Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter Al Musanna Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah (
[email protected]/
[email protected])
Abstrak: Indonesia adalah negara yang kaya dan unik. Demikian ungkapan para peneliti dan wisatawan setelah berkunjung dan menjelajahi negeri yang terdiri dari ratusan etnis dan tersebar di ribuan pulau ini. Sangat mudah menemukan betapa uniknya bangsa ini, ditinjau dari bahasa, kesenian, pola hidup, kearifan lokal, dan lain-lain. Khazanah keragaman yang luar biasa tersebut merupakan modal lebih dari cukup untuk mengembangkan corak atau model pendidikan yang berakar pada kearifan lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ketika pemerintah mendengungkan pendidikan karakter, penggalian kembali nilai-nilai kebajikan dan kearifan lokal merupakan harta terpendam yang menunggu sentuhan tangan dingin untuk diaktualisasikan. Kearifan lokal dalam setiap komunitas merupakan pencerminan dari falsafah hidup terintegrasi (holistik) yang dalam pusaran sejarahnya berhasil mewujudkan harmoni manusia dengan sesama dan lingkungan. Memang terkesan terlambat kesadaran mengenai pendidikan karakter, tetapi bukankah terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Kata Kunci: kearifan, kearifan lokal, pendidikan karakter, suku gayo Abstract: Indonesia is a rich and unique country. It’s easy to find how unique this nation in terms of language, art, lifestyle, local wisdom, and others. No need to go far from the state capital to find the articulation of cultural diversity. The extraordinary diversity is more than enough to be used to develop a pattern or model of education that is rooted in the local wisdom scattered throughout the territory of Indonesia. When the character education is trenching returned values
of virtue and wisdom can be
one of the alternatives. Local wisdom in every community is a reflection of the philosophy of life (worldview), an integrated vision that is existed in historical period which has succeeded in realizing harmony of human beings and the environment. It seemed too late awareness of character education, but late is still better than nothing. Key words: wisdom, local wisdom, character education, gayo ethnic.
Pendahuluan Dalam beberapa waktu terakhir, muncul antusiasme
berpijak pada keyakinan bahwa setiap komunitas
untuk mengartikulasikan kearifan lokal sebagai
mempunyai strategi dan teknik tertentu yang
pijakan dalam memperkaya praksis pendidikan.
dikembangkan untuk menjalankan kehidupan sesuai
Gerakan ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa
konteksnya. Pendidikan berbasis nilai diperlukan
modernitas dengan segala perangkat pendukungnya
untuk mengembangkan kualitas moral, kepribadian,
tidak cukup memadai meghantar-kan manusia
sikap kebersamaan yang semakin tergerus oleh
dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna
perkembangan zaman (Aspin & Chapman, Ed.,
dan mencapai kebahagiaan yang autentik (authentic
2007). Dalam dunia pendidikan formal, penekanan
happiness). Modernitas dengan rasionalitas,
berlebihan pada pengem-bangan sisi kognitif peserta
objektifitas, dan kebebasan individu yang
didik berdampak pada tidak proporsionalnya waktu,
tercerabut dari akar spiritualitas dan kearifan telah
perhatian dan dukungan terhadap pengembangan
membawa dampak terjadinya ketidak-seimbangan
dimensi afektif peserta didik. Pemerhati dan penulis
(disekualibrum) hubungan manusia, baik dengan
sejumlah literatur pendidikan mengungkapkan, “...
sesamanya maupun dalam interaksi-nya dengan
traditionally, the focus of schools has been cognitive.
alam.
Students and teacher are rewarded for academic
Gagasan pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom-based education) 588
gains, not affective or humanistic progress” (Lang
Al Musanna, Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter
dan Evan, 2006).
kearifan lokal (Ingg. local wisdom), misalnya
Menyadari kompleksitas pengintegrasian
pengetahuan lokal (local knowledge); budaya
kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter,
lokal (local culture); keunggulan lokal (local
tulisan ini akan mendiskusikan tiga hal: polemik
genius); budaya pribumi (indigenous culture);
mengenai apakah kearifan dapat diajarkan; relevansi
dan pengetahuan asli (indigenous knowledge).
kearifan lokal sebagai landasan pendidikan karakter
Di Indonesia istilah kearifan lokal akhir-akhir ini
dengan mengacu pada teori pengajaran kearifan
lebih populer digunakan dibanding istilah-istilah
(teaching for wisdom); dan aktualisasi teaching for
lainnya, hal ini sebagaimana tercermin pada
wisdom sebagai landasan pengembangan model
penggunaan istilah ini dalam literatur, media massa,
integrasi kearifan lokal sebagai basis pendidikan
dan percakapan sehari-hari. Abubakar (2010)
karakter.
mengartikan kearifan lokal sebagai kebijakan yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku
Kajian Literatur dan Pembahasan
yang melembaga secara tradisional untuk mengelola
Pengertian Kearifan, Kearifan Lokal dan
sumber daya (alam, manusia, dan budaya) secara
Pendidikan Karakter
berkelanjutan. Kearifan lokal sebagai kebenaran
Tesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan
yang mentradisi atau ajeg merupakan perpaduan
sejajar dengan kebajikan, kebijakan, kebijak-
nilai-nilai suci firman Tuhan dan nilai turun-temurun
sanaan dan kecendekiaan. Sedang kata arif memiliki
yang dikembangkan komunitas tertentu. Sesorang
kesetaraan makna dengan: akil, bajik, bakir,
dinilai arif apabila dapat mengakumulasi dan
bestari, bijak, bijaksana, cendekia, cerdas, cerdik,
mengkolaborasikan antara konteks dan nilai-nilai
cergas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar
yang melingkupinya, serta dapat mewujudkan pola
(Sugono, dkk, Ed., 2008). Dalam tradisi kesarjanaan
hidup yang seimbang, tidak mungkin seseorang
Islam, istilah arif (hikmah) dan ilmu (‘ilm) sering
dipandang bijak apabila sikap dan tindakannya
diidentikkan dan terkadang diposisi-kan yang satu
berlawanan dengan nilai yang berlaku (Sternberg
sebagai subordinat lainnya. Berdasar penelusuran
dalam Shavinina dan Ferrari, Ed., 2004).
