PRINSIP HAKIM PASIF DAN AKTIF DALAM PERKARA PERDATA1 A. PENDAHULUAN Prinsip hakim pasif atau aktif masih menjadi pro dan kontra di kalangan hakim dan praktisi hukum sampai sekarang. M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa prinsip yang dianut sejak awal adalah prinsip pasif sedangkan prinsip aktif adalah prinsip baru yang muncul sebagai upaya menantang prinsip pasif sebelumnya.2 Federal Court Australia telah meninggalkan prinsip pasif Sejak tujuh belas tahun yang lalu. Hakim FCA tidak hanya diam mendengar pihak yang bersengketa di persidangan, tapi ia aktif mengendalikan persidangan sehingga perkara dapat segera diselesaikan. Hakim pun aktif mendorong para pihak agar dapat mengakhiri sengketa dengan damai.3 Pasifnya hakim akan berpengaruh terhadap jalannya perkara dan bahkan bisa merugikan para pihak seperti adanya perkara dinyatakan tidak dapat diterima (NO). Menyikapi hal ini Rapat kerja Nasional Mahkamah Agung membuat rumusan tentang prinsip hakim aktif bahwa “ untuk menghindari terjadinya kerugian pihak penggugat yang telah mengeluarkan biaya perkara, majelis Hakim agar bersikap aktif memberi nasehat kepada penggugat, untuk memperbaiki
surat
gugat
yang
belum
memenuhi
syarat
sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 119 HIR, atau Pasal 143 Rbg, serta Pasal 4 ayat (1) 1
Makalah diajukan oleh IKAHI 50 Kota sebagai makalah pembanding dalam diskusi hakim bertajuk “ BATAS KEWENANGAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA PIHAK PENCARI KEADILAN” tanggal 14 November 2014 di Batu sangkar. 2 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Peryitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika Jakarta, hlm. 502-505. 3 http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/laporan-magang-fca-2014/896-perubahanparadigma-hakim-perdata-di-fca-hakim-pasif-menjadi-menjadi-hakim-aktif.html
dan (2) UU No 48 Tahun 2009, sehingga Majelis Hakim tidak begitu saja dengan mudah menjatuhkan putusan tidak menerima gugatan Penggugatan (NO)”. Berangkat dari pemikiran di atas maka prinsip hakim pasif dan aktif menarik untuk dikaji guna memahami dengan benar bagaimana sebenarnya ketentuan hukum yang tepat tentang dua prinsip ini.
B. PEMBAHASAN 1.
Asas Hakim Bersifat Pasif Secara normatif, ketentuan-ketentuan H.l.R., R.Bg., maupun R.v. tidak
menyebut secara eksplisit istilah asas hakim aktif dan hakim pasif. Dalam berbagai literatur hukum, kedua asas ini juga tidak didefinisikan secara pasti dan sistematis. Beberapa sarjana hukum mengartikan asas hakim pasif adalah hakim bersikap menunggu datangnya perkara yang diajukan oleh para pihak.4 Sebagian sarjana hukum lain mengartikan asas hakim pasif sebagai hakim memegang peranan tidak berbuat apa-apa." 5 Wildan Suyuti berpendapat, dalam perkara perdata hakim bersifat pasif, artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa ditentukan para pihak. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan peraturan yang ditetapkan undangundang dijalankan oleh para pihak. Apakah termohon mengajukan gugatan balik, banding, ataupun kasasi, itu bukan kepentingan hakim.6
4
A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan, Bina llmu, Surabaya, hlm.6. 5 L.J.van Apeldoorn, 2005, Pengantar llmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 250. 6 Wildan Suyuti, 2005, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, Dilengkapi dengan Permasalahan dan Pemecahan, Edisi revisi, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, , Jakarta, hlm. 15.
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa hakim bersifat pasif artinya hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat dengan pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim (Verhandlungs-maxim).7 Menurut Abdul Manan pasifnya hakim hanya dari segi luasnya tuntutan dan luasnya pokok perkara yang diajukan kepada hakim. Hakim bersifat pasif itu maksudnya tidak boleh menambah atau mengurangi luasnya pokok sengketa. Dalam hukum acara perdata kedudukan hakim dalam persidangan bersifat pasif hanya dianut oleh Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering (Rv) yang berlaku untuk golongan di Eropa di depan Raad van Justitie yang sekarang sudah tidak berlaku lagi namun masih banyak dipakai oleh hakim di Indonesia. Dalam sistem ini hakim hanya mengawasi jalannya persidangan agar para pihak bertindak sesuai dengan hukum acara. Ada 2 alasan mengapa hakim bersifat pasif:8 -
Karena Rv menetapkan semua tahap pemeriksaan harus dilakukan secara tertulis (schriftelijke procedur).
