POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)
BUDIDAYA LIDAH BUAYA
BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email :
[email protected]
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ............................................................................................................ 3 a. Latar Belakang ................................ ................................ .......... 3 b. Tujuan, Ruang Lingkup dan Metode Penelitian ................................ 3 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan................................................................. 5 a. Profil Usaha................................ ................................ ............... 5 b. Pola Pembiayaan................................ ................................ ........ 6 3. Aspek Pemasaran................................................................................................... 8 a. Permintaan ................................ ................................ ............... 8 b. Penawaran ................................ ................................ ................ 9 c. Harga ................................ ................................ ....................... 9 d. Peluang Usaha ................................ ................................ ......... 10 e. Pemasaran Produk ................................ ................................ ... 10 f. Kendala Pemasaran................................ ................................ ... 11 4. Aspek Produksi...................................................................................................... 12 a. Lokasi Usaha................................ ................................ .........12 b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Usaha ................................ ........ 13 c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 13 d. Tenaga Kerja................................ ................................ ........... 14 e. Teknologi Produksi ................................ ................................ ... 15 f. Proses Produksi ................................ ................................ ........ 15 g. Jenis dan Mutu ................................ ................................ ........ 20 h. Produksi Optimum................................ ................................ .... 20 i. Kendala Produksi ................................ ................................ ...... 21 5. Aspek Keuangan ................................................................................................... 23 a. Struktur Biaya ................................ ................................ ......... 23 b. Pendapatan ................................ ................................ ............. 24 c. Analisa Kelayakan ................................ ................................ .... 24 6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .................................... 25 a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ............................... 25 b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ . 26 7. Penutup .................................................................................................................... 28 a. Kesimpulan ................................ ................................ ............. 28 b. Saran ................................ ................................ ..................... 28 LAMPIRAN .................................................................................................................... 30
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
2
1. Pendahuluan a. Latar Belakang Lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb.) merupakan tanaman yang telah lama dikenal di Indonesia karena kegunaannya sebagai tanaman obat untuk aneka penyakit. Belakangan tanaman ini menjadi semakin popular karena manfaatnya yang semakin luas diketahui yakni sebagai sumber penghasil bahan baku untuk aneka produk dari industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Pada saat ini, berbagai produk lidah buaya dapat kita jumpai di kedai, toko, apotek, restoran, pasar swalayan, dan internet yang kesemuanya mengisyaratkan terbukanya peluang ekonomi dari komoditi tersebut bagi perbaikan ekonomi nasional yang terpuruk dewasa ini. Tanaman lidah buaya meskipun bukan merupakan tanaman asli Indonesia ternyata dapat tumbuh baik di negara kita, bahkan di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak, tanaman ini beradaptasi jauh lebih baik daripada di tempat-tempat lainnya. Hal ini diakui oleh pakar lidah buaya mancanegara yang karenanya juga turut menyayangkan bilamana keunggulan komparatif yang dimiliki oleh tanaman ini tidak dimanfaatkan oleh Indonesia. Kepentingan pasar global, setidaknya regional, terhadap lidah buaya Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan berbagai program yang mendukung pengembangan komoditi ini dari mulai pembudidayaannya di lahan petani, pengolahan hasilnya menjadi berbagai produk agroindustri, dan pemasaran produk-produk tersebut baik secara domestik maupun global. Tulisan ini akan menyajikan informasi berdasarkan hasil studi lapang yang mencakup aspek-aspek teknik produksi, pemasaran, keuangan, dan ekonomi-sosial yang terkait dengan pengembangan lidah buaya tersebut. b. Tujuan, Ruang Lingkup dan Metode Penelitian Tujuan Penyusunan lending model ini bertujuan sebagai berikut: 1. Menyediakan rujukan bagi perbankan dalam rangka mendorong realisasi Kredit Usaha Kecil, khususnya bagi pengembangan komoditi lidah buaya yang dinilai berpotensi tinggi; 2. Menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan usaha kecil komoditi lidah buaya terutama dalam aspek-aspek keuangan, produksi, dan pemasarannya.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
3
Ruang Lingkup Penyusunan lending model ini memerlukan studi mengenai pembiayaannya yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
pola
1. Aspek pemasaran yang meliputi antara lain kondisi permintaan (termasuk pasar ekspor), penawaran, persaingan, harga, proyeksi permintaan pasar; 2. Aspek produksi yang meliputi gambaran komoditi, persyaratan teknis produk, proses pengolahan, dan penanganannya; 3. Aspek keuangan yang meliputi perhitungan kebutuhan biaya investasi dan kelayakan keuangan (menggunakan alat analisa rugi-laba, cash flow, net present value, pay back period, benefit cost ratio, dan internal rate of return dilengkapi analisa sensitivitas; 4. Aspek sosial-ekonomi yang meliputi pengaruh pengembangan usaha komoditi yang diteliti terhadap perekonomian, penciptaan lapangan kerja, dan pengaruh terhadap sektor lain; 5. Aspek dampak lingkungan. Metode Penelitian Survei lapang ini dilakukan di Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, untuk memperoleh data sebagai berikut: 1. Data primer dari pengusaha kecil (petani tanaman lidah buaya); 2. Data sekunder dari Bank Umum dan instansi terkait (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tingkat I dan Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak); 3. Tokoh masyarakat setempat (tokoh formal dan tokoh informal). Analisa data tersebut di atas selanjutnya dilakukan atas hal-hal sebagai berikut: 1. Analisa usaha, dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh komoditi yang diteliti (budidaya lidah buaya) dilihat dari aspek-aspek pemasaran, produksi, sosial-ekonomi, dan dampak lingkungannya; 2. Analisa pembiayaan, dilakukan untuk mengetahui bagaimana pembiayaan proyek dan kelayakan usaha dilihat dari aspek keuangannya. Untuk kepentingan pengumpulan usaha kecil (petani lidah buaya) dengan persyaratan bahwa usaha di wilayah studi, tetapi dengan kredit bank untuk usaha taninya.
