PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEKNIK MESIN 9 “Meningkatkan Penelitian dan Inovasi di bidang Teknik Mesin Dalam menyongsong AFTA 2015”
Hak Cipta @ 2014 oleh SNTM 9 Program Studi Teknik Mesin Universitas Kristen Petra Dilarang mereproduksi, mendistribusikan bagian dari publikasi ini dalam segala bentuk maupun media tanpa seijin Program Studi Teknik Mesin – Universitas Kristen Petra
Dipublikasikan dan didistribusikan oleh: Program Studi Teknik Mesin Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya, 60236 INDONESIA
ISBN: 978-979-25-4418-3 i
Seminar Nasional Teknik Mesin 9 14 Agustus 2014, Surabaya
OPTIMASI UNJUK KERJA MESIN SINJAI 650 CC MELALUI PENGATURAN SISTEM PENDINGINAN ENGINE Bambang Sudarmanta1, Ary Bachtiar Krisna Putra2, Devy Ratna Sari3, Dwi Cahyo Andrianto4 Laboratorium Teknik Pembakaran dan Bahan Bakar, Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS 1,2,3,4) Kampus ITS Sukolilo Suarabaya, 601111,2,3,4) Telp: 0062-31-5946230, Fax: 0062-31-59229411,2,3,4) E-mail :
[email protected]),
[email protected]) ,
[email protected],4)
ABSTRAK Unjuk kerja sebuah mesin sangatlah dipengaruhi oleh ketepatan kinerja sistem pendinginan engine pada setiap kondisi operasional engine (putaran dan daya tertentu). Mesin Sinjai 650 cc yang diuji menggunakan sistem pendinginan engine dengan fluida kerja air dengan dilengkapi fan udara untuk beban pendinginan yang lebih tinggi. Untuk mengevaluasi ketepatan kinerja sistem pendinginan engine maka dilakukan pengujian unjuk kerja engine dengan sistem variable speed, dimana putaran engine divariasikan mulai 2000 – 5500 rpm dengan interval 500 rpm. Pengaturan putaran engine dilakukan dengan menambahkan beban pada water brake dynamometer. Data-data yang diukur untuk setiap putaran engine berupa mass flow rate air pendingin, temperature air pendingin masuk dan keluar engine, temperatur udara masuk dan keluar radiator, torsi engine serta konsumsi bahan bakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu pengaturan sistem pendinginan engine pada putaran rendah dan tinggi. Heat exchanger 1 efektif mengurangi besarnya laju pelepasan panas pada interval putaran mesin 2500 s/d 5500 rpm sehingga bhp mengalami kenaikan sampai 5% dibandingkan heat exchanger 2. Dengan penurunan laju pelepasan panas rata-rata sebesar 34,2% menyebabkan kenaikan unjuk kerja berupa bhp naik sebesar 4.49%, sfc turun sebesar 50.34% dan effisiensi thermal naik sebesar 32.02%. Kata kunci: Mesin Sinjai, sistem pendinginan engine, unjuk kerja, putaran mesin dan laju pelepasan panas.
1. PENDAHULUAN
ini dipindahkan dari sisi dalam silinder ke water jacket secara konduksi. Kemudian panas pada water jacket diteruskan ke fluida pendingin secara konveksi. fluida pendingin yang telah menjadi panas ini disirkulasikan (dipompakan) ke radiator untuk didinginkan lagi agar mampu menyerap panas kembali. fluida panas masuk radiator ke upper tank melalui upper hose, selanjutnya ke lower tank melalui tube (pipa kapiler) pada radiator core dan keluar dari lower tank melalui lower hose sudah berupa fluida dingin. Air yang telah didinginkan tersebut kembali disirkulasikan ke sepanjang water jacket sehingga terjadi penyerapan panas kembali seperti diuraikan di atas. Proses pembuangan panas dari fluida pendingin terjadi di radiator yaitu pada radiator core. Fluida panas yang mengalir pada tube memindahkan panas dari air fluida pendingin ke permukaan dalam tube secara konveksi. Panas selanjutnya dipindahkan dari permukaan dalam ke permukaan luar tube secara konduksi, dan diteruskan lagi dari permukaan luar tube ke fin (kisi-kisi radiator) secara konduksi juga. Panas dari fin radiator di pindahkan ke udara luar secara konveksi. Kesetimbangan energi dalam radiator terjadi antara fluida panas yang akan melepaskan sebagian energinya dalam bentuk panas kepada fluida dingin. Apabila fluida dalam pipa bertindak sebagai fluida, maka fluida dalam sirip-sirip (fin) bertindak sebagai fluida dingin. Terjadinya perbedaan temperatur antara sisi masuk dengan sisi keluar menunjukkan adanya fenomena tersebut, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Besar pembuangan panas radiator adalah suatu nilai yang menunjukkan besarnya panas pada air radiator yang dapat dibuang ke udara luar. Karena adanya keterbatasan pada pengembangan dari cooling system maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan operasi maksimal dari sebuah mesin, yaitu dengan mengkorelasikan antara besarnya panas yang dibuang melalui cooling system dengan kerja yang dihasilkan.
