 3-4 Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm 35 Ibid, paragraph 14 34
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan sosial yang melingkupi tindakan manusia.36 Menurut Giddens, pencapaian terhadap kepercayaan dibutuhkan seseorang untuk memelihara kesejahteraan psikologis dan menghindari kecemasan eksistensial.37
3. Detradisionalisasi. Dunia saat ini semakin tanpa batas sebagai akibat dari kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat mendapatkan banyak informasi. Akibatnya, tradisi yang semula bagi masyarakat menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan menjadi tersisih. Giddens menyebutnya sebagai proses detradisionalisasi. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan berkembang dalam konteks yang berbeda.38 Tegasnya, tradisi bukan lagi satusatunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddensstatus baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.39 Tradisi sendiri menurut Giddens berkaitan dengan ingatan –mengutip Maurice Halbwachs ingatan kolektif. Tradisi melibatkan ritual dan berkaitan dengan gagasan formulaik tentang kebenaran, memiliki para penjaga dan
36
Giddens Consequence hal 92 Giddens, Modernity and Self Identity, hal 38-39 38 Ibid, hal 100 39 I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/ 37
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional.
40
Sumbangan
yang khas dari Giddens tentang tradisi adalah berkaitan dengan ruang dan waktu. Bagi Giddens, tradisi adalah cara mengontrol waktu melalui tindakan, atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Dengan kata lain, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa lalu, kini dan masa depan dalam konteks masyarakat tradisional. Sebaliknya, globalisasi adalah tindakan
mengendalikan
ruang
dengan
cara
mengendalikan
waktu.
Globalisasi dengan demikian meniadakan jarak, atau menurut Giddens adalah suatu “tindakan di ruang yang berjauhan”.41 Tradisi menurut Giddens juga media identitas.42 Identitas disini terkait dengan pemaknaan, baik secara personal atau kolektif. Identitas adalah suatu proses menciptakan keterhubungan antara masa lalu dengan masa depan yang akan datang. Dalam semua masyarakat, memelihara identitas personal dalam kaitannya dengan identitas sosial merupakan kebutuhan utama demi menjaga keamanan. Ancaman kepada integritas tradisi merupakan ancaman kepada integritas personal tersebut.43
40
Anthony Giddens, Living in a Post-Traditional Society, 63 Ibid, 96 42 Ibid, 80 43 Ibid., 41
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4. Refleksifitas (reflexifity). Refleksitas berarti proses diri individu yang melakukan monitoring dan refleksi atau permenungan terus menerus terhadap berbagai informasi mengenai
berbagai
kemungkinan-kemungkinan
dalam
kehidupannya.
Menurut Giddens, refleksifitas dalam kehidupan sosial modern, “consists in the fact that social practices are constantly examined and reformed in the light of incoming information about those very practices, thus constitutively altering their character‟ (Anthony Giddens, 1990: 38). Menurut Giddens, refleksifitas merupakan karakteristik mendasar dari semua aktifitas manusia. Giddens menyebutkan istilah Tindakan Monitoring Refleksif (Reflexive Monotoring Action) dalam arti semua manusia selalu bersentuhan atau berurusan dengan dasar dari setiap tindakannya sebagai suatu elemen integral dari tindakan tersebut.44. Monitoring refleksif merujuk pada kemampuan agen untuk memonitoring tindakan sekaligus konteks dan latar belakang dari tindakannya tersebut. Monitoring sebagai karakter esensial dari agen berarti merasionalkan atau mengevaluasi keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan. Rasionalisasi dalam hal ini terkait dengan pengetahuan, merujuk pada kompetensi atau kemampuan agen dalam mencari alasan dari setiap tindakannya.
44
Giddens, The Consequences of Modernity, hal. 36
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Proses
permenungan
(reflexivity)
ini
berpengaruh
terhadap
pembentukan identitas. Proses konstruksi identitas diri menurut Giddens merupakan suatu proyek yang mensyaratkan bahwa identitas senantiasa dibentuk dan berubah. Identitas diri bukanlah hasil dari sistem tindakan individu, melainkan sesuatu yang harus terus menerus diciptakan dan dipelihara dalam tindakan permenungan individu. (Giddens, 1991:52) Identitas diri menurut Giddens juga bukanlah sifat atau karakter, melainkan pemahaman permenungan yang dimiliki individu mengenai biografinya sendiri (Giddens 1991: 53). Identitas seseorang juga tidak bisa ditemukan dari perilaku atau reaksi terhadap keberadaan liyan, melainkan kemampuan untuk to keep a particular narrative going. (Giddens 1991: 54). Dengan kata lain Giddens menekankan pada tantangan yang dihadapi individu dalam hal banyaknya pilihan yang dihadapi yang kemudian berpengaruh terhadap identitas diri melalui pembentukan narasi tentang dirinya sendiri. Narasi mengenai identitas ini terutama berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan harus menjadi siapa. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut individu berusaha mengkonstruksi cerita yang saling berkesinambungan di mana „diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu untuk menuju masa depan‟(Giddens, 1991:75).
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di sisi lain, refleksifitas menurut Giddens juga cenderung pada perasaan lebih ke pertimbangan operasional, bagaimana cara untuk ini dan itu? Proses ini sangat terkait dengan detradisionalisasi yang dijelaskan sebelumnya. Ketika tujuan dan makna hidup tidak lagi didapat dari kode tradisional, maka individu berpaling pada hal yang lebih pasti. Pada tahap kekosongan ini individu mengkonstruksikan dirinya melalui pilihan-pilihan tujuan kehidupan yang diciptakan kehidupan modern. Dengan kata lain dalam kehidupan tradisional berbagai kehidupan seperti pekerjaan menikah pendidikan anak, hiburan dan lainnya diatur secara rutin tetapi penuh makna melalui kode moral tradisional, tetapi dalam masyarakat yang mengalami detradisionalisasi semua mekanisme pengaturan sosial terhadap individu menjadi lemah, dan orang dipaksa menghadapi situasi yang memaksa mereka membuat pilihan, untuk memutuskan karir, gaya hidup, cara mendidik anak dan sebagainya. Lalu “…Ketika tradisi tergeser, dan pilihan gaya hidup merajalela, identitas-diri diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuknya yang lebih aktif dari sebelumnya.”45
Penelitian ini akan dikembangkan dalam kerangka teori tersebut di atas, di mana perubahan orientasi keagamaan masyarakat di dusun Bangkerep yang memiliki kencenderungan budaya abangan atau muslim nominal beralih menjadi Muslim 45
Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
puritan dipahami dalam kerangka sebagai berikut; (1) bahwa perubahan sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam konteks global dan nasional mempengaruhi tatanan dan ikatan tradisional di Bangkerep yang selama ini menjadi acuan dalam kehidupan individu di dalamnya. Proses perubahan sosial tersebut terjadi melalui instrumeninstrumen yang menjadi ciri dari modernitas dan globalisasi antara lain kebijakan pembangunan dari negara serta didukung oleh perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. (2) Perubahan tersebut membuat sekelompok individu di Bangkerep mengalami kegamangan dan mempertanyakan berbagai tatanan tradisional yang selama ini mereka yakini untuk selanjutnya menjadikan tradisi lain –dalam hal ini pemahaman dan praktek keagamaan yang ketat- sebagai upaya mencari stabilitas dan menemukan identitas baru dalam kehidupan modern saat ini.
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini didesain sebagai jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi menuntut peneliti untuk melihat segala sesuatu yang terjadi, mendengarkan apa yang orangorang katakan dan memberikan pertanyaan kepada mereka.46 Pendekatan ini dipilih 46
Hammersley, M & Atkinson, Etnography, Principles in Practice, 2nd ed. London: 1995, Routledge, hal. 1
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk memahami secara mendalam proses perubahan orientasi keagamaan masyarakat di pedesaan Blora dari semula kaum Abangan yang kurang memahami ajaran Islam sekaligus masih teguh dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan dalam memahami teks kitab suci dan cenderung tidak toleran terhadap perbedaan ajaran yang berbeda dengan mereka.
2. Subyek dan Wilayah Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah warga yang bergabung dengan organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA). Untuk alasan yang nanti akan dikaji, Blora dipilih karena beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, wilayah Kecamatan Kunduran dan Kabupaten Blora pada umumnya bisa dianggap memiliki karakteristik Abangan, yakni masyarakatnya beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam dan tidak terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan tradisi-tradisi yang bersumber dari kepercayaan lokal seperti sedekah bumi, slametan, dan sebagainya. Secara historis, Blora termasuk Kunduran juga merupakan basis dari kelompok Nasionalis-Abangan, bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI).47
47
Dalhar Muhammadun dkk, 2004. Tanah berdarah di bumi merdeka : menelusuri luka-luka sejarah 1965-1966 di Blora. Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA) Blora, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Jakarta, Perkumpulan ELSAM
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kedua, secara khusus Dusun Bangkerep dipilih sebagai wilayah penelitian karena di satu sisi masih banyak tradisi-tradisi yang dihidupi masyarakat tetapi di sisi lain di dusun ini pula pertama kali terdapat sekelompok warga yang mengembangkan organisasi MTA untuk pertama kalinya di kabupaten Blora. Khususnya di dusun Bangkerep, Desa Balong, terdapat sekitar 50 KK yang sangat militan dalam menjalankan keyakinannya dan berakibat pada konflik horizontal dengan warga pada rentang waktu 2000-2003. Meski hanya sebuah dusun kecil, di Bangkerep terdapat kantor perwakilan MTA untuk tingkat kabupaten dan menjadi pusat kegiatan MTA di seluruh kabupaten Blora. Menariknya lagi, sebagai jalan keluar akibat konflik dengan warga setempat, di dusun Bangkerep ini juga warga MTA akhirnya mendirikan masjid, dan merupakan satu-satunya masjid yang khusus didirikan oleh warga MTA di Indonesia karena pada umumnya untuk beribadah mereka membaur dengan warga non-MTA.
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini akan menggunakan informasi dan data yang diambil dari dua sumber, yaitu: Pertama, sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan, baik berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel karya ilmiah yang dimuat dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta jurnal ilmiah maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga penelitian atau lembaga lainnya yang terkait. Sumber data
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pustaka akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis fenomena radikalisme agama. Data bibliografis diposisikan sebagai data sekunder. Kedua adalah data yang berasal dari field-work; responden, informan, peristiwa, situasi-kondisi dan fakta yang didapat dari obyek penelitian di lapangan. Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen seperti observasi, dan wawancara mendalam (indepth interview) dan kuesioner. Data jenis ini akan diperlakukan sebagai sumber-sumber primer yang mendasari hasil penelitian ini. Dengan dua macam sumber tersebut, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan alasan perubahan orientasi keagamaan masyarakat di pedesaan Blora secara lebih obyektif dan komprehensif.
4. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan terhadap warga anggota MTA di desa Bangkerep untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan orientasi beragama dan keikutsertaan mereka dalam organisasi MTA. Wawancara ini akan dilakukan secara terarah dan intensif. Dalam hal ini, pokok permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan responden, konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan peristiwa-peristiwa yang dialami berkenaan dengan fokus yang diteliti. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan warga desa dusun Bangkerep yang tidak bergabung dengan MTA, tokoh masyarakat, dan pihak
30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pemerintah di dusun Bangkerep dan sekitarnya untuk menggali data tambahan yang berkaitan dengan konteks sejarah, tradisi dan kondisi sosial politik di wilayah tersebut. Kedua, observasi. Observasi ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait dengan hal-hal sebagaimana dalam wawancara terhadap warga atau tokoh MTA. Fokus dari observasi ini adalah mengamati tindakan-tindakan, perilaku sosial, pandangan hidup, serta interaksi mereka dengan lingkungan sekitar mereka. Pengamatan diarahkan kepada perhatian pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu yang memberikan informasi dan pandangan yang terkait dengan tema penelitian. Ketiga,
analisa
dokumen/dokumentasi.
Analisa
ini
dilakukan
untuk
memperoleh data mengenai gambaran keberadaan subyek yang diteliti, di samping juga untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara.
5. Metode Analisis Data Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu data kualitatif yang diperoleh dari subyek, yaitu warga MTA, menyangkut pandangan keagamaan dan hal lain yang berkaitan dengan masalah penelitian akan diuji dengan data-data sekunder. Kesimpulan yang didapat dari analisa data kualitatif ini kemudian digabungkan dengan data sekunder yang memberi informasi mengenai hubungan antara perubahan orientasi beragama serta pemaknaannya dengan latar belakang dari
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
informan untuk selanjutnya digunakan untuk menarik kesimpulan akhir dari penelitian.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM KONTEKS GLOBALISASI
A. Pengantar Setiap hari Minggu pagi, kawasan di Jalan Ronggowarsito Surakarta ramai dipadati oleh hampir ribuan orang. Laki-laki dan perempuan dengan mengenakan busana muslim memenuhi sebuah gedung megah berlantai empat yang terletak tepat di depan Keraton Mangkunegaran, salah satu simbol kekuasaan dan kebudayaan Jawa di tanah air, selain keraton Surakarta dan Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka datang dari kota-kota di seluruh Jawa Tengah, bahkan hampir dari seluruh Indonesia untuk menghadiri pengajian Ahad pagi (disingkat Jihad Pagi) yang digelar oleh Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi Islam yang berpusat di kota tersebut. Sebagai organisasi lokal yang berdiri di Surakarta, MTA mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jihad Pagi menjadi salah satu kegiatan penting yang diselenggarakan oleh MTA. Pengajian tersebut berlangsung mulai jam delapan pagi sampai tengah hari, dipimpin langsung oleh ketua umum MTA, Ahmad Sukina. Dalam pengajian tersebut, warga –sebutan untuk anggota MTA- menyimak dan mencatat pelajaran agama yang disampaikan oleh Ahmad Sukina, dilanjutkan dengan tanya jawab langsung seputar persoalan keagamaan maupun kehidupan sehari-hari.
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah pengajian selesai, acara dilanjutkan dengan konsolidasi dan pertemuan pengurus MTA dari seluruh Indonesia.48 Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang berdiri pada 19 September 1972.49 Kegiatan sekaligus tujuan dari organisasi adalah mempelajari dan mengamalkan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.50 Pendiri MTA adalah seorang ulama sekaligus pedagang yakni Abdullah Thufail Saputra pada 19 September 1972. Pada 15 September 1992, Abdullah Thufail Saputra meninggal dan digantikan oleh penerusnya, yaitu Ahmad Sukina.51 Pada 23 Januari 1974, MTA menjadi organisasi resmi dan berkembang secara pesat dan memperoleh banyak pengikut di hampir seluruh wilayah di Indonesia, terutama pasca tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Perkembangan MTA tidak terlepas dari situasi sosial politik umat Islam di Indonesia pada akhir 1960 dan awal 1970. Ustad Thufail Saputra melihat bahwa umat Islam dipinggirkan karena mereka tidak mempraktekkan Al Quran secara menyeluruh. Selain itu, menurut Thufail, umat Islam di Indonesia telah menyimpang dari ajaran Islam dengan melakukan berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai tradisi lokal. Satu-satunya cara untuk mencapai kemajuan Islam adalah dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh bidang kehidupan.
48
Catatan lapangan, tanggal 9 September 2012 www.mta-online.com 50 www.mta-online.com 51 www.mta-online.com 49
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagai organisasi dakwah, MTA meneguhkan juga memiliki berbagai sarana untuk memperluas misinya, antara lain melalui lembaga pendidikan baik formal maupun informal mulai dari pendidikan dasar sampai menengah. Tidak hanya itu, MTA juga meneguhkan posisinya sebagai organisasi dakwah modern dengan memiliki stasiun radio sendiri –yang terbukti efektif dalam menyampaikan dakwah dan menarik pengikut- menerbitkan majalah, buku dan buletin dan sedang menyiapkan stasiun televisi mereka sendiri. Hal yang menarik adalah bahwa selain sebagai organisasi dakwah dengan misi purifikasi, MTA yang berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia juga berkembang menjadi semacam –meminjam istilah Ben Anderson- “komunitas terbayang” di mana masing-masing warga anggota disatukan oleh beberapa hal. Pertama, organisasi yang hirarkis dan model kepemimpinan yang sentralistis. Kedua, sesama warga MTA diatur dalam kode-kode atau prinsip ketat yang mengatur praktek ibadah maupun perilaku dan kehidupan sehari-hari yang membedakan mereka dari anggota masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Ketiga, kesamaan nasib berupa penolakan atau ketegangan dengan anggota masyarakat lainnya karena perbedaan pemahaman serta praktek keagamaan yang tidak mengakomodasi kepercayaan dan tradisi lokal. Pertentangan atau konflik dengan masyarakat ini terjadi di hampir seluruh tempat di mana MTA berdiri, baik dalam skala besar dan berujung pada tindak kekerasan atau dalam bentuk-bentuk seperti ejekan, sindiran atau
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anggapan bahwa warga MTA dalam hal keagamaan adalah orang yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Bab II membahas mengenai sejarah berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah puritan dan kaitannya dengan gelombang kebangkitan Islam baik di tingkat global maupun lokal sebagai konsekuensi dari globalisasi. Gerakan yang berupaya membangkitkan nilai-nilai keislaman yang murni dan otentik dengan berbagai sebutan seperti puritanisme, revivalisme, fundamentalisme atau Islam politik adalah respon sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- yang menimbulkan berbagai persoalan sosial di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman adalah satusatunya cara untuk mengatasi persoalan sosial tersebut. Di sisi lain, gagasan kebangkitan Islam yang berupaya memperjuangkan Islam sebagai solusi atas persoalan yang ditimbulkan globalisasi meluas dan memberi pengaruh yang sama ke berbagai penjuru dunia. Situasi ini menurut Anthony Giddens merupakan ciri sekaligus akibat dari modernitas, yakni menguatnya ikatan-ikatan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan di mana suatu kejadian yang terjadi di satu wilayah dipengaruhi oleh suatu peristiwa di tempat lain yang jauh jaraknya dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut menurut Giddens terutama menguat melalui teknologi –terutama komunikasi dan informasijuga teknologi transportasi yang memungkinkan manusia terhubung satu sama lain
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan memungkinkan terjadinya perpindahan ide atau gagasan serta menciptakan keterhubungan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, budaya atau politik. Dalam konteks ini berdirinya MTA sebagai sebuah organisasi Islam lokal yang berupaya membangkitkan kembali nilai-nilai keislaman merupakan pengaruh dari fenomena yang sama yang terjadi di dunia internasional, terutama kebangkitan Islam yang setidaknya dimulai pada abad 18 di Timur Tengah dan mencapai puncaknya pada tahun 1970 dan 1980-an. Proses tersebut terjadi sebagai akibat dari transfer ide dan pemikiran di bidang keagamaan melalui teknologi informasi yang memungkinkan terjadinya penyebarluasan ide gerakan Islam misalnya media cetak dan teknologi transportasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi satu orang ke tempat lain dan memungkinkan mereka menyerap gagasan baru, dalam hal ini adalah gagasan puritanisme atau kebangkitan Islam yang murni. Selain itu, berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah di Surakarta dibaca sebagai bagian dari maraknya berbagai gerakan keagamaan yang tumbuh pesat di awal masa Orde Baru sebagai respon terhadap kebijakan sosial politik dari rezim yang berupaya
menangkal
ideologi
komunisme
sekaligus
menjalankan
proyek
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh investasi asing dan industrialisasi. Dalam konteks lokal, MTA muncul dan berkembang di Surakarta yang menjadi tempat tumbuh suburnya berbagai gerakan keagamaan baik yang moderat maupun radikal. Selanjutnya ideologi, karakteristik gerakan, serta strategi dakwah MTA menjadi faktor kunci untuk menarik minat
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masyarakat untuk bergabung sehingga organisasi ini mengalami perluasan dan perkembangan yang cukup pesat, terutama di pedesaan.
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan Internasional 1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global Munculnya berbagai gerakan yang mengusung ide pemurnian Islam dan penerapan Islam dalam berbagai aspek kehidupan menandai fenomena kebangkitan Islam dalam skala global. Fenomena tersebut berlangsung melalui beberapa tahapan dengan berbagai karakteristik gerakan yang berbeda-beda. Pada abad 18 muncul sebuah gerakan keagamaan di Arab Saudi yang sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah (menyimpang) seperti takhayul dan praktek pemujaan sufi serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami.52 Gerakan tersebu disebut Wahhabi karena mengambil inspirasi dari pemikiran teologis pendirinya yaitu Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M). Gagasan utama teologi Wahhabi adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan lurus dan hanya dengan kembali ke (ajaran) agama yang benar mereka akan mendapat ridha Allah Swt. Dengan semangat untuk memurnikan agama, ia hendak membebaskan Islam dari semua hal yang menggerogoti Islam, yaitu tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, syiah dan berbagai ajaran bid‟ah.53 Dalam pandangan kaum Wahhabi, umat Islam harus kembali kepada Islam yang murni, sederhana, dan lurus murni yang hanya bisa dicapai melalui penerapan perintah Tuhan secara literal serta mengikuti perilaku Nabi 52
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Tr. Helmi Mustofa, Jakarta: 2006, Serambi, hal. 61-62 53 Abou El Fadl, ibid, hal. 61-62
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
secara literal, sekaligus dengan ketat melakukan berbagai ritual ibadah secara benar. 54 Hanya dengan cara demikian umat Islam akan bangkit dari kebodohan dan keterbelakangan. Pemikiran Muhammad Ibn „Abd al Wahab sendiri dikembangkan dari ajaranajaran Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263-1328) atau Ibnu Taimiyah yang merupakan pengikut Hambalisme, mazhab paling ketat dari empat mazhab hukum dalam Islam Sunni.55 Gagasan utama Ibn Taimiyah adalah menganjurkan umat Islam kembali berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh para generasi Salaf atau generasi yang generasi terbaik yang hidup pada masa Nabi, yaitu sahabat Nabi. Istilah Salafi inilah yang kemudian digunakan untuk menyebut kelompok atau gerakan yang berupaya untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada Al Quran dan Hadits Nabi secara kaku dan absolut.56 Beberapa waktu kemudian muncul gerakan Salafisme, yakni sebuah gerakan yang muncul satu abad setelah Abd al Wahhab memiliki pengaruh kuat di semenanjung Arab. Gerakan ini dikembangkan oleh sarjana dari Universitas Al Azhar di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935).57 Al Azhar saat itu menjadi alternatif perkembangan keilmuan Islam selain Mekkah (Fox, 2004:3-4). Berbeda dengan 54
Abou el Fadl, ibid, hal. 63 Noorhadi Hassan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta, 2008, Pustaka LP3ES dan KITLV, hal 33 56 Ide pembaruan Ibn Abd‟ Wahhab tersebut menginspirasi berbagai gerakan di berbagai penjuru dunia, termasuk di nusantara yang dimotori oleh kaum Paderi yang berkenalan dengan ideologi Wahhabi seusai menunaikan ibadah haji ke Mekkah. 57 Hassan, ibid, hal. 34 55
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ideologi Wahabisme awal, para pemikir seperti Al Afghani, Abduh dan Ridha mengembangkan pemikiran mereka tidak semata pada pemurnian Islam dari bid‟ah dan taqlid, tetapi juga seruan kepada umat Islam ntuk membuka pintu ijtihad, mendukung kemajuan dan pemikiran modern sebagai syarat untuk meraih kejayaan Islam yang hilang. (Hassan, 2008: 34).58 Pada awal abad 20, di bawah raja Abdul Aziz bin Su‟ud, ajaran Wahabi secara resmi menjadi ajaran resmi Kerajaan Arab Saudi.59 Ini merupakan awal mula dari penyebaran ajaran Wahabi di seluruh dunia. Abdul Aziz ibn Saud berupaya untuk menjadikan Saudi Arabia sebagai pusat dunia Islam, antara lain dengan mengorganisir Kongres Dunia Islam yang bertujuan untuk membangun solidaritas antar negaranegara Islam pada tahun 1926.60 Pada tahun 1962, dibentuk Liga Muslim Dunia (Muslim World zxLeague/Ar. Rabitat al-„Alam al-Islami) yang kemudian menjadi lembaga yang menyebarkan faham ini di dunia Islam.61 Penyebaran ideologi Wahhabi yang didukung penuh oleh rezim Saudi Arabia mengalami puncak keberhasilannya terutama di Timur Tengah akibat kekalahan
58
Di Indonesia, gagasan mereka mengilhami berdirinya berbagai organisasi Islam modern yang bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923. Penerimaan kedua organisasi tersebut terhadap modernisme bisa dilihat dari metode dakwah mereka melalui pendirian sekolah, rumah sakit dan lembaga pendidikan modern lainnya. 59 Jajang Jahroni. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar Jihad, Mimbar, Vol. 23, No. 4, 2006, hal. 359-360 60 Hassan, ibid, hal 41 61 Noorhaidi Hasan, Between Transnational Interest and Domestic Politics: Understanding Middle Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the Times: the Dynamics of Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN Sunan Kalijaga, 2007, hal. 43
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
negara-negara Arab dari Israel dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.62 Penyebaran Wahhabi juga semakin menemukan momentumnya ketika ketika terjadi booming harga minyak yang membuat Arab Saudi menjadi negara kaya.63 Dengan dana melimpah, Wahabi berusaha untuk menyebarkan ideologi mereka ke dunia Islam –termasuk Indonesia- dengan memberi beasiswa, membangun masjid, institusi pendidikan dan menerbitkan buku. Pada perkembangan berikutnya, yakni rentang waktu 1970 sampai 1980, dunia kembali menyaksikan fenomena kebangkitan Islam dengan bentuk yang sedikit berbeda. Jika kebangkitan Islam abad ke-18 yang dimotori oleh kaum Wahhabi cenderung menekankan aspek syariat, maka pada kurun waktu tersebut kebangkitan Islam diwarnai oleh munculnya gerakan yang berupaya mewujudkan syariat Islam sebagai sebuah ideologi politik (Pipes, 2002:124). Gerakan ini diwakili oleh Hasan Al Banna (1906-1948) dan Sayyid Qutb (1906-1966) yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir) atau Abu A‟la Al Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan Jama'at-i Islami di Pakistan. Prinsip utama gerakan Islam politik tersebut adalah kejayaan Islam akan dicapai jika setiap orang kembali pada ajaran Quran dan Sunah, mengupayakan syariat Islam, menghindari segala macam praktek keagamaan yang menyimpang, pembaruan komitmen dalam pemahaman dan perilaku individu sebagai basis solidaritas bersama, mengupayakan keadilan sosial, kepedulian terhadap orang miskin, seruan terhadap kaum perempuan kembali ke peran domestik, perjuangan 62 63
Hassan, ibid, hal. 42 Hassan, ibid, hal 42
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mengganti pemerintahan yang korup dan menciptakan negara Islam sebagai penjaga dan pengontrol moralitas Islami dalam masyarakat Islam. (Lapidus, 1997; 445). Gagasan mereka menjadi populer, terutama slogan “Islam sebagai solusi” merujuk pada kemunduran umat Islam yang ditandai dengan kekalahan negara Arab dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.64 Kekalahan yang menimpa negara-negara Arab yang dipimpin oleh rezim nasionalis membuat kalangan Islamis bangkit dan mengupayakan Islam sebagai ideologi alternatif yang mampu mengembalikan kejayaan Islam dari puing kehancuran. Kebangkitan Islam semakin menemukan momentumnya ketika terjadi beberapa peristiwa penting di beberapa negara. Pada tahun 1973 negara-negara Arab berhasil membalas kekekalahannya dengan memenangkan perang Ramadhan (perang Yom Kippur versi Israel), yang diikuti dengan embargo minyak Raja Saudi Arabia Faishal terhadap Israel dan Amerika. Kemudian pada tahun 1977 Jenderal Zia ul-Haq melakukan kudeta di Pakistan dan mencanangkan program Islamisasi, sementara di Afghanistan pada tahun 1979 kelompok Islam bangkit melawan invasi Uni Soviet, hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran pada tahun 1979.65 Revolusi 1979 yang membawa Ayatollah Khomeini membuat rezim Saudi Arabia yang berideologi Wahhabi khawatir kalau revolusi tersebut justru akan meruntuhkan kekuasaannya
64
Hassan, ibid hal 42-43 Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise, Taylor & Francis eLibrary, 2003, hal 33-35. 65
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sendiri sehingga membuat mereka semakin intensif dalam menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia.66 Selain di kancah konflik, geliat ini juga terjadi di lapangan intelektual mulai dari Konferensi dunia tentang pendidikan muslim di Makkah (1977), gagasan tentang pendidikan Islam oleh Ali Ashraf (1979), ekonomi Islam oleh Khursid Ahmad (1981), Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) oleh Ismail Al-Faruqi (1982), dan lain-lain.67 Meningkatnya aktifitas keislaman juga terjadi di beberapa tempat yang jauh dari Timur Tengah sebagai pusat Islam, termasuk Indonesia. Kebangkitan pada rentang waktu 1970 dan 1980 juga bisa dilihat dari meningkatnya perilaku keagamaan dengan cara hadir di masjid, menjalankan sholat dan puasa, penyebaran dakwah melalui publikasi, kegemaran memakai busana dan nilai-nilai Islami, revitalisasi sufisme dan pernyataan kembali Islam dalam kehidupan publik yang antara lain ditunjukkan dengan adanya peningkatan orientasi keislaman di pemerintah maupun organisasi, hukum, perbankan, layanan kesejahteraan sosial, maupun institusi pendidikan. (Esposito, 1999: 10). Dalam konteks yang lebih luas, gejala kebangkitan Islam pada periode tersebut adalah upaya membangun kembali nilai-nilai, praktek, institusi dan hukum Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam sekaligus upaya menciptakan kembali etos dan tatanan sosial yang Islami berdasarkan tatanan Al Quran dan Sunah (Chandra Muzaffar, 1987:2). 66 67
Hassan, ibid, hal. 43-44 Akbar S. Ahmed, ibid
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penting untuk dicatat bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memainkan peran penting bagi persebaran gagasan dan wacana keislaman sehingga meluas ke banyak tempat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mengubah pola konsumsi di dunia Islam seperti yang digambarkan John Anderson di mana informasi keagamaan yang semula disampaikan lewat khotbah di mimbar ke bentuk media cetak seperti buku atau bentuk elektronik seperti kaset dan radio dan terakhir internet sehingga bisa menjangkau audiens dengan lebih luas. Teknologi media cetak memungkinkan tokoh-tokoh Islam seperti Rashid Ridha dan Maulana Maududi menyebarkan gagasannya dalam bentuk buku. Begitu juga kemunculan media elektronik membuat wacana keislaman bisa diakses dalam kaset audio dan radio seperti pidato revolusi Ayatullah Khumaini yang bisa didengarkan di setiap tempat. Kemunculan media elektronik telah mengubah kebiasaan dan interaksi dalam mengakses masalah keagamaan dari otoritas keagamaan seperti ulama dari semula bersifat personal menjadi suatu bentuk publikasi.68 Hal tersebut membuat informasi keagamaan tidak lagi didapat dari otoritas keagamaan dan bisa diakses oleh siapapun tanpa mempertimbangkan jarak.
68
John W Anderson, New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam, Journal Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia a. Dinamika Islam di Indonesia Dengan berbagai keragaman ekspresi budaya serta latar belakang etnik, suku maupun bahasa, maka dalam sejarahnya pemahaman dan praktek Islam di Indonesia tidak pernah tunggal. Secara umum, dinamika Islam di Indonesia diwarnai oleh ketegangan antara Islam dengan tradisi lokal. Perbedaan ini mengerucut pada dua kutub; pertama, Islam ideal atau normatif, yakni Islam yang dipahami dan dipraktekkan sesuai dengan prinsip yang murni yaitu Al Quran dan Hadits. Kedua, Islam popular, yakni pemahaman dan praktek Islam yang tidak memiliki landasan hukum normatif dan biasanya adalah praktek yang disesuaikan dengan tradisi lokal yang lebih dulu berkembang di masyarakat dan oleh kelompok pertama dianggap sebagai penyimpangan. 69 Di Jawa, Islam popular bisa ditemukan dari beragam ritual atau upacara tradisional, seperti ritus kelahiran, perkawinan hingga kematian. Selain itu umumnya masyarakat Jawa juga mempercayai adanya roh halus, danyang atau kekuatankekuatan gaib yang bersifat baik ataupun buruk yang ada di sekitar mereka. Untuk menghormati kekuatan gaib tersebut masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara seperti sedekah bumi atau ritual bersih desa sebagai ekspresi syukur atas kebaikan yang mereka nikmati sekaligus memohon keselamatan dari mara bahaya.
69
J. D. J. Waardenburg, Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter H. Vrijhof and Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular Religion”., Paris: Mouton Publisher, 1979, hal 340-341.
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam kaitan dengan sejarah proses Islamisasi di Indonesia, Islam popular merujuk pada golongan umat Islam yang cenderung akomodatif terhadap berbagai keyakinan atau kepercayaan masa lalu serta berbagai tradisi lokal yang sudah diyakini masyarakat sebelumnya. Yon Machmudi menyebut kelompok ini sebagai kelompok tradisionalis yang kemudian berkembang menjadi organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Kelompok ini direpresentasikan oleh orang-orang yang belajar Islam di Mekkah pada pertengahan abad 19 dan kemudian kembali ke nusantara untuk berdakwah di masyarakat setempat. Mereka membangun pesantren yang menjadi tulang punggung Islam tradisional di tanah air dengan mengajarkan Islam dari sumber Al Quran, Hadits, dan teks-teks klasik karangan ulama besar di masa lalu (kitab kuning). Sikap akomodatif mereka terlihat dari pola dakwah yang tidak serta merta mengubah praktek-praktek tradisi lokal dan cenderung toleran sepanjang tidak bertentangan dengan esensi ajaran Islam. Dengan karakteristik menjalankan ajaran Islam dengan tetap bersikap akomodatif terhadap keyakinan lokal, kelompok tradisionalis tersebut pada dasarnya membedakan dirinya dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya di kalangan masyarakat Jawa yaitu Muslim nominal atau Abangan. Menurut Hefner, kaum Abangan adalah mereka yang memeluk Islam namun tidak mempraktekkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya lebih mengutamakan keyakinan leluhur serta melakukan berbagai ritual lokal. Hefner menyebut bahwa Abangan pada
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mulanya adalah salah satu varian Islam di Jawa yang mencapai kejayaan pada pertengahan abad ke 18, namun kemudian memudar seiring kebijakan negara.70 Sementara kelompok puritan bercita-cita membersihkan ajaran Islam dari berbagai unsur yang tidak memiliki dasar dalam Al Quran maupun Hadits. Jejak puritanisme pertama di tanah air tercatat terjadi di Sumatera yang dimotori oleh kaum Paderi. Saat itu, tiga ulama asal Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Muhammad Arif melakukan ibadah haji ke Mekkah yang saat itu dikuasai oleh Wahhabi. Ketiganya tertarik dengan ide-ide pemurnian agama dari kaum Wahhabi dan kemudian mencoba untuk menerapkannya di nusantara. Mereka mengharamkan tasawuf yang ada di tanah Minangkabau dan segala macam takhayul, bid‟ah dan khurafat. Mereka juga mewajibkan memelihara jenggot serta memberi hukuman mati kepada orang yang meninggalkan salat.71 Gerakan tersebut kemudian dikembangkan oleh kelompok reformis modernis yakni para ulama yang mendapat pengaruh dari ide pembaharuan yang dimulai oleh sarjana dari Universitas Al Azhar di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-1897), Muhammad „Abduh (18491905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935). Di Indonesia, pemikiran sarjanasarjana tersebut memberi inspirasi bagi berdirinya berbagai organisasi Islam yang bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang 70
Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of NonStandard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard, eds.,“The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New York: Routledge, hal. 71-79 71
Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta, 2009, LibForAll Foudantion.
