PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM HUKUM PERKAWINAN
Dr. Wila Chandrawila Supriadi, S.H.
DIES NATALIS KE 46 UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG
TEKS ORATIO DIES NATALIS KE 46 UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM HUKUM PERKAWINAN
Yang terhormat,
::
..
Koordinator Kopertis ~i!ayah IV atau yang Illewakilinya;
..
Ketua Yayasan Universita.s K<,ltolik Parahyangan atau yang mewakiji, beserta pengurus Yayasan
yang lainnya; ..
Rektor/Ketua Senat Universitas Katolik Parahyangan, beserta an9gota Senat Universitas;
.. ...
Sf!llJwh Pejabat baik Struktural mau pun Fungsional di lingkungan Universitas KatoJik P
..
Para Undangan dan Hadirin sekalian.
Hadirin yang saya hormati, Merupakan suatu kehormatan yong besar bagi saya mendapat kesempatan yang dapat dikataka~ jarang terjadi, kalau tidak ffldU Jikatakan ,angka, tampil sebagai Orator pada perayaan peringatan Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan. Pada hari Senin tanggal4 Desember 2000 j.l., saya diuslJlb.n Clleh Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum u'ltuk me'lgisi acara Oratio Die;;. SRya berpikir, apabila saya tidak menerima tawaran itu, maka suatu ketika saya harus j.Jga tampil mengisi acorn ini, jadi saya dengan sertamerta menerima tawaran itu. Perayaan peringatan Dies Natalis Universitas diselenggarakan satu tahun satu kali, dan jumlah Fakultas di Unpar sampai sekarang ini ada delapan, kalau setiap fakultas mendaoat kesempa:an yang sama, maka Fakultcs Hukum tiap delapan tahun mendapat kesempatan satlJ kali menampilkan seorang crator. Baru pada waktu saya menulis tulisan ini, saya menyadari bahwa kesempatan Fakultas Huk'.Jm mengisi aeara Dies Natal'ls Universitas adalah satu kal·1 calam delapan tahun. Kalau saja terplkirkan pada waktu ditawarkan, dapat saja saya menolak mengisi aeara Dies Natalis Universitas sekarang ini den!=)an seribu satu alasan yang dapat saya kemukakan. Mengapa? Karena delapan tahun kemudian, pad" tClhun 2009, saya sudah bukan karyawan Unpar lagi, saya sudah lama pensiun, dalam arti tidak pcdu tampil sebagai orator. Hadirin yang terhormat, Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin membuat pengakuan, bahwa sembilan tahun yang lalu, sesaat setelah saya menyelesaikan Studi 53, yang saya takutkan pada waktu saya harus kembali ke Bandung, adalah kalau saY8 harus berdiri di mimbar inj sebagai Orator pada acaTE! peringatan Dies Natalis Universitas. Tahun demi tahun dapat saya lalui dengan selamat, saya seakan-akan terlupakan dan tidak pernah diusulkan untuk mengisi acara Oratio Dies, baik di Fakultas Hukum 1
mau pLn di Universitas, Kesempatan yang jarang pun di Fakultas Hukum, tahun 2000 yang lalu, drs; oleh orator yang bukan alumus Fakultas Hukum, jadi saya juga terhindar untuk tam pi! sebagai Or
2
Biasanya kekerasan psikis ini disepelekan oleh sebagian besar orang, bahkan hukum, termasuk aparat hukum, tjdak mengakui adanya kekerasan psikis. Lagi pula, hanya korban yang dapat merasakan atau menderita akibat kekerasan psikis, dan akibat yan~ diderita oleh korba1 adalah penderitaan psikis. yang jauh lebih sulit disembuhkan dib;mdingk;m dengan akibat kekerasan fisik. Kekerasan yang dilakukan ol~h orang lairl, karena satu dan lain hal, baik oleh orang yang dikenal atau pun yang tidak dikenal, masih dapat dimengerti, tetapi kekerasan yang terjadi di dalam perkawinan, adalah hal yang sangat sulit dimengerti. Tidak dapat dipungkiri, lembaga perkawinan yang suci dan sakral bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pada kenyataarnya dapat menimbulkan penderitaan baik fisik mau pun psikis terhadap perempuan Seringkali disiarkan, baik di medi8. cet
3
yang menentukan bahwa undang-undang memandang per