Rosenthal (2007) istilah hikmah secara substansial
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yang
merujuk pada level atau tingkat kesadaran tertinggi
bermakna, “instrument for marking and graving,
yang berada di atas pengetahuan, “’wisdom’ is
impress, stamp, distinctive mark, distinctive
something better than ‘knowledge.’ It embodies
nature’ (Kupperman, 1990: 3). Karakter berkaitan
a higher degree of knowledge and insight in the
dengan ciri atau tanda khusus yang melekat pada
realm of both human perceptions and theological
suatu benda atau seseorang. Seseorang yang
speculation.” Sternberg (2003) Sternberg dalam
berkarakter (baik atau buruk) membuatnya tampil
Preiss dan Sternberg, Ed., (2010) Sternberg dalam
beda dari orang lain, sehingga menjadi penanda
Kaufman dan Grigorenko, Ed., (2009) mengartikan
khusus ketika orang lain mengenalinya (Dimenson,
kearifan (wisdom) sebagai pemanfaatan secara
2009). Wilhelm (2005), setelah melakukan tinjauan
terpadu kecerdasan, kreativi-tas dan pengetahuan
terhadap sejumlah definisi yang diajukan para
yang diperantarai sepe-rangkat nilai dalam
pakar menyatakan, “character can be measured
pencapaian kebaikan bersama (common good)
corresponding to the individual’s observance of a
melalui pertimbangan yang seimbang antara
behavioral standard or the individual’s compliance
kepentingan intrapersonal, interpersonal dan
to a set moral code.” Dengan demikian, karakter
ekstrapersonal yang ber-langsung dalam jangka
merupakan representasi identitas seseorang yang
waktu singkat atau lama untuk beradaptasi,
menunjukkan ketun-dukannya pada aturan atau
membentuk atau memilih lingkungan.
standar moral yang berlaku dan
merefleksikan
Kearifan lokal merupakan akumulasi dari
pikiran, perasaan dan sikap batinnya yang
pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap
berkembang dalam sebuah komunitas yang
dan bertindak.
merepresentasikan perspektif teologis, kosmo-logis
Pendidikan karakter meskipun populer digunakan
dan sosiologisnya. Terdapat beberapa istilah yang
tetapi upaya merumuskan definisi yang disepakati
digunakan secara bergantian dalam memaknai
ternyata tidak mudah (Peterson & Seligman, Ed.,
589
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
2004; Nuccy & Narvaez, Ed., 2008). Creasy (2008)
Ferrari dan Potrowowski, Ed., 2008) mengungkap
menyatakan, “…character education is a program
kegelisahannya terhadap praksis pendidikan
that can be implemented in order to turn students
moderen yang mengabaikan atau memberi perhatian
into respectful, responsible, contributing members
sangat sedikit untuk mempersiapkan peserta didik
of society.”
Pendidikan karakter dapat dimaknai
menjadi pemikir dan manusia yang arif, hal ini
sebagai upaya men dorong peserta didik tumbuh
sebagaimana dinyatakannya berikut ini, “Western
dan berkembang dengan kompetensi berfikir dan
education in the past of couple of centuries has
berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral serta
typically focused on imparting content knowledge
mempunyai keberanian melakukan yang benar,
and developing cognitive skills in students. Schools
meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
promote intelligent-but not necessarily wise
Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer
students.” Dengan kenyataan tersebut, meskipun
pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik an-
secara akademis peserta didik memperoleh nilai
sich, tetapi menjangkau bagaimana menjadikan
tinggi, tetapi mereka gagal memperlakukan
nilai-nilai tersebut tertanam dan menyatu dalam
kehidupan dengan baik, sehingga sering melakukan
totalitas pikiran-tindakan (Dimenson, Ed., 2009).
tindakan tidak bijak (foolishness) yang merugikan
Lickona (1991) dalam Education for Character: How
dirinya sendiri dan orang lain (Sternberg dalam
Our School Can Teach Respect and Responsibilty
Sternberg dan Jordan, Ed., 2005).
menyebutkan bahwa pembentukan karakter
Pertanyaan mengenai mungkinkah kearifan
meliputi tiga hal berikut: mengetahui yang baik
diajarkan telah mendapat respon yang beragam.
