POTENSI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI DESA KULU, KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA
DEVITHA WINDY KALITOUW
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015 Devitha Windy Kalitouw E151120201
RINGKASAN DEVITHA W. KALITOUW. Potensi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan CECEP KUSMANA. Keberadaan hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya wilayah pesisir yang mempunyai manfaat sangat penting secara ekologis bagi mahluk hidup lainnya dan telah menjadi sumber kehidupan bagi manusia secara ekonomis, dimana begitu banyak potensi-potensi yang bisa dikembangkan di dalam kawasan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Proses pembangunan wilayah pesisir seringkali merubah keberadaan mangrove tersebut untuk penggunaan lain yang mungkin saja nilai ekonomi dan ekologisnya tidak lebih baik dari pemanfaatan hutan mangrove yang sebelumnya, hal ini disebabkan kurangnya pemahaman akan penilaian dari nilai sumber daya alam tersebut. Penelitian ini dilakukan pada hutan mangrove di Desa Kulu yang dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014, yang bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis mangrove serta untuk mengetahui nilai total dari manfaat Hutan mangrove tersebut. Potensi vegetasi mangrove diidentifikasi dengan metode yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), dengan cara pengambilan sampel systematic sampling with random start, sedangkan nilai ekonominya didapat dari pendekatan metode harga pasar dan harga subsitusi. Terdapat 6 jenis vegetasi mangrove, yang ditemukan di Desa Kulu yaitu; Rhizophora spp. (lolaro), Avicennia spp. (api-api), Sonneratia caseolaris (posiposi), Bruguiera gymnorrhiza (makurung), Ceriops tagal (kayu ting), Xylocarpus spp. (kira-kira hitam), jika dilihat INP-nya, Rhizophora spp. adalah yang paling dominan. Adapun hasil perhitungan volume tegakan pohon adalah 20,9164m3/ha, sedangkan volume tegakan totalnya adalah 4195,82m3. Dengan asumsi pemanfaatan yang berkelanjutan, kontribusi yang paling bernilai ekonomis diperoleh dari dua jenis manfaat tidak langsung hutan mangrove, fungsi sebagai penahan abrasi dengan nilai manfaat sebesar Rp. 2.308.603.500/tahun dan manfaat sebagai penahan intrusi air laut sebesar Rp. 458.622.500/tahun. Kemudian nilai manfaat pilihan yaitu masing-masing manfaat bibit mangrove Rp. 120.360.000/tahun, nilai manfaat hasil kayu Rp. 134.266.240/tahun, dan nilai manfaat ekowisata Rp. 15.225.000/tahun. Nilai manfaat langsung yang paling akhir yaitu dari penangkapan ikan dan kepiting sebesar Rp. 84.380.400/tahun. dan total nilai ekonomi yang diperoleh adalah sebesar Rp. 3.121.457.640 untuk luasan mangrove ±200,63 ha setiap tahunnya. Nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasi dari keberadaan hutan mangrove yang ada di Desa Kulu, sehingga dapat menjadi pertimbangan apabila ada kemungkinan perubahan lain dari pemanfaatan hutan mangrove. Kata kunci: mangrove, komposisi, volume, nilai ekonomi
SUMMARY DEVITHA W. KALITOUW. Economic Potential of Mangrove Forest Ecosystems in the Kulu Village, Wori District, North Minahasa Regency. Guided by Dudung Darusman, and Cecep Kusmana. The existence of mangrove forest had been one of the resources of coastal areas that had very important ecological benefits for other living creatures and had become a source of life for humans economically, where so much potential benefits could be developed in the area of mangrove forests, to meet the needs of the local community. Coastal development process had been often changing the existence of mangroves for any other use, that the economic and ecological value might not better than the previous utilization of mangrove forests, this had been caused by lack of understanding and assessment of natural resources value. This research was conducted in the mangrove forest in the Kulu village, in April-August 2014, which aimed to determine the composition of mangrove species and to determine the total value of the benefits of the mangrove forest. The potential of mangrove vegetation identified by the method disclosed Mueller-Dombois and Ellenberg (1974), with method of systematic sampling with random start, while the economic value obtained by the market price and price substitution methods. There were 6 kinds of mangrove vegetation found in the Kulu village that is; Rhizophora spp. (Lolaro), Avicennia spp. (Api-api), Sonneratia caseolaris (Posi-posi), Bruguiera gymnorrhiza (Makurung), Ceriops tagal (Kayu ting), Xylocarpus spp. (Kira-kira hitam), and based on the INP, Rhizophora spp. had been the most dominant. The volume of standing trees was 20,9164m3/ha, while the total standing volume was 4195,82m3. Assuming sustainable use, the most contribution of economic value was obtained from two kind of indirect benefit the mangrove forest, function as a abrasion drag with value of Rp. 2.308.603.500/year, and benefits as seawater intrusion retaining for about Rp. 458.622.500/year. Then the value of the benefits option each are, the benefits of mangrove seedlings Rp. 120.360.000/year, the value of the benefits of wood products Rp. 134.266.240/year, and value the benefits of ecotourism Rp. 15.225.000/year. The last value is the value of direct benefits from fishing and crab for about Rp. 84.380.400/year, and the total economic value obtained for about Rp. 3.121.457.640 for the area mangrove ±200,63 ha every year. These values can be identified from the existence of mangrove forest ecosystem in the Kulu village, to be considered other imposiblle changes in the mangrove forest utilization. Keywords: composition, economic, volume, value mangrove
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POTENSI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI DESA KULU, KECAMATAN WORI, KABUPATEN MINAHASA UTARA
DEVITHA WINDY KALITOUW
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Yulius Hero, MSc
Judul Tesis : Potensi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara Nama : Devitha Windy Kalitouw NIM : E151120201
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah potensi ekonomi sumber daya alam, dengan judul Potensi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA dan Bapak Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis disampaikan kepada aparat pemerintah Desa Kulu, Kantor Kacamatan Wori, Dinas Kehutanan Pemkab. Minahasa Utara, Dinas Kehutanan Pemprov. Sulawesi Utara, dan Kantor BPS Provinsi Sulawesi Utara. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Mei 2015
Devitha Windy Kalitouw
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 2 3 3 3
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Pengambilan Data Pengumpulan Data Penelitian Penentuan Desain Sampling Penelitian Vegetasi Teknik Pengambilan Contoh untuk Mengetahui Nilai Ekonomi Analisis Data Analisis Data Vegetasi Analisis Nilai Manfaat Hutan Mangrove Pemanfaatan Optimal Hutan Mangrove
5 5 6 6 6 6 7 8 8 10 11
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Desa Kulu Keadaan Penduduk Desa Kulu Kondisi Hutan Mangrove di Desa Kulu
11 11 12 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Komposisi Jenis dan Volume Tegakan Mangrove Nilai Manfaat Ekonomi Hutan Mangrove Pembahasan Komposisi Hutan Mangrove di Desa Kulu Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Desa Kulu Pemanfaatan Optimal Hutan Mangrove di Desa Kulu
14 14 14 15 18 18 20 25
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
26 26 26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL Tabel 1 Jenis dan Metode Pengumpulan Data .................................................... 6 Tabel 2 Pendekatan untuk Menentukan Nilai Ekonomi ..................................... 8 Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian .............................. 13 Tabel 4 Sebaran Mangrove di Provinsi Sulawesi Utara ................................... 14 Tabel 5 Hasil Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Kulu ................................ 15 Tabel 6 Volume Tegakan Pohon Mangrove ..................................................... 15 Tabel 7 Nilai Manfaat Penangkapan Ikan dan Kepiting ................................... 16 Tabel 8 Nilai Total Ekonomi Mangrove Desa Kulu ......................................... 18
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Pemikiran........................................................................... 5 Gambar 2 Desain Petak Contoh Analisis Vegetasi ............................................. 7 Gambar 3 Peta Kawasan Hutan Mangrove Desa Kulu ..................................... 12
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Perhitungan Penangkapan Ikan dan Kepiting ...................... 30 Lampiran 2 Nilai Manfaat Tidak Langsung ..................................................... 32 Lampiran 3 Nilai Manfaat Pilihan .................................................................... 33 Lampiran 4 Nilai Manfaat Keberadaan ............................................................ 34
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Keberadaan flora dan fauna yang terdapat di hutan mangrove merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Potensi yang diperoleh dari ekosistem hutan tersebut berupa hasil hutan kayu, non kayu, jasa dan lingkungan. Semua keanekaragaman potensi tersebut sudah lama dimanfaatkan untuk kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Kustanti 2011). Hutan Mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Peranan hutan mangrove sangat penting dalam menjaga kestabilan kondisi daratan dan lautan. Ekosistem hutan mangrove juga tergolong dinamis karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuhnya. Namun hutan mangrove tergolong labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Arifin 2003). Sifat dan bentuk yang dimiliki dari ekosistem mangrove sangat khas serta mempunyai fungsi dan manfaat yang beranekaragam bagi masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove maupun bagi mahluk hidup lainnya yang berada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, ekosistem mangrove tersebut dimasukkan dalam salah satu ekosistem pendukung kehidupan yang penting, dan perlu dipertahankan kelestariannya (Pariyono 2006). Luasan hutan mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara sekitar 200.63 ha (Kemenhut 2013) merupakan himpunan antara komponen hayati dan non hayati yang secara fungsional berhubungan satu dengan yang lain dan saling berinteraksi membentuk suatu ekosistem. Jaminan agar kelestarian hutan mangrove di Desa Kulu terjaga yaitu perlunya memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen-komponen yang menyusun suatu sistem tersebut. Aktifitas pemanfaatan sumber daya alam maupun pembangunannya harus mematuhi perundangan dan peraturan pemerintah yang ada, agar tercapai pembangunan yang lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pada kenyataannya baik masyarakat sebagai pengguna sumber daya maupun para penentu kebijakan seringkali memandang hutan mangrove sebagai lahan yang harus dikonversi menjadi penggunaan atau pemanfaatan lain, tanpa memandang manfaat dari sumber daya yang memiliki nilai ekonomi. Sumber daya adalah bagian komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia (Fauzi 2004). Demikian halnya juga apa yang terjadi di Desa Kulu, pemahaman masyarakat akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove masih kurang. Pengembangan hutan mangrove sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi maupun kondisi sosial masyarakat sekitar, namun diperlukan
