Perubahan Representasi Kartun Panji Koming dalam Menyampaikan Pesan Politik di Koran Kompas Pada Masa Orba Hingga Pasca Reformasi
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penelitian mengenai kartun dan sisi politiknya ini muncul ketika sekarang telah banyak media dan konsep penyampaian politik dengan cara yang lebih menarik dari sebelumnya, salah satunya yaitu dengan menggunakan kartun. Konsep-konsep yang semula dipergunakan untuk hal lain ternyata dapat digunakan untuk menyampaikan hal yang lebih “berat” seperti politik. Maka dari itu muncul ide penelitian mengenai kartun dan representasi politik. Penelitian ini ingin melihat bagaimana kartun Panji Koming yang ada di koran Kompas berubah representasinya sebagai penyampai pesan politik pada saat orde baru dan pasca reformasi. Seperti kita ketahui bersama kondisi media massa saat orde baru dan saat pasca reformasi kondisinya jauh berbeda. Pembatasan-pembatasan terhadap media massa sangat mempengaruhi adanya kartun dan isi kartun di media massa. Maka dari itu akan sangat menarik jika kita melihat bagaimana perubahan cara kartun merepresentasikan pesan politiknya di media massa, salah satunya Panji Koming di koran Kompas. Alasan terpilihnya kartun sebagai bagian dalam penelitian ini adalah kartun memang merupakan hal yang biasa ada dalam masyarakat, tapi bagaimana jika kartun mempunyai unsur politis. Kartun yang semula identik sebagai media 1
hiburan terutama hiburan anak-anak, kini mengalami proses perubahan representatif, menjadi sedikit lebih “nakal” dengan membumbuinya dengan unsur politis. Seperti yang kita ketahui saat ini banyak media cetak seperti koran, majalah dan media cetak lainnya yang menggunakan media kartun sebagai penyampai pesan-pesan politik yang ingin mereka sampaikan. Sebenarnya cara ini merupakan cara yang telah lama digunakan selama bertahun-tahun. ”Penggunaan kartun dalam konteks politik pada pemerintahan mulai dikenal pada tahun 1843 ketika ratu victoria memimnta pangeran albert untuk mempelopori suatu pameran kartun yang diselenggarakan di gedung parlemen Inggris. Selanjutnya kartun politik mulai efektif digunakan secara besar-besaran sebagai strategi perang urat syaraf yakni pada pemerintahan nazi jerman dibawah joseph gobbels kartun menjadi media yang efektif untuk perang urat syaraf”.1
Pesan-pesan yang berupa sindiran dan kritikan terhadap suatu kasus dan isu serta peristiwa-peristiwa yang sedang hangat dibicarakan dialihkan menggunakan media kartun, sehingga terkesan lebih ringan dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. “Kaum psikolog, terutama ahli propaganda, meyakini prinsip utama otak manusia, yang menjadi alasan mengapa kartun menjadi media efektif di dalam membangkitkan keberpihakan. Ada beberapa argumen yang mendasarinya (diilhami dari tulisan schulze. Wechsunger, 2000, political propaganda, dan jalaluddin rakhmat (1986) psikologi komunikasi. Bandung : remadja rosda karya). Pertama, otak manusia didesain untuk memaknai image, bukan kata. Kedua, otak akan menangkap gejala “berita” atau “kata”, kemudian akan dikonversi ke dalam bentuk image. Ketiga, kartun politik merupakan media yang sangat efektif dalam membangun komunikasi politik. keempat, credo goebbels, dalam komunikasi politik terutama propaganda yakin sekali dengan konsep goebbels, tentang siapa yang menjadi target (“to whom”) dari propaganda, sasaran efektifnya orang yang tidak berpendidikan.”2 1
Munawar ahmad “menyimak relasi kekuasaan dalam kartun” dalam Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik vol. 5 no. 1 juli 2001, hal 122 2 Ibid, Munawar Ahmad, hal 123
2
Seiring berjalannya waktu, representasi yang ditimbulkan oleh media ekspresi kartun semakin lama semakin berubah. Perubahan itu bukan hanya perubahan secara visual namun perubahan itu juga terdapat dalam isinya yang terlihat lebih berat. Dapat kita lihat pada koran-koran dan media massa lain yang menampilkan kartun sebagai salah satu isi dari media mereka untuk menyampaikan pesan. Misalnya saja dalam koran Kompas terdapat halaman yang berisi beberapa judul kartun yang hampir semuanya menunjukkan sisi politik dan cara pandang politis mereka terhadap sebuah kasus yang sedang hangat dibahas di Kompas. Seolah-olah tiap sisi dalam media massa itu akan dijadikan sebuah alat penguat sisi pandang dan pendapat media terhadap suatu kasus. Kartun memang sebagai sebuah media yang mampu diterima masyarakat dengan sangat baik. Sehingga banyak sekali perubahan penambahan jenis kartun dari waktu ke waktu sehingga menjadi lebih beragam. Proses yang akhirnya membawa kartun yang biasanya dilihat sebagai hiburan berubah perannya menjadi sejauh ini, menjadi media penyampai politik seperti yang telah kita rasakan sekarang. Kartun memang mempunyai dampak luar biasa terhadap pemahaman masyarakat Indonesia mengenai suatu kasus dan isu yang sedang hangat dibicarakan. GM Sudarta yang merupakan pencipta salah satu karakter kartun terkenal Oom Pasikom di koran kompas pernah menyatakan bahwa ”kartun di Indonesia belakangan ini sudah bisa menjadi karya seni yang menyimpan gema panjang, sarat oleh pesan dan estetika, disamping kadar humornya. Tapi karikatur dalam 3
arti editorial cartoon masih sedikit. Ini mungkin erat kaitannya dengan opini dan kritik, yang masih memerlukan pertanggungjawaban yang rumit”
3
Dari
pernyataan ini kita dapat melihat bahwa beberapa waktu belakangan karya seni rupa yang berupa kartun sudah bisa bertransformasi menjadi penyampai pesan yang sarat akan unsur politik. Pesan tersebut dapat dilihat secara tersurat maupun tersirat. Dan bisa kita lihat bahwa kartun menjadi semakin terbuka dengan potensinya sebagai alat politik. Contoh kartun yang menyampaikan unsur politiknya secara tersirat adalah Oom Pasikom dari koran Kompas yang masih menggunakan sindiran secara lebih halus. Sedangkan kartun yang lebih terbuka dan tersurat adalah kartun Si Kribo dan Timun di koran yang sama, yakni Kompas, yang menyampaikan pesannya secara lebih terbuka dan lebih gampang ditangkap pesannya. Dan dari sekian banyak kartun yang ada di koran terutama di koran Kompas, Panji Kominglah yang akhirnya terpilih karena merupakan salah satu kartun yang sudah sangat populer di masyarakat. Tak hanya itu saja, kartun Panji Koming juga telah ada sejak orde baru sehingga relevan untuk dilihat perbedaannya saat orde baru dan sekarang, pasca reformasi. Alasan lain pemilihan Panji Koming adalah karena kartun ini ada pada koran Kompas yang kita ketahui sejak dulu telah memiliki penikmatnya sendiri dan memiliki angka penjualan yang tinggi. “Misalnya saja tahun 1970 kebanyakan surat kabar terjual kurang dari 20000 eksemplar.hanya 4 yang memiliki sirkulasi melebihi angka 40000: koran 3
Prisma 5 Mei 1987. “Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia”. Hal 49 (dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
4
berhaluan radikal merdeka (82000), dua surat kabar kristiani yang prestisius yakni kompas (75000)dan sinar Harapan (65000) serta berita yudha miliki tentara (75000)”.4
Angka diatas dapat menjelaskan bagaimana posisi koran Kompas dimata masyarakat Indonesia pada masa itu. Bahkan hingga saat ini koran tersebut sangat mudah untuk kita temukan setiap harinya. Jadi tak ada alasan untuk tidak menjadikan koran ini, terutama kartun Panji Koming yang hadir setiap minggunya di Koran Kompas sebagai objek penelitian yang menarik untuk dikaji. Dan pada penelitian ini akan mengambil masa antara periode tahun 1990-an dan tahun 2000-an sebagai bahan yang dominan dikaji sedangkan dalam beberapa bagian akan mengambil dari tahun1970-an dan tahun 1980-an sebagai penguat tulisan. Sebenarnya penelitian mengenai kartun ini bukanlah yang pertama, bahkan dapat kita katakan bahwa tidak sedikit yang membahas tentang kartun meskipun tema yang diambil itu tidak sama. Selain itu kartun lain pernah dibahas oleh salah satu mahasiswa di Jurusan Ilmu Pemerintahan dalam skripsinya yang juga mengangkat salah satu kartun yaitu mengenai Oom Pasikom. Penggambaran Oom Pasikom ini pernah disampaikan pada skripsi yang pernah ditulis oleh Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Skripsi yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”. Skripsi ini menceritakan bagaimana Oom Psikom menanggapi aksi-aksi terorisme dan penanganannya di Indonesia. Dengan skripsi ini jelas sekali bahwa sekarang kartun di media massa 4
Atmakusumah 1980: 232 menyitir kritis mengupas suratkabar, cipta loka caraka, badan lektur pembinaan mental, jakarta, 1970, hlm. 69-70 (dikutip dari David T.Hill. “Pers di Masa Orde Baru”. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. 2011. Hal. 36)
5
terutama dalam kasus ini media cetak, menjadi sebuah alat untuk menyampaikan pesan poltik. Tulisan lain yang juga pernah membahas mengenai kartun adalah tulisan dari Munawar Ahmad, “Menyimak Relasi Kekuasaan dalam Kartun”. Salah satu tulisan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol.5 no.1 Juli 2004 ini membicarakan mengenai kartun dengan relasi kuasa. Tulisan ini menceritakan mengenai penggunaan kartun yang dijadikan sarana politik, dan dalam hal ini yang diangkat adalah mengenai hubungan relasi kuasa yang menjadi bagian dalam politik dengan kartun. Kedua tulisan ini merupakan beberapa tulisan yang mendasari penulis untuk mengangkat kartun sebagai objek penelitian yang sangat menarik untuk dikaji. Tulisan-tulisan tersebut seakan menjelaskan bahwa hal-hal yang “ringan” pun dapat dipolitisasi. Hal tersebut pula yang ingin penulis angkat dalam penelitian ini, kartun dan peluangnya sebagai sarana politik. Namun setiap tulisan pasti mempunyai perbedaan, baik perbedaan sudut pandang, cara menyampaikan maupun materi yang disampaikan meskipun dengan satu tema yang sama. Dalam penelitian ini penulis tidak akan mengangkat mengangkat tema mengenai kartun dan terorisme serta tidak akan melihat secara khusus antara relasi kuasa dan kartun seperti tulisan atau penelitian yang telah disampaikan sebelumnya. Meskipun dalam beberapa hal penelitian ini akan menggunakan tulisan dari penelitian sebelumnya untuk dijadikan refrensi dalam penulisan. Telah banyak penelitian yang mengulas tentang kartun dan politik, namun bagi penggemar Panji
6
Koming tulisan ini mungkin saja bisa menjadi hal yang menarik untuk diikuti karena lebih spesifik mengenai salah satu kartun populer di Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Munawar Ahmad, “Menyimak Relasi Kekuasaan dalam Kartun”. Salah satu tulisan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol.5 no.1 Juli 2004 ini membicarakan mengenai kartun dengan relasi kuasa. Kartun yang dimaksud dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik kartun yang digunakan. Baik apakah kartun tersebut berasal dari media cetak maupun elektronik.
Dalam tulisan tersebut jangka waktu kartun yang
digunakan tidak disebutkan secara lebih lengkap, sehingga penggunaan tulisan tersebut sebagai refrensi bisa digunakan dalam kurun waktu yang lama. Berbeda halnya dengan tulisan yang akan penulis sampaikan. Dalam penelitian ini penulis hanya berfokus kepada satu jenis kartun dari media cetak yaitu kartun Panji Koming, sehingga bisa saja penelitian ini tidak sesuai apabila digunakan atau dibandingkan dengan menggunakan kartun yang lain. Selain itu rentan waktu yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada masa orde baru dan pasca orde baru. Meskipun terdapat perbedaan antara penelititan ini dengan beberapa refrensi yang digunakan, namun tetap terdapat persamaan dan garis besar dari kedua penelitian ini.
Kedua penelitian ini sama-sama
menggunakan kartun sebagai tema utama penelitian dan melihat kartun sebagai suatu sarana dalam menyampaikan unsur-unsur politik. Apapun bahasa dan cara menyampaikan pesan-pesan yang sarat akan unsur politik dalam sebuah kartun, kita tetap dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kartun sudah mengalami sebuah transformasi dalam pergeseran fungsi 7
representasinya atau dapat kita katakan telah bertambah fungsi dan perannya. Itulah mengapa penelitian ini dibuat. Penelitian yang ingin mengetahui secara lebih mendalam pergeseran yang terjadi seperti apa dan bagaimana dapat terjadi. Sehingga dapat membawa kita kepada pemahaman yang lebih mendalam akan pentingnya berpikir kritis terhadap semua hal yang ada dihadapan kita dan lebih menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak selalu sama di setiap perjalanan waktunya atau dengan kata lain berkembang dinamis sesuai dengan perjalanan waktu.
B. RUMUSAN MASALAH Fenomena yang terjadi dalam kartun di Indonesia, salah satunya kartun Panji koming yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya. Sehingga tercetuslah sebuah rumusan masalah yang ingin dihadirkan dalam penelitian ini yakni mengenai “Bagaimana perubahan representasi kartun Panji Koming dalam menyampaikan pesan politik di Koran Kompas pada masa Orba dan pasca reformasi?”
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana kartun di media massa Indonesia, terlebih dalam hal ini kartun Panji Koming di koran Kompas yang notabene sebagai media yang diteliti, mengalami pergeseran dalam penyampaian isi dan makna yang terkandung didalamnya. Khusunya dalam 8
penelitian ini pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. Peneliti ingin mengetahui pergeseran yang dialami oleh kartun Panji Koming dalam hal representasi politik. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui seperti apa perubahan-perubahan yang terjadi selama orde baru menuju era pasca orde baru (jika memang ada perubahan) atau bahkan mungkin tidak ada perubahan sama sekali. Penelitian ini juga ingin mengetahui dan membuktikan apakah faktor berubahnya sistem rezim yang berkuasa memang dapat menyebabkan perubahan dan pergeseran representasi dari media massa suatu negara. Terutama dalam hal ini adalah kartun Panji Koming. Dan seperti apa bentuk perubahannya serta bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan dari perubahan tersebut. Karena kita tahu bahwa rezim orde baru merupakan orde yang menjadi sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia merupakan rezim yang berbeda dari rezim-rezim penerusnya. Rezim yang telah mengakar selama 32 tahun di Indonesia ini telah membentuk masyarakat Indonesia sedemikian rupa. Pengaruh orde baru sudah sangat melekat kuat pada kehidupan dan budaya di masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana halnya jika kemudian Indonesia berganti dengan rezim yang berbeda jauh dari rezim sebelumnya. Hal yang tersebut diatas telah memancing keingintahuan penulis terhadap hal tersebut. Terlebih karena banyaknya orang yang berpendapat bahwa media massa itu dapat berubah tergantung kondisi pada saat itu, dimana dan siapa yang berkuasa. Jadi bisa kita katakan secara sederhana bahwa baik gambar maupun tulisan mempunyai muatan pesan yang berbeda dan hal ini dapat dipolitisasi 9
dengan mudah oleh orang ataupun pihak yang menginginkannya. Karena itu penelitian ini juga bertujuan supaya kedepannya masyarakat bisa lebih kritis terhadap segala sesuatu termasuk pemberitaan yang ada di media, baik di media cetak maupun media elektronik. Seperti telah disebutkan diatas bahwa pemberitaan-pemberitaan tersebut mempunyai representasi dan hidden interest masing-masing. Diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat bisa lebih menyadari ternyata hal kecil disekitar kita, seperti kartun yang kita nikmati seharihari bisa mengalami perubahan yang mungkin tidak disadari sebelumnya.
D. KERANGKA TEORI D.1 Kartun Kartun merupakan suatu karya seni rupa dua dimensi yang berupa gambaran atas sebuah benda hidup maupun benda tak hidup yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu kesan tersendiri dan mempunyai makna. Karya 2 dimensi lainnya yang sering rancu dengan kartun adalah penyebutan kartun dan karikatur. Terkadang terjadi tumpang tindih pemaknaan kartun dan karikatur oleh sebagian orang. Karikatur sebenarnya merupakan salah satu jenis dari kartun. Karikatur sendiri adalah pencitraan berlebihan atas wajah seseorang yang biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek.5 Sehingga dapat kita
5
GM. Sudarta. “Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia”. Prisma 5 Mei 1987. Hal 49-50 (dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
10
katakan bahwa kartun mempunyai lingkup yang lebih luas dibanding karikatur yang merupakan bagian dari kartun. Kartun mempunyai tema yang beragam, mulai dari masalah cinta, perang, politik, ekonomi, kehidupan sehari-hari, seni budaya, agama, olahraga, mode, sampai adat istiadat dan hal-hal yang surealistis sekalipun (Yustiniadi, 1996:50).6 Jenis-jenis kartun yang ada antara lain;7 1. Kartun editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga disebut kartun politik. Kartun ini sekarang tidak hanya ada pada media cetak tapi juga telah ada di media elektronik, seperti di beberapa acara di stasiun Televisi dan di situs-situs di internet. 2. Kartun murni (gag cartoon) yang dimaksud sekedar sebagai lelucon atau olok-olokan tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. Sehingga dapat dikatakan kartun jenis ini lebih netral, karena hanya bertujuan untuk sekedar lelucon dan menghibur. 3. Kartun komik (comic cartoon) yang dalam media cetak merupakan susunan gambar, biasanya terdiri dari tiga sampai enam kotak. Isinya hanya komentar humoris tentang suatu peristiwa atau masalah aktual. Sedangkan dalam media elektronik misalnya saja pada jenis kartun
6
Gusti Indah, “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Kerikatur; studi Tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas periode 2001-2003”, tahun 2009 7 Klasifikasi ini terdapat dalam penbahasan-pembahasan kartun (Cipta Adi Pustaka, 1990, 201) dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 2001-2003”)
11
yang ditonton oleh anak-anak, yang biasanya kebanyakan berisi mengenai pengetahuan, petualangan maupun tentang imajinasi seseorang yang ditumpahkan dalam bentuk gambar yang bergerak.
D.2 Kartun di Media Massa Kartun semula identik dengan hiburan bagi anak-anak. Karena kartun yang ada biasanya berisi mengenai suatu imajinasi seseorang terhadap lingkungan, benda, maupun kejadian yang hanya ada pada dunia khayal mereka. Namun seiring berjalannya waktu kartun tidak hanya menjadi media hiburan yang menyenangkan melainkan juga merambah ke hal-hal yang lebih serius dan lebih berat. Media yang digunakan untuk menuangkan atau menggambar kartun ada bermacam-macam. Dahulu orang hanya akan menggambar kartun pada sebuah kertas. Namun saat ini media penuang kartun tidak hanya terbatas pada kertas semata, bahkan sekarang ada dimana-mana. Di dinding-dinding yang ada disekitar kita juga terdapat kartun yang biasa disebut dengan mural maupun grafiti. Bahkan tanpa kita sadari kartun juga ada di benda-benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti baju, lemari, mug, tempat pensil dan lain sebagainya. Namun yang paling sering kita temui sekarang adalah penggunaan kartun pada media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Kartun di media massa Indonesia sudah ada sejak 1930-an. Saat ini dengan teknologi yang lebih canggih kartun juga muncul di televisi. Setiap hari di hampir semua stasiun televisi terdapat kartun, baik itu berupa kartun yang utuh dan membentuk sebuah 12
kisah maupun hanya bagian-bagian yang mengandung makna. Kita dapat melihat kartun juga digunakan untuk iklan, baik iklan sebuah produk, iklan politik, maupun iklan layanan masyarakat. Dalam beberapa media elektronik (TV dan situs Internet), kartun juga kadang digunakan sebagai ikon dari perusahaan mereka. Misalnya saja TV One yang menggunakan sosok kartun “Bang One” sebagai ikon dari TV One. Tak jarang pula Bang One hadir sebagai perwakilan dari sisi pandang TV One terhadap sebuah isu yang sedang berkembang. Begitu pula yang terjadi di media cetak. Di setiap majalah maupun koran yang kita baca setiap hari, terdapat halaman atau kolom yang menyediakan tempat khusus untuk kartun. Kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul disetiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon, yakni versi lain dari editorial atau tajuk rencana dalam versi gambar humor, dan inilah yang biasa disebut dengan karikatur.8 Dari kartun yang ringan hingga kartun yang berisi tentang hal yang berat, selalu kita jumpai di media massa. Dengan berbagai alasan keberadaan kartun di media massa yang menjadikannya sebagai hiburan, penyampai berita atau pesan, maupun menjadi alat propaganda, dapat kita katakan bahwa kartun sudah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari media massa. Jadi saat ini kartun sudah bukan merupakan hal yang asing lagi. Bahkan kartun tidak lagi terbatas pada penikmat kalangan anak-anak dan remaja saja. Tapi kartun juga
8
Ibid (dikutip dari skripsi tulisan Gusti Indah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Menyimak Relasi Kekuasaan Dalam Karikatur; Studi tentang Terorisme Berbalut Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas 20012003”)
13
sudah dapat masuk ke ranah dunia orang dewasa, dengan pemberitaan yang lebih berat dan sesuai dengan pemikiran orang dewasa pada umumnya.
