POTRET PENDIDIKAN NASIONAL UPAYA MEREALISASIKAN PENDIDIKAN KERAKYATAN BANGSA. Oleh: MUKAFFAN.
Abstrak Pendidikan bangsa Indonesia saat ini mengalami kemorosatan kualitas sumber daya manusia baik ditingkat nasional maupun internasional. Penyebabnya adalah kurangnya negosiasi aktif antara keperluan masyarakat dengan pemerintah sehingga pendidikan bangsa kita tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan multikultural baik yang berhubungan dengan isi kurikulum, metode pembelajaran dan infrastruktur pendidikan secara komprehensif. Upaya menciptakan kader-kader anak bangsa yang berkualitas memerlupakan proses pendidikan yang professional. Selama ini masih ada anggapan bahwa usaha mendidik lebih merupakan seni daripada dirancang dan diusahakan secara terencana dan ilmiah. Jika pandangan pertama lebih memberi tumpuan pada gaya dan cara mengajar guru tanpa harus memperhatikan kepentingan dan kebutuhan peserta didik, maka pandangan yang seharusnya dimiliki oleh para praktisi pendidikan adalah bahwa proses pendidikan diarahkan untuk pengembangan peserta didik dengan berbasiskan pandangan kerakyatan bangsa, baik menggunakan pandangan secara teoritis maupun metodologis keilmuan yang kuat. Kata Kunci: Pendidikan Nasional, kerakyatan bangsa.
1
A. Pendahuluan
Perkembangan pendidikan bangsa Indonesia saat ini, mengalami benturan peradaban global sehingga berimplikasi terhadap perkembangan politik, sosial, pendidikan, kebudayaan, ekonomi serta agama. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan Indonesia secara aktual mangalami sedikit kekacauan terhadap proses pembelajaran pendidikan demokrasi. Ada tiga persoalan yang terjadi pada pendidikan nasional secara umum sehingga mempengaruhi terhadap peradaban bangsa, yang pertama persoalan landasan dan fondasi pendidikan yang kedua persoalan sistem dan struktur pendidikan sedangkan yang ketiga persoalan operasional pendidikan.1 Oleh karena itu, pandangan masyarakat yang notabene masyarakat majemuk yang menginginkan untuk menjunjung tinggi terhadap nilainilai demokrasi.2 Maka pendidikan nasional harus berwatak holistik-universal dan menciptakan peradaban bangsa yang berkeadilan. Sementara perkembangan dunia pendidikan nasional kehilangan kemurnian dan karakteristik dalam bingkai membangun peradaban bangsa yaitu mencerdaskan sebuah bangsa dan menciptakan manusia universal. Sedangkan detik-detik ini, dunia pendidikan tidak bisa mewakili prestasi terhadap mutu dan kualitas di bandingkan dengan pendidikan internasional terutama pendidikan tingkat Asia. Persoalan dan problem pendidikan bangsa diakibatkan oleh ketidak seriusan pemerintah dalam menangani kekurangan infrasrtuktur pendidikan sehingga pendidikan nasional tidak mempunyai harapan nilai-nilai kualitas sumber daya manusia. Jika demikian adanya, bahwa pendidikan nasional akan kehilangan arah dan keadilan sosial terhadap pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kerakyatan, multikultural dan demokrasi,3 sedangkan demokrasi pendidikan tersebut sangat erat berkaitan dengan kebebasan yang berdasarkan pada pandangan falsafah Negara. Dengan demikian, pendidikan seharusnya melakukan transformasi baru untuk mengubah cara berpikir magis menuju berpikir kritis, agar pendidikan nasional tetap mengevaluasi kebijakan pemerintah dan menegakkan peradaban pendidikan demokrasi. Sedangkan realitas pendidikan bangsa ini tidak menciptakan kemanusiaan yang manusiawi,4 justru yang terjadi adalah pendidikan sangat menakutkan karena model pembelajaran pendidikan dalam lembaga 1 Imam Machalli Mushofa, Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran Seputar, Filsafat, Ekonomi, Social, Dan Budaya. (Ed), (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), hlm. 83. 2 Steva M. Chan, Pendidikan Liberal berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.37. 3 Keadilan pendidikan disini sangat holistik yang melibatkan semua elemen masyarakat dan juga berhubungan dengan komponen-komponen baik Negara dengan rakyat, pengelolah pendidikan dengan tehnisi pendidikan, orang tua dengan anak dan pendidik dengan peserta didik yang harus menciptakan integralitas-interkoneksitas dalam membangun peradaban bangsa yang berkeadilan. Ibid,,. hlm. 47. 4 Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekusaan dan Pembebasan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 195.
