PROSES BELAJAR MENGAJAR A. Core Business Pengelolaan Satuan Pendidikan Undang-undang
pendidikan
nasional No
20
Tahun 2003
telah
memberikan definisi dari pendidikan yaitu proses yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan menciptakan sumber daya manusia yang cerdas Indonesia berharap akan dapat memajukan bangsa dan Negara. Dari berbagai fakta empirik dilapangan, diketahui bahwa tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Betapa melimpahnya sumber daya alam, modal serta sarana dan prasarana, pada akhirnya ditangan sumber daya manusia yang handal terletak kemajuan yang ingin dicapai. Sumber daya yang cerdas hanya dapat diciptakan dari proses pembangunan
pendidikan
sehingga
pembangunan
pendidikanmerupakan
bagian integral dari keseluruhan pembangunan nasional. Karena hasil dari pembangunan pendidikan akan dapat mengangkat pembangunan yang lainnya. Pembangunan pendidikan erat hubungannya dengan mutu pendidikan dan mutu pendidikan tidak akan terlepas dari guru dan peserta didik yang melakukan
sebuah
interaksi dikenal dengan sebutan belajar mengajar.
Menurut Edward Sallis (2008:67) institusi pendidikan merupakan pemberi jasa. Jasanya berupa pemberian beasiswa, penilaian, dan bimbingan bagi para pelajar, para orang tua dan para sponsor Kegiatan utama pendidikan di sekolah dalam rangka mewujudkan tujuannya adalah kegiatan pembelajaran, sehingga seluruh aktivitas organisasi sekolah bermuara pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar yang merupakan core business dari pendidikan
seorang guru dituntut untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalismenya. Mengajar
secara
tradisional
adalah
suatu
kegiatan
untuk
mendesiminasikan informasi kepada siswa di dalam kelas. Itu secara umum diartikan sebagai memberitahu (telling) (Abdul Azis Wahab, 2009:6). Konsep lama tersebut sudah tidak dapat diterima oleh para ahli karena hanya menyampaikan informasi berati baru menyentuh sebagian kecil dari tugas mengajar yang sebenarnya. Menurut Abdul Azis Wahab (2009:6) mengajar modern lebih diartikan sebagai hal yang menyebabkan siswa belajar dan memperoleh pengetahuan yang diharapkannya, keterampilan, dan juga caracara yang baik dalam hidup di masyarakat. Masih menurut Abdul Azis Wahab (2009:6), tujuan mengajar adalah membantu siswa untuk dapat menjawab tantangan lingkungannya dengan cara yang efektif. Burton dalam Abdul Azis Wahab (2009:6) mengemukakan batasan mengajar bahwa “teaching is the simuation, guidance, direction, and encouragement of learning”. Batasan tersebut mengandung empat kata kunci, yaitu stimulasi yang berarti menyebabkan lahirnya motivasi pada diri siswa untuk mempelajari sesuatu yang baru yaitu menciptakan sesuatu yang penting untuk dipelajari, mengarahkan yang berarti bahwa mengajar bukan sesuatu yang sembarangan tetapi mengajar merupakan sesuatu yang bertujuan yang mengarah kepada perilaku yang sudah ditetapkan. Mengarahkan berarti juga bahwa kegiatan-kegiatan pelajaran dalam mengajar diarahkan dan diawasi dengan mempertimbangkan waktu yang baik dan belajar yang efisien. Bimbingan berarti membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya, keterampilannya, sikap dan pengetahuan sampai pada tingkat maksimum bagi penyesuaian yang tepat dengan lingkungannya serta mendorong siswa untuk memiliki keberanian dan antusiasme dalam mencapai belajar secara maksimal. Beberapa penjelasan diatas terangkum sebagai berikut: (1) mengajar adalah komunikasi antara dua orang atau lebih dimana diantara keduanya terdapat
saling
mempengaruhi melalui pemikiran-pemikiran
mereka
dan
belajar sesuatu dari interaksi itu. (2) mengajar adalah mengisi pikiran siswa
