PEREMPUAN ADALAH AURAT (Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Umi Faridhoh NIM. 1112034000144
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
ABSTRAK
Umi Faridhoh Perempuan adalah Aurat, (Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis). Dalam agama Islam, perdebatan tentang aurat telah ramai dibicarakan oleh para ulama, aurat yang berarti celah dan aib merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk menutupnya supaya tidak menimbulkan rasa malu pada diri seorang itu sendiri. Para ulama telah membatasi apa saja yang menjadi aurat bagi seorang perempuan dan laki-laki, sehingga sudah semestinya yang menjadi aurat bagi dirinya wajib ditutup. Permasalahan mengenai aurat sejak dahulu hingga saat ini, tidak pernah lepas pada perempuan, dan menjadi perdebatan bagi para ulama mengenai batasan aurat perempuan. Mengapa hanya pada diri perempuan yang menjadi perdebatan?. Zaman pra Islam, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan malapetaka untuk kaum laki-laki bahkan disebut sebagai penggoda, namun setelah Islam datang, perempuan mempunyai posisi dan dihormati keberadaannya yaitu sebagai pendamping hidup seorang laki-laki. Namun, disamping itu ada hadis Rasulullah yang bermakna perempuan adalah aurat apabila dia keluar maka setan akan mengawasinya…, hadis ini apabila dipahami secara harfiyah akan membatasi gerak dan aktivitas kaum perempuan di luar rumah terutama di ranah publik. Karena itu perlu dilakukan kajian ulang terhadap hadis tersebut, sehingga tidak merugikan pihak perempuan. Penelitian ini diawali dengan melakukan takhrij pada hadis tersebut, setelah hadis-hadis dengan makna yang sama ditemukan, kemudian analisis sanad dan matn dilakukan untuk mengetahui keotentikan hadis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Adapun hasil dari penelitian tersebut, yaitu kualitas hadis “perempuan adalah aurat” hasan dan hadis ini termasuk pada kategori gharib karena tidak memiliki syawahid di kalangan sahabat. Sedangkan pada kritik matn, penelitian menggunakan metode pemahaman tela’ah ma’āni alhadīs yang dilihat dari maksud dan tujuan hadis. Adapun hasilnya yang dimaksud hadis tersebut yaitu bukan perempuan dilarang keluar rumah dan melalukan aktivitas di luar rumah, tetapi perempuan harus menjaga kesopanan serta menutup aurat ketika hendak berada di luar rumah.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmānirrahīm Assalāmu’alaikum Warahmatullāhi Wabarakātuh Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam yang telah memberikan kenikmatan jasmani dan rohani, serta rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini berkat pertolongan-Nya. Shalawat dan salam saya haturkan kepada idola umat islam, manusia paling sempurna, yakni baginda Nabi Muhammad Saw, beliaulah Nabi akhir zaman, yang telah memberikan cahaya dan tuntunan petunjuk jalan yang lurus kepada umat islam untuk mendapatkan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat, serta doa untuk keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan untuk menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui upaya yang melelahkan dan berbagai kesulitan yang saya hadapi dengan hidayah dan pertolongan-Nya akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi ini, penulisan skripsi ini juga terasa sulit bagi saya sendiri jikalau tanpa bantuan, dukungan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih kepada kedua orang tua saya ayahanda Ajid Rahmat dan ibunda Siti Aisyah yang telah ii
bersabar dalam mengasuh, mendidik, memberikan kasih sayang dan selalu ikhlas mendoakan serta memberikan dukungan moril maupun materil selama saya menuntut ilmu hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan pendidikan sampai jenjang S-1 ini. Semoga Allah Swt mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan kesalahan serta memberikan kasih sayang-Nya dan menempatkan derajat keduanya pada derajat yang tinggi. Aamiin. Selanjutnya saya menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada: 1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansyur, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Ketua Jurusan Tafsir Hadis) dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis). 2. Bapak Dr. Isa HA Salam, MA., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan
arahan,
dan
meluangkan
waktunya
untuk
membimbing saya dalam penulisan skripsi ini. 3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis yang telah mendidik, memberikan ilmu, pengalaman serta pengarahan kepada saya selama masa perkuliahan. 4. Terimakasi kepada Team Panitia Ujian Skripsi, Ibu. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Ketua Sidang), Bpk. Najib, S.Th.I (Sekretaris Sidang), Ibu. Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag (Dosen Penguji I), dan Dr. Harun Rasyid, MA (Dosen Penguji II), yang telah memberikan koreksian iii
terhadap skripsi penulis supaya menjadi lebih baik, dan memberikan pengalaman yang akan selalu penulis ingat pada hari itu. 5. Segenap pimpinan dan karyawan, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah melayani dan menyediakan buku-buku yang dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Pimpinan pondok Pesantren Al-Inayah Cibeber-Cilegon Bpk. KH. Abdul Rozak Junaedi, S.Pd.I., dan para Ustadz-Ustadzah, yang telah banyak memberikan ilmu sehingga saya bisa melanjutkan study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Untuk kakaku tercinta Ahmad Fadil Yaqin yang telah banyak memberikan motivasi dan semangat dalam berbagai kesulitan dan kebingungan yang saya hadapi. Dan juga adik-adikku tercinta Jalil Efendi dan Arif Efendi yang telah memberikan semangat serta doa untuk teteh. 8. Seluruh teman-teman seperjuangan TH angkatan 2012 TH A, TH B, TH C, TH D, dan TH E, dan kepada Neng Ayu, Farhanah, Fatkhiyah, Siti Umi, Lina, Yuli, Inayah, Kiki, Suherman, Anisul Fahmi, Abil Ash, Rudini, Arif Hidayat, serta teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Dan kepada Ban Mobil (Hana, Mba Ima, Yayah, dan Khalimah) yang telah menemani berjuang disaat susah dan senang selama kuliah. Semoga kita semua tetap dalam ikatan silaturrahmi dan jalinan persahabatan yang indah.
iv
9. Teman-teman KKN INFIJAR 2015 (Anshar, Aan, Kang Anis, Barkah, Iqbal, Diyas, Topik, Puteri, Iin, Mulki, Imas, Teh Ayu, Isa, Tika) terima kasih atas kebersamaan dan warna baru dalam perjalanan kuliah serta pengabdian di masyarakat, semoga selama kita KKN menjadi jembatan ukhuwah antara kita di masa yang akan datang. 10. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Cilegon (KMC Jakarta) yang telah sama-sama berjuang menuntut ilmu dari daerah sampai ke Ibu Kota, terima kasih atas pengalaman dan kebersamaan yang terjalin selama saya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Serta teman-teman semua yang sudah bisa menghadiri sidang skripsi, menemani di saat gelisah dan bahagiaku. Terkhusus kepada Aping dan Nanik sebagai sesama penghuni rumah kuning yang telah memberikan kebahagiaan baru di kosan meski kita baru beberapa bulan kenal..hehehe Semoga kebaikan dan pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk saya serta bantuan untuk menyelasikan skripsi ini, dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang lebih. Akhirnya saya sebagai penulis skripsi ini berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn. Ciputat, 04 Februari 2016
Umi Faridhoh
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vi PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Permasalahan............................................................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat ................................................................ 11 D. Kajian Pustaka......................................................................... 12 E. Metodologi Penelitian ............................................................. 16 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
BAB II
DISKURSUS SEPUTAR AURAT PEREMPUAN A. Definisi Kata Perempuan ........................................................ 20 B. Definisi Kata Aurat ................................................................. 22 C. Perdebatan Seputar Aurat Perempuan ..................................... 23 D. Batas-batas aurat perempuan................................................... 26 1. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Allah .................... 27 2. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Mahram ............... 28 3. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Bukan Mahram .... 30 4. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Perempuan Muslimah dan Non Muslimah........................................... 31 E. Hukum menutup aurat ............................................................. 33
BAB III
OTENTISITAS HADIS “PEREMPUAN ADALAH AURAT" A. Teks Hadis dan Terjemahnya .................................................. 37 B. Takhrij Hadis ........................................................................... 37 C. I’tibar Sanad ............................................................................ 41 D. Analisis Sanad Hadis .............................................................. 42 E. Kesimpulan (Natijah) .............................................................. 53
BAB IV
KONTRADIKSI ANTARA PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS PEREMPUAN ADALAH AURAT A. Afirmasi Pemahaman Tekstual Hadis “Perempuan Adalah Aurat” ...................................................................................... 57 B. Penolakan Terhadap Hadis “Perempuan Adalah Aurat” Melalui Pemahaman Kontekstual. ........................................................ 63 vi
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 74 B. Saran-saran .............................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78 LAMPIRAN……………………………………………………………………..82
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC). A. Konsonan Tunggal dan Vokal Arab
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض َا َإِي
Indonesia A
Inggris A
Arab
B
B
T
T
Ts
Th
J
J
Ḥ
Ḥ
Kh
Kh
D
D
Dz
Dh
R
R
Z
Z
S
S
Sy
Sh
Ṣ
Ṣ
Ḍ
Ḍ
Ā
Vocal Panjang Ā َأُو
Ī
Ī
ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي ة
Indonesia Ṭ
Inggris Ṭ
Ẓ
Ẓ
‘
ʻ
Gh
Gh
F
F
Q
Q
K
K
L
L
M
M
N
N
W
W
H
H
’
’
Y
Y
H
H
Ū
Ū
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah. Mu’assasah
مؤسسة متعددة
Muta‘addidah
viii
C. Tā’ Marbūṭah.
صالة مرأةَالزمان
ṣalāh
Bila dimatikan
Mir’āt al-zamān
Bila Iḍāfah
D. Singkatan. Swt
: Subḥānahū wa ta‘ālā
Saw
: Ṣallā Allāhu ‘alayh wa sallam
M
: Masehi
H
: Hijriyah
QS
: Qur’ān Surat
HR
: Hadis Riwayat
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini studi tentang perempuan semakin ramai dibicarakan. Banyak para intelektual, ilmuan, dan para ulama yang tertarik untuk mengkaji mengenai masalah perempuan, bahkan media cetak maupun elektronik yang mempublikasikan isu ini. Diskusi-diskusipun sering dilakukan baik yang bertaraf nasional maupun internasional untuk mendiskusikan permasalahan yang berhubungan dengan perempuan. Sebelum Agama Islam datang ke dunia, kaum perempuan tidak mempunyai posisi dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan kaum perempuan pada saat itu hanya sebagai simbol penderitaan kaum laki-laki. Demikian juga perempuan dalam konsep Kristen, dianggap sebagai “penggoda” yang harus bertanggung jawab terhadap jatuhnya martabat Adam. Pada zaman Yunani kuno, perempuan dianggap sebagai sumber bencana dan malapetaka sehingga kaum perempuan dianggap layak hanya menjadi “makhluk kedua” yang statusnya berada dibawah laki-laki.1 Dalam kebudayaan Romawi wanita diperhatikan, namun perhatian yang diberikan kepada wanita hanya karena wanita itu dibutuhkan untuk bersenang-senang dan untuk memancing kewibawaan di kalangan masyarakat.2
1 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. viii. 2 Abbas Mahmoud al-‘Aqqad, Wanita Dalam Al-Qur’an. Penerjemah Chadidjah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 82.
1
2
Setelah Agama Islam ditetapkan sebagai Agama bagi umat manusia dan Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul pembawa risalah untuk umat manusia. Pandangan kepada wanita sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi pandangan yang positif. Pandangan melecehkan menjadi pandangan yang hormat. Islam juga menganggap bahwa wanita adalah pasangan laki-laki dalam mengarungi hidup ini.3 Islam menawarkan misi sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamīn (memberikan kerahmatan bagi seluruh alam). Para mufasir tidak ada yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini. Tetapi problem muncul ketika para mufassir (ulama) memahami ayat-ayat lain dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw. Begitu juga dengan hadits-hadits yang berhubungan dengan kaum perempuan. Mayoritas memahami ayat-ayat ataupun hadis-hadis dengan perspektif “kelelakiannya” yang membuat wanita berada pada kelompok second class.
Penciptaan wanita telah banyak dibahas oleh para ulama dalam QS. alNisā’ ayat 14 Ibn Katsir memberikan penjelasan bahwa wanita adalah sebagai mahluk kedua yang diciptakan dari tubuh (tulang rusuk) Adam bagian belakang sebelah kiri.5 Dalam pandangan yang seperti ini banyak kalangan yang melihat
3
Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustala al-Kautsar, 2003), h. Viii. 4 َّ اسَاتَّقُواَربَّ ُك ُم َالَّذِيَخلق ُكمَمِ نَنف ٍسَواحِ دةٍَوخلقَمِ نهاَزوجهاَوب َّ ُِيراَونِسا ًءَواتَّق َواََّللاَالَّذِي ً َاَرجاالَكث ُ َّياَأيُّهاَالن ِ ث َمِ ن ُهم َّ تساءلُونَ ِبهَِواألرحامَ ِإ َّن. Artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu ََّللاَكانَعلي ُكمََرقِيبًا yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. 5 Muhammad Nasib al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 646.
3
wanita rendah dan berada dibawah laki-laki derajatnya. Kemudian, terkadang wanita juga sering tidak sadar telah memperlihatkan auratnya di depan kaum lakilaki dan bertingkah laku yang membuat perhatian kaum laki-laki tertuju kepada dirinya. Sehingga dibalik semua itu bisa saja menimbulkan aib dan kejelekan pada diri perempuan.
Masalah pelik mengenai aurat perempuan pada zaman modern ini memang tidak bisa dihindarkan. Jika ditelusuri dalam sejarah, pada zaman dahulu di tanah Arab sebelum turunnya Agama Islam dan diutusnya Nabi Muhammad Saw, masalah aurat ini belum muncul karena masyarakat Arab kala itu masih jahiliyah. Perempuan di zaman yang disebut “Zaman Jahiliyah” bebas namun tidak dalam arti yang sering terlihat pada zaman sekarang. Melainkan bebas yang mempunyai arti yaitu dalam pergaulan mereka tidak terpisah atau dibatasi oleh ketentuan dan norma Agama.6
Berkenaan dengan pembahasan aurat di atas, kata aurat diartikan secara bahasa berarti malu, aib dan buruk. Kata “aurat” berasal dari kata ‘’‘awira” ()عور, artinya hilang perasaan. Jika makna ‘awira dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya (buta).7 Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan dan mengecewakan. Dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang tidak
6 7
A.N. Rani, Jilbab itu Wajib! (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1996), h. 4-5. Ibnu Manzur, Lisān al-‘Arab (al-Qahira: Dar al-Ma’arif, t.t, jilid 5, h. 3164-3167.
4
patut kelihatan di hadapan orang lain, kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak.8
Disamping pembahasan tentang masalah aurat di atas, kaum perempuan terkadang tidak ingin dibatasi dalam berpenampilan dan berprilaku, mereka menginginkan dirinya terlihat lebih cantik di mata orang lain terutama di mata kaum laki-laki. Banyak fashion dan pakaian-pakaian yang membuat perempuan menjadi tampil lebih cantik namun tidak memperhatikan bahan yang dipakai, bahkan ada pula pakaian yang tertutup tapi masih memperlihatkan bentuk lekuk tubuh dan menerawang dipakai oleh perempuan. Yang dianjurkan dalam Islam, sebenarnya adalah pakaian yang bisa menutupi aurat dirinya, yaitu pakaian yang tidak tipis dan tidak terlihat lekuk tubuhnya. Karena hal-hal tersebut sangat rawan bagi kaum perempuan, dan sesuatu yang rawan itu dinamakan aurat. Kewajiban menghindari hal-hal yang rawan tesebut melahirkan adanya pembatasan tentang aurat wanita dan pria. Hal itu juga menimbulkan adanya batasan dalam pandangan antara pria dan wanita atau ketika sedang berbicara satu sama lain.
Pada permasalahan tentang batasan aurat perempuan yang telah banyak dibahas oleh para Ulama, batas aurat perempuan dengan lelaki asing (ajnabi) adalah seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalam riwayat Aisyah RA dijelaskan di sana bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw dengan memakai pakaian tipis lalu Nabi berpaling darinya seraya bersabda:
9
8
ىَمنهاَ ِإ َّالَهذاَوهذا ِ ِإ َّنَالمرأةَ ِإذاَبلغتَِالم ِحيضَلمَتصلُحَأنَيُر
M. Quraish Shihab, Jilbab:pakaian wanita muslimah ( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 58.
5
“…sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau).” Banyak ulama yang berpendapat seperti halnya Abū Dāwud10 mengatakan bahwa hadis ini bernilai ḍa’īf11. Namun hadis ḍa’īf juga dapat diamalkan secara mutlak baik dalam faḍāil al-a’māl atau dalam masalah hukum (ahkām), pendapat Abū Dāwud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadis ḍa’īf lebih kuat daripada pendapat para ulama.12 Adapun dalam ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa jika perempuan hendak keluar maka harus mengenakan pakaian luar yaitu kerudung (khimar) dan jilbab, firman Allah Swt:
ََزينت ُه َّن َ ِإال ِ وقُل َ ِلل َُمؤ ِمنا ُ ت َيغ ِ ضض ن ِ ار ِه َّن َويحفظن َفُ ُروج ُه َّن َوالَيُبدِين ِ َمن َأبص ….13ن ََّ َمنهاَوليض ِربنَ ِب ُخ ُم ِر ِه َّنَعلىَ ُجيُوبِ ِه ِ ماَظهر “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” Kewajiban memakai jilbab sebagai penutup aurat pun dijelaskan dalam alQur’an, Firman Allah Swt:
Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’ats, Sunan Abī Dāwud (Beirut: al-Maktabah al‘Aṣriyyah, tt), juz 6, nomor hadis 4104, h. 62. 10 Alasannya, karena Abū Dāwud yang telah meriwayatkan hadis inipun menilai mursal (hadis yang karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni di kalangan sahabat atau tabi’in. Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 169), karena Khālid ibn Durayk yang dalam sanad-nya menyebut nama istri Nabi yaitu ‘Ā’isyah Ra sebagai sumbernya, namun tidak mengenal ‘Ā’isyah secara pribadi, serta tidak pula semasa dengan beliau. 11 Hadis ḍa’īf adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ dan syarat-syarat hadis ḥasan. Namun bisa dijadikan 12 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 165 13 QS. Al-Nūr ayat 31. 9
6
َََمنَجال ِبي ِب ِه َّنَذ ِلك ِ اءَال ُمؤ ِم ِنينَيُدنِينَعلي ِه َّن ِ اجكَوبناتِكَونِس ِ يَقُلَألزو ُّ ياَأيُّهاَالنَّ ِب 14 وراَر ِحي ًما ََّ َأدنىَأنَيُعرفنَفالَيُؤذينَوكان ً َُّللاَُغف “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Jelaslah dari ayat-ayat di atas bahwa Allah Swt telah mewajibkan kepada perempuan yang beriman supaya menggunakan jilbab atau kerudungnya. Jika ingin keluar rumah tidak boleh satupun yang memperlihatkan bagian dari dirinya, tujuannya agar mereka tidak dikenali dan tidak diganggu oleh orang-orang yang ingin berbuat jahat kepadanya.
