POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Ekonomi Islam
Oleh: DJAWAHIR HEJAZZIEY NIM : 04.3.00.1.08.01.0037
Promotor: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH
Penguji: Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY NIM : 04.3.00.1.08.01.0037 Promotor: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1930 H
¯2lµo G¡+Ýo ¯2Ù{´ اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴﻜﻢ ورﺣﻤﺔ اﷲ وﺑﺮآﺎﺗﻪ I KESIMPULAN BESAR DESERTASI
Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang merupakan korelasi yang bersifat sinergiperpaduan antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
II
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DENGAN KOMUNITAS AKADEMIK LAIN
Ada 3 (tiga) hal pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan
dan
kepentingan mengenai gerakan Politik Hukum Nasional Perbankan Syariah sebagai hukum positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia: 1. Gerakan “Islam Politik” mengutarakan bahwa menegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan kekuasaan atau revolusi sebagai alat. sedangkan di bidang ekonomi, gerakan fundamentalis menempuh strategi gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, Suroso Jajuli, Zaenal Baharnoer, Iwan Poncowinoto atau Riawan Amin.
2. Gerakan “Islam Kultural” mengutarakan bahwa dalam menegakkan syariat Islam
memilih jalur budaya dan kemasyarakatan; bertujuan untuk
menciptakan masyarakat Islam (creating Islamic Society), peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. Pendapat ini dianut oleh organisasi Islam mainstream, yaitu NU, Muhammadiyah dan ICMI 3. Gerakan “Islam Liberal” atau sekulariasi mempropagndakan
tidak perlu
membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Pendapat ini dianut oleh: Nurkholis Majid, Abdullah Ahmad an-Na’im, Khalid Muhammad Khalid,
III POSISI PENULIS Desertasi ini mengafirmasikan pendapat pertama, bahwa peneggakan syariat Islam harus menempuh jalan mencapai kekuasaan atau revolusi sebagai alat atau yang dikenal dalam istilah “Islam struktural”.
IV SUMBER YANG DIPAKAI DAN CARA MEMBACANYA
1. Sumber data primer pada penelitian ini adalah Politik dan hukum perbankan syaiah, didukung oleh buku-buku, jurnal maupun tulisan populer baik diakses oleh media cetak ataupun elektronik, dengan telaah regulasi dan Undang-undang a. UU RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; b. UU RI No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; c. UU RI No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia; d. PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) Merupakan Salah Satu Pelaksanaan Peraturan Dari UU No.7 Tahun 1992; e. UU RI No. 14 Tahun 1967 Pokok Perbankan f. UU RI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. 3. Landasan teori desertasi ini: menggunakan analisis yang dikemukakan oleh:
a. Van den Berg dalam sebuah
teori receptio in complexu yang
menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya, jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka hukum yang berlaku harus hukum Islam. b. Eugen Ehrlich mengutarakan bahwa untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan harus memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat “living dan just law” yang merupakan cerminan nilai-nilai hidup masyarakat atau “inner order”
c. Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.
Sekian terima kasih wassalaam
POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH INDONESIA DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Ekonomi Islam
Oleh: DJAWAHIR HEJAZZIEY NIM : 04.3.00.1.08.01.0037
Promotor: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
LEMBAR PERSETUJUAN
Desertasi
yang
berjudul
“POLITIK
HUKUM
NASIONAL
PERBANKAN
SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi Pendahuluan
Demikian untuk dimaklumi, Pembimbing I
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. (Tanggal, --------------------2010)
LEMBAR PERSETUJUAN
Desertasi
yang
berjudul
“POLITIK
HUKUM
NASIONAL
PERBANKAN
SYARIAH INDONESIA” yang ditulis oleh sdr. DJAWAHIR HEJAZZIEY dengan NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 dapat disetujui untuk dibawa ke Sidang Ujian Desertasi Pendahuluan
Demikian untuk dimaklumi, Pembimbing II
Prof. DR. H. Abdul Gani Abdullah, SH. (Tanggal, --------------------2010)
TANDA BUKTI PENYERAHAN DESERTASI
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui untuk diserahkan Disertasi final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, 15 Oktober 2010
NAMA Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
JABATAN Ketua Sidang/Penguji
TTD/PENERIMA ...................................................
Pembimbing/Penguji ................................................... Pembimbing /Penguji ................................................... Penguji ................................................... Penguji ...................................................
Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA
Penguji ................................................... Perpustakaan UIN ................................................... Perpustakan Pascasarjana ................................................... ...................................................
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 Pembimbing/Penguji
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 Pembimbing /Penguji
Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 Penguji
Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 Penguji
Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 Penguji
Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA
PENGESAHAN
Disertasi dengan judul
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA” yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan NIM. : 04.3.00.1.08.01.0037, telah diperbaiki sesuai dengan saran dan permintaan Tim Penguji dalam Ujian Promosi Doktor pada Pukul 19.00 – 21.00 hari Senin Tanggal 06 September 2010 M/ 27 Ramadhan 1431 H, dan disetujui Untuk diserahkan Disertasi Final ke perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ...... September 2010 TIM PENGUJI Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA (Ketua Sidang/Penguji)
...................................................
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM (Pembimbing/Penguji)
...................................................
Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH (Pembimbing /Penguji)
...................................................
Prof. Dr. H. Ahmad Rodoni, MM (Penguji)
...................................................
Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah (Penguji)
...................................................
Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA (Penguji)
...................................................
PERSETUJUAN KETUA SIDANG
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Ketua Sidang/Merangkap Penguji
Prof. Dr. Suwito, MA
PERSETUJUAN PENGUJI
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Penguji
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA
PERSETUJUAN PENGUJI
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Penguji
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
PERSETUJUAN PENGUJI
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Penguji
Prof. Dr. Sri Edi Swasono
PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Pembimbing/merangkap Penguji
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGUJI
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Pembimbing/merangkap Penguji
Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH
PERSETUJUAN SEKRETARIS
Disertasi dengan judul SYARIAH INDONESIA”
“POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN yang ditulis oleh DJAWAHIR HEJAZZIEY, dengan
NIM. :
04.3.00.1.08.01.0037, dinyatakan Lulus Pada Ujian Pendahuluan Disertasi pada hari Rabu 11 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan komentar dari Tim penguji. Disertasi ini disetujui untuk diajukan ke Sidang Ujian Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
Jakarta, ------- Agustus 2010 Sekretaris
Feni Arifin
ABSTRAK Nama : Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Judul Disertasi: Politik Hukum Nasional Tentang Perbankan Syariah Indonesia. Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim maupun non-muslim. Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Adiwarman Karim, Amin Suma, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin. Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan nonbank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah. Sumber utama yang digunakan disertasi ini adalah data-data otentik yang diperoleh dari buku-buku kontemporer tentang politik dan hukum perbankan syariah, jurnal maupun tulisan populer yang diadop baik dari media cetak atau elektronik dengan sifat penelitian deskriptif dan eksplanatif serta mengelaborasi disiplin ilmu politik, ilmu hukum, agama dan sosial. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis dengan metode penelitian telaah dokumen Undang-undang RI No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok Perbankan; UU RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU RI No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Regulasi yakni PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7 Tahun 1992; Data-data yang diperoleh dianalisa melalui deskripsi data, direduksi, dan dilakukan pemilahan sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pada tahap kesimpulan dilakukan interpretasi data, dan dihubungkan yang satu dengan yang lain untuk memperoleh kesimpulan akhir.
xii
ABSTRACT Name: Djawahir Hjeazziey, NIM: 04.3.00.1.08.01.0037, Dissertation Title: Politics of National Laws on Indonesian Islamic Banking. This dissertation proves that the configuration of the laws have a synergistic relationship between the legal product of elitist and the legal product of the population responsive that is built on the values of religious faith, ideological, political, economic, social and cultural rights. This conclusion rejects the notion: Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na'im who pointed out that the formalization of Islamic shari'ah became positive law, not needed, because the neutral country should not be dominated by only one group, both Muslims and non- -Muslim. This dissertation also reinforce the opinion of political Islam movement which points out that enforcement of Islamic sharia must be done through street power. In the economic sphere, this movement took gradualist strategy and democratic. Figures of the Islamic sharia fighters in the economy: PM Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Shafi Antonio, Amin Suma, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, and Riawan Amen. Indicators that show the truth of the conclusion of this dissertation can be seen that: the establishment of Islamic banks in the world, like: firstly, Egyptian Bank and the Bank Mit Ghamr Social Nasr, Faisal Islamic Bank, a commercial banks, Islamic International Bank for Investment and Development, the government's political elite turned out to involve , the role of government is very big, either in the form of capital regulation and, secondly, Pakistan, abolish the system of non-bank financial institutions, with a system of non-ribawi; third, Iran, the Islamization of the national banking system is done after the foundation of the Islamic Republic of Iran; fourth Amanah bank Philippines, Bank Islam Malaysia, also involving the government. The main sources used in this dissertation is authentic data obtained from contemporary books about politics and the law of sharia banking, journals and popular writing that diadop either print or electronic media with descriptive and explanatory nature of research and elaborate on the discipline of political science, science legal, religious and social. While the approach used is the sociological perspective of an anthropological approach to document analysis, research methods Act No. RI. 7 Year 1992 About the Banking Act No. RI. 14 Year 1967 About the Principal Banking Act No. RI. 10 of 1998 concerning the Amendment of Act No. 7 Year 1992 About the Banking Law Decree No. 21 Year 2008 About Islamic Banking and Regulation of the PP. No. 72, 1992 (Article 6) is one of the implementation rules of the Act No.7 of 1992; The data obtained were analyzed through the description of data, is reduced, and conducted in accordance with the focus of the research division. While the conclusions made at this stage of data interpretation, and connected with each other to get final conclusions.
xiii
اﻟﻤﻠﺨﺺ اﻻﺳﻢ :ﺟﻮاهﺮ ﺣﺠﺎزي ،هﻴﺎآﻠﻬﺎ اﻹﻃﺎرﻳﺔ اﻷﺳﺎﺳﻴﺔ ، 04.3.00.1.08.01.0037 :ﻋﻨﻮان اﻷﻃﺮوﺣﺔ :ﺳﻴﺎﺳﺔ اﻟﻘﻮاﻧﻴﻦ اﻟﻮﻃﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺨﺪﻣﺎت اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺔ . هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﺜﺒﺖ أن اﻟﺘﻜﻮﻳﻦ ﻟﻠﻘﻮاﻧﻴﻦ هﻨﺎك ﻋﻼﻗﺔ ﺗﻌﺎوﻧﻴﺔ ﺑﻴﻦ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻨﺘﺞ اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻲ ﻟﻠﻨﺨﺒﻮﻳﺔ واﻟﻤﻨﺘﺞ اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻲ ﻟﻼﺳﺘﺠﺎﺑﺔ اﻟﺴﻜﺎن اﻟﺘﻲ اﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻗﻴﻢ اﻻﻳﻤﺎن واﻻﻳﺪﻳﻮﻟﻮﺟﻴﺔ اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ واﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ واﻻﻗﺘﺼﺎدﻳﺔ واﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ واﻟﺜﻘﺎﻓﻴﺔ .هﺬا اﻻﺳﺘﻨﺘﺎج ﺗﺮﻓﺾ ﻓﻜﺮة :ﻧﻮر ﺧﺎﻟﺺ ﻣﺎﺟﺪ ،ﺧﺎﻟﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﺧﺎﻟﺪ ،ﻋﺒﺪ اﷲ أﺣﻤﺪ اﻟﻨﻌﻴﻢ ،اﻟﺬي أﺷﺎر إﻟﻰ أن إﺿﻔﺎء اﻟﻄﺎﺑﻊ اﻟﺮﺳﻤﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﺎﻧﻮن اﻟﻮﺿﻌﻲ وﻟﻴﺲ ﻣﻦ اﻟﻀﺮوري ،ﻣﻨﺬ إﺿﻔﺎء اﻟﻄﺎﺑﻊ اﻟﺮﺳﻤﻲ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ،ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺪوﻟﺔ أن اﺧﺘﻴﺎر ﻣﺪرﺳﺔ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻣﻦ ﻣﻤﺎ ﻳﻌﻨﻲ اﻟﺘﺨﻠﺺ ﻣﻦ اﻟﻤﺪارس اﻟﻤﺪارس اﻷﺧﺮى . هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أﻳﻀﺎ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﺰﻳﺰ اﻟﺒﺤﻮث اﻟﺘﻲ ﺗﺠﺮﻳﻬﺎ ﺣﺮآﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﺴﻴﺎﺳﻲ اﻟﺬي ﻳﺸﻴﺮ إﻟﻰ أﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﺑﺬل ﺗﻄﺒﻴﻖ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻣﻦ ﺧﻼل اﻟﺸﺎرع ﺑﺎﻧﻬﺎ اداة ﻓﻲ ﻳﺪ اﻟﺴﻠﻄﺔ أو اﻟﺜﻮرة .أﻣﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﺠﺎل اﻻﻗﺘﺼﺎدي ، ﻣﻊ اﻟﺤﺮآﺔ اﻷﺻﻮﻟﻴﺔ واﻟﺪﻳﻤﻘﺮاﻃﻴﺔ اﺳﺘﺮاﺗﻴﺠﻴﺔ ﺗﺪرﻳﺠﻲ .ﺷﺨﺼﻴﺎت ﻣﻦ اﻟﻤﻘﺎﺗﻠﻴﻦ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻻﻗﺘﺼﺎد :رﺋﻴﺲ اﻟﻮزراء ﺷﻴﻒ اﻟﺪﻳﻦ ،آﺮﻧﻴﻦ ﻓﺮوﺗﺎﺗﻤﺠﺎ ,ﻣﺤﻤﺪ اﻣﻴﻦ ﻋﺰﻳﺰ ،ﻣﺤﻤﺪ ﺷﺎﻓﻲ أﻧﻄﻮﻧﻴﻮ ،اﻣﻴﻦ ﺳﻮﻣﺎ ,ادي ورﻣﺎن اﻟﻜﺮﻳﻢ ،زﻳﻦ اﻟﻌﺎرﻓﻴﻦ ،ورﻳﺎون ﺁﻣﻴﻦ . وﻳﻤﻜﻦ ﻣﻼﺣﻈﺔ اﻟﻤﺆﺷﺮات اﻟﺘﻲ ﺗﻮﺿﺢ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺧﺘﺎم هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﺎ ﻳﻠﻲ :إﻧﺸﺎء اﻟﻤﺼﺎرف اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﻌﺎﻟﻢ ،ﻣﺜﻞ ،واﻟﺒﻨﻚ اﻟﻤﺼﺮي اﻷول وﻣﻴﺖ ﻏﻤﺮ ﻧﺼﺮ اﻟﺒﻨﻚ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ،وﺑﻨﻚ ﻓﻴﺼﻞ اﻹﺳﻼﻣﻲ ، واﻟﻤﺼﺎرف اﻟﺘﺠﺎرﻳﺔ واﻟﻤﺼﺮف اﻹﺳﻼﻣﻲ اﻟﺪوﻟﻲ ﻟﻼﺳﺘﺜﻤﺎر واﻟﺘﻨﻤﻴﺔ ،واﻟﻨﺨﺒﺔ اﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ﻟﻠﺤﻜﻮﻣﺔ ﺗﺤﻮﻟﺖ اﻟﻰ إﺷﺮاك ،ودور اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ هﻮ آﺒﻴﺮ ﺟﺪا ،ﺳﻮاء ﻓﻲ ﺷﻜﻞ ﻣﻦ أﺷﻜﺎل اﻟﺘﻨﻈﻴﻢ رأس اﻟﻤﺎل ،وﺛﺎﻧﻴﺎ ،وﺑﺎآﺴﺘﺎن ، وإﻟﻐﺎء ﻧﻈﺎم ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ واﻟﻤﺆﺳﺴﺎت اﻟﻤﺎﻟﻴﺔ ،ﻣﻊ ﻧﻈﺎم ﻏﻴﺮ -رﺑﺎوي ،ﺛﺎﻟﺜﺎ ،وإﻳﺮان ،وﻳﺘﻢ أﺳﻠﻤﺔ اﻟﻨﻈﺎم اﻟﻤﺼﺮﻓﻲ اﻟﻮﻃﻨﻲ ﺑﻌﺪ ﺗﺄﺳﻴﺲ ﺟﻤﻬﻮرﻳﺔ إﻳﺮان اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ؛ اﻟﺮاﺑﻌﺔ اﻟﻔﻠﺒﻴﻦ أﻣﺎﻧﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ ،وﺑﻨﻚ إﺳﻼم ﻣﺎﻟﻴﺰﻳﺎ ، واﻟﺘﻲ ﺗﺸﻤﻞ أﻳﻀﺎ اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ . اﻟﻤﺼﺎدر اﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ اﻟﻤﺴﺘﺨﺪﻣﺔ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻷﻃﺮوﺣﺔ هﻲ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻟﺘﻲ ﺗﻢ اﻟﺤﺼﻮل ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ اﻷﺻﻴﻠﺔ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮة ﻓﻲ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ واﻟﻘﺎﻧﻮن واﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ ،واﻟﻤﺠﻼت ،واﻟﻜﺘﺎﺑﺔ اﻟﺸﻌﺒﻴﺔ اﻟﺘﻲ diadopإﻣﺎ ﻃﺒﺎﻋﺔ أو وﺳﺎﺋﻞ اﻹﻋﻼم اﻹﻟﻜﺘﺮوﻧﻴﺔ ﻣﻊ ﻃﺒﻴﻌﺔ وﺻﻔﻴﺔ وﺗﻔﺴﻴﺮﻳﺔ ﻟﻠﺒﺤﺚ ووﺿﻊ ﻋﻠﻰ اﻻﻧﻀﺒﺎط ﻓﻲ اﻟﻌﻠﻮم اﻟﺴﻴﺎﺳﻴﺔ ،اﻟﻌﻠﻮم اﻟﻘﺎﻧﻮﻧﻴﺔ واﻟﺪﻳﻨﻴﺔ واﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ .ﻓﻲ ﺣﻴﻦ ان اﻟﻨﻬﺞ اﻟﻤﺘﺒﻊ هﻮ اﻟﻤﻨﻈﻮر اﻟﺴﻮﺳﻴﻮﻟﻮﺟﻲ ﻧﻬﺞ اﻷﻧﺜﺮوﺑﻮﻟﻮﺟﻴﺔ إﻟﻰ وﺛﻴﻘﺔ اﻟﺘﺤﻠﻴﻞ وﻃﺮق اﻟﺒﺤﺚ اﻟﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ ري . 7ﺳﻨﺔ 1992ﺣﻮل ﻗﺎﻧﻮن اﻟﻤﺼﺎرف رﻗﻢ ري . 14ﻋﺎم 1967ﺣﻮل ﻗﺎﻧﻮن اﻟﻤﺼﺎرف رﻗﻢ اﻟﻘﺮض ري . 10ﻟﺴﻨﺔ 1998ﺑﺸﺄن ﺗﻌﺪﻳﻞ اﻟﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ 7ﺳﻨﺔ 1992 ﻋﻦ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻟﻤﺮﺳﻮم ﺑﻘﺎﻧﻮن رﻗﻢ 2008 21ﻋﻦ اﻟﺨﺪﻣﺎت اﻟﻤﺼﺮﻓﻴﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ وﺗﻨﻈﻴﻢ ﻣﺆﺗﻤﺮ اﻟﻤﻨﺪوﺑﻴﻦ اﻟﻤﻔﻮﺿﻴﻦ .رﻗﻢ 72ﻟﻌﺎم ) 1992اﻟﻤﺎدة (6هﻲ واﺣﺪة ﻣﻦ ﻗﻮاﻋﺪ ﺗﻨﻔﻴﺬ ﻗﺎﻧﻮن No.7ﻟﻌﺎم 1992؛ وﺗﺸﻴﺮ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻟﺘﻲ ﺗﻢ اﻟﺤﺼﻮل ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼل ﺗﺤﻠﻴﻞ ووﺻﻒ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ،وﻳﺘﻢ ﺗﺨﻔﻴﺾ ،واﻟﺘﻲ أﺟﺮﻳﺖ وﻓﻘﺎ ﻟﻠﺘﺮآﻴﺰ ﻗﺴﻢ اﻟﺒﺤﻮث .ﻓﻲ ﺣﻴﻦ أن اﻻﺳﺘﻨﺘﺎﺟﺎت اﻟﺘﻲ ﻗﺪﻣﺖ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﻤﺮﺣﻠﺔ ﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ،ورﺑﻄﻬﺎ ﻣﻊ ﺑﻌﻀﻬﺎ اﻟﺒﻌﺾ ﻟﻠﺤﺼﻮل ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻧﻬﺎﺋﻴﺔ.
xiv
G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo KATA PENGANTAR
واﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ اﺷﺮف, ﻋﻠﻰ اﻣﻮر اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺪﻳﻦ, وﺑﻪ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ,اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﻠﻤﻴﻦ . وﻋﻠﻰ اﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ اﺟﻤﻌﻴﻦ,اﻻﻧﺒﻴﺎء واﻟﻤﺮﺳﻠﻴﻦ Pertama-tama penulis panjatkan puji ke hadirat Ilahi Robbi, karena atas berkat dan inayah-Nyalah bahwa disertasi yang berjudul “POLITIK HUKUM NASIONAL PERBANKAN SYARIAH NASIONAL” dapat dirampungkan.Ṣalawat dan salam disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw, kepada para sahabatnya, keluaraganya dan kepada kita semua yang senantiasa berjuang menegakkan agama Allah, yakni Islam. Merupakan ciri dan sifat manusia bahwa ketidaksempurnaan melekat dan terlihat sebagai kudratnya. Namun demikian, diyakini bahwa kekurangan tadi bukan merupakan bentu usaha yang disengaja. Usaha-usaha penyempurnaan akan menuju keilmiahan adalah sebagai bentuk perjuangan yang tidak akan terhenti untuk mencapai suatu tujuan sampai menghadapi keharibaan Allah swt. Dalam kesempatan ini, ucapan salam ta’dzim dan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada: 1. Bapak Prof.Dr. Komarudin Hidayat, sebagai Rektor yang telah memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., sebagai Direktur sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memperjuangkan SPS ini dengan penuh semangat dan banyak membawa perubahan yang lebih baik. Disamping itu, kharisma beliaulah yang dapat memberikan suri tauladan bagi kebanyakan mahasiswa;
3. Bapak Prof.Dr.H. Suwito,MA, Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA. Bapak Dr. Fuad Jabali, MA., yang telah membimbing dan mengarahkan kepada mahasiswa dengan penuh semangat dan tak mengenal lelah. Merekalah para penyangga SPS UIN ini; 4. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, SH, MA, MM, yang telah meberikan motivasi, dorongan, bimbingan dan suri tauladan kepada para mahasiswa, tentu saja kepada penulis; 5. Bapak Prof.Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH. yang telah memberikan motivasi baik secara moril maupun materil dan arahan yang jelas terhadap penyelesaian disertasi ini; 6. Seluruh dosen dan staf cifitas akademik SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang secara penuh keikhlasan meberikan dalam pelaksanaan kuliah dan penyelesaian disertasi ini; 7. Keluarga Besar Bapak H. Suwito dan Ibu yang telah memberikan dorongan dan bantuan baik material maupun spiritual; 8. Bapak Tomy Soeharto yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini, baik dalam bentuk material maupun spiritual; 9. Seluruh kawan-kawan di Granadi, terutama Pak Sulton dan ustadz Ridwan yang selalu memberikan dorongan hingga selesainya disertasi ini; 10. Seluruh kawan-kawan dosen, para pegawai dan staf perpustakaan yang ada di Fakultas Syariah Hukum yang telah meberikan kemudahan dan motivasi yang tak dapat disebutkan satu persatu; 11. Wabil khusus kawan-kawan:
saudara Syafi’i, SEI, Mufida, SHI, Danny
Arsyad, SEI, Ervin, SEI, Ahmad Juhri, SP dan Pak Habibi, S.Ag, MH, yang telah memberikan motivasi keras dan memberikan bantuan dalam mencari data-data, hingga selesainya disertasi ini,
12. Istriku Ana Susanti tercinta, dan anak-anakku tersayang : Wihda Hejazziey, Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey, Siti Nabilah Hejazziey, Ezzet el-a’la Hejazziey, Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey dan Maula Ikfina Qonita Hejazziey yang telah terganggu waktu dan kasih sayangnya, karena menyelesaikan disertasi ini; 13. Kakanda Drs. H. Ahmad Mun’im Hijassiy, tetenda Munadzarah, dan teh Dra. Hj. Kholiyah Thahir, MA yang telah memberikan motivasi dan bantuan baik moril dan materil sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Akhirnya, semoga amal bakti dan perjuangan mereka diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah swt. Amin Yaa Robbal ‘alamin.
Jakarta, 22 juli 2010 Penulis
Djawahir Hejazziey
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama NIM Tempat Tgl Lahir Pekerjaan Alamat
: Djawahir Hejazziey : 04.3.00.1.08.01.0037 : Banten,15 oktober 1955 : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta : Jalan. Abdul Wahab Gg. Swadaya 1 No.58 Rt.03/006 Sawangan Depok Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul : “POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA”, adalah karya penulis sendiri, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya, Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, penulis siap menerima sanksi dari Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikianlah surat pernyataan ini penulis dibuat dengan sesungguhnya. Ciputat, 22 Juli 2010 Yang membuat pernyataan
Djawahir Hejazziey
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
i
SURAT PERNYATAAN
ii
PERSETUJUAN PENGUJI DAN PEMBIMBING
iii
KATA PENGANTAR
ix
ABSTRAK
xii
DAFTAR TRANSLITERASI
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
DAFTAR ISI
xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………. 1 B. Permasalahan ………………………………………………………….. 14 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 15 D. Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 16 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ……………………………………. 16 F. Kerangka Teori ………………………………………………………… 18 G. Metode Penelitian ……………………………………………………… 22 H. Sistematika Pembahasan ………………………………………………. 24
BAB II DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL A. Definisi Politik Hukum ………………………….……………………....26 B. Politik dan Hukum ……………...……………………………………… 34 C. Politik Hukum Nasional … …………………… ………………………. 54 D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Undang-Undang
xviii
.………………
65
BAB III POLITIK HUKUM ISLAM A. Politik Hukum Islam di Indonesia …………………...……………… 94 B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional …… ……….. 109 C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia ……...….…....
131
BAB IV HUKUM PERBANKAN SYARIAH DALAM SUATU TINJAUAN A. Epistemologi …….………………… ………………………………. 155 B. Sumber Hukum Perbankan Syariah ……………………….…….…. 162 C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah ………..…………….……. 170
BAB V
POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH
A. Politik Hukum Perbankan Syariah …………………………….…… 196 B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah ……………….
236
C. Perspektif Hukum Islam ……………………….………………….…. 245 D. Analisa ………………………………………………………… ….. 254
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………….……. 271 B. Rekomendasi ………………………………………….……………..
272
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….…………..
274
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………...…………………………………………
285
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam, sebagai agama samawi dengan kitabnya al-Qur’ân Al-Karim, tidak hanya merupakan sebuah sistem yang komprehensif dalam mengatur semua aspek 1 , tetapi juga bersifat universal yang senantiasa sesuai dengan dinamika kehidupan. Islam sebagai “total way of life”, memiliki hubungan yang erat dan integral dengan kehidupan masyarakat, politik, hukum, pendidikan, dan ekonomi. 2 Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan agama dengan phenomena sosial. John L. Esposito mengutarakan rasa kekagumannya terhadap perkembangan dan kebangkitan Islam di seluruh penjuru dunia yang secara dominan 3 merefleksikan kedinamisan identitas diri, baik dalam bidang politik, hukum, budaya, pajak, dan ekonomi yang berkembang dengan pesat.
Lihat Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtisâd fi al-Islâm: Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin (Jakarta: Zikru Hakim, 2007), xix. 2 Islam diakui relevan dan terintegritas dengan politik, hukum, pendidikan, kehidupan masyarakat dan ekonomi. Lembaga-lembaga atau wilayah kehidupan tidak dilipandang sekuler tetapi dipandang sebagai agama, didasarkan pada kepercayaan bahwa Islam sebagai jalan kehidupan, agama dan masyarakat saling berhubungan. Bagi umat Islam, pendapat bahwa agama adalah integral dengan kehidupan itu merupakan norma-norma ketuhanan, jadi tidak ada dichotomi suci dan kotor, pertanyaannya adalah bukan apakah agama harus mengiformasikan kehidupan, tapi kapan dan bagaimana. Bagi umat Islam, percampuran agama dan politik bukan masalah, permasalahannya apakah itu dilakukan untuk memanipulasi aatau mengawasi manusia atau sikap yang distorsi. Lihat John L. Esposito, Islam the Straight Path (New York: Oxford University Press, 1998), 158-159. 3 Islam secara terus menerus menunjukkan kedinamisan dan perbedaan dalam ekpresi. Tema-tema dominan mengenai Islam kontemporer mengenai telah ada kebangkitan. Pengaruh Islam tentang kehidupan orang Islam telah menjadi bukti di banyak Negara Islam sejak tahun 1879 an, apakan dalam bentuk pakaian wanita di jalan-jalan di Kairo, Istanbul, and Kuala Lumpur atau dalam politik Islam dari Tunis sampai Mindano. Hukum Islam, perpajakan, hukuman danbankbank telah diperkenalkan di banyak Negara Islam. Islam benar-benar sebuah agama dunia (global).Perdebatan dan perjuangan tentang isu-isu mengenai identitas, keimanan, budaya dan praktik-praktek yang terjadi sekarang ini tidak hanya di dunia Muslim taoi juga di Barat. Orangorang Islam di Negara-negara mayoritas beragama Islam dari Afrika Utara sampai ke Asia Tenggara memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat, sedangkan di Eropa dan Amerika memperjuangkan isu-isu keimanan dan percampuran budaya. Lihat John L. Esposito, Islam the Straight Path, 159 1
1
2
Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan dan petunjuk secara paripurna, lugas dan tegas, baik dalam bentuk dogmatis, konsep dan pemikiran, baik secara teoritis maupun implementatif. Islam menuntut umatnya untuk memanifestasikan ajarannya dalam seluruh aspek kehidupan. Adalah tidak masuk akal, seorang muslim menjalankan shalat 5 waktu sehari dengan berikrar bahwa mati dan hidup karena Allâh, kemudian kesehariannya melakukan transaksi yang menyimpang dari tuntunan Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta (Rahmatan li al-‘âlamîn) termasuk kehidupan perekonomian manusia. Salah satu aspek nilai kemandirian Islam yang sangat menonjol adalah doktrin dan praktek ekonomi. 4 Kaum muslimin menjadi lebih semangat dan sangat berkeinginan membangun sebuah perekonomian yang konsisten dengan nilai-nilai dan etika Islam, sesuai dengan validitas Islam yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Ajaran Islam tentang ekonomi merupakan bagian dari visi besar etika universal. Ini berarti basic formulas (rumusan dasar), proses dan motivasi ekonomi dalam masyarakat Islam berpihak pada nilai-nilai keadilan dan etik-religius, berbeda dengan yang lain baik NeoKlasik, Marxis, Intitusional dan lain-lain. 5 Nilai-nilai etika Islam bisa ditransformasikan
dalam seperangkat aksioma 6 dalam
memformulasikan
prilaku ekonomi yang konsisten. Nilai-nilai etika Islam terintegrasi menjadi tingkah laku ekonomi. 7
Lihat Pengantar Zafar Ishaq Ansori dalam buku M. Umer Chaptra: Islam and Economic Developemnt: Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin B. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), xv. 5 Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, And Society: Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad Ufukul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), xii. 6 Ada empat aksioma yang terangkum di dalamnya yaitu: kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will), dan tanggung jawah (responsibility). Aksioma tersebut harus dijadikan dasar untuk merumuskan pernyataan logis yang mengandung generalitas tentang ekonomi Islam, rumusan pernyataan tersebut difalsifikasi jika tidak dapat diverifikasi dalam konteks kehidupan masyarakat muslim. Lihat Prolog Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, economics, and society: Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah Syaiful Anam, Muhammad Ufukul Mubin, xiii. 7 Lihat Muhammad Akram Khan, Economic Message of the Qur’ân (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), 148. 4
3
Oleh karenanya, menempatkan manusia rasional dengan dasar insiatifnya sendiri dan mengejar utilitas ekonomi optimal dengan keuntungan maksimal (maximum gain) namun mengorbankan minimal (minimum sacrifice). Maka manusia semacam ini disebut homo economicus yang berlawanan dengan homo eticus. 8 Telah banyak bermunculan kritik terhadap ekonomi konvensional antara lain: 9 Amartya Sen, mengatakan menjauhkan ilmu ekonomi dan etika telah memelaratkan dan juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Sistem kapitalisme dan sosialisme, dianggap kurang valid dan tidak mampu mengatasi problematika kehidupan, sehingga diharapkan adanya sebuah penetrasi sistem ekonomi alternatif yang lebih capable. 10 Pada awal abad inilah merupakan masa kebangkitan dunia Islam dari ketertidurannya di tengah pergolakan dunia. Kondisi ini membawa pada kesadaran baru untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai syariah dalam kehidupan nyata. Prinsip-prinsip etika ekonomi dan perdagangan yang bertumpu pada syariah, 11 telah dibangun oleh Rasulullah Saw, di tengah-tengah masyarakat Arab kuno tidak hanya mengenal barter, tetapi juga system jual beli telah berlaku, mata uang Persia dan Romawi juga dikenal luas oleh masyarakat dan
M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity (London: MacMillan Press, 1977), 139. 9 Gunnar Myrdal (Swedia) Hla Myint (Myanmar) dan Amartya Sen (India), Amitai Etzioni (Amerika). Tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Sukadji Ranuwihardjo, Rukmono Markam, Mubyarto, dan Sri Edi Swasono. Amartya Sen adalah salah satu pendukung aliran pemikiran ekonomi kritis Social Economics, menjelaskan bahwa sebagai ilmu moral, ilmu ekonomi secara impiratif mengenal keadilan (justice/fairness), peduli dengan persamaan (equality) dan pemerataan (equity), mengedepankan kemanusiaan (humanity), serta mengemban nilai-nilai agama. Secara etikal memngenal dan menghormati kepentimngan-kepentingan bersama, seperti: social welfare, public needs, public interests, solidarity, juga menghormati kepentingan-kepentingan individu, seperti kebebasan (liberty), kebahagiaan (happiness). Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesi, Jakarta: UIN Press, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009, 9. 10 Said Sa’ad Marthon, Al-Madkhal li al-Fikr al-Iqtiṣâd fi al-Islâm: Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin, xx. 11 A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: UIN Press, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 11. 8
4
telah menjadi sarana pertukaran yang efektif 12 . Tradisi dan praktek ekonomi Islam terus dikembangkan, Abu Bakar, misalnya telah menggunakan asas pemerataan dalam distribusi harta Negara. Kebijakan ini berbeda dengan Umar Ibn Khathab, 13 yang menggunakan sistem distribusi dengan asas pengistimewaan pada orang-orang tertentu 14 yang mendapatkan prioritas pertama. 15 Seiring dengan penggantian sistem pemerintahan Islam yang berkembang kearah dinasti-dinasti Islam dalam suatu organisasi pemerintahan yang kuat, muncul tokoh-tokoh pemikir muslim yang dikatagorikan sebagai “fuqahâ”, para filosuf dan sufi. 16 Pada awalnya pemikiran mereka tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah maḥḍah (murni). Kemudian, secara perlahan tapi pasti dituntut oleh suatu relaitas, karya ilmiahnya semakin berkembang termasuk pemikiran-pemikiran
ghair maḥḍah (tidak murni),
seperti ekonomi. Kondisi ekonomi, sepanjang abad 20, dunia Internasional menghadapi kehidupan yang krisis, 17 saat ini terdapat kesadaran transendental 18 untuk Ashgar Ali Engineer, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, Jakarta: Pustaka Belajar dan Insist Press, 1999, 63. 13 Afzalurrahman, Muhammad sebagai Seorang Pedagang (Jakarta: Yayasan Swarna Buni: 1997), 21 14 Assaabiqunal Awalun, keluarga nabi, dan para pejuang perang. Sedangkan sumber penerimaan Negara berasal dari Zakat, jizyah, kharaj, ghanimah dan fai yang kemudian pada masa Umar dikembangkan lebih luas lagi seperti adanya ‘ushr’dari pajak perdagangan antara Negara muslim dengan Negara asing. 15 Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System under Umar the Great, Terjemahan Mansuruddin Djaely dalam system ekonomi pemerintahan Umar Ibn Al-Khathab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992, 92. 16 A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesi, 13. 17 Krisis ekonomi dunia yang berdampak ekonomi Indonesia membawa berkah tersendiri. Ada semacam justifikasi sosial atas kekurangan dan kelemahan system ekonomi konvensional yang selama ini dijalankan, sekaligur menumbuhkan kuriositas umat Islam, khususnya uintuk lebih memahami ekonomi Islam. Bahkan bagi sebahagian kelompok masyarakat muslim ada semacam tuntutan utnuk menemukan kembali khazanah Islam yang sempat terlupakan dalam bidang ekonomi. Maraknya kajian-kajian tentang ekonomi Islam tidak dapay dipisahkan dari fenomena kembangkitan kembali ajaran-ajaran Islam yang orisinal (Islamic Resurgence) di seluruh dunia Islam bahkan dikawasan minoritas muslim. Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesai, 21. 18 Kesadaran di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Kesadaran yang ada dalam masyarakat Islam akhirnya mengkristal dalam kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kebangkitan ini mendoronga intelektual muslim untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya guna mengkaji, memahami, menganalisa dan mengelaborasi serta menerapkan sumber-sumber hukum 12
5
mengembalikan segala problematika kehidupan kepada nilai-nilai Islam dan mempelajari khazanah Islam dengan mensinkronisasikan sistem kehidupan yang ada. Argumentasi yang dibangun oleh para pemikir ekonomi Islam bahwa ekonomi Islam adalah sarat dengan nilai-nilai dan tidak mengajarkan spiritual yang tandus atau gersang. 19 Pemikiran yang sangat brilian dari para fuqaha, filosuf, dan sufi memiliki benang merah 20 yang jelas merupakan aplikasi etika dan moral dalam seluruh aktifitas ekonomi. Selain itu, juga menjalankan fungsinya sebagai penjelas terhadap suatu fakta secara objektif, disamping fungsi prediktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Dan yang harus difahami adalah bahwa pemikiran ekonomi Islam
tidak
bermaksud menafikan pemahaman dan analisa sistem ekonomi kontemporer. Namun berusaha mendialektikakan pemahaman dan analisa tersebut dengan nilai dan etika ekonomi Islam yang tidak lepas dari kajian para pemikir sebelumnya yaitu para pemikir muslim masa klasik hingga abad pertengahan. 21 Bahkan jauh sebelum kritik ilmu ekonomi konvensional berkembang, para pemikir muslim
telah lebih dahulu merumuskan
kemakmuran Negara berdasarkan tauhid. 22 Kebangkitan ekonomi Islam di tingkat Internasional secara kolektif, berawal dari konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, 23
dan kitab-kitab peninggalan umat Islam untuk menemukan sebuak konsep serta paradigma baru dalam semua aspek kehidupan. Salah satu manifestasi kebangkitan Islam adalah adanya keinginan intelektual muslim untuk mengembalikan perkembangan pemikiran dan pengetahuan kepada ajaran Islam, sesuai dengan perkembangan zaman. 19 Lihat Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic and the Orientalists (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1985), 90. 20 Pemikiran yang brilian ini tidak berkembang di dunia muslim melainkan lahir dalam bentuknya yang seperti suatu hal baru yang datang dari belahan dunia Barat. 21 Lihat A. Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia , 10 22 Ilmu tentang teori yang berbasiskan tauhid , artinya bahwa tiada keterpisahan antara kehidupan di dunia dan di akhirat bagi manusia yang beriman dan beramal sale Merka adalah golongan yang mengharapkan ridho Allâh dalam segala geraknya. Lihat Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan sistem ekonomi (Jakarta: Al-Ishlah Press & STEI, 2009), 106-107. 23 Pada konferensi tersebut menghasilkan beberapa hal : 1) tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak haran hukumnya; 2) diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba
6
Malaysia pada bulan April 1969, yang dikuti oleh 19 negara peserta. Kemudian sejarah kebangkitan perbankan Islam berikutnya yakni dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB). 24 Lembaga ini kemudian berperan penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk pembangunan dan secara aktif memberikan pinjaman bebas bunga berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dengan berdirinya lembaga ini dapat memberikan motivasi pada negara-negara lain untuk mendirikan lembaga-lembaga keuangan Islam. Pada akhir tahun 1970-an dan awal dekade 1980-an lembaga-lembaga keuangan Islam banyak bermunculan seperti: di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki. 25 Bank-bank syariah dalam bentuknya yang sekarang untuk pertama kalinya didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1973 oleh sekelompok pengusaha muslim dari berbagai Negara. Dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50 bank yang bebas bunga. Di luar Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bank-bank tersebut telah didirikan pula seperti di Denmark, Luxemburg, Switzerland, dan United Kingdom. 26 Pada awalnya, persoalan bunga inilah yang menjadi latar belakang lahirnya perbankan prinsip bagi hasil atau syariah dan ini pula yang dijadikan sebagai salah satu kriteria dasar yang membedakan antara sistem perbankan syariah dengan konvensional. Bagi pengusung perbankan syariah didasarkan pada bagi hasil bukan bunga (riba). Schacht, mantan direktur Bank Reich dalam ceramahnya di Damaskus, pada tahun 1953, menyatakan bahwa bila dihitung secara matematik, ternyata semua kekayaan yang ada di dalam waktu secepat mungkin; sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi, namun benar-benar dalam keadaan darurat. 24 Pendirian IDB diawali dengan sidang menteri Luar negeri Negara-negara Organisasi Konfensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970. Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah Internasional. Setelah mendapatkan persetujuan dari Negara-negara OKI lainnya dan tahapan tertentu, maka pada tahun 1975, berdirilah IDB yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. 25 Gemala Dewi , Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perbankan Syariah di Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: Kencana, 2007), 127. 26 Sutan Remy Syahdeini, “Perbankan Syariah suatu Alternative Kebutuhan Pembiayaan Mastarakat”, Jurnal Hukum Bisnis, 2008, 8.
7
bumi sedang berpindah kepemilikannya kepada segelintir para pelaku ekonomi yang berbasis bunga. 27 Islam sama sekali tidak mentolerir apalagi memberikan apresiasi terhadap bunga, yang secara tegas dilarang oleh alQur’ân. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, ekonomi Islam
terus
tumbuh menyempurkan diri di tengah-tengah beragamnya sistim sosial dan ekonomi konvensional yang berasaskan pada sistim sekuler. Lebih dari 55 yang pasarnya sedang bangkit dan berkembang, bahkan beberapa lembaga keuangan Islam telah beroperasi di 13 lokasi lain, yaitu Australia, Bahama, Luxemburg, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Kepulauan Virginia. 28 Ekonomi Islam dikatakan baru dalam tanda petik, karena sesungguhnya ilmu ekonomi Islam sudah pernah dipraktekan secara sempurna oleh Rasulullah hingga masa keemasan Daulah Islamiyah beberapa abad lalu. 29 Di Pakistan, Iran dan Sudan semua bank harus beroperasi sesuai dengan prinsip keuangan Islam. Sedangkan
di beberapa negara lain menerapkan sistem keuangan
campuran 30 atau kombinasi, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Istilah ekonomi Islam (Islamic Economics) untuk di negara lain, lebih dikenal menggunakan istilah ekonomi syariah 31 untuk di Indonesia sebagai
27
Maksudnya adalah bahwa orang yang memberi pinjaman selalu saja beruntung dalam segala bentuk kegiatannya. Sedangkan mereka yang menerima pinjaman senantiasa dihadapkan kepada dua pilihan untung atau rugi. Dengan demikian, secara matematik semua harta pada akhirnya berpindah milik kepada para pelaku riba yang terus menerus beruntung. Disinilah yang sesungguhnya bahwa ekonomi syariah disamping juga menekankan pada keadilan juga pemerataan yang tidak saling menganiaya sesama. Hal ini, bukan asumsi dasar yang menempatkan manusia rasional dengan insiatifnya sendiri mengejar utilitas ekonomi ptimal yakni mencarai keuntukngan maksimal denag mengorbankan minimal. Lihat Muhammad Gunawan Yasni, Ekonomi Sufistik: Adil dan Membahagiakan, 14. 28 Mervyn K. Lewis & Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip Praktik dan Prospek, Terjemahan Burhan Subrata (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 9. 29 Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam (Kencana, Jakarta: 2007), v. 30 Maksudnya bahwa bank Islam beroperasi berdampingan dengan bank konvensional meski dengan skala yang sangat terbatas. Kendatipun telah tersebar secara meluas, perbankan Islam masih kurang dipahami oleh dibeberapa belahan dunia Islam, bahkan masih teka-teki di sjumlah Negara Barat. Lihat Mervyn K. Lewis &Latifa M. Alghoud, Perbankan Syariah: Prinsip Praktik dan Prospek, 9. 31 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3, xii-xiii. Istilah Ekonomi Syariah ini misalnya
8
ciri khas. Sebuah sistem ekonomi yang diadopsi dari al-Qur’ân dan asSunnah, serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap zaman. 32 Ekonomi Syariah juga dapat dipahami sebagai sebuah ilmu yang membahas prihal ekonomi dari berbagai sudut pandang keislaman (filsafat, etika dan lain-lain) terutama dari aspek hukum, dan syariahnya. 33 Itulah sebabnya, menurut Amin Suma, mengapa ekonomi Islam sering pula disebut ekonomi syariah. 34 Pembangunan ekonomi syariah merupakan bagian dari pada bentuk perjuangan penegakan syariat Islam di Indonesia yang telah dirintis sejak republik ini dibangun, namun selalu mengalami kegagalan: Pertama; ketika piagam Jakarta dirumuskan yang akan dijadikan mukaddimah
Undang-Undang
Dasar
1945
dan
dipersiakan
oleh
BPUPKI/PPKI. Dalam rumusan tersebut, dicantumkan lima sila yang menjadi dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Rumusan ini tidak disetujui, degan alasan menjaga persatuan dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia, kemudian umat Islam, yang diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, akhirnya merelakan dicabut 7 kata tersebut. 35 Kedua; Dalam sidang Konstituante 1959, seluruh partai Islam memperjuangkan syari’at Islam berlaku tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan inipun akhirnya menemui terdapat dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (PERUPA). 32 Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-ayat al-Qur’ân yang Berdimensi Ekonomi (Bandung: Renaja Rosdakarya, 2006), 33. 33 Lihat Amin Suma, Seputar Ekonomi Syariah: Studi tentang Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah di Indonesia”, dalam Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Perbankan Syariah: Menyongsong Berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Perubahan UU. Nomor 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama), (T. Tp.: Mahkamah Agubg RI, 2006), 39. 34 Suma, Seputar Ekonom Syariah, 39. 35 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang ekonomi” dslsm buku Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), edisi ke-3 xxii.
9
kegagalan, karena suara pendukung Islam sebagai dasar negara masih lebih kecil dari suara yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas di Indonesia. 36 Ketiga; pada masa reformasi, perjuangan formalisasi syari’at Islam muncul kembali atas tuntutan dari sejumlah organisasi Islam radikal dan beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002, agar memulihkan kembali gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk ditambah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan itu tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, ternyata menolak usul amandemen tersebut. Dari tiga alternatif usulan perjuangan penegakan syariat Islam di Indonesia tersebut, semuanya mengalami kegagalan dengan alasan yang tidak jelas, padahal bangsa ini termasuk penyelenggara negara
adalah bangsa
penganut agama Islam dan terbesar kedua di dunia. Kenapa dan bagaimana bisa terjadi demikian? Ada permasalahan pokok yang melatarbelakangi perbedaan pandangan dan kepentingan terhadap formalisasi penegakan syariat Islam sebagai hukum positif dalam sebuah sistem kenegaraan di Indonesia. Perbedaan ini dibangun oleh tiga kelompok yang masing-masing memiliki bangunan argumentasi. Pertama; gerakan “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Ketiga, gerakan “Islam Liberal” yang mempropagandakan tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik 37
36
Lihat Rahardjo, xxiii Islam politik bertujuan menegakkan Negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan Islam kultural, bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat 37
10
Konfigurasi politik hukum dalam ilmu politik hukum sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan, diperbaharui, diubah dan/atau ditinggalkan . Faktor tersebut meliputi antara lain : legal system (norma pokok negara dan falsafah negara); religiousisme; humanisme; culturalisme; globalisasi; etniccal assimilation; liberalisme; feodalisme; socialisme; militerisme; interrelationship of Civilizationship; authoritarisme; capitalisme 38 dan seterusnya. Semua hal tersebut amat mendominasi dalam pembentukan, penyusunan, perubahan dan pemberlakuan undang-undang atau hukum. Faktor lain adalah bahwa peranan pemerintah terhadap pelaksanaan dan pembentukan syariat Islam dalam hal ini pembangunan Bank Syariah secara meluas adalah sangat krusial sebagai instrumental, karena tanpa adanya keterlibatan pemerintah disamping sebagai pembentuk payung hukum atau undang-undang yang menjadi dasar bagi terbentuknya perbankan syariah. Kepercayaan masyarakat akan dirasakan sulit, jika pemerintah tidak secara tegas campur tangan baik dari segi regulasi maupun permodalan, apalagi masyarakatnya bersifat majemuk dan heterogen. Di negara-negara Islam lain, misalnya, keterlibatan pemerintah memiliki pengaruh yang besar, di Mesir dibentuk Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial dengan aset milliaran dolas AS dan juga sebuah bank pembangunan, Islamic International Bank for Investment and Development, Islamic Development Bank (IDB), yang berpusat di Jedah. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), ini dibentuk oleh organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan instrumental dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang cukup
madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. Organisasi Islam mainstream, yaitu NU, Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia), memilih jalan kedua. 38 Abdul Gani Abdullah, Catatan Kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Islan Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 14 April 2010.
11
besar. Di Malaysia, Pakistan dan Iran Islamisasi sistem perbankan dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran. Inilah relevansi pemikiran ekonomi tersebut sebagai bahan kajian untuk mendapatkan metodologi ekonomi syariah yang dapat dikembangkan untuk konteks kekinian, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat pada level praksisnya, 39 seperti dalam konteks penyusunan Rancangan Undangundang (RUU) Perbankan Syariah. 40 Penyusunan Undang-undang Perbankan Syariah memiliki orientasi dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat Islam di Indonesia yang telah lama memperjuangkan peranan Islam dalam Negara dan masyarakat dalam bentuk pelaksanakan syariat Islam. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam akan merasa tenteram hatinya dengan menggunakan jasa perbankan syariah, karena banyak umat Islam yang tidak mau menyimpan dananya atau melakukan transaksi dengan menggunakan jasa bank konvensional. Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentunya hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa adalah hukum positif
39
Mengenai hubungan ini sebuah teori/konsep perlu dihubungkan dengan level praksisnya, agar dapat memberikan manfaatnya secara nyata. Hal ini sepeerti direfleksikan oleh Malik Bi al-Nabi bahwa perlu diperhatikan adanya tiga level yang saling berkait dan agar tidak dipisah-pisahkan untuk mensinergikan antara gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan dalam berbagai bentuknya termasuk berupa kebijakan-kebijakan praksis strategisnya. Ketiganya adalah hubungan antara gagasan-gagasan (pemikiran ) dan parameter tindakan (parameters of actions), yang mesti tetap melihat pada tiga level, yakni: 1) level politik, ideology dan etika dalam kaitannya dengan hal perseorangan; 2) level logika, filsafat dan sains untuk mencapai di bidang ide, gagasan atau pemikiran; dan 3) level sosial, ekonomi dan teknik dalam hal untuk mencapai sasaran atau tujuan. Lihat Malik Bi al-Nabi, The Question of Ideas in the Muslim World, Penerjemah Muhammed el-Tahir el-Mesawi, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 37. 40 Perbankan syariah sendiri, misalnya, sebagai salah satu bagian dari ekonomi syariah, selama ini masih menjadi subordinate dari perbankan konvensional. Perbankan syariah, pada mulanya masih tunduk di bawah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dan UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dengan demikian Perbankan syariah, belum memiliki UU tersendiri. Padahal, pangsa pasar Perbankan syariah semakin hari semakin luas. Sebagaimana dilaporkan jurnal nasional, (sebuah Harian Umum yang terbit di Jakarta sejak tahun 2006), sejauh ini, terdapat tiga Bank Umum syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 105 buah bank perkriditan rakyat syariah dengan asset sebesar Rp. 30 Trilyun. Selain itu dalam kerja sama Internasional di dunia perbankan, diperlukan adanya Badan perbankan syaria Dasar-dasar pikiran tersebut mendorong para anggota dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlibat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) sekitar 2.5 tahun silam menggagas agar ada UU tersendiri tentang perbankan syaria Abdul Razak, “Menanti RUU Perbankan syariah” , dalam Jurnal Nasional, 13 Juni 2007, 7.
12
yang sesuai dengan agama yang dianut. Sebetulnya hukum ini telah lama hidup dalam bentuk hukum adat, seperti paroan (bagi dua), pertelon (bagi tiga) namun belum dilegalisasi oleh kekuasaan secara tertulis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Kepatuhan atau loyalitas terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori reception in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian van den Berg yang pada intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan. 41 Dengan demikian bahwa lahirnya undang-undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008, tentang perbankan syariah yang telah memberikan angin segar dan pintu gerbang bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang selama ini dinanti-nanti oleh ummat Islam agar memperoleh perlindungan hukum dan ketenangan hidup karena sesuai dengan apa yang diyakininya dan bentuk operasionalya selalu dikawal oleh Majelis Ulama Indonesia Perbankan syariah 42 yang berdiri pada tahun 1991 terus mengalami
Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 225. 42 Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertangahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia-Timur Tenga Pada 1974 dan pada 1976 dalam seminar Internasional yang diselenggarakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (KSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa hal yang menghambat terealisasinya ide ini yaitu pertama: operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dan arena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No. 14/1967; Kedua: konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan arena itu tidak dikehendaki pemerintah; ketiga: masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu. Sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah, antara lain pembatadan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia. Tahun 1988 disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi Industri perbankan. Para ulama berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat dirujuk. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990 dibentuklah 41
13
pertumbuhan dan perkembangan hingga pertengahan 1997, pertumbuhan yang spektakuler justru terjadi sejak masa krisis Ekonomi tahun 1997. Hal ini diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tingkat bunga yang sangat tinggi, sementara perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis pada bunga. 43 Meskipun
demikian
perkembangan
perbankan
syariah
belum
diimbangi dengan kemajuan dibidang hukum dengan tidak adanya undangundang secara spesifik mengelaborasi kekhususan perbankan syariah. Sesudah 28 tahun kemudian sejak berdirinya bank syariah dengan pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jadi Pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17 Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono 16 Juli 2008, 44 dapat dikatakan sangat terlambat. Sebab, di Zaman penjajahan saja, pemerintahan Kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi masyarakat muslim dalm bidang ekonomi syariah, tercermin pada ordonansi riba tahun 1938, tentang riba yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang memberatkan slah satu pihak atau mempengan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2 ayat 14 Ordonansi Riba 1938). 45 Politik hukum Nasional perbankan syariah memiliki urgensitas yang bernilai tinggi, baik dalam bentuk undang-undang maupun, fasilitas permodalan dan infrastruktur yang kondusif agar perbankan syariah mampu mengejar ketertinggalannya dari bank-bank konvensional yang ada di tanah air dan atau bank Islam yang ada di dunia. kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.(Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi (Jakarta:Ekonisia, 2007), ed.2, Cet.4, 29) 43 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Jakarta: Alvabebet, 2000) Cet.III, ix 44 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tenatng Perbankan Syariah dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867 45 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Addenda Cooigeada (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve), 1.
14
Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA. Judul ini menitikberatkan pada persoalan urgensitas politik hukum perbankan syariah di Indonesia.
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Indonesia sebagai Negara yang mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia dengan mayoritas pemeluk agama Islam, sejatinya hal-hal terkait dengan masalah ekonomi syariah dan kebijakan pemerintah terhadap perbankan dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Al-Qur’ân sebagai kita suci umat Islam dan as-Sunnah sebagai penjelasnya belum dijadikan sebagai pedoman hidup, dipahami dan diintergrasikan dalam kehidupan bermuamalat sehari-hari b. Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai haramnya bunga bank. c. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dengan menjalankan prinsip hukum Islam yang dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa dalam bidang syariah. d. Mengapa pemerintah belum optimal menunjukan keberpihakannya secara signifikan terhadap ekonomi syariah, padahal telah mengetahui bahwa bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia mengenai keunggulan dibanding dengan bank konvensional. e. Mengapa umat Islam belum mau meninggalkan bank konvensional yang jelas-jelas berbasis bunga dan dilarang oleh agama. f.
Pentingnya mendefinisikan kembali pemahaman agama Islam terhadap bunga bank yang selama ini masih terdapat dalam perbankan syariah,
15
dimana dalam praktek prinsip murabahah masih mendapatkan kritik yang dianggap masih belum lepas dari sistem bunga. g. Disamping masalah-masalah tersebut, masih terdapat banyak persoalan lain, seperti, bagaimana prospek ekonomi syariah di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 2. Pembatasan Masalah Dalam pembatasan masalah yang terkait dengan politik hukum nasional perbankan syariah, secara khusus belum dibahas orang. Agar permasalahan
dalam
penelitian
tidak
melebar
kemana-mana,
maka
permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi seputar politik hukum nasional perbankan syariah di Indonesia. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan: a. Faktor apa saja yang mempengaruhi politik hukum nasional perbankan syariah? b. Bagaimana politik hukum nasional terhadap pembentukan hukum perbankan syariah di Indonesia?” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengelaborasi bagaimana kebijakan pemerintah terhadap perkembangan perbankan syariah dapat terealisir dengan baik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. menganalisis dan mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi politik hukum perbankan syariah. 2. menganalisis dan mengetahui bagaimana politik hukum nasional terhadap pembentukan hukum perbankan syariah di Indonesia.
