Perempuan di Balik Tirai - Kiki Ramadhani
K
epada siapa lagi aku menaruh pasrah, jika tiada sepatah yang kelam menjelajah.
Bibir-bibir kelu tertutup busuknya dusta dan pendosaan, menari-nari bersama kemenangan-kemenangan palsu. Jika aku adalah kamu, mungkin sudah kutinggalkan bibir bersama sepatu lusuh di dasar sungai. Ke mana lagi aku menitipkan rindu-rindu berhamburan, jika tiada satu pun hati layak bersinggah. Rasa-rasa bisu membeku di antara tujuan kehilangan, membongkar paksa penasaran meski balas tak pantas disebut sebanding, seperti hujan barang semenit ketika matahari sedang riang bersanding. Langkah kaki- jejak-jejak perempuan lelah membasuh perih. Mengusap karut-marut kehidupan. Menanam selasar masa depan pada beberapa malam-malam kelam.
Monokromatis - Priskilla Gerardine
A
ku menyukai balon-balon karena mereka bulat dan bisa melayang, bukan karena warna-warni yang dipromosikan si penjualnya. Aku menyukai lampu-lampu jalanan karena mereka mau berdiri sendiri menerangi jalanan, bukan karena cahayanya. Aku menyukai pohon Natal karena mekar daunnya membentuk segitiga, bukan karena segala aksesoris mengilap yang tergantung padanya. Aku menyukai pelangi karena menghangatkan tanah setelah hujan, bukan karena mejikuhibiniu-nya. Memahami dan menerima segala kondisi yang diberikan Tuhan padamu, akhirnya adalah jalan terbaik. Ada mereka yang melihat kelebihan orang lain sebagai kekurangannya. Ada pula yang menganggap sebaliknya. Aku, menerima kekuranganku sebagaimana hati ini mampu memahaminya. Untuk sebagian besar orang, mungkin buta warna bukan suatu hal yang besar. Bukan suatu masalah yang bisa mengganggu kehidupan si penderita. Tapi itu menurut sebagian besar orang. Bukan menurutku. Terlahir sebagai anak perempuan yang buta warna, membuatku memiliki dunia yang sederhana. Sangat 2
sederhana malah. Bagaimana tidak? Waktu kecil, anak-anak seumuranku merayakan ulang tahunnya dengan meriah. Ada yang rumahnya dipasangi dekorasi sedemikian rupa dengan warna kesukaan mereka. Ada pula yang memakai gaun-gaun putri kerajaan bak di dongeng sebelum tidur. Tidak sedikit pula yang menghadirkan badut ulang tahun yang membagikan hadiah-hadiah beragam bentuk dan warnanya. Tapi ayah dan ibu? Mereka hanya memberikanku kue ulang tahun blackforest dengan beberapa buah cherry dan lilin kecil di atasnya, serta selembar kartu ucapan selamat ulang tahun. Kenapa? Karena mereka tahu, sebanyak dan semeriah apa pun warna pada hidupku, aku hanya bisa melihat hitam dan putih. Monokromatis, adalah jenis buta warna yang melekat padaku. Kondisi buta warna ini diberikan oleh gen ayah. Namun, jenis buta warnanya tidak separah jenis yang kumiliki. Ia hanya tidak bisa membedakan warna merah dan hijau. Ibu memiliki penglihatan yang normal. Sehingga pada saat-saat tertentu bila ia ingin menceritakan padaku tentang sebuah warna, ia akan menceritakannya perlahan. Dan kadang akan mengulangnya beberapa kali. Aku punya memori yang cukup baik. Aku dapat menghafal nama warna yang dimiliki setiap benda yang ada di sudut rumahku. Dari warna pagar rumah, sampai warna tutup toples-toples kue di atas meja makan. Kurasa itu bisa dibilang salah satu kelebihan. Semakin besar, aku mulai mencoba menghafal warna-warna di jalanan. Di sekitarku, di wilayah yang sering aku lewati. Di lingkungan yang sehari-hari 3