(knowing the good), kemauan melakukan kebaikan
Mulai dari kalangan yang menyatakan ketidak-
(desiring the good) dan melakukan tindakan yang
mungkinannya, kelompok yang ragu-ragu dan
baik (doing the good).
yang yakin bahwa kearifan meskipun tidak sepenuhnya dapat diajar tetapi dapat dikembang-
Rasionalitas Kearifan Lokal sebagai Basis
kan. Sejumlah peneliti mengemukakan bahwa
Pendidikan Karakter
benar kearifan tidak dapat ditransfer, tetapi melalui
Pembahasan pendidikan karakter tidak mungkin
pemodelan dan ketersediaan lingkungan yang
dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang melekat pada
kondusif, kearifan dapat dikembangkan sebagai
konteks. Kearifan lokal merupakan representasi
karakter peserta didik. Dalam Teaching for Wisdom
dari pandangan hidup (wolrd view/way of life) yang
Through History: Infusing Wise Thinking Skills
tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas.
in the School Curriculum, Sternberg, Jarvin dan
Dalam masyarakat yang didominasi peradaban olah-
Reznitskaya (dalam Ferrari dan Potworowski, Ed.,
pikir, contohnya zaman keemasan Athena tempoe
2009) menyatakan bahwa sekolah dapat membantu
doeloe, karakter yang sangat diidamkan adalah
mengembangkan kearifan. Konsepsi-konsepsi
tercermin pada orang-orang yang menyandang
kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun
gelar filosuf. Berbanding terbalik dengan kondisi
melalui dongeng, legenda, petuah-petuah adat
tersebut, dalam tradisi masyarakat yang didominasi
merupakan strategi transformasi nilai-nilai yang
olah-pisik, sebagai-mana berkembang dikalangan
dipandang penting untuk dimiliki anak. Pendidikan
penduduk Sparta, derajat seseorang ditentukan
dalam maknanya yang luas mencakup pedoman
kebugaran dan kekuatan pisiknya. Karakter
menjalankan kehidupan dengan bijaksana, sehingga
terhormat ditempati olahragawan sekelas Achilles,
tidak mencederai derajat kemulian manusia sebagai
Hercules, dan lain-lain.
pemegang amanah mengelola sumber daya alam
Kearifan perlu dikembangkan menjadi bagian
yang dianugerahkan Tuhan (Reagen, 2005).
integral kurikulum pendidikan pada semua jenis dan jenjangnya. Lembaga pendidikan moderen telah
Teori Teaching for Wisdom
menyingkirkan kearifan dari sekolah dan membatasi
Dalam rentang perjalanan sejarah manusia,
prioritasnya pada peningkatan kecerdasan peserta
berbagai cara dilakukan untuk menjadi orang yang
didik yang diukur pada kemampuan menghapal
arif atau bijak. Berbagai kajian baik melalui filsafat,
materi dan keterampilan melakukan tugas-
antropologi dan akhir-akhir ini berbagai aliran
tugas. Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam
psikologi alternatif juga mulai mengkaji kearifan
590
Al Musanna, Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter
(Kresse dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2008).
konsis-tensi peserta didik dalam meningkatkan
Dalam A Handbook of Wisdom, Sternberg dan
kearifan.
Jordan, Ed., (2005) melakukan pembahasan yang
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Sternberg
menarik mengenai berbagai pendekatan dalam
(2003; Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya dalam
mengkaji kearifan. Dari sudut pandang psikologi,
Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009) merumuskan
ketertarikan para psikolog didorong ketidak-
enam prosedur pengajaran kearifan. Keenam
memadaian psikologi konvensional menjelaskan
tahapan pembelajarannya meliputi: “First, student
kompleksitas manusia, hal ini sebagaimana
would read classic works of literature and philosophy
dikemukakan Sternberg (dalam Shavinina dan
to learn and reflect on the wisdom of sages; Second,
Ferrari, Ed., 2004) bahwa pengukuran kecerdasan
student would engage in class discussions, projects,
sebagaimana terdapat pada tes intelligensi tidak
and essays that encourage them to discuss the
mampu menjelaskan secara memuaskan mengenai
lesson they have learned from classic works, and
hakikat kearifan.
how they can applied to their own lives and the lives
Teori pengajaran kearifan (teaching for wisdom)
of other; Third, students would study not only truth,
merupakan pengembangan teori keseimbangan
as we know it, but values as well; Fourth, instruction
kearifan (Balance Theory of Wisdom) yang
would place an increased emphasis on critical,
diperkenalkan sejak penghujung tahun 90-an
creative and practical thinking in service of good
(Sternberg, 2003; Sternberg dalam Kaufman
ends; Fifth, students would be encouraged to think
dan Grigorenko, Ed., 2009). Melalui program
about how almost everything they study might be
pengajaran untuk kearifan menunjukkan terdapat
used fot better or worse end; Finally, teachers serve
korelasi dan peningkatan kearifan peserta didik
as role models.” Secara sederhana, enam prosedur
setelah diaplikasikannya model kurikulum yang
yang dikemukakan tersebut melalui orkestrasi tiga
mengintegrasikan prinsip dan prosedur pengajaran
komponen berikut: Pertama, integrasi pendekatan
kearifan (Sternberg, 2010 Sternberg dalam Preiss
pembelajaran kecakapan berfikir arif (wise thinking
dan Sternberg, Ed., 2010; Sternberg dalam
skills); Kedua, penciptaan iklim pembelajaran yang
Staudinger dan Gluck dalam Sternberg dan
mendorong kebiasaan berfikir dan bertindak arif;
Kaufman, Ed., 2011).
dan Ketiga, komitmen guru sebagai teladan (role-
Pengajaran kearifan terdiri dari 16 prinsip,
model) membiasakan prilaku arif. Terkait komponen
demikian dikemukakan Sternberg (2003) dalam
terakhir, Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam
Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized.
Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009) menyatakan,
Berikut adalah prinsip-prinsip paedagogis pengajaran
“the most effective teacher is likely to be one who
kearifan: guru memberi ruang kepada peserta
can create a classroom community in wich wisdom
didik untuk mengeksplorasi bahwa prestasi dan
is practiced, rather than preached.”
capaian akademis tidak memadai menjawab kompleksitas modernitas; menunjuk-kan kepada
Aktualitas Teaching for Wisdom: Studi
peserta didik bahwa kearifan merupa-kan bagian
Kearifan Lokal Masyarakat Gayo sebagai
penting mewujudkan kehidupan yang bahagia;
Basis Pendidikan Karakter
mengajak peserta didik mengembang-kan pola
Gambaran Singkat Etnis Gayo
berpikir interdependensi; guru menjadi teladan
Masyarakat Gayo adalah salah satu suku asli
dalam mempraktikkan sikap yang arif (role-
yang mendiami provinsi Aceh, khususnya berada
model); menyediakan literatur tentang kearifan;
di dataran tinggi Gayo (Kabupaten Aceh Tengah,
menekankan pentingnya sarana pencapaian tujuan,
Bener Meriah dan Gayo Lues dan Aceh Tenggara)
tidak menjadikan tujuan sebagai akhir segalanya;
dan menempati posisi kedua sebagai suku asli
memotivasi peserta didik berfikir dialektis, dialogis,
terbesar di Aceh. Berdasar perkiraan bahasa Gayo
kritis, dan kreatif; mem-biasakan peserta didik
digunakan sekitar 260.000 orang (Eides, 2005;
melakukan penyesuaian (adaptation), membentuk (shaping), dan memilih (selection) lingkungan yang dapat membantu meningkatkan kearifan dirinya; memberi semangat dan hadiah dalam mendorong
591
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
Eades dan Hajek, 2006). Dalam Grammar of Gayo:
berdirinya kerajaan Islam Pereulak dan terjadinya
A Language of Aceh Sumatera dikemukakan bahwa
serbuan kerajaan Sriwijaya pada tahun 986 M, adik
bahasa Gayo termasuk keluarga bahasa Austronesia
Sultan Peureulak yang bernama Malik Ishak bersama
(Nias, Mentawai, Enggano, dan Batak) dan sebagian
pelarian politik lainnya yang berjumlah sekitar 300
besar kosa katanya atau sekitar 40 persen secara
orang menetap dan diberi hak mendirikan kerajaan
leksikal berasal dari bahasa Melayu (Eades, 2005;
Islam di Isaq (45 Kilometer dari ibukota Aceh Tengah
Melalatoa, 1982).
yang sekarang), yang kemudian bernama Kerajaan
Masyarakat Gayo (orang setempat menama-
Malik Ishaq (Syukri, 2007; Ibrahim, 2003).
kan dirinya urang Gayo) mempunyai hubungan
Kajian mengenai eksistensi masyarakat Gayo
genealogis dengan orang Melayu Tua. Dalam Aceh
telah dimulai sejak awal abad ke-20 oleh kolonial
Sepanjang Abad, Said (1985) mengemukakan bahwa
Belanda sebagai bagian dari strategi militer
nenek moyang orang Gayo berasal dari Melayu Tua
melumpuhkan perjuangan rakyat Aceh. Orientalis
yang menyingkir dari pesisir pantai ke pedalaman
kenamaan dan sekaligus penasehat kebijakan
disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Indo-Cina
politik Belanda, C. S. Hourgrounje dipandang
dan Kamboja pada tahun 300 SM. Mereka menetap
sebagai peletak kajian mengenai suku Gayo
di sepanjang pantai utara dan timur Aceh dan di
(Melalatoa, 1982). Tulisan Hourgrounje mengenai
sepanjang aliran sungai Jambo Aye, Peureulak,
masyarakat Gayo dipublikasikan pertama kali tahun
dan Kuala Simpang. Seorang pemakalah Seminar
1906 berjudul Het Gayoland en Zijne Bewoners,
Temu Budaya Nusantara pada Pekan Kebudayaan
yang telah dialih-bahasakan menjadi Tanoh Gayo
Aceh Ke-3 Tahun 1988 mengemukakan, “…sebelum
dan Penduduknya (1996). Peneliti lain mengenai
orang Aceh yang berasal dari Campa tiba di Aceh,
masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah juga
kawasan ini didiami suku-suku lain dari Austronesia,
dilakukan Bowen (1984; 1993; 2003), yang dimulai
misalnya orang Gayo, di samping bangsa Mantir
dari studi penyelesaian disertasi antropologinya di
(Mente) yang tergolong dalam rumpun Mon Khmer”
Universitas Chicago pada penghujung 70-an dan
(Ibrahim, 2007). Hikayat Raja-Raja Pasai (ditulis
berlanjut sampai awal tahun 80-an. Pada tahun 70-
tahun 1814 M.) merupakan literatur tertua yang
an, Melalatoa (mahasiswa antropologi Universitas
mendeskripsikan pola hidup sekelompok orang
Indonesia dan setelah menyelesaikan studinya
yang mendiami dataran tinggi ini (diyakini sebagai
diangkat sebagai dosen dan guru besar etnologi
leluhur suku Gayo) dan telah mengembangkan
di almamaternya) terlibat dalam penelitian dan
pola bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan
pendokumentasian kebudayaan Gayo yang dibiayai
hidupnya (Bowen, 1993).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang
Berdasar narasi yang berkembang luas di
mempublikasikan temuannya dalam sejumlah buku,
kalangan masyarakat Gayo (kekeberen), kerajaan
di antaranya: Kamus Bahasa Gayo-Indonesia (1966);
pertama dikawasan tersebut didirikan Genali yang
Kesenian Didong dan Perubahan Masyarakat di Gayo
datang dari Rum (Turki) sekitar abad X Masehi
(1971); Sastra Lisan Masyarakat Gayo (1980);
(Melalatoa, 1982; Gayatri, 2008). Menurut versi ini,
Kebudayaan Gayo (1982); dan disertasi Pseudo-
Raja Linge sudah berhubungan dengan raja Johor
Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial
melalui pengiriman hadiah dan utusan, bahkan
Menurut Kebudayaan Gayo (1983). Karya-karya
raja Linge menikahi putri raja Johor. Rombongan
Melalatoa memberi kontribusi penting memotivasi
pengiring putri kerajaan Johor yang terdiri dari 30
kajian lebih spesifik mengenai berbagai dimensi
orang, akhirnya tinggal di Gayo dan diberi gelar Cik,
budaya Gayo pada masa-masa selanjutnya.
