PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF
INNA FEBRIANTIE
Skripsi
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : ” Perubahan Total Suspended Solid (TSS) Pada Umur Budidaya yang Berbeda dalam Sistem Perairan Tambak Udang Intensif ” Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Maret 2009
Inna Febriantie C24104082
INNA FEBRIANTIE. Perubahan Total Suspended Solid (TSS) Pada Umur Budidaya yang Berbeda dalam Sistem Perairan Tambak Udang Intensif. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO dan YUSLI WARDIATNO.
RINGKASAN Penelitian ini dilakukan di kawasan budidaya tambak intensif PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung pada bulan Agustus sampai September 2008. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perubahan Total Suspended Solid (TSS), kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a pada setiap tahapan perjalanan air mulai dari air baku (tepat dimulut inlet), di sepanjang saluran inlet, di dalam tambak selama budidaya dan pada saluran pembuang sebelum mencapai perairan umum. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu informasi dalam pengelolaan suatu tambak udang yang ditinjau berdasarkan TSS (Total Suspended Solid) yang berkaitan dengan lingkungan perairan tambak udang intensif. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari main inlet (MI) sampai dengan supply canal (SC) relatif mengalami penurunan baik pada sistem tertutup (DOC 30 dan 60) maupun sistem terbuka (DOC 90 dan 120). Penurunan tersebut diduga karena adanya pengendapan. Persentase TVSS lebih rendah pada sistem tertutup daripada sistem terbuka. Kemudian konsentrasi TSS dan persentase TVSS selama proses budidaya mengalami peningkatan karena adanya aktivitas budidaya di tambak dan relatif mengalami penurunan pada sub outlet dan main outlet pada sistem tertutup maupun sistem terbuka. Pada sistem tertutup persentase TVSS lebih rendah daripada sistem terbuka. Hal ini diduga karena banyaknya limbah tambak seiring meningkatnya umur budidaya. Berdasarkan uji t, perubahan TSS antara sistem tertutup dan terbuka relatif tidak berbeda nyata dimana t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05. Hal ini dapat berbeda tetapi tidak terlihat secara signifikan perbedaannya menurut statistik. Salah satu penyusun bahan organik TSS dalam perairan yaitu fitoplankton dimana beberapa kandungan yang dimiliki oleh fitoplankton diantaranya yaitu klorofil-a dan phaeophytin-a. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a pada sistem tertutup dan sistem terbuka dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) tersedimentasi seiring proses pengendapan yang terjadi. Pada tambak budidaya saat DOC 30 dan 60 (pada sistem tertutup) dan saat DOC 90 dan 120 (pada sistem terbuka) kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a relatif mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena adanya pemberian pakan dan pemupukan di tambak. Pada sistem tertutup di main outlet kandungan klorofil-a menurun dan phaeophytin-a meningkat sedangkan pada sistem terbuka di main outlet kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a menurun.
PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF
Oleh : INNA FEBRIANTIE C24104082
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
Perubahan Total Suspended Solid (TSS) Pada Umur Budidaya yang Berbeda dalam Sistem Perairan Tambak Udang Intensif : Inna Febriantie : C24104082 : Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan
Menyetujui, I. Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Bambang Widigdo NIP 130 937 430
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 131 956 708
Mengetahui, II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP 131 578 799
Tanggal Lulus : 23 Maret 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Perubahan Total Suspended Solid (TSS) Pada Umur Budidaya yang Berbeda dalam Sistem Perairan Tambak Udang Intensif”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Bogor, Maret 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo selaku dosen pembimbing I atas saran, koreksi dan bimbingannya serta kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti proyek penelitian pada PT. Centralpertiwi Bahari dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan koreksi dan arahannya selama penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan selama menjalani perkuliahan. 3. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc atas masukan dan arahannya selama penyusunan proposal skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku penguji tamu dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS. selaku perwakilan penguji dari departemen yang telah memberikan arahan dan masukan bagi perbaikan skripsi ini. 5. Ayahanda Moch. Subuh Ilyas dan Ibunda Miah Salmiah, serta adik-adikku (Hadi dan Ali) yang telah memberikan doa, nasehat dan kasih sayangnya kepada penulis. Keluarga Iyum Rumbiah dan saudara-saudara yang turut memberikan doa dan dukungan kepada penulis. 6. Bapak Rubi Haliman dan seluruh staf pegawai PT. Centralpertiwi Bahari, terutama divisi IQA atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian ini. Mr. C.E. Boyd atas arahan dan masukan yang telah diberikan selama penelitian ini. 7. Teman-teman tim Lampung (Weni, Nurdin, Riyan, Feridian) dan seluruh MSP’41 atas kebersamaan baik suka maupun duka selama penelitian dan proses penyusunan skripsi ini. Teman-teman di wisma Az-Zukhruf dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bogor, Maret 2009
Inna Febriantie
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1. Latar belakang ...................................................................... 1.2. Perumusan masalah ............................................................. 1.3. Tujuan ................................................................................. 1.4. Manfaat ...............................................................................
1 1 2 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2.1. Ekosistem tambak ................................................................ 2.2. Total Suspended Solid (TSS) ................................................ 2.3. Parameter kualitas air yang terkait dengan TSS .................... 2.3.1. Kecerahan dan kekeruhan .......................................... 2.3.2. Warna air ................................................................... 2.3.3. Oksigen terlarut ......................................................... 2.3.4. Parameter biologi (Klorofil-a) ....................................
5 5 6 7 7 8 8 9
III. METODE PENELITIAN ............................................................. 3.1. Lokasi dan waktu penelitian ................................................. 3.2. Alat dan bahan ..................................................................... 3.3. Penentuan lokasi pengambilan sampel .................................. 3.4. Waktu pengamatan dan metode pengambilan sampel............ 3.5. Analisa endapan organik dan anorganik................................ 3.6. Analisa klorofil-a dan phaeophytin-a .................................... 3.7. Analisa settleable solid ......................................................... 3.8. Analisa parameter lainnya (in situ) ....................................... 3.9. Analisa data..........................................................................
11 11 11 12 12 14 15 16 16 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 4.1. Ekosistem tambak penelitian ................................................ 4.2. Perubahan konsentrasi Total Suspended Solid (TSS)............. 4.2.1. Perubahan konsentrasi TSS dari MI sampai SC pada sistem tertutup dan terbuka ............................... 4.2.2. Perubahan konsentrasi TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka ................................ 4.2.3. Perubahan konsentrasi TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka ............................... 4.3. Komponen Total Suspended Solid (TSS) .............................. 4.3.1. Komponen TSS dari MI sampai SC pada sistem tertutup dan terbuka ...................................................
18 18 19 19 23 28 31 31
4.3.2. Komponen TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka .................................................... 4.3.3. Komponen TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka .................................................... 4.4. Kaitan TSS dengan settleable solid......................................... 4.5. Pengelolaan limbah tambak ditinjau berdasarkan TSS ............ 4.5.1. Pergantian air tambak ................................................. 4.5.2. Penyiponan dasar tambak............................................ 4.5.3. Pengaturan pembuangan air limbah tambak ................
35 36 37 37 37 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 5.1. Kesimpulan ........................................................................... 5.2. Saran .....................................................................................
40 40 40
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
33
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya dari MI sampai SC.......................................................................................
20
2. Uji t perubahan TSS dari MI-SC pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ........................................................
21
3. Uji t konsentrasi TSS dari MI-SC pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ........................................................
21
4. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya selama proses budidaya...............................................................................
24
5. Uji t perubahan TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % .....................................
26
6. Uji t konsentrasi TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ....................................
26
7. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya setelah proses budidaya...............................................................................
29
8. Uji t perubahan TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % .......................
30
9. Uji t konsentrasi TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ....................................
30
10. Konsentrasi settleable solid dan TSS pada sistem tertutup dan terbuka ..........................................................................................
37
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Skema rumusan masalah penelitian .................................................
3
2. Lokasi penelitian di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung (www.krisosa.files.wordpress.com/2007/09/sumatera) ....................
11
3. Lokasi pengambilan sampel ............................................................
13
4. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari MI sampai dengan SC ............
19
5. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS dari MI sampai SC pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) ..................................................................................................
22
6. Perubahan konsentrasi TSS selama proses budidaya .............................
24
7. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS selama proses budidaya .........................................................................................
27
8. Perubahan konsentrasi TSS setelah proses budidaya .............................
29
9. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS setelah proses budidaya pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) ...................................................................................
31
10. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS dari MI sampai dengan SC pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) ....................................................
33
11. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS selama proses budidaya pada sistem tertutup (close system) dan sistem terbuka (open system) ....................................................................
34
12. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) ................................................................................................
35
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Parameter in situ ............................................................................
44
2. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka .............
48
3. Rata-rata klorofil-a dan phaeophytin-a dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka .............
49
4. Rata-rata dan persentase TVSS dan TFSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka .
50
5. Konsentrasi settleable solid dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka .........................
51
6. Uji statistik perubahan TSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) antara sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ...........................................................................
52
7. Uji statistik konsentrasi TSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) antara sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % ..........................................................................
60
8. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian...............
66
9. Gambar lokasi pengambilan sampel ................................................
68
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Kegiatan budidaya udang di Indonesia semakin berkembang pesat dari waktu ke waktu. Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya permintaan pasar internasional
terhadap
komoditas
udang.
Tingginya
permintaan
pasar
internasional terhadap komoditas ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk menambah devisa negara yang berasal dari sektor budidaya. Perkembangan pasar internasional dalam menerima udang akhir-akhir ini menuntut tidak hanya untuk kualitas (quality) dan keamanan (safety) produk namun juga menuntut adanya jaminan bahwa cara memproduksinya tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan (environmentaly friendly operation). Kualitas dan keamanan udang dapat dicapai dengan menerapkan cara budidaya yang baik dan benar atau Good Aquaculture Practices (GAP) (Boyd, 1999). Sementara itu, untuk mengetahui apakah suatu kegiatan budidaya itu berpotensi memperburuk lingkungan atau tidak, maka di dalam GAP ditetapkan persyaratan nilai baku untuk nilai parameter kualitas air buangannya. Bahan organik dari sisa kegiatan budidaya udang biasanya terbuang dalam bentuk padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS). TSS ini merupakan salah satu parameter pencemaran yang harus dimonitor dalam kegiatan budidaya karena hampir 35% pakan yang diberikan ke tambak akan terbuang ke lingkungan dalam bentuk TSS (Widigdo, 2001). Peningkatan bahan-bahan organik dalam lingkungan perairan dapat mengganggu ekosistem melalui peningkatan unsur hara setelah bahan organik didekomposisi oleh mikroba perairan. Peningkatan unsur hara dapat mengakibatkan eutrofikasi perairan yang kemudian diikuti dengan blooming. Kondisi yang terakhir ini dapat membahayakan perairan baik secara langsung (melalui bahan toksik yang dihasilkan spesies tertentu) maupun secara tidak langsung melalui gas-gas beracun jika terjadi proses pembusukan dari massa algae yang mati secara massal. Secara umum sumber air yang digunakan dalam budidaya tambak berasal dari laut. Kualitas air laut tersebut akan mengalami perubahan setelah digunakan untuk budidaya. Jika pengelolaan budidaya tidak baik maka kualitas air buangan
akan jauh lebih buruk dari kualitas air bakunya. Salah satu parameter yang dijadikan tolok ukur baik-buruknya pengelolaan tambak adalah konsentrasi TSS pada air buangan. Menurut ketentuan Aquaculture Certification Council (ACC) yang merupakan lembaga sertifikasi budidaya yang bertaraf internasional, salah satu kriteria yang digunakan dalam memonitor kegiatan budidaya adalah kandungan TSS pada air baku dan air buangan. Penelitian ini ditujukan untuk memonitor perkembangan TSS mulai dari laut, saluran masuk (main inlet), petak unit budidaya (selama budidaya) dan pada saluran pembuangan (main outlet) pada tambak udang intensif yang berskala besar.
1.2. Perumusan masalah Tambak udang yang menjadi objek penelitian ini merupakan tambak intensif dengan padat tebar antara 105 – 140 PL/m2. Dalam satu petak yang luasnya 5000 m2 ditebar dengan benur antara 525.000 – 700.000 PL. Dengan padat tebar yang setinggi itu biasanya manajemen kualitas air akan menjadi kendala walaupun setiap tambak dilengkapi dengan kincir sebanyak 12 unit, masing-masing 1 Horse Power (HP). Masalah kualitas air di dalam tambak sendiri akan meningkat dengan meningkatnya umur udang karena semakin tinggi umur udang akan semakin banyak pula pakan yang diberikan. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah limbah sisa pakan (dalam bentuk TSS) yang terakumulasi di dalam air tambak. Partikel lain yang membentuk TSS adalah partikel lumpur, fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan komponen TSS yang dapat menghasilkan oksigen di siang hari walaupun di malam hari juga mengkonsumsi oksigen. Namun, sisa pakan, partikel lumpur dan zooplankton merupakan komponen TSS yang hanya mengkonsumsi oksigen. Untuk mengetahui seberapa banyak fitoplankton yang masih hidup sebagai penghasil oksigen maka perlu diukur dengan cara menganalisa klorofil-a sementara bagian fitoplankton yang sudah mati dan tidak menghasilkan oksigen diukur dengan cara menganalisa phaeophytin-a. Kondisi demikian ini akan meningkatkan konsumsi oksigen dalam tambak diluar kebutuhan udangnya, sehingga akan mengakibatkan udang kekurangan oksigen.