Berkaitan dengan masalah pembatasan aurat terhadap kaum perempuan di atas, Ulama telah sepakat bahwa selain wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki dari seluruh badan wanita adalah aurat, tidak halal dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki asing (ajnabi),15 selain dijelaskan oleh ayat-ayat di atas hadis Nabi yang diriwayatkan oleh imam al-Tirmidzī bahwa Nabi Saw bersabda:
َّ حدَّثناَ ُمح َّمدَُب ُنَب َقَعن ِ ارَحدَّثناَعم ُروَب ُنَع ٍ ش ٍ اص ٍمَحدَّثناَه َّما ٌمَعنَقتادةَعنَ ُمو ِر َّ َََّّللاِ َعن َالنَّ ِبي َِصل َّ ص َعن َعب ِد َىََّللاُ َعلي ِه َوسلَّم َقال َالمرأ َة ُ َعورة ٌ َفإِذا ِ أ ِبيَاألحو 16 ُ َّ خرجتَاستشرفهاَال َ شيط ان “Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abu al-Ahwaṣ dari Abdullah dari Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan mengawasinya.” 14
QS. Al-Ahzāb ayat 59. Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001), h. 20. 16 Muhammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍahāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’ al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, no. hadis 1173, h. 467. 15
7
Hadis di atas menjadi dasar beberapa ulama yang menyatakan bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat dan menetapkan keharusan menutup seluruh tubuhnya, tanpa terkecuali; termasuk wajah dan tangannya. Akan tetapi, karena adanya proses penghimpunan hadis yang memakan waktu yang lama setelah Nabi Saw wafat, ditambah lagi dengan adanya kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam dan terjadinya periwayatan secara makna serta banyaknya hadis yang dipalsukan demi kepentingan kelompok tertentu, mengakibatkan hadis masih diperdebatkan dan mengandalkan perlunya penelitian hadis, baik sanad maupun matan. Mengingat kualitas sangat erat hubungannya dengan otoritas sebagai kekuatan pegangan atau hujjah dalam menentukan dan membentuk suatu hukum dalam Islam, maka dengan sendirinya kajian tentang kualitas sebuah hadis menuntut ketekunan yang sangat mendalam dan maksimal bagi seorang peneliti hadis. Oleh karena itu pula, penulis perlu melakukan penelitian ulang akan otentisitas hadis ini, apakah hadis ini ṣahīh dan bisa dijadikan hukum syara’ atau tidak.
Disamping pemaparan di atas, hadis ini jika dipahami menggunakan pemahaman tekstual yang merujuk kepada Syarah Hadis Imam al-Tirmidzī bahwa seorang perempuan itu dirinya telah dijadikan sebagai aurat, karena sesungguhnya apabila nampak terlihat dari dirinya maka akan menimbulkan malu, sebagaimana aurat yang menimbulkan malu apabila ia terlihat. Kemudian jika perempuan itu keluar rumah dan menampakkan perhiasannya, maka tidak menutup kemungkinan setan akan menggodanya dan perempuan itu tidak lepas dari godaan tersebut.17
17 Abū al-A’lā Muḥammad ‘Abdurraḥman bin ‘Abdurraḥim al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz 4, h. 283.
8
Bahkan selain itu Imam al-Syāfi’ī berpendapat mengenai hadis ini bahwa suara wanita adalah termasuk aurat dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya (lakilaki ajnabi) baik itu dikhawatirkan timbul fitnah ataupun tidak.18 Sehingga dari tekstualitas hadis ini timbul pemahaman sementara ulama yang melarang perempuan keluar dari rumah, banyak pula pendapat para ulama yang membenarkan bahwa perempuan tidak boleh keluar rumah.
Akan tetapi hadis tersebut tidak bisa dipahami sesempit itu. Karena pemahaman sempit seperti itu berakibat pada kaum perempuan. Sebagai kaum perempuan tentu akan merasa terbatasi ruang geraknya di ranah publik, sehingga kaum perempuan tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, di antaranya; menuntut ilmu dengan dosen laki-laki tidak boleh, dan bahkan dalam salat berjamaah bersama kaum laki-laki di masjid juga tidak diwajibkan, sebab hal tersebut akan dapat menimbulkan fitnah. Namun berbeda jika dilihat pada zaman sekarang, banyak perempuan yang aktifitasnya di luar rumah sama seperti lakilaki, seperti perempuan yang mempunyai kegiatan sosial di masyarakat, bekerja, mengajar, dan juga ada yang mempunyai profesi sebagai penyanyi, dan menjadikan
profesi
menyanyinya
untuk
menafkahi
kehidupannya
dan
keluarganya. Sedangkan berbeda pendapat dengan M.Quraish Shihab yang menurutnya, bahwa hadis ini bukan semata-mata tidak membolehkan perempuan untuk keluar rumah tetapi mengharuskan perempuan agar lebih menjaga kesopanan saat keluar rumah.19 Perbedaan pendapat mengenai perempuan tidak
18
Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wannita (Surabaya: Terbit Terang, t.t.), h.
19
M. Quraish Shihab, Jilbab: pakaian wanita muslimah ( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.
138. 58.
9
boleh keluar rumah ini muncul di kalangan para ulama. Jika demikian bukankah perempuan adalah sumber dosa jika berada di luar rumah?.
Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka dalam penelitian ini, penulis bermaksud mengkaji kualitas sanad dan melakukan kajian pemahaman ulang terhadap matan hadis perempuan adalah aurat. Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini mengambil judul Skripsi, “Perempuan adalah Aurat”. (Kajian Otentisitas dan Pemahaman Hadis).
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas adanya hadis yang menjelaskan tentang perempuan adalah aurat yang masih bersifat umum menjadi perdebatan diantara para ulama yang melarang dan membolehkan perempuan untuk keluar rumah. Bagaimana tidak, sekarang banyak perempuan yang mempunyai aktifitas di luar rumah seperti bekerja, menuntut ilmu, dan lain-lain. Terlebih ada perempuan yang mempunyai
kewajiban
menafkahi
keluarganya.
Dari
sinilah
Penulis
mengidentifikasi beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
Pertama: secara bahasa aurat adalah aib dan kejelekan, sedangkan menurut M. Quraish Shihab aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang tidak patut kelihatan dihadapan orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Jika aurat (aib) adalah kejelekan dalam diri semua orang, tanpa memperdulikan agama dan jender yang memiliki keniscayaan untuk menutupnya. Berbeda dengan asumsi ini aurat
10
dalam pandangan umat Islam lebih menitik beratkan kewajiban untuk kaum perempuan.
Kedua, aurat perempuan, batasan-batasan aurat perempuan, dan kewajiban menutup aurat itu semua terdapat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. Persoalannya adalah terdapat satu hadis yang sangat umum mengatakan perempuan dilarang untuk keluar rumah dan merupakan aib bagi dirinya jika ia keluar terlihat oleh orang lain yang bukan mahram.
Ketiga, persoalan selanjutnya adalah hadis imam al-Tirmidzī yang menyebutkan, sabda Nabi Saw: “Perempuan adalah aurat apabila dia keluar maka setan akan menggodanya”. Yang memerlukan analisa untuk dapat diketahui keotentikan sanad hadis karena makna teks hadis ini berpotensi membatasi ruang gerak dan aktualisasi perempuan dalam ranah publik, dan melarang perempuan untuk keluar rumah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa suara perempuan juga termasuk aurat. 2. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, saya akan membahas persoalan ketiga, dalam riwayatnya imam al-Tirmidzī hadis ke 1173 bahwa perempuan adalah aurat apabila dia keluar maka setan akan menggodanya. Persoalan ini saya bahas karena hadis ini secara tekstual berpotensi melarang perempuan melakukan aktivitas di luar rumah, bahkan dalam beribadah juga perempuan diwajibkan untuk tetap di rumahnya. Oleh karena itu hadis ini tidak bisa dipahami secara tekstual namun juga memerlukan pemahaman ulang supaya jelas maksud dari
11
hadis tersebut. Namun sebelumnya tentu akan diteliti keotentikan sanad hadis untuk meneliti dan memahami lebih jauh matan hadis tersebut. 3. Rumusan Masalah Untuk memahami hadis ini tidak bisa dipahami hanya menggunakan makna dari matan teks hadis saja, karena akan menimbulkan banyak pertanyaan dan ketidakpuasan pemaknaan terhadap teks hadis tersebut, sehingga penulis bermaksud untuk melakukan pemaknaan ulang dilihat dari segi tekstual hadis dan kontekstual hadisnya. Dari batasan masalah yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana peneliti ingin memahami teks hadis tentang perempuan adalah aurat secara tepat?. Untuk menjelaskan pertanyaan ini, penulis akan menggunakan dua pertanyaan bantuan. a. Bagaiamana otentisitas hadis Nabi tentang Perempuan adalah Aurat? b. Apa pemahaman yang tepat dari hadis ini apabila dikontekskan dengan masa sekarang?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui otentisitas hadis Nabi tentang perempuan adalah aurat. b. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai hadis tentang perempuan adalah aurat serta mengetahui pemahaman yang baru sesuai dengan masa sekarang.
12
2. Manfaat Penelitian a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapakan mampu memberikan penjelasan mengenai hadis Nabi tentang perempuan adalah aurat, baik dari segi sanad maupun matan-nya. Selain itu penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan dalam ilmu kajian hadis, terutama yang berkaitan mengenai hadis perempuan adalah aurat. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini mempunyai kegunaan praktis yakni untuk memberikan sebuah bahan pertimbangan untuk melakukan pengkajian secara mendalam terhadap hadis yang diterima dengan melakukan kritik sanad dan pemahaman matan hadis, agar ditemukan sebuah kesimpulan yang komprehensif. Penelitian ini juga diharapakan mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat terutama wanita untuk menjalankan kewajiban menutup aurat mereka dari siapapun dan di saat keluar rumah. Dan juga diharapkan penelitian ini bisa menambah database perpustakaan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta sebagai bahan pertimbangan untuk mahasiswa yang akan mengambil tema yang sama.
D. Kajian Pustaka Kajian pustaka pembahasan ini adalah banyak merujuk kepada literatureliteratur review, artikel dan jurnal atau berasal dari skripsi, tesis dan disertasi. Sebelum al-Qur’an turun perempuan pada masa itu dipahami sebagai seseorang yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, bukan dari diri yang satu, dalam skripsi karya Ita Miftahul Jannah yang berjudul Penciptaan Wanita Dalam al-Qur’an tahun 2002, dalam skripsi ini menjelaskan perbandingan penafsiran
13
antara Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh mengenai penciptaan wanita, yang berkesimpulan bahwa mereka memiliki persamaan dalam mengambil dalil penciptaan wanita yaitu merujuk kepada QS. al-Nisā’ ayat 1, namun dalam memahami ayat ini mereka berbeda pendapat, ibnu katsir mengatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam bukan dari diri yang satu, sedangkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa wanita juga diciptakan dari unsur yang sama seperti Adam bukan dari tulang rusuk Adam,20. Karya Siti Fatimah Zahro yang berjudul Hadis Perempuan Sebagai Sumber Fitnah tahun 2014, dalam skripsi ini ingin membuktikan bahwa perempuan bukan sebagai sumber fitnah yang selalu membuat kaum Adam tergoda, dengan melakukan pemaknaan ulang terhadap hadis ini menggunakan metode ma’ani al-hadis, dan berkesimpulan bahwa makna hadis ini kata fitnah diartikan cobaan dan ujian yang dihadapkan bagi kaum laki-laki. Dikatakan sebagai sumber fitnah yaitu akibat dari perbuatan perempuan itu sendiri, bukan semua perempuan yang dimaksud sebagai sumber fitnah.21 Karya Mabrur yang berjudul Jilbab Dalam al-Qur’an tahun 2014 dan Skripsi karya Sobrun yang berjudul Aurat Perempuan Dalam Perspektif Muhammad Syaḥrūr, telaah surat al-Ahzab ayat 53, 59 dan surat al-Nūr ayat 31 tahun 2006, dua skripsi ini sama-sama membahas tentang telaah surat al-Ahzab ayat 53, 59 dan surat an-Nūr ayat 31 namun berbeda metode, dalam karyanya Mabrur menganalisa penafsiran ulama kontemporer antara Muhammad Syahrur dan Wahbah Zuhaili sedangkan dalam Karya Sobrun hanya menjelaskan Ita Miftahul Jannah,Penciptaan Wanita Dalam al-Qur’an (Studi Perbandingan Antara Penafsiran Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh Tentang QS. al-Nisā’ ayat 1), (Skripsi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 21 Siti Fatimah Zahro, Hadis Perempuan Sebagai Sumber Fitnah (Studi Ma’ani al-Hadis), (Skripsi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 20
14
mengenai penafsiran Muhammad Syahrur dan saya mengambil kesimpulan dari kedua skripsi ini bahwa wanita harus memakai pakaian yang tertutup ketika akan berpergian keluar rumah, seperti Jilbab, Khimar dan Hijab yaitu menutup seluruh badannya sampai ke dada.
Dalam sebuah jurnal karya Riri Fitria yang berjudul Batas Aurat Muslimah dalam Pandangan al-Bāniy, dalam karya ini menjelaskan pemahaman al-Bāniy pada kualitas matan dan sanad pada batasan aurat dalam hadis tentang Asmā’, dan berkesimpulan bahwa hadis tersebut menurut al-Bāniy hadis mursal22 namun masih tetap bisa dijadikan hujjah karena ia didukung oleh sejumlah hadis dan atsar yang memperkuat posisi baik dari segi sanad maupun matan, dan kandungan hadis tentang Asmā’ dinilai tidak bertentangan dengan akal sehat ataupun alQur’an karena suatu
hal yang rasional Rasulullah menyuruh kepada setiap
muslimah yang sudah haid untuk menutup aurat karena muslimah yang sudah baligh jika telah haid mengalami perubahan fisik, maka dari itu Rasulullah menganjurkan untuk menutup aurat bagi kaum wanita karena untuk kemaslahatan muslimah itu sendiri.23
Memang permasalahan tentang aurat perempuan sangat pelik, bukah hanya ketika ingin keluar saja perempuan menutup aurat, bahkan dalam salat pun harus menutup aurat, Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam bukunya Fiqih Muslimah Ibadat-Mu’amalat menjelaskan bahwa menutup aurat adalah syarat bagi keabsahan salat, sedangkan batas aurat dalam salat ialah seluruh badan hingga 22
Hadis Mursal adalah hadis yang karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni di kalangan sahabat atau tabi’in. Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 169 23 Riri Fitria, Batas Aurat Muslimah dalam Pandangan al-Bāniy, (Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, 2012), Vol.8 No.2.
15
rambutnya yang menjulur dari kedua telinganya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.24
Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam buku ini menjelaskan tentang hijab bagi seorang perempuan, dalam pemaparan buku ini perempuan wajib menggunakan hijab dan menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Kedua bagian itu tidak wajib ditutup; dalam al-Qur’an dan hadis tidak ada petunjuk bahwa wanita wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, tentang boleh atau tidaknya kaum lakilaki memandang perempuan, dalam buku ini dijelaskan bahwa Imam Ridha mengatakan “laki-laki boleh memandang wajah atau tangan perempuan bila pandangannya itu tidak bernafsu atau tidak ada kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang menyeleweng”.25
Salah satu buku fiqih yang membahas tentang auratnya suara wanita adalah buku karya Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa yang berjudul “Risalah Fiqih Wanita,
Pedoman
Ibadah
Kaum
Wanita
Muslimah
dengan
Berbagai
permasalahan”. Di dalam buku ini dibahas tentang menghukumi suara wanita. Disana dipaparkan pendapat dari masing-masing madzhab sampai dengan pendapat atau kesimpulan dari penulis. Di dalam buku ini penulis tidak menyebutkan hadis, baik sanad maupun matannya. Ia hanya menjelaskan saja paparan dari para tokoh madzhab dan mengambil kesimpulan setelahnya.26
24
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 75. 25 Murtadha Muthahhari, Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 114. 26 Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita (Surabaya: Terbit Terang, t.t.), h. 138-145.
16
Dari kajian buku dan literatur di atas telah dijelaskan mengenai perempuan menjelaskan penciptaan perempuan, kewajiban perempuan untuk menutup aurat dari laki-laki yang bukan muhrim, batasan-batasan aurat perempuan, dan menjelaskan aurat suara perempuan dari berbagai mazhab, sedangkan dalam skripsi ini akan memfokuskan pada kajian hadis Nabi Saw yang mengatakan “perempuan adalah aurat” sehingga kemudian ada yang mengatakan perempuan dibolehkan dan tidak dibolehkan untuk keluar rumah. Menurut saya judul ini belum ada yang membahas dan penting untuk diteliti agar tidak menimbulkan permasalahan di kalangan masyarakat terutama perempuan.
E. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer kitab Sunan alTirmidzī merujuk kepada hadis nomor 1173, Ṣahīh Ibn Khuzaimah hadis nomor 1686, dan Ṣahīh Ibn Ḥibān hadis nomor 329. Adapun untuk makna hadis perempuan adalah aurat penulis menggunakan kitab Syarh al-Hadis yaitu Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī syarah hadis Sunan al-Tirmidzī, dan lainlain. Sumber pendukung yang lain penulis menggunakan sumber-sumber rujukan lain sebagai penunjang dalam pembahasan topik tersebut diantaranya yaitu buku yang berjudul Jilbab pakaian wanita muslimah karya M. Quraish Shihab, Fikih Perempuan Kontemporer karya Huzaimah Tahido Yanggo, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam karya Mohd Fuad Fachruddin, Tafsir Wanita karya Syaikh Imad Zaki Al-Barudi,, karya Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa
17
yang berjudul “Risalah Fiqih Wanita, Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai permasalahan”dan sumber-sumber pendukung yang lain-lain. 2. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data ini adalah dengan mengumpulkan hadis-hadis yang membahas mengenai hadis perempuan adalah aurat dalam kitab-kitab hadis, cara pengumpulannya yaitu dengan Takhrīj Ḥadis yaitu mencari akar kata, yang dimaksud akar kata adalah kata yang terdapat dalam matan hadis. Metode pencarian ini menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīts alNabawī.27 dan dibantu dengan Aplikasi Maktabah Syamilah dan kitab-kitab takhrīj hadis lain yaitu Mausū’at Atraf al-Ḥadis al-Nabawī al-Syarīf dan Miftāḥ Kunūz al-Sunnah. 3. Analisis Data Setelah data terkumpul penulis akan menganalisis data tersebut sehingga penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis, dan terarah. Penelitian ini menggunakan metode analisis sanad dan matan berdasarkan rujukan dari M. Syuhudi Ismail dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Hadis Nabi Saw dan buku berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Tela’ah Ma’āni al-Hadis) untuk metode memahami matan hadis tersebut. Adapun teknik operasional penelitian ini meliputi sebagai berikut: 1. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang telah diperoleh, untuk kemudian menentukan kedudukan hadis.
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī adalah kitab yang disusun oleh sebuah tim yang beranggotakan pakar orientalis. Salah satu dari tim penyusunnya bernama A.J Wensinck (w.1939), seorang guru besar Bahasa Arab di Universitas Leiden. al-Mu’jam alMufahras memuat indeks kata yang terdapat dalam 9(Sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu alKutub al-Sittah, Muwatta’, Musnad Aḥmad dan Musnad al-Dārimī. 27
18
2. Melakukan penelitian matn, yaitu mengkaji makna teks hadis tersebut, dan secara kontekstual mengumpulkan informasi tentang makna yang dimaksud dari teks hadis tersebut yang merujuk kepada metode memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya. Sumbersumber yang dipakai adalah yang dinilai otoritatif seperti al-Qur’an, Hadis, syarh hadis, dan karya-karya yang terkait dengan perbincangan seputar tema ini. 4. Teknik penulisan Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. dan transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).
F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi lima bab, dan masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.
Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana latar belakang masalah tentang judul yang
19
saya ambil dan metodologi penulisan yang digunakan untuk meneruskan penelitian skripsi ini.
Bab kedua memaparkan penjelasan definisi perempuan dan definisi aurat, menurut bahasa dan istilah, kemudian mengemukakan pendapat beberapa ulama tentang aurat perempuan, lalu saya akan menjelaskan batasan-batasan aurat perempuan baik dihadapan Allah, dihadapan mahram dan yang bukan mahram (lelaki ajnabi), dan berhadapan dengan perempuan muslimah dan non muslimah, kemudian menjelaskan hukum menutup aurat dalam Islam. Hal ini dilakukan untuk dapat diketahui perdebatan aurat perempuan itu fisiknya seluruh tubuh atau hanya sebagian saja.
