PERANAN EKONOMI KEHUTANAN DI PROVINSI JAWA TENGAH : ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN DAN PENANGGULANGAN KEBOCORAN PENDAPATAN
BEDJO SANTOSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
PERANAN EKONOMI KEHUTANAN DI PROVINSI JAWA TENGAH : ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN DAN PENANGGULANGAN KEBOCORAN PENDAPATAN
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2006
BEDJO SANTOSA NRP A 5460141214
ABSTRAK BEDJO SANTOSA. Peranan Ekonomi Kehutanan di Provinsi Jawa Teng ah: Analisis Pemanfaatan Hutan dan Penanggulangan Kebocoran Pendapatan (ANNY RATNAWATI sebagai Ketua , ARIEF DARYANTO dan DUDUNG DARUSMAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Provinsi Jawa Tengah memiliki kekayaan hutan seluas 64756.81 ha dan tahun 2003 memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) output sebesar Rp 342.15 triliun. Dengan menggunakan klasifikasi standar baku, peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1.73 triliun atau sekitar 0.51% dari total output provinsi terseb ut. Tetapi, setelah dilakukan perhitungan kembali dengan memperhitungkan total manfaat hutan maka peranan ekonomi sektor kehutanan bertambah menjadi Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23% dari total output provinsi, dan total outpout Provinsi Jawa Tengah men ingkat menjadi Rp 354.19 triliun. Tambahan manfaat ekonomi hutan di Provinsi Jawa Tengah tersebut antara lain berupa hasil yang langsung dikonsumsi masyarakat sebesar Rp 16.62 miliar, illegal logging sebesar Rp 61.65 miliar, illegal trading sebesar Rp 106.81 miliar, nilai tambah sebesar Rp 217 juta, air sebesar Rp 5.51 triliun, dan udara bersih sebesar Rp 429.33 miliar. Di samping itu sektor kehutanan juga memiliki potensi manfaat ekonomi lain berupa efisiensi kelembagaan dan keberadaan/pelestarian hutan sebesar Rp 5.73 triliun, dan juga memiliki manfaat ekonomi yang negatif berupa deforestasi dan erosi sebesar Rp 9.87 triliun. Dengan demikian PDRB bersih (Green PDRB) Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 168.44 triliun. Rumah tangga kehutanan baik buruh maupun rumah tangga umumnya menikmati pendapatan sektoral sebesar 11% dari total pendapatan sektor yang berjumlah Rp 8.34 trliun. Dengan demikian sekitar 89% dari pendaptan sektor kehutanan dinikmati industri dan pengusaha kehutanan serta sektor lain non kehutanan. Dengan skenario memberantas kegiatan illegal kehutanan sampai dengan tidak terjadi sama sekali (0%) maka terjadi penurunan output sebesar sampai Rp 492.78 miliar. Tetapi jika membiarkan kegiatan illegal, maka hanya akan mendapat tambahan output sebesar Rp. 340.74 miliar. Dengan melakukan penanggulangan erosi sebesar 5% maka kenaikkan output sekitar 0.6% dari PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Kata Kunci : Peranan Kehutanan dan Kebocoran Pendapatan
ABSTRACT BEDJO SANTOS A. Role of forestry in the Economy of the Central Java Province: An Analysis on Forest Utilization and Revenue Leakage ( ANNY RATNAWATI as a Chairman, ARIEF DARYANTO and DUDUNG DARUSMAN as Members of the Advisory Committee) In the year of 2003 the Province of Central Java with forest areas of 64,756.81 hectares reached output Regional Gross Domestic Product (RGDP) of 342.15 trillion Rupiahs. Based on the existing standard classification, role of forestry sector was 1.73 trillion Rupiahs or about 0.51% of the province’s total output. However, based on recalculation using total economic value of the forest, the role of the sector could reach14.49 trillion Rupiahs or about 4.23% of the province’s total output. Recalculation also suggests that the total output of Central Java Province corrected to 354.19 trillion Rupiahs. The economic benefits for forest of the Central Java Province are among others in the forms of direct consumption of about 16.62 billion Rupiahs, illegal logging of about 61.65 billion Rupiahs, illegal trading of about 106.81 billion Rupiahs, added values of about 217 million Rupiahs, the value of water of about 5.51 trillion Rupiahs, and the value of fresh air of about 429.33 billion Rupiahs. Morever, institution efficiencies and the existence of conservation have potential values about 5.7 trillion Rupiahs. However, forestry sector has also negative economic values in the forms of deforestation and erosion which are totally calculated as about 9.87 trillion Rupiahs. With those recalculation the Green RGDP on the province was about 168.44 trillion Rupiahs. Forest households, both labor and others who related to forestry activities, got income from the sector about 11% from total sector’s output of 8.34 trillion Rupiahs. This means that about 89% of the sector’s output was enjoyed by among others such as industries, and other households. With scenario of curbing illegal logging that is expected to force down the practice to 0%, the province output, however, will decrease by 492.78 billion Rup iahs. On the other hand if the illegal logging practices are not curbed properly (status quo) the province output will increase by 340.74 billion Rupiahs. In addition, by minimizing erosion as of 5% the province’s output will increase about 0.6%.
Key Word : Role of Forestry and Revenue Leakage
Hak cipta milik Bedjo Santosa, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PERANAN EKONOMI KEHUTANAN DI PROVINSI JAWA TENGAH : ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN DAN PENANGGULANGAN KEBOCORAN PENDAPATAN
BEDJO SANTOSA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Disertasi
: PERANAN EKONOMI KEHUTANAN DI PROVINSI JAWA TENGAH : ANALISIS PEMANFAATAN HUTAN DAN PENANGGULANGAN KEBOCORAN PENDAPATAN
Nama Mahasiswa
: BEDJO SANTOSA
Nomor Pokok
: A5460141214
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota
Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian : 9 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1960, merupakan putra kelima dari sepuluh bersaudara dari keluarga Bapak Djojodrono (alm) dan Ibu Suyek. Lulus SD Negeri Banyuning (Sragen) pada tahun 1973, SMP Murni I Surakarta lulus pada tahun 1976, SMA Negeri V Surakarta lulus pada tahun 1980, mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1985, dan memperoleh gelar Magister Sains (MSi) dari Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan – Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997. Tahun 2002 penulis masuk Program S3 Pascasarjana pada program Studi Ekonomi Pertanian (EPN). Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor, penulis menyusun Disertasi dengan judul Peranan Ekonomi Kehutanan di Provinsi Jawa Tengah : Analisis Pemanfaatan Hutan dan Penanggulangan Kebocoran Pendapatan, dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS sebagai Ketua, Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc. dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing Pada tahun 1985 penulis diterima sebagai pegawai Departemen Kehutanan yang ditempatkan di Kanwil Departemen Kehutanan Provinsi Riau, selanjutnya telah dimutasi di berbagai jabatan dan jabatan terakhir (2000 – 2004) sebagai Auditor Ahli Madya pada Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan. Penulis menikah pada tahun 1987 dengan istri bernama Apriyanti yang pada saat ini dikaruniai dua putra, yaitu Alben Sakti Santoso (18 tahun) dan Benhardi Okky Santoso (14 tahun).
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadlirat Allah SWT, bahwa atas rahmat dan hidayah–Nya kami dapat meyelesaikan penulisan disertasi ini.
Penulisan
disertasi yang merupakan salah satu kewajiban dalam menyelesaikan program doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari – Juni tahun 2005 di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. ( Ketua), Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc. (Anggota) dan
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.
(Anggota), yang telah banyak memberikan pengarahan dalam penyusunan disertasi ini. 2. Inspektur
Jenderal
Departemen
Kehutanan,
Sekretaris
Inspektorat
Jenderal, dan Inspektur I, yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3 di IPB Bogor 3. Semua pihak yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, moral, dan material dalam penyelesaian d isertasi ini. Kami menyadari bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan sumbang saran dari pembaca untuk perbaikan disertasi ini. Akhirnya kami mengharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor,
Februari 2006 Penulis
DARTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.……..………………………...........……………………..
iv
DAFTAR GAMBAR.………………………………………………..............
viii
DAFTAR LAMPIRAN ………...........………………………………………
ix
I. PENDAHULUAN............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang......……………………………………………………...
1
1.2
Perumusan Permasalahan...........................................................……….
6
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………….............................
8
1.4
Manfaat Penelitian…………………………………..............................
8
1.5
Ruang Lingkup Penelitian.......………………………………………....
10
1.6
Keterbatasan Penelitian…………………………………………….......
10
II. TINJAUAN TEORITIS…………………………..................……..………...
11
2.1
Konsep Perhitungan Pendapatan………............……………………….
11
2.2
Konsep Pendapatan Bersih……………………………………………..
14
2.3
Konsep Sumberdaya Hutan.………………….………………………...
16
2.4
Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan …………………..………..
19
2.5
Peran Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan dan Perekonomian Wilayah..
23
2.6
Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Hutan……………….…….....
25
2.7
Hasil-Hasil Studi Penilaian Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan....…….
30
2.8
Konsep Kelembagaan……………………………..……………………
34
2.9
Kelembagaan Sektor Kehutanan……….………………….....................
37
2.10 Konsep Model Input Output……………………………………………
38
2.11 Konsep Sistem Neraca Sosial Ekonomi …………………………….....
44
III. KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………….
47
3.1
Kajian Penelitian Peraanan Ekonomi Kehutanan……………………....
47
3.2
Kerangka Pelaksanaan Penelitian………………………………………
50
i
3.3
Kebocoran Ekonomi dar Sektor Kehutanan …………………………...
52
3.4
Hipotesis………………………………………………………………..
53
IV. METODA PENELITIAN.....................…………………...………………….
54
4.1
Lokasi Penelitian..................…………………….………..…………..
54
4.2
Jenis dan Sumber Data………...............……………..………………....
54
4.3
Penentuan Sektor…………………….....................................................
55
4.4
Metode Aplikasi Hasil Valuasi Sektor Kehutanan……………………..
56
4.5
Metode Analisis dan Pembentukan Model …………………………….
63
4.6. Simulasi....................... ..........................................................………….
76
V. FAKTA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH …………………………….
78
5.1
Kondisi Umum Provinsi Jawa Tengah ………………………………...
78
5.2
Profil Perekonomian Provinsi Jawa Tengah…………………………...
79
5.3
Profil Kehutanan Provinsi Jawa Tengah …………………………….....
102
VI. PEMANFAATAN HUTAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TENGAH…………………………………………………………….
117
6.1
Perhitungan Ekonomi Manfaat Hutan……………………. …………...
117
6.2
Manfaat Hutan Dalam Perhitungan PDRB…………………………......
138
6.2.1
Model Input-Output Standar.. ………………………………….
139
6.2.2
Membangun Kerangka I-O Modifikasi .……………………….
142
6.2.3
Analisis Output………….………….…………………………..
144
6.2.4
Analisis Input…………………………………… .……………
153
6.2.5
Backward dan Forward Linkages………………………………
156
6.2.6
Kebocoran Pendapatan Regional……………………………….
159
6.2.7
Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan………………….......
160
Manfaat Hutan Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat………………...
163
6.3.1
Distribusi Pendapatan Faktor Produksi…………….…………..
163
6.3.2
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga ......................……….....
165
6.3.3
Multiplier Sektor Kehutanan…………………………………...
167
6.3
ii
6.3.4
Dekomposisi …………………………………………………...
168
6.3.5
Analisis Alur Struktural ………………………….…………….
171
VII. SIMULASI KEBIJAKAN DAN IMPLIKASINYA ………………..……….
177
7.1
Simulasi Kebijakan………….. ………..……………………………….
177
7.2
Implikasi Kebijakan………………….…..……………………………..
184
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………
199
8.1
Ringkasan………………………………………………………………
199
8.2
Kesimpulan…………………………………………………………….
201
8.3
Saran Kebijakan………………………………………………………..
203
8.4
Saran Penelitian Lanjutan…………………………………………........
204
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. …
206
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
214
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Klasifikasi Nilai dan Metode Valuasi Sumberdaya Hutan…………….
26
2. Beberapa Studi Penilaian Ekonomi Sumberdaya Lingkungan di Indonesia ................................................................................................
32
3. Susunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ……………………………..
45
4. Sumber Penerimaan Daerah Provinsi dan Kabupaten di Indonesia…..
48
5. Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan di Jambi dan Kalimantan Tengah.................................................................................
49
6. Sebaran Luas dan Jumlah Penduduk per Kabupaten di Jawa Tengah Tahun 2003.............................................................................................
78
7. PDRB dan Perkembangannya Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 – 2003………...
81
8. PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003 .... ............................................................................
82
9. PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999 – 2003 ........................................................................
84
10. Persentase Kontribusi Sektor pada PDRB Tahun 1998 – 2003 …….....
87
11. Indek Perkembangan PDRB Sektor Pertanian dan Industri Terkait Pertanian Provinsi Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003..............................
89
12. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah Tahun 1995-2004 ....................................................................................
91
13. Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 1999-2003 ………………...............
92
14. Jumlah Pengangguran di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Usaha pada Akhir Tahun 2003................................................
94
15. Jumlah Pengangguran di Provinsi Jawa Tengah Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Tahun 1999 -2003..................………......
94
16. Penanaman Modal Dalam Negeri Provinsi Jawa Tengah ………..........
96
17. Penanaman Modal Asing Provinsi Jawa Tengah ……………………....
96
iv
18. Realisasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003..........
97
19. Laju Inflasi di Kota Semarang Tahun 1999 – 2003........... ………….....
98
20. Nilai Ekspor Jawa Tengah Terhadap Total Ekspor Indonesia 1999 – 2003 ............................................................................................
99
21. Nilai Impor Jawa Tengah Terhadap Total Impor Indonesia 1999 – 2003 ............................................................................................
100
22. Realisasi Anggaran Pemerintah Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003…….
100
23. Jumlah Pengeluaran per Kapita (Konsumsi) Rumah Tangga di Provinsi Jawa Tengah Periode 1990 – 2002..............….. ………….......
102
24. Luas Kawasan Hutan per Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003…………………………………………………………………….
103
25. Luas dan Lokasi Kawasan Hutan Konservasi di Provinsi Jawa Tengah.....................................................................................................