Penurunan konsentrasi TSS akan dapat membantu pengurangan pesaing udang dalam hal konsumsi oksigen. Demikian juga jika limbah cair dari tambak tidak mengalami proses pengendapan yang cukup maka konsentrasi TSS yang dibuang ke perairan umum akan tinggi dan melampaui ambang batas yang diizinkan oleh peraturan lingkungan. Konsentrasi TSS mulai dari saluran pemasok utama (main inlet), di dalam tambak dan akhirnya di saluran pembuang utama (main outlet) akan mengalami perubahan seiring proses sedimentasi ataupun peningkatan pada saat digunakan sebagai media budidaya dan kembali mengalami pengendapan pada saat dibuang melalui saluran pembuangan sebelum akhirnya masuk perairan umum. Permasalahan yang dikhawatirkan adalah jika air buangan masih mengandung limbah organik dalam bentuk TSS yang terlalu tinggi. Hal ini akan sangat berpotensi terjadinya eutrofikasi perairan penerima limbah. Diagram di bawah ini mengilustrasikan perubahan TSS dan parameter terkait mulai dari air baku, perairan dalam tambak dan sebelum mencapai perairan umum penerima limbah (Gambar 1).
Air payau sebagai sumber air tambak Aktivitas budidaya di tambak
Pengapuran,pemu pukan,pemberian pakan dan penyiponan
Air limbah tambak (TSS) Potensi pencemaran lingkungan perairan penerima limbah tambak
Gambar 1. Skema rumusan masalah penelitian
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui seberapa besar perubahan Total Suspended Solid (TSS) pada setiap tahapan perjalanan air mulai dari air baku (tepat dimulut inlet), di sepanjang saluran inlet, di dalam tambak selama budidaya dan pada saluran pembuang sebelum mencapai perairan umum. 2. Mengetahui kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS pada setiap tahap perjalanan air mulai dari air baku, di dalam tambak selama budidaya, sampai pada saluran pembuang sebelum mencapai perairan umum.
1.4. Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu informasi dalam pengelolaan suatu tambak udang yang ditinjau berdasarkan TSS (Total Suspended Solid) yang berkaitan dengan lingkungan perairan tambak udang intensif.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem tambak Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng, udang laut dan hewan air lainnya yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang. Selain air laut, tambak juga memerlukan air tawar untuk mengimbangi penguapan agar salinitasnya tidak terlalu tinggi. Kebutuhan air tawar dipenuhi dari sungai yang bermuara di laut (Sudarmo dan Ranoemihardjo, 1992). Berdasarkan sistem pengelolaannya, tambak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu tambak ekstensif, semi intensif, dan intensif. Tambak ekstensif memiliki ciri-ciri diantaranya yaitu padat tebar yang rendah (kurang dari 40.000 ekor/ha), pakan bergantung pada pakan alami, pergantian air tergantung pada pasang surut, kedalaman kurang dari satu meter dengan luas antara 1 - 3 ha, serta dilengkapi dengan saluran di sepanjang sisi dasar tambak. Tambak semi intensif memiliki ciri-ciri diantaranya yaitu padat tebar lebih dari 25 ekor/m2, kedalaman sekitar satu meter dengan luas antara 0,5 - 1,0 ha, pergantian air mencapai 10% per hari, saluran dasar tambak dibuat di bagian tengah secara diagonal dari arah inlet ke outlet, pakan buatan diberikan untuk melengkapi pakan alami yang ada. Tambak intensif memiliki ciri-ciri diantaranya yaitu luasnya 0,25 - 0,5 ha dengan padat tebar lebih dari 25 ekor/m2, dilengkapi dengan aerator yang mencapai delapan buah/ha, pergantian air sekitar 5 - 20% per hari, drainase di tengah, serta diterapkan pemberian pakan buatan yang sangat berkualitas (Ahmad, 1989 in Pratiwi, 1997). Ekosistem di tambak sangat dipengaruhi oleh sumber air, tipe substrat, lokasi dan cuaca. Hal ini berkaitan erat dengan proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang akan terjadi di suatu tambak. Suatu ekosistem dengan kondisi lingkungan yang mampu menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang secara menyeluruh merupakan kondisi tambak yang diharapkan (Boyd, 1990).
2.2. Total Suspended Solid (TSS) Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milliopore dengan diameter 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasadjasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). TSS memberikan gambaran mengenai bahan-bahan tersuspensi, baik organik maupun anorganik yang berupa partikel pada suatu perairan. Nilai TSS ini dapat dijadikan sebagai indikator kualitas suatu perairan, karena TSS berpengaruh terhadap kecerahan dan kekeruhan air, sehingga akan mempengaruhi aktivitas di perairan tersebut (Abel, 1989). Saturasi data pengamatan, perubahan atau naik turunnya nilai TSS tidak selalu diikuti oleh naik turunnya nilai kekeruhan secara linier. Hal ini dapat dijelaskan karena bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan dapat terdiri atas berbagai bahan yang sifat dan beratnya berbeda sehingga tidak terlalu tergambarkan dalam bobot residu TSS yang sebanding. Hal ini juga berhubungan dengan prinsip pengukuran yang berbeda antara kekeruhan dengan TSS. Bila kekeruhan didasarkan atas seberapa besar cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air (baik yang tersuspensi maupun yang terlarut), sedangkan TSS didasarkan atas bobot residu (setelah air diuapkan) dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi. Walaupun demikian pada dasarnya masing-masing parameter ini dapat saling mewakili (Widigdo, 2001). Bahan organik dari sisa kegiatan budidaya udang biasanya terbuang dalam bentuk padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS). TSS merupakan salah satu parameter pencemaran yang harus dimonitor dalam kegiatan budidaya karena hampir 35% pakan yang diberikan ke tambak akan terbuang ke lingkungan dalam bentuk TSS (Widigdo, 2001). Untuk membedakan antara bahan tersuspensi organik dan anorganik dapat diketahui dengan menghitung nilai TVSS (Total Volatile Suspended Solid). TVSS adalah bahan organik yang teroksidasi pada pemanasan dengan suhu 550°C sedangkan TFSS (Total Fixed Suspended Solid) adalah bahan anorganiknya (Rao, 1991 in Effendi, 2003). TVSS biasanya disajikan dalam hubungan persentase dari
TSS (Sawyer et al., 2003). Adapun yang termasuk bahan organik tersuspensi misalnya fitoplankton, zooplankton, jamur, bakteri dan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang telah mati, sedangkan bahan anorganik tersuspensi, berupa koloid lumpur dan partikel tanah (Effendi, 2003). Settleable solid adalah jumlah padatan tersuspensi yang biasanya diendapkan selama periode waktu tertentu dan disalurkan dengan alat yang berbentuk kerucut terbalik (imhoff cones). Hasilnya dinyatakan dalam ml/l (Sawyer et al., 2003). Besarnya konsentrasi TSS dan settleable solid dalam air tambak merupakan indikasi kekuatan pencemaran dari air limbah tambak (Boyd dan Tucker, 1992). Hasil akhir berupa kotoran dari ikan memiliki bentuk yang berbeda, dimana TSS merupakan komponen utamanya. Produksi suspended solid dalam sistem budidaya dapat dinilai karena adanya kotoran ikan atau udang, sisa pakan yang tidak termakan, dan biomassa bakteri (Timmons dan Losordo, 2000). Kriteria standar kualitas air (TSS) khususnya, yang
berasal dari
limbah tambak budidaya
yaitu
sebesar
100
mg/l
(ACC/Aquaculture Certification Council, 2005).
2.3. Parameter kualitas air yang terkait dengan TSS 2.3.1. Kecerahan dan kekeruhan Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Kecerahan
sangat
berkaitan
erat
dengan
kekeruhan.
Kekeruhan
menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003).
Kecerahan seringkali berperan penting sebagai faktor pembatas di suatu perairan. Adanya kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air sehingga proses fotosintesis akan terganggu (Odum, 1971).
2.3.2. Warna air Warna air tambak sebagai hasil dari zat-zat terlarut dan partikel yang tersuspensi. Hal ini dapat dijadikan sebagai informasi mengenai kandungan dan sumber perairannya. Perairan yang memiliki zat-zat terlarut atau tersuspensi sedikit megindikasikan bahwa produktivitasnya rendah dan warna air terlihat biru. Bahan organik terlarut yang ada berwarna kuning atau coklat. Beberapa algae dan dinoflagellata berwarna kemerahan atau kuning pekat dalam perairan. Perairan yang kaya fitoplankton berwarna hijau. Hasil dari masukan tanah bervariasi yaitu merah, coklat, kuning, dan abu-abu (Parker, 2002). Warna air tambak biasanya menggambarkan jenis fitoplankton yang dominan. Perubahan warna air atau intensitasnya menggambarkan perubahan kepadatan dan jenis fitoplankton. Kecepatan pertumbuhan tiap jenis fitoplankton berbeda-beda (harian, mingguan) tergantung pada tingkat reproduksi dan kemampuan adaptasinya terhadap perubahan kondisi lingkungan, seperti perubahan suhu dan salinitas akibat perubahan cuaca harian. Warna air tambak yang ditimbulkan oleh komunitas fitoplankton, antara lain warna coklat keemasan untuk diatom, hijau untuk ganggang hijau, hijau kebiruan untuk ganggang biru dan kemerahan untuk dinoflagellata. Umumnya warna air yang disukai para petambak yaitu warna hijau kecoklatan atau antara fitoplankton jenis Chlorophyta dan diatom tumbuh seimbang (Poernomo, 1988 in Lestari, 2003).
2.3.3. Oksigen terlarut Oksigen terlarut adalah faktor lingkungan yang penting bagi kehidupan biota perairan. Sumbangan oksigen terlarut terbesar di dalam tambak berasal dari proses fotosintesis fitoplankton. Semakin tinggi kelimpahan fitoplankton di dalam tambak maka semakin tinggi juga kandungan oksigen terlarut di dalam tambak tersebut (Bocek, 1991). Penambahan oksigen terlarut dalam air dapat pula
dilakukan dengan peralatan khusus, misalnya kicir, blower, pompa udara (air pump) dan lain-lain (Afrianto dan Liviawaty, 1991). Oksigen terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk proses respirasi, baik oleh tumbuhan air, udang, maupun organisme lain yang hidup di dalam air. Aktivitas organisme yang paling banyak menggunakan oksigen yaitu proses pembusukan. Proses ini dapat berlangsung karena adanya aktivitas bakteri pembusuk yang menguraikan bahan-bahan organik seperti sisa makanan tambahan, kotoran udang, maupun bangkai udang yang mati dan bahan organik lainnya. (Afrianto dan Liviawaty, 1991). Menurut Boyd dan Fast (1992), konsentrasi oksigen terlarut 0,0-1,5 mg/l dapat menyebabkan kematian tergantung waktu dan kondisi lainnya. Konsentasi oksigen terlarut yang baik untuk ketahanan hidup dan pertumbuhan yaitu antara 3,5 mg/l sampai konsentrasi jenuh (saturasi). Konsentasi oksigen terlarut yang kelewat jenuh (supersaturasi) dapat membahayakan. Bocek (1991) menyatakan bahwa sumber perolehan oksigen terlarut dalam air didapat dari proses pergantian air, fotosintesis dan aerasi. Untuk proses pengurangan oksigen terlarut melalui proses pergantian air dan respirasi. Kriteria standar kualitas air DO khususnya, yang berasal dari limbah tambak budidaya yaitu sebesar 4 mg/l atau lebih (ACC/Aquaculture Certification Council, 2005).
2.3.4. Parameter biologi (Klorofil-a) Curtis (1978) menyatakan bahwa klorofil-a adalah suatu molekul berukuran besar dengan atom Mg sebagai pusatnya yang terkait dalam cincin porphyrin. Pada cincin porphyrin tersebut menempel suatu rantai hidrokarbon yang panjang dan sulit larut yang berfungsi sebagai jangkar molekul tersebut ke membran dalam kloroplas. Menurut Goodwin (1976) in Handayani (2003), fungsi klorofil yaitu untuk menyerap energi dari sinar matahari dan mengkonversi energi tersebut menjadi energi kimia. Prinsip dasar penyerapan cahaya tersebut dipaparkan dalam Hukum Stark Einsten adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton setiap kali, dan foton ini menyebabkan eksitasi satu elektron saja. Pada
fotosintesis, energi pada elektron yang tereksitasi di berbagai pigmen di transfer ke pigmen pengumpul energi, yakni pusat reaksi. Jefrey in Nontji (1984) menyatakan bahwa penentuan biomassa fitoplankton dengan pendekatan klorofil merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan hingga kini dipandang sebagai metode rutin terbaik. Dengan diketahui kandungan klorofil pada fitoplankton, maka dapat diperkirakan pula nilai parameter biomassa lainnya dengan menggunakan faktor-faktor konversi meskipun perkiraan ini sangat kasar, Nontji (1984) mengemukakan perkiraannya sebagai berikut : 1 µg klorofil = 34,8 µg berat kering zat organik = 13,6 – 17,3 µgC = 0,319 mm3 volume fitoplankton Klorofil-a dapat menyerap dengan baik pada panjang gelombang antara 400 - 450 nm dan 650 - 700 nm (www.wikipedia.org). Kandungan klorofil-a fitoplankton di suatu perairan dapat digunakan sebagai ukuran biomassa fitoplankton dan dijadikan petunjuk dalam melihat kesuburan perairan. Kualitas perairan yang baik merupakan tempat hidup dan berkembang yang baik bagi fitoplankton, karena kandungan klorofil-a fitoplankton itu sendiri dapat dijadikan indikator tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan (Ardiwijaya, 2002). Nilai konsentrasi klorofil-a menggambarkan banyaknya fitoplankton yang hidup, sedangkan konsentrasi phaeophytin-a menggambarkan fitoplankton yang mati (Boyd, 2008). Phaeophyta merupakan kloroplas coklat-olive cerah sampai coklet gelap; hampir seluruhnya hanya dijumpai di laut; umumnya berbentuk talus, namun talus tersebut berukuran makro (filamen-filamen yang kompleks) (Basmi, 1999). Menurut Williams et al. (2002), peningkatan phaeophytin berbanding lurus dengan peningkatan klorofil-b yang disebabkan oleh adanya peningkatan kelimpahan Prochlorococcus.