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sesuai dengan Al Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923. Berbeda dengan santri kolot, kaum reformis atau disebut santri modern berusaha untuk menghilangkan seluruh elemen non-Islami untuk mencapai kemurnian Islam.72 Tidak hanya di bidang keagamaan, polaritas yang diakibatkan perbedaan artikulasi keislaman juga terjadi di bidang politik. Polaritas yang paling tajam dan akan terus mewarnai situasi sosial politik Indonesia adalah ketika pada tahun 1945 kelompok Islam berupaya untuk menjadikan syariat Islam secara formal ke dalam undang-undang, terutama adalah isu Piagam Jakarta yang ditentang oleh kelompok abangan sekuler.73 Polaritas juga tercermin dari hasil Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama dan dianggap paling demokratis, di mana Partai Nasionalis Indonesia (priyayi-abangan
kolot/modern
dengan
wong
cilik-abangan-kolot)
berhasil
mengumpulkan 32 persen suara di Jawa, Masyumi (priyayi-santri-modern) mendapatkan 11 persen suara, sementara Nahdlatul Ulama sebagai perwakilan dari kelompok Islam tradisional (wong cilik-santri-kolot) mendapatkan 30 persen suara dan Partai Komunis Indonesia (wong cilik-abangan-kolot/modern) mengumpulkan 27 persen suara. Hasil ini menunjukkan bahwa kaum abangan dan santri kolot masih mendominasi Jawa.74
72
Hassan, ibid, hal 38 Hassan, ibid, hal 39. Salah satu isi dalam piagam Jakarta adalah kalimat yang berbunyi “dengan keharusan menegakkan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kalimat ini kemudian dikeluarkan dari sila pertama Pancasila. 74 Ricklefs mengembangkan konsepsi Santri Abangan Priyayi-nya Geertz menjadi beberapa kelompok: priyayi santri, wong cilik-abangan-kolot, priyayi-abangan kolot/modern, dan wong cilik-santri-kolot. 73
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1966, dinamika Islam di Indonesia diwarnai dengan munculnya berbagai organisasi dan kelompok Islam yang secara umum memiliki kesamaan agenda yaitu mengajak umat Islam untuk kembali mengamalkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini tidak hanya terkait dengan kebangkitan Islam di dunia internasional, namun juga berkaitan dengan dinamika sosial politik di Indonesia selama kurun waktu 1970 sampai 1980an, dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan dan pasang surut hubungan pemerintah dengan umat Islam.
b. Islam di masa Orde Baru Sama seperti fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional, fenomena “kebangkitan Islam” berupa maraknya simbol ataupun aktifitas keagamaan juga terjadi di Indonesia pada rentang waktu 1970 dan 1980. Hal tersebut terlihat dari tumbuhnya komunitas-komunitas kecil yang berkeinginan untuk mengikuti perilaku Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam (Salafi) yang dianggap ideal dan murni sekaligus menawarkan alternatif dan perlawanan terhadap nilai dan paham dari Barat. Komunitas-komunitas tersebut tumbuh melalui kelompok diskusi dan pengajian di masjid-masjid dan kampus-kampus umum. Ciri khas kelompok ini adalah penampilan yang Islami, yaitu jilbab panjang bagi perempuan, baju gamis dan
Lihat Merle C. Ricklefs, Six Centuries of Islamization in Java, Nehemia Levtzion, ed. “Conversion to Islam”, New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979, hal 120 dalam Muhammad Ali, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011: 1-35
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jenggot bagi kaum laki-laki.(Hassan, 2006:31). Tidak hanya di perkotaan, gelombang kesalehan juga terjadi di wilayah pedesaan yang identik dengan budaya abangan pada tahun 1980 dan 1990-an (Hefner, 2000; 122). Fenomena kebangkitan gairah keagamaan dan munculnya komunitaskomunitas dakwah Islam tersebut tidak lepas dari kebijakan depolitisasi Orde Baru terhadap umat Islam Perlu diingat bahwa kebijakan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto mencanangkan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang ditandai dengan masuknya investasi asing dan bantuan dari negara-negara industri maju yang didukung dengan booming minyak pada tahun 1970-an.75 Pasca hancurnya PKI tahun 1966, Orde Baru merasa bahwa kelompok Islam menjadi kelompok potensial yang bisa melawan Soeharto, terutama kelompok yang berbasis di akar rumput karena bisa menghalangi kebijakan pembangunan yang mensyaratkan adanya demobilisasi politik di masyarakat.76 Soeharto kemudian memberlakukan kebijakan marginalisasi dan depolitisasi aktor Islam dan organisasi/partai Islam, salah satunya adalah membatasi aktifitas politik tokoh Islam dan pada tahun 1973 mengeluarkan kebijakan peleburan atau fusi partai politik Islam ke dalam wadah tunggal yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).77
75
Vedi Hadiz, Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal. 7 76 Hadiz, ibid, hal. 8 77 Tokoh Islam merasa Orde Baru membatasi kepentingan umat-Islam, ditandai dengan meningkatnya pengaruh militer dan birokrat yang identik dengan kaum abangan (misal Ali Mortopo) di jajaran pemerintahan dan kedekatan dengan kelompok bisnis China, juga kelompok Katholik (CSIS). Muncul aksi-aksi kekerasan seperti Komando Jihad, Bom di Borobudur, juga bom di BCA yang dianggap sebagai representasi dari kelompok bisnis China pada tahun 1986. Ketegangan Islam Politik dengan pemerintah Orde Baru meningkat dengan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal di tahun
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tersumbatnya saluran politik membuat aktifis-aktifis Islam melakukan konsolidasi dan membangun basis gerakan melalui strategi dakwah, dalam hal ini melalui dunia pendidikan dan media massa. Strategi tersebut membuat kelompokkelompok Islam berkembang pesat tanpa menimbulkan kecurigaan dari rezim Orde Baru, terutama di kampus dan kaum menengah perkotaan. Selain itu, pesatnya berbagai gerakan Islam pada masa tersebut juga didukung oleh sumber daya berupa aliran dana dari Timur Tengah terutama Arab Saudi pasca booming harga minyak tahun 1970-an. Dalam hal ini, Arab Saudi berkepentingan membendung kebangkitan Syiah pasca Revolusi Iran tahun 1979. Kelompok Islam yang mendapatkan pengaruh langsung dari Timur Tengah dan kemudian menjadi embrio berbagai kelompok Islam puritan adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang dibentuk oleh Muhammad Natsir dan para mantan pemimpin Masyumi pada tahun 1967.78 Organisasi ini didirikan sebagai strategi setelah Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan menolak keinginan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik.79 DDI sebagai perwakilan Rabithah Alam Islami (organisasi yang didanai Arab Saudi) memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Timur Tengah, terutama Arab Saudi.80 Persinggungan mahasiswa yang belajar di luar negeri
1980-an. Kemudian muncul ICMI pada tahun 1990 –didirikan oleh Habibie- yang dekat dengan kekuasaan sebagai representasi kelompok Islam birokrat dan teknokrat yang berupaya mengimbangi Islam politik yang oposan terhadap Orde Baru. Lihat Hadiz, Political Islam 78 Hassan ibid, hal. 45 79 Hassan, ibid 80 Wahid, ed., ibid,
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membuat mereka bertentangan dengan genealogi dan ideologi yang sama dengan Wahhabi seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.81 Selain itu, DDII juga berperan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yaitu LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang mencetak kader-kader yang aktif mengembangkan faham puritanisme Timur Tengah, serta mendistribusikan berbagai buku karya para ideolog Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Abu A‟la Al Maududi dan pemikir-pemikir Islam lainnya yang beraliran Wahhabi.82 Selain depolitisasi, Soeharto juga menerapkan kebijakan ganda terhadap umat Islam dengan cara menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu. Menurut Hefner rezim Orde Baru sangat jeli melihat agama sebagai basis bagi moralitas publik dan benteng untuk melawan pengaruh liberalisasi Barat dan lawan dari komunisme.83 Situasi tersebut membuat Orde Baru mengeluarkan kebijakan building up atau pembinaan keagamaan yang terutama ditujukan di daerah-daerah abangan di pedesaan.84 Kebijakan tersebut antara lain dilakukan dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk agama resmi mnenurut konstitusi, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Hefner menyebut kebijakan ini sebagai “religionization”.85 Kebijakan ini memicu konversi besar-besaran masyarakat jawa
81
Wahid, ed. ibid, M Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta, 2008, LKiS, hal 90-91 83 Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia, Princeton, 2008, Princeton University Press, hal. 59 84 Hefner, ibid, 84 85 Lihat Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? hal. 71-79 82
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
abangan ke islam dan Kristen.86 Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pengajaran agama kepada setiap anak di sekolah-sekolah. Kebijakan ini membuat jumlah umat Islam berkembang sementara praktek-praktek kelompok Abangan atau Islam nominal perlahan menghilang.87 Kelas menengah-bawah yang menjadi sasaran dari kebijakan pembinaan agama inilah yang nantinya mengambil peran besar dalam kebangkitan aktifitas dan penciptaan kantong-kantong Islam politik di kota-kota besar. Menurut Hassan (2005) kebijakan pembangunan Orde Baru seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan infrastruktur sekolah-sekolah terutama di desa terpencil yang bersamaan dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi membuat para orang tua bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, stasiun pembangkit listrik dan pusat kesehatan membuat desa-desa pun terhubung dengan dunia luar yang memicu gelombang urbanisasi dan meningkatnya tingkat pendapatan, ditandai dengan kemampuan penduduk desa membeli radio dan televisi yang memicu pola hidup baru dan konsumerisme. Sementara keluarga mampu bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi di kota, pemuda-pemuda desa yang miskin yang tidak bersekolah beramai-ramai meninggalkan desa demi harapan hidup yang lebih baik dan mendapat pekerjaan sebagaimana yang mereka lihat di
86
Untuk kajian ini baca Robert W Hefner “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” 1987 dalam The Journal of Asian Studies 3:46:533-554 atau Robert W Hefner “The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java.” In William R. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, pp.53-78. Berkeley: University of California Press 87 Hefner, Civil Islam, hal 84
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
media elektronik. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, kebanyakan dari mereka menjadi buruh pabrik atau pekerja di sektor informal. 88 Pada saat yang kebijakan ekonomi Orde Baru telah menciptakan kesenjangan sosial dan korupsi. Kebijakan ekonomi Orde Baru sendiri bercirikan industrialisasi, meningkatnya kelompok pemodal yang kuat (Robison 1986), berkembangnya kelas pekerja yang berada di perkotaan dengan upah rendah (Hadiz 1997), juga kelas menengah profesional, serta konsumen yang berorientasi pada gaya hidup (Robison 1993).89. Pada titik inilah, anak-anak muda baik yang bersekolah di kampus-kampus atau bekerja di sektor informal menghadapi situasi yang tidak mereka duga seperti perilaku masyarakat kota yang individualistis, persaingan hidup yang keras, kesenjangan yang mencolok, gaya hidup yang mewah berbau barat serta godaan produk-produk yang melambangkan kehidupan modern. Ketidakmampuan mengakses atau menikmati semua hal tersebut pada akhirnya membuat mereka frustasi dan membuat apa yang disebut Hassan (2005) sebagai “identitas yang terguncang”. Pada saat itulah mereka mendapatkan perlindungan dari komunitas-komunitas keagamaan yang mulai muncul di perkotaan yang menawarkan suasana kehidupan yang sama sekali berbeda melalui diskusi-diskusi, pengajian yang menawarkan alternatif Islam sebagai solusi bagi semua persoalan sosial yang mereka hadapi.90
88
Hassan, Laskar jihad, hal. 251-258 Vedi R. Hadiz, Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal.24 90 Hassan, ibid 89
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di akhir tahun 1980-an, kebijakan Orde Baru terhadap umat Islam berubah drastis. Soeharto mencoba untuk membangun kembali relasi politik dengan kelompok-kelompok Islam.91 Caranya adalah dengan menekankan penggunaan simbol-simbol Islam dalam wacana publik dan akomodasi terhadap kekuatankekuatan sosial politik kelompok keagamaan.92 Strategi tersebut oleh para pengamat merupakan cara Soeharto untuk mengamankan kekuasaannya. Kedekatan tersebut dimulai dengan didirikannya Pengadilan agama, perbankan Islam serta serta keputusan presiden untuk kompilasi hukum Islam.93 Bahkan pada tahun 1991 Soeharto menampilkan citra diri sebagai seorang santri Islam dengan menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto.94 Pemerintah juga memberi dukungan finansial untuk membentuk perguruan tinggi Islam, membangun masjid-masjid, dan kebijakan pengajaran agama di lembaga pendidikan umum, pencabutan larangan berjilbab di sekolah, serta mendukung berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)95 pada tahun 1990. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat simbol-simbol dan identitas keislaman tampil semarak di ruang publik.96
91
Noorhaidi Hasan, Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002, p.163. 92 Hasan, ibid 162 93 Hasan, ibid 94 Andreas Ufen, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009, hal. 17 95 Ufen, ibid 96 Kebijakan tersebut bukan tanpa maksud mengingat Soeharto kemudian mengajak DDII sebagai mitra untuk menumpas kelompok oposisi pro-demokrasi yang menjadi ancaman baru bagi Orde Baru
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
c. Islam pasca Orde Baru Kebangkitan Islam kembali menemukan momentumnya ketika rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan atau organisasi Islam dengan berbagai agenda dan model gerakan masing-masing. Demokratisasi, eforia kebebasan serta tersedianya beragam saluran dan media untuk menyuarakan aspirasi dimanfaatkan oleh organisasi dan kelompok Islam politik untuk kembali menunjukkan eksistensinya, baik yang sudah beroperasi secara laten sejak masa Orde Baru atau kelompok yang sama sekali baru. Tercatat antara lain Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan kelompokkelompok Islam lainnya. Meski muncul dengan berbagai varian model gerakan dan agenda, secara umum kelompok-kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan karakteristik yang memiliki akar sejarah yang panjang, yakni keinginan untuk mengedepankan nilai dan praktek Islam dalam kehidupan sehari-hari secara total. Salah satu organisasi keagamaan dengan perkembangan cukup pesat pasca 1998 adalah Majelis Tafsir Al Quran (MTA). Meskipun berdiri pada tahun 1972 atau pada saat sedang berlangsungnya fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional sekaligus sebagai respon terhadap kebijakan Orde Baru yang dianggap tidak berpihak kepada umat Islam, MTA menemukan momentum untuk berkembang dengan pesat di era pasca Orde Baru yang memungkinkan organisasi ini tumbuh dan berkembang hingga ke seluruh pelosok Indonesia, terutama di wilayah-wilayah pedesaan.
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal a. Dinamika sosial keagamaan di Surakarta Surakarta, sebuah wilayah di Jawa Tengah dikenal memiliki dinamika sosial keagamaan yang tinggi. Adanya keraton Surakarta dan Mangkunegaran menjadikan Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Menariknya, Surakarta juga memiliki sejarah panjang gerakan radikalisme yang bercorak keagamaan, baik zaman pra-kemerdekaan maupun pasca reformasi. Selain itu, Surakarta juga menjadi salah satu pusat tumbuhnya berbagai gerakan dan organisasi yang menggelorakan semangat nasionalisme di zaman kolonial, termasuk di antaranya organisasi yang bercorak keagamaan. Organisasi keagamaan dengan motif keagamaan yang paling terkenal di Surakarta adalah Sarekat Islam (SI). SI sendiri adalah gerakan nasionalisme bercorak Islam pertama di nusantara yang berdiri di Surakarta pada tahun 1912. Organisasi bermotif keagamaan Islam lainnya adalah Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TNKM) yang bertujuan untuk membela kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslimin. Organisasi ini didirikan oleh Tjokroaminoto pada tahun 1918 di Surabaya sebagai reaksi atas sebuah tulisan dalam surat kabar Djawi Hiswara, yang dianggap melecehkan Islam.97 Pasca revolusi kemerdekaan 1945, Surakarta menjadi basis dari berbagai laskar-laskar gerilya yang didirikan oleh warga sipil dengan berbagai
97
Seorang anggota SI Surakarta bernama Djojodikoro menulis artikel yang dimuat di surat kabar Djawi Hiswara. Cuplikan dalam artikel tersebut berbunyi ”Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium”. Lihat Takashi Siraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta; 1997, Pustaka Utama Grafiti, hal. 143-147
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepentingan masing-masing, termasuk organisasi dengan motivasi keagamaan dan jihad yaitu Laskar Sabilillah.98 Pada tahun 1970-an berbagai organisasi Islam yang cenderung bercorak puritan
muncul
direpresentasikan
dan oleh
berkembang Pesantren
pesat,
seperti
Al-Mukmin)
Jamaah Majelis
Islamiyah
(yang
Pengajian
Islam
(direpresentasikan oleh pesantren modern Assalam, dan Majelis Tafsir Al-Quran).99 Belakangan, berbagai organisasi Islam muncul dan menunjukkan kecenderungan orientasi yang lebih radikal dengan isu-isu yang lebih beragam ketika rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998. Kelompok tersebut antara lain: Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar Hawariyyun, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan Majelis Ta‟lim al-Islah, Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pemuda Islam Surakarta, HTI, Forum Umat Islam Surakarta, dan Jamaah Anshorut Tauhid, Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar
98
Laskar-laskar di Surakarta pada masa pasca Revolusi kemerdekaan 1945 antara lain Barisan Laskar Banteng (BLR), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) serta Laskar Rakyat. Namun yang memainkan peran penting adalah lascar yang didirikan oleh para pelajar seperti Tentara Pelajar (TP), Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istemewa Sekolah Menengah Tinggi (BPISMT), Barisan Rakyat Jelata. Pada tahun 1946 muncul berbagai kelompok lokal di pedesaan seperti Laskar Rakyat Surakarta di Plupuh, Sragen, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa. Lihat Soejatno dan Benedict Anderson, Revolution and Social Tension in Surakarta 1945-1950, Indonesia, Vol.17, April 1974, 99-111, hal. 102 99 Muthoharun Jinan, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta, Studi tentang Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al Quran, makalah di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) 2011 di Bangka Belitung tanggal 10-13 Oktober 2011
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hawariyyun, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan Majelis Ta‟lim al-Islah. Dalam konstelasi lokal Solo, di samping kelompok-kelompok di atas terdapat juga kekuatan-kekuatan radikal lain seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) serta Jamaah Anshrout Tauhid (JAT).100 Salah satu isu penting yang sering diusung oleh kelompok-kelompok tersebut adalah isu Kristenisasi.101
b. Latar belakang pendiri dan sejarah perkembangan MTA di Surakarta Beberapa saat setelah mendirikan DDII, M. Natsir kemudian mengajak koleganya di Masyumi untuk membangun cabang DDII di seluruh Indonenesia, termasuk Solo. Dalam sebuah ceramahnya di Solo di akhir 1960-an, dia meminta kader eks-Masyumi membangun pesantren dan rumah sakit untuk mengkounter 100
Zakiyuddin Baedhawy, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan di Surakarta, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin 1-4 November 2010 101 Berbagai isu Kristenisasi tersebut antara lain: 1) Anggota Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) melakukan mosi pada Pendeta Ahmad Wilson dalam acara dialog interaktif dengan tema “Usaha Mengatasi Konflik Antarumat Beragama” yang disiarkan oleh Radio PTPN Rasitania Surakarta, 3 Maret 2000 yang menyatakan bahwa sebelum menjadi Muslim, Nabi Muhammad adalah pemeluk agama Kristen. Pendeta Wilson kemudian diadukan ke Polisi oleh sejumlah tokoh Muslim dan Anggota DPRD dari PPP, PKB, PK, dan PAN, sehingga radio tersebut terpaksa berhenti mengudara beberapa hari karena sebagian peralatannya disita oleh Polisi sebagai barang bukti; 2) Pada 29 April 2001, Laskar Hizbullah Surakarta mendatangi sebuah stasiun radio PTPN Rasitania, Solo, untuk meminta klarifikasi soal pemutaran film berjudul Patriot yang tiketnya di jual oleh radio swasta itu karena dibarengi pula dengan pembagian angket kuis dan kaset yang berisi ajaran agama Kristen kepada setiap pengunjungnya. Pemutara film digelar oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI), lembaga gereja Kristen Protestan yang mengkhususkan pembinaan religius pada mahasiswa dan anak-anak muda; 3) Pada 3 September 2005, Forum Koalisi Umat Islam Surakarta mendatangi dan menyegel rumah tinggal seorang pendeta, Syarif Hidayatullah di Grogol, Sukoharjo karena si pemilik ngotot hendak mendirikan gereja di kawasan warga Muslim meski ijin belum keluar (Gatra no. 44, Senin, 12 September 2005). 4) Poltabes Surakarta meminta kepada pengurus Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka seharga Rp 500 dengan alasan demi menjaga kondusivitas setelah menerima pengaduan sejumlah elemen masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut (Detiknews, 28 Agustus 2009). Lihat, Baedhowy, ibid
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kristenisasi yang menjadi isu penting di Solo pada saat itu. Pondok Ngruki, Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) hospital, dan RS Kustati adalah respon dari seruan Natsir tersebut. Ketika DDII berkembang, sekitar 90 masjid dibangun di Jawa Tengah.102 Pada situasi inilah embrio MTA mulai muncul. Pendiri MTA, Abdullah Thufail Saputra adalah seorang pendakwah yang juga seorang pedagang batu permata yang sering berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia. Dalam berbagai perjalanan dagangnya, ia menyaksikan maraknya praktek-praktek keagamaan di kalangan umat Islam yang menyimpang dari syariat Islam sekaligus adanya perpecahan dalam tubuh umat Islam yang terwujud dalam berbagai kelompok atau organisasi.103 Ia aktif menyampaikan gagasannya agar umat Islam mau kembali ke Al Quran melalui berbagai ceramah atau pengajian, terutama di masjid Agung Surakarta atau di Balai Muhammadiyah Surakarta. Kesempatan Abdullah Thufail untuk menyebarkan gagasannya terbuka luas mengingat pada saat itu ia bergabung dengan Badan Pelaksana Tabligh, suatu lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan para ulama di Solo yang memberikan pengajian di masjid-masjid di Sukararta.104 Dalam organisasi ini juga tergabung Abdullah Sungkar –yang kemudian mendirikan pesantren Al Mukmin Ngruki bersama Abu Bakar Baasyir- dan Abdullah Marzuki, seorang pengusaha terkenal di
102
Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation Of Radical Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1, 2008, hal. 35-70 103 Majalah Respon, Ustadz Abdullah Thufail Saputro Meski Sakit Tetap Mengisi Pengajian, Edisi 268 XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, hal 42, diterbitkan oleh Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) 104 Wawancara dengan Sektretaris I Yayasan MTA, Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Surakarta. Mereka dikenal sebagai tiga tokoh dakwah penting di Surakarta. Mereka merintis pengajian di beberapa tempat di Surakarta seperti Kebonan Sriwedari, Punggawan, dan bersama sejumlah aktivis Islam lainnya merintis pengajian rutin setelah dhuhur di Masjid Agung Surakarta.105 Selain menyelenggarakan pengajian setelah shalat dhuhur di Masjid Agung, pada tahun 1969 para ulama di Solo meluaskan aktifitas mereka menjadi lebih intensif dalam bentuk Madrasah Diniyah. Mereka juga membangun radio Radio Dakwah Islam (RADIS) pada tahun 1967 untuk menjangkau dakwah yang lebih luas. Belakangan, radio ini dilarang siaran pada tahun 1975 akibat relasi pasang surut Islam dengan pemerintah.106 Belakangan, Abdullah Thufail tidak lagi bergabung dalam lembaga tersebut karena adanya perbedaan pendapat dengan tokoh Islam lainnya.107 Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail bersama dengan Abdullah Marzuki –seorang pengusaha yang dikenal sebagai donatur berbagai kegiatan keagamaan di Surakarta- mengembangkan sebuah organisasi bernama Majlis Pengajian Islam (MPI).108 Semula organisasi ini merupakan kegiatan pengajian 105
Muthoharun Jinan, S.Ag, M.Ag, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Gerakan Majlis Tafsir Al Quran, Makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) 2011 Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011 106 Wildan, ibid 107 Dalam versi lain, pada awalnya, Abdullah Thufail dan Abdullah Sungkar bersama-sama mengadakan pengajian Masjid Agung, tetapi kemudian mereka berselisih pendapat dan Abdullah Thufail kemudian keluar dari pengajian tersebut. Belakangan, Abdullah Sungkar bersama dengan Abu Bakar Baasyir mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin yang dikenal masyarakat luas sebagai pesantren yang kerap berseberangan dengan pemerintah, terutama mengenai asas tunggal Pancasila. Bersama Abdullah Sungkar, Baasyir kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah setelah menolak ajakan Abdullah Thufail bergabung di MTA. Abu Bakar Baasyir dan pesantren Ngruki kemudian dituding berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan terlibat beberapa tindak terorisme. Lihat Jinan, ibid 108 Jinan, ibid.
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Majelis Ta‟lim di Jl. Yosodipuro Punggawan Surakarta yang digelar sejak tahun 1970. Di MPI, Abdullah Thufail bertindak sebagai pimpinan. Belakangan, Abdullah Thufail keluar dari MPI dan pada tahun 1972 dan mengembangkan organisasinya sendiri, Majelis Tafsir Al- Quran. Keputusan Abdullah Thufail untuk berdakwah sendiri terjadi ketika dalam sebuah pertemuan di Gedung Umat Islam Surakarta yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam setempat ia menyampaikan gagasannya untuk menyatukan berbagai lembaga Islam dalam satu wadah sehingga tidak terpecah-pecah tidak mendapat respon dari para tokoh Islam lainnya. Abdullah Thufail mengawali kegiatan dakwahnya dengan mendirikan pengajian tafsir dengan peserta hanya beberapa orang. Dalam perkembangannya, gagasan-gagasan Abdullah Thufail yang ia sampaikan dalam pengajiannya segera saja banyak mendapat perhatian dan respon dari masyarakat karena ketegasannya dalam menanggapi suatu permasalahan.
109
Ia sendiri dikenal
sebagai pendakwah yang ulung dengan kemampuan orasi yang memikat dengan suara yang lantang dan tegas. Salah satu kisah yang menceritakan ketegasannya ketika awal-awal membuka pengajian, peserta pengajian yang sudah hadir tidak serta merta bisa langsung mengaji, tetapi harus menunggu dimulainya pengajian sampai berjamjam kemudian hanya untuk mengetahui apakah peserta benar-benar serius untuk mengikuti pengajian. 110 Selain itu, komitemn yang tinggi juga menjadi ciri dari MTA
109
Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 11 110 Wawancara dengan Ustadz Suradi, Ketua MTA Perwakilan Blora
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah pengajian diselenggarakan dengan presensi kehadiran setiap anggotanya dengan maksud menjaga komitmen peserta pengajian. Selain karena kemampuan dakwahnya, jaringan Abdullah Thufail yang luas sebagai seorang pedagang membuat pengajian yang dirintisnya segera berkembang dengan pesat.111 Abdullah Thufail kemudian membuka pengajian untuk umum yang diistilahkan dengan gelombang. karena pada saat itu pemerintah menetapkan bahwa setiap perkumpulan harus berupa lembaga resmi, maka pengajian tafsir yang didirikan Abdullah Thufail didaftarkan ke Departemen Sosial dengan nama Majelis Tafsir Al Quran berbentuk yayasan pada tanggal 23 Januari 1974. 112 Tidak hanya dalam kegiatan dakwah, Abdullah Thufail juga terlibat dalam beberapa peristiwa penting di Solo. Sesaat setelah peristiwa G30S/PKI pecah pada tahun 1965, ia aktif dalam gerakan yang melawan aksi kelompok komunis di Surakarta. Pada tahun 1966 Abdullah Thufail menjadi Ketua Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam (KKPI) sejak tahun 1966-197 yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi di Surakarta, seperti Muhammadiyah, Pemuda Al-Irsyad, Pemuda Anshor, Pemuda Persatuan Syarikat Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam yang aktif melawan pengaruh PKI.113 Pada
bulan
September
1992,
Abdullah
Thufail
meninggal
dunia.
Sepeninggalnya, kepemimpinan MTA dilanjutkan oleh Ahmad Sukina. Sukina
111
Jinan, ibid Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 11 113 Jinan, ibid 112
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
disebut sebagai salah satu murid terbaik Abdullah Thufail Saputra. Ia bergabung dengan MTA pada tahun 1974 atau dua tahun setelah MTA berdiri.114 Menariknya, berbeda dengan organisasi Islam lainnya, Sukina menjadi pemimpin organisasi sekaligus imam MTA dipilih secara musyawarah antar pengurus, bukan melalui pemilihan. Salah satu yang membuat Sukina dipilih adalah karena kedekatan dan kesetiaannya dalam mengabdikan diri kepada imam sebelumnya, Abdullah Thufail.115 Sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi keagamaan, Sukina hampir tidak memiliki pengalaman belajar keagamaan dari lembaga pendidikan keagamaan tradisional, semisal pesantren. Ia lahir di Gawok Sukoharjo, dari pasangan Siti Sadiyah dan Muhammad Bisri. Kedua orang tuanya dikenal sebagai aktivis Masyumi dan Muhammadiyah yang giat dalam dakwah Islam. Dalam bidang keagamaan, Sukina belajar dari kakeknya, Abdullah Manan, seorang aktivis Masyumi di Surakarta. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Sragen, Sukina melanjutkan pendidikan PGA di Surakarta116 dan memperoleh sarjana pendidikan dari UNS Surakarta.117 Namun dibawah kepemimpinannya, MTA berkembang dengan pesat dan terus mendapatkan pengikut. Kini, organisasi MTA memiliki 52 perwakilan (setingkat
114
Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional, edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 115 Jinan, ibid 116 Jinan, ibid 117 Syaefudin Zuhri, “Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang Majelis Tafsir Al Quran (MTA)”, dalam Gerakan Wahhabi di Indonesia (Dialog dan Kritik), Prof. K Yudian Wahyudi, Ph.D. ed. 2009. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kabupaten) dan lebih kurang 245 cabang (di bawah kabupaten).118 Jumlah tersebut masih terus berkembang. Hampir setiap bulan, berbagai perwakilan atau cabang baru diresmikan. Salah satu faktor berkembang pesatnya MTA di bawah kepemimpinan Sukina adalah penggunaan radio sebagai media dakwah. Jangkauan yang luas dan masih digunakannya radio terutama oleh masyarakat di pedesaan menjadi kekuatan dakwah MTA menggunakan radio. Banyak cabang baru atau binaan tumbuh di berbagai daerah yang awalnya hanya mendengar radio. 119 Selain itu, MTA juga berkembang menjadi organisasi yang modern dengan mengembangkan televisi, media online, majalah, buletin, usaha ekonomi, percetakan, pertokoan serta lembaga pendidikan dari TK sampai SMA. Satu hal yang menarik, sebaga organisasi lokal, MTA berhasil menjalin jaringan dengan berbagai pihak, termasuk dengan tokoh-tokoh nasional dari berbagai kalangan yang silih berganti hadir dalam berbagai kegiatan MTA, terutama pengajian Ahad Pagi. Puncaknya adalah ketika presiden SBY datang dan meresmikan gedung pengajian berlantai empat pada tanggal 9 Februari 2008.120
118
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional, edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 120 Berbagai tokoh yang hadir antara lain Akbar Tanjung, Azwar Anas, Zaenuddin MZ, Din Syamsuddin, Shalahuddin Wahid, Wiranto, MS Ka‟ban, Surya Dharma Ali dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Majalah Respon, edisi 268, hal 43 119
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA 1. Doktrin dan Ideologi Organisasi Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, berdirinya MTA tidak lepas dari gagasan pendirinya Abdullah Thufail yang melihat kemunduran umat Islam pada tahun 1960 dan 1970 sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dan pengamalan Islam secara benar. Selain itu, kemunduran tersebut merupakan akibat dari masih dilakukannya praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai ajaran lain. Satu-satunya jalan untuk menuju pada kejayaan Islam adalah dengan mengamalkan ajaran Islam berdasar Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh aspek kehidupan, sekaligus meninggalkan berbagai praktek yang tidak ada sumber hukumnya. Dalam konteks gerakan, MTA bisa dikategorikan sebagai gerakan purifikasi agama yang berupaya menghapus elemen-elemen non-Islami dalam pemahaman dan praktek keagamaan yang secara umum dipengaruhi oleh pemikiran Ibn abd Wahhab. Hal tersebut bisa dilihat dari ajaran MTA yang menolak berbagai praktek keagamaan yang lazim ditemui di masyarakat terutama di pedesaan, seperti
ziarah kubur,
slametan, kenduri dan praktek lainnya. menurut MTA, praktek tersebut adalah bid‟ah karena tidak ditemukan dalilnya baik dalam Al Quran maupun Hadits nabi.
