PENGARUH POLI(AMINO AMID) TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN STABILITAS TERMAL POLIMER BLEND EPOKSI/POLI(AMINO AMID) Asep Nurimam1, Dr. Hosta Ardhyananta, ST, M. Sc.2, Yuli Setiyorini, ST, M.Phil.2 Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi, 2Staf Pengajar Teknik Material dan Metalurgi
1
Abstrak Epoksi adalah jenis polimer termoseting dengan kekuatan tarik, stabilitas termal, sifat adesif yang tinggi dibandingkan jenis polimer yang lainya. Akan tetapi pada aplikasi yang dibutuhkan sifat fleksibilitas yang tinggi, epoksi menunjukan performa yang rendah. Maka dibutuhkan polimer tambahan untuk meningkatkan keuletan dari epoksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimer tambahan yaitu poliamino amid terhadap kekuatan tarik dan stabilitas termal dari epoksi, dengan memvariasikan perbandingan fraksi berat epoksi dan poliamino amid: 100/0, 80/20, 60/40, 40/60, 20/80, dan 0/100. Preparasi dilakukan dengan metode blend, dan proses curing dengan pemanasan di dalam oven pada temperature 50, 100, 150, 200, dan 250oC masing-masing selama satu jam. Pengujian yang dilakukan adalah FTIR, DSC, pengujian tarik, SEM, dan TGA. Hasil pengujian menunjukan semakin tinggi komposisi poliamino amid maka semakin tinggi nilai keuletan yang didapat. Hal ini ditunjukkan pada komposisi epoksi/PA(60) senilai 18,8 %. Akan tetapi semakin kecil kuat tariknya. Kuat tarik tertinggi ditunjukan pada komposisi epoksi/PA(20)senilai 49 MPa. Morfologi hasil blend dengan mengunakan SEM, menunjukan homogenitas ikatan epoksi dan poliamino amid. Stabilitas termal tertinggi ditunjukan oleh komposisi epoksi/PA(20) dengan berat sisa pada 850⁰ C senilai 3.5%. Kata kunci : Epoksi, Poliamino Amid, Blend, Kekuatan Tarik, Stabilitas Termal.. Abstract Epoxy is a kind of thermosetting polymer which has tensile strength, thermal stability, and high adhesive properties more than other kinds of polymer. But in an application that needs high flexibility, epoxy shows low perform. Hence additional polymer is needed. This research is aimed to know the effect of polyamino amide against tensile strength and thermal stability of epoxy by varying comparison of epoxy weight fraction and polyamino amide: 100/0, 80/20, 60/40, 40/60, 20/80, and 0/100. Preparation is done with blend method, and curing process by heating in the oven in temperature 50, 100, 150, 200, and 250 oC for an hour each. This experiment used are FTIR, DSC, Tensile Test, TGA, and SEM. The result of the experiment shows the higher composition of polyamino amide, the higher number of ductility get. This is shown in the value of the epoxy PA(60) composition for 18.8%. However, the tensile strength is smaller. The highest tensile strength is shown in the composition of the epoxy / PA (20) worth of 49 Mpa. The blend’s morphology by using SEM, showed homogeneity between poliamino amid and epoxy bond. The highest thermal stability shown by the composition of the epoxy / PA (20) with the weight residue at 850 ⁰ C value of 3.5 %. Key words : Epoxy, Polyamino Amide, Blend, Tensile Strengh, Thermal Stability. I. Pendahuluan
jenis polimer yang lainya. Epoksi biasanya digunakan sebagai aplikasi pelapisan permukaan, matriks dari komposit, insolator elektrik, serta bahan perekat untuk material
Epoksi adalah jenis polimer termoseting dengan kekuatan tarik, stabilitas termal, sifat adesif yang tinggi dibandingkan
1
lain7. Akan tetapi pada aplikasi yang dibutuhkan sifat fleksibilitas yang tinggi, epoksi menunjukan performa yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh ikatan cross linking pada rantai epoksi. Peningkatkan fleksibilitas epoksi dapat dilakukan dengan cara penambahan polimer yang mempunyai keuletan yang lebih tinggi dari epoksi. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan cara pencampuran (blend). Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui proses blend dan proses curing epoksi/ poliamino amid serta pengaruh poliamino amid terhadap kekuatan tarik, dan stabilitas termal polimer blend epoksi/poliamino amid serta morfologinya.
pertama kali dipanaskan dan selanjutnya mengeras secara permanen pada saat didinginkan. Polimer jenis ini bersifat lebih keras dan kaku (rigid) jika dibandingkan dengan termoplastik, karena struktur molekulnya yang membentuk jejaring tiga dimensi yang saling berhubungan (network). Polimer jenis elastomer, misalnya karet alam, memiliki daerah elastis non linear yang sangat besar yang disebabkan oleh adanya sambungan-sambungan antar rantai (cross links) yang berfungsi sebagai ‟pengingat bentuk‟ (shapememory) sehingga karet dapat kembali ke bentuknya semula, ada saat beban eksternal dihilangkan.