dengan berbagai informasi dan pengetahuan mengenai fakta unuk kegunaan pada masa akan datang. (3) mengajar adalah proses dimana pelajar, guru, kurikulum, dan variabel lainnya disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (4) mengajar adalah mendorong lahirnya motivasi untuk belajar. Kemampuan mengajar guru menjadi jaminan tinggi rendahnya kualitas layanan belajar. Pengajaran berintikan interaksi antara guru dengan siswa. Proses belajar mengajar merupakan dua hal yang berbeda tetapi membentuk satu kesatuan ibarat sebuah mata uang yang bersisi dua. Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh siswa sedangkan mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru. Kegiatan mengajar guru sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Apabila guru mengajar dengan pendekatan yang bersifat menyajikan atau ekspositori, maka para siswa akan belajar dengan menerima, apabila guru mengajar dengan pendekatan yang lebih mengaktifkan siswa, seperti pendekatan diskaveri/inkuiri, maka para siswa akan belajar dengan cara yang aktif pula (Abdul Majid, 2007:31). Menurut Ibrahim dan Nana Syaodih (2003:32) Interaksi belajar mengajar merupakan interaksi yang terencana. Secara umum yang menjadi rencana pembelajarannya adalah kurikulum sedangkan secara khusus rencana pengajaran ini adalah Garis-garis besar program pengajawan (GBPP) dan satuan
pelajaran.
Secara sempit mengajar adalah proses penyampaian
pengetahuan kepada siswa. Dalam pengertian yang lebih luas, mengajar mencakup segala kegiatan menciptakan situasi agar para siswa belajar (Nana Syaodih, 2003:42). Pengelola
satuan
pendidikan
pada
akhirnya
adalah
bagaimana
menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi peserta didik dan pendidik. Karena menurut Satori (1983: 1) pembelajaran di kelas merupakan core business, jantung kegiatan sekolah dan pendidikan pada umumnya karena disanalah peserta didik seharusnya mendapatkan layanan belajar dan jaminan mutu hasil pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan, dan guru sebagai salah
satu pemegang utama di dalam menggerakkan kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan. B. Aplikasi Teori Belajar Dalam KBM Dan Impilkasinya 1. Teori Belajar dalam KBM a. Teori Belajar Behaviorisme Dalam buku Mohamad surya (2004: 22) mengatakan bahwa teori belajar behaviorisme adalah suatu teori belajar yang menyebutkan proses pembentukan yangb berkaitan antara rangsangan dan tindak balas
atau
stimulus-respon.
Adapun
ciri
dari
rumpun
teori
behaviorisme ini adalah: a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil; b. Lebih bersifat mekanistis; c. Menekankan pentingnya latihan; d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan e. Menekankan peranan lingkungan dalam proses pembelajaran. Teori behaviorisme ini memiliki tiga rumpun yang terdiri atas 1) kondisioning klasik dengan tokohnya Ivan Pavlov; 2) psikologi penguatan (operant conditioning) dengan tokoh yang terkenal yaitu B.F Skinner, 3) Psikologi Koneksionisme dengan tokohnya Edward L. Thorndike. Teori
behaviorisme
sangat
menekankan
pada
perubahan
perilaku siswa pada setiap akhir pembelajaran yang dapat diukur dan diamati. Sehingga perubahan perilaku siswa pada aspek pengetahuan dapat
diamati dengan
segera
untuk
dapat
diberikan
tindakan
selanjutnya. Jika diterapkan dalam proses belajar mengajar, maka teori behavior ini memiliki kekuragan dan kelebihan, yaitu: Tabel 3.1 Kekurangan Dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme
Kelebihan Pembelajaran difokuskan pada pencapaian sebuah tujuan yang jelas dan bisa menanggapi secara otomatis
Kekurangan Siswa mungkin akan menemukan dalam suatu situasi dimana stimulus bagi respon yang tidak terjadi, karena
segala respon yang diberikan oleh setiap siswa. Cocok untuk pembelajaran yang lebih menekankan pada perolehan kemampuan psikomotor (praktek) dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan. Dapat diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan penghargaan langsung seperti pemberian hadiah. Teori ini juga sangat menekankan pada prinsip bahwa setiap individu memiliki potensi dalam belajar, yang membedakan hanya pada waktu siswa memahami suatu materi. Dengan demikian siswa yang memiliki kemampuan lambat pun dapat menyelesaikan materi dengan tuntas, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan cepat dapat melanjutkan materi selanjutnya tanpa harus menunggu teman lainnya. Karena pembelajaran ini juga menekankan pembelajaran secara individual.
