BAHAN AJAR
PRAKTIKUM FARMASETIKA FAK 3211 (MINAT FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK SEMESTER 6)
PENYUSUN:
Niken Nur Widyakusuma, S.Farm., Apt
LABORATORIUM MANAJEMEN FARMASI DAN FARMASI MASYARAKAT
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012 1
I.
PENGANTAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DAN RUMAH SAKIT Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya, tidak hanya berorientasi pada pengelolaan obat namun juga pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan demikian, secara umum peran apoteker baik di apotek maupun rumah sakit adalah peran manajerial dan pelayanan klinis. a.
Pelayanan Kefarmasian di Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan no. 1027 tahun 2004, pengelolaan (manajerial) yang dilakukan oleh apoteker di apotek meliputi pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan sarana dan prasarana apotek, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya, dan pengelolaan administrasi. Sedangkan pelayanan di apotek terdiri dari pelayanan resep, promosi dan edukasi, dan pelayanan residensial. Pelayanan resep di apotek dapat digambarkan sebagai berikut: Penerimaan Resep
Skrining Administratif
Skrining Farmasetis Skrining Resep
Skrining Klinis
Penyiapan Obat
Peracikan Etiket Kemasan
Kejelasan tulisan Kelengkapan Resep Keaslian Resep Kejelasan Instruksi Dosis Bentuk Sediaan Cara Pemberian Inkompatibiltas Alergi Adverse Drug Reactions Interaksi (Obat-Obat, Obatmakanan, Obat-Penyakit) Kesesuaian (Lama terapi, dosis, cara pemberian, jumlah obat)
Penyerahan Obat
Informasi/Konseling
Monitoring 2
b.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit: Peran manajerial apoteker di rumah sakit meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan distribusi obat. Sedangkan peran pelayanan klinis misalnya: 1. Pengambilan riwayat pengobatan pasien 2. Pemantauan resep 3. Visite farmasi 4. Pemantauan terapi obat 5. Pencampuran obat suntik 6. Nutrisi Parenteral 7. Penanganan obat-obat sitostatika 8. Komunikasi, informasi, dan edukasi pasien 9. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan pelaporan MESO Selain manajerial dan klinis, farmasis di rumah sakit juga diharapkan aktif pada
pelayanan penunjang seperti: 1. Kegiatan khusus dalam komite/panitia/tim yang menyangkut dengan pengobatan, misalnya: i. Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit ii. Panitia Medik dan Terapi iii. Panitia Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit iv. Tim Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri v. Tim Penanggulangan AIDS vi. Tim Transplantasi vii. Tim PKMRS (Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit) 2. Kegiatan dalam pendidikan, penelitian, pengembangan, atau kemasyarakatan di rumah sakit.
II. SKRINING RESEP Tahap pertama yang dilakukan oleh seorang apoteker dalam proses pelayanan resep adalah melakukan skrining, yaitu memeriksa persyaratan administratif, kesesuaian farmasetis, dan pertimbangan klinis pada resep. Saat apoteker menemukan suatu permasalahan dari resep, maka apoteker harus mampu memberikan pengatasan masalah, dan pada kasus tertentu harus berkonsultasi dengan dokter dengan memberikan pertimbangan dan alternatif solusinya. 3