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MC Ricklefs menggolongkan MTA sebagai organisasi fundamentalis modernis.121 Tujuan utama organisasi ini adalah mengajak umat Islam mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits dengan penafsiran tekstual dan menolak segala macam bentuk penafsiran kontekstual yang menghasilkan amalan ibadah yang dianggap bid‟ah yang dikhawatirkan bisa merusak ibadah seseorang. Sementara menurut Quintan Wiktorowitz dalam konteks kategori gerakan salafi, MTA tergolong dalam kelompok Salafi purist, yakni tidak berkeinginan untuk membentuk negara Islam tetapi lebih memilih untuk berdakwah di tingkatan masyarakat bawah dan berpendapat bahwa jika semua tingkat masyarakat memahami Syariat Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, Syariat Islam akan terwujud dengan sendirinya.122 Sekilas, tujuan MTA sama seperti organisasi puritan lainnya di tanah air, semisal Muhammadiyah atau Persis yang juga mengajak umat Islam meninggalkan praktek ibadah yang seperti bid‟ah dan khurafat (takhayul).123 Begitu juga dengan metode dakwah yang mengadopsi gagasan-gagasan yang lebih modern, misalnya melalui pendirian sekolah serta penggunaan media baik cetak maupun elektronik. Namun, berbeda dengan organisasi puritan lainnya, MTA memiliki karakteristik yang khas, antara lain model kepemimpinan yang hirarkis, pola kaderisasi dan keanggotaan 121
MC Ricklefs, Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes dalam Greg Barton dan Sally White, ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia”, Singapore, ISEAS, 2008, hal 126-127 122 Ricklefs, ibid, 123 Ahmad Sukina mengatakan bahwa Muhammadiyah terlalu lunak dalam menganjurkan amalan Islam yang bebas dari bidah kepada anggotanya. Lihat Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism in Solo: A Study of the Proliferation of Radical Islamism in Central Java, Indonesia, Earlier version of paper in fellowship at ISIM, Leiden University, the Netherlands in March-April 2007
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ketat, serta berbagai aturan yang berfungsi untuk mengatur perilaku sekaligus membangun loyalitas dan solidaritas organisasi. Karakteristik MTA tersebut tidak lepas dari peran
Abdullah Thufail
membangun semacam kerangka dasar organisasi, yang kemudian menjadi landasan dari MTA. Beberapa pemikiran MTA tersebut antara lain; pertama, konsep mengenai imamah dan jama‟ah. Bagi Abdullah Thufail, suatu gerakan atau organisasi umat Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah. Imam merupakan pemimpin yang wajib diiukuti oleh para jamaah. Kedua, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan adalah dengan kembali mempelajari dan mengamalkan Al-Quran dan al-Sunnah. Ketiga, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta. Dalam hal ini, pengertian jihad dengan jiwa artinya bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah.124 Kerangka pemikiran tersebut mewarnai MTA sebagai sebuah organisasi dakwah sekaligus suatu komunitas dengan berbagai aturan yang mengikat sekaligus menyatukan warga MTA di seluruh Indonesia. Dalam konteks ajaran, MTA menyebut bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan organisasi Islam lainnya. Dalam menafsirkan Al Quran, mereka mengambil referensi dari buku-buku tafsir yang sudah ada. Buku tafsir Al Quran yang mereka pelajari berasal dari terbitan Departemen Agama, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
124
Jinan, ibid
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Abbas, dan Tafsir Al-Maraghi yang secara substansi juga dipakai oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Meski demikian, dalam menafsirkan ayata-ayat Al Quran terlihat bahwa MTA menafsirkan al Quran sesuai dengan ideologi puritan mereka antara lain melalui adanya penerbitan tafsir Majelis Tafsir Al Quran yang menunjukkan kentalnya ideologi puritan mereka.125 Dalam prakteknya, pemahaman mereka terhadap tafsir tersebut sangat tekstual dan mengabaikan interpretasi diluar apa yang tertulis dari referensi yang mereka pakai dan didasarkan pada pemahaman utama mereka mengenai upaya purifikasi agama dari ajaran atau pengaruh di luar Islam. Hal ini berimplikasi pada pandangan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh MTA adalah benar, sementara yang dilakukan umat Islam di luar MTA salah dan menyimpang, terutama mereka yang mengamalkan praktek-praktek keagamaan secara sinkretis.
2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi Salah satu karakter yang membedakan MTA dengan organisasi lain adalah pola kepemimpinan yang hirarkis dan model keanggotaan yang ketat. Pola tersebut berfungsi untuk menjaga komitmen terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits sekaligus membangun solidaritas dan ketaatan terhadap organisasi sebagai manifestasi dari menjadi seorang muslim yang utuh. 125
Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011, hal 128
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Model kepemimpinan MTA terdiri dari kepengurusan yang berjenjang dari tingkat pusat, kemudian perwakilan (setingkat kabupaten), disusul cabang (setingkat kecamatan), dan tingkatan paling bawah adalah yaitu kelompok. Pimpinan di masingmasing tingkatan tidak hanya dalam konteks manajerial, tetapi juga sebagai orang yang dimintai jawaban atas segala persoalan, baik agama atau kehidupan sosial ekonomi. Keputusan-keputusan strategis dan instruksi-instruksi yang berkaitan dengan kemajuan organisasi diambil oleh pengurus pusat dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota sampai di tingkat paling bawah. Secara hirarkis, pola kepemimpinan MTA dikendalikan oleh kepengurusan pusat yang berada di Surakarta. Ketua umum bertindak selaku posisi tertinggi di organisasi sekaligus pada saat yang sama menjadi imam tertinggi yang menjadi rujukan untuk masalah keagamaan bagi seluruh warga MTA. Dengan demikian, bisa dikatakan MTA menganut model kepemimpinan yang tunggal dan sentralistik.126Di tingkatan selanjutnya adalah perwakilan yang merupakan organisasi setingkat kabupaten atau wilayah. MTA perwakilan ini membawahi MTA Cabang atau organisasi setingkat setingkat kecamatan. Kelompok menjadi struktur paling kecil, yang terdiri dari 3-7 orang. Dengan pola organisasi yang hirarkis, MTA perwakilan, cabang atau bahkan kelompok tidak bisa mengambil keputusan penting sendiri-sendiri, tetapi harus melalui konsultasi dan koordinasi dengan kepengurusan pusat. Begitu juga setiap
126
Jinan, ibid
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
persoalan yang dihadapi organisasi atau yang dialami anggota baik untuk urusan keagamaan maupun persoalan lainnya dipecahkan secara berjenjang di masingmasing kelompok, lalu jika tidak selesai di bawa ke tingkat cabang, selanjutnya perwakilan sampai ke pusat.127 Selain itu, model kepemimpinan MTA juga sangat berbeda dengan organisasi puritan modern lainnya. MTA tidak mengenal pemilihan ketua atau pengurus secara periodik. Hal tersebut mengikuti pola kepemimpinan nabi dan para sahabat, di mana pimpinan ditunjuk berdasarkan kapasitas.128 Hal tersebut bisa dilihat dari proses peralihan kepemimpinan dari Abdullah Thufail ke Ahmad Sukina.
3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota Sesuai dengan namanya, organisasi dakwah MTA memfokuskan diri pada kegiatan dakwah untuk mempelajari, memahami dan meinterpretasikan Al Quran. Dalam berbagai kesempatan, Ahmad Sukina selalu menjelaskan bahwa MTA bukan organisasi yang menafsirkan Al Quran, melainkan tempat mempelajari Al Quran. Salah satu kegiatan yang menjadi ciri khas MTA adalah pengajian Ahad Pagi. Acara ini berlangsung setiap hari minggu di gedung MTA pusat dan dipimpin langsung oleh ketua umumnya Ahmad Sukina. Peserta adalah anggota MTA dan masyarakat umum dari berbagai kalangan. Dalam pengajian ini, setiap peserta mengajukan pertanyaan mengenai persoalan agama maupun persoalan kehidupan 127 128
Catatan lapangan dan wawancara dengan Ustadz Suradi, ketua MTA perwakilan Blora Wawancara dengan Sekretaris MTA Pusat Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sehari-hari yang dijawab langsung oleh Ahmad Sukina. Pengajian ini menjadi andalan MTA dalam merekrut anggota karena disiarkan melalui radio satelit dan internet sehingga bisa menjangkau seluruh wilayah dan mampu diakses semua kalangan, terutama mereka yang berasal dari pedesaan. Banyak anggota MTA yang mengaku bergabung dengan MTA setelah mendengar pengajian Ahad Pagi melalui radio.129 Selain pengajian Ahad Pagi yang terbuka untuk umum, MTA juga menggelar pengajian yang khusus dihadiri oleh para anggotanya. kegiatan ini diselenggarakan oleh masing-masing cabang, biasanya digelar seminggu sekali dengan guru dari pusat atau daerah yang sudah mendapat rekomendasi dari pusat. Misalnya di MTA Perwakilan Blora menggelar pengajian setiap Selasa sore dengan seorang ustadz dari Surakarta.130 Khusus untuk perwakilan Blora, hanya ada dua orang guru yang bisa mengajar, yaitu Suradi, ketua MTA perwakilan Blora dan Suwanto yang berasal dari Bangkerep, Blora. Selain pengajian khusus anggota di masing-masing perwakilan atau cabang, ada juga pengajian khushusi, yaitu pengajian yang diselenggarakan khusus untuk anggota yang dianggap memiliki kapasitas tertentu dan mereka yang telah membaiatkan diri kepada sang imam (ketua umum) MTA.131 Anggota Khushusi biasanya mereka adalah pengurus di masing-masing perwakilan atau cabang serta anggota biasa yang dianggap layak dan memiliki komitmen tinggi atau mereka yang
129
Wawancara dengan Suraji, salah seorang warga MTA berasal dari Purwodadi. tanggal 9 September 2012 di kantor pusat MTA. Ia mengaku mengenal MTA pertama kali dari radio. 130 Catatan lapangan 131 Jinan, ibid, hal 594
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sudah lama bergabung dengan MTA.132 Kegiatan ini diselenggarakan setiap hari Jumat di kantor pusat MTA. Para peserta terbagi dalam beberapa kelas dan dipimpin oleh seorang guru.133 Pengajian ini diselenggarakan setiap hari Jumat di kantor pusat MTA dengan peserta pengurus maupun anggota khusus. Selain itu, pengajian di MTA memiliki ciri khas. Jika pengajian pada umumnya tidak ada interaksi langsung atau penceramah berbicara dan pendengar menyimak, di pengajian MTA –baik pengajian terbuka atau khusus anggota- setiap setiap orang bebas bertanya persoalan apapun, baik persoalan agama atau kehidupan sehari-hari. Peserta juga membawa pena, buku catatan dan Al Quran terjemahan. Dalam pengajian ini juga disebarkan brosur –istilah yang memang disebut oleh MTAyang berisi kumpulan ayat al-Quran dan hadis beserta terjemahannya sesuai dengan tema yang diajarkan pada hari itu yang dikeluarkan secara resmi oleh pengurus MTA pusat. Yang menarik dari pengajian tertutup yang dihadiri oleh anggota adalah adanya presensi atau pengecekan kehadiran anggota. Sebelum seorang ustadz memulai pengajian, ia selalu menanyakan siapa saja anggota yang tidak hadir berikut alasannya. Jika selama kurun waktu tertentu seorang anggota tidak hadir tanpa keterangan yang jelas, ia bisa dikeluarkan dari MTA. Adanya presensi tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan komitmen anggota dalam belajar agama,
132 133
Wawancara Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 Catatan lapangan di kantor perwakilan MTA Blora dan dan kantor pusat MTA Surakarta
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karena sebagai anggota MTA mereka punya aturan dan kewajiban yang harus ditaati.134 Keanggotaan MTA dilandaskan atas pemikiran Abdullah Thufail bahwa agar berkembang dengan baik umat Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah, model perekrutan keanggotaan MTA dilakukan secara berjenjang dengan baiat atau loyalitas sebagai syarat untuk masuk ke dalam keanggotaan MTA. Orang yang bergabung dengan MTA biasa disebut dengan istilah warga. Istilah ini dipilih untuk menghindari sebutan ”anggota”, karena MTA merupakan Yayasan memiliki pengurus tetapi tidak memiliki anggota.135 Menurut Suradi, istilah warga merupakan strategi dari ustad Abdullah Thufail selaku pendiri MTA pada masa Orde Baru karena tidak secara spesifik menunjukkan identitas keislaman, semisal istilah Jamaah yang pada masa Orde Baru identik dengan gerakan Islam garis keras.136 Untuk menjadi warga MTA, seseorang harus melalui beberapa tahapan. Pertama, seorang yang akan bergabung harus terlebih dulu mengikuti pengajian MTA di tempat dia tinggal terdekat atau mengikuti pengajian Ahad Pagi dengan status sebagai pendengar (mustami‟). Selanjutnya calon tersebut diharuskan mengikuti pengajian baik secara berkelompok atau secara pribadi selama beberapa kali. Tahap berikutnya adalah pembinaan, yaitu tahapan di mana calon yang dinilai serius dalam mengikuti pengajian calon warga diharuskan mengisi formulir peserta yang berisi data pribadi, kerelaan menjadi anggota sekaligus menyetujui setiap aturan yang mengikat 134
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September dan catatan lapangan Jinan ,ibid 136 Wawancara dengan Ustadz Suradi 135
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mereka sebagai warga MTA. Aturan yang harus ditaati oleh setiap anggota yang bergabung dengan MTA adalah: 1)Niat ikhlas menuntut ilmu; 2) Bermujahadah (bersungguh-sungguh –penulis) untuk memahami pelajaran; 3) Bermujahadah meyakini dan mengamalkan isi pelajaran tingkat perorangan, rumah tangga dan masyarakat; 4) Tertib dan bersih dalam berpakaian, sopan dalam pembicaraan di dalam maupun di luar pengajian; 5) Menjaga ketertiban masuk dan keluar ruang belajar; 6) Menjaga dan menghindari pergaulan bebas pria dan wanita; 7) Menyebarluaskan isi pelajaran kepada keluarga dan masyarakat dengan kasih sayang, tanpa pamrih dan mengharap ridha Allah Swt; 8) Tidak masuk pengajian tiga kali (3x) berturut-turut tanpa ijin, dinyatakan keluar dari Majlis Tafsir Al Quran.
137
Tahap
ketiga atau terakhir adalah kemantapan, yakni bersamaan dengan proses pembinaan, kelompok binaan diresmikan menjadi cabang atau tersendiri atau bergabung dengan cabang yang sudah ada. Selain kegiatan pengajian Ahad Pagi dan di masing-masing cabang atau perwakilan, MTA juga menggelar kegiatan yang mungkin tidak ditemui di organisasi Islam lainnya. antara lain adalah kegiatan Nafar (bahasa arab: rombongan) atau kegiatan kunjungan silaturahim warga MTA ke wilayah lain yang dilakukan setiap bulan Ramadhan. Khusus untuk kegiatan ini, seorang warga MTA harus mendaftarkan dirinya untuk mengikuti kegiatan di tempat lain ke kantor pusat MTA, di mana pengurus pusat kemudian menentukan penempatan seorang warga. Bisa jadi
137
Sumber dari Lembar Pernyataan Peserta Cabang/Gelombang, Yayasan Majlis Tafsir Al Quran
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seorang warga MTA di Blora mengikuti nafar di kota lain, atau bahkan di provinsi atau pulau lainnya. Dengan demikian, terjadi interaksi dan berbagi pengalaman antar anggota yang berasal dari wilayah yang berbeda. Selain itu juga terdapat kegiatan insidental seperti Pengajian Akbar saat peresmian Cabang atau Perwakilan baru, di mana warga MTA dari seluruh Indonesia datang dan menjadi gambaran kesolidan organisasi dan pesatnya perkembangan MTA.
4. Pola Interaksi dan Solidaritas Anggota Jenjang organisasi yang hirarkis, model rekrutmen anggota yang ketat, aturan yang mengikat, serta berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan secara terjadual dan rapi telah membuat MTA menjadi organisasi dengan anggota yang memiliki loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, solidaritas keanggotaan yang kuat serta komitmen dan disiplin
yang tinggi dalam menjalankan ajaran-ajaran keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi keanggotaan antar warga MTA dijabarkan dalam prinsip yaitu ta‟ruf, tafahum, dan takaful. Ta‟ruf artinya sesama aggota saling mengenal satu dengan lainnya. Kemudian Tafahum, artinya saling memahami satu sama lain. Sedangkan Takaful artinya saling membantu dan bekerja sama. Konsep ini diambil dari pemikiran ideolog Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna138 Ketiga konsep tersebut
138
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012. Sebagaimana dijelaskan dalam bagian lain pada bab ini, Hasan Al Banna (1906-1948) adalah ideolog organisasi Ikhwanul Muslimin yang berdiri di Mesir. Konsep ini ia jabarkan dalam bukunya Majmaatul Rasail atau diterjemahkan menjadi. Lihat Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terutama diamalkan dalam kelompok yang terdiri dari 5-7 orang, di mana kelompok berfungsi sebagai ajang untuk mengulang pelajaran sekaligus mengamalkan apa yang sudah mereka pelajari. Dari kelompok inilah solidaritas dan persaudaraan antar sesama warga tumbuh dan berkembang karena prinsip dalam Islam setiap umat Islam adalah bagaikan satu tubuh yang saling berhubungan satu sama lain.139 Dengan konsep tersebut, MTA menggalang jaringan, solidaritas dan loyalitas anggotanya di berbagai tempat. Setiap warga bisa meminta tolong warga lainnya, baik dalam persoalan keagamaan atau urusan ekonomi, bisnis, pekerjaan atau urusan lainnya. Dengan konsep ini maka seorang warga merasa menjadi bagian dari suatu komunitas besar yang menaungi dirinya baik dari segi keagamaan maupun sosial ekonomi, yang mana hal tersebut mungkin tidak ia jumpai di luar kelompoknya. Dengan konsep tersebut, tidak heran jika anggota MTA yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda memiliki solidaritas dan kebersamaan yang tinggi. Mereka memiliki ikatan yang kuat sebagai umat Islam yang memiliki komitmen untuk mengkaji, memahami dan mengamalkan tuntunan Islam secara murni. Dalam perkembangannya, solidaritas dan kebersamaan tersebut sangat berfungsi menguatkan komitmen mereka sebagai muslim puritan di tengah kehidupan masyarakat di sekitar mereka yang kebanyakan masih menjaga dan menjalankan berbagai praktek agama yang bercampur tradisi lokal. Di banyak tempat, perilaku keagamaan yang ketat dan kehidupan sehari-hari yang cenderung berbeda membuat
139
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
warga MTA sering mendapat kecaman dari masyarakat lainnya. Namun bagi warga MTA, hal itu tidak menyurutkan mereka terhadap apa yang mereka yakini, dan menganggap hal tersebut sebagai konsekuensi yang harus ditanggung demi menjadi seorang muslim yang utuh (kaffah), yakni muslim yang menjalankan agamanya berdasar sumber asli, yaitu Al Quran dan Hadits.
5. Jihad Harta dan Jihad Diri Salah satu konsep paling utama dari MTA adalah mengenai Jihad. Dalam pandangan MTA, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta. Jihad dengan harta ini menjadi ciri khas MTA yang berbeda dengan organisasi keagamaan Islam lainnya, yakni berkaitan dengan konsep Zakat dan Infaq. Dalam pemahaman yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia, mengeluarkan zakat harta sebesar 2,5 persen harta merupakan kewajiban jika telah memenuhi jumlah harta tertentu dalam satu tahun (nishob). Namun di MTA zakat harus dikeluarkan oleh seluruh anggotanya setiap kali mendapat penghasilan, baik harian maupun bulanan. Dana yang terkumpul baik di pusat, perwakilan atau cabang dikelola sendiri dan digunakan sebagai dana untuk membiayai infrastruktur dan operasional untuk kegiatan-kegiatan MTA yang dimaknai sebagai perjuangan untuk menegakkan agama Allah, atau jihad fi sabilillah. Dengan cara seperti ini tidak heran jika MTA memiliki infrastruktur yang lengkap dan modern, seperti gedung megah, sekolah-sekolah, radio
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan televisi serta untuk membiayai berbagai kegiatan lainnya yang memerlukan dana cukup besar. Selain zakat wajib, kegiatan operasional MTA juga didukung dari sumbangan atau infaq. Sama seperti zakat yang ditekankan sebagai bagian dari perjuangan menegakkan Islam, infaq atau sumbangan sukarela di MTA menjadi kata kunci yang selalu di sampaikan kepada warga anggota MTA sebagai bagian tak terpisahkan dalam menegakkan dakwah Islam. Sementara konsep Jihad jiwa adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah. Dalam prakteknya, seluruh anggota MTA dituntut untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan di cabang, perwakilan atau pusat baik yang sifatnya rutin seperti pengajian Ahad Pagi atau kegiatan insidental seperti peresmian-peresmian cabang MTA di seluruh Indonesia termasuk kegiatan Nafar selama bulan Ramadhan dimana anggota MTA dari satu cabang dikirim ke tempat lain baik di lokal atau ke seluruh wilayah Indonesia selama satu bulan penuh untuk belajar agama sekaligus membangun jejaring dengan anggota lainnya.
D. Kesimpulan Melalui uraian di atas bisa diperoleh gambaran mengenai MTA yang berdiri pada tahun 1972 di Surakarta atau pada situasi di saat umat Islam di seluruh dunia sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus berupaya meraih kejayaannya kembali melalui jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah. Tumbuh sebagai organisasi
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dakwah lokal yang bertujuan menyeru umat Islam untuk mengamalkan praktek Islam yang total sekaligus bebas dari pengaruh dari luar Islam, MTA berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia. Secara khusus, MTA mendapatkan banyak pengikutnya di pedesaan-pedesaan yang masyarakatnya masih kental dengan berbagai tradisi dan praktek keagamaan yang bercampur dengan kepercayaan lokal. Blora, terutama di wilayah pedusunan Bangkerep menjadi salah satu ikon dan gambaran sejarah perkembangan MTA yang mencakup warga yang awalnya masih kental dengan tradisi lokal, kemudian melakukan konversi menuju praktek pengamalan yang ketat dan puritan dengan segala konsekuensi dan identitas baru mereka.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III DINAMIKA BANGKEREP : ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN PURITANISME
A. Pengantar Ayo Podho Solat Kanggo sangu neng akherat Pitulas rekaat rino wengi ojo telat Yen jejek solate bakal ngadek agamane Yen ninggal solate bakal rubuh agamane
Senja itu, alunan irama menggunakan pelantang suara memecah keheningan di sebuah dusun kecil di Blora, Jawa Tengah. Sholawatan140 yang mengalun merdu dengan nada menyerupai lagu Jawa populer caping gunung141 tersebut berasal dari sebuah masjid kecil berdinding semi permanen yang terletak tepat di tengah dusun. Hampir bersamaan, suara adzan terdengar lantang dari sebuah masjid megah yang hanya terletak sekitar lima belas meter sebelah barat masjid sebelumnya. Berbeda dengan sholawatan bercengkok lagu Jawa, adzan dari masjid dengan dinding keramik tersebut berkumandang tanpa irama. 140
Sholawatan adalah puji-pujian yang dibaca oleh umat Islam kebanyakan di Jawa. Lazimnya dibaca antara waktu sesudah panggilan adzan dan sebelum iqomat atau pelaksanaan sholat. 141 Lagu Caping Gunung adalah lagu yang populer di masyarakat Jawa yang diciptakan oleh Gesang dan dipopulerkan Waljinah. Dalam versi aslinya, lirik lagu tersebut berbunyi: /Dhek jaman berjuang/Njuk kelingan anak lanang/Biyen tak openi/Ning saiki ana ngendi//Jarene wis menang/Keturutan sing digadang/Biyen ninggal janji/Ning saiki apa lali//Ning gunung/Tak jadongi sega jagung/Yen mendung/Tak silihi caping gunung//Sukur bisa nyawang/Gunung desa dadi reja/Dene ora ilang/Gone padha lara lapa/
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Segera saja jalanan dusun yang mulai gelap dipenuhi oleh orang-orang yang hendak menunaikan sholat Maghrib. Laki-laki, perempuan, anak-anak berjalan beriringan sambil berbicara hangat satu sama lain menuju masjid kecil dengan dinding batu dan kayu. Namun, beberapa orang laki-laki terlihat bergegas terburuburu menuju masjid yang lebih besar, sebagian dari mereka berjalan tanpa sepatah katapun. Lazimnya dalam satu desa hanya terdapat satu masjid dan beberapa mushola. Tetapi di Bangkerep, dusun kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 151 kepala keluarga, dua masjid yang berdekatan merupakan simbol identitas masing-masing. Masjid Baitun Nahdliyin dengan bangunan kecil semi permanen dengan alunan sholawatan bercengkok Jawa tadi digunakan oleh sebagian besar warga Bangkerep untuk beribadah dan menjadi simbol keharmonisan Islam dengan tradisi lokal. Sementara Masjid Al Furqon dengan bangunan permanen, berlantai keramik dengan arsitektur modern tadi adalah masjid yang dibangun oleh warga Bangkerep yang bergabung dalam organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA) setempat yang menjadi salah satu dari pengukuhan kembali identitas baru sebagai muslim yang murni dan utuh (kaffah).
B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep Majelis Tafsir Al Quran (MTA) pertama kali berkembang di Blora pada tahun 1990-an di Bangkerep, sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Balong, Kecamatan Kunduran. Seorang warga dusun yang merantau ke Solo bergabung dengan MTA dan
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemudian merintis berdirinya MTA sampai kemudian menjadi perwakilan (setingkat kabupaten) untuk seluruh wilayah Blora. Blora sendiri adalah sebuah kabupaten yang terletak di pedalaman Jawa Tengah.142 Secara geografis, Blora terletak di wilayah Pegunungan Kendeng Utara yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Karakater tanah yang didominasi tanah kapur dan berhawa panas membuat tanaman-tanaman yang tidak terlalu banyak membutuhkan air seperti ubi, jagung, dan tentu saja pohon jati. Karakter tanah yang kering membuat Blora juga dikenal sebagai penghasil kayu jati terbaik. Karena jati tersebut, Blora menjadi salah satu wilayah yang paling awal dikuasai oleh kerajaan Jawa dan baru pada tahun 1749 menjadi wilayah pemerintahan sendiri.143 Curah hujan yang sedikit dan tanah yang tandus menjadikan Blora sebagai penghasil palawija. Meski dikenal sebagai wilayah yang kering, namun Blora memiliki kekayaan alam berupa minyak dan gas yang yang dikelola oleh pihak asing. Salah satu ladang minyak terbesar di wilayah ini ada di kecamatan Cepu, tempat di mana ladang-ladang 142
Blora berasal dari kata “Belor” yang berarti lumpur, menjadi “Mbeloran” lalu kemudian berubah menjadi Blora. Secara etimologi Blora berasal dari kata Wai yang berarti air dan Lorah yang berarti jurang atau tanah rendah. Perubahan penyebutan yang biasa terjadi di masyarakat Jawa antara lain menyebut “w” dengan “b” sehingga Wailorah menjadi Bailorah, kemudian menjadi Balora dan akhirnya menjadi Blora. Blora dengan demikian terkait dengan karakteristik geografis yaitu dataran rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur. Lihat www.blora.go.id 143 Andre Moller, Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting, Department of History and Anthropology of Religion, Lund University, Swedia, 2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari www.anpere.net , hal. 21
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
minyak dikelola oleh Pertamina dan beberapa investor asing seperti Exxon dan Petrochina. Minyak menjadi pemasukan utama bagi pemerintah Kabupaten Blora. Selain itu, berbeda dengan karakter masyarakat di pesisir yang lebih Islami – pantura mendapat ajaran Islam dari Walisongo- Blora memiliki karakter berbeda. Blora terletak sekitar 30 kilometer jauhnya dari kota pesisir terdekat Rembang dan dari dua kota wali Kudus dan Tuban. Blora bisa didefinisikan sebagai Jawa yang jauh dari Keraton.144 Selain itu wilayah Blora juga dikenal dengan gerakan perlawanan masyarakat Samin, yakni gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang memungut pajak yang memberatkan mereka yang dipimpin oleh Samin Surosentiko (1859-1914). Blora dikenal memiliki kekayaan tradisi dan kebudayaan. Berbagai macam kesenian, ritual, legenda, mitos menjadi kehidupan sehari-hari warga Blora. Dua kesenian yang menjadi kebanggan Blora adalah Barongan dan Tayub. Kedua kesenian khas tersebut lekat dengan mitos dan legenda dan biasanya digelar saat pesta rakyat, upacara-upacara, peringatan hari besar atau ketika warga menggelar hajatan pernikahan, atau sunatan. Blora juga dikenal sebagai wilayah Abangan yakni masyarakatnya beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam dan tidak terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan tradisi-tradisi yang bersumber dari kepercayaan lokal. Secara historis, wilayah Blora termasuk Kunduran juga merupakan basis dari kelompok Nasionalis-Abangan,
144
Moller, ibid, hal. 22
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
1. Kehidupan sosial ekonomi Bangkerep a. Geografis Dari jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Grobogan dengan Blora, Bangkerep bisa diljangkau melewati sebuah jalan desa berbatu sejauh lebih kurang sepuluh kilometer. Secara administratif, Bangkerep merupakan salah satu dari dua dusun yang masuk wilayah Desa Balong, Kecamatan Kunduran. Dusun lainnya, yang terletak sebelum Bangkerep –memiliki nama yang sama dengan nama desa- adalah Dusun Balong. Desa Balong memiliki luas 648.420 Ha. Secara geografis, dua dusun yakni Dusun Bangkerep dan Dusun Balong dipisahkan oleh persawahan dan tegalan sejauh lebih kurang satu kilometer. Sebagian besar wilayah Desa Balong terdiri dari persawahan, tegalan kering serta dikelilingi oleh hutan jati yang biasa disebut warga dengan nama hutan Kunduran. Hutan jati menjadi bagian dari kehidupan warga Dusun Bangkerep dan Dusun Balong. Dulu warga Desa Balong terbiasa menebang kayu jati untuk dijual kepada para penadah dengan resiko ditangkap aparat. Reformasi pada tahun 1998 menjadi puncak ketika pada masa itu warga melakukan penjarahan besar-besaran di hutan jati yang mengelilingi dusun mereka.
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
b. Sosial Secara umum, Dusun Bangkerep adalah dusun dengan ikatan relasi sosial yang masih kuat. Hal tersebut terjadi karena antar warga memiliki hubungan kekerabatan baik ikatan darah atau ikatan perkawinan satu dengan lainnya. Selain itu, kondisi geografis dusun yang berada dalam satu lokasi memungkinkan terjadinya interaksi antar warganya. . Kata Bangkerep sendiri berasal dari kata “kembang kerep” atau yang berarti bunga “gebang” yang banyak tumbuh di hutan sekitar Bangkerep. Tidak begitu jelas diketahui kapan dusun ini berdiri. Namun sebagian besar warga Dusun Bangkerep dulunya bukanlah warga asli. Dusun ini awalnya hanya terdiri dari sekitar 11 kepala keluarga. Lalu pada tahun 1960-an para warga dari luar dusun mulai berdatangan dan bermukim di Bangkerep. Sebagian besar pendatang tersebut berasal dari wilayah Sragen, Jawa Tengah. Tidak ada informasi yang jelas mengenai motif kedatangan orang-orang dari wilayah Sragen tersebut. Salah satu informasi dari warga menyebutkan bahwa pada tahun 1960-an ada beberapa orang pendatang dari Sragen yang membuka lahan di hutan Kunduran yang mengelilingi Dusun Bangkerep. Karena hasil bercocok tanam yang bagus, warga pendatang tersebut kemudian mengajak kerabat-kerabatnya di wilayah Sragen untuk bersama-sama menetap dan mengolah lahan di hutan sekitar Dusun Bangkerep sehingga kemudian berkembang menjadi sebuah dusun seperti sekarang ini.
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Desa Balong dihuni oleh lebih kurang 1.294 jiwa. 90 persen dari mereka bermata pencaharian petani, dan sisanya adalah pedagang, pegawai negeri, tentara dan pekerja lainnya. Secara formal, Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut oleh seluruh warga desa Balong. Khusus untuk Dusun Bangkerep ditinggali oleh sekitar 151 KK atau lebih kurang 500 jiwa. Hampir seluruh kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani padi dan palawija, terutama jagung dan singkong. Mayoritas tingkat pendidikan hanya sampai di sekolah dasar. Sampai tahun 2011, ada dua orang yang melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, empat warga yang sedang bersekolah di tingkat menengah atas, kurang dari sepuluh yang bersekolah di tingkat menengah pertama, dan lainnya hanya bersekolah sampai di tingkat pendidikan dasar. Tidak ada fasilitas publik satupun di Dusun Bangkerep. Karena semua fasilitas umum terletak di Dusun Balong, maka anak-anak di Dusun Bangkerep harus bersekolah atau warga yang ingin mendapatkan layanan kesehatan harus pergi ke Dusun Balong. Sebagian besar warga tinggal di rumah berdinding papan dan berlantai tanah. Menempel di sisi rumah atau di pekarangan, terletak kandang sapi atau kambing, ternak yang menjadi tabungan untuk digunakan saat darurat atau kebutuhan besar. Dengan swadaya masyarakat, pada tahun 2001, warga baru bisa menikmati listrik. Sementara kondisi di Dusun Balong bisa dibilang relatif lebih maju. Rata-rata tingkat pendidian warga Dusun Balong memiliki tingkat pendidikan warga yang lebih
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tinggi dengan beragam jenis mata pencaharian selain petani. Dibandingkan dengan Dusun Bangkerep, rumah-rumah warga Dusun Balong banyak yang berdinding batu dengan arsitektur beragam. Selain itu, Dusun Balong juga menjadi pusat pemerintahan desa, di mana selain terdapat kantor balai desa, juga terdapat berbagai layanan publik seperti sekolah dasar, Madrasah Diniyah (sekolah sore keagamaan), serta Polindes (poliklinik desa) dan bidan desa.
c. Ekonomi : Antara tanah tandus dan perantauan Di penghujung bulan April, tanda-tanda kemarau sudah mulai terasa di Dusun Bangkerep. Sawah-sawah mulai mengering tak bisa ditanami. Kali kecil dan irigasi sudah tidak lagi mengalir. Sebagaimana wilayah Blora lainnya, lahan pertanian di Dusun Bangkerep didominasi oleh tanah tandus dan kering. Hampir seluruh petani di Dusun Bangkerep menggantungkan kehidupan mereka pada sawah tadah hujan. Masa panen besar biasanya berlangsung sekitar bulan Februari atau Maret atau di akhir musim penghujan. Di musim kemarau, jagung menjadi satu-satunya tanaman andalan warga untuk bertahan hidup. Kemarau yang menjelang juga menjadi pertanda bahwa sebentar lagi dusun kecil yang terletak di tengah persawahan dan hutan jati itu akan mulai sepi ditinggalkan para penghuninya –terutama para lelaki untuk merantau ke kota besar. Sebagian besar para lelaki merantau ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan atau berdagang informal. Surabaya, kota besar yang yang terdekat dengan Blora
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi tujuan utama, sebagian kecil pergi ke Jakarta. Ada juga yang pergi ke luar pulau Jawa. Mereka yang hendak merantau biasanya pergi dalam rombongan besar dengan menyewa mobil secara bersama-sama. Laki-laki warga Dusun Bangkerep yang tidak pergi merantau biasanya adalah mereka yang mengurusi ternak, atau mereka yang berusia lanjut. Namun beberapa tahun belakangan ini, warga Bangkerep menemukan komoditas pertanian yang jauh lebih menguntungkan, yaitu singkong. Dengan masa panen rata-rata 4-7 bulan dan perawatan yang tidak rumit, hasil yang didapat jauh lebih besar ketimbang tanaman padi. Sebagai contoh, untuk lahan seluas 0,5 hektar, warga bisa mendapat sekitar 3-4 juta rupiah sekali panen. Hasil panen biasanya di ambil oleh tukang tebas yang berasal dari warga sekitar untuk dijual ke tengkulak di kota Pati, sebagai bahan tepung kanji.
2. Bangkerep dan tradisi masyarakat petani Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa dan khususnya Blora, masyarakat Dusun Bangkerep masih kental dengan kepercayaan leluhur dan kekuatan gaib seperti danyang, mbahurekso, arwah leluhur, dan berbagai kekuatan yang tidak kasat mata lainnya. Kekuatan gaib tersebut diyakini merupakan bagian tak terpisahkan atau satu kesatuan antara masyarakat, alam dan kekuatan adrikodrati yang ikut berperan dalam kelangsungan nasib manusia sehingga harus terus dijaga sehingga tercipta suatu
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
keseimbangan dalam kehidupan.145 Keyakinan terhadap kepercayaan leluhur tersebut mewujud dalam berbagai ritual seperti sedekah bumi, kepercayaan terhadap danyang di tempat-tempat keramat, serta ritual siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian) seperti lek-lekan (begadang semalaman) dalam rangka kelahiran bayi atau hajatan pernikahan yang dalam beberapa waktu terakhir sudah diwarnai oleh ajaran Islam. Di sisi lain Dusun Bangkerep bisa dikategorikan sebagai dusun Abangan di mana mayoritas warganya tidak memiliki pengetahuan keagamaan Islam yang cukup serta kurang peduli dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan pada saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan dan menjalankan berbagai ritual-ritual dari leluhur mereka.
a. Kamituwo dan Modin: dua serangkai penjaga tradisi dusun Rumah kayu bercat coklat di tengah dusun itu hampir tak pernah sepi. Ada saja orang yang datang untuk suatu keperluan. Hari itu misalnya, salah seorang warga datang untuk mengurus perceraian. Ada juga yang datang untuk berkonsultasi mengenai kapan baiknya mengadakan acara kenduri karena berbenturan dengan warga lainnya. Sebagian besar warga datang untuk mengurus administrasi kependudukan atau sekedar menanyakan kepastian program pemerintah yang menyasar langsung ke warga, seperti misalnya pembagian beras miskin.
