PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MINANGKABAU: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP NOVEL DARI SURAU KE GEREJA KARYA HELMIDJAS HENDRA
Nori Anggraini Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kondisi sosial masyarakat Minangkabau yang diungkapkan dalam novel Dari Surau Ke Gereja. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap hubungan falsafah adat dan peran pemimpin dalam masyarakat Minangkabau dalam novel Dari Surau Ke Gereja. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan karya sastra (novel) sebagai data utama. Untuk mengkaji masalah dalam penelitian ini digunakan teori sosiologi sastra yang mengacu kepada sastra merupakan refleksi sosial masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyebab terjadinya perkembangan keberagamaan masyarakat Minangkabau dalam novel Dari Surau Ke Gereja, yaitu berkaitan dengan kedudukan falsafah “adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah” dan fungsi pemimpin “tungku tiga sejerangan” (ninik-mamak, alim ulama, dan cerdik pandai) tidak mampu lagi mengayomi masyarakat Minangkabau untuk tetap memegang kuat agama Islam dan adat sebagai falsafah hidup. Terjadinya perkembangan keberagamaan dalam masyarakat Minangkabau dalam novel Dari Surau Ke Gereja disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor: (1) internal: keilmuan, perkawinan, ekonomi; (2) faktor eksternal:penyebaran agama lain. Kata Kunci: perkembangan, keberagamaan, Minangkabau, sosiologi sastra A. Pendahuluan Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan agama Islam sebagai pandangan hidup secara agamis dan sosial. Pandangan tersebut tertuang dalam falsafah adat, yaitu Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah1 (adat bersendikan
1
Secara keseluruhan pepatah adat itu berarti adat Minangkabau berdasarkan kepada atau dikuatkan oleh hukum agama, sedangkan agama tersebut berdasarkan hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur`an, atau dengan kata lain “adat Minang adalah adat yang islami” (Syarifuddin, 2003:18).
agama, agama bersendikan Alqur`an). Falsafah2 Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah merupakan pertemuan antara adat Minangkabau dengan agama Islam. Falsafah adat ini adalah hasil kebulatan tekat antara pemuka adat dengan pemuka agama yang mewakili lapisan masyarakat Minangkabau. Dari falsafah tersebut tercermin bahwa ada keinginan bersama untuk menjadikan agama Islam sebagai adat yang dipakai sehari-hari oleh warga Minang, Adat Minang adalah adat yang islami. (Syarifudin, 2003:16). Dalam kehidupan masyarakat adat Minang, dikenal tiga unsur pimpinan yaitu ninik mamak3, alim ulama4, dan cerdik pandai5 yang bisa disebut tungku tigo sajarangan6 (tungku tiga sejerangan). Dihubungkan dengan falsafah adat dapat diartikan “Segala sesuatu dikaji dan diteliti oleh cerdik pandai, kemudian difatwakan oleh ulama berdasarkan hukum agama, selanjutnya dilaksanakan secara praktis oleh ninik mamak bersama dengan anak kemenakannya”. Di sinilah letak kekuatan masyarakat Minangkabau dengan menyatunya tiga unsur kepemimpinan dalam kehidupan (Ronidin, 2006:176). Sebagai salah satu produk sastra, novel Indonesia memperlihatkan kekhasannya yang berkaitan erat dengan kultur etnik yang sekian lama mengeram, mendekam, dan mengalir menjadi pola pikir, prilaku, dan sikap hidup, tata krama dan etika, tindakan dan ekspresi diri,
2
Falsafah ialah satu disiplin ilmiah yang mengusahakan kebenaran yang umum dan asas. Perkataan falsafah dalam bahasa Melayu berasal daripada bahasa Arab ةفسلفyang juga berasal daripada perkataan yunani Φιλοσοφία philosophia, yang bermaksud "cinta kepada hikmah". Secara umumnya, falsafah mempunyai ciri-ciri merupakan satu usaha pemikiran yang tuntas dan tujuannya adalah untuk mendapatkan kebenaran. 3
Mamak adalah saudara laki-laki ibu. Dalam masyarakat Minangkabau, hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya disebut dengan hubungan mamak jo kemenakan (mamak dan kemenakan) (Zulfadli, 2003:31). 4
Ulama adalah pemimpin yang mengayomi umat beragama, khususnya umat Islam. Umat agama lain juga punya “ulama” yang berfungsi :mengembalakan” umatnya masing-masing. Dari pengertian ini, fungsi ulama telah lebih luas karena yang dipimpinnya adalah masyarakat, yaitu masyarakat agama tertentu, atau kelompok umat beragama tertentu (Agus, 2003:35). 5
Cerdik Pandai adalah golongan intelektual atau ilmuwan yang generalis, bukan spesialis. Karena mereka mempunyai banyak perhatian terhadap yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Misalnya tentang ekonomi, politik, sosial, agama, kebudayaan, dan teknologi (Navis, 1999:23). 6
Tungku Tigo Sejerangan adalah tiga persoalan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau, sudah ada yang bertanggung jawab, yaitu niniak mamak di mana ia bertanggung jawab atas persoalan adat, kemudian alim ulama yang bertanggung jawab atas persolan syari’at di nagari, serta cerdik pandai yang kemudian akan membina kecakapan anak nagari (Ronidin, 2006:135)