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan budidaya tambak intensif PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung (Gambar 2). Seluruh rangkaian penelitian ini yaitu mulai dari pengambilan sampel air hingga analisa laboratoris dan analisa data dilaksanakan mulai tanggal 15 Agustus sampai 18 September 2008.
Gambar 2. Lokasi penelitian di PT. Centralpertiwi Bahari, Lampung (www.krisosa.files.wordpress.com/2007/09/sumatera) 3.2. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, water column sampler (PVC yang digantungkan dengan bola tenis untuk pengambilan sampel air), DO-meter model YSI 51 B untuk mengukur DO perairan, botol sampel untuk menyimpan sampel air, box pendingin untuk menyimpan botol sampel yang berisi air sampel, secchi disc diameter 30 cm untuk mengukur kecerahan perairan, pompa vakum (vaccum pump) untuk menyaring sampel air, spektrofotometer untuk mengukur klorofil-a, cuvet untuk menaruh sampel yang akan diukur absorbansinya, tabung reaksi sebagai tempat mereaksikan sampel, novix sebagai
penutup tabung reaksi berbahan plastik, allumunium foil cup sebagai wadah kertas saring, timbangan analitik Mettler Toledo AG 204 untuk menimbang kertas saring, oven untuk mengeringkan kertas saring, desikator untuk mendinginkan kertas saring, muffle furnace untuk membakar kertas saring pada suhu 550°C dan imhoff cones untuk menentukan settleable solid (Lampiran 8). Bahan-bahan yang digunakan antara lain terdiri dari bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama yaitu sampel air, bahan-bahan pendukung diantaranya untuk analisa TSS yaitu, aquades, kertas saring whatman 934-AH 47 mm dengan mesh size 0,45 µm; untuk analisa klorofil-a dan phaeophytin-a yaitu kertas saring whatman 934-AH 47 mm dengan mesh size 0,45 µm, aseton 90% dan HCL 0,1 N (Lampiran 8). 3.3. Penentuan lokasi pengambilan sampel Lokasi pengambilan sampel air dilakukan pada 10 titik yaitu main inlet, sub inlet, tambak pengolahan air baku (petak 81 dan 73), supply canal, tiga petak tambak budidaya yaitu pada saat umur budidaya 30 hari / DOC 30 (Blok 2 jalur 41 petak 1, 2 dan 3), pada DOC 60 (Blok 2 jalur 41 petak 1, 2 dan 3), pada DOC 90 (Blok 2 jalur 33 petak 1, 2 dan 3), pada DOC 120 (Blok 2 jalur 39 petak 1, 2 dan 3), sub outlet dan main outlet sebagai tempat pembuangan air dari petak tambak tersebut (Gambar 3 dan Lampiran 9). Pengambilan sampel air pada masing-masing titik tersebut diambil secara komposit dari permukaan sampai ke dekat dasar (satu kolom perairan).
3.4. Waktu pengamatan dan metode pengambilan sampel Pengambilan sampel air di saluran main inlet, sub inlet, tambak pengolahan air baku (petak 81 dan 73), supply canal, sub outlet dan main outlet dilakukan secara komposit dari permukaan sampai ke dekat dasar (satu kolom perairan) dan dilakukan setiap satu kali dalam seminggu. Sementara itu, pengambilan sampel air di tambak budidaya dilakukan dengan cara yang sama namun pada hari pemeliharaan ke- (Day of Culture, DOC) 30, 60, 90, dan 120.
Main Inlet (X)
Tambak pengolahan air baku
Tambak pengolahan air baku
71
(X) 72
81
82
(X) 73
Sub Inlet (X)
Tambak 1 (X)
Tambak
Tambak 2 (X) Tambak 3 (X) (X) Sub Outlet
(X) Supply Canal
Main Outlet (X)
Keterangan : (X) = Titik pengambilan sampel Gambar 3. Lokasi pengambilan sampel
Sampel air yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam box pendingin yang telah diberi es batu, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisa kandungan TSS, TVSS, TFSS, klorofil-a, phaeophytin-a dan settleable solid. Analisa parameter yang langsung dilakukan di lapangan (in situ) yaitu DO, warna air dan kecerahan.
3.5. Analisa endapan organik dan anorganik Analisa TSS dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri yang dideskripsikan dalam (APHA, 1995) yaitu kertas saring whatman
934-AH
dengan diameter 47 mm dan mesh size 0,45 µm dibilas terlebih dahulu dengan aquades, ditaruh pada allumunium foil cup, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 103 – 105°C selama satu jam untuk mendapatkan berat kering tanpa air. Setelah itu, kertas saring bersama allumunium foil cup dinginkan dalam desikator dan timbang dengan timbangan analitik ketepatan 0.0000 g lalu catat hasilnya (b mg), dan disimpan kembali dalam desikator. Kertas saring yang telah diketahui beratnya disiapkan pada alat penyaring (vaccum pump). Sebanyak 100 ml air sampel dikocok kemudian dimasukkan ke dalam vaccum pump. Untuk meyakinkan semua endapan dari air contoh tersebut masuk ke dalam alat saring maka wadah air contoh dibilas dengan aquades dan air bilasannya dimasukkan ke dalam alat saring. Setelah endapan tersaring, kertas saring bersama endapan (TSS) disimpan pada allumunium foil cup yang sama untuk kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 103 – 105°C selama satu jam. Setelah itu, dinginkan dalam desikator selama sepuluh menit dan kemudian timbang dengan timbangan analitik lalu catat hasilnya (a mg). Berat kertas saring dan allumunium foil cup....................... = b mg Berat kertas saring, allumunium foil cup dan endapan ....... = a mg Berat endapan kering (TSS) =
a–b
= c mg
Untuk membedakan antara bahan organik dan anorganik penyusun TSS tersebut maka dilakukan analisa TVSS (Total Volatile Suspended Solid) dan TFSS (Total Fixed Suspended Solid) (Boyd, 2008). Selisih antara a dengan b merupakan nilai endapan kering (TSS) (c mg). Pengukuran TVSS dilakukan dengan cara
mengabukan kertas saring dan endapan yang ditaruh pada allumunium foil cup yang telah diketahui beratnya di atas (a mg) dan memasukkannya ke dalam muffle furnace pada suhu 550°C selama 15 sampai 20 menit. Abu bersama kertas saring dan alumunium foil cup kemudian disimpan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang dengan timbangan analitik lalu catat hasilnya (d mg). Penyusutan berat dari a mg ke d mg adalah merupakan bagian TSS yang menguap (TVSS). Selanjutnya TFSS dapat dihitung dengan mengurangkan TVSS terhadap TSS. Hasil penimbangan abu, kertas saring dan alumunium foil cup.............= d mg TVSS = (a – d) mg TFSS = (TSS – TVSS) mg
3.6. Analisa klorofil-a dan phaeophytin-a Untuk mengetahui berapa banyak fitoplankton yang masih hidup dan yang mati sebagai penyusun TSS maka terhadap endapan TSS juga dianalisa klorofil-a dan phaeophytin-a dengan menggunakan metode spektrofotometri dan kemudian dihitung dengan menggunakan rumus yang dideskripsikan dalam (APHA, 1995) sebagai berikut: Sama halnya dengan analisa TSS, kertas saring yang digunakan dalam analisa klorofil-a dan phaeophytin-a adalah whatman 934-AH dengan diameter 47 mm dan mesh size 0,45 µm disiapkan pada alat penyaring (vaccum pump). Sebanyak 100 ml air sampel dikocok kemudian dimasukkan ke dalam vaccum pump. Kemudian kertas saring bersama endapan dilipat dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Masukkan 10 ml aseton 90% lalu gerus dengan batang pengaduk sampai hancur, tutup dengan novix dan biarkan semalam dalam ruang gelap pada suhu kamar. Setelah itu, pisahkan kertas saring dan aseton bersama ekstraknya dengan kapas yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi, masukkan aseton bersama ekstraknya yang sudah terpisah tersebut ke dalam cuvet. Ukur absorbansinya dengan menggunakan panjang gelombang 664 dan 750 nm. Ukur pula absorbansinya setelah aseton bersama ekstraknya tersebut diberi HCl 0,1 N sebanyak 0,1 ml dengan menggunakan panjang gelombang 665 dan 750 nm.
Berikut perhitungan untuk klorofil-a dan phaeophytin-a : a. Klo-a (g/l)=
11x 2,43x( A664b A750b) ( A665a A750a )xVx1000 VtxL
b. Pheo-a (g/l)=
11x 2,43x1,7 x( A665a A750b) ( A664a A750a )xVx1000 VtxL
Keterangan : 11 = Koefisien absorbansi klorofil-a 2,43 = Faktor untuk menyeimbangkan reduksi dalam absorbansi konsentrasi klorofil-a A664b = Absorbansi pada panjang gelombang 664 sebelum penambahan HCl 0,1 N A750b = Absorbansi pada panjang gelombang 750 sebelum penambahan HCl 0,1 N A665a = Absorbansi pada panjang gelombang 665 sesudah penambahan HCl 0,1 N A750a = Absorbansi pada panjang gelombang 750 sesudah penambahan HCl 0,1 N V = Volume aseton yang digunakan untuk ekstraksi (10 ml) Vt = Volume air contoh yang disaring (100 ml) L = Lebar kuvet dalam cm (1 cm) 1,7 = Faktor koreksi klorofil-a untuk pheophytin-a 3.7. Analisa settleable solid Untuk mengetahui jumlah padatan tersuspensi yang biasanya diendapkan selama periode waktu tertentu dan disalurkan dengan alat yang berbentuk kerucut terbalik (imhoff cones), hasilnya dinyatakan dalam ml/l (Sawyer et al., 2003) maka dianalisa settleable solid dengan menggunakan metode volumetri yang dideskripsikan dalam (APHA, 1995). Sebanyak 1000 ml air sampel dikocok kemudian masukkan ke dalam imhoff cones. Setelah itu, diamkan selama 45 menit sampai endapan menumpuk di dasar imhoff cones, lalu catat hasilnya dalam ml/l.
3.8. Analisa parameter lainnya (in situ) Warna air, kecerahan dan oksigen terlarut (DO) dianalisa secara in situ pada saat pengambilan sampel air. Warna air dilakukan dengan pengamatan visual, kecerahan dilakukan dengan menggunakan alat bantu secchi disc dan oksigen terlarut dengan menggunakan DO meter tipe YSI 51 B.
3.9. Analisa data Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan grafik. Selain itu, analisa data juga dilakukan dengan menggunakan pengujian dua sampel berpasangan (Paired Sample T Test). Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata perubahan konsentrasi TSS dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan konsentrasi TSS dari sebelum masuk ke tambak sampai setelah keluar dari tambak antara sistem tertutup dan sistem terbuka. Pengujian dua sampel berpasangan (Paired Sample T Test) dilakukan dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for windows versi 17.0. Adapun rumus perhitungan untuk uji ini sebagai berikut (Sugiyono, 1997 in Priyatno, 2008) : t=
Keterangan :
X
1
X2
2 2 S S S1 S2 2r 1 2 n n n1 n2 1 2
t = Nilai t hitung dengan selang kepercayaan 95% X 1 = Rata-rata variabel (sistem tertutup) X 2 = Rata-rata variabel (sistem terbuka) S1 = Simpangan baku variabel 1 S2 = Simpangan baku variabel 2 n1 = Jumlah data variabel 1 n2 = Jumlah data variabel 2 r = Koefisien korelasi
Pengambilan keputusan uji dua sampel berpasangan (Paired Sample T Test) berdasarkan perbandingan nilai t hitung pada selang kepercayaan 95 % dan t tabel dengan probabilitas (tingkat signifikan). Hipotesis yang digunakan : H0 : 1 = 2 H1 : 1 ≠ 2 Kesimpulan : Jika t hitung > t tabel maka tolak H0 (berbeda nyata/significant) Jika t hitung < t tabel maka tolak H0 (tidak berbeda nyata/non significant) Keterangan : 1 = Rata-rata parameter diuji pada sistem tertutup 2 = Rata-rata parameter diuji pada sistem terbuka
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekosistem tambak penelitian Budidaya
udang
vaname di tambak PT.
Centralpertiwi
Bahari
menggunakan sistem intensif yang dicirikan dengan padat tebar tinggi, penggunaan pakan buatan, dan pola tanam yang terus-menerus. Untuk setiap petakan tambak memiliki luas ± 5000 m². Jumlah penebaran benur untuk setiap tambak sebanyak 525.000 – 700.000 PL sehingga padat penebaran untuk tiap tambak dapat mencapai antara 105 – 140 PL/m2. Waktu yang dibutuhkan untuk budidaya udang vaname dalam setiap satu siklus produksi adalah ± 4 bulan atau udang vaname tersebut telah mencapai umur budidaya (Day Of Culture / DOC) 105 - 120 hari. Proses budidaya dibagi ke dalam dua tahapan yaitu menggunakan sistem tertutup (Close System) pada 70 hari pertama dan sistem terbuka (Open System) pada hari ke 71 sampai panen. Pada sistem tertutup air dari main inlet mengalami proses pengendapan dan sterilisasi selama tiga hari yang didalamnya diberikan pond fos (organofosfat) yang berfungsi untuk membunuh carrier (pembawa virus) dan predator, resuspensi dan rekondisi di treatment pond. Sistem ini digunakan mulai awal budidaya/DOC 0 sampai kira-kira DOC 70. Sedangkan sistem terbuka air dari main inlet tidak mengalami proses pengendapan dan sterilisasi terlebih dahulu tetapi langsung mengalir menuju tambak melalui treatment pond dan sistem ini baru digunakan saat DOC 71, itu pun jika kualitas masukan air dari main inlet dalam kondisi baik (tidak terserang virus). Air yang digunakan untuk budidaya di tambak berasal dari percampuran air laut dan air tawar. Sumber air laut tersebut berasal dari perairan pantai timur Lampung yang masuk melalui pintu pemasukkan air laut, sedangkan untuk air tawar berasal dari perairan Sungai Way Seputih. Air kemudian dialirkan melalui main inlet untuk didistribusikan ke quarantine pond dengan menggunakan pompa. Treatment pond (TP) terdiri dari quarantine pond (petak 82), sedimentation pond (petak 81) dan reconditioning pond (petak 71,72 dan 73). Proses masuknya air dari main inlet (MI) sebelum masuk ke dalam tambak terlebih dahulu masuk ke quarantine pond menggunakan pompa. Air dari quarantine pond dimasukkan ke
dalam sedimentation pond dan selanjutnya masuk ke reconditioning pond. Sebelum masuk ke tambak air dari reconditioning pond disalurkan melalui supply canal (SC). Air buangan dari tambak dikeluarkan melalui pipa pembuangan ke saluran sub outlet (SO), kemudian air dari sub outlet dialirkan ke main outlet dengan menggunakan pompa yang terdapat di ujung sub outlet. Main outlet (MO) berfungsi untuk menampung serta mengalirkan air buangan tambak dari semua modul dan kemudian dibuang ke perairan muara Sungai Way Seputih (PT. Centralpertiwi Bahari, 2008).