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing a9ama dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap pei:~awinan dicatat menwl.It peraturan perundang-undangan yang berlaku . .;.~
Penentuan ten1<3.ng sahnya perkawinan apabila dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaan, m~nibawa konsekuensi perkawinan yang tidak dilangsungkan menurut .masing-masing agama dan.kepercayaannya bukan perkawinan yang sah dan tidak dapat dicatatkan di kantor pencatat perkawina);"l. Bahwa perkawinan di Indonesia juga mengandung kaidah-kaidah non hui(um dapat dilihat dengan ditetapkannya kewajiban non hukum menjadi kewajiban hukum pada Pasai 33 UU No. 1174 yang bunyinya:
Suami Istr; wajib saling dnta mencinta;, hormat rnenghormati, setia dan memberikan bantuan baik Jahir dan batin yang saW kepada yang lainnya. Pt:ngdlurdrl Ji CildS leuill ut:rsifdl fJedOnldll r10r1 hukurn dibandingkan dengan pedornall
hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan yang bersifat non hukum mendapatkan tempat dalam UU No. 1174. Selai~ bersifat lahiriah dan batiniah, berdasarkan pada definisi perkawinan Pasall UU No. 1174, perkawinan juga lembaga spiritual, karena undang-undang menentukan setiap ikatan perkawinan bl?rdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa Dilihat dari uraian di atas, saya berpendapat bahwa wajar kiranya kalau para pihak yang terikat di dalam perkawinan yang sah, menghargai mitra kawinnya, bukan hanya secara lahiriah saja, melainkan juga secara batiniah dan spiritual. Perkawinan sebagai lembaga hukum, membawa konsekuensi bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai hak dan kewajiban yang timbal balik. Perkawinan sebagai lembaga non hukum, maka !embaga perkawinan meletakkan kewajiban bagi para pihak untuk saling m~nghormari, setia, tolong menolong. Perkawinan sebagai lembaga spiritual, membawa konse"kuensi bahwa suami istri dalam menjalankan kewajibannya untuk Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menghayati nilai dnta kasih. Hadirin
y~ng
mulia, Perkawinan bagi setiap bangsa mempunyai artj tersendiri, namun pada umumnya di tahun pertama abad ke 21 ini, yang dinamakan dengan perkawinan adalah sebuah lembaga di mana di d.'lleorang peremplJi'ln ni'ln seorang pri" llntuk mp.mbentllk keluarga (asas monogami). Tentunya terdapat beberapa negara yang mengakui adanya perkawinan antarp. sea rang pria dengan banyak perempuan (poligini) atau bentuk perkawinan antara seorang
4
perempua'l dengan banyc.k pria (poliandrie). Menurut kepustakaan perkawinan poliandri hanya terdapat di beberapa daerah di kaki Pegunungan Hif'lalaya. Pada waktu Undang-undang UU No. 1/74 tentarg Perkawinan dibentuk, para Pembentuk Undang undang bermaksud membentuk suatu undang-undang yang memberik"n fJeriind.Jngan hukulTl kepada oerempuan yang pada hukum perkawinan yang telah ad;;! scbclumnya, {Hukum Perkawinan Adat, Hukum Perkawinan Islam, Reglemen Perkawinan Campuran (ReglerrlentGemengde Huwelijkenl, Hukum Perkawinan di dalam KUHP, Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Huwelij< Ordonnantie Christen indonesier)}, berada pada kedudukan yang tidak mengunt.Jngkan dan yang dipersoalkan antara lain tent"ng perceraian dan perkawinan pollgini. yang dlakukan oleh suami sccara semena-mena. Ufluang-u'ld3Ilg No. 1/74 tentang Perkawinan melalui Pasal 3, meng<Jtur tentang as as perkawina"l yang diberlakukan di Indonesia yang berbunyi:
1. 2.
Pada asasnya da/am suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isrti. Seorang wanita hanYri n(),reh mempunyai seorang suami. Pengadilan da,Dat memberi Uin kepada seorang suami untuk beristri leb.:h dari seorang apabila dikehendaki oIe1l pihak-pihak yang bersangkutan.