pandangan dan orientasi tentang alam dan lingkungan, bahkan juga sampai pada wawasan estetiknya (Mahayana, 2007). Novel merupakan salah satu produk sastra yang memegang peranan penting dalam memberikan berbagai kemungkinan dalam menyikapi kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel terungkap berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang bersifat universal dan sangat kompleks. Salah satu novel warna lokal7 Minangkabau yang menceritakan tentang persoalan keagamaan adalah novel Dari Surau ke Gereja karya Helmidjas Hendra. Novel ini mengangkat tema perpindahan agama di ranah Minangkabau. Fenomena perpindahan agama di ranah Minang sebagai persoalan keagamaan dan adat istiadat tertuang dalam karya sastra sebagai cerminan sosial kehidupan masyarakat. Karya sastra dihasilkan oleh pengarang merupakan hasil imajinasi dan bentuk penghayatan pengarang terhadap gambaran kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Gambaran tersebut merupakan kenyataan sosial yang mencakup hubungan masyarakat, antara masyarakat dan seseorang, dan antar peristiwa (Damono, 1984:1). Persoalan perpindahan agama ini direfleksikan pengarang dalam novel Dari Surau ke Gereja karya Helmidjas Hendra. Dari Surau ke Gereja merupakan simbol dari fenomena perkembangan keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Surau8 merupakan bahasa Minang yang berarti tempat beribadah umat Islam di Minangkabau, sedangkan gereja merupakan tempat beribadah bagi umat Kristiani. Konflik utama adalah perpindahan agama yang makin marak di ranah Minang yang melatarbelakangi lahirnya LSM UMPAN, yang diketuai oleh kaum intelektual muda. Selain bergerak di bidang perpindahan agama, LSM UMPAN juga bergerak di bidang anti pendangkalan aqidah, dan pemberantasan penyakit masyarakat. Diceritakan juga bahwa LSM tesebut tidak mempermasalahkan aliran perbedaan paham dalam beribadah dan perbedaan ideologi politik. Permasalahan dalam cerita ini tidak hanya perpindahan agama, tetapi juga pergeseran nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri. Mamak yang tidak lagi peduli kepada kemenakan, peran mamak lebih dominan daripada peran ayah dalam sebuah 7
Abrams dalam A Glosarry of Literary Terms (1971:89) mengemukakan bahwa warna lokal (local color) adalah sebuah fiksi yang mempresentasekan dengan jelas latar, dialek, adat-istiadat (budaya), kebiasaan, pakaian, dan cara berpikir sebagai karakteristik dan identitas dari suatu daerah atau wilayah tertentu. 8
Surau adalah tempat laki-laki muda Minangkabau menjalani rutinitas belajar mengaji, belajar ilmu silat, belajar adat istiadat, belajar ilmu pengobatan. (Ronidin, 2006:9).
keluarga, adat yang hanya dipakai untuk acara berhelat9 saja, sistem kekerabatan yang matrilineal10 sementara falsafah adat adalah adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah seperti yang telah dijelaskan di atas. Puncak dari masalah ini adalah ketika kakak dari salah satu cerdik pandai yang notabene sebagai aktivis anti pemurtadan sendiri akhirnya keluar dari Islam setelah menikah dengan seorang Kristiani. Dari masalah-masalah yang diangkat dalam novel inilah yang melatarbelakangi keinginan Peneliti untuk mengetahui fenomena perkembangan keberagamaan, khususnya mengambarkan perpindahan agama. Hal tersebut dihubungkan dengan falsafah adat yang berbunyi adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah tersebut yang ada dalam novel Dari Surau Ke Gereja tersebut di ataslah yang melatarbelakangi penelitian ini untuk menggunakan kajian teori sosiologi sastra Alan Swingewood. Teori sosiologi sastra dipilih sebagai landasan teori karena novel adalah produk masyarakat yang berbicarakan fenomena dalam masyarakat, dikonsumsi oleh masyarakat, dan disiplin ilmu yang mempelajari persoalan-persoalan masyarakat. Swingewood memberikan konsep tentang sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah pendekatan ilmiah yang menekankan analisis objektif tentang manusia dan masyarakat, tentang kelembagaan kemasyarakatan, dan proses-proses sosial. Sastra terkait dengan manusia dalam dunia kemasyarakatan, adaptasinya dengan dunia kemasyarakatan itu, dan keinginannya melakukan perubahan terhadap dunia kemasyarakatan (Swingewood dan Laurenson, 1972:12). Berdasarkan hal tersebut, maka teori yang paling tepat dalam penelitian ini adalah teori yang mengakomodasi konsep-konsep baik sosiologi maupun sastra, yaitu sosiologi sastra. Berdasarkan pada latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini berhubungan dengan Fenomena perkembangan keberagamaan yang tercermin dalam novel Dari Surau ke Gereja yang diinterpretasikan adanya indikasi fenomena sebagai berikut: (1) kedudukan suami dalam rumah tangga; (2) sistem matrilineal; (3) fungsi ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai 9
Baralek adalah pesta, meski untuk pesta-pesta adat namun sering disosialisasikan sebagai pesta perkawaninan (Islandar, 2004:183). 10
Matrilini adalah sistem dari pola egaliti. Menurut pikiran alam Minangkabau egaliti itu disebut “sama”. Yang artinya persamaan, kesamaan, kebersamaan antara sesame kita manusia. Dengan demikian matrilini merupakan system untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara hokum, sosial dan kebudayaan. Untuk itu perempuan diberi kekuatan pengimbang, yakni dengan kepemilikan atas harta dan anak, sedangkan laki-laki memperoleh hak kepemimpinan (Navis, 1999:60-61)
(tungku tigo sajarangan); (4) adat Minangkabau tidak lagi operasional tapi menjadi seremonial; (5) masyarakat Minangkabau bergeser dari masyarakat agamis menjadi sekuler; (6) terjadinya perpindahan agama dalam masyarakat Minangkabau.