145
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta, 2003, Gramedia, hal 85
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Rumah itu milik pak Saji, Kamituwo (kepala dusun) Bangkerep. Lelaki berusia sekitar 40 tahun itu menjadi rujukan warga Bangkerep untuk segala macam urusan. Dalam struktur masyarakat pedesaan, Kamituwo tidak hanya berfungsi struktural, tetapi juga kultural. Selain mengurus administrasi seperti pernikahan, kelahiran maupun perceraian, ia juga bertugas untuk mengurusi hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan keagamaan di dusun. Pak Saji menjadi Kamituwo sejak tahun 2002. Ia dipilih karena satu-satunya warga berusia tua yang lulus sekolah menengah pertama. Saat pemilihan Kamituwo, ia melawan bumbung kosong atau satu-satunya calon Kamituwo karena tidak ada warga lain yang bersedia mencalonkan diri menjadi Kamituwo. Sama seperti warga Bangkerep lainnya, pak Saji mendapatkan penghasilannya dari bertani. Sebagai Kamituwo, ia mendapatkan tanah bengkok. Pagi hari ia sudah mengurus sawah atau melihat tanaman singkongnya. Menjelang siang, ia mencari rumput untuk dua ekor sapinya. Ia hampir tidak pernah ke kantor balai desa di Balong, hanya sesekali atau bersamaan dengan jadual piketnya, hari Selasa. “Mboten wonten damelan wonten mriko. (Tidak ada yang dikerjakan di sana)”, katanya suatu ketika. Bu Tuminah, istrinya, menghabiskan waktu dengan mengurus rumah. Sebagai istri Kamituwo, ia juga berperan dalam kegiatan sosial keagamaan, seperti mengurus kelompok musik rebana dusun atau kelompok pengajian ibu-ibu. Maulida, anak perempuannya adalah satu dari sekitar empat anak dusun Bangkerep yang bersekolah
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ke sekolah menengah pertama di kota kecamatan. Sementara Kukuh, anak lakilakinya masih bersekolah di sekolah dasar di Dusun Balong. Selain Kamituwo, tokoh berpengaruh lainnya adalah Mbah Nurhasyim, yakni Modin atau orang yang bertugas mengurusi masalah keagamaan. Meskipun memiliki jabatan Modin, Mbah Nurhasyim bukan tipe tokoh agama yang memiliki pengetahuan agama Islam yang luas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Ia hanya menjadi imam sholat di saat-saat tertentu saja. Beberapa warga menunjukkan keraguannya pada mbah Nurhasyim, terutama karena bacaan Qur‟annya yang tidak fasih. Menurut Pak Saji: “Riyen mbah Modin namung ditunjuk, kowe dadi modin. Nggih namung iso-isonan.” (Dulu mbah Modin itu ditunjuk, kamu jadi Modin. Ya cuma bisa sedikit-sedikit saja). Selain Kamituwo dan Modin, sebenarnya ada tokoh kultural lainnya, yaitu Petengan dan Bayan. Petengan adalah orang yang bertugas menjaga keamanan dusun. Sementara Bayan adalah semacam juru informasi berkaitan dengan kebijakan desa atau dusun. Namun sudah puluhan tahun kedua posisi tersebut tidak diisi karena Dusun Bangkerep tidak memiliki tanah bengkok untuk menggaji orang yang menduduki kedua jabatan tersebut.
b. Warung kopi : ruang publik dan transaksi ekonomi Dari warung kopi kehidupan Bangkerep seolah dimulai. Pagi hari ketika matahari mulai menyiratkan semburat merah di timur, lelaki-lelaki Bangkerep
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bergegas menuju ke sebuah rumah di sebelah selatan dusun. Rumah berukuran luas dengan bangku dan meja-meja panjang itu berfungsi sebagai warung kopi. Seiring matahari meninggi, warung mulai ramai didatangi pembeli. Hampir semuanya adalah lelaki Bangkerep. Gelas-gelas kopi mulai diedarkan. asap rokok mulai mengepul. Dan obrolan dimulai. Bagi lelaki Bangkerep, warung kopi adalah tempat untuk memulai segala kegiatan sebelum pergi ke sawah atau ladang. Selain pagi hari, warung kopi mulai ramai saat siang hari, ketika panas matahari mulai menyengat. Para petani Bangkerep beristirahat ke warung kopi untuk kemudian pergi ke sawah atau ladang ketika matahari tidak lagi menyengat. Malam hari, mereka kembali menghabiskan waktu di warung kopi sampai larut malam. Terlebih jika ada pertandingan sepak bola atau wayang di televisi. Lebih dari sekedar minum kopi, warung kopi menjadi semacam ruang publik tempat di mana mereka bisa membicarakan hal apapun secara bebas. Situasi politik, panen, olahraga dan sebagainya. Selain itu, warung kopi adalah tempat melakukan transaksi ekonomi. Pagi itu misalnya Mbah Nurhasyim membayarkan sejumlah uang kepada salah seorang warga yang telah membantunya ndodos atau memanen singkong. Warga lainnya mencari beberapa orang untuk borongan ndodos, atau sebaliknya warga yang tidak memiliki lahan bisa mencari informasi siapa warga yang hari itu ndodos untuk kemudian menawarkan jasanya.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tidak hanya itu, warung kopi menyediakan cara melepas penat dengan cara judi kecil-kecilan. Pada hari-hari tertentu, pemilik warung menyediakan kupon yang berhadiah rokok. Warga membelinya dan jika beruntung mendapatkan sebungkus rokok. Judi kecil-kecilan juga dilakukan jika ada pertandingan bola di televisi.
c. Kenduri di bawah beringin Hari itu, kesibukan tampak terlihat di Dusun Bangkerep. Dari atap rumahrumah yang sebagian besar berdinding papan dan berlantai tanah itu mengeluarkan asap pertanda pemilik rumah memasak istimewa. Warga dusun bersiap menggelar upacara sedekah bumi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen melimpah yang mereka terima tahun ini. Acara ini dilaksanakan sekitar satu bulan setelah panen pertama, dan selalu mengambil hari Rabu dan bertepatan dengan hari Pahing dalam penanggalan Jawa. Sayur lodeh dan ayam menjadi masakan wajib di rumah-rumah, selain jajanan pasar yang akan dipersiapkan sebagai pelengkap upacara. Menjelang siang, jalanan Bangkerep dipenuhi warga yang membawa bungkusan atau rantangan makanan untuk diberikan kepada keluarga atau kerabat. Namun acara belum dimulai. Sekitar jam dua siang, pak Kamituwo Saji memukul kentongan yang menandakan acara akan segera dimulai. Jalanan di dusun yang biasanya lengang itu menjadi ramai oleh laki-laki atau perempuan dewasa membawa
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tampah berisi nasi yang dibungkus daun jati dan jajanan pasar seperti kue pasung, lapis, jadah dan lainnya. Mereka berjalan menuju sebuah tanah lapang kecil di tengah persawahan di sebelah timur dusun. Di tanah lapang yang hanya berukuran sekitar 20 meter persegi, tumbuh sebuah pohon beringin tua. Di lokasi inilah acara sedekah bumi akan dilangsungkan. Menurut cerita, pohon beringin tempat berlangsungnya lokasi sedekah bumi adalah tempat keramat. Dalam kepercayaan yang umumnya diyakini warga Bangkerep, lokasi pohon beringin tersebut pada mulanya merupakan kandang kuda sembrani atau kuda bersayap yang sakti di mana setiap kuda tunggangan atau kuda penarik dokar yang melewati tempat itu pasti mati. Konon katanya pernah seorang Adipati Blora pada zaman dahulu secara khusus datang ke dusun Bangkerep hanya untuk membuktikan mitos tersebut dan akhirnya kuda sang Bupati mati berkelahi dengan kuda sembrani. Pak Kamituwo Saji dan Mbah Modin Nurhasyim menjadi orang yang pertama kali hadir di lokasi upacara. Pak Saji membawa seikat merang yang didalamnya berisi sejumput kecil garam yang kemudian ia letakkan di bawah pohon beringin. Setelah membaca doa dengan perlahan, ia lalu membakar merang tersebut. Beberapa orang warga yang datang belakangan melakukan hal sama, membawa ikatan merang berisi garam yang dibakar dan diletakkan di bawah pohon beringin. Di atas tanah yang berumput itu, nasi bungkus daun jati dan jajanan pasar yang dibawa oleh warga diletakkan bertumpukan satu sama lain. Masing-masing
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang berebut lauk atau jajanan pasar yang dibawa oleh warga lainnya. Sebagian besar warga yang memenuhi tanah lapang itu adalah bapak-bapak dan pemuda, sementara ibu-ibu dan remaja perempuan hanya mengikuti acara dari jalan kampung yang berjarak sekitar 50 meter dari pohon beringin tersebut. Acara dimulai dengan pidato Pak Saji yang mengajak warga untuk memanjatkan doa dan mengucapkan niat acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas panen padi yang mereka dapatkan tahun ini sekaligus untuk berdoa kepada Allah warga Bangkerep senantiasa diberi keselamatan dan terhindar dari bencana. Setelah itu, Mbah Modin Nurhasyim memulai doa yang diucapkan dalam campuran antara bahasa Arab dan Jawa, menyebut arwah-arwah dan danyang dusun. Saat modin membacakan doa, warga yang hadir terlihat mulai tidak sabar untuk melakukan ritual yang paling ditunggu, yaitu saling melempar nasi. Saat modin mengakhiri doa, warga langsung berteriak “Amiiiinnn…!!!” disusul dengan teriakan “Horeeee….!!!! ” saat itulah ritual yang paling ditunggu dimulai. Masing-masing orang melempar nasi bungkus atau apa saja yang ada didekatnya ke udara atau melemparkannya kepada orang lain. Acara yang tadinya penuh keheningan segera berubah menjadi semacam tawuran kecil dan kumpulan warga menjadi berhamburan saling menyelamatkan diria masing-masing dengan berlari meninggalkan lokasi. Acara sedekah bumi siang itupun selesai.
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
d. Ayam panggang di depan jenazah Sore itu Bangkerep berduka. Salah seorang warganya meninggal dunia. Tidak ada yang bisa menebak pasti umur mbah Kariyem. Ada yang bilang sembilan puluh tahun, seratus atau bahkan lebih. Yang pasti ia satu dari beberapa warga paling tua di Bangkerep. Pagi harinya, rumah di sebelah timur dusun sudah ramai. Para lelaki berdatangan mengusung kursi plastik. Sebagian yang lainnya mempersiapkan bambu untuk mengusung jenazah. Ibu-ibu mempersiapkan ember untuk memandikan jenazah. Pelayat dari dusun Bangkerep dan dusun sekitar mulai berdatangan. Menjelang siang, jenazah Mbah Kariyem sudah dimandikan dan terbungkus kafan, diletakkan di sebuah meja di samping pintu masuk rumah. Tak lama kemudian, jenazah disholatkan oleh beberapa orang saja. Sebelum sholat dimulai, mbah Modin meletakkan selembar daun pisang utuh di bawah meja tempat jenazah dibaringkan. Secara khusus, daun pisang tidak mempunyai makna tertentu, selain sebagai cara untuk melestarikan kebiasaan orang-orang tua Bangkerep zaman dahulu yang tidak memiliki tikar dan hanya menggunakan daun pisang sebagai alas untuk menshalatkan jenazah. Tiba-tiba terdengar suara “Kajatan…!!! Kajatan…!!!”. Para pelayat yang tadinya berada di luar rumah masuk memenuhi ruang tengah yang sempit itu. Mereka melingkar di depan jenazah, mengelilingi beberapa baskom yang ditutupi daun jati. Di dalam beberapa baskom tersebut tampak ayam panggang, nasi gurih, nasi putih dan
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berbagai jajanan pasar lainnya. Mbah Nurhasyim selaku modin kemudian memimpin doa singkat dalam Bahasa Arab dan Jawa dengan menyebutkan permohonan kepada Allah agar almarhumah mendapat tempat yang baik di sisi Allah serta memberikan kelancaran saat upacara pemakaman nantinya. Dalam doa tersebut Mbah Nurhasim juga menyebut para danyang dan para arwah leluhur Bangkerep. Setelah itu, ayam panggang dan nasi gurih pun dibagikan kepada warga. Sebagian dari mereka langsung makan tepat di depan jenazah. Setelah kenduri di depan jenazah selesai, upacara pemberangkatan jenazah di mulai. Acara dipimpin oleh Kamituwo Dusun Balong yang meminta warga memaafkan kesalahan almarhumah Mbah Kariyem sebagai bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ikatan atau hubungan antar sesama manusia (Hablum min An Nas). Sementara untuk urusan hubungan almarhumah Mbah Kariyem dengan Allah (Hablum Min Allah) hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Pak Kamituwo Dusun Balong bertanya,: “Apakah almarhumah beragama Islam?” Warga yang hadir pun serentak menjawab:”Islam.” Pak Kamituwo Dusun Balong kemudian berkata: “Perkara tidak sempurna, terutama dalam menjalankan ibadah Sholat, biarlah itui menjadi urusan almarhumah dengan Tuhan. Yang penting kita semua menjadi saksi almarhumah beragama Islam.” Jenazah Mbah Kariyem kemudian diberangkatkan ke makam yang terletak di sebelah barat dusun. Sebelum dimakamkan, hanya Mbah Nurhasim yang berdoa
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam Bahasa Arab dan Jawa, sementara warga lainnya asyik mengobrol dan bergerombol. Setelah mbah modin selesai berdoa, barulah warga mendekat dan mulai mengurus pemakaman jenazah. Makam almarhumah Mbah Kariyem diberi bunga, kendi dan payung di atasnya. Setelah upacara pemakaman selesai perlahan warga pun satu persatu bergegas pulang meninggalkan pemakaman.
e. Lengo coblong dan tombak pusaka Kiai Singkir Malam itu rumah Mbah Pono –salah satu kerabat pak Kamituwo- kedatangan tamu. Seorang remaja berusia belasan tahun datang dengan bagian pergelangan tangan terbalut perban. Tak perlu mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Pono tahu apa yang harus dilakukan. Bergegas ia ke masuk ke bagian lain dari rumah itu dan berbicara dengan seseorang. Saat kembali, seorang perempuan yang nampaknya istri Mbah Pono mengikuti dari belakang dalam kamar dan kembali dengan membawa sebuah tas kulit yang sudah kumal. Dari dalam tas kumal itu istri Mbah Pono mengeluarkan dua buah guci kecil, botol minyak yang berisi minyak sejenis kayu putih, dan beberapa buah batu. Ia bertanya pada remaja tersebut penyebab sakit di pergelangan tangannya. Sang remaja bercerita bahwa ia terjatuh dari sepeda motor beberapa waktu yang lalu. Ia mengaku sudah berobat ke puskesmas dan berbagai tempat, namun belum ada tanda-tanda sembuh. Setelah mendengar informasi dari beberapa orang, sang remaja tersebut
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
akhirnya pergi ke Bangkerep untuk mencari penyembuhan lengo coblong yang dimiliki mbah Pono. Lengo coblong adalah model penyembuhan alternatif khas Bangkerep khusus untuk mengobati patah tulang atau sakit anggota tubuh akibat terkilir. Sesuai dengan namanya, penyembuhan dilakukan dengan menggunakan lengo atau minyak dan coblong yang berarti cupu atau guci. Minyak yang digunakan adalah minyak kayu putih biasa yang tersedia di pasaran. Bagian terpenting dari cara pengobatan ini adalah guci, di mana anggota tubuh yang sakit dilumuri dengan minyak kayu putih yang telah dituang sebelumnya ke dalam guci kecil. Meski terlihat sederhana, namun tidak sembarang orang boleh melakukan praktek penyembuhan ini. Hanya perempuan yang boleh melakukannya, dan itu pun adalah keturunan langsung dari orang yang memiliki guci tersebut sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan cerita tentang guci yang dipercaya merupakan mahkota milik seekor ular besar yang mendiami hutan di sekitar Bangkerep. Menurut cerita, mbah buyut dari istri Mbah Pono sedang menggembala kambing di hutan. Saat tertidur, ia bermimpi didatangi oleh seekor ular besar bermahkota guci di kepalanya. Ular tersebut tinggal di bawah pohon besar di hutan Bangkerep. Mbah Buyut tersebut kemudian berpuasa selama empat puluh hari untuk mendapatkan guci tersebut dan akhirnya mendapatkan guci mahkota dari ular besar sesuai dengan yang ia lihat dalam mimpi. Sejak saat itu ia mewariskan guci tersebut kepada anak cucunya. Istri Mbah Pono sendiri tidak tahu persis kebenaran tersebut dan mengaku mendapatkan guci dan
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
cerita tersebut dari orang tuanya. Cerita ini dibenarkan oleh Mbah Pariyo, imam masjid yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang cukup di kalangan warga Bangkerep. Yang juga unik, pasien yang datang untuk berobat ke tempat Mbah Pono tidak membayar dalam bentuk uang, melainkan ayam berwarna hitam mulus. Kebetulan remaja yang berobat tersebut tidak sempat membeli ayam sehingga ia pun membayar dalam bentuk uang. Meski demikian, sang pasien harus berikrar bahwa ia menitipkan uang tersebut agar dibelikan ayam berwarna hitam mulus. Di dusun-dusun di sekitar Bangkerep sendiri cerita dan model pengobatan dengan lengo coblong terkenal karena kemanjurannya. Hal tersebut membuat banyak pengobatan serupa yang muncul, meski diyakini lengo coblong yang asli ada di Bangkerep. Selain cupu, mbah Pono juga memiliki pusaka berupa tombak bernama Kiai Singkir. Tombak ini terbuat dari kayu tua dengan ujung tajam dari besi yang sudah berkarat. Bagi masyarakat Bangkerep, tombak ini sangat penting karena dipakai saat ritual pengantin khas Bangkerep. Sepasang pengantin yang akan menikah di Bangkerep diharuskan untuk pawai berkeliling dusun dengan diiringi tombak Kiai Singkir untuk menghindari bala bencana bagi pengantin atau saat acara pernikahan dilakukan. Selain Kiai Singkir, ritual pengantin di Bangkerep juga unik karena pengantin laki-laki diharuskan mandi di sumur lanang (bahasa jawa: laki-laki) yang terletak di sebelah barat dusun dan pengantin perempuan membersihkan diri di sumur wadon (sebelah timur dusun, belakang rumah Kamituwo). Ritual tersebut terutama
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jika pengantin laki-laki berasal dari Bangkerep, sementara jika yang berasal dari Bangkerep adalah pengantin perempuan maka ritual tersebut tidak wajib dilakukan.
f. Campursari dan musik rebana Islami Tak sawang-sawang kowe ayu tenan Rasane dadi pengen kenalan Kenalan nang lesehan Nggone ngadek nganggo klambi abang Yen ra kleru aku tau ketemu Nalikane kowe karo kancamu Mlaku-mlaku karo nnguya ngguyu Ombenane es jus melon karo susu Saiki aku uwis ngrasakno Pacaran karo wong Kertosono Wajahe koyo arjjuno Esemane koyo raden gatotkoco
Alunan musik campur sari membelah keheningan malam di Bangkerep. Di sebuah rumah papan di sebelah selatan dusun, warga Bangkerep berkumpul di bawah tenda sambil menikmati hidangan dari pak RT yang sedang menikahkan anaknya. Beberapa lelaki asyik berjoget dengan gerakan meliuk seperti sedang menari tayub. Tetapi mereka tidak sedang menari di pertunjukan tayub, melainkan pertunjukan musik rebana Islam Al Anwar yang dibawakan oleh ibu-ibu dengan mengenakan busana muslim lengkap. Lagu campur sari yang dinyanyikan oleh kelompok rebana menjadi salah satu tanda kuatnya karakter Blora di Bangkerep. Lebih dari itu, sedekah bumi di bawah
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pohon beringin, kajatan sebelum upacara penguburan, mitos lengo coblong, ritual mandi di sumur bagi pengantin menjadi simbol masih kuatnya tradisi lokal bagi masyarakat Bangkerep. Hal tersebut bersamaan dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Bangkerep dalam masalah keagamaan. Mayoritas warga di desa Balong beragama Islam namun memiliki pengetahuan agama yang masih rendah.146 Selain buta huruf latin, sebagian besar dari mereka juga buta huruf Arab. Selain Mbah Nurhasyim, salah seorang warga yang dianggap mengetahui ilmu agama adalah Pak Mus, seorang imam langgar berusia sekitar 50-an tahun. Ia mendapatkan ilmu agama sewaktu belajar mengaji di Madrasah Diniyah (sekolah keagamaan sore hari) di Dusun Balong. Namun sebagai orang yang dianggap memiliki ilmu agama Islam dibanding warga Bangkerep lainnya, Pak Mus lebih banyak merantau untuk mencari nafkah. Terakhir ia pergi ke Kalimantan menjadi buruh penebang kayu selama beberapa bulan. Tokoh lainnya adalah Mbah Pariyo yang bertindak sebagai imam langgar jika pak Mus merantau. Sama seperti warga Bangkerep lainnya, Mbah Pariyo sehari-harinya menghabiskan waktu di sawah mengurus sawah dan ladangnya. Di sisi lain, warga Bangkerep masih kental menjalankan berbagai tradisi sinkretis dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kosmologis. Berbagai upacara Slametan baik siklus kehidupan, bersih desa maupun acara-acara yang digelar pada waktu-waktu tertentu menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat
146
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bangkerep. Upacara siklus kehidupan yang sifatnya individual antara lain lek-lekan (berkumpul semalam suntuk di rumah orang yang sedang punya hajat), sepasaran atau selapanan bayi (peringatan 7 hari dan 40 hari setelah kelahiran), serta upacara selamatan orang meninggal antara lain mitung dino, matangpuluhan, nyatus, nyewu (7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari). Sementara selain upacara sedekah bumi di pohon beringin, upacara komunal digelar bertepatan dengan peringatan penanggalan Islam dan Jawa misalnya Syuronan (tahun baru Islam dan Jawa), Mauludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad), Rejeban atau Ruwahan (perayaan di bulan sebelum memasuki bulan Ramadhan). Karakter masyarakat Abangan terlihat dari peringatan acara yang tidak digelar di masjid, tetapi di rumah pak Kamituwo sebagai pemimpin pemerintahan dusun sekaligus pemimpin kultural. Dalam acara-acara kenduri tersebut, biasanya masingmasing kepala keluarga membawa nasi tumpeng untuk di makan bersama-sama. Selain itu, sebagian kecil warga masih menjalankan ritual tertentu –biasanya berkaitan dengan keselamatan atau kesejahteraan, seperti sesaji di rumah atau sawah masing-masing. Beberapa warga juga masih memperingati weton atau hari lahir dengan cara memasak bubur merah dan bubur putih dalam bungkusan daun jati, lalu mengundang mbah modin untuk didoakan memohon keselamatan dan kesejahteraan. Seperti misalnya yang dilakukan Mbah Mardi yang menggelar wetonan seusai shalat magrib di rumahnya. Ia mengundang Pak Kamituwo Saji, Mbah Pono, dan Widodo. Tukang tanduk (bahasa Jawa: menghidangkan nasi, namun dalam acara ini berarti
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang yang mendoakan) adalah Mbah Mus yang kebetulan pulang dari Kalimantan. Setelah berdoa bersama, bubur merah dan bubur putih yang terbungkus daun jati dibagikan, namun tidak dimakan di tempat, melainkan dibawa pulang. Sama seperti desa-desa lain di Blora, Desa Balong juga memiliki kesenian tari tradisional Barongan. Tarian ini sendiri menjadi ciri khas Kabupaten Blora. Tarian ini biasanya dimainkan pada acara-cara tertentu, Bentuk kesenian ini mirip dengan reog Ponorogo, dengan menggunakan bentuk singa sebagai topeng para penarinya. 147 Saat ada acara desa atau peringatan hari kemerdekaan RI, para penari Barongan melakukan pawai atau arak-arakan berkeliling desa. Di dusun Bangkerep sendiri terdapat satu kelompok Barongan, namun hanya bermain saat acara-acara tertentu misalnya upacara hari kemerdekaan bulan Agustus atau ada warga yang menggelar hajatan. Karakter Abangan masyarakat Bangkerep juga terlihat dari orientasi politik mereka. pada masa Orde Baru, Golkar dan PDI mendominasi perolehan suara di Bangkerep, termasuk di Desa Balong secara keseluruhan. Lalu pada era reformasi, Partai Demokrat memenangi suara disusul PDI dan Golkar. Bahkan meski warga Bangkerep secara kultural mengidentifikasikan diri mereka sebagai NU, namun PPP yang pada masa Orde Baru adalah partai Islam tidak pernah memperoleh suara
147
Pak Saji tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang cerita di balik kesenian Barongan tersebut. Dari berbagai referensi yang saya dapat dari internet, kesenian ini berkaitan dengan cerita atau mitos tentang harimau bernama Singa Lodra di sebuah makam tua di desa Mlangsen Kecamatan Blora Kota, serta cerita rakyat tentang tokoh bernama Gembong Amijoyo yang bisa menjelma menjadi harimau.
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
signifikan. Bahkan pada masa reformasi meski Partai Kebangkitan Islam (PKB) yang secara historis berafiliasi dengan NU tidak pernah menang di Bangkerep.
3. Perubahan sosial di Bangkerep Ketika mulai berkuasa di awal tahun 1966, rezim Orde Baru menggalakkan proyek pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi asing dan industrialisasi. Demi mendukung agenda tersebut, pemerintah memerlukan stabilitas sosial dan politik melalui serangkaian kebijakan depolitisasi. Kebijakan ini merambah terutama di pedesaan-pedesaan pedesaan yang menjadi di mana aparat birokrasi dan tentara melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap seluruh aparatur desa dan warga negaranya untuk terlibat dalam proyek-proyek pembangunan Salah satu yang menjadi program utama adalah dengan menjadikan pembangunan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung terlaksananya proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pemilihan agama sebagai salah satu proyek yang mendukung pertumbuhan ekonomi bukan tanpa alasan, antara lain untuk menangkal ideologi komunisme di awal berdirinya rezim sekaligus menjadikan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung dan menyampaikan pesan pembangunan kepada masyarakat. Situasi tersebut juga terjadi di Bangkerep. Semula Bangkerep adalah dusun dengan karakteristik tradisi agraris. Warga Bangkerep pada tahun 1960-an masih
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kental menjalankan berbagai tradisi dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kosmologis. Hampir tidak ada orang yang sholat atau menjalankan ibadah Islam dengan baik. Bahkan kebiasaan masyarakat desa masih kental dengan kepercayaan kosmologis, danyang dan sebagainya. Namun situasi berubah pasca 1965 atau sesaat setelah rezim Orde Baru berdiri. Kecamatan Kunduran pada saat itu merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis PKI.148 Di Desa Balong sendiri yang menang pada Pemilu tahun 1965 adalah PNI, PKI, NU. Menurut penuturan Mantan Lurah, sesaat setelah kejadian 1965, berbagai kebijakan pemerintah mulai merambah Desa Balong. Pemerintah kecamatan menggelar program penerangan dan penyuluhan keagamaan pasca peristiwa politik di tahun1965 di desa-desa di Kecamatan Kunduran, termasuk Desa Balong. Beberapa tahun kemudian, sebagai imbas dari kebijakan tersebut pada tahun 1968 warga bergotong royong membangun masjid secara swadaya di Dusun Balong. 149 Meski demikian, Dusun Bangkerep bisa dibilang sama sekali masih terisolasi dari kebijakan tersebut. Di bidang pendidikan, desa Balong pada tahun 1960-an masih belum terdapat sekolah dasar. Menurut penuturan Mbah Mantan, sampai sebelum 1979 di desa Balong hanya ada SD dengan jumlah kelas sebanyak 3 kelas, sehingga banyak anak melanjutkan sekolahnya naik ke kelas 4 sampai lulus ke sekolah dasar di Kecamatan Ngawen yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kecamatan Kunduran. Barulah pada 148 149
Wawancara Rustamaji, tokoh di Kecamatan Kunduran Wawancara Mbah Mantan Lurah Desa Balong
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tahun 1979 dibangun SD Inpres dengan lokal sebanyak 6 kelas. Jalan desa sendiri dbangun pada tahun 1990-an, sementara listrik pada tahun 1994. Program penyuluhan pemerintah masih berlangsung sampai tahun 1980-an. Menurut Mbah Mantan, pada waktu itu ada istilah Tilikan Deso yakni program dari pemerintah kecamatan setiap sebulan sekali di mana petugas dari kecamatan datang sesuai dengan kualifikasi masing-masing. Dalam kegiatan ini warga diundang ke kelurahan untuk diberi penyuluhan tentang berbagai bidang. Misalnya petugas penyuluh agama melakukan pembinaan di bidang keagamaan, petugas pertanian menyampaikan informasi berkait dengan pertanian serta petugas administrasi kecamatan menyampaikan hal-hal terkait dengan instruksi pemerintahan. Berbagai program pemerintah tersebut lambat laun mulai berimbas ke Bangkerep sebagai bagian dari wilayah administratif Balong. Pada masa tahun-tahun 1990-an, beberapa warga berinisiatif mengaji ke Balong. Mereka kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya Islam di Bangkerep. Salah satu dampak dari proses ini adalah Mbah Nurhasyim berinisiatif mendirikan langgar kecil di Bangkerep yang hanya dipakai oleh beberapa orang. Sementara untuk menjalankan shalat Jumat mereka pergi ke masjid di dusun Balong. Pada tahun 1990-an, atas inisiatif beberapa warga, sekelompok warga dusun Bangkerep mengundang kiai dari kecamatan untuk memberi pengetahuan agama. Pendakwah tersebut berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tingkat kecamatan yang memberi pengajian sebulan sekali kepada warga. Perlahan kegiatan keagamaan
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mulai terasa di Bangkerep. Pada tahun 2000, warga mendirikan masjid semi permanen secara swadana Belakangan, kegiatan keagamaan mulai menguat, terutama sejak munculnya organisasi Majelis Tafsir Alquran (MTA) yang berorientasi puritan dan gencar menolak sinkretisme dan penyimpangan elemen non-Islam. Munculnya organisasi Islam MTA yang bercorak puritan di Dusun Bangkerep yang masih kental dengan tradisi-tradisi leluhur pada akhirnya menimbulkan perbedaan pemahaman di bidang keagamaan yang berujung pada konflik terbuka antar warga dan mewarnai relasi antar warga di Bangkerep sampai sekarang ini.
C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep 1.
Konflik Pada tahun 1987, Tumin, seorang warga Bangkerep yang lama merantau di
Solo pulang ke dusun. Tidak diketahui persis apa pekerjaan atau kegiatan Tumin selama di perantauan. Tak lama setelah kembali ke dusun, ia kemudian berinisiatif mengadakan pengajian di langgar dusun. Saat itu, pengajian masih bersifat umum. Warga Bangkerep yang memang masih kurang dalam pengetahuan agama pun menyambut baik kegiatan tersebut. Saat itu, sekitar 70 orang mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh Tumin. Namun kemudian, mulai tahun 1989 terjadi beda pendapat antara peserta pengajian dengan materi pengajian yang disampaikan Tumin. Perselisihan mereka
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
antara lain menyangkut soal Qunut (doa saat shalat subuh). Warga yang mendapat pengaruh dari NU menganggap doa Qunut adalah sunah Nabi, sementara Tumin mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada ajarannya dalam Islam. Begitu juga mengenai jumlah Tarawih (Shalat Sunah di malam hari di bulan Ramadhan), di mana warga umumnya melaksanakannya sebanyak 23 rekaat, namun Tumin menganjurkan sebanyak 11 rekaat. Perbedaan tersebut mengakibatkan banyak anggota keluar dari pengajian. Namun perbedaan tersebut belum menimbulkan gejolak di masyarakat pada umumnya.150 Pada tahun 1990-1994, kegiatan pengajian sempat berhenti. Namun Tumin dan beberapa warga yang menjadi anggota pengajian masih aktif datang ke Solo. Mereka antara lain Wakidi, kawan dekat Tumin dan Sudipo, salah seorang tokoh Bangkerep yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian pada tahun 1994, pengajian kembali diselenggarakan dan mulai dikenalkan istilah MTA, yang dilaksanakan di mushola dusun. Pada tahap inilah mulai muncul perbedaan dengan pemuka agama di dusun dan mulai muncul benih konflik yang nantinya berujung pada konflik fisik yang mengoyak ketenteraman di dusun kecil tersebut. . Mulai tahun 2000 warga mulai menunjukkan ketidaksenangannya dengan jamaah MTA karena ajarannya dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat di Dusun
Bangkerep.