16
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, bermanfaat akan menambah khazanah ilmiah
bagi
dunia
akademik
dan
memberikan
kontribusi
dalam
mengembangkan ilmu-ilmu ekonomi syariah, khususnya yang berkaitan dengan politik hukum nasional mengenai perbankan syariah dan dalam aspek aksiologi keilmuan Ekonomi Islam di Indonesia. Sedangkan secara praktis bermanfaat untuk menjadi bahan masukan bagi pemerintah mengenai pentingnya politik hukum nasional dalam merumuskan hukum nasional yang lebih demokratis tentang hukum perbankan syariah yang berbasis al-Quran dan as-Sunnah agar dapat operasi sesuai dengan tuntunan Islam. Secara praktis, hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi petunjuk praktis bagi: pertama, perbankan syariah dalam melakukan transaksi ekonomi di tengah masyarakat; kedua, lembaga-lembaga keuangan non bank dalam menetapkan strategi pemasaran; ketiga, pemerintah dalam merumuskan program pembangunan di bidang sosial ekonomi.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Pembahasan dan penelitian tentang politik ekonomi Islam sudah banyak dilakukan oleh orang, namun yang secara khusus membahas mengenai politik hukum nasional terhadap perbankan syariah secara komprehensip, khususnya yang berkaitan undang-undang, belum ada. Untuk memperoleh rujukan awal terkait dengan permasalahan di atas, diantaranya adalah: 1. Politik Hukum di Indonesia, karya Moh. Mahfud MD. Buku ini menjelaskan legal policy (garis resmi) tentang bagaimana pengaruh politik terhadap hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan Negara. Disamping itu juga beliau menguraikan mengenai konfigurasi politik yang demokratis dan otoriter. Dan ia mengelompokkan Indoensia sebagai konfigurasi politik hukum demokratis.
17
2. Membangun dan merombak hukum Indonesia, karya Satjipto Rahardjo. Di dalam buku ini diuraikan tentang pembangunan hukum yang sangat terkait dengan pembangunan bidang-bidang kehidupan lain sebagai bagian dari transformasi social yang lebih besar, sehingga dibebankan untuk memberikan dukungan konseptual serta structural
terhadap
perubahan dalam masyarakat. Di samping itu juga mengakaji hubungan hukum dengan ekonomi, bagaimana suatu ekonomi bangsa akan tercermin dalam hukumnya. Peranan ekonomi yang dijalankan oleh system hukum dan politi ekonomi membutuhkan hukum untuk mewujudkannya. 3.
Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, karya Gemala Dewi, 46 buku ini memuat tentang sejarah perkembangan syariah, tinjauan operasional perbankan syariah di Indonesia, perbedaan bank konvensional dan bank syariah, tinjuan hukum perbankan Indonesia menurut hukum Islam.
4.
Al-Bunûk al-Islâmiyah, karya al-khadiri.
Ia sangat konsisten
berpedoman pada kaedah-kaedah Syariah (al-iltizâm bi al-Qawâ’id alMustaqirrah li al-Sharî’ah al-Islâmiyah) Kaidah-kaidah utama syariah ini antara lain: operasi perbankan selalu pada sesuatu yang halal dan menjauhkan setiap yang haram dan subhat (masih diragukan); tidak melakukan riba; selektif dalam menempatkan petugas keuangan; tidak memakan harta orang lain secara bathil (tidak sah); transaksi yang transparan; jujur dan objektif; tidak memonopoli terhadap regulasi harta; pelayanan perbankan berkhidmat untuk meningkatkan Islam secara internal dan eksternal; menunaikan zakat atas modal dan hasil yang dicapai; serta realisasi keseimbangan diberbagai bentuk pelayanan dan produk perbankan. 47 5. Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional,
karya Bismar
Nasution. Menurutnya, penerapan atau pengadopsian ekonomi syariah ke Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. Ke. 1, 128. 47 Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 18-28. 46
18
dalam tatanan hukum nasional harusnya dilihat dalam kerangka yang luas. Untuk keberhasilan transisi ini, haruslah terbentuk suatu sistem hukum syariah di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam sistem hukum di Indonesia.
G. Kerangka Teori 1. Van den Berg dalam sebuah
teori receptio in complexu menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemelukpemeluknya. Jadi, jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka hukum yang berlaku harus hukum Islam. 2. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat kepada Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. 48 Eksistensi teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum Adat.
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47. 48
19
3. Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, bahwa pengaruh hukum di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan dalam hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang dalam istilah antropologi dikenal dengan pola-pola kebudayaan (culture patterns). 49 Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat
Kenyataan-kenyataan tersebut
dinamakan “living dan just law” yang merupakan “inner order” dari pada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum atau Undang-Undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat itu. 50 Jika hal itu tidak mendapat perhatian, maka akibatnya hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan mendapat tantangan (rigid). 51 4. Lawrence M. Friedman dalam bukunya “The legal System”: A Social Science Perspective”, melihat hukum itu sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen: pertama, legal substance yakni subtansi hukum yang berisikan aturan-aturan atau norma-norma; kedua, legal structure (institusi atau penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara);
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum (Jakarta: Rajawali, 1991), 36. W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52. 51 R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52. 49 50
20
dan
ketiga, legal culture (budaya hukum yang meliputi agama dan
kepercayaan, ide-ide, sikap, dan pandangan tentang hukum. 52 5.
Muchtar Kusumaatmadja, juga menegaskan agar hukum dapat berfungsi secara efektif, selain harus memperhatikan kesadaran hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, hendaknya hukum itu juga dilegalisasi oleh kekuasaan secara tertulis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. 53 Pentingnya aspek budaya hukum itu tidak hanya terkait dengan
masalah sikap dan prilaku para anggota masyarakat, akan tetapi lebih dari itu sikap dan prilaku anggota-anggota atau individu-individu yang terlibat bekerja dalam lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara justru itu yang lebih penting, karena mereka akan menjadi contoh dan suri tauladan masarakat. Jika sikap, cara berfikir dan prilaku para nggota lembaga tinggi negara 54 tidak mendukung niscaya akan sulit bagi kita untuk melihat suksesnya agenda reformasi menyeluruh dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Dalam hal ini, partispasi anggota masyarakat merupakan unsur penting bagi terbentuknya hukum atau undang-undang, karena mereka yang akan menjadi pengguna sasaran pengaturan hukum. Segala sesuatu yang akan menjadi hukum di dalam masyarakat akan ditentukan oleh sikap pandangan dan nilai-nilai yang dihayati dalam masyarakat yang bersangkutan. 55 Oleh karena itu betapa eratnya hubungan antara hukum dengan masyarakat.
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Rusel Sage Foundation), 1975, 15 53 Muchtar Kusumatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum (Bandung Bina Cipta, 1976), 31 54 Para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Para pejabat di lingkungan pemerintahan pusat maupun daerah, para anggota mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya dan para anggota lembaga-lembaga tinggi negaralainny. Begitu juga pihak-pihak kepolisian, pengacara dan lain sebagainyayang bekerja dalm lingkungan penegak hukum. 55 Jimly Ashshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, 30 52
21
6. Menurut Thomas Aquinas,
pada hakikatnya manusia diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa dengan kelebihan dan kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, perbedaan tersebut ditandai dengan adanya norma-norma atau aturan-aturan yang didalamnya memuat unsur tatanan, moral, etika, perikemanusiaan dan perikeadilan, 56 sebagaimana hukum alam juga mempunyai arti sikap saling menghargai dan berbuat adil, 57 bersusila serta berbuat seirama dengan peraturan, misalnya, tatanan masyarakat dan tatanan sebuah negara. 58 Sebagaimana penjelasan yang dimunculkan oleh Thomas Aquinas bahwa “dunia ini diatur oleh tatanan ke-Tuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ke-Tuhanan, hukum ke-Tuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas menilai adanya hubungan Tuhan dan manusia secara alamiah, dan ia berhasil menyimpulkan empat pembagian yang digandengkan dengan pengertian hukum alam, yakni: lex aeterna, lex naturalis, lex devina dan lex humana atau lex positif. 59 Dengan demikian, Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama 56
Menurut W.A.M. Luypen (1922-1980), Apa artinya keadilan itu?, tafsiran Luypen tentang keadilan ialah: memperhatikan tugas dan kewajiban untuk mempertahankan dan memperkembangkan perikemanusiaan, segala yang memajukan perikemanusiaan adalah adil dan yang menentangnya adalah tidak adil, akan tetapi isi perikemanusiaan tidak pernah dapat ditetapkan sebagai sesuatu yang kekal dan tidak ada norma-norma hukum yang alam yang tetap, berkembang dengan berputarnya sejarah. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 1982), Cet. Ke-15, 263. 57 Pandangan ini ditentang oleh beberapa pemikir, terutama pemikir yang beragama Kristen yang beraliran Protestan, menurut mereka teori-teori hukum alam tidak menjamin keadilan, oleh karena belum tentu apa yang disebut hukum alam mengandung prinsip-prinsip keadilan. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, 264. 58 Calvin (1509-1564), ia penganut aliran Protestantisme yang menolak adanya suatu hukum alam dalam arti yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang terikat pada aturan alam dan mencerminkan rencana abadi dari Tuhan, ia menambahkan bahwa Tuhan menciptakan dalam hati manusia suatu rasa keadilan; inilah hukum alam baru, setiap pribadi mempunyai keyakinan dan hak tertentu yang tidak boleh dirongrong oleh negara dan ia menolak absolutisme negara. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, 54. 59 Lex Aeterna adalah akal ke-ilahian yang menuntun seluruh gerakan semesta alam, cakupannya luas dan sulit untuk dipahami, manusia hanya dapat memahami sebagaian saja akal ke-ilahian itu yaitu disebut Lex Naturalis. Lex Naturalis memberikan pedoman atau pandangan kepada manusia melalui petunjuk umum yaitu tentang persoalan baik dan buruk. Dalam filsafat Aquinas, Lex Aeterna yang pada prinsipnya mengandung asas-asas yang abstrak itu dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk khusus yang berasal dari tuhan tentang bagaimana manusia harus menjalani hidupnya, fungsi ini dijalankan oleh Lex Devina. Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, cet. 1 (Bandung: Refika Aditama, 2004), 158.
22
Islam, tentunya hukum yang paling relevan dan laik dengan jiwa bangsa adalah hukum positif yang sesuai dengan agama yang dianut, yakni hukum yang sesuai dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. Kepatuhan atau loyalitas terhadap sistem ekonomi syariah sesuai dengan teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk William Christian van den Berg yang pada intinya mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan. 60
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Data ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif ini didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, seperti data-data dan penjelasan secara terurai yang berdasarkan buku-buku, koran serta artikel yang dikumpulkan penulis yang berhubungan dengan politik hukum perbankan syariah yang kemudian dianalisa supaya bisa menjawab permasalahan yang ada. Sedangkan data historis didasarkan pada pengalaman masa lalu yang menggambarkan secara utuh seluruh kebenaran kejadian atau fakta yang bertumpu pada kegiatan mengevaluasi suatu objek seperti peristiwa atau tokoh masa lampau dipandang dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini. 61 Yang dimaksud dengan data historis disini adalah data-data yang berhubungan dengan perkembangan hukum Bank Syariah di negara Indonesia. 2. Sumber Data a. Sumber data primer pada penelitian ini ada dua macam, yakni sumber data primer dan skunder. Sumber data primer adalah: (i) UUD ’45
Mohamad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 225. 61 Husein umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. 2003), 22. lihat juga lexy J. Maleong, Metode Penelitian kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 18 60
23
Pasal ; (ii) UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan; UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan; UU No. 21 Tahun 1992 Tentang Perbankan Syariah; UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesi; Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; (iii) PP, PBI, SK Direksi Surat Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI tentang Perbankan Syariah. b. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. 3. Tehnik Pengumpulan Data Data ini bersumber dari UUD ’45, UU, PP, PBI, SK Direksi Surat Edaran BI, dan Fatwa-fatwa DSN-MUI yang berkenaan dengan Perbankan Syariah, surat kabar, majalah, jurnal, artikel maupun penelitian atau tulisan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas pada disertasi ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam (deep inteview) 62 . 4. Teknis Analisis Data Untuk menganalisa data yang telah terkumpul maka penulis memakai metode sebagai berikut: a. Contents Analisis (riset dokumentasi), karena pengumpulan data dan informasi akan dilakukan pengujian arsip dan dokumen. Dalam hal ini penulis menelaah dan menganalisa isi dari bab II (dua), III (tiga), IV(empat), V (lima) dan VI (enam) baik dari segi gaya bahasa, teknik penulisan, sumber yang didapat serta maksud dan tujuan dari setiap bab tersebut. b. Descriptive analysis, penulis melakukan analisa pada setiap uraian dari data yang dikutip oleh penulis. Data-data yang diperoleh dianalisa Lihat Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches (California, Sage Publications, 2000), 57. 62
24
melalui deskripsi data, direduksi, dipetakan dan dilakukan pemilahan sesuai dengan fokus penelitian. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perspektif sosiologis antropologis dengan metode penelitian telaah dokumen Undang-undang dan pada tahap kesimpulan akhir dilakukan interpretasi data, menghubungkan yang satu dengan yang lain. Dengan menganalisa secara deskriptif ini diharapkan setiap fakta yang ada bisa terima secara logis dan secara ilmiah. 6. Pedoman Penulisan Pedoman penulisan skripsi ini, menggunakan buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Press, 2007”
H. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam penyusunan tulisan ini akan dibagi menjadi 6 bab yang masing-masing mempunyai korelasi dan relevansi dengan sub bab lainnya sebagai suatu pembahasan yang utuh dan sistemik. Adapun sistematika penulisan desertasi terdiri atas: Bab I, Bab ini menguraikan tentang pengantar tulisan yang mutlak harus dipahami dengan tepat dan benar, karena pembahasan bab-bab selanjutnya berdasarkan pada bab pendahuluan. Dalam bab ini meliputi: latar belakang masalah; pembatasan dan perumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; penelitian terdahulu yang relevan; kerangka teori, metodologi penelitian; dan sistematika penulisan. Bab II, Bab ini merupakan bab yang bertujuan untuk mencari dan menemukan grounded theory atau grounded concept politik hukum nasional tentang Perbankan Syariah. Dalam bab ini dibahas tentang; Politik Hukum Nasional dengan pembahasannya meliputi: Definisi Politik Hukum, Politik dan Hukum, Konfigurasi Politik Hukum, Politik Hukum Nasional, dan Politik
25
Hukum Islam di Indoensia, Dinamika Pemikiran Politik Islam dan transformasi hukum Islam menjadi hukum positif Bab III, Bab ini membahas tentang hukum pebankan syariah; meliputi tentang Sumber hokum perbankan syariah, landasan hokum perbankan syariah, dan perkembangan hokum perbankan syariah. Bab IV, Pada bab ini berbicara tentang: fungsi
lembaga-lembaga
negara, dan peran partai politik dalam pembentukan regulasi. Bab V Pada bab ini menjelaskan tentang: politik hukum perbankan syariah pada masa orde baru, pada masa reformasi,
dan faktor yang
mempengaruhi politik hukum perbankan syariah. Bab VI, yaitu penutup yang bersisikan:
kesimpulan, saran dan
rekomendasi, sekaligus merupakan inti atau garis besar dari uraian-uraian yang dianggap signifikan serta bermanfaat bagi para akademisi maupun praktisi ekonomi syariah khususnya yang berhubungan dengan lembaga keuangan syariah yakni perbankan syariah.
BAB II DISKURSUS POLITIK HUKUM NASIONAL
A. Definisi Politik Hukum Definisi atau batasan
politik hukum sulit dirumuskan secara akurat,
karena ilmu politik hukum merupakan disiplin ilmu yang hidup dan dinamis bergantung pada dimana ia lahir, kapan ia lahir dan mengapa ia lahir, jika diberikan batasan atau definisi, ilmu itu akan mati dan kaku tidak hidup lagi. 1 Memang banyak definisi mengenai politik hukum yang diberikan oleh para ahli hukum dari berbagai literatur. Mahfud MD, tidak memberikan definisi tentang politik hukum, namun ia dengan secara eksplisit mengutarakan subtansi yang ternyata sama menurutnya bahwa politik hukum adalah “legal atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.”
2
Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945. 1. Etimologi Politik Hukum terdiri dari dua kata, pertama “politik”, kedua”hukum”. Politik dalam bahasa arab disebut “siyâsah” 3 yang kemudian dimaknakan siasat
1
Abdul Gani Abullah, Catatan Kuliah Politik Hukum (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010 2 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 1. 3 Adalah mengatur. Jika dihubungkan dengan syar’iyyah (ketentuan dari Allâh SWT. dan Rasulnya) menyangkut masalah-maslah kekuasaan, fungsi dan tugas penguasa dalam pemerintahan Islam, serta hubungannya dengan kepentingan rakyat. Ahli Fiqih mengemukakan definisi siyasah syari’yyah sebagai wewenang penguasa dalam mengatur kepentingan umum dalam Negara Islam, sehingga terjamin kemaslahatan dan terhindar dari segala kemudaratan dalam batas yang ditentukan
26
27
(muslihat, taktik, tindakan, kebijakan, akal) untuk mencapai suatu tujuan atau maksud. 4 dalam bahasa Indonesia. Politik juga biasa diartikan cerdik atau bijaksana dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik mengakui menghadapi kesulitan didalam mendefinisikan politik. 5 Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata “polis” yang berarti “negara kota”. Politik ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama. Dalam hubungan tersebut timbul hubungan aturan (hukum), kewenangan, kelakuan pejabat; legalitas keabsahan dan akhirnya kekuasaan. 6 Aktifitas politik bukan pertama-tama karena kodrat social mansuia, melainkan sesuatu yang diusahakan. Seperti dikatakan Hannah Arendt, 7 politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Dalam Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata “politiek” mengandung arti “beleid”. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kebijakan (policy). Dengan demikian bahwa politik hukum artinya kebijakan hukum yang disampaikan oleh yang berwenang atau berkuasa syara’ dan kaidah umum yang berlaku, sekalipun upaya ini tidak sejalan dengan ijtihad ulama. Kepentingan umum yang dimaksud adalah segala peraturan dan perundang-undangan Negara, baik yang berkaitan dengan hubungan Negara dengan Negara mapun Negara dengan rakyat. Dalam siyasah syar’iyyah, pihak penguasa berhak untuk mengatur segala persoalan Negara Islam dengan sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang ada dalam agama, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtisar Baru, 2001), cet. Kelima, Qan-tas. 5, 1626. 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Keempat, 935. 5 Politik mempunyai ruang lingkup Negara, berbicara politik berarti berbicara tentang negara, karena teori politik menyelidiki Negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi Negara dalam keadaan bergerak. Politik menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan Negara, hakikat Negara serta bentuk dan tujuan Negara. Selain dari pada itu juga politik menyelidiki kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok elit, pendapat umum, pranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum. Jadi politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi juga seni, karena banyak politikus yang tanpa pendidikan politi mampu berkiat memiliki baka yang dibawa sejak lahir, sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis. Lihat Inu Kencana Syafiie, Azhari, Sistim Politik Indonesia, Era Soekarno, Hatta, Syahrir, Aidit, Syarifuddin, Era Soeharto. Beni Moerdani, Wiranto, Harmoko, Habibie, Era Gus dur, Megawati, Amin rais, Hamzah Haz, Era SBY, Kalla, Baasyir (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), 6-7 6 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1985) Cet. Pertama, 10. 7 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet. Kedua, 2.
28
untuk itu. Kata “kebijakan” berasal dari kata “bijak” yang berarti selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Sementara “kebijakan”
artinya
kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, garis haluan atau rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak tentang pemerintahan organsasi dan sebagainya khususnya dalam bidang hukum. 8 Istilah kebijakan (policy ini ternyata memiliki keragaman artiyang berbeda-beda. Hal itu dapat kita lihat dari pandangan beberapa tokoh yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya kebijakan (policy) itu. Klein misalnya, menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan secara sadar dan sistematis, dengan mempergunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah 9 . Hampir senada dengan Klein, Kuypers menjelaska, kebijakan itu adalah suatu susunan dari (1) tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompok; (2) jalanjalan dan sarana-sarana yang dipilih olehnya; dan (3) saat-saat yang mereka pilih. Adapun Friend memahami bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah suatu posisi yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan yang akan dibuat di masa datang. 10 Carl J. Friedrick menguraikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksana usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan
8
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), 115 9 A. Hoogerwef, Isi dan Corak-corak Kebijakan, dalam A. Hoogerwerf (ed), Overheidsbeleid, diterjemahkan oleh R.L.L. Tobing (Jakarta: Erlangga, 1983), 7 10 J.K. Friend, J.M. Power dan C.J.L. Yewlett, Public Planning: The Inter Corporate Dimention (London: Tavistock, 1974), 40
29
tertentu. 11 Dan, James E Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. 12 Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka kita dapat mengemukakan beberapa hal sebagai berikut: a. Bahwa konsep kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan diberikan makna yang tunggal, atau perkataan lain, sulit bagi kita untuk memperlakukan konsep kebijakan tersebut sebagai sebuah gejala yang khas dan konkrit, terutama bila kebijakan itu kita lihat sebagai suatu proses yang terus berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan sampai implementasinya. perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang pengertian kebijakan jelasnya tidak dapat dihindari. Namun demikian juga bukan bertentangan satu sama lain. b. Ada perbedaan “penekanan” tentang kebijakasanaan diantara para ahli. Sebagian dari mereka melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan yang lain melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan (suatu rencana), atau bahkan suatu rencana dan juga suatu tindakan. c. Para ahli juga berpendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang berpendapat, bahwa kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahka ada yang tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana 13 Dari uraian diatas, perlu dijelaskan di sini bahwa, ada satu istilah dalam bahasa Indonesia yang kerap dipakai secara bergantian dalam pengertian yang hampir serupa dengan istilah dengan kebijakan, yaitu kebijakan. Berkaitan dengan
11
Carl J. Friedrick, Man and His Government (New York: McGraw Hill, 1963), 79 James E. Anderson, Publick Policy Making (New York: Praeger Publishers, 1979), 3 13 Penjelasan lebih jauh, lihat Bambang Sugono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. I ,14-15 12
30
istilah diatas Giridro Prigodigdo 14 memberikan penjelasan yang menarik. Ia membedakan pengertian antara istilah kebijaksanaan (policy; beleid) dan kebijakan (wisdom; wijsheid). Menurut Pringgodigdo, kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang direncanakan di bidang hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan, yang antara lain berdasarkan kewenangan/kekuasaan diskresi (discretionary power/freies ermessen). Dari pengertian kedua istilah di atas pada tataran konseptual dengan sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep itu pada tataran praksis. Namun, meskipun terdapat perbedaan pengertian, kedua istilah ini kerap dipakai dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dengan demikian, secara etimologis, politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum. 15 Sedangkan kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab “hukm” tanpa kata “u” yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. 16 Dalam The New Book of Knowledge, memberikan definisi bahwa hukum adalah aturan-aturan yang 14
R.M. Girindro Pringgodigdo, Kebijaksanaa, Hierarki Perundang-undangan dan Kebijakan dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 16 November 1994 15 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari , Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Pertama, 25 16 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40.
31
membatasi dan menjelaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat.17 Maka ketika kita gabungkan kedua kata tersebut akan diperoleh batasan sebagai berikut yakni: taktik, siasat atau kebijakan untuk mengatur dan membatasi hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidungan berbangsa dan bernegara, hal ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara. Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Pengertian politik Hukum sendiri sangat bervariasi.18 Berbagai pengertian mengenai politik hukum meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan: kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. 19
Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelakasaan yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Menurut Padmo Wahjono dalam bukunya “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum” mendefifinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menntukan arah, bentuk atau isi hukum yang akan dibentuk. 20 Definisi ini kemudian disempurnakan dalam majalah Froum Keadilan, Padmo Wahjono, 21 mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakkannya sendiri.
17
Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co., 2003), 760 18 Defini politik hukum sangatlah rumit didefinikan untuk memperoleh pengertian yang utuh tentang apa yang akan dirumuskan. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 1 19 Artidjo Alkosta, (editor) Pembangunan Hukum Nasinal salam Perspektif Kebijakan dalam Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: FH-UII, 1997), 37 20 Padmo Wahyono, Indonesia, Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Pertama, 160. 21 Padmo Wahyono, Menyelidik Proses terbentuknya Perundang-undangan (Forum Keadilan: Jakarta: 1991) No. 29, 65
32
2. Terminologi Seperti telah diutarakan di atas bahwa tidaklah mudah untuk memberikan batasan atau pengertian mengenai politik hukum. Namun demikian, karena banyak hal dapat membingungkan tentang pemahaman apa itu politik hukum, ada beberapa definisi yang akan dapat dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang konsern terhadap ilmu ini: Sunaryati Hartono, misalnya, memberikan definisi bukan berarti bahwa ia tidak memperdulikan keberadaan politik hukum dalam sis praktisnya. Tapiia melihat politik hukum sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa.
22
pernyataan menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki
mengisyaratkan bahwa kerangka kerja politik hukum menurutnya lebih menitik beratkan pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan mendatang, atau ius constituendum pendapat lain memberikan definisi bahwa politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Dengan demikian politik hukum nasional bisa berarti; Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten, pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya, dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan. Apabila kita perhatikan, definisi politik hukum dari Garuda Nusantara merupakan definisi politik hukum yang paling komprehensif di antara definisi-
22
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni,
1991), 1.
33
definisi politik hukum yang dipaparkan sebelumnya. Ini disebabkan karena ia menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang meliputi; pertama, teritorial berlakunya politik hukum dan kedua, proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Lebih dari itu, ia menekankan pula pada pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya. Hasil dari elaborasi ragam definisi politik hukum yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dan hidup di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan di sini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. 23 Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. 24 Artinya, hukum sedikit banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi kesadaran bersama masyarakat tertentu dan 23
Menurut Frans Magnis-Suseno tujuan negara adalah memajukan kepentingan masyarakat dalam kerangka keadilan, kebebasan, dan solidaritas bangsa. Apabila kita bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan yang sejahtera, di mana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 310-314 24 Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Edisi, I, Cet. IX, 14
34
berlaku secara efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal yang sama terjadi juga dalam politik hukum. Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (word-view), sosio-kultural (nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat), dan political will dari masing-masing pemerintah. Dengan kata lain, politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia). Namun, ini bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan realitas dan politik hukum internasional. Mengutip Sunaryati Hartono, faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita citacitakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan politik hukum nasional. Penjelasan lebih rinci mengenai pengertian istilah tersebut, ruang lingkup pembahasannya, sifatnya strategi, latar belakang dan proses pembentukan suatu produk hukum.
B. Politik dan Hukum Tidaklah mengherankan, ketika mengkomunikasikan kata politik dan hukum, maka diantara keduanya pasti akan ada yang tersisihkan pada saat disandingkan. Ketika politik menjadi sebagai initial, maka yang akan dipengaruhi adalah kata hukum. Hukum mejadi tersisihkan, dan memiliki kedudukan sebagai subordinat. Tetapi ketika hukum yang menjadi initial dan politik yang sebagai
35
subordinate, maka politiklah yang akan terwarnai. Namum dalam bahasan disini politik yang akan mempengaruhi hukum dan hukum sebagai subordinate. Politik bertujuan menggalang kekuatan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan hukum adalah aturan-aturan tentang hak dan kewajiban masyarakat yang harus dipatuhi. Oleh karenanya hukum itu akan menjadi alat yang siap untuk dimanipulasikan, siap untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan memenangkan kepatuhan warga negara. 25 Demikian pula dengan politik diman, poliik mempunyai kedudukan yang lebih rendah atau menjadi objek ketika didahului dengan kata hukum. Kemudian coba kita perhatikan bagaimana hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum. Suatu aspek yang menarik dari hubungan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam konsentrasi energi (atau informasi) antara keduanya. Subsistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih besar daripada subsistem hukum yang mengakibatkan apabila hukum harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada pada kedudukan lebih lemah. 26 Hubungan itu disebut sebagai hubungan yang mengkondisikan. Politik merupakan kondisi bagi dijalankannya hukum. Adalah benar jika dikatakan bahwa hukum tidak steril dari subsitem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifikpun dapat mengemuka seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik
25
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 112 26 Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak hukum Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yogyakata: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 130
36
banyka mengintervensi hukum, sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum. 27 Keadaan seperti di atas dapat ditemukan dengan baik pada tulisan Daniel S. Lev, yang mengatakan: Untuk memahami sistem-sistem hukum di tengahtengah trasnformasi politik, kita harus mengamatinya mulai dari bawah, untuk mengetahui macam peran sosial dan politik apakah yang diberikan orang kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh dilakukannya, yang didorong untuk dilakukannya, dan yang dilarang untuk dijalankannya. 28 Dalam pandangan para perencana sistem tanam paksa, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa rakyat belum siap untuk memasuki masa kemerdekaan29 yang diberikan kepada mereka.. Untuk menyegarkan ingatan kita, maka sistem yang disebut landelijk stelsel bertujuan untuk membebaskan rakyat dari beban feodalisme seperti tersebut di atas, dan diharapkan rakyat bisa lebih bergairah untuk bekerja bagi kepentingan mereka sendiri. Atas penglihatan dan pertimbangan tersebut, maka merombak struktur feodal yang ada, pemerintah Belanda malahan mengukuhkannya demi memperoleh apa yang mereka inginkan, yaitu keuntungan dalam produksi pertanian. Berkenaan dengan politik pemerintah Belanda untuk tetap memanfaatkan struktur feodal dan desa bagi kepentingannya sendiri, maka dengan sendirinya kedudukan dan fungsi kepala desa (yang lama) harus dipertahankan, dalam suatu struktur pemerintahan berhadap-hadapan dengan rakyat desa. Bertalian dengan langkah-langkah tersebut, mudah untuk dimengerti mengapa Belanda juga berusaha untuk mengukuhkan berlakunya hukum adat. Dengan demikian, maka pikiran yang diajukan oleh Lev di atas memperoleh verifikasi empirisnya, oleh 27
Mo Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, Rajawali Press, 2009), 9 Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Berkeley, LA: University of California Press,
28
1972), 2 29
Berupa pembebesan dari tugas untuk bekerja bagi kepentingan para bangsawan, Lihat Satjipto Rahardjo, Membangun dan merombak Hukum Indonesia sebuah Pendekatan Lintas Disiplin (Yougyakarta: Genta Publishing, 2009), Cet. Pertama, 104
37
karena berdasarkan logika pemikiran di atas, Belanda hanya mengukuhkan hukum adat disebabkan oleh kepentingan politik mereka. Penulis lain, Hoogvelt, juga mempunyai pendapat yang sama, seperti dikutip oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia sebagai berikut: “... Singkat kata, dualisme yang menyeluruh pada struktur sosial yang kita bicarakan terdahulu dilengkapi oleh dualisme dalam struktur politik. Lebih lanjut lagi, keseluruhan proses tersebut diperkuat dengan dibelah duanya sistem hukum. Untuk kepentingan mengukuhkan kedudukan dari para kepala, pemerintah kolonial merasa perlu untuk menegakkan kembali hukum rakyat, yang menurut pikiran mereka, menjadi landasan kekuasaan para kepala tersebut. Sering terjadi bahwa politik tersebut diikuti oleh kodifikasi dari kebiasaan rakyat.” Mengikuti proses bagaimana hukum adat dimasukkan sebagai bagian dari hukum positif Hindia Belanda pada waktu itu, dapat dilihat kebenaran dari katakata Lev, yaitu tempat dan peranan apa yang dilakukan oleh hukum dalam masyarakat, ditentukan oleh politik. 30 Praktek yang menyampingkan hukum adat apabila tidak bersesuaian dengan politik pemerintah pada waktu itu. Politik hukum Daendels, misalnya mengatakan: 31 Peradilan yang berlaku untuk orang pribumi hendaknya tetap dijalankan menurut undang-undang dan kebiasaan mereka sendiri. Pemerintah Hindia, dengan menggunakan cara-cara yang sesuai untuk itu, menjaga agar dalam wilayah kekuasaanya tidak kemasukan praktek-praktek tercela, yang bertentangan
30
Sebagai contoh, mengapa penerimaan hukum adat oleh pemerintah Belanda dilakukan secara setengah-setengah, seperti melalui lembaga penundukan kepada hukum perdata Eropa (K.B. 15 September 1916 No. 26: S. 1917 No. 12). Lihat Satjipto Rahardjo, 106 31 Berdasarkan atas pikiran yang tercantum dalam Charter voor de Aziatische bezittingen van de Bataafsche Republick, yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 September 1804, pasal 86. Lihat Satjipto Rahardjo, 107.
38
dengan peraturan perundang-undangan atau kebiasaan rakyat, dan untuk mencapai peradilan yang cepat dan baik). Dalam kenyataannya, pikiran-pikiran yang tercantum dalam peraturan tersebut ditaati, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang oleh pemerintah dianggap
harus
dilindungi.
Politik
Daendels
tersebut
tercermin
pada
penolakannya terhadap penerapan hukum adat, apabila hal itu berlawanan dengan perintah-perintah pemerintah pusat serta bertentangan dengan dasar-dasar asasi keadilan
dan
kepatutan
ataupun
apabila
oleh
karenanya,
dalam
hal
penyelenggaraan hukuman jasmani, kepentingan keamanan umum tidak terjamin. Diskusi mengenai hukum pada negara-negara sedang berkembang, dirasakan perlunya membicarakan hubungan antara hukum dan politik. Tentu tidak akan dikatakan pembahasan mengenai hubungan antara dua subsistem tersebut tidak penting untuk negara-negara yang sudah disebut maju. Pernyataan tersebut hanya hendak mengatakan pada negara-negara yang sedang mengalami suatu transformasi politik yang berat, pembicaraan tersebut lebih-lebih dirasakan keperluannya. Perhatian Nonet dan Selznick pertama-tama tertarik kepada hubungan antara hukum atau tata hukum dengan penindasan. Setiap tata hukum senantiasa mempunyai potensi untuk melakukan penindasan. Hukum dan kekuasaan berhubungan sangat erat, karena bagaimanapun, tata hukum senantiasa terikat kepada suatu status quo. Tata hukum tidak mungkin ada apabila ia tidak terikat kepada suatu tata tertentu, atau mempertahankan suatu tata tertentu, terlepas dari penilaian kita mengenai kualitas tata tersebut. Dengan mengikatkan diri dan mempertahankan suatu tata tertentu tersebut, hukum pun telah mengefektifkan kekuasaan. Sejak saat itu, maka pihak yang berkuasa, dengan menggunakan baju otoritas,
mempunyai kewenangan (yang sah) untuk menuntut warga negara
mematuhi kekuasaan yang bertahta.
39
Tentunya akan timbul pertanyaan, bagaimana hukum dengan begitu saja bisa disamakan dengan penindasan? Memang, hukum dan penindasan dalam konteks pembicaraan kita disamakan, karena kita akan membicarakan suatu ikhwal kehidupan hukum pada peringkat tertentu. Kekuasaan yang memerintah bersifat menindas, apabila menyampingkan kepentingan-kepentingan dari mereka yang diperintah, yaitu tidak mau mengakui keabsahan dari kepentingankepentingan tersebut. Dalam keadaan demikian, maka kedudukan warga negara lemah dan mudah menjadi bulan-bulanan dari kekuasaan yang memerintah. Potensi untuk melakukan penindasan pada suatu ketika bisa diperbesar, yaitu pada saat pemerintah dihadapkan kepada munculnya pengharapanpengharapan dan kepentingan-kepentingan baru di kalangan rakyat. Munculnya hal-hal yang baru tersebut bisa menyebabkan pemerintah mengambil keputusan untuk menolaknya dan yang akan dirasakan oleh warga negara sebagai suatu kerugian besar dan oleh karenanya akan dirasakan sebgai suatu efek yang menindas. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti keadaan darurat, pengabaian terhadap suatu tuntutan tidak dirasakan sebagai suatu penindasan, melainkan sesuatu hal darurat yang bisa dimengerti. Sikap otoriter yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat terbatas, apabila tidak digunakan secara umum, melainkan secara diskriminatif, yaitu untuk menghadapi suatu ancaman tertentu; juga apabila kepada rakyat diberikan kemungkinan untuk mengajukan permintaan guna mendapatkan perlindungan bagi kepentingan-kepentingannya. Dengan singkat, kekuasaan tidak bersifat menindas, apabila integritas seseorang tetap dijaga, sekalipun terhadapnya digunakan kekerasan. Penggunaan kekuasaan juga tidak bersifat menindas, apabila rakyat memang mempunyai kebiasaan untuk mematuhi kekuasaan. Dalam ikhwal tersebut, paksaan pun terdorong kebelakang sebagai suatu upaya yang tidak diperlukan.
40
Politik memberikan nuansa yang sangat signifikan terhadap
hukum.
Derap dan langkah hukum sering terhambat jalannya menuju yang dicita-citakan hukum. Oleh karena itu, hukum terwarnai oleh politik dan kedudukan hukum tentu saja menjadi lemah dibandingkan dengan politik.
Politik hukum secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan32 hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum tersebut. 33 Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam pernyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya maupun dalam implementasi penegakannya. Dengan menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik maka dalam menjawab hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh) sedangkan, politik diletakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh). Peletakkan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing. 32
Kebijakan disepadankan dengan kata bahsa Inggris yaitu policy yang berbeda dengan kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Istilah policy (kebijakan sering penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuanketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar. Menurut Perserikatan Bangsa-Bngsa, kebijakan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau amat kompleks, bersifat umum atau khusus, luar atau sempet, kabur atau jelas, longgar atau terperinci berifat kualitatif atau kuwantitatif, public atau privat. Kebijakan dalam makna seperti ini dapat disimpulkan sebagai suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah atau tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana. Lihat Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaandari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. Ke-6, 2. 33 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 9.
41
Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang (UU) sebagai produk huku pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar kepentingan dan aspirasi terakomodir di dalam keputusan poltik dan menjadi Undang-undang dan UU tersebut terlahir atas dasar keputusan bersama dan dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu. 34 Dalam merespon pertanyaan tentang politik yang bagaimana yang melahirkan produk hukum macam apa, jawabannya menggunakan dua konsep yang dichotomis baik untuk variable politik maupun untuk variable hukumnya. Variable politik dipecah atas konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter ortodoks. Indikator yang dipergunakan pada variable konfigurasi politik adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan pers dan peranan ekskutif, sedangkan indikator bagi produk hukum adalah proses pembuatannya, pemberian fungsinya dan peluang untuk menafsirkannya. Pada konfigurasi politik yang demokratis, lembaga perwakilan rakyat (parlemen) sangat berperan dalam menentukan arah, kebijakan dan program politik nasional, sehingga parlemen dapat benar-benar dipandang sebagai representasi rakyat yang diwakilinya, pers memiliki kebebasan yang relatif tinggi, sedangkan pemerintah melaksanakan keputusan-keputusan lembaga perwakilan rakyat dan menghormatinya sebagai representasi rakyat. Pada konfigurasi politik yang otoriter, terjadi keadaan yang sebaliknya. Sementara itu pada produk hukum yang berkarakter responsif akan terlihat bahwa proses pembuatannya bersifat partisipatif, dalam arti menyerap partisipasi kelompok sosial maupun individu-individu di dalam masyarakat, menyerap aspirasi masyarakat secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan berbagai kehendak masyarkat yang saling bersaingan, dan membatasi space bagi pemerintah untuk membuat tafsiran-tafsiran (interpretasi) yang terlalu banyak 34
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 10.
42
ditentukan oleh fisi dan kekuasaan politiknya sendiri. Sedangkan pada produk hukum yang konservatif, terjadi hal yang sebaliknya. Sehingga konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif. Demokrasi dan otoriter adalah istilah-istilah yang mengandung pengertian yang ambigu. Dalam berbagai literatur, banyak ditemui perbedaan antara demokrasi normatif dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan seiring. Apa yang secara normatif konstitusional demokratis belum tentu demokratis pula dalam kenyataan empirisnya. Seperti apa yang diutarakan oleh Mahfud MD, bahwa menurut Amien Rais bahwa para ilmuwan politik telah lama mengiingatkan adanya perbedaaan antara format dan subtansi demokrasi yang harus dilihat secara jeli agar kita tidak terkecoh oleh penampilan. Tampilan suatu sistem politik dapat saja kelihatan demokratis tetapi justru esensinya otoriter. Bahkan negara yang sangat otoriter pun dapat mengklain dirinya sebagai negara demokrasi karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk melindungi kepentingan rakyat.Di sinilah demokrasi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat. 35 Inilah yang menurut pendapat penulis sebagai kekuasaan otoriter yang amanah. Artinya sikap, pebuatannya hanya diperuntukkan untuk membangun dan membela kepentingan. 1. Konfigurasi Politik Hukum dan Produk Hukum Kata konfigurasi atau configuration adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti “bentuk” atau “susunan”. Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia,
edisi
kedua,
konfigurasi
adalah
“bentuk”,
“wujud”
untuk
menggambarkan orang atau benda. Artinya bahwa ketika hal itu dikaitkan dengan Konfigurasi Politik Hukum, maka akan mempunyai makna; suatu bentuk atau wujud politik hukum dalam suatu negara tentang bagaimana hukum itu
35
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 11
43
diwujudkan atau dibentuk sesuai dengan keinginan si penguasa dengan memperhatikan socio-kultural dan yang berkembang di da lam masyarakat. Konfigurasi ialah suatu pola yang unsur-unsur atau bagian-bagianya semua saling berkaitan. Dalam menelaah suatu konfigurasi, maka setiap unsur atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu dengan lain, dalam arti bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak berhubungan atau berdiri sendiri. 36 Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan memperhatikan keseluruhan susunan konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat menyeluruh atau kesatuan bentuk (Geltalt) yang unik serta tidak mungkin diperhatikan menurut unsur demi unsur secara terpisah-pisah. Sementara itu, frame work politik hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menujukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibagun dan ditegakkan. 37 Definisi lain diutarakan oleh Moh. Mahfud MD 38 yang mengartikan konfigurasi politik sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis. Menurut Bambang 39 sebenarnya bahasa konfigurasi politik tidak lebih dari bahasa trend yang digunakan oleh media masa, sebenarnya pengertian konfigurasi politik lebih dekat dengan pengertian peta kekuatan politik (dinamika politik). 36
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Ciputat: Ciputat Press, 2005), Cet. Pertama, 12 37 Satria Effendi M. Zein, Aliran-Aliran Pemikiran Hukum Islam, Diktat Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 9 38 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, LP3ES 1998), 24 39 Bambang Eka CW, Makalah Bahan Kuliah Ilmu Pemerintahan (Yogyakarta: UMY, 2003), tanpa halaman
44
Bintan Ragen Saragih 40 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai suatu kekuatan-kekuatan politik yang riil (nyata) dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya tergambarkan dalam wujud partai-partai politik. Bila partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam mengambil kebijakan (keputusan) seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya maka disebutkan bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokrasi, sedangkan bila partai-partai politik yang ada itu tidak berperan dalam pengambilan keputusan atau mengambil kebijakan dalam sistem politik itu maka dikatakan bahwa konfigurasi politik yang ada itu adalah konfigurasi politik yang otoriter. Dikatakan tergambar dalam partai-partai politik, karena ada kalanya disebutkan juga kekuatan-kekuatan politik tidak hanya tergambarkan melalui partai politik tetapi juga tokoh-tokoh berpengaruh, organisasi kepentingan dan sebagainya. Studi tentang politik hukum tidak hanya dilihat dari perspektif formal yang memandang kebijakan-kebijakan hukum dan rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses keluarnya legal policy tersebut. Dapat dipertanyakan misalnya, mengapa dan bagaimana perspektif formal itu lahir serta apa akibatnya bagi perkembangan hukum nasional umumnya, pada hukum Islam khususnya. Dalam perspektif ini terlihat bahwa dalam hubungan tolak angsur antara politik dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsetrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Jika pun berhadapan hukum berada dalam pihak yang lemah. 41
Politik sering
mengintervensi hukum, tak terkecuali hukum Islam. Politik mana yang lebih dominan, maka aspirasi hukumnya yang akan tersalurkan. Bila saja energi politik
40
Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum (Bandung: CV Utomo, 2006), 33 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Sinar Baru, 1985), 79 41
45
Islam yang dominan, ini berarti hukum Islam mempunyai peluang yang besar dalam legislasi hukum Islam. Diskriminasi politik terhadap hukum ternyata bermuara pada tujuan; sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah; sebagai sarana untuk menfasilitasi pertumbuhan ekonomi; sebagai sarana untuk menfasilitasi proses rekayasa sosial; karena lebih kuat konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga implementasinya. Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik, maka hukum adalah kekuasaan. Bahkan menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Moh. Mahfud, misalnya mencatat, adanya beberapa pengikut paham bahwa hukum adalah kekuasaan. Pertama, kaum Sophis di Yunani yang menyatakan keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang kuat. Kedua, Lassalle mengatakan konstitusi suatu negara bukan undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata di dalam suatu negara. Ketiga, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya. Keempat, sebagian pengikut aliran positivisme juga mengatakan kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum hanya merupakan hak orang yang kuat. 42 Untuk melihat hukum Islam dalam tataran politik hukum, maka beberapa unsur penting yang saling berhubungan adalah; (1) landasan konstitusional yakni Pancasila dan dioperasionalisasikan secara struktural dalam Undang-undang Dasar 1945, (2) diimplementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum nasional yang dirumuskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 42
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 13-14
46
yaitu
GBHN.
Ia
diarahkan
pada
perubahan
tatanan
hukum
untuk
menyelenggarakan negara hukum, (3) perubahan masyarakat, watak alami dan abadi dalam suatu masyarakat ialah mengalami perubahan, baik struktur maupun pola budayanya, (4) perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional, disengaja, berencana, dan berjangka, yang secara konkrit dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional di bidang hukum. Ia berhubungan dengan berbagai faktor perubahan dan kesinambungan hukum Islam, (5) perubahan itu sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang majemuk, yaitu kalangan elite, untuk mewujudkan norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan (6) Sejarah dan subtansi Hukum Islam yang terkait dengan penguasa “langit”. Keenam unsur ini memiliki variasi hubungan fungsional (simetric), hubungan searah (assimetric), dan hubungan timbal balik (reciprocal). Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga kajian ini memposisikan politik sebagai variabel bebas dan hukum (hukum Islam) sebagai variabel terpengaruh. Kajian ini berangkat dari perspektif bahwa dalam hubungan antara politik dan hukum, maka hukum yang terpengaruh oleh politik, karena sub sistem politik mempunyai energi yang paling kuat daripada hukum. Maka untuk melihat hukum dan lembaganya menurut Daniel S. Lev harus diamati dari bawah dan melihat peran sosial politik apa yang diberikan kepadanya. 43 Karena lebih kuatnya energi politik dan intervensi politik terhadap hukum, maka kerapkali otonomi hukum di bawah tekanan politik, bukan saja proses pembuatannya, tetapi juga implementasi hukum. Sri Soemantri mengkonstatasikan hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika 43
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, aliha Bahasa Zaini Ahmad Noeh dari judul asli, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, Jakarta: Intermasa, 1986, 2
47
hukum diibaratkan sebagai rel, maka politik sebagai lokomotifnya, maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang semestinya dilaluinya. 44 Konfigurasi politik dalam kajian ini adalah sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagai atas dua konsep, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual dan indikator-indikator variabel bebas in adalah 45 ; a. Konfigurasi Demokrasi Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakasanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar jumlah mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta diselenggarakan atas kebebasan politik. Dilihat dari hubungan pemerintah dengan wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan rakyat untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. 46 Dari sejarah konfigurasi politik di Indonesia kita dapat melihat bagaimana konfigurasi itu sendiri, pada masa liberal contohnya konfigurasi politiknya demokrasi. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 pemerintah mengumumkan bahwa: 47 1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik istilah depan dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarkat. 2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat. 44
Sri Soemantri Martossuwignyo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif, Makalah disampaikan pada seminar Identitas Hukum Nasional di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 19-21 Oktober 1987, 6, Lihat juga Mo Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, 13 45 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 16 46 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24 47 Ma’sum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945 (Yogyakarta: Total Media, 2009), Cet. I, 37
48
Sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut maka berdirilah sejumlah partai-partai politik, partai-partai tersebut berperan penting dalam Komite Nasional Indonesia Pusat. Meskipun peran politik agak menurun pada masa RIS (Republik Indonesia Serikat) itu disebabkan kekuasaan negara saat itu berbagi antara pusat negara-negara bagian dan pemerintahan daerah yang berdiri sendiri. Begitu kuatnya peranan partai-partai tersebut sehingga dapat disebut (saat berlakunya UUDS 1950) masa itu adalah masa pemerintahan partai-partai politik, konfigurasi politik pada saat itu sangat demokratis, sehingga hukum diciptakan benar-benar sesuai dengan realitas masyarakat, dan jumlah hukum yang diciptakan begitu banyak. Tetapi dipihak lain, karena tidak ada satupun partai politik yang dominan maka kabinetpun jatuh. Masa liberal inipun dapat disebut sebagai masa jatuh bangunnya kabinet, atau kabinet yang dibentuk selalu labil. 48 Alfian 49 mengatakan UUDS 1940 yang mencerminkan demokrasi liberal seperti yang terdapat di beberapa negara barat memberikan peranan yang sangat penting kepada Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (parlemen) karena ia yang menentukan hidup matinya kabinet, karena parlemen terdiri dari wakil-wakil partai, maka kekuasaan yang begitu besar langsung mencerminkan dominan parlemen berarti sama atau sejalan dengan peranan utama partai-partai politik di dalam sistem politik yang berlaku. Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD 1945, konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, tetapi konfigurasi politik yang ditampilkan dapat diberi kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokrasi. Indikator pertama adalah, dominannya partai-partai politik, kedua, kedudukan pemerintah sangat lemah dan mudah dijatuhkan melalui “mosi” dilembaga
48
Bintan Ragen Saragih, Politik Hukum, 57 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1978, 249-250 dalam Bintan Regen Siragih, Politik Hukum, 57 49
49
perwakilan (parlement), ketiga, kehidupan pers cukup mendapatkan kebebasan untuk mengekpresikan temuan, opini, dan kritik-kritiknya. 50 Konfigurasi politik yang demokratis 51 mempunyai kelebihan dan kelemahannya, antara lain yaitu; Pertama, terciptanya suasana politik yang “fair”, kesempatan politik yang besar bagi rakyat untuk bermain secara langsung. Kedua, mendorong terbentuknya kompetisi yang sehat dalam aspek sosial, ekonomi, yang berujung kepada pembangunan ekonomi mikro yang stabil dan pasar yang kualitatif. Ketiga, penegakan hukum dipandang sebagai sebuah solusi, sedangkan kelemahannya adalah; Pertama, mahal dan kompleknya dalam mencapai suatu kebijakan terhadap publik. Kedua, kompetensi yang berlarut berimbas negatif kepada stabilitas yang bisa memburuk. b. Konfigurasi Otoriter Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara yang berperan aktif serta mengambil inisiatif hampir semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. 52 Artinya konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensional dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak
50
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 374 Demokrasi merupakan pengejawantahan dari nilai demokrasi dalam masyarakat. Demokrasi dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua, disatu sisi dapat menimbulkan masalah tetapi disisi lain mampu memberikan solusi. Tidak sedikit proses demokratisasi membawa perpecahan sebuah Negara seperti terjadi di Negara Balkan dan Uni Soviet. Hal ini dapat terjadi karena univikasi idiologi tidak mampu secara proposional menampung kepentingan atau keinginan kelompok dalam suatu populasi. Dalam Agus Suratan dan Tuhana Taufiq A, Runtuhnya Negara Bangsa, UPN Veteran, Yogyakarta, 2002, 185 52 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 24 51
50
teragregasi dan teraktualisasi secara proposional bahkan, dengan peran pemerintahan yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi atas kehendak pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah itu sendiri. Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat peralihan dari masa liberal kemasa terpimpin. Masa demokrasi terpimpin ini oleh penguasa disebut sebagai masa Orde Lama. Masa demokrasi terpimpin dimulai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959, 53 kehidupan demokrasi setelah dikeluarkan dekrit 5 Juli 1959 sangat merosot dan yang muncul adalah sistem politik otoriter dengan Soekarno sebagai aktor utama. Tampilnya sistem otoriter ini dipilih sebagai jawaban atas kegagalan periode sebelumnya dalam membangun stabilitas politik dan pembangunan. 54 Konfigurasi politik yang otoriter mempunyai kelebihan yaitu; Pertama, corak yang otoritarian, cenderung menciptakan dominasi dalam berbagai aspek. Hal itu, tentu saja memudahkan negara dalam melakukan penyeragaman (uniform) dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Misalnya; penyeragaman hukum nasional, penyeragaman budaya, penyeragaman sistem politik. Kedua, karena corak yang otoritarian memiliki kekuatan yang dominan akan sangat mudah bagi negara untuk melakukan berbagai penyederhanaan dalam berbagai aspek kehidupan negara.
53
Salah satu pertimbangan dikeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituente melaksanakan tugasnya hal ini dapat dilihat dari salah satu konsiferans dekrit tersebut berbunyi “bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota siding pembuat undangundang dasar untuk tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia kepadanya”. Dalam Jueniarto, Sejarah Ketatanegaraan, RI, 1990. lahirnya dekrit 5 Juli 1959 sebetulnya tidak semata-mata karena gagalnya konstituente menetapkan UUD yang baru sebagaimana yang sering dikemukakan dan ditulis dalam banyak buku sejarah ketatanegaraan Indonesia. Tetapi lahirnya dekrit tersebut terutama karena kuatnya desakan militer dan Presiden Soekarno karena keduanya sama-sama berkepentingan untuk kembali ke UUD 1945. dan kekuatan ini lebih eksis di bawah UUD 1945. Benny K. Harman. Konfigurasi Politik, 103 54 M. Mahfud MD., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), 77
51
Sementara kelemahannya adalah; Pertama, tentu saja corak ini tidak demokratis. Secara politik, sosial dan ekonomi, sistem yang terbentuk tidak mungkin menciptakan suasana yang konpetitif, karena hanya didominasi saja. Sehingga tidak menciptakan persaingan yang sehat. Akibatnya adalah terjadinya kesenjangan dalam bidang sosial dan ekonomi yang tinggi. Kedua, sistem politik otoriter yang dibangun oleh pemerintah melalui akumulasi kekuasaan secara terus menerus dengan menggunakan konstitusi yang berlaku dapat pula melemahkan supremasi hukum karena hukum tidaklah lagi menjadi “supreme”. Supreme adalah kekuasaan yang dalam prakteknya sangat menentukan karakter isi dan penegakan hukum. Konfigurasi yang demokrasi terdapat sistem politik yang demokrasi, dan sebaliknya yang otoriter terdapat pada sistem politik yang otoriter. Karena itu politik hukum dalam konfigurasi politik yang demokratis adalah untuk menciptakan hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realita sosial, sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter umumnya menciptakan hukum untuk mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realita sosial. Tetapi adakalanya pada konfigurasi politik yang otoriter dapat juga tercipta hukum yang mendekatkan tata hukum itu dengan realita sosial. Pada suatu pemerintahan yang otoriter, adakalanya politik hukumnya dicantumkan dalam program kabinet yang ada, adakalanya juga tidak. Tetapi politik hukum dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari produk perundang-undangan yang dibuat, hingga bentuk yang tampaknya demokratis dengan membentuk parlemen melalui pemilihan umum yang telah direkayasa dalam pemilihan umum tersebut untuk selalu memberikan persetujuannya dalam pembentukan undang-undang. Walaupun pada demokrasi terpimpin dan Orde Baru sistem politik yang dibangun adalah autokrasi atau oligarki pembangunan, tetapi keberadaan
52
lembaga-lembaga politik dan kekuasaan kehakiman tetap dipertahankan, bukan dihilangkan. Hanya fungsinya yang diamputasi dan arahnya untuk mendukung kebijakan rezim yang berkuasa. Lahirnya konfigurasi politik tidaklah mutlak tergantung pada konstitusi 55 atau undang-undang dasar yang berlaku. Berlakunya undang-undang dasar dapat memperlihatkan konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang berbeda pula. Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku tahun 1945-1955 ternyata melahirkan konfigurasi politik demokrasi. Sedangkan setelah tahun 1966, UUD 1945 melahirkan konfigurasi politik yang otoriter. Terbukti juga bahwa meskipun pernah berlaku tiga konstitusi yang berbeda yaitu UUD 1945 tetapi konfigurasi RIS, Undang-undang Dasar Sementara 1945 tetapi konfigurasi politik yang dilahirkan adalah sama yakni konfigurasi politik yang demokratis. Disini yang berlaku ditekankan adalah perlunya sinergi antara orang dan sistem yang samasama baik. Sistem yang baik bisa jelek dibawah orang yang jelek. Tetapi juga orang yang baik bisa menjadi jelek dibawah sistem yang jelek. Artinya sistem sangat berperan penting dalam suatu perubahan yang demokratis. Dalam menentukan karakter produk hukum di Indonesia yang dijadikan sebagai studi kasus pada kajian ini meminjam teori yang digunakan oleh Moh. Mahfud. Ada dua karakter produk hukum; 56
55
Konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis. Konstitusi dalam praktiknya dapat berarti lebih luas dari pada undang-undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undangundang Dasar. Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan undang-undang dasar, sebenarnya sudah mulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan undang-undang dasar itu sebagai istrumen of govermment, yaitu bahwa undang-undang dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan undang-undang dasar. Konstitusi itu sendiri sebenarnya merupakan alat untuk membentuk system politik dan sistem hukum dalam suatu Negara itu sendiri. Dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi ( Yogyakarta: Rajawali Press,. 2006), 45. 56 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 18
53
1) Produk Hukum Responsif/Populistik Produk
hukum
responsif/populistik
adalah
produk
hukum
yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompokkelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. 2) Produk Hukum Konservatif/ortodok/elitis Adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik,
lebih
mencerminkan
keinginan
pemerintah,
bersifat
positivis
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan pastisipasi relatif kecil. Untuk mengkualifisir apakah produk hukum itu responsif atau konservatif, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat, fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum. Semakin banyak partisipasi masyarakat semakin mendekati hukum yang responsif dan sebaliknya semakin kecil partisipasi kelompok masyarakat, semakin jauh pula hukum itu dari karakter hukum responsif. Maka untuk karakter produk hukum ini disebut, konservatif atau ortodoks / elitis.