Perkembangan riset dan teknologi telah menghasilkan kemajuan dibidang prime mover, baik yang digunakan sebagai stasioner maupun mobile prime mover. Mesin kendaraan bermotor sebagai salah satu jenis mobile prime mover, pemakaiannya semakin tahun semakin bertambah, namun kalau ditinjau dari segi efektivitas pemanfaatan kerja dari proses konversi energi termal bahan bakar masih sangatlah rendah. Secara keseluruhan, dari 100% besarnya total energi yang terkandung dalam bahan bakar, hanya 25% yang dapat dimanfaatkan sebagai kerja efektif, sedangkan sisanya, sebesar 34% sebagai exhaust gas loss, sebesar 32% sebagai cooling loss, sebesar 6% sebagai friction loss dan sebesar 3% sebagai pumping loss [1]. Sehubungan dengan hal tersebut, senantiasa dikembangkan berbagai cara untuk meningkatkan besarnya kerja efektif dengan cara mengurangi losses yang terjadi. Tetapi karena setiap komponen didalam sistem mesin saling berkaitan maka dengan mengurangi atau menambah salah satu parameter mesin, maka akan berakibat naiknya atau turunnya parameter mesin yang lain. Salah satu cara untuk meningkatkan effisiensi termal adalah dengan meminimalkan cooling system, tetapi karena temperatur ruang bakar dapat mencapai 2000oC maka akan berpotensi terjadi over heating yang akan merusak komponen-komponn mesin, seperti seal, piston, valve dan cylinder head. Tetapi jika cooling system dimaksimalkan atau terjadi over cooling sehingga besarnya effisiensi termal akan turun dan daya yang dihasilkan juga akan turun. Cooling system dalam sebuah mesin berfungsi sebagai pelindung dari mesin dengan cara menyerap sejumlah panas dari dinding silinder. Prinsip kerja dari cooling system adalah didasarkan pada besarnya panas mesin yang terpusat pada silinder ruang bakar yang merupakan hasil dari proses pembakaran udara dan bahan bakar. Panas di ruang bakar mesin O-5
Seminar Nasional Teknik Mesin 9 14 Agustus 2014, Surabaya
Pada Gambar 3 effectiveness dari heat exchanger 2 (HE 2) berupa radiator dengan louver fin lebih baik, pada beban tinggi dan putaran rendah yaitu pada putaran 2000 sampai 4000 rpm , sedangkan pada putaran tinggi antara 4500 sampai 5000 rpm heat exchanger 1 (HE 1) berupa radiator dengan straight fin lebih baik.