Ketidaksenangan
tersebut
bahkan
sampai
menimbulkan
perpecahan di keluarga, misalnya ancaman akan menceraikan istri atau tidak 150
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengakui sebagai anak jika ikut MTA.151 Sementara menurut pak Saji, konflik bermula ketika menyangkut masalah kenduri, karena anggota MTA tidak mau menerima nasi berkat yang biasa dibagikan setelah selesai kenduri. Keresahan itu menyebabkan perangkat desa mengumpulkan tokoh dan warga MTA untuk mendapat pengarahan, tetapi tidak berhasil. Bahkan timbul perselisihan yang berujung pada bentrok fisik yang terjadi beberapa kali. Bentrokan pertama terjadi pada bulan September 2001. Saat itu warga Bangkerep hendak membangun masjid setelah sebelumnya hanya berupa langgar kecil dari papan. Dalam sebuah pertemuan di balai desa, salah seorang anggota MTA bernama Wakidi menyinggung asal-usul kayu jati yang digunakan oleh warga dusun Bangkerep untuk membuat masjid. Pertanyaan tersebut membuat warga dusun bernama Sarmin dan Bagiyo tersinggung. Oleh warga, pertanyaan Wakidi tersebut ditafsirkan bahwa warga MTA akan melaporkan kepada pihak kehutanan. Pasca pertemuan di balai desa, Sarmin dan Bagiyo bermaksud menemui Wakidi di rumahnya untuk mengklarifikasi pertanyaan Wakidi di Balai Desa. Saat itu Wakidi kebetulan sedang mengikuti pengajian di rumah anggota MTA lainnya yaitu Sodipo. Saat menunggu pengajian selesai, banyak warga yang bergabung dengan Sarmin dan Bagiyo. Lalu ketika pengajian selesai Wakidi pergi ke rumah kakaknya Kasiyem, sehingga Sarmin dan Bagiyo beserta warga beramai ikut ke rumah Kasiyem bermaksud menanyakan pernyataan Wakidi soal kayu. 151
Dokumen desa, Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Namun para anggota MTA menyangka warga hendak membubarkan pengajian. Lalu terjadi keributan dan bentrok fisik sehingga Bagiyo mengalami luka serius dan dirawat di rumah sakit. Pihak desa melaporkan ke polsek Kunduran lalu penanganannya diserahkan ke pihak polsek.152 Pasca kejadian tersebut, beberapa anggota MTA meninggalkan Bangkerep menuju kantor pusat MTA di Solo. Menurut versi anggota MTA, mereka diusir dari kampung halamannya, meski menurut warga dusun tidak ada kasus pengusiran terhadap anggota MTA. Menurut warga dusun, jika ingin tetap tinggal Bangkerep maka anggota MTA harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat. Konflik berikutnya terjadi sepanjang tahun 2001-2002. Selang 4 bulan pasca kejadian pertama, beberapa warga Bangkerep yang juga anggota MTA pergi ke Solo unruk bekerja, namun warga dusun curiga mereka akan mengembangkan MTA lagi di Bangkerep. Bulan September 2002, Mbah Modin Nurhasyim dan salah seorang warga bernama Sarmin menerima undangan dari MTA pusat, tetapi Sarmin dan Nurhasyim tidak datang ke Solo karena tidak memahami maksud dan tujuan dari undangan tersebut. Kemudian pada bulan Oktober 2002, beberapa pengurus MTA pusat datang ke Kecamatan Kunduran untuk mengklarifikasi undangan yang mereka buat kepada kedua warga Bangkerep tersebut. Camat Kunduran menugaskan seorang stafnya dan anggota polisi dari Polsek Kunduran bernama Sugito bersama seorang anggota tim MTA menjemput Sarmin dan Nurhasyim untuk menerima penjelasan dari pengurus
152
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MTA mengenai undangan yang mereka sampaikan. Namun oleh Sarmin dan beberapa warga Bangkerep penjemputan itu ditafsirkan lain sehingga mereka beramai-ramai datang ke kantor balai desa untuk memberi dukungan moril kepada Nurhasyim dan Sarmin. Pasca kejadian tersebut, warga Bangkerep mengadakan pertemuan yang memutuskan bahwa Wakidi harus pergi dari dusun Bangkerep dan tidak boleh pulang ke Bangkerep karena menjadi penyebab kekisruhan. Selain Wakidi, anggota MTA yang lain bisa pulang ke dusun Bangkerep asal bisa menyesuaikan dengan adat istiadat kembali. Beberapa warga anggota MTA di Solo kemudian pulang antara lain Sutrisno, Parno, Sarmani, Nyamin Sujak dan Sarno. Sementara Wakidi dan beberapa warga lainnya sebanyak 24 orang masih berada di Solo.153 Tahun 2003 menjadi pucak eskalasi konflik antara warga Bangkerep dengan warga anggota MTA. Pada hari sabtu, 13 Desember 2003, anggota MTA Bangkerep yang sebelumnya berada di Solo (paska konflik sebelumnya) bermaksud pulang kembali ke Bangkerep. Mereka diantar oleh pengurus MTA dengan menggunakan beberapa kendaraan, jumlah rombongan lebih kurang 80 orang. Mereka datang tidak melewati jalan utama desa yang melewati Dusun Balong, tetapi melewati jalan alternatif yang langsung menuju Dusun Bangkerep. Rombongan tersebut tidak memberitahukan kedatangannya terlebih dulu kepada perangkat desa, sehingga saat rombongan tiba dan langsung menuju rumah anggota MTA bernama Loso.
153
Dokumen desa Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Warga dusun terkejut dan menanyakan maksud kedatangan mereka karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari perangkat desa. Warga mengajak warga MTA untuk pergi ke balai desa di Balong. Namun anggota MTA menolak dengan alasan mereka pulang ke rumah sendiri sehingga tidak perlu ke balai desa sehingga terjadi ketegangan dan perkelahian fisik antar mereka. Keadaan tak terkendali karena massa makin banyak dan warga MTA akhirnya naik kendaraan menuju ke balai desa dan diarak ke balai desa oleh ratusan warga Bangkerep. Tiba di balai desa, warga melarang wakil rombongan menemui kepala desa. Namun, kepala desa bersama aparat keamanan tetap menemui rombongan MTA tersebut dan menyatakan bahwa dengan alasan keselamatan mereka diminta kembali ke Solo. Warga anggota MTA pun akhirnya kembali ke Solo.154 Kejadian penolakan warga terhadap warga MTA yang hendak pulang ke Bangkerep tersebut terjadi sampai tiga kali. Kedua belah pihak bersikukuh dengan prinsip masing-masing. Di satu sisi, warga tetap bersikeras agar warga MTA mau menjalankan tradisi. Menurut Pak Kamituwo Saji: Nek warga, nak gelem kajatan yo ora popo. Mbok teko ngomah berkate pakakne pitik ora popo. Kono atine kan mboten purun. Sampai matipun nggak mau”. (Kalau bagi warga, kalau tidak mau ikut kenduri tidak apa-apa. Kalau sampai rumah nasinya diberikan kepada ayam pun tidak apa-apa. Mereka anggota MTA tidak mau. Sampai mati pun tidak mau menerima).
154
Dokumen desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga setempat, tertanggal 15 September 2003
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Setelah beberapa kejadian konflik terbuka tersebut, upaya rekonsiliasi dilakukan oleh aparat keamanan bersama pihak pemerintahan. Berangsur-angsur warga MTA yang berada di Solo kembali ke Bangkerep, termasuk Wakidi yang dianggap warga sebagai tokoh MTA di dusun tersebut.
2.
Satu Dusun Dua Masjid Pasca konflik tahun 2003, kehidupan Bangkerep berjalan seperti biasa.
Perselisihan yang berujung bentrokan fisik tidak terjadi lagi. Namun bukan berarti perbedaan pendapat mengenai hal yang berkaitan dengan praktek keagamaan dan tradisi selesai begitu saja. Apalagi, perdamaian yang terjadi antara warga MTA dan warga Bangkerep lebih karena pendekatan keamanan, terutama ancaman pihak kepolisian yang akan menahan siapapun yang memulai keributan. Konflik laten antar warga dan warga MTA berujung pada berdirinya Masjid Al Furqon (bahasa Arab: Pembeda) yang dibangun oleh warga MTA yang hanya berjarak puluhan meter dari Masjid Baitun Nahdliyin milik warga umum. Dua masjid dalam satu dusun dengan jarak yang berdekatan merupakan hal yang tidak biasa dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam, apalagi di dusun kecil seperti Bangkerep.155 Sementara dalam sejarah MTA, Bangkerep adalah satu-satunya tempat 155
Tempat ibadah dalam Islam biasanya dibedakan dari kapasitas dan fungsinya. Langgar atau mushola hanya dipakai untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu dan digunakan oleh komunitas kecil, sementara masjid umumnya juga dipakai untuk menjalankan shalat Jumat dan digunakan oleh komunitas yang besar. Dalam pandangan kitab-kitab keagamaan klasik Islam Sunni yang umumnya dianut masyarakat Indonesia, salah satu syarat untuk bisa menjalankan sholat Jumat adalah jumlah jamaah minimal sebanyak 40 orang yang tinggal menetap di tempat berdirinya masjid tersebut.
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di seluruh perwakilan atau cabang MTA di seluruh Indonesia yang memiliki masjid sendiri karena MTA memang tidak pernah memerintahkan warganya untuk menjalankan ibadah terpisah dari warga dengan faham keagamaan yang berbeda lainnya. Berdirinya Masjid Al Furqon milik warga MTA berawal dari masih adanya warga yang tidak suka dengan pemahaman warga MTA. Saat itu warga MTA masih menjalankan shalat di masjid Baitun Nahdliyin, namun menurut Wakidi, seringkali warga MTA mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa warga. Misalnya sandal milik warga MTA disembunyikan atau dibuang di selokan depan masjid. Masjid Baitun Nadhliyin sendiri awalnya bernama Baitun Nur. Ketika konflik terbuka antara warga dusun dengan warga anggota MTA sedang mencapai puncaknya, salah seorang kiai NU dari kecamatan mengganti nama masjid menjadi Masjid Baitun Nahdliyin. Beberapa waktu kemudian warga dusun secara terang-terangan meminta warga anggota MTA untuk tidak lagi shalat di Masjid Baitun Nahdliyin. Warga beralasan karena pemahaman dan praktek keagamaan mereka berbeda sehingga tidak usah lagi bersama-sama dalam urusan menjalankan ibadah. Atas penolakan tersebut, warga anggota MTA untuk sementara menjalankan ibadahnya di sebuah rumah yang menjadi semacam kantor atau pusat kegiatan mereka. Bersamaan dengan itu pula, pengurus MTA setempat kemudian mengajukan surat pemberitahuan dan perijinan kepada pihak pemerintah dan kantor urusan agama setempat untuk mendirikan masjid
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sendiri. Setelah mendapatkan ijin dari pihak berwenang setempat, maka pada tahun 2009 warga MTA pun memiliki masjid sendiri yang diresmikan oleh Ketua Umum MTA Ahmad Sukina, Ketua MUI Drs. Amidhan, dan Bupati Blora Drs Yudhi Sanchoyo melalui sebuah acara peresmian dan pengajian yang cukup meriah. Kontras dengan Masjid Baitun Nahdliyin yang menempati bangunan semipermanen sederhana, Masjid Al Furqon berdiri megah dengan model bangunan modern dan berukuran jauh lebih besar. Berjarak satu rumah dari Masjid Al Furqon berdiri bangunan lain yang juga besar dan modern yang menjadi kantor Perwakilan MTA di Blora sekaligus menjadi pusat kegiatan dari organisasi tersebut. Dengan adanya dua masjid yang saling berdekatan tersebut tak heran terjadi semacam kontestasi dalam memperebutkan pengaruh dan otoritas keagamaan yang tercermin dari berbagai kegiatan dan ciri khas di masing-masing masjid. Saat waktu shalat tiba, panggilan adzan menggunakan pelantang suara terjadi hampir bersamaan. Namun warga mudah membedakan mana panggilan adzan dari Masjid Baitun Nahdliyin maupun Al Furqon. Panggilan adzan dari Masjid Baitun Nadliyin beirama atau menggunakan cengkok seperti adzan pada umumnya, sementara Masjid Al Furqon tidak memiliki irama dan lebih tegas. Seusai adzan, Muadzin (orang yang melakukan adzan) di Masjid Baitun Nahdliyin melantunkan bacaan pujian berbahasa Jawa atau Arab, sementara Masjid Al Furqon menganggap bacaan pujian tidak memiliki dalil atau tuntunannya dalam Islam.
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perbedaan lainnya adalah ketika shalat Jumat, Khotib (penceramah) di Masjid Baitun Nahdliyin menggunakan bahasa Jawa. Sementara Khotib di Masjid Al Furqon menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu jika di Masjid Baitun Nahdliyin khotbah Jumat biasanya disampaikan oleh khotib yang berbeda-beda, sementara di masjid milik warga MTA hanya memiliki satu khotib, yaitu Ustadz Suradi yang merupakan ketua MTA Perwakilan Blora yang juga warga di dusun tersebut.
3.
Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik Situasi Dusun Bangkerep yang terlihat normal paska konflik beberapa tahun
sebelumnya sebenarnya hanya terjadi di permukaan. Di tingkatan bawah warga sebenarnya masih memendam konflik. Menurut Pak Kamituwo Saji, meski kelihatan adem ayem, antara warga dengan warga MTA sebenarnya masih saling plirik-plirikan (saling curiga satu sama lain). Dalam beberapa hal, situasi tersebut memang bisa dilihat dalam relasi dan interaksi sehari-hari antara warga dengan warga MTA. Ketika pihak dusun menggelar sedekah bumi di bawah pohon beringin, Pak Kamituwo Saji berinisiatif menggelar acara kesenian di malam hari dengan menampilkan musik rebana yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan tradisi dan nilai keagamaan. Pak Kamituwo meminta seluruh kepala keluarga tanpa kecuali untuk iuran sebagai biaya sewa peralatan dan keperluan lainnya. Di rumah Pak Kamituwo Saji, salah seorang ibu yang bertugas menarik iuran melapor bahwa warga anggota MTA menolak memberikan iuran tersebut, padahal menurutnya kalau ada warga
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anggota MTA sakit atau meninggal mereka tersebut juga mendapat sumbangan dari warga. Beberapa hari kemudian Wakidi selaku tokoh MTA menemui Pak Kamituwo Saji untuk menjelaskan bahwa warga MTA tidak akan memberikan dana untuk keperluan yang masih ada hubungannya dengan sedekah bumi yang menurut MTA mengandung unsur kemusyrikan. Salah seorang warga, Pak Yatno mengatakan, “Orang Islam kok dimintai sedekah kok tidak mau. Urusan dipakai untuk apa itu terserah.” Sementara warga lainnya, Mas Ratno mengatakan bahwa orang MTA itu tidak bisa hidup bermasyarakat. Di sisi lain, kedua masjid sebagai pusat ibadah masing-masing selain membedakan pemahaman keagamaan yang berbeda juga menjadi tempat untuk bertugar gagasan dalam lingkup internal kelompok tanpa melibatkan pihak lain. Seusai sholat, warga di Masjid Baitun Nahdliyin bercengkerama sambil berbicara banyak hal, mulai dari situasi dusun, pertanian, dan sebagainya. Begitu juga dengan Masjid Al Furqon, di mana warga MTA seusai sholat juga berkumpul dan mengobrol mengenai peristiwa sehari-hari yang mereka alami. Tidak hanya masjid yang berbeda, bahkan warung kopi yang di Bangkerep menjadi ruang publik bersama seolah juga menjadi tempat yang membedakan orientasi keagamaan mereka. Laki-laki Bangkerep umumnya menghabiskan waktu mereka di warung kopi di sebelah selatan dusun. Sementara laki-laki anggota MTA memilih untuk menikmati kopi di sebuah warung yang berdekatan dengan Masjid Al Furqon milik MTA. Jika warga dusun pada umunya menikmati kopi sambil menonton
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
televisi sampai larut malam, merokok, bahkan berjudi kecil-kecilan, warga anggota MTA hanya menikmati kopi dan mengobrol seperlunya lalu pulang kembali ke rumah masing-masing. Bagi warga MTA merokok adalah larangan. Dalam kesehariannya, jika ada warga anggota MTA yang berpapasan dengan warga dusun, mereka hanya menyapa tanpa berbicara banyak. Selain itu, sebagaimana nanti akan dijelaskan di bagian selanjutnya mengenai solidaritas warga MTA, warga MTA juga memilih untuk meminta tolong kepada warga MTA lainnya, misalnya pinjam meminjam barang, uang atau kebutuhan lainnya. Namun dalam beberapa situasi, antara warga dengan warga MTA juga terjadi proses integrasi dan saling memahami perbedaan masing-masing. Dalam upacara pemakaman, misalnya dalam pemakaman Mbah Kariyem, warga MTA yang jelasjelas menolak kajatan karena tidak ada tuntunannya dalam Islam tetap menunjukkan solidaritasnya. Warga MTA laki-laki memilih untuk menggali kuburan dengan warga lainnya sehingga mereka tidak terlibat dalam prosesi kenduri sebelum pemakaman. Sementara perempuan anggota MTA seusai melayat biasanya langsung pulang ke rumah masing-masing. Integrasi juga terjadi dalam transaksi dan mata pencaharian utama, yaitu bertani. Lazimnya dalam masyarakat, roda ekonomi digerakkan oleh kebutuhan jasa untuk memanen hasil bumi. Ketika warga hendak ndodos atau memanen ubi jalar, biasanya menggerakkan tenaga kerja yang cukup banyak, termasuk warga MTA, begitu pula
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebaliknya. Obrolan atau saling tolong menolong biasanya terjadi antara warga dengan warga MTA yang kebetulan sawah atau ladangnya berdekatan. Selain itu, relasi yang lebih akrab antara warga dengan warga MTA biasanya juga mudah terjalin antar ibu atau perempuan warga dusun dengan perempuan anggota MTA. Mereka biasanya berkumpul di gardu dekat rumah Pak Kamituwo Saji untuk mengobrol dan mengasuh anak dan berbicara satu sama lain dengan akrab dan hangat.
4.
Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora a. MTA Bangkerep di Tangan Generasi Kedua Setelah mengalami pasang surut dan penolakan dari masyarakat, MTA di
Bangkerep mengalami perkembangan yang cukup pesat. Meski bertempat di dusun kecil, saat ini MTA di Bangkerep merupakan pusat dari kegiatan MTA di seluruh Kabupaten Blora atau dalam struktur organisasi MTA merupakan kantor perwakilan yang membawahi anggota di seluruh Blora (setingkat kabupaten). Secara resmi, MTA perwakilan Blora diresmikan pada 24 April 2005 atau tepat dua tahun setelah konflik dengan warga Bangkerep selesai. Kini MTA perwakilan Blora membawahi tujuh MTA Cabang (setingkat kecamatan) di seluruh Blora. Ketua MTA perwakilan Blora saat ini dipegang oleh Suradi yang secara usia masih cukup muda. Saat konflik sepanjang tahun 2000-2003, Suradi saat itu masih berumur sekitar 15 tahun dan baru saja lulus SMP. Ia adalah keponakan Wakidi,
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perintis MTA di Bangkerep. Setelah konflik usai, Suradi pergi ke Solo untuk bekerja dan mengaji di MTA Pusat selama lebih kurang dua tahun. Selaku ketua perwakilan, Suradi dibantu oleh Suwanto dan Susilo. Suwanto dan Susilo juga masih sangat muda, beberapa tahun di bawah Suradi. Mereka bertiga merupakan generasi kedua MTA di Bangkerep, setelah masa Tumin, Wakidi dan Sudipo. Mereka juga memiliki kesamaan “nasib” yaitu sama-sama masih berusia remaja belasan tahun ketika konflik antara warga Bangkerep dengan warga MTA terjadi sepanjang tahun 2000-2003.
b. Kehidupan Sehari-hari Warga MTA Bangkerep Sebagai anggota organisasi keagamaan yang bercorak puritan, seluruh warga MTA sangat tegas menolak dan meninggalkan berbagai praktek keagamaan sinkretis yang masih berakar kuat di Bangkerep. Yang paling ditentang adalah sedekah bumi di bawah pohon beringin, karena selain tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam, kegiatan tersebut juga mengandung unsur kemusyrikan yang merupakan dosa besar dalam Islam. Praktek lainnya adalah Tahlilan dan
Yasinan (mendoakan orang
meninggal) serta kegiatan ibadah lainnya yang mengandung unsur kepercayaan lokal. Selain itu, warga MTA di Bangkerep juga terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh organisasi MTA Pusat. Misalnya, kewajiban hadir di pengajian dengan konsekuensi dikeluarkan jika tidak hadir tanpa keterangan selama tiga kali berturut-turut. Warga MTA juga dilarang untuk merokok karena merupakan perbuatan yang boros dan mengganggu kesehatan. Secara spesifik, aturan dalam MTA
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Dalam kesehariannya, aturan tersebut sangat dipatuhi oleh warga MTA, misalnya dalam acara resepsi pernikahan. Saat warga MTA menggelar hajatan pernikahan, tamu laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh hijab atau kain pembatas, sesuatu yang tidak lazim jika warga Bangkerep atau desa-desa lainnya menggelar hajatan pernikahan atau kenduri lainnya. Yang sangat menarik adalah penampilan warga MTA yang relatif berbeda dengan warga Bangkerep pada umumnya. Warga MTA laki-laki bisa dikenali dari pakaian mereka yang selalu rapi untuk ukuran dusun, terutama jika hendak melakukan shalat atau kegiatan pengajian. Menjelang shalat Dzuhur, mereka biasanya mandi dan membersihkan diri setelah setengah hari berada di sawah atau ladang. Hampir tidak ada warga MTA yang memakai sarung atau kopiah saat ke masjid atau mengikuti kegiatan di Majelis, umumnya kemeja dan celana panjang. Penampilan mereka sangat kontras dengan warga umumnya yang sholat di masjid Baitun Nadhliyin, yang umumnya mengenakan sarung dan kopiah, sebagian bahkan mengenakan pakaian atau penampilan fisik yang jauh dari kesan bersih dan rapi. Selain itu, kaum perempuan di Bangkerep sangat mudah dikenali apakah mereka warga MTA atau bukan. Warga MTA perempuan bisa dikenali dari jilbab atau penutup kepala mereka yang cukup lebar dan menutupi hampir separuh tubuh mereka. Sementara kaum perempuan Bangkerep umumnya tidak mengenakan jilbab atau kerudung dalam kehidupan sehari-harinya dan hanya dikenakan pada saat acara
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengajian. Beberapa perempuan Bangkerep memang mengenakan penutup kepala dalam menjalankan kegiatan sehari-hari -salah satunya istri Pak Kamituwo Sajinamun umumnya mereka hanya mengenakan kerudung atau jilbab pendek yang hanya menutupi kepala tanpa menutup tubuh mereka.
c. Dua Pengajian di Hari Selasa Selasa adalah hari yang sangat sibuk di Bangkerep. Sebagian warga –terutama warga MTA- mengakhiri kegiatannya di sawah atau ladang lebih awal. Mereka kemudian menuju ke Majelis atau kantor MTA dengan berpakaian rapi, celana panjang dan menenteng tas berisi Al Quran, buku tulis dan pulpen. Seusai sholat berjamaah, kegiatan dimulai dengan kegiatan Tahsinul Quran atau memperbaiki cara membaca Al Quran. Tidak semua warga MTA mengikuti kegiatan tersebut dan biasanya hanya diikuti oleh mereka yang belum lancar dalam membaca Al Quran. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang guru khusus yang ditunjuk oleh pengurus MTA sendiri. Acara selanjutnya yang juga merupakan acara inti adalah pengajian cabang, salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh warga MTA di seluruh Indonesia. Di masing-masing cabang, biasanya diselenggarakan seminggu sekali dengan jadual berbeda-beda. Yang menarik dari pengajian ini adalah metode dan pelaksanaannya yang dipimpin oleh ustadz yang khusus didatangkan dari MTA pusat. Warga MTA yang
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hadir dipisah menurut jenis kelamin. Warga MTA laki-laki berada di sebelah depan, sementara warga MTA perempuan di belakang dipisahkan dengan kain pembatas. Selain dari Dusun Bangkerep, mereka juga berasal dari desa lain di sekitar Desa Balong. Di sebelah depan, sebuah meja dan kursi disediakan untuk Ustadz yang mengisi pengajian. Seluruh peserta pengajian diwajibkan membawa satu buah buku tulis, pensil dan Al Quran terjemahan. Ustadz Ngabdi, berusia sekitar 50-an tahun, menjadi penceramah tetap yang mengisi pengajian di Bangkerep. Ia merupakan ustadz senior dari Surakarta. Sebelum memulai pengajian, ia memeriksa daftar kehadiran anggota, dan menanyakan siapa yang tidak hadir berikut apa alasannya. Pemeriksaan daftar kehadiran di pengajian cabang dan pengajian khusus merupakan aturan baku di MTA. Bagi warga yang tidak hadir tiga kali berturt-turut tanpa alasan yang jelas maka ia dikeluarkan dari keanggotaan MTA. Setelah pemeriksaaan daftar hadir selesai, ustadz Ngabdi melanjutkan dengan menyampaikan salam dari ketua umum MTA Ahmad Sukina. Dalam pengajian rutin tersebut, Ustadz Ngabdi membawakan satu topik tertentu. Ia mengawalinya dengan membaca salah satu ayat Al Quran. Warga menyimak dengan Al Quran yang dibawanya. Setelah itu Ustadz Ngabdi menjelaskan keterangan ayat tersebut sementara anggota MTA mencatat di buku masing-masing. Di bagian akhir pengajian selalu dibuka sesi tanya jawab di mana anggota MTA bebas bertanya hal apapun, baik masalah keagamaan, keluarga maupun organisasi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijawab dengan merujuk pada dari pedoman
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau dalil dari Al Quran dan Hadits atau panduan dari pengurus MTA Pusat, dalam hal ini ketua umumnya Ahmad Sukina. Pengajian rutin ini biasanya selesai menjelang magrib. Saat pengajian cabang di kantor MTA berlangsung, di tempat lain ibu-ibu Bangkerep juga mengadakan pengajian. Berbeda dengan kegiatan MTA yang dipusatkan di kantor, pengajian ibu-ibu Bangkerep dilaksanakan bergantian di masing-masing rumah. Selain itu, jika pengajian cabang di kantor MTA tidak menggunakan pelantang suara yang mengarah ke luar, maka pengajian ibu-ibu menggunakan pelantang suara yang bisa didengar dari seluruh penjuru dusun. Pengajian ini bukan berupa ceramah atau mengkaji materi tertentu, melainkan secara khusus membaca yasin dan tahlil. Sementara ceramah pengetahuan agama dilakukan sebulan sekali oleh kiai yang didatangkan dari kecamatan.
d. Pengajian warga MTA Khususi di hari Jumat Di Dusun Bangkerep tercatat sekitar 30 KK atau hampir 90 warga bergabung dengan MTA. Namun dari sekian jumlah tersebut, tercatat hanya 13 orang yang merupakan anggota Khususi, atau anggota khusus yang memiliki kualifikasi di bidang pengetahuan keagamaan yang lebih serta diukur dari berapa lama seorang anggota bergabung dibanding anggota lainnya. Warga anggota MTA yang sudah termasuk dalam kategori Khususi selain mengikuti pengajian cabang juga mengikuti pengajian Khususi yang diselenggarakan
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
setiap hari Jumat di kantor pusat MTA di Surakarta. Tepat seusai Sholat Jumat, Suradi dan anggota MTA lainnya secara berombongan berangkat ke Surakarta menggunakan mobil milik Sunardi yang juga anggota MTA. Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang empat jam, mereka tiba di kantor pusat MTA dan segera bergabung dengan warga Khususi MTA lainnya di seluruh Indonesia. Acara ini berlangsung sampai menjelang Shalat Maghrib, dan dilanjutkan dengan pertemuan informal antar anggota. Menjelang dini hari, Suradi dan rombongan biasanya baru sampai di dusun mereka kembali.
e. Ustadz Muda Setiap hari Senin, Suradi bersama dengan Suwanto pergi ke Surakarta menggunakan sepeda motor. Mereka mengikuti pengajian yang diselenggarakan khusus untuk membina ustadz-ustadz yang mengisi pengajian di wilayahnya masingmasing. Selaku pengurus MTA Perwakilan Blora, Suradi dan Suwanto adalah dua warga yang sudah mendapatkan semacam lisensi dari MTA Pusat untuk mengisi pengajian di masing-masing cabang di Blora. Tidak heran jika jadual keduanya sangat padat. Di hari Rabu misalnya, Suradi mengisi pengajian di MTA Cepu dan MTA Kedungtuban yang berjarak puluhan kilometer dari Bangkerep. Sementara hari Kamis, Suwanto berceramah di Japah dan Todanan. Belum lagi pengajian binaan, atau tahap persiapan sebelum menjadi cabang.
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan model organisasi yang hirarkis, Suradi dan Suwanto sebagai ustadz menjadi fenomena yang sangat menarik. Hal ini karena usia keduanya yang masih sangat muda, sementara warga MTA yang mengikuti pengajian banyak yang berusia lebih tua dari mereka. Bahkan banyak warga MTA di Blora yang berasal dari kalangan pejabat maupun birokrat baik di kantor kecamatan maupun kabupaten. Apalagi Suradi secara formal hanya berpendidikan SMP, meski kemudian melanjutkan ke Kejar Paket C dan saat ini sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Blora. sementara Suwanto juga lulusan SMP, dan sehari-harinya berprofesi sebagai petani. Selama pengajian, keduanya dipanggil dengan sebutan Ustadz.
f. Pengajian Ahad pagi Sama seperti warga MTA lainnya, warga MTA Bangkerep juga menghadiri pengajian Ahad Pagi (Jihad Pagi) yang diselenggarakan di Surakarta. Acara yang dipimpin langsung oleh ketua umum MTA Ahmad Sukina ini menjadi semacam puncak pertemuan warga MTA di seluruh Indonesia. Hampir seluruh warga MTA Bangkerep hadir dalam acara ini bersama-sama dengan warga MTA dari berbagai cabang di seluruh Kabupaten Blora. Yang menarik adalah ketika pengajian berlangsung di Surakarta yang juga disiarkan secara langsung melalui radio MTA FM ke seluruh Indonesia, warga anggota MTA Bangkerep yang tidak berangkat mengikuti Jihad Pagi juga menyiarkan siaran radio pengajian tersebut melalui pelantang suara dari masjid MTA hingga
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terdengar ke seluruh dusun. Tidak heran jika pada awalnya warga dusun Bangkerep lainnya sempat terganggu dan acapkali tersinggung dengan materi pengajian yang banyak menyoroti berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi yang masih banyak terjadi di masyarakat. Namun lama kelamaan, warga dusun menganggap biasa siaran radio tersebut.
g. Solidaritas dalam Kelompok Malam sehabis sholat Isya‟ (28/8/2012) saya mengikuti pertemuan kelompok di rumah Paiman, salah seorang warga MTA yang tinggal di Dusun Balong. Seharusnya yang datang sebanyak 6 orang, namun 2 dari anggota kelompok ijin karena pergi ke desa sebelah. Tidak banyak yang dibicarakan pada malam itu, selain informasi bahwa akan ada gotong royong untuk menyiapkan tempat pelaksanaan pengajian MTA sekaligus peresmian beberapa cabang MTA yang akan dipusatkan di Blora kota. Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, perbedaan MTA dibanding organisasi Islam lainnya adalah model kepemimpinan yang hirarkis dan sentralistik, serta ditunjang dengan aturan organisasi yang mengikat dan berfungsi untuk menjaga loyalitas anggotanya. Kelompok adalah tingkatan terkecil dalam struktur organisasi di MTA di mana setiap kelompok rata-rata terdiri dari 5-7 orang. Setiap kelompok diharuskan menggelar pertemuan seminggu sekali dengan acara utama berupa pendalaman materi pengajian, dilanjutkan dengan pengumuman atau informasi dari organisai, serta diskusi dan tukar pikiran mengenai berbagai hal, terutama
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyangkut perkembangan organisasi. Pertemuan kelompok ini biasanya digelar secara bergiliran di rumah masing- anggota kelompok. Setiap anggota MTA harus bergabung dalam kelompok tanpa kecuali, bahkan meski ia mempunyai posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi. Suwanto misalnya, meski secara struktur menjadi pengurus dan juga salah satu ustadz yang memiliki hak untuk memberikan ceramah untuk MTA di seluruh Blora, dia tetap tergabung dalam kelompok bersama dengan warga MTA lainnya yaitu Paryanto dan Yatmin yang merupakan warga Dusun Bangkerep serta Yatno dan Paiman yang berasal dari Dusun Balong. Selain mengkaji ilmu agama dan sarana untuk berdiskusi, kelompok juga berfungsi untuk membangun solidaritas antar warga MTA, khususnya dalam kelompok tersebut, terutama jika ada anggota yang membutuhkan pertolongan, baik yang sifatnya mendesak seperti sakit, meninggal, butuh pinjaman uang, atau juga berupa informasi mengenai pekerjaan dan sebagainya. Sebagai contoh, Paiman yang berprofesi sebagai pemborong hasil bumi berupa padi atau singkong biasanya mencari informasi tentang siapa saja orang yang akan panen dan menjual hasilnya dari pertemuan kelompok tersebut.
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV REKONSTRUKSI IDENTITAS
A. Pendahuluan Berbagai studi tentang agama dan globalisasi dijelaskan bahwa kemajuan dunia modern dibarengi dengan gejala tumbuhnya identitas keagamaan dan meningkatnya gairah keagamaan di beberapa kalangan dengan karakter ortodoks dan doktrin yang ketat. Modernitas dan globalisasi dengan segala persoalan yang mengikutinya menciptakan reaksi berupa menguatnya kecenderungan untuk kembali ke otentisitas teks suci dan menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan sebagai konsekuensi dari pencarian stabilitas dan identitas diri. Bab
Dua
menjelaskan
bagaimana
globalisasi
menciptakan
gerakan
kebangkitan Islam dalam skala global sebagai reaksi atas berbagai persoalan sosial yang muncul. Gerakan tersebut menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui instrumen dari globalisasi yaitu kebijakan negara serta teknologi komunikasi informasi dan transportasi yang memungkinkan tersebarnya ide dan gagasan mengenai globalisasi. Sementara Bab Tiga menjelaskan mengenai tatanan tradisional di Dusun Bangkerep yang secara perlahan mengalami perubahan sosial menuju kondisi-kondisi yang mengarah pada memudarnya kepercayaan terhadap tradisi lama dan upaya sebagian
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
anggota masyarakat untuk beralih ke identitas baru sebagai Muslim yang taat dan menenerapkannya dalam kehidupan sehari-hari secara ketat. Bab ini menitikberatkan pada analisa di balik proses bergabungnya sebagian anggota masyarakat ke organisasi Islam puritan MTA. Fokus dari bab ini adalah bagaimana kondisi-kondisi modernitas dan persebarannya secara massif atau fenomena globalisasi berpengaruh terhadap kondisi masyarakat serta identitas diri individu di dalamnya. Dalam hal ini perubahan-perubahan sosial mengubah ikatanikatan kolektif tradisional di Bangkerep dan pada saat yang sama menciptakan kegamangan sehingga sebagian anggota memilih untuk bergabung dengan MTA sebagai upaya pencarian stabilitas dan identitas diri di tengah arus globalisasi. Bagi warga MTA di Bangkerep, bergabung dengan organisasi MTA bukan sekedar pilihan untuk menjalankan ajaran Islam yang murni dengan cara melepaskan diri dari kepercayaan tradisional di masa lalu, tetapi juga untuk menjalani kehidupan dalam suatu komunitas besar yang dilandasi prinsip dan aturan ketat yang didasarkan dari Al Quran dan Hadits di tengah dunia yang penuh dengan resiko dan persoalan. Proses ini bisa dijelaskan dengan pemikiran Giddens mengenai tatanan posttradisional, yakni suatu tatanan masyarakat yang mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas. Dalam tatanan masyarakat posttradisional ini individu-individu di dalamnyan berupaya untuk mencari stabilitas dan kepastian, di mana sebagian dari mereka menemukannya dalam organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA) sebagai organisasi keagamaan dengan struktur dan jaringan
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang kuat yang mampu menyediakan keamanan ontologis bagi keberadaan mereka di dunia sekarang ini.