4.2. Perubahan Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) 4.2.1. Perubahan konsentrasi TSS dari MI sampai SC pada sistem tertutup dan terbuka Perubahan konsentrasi TSS mulai dari main inlet (MI) sampai dengan supply canal (SC) mengalami penurunan sebesar 30,5 mg/l dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 4. Hal tersebut terjadi diduga karena pada DOC 0 – 70 menggunakan sistem tertutup (close system) dimana proses pengendapan dan sterilisasi dengan menggunakan pond fos (organofosfat) yang berfungsi untuk membunuh carrier (pembawa virus) dan predator yang berasal dari MI terjadi di quarantine pond (petak 82) sebelum mencapai petak 81 selama tiga hari. Selanjutnya air mengalir dan mengalami pengkondisian sampai petak 73 dan pada akhirnya sampai SC sebelum air masuk ke dalam tambak budidaya.
Perubahan TSS (mg/l)
25
Close Open
20 15 10 5 0
MI
SI
81
73
SC
Lokasi
Gambar 4. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari MI sampai dengan SC (MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal)
Open
Close
Tabel 1. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya dari MI sampai SC Lokasi
TSS (mg/l)
∆ TSS (mg/l)
TVSS (mg/l)
TFSS (mg/l)
%TVSS
%TFSS
Klorofila (g/l)
Phaeophytina (g/l)
MI
62,50
0
19,50
43,00
31,20
68,80
38,76
19,25
SI
49,00
-13,5
17,50
31,50
35,71
64,29
24,06
19,91
81
44,50
-4,50
13,50
31,00
30,34
69,66
9,36
2,81
73
39,50
-5
9,50
30,00
24,05
75,95
4,01
2,54
SC
32,50
-7
10,00
22,50
30,77
69,23
9,36
2,81
MI
89,50
0
63,00
26,50
70,39
29,61
37,42
12,30
SI
78,00
-11,5
59,50
18,50
76,28
23,72
13,37
19,25
81
55,00
-23,00
36,00
19,00
65,45
34,55
10,69
25,26
73
51,00
-4
37,50
13,50
73,53
26,47
2,67
7,75
SC
52,50
1,5
32,50
20,00
61,90
38,10
16,04
3,61
Pada sistem terbuka (open system) perubahan konsentrasi TSS main inlet (MI) sampai dengan petak 73 mengalami penurunan sebesar 38,5 mg/l kemudian mengalami peningkatan di SC sebesar 1,5 mg/l (Tabel 1 dan Gambar 4). Konsentrasi TSS pada sistem tertutup lebih rendah daripada sistem terbuka. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh adanya proses pengendapan dan retention time yang berbeda antara sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup memiliki retention time yang lebih lama daripada sistem terbuka. Perubahan TSS dari MI sampai SC jika dilihat dari persentase didapatkan seperti pada tabel 2. Berdasarkan persentase perubahan TSS dari MI sampai SC terjadi perubahan yang cukup berpengaruh tetapi berdasarkan uji statistik yang signifikan hanya perubahan TSS dari MI sampai 73. Persentase perubahan TSS meningkat sebesar 2,9 % di 73 sampai SC pada sistem terbuka. Berdasarkan uji t (Tabel 2 dan Lampiran 6), diperoleh hasil bahwa perubahan TSS dari MI sampai SC relatif tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% antara sistem tertutup dan terbuka karena memiliki t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05 kecuali perubahan dari MI sampai petak 73 karena memiliki t hitung lebih besar dari t tabel dengan p kurang dari 0,05. Hal ini dapat dikatakan berpengaruh tetapi tidak terlihat secara signifikan perbadaannya menurut statistik. Berdasarkan uji t (Tabel 3 dan Lampiran 7), didapatkan hasil bahwa konsentrasi TSS dari MI sampai SC relatif tidak berbeda nyata pada selang
kepercayaan 95% antara sistem tertutup dan terbuka karena memiliki t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05 kecuali konsentrasi TSS pada SC karena memiliki t hitung lebih besar dari t tabel dengan p kurang dari 0,05. Hal ini diduga karena pada sistem tertutup di SC air sudah mengalami pengendapan dan perlakuan sebelum sampai di SC sebelum masuk ke dalam tambak budidaya.
Tabel 2. Uji t perubahan TSS dari MI-SC pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % No.
Sistem tertutup dan terbuka
t hitung
t tabel
p(probabilitas)
Kesimpulan
% Perubahan TSS Tertutup
Terbuka
1
MI-SI
-1
12,706
0,500
ns*
21,6
12,8
2
MI-81
6,6
12,706
0,096
ns*
28,8
38,5
3
MI-73
31
12,706
0,021
s*
36,8
43,02
4
MI-SC
0,636
12,706
0,639
ns*
48
41,3
5
SI-81
4,1
12,706
0,152
ns*
9,2
29,4
6
SI-73
7
12,706
0,090
ns*
24,05
34,6
7
SI-SC
0,692
12,706
0,614
ns*
33,7
32,6
8
81-73
12,706
0,705
ns*
11,2
7,2
9
81-SC
-0,5 0,118
12,706
0,465
ns*
26,9
4,5
10
73-SC
-0,81
12,706
0,567
ns*
17,7
-2,9
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05;
= peningkatan TSS)
Tabel 3. Uji t konsentrasi TSS dari MI-SC pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % No.
Sistem tertutup dan terbuka
t hitung
t tabel
p(probabilitas)
Kesimpulan
1
MI
-2,7
12,706
0,226
ns*
2
SI
-2,417
12,706
0,25
ns*
3
81
-1,4
12,706
0,395
ns*
4
73
-1,2
12,706
0,44
ns*
5
SC
-20
12,706
0,032
s*
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05)
Salah satu penyusun bahan organik TSS dalam perairan yaitu fitoplankton, dimana beberapa kandungan yang dimiliki oleh fitoplankton diantaranya yaitu klorofil-a dan phaeophytin-a. Nilai konsentrasi klorofil-a menggambarkan banyaknya fitoplankton yang hidup, sedangkan konsentrasi phaeophytin-a
menggambarkan fitoplankton yang mati (Boyd, 2008). Fitoplankton yang hidup akan membantu dalam proses fotosintesis yang menjadi sumber penghasil oksigen terbesar di tambak. Hal ini sesuai dengan Bocek (1999), sumbangan oksigen terlarut terbesar di dalam tambak berasal dari proses fotosintesis fitoplankton. Berbeda halnya dengan fitoplankton yang mati yaitu tidak akan menghasilkan oksigen tetapi akan mengurangi oksigen untuk proses dekomposisi. Hal ini sesuai dengan Ardiwijaya (2002), kandungan klorofil-a fitoplankton itu sendiri dapat dijadikan indikator tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan.
350 Klo-a Close Phaeo-a Close TSS Close
300 250 200 150 100 50 0 MI
SI
81
73
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Perubahan TSS (mg/l)
Klorofil-a dan Phaeophytin-a (g/l)
(a)
SC
Lokasi
35 0 Klo-a Open Phaeo-a Open TSS O pen
30 0 25 0 20 0 15 0 10 0 50 0 MI
SI
81
73
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Perubahan TSS (mg/l)
Klorofil-a dan Phaeophytin-a (g/l)
(b)
SC
Lokasi
Gambar 5. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS dari MI sampai SC pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) (MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal)
Berdasarkan gambar 5 (a) dapat dilihat bahwa pada sistem tertutup (close system) dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a tersedimentasi seiring proses pengendapan yang terjadi. Adapun kandungan klorofil-a berkisar antara 4,01 g/l – 38,76 g/l sedangkan kandungan phaeophytin-a berkisar antara 2,81 g/l – 19,91 g/l dengan konsentrasi TSS berkisar antara 32,5 mg/l – 62,5 mg/l. Berdasarkan gambar 5 (b) dapat dilihat bahwa pada sistem terbuka (open system) kandungan klorofil-a dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) berkisar antara 2,67 g/l – 37,42 g/l sedangkan kandungan phaeophytin-a berkisar antara 3,61g/l – 25,26 g/l dengan konsentrasi TSS berkisar antara 51 mg/l – 89,5 mg/l. Tingginya konsentrasi TSS tidak selalu diikuti dengan tingginya kandungan klorofil-a. Kandungan klorofil-a yang tinggi diduga karena banyaknya masukan bahan organik berupa fitoplankton yang hidup.
4.2.2. Perubahan konsentrasi TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka Secara umum, TSS mengalami peningkatan selama proses budidaya dapat dilihat pada gambar 6 dan tabel 4. Pada tambak budidaya saat DOC 30 konsentrasi TSS mengalami peningkatan sebesar 38,1 mg/l menjadi 70,6 mg/l sedangkan pada saat DOC 60 sebesar 24,5 mg/l menjadi 57 mg/l. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya sisa pakan udang yang tidak termakan, kotoran udang, organisme mati, fitoplankton dan lumpur yang ada di tambak. Hal ini sesuai dengan Timmons dan Losordo (2000), produksi suspended solid dalam sistem budidaya dapat dinilai karena adanya kotoran ikan atau udang, sisa pakan yang tidak termakan, dan biomassa bakteri. Tingginya konsentrasi TSS saat DOC 30 dibandingkan DOC 60 karena pada DOC 60 sudah mulai adanya aktivitas sipon (kegiatan membuang limbah tambak secara mekanis) yang biasanya dilakukan mulai DOC 40 dan dilakukan minimal enam jam per minggu. Tingginya TSS di tambak dapat mempengaruhi tingkat kecerahan perairan dan DO. Dapat dilihat pada lampiran 1, bahwa kecerahan di tambak saat DOC 30 dan DOC 60 berkisar antara 18,4 - 27 % dengan DO antara 4,1 - 8,6 mg/l. Konsentrasi TSS berbanding terbalik dengan kecerahan, dimana semakin tinggi
konsentrasi TSS semakin rendah nilai kecerahannya begitu juga sebaliknya. TSS ini dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung di perairan. Pengaruh langsungnya yaitu dengan tingginya keberadaan TSS di perairan maka akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan sehingga dapat menghambat proses fotosintesis dan pasokan oksigen terlarut. Tetapi, berdasarkan hasil pengukuran didapatkan DO yang masih memenuhi standar di tambak yaitu lebih dari 3,5 mg/l. Hal ini sesuai dengan Boyd dan Fast (1992), konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk ketahanan hidup dan pertumbuhan yaitu antara 3,5 mg/l sampai konsentrasi jenuh (saturasi). Sedangkan pengaruh tidak langsungnya yaitu akan meningkatkan kekeruhan perairan yang akan menghambat produktivitas perairan tersebut. Menurut Abel (1989), bahwa nilai TSS dapat dijadikan indikator kualitas suatu perairan karena TSS berpengaruh terhadap kecerahan dan kekeruhan air, sehingga akan mempengaruhi aktivitas di perairan tersebut.