2 pertimbangan, penilaian, dan analisis lingkungan yang baik bagi masyarakat tanpa harus memberikan dampak buruk bagi lingkungan dalam hal ini merusak ekosistem yang telah ada di dalam hutan mangrove. Karenanya keseimbangan lingkungan dan ekologi yang ada perlu menjadi perhatian dalam perencanaan pembangunan kawasan hutan mangrove. Diperlukan perhitungan nilai ekonomi sumber daya hutan mangrove yang merupakan suatu upaya untuk melihat manfaat dan biaya dari sumber daya dalam bentuk moneter yang lebih mempertimbangkan lingkungan (Saprudin 2011). Metode tersebut adalah kesedian membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumber daya dan juga kesedian untuk menerima kompensasi atas kerusakan lingkungan yang terjadi (Harahab 2010). Nilai ekonomi total merupakan instrument yang dianggap tepat untuk menghitung keuntungan dan kerugian bagi kesejahteraan rumah tangga sebagai akibat dari pengalokasian sumber daya alam (Saprudin 2011). Nilai Ekonomi suatu sumber daya alam secara garis besar dapat dikelompokan manjadi dua yaitu, pertama nilai atas dasar penggunaan (use value). Ini diartikan sebagai nilai yang dimanfaatkan secara langsung dari sumber daya dan lingkungan. Use value dibedakan menjadi tiga bagian yaitu nilai penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung dan nilai pilihan. Kemudian yang kedua adalah nilai penggunaan tidak langsung (Non Use value) yang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan (Pearce dan Moran 1994). Hal inilah yang perlu dilakukan di Desa Kulu dengan harapan masyarakat maupun pemerintah bisa melihat dan mengetahui manfaat dan nilai ekonomi dari kawasan hutan mangrovenya. Sehingga dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah pesisir dalam hal ini kawasan hutan mangrove di Desa Kulu tidak hanya melihat dari hasil atau nilai manfaat mangrove yang diberikan atau dirasakan masyarakat secara langsung. Namun dapat dilihat dari keseluruhan nilai potensi manfaat mangrove yang bisa dikembangkan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa merusak atau menggangu ekosistem hutan mangrove. Tentunya dengan menerapkan pemanfaatan yang optimal masyarakat dan pemerintah Desa Kulu dapat merasakan berbagai keuntungan dan manfaat hutan mangrove, baik secara ekologi maupun secara ekonomi dengan penerapan pemanfaatan hutan mangrove yang lestari. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kondisi dan variasi komunitas mangrove yang ada, berikut perkiraan nilai ekonominya yang bermanfaat sebagai informasi bagi penentuan pemanfaatan ekosistem mangrove yang lebih optimal. Perumusan Masalah Mengingat pentingnya hutan mangrove bagi keberlangsungan hidup manusia dan pembangunan, sudah sewajarnya diperlukan suatu perencanaan pengelolaan yang mempertimbangkan keberlanjutan atau kelestariannya. Namun permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove saat ini, dimana masyarakat maupun pemerintah hanya melihat fungsi dari hutan mangrove secara fisik saja tanpa memperhatikan jasa lingkungan yang diperoleh dari keberadaan hutan mangrove tersebut. Hal ini yang membuat penulis merasa berkepentingan
3 dalam melakukan penilaian ekosistem hutan mangrove. Beberapa pertanyaan yang muncul mengenai pemanfaatan hutan mangrove dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komposisi jenis dan volume tegakan mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara? 2. Seberapa besar nilai ekonomi dari produk dan jasa lingkungan yang dimanfaatkan dari ekosistem hutan mangrove? 3. Bagaimana pemanfaatan optimum, atau yang menghasilkan nilai ekonomi maksimum, dari ekosistem hutan mangrove? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi komposisi jenis mangrove dan menduga potensi tegakan pohonnya dari ekosistem hutan mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. 2. Menduga nilai ekonomi dari produk dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan dari ekosistem hutan mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. 3. Menentukan pemilihan pemanfaatan yang optimum atau menghasilkan nilai ekonomi yang maksimal. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengembangan hutan mangrove dalam pengambilan kebijakan. 2. Bagi IPTEK/ Ilmu Pengetahuan sebagai referensi (baseline data) untuk menambah informasi tentang pemanfaatan hutan mangrove, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. 3. Bagi Praktisi, mengetahui nilai manfaat hutan mangrove yang optimal. Kerangka Pemikiran Sumber daya alam mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup manusia. Sumber daya alam adalah segala sumber daya hayati dan non hayati yang dimaanfaatkan umat manusia sebagai sumber pangan, bahan baku dan energi. Mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan satwa yang berasosiasi di dalamnya. Begitu juga hutan mangrove di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara memiliki peranan dan fungsi yang cukup penting; yaitu (a) fungsi produksi-manfaat langsung: penghasil kayu, satwa liar, perikanan (tangkapan dan budidaya), nipah, serta hasil hutan lainnya, (b) fungsi ekologis-manfaat tidak langsung: penahan abrasi, pencegah erosi dan intrusi air laut penyedia pakan dan wisata alam, (c) fungsi dan manfaat pilihan dari biodiversity dan (d) fungsi dan manfaat dari habitat mangrove. Manfaat dan fungsi hutan mangrove akan bertambah maupun berkurang nilainya karena dipengaruhi dari tingkat pemanfaatannya. Dengan kata lain manfaat sumber daya hutan mangrove hanya akan dapat diketahui dan dirasakan
4 pentingnya jika masyarakat mengetahui dan memahami fungsi dan manfaat tersebut. Nilai ekonomi pemanfaatan hutan mangrove pada setiap lokasi memiliki perbedaan tergantung pada faktor sosial ekonomi dan faktor biofisik setempat. Oleh sebab itu penilaian hutan mangrove di Desa Kulu perlu dilakukan. Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai ekonomi hutan mangrove didekati dengan melakukan identifikasi pemanfaatan hutan Mangrove. Nilai ekonomi pemanfaatan hutan mangrove secara garis besar dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai bukan guna (non use value). Nilai penggunaan terbagi atas nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai pengunaan tidak langsung (indirect use value) serta nilai pilihan (option value). Adapun untuk nilai bukan guna hanya terdiri dari nilai keberadaan (existence value) (Pearce dan Moran 1994). Nilai penggunaan langsung, yaitu pemanfaatan yang secara langsung hasilnya dirasakan oleh masyarakat atau pengguna sumber daya hutan mangrove, misalnya hasil kayu, hasil perikanan, hasil pemanfaatan nipah dan ekowisata. Nilai penggunaan tidak langsung yaitu manfaat yang dirasakan secara tidak langsung, misalnya penahan gelombang laut (ombak), penahan abrasi pantai, penyedia pakan untuk ikan, dan penahan intrusi air laut. Nilai pilihan adalah manfaat sumber daya alam yang memiliki potensial dimasa yang akan datang. Dengan kata lain pemanfaatan yang belum dilakukan pada saat sekarang dan perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang. Adapun untuk nilai keberadaan adalah kesediaan dari masyarakat atau individu untuk membayar akan keberadaan ekosistem hutan mangrove walaupun tidak merasakan manfaatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan nilai perhitungan dari manfaat-manfaat tersebut dapat diperoleh nilai ekonomi hutan mangrove. Teknik perhitungan nilai manfaat ekosistem mangrove dengan pendekatan nilai ekonomi adalah pendekatan produksi dan nilai pasar, pendekatan biaya penganti, dan contingent valuation method dengan memanfaatkan data mengenai kesedian membayar (Willingness to pay/WTP) oleh masyarakat dari pengunaan sumber daya ekosistem hutan mangrove, dapat dilihat seperti pada kerangka pemikiran yang secara rinci di sajikan pada Gambar 1. Nilai ekonomi dari pemanfaatan hutan mangrove diketahui agar dapat menentukan strategi pemanfaatan yang maksimal, baik itu hal yang baru maupun hasil dari pengembangan pemanfaatan yang telah dilakukan. Diharapkan dengan menentukan pemanfaatan secara maksimal dapat memberikan manfaat ekologi dan ekonomi yang optimal.
5
Sumberdaya Hutan Mangrove Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara Komposisi Jenis Hutan Mangrove Pemanfaatan Hutan Mangrove
Nilai Bukan Guna
Nilai Guna
Manfaat Langsung
Manfaat Tidak Langsung
Perikanan Kepiting
penahan abrasi dan gelombang air laut penahan instrusi pantai
Manfaat Pilihan
Hasil Kayu Bibit Mangrove Ekowisata
Manfaat Keberadaan
Willingnes To Pay
Nilai Ekonomi Hutan Mangrove, menurut ragam kondisi mangrove dan pemanfaatannya
Pemanfaatan yang Optimal Ekosistem Hutan Mangrove
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
2 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014, di Desa Kulu, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi penelitian ini dipilih dengan beberapa pertimbangan yaitu; Desa Kulu merupakan salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas ±200.63 ha, dimana keberadaan kawasan hutan mangrove ini sudah ada sejak
6 sebelum desa ini terbentuk dan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini berupa alat tulis menulis, tallysheet, patok, pita ukur/phiband, kompas, GPS, buku, peta kerja identitas dan seperangkat komputer. Prosedur Pengambilan Data Pengumpulan Data Penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari observasi lapangan dan wawancara dengan masyarakat sekitar, sedangkan data sekunder berupa data tentang keadaan lokasi sekitar kawasan penelitian dan keadaan masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove dimana informasi yang diperoleh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah sekitar lokasi penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Jenis Data A. Data Primer
Nilai Ekonomi
B. Data Sekunder
Tabel 1 Jenis dan Metode Pengumpulan Data Atribut/Variabel Metode Potensi Vegetasi dari tingkat pertumbuhan semai tumbuhan bawah dan lainnya : - Nama jenis - Jumlah Individu setiap jenis - Diameter - Tinggi Total Nilai-nilai Ekonomi yang meliputi; - Nilai manfaat langsung - Nilai manfaat tidak langsung - Nilai manfaat pilihan - Nilai manfaat keberadaan
Letak administratif dan geografis dan luas lokasi penelitian; Peta lokasi Taraf pendidikan Jumlah Nelayan
Analisis Vegetasi Analisis Vegetasi Analisis Vegetasi
Wawancara
Peruntukan Mengetahui variasi atau ragam kondisi vegetasi hutan mangrove
-Mengetahui variasi atau ragam pemanfaatan hutan mangrove -Mengetahui nilai ekonomi hutan mangrove
Dokumen/Laporan Data penunjang
Penentuan Desain Sampling Penelitian Vegetasi Peletakan unit contoh (desain sampling) yang digunakan adalah systematic sampling with random start dengan menggunakan unit contoh berupa petak berukuran 20 x 20 m. langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengetahui kondisi dan keadaan vegetasi hutan mangrove di Desa Kulu adalah dengan menentukan jumlah unit contoh atau Intensitas Sampling (IS). Jumlah unit contoh ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin :
7
dimana : n = jumlah petak contoh N = luas kawasan e = persen ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (dalam hal ini 20%) Jumlah petak contoh vegetasi yang diperoleh sekitar 25 petak yang akan diatur secara representatif (dimulai dari pinggir pantai sampai daratan atau batas hutan mangrove terakhir). Adapun untuk kepentingan risalah vegetasi hutan, petak-petak berukuran 20 x 20 m (untuk risalah pohon) dibuat dalam 3 transek, kemudian akan dibagi lagi secara nested sampling kedalam petak-petak berukuran: 2 x 2 m untuk permudaan tingkat semai dan, 5 x 5 m untuk permudaan tingkat pancang (Gambar 2). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan: a. semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1.5 m b. pancang : permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm c. pohon : pohon berdiameter 10 cm ke atas.
Gambar 2 Desain Petak Contoh Analisis Vegetasi Teknik Pengambilan Contoh untuk Mengetahui Nilai Ekonomi Pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling, metode ini digunakan untuk menentukan data sampel yang harus diperoleh dari responden. Adapun untuk menentukan respoden yang akan dipilih digunakan snowball sampling, dimana responden dipilih berdasarkan informasi atau rekomendasi orang ke orang atau responden sebelumnya. Jumlah respoden yang dijadikan sampel disesuaikan dengan waktu pelaksanaan penelitian ini. Hasil data yang diperoleh dari responden dilakukan dengan mewawancarai secara langsung menggunakan isian kuisioner yang telah disusun. Selain responden sampel yang ada di daerah sekitar kawasan hutan mangrove, dilakukan juga wawancara dengan para pemangku kepentingan dari pihak pemerintah daerah untuk melengkapi data pada saat survei dan observasi lapangan. Adapun berbagai
8 pendekatan untuk menentukan nilai ekonomi pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pendekatan untuk Menentukan Nilai Ekonomi Nilai Maafaat langsung
Manfaat tidak langsung
Manfaat pilihan
Manfaat keberadaan
Barang/Jasa
Metode
Hasil hutan mangrove yang di jual dan di manfaatkan, sehingga memiliki harga pasar
Nilai pasar/harga pasar menggunakan kuisioner dan survei pasar.