Gambar 1. Sistem pendinginan pada mesin bensin
2. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengujian terhadap mesin Sinjai dengan variasi kecepatan mulai 2000 rpm sampai 5500 rpm. Pengujian dilakukan dengan kondisi full open throttle dengan variasi beban pada water brake dynamometer untuk menurunkan putaran dan saat pengujian mesin dalam keadaan stasioner. Selain variasi kecepatan dilakukan juga variasi geometri heat exchanger yang digunakan pada mesin, variasinya yaitu heat exchanger dengan radiator straight fin dan radiator louver fin. Parameter yang diukur adalah temperatur masuk dan keluar pada radiator, temperatur masuk dan keluar water jacket serta mass flow rate pada air radiator dan mass flow rate pada udara pendingin radiator. Selengkapnya skema pengujian untuk variasi cooling system yang dilakukan pada mesin Sinjai 2 silinder ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema pengujian cooling system mesin Sinjai
Gambar 3. Effectiveness heat exchanger radiator fungsi putaran mesin
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4 merupakan grafik NTU fungsi putaran mesin dimana semakin rendah putaran mesin maka besarnya NTU nya juga akan turun. Number of transfer unit (NTU) tertinggi terjadi pada saat putaran maksimum sehingga semakin tinggi beban yang diberikan ke water brake nilai putarannya akan semakin menurun yang berakibat nilai NTU juga semakin turun. Hal ini dapat terjadi karena dengan dengan semakin rendah putaran mesin, dimana beban yang diberikan ke mesin semakin besar, maka mass flow rate air radiator yang dialirkan oleh pompa mesin dan mass flow rate udara yang dihisap oleh fan juga akan semakin menurun. Dimana nilai koefisien konveksi air radiator dan nilai koefisien konveksi udara akan semakin menurun pula sehingga dengan luasan permukaan perpindahan yang sama maka overall heat transfer koefisiennya juga akan semakin menurun sehingga nilai NTU juga akan semakin menurun. Pada grafik diatas, NTU dari HE 2, yaitu radiator dengan louver fin relatif lebih baik, mulai beban rendah sampai beban tinggi dibandingkan dengan HE 1, yaitu radiator straight fin. Hubungan effectiveness dan NTU secara ideal untuk Cr yang sama adalah semakin tinggi nilai NTU maka nilai effectiveness akan semakin naik sampai pada titik tertentu. Hal ini dikarenakan persamaan effectiveness fungsi NTU adalah persamaan exponensial. Sehingga pada nilai tertentu meskipun NTU bertambah nilai effectiveness tidak bertambah. Sedangkan NTU sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah mass flow rate. Mass flow rate
Unjuk kerja heat exchanger dapat ditinjau dari harga efektiveness ( ). Effectiveness merupakan perbandingan laju perpindahan panas aktual terhadap kemampuan laju perpindahan panas maksimum heat exchanger. Harga berkisar antara 0 sampai dengan 1. Semakin besar harga suatu heat exchanger semakin baik dalam mentransfer panas, karena harga laju perpindahan panas aktualnya mendekati jumlah energy panas maksimum yang dapat ditransfer Gambar 3 merupakan grafik effectiveness fungsi putaran mesin, dimana putaran mesin bevariasi tergantung beban yang diberikan. Semakin tinggi beban yang diberikan kepada mesin, maka putaran mesin akan menurun. Apabila putaran mesin rendah maka debit air pendingin yang keluar dari pompa juga semakin sedikit, sehingga dengan semakin rendahnya debit air pendingin, mass flow rate air pendingin juga semakin rendah. Dan dengan perbedaan temperatur air masuk dan keluar radiator yang semakin rendah, maka kalor yang dibuang ke sistem pendingin juga akan semakin rendah. Selain itu, dengan semakin rendahnya putaran mesin, maka putaran fan yang dikopel oleh poros mesin juga akan semakin rendah sehingga mass flow rate udara yang dihisap oleh fan juga semakin berkurang. Oleh karena itu mengacu pada persamaan = qact/ cmin ( Thi – Tci ) dengan nilai Cr yang hampir sama, serta jumlah mass flow rate air radiator dan mass flow rate udara yang semakin rendah, tetapi dengan Thi – Tci yang semakin besar maka nilai effectivenessnya akan semakin menurun. O-6
Seminar Nasional Teknik Mesin 9 14 Agustus 2014, Surabaya
mempengaruhi nilai Cmin dan koeffisien konveksi sehingga dapat mempengaruhi nilai NTU.
di antaranya gesekan dan adanya pembakaran yang kurang sempurna. Semakin cepat putaran mesin maka friksi yang terjadi juga semakin besar. Selain itu pembakaran campuran bahan bakar dan udara dalam ruang bakar juga memerlukan waktu. Ketika putaran tinggi, maka dimungkinkan pembakaran yang terjadi tidak cukup cepat untuk membakar seluruh bahan bakar dalam ruang bakar atau dengan kata lain semakin banyak sisa bahan bakar yang belum terbakar dalam ruang bakar. Hal ini menyebabkan kerja yang diberikan engine menurun. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa bhp dari heat exchanger 1 (HE 1), yaitu radiator dengan Straight fin lebih tinggi dari pada heat exchanger 2 (HE 2) yaitu radiator dengan louver fin. Hal ini di karenakan kemampuan radiator louver fin untuk mentransfer panas lebih baik sehingga pendinginannya lebih tinggi, dengan pendinginan yang lebih tinggi, maka temperatur air yang masuk mesin lebih rendah sehingga perbedaan temperatur antara air dan silinder lebih tinggi sehingga lebih banyak panas yang terbuang ke air pendingin yang menyebabkan menurunnya daya yang dihasilkan.