Perubahan TSS (mg/l)
60 TSS T30,T60 :Close T90,T120 :Open
50 40 30 20 10 0 T30
T60
T90
T120
Lokasi
Gambar 6. Perubahan konsentrasi TSS selama proses budidaya (T30=Tambak DOC 30; T60=Tambak DOC 60; T90=Tambak DOC 90; T120=Tambak DOC 120)
Open
Close
Tabel 4. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya selama proses budidaya TSS (mg/l)
∆ TSS (mg/l)
TVSS (mg/l)
TFSS (mg/l)
%TVSS
%TFSS
Klorofil-a (g/l)
Phaeophytina (g/l)
70,60
38,1
37,60
33,00
53,30
46,70
65,04
219,99
T60
57,00
24,5
26,67
30,33
46,78
53,22
89,10
169,74
T90
105,00
52,5
74,33
30,67
70,79
29,21
82,86
169,74
T120
87,60
35,17
37,00
50,60
42,21
57,79
137,21
306,33
Lokasi T30
Pada tambak budidaya saat DOC 90 konsentrasi TSS mengalami peningkatan sebesar 52,5 mg/l menjadi 105 mg/l sedangkan pada saat DOC 120 sebesar 35,17 menjadi 87,6 mg/l. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya sisa pakan udang yang tidak termakan, kotoran udang, organisme mati, fitoplankton dan lumpur yang ada di tambak. Hal ini sesuai dengan Timmons dan Losordo (2000), produksi suspended solid dalam sistem budidaya dapat dinilai karena adanya kotoran ikan atau udang, sisa pakan yang tidak termakan dan biomassa bakteri. Tingginya konsentrasi TSS saat DOC 90 dibandingkan DOC 120 karena pada DOC 90 pakan yang diberikan semakin tinggi seiring bertambahnya umur budidaya udang. Selain itu, pada DOC 120 sudah mulai adanya aktivitas sipon (kegiatan membuang limbah tambak baik organik maupun anorganik secara mekanis) yang biasanya dilakukan selama tiga hari sampai sebelum panen. Tingginya TSS di tambak dapat mempengaruhi tingkat kecerahan perairan dan DO. Dapat dilihat pada lampiran 1, bahwa kecerahan di tambak saat DOC 90 dan DOC 120 berkisar antara 14,7 – 32,6 % dengan DO antara 2,8 – 7,1 mg/l. Konsentrasi TSS berbanding terbalik dengan kecerahan, dimana semakin tinggi konsentrasi TSS semakin rendah nilai kecerahannya begitu juga sebaliknya. TSS ini dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung di perairan. Pengaruh langsungnya yaitu dengan tingginya keberadaan TSS di perairan maka akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan sehingga dapat menghambat proses fotosintesis dan pasokan oksigen terlarut. Tetapi, berdasarkan hasil pengukuran didapatkan DO yang kurang memenuhi standar di tambak yaitu lebih dari 3,5 mg/l. Hal ini diduga karena banyaknya pakan yang diberikan seiring bertambahnya umur budidaya sehingga banyak pula sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran udang. Pada kondisi tersebut oksigen banyak dibutuhkan bakteri dalam proses penguraian bahan organik tersebut. Menurut Afrianto dan Liviawati (1991), aktivitas organisme yang paling banyak menggunakan oksigen yaitu proses pembusukan. Proses ini dapat berlangsung karena adanya aktivitas bakteri pembusuk yang menguraikan bahanbahan organik seperti sisa makanan tambahan, kotoran udang, maupun bangkai udang yang mati dan bahan organik lainnya. Sedangkan pengaruh tidak langsungnya yaitu akan meningkatkan kekeruhan perairan yang akan menghambat
produktivitas perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan Odum (1971), adanya kekeruhan dan padatan tersuspensi dapat menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air sehingga proses fotosintesis akan terganggu. Perubahan TSS selama proses budidaya jika dilihat dari persentase didapatkan seperti pada tabel 5. Berdasarkan persentase perubahan TSS selama proses budidaya terjadi peningkatan yang cukup berpengaruh tetapi berdasarkan uji statistik tidak signifikan. Persentase perubahan TSS meningkat dari SC ke tambak pada sistem tertutup dan terbuka berturut-turut sebesar 96,3 % dan 83,4 %. Berdasarkan uji t (Tabel 5 dan Lampiran 6), didapatkan hasil bahwa perubahan konsentrasi TSS selama proses budidaya dari SC sampai tambak tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % antara sistem tertutup dan terbuka karena t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05. Hal ini diduga karena perlakuan di tambak sama (terkontrol) maka perubahannya tidak terlalu signifikan. Berdasarkan uji t (Tabel 6 dan Lampiran 7), didapatkan hasil bahwa konsentrasi TSS selama proses budidaya di tambak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% antara sistem tertutup dan terbuka karena memiliki t hitung lebih besar dari t tabel dengan p kurangdari 0,05. Hal ini diduga karena adanya perlakuan tambak seperti pemberian pakan yang berbeda seiring bertambahnya umur budidaya sehingga dapat terjadi peningkatan konsentrasi TSS.
Tabel 5. Uji t perubahan TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % No. 1
Sistem tertutup dan terbuka SC-T
t hitung
t tabel
p(probabilitas)
-4,31
12,706
0,145
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05;
Kesimpulan ns*
% Perubahan TSS Tertutup Terbuka -96,3 -83,4
= peningkatan TSS)
Tabel 6. Uji t konsentrasi TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % No. 1
Sistem tertutup dan terbuka Tambak
t hitung -17,105
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05)
t tabel 12,706
p 0,037
Kesimpulan s*
Pada tambak budidaya saat DOC 30 dan 60 (pada sistem tertutup) kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a relatif mengalami peningkatan (Gambar 7) yaitu menjadi 65,04 g/l dan 89,10 g/l sedangkan kandungan phaeophytin-a menjadi 219,99 g/l dan 169,74 g/l dengan konsentrasi TSS yaitu 70,6 mg/l dan 57 mg/l. Kandungan klorofil-a di tambak lebih besar daripada di MI. Hal ini diduga karena di tambak terdapat aktivitas budidaya seperti pemberian pakan dan pemupukan yang akan menyebabkan rendahnya kecerahan perairan dan mengindikasikan bahwa fitoplankton yang melimpah dimana didalamnya terkandung klorofil-a sedangkan di MI tidak ada masukan bahan organik sehingga menyebabkan rendahnya kandungan klorofil-a dengan ditandai oleh kecerahan perairan yang tinggi. Peningkatan kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a diduga karena adanya pemupukan untuk menumbuhkan fitoplankton sebagai pakan alami udang dan sumber oksigen di tambak. Tingginya kandungan klorofil-a menggambarkan banyaknya fitoplankton yang hidup dapat terbukti dengan ditandai oleh warna air tambak yang berwarna hijau kecoklatan. Hal ini sesuai dengan Parker (2002), bahwa perairan yang kaya fitoplankton berwarna hijau dan menurut Poernomo (1998) in Lestari (2003) bahwa warna air yang disukai oleh
350 300 250
60 Klo-a Phaeo-a TSS T30,T60:Close T90,T120:Open
50 40
200 30 150 20
100
10
50 0
Perubahan TSS (mg/l)
Klorofil-a dan Phaeophytin-a (g/l)
petambak yaitu warna hijau kecoklatan.
0 T30
T60
T90
T120
Lokasi
Gambar 7. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS selama proses budidaya (T30=Tambak DOC 30; T60=Tambak DOC 60; T90=Tambak DOC 90; T120=Tambak DOC 120)
Pada tambak budidaya saat DOC 90 dan 120 (pada sistem terbuka) kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a relatif mengalami peningkatan (Gambar 7) yaitu menjadi 82,86 g/l dan 137,21 g/l sedangkan kandungan phaeophytin-a menjadi 169,74 g/l dan 306,33 g/l dengan konsentrasi TSS yaitu 105 mg/l dan 87,6 mg/l. Peningkatan tersebut diduga karena bahan organik berupa fitoplankton tinggi. Tingginya kandungan klorofil-a menggambarkan banyaknya fitoplankton yang hidup dapat terbukti dengan ditandai oleh warna air tambak yang berwarna hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parker (2002), bahwa perairan yang kaya fitoplankton berwarna hijau dan menurut Poernomo (1998) in Lestari (2003) bahwa warna air yang disukai oleh petambak yaitu warna hijau kecoklatan. Kandungan
phaeophytin-a
selama
proses
budidaya
lebih
besar
dibandingkan dengan kandungan klorofil-a. Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya kecerahan perairan sehingga cahaya yang masuk tidak sampai ke dalam perairan (terbatas). Oleh karena itu, fitoplankton yang dapat berfotosintesis hanya sedikit dan menyebabkan phaeophytin-a (fitoplankton yang mati) meningkat karena adanya kompetisi yang terjadi di dalam tambak untuk memperoleh ruang dan makanan (O2). 4.2.3. Perubahan konsentrasi TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka Perubahan konsentrasi TSS pada sistem tertutup di sub outlet menurun sebesar 6,3 mg/l menjadi 57,5 mg/l (Gambar 8 dan Tabel 7). Hal tersebut diduga karena adanya sipon dasar tambak sehingga limbah yang berasal dari tambak tidak banyak mengandung bahan organik. Kemudian di main outlet konsentrasi TSS mengalami penurunan sebesar 12 mg/l menjadi 45,5 mg/l. Hal tersebut terjadi karena adanya proses sedimentasi yang cukup panjang dari sub outlet untuk menuju main outlet (± 1,5 km) (PT. Centralpertiwi Bahari, 2008). Perubahan konsentrasi TSS pada sistem terbuka di sub outlet meningkat sebesar 0,7 mg/l menjadi 97 mg/l (Gambar 8 dan Tabel 7). Hal tersebut diduga karena adanya akumulasi limbah tambak yang banyak mengandung bahan organik. Kemudian pada main outlet konsentrasi TSS mengalami peningkatan sebesar 9 mg/l menjadi 106 mg/l. Hal tersebut terjadi diduga karena adanya proses
akumulasi bahan organik maupun anorganik seperti sisa pakan udang yang tidak termakan, kotoran udang, lumpur, organisme mati dan fitoplankton mati yang berasal dari keluaran setiap tambak menjelang panen (DOC 120).
Perubahan TSS (mg/l)
25 Close Open
20
15
10
5
0 SO
MO
Lokasi
Gambar 8. Perubahan konsentrasi TSS setelah proses budidaya (SO=Sub Outlet; MO=Main outlet)
Open
Close
Tabel 7. Parameter TSS dengan parameter terkait lainnya setelah proses budidaya TSS (mg/l)
∆ TSS (mg/l)
TVSS (mg/l)
TFSS (mg/l)
%TVSS
%TFSS
Klorofil-a (g/l)
Phaeophytina (g/l)
SO
57,50
-6,3
26,50
31,00
46,09
53,91
93,56
69,23
MO
45,50
-12
20,00
25,50
43,96
56,04
45,44
70,57
SO
97,00
0,7
59,00
38,00
60,82
39,18
62,82
172,41
MO
106,00
9
44,50
61,50
41,98
58,02
50,79
23,12
Lokasi
Perubahan TSS setelah proses budidaya jika dilihat dari persentase didapatkan seperti pada tabel 8. Berdasarkan persentase perubahan TSS setelah proses budidaya terjadi perubahan yang cukup berpengaruh dan peningkatan persentase perubahan terjadi dari SO ke MO pada sistem terbuka sebesar 9,2 %. tetapi berdasarkan uji statistik tidak signifikan. Berdasarkan uji t (Tabel 8 dan Lampiran 6), diperoleh hasil bahwa perubahan TSS setelah proses budidaya tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % antara sistem tertutup dan terbuka karena t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05. Hal ini dapat berpengaruh perubahannya tetapi tidak terlihat secara signifikan menurut statistik.
Tabel 8. Uji t perubahan TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % Sistem tertutup dan terbuka
No.
1
t hitung 0,538
SO-MO
t tabel
p(probabilitas)
12,706
0,686
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05;
% Perubahan TSS Tertutup Terbuka
Kesimpulan
ns*
20,8
-9,2
= peningkatan TSS)
Tabel 9. Uji t konsentrasi TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % No.
Sistem tertutup dan terbuka
t hitung
t tabel
p(probabilitas)
Kesimpulan
1
SO
-2,548
12,706
0,238
ns*
2
MO
-2,574
12,706
0,236
ns*
(ns=non significant; s=significant; *=pada taraf 0,05)
Berdasarkan uji t (Tabel 9 dan Lampiran 7), didapatkan hasil bahwa konsentrasi TSS setelah proses budidaya tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % antara sistem tertutup dan terbuka karena t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05. Hal ini dapat berbeda konsentrasinya tetapi tidak terlihat secara signifikan menurut statistik.
350 300
14 Klo-a Close Phaeo-a Close TSS Close
12
250
10
200
8
150
6
100
4
50
2
0
0 SO
MO
Lokasi
Perubahan TSS (mg/l)
Klorofil-a dan Phaeophytin-a (g/l)
(a)
350 Klo-a Open Phaeo-a Open TSS Open
300 250 200 150 100 50 0 SO
24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Perubahan TSS (mg/l)
Klorofil-a dan Phaeophytin-a (g/l)
(b)
MO
Lokasi
Gambar 9. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a dalam TSS setelah proses budidaya pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) (SO=Sub Outlet; MO=Main outlet)
Pada sub outlet kandungan klorofil-a sebesar 93,56 g/l sedangkan phaeophytin-a sebesar 69,23 g/l dengan konsentrasi TSS yaitu 57,5 mg/l (Gambar 9a dan Tabel 7). Hal ini diduga akibat akumulasi bahan organik berupa sisa pakan. Pada main outlet kandungan klorofil-a menurun dan phaeophytin-a meningkat dengan konsentrasi TSS yang menurun menjadi 45,5 mg/l diduga disebabkan oleh adanya pengendapan dan banyaknya fitoplankton yang mati. Pada sub outlet kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a sebesar 62,82 g/l dan 172,41 g/l dengan konsentrasi TSS yaitu 97 mg/l (Gambar 9b dan Tabel 7). Hal ini diduga akibat bahan organik berupa fitoplankton yang hidup telah banyak dikonsumsi oleh udang di tambak sedangkan fitoplankton yang mati juga sedikit. Pada main outlet kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a menurun dengan konsentrasi TSS yang meningkat menjadi 106 mg/l diduga disebabkan oleh adanya pengendapan bahan organik berupa fitoplankton yang hidup dan mati sebelum mencapai main outlet.