menyapaku. Meskipun awalnya harus didampingi seseorang atau bertanya pada semua orang, aku tidak merasa malu. Karena aku juga ingin mengenal warna. Sebatas mengenalnya. Sesuatu yang kiranya tidak akan pernah bersahabat denganku. Kurasa sulit untuk masuk sebuah perguruan tinggi di mana jurusan-jurusannya mau menerima orang buta warna. Tapi bersyukurlah bahwa masih ada pelajaran yang bisa dicerna dengan indra lain, selain penglihatan-yangbagus. Aku mengambil jurusan musik di salah satu universitas seni di Ibukota. Bukan karena terpaksa oleh kondisi yang kumiliki, tapi memang karena aku juga mencintai segala unsur musik. Mungkin ibu sudah membiasakanku dari kecil untuk menyenangi hal itu karena ia punya alasan kuat untuk itu. Sudah hampir dua tahun menjalani setiap mata kuliah dan semuanya baik-baik saja. Sampai akhirnya aku ditugaskan untuk mengerjakan tugas lintas jurusan. Harusnya bukan masalah besar, bukan? Lagipula kata teman-teman, cukup banyak anak kampus yang mengetahuiku karena sering melihatku manggung bersama teman-teman lain di acara kampus. Tapi yang jadi masalah adalah aku terkenal sangat jutek. Sebenarnya bukan aku ingin menjadi terlihat jutek atau cuek pada orang lain, hanya saja, tidak semua orang bisa menghargai pertemanan sebagaimana harusnya, dan bukan karena merasa kasihan. Itu yang membuatku mengendurkan jarakku dari sekitar. Tugas harus dikumpulkan sebulan lagi dan sampai hari ini, aku bahkan belum mencari partner untuk 4
merancangkan apa yang mau kubuat. Sebetulnya tidak sulit untuk meminta seorang mahasiswa jurusan seni lain untuk membantuku, merancang ide, mengerjakannya bersama barang 3 minggu, lalu mengumpulkannya. Tapi mengapa untuk mengucapkan “Hi.” pada anak jurusan lain yang belum kukenal, susahnya bukan main? Setelah bergumul dengan ide-ide yang lalu-lalang di otak, aku memutuskan untuk mencari partner dari jurusan fotografi. Entahlah. Banyak yang sudah memilih partner dari jurusan film, grafis, teater, tari, dan yang lain. Kurasa jarang yang mencari dari jurusan yang kupilih. Atau mungkin aku yang malas pikir panjang. Nah, sekarang tinggal mencari manusianya. Duh, ini yang sulit. Kuputuskan untuk pergi ke kantin. Karena di situ pasti banyak mahasiswa yang nongkrong. “Hmm...” aku mulai berpikir sesampainya di kantin. Justru karena saking banyaknya, aku akan sulit menemukan manusia yang kucari. Mana kutahu jurusan mereka satu per satu. Akhirnya kutinggalkan saja kantin yang sesak itu. Sambil berjalan kembali ke gedung fakultasku, aku melihat pemandangan yang agak aneh. Ada anak lelaki sebayaku di tengah taman kampus sedang tiduran. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, tapi cukup baik untuk bisa melihat apa yang dilakukannya. Kepalanya dibantali oleh sebuah ransel. Di sebelah ranselnya ada tas kecil. Seperti tas kamera. Kakinya yang satu lurus menapaki tanah. Satunya tertekuk, sambil beberapa kali ujung 5
kakinya mengetuk-ngetuk tanah diayunkan lagu yang didengarnya mungkin. Yap, di telinganya dua cabang kabel headset menempel. Sebentar. Tas kamera? “Um. Hi,” sapaku sambil berdiri di sampingnya yang sedang tiduran. Oke. Ini rasanya kurang sopan, menghalangi cahaya untuk orang yang sedang berjemur. Dia melihatku dengan sedikit tatapan aneh. Namun sekian detik kemudian tersenyum dan membalasku, “Halo!” “Sorry ganggu…” aku memulai. “Oh, gapapa. Bentar-bentar,” lelaki ini melepaskan headset-nya lalu duduk sambil membereskan beberapa gadget yang tadi ditaruh di dadanya. “Jadi lo anak jurusan mana?” tanyanya sambil memasukkan barang-barang tersebut ke tas ransel. “Hah? Um. Musik,” aku menjawab dengan sedikit tergagap. Tanya balik gak, ya? Nanti kalau bukan jurusan fotografi, aku pasti langsung patah arang. “Oh? Seru gak sih jurusan musik?” pandangannya sekarang tertuju padaku, bukan pada tasnya lagi. “Dulu gue juga sempet pengin masuk jurusan itu tuh padahal.” “Terus? Kenapa gak masuk?” “Gue suka musik tapi gak bisa main musik. Hahahahaha!” sambil menjelaskan, akhirnya ia menyelesaikan kegiatannya membereskan tasnya. Duduknya kini lebih santai. Menghadap sedikit ke arahku. “Hmm.. Ya kan bisa belajar.”