D.3 Representasi Representasi sendiri mempunyai pengertian mewakili.9 Representasi juga berarti menyampaikan sebuah pesan dan sebagai pertunjukan definisi yang mempengaruhi opini dan aksi. Representasi atau gambaran-gambaran dan ide-ide yang dibentuk dalam pikiran memiliki implikasi yang sangat luas bagi orangorang dalam konteks yang nyata. Representasi yang bersifat imajiner dapat mempengaruhi pihak dalam dunia nyata baik dalam mengambil keputusan dan tindakan tertentu. Merepresentasikan artinya menyampaikan atau menggambarkan sebuah ide dan keinginan yang ada di dalam pikiran seseorang terhadap sesuatu. Dan terkadang dengan merepresentasikan sesuatu bisa berarti seseorang mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Representasi secara umum dapat kita bedakan menjadi beberapa jenis, yang pertama adalah representasi yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung atau tersurat. Representasi yang kedua adalah representasi yang tersirat atau dapat dikatakan terdapat hidden interest di dalamnya sehingga dibutuhkan sebuah pemikiran yang lebih mendalam untuk menangkap makna sesungguhnya. Representasi dapat dilakukan melalui beberapa media seperti tulisan dan gambar yang telah disesuaikan dengan apa yang ingin direpresentasikan.
9
http://kbbi.web.id/representasi
14
Dalam tulisan Spivak, dia menekankan fakta bahwa, representasi adalah salah satu jenis dari tindakan berbicara, dengan seorang pembicara dan seorang pendengar. 10 Dengan kata lain representasi adalah cara pandang salah satu pihak yang ditujukan untuk pihak lain atau suatu hal. Pandangan ini berupa sesuatu hal yang imaginer, yang tidak dapat ditangkap atau dilihat secara langsung, tetapi dapat dirasakan dan dipahami. Sehingga representasi antara satu orang dengan yang lain terhadap suatu hal yang sama bisa jadi tidak sama. Karena seperti yang telah disebutkan diatas bahwa representasi bersifat imajiner. Bahkan terkadang terhadap suatu kasus yang sama, tiap orang bisa berpandangan berbeda. Bahkan bisa juga satu orang dan orang lain punya cara pandang yang sama atau bisa dikatakan representasi satu orang dapat disetujui oleh orang lain dan atau merepresentasikan orang lain juga. Representasi inilah yang membuat suatu tulisan atau gambar mempunyai sebuah arti.
D.4 Kartun, Media dan Representasi Kartun, media massa dan representasi merupakan hal yang dapat memperkuat satu sama lain. Kartun membutuhkan sebuah media massa untuk menuangkannya dan memperluasnya kepada masyarakat, bisa berupa kartun pada media cetak maupun media elektronik. Kartun yang ada pada suatu media massa biasanya mempunyai suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan inilah yang 10
Hartinigsih dan Pambudi, 2006, „Membaca Gayatri Chakravorty Spivak‟, Kunci Cultural Studies, [online] diunduh dari http://kunci.or.id/esai/misc/maria_gayatri.htm diakses pada 25 januari 2009 (dikutip dari skripsi tulisan Dewi Nurul Maliki Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Gadjah Mada dengan judul “Representasi Kelompok Minoritas dalam Tubuh Mayoritas Dominan; studi kasus tentang perlawanan Jemaat amadiyah Indonesia Cabang Yogyakarta terhadap Klaim-klaim Hegemonik Kelompok mainstream Islam dalam upaya mendapatkan hak hidup legal (kembali)”)
15
kemudian direpresentasikan melalui kartun yang gambarnya dan alurnya disesuaikan dengan tujuan dan kemudian akan diperluas melalui media massa. Hal ini diperkuat oleh kutipan dari tulisan Munawar Ahmad berikut: “Misi tersembunyi yang dikemas dalam kartun bisa dimaknai sebagai suatu perjuangan untuk menata ulang struktur kekuasaan. Melalui media massa, kartunis menjadi bagian dalam suatu gerakan dalam bentuk penggalangan wacana kearah relasi kekuatan yang semakin terhindar dari spiral kekerasan.”11 Kutipan tersebut memperkuat dugaan adanya hidden interest dan representasi politik dalam kartun, dan hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Tidak bisa kita remehkan bagaimana kartun bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan yang dimaksud dengan politik representasi adalah bagaimana seseorang dapat menyampaikan pandangannya yang mungkin terkadang imaginer, kepada pihak lain supaya pihak–pihak yang dimaksud dapat menangkap dan mengerti maksud yang sesungguhnya. Politik representasi ini biasanya berkaitan dengan kekuasaan terhadap suatu hal tertentu yang mempunyai maksud supaya pihak lain dapat terpengaruh dengan apa yang dia pikirkan. Layaknya penanaman suatu ide tertentu terhadap sesuatu. Dengan begitu orang dapat terbawa dan masuk dalam pemikiran pihak yang melakukan politik representatif tersebut sehingga bisa terpengaruh dan melakukan hal yang diinginkan oleh pelaku politik representatif. Dalam kasus penggunaan kartun dalam media massa pun juga terdapat politik representatif. Media massa dapat menggunakan cara berbeda-beda dari
11
Munawar Ahmad.2001. “Menyimak Relasi Kekuasaan dalam Kartun” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. vol. 5 no. 1. Juli 2001
16
biasanya tak hanya berupa tulisan yang tidak terlalu menarik perhatian banyak orang. Banyak media massa yang kemudian menggantinya dengan kartun, suatu media yang lain dari biasanya untuk menyampaikan pesan. Seperti yang telah disebut diatas bahwa dalam politik representatif bisa terdapat suatu pesan tersembunyi yang terselip dalam penggunaan kartun tersebut. Media massa juga menggunakan kartun sebagai alat penyampai pesan politik secara lebih halus dan lebih mudah ditangkap makna apa yang terkandung dibaliknya. Selain itu politik representatif kartun yang dilakukan oleh media massa juga bisa saja mempunyai tujuan mempengaruhi ideologi dan pemikiranpemikiran dari media massa tersebut. Misalnya pada suatu kasus, salah satu media sangat kontra. Hal itu akan nampak pada kartun yang ditampilkan. Kartun-kartun yang dibuat untuk mendukung argumentasi serta point of view-nya secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi beberapa pihak dan membuatnya berpikiran sama dengan media massa tersebut. Jadi politik representatif yang digunakan oleh media massa melalui media kartun dapat menghasilkan hal yang sangat luar biasa dalam mempengaruhi pihak yang ingin dipengaruhi. Kartun yang ada pada suatu media massa, biasanya akan mempunyai ideologi dan arah pemikiran yang sama. Akan sangat jarang sekali terjadi kemungkinan bahwa kartun dan media massa berideologi berbeda. Suatu media massa pasti sudah memilih kartun yang boleh tampil pada salah satu halamannya. Meskipun perannya mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi kartun yang ditampilkan akan mewakili sudut pandang dari media massa tersebut. Sudut pandang dan 17
ideologi yang sama kemudian akan memudahkan dalam merepresentasikan suatu hal. Hubungan seperti inilah yang akhirnya dapat menguatkan antara media massa, katun dan representasi.
E. DEFINISI KONSEPTUAL Politik Representatif Politik representatif adalah pemberian pesan atau definisi tertentu yang sudah dipolitisasi dari suatu pihak untuk mempengaruhi seseorang, beberapa orang maupun banyak orang untuk melancarkan niatnya terhadap suatu hal yang biasanya berkaitan dengan kekuasaan dan tujuan tertentu dapat dilakukan secara tersurat maupun secara tersirat.
F. METODE PENELITIAN Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis Ikonografi. Metode ini dipilih karena metode analisis ikonografi dianggap paling tepat untuk digunakan dalam meneliti studi yang ingin melihat pergeseran representasi kartun Panji Koming di koran Kompas dari masa Orba hingga pasca reformasi ini. Kartun merupakan sebuah karya seni berupa gambar dan terkadang disertai dengan tulisan biasanya mempunyai makna, maka dari itu kartun dalam beberapa kesempatan bisa dijadikan sebagai simbol. Simbol-simbol dan makna inilah yang biasanya dikaji dalam analisis Ikonografi. Selain karena alasan yang telah disebutkan diatas, alasan lain dipergunakannya metode analisis Ikonografi karena data-data yang akan dipakai 18
dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan data tertulis yang didapat dari berbagai sumber. Data tertulis yang ada baik berupa percakapan maupun narasi ini biasanya menggunakan unit bahasa tertentu. Data-data tersebut antara lain diperoleh dari media massa Kompas terutama pada halaman diletakkannya Panji Koming, yang merupakan kajian utama dari penelitian ini. Data penunjang lainnya juga didapatkan dari beberapa buku, jurnal dan penelitian-penelitian sebelumnya yang didapatkan dari Perpustakaan serta data dari sumber sekunder lain seperti hasil pencarian di internet. Data-data tersebut nantinya akan dianalisis untuk kemudian bisa menjawab rumusan masalah. Studi ini berkaitan dengan gambar dan tulisan yang membentuk sebuah cerita. Cara analisis studi ini tentu saja dengan memperhatikan kedua hal tersebut yaitu gambar dan tulisan (prolog dan dialog). Gambar dan tulisan ini akan sangat menguatkan satu sama lain. Jika kita melihat sebuah gambar maka tulisan akan lebih memperjelas, begitupula sebaliknya. Kecenderungan gambar (tokoh, latar belakang dan hal yang dilakukan) serta pemilihan tata bahasa dan kata tersebut yang akan dianalisis. Analisis terhadap tokoh ini tidak terlepas dari tema utama studi ini yakni mengenai representasi politik. Jadi gambar dan tulisan dalam kartun yang dijadikan contoh kemudian akan dikaitkan dengan representasi politik seperti yang telah dijelaskan diatas. Cara analisis yang demikianlah yang menjadi alasan mengapa analisis ikonografi dianggap lebih tepat dalam penelitian ini. Salah satu data primer yang akan digunakan berasal dari koran Kompas terutama pada bagian kartun Panji Koming. Koran Kompas yang akan dipakai adalah beberapa koran Kompas edisi yang ada pada jaman Orde Baru dan 19
beberapa edisi sekarang, Pasca Reformasi. Koran ini dapat didapatkan melalui koran dalam bentuk eksemplar maupun dalam bentuk koran on-line yang banyak digunakan saat ini. Namun kebanyakan data diambil dari kantor koran Kompas yang merupakan tempat penyimpanan data koran Kompas yang paling lengkap, berupa softfile. Dari sekian banyak edisi dan kartun Panji Koming yang ada, hanya akan digunakan beberapa sampel kartun saja. Pemilihan sampel yang akan digunakan dalam studi dipilih selain dari tahunnya yang mewakili dari tiap masa (era orba dan pasca reformasi) juga dipilih sampel dengan gambar dan cerita yang mudah dipahami. Sampel juga dipilih berdasarkan edisi dengan gambar dan cerita yang dirasa lebih menarik dan lebih mewakili apa yang ingin disampaikan studi ini daripada edisi-edisi lain yang berhasil didapatkan oleh penulis. Sistematika penyusunan penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data terlebih dahulu. Seperti yang telah disebutkan diatas, data berupa data tertulis baik data primer maupun data sekunder. Data tersebut kemudian akan dianalisa dari segi gambar (pemilihan gerakan, ekspresi dan cara menggambar), unit bahasanya
berdasarkan
kecenderungan
penulisan,
cara
pandang
dan
representasinya. Setelah itu analisa isi dari kartun Panji Koming dalam koran Kompas akan coba dilihat dengan referensi yang ada untuk lebih meyakinkan analisa yang telah dibuat. Analisa dari tiap bab kemudian akan ditarik garis besarnya untuk membantu membuat kesimpulan yang akan diletakkan pada bab terakhir.
20
Pendekatan yang dipakai dalam analisa penelitian ini diperkenalkan oleh Erwin Panofsky. Panofsky membagi menginterpretasi objek seni dan gambar melalui tiga tahapan analisis makna secara ikonografi dan ikonologi yaitu;12 1. Tahap Preiconographical Tahapan untuk mengidentifikasi melalui hal-hal lazim yang sudah dikenal (alami). Tahapan ini disebut pemahaman secara faktual dan ekspresional. Pemahaman ini didasarkan pada pengalaman masing-masing individu
terhadap
suatu
objek
gambar.
Dengan
mengamati
dan
mengidentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gesture dari objek. 2. Tahap Iconographical Tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder dengan melihat hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep atau makna yang lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar. Motif-motif yang kemudian dikenali pembawa makna sekunder disebut sebagai image/citra/wujud. 3. Tahap Interpretasi Iconology
12
Erwin Panofsky, “Studies In Iconology”, Oxfort University Press, New York, 1939 (diambil dari tulisan yang berjudul “Kajian Makna Kartun Editorial Melalui Pendekatan Ikonografi” diunggah oleh Basnendar dalam http://basnendar.dosen.isi-ska.ac.id/2010/07/26/kajian-makna-kartuneditorial-melalui/ )
21
Pada tahapan ini makna yang paling hakiki dan mendasar dari isi sebuah karya kartun benar-benar dipahami. Pemahaman mengenai makna intristik yang terdapat dalam sebuah objek diperoleh dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukkan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa, kurun waktu, strata sosial, ajakan religius dan filosofis tertentu.
G. SISTEMATIKA BAB Penelitian ini berencana untuk dibuat dalam beberapa bab. Bab-bab yang akan disusun diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih bagi pembaca dan memudahkan pembaca untuk memahami apa saja yang ingin disampaikan oleh penulis. Dan bab-bab yang akan disusun nanti semoga dapat mengarahkan pembaca kepada tujuan penulis terhadap penelitian ini. Bab II berisi tentang representasi yang disajikan oleh kartun Panji Koming. Representasi ini spesifik pada tahun-tahun dimasa orde baru berkuasa. Kartun Panji Koming ini telah ada sejak masa orde baru sehingga kita sudah bisa melihat arah kecendrungan representasi kartun ini. Terlebih dimasa ini media massa tidak dapat bergerak sebebas sekarang. Media massa masih berada dibawah pengawasan pemerintah secara ketat, sehingga dimungkinkan berita dan cara orang untuk menulis artikel ataupun sajian lain menjadi terpengaruh dengan hal tersebut. Bab III berisi tentang politik Representatif kartun Panji Koming pada saat pasca orde baru. Isi yang disampaikan mungkin akan hampir sama, tetapi 22
dengan melihat yang sama pada masa yang berbeda akan memberikan gambaran yang berbeda pula. Terlebih masa pasca orde baru media sudah lebih berkembang, apalagi setelah terjadinya reformasi yang telah membawa banyak perubahan bagi kondisi sosial dan politik Indonesia. Sehingga pada masa sekarang penelitian ini mempunyai persepsi terdapat perubahan pada representasi Panji Koming setelah orde baru. Bab IV berisi tentang perbandingan dan perbedaan politk representatif yang dilakukan oleh Panji Koming saat masa orde baru dan pasca reformasi. Apa saja perbedaannya dan hubungan perbedaan itu dengan perubahan rezim yang ada. Mencoba menguraikan perbedaan yang signifikan dan bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Jadi dengan kata lain bab ini berisi jawaban atas rumusan masalah yang telah tertulis diatas.
23
Bab 2 Profil Kompas Koran Kompas merupakan koran yang telah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Kompas resmi didirikan pada tanggal 28 Juni 1965. Ide awal dari pendirian koran ini berasal dari Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani yang kemudian diutarakan pada Menteri Perkebunan pada saat itu yakni Drs Frans Seda. Drs Frans Seda kemudian bekerjasama dengan Drs Jacob Oetama dan Mr Auwjong Peng Koen yang telah berpengalaman dalam media cetak. Kemudian mereka mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Bentara Rakyat pada 16 Januari 1965. 13 Melalui Yayasan Bentara Rakyat kemudian dibentuklah media cetak yang semula diberi nama bentara rakyat, namun karena usulan dari presiden saat itu, Ir Soekarno, namanya pun kemudian diubah menjadi Kompas. Pemberian nama kompas ini mempunyai makna pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba. Tujuan utama Kompas dibentuk adalah sebagai salah satu cara menghadang pemberitaan pers komunis. 14 Dan dalam kemunculan perdananya, Kompas terbit sebanyak 4828 eksemplar. Saat ini Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara. Kompas lahir dan berkembang dengan cukup pesat. Oplah penjualannya pun selalu mencapai angka yang besar. Surat harian Kompas telah mampu beredar dihampir seluruh wilayah Indonesia. Maka tak heran jika Kompas menjadi salah
13 14
http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html http://www.kompasgramedia.com/aboutkg/history
24
satu koran yang mempunyai oplah terbesar di Indonesia. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi harian Kompas, Koran Kompas menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk melakukan audit semenjak tahun 1976. Berdasarkan hasil survey pembaca tahun 2008, profil pembaca koran Kompas mayoritas berasal dari kalangan (Strata Ekonomi dan Sosial) menengah ke atas yang tercermin dari latar belakang pendidikan dan kondisi keuangan. Data ini juga menunjukkan dimana posisi koran Kompas dapat diterima oleh masyarakat. Perjalanan Kompas ternyata tidak semulus seperti yang dibayangkan pada kemunculan perdananya. Kompas pernah dua kali dilarang terbit dengan alasan yang berbeda. Pada larangan terbit yang pertama tanggal 2 Oktober 1965, Kompas dan semua surat kabar dilarang untuk terbit sementara. 15 Larangan ini diperintahkan oleh Penguasa Pelaksana Perang Daerah Jakarta Raya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa bingung masyarakat mengenai berita peristiwa Gerakan 30 September yang saat itu tengah terjadi. Pelarangan ini tidak berlangsung lama karena pada tanggal 6 Oktober 1965, Kompas sudah kembali terbit. Beberapa tahun kemudian Kompas kembali menuai kendala. Kompas dilarang terbit untuk kedua kalinya pada 21 Januari 1978. 16 Pada pelarangan kali ini pun Kompas tidak sendiri, bersama enam surat kabar lainnya, Kompas dilarang terbit untuk sementara. Alasan pelarangan yang kedua ini terkait pemberitaan seputar aksi mahasiswa yang menentang kepemimpinan Soeharto,
15 16
http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html ibid
25
Presiden saat itu, menjelang sidang MPR 1978. Kompas pun kembali terbit pada 5 Februari 1978. Konflik, tuntutan, inovasi dan prestasi merupakan hal yang wajar terjadi pada sebuah media massa. Terlebih hal ini terjadi pada salah satu media massa terbesar di Indonesia, seperti Kompas. Selain banyak kendala, Kompas juga melakukan banyak inovasi seperti memanfaatkan perkembangan teknologi saat ini. Kompas tidak hanya menyediakan berita berupa media cetak saja. Dunia maya dan sosial media pun ikut dalam bagian inovasi yang dilakukan oleh Kompas. Kompas membuat situs sendiri yang bisa diakses kapan saja melalui internet, dan juga bergabung pada beberapa media sosial yang sangat populer pada kalangan anak muda. Sehingga Kompas juga berusaha meraih pembaca dari kalangan anak muda. Dengan melakukan inovasi tersebut Kompas telah berhasil mendapatkan berbagai macam penghargaan yang patut dibanggakan. Bisa bertahan selama beberapa dekade merupakan suatu penghargaan sendiri bagi suatu media. Tapi didalam redaksi Kompas sendiri pasti sering terjadi pergantian orang, baik pekerja maupun pemimpin, yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang Kompas, dan hal ini sangat wajar terjadi pada suatu perusahaan atau organisasi. Kompas telah mengalami perubahan redaksi selama beberapa kali. Sejak pertama kali didirikan tahun 1965, pemimpin redaksi Kompas dipegang oleh Jakob Oetama dan Pemimpin Umum Kompas dipegang oleh PK Ojong yang keduanya sekaligus merupakan pendiri Kompas. Pada tahun 1980 PK Ojong wafat dan posisinya diambil alih oleh Jakob Oetama, sehingga Jakob Oetama harus merangkap jabatan sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum 26
Kompas. Seiring dengan berkembangnya Kompas Gramedia, Jakob Oetama pun menjadi Presiden Direktur Kompas Gramedia dan di tahun 2008 menjabat sebagai Presiden Komisaris Kompas Gramedia. Jakob Oetama digantikan posisinya sebagai pemimpin redaksi Kompas pada tahun 2000. Nama yang muncul menggantikan Jakob Oetama yang telah menjabat pemimpin redaksi selama beberapa dekade adalah Suryopratomo. Suryopratomo bukanlah orang baru didalam tubuh Kompas. Suryopratomo atau yang biasa dipenggil dengan nama Tommy telah bergabung dengan Kompas sejak Februari 1987. Etos kerjanya selama 13 tahun ternyata mampu meyakinkan petinggi Kompas untuk memilih dan mengangkatnya sebagai pemimpin redaksi Kompas. Suryopratomo menjadi pemimpin redaksi Kompas pada tahun 2000. Suryopratomo kemudian digantikan oleh Bambang Wisudo sejak tahun 2008. Bambang Wisudo pun bukan orang baru dalam Kompas. Bambang Wisudo diketahui sebagai wartawan senior di Kompas dan telah lama bekerja disana. Akan tetapi Bambang Wisudo tidak menjabat pemimpin redaksi Kompas dalam jangka waktu yang lama. Posisi pemimpin redaksi Kompas pun berpindah tangan kepada Rikard Bagun pada tahun 2009 yang hingga saat ini masih memimpin redaksi Kompas. Dalam jangka waktu lebih dari 4 dekade, Kompas telah mengalami perubahan pemimpin redaksi selama beberapa kali. Selama itu pula Kompas mengusung konsep yang sama. Dari awal kemunculannya Kompas mengusung konsep
“Humanisme
transedental”
(humanisme
imani)
atau
dengan
mengedepankan unsur humanisme yang disesuaikan dengan masyarakat yang 27
berubah secara cepat. Konsep ini merupakan konsep yang diusung oleh Jakob Oetama. Konsep ini bahkan diusung Kompas sebagai visi dan misi dari Kompas. Visi dan Misi Kompas adalah “Menjadi Perusahaan yang terbesar, terbaik, terpadu dan tersebar di Asia Tenggara melalui usaha berbasis pengetahuan yang menciptakan masyarakat tedidik, tercerahkan, menghargai kebhinekaan dan adil sejahtera". Visi misi ini kemudian berpengaruh pada haluan politik yang diambil oleh Kompas sebagai media massa. Haluan politik yang ingin diusung kemudian adalah netral dimana tidak akan mengerah pada satu poros politik tertentu tapi lebih mengedepankan kemanusiaan dan norma. Hal ini agaknya tidak terlepas dari awal pembentukan Kompas yang sebagian besar redaksinya adalah wartawan Katolik dan pembentukan Kompas adalah untuk menentang pemberitaan Komunis17.