B. Kondisi-kondisi Modernitatas dan Globalisasi serta Pengaruhnya Terhadap Tatanan Masyarakat di Bangkerep 1.
Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru Menilik sejarahnya, dusun Bangkerep pada mula berdirinya adalah dusun
dengan gambaran sebagai komunitas lokal dengan segala tradisi dan kepercayaan kosmologisnya. Dusun ini juga dicirikan dengan ikatan kekerabatan yang kuat, rendahnya tingkat pendidikan, homogenitas pekerjaan sebagai buruh petani dan tinggal di dusun yang relatif terpencil yang memungkinkan mereka tidak memiliki akses untuk bertemu dengan nilai dan ide baru. Dalam
perkembanganya
kemudian
perubahan
sosial
mempengaruhi
karakteristik dusun tersebut, antara lain kebijakan pembangunan negara serta masuknya nilai yang relatif baru dari luar, dalam hal ini di bidang keagamaan. Dimulai pada tahun 1970-an, kebijakan depolitisasi pemerintah pusat merambah Kecamatan Kunduran yang membawahi Desa Balong dan Dusun Bangkerep, antara lain melalui serangkaian program administrasi pemerintahan dan pertanian maupun proyek infrastruktur jalan dan sekolah. Dampak langsung dari kebijakan ini adalah membaiknya tingkat pendidikan warga Desa Balong –termasuk di dalamnya warga Bangkerep.
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Khusus untuk proyek pembinaan keagamaan yang menjadi program andalan Orde Baru, proyek ini memberi dampak yang cukup besar bagi masyarakat dusun Bangkerep. Sebagai upaya menangkal paham komunis, penguasa Orde Baru yang didukung militer gencar melakukan penyuluhan keagamaan di wilayah-wilayah yang menjadi basis komunis, termasuk di Blora, termasuk di wilayah Kecamatan Kunduran yang pada saat itu dianggap dianggap menjadi basis komunis. Para tokoh agama yang dikoordinasi oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kunduran memberikan penyuluhan keagamaan setiap satu bulan sekali yang dipusatkan di Desa Balong. Selain itu pembangunan proyek infrastruktur berupa masjid dan Madrasah Diniyah (sekolah agama informal di sore hari) memberi dampak bagi tumbuhnya gairah keagamaan di dusun Balong. Kemudian beberapa warga seperti Wakidi dan Tumin yang belajar agama di Madrasah Diniyah di Balong dan menjadi orang-orang pertama yang menghidupkan kegiatan keagamaan di Bangkerep, termasuk menjadi pelopor berdirinya MTA di Bangkerep. Kehidupan di Bangkerep juga mulai muncul setelah salah satu warga Dusun Balong yaitu Mbah Mus menikah dengan warga Bangkerep yang kemudian karena pengetahuan keagamaannya menjadi salah satu orang yang dituakan di Bangkerep. Pada tahap berikutnya perkembangan MTA di Bangkerep merupakan bagian dari fenomena tumbuhnya gairah keagamaan yang cenderung puritan dalam skala yang lebih luas. Hal tersebut bisa dilihat ketika pada tahun 1987 seorang pemuda Bangkerep bernama Tumin merantau ke Solo untuk bekerja atau pada tahun-tahun
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut MTA sebagai sebuah organisasi keagamaan baru saja berdiri di Solo sekaligus pada masa ketika penguasa Orde Baru sedang gencarnya menggulirkan agenda pembangunan yang berorientasi pada industri dan memberlakukan berbagai kebijakan depolitisasi demi tercapainya stabilitas sosial politik. Situasi ini mencerminkan berjalannya dimensi modernitas yang dimaksud Giddens, yakni ketika negara menjadi ruang bagi ekspansi kapitalisme dan industrialisme karena negara memiliki wilayah kekuasaan administratif dan instrumen yang melegitimasi kekuasaan yaitu kekuatan militer. Dengan kata lain, untuk bisa berkembang dengan baik, kapitalisme dan industrialisme membutuhkan stabilitas sosial politik dan keamanan. Pada tahun 1987, Tumin pulang ke Bangkerep dan berupaya mengembangkan ajaran Islam yang dia dapatkan dari MTA pusat di Surakarta ke Bangkerep. Ia mulai mengaktifkan kegiatan keagamaan di mushola dusun dan menggelar pengajian di tempat tersebut. Apa yang dilakukan Tumin tersebut disambut baik oleh sebagian warga Bangkerep yang memang pada saat itu mulai menunjukkan minat terhadap kegiatan keagamaan sebagai dampak langsung dari kebijakan pembinaan mental keagamaan dari pemerintah. Dalam konteks ini agenda pembangunan Orde Baru, baik infrastruktur maupun pembinaan mental keagamaan merupakan apa yang disebut Giddens sebagai mekanisme pengawasan baik melalui kekuasaan administratif maupun kekerasan untuk menciptakan ketertundukan masyarakat demi pembangunan. Giddens
136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyebutnya sebagai pasifikasi internal yakni penundukan negara atas masyarakat dengan membangun ketaatan hukum dan politik.156 Selain melalui proyek penyuluhan, kondisi ini bisa dilihat dari intervensi negara ke seluruh wilayah kehidupan sehari-hari penduduk desa melalui struktur birokrasi, di mana kepala desa adalah anggota Golkar sebagai mesin birokrasi yang berfungsi menjaga kendali atas kegiatan-kegiatan desa. Dengan demikian negara muncul sebagai otoritas dominan, menggantikan bentuk-bentuk tradisional.157
2.
Ketika Tradisi Dipertanyakan Sebagai suatu dusun yang mulanya memiliki karakteristik tradisional,
Bangkerep mengalami proses yang disebut Giddens sebagai proses detradisionalisasi yakni tersisihnya tradisi yang menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan. Detradisionalisasi terjadi sebagai akibat intervensi dari luar komunitas yang memungkinkan setiap individu di dalamnya bertemu dan menerima ide baru yang sama berbeda dengan tradisi dan tatanan yang selama ini mereka hidupi. Dalam konteks Bangkerep, detradisionalisasi terjadi melalui kebijakan pemerintah terutama di bidang keagamaan, serta mobilitas dan arus informasi yang member ruang terjadinya persinggungan beberapa individu dengan organisasi keagamaan lokal, seperti NU dan Muhammadiyah, dan kemudian MTA.
156
Anthony Giddens, Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical Materialism, Polity Press, 1985 157 Hassan, ibid, hal. 253
137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Intervensi dari luar berpengaruh terhadap esensi beberapa ritual di Bangkerep seperti sedekah bumi. Ritual yang mewakili apa yang disebut tradisi kecil memang masih dilakukan oleh warga Bangkerep, namun tidak lagi menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan. Adat istiadat lokal menjadi kebiasaan tak bermakna atau dalam bahasa Giddens menjadi relic atau semacam museum. Contoh nyata dari kasus ini sedekah bumi di bawah pohon besar. Sebelumnya, ritual sedekah bumi identik adalah ritual untuk memohon keselamatan kepada para danyang dan kekuatan gaib penunggu dusun dengan cara membakar kemenyan dan merang dan menggunakan doa-doa Jawa. Belakangan sejak kepala dusun dijabat oleh Pak Saji ia mengganti kemenyan dengan menabur garam di sekeliling pohon beringin. Ia juga mengganti doa Jawa dengan doa Islam. Perubahan ini diakui pak Kamituwo sejak adanya beberapa ceramah dari tokoh NU yang sering memberi pengajian rutin pasca konflik dengan warga MTA. Menurut pak Saji: Sebelumnya ya menggunakan (kemenyan). Orang-orang tua sudah meninggal ganti generasinya. Saya menggantinya dengan garam. Maksudnya ya penolakan. Intinya sama. Kepercayaan. Kan kalau yang pakai kemenyan dianggap memuja. Ya menghindari, dirintis sedikit demi sedikit. Doanya ya saya sarankan memakai doa Islam. Dulu saya tidak tahu, kepercayaan masing-masing orang. Dulu yang tidak bisa (berdoa) pakai (bahasa) Islam ya pakai (bahasa) Jawa. Kalau yang orang Jawa tulen ya isinya penolakan roh-roh jahat, roh halus...158
Karakteristik utama detradisionalisasi adalah bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi menjadi lebih terbuka untuk dipertanyakan untuk kemudian berkembang
158
Terjemahan wawancara dengan Pak Kamituwo Saji, 17 April 2012
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam konteks yang berbeda. Tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan sehingga ketika tradisi tidak lagi memberi jawaban yang memuaskan bagi keberadaan dirinya, seseorang bisa berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.159 Hal ini terjadi pada warga Bangkerep yang bergabung dengan MTA, di mana sebagian besar dari mereka sebelumnya pernah melakukan praktek-praktek tradisional di dusun mereka. Belakangan mereka kemudian mempertanyakan manfaat dari berbagai praktek tradisional tersebut. Sedekah bumi, pawai mengarak pengantin, dan praktek tradisional lainnya tidak lagi dianggap bermanfaat. Sebaliknya mereka memilikin kebebasan untuk mengkritisi praktik tersebut dan memilih panduan hidup lain yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini dalam bentuk tradisi yang sama sekali berbeda, yakni Al Quran dan Hadits. Wakidi adalah orang yang tahu persis bagaimana situasi awal di Bangkerep yang sepi dari kegiatan agama dan sebaliknya penuh dengan ritual-ritual kosmologis khas dusun. Ia juga mengakui dulunya ikut mengikuti ritual-ritual tersebut. Namun setelah berkenalan dengan nilai dari luar dusun, dalam hal ini ajaran MTA yang dibawa oleh Tumin atau ketika ia mengaji ke Todanan kepada tokoh Muhammadiyah, secara perlahan ia mempertanyakan praktek-paktek tradisional di Bangkerep. Meski demikian ia belum sepenuhnya meninggalkan semua praktek tersebut meninggalkan kebiasaan tersebut meski tidak secara langsung. Wakidi mengatakan: Tahun 1986 awal saya mulai kenal MTA. Sejarahnya dulu saya dengan pak Tumin bersama-sama dengan rekan-rekan di sini ngaji di mbah 159
I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mantan (Lurah). Pak Tumin ikut orang tua di Solo. Setelah itu karena ngaji temannya sudah ndak banyak, agak malas, akhirnya akhirnya saya pindah ke guru dari Todanan namanya pak Iswandi itu 2,5 tahun...bersamaan dengan waktu-waktu itu pak Tumin setiap pulang di Bangkerep ngomong-ngomong masalah pengajian tapi tidak mengatakan MTA.Cuma ngaji Quran Sunah. Kan sama kalo waktu itu saya ngaji dengan Muhammadiyah, sama....ke Solo satu bulan sekali dua bulan sekali...tahun 1987 saya menikah, sudah ngaji Quran Sunah itu 1,5 tahun itu sudah bisa menimbang ini baik ini tidak...umumnya tradisi di masyarakat manten pria diantar ke sendang besar membawa tumpeng membawa tombak, mandi di situ yang putri di sana...waktu itu saya sudah berusaha maksimal tidak melaksanakan....Waktu itu saya masih nimbrung. Tahlilan yasinan masih mengikuti. Ya Cuma satu itu tidak mau ke sendang itu.160
Begitu juga dengan Suradi. Sejak remaja ia mempelajari agama Islam bersama pamannya, Wakidi dan kemudian ia mulai kritis dengan berbagai praktek tradisional di dusunnya. Seperti kegiatan sedekah bumi, menurutnya warga dusun yang melakukan praktek tersebut sama sekali tidak tahu maksud dan tujuannya. Hal ini disampaikan Suradi: Orang tua saya dulu kan tidak solat. Saya sudah mengaji di MTA. Saya tanya sebenarnya yang di pohon besar kok dilaksanakan itu kenapa? (Kata bapak) begini, di pohon besar itu ada penunggunya. Yang mbahurekso. Yang menjaga kampung. Kalau tidak di beri sesaji itu nanti orang desa bisa kena bendana. Bisa saja tidak panen atau kena penyakit. Nah (menurut saya) itu kan sudah jelas-jelas mengarah pada kemusyrikan.161
Suradi juga menceritakan bagaimana ia kritis terhadap pawai mengarak pengantin ke sumur atau sendang dusun. Ia menceritakan:
160 161
Terjemahan wawancara dengan Wakidi, MTA, 19 April 2012 Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012
140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dulu waktu masih muda ya sering ikut (pawai )mengantar (pengantin). Semua sudah lengkap. Waktu masih muda sudah lengkap mengikuti acara-acara itu. Belum tahu (Islam) ya senang. Sesudah tahu ya tapi masih ikutan, tapi sudah mulai menyepelekan. Dulu saya kalau ada pawai pengantin itu saya yang disuruh bawa tombak. Tombak itu tidak boleh dibawa seperti ini. Harus dipegang dengan benar. (Tombak) tidak boleh mengarah ke bawah. Saya kan kritis. Mulai mengaji. Saya bertanya: Kenapa harus membawa tombak pak? (Kata bapak) itu dulu mengantar pengantin ke sumur karena berjaga-jaga kalau ada harimau atau binatang buas. (Saya bilang) sekarang kan sudah tidak ada harimau kok masih pakai tombak? (Kata bapak) sudah tidak usah macam-macam. Lalu tombak saya buat mainan seperti kalau sedang bermain silat. Saya dimarahi warga. Tidak boleh, nanti kualat. Tombak dianggap ada penunggunya. Jin atau apa. Tombak dianggep ada yang menunggu. Jin atau apa. Kalau nanti membawanya tidak benar yang membawa marah.162
Dengan kata lain, persinggungan dengan berbagai ide atau nilai lain dari luar dusun membuat sebagian individu merasa menjadi lebih mandiri dan tidak lagi terikat pada tradisi kosmologis yang pernah ada di kampung mereka. Mereka memiliki kebebasan untuk merefleksikan dan mengkritisi praktik tradisional dari leluhur dan memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini, dalam hal ini adalah hanya melakukan praktek yang sesuai dengan ajaran agama secara murni dan memiliki dasar hukum, yaitu Quran dan Hadits.
3.
Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA Ketika warga Bangkerep menggelar tradisi sedekah bumi di bawah pohon
besar, mereka berupaya untuk menghadirkan makna dan nilai komunal yang
162
Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipercayai leluhur mereka di masa sekarang dengan pengharapan bahwa kehidupan mereka di masa mendatang, terutama di bidang pertanian akan menjadi lebih baik. Tradisi ini dilakukan sehabis panen pertama setiap tahunnya di mana seluruh warga dusun bersama-sama hadir di bawah pohon besar dengan ritual yang dipandu oleh Kamituwo dan Modin. Menurut pemikiran Giddens, dalam tatanan masyarakat tradisional dimensi kehidupan didominasi oleh kehadiran dan aktifitas yang terlokalisasi. Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Bangkerep adalah cara untuk mengontrol waktu, atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang untuk pengharapan di masa mendatang. Selain itu, kehidupan warga dusun mensyaratkan kebersamaan di mana setiap orang hadir dalam setiap kegiatan bersama. Dengan tidak menghadiri suatu kegiatan tertentu, seseorang dianggap menyalahi kebiasaan atau bahkan tidak lagi menjadi bagian dari warga dusun. Kehadiran menjadi syarat penting untuk menegaskan eksistensi seorang warga di dusun Bangkerep. Hal ini disampaikan Ratno, salah seorang warga Bangkerep yang termasuk sangat vokal menentang kehadiran MTA: Mereka (warga MTA) itu adalah orang yang tidak bisa hidup bermasyarakat. Mereka punya aturan sendiri, zakat, iuran-iuran, baiat.163
Sebaliknya, modernitas ditandai dengan penjarakan ruang dan waktu juga yang membuat ketidakhadiran mendominasi hubungan perjumpaan antar-pribadi. Penjarakan ruang dan waktu memungkinkan dibangunnya sarana organisasi modern 163
Terjemahan wawancara dengan Ratno,warga desa, 17 April 2012
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang rasional, di mana sebuah organisasi semakin mampu menghubungkan satu wilayah tertentu dengan wilayah lain di dunia yang saling berjauhan sehingga dengan demikian organisasi modern dapat menjangkau dan mempengaruhi banyak orang. Ketika seorang warga anggota MTA di dusun Bangkerep melepaskan diri dari ikatan tradisional dengan meninggalkan praktik-praktik leluhur mereka, pada saat yang sama mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar, yaitu umat Islam yang melaksanakn ajaran Islam secara murni dan Kaffah. Struktur
hirarkis
MTA
sebagai
organisasi
modern
memungkinkan
pengendalian anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk di Bangkerep melalui berbagai aturan yang ketat. Seorang warga MTA di dusun Bangkerep cukup menjadi bagian dari komunitas Islam yang murni tanpa harus bertemu dengan rekannya sesama anggota di tempat lain. Jadi lokalitas dipengaruhi oleh aktifitas di kejauhan, dan apa yang membentuk lokal itu tidak hadir dalam aktifitas sosial individu atau masyarakat yang bersangkutan. Jarak ditiadakan antara Bangkerep dengan Surakarta, karena mereka menjadi satu bagian dari komunitas yang lebih besar. Sementara berbagai aturan dan kode etik anggota membuat seseorang warga MTA di Bangkerep mematuhi perintah dari dunia luar dirinya.
4.
Antara Kamituwo dan Ustadz Pak Saji menjadi Kamituwo pada tahun 2002. Sebagai Kamituwo, pak Saji
berperan tidak hanya dalam konteks administrasi, tetapi lebih sebagai status kultural.
143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ia yang memimpin upacara sedekah bumi, bersama dengan mbah Modin. Dalam konteks tatanan masyarakat tradisional, mereka adalah penjaga (guardian), yakni orang yang dianggap dan dipercaya memiliki akses terhadap kebenaran dan makna dari suatu kepercayaan kosmologis tertentu. Salah satu ciri sekaligus dampak dari modernitas adalah mekanisme pencabutan (disembedement) yang salah satunya ditandai kemunculan sistem ahli. Tokoh kultural tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan, justru sebaliknya muncul tokoh yang memiliki keahlian tertentu. Dalam hal ini ahli direpresentasikan oleh ustadz atau guru yang memiliki kemampuan dan pengetahuan agama. Di Bangkerep, kehadiran ahli direpresentasikan oleh Ustadz Suradi dan Ustadz Suwanto, selain di tingkatan pusat adalah ketua MTA Ustadz Ahmad Sukino. Sebagi pemimpin organisasi, keduanya memiliki otoritas formal yang menjalankan organisasi dan mengawasi anggotanya selain bertugas untuk memberi ceramah di Bangkerep dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA. Dalam konteks ini berlaku apa yang dimaksud Giddens sebagai ciri modernitas yakni otoritas tradisional sebagai penjaga digantikan oleh Ustadz yang ahli agama. Ustadz dalam konteks MTA sebagai gerakan purifikasi adalah expert system. Posisi mereka berbeda dengan kiai dalam arti kultural karena Ustadz lebih berfungsi sebagai pihak yang menginterpretasikan teks secara harfiah atau literal. Dalam pandangan Weber, puritanisme adalah rasionalisasi yang ditandai dengan dua hal, yakni disenchanment yaitu penghilangan semua prosedur magis serta methodism,
144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yaitu pencarian jalan hidup yang ketat dan konsisten.164 Seorang puritan adalah orang yang merasionalkan segala tindakannya dan melepaskan diri dari ritual-ritual non rasional dan kosmologis, yang disebut Weber sebagai “rationalization of conduct within the world, but for the sake of the world beyond”. 165 Expert system dalam pandangan Giddnes merefleksikan tema utama dari Pencerahan Eropa yang didasarkan pada pengetahuan sains dan rasionalitas yang menjinakkan dunia dan mengatasi dogma tradisi (Giddens, 1991:14-21, 28). Menurut Giddens, pada dasarnya penjaga dan ahli memilik kesamaan. Namun ada perbedaan yang tegas antara penjaga dengan ahli. Ketika pak Saji memimpin sedekah bumi, ia berdoa sambil memegang seikat merang di bawah pohon besar. Doanya tidak diikuti oleh warga yang lain yang hanya diam menunggu, di mana dalam hal ini hal ini seorang penjaga adalah otoritas yang memiliki kualitas dan akses yang tidak dikomunikasikan ke pihak lain, dalam hal ini para pengikut. Penjaga memiliki karakter yang tidak dimiliki ahli, yakni status, sementara ahli lebih menitikberatkan pada kompetensi (Giddens, 1994:65). Kamituwo bukan semata jabatan struktural yang membutuhkan kemampuan manajerial, tetapi juga orang yang menduduki posisi kultural dan menjadi yang dituakan (sesepuh) di dusun. Itulah sebabnya dalam konteks kompetensi ada warga sering mempertanyakan kepemimpinan Pak Kamituwo yang dianggap lamban dalam mengurus suatu masalah.
164
Harry Redner, Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture, Oxford, 2001, Rowman and Littlefield Publisher, hal. 171-172 165 James Peacock, Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California, 1978, University of California Press, hal. 2
145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara karakter Ustadz sebagai ahli adalah “kompetensi” dalam hal keagamaan. Dalam konteks MTA sebagai organisasi hirarkis, Ustadz Suradi yang pernah belajar agama di MTA meski dalam waktu singkat ditunjuk oleh pimpinan MTA pusat karena dianggap lebih mumpuni pengetahuan keagamaannya. Ini yang disebut Giddens di mana posisi ahli bisa dimiliki oleh siapapun yang memiliki waktu dan sumber daya untuk dilatih menjadi ahli. Selain itu ia memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dibanding warga MTA lainnya. Tidak hanya mampu menjawab setiap persoalan keagamaan, ia juga memiliki kemampuan orasi yang baik dalam meyakinkan pendengarnya. Lebih jauh lagi posisi Ustadz MTA sebagai sistem ahli dalam konteks masyarakat modern bisa dilihat dari sistem keahlian yang memiliki ciri ketercabutan, yakni tidak tergantung pada tempat dan menyebar (decentred) serta akses bukan pada kebenaran terformulasi melainkan pada pengetahuan. Karakter tidak terpusat (decentred) bukan berarti bahwa ahli tidak memiliki pusat otoritas, namun dalam hal ini peran mereka adalah menjaga kode-kode pengetahuan tertentu yang sudah menjadi kesepakatan. Dalam hal ini para Ustadz berperan untuk menjaga kode-kode yang sudah digariskan oleh struktur MTA mengenai cara menjalankan Islam secara murni dan benar. Ciri ketercabutan juga bisa dilihat dari peran Ustadz Suradi dan Suwanto yang tidak hanya menjadi pemimpin MTA atau berceramah di dusun Bangkerep saja, tetapi juga berkeliling ke dusun dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA. Dalam hal ini Giddens mengatakan “...as decentred system, „open‟ to whosever has
146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
the time, resources and talent to grasp them, they can be located anywhere. Place is not in any sense a quality relevant to their validity...”, (Giddens, 1994: 85). Kondisi ini tentu berbeda dengan posisi Pak Saji selaku Kamituwo atau Mbah Nurhasim sebagai Modin yang hanya diakui di Bangkerep saja dan tidak bisa menggunakan otoritasnya di dusun lain. Giddens menyamakan sistem ahli dengan sistem otoritas rasional-legal dalam pemikiran Weber yang berlawanan dengan otoritas tradisional dalam konteks di mana keduanya menggantikan sistem patrimonial. Otoritas rasional-legal melekat pada organisasi birokratis dan cenderung mengatur disiplin dan kontrol ketat terhadap organisasi dan anggotanya (Giddens, 1994: 82-83). Dalam hal ini posisi Ustadz Suradi dan Ustadz Suwanto adalah kepanjangan tangan dari struktur hirarkis pusat MTA, di mana tugas mereka tidak sekedar sebagai pemimpin agama, melainkan juga orang yang mengontrol perilaku anggotanya dalam hal pelaksanaan praktek keagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jika ada anggota yang melanggar aturan organisasi, bisa mendapat sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai karakter khas keahlian yang membedakannya dengan otoritas formal-birokratis atau pemerintah, yakni ahli mampu mengubah keterampilan menjadi kewajiban.
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5.
Kelahiran Kembali Giddens menyatakan bahwa detradisionalisasi memiliki dampak pada identitas
diri di mana ketika individu tidak lagi memiliki panduan yang jelas dalam hidupnya maka mereka berupaya menciptakan kembali identitas baru. Proses ini disebut refleksifitas atau proses ketika individu harus menyaring dan merenungi setiap informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam era globalisasi yang sesuai dengan kehidupan mereka dan secara rutin bertindak menurut proses penyaringan tersebut. Atau dengan kata lain individu harus memilih setiap aspek dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan dirinya sekaligus mampu memberikan alasan mengapa kita memilih hal tersebut. Dengan cara itulah individu terlibat secara aktif dalam mengembangkan identitas dirinya sendiri. Refleksifitas juga berarti individu harus mengkonstruksikan biografinya sendiri. Pendapat Giddens di atas menjelaskan bagaimana seorang warga Bangkerep memutuskan untuk bergabung dengan MTA yang secara drastis mengubah identitas mereka sebagai suatu proses negosiasi yang panjang dengan berbagai pengalaman dan situasi di sekitarnya. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kehidupan mereka di masa lalu sebelum bergabung dengan MTA adalah masa-masa kegelapan, merujuk pada kehidupan sehari-hari mereka yang masih penuh dengan praktek atau ritual yang tidak mereka temukan dasarnya dalam Al Quran dan Hadits. Bagi mereka situasi tersebut terjadi akibat ketidaktahuan pengetahuan atau ilmu yang mendasari
148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tindakan tersebut. Kemudian ketika mereka mendapatkan ilmu agama dari MTA, mereka mempertanyakan sekaligus meninggalkan praktek tradisional tersebut. Situasi ini dialami Sudipo (60). Ia termasuk generasi pertama, bahkan perintis pertama MTA di Bangkerep bersama Wakidi. Lelaki ini mengaku dulunya tidak hanya melaksanakan praktek tradisional, tetapi juga hal-hal lain yang dilarang agama. Namun ia menganggap hidupnya berubah setelah bergabung dengan MTA. Sudipo mengatakan: Dulu saya ya sudah Islam. Tapi pengertian Islam itu bagaimana saya belum tahu. Ikut-ikutan saja. Kadang-kadang dulu ya Islam tapi larangan Islam belum saya tinggalkan. Masih sering berjudi. Lalu karena sudah dapat pengertian dari saudara saya dari MTA itu, o ternyata judi itu dilarang, minuman keras dilarang. Tapi minuman keras saya belum pernah. Kalau main judi ya pernah, tapi kecil-kecilan saja. Tidak pernah sampai besar. Cuma pada saat ada orang punya hajat. Lalu begitu datang MTA akhirnya dilarang. Ditunjukkan dasardasarnya di Al Quran. Akhirnya berhenti. Dulu kalau ada orang kenduri juga ikut. Tapi waktu itu belum tahu. Tapi waktu itu belum tau. Makanya tadi saya katakan setelah memahami Al Quran dan isinya bagaimana kita itu mengamalkan.166
Selain itu proses refleksifitas juga terjadi tidak hanya akibat dari pengalaman hidup di Balong, tetapi juga ketika individu berhadapan dengan situasi dunia modern di kota besar yang membuat mereka merasa tercerabut dari komunitas mereka sebelumnya. Proses ini terkait dengan perubahan infrastruktur yang memungkinkan terjadinya mobilitas dari desa ke kota, baik untuk alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam situasi ini individu yang terbiasa hidup dalam ikatan komunal dan kental
166
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, MTA, 27 Juni 2012
149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan kegotongroyongan harus berhadapan dengan kondisi masyarakat perkotaan yang individualistis dan berorientasi pada materi. Seperti halnya yang dialami oleh Parwanto. Ia termasuk generasi kedua MTA Bangkerep, bersamaan dengan Suradi, Suwanto dan Susilo. Ia juga salah satu anggota MTA dusun Bangkerep dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi, yaitu SMA. Ketika MTA mulai berkembang di Bangkerep, Parwanto yang masih remaja diajak oleh teman-temannya untuk mengaji di MTA. Ia kemudian tidak aktif mengikuti pengajian karena dilarang oleh orang tuanya dengan alasan ajaran MTA dianggap menyalahi adat kebiasaan setempat. Parwanto kemudian merantau ke Jakarta selama beberapa tahun dan bekerja di sebuah perusahaan. Di Jakarta ia bahkan sempat bersekolah sampai tingkat SMA dengan bantuan biaya dari pimpinan perusahaannya. Belakangan ia memilih pulang ke dusun Bangkerep dengan alasan bahwa kehidupan di Jakarta tidak sesuai dengan keyakinannya. Parwanto menjelaskan alasan mengapa ia tidak betah hidup di Jakarta: (Alasan) saya pulang dari Jakarta itu gara-gara diterima kerja bersama dengan banyak perempuan. Terus ditempatkan di mes (asrama) di situ laki dan perempuan masih muda-muda. Kan saya sedikit-sedikit masih punya iman. Itu menyesalnya sampai sekarang, waktu berjabatan tangan. Waktu itu baru pertama ketemu kepala cabang (kantor) itu perempuan ya mau tidak mau berjabat tangan. Sebenarnya ragu tapi saya lakukan karena aturannya begitu. Akhirnya saya berfikir kalau saya seperti ini terus bisa hilang aqidah saya. Akhirnya saya putuskan pulang. Dan saya melihat masyarakat sudah rusak. Teman-teman saya waktu SMA perilakunya tidak karuan. Saya tahu persis kehidupan di Jakarta. Orang sudah tidak kenal agama. Bahkan orang melakukan pelacuran itu dijaga aparat keamanan.167 167
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Menurut Parwanto, apa yang ia lihat di Jakarta tidak jauh beda dengan kehidupan di dusun saat ini. Parwanto mengatakan: Masyarakat saat ini sangat jauh dari apa yang kita lakukan, terutama dengan kajian di MTA .Saya melihat karena saya sering ke pasar, orang melakukan maksiat. Orang pasar itu mabuk, berzina itu sudah biasa. Bahkan lokalisasi di (kecamatan) Kunduran itu ada orang bercerita itu dengan bangganya. Tanpa merasa berdosa. Tanpa merasa bersalah. Ketika kita ada orang hajatan itu ada tayub diceritakan „tadi malam aku berjoget sambal mabuk‟ itu dengan bangganya. Dengan tidak merasa bersalah berdosa sama sekali. Bahkan seolah-olah sudah menjadi rutinitas. Pokoknya kalo dihubungkan dengan agama sangat jauh.168
Situasi yang sama juga dialami oleh Suyatno (40). Ia sendiri tidak tinggal di Bangkerep, tetapi di dusun Balong. Tetapi Suyatno termasuk generasi pertama MTA di Bangkerep dan termasuk salah satu dari 12 orang warga Bangkerep yang ikut bekerja untuk proyek pembangunan MTA di Surakarta dan akhirnya ikut bergabung dengan MTA. Mata pencaharian Suyatno adalah petani, namun ia lebih banyak merantau ke Jakarta jika kondisi ekonomi keluarganya sedang memburuk. Biasanya ia bekerja sebagai buruh bangunan selama seminggu atau satu bulan dan kemudian pulang kembali ke dusunnya. Di Jakarta ia melihat kondisi kehidupan yang jauh berbeda dengan apa yang dia lihat di dusun dan membuatnya terbawa arus lingkungan pekerjaan. Misalnya setelah menerima bayaran ia diajak teman-temannya untuk minum-minuman keras. Namun setelah ikut bergabung dengan MTA, ia merasa
168
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu itu jauh dari tuntunan agama. Menurut Suyatno: Lingkungan pekerjaan saya itu orangnya ya bermacam-macam. Kebanyakan kerja proyek, ya Ustadz (Sukino) bilang itu orang kafir. Karena tidak sholat mengaku Islam. Kalau tidak pandai-pandai membawa diri ya bisa ikut-ikutan. Habis terima uang bayaran ya pada mabuk. Itu hal yang biasa. Berjudi. Namanya saja orang tidak mengerti agama. Saya dulu tidak mengerti agama ya melakukan hal seperti itu. Saya anggap biasa. Sekarang prinsipnya yang penting dia tidak mengganggu kita. Kalau kita melihat kemaksiatan itu harusnya sebagai orang Islam ya mengingatkan. Tapi namanya di Jakarta kalau mengingatkan hal seperti itu malah sama saja mencari masalah. Saya biarkan saja.169
Selain itu, karakteristik utama dari refleksifitas menurut Giddens adalah perasaan yang cenderung pada pertimbangan operasional atau bagaimana cara praktis melakukan suatu tindakan. Inilah yang didapatkan warga anggota MTA dari organisasi keagamaan yang bercirikan puritan, di mana segala persoalan harus memiliki dasar hukum atau dalil. Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan pengamalan ajaran yang ketat dan disiplin, MTA menyediakan jawaban atas berbagai pertanyaan menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari, antara lain cara berpakaian, cara menjadi istri yang baik, cara bergaul dengan tetangga dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan tersebut didapat dari para ahli sebagaimana Giddens mengatakan bahwa dunia modern modern memberi banyak pilihan yang menuntut proses refleksifitas sekaligus pada saat yang sama memunculkan sistem ahli atau para ahli yang menawarkan nasehat praktis atas berbagai pilihan tersebut. 169
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, MTA, 28 Juni 2012
152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gambaran refleksifitas yang ditandai dengan ahli yang berperan memberikan nasehat praktis bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota MTA dalam setiap pengajian rutin. Dalam berbagai pengajian rutin, warga MTA menanyakan persoalan sehari-hari baik masalah pribadi, relasi dengan orang lain, dan sebagainya kepada Ustadz Suradi atau Suwanto. Oleh Ustadz, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijelaskan dalam perspektif hitam putih, baik buruk dan selalu dikembalikan kepada dalil yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Antara lain berikut ini : : “Kemarin pada hari Sabtu saya tidak datang gara-gara saya diajak suami dan keluarga mengikuti menghadiri khitanan saudara ipar di Blora. Saya tidak tahu dari rumah saya kira khitanan biasa. Ternyata di sana besar-besaran pakai campursari. Biduan pakai baju transparan. Hati saya menolak sebenarnya. Tapi mau pulang jauh. Saya waktu itu melihat hati saya menolak terus. Saya terpaksa di sana. Saya mau meninggalkan karena itu kemunkaran. Apakah itu saya termasuk itu munafik?” Suradi : “Ibu tidak munafik. Tapi salah. Saya menilai salah. Kalau kembali kepada satu hadits barang siapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu dengan lisanmu. Jika tidak mampu maka cukup dengan hatimu. Maka itulah selemah-lemahnya iman. Selemah-lemahnya iman itu tidak suka. Tidak sukanya sudah bener. Tapi tanda tidak suka yang belum nampak. Maka kita meninggalkan, menjauh. Panjenengan kan bisa dirumah saudara. Ibu : “Yang saya menyesal itu meninggalkan pengajiannya itu.” Suradi : “Kalau saya ketua cabang sudah saya hukum.. Campursari itu tidak masalah. Tapi campur saru- nya itu yang tidak boleh. Biduan yang pakaiannya di atas lutut. Goyangannya. Disamping itu ada minuman keras, laki perempuan joget bareng, dalam Islam tidak boleh.”170 Ibu
170
Percakapan dalam pengajian khusus ibu-ibu di MTA Cabang Cepu, 26 April 2012
153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam kesempatan lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz Suradi mengenai informasi apakah sakit seseorang bisa menebus kesalahan atau dosa yang dia perbuat: Warga : “Apa betul kalau seseorang sedang sakit dapat menebus kesalahan dan dosa-dosa kita. Mohon dijelaskan.” Ustadz Suradi : “Itu benar. Bahwa apa yang dirasakan sakit yang diberikan yang diujikan kepadanya itu menjadi Kafaroh (penebus). Sampai dikatakan Rasulullah. Walau tertusuk duri, sakitnya kecil. Maka dalam hadits Qudsi dikatakan „Hambaku yang aku berikan cobaan kepadanya dia tidak sabar, maka keluarlah dari bumiku.‟ Maka kalau diuji sabar. Sabar itu menjadi kafaroh dosa-dosa kita. Baik tertusuk duri sekalipun itu menjadi penebus dosa kita.”171
Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz Ngabdi mengenai hukum membicarakan kejelekan orang di masa lalu: Warga : “Orang yang selalu membicarakan kejelekan orang di masa lalu itu apakah termasuk dengki?” Ustadz Ngabdi : “Tidak boleh itu. Jangan kita mengungkit amalan orang yang sudah meninggal. Kecuali kalau itu memang diberitakan oleh Allah. Setiap hari saya dan anda membicarakan Firaun dan Karun padahal amalnya tidak baik. Abu Jahal Abu Lahab. Itu tidak membicarakan kejelekan orang lain. Tapi kalau misalnya saudara kita atau orang lain tidak usah. Atau kalau kita mau mencontohkan tidak usah disebut namanya.”172 Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz Ngabdi bagaimana membicarakan kejelekan orang lain dengan istri sendiri: : Warga : “Kalau kita membicarakan kejelekan orang tapi kita membicarakan dengan istri sendiri bagaimana? Kan dalam hadits istri itu bagaikan baju kita sendiri? Itu dosa apa tidak?” 171 172
Percakapan dalam pengajian MTA Cabang Kedung Tuban, 26 April 2012 Percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012
154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ustadz Ngabdi: “Sebaiknya jangan. Apalagi istri tidak tahu diberitahu. Itu si A senang bohong. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan kejelekan orang lain kepada siapapun. Kecuali kalau si A itu mau diperbaiki. Anda minta tolong kepada orang lain yang kira-kira bisa memperbaiki perilakunya. Itu tidak apaapa.”173
Dengan kata lain refleksifitas membuat ritual-ritual tradisional yang dulu pernah memberi makna tidak lagi dianggap mampu memberikan jawaban atas persoalan praktis dan digantikan oleh aturan atau kepastian yang lebih terlembagakan dan baku yang mampu memberikan jawaban langsung atas berbagai persoalan yang dihadapi individu. . C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis Upaya pencarian identitas-diri melalui proses refleksifitas pada dasarnya merupakan kebutuhan individu untuk mencapai keamanan ontologis (ontological security) yaitu perasaan aman mendasar dalam diri seseorang dalam menjalani kehidupan dalam hubungannya dengan kontinuitas identitas diri dan kestabilan lingkungan material dan sosial yang mendasari tindakannya. Perasaan ini untuk menghilangkan apa yang disebut Giddens sebagai kecemasan eksistensial ketika modernitas menawarkan berbagai kemudahan tetapi pada saat yang sama juga memperkenalkan berbagai resiko kehidupan yang tidak pernah ada sebelumnya.