siswa tersebut tidak sanggup menanggapinya. Proses pembelajaran bersifat dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat dilihat dari luar, kecuali gejalanya. Proses belajar bersifat otomatismekanis, padahal setiap individu memiliki self direction dan self control yang bersifat kognitif, sehingga ia bisa menolak untuk merespon jika ia tidak menghendakinya. Proses pembelajaran manusia dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat terdapat perbedaan karakter fisik dan psikis Manusia memiliki karakteristik yang unik.
b. Teori Belajar Kognitif Dalam buku Mohamad surya (2004:37) mengatakan bahwa teori belajar kognitif merupakan suatu proses dimana tujuan individu melalui suatu rangkaian secara kualitatif berbeda dalam berfikir.
Menurutnya,
perkembangan kognitif terbentuk melalui
interaksi yang konstan antara individu dengan lapangan. Teori kognitif
menerangkan
bahwa
pembelajaran
adalah
perubahan
dalam pengetahuan yang disimpan di dalam memori.
Teori
kognitivisme bertujuan untuk menambah pengetahuan ke dalam
ingatan jangka panjang atau perubahan pada skema atau struktur pengetahuan. Menurut psikologi kognitif bahwa individu itu aktif (secara mental), konstruktif, tidak bersifat pasif menerima stimulus dari lingkungan.
Mencari dan menemukan pengetahuan serta
menggunakannya,
metode pembelajaran yang biasa digunakan
untuk mengembangkan kemampuan kognitif ini misalnya metode pemecahan masalah,
penelitian,
pengamatan,
diskusi, deduktif,
induktif. Teori belajar kognitif dilihat dari berbagai segi sebagai berikut: a. Individualisasi:
perlakuan
didasarkan
pada
tingkat
perkembangan anak. b. Motivasi:
motivasi
belajar
bersifat
instrinsik
melalui
pengetahuan yang dimiliki. c. Metodologi: mempergunakan kurikulum dan metodologi yang mengembangkan
keterampilan
dasar
berpikir
dan
bahan
pelajaran. d. Tujuan-tujuan kurikuler: memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan gerak, pendirian, bahasa, dan interaksi sosial untuk mengembangkan intelegensi. e. Bentuk pengelolaan: berpusat pada anak, guru hanya berfungsi membimbing
anak
dalam
belajar,
berekplorasi
dan
bereksperimen. f.
Usaha mengefektifkan mengajar: program pengajaran disusun dalam
bentuk
pengetahuan
yang
terpadu;
konsep
dan
keterampilan disusun secara hierarkis. Teori perkembangan kognitif memiliki tokoh-tokoh seperti Piaget, teori Gestalt dari Kohler dan teori Kognitif dari Gagne yang banyak memberikan pengaruh besar dalam perkembangan peserta didik khususnya pada lingkup dunia pendidikan.