Bab ketiga adalah mencantumkan hadis tentang perempuan adalah aurat dan terjemahnya kemudian menganalisis sanad hadis tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui otentisitas sanad hadis tersebut.
Bab keempat merupakan penjelasan makna tekstual dan kontekstual hadis permpuan adalah aurat, hal ini dilakukan supaya orang yang membaca hadis ini tidak salah memahami, hanya dengan melihat teks hadisnya saja, tanpa mengetahui makna konteks yang terdapat dalam matan hadis tersebut dan untuk mendapatkan informasi tentang suara wanita.
Bab kelima adalah kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan jawaban atas permasalahan yang diteliti disertai dengan saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut dari penelitian ini, sekaligus merupakan penutup rangkaian dari pembahasan ini.
BAB II DISKURSUS SEPUTAR AURAT PEREMPUAN
A. Definisi Kata Perempuan Makna manusia tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, tetapi ia mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun perempuan semuanya sama. Dan ketika al-Qur’an berbicara mengenai perempuan dan pria, ia mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dilihat dari sisi kepriaan atau keperempuanan. Hakikat keduanya terletak pada sisi ruhaninya, bukan jasmaninya, bukan pula gabungan antara jasmani dan ruhani.1 Namun dalam skripsi ini perempuan yang dimaksud adalah perempuan (al-mar’ah) lawan dari laki-laki (al-rajul), bukan lawan dari suami (al-zauj). Namun bila membahas mengenai aurat, perempuan tentunya dilihat pada sisi jasmaninya, begitupun juga laki-laki. Di dalam hadis pula, Rasulullah Saw banyak menyebutkan perempuan menggunakan lafaẓ Mar’ah, Bint, Zaujah, Umm dan yang terakhir menggunakan kata Nisā’. Masing-masing mempunyai makna dan penempatan sendiri-sendiri ketika Nabi Muhammad menggunakan lafaẓ tersebut, yaitu: a. Mar’ah, yang artinya perempuan. Biasanya Nabi memakai kata mar’ah ketika berbicara tentang topik yang berkaitan dengan bidang fikih, dan perempuan yang menggunakan lafaẓ Mar’ah disitu bisa berdiri sendiri tanpa adanya pasangan atau pelengkap.
1
Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan keagungan perempuan (Jakarta: Lentera, 2005),
h. 2.
20
21
b. Bint dan Ibnatun mempunyai satu makna yang sama yakni anak perempuan, dan Nabi Muhammad sering menggunakan lafaẓ ini ketika membicarakan tentang akhlak dan objeknya anak kecil. c. Zaujah, lafaẓ zaujah mempunyai makna yang sama dengan mar’ah yang artinya perempuan (sebagai objek pembicaraan), akan tetapi zawjah hanya khusus sebagai pasangan laki-laki (zauj), dan kebanyakan dipakai hanya untuk ruang lingkup keluarga atau perkawinan. Nabi pun sering menggunakan lafaẓ Zaujah ketika berbicara di topik keluarga dan pernikahan. d. Umm, lafaẓ Umm mempunyai makna perempuan, yakni perempuan yang sudah mempunyai anak (Ibu), dalam bahasa Arab lafaẓ Umm mempunyai dua jamak yaitu al-Ummahāt dan al-Ummāt, lafaẓ al-Ummahāt bermakna beberapa Ibu khusus digunakan untuk manusia, dan lafaẓ al-Ummātu yang bermakna ibu-ibu untuk para binatang.2 Nabi sering menggunakan lafaẓ al-Ummahāt/al-Umm ketika lagi berbicara tentang akhlak dan kebanyakan untuk memulyakan posisi atau kedudukan seorang ibu. e. Nisā, lafaẓ nisā’ yang artinya sama yaitu perempuan. Akan tetapi lafaẓ nisā’ sering digunakan Nabi ketika perempuan itu sebagai orang yang diajak bicara atau sebagai orang yang dibicarakan, dan ketika Nabi menceritakan perempuan yang ada di akhirat kebanyakan beliau memakai Nisā’. Dengan demikian, dari keterangan dan makna lafadz yang berkaitan dengan perempuan, skripsi ini membicarakan perempuan menggunakan lafadz
2
Ibn Manẓur, Lisān al-‘Arab (Beirūt: Dār al-Ihyā, 1882), jilid 1, h. 216.
22
mar’ah, hal ini dikarenakan pembahasan hanya berfokus pada permasalahan tentang perempuan itu sendiri, tanpa diperlukan adanya bahasan tentang pasangan (laki-laki).
B. Definisi Kata Aurat Aurat dalam hal ini berkaitan dengan bentuk fisik atau tubuh seseorang, yang dimaksud skripsi ini adalah aurat dari fisik perempuan. Aurat secara bahasa berarti malu, aib dan buruk. Kata “aurat” dalam bahasa Arab berasal dari katakata sebagai berikut: 1. Kata “aurat” berasal dari kata“’awira” )
عور
(, artinya hilang perasaan,
kalau dipakai untuk mata, maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya.3 Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dan dipandang memalukan dan mengecewakan. 2. kata “aurat” juga berasal dari kata “’āra” ()عار, artinya menutup dan menimbun, seperti menutup mata air dan menimbunnya.4 Ini berarti pula, bahwa aurat itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang. 3. kata “aurat” bisa pula berasal dari kata “a’wara” ()اعور, yakni sesuatu yang jika dilihat, akan mencemarkan.5 Jadi aurat adalah sesuatu yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.6 Sedangkan menurut istilah, aurat ialah sesuatu yang menimbulkan birahi atau syahwat, membangkitkan nafsu angkara murka sedangkan ia mempunyai kehormatan dibawa oleh rasa malu supaya ditutup rapi dan dipelihara agar tidak Ibnu Manẓur, Lisān al-‘Arab (al-Qahira: Dar al-Ma’arif, t.t,), jilid 5, h. 3164-3167. Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 5, h. 3165. 5 Manẓur, Lisān al-‘Arab, jilid 5, h. 3166. 6 Al-Husainiy, kifayat al-Akhyar (al-Qahira: Isa Halaby, t.t.), jilid I, h. 92. 3 4
23
mengganggu
manusia
lainnya
serta
menimbulkan
kemurkaan,
padahal
ketentraman hidup dan kedamaian hendaklah dijaga sebaik-baiknya.7 Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal aurat ialah sesuatu yang buruk dan bagian tubuh yang tidak patut kelihatan dihadapan orang lain.8
Dengan demikian makna aurat dalam bahasa Arab memang secara literal berarti “celah, kekurangan, dan merupakan sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang apabila aurat itu terbuka maka akan menimbulkan rasa malu dan cela pada diri sendiri. Apabila disandingkan dengan perempuan ) (المراةberarti aurat ini adalah membicarakan tentang perempuan dari semua aspek jasmani perempuan, bukan masalah rohani.
C. Perdebatan Seputar Aurat Perempuan Semua ulama sepakat bahwa menutup bagian anggota badan berdasarkan sunah fi’liyah hukumnya wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Yang menjadi perdebatan adalah sampai manakah batasan-batasan aurat laki-laki dan perempuan? Dan apakah batasan aurat di dalam salat berbeda dengan batasan aurat di luar salat?. Mazhab Ḥanāfi, sebagaimana diterangkan al-Samarkandi di dalam Tuhfat al-Fuqahāt, memperkenalkan dua macam aurat, yaitu aurat di dalam dan di luar salat. Di dalam salat, aurat perempuan batasannya adalah seluruh anggota badan
7
Fuad Mohd Facruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam (Jakarta: Yayasan al-Amin, 1984), h. 1. 8 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 71
24
kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki. Sedangkan di luar salat berlaku ketentuan lain; yaitu tentang tatakrama pergaulan keluarga.9 Menurut mazhab Mālikī, sebagaimana diterangkan Khalil ibn Ishaq alJundi dalam al-Mukhtaṣar, batasan aurat perempuan adalah semua anggota badan kecuali muka dan telapak tangan; kaki tidak termasuk pengecualian. Sedangkan pandangan mazhab Syāfi’ī hampir sama dengan mazhab sebelumnya, yakni bahwa batasan aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki. Hanya saja, mazhab ini lebih terperinci membedakan kedudukan aurat di dalam atau di luar lingkungan keluarga dekat (mahram). Menurut mazhab Aḥmad ibn Ḥanbal, sebagaimana diungkapkan Mansur al-Bahuti dalam Kasysyāf al-Qina’ ‘an Matn al-Qina’, aurat perempuan dewasa adalah seluruh badannya kecuali muka dan telapak tangan, baik di dalam maupun di luar salat. Sedangkan Mazhab imam dalam Syi’ah, agaknya lebih ketat dibandingkan dengan semua imam mazhab di atas. Mungkin, ini ada kaitannya dengan Iran yang turun temurun menjadi kota penting dalam tradisi SasaniaPersia yang memiliki sejarah panjang tentang penggunaan jilbab (cadar). Imam alKhu’i dalam Minhaj al-Ṣālihin, dan Imam Khomaeni dalam Taḥrīr al-Waṣīla, berpendapat bahwa perempuan diharuskan menutup seluruh anggota badan tanpa pengecualian; termasuk muka, terkecuali di depan suami atau mahramnya. Imam Khomaeni menambahkan, tidak boleh seorang berlawanan jenis berjabat tangan selain mahram. 9 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2010), h. 15.
25
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Saw Rasul pun tidak menjabat wanita yang bukan mahram:
َّ أخبرناَ ُمح َّمد َُب ُن َب ُ سفي ََعن َ ُمح َّم ِد َب ِن،ان ُ ََحدَّثنا:َُالرحم ِن َقال َّ َحدَّثناَعبد:ار َقال ٍ ش َي َصلَّى َهللاُ َعلي ِه َوسلَّم َفِي ِ َعن َأُميمة َ ِبن،الَ ُمنكد ِِر ُ ت َّ َأتيتُ َالنَّ ِب:َرقيقة َأنَّها َقالت َّ َِنُبا ِيعُكَعلىَأنَالَنُش ِركَب،ََّللا َ،اَّللَِشيئًا ِ نِسوة ُ َياَر:َفقُلنا،ُارَنُبايِعُه ِ َّ سول ِ ٍَمنَاألنص َصيكَفِي ِ َوالَنع،انَنفت ِري ِهَبينَأيدِيناَوأر ُج ِلنا ٍ َوالَنأتِيَ ِببُهت،َوالَنز ِني،والَنسَ ِرق َّ َقُلن:َقالت.»ن ََهلُ َّم،سولُهَُأرح ُم َ ِبنا ََّ ُ َوأطقت،َ« ِفيماَاستطعت ُ َّن:َقال، ٍمع ُروف ُ اََّللاُ َور َّ سو ُل َّ َسول َ َ« ِإ ِني َال َأُصا ِف ُح:ََّللاِ َصلَّى َهللاُ َعلي ِه َوسلَّم ُ نُبا ِيعك َيا َر ُ َفقال َر،ََِّللا 10 »احد ٍَة ِ يَالمرأةٍَو ِ َمثلَُقو ِل ِ َأو،ٍاحدة ِ يَالمرأةٍَو ِ َ ِإنَّماَقو ِليَ ِل ِمائ ِةَامرأةٍَكقو ِل،َالنِساء “Muhammad bin Basyar mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman, dari Sufyan, dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa Umaimah binti Ruqaiqah berkata,”Aku ikut dalam rombongan wanita Anshar yang datang menemui Nabi Saw untuk membaiatnya, lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak mengatakan kebohongan yang kami buat-buat di antara tangan dan kaki kami, serta tidak mendurhakaimu dalam kebaikan.’ Beliau berkata, ‘Sebisa dan semampu kalian.’” Umaimah melanjutkan, “Kami berkata, ‘Betapa Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kita (daripada kita sendiri). Mari kami baiat engkau, wahai Rasulullah.’ Rasulullah berkata, ‘Sungguh, aku tidak menjabat tangan wanita. Perkataanku (untuk membaiat) kepada seratus wanita sama dengan perkataanku kepada seorang wanita atau seperti perkataanku kepada seorang wanita.” Perbedaan pendapat mengenai aurat ini berakar pada perbedaan penafsiran terhadap surat al-Ahzāb ayat 13, dan surat al-Nūr ayat 31 dan 58. Dalam surat alAhzāb ayat 13, kata aurat diartikan oleh mayoritas ulama tafsir sebagai “celah yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain mengambil kesempatan untuk menyerang.” Sedangkan dalam surat al-Nūr ayat 31 dan 58, kata aurat diartikan sebagai “sesuatu dari anggota tubuh manusia yang membuat malu bila dipandang ataupun dianggap buruk bila diperlihatkan.”11
Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alī al-Kharāsānī al-Nasā’I (w.303H), Sunan al-Nasa’i (t.tp, Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah, 1986), juz vii, h.149. 11 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2010), h. 14. 10
26
Mayoritas ulama mutaqaddimin menafsirkan surat al-Nūr ayat 31, khususnya penggalan ayat
َمنها ِ ِإ َّال َما َظهر
(apa yang tampak darinya) sebagai
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak. Namun kebiasaan yang dimaksud apakah kebiasaan perempuan pada masa turunnya ayat ini atau kebiasaan perempuan disetiap masyarakat muslim dalam masa yang berbeda-beda. Ulama tafsir memahami kebiasaan yang dimaksud sebagai kebiasaan pada masa turunnya al-Qur’an. Muḥammad Ṭahir ibn ‘Asyur, ulama besar Tunisia. Dalam Maqāṣid al-Syarī’ah berpendapat bahwa adat satu kaum tidak boleh, dalam kedudukannya sebagai adat dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.12 Dengan demikian perempuan pada zaman Nabi sampai zaman sekarang adalah masa yang berbeda-beda, jadi wajar apabila para ulama berbeda pendapat mengenai aurat perempuan. Dan dari pendapat para ulama di atas perempuan mempunyai batasan tertentu tidak semua jasmani perempuan adalah aurat, ada bagian tertentu dan batasan-batasan aurat darinya yang harus ditutup sehingga perempuan tetap terjaga kesucian dan kehormatannya.
D. Batas-batas aurat perempuan Agama Islam telah menetapkan batas-batas tertentu untuk aurat laki-laki dan perempuan, dalam istilah syariat, aurat adalah bagian anggota tubuh yang wajib ditutup. Islam telah menetapkan aurat laki-laki antara pusat sampai lutut. Mereka diperintahkan untuk tidak membuka aurat dihadapan orang lain, dan
12 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2010), h. 18.
27
dilarang pula melihat aurat orang lain.13 Sedangkan batas-batas aurat wanita lebih luas dibandingkan dengan aurat laki-laki. Setiap wanita diwajibkan menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, dan pandangan laki-laki bukan muhrim.14 Batas aurat perempuan berbeda-beda, perbedaannya tergantung pada dengan siapa perempuan tersebut berhadapan. Secara umum, perbedaan itu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Allah Aurat perempuan ketika berhadapan dengan Allah (dalam salat) yaitu seluruh tubuhnya harus ditutup kecuali muka dan telapak tangan. Karena menutup aurat merupakan syarat bagi keabsahan salat.15 Hal ini ditegaskan pula oleh hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a.:
َّ َ«ال َيقب ُل:َقال،َُع ِن َالنَّ ِبي َِصلَّىَهللاُ َعلي ِه َوسلَّم َأنَّه،عن َعائِشة َض ٍ ََِّللاُ َصالة َحائ 16 »ار ٍَ إِ َّالَ ِب ِخم “…Dari ‘Aisyah r.a. dari Nabi Saw bersabda bahwa: Allah tidak menerima salat wanita yang sudah haid (baligh) kecuali dengan memakai kerudung.” (al-Khumur (kerudung) merupakan jamak dari khimar yang berarti sesuatu yang digunakan untuk menutupi kepala dan yang suka disebut oleh orang dengan mukena.)17 Maksud hadis di atas dijelaskan kembali oleh lafal al-Ṭabrāni dalam Mu’jam al-Ṣaghīr al-Ṭabrāni sebagai berikut:
Husein Sahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bandung: Mizan 1995). h. 43. Sahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 44. 15 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 74. 16 Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats ibn Ishāq ibn Basyīr (w.275H), Sunan Abī Dāwud (Beirūt: al-Maktabah al-‘Ashriyah, t.t.), Juz. 1, h. 173. 17 Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, Penerjemah Syihabudin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 490 13 14
28
َّ َََّّللاَصل َ:َىََّللاَُعلي ِهَوآ ِل ِهَوسلَّم ُ َقالَر:َعنَأ ِبي ِهَقال،ََّللاَب ِنَأ ِبيَقتادة ِ َّ سو ُل ِ َّ عنَعب ِد َّ «ال َيقب ُل َت َالم ِحيض ِ اريةٍَبلغ ِ َوال,َيَزينتهَا ِ ََُّللا ِ َمن َج ِ َمن َامرأةٍَصالة ًَحتَّىَتُو ِار 18 »َحتَّىَتخت ِمر “…Dari ‘Abdillah ibn Abī Qatādah dari Bapaknya, Rasulullah Saw bersabda: Allah tidak menerima salat seorang wanita hingga ia menutupi perhiasannya, dan tidak menerima salat anak perempuan yang sudah haid hingga ia memakai kerudung.” al-Syaukani menyatakan bahwa hadis itu dijadikan dalil kewajiban menutup kepala wanita ketika salat.19 2. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Mahram Dalam hal ini ulama berbeda pendapat: a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan ketika berhadapan dengan mahramnya adalah antara pusat dan lutut, sama dengan aurat kaum laki-laki atau aurat perempuan berhadapan dengan perempuan. b. al-Malikiah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa aurat perempuan ketika berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki adalah seluruh badannya, kecuali muka, kepala, leher, dan kedua kakinya.20 Masalah mahram ini dijelaskan dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
ََزينت ُه َّن َ ِإال ِ وقُل َ ِلل ُمؤ ِمنا ُ ت َيغ ِ ضض ن ِ ار ِه َّن َويحفظن َفُ ُروج ُه َّن َوالََيُبدِين ِ َمن َأبص ََزينت ُه َّنَإِالَ ِلبُعُولتِ ِه َّنَأو ِ ماَظهر ِ َمنهاَوليض ِربن َبِ ُخ ُم ِر ِه َّنَعلىَ ُجيُو ِب ِه َّن َوالَيُبدِين َنَأوَب ِنيَ ِإخوا ِن ِه َّنَأو ََّ اءَبُعُول ِت ِه َّنَأوَ ِإخوا ِن ِه ِ اءَبُعُول ِت ِه َّنَأوَأبنا ِئ ِه َّنَأوَأبن ِ آبا ِئ ِه َّنَأوَآب Sulaimān ibn Ahmad ibn Ayūb ibn Mathīr al-Lahmī al-Syāmī Abū al-Qasim al-Ṭabrānī (w.360H), al-Mu’jam al-Ṣaghīr (Beirūt: al-Maktab al-Islamī, 1985M), Juz. 2, h. 138. 19 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 74. 20 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 12. 18
29
ََمن ِ ب ِني َأخوا ِت ِه َّن َأو َنِسائِ ِه َّن َأو َما َملكت َأيمانُ ُه َّن َأ ِو َالتَّا ِب ِعين َغي ِر َأُو ِلي َاإلرب ِة َاء َوال َيض ِربن َبِأر ُجَِل ِه َّن ِ َالطف ِل َالَّذِين َلم َيظه ُروا َعلى َعورا ِ الرجا ِل َأ ِو ِ ت َالنِس ِ 21 َّ ََّللاَِج ِميعًاَأيُّهاَال ُمؤ ِمنُونَلعل ُكمَتُف ِل ُحون ََّ ََزين ِت ِه َّنَوتُوبُواَ ِإلى ِ ِليُعلمَماَيُخ ِفين ِ َمن “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. jadi adapun yang dimaksud mahram adalah22:
Suami
Ayah
Ayah suami
Putranya yang laki-laki
Putra suami
Saudara
Putra dari saudara
Putra dari saudari
Perempuan
Budaknya
Laki-laki yang menyertainya, tapi laki-laki itu tidak mempunyai kebutuhan lagi kepada perempuan 21 22
QS. al-Nūr Ayat 31. Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 12
30
Anak kecil yang belum mengetahui aurat perempuan
Paman (saudara ayah)
Paman (saudara ibu).
3. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Bukan Mahram Ulama telah sepakat bahwa menutup seluruh tubuh perempuan adalah wajib. tidak halal dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki asing (ajnabi). Berdasarkan firman Allah Swt. Dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 59:
َََمنَجال ِبي ِب ِه َّنَذ ِلك ِ اءَال ُمؤ ِم ِنينَيُدنِينَعلي ِه َّن ِ اجكَوبناتِكَونِس ِ يَقُلَألزو ُّ ياَأيُّهاَالنَّ ِب 23 َّ أدنىَأنَيُعرفنَفالَيُؤذينَوكان وراَر ِحي ًما ً ََُّللاَُغف “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Ayat di atas terlihat jelas bahwa Allah memerintahkan kepada kaum perempuan untuk menutup auratnya, kemudian disamping itu berdasarkan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dikatakan:
َّ سو ِل َّ ضي َََّللاَِصلَّى ُ َدخلتَعلىَر،َأ َّنَأسماءَ ِبنتَأ ِبيَبك ٍر،ََّللاَُعنها ِ عنَعائِشةَر ٌ َرق َّ سول َ،ََُّللاَِصلَّىَهللاَُعلي ِهَوسلَّم ٌ هللاَُعلي ِهَوسلَّمَوعليهاَثِي ُ َفأعرضَعنهَاَر،اق ِ اب ََمنها َ ِإ َّال َهذا ِ َ ِإ َّن َالمرأة َ ِإذا َبلغ، َ«يا َأسما ُء:وقال ِ ت َالم ِحيض َلم َتصلُح َأن َيُرى 24 »وهذا “…Dari ‘Aisyah RA dijelaskan disana bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw dengan memakai pakaian tipis lalu Nabi berpaling darinya seraya bersabda: Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan beliau).”
QS. al-Ahzāb Ayat 59. Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats ibn Ishāq ibn Basyīr (w.275H), Sunan Abī Dāwud (Beirūt: al-Maktabah al-‘Ashriyah, t.t.), juz. 4, h. 62. 23 24
31
Namun demikian, Ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki termasuk aurat atau tidak, tentang hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut25: a. Wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat, ini adalah pendapat madzhab jumhur, antara lain Imam Malik, Ibn Hazm dari golongan Zahiriah dan sebagian Syi’ah Zaidiah dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya, Hanafiyah dan Syi’ah Imamiah dalam satu riwayat, para shabat Nabi dan Tabi’in antara lain Ali, Ibn Abas, ‘Aisyah, ‘Atha, Mujahid, alHasan, dan lain-lain. b. Wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki tidak termasuk aurat, ini adalah pendapat al-Tsauri dan al-Muzanni, al-Hanafiah, dan Syi’ah Imamiah menurut riwayat yang shahih. c. Seluruh badan perempuan adalah aurat, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Abu Bakar dan Abu Rahman dari kalangan Tabi’in. d. Hanya wajah saja yang tidak termasuk aurat, ini juga pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dan penadapat Daud al-Dzahiri serta sebagian Syi’ah Zaidiah. 4. Aurat Perempuan Berhadapan dengan Perempuan Muslimah dan Non Muslimah. Adapun aurat perempuan terhadap sesama perempuan adalah sama dengan aurat laki-laki terhadap sesama laki-laki, dan sama dengan aurat perempuan 25 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 13.
32
terhadap muhrim lainnya, yakni dari lutut sampai pusat. Jadi telinga, leher, rambut, dada, tangan dan betis bukan merupakan aurat di hadapan mereka. Alasannya adalah: a. Firman Allah di dalam surat al-Nūr ayat 31 menafsirkan
dengan
wanita-wanita
“َ”نِسائِ ِه َّن
muslim,
bukan
para mujahid wanita-wanita
musyrik.26 b. Sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Zaid Ibn Aslam dari ‘Abdurrahman ibn ‘Abī Sa’īd al-Khudrī dari bapaknya:
َسول َهللاِ َصلَّى َهللاُ َعلي ِه ُ َأ َّن َر،َعن َأ ِبي ِه،َِالرحم ِن َب ِن َأ ِبيَس ِعي ٍد َال ُخد ِري َّ عن َعب ِد ُ َ«ال َين:وسلَّم َقال ََوال،َِوال َالمرأة َُإِلىَعورةِ َالمرأة،َالر ُج ِل َّ َِالر ُج ُل َإِلىَعورة َّ ظ ُر َب يَالر ُج ُل َ ِإل ض ِ ب َو ٍ ىَالر ُج ِل َفِيَثو َّ َّ ِ ضيَالمرأة َُ ِإلىَالمرأ ِة َفِيَالثَّو ِ َوال َتُف،ٍاحد ِ يُف 27 »اح َِد ِ الو “…Dari ‘Abdurrahman ibn ‘Abī Sa’īd al-Khudrī dari bapaknya sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan lakilaki tidak boleh bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu pakaian” Sedangkan apabila perempuan muslimah berhadapan dengan perempuan non muslimah, maka auratnya adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan (sama dengan ketika perempuan muslimah berhadapan dengan laki-laki yang bukan muhrim) karena mereka akan menceritakannya kepada suami dan saudara mereka. Tetapi masalah menampakkan zinah (perhiasan) dan kecantikan
26
Muhammad Nasib Al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, Penerjemah Syihabudin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 491. 27 Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusayrī al-Naisābūrī (w.261H), Ṣahīh Muslim (Beirūt: Dār ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, t.t.), juz 1, h. 266.
33
seorang muslimah di hadapan perempuan-perempuan tersebut tidak ditegaskan keharamannya, namun para fuqaha menilai hanya sebatas makruh.28 Meskipun perempuan muslimah dilarang memperlihatkan perhiasannya atau auratnya kepada perempuan non muslimah, namun dalam hal ini pelarangan memperlihatkan aurat kepada perempuan dzimmi lebih keras, karena mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan, dan perempuan muslimah mengetahui bahwa hal itu haram. Maka dia harus menghindarinya,29 Dalam hadis dikatakan sebagai berikut:
َّ سو ُل َهللاِ َصلَّى َ َال َتُبا ِش ُر َالمرأة ُ َالمرأة:ََّللاُ َعلي ِه َوسلَّم ُ َقال َر: َقال،هللا ِ َ عن َعب ِد 30 ُ صفهاَ ِلزو ِجهاَكأنَّماَين ظ ُرَ ِإليها ِ حتَّىَت “Dari ‘Abdillah, Rasulullah Saw bersabda: “janganlah wanita menyifatnyifati wanita lain kepada suaminya, sehingga seolah-olah suaminya melihatnya. Sa’id bin Mansur pun mengemukakan hadits senada dalam sunannya dari Umar bin Khattab. Umar menulis surat kepada Abu ‘Ubaidah, “Amma ba’du, telah sampai informasi kepadaku bahwa di wilayah anda ada sebagian wanita muslim yang masuk ke pemandian bersama kaum wanita musyrik. Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melihat auratnya kecuali wanita yang seagama.31
E. Hukum Menutup Aurat Apabaila diteliti nash-nash yang berkaitan dengan hukum menutup aurat, seperti yang terdapat dalam Surat al-Ahzab ayat 59 dan al-Nūr ayat 31, maka akan Shahab, Jilbab menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 56. al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, h. 491. 30 Muhammad ibn ‘Īsa ibn Saurah ibn Mūsa ibn al-Ḍahāk al-Tirmidzī (w.279), al-Jāmi’ alKabīr Sunan al-Tirmidzī, (Brirūt: Dār al-Gharb al-Islāmī), juz 4, h. 406. 31 al-Rifa’i, Tafsir Ibn Katsir, h. 491. 28 29
34
dijumpai bahwa semuanya berbentuk amar (perintah) atau nahi (larangan) yang menurut ilmu ushul fiqh, akan dapat memproduk wajib ‘aini ta’abbudi, yaitu suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, tanpa harus bertanya alasannya. Namun demikian, apabila diteliti lebih jauh, kewajiban menutup aurat ini ada hubungannya dengan kewajiban yang lain yang diperintahkan Allah demi kemaslahatan manusia, seperti ini: 1. Menutup aurat itu merupakan faktor penunjang dari kewajiban menahan pandangan sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Dalam firmannya:
ُ ار ِهم َويحف َير ََّ َ ظواََفُ ُروج ُهم َذَ ِلك َأزكَىَل ُهم َ ِإ َّن ِ قُل َ ِلل ُمؤ ِمنِين َيغُض ٌ َّللا َخَ ِب ِ ُّواَمن َأبص َِبماَيصنعُون ََزينت ُه َّن َ ِإال ِ وقُل َ ِلل ُمؤ ِمنا ُ ت َيغ ِ ضض ن ِ ار ِه َّن َويحفظن َفُ ُروج ُه َّن َوالَيُبدِين ِ َمن َأبص ََزينت ُه َّنَإِالَ ِلبُعُولتِ ِه َّنَأو ِ ماَظَهر ِ َمنهاَوليض ِربن َبِ ُخ ُم ِر ِه َّنَعلىَ ُجيُو ِب ِه َّن َوالَيُبدِين َاءَبُعُولتِ ِه َّنَأوَ ِإخوا ِن ِه َّنَأوَب ِنيَ ِإخوَانِ ِه َّنَأو ِ اءَبُعُولتِ ِه َّنَأوَأبنا ِئ ِه َّنَأوَأبن ِ آبائِ ِه َّنَأوَآب ََمن ِ ب ِني َأخوا ِت ِه َّن َأو َنِسائِ ِه َّن َأو َما َملكت َأيمانُ ُه َّن َأ ِو َالتَّابِ ِعين َغي ِر َأُو ِلي َاإلرب ِة َاء َوال َيض ِربن َ ِبأر ُج ِل ِه َّن ِ َالطف ِل َالَّذِين َلم َيظه ُروا َعلى َعورا ِ الرجا ِل َأ ِو ِ ت َال ِنس ِ 32 َّ َىََّللاَِج ِميعًاَأيُّهاَال ُمؤ ِمنُونَلعل ُكمَتُف ِل ُحون ََّ َزين ِت ِه َّنَوتُوبُواَ ِإل ِ ِليُعلمَماَيُخ ِفينَ ِمن “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” 32
QS. al-Nūr Ayat 30-31.
35
2. Menutup aurat sebagai faktor penunjang dari larangan berzina yang lebih terkutuk, sebagaimana firman Allah Swt: 33
احشةًَوساءَس ِبيال والَتقرب ِ ُواَالزناَ ِإنَّهَُكانَف ِ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
3. Menutup aurat hukumnya menjadi wajib karena alasan sad al-dzara’i, yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat mengatakan bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki dalam ajaran islam.34 Dalam buku Fiqih Wanita. Menutup aurat hukumnya wajib, berlaku bagi wanita yang masih muda yakni yang telah tiba masa haidhnya hingga masa terhentinya haid. Sedangkan wanita yang telah melampaui masa ini, mendapatkan keringanan hukum. Dijelaskan dalam Firman Allah Swt sebagai berikut:
َاء َالال ِتيَالَير ُجون َنِكا ًحاَفليس َعلي ِه َّن َ ُجنا ٌح َأن َيضعن َ ِثياب ُه َّن ِ َُمن َالنِس ِ والقوا ِعد 35 َّللاَُس ِمي ٌَعَع ِلي ٌَم ََّ غيرَ ُمتب ِرجاتٍَبِ ِزينةٍَوأنَيستع ِففنَخي ٌرَل ُه َّنَو “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Berdasar ayat di atas, alasan bagi pengecualian di atas tampaknya berkaitan dengan surutnya gairah dan daya tarik seksual pada wanita usia lanjut.
QS. al-Isrā’ Ayat 32. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 14-15. 35 QS. al-Nūr Ayat 60. 33 34
36
Sementara, faktor seksual tersebut justru merupakan dasar bagi perintah menutup aurat sebagai diuraikan dalam pembahasan di atas.36 Dengan demikian, dari pemaparan di atas pada bab ini, diketahui bahwa hadis perempuan adalah aurat ini adalah bukan menunjukkan bahwa seluruhnya aurat, tetapi hadis ini adalah hadis umum yang kemudian di takhsis dengan keterangan-keterangan batasan aurat perempuan di atas, dan merupakan kewajiban perempuan untuk menjaga kehormatan dan kesucian dirinya apabila hendak bertemu dengan orang lain yang bukan mahram. Yang kemudian pada bab selanjutnya akan dipaparkan pemahaman dari teks asli hadis tentang perempuan adalah aurat dan pemahaman kontekstual berdasarkan informasi yang diperoleh dari kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan hadis dan konteks masa sekarang, namun sebelumnya akan dibahas mengenai keotentikan hadis tersebut.
36
Shahab, Jilbab menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 61-62.
BAB III OTENTISITAS HADIS “PEREMPUAN ADALAH AURAT”
A. Teks Hadis dan Terjemahnya
َّ حدَّثناَ ُمح َّمدَُب ُنَب ََقَعن ِ ارَحدَّثناَعم ُروَب ُنَع ٍ ش ٍ اص ٍمَحدَّثناَه َّما ٌمَعنَقتادةَعنَ ُمو ِر َّ َََّّللاِ َعن َالنَّ ِبي َِصل َّ ص َعن َعب ِد َىََّللاُ َعلي ِه َوسلَّم َقال َالمرأة ُ َعورة ٌ َفإِذا ِ أبِيَاألحو 1ُ َّ خرجتَاستشرفهاَال َ شيط ان “Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abī al-Ahwaṣ dari Abdullah dari Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan mengawasinya.”
B. Takhrij Hadis Takhrīj hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari kitab hadis yang bersangkutan, yang mana di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matn dan sanad hadis yang bersangkutan. Kegiatan takhrīj hadis bagi seorang peniliti hadis sangatlah penting, tanpa melakukanmya maka akan sulit diketahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti. Dengan demikian, ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij hadis dalam melaksanakan penelitian hadis,2 yaitu: 1. Untuk mengetahui asal-usul hadis yang akan diteliti 2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti
1 Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍaḥāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’ al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, no. hadis 1173, h. 467. 2 M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h. 42.
37
38
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Syahid dan Mutabi’ pada sanad yang akan diteliti. Ada empat metode dalam melakukan kegiatan takhrīj, yaitu: Pertama, melalui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, Kedua, melalui awal matan hadis, Ketiga, melalui kata-kata fi’il atau terambil dari fi’il yang jarang digunakan, dan Keempat, melalui tema.3 Namun di sini penulis hanya menggunakan tiga metode dari empat tersebut. 1. Melalui awal matan Dalam melakukan penelitian awal matan, penulis menggunakan referensi kitab Mausū’at Atraf al-Ḥadis al-Nabawī al-Syarīf karya Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi sebagai berikut:
َّ المرأةَُعورةٌَفإِذاَخرجتَاستشرفهاَال َ ان َُ شيط َ:5َ َ– َمنثور298َ:1َ َ– َنصب45045َ َ– َكنز1686َ َ– َخزيمة329َ َ– َحب1173َت 4 196 Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada keterangan di atas, jelas bahwa matan hadis tersebut terdapat pada: a. Sunan al-Tirmidzī terdapat pada hadis nomor 1173 b. Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān terdapat pada juz 1 nomor hadis 329 c. Ṣahīh Ibn Khuzaimah terdapat pada juz 3 nomor hadis 1686 d. Kanz al-‘Ummāl terdapat pada hadis nomor hadis 45045 3
Bustamin, dan M.Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), cet ke-1, h. 28. 4 Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī Zaghlūl, Mausū’at Atraf al-Ḥadits al-Nabawī al-Syarīf (Beirūt: Dār al-Fikr, 1989), jilid 8, h. 667.
39
e. Naṣab al-Rāyah terdapat pada juz 1 halaman 298 f. al-Dar al-Mantsūr li Suyuṭī terdapat pada juz 5 halaman 196 2. Melalui fi’il pada matan
Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis menggunakan kitab kamus hadis Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts alNabawī karangan A.J. Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :
َاستشرف، َشرف،عور,
penulis hanya menemukan hadis tersebut pada satu
periwayatan yaitu: َ 518َتَرضاع Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada keterangan di atas, jelas bahwa matan hadis tersebut terdapat pada: Hadis Imam al-Tirmidzī kitab al-Raḍā’ bab ke 18. 3. Penelusuran hadis melalui tema Untuk men-takhrij hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab Miftāḥ Kunūz al-Sunnah karangan Muḥammad Fu’ād al-Bāqi.6 Dan dari penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang diteliti. Berdasarkan penelitian di atas jelas bahwa matan perempuan adalah aurat terdapat dalam kitab-kitab hadis diantaranya: a. Sunan al-Tirmidzī terdapat pada hadis nomor 1173
َّ حدَّثناَ ُمح َّمدَُب ُنَب َقَعن ِ ارَحدَّثناَعم ُروَب ُنَع ٍ ش ٍ اص ٍمَحدَّثناَه َّما ٌمَعنَقتادةَعنَ ُمو ِر َّ َََّّللاِ َعن َالنَّ ِبي َِصل َّ ص َعن َعب ِد َىََّللاُ َعلَي ِه َوسلَّم َقال َالمرأة ُ َعورة ٌ َفإِذا ِ أبِيَاألحو 7ُ َّ خرجتَاستشرفهاَال َ شيط ان
A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī (Breil: Leiden, 1936), juz 3, h. 103. 6 Muḥammad Fu’ād al-Bāqi, Miftāḥ Kunūz al-Sunnah (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadis, 1991), cet ke-1, h. 351. 5
40
“Telah menceritakan kepada kamu Muḥammad bin Basysyār, telah menceritakan kepada kamu ‘Amr bin ‘Āṣim telah menceritakan kepada kami Hammām dari Qatādah dari Muwarriq dari Abī al-Ahwaṣ dari Abdullah dari Nabi Saw bersabda: “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan mengawasinya.” b. Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān terdapat pada juz 1 nomor hadis 329
َ َحدَّثنا: َقال، َحدَّثنا َ ُمح َّمد ُ َب ُن َال ُمثنَّى: َقال،َأخبرنا َ ُمح َّمد ُ َب ُن َإِسحاق َب ِن َ ُخزيمة َ َعن َأ ِبي،ِق َال ِعج ِلي ِ عم ُرو َب ُن َع ٍ َعن َ ُمو ِر، َعن َقتادة، َحدَّثنا َه َّما ٌم: َقال،اص ٍم َّ ََّع ِنَالنَّبِيَِصل،ََِّللا َّ َعنَعب ِد،ص ََفإِذا،ٌََ«المرأةَُعورة:ىََّللاَُعلي ِهَوسلَّمَقال ِ األحو 8 َّ خرجتَِاستشرفهاَال ُ بَماَت ُك ُ شيط »َمنَر ِبهاَ ِإذاَ ِهيَ ِفيَقع ِرَبي ِتها ِ ون ُ َوأقر،ان
“Telah menceritakan Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, ia berkata: telah menceritakan Muḥammad bin al-Mutsanna, ia berkata: telah menceritakan ‘Amr bin ‘Āṣim, ia berkata: telah menceritakan Hammām, dari Qatādah, dari Muwarriq al-Ijliy, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah, dari Nabi Saw bersabda: “sesungguhnya wanita itu aurat. Apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya adalah di dalam rumah.” c. Ṣahīh Ibn Khuzaimah terdapat pada juz 3 nomor hadis 1686
ُ َس ِمعتُ َأ ِبي َيُحد: َثنا َال ُمعت ِم ُر َقال،نا َأحمد ُ َب ُن َال ِمقد ِام َ َعن َأ ِبي، َعن َقَتادة،ِث َّ سو ِل َّ َعن َعب ِد،ص َ:ََّللاِ َصلَّىَهللاُ َعلي ِه َوسلَّم َأنَّهَُقال ُ َعن َر،ٍََّللاِ َب ِن َمسعُود ِ األحو َّ ت َاستشرفهاَال ُ َو ِإنَّهاَال َت ُك،ان ُ شيط َََّللا ََِّ ون َ ِإلىَوج ِه ِ َو ِإنَّهاَ ِإذاَخرج،ٌ«المرأة َُعورة 9 »َمنهاَفِيَقع ِرَبي ِتها ِ أقرب “Telah menceritakan Aḥmad bin al-Miqdām, telah menceritakan alMu’tamir, ia berkata: aku mendengar hadis dari ayahku, ia menceritakan dari Qatādah, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah bin Mas’ūd, dari Ralullah Saw bahwasannya Rasulullah bersabda: sesungguhnya wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Dan wanita itu akan dapat dekat dengan Tuhannya manakala ia berada di dalam rumahnya.”