105
26. Luas dan Lokasi Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Tengah ………...........
108
27. Luas Tanaman Hutan Perum Perhutanan Unit I Jawa Tengah................
110
28. Luas Tanaman Jati per Kabupaten Tahun 1999 – 2003……………......
111
29. Luas Tanaman Rimba per KPH di Provinsi Jawa Tengah ......................
112
30. Produksi Hasil Hutan Provinsi Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003....... ..
113
31. Penjualan Dalam Negeri Hasil Hutan Kayu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003…………........... …………….
114
32. Pendapatan Penjualan Dalam Negeri Hasil Hutan Kayu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003…………………...
115
33. Kayu Bulat Masuk Melalui Pelabuhan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998 – 2003..................................………. ……………………..
116
34. Manfaat Hutan pada Perhitungan Input – Output Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (standar)..................................................................
119
35. Tambahan Manfaat Hutan Hasil Proksi Data Sekunder Instansi Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.......................................
120
36. Jumlah Kayu Salah Catat di Jawa Tengah 2003……………………......
122
37. Nilai Air dari Kawasan Hutan di Jawa Tengah Tahun 2003…………...
127
38. Nilai Produksi Air per Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003…………………………………………………………………….
128
v
39. Jumlah dan Nilai Hasil Hutan yang Dikonsumsi Langsung Masyarakat Jawa Tengah Tahun 2003……….......…………………….
129
40. Nilai Jasa Wisata Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003………. ……………............................................................
131
41. Nilai Kerugian Erosi Untuk Setiap Kawasan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003………………………............................................
133
42. Nilai Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian Hutan di Provinsi Jawa Tengah.....................................................................................................
137
43. Sepuluh Sektor Terbesar Beserta Sektor Kehutanan Menurut Peringkat Output di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.........................
140
44. Sepuluh Sektor Terbesar Beserta Sektor Kehutanan Menurut Peringkat Nilai Tambah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003..............
141
45. PDRB Sebelum dan Sesudah Ada Tambahan Penghitungan Kegiatan Sektor Kehutanan.....…............................................................
146
46. Proporsi Luas lahan Terbuka dan Tingkat Kekritisan dalam Perhitungan PDRB Hijau di Jawa Tengah Tahun 2003..........................
149
47. PDRB Berdasarkan Nilai Tambah per Sektor Tahun 2003….................
150
48. Komposisi Nilai Tambah Sektor Kehutanan di Jawa Tengah Tahun 2003.........……….........................................................................
153
49. Struktur Input Sektor Ekonomi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003..........……............................................................................
155
50. Derajat Kepekaaan dan Daya Penyebaran Sektor – Sektor Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 ……...............................................................
158
51 Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2003.......... …………………………………………………………….
162
52. Sumber Pendapatan Menurut Golongan Rumah Tangga Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.…………………………………….
165
53. Pola Pengeluaran Menurut Golongan Rumah Tangga Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003..........................................................
167
54. Dekomposisi Matrik Pengganda Sektor Industri Penggergajian…….....
170
55. Hasil Analisis Pengujian Alur Sektor Kehutanan…………………........
172
56. Hasil Simulasi Penanggulangan Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Terhadap Output di Provinsi Jawa Tengah………………....
178
vi
57 Hasil Simulasi Penaggulangan Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Terhadap Rumahtangga di Jawa Tengah ………………......
179
58 Harga Nominal Hasil Hutan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003……
185
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Permasalahan Penelitian ………..……………………………………...
9
2. Aliran Pendapatan ……………………………………………………..
12
3. Hubungan Rent dengan Lokasi atau Jarak Sumberdaya…………….....
17
4. Optimum Pengelolaan SDH Berdasarkan WTP dan WTA....................
21
5. Diagram Nilai Sumberdaya Hutan……………………………………..
24
6. Diagram Peran Sumberdaya Hutan Dalam Perekonomian Wilayah…………………………………………………………………
25
7. Kerangka Pemikiran Penelitian……………………………..…………..
51
8. Pola Kebocoran Ekonomi ………………..…………………………….
52
9. Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003……………..
80
10. Grafik Perkembangan PDRB Kehutanan Jawa Tengah..... …………....
83
11. Perbandingan PDRB Kehutanan dengan PDRB Pertanian Lainnya......
84
12. Grafik Perkembangan PDRB Total Provinsi Jawa Tengah.. ………….
86
13. erkembangan PDRB Sektor Kehutanan di Jawa Tengah……................
86
14. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDRB Jawa Tengah 1999 -2003
88
15. Indeks Perkembangan PDRB Sektor Kehutanan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1999 – 2003.................................................................…
90
16. Grafik Peningkatan Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama................................................
93
17. Inflasi Kota Semarang Tahun 1999 – 2003 ............................................
99
18. Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Jawa Tengah 1999 – 2003 ……………………………………………………………
101
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1
Halaman
Tabel Nilai Hasil Valuasi Manfaat Air dari Kawasan Hutan di Jawa Tengah Tahun 2003........................................................................
215
2
Tabel Nilai Hasil Valuasi Manfaat Langsung ke Masyarakat ….……..
217
3
Tabel Nilai Hasil Valuasi Jasa Wisata Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.........................................................................................................
218
4
Tabel Nilai Hasil Valuasi Kerugian Akibat Deforestasi..…………........
220
5
Tabel Nilai Pengurangan Kapasitas Hutan (Erosi) di Jawa Tengah Tahun 2003..............................................................................................
221
6
Tabel Nilai Kerugian Akibat Ilegal Logging…………………………...
224
7
Tabel Nilai Pemanfaatan Anggaran Instansi Kehutanan Untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan………………………...............
225
8
Tabel Nilai Penyediaan Udara Bersih……........…………………….....
227
9
Tabel Nilai Kehilangan Nilai Tambah…...................................……....
229
10 Tabel Nilai Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian Hutan Tahun 2003.....
230
11 Tabel Nilai Efisiensi Kelembagaan……..………………………………
230
12 Tabel Nilai Kerugian Akibat Ilegal Trading……..……………………..
231
13 Tabel Perbandingan Besarnya Variabel/Sektor Perekonomian pada Model I-O Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003........................................
232
14 Tabel I-O Standar Jawa Tengah 2003 .........................…………….......
234
15 Tabel I-O Modifikasi Jawa Tengah 2003 ..........................………….....
240
16 Tabel SNSE Jawa Tengah 2003 Standar ……...……………..................
246
17 Tabel SNSE Jawa Tengah 2003 Modifikasi........………………….......
269
18 Tabel Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja Jawa Tengah 2003…….......
293
19 Tabel Distribusi Tenaga Kerja Jawa Tengah Tahun 2003……………...
295
20 Tabel Distribusi pendapatan per Tenaga kerja Jawa Tengah, 2003….....
297
21 Total Pendapatan dan pengeluaran Menurut Golongan Rumah Tangga Jateng, 2003……........................................................................
299
ix
22 Matrik Pengganda Neraca Sektor Kehutanan Jawa Tengah,2003….....
300
23 Dampak Pengurangan Ilegal Kehutanan sampai 0%……………….......
306
24 Dampak Pengurangan Ilegal Kehutanan sampai 25%………………….
308
25 Dampak Pengurangan Ilegal Kehutanan sampai 50%………………….
310
26 Dampak Pengurangan Ilegal Kehutanan sampai 75%………………….
312
27 Dampak Pengurangan Ilegal Kehutanan sampai 100%………………...
314
28 Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 5%……………...
316
29 Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 10%…………….
318
30 Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 15%…………….
320
31 Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 20%…………….
322
32 Alur Kebijakan Penanggulangan Illegal Trading……………………....
324
33 Alur Kebijakan Penanggulangan Illegal Logging……………………....
325
34 Alur Kebijakan Manfaat Udara Bersih………………………………....
3266
35 Alur Kebijakan Manfaat Air………….………………………………...
327
36 Alur Kebijakan penanggulangan Erosi…………………………………
328
37 Alur Kebijakan Manfaat Kayu………………………………………….
339
38 Alur Kebijakan Manfaat Non Kayu……………………………………
330
x
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999, bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang memberikan manfaat multiguna bagi manusia, yaitu sebagai sumber pendapatan dengan
berbagai produksi hasil hutan, sebagai perlindungan tata air, sebagai
produsen jasa lingkungan dan lain sebagainya. Oleh karena itu hutan wajib diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar -besar kemakmuran masyarakat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Menurut Darusman (1989),
manfaat hutan bagi manusia dapat bersifat
tangible maupun intangible. Manfaat tangible adalah manfaat yang berbentuk material misalnya kayu, rotan, getah, daun dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible adalah manfaat yang berbentuk immaterial
misalnya jasa
lingkungan/pemandangan, pendidikan, tata air, plasma nutfah dan sebagainya. Manfaat tangible dan intangible tersebut selalu mengarah kepada aspek produksi dan atau perlindungan. Menurut Pearce (1993), manfaat multiguna hutan dicerminkan oleh nilai ekonomi sumberdaya hutan yang berupa nilai atas dasar penggunaan (use value ) dan nilai yang terkandung di dalamnya (non-use value).
Nilai atas dasar
penggunaan menunjukkan kemampuan hutan yang muncul apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau dieksploitasi. Sedangkan nilai yang terkandung di dalam hutan
adalah nilai yang melekat pada keberadaan hutan sendiri,
misalnya pengatur cuaca, pengatur ata air, penghasil udara bersih, penyerap pencemaran udara, dan sebagainya. Selanjutnya use value dapat dipilah kembali menjadi nilai atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai atas dasar penggunaan tidak langsung
(indirect use value),
nilai atas dasar pilihan
penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value). Berdasarkan manfaat multiguna, hutan mempunyai peranan strategis dalam pembangunan ekonomi masyarakat baik dalam skala rumah tangga, regional, maupun nasional.
Peranan hutan dalam pembangunan ekonomi nasional
bertumpu pada 3 (tiga) hal yaitu : Pertama penyediaan devisa untuk membangun
2 sektor lain yang membutuhkan teknologi dari luar negeri dan meningkatkan kinerja ekonomi makro dalam pergaulan ekonomi global. Sejak tahun 1970 sampai dengan tahun 1995 , sektor kehutanan mampu memberikan devisa bagi Indonesia sebesar 30 persen dari nilai total ekspor. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998, nilai devisa dari ekspor komoditi kehutanan sebesar US$ 436 juta. Kedua, penyediaan lahan sebagai modal awal pembangunan berbagai sektor non kehutanan terutama pertanian, perkebunan, infrastruktur dan industri. Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2000 telah menyediakan lahan seluas 30 juta hektar untuk perluasan sektor non kehutanan tersebut.
Ketiga, peranan hutan dalam
pelayanan jasa lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat.
Peranan
hutan dalam perekonomian tersebut sangat potensial, komplek, dan saling terkait (Haeruman, 2005). Menurut Haeruman (2005), produksi jasa dari hutan antara lain berupa komoditi air/tata air, tempat rekreasi, plasma nutfah, pendidikan dan sebagainya telah berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap komoditi jasa dari hutan. Pada awal kemerdekaan tahun 1945, komoditi jasa dari hutan belum dirasakan sebagai kebutuhan yang penting. Tetapi sejak tahun 1980an, komoditi jasa dari hutan tersebut telah menjadi kebutuhan yang bersifat mutlak. Kegiatan masyarakat pertanian dan industri harus memerlukan air yang cukup.
Pengembangan bibit unggul yang tahan hama dan penyakit untuk
peningkatan produksi harus tersedia plasma nutfah.
Kesibukan masyarakat
perkotaan dan modern yang intensif dalam tenaga dan pikiran harus diimbangi rekreasi yang cukup agar tidak terjadi stress. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut secara fisik dapat dipenuhi dan disediakan oleh hutan. Perhitungan manfaat hutan yang telah terhitung (quantitative products) dan dipasarkan (marketed products) berupa kayu dan non kayu (getah, terpentin, madu, bambu, dan lain-lain) telah dilaporkan secara resmi oleh Pemerintah melaui Badan Pusat Statistik (BPS) maupun intansi yang berkompeten. Sebagai contoh nilai ekspor hasil hutan (kayu dan non kayu) tahun 1998 sampai dengan tahun 2003 sebesar US$ 10.48 miliar (Badan Pusat Statistik, 2004). Sementara itu nilai manfaat lain yang bersifat non -quantitative dan non marketed products belum diketahui secara luas, tetapi secara terbatas telah diketahui oleh masyarakat
3 terutama para peneliti, misalnya manfaat jasa wisata hutan
di Pulau
Jawa
(Bahruni, 1993), manfaat air di Taman Nasional (Darusman,1993), manfaat air dari hutan produksi dan hutan lindung (Supriyadi, 1997), manfaat total ekonomi Taman Nasional (Widada, 2004). Menurut Bahruni (1993), nilai manfaat jasa wisata dari kawasan hutan konservasi dan hutan wisata di Pulau Jawa rata-rata berkisar Rp 1.50 juta sampai dengan Rp 9.60 juta per hektar/tahun. Besarnya nilai manfaat jasa wisata tersebut didasark an pada perhitungan kesediaan membayar pengunjung. Oleh karena itu jika pengunjung semakin hari semakin banyak maka kawasan hutan konservasi dan hutan wisata di Pulau Jawa dapat mengarah pada kemandirian pendanaan. Selanjutnya menurut Darusman (1993), bahwa nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebesar Rp 4.34 miliar per tahun atau Rp 28 juta/hektar/ tahun.