Tidak dipasarkan sehingga tidak memiliki harga, tetapi memiliki harga subsistusinya atau harga penganti barang dan jasa tersebut sehingga didekati dengan harga subsitusinya. Manfaat yang ada namun belum di kembangkan oleh masyarakat sekitar Dianggap mempunyai nilai di masa yang akan datang
Harga subsitusi dari barang dan jasa yang didapatkan dari hasil wawancara dan survei.
Rasa kepuasan masyarakat akan keberadaan hutan mangrove di kawasan tersebut
Operasi di Lapangan
Peruntukan
Menentukan kuantitas produk yang diambil, melakukan survei pasar, untuk mengetahui harga produk Menentukan jumlah komoditas dan jasa yang diambil dan mencari substitusi yang paling mungkin untuk menentukan harga barang yang paling relevan
Mengetahui nilai ekonomi dari pemanfaatan langsung
Pemanfaatan yang ada namun tidak dijadikan mata pencaharian pokok didapatkan dari hasil wawancara dan survei
Menentukan potensi yang terkandung dalam ekosistem mangrove yang mempunyai nilai jual tinggi, namun belum dimanfaatkan
Mengetahui nilai ekonomi dari manfaat pilihan
Wawancara dan survei langsung kepada masyarakat (CVM)
Menanyakan nilai wtp masyarakat untuk hutan mangrove
Mengetahui nilai ekonomi dari manfaat keberadaan
Mengetahui nilai ekonomi dari pemanfaatan tidak langsung
Selain wawancara langsung, dilakukan juga survei pasar yang nantinya dijadikan sebagai acuan untuk pendekatan dalam menghitung nilai manfaat langsung, sedangkan untuk manfaat tidak langsung digunakan pendekatan harga pasar bagi input/subsitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan biaya pencegahan. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan yaitu mengenai vegetasi dan pemanfaatan hutan mangrove, dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kondisi hutan mangrove di Desa Kulu, keadaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove dan pemanfaatan dari hutan mangrove. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui potensi yang terkandung di kawasan hutan mangrove, nilai manfaat ekonomi dari keberadaan ekosistem hutan mangrove dan pendapat masyarakat akan keberadaan kawasan hutan mangrove. Analisis Data Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengevaluasi dominasi jenis dan volume tegakan berdasarkan jenis. Analisis untuk mengetahui kerapatan jenis, kerapatan
9 relatif, dominansi jenis, dominasi relatif, frekuensi jenis dan frekuensi relatif serta Indeks Nilai Penting menggunakan rumus Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) sebagai berikut: Kerapatan (K)
=
Frekuensi (F)
=
Dominasi (D)
=
Kerapatan Relatif (KR)
=
Frekuensi Relatif (FR)
=
Dominasi Relatif (DR)
=
Nilai dari INP vegetasi tingkat pohon didapat dari penjumlahan nilai kerapatan relatif jenis (KR), frekuensi relatif jenis (FR), dan dominasi relatif jenis (DR): INP = KR + FR + DR Nilai INP untuk vegetasi tingkat semai dan pancang didapat dari penjumlahan nilai kerapatan relatif jenis (KR), dan frekuensi relatif jenis (FR): INP = KR + FR Nilai volume tegakan pohon diperlukan untuk menduga nilai potensi ekonomi kayu yang berasal dari hutan mangrove. Perhitungan volume tegakan menggunakan rumus volume secara umum dengan faktor bentuk sebesar 0.6. Perhitungan dalam tiap plot diinterpolasi untuk mendapatkan nilai pendugaan volume per hektar untuk tiap jenis yang ditemukan. Volume tegakan total diperoleh dengan mengalikan luas hutan mangrove di tempat penelitian. Rumusrumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 1) V = A.t.ƒ V = volume pohon (m3), A = lbds (luas bidang dasar (m2) t = tinggi pohon (m), ƒ = angka bentuk (0.6) 2) Volume tegakan dalam plot n
Vt =
i=1
Vi
Vt = volume tegakan dalam plot (m3/ha) Vi = volume pohon ke-i dalam plot (m3) 3) Volume tegakan rata-rata per plot n
Ṽt =
i=1
Vti/ n
Ṽt = volume tegakan rata-rata per plot (m3/ha)
10 Vti = volume tegakan plot ke i (m3) n = jumlah plot 4) Vtl = Vt . L Vtl = volume tegakan total (m3) Vt = Volume tegakan rata-rata per plot (m3/ha) L = Luas hutan (ha) Analisis Nilai Manfaat Hutan Mangrove Analisis nilai manfaat ekonomi terhadap ekosistem mangrove dapat dihitung dengan beberapa metode penilaian. Mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Dixon et al., (1988) dan Pomeroy (1992), dengan menerapkan beberapa metode penilaian yang disesuaikan dengan kondisi lapangan untuk mendapatkan nilai ecologial-economics (Harahab 2010). 1. Nilai Manfaat Langsung (direct use value) Nilai manfaat langsung dihitung berdasarkan kontribusi sumber daya alam dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini (Munasinghe 1993). Nilai manfaat langsung bisa diartikan manfaat yang dapat langsung dikonsumsi. Nilai manfaat langsung dapat dihitung dengan persamaan: DUV = Σ DUVi dimana: DUV = Direct Use Value DUV 1 = manfaat kayu DUV 2 = manfaat penangkapan ikan DUV 3 = manfaat pengambilan daun nipah DUV 4 = manfaat penangkapan kepiting DUV 5 = manfaat penangkapan udang 2. Nilai Manfaat Tidak Langsung (indirect use value) Manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem hutan mangrove yang tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Menurut Harahab (2010) manfaat tidak langsung hutan mangrove diantaranya sebagai penyedia pakan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) ikan, yang kesemuanya merupakan bagian dari fungsi biologis hutan mangrove. Dari fungsi fisik pemanfaatan hutan mangrove bisa berupa pelindung pantai dari gelombang air laut. Selain itu ekosistem hutan magrove juga bisa berfungsi sebagai penahan instrusi air laut yang dapat mengatasi penyediaan air bersih bagi masyarakat sekitar. 3. Nilai Manfaat Pilihan (option value) Nilai manfaat pilihan mengacu pada nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan dimasa yang akan datang. Ketidakpastian pemanfaatan di masa datang menjadikan ketidakpastian penawaran lingkungan sehingga manfaat pilihan lebih diartikan sebagai nilai pemeliharaan atau perawatan sumber daya sehingga pemanfaatannya dimasa yang akan datang masih tersedia. Nilai manfaat pilihan merupakan kesediaan konsumen untuk mau membayar aset yang belum dimanfaatkan (Irawan 2005) dengan alasan untuk menghindari resiko karena tidak dapat lagi memanfaatkannya dimasa yang akan datang. Dengan kata lain nilai manfaat pilihan adalah manfaat sumber daya alam dan lingkungan yang pada saat ini
11 belum tereksploitasi atau dimanfaatkan, namun disimpan untuk masa yang akan datang. 4. Nilai Manfaat Eksistensi/ Keberadaan (existence value) Nilai manfaat eksistensi mempunyai nilai karena adanya kepuasan dari seseorang atau komunitas (masyarakat) atas keberadaan suatu aset yang bernilai ekonomis, walaupun yang bersangkutan (masyarakat) tidak ada keingingan untuk memanfaatkannya. Nilai ini bisa dapatkan melalui pendekatan Contingent Valuation Method. Nilai Rupiah (rata-rata)/m2/th yang diperoleh dari sejumlah responden merupakan nilai eksistensi hutan mangrove tersebut (Harahab 2010). Selain nilai ekonomi pemanfaatan dari hutan mangrove, dapat diketahui juga variasi dan jenis-jenis pemanfaatan yang telah dilakukan. Pemanfaatan mana yang menghasilkan nilai ekonomi yang optimal namun mempunyai tingkat pelestarian yang tinggi. Pemanfaatan Optimal Hutan Mangrove Setelah mengetahui nilai ekonomi dan jenis-jenis pemanfaatan dari hutan mangrove, diperlukan suatu perencanaan yang tepat dalam pengelolaannya dengan tetap mengutamakan kelestarian sumber daya hutan mangrove. Ada berbagai pemanfaatan yang telah dilakukan namun diperlukan analisis yang tepat agar keutuhan ekosistem hutan mangrove bisa terjaga. Hal ini dilakukan untuk melihat strategi pemanfaatan yang bisa dikembangkan, namun mempunyai hasil yang optimal. Yaitu dengan membandingkan nilai ekonomi dari pemanfaatanpemanfaatan yang telah dilakukan, diperoleh strategi pemanfaatan dengan hasil yang lebih optimal baik itu manfaat ekologi maupun ekonomi. Dasar dari perencanaan strategi pemanfaatan optimal yaitu dengan pertimbangan jumlah hasil produksi yang tinggi dan diimbangi dengan biaya operasional yang rendah. Namun perlu dipertimbangkan juga pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas ekosistem mangrove yang ada, dengan kata lain tidak over eksploitasi. Hasilnya, pemanfaatan dengan hasil yang maksimal, namun tetap mempertahankan kelestarian ekosistem yang ada.
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Desa Kulu Desa Kulu secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Wori yang terletak di pesisir bagian utara dari wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Jika menggunakan kendaraan bermotor jarak tempuh dari ibukota kabupaten sekitar 52 km dengan waktu tempuh 120 menit. Secara geografis Desa Kulu berada pada posisi 01˚35’ LU-29,19’ LS dan 124˚50’BT-16,22’BB, memiliki ketinggian 100m dari permukaan laut, dengan bentuk topografi datar 10 % dan perbukitan 90 %, dengan tingkat kemiringan 0˚–20˚. Desa Kulu mempunyai batas wilayah desa sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan : Laut Sulawesi Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Palaes Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Lantung Sebelah Barat berbatasan dengan : Laut Sulawesi
12 Letak geografis Desa Kulu dan kawasan hutan mangrovenya dapat kita lihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta Kawasan Hutan Mangrove Desa Kulu Desa Kulu memiliki luas ± 453 ha dimana ada sekitar 206.45 ha merupakan lahan perkebunan, lahan pemukiman ± 4.8 ha, mangrove ± 200.63 ha, dan ± 10.75 ha untuk penggunaan lainnya. Kondisi pemukiman warga lebih banyak bermukim dikawasan pesisir pantai walaupun dengan tipe topografi dataran berbentuk lereng, sehingga mengakibatkan warga sulit mendapatkan ketersediaan air bersih dengan tipe struktur tanah yang berpasir bahkan ada yang berbatu karang keras (LKPJ Desa Kulu 2013). Keadaan Penduduk Desa Kulu Penduduk Desa Kulu sendiri didominasi oleh etnis suku Sangihe Talaud/Nusa Utara 99%, dan suku lainnya 2%, dimana menurut sejarah desa etnis suku Sangihe Talaud/Nusa Utara ini merupakan bagian dari migrasi dari etnis suku Sangihe Mahangetang dan etnis suku Siau pada tahun 1919. Dalam waktu singkat wilayah pemukiman ini menjadi lebih besar dengan kedatangan kelompok lain juga, walaupun masih dari daerah asal yang sama. Dengan semakin berkembangnya desa ini, pada tanggal 28 Oktober 1926 pemerintah menetapkan wilayah ini menjadi desa definitif dengan nama Desa Kulu melalui besluit Nomor 38 tahun 1926 dengan Hukum Tua Robert Naay sebagai perwakilan dari pemerintah (LKPJ Desa Kulu 2013). Jumlah penduduk Desa Kulu 1203 jiwa terdiri dari laki-laki 600 jiwa dan perempuan 603 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 359 yang menempati 8 pembagian wilayah, dimana tiap wilayah di pimpin oleh Kepala Jaga. Sarana prasana umum di Desa Kulu tergolong minim, terutama dibidang pendidikan yang hanya memiliki dua gedung sekolah untuk SD dan satu gedung sekolah untuk SMP, sedangkan untuk tingkat pendidikan SMA harus ke daerah lain. Hal ini
13 mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat Desa Kulu yang terdiri dari 438 orang hanya tamat SD, 264 orang berpendidikan SMP, 214 orang berpendidikan SMA, 2 orang berpendidikan ahli madya, 16 berpendidikan Sarjana, sedangkan sisanya adalah orang yang belum sekolah dan tidak sekolah maupun yang tidak tamat sampai tingkat SD (LKPJ Desa Kulu 2013, BPS 2013). Mata pencaharian masyarakat di Desa Kulu didominasi oleh petani karena adanya lahan perkebunan yang cukup besar yaitu sekitar 80%, terdiri dari perkebunan kelapa, cengkeh, pala, padi ladang, jagung dan pisang. Namun dikarenakan kebanyakan masyarakat Desa Kulu bertempat tinggal di daerah pesisir pantai, ada sebagian masyarakat Desa Kulu menekuni dua profesi sekaligus yaitu bertani sebagai profesi utama dan nelayan sebagai pendukung. Penyebabnya, dikarenakan potensi kelautan dan perikanan juga bisa dijadikan unggulan untuk dikembangkan demi peningkatan potensi ekonomi desa, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (Jiwa) Jenis Pekerjaan (%) Petani 367 72 Nelayan 37 7 Pegawai Negeri Sipil/ Swasta 5 1 Anggota TNI/Polri 6 1 Buruh Bangunan 64 13 Pedagang 15 3 Sopir 14 3 Jumlah 508 100 Sumber: LKPJ Desa Kulu (2013), BPS Kecamatan Wori (2013)
Kondisi Hutan Mangrove di Desa Kulu Hasil dari pengamatan langsung di lapangan, kondisi hutan mangrove di Desa Kulu relatif baik dan terjaga. Dengan luas kawasan hutan mangrove di Desa Kulu sekitar 200.63 ha berdasarkan SK.434/Menhut-II/2013, masyarakat Desa Kulu sangat berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove di desa tersebut. Selain ditetapkannya kawasan hutan mangrove di Desa Kulu termasuk dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Minahasa Utara, namun kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan kawasan hutan mangrove di desanya sangat tinggi. Dari wawancara dengan masyarakat desa, kegiatan pengawasan, pengolahan, pemanfaatan, maupun pemeliharaan kawasan hutan mangrove telah dimasukkan dalam program tetap desa. Masyarakat Desa Kulu selalu diikutsertakan dalam setiap kegiatan-kegiatan yang mendukung pelestarian kawasan hutan mangrove baik itu kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya lainnya. Penyebaran jenis mangrove di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kehutanan Pemprov Sulawesi Utara untuk bagian Kabupaten Minahasa Utara memiliki luasan mangrove yang lebih besar dari daerah kabupaten/kota lainnya yaitu ± 4370.13 ha (Dinas Kehutanan Pemprov Sulut 2013). Luasan hutan mangrove untuk kabupaten/kota yang tersebar di Provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat pada Tabel 4.