d. Kanz al-‘Ummāl terdapat pada hadis nomor 45045 Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-ḍaḥāk al-Tirmidzī (W. 279 H), al-Jāmi’ al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998), Juz 2, h. 467. 8 Abū al-Ḥasan Nūruddīn ‘Alī bin Abī Bakr al-Ḥaitsamī (w.807H), Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān (T.tp.:Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz. 1, h. 103. 9 Abū Bakr Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah (w.311H), Ṣahīh Ibn Khuzaimah (Beirūt: al-Maktab al-Islāmī, t.t.), Juz, 3, h. 93. 7
41
10
"َعنَابنَمسعود-ََ"ت.َفإذاَخرجتَاستشرفهاَالشيطان،المرأةَعورة
“sesungguhnya wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya.” “Sunan al-Tirmidzī-dari Ibn Mas’ūd” e. Naṣab al-Rāyah terdapat pada juz 1 halaman 298
ُ الحد َي َّ ِيث ُّ َأخرجهَُالتِر ِم ِذ:َقُلت،"ٌَ"المرأةَُعورة ٌَمستُورة:َقالَعليهَالسالم:َالرابِ ُع َف َب ِن ِ ِف ِ صَعنَعو َّ يَآخ ِر ِ ق َعنَأ ِبيَاألحو ٍ َالرضاعَِعنَه َّم ٍامَعنَقتادةَعنَ ُمو ِر َّ ََّللاِ َبَ ِن َمسعُو ٍد َعن َالنَّبِيَ ِ صلَّى َُ َ"المرأة:ََّللاُ َعلي ِه َوسلَّم َأنَّهُ َقال ََّ مالِكٍ َعن َعب ِد ٌ َحد: َوقال. َانتهى،"ان َّ َفإِذا َخرجت َاستشرفها َال،ٌعورة ُ شيط َِيث َحس ٌن َص ِحي ٌح 11 ٌَ غ ِر يب (Hadits
Hasan ṣahīh Gharīb: hadis ini memiliki dua sanad, yang shahih dan
hasan, lalu hadis ini tidak memiliki syahid dari jalur lain oleh karenanya hadis ini berkualitas gharib). Lihat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), h. 162. f. al-Dar al-Mantsūr li Suyuṭī terdapat pada juz 6 halaman 600
َضيَهللاَعنهَُعنَالنَّ ِبيَصلىَهللاَعلي ِه ِ وَأخرجَالتِر ِمذِيَوالب َّزارَعنَابنَمسعُودَر َّ وسلمَقال َإِنَالمرأةَعورةَفإِذاَخرجتَاستشرفهاَال َشيطانَوأقربَماَتكونَمن 12
رحمةَربهاَو ِهيَفِيَقعرَبيتها َ
C. I’tibār Sanad Kata al-I’tibār ( )االعتبارmerupakan maṣdar dari kata ( )اعتبرyang menurut bahasa adalah: peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang jelas. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, ali’tibār berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak hanya seorang perawi saja; dan ‘Ala’uddīn ‘Alī ibn Hisām al-Dīn ibn Qāḍī Khān al-Qādirī al-Syādzilī al-Hindī (w.975H), Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl (Beirūt: Mu’assasah al-Risālah, 1981.), cet ke 5, Juz 16, h. 369. 11 Jamāluddīn Abū Muḥammad ‘Abdillah bin Yūsuf (w.762H), Naṣab al-Rāyah al-Ẓīla’ī (Beirūt: Dār al-Qilabah, 1997), juz. 1, h. 298. 12 ‘Abdurraḥman bin Abī Bakr Jalaluddīn al-Suyūṭī (w.911), al-Dar al-Mantsūr (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), juz. 6, h. 600. 10
42
dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.13 Melalui i’tibār ini pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti ini memiliki syahīd14 atau mutabi’15 dari jalur lain. Dalam hal ini hadis-hadis “perempuan adalah aurat”, i’tibār sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada lampiran. Namun disini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad dari hadis Sunan al-Tirmidzī. Ṣahīh Ibn Khuzaimah dan Ṣahīh Ibn Ḥibān di atas secara rinci. Melalui penelitian yang telah dilakukan pada kitab-kitab induk hadis dan seperti hasil yang didapat pada keterangan hadis di atas. Nampak bahwa Rasulullah Saw meriwayatkan hadis “perempuan adalah aurat jika ia keluar rumah maka setan akan mengawasinya” memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud, sehingga hadis ini jelas tidak memiliki syahīd. Namun pada jalur kedua sampai ke tujuh hadis ini memiliki mutabi’.
D. Analisis Sanad Hadis Adapun riwayat yang akan penulis cantumkan terdapat dalam table berikut ini:
صحيحَابنَخزيمة
رويةَالحديث صحيحَابنَحبان
الترمذي
َأحمد َُب ُنَال ِمقد ِام
َخزَيَمة َُ َُمح ََّمد َُب ُنَإِسحاقَب ِن
َّ ُمح َّمد َُب ُنَب َار ٍ ش
Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 49. Syahid dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahīd ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. 15 Mutabi’ biasa juga disebut tabi’ dengan jamak tawabi’ ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. 13 14
43
َال ُمعت ِم ُر
ُمح َّمد َُب ُنَال ُمثنَّى
َاص ٍم ِ عم ُروَب ُنَع
أ ِبي
َاص ٍم ِ عم ُروَب ُنَع
َه َّما ٌم
َقتادة
َه َّما ٌم
َقتادة
َص ِ أبِيَاألحو
َقتادة
َق ٍ ُمو ِر
َّ عبد َ ََِّللاَِب ِنَمس َعُو ٍَد
َق ٍَ ُمو ِر
َص َ ِ أ ِبيَاألحو
َص ِ أ ِبيَاألحو
ََّ عبد ََِِّللا
ََِّ عبد ََِّللا Dilihat dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa terdapat riwayat yang berakhir pada jalur yang sama yaitu sahabat Abdullah bin Mas’ūd. Adapun uraian periwayat hadis tersebut ialah sebagai berikut: Jalur sanad dari Imam al-Tirmidzī 1. Abdullah bin Mas’ūd Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ūd bin Ghafīl bin Habīb bin Syamḥ bin Fār bin Makhzūm, beliau adalah seorang sahabat, beliau mempunyai kuniyah Abū ‘Abd al-Raḥman al-Ḥudzlī, semasa hidupnya beliau tinggal di Kuffah. Kemudian menurut al-Bukhari beliau meninggal di Madinah, dan menurut Abū Nu’aim beliau wafat pada tahun 32 H, beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw, Sa’d bin Mu’ādz, ‘Umar, dan lain-lain. Dan meriwayatkan hadis kepada ‘Abd Al-Rahman bin Abī Lailī, ‘Ubaidah bin ‘Amr al-Salmānī, Abū al-Ahwaṣ, Abū ‘Usmān al-Hindi, Abu Maysarah ‘Amr bin Syarhabīl dan lain-
44
lain.16 Tentang kualitasnya tidak banyak komentar dari ulama, oleh karena itu kembali kepada prinsip keadilah sahabat. 2. Abī al-Ahwaṣ Abī al-Ahwaṣ adalah Kuniyah dari seseorang yang bernama ‘Auf bin Mālik bin Naẓolah al-Asyja’ī, beliau adalah seorang tabi’in dari kalangan pertengahan, dan negeri semasa hidupnya adalah Kuffah. Beliau meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas’ūd, ‘Urwah bin al-Mughīrah ibn Syu’bah, ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan lain-lain, dan meriwayatkan hadis kepada Ibrāhīm bin Muslim, Ibrāhīm bin Muhājir, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair, Muwariq al-‘Ijliy, Abū Fazārah, dan lain-lain. Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; menurut Isḥaq bin Manṣūr dari Yaḥya bin Ma’īn beliau adalah seorang yang tsiqah dan disebutkan pula oleh Ibn Ḥibbān di dalam kitan al-Tsiqāh.17 3. Muwarriq Nama lengkap beliau adalah Muwarriq bin Misymaraj, orang-orang Bashrah menyebutnya dengan Abū al-Mu’tamir. Dan beliau wafat pada tahun 105 H. Beliau meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Salman al-Farisi, ‘Abdullah bin ‘Abbās, Abī al-Ahwaṣ al-Jisymī, dan lain-lain. Kemudian beliau meriwayatkan kepada Ismā’īl bin Abī Khālid, Jamīl bin Murrah, Qatādah, Muslim bin Muslim, Mūsa bin Tsarwān, Abū al-Tiyāh, dan lain-lain.
Abū al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb (al-Hindi: Maṭba’ah Dāirah al-Ma’ārif, 1326H), juz 6, h. 27-28. 17 Yūsuf bin Abd al-Raḥman bin Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl (Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980), juz 22, h. 45. 16
45
Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; menurut alNasā’i beliau adalah seorang yang tsiqah, kemudian disebutkan pula oleh Ibn Hibban dalam karyanya al-Tsiqāh.18 4. Qatādah Nama lengkap beliau adalah Qatādah bin Da’āmah bin Qatādah, beliau berasala dari kalangan biasa dan mempunyai kuniyah Abū al-Khaththābah, negeri semasa beliau hidup adalah Bashrah dan beliau wafat pada tahun 117 H, sedangkan menurut Abū ‘Urūbah beliau wafat pada Tahun 200 H19. Beliau meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Abi Sa’id al-Khudri, Muwarriq, Abi Sa’id al-Azda, Abi Sa’id al-Khudri, Abi ‘Usman al-Nahdi, Abi Marrah al-Ghafari, ‘Amru bin Dīnār, Muḥammad bin Sirrīn, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis kepada Jarīr bin Hazam, Syubah, Yazīd Ibn Ibrāhīm al-Tastari, Hammām bin Yaḥya, ‘Amru bin Ḥaris, ‘Umar bin Ibrāhīm al-`Abdi, Qurrah bin Khālid, dan lain-lain.20 Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan oleh Yaḥya bin Ma’īn beliau adalah tsiqah, sedangkan Muḥammad bin Sa’īd mengatakan bahwa beliau adalah tsiqah ma’mun. sedangkan dalam kitab Lisān al-Mīzān karya Ibn Hajar terdapat perbedaan tentang keterangan atas ketsiqahannya.21 5. Hammām bin Yaḥya Nama lengkapnya adalah Hammām bin Yaḥya bin Dīnār al-‘Audzī alMahlamī, beliau adalah seorang tabi’in namun tidak berjumpa dengan sahabat, dan beliau memiliki kuniyah Abū ‘Abdullah, negeri semasa hidupnya yaitu di al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 29, h. 17. al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, juz 8, h. 357. 20 al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, Juz 8, h. 351-357. 21 Abū al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar al-Asqalānī (w.825 H), Lisān al-Mīzān (Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 2002), juz 9, hlm. 395. 18 19
46
Bashrah. Pada keterangan tentang wafatnya beliau banyak perbedaan pendapat, diantaranya al-Bukhari mengatakan dari Muḥammad bin Maḥbūb Hammām wafat pada tahun 163 H, sedangkan menurut Ibn Ḥibbān beliau wafat pada bulan Ramadhan tahun 164 H, dan menurut Abū al-Ḥasan dari Aḥmad bin Ḥanbal Hammām meninggal antara tahun 164 dan 165 H.22 dan beliau meriwayatkan hadis dari Qatādah, Ishāq bin Abī Ṭalhah, Yazid bin Aslan, Muḥammad bin Zuhadah, Anas bin Syarin, Ziyad bin Sa’īd, dan lain-lain. Kemudian beliau meriwayatkan hadis kepada Aḥmad bin Ishāq al-Hadzaramī, Ḥiban bin Hilāl, Yazīd bin Harun, Abdullah bin Razaq, ‘Amr bin ‘Āṣim, dan lain-lain.23 Tentang kritikan para kritikus hadis kepadanya dikatakan; Yazid bin Harun mengatakan bahwa Hammām bin Yaḥya adalah seorang yang Qawi’ fi hadits, sedangkan Yaḥya bin Ma’īn dan Abu Khatim al-Razi mengatakan beliau sebagai orang yang tsiqah. 6. ‘Amr bin ‘Āṣim Nama Lengkapnya adalah ‘Amr bin ‘Āṣim bin ‘Ubaidillah bin al-Wāzi’ alKilābī al-Qiyasī, beliau mempunyai kuniyah yaitu Abū ‘Utsmān al-Baṣrī, beliau berasal dari Tabi’ut Tabi’in kalangan biasa, semasa hidupnya beliau tinggal di Bashrah. Dan beliau wafat pada tahun 213 H. beliau meriwayatkan hadis dari Ishāq bin Yaḥya bin Ṭalhah, Hubban, Abdul Waḥid bin Ziyād, Hammām bin Yaḥya, Mu`tamar bin Sulaimān, Qarīb bin Abdul Malik, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis kepada al-Bukhārī, Ibrāhīm bin al-Mustamir, Ibrāhīm bin
22 23
al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 30, h. 310. al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 30, h. 302-303.
47
Maktūm, Ibrāhīm bin Ya`kub, Ishāq bin Sayār, Muḥammad bin Basysyār, Muḥammad bin Abdullah al-Zuḥri.24 Pendapat para kritikus tentangnya adalah, Yaḥya bin Ma’īn mengatakan dia adalah seorang yang ṣāliḥ dan Muḥammad bin Sa’īd mengatakan tsiqah, alNasā’i mengatakan laisa bihi ba’sa, dan Ibn Ḥibbān menyebutkan dalam karyanya al-Tsiqāh.25 7. Muḥammad bin Basysyār Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin Basysyār bin ‘Utsman bin Dāwud bin Kaisān al-‘Abdī, semasa hidupnya beliau tinggal di Kota Bashrah, dan beliau wafat pada tahun 252 H. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibrāhīm bin ‘Umar bin Abī al-Wazīr, Azhar ibn Sa’ad al-Samāni, Ja’far bin ‘Aun, Ḥajjāj bin Minhāl, Sālim bin Nūḥ, ‘Amr bin ‘Āṣim, ‘Utsman bin ‘Umar bin Fāris, dan lainlain. Dan meriwayatkan kepada al-Jamā’ah, Ibrāhīm bin Ishāq, Abū Bakar Aḥmad bin ‘Alī, Isḥāq bin Ibrāhīm, Isḥāq bin Abī ‘Imrān, Ismā’īl bin Nafīl, dan lain-lain. Pendapat para kritikus tentangnya adalah, menurut al-‘Ijliy Muḥammad bin Basysyār adalah seorang yang tsiqah, Abu Ḥātim mengatakan bahwa ia adalah ṣadūq, dan menurut al-Nasā’i beliau adalah seorang ṣāliḥ. Sedangkan menurut Ibn Ḥibbān beliau menghafalkan hadisnya dan membacakan apa yang dia hafalkan.26 Begitu juga imam al-Daruqutnī mengkategorikannya sebagai seorang hāfiẓ dan tsabat.27
al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 22, h. 88. al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 22, h. 89. 26 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 24, h. 511-518. 27 al-Asqalānī (w.852H), Tahdzīb al-Tahdzīb, juz 5, h. 497. 24 25
48
8. al-Tirmidzī Nama aslinya adalah Muḥammad ibn ‘Isa ibn Surah ibn Musa ibn alDaḥḥak al-Sulami al-Tirmidzī, beliau merupakan salah satu dari para imam ahli hadis yang enam (al-Bukārī, Muslim, Abū Dāwud, al-Tirmidzī, al-Nasā’i, Ibn Mājah). Beliau adalah pengarang al-Jami’ al-Kabīr (Sunan al-Tirmidzī), beliau tergolong tabaqah 12, beliau wafat pada tahun 279 H. Beliau banyak berpindahpindah tempat dalam perjalan intelektualnya, yang diantaranya adalah, Khurasan, Iraq, Hijaj dan lain sebagainya.28 Beliau banyak meriwayatkan hadis dari: Qutaibah ibn Sa’id, Muḥammad ibn Basysyār, Ali bin Ḥajar dan lain sebagainya. Beliau banyak meriwayatkan hadis kepada: Aḥmad bin Yūsuf al-Nasafiy, Robi’ ibn Ḥayyan al-Baḥili, dan lain sebagainya.29 Sebagaimana saya sebutkan di atas bahwa al-Tirmidzī adalah salah satu Imam dalam hadis, karyanya al-Jami’ al-Kabīr menjadi salah satu karya yang fenomenal di bidang hadis dan menjadi rujukan para ulama-ulama hadis pasca beliau. Nampaknya tidak ada satupun ulama yang mempertanyakan kapasitas keilmuan beliau di dalam bidang hadis. Ibn Ḥibbān, selain mencantumkan nama besar al-Tirmidzī di dalam al-Tsiqatnya, juga berkomentar bahwa al-Tirmidzī adalah seorang Imām, Hāfiẓ, pengarang kitab, penghimpun hadis, dan juga manusia yang jenius.30 Dalam periwayatan al-Tirmidzī terdapat salah seorang perawi yang masih bersifat ṣadūq menurut Abu Ḥātim dan menurut al-Nasā’i beliau adalah ṣāliḥ ia Jamaluddīn Abi al-Hajjāj Yūsuf al-Maziy, Tahdzīb al-Kamāl (Beirut: Muassasah arRisalah, 1403 H.) juz 26 h. 251. 29 al-Maziy, Tahdzīb al-Kamāl, juz 26 h. 251. 30 al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 26, h. 252. 28
49
adalah Muḥammad bin Basysyār, juga ‘Amr bin ‘Āṣim seorang ṣāliḥ menurut alNasā’i yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya) belum sempurna, sehingga hadis ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzatih. Jalur sanad dari Imam Ibn Ḥibbān 1. Abdillah bin Mas’ūd (telah dijelaskan di halaman 46) 2. Abī al-Ahwaṣ (telah dijelaskan di halaman 46) 3. Muwarriq al-‘Ijliy (telah dijelaskan di halaman 47) 4. Qatādah (telah dijelaskan di halaman 47) 5. Hammām (telah dijelaskan di halaman 48) 6. ‘Amr bin ‘Āṣim (telah dijelaskan di halaman 49) 7. Muḥammad bin al-Mutsanna Nama lengkap beliau adalah Muḥammad bin al-Mutsanna bin ‘Ubais bin Qais bin Dīnār al-‘Inzī, Abū mūsa al-Baṣri, beliau semasa hidupnya tinggal di Bashrah. Beliau wafat pada tahun 252 H. Meriwayatkan hadis dari Abī Ishāq Ibrāhīm bin Ishāq, Ibrāhīm bin Ṣālih bin Dirham, Basysyār bin ‘Umar al-Jahrāni, Ḥajjāj bin Minhāl, Sahl bin Yūsuf, ‘Abd al-A’la, Mu’tamir bin Sulaimān, ‘Amr bin ‘Aṣim al-Kilābi, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis kepada alJamā’ah, Abū Ya’la Aḥmad bin ‘Alī, Zakaria bin Yaḥya al-Sājī, Abdullah bin
50
Muḥammad ibn Nājiyah, Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, Muḥammad bin Hārūn, dan lain-lain.31 Pendapat kritikus tentangnya yaitu menurut Abū Ḥātim ia adalah seorang ṣaliḥ al-ḥadīts dan ṣadūq, menurut abū ‘Urūbah al-Harānī mengatakan aku tidak melihat seorangpun di Bashrah yang lebih tsabit dari Abu Musa dan menurut alNasā’i la ba’sa bihi, menurut Abū Bakar al-Khaṭib ia adalah seorang yang ṣadūq, wara’, faẓal, ‘āqalan (bijaksana).32 8. Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah Nama asli beliau adalah Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah Abū Bakar alSalami al-Naisābūri, beliau meninggal pada malam sabtu setelah isya pada bulan Dzul Qa’dah tahun 311 H. beliau meriwayatkan hadis dari Ishāq, ‘Ali bin Ḥajar, Aḥmad bin ‘Abdūs, dan lain-lain. Dan beliau adalah seorang yang ṣadūq dan tsiqah. dan meriwayatkan hadis kepada Ḥasan bin Sufyan, dan juga Abū Ḥāmid al-Syarqī, dan lain-lain.33 9. Ibn Ḥibbān Nama lengkapnya adalah Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad bin Ḥibbān bin Mu’adz bin Ma’bud bin Sa’īd bin Syahīd. Beliau wafat pada tahun 354 H. Meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Muḥammad bin Salim, Abī Bakar bin Khuzaimah, Abī al-Abbas al-Siraj, Muḥammad bin Al-Ḥasan bin Qutaibah, Muḥammad bin Idrīs al-Anṣari, dan lain-lain. Dan meriwayatkan hadis kepada al-
al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 26, h. 362. al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 26, h. 364. 33 Abū al-Fidā’ Zainuddin Qāsim bin Qutlubagha, al-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fi al-Kitab al-Sittah (Yaman: Dār al-Islamiyah, 2011), juz 8, h. 173-174. 31 32
51
Ḥākim Abū ‘Abdullah al-Ḥafiẓ, Abū ‘Ali Manṣur bin Abdullah bin Khalid, Abū Mu’adz ‘Abdurraḥman bin Muḥammad, Abu al-Ḥasan bin Aḥmad bin Muḥammad, dan lain-lain.34 Pendapat kritikus tentangnya adalah menurut Abū Sa’ad al-Idrīs beliau adalah seorang hakim di kota Samarkan, juga seorang dari ahli fiqih agama, dan seorang hafiẓ, seorang ilmuan dalam bidang kedokteran, astronomi, dan ilmu seni, menurut al-Ḥākim beliau adalah seorang ulama tertinggi dalam bidang fiqih, bahasa, hadis, dan seorang khatib, menurut al-Khatīb beliau adalah seorang tsiqah, terhormat dan faham.35 Jalur sanad dari Imam Ibn Khuzaimah 1. Abdillah bin Mas’ūd (telah dijelaskan di halaman 46) 2. Abī al-Ahwaṣ (telah dijelaskan di halaman 46) 3. Qatādah (telah dijelaskan di halaman 47) 4. Abī Nama aslinya adalah Sulaimān bin Ṭarhān al-Taymiy Abū al-Mu’tamir alBaṣriy, beliau wafat di Bashrah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 143 H. beliau meriwayatkan hadis kepada Anas bin Mālik, Barkah Abi al-Walīd, Sa’īd bin Abī al-Ḥasan al-Baṣri, Sulaimān al-A’masy, Qatādah bin Da’āmah, ‘Abdurraḥman bin Adam, Abī Tamīmah al-Hajīmī, dan lain-lain. Dan meriwayatkan hadis kepada
34
Abū al-Qāsim ‘Alī bin al-Ḥasan, Tārīkh Damasyqi (Dār al-Fikr, 1996), juz 52, h. 249-
253. 35 Syamsuddin Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad, Tarīkh al-Islami wa Wafiyat alMasyāhiru wa al-A’lām (Dār al-Gharbi al-Islamī, 2003), juz 8, h. 73.