dan analisa data tersebut di atas, sampel di wilayah penelitian diambil secara acak kecil tersebut yang paling banyak terdapat mengutamakan mereka yang mendapat
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
4
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan a. Profil Usaha Profil Petani Tanaman Lidah Buaya Pengusaha tanaman lidah buaya adalah para petani setempat dan pendatang dengan taraf pendidikan yang relatif rendah. Pada umumnya mereka berpendidikan sekolah dasar, di antaranya bahkan tidak sampai tamat. Namun, di antara mereka ada pula yang pernah mengikuti kursus pertanian dan terus mendapat bimbingan budidaya tanaman lidah buaya dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat. Saling tukar pengalaman dalam praktek budidaya terjadi antar petani tanaman ini meskipun mereka belum terikat dalam suatu bentuk organisasi profesi. Usia petani tanaman lidah buaya pada umumnya tergolong usia produktif. Kepala keluarga bekerja di kebun bersama isteri dan anak-anaknya yang telah dewasa. Terdapat juga petani yang dibantu oleh anaknya yang masih berusia sekolah, dimana anak-anak tersebut bekerja di kebun ketika tidak ada kegiatan sekolah. Pengusahaan tanaman lidah buaya di daerah survei pada umumnya tidak merupakan kegiatan khusus. Petani juga menanam komoditi lainnya, terutama pepaya dalam skala usaha dan perhatian yang sebanding dengan tanaman lidah buaya. Pengalaman bertani lidah buaya mereka juga dapat dikatakan masih relatif baru, setelah pengusaha asing datang ke daerahnya membawa informasi mengenai prospek produk lidah buaya yang baik di pasaran mancanegara. Profil Usahatani Tanaman Lidah Buaya Tanaman lidah buaya pada umumnya diusahakan dalam skala 1 - 4 hektar. Di antara petani ada juga yang mengusahakan kurang dari skala tersebut namun ada juga hingga lebih dari 5 hektar. Usaha tani tanaman ini karenanya masih dapat dianggap merupakan usaha kecil, belum berbadan hukum dan dengan status lahan pada umumnya merupakan milik sendiri atau menyewa. Pengelolaannya menggunakan tenaga kerja keluarga, terutama untuk luas areal hingga 1 hektar, kecuali untuk kegiatan-kegiatan yang memerlukan tenaga kerja banyak seperti untuk pengolahan tanah dan panen. Produk tanaman lidah buaya adalah daun segar yang biasanya dijual kepada para pedagang pengumpul yang datang sendiri ke kebun. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa petani lidah buaya pada umumnya mengusahakan petanamannya dengan modal usaha sendiri. Sangat sedikit petani yang menggunakan biaya bersumber dari pinjaman bank, disamping itu bank juga belum banyak yang tertarik untuk membiayai usahatani komoditi ini. Di antara bank yang dijadikan responden, hanya ada
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
5
satu bank yang berpengalaman memberikan pinjaman kepada petani penanam lidah buaya. Menurut pihak bank, hanya terdapat 4 orang petani yang memperoleh pinjaman dari bank, 2 orang petani di antaranya telah melunasi pinjamannya, sedangkan 2 orang lagi masih dalam periode pengembalian pinjaman. Kepala Dinas Urusan Pangan (dahulu disebut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura) dan tokoh masyarakat setempat bahkan tidak mengetahui adanya bank yang memberikan kredit usahatani bagi petani lidah buaya. Pembiayaan usahatani tanaman lidah buaya belum mendapat akses yang besar dari bank dan sumber pendanaan lainnya. Di antara petani bahkan ada yang enggan mendapatkan biaya pinjaman dari bank karena kuatir tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut akibat kegagalan dalam petanaman. Namun, pendapat petani demikian tidak berarti bahwa usahatani lidah buaya tidak mempunyai prospek ekonomi. Keengganan petani tersebut timbul dari tingkat pemahaman kewirausahaan dan pengetahuan perbankan yang tidak memadai karena di antara mereka juga ada yang memilih menyimpan uang di pedagang pengumpul lidah buaya daripada di bank. Dalam keadaan yang mendesak, petani dapat meminjam uang (tanpa bunga) kepada pedagang pengumpul langganannya untuk pembiayaan usaha tani lidah buaya. b. Pola Pembiayaan Pola Pembiayaan Bersumber Kredit Bank Tidak ada skim khusus aturan perolehan kredit dari bank untuk pembiayaan usahatani lidah buaya. Kasus petani yang memperoleh pinjaman dari salah satu bank umum di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa petani tersebut hanya memperoleh Rp 8 juta (72.7 persen) dari Rp 11 juta yang diusulkannya. Dalam kasus bank umum tersebut, pihak petani penerima kredit menganggap bahwa pinjaman senilai tersebut masih dirasakan kurang jumlahnya untuk menutupi biaya usahatani lidah buaya. Prosedur Perolehan Kredit Bank Bank belum memiliki lending model untuk pemberian kredit kepada petani lidah buaya sehingga pemberian kredit tersebut didasarkan pada adanya penjaminan dari perusahaan "Bapak Angkat" petani lidah buaya tersebut (yakni PT Pupuk Kaltim). PT Pupuk Kaltim bertindak sebagai penyusun proposal dan penjamin dana kredit petani. Karena itu, kontrak kredit dilakukan Bank dengan perusahaan BUMN tersebut, bukan dengan petani. Petani tidak memiliki informasi yang rinci mengenai hal ini. Di antara informasi yang diketahuinya adalah sebagai berikut: (1) tidak ada fasilitas masa tenggang pengembalian pinjaman yang diterima oleh petani; (2) jangka waktu pengembalian kredit adalah dua tahun dengan suku bunga sebesar 6 persen per tahun; (3) nilai agunan sebesar nilai kreditnya (100
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
6
persen). Sedang dokumen pinjam-meminjam berada di tangan "Bapak Angkat". Keberhasilan Usahatani versus Pola Pembiayaan Informasi yang diperoleh meyakinkan bahwa pengembalian pinjaman tidak mengalami kemacetan, bahkan sebaliknya, petani berkemampuan mengembalikan pinjaman lebih cepat daripada yang tertulis dalam kontrak kredit. Petani pada umumnya juga menilai positif prospek usahatani komoditi ini sehingga mereka yang membiayai usahataninya secara mandiri pun sama optimisnya dengan petani yang mendapatkan kredit dari bank tersebut. Diskusi dengan tokoh masyarakat yang berprofesi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Staf di Pusat Riset Gambut Tropika (PURIGATRO) serta Kepala Dinas Urusan Pangan memperkuat penilaian tentang prospek ekonomi usahatani lidah buaya asalkan penanganannya dilaksanakan secara sistemik.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
7
3. Aspek Pemasaran a. Permintaan Komoditi lidah buaya baru disadari nilai ekonomiknya belakangan ini, bahkan oleh instansi pemerintah terkait sekali pun. Karena itu, tidak ada dokumen resmi tentang besaran permintaannya di Dinas Pertanian Tingkat Provinsi, Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, dan Biro Pusat Statistik Kota Pontianak. Sehubungan dengan hal ini, lidah buaya belum tercatat sebagai komoditi ekspor penghasil devisa yang terukur kontribusinya bagi pendapatan pemerintah daerah oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pontianak. Demikian juga, nilai pajak yang dikenakan pada penjualan komoditi tersebut tidak dapat diketahui. Pengakuan para petani pun sejalan dengan hal tersebut, mereka tidak pernah dikenai pajak penjualan untuk produk daun lidah buayanya yang dijual kepada pengumpul. Secara kuatitatif, hasil survei menunjukkan bahwa daun lidah buaya dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk obat atau manuman segar. Perdagangan antarpulau terjadi ke Jakarta dan ke Surabaya; perdagangan ekspor berlangsung ke Malaysia dan Singapura melalui Kuching dan pengiriman langsung ke Hongkong. Menurut masyarakat setempat, pengusaha asing yang pernah datang ke Pontianak dan menunjukkan minatnya untuk membeli produk lidah buaya berupa daun segar berasal dari Amerika Serikat, Korea, dan Malaysia. Pengusaha Kuching lebih berminat membeli produk segar daun lidah buaya daripada membuka pabriknya di Pontianak. Saat ini diketahui bahwa, menurut petani, seorang pengusaha Korea telah membeli (via penduduk setempat) lahan untuk memproduksi lidah buaya, bahkan ingin memperluasnya, tetapi tidak didukung oleh petani setempat (kasus di Jalan Kebangkitan Nasional, Siantan Utara). Pengamat lidah buaya setempat menilai bahwa komoditi ini belum memiliki segmen pasar yang pasti, meskipun diketahui bahwa permintaan baik dari dalam maupun dari luar negeri memang ada. Namun, jika ditanyakan berapa potensi permintaannya dan negara mana yang memerlukannya belum ada data atau studi khusus untuk hal ini. Sebaliknya, Dinas Urusan Pangan lebih yakin akan besarnya permintaan produk lidah buaya sehingga menjadikannya sebagai salah satu produk unggulan di masa yang akan datang. Dinas ini bahkan tengah menyusun rencana pembangunan Pusat Pengkajian/ Pengembangan Aloe vera, sebagai salah satu program Pemerintah Daerah Kota Pontianak. Besaran permintaan saat ini mungkin dapat didekati dari jumlah pedagang pengumpul yang kini beroperasi, yakni 5 orang di Kota Pontianak. Jika diduga bahwa kapasitas pembelian oleh mereka sama, berdasarkan kasus seorang pedagang pengumpul yang mampu membeli rata-rata 11 ton per