4.3. Komponen Total Suspended Solid (TSS) 4.3.1. Komponen TSS dari MI sampai SC pada sistem tertutup dan terbuka Total Suspended Solid (TSS) dalam sistem perairan tambak terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik direpresentasikan oleh Total
Volatile Suspended Solid (TVSS) sedangkan bahan anorganik direpresentasikan oleh Total Fixed Suspended Solid (TFSS). Konsentrasi TVSS dan TFSS pada sistem tertutup dan terbuka disajikan dalam bentuk persentase dari TSS (Lampiran 3). Hal ini sesuai dengan Sawyer et al. (2003), TVSS biasanya disajikan dalam hubungan persentase dari TSS. Bahan organik (TVSS) yang terdapat dalam sistem perairan tambak diduga berasal dari fitoplankton, zooplankton, bakteri, sisa pakan dan kotoran udang, sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang telah mati, sedangkan bahan anorganik (TFSS) yang terdapat dalam perairan diduga berasal dari lumpur dan partikel tanah. Hal tersebut sesuai dengan Effendi (2003), adapun yang termasuk bahan organik tersuspensi misalnya fitoplankton, zooplankton, jamur, bakteri dan sisasisa tumbuhan dan hewan yang telah mati sedangkan bahan anorganik tersuspensi, berupa koloid lumpur dan partikel tanah. Berdasarkan gambar 10 (a) dapat diketahui bahwa pada sistem tertutup (close system), mulai dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) persentase TVSS lebih rendah daripada TFSS yaitu berkisar antara 24,05 % - 35,71 % sedangkan persentase TFSS berkisar antara 64,29 % - 75,95 %. Nilai TVSS yang rendah diduga disebabkan oleh sedikitnya masukan bahan - bahan organik seperti fitoplankton, zooplankton sedangkan nilai TFSS yang tinggi diduga disebabkan oleh banyaknya bahan anorganik seperti pasir dan lumpur yang ada di kolom perairan.
(a) %TVSS %TFSS
TVSS dan TFSS (%)
100 80 60 40 20 0 MI
SI
81
Lokasi
73
SC
(b) % TVSS % TFSS
TVSS dan TFSS (%)
100 80 60 40 20 0 MI
SI
81
73
SC
Lokasi
Gambar 10. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS dari MI sampai dengan SC pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) (MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal)
Berdasarkan gambar 10 (b) dapat diketahui bahwa pada sistem terbuka (open system), mulai dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) persentase TVSS lebih tinggi daripada TFSS yaitu berkisar antara 61,90 % - 76,28 % sedangkan persentase TFSS berkisar antara 23,72 % - 38,10 %. Nilai TVSS yang tinggi diduga disebabkan oleh banyaknya masukan bahan - bahan organik dari main inlet dan tidak ada proses pengendapan terlebih dahulu sedangkan nilai TFSS yang rendah diduga masukan bahan anorganik seperti pasir dan lumpur hanya sedikit.
4.3.2. Komponen TSS selama proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka Komponen TSS selama proses budidaya lebih didominasi oleh bahan organik (TVSS) daripada bahan anorganik (TFSS). Hal tersebut dapat dilihat dalam bentuk persentase pada gambar 11.
%TVSS %TFSS
TVSS dan TFSS (%)
100 80 60 40 20 0 T30
T60
T90
T120
Lokasi
Gambar 11. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS selama proses budidaya pada sistem tertutup (close system) dan sistem terbuka (open system) (T30 dan T60:close system; T90 dan T120:open system; T30=Tambak DOC 30; T60=Tambak DOC 60; T90=Tambak DOC 90; T120=Tambak DOC 120)
Pada gambar 11 dapat diketahui tambak budidaya saat DOC 30 dan DOC 60 persentase TVSS mengalami peningkatan dari SC yaitu menjadi 53,30 % dan 46,78 % sedangkan persentase TFSS pada DOC 30 lebih rendah yaitu 46,70 % sedangkan pada DOC 60 lebih besar yaitu 53,22 %. Tingginya bahan organik (TVSS) tersebut dapat diduga karena adanya sisa pakan udang maupun kotoran udang sebagai hasil metabolisme udang tersebut. Pada tambak budidaya saat DOC 90 persentase TVSS mengalami peningkatan dari SC yaitu menjadi 70,79 % sedangkan persentase TFSS lebih rendah yaitu 29,21 % dan saat DOC 120 persentase TVSS mengalami penurunan yaitu menjadi 42,21 % dan persentase TFSS lebih tinggi yaitu 57,79 % (Gambar 11). Tingginya bahan organik (TVSS) pada DOC 90 dapat diduga karena adanya pemberian pakan udang yang semakin banyak dengan bertambahnya umur budidaya udang dan diduga sisa pakan dan kotoran udang pun akan menjadi besar. Pada DOC 120 bahan organik lebih rendah, hal ini diduga karena pakan yang diberikan menjelang panen sudah berkurang sehingga bahan organik lebih sedikit daripada bahan anorganik. Selain itu, adanya aktivitas penyiponan yang dilakukan menjelang panen juga menyebabkan sedikitnya bahan organik yang ada dalam tambak.
4.3.3. Komponen TSS setelah proses budidaya pada sistem tertutup dan terbuka Komponen TSS setelah proses budidaya lebih didominasi oleh bahan anorganik (TFSS) daripada bahan organik (TVSS) Hal tersebut dapat dilihat dalam bentuk persentase pada gambar 12a dan 12b.
(a) % TVSS % TFSS
TVSS dan TFSS (%)
100 80 60 40 20 0 SO
MO
Lokasi
(b) % TVSS % TFSS
TVSS dan TFSS (%)
100 80 60 40 20 0 SO
MO
Lokasi
Gambar 12. Komponen TSS dalam bentuk persentase TVSS dan TFSS pada (a) sistem tertutup (close system), (b) sistem terbuka (open system) (SO=Sub Outlet; MO=Main outlet)
Berdasarkan gambar 12 (a), dapat diketahui pada sub outlet persentase TVSS lebih rendah yaitu sebesar 46,09 % sedangkan TFSS sebesar 53,91 %. Hal tersebut diduga karena banyaknya bahan anorganik berupa lumpur yang berasal dari tambak. Kemudian pada main outlet terjadi peningkatan persentase TFSS, hal ini diduga karena akumulasi dari setiap keluaran tambak yang berupa lumpur.
Berdasarkan gambar 12 (b), dapat diketahui pada sub outlet persentase TVSS lebih tinggi yaitu sebesar 60,82 % sedangkan TFSS sebesar 39,18 %. Hal tersebut diduga karena banyaknya bahan organik berupa sisa pakan, kotoran udang dan organisme yang mati yang berasal dari limbah tambak. Kemudian pada main outlet terjadi peningkatan persentase TFSS, hal ini diduga karena akumulasi dari setiap keluaran tambak yang berupa lumpur.
4.4. Kaitan TSS dengan settleable solid Settleable solid adalah jumlah padatan tersuspensi yang biasanya diendapkan selama periode waktu tertentu dan disalurkan dengan alat yang berbentuk kerucut terbalik (imhoff cones) (Sawyer et al., 2003). Menurut Boyd dan Tucker (1992), besarnya konsentrasi TSS dan settleable solid dalam air tambak merupakan indikasi kekuatan pencemaran dari air limbah tambak. Berdasarkan tabel 10 dan lampiran 5 dapat dilihat bahwa konsentrasi settleable solid pada sistem tertutup mengalami penurunan dari main inlet sampai main outlet yaitu dari 0,3 ml/l menjadi 0,1 ml/l. Hal ini diduga karena adanya proses pengendapan yang terjadi sebelum air masuk ke tambak dan kembali mengalami pengendapan sampai di main outlet. Nilai settleable solid di main outlet relatif rendah sehingga dapat diketahui bahwa indikasi adanya pencemaran limbah tambak relatif rendah. Kemudian pada sistem terbuka konsentrasi settleable solid relatif tetap dari main inlet sampai main outlet yaitu 0,4 ml/l. Hal ini diduga karena adanya akumulasi bahan organik dan anorganik yang berasal dari tambak. Jika settleable solid dibandingkan dengan konsentrasi TSS, maka dapat dilihat bahwa tingginya konsentrasi TSS relatif seiring dengan tingginya konsentrasi settleable solid kecuali pada tambak (Tabel 10). Konsentrasi TSS yang tinggi di tambak tidak diikuti dengan konsentrasi settleable solid yang tinggi pula. Hal tersebut diduga karena adanya aerasi oleh kincir yang menyebabkan partikel-partikel di dalam tambak menyebar pada kolom perairan sehingga pengendapan yang terjadi hanya sedikit.
Tabel 10. Konsentrasi settleable solid dan TSS pada sistem tertutup dan terbuka Settleable solid (ml/l)
Sistem MI
Tambak
TSS (mg/l) MO
MI
Tambak
MO
Tertutup
0,3
0,1
0,1
62,5
63,8
45,5
Terbuka
0,4
0,1
0,4
89,5
96,3
106
4.5. Pengelolaan limbah tambak ditinjau berdasarkan TSS 4.5.1. Pergantian air tambak Pergantian air yang dilakukan oleh petambak dimulai sejak awal tebar benur (DOC 1). Pergantian air dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik di tambak yang disebabkan oleh adanya pemupukan, sisa pakan, organisme mati dan untuk mengencerkan kepadatan plankton di tambak. Selain itu, pergantian air ini juga berfungsi untuk menjaga kestabilan kualitas air di tambak agar tetap dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan udang. Pergantian air dilakukan dengan cara mengeluarkan air melalui pipa menuju sub outlet sebanyak ± 30 cm. Kemudian, memasukkan air sebanyak ± 30 cm (sesuai dengan jumlah air yang dikeluarkan) yang berasal dari tambak pengolahan air baku (treatment pond) yang dialirkan melalui supply canal ke dalam tambak dengan membuka pipa yang telah dipasang saringan strimin dengan ukuran 300 mikron. Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya kotoran dan hama ke dalam tambak.
4.5.2. Penyiponan dasar tambak Pada budidaya udang dengan sistem intensif, akumulasi dari bahan organik yang akan menjadi limbah di tambak semakin banyak sehingga pengelolaan limbah tambak sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air tambak. Limbah tersebut dapat berasal dari sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh udang, hasil metabolisme tubuh udang, dan udang dan plankton yang mati. Hal ini dapat menciptakan kondisi anaerob di dasar tambak yang dapat menyebabkan meningkatnya jumlah gas-gas beracun seperti nitrit, H2S, dan amoniak dalam tambak.
Limbah tambak dapat meningkatkan populasi bakteri patogen yang dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam tambak
karena bakteri
membutuhkan oksigen untuk mendekomposisi bahan organik yang ada di tambak. Bahan organik yang menjadi limbah tersebut dapat dibuang dengan cara melakukan penyiponan tambak. Petambak mulai melakukan penyiponan setelah udang berumur 40 hari atau DOC 40 dan dilakukan secara rutin minimal enam jam per minggu. Penyiponan tambak dilakukan dengan menggunakan sistem grafitasi yaitu dengan cara menyedot limbah yang berada ditengah tambak dengan menggunakan selang dan mengalirkannya melalui pipa ke saluran pembuangan sub outlet (SO). Setelah itu, air tambak dikembalikan hingga ketinggian ± 120 cm sebagai pengganti air yang hilang pada saat penyiponan. Air tersebut berasal dari tambak pengolahan air baku (treatment pond) yang dialirkan melalui supply canal dan dimasukkan ke dalam tambak dengan membuka pipa yang telah di pasang saringan strimin dengan ukuran 300 mikron pada pipa.
4.5.3. Pengaturan pembuangan air limbah tambak Air limbah pada waktu pemanenan udang vaname dibuang ke saluran sub outlet (SO). Pembuangan air dari dalam tambak tersebut dilakukan dengan cara menyedot air tambak dengan menggunakan pompa 8 inch. Air yang telah masuk ke dalam saluran SO kemudian disiram menggunakan klorin dengan dosis 45 liter (3 blong klorin) atau dengan menggunakan pond fos dengan dosis 20 liter. Hal ini dilakukan untuk sterilisasi air buangan dari tambak panen dan untuk mencegah kontaminasi patogen yang berasal dari tambak sehingga tidak mencemari lingkungan perairan sekitar. Saluran SO disamping sebagai saluran pengering juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sisa pakan udang. Saluran SO ini dibuat secara tertutup, artinya tidak berhubungan dengan perairan umum (Way Seputih). Air tambak yang mengandung sisa pakan udang dialirkan ke kanal pembuangan (dengan bantuan pompa mesin) sehingga tidak masuk ke Sungai Way Seputih. Di kanal ini, sisa pakan udang akan mengendap dan selanjutnya endapan tersebut dikeruk 3 bulan sekali serta dimanfaatkan masyarakat sebagai pupuk tanaman. Air limbah dari SO akan mengalami proses sedimentasi menuju saluran main outlet (MO) hingga sampai ke laut. Untuk mencegah terjadinya
pendangkalan saluran MO akibat adanya endapan bahan organik dari tambak dan lumpur, pihak dari PT. Centralpertiwi Bahari melakukan pengerukan dasar saluran MO. Pengerukan tersebut dilakukan setiap ± satu bulan sekali. Hasil pengerukan tersebut biasanya diletakkan di tepi MO sampai mengering, kemudian digunakan untuk bahan tambahan bangunan seperti menimbun tempat-tempat yang sedang ada pembangunan gedung. Salah satu bahan tambahan dasar bangunannya yaitu lumpur kering tersebut.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari main inlet (MI) sampai dengan supply canal (SC) relatif mengalami penurunan baik pada sistem tertutup (DOC 30 dan 60) maupun sistem terbuka (DOC 90 dan 120). Penurunan tersebut diduga karena adanya pengendapan. Persentase TVSS lebih rendah pada sistem tertutup daripada sistem terbuka. Kemudian konsentrasi TSS dan persentase TVSS selama proses budidaya mengalami peningkatan karena adanya aktivitas budidaya di tambak dan relatif mengalami penurunan pada sub outlet dan main outlet pada sistem tertutup maupun sistem terbuka. Pada sistem tertutup persentase TVSS lebih rendah daripada sistem terbuka. Hal ini diduga karena banyaknya limbah tambak seiring meningkatnya umur budidaya. Berdasarkan uji t, perubahan TSS antara sistem tertutup dan terbuka relatif tidak berbeda nyata dimana t hitung lebih kecil dari t tabel dengan p lebih dari 0,05. Hal ini dapat berbeda tetapi tidak terlihat secara signifikan perbedaannya menurut statistik. 2. Kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a pada sistem tertutup dan sistem terbuka dari main inlet (MI) sampai supply canal (SC) tersedimentasi seiring proses pengendapan yang terjadi. Pada tambak budidaya saat DOC 30 dan 60 (pada sistem tertutup) dan saat DOC 90 dan 120 (pada sistem terbuka) kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a relatif mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena adanya pemberian pakan dan pemupukan di tambak. Pada sistem tertutup di main outlet kandungan klorofil-a menurun dan phaeophytin-a meningkat sedangkan pada sistem terbuka di main outlet kandungan klorofil-a dan phaeophytin-a menurun.