Undang-undang No. 1174 menganut asas monogami dan pemberlakuan asas poligini dengan pembatasan-pembatasan tertentu, dimaksudkan agar tidak dilakukan secara semenamen a, dalam arti apabila dikehendaki olf!h pihak-pihak yang bersangkutan, seorang suzmi boleh melangsungkan perkawin
Da/am hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut da/am Pasal3 ayat 2 urdang-undang ini, maka ia wajib mengajlJkan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tin9ga/nya. 2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya rnernberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menja/anhm kewajibannya sebagai jstf!~' b. istri mFmdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. 1.
5
Hadirin yang terhormat, Ketiga alasan yang ditentukan di dalam Pasal4 ayat.2 UU No. 1/74, yang membolehkan scorong suomi.mcl.'lngsungkon pcrk
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana Pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari istrilistri-istri; b. adar;ya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak da/am perjanjian, atau apabila tidak ada kabar berita dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadi/an. Saya berpendapat biarkanlah perempuan (istri), baik yang mampu atau pun yang tidak mampu, -s'eperti dicantumkan dalam alasan Pasal4 ayat 2-, menggunakan haknya untuk memberi persetujuan seperti Pasal 5 ayat 1, tanpa perlu diatur tentang adanya hak pria (suami) yang mempunyai istri yang "tidak mampu", untuk boleh melangsungkan perkawinan kedua dan seterusnya. Dengan perkataan lain, dengan membiarkan dicantumnya ketentuan Pasal 4 ayat 2 di dalam Undang-undang tcntang pcrk
6
Hadirin yang terhormat, Perkawinan adalah lembaga hubungan, baik hubungan lahiriah, hubungan batiniah dan hubungan spiritual. Sebagaimana lazimnya lembaga hubungan, maka antara para pihak yang~ terikat di dalamnya mernpunyai hak dan kewajiban tertentu dan juga mempunyai kedudukan tertentu pula, Undcng-undang No. 1/74 tentang Perkawinan melalui Pasal 31 menetapkan bahwa: 1.
Hak dan kedudukan istri ada/ah seimbanq dengan hak dan kedudukan suami da/am kehidupan rumah tangga dan pergau/an hidup .bersama da/am masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk me,lakukan perbuatan hukum. 3. Suami ada/ah kepa/a ke/uarqa dan istri ibu rumah tanqqa. Pengertian seimbang dari Pasa! 31 ayat 1 UU No. 1174, adalah membedakan kedudukan antara suami dan istri, dalam arti tidak dalam kedudukan yang~. Arti kata seimbang yang diterapkan dalam hukum perlu diperdebatkan, sebab kata seimbang bukan kata yang biasa dipakai oleh hukum, hukum biasanya menggunakan kata sama atau timbal balik. Pengertian seimbang sulit dijelaskan dalam hukum, dalam arti ukuran seimbang itu apa? Sesuatu yang tidRk dRJ"lRt (sulit) diukur di dalam hukum m~nyebabkan ketidakpastian, sebab scimbang itu dapat diartikan sebagai: tidak sarna dan juga tidak tidak sarna. Pasal33 Rancangan Undang-undang (RUU) tahun 1973 yang diajukan oleh remerintah cq Presiden pada tanggal 31 Juli tahun 1973, yang kemudian menjadi Pasal31 UU No. 1(74, menetapkan: 1.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami da/am
2.
kehidupan rumah tangga dan pergau/an hidup bersama da/am masyarakat; Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 1
Penjelasan Pasal 33 RUU tentang Perkawinan memberikan penjelasan atas ayat 1, menyatakan: Da/am masyarakat Indonesia yang berdasarkan Paneasi/a, dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manus{a, maka kedudukan suami istri da/am masyarakat harus berdasarkan persamaan hak dan persamaan kewajiban.2
Direktorat JenderalI lukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman. Sekitar Pembentukan Undang-undanq Perkawinan beserta peraturan pelahanaannya. Jakarta, 1975, hal.H. 2
Ibid., h,,137.