Nilai manfaat air tersebut jauh lebih tinggi
dibanding hasil hutan tradisional. Menurut Supriyadi (1997), nilai manfaat air dari hutan lindung dan hutan produksi
seluas 76 273.19 ha pada jumlah penduduk Kabupaten 3.3 juta jiwa
adalah sebesar Rp. 54.5 milyar. Kontribusi sektor hutan lindung terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 0.48% di wilayah ekonomi Kabupaten Bandung. Selanjutnya menurut Widada (2004) bahwa Nilai manfaat ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) berdasarkan analisis nilai ekonomi total (NET) adalah sebesar Rp 439.75 miliar per tahun, terdiri dari nilai penyerap karbon sebesar Rp 429.77 milyar ( 97.73%), nilai ekowisata sebesar Rp 1.27 miliar (0.29%), nilai air (domestik dan pertanian) sebesar Rp 6.64 milyar (1.51%), nilai pelestarian sebesar Rp 0.67 miliar (0.15%), nilai pilihan sebesar Rp 0.76 miliar (0.17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0.64 miliar (0,15%). Apabila nilai penyerap karbon tidak diperhitungkan, maka NET TNGH sebesar Rp 9.57 miliar, dengan nilai ekonomi air (domestik dan pertanian) menunjukkan yang proporsi tertinggi (66.58%), kemudian nilai ekowisata (12.70%), nilai pilihan (7.63%), nilai pelestarian (6.70%), dan nilai keberadaan (6.40%). Meskipun peranan manfaat hutan cukup banyak dan strategis seperti tersebut di atas, namun di sisi lain berdasarkan Badan Pusat Statistik (2004), diketahui kontribusi sektor kehutanan termasuk industrinya dalam perhitungan Produk
4 Domestik Bruto (PDB)
pada periode 10 tahun terakhir (1993 – 2002) hanya
berkisar pada angka 2% – 4%. Bahkan kontribusi sektor kehutanan termasuk industrinya dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 masing-masing sebesar 0.53%, 0.47%, 0.45% dan 0.24%. Angka tersebut jauh dibawah sektor pertanian yang memberikan kontribusi kepada PDB sebesar 6% –17%, maupun sektor jasa yang berkisar 4% – 12%. Dengan demikian telah terjadi kesenjangan antara manfaat hutan dengan kontribusi hutan terhadap masyarakat. Adanya kesenjangan tersebut sering mengakibatkan salah persepsi oleh para pihak terutama pemerintah daerah terhadap keberadaan hutan di wilayah kerjanya. Potensi multiguna sumber daya hutan sebagai
penghasil barang dan jasa
dipergunakan pemerintah daerah sebagai alasan untuk mengekploitir hutan sebagai sumber penerimaan daerah/wilayah.
Sementara itu kontribusi sektor
kehutanan yang relatif kecil maka kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pembangunan kehutanan baik untuk pengembangan hasil hutan maupun untuk rehabilitasi hutan tidak memadai.
Dengan ketidakseimbangan antara
tingkat eksploitasi dengan pembangunan/rehabilitasi hutan, maka akan dapat terjadi eksploitasi hutan yang melampauhi kapasitasnya.
Hal ini akan
mengakibatkan terancamnya kelestarian hutan. Fenomena manfaat peranan ekonomi hutan sangat strategis tetapi kontribusinya dalam perekonomian kecil dapat dijelaskan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu pertama berdasarkan kalkulasi ekonomi manfaat hutan. Kontribusi kehutanan dalam perekonomian wilayah yang ditunjukkan oleh besarnya nilai manfaat hutan pada kalkulasi atau perhitungan Produk Domestik Regioanl Bruto (PDRB) wilayah yang bersangkutan. Kedua, berdasarkan kebocoran pendapatan (leakage) yang berasal dari aktifitas sektor kehutanan baik yang bersifat legal maupun ilegal. Menurut
Badan
Pusat
Statistik
(2004),
kalkulasi
PDRB
dengan
menggunakan Model Input-Output ditemukan bahwa kontribusi sektor kehutanan terbatas pada manfaat hutan yang berupa hasil hutan yang terhitung (quantitative products), bernilai uang (financial values ), dan hasil hutan yang dipasarkan (marketed products).
Manfaat-manfaat hutan tersebut tertuang dalam 3 (tiga)
5 sektor/sub sektor yaitu hasil kayu, hasil non kayu ( getah, damar, madu dan lain lain), dan jasa lingkungan. Sedangkan manfaat hutan yang bersifat nonquantitative dan non marketed belum dimasukkan sebagai kontribusi sektor kehutanan dalam perhitungan PDRB. quantitative misalnya
penyedia
Padahal manfaat hutan yang non
sarana
pendidikan,
kesehatan,
pencegah
banjir/erosi dan lain-lain maupun non marketed misalnya kayu bakar, rumput,dan daun yang langsung dokonsumsi masyarakat, air untuk pertanian dan udara bersih tersebut sudah diketahui penghitungannya.
Dengan demikian terjadi
mis-
calculation dalam perhitungan PDRB karena belum memasukkan manfaat hutan yang non quantitative dan yang non marketed tersebut. berimplikasi pada kesalahan penetapan kebijakan
Hal tersebut akan
sektor kehutanan maupun
sektor-sektor lain yang terkait. Disamping itu, pada perhitungan PDRB memasukan sektor industri primer kehutanan ( penggergajian, kayu lapis, meubel dan bangunan, serta pengolahan dengan bahan baku kayu) sebagai kontribusi sektor non kehutanan. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, bahwa industri primer kehutanan tersebut sepenuhnya telah menjadi urusan kehutanan.
Dengan
demikian terjadi ketidaktepatan penempatan (mis-alokasi) manfaat ekonomi hutan sehingga kontribusi sektor kehutanan dalam perhitungan PDRB menjadi kecil. Besar kecilnya kontribusi suatu sektor terhadap pendapatan wilayah ditentukan nilai manfaat sektor tersebut dalam mengh asilkan barang dan jasa yang tercatat secara resmi. maka
Sementara itu sektor kehutanan yang bersifat multi produk
barang dan jasa yang dihasilkannya diketahui oleh masyarakat bahwa
barang atau jasa tersebut dihasilkan oleh sektor kehutanan. Sebagai contoh air, udara bersih, dan jasa wisata hutan. Disamping itu hutan juga menyediakan hasil hutan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat sehinga tidak tercatat sebagai hasil sektor kehutanan. Lebih lanjut, pendapatan sektor kehutanan sebagai salah satu pembentuk pendapatan wilayah dapat mengalami kebocoran (leakage) sehingga kontribusi sektor tersebut akan berkurang. Kebocoran pendapatan sektor kehutanan dapat bersumber dari aktifitas legal misalnya penyusutan hutan (deforestation) dan pengurangan kapasitas (capacity decreasing) lahan hutan, dan bersumber dari aktifitas illegal seperti illegal logging , serta moral hazard yang
6 berupa transaksi ilegal (illegal trading) pada pengelolaan hutan di suatu wilayah tertentu.
Kebocoran pendapatan tersebut tentunya akan menurunkan tingkat
efisiensi usaha kehutanan maupun usaha-usaha sektor lain yang terkait serta dapat memperlemah perekonomian wilayah yang pada akhirnya akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kenyataan yang terjadi, hasil hutan yang tidak tercatat maupun kebocoran pendatan sektoral tersebut belum diketahui secara kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang menganalisis peranan kehutanan di suatu wilayah dengan pokok bahasan manfaat ekonomi dan kebocoran pendapatan.
Hasil analisis
tersebut akan dapat
digunakan bagi perumusan alternatif kebijakan yang tepat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumberdaya hutan. 1.2. Perumusan Permasalahan. Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Pulau Jawa mempunyai kawasan hutan seluas sekitar 0.8% dari luas hutan Indonesia tetapi harus menyangga kehidupan sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia, maka tekanan penduduk terhadap kelestarian sumberdaya hutan sangat besar. Di sisi lain peranan ekonomi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir yaitu 1998 - 2003 hanya berkisar pada angka sekitar 0.43% – 0.71%.
Jika dibandingkan dengan sektor lain misalnya
pertanian sekitar 22% – 23%, industri sekitar 25% – 30%, dan perdagangan sekitar 20% –22%, maka peranan sektor kehutanan tersebut jauh lebih kecil dibanding sektor-sektor lain.
Peranan ekonomi kehutanan sangat menentukan
persepsi para pihak untuk mencapai peningkatan manfaat hasil dan kelestarian hutan. Oleh karena itu guna mempertahankan kelestarian hutan diperlukan upaya peningkatan peranan ekonomi kehutanan di provinsi tersebut. Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah menggunakan model input-output (Tabel I-O) dengan klasifikasi sektor baku standar belum lengkap dan kurang akurat.
Kekuranglengkapan tersebut
terlihat pada perhitungan PDRB yang terbatas pada manfaat atau hasil yang bersifat positif dan belum memasukkan dampak lingkungan yang bersifat negatif sebagai sektor.
Kontribusi sektor kehutanan pada perhitungan PDRB tersebut
7 terbatas pada klasifikasi sektor manfaat hasil kayu, hasil non kayu (getah, damar, madu, bambu dan sebagainya), dan hasil jasa wisata atau jasa-jasa lainnya. Sementara itu manfaat kayu bakar/rencek, rumput dan daun yang dikonsumsi langsung masyarakat, air untuk pertanian dan udara bersih untuk kesehatan serta manfaat hutan yang transaksinya illegal ( logging dan trading) belum diperhitungkan.
Di samping itu perhitungan PDRB tersebut juga belum
memasukkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, kehilangan nilai tambah, dan efisiensi kelembagaan. Padahal, seluruh manfaat dan kegiatan yang belum diperhitungkan tersebut secar a langsung akan menentukan besarnya PDRB. Perhitungan PDRB Provinsi Jawa Tengah belum akurat karena
belum
memasukkan faktor dampak lingkungan seperti deforetasi, erosi yang bersifat negatif. Disamping itu dalam perhitungan PDRB tersebut memasukkan sekto r industri primer kehutanan ( penggergajian, kayu lapis, meubel dan bangunan, serta pengolahan dengan bahan baku kayu) sebagai kontribusi sektor non kehutanan. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, bahwa industri primer kehutanan tersebut sepenuhnya telah menjadi urusan kehutanan. Dengan demikian terjadi ketidaktepatan penempatan (mis-alokasi) manfaat ekonomi hutan dalam perhitungan PDRB. Salah satu sasaran pembangunan wilayah adalah peningkatan pendapatan masyarakat dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun peningkatan PDRB tersebut
belum sepenuhnya menggabarkan tingkat
kesejahteraan jika tidak diiringi dengan pemerataan atau distribusi pendapatan kepada masyarakat baik rumah tangga maupun institusi. Salah satu metode penghitungan pemerataan atau kontribusi pendapatan tersebut secara lengkap dan berimbang dengan menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrics (SAM). Sementara itu penggunaan SNSE di Provinsi Jawa Tengah belum dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Dengan
demikian penggunaan SNSE di Provinsi Jawa Tengah akan menambah pemahaman tingkat pemerataan pendapatan di wilayah tersebut. Perekonomian wilayah yang dibangun dari aktivitas ekonomi sektoral dapat mengalami kebocoran (leakage) pendapatan. Kebocoran pendapatan tersebut adalah suatu nilai ekonomi yang keluar dari siklus pendapatan di suatu wilayah
8 tertentu. Oleh karena itu kebocoran pada aktivitas ekonomi sektor kehutanan juga dapat merupakan kebocoran ekonomi wilayah (regional leakage).
Keluarnya
nilai ekonomi kehutanan tersebut dapat disebabkan oleh tindakan manusia ataupun aktivitas alam. Tindakan manusia dapat berupa aktivitas legal pada saat melakukan
pengelolaan hutan mulai dari perencanaan/perijinan, pelaksanaan
eksploitasi hutan, dan pengawasan kegiatan, dan dapat berupa aktivitas illegal (logging dan trading) serta perambahan kawasan dan perusakan hutan. Selanjutnya, aktivitas alam dapat berupa hujan, erosi, angin, dan bencana alam yang dapat merusak kondisi fisik hutan dan lingkunganya. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Permasalahan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 1. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama p enelitian ini adalah menganalisis kontribusi sektor kehutanan pada perekonomian suatu wilayah, dengan tujuan spesifik sebagai berikut : 1. Menganalisis manfaat ekonomi hutan dengan melakukan penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah secara lengkap yang memasukkan ekternalitas lingkungan. 2. Menganalisis kebocoran pendapatan (leakage) yang berasal dari sektor kehutanan di Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis tingkat pemerataan
pendapatan
sektor kehutanan ke
masyarakat di Provinsi Jaw a Tengah. 4. Simulasi pengurangan kebocoran manafaat hutan untuk mencari alternatif kebijakan pemerintah sektor kehutanan di Provinsi Jawa Tengah. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian dimaksudkan dapat memberikan wacana baru dari segi ilmiah dan segi kepentingan pemerintah khususnya kegunaan dalam hal : 1. Penentuan kebijakan sektor kehutanan dalam perekonomian regional/nasional. 2. Pelestarian sumber-sumber perekonomian terutama sumberdaya alam lebih terjamin. 3. Tersedianya bahan untuk sosialisasi dan penertiban dalam pengelolaan hutan menuju kelestarian sumberdaya hutan.
9 MASA KINI Manfaat Multiguna Hutan Nilai Guna
Tidak Sinkron
Non Nilai Guna
Perhitungan PDRB
Terhitung Undervalue
Kebocoran Pendapatan dari Sektor Kehutanan
Belum Terhitung
Penyusutan hutan Penurunan kapasitas hutan Kelembagaan kurang efektif Tindakan Ilegal Kebijakan kurang tepat
* Jumlah dan jenis terbatas * Belum dipasarkan * Masuk sektor lain
Kontribusi ke perekonomian Kecil
Eksploitasi melampaui kapasitas hutan
MASA MENDATANG Tekanan Ekonomi Masy. Meningkat
Jumlah Penduduk Meningkat Fungsi hutan tanaman berbeda dengan hutan alam
Luas hutan mengecil
Kebijakan pemerintah ?
Ramalan kontribusi kepada perekonomian ? Harapan Sektor Kehutanan : Kontribusi perekonomian besar dan kelestarian sumberdaya hutan
Gambar 1. Permas alahan Penelitian
10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Substansi perekonomian kehutanan yang dianalisis dibatasi pada 2 (dua) hal yaitu pertama, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah yang lebih lengkap dan akurat dengan mengaplikasikan hasil valuasi manfaat sumberdaya hutan
yang belum terhitung, dan kebocoran pendapatan wilayah
(regional leakage) yang berasal dari
sektor kehutanan. Kedua, distribusi
pendapatan sektor kehutanan ke masyarakat. Penelitian menggunakan pendekatan input-output dan sistem neraca sosial economi / SNSE (Social Accounting Matrics / SAM) sektoral pada perekonomian Provinsi Jawa Tengah.