2
sekolah formal apa yang dikatakan oleh Ainurrofiq Dawam persis menyamakan sekolah dengan Penjara.5 Aturan sistem dan metodologi yang konvensional seringkali menjenuhkan terhadap peserta didik, bahkan peserta didik hanya sebagai obyek bahasan belaka, maka pendidikan bangsa akan melahirkan lembaga sekolah yang masuk-keluar absen yang hanya mendapatkan ijazah semata, sehingga berimplikasi pada pola berpikir yang baku dan posivistik, dengan model pemikiran pendidikan tersebut sebenarnya merupakan pendidikan yang sangat membahayakan terhadap perkembangan peradaban bangsa. Dan yang harus ditegakkan di dunia pendidikan nasional adalah pendidikan kritis transformatif.6 B. Kegelisahan dan Metode. Kegelisahan penulis hanya mendeskripsikan persoalan peradaban bangsa dalam dunia Pendidikan Nasional serta melihat secara kritis terhadap perkembangan dan problem pendidikan Indonesia dengan isu-isu aktual saat ini. Pertanyaannya adalah apakah pendidikan Indonesia hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka sehingga pendidikan nasional mempengaruhi anak bangsa yang tidak mempunyai kualitas yang tinggi? Implikasinya terhadap cara pandang dan berpikir generasi bangsa untuk melakukan dan menciptakan transformasi pendidikan kebebasan secara demokratis dengan merumuskan manajemen dan kebijakan pendidikan yang di harapkan oleh bangsa. Dengan analisis ini, dunia pendidikan seharusnya mengkaji ulang dan menggagas kembali terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat yang berdasarkan kepada kebebasan akademik di dalam pendidikan demokrasi.7 Maka penulis menggunakan metode analisis-kritis yaitu menguraikan secara teoritis atas fakta yang terjadi, kemudian dirumuskan secara kritis dengan mengacu pada pendidikan kerakyatan-kebangsaan dengan nilai-nilai demokrasi.
C. Potret Dan Problem Pendidikan Nasional menuju Pendidikan Kerakyatan Bangsa Diakui atau tidak, pendidikan di Indonesia sangat terpuruk se-asia, karena wacana pendidikan nasional tidak holistik dan universal, sehingga kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat sosial untuk mewujudkan nilai-nilai pendidikan demokrasi.8 Banyak kejangkalan yang terjadi
5
Ade Irawan dkk. Mendagangkan Sekolah Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2004), hlm. 16. 6 Pengertian secara umum tentang pendidikan transformatif adalah terbentuknya satu kehidupan yang berkeadilan, mandiri, tidak ada ketergantungan terhadap pihak lain, berpihak terhadap yang lemah dan memposisikan yang sama, namun bagi peserta didik manfaat pendidikan kritis transformatif adalah mempersiapkan sarana untuk menghadapi problematika hidup baik bagi dirinya secara individu dan sosial serta sebagai warga Negara. Lihat, Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hlm. 158. 7 Abdullah dan Toto Soharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 152. 8 Paulo Feire menyarankan bahwa untuk mencapai demokratisasi pendidikan perlu diciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dan peserta didiknya dalam proses pembelajaran. Jadi demokratisasi adalah menciptakan suasana dialog secara harmonis dalam kehidupan realitas pendidikan dengan penuh tanggung jawab. Ibid,,. hlm. 154.