7
Perkembangan selanjutnya sehublJngan ada masukan cari seorang anggota OPR dari Fr aksi Persatuan Pembangunan yang berpendopat:
.Selanjutnya, keseimbangan hak dan keaudukan da/am rumah tangga dapat menimbu/kan a,"-ademisch debar, yang telah ber/angsur:g di mana-mana semenjak ber2tus tahun, yang akhirnya akan berkeslJdahan, bahwa tidakrnungkin da/am sebuah rumah tan9f:ja ada dua nakhoa'a. Salah ~qorang harus menjadi pemimpir"lnya. Sudah menjani pendapat umum, bahwa suami dianggap layak rmmjadi kepa/a keluarga, karena ia berkew<1jib;;rn mendri nafkah. PenentuYn ini hanya merupakan penunjukkan fungsionil, tanpa merrgurangi hak dan kedudukan ist.i. 3 . Kemudian pada draft perbaikan yang diajukan oleh pemerint,qh, Pasal33 RUU itu mengaiami perubahan derJ9<:l1l mendap'atkan tambahan 1 ayat . menjodi Pasal 31 eyat 3, yaitu dengan ditetapkannya suami sebagai kepala kelucrga, karena adanya pendapat bahwd perkcwinan adalah sebuah kapal dan di dalam sebuah kapal tidak boleh ada dua nakhoda. Pendapat ini sudah sejak lama sekali ditinggalkan di negeri Belanda dari mana pendapat iLU oerasal. Pendapat yang usang itu, bahkan diter2pkan di Indcnesia dalam UU No. 1/74 melalui Pa~d131 ayat 3. Konsekuensi penentuan hukum bnhwLl suami adalah kepala keluarga, menyebabkar adanya kedudukan yang le:Jih tinggi dari suami sebagai kepala keluarga, dalam arti ke8dnon seimbang yang ditulis dalam Pasal 31 ayat 1 adalah kedudukan yang tidak sama Impllkasi dari keten:uc:n yang menentukan suami adalah kepala keluarga menyebabkan istri berada di bawah <edurllJ·
3
Ibid hall11
Hadirin yang terhormat, Setiap perkawinan suatu ketika pasti akan putus, putus karena kematian atau putus karena perceraian. Putusnya perkawinan yang paling sering terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, sehingga dengan tidak adanya salah satu oihak maka perkawinan putus. Seperti disebutkan di atas, terdapat pula keadaan di mana perkawinan putus karena perceraian. Pada keadaan ini, maka akibat dari putusnya perkawinan adalah tidak adanya kewajiban untuk tinggal bersama dan juga tidak terbentuk lagi harta bersama. Meski pun perkawinan putus karena perceraian, masih terdapat beberapa kewajiban yang tidak hUang, seperti antara Jain kewajiban untuk memelihara dan mendic:lik <'In<'lk y
9
Selain tentang perbedaan dalam pengajua:1 gugatan, terdapat pula satu ketentuan dalam Pasal19 pp No. 9/75 yang menyebabkan kekerasan dalam Hukum Perkawinan yang sedikit telah dh;inggung di .atas, yaitu tentang dasar perceraia"n ayat e, yang bunyinya: •Salah satu pihak menderita cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dopot menjalankan • kewajiban sebagai suami/istri.