II. Tinjauan Pustaka 2.1. Polimer Polimer adalah salah satu bahan rekayasa bukan logam (non-metallic material) yang penting. Saat ini bahan polimer telah banyak digunakan sebagai bahan substitusi untuk logam terutama karena sifat-sifatnya yang ringan, tahan korosi dan kimia, dan murah, khususnya untuk aplikasi-aplikasi pada temperatur rendah. Hal lain yang banyak menjadi pertimbangan adalah daya hantar listrik dan panas yang rendah, kemampuan untuk meredam kebisingan, warna dan tingkat transparansi yang bervariasi, kesesuaian desain dan manufaktur. Istilah polimer digunakan untuk menggambarkan bentuk molekul raksasa atau rantai yang sangat panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil yang berulang-ulang atau mer atau meros sebagai blok-blok penyusunnya. Molekul-molekul (tunggal) penyusun polimer dikenal dengan istilah monomer. Polimer umumnya dikelompokkan berdasarkan perilaku mekanik dan struktur rantainya. Polimer termoplastik adalah jenis polimer yang memiliki struktur rantai yang linear (linear), bercabang (branched) atau sedikit bersambung (cross linked). Polimer dari jenis ini akan melunak pada saat dipanaskan dan menjadi keras dan kaku (rigid) pada saat didinginkan secara berulang-ulang. Sementara itu, polimer termoset (termosetting), hanya melebur pada saat
Gambar 2.1 Jenis-Jenis Polimer10
2.2. Struktur Kimia Polimer Struktur kimia pada polimer ini ada berbagai macam. Struktur kimia homopolimer memiliki ikatan kimia yang bisa berupa C-C, C-H, C-O, C-N, atau salah satu bahkan keempatnya. Struktur kimia polimer ini bisa berupa isomer. Isomer yaitu rumus kimia sama, namun berbeda dalam rumus bangunnya. Hal ini bisa dikarenankan ikatan kimia jenuh atau tak jenuh (ikatan rangkap). Isomer yang biasa muncul dalam polimer yaitu berupa “head to tail” dan “tail to tail and head to head”. Head to tail structure paling banyak dijumpai. Gugus fungsi dalam ikatan polimer dapat berikatan secara primer, sekunder, atau tersier. Ikatan tersier jarang ditemukan. Ikatan sekunder lebih kuat dibandingkan ikatan primer. Gugus molekul penyusun polimer yang membentuk ikatan sekunder, mempengaruhi kekuatan mekanis, afinitas kimiawi (kompatibilitas) dengan senyawa lain (pelarut,
2
plastisizer, dan aditif). Kuatnya ikatan sekunder terjadi karena adanya polaritas (perbedaan momen dipol), akibat adanya jembatan hidrogen, dan karena halangan sterik lebih kuat. Bentuk molekul menjelaskan bentuk geometri dari rantai polimer yang berbentuk seperti kumparan. Jarak dari ujung satu ke ujung lainnya dinotasikan dengan R. Pada kondisi stabil, tidak bereaksi dengan lingkungan, maka disebut kondisi theta. Jika terjadi interaksi dengan lingkungan semisal kenaikan temperatur maka rantai molekul akan berekspansi, R otomatis berubah dan terjadi perubahan sifat pula.
Kristalinisasi sebuah struktur yang amorf dapat terjadi secara kinetis. Pertamatama terjadi nukleasi akibat pendinginan pada suhu dibawah suhu leleh. Hal ini bersifat reversibel, artinya nuklei dapat terbentuk dan hancur. Pada kondisi kritis, nuklei berkembang menjadi inti kristalin. Selanjutnya diikuti oleh polarisasi optik mikroskopis. Dibawah kondisi yg ideal, makroskopis membentuk spherulit. Dalam keadaan suhu rendah sphrulit yang terbentuk kecil-kecil. Sedangkan pada suhu yang tinggi spherulite hanya ada beberapa namun berukuran besar.