C. Politik Hukum Nasional Jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Falsafah negara Republik Indonesia. Dalam politik hukum nasional memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai. Tujuan tersebut antara lain meliputi dua aspek yang saling berkaitan:
54
1. Tujuan Politik Hukum Nasional a. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki; Mahfud MD. mengutarakan bahwa politik hukum adalah merupakan legal policy tentang hukum yang akan dibelakukan untuk mencapai tujuan negara. Disini posisi hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. 57 Terkait dengan ini Sunaryati Hartono mengemukakan “Hukum sebagai Alat”, sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. 58 b. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. 59 Sistem hukum nasional terdiri dari dua istilah sistem dan hukum. Sistem berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts) 60 atau hunungan yang langsung antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur
(an organized, functioning relaionship among units or
components). 61 Dengan kata lain, bahwa sistem adalah sekumpulan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. 62 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, sistem adalah
57
M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, 2 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju satu sitem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991), 1. 59 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Pertama, 59 60 Willian A. Shrode dan Dan Voich, Organization and Management: Basic System Concept (Malaysia: Irwin Book Co., 1974), 115 61 Elias M. Awad, System Analysis and Design (Homewood, Illiois Richard D. Irwin, 1979), 4. 62 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: rajawali Press, 1996, 1. 58
55
suatu kesatuan yang bersifat komplek, terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan berkerja secara aktif unuk mencapai tujuan.
63
Sedangkan makna hukum nasional adalah hukum atau aturan perundangundangan yang tertera dalam landasan ideologi negara yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45 atau huku yang dibangun atas kreatifitas atau prakarsa bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian berarti hukum nasional adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sampai sekarang. 2. Ruang lingkup Politik Hukum Nasional Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang
mempengaruhi
pembentukan
politik
hukum
suatu
negara.
Tiga
permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan politik hukum, belum berbicara pada tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk hukum yang merupakan konsekuensi politis dari sebuah politik hukum. Politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menetapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 64 Permasalahannya sekarang, ketika kita berbicara tentang wilayah kajian (domain) sebuah disiplin ilmu yang akan dipergunakan para mahasiswa hukum, politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk-produk hukum yang 63
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Jakarta: Citra Aditya Bhakti 1991), cet. Ketiga, 48. M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 13
64
56
telah dibentuk. Dengan demikian, politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas. Berdasarkan uraian tersebut, ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut: a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; c. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum; d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum; e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan; f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara Keenam hal tersebut di atas itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah kajian itu tentu saja bersifat integral 65 satu sama lain.
65
Kata integral berasal dari bahasa Belanda Integraal atau bahasa Inggri integral yang berarti mengenai keseluruhan; meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadi lengkap, utuh, bulat dan
57
Ruang lingkup pertama merupakan tahap awal dari kajian politik hukum. Pada tahap ini kita ingin mengetahui apakah nilai-nilai (values) dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat telah diakomodasi oleh penyelenggara negara yang merumuskan politik hukum atau bahkan mungkin sebaliknya. Kajian terhadap bidang ini penting untuk dilakukan karena secara substansial, hukum tidak pernah lepas dari struktur rohaniah masyarakat yang bersangkutan, atau masyarakat yang mendukung hukum tersebut. Itu artinya bila hukum itu dibangun diatas landasan yang tidak sesuai dengan struktur rohaniah masyarakat, bisa dipastikan resistensi masyarakat terhadap hukum itu sangat kuat. Bila itu dikaitkan dengan teori keberlakuan hukum, hukum yang baik harus memenuhi syarat sosiologis, filosofis dan yuridis. 66 Agar resistensi masyarakat itu tidak terjadi dan syarat keberlakuan hukum terpenuhi, para penyelenggara negara yang berwenang menarik dan merumuskan nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis harus peka terhadap kedua hal tersebut. Namun, disinila letak permasalahannya, lembaga kenegaraan yang berwenang menentukan politik hukum atau legal framework yaitu sebuah kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari hukum suatu negara 67 , bukan lembaga yang genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga-
sempurna. Katon Y. Stefanus, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik di Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1998), 18 66 Dalam khazanah ilmu hukum suatu peraturan perundang-undangan dapat diakui eksistensinya bila ia mempunyai keabsahan dari sisi landasan filosofis, yuridis, dan sosiologisnya. (1) Keabsahan secara yuridis (juritische geltung) adalah apabila ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi; (2) Keabsahan sosiologis (Seziologische geltung) adalah apabila berlakunya tidak hanya karena paksaan penguasa tetapi juga karena diterima masyarakat; (3) Keabsahan filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dalam UUD 1945 nilai-nilai tersebut tercermin dalam apa yang disebutdengan Cita Hukum (rechtsidee). Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1992), 13-16; Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 114-115; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Edisi III, Cet. I (Yogyakarta: Leberty, 1991), 74-76 67 Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan dalam Artidjo Alkostar (ed), Identitas Hukum Nasional (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), 211
58
lembaga itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih mementingkan aspirasi kelompoknya dari pada aspirasi masyarakat secara umum. Dari asumsi dasar ini penulis hendak mengatakan bahwa hukum tidak boleh diterima begitu saja secara apa adanya (taken for granted) tanpa mempertimbangkan latar belakang yang bersifat non-hukum yang kemudian sangat determinan dalam mempengaruhi bentuk dan isi suatu produk hukum tertentu.
68
Bagian ini menjadi wilayah kajian kedua, ketiga, dan kelima dari
disiplin politik hukum. Adapun wilayah kajian yang keempat merupakan konsekuensi logis dari wilayah kajian politik hukum kedua dan ketiga. Pada wilayah kajian keempat kita akan mengetahui pada tataran peraturan perundangundangan yang mana suatu kebijakan hukum sebuah negara dapat ditemukan. Mengetahui hal ini akan bermanfaat bagi mahasiswa hukum untuk menentukan penghierarkian peraturan perundang-undangan, sehingga antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak saling bertentangan. 3. Aspek Politik Hukum Nasional Politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan citacita ideal negara Republik Indonesia tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan (1) yaitu sebagai suatu alat (tool atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum yang dikehendaki, (2) dengan sistem hukum nasional akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. Sistem hukum nasional diadaptasi dari istilah bahasa Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts), atau hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an organized, functioning realitionship amoung units or components). 68
Penghierarkian peraturan perundang-undangan mengingatkan pada gagasan pertingkatan hukum Kelsen. Kelses mengatakan, hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82
59
Hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun diatas kreativitas atau aktivitas yang di dasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, maka hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia. Perlu ditekankan bahwa hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah, sebagaimana di ketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial belanda, kemudian atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian nama: Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang- undang Hukum Perdata dari Burgelijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dari Wetboek van Koophandel,. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru. 69 Pendekatan seperti di atas dalam jangka pendek sangat bermanfaat karena dapat menghindarkan terjadinya kekosongan hukum (reshtsvacuum).
69
Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc satu persatu pada hukum colonial. M. A. Jaspan ‘mencari hukum baru : sinkritisme hukum di Indonesia yang membingungkan’ dalam Mulyan W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), 250-251
60
1. Hierarki Hukum Nasional Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undang, hierarki hukum di Indonesia adalah (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD), (2) UndangUndang (UU), (3) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (perpu), (4) Peraturan Pemerintah (PP), (5) Peraturan Presiden (Perpres), dan (6) Peraturan Daerah (Perda). 70 Peraturan perundang-undangan yang berada di urutan teratas adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari yang berada di bawahnya. Karena itu, peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya (Penjelasan Pasal 7 ayat 5 UU No. 10 Tahun 2004). Dengan adanya penentuan hierarki hukum di atas, maka sumber hukum lain, seperti Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tidak berlaku lagi. Selanjutnya, TAP MPR yang sudah diterbitkan dan bersifat mengatur ke luar harus diproses menjadi UU. Dengan demikian, pasca amandemen UUD, kekuasaan MPR di bidang peraturan perundang-undangan hanya mengubah dan menetapkan UUD yang berada dalam urutan teratas dalam hierarki hukum Indonesia. UU sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (Pasal 20 ayat [1] UUD 1945) bersama presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif. Pasal 20 ayat (2) sampai (5) UUD menyatakan bahwa: (2) setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) jika rancangan UU tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan UU itu tidak 70
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2004 No.53 sebagaimana dimuat dalam http://www. parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004.pdf.
61
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama; (5) jika presiden tidak mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama dalam 30 hari semenjak pengesahannya, rancangan UU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan. 71 Ketentuan di atas mengisyaratkan bahwa dalam pembentukan UU, DPR dan presiden harus mengutamakan kebersamaan, karena kalau salah satu pihak tidak menyetujui pasal-pasal dalam rancangan UU, maka rancangan UU tadi tidak bisa disahkan menjadi UU. Nah, UU Perbankan Syariah ini sudah mendapatkan persetujuan bersama dari DPR dan presiden sehingga dapat disahkan dan diundangkan menjadi UU. Di bawah UU ada, Perpu. Penerbitan Perpu merupakan kewenangan presiden. Pasal 22 ayat 1-3 UUD menyatakan bahwa (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perpu; (2) Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR; (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Perpu itu harus dicabut. Jadi, syarat penerbitan Perpu ada dua, yaitu: (1) adanya kegentingan yang memaksa dan (2) mendapatkan persetujuan DPR. Istilah kegentingan yang memaksa sangat luas pengertiannya sehingga memberikan ruang yang cukup bagi Presiden untuk menafsirkannya. Kegentingan memaksa ini sudah diterjemahkan dalam berbagai makna, mulai dari adanya konflik dan bencana alam atau upaya mencegah terjadinya kerugian ekonomi (mencegah hengkangnya investasi asing) di masa mendatang. 72 Ketika DPR bersama presiden sagat lamban dalam memberikan persetujuan bersama
terhadap
rancangan UU Perbankan Syariah, muncul suara agar Presiden menerbitkan Perpu Perbankan Syariah. Kepentingan memaksa yang menjadi alasan adalah Perbankan 71
Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikutip dari, MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), 67. 72 Contoh dari yang menjadikan ancaman kerugian ekonomi di masa mendatang sebagai hal ihwal kepentingan memaksa adalah perpu No. 1Tahun 2007 tentang prubahan UU No. 36 Tahun 2000 Tentang Pelabuhan Dan Perdagangan Bebas.
62
Syariah belum mempunyai kepastian hukum sehingga kesulitan mengembangkan diri padahal masyarakat Indonesia menantikan kemajuan dan perkembangannya, karena sangat cocok secara ideologis maupun secara ekonomis. Namun, rupanya Presiden tidak menerbitkan Perpu tadi dan lebih memilih menyelesaikan UU Perbankan Syariah secara normal. Di bawah Perpu ada PP dan Perpres. Kedua produk hukum ini merupakan kewenangan presiden. Hanya saja, PP diterbitkan presiden untuk melaksanakan UU dan berdasarkan perintah dari UU, seperti pasal yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur lebih lanjut dalam PP." Sementara itu, Perpres bisa diperintahkan oleh UU sebagaimana juga bisa sebagai inisiatif presiden untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Yang penting, Perpres itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Di bawah Perpres ada Perda. Perda terbagi ke dalam tiga macam, seperti diulas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, yaitu Perda provinsi yang dibuat oleh DPRD provinsi bersama gubernur, Perda kabupaten/kota yang dibuat DPRD kabupaten kota/ bersama gubernur bupati/walikota, serta Peraturan Desa/peraturan atau yang setingkat yang yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama kepala desa atau nama lainnya.Walaupun Perda merupakan hasil dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah, Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undanganyang ada di atasnya, maka Perda bisa dibatalkan oleh pemerintah melalui Perpres, 60 hari sejak disahkannya. Walau begitu, Pemda masih mempunyai ruang untuk mempertahankan Perda dengan mengajukan perkara ke Mahkamah Agung untuk meninjau kembali Perpres itu. Selanjutnya, pemberlakukan Perda itu tergantung
63
pada putusan Mahkamah Agung (Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). 73 Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, disebutkan bahwa tata urut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia secara hirarkis di Indonesia adalah: 74 UUD 1945 TAP MPR UU PERPU PP KEPRES PERDA Gambar 1 Hirarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia Pada gambar di atas tampak bahwa UUD 1945 menempati posisi tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul di bawahnya secara berurutan: TAP MPR, UU, PERPU, PP, KEPRES dan terakhir
73
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikutip dari lembaran Negara Tahun 2004 No. 125 dan Tambahan Lembaran Negara NO. 4437. 74 Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Jakarta: Sekretariat Jendreal MPR RI, 2000), sebagaimana diketahui, ketetapan ini mencabut dan mengganti sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor: XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR dan sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2000).
64
PERDA, namun perlu diketahui bahwa kendati bersifat hirarkis seperti itu, bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari peraturan perundangundangan yang berada persis di atasnya seperti PERDA berasal dari KEPRES, PP, dari PERPU atau lainnya. Penyusunan hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan itu semata-mata dalam rangka menyingkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundangundangan dengan peraturan perundangan lainnya. Dengan demikian sebuah atau lebih peraturan perundang-undangan diharapkan akan berjalan sesuai dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. 4. Karakteristik Politik Hukum Nasional Karakteristik yang dimaksud adalah kebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional, sebagai bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yakni: Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 75 Berdasarkan kutipan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik: (1) sistem hukum nasional yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu; (2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama dna hukum adat; (3) melakukan
75
GBHN. pada butir ke-2 TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengenai Arah Kebijakan bidang hukum.
65
pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi. 76 Bila kita perhatikan rumusan politik hukum nasional yang berbunyi: Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
D. Lembaga-Lembaga Pembentuk Hukum Dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945) Negara Republik Indonesia, perubahan ke-III (tiga) pada 9 November 2001 yang berbunyi; Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), sebagai pasal yang sudah di amandemen,“Negara Indonesia adalah negara yang berbentuk republik. Dalam kaitannya dengan pasal tersebut negara hukum sangat menjunjung tinggi dan mengayomi lembagalembaga dengan payung hukum yang jelas, baik dalam ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, berikut ini pembagian kekuasaan yang sudah dipisahkan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) 77 , yakni: 1. Lembaga Legislatif Dalam penelitian ini, bahasan pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, dan kekuasaan untuk mengadili akan peneliti uraikan sehubungan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menjalankan serta menyelenggarakan roda pemerintahan. Keberadaan lembaga (organ) ini masingmasing mempunyai dasar hukum yang kuat yakni ada yang diatur langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan undang-undang yang khusus 76
TAP MPR No. IV/MPR/1999 berbeda radaksinya dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, seperti, TAP MPR No. IV/MPR/1978 butir (c) 77
Lembaga negara yang dibentuk/disebut/atau diberikan wewenang oleh UUD 1945, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD 1945. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Ahmad Roestandi (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cetakan ke1, 112.
66
meligitimasi keberadaannya. 78 Baik dalam bingkai legislatif, ekskutif, maupun yudiktif. . Perjalanan panjang dalam mewariskan peradaban baru dalam dunia ini selalu dibarengi dengan proses dan peristiwa, dari proses otoriter menjadi sistem yang demokrasi, dan peneliti menelusuri dari proses awal mula terjadinya pemisahan kekuasaan, yakni dimulai dari demokrasi itu digulirkan. Kekuasaaan legislatif yang dimanifestasikan sebagai wakil rakyat, ialah: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Setelah
perubahan
Keempat
UUD
1945,
keberadaan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. a. Susunan Keanggotaan MPR Susunan
keanggotaan
MPR
berubah
secara
struktural
karena
dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political
78
Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisani Non Pemerintah yang dalam Bahasa Inggris disebut Non-Goverenment Organization atau Non-Goverenmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu lembaga apasaja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, ekskutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam Bahasa Belanda disebut staatsorgaan. Dalam Bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), cetakan ke-2, 31.
67
representation)
dan
anggota
Dewan
Perwakilan
Daerah
(DPD)
yang
mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). b. Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat Bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). 79 Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, akan tetapi kewenangannya berubah menjadi: 1) menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan/atau Perubahan UUD 1945; 2) melantik Presiden dan Wakil Presiden; 3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan 4) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. Dengan mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem
79
Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan keempat UUD tahun 1945, Jimly asshiddiqie, Makalah disampaikan pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Tema Penegakan hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003.
68
pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. 80 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri disamping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.
80
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta: KonPress, 2005), cet. Pertama, 95.
69
Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden, selambat lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen:‘yang’) terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B, MPR juga berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945, dengan adanya kewenangan yang demikian itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri disamping DPR dan DPD. Dengan demikian, meskipun didunia hanya dikenal adanya struktur parlemen unicameral dan bicameral, UUD 1945 memperkenalkan sistem ketiga, yaitu parlemen trikameral atau trikameralisme. 2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 81 menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain 18 sebagai kamar kedua parlemen (bikameralisme) Indonesia di masa depan. Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah
81
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Kon. Press, 2005), cet. Pertama, 28.
70
DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun. DPD, menurut ketentuan pasal 22 D (a) dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. Ironisnya, mekanisnme pengisian jabatan keanggotaan DPD ini lebih berat bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR. Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota DPD adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai politik. Artinya, dapat terjadi tokoh perorangan yang akan tampil sebagai calon anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan bagi dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup memanfaatkan struktur partai politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara dalam pemilihan umum. Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota perwakilan ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas. Karena itu, banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang demikian. Tentu ada juga argumen sebaliknya yang cenderung lebih optimis. Justru karena
71
kewenangannya yang terbatas itu menyebabkan DPD dapat terhindar dari sasaran kritik dari masyarakat madani (civil society), asalkan para anggota DPD dapat terbuka. Karena pusat kewenangan untuk memutuskan atas nama rakyat dan untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada di DPR, maka DPR-lah yang akan menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila aspirasi rakyat tidak sungguhsungguh disalurkan. Dengan demikian, para anggota DPD dapat bermain ditengah gelombang aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan memihak kepada rakyat didaerah-daerah. Karena itu, bagi para politisi muda, DPD dapat menjadi wadah baru untuk aktualisasi diri dan forum pelatihan kepemimpinan politik yang efektif untuk masa depan. Oleh karena itu, ditengah kritik dan kekecewaan atas pengaturan yang sangat mengecil arti lembaga perwakilan daerah ini, masih tersisa optimisme yang cukup menjanjikan untuk penataan sistem politik nasional ke depan. 3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab VII Pasal 19 sampai dengan 22B. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan. Pasal 20 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama Pemerintah. 82 Adapun beberapa fungsinya juga diatur oleh pasal 20 A ayat 1 yang antara lain; a. Fungsi Pengaturan (legislasi) Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur
82
Lembaga negara yang dibentuk/disebut atau diberikan wewenang oleh UUD 1945, antara lain; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diatur dalam Pasal 19-22B UUD 1945. Ahmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cet. 1, 112.
72
kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. 83 Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: 1) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara; 2) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara; dan 3) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. 84 Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang menghikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang
83
Selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut :Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval); Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents). 84
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), jilid II, cet, ke-1, 33.
73
paling tinggi dibawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif. Selanjutnya, kewenangan pengaturan lebih operasional itu dianggap berasal dari delegasi kewenangan legislatif dari lembaga perwakilan rakyat (khususnya DPR) yang didalamnya ada alat kelengkapan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, adapun alat kewenangannya terdiri dari; Pimpinan DPR (Leadership of DPR), Badan Musyawarah (Steering Committee), Komisi (Commissions), 85 Badan Legislasi (Legislation Council), Panitia Anggaran (Budget Committee), Badan Urusan Rumah Tangga (Household Committee), Badan
Kerja
Sama
AntarParlemen
(Committee
for
Inter-parliamentary
Cooperation), Badan Kehormatan (Conduct Council), dan Panitia Khusus, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, (Accountability Committee of State Treasury News). 86 Pengecualian terhadap doktrin pendelegasian kewenangan pengaturan yang demikian itu hanya dapat diterima berdasarkan prinsip frijsermessen yang dikenal dalam hukum administrasi negara, dimana pemerintah dengan sendirinya dianggap memiliki keleluasaan untuk bertindak atau bergerak dalam rangka penyelengaraan administrasi pemerintahan untuk kepentingan umum. Dalam hal yang terakhir ini, tanpa delegasipun pemerintah dianggap berwenang menetapkan peraturan dibawah undang-undang secara mandiri atau otonomi, meskipun tidak diperintah oleh undang-undang. 87
85
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR-RI, substansinya dikerjakan di dalam Komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan Komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh Komisi. http://id.wikipedia.org/wiki/DPR#Badan_Kehormatan Tugas dan Wewenang. Diakses pada, Sabtu, 1 Mei 2010. 86 http//www.dprri.go.id. Diakses pada 10 April 2010. 87 Penggunaan huruf besar “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undangundang yang sudah tertentu (definite), misalnya undang-undang nomor dan nama tertentu, jika penggunaan huruf kecil “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu atau belum terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain
74
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, fungsi legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, lembaga parlemen atau lembaga perwakilan biasa dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Pembedaan ini misalnya, dapat dilihat dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, dan DPRD. 88 Dalam praktiknya di Indonesia, fungsi legilasilah yang dianggap utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi yang kedua dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang. Padahal, ketiga-tiganya sama-sama penting. Bahkan dewasa ini, di seluruh penjuru dunia, yang lebih diutamakan justru adalah fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi. Hal ini terjadi karena sistem hukum diberbagai negara maju sudah dianggap cukup untuk menjadi pedoman penyelenggaraan negara yang demokratis dan sejahtera, sehingga tidak banyak lagi produk hukum baru yang diperlukan. 89 Di samping itu, perlu ditelaah secara kritis pula mengenai fungsi penganggaran (Budgeting), apakah tepat disebut sebagai fungsi tersendiri. Masalahnya, anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju hukum undang-undang, sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara itu identik dengan pembentukan undang-undang tentang APBN, meskipun rancangannya selalu harus datang dari Presiden. Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh DPR, dan pengawasan itu sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh parlemen. Oleh karena itu, sebenarnya, lebih tepat untuk mengelompkkan fungsi“undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait dengan undang-undang yang tertentu dan dikaitkan dengan nama tertentu. Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, Pdf, 31, diakses pada Ahad, 7 Februari 2010. 88 Indonesia, Undang-undang tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan. 89 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan peran pemerintah dan parlemen dalam sejarah (Jakarta: UI press, 1966).
75
fungsi parlemen itu menjadi tiga, yaitu: (i) pengawasan, (ii) legislasi, dan (iii) representasi. b. Fungsi Pengawasan (Control) Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah. Pada intinya, Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang serta Peraturan Perundang-undangan pelaksanaan lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam bentuk hukum yang lebuh tinggi. Setiap kebijakan yang dimaksud, baik menyangkut bentuk penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya haruslah dikontrol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat. Pengawasan oleh parlemen juga berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang memerlukan sentuhan pertimbangan yang bersifat politik. Semua pejabat yang dipilih secara tidak langsung oleh rakyat, maka pemilihannya dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat. Demikian pula pejabat publik lainnya yang perlu diangkat dengan pertimbangan politik tertentu, maka pengangkatannya ditentukan harus dengan pertimbangan atau bahkan dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat. Misalnya, pengangkatan para Hakim Agung di pilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan keputusan Presiden. 90 Tiga orang Hakim Konstitusi, dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Duta besar, diangkat oleh 90
Pasal 24A UUD 1945, Pasal 8 UU No 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.Calon Hakim Agung yang akan dipilih oleh DPR adalah Calon Hakim Agung yang diusulkan dari Komisi Yudisial.
76
Presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pimpinan atau Dewan Gubernur Bank Sentral dipilih oleh DPR 91 untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Panglima TNI dan Kepala POLRI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan lain sebagainya. Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini disebut juga sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Hak untuk konfirmasi (right to confirm) ini khusus diberikan dalam rangka pengangkatan
pejabat
publik
melalui
pengangkatan
politis
(political
appointment). Dengan adanya hal ini, anggota perwakilan rakyat dalam parlemen turut aktif membangun negara dan tetap mengawasi pemerintah, 92 sebagaimana fungsinya yakni mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenagannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, fungsi kontrol inilah yang sebenarnya lebih utama daripada fungsi legislasi. Fungsi kontrol inilah tidak saja berkenaan denagn kinerja pemerintah dalam melaksankan ketentuan undang-undang ataupun kebijakan yang telah ditentukan, melainkan juga berkaitan dengan penentuan anggaran dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, dalam fungsi pengawasan sudah terkandung pula pengertian fungsi
91
Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 13, perubahan pertama. Dalam praktek, sebenarnya fungsi kontrol atau pengawasan inilah yang harus diutamakan. Apalagi pada hakikatnya, asal mula munculnya konsep parlemen sebagai lembaga perwakilan itu sendiri dalam sejarah berkaitan erat dengan kata le Parle yang berarti to speak yang berarti “berbicara”. Artinya, wakil rakyat itu adalah juru bicara rakyat, yaitu menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat. Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk materi kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya diwakili.Tugas utama Parlemen adalah memilih dan mengawasi pemerintahan serta mengadakan undang-undang negara, A.Heuken SJ dkk, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1984), jilid IV, cet, ke-5, 15. 92
77
anggaran (budgeting) yang di Indonesia di sebut sebagai fungsi tersendiri. Sesungguhnya, fungsi anggaran itu sendiri merupakan salah satu manifestasi fungsi pengawasan, yaitu pengawasan fiskal. Dengan demikian yang terpenting. Dengan demikian, yang penting disebut tersendiri sebagai fungsi parlemen itu sebenarnya adalah fungsi legislasi, fungsi pengawasan (control), dan fungsi representasi (representation). c. Fungsi Perwakilan (Representasi) Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu keterwakilan atas dasar aspirasi atau idea. 93 Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilah rakyat. Akan tetapi secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.
93
Pada 10 Agustus 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI telah menetapkan perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya mengenai Pasal 2 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ismail Sunny, Kumpulan seminar “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional” (Jakarta: Departemen Hukum dan Ham RI BPHN, 2006).
78
Untuk menjamin keterwakilan substantif itu, prinsip perwakilan dianggap tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat rakyat sudah disampaikan secara resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk menjamin hal itu, masih diperlukan kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo atau berunjuk rasa, dan bahkan hak mogok bagi buruh, dan sebagainya, sehingga keterwakilan formal di parlemen itu dapat dilengkapi secara substantif. Dengan demikian, perwakilan formal memang dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak mencukupi (it’s necessary, but not sufficient) untuk menjamin keterwakilan rakyat secara sejati dalam sistem demokrasi perwakilan yang dikembangkan dalam praktik. Dalam rangka pelembagaan fungsi legislasi representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah : 1) Sistem perwakilan politik (political representation); 2) Sistem perwakilan teritorial (territorial and regional representation); 3) Sistem perwakilan fungsional (functional reprecentation). Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political representatives), sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah (regional representative and territorial representatives). Sedangkan, sistem perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional representatives). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berasal dari partai politik merupakan contoh dari perwakilan politik, sedangkan angggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berasal dari tiap-tiap daerah provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau regional representation. Sedangkan anggota utusan golongan dalam sistem keanggotaan MPR di masa Orde Baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah contoh dari sistem perwakilan fungsional (functional representatives). Dianutnya ketiga sistem perwakilan politik (political representation), perwakilan teritorial (territorial representation), dan perwakilan fungsional
79
(functional representation) menentukan bentuk dan struktur pelembagaan sistem perwakilan itu di setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu tercermin dalam struktur kelembagaan parlemen yang dianut suatu negara. Pada umumnya di suatu negara, dianut salah satu atau paling banyak dua dari ketiga sistem itu secara bersamaan. Dalam hal negara yang bersangkutan menganut salah satu dari ketiganya, maka pelembagaannya tercermin dalam struktur parlemen satu kamar. Artinya, struktur lembaga perwakilan rakyat yang dipraktekkan oleh negara itu mestilah parlemen satu kamar (unicameral parliament). Jika sistem yang dianut itu mencakup dua fungsi, maka kedua fungsi itu selalu dilembagakan dalam struktur parlemen dua kamar (bicameral parliament). Sebagai pelaksana fungsi perwakilan, Parlemen Indonesia di dalamnya terdapat tiga unsur anggota, yaitu (i) anggota DPR sebagai perwakilan politik (political representatives),
(ii)
utusan
daerah
dari
daerah
provinsi
(regional
representatives), dan (iii) Utusan golongan yang berasal dari golongan fungsional (functional representatives). 2. Lembaga Eksekutif 1.
Sistem Pemerintahan Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang memegang kewenangan
administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemerintahan negara, yaitu (i) sistem pemerintahan presidential, (ii) sistem parlementer atau sistem kabinet, dan (iii) sistem pemerintahan campuran. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemeritahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga dengan demikian (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan
80
parlemen, dan sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah, apabila dianggap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat presidential apabila (a) kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b) kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau sebagai administrator tertinggi. Dalam sistem presidential, tidak dibedakan apakah presiden adalah kepala negara atau kepala pemerintahan tetapi yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja dengan segala hak dan kewajibannya atau tugas dan kewenangannya masing-masing. Sementara itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh masing-masing negara. Misalnya, sistem yang diterapkan di Perancis biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid sistem. Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang didukung oleh parlemen, seperti dalam sistem parlementer yang biasa, oleh karena itu, sistem Prancis ini, dapat pula kita sebut sebagai sistem quasi-parlementer. 2.
Kementerian Negara Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk atau
bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidential, para
81
menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. 94 Dalam sistem parlementer jelas sekali bahwa, kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu yang memimpin pelaksanaan tugas–tugas pemerintahan secara operasional seharai-hari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya, kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarakan oleh mereka. Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan diantara kabinet dan parlemen dalpam sistem sistem pemerintahan parlementer. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, maka dalam sistem presidential kedudukan menteri sepenuhnya tergantung kepada presiden, para menteri diangkat dan diberhentikan secara bertanggung jawab kepada presiden. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugasnya tentu saja para menteri itu membutuhkan parlemen agar tidak setiap kebijakannya “dijegal” atau “diboikot” oleh parlemen. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa para menteri dalam sistem pemerintahan presidential itu mempersyaratkan kualifikasi yang lebih teknis, professional dari pada politis seperti dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidential, yang bertanggung jawab adalah presiden, bukan menteri, sehingga sudah seharusnya nuansa pekerjaan para menteri dalam sistem presidential itu bersifat lebih professional daripada politis. Oleh sebab itu, untuk diangkat menjadi menteri, seharusnya seseorang, benar-benar memiliki kualifikasi teknis dan professional untuk memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan prinsip meritokrasi. 94
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), jilid III, cet, ke-5, 157. Dalam bahasa Sansekerta seorang mantriN adalah a man who knows the sacred text and formulas, a wise man, a minister or counselor of a king.
82
Sistem pemerintahan presidential lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken kabinet dari pada cabinet dalam sistem parlementer yang lebih menonjol sifat politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang diangkat menjadi menteri, sudah seharusnya presiden dan wakil presiden lebih mengutamakan persyaratan teknis kepemimpinan dari pada persyaratan dukungan politis. Hal itu dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan presidentil, menteri itu sendiri adalah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan pemerintahan di bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam jabatan presiden dan wakil presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, maka tentunya presiden dan wakil presiden tidak mungkin terlibat terlalu mendetil dalam urusan-urusan operasional pemerintahan sehari-hari. Bahkan untuk kepentingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya jabatan menteri senior, seperti para menteri koordinator. Artinya, untuk melakukan fungsi koordinasi teknis saja, presiden dan wakil presiden sudah tidak dapat lagi terlalu diharapkan efektif. Oleh karena itu, jabatan menteri untuk masing-masing bidang pemerintahan tersebut memang seharusnya dipercayakan penuh kepada para menteri yang kompeten di bidangnya masing-masing. Itulah sebabnya, dalam penjelasan UUD 1945 yang diberlakukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, dinyatakan bahwa menteri itu bukanlah pejabat tinggi negara yang biasa. Menteri itu adalah pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya dalam bidangnya masing-masing. Oleh karena jabatan presiden jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan simbolik, maka fungsi kepemimpinan dalam arti teknis memang seharusnya berada di pundak para menteri. Oleh sebab itu, di katakana bahwa para menterilah yang sesungguhnya merupakan pemimpin pemerintahan yang riil dan operasional dalam pengertian sehari-hari. Bahkan, dapat diidealkan bahwa perbedaan kualitas antar sifat-sifat kepemimpinan presiden dan para menteri dalam proses pemerintahan adalah
83
bahwa presiden dan wakil presiden adalah pemimpin pemerintahan dalam arti politik. Sedangkan, para menteri merupakan pemimpin pemerintahan dalam arti teknis. Siapa yang akan diangkat menjadi menteri, tentu merupakan sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk menentukannya. Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, pasal 17 ayat (4) menentukan pula bahwa “pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang”. Maksudnya ialah meskipun mengenai orangnya merupakan kewenangan mutlak presiden, tetapi mengenai struktur organisasinya harus diatur dalam undang-undang.dengan deikian, organisasi kementrian negara itu tidak dapat seenaknya diadakan, diubah, atau dibubarkan hanya oleh pertimbangan keinginan atau kehendak pribadi seorang presiden belaka. Semua hal yang berkenaan dengan organisasi kementrian negara itu haruslah diatur dalam undang-undang. Artinya perubahan, pembentukan, atau pembubaran organisasi kementrian negara harus diatur bersama oleh presiden bersama-sama para wakil rakyat yang duduk di lembaga Dewan perwakilan rakyat. Itulah esensi dari ketentuan bahwa hal tersebut harus diatur dalam undang-undang. 3. Lembaga Yudikatif Reformasi mengantarkan bangsa ini mengenal peradaban yang modern, yakni menjamin hak-hak rakyat seutuhnya, hal ini terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Yudisial dan lain-lain yang merupakan bagian dari lembaga yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut diatas secara tidak langsung juga diawasi oleh rakyat, disamping ada pengawasan yang
84
khusus berasal dari fungsi kekuasaan legislatif atau yang kita kenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga ini mempunyai alat kelengkapan yang bernama komisi, komisi-komisi yang
merupakan bentukan dari partai
politik ini memantau berbagai lembaga negara yang berada dalam ranah fungsi kekuasaan
ekskutif
dan
yudikatif.
Komisi-komisi
tersebut
merupakan
pengejawantahan dari partai politik yang mempunyai peranan penting di dalam pembentukan undang-undang. Prinsip yang harus dipegang oleh badan yudikatif dalam setiap negara hukum adalah, badan ini haruslah terbebas dari intervensi oleh eksekutif dan badan-badan yang lain, ini dimaksudkan agar badan ini dapat berfungsi sebagaimana mestinya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Asas kebebasan badan ini diharapkan dapat melahirkan hakim yang memutuskan perkara tidak berat sebelah, adil, tidak memihak dan tetap berpedoman pada norma-norma hukum serta murni dari hati nurani hakim. Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalalam sistem peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau “modern constitutional state. Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian dan pemberhentian para hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of imperiality). Bahkan oleh O. Hood Philips dan kawan-kawan dikatakan, “the impartiality of the judiciary is recognized as an
85
important, if not the most important element, in the administration of justice.” 95 Dalam praktek, ketidakberpihakan atau imperiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial). 96 Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim itu sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga dianggap penting. Misalnya, dalam forum Internasional Judicial Conferency di Bangalore, India, 2001, yang kemudian disebut the Bangalore draft. Selanjutnya, setelah akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi the Bangalore Principles of Judicial conduct. Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsipprinsip independency, imperiality, integrity, propriety, equality, competency and diligency. 97 1.
Mandiri (Independency) Independensi hakim merupakan jaminan bagi terwujudnya hukum dan
keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan 95
O. Hold Philips dkk., Constitutional and Administrative Law (London: Sweet & Maxwell, 2001), 437. 96 Ofer Raban. Modern Legal Theory and Judicial Impartiality (T.tt. Glass House Press, 2003), 1. 97 Tentang prinsip-prinsip independensi peradilan dan hakim, selain terdapat dalam The Bangalore Principles, juga bisa dilihat dalam prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Independensi Lembaga Peradilan. Untuk lengkapnya lihat dalam. “Penguatan Integritas dan Kapasitas Sektor Peradilan di Indonesia” Kumpulan Dokumen Lokakarya Pertama Tingkat Propinsi untuk Sistem Peradilan di Sulawesi Tenggara (Jakarta: Mahkamah Agung RI dan BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), 117-129.
86
kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntunngan ekonomi, atau bentuk lainnya. 2. Ketidakberpihakan (Impartiality) Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak manapun, disertai penghayatan mandalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. 3.
Integritas (Integrity) Intregritas Hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan
dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalitasnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas ataupun godaan–godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya. 4. Kepatutan dan Sopan Santun (Propriety) Kepantasan dan Kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan
87
kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara atau kegiatan tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antarpribadi, baik dalam tutur kata lisan, tulisan atau bahasa tubuh; dalam bertindak, bekerja dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau pegawai pengdilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. 5. Kesetaraan (Equality) Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, atau alasan-alasan lain yang serupa. Prinsip kesetaraan ini secara essesnsial melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukanya masingmasing dalam proses peradilan. 6.
Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and diligency) Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam
pelaksanaan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan professional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas professional hakim. Demikian enam prinsip yang berkaitan dengan dengan etika hakim dalam memerankan dirinya sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah lembaga yudikatif mempunyai beberapa bagian besar dalam republik ini, dan tugas kewenangannya juga berbeda-beda sebagaimana gambaran yang ada dibawah ini, yakni;
88
a. Mahkamah Agung Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung berserta badan-badan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan di samping Mahkmah Agung, terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan konstitusi tersendiri dengan kedudukan yang berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Hampir semua negara demokrasi yang menganut sistem seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, fungsi peradilan konstitusi seperti yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak dilembagakan tersendiri, tetapi terintegrasi dalam fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung. 98 Karena itu, dalam sistem yang berlaku di Amerika Serikat dan di berbagai negara yang mengikuti sistem Amerika Serikat, yang disebut sebagai the Guardian of The Contitution adalah Mahkamah Agung. Atas dasar inilah Mahkmah Agung Amerika Serikat biasa disebut sebagai The Guardian of American Constitution. 99 Namun, negara-negara demokrasi aliaran Eropa Kontinental yang menerima prinsip-prinsip negara hukum modern, pada umumnya, memisahkan fungsi peradilan Konstitusi (constitutional adjudication) itu secara tersendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Semua negara jenis ini mengikuti jejak Austria sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga peradilan yang tersendiri dengan nama Verfassungsgerichtshof atau Mahkamah Konstitusi. Ada juga variasi yang berbeda seperti dikembangkan oleh Prancis, yaitu dengan membentuk dewan konstitusi (Conseil Constitutionnel), bukan
98
Robert G. McCloskey. The American Supreme Court (Chicago: The University of Chicago Press, 2005) 4 th edition. 99 Alfred Kelly, Winfred A. Harbison, and Herman Belz, The American Constitution. (1991) 7 t William M. Wiecek. Liberty under Law: The Supreme Court in Amerika Life. (1988).
89
Mahkamah Konstitusi (Court Constitutionnel). Namun, kedudukannya tetap bersifat tersendiri, berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. 100 Berbeda dari Mahkamah Konstitusi yang hanya ada di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut. Karena itu, jangkauan organisasinya sangat luas ke seluruh wilayah negara. Karena itu dapat dikatakan bahwa, organisasi Mahkamah Agung inilah yang menjadi organisasi terbesar dan terluas jangkauan kegiatannya dewasa ini. Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak untuk mengangkat atau memberhentikan gubernur, bupati atau walikota. Karena itu, seperti halnya presiden dan wakil presiden, sekarang ketiganya beserta wakilnya masing-masing telah dipilih langsung oleh rakyat di daerah. b. Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar citacita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
100
Baca Jimly Ashidiqie. Model-model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2005) dan Jimly Ashidiqie dan Achmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).
90
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004. Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya. c. Mahkamah Konstitusi: Pengawal Konstitusi Dalam Sejarah berdirinya lembaga (MK) diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
91
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi (MK)
selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagai salah satu cabang kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, bukanlah bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan struktur unity jurisdiction, seperti halnya dalam sistem Anglo Saxson, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. 101 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain
Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut, memiliki fungsi yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam yurisdiksi atau kompetensinya. Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang 101
Laica Marzuki. “Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Sebuah Gagasan Cita Hukum”. Dalam buku Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), cet. Ke-1. 83.
92
melakukan tugas di bidang kekuasaaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia. Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Selain kewenangan seperti dijelaskan di atas, Mahkamah Konstitusi wajib memberhentikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan tehadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagi Presiden dan atau Wakil Presiden. Diperolehnya kewenangan ini, mengingat Mahkamah Konstitusi karena lembaga ini yang memiliki tugas khusus yakni forum previlegiatum. 102 Di samping ketiga lembaga
tersebut mempunyai peranan pembentuk
undang-undang, ada lembaga-lembaga non pemerintah seperti partai politik juga turut serta dalam pembentukan undang-undang di Indonesia juga merujuk kepada lembaga yang berwenang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pemegang kekuasaan legislatif, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif, dan para hakim yang memegang kekuasan yudikatif sebagai penegak undang-undang. Ketiga lembaga tinggi negara tersebut merupakan wakil dari unsur partai-partai politik yang memiliki tujuan untuk membangun negara berdasarkan konstitusi. Artinya bahwa orang-orang yang duduk dalam sebuah kabinet merupakan pengejewantahan orang-orang partai yang diutus untuk itu. Dengan demikian bahwa partai politik memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting dalam penbentukan undang-undang dan sebagai pemegang amanah konstitusi, dalam hal ini undang-undang dasar suatu negara atau udang-undang dasar 1945 untuk di Indonesia.
102
Forum Previlegiatum adalah peradilan yang khusus untuk memeutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan dalam UUD sehingga dapat diproses untuk diberhentikan. Mahfud MD. Perdebatan... 115.
93
Dengan demikian bila kita perhatikan bahwa partai politik merupakan kepanjangan tangan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dimana ruang operasionalnya berada pada masyarakat di wilayah sekitarnya. Demikian pula sebaliknya bahwa lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan bagian pula dari kelompok anggota partai politik yang berada dalam pemerintahan negara baik sebagai pembuat, pelaksana, dan atau penegak undangundang untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang citapcitakan berdasarkan konstitusi dan tujuan partai politik dari masing-masing yang sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik. Tugas partai politik adalah mencari dan atau menerima aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk bangsa yang kemudian disampaikan badan pelaksana negara melalui parelemen untuk diwujudkan dalam bentuk yang real melalui undang-undang. Jadi peranan partai politik adalah sama dengan peranan dan kedudukan anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang duduk menjadi perwakilan partai politik seprti yang telah peneliti uraikan di atas.
BAB III POLITIK HUKUM ISLAM
A. Politik Hukum Islam di Indonesia Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam di Nusantara di sebarkan oleh para pedagang. Para pedagang ini, di samping menjalankan aktivitas utamanya, yakni berdagang, mereka juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Pendapat lain justru mengatakan “adalah suatu hal yang sulit dipercaya jika para pedagang ini juga melakukan penyebaran agama Islam” hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebelum abad XII M., Islam belum tampak sebagai satu agama yang dianut oleh para penduduk, padahal mereka sudah hadir sejak abad VII M. Dengan kata lain, walaupun saat itu sudah terjadi interaksi dengan pedagang muslim, namun belum tampak ada tanda-tanda bagi proses Islamisasi di Nusantara. Berdasarkan hal tersebut, A. H. Jhons dalam Sufisme as a Category in Indonesia Literature and History, sebagaimana dikutip oleh Azra, 1 mengajukan teori bahwa pergerakan para sufi pengembara, berkat otoritas dan kekuatan magis yang mereka miliki, telah mampu melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk Nusantara dalam jumlah besar sejak abad XII H. 2 Mereka telah mentransplantasi, meramu, dan menghadirkan satu sentuhan yang harmonis dari unsur budaya lokal ke dalam ajaran Islam sehingga mampu menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut
1
Teori Johns ini dikritik oleh Drewes. Dalam New Light of the Coming of Islam to Indonesia, sebagaiman dikutip oleh Alwi Shihab, Drewes mengatakan bahwa walaupun para sufi memiliki peran yang cukup besar dalam penyebaran Islam, namun awal kedatangan Islam tidak terikat sama sekali dengan lembaga terakat dan persaudaraan sufi. Namun demikian, dalam hal ini Jhons tidak memberikan data baru yang dapat memperkuat hipotesisnya. Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik…, 6 2 Saat jatuhnya Baghdad pada 1258 M fenomena sufisme menjadi gerakan missal di dunia Islam. Tarekat dan persaudaraan sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung : Mizan, 1999)
94
95
masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik. 3 Mengikuti teori yang memaparkan dominasi kaum sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara maka wajar kiranya jika secara sirkumtasial ia telah membentuk karakteristik Islam Indonesia denga corak sufi, dima watak intelektualis-filosofis redup di dalamnya. Wacana intelektualisme Islam lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik. 4 Keadaan yang tidak menguntungkan ini masih diperparah dengan kenyataan bahwa Islam pertama yang datang ke Indonesia adalah Islam yang berada dlam anti klimaks sejarah peradaban dunia Islam dan adanya slogan bahwa pintu ijtihad sudah dinyatakan tertutup oleh rumor sejarah. Dengan sendirinya, situasi stagnasi pemikiran dan taklid yang menjadi trade mark dunia Islam saat itu, memberikan pengaruh yang juga kurang positif bagi pemikiran keislaman di Indonesia. Kenyataan ini telah membuat Islam Indonesia kurang memiliki memontum dan kemampuan yang adekuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala bidang, termasuk di dalamnya pemikiran hukum Islam. Umat Islam lebih enjoi menikmati mistisme Islam ala Ghazalian, yakni satu tradisi yang lebih menekankan asketisme dan menafikkan masalah-masalah duniawi. Bigitu kuatnya pengaruh dari tradisi ini maka pemikiran-pemikiran hukum Islam yang ada menjadi terjebak dalam pararelisme epistemologi tasawuf. Secara umum, gerakan fikih sebenarnya merupakan kelanjutan dari bertumpu pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat mengakar dalam kesadaran keilmuan umat Islam. Titik tolak kehidupan yang cenderung bersifat teologis dan tasawuf oriented menjadi tidak sebanding dengan diksi-diksi ilmiah yang 3
Lihat misalnya penelitian Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980); Clifford Geertz. Abangan Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981); Howard M Fiderspiel. Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1996), 1-3 4 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), 111
96
ditawarkan hukum Islam (Fiqh), yang biasanya formalistik. Dengan demikian bisa dibayangkan bahwa kreatifitas dan improvisasi pemikiran hukum Islam akan menjadi mental dan tereliminir oleh tradisi tersebut. Di samping dominasi tasawuf faktor mazhab syafi’i yang dianut oleh para pembawa Islam pertama di Nusantara juga memberikan andil yang cukup besar bagi terbentuknya karakter pemikiran hukum Islam di Indonesia, eksistensi mazhab Syafi’i yang dianggap sebagai sintesis ahli ar-ra’yu dan ahli Al-Hadith sesuai dengan sifatnya yang adaptif, adoptif, dan kompromis dalam banyak hal bisa dikatakan selaras dengan orientasi pemikiran tasawuf oleh karena itu, walaupun dianggap telah terjadi keseimbangan baru antara tasawuf dan fiqih 5 namun keadaannya hanya merupakan keseimbangan yang paling mungkin, wajar dan dalam batas yang paling vulgar, yakni karena adanya kesamaan dan kedekatan orientasi dan juga epistemologi antara ajaran tasawuf dan mazhab syafi’i, yang memungkinkan keduanya bertemu dalam satu titik kepentingan dan pengembangan. Implikasi yang terjadi mungkin akan menjadi kontras jika mazhab hukum pertama yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Hanbali, Maliki, Hanafi, ataupun Syiah. 6 Sebab, madzhab-madzhab ini mempunyai cara pandang dan cara baca yang berbeda atas fenomena tasawuf. Walaupun masih perlu bukti-bukti pendukung yang lebih konkrit, dan karenanya diperlukan
5
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 113 6 Tahir Mahmood telah membuat studi dan analisis yang cerdas dalam memotret peran dan dampak madzhab hukum Islam klasik terhadap sifat reformasi konstitusi hukum keluarga Islam di beberapa Negara Islam. Beberapa Negara Islam yang penduduknya bermadzhab Hanafi biasanya menganut pola pikir yang sangat rasional dalam merumuskan konstitusinya. Negara-negara Islam yang penduduknya bermadzhab Hambali dan Maliki sangat puritan, merujuk pada tekstualitas Al-Qur’ân dan Hadits. Sedangkan yang bermadzhab Syafi’I bersifat kompromis. “gado-gado” dan mengambil jalan tenga Adapun yang Negara-negara yang penduduknya bermadzhab Syi’ah, menampakkan sesuatu yang unik bagi konstitusi negaranya. Lihat lebih lanjut pada Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N. M. Tripathi, Pvt. Ltd, 1972), 112; Bandingkan dengan analisis serupa dari S. Amin, Islamic Law and Its Implication for Modern World (Scotland: Royston Ltd, 1989), 19-51
97
penelitian tersendiri, namun indikasi awal ini menjadi cukup valid untuk melahirkan prakonsepsi di atas. 1. Dinamika Pemikiran Hukum Islam Hukum adalah sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan manusia, dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Oleh karena itu sektor hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat dalam artian bahwa suatu masyarakat yang modern maka harus memiliki hukum yang moderen pula. Jadi pemahaman yang sangat keliru ketika berbicara tentang konsep hakikat hukum Islam itu adalah statis, immobile, tidak dinamis dan tidak akan mampu mengikuti perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang sudah maju. Pandangan Noel J. Coulson mencerminkan suatu miskonsep terhadap pemahaman hukum Islam dengan mengatakan bahwa “Hukum Islam mendahului dan membentuk masyarakat “. 7 Coulson tidak mencerminkan sejarah bahwa dalam sejarah Islam ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah dan dipilih sebagai kepala Negara Madinah, diamana masyarakat Islam yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin secara factual telah terbentuk 8 . Kemudian proses pembentukan hukum Islam terjadi secara evolusi bersama proses kristalisasi ummat atau komunitas dalam Negara Madinah. 9 Sebagai contoh ketika agama Islam belum disempurnakan oleh Allâh, maka aturan-aturan yang akan mengatur masyarakat diturunkan secara incremental, dalam rentang waktu 22 tahun dari tahun 610 sampai 632, tahun kematian Rasulullah. Ini sebagai indikator bahwa Islam akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Secara historis, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia setidaknya menunjukan satu fenomena transformatif dan remedialis, kendati masih nampak 7
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalalam Perspektif Sejarah (Jakarta: P3M, 1987, 1-2. Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Terjemahan Ali Audah (Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982), 112 9 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam. Omplementasiny pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet. Pertama, 44 8
98
nuansa paralelisme
yang berulang-ulang tanpa ada kejelasan. Pemikiran ini
bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju yang terus menggelinding dan melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai tipe dan karakter baru. 10 Dalam suatu pembangunan hukum, pada tahun 1975, Abdurrahman Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum Islam sebagai penunjang pembangunan, 11 yang secara umum mengarahkan pembicaraannya pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan tata hukum positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan, Reaktualisasi Ajaran Islam. Denga mengambil isu-isu pembicaraan mengenai hukum waris, perbudakan dan bunga bank. 12 Disinilah sebetulnya para ahli hukum Islam
(fuqaha/ulama) untuk
merumuskan kembali ajaran agama (hukum Islam) agar mampu mengadop budaya masyarakat (socio-cultural) yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik beragama tidak lagi terjadi. Sebagai missal, ironis jika umat Islam yang tekun beribadah, namun kesehariannya melakukan transaksi melalui bank konvensional. Kendati masih terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai haramnya bunga bank. Paling tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan yang masih tanda kutip. Karena tanda kutip menunjukkan adanya indikator kesubhatan dan subhat harus dijauhi atau ditinggalkan. 2. Potret Politik Hukum Islam di Indonesia Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu ushul fiqih, hukum didfiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan dengan
10
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005) cet. 1, 2 Lihat artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rudiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 199, 124. 12 Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina 1997), 6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 11. 11
99
perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu yang berarti perontah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untk meninggalkan sesuatu yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal yng mubah (fakultatif), yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satunya menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain. 13 Musthafa Ahmad al-Zarqa menyebutkan cakupan hukum Islam meliputi hukum akidah, ibadah, keluarga, muamalah, jinayah, tatanegara, hukum antar negara dan adab sopan santun. Untuk membatasi masalah yang dibahas maka tulisan ini tidak menyinggung masalah akidah, ibadah dan adab sopan santun. 14 Menurut Ahmad Azhar Bashir seorang pemikir yang mempunyai karakteristik tersendiri dalam memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam, ia menyatakan bahwa hukum Islam dapat ditelusuri melalui dua pendekatan, yakni : pertama, pendekatan qauli (menekankan fiqh sisi hasil pemikiran semata (fiqh), kedua, pendekatan manhaji (menekankan pemdekatan dari segi metodologi (uṣul Fiqh). 15 Al-Jabiri
pernah
mengatakan
bahwa
kebudayaan
Islam
“Kebudayaan fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung
adalah 16
adalah
sama sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”. Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan (niẓam al-ma’rifi) dan kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca dan 13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al’arabi), 1958), 21. Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islâmi fi Thaubibi al-Jadîd (Damaskus Lathba’ah Jami’ah, 1959), 29. 15 Abdul Aziz Dahlan, et. Al, (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1999), Jilid, 1, 156. 16 Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), 14
100
menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan banyak pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide untuk melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh sebagian orang, sebagai suatu hal yang penting. 17 Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga taḥkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat. 18 Dari situ, maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga manangani persoalan pidana. Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya. 19 Begitulah keberadaan hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai 17
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet. Pertama, 48 18 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 78 19 A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 145-146
101
sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini. Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa prakemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu juga disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif, dan ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik. Kenyataan ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan juga sistem hukum adat. Belum sempurnanya proses transplantasi dengan hukum adat, di samping juga karena nuansa politik dalam proses eklektisisme dengan hukum Barat (Belanda) ini begitu kental, telah membuat semuanya berjalan dengan tidak wajar. Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu
102
mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa pun untuk melegal-positifkan hukum Islam (Syari’ah) dalam bingkai konstitusi negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang entah kapan akan berakhir. Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan nasih legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989, lahir UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga Peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaanya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan bagu sebagai pelengkap. Oleh karenaya, adalah wajar jika pada tahun 1999 Presiden RI. Mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI sendiri disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Terlepas dari segala kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasal yang ada di dalamnya, fenomena mutakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai diproyeksikan sebagai undang-undang resmi negara yang digunakan dalam lingkungan peradilan agama. 20 Selain beberapa legislasi di atas masih ada beberapa peraturan perundangundangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, di antaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji. 21 20
Studi tuntas mengenai kontroversi kelahiran KHI dapat dilihat pada Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001); Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Backgraud of the Enactment Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Thesis, Faculty of Graduatu Studies and Research, Institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal Canada, Monreal Canada. (1998). Tidak diterbitkan: Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum Nasional (Jakarta: Logos, 1999) 21 Budi Budiman, Potensi Dana Zis Sebagai Instrumen Ekonomi Islam, makalah pada Simposium Nasional Ekonomi Islam oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 13-14 Maret 2002, 2; Rohani Budi Prihatin, Mencermati Undang-undang Zakat, dalam Republika 25 Agustus 1999, 14
103
Secara umum, perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia dewasa ini telah sampai pada tingkat yang cukup memuaskan. Sejumlah dimensi ajaran agama yang selama ini belum tuntas diperjuangkan, mulai menampakkan tandatanda akan diterima. Memang terdapat ajaran hukum Islam yang mempunyai kendala untuk dilegalkan, dengan alasan substansinya tidak sesuai dan bertabrakan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Untuk kasus seperti ini, upaya legalisasi berbagai elemen hukum bisa jadi mustahil akan berhasil. Karena bersifat umum, eksistensi peraturan yang lebih dahulu ada ini biasanya diperuntukkan bagi semua golongan, dan bersifat universal. Jika di paksakan untuk diganti, kemungkinan besar akan menimbulkan gejolak sosial, yang costnya sangat mahal. Dengan demikian pemilahan dan penentuan skala prioritas materi hukum Islam yang dicitakan legalisasinya menjadi langkah awal yang harus ditempuh. Bukankah melegalkan status peraturan atau ketentuan hukum yang secara sosiologis telah hidup dalam masyarakat terasa lebih mudah dibandingkan dengan memaksakan hukum ideal yang terdapat dalam kitab-kitab hukum, begitu juga tentunya dengan legalisasi hukum Islam. 3. Lahirnya Politik Hukum Islam Pembahasan mengenai politik, atau yang biasa di sebut ilmu politik lahir ketika manusia mulai memikirkan bagaimana mereka dan nenek moyang mereka diperintah. Persoalannya ialah apakah peraturan ini perlu diterima atau tidak dan mengapa sebagian masyarakat memilih peraturan yang berbeda dari masyarakat lain. 22 Dengan kata lain, pemisahan dalam pengertian aktivitas memelihara ketentraman, yang berarti pengaturan hubungan antara manusia dalam pengertian luas. 23
22
Sebenarnya Praktik politik sama tuanya dengan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam sebuah komunitas harus menerima peraturan tingkah laku tertentu, walaupun peraturan tersebut hanya bertujuan melindungi keberadaan komunitas dan mencegah para anggotanya untuk saling membunuh satu sama lain. Lihat Simamora, Ilmu Politik (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), 1. 23 Kartono, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), Cet. Ke-6, 4.