a. Persyaratan administratif Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep mempunyai dua makna penting yaitu sebagai dokumen legal dan sebagai alat komunikasi antara penulis resep (prescriber) dan penerima resep (dispenser). Oleh karena itu, resep harus memenuhi persyaratan administratif dan ditulis dengan jelas agar tidak menimbulkan salah interpretasi bagi dispenser. Resep memiliki: 1. Nama, SIP, dan alamat dokter 2. Tanggal penulisan resep 3. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep 4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien 5. Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta 6. Cara pemakaian yang jelas 7. Informasi lainnya Beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam resep antara lain: 1. Jika informasi yang diperlukan tidak ada maka apoteker harus menanyakan kepada pasien dan/atau dokter. 2. Jika dokter menginginkan resep diulang, maka diberi tanda “iter”. Jika “iter” ditulis di sebelah kiri R/ maka yang diulang hanya R/ di sebelah kanannya, jika ditulis di atas R/ maka semua resep diulang sesuai jumlah yang ditulis. Iter 3x artinya pasien akan mendapatkan obat 4 kali. 3. Resep yang mengandung narkotika tidak boleh ada iterasi. 4. Untuk penderita yang segera memerlukan obatnya, dokter menulis pada bagian kanan resep sebagai berikut: cito, statim, urgent, atau PIM (periculum in mora, berbahaya bila ditunda) 5. Bila dokter tidak ingin resepnya yang mengandung obat keras diulang tanpa sepengetahuan dokter, dokter akan menulis n.i. (ne iteratur, tidak boleh diulang) 6. Resep dapat ditulis kembali dalam bentuk salinan resep (apograph, copy resep). Selain memuat keterangan resep asli, copy resep juga memuat nama apotek dan alamatnya, nama apoteker dan nomor SIPA-nya, tanda tangan apoteker pengelola apotek, dan tanda “det” (jika obat sudah diserahkan) atau “nedet” (jika obat belum diserahkan).
4
7. Jika copy resep ternyata mengandung narkotika (misalnya karena jumlah obat yang diminta sebelumnya baru diberikan sebagian), maka copy resep hanya dapat ditebus di apotek yang memiliki resep aslinya. 8. Resep yang mengandung narkotika tidak dapat ditebus di luar kota tempat obat diresepkan.
b.
Kesesuaian Farmasetis 1. Bentuk sediaan Perlu diperhatikan apakah bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien dapat digunakan dengan baik oleh pasien, misalnya jika obatnya adalah tablet, pastikan anak-anak dapat menelannya; jika bentuknya pulveres, perhatikan apakah rasanya terlalu pahit atau tidak; atau jika bentuknya sirup, apakah jumlah sendok yang digunakan sudah sesuai dengan dosis yang diperlukan. 2. Inkompatibilitas (tak tercampurkannya obat)
Fisika Inkompatibiltas fisika adalah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada pencampuran 2 obat atau lebih tanpa ada perubahan susunan kimianya. Beberapa contoh peristiwa inkompatibilitas fisika: i. Tidak dapat larut (serbuk dalam cairan) atau tidak dapat campur (cairan dalam cairan) dua sediaan Contoh: serbuk golongan sulfa sukar larut dalam air sehingga akan mengendap. Minyak ikan (oleum lecorris aselli) tidak dapat campur dalam air. ii. Peristiwa adsorbsi Contoh: ekstrak belladona bersama bolus alba: ekstrak belladona inaktif karena diadsorbsi oleh bolus alba. iii. Meleleh atau menjadi lembab (liquifaction) karena adanya penurunan titik lebur, penurunan tekanan uap relatif, atau bebasnya air hablur Contoh: menthol dicampur camphor akan menyebabkan penurunan titik lebur sehingga serbuk menjadi lembek. Kalii bromidi dan Natrii iodida akan menyebabkan penurunan tekanan uap relatif sehingga campuran serbuk menjadi basah. Campuran magnesii sulfat dan natrii sulfat akan membentuk garam rangkap dengan bebasnya air hablur dari magnesii dan natrii sulfat.