14 Tabel 4 Sebaran Mangrove di Provinsi Sulawesi Utara DAS Dumoga Mongondouw Batudaa Bone Pantai Buyat Essang Nanusa Likupang Mahena Molibagu Pulau Biaro Pulau Bunaken Pulau Lembeh Pulau Siau Pulau Tagulandang Pulau Talise Poigar Atinggola Pantai Ratahan Sangkub Langi Tumpaan
Kab/Kota Bolaang Mongondouw Bolaang Mongondouw Selatan Boltim, Minahasa Tenggara Talaud Talaud Bitung, Manado, Minahasa Utara Sangihe Bolaang Mongondouw Selatan Sitaro Manado, Minahasa Utara Bitung Sitaro Sitaro Minahasa Utara Bolmong, Minahasa Selatan Bolaang Mongondouw Utara Minahasa Tenggara, Minahasa Utara
JUMLAH Sumber: Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara (2013)
Luas (ha) 424 45 315 220 666 2935 570 546 81 1520 6 72 288 329 288 77 726 1478 960 11.546
Kegiatan pelestarian yang dilakukan masyarakat Desa Kulu di kawasan hutan mangrove lebih fokus dalam kegiatan pengawasan dan pemeliharaan, dibandingkan dengan pemanfaatan maupun pengolahan kawasan hutan mangrove tersebut. Hal ini disebabkan kegiatan-kegiatan pelestarian yang dilakukan secara bersama baik dengan instansi pemerintah maupun LSM, hanya berupa penyuluhan atau pengetahuan yang lebih terfokus pada perlindungan hutan mangrove sebagai kawasan hutan lindung, dimana seluruh masyarakat desa harus menjaga kelestarian hutan mangrove. Namun pengetahuan tentang pengelolaan atau pemanfaatan dari hasil-hasil hutan mangrove sebenarnya mampu meningkatkan taraf ekonomi dari masyarakat desa namun tidak merusak atau menggangu ekosistem hutan mangrove yang ada, tidak disosialisasikan. Akibatnya masyarakat menjadi enggan untuk aktif memanfaatkan atau mengolah potensi hutan mangrove yang ada. Hal inilah yang menjadi penyebab kurangnya kegiatan pemanfaatan hutan mangrove yang hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Komposisi Jenis dan Volume Tegakan Mangrove Hasil pengamatan terhadap kawasan hutan mangrove di Desa Kulu, terdapat beberapa jenis spesies mangrove untuk tiap tingkat pertumbuhan. Pada tingkat semai dan pancang yaitu Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia caseolaris, sedangkan untuk tingkat pohon ada Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus spp. Secara keseluruhan jenis mangrove yang tumbuh di kawasan hutan mangrove Desa Kulu adalah Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia caseolaris, Bruguiera
15 gymnorrhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus spp. Secara terperinci hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Kulu No
Jenis
1 2 3 4 5 6
A. Semai Rhizophora spp. Avicennia spp. Sonneratia caseolaris Ceriops tagal Xylocarpus spp . Bruguiera gymnorrhiza
1 2 3 4 5 6
B. Pancang Rhizophora spp. Avicennia spp. Sonneratia caseolaris Ceriops tagal Xylocarpus spp. Bruguiera gymnorrhiza
*K (ind/ha)
KR %
F
FR %
D (m²/ha)
DR %
INP %
5900 2200 1000 9100
64,84 24,18 10,99 -
1 0,68 0,36 2,04
49,02 33,33 17,65 -
113,85 57,51 28,64 2
2880 1440 1072 5392
53,41 26,71 19,88 -
1 1 1 3
33,33 33,33 33,33 -
86,75 60,04 53,21 2
C. Pohon Rhizophora spp. 274 44,12 1 24,51 79,74 61,41 130,04 Avicennia spp. 171 27,54 1 24,51 24,13 18,58 70,63 Sonneratia caseolaris 124 19,97 1 24,51 16,35 12,59 57,07 Ceriops tagal 30 4,83 0,64 15,69 2,00 1,54 22,06 Xylocarpus spp . 11 1,77 0,24 5,88 0,7 0,05 7,71 Bruguiera gymnorrhiza 11 1,77 0,20 4,90 7,57 5,83 12,50 Total 621 4,08 129,85 3 *K (Kerapatan), KR (Kerapatan Relatif), F (Frekuensi), FR (Frekuensi Relatif), D (Dominasi), DR (Dominasi Relatif) 1 2 3 4 5 6
Tabel 5 menunjukkan jumlah kerapatan individu mangrove cenderung menurun dengan semakin tingginya tingkat pertumbuhan. Dari 9100 ind/ha untuk tingkat semai, menjadi 5392 ind/ha pada tingkat pancang dan 621 ind/ha untuk tingkat pohon. Dilihat dari INP-nya secara umum komunitas mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh Rhizophora spp. pada semua tingkat pertumbuhan, adapun jenis yang kodominan adalah Avicennia spp., yang kemudian diikuti beberapa jenis lainnya. Volume tegakan total pohon mangrove di Desa Kulu diduga sekitar 4195.82 3 m , yang sebagian besar disumbangkan oleh tegakan Rhizophora spp. 2728.68 m3, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Volume Tegakan Pohon Mangrove No 1 2 3 4 5 6
Jenis Volume (m³) Rhizophora spp. 340.07 82.63 Avicennia spp. 55.45 Sonneratia caseolaris 5.18 Ceriops tagal 1.74 Xylocarpus spp. 37.84 Bruguiera gymnorrhiza Jumlah 522.91 * Vt (Volume Tegakan), Vtl (Volume tegakan total)
*Vt (m³/ha) 13.61 3.31 2.22 0.21 0.07 1.51 20.92
Vtl (m³) 2728.68 662.98 444.97 41.63 13.95 303.61 4195.82
Nilai Manfaat Ekonomi Hutan Mangrove Nilai Manfaat Langsung Hasil pengamatan komoditas di hutan mangrove, untuk hasil kayu hutan mangrove tidak termasuk dalam pemanfaatan langsung. Kondisi ini menunjukkan
16 masyarakat tidak lagi memanfaatkan hasil kayu mangrove, tidak ada lagi pengambilan kayu dari kawasan hutan mangrove tersebut. Manfaat langsung dari hutan mangrove di Desa Kulu adalah pemanfaatan penangkapan dan pemancingan ikan dan kepiting yang dilakukan di sekitar kawasan hutan mangrove. Nilai manfaat dari penangkapan dan pemancingan ikan ini diperoleh dari beberapa jenis ikan yang nilainya paling besar adalah jenis ikan Teripang (Holothuria scabara) yaitu sebesar Rp. 50.000.000. Adapun total nilai manfaat yang diperoleh dari hasil pemanfaatan ini adalah Rp. 84.380.400 per tahun (Tabel 7).