Kejurun, Reje dan Penghulu. Dengan bertambahnya
Dikalangan masyarakat Gayo sendiri, terdapat
penduduk, kerajaan Linge dipecah menjadi
beberapa penulis yang karyanya dikenal luas,
kerajaan-kerajaan kecil, yaitu kerajaan Bukit di
diantaranya adalah A.R. Hakim Aman Pinan dan
sekitar Danau Laut Tawar, kerajaan Serule, kerajaan
Drs. H. Mahmud Ibrahim. Aman Pinan dikenal
Syiah Utama, bahkan meluas hingga daerah Batak
sebagai tokoh adat Gayo dan dipercaya sebagai
Karo di Sumatera Utara dengan kerajaan Sibayak
ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA)
Lingga, dan di Sumatera Barat dengan kerajaan
Kabupaten Aceh Tengah sejak tahun 1991 sampai
Wi Apuk dan Bedagai (Gayatri, Ed., 2008). Setelah
meninggalnya tahun 2004. Di antara karya yang
592
Al Musanna, Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter
telah dihasilkan Aman Pinan adalah: Daur Hidup
capai. Merujuk klasifikasi Melalatoa terdapat tujuh
Gayo (1998); Hakikat Nilai Budaya Gayo (1998);
nilai budaya Gayo, dimana terdapat satu nilai puncak
1001 Pepatah-Petitih Gayo (1993); Asal Linge
yang merupakan representasi kearifan lokal yang
Awal Serule (2002). Bersama Mahmud Ibrahim,
berbasis nilai-nilai Islami. Untuk memberi gambaran
Aman Pinan merampungkan seri buku mengenai
mengenai sistem nilai budaya Gayo, Melalatoa
Syariat dan Adat Istiadat Gayo sebanyak tiga
(1982) mendeskripsikan pada skema 1 berikut:
jilid (Ibrahim dan Pinan, 2002; 2005; 2010).
Sistem nilai budaya Gayo menempatkan
Sejumlah penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, dan
harga diri (mukemel) sebagai nilai utama. Untuk
disertasi juga dalam beberapa tahun terakhir mulai
mencapai tingkat harga diri tersebut, seseorang
menunjuk-kan perhatian mengenai aspek-aspek
harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah
kearifan masyarakat setempat, meskipun lebih
nilai penunjang: tertip, setie, semayang-gemasih,
banyak lagi aspek kearifan yang belum terungkap
mutentu, amanah, genap-mupakat, alang-tulung.
dan sebahagian diantaranya hilang tergerus
Untuk mewujudkan ke-tujuh nilai penunjang
perkembangan zaman.
perlu nilai penggerak, bersikekemelen. Berikut dikemukakan penjelasan singkat mengenai sistem
Kearifan Lokal masyarakat Gayo
nilai ini.
Sebagai entitas sosial yang dinamis, masyarakat Gayo mengkonstruksi kearifan lokal sebagai
Mukemel
pandangan-dunia memaknai realitas (Bowen,
Konsep mukemel berkenaan dengan harga diri.
1991). Kearifan lokal yang merupakan represen-tasi
Istiah kemel pada dasarnya berarti malu. Dalam
budaya sebuah komunitas diartikulasikan baik dalam
aplikasinya malu dipahami dalam makna yang
wujud kasat mata (tangible) maupun yang tidak
lebih luas, sehingga mencakup makna harga diri
kasat mata (intangible). Dalam klasifikasi sejumlah
atau iffah dalam konsep studi akhlak. Konsep ini
pakar, terdapat lima kategori kearifan lokal:
merujuk pada kemampuan menjaga diri agar tidak
pertama, kearifan yang berupa pandangan hidup
terjerumus pada pikiran dan tindakan yang dapat
(filosofi); kedua kearifan berupa sikap hidup sosial,
menyebabkan hilangnya harga diri. Seorang yang
nasihat dan iktibar yang diungkap dalam bentuk
mempunyai sikap mukemel konsisten memper-
pepatah, perumpamaan, pantun syair atau cerita
tahankan harga diri dengan mencegah diri atau
rakyat (folklor); ketiga, kearifan dalam seremoni
keluarganya terjebak pada perbuatan-perbuatan
atau upacara adat; keempat, kearifan berupa
tercela atau bertentangan dengan tuntunan agama
prinsip, norma, dan tata aturan yang berwujud
(syariat) dan norma kebiasaan (adat).
menjadi sistem sosial; dan kelima, kearifan berupa
Tertib
kebiasaan, prilaku sehari-hari dalam pergaulan
Kata ini berasal dari bahasa Arab, tartib, artinya
sosial (Rasyidin, Siregar dan Batubara, dalam Afif,
teratur atau berurutan. Dalam masyarakat Gayo,
Bahri dan Saeful, Ed., 2009).