52
Ibrāhīm bin Sa’ad, Asbaṭ bin Muḥammad, Ismā’īl bin ‘Uliyah, Sufyan bin Ḥabīb, Sufyan bin ‘Uyaynah, ‘Abdullah bin al-Mubārak, Mu’adz bin Mu’adz, dan anaknya Mu’tamir bin Sulaimān, Yazid bin Sufyan, dan lain-lain. Pendapat kritikus tentangnya adalah menurut ‘Ali bin al-Madini dia adalah seorang Mu’ṭi al-ḥadis, menurut Aḥmad bin Ḥanbal beliau seorang tsiqah, dan menurut Yaḥya bin Ma’īn dan an-Nasā’i adalah tsiqah, dan Aḥmad bin ‘Abdullah al-‘Ijliy dia seorang yang tsiqah, begitu juga menurut Muḥammad bin Sa’ad.36 5. al-Mu’tamir Nama lengkap beliau adalah Mu’tamir bin Sulaimān bin Ṭarhān al-Taymī, Abū Muhammad al-Baṣriy. Beliau tinggal di Bashrah dan wafat pada bulan Muharram tahun 187 H. Beliau meriwayatkan hadis dari Ayahnya, Ibrāhīm bin Yazīd al-Hauzī, Ishāq bin Sawīd, Ismā’īl bin Hamād, Iyās bin Daghfil, Khālid alḤidzā’i, Yūnus bin ‘Ubaid, dan lain-lain, beliau meriwayatkan hadis kepada Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad bin ‘Abdah, Abū al-Asy’ats Aḥmad bin al-Miqdām al-‘Ijliy, Ḥāmid bin ‘Umar al-Bukrāwī, Ḥajjāj bin Minhāl, Hamīd bin Mas’adah, Khalīfah bin Khiyāṭ, dan lain-lain. Pendapat para kritikus tentangnya adalah, menurut Yaḥya bin Ma’īn ia seorang yang tsiqah, menurut Abū Ḥātim ia adalah seorang yang tsiqah ṣadūq, dan menurut Muḥammad bin Sa’ad ia adalah seorang yang tsiqah.37
36 37
al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 12, h. 5-7. al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz. 28, h. 254.
53
6. Aḥmad bin al-Miqdām al-Ijliy Nama lengkap beliau adalah Aḥmad bin al-Miqdām bin Sulaimān bin alAsy’ats ibn Aslam bin Suwaid bin al-Aswad bin Rabī’ah bin Sanān al-Ijlī, Abū alAsy’ats, semasa hidupnya beliau tinggal di Bashrah, dan wafat pada tahun 253 H. Beliau meriwayatkan dari Umiyah bin Khāid, Basyr bin al-Mufaḍḍal, Hazm bin Abī al-Alqaṭ’ī, Ḥammād bin Zaid, Khālid bin al-Ḥārits, Muḥammad bin Abī ‘Adiy, Mu’tamar bin Sulaimān, dan lain-lain. Dan beliau meriwayatkan hadis kepada al-Bukharī, al-Tirmidzī, al-Nasā’i, Ibn Mājah, Abū ‘Abdullah Ahmad bin ‘Alī al-‘Ala’, Ḥusain bin Ismā’īl, Abū ‘Urūbah al-Ḥusain bin Muḥammad alḤarānī, ‘Abdullah bin Ja’far bin Aḥmad bin Khasyīsy, Abū Zur’ah ‘Ubaidillah, dan lain-lain. Pendapat kritikus tentangnya adalah menurut Abū Hātim ia adalah seorang yang ṣāliḥ al-ḥadīts dan ṣadūq. Menurut Ṣāliḥ bin Muḥammad alBaghdādiy beliau seorang yang tsiqah, Abu Bakar bin Khuzaimah berpendapat dia adalah seorang ahli hadis. Dan menurut al-Nasā’i adalah laisa bihi ba’sa.38 7. Ibn Khuzaimah (telah dijelaskan di halaman 52) D. Kesimpulan (Natijah) Kesimpulan yang didapat setelah melakukan penelitian di atas, bahwa hadis “perempuan adalah aurat” semua hadis di atas bersandar pada Rasulullah artinya semua berkategori marfu’. Dan merupakan hadis aḥad dan ditinjau dari jumlah perawi yang meriwayatkan hadis di atas, hanya diriwayatkan oleh sahabat ‘Abdullah bin Mas’ūd bahkan hingga tabi’-tabi’in diriwayatkan oleh satu perawi saja oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis gharib.
38
al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl, juz 1, h. 488-490.
54
Dalam periwayatan Imam al-Tirmidzī terdapat salah seorang perawi yang masih bersifat ṣadūq menurut Abu Ḥātim dan menurut al-Nasā’i beliau adalah ṣāliḥ ia adalah Muḥammad bin Basysyār, juga ‘Amr bin ‘Āṣim seorang ṣāliḥ menurut al-Nasā’i yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya) belum sempurna, sehingga hadis ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzātih. Dalam periwayatan Ibn Ḥibān dapat disimpulkan bahwa dalam periwayatannya masih ada salah seorang perawi yang masih bersifat ṣadūq dan menurut al-Nasā’i laisa bihi ba’sa yaitu, Muḥammad bin al-Mutsanna yang berarti bahwa hafalannya (ḍabitnya) belum sempurna sehingga hadis ini berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzātih. Begitu juga dalam periwayatan Ibn Khuzaimah terdapat perawi yaitu Aḥmad bin al-Miqdām al-Ijliy menurut Abū Ḥātim ia adalah seorang yang ṣāliḥ al-ḥadīts dan ṣadūq, dan menurut al-Nasā’i adalah laisa bihi ba’sa yang artinya jalur sanad Ibn Khuzaimah pun tidak mencapai tingkatan ṣahīh hanya berada pada tingkatan hadis ḥasan li dzātih. Kemudian dapat disimpulkan bahwa hadis imam alTirmidzī yang mulanya berkualitas ḥasan li dzātih, terdapat hadis yang memiliki satu lafadz dan satu makna dari jalur Ibn Ḥibān yang berkualitas ḥasan li dzātih dan jalur Ibn Khuzaimah berkualitas ḥasan lin dzātih maka status hadis tersebut derajatnya naik menjadi ṣahīh li ghairih39.
Ṣahīh li ghairih adalah hadis hasan li dzātih ketika ada periwayatan melalui jalan yang sama atau lebih kuat dari padanya. Lihat abdul majid khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 155 39
BAB IV KONTRADIKSI ANTARA PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL HADIS PEREMPUAN ADALAH AURAT
Sejak Islam datang, kedudukan kaum perempuan mulai dihormati, karena Islam membawa dan mengajarkan persamaan (al-Musāwah) di antara sesama makhluk Tuhan. Islam mengikrarkan bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini setara di hadapan Tuhan. Dengan demikian, tidak ada kekuatan yang mampu mengambil kebebasan individu, baik itu dengan harta, pangkat, derajat, atau bahkan Negara. Semua manusia memiliki nilai dan perlakuan yang sama, tidak ada yang lebih istimewa juga tidak ada yang lebih hina, hanya tingkat ketaqwaan yang membedakan manusia di hadapan Tuhannya.1 Dan al-Qur’an telah menjadikan laki-laki dan perempuan itu berdampingan mengemban tanggung jawab islam, yakni tanggung jawab amar ma’rūf nahī munkar.
َوف َوينهون َع ِن ُ وال ُمؤ ِمنُون َوال ُمؤ ِمناتُ َبع ِ ض َيأ ُم ُرون َ ِبالمع ُر ٍ ض ُهم َأو ِليا ُء َبع َّ صلَوةَ َويُؤتُون َسولهَُأُولَئِك َسيرح ُم ُه ُم ََّ َ َالزكَوةَ َوي ُِطيعُون ُ َّللا َور َّ ال ُمنك ِر َويُ ِقي ُمون َال 2 ٌ َّللاَع ِز يزَح ِكي ٌَم ََّ َن ََّ َّللاَُ ِإ ََّ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah dalam makna al-Qur’an di atas maka ia wajib menuntut ilmu untuk meluruskan akidah dan ibadahnya. Begitu pula, untuk memperbaiki perilakunya yang sesuai dengan
1 2
Lihat QS. al-Hujurat ayat 13. QS. al-Taubah ayat 71.
55
56
etika islam dalam berpakaian, berdandan, dan lain-lain, mengetahui yang halal dan yang haram, hak dan kewajibannya. Boleh jadi ia meningkatkan ilmunya hingga tingkatan mujtahid. Terlepas hal-hal di atas, dalam hadis Rasulullah Saw terdapat beberapa informasi yang bertentangan dengan hal tersebut yaitu hadis tentang larangan perempuan keluar dari rumah tanpa mahram dan tanpa seizin suaminya, dan hadis yang menerangkan tentang perempuan adalah sumber fitnah. Hadis-hadis tersebut merupakan larangan yang dipahami secara harfiah (tekstual). Terdapat pula hadis tentang “perempuan adalah aurat…..” sebagai berikut:
َّ المرأةَُعورةٌَفإِذاَخرجتَاستشرفهاَال ُ بَماَت ُك ََمنَر ِبهاَ ِإذاَ ِهيََفِي َُ شيط ِ ون ُ ان وَأقر .قع ِرَبي ِتها “Perempuan adalah aurat apabila ia keluar maka setan akan mengawasinya, sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya adalah di dalam rumahnya. Hadis-hadis tersebut disamping populer juga membawa dampak yang tidak baik terhadap ajaran Islam yang dikenal mempunyai ajaran rahmatan lil ‘alamīn (rahmat bagi seluruh alam). Kalau hadis ini dipahami secara tekstual terasa bahwa Islam adalah agama yang mendiskriditkan posisi perempuan terutama di ranah publik. Salah satu penyebab ini semua adalah adanya beberapa hadis yang dinilai bias gender yang menyudutkan perempuan yang menuntut para peniliti hadis untuk meneliti seberapa besar hubungan antara degenerasi perempuan Islam dengan kodifikasi hadis. Sehingga banyak para sarjana baik klasik ataupun modern melakukan pemahaman terhadap hadis melalui pemahaman secara tekstual dan kontekstual.
57
A. Afirmasi Pemahaman Tekstual Hadis “Perempuan adalah Aurat” Jika ditelaah lebih jauh hadis ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap makna teks hadis tersebut dan makna konteks yang dimaksud dalam hadis tersebut. Berikut beberapa penggalan lafadz yang akan dibahas: pertama;
ٌ الَمرأة ُ َعور َة,
kedua;
َت ِ فإِذا َخرج.
ketiga;
استشرَفها,
keempat;
َّ ال. kemudian kelima adalah tambahan lafadz dari hadis Ibn Ḥibān dan Ibn ُ شيط َان ُ بَماَت ُك Khuzaimah yaitu; هيَفِيَقَع ِرَبيتِها ِ ََمنَر ِبهاَ ِإذا ِ ون ُ وأقر. Pertama, dalam hadis di atas diawali dengan lafadz
ٌ المرأة ُ َعورَة
(perempuan adalah aurat) yang mengandung pengertian yakni seorang perempuan terlihat buruk apabila menampakkan dirinya dihadapan seorang lakilaki.3 Seorang perempuan itu dirinya telah dijadikan sebagai aurat, karena sesungguhnya apabila nampak terlihat dari dirinya maka akan menimbulkan malu, sebagaimana aurat yang menimbulkan malu apabila ia terlihat.4 Perempuan juga dalam dirinya telah disifati dengan sifat ini (aurat), dan karena sifat ini maka seharusnya ia menutupnya.5 Dikatakan pula dalam kitab Syarah Ṣaghīr sesuai madzhab Imam Malik pada Juz Awwal: “bahwa aurat menurut aslinya adalah celah yang terdapat dalam tempat khusus dan lainnya, dan sesuatu yang dimungkinkan menimbulkan bahaya dan kerusakan.” Diantara kata aurat ialah Aurūl Makāni artinya terjadinya bahaya dan kerusakan dari tempat itu, dan firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya rumahrumah kami adalah aurat, artinya sepi dari sarana pertahanan yang bisa menyebabkan jatuhnya kerusakan di dalamnya. Dan wanita adalah aurat, karena
Zain al-dīn Muhammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w. 1031 H), al-Taysīr Bi Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr (al-Riyaḍ: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, 1988 M), Juz 2, h. 455. 4 Abū al-A’lā Muḥammad ‘Abdurraḥman bin ‘Abdurraḥim al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz 4, h. 283. 5 Zain al-dīn Muḥammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr (Mesir: al-Maktabah al-Tajāriyah al-Kubra, 1356), juz 6, h. 266. 3
58
dimunginkan terjadinya kerusakan pada orang yang melihatnya atau mendengar ucapannya, bukan dari kata aur yang memiliki arti jelek (buruk) karena tidak bisa dinyatakan dalam kecantikan wanita dan yang demikian itu karena cenderungnya jiwa kepadanya. Dan terkadang, dikatakan bahwa yang dimaksudkan buruk disini adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, meskipun secara naluri ia disenangi.6 Berdasarkan makna dzahir hadits perempuan adalah aurat, sebagian kalangan ulama fiqih menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya. Namun lafadz
ٌ المرأة ُ َعور َةadalah hadits umum yang menginformasikan
secara umum bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II mengenai batasan aurat perempuan.
Kedua, lafadz hadis selanjutnya yaitu
َّ ت َاستشرفها َال ُ شيط َان ِ فإِذا َخرج
(apabila ia keluar maka syetan akan mengawasinya). Dan apabila perempuan itu menampakkan perhiasannya kepada laki-laki dan laki-laki memandang kepada perempuan maka salah satunya akan terjatuh dalam fitnah syetan. 7 Menurut syarah hadis imam al-Tirmidzī apabila perempuan itu keluar rumah dan menampakkan perhiasannya, maka tidak menutup kemungkinan setan akan menggodanya dan perempuan itu tidak lepas dari godaan tersebut.8
6
Musa Shalih Syaraf, fatwa-fatwa kontemporer tentang problematika wanita (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 58-59. 7 ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī, al-Taysīr Bi Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, Juz 2, h. 455. 8 al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283.
59
استشرفها
Ketiga, lafadz
makna asli dari lafadz tersebut adalah
mengangkat pandangan untuk melihat kepada sesuatu, dan membuka telapak tangannya di atas orang yang berhijab.9 Dan dalam kitab Faiḍ al-Qadīr Syarh alJāmi’ al-Ṣaghīr lafadz
استشرفها
yakni mengangkat pandangan kepada seorang
perempuan untuk menggodanya, yaitu bisa jadi setan yang menggodanya atau perempuan itu sendiri yang sengaja menggoda dengan dirinya, oleh karena itu tidak dapat dihindarkan salah satu dari mereka atau keduanya akan terjatuh dalam fitnah.10 Fitnah itu adalah fitnah perempuan dengan laki-laki, dan laki-laki dengan perempuan yang bisa menimbulkan pembunuhan dan perang diantara kaum muslimin. Bahkan bisa saja menyeret pada syirik kepada Allah.11 Keempat, Lafadz
َّ الmaksudnya setan yang dimaksud adalah setan ُ شيط َان
yang menyerupai manusia, karena prilaku dan sikap manusia yang sama dengan setan.12 Yaitu seorang yang fasik, apabila ia melihat apa yang menarik dari seorang perempuan maka mereka memandang ke arah perempuan itu dengan penuh hasrat, dan pekerjaan mereka itu disandarkan kepada setan atas apa yang mengalir dalam hati mereka untuk melakukan perbuatan keji.13 Dalam buku Mawā’id al-Syaiṭān (hidangan-hidangan setan) karya Masyhur ditemukan peringatan bahwa perempuan adalah perangkat paling penting dan paling berbahaya yang digunakan setan untuk menjerumuskan, beliau
9
al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283. ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, juz 6, h.
