Case Study : Pembuatan Kebijakan Kesehatan
Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008
Daftar Isi Kata Pengantar............................................................................................................................i Problem Overview ......................................................................................................................1 Pertanyaan .................................................................................................................................1 Naskah Akademik.......................................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................2 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................2 1.2 Tujuan..........................................................................................................................5 BAB II SITUASI PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH SAAT INI ........................................................................................6 2.1 Belanja Pusat...............................................................................................................6 2.2 Belanja Daerah ............................................................................................................7 2.3 Permasalahan-Permasalahan Dalam Pelaksanaan Dan Penerapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 .......................................................................................................8 BAB III LANDASAN HUKUM...............................................................................................13 3.1 Landasan Kontitusional..............................................................................................13 3.2 Peraturan Perundangan Terkait.................................................................................14 BAB IV ANALISA BAHASAN...............................................................................................16 4.1 Dana Program Kementerian/Lembaga/Departemen (Pusat) .....................................17 4.2 Dana Program Provinsi..............................................................................................17 4.3 Dana Program Kabupaten/Kota .................................................................................18 Pertanyaan ...............................................................................................................................20 Rancangan Undang-undang RI Tentang Perubahan Undang-Undang No.33/2004 .................21 Penutup ....................................................................................................................................35 Kesimpulan ..........................................................................................................................35 Saran....................................................................................................................................35 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................36
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di sektor kesehatan. Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan. Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem Kesehatan, Wiku Adisasmito (2007), Making Health Policy, Kent Buse, et al (2006), The Health Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power, Gill Walt (1994), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Syamsir, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 2006/2007 yang telah membantu menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Depok, 27 Februari 2008
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
i
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Oleh: Wiku Adisasmito dan Syamsir
Problem Overview Sampai saat ini pendanaan kesehatan berasal dari APBN, APBD, Hibah, Pinjaman Luar Negeri. Dari dari APBN dalam bentuk dana perimbangan yang tertuang dalam UU No. 33 tahun 2004 adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH). Dana dari APBN juga ada namanya dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan. Namun untuk peruntukannya sudah diarahkan dari pusat. Alokasi anggaran kesehatan rendah di masing-masing daerah dimungkinkan karena aturan yang dibuat belum mengikat pemerintah daerah. Tidak ada aturan dan sanksi yang jelas berapa seharusnya anggaran kesehatan berapa presentase seharusnya dana promotif dan preventif, dan berapa persentase untuk dana kuratif dan rehabilitatif.
Pertanyaan 1. Apa yang melatarbelakangi pembuatan naskah akademik tersebut? 2. Apa yang menjadi tujuan pembuatan naskah akademik tersebut? 3. Apa landasan konstitusional dan landasan hukum lainnya yang mendasarinya?
1
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Naskah Akademik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas bahwa cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional itu adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bedasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan kesehatan. Upaya kesehatan pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, pereventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Berbagai peraturan yang telah dibuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di atas mulai dari UU Kesehatan, Sistem Kesehatan Nasional ( 2004), Rencana Strategis Departemen Kesehatan (2005 - 2009), Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (Kepmenkes No.1457/Menkes/SK/X/2003). Namun sampai saat ini indikator yang telah ditargetkan masing-masing program tersebut belum tercapai. Hal tersebut dimungkinkan salah satunya adalah pembiayaan yang disusun kurang menyentuh program pembangunan kesehatan yang telah dibuat yaitu yang mengutamakan upaya promotif dan preventif serta tidak mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Sampai saat ini pendanaan kesehatan berasal dari APBN, APBD, Hibah, dan Pinjaman Luar Negeri. Dari APBN dalam bentuk dana perimbangan yang tertuang dalam UU No. 33 tahun 2004 adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH). Dana dari APBN juga ada namanya dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan. Namun untuk peruntukkannya sudah diarahkan dari pusat. Dana alokasi khusus sesuai dengan pasal 3 bab II Permenkeu/128/PMK.07/2006 dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintah daerah, serta lingkungan hidup. Bidang kesehatan dijelaskan pada ayat 2 pasal 6 BAB IV bagian kedua Permenkeu/128/PMK.07/2006 penggunaan DAK diarahkan untuk kegiatan fisik. Dengan demikian dana DAK tidak mengarah kepada prioritas pembangunan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif. Dana tugas pembantuan sebagaimana dijelaskan pada ayat 7 pasal 94 BAB XI bagian 1 bahwa pendanaan tugas pembantuan adalah dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Berarti dana tugas pembantuan yang berasal dari kementerian lembaga (Depkes) tidak dapat mengakomodir prioritas pembangunan kesehatan yaitu bersifat promotif dan preventif.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
2