173
Terjemahan percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012
155
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam konteks ini maka bisa dilihat alasan utama mengapa ada sebagian warga Bangkerep yang memilih untuk bergabung dengan MTA, yakni untuk mendapatkan rasa aman dan menghindar dari kecemasan eksistensial sebagai akibat dari berbagai persoalan dan perkembangan sosial yang mereka lihat dan mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Ketika basis identitas lama (keluarga, komunitas, tradisi) tidak lagi memberikan stabilitas pada individu, mereka berupaya untuk merekonstruksi kembali identitas-diri mereka dengan mencari basis identitas baru. Dalam hal ini agama menjadi pilihan untuk mencapai stabilitas. Agama – sebagaimana nasionalisme- adalah „penanda-identitas‟ yang kuat dalam menyediakan sumber keamanan dalam masyarakat yang beresiko karena mereka menyediakan „a picture of security, stability, and simple answers‟ (Kinvall, 2004, 742). Agama memberikan jawaban bagi kecemasan individu karena agama menyediakan gambaran totalitas, kesatuan dan keutuhan. Fakta bahwa Tuhan telah menyusun aturan dan membuatnya susah untuk diperdebatkan membantu individu menghindar dari tanggung jawab untuk memilih (Kinnvall 2004, 759) Keamanan ontologis ini berkaitan dengan resiko dan kepercayaan. Warga yang bergabung dengan MTA menyadari bahwa kehidupan masyarakat saat ini memiliki resiko yang tidak bisa diprediksi. Perubahan sosial yang terjadi tidak sepenuhnya mereka pahami dan pada saat yang sama mengancam eksistensi mereka. Kebanyakan mereka menganggap bahwa persoalan masyarakat saat ini adalah
156
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
maksiat yang merajalela dan pengaruh budaya dari luar yang bisa merusak aqidah dan generasi muda. Kekhawatiran atas resiko budaya dari luar tersebut misalnya disampaikan oleh Parwanto sebagai berikut: “Arus modernisasi sangat cepat dan orang itu untuk maksiat kan gampang diikuti daripada kebenaran. Terutama budaya. Kalau kota metropolitan kan sudah biasa. Tapi arus itu sudah sampai ke tingkat desa dan orang mengikuti gaya barat, rambut di(warnai) pirang, (badan) tatoan itu kan sudah merusak aqidah. Orang bergandengan tangan laki perempuan itu bukan muhrimnya itu sudah menjadi hal wajar. Bukan hal tabu untuk masyarakat pedesaan. Itu kan lambat laun bahkan tanpa lambat laun akan merusak aqidah. Seperti itu.”174
Kekhawatiran terhadap globalisasi yang merusak aqidah juga disampaikan oleh Susilo. Hal tersebut utamanya merupakan pengaruh dari kemajuan perangkat komunikasi dan informasi, dalam hal ini televisi dan : “Kalau saya melihat sekarang orang atau kehidupan ini semakin kacau. Karena jauh dari tuntunan. Kenapa jauh dari tuntunan? Sekarang ini desa Balong moralnya lebih jelek daripada Bangkerep. Padahal Bangkerep itu orang yang paling jelek waktu itu. Terbalik. Kalo kita nonton grafik itu berubah perilaku orang-orangnya. Pengaruh televisi sama telefon seluler. Keadaan gambaran di televisi kan kayak gitu. Bebas. HP kan bebas. Sekarang anak SD bisa mengoperasikan HP. Pengaruh. Lha sedangkan usia segitu kan belum bisa mengontrol nafsu. Sarana paling bagus untuk mesum. Bahkan yang dikatakan filmfilm Islami tidak mencerminkan perilaku Islami. Pacaran, begitu menikah malah cerai. Hampir semua film kayak gitu. Memori anak gambarannya gitu terus. Berkelahi. Apalagi film anak-anak ini, orang bisa terbang. Bisa merusak aqidah. Dandanan, kita tahu sendiri. Orang desa kalau pulang dari kota seperti apa. Perilaku, gaya bicara dan sopan santun hilang semua. Hampir semua pemuda yang memang awalnya gak ada pendidikan, aqidahnya kurang, pendidikan agamanya 174
Wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
157
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kurang, keluar ke kota terbawa arus. Bagi yang perempuan, laki-laki apalagi perempuan. Dia dengan lawan jenis terlalu berani.”175.
Selain itu menurut Susilo, masyarakat khususnya umat Islam juga terancam oleh pemikiran. Susilo menyebut misalnya JIL atau Jaringan Islam Liberal. Sayangnya Susilo menolak ketika ditanyai pendapat soal JIL. Sementara Suradi mengkhawatirkan mengenai pengaruh pemikiran, dalam hal ini pluralisme. Menurut Suradi: Tantangan yang luar biasa pengaruh budaya. Budaya adalah musuh besar dalam artian negatif yang jelas-jelas merusak. Yang datang dari barat. Pluralisme kan kalau kita kaji latar belakang mereka itu pendidikan mereka itu kan mendapatkan pengaruh dari barat. Pluralisme itu kan menganggap agama itu sama. Terus menganggap hukum-hukum yang diterapkan dalam Islam itu bukan hukum mutlak. Yang jelas nampak misalnya jilbab itu bukan sesuatu yang wajib padahal dalam Quran sudah jelas perintahnya. Mengenai hak perempuan, itu dikaburkan. Sekarang itu dimunculkan. Itu merusak. Kalau dalam tatanan negara Islam itu mendapat hukuman. Sudah keluar dari pemahaman sebenarnya.176
Apa yang disampaikan Suradi di atas mencerminkan pandangan mengenai bagaimana posisi warga MTA dalam melihat fenomena globalisasi. Bagi mereka, globalisasi dianggap sebagai ancaman, di mana keterbukaan dan keberagaman dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Giddens, parameter resiko ini hanya ada dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari 175 176
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 Terjemahan wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012
158
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masa lalu. Dengan demikian menjadi MTA bukan sekedar meninggalkan kebiasaan di masa lalu karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya, tetapi juga menyadari akan adanya resiko yang akan terjadi di masa depan yang hanya bisa dihadapi melalui hukum Islam. Selain itu keamanan ontologis tergantung pada kepercayaan terhadap keandalan seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu merupakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis). Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui kepercayaan terhadap sistem baik doktrin maupun girarkis yang dibangun oleh MTA sebagai organisasi keagamaan. Kepastian dan keamanan ontologis didapat warga anggota MTA di dusun Bangkerep dari beberapa hal, antara lain : 1. Doktrin Kemurnian Penting untuk dicatat bahwa ketidakhadiran otoritas yang mampu menjelaskan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat ikut memberi alasan mengapa sebagian warga dusun bergabung dengan MTA. Sebagaimana dijelaskan di awal, kehidupan keagamaan Bangkerep jauh dari kegiatan keagamaan. Meski beragama Islam, mayoritas dari mereka sama sekali tidak menjalankan praktek Islam, bahkan mbah Modin yang merupakan tokoh agama dusun pun tidak menjalankan sholat. Baru setelah ada madrasah Diniyah di dusun Balong, beberapa orang Bangkerep seperti Wakidi dan Mus belajar agama di sana.
159
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Maka ketika MTA datang dengan doktrin yang menyeru pada kemurnian pengamalan yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits, sebagian warga Bangkerep menyambut dengan baik. Seperti dikatakan oleh Yatno: Materi yang cocok semuanya. Misalnya dari materi tentang Quran dan Sunah. Dalam Islam nabi sendiri bersabda kutinggalkan dua perkara padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya sudah kenal hadits itu. Dari muhammadiyah dari acuan MTA yang semacam itu akhirnya saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan yang diajarkan hanya dua perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam mau tidak mau harus dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau kita mau mengikuti Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara keseluruhan mau ndak mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan Quran apa yang dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.177
Sementara menurut Parwanto, ketertarikannya terhadap MTA adalah karena ketegasan doktrin yang membedakan antara yang benar dan yang salah. Parwanto mengatakan: “Kalo MTA itu kalo haq dikatakan haq kalo haram dikatakan haram. Dan kita itu disuruh memilih. Maksudnya kalau ustadz mengatakan itu dari dalil, bukan sembarangan omong. Kamu percaya silakan. Tidak percaya silakan. La ikroha fiddin. Tidak ada paksaan dalam beragama. Kita itu maksudnya benar-benar disuruh memilih jalan yang lurus atau jalan yang bengkok. Kalau jalan yang lurus ini. Quran dan hadits. Dan itu dpperlihatkan semua. Ini halal ini haram tidak ditutup-tutupi.” 178
Hal yang sama juga dikatakan oleh Paiman yang membandingkan MTA dengan organisasi lain dalam hal pengamalan ajaran. Menurut Paiman: “Ya karena ajaran yang dikaji itu sesuai dengan ajaran Islam. Berbeda dengan organisasi lain, istilahnya yang dikaji Quran dan Sunah. Kalo 177 178
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012
160
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
organisasi lain itu kan omong-omong biasa. Tidak ditunjukkan ini haditsnya. Ayatnya.179
2. Dukungan Jaringan Ekonomi dan Informasi Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang relatif baru, MTA mendapat banyak pengikut di Blora. Di Blora sendiri organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sudah berkembang cukup lama. Meski di Bangkerep jumlahnya relatif tetap, namun di seluruh Blora, perkembangan bisa dibilang cukup pesat. Situasi ini tidak lepas dari model organisasi MTA yang terstruktur secara rapi mulai dari unit terkecil yaitu individu, kelompok, cabang, perwakilan dan terakhir pimpinan pusat. Struktur tersebut membentuk jaringan yang kuat sehingga persoalan yang dihadapi di tingkatan bawah bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pimpinan pusat. Begitu juga sebaliknya pimpinan pusat bisa memberikan berbagai hal yang menjadi kebutuhan anggota di tingkatan paling bawah. Dengan struktur tersebut, anggota atau individu mendapatkan rasa aman dalam segala hal, baik dari sisi keagamaan, ekonomi dan keamanan dalam arti sebenarnya. Kelompok pada dasarnya merupakan unit terkecil dalam menjaga soliditas dan solidaritas antar anggota. Selain untuk mengkaji agama, sistem kelompok juga didesain untuk memastikan individu di dalamnya mendapatkan kebutuhan dan pertolongan dari anggota lain. Seperti disampaikan oleh Suyatno, bahwa kelompok
179
Wawancara dengan Paiman 29, Juni 2012
161
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam MTA itu berguna untuk mengetahui keadaan anggota dalam kelompok tersebut. Suyanto mengatakan: Misalnya anak saya sakit tidak punya uang mau tidak mau ya saudara kita sesama MTA yang membantu. Saling bercerita biar kita memahami saudara kita. Kalau kebetulan ada saudara yang keliru ya bisa mengingatkan.180
Hal yang sama juga disampaikan Suprih. Menurutnya kelompok bisa menjadi ruang untuk mencari solusi permasalahan yang dia alami. Menurut Suprih: “Seperti ini yang namanya Islam itu kebersamaan. Kekompakan dalam hal ibadah. Dalam menangani suatu permasalahan. Contohnya masalah dari warga kita mungkin dari yang di sini tidak bisa memecahkan mungkin saudara kita yang lain kita minta sarannya bagaimana persoalan ini bisa terselesaikan. Memecahkan persoalan tidak harus orang banyak, tapi dengan cara seperti itu mungkin yang dipandang bisa memberi saran, bisa memecahkan persoalan apa yang bisa kita mintai untuk memecahkan permasalah ke warga MTA dulu.”181
Selain persoalan-persoalan individu, jaringan dengan anggota MTA baik di dusun Bangkerep atau di tempat lain juga memberi kepastian ekonomi. Anggota MTA mengaku bahwa mereka mendapat dari beragam pekerjaan dan profesi antar anggotanya baik dari sesama warga MTA baik di dusun mereka maupun dari warga MTA yang berada di tempat lain. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Suprih. Menurutnya, salah satu yang membuatnya tertarik dengan MTA adalah solidaritas antar anggota yang terutama berguna dalam banyak hal, misalnya pekerjaan. Menurut Suprih: 180 181
Terjemahan wawancara dengan Suyanto, 29 Juni 2012 Wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012
162
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Contohnya saudara kita mungkin punya pekerjaan. Mengenai pekerjaan kalau dari jauh kita ketemu ada saudara kita yang mungkin profesinya pekerjaannya banyak membutuhkan tenaga atau mungkin contohnya membuat kripik nanti bisa saya bawa ke sana. Saya ikut menjual bisa menjadikan keuntungan. Itu mengenai dunianya. Begitu juga mengenai akheratnya otomatis kita secara bersama-sama dalam pengajian mendengar ayat Allah dan kita amalkan. Ibaratnya dalam majelis itu kita bertemu memahami itu termasuk suatu ibadah yang tidak ternilai harganya.”182
Secara pragmatis, kepastian ekonomi juga yang menjadi faktor utama di awal mula bergabungnya sebagian warga MTA Bangkerep. Ketika konflik dengan warga dusun terjadi, sebagian warga mencari tempat perlindungan ke Surakarta. Di Surakarta, mereka tidak hanya perlindungan keamanan, tetapi juga mendapatkan pekerjaan membangun gedung dan asrama MTA sehingga bisa mengirimkan uang untuk keluarganya di Bangkerep. Tentu saja mereka juga belajar agama di kantor pusat MTA di Surakarta. Kebetulan pada saat itu kemarau panjang terjadi di Bangkerep sehingga mengakibatkan banyak warga yang kekurangan makanan. Ketika melihat sebagian dari warga ada yang pergi ke Surakarta dan mendapatkan pekerjaan, sebagian warga yang lainnya pun berinisiatif untuk ikut pergi ke Surakarta. Awalnya mereka hanya bekerja, namun kemudian mereka ikut mengaji dan akhirnya menjadi anggota MTA. Suyatno adalah salah satu dari anggota MTA yang bergabung dengan MTA dengan motif tersebut. Ia mengatakan:
182
Terjemahan wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012
163
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dan yang saya kagumi itu waktu pertama kali kita diusir dan pergi ke kantor pusat itu kenapa kiai-kiai itu mau melayani orang seperti kita. Saya tadinya kan tidak paham masalah agama. Saya heran. Tapi setelah mengaji jadi memahami bahwa kalau difikir manusia itu kan pada dasarnya sama. Yang membedakan kan iman dan taqwa kita. Jadi memang dipraktekkan betul. Itu yang saya salut. Pertama kecocokan. Kedua melihat praktek kebersamaan di kantor pusat.183
Yang lebih strategis dari sistem yang di bangun MTA adalah kemudahan akses informasi, baik yang berkaitan dengan organisasi atau hal lain. Sistem ini berjalan secara aktif, sehingga setiap informasi dari pimpinan pusat atau sebaliknya bisa segera diketahui satu sama lain. Menurut Parwanto: Karena kekuatan jamaah kita kan dari kelompok. Dari kelompok kita kabarkan ke ketua kelompok. Dari ketua kelompok kita dikabarkan ke pengurus. Nanti pengurus akan dikabarkan ke pusat. Jadi ada riak sedikit kan tahu. Gejolak sedikit tahu. Jadi ada alur dari pusat sampai ke daerah-daerah. Seolah-olah seperti listrik tersalur.184
Selain itu, sistem tersebut juga memungkinkan anggota MTA di dusun Bangkerep memiliki berbagai macam informasi yang lebih luas ketimbang warga dusun lainnya tentang kejadian di luar dusun maupun dalam konteks global tanpa harus mengakses media massa. Sebagai contoh informasi soal Jaringan Islam Liberal, Pluralisme, Lady Gaga dan informasi lainnya. Menurut Susilo: Kita punya istilahnya kotak informasi tersendiri yang lain dari yang lain. Kita kan pembelajarannya kan beda. Ada informasi apa kita ngerti. Sedangkan (masyarakat dusun) yang ada di sini yang dipelajari cuma itu tok. Yasinan, tahlilan, manakiban, berjanjinan, maulidan kan baca kisah begini-begini. Monoton gitu aja. Informasi lain kan banyak. 183 184
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
164
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kalau kita berita apa saja ngerti. Walau kita tidak mengikuti lewat apa misalnya tidak beli koran, tidak menonton televisi.185
Struktur MTA yang tersebar di banyak tempat juga memungkinkan setiap anggota memiliki daya mobilitas yang tinggi bisa saling bertemu satu sama lain dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh MTA. Misalnya peresmian cabang di desa lain atau bahkan di provinsi lainnya. Warga MTA Bangkerep menganggap pengalaman bepergian ke tempat-tempat jauh merupakan keuntungan tersendiri sebagai anggota MTA. Selain itu mereka juga bangga karena bisa bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang yang menjadi anggota dari MTA, bahkan bertemu dengan orang-orang di kalangan pejabat yang selama ini hanya mereka lihat di televisi. Seperti Sudipo yang mengaku pernah pergi ke Solo, Semarang, Wonogiri, Ngawi, Madiun, Kudus, Ponorogo. Setelah bergabung dengan MTA ia bisa mendapatkan pengalaman bertemu dengan para tokoh nasional: Selama saya mengaji di MTA malah sudah berkenalan dengan orang pejabat tinggi. Seperti Amin Rais, Akbar Tanjung. Bersalaman berkalikali. Kalau belum ngaji (di MTA) tidak mungkin.186
Hal yang sama dikemukakan Suprih yang banyak bepergian ke daerah lain dan bertemu dengan banyak orang setelah bergabung dengan MTA : “Seperti saya, pergi jauh itu belum pernah. Selama kita ngaji justru menjadi banyak pengalaman. Tahu daerah Solo, Karanganyar Sragen, Ibaratnya (kemarin) ayam dikurung. Setelah ngaji banyak pengalaman 185 186
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 Terjemahan wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012
165
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berjumpa dengan staf gubernur. Mungkin kalau belum ngaji ya segan tapi setelah ngaji walau dengan staf gubernur staf bupati ya biasa. Sebelum ngaji ya seperti raja dengan rakyat jelata.”187
3. Idiom dan Formasi Sosial Stabilitas dan kepastian juga didapat anggota MTA dari berbagai idiom atau bahasa yang digunakan MTA. Dalam konteks ini penting untuk melihat MTA sebagai gerakan sosial. Dalam definisi David Meyer dan Sidney Tarrow gerakan sosial adalah (1) gerakan kolektif yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama untuk mengatasi tantangan (2) berada dalam suatu interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan atau musuh dan pemegang otoritas.188 Lebih lanjut Tarrow mengatakan bahwa gerakan sosial adalah politik perseteruan yang terjadi ketika orang biasa seringkali kerja sama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersamasama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok elit, pemegang otoritas dan musuh politik.189 Dalam hal ini MTA sebagai aktor gerakan sosial melakukan mobilisasi terhadap individu melalui berbagai bahasa, idiom atau simbol sehingga dengan demikian mampu menarik individu-individu untuk berpartisipasi dan mengkonstruksi mereka dalam suatu identitas dan tindakan kolektif. Dalam teori gerakan sosial hal ini disebut sebagai proses pembingkaian yakni skema-skema yang memberikan sebuah
187
Wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012 Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan “Orang Dalam”, Kata Pengantar untuk buku Quintan Wiktorowicz (Ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, Tr. Tim Penerjemah Paramadina, Jakarta. 2012, Yayasan Abad Demokrasi, hal 5 189 Ali Fauzi, ibid, hal. 6 188
166
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwaperistiwa di “dunia luar” yang berguna untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran penafsiran gerakan sebagai alat untuk memobilisasi para peserta dan dukungan. Oleh aktor gerakan sosial, gagasan-gagasan atau kerangka pemahaman disusun melalui konstruksi-konstruksi gramatikal dan lensa penafsiran yang menghasilkan makna antar-subyek dan mempermudah tujuan gerakan.190 Salah satu idiom yang dipakai adalah Islam Kaffah. Dalam berbagai studi tentang gerakan Islam, penggunaa Islam Kaffah ini dipandang sebagai cara untuk mengatasi persoalan dan masalah sosial yang disebabkan oleh globalisasi atau apa yang disebut budaya barat, baik yang menyangkut masalah moral atau masalah kesenjangan sosial. Dengan argumen hanya dengan kembali pada sumber hukum Islam yang benar maka umat Islam akan kembali pada kejayaan mereka. Menurut Suradi: “Kaffah itu bersih. Keseluruhan. Kalau kita lihat secara umum umat Islam pengamalan mereka masih bercampur dengan budaya-budaya yang banyak sekali dimana kalau tidak disadari akan merusak kekaffahan itu sendiri. Islam akan samar-samar. Padahal Allah sudah memberi hukum itu jelas tapi kejelasan itu akan menjadi kabur ketika bercampur dengan budaya-budaya yang memang bertabrakan dengan islam. Dirasakan Islam tapi justru yang negatif akan masuk dan mewarnai yang positif.”191
Patut disimak bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya sebuah gerakan dalam mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang 190 191
Charles Tilly dalam Quintan Wiktorowitz, ibid, 69-71 Wawancara dengan Suradi 28, Juni 2012
167
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sesungguhnya tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi individu. Dalam hal ini dikenal proses resonansi bingkai (frame resonance) yakni ketika sebuah bingkai gerakan bersandar pada simbol-simbol, bahasa, dan identitas identitas budaya lokal lebih mudah dipahami oleh konstituen dan dengan demikian memperkuat mobilisasi.192 Dalam hal ini Islam Kaffah diikuti dengan idiom Bid‟ah atau kegiatan yang tidak ada dasarnya dalam Quran dan Sunah. Dalam konteks tatanan tradisional Bangkerep, idiom ini terkait erat dengan banyaknya praktek seperti kenduri, yasinan dan tahlilan. Menurut Suyatno alasan yang membuatnya bergabung dengan MTA adalah karena ajarannya yang mengajarkan keutuhan Islam tanpa bercampur dengan tradisi lokal: “Islam secara keseluruhan ya kita mengikuti apa yang diajarkan Quran dan Sunah dan meninggalkan apa yang dilarang Quran dan Sunah. Kalau yang diajarkan mungkin secara umum sama seperti (organisasi) yang lain. Kemudian yang ditinggalkan kan misalnya tradisi, kenduri, danyang-danyang itu kan diselaraskan dengan Quran kan jelas gak sampai. Itu kan unsur kemusyrikan yang sangat besar. Itu saya tinggalkan. Kemudian bid‟ah. Ustad (Sukina) mengatakan semua yang baru itu namanya bid‟ah dan bid‟ah itu sesat. Akhirnya saya pegang terus itu. Yang namanya bidah itu kan ajaran-ajaran yang waktu zaman nabi belum ada kemudian sekarang ada. Saya berusaha semaksimal mungkin mengerti bid‟ah itu apa. Misalnya niat solat, tahlilan, yasinan, memang ada haditsnya (tapi) ternyata lemah.”193
Makna Kaffah dalam hal ini mampu memberikan perasaan aman dan stabilitas, baik dalam konteks persoalan dunia maupun mengatasi kecemasan di hari akhir sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa lalu. Bergabung 192 193
Tilly, ibid, hal 71 Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012
168
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan MTA dan mengamalkan agama secara utuh sebagaimana yang mereka pahami menciptakan rasa tenteram dari dosa yang dibuat pada masa sebelumnya. Selain itu penggunaan identitas budaya lokal juga bisa dilihat dari penggunaan istilah “warga” untuk menyebut anggotanya
ketimbang “jamaah” yang identik
dengan Islam. Menurut Suradi, hal ini terkait dengan sikap represif Orde Baru yang mencurigai setiap organisasi yang menggunakan identitas Islam pada masa kekuasaannya, terutama istilah “Jamaah”. Sementara menurut Sekretaris MTA Pusat Yoyok Mugiyanto, tidak ada penjelasan atau strategi khusus mengenai penggunaan istilah “warga” dan istilah tersebut berkembang dengan sendirinya. Yang paling menarik dari soal penggunaan istilah lokal adalah “pitik ngendog pitik, emprit ngendoge yo emprit” (ayam bertelurnya ayam, burung emprit bertelurnya ya telur emprit). Istilah ini terkait dengan jihad harta yang menjadi salah satu landasan doktrin MTA yakni agar setiap warga MTA bersungguh-sungguh berpartisipasi dalam kegiatan di jalan Allah, baik dalam Zakat resmi atau Infaq (sumbangan untuk ibadah). Istilah pitik ngendog pitik emprit ngendog emprit pertama kali dilontarkan oleh Ketua Umum MTA Ahmad Sukina untuk mengajak warga MTA untuk ikhlas menyumbang atau berinfaq dalam bentuk uang sesuai dengan kemampuan untuk berbagai kegiatan operasional baik di MTA Pusat atau di tempat afiliasi masing-masing. Misalnya ketika MTA Pusat mengumumkan rencana pemasangan pendingin ruangan yang menelan biaya 2 milyar yang segera direspon oleh anggota MTA di seluruh Indonesia. Istilah ini selalu dipakai berulang-ulang dan kemudian menjadi populer di MTA
169
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
termasuk warga MTA di dusun Bangkerep untuk menjelaskan keikhlasan mereka dalam mengeluarkan biaya untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MTA tersebut. Seperti disampaikan oleh Sudipo: Karena di MTA tidak ada istilah kalau ayam bertelur ayam, kalau sapi anaknya ya sapi. Bebek bertelur bebek. Burung emprit telurnya ya telur burung emprit. Tidak ada kamu harus iuran dana sekian. Masingmasing warga MTA sudah merasa sendiri, saya mampu atau tidak. Ibaranya saya masih taraf bebek ya bertelurnya telur bebek. Siapa yang mampu iuran yang tidak mampu ya jangan iuran. Jangan sampai menekan warganya. Saya orang kecil ditekan sekian tidak ada. Dan itu sudah merasa sendiri karena setiap hari ngaji.194
D. Rekonstruksi identitas 1. Identitas Diri yang Baru Suatu malam sehabis sholat Isya‟, saya dan beberapa warga MTA berdiskusi santai tentang banyak hal di teras masjid. Suprih, salah satu warga MTA baru saja mengakses berita tentang penemuan piramida Garut di televisi yang katanya peradabannya lebih tua dari peradabana manapun di bumi ini. Ustadz Suwanto, salah satu dari dua Ustadz MTA kemudian mengatakan bahwa banyak berita televisi yang harus dikritisi, selain banyak pengetahuan yang ada. Salah satu contoh yang diajukan Ustadz Suwanto adalah evolusi Darwin. Menurut Ustadz Suwanto, evolusi Darwin itu tidak berdasar karena mengatakan manusia berasal dari kera. Sementara Al Quran tidak ada satupun pendapat mengenai hal tersebut selain manusia dari tanah dan
194
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012
170
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
melalui proses penciptaan. Menurutnya, Al Quran sudah pasti benar, sementara kalau ilmu pengetahuan sudah pasti ada kelirunya.195 Diskusi tersebut menggambarkan adanya perbedaan pola pikir dan tingkat yang dimiliki warga MTA dibanding warga Bangkerep lainnya. Mereka memiliki akses pada informasi aktual dibanding warga lainnya yang didapatkan dari jaringan mereka di MTA, baik di pusat maupun di seluruh Indonesia. Misalnya informasi terkait dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), pluralisme, Ahmadiyah, Lady Gaga dan berbagai informasi lainnya. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan menganalisa dan mengkritisi setiap peristiwa yang mereka amati dan mencari landasan rasionalitas atau disandarkan pada sumber hukum Al Quran dan Hadits. Hal ini berbeda dengan warga Bangkerep lainnya yang dalam obrolan mereka di warung kopi, masjid, atau saat kegiatan kolektif masih didominasi oleh tema pekerjaan, pertanian atau peristiwa umum lainnya. Dalam konteks identitas, Ricard Jenkins melihat identitas individu didefinisikan sebagai identitas sosial. Identitas sosial adalah suatu proses individu dan kolektif membedakan dirinya dalam relasi sosial mereka. Menurut Jenkins identitas adalah “our understanding of who we are and of who other people are, and reciprocally, other‟s people understanding of themselves and of others (which includes us). Dengan demikian identitas sosial adalah suatu proses yang saling berlawanan satu sama lain. Lebih lanjut Jenkins mengatakan bahwa identitas
195
Catatan lapangan 27 Juni 2012
171
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bukanlah sesuatu yang jadi, melainkan proses yang terus berlangsung dan dengan demikian lebih tepat mengatakan proses identifikasi daripada identitas.196 Dalam konteks pemikiran Jenkins, bergabungnya sebagian warga Bangkerep ke dalam organisasi MTA merupakan proses identifikasi diri mereka yang berbeda dari lingkungan dan masa lalu mereka. Bagi warga MTA, kemajuan dalam mengakses informasi yang tidak dimiliki warga lainnya dipandang sebagai hal yang membedakan diri mereka dengan warga dusun lainnya. Dengan mendapatkan informasi aktual melalui jaringan MTA, warga MTA Bangkerep merasa lebih modern dan berorientasi pada masa depan ketimbang menjadi bagian dari orang dusun yang kolot, stagnan dan hanya berorientasi pada masa lalu sebagai inspirasi. Hal ini disampaikan oleh Susilo menanggapi soal darimana ia mendapat informasi mengenai JIL: Bedanya orang belajar kan gitu. Mau gak mau orang ngomong kita dengarkan. Disamping itu kita juga baca sedikit-sedikit dapat informasi soal ideology seperti itu. Kan gak mungkin istilahnya kita terus menerus lugu seperti keadaan masyarakat pada umumnya. Setiap hari mencangkul, meski kita sendiri ya setiap hari ya pegang cangkul dan sabit.197
Selain itu jaringan yang luas dengan warga MTA di seluruh Indonesia juga membuat identitas mereka menjadi berbeda dari identitas mereka sebagai warga desa biasa. Menurut Parwanto: Kalo tidak seperti itu ya terus menerus jadi wong ndeso. Cuma ke ladang. Mencangkul. Tidur...”198
196
Richard Jenkins, Social Identity, Second Edition, Routledge, 2004, hal. 3-5 Terjemahan wawancara dengan Susilo 26 Juni 2012 198 Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012 197
172
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Selain itu identitas baru tidak hanya dibisa dilihat dari pola pikir, namun juga penampilan. Dalam kesehariannya, mereka selalu berpakaian dan berpenampilan rapi. Bagi anggota MTA perempuan memakai jilbab yang menutupi hampir separo badan. Hal ini berbeda dengan warga perempuan non-MTA yang hanya beberapa orang saja yang memakai jilbab dalam kesehariannya. Di siang hari, meski sama-sama bekerja di sawah atau ladang, warga MTA menyelesaikan pekerjaan mereka lebih cepat untuk kemudian membersihkan diri dan bersiap menunaikan shalat Zuhur di masjid. Mereka biasanya bercelana panjang meski tidak ada ketentuan khusus untuk itu. Khusus jika hari Selasa, sebagian dari mereka ada yang tidak pergi bekerja karena pada hari tersebut diselenggarakan pengajian di majelis MTA. Menjelang pengajian dimulai, warga MTA laki-laki berpakaian rapi, laki-laki memakai celana panjang, memakai tas lengkap dengan alat tulis buku dan pensil dan A Quran terjemahan. Selain itu identitas baru juga didapat dari kehidupan warga MTA yang didapat dibatasi oleh aturan-aturan dan kedisiplinan. Selain dilarang melaksanakan kegiatan praktek tradisional kosmologis, aturan cara berpakaian khusus bagi yang perempuan. Kehidupan mereka kini terikat oleh aturan yang ketat, hirarkis dengan pimpinan dan menjadi bagian dari komunitas MTA. Kesadaran untuk berubah menjadi pijakan dalam perubahan identitas warga MTA. Mereka menganggap proses tersebut sebagai berpindah (hijrah) dari masa lalu yang diliputi kebodohan akibat meyakini dan menjalankan praktek tradisional menuju masa sekarang yang lebih beradab karena dilandasi oleh ajaran Islam. Hijrah juga berarti proses berpindah dari diri yang pada
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masa lalu gemar melakukan tindakan yang dilarang oleh agama menjadi muslim yang saleh dan taat. Dengan kata lain, makna Hijrah menjadi MTA berarti identitas yang dulu disandarkan pada ikatan atau guyub sosial yang cair di dusun diganti menjadi identitas yang dibentuk ulang dari ikatan ketat berbasis agama yang kaku dan ketat. Inilah yang dimaksud Giddens dengan identitas-diri yang baru pada diri individu diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuk yang lebih aktif dari sebelumnya.