c. Teori Belajar Konstruktivisme Konstruktivisme berpikir
(filosofi)
(contructivism) dengan
merupakan
pendekatan
landasan
kontekstual,
yaitu
pengetahuan yang dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diangkat. Tetapi manusia harus
mengkonstruksi
pengetahuan
itu
dan
memberi makna
melalui pengalaman nyata. Untuk itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan
bergelut
dengan
ide-ide,
yaitu
siswa
harus
mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dibenak mereka. Teori ini berkembang dari teori kerja Piaget, Vygotsky, teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif lainnya, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur dan Trianto, 2007 : 13). Esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan
berpikir
konstruktivisme
agak
berbeda
dengan
pandangan kaum objektivitas yang lebih enekankan pada hasil pembelajaran. memperoleh
Dalam lebih
pandangan
diutamakan
konstruktivisme,
dibandingkan seberapa
strategi banyak
siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan : a. Menjadikan pengetahuan lebih bermakna dan relevan bagi siswa; b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri;
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka dalam belajar. Konstruktivisme psikologi
yang
dapat
berpegang
diartikan teguh
sebagai
kepada
kedudukan
kebenaran
yang
kebanyakan terjadi pada makna yang konkrit. Ini bermakna bahwa ilmu
pengetahuan
dibina
oleh
individu-individu
melalui
pengamatan kepada fenomena alam. Konstruktivisme memberikan penekanan kepada peserta didik untuk membina pengetahuan melalui proses psikologi yang aktif. Ilmu pengetahuan dibina ke dalam struktur kognitif anak dari hasil pengalaman mereka dengan alam. Struktur pengetahuan ini kadang-kadang menjadi penghalang yang kuat kepada pembelajaran dan perubahan konseptual peserta didik. Dari perspektif konstruktivis makna pembelajaran adalah dibina di dalam diri peserta didik hasil pengalaman pancainderanya dengan alam. Peserta didik akan bertindak kepada pengalamanpengalaman pancaindera dengan cara membina di dalam pikiran mereka dalam bentuk skema atau struktur kognitif yang akan membentuk makna dan kepahaman mereka. Individu-individu akan memberi makna kepada situasi atau fenomena dan mengakibatkan pembentukan
proses
yang
mengambil tempat
dalam pikiran
individu tersebut. Konstruktivisme
merupakan
respon
terhadap
berkembangnya harapanharapan baru yang berhubungan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai pembelajaran secara mandiri. Menurut
Suparno
dalam
Aunurrahman
(2009)
dalam
kegiatan pembelajaran fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa bentuk tugas, yaitu: 1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggungjawab penelitian
dalam membuat rancangan,
proses dan
2) Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan serta ide ilmiahnya. 3) Memonitor,
mengevaluasi
dan
menunjukkan
apakah
pemikiran-pemikiran siswa dapat didorong secara aktif. Untuk itu guru perlu melakukan beberapa tindakan spesifik untuk mengoptimalisasikan perannya dalam proses pembelajaran (Aunurrahman:2009), yaitu: 1) Untuk meningkatkan kecermatan guru dalam memahami apa yang sudah diketahui oleh siswa, maka diperlukan interaksi antara guru dan siswa yang lebih intensif. 2) Tujuan
pembelajaran
dan
aktivitas
di
kelas
sebaiknya
dibicarakan bersama dengan siswa agar mereka mendapat peran aktif dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan mendapat pengalaman belajar melalui keterlibatan langsung di kelas. 3) Guru
perlu
berupaya
pengalaman-pengalaman
secara belajar
intensif yang
untuk
lebih
mengetahui
sesuai dengan
kebutuhan siswa. Untuk itu perlu ada pembinaan komunikasi antara guru dan siswa harus terus dikembangkan. 4) Guru perlu berupaya mendorong tumbuhnya rasa percaya diri siswa, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah- masalah yang dihadapi. 5) Guru harus bersifat fleksibel, membina keakraban dengan siswa sehingga semakin dapat memahami pemikiran-pemikiran siswa serta kebutuhan belajar apa yang diperlukan siswa. Dari uraian dan contoh yang dipaparkan tersebut, terdapat beberapa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme, yaitu: 1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif 2) Tekanan proses pembelajaran terletak pada siswa (student oriented) 3) Kegiatan mengajar adalah kegiatan membantu siswa belajar
4) Penekanan dalam proses pembelajaran lebih kepada proses bukan hasil akhir 5) Kurikulum menekankan partisipasi siswa 6) Guru adalah fasilitator. 2. Pengelolaan Kelas Menurut Saiful Sagala (2009: 83) keberhasilan guru melaksanakan kegiatan pembelajaran tidak saja menuntut menguasai materi pelajaran, strategi,