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Untuk dana dekonsentrasi sesuai dengan ayat 7 pasal 87 BAB X bagian satu menjelaskan bahwa pendanaan untuk dana dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non fisik. Walaupun demikian berapa besar masing-masing propinsi atau kabupaten atau kota mendapatkannya, belum ada peraturannya saat ini. Demikian halnya dengan pengalokasian dana dekonsentrasi untuk masing-masing Departemen pengaturannya juga belum ada. Dana dekonsentrasi yang penyalurannya melalui dana Gubernur, khusus bidang kesehatan Gubernur menujuk Kepala Dinas Kesehatan sebagai SKPD. Permasalahan yang muncul di daerah adalah berapa besar masing-masing Kabupaten atau kota untuk mendapatkan dana dari dekonsentrasi dan dasar pengalokasiannya masing-masing program kesehatan sampai saat ini belum ada aturannya. Permasalahan lain yang muncul adalah kepada realisasi penyerapan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan beragam masing-masing propinsi, dan bahkan beberapa propinsi menunjukkan presentase penyerapannya yang rendah. Hal ini dimungkinkan karena: (1) kurang selarasnya perencanaan pembiayaan dan program pembangunan kesehatan yang selama ini dilakukan Pusat-Daerah; (2) kurangnya koordinasi penyusunan, pelaksanaan dan pemeliharaan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (3) kapasitas SKPD dan sumber daya yang masih belum memahami sepenuhnya regulasi, input, proses dan output dari kegiatan dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Terjadinya tumpang tindih anggaran dapat terjadi karena dana dekonsentrasi tidak masuk ke dalam APBD. Hal ini terungkap oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang meminta pemerintah pusat memasukkan dana dekonsentrasi tahun anggaran 2007, pada struktur APBD. Hal itu guna menjamin tidak adanya tumpang tindih penganggaran kegiatan pembangunan, serta memaksimalkan pengawasan penyerapan dana di seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Jabar. (Koran Pikiran Rakyat, Rabu, 13 Des 2006). Demikian juga diungkapkan Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim, usai Rapat Paripurna DPRD Jabar tentang pandangan fraksi-fraksi terhadap Raperda APBD Jabar 2007 di Gedung DPRD Jabar, Selasa (12/12). "Dana dekonsentrasi itu langsung disalurkan pusat ke SKPD-SKPD yang ada di lingkungan Pemprov Jabar. Gubernur dan wakil gubernur tidak pernah dilibatkan di dalamnya, padahal jumlahnya sangat besar, hampir menyamai APBD kita. Di sisi lain, kita mesti mempertanggungjawabkan penyerapan dana tersebut," ujarnya. Dana alokasi khusus merupakan dana dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan merupakan prioritas nasional. Di mana pengalokasian DAK kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, Menteri Teknis terkait, dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. APBD untuk kesehatan masih sangat minim sekali. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pengalokasiaan dana kesehatan dari APBD masih sangat kurang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujianto, 2001 menunjukkan bahwa alokasi belanja pembangunan pemerintah provinsi untuk kesehatan sangat rendah. Belanja pembangunan kesehatan rata-rata hanya menghabiskan 2,23 persen (1,02 persen sampai dengan 3,01 persen) dari total pendapatan APBD provinsi. Jika dibandingkan dengan total belanja pembangunan, pemerintah provinsi rata-rata mengalokasikan 4,85 persen (kisaran 1,72 sampai dengan 9,87 persen) dari total belanja pembangunannya untuk belanja pembangunan kesehatan. Dalam penelitian yang sama hasil data dari tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan 2000 menunjukkan rendahnya alokasi belanja pembangunan kesehatan dari pemerintah kabupaten atau kota. Rata-rata proporsi belanja pembangunan
3
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
kesehatan terhadap total pendapatan pemerintah kabupaten atau kota hanya 1,97 persen (kisaran 0,10 persen – 5,33 persen). Jika dibandingkan dengan total belanja pembangunan dan PAD, proporsi alokasi belanja pembangunan kesehatan berturut-turut adalah 5,80 persen (kisaran 3,51 persen – 12,14 persen) dan 6,8 persen (kisaran 3,27 persen – 17,51 persen). Hasil penelitian Septo M., 2006 di Kabupaten/kota Rejang Lebong juga menunjukkan rendahnya alokasi anggaran kesehatan dari APBD yakni tahun 2006 sebesar Rp11.489.636.150,- meliputi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Dibandingkan dengan total APBD Kabupaten/kota Rejang Lebong tahun 2006 sebesar Rp257.713.007.168,31,- maka anggaran Dinas Kesehatan hanya sebesar 4,5 %. Penelitian yang dilakukan oleh Zuliyar, Edwar, 2007 di Kabupaten/kota Musi Rawas Sumatera Selatan menunjukkan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 rata-rata biaya rutin dan biaya pembangunan kesehatan yang dialokasikan pada Dinas Kesehatan dan RSUD Kabupaten/kota Musi Rawas dalam kurun waktu lima tahun tersebut adalah 7,9% dari total APBD, sedangkan untuk biaya pembangunan (di luar rutin) sebesar 2,5 % dari total APBD. Alokasi anggaran kesehatan rendah di masing-masing daerah dimungkinkan karena aturan yang dibuat belum mengikat pemerintah daerah. Tidak ada aturan dan sanksi yang jelas berapa seharusnya anggaran kesehatan berapa presentase seharusnya dana promotif dan preventif, dan berapa persentase untuk dana kuratif dan rehabilitatif. Kalau dilihat dari tujuan pembangunan kesehatan yang dijabarkan pada Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005 – 2009 adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggin-tingginya. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mencapai sasaran sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasionl (Perpres No. 7 Tahun 2005), yaitu: (1) Meningkatkan umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; (2) Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; (3) Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak Balita dari 25,8 % menjadi 20,0%. Tujuan ini sulit tercapai tanpa adanya pengaturan yang jelas pendanaan kesehatan di daerah. Sedangkan pembiayaan kesehatan yang kita hadapi saat ini terutama di daerah yang APBD rendah pengalokasi anggaran untuk kesehatan sangat kurang sebagaimana dijelaskan beberapa penelitian di atas. Dengan dana alokasi khusus yang cukup besar sebenarnya dapat memberi arti bagi daerah-daerah yang kurang mampu untuk meningkatkan pembiayaan kesehatannya. Namun hal ini tidak dapat dilakukan dikarenakan kegiatan bidang kesehatan telah diarahkan untuk hanya kegiatan fisik saja sedangkan untuk program yang selama ini kekurangan terus menerus tidak diarahkan. Dalam Suara Pembaruan Daily ditemukan penjelasan bahwa pemerintah pusat hendaknya memperhatikan usulan dari daerah dalam mengalokasikan dana untuk bidang kesehatan. Penyaluran dana bantuan tersebut sangat terkait dengan proses pelayanan di daerah. Tidak seharusnya terjadi pemberian dana atau bantuan barang kepada satu daerah, tetapi barang tersebut tidak bisa digunakan karena kondisi daerah tersebut memang tidak membutuhkan. Sebagaimana pernyataan dari salah seorang direktur rumah sakit "Dengarkan usulan kami di daerah karena kamilah yang mengetahui secara tepat apa yang dibutuhkan rakyat di daerah. Jangan sampai peristiwa tahun lalu. Barang yang dipesan dari pusat belum tentu menjadi kebutuhan kami di daerah. Kalau pusat main drop, amat disayangkan karena barang tersebut dapat saja tidak bisa dimanfaatkan," kata Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende, dr Gusti Ngasu MMR. Untuk mengusulkan dalam bentuk proposal supaya Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi yang akan diberikan pemerintah pusat sesuai dengan usulan daerah. Dengan begitu pemerintah pusat tidak asal saja memberikan bantuan. Pengalokasian