3
pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang sangat memperhatinkan baik dari segi infrastruktur maupun dari sumber daya manusia itu sendiri. Bahkan dunia pendidikan tidak mampu memberikan penyadaran kemanusiaan yang progresif serta agresif untuk melakukan perubahan sosial yang sangat diharapkan oleh bangsa. Pendidikan bangsa hanya berlaku pada ruangan-ruangan yang tidak mampu melihat realitas dunia luar yang sedang berkembang atau sudah maju. Dengan demikian, ada pola bagian tertentu yang kebiasaan dalam kesadaran dunia pendidikan nasional yang masih melekat karakteristik pemikiran masyarakat yaitu kesadaran magis, kesadaran na’if dan kesadaran tranformatif atau kritis.9 Dari kriteria-kriteria tersebut akan berimplikasi terhadap kemajuan dan perkembangan pendidikan, kesadaran masyarakat dalam dunia pendidikan masih banyak masuk pada wilayah kesadaran magis, paling tidak ketingkat kesadaran na’if, sehingga problem pendidikan di Indonesia tidak berkembang sesuai dengan realitas yang melingkupinya. Namun yang sangat signifikan dalam proses memahami pengetahuan masyarakat seringkali menerima begitu saja tanpa adanya nalar kritis untuk mengkritisi kebijakan yang diskriminatif. Sedangkan fonomena pendidikan di masyarakat, dalam meningkatkan kualitas pendidikan masih sangat sulit untuk diselesaikan dan terbukti kebijakan pemerintah tidak merata dalam menyelenggarakan pendidikan untuk memberikan alokasi dana terhadap lembaga pendidikan yang telah diatur oleh undang-undang Negara sebanyak 20% atau lebih dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).10 Dengan analisis diatas sebenarnya merupakan kebijakan politis saja yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga perjalanan pendidikan di Indonesia berjalan ditempat. Maka potret dunia pendidikan nasional tidak mampu membebaskan peradaban manusia dari persoalan-persoalan sosial untuk menciptakan pembentukan struktur kesadaran agensi manusia.11 9
Paulo Freire membagi tiga tipologi kesadaran yaitu: yang pertama kesadaran magis, merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seseorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Yang kedua kesadaran na’if adalah kesadaran jenis kesadaran yang sedikit berada diatas tingtannya dibandingkan sebelumnya. Yang ketiga kesadaran transformatif adalah puncak dari kesadaran ini adalah kesadarannya kesadaran, lihat, Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hlm. 82. 10 Dalam amandemen keempat undang-undang dasar 1945 dimana pasal 31 (4) tentang pendidikan dengan menyatakan “Bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lihat, Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, Strategi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 21 dan lihat, A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 113. lihat dalam lampiran Undang-Undang RI Nomor 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di tanda tangangi oleh mantan Presiden Megawati pada tanggal 8 Juli Th 2003 yang ditulis oleh, Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 167. 11 Penulis menyatakan bahwa kesadaran manusia harus mampu membaca dunia realitas yang sangat berhubungan dengan bentuk-bentuk obyektifikasi dan aksi realitas material, sehingga keduanya saling berdialektika antara kesadaran manusia dan realitas sosial material untuk membangun eksistensi struktur konstribusi kesadaran sebagai agensi manusia yang terdiri dari hubungan Kesadaran Magis, Kesadaran Naïf, dan Kesadaran Transformatif (kritis). Muhammad Karim, Pendidikan Kritis
4
Dengan asumsi tersebut pendidikan bangsa mengalami kegagalan yang serius, dan akan merusak pola kesadaran dalam pemikiran manusia universal, pendidikan tersebut akan menjadi sepanjang hidup selama ini kebijakan pemerintah tidak dikritisi kembali dalam manajemen pendidikan yang memihak kepada kepentingan tertentu. Oleh karenanya, oreintasi pendidikan nasional bukanlah mengejar titel sebagai identitas formal dan ijazah belaka melainkan meningkatkan peradaban kualitas intelektual yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita. Jika tercipta rumusan dan terobosan baru pendidikan kritis untuk melakukan perubahan dan tranformasi sosial maka satu-satunya yang harus diterapkan peradaban bangsa dalam pendidikan nasional adalah pendidikan kerakyatan, multikulturalime dengan cara transformasi kritis di dalam kehidupan sosial. 1. Peradaban Pendidikan Berbasis Kerakyatan.