Berdasarkan implikasi masalah
perkembangan keberagamaan tersebut memunculkan permasalahan yang akan dirumuskan sebagai berikut: 1. Kedudukan agama dan adat sebagai falsafah hidup masyarakat Minangkabau serta fungsi tungku tigo sarangan (ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai) dalam novel Dari Surau Ke Gereja karya Helmidjas Hendra. 2. Perkembangan keberagamaan masyarakat Minangkabau terkait dengan adanya perpidahan agama masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam novel Dari Surau Ke Gereja karya Helmidjas Hendra. Terkait dengan penggunaan teori dalam penelitian, Chamamah-Soeratno (2001:13-14) menyatakan bahwa dalam penelitian sastra, pemilihan macam teori diarahkan oleh masalah yang akan dijawab oleh penelitian dan tujuan yang akan dicapai oleh penelitian. Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka dalam penelitian ini digunakan teori sosiologi sastra dan teori pemurtadan. Sosiologi sastra mencakup banyak aspek, Swingewood dan Laurenson (1972:13) menjelaskan beberapa perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age, yaitu perspektif paling popular adalah penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada waktu karya tersebut diciptakan; (2) the second approach to a literary sociology moves aways from the emphasis on the work of literature it self to the production side, and especially to the social situation of the writer, penelitian sosiologi sastra yang ditekankan pada situasi sosial penulisnya sebagai orang yang memproduksi sebuah karya sastra. Posisi pengarang dalam masyarakat dan latar belakang sejarah sangat mempengaruhi terhadap perkembangan sastra karena saat teks itu diciptakan banyak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah suatu zaman; dan (3) a third perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by particular society at a specific historical moment, perspektif yang melihat bagaimana peneliti melacak penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra atau resepsi masyarakat terhadap karya sastra.
Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa kajian sosiologi sastra mencakup berbagai aspek. Pertama Sosiologi sastra itu sendiri, berkaitan dengan fenomena sosial masyarakat yang terdapat di dalam karya sastra. Kedua, sosiologi pengarang sebagai pencipta karya sastra. Ketiga, keberadaan pembaca sebagai konsumen sastra yang berkaitan dengan dampak sosial karya sastra terhadap pembaca. B. Metode Penelitian Penelitian ini digunakan metode yang sesuai dengan teori yang digunakan, yaitu teori sosiologi sastra Alan Swingewood. Terdapat dua metode yang dapat dipilih dalam menganalisis permasalahan penelitian. Metode tersebut adalah (1) a sociologi of literature (sosiologi sastra); dan (2) a literary of sociologi (sastra sosiologi (Swingewood dan Laurenson, 1972:78). Metode pertama memulai pembicaraan dari lingkungan sosial kemudian menuju ke dalam karya sastra. Dalam hal ini, tekanan pembicaraan diarahkan pada hubungan sastra dengan faktor yang ada di luar karya sastra sebagaimana yang terbayangkan dalam karya sastra yang diteliti (Swingewood dan Laurenson, 1972:78). Sementara itu, metode kedua memulai pembicaraan dari karya sastra lalu menghubungkannya dengan dunia di luar karya sastra. Dari penjelasan di atas, maka untuk keperluan penelitian ini diperlukan metode kedua, yaitu dari karya sastra lalu menghubungkannya dengan dunia luar karya sastra atau sastra sosiologi. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa fokus perhatian adalah karya sastra. Dengan begitu, karya sastra dijadikan sebagai gejala pertama, sedangkan persoalan sosiologi yang ada di luar karya sastra merupakan gejala kedua. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu langkah-langkah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2006:3). Data kualitatif ini merupakan data yang hanya dapat diukur secara tidak langsung, yang hanya dapat diamati dan diselidiki dengan menggunakan teori yang sesuai dengan permasalahan. C. Hasil Penelitian Berbeda dengan novel-novel warna lokal Minangkabau lainnya, novel Dari Surau Ke Gereja merupakan sebuah karya sastra yang berisi kritikan secara objektif terhadap nilai-nilai kebudayaan Minangkabau dalam menyingkapi berbagai persoalan kehidupan. Novel ini mengungkap fenomena perkembangan keberagamaan dalam masyarakat Minangkabau, agama Islam yang di anut kuat oleh masyarakat Minangkabau tidak lagi menjadi satu-satunya agama dalam masyarakat. Dalam pandangan masyarakat Minangkabau, antara adat dan agama berjalan
seiring dan seimbang sebagaimana tertuang dalam falsafah adat Minangkabau yang berbunyi “adaik basandi syara`-syara` basandi kitabullah-‘syara` mengato adaik mamakai (adat bersendi syara`, syara` bersendi kitabullah-syara` mengatakan adat melaksanakan). 1.