Untuk mempermudah analisis maka besaran setiap
variabel ditranformasikan ke dalam nilai rupiah dengan patokan harga yang berlaku (nominal). 1.6 Keterbatasan Penelitian Penelitian telah dicoba menyeluruh pada seluruh aspek manfaat ekonomis hutan baik manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung, yang bersifat positif dan yang bersifat negatif. Seluruh aspek tersebut dikaitkan dengan perekonomian wilayah Propinsi Jawa Tengah. Namun sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki penulis. Penelitian ini mempunyai keterbatasan -keterbatasan antara lain, pertama metoda valuasi nilai manfaat hutan tidak dilakukan secara langsung, melainkan menggunakan hasil-hasil penelitian terdahulu di Propinsi Jawa Tengah maupun wilayah lainnya, sehingga digunakan faktor koreksi, maupun proksi yang bersifat situasional. Oleh karena itu akurasi dari hasil dari valuasi dapat bersifat debatable.
Kedua, pelaksanaan disagregasi variabel/sektor kehutanan menjadi
subsektor belum baku sehingga subsektor yang dikreasikan pada penelitian ini belum dapat di uji kehandalannya terutama antar wilayah. Ketiga, Model InputOutput maupun Sistem Neraca Sosial Ekonomi yang digunakan pada penelitian ini bersifat statis, sehingga hasil analisis ini terbatas akurasinya yang bersifat stasioner pada tahun tertentu (tahun 2003) saja.
II. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Penghitungan Pendapatan Tujuan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi di suatu wilayah adalah untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan
oleh
masyarakat. Penghitungan keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan tersebut dalam satu tahun maka akan diperoleh produk nasional atau pendapatan nasional. Dengan demikian produk nasional atau pendapatan nasional adalah nilai barang akhir dan jasa akhir yang dihasilkan suatu negara dalam suatu periode (tahun) tertentu. Oleh karena satuan produksi tidak sama atau unit berbeda maka penjumlahan barang dan jasa tersebut dinyatakan dalam nilai uang (Mankiw, 2000). Pelaku ekonomi terdiri dari pemerintah, perusahaan dan rumah tangga yang didukung oleh investor, lembaga keuangan, dan pasar baik domestik maupun luar negeri. Masing-masing pelaku ekonomi maupun pendukungnya memiliki suatu aliran pendapatan dan perbelanjaan yang membentuk aliran pendapatan dalam suatu perekonomian. Secara prinsip aliran pendapatan dan perbelanjaan dalam perekonomian tersebut sebagaimana skema Gambar 2. Pada dasarnya aliran pendapatan menunjukkan interaksi diantara pelaku ekonomi dan pendukungnya. Interaksi tersebut merupakan proses jual – beli barang dan jasa yang dihasilkan oleh masing-masing pelaku ekonomi. Aliran pendapatan terjadi akibat dari (1) penggunaan faktor produksi yang dimiliki oleh rumah tangga, dan (2) pajak dan pungutan lain oleh pemerintah. Sedangkan aliran perbelanjaan terjadi sebagai akibat pembelian atas barang dan jas a yang dihasilkan oleh perusahaan, rumah tangga, pemerintah, dan masyarakat luar negeri.
Aliran pendapatan dan aliran perbelanjaan tersebut menjadi satu
kesatuan. Berdasarkan aliran pendapatan tersebut pada Gambar 2, maka perhitungan besarnya pendapatan nasional atau wilayah dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu : (1) Pengeluaran, (2) Pendapatan, dan (3) Produksi Neto atau Nilai Tambah.
12 Ekspor (1)
Impor (2)
LUAR NEGERI Impor (3)
PASAR FAKTOR Permintaan faktor (4)
Penawaran faktor (5) Pajak individu (6)
PERUSAHAAN
Gaji, Upah, Sewa, bunga, keuntungan perusahaan (7)
RUMAH TANGGA
PEMERINTAH
Penerimaan penjualan (8) Konsumsi rumah tangga (9)
Tabungan (10)
PASAR BARANG
Pengeluaran pemerintah (11)
Investasi (12)
INVESTOR
LEMB. KEUANGAN
Pajak perusahaan (13)
Sumber : Mankiw - dimodifikasi (2000) Gambar 2. Aliran Pendapatan 2.1.1. Pendekatan Pengeluaran Perhitungan besarnya pendapatan dengan pendekatan pengeluaran dilakukan cara menaksir nilai aliran perbelanjaan yang dilakukan oleh sektor rumah tangga, investor, pemerintah, dan luar negeri.
Aliran-aliran perbelanjaan tersebut
merupakan nilai perbelanjaan yang dilakukan atas barang-barang akhir dan jasa akhir yang diproduksi sektor perusahaan. Barang akhir dan jasa yang dibeli rumah tangga meliputi barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jenis-jenis barang dan jasa tersebut
13 antara lain bahan makanan, minuman, pakaian, dan barang kebutuhan rumah tangga lainnya seperti radio, televisi, mobil dan lain-lain. Sedangkan jasa-jasa yang dibutuhkan rumah tangga antara lain pengangkutan, kesehatan, pendidikan. Perbelanjaan pemerintah sebagian besar dibiayai pajak.
oleh pendapatan dari
Perbelanjaan pemerintah dilakukan untuk memenuhi kepentingan
masyarakat seperti gaji pegawai pemerintah, pembangunan infrastruktur, kesehatan, sarana prasarana umum, peralatan perkantoran, pendidikan dan sebagainya yang kesemuanya untuk kepentingan masyarakat. Dalam perhitungan pendapatan nasional ataupun
wilayah, investasi
perusahaan disebut pembentukan modal tetap domestik bruto. Nilai perbelanjaan tersebut menggambarkan keseluruhan nilai pembelian sektor swasta dan pemerintah ke atas berang-barang modal yang diproduksikan oleh sektor perusahaan.
Perbelanjaan tersebut termasuk juga nilai rumah-rumah tempat
tinggal yang dibangun dalam satu periode tertentu.
Pembelian barang-barang
modal dimaksud akan menambah nilai barang-barang modal dalam perekonomian dan dapat mengakibatkan peningkatan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa. Hubungan ekonomi dengan negara-negara lain akan menggalakkan lalu lintas ekspor dan impor barang dan jasa. Ekspor akan menambah perbelanjaan terhadap barang-barang yang dikeluarkan sektor perusahaan maka tentu akan mengakibatkan banyak barang yang akan diproduksi perusahaan. Sedangkan impor menyebabkan aliran pendap atan beralih ke luar negeri dan akan mengurangi kegiatan sektor perusahaan. Dengan demikian ekspor netto yang positif maka akan meningkatkan kegiatan sektor perusahaan. 2.1.2. Pendekatan Pendapatan Perhitungan pendapatan nasional atau wilayah dengan pendekatan pendapatan dilakukan dengan cara menaksir nilai aliran pendapatan faktor-faktor produksi.
Aliran pendapatan faktor produksi tersebut ditentukan oleh nilai
penyusutan (deprisiasi), pajak tak langsung, dan subsidi. Oleh karena itu apabila disuatu negara atau wilayah diasumsikan nilai penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi sebesar nol (zero) maka nilai aliran pendapatan faktor-faktor produksi
14 adalah sama dengan nilai perbelanjaan berbagai sektor terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sektor perusahaan . Aliran pendapatan faktor-faktor produksi yang paling penting adalah gaji dan upah. Jenis pendapatan tersebut merupakan kompensasi kepada tenaga kerja yang bekerja dalam perekonomian. Selanjutnya aliran pendapatan yang juga cukup penting adalah keuntungan perusahaan, bunga, dan sewa. 2.1.3. Pendekatan Produksi Netto atai Nilai tambah Penghitungan pendapatan nasional atau wilayah juga dapat dilakukan dengan menghitung dan menaksir nilai tambah yaitu menghitung pertambahan nilai uang dari suatu barang akibat proses produksi. disebut pendekatan “net output” atau “output netto”.
Pendekatan tersebut juga Secara garis besar nilai
tambahan yang diciptakan oleh suatu kegiatan ekonomi dapat ditentukan oleh nilai penjualan dikurangi nilai pembelian. Pada cara perbelanjaan produk nasional dihitung dengan menjumlahkan seluruh nilai barang jadi, sedangkan pada cara produksi yang dijumlahkan adalah nilai tambah. Oleh karena jumlah nilai tambah adalah sama dengan nilai barang akhir, maka secara teori nilai perhitungan produk nasional berdasarkan perbelanjaan akan sama dengan nilai cara produksi.
2.2 Konsep Pendapatan Bersih Salah satu sasaran pembangunan adalah meningkatkan pendapatan dalam bentuk Product Domestic Bruto (PDB) secepat mungkin, dengan asumsi bahwa hal ini merupakan cara terbaik untuk meningkatkan semua aspek kesejaahteraan nasional. Tidak ada masalah dengan apa hal baru yang dihasilkan, sepanjang hal tersebut meningkatkan kegiatan ekonomi Lebih lanjut, tujuan pembangunan adalah kemakmuran, industrialisasi, teknologi yang canggih, dan peningkatan standar hidup dan PDB terus menerus. Hal tersebut merupakan kesalahan dasar pada teori pembangunan konvensional. Teori modernisasi yang ada menyebutkan bahwa negara-negara kaya merupakan model dan tujuan akhir dari upaya pembangunan. Konsep ini sangat keliru.(Bornschier,1978).
15 Sumber-sumber daya alam di suatu negara mendasari kehidupan segenap penduduknya. Kualitas udara, air, dan tanah haruslah dilestarikan untuk diteruskan ke generasi-generasi berikutnya. Jika sumberdaya yang sangat berharga tersebut dihancurkan hanya untuk sekedar mengejar tujuan-tujuan ekonomi jangka pendek, maka yang menderita bukan hanya generasi sekarang, tetapi yang lebih menderita adalah generasi mendatang. Oleh karena itu, environmental accounting harus digunakan dalam perumusan kebijakan -kebijakan pembangunan. Pengertian environmental accountin g adalah aset fisik yang menyangkut semua hal yang berharga, tidak hanya modal-modal manufaktur (mesin, pabrik, jalan-jalan), namun juga modal manusia (pengetahuan, keterampilan dan pengalaman) serta modal lingkungan hidup (environmental capital), yaitu seperti hutan, kualitas tanah, lingkungan hijau
dan sebagainya. Berdasarkan definisi
tersebut, maka adanya pembangunan yang berkelanjutan mensyaratkan terjaga atau meningkatnya seluruh modal tersebut dari waktu ke waktu (tidak boleh susut). Atas dasar itu perhitungan PDB harus dikoreksi menjadi Net PDB yang tidak lain adalah PDB hijau (Green PDB)
yaitu jumlah total yang dapat
dikonsumsi tanpa mengikis stok modal (Pearce and Warford,1993). Rumusannya adalah : Green PDB* = PDB – Dm - Dn ..........................................................
(1)
dimana : Green PDB*
: pendapatan nasional neto berkelanjutan
Dm
: depresiasi aset-aset/modal manufaktur
Dn
: depresiasi ase-aset/modal lingkungan yang dinyatakan dalam satuan moneter (uang) tahunan
Jika diperinci lagi melalui suatu kalkulasi yang cukup rumit (berdasarkan metode koleksi data sekarang), rumusan di atas bisa dis empurnakan sehingga menjadi : Green PDB* = PDB – Dm - Dn – R – A .............................................
(2)
dimana : R
: pengeluaran atau belanja yang diperlukan untuk mengembalikan
16 modal lingkungan (hutan, sumber perikanan, dan sebaginya) seperti sediakala. Sedangkan A
: adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan modal lingkungan yang terlanjur terjadi di masa sebelumnya (misalnya berupa pencemaran udara, air, kualitas tanah, dan lain-lain).
2.3 Konsep Sumberdaya Hutan Dalam perekonomian, hutan dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan masyarakat.
Oleh karena itu
pengelolaan hutan di suatu wilayah telah menjadikan hutan sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan ekonomi.
Pengelolaan hutan tersebut dapat
memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Barang
yang dapat disediakan oleh hutan antara lain kayu, getah, rotan,
daun, makanan ternak dan lain-lain. Sedangkan jasa dari hutan antara lain berupa komoditi air / tata air, tempat rekreasi, plasma nutfah, pendidikan dan sebagainya. Lebih lanjut menurut World Bank (1978), barang dan jasa dari hutan dapat kelompokkan dalam 3 (tiga) jenis yaitu barang dan jasa untuk konsumsi, bahan industri, dan
yang berpengaruh
terhadap ekologi.
Barang dan jasa
untuk
konsumsi bersifat indigenous meliputi kayu untuk bangunan tempat tinggal (building poles ), kayu bakar “rencek” dan arang kayu (fuelwood and charcoal), bahan-bahan anyaman (weaving materials), dan kayu-kayu spesial (special woods and ashes). Barang untuk kegunaan sumber bahan industri meliputi bahan ekstraktif (gums, resins and oils), kayu bulat (logs) untuk pengergajian, kayu bahan pulp dan kertas (pulp woods), plywood atau kayu lapis dan kayu limbah (waste) untuk particle board, fibre board dan wastepaper. dan jasa yang berpengaruh terhadap ekologi
Sedangkan barang
meliputi perlindungan terhadap
daerah aliran sungai atau perlindungan terhadap daya tangkap (cathment protection), ekologi dan konservasi satwa liar (ecology and wildlife conservation ) dan pengendalian erosi tanah (soil erosion control).
17 Pada awalnya, sumberdaya hutan dapat diperoleh di alam bebas dengan mudah karena adanya sifat open acces pada hak penguasaan (property rights) hutan oleh masyarakat di sekitar hutan. Namun karena luasnya manfaat dari hutan maka lambat laun sumber daya hutan tersebut semakin berkurang karena terus menerus dieksploitasi, sehingga mengalami kerusakan sumberdaya alam. Untuk memperkecil tingkat kerusakan tersebut, maka sumberdaya hutan tersebut dikelola oleh pemerintah
atau diserahkan pengolahannya kepada pihak badan
hukum swasta, koperasi dan bahkan perorangan.