Korelasi pendidikan dengan problem sosial masyarakat terutama masalahmasalah ekonomi kerakyatan, maka pendidikan seharusnya memiliki garda depan didalam kehidupan sehari-hari, karena tanpa pendidikan manusia tidak akan mengetahui proses perkembangan peradaban kemanusiaan untuk mencerdaskan dalam kehidupan bangsa sebagai perioritas utama.12 Dengan pendidikan bangsa sebagai penyangga Negara maka pendidikan kerakyatan harus diutamakan, untuk memajukan sebuah bangsa dengan cara melihat perubahan dan perkembangan masyarakat sosial. Wacana pendidikan kerakyatan tersebut harus disikapi dan dirumuskan kembali dalam dunia pendidikan nasional, serta akan mewujudkan kualitas manusia secara komprehensif agar peradaban bangsa akan menciptakan kesadaran transformatif untuk mewarnai cita-cita pendidikan dalam demokrasi bangsa dengan catatan tidak ada “Domestifikasi Pendidikan”.13 Sehingga lembaga pendidikan hanya alat untuk mendapatkan pengetahuan dari kekusaan yang berdampak pada hilangnya kesadaran kritis, sedangkan masyarakat tidak mampu memasuki gerakan progresifitas dalam menata pendidikan kelas sosial untuk mengubah tatanan yang transformatif, implikasinya, jika pendidikan peradaban diutamakan untuk membebaskan ekonomi kerakyatan dari belenggu kebijakan pemerintah yang menindas, maka pendidikan kerakyatan mampu mengusai segala bidang informasi global dengan bermacam tantangannya. Realitas yang berkembang bahwa pendidikan di Indonesia sengaja dilakukan Transformatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009), hlm.148. dan lihat juga, M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm. 43. 12 Salah satu tujuan yang diamanatkan dalam pembukaan undang-undang dasar (UUD) 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dari itu para pendidiri Negara memahami dan betulbetul, untuk mewujudkan cita-cita tersebut dan pendidikan menjadikan segala prioritas utama, Ade Irawan dkk, Mendagangkan Sekolah,,, (Jakarta: Indonesia Corroption Watch, 2004), hlm. 3. 13 H.A.R Tilaar menyatakan bahwa “Domestifikasi” adalah membunuh kreativitas dan menjadikan manusia atau peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilainilai kebudayaan yang ada, sedangkan proses domestifikasi dalam pendidikan disebut juga imperialime pendidikan dan kekuasaan. lihat, kekuasaan dan pendidikan. (Jakarta: Indonesia Tera, 2003), hlm. 90.