Peran Pemimpin dan Falsafah Adat dalam Masyarakat Minangkabau a. Laki-laki sebagai mamak Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mamak adalah saudara laki-laki ibu. Dalam
masyarakat Minangkabau, hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya disebut dengan hubungan mamak jo kemenakan (mamak dan kemenakan) (Zulfadli, 2003:31). Menurut sistem kekerabatan di Minangkabau mamak adalah kepala keluarga yang punya kuasa menghitam putihkan. Orang arif bijaksana, ka pai tampek batanyo, kapulang tampek babarito (pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita). Penggambaran seorang mamak yang intelektual dan disegani oleh keluarga dan kaumnya befungsi untuk menegaskan bahwa mamak di Minangkabau bukan hanya sebatas seorang paman biasa, akan tetapi seorang yang sangat disegani. Novel ini menceritakan seorang mamak yang otoriter dan selalu bertentangan dengan keponakannya. Keotoriteran seorang mamak digambarkan tidak hanya pada ponakan dan kaumnya, tetapi juga terhadap anak istrinya. Dalam setiap pembicaran dan permasalahan, selalu benar dengan petatah-petitihnya yang terkadang juga salah penempatannya. Istri dari mamak ini juga sudah hafal dan paham dengan sifat suaminya, maka sebagai seorang yang sabar dan bijaksana, dia lebih baik mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh suami Pesan di atas di sampaikan melalui penggambaran mamak (Datuk Kalimpanan) menjodohkan anaknya (Efiana) dengan ponakan tersayangnya (Rijal). Perjodohan ini berlangsung tanpa meminta persetujuan dari anaknya. Sedangkan kepada ponakannya (Rijal) perjodohan itu hanya bersifat pemberitahuan yang tidak bisa ditolak. Beruntung ponakannya itu adalah seorang tidak bisa membantah dan selalu mengiyakan mamaknya. Atas sikapnya itu, anaknya menjadi marah dengan keotoriteran bapaknya. b. Ahli Agama (alim ulama) Ulama adalah pemimpin yang mengayomi umat beragama, khususnya umat Islam (Agus, 2005:35). Ciri ulama adalah pemimpin dalam bidang agama yang punya jamaah yang berasal dari masyarakat sekitar pesantren atau surau yang didirikannya. Ketergantungan dan kebutuhan masyarakat atau jamaahnya kepada ulama lebih kuat. Selain itu, ulama punya kewibawaan dan
kepemimpinan, sarjana atau ahli yang berpengetahuan luas dan dalam tentang Islam dan lebih terspesialisasi tertentu, seperti sejarah Islam, fikih, tafsir, hadist dan lainnya. Pada novel Dari Surau ke Gerejai, Ulama dipandang belum memberikan kontribusi yang cukup dalam meningkatkan kadar keimanan umat Islam di Minangkabau. Ulama masih melakukan dakwah hanya sekedar rutinitas harian, sehingga apa yang mereka sampaikan di surau ataupun di mesjid tidak membawa kesan bagi umat yang mendengarkannya (Hendra, 2009:12). Novel Dari Surau Ke Gereja menawarkan konsep dakwah dengan konsep spesialisasi. Ada mubaligh yang khusus menyampaikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan akidah saja, ada yang khusus membicarakan ibadah (Hendra, 2009: 18). Hal ini dimaksudkan agar materi dakwah tidak mengambang, tetapi bisa disampaikan dengan jelas dan terperinci kepada jamaah. c. Intelektual (Cerdik pandai) Selain itu, Cerdiek pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta pemikiran yang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi adalah merupakan kumpulan orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang yang cepat mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas. Masalah pemurtadan merupakan masalah rentan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Minangkabau. Cerdik pandai sebagai bagian dari tungku tigo sejarangan perlu memberikan perhatian dan solusi dalam masalah ini. Sebagai kaum yang berilmu,Ccerdik pandai merupakan bagian yang diharapkan memberi petunjuk kepada masyarakat Minangkabau. Novel Dari Surau Ke Gereja karya Helmidjas Hendra, Cerdik pandai diwakili oleh sekelompok aktivis muda sebagai penggambaran adanya semangat dan pemikiran baru dari kaum muda. Sebagai wadah untuk menyalurkan ide sekelompok Cerdik pandai tersebut membentuk LSM-UMPAN yang merupakan organisasi pemuda Islam progresif. Organisasi ini bergerak di bidang masalah pemurtadan, pendangkalan aqidah dan pemberantasan penyakit masyarakat melalui tulisan-tulisan yang aktif di media masa, seminar, dan forum diskusi di masyarakat Minangkabau. Peranan kaum intelektual (cerdik pandai) dalam masyarakat Minangkabau masih berperan, namun digambarkan masih belum maksimal untuk mengayomi masyarakat. Gerakan anti pemurtadan di Sumatera Barat hanya dilaksanakan oleh sebagian kecil dari intelektual-
intelektual yang ada di Minangkabau. Masalah perpindahan agama dalam masyarakat Minangkabau belum menjadi perhatian menyeluruh bagi kaum intelektual Minangkabau. 2.