10
266. 11
Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 445. 12 al-Mubarakfūrī (w.1353 H), Tuhfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī, juz 4, h. 283. 13 ‘Abd al-Raūf al-Qāhirī (w.1031 H), Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, juz 6, h. 266.
60
sambil menyebutkan riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi dan hadisnya yang sudah dijelaskan di atas.14 Dijelaskan pula dalam keterangan hadis sebagai berikut: )568َ/1(َمعجمَابنَعساكر
15
والنساءَحبائلَالشيطان
“Wanita adalah tali temali yang menyambung godaan setan dengan manusia.” Ketika berbicara tentang siapa setan, M.Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata setan tidak selalu berarti sosok pelaku, tetapi juga dapat berarti sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan.16 Pada penggalan hadis selanjutnya yang ditambahkan oleh Ibn Ḥibān
ُ بَماَت ُك dengan lafadz هيَ َ ِفيَقع ِر َبيتِها ِ ََمنَر ِبهاَ ِإذا ِ ون ُ ( وأقرSedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya adalah di dalam rumah), lafadz
ُ ب َماَت ُك ََمن َر ِبها ِ ون ُ ( وأقرSedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya) maknanya adalah perempuan ketika hendak shalat dan mendekatkan dirinya kepada Allah
ِهي َفِي َقع ِر َبي ِتها
adalah lebih baik di dalam rumahnya.
Maksudnya ialah perempuan tidak wajib mengikuti shalat berjama’ah di masjid sebagaimana halnya laki-laki, karena tempat mereka shalat dan dekat dengan Tuhannya adalah di dalam rumah mereka.17 Dan apabila diterapkan berbagai tolak ukur penilitian matan, maka kandungan matan-matan hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbul (dapat diterima) dengan alasan:
14
M.Quraish Shihab, Setan Dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 177. Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hasan bin Hibatullah al-Ma’rūf ibn ‘Asākir (571H), Mu’jam Ibn ‘Asākir (Damaskus, Dār al-Basyā’ir, 2000M), Juz 1, h. 568. 16 Quraish Shihab, Setan Dalam Al-Qur’an, h. 181. 17 Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhari Penerjemah Amirudin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid 4, h. 774 15
61
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kandungan hadis yang diteliti tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Ada beberapa ayat yang mendukung diantaranya:
َّ صلَوة َوآتِين ََالزكَوة َّ وقرن َفِيَبُيُوتِ ُك َّن َوالَتب َّرجن َتب ُّرج َالجا ِهَِليَّ ِة َاألولىَوأقِمن َال َّ وأ ِطعن َّ ُ سولهُ ََِإنَّما َي ُِريد َت َويُط ِهر ُكم ِ َالرجس َأهل َالبي ُ ََّللا َور ِ ََّللاُ َ ِليُذ ِهب َعن ُك ُم 18 يرا ً تط ِه “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
َال َ َّ َِزينت ُه َّن َإ ِ وقُل َ ِلل ُمؤ ِمنا ُ ت َيغ ِ ضض ن ِ ار ِه َّن َويحفظن َفُ ُروج ُه َّن َوالَيُبَدِين ِ َمن َأبص 19 َمنها ِ ماَظهر “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” Ayat-ayat di atas jelas sekali memerintahkan agar perempuan tetap berada di dalam rumahnya, dan isyarat dilarangnya ikhtilaṭ yaitu bercampurnya lawan jenis yang bukan mahram. 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Hadis yang diteliti juga tidak bertentangan dengan riwayat hadis Nabi Saw, seperti yang penulis temukan dalam hadis-hadis di bawah ini:
ُ َس ِمعتُ َأ ِبي َيُحد: َثنا َال ُمعت ِم ُر َقال، نا َأحمد َُب ُن َال ِمقد ِام.1 َ َعن َأ ِبي، َعن َقتادة،ِث َّ سو ِل َّ َعن َعب ِد،ص َ:ََّللاِ َصلَّىَهللاُ َعلي ِه َوسلَّم َأنَّهَُقال ُ َعنَ َر،ٍََّللاِ َب ِن َمسعُود ِ األحو
18 19
QS. al-Ahzab ayat 33. QS. al-Nūr ayat 31.
62
َّ ت َاستشرفهاَال ُ َو ِإنَّهاَال َت ُك،ان ُ شيط َََّللا ِ َو ِإنَّهاَ ِإذاَخرج،ٌ«المرأة َُعورة ِ َّ ون َ ِإلىَوج ِه 20 »َمنهاَفِيَقع ِرَبي ِتها ِ أقرب “Telah menceritakan Aḥmad bin al-Miqdām, telah menceritakan alMu’tamir, ia berkata: aku mendengar hadis dari ayahku, ia menceritakan dari Qatādah, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah bin Mas’ūd, dari Ralullah Saw bahwasannya Rasulullah bersabda: sesungguhnya wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Dan wanita itu akan dapat dekat dengan Tuhannya manakala ia berada di dalam rumahnya.”
ََحدَّثنا:َقال،َحدَّثناَ ُمح َّمد َُب ُن َال ُمثنَّى:َقال، أخبرناَ ُمح َّمدَُب ُن َ ِإسحاق َب ِن َ ُخزيمة.2 َ َعن َأبِي،ِق َال ِعج ِلي ِ عم ُرو َب ُن َع ٍ َعن َ ُمو ِر، َعن َقتادة، َحدَّثنا َه َّما ٌم: َقال،اص ٍم َّ ََّع ِنَالنَّ ِبيَِصل،ََِّللا َّ َعنَعب ِد،ص ََفإِذا،ٌََ«المرأةَُعورة:ىََّللاَُعلي ِهَوسلَّمَقال ِ األحو 21 َّ خرجتَِاسَتشرفهاَال ُ بَماَت ُك ُ شيط »َمنَربِهاَإِذاَ ِهيَفِيَقع ِرَبي ِتها ِ ون ُ َوأقر،ان “Telah menceritakan Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah, ia berkata: telah menceritakan Muḥammad bin al-Mutsanna, ia berkata: telah menceritakan ‘Amr bin ‘Āṣim, ia berkata: telah menceritakan Hammām, dari Qatādah, dari Muwarriq al-Ijliy, dari Abī al-Ahwaṣ, dari Abdullah, dari Nabi Saw bersabda: “sesungguhnya wanita itu aurat. Apabila ia keluar dari rumah, maka setan pasti akan menyertainya. Sedangkan tempat yang terdekat bagi wanita dengan Tuhannya adalah di dalam rumah.” 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan juga sejarah. Hadis yang diteliti juga tidak bertentangan dengan akal sehat, karena dalam keterangan hadis tentang perempuan adalah aurat yang apabila mereka keluar dari rumahnya maka setan akan mengawasinya di atas adalah semata-mata untuk menjaga kesucian dan kehormatan perempuan dari pandangan orang lain dan menghindarkan mereka dari timbulnya fitnah. Kemudian berdasarkan sejarah yang diceritakan oleh al-Syafi’iy riwayat hadis dari sa’id Ibn Abi Hilal dari Muhammad Ibn ‘Abdillah Ibn Qais bahwa ada beberapa orang para sahabat datang kepada Nabi dan bertanya sesungguhnya para istri kami mereka meminta izin untuk ke masjid, Nabi kemudian bersabda, “Tahanlah mereka itu”. Abū Bakr Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah (w.311H), Ṣahīh Ibn Khuzaimah (Beirūt: al-Maktab al-Islāmī, t.t.), Juz, 3, h. 93. 21 Abū al-Ḥasan Nūruddīn ‘Alī bin Abī Bakr al-Ḥaitsamī (w.807H), Muwārid al-Ẓamān ila Zawā’id ibn Ḥibān (T.tp.:Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), juz. 1, h. 103. 20
63
Kemudian para istri tersebut kembali kepada suami mereka. Kemudian para sahabat bertanya lagi ya Rasulullah istri kami meminta izin kepada kami sehingga kami keluar bersama mereka ke masjid, maka Nabipun bersabda, “Apabila kamu mengutus mereka maka utuslah mereka dengan pendampingnya (mahramnya).” Hadis ini dimaksudkan bahwa wanita adalah aurat yang harus dijaga, namun boleh keluar apabila diizinkan oleh suami mereka atau ada mahram yang mendampingi mereka sehingga tidak terjadi fitnah. Alasan mengapa salat di tempat yang tersembunyi lebih utama, adalah karena rasa aman dari fitnah di tempat terbuka. Hal ini semakin dipertegas setelah muncul prilaku yang tidak baik dari sebagian wanita, seperti menampakkan perhiasan dan berdandan.22 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Hadis yang diteliti ini kata-kata yang terdapat pada matan tidak berbelitbelit dan merupakan susunan dari kata-kata yang mempunyai faedah. Pada matan hadis tentang perempuan adalah aurat juga terdapat suatu peringatan dalam matan hadis tersebut yaitu apabila perempuan itu keluar maka setan akan menggodanya. B. Penolakan Terhadap Hadis “Perempuan adalah Aurat” Melalui Pemahaman Kontekstual. Penulis kemudian melakukan penelitian terhadap hadis ini dari sudut pemahaman kontekstual yaitu melalui penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan oleh sang Mutakallim (Nabi Saw).
22
Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī, jilid 4, h. 774.
64
Hadis di atas tidak bisa dipahami secara teks saja, meski hadis tersebut dinilai ṣahīh, tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, karena makna kata “perempuan adalah aurat” dalam hadis tersebut bukan menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun maknanya dapat berarti bagian-bagian tertentu dari badan atau geraknya yang rawan menimbulkan rangsangan. M. Quraish Shihab memberikan keterangan bahwa hadis ini juga tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang wanita keluar rumah, paling tinggi, hadis tersebut hanyalah merupakan peringatan agar wanita menutup auratnya dengan baik dan bersikap sopan sesuai dengan tuntunan agama, terlebih jika perempuan keluar rumah, supaya tidak merangsang kehadiran setan jin. Puluhan hadis yang menunjukkan bahwa banyak wanita pada zaman Nabi yang justru diperbolehkan keluar rumah untuk melakukan aneka kegiatan positif.23 Seperti dalam hadis Rasulullah Saw tentang perempuan mengikuti peperangan:
َّ يَب ُنَعب ِد ََِالربيِع َّ َحدَّثناَبِش ُرَب ُنَال ُمف،ََِّللا ُّ َع ِن،َحدَّثناَخا ِلد َُب ُنَذكَوان،ض ِل ُّ حدَّثناَع ِل َّ َّ َ، َ« ُكنَّا َمع َالنَّ ِبي ِ َصلى َهللاُ َعلي ِه َوسلم َنس ِقي َونُدا ِوي َالجرحى: َقالت،ٍت َ ُمع ِوذ ِ ِبن 24 »ون ُردَُّالقتلىَ ِإلىَالمدِين َِة “Telah menceritakan ‘Ali bin Abdullah, telah menceritakan Basyar bin alMufaḍḍol, telah menceritakan Khāid bin Dzakwān, dari Rubayyii’ binti Mu’awwidz ia berkata: dahulu kami para wanita (ikut berperang) bersama Nabi Saw, kami memberi minum dan mengobati orang yang terluka dan mengurusi jenazah untuk dipulangkan ke Madinah.”
Hadis di atas jelas bahwa Nabi Saw tidak melarang para perempuan ikut berperang bersama di medan perang, mereka juga membantu Nabi dan para
23
M.Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.
125. 24 Muḥammad bin Ismā’īl Abū ‘Abdullah al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī (Dār Thūq alNajjāh, 1422 H), juz 4, h. 34.
65
sahabat untuk memberi minum dan obat-obatan. Pada hadis ini pula terdapat keterangan yang membolehkan wanita mengobati laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan darurat.25 Sehingga jelas pada zaman Nabi perempuan pun tidak dilarang untuk keluar rumah untuk melakukan kegiatan yang baik. Perbedaan pemahaman terhadap konteks hadis ini adalah tergantung situasi dan kondisi zaman perempuan saat hadis tersebut muncul, sebagian ulama melarang perempuan untuk keluar rumah dan mereka berharap perempuan tetap menetap di dalam rumah mereka. Alasan mereka demikian adalah karena rasa kekhawatiran Islam pada perempuan, karena pada zaman dahulu masih kurangnya keamanan seperti harta, kekayaan, dan bahkan jiwa manusia tak pernah terjamin keamanannya, orang harus menyembunyikan uang dan kekayaan mereka, dan juga perempuan-perempuan yang mereka miliki.26 Alasan lain juga untuk memberikan rasa aman dari fitnah di tempat terbuka. Salah satu firman Allah menjelaskan kepada perempuan bahwa perempuan dianjurkan untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka. Sebagai berikut:
َّ صالة َوآتِين ََالزكاة َّ وقرن َفِيَبُيُوتِ ُك َّن َوالَتب َّرجن َتب ُّرج َالجا ِه ِليَّ ِة َاألولىَوَأقِمن َال َّ ُ سولهُ َ ِإنَّما َي ُِريد َّ وأ ِطعن َت َويُط ِهر ُكم ِ َالرجس َأهل َالبي ُ ََّللا َور ِ ََّللاُ َ ِليُذ ِهب َعن ُك ُم 27 يرا ً تط ِه “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī, jilid 16, h. 243 Murtadha Muthahhari, Teologi dan Falsafah Hijab (Yogyakarta: Rusyanfikr Institute, 2015), h. 35. 27 QS. al-Ahzab ayat 33. 25 26
66
Para mufassir berbeda pendapat mengenai pemahaman kata
وقرن
yang
menjadi kata kunci ayat ini. Ulama Madinah dan sebagian Ulama Kufah membacanya sebagai waqarna yang berarti “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana”. Sementara Ulama-ulama Bashrah dan sebagian Ulama Kufah membaca waqirna dalam arti “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan hormat”. Pengertian pertama terkesan lebih tegas daripada pengertian kedua.28 Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya, makna ayat ini adalah perintah untuk senantiasa tinggal di rumah. Walaupun seruan ayat itu untuk istri-istri Rasulullah, namun selain mereka juga tercakup di dalamnya. Dimana syariat telah dengan tegas mewajibkan kaum perempuan untuk senantiasa berada di rumahnya, dan tidak keluar darinya kecuali dalam keadaan darurat. Allah telah memerintahkan istri-istri Rasulullah untuk senantiasa berada di rumah, dan menyerukan kepada mereka sebagai bentuk penghormatan pada diri mereka. Allah melarang mereka untuk tabarruj dan memberitahukan bahwa pekerjaan ini adalah perbuatan orang-orang jahiliyah terdahulu.29 Sebelum ini, penulis telah mengemukakan pendapat segelintir ulama yang menyatakan bahwa ayat di atas ditujukan secara khusus kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw, bukan kepada semua wanita muslimah. Tetapi dalam arti di samping menutup seluruh tubuh juga menutup diri sehingga perempuan menggunakan tabir di dalam rumah jika ada yang hendak berbicara dengannya
28
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 146. 29 Syaikh Imam al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi. penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Jilid 14, h. 450-451.
67
atau kubah dan semacamnya kalau di luar rumah untuk menghalangi pandangan orang lain yang bukan mahramnya.30 Bagi Ibn Katsīr, ayat di atas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh Agama. Itupun dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya. Dari kelompok mufasir kontemporer yang seperti pandangan di atas di antaranya Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan: “hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibolehkan agama.31 Sedangkan di antara pemikir muslim kontemporer adalah al-Maudūdī yang berpandangan seperti di atas. Dalam bukunya al-Hijab seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab al-Maudūdī menyatakan: “Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.”32 Dengan demikian, setelah kita baca bahwa ayat di atas dijadikan dasar oleh sementara ulama untuk menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, walau wajah dan telapak tangannya. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya bentuk badannya, namun sosoknya pun harus tertutup, sehingga kalau mereka di 30
M.Quraish Shihab, Jilbab; Pakaian Wanita Muslimah, h. 80 Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik; Kedudukan dan Peran Perempuan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012), h. 77 32 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h.402 31
68
dalam rumah dan ada yang hendak berbicara dengannya, harus ada tabir, dan kalau di luar harus ada semacam kubah yang menghalangi pandangan orang lain yang bukan mahram. Berbeda dari tokoh-tokoh mufasir tersebut, Muḥammad Sayyid Quthb beranggapan bahwa ayat di atas bukan berarti larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikannya dasar. Makna darurat disini ialah pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan masyarakat atau dasar kebutuhan pribadi, karena tidak ada yang membiayai hidupnya dan atau menanggung biaya hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.33 Terlepas dari term ini, dari penelusuran terhadap sejarah didapati praktik hidup kaum perempuan pada masa Rasulullah Saw, ternyata banyak yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, istri-istri Nabi sendiri aktif dalam bidang ekonomi dalam beragam profesi seperti Khadijah, konglomerat yang berhasil dalam bidangnya usaha ekspor-impor; shafiyah bint Huyay, perias pengantin, dan Zainab bint Jahsy, bekerja dalam bidang Home Industry pada proses menyamak kulit binatang. Berbeda pula dengan zaman sekarang yang sudah berubah dan kesejahteraan hidup tidak lagi bertumpu pada keluarga tetapi pada individu. Oleh karena itu, dengan sendirinya, perempuan mendapatkan kesempatan untuk melakukan kegiatan sebagaimana halnya laki-laki, berprofesi, berkarir dan lain-
33
Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 147.
69
lain. Tentu dengan mempertahankan nilai-nilai agama, baik laki-laki maupun perempuan.34 Sementara itu, sebagian ulama yang membolehkan keluar rumah berbicara hanya karena apabila ada kebutuhan yang dibenarkan oleh Agama, seperti menuntut ilmu, bekerja, berdagang, dan lain-lain. Dalam keterangan pun perempuan justru diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
َ َعن، َعن َأ ِبي ِه، َعن َ ِهش ٍام،ي َب ُن َ ُمس ِه ٍر ِ حدَّثنا َفروة ُ َب ُن َأ ِبي َالمغر ُّ َحدَّثنا َع ِل،اء َّ َ ِإنَّ ِك َو:َفقال،عم ُر َفعرفها ََِّللا ُ ََفرآها،َخرجت َسودة َُ ِبنتُ َزمعة َلي ًال:َقالت،عائِشة َ،َُفرجعت َإِلىَالنَّبِي َِصلَّىَهللاَُعلي ِه َوسلَّم َفذكرت َذ ِلك َله،ياَسودة َُماَتخفين َعلينا َّ و ُهو َفِي َ ُحجر ِتي َيتع َّ َفأنزل، َو ِإ َّن َفِي َي ِد ِه َلعرَقًا،شى َ َف ُرفِع َعنهُ َو ُهو،ََّللاُ َعلي ِه 35 َّ ُ َّ َ«قدَأذِن:ُيقُول »ن َ ََّللاَُل ُك َّنَأنَتخ ُرجنَ ِلحوا ِئ ِجك “Dari Aisyah dia berkata, Saudah binti Za’mah keluar, dia adalah seorang wanita yang mudah dikenal dan saat itu dilihat oleh ‘Umar, maka dia berkata: Demi Allah kau tidak bisa bersembunyi dari kami, maka pikirkan bagaimana kau keluar rumah, Aisyah berkata: maka dia kembali, kepada Nabi Saw Saudah masuk dan berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya saya keluar untuk menunaikan hajat saya, maka’Umar berkata pada saya, demikian dan demikian.” Aisyah berkata, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi, lalu wahyu itu selesai dan tulang itu masih ada di tangannya dan belum dia sempat letakkan dari tangannya.” maka Rasulullah berkata: “sesungguhnya Allah telah mengizinkan pada kalian keluar untuk hajat-hajat kalian.” Selain daripada itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya, al-Qur’an dan hadis banyak
34 35
Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 153 al-Bukhārī, Ṣaḥīh al-Bukhārī, juz 7, h. 38 nomor hadis 5237.