Gambar 2.2 Bentuk Geometri Rantai Polimer 4
Gambar 2.3 Jenis Morfologi Polimer
2.3. Morfologi dan Transisi Polimer 2.3.1. Morfologi Polimer Merupakan bentuk polimer dalam keadaan padat. Terdapat dua jenis, yaitu berbentuk kristalin, non kristalin (amorf), dan semi kristalin. Kristalin berbentuk seperti jarum panjang dan teratur, sedangkan amorf random. Terdapat 3 jenis model dalam membedakan morfologi, yaitu : fringed micella, folded chains dan switchboard. Polimer agar menjadi kristalin harus memiliki struktur teratur dengan jarak yang teratur antar masing-masing rantai. Untuk meningkatkan kristalinitas suatu polimer maka harus dilakukan penghambatan mobilitas dan mengurangi percabangan, crosslinked, dan ketidakteraturan struktur). Kristalinitas sangat berguna bagi polimer, semakin meningkat, maka ketahanan terhadap pelarut dan pengaruh kimiawi akan meningkat pula. Selain itu akan membuat polimer menjadi kaku dan lebih kuat, mampu berelongasi dan dengan kekuatan impact yang tinggi. Namun, kristalinitas pun berpengaruh terhadap sifat optik, yaitu menurunnya ketransparananan polimer.
2.3.2. Transisi polimer Transisi suatu polimer ditentukan oleh temperatur. Perubahan dari padat (kristalin) menuju (cair) disebut Titik leleh. Tm hanya dimiliki oleh polimer kristalin. Polimer amorf memiliki transisi gelas, dimana dalam keadaan panas, free volume meningkat mengakibatkan polimer bersifat lunak dan dalam keadaan dingin, free volume sedikit mengakibatkan bersifat menyerupai glass. Free volume yaitu perbedaan volume fasa liquid dan nilai ekstrapolasi pada temperatur absolute nol.
Gambar 2.4 Pengaruh Temperatur terhadap Modulus Polimer
3
adalah Hardener. Contoh beberapa jenis hardener adalah amin, amid, asam anhidrid, imidazol, fenol, merkaptan, dan metal oksida. Untuk merubah menjadi epoksi plastik pada temperatur kamar, yang biasa digunakan adalah jenis amine, dan amid. Karena jenis lain digunakan dengan kondisi temperatur lebih dari 150oc untuk dapat bereaksi dengan epoksi. Amine itu sendiri dibagi menjadi beberapa jenis, alifatik dengan rantai karbon lurus, sikloalifatik dengan rantai karbon berbentuk cincin, dan aromatik dengan grup amino yang berikatan dengan cincin benzen. Sebagai hardener epoksi yang digunakan adalah primarily diamines dan polyamine. NH2 adalah grup utama dari amino. Pada reaksi awal, satu dari atom hidrogen amine bereaksi dengan grup epoksi oksigen menghasilkan rumus hidroksil grup OH-, pada saat yang bersamaan primary amine mengalami reduksi menjadi secondary amine.
2.4. Epoksi Resin Aplikasi Epoksi sekarang semakin meningkat di berbagai aplikasi Engineering. Pada sejarah adanya epoksi tahun 1936, adalah Dr. Pierre Castan dari Swiss yang berhasil mensintesa epoksi. Pada tahun 1939 Dr.S.O. Greenle dari Amerika meningkatkan kualitas epoksi dengan menemukan formula epoksi yang berdasar epiklorohidrin (epichlorohydrin) dan bisfenol A (bisphenol A). Jenis-jenis group epoksi dapat juga disebut Glycidyl group yang mempunyai rantai oksigen seperti pada gambar dibawah. .
Gambar 2.5 Rantai Epoksi6
Epoksi dibuat dengan reaksi yang sederhana, yaitu pencampuran antara epiklorohidrin dan bisfenol A. Epoksi ini bereaksi dengan hardener/katalis membentuk struktur crosslinking. Ini membuat epoksi ini bersifat adhesive dan kekuatan yang cukup tinggi Kebanyakan Epoksi berbasis diglycidyl ether of bisphenol A (DGEBA), tetapi ada juga yang berbasis bisphenol F, dan yang lainnya. Struktur kimia dari epoksi, epiklorohidrin yang dapat bereaksi dengan group hidroksil, dengan mengeliminasi asam hidroklorik.
Gambar 2.7 Reaksi Awal Pembentukan Epoksi Plastik 6
Setelah itu reaksi berlanjut, yaitu reaksi antara secondary amine dengan grup epoksi oksigen dan reaksi selesai.
Gambar 2.8 Reaksi Awal Pembentukan Epoksi Plastik 6
Pada umumnya, Molekul epoksi terdiri atas dua grup epoksi dan satu primary amine dengan empat atom hidrogen.