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
4
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
dana, khususnya untuk bidang kesehatan, harus sesuai dengan usulan daerah. Daerah dapat menolak bantuan barang yang ternyata tidak sesuai dengan usulan daerah. Di samping permasalahan di atas bahwa masing-masing daerah harus menganggarkan 10% dari dana DAK yang diterima dari pusat yang tujuannya adalah diperuntukkan untuk dana pendamping. Bagi daerah yang APBDnya rendah ini sangat mempengaruhi pengalokasian anggaran dari program lain, sehingga dana untuk program pembangunan lain diambil untuk pendamping dana DAK ini. Begitu juga tentang penetapan peruntukan penggunaan dana sudah ditetapkan dari pusat (departemen teknis terkait) sehingga kadang kala tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masing-masing daerah. Dengan adanya permasalahan-permasalahan di atas maka perlu adanya perubahan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 1.2 Tujuan Tujuan dari penyusunan naskah akademis ini adalah sebagai panduan untuk menyusun Perubahan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
BAB II SITUASI PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH SAAT INI
Situasi perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini dapat dilihat dalam bagan 2.1 di bawah ini. Bagan 2.1 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU NO.33 Tahun 2004)
ANGGARAN PERIMBANGAN KEUANGAN DALAM APBN Pemerintah Nasional
Daerah DANA DANA DEKONSENTRASIU DEKONSENTRASIU DAN DAN TUGAS TUGAS PEMBANTUAN PEMBANTUAN
ANGGARAN ANGGARAN KEMENTERIAN KEMENTERIAN
BELANJA BELANJA PUSAT PUSAT
BELANJA BELANJA LAINNYA LAINNYA
PENDAPATAN DAERAH
APBN DANA DANA PERIMBANGAN PERIMBANGAN
BELANJA BELANJA DAERAH DAERAH
• DBH • DAU • DAK
DANA DANA OTONOMI OTONOMI KHUSUS KHUSUS
PAJAK SDA
PENGELUARAN DAERAH
APBD
PEMBIAYAAN
DANA DANA PENYESUAIAN PENYESUAIAN
Sumber : Hasil pengolahan dari UU No. 33 2004
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dapat dijelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN dibagi dalam 2 (dua) anggaran, yaitu: 2.1 Belanja Pusat Belanja pusat adalah anggaran belanja yang dipergunakan untuk kegiatan pemerintah pusat dan sebagai pemegang kekuasaan pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Belanja pusat di dalam UU No. 33 tahun 2004 terdiri dari: 1. Anggaran Kementerian
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
6
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Anggaran kementerian merupakan belanja yang dilimpahkan Pemerintah Republik Indonesia (Presiden) kepada Lembaga atau Departemen atau Kementerian untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan pendanaan dari belanja pusat. Anggaran kementerian terdiri dari: Dana Dekonsentrasi Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Dengan demikian dana dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana dekonsentrasi dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat non fisik. Tugas Pembantuan Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Dengan demikian dana tugas pembantuan juga merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Dana tugas pembantuan dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat fisik. 2. Belanja Lainnya Belanja Daerah Belanja daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang bersangkutan. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Sedangkan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa belanja daerah terdiri dari: 1. Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari: Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil berasal dari: Pajak Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Sumber Daya Alam Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari: a. Kehutanan; b. Pertambangan umum; c. Perikanan;
7
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
d. Pertambangan minyak bumi; e. Pertambangan gas bumi; dan f. Pertambangan panas bumi. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tetentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara atau departemen teknis. Dana alokasi khusus dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat fisik. 2. Dana Otonomi Khusus 3. Dana Penyesuaian Keseluruhan dana baik dana perimbangan (DBH, DAU, DAK), dana otonomi khusus dan dana penyesuaian menjadi Pendapatan Asli Daerah dan dijadikan sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dapat dimanfaatkan sebagai biaya atau anggaran untuk kegitaan di daerah sesuai dengan peruntukannya. 2.2 Permasalahan-Permasalahan dalam Pelaksanaan dan Penerapan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Banyak permasalahan-permasalahan di dalam pelaksanaan dan penerapan UU No.33 tahun 2004. Adapun permasalahan-permasalahan yang mucul dalam pelaksanaan dan dekonsetrasi dan TP adalah sebagi berikut: 1. Hasil penggalian mensiratkan (mengindikasikan) adanya kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Kelemahan-kelemahan ini dapat diartikan sebagai kerancuan, kekurangpahaman dan ketidakjelasan dalam pengaturan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang antara lain dirangkum sebagai berikut: Indikasi Upaya Meningkatkan Penerimaan Dana di Daerah Tinjauan atas rincian kewenangan dalam regulasi yang mendukung aspek hukum bagi kegiatan bersifat pembangunan di daerah, yakni PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952), terlihat bahwa selama ini jumlah anggaran yang dialokasikan kepada kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, selain di dalam cakupan 5 (lima) kewenangan, ditujukan kepada kegiatan yang lebih bersifat perencanaan, koordinasi, penetapan pedoman, perizinan dan fasilitasi
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
8
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
sehingga jumlah alokasi anggaran bagi kegiatan pembangunan (fisik) itu sendiri relatif sangat kecil. Padahal di sisi lain, walaupun tidak terungkap, terdapat keinginan Pemda baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota untuk sebanyak-banyaknya mendapatkan dana pembangunan bagi daerahnya yang dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi salah satu pilihan alternatif. 1.1 Belum terdapat peraturan yang membedakan jumlah anggaran Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan antara daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan PAD yang tinggi dan PAD yang rendah. 1.2 Beragamnya penyerapan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, bahkan realisasi di beberapa provinsi menunjukan persentase penyerapan yang rendah (gambar 2.1 dan tabel 2.1).