tertib berkenaan dengan sikap hati-hati sehingga
Dalam konteks masyarakat Gayo, kearifan
tindakan dan perlakukan dilakukan dengan
lokalnya terangkum dalam konsep ¨ed¨et atau
memperhatikan konteks. Ungkapan bahasa Gayo
adat, yang meliputi praktik, norma, dan tuntutan
menyatakan, tertib bermejelis, umet bermulie
kehidupan sosial yang bersumber dari penga-laman
(artinya, keteraturan dalam kehidupan bersama
yang telah melalui islamisasi (Bowen, 2003). Wujud
merupakan prasyarat mewujudkan kemuliaan
kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat
umat). Ungkapan ini menegaskan bahwa dalam
Gayo meliputi bahasa Gayo, sistem tata kelola
sebuah komunitas yang beragam; baik ditinjau dari
pemerintahan (sarakopat), norma bermasyarakat
keahlian, minat, kecenderungan, pengalaman dan
(sumang), ekspresi estetik (didong), konsep nilai
perbedaan usia diperlukan tata tertib yang dapat
dasar budaya Gayo, dan lain-lain (Ibrahim dan
mengatur terwujudnya harmonisasi sosial.
Pinan, 2010; Melalatoa, 1982). Dimensi kearifan lokal dalam masyarakat Gayo terangkum dalam
Setie
nilai dasar budaya yang merepresentasikan filosofi,
Setie artinya mempunyai komitmen, teguh pendirian
pandangan hidup dan karakter ideal yang hendak di
atau setia. Kata ini merujuk pada sikap tidak mudah
593
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
Skema 1: Nilai Budaya Gayo Keterangan: M Mukemel St Setie Mt Mutentu Gm Genap-Mupakat Bs Bersikekemelen
Tp Sg An At
Tertip Semayang-Gemasih Amanah Alang-Tulung
merupakan tantangan yang perlu mendapat
sekolah (schools culture). Apabila sinergi ini berhasil
perhatian. Inventarisasi kearifan lokal berkaitan
dilakukan, harapan terwujudnya sekolah yang lebih
dengan bagaimana pendidik bersama stake-holders
nyaman dan berhasil membangun karakter peserta
pendidikan melakukan upaya identifikasi kearifan
didik tidak akan sebatas jargon dan menjadi bahan
lokal. Kearifan lokal yang telah tersisihkan akibat
diskusi yang hangat dalam seminar, simposium,
modernisasi dan homogenisasi pem-bangunan
tetapi nihil dalam pelak-sanaan.
berdampak semakin sedikitnya narasumber yang
Simpulan dan Saran
dapat dijadikan rujukan kearifan lokal, terlebih
Simpulan
kebanyakan kearifan lokal diwariskan melalui tradisi
Kompleksitas modernitas menuntut kreativitas
lisan. Tahap berikutnya adalah perlu dilakukan
berkesinambungan. Pendekatan homogen dalam
pemilahan aspek-aspek kearifan lokal apa saja
menyelesaikan masalah terbukti tidak membawa
yang paling mendesak dan relevan dikembangkan.
hasil maksimal. Upaya menggali warisan kearifan
Pemilihan materi ini diperlukan karena sekolah
lokal menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan
dengan misi besarnya (mempersiapkan peserta
dalam pendidikan karakter yang saat ini digulirkan
didik mendapat pekerjaan, penyiapan warga negara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional.
yang baik, wadah aktualisasi diri, dan lain-lain)
Indonesia sebagai negara yang sangat bervariasi
mempunyai keterbatasan waktu dan sumber daya.
ditinjau dari keragaman budaya, bahasa, sudah
Setelah memetakan kearifan lokal yang
seyogianya memperhatikan keunikan yang terdapat
dipilih sebagai basis pendidikan karakter, tahap
pada masing-masing komunitas. Tidak berarti
selanjutnya adalah bagaimana kearifan lokal
bahwa identitas sebagai satu bangsa tidak perlu,
tersebut diadaptasi sesuai realitas kekinian. Nilai
tetapi bagaimana mencari titik kesimbangan
mukemel dalam masyarakat Gayo misalnya, perlu
dalam memposisikan ke-bhineka-an dalam ke-
reinterpretasi sehingga relevan dengan kondisi
Ika-an. Untuk mewujudkan pendidikan yang lebih
saat ini. Persyaratan ini diperlukan agar dalam
‘membumi’ semestinya kearifan lokal diletakkan
mempelajari kearifan lokal pendidik dan peserta
sebagai basis model dan implementasi pendidikan
didik tidak terjebak pada penguasaan konsep,
karakter di tanah air.
tetapi kehilangan makna atau dalam penjelasan Sternberg (2003) disebutnya know what, tetapi
Saran
tidak know how. Dalam tahap aplikasinya, kearifan
Komitmen pemerintah menjadikan pendidikan
lokal harus menjadi sesuatu yang nyata ditunjuk-
karakter sebagai salah satu prioritas kebijakan
kan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kepen-
pendidikan nasional layak diapresiasi. Pengem-
didikan, sehingga benar-benar menjadi kultur 594
Al Musanna, Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter
menyerah demi memperjuangkan kebenaran. Dalam
persesuaian ucapan dan perbuatan, menegakkan
ungkapan Gayo disebutkan, ike jema musara ate,
keadilan, ikhlas dan jujur, mengendalikan hawa
ungke terasa gule. Ike geremusara ate, bawal
nafsu (Ibrahim dan Pinan, 2010).