Gambar 2.6 Sintesa Epoksi6
Variasi komposisi antara epiklorohidrin dan bisfenol A akan menghasilkan epoksi dengan berbagai berat molekul. Epoksi resin yang mempunyai berat molekul utama lebih dari 700 disebut high molecular, sedangkan yang kurang dari 700 disebut low molecular. Untuk merubah epoksi resin menjadi epoksi plastik dibutuhkan reaksi dengan substansi yang sesuai. Substansi disini
Gambar 2.9 Skema Molekul Epoksi Plastik6\
4
teknik blend ini untuk meningkatkan fleksibilitas dari epoksi dengan mengunakan diethyl toluene diamine (DETD). Hasil yang di dapatkan adalah terjadi ikatan yang homogen antara epoksi jenis bisfenol A dengan fleksibel diamine. Akan tetapi keuletan yang dicapai pada penelitian kali ini masih rendah yaitu senilai 10%.
2.5. Poli(Amino Amid) Poli(amino amid) adalah polimer hasil kondensasi. Berawal dari reaksi nonequilibrium sejumlah mol pcarboranedicarboxylic acid dengan aromatik tetraamin. Dimana reaksi ini akan menghasilkan sebuah property baru dari polimer. Gambar di bawah ini adalah proses pembentukan dari Poli(amino amid).
2.7 Sifat Mekanik Polimer Perilaku mekanika polimer termoplastik sebagai respon terhadap pembebanan secara umum dapat dijelaskan dengan mempelajari hubungan antara struktur rantai molekulnya dan fenomena yang teramati.
Gambar 2.10 Sintesa Poli(amino amid)3
Sintesa poliamino amid ini biasanya digunakan dengan pelarut tryoctrylamine. Rumus kimia dari poliamino amid ini adalah 3,3'-diaminobenzidine. Sifat khas dari polimer ini adalah mempunyai adesif tinggi terhadap material apapun. Disamping itu, poliamino amid mempunyai sifat fleksibilitas yang tinggi.
Gambar 2.11 Spesimen Uji Tarik dan Perilaku saat Pembebanan6
Perilaku mekanik dari polimer thermoplastik secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu: (1) Perilaku Elastik, (2) Perilaku Plastik, dan (3) Perilaku Visko-Elastik. Perilaku termoplastik secara umum adalah elastik non-linear yang tergantung pada waktu (time-dependent). Hal ini dapat dijelaskan dari 2 mekanisme yang terjadi pada daerah elastis, yaitu:(1) distorsi keseluruhan bagian yang mengalami deformasi, dan (2) regangan dan distorsi ikatan-ikatan kovalennya. Perilaku elastik noninear atau non-proporsional pada daerah elastis terutama berhubungan dengan mekanisme distorsi dari keseluruhan rantai molekulnya yang linear atau linear dengan cabang. Perilaku plastis pada polimer termoplastik pada umumnya dapat dijelaskan dengan mekanisme gelinciran rantai (chain sliding). Mula-mula akan terjadi pelurusan
2.6. Polimer Blend Polimer blend binary adalah pencampuran fisik dari dua polimer untuk menghasilkan bahan baru dengan sifat yang diinginkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi polimer blend telah mendapatkan posisi penting di bidang pengembangan baru bahan polimer. Ada tiga jenis binary blend, contohnya semicrystalline / semicrystalline, amorf / amorf dan amorf / semicrystalline blend. Polimer amorf merupakan polimer dengan struktur seperti rantai kusut. Ini tidak memiliki urutan posisi dalam urutan molekuler dan dapat dengan mudah ditembus oleh pelarut. Alam karet (NR) adalah contoh dari polimer amorf5. Penelitian ini mengunakan teknik blend. Beberapa penelitian tentang blend epoksi telah dilakukan oleh para ilmuwan. Salah satunya12, yang mengunakan
5
rantai liner molekul polimer yang keadaannya dapat diilustrasikan seperti „mie‟ dengan ikatan sekunder dan saling kunci mekanik. Selanjutnya akan terjadi gelinciran antar rantai molekul yang telah lurus pada arah garis gaya. Ikatan sekunder dalam hal ini akan berperan sebagai semacam „tahanan‟ dalam proses gelincir atau deformasi geser (shear) antar rantai molekul yang sejajar searah dengan arah garis gaya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa ikatan sekunder sangat menentukan ketahanan polimer thermoplastik terhadap deformasi plastik atau yang selama ini kita kenal dengan kekuatan dari polimer. Gelinciran rantai molekul polimer thermoplastik dapat pula dilihat sebagai aliran viskos dari suatu fluida. Kemudahan molekul polimer untuk dideformasi secara permanen dalam hal ini berbanding lurus dengan viskositas dari polimer. Dari persamaan umum dapat dilihat bahwa tegangan geser akan menyebabkan gradien kecepatan antar rantai molekul yang dapat menyebabkan deformasi permanen tergantung pada viskositasnya. Perilaku penciutan (necking) dari polimer termoplastik amorphous agak sedikit berbeda dengan perilaku penciutan logam pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pada saat terjadi penciutan akan terjadi kristalisasi yang menyebabkan penguatan lokal pada daerah tersebut dan penurunan laju deformasi. Visko-elastisitas berhubungan perilaku polimer thermoplastik saat dideformasi yang terjadi dengan deformasi elastis dan aliran viskos ketika beban diaplikasikan pada bahan. Hal ini berhubungan dengan ketergantungan perilaku bahan terhadap waktu pada saat deformasi elastis dan plastis.