100
%
%
50
Realisasi Dana Tugas Pembantuan
70
80
90
25 12 31 22 10 17 16 21 1820 5 7 30 8 3 24 4 2611 2 13 19 9 15 29 14 33 0 10 20 501 30 40 70 80 90 100 6 Realisasi Dana Dekonsentrasi 28
10
27
23
20
30
40
32
Gambar 1.1: Realiasi Penyerapan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan TA 2006
Tabel 2.1: Realiasi Penyerapan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan TA 2006
9
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Kode Propinsi
Dekonsentrasi Alokasi Realisasi 2,689,774,312 1,961,968,570 DAERAH 1 DKI Jakarta 27,986,893 14,656,735 2 Jawa Barat 279,107,199 164,673,247 3 Jawa Tengah 177,529,538 152,675,402 4 DI Yogyakarta 65,260,885 44,038,045 5 Jawa Timur 390,089,052 358,842,918 6 NAD 110,830,753 67,130,187 7 Sumatera Utara 216,093,427 130,995,835 8 Sumatera Barat 68,168,620 49,367,714 9 Riau 56,758,513 44,839,225 10 Jambi 52,858,495 40,045,595 11 Sumaera Selatan 55,174,418 47,885,877 12 Lampung 110,212,814 59,944,749 13 Kalimantan Barat 71,164,591 54,825,200 14 Kalimantan Tengah 47,877,925 38,690,151 15 Kalimantan Selatan 38,031,825 30,661,257 16 Kalimantan Timur 55,680,976 34,744,929 17 Sulawesi Utara 55,611,940 52,720,119 18 Sulawesi Tengah 61,664,873 51,447,003 19 Sulawesi Selatan 67,727,040 56,504,669 20 Sulawesi Tenggara 49,265,808 42,536,066 21 Maluku 47,128,400 35,393,428 22 Bali 49,964,949 34,380,881 23 NTB 47,182,250 36,453,009 24 NTT 98,171,598 68,386,335 25 Papua 78,123,517 60,178,545 26 Bengkulu 57,878,088 46,684,465 27 Maluku Utara 37,068,689 19,011,964 28 Banten 76,286,706 45,091,884 29 Bangka Belitung 24,929,930 16,493,641 30 Gorontalo 25,243,492 16,493,641 31 Kepulauan Riau 29,104,264 17,514,945 32 Irian Jaya Barat 51,397,754 23,773,464 33 Sulawesi Barat 10,199,090 4,887,445 TOT AL 9,777,774,987 7,161,263,495 Sumber : Departemen Keuangan RI, 2007 Nama Propinsi
% 72.94 52.37 59.00 86.00 67.48 91.99 60.57 60.62 72.42 79.00 75.76 86.79 54.39 77.04 80.81 80.62 62.40 94.80 83.43 83.43 86.34 75.10 68.81 77.26 69.66 77.03 80.66 51.29 59.11 66.16 65.34 60.18 46.25 47.92 73.24
Tugas Pembantuan Realisasi 2,777,000 1,693,970 117,613,703 94,090,962 141,085,000 124,493,404 16,244,129 13,502,120 222,829,518 208,924,956 59,458,000 34,830,496 80,826,000 75,022,693 45,500,000 39,193,700 52,619,000 39,616,845 41,769,000 40,010,525 81,381,244 65,715,354 28,014,000 27,708,647 37,118,000 29,553,351 60,486,000 40,011,489 46,322,000 32,531,940 39,740,000 37,796,714 32,847,000 32,462,690 43,187,000 41,779,714 122,950,042 98,544,458 32,321,319 31,338,750 80,468,000 75,688,200 27,541,500 26,726,271 85,538,107 24,806,051 69,374,000 59,911,386 34,592,000 34,474,387 40,067,608 32,158,262 93,716,900 70,390,763 42,570,000 19,560,915 29,045,620 20,436,498 34,650,000 30,710,295 17,342,000 16,735,030 24,621,600 11,286,541 52,688,402 34,358,106 1,937,303,692 1,566,065,483 Alokasi
Rendahnya realisasi ini mengindikasikan kemungkinan terjadinya: Kurangnya selarasnya perencanaan pembiayaan dan program pembangunan yang selama ini dilakukan Pusat-Daerah. Kurangnya koordinasi penyusunan, pelaksanaan dan pemeliharaan program dan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Kapasitas SKPD dan sumber dayanya yang masih belum memahami sepenuhnya regulasi, input, proses, dan pengelolaan output dari kegiatan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 2. Pelaporan yang dibuat oleh SKPD sesuai regulasi ada 3 (tiga), yakni (i) pelaporan perencanaan pembangunan (PP No. 39/2006); (ii) pelaporan kinerja (LAKIP) – (Inpres
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
10
% 61.00 80.00 88.24 83.12 93.76 58.58 92.82 86.14 75.29 95.79 80.75 98.91 79.62 66.15 70.23 95.11 98.83 96.74 80.15 96.96 94.06 97.04 29.00 86.36 99.66 80.26 75.11 45.95 70.36 88.63 96.50 45.84 65.21 80.84
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
No. 7/1999); dan (iii) pelaporan keuangan (PP No. 8/2006). Pada umumnya setiap SKPD berupaya untuk memenuhi pelaporan keuangan kepada Departemen Keuangan mengingat pelaporan keuangan ini akan berpengaruh pada proses dan besaran perolehan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tahun selanjutnya. Tetapi pelaporan keuangan tersebut kurang mencerminkan output yang diperoleh atas pembelanjaan dana SKPD. Untuk itu diperlukan kajian mendalam atas ke-3 bentuk pelaporan yang disiapkan SKPD. 3. Dari beberapa Hasil Laporan Pemeriksaan (LHP/LHA) terungkap beberapa kelemahan di beberapa SKPD yang dapat dijadikan rujukan dalam membangun kajian ini. Kelemahan-kelemahan tersebut dirangkum antara lain sebagai berikut: a. Pelaporan keuangan sesuai SAI menuntut pembukuan yang detail dan jelas karena pelaporan keuangan ini [PP No. 8/2006] terdiri dari: (i) Laporan Realisasi Anggaran; (ii) Neraca; (iii) Laporan Arus Kas; dan (iv) Catatan atas Laporan Keuangan. Bahkan pada Permenkeu No.59/PMK.06/2005 pelaporan keuangan dituntut lebih rinci, yakni SAI dan SABMN. Kurang detailnya pelaporan keuangan [misal neraca beberapa SKPD] kepada Departemen Kesehatan berakibat neraca Departemen Kesehatan tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya. b. Berkaitan laporan SABMN mengenai status barang hasil pengadaan pelaksanaan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, UU No. 33 Tahun 2004 pada Pasal 91 dan 98 menyatakan bahwa semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan menjadi Barang Milik Negara dan dapat dihibahkan kepada daerah. Barang milik Negara yang dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh daerah sedangkan Barang Milik Negara yang tidak dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang. Bilamana pelaporan ini tidak detail, maka untuk jangka panjang ketidakjelasan posisi aset (barang) dapat mengurangi kualitas aset tersebut karena depresiasi aset tersebut (mungkin) tidak dipenuhi dengan bentuk pemeliharaan yang sesuai. c. Adanya kegiatan pengadaan (mulai dari pelelangan hingga penyelesaian kontrak) yang belum mengikuti sepenuhnya PP No.80/2003 tentang peraturan pelelangan. 