5
iv. Praecipitation Obat dalam pelarutnya kemudian ditambahkan pelarut lain yang tidak larut, maka pelarut ini akan mendesak pelarut sehingga terjadi pengendapan (senyawa asal). Contoh: R/ Chinin HCl
2
Amm. Chloride
10
Sebagian Chinin tidak dapat
Aqua
150
larut lagi dengan adanya
m.f.potio
ammonium chloride
StddC1 v. Pembentukan gel
Kimia Inkompatibilitas kimia adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena timbulnya reaksi-reaksi kimia pada waktu mencammpurkan bahan-bahan obat. Beberapa contoh inkompatibilitas kimia: i. Terbentuknya endapan yang tidak larut (senyawa baru) Contoh: AgNO3 + HCl AgCl + HNO3 (Perak klorida mengendap) ii. Kekeruhan R/ Zinci Sulfat
0,40
Natrii biborat
1,00
Aquadest ad
1000
Akan terbentuk Zinc borat basa sehingga campuran menjadi keruh
S. Collyrium
iii. Terurainya obat Contoh:
R/ Sulfadiazin 1 Fenobarbital Na 0,6 OBH ad 300 m.f.potio S. t.d.d C I
Fenobarbital Na dalam air akan terurai menjadi fenil asetil ureum yang toksis dalam darah.
iv. Reaksi asam-basa v. Reaksi oksidasi-reduksi
6
Contoh: adrenalin jika terkena cahaya menjadi adrenokrom (berwarna merah) sehingga ampul adrenalin harus kedap cahaya/dibungkus kertas karbon.
vi. Reaksi yang menghasilkan perubahan warna Contoh:
R/ Aminophyllin Ephedrin HCl Prednison Luminal Vitamin C
Vitamin C bersama aminophyllin akan menjadi L-askorbat (berwarna coklat), sehingga tidak berkhasiat.
vii. Tak tercampurkannya dengan sediaan galenika viii. Perubahan stabilitas dalam larutan Contoh: rusaknya sistem emulsi pada cream dengan penambahan asam salisilat. ix. Hidrolisis x. Timbulnya gas
c. Pertimbangan klinis 1. Adanya alergi Apoteker harus mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang kondisi pasien, termasuk jika belum ada keterangan tentang alergi. 2. Efek samping 3. Interaksi Obat Menurut mekanismenya, interaksi obat dapat terjadi baik secara farmasetis, farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmasetis adalah interaksi yang terjadi saat obat belum sampai ke tubuh, yaitu pada inkompatibilitas fisika dan kimia. Secara farmakokinetik, interaksi dapat terjadi selama proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Secara farmakodinamik, interaksi terjadi antara 2 atau lebih obat yang mengakibatkan adanya kompetisi dalam pendudukan reseptor sehingga meniadakan salah satu efek dari obat yang digunakan. Contoh interaksi pada proses absorbsi misalnya obat yang satu merubah kecepatan atau jumlah obat lain yang diabsorbsi. Pada proses distribusi, mekanisme dapat terjadi karena terbatasnya protein plasma darah yang dibutuhkan oleh obat untuk berikatan. Pada proses metabolisme, mekanisme 7
interaksi bisa berupa inhibisi atau induksi enzim pemetabolisme obat. Pada proses ekskresi, misalnya suatu obat menyebabkan perubahan pH urin sehingga merubah klirens obat lainnya. Efek dari interaksi obat: a. Efek sinergis: 1+1 = 10 (Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga menghasilkan efek yang jauh lebih besar) b. Efek antagonis: 1+1 = 1 (Obat A dan obat B diminum bersamaan sehingga efeknya meniadakan salah satu obat) c. Efek additif: 1+1 = 2 (Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan efek ganda).
4. Kesesuaian dosis, durasi, dan jumlah obat yang diminta Dalam pengobatan perlu dipastikan bahwa kadar obat selalu berada di atas KEM (konsentrasi efektif minimum) dan di bawah KTM (konsentrasi toksis minimum), sehingga perlu aturan dosis yang mengatur dosis dan jarak waktu pemberian agar obat mencapai konsentrasi terapi sesuai dengan yang dikehendaki. Aturan dosis dapat diberikan dalam tiga dasar kategori:
Dosis pemeliharaan, yaitu pada konsentrasi efektif. Efek obat harus selalu terpelihara pada jendela terapi.