104
Dalam hubungan dengan politik Islam, al- Qorodwiy menyebut dengan istilah As- siyâsah Ash-shar’iyah. Sebab makna Ash- Shar’iyah dalam konteks ini adalah yang menjadi pangkal tolak dan sumber bagi As- siyâsah (politik) dan menjadikannya tujuan bagi As- siyâsah. 24 Pengertian ini berkaitan dengan pandangan ulama dahulu yang mengartikan politik pada dua makna: Pertama, makna umum, yaitu menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan syariat agama. 25 Oleh karena itu mereka mengenal istilah khilafah, yang berarti perwakilan dari Rasulullah SAW. untuk menjaga agama dan mengatur dunia. Kedua, makna khusus, yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin,
hukum
dan
ketetapan-ketetapan
yang
dikeluarkannya
untuk
menangkal kerusakan yang akan terjadi membasmi kerusakan yang sudah terjadi, atau memecahkan masalah khusus. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Keduanya secara organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu negara Islam. Baik al-Qur’ân, Hadith maupun sejarah Islam membuktikan hal itu. Agama dan politik saling terkait, bahkan saling membutuhkan. Pada saat awal kehadiran Islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab tanpa peranan politik, Islam tidak tidak akan mampu hidup. Islam harus memiliki kekuasaan demi kelancaran mekanisme pengembangan agama. Di sini pula dapat terbukti bahawa berkembanganya suati agama sangat bergantung pada kondisi politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk melancarkan manuver politik keagamaan, besar kemungkinan agama itu dapat berkembang, begitu pula sebaliknya. 26 Dengan demikian, yang di maksud dengan politik Islam
24
Yusuf Al- Qorodwiy, As Siyâsah Ash- Shar’iyyyah, terjemahan Kathur suhardi, Pedoman Bernegara dalam persfektif Islam (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1999), 34-35. 25
Oleh karena itu Abul A’la Al-Maududi menyatakan bahwa Islam merupakan tatanan yang sempurna, keseluruhan yang bulat, yang berdasarkan diri pada himpunan postulat jelas yang pasti. 26 Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk
105
adalah politik yang didasarkan atas syari’at yang berasal dari al- Quran dan AsSunnah. Istilah yang didasarkan diatas, mengandung pengertian interpretasi nasnaṣ̣ al-Qur’ân dan As-sunnah tentang prinsip-prinsip politik dalam Islam. Di dalamnya di yakini milik prinsip-prinsip itu, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Islam pertama-tama tampil sebagai agama yang tercermin dalam ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan yang baik, kemudian membentuk wilayah (negara) sebagai alat untuk memberikan perlindungan terhadap umat dan meningkatkan kehidupan yang baik, dan akhirnya menjadi budaya yang memadukan peradaban luhur yang telah dihasilkan manusia selama ribuan tahun dan melenyapkan peradaban lain yang tidak sejalan dengan kerangka tujuan budaya islam. Oleh karena itu, islam telah meletakkan sistem kekuasaan yang bukan sistem aristokrasi maupun teokrasi 27 , sehingga prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam harus menjadi landasan utama dalam politik Islam. Kekuasaan yang dicari dalam Islam, bukanlah untuk kekuasaa itu sendiri, bukan pula perluasan kekuasaan pribadi atau kolektif. Islam menempatkan kekuasaan dalam kerangka morala yang aktif. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana untuk mengabdi kepada SWT. Kekuasaan adalah alat untuk mencari kehidupan abadi yang bahagia dan merupakan sumber rahmat dan keadailan bagi ummat manusia. Dengan demikian, politik Islam bermakana pengaturan, pengurusan, dan pemeliharaan berbagai urusan masyarakat dengan tatanan yang sesuai dengan Islam. Tidak dapat dipungkiri bagi kaum muslimin dewasa ini bahwa Islam merupakan jalan hidup yang meliputi aspek-aspek fisik, politik, dan spiritual. pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), 3. 27
Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad Tohir, Islam Dari Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987), 59.
106
Sha’riah atau jalan hidup Islam meliputi perundang-undangan hukum, politik, upacara keagamaan serta moral. Hukum Islam atau fikih tidak terbatas hanya pada masalah-masalah sipil dan kriminal, melainkan juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional, Islam tidak memisahkan agama dari politik. 28 Menurut A. Ezzati 29 sama halnya dengan sumber-sumber hukum sipil dan hukum pribadi, ada empat sumber politik Islam, yakni sebagai berikut : a. Al-Qur’ân sebagai kumpulan wahyu Illahi yang bertalian secara langsung maupun tidak langsung dengan sasaran politik dan konstitusi, yakni yang menyatakan dengan jelas bahwa kedaulatan atau otoritas adalah tetap pada semata. Oleh karena itu, Al-Qur’ân secara tegas mengutuk kekacauan dan anarki. b. Sunnah; Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan
mendirikan negara
muslim pertama yang dijelaskan dengan perkataan, perbuatan serta persetujuan
politik,
prinsip-prinsip
konstitusi
serta
perundang-
undangannya. Nabi SAW, menekankan perlunya tatanan, organisasi, dan otoritas dalam masyarakatmuslim. c. Ijma’
atau
konsensus
masyarakat
Muslim
dan
fuqaha
telah
direkomendasikan sebagai salah satu hukum utama oleh Al-Qur’ân dan As-Sunnah. Rasulullah SAW. bersabda, “Umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesalahan, karena itu Ijma’ juga dibutuhkan untuk pemerintahan Islam”. d. Qiyas (analogi), menurut mazhab Sunni dan ‘aql (akal manusia) menurut Syi’ah juga diterima sebagai salah satu dari empat sumber utama hukum Islam (Fiqh) yang umumnya meliputi politik dan hukum konstitusi. 28
Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren, No. 2, 1988, P3M, Jakarta, 3. 29 A. Ezzati, The Revolutionary Islam, Terjemahan agung Sulistiadi, Gerakan Islam, Sebuah Analisis (Jakarta :Pustaka Hidayah), Hal. 3
107
Selain itu, ada beberapa sumber tambahan untuk politik dan spekulasi konstitusi, yakni: 1. Praktik yang dicurahkan para khalifah dan penguasa Muslim; 2. Karya-karya tentang politik dan konstitusi yang dapat dijadikan sebagai teladan; 3. Pemakaian, praktik dan adat istiadat yang dilakukan masyarakat Muslim; 4. Karya-karya tentang politik, konstitusi, ilmu pengetahuan sosial, dan berbagai disiplin lain yang relevan; 5. Karya- karya tentang bidang administratif, fiskal, militer dan subjeksubjek yang tergabung; 6. Karya-karya tentang hukum internasional yang umum; 7. Leteratur mengenai politik dan topik-topik yang relevan; 8. Karya-karya tentang hukum Islam pada umumnya; 9. Karya-karya tentang Ilmu agama Islam, terutama karya-karya mengenai nilai-nilai teopolitik; 10. Karya-karya mengenai sejarah Islam dan filsafat. Prinsip yang paling mendasar dan terpenting yang harus ditegakkan dalam dasar-dasar politik islam adalah berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, yakni ajaran Tauhid, monoteisme dalam pengertiannya yang paling tegas, tauhid bukan sekedar suatu prinsip teologi, tetapi juga merupakan landasan utama dalam epistimologi Islam dan prinsip yang mendasar dari metodologi Islam serta semua studi mengenai Islam. Sesuai dengan prinsip otoritas ini, kedaulatan, keputusan, dan kekuasaan serta hak memberi perintah adalah semata-mata milik SWT. Alquran menyatakan semua itu sebagai postulat dasar. Seseorang yang memiliki keyakinan seperti ini sampai ke lubuk hati dan jiwanya, dan tidak sekedar pengakuan di lisan, maka seseorang tersebut telah menemukan kebenaran dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, prinsip
108
ini harus menjadi dasar dalam konstitusi Islam dalam sebuah pemerintahan negara. Prinsip dasar tauhid dalam politik memberikan pembenaran atas segala usaha untuk mendirikan suatu tatanan Illahi, suatu pemerintahan dan sistem politik yang adil serta tidak mengenal imperialisme, kediktatoran, kolonialisme, keajaiban, penindasan, tirani, politik kekuasaan serta segala bentuk model dan jenis peraturan yang bertentangan dengan ajaran tauhid jadi masyarakat muslim muwâhid yang baik dengan sistem sosio-politik Islam adalah masyarakat dengan sistem tauhid yang benar. Dengan demikian, pada dasarnya prinsip utama dalam politik Islam adalah iman terhadap keesaan dan kekuasaan SWT, dan ini merupakan landasan sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul, kedaulatan ada di tangan sehingga sendirilah yang merupakan pemberi hukum Tata aturan yang Rasulullah SAW. tegakkan bersama-sama para kaum mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa, tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan untuk kita menyatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. 30 Jika demikian, dapatlah kita mengatakan, bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu adalah karena hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (mâlliyah) dan segi-segi kejiwaan (rûhiyah) dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah yang mencampurkan antra urusan dunia dengan urusan akhirat yang saling menjalin yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, kedua segi itu menyusun suatu 30
Teungku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Islam dan Politik Bernegara (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002) Cet. Kedua, 5.
109
kesatuan yang harmonis. Inilah hakikat tabiat Islam yang dikuatkan dengan buktibukti sejarah dan inilah yang menjadikan akidah bagi umat Islam. Kebanyakan orientalis (ahli masalah Islam) telah menemukan hakikat-hakikat ini. Dalam pada itu, ada segelintir putra Islam yang mengakui dirinya sebagai jamaah pembaharuan, menolak hakikat ini. Mereka berpendapat, bahwa hakikat Islam hanyalah: dakwah diniyah, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Tidak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti peperangan, urusan-urusan politik. Mereka berkata: “Inna al-dîna shai-un wa alsiyâsatu shay-un âkhar agama adalah suatu hal dan politik adalah suatu hal yang lain”.
B. Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allâh SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim 31 , dan meliputi materi-materi-materi
hukum
secara
murni
serta
materi-materi
spiritual
keagamaan. 32 Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri. 33 Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Mekkah, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam
masyarakat.
Namun
kemudian,
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Muhammad Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’ân) dan sunnah Nabi Muhammad saw, sistem hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama
31
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),
cet. II , 1.
32
S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), 23. 33 Schacht, An Introduction, 1.
110
sekali dengan sistem hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun. 34 Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) sosial, hukum Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah. 35 Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benarbenar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para tokoh penegak sistem hukum Jahiliyyah.
36
Dan bahkan kemudian,
pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran Islam di masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut. Secara jelas, al-Qur’ân menolak penggunaan hukum Jahiliyyah yang dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan pemihakan terhadap kelompok tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan satu-satunya hukum yang harus dipatuhi oleh manusia karena berasal dari Allâh SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan sosial. 37 Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam secara universal kepada seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allâh SWT. W.M. Watt merinci ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada periode awal Islam tersebut ke dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan kekuasaan Tuhan (God's Goodness and Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the Return to God for Judgement), respon manusia untuk bersyukur dan menyembah 34
Muhammad Hamidullah, The Emergence of Islam, Afzal Iqbal (translator and editor) (Islamabad: Islamic Research Institut, 1993), cet. I , 64. 35 Andrew Rippin, Muslims; Their Beliefs and Practices, vol. I The Formative Period (London: Routledge, 1990), cet. I, 10. 36 Lihat Marsh G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 174 37 Ayat al-Qur’ân surat Al-Ma'idah ayat 50. Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan perintah Allâh SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah diturunkan oleh Allâh SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-49.
111
Tuhan (Man's Response gratitude and worship), respon manusia di hadapan Tuhan untuk seorang dermawan (Man Response to God –Generosity) dan risalah kenabian Muhammad saw (Muhammad's Own Vocation). 38 Inti ajaran awal Nabi Muhammad saw adalah ajaran tawhid yaitu ajaran untuk beriman kepada Allâh yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta dan Penguasa alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua perbuatannya. 39 Konsekuensi logis dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah dan bersyukur kepada Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling menyayangi antar sesama makhluk, terutama sesama manusia. 40 Sementara itu, secara singkat bisa dikatakan bahwa dasar ajaran pada periode awal tersebut adalah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat, seperti dikemukakan oleh Lapidus bahwa eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early Islam. 41 Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus dipertahankan secara absolut dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qaṭ'i dan menjadi tolok ukur pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan. 42 Prinsipprinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu, 43 prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allâh, 44 prinsip keadilan, 45 prinsip persamaan manusia di
38
W.M. Watt, Muhammad; Prophet and Statesman (reprint) (Oxford: Oxford University Press, 1969), cet. II , 23-24. 39 Marshall G.S. Hodgson, The Venture, I:163. 40 Ira M. Lapidus, 24. 41 Ira M. Lapidus, 25. 42 Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), cet. II , 29-30. 43 Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8. 44 Surat al-Hujurat/49 ayat 13. 45 Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8.
112
hadapan hukum, 46 prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, 47 prinsip kritik dan kontrol sosial, 48 prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan, 49 prinsip tolong menolong untuk kebaikan, 50 prinsip yang kuat melindungi yang lemah, 51 prinsip musyawarah dalam urusan bersama, 52 prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga, 53 dan prinsip saling memperlakukan dengan ma'ruf antara suami dan istri. 54 Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat:49 ayat 13 menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allâh SWT adalah orang yang paling bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling berkuasa, entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa manusia itu tercipta dari asal muasal yang sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian tersebar ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula bahwa antar sesama manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa, antara lain peristiwa yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa Bilal bin Rabah mengumandangkan seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin Hisyam tidak pantas karena Bilal adalah seorang "bekas" budak yang berkulit hitam. Suhayl bin Amru merespon penilaian tersebut dengan menyatakan bahwa jika perbuatan Bilal itu salah, tentu Allâh SWT akan mengubahnya dan turunlah ayat tersebut. 55
46
Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8.. Surat al-Baqarah/2 ayat 279. 48 Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3. 49 Surat al-Isra'/17 ayat 34. 50 Surat al-Ma'idah/5 ayat 2. 51 Surat al-Nisa'/4 ayat 75. . 52 Surat al-Syura/42 ayat 38. 53 Surat al-Baqarah/2 ayat 187. 54 Surat al-Nisa'/4 ayat 19. 55 Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl, Abu al-Qasim Hibatullah ibn Salamah Abu Nashr (pentahqiq) (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), 295. 47
113
Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ân, menurut pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya, harus dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum Islam telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap hukum Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan sebagai subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu sendiri. Kedua, setting sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa munculnya aturan hukum tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan perempuan merupakan pembagian yang adil. 56 Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah aturan hukum yang memiliki karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak patriarkhal. 1. Peranan Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren) Tanggung jawab lain yang mesti diemban pesantren, bahwa salah satu misi awal didirikannya untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi social masyarakat.Hal ini nampak, dimana dengan institusi pesantren, para wali, ulama dan pemuka agama Islam terdahulu berhasil 56
Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi, 52-53.
114
menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat. Idealisasi bentuk dari masyarakat yang diinginkan tersebut adalah masyarakat muslim yang inklusif, egaliter, patriotic, luwes serta memiliki gairah terhadap upaya-upaya transformatif. Misi kedua ini lebih menggambarkan peran pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, institusi pesantren dengan dua misi besar di atas setelah dalam perjalanannya banyak bersinggungan dan bersentuhan dengan berbagai kenyataan global dalam masyarakat dan dunia, maka disadari bahwa dalam perkembangannya kemudian melahirkan berbagai persoalan krusial dan dilematis. Di satu sisi dia berperan sebagai penterjemah 57 dan penyebar ajaran-ajara Islam dalam masyarakat, di sisi lain untuk mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga atau institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pegaulannya dengan masyarakat luar, atau kenyataan luar yang tidak jarang menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dan digariskan oleh pesantren. Akibatnya terjadi semacam tarik menarik dua kekuatan, memilih salah satu sisi, berarti dia harus meninggalkan keutuhan missinya, terlebih lagi jika harus meninggalkan kedua sisi tersebut secara bersamaan. Kondisi inilah yang kemudian memposisikan pesantren pada situasi dilematis, yang kemudian melahirkan sebuah kenyataan yang menggambarkan ketidak mampuannya lagi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakatnya dalam melakukan transformasi sosial, bahkan kemudian menjadikan pesantren “jauh” dari masyarakatnya. Pesantren seolah-olah telah membentuk “komunitas eksklusif”, yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya. Situasi lain yang juga memiliki andil dalam menciptakan kondisi pesantren seperti di atas, adalah adanya berbagai kebijakan formal dalam 57
Yang dimaksud dengan penterjemah bahwa pesantren dan para kiyainya memberikan penjelasan dan pemahaman atau penafsir terhadap kandungan al-Qur’ân dan Al-Hadith sebagai sumber hukum yang harus ditaati.
115
masyarakat, baik yang dibuat secara sadar maupun tidak, telah menjadikan institusi pesantren menjadi sebuah institusi yang kehilangan sikap kemandirian dan elan vital yang dimilikinya. Kondisi ini kemudian menjadikan pesantren, disamping sulit mengemban peran dan fungsi (role and place) seperti yang dikemukakan di atas, juga membuat “hidupnya” diisi dengan mental ketergantungan. Berangkat dari kondisi ideal yang dicita-citakan serta realitas yang terjadi dan dirasakan oleh institusi pesantren, maka ikhtiar yang mungkin dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pesantren sebagai institusi yang diharapkan dapat berperan dalam upaya perubahan social (agent of social change), serta institusi kelimuan yang diharapkan dapat berperan dalam transformasi keilmuan baik untuk kalangan komunitas warga pesantren, maupun untuk masyarakat pada umumnya, adalah dengan mencoba mengkaji ulang secara kritis menggugat kemapanan pesantren yang selama ini selalu dibanggakan sebagai institusi yang dinilai “paling orsinil” milik masyarakat Indonesia dengan segala macam predikat baik lainnya. Meskipun pesantren memiliki kecanggihan dan kemampuan menginstal para ulama dan cenkiawan, namun daya tahan ekonominya sangat lemah, sehingga tidak berdaya menepis godaan politik dan kekuasaan. 58 Godaan politik dan kekuasaan inilah yang memberikan iming-iming agar pesantren ditinggalkan. Upaya untuk membangun kembali atau mengembalikan fungsi dan peran pesantren pada misi awal yang diembannya, sebagai institusi yang diharapkan dapat menjadi agent transformasi keilmuan dalam berbagai bidang trutama dalam hulum Islam dan pencerdasan masyarakat menuju terciptanya perubahan sosial ke arah yang lebih baik, merupakan kondisi dan instrumen penting dalam upaya penguatan masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang secara sederhana 58
Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, xviii
116
dapat difahami, sebagai bentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya,
serta
memiliki
kepedulian
dan
kemampuan
untuk
memperjuangkan hak-haknya, serta menunaikan kewajibannya.59 Dalam hal ini bahwa peranan pondok pesantren sangat besar dalam transformasi hukum. Para kiyai dengan ilmunya yang diajarkan kepada santri kemudian para santri mengamalkan ilmu yang diturunkan oleh ustadnya yang selanjutnya di suri tauladan atau ditiru oleh masyarakat, maka dari masyarkat itulah masuk ke dalam Negara atau yang kemudian menjadi hukum positip. Begitu pula halnya dngan pendidikan perguruan tinggi Islam 2. Peranan Perguruan Tinggi Di sinilah kemudian peranan sivitas akademik dalam membantu pemerintah menyiapkan blue print pengembangan Ilmu hukum yang lebih luas menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan nilai-nilai Islam yang tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek kehidupan, maka potensi ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan makin terbuka. Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (maṣlaḥat) yang terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. 60 Perkembangan dan kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauh mana sumber daya manusia menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan kepatuhan terhadap hukum
untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa. Suatu lembaga yang relevan dan bertanggung jawab untuk 59
Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, 175. 60 Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Umum Ekonomi Islam dan Pendidikan Islam Tahun Akademik 2008/2009 Magister Studi Islam (MSI) UII, Sabtu, 13 September 2008.
117
menghasilkan sumber daya manusia unggul dan berkualitas yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi adalah perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai centre of excellence hendaknya mampu mencetak sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan persaingan mutu atau kualitas. Tingkat kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan dan perkembangan perguruan tingginya. Perguruan tinggi agama Islam memiliki tantangan tidak ringan yang seharusnya sudah dikuasai, tetapi sampai sekarang belum dilakukan dan dikuasai. Tantangan itu adalah pengembangan sumber daya insani, sains, dan teknologi. Apalagi sedikit sekali produk-produk atau ilmu-ilmu sains dan teknologi yang cukup signifikan yang dikuasai oleh orang-orang dari perguruan tinggi agama Islam. Tantangan yang dihadapi perguruan tinggi berkaitan dengan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai transformer dalam bidang hukum. Suatu masyarakat moderen tidak akan terpikirkan tanpa adanya universitas. A modern society is unthinkable without the university. 61 Kalimat ini kutipan Jaroslave Pelikan, presiden American Academy of Arts and Siences. Bagi setiap bangsa yang ingin maju, mau moderen dan berkembang, harus memiliki perguruan tinggi yang bukan saja melestarikan tetapi yang lebih penting mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Lembaga pendidikan tinggi diharapkan meneliti, menggodok dan memasyarakatkan nilai. Meto dan ide baru serta memantau dn memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. 62 Besarnya peran dan pentingnya fungsi perguruan tinggi tidak menutupi kenyataan bahwa lembaga ini tidak terlepas sasaran kritik dan tumpuan kecaman. Ada tiga fungsi perguruan tinggi yang disebut tridarma atau tiga pengabdian 61
Kutipan Jaroslave Pelikan, The Idea of University: A Reexamination (New Haven: Yale University Press, 1992), 13. 62 Edward Shills, Modernizarion and Higher Education, dalam Myrom Weiner (ed) Modernization: The Dynamics of Growth (New York Basic Books, 1966), 87-88.
118
perguruan tinggi yang ketiganya saling terpadu, yaitu darma pendidikan dan pengajaran (teaching and learning), darma penelitian, dan darma pengabdian. Perbedaan fungsi dan darma, adalah fungsi berkaitan dengan tugas dan darma berkaitan dengan peran. Darma pertama perguruan tinggi adalah pendidikan dan pengajaran (teaching and learning). Darma ini menjadi pondasi dalam pelaksanaan perguruan tinggi karena lebih banyak diarahkan untuk pengembangan sumber daya insani. Indikator berkualitasnya pendidikan dan pengajaran salah satu normanya adalah berkaitan dengan satuan kredit semester (SKS). SKS itu bobot yang diberikan kepada tiap mata kuliah yang menunjukkan berapa banyak pertemuan itu dilaksanakan, berapa banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik maupun dosen, berapa banyak pula upaya-upaya yang dilakukan oleh peserta didik dan dosen dalam meningkatkan diri melalui kegiatan mandiri belajar bebas. Misalnya, satu mata kuliah bobotnya 3 SKS dengan satuan waktu 50 menit. Artinya bagi peserta didik harus mengikuti kuliah 3 kali 50 menit kali 14 kali pertemuan (12 kali perkuliahan, 1 kali Ujian Tengah Semester (UTS) dan 1 kali Ujian Akhir Semester (UAS) dalam satu semester. Ditambah 3 kali 50 menit mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Ditambah lagi 3 kali 50 menit mengerjakan tugas atau belajar mandiri. Jika peserta didik melaksanakan SKS itu dengan baik, maka akan dihasilkan peserta didik dengan hasil belajar yang berkualitas. Namun, keberhasilan itu akan dicapai jika dosen pun melakukan tugasnya dengan baik. Dosen harus datang ke kelas 3 kali 50 menit kali 14 kali pertemuan untuk berinteraksi dengan peserta didik. Dosen pun perlu persiapanpersiapan yang matang untuk memberikan pengajarannya. Kemudian dosen pun harus memeriksa semua tugas peserta didik dan mengembalikannya kepada peserta didik, sehingga diketahui benar atau salahnya pekerjaan yang dilakukan peserta didik tersebut. Selain itu, dosen pun dituntut untuk selalu membaca
119
sekurang-kurangnya 3 kali 50 menit. Dengan demikian bahan-bahan kuliah yang akan diajarkan kepada peserta didik akan selalu up date. 63 Darma kedua perguruan tinggi yaitu penelitian yang muatannya lebih banyak berkaitan dengan pengembangan sains dan teknologi. Penelitian ini yang dianggap sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan dan penelitian yang dilakukan dosen dan peserta didik diarahkan untuk mengembangkan kemampuan kerja sama, cara berpikir dan berkarya secara aktif dan kreatif, sustainable agar memiliki kontribusi dalam perubahan yang terjadi di masyarakat ke arah yang lebih baik dengan dilandasi nilai-nilai keimanan. Darma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh civitas akademika seperti dosen dan peserta didik dalam pengembangan masyarakat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik (agent of change), baik untuk jangka pendek, menengah, atau jangka panjang berdasarkan dari ilmu yang diperoleh dari pendidikan dan pengajaran serta hasilhasil penelitian. Untuk itu maka diterapkan suatu prinsip yang dikenal dengan community development, atau rekayasa sosial yang dapat memberdayakan masyarakat 64 agar mampu berdiri sendiri yang difasilitasi oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus benar-benar menunjukkan perannya secara aktif dengan melakukan kegiatan membina masyarakat supaya baik. Untuk perguruan tinggi yang berkecimpung di bidang agama adalah membina masyarakat berkaitan dengan agama Islam. Inilah yang disebut dengan dakwah. Bisa pula melakukan pembinaan
berkaitan
dengan
bidang
lainnya
seperti
melaksanakan
entrepreneurship atau kewirausahaan, agar masyarakat bisa hidup mandiri. 63
Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 15. 64 Pemberdayaan dalam tahap emansipatif yaitu dari orang Islam, oleh orang Islam, untuk orang Islamdan didukung oleh masyarakat global. Bukan hanya pada tahap initial, dari masyarakat global, oleh masyarakat global, untu umat Islam, Lihat Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi (Sumatera Utara: IAIN Sumaetra Utara dan Tiara Wacana Yogya, 1998), Cet-1, x.
120
Ketiga fungsi dan peran perguruan tinggi itu saling berkaitan. Jika satu fungsi atau peran pincang, apalagi ketiga-tiganya, maka sulit dikatakan perguruan tinggi itu berkualitas. Fungsi dan peran perguruan tinggi ini dikaitkan dengan keberadaan pendidikan yang lebih besar lagi. Semua orang yang terlibat dalam penyelenggaraan perguruan tinggi mulai pimpinan, dosen sampai staf administrasi, di dalam benaknya diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Fungsi dan peran perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan harus dapat memberikan jaminan bahwa layanan yang bermutu kepada peserta didiknya. 65 Perguruan tinggi atau dosen dalam memberikan layanannya agar tetap bermutu memerlukan audit terhadap kinerja yang dilakukannya, termasuk penilaian ynag dilakukan oleh peserta didik terhadap kualitas dosennya dalam menyampaikan
pengajaran.
Penilaian
ini
diperlukan
untuk
mengetahui
kekurangan atau kelemahan dalam memberikan bahan kuliah untuk dijadikan bahan memperbaiki dan mengembangkan kemampuan yang lebih baik dengan bahan kuliah yang selalu up date. Penilaian dari peserta didik ini biasanya objektif karena mereka mengalami langsung pembelajaran dari dosennya, apakah memuaskan atau tidak memuaskan. Dilihat dari konteksnya, fungsi dan peran perguruan tinggi berlaku dalam tataran yang bersifat umum atau universal yang berlaku di mana pun. Siapa saja baik perorangan, masyarakat, maupun negara dalam menyelenggarakan perguruan tinggi harus menyadari fungsi perguruan tinggi itu. Yang paling mendasar pada prinsipnya bahwa perguruan tinggi sebagai penyambung transformer hukum yang selam ini terjadi stagnasi.
65
Layanan bermutu adalah layanan yang memberikan kepuasan kepada pemangku kepentingan (stake holder). Kepuasan itu tidak hanya dirasakan oleh peserta didik saja, melainkan juga orang tua atau masyarakat yang merasakan peserta didik sebagai sumber daya yang berkualitas. Lihat Departemen Agama.. Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009), 56
121
3. Peranan Majelis Ulama Terhadap Tranformasi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia, MUI berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain: meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada waktu itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormasormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: 66
66
"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal 2 Februari
2010)
122
1) memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allâh Subhanahu wa Ta’ala; 2) memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; 3) menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; 4) meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam. Majelis ulama Indonesia mempunyai lima fungsi utama, 67 yaitu : a) Sebagai Pewaris Tugas-Tugas Para Nabi (Waratsatu al-Anbiyâ) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Sebagai waratsatu al-anbiyâ (ahli waris tugas-tugas para nabi), Majelis Ulama Indonesia menjalankan fungsi kenabian (an-nubuwwah) yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia. b) Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis 67
"http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 Maret
1010)
123
Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya. Dalam bidang ekonomi Syariah MUI telah mengeluarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang khusus menangi perekonomian secara Islam sebanyak 75 fatwa sampat pada tahun 2010. c) Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ra'iy wa Khadim al Ummah) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim alummah), yaitu melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah. d) Sebagai Penegak Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar makruf nahyi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi pejuang dakwah (mujahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu ummah) e) Sebagai Pelopor Gerakan Pembaharuan (al-Tajdîd) Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor tajdid yaitu gerakan pembaruan pemikiran Islam. Disamping itu juga sebagai pelopor gerakam ishlah menjadi juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama
124
Indonesia dapat menempuh jalan al-jam'u wa al-tawfîq (kompromi dan persesuaian) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan umat Islam Indonesia. Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan 68 lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap MUI ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai Raḥmatan li al-‘Alamîn (Rahmat bagi Seluruh Alam) 69 Peranan MUI dalam transformasi hukum Islam menjadi hukum positif sangatlah besar, tidak hanya hukum yang berkaitan hukum keluarga tetapi juga
68
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ Majelis_Ulama_Indonesia (Diakses pada tanggal, 25 April 2010) 69 http://www.mui.or.id/index.php?option=com.content&view=article&id=49&Itemid=53 (Diakses pada tanggal, 25 Mare 2010)
125
yang berhubungan dengan hukum bisnis. Banyaknya fatwa-fatwa MUI yang digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan ekonomi atau perbankan. Dalam hal ini menunjukkan bahwa fatwa-fatwa MUI telah menjadi hukum positif yang mempunyai keuatan hukum yang pasti. 4. Peran Ormas-Ormas Islam Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air, misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa yang telah penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
126
Baru-baru ini, hukum Islam hanya bicara soal hukum yang berkaitan keluarga, kini telah merambah pada tataran hukum bisnis atau ekonomi. Hal ini terjadi disebabkan oleh banyaknya peran ulama dalam pengembangan ekonmi yang dikenal dengan ekonomi syariah. Sebelumnya peran ulama masih berkisar pada sebagai pemuka agama yang berorientasi pada masalah-masalah ibadah semata. Seiring dengan berjalannya waktu peran ulama bergeser pada tataran penting dalam dunia politik, social, budaya bahkan ekonomi. Jelas bahwa peranan dan kontribusi ormas-ormas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembnetukan dan transformasi hukum Islam menjadi hukum positif. 5. Peran Masyarakat Islam dalam Transformasi Hukum Islam Hampir di seluruh kampus, sekolah-sekolah umum di kota-kota besar di Indonesia, terdapat maraknya kajian dan dakwah mengenai Islam dalam satu decade terakhir ini, Di masjid, mushalla, surau, rumah bahkan kadang-kadang lapangan digunakan untuk dakwah menyebarkan syiar Islam. Hal tersebut patut menggembirakan dengan adanya semangat umat Islam dan kesadarannya tumbuh sedemikian besar. Tidaklah mengherankan ketika mendengar alunan suara merdu yang membaca al-Qur’ân. Ini bisa disebut sebagai kebangkitan umat islam dari tidurnya. Kesadaran Islam tidak hanya terbatas di kalangan orang-orang yang sudah lanjut usia, sebagaimana yang biasa kelihatan pada dekade-dekade yang lalu. Pada zaman sekarang, kaum profesional berdasi tidak sungkan mendiskusikan masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di kantornya masing-masing. 70 Jika kita ingat-ingat bahwa dulu, mungkin ada kesan bahwa rajin ke masjid itu kalau kepala sudah beruban. Barangkali juga, dahulu, sangat sulit 70
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 108.
127
menemukan orang berpendidikan umum rajin datang ke masjid atau menghadiri pengajian.. Akan tetapi, itu bukan pemandangan aneh pada zaman ini. Masjidmasjid kampus penuh sesak dengan mahasiswa teknik, kedokteran, MIPA, ekonomi, dan sebagainya. Mereka sangat bergairah mendiskusikan masalahmasalah dakwah dan pengamalan ajaran Islam. Dulu, sealim-alim mahasiswa di kampus umum, paling ia hanya aktif di organisasi kemahasiswaan Islam, yang jika disorot dari segi pengamalan Islam dan konsistensi pada ajarannya, tidak terlalu menonjol, apalagi jika ditinjau dari segi akhlak Islamiyah. Mereka biasa mengadakan training dan diskusi Islam, tetapi duduk bersebelahan, bahkan bersenderan antara laki-laki dan perempuan. Ketika mau pulang, mahasiswinya diantar dan dibonceng oleh teman laki-lakinya. Alasannya untuk lebih menjamin "keamanan" si wanita. Mereka juga menganggap berpacaran itu suatu hal yang biasa dan terlalu alim (fanatis) jika ada di antara mereka yang tidak berpacaran. 71 Akan tetapi, dalam lima belas tahun terakhir ini, ada fenomena lain yang berubah jauh dibanding fakta-fakta tersebut, terutama berkaitan dengan tingkat pemahaman keagamaan. Trend baru itu, yang kebanyakan justru tumbuh subur di kampus-kampus umum, adalah kekentalan dalam mengamalkan Islam. Jika kita menemukan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau menantang bola mata lawan bicaranya. Jika diukur dengan pola beragama aktivis dekade sebelumnya, fenomena ini bisa saja mereka sebut sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Akan tetapi, dalam pandangan aktivis baru itu, hal-hal tersebut merupakan sikap yang memang seharusnya ditampilkan oleh setiap Muslim. Alasan mereka begitulah
71
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syaria’t Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 109.
128
generasi awal Islam dahulu memegang Islam dengan sepenuhnya tidak separoseparo. Bila terjadi pernikahan di antara sesama aktivis di antara mereka, pesta nya bisa dianggap sebagai sesuatu yang asing oleh orang awam. Pasalnya mereka tidak mau mencampurkan antara undangan pria dan wanita. Sang pengantin juga tidak mau disandingkan di depan orang seperti pajangan Jadi, intinya mereka memang ingin menjalankan dengan sungguh-sunggul apa yang mereka baca dan ketahui tentang Islam dari pendahulu-pendahuh umat ini (sahabat Nabi, tabi'in, dan generasi-generasi sesudah mereka). Selain itu, di kalangan masyarakat Muslim, semangat Islam itu jelas terlihat Sebagai contoh, jumlah jama'ah haji terus meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula orang-orang yang pergi umrah. Bahkan, banyak di antan mereka yang melangsungkan Akad Nikah di Masjid. Di ibukota Jakarta, hal seperti ini sudah menjadi fenomena baru, termasuk orang-orang berdasi yang banyak memenuhi masjid. Ini merupakan peluang yang sangat strategis bagi umat Islam bahwa kemauan politik (political will) dari pemerintah, untuk menjadikan syariat Islam menjadi hukum nasional menjadi nyata dan perubahan dengan mudah dapat dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim seperti ini pernah kita rasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Kekuasaan terpusat di tangan orang yang bergelar presiden. Suara-suara rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden dianggap sebagai penentang yang akan menggulingkan kekuasaan yang "sah" (subversi). Pada masa
Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan
nuansa negatif. Isu "Piagam Jakarta" digambarkan sebagai momok yang
129
menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali "Piagam Jakarta" dianggap sebagai orang-orang berbahaya atau lebih populer dengan sebutan "ekstrim kanan". Akhirnya, betapa rakyat Indonesia yang Muslim ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan buntu. Sungguhpun demikian, agaknya umat Islam masih belum berputus asa atau berhenti memperjuangkan berlakunya syari’at Islam menjadi hukum positif. 72 Dengan runtuhnya rezim Orde Baru, tuntutan menerapkan kembali "Piagam Jakarta" dan syariat Islam mengemuka, 73 terlebih ketika otonomi khusus diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Untuk itu, yang dibutuhkan sekarang dalam konteks perjuangan penerapan syariat di Aceh adalah sebagai berikut. a. Sosialisasi syariat sebagai sistem hukum yang ideal. Masyarakat harus sadar betul bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan syariat. b. Meningkatkan wawasan masyarakat Aceh tentang syariat. Dalam hal ini, seharusnya syariat dipandang sebagai sistem hukum yang utuh. Syariat hendaknya tidak dikesankan hanya sebatas jilbab, libur hari Jumat, berdirinya bank syariat, pakaian laki-lakinya jubah dan peci haji. c. Mempersiapkan perangkat perundang-undangan syariat dalam berbagai cabang hukum, seperti pidana, perdata, dagang, acara, perburuhan, pembagian hasil alam yang dimiliki daerah, dan lain-lain. Lebih dari itu, sesungguhnya, penerapan syariat tidak terbatas hanya di wilayah Aceh saja. Opsi tersebut sejatinya di seluruh wilayah nusantara yang dikuasai Islam. Pasalnya, jika kembali kepada prinsip akidah Islam, setiap Muslim mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan Hukum Allâh di muka
72
Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ke3 (Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007), xii 73 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, xiii
130
bumi dan kondisi masyarakat di wilayah-wilayah Nusantara tidak jauh berbeda dengan Aceh. Masyarakat Sumatera adalah masyarakat Melayu yang dalam pergaulan sehari-hari identik dengan Islam. Orang non-Muslim yang masuk Islam disebut "masuk Melayu". Adat istiadat Melayu hampir identik dengan ajaran Islam. Apalagi dengan masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat kental dengan ajaran Islam. Di Minang, ada sebuah pepatah yang sangat terkenal: "Adat basandi syara, Syara basandi Kitabullah". Pepatah Minang ini menggambarkan, betapa melekatnya syariat Islam dengan adat Minangkabau. Dengan adanya peraturan tentang otonomi daerah yang disahkan oleh DPR pada tahun 1999 lalu, daerah-daerah di Indonesia berpeluang untuk melaksanakan peraturan atau norma yang menjadi tuntutan masyarakat setempat. Bila aturan itu disetujui oleh DPRD setempat, aturan itu sudah mempunyai kekuatan hukum. Sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan Islam, masyarakat di Sumatera sudah tentu menginginkan bahwa hukum yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum syariat yang bersumber dari agama mereka. Mereka merasakan bahwa syariat merupakan hukum yang paling adil dalam memandang manusia. Hal itu tentu beralasan karena syariat adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allâh Swt., Sang Pencipta manusia. Sudah tentu, hukum yang berasal dari Allâh adalah hukum yang paling adil. Hal itu berbeda dengan hukum yang dibuat manusia, yang pasti mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan, dan keberpihakan kepada kelompok tertentu. Perjalanan panjang bangsa ini dengan produk hukum penjajah dengan segala ekses yang ditimbulkannya-seperti kezaliman, hilangnya rasa kema-nusiaan, mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin memperkuat kerinduan kita, masyarakat Melayu, agar hukum syariat dapat diterapkan di daerah-daerah Melayu.
131
C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia Pada hakikatnya bahwa Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia, waktu penjajah Belanda datang ke Indonesia (Hindia Belanda), mereka menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia Belanda sudah ada hukum yang berlaku, yaitu hukum agama yang dianut oleh penduduk Hindia Belanda seperti Islam, Hindu, Budha, dan Nasrani, disamping hukum adat Indonesia (adatrecht), juga berlakunya hukum Islam yang sebagian besar penduduk Hindia Belanda, berkaitan dengan munculnya kerajaan Islam setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1518M. Menurut Christian Snouck Hurgronje sendiri bahwa pada abad ke-16 di Hindia Belanda sudah muncul kerajaan Islam seperti Mataram, Banten dan Cirebon yang berangsur-angsur mengislamkan semua penduduknya. 74 Kendatipun pada mulanya kedatangan Belanda yang beragam Kristen Protestan ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah hukum agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi (Inlander) sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan Hukum agama bagi masingmasing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori receptio in complexu, teori receptie (resepsi), teori receptie exit dan teori receptio a contrario, dan teori eksistensi. Dua teori yang pertama muncul pada masa sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka. 1. Politik Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan
74
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 143
132
kedelapan masehi. 75 Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. 76 Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. 77 Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia 75
Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mei 2005), 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Li Bahtiar Effendy, Islam dan Negara;Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, Oktober 1998, 21. 76 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 61. 77 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 61-62.
133
Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu, disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. 78 Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: 1) Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. 2) Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. 3) Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari alMuharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan disbanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. 79 Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda 78
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 63-64. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia, 64-66.
79
134
kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dâr al-Islâm dan dâr al-harb. Menurut Masykuri Abdillah ajaran-ajaran agama Islam sebagian besar telah dipraktekkan dalam kehidupan pribadi, sosial dan politik sejak peride nadi sampai kedatangan koonialisme Barat. Hukum Islam menjadi hukum positif dalam kekhalifahan kesultanan dan kerajaan Islam, 80 seperti kerajaan Mataram dengan istilah natagama. Datangnya kolonialisme Barat ke negara-negara Muslim mengakibatkan
berkurang
eksistensi
hukum
Islam
di
kalangan
para
pemeluknya. 81 Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya melalui: 1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi; dan 2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. 82 Politik perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, penasihat pemerintah Belanda yang juga ahli hukum Islam, Prof Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya, hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam
80
Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Jauhar Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, 51 81 Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasiona, 51 82 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 67-68.
135
dan menarik rakyat pribumi agar lebih dekat dengan tradisi dan budaya pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. 83 Kebijakan tersebut akhirnya dirinci oleh Snouck Hurgronje menjadi teori Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling (IS) di mana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat. Artinya tidak ada hukum Islam kecuali yang diterima sebagai hukum adat. Dengan kebijakan tersebut, arah hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia pribumi pada saat itu bergerak menuju hukum adat dan menggeser peran hukum Islam. Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai mengembangkan hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi oleh sebuah komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand ter Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai ditanggalkan dan diserahkan ke Landraad. Setelah kebijakan Snouck Hurgronje ini, arah kebijakan hukum pemerintah kolonial yang diberlakukan bagi golongan pribumi mengutamakan hukum adat. Sehingga muncullah selanjutnya kajian-kajian hukum adat ini oleh para ahli hukum Belanda seperti Cornellis van Vollenhoven (1874-1933) dengan karyanya Het adatrech van Nederlandsch-Indie (Kitab Hukum Adat Hindia Belanda) yang berisi tradisi adat dari 19 wilayah yang berbeda dan tradisi adat dari kaum pendatang seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai teori yang pada intinya menentang teori Snouck Hurgronje yang mengesampingkan hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diakui yang dikemukakan oleh para ahli hukum Indonesia seperti antara lain Prof. Hazairin (1905-1975) dan Sayuti Thalib yang pada initinya mengemukakan bahwa berdasarkan kenyataan kebutuhan dan 83
MS. Kaban, Mengawal Syari’ah (Jakarta: Pustaka ar-Rayhan, 2007), Cet. Kedua, 18-23.
136
konsumsi hukum masyarakat Indonesia yang kebanyakan Islam adalah bahwa toeri Receptie yang mendahulukan adat adalah terbalik/bertentangan (Contratio) dengan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut: 1) Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. 84 2) Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. 85 3) Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasuskasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). 86 4) Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. 87 Lemahnya posisi hukum Islam ini 84
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 68-70. 86 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,70. 87 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 72. 85
137
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942. 2. Politik Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda. 88 Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: a) Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa. b) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri. c) Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. d) Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943. 89 e) Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, 88
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76. Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 93, catatan kaki no. 105. 89
138
Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. 90 Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. 91 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat
90
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, 76-79.
91
Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, 34, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 83.
139
menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”. 92 Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. 93 Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh 92
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, jilid I dan II (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, (jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959), 35. 93 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.
140
Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. 94 Perjuangan formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam justru memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat berlaku tidak hanya pada umat Islam, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun menjadi kandas, karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih kecil dari suara yang menolaknya, wlaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas di Indonesia. 3. Politik Hukum Islam di Era Orde Lama Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam. 95 Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950 Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik 94
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 92-93 Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun, 325, sebagaimana dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 91. 95
141
Indonesia–yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB. 96 Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. 97 “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. 98 Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat 96
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 103. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 110-111. 98 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 112. 97
142
mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. 99 Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undangundang yang bersifat tetap. 100 Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”. 101 Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat.
99
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 113. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 115. 101 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 131-133. 100
143
Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis politis”nya. 102 Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno 103 - bersama dengan PKI dan PNI 104 kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yangberjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. 105
102
Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 96-97. 103 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, 110. 104 Masing-masing diwakili oleh Idham Cholid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan K. Suwirjo (PNI). 105 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 140-141.
144
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. 4. Politik Hukum Islam di Era Orde Baru Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. 106 Lalu bagaimana dengan hukum Islam? Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan
106
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, 111-112.
145
sendirinya menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. 107 Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. 108 Hal ini kemudian disusul dengan
usaha-usaha
intensif
untuk
mengompilasikan
hukum Islam di
bidangbidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988,
Soeharto
sebagai
presiden
menerima
hasil
kompilasi
itu,
dan
menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. 109 Munculnya Orde Baru, mengandung harapan bagi para pemimpin politik Islam tentang kemungkinan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, terutama harapan untuk tampilnya kembali partai politik Islam Masyumi, yang oleh penguasa lama dibubarkan. Sayangnya, harapan itu tak pernah menjadi kenyataan, karena partai Masyumi tidak direhabilitasi. 110 Bakha, kecendrungan Orde Baru dalam kebijakan-kebijakan politisnya lebih merugikan umat Islam. Misalnya pada periode 1970-1973, ada ketegangan antara kelompok-kelompok politik yang berorientasi agama Islam dan penguasa berkaitan dengan rencana fungsi partai-partai politik Islam. Penyederhanaan itu ditempuh dengan pengelompokan partai menjadi tiga golongan utama yaitu: golongan karya, partaipartai yang berdasarkan nasionalisme dan partai-partai yang berdasarkan agama. Akhirnya, pada tanggal 1973, IPKI, partai katolik, parkindo, murba, dan PNI berfungsi menjadi demokrasi Indonesia (PDI), dan partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti tergabung dalam partai persatuan pembangunan (PPP). 111
Tidak
dicantumkannya kata Islam dalam partai yang baru dibentuk (PPP) dan menggantinya dengan kata pembangunan tentu mengurangi identitas politik 107
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 149-150, dan 153. Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 163-164. 109 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, 156-157. 110 Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, tetapi dengan control cukup ketat oleh pemerintah, bahkah unsure pimpinan Masyumi tidak dilibatkan, lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, Pustaka Antara, 108 111 UU No. 3 Tahun 1975 108
146
Islam, kecurigaan umat Islam semakin kuat ketika kebijakan Orde Baru sebenarnya sedang menyingkirkan Islam dari gelanggang politik dengan lahirnya RUU Perkawinan Tahun 1974 perubahan lambang PPP dari Kabah menjadi bintang, peristiwa tanjung priok, asas tunggal pancasila, isu komando jihad, UU Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama. Trend yang berkembang pada masa Orde Baru dalam kehidupan politik adalah peranan militer dalam kehidupan politik yang sangat kuat dan dominan. Civic mision telah semakin sempurna menjadi dwi fungsi. Kaum militer telah menunjukkan peran pentingnya dalam usaha konsolidasi. Dalam masalah ini, hubungan militer dengan Islam sebagai bagian dari kekuatan sipil sangat ditentukan oleh pandangan keduannya. Pada masa ini pula, trend yang berkembang kuat adalah penerimaan pancasila dengan satu-satunya asas. 112 Menurut Mohammad Natsir, 113 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan pelaksanaan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik Indonesia yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan berlakunya syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen dengan dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan partai-partai Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti Golkar telah terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam, misalnya tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji. Perkembangan politik Islam pada sepuluh tahun pertama masa orde baru tidaklah menguntungkan. Hubungan antara negara dan Islam penuh ketegangan. Apapun yang datangnya dari Islam selalu ditanggapi pemerintah dengan 112
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Cet. Pertama, 126 113 Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, xiv
147
pendiskreditan.
Sebagai
akibatnya
pihak
Islam
bermunculan
kelompok
fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Kesan bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, dan bahkan anti pancasila telah menyebabkan umat Islam terkena proses marginalisasi dalam modernisasi dan pembangunan nasional. Munculnya gerakan pemikiran baru Islam dikalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970 an merupakan salah satu bentuk penyikapan agar eksistensi umat Islam diperhitungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 114 . Gagasan pemikiran baru Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika Nurcholis Maddjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Inti yang dikemukakan oleh Nurcholish berkenaan dengan kondisi umat Islam yang kurang dikesani menguntungkan. Oleh karena itu, umat Islam yang kurang dikesani pilihan antara keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap tradisionalistik. Keduanya memiliki konsekuensi tertentu. Pilihan pertama tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan kedua berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam. 5. Politik Hukum Islam di Era Reformasi Tumbangnya Soeharto menandai kemunculan reformasi. Istilah ini menjadi sangat dikenal oleh seluruh masyarakat yang dianggap sebagai penyelamat kehidupan mereka, bahkan dianggap segala-galanya. Ia muncul sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin
114
Istilah Pemikiran baru adalah untuk menyederhanakan istilah pembaruan pemikiran yang secara terminologis masih belum jelas dan banyak dipersoalkan. Paling tidak, istilah itu menunjukkan adanya perbedaan gagasan dengan tokoh Islam sebelumnya, seperti M. Natsir, HM Rasyidi, Deliar Noer, dan sebagainya. Sedangkan pemikiran baru lebih bersifat empirik, tetapi tidak apologetic dalam meyikapi gagasan modernisasi pemerintah Orde Baru. Lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, 122-123
148
beratnya beban hidup masyarakat. 115 Reformasi, boleh dikatakan merupakan hasil usaha bersama antara kelompok nasionalis (abangan) dan Islam (santri) dengan tema sentral KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Setelah itu, fenomena konflik abangan-santri mulai muncul. Ada forkot, Famred, dan Promeg (Pro Megawati) sebagai simbol abangan, yang sejak pagi mengajukan sidang istimewa MPR. Ketika Habibie disahkan sebagai Presiden menggantikan Soeharto, mereka ramai-ramai menolaknya dan menganggapnya tidak konstitusional. Padahal, penyebab sebenarnya adalah karena mereka tidak suka apabila elit santri dalam ICMI mengisi kekosongan pemerintahan pasca-Soeharto. Tampaknya, sesudah masa Soeharto (Orba), Islam masih mencari jati dirinya, terutama dalam politik. Masa Soeharto memang telah menyingkirkan kalangan Islam dari perpolitikan resmi. Munculnya Orde Reformasi merupakan bagian dari proses sejarah kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Orde Reformasi ini diyakini akan lebih baik dibandingkan orde sebelumnya. 116 Apalagi sudah didengungkan bahwa orde ini berorientasi pada penciptaan Masyarakat Madani, suatu masyarakat terbuka, demokratis,
dan
transparan.
Pemerintahan
sipil
(civilian
government)
sebagaimana ditulis oleh filosof Inggris John Locke dalam buku Civilian Government pada 1690, dan dipandang sebagai orang yang pertama kali membicarakan ide ini bahwa pembentukan pemerintahan sipil adalah membangun pemikiran otoritas umat untuk merealisasikan kekayaan. Dalam hal ini dapat direalisasikan melalui demokrasi parlementer, sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja. 115
Seperti diketahui, tahun 1997 agenda utama reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan elit politik adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), penegakan hukum, pengadilan mantan Presiden Soeharto serta keluarga dan kroninya, serta penghapusan peran politik dan Polri. Lihat, Muhammad Said Didu, Mereformasi Agenda Reformasi, bagian pertama dari dua tulisan, salah artikel yang dimuat dalam Republika, tanggal 9 Mei 200, 4 116 Sebenarnya, agenda reformasi hanya dapat dilaksanakan pada suasana masyarakat yang tertib, landasan yang kuat, serta suasana negara yang mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi ancaman kebangkrutan perekonomian serta ancaman disintegrasi bangsa, yang diperlukan hanyalah agenda penyelamatan bangsa. Lihat, Muhammad Said, 143.
149
Masa Reformasi telah terjadi kebangkitan politik Islam, yang ditandai oleh beberapa gejala. Pertama, lahirnya sejumlah partai-partai Islam, yaitu partaipartai yang mendasarkan diri pada Islam sebagai idiologi politik. Kedua, lahirnya sejumlah organisasi berhaluan radikal fundamentalis yang secara lebih fokus dan tegas menginginkan ditegakkannya syari’at Islam, dengan metode jihad. Ketiga, tuntutan atau rencana sejumlah daerah propinsi, khususnya Nanggroe Aceh Darsussalam (NAD) dan kabupaten baik di Jawa maupun luar Jawa, untuk menerapkan syari’at Islam, melalui legislasi di daerah dalam rangka otonomi daerah. Perkembangan itu menunjukkan, bahwa di samping kegagalan dalam memperjuangkan formalisasi syari’at Islam di tingkat nasional, tampak telah terjadi kemajuan penerapan syari’at Islam secara inkremental, dalam dimensi institusional, sektoral maupun ragional. Dalam masa reformasi telah timbul lagi perjuangan formalisasi syari’at Islam, dengan timbulnya tuntutan dari sejumlah organisasi Islam radikal dan beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan (PK) agar ST MPR, Agustus 2002, memulihkan kembali gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk ditambah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan itu tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, ternyata menolak usul amandemen tersebut. Belum adanya kesamaan sikap di antara para tokoh Islam, terutama dalam hubungannya dengan politik, tampaknya akan terus berlangsung sejalan dengan dinamika kahidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian, paling tidak dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda 117
117
Pandangan ini berusaha untuk membandingkan atau memahami politik Islam dalam konteks politik modern, lihat Bahtiar Efendy, 12-13
150
dapat diidentifikasi. Kedua spektrum itu sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan dan keduanya mempunyai penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuainnya dengan kehidupan modern. Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan muslim, ajaran-ajaran itu harus lebih ditafsirkan kembali melampaui makna tekstualnya dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Pertama, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, yaitu Syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan sementara mengakui prinsip syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda dengan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, konteks sistem politik modern, dengan banyaknya negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya, diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. Kedua, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara (atau sistem politik) yang harus dijalankan oleh ummah. Menurut aliran pemikiran ini, istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ân yang merujuk atau seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Yang jelas, bagi mereka, al-Qur’ân bukanlah buku tentang ilmu politik. Gegap gempita demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
151
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. 118 Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud Undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. 119 Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, yang diadop berdasarkan Al-Qurân dan al-sunnah untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita. 6. Amanat Reformasi Hukum Islam Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, tidaklah berlebihan apabila dikatakan pada masa reformasi inilah wakil umat Islam mendapatkan posisi yang lebih baik dalam pentas kekuasaan. Tokoh Muhammadiyah menjadi ketua MPR. Tokoh NU menjadi Presiden. Tokoh HMI menjadi ketua DPR. Sepanjang sejarah hukum di Indonesia, baru kali ini juga seorang aktivis Islam menjadi menteri kehakiman. Padahal, dalam rezim-rezim sebelumnya, aktivis-aktivis Islam hanya berada dalam posisi pinggiran dan tidak strategis. Bahkan, sering gara-gara keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam, mereka kehilangan posisi.
118
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27 September 2000), 5 119 Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional (Jakarta: makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, 27 September 2000), 7.
152
Terlepas dari kritikan tajam yang diarahkan kepada mereka, yang pasti, peluang menduduki jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka sesudah adanya reformasi. 120 Sebenarnya, sekarang tinggal bagaimana bergantung pada para tokohtokoh umat itu mampu memanfaatkan posisi yang Allâh amanahkan kepada mereka atau tidak, terutama untuk merancang penerapan syariat. Dengan memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana hukum yang ada di berbagai wilayah, adalah sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang yang bernafaskan syariat di wilayah masing-masing. Paling tidak, pekerjaan besar ini sudah bisa dicicil dari sekarang. 7. Peluang dan Aspirasi Penerapan Syaria’t Islam Ketika Negara Republik Indonesia akan diproklamasikan dibentuklah sebuah Badan Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang-sidang BPUPKI yang akan menentukan dasar Negara itu, dimana anggota-anggotanya terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan dasar Negara tersebut. Pihak Islam yang megusulkan agar Negara ini menjadi Negara Islam dan pihak nasionalis yang mengingnkan pemsiahan urusaha kenegaraaan dengan urusan keagamaan. 121 Kedua usul ini sama kuat, namun pada akhirnya terjadilah kompromi antara kedua pihak dimana pada akhirnya empat pemimpin Islam berhasil murumuskan piagam Jakarta yang akan dijadikan Mukaddimah UUD 1945 dan telah dipersiapkan oleh BPUPKI/PPKI. Dalam piagam itu, dicantumkan lima sila yang menjadi dasar Negara, di mana sila pertamanya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya”. 122
120
Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 110. 121 Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pascakeyatuhan Soeharto (Bandung: Syamsul Cipta Media, 2006), Cet. Pertama, 109 122 Dawam Rahardjo, Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, Dalam sebuah Buku, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ditulis oleh Adiwarman Karim (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), Cet. Prtama, xiii.
153
Apa yang terjadi setelah Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 disore harinya adalah bahwa rumusan kompromis itu dihapus pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari sesudah proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri. Ia mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang mengaku sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur. 123 Kendatipun demikian, umat Islam yang committed tetap mempertahankan aspirasi mereka untuk menerapkan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada era reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk kembali menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka, termasuk aspirasi untuk memperjuangkan legislasi hukum Islam sebagai hukum nasional atau pembelakuan piagam Jakarta. 124 Aspirasi umat Islam untuk menerapkan hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari proses tranformasi sosial dan politik Ada dua kontek pendekatan, pertama, kontek pendekatan struktural yang menekankan tranformasi dalam tatanan sosial dan politik agar mempengaruhi transformasi prilaku sosial sehingga lebih Islami; kedua, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku sosial yang diharapkan dapat mempengaruhi institusi-intitusi sosial dan politik menjadi Islami. Hubungan timbal balik antar kedunya sangatlah dekat. Sebaliknya, pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, yang berupa partai-partai politik, lobi-lobi atau melakukan sosilisasi ide-ide Islami yang dapat mendorong produk pembuatan kebijakan umum. Sebaliknya, pedekatan kultural hanya mensyaratkan sosilisai dan internalisasi ajaran Islam oleh umat Islam tanpa dukungan langsung prioritas politik 125
123
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 110. 124 Masykuri Abdillah, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, 52 125 Masykuri Abdillah, 53.
154
Sejatinya yang pertamalah yang harus dilakukan, karena ajaran Islam itu sebetulmya bersifat otoriter bagi para pemeluknya. Namun umat Islam hanya memahami ajaran agama secara parsial tidak secara komprehensif. Islam tidak hanya mengenalkan diri sebagai suatu sistem spiritual atau mengenai hubungan vertikal makhluk dengan Khaliknya saja seperti ibadah mahdhah. Islam mengharuskan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan secara utuh sehingga menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat; mulai dari perubahan ideologis, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapak syariat Islam sebagai aspek hukum dalam Islam. 126 Ini yang dimaksudkan dengan ayat Al-Qur’ân, Q:S. 2:208, “Masuk Islamlah kamu secara keseluruhan”. Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada perbedaan
antara masalah shalat sebagai ibadah maḥḍah dan
muamalah sebagai ibadah ghairu maḥḍah dalam kewajiban untuk tunduk kepada syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat.
126
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 107.