terasa bangke, ungkapan ini bermakna kalau hati sudah sepakat sepahit apapun tantangan mudah
Genap-Mupakat
diselesaikan, sebaliknya apabila komitmen hilang
Genap-mupakat atau keramat-mupakat merupakan
persoalan kecilpun dapat memicu masalah yang
nilai budaya Gayo yang berkaitan dengan
lebih besar. Tantangan yang berat sekalipun akan
perwujudan harmoni sosial. Genap-mupakat
lebih mudah dihadapi apabila komitmen telah
merupakan pengejewantahan prinsip musya-warah
terbentuk di antara para pihak.
untuk mencari solusi terbaik. Hurgronje (1992) menyatakan bahwa masyarakat Gayo mempunyai
Semayang-gemasih
karakteristik sebagai orang republik yang bebas
Nilai budaya Gayo dalam konsep semayang-gemasih,
dan berani mengungkapkan pendapat tanpa
artinya kasih sayang. Konsep ini berkaitan dengan
terlalu terikat hierarki kekuasaan, sebagai-mana
prilaku terpuji dalam Islam, bahkan dua nama
berlaku dalam masyarakat feodal. Dalam perspektif
Allah yang baik (asmaul husna) dalam al-Qur’an
masyarakat Gayo, penggunaan musyawarah
adalah Maha Pengasih (al-Rahman) dan Maha
merupakan bagian penting dalam memutuskan
Penyayang (al-Rahim). Dalam ungkapan bahasa
persoalan yang menyangkut hajat hidup publik.
Gayo, nilai semayang-gemasih ini tercantum dalam pribahasa; kasih enti lanih, sayang enti lelang, yang
Alang-Tulung
berkaitan dengan pentingnya kemampuan bertindak
Nilai budaya Gayo lainnya adalah sikap tolong-
proporsional dalam berkasih sayang. Kasih sayang
menolong, sebagaimana tercermin dalam ungkapan
yang tidak diiringi pengetahuan dapat merusak,
alang-tolong berat-berbantu. Nilai ini menegaskan
misalnya terlalu memanjakan anak atau memberi
eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, manusia
disertai sikap merendahkan, pamer atau penyesalan
memerlukan interaksi sosial yang memungkinan
tidak akan mencapai taraf kesempurnaan kasih
proses memberi dan menerima (give and take,
sayang (Ibrahim dan Pinan, 2010).
bukan take and give sebagaimana sering disebut) sebagai perekat kohesi sosial.
Mutentu Nilai budaya mutentu sederhananya berarti rajin,
Bersikekemelen
pekerja keras, atau melaksanakan sesuatu sesuai
Untuk mengaktualisasikan sitim nilai-nilai budaya
aturan (rapi). Nilai ini memberi penekanan pada
Gayo, Melalatoa (1982) mengungkapkan kemesti-
pembentukan sikap tidak terburu-buru atau ceroboh,
an adanya nilai penggerak, bersikekemelen atau
tetapi berdasarkan perenungan dan perencanaan
sikap kompetitif dalam mengamalkan ke tujuh nilai
yang matang. Sifat ini merupakan indikator sangat
penunjang, dalam bahasa agama Islam dikenal
penting dalam menilai karakter dan mempengaruhi
dengan prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan,
kepercayaan orang lain. Seseorang yang terlanjur
fastabiqul khairat. Melalui nilai bersikekemelen, nilai-
melakukan perbuatan yang mencederai kepercayaan
nilai lainnya akan lebih kokoh. Prinsip berlomban
yang diberikan kepadanya akan cacat status
melakukan kebaikan mencakup upaya meningkat-
sosialnya dalam pergaulan.
kan martabat kehidupan, misalnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, perbaikan taraf ekonomi
Amanah
dan dalam mengamalkan ajaran agama.
Amanah berasal dari bahasa Arab, yang artinya terpercaya, jujur dan bertanggungjawab. Amanah
Implementasi Teaching for Wisdom dalam
berkaitan dengan kesesuaian antara ucapan
pendidikan Karakter
dan perbuatan, keselarasan antara idealitas dan
Kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter
realitas. Sifat amanah dibuktikan oleh kemampuan
tidak memadai sebatas konsep, upaya menter-
seseorang menunaikan tugas atau kepercayaan
jemahkan kearifan lokal yang telah melalui
yang diembankan secara bertanggungjawab,
inventarisasi, seleksi, adaptasi, dan aplikasinya
595
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
bangan konsep, model atau pendekatan untuk
Aspin, David N., Chapman, Judith D., Ed. 2007.
merealisasikan gagasan tersebut, perlu mendapat
Values Education and Lifelong Learning:
perhatian dari pihak-pihak yang terpanggil untuk
Principles, Policies, and Programmes.
turut serta berkontribusi dalam membenahi
Netherland: Springer.
teori dan praktik (praksis) pendidikan nasional.
Bowen, Jhon R. 1984. “The History and Structure
Penanggung jawab pendidikan nasional, khususnya
of Gayo Society: Variation and Change in
para pengambil kebijakan di Kementerian Pendidikan
Highland of Aceh” Dissertasi. Chichago:
dan Kebudayaan baik pada tingkat nasional,
University of Chicago.
regional dan daerah perlu memberi ruang lebih luas kepada berbagai komponen anak bangsa untuk mengembangkan pendekatan alternatif pendidikan karakter. Fasilitasi melalui pelatihan, pendampingan
Bowen, Jhon R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. New Haven: Yale University Bowen, Jhon R. 1993. Muslims Through
penelitian dan desiminasi model-model pendidikan
Discourse: Religion and Ritual in Gayo
karakter akan sangat menentukan masa depan
Society. New Jersey: Princeton University
praksis pendidikan karakter di Indonesia.