Gambar 4. NTU heat exchanger fungsi putaran mesin Gambar 5 menunjukkan grafik besar kalor yang dibuang ke air pendingin fungsi putaran mesin, dimana putaran dari mesin tergantung oleh beban yang dialirkan ke water brake dynamometer, semakin besar beban yang diberikan putaran mesin juga akan semakin turun, pada grafik diatas putaran 5500 adalah putaran saat mesin belum dibebani sedangkan putaran 2000 adalah putaran mesin saat beban maksimal, Besarnya putaran mesin ini secara tidak langsung akan mempengaruhi besar debit air pendingin yang masuk ke radiator. Semakin besar putaran mesin maka debit air pendingin juga akan semakin besar sehingga besarnya kalor yang dibuang ke sistem pendingin juga akan semakin besar. Sedangkan untuk kedua jenis heat exchanger perpindahan panas yang lebih baik adalah heat exchanger 2 (HE 2), yaitu louver fin. Hal ini dikarenakan bentuk dari tube radiator tersebut adalah tipe flat tube, pada flat tube aliran lebih turbulen sehingga perpindahan panas lebih baik.
Gambar 6. Bhp fungsi putaran mesin Spesific fuel consumption, sfc atau konsumsi bahan bakar spesifik dapat didefinisikan sebagai laju aliran bahan bakar untuk memperoleh daya efektif. Besar kecilnya konsumsi bahan bakar spesifik tergantung dari sempurna atau tidaknya campuran udara dan bahan bakar yang terbakar dalam ruang bakar. Jadi faktor yang akan mempengaruhi konsumsi bahan bakar spesifik adalah besarnya daya yang dihasilkan. Secara umum konsumsi bahan bakar spesifik pada saat putaran mesin rendah ke putaran mesin tinggi akan mengalami penurunan hingga pada putaran mesin tertentu akan meningkat lagi. Dari Gambar 7 besarnya sfc fungsi putaran mesin, terlihat adanya kecenderungan penurunan sfc mulai dari putaran rendah hingga mencapai nilai sfc optimum pada putaran tertentu, lalu sfc mengalami kenaikan pada putaran mesin yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tinggi putaran mesin, maka turbulensi aliran yang masuk ke ruang bakar akan semakin tinggi yang menyebabkan pencampuran udara dengan bahan bakar semakin baik serta perambatan api juga semakin cepat sehingga sfc akan menurun. Setelah putaran semakin tinggi, maka akan semakin besar kerugian-kerugian yang terjadi. Beberapa kerugian yang mungkin terjadi pada putaran tinggi di antaranya gesekan dan adanya pembakaran yang kurang sempurna. Semakin cepat putaran engine maka friksi yang terjadi juga semakin besar. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa sfc dari heat exchanger 2 (HE 2) yitu radiator louver fin lebih tinggi dari pada heat exchanger 1 (HE 1), yaitu radiator dengan straight fin. Hal ini di karenakan kemampuan radiator louver fin untuk mentransfer panas lebih baik sehingga pendinginannya lebih
Gambar 5. Heat Rejection oleh cooling system fungsi putaran mesin Besarnya daya motor atau brake horse power sebanding dengan torsi yang terjadi, karena hal ini berhubungan dengan beban pengereman oleh water brake dynamometer. Semakin besar beban pengereman semakin besar torsi yang terjadi. Secara teoritis, ketika putaran mesin meningkat, maka daya motor juga akan meningkat karena daya merupakan perkalian antara torsi dengan putaran poros. Berdasarkan Gambar 6, grafik bhp fungsi putaran mesin, terlihat adanya kecenderungan kenaikan daya mulai dari putaran rendah hingga mencapai daya maksimum pada putaran tertentu lalu bhp mengalami penurunan pada putaran mesin yang lebih tinggi. Pada saat putaran semakin tinggi, maka akan semakin besar kerugian-kerugian yang terjadi. Beberapa kerugian yang mungkin terjadi pada putaran tinggi O-7
Seminar Nasional Teknik Mesin 9 14 Agustus 2014, Surabaya
baik, dengan pendinginan yang lebih baik maka temperatur air yang masuk mesin lebih rendah sehingga perbedaan temperatur antara air dan silinder lebih tinggi sehingga lebih banyak panas yang terbuang ke air sehingga daya yang dihasilkan lebih rendah maka semakin rendah bhp yang dihasilkan semakin tinggi sfcnya.