4. Temuan dari NTB untuk Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan: a. Dalam rangka evaluasi dana dekonsentrasi tahun 2007, pemerintah daerah NTT melalui Biro Bina Penyusunan Program membuat parameter sederhana pencapaian program. Dari parameter yang dibuat tersebut dinas kesehatan NTT masuk dalam kategori sangat rendah karena penyerapan dananya baru 19,62% dan realisasi pelaksanaan fisik baru mencapai 19.62 dari target sebesar 21.58. b. Adanya kantor daerah dan kantor pusat menyebabkan desentralisasi berjalan setengah hati. Hal ini diindikasikan salah satunya dari proporsi alokasi pendanaan yang diterima daerah. c. Masih ditemukan pendanaan dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan fisik dan pendanaan tugas pembantuan yang dialokasikan untuk kegiatan non-fisik. Contohnya pengadaan alat kedokteran kesehatan dan KB 40 paket dengan dana Rp1.500.000.000,-. d. Belum efektifnya sinkronisasi antara program atau kegiatan yang dibiayai dari APBD dan program atau kegiatan yang dibiayai APBN (dekon/TP). Pembahasan APBD 2008 direncanakan pada bulan November 2007 dan ditetapkan pada akhir Desember 2007. Namun sampai pada petengahan November 2007 belum ada satupun kementrian yang menyampaikan rencana kerja dan anggaran kementrian negara atau lembaga yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi dan tugas
11
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
pembantuan di daerah sehingga Gubernur Belem dapat menyampaikan dokumen rencana tersebut lepada DPRD pada saat pembahasan APBD. e. Hingga saat ini pemerintah propinsi NTT Belem membentuk UAPPAW-DK/TP dan UAPPBW-DK/TP sebagai konsekuensi dari permenkeu No.59/PMK.06/2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang sistem akuntansi dan pelaporan Pemerintah Pusat dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.PER-24/PB/2006 tanggal 31 Mei 2006 tentang pelaksanaan penyusunan laboran keuangan kementrian atau lembaga. Hal ini mengakibatkan Belem optimalnya kinerja penggabungan laboran keuangan dan barang dari seluruh SKPD Pengelola dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di NTT yang diindikasikan oleh: 1) Penyampaian laporan dari SKPD tidak tepat waktu. 2) Rekonsilisasi data dengan kanwil XXII DJPb Kupang tidak dapat dilakukan. 3) Laporan keuangan SKPD yang merupakan bagian dari laporan keuangan pemerintah pusat diberi opini disclaimer (menolak memberi pendapat) oleh BPK RI selama tahun anggaran 2004, 2005, dan 2006. f. Juklak/Juknis atau dokumen perencanaan lanilla Belem atau terlambat diterima dari pusat. Dokumen POK dan time schedule program manajemen pembangunan kesehatan baru selesai disusun dan diserahkan ke PPK pada pertengahan Juni sehingga kegiatan dilaksanakan pada awal Juli 2007. 5. Temuan di Sulawesi Selatan: a. Dana Tugas Pembantuan yang dikelolah oleh RS Kabupaten atau kota melalui provinsi sedangkan yang seharusnya dari kementerian lembaga langsung ke Gubernur/Bupati/Desa. b. Keterlabatan pembuatan SK SKPA sehingga pelaksanaan kegiatan terlambat. c. Proses administrasi untuk kegiatan dana dekonsentrasi sering terlambat dikarenakan Pembuat Komitmen adalah eselon III yang sering tidak ada di tempat karena kesibukan dengan tugas lain. d. Ada beberapa program dari sekian prioritas tidak terpenuhi. 6. Alokasi anggaran kesehatan rendah di masing-masing daerah dimungkinkan karena aturan yang dibuat belum mengikat pemerintah daerah. 7. Tidak aturan dan sanksi yang jelas berapa seharusnya anggaran kesehatan berapa presentase seharusnya dana promotif dan preventif, dan berapa persentase untuk dana kuratif dan rehabilitatif.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
12
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
BAB III LANDASAN HUKUM 3.1 Landasan Kontitusional Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indoensia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Dan demi terwujudnya NKRI maka perlu pengaturan kewenangan antara pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan kota atau antara provinsi dan kabupaten/kota dan kota sebagaimana dijelaskan Pasal 18 yang berbunyi: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten/kota, dan kota mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kota mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang. Kemudian Pasal 18A menjelaskan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dan kota, antara provinsi dan kabupaten/kota dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Pasal 20 menjelaskan bahwa : (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 21 menjelaskan bahwa: (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
13
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Dalam hal keuangan dijelaskan Pasal 23 yang berbunyi: (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (2) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (3) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaam, efsisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 34 menjelaskan: (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 3.2. 3.2.1
Peraturan Perundangan Terkait Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada huruf a. menimbang, secara garis besar menggarahkan pada dua hal, yaitu: Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah. Otonomi daerah menempatkan daerah sebagai penyelenggara pemerintah bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat guna meningkatkan daya saing daerah menghadapi peluang dan tantangan globalisasi dalam kesatuan Negara Republik Indonesia. Hal ini menuntut tiap daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah harus menyelenggarakan pemerintahan secara efisien dan efektif. Kebijakan otonomi daerah dalam pelaksanaan mengacu kepada Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom dan Peraturan Pemerintah No.84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, menempatkan daerah sebagai pelaksana pembangunan, perencana sekaligus penyedia dana sehingga daerah memiliki peran sentral dalam sistem pembangunan di wilayah. Laporan WHO (2000) membedakan peran pemerintah sebagai pengarah (stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan regulasi) dan yang diregulasi (pelaku pelayanan kesehatan). Peran pengarah mencakup 3 aspek utama :
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
14
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan. 2. Menjamin keseimbangan antar berbagai key player dalam sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien). 3. Menetapkan perencanaan strategis bagi seluruh sistem kesehatan.