Perkembangan Keberagamaan dalam Masyarakat Minangkabau Religiusitas masyarakat Minangkabau sudah tumbuh subur semenjak zaman prasejarah,
yang dibuktikan dengan banyaknya dijumpai situs-situs megalitik yang pada masa lalu difungsikan sebagai tempat melakukan ritual keagamaan. Hal tersebut mengindikasikan dengan jelas tingginya keberagamaan masyarakat Minangkabau yang berlanjut sampai sekarang. Kuatnya fondasi keberagamaan inilah yang menjadi bagunan kuat yang ditempati oleh agama Islam. (Herwandi, 2005:9). Selanjutnya, keberagamaan masyarakat Minangkabau menjadi fenomena sastra yang dituangkan Helmidjas Hendra ke dalam novelnya Dari Surau Ke Gereja. Dalam hal ini akan dilihat menjalankan perintah agama, tidak menjalankan perintah agama, dan perpindahan agama masyarakat Minangkabau, sebagai berikut. a. Menjalankan perintah Agama Islam Novel Dari Surau ke Gereja karya Helmidjas Hendra menggambarkan kehidupan beragama masyarakat Minangkabau yang mayoritas masih mencerminkan kehidupan yang islami. Kehidupan tiga unsur pimpinan dalam adat istiadat (Ninik-mamak, Alim ulama, dan Cerdik pandai) masih ditampilkan dalam sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan adat istiadat. Ninik-mamak sebagai bagian pemimpin dalam masyarakat Minangkabau, digambarkan sebagai orang-orang yang religius mendidik anak dan kemenakan mereka dengan nilai-nilai keislaman. Keteguhan beragama dan beradat masih menjadi falsafah bagi kehidupan masyarakat di Minangkabau dengan adanya adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah. Di mana falsafah tersebut dipegang kuat oleh masyarakat Minangkabau. Adat dan agama dipegang sama (Hendra, 2009:23-35). Selain itu, peran ustad yang biasa di panggil “buya” masih memegang peran penting dalam membekali masyarakat Minangkabau dengan ilmu-ilmu keagamaan, baik di surau (mesjid di kampung) dan di masjid. (Hendra, 2008:9). Ustad sangat berperan penting dalam adat dengan bidang khusus keagamaan (bagian dari tungku tiga sejerangan). b. Tidak Menjalankan Perintah Agama Islam
Novel Dari Surau Ke Gereja karya Helmidjas Hendra ini, ketidak taatan masyarakat Minangkabau digambarkan melalui prilaku pelanggaran syari`ah (aturan) Islam, seperti pelaksanakan sholat, kurban, zakat, dan cara menyantunin anak yatim. Aturan-aturan pelaksanaan hal-hal tersebut, banyak yang belum memahami secara benar. Seperti dalam hal berqurban, masyarakat Minangkabau ketika berqurban selalu memakai kupon bagian yang lebih besar kepada yang berqurban. Hal ini dianggap kebiasaan yang bisa mengurangi keikhlasan orang yang berkurban.(Hendra, 2008:15). Selalu ada perselisihan paham di kalangan pengurus mesjid dan jemaah mengenai batasan umur anak yatim yang boleh disantuni, zakat fitrah boleh diterima oleh orang yang dikategorikan fakir miskin, tapi di rumahnya ada sepeda motor , televisi. (Hendra, 2008:16). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau dalam beragama masih diimbangi oleh rasa sosial berdasarkan kedekatan secara emosional. Ketaatan dalam beragama masih belum berlaku seutuhnya. c.