Tabel 7 Nilai Manfaat Penangkapan Ikan dan Kepiting No 1 2 3 4 5
Jenis Ikan
Bobara (Caesionidae) Baronang (Siganus sp) Goropa (Plectropomus leopardus) Gutila (Luthjanus johnii) Sako (Tylosurus crocodilus) Behang (Plectorhincus 6 Chaetodonoides) 7 Taripang (Holothuria scabara) 8 Kepiting (Scyla serrata) Jumlah/ tahun Lihat lampiran 1
Vol. Rata-rata/ tahun (kg/thn)
Harga ratarata (Rp/kg)
Nilai Manfaat Rata-rata (Rp)
%
202 209 240 170 620
21.000 29.944 25.000 11.450 10.000
4.320.000 6.520.000 6.000.000 1.820.400 6.200.000
5 8 7 2 7
240
44.500
7.120.000
8
240 240 2.161
312.500 10.000 464.394
50.000.000 2.400.000 84.380.400
59 3 100
Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove Desa Kulu diperoleh dari fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi atau pemecah gelombang air laut dan hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut. Nilai manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi atau pemecah gelombang air laut adalah sebesar Rp. 23.086.035.000 untuk 10 tahun, atau sebesar Rp. 2.308.603.500/tahun. Nilai manfaat tidak langsung adalah hasil dari pendekatan biaya pembuatan konstruksi pemecah ombak dan penahan gelombang air laut yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Minahasa Utara untuk proyek pembuatan pemecah ombak dan penahan gelombang air laut di daerah Likupang Barat (Lampiran 2). Dihitung berdasarkan panjang garis pantai pesisir Desa Kulu yang terlindungi hutan mangrove yaitu sekitar 1.05 km. Nilai manfaat fungsi hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut diperoleh dengan pendekatan metode biaya pengganti. Pendekatan ini merupakan salah satu metode valuasi ekonomi berdasarkan pengeluaran potensial (Harahab 2010). Perhitungan ini berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dimana masyarakat di sekitar kawasan pantai akan terancam kehabisan air tawar jika tidak ada hutan mangrove. Dengan demikian perhitungannya didekati dengan penggunaan air sesuai kebutuhan dari masing-masing keluarga (Harahab 2010). Jumlah penduduk Desa Kulu 1203 jiwa terdiri dari 359 kepala keluarga, dimana satu keluarga membutuhkan 1 galon air/hari untuk kebutuhan air minum dan masak. Dengan harga 1 galon air tawar Rp. 3500, maka biaya yang dikeluarkan untuk air tawar per tahun sebesar Rp. 1.277.500 untuk satu keluarga, atau jumlah
17 kebutuhan air untuk masyarakat Desa Kulu adalah Rp. 458.622.500/tahun sebagai nilai manfaat hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut. Nilai Manfaat Pilihan Manfaat pilihan dalam penelitian ini ditentukan dengan mengamati potensi pemanfaatan yang mempunyai nilai ekonomi, namun untuk saat ini belum dilaksanakan dengan alasan tertentu. Menggunakan sampel perbandingan pemanfaatan di tempat lain yang bisa diterapkan di kawasan hutan mangrove Desa Kulu, nilai ekonomi dari manfaat pilihan hutan mangrove dapat diduga. Ada beberapa pemanfaatan yang jika dilihat dari komposisi dan tegakan mangrove bisa diterapkan dan dikembangkan di kawasan hutan mangrove Desa Kulu; - Pemanfaatan hutan mangrove untuk ekowisata Nilai ekonomi hutan mangrove untuk ekowisata ditentukan dengan analisis daya dukung kawasan, yaitu jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan wisata. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, untuk daya tampung di kawasan hutan mangrove dengan kegiatan ekowisata maksimal 250 orang. Namun untuk intensitasnya daya kunjung masih sekitar rata-rata 75 orang per minggu. Dengan menggunakan pendekatan harga tiket masuk di kawasan wisata lainnya yaitu Rp. 3500/orang, untuk nilai ekonomi hutan mangrove sebagai kawasan ekoswisata adalah Rp. 262.500 per minggu, atau Rp. 12.600.000 per tahun. - Pemanfaatan hasil kayu hutan mangrove Menghitung nilai ekonomi pemanfaatan hasil kayu hutan mangrove adalah dengan menggunakan pendekatan harga pasar untuk hasil kayu komersil secara keseluruhan. Nilai ekonomi dari pemanfaatan kayu mangrove dihitung dengan mengalikan volume tegakan total kayu mangrove 4195.82 m3 dengan harga jual kayu Rp. 800.000 per m3, dengan asumsi siklus tebang 25 tahun (Suzana et al. 2011), maka nilai manfaat hasil kayu mangrove untuk pertahunnya adalah Rp. 134.266.240. - Pemanfaatan bibit mangrove Nilai ekonomi dari pemanfaatan bibit mangrove ditentukan dari hasil survei harga jual bibit mangrove di pasaran. Pada saat ini, nilai jual bibit mangrove ukuran tinggi 40–100 cm adalah Rp. 2000/batang. Dengan hasil pengumpulan bibit mangrove di kawasan hutan mangrove rata-rata per hektar 100 bibit mangrove, dan dikembangbiakan selama 4-5 bulan, keuntungan yang didapat dari kegiatan pemanfaatan ini adalah Rp. 200.000. Dalam satu tahun dengan masa panen rata-rata 4 bulan, keuntungannya adalah Rp. 600.000 per ha. Jika dikalikan dengan luasan kawasan hutan mangrove di Desa Kulu yaitu 200.63 ha, nilai ekonomi dari pemanfaatan bibit mangrove per tahunnya sebesar Rp. 120.360.000 untuk tiga kali panen. Estimasi nilai ekonomi dari seluruh pemanfaatan hutan mangrove, bisa menentukan mana pemanfaatan yang menghasilkan nilai optimal untuk diterapkan dan dikembangkan di kawasan hutan mangrove Desa Kulu. Nilai Manfaat Keberadaan Nilai manfaat keberadaan untuk hutan mangrove di Desa Kulu ditentukan dengan menggunakan metode CVM. Jumlah responden yang dipilih sebagai sampel adalah 42 orang berdasarkan identitas mata pencaharian yang berbeda
18 dengan pendapatan per bulan dan mewakili keluarga masing-masing. Jumlah tanggungan dari masing-masing responden juga dijadikan sebagai pertimbangan untuk biaya yang disisihkannya per bulan sebagai biaya kesediaan untuk membayar oleh masing-masing responden. Hasil yang diperoleh dari perhitungan kesediaan untuk membayar per tahunnya adalah Rp. 5.650.000, sedangkan nilai rata-rata total diperoleh sebesar Rp. 134.524. Jadi nilai manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Kulu per tahunnya adalah Rp. 48.294.116. Pemanfaatan Optimal Mangrove Seluruh hasil perhitungan analisis manfaat di atas nilai potensi ekonomi bisa diduga dari hasil produk dan jasa lingkungan yang bisa maupun telah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kulu. Berdasarkan pengamatan dan analisa pemanfaatan yang dilakukan didasari sistem pengelolaan yang lestari, sehingga bisa dikatakan hasil yang diperoleh telah maksimal. Hasil analisis nilai ekonomi dari keseluruhan potensi manfaat mangrove menunjukkan untuk nilai manfaat paling besar adalah manfaat tidak langsung yaitu hutan mangrove sebagai penahan abrasi Rp. 2.308.603.500/tahun. Nilai dari pemanfaatan lainnya tergolong rendah, yaitu nilai manfaat pilihan hutan mangrove sebagai tempat ekowisata sebesar Rp. 12.600.000/tahun. Adapun nilai manfaat ekonomi dari seluruh hasil perhitungan pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai Total Ekonomi Mangrove Desa Kulu No 1
Potensi Manfaat
Nilai Manfaat Mangrove Desa Kulu per tahun (Rp)
Manfaat Langsung - Pemanfaatan Ikan
2
84.380.400
2,71
2.308.603.500 458.622.500
74,02 14,70
134.266.240 12.600.000 120.360.000 3.118.832.640
4,31 0,40 3,86
Manfaat Tidak Langsung - Manfaat Penahan Abrasi - Manfaat Penahan Intrusi
3
%
Manfaat Pilihan - Manfaat Hasil Kayu Mangrove - Manfaat Ekowisata - Manfaat Bibit Mangrove
Jumlah
Nilai total ekonomi hutan mangrove di Desa Kulu yaitu sebesar Rp. 3.118.832.640/tahun atau sekitar Rp. 15.545.196/ha/tahun, dimana nilai ini diperoleh dari penjumlahan keseluruhan pemanfaatan yang dapat dikembangkan di Desa Kulu. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai nilai pemanfaatan mangrove yang dilakukan di Desa Kulu sangat berpotensi besar apabila diterapkan dengan optimal. Pembahasan Komposisi Hutan Mangrove di Desa Kulu Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di
19 suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob (Snedaker 1968). Di seluruh dunia terdapat lebih dari 20 suku tumbuhan mangrove, yang terdiri dari 30 marga dengan anggota lebih dari 80 jenis (Hutching et al. 1987). Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Kusmana 1993). Jenis tumbuhan mangrove yang teridentifikasi di kawasan hutan mangrove Desa Kulu terdiri dari 6 jenis mangrove, yaitu; Rhizophora spp. (Lolaro), Avicennia spp. (Api-api), Sonneratia caseolaris (Posi-posi), Brugiera gymnorrhiza (Makurung), Ceriops tagal (Kayu ting), Xylocarpus spp. (Kira-kira hitam). Berdasarkan analisis vegetasi dari 25 plot yang dijadikan sampel penelitian, indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa untuk jenis Rhizophora spp. merupakan jenis yang mendominasi, baik pada tingkat semai, pancang dan pohon. Hal ini disebabkan karena jenis Rhizophora spp., umumnya mampu hidup pada substart berlumpur dan berpasir (Bengen 1999). Rhizophora spp. juga tumbuh di substrat lunak dan memiliki penyebaran yang luas (Arifin 2003), selanjutnya untuk jenis yang kodominan yang ada di Desa Kulu adalah jenis Avicennia spp. Pada dasarnya untuk tumbuhan mangrove yang paling mendominasi adalah Rhizophora spp. dan Avicennia spp. karena kedua jenis tumbuhan ini mampu beradaptasi dengan baik dan sangat toleran terhadap garam air laut di area pasang surut. Hasil identifikasi ini didukung dengan beberapa penelitian yang di lakukan di Kabupaten Minahasa Utara dengan lokasi yang berbeda seperti di Desa Talise (Wantasen 2002) dan Desa Palaes (Suzana et al. 2011) menunjukkan hasil penelitian yang sama, dimana tumbuhan mangrove yang paling mendominasi adalah tumbuhan Rhizophora spp. dan Avicennia spp., begitu juga penelitian yang dilakukan di Desa Tiwoho (Warongan 2009) menunjukkan bahwa Rhizophora spp. dan Avicennia spp. juga mendominasi tumbuhan mangrove di tempat penelitian. Kedua jenis tumbuhan mangrove ini mendominasi disemua kawasan mangrove di bagian utara wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Hasil penelitian ini juga didukung oleh data yang didapat dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara menyatakan bahwa struktur dan komposisi penyusunan hutan mangrove yang ada di wilayah Sulawesi Utara terbagi dalam 2 kategori; 1) Kawasan yang didominasi oleh jenis Sonneratia spp., terdapat di sepanjang pantai Utara antara Kabupaten Minahasa Selatan hingga Kabupaten Bolaang Mongondouw Utara. 2) Dominasi jenis Rhizophora spp., tersebar di wilayah Kabupaten Minahasa Utara dan sepanjang pantai Selatan (Kota Bitung, hingga Kabupaten Bolaang Mongondouw Selatan). (Dinas Kehutanan Pemprov Sulut 2013) Volume tegakan pohon mangrove menunjukkan potensi yang dimiliki cukup besar yaitu 20.92 m3/ha, atau total volume tegakan hutan mangrove Desa Kulu dengan luasan 200.63 ha adalah sekitar 4195.82 m3. Melihat kondisi dari hutan mangrove di Desa Kulu ini bisa dikatakan dalam keadaan baik dan terjaga. Potensi sumber daya dari hutan mangrove di Desa Kulu dapat terlihat jelas, mana yang bisa dikembangangkan atau dimanfaatkan secara optimal, baik secara
20 ekologi dan ekonomi dengan mengedepankan kelestarian dari keberadaan hutan mangrove di Desa Kulu. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Desa Kulu Fauzi (2004) menyatakan ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumber daya yang langka. Nilai ekonomi sumber daya alam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengalokasian sumber daya alam seperti air, lahan, ikan, dan hutan. Manfaat-manfaat yang disediakan hutan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, khususnya bangsa Indonesia sangatlah banyak dan besar. Namun dengan keterbatasan ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta kelembagaan hutan yang kaku, membatasi jenis dan besar pemanfaatan tersebut sehingga manfaat yang di peroleh masih sangat rendah (Darusman 2012). Kondisi hutan mangrove Desa Kulu memiliki nilai ekonomi yang potensial untuk dikembangkan. Nilai ini diperoleh dari berbagai pemanfaatan hutan mangrove yang dirasakan oleh masyarakat Desa Kulu. Adanya nilai pemanfaatan ini disebabkan interaksi antara masyarakat dengan hutan berlangsung sepanjang masa, sedangkan sifat dan intensitasnya selalu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kependudukannya. Nilai yang diperoleh dari lokasi penelitan ini cukuplah besar yang merupakan kumpulan dari berbagai nilai manfaat, baik itu nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai manfaat pilihan, dan nilai manfaat keberadaan. Dari kumpulan nilai manfaat ini, yang menunjukkan nilai manfaat paling besar diberikan oleh nilai manfaat tidak langsung. Berdasarkan hasil dari rekapitulasi kuisioner yang dibagikan kepada masyarakat bahwa nilai dari manfaat tidak langsung hutan mangrove yang berfungsi sebagai pemecah gelombang dan penahan ombak atau abrasi air laut memegang peranan sangat penting bagi masyarakat yang bemukim di wilayah pesisir pantai atau berdekatan langsung dengan bibir pantai yang ada di Desa Kulu. Dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai valuasi ekonomi hutan mangrove, dari beberapa hasil nilai ekonomi pemanfaatan menunjukkan paling sering memberikan nilai manfaat yang besar adalah manfaat tidak langsung hutan mangrove yang berfungsi sebagai pemecah gelombang dan penahan ombak atau abrasi air laut. Seperti pada penelitian di Desa Palaes Kabupaten Minahassa Utara yang menunjukkan nilai manfaat mangrove sebagai penahan abrasi air laut yang diestimasi melalui replacement cost dengan biaya pembangunan pemecah gelombang (break water) menghasilkan nilai manfaat sebesar Rp. 10.671.627.483 per tahun atau sekitar 97,99% dari total nilai manfaat yang ada di Desa Palaes (Suzana et al. 2011). Demikian juga halnya dengan penelitian valuasi ekonomi hutan mangrove lainnya yang berlokasi diluar Kabupaten Minahasa Utara, contohnya seperti yang dilakukan di Desa Pasar Banggi, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, nilai ekonomi total yang dihasilkan menunjukkan hal sama pula dimana nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penahan ombak dengan estimasi biaya pembangunan break water memberikan nilai manfaat paling besar yaitu Rp. 18.717.774.250 per tahun atau sebesar 95,4% dari total kesuluruhan nilai manfaat ekonomi hutan mangrove (Hanifa et al. 2013).