Untuk itu pemerintah
memberlakukan royalty atau rent kepada pengelola tersebut sebagai nilai sewa ekonomi atau harga sumberdaya dalam persediaan yang nantinya akan dimanfaatkan untuk sebesar -besarnya kesejahteraan masyarak at. Menurut Darusman (1991), sumber daya
hubungan rent kehutanan dengan lokasi
memiliki posisi yang paling rendah dengan slope yang datar dan
lokasi yang paling jauh dari pusat sebagaimana ditunjukkan Gambar 3. Dengan demikian sumberdaya hutan termasuk sumberdaya yang kurang diintervensi oleh aktivitas manusia, sehingga cenderung wilderness dan bersifat unknown .
Rent Perdagangan/industri Pemukiman Pertanian
Pusat
Kehutanan
Lokasi/Jarak
Gambar 3. Hubungan Rent dengan Lokasi/Jarak Sumberdaya Berdasarkan Gambar 3 di atas, dapat dijelaskan bahwa dengan slope yang datar maka jarak keberadaan sumberdaya hutan tidak mempengaruhi besarnya rent lahan (land rent). Dengan demikian kontribusi dan nilai manfaat sumberdaya hutan dalam perekonomian akan bersifat given , sehingga hal tersebut tentunya bertentangan dengan kenyataan bahwa kontribusi dan manfaat hutan multiguna dalam perekonomian. Oleh karena itu memperhitungkan kontribusi dan manfaat
18 lahan kehutanan yang tinggi dalam perekonomian maka slo penya akan miring (negatif) dan posisinya relatif lebih dekat dengan pusat yang dapat menggeser posisi sektor lain misalnya pertanian. Menurut Koutsoyiannis (1982), nilai economic rent dipresentasikan oleh besarnya pembayaran untuk faktor tetap yang berlebihan yang merupakan biaya opportunitas dari lahan. Hal tersebut mempertimbangkan lahan sebagai faktor produksi tetap yang mempunyai produk marjinal. Dengan demikian lahan sebagai faktor produksi yang berlebihan meskipun tingkat produksinya tetap. Berdasarkan sifat sumberdaya hutan yang mempunyai cakupan yang luas atau beragam maka sumberdaya hutan diklasifikan kedalam berbagai jenis berdasarkan fungsi utama, tipe hutan, dan sistem silvikultur. Klasifikasi hutan menurut fungsi utama terdiri atas : (1) Hutan produksi, yang berfungsi sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya, (2) Hutan lindung, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tata air dan pemeliharaan kesuburan tanah dalam suatu wilayah, (3) Hutan suaka alam, yang berfungsi sebagai pemelihara dan penjaga kelestarian ekosistem bagi kepentingan man usia generasi mendatang, (4) Hutan wisata, yang berfungsi sebagai penyedia jasa rekreasi dan jasa wisata lainnya, dan (5) Hutan konservasi/cadangan, yang berfungsi sebagai persesiaan bagi keperluan sektor selain kehutanan.
Dalam klasifikasi ini di Indonesia terdapat Taman
Nasional yang merupakan suatu bentuk pola manajemen yang menggabungkan hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan lindung ke dalam sistem manajemen terpadu (Darusman, 1991). Klasifikasi sumberdaya hutan berdasarkan tipe hutan terdiri atas : (1) Hutan mangrove, (2) Hutan Pantai, (3) Hutan rawa-gambut, (4) Hutan hujan tropis dataran rendah, (5) Hutan hujan tropis dataran tinggi, dan (6) Hutan musim. Klasifikasi tipe hutan tersebut muncul atas petimbangan kebutuhan ekosistem dan jenis pemanfaatan yang berbeda satu dengan lainnya. Selanjutnya Klasifikasi sumberdaya hutan berdasarkan sistem silvikultur terdiri atas : (1) Hutan alam, dan (2) Hutan tanaman. Klasifikasi berdasarkan sistem silvikultur tersebut terbatas diperuntukan bagi hutan produksi. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat masing-masing silvikultur memiliki perwujudan ekosistem dan produktivitas unsur-unsurna yang berbeda bagi kepentingan pembangunan.
19 Sumberdaya hutan termasuk dalam kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbaruhi (renewable resources atau flow resources) yang diartikan sebagai sumberdaya alam yang selalu berubah jumlahnya (Barlow,1978). Oleh karena itu sumberdaya hutan tersebut biasanya akan mudah diboroskan dan hilang. Dengan demikian terkadang pemilik sumberdaya hutan bertindak sebagai spekulator dengan menunda penggunaan dengan harapan memperoleh penerimaan yang lebih tinggi di kemudian hari. Tetapi terkadang pemilik bertindak sebaliknya yaitu ingin segera menggunakannya sekarang karena takut kalau di kemudian hari sumberdaya tersebut tidak akan muncul nilainya. Sumberdaya hutan sebagai sumberdaya yang dapat diperbarui atau pulih dapat digunakan secara bijaksana yaitu untuk menghasilkan penerimaan (revenue) dan kepuasan ekonomi (utility) yang maksimum. Hal ini berarti dalam pengeksploitasian sumberdaya hutan diperlukan adanya pelaksanaan pengaturan secara lestari dan dapat memelihara dan memperbaiki kapasitas sumberdaya tersebut untuk keperluan masa mendatang. Guna merealisasikan sumberdaya hutan secara lestari,
eksploitasi
maka diperlukan cara pengolahan secara tepat
yang disertai dengan rehabilitasi atau penghijauan kembali lahan -lahan hutan. Sehingga bila terjadi dampak negatif akibat pengeksploitasian hutan, maka dampak tersebut telah dipikirkan penang anannya. Potensi kayu (pohon) dapat ditebang memerlukan waktu yang relatif lama untuk tumbuh, maka permasalahan ekonomi yang perlu diperhatikan adalah waktu yang optimum bagi pelaksanaan penebangannya. Oleh karenanya perlu diperhatikan tingkat diskonto yang akan dipakai untuk menghitung nilai sekarang dari investasi dalam bidang sumberdaya hutan. Lebih lanjut bahwa tingkat diskonto yang rendah akan menghasilkan nilai sekarang yang tinggi dan sebaliknya (Suparmoko,2000). 2.4 Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan Menurut Davis dan Johnson (1987), nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya. Adapun penilaian adalah kegiatan yang
20 berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang atau jasa. Selanjutnya menurut Tietenberg (1992), nilai yang diberikan terhadap sesuatu atau komoditas, pada dasarnya ditentukan oleh kesediaan individu membayar (willingness to pay) untuk jumlah dan kualitas dari komoditas tertentu yang lazim diukur dengan nilai uang dalam transaksi kegiatan ekonomi atau harga pasar. Nilai tersebut mencerminkan besarnya korbanan yang setara dengan utilitas yang diterima. Adanya variasi tingkat kemakmuran menyebabkan adanya perbedaan antara harga pasar dengan konsumer surplus, maka total nilai ekonomi untuk barang dan jasa sumberdaya hutan, termasuk air yang umumnya tidak mempunyai harga pasar, sarat dengan ketidak pastian dan bersifat publik goods, adalah merupakan total willingness to pay. Pengertian nilai ekonomi sumberdaya hutan berdasarkan nilai kesediaan untuk membayar (willingness to pay) pada dasarnya mempresentasikan kurva demand. Artinya, pengelola sumberdaya hutan akan bersedia memberikan nilai atau harga
atas hasil hutan yang diambilnya.
Oleh karena pada eksploitasi
sumberdaya hutan akan menimbulkan kerusakan lingkungan maka nilai willingness to pay akan semakin tinggi
jika kerusakannya semakin besar.
Sementara itu masyarakat yang bersedia menanggung resiko atas kerusakan sumberdaya hutan akan menerima nilai ekonomi (willingness to accept) yang mempresentasikan kurva supp ly.
Dengan demikian kondisi optimum dalam
pengelolaan sumberdaya hutan terjadi pada saat nilai willingness to pay (WTP) sama dengan willingness to accept (WTA). Secara grafis nilai willingness to pay dan willingness to accept tersebut dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 4. Pengertian nilai ekonomi menurut konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itu terdapat dua pengertian nilai ekonomi, yaitu nilai guna dan nilai korbanan. Nilai guna adalah nilai dari barang dan jasa berdasarkan kegunaannya yang memiliki kualitas tertentu dalam memberi kepuasan (utility) baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ini tidak dipengaruhi oleh tingkat kelangkaan (supply) maupun permintaan (demand), dan
21 tidak bisa diukur dengan harga pasar. menurut kemampuan barang
Sedangkan nilai korbanan adalah nilai
yang diukur berdasarkan besarnya pengorbanan
untuk memperolehnya barang tersebut
Oleh karena itu nilai korbanan tersebut
tidak hanya dipengaruhi oleh utility dan kelangkaannya, tetapi juga oleh tingkat permintaan dan harga pasar (Pindyck and Rubinfeld, 2001).
Harga (Rp)
Harga (Rp) WT A
WTP
Q Optimum
Jumlah (Q)
Gambar 4. Optimum Pengelolaan SDH Berdasarkan WTP dan WTA Nilai ekonomi merupakan salah-satu ukuran yang sering dijadikan dasar dalam analisis, namun ukuran ini sangat relatif tergantung kepada sifat barang, hubungan dengan barang lainnya, dan orang yang menilai. Nilai yang dapat diukur umumnya hanya didasarkan pada sebagian karakteristik yang terkait dengan keinginan atau preferensi seseorang. Dalam hal ini kemampuan seseorang untuk menilai sangat berkaitan dengan tingkat kemakmuran atau consumer surplus dan mekanisme kelembagaan yang mengatur interaksi berbagai keinginan (Young, 1992). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai barang dan jasa sumberdaya hutan secara financial, yaitu melalui pendekatan kurva demand dan non-kurva demand (Turner, et al, 1994). Pendekatan kurva demand dapat digunakan untuk mengukur tingakat kesejahteraan atau konsumer surplus dan mempunyai nilai positif. Sedangkan pendekatan non-kurva demand tidak
22 mengukur tingkat kesejahteraan namun berguna sebagai informasi dalam pertimbangan pengambilan kebijaksanaan. Nilai manfaat sumberdaya hutan sangat ditentukan oleh hubungan timbal balik antara subjek penilai (manusia) yang memiliki berbagai nilai, dengan objek yang dinilai. Nilai manfaat sumberdaya hutan guna
dapat dibedakan kedalam nilai
(use-value) dan bukan nilai guna (non-use-value) (Turner at al, 1994;
Young, 1992).
Jumlah nilai keduanya merupakan total nilai ekonomi (total
economic value) dari ekosistem hutan. Nilai guna mempunyai nilai positif yang dapat dihitung berdasarkan willingness to pay, sedang bukan nilai guna merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap sesuatu karena rasa simpatik dan atau penghargaan hak (right) atas hadirnya sesuatu yang sifatnya bukan manusia (impersonal), seperti hutan atau kehidupan liar, sebagai komponen ekosistem yang berfungsi mendukung kehidupan. Menurut Davids and Johnson (1987), konsepsi nilai ekonomi sumberdaya hutan
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu nilai pasar (market value), nilai
kegunaan (value in use) dan nilai sosial (social value).
Nilai pasar dihitung
berdasarkan willingness to pay dari barang dan jasa hasil hutan. Nilai kegunaan hutan adalah nilai ekonomi sumberdaya hutan yang dihitung berdasarkan nilai vegetasi dan sekaligus lahannya. Nilai kegunaan tersebut dapat dihitung dengan 3 (tiga) cara yaitu: (1) nilai vegetasi dan lahan yang digunakan sekarang ataupun masa yang akan datang, (2) nilai jual vegetasi dan lahan pada harga pasar sekarang, dan (3) nilai kegunaan dari masing-masing pembelinya. Sedangkan nilai sosial dari sumberdaya hutan adalah besarnya nilai kontribusi kepada masyarakat akibat sumberdaya hutan merupakan barang publik.
Nilai sosial
tersebut bersifat komplek dan sulit untuk dikuantifikasikan. Oleh karena itu perlu adanya peraturan perundangan dari pemerintah untuk mengatur nilai sosial sumberdaya hutan tersebut. Menurut Suparmoko (2000),
nilai ekonomi sumberdaya hutan dapat
dibedakan nilai atas dasar penggunaan (instrumental value) / (use value ) dan nilai yang terkandung di dalamnya (instrinsic value) / (non-use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan hutan yang muncul apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau dieksploitasi. Sedangkan nilai yang terkandung
23 di dalam hutan
adalah nilai yang melekat pada keberadaan hutan sendiri,
misalnya pengatur cuaca, pengatur ata air, penghasil udara bersih, penyerap pencemaran udara, dan sebagainya. Selanjutnya use value dapat dipilah kembali menjadi nilai atas dasar penggunaan langsung (direct use value), nilai atas dasar penggunaan tidak langsung
(indirect use value),
nilai atas dasar pilihan
penggunaan (option use value), dan nilai yang diwariskan (bequest value). Lebih lanjut menurut Pearce (1993), nilai non use value dapat dibedakan menjadi nilai atas dasar keberadaannya (existence value), dan dasar warisan generasi sebelumnya (bequest value). Sebagai gambaran pembagian tersebut adalah keberadaan sumberdaya hutan yang dilestarikan
dapat memenuhi
kebutuhan rekreasi dan kesenangan lain (warisan) dan juga keberadaan hutan tersebut dapat memelihara sumberdaya hayati (biodiversity).
Pemilahan nilai
ekonomi tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 5. 2.5 Peran Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan dan Perekonomian Wilayah Nilai ekonomi sumberdaya hutan merupakan indikator yang berpengaruh terhadap kebijaksanaan, sikap dan tingkah laku semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan (Supriadi, 1997). ekonomi bukan suatu proses akhir tetapi mempunyai peran langsung
Penilaian dalam
pengambilan kebijaksanaan perekonomian wilayah. Disamping itu nilai ekonomi sumberdaya hutan juga berperan dalam berbagai hal antara lain mengidentifikasi dan membandingkan antara biaya dengan keuntungan,
sebagai informasi
mengenai efisiensi investasi baik pada sektor pemerintah maupun swasta. Pola interaksi antara nilai ekonomi dan kebijaksanaan perekonomian wilayah secara hipotetik disajikan dalam Gambar 6, dalam hal ini hutan dan pengelolaannya diasumsikan berada pada posisi supply yang berperan sebagai sektor ekonomi.