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
8
bulan, dan menjualnya antarpulau (ke Jakarta) dan ekspor (ke Hongkong) atas nama suatu perusahaan swasta, besaran permintaan nyata lidah buaya itu adalah 55 ton per bulan. Namun, jika didekati dari luas sentra lidah buaya yang kini ada di Provinsi Kalimantan Barat, yakni 50 ha, dengan asumsi moderat dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak bahwa populasinya 10 000 pohon per ha, hasil daun segar minimal 0.5 kg per panen, dan frekuensi panen 2 kali per bulan, permintaan potensial daun lidah buaya itu tidak kurang dari 500 ton per bulan. Permintaan potensial minimal tersebut terdiri dari 55 ton per bulan untuk diperdagangkan antarpulau dan diekspor dan 445 ton per bulan untuk konsumsi masyarakat setempat. b. Penawaran Seperti halnya permintaan, penawaran lidah buaya juga tidak terdokumentasi secara rinci baik di Dinas Pertanian Tingkat I maupun di Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Data resmi Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak hanya menyebutkan pertanamannya seluas 50 ha sebagaimana yang dikemukakan di atas, yakni setara dengan penawaran daun lidah buaya segar sebanyak 500 ton per bulan. Perkiraan seorang pedagang pengumpul memberikan potensi penawaran yang kurang optimis, yakni sebanyak 150 kg daun segar per bulan selama 6 bulan ke depan. Tabel 3.1 memperlihatkan areal sentra, rencana pengembangan, dan potensi wilayah pengembangan pertanaman lidah buaya di Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing 50 ha, 4 450 ha, dan 19 950 ha. Data ini memberikan potensi wilayah pertanaman lidah buaya di Provinsi Kalimantan Barat seluas 20 000 ha, yang berdasarkan perhitungan Dinas Urusan Pangan tersebut di atas berarti setara dengan potensi penawaran sebanyak 200 000 ton per bulan daun segar lidah buaya. Namun, potensi penawaran yang demikian besar ini memerlukan strategi pengembangan lidah buaya yang sistemik, dilakukan secara bertahap di seluruh subsistem agribisnis lidah buaya. c. Harga Harga produk daun lidah buaya segar bervariasi menurut mutu produk dan cara penanganannya. Tingkat mata rantai tata niaga tidak memberikan pengaruh pada harga karena hasil panen dari petani diambil di kebun oleh pedagang pengumpul atau petani mengangkutnya ke pedagang pengumpul terdekat dari kebunnya. Dalam hal ini tingkat mata rantai tata niaga terdiri dari tingkat petani/kebun, tingkat industri/pengolahan rumah tangga (setempat), tingkat pedagang pengumpul, dan tingkat pengekspor. Namun, pedagang pengumpul tersebut ada yang berperan sebagai "tangan-tangan" pengekspor, yang dalam suatu kasus bahkan dianggap sebagai konsultan penjamin mutu produk dari perusahaan pengekspor tadi. Terdapat dua atau tiga kelas mutu produk komoditi ini yang dikenal di lapangan. Penggolongan mutu produk ke dalam dua kelas memberikan kelas mutu A dan kelas mutu B, sedangkan penggolongan mutu ke dalam tiga kelas memberikan kelas mutu A (mutu ekspor), kelas mutu B, dan kelas
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
9
mutu C. Pada umumnya petani menghasilkan daun lidah buaya berkelas A atau B, sebagian besar (90 persen) dari kelas mutu A. Harga daun lidah segar kelas mutu A di tingkat petani atau pengumpul adalah Rp 1200/kg jika belum dibungkus dengan kertas koran dan menjadi Rp1300/kg jika telah dibungkus kertas koran (biaya pembungkusan dengan kertas koran Rp 100/kg daun lidah buaya segar). Harga produk di tingkat pengekspor tidak terjangkau oleh survei ini. Harga kelas mutu B adalah Rp 800 setelah dibungkus koran dan kelas mutu C Rp 500/kg. Secara pukul rata, harga daun lidah buaya segar berkisar dari Rp 800 hingga Rp 1500 per kilogram di tingkat petani atau pedagang pengumpul. Kualifikasi mutu daun lidah buaya tersebut dikemukakan dalam Bab IV. d. Peluang Usaha Persaingan pasar produk lidah buaya belum terasa menyulitkan para petani pada saat ini. Meskipun di sekitar lahannya juga tersebar lahan-lahan lidah buaya milik petani lainnya, para petani telah memiliki pembeli produknya atau pedagang pengumpul langganannya masing-masing. Persaingan pasar antarpedagang pengumpul juga tidak ada karena status mereka yang hanya merupakan "tangan-tangan" atau konsultan mutu pengekspor belaka. Peluang pasar lidah buaya dianggap besar dengan alasan sebagai berikut. 1. Masyarakat setempat mengkonsumsi produk minuman dari lidah buaya yang belakangan dianggap sebagai minuman khas Kalimantan Barat, yang dijual di kedai-kedai, toko-toko,dan pasar-pasar swalayan; 2. Lidah buaya segar (setelah dikupas kulitnya) dapat digunakan sebagai obat, bahkan kulitnya pun dapat digunakan sebagai substitusi teh; 3. Lidah buaya dapat diproses menjadi aneka produk berupa gel, konsentrat/ekstrak, atau bubuk yang selanjutnya menjadi bahan baku dalam industri farmasi, kosmetik, dan pupuk daun; 4. Hingga saat ini pedagang lidah buaya dianggap belum mampu memenuhi permintaan pasar luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Australia secara kontinu; 5. Pemerintah daerah menganggap lidah buaya sebagai produk unggulan daerah sehingga dapat memberikan jaminan bagi petani mengenai prioritas pengembangannya di masa depan.
e. Pemasaran Produk Seperti yang telah dikemukakan di atas, pemasaran daun lidah buaya segar mengikuti tiga mata rantai tata niaga yang tidak tegas benar tingkatan mata rantainya, khususnya antara pedagang pengumpul dengan pengekspor. Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa petani menjual produk tersebut (kelas mutu A dan B) kepada pedagang pengumpul yang kemudian menjualnya kembali kepada industri pengolahan rumah tangga (kelas mutu B) dan atau
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
10
kepada pengekspor (kelas mutu A). Di antara petani ada juga yang menjual daun lidah buaya kepada industri pengolahan rumah tangga setempat (khususnya kelas mutu B atau C). Peran pedagang pengumpul sangat besar dalam hal ini, lebih-lebih di antara mereka ada yang berprofesi juga sebagai PPL atau bahkan pembantu permodalan petani dalam bertani komoditi tersebut. Petani pada umumnya tidak mengalami kesulitan menjual produk tanaman ini, yakni masih di dalam kota kecamatan.
f. Kendala Pemasaran Dipandang dari kemudahan petani menjual produk daun lidah buaya yang dihasilkannya, yakni kepada pedagang pengumpul dan kepada industri pengolahan setempat, tidak ada kendala pemasaran yang langsung dirasakan oleh petani. Namun, dipandang dari peluang meningkatkan perolehan keuntungan, kemudahan menjual produk kepada para pedagang pengumpul itu pada kenyataannya telah mengurangi peluang petani dapat memasarkan sendiri produknya kepada industri pengolahan setempat atau di luar pulau dan langsung mengekspornya ke luar negeri. Meskipun demikian,
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
11
dengan rata-rata taraf pendidikan petani sebagaimana yang dikemukakan di dalam Bab II. Butir 1, petani diduga akan mengalami kesulitan jika hendak menjual produk daun lidah buaya ke luar pulau (antar pulau), lebih-lebih jika mengekspornya sendiri.