5
dengan cara formulasi sistem pendidikan dan kekuasaan untuk menjinakkan, dan yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional seringkali membunuh karakteristik berpikir keilmuan dan pengetahuan yang mampu diaplikasikan ke dalam realitas, serta diskriminasi pemerintah terhadap masyarakat atau rakyat marginal. Jelaslah bahwa visi dan misi pendidikan kerakyatan ini merupakan langka baru untuk melahirkan integralitas-interkoneksitas, agar pendidikan tersebut mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang sangat berhubungan dengan kepentingan otoritas kekuasaan.14 Di Indonesia, pengelolah pendidikan masih memegang peranan otoritas pendidikan yang meresahkan strata sosial terutama mengenai ketidak mampuan dalam pembiyaan pendidikan. Salah satu bukti pembiyaan pendidikan masih bermacam-macam untuk di berlakukan, padahal alokasi dana pendidikan telah di tanggung oleh pemerintah yang di amanatkan oleh undang-undang, sehingga biaya pendidikan semakin hari tambah meningkat. Yang sangat ironis sekali, pembiayaan pendidikan tiap tahunnya bertambah meningkat sesuai dengan kuantitas peserta didik, akhirnya segala kebutuhan lembaga sekolah formal harus di lunasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Mestinya pendidikan nasional yang harus berbasis pada masyarakat.15 Dengan model lembaga pendidikan tersebut, sesungguhnya adalah pendidikan bisnis berarti generasi bangsa kita menyiapkan diri untuk menjadi pengangguran terbaik didunia ini. Sehingga frustasi masyarakat banyak sekali terhadap persoalan pendidikan nasional yang terjadi di negeri ini, dan inilah salah satu relasi pendidikan dan kekusaan untuk menundukkan masyarakat terhadap penguasa pendidikan yang selalu menindas bahkan pengetahuan-pun, pendidikan sengaja diciptakan untuk berpikir ekonomis dengan cara model manajemen kelas sosial sehingga pendidikan nasional bermacam-macam nama lembaga di dalam pendidikan formal. Akibatnya masyarakat marjinal akan merasa terasing terhadap pendidikan yang serba biaya dan masyarakat tidak berbuat sesuatu terhadap kebijakan otoritas kekuasaan pendidikan sehingga masyarakat menimbulkan represif dan konfrontatif pendidikan komoditi.16
Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hlm. 115. Menurut Mark K. Smith bahwa; Pendidikan berbasis masyarakat merupakan sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografis, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan suka rela tempat pembelajaran, tindakan dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka. Lihat, Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 133. 16Salah satu bukti dilapangan, bahwa pendidikan nasional semakin hari menunjukkan “Pendidikan Kapitalisme”, serta membuat gerakan otonomi lembaga pendidikan formal dengan menggunakan nama label lembaga, contoh: “Sekolah Unggulan”, “Sekolah Favorit”, “Sekolah Percontohan”, “Sekolah Model”, dan perguruan tinggi lain yang penulis tidak sebutkan. Dengan nama pelabelan lembaga tersebut sebenarnya adalah lembaga komoditi. Jika ini di biarkan begitu saja, maka masyarakat marjinal yang tidak mampu untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan pendidikannya yang akan merusak moralitas kepribadian dan peradaban bangsa terhadap regenerasi . lihat, Mu’arif, Wacana Pendidikan kritis. (Yogyakarta: IRCiSoD. 2005), hlm.165. 14
15
6
Dengan biaya pendidikan tersebut semakin mencekik terhadap peserta didik yang tidak mampu untuk membayarnya. Dimanakah letak keadilan pendidikan peradaban bangsa, jika lembaga pendidikan formal yang bermutu itu hanya untuk mereka yang punya uang. Oleh karena itu, pemerintah secepatnya untuk menghapus biaya pendidikan yang mengarah kepada bisnis pendidikan agar tidak terjadi penindasan bagi rakyat yang tidak mampu, serta para pengelolah pendidikan pusat dan pendidikan daerah harus melakukan dialog secara langsung dengan realitas masyarakat. Dengan semangat perubahan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan kerakyatan didalam sebuah bangsa dan Negara akan melahirkan peradaban bangsa dengan integralitas dan interkoneksitas dalam kehidupan sosial-universal.