17
Sebagian besar data bab dua dari http://print.kompas.com/about/sejarahkompas.html dan http://www.kompasgramedia.com/aboutkg/history
28
Bab 3 Panji Koming dalam Bingkai Orde Baru a.
Pengantar Pembicaraan mengenai orde baru rasanya tidak akan pernah habis untuk
diperbincangkan. Orde baru merupakan bagian dari sejarah yang dialami oleh Indonesia dalam perjalanan politiknya. Orde yang cukup fenomenal di Indonesia ini dapat mendatangkan pengalaman yang luar biasa terhadap kehidupan bernegara di Indonesia bahkan di beberapa bagian masih terasa hingga saat ini. Dari segi politik maupun dalam segi sosial orde ini mampu menjadi sejarah yang tidak akan pernah dilupakan. Orde baru membawa nuansa yang cukup fenomenal untuk dikenang pada saat ini. Masa ini akan selalu menjadi tolok ukur perkembangan sosial politik Indonesia. Ide pengembangan sistem yang terjadi pada orde ini mungkin merupakan sistem yang tepat untuk saat itu, tapi untuk saat ini sepertinya hal ini tidak demikian. Maka dari itu kita belajar akan satu hal bahwa dunia selalu berubah secara dinamis dan akan selalu begitu. Seperti hal lainnya yang memiliki sisi negatif dan sisi positif, demikian pula yang dialami oleh orde baru. Orde ini layaknya dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang. Disatu sisi orde ini sangat diagung-agungkan, disisi lain mendapat kecaman luar biasa dari berbagai pihak. Bahkan hingga tingkat internasional kepemerintahan di orde ini menjadi pembicaraan. Kita tahu bagaimana di era ini pembangunan luar biasa dilakukan. Terutama pembangunan fisik yang terpusat di wilayah Pulau Jawa. Gedung-gedung, bangunan lain dan infrastruktur banyak dibuat di ibu kota, Jakarta. Situasi keamanan pun dianggap 29
“damai”. Sangat jarang terjadi tindakan kriminal terhadap masyarakat biasa yang tidak “neko-neko”. Orang-orang yang dianggap tidak “sesuai” dengan pemerintah akan disingkirkan. Bahkan jika kita bertanya kepada orang-orang yang pernah mengalami masa ini (orde baru, sekitar tahun 1970-an dan 1980-an) misalnya, sebagian besar akan mengatakan bahwa mereka senang disaat itu keamanan sangat terjamin dan harga barang-barang kebutuhan pokok terjangkau. Hal ini mungkin dikarenakan militer yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Mereka merasa lebih aman dan ekonomi mereka lebih sejahtera. Seakan tidak akan ada yang bisa menumbangkan negara Indonesia terutama saat orde ini. Sama sekali hampir tidak ada kerapuhan yang terlihat. Akan tetapi kita tahu bahwa dibalik itu semua terdapat sisi lain dari orde ini yang dianggap membawa “malapetaka” bagi sebagian pihak. Ketatnya campur tangan pemerintah dalam segala sendi kehidupan malah menjadi bumerang untuk negara yang memiliki masyarakat dengan pemikiran yang terus berkembang. Diantaranya mengenai isu kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat yang dibatasi, yang akhir-akhir ini isu tersebut cukup menjadi sorotan banyak pihak. Tak hanya kebebasan dalam seni dan politik, hampir semua segi kehidupan manusia seolah-olah dibatasi oleh pemerintah. Pembatasan ini dalam artian semua hal diatur oleh pemerintah. Pembatasan yang mengakibatkan keleluasaan masyarakat yang ingin berekspresi dan berpendapat sangat terbatas. Selain karena peraturan yang tentu saja bersifat memaksa, keterbatasan masyarakat juga karena ketakutan mereka akan ancaman yang selalu mengintai 30
kehidupan mereka. Rasa takut tersebut menyebabkan mereka tidak mau dan enggan untuk mengekspresikan keinginan ataupun apa yang mereka pikirkan. Jangankan untuk mengungkapkan secara frontal atau radikal, bahasa ataupun cara mereka ingin berkreasi dan berekspresipun diatur dan dibatasi. Sedikit saja “kesalahan” dalam pengungkapan suatu hal bisa saja berakibat sangat fatal. Salah satu pihak yang merasa gerah dengan keterbatasan ini adalah media, baik media cetak maupun media elektronik yang saat itu masih sangat terbatas. Ruang gerak mereka dibatasi oleh peraturan-peraturan yang sangat ketat. Kebiasaan dari orde baru yang telah dilakukan selama puluhan tahun ini tentu menimbulkan kejenuhan dari masyarakatnya. Media yang mengalami dan dapat beroperasi pada saat orde baru salah satunya adalah koran Kompas. Sehingga dapat kita katakan bahwa koran Kompas merupakan salah satu media yang menjadi saksi mata dalam pertumbuhan Indonesia selama beberapa dekade belakangan. Layaknya media cetak lainnya, di dalam koran Kompas terdapat bermacam-macam artikel. Ada juga halaman yang berisi seperti opini, politik, ekonomi dan bahkan kumpulan-kumpulan kartun yang dijadikan dalam satu halaman. Kartun-kartun yang terdapat dalam koran bisa dikatakan menjadi salah satu jalur untuk menyalurkan pendapat ini sedikit banyak berusaha diintervensi oleh pemerintah. Namun dengan cara-cara yang cerdas kartun-kartun ini membawa pengaruh yang sedikit banyak dapat membuka pemikiran orang yang membacanya. Kartun yang salah satunya sudah ada sejak orde baru hingga sekarang adalah Panji Koming. 31
Kita tahu bahwa setiap media mengutarakan pendapat mempunyai ide dan representasinya sendiri. Dengan demikian jika secara kasat mata kita akan melihat bahwa representasi Panji Koming akan terpengaruh dengan kondisi saat itu. Kita pasti akan berpersepsi bahwa Panji Koming akan tunduk dengan rezim yang berkuasa beserta aturan-aturan mainnya. Persepsi-persepsi dan prasangka yang ada ini akan kita lihat lebih jauh pada pembahasan yang lebih jelas dibawah ini.
b.
Perjuangan media saat orde baru Dimanapun dan kapanpun media merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam suatu negara. Media dapat memberikan informasi dalam berbagai hal. Media yang notabene merupakan perantara antara penyalur pendapat dan yang merupakan target dari suatu pendapat, selalu dinilai penting untuk menjalin komunikasi yang mungkin tidak akan pernah bisa dijalin secara langsung oleh banyak pihak. Peran-peran penting ini layak untuk kita jadikan suatu informasi yang dapat mengiringi tumbuh kembang suatu negara dan tolak ukur keterbukaan mereka akan berbagai hal. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan media selalu dibutuhkan oleh berbagai pihak sebagai “jembatan” antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan begitu media dapat menjadi pihak yang netral, bisa memberikan pendapat dan informasi sesuai dengan yang dirasakan dan keadaan sebenarnya. Namun cerita itu akan berbeda jika media saja sudah diintervensi oleh satu pihak yang kuat. Misalnya saja diintervensi oleh pemerintah maupun pihak 32
swasta yang kuat. Seperti halnya yang terjadi saat Orde Baru. Tidak semua media dapat bergerak bebas pada masa ini. Baik media cetak maupun elektronik sangat dipilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh beroperasi. Salah satu media elektronik yakni televisi pada saat itu hanya ada satu dan merupakan televisi nasional milik pemerintah, TVRI (Televisi Republik Indonesia). Sehingga semua yang ditampilkan pastinya telah diatur sesuai dengan ketentuan pemerintah. Media begitu diintervensi oleh pemerintah. Dengan begitu tayangantayangan dalam televisi berisi mengenai hal-hal yang tidak merugikan pemerintah dan mengandung kepentingan-kepentingan pemerintah. Bahkan hingga hadirnya televisi swasta, pengawasan tetap dilangsungkan secara ketat. Meskipun televisi tersebut bukan milik pemerintah, tapi pihak swasta juga tidak bisa berbuat banyak karena sistem yang saat itu tidak memungkinkan bagi pihak swasta untuk “mandiri” tanpa campur tangan pemerintah. Bisa dikatakan bahwa televisi swasta itu “bercitarasa” televisi pemerintah. Hal demikian agaknya wajar saja karena ketika suatu pihak atau seseorang mempunyai kekuasaan tertentu maka dia akan menggunakannya demi melancarkan keinginannya. Beriringan dengan kekuasaan yang begitu besar pastinya semua hal dapat dikontrol dengan mudah dan seakan semuanya ada dalam genggaman tangan. Yang terjadi pada saat itu kepentingannya adalah melancarkan rencana-rencana yang disusun oleh Orde Baru yang banyak orang katakan sebagai langkah untuk mencapai negara semi otoriter. Cara yang digunakan kemudian salah satunya adalah dengan mengintervensi media. Dengan demikian tidak sembarangan media diijinkan untuk beroperasi pada waktu itu. 33
“Beberapa batasan-batasan yang dikenakan dalam media massa pada masa orde baru terlihat pada Undang-Undang (No.11) tahun 1966 tentang Prinsip-prinsip Dasar Pers. Pada UU tersebut menyatakan bahwa “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” (bab 2, pasal 4) dan “Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” (pasal 5.1) serta ”Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun” (bab 4, pasal 8.2). pada kenyataannnya, semua itu guyonan belaka. Selama „masa peralihan‟ yang tak jelas ujung pangkalnya (bab 9, pasal 20, 1.a) para penerbitan surat kabar wajib memilikidua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan yang nyata-nyata sebuah lembaga sipil dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB. Tanpa kedua izin tersebut, secara hukum sebuah media niscaya tak mungkin terbit. Apabila salah satu atau kedua lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif media itu dibereidel.”18 Kutipan diatas sedikit banyak dapat menggambarkan bahwa media massa pada masa itu tidak dapat melakukan hal yang tidak diijinkan oleh pemerintah atau hal-hal yang dapat menyudutkan pemerintah. Mendapatkan “kepercayaan” dari pemerintah untuk dapat produktif merupakan suatu hal yang “istimewa”. Bahkan pada rentan waktu berjayanya orde baru ada masa-masa dimana suatu media akan ditutup dan tidak diperbolehkan untuk beroperasi. Kejadian tersebut mungkin lebih mengarah pada media cetak yang sudah lebih banyak ada di Indonesia pada waktu itu dan kejadian tersebut sering kita ketahui sebagai “pembreidelan”. Sejarah
telah
mencatat
bahwa
melalui
Kepmenpen
No.
01/PER/Menpen/1984 itulah hegemoni negara terhadap media dimulai.
19
Peraturan tersebut yang juga memunculkan pembreidelan. Pembreidelan tersebut berlaku pada media cetak yang tidak sepaham dengan pemerintah atau dianggap “berbahaya”. Sedangkan untuk media cetak yang diperbolehkan akan diberi surat 18
David T Hill, “Pers di Masa Orde Baru”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hal 34-35 19 Redi Panuju, “Relasi Kuasa”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.53
34
ijin dengan konsekuensi yang telah diketahui. Surat ijin yang diberi nama SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) ini merupakan salah satu cara untuk mengikat media massa. Dengan adanya surat ijin ini maka pemerintah beranggapan akan dapat mengontrol media yang ada secara lebih efektif dan lebih aman bagi orde baru. Hal ini terlihat seperti tindakan yang mengarah antara ingin mengontrol dan menertibkan media atau merupakan ketakutan berlebihan dari pemerintah saat itu mengenai masa depannya yang dipengaruhi dari kekuatan media. Media dalam menanggapi hal ini juga tidak dapat berbuat banyak karena jika mereka salah melangkah maka mereka akan berakhir dalam sekejap. Bisa dibilang jika media pada masa ini mengalami salah tingkah, sebab disatu sisi media ingin menampilkan berita yang mereka yakini benar tapi disisi lain mereka juga harus menaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Sehingga apa yang ingin mereka tampilkan harus disaring terlebih dahulu. Media yang mempunyai ideologi dan pemikirannya masing-masing harus pintar-pintar menyampaikan apa yang mereka maksud dengan menyesuaikan dengan kondisi media saat itu. Sangat dilematis memang, karena media tidak dapat melakukan hal yang merupakan fungsi utama dari media itu sendiri. Masa ini merupakan masa yang berat sekaligus menjadi masa yang tidak akan pernah terlupakan bagi sejarah perubahan tata cara berkomunikasi dalam suatu media terutama media cetak. Ekspresi yang ingin media sampaikan untuk mewakili apa yang dipikirkan oleh orang-orang diluar sana harus sedikit terpendam dengan ketidakleluasan mereka dalam penggunaan kata-kata dan gambar-gambar. Kata35
kata dan gambar yang akan diedarkan tidak boleh mengandung muatan provokasi dan menjatuhkan pemerintah, bisa dibilang harus sesuai dengan versi pemerintah. Seperti kita ketahui bahwa pada masa itu masyarakat tidak boleh terlalu vulgar dan vokal dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan politik. Bahkan untuk sekedar obrolan ringan pun, hal tersebut tidak diperkenankan. Mungkin saja pada waktu itu banyak alasan yang dipikirkan pemerintah jika masyarakat berpolitik aktif dan “melek” politik, salah satunya masyarakat akan lebih sadar politik. Dengan begitu masyarakat menjadi lebih mudah terjadi perbedaan dalam berpolitik dan sangat rentan terjadi perseteruan, dimana pada saat itu orde baru sangat memperhatikan kestabilan keamanan. Kekhawatiran lainnya adalah masyarakat dapat lebih kritis untuk mengkritik pemerintah. Pada waktu itu masyarakat memang sangat dibatasi untuk menjadi anggota suatu partai politik. Masyarakat hanya diperbolehkan aktif ketika Pemilu (Pemilihan Umum) berlangsung, yaitu dengan memberikan suara dan peristiwa ini sering disebut sebagai floating mass (masyarakat mengambang). Jika dilihat untuk konteks saat ini mungkin hal tersebut sangat tidak relevan, akan tetapi begitulah yang terjadi pada masa itu. Orang-orang yang ingin membaca suatu media yang dilarang oleh pemerintah atau suatu buku tertentu mengenai suatu paham (misalnya saja tentang komunisme yang pada saat itu sangat dikecam) yang dianggap terlarang pun harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena sanksi yang berat pun mengancam didepan mata mereka yang disinyalir mengarah pada pemberontakan. Bahkan penulis-penulis yang pada saat itu dengan nekat
36
melakukan akan mendapatkan sanksi. Semua itu dengan alasan pemerintah ingin menjaga keamanan dan kestabilan politik. Peraturan lain yang mengikat media antara lain Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep.052/JA/5/1981, Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia No. Ins-007/JA/4/1990 yang merupakan dasar pelarangan peredaran beberapa buku seperti buku yang berujudul Anak Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Noer, dan lain sebagainya. 20 Alasanalasan yang disangkutpautkan dengan keadilan dan kesejahteraan ini justru menimbulkan hal yang sebaliknya bagi media. Media begitu terkekang dan tidak bebas. Mungkin itulah mengapa pada saat berakhirnya orde baru media mendapatkan euforia tersendiri bagi kehidupan jurnalistik mereka. Terlihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya reformasi 1998, media malah menjadi tempat dan semangat baru bagi orang-orang untuk mengeluarkan pendapatnya dalam menentang pemerintah. Pesan-pesan dan berita yang dibawa oleh media berhasil mempengaruhi pemikiran orang-orang yang juga menginginkan perubahan. Jadi bisa dibilang bahwa media massa adalah sarana yang sangat efektif untuk mengusik cara pikir dan cara pandang seseorang secara halus dan “mematikan”. Bahkan arus pikir publik akan dikendalikan dan dapat diarahkan sehingga bisa sesuai dengan pemikiran orang dibalik media massa yang dibaca maupun dianut. Hal tersebut juga bersangkutan dengan representasi ideologi yang dibawa oleh media itu. Siapa yang berada dibalik media tersebut dan apa yang
20
Ibid, Redi Panuju, hal 54
37
direpresentasikan oleh isi media biasanya sedikit banyak akan mempengaruhi pembaca dan arus pembicaraan kedepan. Fungsi-fungsi media seperti inilah yang mungkin ditakuti saat orde baru dan diantisipasi oleh pemerintah pada masa itu dengan memberikan kontrol yang kuat. Jika suatu media merepresentasikan sesuatu dan yang direpresentasikan sangat mengena ke hati masyarakat atau juga merepresentasikan keluhan banyak pihak, maka ini dapat dijadikan sebuah tenaga tersendiri bagi orang yang menyetujuinya. Tidak dapat dipungkiri jika seseorang telah percaya pada sesuatu, maka dia akan percaya dan akan membenarkan semua hal yang ada pada yang dipercaya. Seperti jika seseorang telah merasa cocok dengan suatu merk produk shampo atau sabun, maka dia akan mempercayai kata-kata yang tertulis pada merk tersebut dan merasa apapun yang tertulis dalam merk tersebut itu benar adanya. Begitu juga jika seseorang mempercayai media mengenai pendapat-pendapat yang ada, maka dia akan selalu mendukung, mempercayai dan bahkan termotivasi dan terinspirasi dengan apa yang diberitakan media tersebut. Meskipun sebenarnya bisa saja representasi yang diterjemahkan adalah milik sang penulis atau suatu pihak kuat yang mengendalikan. Mempengaruhi psikis pembaca adalah salah satu tujuan utamanya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat luas akan hal-hal yang tertera pada media tersebut. Mungkin saja karena pemerintah saat itu telah mengetahui tentang betapa besarnya kekuatan media membalikkan keadaan, maka pemerintah orde baru melakukan tindakan preventif sebelum mereka menggunakan kelebihan itu. Maka pada masa orde baru terjadilah tindakan-tindakan seperti yang banyak 38
diceritakan dalam banyak buku. Terlebih pada buku yang menyangkutpautkan antara pemerintah orde baru dengan media kala itu.
c.
Representasi Kartun Panji Koming saat Orde Baru Media massa merupakan salah satu bentuk media dalam berkomunikasi.
Ada yang berbentuk komunikasi audio, visual dan audio visual. Media komunikasi visual selain melalui tulisan adalah melalui gambar. Media visual yang berupa gambar bisa kita lihat dimana saja. Bisa berupa mural yang sering kita lihat pada tembok-tembok suatu bangunan, juga bisa berupa kartun dalam berbagai jenisnya. Sehingga saat ini kita sudah tidak asing lagi mengenai gambargambar yang digunakan untuk berkomunikasi. Mungkin jika kita dengar kata kartun yang terlintas dalam pikiran kita adalah suatu gambar yang biasa dikonsumsi anak-anak dengan gambar yang lucu, menarik serta berwarna-warni. Biasanya kartun dibuat untuk tujuan berupa hiburan ataupun edukasi. Namun sebenarnya kartun sudah tidak asing lagi dalam hal lain misalnya saja dalam hal yang berkaitan dengan sosial, ekonomi dan politik.