dan
metode
mengajar,
menggunakan
media
atau
alat
pembelajaran, tetapi guru melaksanakan tugas profesionalnya dituntut kemampuan lain yaitu menciptakan situasi belajar mengajar yang baik sesuai dengan perencanaan dan mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki. Kondisi kelas yang kondusif dan menyenangkan dapat terwujud jika guru mampu mengatur suasana pembelajaran, mengkondisikan siswa untuk belajar dan memanfaatkan atau menggunakan sarana pengajaran serta dapat
mengendalikannya
dalam suasana
yang
menyenangkan
untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Hasibuan dan Moerdiono (1986:82) dalam Saiful Sagala (2009: 84) pengaturan berkaitan dengan penyediaan kondisi belajar adalah pengelolaan kelas. Menurut Raka Joni (1984:3) dalam Saiful Sagala (2009: 84) pengelolaan kelas menunjuk kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya
proses belajar mengajar. Keterampilan mengelola kelas yang dimiliki oleh guru
dapat
dikelompokkan
menjadi
dua,
yaitu
1)
keterampilan
menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang kondusif dan optimal yang
ditampakkan
dengan
keterampilan
dan
kemampuan
membagi
perhatian pada kelompok belajar, memberikan petunjuk yang jelas kepada siswa mengenai hal belajar, menegur siswa yang berperilaku menyimpang, dan
memberikan
penguatan
(reinforecement),
dan
2)
keterampilan
menciptakan kondisi belajar yang optimal, guru mempu dan terampil merespon gangguan siswa yang berkelanjutan, respn guru tersebut dalam
bentuk
mengadakan tindakan remedial untuk mengembalikan kondisi
belajar yang optimal. Ahmad Rohani (2002:143-144) mengatakan bahwa pengelolaan kelas dan pengelolaan pengajaran adalah dua kegiatan yang sangat erat hubungannya, namun dapat dan harus dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pengajaran (instruction) mencakup semua kegiatan secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran (menentukan entry behavior peserta didik, menyususn rencana
pelajaran,
memberikan
informasi,
bertanya,
menilai
dan
sebagainya), maka pengelolaan kelas menunjuk kepada kegiaan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan raport, penghentian tingkah laku siswa yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan watu penyelesaian tugas oleh penetapan norma kelompok yang produktif dan sebagainya). Menurut Ahmad Rohani (2002:148-152), dalam
pengelolaan
pembelajaran
harus
memperhatikan
aspek-aspek
berikut: 1. Kondisi dan situasi belajar mengajar a. Kondisi fisik Lingkungan fisik tempat belajar memiliki pengaruh yang penting terhadap hasil perbuatan belajar. Lingkungan fisik yang menguntungkan
dan
memenuhi
syarat
minimal
mendukung
meningkatkan intensitas proses pembuatan belajar peserta didik dan mempunyai pengaruh yang positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran. Adapun lingkungan fisik meliputi: 1) Ruangan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar Ruangan tempat belajar harus memungkinkan semua bergerak
leluasa
tidak
berdesak-desakan
dan
saling
mengganggu antara peserta didik yang satu dnegan yang lainnya
pada
saat
melakukan aktivitas belajar.
Besarnya
ruangan kelas sangat tergantung pada berbagai hal antara lai:
-
Jenis kegiatan, apakah pertemuan tatap muka dalam kelas atau kerja di ruang praktikum
-
Jumlah peserta didik yang melakukan kegiatan-kegiatan bersama secara klasikal akan berbeda dengan kegiatan dalam kelompk
kecil.
Kegiatan klasikal secara relatif
membutuhkan ruangan rata-rata yang lebih kecil per orang dibandingkan dengan kebutuhan ruangan untuk kegiatan kelompok. Jika ruangan tersebut memperguanakan hiasan-hiasan yang mempunyai nilai pendidikan yang dapat secara tidak langsung mempunyai “daya sembuh” bagi pelanggar disiplin. Seperti dengan kata-kata baik, anjuran-anjuran, gambar tokoh sejaran, peraturan yang berlaku, dan sebagainya. 2) Pengaturan tempat duduk Dalam mengatur tempat duduk yang penting adalah memungkinkan
terjadinya
tatap
muka,
di
mana
dnegan
demikian guru sekaligus dapat mengontrol tingkah laku peserta didik.
Pengaturan
tempat
duduk
akan
mempengaruhi
kelancaran pengaturan proses belajar mengajar. Beberapa pengaturan tempat duduk diantaranya: -
Berbaris berjajar
-
Pengelompokkan terdiri dari 8 sampai 10 orang
-
Setengah lingkaran seperti dalam teater, dimana di samping guru bisa langsung bertatap muka degan peserta didik juga mudah bergerak untuk segera memberi bantuan kepada peserta didik.
-
Berbentuk lngkaran
-
Individual
yang
biasanya
terlihat
di
ruang
baca,
diperpustakaan atau ruang praktik laboratorium -
Adanya dan tersedianya ruang yang sifatnya bebas di kelas disamping bangku tempat duduk yang diatur.
Dengan sendirinya penataan tempat duduk ini dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. 3) Ventilasi dan pengaturan cahaya Ventilasi harus cukup
menjamin kesehatan peserta
didik. Jendela harus cukup sehingga memungkinkan panas cahaya matahari masuk, udara sehat dengan ventilasi yang baik, sehingga semua peserta didik di dalam kelas dapat menghirup
udara segar yang cukup mengandung oksigen,
peserta didik harus dapat melihat tulisan dnegan jelas, tulisan di papan, pada bulletin board, buku bacaan dan sebagainya. Cahaya harus datang dari sebelah kiri, cukup terang akan tetapi tidak menyilaukan. 4) Pengaturan penyimpanan barang-barang Barang-barang
hendaknya
disimpan
pada
tempat
khusus yang mudah dicapai kalau segera diperlukan dan akan dipergunakan
bagi
kepentingan
kegiatan
belajar.
Barang-
barang yang karena nilai praktisnya tinggi, dan dapat disimpan diruang kelas seperti buku pelajaran, pedoman kurikulum, kartu
pribadi,
dan
sebagainya
hendaknya
ditempatkan
sedemikian rupa sehingga barang-barang tersebut segera dapat digunakan. b. Kondisi sosio-emosional Suasana sosio-emosional dalam kelas akan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap proses belajar mengajar, kegairahan peserta didik merupakan efektivitas tercapainya tujuan pengajaran, salah satunya adalah kepemimpinan yang digunakan oleh guru. Peranan guru, tipe kepemimpinan guru, atau administrator akan
mewarnai
suasana
emosional
di
dalam
kelas.
Tipe
kepemimpinan yang lebih berat kepada otoriter akan menghasilkan sikap peserta didik yang apatis atau submissive tapi di pihak lain
juga akan menumbuhkan sikap yang agresif. Tipe kepemimpinan yang
cenderung
pada
laissez-faire
basanya
tidak
produktif
walaupun ada pemimpin. Tipe ini biasanya lebih cocok bagi peserta didik yang innerdirected dimana peserta didik tersebut aktif, penuh kemauan, berinisiatif, dan tidak selalu menunggu pengarahan. Aan tetapi kelompok peserta didik semacam ini tidak cukup banyak. Tipe kepemimpinan guru yang lebih menekankan kepada sikap
demokratis
persahabatan
guru
lebih dan
memungkinkan peserta
didik
terbinanya
dengan
dasar
sikap saling
memahami dan saling mempercayai.sikap ini dapat membantu menciptakan iklim yang menguntungkan bagi terciptanya konsidi proses belajar mengajar yang optimal, peserta didik aka belajar secara produktif baik pada saat diawasi guru maupun tanpa diawasi guru.
Referensi: Ibrahim dan Nana s. (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Majid, A. (2007). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Rosda Rohani, Ahmad. (2002). Pengelolaan Pengajaran Sebuah Pengantar Menuju Guru Profesional. Jakarta: Rineka Cipta Sagala,
Syaiful. Alfabeta.
(2009).
Administrasi Pendidikan
Kontemporer. Bandung:
Sallis, Edward. (2008). Total Quality Management In Education (Manajemen Mutu Pendidikan). Jogyakarta: IRCiSoD Wahab, A.A. (2009). Metode dan Model-model Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Satori, D. (1983). Supervisi Pendidikan Pelayanan Profesional Bagi Guru-Guru. Bandung: Pustaka Martiana
Trianto dan Nur. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktif. Jakarta: prestasi Pustaka Surya, Mohamad. (2004). Psikologi Pembelajaran Dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy Aunurrahman. (2009). Belajar Dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.