6
“Gak tau deh. Gue suka musik, tapi kayaknya gak punya passion di situ. Dari dulu diajarin nyokap baca not balok apalah, gue gak bisa-bisa. Hahaha!” “Ooh…” aku mencerna sedikit curhatannya. Lalu bingung mau balas kalimatnya dengan ucapan apa. “Lah, ini gue jadi curcol gini. Lo tadi kenapa ganggu gue? Maksudnya mau ngapain?” (Oke. Um, langsung ke intinya aja apa gimana, ya? Duh, bingung nih gimana, ya…) “Hallo?” dia menunggu jawabanku. “Oh iya! Hmm jadi gue mau minta tolong lo buat bantuin tugas gue. Tugasnya itu lintas jurusan, jadi harus minta bantuan anak jurusan lain, kan. Nah gue punya konsep yang menurut gue bagusnya dikerjain sama anak fotografi. Nah, konsep gue gak ribet-ribet banget kok, cuma…” Tiba-tiba lelaki ini memotong, ”Weits! Lo prakatanya banyak banget. Konsep sih entar aja bahasnya. Nama lo aja gue belom tau. Gimana sih?” Mulutku yang sudah hampir berbusa, seketika hanya menganga dan baru sadar belum memperkenalkan diri sejak tadi, ”Oh iya. Korra,” sambil menjulurkan tangan. “Kaleb,” ia membalas sambutan tanganku. “Dear Korra, gue untungnya anak fotografi dan mau bantuin tugas lo. Karena sebenernya lo udah cukup pede, ya untuk nebak gue jurusan apa sebelum gue bilang. Tapi
7
masalahnya, gue 5 menit lagi ada kelas. Jadi gimana kalo gue hubungin lo lagi nanti?” “Hah? Oh. Oke.” “Nomor?” “Hah? Oh iya. Kosong delapan dua satu...” aku mengeja nomor hape-ku satu per satu. Tapi entah mengapa berbincang dengan orang ini membuatku agak… gugup dan deg-degan. Ah. Cuma perasaan mungkin. Tak lama kemudian, ia berdiri dan berlari kecil ke gedung fakultas Film dan Televisi. Tiba-tiba ia berbalik dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Aku agak kaget menangkap momen tersebut. Jarang ada anak lelaki di kampus yang seramah itu. Tiga hari setelah hari itu, dan sampai sekarang belum ada satu pun pesan asing masuk ke ponselku. Bodohnya, waktu itu aku juga tidak meminta nomornya. Tidak akan kulakukan bila harus pergi ke gedung seberang itu dan bertanya pada satu per satu mahasiswa “Lihat yang namanya Kaleb?” Lebih baik cari partner baru. Berarti sekarang waktu semakin sempit untuk mengerjakan tugas, dan aku harus kembali ke langkah pertama. Sambil berjalan menuju parkiran motor untuk pulang ke rumah, ponselku berbunyi. ‘1 pesan singkat’ terpampang di layar ponsel.
Hi, Korra. Jadi kapan mau mulai kerjain tugas? Sorry, dua hari ini gak masuk kampus dan lupa hubungin lo juga. Not delicious body. Hahaha. – Kaleb. 8
Aku cukup kaget membaca pesan itu. Sudah kulupakan untuk bekerja sama dengan orang ini karena kupikir dia tidak peduli, tapi ternyata dia hanya lupa.
kapan.
Hey, there. Sakit apa? Aku terserah kamu bisanya Aku membalas pesannya. Lalu beranjak pulang.
Setelah beberapa kali SMS-an, kami pun berhasil menentukan kapan akan memulai merancang konsep dan pengerjaan tugasku. Besok sore setelah aku selesai kelas, kami akan bertemu di kantin dan pergi ke Starbucks dekat rumahku. Katanya biar aku tidak pulang larut malam karena kampusku ke rumah jarak tempuhnya kurang lebih satu jam. Tapi bentuk perhatian itu, lucu juga, ya. “Oke, jadi lo cuma pengin foto close-up nih ya?” Kaleb mulai membincangkan konsep yang kuajukan. “Iya.” “Oke. Sekarang cari subjek-subjeknya aja dulu yang buat difoto. Lo mau gue yang nyari sendiri apa mau nemenin gue?” “Hmm...” “Logisnya sih, ini tugas lo… Jadi harusnya lo mau nemenin gue…” “Iya sih… Oke. Kapan mau cari orang-orangnya tinggal kabarin, ya nanti.”
9
“Siap, Bu. Terus, buat efek fotonya? Ada, gak? Apa gimana enaknya?” “Hitam putih,” aku refleks menjawab cepat. “Oh… Monokrom gitu, ya? Boleh.. boleh... Lucu juga ide lo. Emang suka warna netral, ya?” “Uhm… Ya gitu deh,” aku gugup menjawab. Jelas saja suka hitam-putih. Toh memang cuma warna itu yang aku lihat. Tapi, kurasa belum saatnya ia mengetahui bahwa aku buta warna. “Okaaay…” Kaleb pun menutup pembicaraan tentang tugasku, dan mulai membicarakan hal yang lain. Mungkin isi obrolan sore itu, tujuh puluh persen hal-hal tidak penting bukannya tugas. Tapi sore itu menyenangkan. Sungguh menyenangkan. Ini hari keempat kami berkeliling Jakarta untuk mencari orang-orang yang bisa dijadikan objek foto untuk tugasku. Di sela-sela yang kami lakukan ini, aku sadar aku merasa nyaman dengan lelaki muda ini. Sejauh ini dia menyenangkan. Leluconnya sederhana tapi dapat membuatku tertawa. Tingkah lakunya juga biasa saja, namun bisa membuatku merasa nyaman saat berjalan di sampingnya. Tapi aku tidak boleh jatuh hati. Tidak boleh. “Ra, nanti kalau sudah sampai rumahmu aku mau numpang ke toilet dulu, ya. Hehe,” sambil menyetir motor, Kaleb berbicara padaku. Dan ya, sejak dua hari lalu, kami sudah pakai aku-kamu. Karena entah kapan, aku sempat 10