Misalnya saja jika kita melihat mural, selain memberikan efek
mengindahkan tapi dalam mural tersebut biasanya berisi muatan yang sarat akan sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Pada abad 20, kartun sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di dunia dan Indonesia khususnya. Hal ini terlihat dengan maraknya berbagai cerita anak-anak yang dikemas dengan cara yang sangat menarik yaitu dengan memvisualkannya melalui gambar yang berwarna-warni atau yang sekarang akrab 39
dengan telinga kita sebagai kartun. Begitu banyaknya cerita-cerita yang dijadikan kartun, terutama yang berasal dari negara di luar Indonesia, sedikit banyak telah mempengaruhi cara penyampaian pesan seperti dahulu yang telah ada sebelumnya. Biasanya dalam kartun anak-anak akan disampaikan pesan-pesan moral yang dikemas secara ringan sehingga mudah dipahami terlebih oleh anak-anak sebagai media pembelajaran yang menyenangkan. Sebenarnya kartun tidak hanya identik dengan cerita anak-anak ataupun sebuah kisah, namun juga terkadang dijadikan sebagai sebuah simbol, penyampai pesan dan sebagai penyampai kritik. Hal ini terlihat dengan adanya berbagai jenis kartun yang salah satunya adalah karikatur. Karikatur biasanya menggambarkan seseorang dengan mimik-mimik lucu yang disesuaikan dengan peristiwa yang sedang marak atau menggambarkan identitas khasnya ataupun dengan hal-hal yang dibuat untuk menyindir. Cara itu ternyata cukup efektif untuk mempengaruhi orang. Sehingga kita tidak heran lagi ketika saat ini kartun dijadikan sarana iklan berbagai produk maupun layanan masyarakat baik media cetak maupun elektronik. Kartun secara umum dianggap bisa menjadi penyampai yang bagus untuk setiap pihak yang menggunakan. Pelibatan media dalam mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat ternyata cukup jitu dalam menggerakan masa untuk mencapai kekuasaan. Masa-masa kemunculan kartun diiringi pula dengan banyaknya kartunis yang ada di Indonesia, sebut saja Dwi Koendoro, Tito Bastian dan lain sebagainya. Para kartunis ini cukup produktif pada masa orde baru dengan menghasilkan karya-karya khas mereka. Salah satu kartun yang telah ada sejak masa kekuasaan 40
Soeharto adalah Panji Koming. Panji Koming merupakan kartun buatan seorang kartunis yang telah lama malang melintang didunia kartun, Dwi Koendoro. Kartun ini telah ada di koran Kompas sejak tanggal 14 Oktober 1979. Dengan mengusung kartun dalam bentuk komik pendek, Panji Koming berhasil menarik perhatian banyak orang. Kompas yang merupakan salah satu media cetak yang diberi ijin (SIUPP) oleh pemerintah, harus menyeleksi isi dari korannya supaya tidak terkena pembreidelan oleh pemerintah yang marak terjadi pada masa itu. Dan akhirnya terpilihlah Panji Koming sebagai salah satu pengisinya. Meskipun hanya mengisi kolom yang cukup kecil dan harus bersisihan dengan kartun-kartun lain, namun kartun ini sangat menarik perhatian para pembaca koran Kompas. Panji Koming seperti oase di padang pasir yang memberikan pemandangan baru bagi pembacanya. Dengan adanya kartun yang mengisi salah satu halaman di koran membuat media cetak ini tidak harus selalu diisi dengan berita yang ditulis dengan bahasa formal, serius dan dikemas secara “rapi”. Panji Koming bukan merupakan satu-satunya kartun yang mengisi koran Kompas, masih ada beberapa kartun yang berbentuk komik lagi yang masing-masing memang memiliki ciri khasnya sendiri. Namun yang paling menonjol dan yang menjadi ciri khas dari kartun Panji Koming adalah pemakaian karakternya yang menggunakan orang-orang dengan latar belakang kerajaan di Indonesia jaman dulu. Hal ini cukup menarik karena melibatkan unsur budaya Indonesia, yaitu budaya kerajaan Jawa, lebih tepatnya kerajaan Majapahit. Namun penggambaran kerajaan disini seakan lebih cenderung menggambarkan miniatur dari Indonesia. 41
Ada beberapa tokoh yang digunakan dalam kartun ini yaitu Panji Koming (Gambar 1) sendiri yang juga digunakan sebagai judul dari komik ini, Pailul (Gambar 2) yang merupakan rekan Panji Koming, Ni Woro Ciblon (Gambar 3) dan beberapa tokoh tambahan lain yang menggambarkan situasi kerajaan seperti petinggi-petinggi kerajaan dan lain sebagainya. Tiga karakter utama ini menggambarkan masyarakat biasa yang ada dalam kehidupan seharihari dan terkadang mereka mengungkapkan apa yang dipikirkan masyarakat terhadap peristiwa yang terjadi pada saat itu dan tentu saja menggunakan bahasa yang sangat diatur supaya tidak dilarang oleh pemerintah.
Panji Koming
Pailul
Ni
Woro
Ciblon (Gambar 1)
(Gambar 2)
(Gambar 3)
Setting tempat yang digunakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kartun ini menggunakan setting kerajaan Jawa. Sehingga tidak heran jika terkadang bahasa yang digunakan agak tercampur bahasa Jawa dan dengan istilah serta penamaan Jawa. Tokoh-tokoh ini dalam penampilannya setiap hari Minggu selalu mempunyai tema-tema yang menarik untuk dibicarakan, terutama tema mengenai isu-isu panas yang sedang terjadi saat itu. Meskipun hanya dalam 42
beberapa kolom gambar (rata-rata 6 gambar) tiap minggunya, Panji Koming ingin menyampaikan isu, pesan maupun kritik. Secara umum dan keseluruhan, jika kita lihat sepintas Panji Koming merupakan komik yang menceritakan mengenai kehidupan kerajaan, khususnya situasi kerajaan Jawa sehari-hari. Bahkan terkadang terlihat sangat kocak dengan gaya bercandanya yang khas. Seakan tidak ada yang beda antara kartun ini dengan kartun-kartun lain yang serupa. Akan tetapi ternyata dibalik itu semua kartun ini mempunyai misi khusus yang diusung oleh penciptanya, Dwi koendoro. Berbicara mengenai misi khusus, sepertinya setiap pengamat ataupun penggemar komik Panji Koming telah mengetahui hal ini sejak lama. Dalam setiap penampilannya di Kompas, Panji Koming berperan sangat bagus terutama yang berkaitan dengan penyampaian pendapatnya terhadap situasi yang sedang dihadapi. Mungkin hal inilah yang membuat Panji Koming menarik perhatian para pemerhati komik dan para pembaca umumnya hingga masih bertahan sampai saat ini yang notabene telah berganti jaman dan era. Pendapat-pendapat yang juga sama dipikirkan oleh pembaca seolah tersalurkan dengan adanya kartun ini, terlebih pada jaman orde baru masyarakat tidak dapat bergerak banyak. Dimasa orde baru pun Panji Koming seakan tidak terikat dengan adanya batasan yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai ketentuan di media massa. Bahkan terkadang menimbulkan efek yang tidak terlalu bagus bagi beberapa pihak yang bersangkutan dengan Panji Koming. Pendapat ini sangat beralasan ketika kita telah membaca dan menganalisa Panji Koming lebih cermat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Panji 43
Koming sedah ada sejak tahun 1979, dimana ditahun tersebut merupakan tahun berkuasanya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Semua orang yang hidup pada jaman itu sangat paham bahwa dalam setiap pembicaraan baik lisan maupun tulisan harus “diolah” terlebih dahulu supaya lulus “seleksi” dari pemerintah. Dengan kata lain kita akan mempunyai persepsi bahwa Panji Koming telah lulus untuk urusan itu. Namun pendapat tersebut agaknya sedikit meleset. Panji Koming yang memang berlatar belakang cerita kerajaan terkesan sangat tidak formal dan layaknya kartun pada umumnya yang mempunyai alur cerita fiksi atau karangan kreatifitas sang pencipta kartun tersebut. Tapi ternyata alur cerita yang ditampilkan dalam setiap penayangan Panji Koming adalah cerita yang dapat kita katakan serius. Dikatakan demikian karena dalam beberapa edisi, kartun Panji Koming menggambarkan situasi yang sedang terjadi, khususnya di Indonesia. Banyak cerita Panji Koming yang menggambarkan tentang hal yang terjadi di Indonesia. Misalnya saja pada salah satu kartun Panji Koming dalam koran Kompas edisi Minggu 5 Mei 1991 yang menggambarkan mengenai kasus pencucian uang.21
21
Lihat Kompas edisi Minggu, 5 Mei 1991, halaman 11
44
Pada edisi ini diceritakan bahwa Panji Koming sedang mencuci uang kepeng yang pada masa kerajaan digunakan supaya “kimpling” dan tidak tahu asal-usulnya. Kemudian sang sahabat, Pailul bertanya mengapa uang itu harus dicuci karena bukankah sebaiknya “mencuci orangnya”. Memang jika dilihat secara sepintas cerita ini tidak mengandung apa-apa, hanya seorang Panji Koming yang sedang disuruh untuk mencuci uang logam. Tapi dengan penjelasan dan kata-kata dari Pailul yang menyarankan untuk mencuci orangnya, sedikit banyak telah menjelaskan bahwa cerita ini adalah cerita untuk menyindir. Sasaran yang disindir adalah orang-orang yang melakukan pencucian uang atau orang yang menyelewengkan materi atau uang yang kemudian disembunyikan dan dihilangkan asal-usulnya supaya tidak dapat dilacak sehingga tidak bisa dikenai hukuman atas perilakunya yang menyimpang hukum. Perilaku ini sudah pasti tidak baik karena sama saja dengan mencuri. Maka pada cerita ini Dwi Koendoro sebagai pembuat Panji Koming ingin memberikan sentilan. Sentilan ini sepertinya ditujukan bagi penegak hukum supaya bertindak cepat dan 45
tepat dengan menangkap sang pelaku pencucian uang, bukan hanya melacak aliran uang yang disalahgunakan. Cerita lainnya yang cukup menarik perhatian adalah cerita untuk menyindir kinerja pemerintah. Seperti halnya pada Kompas edisi Minggu 26 Februari 1984 yang bercerita mengenai pendapat masyarakat terhadap penyesuaian.22
Kita tahu bahwa kata “penyesuaian” sering didengar pada masa orde baru untuk menunjukkan adanya perubahan baik harga maupun peraturan lain. Pada cerita ini Panji Koming dan Pailul sedang berbincang mengenai masyarakat yang harus selalu siap menghadapi penyesuaian. Dan ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba ada orang yang memakai pakaian dengan ukuran kebesaran. Orang itu
22
Lihat Kompas edisi Minggu, 26 Februari 1984, halaman IX
46
menarik perhatian Panji Koming dan Pailul sehingga melontarkan kata-kata yang cukup menyindir pemerintah seperti “ya atau tidak, setuju atau tidak, pokoknya sesuai”. Kalimat ini menunjukkan peraturan yang dibuat saat itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat yang merasa peraturan yang dibuat oleh pemerintah itu “gombor” atau tidak pas. Namun masyarakat tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa menerima penyesuaian yang ada, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Cerita pada edisi ini juga menunjukkan bahwa pemerintah telah semena-mena membuat peraturan tanpa memikirkan apakah keputusan yang diambil sudah sesuai atau tidak. Apapun peraturannya masyarakat harus patuh tanpa bisa berbuat apa-apa. Dua cerita diatas hanya sebagian cerita yang dibuat oleh Dwi Koendoro dalam Panji Koming pada masa orde baru. Dengan menggunakan analisa ikonografi, kita akan mengidentifkasi seperti apa representasi kartun Panji Koming di masa orde baru. Pada tahap 1 (preikonografi); gambar yang digunakan pada kedua contoh seri Panji Koming adalah gambar kartun sederhana hanya dengan warna hitam dan putih. Menggambarkan tokoh dengan bentuk yang lucu dan menghibur. Kartun ini mengambil latar belakang kerajaan Jawa maka tokohtokoh kartun dalam Panji Koming dibuat menyerupai karakter orang pada jaman dahulu yang terlihat dari pakaian, rambut dan perlengkapan mereka. Begitupun dengan tokohnya ada yang memperlihatkan masyarakat pada masa kerajaan Jawa dan ada pula prajurit dan petinggi kerajaan yang mewakili sosok pemerintah. Mimik muka yang dipakai untuk masyarakat digambarkan dengan muka yang tirus dan terlihat menderita. Sedangkan yang dipakai untuk 47
prajurit dan bangsawan dibuat dengan mimik muka angkuh dan dengan muka dan badan yang lebih besar serta lebar. Bahasa yang digunakan dalam kartun Panji Koming pada masa orde baru adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa. Gambar pertama memperlihatkan orang dengan pakaian masyarakat kerajaan Jawa yang sedang mencuci dan benda yang dicuci adalah uang terlihat dari bentuk bulat semacam uang koin yang lazim digunakan pada jaman dulu. Ada tokoh lain yang bertanya tentang kegiatan tersebut yang juga memakai pakaian masyarakat Jawa. Ada pula tokoh lain yang memakai baju untuk petinggi kerajaan Jawa yang berjalan hilir mudik. Gambar kedua memperlihatkan dua orang yang memakai baju masyarakat Jawa jaman dahulu. Baju tersebut terlihat kekecilan dan bahkan hingga sobek. Kemudian terdapat gambar seseorang lagi yang memakai baju petinggi kerajaan Jawa. Baju tersebut terlihat sangat kebesaran untuknya. Tahap 2 (ikonografi); pada gambar pertama digambarkan sosok Panji Koming dan Pailul yang sedang mencuci, tetapi benda yang dicuci adalah uang. Gambar ini berkaitan dengan tema yang diangkat pada edisi tersebut yakni mengenai pencucian uang. Istilah “pencucian uang” ini kemudian diwujudkan dalam gambar melakukan kegiatan benar-benar mencuci uang dalam arti sebenarnya. Pada gambar tersebut terdapat tokoh pejabat yang sedang berjalan hilir mudik, tokoh ini muncul sebagai gambaran siapa yang melakukan pencucian uang tersebut.
48
Pada gambar kedua digambarkan tokoh Panji Koming dan Pailul yang memakai baju kekecilan bahkan hingga sobek sedangkan tokoh satu lagi yang merupakan perwujudan dari pejabat atau pemerintah memakai baju yang sangat kebesaran untuk dirinya. Hal ini berkaitan dengan tema yang diangkat pada saat itu mengenai peraturan yang dibuat. Peraturan-peraturan tersebut terkadang dibuat tidak pas. Untuk rakyat peraturan dibuat mengikat dan ketat sedangkan untuk pejabat dan orang yang mempunyai jabatan tertentu peraturannya sangat longgar. Tahap ketiga (ikonologi); dari gambar pertama keseluruhan bercerita tentang pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat yang digambarkan hilir mudik berjalan. Pencucian ini dilakukan kepada masyarakat atau dengan kata lain pencucian uang dihilangkan jejaknya kepada masyarakat yang saat itu kurang begitu mengerti tentang pencucian uang. Penggambaran masyarakat pada tokoh Panji Koming dan Pailul mencerminkan bagaimana perasaan masyarakat pada saat itu mengenai kasus tersebut. Masyarakat menilai melalui percakapan yang ada bahwa seharusnya yang dicuci bukanlah uangnya melainkan orangnya. Yang dimaksud disini adalah pencucian uang merupakan hal yang tidak baik dan seharusnya yang benar-benar ditindak adalah orangnya yakni dengan menghukum atau benar-benar membuat jera pelaku pencucian uang. Namun hal ini tidak disebutkan secara langsung, mengingat kondisi politik pada saat itu. Pada saat orde baru mengungkapkan hal seperti pencucian uang bahkan langsung ditujukan kepada seseorang merupakan hal yang tabu. Masyarakat tidak berani melakukan hal demikian karena jika sampai melakukannya dan diketahui oleh pihak yang memiliki kepentingan maka dia dapat menemui kesulitan atau 49
mendapatkan ancaman. Terlebih pada saat orde baru pemerintah sangat memperhatikan masalah kestabilan keamanan. Dengan munculnya isu tersebut maka dianggap akan mengganggu kestabilan keamanan, sehingga orang atau pihak yang meluncurkan opini tersebut akan ditindak lanjut. Kedua pihak yang diceritakan disini seperti Panji Koming dan Pailul merepresentasikan dari sisi masyarakat khususnya masyarakat Indonesia pada era tersebut yang hanya bisa beropini dan berpendapat secara diam-diam tanpa berani menindaklanjuti, serta pihak pemerintah atau pejabat yang dikritik melalui gambar seorang tokoh pejabat tinggi kerajaan yang sibuk berjalan kesana kemari. Kartun Panji Koming ini dibuat untuk menggambarkan pendapat dari sudut pandang masyarakat. Hal ini bertujuan supaya kritik yang mereka sampaikan bisa didengar oleh pemerintah dan ditindaklanjuti. Tujuan lainnya adalah supaya dengan cara yang sederhana ini masyarakat lebih peduli dengan fenomena yang terjadi disekitar mereka supaya lebih berhati-hati dengan adanya pencucian uang tersebut dan jangan sampai menjadi korban untuk “mencuci uang”. Gambar kedua lebih bertitik berat pada pembuatan suatu peraturan. Dimana peraturan dibuat seharusnya untuk mengatur menjadi lebih baik dan tidak mempersulit masyarakatnya. Akan tetapi pada kenyataanya terkadang penerapan peraturan sangat tidak pas. Masyarakat yang seharusnya menerapkan peraturan dengan sebenar-benarnya adalah seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Namun terkadang peraturan itu akan sangat ketat penerapannya pada masyarakat kecil atau masyarakat biasa hingga terkadang sangat menyusahkan. Sedangkan
50
penerapan bagi orang yang mempunyai jabatan tinggi dan memiliki kekuasaan tertentu justru sangat longgar. Cerita-cerita tersebut sebenarnya sangat sensitif untuk ukuran media massa saat itu. Bagaimana tidak, karena cerita-cerita tersebut telah menyinggung sesuatu yang memang tengah terjadi pada waktu itu. Terutama dalam hal ini menyinggung pemerintah yang saat orde baru sangat kuat. Memang tidak secara langsung pesan dan kritik dari cerita tersebut diungkapkan secara terbuka, melainkan menggunakan cerita yang sedikit diplesetkan baik setting, benda maupun orangnya. Tapi meskipun diplesetkan, hal itu berdasarkan dengan kejadian nyata, pemberitaan yang sedang berkembang di media maupun dari apa yang dirasakan oleh penulis. Jangankan orang atau pihak yang disinggung, orang awam pun mungkin akan langsung paham dengan apa yang sedang dibicarakan. Mungkin inilah yang menyebabkan Kompas sempat diberitakan mendapatkan peringatan pembreidelan. Orang-orang yang berpikiran sama pastinya akan setuju dengan apa yang digambarkan oleh Dwi Koendoro. Mungkin juga orang yang tadinya tidak berpikir demikian, juga menyetujui apa yang disampaikannya. Semua cerita dan pesan yang disampaikan dalam kartun Panji Koming ini tidak lepas dari peran Dwi Koendoro. Dwi Koendoro sebagai sang pembuat Panji Koming mempunyai peran besar atas arah representasi dari kartun ini. Dari sekian banyak cerita Panji Koming rata-rata menggambarkan mengenai pemikiran dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Dwi Koendoro berhasil mengangkat isu-isu yang bermuatan politis dan mengemasnya menggunakan kartun lucu yang menarik. Bisa dibilang 51
kartun ini menggunakan prinsip “sambil menyelam minum air”. Mengapa demikian karena secara tidak langsung Dwi Koendoro menanamkan pikiranpikiran kritis terhadap penikmat kartun. Sambil menghibur, Panji Koming juga memberikan pandangan politik baru. Panji Koming yang menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat atau publik itu memiliki pemikiran tersendiri mengenai pemerintahan yang memimpin mereka. Masyarakat juga memantau bagaimana pergerakan pemerintah beserta fenomena yang terjadi disekitar mereka. Jadi meskipun dibuat oleh Dwi Koendoro dan mengandung ideologi serta pendapatnya, bisa dibilang jika Panji Koming pada saat itu merepresentasikan seorang kartunis yakni Dwi Koendoro dan masyarakat Indonesia. Cerita dalam kartun Panji Koming yang memiliki muatan politik didalamnya mampu menggiring pemikiran pembaca dan penikmat kartun kedalam tahap yang tidak hanya sekedar hiburan semata tapi juga untuk ke tahap yang lebih mendalam mengenai suatu fenomena kekuasaan, politik dan kepemimpinan (cerita yang sebagian besar ditujukan untuk pemerintah). Representasi yang diangkat oleh Dwi Koendoro juga tidak semata-mata tentang anti kekuasaan yang pada masa orde baru bisa dibilang merintis kepemimpinan yang otoriter. Panji Koming sepertinya juga ingin mengangkat mengenai representasi sebagian dari masyarakat yang haus akan kebebasan. Kebebasan yang pada masa itu hanya sebuah konsep, tidak dapat dinikmati masyarakat dengan bebas terutama dalam menentukan pilihan politik mereka. Meskipun hal ini membuat pertanyaan baru mengapa kartun ini berhasil “lolos” 52
dari ketatnya peraturan pemerintah, sedangkan banyak buku dan para aktivis yang ingin juga mengungkapkan pendapatnya tidak diberikan ijin untuk itu. Representasi Panji Koming ini juga cukup mengejutkan untuk saya dan mungkin juga sebagian orang lain. Karena perkiraan saya tentang apa yang terjadi atau apa yang diceritakan Panji Koming jauh dari bayangan sebelumnya. Dalam keadaan yang tidak memungkinkan dan diintervensi dengan begitu ketatnya, kebanyakan orang akan melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pihak yang melakukan intervensi. Namun sebaliknya yang terjadi pada Panji Koming yang melakukan hal sebaliknya. Perkiraan dan bayangan yang timbul ketika melihat ada sebuah kartun yang “survive” dengan keadaan politik seperti itu, pastinya akan berpikir jika kartun ini hanya kartun biasa yang tidak mempunyai muatan politik yang menentang pemerintah. Akan tetapi Panji Koming mampu membuktikan bahwa dengan tidak 100% mematuhi pemerintah dan dengan sedikit perjuangan dalam beberapa kesempatan sering diberi peringatan oleh pemerintah, sebuah kartun dapat merepresentasikan diri dari sang pembuat yakni Dwi Koendoro dan masyarakat yang mulai kritis melihat sisi politik yang terjadi. Bahkan dapat bertahan hingga melewati datangnya pergantian masa dari era orde baru.
d.
Kesimpulan Dari cerita-cerita dan penjelasan yang telah disebutkan diatas sedikit
banyak kita dapat melihat bagaimana kita tidak boleh memandang sebelah mata mengenai sesuatu. Sesuatu yang terkadang tidak terduga ternyata dapat membawa 53
kita untuk lebih jauh melangkah. Media visual yang salah satunya berupa kartun ternyata mempunyai efek yang luar biasa. Ditengah-tengah pendapat yang menyatakan kartun itu hanya merupakan konsumsi anak-anak, terbukti bahwa efek yang dapat dibawa kartun tidak sesederhana yang dibayangkan. Dahulu sulit dibayangkan kartun bisa dipolitisasi, tapi pada kenyataannya kartun dapat digunakan untuk itu, bahkan dapat dibilang cukup hebat. Panji Koming adalah salah satu kartun yang bisa membuktikan hal tersebut. Dia mampu “menyusupkan” nuansa politik yang cukup kental. Dibalik gambarnya yang dianggap lucu dan menghibur, dia mampu membawa cerita baru. Sedikit mengejutkan sebenarnya, ketika Panji Koming berani mengungkapkan hal-hal yang mungkin tidak sembarang orang berani mengungkapkannya. Seperti yang telah disebutkan dan dijelaskan diatas isu-isu yang diangkat tidak hanya merepresentasikan sesuatu yang “aman-aman saja”. Tapi isu sensitif untuk era orde baru pun diungkapkan. Bahkan banyak orang yang mungkin menyetujuinya secara diam-diam dengan cara terus menunggu edisi berikutnya untuk dibaca. Panji Koming pada era orde baru ini menyampaikan pesan politiknya atau merepresentasikan politiknya terhadap suatu kasus dengan cara yang halus. Percakapan hanya berkisar antar tiga tokoh utama untuk menyinggung sesuatu ditunjang dengan penggambaran setting yang sesuai (atau terkadang sedikit diplesetkan). Representasi yang disampaikan pun biasanya mengarah pada apa yang diinginkan masyarakat dan tentu saja hal tersebut seperti bertentangan dengan pemerintah. Bahasa yang digunakan pada masa ini untuk menyampaikan representasinya juga dengan bahasa yang masih sopan dan tidak terlalu frontal. 54
Gambar yang ditampilkan sangat menunjukkan pesan yang ingin disampaikan, tetapi tidak pernah memunculkan gambar suatu tokoh yang mengarah pada suatu tokoh tertentu secara detail. Dengan kondisi politik yang terjadi pada waktu itu yang notabene masyarakat tidak terlalu bebas berekspresi, Panji Koming juga mampu merepresentasikan apa yang dipikirkan dan ingin diungkapkan sebagian besar masyarakat pada masa itu. Jika kita kaitkan dengan maksud tersembunyi, Panji Koming pada era ini berhasil menyampaikan maksud tersembunyinya yakni dapat mempengaruhi masyarakat pada waktu itu supaya lebih sadar politik. Hal ini dapat kita lihat dari besarnya minat masyarakat terhadap koran Kompas dan kartun Panji Koming berdasarkan besarnya eksemplar yang berhasil dijual, serta kepopuleran Panji Koming yang ditunggu-tunggu tiap minggunya. Semua ini juga tidak terlepas dari campur tangan Kompas yang memberikan ruang tersendiri bagi kartun-kartun seperti Panji Koming dan kartun lainnya untuk berekspresi. Padahal kita tahu untuk mendapatkan ijin edar untuk media cetak saat orba sangatlah susah dengan pengawasan yang cukup ketat. Meskipun pernah diberhentikan ijin edarnya, nyatanya Kompas tetap mempertahankan halaman khusus kartun ini. Hal ini menimbulkan kesimpulan bahwa Kompas mungkin juga mempunyai representasi yang hampir sama dengan Panji Koming. Jadi dengan kata lain kartun Panji Koming ini memiliki representasi politik yang tidak hanya merepresentasikan pemikiran pembuatnya saja tetapi juga masyarakat pada waktu itu. Kata representasi yang selalu diakitkan dengan masalah politik ternyata mampu membuat sebuah kartun bisa begitu bermakna 55
dan dapat dipolitisasi sedemikian rupa sehingga secara tidak langsung memiliki efek yang luar biasa bagi penikmatnya. Meskipun
kebanyakan
representasi
yang
dimunculkan
terkesan
bertentangan dengan pemerintah dan petinggi-petinggi negara, namun Panji Koming mencoba mengangkat nilai-nilai yang seharusnya ada dalam masyarakat. Hal
yang
paling
penting
diungkapkan
adalah
mengenai
pengelolaan
kepemerintahan, kepemimpinan dan kepedulian berdasarkan moral yang diyakini masyarakat setempat, Indonesia. Jadi dapat kita katakan Panji Koming, meskipun hidup dalam era orde baru namun dia tidak merepresentasikan pemerintah orde baru justru Panji Koming mampu memberikan kritik dengan cara yang khas.
56
Bab 4 Wajah Baru Panji Koming Pasca Orde Baru a.
Pengantar Pasca reformasi membawa gelombang perubahan yang begitu signifikan
bagi negara Indonesia khususnya. Kondisi negara yang selama ini ada seakan diputar balik 180 derajat. Semuanya terasa sangat berbeda dan seperti kehilangan keseimbangan. Ekonomi, sosial dan politik berubah cara pandangnya secara drastis. Fase ini seakan menjadi fase titik balik bagi negara ini. Dalam bidang ekonomi, pada masa ini Indonesia seperti menata kembali dari awal. Carut marut yang terjadi pada masa orba menjadikan kondisi ekonomi harus diperbaiki secepatnya. Namun hingga saat ini agaknya hal tersebut belum selesai dan masih terus diperbaiki. Sedangkan dalam bidang sosial dan politik, cara pandang yang tadinya diarahkan untuk satu tujuan sekarang lebih beragam. Meski sebenarnya sudah ada keberagaman sejak dulu, akan tetapi orang-orang lebih bisa mengungkapkan keberagamannya setelah era ini. Semua orang sekarang lebih bebas untuk mengungkapkan pendapatnya dan cara pandangnya mengenai sesuatu. Bahkan hal ini termasuk dalam hak asasi manusia yang telah dilindungi oleh undang-undang. Kebebasan ini dimanfaatkan secara maksimal oleh semua pihak, baik orang-orang yang dahulu tidak punya kesempatan untuk berekspresi maupun masyarakat pada umumnya. Mungkin masa ini masa yang telah ditunggu-tunggu setelah penantian sekian tahun, meskipun banyak orang yang masih merasa
57
bahagia disaat orde baru. Banyak yang merasa di era orde baru mereka lebih senang, sejahtera dan aman. Perubahan ini memang memiliki dampak positif dan negatif yang harus dihadapi. Dampak positifnya tentu saja kebebasan untuk mengeksplorasi diri sendiri itu bisa lebih terbuka lebar. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadi kegoncangan dimasyarakat yang sekian tahun lamanya telah terbiasa dengan situasi dan keadaan yang ada, dan tiba-tiba mereka harus berubah drastis. Hal tersebut tentu saja membuat suatu kegoyahan dimana masyarakat tiba-tiba berubah dengan persepsi yang berubah luar biasa. Diluar itu semua agaknya perubahan ini juga membuat perubahan yang sangat berarti bagi media di Indonesia. Ideologi dan ekspresi yang ingin disampaikan oleh media bisa lebih leluasa untuk mengemukakan pendapatnya. Ide-ide kreatif yang dahulu sangat susah untuk diterima, sekarang menjadi hal biasa. Perbedaan pendapat bukan lagi ancaman dan masalah. Bahkan jika kita melarang orang yang ingin berpendapat, kita dapat dikenai sanksi mengenai hak asasi
manusia
untuk
berekspresi.
Media
semakin
percaya
diri
untuk
memperlihatkan visi, misi dan cara pandang mereka masing-masing. Dalam beberapa kasus malah menggunakan cara yang lebih ekstrim dan radikal. Sehingga dalam menanggapi satu kasus yang sama, cara tangkap dan respon masing-masing media akan berbeda. Hal itu terlihat dari pemilihan kata, gaya bahasa maupun gambar. Mungkin ini juga karena media tidak harus lagi terikat oleh pemerintah, yang harus selalu sesuai dengan kepentingan pemerintah.
58
Media yang semakin luas mengemukakan pendapatnya juga berpengaruh pada artikel yang ditulis oleh berbagai penulis. Hal ini mungkin juga yang akan membawa perubahan pada kartun Panji Koming karya Dwi koendoro itu. Komik yang telah ada sejak orde baru ini sangat cocok untuk dilihat apakah ada perbedaannya saat orde baru berkuasa dengan saat ini yang sejak reformasi telah berganti pemimpin berkali-kali. Barangkali dengan melihat representasi Panji Koming saat ini, kita bisa menjadi lebih kritis dan lebih peka terhadap sedikit saja perubahan yang terjadi disekitar kita. Dengan begitu kita bisa menjadi mawas diri untuk menghadapi segala perubahan bentuk dan cara pandang yang ada selama ini. Selain itu pikiran kita juga akan lebih terbuka dan sedikit banyak dapat memahami perbedaan pendapat setiap orang. Dengan pemikiran bahwa cara dan media untuk berekspresi semakin luas sehingga apa yang direpresentasikan pun bisa saja lebih luas atau bahkan lebih sempit dan spesifik seiring lebih heterogennya cara pandang masyarakat saat ini, pasca orde baru.
b.
Kondisi Media Pasca Reformasi Gelombang perubahan semenjak reformasi tahun 1998 memang tidak
main-main. Perubahan yang dibawa sangatlah banyak. Perubahan politik, ekonomi, sosial dan perubahan-perubahan lainnya menjadi bagian dari gelombang ini. Dapat dikatakan bahwa Indonesia seakan-akan dibalik 180 derajat. Namun moment ini merupakan masa titik balik bagi sebagian kalangan. Masa yang ditunggu-tunggu bagi pihak-pihak yang berkaitan, seperti media massa, aktivis
59
dan pihak lain yang selama ini menuntut adanya kebebasan HAM untuk berekspresi dan berpendapat. Media tidak mau menyia-nyiakan kesempatan seperti sekarang ini. Terlebih seiring berkembangnya isu demokrasi yang saat ini selalu disebut-sebut dalam berbagai persoalan. Demokrasi yang merupakan isu besar dalam datangnya reformasi membuat segala sesuatu yang dikaitkan dengannya dianggap akan lebih bebas dan lebih mudah. Keterikatan yang longgar terhadap penguasa menjadi salah satu kata kunci bagi berkembangnya cara orang berkomunikasi, berekspresi dan berpendapat. Media massa pasca orde baru berlomba-lomba untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan cara masing-masing. Satu masalah yang sama akan terlihat berbeda pada setiap media massa karena perbedaan pandangan dari tiap media massa. Perbedaan tersebut bisa dituangkan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam media cetak, yang paling penting digunakan biasanya adalah pemilihan kata-kata untuk suatu berita. Misalnya judul yang digunakan hanya berbeda satu kata saja akan menimbulkan efek yang berbeda bagi yang membacanya. Kadang ada kata yang bisa memprovokasi atau bahkan ada kata yang terkesan menimbulkan simpati. Selain kata-kata, media cetak yang menggunakan gambar juga akan memilih gambar yang sesuai dengan pemikiran media tersebut. Sehingga dalam satu media dengan berbagai berita dapat ditarik satu garis merah yang menunjukkan ideologi mereka. Pemilihan kata, gambar dan meletakkan suatu berita bukan satu-satunya cara menunjukkan eksistensi suatu media saat ini. Media juga dapat membuat 60
berita yang mungkin dulu sangat tabu untuk dibicarakan. Meskipun ada batasan atau dapat dikatakan aturan main untuk media yang tertulis dalam kode etik jurnalistik, namun saat ini dunia jurnalistik sudah lebih mudah untuk menampilkan berita-berita yang di masa sebelumnya dianggap sensitif. Dengan kata lain media massa saat ini sudah lebih ekspresif untuk mengungkapkan apa yang ingin diangkat. Tekanan dari pemerintah yang dulu sangat ketat pun sekarang agaknya sudah tidak terlihat lagi. Pemerintah sudah memberikan kebebasan kepada media untuk berekspresi. Bahkan terkadang beberapa kesempatan media sudah berani untuk “melawan” pemerintah dengan pemberitaan mereka. Hal ini sama sekali bukan hal yang mengagetkan lagi saat ini. Hampir disetiap kolom opini di satu media cetak ada kritik tentang pemerintah yang dilontarkan oleh penulisnya. Tapi tidak sedikit pula yang memuji beberapa perkembangan. Hal yang saat ini sedang menjadi tren dikalangan politisi yang bersangkutan dengan media adalah penggunaan media untuk kampanye. Entah karena mengikuti tren atau memang telah menyadari kegunaan media, banyak politisi yang menjadikan media salah satu rekannya. Dalam hal ini terlebih menggunakan media jejaring sosial yang sedang “booming” di kalangan masyarakat. Dari media sosial ini mereka bisa menjalin jaringan, mengumpulkan masa, mengetahui pendapat masyarakat secara langsung dan tentu saja bisa berkampanye. Apalagi bagi politisi yang akan mencalonkan dirinya pada pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Inspirasi ini mungkin muncul
61
semenjak keberhasilan Barack Obama dalam perjalanannya mencapai pemimpin negara adikuasa, Amerika Serikat, yang menggunakan media jejaring sosial. Media saat ini terasa makin kreatif dan inovatif. Banyak ragam dan cara yang digunakan dan info yang diberikan. Hal ini seiring dengan berkurangnya ketakutan dan kekhawatiran dalam kesalahan penyampaian pendapat. Bukan tidak ada sanksi, tapi jangkauan dalam improvisasi jauh lebih luas. Sehingga media semakin mudah untuk mengeksplorasi hal-hal yang dahulu dianggap tabu. Kita juga menjadi semakin tahu bahwa ternyata banyak sekali pemikiran yang ada dalam media, diluar perkiraan kita. Memang banyak sisi positif yang bisa diambil dari masa ini akan tetapi jangan lupa, ternyata ada juga sisi negatif yang kita dapat di masa ini. Jika berkaitan dengan public figure, banyak diantara mereka yang privasinya terganggu. Kekurangan lain adalah masalah kesiapan masyarakat dalam kebebasan. Selama 32 tahun masyarakat terbiasa dengan kepemimpinan orde baru, maka saat situasi berubah masyarakat seperti mengalami goncangan yang hebat, antara
menerimanya
dengan
senang
hati
serta
masih
bingung
untuk
menggunakannya dan ada pula yang menyalahgunakan kebebasan tersebut. Pro dan kontra dalam perubahan situasi ini memang merupakan suatu hal yang biasa dalam suatu isu. Lebih nyaman manakah perubahan ini bagi semua pihak, bisa kita lihat seiring berjalannya waktu. Apakah situasi ini akan berubah lebih baik atau bahkan sebaliknya, lebih buruk. Tapi apapun itu sebenarnya sebuah era merupakan dampak dari era sebelumnya. Semuanya berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Sehingga apapun yang terjadi saat ini, baik sisi baik 62
maupun sisi buruknya, sesungguhnya merupakan harmonisasi dari masa lalu yang telah dilewati. Perubahan yang sangat mengejutkan bagi sebagian orang ini, sangat menarik untuk kita kaji. Seperti yang telah disebutkan diatas, hampir sebagian besar sendi kehidupan masyarakat di Indonesia mengalami perubahan. Tapi tetap saja masih ada peluang suatu hal tidak berubah. Meskipun itu merupakan suatu hal kecil. Dalam tulisan sebelumnya kita telah melihat perubahan media secara universal. Namun ada hal yang membuat penasaran, yakni apakah salah satu konten atau isinya juga ikut berubah? Sebut saja kartun Panji Koming. Panji Koming masih bertahan hingga saat ini. Biasanya sesuatu yang bisa bertahan adalah sesuatu yang bisa diterima pada masanya. Sehingga ada kemungkinan Panji Koming merupakan media yang melakukan hal tersebut. Tapi untuk melihatnya lebih jelas, mari kita bahas permasalahan tersebut.
c.
Representasi Panji Koming Pasca Reformasi Telah disebutkan diatas bahwa peristiwa reformasi tahun 1998 membawa
perubahan yang cukup signifikan bagi negara dan bangsa Indonesia. Isu yang dulu hanya wacana saja sekarang sepertinya tidak tabu lagi dibicarakan. Misalnya saja isu tentang demokrasi yang saat ini sedang diagung-agungkan. Demokrasi yang juga merupakan isu pokok dalam perubahan kondisi di Indonesia ini, hampir selalu disangkutpautkan dalam setiap permasalahan yang bersangkutan dengan orang banyak. Baik dalam perbincangan santai maupun dalam pertemuan serius kepemerintahan. Bahkan dalam hal “kecil” pun demokrasi akan terus dibawa63
bawa karena demokrasi dianggap sebagai konsep yang sangat baik saat ini. Dan seperti yang telah diceritakan sebelumnya mengenai kartun Panji Koming, fokus utama dari tulisan ini, sepertinya saat ini demokrasi juga merupakan isu yang juga tidak luput dari pemberitaannya. Pada masa pasca orde baru seperti sekarang ini, media dan publik sudah tidak lagi punya tekanan untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka ungkapkan. Media yang dulu sangat terbatasi, sekarang malah bisa mempunyai ideologi sendiri. Tidak harus semuanya bergantung dan sesuai dengan keinginan pemerintah. Bahkan terkadang pemilihan katanya pun semakin tajam dan tak segan lagi menyanjung dan menjatuhkan secara langsung. Semuanya berjalan sesuai keinginan mereka. Kehidupan sosial masyarakat pun amat sangat berubah saat ini dibandingkan era sebelumnya. Obrolan tentang semua hal termasuk sosial, politik, budaya dan hal-hal lain pun bisa dengan mudah dibicarakan di berbagai tempat bahkan sebagai obrolan warung kopi. Dalam bidang politikpun saat ini lebih bebas. Pembentukan partai politik dan organisasi-organisasi lain pun lebih leluasa. Masyarakat bisa dengan mudah mengikuti suatu partai tertentu yang saat ini sangat beragam dan berkegiatan aktif didalamnya. Hal ini mungkin dianggap sebagai efek positif yang dibawa oleh era pasca orde baru, karena dengan begitu pemikiran manusia tidak dikerdilkan lagi hanya dengan melihat satu sisi cara pandang. Namun seperti yang telah diungkapkan sebelumnya efek negatifnya adalah jika ada orang yang menyalahgunakan kesempatan mereka sehingga
64
dianggap mengganggu privasi orang terlalu dalam. Meskipun sebenarnya mengganggu atau tidak adalah hal yang relatif. Salah satu yang mungkin terpengaruh dengan semua perubahan ini adalah Panji Koming. Telah disebutkan bahwa Panji Koming telah ada semenjak era orde baru. Kondisi yang baru ini biasanya akan membuat pengalaman baru dan cara pandang baru. Panji Koming sudah terkenal dengan ciri khasnya yang “sangat Indonesia” dengan menggunakan setting kerajaan di Indonesia. Dengan menggunakan setting tersebut, Panji Koming mampu memanfaatkannya untuk kritik sosial dan penggambaran kondisi masa itu, meskipun harus menemui berbagai halangan yang ada didepan mata. Dengan begitu kita pasti akan berpikir bahwa seperti saat sekarang ini yang cukup minim “penghalang” untuk mengungkapkan
pendapat,
Panji
Koming
akan
lebih
mampu
untuk
memanfaatkannya. Hal ini hanya akan menjadi asumsi jika tidak kita lihat secara langsung dan jelas. Jadi kita harus melihat beberapa contoh pendapat dalam kartun Panji Koming pasca orde baru untuk melihat sudut pandangnya saat ini. Salah satu contoh Panji Koming yang terbit pada era pasca orde baru kita bisa melihat pada edisi Minggu 25 September 2005 yang berisi tentang sindiran terhadap kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dari negara lain.23
23
Lihat Kompas edisi Minggu 25 September 2005, halaman 14
65
Terlihat dalam edisi ini para petani yang sedang panen besar dan melimpah tidak jadi berbahagia atas keberhasilan mereka bercocoktanam. Hal ini tak lain dan tak bukan karena pemerintah menerapkan sistem impor bahan pokok yang sebenarnya para petani pun mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pada sudut pandang ini pemerintah dinilai sewenang-wenang melakukan kebijakan yang merugikan petani dan hasil panen yang tidak tahu akan dikemanakan karena harganya akan semakin menurun, sehingga tidak sesuai dengan biaya produksi dan lamanya pengelolaan. Tidak lain hal ini ditujukan bagi pemerintah Indonesia supaya lebih memperhatikan kesejahteraan petani Indonesia yang semakin hari semakin kesulitan menyesuaikan dengan kebijakan yang ada.