BAB IV HUKUM PERBANKAN SYARIAH DALAM SUATU TINJAUAN
A. Epistemologi 1. Hukum Perbankan Syariah Hukum perbankan syariah terdiri dari tiga suku kata, yakni hukum, perbankan, dan syariah. seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pengertian hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. 1 Sedangkan kata hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab “hukm” tanpa huruf “u” yang berarti norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang digunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. 2 Dalam buku The New Book of Knowledge, didefinisikan ”laws are rules that define people’s rights and responsibilities toward society. Laws are agreed on by society and made official by governments”. Hukum adalah aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban orang-orang terhadap
masyarakat,
pemerintah.
disepakati
oleh
masyarakat
dan
dibuat
pegawai
3
Perbankan adalah bentuk kata benda berasal dari kata “bank”. Kata “bank” terambil dari bahasa Itali, yakni banco yang berarti meja. Artinya bahwa mejalah yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses kerja bank sejak dahulu sampai
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Keempat , 350 2Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), cet. Pertama, 40. 3 Grolier Publishing Company, The New Book of Knowledge (Jakarta: Grolier Pub. Co., 2003), 760
155
156
sekarang masih, dan mungkin sampai yang akan datang secara administrati, tetap dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa Arab bank disebut dengan kata maṣrif, yang berarti tempat berlangsungnya saling, baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah. 4 Dalam bahasa Indonesia kata bank berarti lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 5 Menurut UU Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah, pada ketentuan umum, pasal 1 ayat (2) Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan kata “perbankan” itu sendiri yang merupakan bentuk kata benda “abstrak” mempunyai segala sesuatu yang berkenaan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatannya. 6 Selanjutnya, kata “syariah”, menurut Hussain Hamid Hassan dalam bukunya Lectures on Islamic Economics menyebutkan bahwa hukum Islam adalah pemahaman manusia mengenai syariah. Pemahaman ini bisa benar dan bisa salah dan itulah fitrahnya fiqih. Sebaliknya bahwa syariah tidah pernah akan salah, karena syariah wahyu Allâh melalui nabi Muhammad saw. Jadi syariah itu permanen tidak berubah dan tidak bisa diragukan, sebab syariah adalah al-Qur’ân itu sendiri. 7 Muhammad Said al-Ashmawi, mengutarakan bahwa kata syariah dalam arti yang sebenarnya adalah “jalan, metode, atau cara”. Kata syariah pada mulanya digunakan oleh generasi muslim untuk arti yang tepat, kemudian di 4
Muhammad Sayyid Thanthawi, Mu’amalah al-Bunûk wa Aḥkâmuha al-Shar’iyyah (Mesir Daar Nahḍah, 1997), 50. 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 90. 6 Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia (Jakarta: Prenada Media Group, 2008, Cet. Keempat, 39. 7 Hussain Hamid Hassan, Lectures on Islamic Economic (New York: Cambridge University Press, 2000), 759
157
perluas meliputi aturan-aturan hukum baik yang ada dalam al-Qur’ân maupun alHadith. Akhirnya istilah syariah masuk dalam ranah aturan-aturan hukum yang sah. Kini, hukum Islam atau syariah merujuk pada yurisprudensi Islam. 8 Sementara kata “syariah“ dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. 9 Sedangkan kata syariah secara harfiah adalah jalan menuju sumber air dan dalam pengertian teknis, kata ini berarti sistem hukum dan aturan perilaku yang sesuai dengan ajaran al-Qur’ân dan hadith. Karenanya kaum muslimin tak dapat memilah perilaku mereka kedalam dimensi religius dan dimensi sekuler. Selain itu tindakan mereka harus selalu mengikuti syariah. 10 Sementara itu hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang berkaitan dengan pemahaman manusia tentang ketentuan-ketentuan hukum syariah. 11 Prinsip syariah menurut Undang-undang adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 12 Untuk memeperoleh pengertian tentang hukum perbankan perlu dikemukakan berbagai pengertian dari para ahli hukum perbankan antara lain: Menurut Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala 8
Hal ini terjadi dengan kata syariah juga terjadi pada kata Taurat dalam Yahudi. Taurat berarti “way of Guidance” .yang kemudian dimaknakan legal rules (aturan-aturan yang sah atau resmi)di dalam Taurat, khususnya dalam buku perjanjian lama . Lihat Muhammad Said al-Ashmawi, Islamic Law and Contemporary Politic and Sociaty, 97-98. 9 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan syariah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), Cet. 1. 1 10 Mervyn K.Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah prinsip, praktik dan Prospek terj.(Jakarta: Serambi Ilmu, 2001), 27. 11 Pemahaman manusia mengenai syariah itu disebut hukum Islam Syariah tidak akan pernah salah, karena adalah wahyu Allâh melalui nabi SAW dan syariah itu adalah permanent (tetap). Jadi syariah itu tidak diragukan lagi kebenarannya,oleh karenanya yang selalu berubah adalah pemahaman manusianya yang beruba Lihat Hussain Hamid Hassan, Lectures Islamics Economics (New York: Cambridge University Press, 2000), 760 12 Departemen Keuangan RI, Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2008), 4
158
aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. 13 Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudesi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenan dengan dunia perbankan. Hermansyah mengemukakan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian, menurut pendapat penulis bahwa yang dimaksud dengan hukum perbankan syariah adalah keseluruhan norma, kaidah, aturan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan, yang dalam bentuk
operasionalnya
berdasarkan
al-Qur’ân
dan
al-Hadith
yang
diimplementasikan dalam bentuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Oleh karena itu, ketika bank yang kegiatan operasionalnya tidak didasarkan pada fatwa MUI, maka bank tersebut tidak termasuk sebagai bank syariah. 2. Perbankan Syariah Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam emlaksanakan kegiatan usahanya. 14 Perbankan Syariah 13
Hermansyah, Hukum Perbakan Nasional Indonsia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008, Cet. Keempat, 39 14 Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1)
159
adalah lembaga keuangan yang bekerja untuk menarik (mengumpulkan) sumbersumber keuangan yang berasal dari individu-individu masyarakat, dan melaksanakan fungsinya dalam menjamin kebesaran dan pertumbuhan keuangan berdasarkan kaidah-kaidah syariat Islam, serta peran pelayanan umat dan upaya peningkatan ekonomi mereka. 15 Singkatnya
tujuan
bank
syariah/Islam
bukanlah
sekedar
untuk
mengumpulkan harta kaum muslimin an sich namun tujuan dasarnya adalah untuk
melaksankan
tugas
operatifnya
bagi
peningkatan
produktifitas
nasionalisme, penyediaan modal bagi masyarak dan pemenuhan kebutuhan mereka, serta tujuan untuk mencapai keuntungan bagi setiap nasabah, bank dan masyarakat. 16 Secara umum, tahap pengintegrasian pinsip syariah telah dilakukan oleh Indonesia, seperti adanya pengakuan sistem
perbankan berbasiskan syariah
dalam UU perbankan. Namun, yang perlu diperhatikan adalan bahwa UU ini perlu didukung oleh perangkat perudang-undangan yang lainnya agar dapat berjalan secara maksimal. Menurut Nasution, pengintegrasian ekonomi syariah agar dapat dilakukan adalah melalui pengakuan dan pengadopsian prinsip hukum ekonomi syariah seperti yang terdapat dalam KHI ke dalam regulasi nasional kita. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan regulasi khusus yang mengatur tentang ekonomi syariah maupun melalui amandemen regulasi yang ada. Disamping itu, juga harus dilakukan penguatan infrastruktur pelaksana hukum ekonomi syariah agar dapat diimplementasikan di tingkat lapangan. Pembentukan budaya hukum masyarakat yang menerima dan melaksanakan prinsip ekonomi syaria juga merupakan hal penting untuk menjamin suksesnya pengintegrasian hukum ekonomi syariah dalam hukum nasional. Selain itu aksi 15
Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 17. 16Lihat Al-Khadiri, Al-Bunûk al-Islâmiyah, 31.
160
nyata yang harus dilakukan adalah pembaruan produk-produk huku ekonomi yang lebih efektif untuk mendukung perkembangan dan implementasi ekonomi syariah. Pembangunan hukum (law making) harus dilakukan sebagai suatu usaha dalam memperbarui hukum positif hukum di Indonesia. 17 Menurutnya bahwa tujuan utama bank Islam antara lain: peningkatan bank Islam; penanaman modal; tujuan sosial, peningkatan kwalitas hidup manusia; tujuan pencapaian predikat tinggi; penyebaran budaya dan pengetahuan perbankan Islam; menghidupkan dan membangkitkan tradisi dalam berbagai transaksi finansial; niaga dan pertukaran uang. Bank syariah muncul di Indonesia disebabkan oleh dorongan keinginan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam, yang berpandangan bahwa bunga bank merupakan riba sehingga dilarang oleh Islam. Namun tidak semua umat Islam berpendapat bahwa bunga bank itu adalah haram. Pro dan kontra inilah menyebabkan lahir dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia sangat lambat. Dilihat dari aspek hukum, adanya bank syariah di Indonesia adalah undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai bank prinsip bagi hasil. 18 Tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah mengakomodir sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan prinsip bagi hasil, yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan dalam revisi UU Pokok Perbankan No. 14/1967 menjadi UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan yang telah memasukkan ketentuan tentang pelaksanaan kegiatan perbankan dengan sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank dengan Prinsip Bagi hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 itu, bank syariah dipahami sebagian bank bagi hasil, selebihnya bank syariah harus tunduk pada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Oleh 17Nasution,
Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, 19-20 Muhammad Sholahuddin dan Lukman Hakim, Lembaga Ekonomi dan Keuangan syariah Kontemporer, 76. 18
161
karena itu manajemen bank syariah mengadopsi produk-produk bank konvensional.yang disyariahkan dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua kebutuhan masyarakat terakomodir dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank Konvensional. Sementara itu, PP. No. 72 Tahun 1992 (Pasal 6) merupakan salah satu pelaksanaan peraturan dari UU No.7 Tahun 1992. 19 Berdasarkan identifikasi terhadap sejumlah kendala tersebut maka UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998, sehingga landasan hukum syariah menjadi lebih jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dengan demikian pengembangan bank Syariah merupakan amanah UU No. 10 tahun 1998 yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia karena UU tersebut mengakui keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan atau lebih dikenal dengan dual banking system . Berdasarkan UU tersebut bank umum maupun BPR dapat beroperasi berdasarkan prinsip syariah dan bank umum konvensional melalui suatu mekanisme perizinan tertentu dari Bank Indonesia dapat melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dengan membuka kantor cabang syariah. Guna menindak lanjuti UU No. 10 tahun 1998 pada tahun 1999 Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan kantor bagi Bank Umum Syariah (BUS), Bank Umum Konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) dan Kantor Cabang Syariah (KCS) dan ketentuan BPR Syariah (BPRS).
19
Undang-undang tersebut menentukan bahwa: Bank Umum atau Bank Perkriditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Lihat Tim Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, Perbankan Syariah Nasional: Arah dan Kebijakan dan Perkembangan (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia,2003) 4
162
Selanjutnya Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang perubahan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia diantaranya mempunyai tugas pokok mengatur dan mengawasi bank (pasal 8), termasuk bank umum dan BPRS. Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa Bank Indonesia berkewajiban mengembangkan Bank Syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah. Disamping itu, pasal 10 point 2 UU No. 23 Tahun 1999 menegaskan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Pada tahun 2000, sebagai tindak lanjut dari UU No. 23 Tahun 1999, dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur kliring, pembukaan rekening Giro pada Bank Indonesia bagi UUS, Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank umum syariah, Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), fasilitas pembiayaan jangka pendek bank Syariah, Kualitas Aktiva Produktif Bank Syariah, Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). 20 Jadi bank Indonesia tidak hanya melakukan pengendalikan pada bank konvensional saja tetapi juga pada bank yang berdasarlan prinsip syariah.
B. Sumber Hukum Perbankan Syariah Islam mengatur umatnya dalam segala hal, diantaranya adalah mengatur hubungan antara makhluk dengan Tuhannya serta hubungan makhluk dengan makhluk seperti hubungan antar sesama manusia. 21 Hubungan makhluk dengan Tuhan diwujudkan dalam ibadah yang kemudian diatur dengan fiqh ibadah. Dan hubungan makhluk dengan makhluk diatur dengan fiqh muamalat. Salah satu 20
Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus1999-Januari 2005 (Jakarta: BI, 2005) 21 Sauqi Ahmad Dunya, Sistem Ekonomi Islam sebuah alternatif (Jakarta: Fikahati Aneska, 1994), Cet. 1, 120
163
pembahasan dalam fiqh muamalat adalah ekonomi Islam. 22 Kemudian dalam ekonomi Islam terdapat pembahasan tentang perbankan syariah. Adapun landasan yang digunakan dalam perbankan syariah adalah AlQur’ân (wahyu Allâh yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat jibril) dan Sunah Rasulullah (ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah saw.) Yang kemudian ijma dan Qiyâs yang di ijtihatkan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur’ân Al-Qur’ân adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi Islam, oleh karena itu Al-Qur’ân 23 adalah sebagai dasar hukum dalam perbankan syariah yang didalamnya terdapat hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat
hukum-hukum
dan
undang-undang
diharamkannya
riba,
dan
diperbolehkannya jual beli, orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, sebagaimana yang dijelaskan surat Al-Baqarah ayat 275. Contoh lain di dalam al-Qur’ân adanya perintah mencatat atau membukukan yang baik dalam hal utang-piutang, di dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
22
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam (Jakarta:Kencana, 2006), ed. I., Cet-2, 12 23 Tujuan diturunkannya Al-Qur’ân adalah a) sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat manusia; b) Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allâh dalam bentuk kasih sayangnya; c) sebagai furqan yaitu pembela dari yang baik dan buruk; d) sebagai mau’izhah atau pepengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat untuk mencapai kebahagiaan dunia akherat; e) sebagai bushra atau berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allâh dan sesama manusia; f) sebagai tibyan atau mubîn yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allâh; g) sebagai musaddiq atau pembenar terhadap kitab kitab yang datang sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil); h) sebagai nur atau cahaya yang akan memerangi kehidupan manusia; i) sebagai tafsil yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang di kehendaki Allâh; ) sebagai shifâ as sudur atau obat rohani yang sakit; k) sebagai hakim atau sumber kebijaksanaan/hikma(Drs. Mohammad Hidayat, Pengantar Ekonomi Islam, (Jakarta: PKES, 2009), 10)
164
Selain itu ada perintah Allâh kepada orang-orang yang beriman agar menepati dan menghormati janjinya, baik sesama muslim maupun non muslim. Ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah. (QS: 5:1) 2. Sunnah An-Nabawiyah As-Sunnah adalah sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. AsSunnah sekaligus merupakan alat untuk menginterpretaskan al-Qur’ân. Di dalamnya dapat kita jumpai aturanaturan yang terkait dengan
perekonomian
Islam. Diantaranya seperti sebuah hadith yang isinya larangan terhadap jual beli gharar (akad jual beli tipuan yang menyodorkan barang yang tidak jelas) ââdisebutkan dalah hadith Abu Hurairah dalah Shahih bahwa ia menceritakan: “Rasulullah Saw. Melarang menjual dengan sistem hashat (melempar batu dalam menjual tanah untuk mengukur luasnya) dan jual beli gharar.” 24 Contoh lain, As-Sunnah juga menjelaskan tentang riba. Riba adalah tergolong dalam hal yang membinasakan, hal ini disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, dari Nabi Saw. Diriwayatkan bahwa Beliau bersabda: “Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apakah Tujuh hal yang membinasakan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ‘Perbuatan syirik kepada Allâh, sihir, membunuh orang yang diharamkan oleh Allâh
untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang haq,
memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, dan menuduh wanita suci yang sudah menikah dan beriman bahwa mereka berzina.’ 25 Contoh terakhir adalah hadis yang menerangkan larangan menipu “Barang siapa menipu kami, maka tidak termasuk golongan kami”. (HR.Muslim). Dari beberapa contoh tersebut diatas adalah sebagian dari dasar hukum yang digunakan dalam konsep perbankan syariah.
24
Muslim, Al-Iman, Bab Qauluhu Saw. Man Ghasysyana fa laisa minna, no.102 Al-Bukhori, al-Washaya, no. 2766
25
165
3. Ijma’ dan Qiyâs Untuk Ijma’ dan Qiyâs disini adalah ijma’ dan Qiyâs yang dilakukan oleh para salafus shalihin. Ijma dan Qiyâs perbankan syariah merujuk pada kitab-kitab fiqih umum dan kitab fiqih khusus. Kitab-kitab fiqih umum ini menjelaskan ibadah dan muamalah. Dalam muamalah terdapat pembahasan tentang ekonomi yang dikenal dengan AlMuamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil Ijtihat ulama terutama dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil Al-Qur’ân dan Hadis yang shahih. Pembahasan yang dimaksud disini (dalam kitab-kitab fiqih umum) yang berkaitan dengan ekonomi Islam adalah Zakat, Sedekah sunah, Fidyah, Zakat Fitrah, Jual Beli, riba, dan lain sebagainya. Kitab fiqih khusus (Al-Mâlu Wal-Iqtisâdi). Kitab ini secara khusus membahas masalah yang berkaitan dengan uang, harta lainnya dan jual beli. 26 Yang dimaksud dengan Fiqih atau hukum Islam adalah pemahaman manusia mengenai al-Qur’ân dan Al-Sunnah yang kemudian impelementasikan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Di Indonesia terdapat sebuah lembaga yang bernama Majelis Ulama Indonesia, yang di dalamnya merupakan kumpulan para ulama dari berbagai golongan atau organisasi umat Islam di Indonesia. Walaupun Majelis Ulama bukan merupakan supra struktur dari ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia, akan tetapi Majelis Ulama Indonesia bisa dipahami sebagai sebuah wadah yang merepresentasikan umat Islam Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena pengurus majelis ulama Indonesia merupakan fungsionaris atau pimpinan ormas Islam, bahkan Majelis Ulama Indonesia mengakomodir tokoh-tokoh lain yang tidak berasal dari oramas Islam yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas, 26
Ahmad Izzan, dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-Ayat Al-Qur’ân Yang Berdimensi Ekonomi (Bandung: Rosda karya, 2006), Cet.1, 33
166
misalnya Perguruan Tinggi Islam dan dari pesantren serta dari Institusi keislaman lainnya. Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah perkhidmatan terhadap umat Islam di Indonesia mempunyai berbagai fungsi dan tugas yang harus diembannya, salah satu fungsi dan tugasnya adalah sebagai pemberi fatwa keagamaan di Indonesia. 27 Fatwa
yang
ditetapkan
oleh
Majelis
Ulama
Indonesia
dapat
dikelompokkan kedalam tiga kategori utama: kategori pertama adalah fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika, kategori kedua adalah fatwa yang bekaitan dengan perekonomian Islam, dan kategori ketiga adalah; pertama. fatwa tentang masalah sosial keagamaan; kedua; sosial kemasyarakatan; ketiga, kesehatan dan lain sebagainya. 28 Karena perbankan syariah berdasarkan syariah Islam maka semua akad yang ada dalam perbankan syariah harus sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang dalam istilah ekonomi syariah lebih tepat Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Jadi, salah satu sumber rujukan hukum tentang Perbankan Syariah adalah Fatwa MUI yang biasanya digodok dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI). Sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam yang ada di Indonesia, Fatwa MUI dapat menjadi rujukan semua masyarakat muslim di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Fatwa Muhammadiyah atau Fatwa Nahdlatul Ulama, misalnya, yang mempunyai lingkup yang lebih kecil. Sampai Juli 2007, DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa terkait produk keuangan syariah,18 seperti fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah, Sertifikat Investasi Muḍarabah Antar-bank, Syariah Charge Card, dan lain sebagainya.19
27
Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 253 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah (Jakarta: Lekas, 2007), Cet. 1, 254
28
167
Walau begitu, Fatwa MUI sebagaimana juga fatwa organisasi massa Islam lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukan merupakan hukum positif sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara personal saja. Selain itu, negara tidak berhak mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar fatwa tadi. Memang, dalam beberapa FBI disebutkan keharusan untuk memperhatikan fatwa DSN-MUI seperti pasal 20 ayat 3 PBI No. 8/21/PBI/2006, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan prinsip Syariah 29 . Bahwa: “Ketentuan lebih lanut yang berkaitan dengan penyertaan modal mengacu pada PBI yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal dan fawa kehati-hatiann Dewan Syariah Nasional yang berlaku. Sebenarnya ketentuan dalam PBI di atas bisa digugat dalam sistem ketatanegaraan Nasional, karena UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan memerintahkan hanya kepada Bank Indonesia untuk mengatur legih lanjut tentang perbankan, termasuk Perbankan Syariah. Lalu kenapa Bank Indonesia melimpahkan lagi kewenangannyakepada DSN-MUI? Namun dengan adanya UU Perbankan Syariah, maka fatwa MUI juga mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena UU Perbankan Syariah menentukan bahwa perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian diupayakan menjadi PBI melalui penggodokan di Komite Perbankan Syariah yang dibentuk oleh Bank Indonesia, seperti terlihat dalam pasal 26 UU Perbankan Syariah bahwa: (1) kegiatan usaha perbankan syariah dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah; (2) Prinsip Syriah itu difatwakan oleh MUI ; (3) Watwa MUI dituangkan dalam PBI; (4) Dalam rangka penyusunan PBI, Bank Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.
29
PBI No. 8/21/PBI/2006, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan prinsip Syariah dalam Lembaran Negara Tahu 2006 No. 78.
168
Dengan ketentuan di atas, maka kelak Fatwa MUI tenatng Pebankan Syariah akan lebih berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri. Akhirnya, Fatwa MUI dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kususnya fatwa MUI yang berhubungan dengan dengan bank syariah saja. a) Kedudukan Majelis Ulama dalam Perbankan syariah Peran MUI yang pokok adalah menjalankan dan memfungsikan DSN dan DPS sesuai dengan SOP dari kedua lembaga tersebut. DSN mengeluarkan fatwafatwa syariah sesuai dengan perkembangan produk-produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah. Sedangkan DPS merupakan pelaksana dari fatwa-fatwa DSN dan mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di dalam internal masing-masing bank syariah. Tentu saja tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan undang-undang perbankan syariah dan peraturan BI yang merupakan regulasi dari teknis banknya. Terkait dengan kebijakan pencanangan pangsa syariah 5% untuk tahun 2008 MUI dan ulama pada umumnya diharapkan bekerjasama dan melakukan perang strategis sebagai berikut : 1) Sebagai supervisor yaitu melaksanakan fungsi dan tugas pengawasan langsung kepatuhan syariah dan implementasi fatwa DSN pada operasional LKS/bank syariah. 2) Sebagai advisor memberikan nasehat, inspirasi, pemikiran, saransaran konsultansi untuk perkembangan produk dan jasa yang inovatif untuk persaingan global. 3) Sebagai marketer yaitu menjadi mitra strategis untuk peningkatan kuantitas dan kualitas industri LKS melalui komunikasi massa untuk memberikan motivasi penjelasan dan ejukasi publik sebagai penyiapan SDM, sosialisasi, community & networking building dan peran-peran lainnya dalam bentuk hubungan bermasyarakat public relationship.
169
b) Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah Unsur yang membedakan bank syariah dan bank konvensional. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan ketentuan syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena Itu, penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) biasanya dilakukan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS), setelah para anggota DPS itu mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN adalah badan otonom MUI yang diketahui secara ex-officio oleh Ketua MUI, sedangkan kegiatan sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. 30 Bagi perusahaan yang akan membuka bank syariah dan konvensional atau cabang syariah atau lembaga keuangan syariah yang lainnya harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada DSN. Berdasarkan Laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi. Adapun Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah berikut: a) Mengawasi jalannya operasionalisasi bank sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syariah; b) Membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang di awasi telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah; 30
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,
cet. 4, 42
170
c) Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Sedangkan fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah sebagai:31 a) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah; b) Meneliti
dan
memberi
fatwa
bagi
produk-produk
yang
dikembangkan lembaga keuangan syariah; c) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu Lembaga Keuangan Syariah; d) Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.
C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan Syariah Kini perbankan syariah telah memiliki landasan hukum yang kuat yang secara spesifik mengelaborasi kekhususan Perbankan Syariah. Jika dihitung, rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17 Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Juli 2008, 32 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja, pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah
31
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Ekonnisia: Jakarta, 2007), Ed. 2,
cet. 4, 43
32
UURI No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867
171
praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2 ayat-14 Ordonansi Riba 1938). 33 Pengesahan UU Perbankan Syariah telah melahirkan secercah harapan dalam sejarah perbankan di Indonesia. Dengan UU Perbankan Syariah, eksistensi Perbankan Syariah sebagai pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang sangat kuat. Selama ini, secara hukum, keberadaan Perbankan Syariah cukup sumir, karena pengoperasiannya tidak berpijak pada UU yang secara khusus mengatur Perbankan Syariah. 1. Perbankan Syariah dalam UUD 1945 Perbankan Syariah dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi: "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat untuk menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai dengan aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang sebagian besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan (asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan 33
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada (Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), Halaman 1.
172
antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6) Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia (asas kesatuan ekonomi nasional). Dengan penjelasan di atas, maka kritik dari sebagian kecil kalangan bahwa Perbankan Syariah tidak mempunyai landasan konstitusional serta bertentangan dengan watak dasar bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi tidak beralasan lagi. Dengan dukungan konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa Indonesia sudah jauh-jauh hari mengesahkan dan mengundangkan UU Perbankan Syariah. Negara kepulauan ini dapat dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU Perbankan Syariah. Barangkali hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia masih lamban dan tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang merupakan negara Islam. 2. Perbankan Syariah dalam UU Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Namun, dalam UU ini ketentuan tentang Perbankan Syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban terhadap keunikan dan kekhususan Perbankan Syariah. Menurut Pakar Hukum Perbankan, Sutan Remy Sjahdeini, UU tersebut hanya secara samar-samar memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas perbankan berdasarkan bagi hasil. 34 Pasal 6 huruf m UU No.7 tahun hanya menyebutakan bahwa bank umum dapat (m). menyediakan pembiayaan agi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Dengn 34
Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1999), 122.
173
begitu, ketentun di atas hanya memberikan kepada Bank Umum menyediakan pembiayaan berdasarkan bagi hasil, serta belu mendorong agar Bank Umum menjadi Bank Syariah. Dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan tentang perbankan syariah dinyatakan lebih tegas lagi, seperti terlihat pada pasal 1 angka 3 dan 4 bahwa (3) bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memerikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(4) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Bnak yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 13 UU No. 10 tahun berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (muḍorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijârah wa iqtinâ). Namun, kelemahan dari UU No. 10 Tahun 1998 dalam perspektif Perbankan Syariah adalah UU ini mengatur ketentuan yang berlaku untuk semua bank, baik bank konvensional maupun Bank Syariah, sebagaimana terlihat dari pendefinisian Bank Umum dan BPRS tadi. Karena itu, UU No. 10 Tahun 1998 telah merancukan batasan antara bank konvensional dengan Bank Syariah sehingga seakan-akan semua ketentuan yang mengatur Bank Umum dan BPR dapat mengatur pula Perbankan Syariah. Kerancuan di atas semakin terlihat, karena hal yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah sangat minim. Dari 59 Pasal yang ada dalam UU No. 10 Tahun 1998, hanya ada 8 Pasal yang mengulas Perbankan Syariah, yaitu Pasal l^angka (12), Pasal 6 huruf (n),
174
Pasal 7 huruf (c), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (1) dan (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf (c). Dengan penjelasan di atas, maka UU No. 10 Tahun 1998 belum menjelaskan kekhususan dari Perbankan Syariah dan bagaimana mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Rancangan UU Perbankan Syariah sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu dibahas di DPR, namun baru disahkan pada 17 Juni 2008 lain. Ini berarti pembahasan Rancangan UU Perbankan Syariah memakan waktu yang sangat lama. Padahal, sebagai penduduk yang mayoritas muslim, seharusnya Indonesia bisa lebih cepat mengundangkan UU Perbankan Syariah, apalagi Perbankan Syariah selama krisis ekonomi tidak membebani keuangan negara sedikit pun sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional yang memerlukan suntikan pendanan dari pemerintah dalam jumlah ratusan triliun. Dalam UU Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Sebagai UU yang khusus mengatur Perbankan Syariah, dalam UU ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya
berada
pada
Majelis
Ulama
Indonesia
(MUI)
yang
direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada
masing-masing
Bank
Syariah
dan
UUS.
Untuk
menindaklanjuti
implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam PBI, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk Komite Perbankan Syariah, yang keanggotaan-nya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.
175
Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada Perbankan Syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI. 3. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah Setidak-tidaknya ada empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang perbankan syariah, yaitu: Pertama, PP No.70 tahun 1992 tentang Bank Umum dan PerubahanPerubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah, sebagaimana tertera dalam fasal 2 PP No. 38 Tahun tentang perubahan atas PP. No. 1992, adalah tentang modal disetor untuk mendirikan Bank Umum dan Bank Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp3 triliun. Kedua, PP No. 71 tahun 1992 tentang BPR dalam PP ini, ketentuan tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat (2) bahwa Bank berkreditan rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya. Penjelasan dari pasal di atas adalah : yang di maksud dengan bank perkreditan rakyat yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana di maksud dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
176
Ketiga, PP No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Inti dari PP No. 72 tahun 1992 ini adalah bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syaria (pasal 2) dan kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara (para pihak pasal 3). Selain itu, bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memiliki dewan syariat (pasal 5). Bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil (pasal 6). Dengan demikian, meskipun PP No. 72 tahun 1972 yang hanya terdiri dari 9 pasal ini serta PP lainnya belum cukup untuk mengeksplorasi kekhususan perbankan syariah, karena hanya mengatur bagian yang sangat kecl tentang perbankan syariah. Keempat, PP terakhir yang membahas tentang perbankan syariah adalah PP No. 30 Tahun 1999 Tentang pencabutan PP No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum sebagaimana telah bebrapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 Tahun 1998, PP No. 71 Tahun 1992 tentang BPR, dan PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Alasan dari adanya PP ini adalah karena dengan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, maka ketentuan pelaksanaan mengenai Bank Umum dan BPR, termasuk yang melaksanakan prinsip bagi hasil, menjadi wewenang Bank Indonesia,bukan pemerintah. Walau begitu PP yang di cabut tapi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU serta tidak di cabut atau di perbarui. Dengan adanya PP No. 30 Tahun 1999, maka semua regulasi yang mengatur perbankan secara umum dan Perbankan Syariah secara khusus tidak lagi melalui PP, melainkan melalui PBI. Kekuasaaan untuk membina dan mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah melalui Departemen Keuangan ke Bank Indonesia. 4. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Bank Indonesia Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang di keluarkan oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua Bank yang berbadan
177
hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. Pasti timbul pertanyaan : di manakah posisi PBI dalam hierarki hukum nasional yang terdiri dari UUD, UU,Perpu, PP, Perpres, dan Perda.? Dengan tidak termasuknya PBI dalam salah satu hierarki hukum nasional seperti yang dilansir UU No. 10 Tahun 2004, apakah PBI ilegal, alias tidak mengikat? Dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa peraturan yang dikeluarkan lembaga negara lain, seperti Bank Indonesia, yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP, dan Perpres. Dengan begitu, maka peraturan lembaga negara, seperti PBI, tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah dari salah satu hierarki hukum di atas. Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 memberikan pengecualian bahwa ketentuan yang bersifat mengatur yang dikeluarkan oleh pejabat negara sebelum pemberlakuan UU No. 10 Tahun 2004, 1 November 2004, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU di atas (Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004). UU No. 10 Tahun 2004 mulai berlaku pada 1 November 2004 (Pasal 58 UU No. 10 Tahun 2004). Dengan ketentuan di atas, PBI yang lahir sebelum 1 November 2004 tetap mempunyai kekuatan hukum. Namun, untuk PBI yang lahir setelah 1 November 2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2004. Karena PBI tidak ter-masuk dalam hierarki hukum nasional, maka proses kelahiran PBI harus ada perintah dari peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7, yaitu UUD, Perpu, UU, PP, dan Perpres (Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004). Jadi, dalam UU (misalnya) ada pasal yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI." UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. l0 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia
178
untuk mengatur hal-hal tertentu terkait dengan Bank Umum dan BPR, termasuk yang melaksanakan Prinsip Syariah, sebenarnya telah memberikan pijakan yang kuat kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan di bidang perbankan melalui PBI. Persoalannya, UU No. 7 Tahun 1992, sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan belum spesifik mengeksplorasi
kekhususan Perbankan Syariah sehingga PBI yang dikeluarkan berdasarkan perintahnya "terkerangkeng" dalam sebuah penjara yang tidak memungkinkannya mengeksplorasi kekhususan Perbankan Syariah. Namun, dengan pengesahan UU Perbankan Syariah, keberadaan PBI yang mengatur Perbankan Syariah juga semakin kuat, karena diperintahkan oleh UU yang secara khusus mengacu Perbankan Syariah, bukan diperintahkan oleh UU yang mengatur perbankan secara umum sebagaiman terjadi sebelumnya. Dalam UU Perbankan Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan "ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu di atur dalam FBI." Setidaktidaknya terdapat 21 ketentuan dalam Perbankan Syariah yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam FBI, yaitu: (1) FBI tentang tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan, laba, dan hal-hal lainnya; (2) FBI tentang jumlah maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/ atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesi, (3) FBI tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasa serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah; (4) FBI tentan besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah; (5) FBI tentang Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah(6) FBI tentang tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah; (7) FBI tentang uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham pengendali; (8) FBI tentang syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal Jain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah; (9) FBI untuk memastikan kepatuhan
179
Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya; (10) FBI tentang uji kemampuan dan kepatutan dewan komisaris dan direksi; (11) FBI tentang pengangkatan pejabat eksekutif Bank Syariah; (12) FBI tentang pembentukan Dewan Pengawas Syariah ; (13) PBI tentang tata kelola Perbankan Syariah yang baik; (14) FBI tentang pelaksanaan dan pelaporran batas maksimum penyaluran dana; (15) FBI tentang pengelolaan risiko; (16) FBI tentang pembelian bagunan oleh Perbankan Syariah; (17) FBI tentang tukar-menukar informasi antar bank; (18) FBI tentang tingkat kesehatan Perbankan Syariah; (19) FBI tentang persyaratan dan tata cara pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada Perbankan Syariah oleh Akuntan Publik atau pihak lain; (20) FBI tentang pelaksanaan sanksi administratif; dan (21) FBI tentang persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah. 5. Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Sejak berdiri perbankan syariah pada tahun 1992 hingga pertengahan tahun 1997 perbankan syariah memang terus tumbuh dan berkembang. Akan tetapi pertumbuhan yang spektakuler justru terjadi sejak masa krisis ekonomi tahun 1997. hal ini diantaranya karena kemampuan perbankan Islam dalam menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tigkat bunga yang sangat tinggi, sementara perbankan syariah terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis pada bunga. 35 Selain itu perkembangan bank syariah di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan perundang-undangan yang menjadi dasar atau landasar hukum operasionalilasinya. Sejak tahun 1992 Undang-undang perbankan Indonesia telah mengakomodir sistem perbankan yang menjalankan operasinya berdasarkan prinsip bagi hasil, yakni perbankan syariah. Hal ini secara nyata diwujudkan 35
Zainal Arifin, Memahami Bank Syariah; Lingkup, peluang, Tantangan dan Prospek (Jakarta: Alvabelt, 2000)cet. III, ix
180
dalam revisi Undang-undang pokok perbankan No.14/1967 menjadi UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah memasukkan ketentuan tentang pelaksanaan kegiatan perbankan dengan sistem bagi hasil yang selanjutnya diatur secara lebih rinci dalam PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank dengan prinsip bagi hasil. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 itu, Bank syariah bank syariah di pahami sebagai bank bagi hasil, selebihnya bank syariah harus tunduk pada peraturan perbanakan umum yang berbasis konvensional. 36 Oleh karena itu manajemen bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang disyariahkan dengan variasi yang terbatas. Akibatnya tidak semua kebutuhan mesyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk Bank Konvensinal. a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992, tidak secara eksplisit menjelaskan mengenai perbankan syariah. Namun dalam undang-undang tersebut secara implisit merujuk kepada sistem ekonomi yang dilaksanakan secara islami. Sistem bagi hasil merupakan bentuk dari sistem ekonomi yang diterapkan berdasarkan hukum adat yang diadopsi dari hukum Islam. Seperti diuraikan di atas bahwa sejak tahun 1991, ketika perbankan syariah pertama kali berdiri hingga tahun 2008, basis hukum dari perbankan syariah belumlah kondusif. Basis hukum Perbankan syariah baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah pada tahun 2008. Memang benar bahwa secara teoritis Bank Syariah sudah dirintis sejak tahun 1940-an dan secara institusi baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Sedangkan di Indonesia pada kenyataannya baik secara teoritis maupun secara institusi, perkembangan Bank Syariah jauh lebih kemudian. Janin eksistensi bank Syariah masih dalam ranah hukum positif masuk melalui pintu pasal 6 huruf m, 36
Bank Indonesia, Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Agustus 1999-Januari 2005 (Jakarta: BI, 2005)
181
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal tersebut sama sekali tidak dijelaskan istilah Bank Syariah seperti dipergunakan kemudian yang secara resmi dipergunakan dalam Undang-Undang Perbankan Islam (UUPI), namun hanya menyebutkan sebagai berikut: Pasal 6 bagian huruf (m) “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”. Di dalam pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan dalam penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu puladalam pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perdkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. Kesimpulan bahwa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau bank Syariah baru dapat ditarik dari penjelasan pasal 1 ayat (1) PP. No. 72 Tahun 1992 Tentang “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Dalam penjelasan ayat tersebut ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuanyang ada dalam PP. No. 72 Tahun 1992, keleluasan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syaria’t Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal: 1) Larangan atas melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (artinya bahwa kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank umum atau
182
BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2) Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip syariah, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi denagn Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP. tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapat dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek transkasionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya
di
masyarakat.
Bagi
BMI
tidak
ada
kesulitan
untuk
mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk menyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrument investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrument investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar Bank. Tidaklah mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Hal perkembangan yang patut dicatat, berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrasi Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI bediri secara resmi tanggal, 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelsaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan
183
demikian, dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah, lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transkasi atau perjanjian tersebut. Perkemabangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalaui surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, menetapkan diantaranya perubahan
nama
BAMUI
menjadi
Badan
Arbitrasi
Syariah
Nasional
(BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan ‘Yayasan’ menjadi ‘Badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan pernagkat organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, SH. 37 merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional.38 Dalam makalahnya beliau mengatakan: “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun1992, membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. UndangUndang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya system bagi hasil itu maka perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”. ….Jika selama ini peranan hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis)” 37
Mariam Darus Badrul Zaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah Dalam seminar Hukum Nasional, 2006. 38 http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-Indonesia, 23-10-2008 (Diakses pada tanggal 12 Maret 2010)
184
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak tahun 1992, telah memiliki undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dalam bidang ekonomi. b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka di Indonesia dikenal dua sistem perbankan (dual system banking) yaitu sistem bank konvensional dan sistem bank syariah. Sistem operasional Bank Syariah adalah berbeda dengan bank umum lainnya (konvensional). Bank Konvensional lebih kental aromanya dalam mengejar keuntungan materiil semata (kapitalistik) dengan sistem bunganya, sehingga tidak mengenal adanya kerugian pihak lain, sedangkan Bank Syariah menekankan adanya sifat ta’awun (tolong menolong dalam suka dan duka / kemitraan), sehingga ada prinsip bagi bagi hasil yang dikenal dengan nama “profit and loss sharing” atau “ muḍarabah “ dan juga ada pinjaman kebajikan (social) bagi nasabah yang sangat lemah dengan skim (bentuk pembiayaan) “qorḍul ḥasan” yaitu pinjaman dimana nasabah tidak dibebani sesuatu apapun kecuali hanya mengembalikan pokoknya. 39 Khusus dibidang perbankan, setelah lahirnya UU No.10 Tahun 1998 yang secara tegas mengakui sistem perbankan syariah disamping perbankan konvensional, maka keberadaan Bank Muamalat Indonesia dan bank Umum Syariah lainnya serta lembaga keuangan syari’ah pada umumnya semakin kokoh dan kuat karena terdapat pijakan hukum yang pasti. Adanya landasan hukum yang pasti tersebut maka sampai tahun 2004 telah lahir 3 Bank Umum Syariah, 11 Unit Usaha Syariah (windows) dari Bank Konvensional, 88 Bank Perkreditan Syariah dengan jaringan 102 Kantor Pusat dan 137 Kantor Cabang dan ratusan
39
http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalamperspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)
185
kantor cabang pembantu, disamping itu lahir pula ribuan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia. 40 Tentu saja pada tahun 1998, eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan di keluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undangundang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998, menyebutkan terhadap entitas perbankan Islam secara eksplisit diberikan dengan istilah Bank Syariah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan 3 (tiga) buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah yang telah dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/Kep/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; b. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah; c. Surat Kepuusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrument yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Bank Indonesia, yakni: a. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000, tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur 40
http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalamperspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini/ (Dikases pada tanggal, 24 Februari 2010)
186
mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; b. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000, tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar bank berdasarkan prinsip syariah; dan c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000, tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, dalam hal ini relevan dikemukakan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan membeikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, denagn demikian UUBI sebagai undang-undang Bank Sentral yang baru sedara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangan. Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa
187
Dewan Syariah nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembagalembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 75
yang melingkupi fatqwa mengenai produk perbankan syariah,
lembaga keuangan non bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transkasi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai terlampir. Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indoonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberpa Pertauran Bank Idonesia dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21 Tahun 2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh
188
pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung. 1) Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2008 Perlu kita ketahui bahwa terhadap pengertian penitipan adalah suatu penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah (UUS) dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah (UUS) yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut dan terdapatnya wali amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.(hal ini didalam realisasi transaksi perbankan syari’ah). Didalam kegiatan perbankan, mungkin saja akan terjadi didalam penyehatan suatu bank yaitu dengan cara melakukan penggabungan yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank/lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri akan beralih kepada hukum Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri tersebut akan berakhir karena hukum. Sedangkan mengenai suatu upaya peleburan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank/lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 41 Begitu pula dengan istilah pengambil alihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih 41
Sukrisno, Perencanaan Strategis Bank (Jakarta: LPPI, 1992), 46
189
saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut dan pegitupula mengenai hal pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Segala tindakan tersebut diataur oleh Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, yang merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari Peraturan Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk mengatur dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia. Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu: 1) Untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, 2) Untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, 3) Untuk menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil) dan 4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 42 Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat 42
Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Prakltik (Jakarta: Gema Insani,
2001), 43
190
1) Menyatakan bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, 2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan, b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan usaha), 3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, 4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya, 5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, 6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia, 7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional, 8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan 9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia. 43
43
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
191
Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh Undang-Undang Bank Indonesia. Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan halhal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8). Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a). warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
192
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9). Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9) dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama, dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia. Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola, Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut. Kerahasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor, investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan, pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).
193
2) Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Bank Syariah Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurangkurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah (UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang telah ditetapkan. 44 Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian
Bank
Indonesia
memiliki
pengaruh
terhadap
Bank
dan
c.
memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening Pembiayaan. Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka tindak lanjut melakukan pengawasan antara lain: a.membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, b. meminta 44
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tentang Bank Indonesia
194
pemegang saham menambah modal, c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, d. meminta Bank Syariah
menghapus
pembukuaan
penyaluran
dana
yang
macet
dan
memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya, g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54). Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55). Bank Indonesia yang merupakan sebagai Bank Sentral di Indonesia, berkewajiban melakukan pemeriksanaan maupun pengawasan terhadap Bank Syari’ah, apabila dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, dan pengenaan sanksi administratif dan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank tersebut. 45 Landasan
hukum
berdasarkan
kebijakan
dasar
tersebut
adalah
membuktikan bahwa perbankan syari’ah terlihat siap ikut melaksankan dan 45
Teguh Pudjo Muljono, Analisis Laporan Keuangan Untuk Perbankan (Jakarta: Penerbit Djembatan, 1999)
195
membantu perekonomian Indonesia, khususny perekonomian yang berdasarkan prinsip kesyari’ahan. secara faktor eksternal, adalah untuk membuktikan kapada dunia internasional bahwa perbankan syari’ah dapat melaksanakan kegiatankegiatan perekonomian baik secara nasional maupun internasional, serta untuk menarik para investor asing terutama para investor negara-negara Islam (misalnya negara arab saudi, Quaid dan lain-lainya) agar mau menginvestasikan modalnya di negara Indonesia dengan prinsip-prinsip kesyari’ahan. 46 Faktor
eksternal
inilah
yang
berperan
sangat
penting
didalam
perkembangan perbankan syari’ah, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan ceapt, yang nantinya dapat diharapkan membantu perekonomian Indonesia.baik secara faktor internal maupun secara faktor eksternal, dimana terlihat baik mengenai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuannya telah selaras dan harmonis, hanya didalam realisasi harus diatur dengan secara tegas berdasarkan prinsip syari’ah yang bersifat nasional maupun internasional, hal ini untuk mengantisipasi apabila terjadi sengketa baik dengan para nasabah/investor baik secara nasional maupun internasional. Hal ini harus diperhitungkan secara mendalam bagaimana untuk menangani sengketa tersebut? apalagi jika melibatkan wilayah hukum dua negara atau lebih.
46
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,
2001), 51
BAB V POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH
A. Politik Hukum Pebankan Syariah Ketika kita berbicara mengenai politik hukum perbankan syariah, maka akan terbayang dalam benak kita bahwa hukum adalah sesuatu yang lemah. Artinya bahwa hukum dalam posisi sebagai objek dari politik, dan politik sebagai subjek yang memberikan pengaruh kepada hukum. 1 Hal ini menunjukkan bahwa hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum menuju perubahan iklim politik yang membawa tatanan pemerintahan kearah yang lebih baik, seperti halnya bangsa Indonesia ini yang semakin tumbuh dewasa dalam penerapan hukum 2 dan demokrasi. 3 baik penegakan hukum, persamaan hukum, 4 hak asasi manusia, 5 1
Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingankepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), cetakan pertama, 9. 2 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74. 3 Esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya Nurcholis Madjid, Demokrsi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta: Paramadina, 1994), cetakan pertama, 203. 4 Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu. Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), (Jakarta: Pustaka Antara, 1990), cetakan pertama, 114.
196
197
pemerataan sosial dan sebagainya. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum. 6 Mahfud MD., memberikan uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. 7 Pandangan ini menurut pengamatan penulis cukup berbeda dari pandangan kebanyakan para pengasuh pendidikan hukum, yang memandang hukum dalam perspektif yang terbatas dan mencakup hanya lembaga penegak hukum serta hukum positif sebagai produk utamanya. Hukum itu memiliki inherenitas yang besar dengan berbagai aspek kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik budaya local maupun regional bahkan global. Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor 5
Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin olehPancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dandasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Walaupun perwujudan secara materiildan formil baru ada setelah dikeluarkannya undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana aksinasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998.Sebagaimana diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada dua endala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala eknis prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upayapenyelesaian melalui pengadilan. Mo Mahfud MD, Politik Hukum Hak Azasi Manusia di Indonesia”, Pidato Pengukuhan dalam jabatan Guru Besar, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 23 September 2000. 6 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 T XIV, al-Hikmah, 2003, 74. 7 M. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), Cet. Pertama, 12.
198
yang mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat pro dan kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk hukum perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan adanya hukum perbankan syariah. Juru bicara partai Fraksi PDS Retna Rosmanita Situmorang mengatakan bahwa “Hal-hal yang berkaitan dengan perbankan syariah telah diatur dalam UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998, sehingga tidak
perlu lagi dibuatkan UU khusus yang mengatur mengenai kegiatan
perbankan syariah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebuah UU yang berlaku umum tidak memasukkan prinsip-prinsip kelompok tertentu saja ke dalam sistem hukum nasional, sehingga akan berimplikasi dualisme hukum, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. 8 Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undangundang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. 9 Di Indonesia, misalnya, intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia. 10 Politik hukum, menurut Mahfud MD, juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. 11 Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok 8
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), 76. 9 Jazuli, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, 9-10. 10 Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, 56. 11 M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2.
199
tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat. Seiring dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar. 12 Begitu pula sebaliknya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang sebagai hukum apabila diresepsi ke dalam hukum adat, itu pun dalam strata ketiga setelah hukum Eropah dan hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India). 13 Indonesia yang merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem hukum asing ke dalam hukum masyarakat pribumi. 14 Jadi, bahwa dalam pembentukan hukum perbankan syariah dikelilingi oleh banyak faktor adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi. Van den Berg dalam sebuah
teori receptio in complexu menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Jadi jika penduduk masyarakat beragama Islam, maka hukum yang berlaku harus hukum Islam pula. Kemudian pendapat ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai penemu teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan
bahwa
hukum
Islam
dapat
diberlakukan
sepanjang
tidak
bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepi (diterima) terlebih dahulu oleh 12
Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII (Jakarta,Al-Hikmah, 2002), 31. 13 Cik Hasan Bisri, Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional, 2002), 32 14 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV (Jakarta: Al-Hikmah, 2003), JanuariMaret, 80
200
hukum adat. Teori receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat kepada Pemerintah hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi (inlander) agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. 15 Eksistensi teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S. yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam, selama hukum itu telah diterima di masyarakat Hukum Adat. Hal ini telah terbukti di dalam hukum perbankan syariah, dimana istilah bagi hasil ini telah dilakukan oleh nenek moyang kita sebelumnya, seperti bagiro/paroan (bagi dua), pertelu (bagi tiga) Memang benar, pada awalnya, politik hukum Indonesia dalam hal pembangunan hukum nasional, masih dipengaruhi oleh teori receptie yang dikembangkan oleh Snock Horgronye, namun pada akhir masa pemerintahan orde baru teori receptie mulai berkurang pengaruhnya dan bahkan mengalami sakarotul maut, dan selanjutnya dipandang telah mati pada masa reformasi saat ini, terbukti dengan telah diterimanya hukum Islam ( perdata dan muamalat ) secara bulat sebagai hukum positif, yaitu dengan dimasukkannya Peradilan Agama dalam kekuasaan yudikatif, dihapusnya fiat eksekusi atas putusan Peradilan Agama, tidak adanya lagi hak opsi dalam kewarisan Islam dan diterapkannya hukum ekonomi Islam serta diperluasnya kewenangan Peradilan Agama, namun demikian masih ada sebagian elit politik yang phobia terhadap pemberlakuan Hukum Islam. 16
15
Afdol. Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 & Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), 47. 16 http://aanaboodzforlife.com/2010/02/sistem-perbankan-syari%E2%80%99ah-dalam perspektif-politik-hukum-indonesia-pada-saat-ini (Diakses pada tanggal, 12 Maret 2010)
201
Seorang ahli hukum dari Austria, Eugen Ehrlich, mengemukakan bahwa pengaruh hukum di dalam masyarakat harus dilakukan dengan pendekatan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa, “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan dalam hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang dalam istilah antropologi dikenal dengan pola-pola kebudayaan (culture patterns). 17 Eugen Ehrlich menganjurkan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living dan just law” yang merupakan “inner order”
dari pada masyarakat
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum atau membuat suatu Undang-Undang agar hukum atau Undang-Undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat itu.
18
Jika hal itu tidak mendapat perhatian, maka akibatnya
hukum tidak bisa berlaku efektif bahkan akan mendapat tantangan (rigid). 19 1. Embrio Politik Hukum Perbankan Syariah Perjuangan politik hukum perbankan syariah merupakan bagian usaha penegakkan dalam penerapan syariat Islam di Indonesia yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Usaha-usaha ini sebetulnya telah lama diformat melalui
piagam Jakarta yang cukup representatif, namun selalu
mengalami kegagalan untuk diaplikasikan. Padahal telah dipersiapkan oleh Badan Perancang Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Panitia Persiapan 17
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hukum, Jakarta: Rajawali, 1991), 36. W. Fridman, Legal Theory, Edisi ke 3 (Steven and Sons Limited), 52. 19 R. Otje Salman , Ikhtisar Filsafat Hukum (Bandung: Armico 1999),52. 18
202
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan akan dijadikan Mukaddimah dalam UUD ’45. Isi piagam yang rencananya akan dimasukkan kedalam lima dasar dalam sila pertamayang berbunyi sebagai berikut: “ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.” Ini disetujui bersama oleh wakil-wakil Islam, Nasionalis dan Kristen. 20 Dengan isi piagam Jakarta itu, keinginan kedua belah pihak tercapai. Sebenarnya misi gerakan Islam untuk merealisasikan syari’at dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara masih terus dilaksanakan. Ada dua pola realisasi. Pertama, melaksanakan syari’at Islam sebagai hukum voluntir (voluntary law), seperti pernah dikemukakan oleh Sjafruddin Prawiranegara, yaitu dilaksanakan oleh dan dalam kerangka civil society yang relatif independen dari negara. Kedua, formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, sebagai suatu jalan pintas. Kedua-dua pola itu sebenarnya telah berjalan di Indonesia, tanpa formalisasi Piagam Jakarta. 21 Usaha-usaha formalisasi syariat Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Umat Islam terus berlanjut memperjuangkannya dan memuncaknya dalam Sidang Konstituante 1959. Dalam forum itu seluruh partai Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara yang artinya syariat Islam berlaku tidak hanya pada umat Islam, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan ini pun menjadi kandas, karena suara pendukung Islam sebagai dasar Negara masih lebih kecil dari suara yang menolaknya, walaupun umat Islam disebut sebagai mayoritas di Indonesia. 22 Memperhatikan politik Islam, apalagi jika dihubungkan dengan kontek kekinian, saat-saat sebagian besar Negara-negara Islam
lebih diwarnai oleh
sistem Barat beserta instrument-instrumennya. Padahal Islam memiliki sistem dan corak tersendiri dalam menata pemerintahan. Interaksi peradaban yang besar 20
Deliar Noer, Syariat Islam Republika, 4 September, 200-. M. Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 72. 22 M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, xiii 21
203
antara Barat dan Islam memberikan pengaruh kepada sejumlah intelektual muslim untuk menerima alternatif yang ditawarkan oleh Barat dalam politik, ketimbang memepertahankan sistem yang sudah ada. Kendatipun konsep itu telah teruji kebenaran dan keampuhannya. 23 Kekhawatiran penguasa-penguasa Barat terhadap berdirinya Negara yang berdasarkan syariat Islam adalah bahwa berdirinya kekhalifahan Islam (The Caliphate of Islam) yang megah selama belasan abad, membentang dari ujung Barat di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Balkan di Eropa Timur hingga ke Indonesia dan Philipina di Timur. Image mereka tentang gambaran pemerintahan Islam adalah potret sejarah Perang Salib yang memakan waktu sangat panjang. Peperangan ini juga tandai dengan kalah dan menangnya silih berganti di kedua belah pihak, yang akhirnya kekalahan tragis itu ada pada kaum Salib Eropa, ketika komandan perangnya Louis IX dari Peancis, tertangkap oleh pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi di Manshurah, Mesir. Hal ini kemudian menjadi dendam kesumat sejarah yang tak kunjung padam di benak setiap insan Eropa. Akhirnya kisah perang Salib ini, hingga sekarang diabadaikan melalui kurikulum sekolah sejak dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Perang Salib ini menampakkan corak politik dan keserakahan Barat ketimbang perang karena motivasi agama. Alasannya kaum Nasrani di Timur tidak memihak kepada tentara Salib dari Eropa, tetapi
justru berada di belakang pasukan
Shalahuddin.
Umpamanya, sikap Kristen Koptik di Mesir justru memihak kepada tentara Islam bukan tentara Salib. 24 Negara-negara Barat saat ini, selalu dihantui oleh tidak hanya berdirinya kekhalifahan Islam, tetapi juga dihantui oleh sebuah negara yang berdasarkan Islam sebagai azas ideologi. Mereka berusaha sekuat tenaga menghalang-halangi
23
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto (Bandung, Syaamil, 2006), Cet. Pertama, 82 24 Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 83.
204
dan menekan negara Islam yang sudah berdiri, dikhawatirkan pula akan menular terbentuknya negara baru yang berdasarkan Islam sebagai azas ideologi. Memahami bahwa kekhalifahan merupakan gabungan dari negara-negara bagian Islam. Seandainya negara Islam dapat berdiri tanpa hambatan, itu merupakan motivasi bagi bagi negeri lain untuk ikut mendirikan negara Islam, Jika negara Islam semakin banyak, maka akan berdiri pula Khilafah Islamiyah yang amat ditakuti oleh Barat. 25 Untuk itu, Barat mempunyai kepentingan menolak konsep Negara Islam melalui ide dan pemikiran yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh umat Islam sendiri yang telah terkontaminasi oleh pendidikan dan pemikiran Barat. Dalam tataran pemikiran, Barat telah berhasil mencetak kaum interlektual yang telah siap mengamini dan menjadi juru bicara Barat sengaja maupun tidak, untuk tidak menerima pendirian Negara Islam dengan alasan apapun. Mereka memang lebih akrab dengan pemikiran Barat yang liberalis dari pada metode al-Qur’ân dan AlHadith. Bagi mereka mempunyai kemudahan dalam menggulir pemikirannya, karena disamping, mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim juga banyak yang memegang posisi strategis dalam pemerintahan baik sebagai praktisi maupun akademisi. Bagi Barat merasa kesulitan jika pemikiran itu, lahir dari orientalis, karena sudah pasti memperoleh tantangan yang besar dari umat Islam di Dunia. Abdullah Ahmad an-Na’im, seorang cendikiawan Muslim asal Sudan yang kini bermukim di AS, dalam ceramahnya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berpendapat, bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks negara-negara (nation-state), dianggap tidak saja tidak mungkin, tetapi juga tidak perlu. Sebab, negara modern itu bersifat netral dan karena itu tidak boleh didominasi oleh satu golongan pun, baik Muslim maupun non-Muslim. Demikian pula formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif tidak diperlukan, karena 25
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan., 84.