Perpindahan Agama
Novel Dari Surau ke Gereja memberikan cerminan keberagamaan bahwa setiap agama mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan agamanya, termasuk kepada masyarakat yang sudah beragama sekalipun. Islam juga begitu. Meskipun dibatasi oleh undang-undang yang bagaimanapun, kecenderungan ini akan tetap ada. Menyalahkan pihak agama lain, bukan solusi, tapi hanya sekedar mencari kambing hitam untuk menutupi akar permasalahan sebenarnya (Hendra, 2009:7-12). Perpindahan agama yang terjadi di masyarakat Minangkabau merupakan muara dari tidak kuatnya benteng internal masyarakat itu sendiri. Fungsi ulama, ninik-mamak, dan cerdik pandai yang memegang peran dalam pembinaan masyarakat dalam ilmu dan agama tidak maksimal dan cenderung semakin tidak berfungsi lagi. 3.
Perkembangan Agama Di Minangkabau Masyarakat Minangkabau cenderung untuk memberikan beberapa sanksi terhadap orang-
orang Minangkabau yang keluar dari agama Islam. Sanksi yang diberikan dapat berbentuk sanksi moral maupun material, atau bisa juga kedua-duanya yang harus ditanggung oleh orang-orang tersebut. Orang-orang Minangkabau yang meninggalkan keislamannya atau menjadi pemeluk agama lain diluar Islam bisa kehilangan segala hak dan kewajiban mereka yang disediakan oleh Adat. Mereka bahkan bisa dikeluarkan dari komunitas adat Minangkabau.
Sanksi moral tidak hanya ditanggung oleh individu-individu yang bersangkutan, namun, baik secara langsung maupun tak langsung, keluarga yang bersangkutan merasakan dampaknya. Secara umum orang-orang Minangkabau mempunyai pendapat yang negatif terhadap individuindividu Minangkabau yang keluar dari Islam. Mereka tidak hanya „menghujat‟ individu-individu tersebut namun juga keluarga mereka yang dianggap tidak mampu memberikan bimbingan agama Islam secara benar kepada tersebut.
Dalam
rangka
individu-individu Minangkabau yang keluar dari Islam
menghidari
kecaman-kecaman
dari
masyarakat,
orang-orang
Minangkabau cenderung menutupi kenyataan bila ada salah seorang anggota keluarga mereka yang telah keluar dari Islam. 4.
Perpindahan Agama dalam Pandangan Islam dan Adat Minangkabau Novel Dari Surau Ke Gereja karya Helmidjas Hendra ini di latarbelakangi karena adanya
perpindahan agama yang terjadi di Sumatera Barat. Pada bagian awal cerita Helmidjas Hendra menceritakan sebuah LSM. Lembaga ini lahir karena adanya fenomena perpindahan agama masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang dibentuk oleh sekelompok kaum cerdik pandai muda Sumatera Barat. LSM tersebut sebagai wadah pergerakan menangani masalah perpindahan keyakinan, pendangkalan aqidah, dan pemberantasan penyakit masyarakat. Melalui rekayasa perkawinan, bantuan sosial, pemerasan dan hipnotisme (Hendra, 2008:11). Dengan adanya pergerakan dari eksternal, sebaiknya masyarakat Minangkabau tidak terjebak oleh kemarahan mengenai perpindahan keyakinan, melainkan harus memperkokoh diri dengan ajaran Islam bidang aqidah dan memaksimalkan kembali fungsi lembaga adat yang selama ini sudah mulai tidak berperan dalam masyarakat. 5.