2.8 Stabilitas Termal Polimer Degradasi termal dari polimer adalah kerusakan molekul sebagai akibat dari overheating. Pada temperatur tinggi komponen tulang punggung rantai panjang polimer dapat mulai terpisah (pemotongan molekul) dan bereaksi dengan satu sama lain untuk mengubah sifat-sifat polimer. Degradasi termal umumnya melibatkan perubahan ada berat molekul (dan distribusi berat molekul) dari polimer dan khas perubahan properti termasuk keuletan berkurang dan embrittlement, meninggalkan jejak, perubahan warna, pengurangan retak, umum di sebagian besar sifat-sifat fisik lainnya diinginkan11. III. Metodologi Penelitian 3.1. Diagram Alir Penelitian
Gambar 2.12 Kurva Tegangan Regangan Polimer Termoplastik 6
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
6
Oleh karena itu dibuatlah sampel sampai temperatur 250oc.Dengan tahapan 50oc,100oc,150oc,200oc,dan 250oc. Masingmasing di holding selama 1 jam. Dengan komposisi epoksi yang dicampur 100%, 80%,60%,40%,20 % dan 100% Poliamine. Dan ternyata hasilnya adalah epoksi yang terpolimerisasi sempurna dengan poliamin yang berfungsi sebagai hardenernya hanya terjadi pada komposisi 40%, 60%, dan 80% epoksi. Karena untuk 100% epoksi selama pemanasan tidak mengalami polimerisasi, dan tetap berbentuk liquid. Bahkan viscositasnya menjadi lebih kecil dari sebelumnya (menjadi lebih encer). Hal ini disebabkan, epoksi adalah monomer yang membutuhkan tambahan jenis polimer lain untuk menjadi penggabungnya (hardener).
3.2. Rancangan Penelitian Untuk pelaksanaan percobaan, dibawah ini adalah rancangan penelitian yang dilakukan. Tabel 3.1 Rancangan Penelitian
(a) )
IV. Hasil dan Pembahasan Preparasi Polimer Blend Epoksi/Poliamino Amid Hasil yang didapat adalah perubahan warna dan curing yang tidak sempurna dari berbagai variasi yang ada. Dan dapat dilihat pada gambar dibawah ini (a).untuk temperatur 75⁰ C, (b) 100o C, (c) 125o C, dan (d) 150o C.
(b)
4.1
(b) (c)
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Proses Curing
Gambar 4.1 Sampel yang tidak terpolimerisasi sempurna
Apabila tambahan tersebut tidak ada maka tidak akan terjadi polimerisasi (gambar 4.1,a). Begitu juga dengan 100% Poliamine dan 20% epoksi,(gambar 4.1.b dan c) dua komposisi tersebut tidak mengalami proses curing yang sempurna, dan membentuk struktur gelembung pada permukaannya. Berdasarkan data uji TGA (pada sub. Bab 4.6), hal ini disebabkan karena pada kedua komposisi ini faktor Poliamin lebih dominan dibanding epoksi, sedangkan Poliamin sendiri mempunyai stabilitas termal yang lebih rendah dari epoksi
Berdasarkan tabel diatas, ternyata temperatur yang dipilih masih belum dapat membuat epoksi berpolimerisasi sempurna. Maka kita uji epoksi tersebut dengan pengujian DSC ( Differensial Scanning Calorimetry), karena menurut Fei chen,dkk tahun 2008 untuk mebentuk polimerisasi epoksi harus dilakukan pemanasan melebihi temperature glass-nya. Dan hasil yang didapat , Tg dari epoksi pada temperature 2000 C.( Pembahasan ada pada sub. Bab 4.3 tentang Pengujian DSC).
4.2 Hasil Pengujian FTIR Uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) ini menggunakan merek Thermo Scientific. Puncak grafik yang
7
diperoleh berada pada range wavenumber antara 400 - 4000 cm -1. (a)
4.3 Hasil Pengujian DSC Pengujian DSC ini menggunakan alat Metler Toledo dengan memberikan pemanasan pada temperature 20 sampai 300 ⁰ C. Pengamatan dilakukan pada kenaikan heatflow terhadap temperatur. Adapun pemanasan dilakukan dengan laju kenaikan temperatur sebesar 10⁰ C per menit dan dilakukan pada tekanan kamar tanpa adanya aliran gas inert pada lingkungan ujinya. Hasil dari pengujian dapat terlihat seperti gambar dibawah ini
(b)
(c)
Gambar 4.2 Grafik hasil Pengujian FTIR epoksi resin (a), poliamino amid (b), dan E/PA(80) (c)
Grafik diatas menerangkan ikatan yang ada pada sampel uji FTIR. Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan ikatan hasil spectroscopy dengan data dari material epoksi dan poliamino amid. Pembacaan grafik ini dibandingkan dengan studi FTIR epoksi dan ikatannya yang dilakukan oleh Meure, dkk (2010). Dari data yang ada grafik hasil FTIR epoksi resin (gambar 4.2,a), terdapat penyerapan vibrasi pada area lekukan 1277 cm1 yang merupakan aromatic eter C-O-C dari gugus epoksi. Selain itu penyerapan vibrasi terdapat pada 1455 cm-1 dan 1606 cm-1. Ini merupakan daerah serapan aromatic hidrokarbon dari epoksi C6H6. Untuk grafik pengujian FTIR poliamino amid (gambar 4.2,b) daerah serapan yang terjadi pada 3276 cm-1, yang merupakan rantai khas dari polimer grup amin N-H. Sedangkan pada pengujian FTIR dari polimer blend epoksi, disini terlihat perpaduan antara rantai epoksi C-O-C dengan rantai polamino amid N-H. Karena pada grafik ini (gambar 4.2,c) terdapat daerah serapan pada 3294 cm-1 dan 1607 cm-1. Dua daera serapan ini merupakan daerah rantai poliamino amid dan epoksi. Di bawah ini adalah table yang menunjukkan daerah serapan ikatan kedua polimer tersebut.
Gambar 4.3 Grafik Hasil Uji DSC Resin Epoksi
Grafik diatas menunjukkan peak pada temperature 200⁰ C. Karena adanya reaksi exoterm struktur DGEBA resin epoksi. Dari temperature peak tersebut, maka Tg dari resin epoksi terdapat pada temperatur 200 ⁰ C. Oleh karena itu, proses curing dilakukan pad temperature diatas 200⁰C, tepatnya 250 ⁰C. 4.4. Hasil Pengujian Tarik Pengujian tarik dilakukan dengan alat Instron UTM. Dengan kecepatan tarik 1 mm/min. Pengujian ini dilakukan pada sampel yang mengalami proses curing yang sempurna. Yaitu sampel dengan kode E/PA (20), E/PA (40), dan E/PA (60). Pengujian ini dilakukan sesuai standart ASTM D 638M. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui properti tarik dari sampel yang ada. Pengujian ini berfokus pada hasil dari penambahan poliamino amid terhadap fleksibilitas polimer blend epoksi.
8
Karena seperti permasalahan yang dibahas pada bab I, epoksi mempunyai keuletan yang relatif rendah. Sekitar 2-3 % . Pengujian ini dilakukan tiga kali pengulangan pada tiap komposisi sampel yang digunakan.