21 Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian ini, nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai pemecah gelombang dan penahan ombak atau abrasi air laut di Desa Kulu memberikan nilai manfaat yang paling besar dibandingkan dengan nilai manfaat lainnya. Berdasarakan estimasi biaya pembangunan kontruksi pemecah gelombang dan penahan ombak atau abrasi air laut Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Minahasa Utara, menghasilkan nilai manfaat sebesar Rp. 2.308.603.500 per tahun. Nilai manfaat ini diperoleh dari hasil perhitungan biaya konstruksi pemecah gelombang dan penahan ombak atau abrasi air laut dikalikan dengan panjang garis pantai di Desa Kulu yang dilindungi hutan mangrove yaitu sepanjang 1050 meter (1.05 km). Konstruksi ini terdiri dari dua bagian yaitu, bagian pemecah gelombang air laut dibangun memanjang 8 meter kearah laut dengan sistem pasangan batu boulder dan bagian penahan abrasi atau ombak dibangun pada sisi bagian ujung arah kedaratan dari pemecah gelombang air laut dengan ukuran tinggi 1 meter diatas tanah, 1 meter terbenam dalam tanah, dan memiliki ketebalan 1 meter untuk yang diatas tanah, 2 meter untuk yang terbenam dalam tanah (Lampiran 4), dan mempunyai daya tahan selama 10 tahun. Selain penahan abrasi dan gelombang air laut, nilai manfaat tidak langsung dari pemanfaatan hutan mangrove Desa Kulu diperoleh juga dari manfaat penahan intrusi air laut. Nilai manfaat ini diperoleh dengan menggunakan metode biaya pengganti. Biaya pengganti adalah jumlah pengeluaran untuk memperoleh kambali barang dan jasa yang sama (Harahab 2010). Metode ini biasanya digunakan untuk menghitung nilai suatu ekosistem yang telah rusak maupun hilang sama sekali, sehingga masyarakat sekitar harus mengalami kerugian karenanya atau masyarakat diharuskan membayar dengan jumlah tertentu untuk mendapatkan kembali barang atau jasa yang telah hilang sebagai dampak yang ditimbulkan dari hilangnya ekosistem tadi (Harahab 2010). Jadi perhitungan nilai manfaat ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan air tawar untuk keperluan air minum dan masak. Kebutuhan air tawar ini dihitung per kepala keluarga untuk setiap harinya yang rata-rata 1 galon (365 galon untuk satu tahun), dimana Desa Kulu mempunyai 359 kepala keluarga, dengan pendekatan harga pasar Rp. 3500/galon, maka hasil perhitungannya adalah Rp. 458.622.500/tahun untuk nilai manfaat penahan intrusi air laut Kedua pemanfaatan tidak langsung inilah yang dianggap penting oleh masyarakat Desa Kulu dan menjadi alasan mengapa hutan mangrove Desa Kulu harus selalu dijaga keberadaannya. Hal ini berbanding terbalik jika dilihat dari pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan atau dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Pemanfaatan secara langsung yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kulu hanyalah dari sektor penangkapan dan pemancingan ikan serta kepiting yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove. Kegiatan inipun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan harian dari masyarakat Desa Kulu. Penilaian pemanfaatan penangkapan dan pemancingan ikan serta kepiting dilakukan dengan pendekatan wawancara langsung dengan responden masyarakat Desa Kulu yang sering melakukan kegiatan penangkapan dan pemancingan ikan serta kepiting. Jadi nilai manfaat langsung untuk ekosistem hutan mangrove Desa Kulu adalah manfaat penangkapan ikan dan kepiting dengan nilai manfaat rata-rata per tahun Rp. 84.380.400. Apabila dibandingkan dengan pemanfaatan langsung dari
22 penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2013) di kawasan Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, menunjukkan nilai manfaat langsung sebesar Rp. 407.746.300.000/ha/tahun. Nilai manfaat ini diperoleh antara lain berupa pemanfaatan kayu, buah, daun, dan penangkapan ikan, udang, serta kepiting yang diambil dari kawasan hutan mangrove. Kayu mangrove jenis Rhizophora spp. masih dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah. Begitu juga buahnya yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijual ke perusahaan yang beroperasi di daerah sekitar kawasan untuk memenuhi CSR perusahaan berupa penghijauan hutan mangrove. Adapun manfaat daun magrove adalah jenis nipah yang dijadikan sebagai atap rumah baik untuk dijual maupun untuk dipakai sendiri. Pemanfaatan lainnya yaitu penangkapan kepiting dan udang yang ada di sekitar kawasan Delta Mahakam serta penangkapan ikan yang sering dijumpai di kawasan tersebut yaitu ikan belanak, ikan mujair, dan ikan bandeng. Manfaat langsung dapat memberikan kontribusi yang besar dikarenakan pemanfaatan mangrove di kawasan tersebut aktifitasnya masih tergolong cukup besar sehingga menghasilkan produksi yang besar pula untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil pengamatan di atas sangat jauh berbeda dengan hasil pengamatan yang diperoleh di Desa Kulu, dimana masyarakat tidak memanfaatkan hasil kayu, buah, maupun daun mangrove. Hal ini dikarenakan kawasan hutan mangrove Desa Kulu sudah ditetapkan masuk dalam kawasan hutan lindung yang ada di Provinsi Sulawesi Utara (SK.743/menhut-II/2014). Peraturan kawasan hutan lindung tersebut mengatur aktifitas yang bisa maupun tidak bisa dilakukan dalam kawasan hutan mangrove Desa Kulu. Namun pada pelaksanaannya masyarakat tidak mendapatkan sosialisasi yang jelas mengenai pemanfaatan seperti apa dan bagaimana yang bisa dilakukan dalam kawasan hutan mangrove. Pemahaman yang diperoleh masyarakat dari aturan ini hanya mengenai konsekuensi hukum apabila melanggar aturan terlebih merusak kawasan hutan mangrove Desa Kulu. Akibat dari pemahaman yang tidak benar akan aturan menjadikan masyarakat takut dan enggan untuk beraktifitas dalam kawasan hutan mangrove Desa Kulu. Melihat potensi hutan mangrove Desa Kulu nilai manfaat pilihan merupakan salah satu potensi manfaat mangrove yang perlu diketahui, dimana dengan melihat berbagai macam potensi mangrove yang sebenarnya bisa dimanfaatkan tapi penerapannya belum efektif dilakukan atau dikembangkan oleh masyarakat Desa Kulu. Pemanfaatan yang menjadi nilai pilihan ini harus memiliki nilai potensial ekonomi yang bisa dikembangkan secara berkelanjutan untuk mendapatkan pemanfaatan yang optimal. Tiga pemanfaatan mangrove yang bisa dijadikan manfaat pilihan untuk kawasan hutan mangrove Desa Kulu, yaitu manfaat bibit mangrove, manfaat hasil kayu mangrove, dan manfaat ekowisata. Ketiga manfaat pilihan diatas memiliki kelebihan masing-masing dalam hal penerapannya dan pengembangan kedepan untuk tetap menghasilkan manfaat ekonomi. Hasil pengamatan menunjukkan manfaat bibit mangrove mempunyai potensi nilai ekonomi paling tinggi, kemudian ada manfaat hasil kayu mangrove dan terakhir ekowisata hutan mangrove. Pemanfaatan bibit mangrove ini merupakan salah satu potensi yang bisa dikembangkan di Desa Kulu. Hasil analisa menunjukkan pengembangan pemanfaatan bibit mangrove Desa Kulu diduga menghasilkan nilai manfaat sebesar Rp. 120.360.000/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. Hasil pengamatan ini
23 didukung oleh penelitian yang dilakukan di Desa Pasar Banggi, dimana bibit mangrove yang dijual ada dua jenis yaitu Rhizophora spp. dengan nilai Rp. 158.717.029/ tahun dan Avicennia spp. dengan nilai Rp. 396.795.050/ tahun (Hanifa 2013). Dalam pengembangan bibit mangrove ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu; untuk melakukan kegiatan ini diperlukan pengetahuan khusus atau pelatihan terlebih dahulu tentang cara perawatan sekaligus pemeliharaan bibit mangrove dengan masa panen sekitar 4-5 bulan. Demikian halnya dengan pemanfaatan hasil kayu mangrove di Desa Kulu yang pada saat ini tidak dikembangkan lagi akibat dari aturan yang diterapkan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun dengan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Suzana (2011) di kawasan hutan mangrove Desa Palaes mengenai hasil kayu hutan mangrove, nilai manfaat kayu mangrove Desa Kulu bisa diduga, yaitu sebesar Rp. 134.266.240/tahun. Kawasan hutan mangrove Desa Palaes sendiri terletak di berdekatan dengan kawasan hutan mangrove Desa Kulu, jadi bisa dikatakan struktur maupun komposisi jenis mangrove di kedua kawasan tersebut tergolong sama. Perlu menjadi perhatian tentang manajemen pengelolaan hasil kayu mangrove harus mengutamakan pengelolaan yang lestari agar tidak terjadi over eksploitasi sumber daya alam. Apabila dibandingkan dengan pemanfaatan hasil kayu hutan mangrove yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dengan harga kayu Rp. 1.000.000 m3 dengan jumlah produksi 500 m3 dari luasan hutan mangrove sebesar 150.000 ha di kawasan Delta Mahakam Kutai Kartanegara dimana nilai yang dihasilkan Rp. 75.000.000.000/ha/tahun (Wahyuni 2013). Nilai manfaat yang dihasilkan cukuplah besar, namun seperti yang dijelaskan diatas perlu diperhatikan manajemen pengelolaannya yang lestari. Walaupun keuntungan yang dihasilkan cukup besar, tapi dampak yang ditimbulkan sangat merugikan dengan kehilangan potensi sumber daya akibat dari kegiatan yang over eksploitasi. Beda halnya dengan manfaat mangrove Desa Kulu sebagai tempat ekowisata. Kustanti (2011) mengemukakan bahwa ekowisata merupakan salah satu produk dan jasa lingkungan dihasilkan dari ekosistem hutan mangrove dan berpeluang dikembangkan tanpa merusak ekosistem yang ada. Selain itu, kegiatan ekowisata juga dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam serta menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya (Sawitri et al. 2013). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mayudin (2012) dengan pendekatan estimasi lokasi ekowisata di Kecamatan Labakkang, Mandalle dan Segeri menghasilkan nilai pemanfaatan sebesar Rp. 864.000.000/tahun, dengan kegiatan pengunjung yang dilakukan dilokasi wisata mangrove yaitu menikmati keindahan alam, keunikan hutan mangrove, melihat atraksi burung, memancing ikan, dan mengelilingi kawasan tersebut dengan perahu sewaan yang secara keseluruhan menunjukkan kepuasan dari pengunjung (Mayudin 2012). Pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kulu sangat mungkin untuk dilakukan, hal ini dikarenakan jarak tempuh dari ibukota Provinsi Sulawesi Utara sebagai pusat kegiatan ekonomi hanya sekitar 90 menit yang tentunya dapat memudahkan pengunjung untuk ketempat tujuan. Keadaan hutan mangrove yang masih sangat terawat dan terpelihara, yang didukung keragaman jenis mangrove dan keunikan alam mangrove. Kesediaan masyarakat untuk menerima pengunjung dari luar dan tentunya beberapa fasilitas penunjang lainnya bisa juga menjadi nilai tambah untuk kegiatan ini. Dengan demikian estimasi nilai ekonomi yang bisa