15
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
BAB IV ANALISA BAHASAN
Berdasarkan berbagai permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan dan penerapan UU No.33 Tahun 2004, maka perlu dilakukan suatu perubahan-perubahan beberapa pasal demi terwujudnya efisien dan keefektifan dana APBN. Dana Dekonsentrasi, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Tugas Pembantuan yang terdapat di dalam BAB IV Bagian Ketiga Pasal 27 sampai dengan pasal 36, BAB IV Bagian Keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 42, BAB X Bagian Kesatu Pasal 87 sampai dengan Pasal 39, BAB XI Bagian Kesatu Pasal 94 sampai dengan Bagian Keenam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dihapuskan. Maka APBN disebutkan sebagai Dana Pemerintah yang dibagi dalam 2 (dua) belanja, yaitu: A. Dana Alokasi Dasar (43 %) Dana alokasi dasar adalah dana yang berasal dari APBN yang dihitung berdasarkan jumlah Pegawai Negeri Sipil dan tunjangan lainnya baik di Kementerian/Lembaga/Departemen, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tahun 2007 jumlah APBN lebih kurang 700 Triliun dihabiskan untuk dana di luar dana pembangunan adalah 300 Triliun sehingga diasumsikan untuk dana alokasi dasar dapat dipergunakan setiap tahunnya dari APBN adalah 43%. Dari jumlah dana alokasi dasar dibagikan kepada Kementerian/Lembaga/Departemen, Provinsi, Kabupaten/Kota yang penyalurannya setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari dana alokasi dasar tersebut. Dana alokasi dari dipergunakan untuk gaji pegawai, tunjangan jabatan, dan tunjangan fungsional pegawai sesuai dengan pangkat dan jabatannya masing-masing. B. Dana Program Pada tahun 2007 jumlah dana untuk pembangunan adalah lebih kurang 400 Triliun, maka dana program dapat dialokasikan setip tahunnya lebih kurang 57% dari dana APBN. Dana program adalah dana yang berasal dari APBN untuk melaksanakan kegiatan program dan tidak termasuk dana alokasi dasar. Dari besaran dana program dibagikan ke Departemen/Lembaga/Kementerian (Dana Program Pusat), Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan jumlah lokasi, jarak/transportasi, wilayah pembinaan, beban kerja tanggung jawab, sebagai berikut:
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
16
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Tabel 4.1 Besaran Bobot Dana Program Dari APBN Untuk Masing-Masing Tingkatan Sumber : Asumsi Penulis Transportasi Tingkatan
Jumlah
%
% PP
1 Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Total
2 195 33 434 662
Banyak Wilayah
Beban Kerja/ %
Binaan
3
4
5
29 5 66 100
3,000,000 1,500,000 700,000 5,200,000
58 29 13 100
6 33 434 2170 2637
7 1 16 82 100
Tanggung Jawab 8 50 30 20 100
Bobot Akhir 3+ 5+ 7+ 8 138 80 181 400
Dilihat dari table 4.1 dapat diasumsikan kebutuhan dana program masing-masing tingkatan adalah Dana Program Pusat 35% (tiga puluh lima persen) dari APBN, Dana Program Provinsi 20% (dua puluh persen) dari APBN, dan Dana Program Kabupaten/Kota 45% (empat puluh lima persen) dari APBN. 4.1 Dana Program Kementerian/Lembaga/Departemen (Pusat) Dana program pusat dipergunakan untuk kegiatan program yang terdiri dari dana investasi, operasional (selain gaji/tunjangan), dan untuk pemeliharaan. Besaran dana program pusat masing-masing Departemen/Kementerian/Lembaga dibagi secara merata di 195 Departemen/Lembaga/Kementerian, kecuali Dana Program Departemen Kesehatan dan Pendidikan Nasional adalah 20% dengan berbagai alasan atau pertimbangan sebagai berikut: a. Dalam pembukaan UUD 1945 tercantum jelas bahwa cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. b. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dibutuhkan antara lain tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri, serta berkualitas. c. Penduduk yang sehat bukan saja akan menunjang keberhasilan program pendidikan, tetapi juga mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk. d. Kompleksnya permasalahan dan perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi yang belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. e. Permasalahan kesehatan sebagai suatu faktor dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yaitu paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. 4.2 Dana Program Provinsi Dua puluh persen dari dana program APBN dibagikan ke seluruh provinsi berdasarkan celah fiskal masing-masing provinsi yaitu kebutuhan fiskal provinsi dikurangi dengan kapasitas fiskal provinsi.
17
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
%
35 20 45 100
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Setiap kebutuhan pendanaan masing-masing provinsi diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Dana program atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah dana program seluruh daerah provinsi. Sedangkan bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan dan total ceah fiskal seluruh provinsi. Dana program masing-masing provinsi yang telah ditetapkan dibagi kepada Dinas, Badan, Sekretariat Daerah secara merata, kecuali Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Pendidikan Nasional Provinsi adalah masing-masing 20% dari total dana program provinsi. Dua puluh persen dari dana program Dinas Kesehatan dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat fisik 30% dan kegiatan non fisik 70% dengan beberapa pertimbangan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi merupakan Pembina dari masing-masing Kabupaten/Kota yang memerlukan biaya untuk pembinaan, monitoring dan evaluasi program yang lebih banyak. Demikian juga untuk membuat suatu kebijakan atau keputusan di bidang kesehatan dalam suatu wilayah provinsi. Perkembangan ketatanegaraan yang bergeser dari sentralisasi menuju desentralisasi, memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada masingmasing daerah yang setiap daerah diberi wewenang untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. 4.3 Dana Program Kabupaten/Kota Empat puluh lima dari dana program APBN dibagikan ke seluruh kabupaten/kota berdasarkan celah fiskal masing-masing kabupaten/kota yaitu kebutuhan fiskal kabupaten/kota dikurangi dengan kapasitas fiskal kabupaten/kota. Kebutuhan fiskal kabupaten/kota merupakan kebutuhan pendanaan kabupaten/kota untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Sedangkan kapasitas fiskal kabupaten/kota merupakan sumber pendanaan kabupaten yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Setiap kebutuhan pendanaan masing-masing kabupaten/kota diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Dana program atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah dana program seluruh kabupaten/kota. Sedangkan bobot kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota. Dana program masing-masing kabupaten/kota yang telah ditetapkan dibagi kepada Dinas, Badan, Sekretariat Daerah/Sekretariat Dewan secara merata, kecuali Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten/Kota adalah masing-masing 20% dari total dana program Kabupaten/Kota. Dua puluh persen dari dana program Dinas Kesehatan dipergunakan untuk kegiatan kegiatan kuratif dan rehabilitatif 30% (tiga puluh persen) dan kegiatan promotif dan preventif 70% (tujuh puluh persen) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: a. Planning dan budgeting pembangunan kesehatan selama ini tidak sejiwa dengan visi Depkes, yaitu “Memandirikan Rakyat untuk Hidup Sehat”. Di mana selama ini selalu
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
18
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
menitikberatkan pada pengobatan (kuratif) yang menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit yang tentunya akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai suatu yang bersifat konsumtif atau pemborosan. Selain itu dari sudut pandang para pengambil kebijakan yang selama ini masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga. b. Usia anak-anak dan usia muda (0 th – 50 th) lebih dari 70% sehingga memerlukan dana untuk promotif dan preventif supaya tidak terkena penyakit yang akhirnya akan menurunkan produktfitas. Sedangkan usia tua kurang dari 30% yang lebih banyak diperlukan untuk biaya pengobatan.