66
Contoh lain adalah mengenai mengenai perilaku “wakil rakyat” yang dimunculkan pada Panji Koming di koran Kompas edisi Minggu 30 Oktober 2005.24
Edisi ini adalah edisi yang mengecam cukup keras terhadap tindakan yang dilakukan wakil rakyat saat ini. Para wakil ini menganggap mereka telah bekerja sangat keras sehingga mereka patut untuk mendapatkan reward atas apa yang telah mereka lakukan. Namun hal ini seakan tidak melihat lagi siapa yang mereka wakili dan apa yang terjadi terhadap mereka. Orang-orang yang mereka wakili banyak yang masih hidup seperti sedia kala tanpa ada perubahan. Pesan yang terasa adalah lebih dari itu, seakan kartun Panji Koming pada edisi ini ingin memperlihatkan bahwa orang-orang yang telah menduduki kedudukan yang tinggi di pemerintahan, banyak yang tidak layak menerimanya. Mereka hanya mementingkan hak mereka tanpa memperdulikan apakah kewajiban mereka telah
24
Lihat Kompas edisi Minggu 30 Oktober 2005, halaman 13
67
dilaksanakan dengan baik atau tidak. Totalitas dan kesungguhan mereka dipertanyakan oleh masyarakat yang merasakan bahwa menjangkau wakil mereka saja cukup sulit apalagi menyampaikan pendapat mereka. Sedangkan yang terdapat pada edisi Minggu 18 Desember 2005, Panji Koming bercerita mengenai koruptor.25
Tindakan korupsi dan koruptor yang sejak jaman dahulu sebenarnya telah ada. Koruptor itu bukan orang yang sembarangan yang bertindak begitu saja tanpa pikir panjang. Dalam cerita ini digambarkan bahwa para koruptor “sebenarnya” berhasil lolos dari jeratan hukum. Orang-orang yang ditangkap adalah orang yang menjadi umpan dalam strategi mereka lolos dari jeruji besi. Orang-orang yang menerima sogokan akan lebih mudah untuk diumpankan, sehingga berita atau perhatian akan terfokus pada hal tersebut. Dan digambarkan bahwa mereka yang menjadi koruptor seperti tikus dan belut yang licin serta sulit ditangkap. Selain berhasil mengambil yang bukan hak mereka, koruptor yang ada di Indonesia 25
Lihat Kompas edisi Minggu 18 Desember 2005, halaman 13
68
(yang dimaksudkan pada cerita ini) juga berhasil mengalihkan perhatian sehingga tetap “aman”. Tindakan ini sampai menimbulkan reaksi dari Panji Koming yang menyampaikan bahwa mereka tidak sekedar campuran tikus dan belut tapi yang disampaikan adalah “dia (para koruptor) itu campuran tikus sama monyet, pemain sandiwara dan juga akrobat, kalau makan pisang dia makan pisangnya, dia buang kulitnya membuat orang lain terpeleset-peleset.” Dari kalimat tersebut kita bisa merasakan pesan yang disampaikan mengandung arti yaitu gerak-gerik koruptor tidaklah semudah yang dibayangkan tetapi ada strateginya yang terkadang menimbulkan ketidakberuntungan bagi pihak lain yang terlibat dengannya. Bukan berarti orang-orang yang berhasil disuap itu tidak bersalah, tapi jika jauh lebih jeli dilihat Panji Koming ingin memberi pesan bahwa seharusnya koruptor “sebenarnya” harus dicari juga dan ditindak. Tiga edisi diatas merupakan penggambaran kartun Panji Koming yang ada pasca orde baru. Panji Koming yang masih datang seminggu sekali di koran Kompas, sepertinya belum kehilangan “pamor” dan karismanya dalam menarik perhatian publik. Pada abad 21 ini masih banyak peminatnya. Hal ini terbukti dengan berkembangnya Panji Koming seiring perkembangan teknologi (terutama komunikasi) yang saat ini sangat cepat. Sosial media yang saat ini tengah digemari oleh hampir seluruh rakyat Indonesia juga dijadikan peluang oleh kartun Panji Koming mengirimkan pesannya. Dengan begitu tanpa membaca koran Kompas di setiap Minggunya, penggemar Panji Koming masih dapat menikmati
69
ceritanya. Tapi meskipun begitu agaknya karakter Panji Koming sudah menempel di koran Kompas. Kembali pada tiga edisi kartun yang telah dijabarkan diatas. Kita akan mencoba menganalisanya menggunakan analisa ikonografi. Tahap pertama (preikonografi); pada gambar pertama, kartun Panji Koming edisi ini dibuat sedikit lebih berwarna. Namun warna yang digunakan bukan warna terang dan warna hanya digunakan untuk mewarnai latar belakang. Gambar latar belakang dan wajah tokoh dibuat sedikit lebih detail. Garis-garis pada wajah dan mimik muka serta latar belakang yang dipakai dibuat sedikit lebih nyata dan terkesan lebih serius tanpa mengurangi kelucuan yang dapat kita tangkap dari gambar tersebut. Penggambaran latar belakang dibuat secara jelas seperti penggambaran tanaman padi dan karung-karung beras yang ditumpuk. Terdapat lima karakter pada edisi ini, empat karakter dibuat seperti kartun pada umumnya dan satu lagi karakter karikatur yang menyerupai salah satu tokoh masyarakat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa sesuai dengan tema kartun Panji Koming. Pada gambar kedua Panji Koming seluruhnya berwarna hitam putih. Terdapat lima karakter pada edisi ini. Tiga diantaranya merupakan karakter kartun komik sedangkan dua lagi merupakan karikatur dari sosok masyarakat. Salah satu karakter tengah mendengarkan denyut jantung dari tiga orang yang berbeda dua diantaranya karakter komik biasa dan satu lagi adalah karakter karikatur suatu tokoh. Terdapat latar belakang pagar pembatas yang ditunjukkan dengan garisgaris vertikal yang kemudian dibagian luar terdapat seseorang. Ada pula latar 70
belakang kerajaan dengan menggambarkan kursi ukir yang biasanya dipakai oleh petinggi kerajaan. Penggambaran tokoh kartun dan latar belakang dibuat sedikit lebih detail. Hal ini terlihat dari penggambaran wajah yang diserupakan karakter tertentu terutama pada karikatur serta penggambaran latar belakang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa. Gambar ketiga terlihat hanya memunculkan warna hitam dan putih. Penggambaran komik kartun ini terlihat lebih detail dari kartun komik kebanyakan. Garis-garis wajah karakter dibuat agak detail terutama pada karakter yang berbentuk karikatur. Terdapat sembilan karakter pada kartun Panji Koming edisi ini. Diantara sembilan karakter tersebut terdapat dua karakter karikatur, dua lagi dibuat sedikit gelap seperti sedang berada pada tempat gelap, selebihnya merupakan karakter kartun komik biasa. Dalam karakter komik tersebut terdapat dua karakter anak-anak, hal ini terlihat pada ukuran yang dipakai untuk menggambarkannya. Dua karakter ini memiliki ukuran yang lebih kecil serta memberikan ciri-ciri anak kecil seperti model rambut dan cara berpakaiannya. Bahasa yang digunakan pada kartun Panji Koming ini adalah bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa. Tahap kedua adalah tahap ikonografi; gambar pertama bertema mengenai import beras. Gambar padi yang ada pada edisi ini untuk lebih menunjukkan tema utama dari kartun edisi ini. Padi yang melimpah tidak membuat petani bahagia hal ini terlihat dari mimik muka karakter petani yang memperlihatkan mimik muka sedih. Hal ini karena adanya import beras yang dilakukan oleh petinggi negara, seperti terlihat pada gambar. Karakter karikatur suatu tokoh petinggi kerajaan 71
yang merepresentasikan pejabat negara pada saat ini menaiki sebuah kapal yang berisi penuh dengan karung berisi beras. Kapal berisi penuh karung dan beras mengibaratkan negara yang membuat peraturan untuk mengimpor beras dari negara lain. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk membantu petani dan masyarakat yang diperkuat pada dialog yang digunakan. Alih-alih membantu ternyata hal ini justru membuat petani sedih dan kesal seperti yang terlihat pada karakter petani yang menunjukkan raut muka tidak suka. Gambar kedua bertema mengenai kelakuan petinggi negara dan wakil rakyat yang tidak sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Jika dikaitkan dengan gambar yang ada terlihat seseorang mendengar denyut jantung dua orang bunyinya seperti denyut jantung pada umumnya, sedangkan ketika mendengarkan suara denyut jantung salah satu karakter yang mewakili wakili rakyat bunyinya adalah uang. Hal ini sebagai simbol bahwa banyak wakil rakyat yang tidak memikirkan rakyatnya tapi lebih memikirkan bagaimana memperkaya diri sendiri. Bahkan dianggap apa yang wakil rakyat ini dapatkan tidak sesuai dengan kinerja mereka yang masih harus dipertanyakan. Karakter karikatur satu lagi menunjukkan seorang pemimpin yang tidak memperdulikan hal demikian. Pemimpin ini merasa bahwa wakil rakyat ini patut mendapatkan semua fasilitas. Hal ini diperlihatkan dengan adanya tulisan “cuek” pada sekitar gambar karakter tersebut. Bahkan terdapat gerbang yang ditinggikan untuk membatasi rakyat masuk dan hanya bisa berteriak diluar pagar tersebut, hal ini terlihat dari gambar pagar yang tinggi dan seseorang yang sedang berteriak di belakangnya.
72
Gambar ketiga bertema mengenai tindakan korupsi dan suap yang telah ada sejak dulu. Kasus korupsi sering menyebut pelakunya dengan sebutan tikus. Koruptor diibaratkan sebagai tikus karena sifat tikus yang makannya rakus dan tidak pilih-pilih. Kemudian ada penyebutan belut yang digunakan untuk mengibaratkan koruptor yang sangat licin dan susah untuk ditangkap oleh pihak yang berwenang sesuai dengan sifat hewan belut yang licin dan sulit ditangkap. Ada pula penyebutan monyet untuk menunjukkan sifat koruptor yang suka korupsi namun membuat orang lain yang mendapatkan dampaknya seperti monyet yang setelah memakan pisang kemudian membuang kulitnya sembarangan sehingga membuat orang lain terpeleset. Istilah-istilah ini pun sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat bahkan hingga anak kecil, hal ini tergambar dari karakter dua anak kecil (bujel dan trinil) yang telah mengetahui istilah tersebut meskipun tidak tahu makna sesungguhnya. Tahap ketiga (ikonologi); gambar pertama bercerita mengenai import beras yang dilakukan oleh pemerintah yang pada saat itu sedang hangat diberitakan. Pemerintah mengambil keputusan ini dengan dalih untuk membantu masyarakat karena kekurangan bahan pangan sekaligus membantu petani untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun yang dirasakan oleh petani sebenarnya adalah mereka merasa dirugikan dengan adanya import beras tersebut. Dengan adanya import beras maka harga beras yang mereka panen akan turun harganya dipasaran. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi petani, dengan begitu mereka tidak akan mendapat keuntungan yang lebih. Bahkan beras-beras ini nantinya akan sangat sulit dipasarkan karena biasanya harga dan kualitas beras 73
akan bersaing dengan harga dan kualitas beras import. Selain itu import beras seakan hanya dijadikan alasan bagi beberapa pihak terkait untuk mendapatkan keuntungan dari adanya import tersebut, seperti pengambilan keuntungan karena pengadaan import beras. Pihak yang dimaksud ini terlihat pada karakter karikatur yang ada pada gambar. Karikatur tersebut menyerupai seseorang yang berkaitan dengan kasus import beras yang tidak bisa dengan pasti disebutkan namanya, akan tetapi mengarah pada sosok yang melakukan pengadaan import beras. Dengan kata lain import beras ini dijadikan “kedok” bagi pelakunya untuk mendapatkan keuntungan alih-alih membantu petani dan masyarakat. Edisi ini lebih menampilkan suara hati petani yang keberatan dengan adanya import beras. Gambar kedua bercerita mengenai perangai sebagian wakil rakyat yang hanya memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan fasilitas. Hingga hal ini di diumpamakan hingga denyut jantung merekapun berbunyi uang seperti yang nampak pada gambar kedua. Panji Koming edisi berisi mengenai kekecewaan masyarakat terhadap kelakuan wakil rakyat yang selalu menuntut hak-hak mereka dan perbaikan fasilitas tetapi tidak sesuai dengan kinerja mereka yang tidak maksimal. Behakan diagmbarkan pula banyak wakil rakyat yang tertidur ketika mereka seharusnya bekerja seperti yang terdapat pada gambar dan ada pula tulisan huruf “z” yang dalam penggunaannya sehari-hari mewakili perilaku orang ketika sedang tertidur. Wakil rakyat tersebut selalu beranggapan bahwa mereka telah bekerja sangat keras untuk kepentingan masyarakat, hingga mereka merasa pantas dengan fasilitas kelas satu dan fasilitas mewah lainnya bahkan terkadang cenderung menuntut hal-hal yang berlebihan dan mengada-ada. Namun kinerja 74
mereka tidak berdampak signifikan pada rakyat, hal inilah yang membuat rakyat terkadang gerah dengan kelakuan mereka. Kritik, protes dan suara rakyat lainnya seakan tidak didengarkan oleh pemimpin yang malah membiarkan kelakuan wakil rakyat tersebut. Malah pemimpin disini terkesan tidak peduli dengan adanya tulisan cuek. Penggambaran pemimpin disini diwakili dengan salah satu karakter karikatur yang terdapat pada gambar, yang mengarah pada salah satu pemimpin yang berkepentingan dan berkaitan dengan hal ini. Gerbang tinggi pun dipasang untuk membatasi protes dan suara rakyat yang tidak setuju dengan adanya perlakuan tersebut. Sehingga yang didengar disini bukanlah suara rakyat namun suara pihak yang berkepentingan. Hal inilah yang ingin disampaikan oleh masyarakat, bahwa kinerja dan kewajiban wakil rakyat harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum mereka meminta hak-hak dan imbalan mereka yang terkadang berlebihan. Gambar ketiga bercerita mengenai perumpamaan yang dipakai untuk mewakili tindalan korupsi. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh sebagian orang dan dengan pemberitaan yang sudah sangat mudah diakses saat ini membuat istilah-istilah yang dipakai tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Anak-anak kecil pun sudah sangat terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, seperti yang dilakukan oleh Trinil dan Bujel (karakter anak kecil pada gambar). Istilah seperti tikus digunakan untuk mengumpamakan seseorang yang melakukan tindakan korupsi atau memakan uang rakyat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa tindakan korupsi merupakan salah satu tindakan rakus seperti yang dilakukan tikus yang dapat memakan apa saja. Tindakan ini juga menyebabkan dia bisa 75
masuk penjara, hal ini mengarah pada salah satu tokoh yang melakukan korupsi yang digambarkan melalui salah satu karikatur yang menyerupai. Bentuk lain dari koruptor digambarkan sebagai belut yang sangat licin ditangkap. Belut ini sebagai simbol dari koruptor yang sangat susah sekali untuk dijerat oleh hukum. Dalam gambar ketiga pun diperlihatkan ada dua orang, bahwa mereka dapat berjalan mengendap-endap tanpa terkena cahaya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa sebenarnya terdapat diluar sana banyak sekali koruptor yang belum terjerat oleh hukum dan masih berkeliaran secara bebas. Bentuk koruptor satu lagi yang disebutkan adalah campuran antara tikus dan monyet. Yang dimaksud disini adalah koruptor yang selain rakus tetapi juga lincah menyembunyikan tindakannya dan malah merugikan orang lain, dia yang bertindak tapi orang lain yang
terkena
imbasnya.
Menariknya
dari
istilah
ketiga
ini
adalah
penggambarannya dengan karikatur yang menyerupai seseorang dan sedang membawa gula. Hal ini memperlihatkan bahwa orang yang dimaksud disini adalah orang yang terkait dengan kasus korupsi gula yang pada saat itu sedang terjadi. Kita bisa melihat jika Panji Koming pada saat ini, pasca orde baru, seolah-olah dengan atau tanpa sadar mengemukakan bahwa Panji Koming ini anti-pati terhadap pemerintah. Hal ini dapat kita ketahui melalui tema-tema yang diambilnya selama ini sebagian besar adalah berupa kritik terhadap pemerintah. Entah hanya karena isu yang sedang hangat atau karena keinginan pembuat Panji Koming pribadi yang melakukannya. Melalui tokoh-tokoh yang dibuat, pembuat
76
Panji Koming seperti ingin memberikan teguran keras pada petinggi-petinggi negara. Kartun Panji Koming pasca orba, sedikit banyak telah menambahkan beberapa komponen dalam edisinya kini. Panji Koming yang dibuat berwarna pada beberapa bagian menjadikan kartun ini terlihat lebih fresh dan lebih menarik. Karakternya pun tak hanya berkutat pada Panji Koming, Pailul, Ni Woro Ciblon dan beberapa lainnya. Ada karakter-karakter tambahan yang dibuat sesuai dengan tema cerita yang dibuat. Ada karakter utama tambahan seperti bujel dan trinil (gambar a dan gambar b) dan ada juga karakter yang hanya muncul untuk edisi tertentu (misalnya gambar c dan gambar d). Mungkin hal ini dilakukan supaya kartun ini terlihat lebih menarik dan yang pasti dapat menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Bahkan terkadang terlihat lebih menarik ketika pada kartun ini menampilkan karakter seseorang dengan digambar sebagai karikatur. Ketika pertama kali melihat orang yang membacanya pasti tertarik dengan karikatur yang dibuat dan akan menebak-nebak siapa yang digambar demikian. Dan pastinya karakter dalam karikatur tersebut disesuaikan dengan penggambaran di publik. Karikatur pada penambahan cerita bisa diartikan dua hal, berupa sanjungan atau justru malah sebaliknya, hinaan kepada orang yang dikarikaturkan.
77
(gambar a)
(gambar b)
(gambar c)
(gambar d)
Selain karikatur baru, karakter-karakter lama tidak kalah menariknya dengan karikatur tokoh-tokoh tersebut. Panji Koming dan teman-temannya yang juga mempunyai karakter sendiri, memiliki daya tarik yang luar biasa. Entah karena perubahan jaman yang lebih terbuka dan keleluasaan lebih yang dimiliki tiap orang, Panji Koming dan teman-temannya yang masih ada hingga kini terasa berbeda dengan karakternya yang lebih kuat. Bahkan dalam beberapa edisi, Panji Koming dan teman-temannya lebih berani mengungkapkan pendapatnya secara langsung. Antara lain dengan kata-kata yang langsung disampaikan pada karakter lain dan karikatur tokoh yang dibuat. Beberapa edisi juga memperlihatkan mereka langsung berteriak pada karikatur tokoh yang berhubungan dengan cerita tentang keluhan mereka. Mungkin hal ini terlihat lebih frontal dibanding dengan edisiedisi yang lalu. Pendalaman karakter-karakter diatas merupakan salah satu sisi yang menyokong makin kuatnya karakter kartun ini. Terlihat bahwa Panji Koming pada saat ini merepresentasikan pemikiran pembuatnya dan pemikiran masyarakat pada umumnya. Hal ini semakin menguatkan representasi yang dibawa adalah sebagai 78
kartun yang anti pemerintah. Terlebih saat ini era yang menganggap demokrasi, keterbukaan dan kebebasan merupakan harga mati bagi negara. Kondisi
yang
mendukung ini
membuat
Panji
Koming
berani
mengungkapkan pendapatnya dengan begitu terbuka dengan kata-kata yang lugas dan gambar yang lebih terang, kepada tokoh yang dituju. Jadi bisa dikatakan kondisi sosial dan politik pada saat era pasca orde baru mempengaruhi karakter dari setiap tokoh kartun yang diceritakan dan alur cerita yang diusung oleh Panji Koming menjadi lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Baik dari segi bahasa maupun gambar pun juga berubah dibeberapa bagian. Memang bukan hal yang mengagetkan lagi saat ini bahwa banyak pihak yang secara berterus terang menyatakan setuju atau tidak setuju, kecewa atau tidak, suka atau tidak, kepada siapa saja termasuk pemerintah yang berkuasa. Maka dari itu wajar bila kartun yang sudah cukup lama ada selama beberapa dekade belakangan dan mengisi salah satu media nasional yang terkenal, Kompas, menuangkan representasi yang masih berpihak pada kaum lemah, masyarakatnya dan bangsa Indonesia. Serta menyatakan anti-pemerintah dengan penyebabpenyebab yang disebutkan tiap kali mengulas suatu tema pada tiap edisinya.
d.
Kesimpulan Perubahan memang telah terjadi di Indonesia. Impact yang dibawa pun
juga luar biasa. Bahkan bagi hal yang mungkin masih jarang dan asing disangkutpautkan dengan kondisi masyarakat umum, politik pada khususnya. Lagi dan lagi kita membicarakan tentang kartun dan perubahan fungsinya dalam 79
komunikasi. Sejak orde baru kartun Panji Koming sedari awal sudah menetapkan pilihannya untuk tidak sama dengan kartun lain yang lebih menghindar tentang politik karena sasaran pemasarannya. Panji Koming pasca orde baru, secara tampilan memang lebih berwarna. Panji Koming saat ini, terlihat sama dengan media lain yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Setelah “menikmati” masamasa orde baru, kartun Panji Koming mampu bertahan hingga saat ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Panji Koming juga memanfaatkan kesempatan yang ada. Kondisi perubahan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya yang jauh berbeda ini agaknya sangat menguntungkan bagi media karena mempunyai kesempatan lebih banyak saat ini. Sisi idealisme pembuat Panji Koming sangat terasa sekali ketika kita melihat Panji Koming, baik gambar maupun kata-kata yang digunakan. Representasi yang dibawa pun tentu saja merepresentasikan sang pembuat Panji Koming, Dwi Keondoro, yang masih mempertahankan representasinya sebagai pihak yang mewakili masyarakat umum dan menentang pemerintah ataupun hal tertentu. Terasa sekali Panji Koming pasca orde baru lebih agresif dan lebih lugas. Sehingga siapa yang disindir dan apa kemauan dari Dwi Koendoro sebagai pembuat Panji Koming terlihat jelas. Dari segi tampilan gambar, Panji Koming pada pasca reformasi dalam beberapa edisi jauh lebih berwarna hal ini mungkin seiring berkembanganya teknologi dan kemauan pasar yang lebih beragam. Dalam kasus-kasus tertentu pun Panji Koming menampilkan karikatur dari tokoh tertentu yang berkaitan dengan kasus tersebut dan biasanya tokoh yang dikarikaturkan adalah tokoh yang akan dikritik oleh Panji Koming. Kehadiran karikatur ini tidak semata-mata untuk 80
menambah jumlah tokoh yang ada didalam cerita, tokoh-tokoh yang dikarikaturkan ini juga akan berinteraksi dengan tokoh-tokoh utama yang biasanya akan langsung menyampaikan pertanyaan yang ingin diketahui, kritik dan lain sebagainya. Penggunaan bahasa Panji Koming pada masa ini terlihat lebih lugas dan santai. Hal ini mungkin juga dikarenakan kondisi politik pada masa ini yang lebih bebas untuk mengungkapkan pendapat. Apabila kita kaitkan dengan maksud tersembunyi, nampaknya tidak ada lagi yang disembunyikan oleh Panji Koming. Dengan Panji Koming yang lebih terbuka dan lebih lugas mengungkapkan pendapatnya, masyarakat tidak perlu lagi mencari-cari makna apa yang tersembunyi dibalik cerita Panji Koming di setiap edisinya. Semuanya telah diungkapkan secara tegas dan jelas melalui sebuah komik pendek. Maksud tersembunyi untuk lebih menyadarkan masyarakat tentang politikpun sudah tidak ada lagi seiring dengan perkembangan tentang kesadaran politik pada masyarakat yang sudah cukup tinggi masa ini. Koran Kompas yang masih setia menaungi Panji Koming dalam rentan waktu yang cukup lama hingga pasca reformasi, mampu menunjukkan eksistensi Panji Koming. Kompas yang tidak lagi mengkhawatirkan pembreidelan oleh pemerintah ikut bereforia dalam kebebasan yang didapat oleh media massa. Kompas juga mempersilakan Panji Koming menikmati kebebasan tersebut dengan beberapa perubahan dalam bentuk fisik dan bahasa yang digunakan. Panji Koming masih dipertahankan sebagai salah satu sisi pandang yang ingin ditampilkan oleh Kompas. Meskipun saat ini Kompas lebih bebas untuk
81
menyampaikan representasinya sendiri dalam berbagai artikel yang ada, Panji Koming tetap menjadi bagian penting untuk menyampaikan suara masyarakat. Dalam setiap karya pasti ada ideologis sang pembuat, namun Panji Koming ini masih merepresentasikan hal yang sama yakni sisi atau sudut pandang politik dari masyarakat pada umumnya merepresentasikan opini-opini masyarakat yang beredar pada media. Meskipun pada masa ini pihak yang merasa terwakili dengan representasi tersebut tentu saja berkurang yang disebabkan lebih besarnya kebebasan
berekspresi
masyarakat
masa
ini
sehingga
keberagaman
representasipun juga akan semakin tinggi. Representasi politik Panji Koming hanya akan terbatas pada segmen tertentu. Terutama dalam hal ini masyarakat yang merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah, tidak setuju dengan tindakan pemerintah ataupun pejabat-pejabat tinggi, dan masyarakat yang kritis terhadap setiap isu yang beredar, serta pihak yang satu pemikiran dengan Panji Koming.
82
Bab 5 Perbandingan Kartun Panji Koming a.
Pengantar Dua bab sebelumnya telah sedikit banyak menjelaskan keadaan yang
terjadi di dua era yang berbeda 180 derajat. “Perubahan” seakan menjadi kata penting yang selalu timbul dalam berbagai isu yang berhembus. Kita tidak akan pernah menemukan pangkal dan ujung jika membicarakan mengenai politik dan segala yang berhubungan dengannya. Hal yang sepertinya tidak terkait dengan politik pun bisa diplintir dan dipolitisasi sedemikian rupa menjadi hal yang kental berbau politik. Layaknya kartun yang sebagian orang berpikir itu hanya “makanan” anak-anak dan dijadikan media pembelajaran bagi hal-hal sederhana yang berhubungan dengan pendidikan dan lain-lain. Kartun ternyata jauh lebih hebat dari yang pernah diduga. Sudah sejak lama hal ini dilakukan. Sama halnya yang terjadi pada kartun Panji Koming yang telah melakukannya semenjak jaman orde baru. Padahal kita tahu pada saat itu, politik merupakan hal yang sensitif untuk dibicarakan dalam masyarakat umum. Kartun yang bersifat gembira dan kekanakkanakan sedikit banyak sudah menghilang darinya, bahkan sejak kemunculan pertamanya ditahun 1979. Hal ini seakan mengukuhkan bahwa kartun Panji Koming ini tidak bisa diremehkan. Meskipun terlihat dengan gaya bercandanya yang khas, kartun ini selalu membawa makna yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat diluarnya.
83
Pesan yang singkat, padat dan jelas, coba dilakukan oleh Panji Koming. Sedikit mengejutkan memang, ketika suatu media dengan caranya berani menyampaikan itu semua. Sedangkan pada saat itu banyak sekali penulis beserta tulisan-tulisannya yang dilarang karena dianggap sebagai “pembangkang”, provokator dan berbahaya bagi integrasi bangsa (menurut pemerintah). Bahkan yang paling terkenal adalah tentang menghilangnya orang-orang yang aktif dan menjadi aktivis dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan menggugat pemerintah terhadap masyarakatnya. Peristiwa
penting
yang
menandai
keberhasilan
masyarakat
menumbangkan pemimpin yang berkuasa saat orde baru pun datang. Reformasi merupakan saat yang ditunggu bagi masyarakat Indonesia. Tuntutan akan kebebasan dan demokrasi seakan dijawab melalui peristiwa ini. Reformasi seolah menjadi pintu gerbang menuju Indonesia yang lebih terbuka dan Indonesia impian. Euforia ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang paham dengan apa yang terjadi jika terjadi perubahan kepemimpinan. Orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan itu semua pun ikut dalam euforia kegembiraaan yang dialami. Meskipun perubahan yang secara tiba-tiba ini juga menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, bagaikan kehilangan kebiasaan yang telah ada selama puluhan tahun lamanya. Panji Koming yang berhasil bertahan melintasi jaman sepertinya juga tertarik dengan segala perubahan yang terjadi. Dimasa pasca orde baru, Panji Koming masih berkarya dan masih ada. Selain hal-hal yang sudah ada sejak orde baru, inovasi lain dalam media seakan terus berkembang saja. Dalam era yang 84
sudah tidak mempersulit media, sudah seharusnya mereka bisa berkembang lebih baik lagi. Meskipun kemungkinan untuk lebih buruk atau bertahan di posisi semula pasti ada. Jika melihat pada bab 2 dan bab 3, sepertinya Panji Koming ingin membuktikan salah satu dari kemungkinan tersebut. Terlebih dari segi representasi yang dibawa Panji Koming, yang merupakan tujuan utama terbentuknya tulisan ini.
b.
Perbedaan Representasi Panji Koming saat Orba dan Pasca Orba Kondisi saat orde baru dan pasca terjadinya reformasi, yang berhasil
menumbangkan era orde baru, memang sangat jauh berbeda. Perbedaan yang sangat signifikan ini dirasakan baik dari “mayarakat biasa” hingga “para petinggi”. Tumbangnya orde baru memang dirasa sebagai suatu pencapaian yang luar biasa karena pada masa itu masyarakat seolah terkekang dengan pembentukan kekuasaan pemerintah yang tanpa batas. Meskipun pada masa peralihan merupakan masa yang suram bagi siapapun yang mengalaminya. Kondisi sosial, ekonomi dan politik seakan kehilangan arah akibat perubahan drastis tersebut. Bahkan bisa dibilang hampir lumpuh karena gerakan-gerakan yang banyak terjadi pada era tersebut. Namun masa-masa tersebut kini telah beralih menjadi masa yang seperti kita rasakan sekarang. Dan saat ini orang-orang mulai terbiasa dengan kondisi ini, meski agak sulit untuk meninggalkan kebiasaan lama yang telah dibangun selama 32 tahun. Perubahan era, jaman dan kekuasaan diharapkan membawa semua hal kearah yang lebih baik, tapi apapun itu pasti ada kekuarangan dan kelebihannya. 85
Tidak semua hal menjadi lebih baik setelah terjadinya pergantian kekuasaan dan rezim. Perekonomian, sosial dan politik, nyatanya beberapa bagian masih dalam posisi yang sama. Kondisi ini terlihat pada pemberitaan di media yang menyatakan hal demikian meski dengan persepsi yang berbeda antara media yang satu dengan yang lain. Media massa memang bisa dijadikan salah satu patokan bagaimana keadaan masyarakat dan pemerintahan di suatu tempat. Pendapat demikian muncul ketika banyak yang meyakini bahwa sebagian besar opini publik dibentuk oleh media, begitu pula sebaliknya bahwa apa yang muncul di media massa biasanya hasil dari apa yang sedang “heboh” di masyarakat. Bisa dibilang media massa dan opini publik merupakan suatu kesatuan yang saling berkesinambungan. Kata “berkesinambungan” itulah yang mungkin terkadang membuat sulitnya pelacakan dari mana berita tersebut berasal. Diluar itu semua, media mempunyai peran yang besar dalam kehidupan manusia. Media memberikan informasi yang mungkin sulit didapat oleh sebagian orang karena beberapa faktor. Media juga merupakan wadah pembelajaran politik bagi orang yang menikmatinya. Sebab dengan adanya informasi dari media, masyarakat bisa mendapatkan sudut pandang, pengalaman politik dan belajar kritis terhadap apa yang ditulis media. Media massa bukanlah satu-satunya cara untuk bisa menggambarkan kondisi dan situasi yang ada serta menanamkan pembelajaran. Cara yang bisa ditempuh seniman untuk bisa bergabung dalam dunia media salah satunya, bagi seniman yang bergerak dibidang seni visual, adalah dengan membuat kartun yang memiliki pesan layaknya media massa pada 86
umumnya. Salah satu yang menempuh jalan tersebut adalah Dwi Koendoro. Dengan konsep kartun yang dibuatnya, salah satunya Panji Koming yang ada di koran Kompas tiap minggu, dia mampu “berpolitik” melalui gaya yang berbeda. Politik selalu dianggap sebagai hal yang berat, menakutkan dan tidak familiar pada sebagian orang. Politik juga dinilai hal yang menyeramkan dan seolah-olah ingin dihindari. Padahal sebenarnya politik dalam bentuk apapun itu ada dalam setiap segi kehidupan manusia. Tapi dengan menjamurnya sekian banyak cara seperti salah satunya kartun pada komik maupun di media massa, politik menjadi hal yang tidak asing lagi. Orang-orang juga makin sadar akan keberadaan politik dan pentingnya mempelajari hal tersebut. Cara yang menyenangkan tentang mempelajari politik tersebut, selain menarik perhatian orang, dengan kartun si pembuat kartun juga bisa menyelipkan sudut pandangnya mengenai suatu kejadian. Sehingga tidak heran para pecinta kartun tertentu juga mempunyai cara pandang yang hampir atau bahkan sama dengan kartun idolanya. Panji Koming yang merupakan salah satu kartun yang cukup dikenal di Indonesia kiranya dapat dijadikan contoh. Terlebih kartun ini telah malang melintang selama puluhan tahun dan sepertinya tidak kehilangan pamornya. Mungkin salah satu alasannya adalah pemikiran dari si pembuatnya, Dwi Koendoro yang menyebutkan bahwa “Kartunis yang baik dan mampu bertahan dalam situasi apa pun juga adalah kartunis yang mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya, dewasa, berwawasan luas, serta tahu di ruang dan waktu mana dia berada”.26 Sehingga dalam keadaan apapun juga kartunis masih bisa berkarya
26
kompas, selasa 5 april 1994, halaman 16
87
dan menghasilkan sesuatu, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Dengan alasan demikian kita pasti berpikir bahwa kartun ini pasti juga akan ikut berubah ketika Indonesia juga mengalami pergeseran. Pergeseran yang dimaksud disini adalah mengenai pergeseran ideologis dan representasi. Untuk fungsi sendiri, kartun telah mengalami pergeseran fungsi sudah sejak lama bahkan mungkin sebelum adanya Panji Koming, di luar negeri hal semacam ini sudah dipakai. Fungsi kartun berubah dari sekedar hiburan dan bagian dari memperindah sesuatu semata kemudian beralih menjadi media iklan, kampanye, kartun politik dan lain sebagainya. Cara ini dirasa lebih lembut dan lebih efektif, dengan cara yang tidak menghakimi orang akan lebih santai untuk menanggapi. Mungkin untuk itulah semakin banyak kartun-kartun seperti ini dan cara-cara lain yang lebih menyenangkan untuk menyampaikan berita atau isu yang dianggap berat, seperti isu-isu politik. Telah dijelaskan diatas bahwa kartun bisa menjadi sarana dalam menyampaikan pesan dan pembelajaran politik bagi masyarakat. Panji Koming pun demikian. Sejak awal kemunculannya di tahun 1979, Panji Koming telah memilih jalur untuk menjadi kartun yang kritis dan memiliki pesan. Bab 2 telah menceritakan bagaimana Panji Koming menyampaikan ideologinya dengan cara yang
tidak
membuat
pemerintah
menggunakan
kekuasaannya
untuk
menghentikan penayangannya. Meskipun beberapa kali Kompas menerima teguran, tapi hal ini tidak menyurutkan Kompas untuk menayangkan Panji Koming setiap hari Minggu. Bahasa halus khas Jawa dan setting tempat yang
88
mendukung, dapat menciptakan suasana yang seakan-akan dapat menggambarkan kehidupan Indonesia pada saat orde baru yang sangat Jawasentris dan menggunakan pemerintahan otoriter mirip kerajaan. Tahun dan era yang berganti nampaknya tidak menyurutkan langkah kartun Panji Koming untuk berkiprah. Nyatanya dia mampu bertahan selama ini. Bahkan dengan latar kerajaan dan dengan caranya mengkritik setiap isu, Panji Koming masih relevan untuk diterapkan saat ini. Padahal masyarakat saat ini sudah mulai banyak yang melek politik, sehingga dengan cara yang bagaimanapun menyampaikan politik baik serius maupun santai akan tetap diterima dengan baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian masyarakat yang masih terbawa kebiasaan lama yang masih sungkan untuk membicarakan politik dengan begitu terbuka. Atau bahkan masyarakat ingin mencari suasana yang lebih menyenangkan untuk membicarakan hal yang “membosankan” seperti ini. Dengan begitu Panji Koming masih mendampingi koran Kompas hingga saat ini. Akan tetapi ada satu pertanyaan yang kiranya akan mengusik untuk diketahui yaitu apakah Panji Koming itu bertahan hingga saat ini dengan representasi yang sama atau berbeda. Pada bab ini akan berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan dua bab sebelumnya. Dua bab sebelumnya telah menjelaskan kondisi Panji Koming pada dua era yang berbeda. Era yang pertama adalah era orde baru yang sangat mendominasi, sedangkan era lainnya adalah era yang mungkin tidak seketat era sebelumnya meskipun bukan berarti lebih baik atau lebih buruk. Dua perbandingan waktu ini sebenarnya telah memberikan perbedaan tersendiri bagi 89
kehadiran Panji Koming. Saya sebut demikian karena dengan perbedaan waktu tersebut maka masyarakat yang ditujupun otomatis telah berbeda. Sehingga efek yang ditimbulkan pun berbeda, meskipun jika seumpamanya ada satu kasus yang sama. Hal tersebut mungkin berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang telah berubah sebagian, sehingga tanggapan dari masyarakat pun akan berbeda pula. Bisa saja suatu kasus jika dilemparkan ke masyarakat saat orde baru dapat menimbulkan aksi provokasi, sedangkan disaat pasca orde baru akan dianggap sesuatu yang biasa saja. Begitu pula sebaliknya, jika dilemparkan pada saat orde baru bisa saja tidak mendapat respons positive, tapi ketika dibahas sekarang akan timbul tanggapan-tanggapan kritis dari masyarakat. Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah representasi dari Panji Koming itu sendiri. Bila kita lihat sekilas, Panji Koming tidak mengalami perubahan apapun setelah pergantian rezim. Masih menggunakan konsep latar belakang kerajaan, dengan tokoh utama yang masih sama pula. Perubahan yang secara fisik langsung bisa kita amati adalah tentang kartun yang terlihat lebih berwarna, tidak hanya hitam putih saja. Ada juga penambahan beberapa karakter seperti trinil dan bujel yang merupakan sosok anak kecil serta terdapat penambahan karikatur yang mungkin berbeda tiap isu. Karikatur tersebut disesuaikan dengan hal yang ingin diangkat dalam cerita. Namun seperti kita ketahui bahwa karikatur adalah salah satu jenis kartun yang menggambarkan secara fisik semirip mungkin dan menampilkan ciri khas dari tokoh atau seseorang. Karikatur ini nampaknya lebih menguatkan mengenai kritik yang akan disampaikan. Sedangkan trinil dan bujel sebagai cara pandang polos khas anak-anak yang menanggapi suatu kasus secara 90
apa adanya. Penambahan beberapa aktor ini sepertinya digunakan untuk memperkuat cerita. Selain itu kartun Panji Koming juga terlihat makin ekspresif. Bahkan melalui karikatur tersebut, para karakter seperti Panji Koming dan Pailul mampu berbuat hal-hal yang ingin diperbuat terhadap mereka sebagai gambaran dari penulis mengenai tokoh yang dikarikaturkan.
Panji Koming saat Orde Baru
(Kompas edisi Minggu 5 Mei 1991)
91
(Kompas edisi Minggu 26 Februari 1984)
Panji Koming pasca Orde Baru
92
(Kompas edisi Minggu 25 September 2005)
(Kompas edisi Minggu 18 Desember 2005)
Perbedaan akan semakin jelas jika kita telah membaca Panji Koming dalam dua era yang berbeda tersebut. Terutama bila kita ingin mengetahui perbedaan representasi dari kartun ini. Dengan membacanya, beberapa gambar tambahan tersebut akan semakin kuat maknanya. Beberapa perbedaan dalam percakapan yang ada pada cerita Panji Koming salah satunya adalah kata-kata yang digunakan terlihat lebih langsung dan lebih tajam. Seperti analisa ikonografi yang telah kita lakukan pada dua bab sebelumnya. Edisi Panji Koming masa orde baru memang sudah mengkritik pemerintahan dan hal-hal lain, serta tak segan-segan ikut serta dalam pembicaraan politik. Namun pada era ini, jika dibandingkan dengan Panji Koming yang sekarang, bahasanya masih lebih “halus” dan dalam pengungkapannya masih 93
terkesan memberikan nasehat secara umum kepada semua orang meskipun ditujukan untuk beberapa pihak. Dan yang paling khas adalah pesan tersebut akan disampaikan hanya antar karakter, misalnya Panji Koming dengan Pailul atau dengan Ni Woro Ciblon dan lain sebagainya. Sedangkan Panji Koming pasca orde baru, kita akan bisa merasakan bahwa terdapat dorongan euforia kebebasan berpendapat yang dapat kita rasakan. Posisi Panji Koming pada era ini sebenarnya tidak berbeda terlalu jauh dengan masa orde baru. Panji Koming masih sebagai kartun yang “berpolitik”, dalam arti Panji Koming berani untuk ikut dalam permasalahan-permasalahan politik. Kritik terhadap pemerintah dan penguasa-penguasa lain pun juga masih gencar diutarakan. Akan tetapi kali ini interaksi tidak hanya seputar karakter-karakter tetap, tapi juga kepada karakter dalam bentuk karikatur yang tidak muncul tiap edisi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa karikatur biasanya akan dibuat semirip mungkin dengan orang yang ditiru, baik secara fisik maupun ciri khasnya dalam berbicara dan bersikap. Interaksi tersebut seakan-akan mengungkapkan bahwa siapapun saat ini berhak untuk berbicara kepada siapa saja termasuk para pemimpin mereka dengan lebih leluasa. Percakapan dan interaksi ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat pun sudah tidak sungkan lagi mengutarakan pendapatnya kepada pemimpinnya. Bahkan pada beberapa edisi, karikatur-karikatur yang kebanyakan menggambarkan mengenai pejabat atau pemegang kekuasan lainnya, dimarahi dan dimaki-maki sedemikian rupa tanpa memerdulikan lagi siapa yang mereka maki. Memperlihatkan bahwa Dwi Koendoro ingin menggambarkan kondisi saat 94
ini yang tidak seperti dahulu. Masyarakat dapat mengutarakan isi hati mereka dengan bebas tanpa adanya ketakutan berlebih akan sanksi tertentu jika mereka melakukan hal yang dianggap kesalahan pada masa orde baru. Bila dapat disimpulkan bahwa kartun Panji Koming pada saat orde baru dan pasca orde baru itu berubah. Meskipun tidak sesignifikan yang terbayangkan ketika melihat perbedaan kedua masa, namun Panji Koming nampaknya juga sama dengan pihak-pihak lain yang mengalami perbedaan dan ingin menikmati perbedaan tersebut. Pertama-tama kita akan melihat perbedaan Panji Koming diantara kedua era ini melalui analisa ikonografi. Tahap pertama (preikonografi); dari sisi preikonografi kita dapat melihat sedikit perbedaan dari cara penggambaran. Pada era orde baru kartun digambar dengan karakter yang dibuat lucu dan garis-garis wajah tidak dibuat dengan begitu detail. Sedangkan pada masa pasca orba penggambaran karakter wajah terlihat lebih detail terutama pada garis-garis wajah yang menunjukkan ekspresi. Selain itu perbedaan terlihat pada penggambaran latar belakang. Penggambaran latar belakang terlihat lebih penuh pada masa pasca orba sedangkan pada masa orba penggambaran latar belakang terlihat lebih sederhana dan minimalis. Dari segi warna, pada era orde baru warna yang digunakan hanya warna hitam dan putih sedangkan pada pasca orba dalam beberapa edisinya sudah berani menggunakan warna lain yang lebih berwarna-warni meskipun tidak pada semua bagian. Perbedaan yang paling mencolok adalah keberadaan karikatur. Pada masa orba tidak disertakan karikatur yang menyerupai suatu tokoh sedangkan pada masa pasca orba hampir di setiap edisinya terdapat gambar karikatur dan bahkan bisa 95
terdapat lebih dari satu karikatur. Bahasa yang digunakan sama-sama menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur beberapa istilah bahasa Jawa. Ada pula penambahan beberapa kata-kata penguat pada gambar di era pasca orba, seperti pada gambar Panji Koming edisi 30 Oktober 2005 yang menambahkan kata “uang” disebelah gambar karikatur wakil rakyat yang sedang meneriakkan haknya dan juga kata “cuek” yang ada disebelah karikatur pemimpin yang tidak peduli terhadap apa yang terjadi serta penambahan huruf “z” pada salah satu karakter yang menunjukkan bahwa karakter pada gambar tersebut sedang melakukan aktifitas tidur. Tahap kedua (ikonografi); baik saat orde baru maupun pasca orba, kartun Panji Koming dibuat sesuai dengan tema yang diangkat. Hanya saja dalam segi penyampaian sedikit berbeda. Hal tersebut terlihat dari bahasa dan tindakan dalam kartun. Bahasa yang digunakan pada kedua masa ini sebenarnya sama, yakni sama-sama menggunakan bahasa Indonesia yang sedikit dicampur dengan bahasa Jawa. Namun pada masa orde baru pemilihan kata dibuat lebih halus dan lebih banyak menggunakan istilah untuk mengekspresikan. Dan pemilihan kata biasanya tidak langsung pada pelaku. Sedangkan pasca orba kata-kata yang digunakan terlihat lebih berani untuk mengungkapkan. Dalam mengungkapkan pun bahkan langsung pada pihak terkait, seperti pemberian karakter karikatur yang menyerupai orang yang dimaksud dalam kasus yang disebutkan. Kata-kata dan gerakan tokoh kartun pun dibuat lebih ekspresif. Tahap ketiga (ikonologi); ikonologi lebih mengarah pada makna intrinsik yang ada pada kartun. Pada kedua masa ini sebenarnya mempunyai makna 96
intrinsik yang hampir sama yakni sama-sama memberikan kritik kepada pemerintah dari sudut pandang rakyat, baik rakyat secara umum maupun rakyat pada segmen tertentu seperti petani dan yang lainnya. Akan tetapi yang membedakan disini adalah pada masa orde baru pesan dan kritik tersebut disampaikan dengan cara yang lebih halus atau dengan kata lain disampaikan secara tersirat, sedangkan pada masa pasca orba penyampaiannya sudah lebih gamblang dan terbuka atau biasa disebut secara tersurat. Kedua cara ini juga menunjukkan bahwa kondisi masyarakat menanggapi kondisi politik di kedua era ini berbeda. Hal ini agaknya dipengaruhi dari kondisi politik pada saat orde baru dan pasca orba yang sangat berbeda jauh. Kondisi masyarakat pada saat orde baru sangat terbatas untuk mengungkapkan pendapatnya karena memang peraturan, serta situasi yang tidak mendukung dan tidak memungkinkan. Berbeda halnya dengan kondisi pasca orba yang jauh lebih bebas dalam mengungkapkan pendapatnya. Sehingga cara yang digunakan untuk menyampaikan suatu isu ke masyarakat sangat berbeda. Jika kita bagi menjadi bagian yang lebih kecil, bahwa perbedaan representasi dua masa ini bisa kita bagi dalam beberapa bagian antara lain; a) tampilan & bahasa Kriteria pembanding yang satu ini bisa kita lihat secara kasat mata. Tampilan kartun Panji Koming tidak mengalami terlalu banyak perubahan dari masa Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Karakter yang digunakan dan setting dari kartun ini pun masih menggunakan karakter dan latar belakang yang sama pula, yakni panji Koming sebagai karakter utama dengan latar 97
belakang kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Majapahit. Hanya saja pada masa pasca Orde Baru dalam beberapa edisi tampilannya semakin berwarna dan terdapat beberapa karakter baru, serta terdapat karakter yang disesuaikan dengan tema yang diangkat oleh kartun Panji Koming pada edisi tersebut. Gambar yang ditampilkan pada era pasca Orde Baru lebih detail daripada gambar pada masa Orde Baru, hal ini terlihat pada guratan wajah dan latar belakangnya. Sedangkan untuk bahasa,
bahasa yang
digunakan pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru masih menggunkan bahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia yang santai dan digunakan seharihari, serta dalam beberapa istilah disisipi dengan bahasa Jawa atau istilah yang tengah tren pada masa itu. Sehingga pada dua era ini bahasanya hampir tidak ada perbedaan. b) tujuan & sasaran Apabila kita amati, sejak dulu tujuan dari Panji Koming adalah menceritakan situasi yang ada pada masa tersebut, terlebih yang sering diceritakan adalah kondisi politik. Hal tersebut berlangsung hingga saat ini. Tujuan Panji Koming adalah memberitahukan kepada masyarakat situasi dan kondisi yang ada dan menyampaikan hal yang ingin diketahui masyarakat secara umum
kepada pemerintah, dan berusaha untuk
memberikan kritik kepada pihak-pihak tertentu jika memang diperlukan. Sasarannya pun juga masih sama yaitu merupakan kritik kepada pemerintah maka hal ini sebagai salah satu jalur masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah. Sasarannya lainnya adalah masyarakat, 98
Panji Koming ingin memberitahukan kepada masyarakat tentang kondisi yang ada, supaya masyarakat lebih waspada dan mengetahui situasi yang ada. Hal ini bisa dikatakan bahwa Panji Koming ingin menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat. Tujuan dan sasaran ini tidak nampak begitu berbeda antara era Orde Baru dan pasca Orde Baru. c) cara penyampaian kepada pembaca Yang dimaksud pada kriteria ini adalah bagaimanakah cara kartun Panji Koming dalam dua era yang berbeda ini menyampaikan hal-hal yang ingin dia
sampaikan. Bisa kita katakan bahwa pada masa orde baru
representasinya adalah tersirat sedangkan representasi yang ditampilkan saat pasca
orde
baru
merupakan
representasi
yang
mengungkapkan
representasinya secara langsung atau tersurat. Alasan penyebutan tersebut dikarenakan alasan yang telah disebutkan sebelumnya. Panji Koming era orde baru disebut menampilkan representasi tersirat karena dalam setiap kritikan dan pesan yang sesungguhnya dari cerita tersebut tidak dikatakan dengan bahasa tulisan secara langsung, tetapi menggunakan kata yang agak diplesetkan. Pada masa pasca orde baru disebut menggunakan representasi langsung karena pada masa ini bahasa yang digunakan lebih lugas dan menampilkan makna yang sesungguhnya dari apa yang sebenarnya ingin diceritakan oleh penulis Panji Koming, Dwi Koendoro. Meskipun standing point dari cerita Panji Koming dalam dua era tersebut bisa dibilang sama, yakni memberikan kritik pada pemerintah dan lingkarannya. d) Media yang menaungi 99
Media yang menaungi Panji Koming sejak awal kemunculannya adalah koran harian Kompas. Hal ini tidak berganti hingga hari ini, meskipun situasi politik Indonesia sudah berganti dan media massa sudah banyak menjamur. Terlebih hal ini terkait dengan usia koran Kompas yang sudah berdiri selama beberapa dekade dan telah mengalami perubahan kepemimpinan selama beberapa kali. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah Panji Koming untuk tetap bertahan pada satu media massa. Beberapa faktor yang disinyalir mengakibatkan perubahan representasi pada diri Panji Koming antara lain perbedaan waktu yang terus berkembang, perbedaan masa, perbedaan kepemimpinan pada media massa yang menaungi, perbedaan relasi kuasa, dan perbedaan budaya dan komunikasi. Perbedaanperbedaan tersebut nampaknya sangat menunjang dalam perubahan yang dilakukan oleh Panji Koming. Terutama perubahan rezim atau kepemimpinan yang juga mempengaruhi paradigma yang dibawa masyarakat pada suatu negara. Faktor-faktor tersebut dkiranya dapat mempengaruhi media secara umum, sehingga Panji Koming yang merupakan salah satunya juga mengalami hal tersebut. Faktor-faktor tersebut juga terdapat alasan didalamnya sehingga disebut sebagai salah satu yang berpengaruh dalam perubahan yang terjadi pada diri kartun Panji Koming. Perbedaan waktu merupakan salah satu alasan yang diungkapkan diatas. Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan waktu maka isu, kebiasaan, cara pandang, teknologi dan hal lain sebagainya dalam masyarakat dan negara jelas juga berbeda. Sehingga perbedaan waktu merupakan salah satu faktor penting 100
dalam perubahan ini. Perbedaan waktu juga berhubungan dengan faktor berikutnya yakni perubahan masa atau era. Perubahan era yang dimaksud disini adalah perubahan orang-orang yang hidup pada dua jaman tersebut. Tentu saja dalam dua era yang berbeda ini orang-orang yang berpengaruh dalam sebuah negara pasti akan berubah baik banyak maupun sedikit. Sehingga kebudayaan, adat isitadat dan gaya hidup pun ikut berubah. Itulah mengapa Panji Koming akan menyesuaikan diri atau lebih tepatnya disesuaikan dengan tren yang sedang berkembang di Indonesia. Perubahan waktu pula yang menentukan siapa pihak yang direpresentsikan. Mungkin saja pada saat orde baru pihak yang direpresentasikan adalah hampir seluruh rakyat Indonesia, sedangkan sekarang waktu juga banyak merubah masyarakat yang ada pada era tersebut. Sehingga kemungkinan yang muncul adalah pihak yang direpresentasikan jauh lebih spesifik dari pada saat orde baru. Perubahan lainnya adalah mengenai perubahan kepemimpinan pada intern media. Hal ini dinilai sangat berpengaruh terhadap setiap media mungkin dihampir seluruh bagian di dunia. Perubahan kepemimpinan identik dengan berubahnya tokoh. Dengan tokoh yang berbeda otomatis cara seseorang untuk memimpin pun berbeda. Hal ini berdampak pada kebijakan yang dibuat oleh kepemimpinan tersebut. Terlihat jelas pada kasus ini nampak perubahan yang cukup signifikan pada pembuatan kebijakan mengenai publikasi media massa. Telah dijelaskan diatas pembatasan pada media massa di dua era ini sangat berbeda jauh. Di satu masa, media begitu terkekang, terbatas serta didominasi oleh satu pihak. Sedangakan di masa yang lainnya, media diberi kebebasan yang 101
bisa dibilang cukup luas dan dapat dikendalikan secara mandiri oleh media tersebut. Tentu hal tersebut berpengaruh pada kreativitas awak media untuk membuat berita. Relasi kuasa menjadi bagian penting dalam tumbuh kembang suatu media dalam satu negara. Dalam hal ini yang dimaksud dengan relasi kuasa adalah relasi antara pemerintah, media dan masyarakat yang ada pada jaman tersebut. Kita tahu bahwa salah satu fungsi dari media adalah menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Disaat pemerintah begitu sangat kuat dan otoriter terhadap media dan masyarakat yang tidak terlalu kuat, maka yang dihasilkan adalah media yang hanya sebagai alat komunikasi satu arah saja. Komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat. Dapat kita sebut bahwa media hanya bisa menjadi alat penyampai keputusan-keputusan pemerintah yang berakibat pada kurangnya kontrol dari masyarakat melalui media. Sedangkan jika pemerintah, media dan masyarakat mempunyai porsi yang hampir sama maka komunikasi dua arah dapat terjalin. Pemerintah dapat memberitahukan kebijakan yang telah disetujui dan bahkan pertanggungjawabannya, masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap kegiatan pemerintah serta menyampaikan pendapat kepada pemerintah melalui media massa dan media massa dapat memberitakan hal yang menurut pandangan mereka layak ditampilkan tanpa didominasi oleh negara. Relasi kuasa yang tidak menempatkan kekuasaan penuh pada satu pihak saja ini biasanya ditujukan supaya bisa terjalin komunikasi antara ketiga pihak tersebut atau bahkan lebih dari itu.
102
Hal berikutnya yang mempengaruhi pergeseran tersebut adalah adanya pergeseran budaya dan cara berkomunikasi dalam masyarakat. Indonesia dikenal di luar negeri sebagai negara yang ramah dan cara pemikiran masyarakatnya yang masih cenderung sederhana dengan budaya yang masih tradisional. Semenjak kita mengenal istilah “globalisasi” sepertinya hal ini sudah tidak terlalu relevan untuk digunakan. Budaya-budaya negara barat banyak masuk ke Indonesia seiring berkembangnya teknologi komunikasi. Semua orang seakan-akan dapat melihat dunia tanpa harus pergi ke semua negara. Dan budaya yang banyak masuk ke Indonesia ini nampaknya telah mempengaruhi sebagian masyarakat Indonesia yang terkadang dijadikan patokan dalam sebuah gaya hidup tertentu bahkan tak jarang pula gengsi, sehingga masyarakat makin tertarik dengan hal-hal demikian. Percampuran budaya dan cara komunikasi yang sekarang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang semakin beragam mau tidak mau mendorong setiap hal, tak terkecuali kartun Panji Koming, untuk menggeser cara komunikasi mereka kepada masyarakat yang budayanya telah bergeser dari era sebelumnya. Hal ini dilakukan supaya hal bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Jadi meskipun tergolong kartun “lawas” tapi masih dapat diterima oleh masyarakat saat ini dan terlebih dapat dinikmati oleh mereka. Terlebih saat ini masyarakat lebih dimudahkan dengan adanya internet, dengan begitu sewaktu-waktu dapat mengakses Panji Koming dengan lebih mudah lagi. Sebenarnya yang terjadi terhadap Panji Koming tidak hanya perubahan saja. Perubahan waktu memang menimbulkan perbedaan terhadap Panji Koming tetapi secara garis besar masih terdapat persamaan antara kartun Panji Koming 103
yang dulu (masa orde baru) dengan yang sekarang (pasca orde baru). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa secara fisik Panji Koming tidak melupakan karakter dasar yang telah menjadi ciri khasnya yaitu dengan berlatarbelakang kerajaan Jawa dan menggunakan bahasa serta kebudayaan Jawa sebagai perumpamaan. Selain itu karakter utamanya pun tidak mengalami banyak perubahan. Tokoh Panji Koming tetap menjadi tokoh utama yang menjelaskan alur cerita. Poin yang selalu diangkat pun mengenai kritik, pendapat dan rasa heran yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya. Kritik dan pendapat ini tidak berubah meskipun banyak perubahan yang terjadi ketika berganti kepemimpinan. Pada dasarnya semua faktor yang telah disebutkan diatas tidak sematamata untuk mempengaruhi perubahan dalam media massa. Lebih dalam dari itu adalah adanya posisi politik atau posisi tawar yang dimiliki media, terutama dalam hal ini kartun, dalam kehidupan berpolitik dan pengaruhnya terhadap perubahan pemikiran masyarakat dalam menggunakan kesempatannya sebaik mungkin dalam sebuah negara. Terlihat sebagai sedikit pembuktian bahwa dengan sedikit menyesuaikan dengan masyarakat, sebuah kartun mendapatkan apresiasi dari banyak orang hingga saat ini. Apresiasi yang ditujukan untuk Panji Koming seakan menjadi pertanda setuju dari masyarakat terhadap cerita, pesan, kritik dan hal lain yang diangkat oleh Panji Koming dalam setiap kemunculannya. Bisa dibilang saat ini posisi tawar sebuah media yang disebut dengan kartun, sepertinya tidak dapat dibilang sepele. Dari hal-hal yang dianggap remeh tersebut ternyata terdapat sebuah hal 104
yang mungkin dapat menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lihat secara ringan namun membekas dalam ingatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa berpolitik tidak harus dari hal-hal yang “besar”, hal yang “kecil” pun dapat dijadikan sarananya. Perubahan dalam hal kecil tersebut berperan besar dalam segi kehidupan yang terkadang jarang untuk diperhatikan. Dan mungkin saja hal kecil ini dapat merubah pikiran seseorang dengan pemkiran-pemikiran baru yang membawanya menuju hal besar.
c.
Kesimpulan Hal apapun di dunia ini nampaknya tidak ada yang tidak mempunyai
kesempatan untuk berubah. Apapun alasan, penyebab dan tujuannya, perubahan tidak mengenal ruang dan waktu. Seperti halnya yang telah dibuktikan oleh kartun Panji Koming. Kita telah melihat bagaimana kondisi Panji Koming saat orde baru dan pasca reformasi. Meskipun tujuan dari Panji Koming masih sama yakni tentang sarana penyampai kritik politik sosial, namun dengan berubahnya beberapa hal yang telah disebutkan diatas, representasi Panji Koming yang merupakan isu utama dalam tulisan ini ternyata mengalami sedikit perubahan. Perubahan ini terjadi pada beberapa bagian penting baik dari segi fisik maupun non fisik, serta pada siapa pihak yang direpresentasikan. Dari segi gambar jelas kita dapat melihat perbedaan yang cukup signifikan. Gambar Panji Koming pada masa pasca reformasi terlihat lebih berwarna daripada kartun Panji Koming pada masa orba. Dan jika kita amati lebih dalam lagi tokoh-tokoh yang muncul dalam masa pasca reformasi pun lebih 105
beragam, tidak hanya berkutat pada tiga tokoh utama yang saling berinteraksi. Kemunculan karikatur-karikatur pada masa ini terlihat lebih menyemarakkan gambar dan cerita dan kartun Panji Koming. Dengan adanya karikatur tersebut, cara berdialog Panji Komingpun sedikit berubah, jika pada masa orba dialog hanya seputar tiga tokoh utama, sedangkan pasca reformasi dialog juga dilakukan oleh karikatur suatu tokoh sehingga terlihat lebih interaktif. Penggunaan bahasa juga sedikit berbeda. Bahasa yang digunakan pada masa orba cenderung lebih halus dan menyiratkan maksud-maksud dan pesanpesan tertentu. Pada pasca reformasi bahasa yang digunakan terlihat lebih santai, lugas dan apa adanya. Cara pandang politik (representasi politik) Panji Koming pada masa orba dan pasca reformasi sebenarnya tidak berubah. Panji Koming dalam kedua masa itu masih merepresentasikan pembuat Panji Koming, Dwi Koendoro yang masih pada posisinya yakni merepresentasikan apa yang dipikirkan, dikehendaki dan diinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Panji Koming juga masih mengkritik dan selalu mempertanyakan situasi yang terjadi, pemerintah dan hal lain sebagainya, yang selalu memperlihatkan bahwa Panji Koming selalu menjadi pengkritik pemerintah secara tidak langsung. Namun segmen orang-orang yang direpresentasikan mungkin sudah berubah. Pada saat orba, Panji Koming seakan-akan merepresentasikan seluruh masyarakat Indonesia. Sedangkan pada masa pasca reformasi segmentasinya sudah lebih berkurang dikarenakan lebih bebasnya orang dapat berekspresi, sehingga masyarakat juga punya banyak pilihan politik. Sehingga maksud tersembunyi Panji Koming pada saat orba yakni untuk lebih menyadarkan 106
masyarakat mengenai politik, sekarang tidak lagi terlihat. Pasca reformasi Panji Koming tampil lebih terbuka sehingga seperti tidak ada maksud yang disembunyikan. Panji Koming hadir sebagai salah satu kartun idealis dengan representasinya sendiri yang mewakili pembuatnya dan orang-orang yang berpikiran sama. Dapat kita lihat masyarakat sekarang lebih mudah mengakses berita dan informasi politik yang ringan tidak hanya dari kartun komik di media cetak. Media massa begitu pesat berkembang, sehingga masyarakat lebih mudah menemukan kartun-kartun serupa dimedia cetak maupun elektronik lain dan bahkan yang lebih cocok dengan pemikiran mereka. Kita dapat melihat bagaimana media massa mempunyai peranan penting bagi efek yang ditimbulkan oleh sebuah kartun. Jika media yang menaunginya tidak cukup inovatif, maka kartun ini juga tidak akan begitu terlihat keberadaannya. Panji Koming termasuk salah satu kartun yang memanfaatkan perkembangan media massa pada saat ini. Saat era orba Panji Koming hanya mengandalkan keberadaannya pada koran Kompas. Sedangkan saat ini Panji Koming juga dapat diakses melalui beberapa situs internet dan jejaring sosial yang tengah populer. Perubahan atau pergeseran representasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang telah disebutkan diatas. Faktor-faktor tersebut tidak serta merta hanya mengubah hal-hal yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari saja tapi juga hal yang jarang diperhatikan seperti kartun. Satu perubahan dapat disebabkan oleh beberapa perubahan, begitu pula sebaliknya beberapa perubahan bisa disebabkan oleh satu perubahan. 107
Bab-bab diatas nampaknya sedikit banyak telah menjawab pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya. Menjawab apakah kartun Panji koming yang merupakan kartun dua jaman berubah representasinya atau tidak. Dan ternyata terbukti bahwa Panji Koming berubah representasi. Semula Panji Koming seakan merepresentasikan seluruh masyarakat Indonesia yang menginginkan perubahan dari pemerintah serta dari koran Kompas yang menaunginya. Namun sekarang seiring dengan berkembangnya karakteristik, ideologi dan gaya hidup manusia, Panji Koming hanya mewakili sebagian dari masyarakat Indonesia yang berpikiran sama. Karena pada saat ini masyarakat Indonesia lebih heterogen baik dari segi apapun. Keheterogenan tersebut yang membuat masyarakat menjadi lebih terbagi-bagi lagi dalam sekat yang tidak terlihat. Sehingga tidak heran jika kartun Panji Koming mengalami perubahan representasi.
108