5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian secara kontinu dari DOC 0 sampai panen pada setiap 10 hari dengan lokasi pengamatan yang sama agar lebih dapat menjelaskan perubahan TSS selama satu siklus budidaya dalam sistem perairan tambak udang intensif.
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] America Public Health Association. 1995. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 19 th ed. APHA. Washington, D.C. 1090 p. Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited, Chichester. Halsted Press : a division of John Willey and Sons. Newyork. 231 p. Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius Yogyakarta. 132 p. Ardiwijaya, R.R. 2002. Distribusi Horizontal Klorofil-a dan Hubungannya dengan Kandungan Unsur Hara Serta Kelimpahan Fitoplankton di Teluk Semangka, Lampung. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumbedaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Aquaculture Certification Council. 2005. Aquaculture Facility Certification: Certifying Best Practices for Responsible Aquaculture. Aquaculture Certification Council, inc. United States. 26 p. Basmi, J. 1999. Planktonologi: Ganggang Biru (Penuntun Identifikasi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 62 p. Bocek, A. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Water Harvesting Project of Auburn University, Alabama. 84 p. Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. 482 p. Boyd, C. E dan A. W. Fast. 1992. Pond Monitoring and Management. Elsevier Science Publishers B.V. All rights reserved. Boyd, C. E dan C. S. Tucker. 1992. Water Quality and Pond Soil Analyses for Aquaculture. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. 183 p. Boyd, C. E. 1999. Codes of Practice for Responsible Shrimp Farming. Global Aquaculture Alliance. USA. Curtis, H. 1978. Biology. 2nd ed. Worth Publisher, Inc. New York. 854 p. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 259 p.
Handayani, H. 2003. Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan N, P Dan Klorofil-a di Perairan Karamba Jaring Apung, Jangari, Waduk Cirata. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lestari, Y.T. 2003. Hubungan Kemelimpahan Fitoplankton dengan Kualitas Air di Tambak Bersubstrat Pasir. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumbedaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta Keterkaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. [Disertasi] (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3rd ed.. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 574 p. Parker, R. 2002. Aquaculture Science. 2 nd ed. Delmar Thomson Learning. United States. 621 p. Pratiwi, N.T.M. 1997. Kepekaan Komunitas Fitoplankton Terhadap Perubahan Unsur Hara di Tambak Bersubstrat Pasir. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Priyatno, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk Analisa Data dan Uji Statistik. MediaKom. Yogyakarta. 143 p. Sawyer, C.N., P.L. McCarty dan G.F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental Engineering and Science. 5th ed. Mc Graw Hill. London. 752 p. PT. Centralpertiwi Bahari. 2008. Standard Operational Procedur (SOP). Sudarmo, B.M. dan B.S. Ranoemihardjo. 1992. Rekayasa Tambak. Penebar Swadaya. Jakarta. 115 p. Timmons, M.B dan T.M. Losordo. 2000. Aquaculture Water Reuse Systems : Engineering Design and Management. Elsevier. Newyork. 333 p. Widigdo, B. 2001. Manajemen Sumberdaya Perairan. Bahan Kuliah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. William, P.J.B., D.N. Thomas dan C.S. Reynolds. 2002. Phytoplankton Productivity Carbon Assimilation in Marine and Freshwater Ecosystems. Blackwell Science. UK. 386 p.
www.wikipedia.org/wiki/Photosynthetic_pigment Diakses 25 Maret 2008 18.15 WIB www.krisosa.files.wordpress.com/2007/09/sumatera Diakses 10 Januari 2009 11.00 WIB
LAMPIRAN
Lampiran 1. Parameter in situ Pengamatan ke-1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu 10.20 10.37 10.55 11.12 15.29 14.25 14.40 15.13 16.00 16.17
Lokasi MI SI 81 73 SC 30 T1 30 T2 30 T3 SO MO
Warna air Coklat Hijau Hijau Muda Hijau Muda Hijau Muda Hijau Coklat Hijau Coklat Coklat Hijau Tua Hijau Tua
Cuaca Cerah Cerah Cerah Berawan Cerah Cerah Cerah Mendung Mendung Mendung
Keterangan : MI : Main Inlet SI : Sub Inlet 81 : Treatment pond 81 73 : Treatment pond 73 SC : Supply Canal 30 T1 : DOC 30an (35) Blok 2 jalur 41 petak 1 (02.41.01) 30 T2 : DOC 30an (35) Blok 2 jalur 41 petak 2 (02.41.02) 30 T3 : DOC 30an (36) Blok 2 jalur 41 petak 3 (02.41.03) SO : Sub Outlet MO : Main Outlet
Kecerahan(cm) 38 35 110 140 110 23 21 23 10 25
Kedalaman(cm) 125 35 110 140 110 115 108 120 10 78
DO(mg/l) 5.7 3.2 4.9 7.1 7.5 8.6 8.6 6.4 1.2 3.3
Kecerahan(%) 30.4 100.0 100.0 100.0 100.0 20.0 19.4 19.2 100.0 32.1
Lampiran 1. (lanjutan) Pengamatan ke-2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu 10.01 10.16 11.06 11.40 11.45 14.45 14.50 15.04 15.20 15.38
Lokasi MI SI 81 73 SC 60 T1 60 T2 60 T3 SO MO
Warna air Coklat Coklat Coklat Kehijauan Coklat Kehijauan Coklat Bening Coklat Hijau Hijau Hijau Tua Hijau Tua
Cuaca Kecerahan(cm) Kedalaman(cm) DO(mg/l) Kecerahan(%) Mendung 40 125 5.7 32.0 Mendung 40 40 7.8 100.0 Mendung 81 110 5.7 73.6 Mendung 85 115 4.1 73.9 Mendung 80 80 4.5 100.0 Cerah 31 115 4.1 27.0 Cerah 22 104 6.2 21.2 Cerah 23 125 5.9 18.4 Cerah 15 18 0.7 83.3 Cerah 30 68 5.3 44.1
Keterangan : MI : Main Inlet SI : Sub Inlet 81 : Treatment pond 81 73 : Treatment pond 73 SC : Supply Canal 60 T1 : DOC 60an (61) Blok 2 jalur 41 petak 1 (02.41.01) 60 T2 : DOC 60an (61) Blok 2 jalur 41 petak 2 (02.41.02) 60 T3 : DOC 60an (61) Blok 2 jalur 41 petak 3 (02.41.03) SO : Sub Outlet MO : Main Outlet
Lampiran 1. (lanjutan) Pengamatan ke-3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu 10.37 12.11 11.20 10.52 12.27 14.40 14.55 15.28 15.44 16.02
Lokasi MI SI 81 73 SC 90 T1 90 T2 90 T3 SO MO
Warna air Coklat Coklat Coklat Hijau Muda Coklat Hijau Coklat Hijau Muda Coklat Hijau Kehitaman Hijau Kehitaman
Cuaca Kecerahan(cm) Kedalaman(cm) DO(mg/l) Kecerahan(%) Cerah 35 120 7.4 29.2 Cerah 70 95 7.6 73.7 Cerah 76 180 8.6 42.2 Cerah 84 155 4.4 54.2 Cerah 70 70 10.8 100.0 Gerimis 26 120 2.8 21.7 Gerimis 21 140 5.1 15.0 Gerimis 22 150 3 14.7 Gerimis 5 5 0.6 100.0 Gerimis 38 80 3.8 47.5
Keterangan : MI : Main Inlet SI : Sub Inlet 81 : Treatment pond 81 73 : Treatment pond 73 SC : Supply Canal 90 T1 : DOC 90an (95) Blok 2 jalur 33 petak 1 (02.33.01) 90 T2 : DOC 90an (94) Blok 2 jalur 33 petak 2 (02.33.02) 90 T3 : DOC 90an (95) Blok 2 jalur 33 petak 3 (02.33.03) SO : Sub Outlet MO : Main Outlet
Lampiran 1. (lanjutan) Pengamatan ke-4 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu 09.16 09.42 10.00 10.48 10.29 11.00 11.08 11.42 12.03 12.18
Lokasi MI SI 81 73 SC 120 T1 120 T2 120 T3 SO MO
Warna air Coklat Coklat Coklat Hijau Muda Coklat Bening Hijau Tua Hijau Tua Hijau Tua Hijau Tua Hijau Tua
Cuaca Kecerahan(cm) Kedalaman(cm) DO(mg/l) Kecerahan(%) Cerah 35 115 7.1 30.4 Cerah 50 53 3.1 94.3 Cerah 120 150 5.1 80.0 Cerah 125 140 6.2 89.3 Cerah 65 65 6.4 100.0 Cerah 31 95 5.5 32.6 Cerah 26 108 5.9 24.1 Cerah 29 135 7.1 21.5 Cerah 21 60 4.7 35.0 Cerah 28 80 8 35.0
Keterangan : MI : Main Inlet SI : Sub Inlet 81 : Treatment pond 81 73 : Treatment pond 73 SC : Supply Canal 120 T1 : DOC 120an (121) Blok 2 jalur 39 petak 1 (02.39.01) 120 T2 : DOC 120an (121) Blok 2 jalur 39 petak 2 (02.39.02) 120 T3 : DOC 120an (120) Blok 2 jalur 39 petak 3 (02.39.03) SO : Sub Outlet MO : Main Outlet
Lampiran 2. Perubahan konsentrasi TSS mulai dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka Lokasi
MI
∆
Pengamatan 1
60,00
-20 40,00
Pengamatan 2
65,00
Rata-rata
Lokasi Pengamatan 3 Pengamatan 4
Rata-rata
∆
81 5 45,00
∆
73
-5 40,00
∆
SC
DOC T1
-3 37,00 33,6 30
-7 58,00 -14 44,00 -5 39,00 -11 28,00 29 60 13,50 4,50 5,00 7,00 38,10
62,50
MI
∆
SI
49,00
∆
SI
44,50
∆
81
39,50
∆
73
T2
T3
SC
∆
DOC
T1
T2
T3
Ratarata
82,00 -7 75,00 -28 47,00 -6 41,00 8 49,00 38,6 11, 23, 4,0 1,5 50 00 0 0 52,50
120
85,00 88,00 90,00 87,60
89,50
78,00
55,00
51,00
52,50 35,17
-10 40,00
6,30 0,50 57,50
90
-5 56,00
MO
8 65,00 -14 51,00 63,8 13,10 12,00
49
-2 61,00
∆
SO
60,00 57,00 54,00 57,00
122,0 112,00 81,00 0 105,00
97,00 -16 81,00 -18 63,00
∆
67,00 77,00 68,00 70,60 20,6 50,00
32,50 24,50
∆
Ratarata
∆
SO
∆
MO
105,0 0 0 -28 77,00 1,4 89,00
9,40
46
135,0 0
9,0 0
96,3 -8,00 0,70
45,50
97,0 0
Keterangan : MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal; T1,T2,T3=ulangan tambak masing-masing DOC (30, 60, 90 dan 120); SO=Sub Outlet; MO=Main outlet; ∆=selisih perubahan
106,0 0
Lampiran 3. Rata-rata klorofil-a dan phaeophytin-a dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka Klorofil-a (g/l) DOC 30 60 Rataan Phaeo-a DOC 30 60 Rataan
RataMI SI 81 73 SC T1 T2 T3 rata SO MO 34,75 10,69 2,67 0,00 16,04 104,25 80,19 10,69 65,04 53,46 18,71 42,77 37,42 16,04 8,02 2,67 66,83 104,25 96,23 89,10 133,65 72,17 38,76 24,06 9,36 4,01 9,36 93,56 45,44 (g/l) RataMI SI 81 73 SC T1 T2 T3 rata SO MO 13,90 22,99 2,94 1,87 2,67 314,88 222,93 122,16 219,99 19,51 123,49 24,59 16,84 2,67 3,21 2,94 148,35 266,23 94,62 169,74 118,95 17,64 19,25 19,91 2,81 2,54 2,81 69,23 70,57
Klorofil-a (g/l) DOC 90 120 Rataan Phaeo-a DOC 90 120 Rataan
RataMI SI 81 73 SC T1 T2 T3 rata SO MO 37,42 21,38 2,67 2,67 29,40 61,48 157,71 29,40 82,86 45,44 29,40 37,42 5,35 18,71 2,67 2,67 176,42 136,32 98,90 137,21 80,19 72,17 37,42 13,37 10,69 2,67 16,04 62,82 50,79 (g/l) Ratarata SO MI SI 81 73 SC T1 T2 T3 MO 24,59 16,84 2,67 3,21 2,94 148,35 266,23 94,62 169,74 118,95 17,64 0,00 21,65 47,85 12,30 4,28 258,48 420,46 240,04 306,33 225,87 28,60 12,30 19,25 25,26 7,75 3,61 172,41 23,12
Keterangan : MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal; T1,T2,T3=ulangan tambak masing-masing DOC (30, 60, 90 dan 120); SO=Sub Outlet; MO=Main outlet
Lampiran 4. Rata-rata dan persentase TVSS dan TFSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka Close system (DOC 30,60) Lokasi MI SI 81 73 SC T1 T2 T3 Rata-rata Persentase SO MO DOC 30 TSS 60,00 40,00 45,00 40,00 37,00 67,00 77,00 68,00 70,60 50,00 40,00 DOC 60 65,00 58,00 44,00 39,00 28,00 60,00 57,00 54,00 57,00 65,00 51,00 rataan 62,50 49,00 44,50 39,50 32,50 57,50 45,50 DOC 30 TVSS 30,00 19,00 15,00 11,00 13,00 35,00 45,00 33,00 37,60 53,26 19,00 24,00 DOC 60 9,00 16,00 12,00 8,00 7,00 30,00 27,00 23,00 26,67 46,79 34,00 16,00 rataan 19,50 17,50 13,50 9,50 10,00 26,50 20,00 Persentase 31,20 35,71 30,34 24,05 30,77 46,09 43,96 DOC 30 TFSS 30,00 21,00 30,00 29,00 24,00 32,00 32,00 35,00 33,00 46,74 31,00 16,00 DOC 60 56,00 42,00 32,00 31,00 21,00 30,00 30,00 31,00 30,33 53,22 31,00 35,00 rataan 43,00 31,50 31,00 30,00 22,50 31,00 25,50 Persentase 68,80 64,29 69,66 75,95 69,23 53,91 56,04 Open System (DOC 90,120) Lokasi MI SI 81 73 SC T1 T2 T3 Rata-rata Persentase SO MO DOC 90 TSS 97,00 81,00 63,00 61,00 56,00 112,00 81,00 122,00 105,00 105,00 77,00 DOC 120 82,00 75,00 47,00 41,00 49,00 85,00 88,00 90,00 87,60 89,00 135,00 rataan 89,50 78,00 55,00 51,00 52,50 97,00 106,00 DOC 90 TVSS 74,00 68,00 53,00 54,00 38,00 73,00 65,00 85,00 74,33 70,79 78,00 48,00 DOC 120 52,00 51,00 19,00 21,00 27,00 36,00 38,00 37,00 37,00 42,21 40,00 41,00 rataan 63,00 59,50 36,00 37,50 32,50 59,00 44,50 Persentase 70,39 76,28 65,45 73,53 61,90 60,82 41,98 DOC 90 TFSS 23,00 13,00 10,00 7,00 18,00 39,00 16,00 37,00 30,67 29,21 27,00 29,00 DOC 120 30,00 24,00 28,00 20,00 22,00 49,00 50,00 53,00 50,60 57,79 49,00 94,00 rataan 26,50 18,50 19,00 13,50 20,00 38,00 61,50 Persentase 29,61 23,72 34,55 26,47 38,10 39,18 58,02 Keterangan : MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal; T1,T2,T3=ulangan tambak masing-masing DOC (30, 60, 90 dan 120); SO=Sub Outlet; MO=Main outlet