2. Peradaban Pendidikan Berbasis Multikultural. Salah satu bagian untuk menciptakan peradaban bangsa sebagai tonggak dan tiang bangsa Indonesia didalam pendidikan nasional adalah pendidikan multikulturalime, karenanya multikulturalime sebagai kenyataan yang mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah, pendidikan dan ekonomi yang telah mapan berubah untuk berinteraksi dengan penduduk dari latar belakang etnik dan bangsa yang berbeda-beda pula.17 Konsep multikulturelisme ini relatif baru dan masih sebatas wacana dan perdebatan dikalangan para pakar pendidikan di Indonesia untuk dijadikan landasan konseptual kedalam kurikulum pendidikan nasional dengan materi pendidikan demokrasi18 dan multikulturalisme.19 namun pendidikan multikultural sangat relevan untuk diterapkan di negeri kesatuan RI ini, karena didalam konteks ke-Indonesia-an memiliki bermacam-macam ke anekaragam-an kebudayaan, atau yang disebut dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
17
Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 1. 18 Pendidikan demokrasi sebenarnya bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi suatu pengenbangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari jenis kungkungan. Akan tetapi sistem pendidikan tidak menyuguhkan kesempatan-kesempatan bagi perkembangan kebebasan yang merupakan ciri khas demokrasi. Contoh, melihat arti dari wajib belajar yang kini merupakan kebutuhan dari umat manusia, dengan analisis sejarah lahirnya program wajib belajar yang dimulai di negara-negara industri pada abad 19 menunjukkan dengan jelas bahwa belajar dalam pengertian penguasaan ilmu pengetahuan merupakan syarat dari pembebasan seseorang didalam mengambil keputusan-keputusan dalam dunia yang terbuka. Lihat, H.A.R. Tilaar, Kekusaan dan Pendidikan, (Jakarta: IndonesiaTera, 2003), hlm. 95. 19 Sebenarnya akar multikulturalisme ini di mulai sejak tahun 1970 yang muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika, Jerman, dan Inggris. sesungguhnya bukan barang baru. Isu ini sudah mulai muncul pada empat dekade yang lalu. Demikian juga dengan gagasan pentingnya pendidikan multikultural. sebagai landasan wacana yang kontroversial dan perdebatan dalam dunia pendidikan, sebagian menyatakan bahwa multikultural sebagai ideologi dan profokasi dalam mengembangkan isu peradaban didunia. Gerakan ini bisa ditelusi secara historis dari gerakan Hak Sipil dan para penggagas gerakan ini secara keseluruhan berkerja sama dengan melibatkan sejumlah pendidik dan sarjana untuk menyediakan basis bagi kepemimpinan pendidikan multikultural. Lihat, Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan multikultural. (Jakarta: Erlangga. 2005), hlm 6. dan lihat, M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multkultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 23.
7
Tujuannya, minimal untuk menghindari terjadinya konflik horizontal dan menciptakan keharmonisan serta menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural tersebut akan berimplikasi terhadap demokratisasi agar pluralisme bangsa akan menciptakan satu-kesatuan. Implikasinya adalah pendidikan multikultural akan melahirkan pendidikan yang membebaskan untuk keluar dari kungkungan penindasan penguasa. Paradigma pendidikan multikultural secara implisit telah tertuang dalam salah satu pedoman dari pasal 4 UU No. 29 Tahun 2003 di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal dijelaskan, bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai agama, nilai kultural dan kemajemukan”.20 Dengan konteks ini, oreintasi pendidikan multikultural adalah menciptakan kesadaran sosial untuk menghargai, menghormati dan menerima perbedaan budaya. Sikap demikian, maka tidak ada prasangka dan kesalah pahaman pluralisme didalam kehidupan masyarakat sosial. Sedangkan menurut James A. Banks, menyatakan bahwa tujuan pendidikan multikutural dirumuskan sebagai berikut: tujuan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan. Pendidikan multikultural dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang membebaskan dan melakukan gerakan pendidikan demokratis.21 Pendidikan multikultural mengembangkan kebebasan, kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas-batas budaya dan etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain. Dengan kebudayaan bermacam-macam di Indonesia dan sikap toleransi terhadap sesamanya, sedangkan dalam proses pembelajaran pendidikan dengan cara berpikir dialektika dan inklusif akan melahirkan pengetahuan masyarakat pluralistik di Indonesia. Penerapan pendidikan multikultural tersebut dirumuskan dalam kebijakan pemerintah untuk membahas kurikuler yang berdasarkan pada kebudayaan bangsa. Dan inilah hakikat pendidikan nasional dengan alasan bahwa pendidikan multikultural tida lain menciptakan integralitas dan interkoneksitas bangsa sebagai peradaban. Nilai-nilai kebudayaan bangsa kita paling tidak mengurangi terjadinya konflik horizontal yang mengakibatkan bertumpahan darah yang dipengaruhi oleh eksternal politik kekuasaan. Jadi arah oreintasi pendidikan multikultural adalah mengembangkan peradaban bangsa untuk saling berhubungan dengan realitas baik dari etnis, sosial
20 Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat. Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial. (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 66-67. 21 M. Ainul Yaqin, M.Ed, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), hlm. 24. dan Subtansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan sekaligus sebagai penyebar luasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama. Lihat, Subaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 70.