Ketentuan ini m~~berikan peluang kepada suami untuk menceraikan istrinya yang tidak mampu menjalankan k€~)ibannya. Hadirifl ya:19 terhorlllat, Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang juga di Indonesia sarnpdi :So at ini masih menjadi perbedaaan 6endapat adalah tentang perkosaan dalam perkawinan. Sebagian anggota DPR RI (pada waktu rancangan tentang akan dimasukkannya perkosaan dalam perkawinan di dalam Hukum "Pidanal berpendapat bahwa di dalam perkawinan tidak ada perkosaan, se~ab aeanya kewajiban (non hukum -ag<:lma dan budaya-l dad istri untuk melayani suaminya dalam bidang seksual. t"endapat dari beberapa ang9'ot2 DPR RI yang terhormat itu, menimb~lkan penafsiran sebagai berikut karena adanya kewa:iban (non hukum) dari istri untuk melayani. suaml kapan saja, apabila istri tidak memenuhi kewajiban (non hukum) melayani kehendak suami, maka memberikan hak (hukuml '<epada suami untuk memperkma istrinya. Dengan perkataan lain, kewajiban (non hukum) istri melayani suaTY'i, menjadi hak (hukuml suami untuk dilayani, jadi tidak ada ka1a poofkosaa, dalam perkaw:nan. Ironis dan naif sekali para pria ini, kalau bersembunyi pada ketentuan nor hukum tentang adanya kewajiban dari i5tri untL:k melayani suami dan memberikan pembenaran adanya hak (hukum) kepada suami untuk memperko5a istri yang tidak bersedia melayani kehendaknya. Pada kenyataannya, sampai saat ini jangankan mengadukan pemerkosaan suami terhadap islri ke pengadilan, memb:carakan deng<:ln pihnk lain saja jarang terjadi. Kalau pun diatur di dalam hukum, maka beberapa pertimbangan yang rmmyebabkan istri korban perkosaan suami, tidak mau mengaj'Jkan pengaduan, antara lain: 'II)
.. ..
mengadukan suami ke polisi/pihak ketiga, sama saja dengan membuka aib keluarga; menjalani proses pembuatan berita acara pengaduan telah diperkma oleh suami di kepolisian dengan mengulang menceritakan kejadian bukan perbu<:lt
Memberikan peng",kuan bahwa ada perkosaan dalam perkawinan, setidaknya telah memperhatikan hak asasi perempuan yaitu hak untuk menentukan diri sendiri dalam bidang hubungan suami istri. Karena setiap pelanggaran atas hak asasi adalah perbualan rne\anggar hukum yang dapat dikenakan sal!ksi pidana.
10
Selain itu, dengan diaturnya hal itu di dalam Hukum Pidana berarti memberikan peringatan kepadCi suami, bCihwa :Jukan kewajiban (hukum) istri melayani suami, tetapi ada hak istri untuk menentukan diri sendiri. Dapat ditambahkan pula, bahwa dalam hubungan suami istri, perlu diakui adanya kebebasan istri untuk menentukan menyaTakan kehendak. Saya berpendapat, perkosaan di dalam perkawinan perlu diatur di dalam perundangundangan, sebab dengan tidak diaturnya tentang perkosaan dalam pe~kawinan, maka terjadi kekerasan psikis terhadap perempuan, menimbulkan ketaku~an kepada perempuan untuk berani menolak melayani kehenda.< suami, sebab kalau tidak dilayani suami dapat saja memaksakan kehencak. dan tanpa ada sanksi. Hallainnya, karena tidak diakuinya perkosaan dalam perkawinan, maka istri yang diperkosa tidak dapat mellgadukan terjadi perkosaan itu ke pihak yang berwenang, paling ja:Jh hanya dapat diadukan sebagai penganiayaan. Pengaduan telah terjadi penganiayaan pun sulit dilaksanakan karena, biasanya pihak kepolisian enggan untuk meninda
•
•
"
")
Bahwa bukan hanya individu yang dapat menyebabk2n kekerasan terha.dap perempuan, peraturan perundang-undc:ngan pun dapat menyebabkan kekerasan secara psikis terhadap perempuan di dalam perkawinan, dalam arti menimbLlkan penderitaan psikis. Bahwa dengan ditetapkannya ketidakmampuan istri dalam Pasal 4 Ayat 2 UU No. 1/74 sebagai syarat diperbolehkannya suami beristri lebih dari satu, telah terjadi kekeras2n secara psikis terhadap perempuan. Bahwa Pasal31 UU No. 1/74 menetapkan kedudukan suami istri seimbang, dengan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, te:ah menyebabkan terjadinya kekerasan secara psikis terhadap perempuan. Bahwa memberikan/mengakLi hak istimewa suami yang beragama Islam melalui Pasal14 PP No. 9/75 dalam proses perceraian, telah mengakibatkan kekerasan secara 'psikis terhadap perempuan. Gahwa dengan tidak akan diatur:nya perkosaan dalam perkawinan di dalam Hukum Pidana telah mengakibatkan terjadinya kekerasan secara psikis terhadap perempua'l.