2 menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: Heat exchanger 1 efektif mengurangi besarnya laju pelepasan panas pada interval putaran mesin 2500 s/d 5500 rpm sehingga bhp mengalami kenaikan sampai 5% dibandingkan heat exchanger 2 Heat exchanger 1 menghasilkan penurunan laju pelepasan panas rata-rata sebesar 34,2% dibandingkan heat exchanger 2 Penurunan laju pelepasan panas rata-rata pada point diatas menyebabkan kenaikan unjuk kerja sebagai berikut: - Bhp naik sebesar 4.49% - Sfc turun sebesar 50.34% - Effisiensi thermal naik sebesar 32.02%
5. DAFTAR PUSTAKA [1] Gambar 7. Sfc Fungsi Putaran mesin
[2]
Efisiensi thermal merupakan ukuran besarnya pemanfaatan energi panas yang tersimpan dalam bahan bakar untuk diubah menjadi daya efektif oleh motor pembakaran dalam. Nilai efisiensi thermal tergantung dari sempurna atau tidaknya campuran udara dan bahan bakar yang terbakar dalam ruang bakar. Pada Gambar 8 besarnya efisiensi thermal fungsi putaran mesin memiliki kecenderungan grafik yang meningkat mulai dari putaran rendah hingga titik optimum, kemudian akan turun seiring dengan bertambahnya putaran mesin. Pada saat putaran rendah, maka pencampuran bahan bakar berlangsung kurang optimum, sehingga pembakaran yang terjadi kurang sempurna. Pada titik optimum turbulensi bahan bakar dan waktu pembakaran mencapai kondisi yang terbaik sehingga mendapatkan effisiensi yang tertinggi. Pada penambahan putaran mesin yang terlalu tinggi justru turbulensi yang terjadi cukup besar sehingga pencampuran bahan bakar dan udara baik tetapi waktu terjadinya pembakaran sangat cepat sehingga bahan bakar banyak yang terbuang. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa effisiensi thermal heat exchanger 1 (HE 1), yaitu radiator straight fin lebih baik dibanding dengan heat exchanger 2 (HE 2), yaitu radiator louver fin. Hal ini dikarenakan bhp dari mesin dengan radiator straight fin lebih tinggi, semakin tinggi bhp yang dihasilkan maka semakin besar effisiensinya.
[3] [4] [5] [6] [7]
[8]
[9]
Gambar 8. Effisiensi thermal fungsi putaran mesin
4. KESIMPULAN Optimasi unjuk kerja mesin Sinjai melalui pengaturan sistem pendinginan engine melalui komparasi heat exchanger 1 dan
O-8
C. Oliet, A.Oliva, J.Castro, & C.D.Pe rez Segarra. “Parametric Studies on Automotive Radiators” ELSEVIER, 2007, pp 2033- 2043. Caterpillar. 2011. Aplication and Instalation Guide Cooling system, USA Fraas, Arthur P.1988. Heat Exchanger Design. 2nded. New York: John Willey & Sons, Inc. Hall G.Tdan Jr J. Edwin. 2004. Air Cooled Heat Exchanger Design. USA Heywood, John B.1989. Internal Combustion Engine Fundamentals. New york: McGraw-Hill Book Company. Kays, W.M., London, A.L. 1964. Compact Heat Exchangers. 2nd ed. New York: McGraw Hill Book Company Incropera, Frank P. Dewitt, David P. Bergman, Theodore L. Lavine, Adrienne S. 2007. Fundamentals of Heat and Mass Transfer. John Wiley & Sons (Asia) PteLtd: Hoboken Nessim,Waleed. & Zhang, Fujun.“Powertrain Warm up Improvement using Thermal Management Systems”. May 2012. International Journal of Scientific & Technology Research vol 1, 2277-8616. Sany, Esmaili, Saidi, M.H., dan Neyestani, J. March 2010. “Experimental Prediction of Nusselt Number and Coolant Heat Transfer Coefficient In Compact Heat Exchanger Performed With -Ntu εethod”.The Journal of Engine Research, vol 18.