Lampiran 5. Konsentrasi settleable solid dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) pada sistem tertutup dan terbuka Close system (DOC 30,60) SI 81 73 SC T1 T2 T3 DOC MI 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 30 0,40 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 60 Rataan 0,30 0,10 0,10 0,10 0,10
Ratarata SO MO 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10
Open System (DOC 90,120) DOC 90 120 Rataan
RataMI SI 81 73 SC T1 T2 T3 rata SO MO 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,20 0,10 0,60 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,70 0,40 0,10 0,10 0,10 0,10 0,15 0,40
Lokasi MI SI 81 73 SC T30 T60 SO MO
Settleable TSS(mg/l) Rataan solid(ml/l) 62,50 0,30 49,00 0,10 44,50 0,10 39,50 0,10 32,50 0,10 70,60 63,80 0,10 57,00 0,10 57,50 0,10 45,50 0,10
Lokasi MI SI 81 73 SC T90 T120 SO MO
Settleable TSS(mg/l) Rataan solid(ml/l) 89,50 0,40 78,00 0,10 55,00 0,10 51,00 0,10 52,50 0,10 105,00 96,30 0,10 87,60 0,10 97,00 0,15 106,00 0,40
Keterangan : MI=Main Inlet; SI=Sub Inlet; 81=petak 81; 73=petak 73; SC=Supply Canal; T1,T2,T3=ulangan tambak masing-masing DOC (30, 60, 90 dan 120); SO=Sub Outlet; MO=Main outlet
Lampiran 6. Uji statistik perubahan TSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) antara sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % 1. Perubahan TSS MI-SI Paired Samples Statistics Std. Error Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Mean
Close MI-SI
-13.5000
2
9.19239
6.50000
Open MI-SI
-11.5000
2
6.36396
4.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close MI-SI Open MI-SI Paired
Mean
Differences
-2.00000
Std. Deviation
2.82843
Std. Error Mean
2.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-27.41241
Upper
23.41241
t
-1.000
df
1
Sig. (2-tailed)
2.
.500
Perubahan TSS MI-8I Paired Samples Statistics Mean
Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close MI-81
-18.0000
2
4.24264
3.00000
Open MI-81
-34.5000
2
.70711
.50000
Lampiran 6. (lanjutan) Paired Samples Test Pair 1 Close MI-81 - Open MI-81 Paired Differences
Mean
16.50000
Std. Deviation
3.53553
Std. Error Mean
2.50000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-15.26551
Upper
48.26551
t
6.600
df
1
Sig. (2-tailed)
.096
3. Perubahan TSS MI-73 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close MI-73
-23.0000
2
4.24264
3.00000
Open MI-73
-38.5000
2
3.53553
2.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close MI-73 - Open MI-73 Paired Differences
Mean Std. Deviation
.70711
Std. Error Mean
.50000
95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
15.50000
Lower
9.14690
Upper
21.85310 31.000 1 .021
Lampiran 6. (lanjutan) 4. Perubahan TSS MI-SC Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close MI-SC
-30.0000
2
9.89949
7.00000
Open MI-SC
-37.0000
2
5.65685
4.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close MI-SC Open MI-SC Paired Differences
Mean
7.00000
Std. Deviation
15.55635
Std. Error Mean
11.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-132.76825
Upper
146.76825
t
.636
df
1
Sig. (2-tailed)
.639
5. Perubahan TSS SI-81 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SI-81
-4.5000
2
13.43503
9.50000
Open SI-81
-23.0000
2
7.07107
5.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close SI-81 – Open SI-81 Paired
Mean
Differences
18.50000
Std. Deviation
6.36396
Std. Error Mean
4.50000
95% Confidence Interval of the
Lower
-38.67792
Upper
75.67792
Difference t
4.111
df
1
Sig. (2-tailed)
.152
6. Perubahan TSS SI-73 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SI-73
-9.5000
2
13.43503
9.50000
Open SI-73
-27.0000
2
9.89949
7.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close SI-73 - Open SI-73 Paired Differences
Mean Std. Deviation
3.53553
Std. Error Mean
2.50000
95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
17.50000
Lower
-14.26551
Upper
49.26551 7.000 1 .090
7. Perubahan TSS SI-SC Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SI-SC
-16.5000
2
19.09188
13.50000
Open SI-SC
-25.5000
2
.70711
.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close SI-SC Open SI-SC Paired Differences
Mean
9.00000
Std. Deviation
18.38478
Std. Error Mean
13.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-156.18066
Upper
174.18066
t
.692
df
1
Sig. (2-tailed)
.614
8. Perubahan TSS 81-73 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close 81-73
-5.0000
2
.00000
.00000
Open 81-73
-4.0000
2
2.82843
2.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close 81-73 – Open 81-73 Paired
Mean
Differences
-1.00000
Std. Deviation
2.82843
Std. Error Mean
2.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-26.41241
Upper
24.41241
t
-.500
df
1
Sig. (2-tailed)
.705
9. Perubahan TSS 81-SC Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close 81-SC
-12.0000
2
5.65685
4.00000
Open 81-SC
-2.5000
2
6.36396
4.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close 81-SC Open 81-SC Paired Differences
Mean
-9.50000
Std. Deviation
12.02082
Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
8.50000 Lower
-117.50274
Upper
98.50274 -1.118 1 .465
10. Perubahan TSS 73-SC Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close 73-SC
-7.0000
2
5.65685
4.00000
Open 73-SC
1.5000
2
9.19239
6.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close 73-SC Open 73-SC Paired Differences
Mean
-8.50000
Std. Deviation
14.84924
Std. Error Mean
10.50000
95% Confidence Interval of the Lower Difference
Upper
-141.91515 124.91515
t
-.810
df
1
Sig. (2-tailed)
.567
11. Perubahan TSS SC-Tambak Paired Samples Statistics Mean Pair 1
Close SC-
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
31.3000
2
3.25269
2.30000
43.8000
2
7.35391
5.20000
Tambak Open SCTambak
Paired Samples Test Pair 1 Close SC-Tambak - Open SCTambak Paired
Mean
Differences
-12.50000
Std. Deviation
4.10122
Std. Error Mean
2.90000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
-49.34799
Upper
24.34799
t
-4.310
df
1
Sig. (2-tailed)
.145
12. Perubahan TSS SO-MO Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SO-MO
-12.0000
2
2.82843
2.00000
Open SO-MO
9.0000
2
52.32590
37.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close SO-MO – Open SO-MO Paired Differences
Mean
-21.00000
Std. Deviation
55.15433
Std. Error Mean
39.00000
95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
Lower
-516.54198
Upper
474.54198 -.538 1 .686
Lampiran 7. Uji statistik konsentrasi TSS dari main inlet (MI) sampai dengan main outlet (MO) antara sistem tertutup dan terbuka pada selang kepercayaan 95 % 1. Konsentrasi TSS di MI Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close MI
62.5000
2
3.53553
2.50000
Open MI
89.5000
2
10.60660
7.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close MI - Open MI Paired Differences
Mean
-27.00000
Std. Deviation
14.14214
Std. Error Mean
10.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-154.06205
Upper
100.06205
t
-2.700
df
1
Sig. (2-tailed)
.226
2. Konsentrasi TSS di SI Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SI
49.0000
2
12.72792
9.00000
Open SI
78.0000
2
4.24264
3.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close SI - Open SI Paired Differences
Mean
-29.00000
Std. Deviation
16.97056
Std. Error Mean
12.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-181.47446
Upper
123.47446
t
-2.417
df
1
Sig. (2-tailed)
.250
3. Konsentrasi TSS di 81 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close 81
44.5000
2
.70711
.50000
Open 81
55.0000
2
11.31371
8.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close 81 - Open 81 Paired Differences
Mean
-10.50000
Std. Deviation
10.60660
Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
7.50000 Lower
-105.79654
Upper
84.79654 -1.400 1 .395
4. Konsentrasi TSS di 73 Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close 73
39.5000
2
.70711
.50000
Open 73
51.0000
2
14.14214
10.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close 73 - Open 73 Paired Differences
Mean
-11.50000
Std. Deviation
13.43503
Std. Error Mean
9.50000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-132.20894
Upper
109.20894
t
-1.211
df
1
Sig. (2-tailed)
.440
5. Konsentrasi TSS di SC Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SC
32.5000
2
6.36396
4.50000
Open SC
52.5000
2
4.94975
3.50000
Paired Samples Test Pair 1 Close SC - Open SC Paired Differences
Mean
-20.00000
Std. Deviation
1.41421
Std. Error Mean
1.00000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-32.70620
Upper
-7.29380
t
-20.000
df
1
Sig. (2-tailed)
.032
6. Konsentrasi TSS di Tambak Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close Tambak
63.8000
2
9.61665
6.80000
Open Tambak
96.3000
2
12.30366
8.70000
Paired Samples Test Pair 1 Close Tambak Open Tambak Paired Differences
Mean Std. Deviation
2.68701
Std. Error Mean
1.90000
95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
-32.50000
Lower
-56.64179
Upper
-8.35821 -17.105 1 .037
7. Konsentrasi TSS di SO Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close SO
57.5000
2
10.60660
7.50000
Open SO
97.0000
2
11.31371
8.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close SO - Open SO Paired Differences
Mean
-39.50000
Std. Deviation
21.92031
Std. Error Mean
15.50000
95% Confidence Interval of the Difference
Lower
-236.44617
Upper
157.44617
t
-2.548
df
1
Sig. (2-tailed)
.238
8. Konsentrasi TSS di MO Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Close MO
45.5000
2
7.77817
5.50000
Open MO
106.0000
2
41.01219
29.00000
Paired Samples Test Pair 1 Close MO - Open MO Paired Differences
Mean Std. Deviation
33.23402
Std. Error Mean
23.50000
95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed)
-60.50000
Lower
-359.09581
Upper
238.09581 -2.574 1 .236
Lampiran 8. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Secchi disc
Kertas saring Whatman 934-AH
Spektrofotemeter
DO meter YSI 51 B
Timbangan analitik
satu set vaccum pump
Lampiran 8. (lanjutan)
Muffle furnace
Imhoff cones
Oven
Desikator
Water Column Sampler
Lampiran 9. Gambar lokasi pengambilan sampel a. DOC 30
Main Inlet
Treatment Pond 81
Sub Inlet
Treatment Pond 73
Supply Canal
Tambak 1
Tambak 2
Tambak 3
Lampiran 9. (lanjutan)
Sub Outlet
Main Outlet
Main Inlet
Sub Inlet
Treatment Pond 81
Treatment Pond 73
b. DOC 60
Supply Canal
Tambak 1
Lampiran 9. (lanjutan)
Tambak 2
Tambak 3
Sub Outlet
Main Outlet
C. DOC 90
Main Inlet
Sub Inlet
Lampiran 9. (lanjutan)
Treatment Pond 81
Supply Canal
Tambak 2
Treatment Pond 73
Tambak 1
Tambak 3
Lampiran 9. (lanjutan)
Sub Outlet
Main outlet
Main Inlet
Sub Inlet
d. DOC 120
Treatment Pond 81
Treatment Pond 73
Lampiran 9. (lanjutan)
Supply Canal
Tambak 1
Tambak 2
Tambak 3
Sub Outlet
Main Outlet