205
dalam formalisasi itu, negara harus memilih suatu mazhab tertentu, yang berarti akan menyingkirkan mazhab-mazhab yang lain. Karena itulah, pilihan umat Islam adalah mengembalikan Islam kepada masyarakat dalam suatu civil society. Nurcholis Madjid menyampaikan gagasan dalam menyikapi persoalan yang berkembang di masyarakat tentang “Keharusan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Munculnya pemikiran tersebut tidak terlepas dari kondisi umat Islam Indonesia ketika itu yang tengah mengalami kestatisan dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya. 26 Ajaran-ajaran agama, yang mampu memberikan landasan nilai dan moral universal, merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Nurcholish Madjid yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam melontarkan gagasan “Islam, Yes”; Partai Islam, No”, merupakan sebuah refleksi untuk mengkounter banyaknya kemunculan partaipartai Islam saat itu. Disamping itu juga berangkat dari kekecewaan atas partai Islam yang tidak berhasil membangun image positif
dan simpatik, bahkan
sebaliknya. 27 Dengan kata lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam haruslah difahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya tetapi penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti itu pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya. 28 Namun di pihak lain, pemikiran Nurcholis Madjid tentang, “Islam, Yes”; Partai Islam, No” menunjukkan bahwa umat Islam tidak patut mendirikan Negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya. Dan jargon inilah 26
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuat Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan dan keomderenan (Jakarta: Paramadina, 1992), Cet. Ke-2, xviii. 27 Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-8, 204. 28 Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesiaan, 205
206
yang kemudian dijadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk memberanguskan politik Islam. Sebenarnya, pemikiran ini telah terkontaminasi 29 oleh rezim Orde Baru yang tidak akomodatif dengan politik Islam, disamping merupakan refleksi keinginan penguasa 30 pada saat itu. dan bukan desebabkan oleh bangsa Indonesia yang sangat majemuk, baik dari suku, bangsa dan agama. Pemikiran ini ada benarnya Gagasan lain yang diutarakan oleh Nurcholish Madjid mengenai skularisasi di era 1970 an, ini berdampak pada kebebasan berfikir dan munculnya sikap keterbukaan di kalangan umat Islam Indonesia untuk tidak mensakralkan segala sesuatu yang berifat material dunia, dan telah membuat masyarakat muslim menyadari hakikat nilai pluralisme, toleransi dan penilaian yang serba tidak absolute. 31 Sekularisasi yang diluncurkan Nurcholis Madjid, sebuah proses pembebasan, yaitu untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk mengukhrawikannya. Proses pembebasan ini untuk lebih memantapkan tugas manusia sebagai “khalifah Allâh di Bumi”. 32 Ternyata sekularisasi yang diluncurkan Nurchalis Madjid juga sama dengan sekularisme, yang memisahkan urusan dunia dengan ukhrawi. Oleh karena itu pendapat Nurkholis Madjid tidaklah jauh dengan pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan 29
Yaitu kekhawatiran akan timbulnya keruncingan yang berbau SARA. Padahl istila SARA itu sendiri adalah terminologi yang diciptakan rezim waktu itu unuk menghajar kekuatan politik umat Islam. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 72 30 Indikasi lain, pemerintah juga melakukan pengkebirian atau pembelengguan partai politik. Puncaknya adalah ketika semua parpol, bahkan ormas dipaksa untuk mengubah masing-masing azasnya menjadi azas Pancasila sebagai satu-satunya azas. Ali Murtopo, antek politik orde baru, melalui lembaga CSIS-nya, berusaha utuk membumihanguskan poliik, sasaran tembakyang paling utama adalah “politik Islam”. Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 74 31 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1, 30 32 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, 31
207
bahwa formalisasi syari’at Islam dalam konteks negara-negara (nation-state), adalah tidak penting. Umat Islam harus mengembalikan Islam kepada masyarakat dalam suatu civil society Banyak kalangan menolak terhadap gagasan sekularisasi yang dilontarkan Nurcholis Madjid, termasuk penolakan, Harun Nasution, tokoh modernis kontemporer yang berpendidikan Barat,
tidak menerima dengan gagasan
sekularisasi yang telah sampai ke tingkah pemisahan dunia dan akhirat. Antara kedua bentuk ini terdapat garis pemisah yang jelas. 33 Begitu juga dikatakan Nurcholis Madjid, bahwa umat Islam tidak patut untuk mendirikan Negara Islam, karena tidak memiliki alasan yang mendasar. Nurcholis Madjid mempunyai pandangan yang sangat keliru. Ia hanya hanya mengikuti pemerintah orde baru yang tidak akomodatif terhadap Islam. Rasa ketakutan dan ketidakmampuan Nurkholis Madjid untuk melontarkan gagasan mendirikan Negara Islam, dan disamping pemikirannya telah terkontaminasi dengan alur pemikiran barat. Khalid Muhammad Khalid dikenal sebagai seorang intelektual Mesir yang berhaluan sekulerisme, dengan tegas menolak gagasan pendirian “Negara Islam”. Ia menganggap pemikiran itu merupakan keterbelakangan. Ia mengajak umat Islam agar memisahkan urusan agama dengan masalah politik dan pemerintahan, karena dalam pandangannya, Negara-negara maju di Barat yang menganut sekularisme. Kemajuan mereka setelah berhasil memisahkan peran gereja dengan persoalan politik dan kenegaraan . Jadi mengambilan kesimpulan bahwa, jika umat Islam ingin maju, urusan agama harus dipisahkan dari Negara. Tetapi di penghujung penghidupan atau pada kematangan berfikir, Khalid Muhammad
33
Harusn Nasution, Islam Rasional (Bandung : Mizan 1996), cet. ke-4, 193.
208
Khalid, mengakui dan menganulir/meralat ide-idenya yang dikatakan di atas adalah menganggapnya sebagai suatu kesalahan besar. 34 Sejatinya, seorang ilmuwan, harus bertanya apakah hipotesa ilmuwan Barat sudah menjadi aksioma atau hanya sekadar asusmsi? Jika sarjana-sarjana di Barat mengatakan,”Kami maju karena meninggalkan agama”. Seorang muslim yang sejati akan mengatakan, “Itu akan hanya berlaku bagi agama yang selama ini dianut oleh orang-orang Eropa, tapi tidak untuk agama Islam yang sempurna dan universal”. Islam memandang kehidupan duniawi dan ukhrawi secara seimbang: artinya tidak ada salah satunya dikorbankan untuk memenangkan sisi yang lain Bila politik tidak dikendalikan, ia akan menajdi liar dan menjadikan manusia lainnya sebagai mangsanya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mendirikan negara, bukan perintah dari syariah, tapi menegakkan syariat Islam adalah perintah atau kewajiban. Kekuasaan harus dijalankan dengan syura dan hukum harus ditegakkan dengan adil. Kaidah ushul Fiqh menyebutkan bahwa, “Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihî, fahuwa wâjibun” Sesuatu yang wajib untuk dijalankan dan kewajiban itu tidak mungkin ditegakkan kecuali adanya alat untuk sesuatu kewajiban itu. Maksudnya adalah menegakkan syariat Islam suatu kewajiban 35 haruslah secara utuh dan menyeluruh, tidak beribadah secara sempalan atau parsial, dan untuk menegakkan syariah haruslah ada sarana/alat yakni negara. Nah, sekarang negara sudah ada, memberikan nama negara Islam atau tidak negara Islam bukan merupakan suatu hal yang pokok. Yang pokok
34
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86 35 Kewajiban adalah sesuatu yang haris dijalankan dalam Islam. Syariah adalah keseluruhan dari ajaran-ajaran itu sendiri. Dalam terminologi hukum pemahaman terhadap syariah baik di dalam alQur’ân maupun yang terkandung di Hadits Rasulullah saw. Mengandung sutu norma hukum sesuia yang mengalami perkebangan. Lihat Kata Pengantar Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah, tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka Ar-Raihan, 2007), v
209
adalah melaksanakan al-amru bi al-ma’rûf wa al-nnahyu ‘ani al-munkar, menciptakan kemakmuran dan perdamaian. 36 Tetapi menurut hemat penulis,
ketika tidak bisa menegakkan syariat
Islam di dalam negara tersebut, maka mendirikan negara Islam dan/atau menjadikan negara Islam menjadi wajib hukumnya atau mutlaq harus dilakukan dan bila tidak dilakukan pastilah Allâh tidak menurunkan kehidupan yang berkah, bahkan siksa Allâh yang amat pedih pasti turun. 37 Dawam Rahardjo mengutarkan bahwa, gerakan Islam itu sendiri secara keseluruhan dapat dibedakan menjadi dua pola. Pertama, pola “Islam Politik” yang menempuh jalan mencapai kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan syari’at Islam. Kedua, “Islam Kultural” yang memilih jalur budaya dan kemasyarakatan. Yang pertama bertujuan menegakkan Negara Islam atau kekuasaan Islam, sedangkan yang kedua, bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam, peradaban Islam atau masyarakat madani, paling tidak ikut serta dalam civil society. 38 Sebagai reaksi terhadap gejala Islam fundamentalis dan Islam Radikal, telah timbul kelompok Islam Liberal yang mengkampanyekan sekularisme. 39 Pandangan sekularisme ini menurut penulis, sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh umat Islam, jika dilihat dari kacamata Islam seharusnya adalah menempuh jalan “Islam struktural” untuk mencapai kekuasaan sebagai alat untuk
36
Yusril Ihza Mahendra dalam, Mengawal Syariah, tulisan MS. Kaban (Jakarta: Pustaka ArRaihan, 2007), viii 37 Q:S., Al-A’raf, 7:96. 38 M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, xiv 39 Menurut kelompok ini, gerakan Islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Selain itu, dalam menanggapi persoalan publik, pendekatan agama tidak perlu dipakai dan diganti dengan ilmu pengetahuan. Gagasan kelompok liberal ini agaknya sulit atau tidak bisa diterima, tidak saja oleh kelompok radikal dan fundamentalisme, tetapi juga oleh kalangan mainstream yang berpandangan moderat. Lihat M. Dawam Rahardjo, Dalam Kata Pengantar Buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, xv
210
menegakkan syari’at Islam. Mengapa berpendapat demikian? Jawabannya adalah Islam adalah agama yang sempurna 40 . Untuk itu, membangun partai politik Islam - bukan pemanfaatan Islam untuk mencari kekuasaan dan kekayaan yang pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya - guna menegakkan syariat Islam dan/atau mendirikan Negara Islam yang berazaskan kepada al- Qur’an, adalah merupakan keniscayaan dan kewajiban muthlak untuk umat Islam, yang apabila tidak dilaksankan sama halnya dengan tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya. Disinilah sebetulnya akan terjadi penciptaan suatu masyarakat madani. Dengan demikian, meraih kekuasaan untuk penerapan syariat Islam akan lebih mudah. Penerapan syariat Islam harus dipaksakan kepada masyarakat. Masyarakat tunduk kepada hukum Tuhan, karena hukum Tuhan (Syariat Islam) bersifat memaksa (authoritarian), sedangkan hukum duniawi tunduk kepada manusia. Dengan sifat otoriter itu, juga sama dilakukan dengan penerapan shalat lima waktu dan ibadah-ibadah lainnya agar masyarakat menjadi terbiasa. Karena manusia lebih banyak mengikuti hawa nafsunya yang buruk ketimbang mengikuti perintah Tuhannya.
Di sinilah, sebetulnya bahwa
mengapa pendirian dan
penegakkan negara Islam 41 di Indonesia menjadi sangat penting kendatipun hal ini dianggap sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dperjuangkan. Untuk
40
Q:S. 3:83 Mendirikan negara Islam itu berawal dari sebuah wacana politik Islam. Barat sangat berkepentingan jika yang menolak konsep tentang Negara Islam itu berasal dari kalangan umat Islam sendiri, apalagi jika ide itu dilontarkan oleh seorang tokoh Islam. Pasalnya, jika disampaikan oleh seorang orientalis, misalnya, tentu saja ide yang sama akan mendapat penolakan secara total dari masyarakat muslim. Dalam tataran pemikiran, barat telah berhasil mencetak serombongan kaum intelektual yang siap mengamin agenda damn pola berfikir barat, sengaja atau tidak sengaja. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikit diantara mereka yangmemegang posisi strategis dalam pemerintahan, baik sebagai praktisi maupun akademisi. Mereka memamng lebih akrab dengan metode berfikir barat yang liberalis, ketimbang metode Qur’an dan Hadits Mereka lebioh percaya denga fenomena yang terjadi di Barat saat ini daripada melihat sejarah kegilangan umat Islam dimasa lampau. Lihat Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 85 41
211
itu, menurut pendapat penulis mendirikan negara Islam sebuah keniscayaan, yang harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam. Nah, mendirikan partai Islam untuk menegakkan syariat Islam dan/mendirikan negara Islam adalah juga wajib hukumnya. Berangkat dari sinilah sebetulnya urgensitas perubahan sistem politik masa lalu, sebagai tuntutan utama reformasi. Rakyat menyadari bahwa pemerintah masa lalu telah memperlakukan Islam kurang harmonis atau tidak baik. Namun kemudian, baru saja reformasi muncul dan iklim demokrasi pintunya terbuka, tiba-tiba Nurcholis Madjid mengatakan bahwa mendirikan partai agama tidak perlu. Ungkapan yang disampaikan sehari setelah mundurnya Soeharto dan masih sedang hangathangatnya iklim reformasi ini, terasa sebagai hal yang
bertentangan dengan
reformasi dan memukul hati sanubari umat Islam Indonesia. Padahal salah satu isu reformasi menghapuskan UU yang membatasi ruang gerak parpol. 42 Beberapa kendala yang ada terhadap pendirian negara Islam di Indonesia antara lain: disebabkan ada tiga kelompok besar yang selalu berbeda pandangan mengenai penegakkan syariat Islam dan/atau mendirikan negara Islam di Indonesia. Masih banyaknya masyarakat Islam yang tidak perduli terhadap ajaran agama Islam karena ketidak fahamannya terhadap Islam yang sebenarnya. Ketiga kelompok tersebut yakni: Pertama, kelompok Islam fundamentalis dan Islam Radikal yang menghendaki menjadikan negara Islam atau negara masuk ke dalam Islam secara kaffah dengan menggunakan azas berdasarkan alQur’ân dan Al-Hadith, yang dikenal
dengan istilah
“Islam Struktural”,
sayangnya kelompok ini juga tidak memiliki figur pimpinan yang dapat dipercaya atau diakui reputasinya oleh semua golongan, baik secara nasional maupu Internasional; kedua, kelompok Islam moderat yang mengiginkan Islam terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara artinya dalam 42
Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pasca Kejatuhan Soeharto, 85-86
212
kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak mesti membentuk negara Islam, atau dikenal dengan istilah “Islam kultural”. Ini sebetulnya dapat dilakukan ketika alQur’ân Al-Hadith belum ada (tidak sempurna); sedangkan yang ketiga, adalah kelompok Islam liberal yang menghendaki bahwa gerakan Islam tidak perlu membawa isu keagamaan ke dalam wacana publik. Dan yang ketiga ini dikenal dengan istilah sekularisme. 43 Hanya saja, nampaknya masih terjadi perbedaan pendapat mengenai apa itu yang disebut dengan syari’at Islam atau Hukum Allâh. Ada dua pandangan baru mengenai apa yang dimaksud dengan syariat Islam. Pertama, syari’at Islam sebagai sebuah prinsip-prinsip umum yang sifatnya universal, yang merupakan petunjuk Tuhan (al-huda) atau al-Qur’ân dan Sunnah Rasul. Prinsip-prinsip umum itu kini telah dirumuskan menjadi al-maqâsid al-sharî’ah, sebagaimana telah dirumuskan oleh Imam al Syatibi dan Imam al-Ghazali. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah, bahwa penerapan syari’at Islam memerlukan penafsiran yang pasti akan sangat beragam dan berubah dari waktu ke waktu sebagaimana yang telah terjadi dalam Islam historis. Kedua, yang dimaksud dengan syari’at Islam itu adalah hukum fiqih yang telah dirumuskan oleh para ulama. Jika itu yang dimaksud, maka sebenarnya syari’at Islam itu tidak identik dengan hukum Tuhan, melainkan merupakan penafsiran para ahli mengenai wahyu Allâh dan Sunnah Nabi SAW. Syari’at Islam seperti ini masih memerlukan kajian ilmiah untuk bisa diperjuangkan menjadi hukum positif. 44 Menurut Mohammad Natsir, 45 salah satu wujud akomodasi bagi gagasan pelaksanaan penegakkan syariat Islam dibentuknya Departemen Agama Republik Indonesia yang dimaksudkan agar umat Islam masih terus bisa memperjuangkan berlakunya syariat Islam bagi para pemeluknya, melalui legislasi di parlemen dengan dukungan partai-partai Islam. Kerjasama Departemen Agama dengan 43
M. Dawam Rahardjo, xv. M. Dawam Rahardjo, xvi 45 M. Dawam Rahardjo, xvi 44
213
partai-partai Islam dan unsur-unsur simpatisan Islam di partai sekuler seperti Golkar telah terjadi penyusunan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam, misalnya tercermin dalam UU Nomor 14 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UndangUndang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang sedang penulis bahas ini. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengaruh Politik Hukum Pembentukan UU perbankan syariah banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dan perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah. Ekonomi syariah adalah bentuk aktifitas yang operasionalnya dikemas dan dibingkai oleh Islam. Islam dan politik merupakan dua aspek penting yang menjadi satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan satu sama lain. Di satu sisi pembangunan ekonomi Islam dipengaruhi oleh faktor politik, di sisi lain politiknya juga dipengaruhi oleh Islam. Realitas interdependensi dua hal tersebut telah melahirkan suatu kajian yang dikenal dengan politik ekonomi. Secara konkret realitas interdependensi ekonomi Islam dan politik tersebut, bisa dibaca pada gagasan umat Islam Indonesia untuk mendirikan bank Islam, yang sangat sarat dengan muatan politis. Pada mulanya, hubungan umat Islam dan Orde Baru masih diliputi kecurigaan dan prasangka. Para penguasa Orde Baru pada tahun 1970-an masih mencurigai gagasan tersebut sebagai salah satu wujud dari gerakan pendirian negara Islam atau realisasi Piagam Jakarta. Oleh karenanya pemerintah tidak mengizinkan pendirian lembaga tersebut. 46
46
Alasan resmi yang dikemukakan oleh Pemerintah mengenai tidak diizinkannya pendirian bank Islam adalah karena cara operasi bank Islam, yang menuntut pemerataan lebih adil dengan sistem bagi hasil, tidak sejalan dengan Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang No. 14 Tahun 1967, BAB I Pasal 1, yang tidak mengizinkan beroperasinya bank tanpa bunga kredit. Lihat M.
214
Namun, pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, ternyata bank syariah mengalami kemajuan yang sangat berarti, bahkan banyak bank konvensional yang membuka divisi syariah. Melihat berbagai perubahan yang cukup pesat dari perkembangan sistem ekonomi Islam yang dimanifestasikan dalam wujud perbankan syariah dan adanya akomodasi dari regulasi perbankan, yang kemudian memunculkan pertanyaan besar, mengapa semua itu bisa terjadi dengan cepat? Dengan adanya asumsi bahwa antara ekonomi dan politik terjadi hubungan interdepedensi yang sangat erat, maka pertanyaan: peristiwa politik apakah yang memungkinkan itu semua bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah yakni: a. Faktor Internal 1) Ideologi Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia menjamin kehidupan bernegara dan berbangsa. Jaminan UUD 1945 Pasal 29 yakni, kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Dalam penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi. Bagi Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam pencapaian yang diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan penetapan ketentuanketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum formil), yang terkadang tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas dasar kontrak sosial. Dimana Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan penduduk meskipun Islam sebagai agama mayoritas. 47 Lahirnya UU perbankan syariah sebetulnya merupakan tuntutan ideology Negara, dimana Negara yang penduduknya menganut agama Dawam Rahardjo, “Bank Islam”, dalam Ensiklopedi Islam Tematis (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002), 399. 47
http://www.nggersik.com/tinjauan-politik-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia.htm, 17/02/10(Diakses pada tanggal 25 Maret 2010)
215
Islam, maka kebutuhan undang-undang yang mengatur ekonomi yang berbasis ajaran agama juga merupakan keniscayaan. Garansi negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan posisi negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif, yang diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia menganut sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi dalam segala langkah upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang terlahir, baik undang-undang maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah pada pembelaan atau pertentangan negara terhadap satu kelompok tertentu. Berikut DPS-DSN juga harus melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan tidak terintegrasi dengan pemerintah atau lembaga perbankan untuk menghindari politisasi fatwa. Demikian juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri perbankan syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan membuat tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan semakin terbuka lebar. 2) Agama Indonesia, Negara yang penduduknya mayoritas menganut agama Islam tentu saja ajaran-ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai pedoman kehidupan (way of life) keseharian baik ibadah secara vertikal maupun secara horizontal, termasuk pemikiran dasar mengenai sistem keuangan didasarkan atas skema bagi hasil (profit and loss sharing). Islam telah memperkenalkan sistem ekonominya, sebagai solusi terhadap perekonomian dunia yang selama ini mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh bisnis ribawi. Islam tidak menawarkan sistem bunga (interest). Islam mengajak para deposan untuk berpartisipasi dalam suatu usaha. Deposan akan mendapat bagian dari keuntungan usaha (bank) sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan
216
sebelumnya. Dengan demikian terjalin hubungan kemitraan antara bank dan deposan di pihak lain. Dan di pihak lain antara bank dan nasabah investasi yang mengelola simpanan deposan dalam berbagai usaha produktif. 48 1) Sistem bunga yang dimaksud adalah tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Penerapan sistem bunga ternyata berimplikasi negatif terhadap kehidupan. 49 Disamping itu 2) Sistem perbankan yang ada sekarang memiliki kecenderungan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi ditangan kelompok elit, para bankir dan pemilik modal. 50 3) Sistem perbankan yang menerapkan bunga menimbulkan laju inflasi semakin tinggi, karena ada kecenderungan bank-bank untuk memberikan kredit secara berlebih-lebihan. 51 4) Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan sangat tidak
berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan dan memeratakan pendapatan baik di tingkat nasional maupun global. 52 Di dalam era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini peranan lembaga perbankan sangat besar dan menentukan. Bank yang berdasarkan prinsip syariat Islam, diharapkan mempunyai pengaruh yang besar terhadap terwujudnya suatu sistem ekonomi Islam yang menjadi keinginan bagi setiap negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi sistem ekonomi Islam akan terus berkembang melalui kerja ijtihad. Bahkan sistem ekonomi Islam bukan hanya teoritis, ia merupakan hasil suatu 48
Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Islamic Banking , Terjemahan oleh Burhan Subrata Perbankan Syariah Prinsip, Praktek dan Prospek (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. !, 910 49 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 14 50 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 15 51 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait, 16 52 Warkum Sumitro,Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 15
217
proses tranformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat. 3) Politik Kekuasaan Dalam menghadapi berbagai kecaman dan kritikan atas beragam kebijakan yang dijalankannya serta akibat dari padanya, Soeharto kemudian membangun aliansi dengan partai politik, dengan harapan dapat mengerahkan dukungan rakyat terhadapnya. Ada dua partai politik yang dapat memberikan dukungan terhadapnya, yaitu partai NU dan PNI. NU dominan di kalangan santri di kawasan pedesaan maupun di kalangan wiraswasta muslim yang merupakan mayoritas masyarakat bisnis pribumi Indonesia, serta memiliki kepemimpinan yang relatif bersatu. Di pihak lain PNI terkenal di kalangan abangan dan di kalangan pamong praja, birokrasi negara yang terpenting. 53 Akhirnya, diciptakanlah ketertiban politik: pertama, menjadikan “dwi fungsi” ABRI sebagai alat untuk mendistribusikan ganjaran kepada para perwira yang setia kepada pemimpin yang tertinggi dengan menugaskan mereka ke dalam posisi-posisi ekonomi dan politik yang berpengaruh. Kedua, penugasan para perwira militer di posisi-posisi birokrasi dan politik untuk menjamin terpeliharanya politik yang tertib dan terkendali dengan mengendalikan konflik faksifaksi di antara perwira AD sendiri dan persaingan antar angkatan dalam tubuh ABRI serta penyederhanaan politik kepartaian. 54
53
Santri dan Abangan adalah dua istilah sosiologis yang sudah akrab di kalangan umat Islam Jawa. Secara kultural, santri digunakan untuk menyebut kelompok muslim yang taat dalam menjalankan agama. Sedangkan abangan sebaliknya, yakni sebutan untuk muslim yang tidak taat dalam menjalankan agama, terutama dalam wilayah ubudiya Dalam sosiologi Jawa masing-masing kelompok itu merupakan paguyuban yang seolah-olah saling membuat batas wilayah pergaulan sosiologisnya secara eksklusif. Masing-masing mempunyai budaya dan pola hubungan sosial sendirisendiri, sehingga nampak eksklusif. Paparan terkenal untuk pembagian dikotomi ini. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 6. 54 Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), 201.
218
Diangkatnya Ali Murtopo, yang merupakan salah satu dari dua belas perwira staf pribadi Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya memang menunjukkan bahwa Soeharto tidak menyukai radikalisme Islam. Ali Murtopo yang Islam phobia ini bersekutu dengan kelompok Katolik dan tokoh Jawa. 55 Tidak mengherankan jika kebijaksanaan politik pada awal pemerintahan Orde Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali Murtopo yang memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang cenderung memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan potensi yang amat membahayakan apabila diberi kesempatan. Bagi mereka Islam itu identik dengan “Darul Islam” sehingga mereka cenderung untuk menghancurkannya. 56 Puncak kegagalan politik Islam untuk kembali berkiprah dalam pemerintahan adalah ketika pemilu pertama Orde Baru pada 1971 yang membawa kemenangan mutlak kepada Golkar yang mengantongi 62,80% suara atau 392 kursi. ABRI sebanyak 230 kursi, Utusan Daerah dan Golongan 130 kursi, Partai Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) sebanyak 126 kursi dan partai lain (PNI, Parkindo, Parkat, IPKI dan Murba) memperoleh 42 kursi. 57 Dengan hanya memperoleh jumlah wakil yang kecil, ruang gerak politik Islam sangat terbatas. Sebaliknya kedudukan pemerintah relatif aman untuk menggolkan agenda politiknya di parlemen. Kemenangan mutlak Golkar juga memberikan legitimasi bagi pemerintah dan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan politis. Kontrol ini kemudian direalisasikan dalam program pengembangan sistem politik hegemonis. Pada Januari 1973, pemerintah memutuskan untuk melakukan restrukturalisasi sistem kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai, kecuali Golkar, harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai 55
Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 75. 56 Afan Gaffar, “Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional” dalam Ahmad Zaini Abas, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 199, 22. 57 Jamhari, “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 6, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 359.
219
Islam-NU, Parmusi, PSII dan Perti-digabung dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). 58 Sedangkan lima partai lain yang berlatarbelakang nasionalis (PNI, IPKI dan Murba), Kristen Protestan (Parkindo) dan Katolik (Parkat) digabung dalam PDI. 59 Selain melakukan pengerucutan jumlah partai-partai, pemerintah juga (dalam hal ini golongan mayoritas anggota parlemen adalah Golkar, wakil ABRI, utusan daerah dan golongan) mengusulkan untuk menyejajarkan aliran kebatinan dengan lima agama yang ada Indonesia, dan dengan mudah mendapat persetujuan. Peminggiran keterlibatan umat Islam kembali dilakukan dengan diberlakukannya asas tunggal. 60 Sosialisasi Pancasila dengan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dilakukan untuk menghindari terjadinya pertentangan ideologi. Lebih dari itu, menurut pemerintah sikap fanatisme terhadap ideologi akan mudah memancing terjadinya kerawanan dan konflik sosial, seperti yang pernah terjadi di Lapangan Banteng Jakarta ketika terjadi bentrokan antar massa PPP dengan Golkar pada 1982. Walaupun reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah ini masih tampak, seperti dalam peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984, namun umat Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan berhasil. Untuk ini, kalangan cendikiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna politik Islam yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas. Orientasi poltik baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan integratif. Artinya pendekatan baru tersebut lebih mengutamakan kepada aspek kandungan nilai
58
Sebuah nama partai yang sama sekali tidak menunjukkan adanya unsur-unsur Islami. Lihat Francois Raillon, “The New Order and Islam: or the Imbrioglio of Faith and Politics” dalam Indonesia (Cornell Southeast Asia Program, 1993), 202. 59 Jamhari, “Islam di Indonesia”, 359. 60 Setelah penerapan asas tunggal ini, semua kekuatatan politik (partai) dan semua organisasi sosial harus menjadikannya sebagai landasan ideologi partai atau organisasi. Lihat Francois Raillon, “The New Order”, 204.
220
Islam sebagai sumber inspiratif bagi kekuatan politis serta sikap saling menerima dan menyesuaikan antara umat Islam dan negara. 61 Pada periode 1982-1985, hubungan yang baik antara Islam dan negara mulai terwujud, walaupun belum sampai pada taraf yang ideal. Adanya Munas ketiga Golkar pada Oktober 1983, menandai awal era baru peranan politik elit Islam di dalam tubuh partai negara Orde Baru. Akbar Tanjung yang berlatarbelakang Ketua Umum HMI bersaing dengan Sarwono Kusumaatmadja, aktivis mahasiswa “Kelompok Bandung” yang mempunyai hubungan patronase dengan Jendral L.B. Moerdani. Keduanya bertarung untuk memperebutkan posisi sebagai Sekjend Golkar. Akbar yang memiliki latarbelakang HMI tentu saja memiliki visi lebih Islam ketimbang Sarwono yang lebih berorientasi sosialis. Kendati dalam pertarungan tersebut Akbar kalah, namun hal tersebut tetap memberikan makna baru bagi perkembangan Golkar ke depan. Golkar yang pada dua dekade pertama Orde Baru lebih dikuasai abangan yang anti Islam, semenjak tampilnya Akbar sebagai kandidat Sekjen, telah memberikan harapan lebih baik bagi tokoh-tokoh gerakan Islam untuk bisa memainkan peranan lebih baik dalam tubuh Golkar di masa berikutnya. 62 Sementara itu dalam komposisi kepengurusan hasil Munas II Golkar itu, pengaruh dan peranan Ali Murtopo merosot. Jika dalam hasil Munas Golkar 1978 orang-orang dari kelompok ini banyak memegang posisi kunci seperti Sekretaris Jendral, Wakil Ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Golkar 1983, kelompok Ali Murtopo hanya terwakili dua orang dan itu pun tidak menduduki kedudukan yang strategis. Kemerosotan politik kubu Ali Murtopo ini sangat terkait dengan kesenjangan politik Ali sendiri dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan gap Ali dengan Soeharto yang menyebabkan terpinggirkannya kubu Ali dalam 61
Jamhari, “Islam di Indonesia”, 360. Leo Suryadinata, Golkar dan Militer (Jakarta: LP3ES, 1992), 21.
62
221
percaturan politik nasional dan di DPD Golkar, khususnya dalam kurun waktu tersebut. Pertama, pada dekade 1970-an Ali Murtopo telah dapat mengerahkan sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kedudukan Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik pada bulan Januari 1974 (Peristiwa Malari) adalah persaingan antara Ali Murtopo dengan Jendral Soemitro. Berangkat dari kenyataan tersebut, Soeharto di penghujung dekade 1970-an hingga 1980-an secara perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan politik Ali Murtopo dan mulai menoleh kepada Soedarmono yang berhasil mengelola sekretariat negara, selanjutnya secara resmi diangkat sebagai Wakil Presiden. 63 4) Ekonomi Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sudah terpuruk, rezim Orde Baru tampil dengan mengusung perlunya stabilisasi, rehabilitasi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat rakyat Indonesia sudah berkali-kali kecewa akibat krisis-krisis ekonomi pada era Orde Lama. 64 63
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 179. Kelahiran Orde Baru dilatarbelakangi oleh kondisi politik dan ekonomi yang sudah terpuruk. Gagalnya percobaan kudeta G 30 S 1965 berikut perlawanannya telah membawa korban hampir setengah juta jiwa. Kondisi perekonomian saat itu hampir-hampir macet. Sebagaimana yang ditulis oleh Harold Crouch, pada 1965 inflasi di Indonesia mencapai 500% dan harga beras naik 900%. Defisit anggaran belanja pada tahun itu mencapai 300% dari pemasukan dan defisit triwulan pertama tahun 1966 hampir sebesar jumlah defisit keseluruhan tahun 1965. Potret buram ekonomi juga terlihat dalam data tentang perdagangan dan pembayaran internasional. Nilai total ekspor 1956 sebesar $924,4 juta dan turun menjadi $790,7 juta pada 1958 dan pada tahun 1965 angka itu menjadi $705,9 juta. Defisit neraca pembayaran juga meningkat antara 1960-1967. Defisit neraca pembayaran juga meningkat antara 1960-1967. Defisit dalam neraca berjalan adalah $84 juta tahun 1960 dan meningkat secara tajam menjadi $523 juta, ketika arus bantuan militer dari Uni Soviet melimpa Pada tahun 1965, defisit itu berjumlah $248 juta dan bersamaan dengan itu cadangan valuta asing merosot dari $313 juta tahun 1960 menjadi $8 juta pada April 1966. Padahal pada akhir 1965 Indonesia harus membiayai kebutuhan impor, minimum berjumlah lebih dari $600 juta. Kemudian masih ada lagi masalah hutang luar negeri. Demokrasi terpimpin menciptakan hutang berjumlah $2.358 juta, 42% kepada Uni Soviet, 10% kepada Jepang dan 7,5% kepada Amerika Serikat. Pembayaan hutang ini dijadwalkan selama 7 tahun dimulai pada tahun 1966. Masalah keuangan tersebut menimbulkan dampak yang berat hampir di semua sektor. Tidak adanya mesin suku cadang dan bahan mentah impor, telah menyebabkan produksi industri merosot menjadi kurang dari 20% dari kapasitasnya. Kurangnya biaya pemeliharaan juga menyebabkan rusaknya infrastruktur, terutama transformasi dan komunikasi. Hal ini diperparah 64
222
Jenderal Soeharto, yang pada saat itu sudah menjabat sebagai presiden cukup menyadari bahwa tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat kebijakan-kebijakan perekonomian. Dia mempercayakan pembuatan kebijakan ekonomi tersebut kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli ekonomi dari Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro, kemudian beberapa anggota dari kelompok ini dikirim ke Universitas California-Berkeley untuk mengadakan pelatihan berkenaan dengan upaya stabilitas ekonomi dalam negeri, 65 di samping bantuan dari sebuah perutusan dana moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk pertama kalinya memperjelas posisi hutang luar negeri Indonesia. 66 Langkah
penting
pertama
untuk
menanggulangi
inflasi
adalah
memperbaiki beberapa aturan dalam urusan keuangan pemerintah. Proyek-proyek khusus Presiden Soekarno yang boros dihentikan dan hampir semua proyek pembangunan ditunda. Berbagai upaya dibuat untuk memperbaiki pengawasan atas pengeluaran pemerintah. Untuk pertama kali selama beberapa tahun, sebuah anggaran belanja disusun pada tahun 1967. Dengan pemotongan-pemotongan secara ketat dalam pengalokasiannya, tidak terkecuali untuk angkatan bersenjata, anggaran belanja dibuat seimbang pada tahun tiap kuartalnya dan beberapa orang pejabat tinggi Angkatan Darat dilibatkan pada seksi-seksi yang bertanggung jawab pada kementerian keuangan untuk mengawasi anggaran ini. Tindakantindakan fiskal diperketat oleh pembatasan-pembatasan yang ketat atas kredit
lagi dengan kondisi hubungan Indonesia dengan luar negeri, terutama setelah dikeluarkannya Indonesia dari keanggotaan PBB dan IMF pada tahun 1965. Pada saat Indonesia harus bersiap-siap membayar kembali hutang luar negerinya yang menumpuk serta memperoleh kredit-kredit baru, negara ini sulit memperoleh status layak kredit. Lihat Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966- 1967, (Jakarta: LP3ES, 1989), 51. 65 R. William Liddle, “Regime: The New Order”, dalam Donald K. Emmerson (ed), 2001, Indonesia Beyond Suharto Policy Economy Society Transition, New York: M.E. Sharpe, 50. 66 W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga (Yogyakarta: Gadjah Mada Press), 87.
223
perbankan dan dengan menaikkan tingkat suku bunga bank yang lebih mendekati tingkat 15-20% perbulan. 67 Melalui tindakan debirokrasi dan deetalisasi ini pemerintah berjanji meninggalkan ekonomi komando versi Orde Lama dan membiarkan kekuatankekuatan pasar sebanyak mungkin menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Karena itu, peraturan pemerintah dan perizinan akan dihapuskan dan badan-badan pemerintah hendak dibuat jadi lebih rasional dan efisien. Kehadiran perusahaanperusahaan negara akan ditinjau kembali. 68 Keputusan-keputusan tersebut dipandang oleh pimpinan baru sangat penting guna menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor dan investor asing. Sebagai penegasan tentang pendekatan baru atas kebijakan luar negeri (yang telah ditunjukkan dengan mengakhiri konfrontasi dan bergabung kembali kepada PBB) dan sebagai langkah pertama menuju pembaharuan pembangunan ekonomi, sebuah undang-undang penanaman modal asing diundangkan pada tahun 1967. Undang-undang ini memberikan dorongan dan jaminan finansial untuk penanaman modal langsung dari modal asing di Indonesia, baik yang berdiri sendiri maupun berupa perusahaan patungan dengan perusahan-perusahaan Indonesia. 69 Setelah berhasil menjalin kembali hubungan dengan luar negeri, pemerintah baru ini berusaha untuk mencapai persetujuan untuk penjadwalan kembali dengan para kreditor luar negeri Indonesia di mana beban utang ditangguhkan, dan setiap tahun dirundingkan lagi sampai tahun 1969. Negaranegara Barat dan Komunis dibujuk untuk menerima sebuah penyelesaian jangka panjang dari utang-utang Soekarno. Hal ini menyangkut pembayaran kembali untuk jangka 30 tahun yang dimulai tahun 1970 dengan satu periode yang
67
W. Arndt, 1994, Pembangunan Ekonomi Indonesia: Pandangan Seorang Tetangga, 88. Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, 94 69 W. Arndt, Pembangunan Ekonomi., 89. 68
224
sifatnya fakultatif bagi sebagian pembayaran modal dan bunga yang tertunda 15 tahun yang terakhir yaitu antara tahun 1985-1999. 70 Program stabilisasi berhasil di luar dugaan. Sebagai sasaran pertama untuk memperlambat dan menghentikan laju inflasi, di samping perusahaan-perusahaan dalam maupun luar negeri sudah mulai menginvestasikan modalnya secara perlahan. Menurut William Liddle, tanpa langkah-langkah tersebut dapat dipastikan rezim Orde Baru tidak akan mampu bertahan. 71 Sedangkan untuk mencermati motif-motif ekonomi politik negara (Presiden Soeharto) mendukung kepentingan kaum Muslimin bisa ditilik dari tantangan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi pemerintah memasuki dasawarsa 1980-an. Paling tidak sejak 1982 potret perekonomian Indonesia banyak diwarnai kesuraman, terutama akibat makin langkanya dana investasi pembangunan, baik yang datang dari APBN maupun dari penanaman modal domestik dan luar negeri . sifat perekonomian negara Orde baru yang terbuka, dimana sektor ekspor dan impor berperan besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB), menjadikan APBN Indonesia menjadi rentan terhadap guncangan perekonomian dunia. 72 Resesi dunia yang berkepanjangan telah mengakibatkan kemerosotan sekaligus pendapatan ekspor dan arus penanaman modal asing. Padahal ekspor minyak dan penanaman modal asing bersama dengan bantuan asing menurut Sumarlin merupakan tiga sumber “Rezeki Nomplok”. Sementara untuk menghadapi masalah baru itu beberapa masalah lama belum juga bisa diselesaikan, terutamapengangguran penduduk usia kerja yang diperkirakan tiap tahun bertambah kira-kira 2 juta orang. Dalam menghadapi tantangan tersebut pemerintah telah melakukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan melakukan penghematan dan pengurangan anggaran belanja, reformasi perpajakan, 70
W. Arndt, Pembangunan Ekonomi, 90. R. William Liddle, “Regime: The New Order”, 50. 72 Mohtar Mas’oed, “Prospek Pembiayaan Pembangunan dan Penyasuaian Birokrasi”, Prima, No.2/1985 Tahun XIV, 14-15 71
225
reorganisani bea cukai, reformasi fiskal, moneter, dan administrasi pemerintahan dengan semangat dengan semangat “deregulasi dan debirokratisasi”.73 Kehadiran BMI dalam konteks ini, diharapkan bisa membantu menjawab problem ekonomi yang di hadapi pemerintah, krisis ekonomi yang cukup berkepanjangan akibat kelangkaan sumber pendanaan pembangunan pasca oil boom juga mendorong negara orde baru untuk menggunakan fasilitas bantuan keuangan dan kredit dari Islamic Development Bank (IDB). IDB yang didirikan Organisasi Konverensi Islam (OKI) pada 23 April 1975 memang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial negara-negara anggotanya yang terdiri dari 44 negara muslim di mana Indonesia termasuk didalamnya. IDB yang dimaksudkan berfungsi seperti halnya Bank Dunia, dana moneter Internasional (IMF) dan bak Pembangunan Asia (ADB) dalam usaha mencapai tujuannya mendorong pertumbuhuhan ekonomi negara muslim dengan menggalang iuran pembelian saham bank negara anggotanya dan kemudian menyalurkan bantuan atau fasilitas kepada anggotanya. Fasilitas atau bantuan yang diberikan sangat bervariasi, namun secara umum berupa penyertaan modal, pinjaman tidak mengikat dan atau bunga, baik swasta maupun pemerintah. 74 5) Sosial Menurut Effendy ada dua alasan utama mengapa Orde Baru merekrut kaum muslimin, dalam hal ini para aktivis dan cendekiawan muslim. Pertama, dari sudut sosiologis, sejak terbukanya akses pada pendidikan dan aktivitas ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu disertai dengan mobilitas sosial menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi sehingga mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua, 73
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta:LP#ES, 1989, 214 Hubungan IDB dan BAPINDO, Infobank, No. 53/1984, 16-17
74
226
peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan cendekiawan Islam dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat pemerintah tidak mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi karena pemikiran-pemikiran tersebut dalam beberapa hal sesuai dengan arah dan kebijakan politik yang dikembangkan Orde Baru. 75 Selanjutnya, bentuk akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam ada empat macam, yaitu akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural dan akomodasi kultural. Yang dimaksud dengan akomodasi struktural adalah diakomodasinya atau direkrutnya para tokoh muslim pada lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan lembaga-lembaga legislatif negara. Mengenai akomodasi secara struktural ini baru terlihat dengan jelas ketika Presiden Soeharto menyetujui didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 1990. Sedangkan akomodasi legislatif berkaitan dengan dikeluarkannya undang-undang atau peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Islam sebagai aturan yang mandiri dan sah. Di antara kebijakan akomodasi ini adalah pengesahan UU Pendidikan Nasional tahun 1989, pemberlakuan undangundang peradilan agama, diperbolehkannya pemakaian jilbab pada tahun 1991 serta disahkannya undang-undang yang berkaitan dengan perbankan syariah di Indonesia pada tahun 1992. Adapun akomodasi infrastruktural adalah penyediaan infrastruktur yang diperlukan umat Islam untuk melakukan kewajiban-kewajban agama mereka. Salah satu bentuk dari akomodasi ini adalah kesediaan pemerintah, bukan hanya mengizinkan, tapi juga membantu pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991. Sementara itu akomodasi kultural adalah diperbolehkannya secara luas berbagai ekspresi kebudayaan yang dipahami sebagai Islam. 76
75
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 37-38. 76 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 40-45.
227
Pembentukan ICMI pada 7 Desember 1990 di Kampus Universitas Brawijaya, Malang, dianggap sebagai momentum sejarah penting bagi umat Islam. Perkembangan itu tidak saja berarti mulai mencairnya hubungan Islam dan negara melainkan juga telah ditemukannya rumusan mengenai hubungan Islam dengan negara yang integral dan sesuai dengan kultur Indonesia. 77 ICMI menandai era baru umat Islam setelah periode lama yang dicirikan oleh adanya kendala ideologis dan psikologis antara umat Islam dan negara. Dengan demikian ICMI mempunyai dwi makna politis: pertama, dari sudut pemerintah, hal ini berarti bertambahnya dukungan politis. Kedua berarti pula terbukanya peluang lebih besar bagi umat Islam untuk turut berpartisipasi dalam perpolitikan negara. Sikap pro dan kontra terhadap keberadaan ICMI di kancah perpolitikan Indonesia menunjukkan betapa organisasi ini mempunyai bobot politis yang tinggi. Walaupun secara tegas Ketua ICMI, Prof. Dr. B. J. Habibie, pada tanggal 10 September 1993 menyatakan bahwa ICMI bukanlah sebuah kekuatan politik dan tentu saja bukan merupakan sebuah partai politik baru. ICMI merupakan sebuah organisasi intelektual yang berusaha untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia. 78 Hal ini juga disebabkan karena ICMI menjadi wadah peleburan berbagai kelompok dan aliran di kalangan umat Islam, seperti NU, Muhammadiyah, DDII, dan Persatuan Islam (Persis). 6) Budaya Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia yang memiliki budaya hidup kebersamaan dan kegotong royongan, sesuai dengan motivasi konstitusi terhadap Perbankan Syariah, itu dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi: "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan 77
Jamhari, “Islam di Indonesia”, 362. Darul Aqsha, et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Development From 1988 to March 1993, Jakarta: INIS, 1995), 275. 78
228
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Institusi ekonomi yang paling tepat untuk menerjemahkan hal di atas adalah Perbankan Syariah, karena (1) sesuai dengan aspirasi masyarakat serta sangat tepat untuk masyarakat Indonesia yang sebagian besar menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (asas demokrasi ekonomi), (2) Perbankan Syariah mengutamakan kemajuan bersama daripada kemajuan individu (asas kebersamaan), (3) Perbankan Syariah sangat cocok sebagai solusi pembiayaan untuk masyarakat kecil sehingga mereka dapat menikmati layanan perbankan dan dapat memberdayakan diri (asas keadilan dan kemandirian), (4) Perbankan Syariah tidak boleh mendukung atau bermitra dengan pengusaha atau perusahaan yang terlibat dalam kerusakan lingkungan (asas keberlanjutan dan lingkungan), (5) Perbankan Syariah menggabungkan antara tuntutan duniawi dengan tuntutan ukhrawi (asas keseimbangan), serta (6) Perbankan Syariah sangat mengutamakan kemajuan sektor riil, yang sangat cocok dengan ekonomi nasional yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia (asas kesatuan ekonomi nasional dan kegotong royongan). 79 Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Perbankan Syariah merupakan satusatunya institusi yang paling tepat untuk menerjemahkan tujuan pembangunan nasional di atas dalam kehidupan nyata. Disamping itu, kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa Perbankan Syariah semakin meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat muslim dan bahkan non-muslim bahwa jasa-jasa Perbankan Syariah lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebutuhan masyarakat terhadap Perbankan Syariah semakin meningkat manakala kita melihat bahwa sebagian besar dari mereka 79
Zubaisri Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 11-12.
229
adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nah, sistem yang cocok untuk mengembangkan UMKM adalah sistem bagi hasil dan bagi risiko yang biasa dilaksanakan oleh Perbankan Syariah. b. Faktor Eksternal Pada awalnya bertepatan dengan surplus neraca pembayaran yang sangat besar pada negara-negara muslim pengekspor minyak, yang dikenal sebagai “oil booming” pada dekade 70-an. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh faktorfaktor yang lain, seperti keinginan perubahan terhadap system sosio-politik dan ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan kepribadian Islam yang lebih kuat. Sekaligus sebagai upaya reformasi makro ekonomi dan reformasi struktural dalam sistem keuangan negara-negara muslim. 80 Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI . Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for 80
M. Umer Capra, Sistem Moneter Islam (Jakarta: Gema Insani Press & TazkiaCendekia, 2000), Edisi terjemah, 2.
230
Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman). 81 Bank Myt Ghamr maupun Bank Sosial Nasr itu ternyata memberikan inspirasi umat di Dunia Islam. Lalu pada tahun 1973, justru lahir Bank Amanah di Philipina, yang
lahir juga di sebuah negara sekuler yang sebagian besar
penduduknya beragama Kristen Katholik. Tapi pemrakarsanya adalah masyarakat cendekiawan dan profesional. Bank ini ternyata tidak “diganggu” oleh pemerintah dalam suatu negara sekuler. Kemudian di Pakistan, sebuah negara Islam, pemerintah pada tahun 1979, menghapuskan sistem tiga lembaga keuangan nonbank, yaitu National Investment, House Building Finance Corporation dan Mutual Funds of the Investment Corporation untuk diganti dengan sistem nonribawi. Kebijaksanaan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya UU perusahaan Muḍarabah
dan
Murabaḥah
pada
tahun
1981,
yang
memungkinkan
beroperasinya 7.000 cabang bank komersial di seluruh Pakistan berdasarkan syari’ah. Ini juga sebuah contoh pelaksanaan syari’at Islam yang cepat meluas karena campur tangan pemerintah. Dengan demikian, memang ada alasannya bagi gerakan Islam untuk “mengislamkan” negara atau pemerintah, walaupun secara parsial atau gradual. Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya Islamic Develompmen Bank (IDB) pada tahun 1975, yang berpusat di Jedah. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (The World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB, Asian Development Bank) ini dibentuk oleh organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, 81
M. Dawam Rahardjo, xvi
231
termasuk Indonesia. Ini adalah juga sebuah kasus di mana negara berperan instrumental dalam pembentukan bank pembangunan Islam dengan modal yang cukup besar, pemerintah Indonesia termasuk salah satu pemegang saham dan Menteri Keuangan mendapat kedudukan di jajaran Dewan Gubernur. Proyek semacam ini malahan tidak mungkin dilaksanakan oleh sektor swasta, apalagi civil society, yang merupakan sektor ketiga (the third sector). Berdirinya IDB ini kemudian memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia, termasuk di kawasan Eropa. Di Timur Tengah, bank-bank Islam bermunculan pada belahan kedua dasawarsa ’70-an, Misalnya Dubai Islamic Bank (1975) Kuwait Finance House (1977). Di Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran. Di Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal dasawarsa ’80-an, dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983, yang menjelang tahun 2000, telah mengembangkan 70 cabang di seluruh Malaysia. BIMB sekses terutama berkat kerjasama dengan lembaga urusan dan Tabung Haji. Sukses BIMB itu mendorong lahirnya bank-bank Islam yang serupa. 82 Di Indonesia, bank Islam pertama, bank Mu’amalat Indonesia (BMI) baru bisa didirikan pada tahun 1991, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak dasawarsa ’70-an. Penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan negara Islam. Berdirinya BMI juga karena faktor politik, yaitu setelah kelahiran ICMI yang kemudian merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semula tidak disetujui pendirian bank Islam adalah karena di dasarkan pada UU yang tidak mengenal sistem perbankan tanpa bunga. Tapi, karena sikap pemerintah, terutama setelah mendapat persetujuan Presiden Soeharto pada waktu itu, maka BMI dapat berdiri. Bahkan Presiden Soeharto sendiri ikut serta mengumpulkan modal
82
A. Riawan Amin, Manata Perbankan Syariah di Indondsia, 87
232
awalnya. Peranan Pemerintah dalam permodalan sangat penting, antara lain dengan meminta BUMN ikut serta menjadi pemegang saham. 83 1) Politik Faktor pendorong berdirinya perbankan syariah ini dari kenyataan bahwa negara-negara muslim khususnya, dan negara sekuler umumnya telah membuka dan mengopersikan bank prinsip bagi hasil. Untuk itu Indonesia sebagai negara muslim terbesar kedua di dunia merasa tergugah hatinya dan terbuka pandangannya bahwa Indonesia telah banyak memperoleh bantuan dari bank Islam di dunia. Setelah didirikannya bank syariah di Indonesia, IDB memberikan bantuan keterampilan teknis kepada calon pengelola Bank Muamalat Indonesia, juga mensponsori kajian-kajian/seminar yang dibutuhkan untuk pendirian bank syariah di Indonesia. Khusus bantuan-bantuan yang diberikan IDB yang tertuang dalam anggaran dasarnya, Article 2 ayat (xi) pada butir 103 berbunyi IDB memberikan bantuan teknis, baik dalam bentuk penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan syariah seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang belajar di bank syariah serta tenaga ahli bank syariah yang baru berdiri. 84 Bantuan IDB kepada Indonesia sampai akhir 1991 berjumlah ID 50,74 juta (US$ 64,05 juta). Kendatipun bantuan dan fasilitas yang diberikan IDB tidak sebesar lembaga moneter internasional lain seperti IMF namun bantuan itu menjadi cukup penting karena tiga faktor. Pertama, IDB dalam memberikan bantuan pinjaman terhadap negara anggotanya, termasuk Indonesia, boleh dikatakan tidak memungut bunga pinjaman, dan kalaupun ada beban tambahan tak lebih dari ongkos administrasi yang tidak besar dibandingkan bunga pinjaman lembaga moneter multiiteral lain. Kedua, bila bantuan moneter internasional yang 83
A. Riawan Amin, 88 Karnaen Perwataatmaja dan Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, 67.
84
233
didominasi barat acap kali mengaitkan bantuan dan pinjaman dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejenisnya, tidak demikian halnya bagi IDB yang nyaris tidak tepengaruh oleh persoalan isu HAM di Indonesia. Malahan barang kali IDB lebih sensitif terhadap persoalan umat Islam di negara anggotanya. Ketiga: dengan mulai masuknya Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru dikawasan Asia jelas membuat Negara RI tidak lagi mudah mendapatkan bantuan internasional berupa hibah atau pinjaman lunak sebagaimana telah diperolehnya ketika awal pemerintahan orde baru ketika menghadapi perekonomian yang porak poranda. Bagaimanapun strategi pemerintah orde baru yang mengabdikan politik bagi pertumbuhan ekonomi selama empat dekade telah mengakibatkan transformasi ekonomi sosial yang fundamental dibandingkan awal kemunculan pemerintahan Soeharto. Bila pada 1967 GDP Indonesia perkapita hanya US$ 70 dengan rate inflasi tiga digit (650%), pada dekade 1990-an GNP perkapita mencapai US$ 645. prestasi Indonesia menjadi young economic tiger (macan ekonomi muda) atau new-NIC ( negara industri baru) di kawasan Asia. 85 Kendati kucuran IDB ke Indonesia tidak begitu besar, tetapi menjadi cukup berarti ditengah kesuraman sumber ekonominya, ibarat mata air yang menyejukkan dimusim kemarau yang panjang. Ditambah lagi dengan kelangkaan sumber-sumber pembiayaan pembangunan di Indonesia akibat kemerosotan harga minyak di pasar internasional dekade 1980-an dan sesudahnya. 2) Ekonomi Masyarakat dunia Islam menginginkan keluar dari jeratan pengaruh yang mencengkeram dari sistem kapitalisme. Serangkaian krisis bertubi-tubi yang dialami sistem keuangan internasional sepanjang dua dekade terakhir –yang telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan- juga telah memberikan angin segar bagi pengembangan sistem keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu menyuntikan 85
A. Riawan Amin, 91.
234
disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervise yang prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang kemudian juga mendorong Bank-bank Islami dalam jumlah yang banyak bermunculan di seluruh penjuru dunia sepanjang 30 tahun terakhir. 86 Faktor hubungan ekonomi dengan negara-negara di dunia, khususnya peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan finansial, berupa petro-dolar pada negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei di Asia Tenggara. Melihat gejala itu timbul pemikiran untuk “memutar” dana petro-dolar tersebut melalui lembaga keuangan syari’ah. 87 Sebelum berdirinya BMI, Indonesia telah lama memanfaatkan bantuan dari IDB itu. Misalnya pada tahun 1982 Indonesia mulai berusaha mengoptimalakan bantuan dana IDB dan dalam bentuk Line of Equity dan Line of Instaltment Sale melalui Bank pembangunan Indonesia (BAPINDO). Line of Equity adalah penyertaan modal melalui Bank/Lembaga Keuangan nasional di Negara anggota yang disebut sebagai National Development Financial Institution (NDFI). Cukup menarik, penggunaan fasilitas IDB itu nampak dijalin bersamaan dengan adanya gejala menurunnya harga minyak di pasaran yang menyusutkan penghasilan Indonesia sebesar RP. 1,5 Trilyun. Dalam kesepakatan tersebut Bapindo ditunjuk untuk menyalurkan fasilitas IDB dalam bentuk Line of Equity dan Line Instalment sale sebesar US$ 5 juta untuk pengusaha lemah berupa penyertaan modal paling rendah US$ 100.000 dan paling tinggi US$ 2 juta. Pada Desember 1988, Indonesia juga memperoleh Fasilitas dan bantuan IDB dalam Usaha meningkatkan ekspor non migas terutama ke negara-negara anggota IDB. Fasilitas yang diberikan berupa longer Term Trade Financing schema (LTTFS), memberikan fasilitas, yaitu suatu fasilitas untuk mendorong 86
M. Umer Chapra & Habib Ahmed, Corporate Governance in Islamic Financial Institution (Jeddah: Ocasional Paper IDB, 2002), 1 87 M. Dawam Rahardjo, xvi
235
ekspor negara anggota dengan cara memberikan fasilitas pembiayaan ekspor ke negara-negara anggota OKI dengan jangka waktu 2 sampai 5 tahun. Rentang waktu itu dapat dimanfaatkan eksportir dalam negeri untuk menutup kontrak jangka panjang. 88 Selain itu, ada fasilitas atau bantuan lain dari IDB yang dimanfaatkan Indonesia, antara lain penyertaan modal langsung untuk proyek-proyek investasi bernilai diatas US$ 2 juta. Contohnya PT. Semen Andalas di Aceh sebesar ID 8.34 juta dan PT.Sumatera Subur Tekstil (Sumatex Subur) ID 3,50 juta – 1 Islamic Dollar (ID) setara dengan satu SDR Special Drawing Right. Dalam hubungannya dengan perbankan di Indonesia, IDB telah menunjuk bank milik Bapindo untuk menjadi agent line of instalment sale untuk proyek-proyek investasi di atas US $100.000. jumlah dana dari IDB yang disalurkan pada Bapindo baru saja mengalami guncangan hebat akibat mega skandal Eddy Tanzil senilai RP 1,3 Trilyun yang melibatkan JB. Sumarlin dan Sudomo. Tambahan suntikan dana dari IDB yang diharapkan bisa membantu memulihkan kredibilitas Bapindo itu nampaknya tidak terlepas dari peran yang dimainkan Mar’ie Muhammad yang baru saja diangkat sebagai Menteri Keuangan RI yang juga memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Gubernur IDB. IDB membiayai pula proyek-proyek pembangunan prasarana ekonomi, seperti irigasi, bendungan, jalan dengan fasilitas dari IDB yang lebih lunak dibanding lembaga moneter Internasional lain. Untuk proyek prasarana perikanan, IDB meminjamkan dana senilai 700 juta ID, proyek transmigrasi Sulawesi Selatan sebesar 800 juta ID, dan beberapa pinjaman dan bantuan yang lain. IDB juga telah menyetujui pemberian fasilitas Instalment sale atau kredit pengadaan barang modal dengan pembayaran cicilan setiap 6 bulan untuk waktu 7 sampai 10 tahun kepada gabungan koperasi Batik Indonesia (GKBI) sebesar US$ 10 Juta.