Press. Bowen, Jhon R. 2003. Islam, Law, and Equality
Pustaka Acuan
in Indonesia: An Anthropology of Public
Abubakar, Mustafa. 2010. “Membangun Semangat
Reasoning. Cambridge: Cambridge
Nasionalisme dengan Bingkai Kearifan Lokal Rakyat Aceh Tinjauan Ketahanan Pangan” [online]. Ttersedia: www.setneg.
University Press Creasy. 2008. “What is Character Educaton?” dalam Educational Policy, Volume 3 Nomor
go.id. [12 April 2011] 12, hal. 172-180 Dendy Sugono., Sugiyono., Meity Takdir Qudaratillah. 2008. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Dimenson, Sara, Ed. 2009. Character Is Key: How to Unlock the Best in Our Children and in Our Self. Ontario: John Wiley & Sons Canada. Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatera. Canberra: The Australian National University Eades, Domenyk., Hajek, John. 2006. “Gayo” dalam Journal of the International Phonetic Association. Volume 36 (1). Hal. 107-115 Gayatri, Irene Hiraswati, dkk., Ed. 2008. Runtuhnya Gampong di Aceh: Study Masyarakat Desa Yang Bergolak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanah Gayo dan Penduduknya. Terj. Budiman S. Jakarta: INIS Ibrahim, Mahmud. 2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Maqamammahmuda. Ibrahim, Mahmud., Pinan, A.R.Hakim Aman. 2002. Syari’at dan Adat Istiadat Jilid I. Takengon: Maqamammahmuda Ibrahim, Mahmud., Pinan, A.R.Hakim Aman. 2003. Syari’at dan Adat Istiadat Jilid 3. Takengon: Maqamammahmuda Ibrahim, Mahmud., Pinan, A.R.Hakim Aman. 2010. Syari’at dan Adat Istiadat Jilid 2. Cetakan ke-4. Takengon: Maqamammahmuda Kupperman. 1990. Character. New York: Oxford University Press Lang, Hellmut R., Evans, David N. 2006. Models, Strategies, and Methods for Effective Teaching. Boston: Pearson Education. Inc. Lickona, Thomas. 1991.. Educaton for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibilty. New York: Bantam Books Melalatoa, M. Junus. 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka Nucci, Larry P., Narvaez, Darcia, Ed. 2008. Handbook of Moral and Character Education. Washington: American Psychological Associaton
596
Al Musanna, Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter
Peterson, Christoper., Seligman, Martin E. P. 2004. Character Strenghts and Virtues: A Handbook and Classification. New York: Oxford University Press. Rasyidin, Al., Siregar, Parluhutan., Batubara, Khuzaimah. 2009. “Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Kehidupan Beragama di Medan: Studi Tentang Budaya Lokal di Medan” dalam Afif dan Bahri, Saeful. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia (2). Jakarta: Balitbang Kemenag. Reagen, Timothy. 2005. Non-Western Educational Traditions: Indigenous Approaches to Educational Thought and Practice. Third Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Rosenthal, Franz. 2003. Knowledge Thriumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. New York: Routledge Said, Muhammad. 1985. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Penerbit Waspada Sternberg, Robert J. 2009. “A Balance Theory of Wisdom” dalam Kaufman, James C., Grigorenko, Elena L. Ed., The Essential Sternberg: Essay on Intelligence, Psychology and Education. New York: Springer Publishing Company. Sternberg, Robert J. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synteshized. New York: Oxford University Press Sternberg, Robert J. 2004. “Wisdom and Giftedness” dalam Shavinina, Larisa V., Ferrari, Michel., Ed., Beyond Knowledge: Extra Cognitive Aspects of Developing High Ability. New Jersey: LawrenceErlbaum. Sternberg, Robert J. 2005. “Foolishness” dalam Sternberg, Robert J., Jordan, Jennifer. Ed. (2005). A Handbook of Wisdom: Psychological Perspective. Cambridge: Cambridge University Press. Sternberg, Robert J. 2010. “Academic Intelligence is Not Enough! WICS: An Expanded Model for Effective Practice in School and Later Life” dalam Preiss, David D., Sternberg, Robert J., Ed., Innovations in Educational Psychology: Perspective on Learning, Teaching and Human Development. New York: Springer Publishing Company. Sternberg, Robert J., Grigorenko, Andrey. 2004. Culture and Competence: Contexts of Life Success. Washington: American Psychological Association Sternberg, Robert J., Jarvin, Linda., Reznitskaya, Alina. 2008. “Teaching for Wisdom Through History: Infusing Wise Thinking Skills in School Curriculum” dalam Ferrari, Michel., Potworowski, Georges., Ed., Teaching for Wisdom: Cross-Cultural Perspectives on Fostering Wisdom. Netherland: Springer Sternberg, Robert J., Jordan, Jennifer. Ed. 2005. A Handbook of Wisdom: Psychological Perspective. Cambridge: Cambridge University Press. Sternberg, Robert J., Kaufman, Scott Barry., Ed. 2011. The Cambridge Handbook of Intelligence. Cambridge: Cambridge University Press. Syukri. 2007. Sarakopat: Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bandung: Citapustaka Media
597
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 6, Novtember 2011
598