Gambar 4.4 Sampel Pengujian Tarik
Setelah dilakukan pengujian didapat kurva Stress –Strain dari sampel polimer blend epoksi/poliamino amid, yang tertera pada kurva dibawah ini. Gambar 4.6 Properti Tarik dari komposisi PA yang berbeda (a) pengaruh % PA terhadap UTS, (b) pengaruh % PA terhadap Elongation, (c) pengaruh % PA terhadap Modulus Young
Gambar 4.6 diatas menunjukan pengaruh dari penambahan komposisi poliamino amid terhadap kekuatan tarik, elongation, dan modulus Young pada polimer blend epoksi/poliamino amid. Gambar 4.6,a menunjukan semakin tinggi komposisi poliamino amid, maka semakin rendah kekuatan tariknya. Hal ini disebabkan, tensile properti dari poliamino amid lebih rendah dari tensile propert epoksi. Dari hasil pengujian tarik, kuat tarik yang paling tinggi dimiliki oleh E/PA (20) senilai 49 MPa. Hasil yang paling rendah dimiliki oleh E/PA(60) senilai 17 MPa. (dapat dilihat pada gambar 4.5 (a). Akan tetapi penambahan komposisi poliamino amid ini, berdasarkan pengujian tarik ini meningkatkan elongation, hal ini disebabkan sifat poliamino amid selain berperan sebagai hardener, dan juga sebagai plastisizer pada polimer blend epoksi/PA. Data yang paling signifikan ditunjukan pada E/PA(60), dengan elongation senilai 19 %, sedangkan pada E/PA(20) mempunyai nilai elongation yang rendah, 5%. Nilai Modulus Young hasil pengujian, menunjukan semakin tinggi komposisi poliamino amid maka semakin
Gambar 4.5 Kurva Hasil Pengujian tarik pada Komposisi E/PA(20), E/PA(40), dan E/PA (60)
Gambar 4.5,a menunjukan nilai kuat tarik yang paling tinggi, sedangkan gambar 4.5,c menunjukan keuletan yang paling tinggi. Dari kurva yang didapat maka perlu ada data yang menunjukan perbandingan penambahan komposisi poliamino amid terhadap properti uji tarik.
9
rendah nilai modulus Young polimer blend tersebut. Data trend ini berhubungan dengan kekuatan tarik, karena semakin tinggi kuat tarik material maka semakin kaku sifat nya.
Gambar 4.9 Hasil SEM E/PA(60), (a) perbesaran 200X, (b) perbesaran 400X
4.6 Hasil Pengujian TGA Di bawah ini adalah kurva hasil pengujian TGA. Pengujian ini mengunakan alat Metler Toledo, dengan memberikan pemanasan pada temperatur 20o C hingga 850oC. Sampel yang diuji adalah resin epoksi, poliamino amid, E/PA(20), E/PA(40), dan E/PA(60).
4.5. Hasil Pengujian SEM Pengujian SEM ini dilakukan untuk mengetahui morfologi polimer. Sampel yang diuji adalah sampel hasil pengujian uji tarik dengan variasi komposisi poliamino amid.
(a)
(b)
Gambar 4.7 Hasil SEM E/PA(20) (a) perbesaran 200X, (b) perbesaran 400X
Gambar 4.10 Kurva Hasil Pengujian TGA
(a)
Tabel 4.3 Hasil TGA Blend Epoksi/Poliamino amid Berat (gr) T( ̊C)5 T ( ̊C)10 sisa di T 850 Sample % loss % loss ̊ C Resin Epoksi 274 294 3.4 Poliamino Amid 179 234 0 Epoksi/PA(20%) 302 323 3.5 Epoksi/PA(40%) 305 325 2.7 Epoksi/PA(60%) 277 320 0
(b)
Gambar 4.8 Hasil SEM E/PA (40), (a) perbesaran 200X, (b) perbesaran 400X
Gambar diatas menunjukan hasil patahan E/PA(20) dan E/PA(40). Terlihat bahwa pola patahan yang dihasilkan adalah patahan getas, dikarenakan halusnya penampang permukaan. Ini juga mempunyai korelasi dengan hasil uji tarik yang mana pada komposisi ini mempunyai UTS yang tinggi, sehingga sifat getasnya juga lebih tinggi dari yang lain.
(a)
Tujuan pengujian ini secara umum dilakukan untuk mengetahui stabilitas termal dari semua sampel. Serta mencari korelasi pengaruh penambahan poliamino amid terhadap stabilitas termal polimer blend epoksi/poliamino amid. Pengujian ini diawali dengan pengujian sampel murni, yaitu resin epoksi dan poliamino amin. Berdasarkan table 4.4 diatas, pengurangan 5 % berat awal resin epoksi terjadi pada temperature 274⁰ C, dan berat sisa pada temperatur 850⁰C senilai 3.4 gram. Ini menunjukan bahwa resin epoksi mempunyai sifat stabilitas termal yang lebih
(b)
10
T pada 5 % Pengurangan Berat ( ⁰C)
baik dari poliamino amid, dimana poliamino amid sendiri mengalami 5% pengurangan berat awal terjadi pada temperatur 179⁰C dan berat sisa pada temperatur 850⁰C senilai 0 gram. Pada pengujian TGA sampel polimer blend epoksi/poliamino amid, E/PA(20), E/PA(40), E/PA(60), menunjukan perbedaan stabilitas termal yang signifikan antara E/PA (20) dengan E/PA(60). Ini terlihat pada 5% pengurangan berat awal E/PA(20) terjadi pada 302⁰C sedangkan E/PA(60) terjadi pada 277⁰C, dan juga berat residu yang ada pada temperatur 850⁰C terlihat perbedaan antara 3,5 dan 0 gram. Dari hasil yang ada, bahwa semakin banyak komposisi poliamino amin pada polimer blend E/PA ini akan menurunkan stabilitas termalnya. Grafik trend pengaruh poliamino terhadap 5% berat polimer blend dan berat sisa dapat dilihat di bawah ini.
V. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Komposisi polimer blend yang mengalami polimerisasi sempurna dengan proses curing temperatur 250⁰C hanya pada E/PA(20), E/PA(40), dan E/PA(60) . 2. Hasil pengujian FTIR menunjukan hasil polimerisasi polimer blend epoksi/poliamino amid mempunyai rantai amin pada daerah serapan 3296 cm-1, dan rantai khas epoksi C-H aromatik pada 1607 cm-1. 3. Temperatur Tg dari bahan epoksi yang digunakan berada pada 200⁰C. 4. Hasil pengujian uji tarik menunjukan bahwa semakin tinggi komposisi pada polimer blend, maka semakin rendah kuat tarik dan modulus Young, akan tetapi akan meningkatkan keuletan dari material tersebut. 5. Penambahan Poliamino amid dapat meningkatkan fleksibilitas polimer epoksi. 6. Hasil Pengujian SEM menunjukan struktur yang homogen pada hasil curing polimer blend epoksi/poliamino amid. 7. Stabilitas termal ditentukan oleh komposisi poliamino amid, semakin tinggi akan semakin rendah sifat stabilitas termalnya.
310 305 300 295 290 285 280 275 0
20
40 PA (%)
60
80
(a) Berat Sisa T 850̊ C % berat)
4 3 2
5.2. Saran Berdasarkan penelitian dan kesimpulan, ada beberapa saran yang dapat diperhatikan, diantaranya :
1 0 0
20
40 PA (%)
60
1. Proses preparasi polimer blend hendaknya menggunakan mekanik stirrer, agar mendapatkan sifat yang lebih homogen. 2. Adanya studi khusus tentang pembahasan temperatur curing epoksi/poliamino amid pada % berat 80 poliamino amid.
80
(b) Gambar 4.11 Grafik Pengaruh PA terhadap 5% pengurangan berat (a) dan berat sisa pada T 850⁰ C (b)
11
3. Hendaknya ditambahkan agent lain yang mempunyai sifat tahan temperatur tinggi untuk meningkatkan stabilitas termal epoksi pada komposisi E/PA (60). 4. Pengujian mekanik yang lain, hendaknya dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik yang lain selain properti tarik. Dan juga dengan variasi temperatur sebelum melakukan pengujian.
9. Meure, Samuel, dkk. 2010. FTIR study of bonding between a thermoplastic healing agent and a mendable epoxy resin. Vibrational Spectroscopy. 52. 10-15. 10. Saptono, Rahmat,. 2007. Pengetahuan Bahan. Depok :Jurusan Teknik Mesin FTUI Depok. 11. Villetti, dkk. 2004.Thermal Degradation of Natural Polymer. Thermal Analysis and Calorimetry. 67. 293-393 12. Yang, Guo, Ping Yang. 2007. Preparation and mechanical properties of modified epoxy resins with flexible diamines. Polymer. 48. 302-310.
Daftar Pustaka 1. Chen, Fei, Wayne D. Cook.2008. Curing kinetics and morphology of IPNs from a flexible dimethacrylate and a rigid epoxy via sequential photo and thermal polymerization. European Polymer Journal. 44. 1796-1813. 2. Francis, Bejoy, Vanden Poel, Fabrice Posada. 2003. Cure kinetics and morphology of blends of epoxy resin with poly (ether ether ketone) containing pendant tertiary butyl groups. Polymer. 44. 3687-3699. 3. Korshak, dkk.1976. Study of the chemical structure of p-carborane containing polyaminoamide macromolecules. Hetero-Organic Compounds Institute. Amerika 4. Lehman, R.L..,dkk.1999.Materials. Mechanical Engineering Handbook .Boca Raton: CRC Press LLC, 1999. 5. Lloyd. 2007. Polymer Blends. Jerman 6. Malmgren, Nils. 2004. Epoxy Handbook. Swedia 7. Mark, James. 1999. Polymer Data Handbook. Inggris: Oxford University Press, Inc. 8. Martinez, dkk. 2000. Phase separation in polysulfone-modified epoxy mixtures. Relationships between curing conditions, morphology and ultimate behavior. Polymer. 41. 10271035.
12