88
A. Riawan Amin, 90
236
B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah Dalam proses pembuatan undang-undang haruslah sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan aspirasi rakyat. Sedangkan lembaga negara pembuat hukum dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yakni, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga pembuat hukum, dengan akses informasi lengkap didukung oleh pakar dimana undang-undang tersebut dibuat tetap berkoordinasi dengan parlemen. Selanjutnya, selain mitra presiden dalam membuat undang-undang, parlemen juga mempunyai pengawasan. Sedangkan pengadilan ada pembuat hukum yakni hakim, institusi negara ini juga aktif dan produktif dalam membuat hukum dengan keputusan-keputusan hakim yang dianggap mempunyai dasar hukum yang kuat. Selain institusi negara diatas pembuat hukum juga berasal dari institusi masyarakat, diantaranya; institusi masyarakat adat, institusi hukum dalam praktek, serta lembaga riset hukum dan perguruan tinggi. Proses pembuatan hukum ini dapat berlangsung dan diawali dengan pembentukan hukum perundang-undangan, pembentukan hukum yurisprudensi, pembentukan hukum adat, dan lain sebagainya. Menurut George Jellinek (1851-1911) berdasarkan penggolongannya lembaga dibedakan menjadi 2 (dua) anatara lain; lembaga negara utama atau lembaga negara primer, yaitu lembaga negara yang dibentuk untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif), dan lembaga negara sekunder yaitu lembaga negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga negara utama dalam menjalankan kekuasaannya. Sehubungan dengan kewenangan DPR yang identik dengan pembuat undang-undang, maka penyusunan undang-undang di era reformasi ini diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan, oleh karena itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan pembaruan sejarah dengan melakukan amandemen yang berkaitan dengan konstitusi yang selama ini dianggap sakral, agar ada dasar hukum yang tepat bagi DPR dalam menyusun undang-undang,
237
pembuatan dan penyusunan Undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berbeda dengan setelah perubahannya. Untuk lebih hematnya, peneliti hanya menjelaskan mekanisme pembuatan Undang-undang setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Pembuatan
Undang-undang setelah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki empat tahap, yakni; a. Pengajuan dan Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) 89 Pemabahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari Presiden dan DPR. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan perubahan memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Hak mengajukan RUU ini timbul dari kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undangundang. Karena DPR adalah sebuah lembaga perwakilan tentunya kekuasaan untuk membuat undang-undang tersebut juga tercerminkan dalam hak-hak yang dimiliki oleh anggota DPR, 90 dan untuk itu Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan memberikan hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Sebagai sebuah usul tentunya rancangan undang-undang yang datang dari anggota tersebut haruslah dibahas oleh DPR untuk disetujui sebagai rancangan DPR. Pada masa sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, hak untuk mengajukan RUU oleh DPR disebut sebagai hak inisiatif. Tentunya hal ini tepat, karena kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan Presiden. Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 penggunaan hak inisiatif sebagai hak DPR tidaklah tepat lagi karena memang fungsi utama DPR adalah
89
Selanjutnya istilah Rancangan Undang-Undang penulis singkat RUU. Perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemilihan Umum, sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur (regulasi) itu dari produk legislasi yang bersangkutan. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Jakarta: Konspres, 2006), cet, ke-1, 27. 90
238
hak legislasi. Hak inisiatif seharusnya dimaknai sebagai hak anggota DPR untuk mengajukan usul RUU, 91 atau hak Presiden untuk mengajukan RUU. Pembahasan bersama suatu RUU antara Presiden dan DPR adalah ketentuan konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh pasal 20 ayat (2). Oleh karena itu pembahasan bersama menjadi syarat formal bagi sahnya sebuah undangundang. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum perubahan dimana pembahasan bersama tidaklah merupakan syarat syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menyatakan” Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan ini jelas mengatur perihal persetujuan DPR terhadap sebuah rancangan undang-undang, sehingga forum untuk memberikan persetujuan ini adalah forum internal DPR, bukan merupakan forum DPR bersama Presiden untuk melakukan pembahasan RUU. Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan tersebut DPR dapat melakukan sidang sendiri tanpa melibatkan Presiden untuk satu agenda saja yaitu membahas RUU yang diajukan Presiden dan mengambil putusan guna menolak atau menyetujui RUU yang diajukan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 21 ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahanpun menyiratkan bahwa sebuah forum pembahasan bersama antara Presiden dan DPR bukan merupakan syarat konstitusional bagi syahnya undang-undang. Ketentuan tersebut berbunyi” jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan 91
Seperti ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam peaturan tata tertib. Seperti halnya Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), cet, ke-2, 135.
239
Rakyat masa itu”. Dengan adanya ketentuan ini maka Presiden secara sepihak tanpa pembahasan bersama dengan DPR dapat langsung mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU yang diajukan DPR kepada Presiden. b. Tahap Persetujuan Bersama terhadap RUU Sebuah forum untuk melakukan pembahasan bersama terhadap RUU yang dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan demikian adalah sangat penting dan bahkan menjadi syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Syarat berikutnya adalah bahwa dalam pembahasan bersama tersebut dicapai persetujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut seharusnya menyangkut dua hal yaitu (i) aspek formal dan (ii) aspek substansi yang saling berkait. Dari aspek formal harusnya pembahasan tersebut menghasilkan sebuah naskah kesepakatan terhadap hal-hal yang telah disetujui bersama dimanakedua belah pihak membubuhkan tanda persetujuannya. Sedangkan dari aspek substansi, menampung hal-hal yang dituangkan dalam naskah kesepakatan yang merupakan substansi hasil pembahasan bersama. Dalam hal pembahasan bersama,tujuan tersebut belum atau tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap RUU yang diajukan, tentunya naskah kesepakatan atau persetujuan tersebut belum atau tidak dapat dirumuskan. Naskah inisangat penting karena proses pembuatan undang-undang secara konstitusional akan terkait dengan hasil persetujuan bersama Presiden dan DPR yang telah tertuang dalam naskah tersebut sebagaimana tercermin dalam tahapan ini. Apabila ternyata antara Presiden dan DPR tidak berhasil mencapai persetujuan bersama terhadap materi RUU yang dibahas dalam suatu kurun masa persidangan, maka ketentuan Pasal 20 ayat (3) melarang RUU tersebut diajukan kembali dalam persidangan DPR masa itu.
c. Pengesahan RUU Perbankan Syariah Menjadi Undang-Undang
240
Proses konstitusional yang disyaratkan agar RUU sah menjadi undangundang, pengaturan hukumnya terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat (4) menyatakan“ Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Dengan adanya ketentuan ini, berubahnya rancangan undang-undang menjadi undang-undang adalah karena adanya perbuatan Presiden untuk mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Di pihak lain, UUD 1945 memberikan alternatif kapan sebuah RUU yang telah disetujui bersama Presiden dan DPR berubah statusnya secara sah menjadi undang-undang. Waktu itu adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (5) yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Dari dua ketentuan tersebut ternyata RUU yang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sangatlah penting, karena dari RUU ini undang-undang lahir baik karena adanya pengesahan Presiden maupun karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak adanya persetujuan. Sebuah RUU yang sah menjadi undangundang karena lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, tidak memerlukan perbuatan Presiden lagi atau dapat dikatakan RUU tersebut demi hukum telah berubah menjadi undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan UndangUndang Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh ketua DPR, Agung Laksono di ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Selasa 17 Juni 2008. Beberapa fraksi dalam pandangannya menilai perbankan syariah dapat memberi kontribusi dalam perekonomian nasional. 92 92
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 1
241
Juru bicara F. PAN, Nurul Falah, mengutarakan pendapatnya bahwa “pada saat ini perbankan syariah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya menumbuh kembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan. Disamping itu, ia menilai bahwa keberadaan perbankan syariah memberikan sumbangsih yang cukup sidnifikan pula untuk menggerakkan berbagai sektor perekonomian Indonesia terutama sektor usaha menengah, kecil dan mikro”. Sedangkan juru bicara F-PKB, Arsa Suthisna menilai bahwa ‘perbankan syariah yang masih berusia muda masih mempunyai kelemahan terutama pada keterbatasan kuwalitas dan kwantitas sumber daya mansuia. Untuk itu perbankan syariah harus mempersiapkan sumber daya yang mumpuni yang memmiliki integritas, moralitas serta komitmen yang tinggi. Selanjutnya ia meminta agar dilakukan sosialisasi terhadap perbankan syariah, karena pemahaman masyarakat masih sangat rendah terhadap produk maupun perbedaannya dengan perbankan konvensional.” Tukijo, juru bicara F-PDIP, menilai bahwa ‘perbankan syariah mengalami peningkatan yang pesat dan mendapat respon yang positif dari pihak industri jasa perbankan. Untuk itu pernakna syariah tidak boleh berdiri secara eksklusif membatasi pihak yang akan terkait dengan penggunaan jasa perbankan syariah, melainkan harus terbuka untuk kepentingan semua lapisan masyarakat”. F-PG, melalui juru bicaranya, Harry Azhar Aziz menjelaskan bahwa “orientasi dalam UU perbankan syariah adalah pada stabilitas sistem dengan mengadopsi 25 Based Core Priciples for Effective Banking Suoervision terutama terkait dengan perizinan, prudential, kewajiban pengelolaan resiko, pembinaan dan pengawasan, dan jejaring pengaman sistem perbankan syariah. Fraksi ini juga menilai dengan adanya prinsip tersebut maka RUU perbankan syariah akan memiliki aspek kepatuhan syaria, perlindungan konsumen, kenyamanan iklim investasi dan kepastian usaha serta stabilitas perbankan secara keseluruhan”.
242
Menurut F-PPP, dengan juru bicaranya Sofyan Usman keberadaan UU Perbankan Syariah sudah sangan mendesak dan telah lama dinanti-nanti berbagai kalangan karena perbankaan syariah di Indonesia sudah cukup lama beroperasi dan megalami perkembangan yang sangat pesat. Ini menunjukkan adanya minat berbagai kalangandalam memnggunakan jasa perbankan syariah sehingga harus dijawan dengan memberikan ruang yang semakin terbukadan berkembang”. Tata Zainul Muttaqin dari F-PD menilai bahwa perbankan syariah merupakan salah satu wujud untuk memulihkan perekonomian nasional melalui investasi dalam dunia perbankan syariah khususnya investasi dari luar negeri terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu perlu pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas lagi tentang perbankan syariah”. 93 F-FBR dengan juru bicara, Zainul Abidin menjelaskan bahwa siapa saja dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah. Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada pertengahan 1997, sisten syariah telah meberikan manfaat bagi banyak kalangan. Ini menjadi salah satu fakta bahwa bank syariah di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan dan pertumbuhan perekonomian negara”. Sedangkan, F-PKS melalui juru bicara Mustafa Kamal berharap dalam pelaksanaan perbankan syariah harus diikut dengan keberpihakan yang lebih besar dan nyata dalam hal penyaluran dana bagi usaha kecil dan menengah sera kemudahan akses dana bantuan bagi UMKM. Sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan meiliki manfaat yang lebi besarbagi terciptanya kemakmurandan kesejahteraan rakyat”. Lebih sederhana lagi pandangan dari F-BPD menyatakan setuju RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang. Namun demikian, tidak semua Fraksi menyetujui UU perbankan syariah disahkan menjadi UU. Dari 10 fraksi yang ada di DPR, satu diantaranya F-PDS 93
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010)
243
menolak RUU Perbankan Syariah disahkan, dengan alasan bahwa perbankan syariah tidak sesuai dengan hukum dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1045. Fraksi tersebut melalui juru bicaranya, Retna Rosmanita Situmorang, menyampaikan bahwa “informasi di beberapa negara yang ia ketahui, terbukti bahwa produk perbankan syariah tidak dalam bentuk Undang-undang, hany merupakan turunan dari undng-undang perbankan yang ada, bukan dalam undang-undang yang khusus.” 94 Dari pihak Pemerintah, Menteri Agama , Maftuh Basyuni, “berharap dengan disahkannya UU Perbankan Syariah dapat mendorong industri perbankan dalam negeri untuh tumbuh dan berkembang lebih baik. Kami berharap segera disusun aturan pelaksanaan UU ini oleh Bank Indonesia.” Kini payung hukum perbankan syariah yang diharapkan oleh masyarakat, khusunya umat Islam telah hadir dihadapan bangsa Indonesia. Eksistensi perbankan syariah telah menjadi kuat. Penantian yang panjang itu pun telah berakhir. Setelah enam tahun, DPR bersama Pemerintah bersepakat mengesahkan RUU perbankan Syariah menjadi undang-undang perbankan syariah. Lamanya penantian ini membuat kalangan praktisi sempat tidak terlalu memikirkan Undang-undang itu, karena seperti diketahui bahwa tanpa Undang-Undang pun, perbankan syariah sudah eksis. 95
PERJALANAN USUL UU INISIATIF PERBANKAN SYARIAH
94
dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 3. , 2 (Diakses Tanggal 21 Februari 2010) http://www.pk-sejahtera.org/v2/indek.php?op=isi&id=5197. (Diakses Tgl, 21 Februari
95
244
DPR (13 September 2005)
1
3
4
RUU beserta Penjelasan dan Naskah Akademik
Naskah akademik dibuat oleh DPR
Bamus (27 Oktober 2005)
Paripurna
5
Penjelasan DPR dan Tanggapan Pemerintah
9
2
Pendapat Fraksifraksi (27 September 2005)
Diserahkan kepada Komisi XI 6
Rapat Kerja (21 Maret 2008)
8
7
Pemerintah (5 Januari 2007)
Raker Menteri Keuangan, Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM DIM Pemerintah
Penyisipan DIM Pemerintah
16
10
11
12
Pendapat Mini Fraksi-fraksi (6 Juni 2008)
FDS Menolak RUU
15
13
Pendapat Pemerintah
Panga (11 Februari 2008)
Timus / Timsin
14
FDS tetap menolak RUU
Bamus (5 Juni 2008)
17
d. Tahap Pengundangan
Paripurna (17 Juni 2008)
18
Pengesahan Menjadi UU
20
PA Pemerintah 19
PA Fraksi-fraksi 19
245
Ketentuan tentang pengundangan Undang-undang dalam UUD 1945 disinggung dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur tentang RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dengan menyatakan ”wajib diundangkan”. Hal demikian tentulah tidak dimaksudkan bahwa yang wajib diundangkan hanya RUU yang menjadi undang-undang karena berdasarkan Pasal 20 ayat (5) saja. RUU yang menjadi UU karena pengesahan Presiden pun wajib untuk diundangkan. UUD 1945 menentukan aturan yang khusus tentang pengundangan dan dengan adanya Pasal 22A UUD yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undangundang”. 96 Dengan demikian maka tata cara pengundangan dapat diatur dalam undang-undang yang melaksanakan Pasal 22A tersebut. Dasar hukum dalam keempat tahap tersebut diatas diatur dalam Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Naskah RUU yang disetujui bersama tersebut seharusnya memuat didalamnya: (1) Subtansi undang-undang yang tertuang dalam rumusan ketentuan yang telah disepakati antara Presiden dan DPR. Hal ini diperlukan untuk menjadi bukti otentik tentang hal-hal yang telah disetujui. (2) Bukti DPR dan Presiden bahwa telah menyutujui bersama subtansi undang-undang dengan cara pembubuhan tandatangan Presiden dan Ketua DPR sebagai institusi. (3) Momentum atau waktu kapan persetujuan tersebut dicapai yaitu saat ditandatangani oleh Presiden dan Ketua DPR.
C. Perspektif Hukum Islam Hukum yang dibuat atau dirancang oleh manusia (man-made) hanya ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, tidak sebagai individu, disebut hukum duniawi. Dalam tata aturan hukum duniawi, 96
Lihat Harjono dalam Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer; Pembuatan Undang-undang Menurut Undang-Undang Dasar (Jakarta: The Biography Institute, 2007), cet, ke-1, 135.
246
aturan yang berkaitan dengan pribadi tidak dinamakan hukum melainkan norma “moral”, “budi pekerti” atau “susila”.
Dalam hal ini, hukum yang bersifat
duniawi adalah hukum sebagai hasil proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat, seperti diutarakan oleh Cicero bahwa “dimana ada masyarkat di sana ada hukum” (Ubi societies ibi ius). 97 Berbeda halnya dengan hukum Islam yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia terhadap Al-Qur’ân al-Karim dan al-Sunnah. Al-Qur’ân diturunkan kepada manusia sebagai syari’at Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat,
relevan
untuk setiap tempat dan waktu (fî kulli makânin wa zamânin). Hal itu bergantung kepada kemampuan manusia dalam memberikan interpretasi akan kekayaan makna kandungan al-Qur’ân itu sendiri. Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam yang berlaku bagi orang Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya. Sedangkan hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu, di suatu Negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia terutama warga Negara republik Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial dahulu. Jadi, hukum Islam yang Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlakukan politik hukum tertentu. Politik hukum nasional Indonesia, pokok-pokoknya ditetapkan dalan garis Besar haluan Negara, dirinci lebih lanjut oleh menteri kehakiman Republik Indonesia untuk melaksanakannya, telah didirikan satu lembaga yang (kini) bernama badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) atau Babinkumnas.
97
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cetakan kedua, 65.
247
Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan, dimasa yang akan datang akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.98 Setelah disahkan dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Hukum Perbankan Syariah, kini hukum Islam telah menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia dengan tidak memandang agama apa yang ia anut. Hukum ini digali didasarkan atas pemikiran dan interpretasi para ulama dari yang terkandung di dalam al-Qur’ân dan alSunnah yang dijadikan sebagai pedoman dengan memperhatikan unsur-unsur budaya Islam yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Dalam perjalanan pembentukan hukum perbankan syariah ketika akan dijadikan hukum nasional, banyak terjadi benturan-benturan politik yang mengitari.
Politik hukum nasional perbankan syariah adalah sebuah bentuk
produk kebijakan yang dilakukan
pemerintah terhadap pembentukan hukum
perbankan syariah di Indonesia. Kemunculan poitik hukum perbankan syariah ini banyak dipengaruhi oleh berbagai tuntutan, seperti yang diurai di atas, yang antara lain: 1. Tuntutan Ideologi Indonesia dengan dasar falsafahnya Pancasila dan pada sila yang pertama disebutkan, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan bahwa Negara ini adalah Negara yang didasarkan pada agama. Faktor inilah yang menandakan adanya keterkaitan dengan agama khususnya adalah Islam. Untuk itu Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa mengabdi dan hanya menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakan manusia. Faktor tuntutan ideologi inilah yang menuntut perlu dibentuk sebuah undang-undang yang mengatur kehidupan mengenai hukum perbankan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. 98
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Rajgrafinda Persada, 2009), 266-267
248
Al-Qur’ân, Q:S. 56:51, menunjukkan bahwa semua aktifitas yang dilakukan oleh manusia dan jin harus didasarkan pada perintah Allâh, dan sematamata untuk beribadah kepada-Nya, termasuk ibadah yang mahḍah maupun ghairu mahḍah atau bermuamalat. Kegiatan-kegiatan itu harus diatur dengan sebuah peraturan yang dituangkan dalam sebuah undang-undang atau hukum. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak keluar dari tambatan atau ikatan yang telah ditetapkan Allâh. Kemudian ayat lain yang mengajak manusia agar semua kita menyembah Tuhan yang telah menciptakannya sebagai kepentingan manusia bukan kepentingan Tuhan agar mereka menjadi orang menikmati kehidupan dalam ketenteraman dan kebahagiaan. (Q:S, 2:21) 2. Tuntutan Agama Umat Islam berkewajiban mutlak
untuk menegakkan hukum-hukum
Allâh yang turunkan di dalam al-Qur’ân melalui Nabi Muhammad saw. Kewajiban menegakkan hukum Allâh ini tak lain bertujuan untuk menjadikan kehidupan manusia yang bahagia, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Bentuk penegakkan syariat Islam seperti yang contohkan Nabi Ibrahim kepada anaknya (Isma’il) di dalam al-Qur’ân dengan tidak melihat siapa, ketika itu meruakan perntah Allâh wajiblah dilaksanakan(Q:S. 37:102). Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam menegakkam syariat sebagai kewajiban tidak pernah memandang pangkat, hubungan keluarga atau siapapun dia. Jika itu merupakan perintah dari Allâh, maka harus segera dilaksanakan atau ditegakkan sesuai ketentuan dan aturan. Negara-negara Islam, dengan berbagai latar belakang sedang menjalankan langkah-langkah reformasi atas sistem perbankan dan keuangan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim saat ini adalah bagaimana mendisain dan menjalankan secara berkelanjutan sistem perbankan
dankeuangan
yang
sejalan
dengan
hakekat
ideologi
Islam,
249
penghapusan riba, dan membantu mewujudkan tujuan sosial ekonomi Islam. Disisi lain lembaga kredit yang merupakan sistem perbankan dan keuangan kapitalis yang berdasarkan bunga, yang telah relatif kokoh diterapkan oleh negara-negara Muslim selama dua abad terakhir dibawah pengaruh kolonialisme telah berimplikasi buruk pada pembangunan. Hal inilah diantaranya yang mendorong upaya untuk kembali membangun sistem keuangan dan perbankan yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu eksistensi perbankan dan keuangan syariah merupakan respon atas kerentanan system perekonomian, keuangan dan perbankan dunia dewasa ini. Sistem ekonomi saat ini membutuhkan arsitektur sistem perbankan dan keuangan yang kokoh dan tangguh. Islam menyatakan dengan tegas mengenai larangan praktek riba. Kata “riba” dalam al-Qur’ân disebut delapan kali dalam empat surat yang berbeda: (Q:S. 2:275-276, 278). 275 terdiri dari 3 kata, 276 dan 278 masing-masing kata, jadi 5 kata; Ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, padahal Allâh Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. a. (Q:S. 3:130), ayat ini menjelaskan kepada orang-orang yang beriman agar tidak memakan riba yang berlipat ganda dan bagi orang yang telah memakannya agar segera bertakwa kepada Allâh supaya mendapat keberuntungan. b. (Q:S. 4:161). Surat ini terdiri dari 1 kata, menjelaskan bahwa mereka memakan riba, memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. diantara mereka itu pasti akan mendapatkan siksa yang pedih. c.
(Q:S. 30:39). Surat ini terdiri dari 1 kata, yang mengutarakan bahwa Allâh memberikan perbandingan antara riba dan zakat dimana riba itu tidak akan menambahkan kepada harta orang yang melakukan riba,
250
sedangkan zakat akan memberikan tambahan yang melimpah, disamping pahala dan keriḍoan dari Allâh. Begitu juga dalam Al-Hadith pelarangan dengan tegas mengenai riba: 99 Dari Abu Sa`ad
r.a., diceritakan : Pada suatu ketika, Bilal datang kepada
Rasulullah Saw. Membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepadanya,” Kurma dari mana ini? Jawab Bilal, Kurma kita rendah mutunya karena itu ku tukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini untuk pangan Nabi Saw”. Maka bersabda Rasulullah SAW. “Inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”(H.R. Muslim) Dari Jabir r.a., dikatakan : Rasulullah Saw. Mengutuk pemakan riba, yang menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya. Menurut beliau: Mereka itu sama saja (dosanya) Setelah dilakukan pengkajian terhadap riba, ternyata, disamping berdosa karena melanggar larangan atau ketentuan Allâh,
juga pengaruhnya tehadap
perekonomian membawa implikasi yang besar pada kehidupan manusia. Implikasinya antara lain: 1) Masyarakat sebagai nasabah menghadapi suatu ketidak pastian, bahwa hasil perusahaan dari kredit yang diambilnya tidak dapat diramalkan secara pasti. Sementara itu dia tetap wajib membayar persentase berupa pangambilan sejumlah uang tertentu yang tetap berada diatas jumlah pokok pinjaman. Selain itu hal ini akan semakin memberatkan nasabah karena dengan penetapan persentase jumlah bunga akan menjadi kelipatan perseratus dari sisa pinjaman dikalikan jangka waktu pinjaman. Sehingga
99
Shahih Muslim oleh Ma’mun Daud Jilid III, Bab Riba dalam buku Warkum Sumitro, AsasAsas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari’ah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 11.
251
dalam jangka waktu tertentu bisa terjadi suatu saat jumlah yang harus dikembalikan nasabah berlipat ganda dari pokok pinjaman. 100 Keadaan ini bertentangan dengan ketentuan Allâh, yang intinya bahwa hanya Allâh yang dapat mengetahui sesuatu yang akan terjadi dimasa datang, sedangkan manusia tidak akan bisa meramalnya. (Q:S, 31:34) Maksudnya, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha. 2) Penerapan sistim bunga mengakibatkan eksploitasi (pemerasan) oleh orang kaya terhadap orang miskin. Uang/modal besar yang dikuasai orang kaya tidak disalurkan kedalam usaha-usaha produktif yang dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi modal besar itu justru untuk kredit berbunga yang tidak produktif. Selain itu penerapan sistem bunga akan mengakibatkan kebangkrutan usaha, dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan kehidupan rumah tangga, jika peminjam tidak mampu
mengembalikan
pinjaman
dan
bunganya. 101
Al-Qur’ân
menerangkan bahwa hendaknya harta kekayaan itu tidak hanya berputar pada orang-orang yang kaya saja, tetapi harus beredar untuk seluruh umat manusia di bumi ini. 3) Sistem bunga tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan, karena bank dengan perangkat bunganya kurang memberi peluang kepada kelompok masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya yang lebih mandiri di bidang ekonomi. Tetapi sebaliknya orang-orang miskin sebagai nasabah semakin berjiwa konsumtif dan ketergantungannya semakin tinggi kepada bank. Jika kreditnya habis untuk kepentingan-kepentingan konsumtif, 100
Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari’ah, 14. 101 Warkum Sumitro, Asas-Asas perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syari’ah, 14.
252
langsung mengambil kredit lagi secara terus menerus. Bahkan pengambilan kredit dilakukan diberbagai bank sehingga pada akhirnya mereka akan terlilit utang bunga yang semakin besar. Bank-bank yang ada sekarang dikatakan tidak berhasil didalam upaya pemerataan pendapatan, karena pranata pembayaran bunga tetap menjamin arus sumber dari debitur secara terus menerus kearah kreditur. Politik ekonomi Islam harus menjamin adanya pekerjaan setiap individu. Dan sesungguhnya orangorang Islam bukan menrima sedekah (Mustahiqa) tapi yang seharusnya menjadi pemberi sedekah atau zakat (Muzakki). Dalam al-Qur’ân, ditegaskan mengenai pemabagian harta zakat untuk menjamin kehidupan fakir miskin: Q:S. 09:60 Dari Abi Hurairah, dia berkata, Berkata Nabi saw. ”Sebaik-baiknya sedekah adalah apa yang ditinggalkan orang kaya. Tangan yang di atas itu lebih baik dari tangan yang di atas. Mulailah (memberi sedekah) dari orang yang menjadi tanggunganmu.” Seorang wanita berkata: ”jika engkau memberi makan aku, dan jika engkau menceraikan aku”. Seorang hamba berkata: ”berilah aku makan dan suruhlah aku bekerja”. Dan seorang anak berkata: ”Berilah akau makan hingga (tiada) seorangpun yang sedih (karena) aku”. 102 Seperti diuraikan di atas bahwa sistem bunga tidak mampu memberantas kemiskinan. Akhirnya bangsa Indonesia akan selalu bergantung kepada negara. Sementara negara tidak memiliki kemampuan untuk menjaga dan memelihara rakyatnya dari kemiskinan, dikarenakan pengelolaan bank atau sistem ekonomi yang dilakukan oleh negara menggunakan sistem bunga, bukan sistem bagi hasil. Islam menjamin atas segala usaha dan kebutuhan nafkah manusia. Al-Qur’ân menjelaskan tentang itu. Q:S. 11:6, 67:11.
102
HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisya
253
3. Tuntutan Politik Kekuasaan/Konflik Kepentingan Jenderal Soeharto adalah seorang muslim yang baik, namun dia tidak setuju dengan politik berdasarkan pada agama seperti yang diperjuangkan oleh politisi santri NU. 103 Akan tetapi karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, kiranya memang tidak mudah baginya untuk menolak begitu saja terhadap NU. Disamping, karena kepentingan ini dianggap sebagai kepentingan umat Islam, maka apapun alasannya untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara kesatuan dan persatuan, maka
persaudaraan harus diutamakan, sebagaimana al-Qur’ân menerangkan
bahwa sesama umat Islam adalah bersaudara. Q:S. 49:10 Selanjutnya bahwa umat Islam harus bersikap lemah lembut, sesuai dengan tuntunan dan harapan al-Qur’ân bahwa urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lainlainnya.Q:S. 3:159. 4. Tuntutan Politik Ekonomi Al-Qur’ân menerangkan bahwa, pada mulanya merupakan nasihat terhadap kaum kapitalis-materialistis yakni Qarun yang hidup di zaman nabi Musa as. dimana pada ayat sebelumnya diceritakan bahwa Qarun menimbun harta kekayaan yang bergudang-gudang, sehinga untuk mengangkut anak kunci gudangnya saja diperlukan tenaga orang yang kuat. Berulang kali kaumnya memberikan ancaman agar tidak menyombongkan diri. Namun, Qarun menjawab dengan congkak, mengatakan bahwa kekayaan itu diperoleh dari ilmu pengetahuannya. Dia lupa bahwa Allâh mnghukum orang-orang yang menimbun harta kekayaannya. Kemudian diceritakan bahwa Qarun memakai pakaian kemgahan yang menggoda iman orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh kemewahan duniawi. Pada ayat berikutnya, disebutkan bahwa orang yang berpengetahuan luas adalah lebih menghormati budi pekerti dari pada keganasan 103
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik…, 130.
254
dan material dan lebih mengutamakan ketuhanan dari pada tipuan duniawi. 104 Q:S. 28:77. 5. Tuntutan Sosial dan budaya Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan pemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Al-Qur’ân telah mengajarkan bahwa system ekonomi Islam harus berlandaskan pada nilai keadilan dan kebersamaan.Q:S. 49:13. Kemudian Al-Qur’ân memberikan akan pentingnya hidup bersama dengan saling tolong menolong, tidak mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Q:S. 5:2, Q:S. 4:135. D. Analisa Pada bagian akan dianalisa mengenai bagaimana politik hukum nasional mempengaruhi pembentukan hukum perbankan syariah. Sebagaimana telah dipaparkan pada uraian terdahulu bahwa politik hukum dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) tentang apa yang akan dan atau yang tidak akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan hukum. Uraian bahwa hukum atau sistem legal nasional harus dipandang sebagai sistem yang holistik dan mencakup hubungan antara sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi dengan sistem hukum. Hukum itu memiliki inherenitas yang lengket dengan berbagai aspek kehidupan, yakni sistem ideologi Negara, sistem sosial, sistem politik dan sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem budaya baik budaya lokal maupun regional bahkan global.
104
Q:S. 28:77-82
255
Karena adanya inherenitas tadi sehingga banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pembentukan hukum sangat dominan. Ketika akan sedang bahkan sesudah dibentuk hukum perbankan syariah terdapat politik pro dan kontra di dalam masyarakat, ada yang menghendaki pentingnya dibentuk hukum perbankan syariah dan ada pula yang megatakan tidak penting dengan adanya hukum perbankan syariah. Konfigurasi kepentingan dan kekuatan serta intervensi-intervensi baik dari dalam maupun dari luar dalam badan pembentukan dan penegakkan undangundang, tidaklah mungkin dapat diabaikan. Intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia. Politik hukum, juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. 105 Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, cocok atau tidaknya (match or mismatch) ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat. 1. Analisa Politik Hukum Pada masa Orde Baru Pendirian bank Islam di Indonesia, pada awalnya, tidak disetujui, karena dianggap punya kaitan dengan gerakan kaum fundamentalis yang akan mendirikan negara Islam. Disamping itu, undang-undang perbankan Indonesia (UUPI) tidak mengenal sistem atau tidak memberikan ruang bagi beroperasinya bank tanpa bunga. Undang-undang tersebut adalah UU Pokok Perbankan No. 14/1967 Bab I, yang mengharuskan setiap transaksi kredit disertai dengan bunga. 106 Faktor politik 105
107
yang dominan itu sangat mempengaruhi politik
M. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta, LP3ES, 1998), 1-2. M. Dawam Rahardjo, 399-400.
106
256
pendirian bank Islam. Namun
atas insiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan para tokoh muslim Indonesia serta tuntutan masyarakat baik dari dunia akademisi maupun praktisi mampu merangkul pemerintah. sehingga pendirian Bank Muamalat Indonesia dapat dilakukan pada tahun 1991, yang kemudian diikuti oleh institusi syariah lain. Sungguh amat terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, padahal pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak tahun ’70-an. Adanya kekhawatiran datangnya acaman dari orang yang merasa terusik kenikmatan mengeruk kekayaan rakyat yang sebagian besar beragama Islam melalui sistem perbankan yang ada. Munculnya Bank Syariah yang menuntut pemerataan yang lebih adil akan dirasakan sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Mereka mungkin akan menghambat pendirian Bank Syariah dengan membenturkan pada perangkat perundangan perbankan yang pada saat itu memang boleh disebut tidak memberikan ruang beroperasinya bank tanpa bunga sesuai dengan syariat Islam. Setelah tim perbankan syariah mengadakan pendekatan kepada Munawir Sadzali, menteri Agama; Dirjend Moneter Oskar Surjaatmajda, Menmud Keuangan Nasrudin Sumintapura, dan Menteri Perdagangan Arifin Siregar Serta Mensesneg Moerdiono. Bahkan setelah berkonsultasi ke BJ. Habibi, Pada awal tahun 1991 Ketua umum ICMI tersebut membentuk Tim mobilisasi dana diketuai Emil Salim. 108 Silaturrahim tim perbankan MUI dengan Menmud Keuangan Nasrudin Sumintapura dan Mensesneg Moerdiono membuahkan kekuatan kepastian hukum bank tanpa bunga dengan disiapkannya RUU perbankan baru pasal 1 ayat 17 yang menyebutkan pelunasan utang setelah jangka waktu yang tertentu dapat disertai 107
Nampaknya alergi politik terhadap gerakan kaum fundamentalis Islam membekas dalam jiwa bangsa Indonesia sehingga pendirian bank syariah dianggap masih memiliki rentetan dengan perjuangan kaum radikalis yang membangun negara Islam. 108 Karnaen. A. Perwataatmadja, Peluang dan Strategi Operasional Bank Muamalat Indonesia dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), 148
257
dengan bunga atau pembagian hasil keuntungan. Artinya, RUU perbankan baru itu yang kemudian disetujui oleh rapat Pleno DPR RI pada bulan Fabruari 1992 semakin mengabsahkan bank tanpa bunga dalam ekonomi Indonesia. 109 Mensesneg Moerdiono kemudian membawa tim ini ke Presiden Soeharto. Dalam pertemuan tim pendirian bank syariah dengan Presiden Soeharto melaporkan bahwa kepala negara menyambut antusias dan bersedia dicantumkan sebagai pemrakarsa Bank Syariah sekaligus memberikan dana RP 3 Miliyar dari kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan tanpa batas waktu pinjaman. Lebih lanjut Presiden berjanji membantu kekurangan modal awal yang diperlukan bagi pendirian bank syariah dengan menggelar saresehan ala tapos di Istana Bogor pada 3 November 1991. mereka yang diundang dalam acara di Istana Bogor adalah para pengusaha Muslim dan warga Jawa Barat. Perhatian yang besar dari Presiden kepada persoalan yang dihadapi para pendiri bank syariah itu sangat dimungkinkan oleh peran para pendiri bank syariah yang melaporkan secara terpisah mengenai urusan bank syariah yang hendak didirikan. Dalam pertemuan dengan para perintis pendirian bank tanpa bunga itu juga menyarankan bank syariah itu dengan nama Bank Muamalat Indonesia. 110 Betapapun telah mendapat uluran dan komitmen dari Presiden Soeharto, kekwatiran kekurangan dana RP 7 Milyar tidak terpenuhi padahal mereka sudah mencatut nama Presiden. Dengan kecemasan semacam itu tidak mengherankan setelah Presiden Soeharto menyatakan akan mengadakan silaturrahmi di Istana Bogor, tim pendirian Bank Syariah tersebut dengan tangkas bekerja melobi kelompok-kelompok masing-masing target group dengan fokus kesuksesan silaturrahmi yang akan diadakan.
109
Kliping koran PELITA, MUI Optimis Bank Tanpa Bunga Akan Hidup, 22 Pebruari 1991. Majalah PROSPEK, Mengapa Baru Sekarang BMI Berdiri?, tanggal 2 November 1991.
110
258
Bayang-bayang kesulitan modal keuangan yang diperlukan bagi berdirinya bank Syariah tersebut sirna setelah menteri-menteri bersimpati terhadap rencara berdirinya bank itu terjun langsung memobilisasi pengusahapengusaha yang diperkirakan bisa diajak bekerja sama. Pada 11 Oktober 1991 dan 13 Oktober 1991 Menteri Ginanjar Kartasasmita mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan para pengusaha muslim di kediamannya dan di Syahid Jaya Hotel. Dalam pertemuan atau silaturrahmi yang dihadiri oleh 87 pejabat tinngi dan pangusaha itu terdapat dinama-nama pengusaha besar antara lain, Fadel Muhammad, Abu Rizal Bakrie, Bob Hasan , Sukamdani Sahid Gitosarjono, dan Pontjo Sutowo. Pada kesempatan itu terkumpul komitmen dengan besaran Rp. 55 Milyar. Dalam minggu berikutnya, Habibie menggalang dana pensiun dari tiga industri strategis yang berada lam kendalinya sehingga dana yang terkumpul menjadi 63 Milyar. Jumlah uang sebesar itu terus bergulir dan membesar ketika tim perbankan MUI di panggil menteri perindustrian untuk diberikan tambahan komitmen dana, sehingga seluruhnya waktu itu telah terkumpul Rp. 84.473.000.000. Jumlah sebanyak itu sudah termasuk beberapa perusahaan yang mayoritas kepemilikannya adalah bukan orang Islam, termasuk Salim Grup perusahaan ini telah menalangi lebih dulu membeli saham untuk karyawannya yang beragama Islam. 111 Selain melakukan pendekatan-pendekatan kepada pejabat dan pengusahapengusaha besar, para perintis bank syariah juga melakukan persiapan manajerial dan
penjajakan
kerja
sama
dengan
lembaga
bisnis
(keuangan)
yang
memungkinkan. Persiapan manajemen bank syariah yang dilakukan mulai dari penyusunan berdirinya bank syariah, penandatanganan akte notarishingga menyelenggarakan training calon staf BMI melalui Manajement Development Program (MDP). Yang menarik dalam training MDP pada 29 Maret 1991 itu 111
M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, 120
259
langsung dibuka oleh Menmud Keuangan, yang juga berusaha meyakinkan beberapa pengusaha muslim untuk menjadi pemegang saham. Penjajakan kerjasama bidang manajemen dan perangkat lunak lainnya juga dilakukan dengan Islamic Development Bank (IDB), kelompok bisnis raksasa Arab Saudi, alBarakah Grup dan Bank Syariah Madilaksanakannya mobilisasi laysia Berhad. Menjelang dilaksanakannya mobilisasi dana Bank Muamalat, pada tanggal 1 November 1991 diadakan penandatangan akata pendirian PT BMI yang dilakukan oleh 145 orang pendiri BMI di hadapan notaris Yudo paripurno SH. Izin menteri kehakiman No. C 2.2413..HT. 01. penandatanganan akta pendirian itu sempat tertunda karena adanya perbedaan pendapat tentang perlu tiaknya pencantuman kata “bahwa pemegang saham pendiri BMI warga Indonesia yang beragama Islam”. Setelah berdialog selama 15 menit akhirnya disepakati kalimat itu tetap dicantumkan. 112 Puncak mobilisasi dana bank Muamalat berlangsung di Istana Bogor pada 3 November 1991 yang di hadiri sekitar 4.600 undangan. Para undangan yang hadir dalam acara yang diprakarsai Presiden Soeharto itu sangat beragam, mulai dari para pedagang kaki lima hingga para menteri, tak terkecuali pejabat Menkeu JB Sumarlin, Gubernur bank Indonesia Adrianus Mooy, dan deretan nama-nama pengusaha besar. Saham yang dijual seharga 1.000 rupiyah perlembar di Istana Bogor terseut hanya dalam waktu 2 jam berhasil menyedot dana masyarakat sebaesar RP. 24 hingga 26 Milliyar. Jumlah sebesar itu termasuk tambahan dari yayasan Dakap, Supersemar, Dharmais, yang dibawah naungan Soeharto, Masing-masing Rp 1 Milyar. Secara pribadi kepala negara juga membeli saham BMI senilai 50 Juta rupiah. Denga bertambahnya keuangan yang terkumpul dari
112
Koran PELITA, PT Bank Mumalat Indonesia Resmi di Bentuk dengan Modal Rp. 500 Milyar, tanggal 2 November 1991. Karnaen Perwataatmadja dan syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyaakarta: Dana Abadi Wakaf, 1992), 84
260
penjualan saham di Istana Bogor itu, modal awla telah melewati angka Rp. 110 Milyar. 113 Angka itu tercatat sebagai modal terbesar dalam sejarah perbankan setelah dikeluarkannya Pakto 88 oleh pemerintah dan diberlakukannya beleid uang ketat (tight money policy). Sukamdani Sahid Gitosarjono, pengusaha perhotelan, menyatakan, “pengumpulan dana BMI adalah salah satu rekor pengumpulan modal tercepat”. Dukungan dan kepercayaan yang besar kaum muslimin seperti terlihat dari begitu banyaknya jumlah dana yang terserap dari masyarakat itu, di satu sisi merupakan perkembangan yang menggembirakan namun disisi lain merupakan beban moral yang berat bagi pengelola BMI. Kehadiran bank syariah itu juga berarti taruhan politik umat Islam, jika pengelolaan bank syariah itu kemudian mengecewakan atau gagal akan sulit menanamkan kepercayaan pada masa berikutnya. Dengan terkumpulnya modal awwal tersebut dan setelah mendapatkan izin prinsip, surat kepautusan menteri keuangan RI No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 Nopember 1991, dan izin Usaha keputusan menteri keuangan RI No. 430/KMK:013/1992 tanggal24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia (BMI) secara resmi mulai beroperasi di pusat bisnis jalan sudirman Jakarta. 114 Dari paparan sejarah berdirinya bank syariah diatas jelas bahwa Soeharto dan para menterinya terlibat begitu serius mensponsori pendirian bank berdasarkan pada syariat Islam. Keterlibatan pemerintah tak hanya sekedar memberiakan dorongan moril, melainkan juga membantu sepenuhnya dalam memobilisasi dana besar-besaran di Istana Bogor. Hingga akhirnya dana yang
113
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press) 25
114
Karnaen Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa Dan Bgaiman bank Islam, 85
261
berhasil dikumpulkan sebagai modal awal melebihi target semula yang direncanakan. Dalam hal ini peranan negara terutama pengaruh presiden soeharto adalah sangat menentukan. Ada dua hal yang membuat pengaruh presiden soeharto dalam proses penndirian bank Muamalat menjadi vital. Pertama: ide mendirikan bank yang berdasarkan syariat Islam (tanpa bunga) kemungkinan besar mengalami kesulitan permodalan, karena banyak pengusaha besar yang lebih tertarik menanam investasinya pada bank konvensionalyang lebih menjanjikan prospeknya pada bank tanpa bunga yang harus menerapkan azas kehati-hatian extra tinggi. Apalagi hingga awal dekade 1990-an konglomerat-konglomerat atau pengusaha raksasa yang hampir seluruhnya “pengusaha klien” didominasi kelompok non-pri dan non-muslim. Kedua: berbagai pejabat perbankan dan moneter kabinet pembangnan IV ketika itu yang masih didominasi kelompok non-muslim jelas merupakan faktor kondisi subjektif yang memilik potensi menjadi trouble maker. Indikasi dari dominannya kelompok non muslim dalam kebijakan perekonomian dan keuangan waktu itu bisa dilihat dari merebaknya istilah trio RMS (Radius, Moy dan Sumarlin), tiga pejabat tinggi negara yang terkait dengan ekonomi, perbankan dan keuangan. Oleh karena itu berdirinya bank syariah yang lancar bagaikan jalan tol di atas merupakan hal spektakuler, mengejutkan dan istimewa. Bila dalam dua dekade pertama kepemimpinan orde baru, segala pendirian institusi yang memiliki muatan syariah Islam menjadi sumber kecurigaan pemerintah terhadap Islam, dalam kasus berdirinya BMI negara memberikan dukungan sepenuh hati. Pemegang sahamnya saja selain presiden dan wakil presiden juga terdapat tak kurang dari 10 menteri dan pengusaha-pengusaha besar yang diantaranya terdapat “pengusaha Klien” negara.
262
Pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syari’ah masih lemah, tidak diatur secara rinci dan hanya petikan kecil dari UU No. 7 tahun 1992 yang memberikan sinyalemen kemungkinan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam Undang-undang Perbankan Indonesia, namun hanya menyebutkan:“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah." 115 Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjianperjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. 1. Analisa Politik Hukum Pada Masa Reformasi Rentang waktu antara pendirian Perbankan Syariah (Tahun 1980) dengan pembentukan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah membutuhkan waktu sekitar 28 tahun. Jadi, pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR, 17 Juni 2008 dan pengundangannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 115
Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Perbankan
263
Juli 2008, 116 dapat dikatakan sangat telat. Sebab, di zaman penjajahan saja, pemerintahan kolonial Belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi masyarakat muslim dalam bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari ordonansi riba tahun 1938. Ordonansi riba ini dikeluarkan untuk mencegah praktik riba di kalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah satu pihak atau memperingan beban pihak yang merasa diberatkan itu (Pasal 2 ayat-14 Ordonansi Riba 1938). 117 Pengesahan undang-undang No 21 tahun 2008 yang dilakukan oleh pemerintah (presiden) menghabiskan waktu selama 3 tahun. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang responsif
terhadap aspirasi rakyat yang mayoritas
beragama Islam. Padahal, seperti diketahui selama terjadinya krisis moneter, perbankan syariah juga tidak membutuhkan bantuan atau memguras keuangan Negara, seperti halnya bank konvensional. Seiring dengan tuntutan kebutuhan terhadap perbankan syari’ah dan perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam yang memiliki kesadaran untuk melakukan aktifitas perbankan secara Islami, lahir Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan yang memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem perbankan syari’ah di Indonesia. Terdapat perubahan yang signifikan dalam pengakuan terhadap eksistensi perbankan syari’ah. Dalam Undang-undang sebelumnya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992) istilah perbankan syari’ah masih belum dinyatakan secara eksplisit, pengertian bank dengan prinsip bagi hasil yang dimaksud dalam undang-undang tersebut belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syari’ah atau Islamic Bank yang memiliki cakupan yang lebih
116
UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di muat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No.94 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4867 117 Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia, Addenda & Corrigeada (Jakrata PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 1.
264
luas dari bagi hasil, meskipun undang-undang tersebut telah memungkinkan dijadikan dasar untuk berdirinya bank umum syari’ah pertama di Indonesia. Demikian pula peraturan pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum banyak membuka ruang gerak bagi operasional perbankan syari’ah Indonesia. 118 Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya ini, Indonesia telah memasuki priode baru yaitu priode perkembangan sistem perbankan syari’ah yang ditandai dengan bermunculannya bank-bank syari’ah baru. Berdasarkan Undang-undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan di Indonesia terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syari’ah (atau digunakan istilah sebagai Dual Banking Sistem). Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang Bank Syari’ah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah prinsip syari’ah merupakan suatu prinsip dalam menajalankan kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis kelembagaan melainkan cara menjalankan kegiatan usaha bank. Sejalan dengan itu, istilah Bank Syari’ah tidak didefinisikan sebagai bank tersendiri, sehingga jenis bank di Indonesia tetap hanya dua, yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Adapun dari segi kegiatan usahanya Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat tersebut dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah (menjadi Bank Umum Syari’ah dan BPR Syari’ah). 119 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini juga membuka kesempatan bagi pengembangan bank syari’ah melalui pendirian bank syari’ah baru, 118
Subarjo Joyosumarto, Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Bank Syariah, paper disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Bisnis Perbankan Syari’ah, 23 Mei 2000 di Jakarta. 119 Lihat Sis Abadi, Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Makalah dalam seminar “Sosialisasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998”, 13-14 Juli 1999. Lihat pula ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
265
perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syari’ah dan pelaksanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syari’ah oleh bank konvensional. Khusus bagi bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan usaha secara konvensional, dapat melakukan kegiatan usaha secara prinsip syari’ah, dengan cara membuka kantor cabang baru yang semata-mata melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, atau mengubah kantor cabang yang telah ada menjadi kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. 120 Jika suatu bank menjalankan kegiatan usahanya baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syari’ah, bank yang bersangkutan harus menatausahkan pembukuannya secara terpisah mengingat perbedaan prinsip yang digunakan. a. Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syari’ah Dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah perkembangan bank syariah ke depan akan mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah: Pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); Kedua; Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); Ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk 120
Lihat Penjelasan Ketentuan Pasal 6 huruf m Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
266
mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada UU Perbankan Syariah dalam menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan. 121 UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (vide Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank. 122 Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan oleh UUS. Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3). UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan 121
Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah Pasca Undang-undang Perbankan Syari’ah, http://id.wordpress.com/tag/pengesahan-uu-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal, 29 Maret 2010) 122 Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah,
267
perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan utama bagi pelaku bank syari’ah nasional dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan. Demikian pula pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah. 123 Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia. b. Urgensi Kompilasi Hukum Perbankan Syari’ah Hadirnya hukum perbankan syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) dan hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial). 124 Namun dengan bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dengan kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus
123
Mierza Gamal, Harapan dan Tantangan Bank Syariah 124 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan (Bandung: Mandar Maju, 2002), 70.
268
perkara. 125 Oleh karena itu adanya produk legislasi yang mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak dan urgen yang pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama. 126 Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis syari’ah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku bisnis yang berlandaskan syari’ah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin hukum (fikih) semata. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, kendatipun Pengadilan Agama telah lama diakui eksistensinya 127 namun hakimnya masih belum memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama layaknya KUHP, apalagi kewenangan di bidang ekonomi syari’ah adalah kewenangan yang baru, praktis Hakim Pengadilan Agama masih mengandalkan kitab-kitab fikih produk ijtihad para Imam Madzhab sebagai bahan rujukan utama. Padahal menurut Joseph Schacht 128 kitab-kitab fikih madzhab yang diakui mempunyai otoritas yang mapan bukan merupakan kitab hukum, cakupan hukum Islam di situ bukan menjadikan kitab fikih tersebut menjadi undang-undang (a corpus of legislation), tetapi merupakan hasil yang hidup dari ilmu hukum. Tanpa suatu standarisasi atau keseragaman landasan hakim dalam menyelesaikan sengketa, akibatnya banyak putusan yang berbeda dari kasus yang sama dari masing-masing hakim antar Pengadilan Agama, sehingga muncul ungkapan “different judge different sentence” (lain hakim lain pendapat dan 125
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Mimbar Hukum edisi No. 5 Thn III, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1992, 26. 126 Hartono Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S) (Jakarta: PP-IKAHA, 1994), 336. 127 Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1882 ditempat-tempat yang ada landraad (Pengadilan Negeri-nya), bahkan sebelum secara formil diakui oleh pemerintah pada tahun 1882 tersebut, Pengadilan Agama telah diterapkan secara riil. Begitu juga pada tahun 1760 telah diterbitkan compendium freijer yang menghimpun materi hukum perkawinan dan waris Islam yang dijadikan pedoman menyelesaikan sengketa antar orang-orang Islam. 128 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (edisi terjemahan Pengantar Hukum Islam) (Yogjakarta: Islamika, 2003), 106.
269
putusannya). Dari sudut teori hukum berarti produkproduk putusan Pengadilan Agama bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. 129 apabila putusan Pengadilan Agama selalu didasarkan pada doktrin fikih, maka para pihak yang berperkara dalam kesempatan yang diberikan oleh Majelis Hakim bisa saja mengajukan dalih dan dalil ikhtilâfi dan mereka menuntut hakim untuk mengadili menurut pendapat dan doktrin madzhab tertentu yang diikutinya. Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syari’ah yang akan datang adalah untuk mengisi kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah, 130 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam. 131 Kedudukan undang-undang tentang ekonomi syari’ah nantinya adalah sebagai norma ukuran, kaidah hukum resmi dan baku bagi Pengadilan Agama, maupun masyarakat muslim dan para pencari keadilan sehingga terwujud: 132 1. Kesatuan landasan hukum (unified legal frame work) dan keseragaman pandangan hukum (unified legal opinion) sehingga dapat dihindarkan dan diperkecil putusan-putusan hukum yang berdisparitas tinggi dan bercorak “ketidakpastian”. 2. Membina kepastian penegakan hukum, agar dapat direalisir kehidupan negara hukum dan supremasi “ rule of law” yakni keunggulan kekuasaan hukum.
129
Munawir Sadzali, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta,UII Press, 1993), 2. 130 M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 436. 131 M. Yahya Harahap, Informasi Materi, 432 132 Matardi, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Terapan di Pengadilan Agama, Mimbar Hukum edisi no. 24 tahun VII (Jakarta, Al-Hikmah ,1996), 31.
270
3. Memberi perlakuan yang sama (equal treatment ini smilar cases) sehingga undang-undang ekonomi syari’ah dapat dan mampu berperan menegakkan prinsip “Predictable” yakni dapat diperkirakan kebenaran putusan yang akan diberikan oleh hakim Pengadilan Agama. Dari beberapa uraian di atas tergambar betapa pentingnya legislasi fikih muamalah yang mengatur tentang ekonomi Islam pasca amandemen UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa untuk memutus suatu perkara di pengadilan tidak cukup hanya berlandaskan fatwa ulama, pendapat para ahli fikih maupun kitab-kitab klasik yang berisi pendapat hukum para imam madzhab sekitar 13 abad yang lalu. Oleh karena itu legislasi fikih muamalah adalah sebagai upaya mempositifkan “nilai-nilai” hukum Islam yang berkenaan dengan ekonomi syari’ah secara terumus dan sistematis dalam “kitab hukum” atau positivisasi hukum Islam. 133 Dengan demikian, kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban umum dalam pelaksanaannya. Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Di sisi lain, kehadiran Undang-undang Perbankan Syari’ah yang tidak matang akan memunculkan masalah baru bagi perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia. 133
Matardi, Kompilasi Hukum Islam, 434.
BAB V
Secara historis, embrio tentang pemisahan kekuasaan lembaga negara dapat dilacak sejak zaman Yunani Kuno, karena pada saat itu sudah ada istilah konstitusi yang bersifat materiil. Distingsi antara politea dan nomoi sudah terdengar sejak zaman Aristoteles, peran kedua aturan ini bertingkat, yakni, politea itu mempunyai kekuasaan membentuk dan posisinya lebih tinggi dari pada nomoi atau undang-undang biasa. 1 Dari kesimpulan diatas dapat ditelusuri melalui tahapan periode sebagai pembagian sejarah tumbuh kembangnya lembaga negara dalam mengawal tugas-tugas pemerintahan, periode itu antara lain; Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M. Pada masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan tidak didiskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. 2 Praktik demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state) Athena,Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negarakota Athena dari Sparta. Yaitu, terbentuknya negara kesejahteraaan (walfare state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius Cicera (106-43 SM), dan lainya. Periode kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan, Gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalaui Magna Charter (Piagam Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai imbalan bagi penyerahan dana pada kerajaan untuk membiayai kebutuhannya. Selain itu, piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama,
1
Aristoteles melanjutkan karangan Plato (429-347 sM), karangan tersebut adalah: (1) Politeia (the Republic), yang ditulis ketika ia masih muda;(2) Politicos (the Statesman); dan(3) Nomoi (the Law). Buku pertama – Politea – ditulis ketika Plato merasa sangat prihatin melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang-orang yang haus akan harta, kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintahan yang sewenang-wenang yang tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya telah menggugah Plato untuk menulis buku ini, dimana ia mengangankan eksistensi suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya; suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Satya Arinanto, Hak Azasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum- Universitas Indonesia, 2005), cet. Ke-2, 70. 2 Mo Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesi, (Jakarta: Univ. Atmajaya, 2000), cet. Ke- 2, 58.
1
2
adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan negara. Periode ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M). Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat yang berkembang menjadi asas-asas protestanisme, seperti perjuangan menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragam, kebebesan berfikir, kebebasan mengemukakan pendapat. Singkatnya, setelah (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M) Montesquieu (1689-1755) memunculkan pemikirannya bahwa kekuasaan pemerintah yang tidak dibatasi akan terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan, hukum yang adil dapat menjadi sebaliknya, buruk dan bahkan keluar dari tujuannya, hal ini disebabkan oleh terpusatnya kekuasaan pada satu orang atau satu lembaga saja. Pendapat tersebut dituangkan Montisquieu dalam teori pemisahan kekuasaan atau the separation of power dalam bukunya. 3 Kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan ke dalam tiga fungsi, pertama, fungsi legislatif (the legeslative function) agar tidak terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu lembaga, sehingga dapat menimalisir penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang oleh lembaga yang menaungi kekuasaan tersebut, 4 kedua, fungsi eksekutif (the executive or administratif function) dan yudisial (the judicial function). 5 Fungsi legislatif dikaitkan dengan peran kekuasaan parlemen
3
L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws) sebagai solusi yang nyata terhadap sejarah peradaban manusia dalam memimpin sebuah pemerintahan, khususnya dalam dunia hukum dan politik. Teori ini sebelumnya sudah dirumuskan oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690). Two Treatises on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorius Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen Inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), cet, keXIII, 151. 4 Produk legislatif adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co-legislator, Dalam sistem hukum Indonesia dewasa ini, pada tingkat nasional yang dapat disebut sebagai lembaga legislator utama atau legislatif utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perkataan legislator utama itu penting untuk membedakan dengan lembaga legislatif yang bersifat penunjang atau yang disebut co-legislator belaka. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), misalnya, karena kedudukannya yang tidak setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-tidak dapat disebut sebagai legislator utama. Sifat kelembagaannya hanya menunjang sebagai auxiliary organ terhadap fungsi legislatif oleh DPR. Namun terlepas dari hal itu, produk pengaturan yang ditetapkan oleh legislator utama itulah yang disebut sebagai legislative act yang dalam sistem hukum Indonesia disebut undang-undang atau dalam istilah Belanda disebut wet. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian UndangUndang, (Jakarta; Konpress, 2006), cet. Ke-3, 30. 5 O.Hood Phillips, Paul Jackson. Constitutional and Administrative Law. (London: Sweet and Maxwell, 2001), 10.