19
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Pertanyaan
1. Bentuk rancangan kebijakan apa yang perlu dibuat dalam konteks tersebut di atas? 2. Bagaimana Kerangka Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang diperlukan? 3. Materi muatan apa saja yang diatur? 4. Apakah format yang sudah sesuai dengan aturan sistematika penyusunan peraturan perundangan? 5. Apakah rancangan kebijakan sudah aspiratif sesuai dengan masalah yang ada? 6. Apakah ada korelasi antara naskah akademik dengan rancangan kebijakan yang dibuat?
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
20
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Rancangan Undang-undang RI Tentang Perubahan UndangUndang No.33/2004
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Mengingat :
21
a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan, diselenggarakannya otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan antar Pemerintah Daerah perlu diatur secara adil dan selaras; c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan Pemerintah Daerah perlu diatur lebih jelas; d. bahwa untuk mempermudah pengaturan dan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan di daerah serta mempertimbangkan asas prinsip kebersamaan, efisiensi, adil dan berkelanjutan, serta kemandirian maka Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Keuangan Pemerintah Antara Pusat Dan Pemerintah Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu direvisi; 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 23 C, dan Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
4.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten/kota atau walikota bagi daerah kota.
5.
Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
6.
Dana Pemerintah adalah dana yang berasal dari APBN yang terdiri dari dana alokasi dasar dan dana program.
7.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
22
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. 9.
Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
10.
Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
11.
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang bersangkutan.
12.
Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
13.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun angaran berikutnya.
14.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
15.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapka dengan Peraturan Daerah.
16.
Dana Alokasi Dasar adalah dana yang berasal dari APBN yang dihitung berdasarkan jumlah Pegawai Negeri Sipil dan tunjang lainnya baik di Kementerian/Lembaga/Departemen, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
17.
Dana Program adalah dana yang berasal dari APBN untuk melaksanakan kegiatan program dan tidak termasuk dana alokasi dasar.
18.
Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.
19.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
20.
Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada public melalui penawaran umum di pasar modal.
21.
Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
22.
Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvalibitas
23.
Rencana Kerja Pemerintah Daerah, selanjutnya disebut RKPD, adalah dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk periode 1 (satu) tahun.
24.
Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah, selanjutnya disebut Renja SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
23
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
25.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
26.
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran.
27.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara.
BAB II PRINSIP KEBIJAKAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH Pasal 2 (1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Desenteralisasi dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal daerah. (3) Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desenteralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Pasal 3 (1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan Desenteralisasi. (2) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan aturan Pemerintah Daerah. BAB III SUMBER PENERIMAAN DAERAH Pasal 4 (1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Program Daerah; c. Lain-lain pendapatan.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
24
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(3)
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Sisa lebih penghitungan anggaran Daerah; b. Penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan d. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. BAB IV PENDAPATAN ASLI DAERAH Pasal 5
(1) PAD bersumber dari : 1) Pajak Daerah; 2) Retribusi Daerah; 3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yag dipisahkan; dan 4) Lain-lain PAD yang sah. (2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi: a. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; b. Jasa giro; c. Pendapatan bunga; d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Pasal 6 Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang: a. Menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. Menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor. Pasal 7 Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang. Pasal 8 Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. BAB V DANA BAGI HASIL Bagian Kesatu Pasal 9 (1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. (2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimna dimaksud pada ayat (1) terdiri
25
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. (3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. Kehutanan; b. Pertambangan umum; c. Perikanan; d. Pertambangan minyak bumi; e. Pertambangan gas bumi; dan f. Pertambangan panas bumi. (1)
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
Pasal 10 Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota/kota, dan Pemerintah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (Sembilan puluh persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2 % (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi; b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah kabupaten/kota/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota/kota; dan c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. 10 % (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan kota; dan b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Dana bagi hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian sebagai berikut: a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan b. 64% (enam pulu empat persen) untuk daerah kabupaten/kota dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota/kota. 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota dan kota. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 11
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
26
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen). (2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Dana Bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan imbangan 60% (enam pulu persen) untuk kabupaten/kota/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi. (4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara triwulanan. Pasal 12 Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam pulu persen) untuk Pemerintah dan 40% (empat puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan; 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah) untuk Pemerintah; dan 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Pasal 13 (1) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
27
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota pengahsil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 14 Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b: a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional; dan b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. (1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 15 Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c terdiri atas: a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten/kota/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 16 (1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d terdiri atas: a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan. (2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf d dibagi dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota/kota di seluruh Indonesia Pasal 17 (1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah komponen pajak dan pungutan lainnya. (2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
28
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
13 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 3% (tiga pesen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. (3) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: b. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota/kota penghasil; dan d. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. (4) Bagian kabupaten/kota/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 18 Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut: f. 0,1% (satu per sepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; g. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota/kota penghasil; dan h. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 19 Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil. Pasal 20 Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Pasal 21 (1) Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan. Pasal 22 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
29
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI DANA PEMERINTAH Bagian Kesatu Jenis Pasal 24 (1) Dana Pemerintah terdiri dari dana alokasi dasar dan dana program. (2) Jumlah Dana Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
(1)
(2) (3)
(4)
Bagian Kedua Dana Alokasi Dasar Pasal 25 Dana alokasi dasar Dana alokasi dasar sebagaimana dijelaskan pada Pasal 24 ayat (1) berasal dari dana APBN yang dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil baik di Pusat maupun Daerah. Besarnya dana alokasi dasar setiap tahun ditetapkan 43% dari APBN. Penyaluran dana alokasi dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari dana alokasi dasar tersebut. Penyaluran dana alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan.
Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai dana alokasi dasar diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(1) (2) (3) (4)
Bagian Ketiga Dana Program Pasal 27 Dana Program sebagaimana pada Pasal 24 ayat (1) merupakan dana yang berasal dari APBN untuk melaksanakan kegiatan program dan tidak termasuk dana alokasi dasar. Besarnya dana program setiap tahun ditetapkan 57% dari total dana APBN. Dana Program sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari Dana Program Pusat, Dana Program Provinsi, dan Dana Program Kabupaten/kota. Besaran dana program yang dibagikan ke Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan bobot yang berdasarkan jumlah lokasi, jarak/transportasi, wilayah binaan, bebean kerja dan tanggung jawab masing-masing tingkatan. Sehingga besaran bobot untuk masing-masing tingkatan terdiri dari : a. 35% (tiga puluh lima) untuk dana Program Pusat; b. 20% (duapuluh persen) untuk dana Program Provinsi; dan c. 45% (empat puluh lima persen) untuk dana Program Kabupaten/kota.
Pasal 28 (1) Besaran Dana Program Pusat masing-masing Departemen/Kementerian Lembaga sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) huruf a terdiri atas:
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
30
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
a. 20% (dua pulu persen) untuk Departemen/Kementerian Lembaga bidang kesehatan; b. 20% (dua pulu persen) untuk Departemen Pendidikan Nasional; dan c. 60% (enam puluh lima persen) untuk Departemen/Kementerian Lembaga lain dibagi secara merata. (2) Besaran Dana Program masing-masing Provinsi sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) huruf b terdiri atas: a. 20% (dua puluh persen) untuk Bidang / Dinas Kesehatan; b. 20% (dua puluh persen) untuk Bidang / Dinas Pendidikan; dan c. 60% (tujuh puluh lima persen) untuk bidang lain yang dibagi secara merata. (3) Besaran Dana Program masing-masing kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) huruf c terdiri atas: a. 20% (dua puluh persen) untuk Bidang / Dinas Kesehatan; b. 20% (dua puluh persen) untuk Bidang/Dinas Pendidikan Nasional;dan c. 60% (enam puluh persen) untuk bidang lain dibagi secara merata. Pasal 29 (1) Besaran dana sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dipergunakan untuk: a. 30% (tiga puluh persen) untuk upaya kesehatan kuratif dan rehabilitatif; serta bersifat kegiatan fisik; dan b. 70% (tujuh puluh persen) untuk upaya kesehatan promotif dan preventif, serta bersifat kegiatan non fisik. (2) Besaran dana sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) huruf b, ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30 (1) Besarnya Dana Program yang dialokasikan kepada masing-masing Provinsi dan masingmasing Kabupaten/kota dihitung berdasarkan celah fiskal. (2) Celah fiskal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Pasal 31 (1) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. (2) Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Kontruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
31
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Pasal 32 (1) Dana Program atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah dana program seluruh daerah provinsi. (2) Bobot daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiscal seluruh daerah provinsi.
Pasal 33 (1) Dana Program atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah dana program seluruh daerah kabupaten/kota. (2) Bobot daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota. Pasal 34 (1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol atau negatif tidak menerima dana Program dari APBN. (2) Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud ayat (1) diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 35 Pemerintah merumuskan dan penghitungan dana program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Pasal 36 Hasil perhitungan dana program per departemen/lembaga, provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 37 (1) Dana alokasi dasar dan dana program pusat disalurkan melalui Rekening Departemen/ Kementerian/ Lembaga masing-masing; dan (2) Dana alokasi dasar dan dana program masing-masing provinsi, kabupaten/kota disalurkan melalui Rekening Kas Daerah masing-masing.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
32
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
BAB VII SISTEM INFORMASI KEUANGAN Pasal 38 (1) Pemerintah menyelenggarakan Ssitem Informasi Keuangan Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota secara nasional dengan tujuan : a. merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional; b. menyajikan informasi keuangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; c. merumuskan kebijakan keuangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; dan d. melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota serta defisit anggaran. (2) Sistem Informasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pasal 39 (1) Departemen/Lembaga/Kementerian, Provinsi, Kabupaten/Kota menyampaikan informasi keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah melalui Menteri Keuangan; (2) Departemen/Lembaga/Kementerian, Provinsi, Kabupaten/Kota menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan; (3) Informasi yang berkaitan dengan Sstem Informasi Keuangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), mencakup: a. Laporan realisasi anggaran; b. Neraca; c. Laporan arus kas; d. Catatan atas laporan keuangan; e. Bagi provinsi dan kabupaten/kota melaporkan data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapsitas fiskal. (4) Informasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pemerintah melalui Menteri Keuangan sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintah. (5) Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran dana yang tidak menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 40 Informasi yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 merupakn data terbuka yang dapat diketahui, diakses, dan diperoleh masyarakat.
Pasal 41 Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39, dan pasal 40, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
33
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 (1) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan UndangUndang ini. (2) Peraturan pelaksanaan sebagai tindak lnjut Undang-Undang ini sudah selesai selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, dinyatakan tidak berlaku. 2. Ketentuan yang mengatur Dana Bagi Hasil sebagaimana yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dinyatakan tetap berlaku. Pasal 44 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal Januari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SUSILO BAMBANG YUDOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal Januari 2008 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd HATTA RADJASA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR………
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
34
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Penutup
Kesimpulan Dalam pelaksanaan dan penerapan UU No.33 tahun 2004 banyak terjadi permasalahan terutama dalam hal kurangnya realisasi penyerapan, penggunaan tidak tepat sasaran serta pelaksanaan kegiatan tidak sinkron dengan tujuan pembangunan nasional terutama bidang kesehatan dan pendidikan. Di mana selama ini hanya terfokus kepada kegiatan fisik dan kegiatan non fisik lebih rendah. Begitu juga bidang kesehatan lebih banyak pada upaya kuratif dan rehabilitatfi dibanding dengan upaya promotif dan preventif. UU Nomor 33 tahun 2004 kurang efisien dan kurang efektif untuk menjawab permasalahan di masa yang akan datang sehingga, di sana sini banyak terdapat pemborosan dan rumitnya administrasi yang akan berdampak kepada tujuan yang ingin dicapai hanyalah pencapaian administrasi tetapi tidak kepada pencapaian program. Saran Perlu melakukan perubahan terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 sesegera mungkin.
35
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Case Studi: Perubahan UU No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. 5. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 6. Pujianto, (2002). Stagnasi Pendanaan Kesehatan Publik Dalam Penanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 7. Septo, Mulyo, (2006). Variabel Penentu Anggaran Kesehatan Bersumber APBD Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2006. Tesis, FKM-UI. Depok. 8. Depkes RI, (2004). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
36