Produk atau output yang dihasilkan menjadi input terhadap
ekonomi yang menyebabkan : (1) berjalannya berbagai aktivitas produksi barang dan jasa, (2), terbukanya lapangan kerja dan (3) meningkatkan pendapatan pemerintah dan masyarakat. Dalam perekonomian wilayah, nilai tersebut diukur secara agregat sebagai nilai tambah yang menjadi ukuran nilai kontribusi terhadap pendapatan ekonomi wilayah (PDRB).
24
Sumberdaya Hutan
Nilai Guna
Nilai Guna langsung
Non Nilai Guna
Nilai Guna tak langsung
Nilai Guna pilihan
Nilai Warisan
Nilai Keberadaan
CONTOH Hasil Kayu dan Non Kayu
Asimilasi, Tata air, dan Karbon
Kebutuhan Rekreasi
Rekreasi Generasi Mendatang
Pelestarian Sumberdaya Hayati
Gambar 5. Diagram Nilai Sumberdaya Hutan Sumber : Pearce (1993) Lebih lanjut Supriadi (1997) menjelaskan bahwa dalam mekanisme pasar, tingkah laku supply ditentukan oleh nilai atau harga, kenaikan harga akan merangsang supply berkurang. Demikian pula karakter pengelola kawasan hutan mempunyai analogi bahwa upaya pelestarian hutan merupakan kebijaksanaan supply yang dipengauhi oleh harga atau nilai manfaat produknya, sehingga kebijaksanaan alokasi dana untuk pengelolaan hutan oleh besarnya nilai kontribusi atau nilai tambah
akan sangat dipengaruhi yang dihasilkan dari sektor
kehutanan sebagai gambaran nilai atau harga dari produk hutan tersebut. Ditinjau dari aspek ekonomi wilayah, kehutanan berperan dalam penyediaan lapangan kerja dan pendapatan nasional. Hal tersebut tercermin dalam struktur ekonomi kehutanan yang memiliki lima segmen kegiatan, yaitu yaitu : (1) proses produksi primer tanaman hutan, (2) pemanenan atau eksploitasi, (3) pengolahan hasil hutan, (4) peredaran atau distribusi dan (5) konsumsi.
Seluruh segmen
kegiatan tersebut menyerap tenaga kerja yang cukup banyak (Gregory, 1972).
25
Produk Berbagai Barang
Sektor –Sektor Produksi
Pendapatan Daerah dan Penyerapan tenaga Kerja
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
Produk Berbagai Jasa Nilai Tambah
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Kesejahteraan Masyarakat
Regulasi
Alokasi Anggaran Pemerintah /Swasta
SEKTOR KEHUTANAN
Kebijakan Pemerintah
Sumber : Supriadi (1997) Gambar 6. Diagram Peran Sumberdaya Hutan dalam Perekonomian Wilayah 2.6 Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Hutan Penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya hutan dilaksanakan dengan melakukan identifikasi kondisi bio -fisik sumberdaya hutan dan sosial budaya masyarakat setempat. Valuasi ditujukan untuk mengkuantifikasi setiap indikator nilai berupa hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan, serta atribut hutan dalam kaitannya dengan indikator sosial budaya setempat (Davis dan Johnson,1987). Lebih lanjut Davis dan Johson
(1987) menyatakan bahwa pada prinsipnya
metode valuasi sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan kesediaan untuk membayar (WTP). Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai alternatif teknik valuasi ekonomi sumberdaya hutan. Dalam kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, maka WTP akan sama dengan harga pasar. Namun pada saat terjadi distorsi mekanisme pasar atau kegagalan pasar, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP. (Conrad,1999; Hufschmidt, 1983, dan Timothy, 2003). Metode yang didasarkan pada pendekatan harga pasar terdiri atas dua metode, yaitu Metode Manfaat Sosial Bersih (Net Social Benefit Method ) dan
26 Harga Pasar (Market Price Method ). Sedangkan metode berdasarkan kesediaan untuk membayar terdapat beberapa alternatif berdasarkan karakteristik manfaat sumberdaya tersebut (Bahruni 1999; Davis dan Johnson 1987) seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Para ahli ekonomi dewasa ini telah mengembangkan berbagai teknik dan metode valuasi dan perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada kondisi pasar yang tidak sempurna. Hufschmidt (1983) menyimpulkan bahwa metode dan teknik valuasi ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Teknik valuasi yang berdasarkan pada harga pasar atau produktivitas seperti perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan yang berasal dari manfaat sumberdaya hutan. 2. Teknik valuasi yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi input/subtitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan biaya pencegahan Tabel 1. Klasifikasi Nilai dan Metode Valuasi Sumberdaya Hutan NO
KLASIFIKASI NILAI
METODE VALUASI
1. Nilai Guna (Use Value) dan Nilai Pilihan/Masa Depan (Option Value)
1. 2. 3. 4.
Manfaat Sosial Bersih (Net Social Benefit) Metode Harga Pasar (Market Price Methods) Harga Pengganti (Surrogate Prices) Nilai sebagai faktor Produksi (Value in Production) 5. Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) 6. Valuasi kontingensi (Contingent Valuation)
2. Nilai Keberadaan (Existence Value)
1. Metode Perlindungan Aset (Protection of Assets) • Biaya Penggantian (Cost of Replacement) • Biaya Rehabilitasi(Cost of Rehabiltation) • Nilai Kehilangan Produksi (Cost of Lost Production) 2. Hedonic pricing 3. Nilai sebagai faktor produksi (Value in Production) 4. Harga Pengganti (Surrogate Prices) 5. Penilaian kontingensi (Contingent Valuation)
Sumber : Davis dan Johnson (1987)
27 3. Valuasi dengan pendekatan survey yaitu dengan menanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar hipotesis. Teknik ini meliputi, teknik valuasi Delpi, permainan alih tukar, pilihan tanpa biaya, teknik valuasi prioritas. Beberapa teknik atau metode valuasi ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk menilai
sumberdaya hutan menurut Dixon dan Sherman (1990), Sanim
(2003a), dan Champ et al (2003) antara lain: 1. Metode Berbasis Pasar Aktual ( Actual Market-based Methods) Metode ini menggunakan harga pasar aktual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai dari barang (kayu, rotan, getah, dan lai-lain) dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan hutan seperti air.
Suatu teknik
yang sederhana untuk menentukan nilai barang dan jasa hasil hutan tersebut adalah dengan cara membandingkannya dengan harga yang dijual di pasar setempat. Yang termasuk dalam metode ini antara lain : a. Perubahan dalam Produktivitas (Change in Productivity) Valuasi ekonomi sumberdaya hutan juga dapat dilakukan dengan melihat pemanfaatan air sebagai input proses produksi industri atau pertanian. Kawasan hutan menjamin kelangsungan industri atau pertaniani yang bertumpu pada sumberdaya hutan. Sehingga, jika kawasan hutan dirusak, maka akan menyebabkan jumlah produksi menurun sehingga terdapat jumlah produksi yang hilang. Harga pasar dari jumlah produksi yang hilang tersebut merefleksikan nilai ekonomi
dari sumberdaya hutan.
Dampak perekonomian akibat terjadi pengrusakan kawasan hutan terhadap penurunan produksi perikan an, pertanian, dan perkebunan yang berada di sekitar hutan. b. Kehilangan Penghasilan (Loss of Earning ) Kawasan hutan terutama kawasan konservasi memberikan jasa ekologis yang berupa kontribusi udara bersih untuk kepentingan manusia. Jika jasa ekologis tersebut hilang maka kemampuan manusia untuk memproduksi sesuatu akan menurun sehingga akan terjadi kehilangan pendapatan.
28 2. Metode Berbasis Biaya (Cost-based Methods) Penghitungan nilai ekonomi berdasarkan opportunity cost dari kawasan hutan, dengan cara menghitung biaya/kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat hilangnya akses pemanfaatan sumberdaya
hutan.
Biaya/kerugian yang dikeluarkan untuk mempertahankan barang dan jasa yang diberikan oleh kawasan hutan tersebut antara lain berupa : a. Biaya Penggantian (Replacement Cost) Sumberdaya hutan berfungsi mempertahankan kualitas lahan dan produktivitasnya. Apabila terjadi deforestasi, maka ia akan meningkatkan erosi tanah dan menurunnya produktivitas lahan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan tersebut dapat diganti dengan melakukan pemupukan. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk merupakan nilai ekonomi dari kawasan hutan. b. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) Biaya kesempatan dipresentasikan oleh nilai ekonomi kawasan hutan yang dapat diketahui melalui nilai bersih sekarang (net present valueNPV) dari berbagai alternatif penggunaan lahan. Dalam hal ini nilai NPV dari kawasan hutan dihitung berdasarkan kuantifikasi manfaat ekonomi penggunaan lahan dan biaya pengelolaannya. c. Biaya Preventif (Preventive Cost) Keberadaan kawasan hutan dapat menghindari kerugian masyarakat. Dalam hal ini dapat diilustrasikan dengan fungsi keutuhan kawasan hutan bagi pengendalian bajir di daerah sekitarnya. Apabila penebangan hutan dilakukan, maka masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan banjir tersebut. Biaya tersebut merupakan nilai ekonomi hutan tersebut. 3. Metode Berbasis Mewakili Pasar (Surrogate Market-based Methods) Metode valuasi sumberdaya yang berbasis mewakili pasar diukur berdasarkan beberadaannya dalam mempengaruhi harga pasar. termasuk dalam metode antara lain:
Yang
29 a. Teknik Biaya Perjalanan (Travel Cost) Penerapan teknik biaya perjanan biasanya untuk menentukan nilai jasa rekreasi dari kawasan hutan dengan melihat kesediaan membayar (willingness to pay) oleh wisatawan atau pengunjung. Oleh karena itu besarnya biaya tersebut ditunjukkan oleh kesediaan membayar harga tiket masuk kawasan, biaya transportasi menuju lokasi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh pengunjung. b. Teknik Harga Hedonik (Hedonic Pricing Techniques) Teknik hedonik dilakukan melalui suatu penilaian jasa lingkungan, yang keberadaanya mempengaruhi harga pasar barang tertentu. Sebagai contoh nilai kualitas lingkungan yang mempengaruhi harga rumah.tinggal. Lingkungan perumahan yang bersih, sehat dan nyaman, maka nilai lingkunganaya akan relatif besar sehingga harga jual rumah tersebut menjadi meningkat. c. Teknik Proksi Substitusi (Substitution Proxy Techniques) Teknik proksi substitusi dilakukan untuk mengukur nilai variabel sumberdaya hutan dengan proksi variabel lain baik dari sektor kehutanan ataupun sektor lain. Sebagai contoh nilai air diproksi dari nilai produksi padi yang prosesnya menggunakan air. d. Teknik Diferensiasi Gaji (Wage Differencial Techniques) Teknik ini dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya hutan dengan cara menghitung diferenasi gaji atau upah pekerja pada kegiatan pengelolaan kawasan hutan. 4. Metode Berbasis Pasar Kontingensi (Contingent Market-Based Methods) Penerapan metode in i dilakukan jika tidak ada pasar yang relevan terhadap barang dan jasa lingkungan kawasan hutan. Kepada individuindividu secara langsung ditanyakan tentang kesediaan mereka membayar untuk barang dan jasa yang diperoleh dari sumberdaya hutan atau kesediaan mereka menerima kompensasi jika barang dan jasa sumberdaya hutan tersebut tidak boleh mereka manfaatkan lagi.
30 Lebih lanjut Sanim (2003a) menjelaskan dua pendekatan untuk melakukan valuasi sumberdaya alam (termasuk hutan) yaitu : a. Pendekatan Kurva Permintaan Pendekatan kurva permintaan didasarkan pada Willingness to pay (WTP) sumberdaya alam tersebut. Pendekatan ini dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu : 1. Permintaan diturunkan dari pernyataan preferensi, yaitu individu untuk barang sumberdaya alam atau lingkungan diperoleh dari survey dengan menggunakan kuesioner. 2. Permintaan yang terungkap dari menganalisis pembelian barang tertentu di pasar yang memungkinkan dapat dinikmati jasa lingkungan tertentu secara bersamaan. b. Pendekatan Tidak Mendasarkan Kurva Permintaan Pendekatan ini tidak memberikan penlaian ekonomi yang sejati, tetapi tetap sangat berguna dalam aplikasi valuasi sumberdaya alam. Pendekatan ini terdiri atas : 1. Metode dosis–respon, yaitu menentukan data yang menghubungkan antara respon manusia ataupun bukan manusia dengan berbagai tingkat pencemaran lingkungan. 2. Metode biaya pengganti yaitu mengestimasi biaya untuk menggantikan atau memulihkan asset lingkungan yang terdegradasi sehingga hilang jasajasanya. Estimasi biaya tersebut digunakan mengukur manfaat restorasi. 3. Metode mitigasi (menghindar), yaitu mengukur besarnya biaya untuk menghindari pengaruh pencemaran. 4. Metode biaya kesempatan (opportunity cost) yaitu melakukan penilaian manfaat lingkungan dengan menentukan nilai banchmark tertentu. Sebagai contoh biaya untuk melakukan konversi wetland menjadi lahan pertanian intensif sebagi nilai benchmark, maka jika biaya konversi tersebut kurang dari benchmark maka dapat dikatakan tidak bermanfaat.
31 2.7 Hasil-Hasil Studi Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan Pada kondisi umum nilai ekonomi sumberdaya hutan produksi dengan pendekatan biaya kegiatan pengelolaan hutan sebelum dikenakan pungutan Rp 434 454 /m3 untuk hutan rawa, dan sebesar Rp 688 714 /m3 untuk hutan bukit. Adapun struktur biaya pengelolaan rata-rata belum memasukan pungutan tersebut adalah : perencanaan + 3%, pemanenan hasil hutan (termasuk jalan ranting, sarad dan pemeliharaan jalan)
+ 42%, pembinaan hutan (termasuk
penanaman tanah kosong, kiri kanan jalan) + 9%, kelola lingkungan dan sosial 2%, penyusutan sarana prasarana
+ 31%, umum dan administrasi + 13 %
(Bahruni, 2003). Sementara itu manfaat tidak langsung (Indirect Use Values) dari kawasan konservasi terpadu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai penyedia air yang nilainya ekonominya sebesar Rp 4 341 miliar per tahun atau Rp 280 juta per hektar. Nilai ekonomi tersebut didasarkan pada kesediaan masyarakat membayar agar air tetap secara teratur mendukung penyediaan air minum, sanitasi, dan pertanian
(Darusman, 1993). Sedangkan menurut Kramer et al
dalam Effendi (2001), nilai manfaat perlindungan air secara ekologis dari hutan lindung di Ruteng Pulau Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah tangga per tahun. Nilai ekonomi jasa rekreasi kawasan konservasi dengan fungsi cagar biosfer Pulau Siberut Sumatera Barat yang diukur berdasarkan kesediaan wisatawan membayar (willingness to pay) sebesar US$ 23 per kunjungan. Pembayaran jasa rekreasi tersebut untuk membayar tiket guna mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional. Dukungan biaya dari pembayaran tiket masuk kawasan konservasi tersebut cukup besar dalam melaksanakan upaya-upaya peletarian hutan (tim Universitas Duke dalam Effendi (2001). Beberapa studi valuasi ekonomi sumberdaya hutan secara lebih rinci dari 1992 sampai dengan sekarang dapat dilihat pada Tabel 2.
Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan pada umumnya masih bersifat parsial, misalnya terbatas manfaat air hutan lindung, jasa wisata hutan wisata, nilai kayu, dan sebagainya. Sehingga jika dikaitkan dengan perekonomian wilayah maka penelitian-penelitian tersebut belum dapat diaplikasikan secara tepat.
32 Tabel 2. Beberapa Studi Penilaian Ekonomi Sumberdaya Lingkungan di Indonesia Tahun Lokasi 1992 Wilayah Hutan Negara di Jateng
Peneliti Utama
Metode
Hasil
Tatuh
Pendekatan Perilaku dan Dependensi dengan Model Logit
Jumlah masyarakat di dalam dan disekitar hutan yang mengambil hasil hutan berupa : - Kayu bakar = 82.5 % - Makanan ternak = 66.9 %
Pendekatan positive Economics dengan Model Quasi - Rent
Nilai Sewa (Rent) Ekonomis Hutan Trpis Indonesia Rp. 104 336 /m3 dimana Pemerintah menerima 34 % (Rp 35 434 /m3 dan Pengusaha menerima 66 % (Rp 68 902 /m3
1992 Wilayah Sutopo Hutan Tropis Indonesia
1992 Teluk Bintuni, Ruitenbeek *) Harga bayangan, Nilai ekonomi total dari produksi lokal Papua pendekatan yang dapat dan tidak dapat dipasarkan produksi masing-masing sebesar Rp 5.1 juta dan 9 juta per tahun per kepala rumah tangga 1993 TN Gunung Gede Pangrango
Model Input Output
Nilai manfaat air yang diberikan TNGP sebesar Rp 4.31miliar/tahun atau sekitar Rp. 28 juta/ha/tahun kepada masyarakat sekitar
1993 Taman Bahruni Nasional dan Hutan Wisata di Pulau Jawa
Metode Biaya Perjanan
Willingness to pay untuk jasa rekreasi hutan wisata dan taman nasional di Pulau Jawa berkisar Rp 1.5 - 9.6 juta/ha/tahun, dan khusus jawa tengah (HW.Grojokan Sewu) adalah tertinggi yaitu Rp 9.6 juta/ha/tahun
1995 TN Gunung Gede Pangrango
Susmianto .
Pendekatan Pengeluaran
Rekreasi mempengaruhi 13 sektor ekonomi dengan total pengeluaran sebesar Rp 471 juta dari output atau penjualan, Rp 80 juta dari pendapatan dan 155 orang pekerja
1996 TN Bukit Baka-Bukit Raya, Kalteng & Kalbar
Saunder *)
Contingent valuation
Nilai perlindungan diperkirakan sebesar Rp 10 miliar per tahun
1996 Sungai Ciliwung, Jakarta
Saunder *)
Contingent valuation
Manfaat ekonomi dari membaiknya kualitas air di Sungai Ciliwung diperkirakan sebesar US$ 30 juta per tahun
Pendekatan produktivitas, biaya perjalanan dan contingent valuation
Kesedian membayar untuk mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional pulau Siberut sebesar US$ 23. Manfaat ekonomi perlindungan air di Ruteng, Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah tangga per tahun
Model Input Output
Nilai total air dari hutan lindung dan hutan produksi seluas 76 273.19 ha pada jumlah penduduk Kabupaten 3.3 juta jiwa adalah sebesar Rp. 54.5 milyar. Kontribusi sektor hutan lindung terhadap total produk domestik regional bruto (PDRB) 0.48% di wilayah ekonomi Kabupaten Bandung.
1997 Siberut Ruteng
Darusman
dan Kramer *)
1997 Hutan Supriyadi Lindung DAS Citarum Hulu
33 Tabel 2. lanjutan Tahun
Peneliti Lokasi
Utama
Metode
Hasil
1998 Kebakaran Hutan
WWF/EEPSE Produktivitas, ke- Kerugian ekonomi akibat kebaran hutan A sebesar US$ 4.5 miliar sehatan, pengelu-aran *) dan benefit transfer
1998 TN Gunung Leuser
Elfian/WWF Pendekatan Nilai ekonomi air untuk irigasi, industri, dan CIFOR *) produktivitas dan dan kebutuhan sehari-hari diperkirakan pengeluaran berni lai sebesar U$ 4.3 juta per tahun
1999 Kepulauan Togean, Sulteng
Cannon*)
Dengan tingkat diskon 5 % selama 25 Pendekatan produktivitas dan tahun, NPV dari ekowisata Rp 5.3 miliar pengeluaran dan kehutanan Rp 4.1 miliar. Nilai ekonomi total hutan lahan kering : Di Jambi : Rp 199.4 juta/ha/tahun Di Kalteng: Rp 124.3 juta/ha/tahun Nilai ekonomi total hutan lahan basah : Di Jambi : Rp 150.3 juta/ha/tahun Di Kalteng: Rp 115.1 juta/ha/tahun
2001 Provinsi Fahutan IPB Jambi dan dan Dephut Kalimantan Tengah
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
2002 Kabupaten Yulianto Blora Jawa Tengah
Model Spacial Frekuansi rata-rata ilegal logging selama Auto Regressive 1997 – 2002 sebanyak 9 807 (SAR) kasus/tahun, dengan kerugian sebesar Rp. 12.1 milyard/tahun. Nilai kerugian akibat deforestasi sebesar Rp. 2.1 milyard/tahun
2004 Hutan Alfian Mangrove di Sulawesi Tenggara
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total hutan mangrove sebesar Rp.8 315 /ha/tahun
2004 Wilayah DAS Kirsfianti Citanduy Kabupaten Ciamis dan Tasik Malaya
Pendekatan Penjumlahan CO2 pada Agroforestry
Produksi CO2 dari agroforestry sebanyak pada kisaran 19.2 – 85.7 ton/ha/tahun dengan rara-rata 41.6 ton/ha/tahun
2004 Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total (NET) TNGH adalah sebesar Rp 439.75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerapan karbon Rp 429.77 milyar (97.73%), nilai ekowisata Rp 1.27 milyar (0.29%, nilai air (domestik dan pertanian) Rp 6.64 milyar (1.51%), nilai pelestarian Rp 0.67 milyar (0.15%), nilai pilihan Rp 0.76 milyar (0.17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp 0.64 milyar (0.15%).
Widada
Keterangan: *) sumber Effendi (2001)
34 2.8 Konsep Kelembagaan Pengertian umum kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu hal yang dicirikan adanya property right (hak kepemilikan), aturan representative atau batas yurisdiksi.
Lebih lanjut
kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen dalam proses pembangunan, dengan demikian kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak lain kelembagaan dapat menjadi peubah endogen, sehingga kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem peubah lain (Pakpahan, 1989). Menurut Schmid (1987), terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Kelembagaan sebagai aturan main yang mengatur hubungan antara individu yang didefinisikan haknya
dan tanggung jawabnya. Sedangkan kelembagaan sebagai
sistem organisasi merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Kelembagaan dibangun dengan 3 (tiga) komponen utama yaitu : (1) karakteristik sumberdaya, (2) struktur hak-hak (property right ) dan (3) performa. Berdasarkan asumsi interdependensi antara pelaku-pelaku ekonomi, maka proses determinasi
performa
sumberdaya
dengan
merupakan struktur
resultante
hak-hak.
dari
interaksi
karakteristik
Karakteristik sumberdaya akan
menentukan sifat interdependensi antar pelaku ekonomi yaitu menentukan arah dan derajat efek yang timbul
dari tindakan satu pihak kepada pihak lain.
Sedangkan struktur hak-hak akan menentukan distribusi biaya manfaat.
Pola
distribusi hak dan kewajiban ditanggapi oleh setiap individu menurut perilakunya, sehingga akan menentukan performa. Struktur hak -hak dikendalikan oleh pilihan publik sebagai suatu bentuk implementasi kekuasaan melalui mekanisme transaksi (Schmid, 1987). Konsep property right mengandung makna sosial, yaitu bahwasanya. hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau
35 konsensus anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Karena itu pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan (2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (ownership ) adalah sumber kekuatan kontrol terhadap sumberdaya. Hak dapat diperoleh melalui pembelian apabila barang atau jasa tersebut dapat diperjualbelikan, diberian atau hadiah, dan diatur oleh administrasi pihak yang berwenang. Tietenberg (1994) menyatakan bahwa struktur hak kepemilikan yang dapat mengahsilkan alokasi sumberdaya secara efisien mempunyai empat karakteristik, yaitu: 1. Universality, seluruh sumberdaya (asset) dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas penggunaan sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas. 2. Exclusivity, seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung/ dinikmati hanya oleh pemiliknya. 3. Transferability, hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan dari pemilik yang satu ke pemilik yang lain dengan sukarela. 4. Enforceability, hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan adanya gangguan pihak lain. Menurut Turner, at al (1994), bentuk kepemilikan secara umum dibagi menjadi empat jenis, yaitu: 1. Hak milik yang bersifat umum (common property), yaitu hak dipandang dari segi ekonomi bukan merupakan hak milik karena barang yang dimiliki secara umum merupakan barang yang dapat dipergunakan oleh setiap orang untuk berbagai keperluan tanpa adanya biaya yang dikeluarkan, misalnya udara, air, sungai dan lain-lain. 2. Hak milik umum yang terbatas (restricted common property), yaitu asset masyarakat dikelola oleh suatu badan publik atau pemerintah. Pemerintah dapat membatasi penggunaan hak milik dengan berbagai cara yang dikehendakinya. 3. Hak pakai (status-tenure), yaitu pemakai asset dibatasi hanya untuk orangorang atau badan-badan tertentu yang ditetapkan berdasarkan hukum. Dengan
36 demikian pemilikan menjamin pemakaian asset sesuai kewenangan atas pemilikan tersebut. Hak pakai dapat dipindah -tangankan. 4. Hak milik penuh (private property right), yaitu hak milik dapat dipindahkan dan pemindahan suatu asset mengarah pada terbentuknya harga yang sebenarnya. Sesuatu yang dimiliki dapat dihargai dan sesuatu yang berharga dapat dimiliki tetapi hubungan fungsional antara harga dan hak milik sulit ditentukan secara tepat. Walaupun hak milik ini merupakan dasar konsepsi pemilikan dalam masyarakat, namun hak milik tersebut perlu dibatasi guna mencegah munculnya kesenjangan sosial. Lebih
lanjut
menurut
Pakpahan
(1989),
konsep
batas
yurisdiksi
kelembagaan akan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Keefektifan dari batas yurisdiksi terhadap kinerja ditentukan oleh empat hal, yaitu : (1) perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community), (2) eksternalitas, (3) homogenitas dan (4) skala usaha. Perasaan sebagai suatu masyarakat merupakan variabel psikologi penting yang sering diabaikan dalam analisis ekonomi. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki satu hubungan dengan yang lainnya. Sense of community ini menentukan siapa yang termasuk dalam suatu masyarakat dan siapa yang tidak. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak social (social distance) yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh sutau masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan. Homogenitas preferensi masyarakat dalam kaitannya dengan konsumsi atas barang dan jasa yang dikonsumsi secara kolektif berkaitan dengan siapa yang memutuskan jawaban atas pemanfaatan barang dan jasa. Adanya homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis biaya yang mendasari keputusan, yaitu : (1) biaya membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam
37 membuat keputusan, dan (2) biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut.
Aturan
representatif akan mempengaruhi struktur dan besarnya biaya tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini adalah meminimumkan kedua biaya. Aturan reprensentatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhada apa dalam proses pengambilan keputusan. 2.9 Kelembagaan Sektor Kehutanan Implikasi dari konsep kelembagan pada pengelolaan sumberdaya hutan adalah pengendalian terhadap interaksi berbagai kepentingan yang mengatur hak dan kewajiban “apa dan siapa” dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada perekonomian suatu wilayah.