8
keagamaan dan politik. Nah jika konsep dan wacana pendidikan tersebut tidak diterapkan dalam lembaga pendidikan sebagai konsep dasar yang harus dipelajari oleh peserta didik untuk menghargai toleransi, menghargai menghormati, dan menghargai perbedaan pluralisme. Maka akan melahirkan separatis dan emosirepresif yang akan merusak terhadap peradaban bangsa dan perjalanan hidup manusia. Didalam agama-Pun sebagai pedoman pokok dasar juga dianjurkan untuk memamahi tentang pendidikan multikultural serta ke-anekaragaram-an dalam menciptakan integralitas didalam peradaban bangsa.22 Dengan kata lain, hakikat pendidikan multikultural adalah menciptakan proses berpikir dewasa untuk melahirkan manusia yang bermartabat dengan cara menegakkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. 3. Pendidikan Transformatif Menuju Peradaban Bangsa.
Kesadaran akan realitas dan problem pendidikan bangsa yang telah diuraian diatas, penulis memberikan konstribusi pemikiran dan pemahaman untuk membenahi krisis multidisipliner secara obyektif terhadap perkembangan pendidikan nasional dalam rangka merekonstruksi wacana pendidikan positivisme yang melahirkan pemikiran rasionalitas instrumental- konvensional yang dikontrol oleh pemerintah.23 Tujuannya adalah upaya terciptanya kualitas pendidikan sebagai cermin peradaban bangsa yang harus dilakukan terus-menerus untuk mewujudkan kewibawaan masyarakat plural. Sehingga pendidikan nasional akan melahirkan integralitas-interkoneksitas didalam proses pendidikan baik dari aspek internalisasi pendidikan yang berhubungan dengan sumber daya manusia maupun eksternalisasi pendidikan yang berhubungan dengan lingkungan sosial masyarakat. Dengan paradigma tersebut konsepsi pendidikan seharusnya beroreintasi pada perkembangan realitas kesadaran manusia, demi menegakkan keadilan sosial yang bermartabat. Pendidikan sebagai penyangga bangsa, sedangkan salah satunya adalah pendidikan kritis transformatif untuk menjadikan harapan masa depan. Perubahan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh pendidikan penguasa untuk melakukan gerakan pemikiran kritis kedalam realitas sosial dengan konsistensi yang penuh tanggung jawab terhadap pendidikan nasional. Dengan kata lain pendidikan pada hakikatnya menciptakan kesadaran transformatif didalam kehidupan realitas nyata 22 Hai manusia, Sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu berkenalan. Sesungguhnya orang yang mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengetahui. (QS al-Hujarat. 49:13). Dari Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Penerbit J-ART, 2007). 23 Maksudnya, kontrol Negara terhadap pendidikan pada umumnya dilakukan empat macam, yang Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan obyektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan. Keempat reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah dan berlangsung politik dalam konteks tertentu. Lihat M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 63-64.