3
atau legislature, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi yudisial dengan kekuasaan kehakiman. 6 Ide Montesquieu mempunyai kesamaan argumen dengan Immanuel Kant tentang tujuan negara yaitu memelihara hal dan kemerdekaan warga negara dengan membentuk serta memelihara hukum, pemisahan kekuasaan yang juga digunakan untuk menjamin hak-hak asasi, ia menyebutkan tiga pemisahan itu dengan kekuasaan-kekuasaan, antara lain; potestas-legislatora, potestas-rectoria, potestasindiciaria. 7 Selain dibentuk oleh lembaga yang berwenang, hukum juga dapat berangkat dari hal yang terjadi dalam masyarakat, kemudian menjadi aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan masyarakat dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya. Bentuk-bentuk aturan normatif seperti itu tumbuh sendiri dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara ataupun sengaja dibuat menurut prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam suatu negara. Peraturan itu telah menjadi pembatas bagi berkembangnya bank syariah karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah hanya melalui perluasan kantor bank syariah yang telah atau pembukaan bank baru yang relatif besar investasinya. Situasi demikian membuat Bank Muamalat Indonesia (BMI) menjadi pemain tunggal di pasar dengan sejumlah problem terutama berkaitan dengan masalah pengelolaan likuiditas dan mitra kerjasama. Sementara itu kebutuhan masyarakat terhadap perbankan syariah telah dirasakan meningkat pada saat itu. Maka untuk mengakomodir kebutuhan tersebut sejumlah investor telah mendirikan BPR yang beroperasi dengan prinsip syariah. Hingga tahun 1998 telah berdiri 76 BPR Syariah di berbagai kota di Indonesia. Gagasan pemikiran Bank Islam, sebetulnya, telah muncul sejak lama.8 Salah satu upaya adalah aplikasi lembaga keuangan syariah yang didasarkan atas prinsipprinsip Islam. Rintisan aplikasi sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga keuangan syariah tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya mengelola dana jemaah haji secara non-konvensional di Pakistan dan Malaysia.9 Kemudian perkembangan berikutnya yang merupakan tonggak sejarah pebankan syariah adalah Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr. 10
6
Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G.Bell dan Sons, Ltd, 1914), Part VI, Chapter, 67. 7 C.S.T. Cansil. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia). (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), cet. ke-2, 57. 8 Ditandai banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaaan bank Islam, misalnya Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Lihat Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: EkonisiaFE UII, 2003), h. 9. 9 Faturrahman Jamil, “Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, (Agustus 2002), h. 39. 10 Bank ini didirikan oleh Ahmed el-Najar yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo, Mesir kemdatipun yang pada akhirnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt.
4
Mengenai unsur primsip perbankan Islam,
8. Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, karya Mustafa Edwin Nasution dkk.,11 Buku ini memberikan informasi tentang ekonomi Islam yang cukup memadai. Tema ekonomi Islam dibahas dalam 12 bab dan terpisah dalam bagian utama. Bagian pertama menjelaskan pandangan Islam tentang segala kegiatan ekonomi yang kemudian bermuara pada pembentukan definisi ekonomi Islam. Pandangan dan koreksi terhadap berbagai aspek ekonomi menjadi fokus pada pembahasan bagian kedua. Sedangkan perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis, yakni terbentuknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan berbasis Islam dibahas dalam bagian ketiga. Ekonomi dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam, yang bersumber dari syariatnya.. Ini baru dari satu sisi. Sedangkan dari sisi yang lain ekonomi Islam bermuara kepada al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah anNabawiyah yang berbahasa Arab. Ekonomi Islam juga dipahami sebagai sebuah ilmu.12 Ada banyak beberapa definisi yang kemukakan oleh para pakar ekonomi Islam dalam buku ini. Pada bagian akhir pada bab 12 secara khusus dibahas tentang lembaga keuangan Islam di Indonesia. Bahasan ini meliputi perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS); Perbankan Syariah; Asuransi Syariah; pasar modal syariah yang mencakup produk-produknya, seperti obligasi syariah atau sukuk; saham syariah; reksadana syariah; pegadaian syariah (rahn) dana pensiuna dan Lembaga Keuangan Syariah Internasional (LKSI). Dengan demikian buku ini dapat dijadikan rujukan awal yang informative tentang ekonomi Islam. Akan tetapi permasalah tentang ekonomi Syariah, yang menjadi fokus penelitian ini tidaklah dibahas dalam buku ini. Ada sedikit ilustrasi tentang bagaimana kebijakan pemerintah dalam ekonomi Islam, namu tidak membicarakan tentang perundangundang atau payung hukum mengenai ekonomi Islam.
Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, karya Bambang Iswanto Dosen STAIN Samarinda, menguraikan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia cukup pesat. Dalam kesimpulannya bahwa jika di Malaysia pertumbuhan perbankan syariah didukubf oleh regulasi dan insentif dari pemerintah, sementara pertumbuhan bank berbasis syariah di indonesia legih banyak didukung oleh apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Pertumbuhan perbankan syariah bisa dibilang bottom up. Sejak 1991, ketika perbankan sayariah pertama kali berdiri hingga tahun 2008basis hukum dari perbankan syariah tidak
11 Mustafa Edwin Nasution et al, Pengenalan eklusif ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007). 12 Nasution, et al, Pengenalan ekslkusif, h. 16.
5
memadai. Basis hukum perbankan syariah baru kuat setelah disahkannya Undangundang Perbankan Syariah Tahun 2008 ini. Riawan 5. Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Karya A. Riawan Amin.13 Buku ini disampaikan pada acara pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) bidang Penbankan Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 11 Juli 2009. Dalam pidatonya disampaikan bahwa kegiatan pemikiran ekonomi di dunia Islam setidaknya mengambil dua pola. Pertama; pola ideal, yakni sistem ekonomi Islam yang lebih komprehensif dan holistik sebagai agenda jangka panjang, dan hal ini diupayakan secara terus menerus. Kedua; pola pragmatis, yaitu mengembangkan sistem yang bersifat parsial dan satu aspek saja, yang menjadi focus pemikiran adalah lembaga keuangan syariah yang diawali dengan tumbuh kembangnya sistem perbankan syariah. Di Indonesia mengambil pola yang kedua, sehingga tidak heran jika perkembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dari pengkajian secara teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem yang lebih komprehensif.14 Perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat dan signifikan disebabkan adanya dukungan dari senua stakeholder dan semakin terasa dengan disahkannya UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008dan UU Surat BNerharga Syariah Negara No 19 Tahun 2008. Dengan adanya regulasi yang mandiri tersebut, eksistensi perbankan syariah di Indonesia semakin kuat.15 Lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun share perbankan syariah baru sekitar 2,05 persen per November atau masih terlalu kecila bila dibandingkan asset perbankan nasional, namun dukungan pemerintah menyiratkan dan sekaligus memberi pengakuan bahwa industri baru ini tidak bisa diremehkan perannya dalam membangun ekonomi nasional. Bahkan perbankan syariah bukan lagi alternatif tetapi solusi untuk mengokohkan ekonomi nasional aserta membawa kembali harkat dan martabat bangsa.16 6. Islam dan Pembangunan Ekonomi, Karya M. Umer Chapra, Penerjemah Ikhwan Abidin E.17 Ada lima bab yang amat terkait dengan permasalahan dibahas, antara lain: stabilitas dan tujuan-tujuan sosio-ekonomi, di dalamnya mmenguraikan tentang tujuan, pandangan dunia dan pentingnya strategi baru dan pandangan hidup Islam. Ia mengatakan bahwa tujuan dari sebuah system ekonomi pada prinsipnya ditentukan makna dari tujuan hidup manusia serta hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan amanusia dengan alam sekitarnya, maka tentu saja tidak bertanggung jawab kepada siapapun. Akan tetapi jika mansuia merasa apa yang dimiliki adalah ciptaan Tuhan dan mereka bertanggung jawab
13 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009) 14 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 41. 15 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, h. 43 16 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah sebagai Solusi Perekonomian Nasional, 44. 17 M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
6
kepada-Nya, maka tidak mungkin menganggap dirinya bebas mutlak dan berperilaku semaunya.18 Pendekatan Islam yang berdimensi empat19 harus dapat membuktikan lebih efektif dalam menjamin kesejahteraaan semua anggota masyarakat dari pada pendekatan kapitalis dan sosialis yang berdimensi tunggal dan hanya mengandalkan kepentngan diri sendiri. Dan kekuatan pasar yang hanya mengandalkan kolektifitas dan perencanaan pusat. Dalam melakukan kebijakan harus ada dua kriteria. Pertama tindakan kebijakan harus mampu memberikan kontribusi terhadap realisasi tujuan syariat (maqashid). Kedua, tidak boleh melakukan kerangka kerja optimalitas Pareto.20 Menurut Chapra, ada lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi pembangunan yang disertai dengan keadilan dan stabilitas: memberikan kenyamanan kepada factor manusia; mereduksi konsentrasi kekayaan; melakukan restrukturisasi ekonomi, keuangan dan rencana kebijakan strategis. Tindakan-tindakan kebijakan ini sudah dikenal dalam literatur pembangunan. Namun yang terpenting adalah injeksi dimensi moral ke dalam parameter pembangunan material. Karena tanpa sebuah integrasi moral dan material seperti itu, tidak mungkin dapat diwujudkan adanya efisiensi dan pemerataan. 21
1. Economic Message of the Qur’an, Karya Akram Khan,22 dalam buku ini Akram khan menjelaskan pandangan Islam mengenai ekonomi, prinsip-prinsip dasar mengenai ekonomi Islam, masyarakat yang adil dan norma-norma tingkah laku ekonomi. Pandangannya tentang ekonomi bahwa dunia ini adalah milik Allah dan mansia di bumi sebagai makhluk Allah ditugasi menjadi khalifah untuk mengurus bumi dan alam beserta isinya guna kemakmuran hidupnya, memenuhi kebutuhannya dari lapar, tempat berteduh, tidur, dan seks dalam kehidupannya. Kesemuanya ini adalah berasal dari konsep Tauhid atau kesaan Tuhan. 23 Menurutnya, bahwa tujuan ekonomi Islam untuk membangun dan menopang masyarakat manusia memperoleh kebahagiaan. Dalam istilah al-Qur’an disebut 18 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 4. 19 Pertama; melengkapi mekanisme pasar dengan filter moral; kedua, memotivasi individu ikut menanggung kepentingan social; ketiga, merestrukturisasi sosio-ekonomi; dan kempat peranan pemerintah. Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 84. 20 Suatu strategi yang memandang bahwa meningkatkan sumber-sumber daya untuk tujuan-tujuan yang lain hanya akan mengarah kepada kegagalan dan ketidakseimbangan. Kebijakan-kebijakan harus dites melalui filter-filter Islam. Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 85. 21 Lihat M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, “Islam dan Pembangunan Ekonomi”, Penerjemah Ikhwan Abidin B, h. 85 22 Muhammad Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), First Puliblished. 23 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 9.
7
dengan al-falah, yang memiliki arti dan menunjukan kepada kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual, budaya, politik, masyarakat dan ekonomi dalam dunia serta rahmat dan kasih sayang dari Tuhan.24 Yang termasuk dalam prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, menurut Akram Khan, adalah yang berkaitan dengan hak milik, faktor-faktor produksi, mekanisme pasar, keuangan umum dan peranan negara dalam ekonomi. Dikatakan bahwa negara memiliki peanan yang positif dalam ekonomi.25 Sikap Islam yaitu bahwa negara harus bertanggung jawab untuk memaksa sikap yang sesuai dengan semua agen ekonomi dan mencegah tingkah laku yang tidak sesuai dengan mereka. Itu harus menjamin keadilan ekonomi sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk mencapai falah dan memiliki tanggung jawab untuk membangun sebuah lembaga yang membantu tercapainya masyarakat Islam. 26 2. Prospek Cerah Perbankan Syariah, karya K.H.. Ma’ruf Amin,27 buku ini memberikan informasi antara lain: prospek perbankan syariah di Indonesia, perkembangan kebijakan dan tantangan industri keuangan syariah di Indonesia, tantangan dan prospek cerah perbankan syariah di Indonesia, kebijakan strategis pengembangan perbankan syariah di Indonesia, peranan dan nilai moral dalam perekonomian Islam, fungsi, peran dan mekanisme kerja dewan syariah nasional MUI di perbankan syariah dan system dan prosedur fatwa tentang ekonomi Islam dan produk halal. Dalamnya dikatakan bahwa pentingnya sebuah regulasi yang lebih komprehensip dalam penerapan prinsip syariah, karena kepercayaaan masyarakat terhadap perbankan syariah semakin hari semakin berkembang. 28 Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) mengawasi pelaksanaan aspek-aspek perbankan syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah juga memberikan rekomendasi agar secara periodik melakukan pengawasan terhadap aspek-aspek syariah pada suatu LKS dan melaporkannya kepada DSN. 29 Sedangkan mengenai tantangan dan prospek perbankan syariah menurutnya adalah bahwa perlunya ada penguatan struktur dengan penyediaan modal yang kuat, modal yang kuat akan membentuk suatu manajemen yang professional dan memperkuat daya tahan bank terhadap resiko usaha, kendatipun resiko tersebut
24 Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 10. 25 Jika terjadi kerusakan pasar seperti ketentuan-ketentuan mengenai infrastruktur atau mendirikan sebuah industri yang dibutuhkan atau menyiapkan jasa seperti pelayanan kesehatan; harus mencegah monopoli dala sector pribadi; dan pentingnya mendistribusikan kembali inkam dan kekayaan. Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 72-73. 26 Lihat Akram Khan , Economic Message of the Qur’an, (Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996), h. 73. 27 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2007), Cet. 1 28 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah,, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2007), Cet. 1, h. 5 29 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 15
8
telah dibagai antara antara investor (shahibul mal) dan bank sebagai pengelola (mudarib) yang berbasis bagi hasil.30
Dalam buku ini diuraikan bahwa gagasan berdirinya bank syariah secara Internasional yang muncul dalam konferensi negara-negara Islam sedunia yang diikuti oleh 19 negara peserta menghasilkan antara lain: tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak termasuk riba dan riba sedikit atau banyak haram hukumnya. Oleh karenanya agar dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari sistem secepat mungkin. Sedangkan untuk menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan bunga boleh beroperasi sebagai tindakan darurat. 31 Lembaga keuangan yang ada di Indonesia hampir semua telah memiliki konsep berdasarkan ketentuan hukum Islam dalam prakteknya. Konsep tersebut tidak lepas dari keinginan umat Islam untuk mengekpresikan kepatuhannya kepada agama dalam bidang muamalah seperti halnya lembaga keuangan syariah, yakni: perbankan syariah, asuransi syariah, modal ventura syariah, pegadaian syarian leasing syariah, dan yang baru dikembangkan sejak maret 2003 yaitu pasar modal sayariah.32 Gemala Dewi memberikan perbandingan antara bank konvensional dan bank syariah dimana perbedaananya tidak hanya terletak pada bunga dan bagi hasil tapi juga penekanannya pada aspek legalitas atau akad. Bahwa aikad dalam bank syariah itu memiliki unsure yang berbeda. Azas-azas yang paling memonjol adalah azas harus saling menguntungkan.33 4. Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek, karya karya Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud, penterjemah Burhan Subrata,34 buku ini banyak memberikan informasi tentang sistem keuangan, sistem perbankan Islam, perbankan Islam dalam sistem campuran syariah, sikap Islam dan Kristen terhadap riba. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang peranan agama bahwa Ciri khas dari perbankan Islam adalah harus tunduk kepada hukum Islam (syariah) yakni: pelarangan riba dalam semua transaksi; semua aktifitas bisnis harus dijalankan dengan ketentuan syariah (halal); transaksi harus bebas dari unsur gharar (spekulasi yang tidak pasti dan tidak masuk akal); bank harus membayar zakat; dan semua aktifitas harus dengan prinsip-prinsip Islam.35 Lebih lanjut mengatakan bahwa fondasi keuangan dan ekonomi Islam yang bersifat filosofis dan religius terutama difokuskan pada bagaimana menerapkan 30 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Syariah, h. 59. 31 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 53-54 32 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, h. 161. 33 Gemala Dewi , Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, h. 100. 34 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. Ke 1. 35 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 50.
9
hukum Islam dalam suatu aktifitas ekonomi dan keuangan. Bisnis perbankan harus dilaksanakan berdasarkan hukum Islam, yang meliputi masalah-masalah penggunaan investasi yang produktif bukan investasi moneter yang menarik bunga atau riba. 36
b. Kesempurnaan Pedoman (Syumuliyah Al Minhaj) Islam sebagai minhaj yang sempurna didasari kepada asas Aqidah, dibina dari akhlak dan ibadah kemudian didukung oleh da’wah dan jihad. Asas dari Islam adalah aqidah. Tanpa aqidah maka tidak akan kuat bangunan Islam karena ibarat rumah aqidah adalah pondasinya, kekuatan rumah dan bangunan dipengaruhi oleh kekuatan pondasi itu sendiri. Pada sebuah rumah bila aqidah diibaratkan sebagai pondasinya maka akhlaq dan ibadah sebagai bangunan yang akan mengokohkan dengan membentuk bagaimana rupa rumah tersebut, semakin bagus ibadah dan akhlaknya semakin bagus bentuk dan rupa rumah tersebut. untuk memperindah rumah tersebut perlu ada hiasan di rumah tersebut dengan da’wah dan jihad melalui dukungan da’wah dan jihad, maka pondasi tetap kuat dan kukuh, bangunan terpelihara dengan baik, hiasan rumah yang utama adalah atapnya dengan atap maka rumah yang dibangun akan berfungsi dengan baik. Tanpa atap, sebagus apapun bentuk bangunannya tidak akan dapat berfungsi dengan baik.37 c. Kesempurnaan Tempat dimanapun (Syumuliyah Al Makan) Seluruh tempat di muka bumi ini adalah tempat yang sesuai dengan Islam. Demikian pula siapa pun orangnya dan darimana pun asalnya, tetap di bawah naungan Islam. Semua itu diciptakan oleh Allah. Karena hanya Allah penciptanya maka seluruh makhluk dan alam dimana pun sama, sama-sama diciptakan Allah sehingga Islam yang dijadikan sebagai pedoman hidup maka Islam berlaku bagi seluruh makhluknya dimana pun mereka berada.38 3. Sistem Yang Terkandung dalam Islam Sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia dulu, kini dan yang kan datang, Islam memiliki kesempurnaan sehingga fleksibel di segala jaman dan lengkap sehingga dapat dipergunakan di segala jaman pula, diantara sistem yang terkandung di dalam Islam ialah: Islam Sebagai Akhlaq Islam sebagai diin tidak hanya berisi tentang cara peribadatan namun Islam mempunyai sistem akhlaq yang membedakannya dengan sistem moral/tingkah laku buatan manusia. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang berpandukan kepada Al Qur’an. Islam mengajarkan hubungan Allah sebagai khalik dan manusia sebagai makhluk. Maksudnya, akhlaq adalah tingkah laku makhluk yang diridhai Khalik. 36 Lihat 36 Mervyn K. lewis & Latifa M. Al-Gaoud , Perbankan syariah Prinsip, Paraktik dan Prospek, Penerjemah Burhan Subrata, h. 313. 37 QS. Ali Imran (5) : 104 38 QS. Al Baqarah (2) : 163-164.
10
Sistem akhlaq dalam pandangan Islam mencakup seluruh kehidupan alam dan manusia dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip dasar alam dan manusia. Manhaj yang bersesuaian dengan tashawur umum ini bersumber dari Allah SWT, oleh karena itu Islam dapat melahirkan perilaku amal saleh dan akhlaq yang mulia. Namun amat disayangkan hal yang tragis terjadi sekarang adalah seorang muslim bekerjasama dengan orang yang memusuhi Islam dan mengesampingkan kaum muslimin karena terikat oleh satu ide atau ikatan. Hal ini terjadi karena aqidah mu’min belum mantap di hati mu’min tersebut. ia belum pernah mendapat pendidikan Islam yang benar dan belum mendapat kesempatan hidup di lingkungan Islami yang membudayakan akhlaq Islami, berarti ia masih memiliki hati nurani dan fitrah yang benar. Secara umum bentuk-bentuk akhlaq itu dibagi menjadi lima, yaitu: Akhlaq kepada Allah, QS. Al Baqarah (2) : 186 Akhlaq kepada Rasul, QS. An Nisaa’ (4) : 80 Akhlaq kepada diri sendiri, QS. Al Baqarah (2) : 43-44 Akhlaq kepada sesama, QS. Al Baqarah (2) : 83 Akhlaq kepada alam, QS. Al Baqarah (2) : 30 Dengan kelima akhlaq di atas, maka seorang mu’min akan meninggalkan perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan mulia. b. Islam Sebagai Pedoman Hidup Konsep keyakinan, QS. Al baqarah (2) : 255 Konsep moral (akhlaq), QS. Al A’raf (7) : 96 Konsep tingkah laku, QS. Al Baqarah (2) : 138 Syu’ur (perasaan), QS. Ar Rum (30) : 30 Konsep pendidikan (tarbawi), QS. Al Baqarah (2) : 151, Hadits “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga akhir hayat” (HR. Muslim) Konsep sosial (ijtima’i), QS. Ar Rum (30) : 22, An Nur (24) : 2-10 Konsep politik (as siyasi), QS. Yusuf (12) : 40 Konsep ekonomi (Iqtishadi), QS. Al Baqarah (2) : 275-276 Konsep kemiliteran (Al Asykaari), QS. Al Anfaal (8) : 60 Konsep hukum/peradilan (Al Jinaa’i), QS. An Nisaa’ (4) : 65
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh manusia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup pemeluknya. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukumhukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Islam merupakan perwujudan aturan hidup yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada manusia. Oleh karena itu Islam disebut juga Diinullah. Diin memiliki makna yang berbeda dari agama (milah). Islam memiliki ciri dan sifat tertentu yang menggambarkan kehidupan manusia secara keseluruhan. Pemahaman Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya adalah Islam yang bersifat integral, lengkap, sempurna dan komprehensif berdasarkan Al Qur’an dan yang dicontohkan Rasulullah SAW melalui sunnahnya. Islam juga merupakan agama para Nabi mulai dari Adam AS sampai Nabi yang terakhir yaitu Nabi
11
Muhammad SAW. Ia memiliki beberapa makna yang menggambarkan sifat Islam itu sendiri, antara lain : Islam Diil Al-Anbiya Wal Mursalin, Islam Minhajul Hayah (pedoman hidup), Ahkamullah fi kitabihi wa sunnah rasulihi (hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As Sunnah), Ash-shirath al mustaqim (jalan yang lurus) dan Salamah dunia wal akhirat (selamat dunia dan akhirat). Diharapkan setelah memahami Islam secara menyeluruh kita dapat memperbaiki amal ibadah kita di dunia sebagai wujud pelaksanaan tujuan kita diciptakan di bumi ini.39 1. Makna Islam a. Makna Islam secara bahasa berarti : Al Wajh (menundukan wajah), QS. An Nisaa’ (4) : 125 Al Istislam (berserah diri), QS. Ali Imran (3) : 83 As Salaamah (suci, bersih), QS. As Syuara (26) : 89 As Salaam (selamat/sejahtera), QS. Al An’am (6) : 54 As Salm (perdamaian), QS. Muhammad (47) : 35 b. Secara istilah Islam berarti Islam dalam Al-Qur’an disebut Ad Diin mengandung arti sistem kehidupan yang menyeluruh termasuk ibadah, kemasyarakatan, politik dan jihad. Islam mencakup keseluruhan hidup. Islam secara lengkap menyediakan keperluan manusia untuk mengatur kehidupan oleh karena itu Islam itu tinggi dan tiada yang menandinginya.40 Islam bagaikan sebuah bangunan yang sempurna dengan pondasi aqidah yang kuat dan sendi tiang berupa ibadah kepada Allah dan diperindah dengan akhlak yang mulia. Peraturan dalam syariat Allah adalah yang memperkuat bangunan tersebut, manakala da’wah dan jihad merupakan pagar-pagar yang menjaga dari kerusakan musuh-musuh Islam. Islam juga memperhatikan suatu keseimbangan dimana Islam sebagai diin tidak hanya mengejar kepentingan akhirat tapi juga kepentingan dunia. Islam menggambarkan suatu keutuhan dan kesatuan dengan berbagai aspek kesempurnaan. Dengan demikian Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur semua yang ada di alam agar kembali kepada hukum Allah, pencipta alam ini. 2. Kesempurnaan Islam (Syumuliyah Al Islam) Setiap muslim diperintah oleh Allah SWT untuk masuk dan memeluk Islam secara keseluruhan agar kita memahami bahwa Islam itu sempurna maka kita pertama-tama harus menyadari dan memahami bahwa Islam itu sempurna dilihat dari berbagai aspek, yaitu : a. Kesempurnaan Sepanjang Zaman (Syumuliyah al Zaman) Islam sebagai aturan hidup sepanjang masa menunjukkan bahwa Islam diperuntukkan kepada semua alam semesta tidak terkecuali. Manusia sebagai khalifah bertugas menjaga, membangun dan memelihara melalui penutup nabi
39
QS. Adzariyat (51) : 56
40
QS. Ali Imran (3) : 19
12
yaitu Muhammad SAW, beliau membawa risalah yang sama dengan nabi Adam AS sebagai khatam al anbiya (penutup nabi) maka seluruh risalah yang dibawa para nabi sebelumnya dilengkapi dan disempurnakan sehingga berlaku bagi seluruh manusia, tidak hanya untuk umat Rasulullah SAW pada saat itu saja, namun berlaku hingga akhir jaman.41 2. Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.42 Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh sistem sosial, terutama sistem hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah.43 Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh BUS adalah: Menjamin penerbitan surat berharga; Penitipan untuk kepentingan orang lain; Menjadi wali amanat; Penyertaan modal; Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.
41
QS. As Saba (34): 28. Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59. 43 Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm. 174. 42
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Disertasi ini membuktikan bahwa konfigurasi undang-undang memiliki hubungan yang sinergi antara produk hukum elitis dan produk hukum responsif populistik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai spirit
agama, ideologi, politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Kesimpulan ini menolak pendapat: Nurcholis Majid, Khalid Muhammad Khalid, Abdullah Ahmad an-Na’im yang mengutarakan bahwa formalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, tidak diperlukan, karena negara harus bersifat netral tidak boleh didominasi oleh satu golonganpun, baik muslim maupun non-muslim. Disertasi ini juga memperkuat pendapat gerakan Islam Politik yang mengutarakan bahwa penegakkan syari’at Islam harus dilakukan melalui jalan kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, gerakan ini menempuh strategi gradualis dan demokratis. Tokoh-tokoh pejuang syari’at Islam di bidang ekonomi: A.M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syafi’i Antonio, Amin Suma, Sri-Edi Swasono, Adiwarman Karim, Zaenal Arifin, dan Riawan Amin. Indikator yang menunjukkan kebenaran kesimpulan disertasi ini dapat diketahui bahwa: pembentukan bank Islam di dunia; seperti, pertama Mesir Bank Mit Ghamr maupun Bank Sosial Nasr; Faisal Islamic Bank, sebuah bank umum komersial Islamic International Bank for Investment and Development, ternyata melibatkan elit politik pemerintah, peranan pemerintah sangat besar, baik dalam bentuk regulasi maupun permodalan; kedua, Pakistan, menghapuskan sistem lembaga keuangan nonbank, dengan sistem non-ribawi; ketiga, Iran, Islamisasi sistem perbankan dilakukan secara nasional setelah berdirinya Republik Islam Iran; keempat bank Amanah Philipina, Bank Islam Malaysia, juga melibatkan pemerintah. 271
272
Disertasi ini juga memberikan kesimpulan bahwa politik hukum perbankan syariah ini terbagi menjadi tiga fase: Pertama fase orde lama, dimana usaha-usaha penegakkan syariat Islam diformat melalui piagam Jakarta, mengalami kegagalan, walaupun telah dipersiapkan oleh BPUPK) atau PPKI; Kedua, fase orde baru yakni berdirinya BMI yang
kemudian ditetapkan UU No.7/1992 Tentang Perbankan,
dimana bank bagi hasil diakomodasikan. Hal ini didasarkan pada adanya sikap akomodatif pemerintah terhadap aspirasi rakyat; Ketiga fase reformasi,
berhasil
mengamandemen UU Nomor 7 Tahun 1992 dengan lahirnya UU Nomor 10 Tahun 1998 yang lebih memposisikan dengan jelas kedudukan perbankan Islam. Pada masa ini pula lahir UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal, 17 Juni 2008. Undang-Undang ini secara eksplisit menyebutkan tentang Perbankan Syariah. Jika kita tinjau dalam perspektif hukum Islam, penegakan Syari’at Islam di Negara yang berpenduduk mayoritas muslim merupakan kewajiban sebagai farḍu kifâyah.
B. Rekomendasi 1. Masih banyaknya pebedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai bunga bank, untuk itu perlu duduk bersama untuk redefinisi pemahaman agama Islam terhadap bunga yang selama mebawa kemudharatan terhadap kehidupan bangsa; 2. Umaro dan ulama hendaknya bersanding lebih dekat dalam menyelesaikan persoalan negara khusunya mengenai hukum dan menjawab tantangan serta memberikan solusi mengenai perbankan syariah, dimana dalam praktek prinsip murabahah masih mendapatkan kritikan yang dianggap masih belum lepas dari sistem bunga; 3. Perlu adanya keseragaman pola fikir secara bersama mengakui bahwa perbankan syariah sebagai satu-satunya bank yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam.
273
Dengan demikian, bertransaksi melalui bank syariah berarti membangun dan menjalankan syariah Islam sebagai perintah Allah; 4. Semestinya pemerintah menunjukan keberpihakannya secara signifikan terhadap ekonomi syariah, sebagai aspirasi rakyat mayoritas. Padahal pemerintah secara pasti telah mengetahui bahwa bank syariah telah diakui oleh seluruh dunia internasional, disamping resisten terhadap krisis moneter 1997;
DAFTAR PUSTAKA A. Kitab Suci Al-Qur’an al-Karim B. Buku-Buku Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995, Jilid 2. Afzalurrahman, Islam: Ideology and The way of Life, London: The Muslim School Trust, 1980. Ahmadi, Abu, dan Anshori Umak Sitanggal, Sistim Ekonomi Islam PrinsipPrinsip dan Tujuan-Tujuannya, Surabaya: Bina Ilmu, 1980. Allouche, Adel, Maluk Ekonomics: A study and Translation of al-Maqrizi’s Ighathah (Salt Lake City: University of Utah Press, 1994) Amin, Ma' ruf, Fatwa Dalam Hukum Sistem Islam, Jakarta: Elsas, Cet. Ke- 1. 2008. Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: UIN Press, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009. Amin, Hammad Al-Bashir Muhammad, Istisna (Manufacturing Contract) in Islamic Banking and Finance, Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd., Second Print, 2006. Amin, Ma'ruf, Prospek Cerah Perbankan Syariah, Jakarta: LeKAS, 2007, Cet. Ke-1 An-Na'im, Abdullah Ahmed, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties Human Right and International Law, Terjemahan, oleh Ahmad Suaidy dkk, Jogjakarta LKIS, 1994. Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007. Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan prospek, Jakarta: Alvabert, 1999, Cet. Ke-1 Ash-Shadr, Syahid Muhammad Baqir, Keunggulan Ekonomi Islam, Penerjemah M. Hashem, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. Audi, Al-, Rifa’at Min al-Turâts: al Iqtiṣâd li al-Muslimîn (Mekah: Râbithah ‘alam Islâmi, 1985).
274
275
Azra, Azyumardi, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam II, Jakarta: Intermasa, 1996, Cet. Ke- 1 Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Penerbit Kalimah, 2001. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I Beatty, Andrew, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, Cambridge University Press, Cambridge, 1999. Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. Ke1, 2006. Borgatta, Edgar.F. (ed), Encyclopedia of Sociology, V.1., Macmillan Publishing Company, New York, 1992. Boulakia, Jean David C., Ibnu Khaldun, Fourteenth Century Economist, dalam Journal of Political Economy (Chicago: Chicago University, 1971, Vol. 79. Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin Basri, M. Ag., Jakarta: Gema Insani Press,2000, Cet. Pertama Chapra, M. Umer, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1997. Chapra, M. Umer, The Future of Economics: An Islamic Perspective, pent. A diar Amir…(et. al.) (Jakarta: SEBI, 2001) Chatamarrasyid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencaba Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke- 5 Choudhury, Masudul Alam, Contributions to Islamic Economic Theory, New York: Martin's Press, 1986. t. Choudhury, Masudul Alam, Studies in Islamic Social Science, Britain: Macmillan Press, 1998. Crave, David W., Pemasaran Strategis, Penerjemag Lina Salim, Jakarta: Erlangga. 1991, Edisi4, Cet. Ke-3 Jilid 1 & II. Dahlan, Abdul Aziz, (ed), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, Jilid 2. Dahlan, Abdul Aziz, dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtra Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 5, Cet. 1 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Rahawali Press, 1995) Departemen Agama, Pembangunan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2009.
276
Departemen Agama.. Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 110 Tahun 1982 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). 1982 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Jakarta: Balai Pustaka , 1996, Cet. Ke 7. Devi, Laxmi., (ed), Encyclopedia of Social Research, V.2., , New Delhi, Anmol Publications PVT.LTD, 1997 Dewan Asuransi Indonesia, Undang-undang RI nomor 2 Th 1992 dan Peraturan Pelaksana Tentang Usaha Perasuransian, DAI, 2003, ed 1. Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Himpunan Fatwah dewan Syari’ah Nasional, Jakarta : DSN-MUI dan BI, 2003. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi, Jakarta: CV. Gaung Persada, 2006, Cet. Ke- 3 Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3.. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, , Jakarta: LP3ES, 1985 Engineer, Asghar Ali, “Asal Usul dan Perkembangan Islam”, Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999) Esposito, John (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, V.3, New York, Oxford, Oxford University Press, 1995. Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Rusel Sage Foundation), 1975, h. 15 Ghazanfhar, S.M., dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of am Arab Scholatic: Abu Hamid Al-Ghazali, dalam History of Political Economy, Durham: Duke University Press.,1990, Vol. 2 No. 22. Gie, Kwik Kian, Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, Cet. Ke-2, 1999. Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Bandung: CV. Diponegoro,1996. Hallaq, Wael B. Authorrity, Continuity and Change in Islamic Law, New York: Cambridge University Press, 2001. Hanafi, Hassan, Al-Uṣ̣ûliyah al-Islâmiyyah dalam al-Dîn wa aṣ-Ṣawrah fi Misr 1952-1981, Terjemahan Kamran As’ad Irsyadi, Mufliha Wijayanti
277
Hanef, M. Assalam, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis (Kuala Lumpur: 1995) Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999. Hasjimi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) Hosen, Nadratuzzaman, Ali, Hasan, Muchtashib, Menjawab keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, Jakarta: PKES, 2007. Hoyle, Mark S.W., Dr., Arab and Islamic Laws Series, Canada: Kluwer Law International, 1198. Ibnu Hazm, Risâlah an-Naql al-Arus fi Tawârikh al-Khulafâ (Beirut: Muassasat al-Arabiyah, 1987) Ibnu Khaldun, Mukaddimah, edisi Indonesia, pent. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Issawi, Charless, Ibnu Khaldun’s Analysis of Economic Issues; Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 1992) Jalaluddin, Abul Khair Muhd., The Role of the Government in an Islamic Economy, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1991. Janidal, Hammad, Al- bin Abdurrahman, Manâhij al-Bahitsin fi al-Iqtiṣâ alIslâmi (Riyadh: Syirkah al-Ubaikan li al-Thaba’ah wa-al Nasyir, 1406 H), Jilid 2. Kaaf, Abdullah Zakiy, Al-, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, Cet. Ke-1 Kahf, Monzer, A Contribution to the Theory of Consumerin an Islamic Siciety, dalam Khursyid Ahmad (Ed.) in Islamics Economics (United Kingdom: The Islamic Foundation & IRTI-IDB, 1981). Karim, Adiwarman A, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003. Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke- 1. Karim, Adiwarman A, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, Cet. Ke- 3. Karim, Adiwarman A, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 3 Karim, Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh and financial Analysis, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Ed. 2005.
278
Karim, Adiwarman Azwar, Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab: Abu Hamid Al-Ghazali (Jakarta:Tim IIIT IAIN Jakarta, 2002) Kasmir, Bank Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-6. Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Khan, Muhammad Akram, Economic Message of The Quran, Kuwait: Islamic Book Publishers, 1996. Khudairi, Zaenab al-, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995) Kusumatmadja, Muchtar, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum, (Bandung Bina Cipta, 1976), h. 31 Lewis, Mervyn K. & Algaud, Latifa M., Terjemahan Burhan Subrata, Perbankan Syariah: Prinsip Teori, Praktik dan Prospek, Jakarta: Pt. Serambi Ilmu Semesta, 2001, Cet. Ke-1. Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics: From Antruism to Cooperation to Equity, London: MacMillan Press, 1977. Lupioadi, Rambat, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001. Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta: 1996). Ma’arif, Ahmad Syafi’i, et. Al, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilemma Piagam Jakartadalam AmandemenUUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001. Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999, Cetakan I Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dal Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. I. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1998, Cet, XI Makruf, Jamhari., Radikalisme Melawan Modernisme?, Tempo, 29 Desember 2002. Maliki, Abdurrahman, Al-, Politik Ekonomi Islam, Penerjemah: Ibnu Sholah, Bangil Jatim: Al-Izzah, 2001, Cet. Pertama. Mannan, Moh. Abdul, Ekonomi Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Inter masa,1992.
279
Mannan, Moh. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Maqrizi, Al-, Al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, dalam al-Abbal-insitas alKarmali (ed) Kitab an-Nuqud al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah wa ‘Ilm anNamyat (Kairo: Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyah, 1986) Marthon, Said Sa’ad, Al-Madkhal li al-fikr al-iqtishad fi al-Islam: Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Penerjemah, Ahmad Ikram, Dimyauddin, Jakarta: Zikru Hakim, 2007. Martinsion, Paul Varo, Islam an Introduction for Christian, United State of America, Augsburg, 1994. Mishri, Al-, Abdul Sami', Pilar-Pilar Ekonomi Islam, Penterjemah Dimyauddin Djuaini, Yogyakarta:, Maktabah Wahbah 14, Cet. Ke- 1, 2006. Mufti, Aris, Bunga Bank: Maslahat atau Muslihat, Jakarta: PT. Quantum Prima, 2004. Mughni, Al-, Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Muhammad, Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, Semarang:Dina Utama Semarang, t. th. Muhammad, Bank Sayariah: Analisis Kekuatan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, Cet. Ke- 3. Muhammad, Bank Syariah: Problem dan prospek Perkembangan di Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu, 2005. Muhammad, Qutb Ibrahim , Kebijakan Ekonomi Umar Ibnu Khathab, Penerjemah Ahmad Syarifuddin Sholeh, Jakarta: Graha Ilmu, Cet. Ke-1. 2002. Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke-3. Nabhani, Taqiyuddin, An., Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana , Cet. Ke 2, 2007. Nyazee, Imran Ihsan Khan, Theories of Islamic Law, Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1966, First Edition. Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999, Cet. Ke- 3.
280
Perwataatmaja, Karnaen, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Diktat Kuliah pada Fakultas Syariah, 2000/2001. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Qureisyi, Anwar Iqbal, Islam and The Theory of Interest (Lahore: S.M. Ashraf Publishers, 1946) Ra’ana, Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khattab (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Cet. Ketiga. Rajagukguk, Erman, Perubahan Hukum di Indonesia Persatuan Bangsa, Perubahan ekonomi dan kesejahteraan sosial (1998-2004). Makalah disampaikan dalam seminar Huklum di Indonesia, dilaksanakan di Fakultas Hukum Unibersita Indonesia pada tanggal 17 Desember 2004 di Jakarta. Sachiko Murata and William C. Chittick, The vision of Islam, USA: Paragon House, 1994. Sadeq, Abdul Hasan M. dan Ghazali, Aidit (ed), Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 1992) Salabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994) Shawi , Shalah, As- & Al-Mushlish, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah Umar Ibnu Basyir, Jakarta: Daarul Haq, 2008, Cet. Ke- 2 Sholahuddin, Muhammad, SE., M.Si., dan Lukaman Hakim, SE. M.Si., Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah kontemporer, Surakarta: Muhammadiyah University Press., 2008. Siddiqi, M. Nejatullah, Role of The State in the Economiy: An Islamic Perspective, The Islamic Foundtion, United Kingdom: 1996. Sidiqi, M. Nejjatullah , Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) Sidiqi, M. Nejjatullah, The History of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awan , Lectures on Islamic Economics (Jeddah: IRTI, IDB, 1992). Singelton, R.A. dan Straits, B. C., Approaches to Social Research, New York: OUP,1999. Soekanto, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1991. Swasono, Sri-Edi, Menolak Neoliberalisme dan Membangun Ekonomi Nasional, Jakarta: Pustep-UGM, 2010.
281
Swasono, Sri-Edi, Indonesia dan Doktrin Kesejateraan Sosial: Dari Klasikal dan Neo Klasikal Sampai Ke The End Laissez Faire, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010 Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: EKONISIA, Kampus FE UII, Edisi, 2, 2004. Sudarsono, Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2005, Cet. Ke- 3. Sudarsono, Heri,, Menggali Akar dan Mengurai Serat Ekonomi & Keuangan Islam, Jakarta: Kholam Publishing, 2008, Cet. Pertama. Sumitro, Warkum, SH., MH., Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke- 4. Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendikiawan, Jakarta:, 1999 Cet. Ke-1. Syafi'i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Bagi Bankir dan praktisi Keuangan, Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institut, 1999, Cet. Ke-1. Vogel, Frank E. and Hayes, Samuel L., Islamic Law and Finance; Religion, Risk, and Return, Kluwer Law International, 1998. Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat Hidup dan Karyanya, pent. Ahmad Toha (Jakarta: Grafiti Press, 1985. Wahid, Abdurrahman., Menggerakkan Yogyakarta:LkiS, 2001.
Tradisi:
Esai-Esai
Pesantren,
Watt, William Montogomery, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, Cet. I Yasni, Muhammad Gunawan, Ekonomi Sufistik, Mizan, 2007, Cet. Ke-1 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992, Cet. Kedua. Yusuf Al, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke- 1. Yusuf Al, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of riba and its Contemporary Interpretation, Nederlands: 1996. Yusuf Al-, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Penerjemah, Zainal Arifin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke- 1. Zadjuli, Suroso Imam, Siz Model AnalisiPembangunan Kemiskinan di Indonesia, Surabaya, PSIE-I-PRESS, 2008.
282
Zarqa, Anas, Islamic Economics: An Approach to Human Welfare, dalam Khursid Ahmad (ed.) Studies in Islamic Economics, Leicester: The Islamic Foundation, 1980. Zarqa, Mustafa Anas, Islamics: an Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed omar (ed.), Reading in the Concept and Methodology of Islamics Economics (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989. Ziemek, Manfred., Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: 1986. Zuhaily, Wahbah, Al-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsik: Dar al-Fikri, 1978. Zuhairini, dll., Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1997. C. UU, Perpem, Peraturan BI, SK Direksi BI, Surat Edaran BI, dan FatwaFatwa DSN-MUI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilam Agama untuk Ekonomi Syariah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun1967 tentang Pokok Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1992 tentang Perabankan Peraturan Pemerintah Repulblik Indonesia Nomor 72/1992 tanggal 30 Oktober tentang Bank Bedasarkan Prinsip Bagi Hasil Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39/2005 tentang Penjaminan Simpan Nasabah Bank Bedasarkan Prinsip Syariah Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang System Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Bedasarkan Prinsip Syariah Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antar Bank Bedasarkan Prinsip Syariah.
283
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 tentang Kwalitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004Tentang Serfikat Wadiah Bank Indonesia Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perbahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Bedasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/1999 Tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip bagi Hasil Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tenatng Beberap Produk dan Ekonomi Syariah. D. Jurnal/Koran/Websit Abdillah, Masykuri, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Jauhar Journal Pemikiran Islam Kontektual, Vol. 1, No. 1, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. Djamil, Fahurrahman, The Muhammadiyah and the Theory of Maqashud AlSyariah, Studi Islamika, Volume 2, Nomor 1, 1995. E. Referensi yang tidak dipublikasikan Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Ekonomi Syariah, Makalah pada rapat Kerja Kelompok Kerja Perdata Agama MA. RI, di Cisarua Bogor, Pada 16-17 Maret 2007. Abullah, Abdul Gani,Catatan Kuliah Politik Hukum, (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), 14 April 2010
Bismar Nasution, Hukum Ekonomi Syariah dalam Regulasi Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, Kerjasama Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan Mahkamah Agung RI, di Medan, 27 Oktober 2007, h. 14-15. Nuruddin, Amir, Peran Fakultas Syariah dalam Pembinaan dan Pengembangan Hukum Ekonomi Syariah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
284
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan MA RI, Medan 27 Oktober 2007. Suma, Muhammad Amin, "Potensi Lembaga Keuangan Sosial Dalam Sistem Keuangan Syariah di Indonesia", , Seminar yanmg dilaksanakan pada fakultas syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 17 Januari 2007. Wisakseno, Budi, Peranan Perbankan Syariah di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh fakultas ekonomi Unuiversitas Trisakti pada tanggal 01 Desember 2994, bertempat di Kampus A. Trisakti Grogol, Jakarta.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN Pedoman transliterasi dari Arab ke Latin yang dipergunakan dalam penulisan desetasi ini adalah mengacu kepada “Pedoman Transliterasi Turabian”, yang diunggah pada tanggal, 22 Juni 2010, berdasarkan arsip tanggal, 9 Januari 2008, 6:29 am. Pedomna transliterasi tersebut adalah sebagai berikut:
dh
ض
a
أ
th
ط
b
ب
zh
ظ
t
ت
‘a
ع
ts
ث
gh
غ
j
ج
f
ف
ĥ
ح
q
ق
kh
خ
k
ك
d
د
l
ل
dz
ذ
m
م
r
ر
n
ن
z
ز
h
ﻩ
s
س
w
و
sy
ش
y
ي
sh
ص
● Bacaan yang panjangnya dua harakat diberi tanda dengan garis bawah, atau ditulis dengan huruf yang dobel. ● Hamzah ( )ءyang dimatikan/disukun diberi tanda ( ` ). Contoh: ( ) اَﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ُء 1. An-Nisa`, atau An-Nisaa` 2. Al-Fatiĥah ( ﺤ ُﺔ َ ) َاﻟْﻔَﺎ ِﺗ 3. Ar-Ra’du ( ) اَﻟﺮﱠﻋْ ُﺪ ( ) َاﻟْﻤَﺎ ِﺋ َﺪ ُة 4. Al-Ma-idah, atau Al-Maa-idah
CURRICULUM VITAE
A. Identitas Nama NIP Tempat/Tgl.Lahir Pekerjaan Pangkat/Gol. Jenis Kelamin Jabatan Alamat Telp/Hp Email Keluarga Ayah Ibu Istri Putra
: Dr. Djawahir Hejazziey, Drs., SH., MA : 130 789 745 : Banten, 15 Oktober 1955 : Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta : Lektor Kepala/IV/a : Laki-Laki : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta : Jl. Abd. Wahab, Swadaya I/58, RT.03/006 Sawangan-Depok :(021)7424454/08989874999 :
[email protected] : H. Sayyid Djamhari al-‘Aroziey (wafat 1997) : Siti Mashitoh (Wafat 1957) : Ana Susanti : - Wihda Hejazziey : - Sayyid Fahd Mohammed Hejazziey : - Siti Nabilah Hejazziey : - Ezzet Al- A’laa Hejazziey : - Ratu Fedhlia Wednina Okta Hejazziey : - Maula Ikfina Qonita Hejazziey
B. Pendidikan 1. SD 6 Tahun Pekalongan, Cilegon Banten (1968) 2. Madrasah Ibtidaiyah Pekalongan, Cilegon Banten (1968) 3. PGAN 4 Tahun Pahoman, Lampung (1972) 4. PGAN 2 Tahun Serang, Banten (1975) 5. Sarjana Muda (BA) Tadris B. Inggris Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1978) 6. Sarjana Muda Hukum (Sm.HK) Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta (UID) (1986) 7. Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas IKIP Jakarta (1979) 8. Sarjana (Drs.) Bahasa Inggris IAIN Jakarta (1987) 9. Sarjana Hukum (SH) Hukum Perdata Internasional UID (1988) 10. Magister (MA) Pascasarjana IIQ Jakarta (2004) 11. Program S3 Ekonomi Islam pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010)
C. Pengalaman/Riwayat Kerja 1. Guru SMAN 24 Jakarta (1979-1986) 2. Guru SMAN 82 Jakarta (1986-1996) 3. Pengacara bersama Syamsuddin & Partners (1990-1994) 4. Guru SMAN 108 Jakarta 1996-2001) 5. Pembina OSIS SMA 82 Jakarta (1986-1992) 6. Staf Kepala Sekolah (1992-1995) 7. Wakil Kepala Sekolah SMAN 108 (1997-2000) 8. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Maulana Hasanuddin Banten (1998-2006) 9. Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syariah IIQ Jakarta (2005-2008) 10. Dosen Terbang pada Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (20042005) 11. Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler FSH UIN Jakarta (2005Sekarang) 12. Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-Sekarang) D. Seminar dan Workshop 1. Peserta Seminar Internasional “ Islamic Law in Southest Asia Opportunity(2007) 2. Peserta Seminar “Potret Kerawanan Sosial DKI Jakarta, Sebuah Evaluasi Kritis” di Jakarta (2007) 3. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Konsentrasi Manajemen Zakat dan Wakaf” (2007) 4. Peserta Seminar Nasional “Politik Perempuan dan Perumusan Hukum Islam di Jakarta (2007) 5. Peserta Talk show “Perencanaan Keuangan Keluarga dan Investasi dalam perspektif Ekonomi Syariah” di Jakarta (2006) 6. Peserta Workshop Nasional “Menggagas Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah di Fakultas Syari’ah” di jakarta (2005) 7. Peserta Workshop “Mencegah Radikalisme Agama Melalui LembagaLembaga Penyiaran Agama” di Jakarta (2004)
E. Penelitian a. Individual Analisa terhadap Peraturan Perundang-Undangan Islam Di Indonesia, 2008. b. Kolektif 1. Dinamika Belajar di Program Non-Reguler, 2009 2. Respon Mahasiswa Non-Reguler Terhadap Kehadiran Bank Konvensional di Kampus UIN Jakarta. 2010
F. Karya Ilmiah : 1. Idiomatic Phrase for Senior High School, Diktat, 1980. 2. Dampak Testamen terhadap Hukum Kewarisan menurut BW dan Islam, Paper, Universitas Islam Jakarta: 1986. 3. Teaching Adjective in the Senior High School 24 KJ Jakarta, Paper, 1987 4. Special Readers English for Islamic Studies, Banten: IAIN Suhada Press, 2005. 5. English Competency in Reading Comprehension: For University Students Faculty of Sharia and and Law, State Islamic University, Jakarta: 2004. 6. Aspek Ketertiban Umum sebagai Filter Hukum Asing dalam Hukum Perdata Internasional, Skripsi, Uiversitas Islam Jakarta (UID), 1988. 7. Studi Anak Yatim dalam Perspektif Al-Qur’an, Tesis, 2004. 8. Politik Hukum Nasional tentang Perbankan Syariah di Indonesia
Kampus UIN “Syahida” Jakarta, 17 September 2010.
Djawahir Hejazziey NIM.: 04.3.00.1.08.01.0037 NIP.: 130 789 746
Lampiran: FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
NOMOR FATWA 01/DSN-MUI/IV/2000 02/DSN-MUI/IV/2000 03/DSN-MUI/IV/2000 04/DSN-MUI/IV/2000 05/DSN-MUI/IV/2000 06/DSN-MUI/IV/2000 07/DSN-MUI/IV/2000 08/DSN-MUI/IV/2000 09/DSN-MUI/IV/2000 10/DSN-MUI/IV/2000 11/DSN-MUI/IV/2000 12/DSN-MUI/IV/2000 13/DSN-MUI/IX/2000 14/DSN-MUI/IX/2000 15/DSN-MUI/IX/2000 16/DSN-MUI/IX/2000 17/DSN-MUI/IX/2000
18.
18/DSN-MUI/IX/2000
19. 20.
19/DSN-MUI/IX/2000 20/DSN-MUI/IX/2000
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
21/DSN-MUI/X/2001 22/DSN-MUI/III/2002 23/DSN-MUI/III/2002 24/DSN-MUI/III/2002 25/DSN-MUI/III/2002 26/DSN-MUI/III/2002 27/DSN-MUI/III/2002 28/DSN-MUI/III/2002 29/DSN-MUI/VI/2002 30/DSN-MUI/VI/2002
Tentang Giro Tabungan Deposito Murabahah Jual Beli Salam Jual Beli Istisna Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan Ijarah Wakalah Kafalah Hawalah Uang Muka Dalam Murabahah Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS Diskon Dalam Murabahah Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang MenundaNunda Pembayaran Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif Dalam LKS Al-Qardh Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah Pedomana Umum Asuransi Syariah Jual Beli Istishnah Paralel Potongan Pelunasan Dalam Murabahah Safe Deposit Box Rahn Rahn Emas Al-Ijarah al-Mumtahiya Bi al-Tamlik Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) Pembiayaan Pengurusan Haji LKS Pembiayaan Rekening Koran Syariah
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
31/DSN-MUI/VI/2002 32/DSN-MUI/IX/2002 33/DSN-MUI/IX/2002 34/DSN-MUI/IX/2002 35/DSN-MUI/IX/2002 36/DSN-MUI/X/2002 37/DSN-MUI/X/2002
Pengalihan Hutang Obligasi Syariah Obligasi Syariah Mudharabah L/C Impor Syariah L/C Ekspor Syariah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia Pasar Bank Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA) Asuransi Haji Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah Dibidang Pasar Modal Obligasi Syariah Ijarah Syariah Charge Card Ganti Rugi (Ta’widh)
38.
38/DSN-MUI/X/2002
39. 40.
39/DSN-MUI/X/2002 40/DSN-MUI/X/2003
41. 42. 43. 44. 45.. 46. 47.
41/DSN-MUI/III/2004 42/DSN-MUI/V/2004 43/DSNMUI/VIII/2004 44/DSN-MUI/VII/2004 45/DSN-MUI/II/2005 46/DSN-MUI/II/2005 47/DSN-MUI/II/2005
48. 49. 50. 51.
48/DSN-MUI/II/2005 49/DSN-MUI/II/2005 50/DSN-MUI/III/2006 51/DSN-MUI/III/2006
52.
52/DSN-MUI/III/2006
53.
53/DSN-MUI/III/2006
54.
54/DSN-MUI/X/2006
55.
55/DSN-MUI/V/2007
Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah Musyarakah
56.
56/DSN-MUI/V/2007
Ketentuan Review Ujrah Pada Lembaga Keuangan Syariah
57.
57/DSN-MUI/V/2007
Letter Of Credit (L/C) Dengan Akad Kafalah Bil Ujrah
Pembiayaan Multi Jasa Line facility ( at-Tashilat) Potongan Tagihan Murabahah Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak mampu bayar Penjadwalan Kemabli tagihan Murabahah Konversi Akad Murabahah Akad Murabahah Musytarakah Akad Murabahah Musytarakah pada Asuransi Syariah Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Dan Reasuransi Syariah Akad Tabarru’ Pada Asuransi Dan Reasuransi Syariah Syariah Card
58. 59. 60. 61.
58/DSN-MUI/V/2007
Hawalah Bil Ujrah
59/DSN-MUI/V/2007 60/DSN-MUI/V/2007 61/DSN-MUI/V/2007
Obligasi Syariah Mudharabah Konversi Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor Penyelesaian Utang Dalam Impor
62. 63. 64. 65.
62/DSN-MUI/XII/2007 63/DSN-MUI/XII/2007 64/DSN-MUI/XII/2007 65/DSN-MUI/III/2008
66. 67. 68. 69. 70.
66/DSN-MUI/III/2008 67/DSN-MUI/III/2008 68/DSN-MUI/III2008 69/DSN-MUI/VI/2008 70/DSN-MUI/VI/2008
71. 72.
71/DSN-MUI/VI/2008
73. 74. 75.
73/DSN-MUI/XI/2008 74/DSN-MUI/I/2009 75/DSN MUI/VII/2009
Ju’alah SBSI Sertifikat Bank Indonesia Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Hmetd) Syariah Waran Syariah Anjak Piutang Syariah Rahn Tasjily Surat Berharga Syariah Negara Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Sale And Lease Back Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale And Lease Back Musyarakah Mutanaqisah Penjaminan Syariah Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)
72/DSN-MUI/VI/2008
Translation Departing from previous exposure, a record that can be argued that the political economy of Indonesia's Islamic sharia law before the birth of Indonesia has played a significant role. As a result of the rise of the 'elite students', then the bargaining power of Muslims vis-à-vis the higher authorities. Moreover, ruler (Suharto) at that desperately need support from Muslims, as the balance from the start reduced military support. Can be said to have occurred 'honeymoon' between the Muslim community with the ruling, which allows accommodation of the interests of Muslims, including the establishment of Islamic banking problems. Islamic banking own existence by chance is benefited by the economic crisis, which has made a lot of conventional banking collapse, while the Islamic banking instead shows the toughness and satisfactory performance. Sharia law is the political will of the notice of the Indonesian nation whose inhabitants are predominantly Muslim. The birth of Islamic banking law is the Muslims who hold very long. Islamic banking national legal materials adopted from the understanding and the thinking of scholars and umaro and Indonesian Muslim scholars of the Koran and alSunnah that accumulated, then poured into Islamic banking laws of Indonesia. However that sharia law not only applies to Muslims only, but applies to the entire Indonesian nation. The efforts of Muslims in Indonesia, have now successfully menhantarkan Islamic shari'ah became positive law, with the birth of a number of laws to accommodate Islamic shari'ah, both at national and regional level. Even the formalization of Islamic shari'ah model Jakarta Charter was approved in NAD and may be followed in other areas, both at provincial and district levels. Thus, that sharia banking law to bring a new era in the history of legal developments in the Indonesian economy that introduce profit-sharing system that is not known in the Basic Law on Banking No. 14 Year in 1967. Given that sharing system, the Bank can detach from businesses that use the system of interest. In previous level Indonesian Islamic law is limited to the field of family law, but since 1992, the role of Islamic law the world has entered the area of economic law (business)