2. Dari Diri ke Masyarakat Sebagaimana dijelaskan Giddens, pengaruh globalisasi terhadap individu tidak berarti individu hanya bersifat pasif. Melalui proses refleksitas menegaskan bahwa dalam kehidupan modern individu dan segenap tindakannya mempengaruhi sistem sosial yang lebih luas. Giddens mengatakan: “The day-to-day activities of an individual today are globally consequential. My decision to purchase a particular item of clothing, for example, or a specific type of foodstuff, has manifold implications‟,namely an „extraordinary, and still accelerating, connectedness between everyday decisions and global outcomes”(1994: 57–8).
Dengan demikian, bergabung dengan MTA yang penuh aturan tidak berarti membuat individu tidak berdaya karena hilangnya kebebasan mereka. Sebaliknya bergabung dengan MTA memiliki dua tujuan. Pertama, memperbaiki diri sendiri dengan mengamalkan praktek Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Sunah. Kedua,
174
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memperbaiki moral masyarakat agar sesuai dengan kedua sumber hukum tersebut. Hal ini disampaikan oleh Sudipo: Ditegakkan pengajian itu membenahi akhlak. Karena kalau tayangan televisi, kejahatan, anak membunuh orang tua orang tua membunuh anak istri dibunuh itu kalau akhlak tidak dibenahi apa bisa menjadi baik. Maka untuk membenahi dari MTA warganya dulu digembleng supaya akhlak menjadi baik. Karena kalau suatu negara kalau rakyatnya akhlaknya baik negaranya juga baik. Maka MTA itu istilahnya membangun akhlak itu dari dasar bukan dari atas. Dari bawah dulu kita benahi dari akar rumput. 199
Memperbaiki diri dan masyarakat dengan sendirinya mengandaikan adanya dunia yang terpisah, yaitu dunia yang dibangun atas dasar hukum Al Quran dan Sunah dan masyarakat umum yang belum mengamalkan Islam secara Kaffah. Dalam konteks dusun Bangkerep, warga MTA Bangkerep menganggap bahwa kehidupan mereka dipisahkan oleh aturan MTA yang juga aturan Islam dengan kehidupan warga dusun yang masih mengamalkan tradisi lokal atau mereka yang masih menjalankan tindakan yang menjerumus pada kemaksiatan dan dosa. Selain itu bagi warga MTA, dunia luar juga dianggap penuh kejahatan dan bahaya yang akan merusak keutuhan dunia internal tempat mereka berada. Hal ini disampaikan Suradi: “Setan akan senantiasa berusaha mengajak manusia semuanya untuk mengikuti jalannya. Kalau kita kembali pada kenyataan di zaman sekarang ini seolah-olah kita dikerumuni oleh tentara tentara musuh yang sangat luar biasa dari kanan kiri depan belakang musuh yaitu setan-setan yang senantiasa memerangi kita yang senantiasa melawan kita karena kita menyampaikan kebenaran, karena senantiasa berpegang pada kebenaran. Siapa saja yang berpegang pada kebenaran maka setan setan sangat luar biasa berusaha melawan.” 200 199 200
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012 Khutbah Jumat disampaikan Suradi, 20 April 2012
175
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Menghadapi dunia yang kacau, maka bagi individu harus bersikap aktif membuat perubahan, yakni berupaya menjadikan hukum Islam sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan individu. Dengan kata lain, bergabung dengan MTA adalah upaya untuk mengubah diri sendiri dan selanjutnya membuat perubahan di masyarakat agar mau mengamalkan ajaran dan hukum Islam. Menurut Suradi: “Harapan kita itu mengamalkan Islam karena hukum yang sebenarnya itu kan hukum Allah. Allah kan yang memiliki bumi ini dan menciptakan seisinya. Yang punya wewenang untuk mengatur atau membuat kebijakan hukum. Lha saat sekarang ini umat Islam kalau kita lihat sejarah selesai masa keemasan seolah hukum Islam tidak pernah disentuh dan tidak pernah dipakai oleh umat Islam karena ditutup-tutupi oleh hukum-hukum manusia. Harapan kita bagaimana ke depan itu orang melihat bahwa hanya hukum Allah lah yang bisa membuat manusia itu baik. Dunia ini baik. Tapi secara sadar. Kalau ada sekelompok saudara itu pakai kekerasan maka kita tidak. Kalau MTA memang dituntut untuk mengamalkan hukum Allah itu secara pribadi di keluarga, kelompok pengajian nanti berkembang pada manusia memberi contoh pada masyarakat dan sebagainya.”201
Namun berbeda dengan kelompok keagamaan lain, upaya MTA agar hukum Islam bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat tidak dilakukan dengan cara kekerasan seperti organisasi lainnya. Bagi MTA yang paling utama adalah memulai dari individu dan kemudian menjalar ke keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Menurut Suradi:
201
Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012
176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Nah bagaimana manusia di suatu negara katakanlah Indonesia ini yang mayoritas Islam menyadarkan mereka dalam artian mereka mau cinta pada hukum yang ada pada dirinya sendiri. Hukum Islam itu sendiri secara sadar. Sebagaimana Rosululloh pada awalnya di dalam menyampaikan kebenaran itu juga akarnya mengajak dari orang per orang, keluarga. Maka itu yang kita harapkan hukum Islam itu bisa diamalkan dicintai oleh umat Islam tanpa paksaan MTA itu kita tidak seperti organisasi lain. Dengan kekerasan atau apa. Yang penting kita memberi contoh yang positif. Baik sikap perbuatan yang istilahnya sosial kemasyarakatan.”202
E. Konsekuensi Bagi warga MTA, rekonstruksi identitas dan pencarian stabilitas atau keamanan ontologis bukannya tanpa konsekuensi. Stabilitas yang mereka terima dari organisasi juga memberi dampak yang harus mereka alami ketika memilih bergabung dengan MTA. Konsekuensi-konsekuensi yang diterima oleh warga yang bergabung dengan MTA tersebut mengacu pada tindakan dan proses yang mereka alami baik selama menjadi warga MTA sekaligus dalam posisi mereka sebagai warga dusun dengan karakteristik dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Dengan kata lain, berlaku proses refleksifitas yang terus menerus dilakukan oleh warga yang bergabung dengan MTA terkait dengan semua tindakan yang dia lakukan. 1. Kedisiplinan Dengan menjadi anggota MTA, seorang warga dusun Bangkerep harus siap menjalani kehidupan sehari-hari dalam aturan yang ketat yang dikeluarkan pimpinan MTA pusat. Selain mengatur soal praktek dan tata cara keagamaan, warga MTA juga
202
Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012
177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diharuskan hidup dalam aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan, berpakaian, berkeluarga, mata pencaharian dan sebagainya. Bagi warga MTA, kedisiplinan yang mengekang kebebasan mereka dianggap sebagai konsekuensi dari pilihan mereka. Paiman mengaku tertarik dengan MTA justru karena kedisiplinan organisasi yang menurutnya tidak ada di organisasi lain. Sementara di MTA dituntut untuk mempraktekkan dengan konsekuensi yang cukup berat, seperti dikucilkan. Juga harus mengaji dan jika tidak mengaji akan dikeluarkan. Paiman mengatakan: “Kalo saya sudah mengaji di tempat-tempat lain. Tapi menurut saya sendiri saya rasakan sendiri kurang begitu mantap. Kurang begitu cocok. Masalahnya kalau di tempat-empat lain itu ngaji ya cuma ngaji saja. Tidak ada peraturan-peraturan yang harus begini-begini ndak ada. Pokoknya ngaji ya cuma kumpul-kumpul.”203
Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno. Ia mengaku tertarik mengaji di MTA karena kedisiplinan dalam pengamalan, terutama amalan yang sudah menjadi kebiasaan warga dusun. Ia mengatakan: “Dalam Islam nabi (Muhammad) sendiri bersabda kutinggalkan dua perkara padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya sudah kenal hadits itu. Dari Muhammadiyah dari acuan MTA yang semacam itu akhirnya saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan yang diajarkan hanya dua perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam mau tidak mau harus dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau kita mau mengikuti Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara keseluruhan mau ndak mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan Quran apa yang dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.”204
203 204
Wawancara dengan Paiman, 28 Juni 2012 Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012
178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara bagi Susilo, ia sejak awal tidak tertarik mengikuti berbagai kegiatan ritual dusun. Ia mengatakan: Bedanya kalau di MTA itu banyak larangannya. Saya memang tidak senang hura-hura, tidak seneng rame-rame. Kalau melihat tontonan sama mas Suradi tidak boleh. Kata mas Suradi jangan senang begitu, tidak baik. Kalau pas ada barongan saat peringatan 17 agustus ya tidak boleh. Terus disamping itu juga sedekah bumi. Tadi saya katakan bapak saya setiap menyuruh (ikut kenduri) saya menghilang kemana, main. Lha kok di sini di MTA kok malah ora entuk. Makanya saya senang.205
Sistem hirarkis yang mengontrol segenap aspek kehidupan warga tidak dipandang sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan diri, melainkan mampu menciptakan stabilitas di tengah ketidakpastian hidup. Kedisiplinan tidak dipandang sebagai hal yang memberatkan, melainkan sebagai alat meneguhkan identitas diri yang berbeda dari yang lain. Salah satu aturan kedisiplinan adalah harus mengikuti kegiatan pengajian dan jika berhalangan hadir harus menyampaikan surat ijin. Sistem ini diberlakukan oleh pimpinan MTA dengan cara mewajibkan anggota untuk mengisi daftar hadir. Jika seorang anggota tidak hadir berturut-berturut. Menurut Suradi, aturan absen pada dasarnya adalah untuk mengontrol dan benar-benar berkomitmen dengan MTA. Menurut Suradi: “Adanya daftar hadir itu biar tertib. Biasanya pengajian-pengajian itu kan tidak terdaftar sehingga masuk dan tidak masuknya tidak terdata. Maka kita titik beratnya pada keistiqomahan. Seperti barisan. Diatur rapi. Nah diatur rapi itu kalau kita belum rapi dalam mengatur nanti 205
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012
179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ada salah satu yang keluar dari barusan atau membuat gaduh dalam barusan kita akan mudah mengetahuinya. Siapa yang membuat gaduh. Siapa yang keluar barusan. Siapa yang merusak barisan. Keluar dari barisan itu karena dia tidak taju atau karena dia sengaja mau memecah barisan. Itu kalau kita ada daftar hadir.”206
Begitu juga dengan konsekuensi jika melanggar aturan bisa dikeluarkan dari MTA. Menurut Parwanto apa yang menjadi aturan MTA adalah kebijakan yang dilandaskan pada aturan hukum Islam. Menurut Parwanto: “Soal dikeluarkan itu karena sudah melanggar norma. Sudah berat. Kalau cuma tidak masuk tapi ijin gak papa. Masih bisa ditolerir. Kalau sakit ijin tidak masalah. Tapi kalau sudah dikeluarkan itu karena sudah tidak mematuhi garis dari MTA. Pokoknya garis dari MTA itu ya dari Islam itu sendiri. Bukan terus MTA punya hukum. Tapi hukum yang dipakai MTA itu dari Islam. Al Quran dan Sunah. Melenceng dari Quran dan Sunah ditegur sekali atau dua kali tetap tidak sadar akhirnya nanti seperti itu akan merusak ke dalam.”207
Menurut Suradi, orang yang dikeluarkan adalah karena mereka tidak berkomitmen dengan aturan MTA: “Itu tidak mengamalkan hasil kajiannya. Kalau orang lain itu sebabnya karena belum tahu. Tapi kalau ini kan sudah tahu tapi nekad. Nekad itu berarti suka seperti itu. Kalau memang tidak suka berarti tidak suka pada pengajian. Lha apa yang kamu suka itu yang kamu lakukan. Kita memberi kemerdekaan. Tapi jangan sampai nekad ikut bergabung ke komunitas kita tapi perilakumu keluar dari ketentuan yang sudah ada. Itu berarti kamu datang itu untuk merusak.”208
Sanksi pelanggaran ini pada dasarnya sangat berat mengingat berhubungan dengan konsekuensi lainnya yang lebih besar yakni terjadi benturan dengan keyakinan 206
Wawancara dengan Suradi, 26 April 2012 Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012 208 Wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012 207
180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
serta praktek adat istiadat yang masih dilakukan warga dusun lainnya yang berujung pada konflik terbuka. Ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung dengan MTA biasanya ia tidak memiliki ruang lagi di komunitas dusun, maka jika ia melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari organisasi MTA maka akan susah baginya untuk berintegrasi kembali di masyarakat. Meski demikian konflik justru dianggap sebagai sarana perekat solidaritas yang meneguhkan stabilitas dan identitas mereka. Konflik dianggap sebagai konsekuensi dalam upaya mencari stabilitas. Menurut Suprih: “Justru dengan adanya itu (konflik) dari warga tambah mantap. Tambah semangat perjuangannya. Lebih semangat kalau ada rintangan.Ibaratnya bumbu untuk memupuk keimanan. Mungkin kalau tidak dengan cara itu pengamalannya biasa saja”.209
2. Keuangan Banyaknya kegiatan yang harus diikuti warga MTA di Bangkerep tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika melihat bahwa mayoritas dari mereka adalah buruh tani atau pedagang kecil dengan penghasilan yang tidak menentu. Pengeluaran terbesar biasanya adalah transportasi untuk mengikuti pengajian baik Jihad Pagi atau pengajian peresmian cabang di tempat lain. Di Bangkerep, warga MTA harus mengikuti kegiatan rutin pengajian Selasa, sementara Jumat siang mereka ke Surakarta sampai malam hari, kemudian hari minggu mengikuti pengajian Ahad
209
Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012
181
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pagi ke Surakarta. Sementara bagi Ustadz Suradi dan Suwanto jadual mereka lebih padat dari anggota lainnya. Selain itu, pihak MTA pusat juga sering mengadakan kegiatan yang membutuhkan dana yang berasal dari infaq (iuran yang tidak wajib) warga MTA di seluruh Indonesia. Misalnya pengadaan AC, stasiun televisi dan radio, dan infaq lainnya yang meski tidak wajib namun selalu ditekankan sebagai suatu jihad fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah khususnya dengan harta. Bagi warga MTA, berbagai kegiatan dan dana yang tidak sedikit merupakan bagian dari perjuangan dalam upaya menjalani Islam secara murni. Menurut Wakidi, semuanya dijalankan dengan ikhlas, karena rejeki sudah ada yang mengatur yaitu Allah. Seperti dikatakan oleh Suprih, biaya yang dikeluarkan merupakan suatu kebanggan tersendiri: “Kalau sekiranya di dalam hati itu senang dengan Fisabilillah tidak ada rasa seperti itu. Kalau mendengar himbauan dari pimpinan pusat untuk pembangunan atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan itu justru senang ada kebanggaan tersendiri.”210
Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno bahwa apa yang selama ini menjadi aturan dari MTA adalah bagian dari ibadah: Dasarnya ya itu. Kata Ustadz Ahmad Sukina segala aktifitas yang ada hubungannya dengan kegiatan pengajian dengan ibadah yang langsung dengan Allah itu kita mencari ridlonya Allah. Kita berusaha untuk Lillahi. Jadi biar hati kita itu meninggalkan yang menjadi keseharian itu menjadi ringan. Jadi ndak ada wah pergi lagi meninggalkan pekerjaane. Awal-awal hal semacam itu menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi waktu istri saya belum ngaji diajak mengikuti kegiatan itu berat. Tapi Alhamdulillah setelah istri ikut ngaji beban berkurang. Jadi 210
Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012
182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
enteng. Istri juga memahami sendiri, anak juga ngerti, misalnya ada kegiatan apa ya siap. Dasarnya ya itu tadi. Berusaha unuk lillahi ta‟ala.211
Sementara menurut Susilo, bahwa balasan dari Allah jauh lebih berharga ketimbang waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengajian, misalnya kegiatan nafar. Kegiatan nafar adalah kegiatan khas MTA selama bulan Ramadhan di mana setiap anggota MTA diharuskan tinggal dan belajar agama di kantor MTA lainnya di seluruh Indonesia. Menurut Susilo: “Islam Kaffah ya yang mana itu perintah Allah ya kita ikuti. Yang tidak diperintahkan kita tinggalkan. Istilahnya jangan membawa ego. Seneng tidak senang kalo itu baik ya kita ikuti, entah itu disisi lain menyudutkan kita atau membahagiakan kita. Seperti contoh kita disuruh Nafar. Disisi lain ekonomi kita pas-pasan. Tapi kalo kita mampu mengapa tidak. Kalau kita pikir kan sesuatu yang mengerikan, kalo kita sudah punya keluarga punya anak ekonomi pas-pasan, kebetulan harus keluar Nafar. Mau gak mau. Walaupun (sebenarnya) tidak keluar juga tidakpapa. Tapi kalau kita mengerti lebih baik keluar daripada tidak. Hari esok kan masih ada. Disisi lain menyulitkan kita, di sisi yang lain ada sesuatu yang membahagiakan nanti. Sesuatu yang tidak nampak. Sesuatu yang tidak ditampakkan oleh Allah. Sesuatu yang gaib, balasan kan sesuatu yang gaib. Mau gak mau kita harus yakin.”212
Dengan demikian konsekuensi tersebut justru menjadi semacam peneguhan bagi para warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA. Konsekuensi atau kehilangan sesuatu pada saat yang sama juga menjadi kepenuhan atau kepuasan bagi individu yang ada di dalamnya.
211 212
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 Wawancara dengan Susilo, 29 Juni 2012
183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3. Dogmatisme baru Giddens mengatakan bahwa detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada namun hidup dan berkembang dalam konteks yang berbeda. Dalam konteks perubahan yang terjadi di Bangkerep, baik warga dusun atau warga yang menjadi anggota MTA tentu saja mengalami dan menghadapi suatu situasi yang sama. Ketika Wakidi dan kawan-kawannya bergabung dengan MTA yang merupakan organisasi Islam puritan yang birokratis dan terstruktur sekaligus meyakini doktrin dan menjalankan aturan ketat yang ada didalamnya tidak berarti bahwa mereka menjadi individu baru yang serta merta hidup dalam pola pikir dan situasi yang modern. Sebaliknya, berbagai pengalaman warga MTA Bangkerep mengenai keterlepasan dari masa lalu yang dianggap kolot dan kemudian menarasikan diri mereka sendiri menjadi “modern” melalui keyakinan, praktek keagamaan serta keterlibatan dalam jaringan yang dimiliki MTA pada saat yang sama justru menjadikan mereka hidup dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis. “Menjadi modern” bagi warga MTA pada dasarnya adalah kehidupan yang berada dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini MTA sebagai organisasi. Kegiatan organisasi seperti pengajian Ahad Pagi atau pengajian rutin dengan segala tata caranya pada akhirnya menjadi semacam ritual baru yang harus dijalankan oleh anggotanya. Dalam kondisi tersebut, ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung dengan MTA untuk mencari stabilitas atau keamanan
184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mendasar (ontological security) justru pada saat yang sama ia juga mengalami suatu bentuk rasa tidak aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang membatasi mereka. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh warga dusun yang tidak bergabung dengan MTA. Dengan tetap menjalankan ritual yang bersumber dari kepercayaan lokal tidak berarti bahwa sebagian warga dusun tersebut masih berada dalam kerangka pikir dan kesadaran tradisional sepenuhnya. Sebagai individu mereka juga melakukan refleksi atau proses permenungan tentang diri mereka di tengah perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Pada kondisi ini warga dusun yang tidak bergabung dengan MTA juga merasakan kecemasan dalam menjalani kehidupan dunia luar yang terus berubah dan berupaya mencari rasa aman mendasar (ontological security). Penolakan warga dusun Bangkerep atas faham puritan yang dibawa MTA merupakan manifestasi dari ketakutan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka dan dianggap bisa mengancam stabilitas dan rasa aman yang selama ini mereka miliki. Dalam konteks tersebut apa yang dialami oleh warga dusun Bangkerep pada umumnya atau warga lainnya yang menjadi anggota MTA pada dasarnya adalah bagian dari upaya yang sama mempertahankan suatu kebenaran di mana menurut Giddens, kebenaran yang terformulasikan adalah titik temu yang menghubungkan sesuatu yang sakral dengan tradisi.213 Menurut Giddens, tradisi hanya akan bertahan dalam dua cara; pertama, diartikulasikan dengan makna baru melalui dialog. Kedua,
213
Giddens, Living in Post-Traditional Society, hal. 104
185
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tradisi dipertahankan dengan jalan fundamentalisme yakni mempertahankan tradisi tanpa dialog atau kompromi. 214 Dalam cara yang terakhir ini maka tradisi baik dalam pengertian
“tradisi
lokal”
atau
agama
sebagai
“tradisi
besar”
memiliki
kencenderungan untuk jatuh ke dalam lubang yang sama, yaitu dogmatisme. Kondisi ini terjadi di masa awal kedatangan MTA di Bangkerep maupun dalam perkembangannya kemudian di mana terjadi konflik terbuka antara warga dusun yang tidak setuju dengan ajaran MTA melawan warga dusun anggota MTA yang menganggap bahwa praktek lokal di Bangkerep adalah sesat dan tidak sesuai dengan tuntunan dari Al Quran dan Hadits.
214
Giddens, ibid, hal. 100
186
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN
Argumentasi yang dikemukakan dalam tesis ini adalah bahwa globalisasi membuat suatu komunitas dan individu kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini mereka yakini dan pada saat yang sama menggantinya dengan suatu cara atau keyakinan yang memberi kepastian atau keamanan di tengah kehidupan global. Selain itu globalisasi juga membuat individu berupaya membentuk ulang identitas mereka dalam suatu komunitas. Dalam hal ini identitas baru tersebut mereka dapatkan dari kelompok agama yang memiliki aturan yang ketat dan doktrin serta praktek keagamaan yang diyakini mampu mengatasi berbagai persoalan yang diakibatkan oleh berbagai perubahan yang terus menerus terjadi di sekitar mereka. Tesis ini berupaya memotret kondisi masyarakat di suatu pedesaan di Blora yang pada mulanya bercirikan tradisional dengan karakteristik keagamaan yang cenderung Abangan yang kemudian mengalami proses perubahan menuju gejala modernitas yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam skala dan intensitas yang luar biasa atau juga disebut sebagai fenomena globalisasi. Globalisasi sebagai suatu proses saling keterhubungan suatu kejadian di wilayah tertentu dengan wilayah lain yang saling mempengaruhi, dalam tesis ini digambarkan melalui kebijakan negara sebagai perpanjangan dari kepentingan kapitalisme global,
187
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang memungkinkan
terjadinya
perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dusun Bangkerep sebagai sebuah dusun yang pada mulanya dipenuhi dengan berbagai ritual tradisional sekaligus kurang dalam praktek agama berangsur-angsur mengalami suatu kondisi modernitas. Kondisi ini merujuk pada apa yang disebut Giddens sebagai masyarakat post-tradisional yakni masyarakat yang mengalami ketidakpastian dan mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional yang sebelumnya mereka yakini sebagai konsekuensi dari perubahan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Dengan kata lain tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan dan pada akhirnya individu di dalamnya mulai mencari cara alternatif dari sumber lain. Kata kunci dari proses ini adalah apa yang disebut refleksifitas, yakni individu melakukan permenungan dan mencari alasan
atau dasar dari setiap tindakannya sekaligus mengevaluasi
keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan. Dalam tesis ini modernitas di Bangkerep dibaca melalui fenomena peralihan orientasi beragama sebagian warganya yang bergabung dalam suatu organisasi Islam bercorak puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo. Mereka yang semula kurang dalam pengetahuan agama dan tidak terlalu taat dalam menjalankan ajaran Islam sekaligus teguh dalam meyakini kepercayaan tradisional dan melakukan praktek ritual lokal mulai menunjukkan gairah gairah keagamaan yang kuat setelah bergabung dengan organisasi tersebut. Dengan kata lain nilai-nilai dari
188
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kepercayaan leluhur mulai dipertanyakan manfaatnya dalam menjawab berbagai kegelisahan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Proses bergabungnya sebagian warga Dusun Bangkerep ke dalam organisasi MTA dijelaskan dalam kerangka globalisasi sebagai proses terjalinnya relasi kejadian dan wilayah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1972, kemunculan MTA dengan misi puritanisme merupakan bagian dari fenomena gelombang kebangkitan Islam dalam skala global pada waktu yang sama di mana umat Islam di seluruh dunia sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus berupaya meraih kejayaannya kembali melalui jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah..Gerakan kebangkitan Islam skala global ini merupakan lanjutan dari fenomena yang sama yang terjadi di Timur Tengah pada abad ke 18 yang memberi yang pengaruh terhadap fenomena yang sama di berbagai belahan dunia dengan agenda utama merebut kembali kejayaan Islam sekaligus mengedepankan nilai dan praktek Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Persebaran ide tersebut dipotret dalam kerangka globalisasi sebagai suatu fenomena menguatnya relasi-relasi sosial di berbagai wilayah di dunia melalui suatu kejadian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam konteks gerakan kebangkitan Islam skala global ini relasi terjadi melalui instrument globalisasi, yakni kemajuan teknologi komunikasi transportasi dan informasi
yang
memungkinkan
terjadinya
mobilisasi
manusia
sehingga
memungkinkan ide-ide baru mengenai Islam bisa diakses oleh umat Islam di berbagai tempat, termasuk di Indonesia.
189
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di Indonesia, gerakan puritanisme disebarkan oleh kaum Paderi di Sumatera pada sekitar abad 20 dan memberi pengaruh terhadap munculnya organisasi dengan misi puritanisme seperti Muhammadiyah dan Persis. Pada tahap selanjutnya fenomena kebangkitan Islam di Indonesia terjadi pada tahun 1970 dan 1980-an yang dipengaruhi ketika ide-ide pembaruan Islam dari Hasan Al Banna, Jamaluddin Al Afghani atau Rasyid Ridha yang kemudian berkembang pesat di Indonesia melalui berbagai organisasi-organisasi Islam di kampus serta melalui penerbitan buku-buku dan maupun melalui mahasiswa yang belajar di Timur Tengah saat Orde Baru masih berkuasa. Kemunculan berbagai organisasi Islam juga dipicu oleh kebijakan Orde Baru yang berupaya untuk melanggengkan kekuasaan melalui kebijakan depolitisasi umat Islam serta kebijakan pembangunan infrastruktur dan pembinaan agama terutama di pedesaan-pedesaan yang memberi ruang bagi munculnya kesadaran Islam di kalangan masyarakat. Di Dusun Bangkerep, masuknya MTA juga merupakan bagian yang sama dari fenomena kebangkitan Islam dalam skala global maupun nasional. Dusun Bangkerep yang semula kental dengan kepercayaan lokal dan ritual-ritual tradisional secara perlahan mengalami proses detradisionalisasi yang terutama dimulai ketika di masa awal pemerintahannya, penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan penyuluhan terutama di bidang keagamaan Islam. Secara perlahan kegiatan agama Islam mulai muncul di Dusun Bangkerep. Puncaknya adalah ketika sebagian warga Bangkerep mendapatkan akses kepada organisasi Islam puritan MTA yang berpusat di Surakarta.
190
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan kata lain mobilisasi manusia mengakibatkan terjadinya perpindahan ide kebangkitan Islam yang dibawa MTA ke Dusun Bangkerep. Selain itu sebagian warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA memiliki alasan mengapa mereka tertarik dengan organisasi Islam puritan tersebut dengan berbagai konsekuensinya. Mereka meyakini bahwa doktrin MTA mengenai Islam yang Kaffah dan penerapannya dalam segala aspek kehidupan menawarkan jawaban dari pertanyaan dan kegelisahan mereka di tengah berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Warga anggota MTA melihat bahwa masyarakat mengalami kekacauan yang tergambar dari berbagai perilaku maksiat dan kejahatan sebagai akibat dari tidak adanya aturan dan panduan dalam menghadapi dunia yang semakin berubah. Aturan organisasi yang ketat dalam mempraktekkan ajaran Islam tidak dianggap sebagai pengekangan, melainkan keharusan untuk memperbaiki perilaku masyarakat sekitar yang semakin hari semakin jauh dari sumber hukum Islam yang utama. Dalam kesehariannya, warga anggota MTA juga menunjukkan pemahaman dan praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual tradisional yang menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati. Selain itu warga anggota MTA juga menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi mereka, Islam adalah
191
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang Muslim sejati di tengah masyarakat yang kental dengan keyakinan tradisional. Selain itu dengan bergabung menjadi anggota MTA, warga Dusun Bangkerep juga memiliki kebanggan dan identitas baru sebagai orang yang memiliki kelebihan dibanding warga dusun lainnya. Keluasan jaringan yang dimiliki MTA membuat mereka banyak bertemu dengan orang lain dari beragam profesi dan latar belakang sehingga membuat mereka merasa memiliki kelebihan dibandingkan warga dusun pada umumnya. Sistem organisasi MTA yang rapi, terstruktur dan hirarkis serta jaringan komunikasi informasi yang dimiliki organisasi membuat warga Bangkerep anggota MTA mendapatkan akses informasi yang lebih dibanding warga dusun lainnya. Dengan kata lain, warga dusun yang menjadi anggota MTA merasa lebih modern dibandingkan dengan warga dusun lain yang kolot dan hanya bergaul di lingkungan dusun Bangkerep saja. Selain itu salah satu doktrin MTA mengenai solidaritas antar anggota juga membuat warga MTA Bangkerep merasa mendapatkan dukungan secara ekonomi dan mata pencaharian mereka, baik melalui programprogram dari MTA atau dari jaringan antar anggotanya yang tersebar di berbagai tempat.
192
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Di sisi lain, identitas baru serta berbagai kemudahan akses yang didapatkan oleh warga dusun yang menjadi anggota MTA tersebut memiliki konsekuensi yaitu hilangnya kebebasan karena terikat dengan aturan yang ketat baik aturan yang diambil dari Al Quran dan Hadits ataupun aturan dari organisasi. Warga MTA menjalankan hidup sehari-hari secara disiplin terutama dalam bidang keagamaan hingga dalam urusan kehidupan sehari-hari seperti berkeluarga, bekerja, mendidik anak dan seterusnya. Pelanggaran terhadap aturan yang sudah digariskan organisasi berakibat pada sanksi yang berat yakni dikeluarkan dari organisasi. Konsekuensi paling besar ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung dengan MTA adalah benturan dan konflik terbuka dengan warga dusun lainnya yang menentang kehadiran MTA. Konsekuensi kedua adalah besarnya dana yang harus dikeluarkan setiap anggota untuk mobilitas organisasi. Hal tersebut tentu kontras dengan kondisi ekonomi dan mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah buruh tani atau pedagang kecil. Konsekuensi ketiga adalah terjebak dalam dogmatisme baru. Bagi warga MTA di Bangkerep, hijrah menuju identitas baru yakni menjadi “modern” dan lepas dari masa lalu yang kolot pada saat yang sama justru menjadikan mereka hidup dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis karena pada dasarnya kehidupan mereka berada dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini MTA sebagai organisasi. Pada akhirnya, keinginan untuk mencari stabilitas atau
193
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
keamanan mendasar (ontological security) berujung pada suatu bentuk rasa tidak aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang membatasi mereka. Apa yang terjadi di dusun Bangkerep dalam tesis ini memberi gambaran bahwa setiap komunitas serta individu di dalamnya tidak bisa menghindar dari perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Ketakutan dan kegamangan terhadap perubahan tersebut melahirkan upaya pencarian identitas baru melalui berbagai cara. Lalu ketika ada kelompok atau komunitas baik yang sadar atau tidak sadar berupaya menolak tradisi dalam pengertian sesuatu yang dianggap kuno melalui cara-cara, bentuk atau simbol modernitas –organisasi agama yang puritan dan modern- pada akhirnya akan berpeluang menciptakan bentuk tradisi baru yang lebih kaku dan dogmatis.
194
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Buku Al Banna, Hasan, Majmaatul Rasail: Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit. Abou El Fadl, Khaled. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Tr. Helmi Mustofa. Jakarta: Serambi Ahmed, Akbar S. 2003. Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise. Taylor & Francis e-Library. Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Malden. MA: Blackwell Gellner, Ernest. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press ----------------------- 1991. Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age. Cambridge: Polity Press ------------------------ 1994. Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash, ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity ----------------------- 2005. Sociology, Fifth Edition. Cambridge: Polity Press ------------------------- 1985. Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical Materialism. Polity Press Hammersley, M & Atkinson. 1995. Etnography, Principles in Practice, 2nd ed. London: Routledge Hassan, Noorhadi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES dan KITLV
Hefner, Robert W. Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non-Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard, eds.,“The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious
195
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Contention in Java and Bali”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New York: Routledge Hefner, Robert W. 2008. Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia. Princeton: Princeton University Press Jenkins, Richard. 2004. Social Identity, Second Edition. Routledge Machmudi, Yon. 2008. Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party. edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-insoutheast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press Moller, Andre. 2005. Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting, Department of History and Anthropology of Religion, Lund University, Swedia, 2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari www.anpere.net Mouffe, Chantal. 2005. On The Political, Thinking in Action. Routledge Peacock, James. 1978. Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California: University of California Press Rahmat, M Imdadun. 2008. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS. Redner, Harry. 2001. Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture. Oxford: Rowman and Littlefield Publisher Ricklefs, MC. 2008. Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary Rhymes dalam Barton, G & White, S., ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia”. Singapore: ISEAS, 2008 Ritzer, G & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta: Kencana Robertson, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia
196
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tomlison, John. 1999. Localization and Culture. Cambridge: Polity Press --------------------------2003. Globalization and Cultural Identity, dalam Held, D & Mc Grew, A, “The Global Transformations Reader”. Oxford: Polity Press. Waardenburg, J. D. J. 1979. Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter H. Vrijhof dan Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular Religion”. Paris: Mouton Publisher. Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: LibForAll Foudantion. Wiktorowicz, Quintan, ed. 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. Tr. Tim Penerjemah Paramadina. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi Zuhri, Syaifudin. 200. Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang Majelis Tafsir Al Quran (MTA), dalam Prof. K Yudian Wahyudi, Ph.D. ed.“Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik). Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.
Jurnal Ali, Muhammad, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011 Anderson, John W., New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam, Journal Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003 Baedhawy, Zakiyuddin, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan di Surakarta, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin 1-4 November 2010 Hadiz, Vedi R., Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity --------------------- Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity Hassan, Noorhaidi, Between Transnational Interest and Domestic Politics: Understanding Middle Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the Times: the Dynamics of
197
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN Sunan Kalijaga, 2007 -------------------------------- Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002 Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar Jihad, Mimbar, Vol. 23, No. 4, 2006 Jinan, Muthoharun, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al Quran, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Departemen Agama, 10-13 Oktober 2011 Soejatno & Anderson, Benedict, Revolution and Social Tension in Surakarta 19451950, Indonesia, Vol.17, April 1974 Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011 Uffen, Andreas, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009 Wildan, Muhammad, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation Of Radical Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1, 2008, hal. 35-70
Majalah Majalah RESPON, Edisi 268 XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, diterbitkan Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA)
Internet Giddens, Anthony, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm ----------------------- Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm.
198
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
------------------------ Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm ----------------------- Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm Wibowo, I, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/ www.mta-online.com www.blora.go.id
Dokumen Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002 Dokumen Desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga setempat, tertanggal
199