24 dihasilkan dari pengembangan ekowisata mangrove Desa Kulu diduga sebesar Rp. 12.600.000/tahun. Tentunya penerapan ekowisata ini harus dikelola dengan landasan pengelolaan yang lestari seperti pemanfaatan lainnya, tanpa merusak keberadaan dari ekosistem hutan mangrove Desa Kulu. Ketersedian akan berbagai potensi yang bisa dikembangkan di kawasan hutan mangrove Desa Kulu, baik dari pemanfaatan yang secara langsung, pemanfaatan tidak langsung yang manfaatnya dirasakan paling besar oleh masyarakat Desa Kulu, dan berbagai pemanfaatan pilihan yang bisa dikembangkan oleh masyarakat Desa Kulu. Hal ini mengambarkan pentingnya akan keberadaan dari hutan mangrove yang ada di Desa Kulu. Nilai keberadaan ekosistem hutan mangrove Desa Kulu dihitung dengan mengunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan ini digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. Dengan metode CVM ini akan memperoleh nilai WTP (willingness to pay) (Fauzi 2004). Metode Contingent adalah metode valuasi melalui survei langsung mengenai penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan (Kusumastanto 2000). Dalam penelitian ini dipilih 42 orang untuk dijadikan responden yang mewakili per keluarga dan terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan, pendidikan, serta jumlah tanggungan keluarga. Hasil yang didapat dari kegiatan ini ternyata cukup berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya didaerah lain yaitu pengaruh tingkat pendidikan responden menentukan tingkat kesediaan untuk membayar. Seperti yang diungkapkan oleh Mayudin (2012) didasarkan pada hasil penilaian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden yang lebih tinggi cenderung memberikan nilai keberadaan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan responden berpendidikan lebih rendah. Responden berpendidikan SMA keatas memberikan nilai rata-rata Rp. 9.150.000/ha/tahun. Responden berpendidikan SMP memberikan nilai rata-rata Rp. 5.818.182/ ha/tahun. Sedangkan responden yang berpendidikan SD memberikan nilai rata-rata sebesar Rp. 4.362.069/ha/tahun. Adapun di Desa Kulu sendiri tingkat pendidikan responden ternyata tidak terlalu berpengaruh pada kesediaan mereka untuk membayar, ini terlihat dari pemahaman mereka akan fungsi dari kawasan hutan mangrove walaupun tingkat pendidikan mereka rendah. Sebagai salah satu contoh untuk seorang petani dengan profesi sampingan sebagai nelayan walaupun tingkat pendidikannya hanya sampai SD, responden ini tidak bersedia jika hutan mangrove ini dihilangkan sama sekali, karena selain tempat mata pencaharian namun disisi lain responden ini menyadari dampak yang akan ditimbulkan yang nantinya dapat menimpa pemukimannya jika hal itu terjadi. Oleh karena itu tingkat pendidikan tidak dijadikan sebagai tolak ukur besar kecil kemampuan responden untuk membayar. Hasil analisis dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa mata pencaharian dan jumlah tanggungan yang mempengaruhi besar kecil kebersediaan responden untuk membayar. Walaupun pendapatannya tergolong kecil, namun dengan jumlah tanggungan yang sedikit seorang responden berani membayar dengan jumlah yang sama dengan seorang responden dengan pendapatan yang lebih tinggi namun memiliki jumlah tanggungan yang lebih banyak.
25 Pemanfaatan Optimal Hutan Mangrove di Desa Kulu Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dapat menciptakan kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan, apabila hubungan antara sistem dalam wilayah tersebut dapat terpelihara dengan baik (Harahab 2010). Hal ini yang diterapkan pada kawasan ekosistem hutan mangrove yang pada dasarnya termasuk dalam wilayah pesisir. Memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari, sehingga tidak mengurangi daya dukung lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Azis 2006). Hasil perhitungan terhadap potensi manfaat mangrove di Desa Kulu (Tabel 8), menunjukkan pemanfaatan yang ada sudah berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian dan pemanfaatan yang satu tidak meniadakan pemanfaatan yang lain. Melihat nilai total ekonomi pemanfaatan dari keseluruhan nilai manfaat mangrove yaitu sebesar Rp. 3.118.832.640/tahun atau sekitar Rp. 15.545.196/ha/tahun, dan ini adalah nilai ekonomi dari hutan mangrove Desa Kulu. Pemanfaatan yang dilakukan sesuai dengan kapasitas maupun kemampuan dari sumber daya ekosistem mangrove yang ada. Dengan kata lain pemanfaatan yang dilakukan tidak dengan kegiatan eksploitasi yang berlebih. Hal ini artinya hutan mangrove di Desa Kulu dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai penghasil manfaat langsung untuk penangkapan ikan dan kepiting, manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi dan penahan intrusi air laut, serta manfaat pilihan untuk hasil kayu, bibit mangrove, dan kegiatan ekowisata. Manfaat keberadaan tidak termasuk dalam pemanfaatan optimum dan hanya dijadikan nilai pembanding nilai manfaat lainnya. Pada dasarnya pemanfaatan yang optimal bertujuan untuk peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan nilai ekologi dari ekosistem yang ada. Usaha pemanfaatan hutan mangrove seharusnya menghitung manfaat dan biaya dari kegiatan usaha, termasuk didalamnya menghitung nilai ekonomi dari sumber daya hutan mangrove dengan hasil yang optimal (Wahyuni 2013). Begitu juga halnya seperti yang diungkapkan oleh Qodrina (2012) bahwa tujuan dari prioritas ini adalah tercapainya fungsi jasa lingkungan dan aktifitas pemanfaatan dapat dijalankan dalam waktu yang lama dan terciptanya manfaat lingkungan sehingga memberikan nilai ekonomi yang berasal dari kelestarian ekologi. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem hutan mangrove di Desa Kulu dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dapat memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi yang optimal. Apabila nantinya ada penggunaan atau pemanfaatan yang bersifat merusak kelestarian bahkan menghilangkan kawasan mangrove ini, agar dapat mempertimbangkan bahwa kawasan mangrove ini telah memberikan manfaat ekonomi yang begitu besar bagi masyarakat sekitar. Nilai total ekonomi yang diperoleh dapat dijadikan acuan sebagai nilai pembanding dengan kegiatan penggunaan lain yang bertujuan merubah kawasan mangrove ini. Hal ini dapat menjamin keberlangsungan akan kelestarian hutan mangrove tersebut namun tetap menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Jumlah jenis mangrove di Desa Kulu terdiri dari 6 jenis mangrove, yaitu; Rhizophora spp. (Lolaro), Avicennia spp. (Api-api), Sonneratia caseolaris (Posi-posi), Bruguiera gymnorrhiza (Makurung), Ceriops tagal (Kayu ting), Xylocarpus spp. (Kira-kira hitam). Dari 6 jenis tersebut, jenis Rhizophora spp. adalah yang paling mendominasi dilihat dari hasil perhitungan INPnya. Adapun untuk dugaan volume tegakan total pohon mangrove dalam ekosistem ini adalah sebesar 4195.82 m3. 2. Nilai potensi ekonomi dari produk maupun jasa lingkungan hutan mangrove Desa Kulu, terdiri dari nilai manfaat yang tertinggi adalah manfaat penahan abrasi yaitu Rp. 2.308.603.500/tahun, kemudian diikuti oleh manfaat penahan intrusi yaitu Rp. 458.622.500/tahun. Nilai manfaat penjualan bibit mangrove sebesar Rp. 120.360.000/tahun adalah nilai tertinggi berikutnya. Kemudian ada nilai pemanfaatan penangkapan ikan dan kepiting sebesar Rp. 84.380.400/tahun, dan nilai manfaat hasil kayu sebesar Rp. 134.266.240/tahun. Nilai manfaat ekowisata sebesar Rp. 15.225.000/tahun adalah yang paling kecil. 3. Nilai manfaat maksimum akan diperoleh bila kegiatan pemanfaatan yang ada dilakukan, dan memperoleh nilai total ekonomi Rp. 3.118.832.640/ tahun untuk luasan hutan mangrove Desa Kulu sebesar 200.63 ha, atau sekitar Rp. 15.545.196/ha/tahun. Saran 1. Berdasarkan hasil studi terhadap komposisi dan kondisi hutan mangrove di Desa Kulu menunjukkan seluruh kegiatan pemanfaatan yang ada dapat diterapkan dan dikembangkan dengan manajemen pengelolaan yang berdasarkan pada pengelolaan yang lestari. 2. Diperlukan pengembangan kapasitas masyarakat dan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove, agar manfaat mangrove dapat diperoleh secara berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Arifin A. 2003. Hutan Mangrove (Fungsi dan Manfaatnya). Jakarta (ID): Penerbit Kanisius. Azis N. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor (ID): IPB
27 Bismark M, Sawitri R. 2008. Pengelolaan Lahan dan Hutan Rakyat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ceremai, Kabupaten Majalengka, JawaBarat. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Info Hutan 5(4):317–327. BPD Desa Kulu. 2013. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Tahun Anggaran 2013. Kulu (ID): Kecamatan Wori. BPS Minahasa Utara. 2014. Kecamatan Wori dalam Angka 2014. Minahasa Utara (ID): Badan Pusat Statistik Minahasa Utara. Dahuri R, Rais RJ, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta (ID): Pradnya Paramita. Darusman D. 2012. Kehutanan demi Keberlanjutan Indonesia. Bogor (ID: IPB Press. Dinas Kehutanan Pemprov Sulawesi Utara. 2013. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Sulawesi Utara. Manado (ID): Dishut Pemprov Sulawesi Utara. Dixon JA. 1989. Valuation of Mangrove: Tropical Coastal Area Management. Vol 4, No.3. Metro Manila Philipines.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID): Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hanifa A, Pribadi R. Nirwani. 2013. Kajian Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di Desa Pasar Banggi, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang. Journal of Marine Research 2(2): 140-148. Harahab N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Hutching P, Saenger P. 1987. Ecology of Mangrove. Australia (AUS): University of Queensland Press. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi IPB. Bogor (ID): Forum Agroekonomi 23(1): 1-18. Kementerian Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
28 Kementerian Kehutanan. 2013. Persetujuan/Penetapan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi. SK.434/Menhut-II/2013. Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor (ID): IPB Press. Kusmana C. 1993. A Study an Mangrove Forest Management Based on Ecoligal Data in East Sumatera. Indonesia. [Phd]. Dissertation Marine Biology 6:74-242. Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor (ID): IPB Press. Kusumastanto T. 2000. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press. Mayudin A. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal EKSOS 8(2):90-104. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology. Jhon Wiley & Sons. New York. Munasinghe M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Enviroment Paper Number 2. Saprudin, Halidah. 2011. Potensi dan nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. JPHKA. 9(3):213–219. Sawitri R, Bismark M, Karlina E. 2013. Ekosistem Mangrove sebagai Obyek Wisata Alam di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan di Kota Tarakan. Pusat Litbang dan Rehabilitasi. JPHKA. 10(3):297-314. Snedaker SC. 1978. Mangrove: Their Value and Perpetuation. Nature Resources 14:6-13. Suzana BOL, Timban J, Kaunang R, Ahmad F. 2011. Valuasi ekonomi sumber daya hutan mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara.ASE. 7(2):29–38. Pariyono. 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangorve dalam kaitannya dengan Pengelolaan Wilayah Pantai di Desa Panggung, Bulakbaru, Tanggullare, Kabupaten Jepara [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Semarang. Patunru AA. 2010. Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim. Valuasi Ekonomi untuk Lingkungan [Internet]. [diunduh Januari 2013]. Tersedia pada: https://lib.atmajaya.ac.id.