4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha Yang dimaksud dengan lokasi usaha di sini adalah persyaratan kesesuaian agro-klimat untuk tanaman lidah buaya. Tanaman lidah buaya tumbuh baik di wilayah bersuhu rata-rata 28 - 32 oC dengan kondisi tempat yang terbuka (tanpa naungan). Tanaman ini tergolong ke dalam tanaman yang tahan kekeringan, didukung oleh kemampuannya menyimpan air dalam daunnya yang tebal akibat stomatanya yang tertutup rapat untuk mengurangi penguapan di musim kering. Di wilayah yang bercurah hujan tinggi, tanaman ini rentan terhadap serangan cendawan Fusarium sp. di pangkal batangnya. Tanaman ini dapat tumbuh baik di dataran rendah dan di dataran tinggi asalkan tanahnya subur, gembur, dan kaya bahan organik, dengan pH ideal 5.5-6. Karena itu, tanaman lidah buaya dapat tumbuh memuaskan baik di tanah mineral maupun di tanah organik. Dengan sifat perakarannya yang dangkal, kesuburan yang cukup di lapisan olah sedalam 30 cm dipersyaratkan untuk pertumbuhan yang memuaskan dari tanaman ini. Tanah yang ringan (berpasir) perlu diperbaiki dengan pupuk organik, demikian pula jika tanah berat (liat) agar menjadi lebih sarang. Drainase yang jelek (penggenangan) tidak disenangi oleh lidah buaya. Di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak yang berjenis tanah gambut, keberhasilan pertumbuhan lidah buaya diduga akibat praktek budidayanya yang menambahkan pupuk kandang dan abu ke dalam tanah atau keberhasilan tanaman asal Afrika itu beradaptasi di tanah setempat. Perluasan areal tanaman ini ke luar wilayah Kota Pontianak sebagaimana yang direncanakan oleh Pemerintah Daerah tampaknya perlu kehati-hatian karena pernah dilaporkan bahwa pertumbuhan lidah buaya asal Pontianak di luar daerah tersebut menghasilkan pertumbuhan tanaman yang kurang memuaskan. Lebih jauh, pembukaan perkebunan secara besar-besaran (seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1) memerlukan dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan yang lebih akurat. Selain itu, perlu pula adanya jaminan pembukaan industri pengolahan lidah buaya di dalam negeri (lebih tepat lagi di Kota Pontianak) untuk meningkatkan nilai komoditi tersebut. Infrastruktur, khususnya jaringan jalan raya, di Kota Pontianak saat ini cukup baik untuk mendukung operasi produksi lidah buaya. Perluasan areal produksi ke wilayah dengan jenis tanah yang sama dengan tanah Kota
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
12
Pontianak akan memerlukan biaya investasi yang besar untuk pembuatan jalan. "Pengerasan" bagian lahan yang dilalui jaringan jalan tersebut diperlukan dengan mendatangkan tanah mineral dari luar.
b. Fasilitas Produksi dan Peralatan Usaha Di Kalimantan Barat khususnya Kota Pontianak, fasilitas produksi tanaman lidah buaya mencakup lahan usahatani dengan jalan produksi dan bangunan untuk penyimpanan hasil panen. Petani pada umumnya merupakan pemilik lahan produksi lidah buaya. Namun, tidak semua petani memiliki bangunan penyimpanan hasil karena di antara mereka ada yang langsung mengangkut dan menjual hasilnya ke pedagang pengumpul. Demikian pula, jalan produksi tidak selalu dibangun petani di kebunnya karena gerobak dorong atau kendaraan biasanya tidak diperlukan untuk masuk ke dalam kebun. Kebun juga pada umumnya tidak dikelilingi oleh pagar karena petani biasanya menanam tanaman lain (kebanyakan pepaya) di bidang kebun yang sama. Rumah jaga juga tidak selalu ada di dalam kebun. Petani yang memiliki bangunan penyimpanan hasil memanfaatkan bangunan tersebut untuk menyeleksi dan membersihkan daun lidah buaya serta menyimpannya sementara sebelum laku dijual. Bangunan penyimpanan hasil biasanya berupa dangau tanpa dinding yang beratapkan daun rumbia. Kapasitasnya bervariasi antar kebun, umumnya tidak lebih dari 3 ton. Di bangunan tersebut disediakan rak-rak bertingkat tempat menyimpan daun lidah buaya segar yang telah dibungkus dengan kertas koran. Peralatan usahatani yang standar mencakup peralatan berkebun (cangkul atau tajak, parang, penggali tunggul, kapak, batu asah, sprayer, ember plastik, dan gembor) dan peralatan panen dan pascapanen (pisau pemanen, timbangan, keranjang rotan, dan atau peti kayu). Peralatan berkebun tersebut biasanya dimiliki oleh petani, sedangkan peralatan panen dan pasca panen yang berupa timbangan, keranjang rotan, dan atau peti kayu biasanya merupakan milik pedagang pengumpul langganannya. Jumlah peralatan standar tersebut masing-masing tercatat dalam Aspek Keuangan. c. Bahan Baku Bahan baku produksi adalah sarana produksi tanaman yang biasa digunakan oleh petani produsen lidah buaya di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak. Sarana produksi usahatani lidah buaya mencakup bibit, pupuk, pestisida, kertas koran untuk pembungkus. Bibit berasal dari kebun sendiri atau dibeli dari penangkar bibit. Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk organik (berupa abu serbuk gergaji dan pupuk kandang) dan pupuk inorganik (urea, KCl, dan/atau pupuk daun). Pestisida yang lazim dipakai adalah herbisida untuk pengendalian gulma.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
13
Pada umumnya petani tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh sarana produksi tanaman. Di antara petani ada yang berusahatani sebagai penangkar bibit, bahkan pengusaha ini tidak saja dapat memenuhi keperluan bibit petani setempat, melainkan juga menjualnya ke luar pulau. Pupuk dan pestisida biasanya tersedia di kios usahatani, di antaranya (pupuk daun) bahkan ada yang didatangkan dari luar negeri. d. Tenaga Kerja Dipandang dari sumber tenaga kerja yang digunakan di dalam kegiatan usahatani, petani produsen lidah buaya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yakni (1) yang sepenuhnya hanya menggunakan tenaga kerja keluarga dan (2) yang menggunakan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja keluarga biasanya melibatkan kedua orang tua dan anak-anaknya yang telah dewasa. Tenaga kerja luar keluarga merupakan tenaga kerja upahan harian atau tenaga kerja upahan borongan, tergantung pada jenis kegiatannya. Tenaga kerja upahan harian biasa digunakan dalam kegiatan penanaman bibit, pemeliharaan tanaman, panen, dan pascapanen, sedangkan tenaga kerja upahan borongan biasanya untuk kegiatan-kegiatan sebelumnya yakni pembukaan lahan, pembakaran dan pembersihan biomas di lapang produksi, pembuatan parit keliling, dan pencangkulan untuk penyiapan bedengan tanam. Jenis kegiatan usahatani juga menentukan jenis kelamin tenaga kerja yang digunakan di lapangan. Kecuali kegiatan mencabuti rumput, kegiatan budidaya tanaman sejak pra-panen hingga pascapanen biasanya dilaksanakan oleh tenaga kerja pria. Namun, dalam hal digunakannya herbisida untuk mengendalikan gulma, tenaga kerja pria digunakan pula. Tenaga panen wanita kadang-kadang digunakan juga dalam kegiatan penyeleksian hasil panen dan pembungkusannya dengan kertas koran. Tenaga kerja borongan biasanya pria. Upah tenaga kerja pria (dewasa) adalah Rp 15.000 - Rp 20.000 per hari per orang, sedangkan upah tenaga kerja wanita (dewasa) adalah Rp 10.000 per hari per orang. Jam kerja mereka pada umumnya adalah sejak pukul 07.30 hingga 10.30, diselingi istirahat, kemudian dilanjutkan bekerja lagi sejak pukul 13.00 hingga 16.30. Jam kerja borongan tergantung pada kehendak pelakunya. Upah borongan bernilai Rp 600.000 untuk kegiatan penebasan semak ketika membuka lahan; Rp 1.500.000 untuk kegiatan pembongkaran akar-akar semak dan tunggulnya serta pembakaran biomas; Rp 2.000.000 untuk kegiatan pencangkulan lahan hingga pembuatan bedengan. Tidak ada persyaratan yang khusus mengenai kualifikasi tenaga kerja upahan yang dipekerjakan di dalam budidaya tanaman lidah buaya. Keterampilan tenaga kerja yang digunakan petani selama ini tidak bermasalah dan tenaga kerja tersebut mudah didapat dari penduduk setempat, bahkan kadang-kadang tanpa harus mengeluarkan uang jika
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
14
sesama petani saling membantu. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk setiap kegiatan budidaya dikemukakan dalam Bab V, sub-bab 5.1. e. Teknologi Produksi Teknologi produksi lidah buaya pada umumnya didapatkan petani secara turun-temurun dari orang tuanya, belajar sendiri dari sesama petani, dan/atau dari penyuluh pertanian setempat. Di antara petani ada juga yang pernah mendapat didikan keterampilan bertani lidah buaya dari orang asing (orang Korea) yang semula berminat melaksanakan agribisnis/agroindustri komoditi ini di Kota Pontianak. Meskipun demikian, teknologi produksi lidah buaya di kalangan petani Kota Pontianak tidak tergolong sebagai teknologi canggih, bahkan lebih tepat jika disebut sebagai teknologi tradisional atau konvensional. Di bawah ini dikemukakan proses produksi yang dilaksanakan berdasarkan teknologi produksi yang biasa dilaksanakan petani lidah buaya tersebut.
f. Proses Produksi Grafik 4.1 memperlihatkan alir proses produksi daun segar lidah buaya di Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak yang berlahan gambut, sejak pembukaan lahan tersebut hingga peremajaan kebun diperlukan satu daur produksi yang menjadi dasar analisa lending model dalam Bab V.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
15
Penyediaan Bibit Spesies tanaman lidah buaya di Kalimantan Barat adalah Aloe vera (L.) Webb. Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, pengadaan bibitnya diperoleh hanya dengan memisahkan dan mengumpulkan anakannya yang tumbuh (5-8 batang) di sekeliling tanaman induknya, berukuran kira-kira sebesar ibu jari. Anakan tersebut kemudian didederkan terlebih dahulu di pesemaian beratap hingga didapatkan bibit yang selanjutnya diseleksi ukurannya untuk mendapatkan yang berukuran seragam dan memenuhi syarat (3-4 minggu di pesemaian, tinggi bibit 10-20 cm). Pupuk kandang atau kompos biasanya digunakan untuk menyiapkan bedengan pesemaian yang subur. Pemeliharaan semaian dilakukan dengan seksama, di antaranya dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama-penyakit, dan gulmanya apabila diperlukan. Petani dapat pula menyiapkan kebun lidah buaya yang khusus untuk sumber anakan. Polibag pun bisa digunakan untuk menggantikan bedengan pesemaian. Bibit lidah buaya dapat pula diperoleh dengan menggunakan stek batang. Namun, karena batang tanaman ini pendek, tidak banyak bibit yang dapat dihasilkan dari stek tersebut. Bibit dapat pula diperoleh dari anakan yang tumbuh di sekitar tanaman hasil peremajaan, yakni yang dipotong batangnya setinggi permukaan tanah. Pembukaan Lahan Pembukaan lahan dimulai dengan memotong semak-semak (dan pohonpohon jika ada), menggali perakarannya, dilanjutkan dengan membakar seluruh biomas tersebut (di masa depan disarankan agar petani tidak melakukan pembakaran biomas, melainkan mengomposkannya). Jalan kebun selanjutnya dibuat dengan posisi dan ukuran yang disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya terletak di tengah-tengah kebun selebar 2 m agar gerobak dorong dapat dengan leluasa bergerak mencapai kebun dari jalan utama. Di antara kebun petani, ada juga yang tidak memiliki jalan kebun secara khusus, lebih-lebih jika luasannya sempit. Pembersihan Lahan Lahan dibersihkan dari sisa-sisa biomas pasca pembakaran dan bebatuan yang ada. Sisa-sisa biomas dan bebatuan tersebut disingkirkan dari lahan produksi agar tidak menjadi sumber infeksi jasad pengganggu tanaman atau menjadi gangguan dalam penyiapan lahan selanjutnya. Pembuatan ParitKeliling Parit selebar 60 - 75 cm dan sedalam 100 cm dibuat di sekeliling lahan, berfungsi sebagai batas kebun lidah buaya dan sebagai saluran drainase. Kondisi parit dipertahankan agar dapat memenuhi fungsinya dengan cara diperbaiki bilamana mengalami kerusakan atau pendangkalan.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
16
Pencangkulan untuk Penyiapan Bidang Tanam Tanah dicangkul hingga gembur sebelum dibuat bedengan tanam atau langsung ditanami dengan lidah buaya. Jika bedengan dibuat, ukurannya disesuaikan dengan jarak tanam lidah buaya, misalnya berukuran lebar 120 cm dan tinggi 30 cm, dengan panjang yang tergantung pada kondisi lahan (sesuai dengan panjang lahan). Setelah pencangkulan selesai, abu bakaran hasil pembukaan lahan atau yang didatangkan dari luar kebun ditabur merata (1.5 - 2.0 kg/m2) di permukaan bedengan. Di lahan gambut seperti di Kota Pontianak ini, petani umumnya tidak membuat bedengan tanam. Bedengan tanam akan terbentuk dengan sendirinya bilamana petani membumbun tanamannya atau meninggikan tanah tempat tumbuh tanaman tersebut bilamana batangnya semakin tinggi. Penanaman Bibit Setelah tanah dicangkul dan diratakan, lubang-lubang tanam sedalam bilah cangkul (20 cm) dipersiapkan dengan jarak tanam tertentu (misalnya jarak antar barisan 1 - 1.5 m dan jarak dalam barisan 0.8 - 1.0 m). Demikian pula, lubang-lubang untuk penyimpanan pupuk dibuat di samping lubang tanam. Kemudian, bibit dipilih yang paling seragam pertumbuhannya, diambil (berikut tanahnya) dengan hati-hati dari bedengan persemaian atau dilepaskan berikut tanahnya dari polibag pesemaian, kemudian diletakkan di dalam lubang tanam yang telah dipersiapkan, dikubur, dan dipadatkan tanahnya. Dinas Pertanian Tanaman Pangan (kini Dinas Urusan Pangan, 2001) mencatat dosis pupuk dasar yang biasa digunakan petani berupa 100 kg urea/ha, 100 kg TSP (setara 200 kg SP-36/ha), dan 50 kg KCl/ha. Namun, PPL yang merangkap sebagai pedagang pengumpul dan konsultan pengekspor lidah buaya menyarankan pemupukan dasar sebelum tanam dengan abu sebanyak 13 ton/ha, urea 900 kg/ha, dan pupuk kandang 12 t/ha untuk populasi tanaman sebanyak 8.300 batang/ha (jarak tanam 80 cm x 120 cm). Di lapangan ketika survei dilakukan, di antara petani ada juga yang hanya menggunakan pupuk berupa abu sebanyak 3.000 kg/ha dan urea 150 kg/ha untuk populasi tanaman sebanyak 10.000 batang (jarak tanam 100 cm x 100 cm). Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman mencakup kegiatan penyulaman, penyiraman, pemupukan, pengendalian hama-penyakit, pengendalian gulma, pembuangan daun-daun yang busuk, penyobekan, dan pembumbunan tanaman. Penyulaman tanaman dilakukan menggunakan bibit yang seumur, yang ditinggalkan di pesemaian untuk tujuan ini. Penyulaman dilakukan sesegera
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
17
mungkin jika ada tanaman yang mati, biasanya 1 - 3 minggu setelah tanam agar tidak ada tanaman sulaman yang tertinggal pertumbuhannya. Kelembaban tanah dipertahankan dengan penyiraman jika dianggap perlu (tidak turun hujan). Pemupukan ulang dilakukan berbeda-beda antar petani, padahal Dinas Urusan Pangan (kini Dinas Urusan Pangan, 1998 dan 2001) merekomendasikan penerapan pemupukan berdasarkan pengalaman petani yakni dengan 1.5 - 2 kg abu yang disebar merata, hancuran kepala udang (25 - 30 g/pohon) dan pupuk urea (5-10 g/pohon) yang dikubur di lubanglubang yang telah dipersiapkan, atau khusus untuk ureanya dapat pula dilarutkan dahulu dalam air sebelum disiramkan ke daerah perakaran tanaman (jadi, dalam kasus demikian, tidak perlu dibuat lubang untuk pemupukan). Untuk kasus petani tersebut di butir 4.5.6, pemupukan ulang dilakukan selang sebulan setelah tanam dengan jenis dan dosis yang sama seperti yang diberikan pada saat tanam. Petani lainnya ada yang menggunakan KCl selain urea dan abu, selain itu, ada juga petani yang hanya menggunakan pupuk daun secara berkala. PPL menyarankan pemupukan ulang dengan selang 3 minggu setelah tanam dengan jenis dan dosis yang sama seperti yang direkomendasikannya pada saat tanam. Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai keperluan. Hama yang biasa menyerang lidah buaya di kebun petani adalah ulat daun atau bekicot. Ulat dikendalikan secara kimiawi, sedangkan bekicot dikumpulkan secara manual untuk dibunuh. Penyakit yang umum adalah busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Pengendaliannya menggunakan fungisida seperti Dithane M-45 dan Benlate dengan konsentrasi 2 g/liter. Pada umumnya petani menganggap serangan hama-penyakit tidak berpengaruh banyak pada penurunan hasil daun. Gulma dikendalikan dengan herbisida yang sesuai atau dicabut oleh petani secara manual sepanjang umur tanaman. Gulma yang dominan di lahan petani antara lain adalah alang-alang, teki, sikejut, krokot, dan wedusan. Pertumbuhan gulma relatif cepat karena curah hujan di Kota Pontianak cukup tinggi (di atas 2.000 mm/tahun). Pengendalian gulma secara manual dilaksanakan petani praktis setiap hari jika dirasakan ada waktu terluang. Pembuangan daun-daun yang busuk atau bakal afkir mutunya dilakukan setidaknya bersamaan waktunya dengan pemanenan untuk menjaga kesehatan tanaman. Daun-daun busuk dan/atau afkir dapat mencapai 0.5 persen dari hasil panen (830 kg - 1.000 kg daun segar/bulan/ha). Daun busuk total dibuang ke luar kebun, sedangkan daun afkir (tergolong kelas mutu C) masih dapat dijual sebagai bahan baku industri olahan rumah tangga. Penyobekan adalah kegiatan pemisahan anakan yang tumbuh di sekitar tanaman sejak tanaman berumur 5 - 6 bulan agar pertumbuhan tanaman induknya tidak terganggu (kerdil). Penyobekan dilakukan secara hati-hati
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
18
dengan pisau tajam akar tidak merusak perakaran tanaman induknya. Hasil sobekan dapat dimanfaatkan untuk sumber bibit, didederkan di pesemaian. Pembumbunan tanaman dilakukan untuk mengubur batang yang telah tinggi sehingga tanaman tidak menjadi rebah terberati oleh daunnya. Pembumbunan dilakukan dengan memindahkan tanah dari bidang tanah di luar barisan tanaman sedemikian rupa sehingga bedengan tanam akan terbentuk secara teratur. Bidang tanah antar bedengan selanjutnya berfungsi sebagai saluran drainase yang terhubungkan ke saluran keliling kebun sehingga kelebihan air pun dapat dikeluarkan dari kebun. Panen Panen pertama daun lidah buaya dapat dilakukan pada tanaman berumur 8 12 bulan tergantung pada keadaan penampakan daunnya, apakah telah memenuhi persyaratan atau belum. Penampakan daun tersebut dipengaruhi oleh kesuburan tanah: daun berukuran besar jika tanahnya subur, tetapi kecil jika kesuburan tanah kurang. Daun yang dipanen adalah 1 - 2 helai yang paling tua, terdapat paling bawah di pohonnya. Kualifikasi mutu daun yang dapat dipanen ini telah mencapai bobot minimal 0.4 kg (memenuhi kelas mutu B). Dalam pemanenan daun lidah buaya, cara panen dan kebersihan daun terpanen harus mendapat perhatian. Pisau yang tajam dipakai untuk menyayat pangkal daun, selanjutnya daun tersebut diputar sambil dipisahkan dari tanaman induknya. Getah berwarna kuning kecoklatan dibiarkan mengucur dari bekas sayatan, dijaga agar tidak mengenai helaian daunnya dengan cara menyimpan daun tersebut miring. Pelukaan daun karena ketidakhati-hatian saat panen agar dihindari karena hal itu dapat menurunkan kelas mutunya. Di tahun pertama daun yang dapat dipanen umumnya berbobot segar minimal 0.5 - 0.6 kg/tanaman. Panen berikutnya di tahun kedua dapat dilakukan selang 10 atau 15 hari dan menghasilkan 0.8 - 1.0 kg daun segar/tanaman; di tahun ketiga dapat dihasilkan 1.2 - 1.4 kg daun segar/tanaman; di tahun keempat dapat dihasilkan 1.0 - 1.2 kg daun segar/tanaman; di tahun kelima dapat dihasilkan 0.8 - 1.0 kg daun segar/tanaman. Berdasarkan populasi sebanyak 7 500 tanaman/ha, produktivitas rata-rata tanaman menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan (kini Dinas Urusan Pangan, 2001) sejak tahun pertama hingga tahun kelima masing-masing adalah 9.200 kg/ha/tahun di tahun pertama, 10.200 kg/ha/tahun di tahun kedua, 18.360 kg/ha/tahun di tahun ketiga, 12.100 kg/ha/tahun di tahun keempat, dan 8.500 kg/ha/tahun di tahun kelima. Pascapanen Daun hasil panen dilap dengan kain bersih setelah dipanen, kemudian dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam keranjang rotan
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
19
(jika ada). Keranjang rotan yang berisi daun terpanen itu selanjutnya ditempatkan di bangunan kebun atau langsung dikirimkan ke pedagang pengumpul. Sambil menunggu penjualan atau pengiriman kepada pengekspornya, daun biasanya dipertahankan di bangunan simpan selama 13 hari. Dalam penanganan pascapanen harus diperhatikan agar daun tidak luka atau patah karena kelas mutunya menjadi turun. Hal ini terutama dapat terjadi ketika daun ditumpuk di dalam keranjang, ketika sedang diseleksi dan dipilah berdasarkan kelas mutunya, ketika ditimbang dan disusun di atas rak pasca seleksi, atau ketika disusun/dimasukkan ke dalam kemasan peti kayu untuk dikirim kepada pengekspor. Peremajaan atau Penanaman Kembali Kebun Peremajaan kebun biasanya dilakukan pada umur tanaman lima tahun, pada waktu tanaman terlihat tinggi batangnya, kadang-kadang mulai rebah. Cara peremajaan kebun adalah dengan memotong batang tersebut, kemudian menancapkannya kembali ke dalam tanah. Pasca peremajaan daun dapat diteruskan pemanenannya setelah tanaman mengalami penyembuhan. Penggantian kebun dengan penanaman baru dilakukan jika kondisi tanaman dianggap tidak ekonomis lagi. Penanaman baru dapat dilakukan di lahan yang sama mengikuti urutan kegiatan sebagaimana yang dikemukakan di atas. g. Jenis dan Mutu Terdapat perbedaan persepsi petani dalam penggolongan kelas mutu tanaman ini, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab III, butir 3.3. Kualifikasi daun berkelas mutu A mulus, tanpa cacat atau serangan hamapenyakit daun, dan berbobot minimal 0.8 kg/helai; daun berkelas mutu B tampak mulus dengan bobot 0.4 - 06 kg/helai atau daun cacat atau sedikit terserang hama-penyakit dengan bobot di atas 0.8 kg/helai; daun berkelas mutu C berkualifikasi di bawah kelas mutu B asalkan tidak terserang hamapenyakit sebagian besar helaiannya. Kualifikasi kelas mutu ini sesuai dengan permintaan dari pembeli daun lidah buaya, termasuk yang akan mengekspornya ke luar negeri. Proporsi antar kelas mutu diperkirakan 90 persen mutu A, 7.5 persen mutu B, dan 2.5 persen mutu C.
h. Produksi Optimum Hasil-hasil survei di lapangan memandu kita untuk mempertimbangkan luas lahan 1 ha sebagai skala usaha yang akan menghasilkan produksi lidah buaya optimum dan aman untuk dibiayai oleh bank. Kesimpulan demikian didasarkan pada berbagai kenyataan sebagai berikut.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
20
1. Unit produksi lidah buaya yang diusahakan petani di lahan sendiri saat ini pada umumnya tidak luas yakni 1 ha dan tidak banyak petani yang mengusahakan tanaman ini melebihi luasan 5 ha. 2. Petani yang kini memperoleh kredit dari bank (bahkan dengan inisiatif sendiri) untuk penanaman lidah buaya hanya 2 orang dan luas penanamannya pun masing-masing hanya 1 ha. 3. Di antara sejumlah bank yang beroperasi di Propinsi Kalimantan Barat, hanya sebuah bank umum yang memberikan kredit untuk usahatani lidah buaya dengan luasan tersebut. 4. Penyusunan lending model ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan bagi usaha kecil mendapatkan kredit dari bank. 5. Taraf pendidikan dan keterampilan petani dalam budidaya lidah buaya dan kemampuan manajerialnya kurang memberikan jaminan bagi keberhasilan pengelolaan usahatani komoditi tersebut dengan skala yang luas. 6. Usahatani tanaman lidah buaya bersifat padat modal sehingga jika diusahakan dalam skala luas (> 1 ha) akan memerlukan dana pinjaman dari bank dengan nilai nominal yang besar, padahal, kualifikasi petaninya sebagaimana yang dikemukakan dalam butir(5). 7. Pengamat ekonomi lidah buaya setempat pun meragukan jaminan keamanan pasar daun segar lidah buaya dari penanaman yang luas sepanjang subsistem agroindustrinya di dalam negeri, khususnya di Kota Pontianak, tidak mendapat perhatian. i. Kendala Produksi Terdapat dua kendala utama yang dapat menggangu produksi daun lidah buaya, yakni sebagai berikut. 1. Adaptabilitas tanaman Hingga saat ini, tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak merupakan varietas terunggul di Indonesia, bahkan diakui pula keunggulannya di dunia. Kendala produksi dapat terjadi jika tanaman tersebut ditanam di luar wilayah adaptasinya. Dilaporkan bahwa upaya penyebarluasan tanaman lidah buaya asal Pontianak ke daerah lain hingga saat ini belum menghasilkan produk daun lidah buaya dengan mutu yang setara dengan yang dicapai di Pontianak. Sebaliknya, kendala juga akan terjadi jika varietas yang ditanam bukan yang berasal dari Pontianak, meskipun penanaman dilakukan di Pontianak dengan kualifikasi agroklimatnya sebagaimana yang telah dibahas dalam sub-bab 4.1. 2. Aspek agronomik Aspek-aspek agronomik (pemeliharaan tanaman dan frekuensi, cara, dan penanganan hasil panen) harus mendapat perhatian untuk menghadirkan keunggulan varietas asal Pontianak tersebut. Jika tidak,
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
21
budidaya tanaman lidah buaya dapat menghadapi kendala berupa kuantitas dan kualitas produk yang tidak terjamin.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
22
5. Aspek Keuangan a. Struktur Biaya Asumsi Teknik Budidaya Untuk penyusunan analisa keuangan budidaya lidah buaya diperlukan adanya beberapa asumsi mengenai teknik budidaya yang digunakan. Asumsi teknik budidaya tersebut disajikan dalam Tabel 5.1 dan dianggap sebagai asumsi yang moderat untuk mencapai produksi optimum (Aspek Produksi). Biaya Investasi Biaya investasi budidaya lidah buaya disajikan dalam Tabel 5.2. Biaya tersebut mencapai Rp 16.265.000, terdiri dari Rp 10.572.250 yang perlu dipinjami oleh Bank dan Rp 5.692.750 yang diharapkan dapat dibiayai sendiri oleh petani. Di antara komponen biaya investasi, biaya sewa lahan merupakan biaya yang diperhitungkan karena pada kenyataannya petani merupakan pemilik lahan. Biaya Modal Kerja Biaya modal kerja terdiri dari biaya yang dikeluarkan sebelum tanaman menghasilkan dan yang dikeluarkan setelah tanaman menghasilkan. Untuk perhitungan biaya ini, tanaman dianggap baru menghasilkan di bulan ke-11. Selanjutnya umur tanaman menghasilkan diperhitungkan sampai dengan tahun ke-5. Peremajaan dilakukan pada tahun ke-6 karena pada umur tersebut tanah untuk pembumbunan dianggap terlalu tinggi untuk dipindahkan dari bidang tanam antar bedengan dan ini berarti akan meningkatkan biaya. Selain itu, pada umur tanaman 6 tahun, jika pembumbunan kurang memadai, tanaman akan rebah dan hal ini dapat merusak daun karena menyentuh tanah. Tabel 5.3 menyajikan rekapitulasi komponen biaya modal kerja untuk tahun 0 - 5. Pada tahun 0, misalnya, besar biaya modal kerja adalah Rp 62.513.000, terdiri dari Rp 13.940.000 untuk upah tenaga kerja dan Rp 48.573.000 untuk pembelian bahan-bahan atau sarana produksi. Biaya modal kerja tanaman belum menghasilkan dan modal kerja pemeliharaan tanaman menghasilkan selengkapnya selama 5 tahun disajikan dalam Tabel Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6. Setiap keluarga tani dianggap terdiri dari 1 orang pria dewasa dan 1 orang wanita dewasa yang terlibat aktif dalam usahatani. Keduanya dianggap bekerja di kebun selama 6 hari/minggu (= 312 hari/tahun) sehingga setara dengan menyumbangkan 312 hkp (= Rp 6.240.000) + 312 hkw (= Rp
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
23
3.120.000) per tahun = Rp 9.360.000 per tahun. Namun dalam analisa keuangan ini mereka diperhitungkan sebagai tenaga bayaran. b. Pendapatan Pendapatan yang akan diperoleh dari penjualan daun lidah buaya disajikan dalam Tabel 5.4. Pendapatan tersebut diperoleh sejak tanaman berumur 11 bulan (Tahun I).
c. Analisa Kelayakan Tabel 5.5 menyajikan analisa cash flow budidaya lidah buaya dengan suku bunga 18% dan pajak sebesar 15 persen. Analisa kelayakannya disajikan dalam Tabel 5.6 menghasilkan Net B/C sebesar 2,95 dengan NPV (DF 18%) sebesar Rp 153.802.740 dan IRR = 76%. Jadi, budidaya lidah buaya ini layak secara finansial karena diduga akan menguntungkan petani. BEP dicapai pada nilai uang Rp 6.259.474, setara dengan produk daun segar lidah buaya sebanyak 4.815 kg. Pay back period-nya selama satu tahun atau 12 bulan, yang berarti mulai Tahun I hutang ke bank telah mampu dibayarkan.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
24
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi Pengaruh Usaha terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan perhitungan biaya investasi modal kerja yang tertera dalam Tabel Lampiran 1 sampai dengan Tabel Lampiran 5 dapat diketahui besarnya tenaga kerja yang dapat diserap oleh kegiatan budidaya lidah buaya. Besar tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga tani tergantung dari besarnya tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam kegiatan usahatani. Tabel 6.1 memperlihatkan penggunaan tenaga dari kedua sumber ini dengan empat alternatif asumsi pelibatan tenaga kerja keluarga: (1) 1 orang pria dan 1 orang wanita dewasa bekerja di kebun; (2) 1 orang pria dan 2 orang wanita; (3) 2 orang pria dan 1 orang wanita keluarga tani bekerja di kebun; (4) 2 orang pria dan 2 orang wanita keluarga tani bekerja di kebun. Diasumsikan pula bahwa hari kerja petani adalah 6 hari/minggu, jadi 6x52 hari = 312 hari/tahun. Ternyata bahwa tenaga kerja luar keluarga hanya memerlukan pria, sedangkan tenaga kerja wanitanya telah dipenuhi (bahkan yang tersedia berlebih) oleh tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja pria upahan dapat diserap sebanyak 67-369 HKP/tahun pada Tahun I (terendah) hingga 419 - 721 HKP/tahun pada tahun ke-5 (tertinggi). Pengaruh Usaha terhadap Pemerataan Pendapatan Masyarakat Budidaya tanaman lidah buaya bukan saja mendatangkan pendapatan yang besar bagi petaninya, tetapi juga kepada anggota masyarakat yang terlibat. Hasil analisa rugi-laba usahatani ini disajikan dalam Tabel 6.2. Pada tahun ke-1 tanaman menghasilkan (TBM 1) usahatani mampu memberikan pendapatan bersih tanpa pajak kepada petaninya sebanyak rata-rata Rp 34.324.974/tahun (=Rp 2.860.415/bulan) atau Rp 30.224.449/tahun (= Rp 2.518.704/bulan) setelah dipotong pajak, suatu pendapatan yang jauh di atas Upah Minimum Regional sebesar Rp 180 000/bulan untuk Kalimantan Barat (Kota Pontianak). Berdasarkan Tabel 6.1, usahatani ini per hektarnya membuka lapangan kerja sebanyak 67-369 HKP (= Rp 1 340 000 hingga Rp 7 380 000) per tahun pada tahun ke-1 (terendah) dan 419 - 721 HKP (= Rp 8 380 000 hingga Rp 14 420 000) per tahun pada tahun ke-4 (tertinggi) atau secara kasar dapat membuka lapang kerja 1-2 orang tenaga luar keluarga (buruh tani). Jika rencana pengembangan lidah buaya dilaksanakan, berdasarkan data arahan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Barat (Tabel 1.1, Bab I) dapat ditampung tidak kurang dari 4450 - 9900 orang buruh tani, selain dari keluarga petaninya sejumlah yang kurang lebih sama.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
25
Pengaruh Usaha terhadap Pendapatan Negara Peningkatan pendapatan masyarakat akibat membudidayakan lidah buaya memberikan dampak berupa tabungan dan konsumsi masyarakat yang meningkat pula. Kedua hal ini akan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah dan pusat jika sistem pajak dapat diterapkan secara efektif. Pada saat ini, petani lidah buaya merasa tidak pernah ditarik pajak penjualan atas produk usahataninya, kecuali pajak bumi dan bangunan yang nilainya Rp 120 000 - Rp 130 000 per hektar. Pendapatan negara berupa devisa seharusnya dapat diperoleh juga karena produk tersebut memang diekspor. Diduga pengurangan devisa akibat impor sarana produksi pertanian untuk budidaya lidah buaya bernilai jauh lebih kecil daripada perolehan devisa hasil ekspor produk tanaman ini. Hal ini disebabkan karena budidaya tanaman tersebut dapat dilaksanakan dengan teknologi konvensional, bahkan para petani melaksanakannya secara tradisional. Mengenai data ekspor, ketika studi ini dilakukan, volume dan nilai ekspor daun lidah buaya tidak terdokumentasi oleh instansi terkait. Pengaruh Usaha terhadap Sektor Usaha Lain Budidaya lidah buaya memerlukan sarana produksi, berarti membuka pasar bagi industri manufaktur di tingkat hulu. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa usahatani ini memerlukan biaya untuk pembelian peralatan pertanian senilai Rp 6.265.000 per hektar, sedangkan Tabel 5.3 menunjukkan belanja bahanbahan habis senilai Rp 48.573.000 pada masa pemeliharaan tanaman belum menghasilkan dan masing-masing di atas Rp 53.000.000/hektar pada tahun ke-1 hingga ke-5 saat masa pemeliharaan tanaman menghasilkan. Di tingkat hilir, produk budidaya tanaman ini menimbulkan tumbuhnya industri rumah tangga di kota setempat yang menghasilkan, terutama, produk minuman dari lidah buaya. Hasil industri rumah tangga ini dijual misalnya di kedai minuman, restoran, dan pasar swalayan. Diperoleh informasi pula bahwa produk lidah buaya dari Kalimantan Barat yang dijual ke luar pulau diproses menjadi bahan baku kosmetik dan farmasi, selain untuk bahan campuran minuman ringan. b. Dampak Lingkungan
Pengaruh Usaha terhadap Kualitas Lingkungan Budidaya lidah buaya tidak menimbulkan pencemaran bagi lingkungannya karenanya tidak ada keluhan dari masyarakat setempat. Hampir tidak ada limbah yang dihasilkan oleh kebun, meskipun di antara petani ada yang mengonggokkan daun-daun afkir di dalam kebun. Hal ini terjadi karena biomas tersebut diduga hanya 0.5 persen dari total hasil daun segar (478 kg/ha/tahun pada tahun ke-1 (terendah) hingga 796.80 kg/ha/tahun pada tahun ke-4 (tertinggi)). Di antara petani bahkan ada yang memproduksi lidah
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
26
buaya tanpa pestisida karena dipersyaratkan oleh pedagang pengumpul hasilnya, yang akan mengekspornya ke Hongkong. Pengaruh Usaha terhadap Kesehatan Masyarakat Kecilnya proporsi limbah dan teknologi tradisional yang digunakan oleh sebagian besar petani lidah buaya menyebabkan usahatani ini pun tidak menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia. Sebaliknya, produk lidah buaya semakin popular karena khasiat yang dikandungnya untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, dan khasiat tersebut diakui secara medis di tataran internasional. Tidak kurang dari 39 jenis penyakit, luka, dan aspek kecantikan manusia yang dikabarkan memerlukan lidah buaya sebagai ramuannya. Pengaruh Usaha terhadap Keamanan dan Kesejahteraan Masyarakat Tidak ada pengaruh negatif secara moral dari kegiatan usahatani lidah buaya terhadap kehidupan masyarakat setempat. Dari aspek kesejahteraan, petani pengusaha tanaman ini merasakan peningkatan kesejahteraannya. Mereka bisa membiayai keluarga dan menyekolahkan anaknya dari penghasilan bertani komoditi ini. Analisa finansial dan neraca rugi laba yang dikemukakan terdahulu memperkuat kebenaran kondisi demikian. Menurut pemerintahan desa setempat usahatani lidah buaya memang tidak secara langsung dirasakan manfaatnya dari sumbangannya kepada perbaikan infrastruktur setempat. Namun, pengembangan usahatani ini pada masa yang akan datang sangat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah setempat. Lidah buaya merupakan salah satu komoditi pertanian unggulan bagi Propinsi Kalimantan Barat, khususnya bagi Kota Pontianak.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
27
7. Penutup a. Kesimpulan Tanaman Lidah buaya merupakan tanaman unggulan yang prospektif untuk dikembangkan di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak. Tanaman ini sesuai dengan kondisi lahan setempat, memiliki pasar yang baik di dalam dan luar negeri, tidak bermasalah dalam teknologi budidayanya, layak secara finansial, menguntungkan secara ekonomi dan sosial, serta tidak berdampak negatif bagi keamanan lingkungan hidup. Analisa kelayakan finansial berdasarkan luasan satu hektar menghasilkan Net B/C sebesar 2,95 IRR sebesar 76 persen dengan NPV (DF 18%) sebesar Rp 153.802.740, BEP dicapai pada nilai uang Rp 6.259.475, setara dengan produk daun segar lidah buaya sebanyak 4.815 kg. Dengan suku bunga 18 persen per tahun, pay back period-nya memerlukan waktu 1 tahun atau 12 bulan masa produksi. Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam budidaya tanaman lidah buaya adalah sebagai berikut: (1) penggunaan varietas unggul dan penanamannya di lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya; (2) pemenuhan aspek-aspek agronomik seperti pemeliharaan tanaman dan penetapan waktu dan cara panen daun lidah buaya serta penanganan pascapanennya; (3) penetapan waktu peremajaan pertanaman lidah buaya atau penggantiannya dengan petanaman yang baru jika tidak produktif lagi. Perhatian petani yang kurang atas hal-hal tersebut dapat menjadi kendala bagi produktivitas dan mutu hasil daun lidah buaya. Bagi pihak bank, kendala-kendala tersebut dapat menyebabkan macetnya kredit yang diberikan kepada petani. b. Saran Dengan berbagai hal positif di seluruh aspek yang dipelajari, khususnya hasil analisis kelayakan usahataninya, petani lidah buaya sebaiknya memperoleh dukungan kredit dari bank. Penyuluhan perlu dilakukan untuk perbaikan teknik budidaya lidah buaya di kalangan petani dan membuka wawasan mereka terhadap masalah perbankan karena lembaga ini tergolong masih asing bagi sebagian kalangan mereka. Dengan akan dibangunnya Pusat Pengkajian/Pengembangan Aloevera di Kota Pontianak, dan adanya keinginan dari institusi terkait untuk mengembangkan lidah buaya secara sistemik dan terpadu, disarankan pula agar industri hilir (agroindustri) lidah buaya yang dibangun dapat "menarik" produk budidaya lidah buaya oleh para petaninya. Dalam hubungan ini, dukungan bank bagi pembiayaan agroindustri lidah buaya disarankan pula. Selain itu, lembaga
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
28
penelitian dan perguruan tinggi pertanian hendaknya turut aktif memperkuat aspek penelitian dan pengembangan dari komoditi ini.
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
29
LAMPIRAN
Bank Indonesia – Budidaya Lidah Buaya
30