Agar kekerasan psikis terhadap perempuan yang undangan dapat hapus, maka disarankan ..
te~adi
disebabkan oleh perundangan-
Agar dilakukan penghapusan, perubaharl, perlarnbahan beberapa pasal dalarn perundanganundangon pada Jmumnya, khususnya dalam perundang-undangan perkawinan sepertl antara lain Pasal4 ayat2, Pasal31 ayat 1 dan 3 UU No. 1/74, Pasal14 sid 18 PP No. 9/75, Pasal19 ayat e PP No. 9/75; 11
... ..
...
agar diakui tentang adanya perkosaan eli dalam perkawinan dan perlu diatur tentang dapat dipidananya pelaku perkosaan di dalam pcrkawinan; agar Menteri Pemberdayaan Perempuan, mernberikan perhatian kepada akar dari permasalahan terjPd'rnya kekerasan psikis dalam perkawinan yang diakibatkan oleh peraturan itu sendiri, dan sege~a mengajukan usul perubahan; agar untukjangka parjang, LJU No.1174dan PP No. 9175 periu aiperbaiki dan diganti dengan peraturan perundnng:.l:Indangan yang baru yang lebih baik dengan memperhatikan kepenfngan perempuan, karena oangsa akdfllllenjadi besar dan sehat, kalau perempuan yang mcmcgang peranan penting dal~h1 mendidk generasi muda tidak berada dalam keadaan menderiLd baik fisik mau pun psikis. .
H<Jdirin y2.ng saya muliakan, Pdda akhir dari orati~ ini, terima kasih saya ucapkan atas pcrhat:an dan kesabaran yang diberikan dengan mendengarkan papa ran yang baru saja saya bacakan. Dengelf'. Puji dan syukur atas kasihNya, saya tutup Orasi Dies Universitas Katolik Parahyangan ke 46 ini dengan kalirrat' S2.ya telah mengemuk2.kan pendapat saya. Salam sejah:era. Bandung, 20 Januari 2001 Dr. Wila Chandrawila Supriadi, S.H.
CURRICULUM VITAE
Nama Lahir
Wila Chandrawila Supriadi Jatinegara, 22 September 1944.
Riwayat pendidikan ,. Sekolah Menengah Ala::; di SMAK Pintu Air 11, Jakarta tahun 1963. •
Kuliah di Fakultas Tehnik Sipil Unpar dari tahun 1963-1967.
•
Kuliah di Fakultas L-i':lkum Un par angkatan 1979, di wisucla pada bulan April "1985.
,.
Memperclalam Hukum Kesehatan di Negeri Belanda dari Juli-Desember 1985 di bawah Bimbingan Prof. Mr. W.B. van clef Mijn. 1987 melanjutkan Studi 53 di Erasmus Universiteit Rotterdam dan selesai November 1991, di bawah promotor Prof. Or. G.P. Hoefnagels. Mef)ulis desertasi tentang Huku!"!, Per~awinan
•
Belanda dan Indonesia. Riwayat pekerjaan di Unpar • Bekerja di Fakultas Hukum Unpar sejak 1 Febuari -1986 sompni scknrang. •
1992 - 1995
..
1995 -1997
Kepala Pusat 5tudi Hukum Koordinator Bagian Hukum dan masyarakat
•
1997 - 2000 2000-
Kepala UPT Perpustakaan 5ekretaris ProgrClm Magister dan Doktor I1mu Hukum
~
Riwayat Organisasi • •
1986 - 1989 Pengurus Perhuki cabang Bandung 1993 -1996 Pengurus Perhuki cabang Bandung
•
1996 -
Wakil Ketua Perhuki cabang Bandung
Pengajaran ..
Mengajar di 51 dan 53 Unpar
• ..
Mengajar di 5ekolah Ting9i IImu Administrasi LAN Mengajar di S1 Universitas Kristen Maranatha
Penelitian dan penulisan •
Melakukan beberapa Penelitian Hukum baik normatif mau pun sosiologis, dan aktif menulis artikel di surat kabar dan majalah hukum dalam dan luar negeri.