Dosis terapi pada periode waktu tertentu. Dosis yang diberikan hanya dalam waktu tertentu tingkat terapi yang diinginkan, seperti pada pemberian antibiotika terhadap pengobatan infeksi dan obat-obat dengan t1/2 pendek.
Dosis tunggal atau terapi jangka pendek. Dosis ini diberikan pada keadaan efek obat yang diinginkan hanya untuk sesaat, seperti pada pengobatan simptomatik.
Beberapa faktor yang memengaruhi dosis:
Usia bayi dan anak-anak sangat peka terhadap obat karena fungsi hati, ginjal, dan sistem enzimnya belum sempurna. Begitu juga pada orang tua karena fungsi hati dan ginjal yang telah menurun. Dosis untuk orang tua: o 65-74 tahun:
dosis biasa – 10%
o 75 – 84 tahun: dosis biasa – 20% o > 85 tahun:
dosis biasa – 30%
Bobot badan 8
Luas permukaan badan
Jenis Kelamin
Beratnya penyakit Karena banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan dosis,
perlu dicek kembali apakah dosis yang diminta di resep sesuai dengan dosis lazim anak atau dewasa, dan tidak melebihi dosis maksimal sesuai usia pasien. Dosis lazim adalah jumlah obat yang sering digunakan dan merupakan dosis terapi. Dosis maksimal adalah jumlah maksimal obat yang dapat diberikan tanpa menimbulkan efek toksis. Perhitungan dosis maksimal yang ada pada literatur semuanya menggunakan dosis dewasa. Jika pasiennya anak-anak, ada beberapa pendekatan rumus yang dapat digunakan untuk menghitung dosis maksimal anak, diantaranya:
Rumus Fried and Clark (untuk anak kurang dari 1 tahun) 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 ) 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑝𝑜𝑢𝑛𝑑𝑠 ) 150
Rumus Young (untuk anak usia 1-8 tahun) 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 ) 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑡𝑎 ℎ𝑢𝑛 + 12
x Dosis maksimal dewasa
x dosis maksimal dewasa
Rumus Dilling (untuk anak usia 8-20 tahun) 𝑢𝑚𝑢𝑟 (𝑡𝑎 ℎ𝑢𝑛 ) 20
x dosis maksimal dewasa
Contoh:
R/ Phenobarbital 40 mg Lactosum qs m.f. pulv dtd no X t.t.d.d. pulv I Pro: Shinta (3 tahun 9 bulan)
Diketahui dosis maksimal phenobarbital untuk orang dewasa adalah 300 mg (1kali pemakaian) dan 600 mg (1 hari). Maka perhitungan dosis maksimal phenobarbital untuk anak usia 3 tahun 9 bulan (3,75 tahun) adalah: 3,75 3,75+ 12 3,75 3,75+ 12
x 300 mg = 71,43 mg x 600 mg = 142,68 mg
Bandingkan pada resep, pasien Shinta meminum 40 mg Phenobarbital dalam 1 kali minum dan 40x3= 120 mg dalam 1 hari tidak over dosis.
9
R/Kotrimoksazol
2,4
Phenobarbital
0,6
Sir. simplex Aqua
aa
60
S.t.d.d.sendok kecil I Pro: Anne (12 tahun) Perhitungan dosis maksimal phenobarbital pada anak usia 12 tahun adalah: 12 20 12 20
x 300 mg = 180 mg x 600 mg = 360 mg
Bandingkan pada resep, Anne meminum phenobarbital: 0,6
1 kali pakai: 124,23x 5 ml x 1,3 g/ml= 31,39 mg tidak over dosis 1 hari
: 3 x 31,39 = 94,17 mg tidak over dosis
Keterangan: Berat total = 2,4 g + 600 mg + 60 g + 60 g +1% CMC Na = 124,23 g. Jumlah sirup > 1/6 berat total obat, sehingga berat jenis cairan = 1,3 g/ml. Jika jumlah sirup < 1/6 berat total obat, maka berat jenis cairan masih dianggap = 1. Sendok makan= 15 ml, sendok bubur= 8 ml, sendok kecil = 5 ml, sendok teh = 3 ml.