9
sehingga manusia mengetahui eksistensi hidup yang telah mendapatkan konsensus bersama. Jika perkembangan pendidikan tidak ada yang mengontrol terhadap kebijakan pemerintah dalam proses berlangsungnya pembelajaran pendidikan nasional, maka pendidikan bangsa tidak akan mempunyai prestasi besar didalam persaingan catur global. karena konsep pendidikan transformatif tersebut akan melahirkan peradaban bangsa dan menciptakan kemanusiaan yang bermoral demi berlangsungnya tatanan keadilan sosial masyarakat. Paling tidak yang harus diciptakan adalah formulasi nalar kritis pendidikan transformatif untuk menjadi wahana kesadaran kelembagaan pendidikan formal dan mengembangkan potensi diri untuk mewarnai cita-cita peradaban bangsa. Pada tiap-tiap kelembagaan pendidikan nasional yang harus ditegakkan dalam memajukan peradaban bangsa adalah mengkritik kebijakan pemerintah dalam tiaptiap momentum kekuasaan dengan menggunakan nalar kritis transformatif yang disesuaikan dengan undang-undang Negara dan watak kebangsaan. Sehingga pendidikan nasional mampu mewarnai cita-cita yang bermutu didalam dunia pendidikan demokrasi yang akan melahirkan kualitas sumber daya manusia yang mampuni, serta mampu bersaing didalam pemikiran kritis transformatif dengan peta globalisasi, dengan segala dimensi multidisipliner untuk mengangkat derajat peradaban bangsa.. Hal ini dapat dilacak dari subtansi peradaban bangsa yang kritis transformatif yang terkandung dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003.24
D. Kesimpulan. Pendidikan nasional sebagai potret dan cerminan peradaban bangsa untuk memajukan sebuah eksistensi dalam menciptakan prestasi mutu dan kualitas sumber manusia secara universal dengan landasan kesadaran kritis transformatif. Kebijakan pemerintah tidak lagi menjadi inkonsistensi dalam proses pembelajaran pendidikan nasional. Pendidikan negeri ini harus mampu dibenahi kekurangan dan kelemahan infrastruktur pendidikan yang sangat intervensi terhadap kebijakan pemerintah yang mengakibatkan penindasan masyarakat yang tidak mampu untuk membiayai sarana pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang Negara. Maka pendidikan demokrasi akan menciptakan keadilan sosial yang bermartabat sehingga masyarakat tidak mengalami refresif-frustasi sosial. Dengan kesadaran kritis transformatif, peradaban pendidikan nasional mampu mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan demokrasi yang berbasis 24 Didalam pasal 2 dijelaskan bahwa “ Pendidikan Nasional Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”, dan sedangkan pasal 3 disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertarbat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab”. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008), hlm. 180.
10
kerakyatan dan pendidikan berbasis multikultural guna untuk menciptakan keharmonisan bersama dan menghargai perbedaan di negeri ini. Karena itu, masyarakat Indonesia adalah kompleksitas yang sangat berhubungan dengan suku, agama ras, dan antar golongan yang disebut dengan SARA. Maka pengelolah pendidikan nasional harus menetralisir geografis bangsa yang sangat pluralistik dalam menjalani roda pemerintahan untuk memformulasi kurikulum pendidikan nasional secara integralitas-interkoneksitas. Oleh karenanya, upaya pendidikan sebagai penyangga peradaban bangsa perluh adanya nalar konstruktif yang sangat diperlukan untuk melakukan perubahan didalam kehidupan sehari-hari. Yaitu kesadaran manusia yang mengutamakan nilai-nilai pendidikan kritis transformatif yang berdasarkan pada watak dan moralitas bangsa, sehingga pendidikan nasional mempunyai nilai prestasi dan orientasi yang jelas dalam memajukan bangsa Indonesia untuk mencerdaskan peserta didik didalam pendidikan yang demokratis, paling tidak bisa mewakili kualitas prestasi dan kemampuan sumber daya manusia khususnya dengan pendidikan manca Negara.
Daftar Pustaka Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). A. Smith, William, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008). Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2002). Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: J-ART, 2007). Fajar, A. Malik, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan Dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Irawan, Ade dkk, Mendagangkan Sekolah, (Jakarta: Indonesia Corroption Watch, 2004).
11
Idi, Abdullah & Suharto, Toto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Karim, Muhammad, Pendidikan Kritis Transformatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Machali, Musthofa (Ed), Pendidikan Islam Dan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004). M. Chan, Stevan, Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002). Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005). Nuryanto, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik Dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2008). Nugroho, Riant, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, Dan Strategis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Sirozi, M. Politik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007). Susetyo, Benny, Politik Pendidikan Penguasa, (Yogyakarta: LKiS, 2005). Tilaar, H.A.R. kekusaan & Pendidikan Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, 2003). Yaqin, Ainul M. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007). Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
12