Faktor Penyebab Perpindahan Agama Novel ini menceritakan beberapa tokoh yang mengalami perpindahan agama karena
beberapa hal yang berbeda-beda. Penyebab perpindahan keyakinan dalam novel ini di latarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut: a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor perpindahan agama masyarakat Minangkabau disebabkan dari dalam masyarakat itu sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat Minangkabau tersebut memilih agama Kristen sebagai keyakinan baru, yakni: 1) Keilmuan
Pada umumnya masyarakat Minangkabau menerima seutuhnya tanpa memperdebatkan masalah keislaman mereka, masyarakat Minang menerima sebagai kemutlakan yang sesuai dengan falsafah adat adat bersendikan sara`, sara` bersedikan kitabullah (sumber adat istiadat adalah ajaran dari Alqur`an dan Sunnah). Kandungan falsafah itu diterima masyarakat Minangkabau secara utuh, meski terdapat aturan adat yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Di mana perbenturan yang berarti antara adat Minangkabau dengan Islam pada awal waktu penyiarannya adalah dalam bidang sosial budaya, khususnya yang menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan perkawinan, kediaman dan pergaulan serta pewarisan harta (Sidi Gazallba, 1969:3) yang membuat kaum intelektual berpikir dimana letak keselaran antara adat dan agama Islam. 2) Perkawinan Menurut ajaran Islam, perkawinan Stefanus dengan Dina hanya akan meneruskan perzinaan yang mereka lakukan. Jika perkawinan mereka langgeng seumur hidup, maka menurut ajaran Islam mereka telah melakukan perzinahan sepanjang hidup. Dihadapkan dengan kenyataan itu, sebagai seorang anak yang dibesarkan dengan ajaran Islam, Dina menjadi sangat takut mengingat betapa besar dosa orang yang melakukan perzinaan. Selanjutnya, hubungan mereka sudah sangat sulit untuk dipisahkan. Hubungan mereka sudah terlalu jauh untuk disebut hanya sebagai berpacaran biasa. Stefanus sudah membawa Dina keberbagai tempat objek wisata di Sumatera Barat bahkan sampai ke luar propinsi. 3) Ekonomi Tidak hanya seorang ayah yang marah ketika anaknya masuk Kristen, seorang mamakpun menjadi marah karena malu menerima kenyataan kalau keponakannya memilih keluar dari Islam, Afifudin (mamak Mursal) langsung mengambil tindakan untuk menjemput keponakan-nya ke Padang. Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak merupakan tanggungjawab orang tua dan mamak sepenuhnya di Minangkabau. b) Faktor Eksternal Selain faktor eksternal penyebab perpindahan agama masyarakat Minangkabau, perpindahan agama juga disebabkan oleh faktor dari luar masyarakat Minangkabau itu sendiri, yaitu: 1. Penyebaran Agama Lain
Di Sumatera Barat gerakan Kristenisasi terhadap masyarakat Minangkabau sudah terjadi semenjak tahun 1960-2009. Tercatat tiga orang Minangkabau yang menjadi Pastor Katolik dan Pendeta Protestan, lebih kurang 1000 orang yang menjadi Nasrani (Hendra, 2010:16:17). Berikut beberapa kutipan tentang fakta kristenisasi di Minangkabau: Kristenisasi juga terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Muaro Padang. Kemudian, murtadin asal Payakumbuh, Pendeta Akmal Sani, turut mendukung berdirinya persekutuan Kristen Sumbar dan menerbitkan Injil berbahasa Minang, baik di rantau maupun kampung halaman. Akmal Sani dalam khutbahnya mengatakan, kita harus menjadikan Minangkabau, Adat dan Syara Basandi Injil. Akmal tidak sendiri, ia dibantu Pendeta M Matheus yang mengaku jebolan Tebu Ireng, Pendeta Josias Lengkong (rektor Institut Teologi Kalimatullah), dan tokoh misionaris Ralp Charles Lewis. Mereka ternyata memiliki jaringan kerja dengan kelompok STT Apostolos dan kelompok Nehemia Christian Center. (http://www.sabili.co.id/indonesia-kita/fakta-dan-data-pemurtadan-dipadang) Pada tahun 1960, misi Baptis dari The Foreign Mission Board of The Southern Baptis Convention datang ke Sumbar. Mulanya, misionaris ini membuka kursus bahasa Inggris, dan poliklinik untuk membantu pengobatan masyarakat. Lama-lama mereka memaksakan kehendak untuk membangun gereja dan rumah sakit di Bukittinggi. Ulama setempat yang dipimpin Buya H Mansur Daud Dt Palimo Kayo melakukan perlawanan. (http://www.sabili.co.id/indonesia-kita/fakta-dan-data-pemurtadan-di-padang) Isu permutadan di Minangkabau menjadi tema utama dalam novel Dari Surau ke Gereja. Pergerakan Kristenisasi dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa adanya usaha dari agama Kristen (Protestan dan Katolik) untuk memperluas penyebaran agama mereka di Minangkabau. Pergerakan peyebarluasan agama Kristen tersebut menjadikan keresahan bagi umat Islam di Minangkabau, mereka menganggap Kristenisasi sebuah ancaman yang akan merusak agama dan adat Istiadat mereka. Sebaliknya, kaum cerdik pandai atau kaum intelektual Minangkabau menganggap bahwa upaya penyebaran agama lain bukanlah menjadi ancaman bagi umat Islam, melainkan hal yang wajar karena semua agama berhak untuk mengembangkan agama masing-masing. Hal yang diperlukan adalah membentengi umat Islam dengan menanamkan keimanan yang kuat sesuai dengan ajaran agama Islam hingga tidak mudah terpengaruh oleh agama lain. Sebagai tindakan preventif dari masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, beberapa kalangan intelektual (cerdik pandai) berinisiatif membentuk organisasi resmi sebagai wadah untuk pergerakan memperkuat benteng keimanan masyarakat Minangkabau melalui LSM-LSM