-
karena dalam beracara para pihak wajib didampingin oleh penasehat hukum (procedure stelling).
7
Sudikno Mertokusumo, 1994, Hukum Acara perdata Indonesia, edisi IV Liberty, Yogyakarta, hlm. 12. 8 Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan agama, Cet IV , Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 202-204.
Dari pendapat para ahli hukum sangat jelas bahwa arti pasif itu sebatas ruang lingkup perkara yang ditentukan para pihak, hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. 2.
Asas Hakim Bersifat Aktif Asas hakim aktif adalah asas yang harus ditegakkan oleh hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara perdata, karena hakim adalah pimpinan sidang yang harus berusaha menyelesaikan sengketa seefektif dan seadil mungkin serta mengatasi segala hambatan dan rintangan bagi para pencari keadilan dalam menjalankan peradilan yang fair. Pengejawantahan asas hakim aktif ini tercermin dalam beberapa ketentuan H.I.R./R.Bg Oleh karena itu, sistem H.l.R./R.Bg dianggap menerapkan asas hakim aktif. Sistem ini tentu berbeda dengan sistem R.v. yang secara tegas menganut asas hakim pasif. Peran hakim dalam persidangan menurut R.v. sangat terbatas. Akan tetapi, R.v. pada saat ini dianggap hanya sebagai pedoman belaka karena sudah tidak berlaku sebagaimana mestinya. Ahmad Kamil berpendapat bahwa pengertian pasif bukan berarti hakim tidak aktif sama sekali tetapi hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, oleh karena itu hakim berhak memberikan nasehat kepada para pihak (Pasal 119 HIR/143 RBg) dan hakim berhak menunjukkan upaya hukum dan memberikan keterangan secukupnya kepada para pihak (Pasal 132 HIR/156 RBg).9 Pendapat tersebut sama dengan pendapat Abdul Manan dengan menjabarkan maksud memimpin persidangan adalah mengatur, mengarahkan dan menentukan hukumnya. Hakim berperan aktif memimpin dari awal hingga akhir pemeriksaan. 9
Ahmad Kamil, 2005, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 170.
Hakim berwenang juga memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara agar perkara yang diajukan itu menjadi jelas duduk perkaranya sehingga memudahkan hakim dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara.10 Memberikan nasehat dan keterangan secukupnya kepada para pihak tidaklah melanggar asas hakim yang harus bersifat pasif, karena ruang lingkup atau luas pokok sengketa telah ditentukan para pihak. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan yang ditetapkan undang-undang dijalankan oleh para pihak. Hakim memberi nasehat dan keterangan hukum dalam rangka agar hukum dijalankan dengan semestinya sehingga tercapailah asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Memberikan bantuan atau nasehat hukum kepada para pihak adalah perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 119 HIR/143 RBg dan Pasal 132 HIR/156 RBg. jo Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Maka dalam perkara perceraian (CT) hakim memberi tahu termohon tentang akibat putusnya perceraian dibenarkan secara hukum (justifiable). Dan itu bukan keberpihakan kepada termohon, karena yang dilakukan hakim dalam rangka menerapkan asas keadilan kepada para pihak berperkara (equality before the law). Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah pihak berperkara serta menunjukkan uapaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka (Pasal 132 HIR/156 RBg). 10
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 202.