29 Pearce D, Moran D. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUNC. London (UK): Earthscan Publication. Pomeroy RS. 1992. Economic Valuation Available Methode. P.149-162. In T.E. Chua and LF Scura (eds.) Integrative farmwork and methodes for coastal area management. ICLARM Conf. Proc, 37, 169p. Wahyuni Y. 2013. Valuasi Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wantasen AS. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Sumber daya Hutan Mangrove di Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Warongan CWAO. 2009.Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Qodrina L, Hamidy R, Zulkarnaini. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan 6(2).
30
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Perhitungan Penangkapan Ikan dan Kepiting Jenis Ikan
: Bobara
No
Responden
Frekuensi
1 2 3 4 5
Martinus Mulumba Nikodemus Notolondo Ansilina Laihang Rasjul Lahiang Panawar Pato Jumlah Rata-rata
1 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/minggu 4 kali/minggu 4 kali/minggu
Jenis Ikan
Volume (kg/thn) 144 144 144 288 288 202
Harga (Rp/kg) 20.000 20.000 20.000 20.000 25.000 21.000
Nilai Manfaat (Rp) 2.880.000 2.880.000 2.880.000 5.760.000 7.200.000 4.320.000
Volume (kg/thn)
Harga (Rp/kg)
Nilai Manfaat (Rp)
12 240 12 720 120 240 36 36 120 144 480 120 240 240 240 240 288 240 209
20.000 49.000 20.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 29.944
240.000 11.760.000 240.000 21.600.000 3.600.000 7.200.000 1.080.000 1.080.000 3.600.000 4.320.000 14.400.000 3.600.000 7.200.000 7.200.000 7.200.000 7.200.000 8.640.000 7.200.000 6.520.000
Harga (Rp/kg)
Nilai Manfaat (Rp)
240 240
25.000 25.000
6.000.000 6.000.000
240
25.000
6.000.000
: Baronang
No
Responden
Frekuensi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jack Tatue Alexander Areros Romen Tatue Welli Patoh Daniel Panurat Meyke Barnama Pendi Tatuhi Hany Sumenda Pornika Tasiline Markus Kaaroh Yohanes Mananggei Yantje Papuas Aser Piter Lukas Roberto Pato Sri Wulani Manginsela Aluwina Diamanty Yosima Makahekung Jumlah Rata-rata
1 kali/bulan 1 kali/bulan 1 kali/bulan 6 kali/minggu 2 kali/bulan 1 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/minggu 2 kali/bulan 1 kali/minggu 2 kali/minggu 2 kali/bulan 1 kali/minggu 1 kali/minggu 5 kali/minggu 2 kali/minggu 6 kali/minggu 1 kali/minggu
Jenis Ikan No
Responden
1 2 3
Martinus Mulumba Lukas Jumlah Rata-rata
: Goropa Frekuensi 1 kali/minggu 1 kali/minggu
Volume (kg/thn)
31
Jenis Ikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
: Gutila Responden
Martinus Mulumba Jack Tatue Alexander Areros Romen Tatue Welli Patoh Pendi Tatuhi Hany Sumenda Pornika Tasiline Markus Kaaroh Yohanes Mananggei Mariaty Mulumbot Yantje Papuas Hartje Balo Aser Piter Lukas Junaidi Wowongpangsing Sri Wulani Manginsela Aluwina Diamanty Yosima Makahekung Yolanda Makatulung Jumlah Rata-rata
Jenis Ikan No 1 2 3 4 5 6
1 2
1 kali/minggu 1 kali/bulan 1 kali/bulan 1 kali/bulan 6 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/minggu 2 kali/bulan 3 kali/minggu 2 kali/minggu 1 kali/minggu 2 kali/bulan 1 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/bulan 2 kali/minggu 6 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/bulan
Volume (kg/thn)
Harga (Rp/kg)
Nilai Manfaat (Rp)
720 12 240 12 720 24 24 120 288 48 144 120 144 144 96 12 144 288 96 12 170,4
10.000 12.000 10.000 12.000 10.000 15.000 10.000 15.000 10.000 15.000 10.000 15.000 10.000 10.000 10.000 10.000 15.000 10.000 10.000 10.000 11.450
7.200.000 144.000 2.400.000 144.000 7.200.000 360.000 240.000 1.800.000 2.880.000 720.000 1.440.000 1.800.000 1.440.000 1.440.000 960.000 120.000 2.160.000 2.880.000 960.000 120.000 1.820.400
: Sako Responden
Stevanus Kelang Jemmy Bawotong Irma Kapugu Hanny Bulamei Hartje Balo Aser Piter Jumlah Rata-rata
Jenis Ikan No
Frekuensi
Frekuensi 3 kali/minggu 3 kali/minggu 6 kali/minggu 6 kali/minggu 1 kali/minggu 1 kali/minggu
Volume (kg/thn) 216 864 720 1440 240 240 620
Harga (Rp/kg) 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Nilai Manfaat (Rp) 2.160.000 8.640.000 7.200.000 14.400.000 2.400.000 2.400.000 6.200.000
: Behang Responden
Lusiawati Bawotong Leli A. Katiandagho
Frekuensi 5 kali/minggu 1 kali/bulan
Volume (kg/thn) 240 240
Harga (Rp/kg) 40.000 49.000
Nilai Manfaat (Rp) 9.600.000 11.760.000
32 3 Jumlah Rata-rata Jenis Ikan No 1 2 3
240 : Taripang
Responden Roberto Pato Lusiawati Bawotong
Frekuensi
Volume (kg/thn)
5 kali/minggu 5 kali/minggu
Jumlah Rata-rata
Jenis Ikan No 1 2
44.500
0 7.120.000
Harga (Rp/kg)
Nilai Manfaat (Rp)
240 240
325.000 300.000
240
312.500
78.000.000 72.000.000 0 50.000.000
: Kepiting Responden
Lusiawati Bawotong
Frekuensi
Volume (kg/thn)
5 kali/minggu
Jumlah Rata-rata
Harga (Rp/kg)
Nilai Manfaat (Rp)
240
10.000
2.400.000
240
10.000
2.400.000
Nilai Manfaat Penangkapan Ikan dan Kepiting No
Jenis Ikan
1 2 3 4 5
Bobara (Caesionidae) Baronang (Siganus sp) Goropa (Plectropomus leopardus) Gutila (Luthjanus johnii) Sako (Tylosurus crocodilus) Behang (Plectorhincus Chaetodonoides) Taripang (Holothuria scabara) Kepiting (Scyla serrata) Jumlah/ tahun
6 7 8
Vol. Rata-rata/ tahun (kg/thn)
Harga ratarata (Rp/kg)
Nilai Manfaat Rata-rata (Rp)
%
202 209 240 170 620
21.000 29.944 25.000 11.450 10.000
4.320.000 6.520.000 6.000.000 1.820.400 6.200.000
5 8 7 2 7
240
44.500
7.120.000
8
240 240 2.161
312.500 10.000 464.394
50.000.000 2.400.000 84.380.400
59 3 100
Lampiran 2 Nilai Manfaat Tidak Langsung Perhitungan Pembiayaan Pemecah Gelombang dan Penahan air laut Panjang Garis Pantai : 1050 meter Biaya pembangunan pemecah/penahan gelombang air laut untuk 1 meter dengan daya tahan 10 tahun : Rp. 21.986.700 Estimasi biaya pembangunan pemecah/penahan gelombang air laut : Rp. 21.986.700 x 1050 meter = Rp. 23.086.035.000 (10 tahun) Estimasi biaya pembangunan pemecah/penahan gelombang air laut per tahun : Rp. 23.086.035.000 : 10 tahun = Rp. 2.308.603.500 Nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai pemecah dan penahan gelombang air laut = Rp. 2.308.603.500/tahun
33
Perhitungan Penahan Intrusi Air Laut Pendekatan dengan metode biaya pengganti kebutuhan air bersih (tawar) dari masing-masing keluarga Kebutuhan air bersih (tawar) satu keluarga setiap hari adalah 1 galon air Jumlah kepala keluarga 359 Harga 1 galon air bersih (tawar) Rp. 3.500 (**) Untuk satu keluarga : 1 galon air (Rp. 3500) x 365 hari = Rp. 1.277.500 keluarga/tahun Kebutuhan air bersih (tawar) Desa Kulu = Rp. 1.277.500 x 359 kepala keluarga = Rp. 458.622.500/tahun Nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penahan intrusi air laut adalah Rp. 458.622.500/tahun Lampiran 3 Nilai Manfaat Pilihan a) Nilai Manfaat Kayu Komersil : - volume kayu mangrove : 4195.82 m3 - harga jual kayu komersil : Rp. 800.000/ m3 - siklus tebang : 25 tahun Hasil Perhitungan = Rp. 800.000/m3 x 4195.82 m3 = Rp. 3.356.656.000/m3 : 25 tahun = Rp. 134.266.240/m3/tahun b) Nilai Manfaat Ekowisata : - Daya Tampung Pengunjung : 250 orang - Rata-rata kunjungan per minggu : 75 orang - Harga tiket (hasil survey) : Rp. 3.500/orang Hasil Perhitungan = Rp. 3.500 x 75 orang/minggu = Rp. 262.500/minggu x 48 minggu (1 tahun) = Rp. 12.600.000/ tahun c) Nilai Manfaat Bibit Mangrove : - Harga jual 1 batang bibit : Rp. 2.000 - Jumlah rata-rata bibit per 1 ha : 100 bibit mangrove - Masa pembibitan : 4 bulan (1 tahun = 3 kali panen) - Luas hutan mangrove : 200.6 ha Hasil Perhitungan = Rp. 2.000 x 100 bibit/ha = Rp. 200.000/ha x 3 kali panen = Rp. 600.000/ha/tahun x 200.6 ha (luas mangrove) = Rp. 120.360.000/tahun
34 Lampiran 4 Nilai Manfaat Keberadaan No 1 2 3 4 5 6
Nominal (Rp)
Jmlh Responden
500.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 Jumlah Total Rata-rata total Nilai Manfaat Keberadaan Rp/ha/tahun
1 4 2 12 16 7 42
Nilai rata-rata/tahun (Rp) 500.000 1.000.000 400.000 1.800.000 1.600.000 350.000 5.650.000 134.524 48.294.116
% 9 18 7 32 28 6 100
35
RIWAYAT HIDUP Devitha Windy Kalitouw lahir di Manado 28 November 1988, putri pertama dari Francis J.D. Kalitouw dan Adeleida Makaingat. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada Tahun 2010. Pada tahun 2012 Penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor. Pada Tahun 2015 penulis menyelesaikan penelitian dengan judul, ”Potensi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Kulu Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan dibawah bimbingan Bapak Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA dan Bapak Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS.