Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
PERSEPSI ATAS BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 Rochimatul Irmia
[email protected]
Yazid Yud Padmono
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya ABSTRACT Every year micro, small, and medium enterprises in Indonesia undergo significant development. When it is seen from its structures, the Indonesian Economy is still supported by micro, small, and medium enterprises (UMKM). Micro, small, and medium enterprises (UMKM) not only have become the main priority in economy but it also has become the hope of ongoing development in Indonesia. The government is keep on trying the development of micro, small, and medium enterprises by issuing people business credit program and new tax regulation that is the Government Regulation no. 46 of 2013 which is in effect in July 2013. The purpose of this research is to find out what perception that arises on the enactment of Government Regulations no. 46 of 2013 particularly for tax authorities and tax payers. The object of the research is tax income at Pratama Tax Office Rungkut. Based on the result of research, it has been found that the state income in 2013 underwent improvement. The new regulation that has been issued by the government gives additional income each month. This regulation is considered to be very easy to understand by the tax authorities, yet the comprehension of taxpayers is considered to be low. The obligation that is incurred by taxpayers is considered to be too high than the previous one. This regulation provides convenience when it is considered from the calculation and preparation of annual tax return. Keywords: Perception, Micro, Small, and Medium Enterprises (UMKM), Government Regulation No. 46 of 2013. ABSTRAK Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan disetiap tahunnya. Dilihat dari strukturnya, perekonomian Indonesia masih ditopang oleh UMKM. Tidak hanya menjadi salah satu prioritas utama di dalam perekonomian, tetapi juga sebagai harapan pembangunan yang sedang berjalan di Indonesia. Pemerintah terus mengupayakan pengembangan dengan program kredit usaha rakyat dan peraturan perpajakan yang baru dikeluarkan pemerintah. Peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 diberlakukan secara efektif di bulan juli 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi atas berlakunya peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013. Objek penelitian yang digunakan adalah pendapatan perpajakan di kantor pajak pratama rungkut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan ini memberikan penambahan pendapatan negara. Peraturan ini dinilai fiskus sangat mudah untuk dipahami, namun pemahaman wajib pajak dinilai masih kurang. Kewajiban yang ditanggung wajib pajak dinilai terlalu tinggi. Dari perhitungan dan pembuatan SPT tahunan cukup memberikan kemudahan. Kata-kata kunci : Persepsi, UMKM, PP No. 46 Tahun 2013.
PENDAHULUAN Keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan Negara. Dengan melalui salah satu alat ukur yang bernama tax ratio. Untuk dapat meningkatkan tax ratio secara bertahap, pemerintah juga terus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi ekonomi negara lain. Peningkatan tax ratio secara bertahap dilakukan pemerintah dengan terus menyempurnakan kebijakan dan administrasi perpajakan di Indonesia.Itu dilakukan untuk dapat meningkatkan basis perpajakan yang akan semakin luas dan potensi perpajakan agar
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
2
dapat dipungut secara optimal. Pemerintah telah memberikan langkah-langkah strategis untuk dapat meningkatkan penerimaan perpajakan. Salah satunya dengan cara memberikan perubahan terhadap undang-undang perpajakan yang cukup signifikan di setiap tahunnya. Penerimaan pajak di Indonesia terdiri dari penerimaan pajak domestik atau dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pendapatan pajak dalam negeri terdiri atas pendapatan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah (PPN dan PPnBM), cukai dan pajak lainnya. Sementara itu, pendapatan pajak perdagangan internasional dalam beberapa tahun belakangan dari pendapatan bea masuk dan bea keluar. Rasio pajak di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negaranegara berkembang lainnya. Karena tax ratio sangat ditentukan oleh struktur perekonomian di negaranya. Jika dilihat dari strukturnya, perekonomian kita masih ditopang oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah. UMKM memiliki kontribusi yang sangat penting didalam perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sifat dari usaha UMKM sendiri lebih cepat beradaptasi dengan perubahan pasar. UMKM di setiap tahunnya mengalami perkembangan yang signifikan didalam segi unit usaha, penyerapan tenaga kerja, kontribusi terhadap produk domestik bruto, ekspor dan investasinya. Peran dan kontribusi UMKM dalam struktur perekonomian nasional tidak hanya menjadi salah satu prioritas nasional. Tetapi juga sebagai harapan bagi pembangunan yang sedang berjalan di Indonesia. Melihat begitu besarnya peran UMKM di dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia. Pemerintah terus mengupayakan pengembangan UMKM. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selain dibidang pembiayaan, pemerintah juga memberikan cara yang mudah. UMKM juga dapat menjalankan kewajibannya dalam membayar pajak. Seperti munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang baru saja diberlakukan secara efektif di bulan juli 2013. Jika lebih dicermati di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Yang menjadi target dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha Rp. 4,8 milyar dalam Peraturan Pemerintah. Hal tersebut masih dalam lingkup pengertian UMKM menurut UndangUndang No.20 tahun 2008. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang kriteria untuk mendefinisikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Pemerintah telah mempertimbangkan atas perhitungan PPh dengan tarif 1% dari peredaran bruto di setiap bulannya. Tarif ini bersifat final terhadap UMKM sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Peraturan ini merupakan perhitungan yang sederhana dalam pemungutan pajak penghasilan. Pengenaan PPh yang bersifat final bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari peredaran bruto di setiap bulannya. Besarnya kewajiban perpajakan atas penghasilan tersebut telah dianggap final atau selesai di setiap bulan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah yang digunakan adalah a) bagaimana persepsi wajib pajak dan fiskus atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 ; b) apa saja cara fiskus untuk dapat mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk melihat persepsi yang ditimbulkan atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013. Menganalisis upaya yang dilakukan fiskus dalam mensosialisasikan peraturan tersebut.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
3
TINJAUAN TEORETIS Pengertian Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah. Beradasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya akan digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara. Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain: Djajadiningrat, S.I dalam buku Siti Resmi (2013:1) “Pajak adalah suatu kewajiban penyerahan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum” Rochmat Soemitro, dalam buku Waluyo (2013:3) “Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontaprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Dari definisi pajak oleh Rochmat Soemitro dapat ditarik kesimpulan bahwa unsurunsur pajak adalah (a) iuran masyarakat kepada negara; (b) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan); (c)tanpa jasa timbale (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk; (d) untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Khusunya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan sumber pendapatan negara. Pajak digunakan untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu : Fungsi budgetair (anggaran). Pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas negara secara optimal. Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi budgetary adalah fungsi yang letaknya disektor publik dan pajak merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. (Priantara,2012:4) Fungsi regulerend (mengatur). Pajak digunakan sebagai alat ukur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Disebut sebagai fungsi tambahan karena hanya sebagai fungsi pelengkap dari fungsi utama pajak sebagai sumber pemasukan dan penerimaan dana bagi pemerintah. (Priantara,2012:4). Asas Pemungutan Pajak Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas atau dasar. Asas yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah: Asas Tempat Tinggal. Menurut asas ini wajib pajak yang bertempat kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala pendapatan yang diperoleh di Indonesia maupun luar negeri. Asas Kebangsaan. Asas kebangsaan secara negatif muncul dalam bentuk pajak bangsa asing di Indonesia, yang mewajibkan umumya setiap orang yang bukan kebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia membayar pajak itu.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
4
Asas Sumber. Dalam hal ini cara pemungutan pajak tergantung dari sumber dalam suatu negara memungut pajak. Jika di Indonesia terdapat suatu sumber pendapatan, maka fiskusnya dapat memungut pajak pendapatan dengan tidak mengingat dimana wajib pajak bertempat tinggal. Sistem Pemungutan Pajak Dalam pelaksanaan pemungutan pajak, terdapat empat sistem pemungutan pajak, yaitu (Priantara, 2012:7-8) Official Assesment System. Official Assesment System yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk meghitung besarnya pajak terhutang oleh seseorang berada pada pemungut atau aparatur pajak, dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif, menunggu ketetapan dari aparatur pajak. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada aparatur pajak (Priantara, 2012:7) Self Assesment System. Self Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menghitung besarnya pajak terhutang berada pada wajib pajak, dalam sistem ini wajib pajak harus aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur dalam perhitungan besarnya pajak terhitung kecuali wajib pajak menyalahi aturan. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada wajib pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada wajib pajak, meskipun masih ada peran aparatur pajak dalam hal wajib pajak menyalahi aturan (Priantara, 2012:8) Full Self Assesment. Full Self Assesment yaitu suatu sistem perpajakan dimana wewenang untuk menghitung besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak berada pada wajib pajak itu sendiri dalam menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak terhutang seperti halnya self assesment system berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada wajib pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada wajib pajak (Priantara, 2012:8) Semi Full Self Assesment. Semi Full Self Assesment yaitu sistem pemungutan pajak campuran antara self assesment dan official assessment (Priantara, 2012:8). Sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia adalah self assessment. Yang mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri. Dalam hal ini wajib pajak dianggap paling tahu mengenai besarnya pajak terhutang karena wajib pajak tentu lebih memahami penghasilannya sendiri. Dengan self assessment, apa yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan oleh wajib pajak dianggap benar oleh fiskus. Subjek Pajak Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak (Waluyo, 2010, hal.89). Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa PPh dikenakan terhadap subjek pajak. Atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang menjadi subyek pajak adalah: Orang pribadi. Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia. Ini berarti pengenaan PPh didasarkan atas penerimaan atau perolehan penghasilan dari Indonesia oleh siapapun yang berada, bertempat tinggal, berlokasi dimanapun baik di Indonesia ataupun di luar Indonesia (Priantara, 2012:180).
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
5
Badan. Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Waluyo, 2010:89) Bentuk Usaha Tetap. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau badan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (Waluyo, 2010:89). Tarif Pajak Dalam penerapan pajak penghasilan, terdapat empat macam tarif pajak yaitu: Tarif Pajak Proposional / Sebanding. Tarif pajak proposional atau sebanding ialah tarif pemungutan pajak dengan menggunakan prosentase yang tetap (tidak berubah) berapapun jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak (Munawir, 1998:15). Tarif Pajak Progresif. Tarif pajak progresif atau meningkat adalah suatu tarif pemungutan pajak dengan prosentase pemungutan yang semakin besar dengan semakin dengan semakin besarnya jumlah yang dikenakan pajak (Munawir, 1998:16). Tarif Pajak Degresif. Tarif degresif atau menurun ialah tarif pemungutan pajak dengan menggunakan prosentase yang semakin kecil dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak (Munawir, 1998:15). Tarif Pajak Tetap. Tarif pajak tetap ialah tarif pemungutan pajak dengan jumlah yang sama untuk setiap jumlah, sehingga besarnya pajak yang terhutang tidak tergantung pada suatu jumlah yang dikenakan pajak (Munawir, 1998:16). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu memutuskan : Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan : (1) Undang–Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. (2) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Pasal 2 (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wjib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
6
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. (3) Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi sebagimana dimaksud pada ayat (2) adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya : a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntunkan bagi tempat usaha atau berjualan. (4) Tidak termasuk wajib pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 3 (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). (2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. (3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 (1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. (2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 6 Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penhasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
7
Pasal 7 Pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan dari luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan UndangUndang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 8 Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut : a. Kompensasi kerugian dilakukan muali Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak; b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolah wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 10 Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut : (1) Didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan; (2) Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Perturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini dibulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku; (3) Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 11 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 01 Juli 2013. Adapun selain Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diatas terdapat peraturan lain yang masih berkaitan dengan peraturan tersebut seperti Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 107/PMK.011/2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
8
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Gambaran dari Populasi (Objek) Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan adalah diskriptif. Menurut Marzuki (1995:42) adalah metode yang bertujuan menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada riset dilakukan dan menerima sebab sebab dari suatu gejala tertentu. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan sesuatu. Misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang berlangsung dan akibat atau dampak dari suatu kejadian. Tempat penelitian adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut. Penelitian akan dilakukan dengan membagikan kuisioner kepada 50 responden. Dengan kriteria memiliki omzet bruto maksimal sebesar Rp. 4.800.000.000,- . Teknik Pengumpulan Data Kualitas instrument penelitian berkenaan dengan validitas dan reabilitas instrument dan kualitas pengumpulan data berkenaan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data (Sugiyono, 2008:193). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling. Purposive adalah cara pengambilan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai yang dikehendaki, yaitu: (a) survey, melakukan kunjungan ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut dengan tujuan untuk mengetahui gambaran umum, situasi dan kondisi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. (b) studi lapangan, dilakukan untuk memperoleh datadata yang dibutuhkan, teknik yang digunakan adalah dokumentasi, interview dan kuisioner. Satuan Kajian a. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah peraturan terbaru. Yang dikeluarkan pemerintah dengan tujuan untuk memberikan kesederhanaan dalan pemungutan pajak. Mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak maupun dirjen pajak dan pemerataan dari pengenaan pajak. b. Dengan banyak kekurangan dan kelebihan , sebab akibat apa yang akan ditimbulkan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 c. Besaran pajak dengan menggunakan tarif 1% bernilai lebih kecil atau lebih besar dari PPh 25 yang dibayar dalam beberapa bulan yang lalu. d. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 menjelaskan tentang Pemindah bukuan (PBK) atas salah setor. Apakah pemindah bukuan dapat dilakukan dengan mudah. e. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 menjelaskan tentang Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Pemotong atau Pemungut. Apakah mudah dalam mengurus SKB dan pengaplikasiannya. f. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 menjelaskan bentuk SPT Pajak Penghasilan akan diatur dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak. Jika ada perubahan dalam bentuk maka bagaimana bentuk SPT tahunan yang baru.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
9
Teknik Analisis Data Dengan diperolehnya data-data yang akan berguna bagi penelitian yang dilakukan. Maka data tersebut akan dianalisis untuk dilakukan pembahasan sehingga selanjutnya dapat ditarik kesimpulan. Adapun dalam analisis data yang dilakukan adalah : a. Membandingkan seluruh data yang telah dikumpulkan untuk kemudian mengidentifikasikan adanya perbedaan. b. Melakukan konfirmasi atas data yang diperoleh dari satu pihak dengan pihak yang lain untuk dapat menyimpulkan tanggapan atau persepsi. c. Menarik kesimpulan atas pembahasan masalah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Realisasi Penerimaan Pajak Tabel 1 Realisasi Penerimaan Pajak PPh 25 dan 4 ayat (2) final Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut Bulan Januari – Desember 2013 Bulan
PPh 25
PPh Pasal 4 Ayat
Total
(2) Final Januari
1.744.344.148,00
-
1.744.344.148,00
Februari
1.687.793.192,00
-
1.687.793.192,00
Maret
1.773.985.390,00
-
1.773.985.390,00
April
1.944.212.290,00
-
1.944.212.290,00
Mei
2.069.543.760,00
-
2.069.543.760,00
Juni
2.178.710.419,00
-
2.178.710.419,00
Juli
2.175.764.584,00
-
2.175.764.584,00
Agustus
1.797.991.644,00
252.306.584,00
2.050.298.228,00
September
1.754.783.915,00
532.688.589,00
2.287.472.504,00
Oktober
1.678.777.764,00
841.277.242,00
2.520.055.006,00
Nopember
1.739.656.358,00
796.843.096,00
2.536.499.454,00
Desember
1.727.348.126,00
849.139.852,00
2.576.487.978,00
22.272.911.590,00
3.272.255.363,00
25.545.166.953,00
Total
Sumber : Data Olahan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan perpajakan dari jenis Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) dan Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final cenderung naik disetiap bulan. Adanya Peraturan Perpajakan 46 ini juga mempengaruhi pertambahan pendapatan yang signifikan. Dapat dilihat dari naiknya penghasilan perpajakan dibulan September. Pendapatan dibulan Agustus sebesar Rp. 2.050.298.228,- mengalami kenaikan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
10
Rp. 237.174.276,- dari bulan lalu menjadi sebesar Rp. 2.287.472.504,- dan kenaikan ini terjadi disetiap bulan. Pendapatan Januari – Juli
: Total Pendapatan Bulan = Rp. 13.574.353.783,7 Bulan = Rp. 1.939.193.398,-
Pendapatan Agustus - September
: Total Pendapatan Bulan = Rp. 11.970.813.170,5 Bulan = Rp. 2.394.162.634,-
Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa rata-rata penerimaan perpajakan sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 mengalami kenaikan yang signifikan. Selisih rata-rata dari dua perbandingan tersebut sebesar Rp. 454.969.236,-. Peraturan yang baru berjalan 6 bulan ini dapat meningkatkan penerimaan perpajakan di akhir tahun 2013. Jika peraturan ini dijalankan dalam hitungan satu tahun, maka pendapatan yang diperoleh di sektor perpajakan bisa meningkat. Peningkatan sekitar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) di setiap tahunnya dalam jenis Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) dan Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final. Ini membuktikan bahwa cara yang diambil pemerintah dalam mengeluarkan peraturan ini dapat memberikan peningkatan pendapatan. Peraturan ini juga memberikan kemudahan dalam penyederhanaan aturan pajak, dan memberikan kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Analisa Wawancara Setelah memperoleh data dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut mengenai besaran pendapatan yang diperoleh selama tiga tahun terakhir. Peneliti melanjutkan penelitian dengan melakukan wawancara kepada Account Representative. Yang berhubungan secara langsung dengan wajib pajak yang masuk kriteria Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut dapat ditarik kesimpulan bahwa : a. Materi tentang pemahaman Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Seluruh Account Representative mengatakan bahwa Peraturan yang keluar sudah dapat dipahami dengan baik. Namun untuk aturan pelaksanaannya seperti Peraturan Menteri Keuangan, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ada yang terlewatkan. Dengan alasan bahwa disosialisasi pertama belum dijelaksan secara terperinci. Dan tidak ada sosialisasi lanjutan untuk menjelaskan peraturan yang baru keluar. Sehingga para Account Representative lebih sering mempelajari sendiri dan saling
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
11
b.
c.
d.
e.
bertukar pikiran. Dapat diambil kesimpulan bahwa peraturan ini terlalu terburu-buru atau tidak dibarengi langsung dengan peraturan pelaksanaannya. Pemindahbukuan yang dilakukan oleh fiskus karena salah setor oleh wajib pajak UMKM. Seluruh Account Representative mengatakan bahwa pemindah bukuan secara bersama seperti ini, menambah volume pekerjaan atau kuantitas pekerjaan. Namun Account Representative dapat melaksanakan pemindah bukuan dengan tepat waktu dengan manajemen waktu yang baik. Karena Account Representative sudah mengerti bahwa dengan munculnya peraturan ini dipertengahan tahun akan mengakibatkan pemindahbukuan secara serentak untuk semua wajib pajak yang masuk di dalam kriteria UMKM. Pemindah bukuan oleh wajib pajak. Seluruh Account Representative mengatakan bahwa semua pemindah bukuan yang diajukan oleh wajib pajak akan diproses dengan cepat dan baik. Dengan syarat semua dipenuhi dan sesuai dengan prosedur. Karena semua sudah dijelaskan dalam SE-42/PJ/2013 huruf F nomer 6 tentang pemindah bukuan oleh wajib pajak. Kesetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420. Pengajuan atau keluhan wajib pajak dalam pembuatan Surat Keterangan Bebas (SKB). Hal ini sudah dijelaskan dengan terbitnya PER No.32/PJ/2013 tentang tata cara pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang dikenai pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Salah satu Account Representative mengatakan bahwa pembuatan SKB cukup mudah. Namun beberapa Account Representative mengatakan bahwa banyak Wajib Pajak yang mengeluh tentang pembuatan SKB adalah cara pengaplikasiannya. Karena setiap bertransaksi dengan pemotong pajak, mereka harus mengajukan permohonan legalisasi fotokopi SKB dan melakukan legalisir sebagai syarat agar terbebas dari pemotongan pajak. Namun ada juga yang mengeluhkan tentang pengajuan SKB dengan salah satu syarat penyampaian SPT Tahunan. Sedangkan untuk wajib pajak badan punyusunan SPT tahunan terbilang tidak mudah, dan membutuhkan waktu yang cukup lama terutama untuk pengumpulan data. Double setor, dipungut dan melakukan pembayaran1%. Seluruh Account Representative mengatakan bahwa hampir semua wajib pajak melakukan double setor. Dengan alasan Surat Keterangan Bebas (SKB) belum keluar dan belum mengetahui pasti tengang peraturan. Account Representative menjelaskan tentang masalah ini dengan memberikan saran agar SKB cepat dibuat. Untuk besaran pajak yang sudah terlanjur dibayar untuk direstitusi, dipindah bukukan atau dijadikan kredit pajak / lebih bayar dalam SPT Tahunan untuk Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor dan / atau Pasal 23.
Analisa Kuisioner Penelitian ini menggunakan 50 (lima puluh) wajib pajak sebagai responden. Yang di wakili oleh staff atau bagian keuangan yang menangani masalah pajak perusahaan tersebut. 1. Penyuluhan / sosialisasi dilakukan KPP dengan baik ( Dapat dipahami) Dari 50 responden yang diteliti 40 responden (80%) memberikan penilaian persetujuan (setuju atau sangat setuju). 10 responden (20%) memberikan penilaian penolakan (netral dan tidak setuju). Dengan demikian sebagian besar responden menyetujui bahwa penyuluhan / sosialisasi yang dilakukan kantor pajak dapat dipahami atau dapat diterima dengan baik.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
12
2. Persyaratan dalam pengurusan SKB ( Surat Keterangan Bebas) mudah Dari 50 responden yang diteliti terdapat 30 responden yang tidak bidang usahanya tidak berhubungan dengan SKB ( Surat Keterangan Bebas). Dengan sisa 20 responden (40%), sebanyak 15 responden (30%) memberikan penilaian penolakan (sangat tidak setuju atau tidak setuju). Dengan demikian sebagian besar responden menyatakan penolakan bahwa persyaratan dalam pengajuan SKB dapat dikatakan sulit. Namun ada 5 responden (10%) yang menyatakan persetujuan (sangat setuju atau setuju) yang mempunyai alasan bahwa mereka merasa mudah atas pengajuan SKB. Ada 2 responden (4%) yang menyatakan netral, ini bukan memberikan arti bahwa mereka dapat merasa mudah atas pembuatan SKB. Namun dikarenakan mereka tidak mengetahui tentang SKB dan apa syarat yang dapat diajukan saat pengurusan SKB. Pada PMK 107/PMK.11/2013 disebutkan bahwa permohonan SKB mengikuti Per1/PJ/2011, Kemudian terhitung tanggal 25 September 2013 keluar PER-32/PJ/2013 yang mengatur tentang permohonan SKB berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Format dari pembuatan SKB yang diajukan juga mengikuti Per-1/PJ/2011 sebelum tanggal 25 september 2013 tetap berlaku sampai akhir tahun 2013. Syarat-syarat dalam pengajuan SKB yang pertama adalah telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Kita ketahui bahwa penyusunan SPT Tahunan terutama wajib pajak badan tidaklah mudah dan memerlukan banyak waktu, terutama dari segi pengumpulan data. Yang kedua adalah dengan menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh wajib pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima termasuk dalam criteria PP 46. Yang ketiga adalah menyerahkan dokumen pendukung seperti surat perintah kerja. Permohonan pengajuan SKB diajukan untuk setiap jenis pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan pasal 21, pasal 22, pasal 22 impor dan pasal 23. Peraturan ini jelas memberikan pekerjaan tambahan untuk wajib pajak agar tidak dipotong atau dipungut, supaya tidak terjadi double setor. 3. Mempermudah pembayaran dengan menggunakan ATM Dari 50 responden yang diteliti 29 responden (58%) memberikan penilaian biasa saja (netral). Dengan demikian sebagian besar responden mengatakan hal itu biasa saja atau sama dengan mereka membayar di kantor pos atau bank. Dengan alasan bukti yang mereka terima atas pembayaran juga lebih akurat. Namun ada 21 responden (42% ) mengatakan persetujuan ( setuju atau sangat setuju) dengan alasan bahwa saat melakukan pembayaran di akhir-akhir tanggal pembayaran mereka tidak perlu menunggu antrian seperti di kantor pos atau bank. Pembayaran melalui bank dapat dilakukan dengan cukup mudah karena wajib pajak tidak perlu lagi mengantri di loket teller untuk melakukan pembayaran ataupun membawa lembaran SSP ke bank atau kantor pos. Lebih cepat karena wajib pajak tidak perlu antri panjang seperti di bank atau kantor pos. Bank yang dapat melayani pembayaran ini merupakan bank besar yang memilki mesin ATM disetiap tempat, seperti Mandiri, BCA, BNI dan BRI. Jadi tidak ada kata sulit untuk mencari atm tersebut disaat melakukan pembayaran. 4. Tidak ada kewajiban pelaporan / cukup melakukan penyetoran Dari 50 responden yang diteliti 27 responden (54%) memberikan penilaian biasa saja (netral). Dengan demikian sebagian besar responden mengatakan hal tersebut biasa saja, karena sama halnya dengan PPh 25. Namun ada 23 responden (46%) yang mengatakan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
13
persetujuan (setuju atau sangat setuju) dengan alasan mereka tidak perlu membuang waktu datang ke KPP untuk lapor, terutama disaat tanggal akhir pelaporan yang meraka harus antri panjang. Peraturan ini tidak jauh berbeda dari Per-22/PJ/2008 yang juga memberikan kemudahan kepada wajib pajak dengan tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan yang digunakan pada PPh 25. Wajib pajak yang melakukan pembayaran telah mendapatkan validasi dengan NTPN. Maka wajib pajak telah dianggap melakukan pelaporan sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum dalam SSP. 5. Perhitungan dengan tarif 1% lebih mudah Dari 50 responden yang diteliti 39 responden (78%) memberikan penilaian persetujuan (setuju atau sangat setuju). Dengan demikian sebagian besar responden menyetujui bahwa perhitungan dengan menggunakan tarif 1% lebih dikatan mudah dan merupakan penyederhanaan perhitungan pajak yang baik. Karena nilai yang dilaporkan hanya berdasarkan besaran omzet dikalikan dengan tarif final 1%. Tanpa menggunakan rumus panjang yang biasa digunakan di perhitungan PPh 25. 6. Format SPT Tahunan lebih mudah Dari 50 responden yang diteliti 42 responden (84%) memberikan penilaian persetujuan (setuju atau sangat setuju). Dengan demikian sebagian besar responden menyetujui bahwa format Spt tahunan untuk wajib pajak PP 46 lebih mudah. Karena mereka tidak perlu menggunakan perhitungan yang panjang. Cukup dengan memasukan semua omzet langsung dibuat final dengan semua biaya yang juga dianggap final. 7. Pengurusan PBK ( pemindah bukuan ) mudah Dari 50 responden yang diteliti 38 responden (76%) memberikan penilaian persetujuan (setuju atau sangat setuju). Dengan demikian sebagian besar responden menyetujui bahwa pemindah bukuan dapat dilakukan dengan mudah, asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau memenuhi syarat yang ditentukan oleh kantor pajak. Permohonan pemindahbukuan dikatakan sangat mudah untuk dilakukan. Wajib pajak cukup mengajukan permohonan pemindahbukuan secara tertulis sepanjang menginformasikan tentang kesalahan pembayaran pajak secara lengkap. Dari sebelumnya PPh 25 (411.125.100) atau (411.126.100) menjadi PPh pasal 4 ayat 2 sesuai dengan PP 46 (411.128.420). Karena hal tersebut juga tercantum dalam UU KUP, hak wajib pajak dalam sistem perpajakan nasional sangat dilindungi sehingga terjadi keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban. 8. Pengaplikasian SKB (Surat Keterangan Bebas) mudah Dari 50 responden yang diteliti terdapat 30 responden yang bidang usahanya tidak berhubungan dengan SKB (Surat Keterangan Bebas). Dengan sisa 20 responden (40%), sebanyak 4 responden (8%) memberikan penilaian persetujuan (setuju atau sangat setuju). Dengan demikian responden menyetujui bahwa persyaratan dalam penggunaan SKB dapat dikatakan mudah, namun ada 12 responden (24%) yang menyatakan penolakan (sangat tidak setuju atau tidak setuju) yang mempunyai alasan bahwa mereka merasa sulit untuk mengaplikasian penggunaan SKB. Dikarenakan harus adanya fotocopy dan legalisir yang menurut mereka membuat wajib pajak dan rekan kerja merasa binggung dan mengabiskan waktu dengan berkali-kali untuk datang ke KPP. Sama
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
14
dengan pernyataan nomer 2 ada sebanyak 4 responden (8%) yang menyatakan netral, ini bukan memberikan arti bahwa mereka dapat merasa biasa atas pengaplikasian SKB, namun dikarenakan 2 dari responden tidak mengetahui tentang SKB dan apa saja manfaat atau kegunaan dari SKB walaupun pekerjaan mereka berhubungan dengan jasa yang dalam kaitannya dengan pemotongan PPh 23. Pengaplikasian dari SKB ini dikatakan cukup rumit, karena saat akan melakukan transaksi wajib pajak harus mengajukan legalisasi fotokopi SKB agar tidak dilakukan pemotongan. Dengan melakukan fotokopi SKB yang diajukan dalam rangkap 3 yang masing-masing untuk KPP tempat wajib pajak, untuk pemotong atau pemungut dan untuk KPP dimana pemotong atau pemungut terdaftar. Syarat yang dilakukan adalah dengan menyerahkan bukti penyetoran untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong. 9. Kewajiban perpajakan dengan PP 46 lebih kecil dari PPh Pasal 25 Dari 50 responden yang diteliti 36 responden (72%) memberikan penilaian penolakan (tidak setuju atau sangat tidak setuju). Dengan demikian sebagian besar responden mengatakan bahwa kewajiban perpajakan dengan PP 46 jauh lebih besar dari kewajiban perpajakan mereka saat masih membayar PPh 25. Dikarenakan perhitungan PP 46 langsung dari besarnya omzet tanpa melihat berapa besar keuntungan yang didapatkan oleh wajib pajak. Tabel 2 Laporan Laba Rugi Sebelum dan sesudah penerapan PP 46 Tahun 2013 Tabel Perbandingan Laba Rugi Laba bersih
PPh
Sebelum PP 46
3.398.309.360
Omset
Koreksi -
3.398.309.360
Fiskal
382.941.514,73
Laba kotor
245.618.438,84
Biaya
137.323.075,89
17.165.375,00
Setelah PP 46
3.398.309.360
2.098.341.820
1.299.967.540
191.927.399,08
99.682.152,84
92.245.246,24
11.530.625,00
Laporan laba rugi sebelum penerapan PP 46 dimana semua penjualan dianggap bersih. Koreksi yang dilakukan di bagian administrasi dan umum yaitu biaya prive. Dengan memperoleh laba bersih sebelum pajak sebesar Rp. 127.323.075,89. Laporan laba rugi setelah menerapkan PP 46, terlihat bahwa semua penjualan bersih pada bulan juli sampai desember dimasukkan kedalam koreksi fiskal. Karena pendapatan yang telah diperoleh dalam aturan PP 46 dianggap 0 (nihil) . Semua pendapatan telah dianggap final disetiap bulan. Nilai ini yang digunakan sebagai besaran kewajiban yang harus dilunasi disetiap tahun. Tabel 3 Laporan Perhitungan Pajak Sebelum dan sesudah penerapan PP 46 Tahun 2013 Tabel Perbandingan Perhitungan Pajak Laba Bersih
PKP
Pajak terhutang
Pajak yang telah dibayar PPh 25 PP 46
Kurang Bayar
Total
Sebelum PP 46
137.323.075,89
137.323.000,00
17.165.375,00
9.178.251,00
-
7.987.124,00
17.165.375,00
Setelah PP 46
92.245.246,24
92.245.000,00
11.530.625,00
3.613.437,00
20.983.416,00
7.917.188,00
32.514.041,00
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
15
Perhitungan Pajak sebelum penerapan PP 46, dengan total angsuran PPh 25 atau pembayaran pajak yang telah dibayar sebesar Rp. 9.178.251,00 dengan total pembayaran kurang bayar sebesar Rp. 7.987.124,00 maka besaran pajak yang telah dibayar ditahun ini sebesar Rp. 17.165.375,00. Nilai ini jauh lebih kecil dari pembayaran setelah menggunakan PP 46 tahun 2013 sebesar Rp. 32.514.041,00. Ini membuktikan bahwa besaran pajak yang ditanggung wajib pajak sebelum dan sesudah peraturan ini digunakan,j auh lebih besar saat menggunakan PP 46. Karena besaran kewajiban perpajakan diambil dari omzet tanpa melihat laba yang diperoleh perusahaan. Perhitungan Pajak setelah penerapan PP 46, dengan total pembayaran PPh Final selama bulan juli sampai desember sebesar Rp. 20.983.416,00. Ditambah dengan angsuran PPh 25 selama bulan januari sampai juni sebesar Rp. 3.613.437,00 total semuanya sebesar Rp. 24.596.853,00. Dengan total kurang bayar sebesar Rp. 7.917.188,00 maka besaran pajak yang telah dibayar tahun ini sebesar Rp. 32.514.041,00. Dari analisa diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dilihat dari pendapatan negara disektor perpajakan, peraturan ini akan memberikan pendapatan tambahan terutama di sektor Usaha Mikro Kecil Menengah. Pemerintah juga memberikan kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi langsung dalam penyelenggaraan negara dengan memberikan kemudahan dalam penyederhanaan aturan pajak. Meskipun tujuan yang diinginkan pemerintah adalah untuk memberikan kesederhanaan, tetapi penerapana PPh Final ini ternyata tidaklah sesederhana itu. Karena wajib pajak perlu dibantu untuk memahami peraturan ini. Pihak KPP perlu melakukan berbagai upaya untuk dapat mensosialisasikan peraturan ini agar wajib pajak dapat memahami ketentuan ini sehingga dapat menjalankan semua peraturan dengan baik. Peraturan ini terbit ditanggal 12 Juni 2013 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 2013. Peraturan pelaksanaannya mulai diturunkan di tanggal 6 Agustus 2013. Dari jangka waktu penerbitan dan pelaksanaan PP 46 yang cukup pendek, menyebabkan sebagian wajib pajak belum memahami dengan baik dan benar pelaksanaan PP 46. SIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai “ Persepsi Atas Berlakunya Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013” pada kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut , didapatkan kesimpulan : a. Peningkatan pendapatan yang diperoleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut dinilai sangat bagus. Karena mengalami peningkatan yang signifikan disetiap periode. b. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh fiskus dalam meningkatkan pemahaman wajib pajak dengan melakukan sosialisasi secara berkelanjutan kepada wajib pajak. Bertatap muka kepada wajib pajak akan dapat membantu wajib pajak untuk dapat memahami peraturan yang berlaku. c. Kurangnya pemahaman wajib pajak mengenai Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013. Dapat dinilai bahwa pelaksanaan peraturan ini terlalu cepat dan terburu-buru. Kewajiban perpajakan dinilai terlalu besar untuk sebagian wajib pajak. d. Format SPT Tahunan yang baru dinilai sangat membantu wajib pajak dalam melakukan pembuatan SPT tahunan. Karena dinilai lebih mudah dan pelaporan SPT Tahunan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat waktu.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 11 (2014)
16
Pendapatan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut setelah adanya Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 mengalami peningkatan pendapatan. Meskipun diakui masih banyak faktor lain yang mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh. Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan adanya peraturan ini cukup sedikit membantu untuk menaikan pendapatan yang ditargetkan oleh pemerintah. SARAN Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian sebagaimana dijelaskan diatas, maka direkomendasikan saran sebagai berikut : a. Bagi DPR dan Direktur Jenderal Pajak dalam menetapkan perpajakan sebaiknya diberikan jangka waktu yang panjang. Agar sebelum peraturan tersebut berlaku Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut dapat memberikan sosialisasi yang cukup kepada wajib pajak. Terutama tentang peraturan yang ada dan aturan pelaksanaannya. b. Sosialisasi yang dilakukan Kantor Pelayanan Pajak Pratama tidak hanya tentang peraturan yang baru terbit seperti Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2013. Tetapi juga dengan peraturan-peraturan baru yang juga menjelaskan tentang peraturan ini. Seperti PER-32/PJ/2013 yang menjelaskan tentang cara pembebasan dari pemotong/pemungut (SKB) dan SE-42/PJ/2013. Yang salah satu peraturannya menjelaskan tentang pemindahbukuan (PBK). c. Wajib pajak lebih aktif untuk mengetahui tentang peraturan yang keluar dan aturan pelaksanaan yang ada. Lebih banyak mempelajari peraturan apa saja yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2013. Agar wajib pajak dapat melaksanakan semua kewajiban perpajakannya dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Marzuki. 2002. Metodologi Riset. Yogyakarta. Penerbit BPFE UA. Munawir, S. 1987. Pokok-Pokok Perpajakan. Yogyakarta . Penerbit Liberty. Resmi, Siti. 2013. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta. Penerbit Salemba Empat. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER – 32/PJ/2013 Tentang Cara Pembebasan Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 Tentang Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Priantara, Diaz. 2012. Perpajakan Indinesia. Jakarta. Penerbit Mitra Wacana Media. Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Bisnis. Bandung. Penerbit Alfabeta. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE – 42/PJ/2013 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia. Edisi 11. Jakarta. Penerbit Salemba Empat. Waluyo. 2010. Perpajakan Indonesia. Edisi 9. Jakarta. Penerbit Salemba Empat. ●●●