Diharapkan dari hakim sebagai orang yang bijaksana aktif dalam memecahkan masalah. Karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terlaksananya Negara Hukum Republik Indonesia.11 Menurut M. Yahya Harahap, membantu para pihak dari sudut pengkajian teoretis dapat dikategorikan “wajib”, jadi bersifat “imperatif” dasarnya adalah Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 maupun yang tercantum dalam Pasal 119 HIR/143 RBg. Sedangkan dilihat dari sudut pandang tujuan memberi bantuan, diarahkan untuk terwujud praktek peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ditambah lagi dari sudut pandang system hukum acara perdata itu sendiri, langsung dengan lisan dan tidak wajib berproses dengan bantuan penasehat hukum, dihubungkan dengan tingkat kecerdasan hukum masyarakat Indonesia pada umumnya, semakin kuat alasan yang menyatakan “membantu” para pencari keadilan dalam proses pemeriksaan perkara perdata bersifat imperatif.12 Menurut Abdul Manan dan A. Mukti Arto, tugas pokok hakim di pengadilan agama salah satunya adalah membantu pencari keadilan. Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan untuk dapat mewujudkan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemberian bantuan tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan dan atau diizinkan oleh hukum acara perdata, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:13
11
Sudikno Mertokusumo, OP. Cit., hlm. 13. M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 89. 13 Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 202. 203-204. A. Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 31. 12
3.
a.
Membuat gugatan bagi yang buta huruf.
b.
Memberi pengarahan tata cara prodeo.
c.
Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
d.
Menganjurkan perbaikan surat gugatan/permohonan.
e.
Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah.
f.
Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban.
g.
Bantuan memanggil saksi secara resmi.
h.
Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi.
i.
Memberi penjelasan tentang upaya hukum.
j.
Mengarahkan dan membantu memformulasikan perdamaian. Hakim antara Pasif dan Aktif Beberapa praktisi dan akademisi berpendapat bahwa dewasa ini
keberadaan asas hakim pasif dan aktif tidaklah esensial. Pertanyaan mengenai asas mana yang berlaku pada saat ini atau asas mana yang lebih penting dalam hukum acara perdata tidak lagi menjadi persoalan.14 Secara normatif maupun empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan. Meskipun demikian, bukan berarti hubungan antara kedua asas tersebut komplementer: kedua-duanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi yang berbeda ini muncul karena hukum perdata sebagai hukum privat mengatur kepentingan antar individu mempunyai batasan yang sifatnya perseorangan (individual).Persoalan baru muncul ketika pihak yang merasa 14
Focused Group Discussion FGD di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 11 September 2009.
dirugikan ingin kepentingan dan hak hukumnya terjamin. Oleh karena itu, sangat logis jika hakim mencerminkan sikap pasif, baik pada saat menunggu datangnya perkara yang diajukan padanya maupun bersikap pasif dalam hal menentukan batasan tentang perkaranya (ruang lingkup perkara). Hanya pihak pencari keadilan (penggugat dalam gugatannya dan tergugat dalam jawabannya) yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara mereka. Sejak perkara diserahkan kepada hakim sebagai pemutus perkara, maka hakim yang menjunjung nilai impartiality (ketidakberpihakan) dan kebijaksanaan sebagai seorang ahli dalam penyelesaian sengketa hukum, harus memastikan agar para pencari keadilan mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan mengakomodir lebih banyak hasrat keadilan bagi keduanya (audi et qlterqm partem). Di sinilah hakim harus bersikap aktif. Jika para pihak sudah menyerahkan sengketa mereka pada hakim, mereka seharusnya menyadari bahwa hakim adalah orang yang paham hukum (ius curia novit) dan ia telah dipercaya untuk memutus sengketa antara keduanya. Dengan demikian prinsip pasif atau aktif merupakan dua hal yang tidak bisa dihindari oleh hakim, karenanya yang terpenting sebagai batasannya adalah menerapkan asas yang disebutkan dalam peraturan perundanga-undangan, yaitu: a.
Memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam membela dan memperjuangkan hak-haknya (equal acces rule) atau mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang/ impartiality. (Pasal 4 ayat 1 UU. No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman).15 b.
Membantu para pihak untuk mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.( Pasal 4 ayat 2 UU. No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman).16
c.
Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Secara normatif, ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan baik UU No. 48 tentang kekuasaan kehakiman, H.l.R., R.Bg., maupun R.v. tidak menyebut secara eksplisit istilah asas hakim aktif dan hakim pasif. 2. Asas hakim pasif adalah hakim terikat dengan peristiwa yang disengketakan dan diajukan para pihak dan para pihak pula yang diwajibkan untuk membuktikan (Verhandlungs-maxim). 3. Hakim bersifat aktif adalah hakim aktif dalam memeriksa dan memutus perkara, berusaha menyelesaikan sengketa seefektif dan seadil mungkin
15
Prinsip ini telah diawali oleh Umar bin Khatab dalam intruksinya yang dikenal dengan Risalat al-Qadha’. Salah satu instruksinya yang mengandung asas equality before the law adalah: س و ، "! و# و$%وآس ( ا & س و Samakan pandanganmu kepada para pihak, dudukkanlah para pihak di majelis yang sama, berilah putusan yang adil kepadanya, agar orang yang terhormat tidak tamak pada kecurangan anda dan supaya orang yang lemah tidak merasa teraniaya karena putusan anda”. Baca hasbi alShiddiqy, 1970, Sejarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 26 16 Pada beberapa pengadilan agama dijumpai penggugat/pemohon dipandu dalam membuat permohonan/gugatan, namun tergugat/termohon tidak dipandu dalam merumuskan jawaban/gugatan rekonvensi. Demi keadilan para pihak harus mendapatkan standar hukum materiil yang sama (equal uniformity) dan perlindungan yang sama atas hak-haknya sesuai dengan ketentuan hukum materiil (equal protection of the law). Baca M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Permasalahan Peradilan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pustaka Rosdakarya, Bandung, hlm. 67. A. Mukti Arto, “Pelayanan Prima Jasa Peradilan Membangun Kepercayaan Publik dan Jati Diri”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 298 September 2010, Jakarta: IKAHI, 2010, hlm. 83.
serta mengatasi segala hambatan dan rintangan bagi para pencari keadilan dalam menjalankan peradilan yang fair. 4. Batasan hakim untuk pasif atau aktif adalah adalah menerapkan asas peradilan yang disebutkan dalam peraturan perundanga-undangan, yaitu: -
Memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam membela dan memperjuangkan hak-haknya (equal acces rule) atau mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang/ impartiality. (Pasal 4 ayat 1 UU. No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman).
-
Membantu para pihak untuk mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.( Pasal 4 ayat 2 UU. No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman).17
17
Pada beberapa pengadilan agama dijumpai penggugat/pemohon dipandu dalam membuat permohonan/gugatan, namun tergugat/termohon tidak dipandu dalam merumuskan jawaban/gugatan rekonvensi. Demi keadilan para pihak harus mendapatkan standar hukum materiil yang sama (equal uniformity) dan perlindungan yang sama atas hak-haknya sesuai dengan ketentuan hukum materiil (equal protection of the law). Baca M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Permasalahan Peradilan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pustaka Rosdakarya, Bandung, hlm. 67. A. Mukti Arto, “Pelayanan Prima Jasa Peradilan Membangun Kepercayaan Publik dan Jati Diri”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 298 September 2010, Jakarta: IKAHI, 2010, hlm. 83.
DAFTAR PUSTAKA A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan, Bina llmu, Surabaya, hlm.6. Abdul Manan, Prof., Dr., H., SH., S.IP., M. Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan agama, Cet IV, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2006. Ahmad Kamil, Drs. H., SH., M. Hum. Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005. Mukti Arto, Drs., H. SH., M.Hum. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. ------------------ “Pelayanan Prima Jasa Peradilan Membangun Kepercayaan Publik dan Jati Diri”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 298 September 2010, Jakarta, IKAHI, 2010. Al-Shan’any, Subul al-salam, Syarah Bulugh al-Maram min Jami’i Adillat alAkhkam karya Ibnu Hajar Al-Asqalany, Juz III, Mesir, Darul Ulum, 1958. Ash. Shiddieqy, Hasby, T.M. Prof. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970. Basuki Rekso Wibowo, Prof., “Pembaruan Hukum yang Berwajah Keadilan”, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXVII No. 313 Desember 2011, Jakarta, IKAHI, 2011. Harahap, M. Yahya, SH, Beberapa Permasalahan Peradilan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bandung, Pustaka Rosdakarya, 1997. ----------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005. ----------, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-6, Jakarta, Sinar Grafika, 2007. L.J.van Apeldoorn, 2005, Pengantar llmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta
Samudra, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, Prof. Dr., SH., Hukum Acara perdata Indonesia, edisi IV, Yogyakarta, Liberty, 1994. Tresna, 1970, Komentar qtas Reglemen Hukum Acara di dalamPemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri atou H.l.R., Cetakan Ketiga, Pradnya Paramita, Jakarta. Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta. Wildan Suyuti, Drs. H. SH., MH. Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, Dilengkapi dengan Permasalahan dan Pemecahan, Edisi revisi, Jakarta, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, 2005. HIR/RBg. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.