70
mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dalam alQur’an dinyatakan36:
َوف َوينهون َع ِن ُ وال ُمؤ ِمنُون َوال ُمؤ ِمناتُ َبع ِ ض َيأ ُم ُرون َ ِبالمع ُر ٍ َض ُهم َأو ِليا ُء َبع َّ صالةَويُؤتُون َّ سولهَُأُولئِكَسيرح ُم ُه ُم َّ َالزكاةَوي ُِطيعُون َََُّللا ُ ََّللاَور َّ ال ُمنك ِرَويُ ِقي ُمونَال 37 ٌ ََّللاَع ِز َّ إِ َّن يزَح ِكي ٌَم “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Dari keterangan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw di atas jelas bahwa perempuan tidak dilarang keluar rumah. Allah memberikan keringanan atas perempuan, memberikan izin terhadap perempuan untuk keluar rumah hanya untuk memenuhi kebutuhannya seperti beribadah, bekerja, menuntut ilmu, dan lain-lain. Karena ajaran Agama Islam tidak menghalangi partisipasi aktif perempuan dalam masyarakat.38 Tetapi mereka juga harus menjaga sopan santun dan tidak boleh bertabarruj (dandan berlebihan) ketika hendak berada di luar rumah. Dengan demikian apabila kita lihat dari beberapa konteks perempuan pada zaman Nabi seperti istri Nabi yang mempunyai kegiatan sosial dan berperan dalam masyarakat dan dilihat dari beberapa ayat dan hadis yang berbicara tentang kebolehan perempuan berperan dalam masyarakat sosial, itu artinya perempuan bukanlah suatu aurat yang mengharuskan mereka selalu berada di dalam rumah yang apabila ada seseorang hendak berbicara dengannya, harus ada tabir, dan 36
Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 154. QS. al-Taubah ayat 71. 38 Murtadha Muthahhari, Teologi dan Falsafah Hijab (Yogyakarta: Rusyanfikr Institute, 2015), h. 160 37
71
kalau pun di luar harus ada semacam kubah yang menghalangi pandangan orang lain yang bukan mahram juga adanya darurat dan kebutuhan yang mendesak apabila ia hendak keluar rumah. Sedangkan, pandangan-pandangan yang membatasi atau bahkan melarang perempuan untuk memberikan kontribusinya dalam kehidupan sosial masyarakat adalah sebuah pandangan yang kontra produktif dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Islam memerintahkan kepada setiap pemeluknya tentu saja termasuk perempuan untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi kemaslahatan orang banyak. Hal ini berarti mengharuskan perempuan untuk dapat berperan aktif dalam memberikan sumbangan pikiran dan tenaganya dalam kehidupan bermasyarakat. Membatasi atau melarang mereka berkiprah di masyarakat berarti telah mengabaikan paling tidak separuh potensi anugerah Allah Swt. Pada akhir bab ini penulis mencantumkan beberapa adab sopan santun yang harus dilakukan oleh seorang perempuan jika dia keluar rumah:39 1. Meninggalkan wewangian (yang bisa menggoda) jika dia akan keluar rumah. Ini sesuai dengan sabda Nabi Saw dalam hadits riwayat Muslim daari hadits Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda:
َّ َحدَّثناَيحيىَبَ ُنَسَ ِعي ٍدَالق،حدَّثناَأبُوَبك ِر َب ُنَأ ِبيَشيبة ُ ط َ،الن َ َعَن َ ُمح َّم َِد َب ِن َعج،ان َ،َِامرأةَِعب َِدَهللا،َعنَزَينب،ٍَعنَبُسَ ِر َبَ ِنَس َِعيد،ِحدَّثنِيَبُكي ُرَب ُنَعب ِد َهللاَِب ِنَاألشج ََ َ«إِذا َشَ ِهدت َإِحَدا ُك َّن َالمس ِجد َفال:سو ُل َهللاِ َصلَّى َهللاُ َعلي ِه َوسَلَّم ُ َقال َلنا َر:قالت َطيبًا ِ س َّ َتم “Siapa saja dari perempuan yang memakai wewangian, maka janganlah dia ikut salat isya’ bersama kami”. (HR. Muslim No.Hadits: 444) 39
al-Barudi, Tafsir Wanita, h. 447-448.
72
2. Berjalan di sisi jalan (bukan di tengah jalan untuk mencari perhatian). 3. Hati-hati dengan menutupi diri jika perempuan memasuki rumah seseorang yang didalamnya banyak laki-laki. 4. Hendaknya perempuan keluar dengan menutup auratnya. Hendaknya dia memakai pakaian yang tidak menggambarkan lekuk tubuhnya dan tidak menampakkan lekuk-lekuk auratnya. Hendaknya dia menutup semua auratnya. 5. Wajib bagi seorang perempuan untuk menghiasi dirinya dengan adab sopan santun. 6. Wajib bagi seorang perempuan untuk menghiasi dirinya perasaan malu. Sebagaimana difirmankan Allah,
َ ،،،ٍَفجاءتهَُ ِإحدا ُهماَتمشِيَعلىَاس ِتحياء “Maka datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan,,” (Al-Qashash ayat 25). 7. Wajib bagi seorang perempuan untuk tidak bercampur baur dengan para lelaki, dan jangan sampai dia berhias dan bertingkah laku sebagaimana perilaku orang-orang jahiliyah terdahulu. Sebagaimana dalam firman Allah, ،،،ه ِليَّ ِةَاألُولى ِ والَتب َّرجنَتب ُّرجَالجا “Dan janganlah kamu berhias serta bertingkah laku seperti orangorang jahiliyah terdahulu. (QS. Al-Ahzab ayat 33).
73
8. Dan jika dia terpaksa harus berbicara dengan seorang lelaki atau untuk meminta sesuatu, misalnya, maka wajib baginya untuk tidak merendahkan (mendesahkan) suaranya dengan mendayu-dayu. Sebagaimana dalam firman Allah, ،،،ضَوَقُلنََقو ًالَمعَ ُروفًا ٌَ َفالَتخضعنَ ِبالقو ِلَفيطمعَالَّذِيَفِيَقل ِب ِهَمر “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab ayat 32). 9. Jangan memakai pakaian yang glamour yang akan membuat pandangan orang terfokus padanya.
BAB V PENUTUP
Pada akhirnya
saya
mengakhiri
penelitian dengan
menampilkan
kesimpulan dan saran pada bab terakhir ini. Kesimpulan di bab ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang diteliti. Sedangkan saran dalam bab ini memuat berbagai rekomendasi yang ditemukan dalam penelitian ini yang bisa ditindak lanjuti. A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian serta pemahaman ulang terhadap hadis “perempuan adalah aurat” akhirnya saya mendapatkan jawaban yang kemudian disimpulkan sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi kualitas, hadis “perempuan adalah aurat” dapat disimpulkan bahwa keseluruhan sanad hadis tersebut tidak sampai memenuhi persyaratan hadis ṣahīh, melainkan hanya pada derajat ḥasan saja. Karena terdapat periwayat yang tingkat ke-ḍabiṭ-annya lemah atau kurang sempurna (tamm), yaitu; Muḥammad bin Basysyār pada jalur sanad Sunan al-Tirmidzī. Tetapi hadis tersebut bisa berubah naik tingkatan kualitasnya menjadi ṣahīh li ghairih karena diperkuat dengan jalur sanad lain, yaitu pada jalur sanad Ṣahīh ibn Ḥibān yang berkualitas ḥasan, dan pada jalur sanad Ṣahīh ibn Khuzaimah yang berkualitas ḥasan. Kemudian ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw, artinya termasuk kategori hadis qauli. Semua hadis tersebut bersandar kepada Rasulullah Saw, artinya semua berkategori marfu’, lebih spesifikasinya 74
75
yaitu marfu’ qauli. Dan ditinjau dari jumlah periwayat yang terdapat dalam sanad, hadis-hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud bahkan hingga tabi’-al-tabi’īn diriwayatkan oleh satu periwayat saja, oleh karena itu hadis tersebut dinilai sebagai hadis gharib bagian dari hadis ahad. 2. Tentang maksud dan kandungan hadis tersebut ialah, pemahaman awal hadis ini yaitu; seutuhnya perempuan adalah aurat dan dianjurkan perempuan agar tetap berada di dalam rumahnya, dengan alasan karena rasa aman dari fitnah di tempat terbuka. Sedangkan pemahaman baru yang diperoleh dari informasi-informasi umum yang berkaitan dengan hadis tersebut ialah, bahwa perempuan bukan seluruhnya aurat, hanya bagian tertentu yang wajib untuk ditutup, dengan alasan karena hadis tersebut merupakan hadis umum yang telah di takhsis oleh beberapa hadis dan pendapat ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang telah haid, tidak halal dan tidak wajar menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangannya. Dan perempuan juga tidak dilarang keluar rumah apabila hendak melakukan kegiatan yang baik dan kegiatan yang dibenarkan Agama Islam seperti; beribadah, bekerja, menuntut ilmu, karena perempuan pun mempunyai hak sama seperti kaum laki-laki. Dengan syarat ia harus menjaga kehormatan dan kesucian dirinya, serta menutup aurat dan menjaga sopan santun.
76
B. Saran-saran Setelah saya melakukan penelitian dan menulis beberapa kesimpulan di atas, tentunya manusia tidak ada yang sempurna begitu juga dengan saya. Oleh karena itu, masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsen di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw. Selebihnya penulis kemudian memberikan saran-saran kepada pembaca skripsi ini serta para pengkaji yang berminat dalam kajian hadis: 1. Bahwa kritik hadis merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kualitas dan keotentikan suatu hadis. upaya ini agar kita berhati-hati dalam mengambil suatu hukum dalam hadis, serta sebagai upaya memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut. 2. Dalam memahami hadis Nabi Saw hendaknya kita perlu melihat konteks yang dikaji pada hadis tersebut, karena hadis Nabi Saw tidak bisa dipahami hanya dengan tekstual saja, ada beberapa hadis yang memerlukan pemahaman konteks. Supaya tidak salah memahami terhadap isi kandungan hadis. 3. Seorang muslimah hendaknya menjaga kehormatan dan kesucian dirinya ketika beraktivitas di luar rumah, dan hendaknya menutup aurat serta menjaga sopan santun dalam bersikap ataupun berbicara dengan lawan jenis, karena seorang perempuan jika tidak menjaga semua itu maka setan akan menggodanya dan akhirnya terjerumus dalam perbuatan maksiat. Na’udzubillah semoga kita dijauhkan dari perbuatan maksiat tersebut.
77
4. Penulis skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, bagi yang hendak melakukan kegiatan kritik dan pemahaman dengan tema yang sama penulis berharap agar bisa lebih mengembangkan kembali bahasan skripsi ini. Akhirnya, kepada Allah Swt penulis berharap agar skripsi ini menjadi setitik sumber pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, masyarakat dan khususnya bagi penulis sendiri. Wallahu a’lam..
DAFTAR PUSTAKA
Abū al-Fidā’, Zainuddin Qāsim bin Qutlubagha. al-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fi al-Kitab al-Sittah. Yaman: Dār al-Islamiyah, 2011. Ahnan, Mahtuf dan Ulfa, Maria. Risalah Fiqih Wanita. Surabaya: Terbit Terang, t.t. A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li alfāẓ al-Ḥadīts al-Nabawī. Breil: Leiden, 1936. ‘Alī bin al-Ḥasan, Abū al-Qāsim. Tārīkh Damasyqi. T.tp: Dār al-Fikr, 1996. Amuli, Ayatullah Jawadi. Keindahan dan Keagungan Perempuan. Jakarta: Lentera, 2005. al-‘Aqqad, Abbas Mahmoud. Wanita Dalam Al-Qur’an. Penerjemah Chadidjah Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. al-Asqalānī, Abū Al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Hajar. Fatḥ al-Bāri Syarah Ṣahīh al-Bukhārī. Penerjemah Amirudin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. al-Asqalānī, Abū Al-Faḍl Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥajar. Tahdzīb al-Tahdzīb. al-Hindi: Maṭba’ah Dāirah al-Ma’ārif, 1326. ______. Lisān al-Mīzān. T.tp.: Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 2002. al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003. al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā’īl Abu Abdillah. Ṣaḥīh Bukhārī. al-Qahirah: Dār Ṭuq al-Najah, 1422H.
78
79
Bustamin, dan Salam, M.Isa H.A.. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. al-Buty, Muhammad Ramadhan. Perempuan: dalam Pandangan Hukum Barat dan Islam. Yogyakarta: Suluh Press, 2005. Fachruddin, Mohd Fuad. Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam. Jakarta:Yayasan al-Amin, 1984. Guindi, Fadwa El. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Penerjemah Mujiburohman. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003. al-Husainiy, kifayat al-Akhyār. al-Qahira: Isa Halaby, t.t. Ibnu Taimiyah, Syaikh. dkk. Jilbab dan Cadar dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Ismail, M. Syuhudi. Metode Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2007. al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah Ibadah-Mu’amalat. Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik; Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2012. Manẓur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. al-Qahira: Dār al-Ma’ārif, t.t. al-Maziy, Jamaluddīn Abi al-Ḥajjāj Yūsuf. Tahdzīb al-Kamāl. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1403. al-Mizzī, Yūsuf bin Abd āl-Raḥman bin Yūsuf. Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’ alRijāl. Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1980. al-Mubārakfūri, Abu al-‘Alā Muḥammad ‘Abd al-Raḥman bin ‘Abd al-Raḥīm. Tuḥfat al-Ahwadzī bi Syarh Jāmi’ al-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Kitab al‘Ilmiyah, t.t.
80
Muhammad, Husen. Fiqih Perempuan. Yogyakarta: LKis. 2001. Mulhandy Ibn. Haj. Kusumayadi, Amir Taufik. Enam Puluh Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab, Bandung: Press Bandung. 1992. Muthahhari, Murtadha. Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam. Bandung: Mizan, 1995. ______, Teologi dan Falsafah Hijab. Yogyakarta: Rusyanfikr Institute, 2015. al-Naisābūrī, Abū Bakar Muḥammad bin Ishāq bin Khuzaimah. Ṣaḥīh Ibn Khuzaimah. Beirūt: al-Maktab al-Islāmī, t.t. al-Naisābūrī, Muslim al-Ḥajjāj. Ṣaḥīh Muslīm. Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al‘Arabī, t.t. al-Nasā’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alī al-Kharāsānī (w.303H). Sunan al-Nasa’i. t.tp,: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah. 1986. al-Qāhirī, Zain al-dīn Muḥammad al-Mad’ū bi ‘Abd al-Raūf. al-Taysīr Bi Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. al-Riyaḍ: Maktabah al-Imam al-Syāfi’ī, 1988. _____. Faiḍ al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Ṣaghīr. Mesir: al-Maktabah al-Tajāriyah al-Kubra, 1356. al-Qurṭubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurṭubi. penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Rani, A.N. Jilbab Itu Wajib!. Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1996. al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Tafsir Ibn Katsīr. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Shihab, M. Quraish. Jilbab: pakaian wanita muslimah. Jakarta: Lentera Hati. 2004. _____. Setan Dalam al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2010. _____. Wawasan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013
81
Shahab, Husein. Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Bandung: Mizan, 1989. al-Sijistāni, Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’ats. Sunan Abī Dāwud. Beirut: alMaktabah al-’Aṣriyyah, t.t. Syaraf, Musa Shalih. Fatwa-fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. al-Suyūṭī, ‘Abdurraḥman bin Abī Bakr Jalaluddīn. al-Dar al-Mantsūr. Beirūt: Dār al-Fikr, t.t. al-Tamimi, Muḥammad bin Ḥibān bin Aḥmad bin Ḥibān bin Mu’ādẓ bin Ma’bad. Ṣahīh Ibn Ḥibān, Beirūt: Mu’assasah al-Risalah, 1998. al-Ṭabrānī, Sulaimān bin Aḥmad bin Ayūb bin Maṭīr al-Lakhimī al-Syāmī Abu al-Qāsim. al-Mu’jam al-Kabīr. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1994. ______. al-Mu’jam al-Ṣaghīr. Beirūt: al-Maktab al-Islamī, 1985. al-Tirmidzī, Muḥammad bin ‘Īsa bin Saurah bin Mūsa bin al-Ḍahāk. alJāmi’al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī. Beirut: Dār al-Gharib al-Islamī, 1998. Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2010. Yanggo, Huzaimah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2010. Zaghlūl, Abū Hājr Muḥammad al-Sa’īd ibn Basyūnī. Mausū’at Atraf al-Ḥadīts alNabawī al-Syarīf. Beirūt: Dār al-Fikr, 1989.
LAMPIRAN
Lampiran I Skema Sanad Hadis Riwayat Imam Al-Tirmidzī
النَّبِيَِصلَّ َّ ىََّللاَُعلَي ِهَوسلَّ َم عنَ عبد َّ ََِّللاَِب ِنَمسَعُو ٍدَ عنَ صَ أ ِبيَاألحو ِ عنَ قَ ُ عمونَ ِر ٍ قتادةَ عنَ ه َّما ٌمَ ثنا اص ٍَم عم ُروَب ُنَع ِ ثنا ُمح َّمد َُب ُنَب َّ شا ٍرَ ثنا الترمذي
Lampiran II Skema Sanad Hadis Riwayat Ibn Hibān
النَّ ِبيَِصلَّ َّ ىََّللاَُعلَي ِهَوسلَّ َم 82
83
عنَ عبد َّ ََِّللاَِب ِنَمسَعُو ٍدَ عنَ صَ أ ِبيَاألحو ِ عنَ قَ ُ عمونَ ِر ٍ قتادةَ عنَ ه َّما ٌمَ ثنا اص ٍَم عم ُروَب ُنَع ِ ثنا ُمح َّمد َُب ُنَال ُمثَنَّى ثنا ُمح َّمد َُب ُنَإِسحاقَب ِنَ أخ ُخبزرينامةَ ابنَحبان
Lampiran III Skema Sanad Hadis Riwayat Ibn Khuzaimah
النَّ ِبيَِصَلَّ َّ ىََّللاَُعلَي ِهَوسلَّمَ عنَ عبد َّ ََِّللاَِب ِنَمسَعُو ٍدَ
84
عنَ صَ أ ِبيَاألحو ِ عنَ عقتنَادةَ سليمانَبنَ طرحان س ِمعتَُ ال ُمعت ِم ُرَ ثنا أحمد َُب ُنَال ِمقدَ َِ ام نا ِإب ِنَ ُخزيمةَ
Lampiran IV Skema Seluruh Sanad Hadis Tentang Perempuan Adalah Aurat
النَّبِيَِصلَّ َّ ىََّللاَُعلَي ِهَوسلَّ َم عنَ عبد َّ ََِّللاَِب ِنَمسَعُو ٍدَ عنَ صَ أبِيَاألحو ِ
85
عنَ قَ ُمو ِر ٍ عنَ
ع
قتادةَ عنَ ه َّما ٌمَ
ثنا ُمح َّمد َُب ُنَب َّ ارَ ش ٍ ثنا الترمذي
قتادةَ عنَ سليمانَبنَ س ِمعتَُ طرحان ال ُمعت ِم ُرَ
ث
ثنا اص ٍَم عم ُروَب ُنَع ِ ثنا
ثنا أحمد َُب ُنَال ِمقدَ َِ ام اخبرنا
ُمح َّمد َُب ُنَال ُمثَنَّى ثنا
ِإب ِنَ ُخزيمةَ
ُمح َّمد َُب ُنَ ِإسحاقَب ِنَ ُخزيَمةَ أخبرنا ابنَحبان