Jika dokter memang menginginkan dosis obat lebih dari dosis maksimal, maka dokter akan memberi tanda seru atau tanda tangan.
III.
COMPOUNDING Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Setelah apoteker melakukan pengatasan problema yang ditemukan ketika melakukan skrining, maka langkah selanjutnya adalah meracik dan menyiapkan obat. a. Peracikan Perhatikan cara penimbangan yang baik dan pengambilan bahannya. b. Etiketing Etiket harus jelas dan mudah dibaca. Saat ini belum ada aturan baku dari IAI mengenai informasi apa saja yang harus dimuat dalam etiket, namun etiket yang baik setidaknya memuat:
Nama dan alamat apotek,
Nama dan nomor SIA apoteker 10
Nomor resep dan tanggal pembuatan
Nama pasien
Aturan pemakaian
Paraf pembuat etiket
Tanda lain yang diperlukan, misalnya gojog dahulu atau diminum rutin sampai habis.
Untuk obat yang digunakan dalam saluran pencernaan menggunakan etiket berwarna putih (misalnya kapsul, tablet, sirup), sedangkan untuk obat di luar saluran pencernaan menggunakan etiket berwarna biru (misalnya salep, insulin injeksi, tablet vaginal). c. Pengemasan Pengemasan dilakukan dengan bersih dan rapi.
IV.
INFORMASI OBAT DAN KONSELING Menurut Kepmenkes 1027/2004, informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas, serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
V.
MONITORING PENGGUNAAN OBAT Setelah menyerahkan obat dan memberi informasi yang diperlukan, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat terutama untuk penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. Bentuk yang dilakukan dapat berupa kunjungan rumah, telepon, atau informal ketika masyarakat datang ke apotek. Apoteker dapat menyiapkan Kartu Pengobatan untuk mencatat riwayat dan rencana pengobatan pasien.
VI.
PROMOSI DAN EDUKASI Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya, baik ketika di apotek maupun di rumah sakit.
11
Sumber informasi yang digunakan dapat sumber informasi primer berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, sumber informasi sekunder berupa kumpulan abstrak dari berbagai macam artikel jurnal atau buku. Sumber informasi tersier berupa buku referensi yang berisi materi-materi yang lebih umum, misalnya IONI, British National Formulary, Drug Information Handbook. Pelayanan informasi obat/ pusat informasi obat (PIO) dapat berupa PIO aktif dan pasif. PIO aktif membutuhkan inisiatif dari apoteker untuk menyebarluaskan informasi mengenai pengobatan kepada masyarakat di lingkungannya. Beberapa contoh promosi kesehatan masyarakat melalui PIO adalah pembuatan leaflet mengenai minor illness, yaitu kondisi penyakit ringan seperti common cold, batuk, gondongan, diare. Sedangkan PIO pasif misalnya dengan membuka hotline/ nomor telepon khusus yang siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan baik dari masyarakat umum maupun tenaga kesehatan lainnya.
VII.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004, Kepmenkes No.1027/MENKES/SK/IX/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotik, Depkes RI, Jakarta. Anonim, 2009a, PP No. 51 tahun 2009, Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Depkes RI, Jakarta. Boh, L.E., 1992, Clinical Clerkship Manual, Applied Therapeutics Inc., Vancouver, Washington Cohen, M.R., 1999, Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington M. Aslam, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, 2003, Farmasi Klinis, Elex Media Komputindo, Jakarta Melanie, J.R., 1997, Talking with Patient, A guide to Patient Counseling, William&Wilkins Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Elex Media Komputindo, Jakarta. Winter, M.E., 1994, Basic Clinical Pharmacokinetics, 3rd edition, Applied Therapeutics Inc., Vancouver, Washington
12