dan organisasi Islam. Hal ini berarti peran dari intelektual atau kaum cerdik pandai selalu ada di garda depan dalam masyarakat Minangkabau. Fenomena kristenisasi yang terjadi Minangkabau, masuk sebagai fakta dalam karya sastra sebagai fakta literer (Fact in Fiction). Novel Dari Surau ke Gereja karya Helmidjas Hendra, mengambarkan cerminan kehidupan beragama masyarakat Minangkabau, khususnya tentang adanya pergerakan krsitenisasi terhadap masyarakat Minangkabau. D. Kesimpulan Tiga persoalan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau, sudah ada yang bertanggung jawab, yaitu niniak mamak di mana ia bertanggung jawab atas persoalan adat, kemudian alim ulama yang bertanggung jawab atas persolan syari‟at di nagari, serta cadiak pandai yang kemudian akan membina kecakapan anak nagari. Semua hal tersebut merupakan pemberdayaan dalam kehidupan bermasyarakat, agar masyarakat Minangkabau tumbuh dan berkembang dengan kecakapannya yang memiliki pemahaman adat dan syari‟at, hal ini merupakan implementasi dari falsafah adat masyarakat minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” . Ketika ketiga unsur pipminan, perannya mulai berkurang dalam masyarakat Minangkabau, maka terjadi perkembangan yang tidak lagi sesuai dengan tatanan adat istiadat Minangkabau. Masyarakat mulai menentukan sendiri jalan dan pikirannya kearah yang mereka inginkan. Peran pemimpin menjadi mulai tidak diperhitungkan bahkan nyaris dilupakan, sehingga fungsi adat dan agama tidak lagi menjadi rel dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Budaya hidup sekuler, modernis, bahkan berujung dengan perpindahan agama terjadi di Minangkabau. Untuk mengembalikan dan membentengi masyarakat Minangkabau untuk kembali hidup dengan falsafah adat (agama dan adat Minang). Ketiga unsur harus merapatkan barisan sebagai pimpinan agar falsafah adat menjadi pedoman dan petunjuk bagi masyarakat untuk menjalani hidup sebagai manusia yang beradat dan beragama. Sebagai salah satu novel warna lokal Minangkabau, novel Dari Surau Ke Gereja karya Helimidjas Hendra merupakan sebuah kritikan pengarang terhadap kebudayaan Minangkabau terkait adanya peristiwa perpindahan agama yang terjadi di masyarakat Minangkabau yang memegang teguh adat dan agama Islam sebagaimana yang tertuang dalam falsafah adat bersendikan syara`, syara` bersendikan kitabullah. Fungsi tungku tigo sajarangan, tali tigo
sapilin (ninik-mamak, cerdik pandai, alim ulama) sebagai orang yang menjadi panutan dalam masyarakat Minangkabau. Faktor-faktor penyebab terjadinya perpindahan agama pada masyarakat Minangkabau disebabkan karena pemikiran dan cara pandang yang berbeda tentang adat Minangkabau yang menganut agama tunggal (Islam), melalui perkawinan, alasan ekonomi, dana danya kristenisasi. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan adat terjadinya
perpindahan keyakinan
tersebut disebabkan masih lemahnya peran tungku tigo sajarangan (ninik-mamak, cerdik pandai, alim ulama) dalam pembinaan agama, adat istiadat, dan bidang keilmuan. Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin. 2005. “Ulama Minangkabau: Peran yang Makin Menciut” dalam Menggugat Minangkabau (Ed. Herwandi dan Zaiyardam Zubir). Padang: Andalas University Press. Chamamah-Soeratno, Siti, 1990. ”Hakikat Penelitian Sastra”. Gatra No. 10/11/12. Edisi Khusus. _________.2001. “Penelitian Sastra: Tinjauan tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Metodologi Penelitian Sastra. (Ed. Jabrohim). Yogyakarta: Hanindita. Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud. Gazalba, Sidi. 1969. Konflik antara Adat, Agama, dan Pengaruh Barat, Seminar Islam di Minangkabau: Padang. Herwandi. 2005. “Menghadiakan Gala atau Manjua Adat” dalamMenggugat Minangkabau (Ed. Herwandi dan Zaiyardam Zubir). Padang: Andalas University Press. Hendra, Helmidjas. 2009. Dari Surau ke Gereja: Murtad di Ranah Minang. Jakarta: Pustaka Aweha. Iskandar, Harry Efendi.2005. “Korupsi Berjamaah di Rumah Gadang” dalam Menggugat Minangkabau (Ed. Herwandi dan Zaiyardam Zubir). Padang: Andalas University Press. Mahayana, Maman. S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Moleong. Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kulaitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Navis, A. A. 1999. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo. Ronidin. 2006. Minangkabau di Mata Anak Muda. Padang: Andalas University Press. Syarifuddin, Amir. 2003. Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah. Padang: PPIM. Swingewood, Allan. 1972. Introduction: Sosiology of Literature, dalam Swingewood and Diana Laurenson (Eds). The Sociology of Literature. London: Mac Gibbon 7 Kee Limited. Teeuw, A. 1997. Citra Manusia dalam Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.
Zulfadli, 2009. “Pergeseran Nilai Budaya Minangkabau dalam Novel Bulan Susut Karya Ismet Fanany”. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.