Pengaturan hak dan kewajiban tersebut akan
melibatkan semua pelaku ekonomi yaitu pemerintah, masyarakat dan pihak swasta/pengusaha (Supriadi, 1997). Dalam ruang lingkup property right, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa hutan adalah milik negara yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Penanggung jawan pengelolaan hutan adalah pemerintah yang dapat dilakukan oleh lembaga atau badan hukum (BUMN, Swasta, Koperasi), kelompok masyarakat ataupun perorangan. Demikan pula sesuai dengan ciri batas yurisdiksi kelembagaan maka batas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan areal hutan dan hasil hutan dapat dijadikan sebagai cara untuk melestarikan sumberdaya hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 yang telah diperbaharui dengan beberapa Peraturan Pemerintah dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2003, bahwa pengelolaan hutan (produksi dan lindung) di Pulau Jawa di tangani oleh Perum Perhutani. Sementara itu urusan sektor kehutanan di daerah yang menyangkut pengelolaan daerah aliran sungai ditangani oleh lembaga Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang bernama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Dan, pengelolaan kawasan hutan konservasi ditangani oleh UPT yang bernama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sedangkan pelaksana urusan sektor kehutanan yang didesentralisasi ataupun dekonsentrasi dan pembantuan
38 adalah Dinas Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang menangani urusan sektor kehutanan tersebut. 2.10 Konsep Model Input-Output Model I-O atau sering juga disebut Tabel I-O adalah suatu sistem informasi statistik dalam bentuk matriks yang menggambarkan transaksi barang dan jasa antar sektor-sektor ekonomi. Aspek yang ingin ditonjolkan oleh Tabel I-O adalah bahwa setiap sektor mempunyai keterkaitan dengan sektor lain. Seberapa besar ketergantungan suatu sektor ditentukan oleh besarnya input yang digunakan dalam proses produksinya. Dengan kata lain sasaran pengembangan suatu sektor tidak akan tercapai tanpa dukungan input yang memadai dari sektor lain. Oleh karena itu perencanaan suatu sektor harus memperhatikan prospek pengembangan sektor-sektor terkait secara terintegrasi. Menurut Hulu (1990), Model I-O secara sistematik memaparkan adanya saling ketergantungan antar pelaku ekonomi dalam sebuah perekonomian, yaitu : tuan tanah, petani, dan pengusaha. Tuan tanah menawarkan tanah kepada petani dan menerima imbalan berupa uang sebagai balas jasa penggunaan atas faktor peroduksi tersebut. Kemudian petani menjuai produksi pertaniannya kepada tuan tanah dan pengusaha sebagai bahan makanan dan menerima uang sebagai balas jasa penjualan. Pengusaha kemudian menjual hasil produksi industrinya kepada tuan tanah dan petani. Dengan demikian terlihat adanya suatu saling ketergantungan antara petani, tuan tanah dan pengusaha dalam interaksi mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Dalam tabel I-O, hubungan -hubungan antara satu kegiatan ekonomi dengan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya secara kuantitatif. Dasar pendekatan adalah hubungan interdependesi antara suatu sektor dengan sektor lainnya dalam bentuk persamaan linear (fungsi produksi linear) tanpa adanya substitusiinput yang mencerminkan analisis ekonomi dari sudut penawaran. Sedangkan output setiap sektor produksi yang diminta untuk menjadi bahan baku (input) sektor lainnya dan untuk kepentingan permintaan akhir adalah sebagai cerminan fungsi permintaan. Gabungan analisis permintaan dan penawaran inilah yang dapat disebut sebagai salah satu identitas keseimbangan umum. Jadi model input-output
39 merupakan
suatu
model
keseimbangan
umum
sederhana
yang
dapat
menggambarkan saling ketergantungan atau keterkaitan kegiatan ekonomi antar sektor. Pada dasarnya model input-output menggambarkan arus transaksi yang didasarkan pada kenyataan empiris yang terjadi pada proses produksi. Dengan demikian analisis input-output memperlihatkan keseimbangan umum secara empiris pada sisi produksi, dimana penekanan pada sisi produksi dapat dilihat dari permintaan akhir yang dianggap sebagai variabel eksogen atau dengan perkataan lain jumlah dan permintaan akhir tidak sepenuhnya ditentukan oleh jumlah produksi didalam negeri dan unsur-unsur di dalam permintaan akhir tersebut tidak merupakan input bagi proses produksi. Menurut Badan Pusat Statistik (2003), Model Input-Output dapat dijelaskan dengan sebuah tabel atau matrik yang mempunyai 3 (tiga) submatrik atau kuadran sebagai berikut : Xij
F ik
Kuadran I
Kuadran II
Vm j Kuadran II Sumber: Badan Pusat Statistik (2003)
dimana : Kuadran I
:
menggambarkan transaksi antar industri, output sektor I menjadi input sektor j
Kuadran II
:
mnggambarkan transaksi antara konsumen akhir (rumah tangga, pemerintah, investor, ekspor) dengan industri penghasil barang dan jasa.
Kuadran III
:
Menggambarkan transaksi antara pihak -pihak pemilik faktor produksi ( tenaga kerja, pemilik modal) dengan unitunit ekonomi yang menggunakannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas analisis Input-Output merupakan suatu model matematis yang menelaah struktur perekonomian yang saling terkait antara berbagai sektor atau kegiatan ekonomi. Model ini lazim diterapkan untuk menganalisis perekonomian secara makro, nasional ataupun regional (Dumairy, 1983).
40 Miller (1985) menjelaskan bahwa input-output adalah model peralatan yang kemungkinan paling berguna dalam peramalan. Model input-output memberikan pilihan mulai dari peramalan perubahan jangka pendek dengan model yang statistik yaitu dengan koefisien input yang tetap dan proyeksi perubahan dalam permintaan akhir, sampai pada peramalan jangka sedang dan jangka panjang yang menggunakan model dinamis. Miernyk
(1969)
mengatakan
bahwa
analisis
model
Input-Output
menguraikan hubungan antara berbagai sektor yang berbeda dalam perekonomian. Model input-output berguna dalam : 1. Untuk estimasi
produk dan
tingkat impor yang
konsisten
dengan
permintaan akhir. 2. Model ini menuntun kepada alokasi investasi untuk mencapai tingkat produksi yang diinginkan dengan penyedian investasi yang cukup. 3. Kebutuhan tenaga trampil dapat dievaluasi. 4. Analisis impor dan subsitusi impor yang mungkin untuk dilaksanakan guna kemudahan ekonomi. 5. Kebutuhan modal, tenaga kerja, impor dan kebutuhan tidak langsung dalam sektor lainnya dalam perekonomian, dan 6. Input-Output regional dapat pula disusun untuk tujuan perencanaan guna menjajaki implikasi program pembangunan untuk daerah tertentu serta perekonomian secara keseluruhan. Lebih lanjut Miernyk (1965) menjelaskan bahwa analisis Input-Output dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain : 1. Untuk analisis struktur. Tabel Input-Output secara serentak melukiskan hubungan permintaan dan penawaran pada tingkat keseimbangan. 2. Sebagai alat peramalan dan perencanaan melalui mekanisme hubungan antara permintaan akhir dengan tingkat Output dalam tebel yang mempunyai hubungan linear. Dalam perencanaan pembangunan yang konsisten antara kegiatan ekonomi secara makro dengan kegiatan ekonomi secara sektoral. 3. Sebagai alat analisis regional dan inter regional. Analisis dapat dilakukan secara terbatas pada suatu wilayah dan antar wilayah.
41 4. Sebagai alat evaluasi pengaruh atau pantulan ekonomi daripada investasi masyarakat tarhadap perekonomian regional atau nasional. 5. Untuk analisis dampak (pengaruh). Analisis dampak dapat dilakukan melalui penggunaan koefisien-koefisien yang dihasilkan dan tabel Input-Output. Disini dapat dianalisis dampak antar sektor-sektor ekonomi, tenaga kerja, pendapatan dan lainnya. 6. Untuk analisis kepekaan dan uji kelayakan. Dalam hal ini dapat diketahui sektor kegiatan ekonomi mana yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. 7. Metode Input-Output dapat digunakan secara bersama sama dengan metode linear Progaramming untuk tujuan perencanaan. 8. Metode Input-Output dapat juga digunakan secara bersama sama dengan analisis comparative cost, industrial complex dalam suatu rangkaian analisis ekonomi regional. Lebih lanjut Supranto (1983) menjelaskan bahwa berdasarkan teori ini, apabila permintaan akhir termasuk komponennya diketahui, maka tabel InputOutput dapat dipergunakan untuk membuat ramalan mengenai output, tenaga kerja, impor, bagi setiap sektor ekonomi. Todaro (1978), menyatakan bahwa model inter industri atau model InputOutput sangat berguna dalam perekonomian yang telah mencapai suatu tingkat perkembangan industri minimal yang ditandai oleh adanya sejumlah transaksi antar industri.
Kelebihan model Input-Output dibandingkan dengan model
ekonomi lainnya adalah dapat diukurnya keeratan keterkaitan kegiatan ekonomi antar suatu sektor dengan sektor lainnya. Tingkat keterkaitan kegiatan ekonomi tersebut diinformasikan melalui adanya transaksi antar sektor ekonomi berdasarkan transaksi antara dapat diketahui angka keterkaitan sebuah sektor ekonomi terhadap sektor ekonomi lainnya. Keterbatasan utama dalam analisis Input-Output yang digunakan dalam analisis ekonomi adalah bersifat statis, karena berkaitan dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasi penyusunannya. Oleh karena itu penting untuk memahami asumsi dasar yang melandasi penyusunan tabel Input-Output adalah :
42 1. Asumsi keseragaman (homogenety assumption) yang mensyaratkan bahwa setiap sektor memproduksi suatu output tunggai dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda. 2. Asumsi kesebandingan (proportionality assumption ) yang menyatakan hubungan antara tiap input dan ouput didalam setiap sektor merupakan fungsi linear, yaitu jumlah setiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sektor tersebut. 3. Penjumlahan (additivity), yang menyatakan bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi disebagian sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh masingmasing sektor. Ketiga asumsi yang mendasar tersebut diatas perlu untuk diperhatikan dan dipahami agar supaya kita tidak kerliru didalam mengambil keputusan. Menurut Todaro (1978), pengertian dasar dari analisis Input-Output terletak pada keyakinan bahwa perekonomian suatu negara dapat dibagi kedalam beberapa sektor utama yang disebut industri atau kadang-kadang disebut dengan kegiatan kegiatan yang terdiri dari satu atau beberapa unit usaha yang memproduksikan barang-barang yang sama tetapi tidak perlu selalu yang produknya homogen. Tabel Input-Output dapat memberikan suatu kerangka kerja ynag mudah untuk mengukur dan menganalisis berbagai sektor dalam suatu perekonomian. Selanjutnya Todaro (1978) menyatakan bahwa salah satu persoalan dalam penerapan input-Output yang statis yaitu bahwa investasi tidak dapat dianggap secara
otomatis
terjadi
seperti
hainya
permintaan
akhir,
tetapi
perlu
memperlihatikan besarnya akumulasi modal pertahun. Akumulasi modal tersebut sangat tergantung pada konsumsi, pengeluaran pemerintah, dan jumlah ekspor. Namun demikian, model Input-Output berguna dalam menilai elemen-elemen pokok tersebut untuk waktu yang akan datang. Perubahan struktur yang meyertai dan menjadi ciri pembangunan ekonomi akan tercermin pada perubahan dalam tabel Input-Output. Proses pembangunan dapat ditandai dengan semakin kompleksnya tabel Input-Output (Kindleberger dan Herrick, 1977). Salah satu kegunaan utama tabel Input-Output adalah dalam perencanaan jangka menengah dimana arahnya adalah untuk mendapatkan suatu ramalan yang
43 terperinci mengenai penawaran dan permintaan dari perekonomian untuk suatu target jangka waktu tertentu, misalnya lima sampai sepuluh tahun yang akan datang (Todaro, 1978). Terlepas dari kebaikan model Input-Output, perlu juga dicatat adanya beberapa kelemahan. Kindleberger dan Herrick (1977) mengemukakan beberapa kelemahan model Input-Output adalah : 1. Rumah tangga, pemerintah dan impor tidak diperhitungkan langsung menjual kepada permintaan akhir, sehingga kolo m/baris pada matriks transaksi dinyatakan kosong. Barang impor dapat langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian diasumsikan bahwa semua barang impor merupakan bahan baku atau bahan setengah jadi yang masih harus diproses dalam matriks transaksi. 2. Perkembangan teknologi tidak kelihatan. Misalnya, Sektor A yang didalamnya terdapat sejumlah perusahaan yang menggunakan berbagai teknologi, tetapi yang kelihatan hanya satu teknologi saja 3. Karena hubungan antara sektor merupakan hubungan linear saja, maka tidak kelihatan adanya penghematan skala (economy of scale); yang ada hanya constant return to scale. Misalnya, untuk memproduksi satu piring memerlukan biaya Rp 200,00 dan untuk seribu piring biaya Rp 200 000,00. 4. Oleh karena total output sama dengan total input atau total penawaran sama dengan total permintaan, maka terlihat adanya keseimbangan yang tidak ditentukan oleh mekanisme pasar, karena harga sudah ditentukan lebih dahulu, sedangkan biasanya, harga yang menentukan keseimbangan antara penawaran dan permintaan. 5. Dengan adanya kemajuan teknologi dan keterbatasan sumberdaya alam sulit untuk menentukan sektor yang hanya memproduksi satu macam produk dengan susunan input tunggal, sektor yang berproduksi mengikuti fungsi additive, dan sektor yang menghasilkan ouput proporsional dengan input yang digunakan. 6. Model Input-Output tidak dapat menangani secara baik efek kekuatan kompetitif Interegional, seperti halnya dampak perubahan teknologi
yang
44 lebih rendah dalam suatu daerah terhadap output, harga dan pendapatan daerah lainnya. 7. Model Input-Output merupakan alat analisis yang tidak lengkap untuk menjelaskan atau memprediksi perubahan struktural, misalnya masuknya industri-industri baru, sehingga industri lama menjadi hilang. 8. Kelemahan -kelemahan yang bersumber dari asumsinya yaitu : a. Tidak adanya keterkaitan sumberdaya, artinya selalu ekses kapasitas, sehingga
penawaran
masing-masing
komoditi
elastis
sempurna.
Sedangkan kenyataannya masalah ekonomi adalah ditandai dengan keterbatasan sumberdaya. b. Dalam Input-Output tidak diperlukan adanya persediaan (inventory) bila berpegang pada asumsi ekses penawaran. c. Penggunaan teknologi maju dan tradisional tidak dapat dibedakan, karena asumsinya hanya menggunakan satu macarn teknologi. d. Sektor yang telah berkembang pesat dan sektor yang belurti berkembang sukar dibedakan, karena nilai dari nasil analisis adalah berupa rasio. Dengan demikian analisis Input-Output tidak mengenal adanya economics of scale. 2.11 Konsep Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau sering disebut Social Accounting Matrixs (SAM) merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Kumpulan-kumpulan neraca (account) tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni kelompok neraca endogen dan kelompok neraca eksogen. Secara garis besar kelompok neraca
endogen
dibagi dalam tiga blok : blok neraca faktor produksi, blok neraca institusi menyingkat penulisan, ketiga blok tersebut selanjutnya akan disebut sebagai blok Faktor Produksi, blok Institusi dan blok Kegiatan Produksi (BPS, 2003). Blokblok tersebut dapat diilustrasikan sebagaimana Tabel 3. Strategi pertumbuhan ekonomi merupakan strategi yang banyak dirujuk oleh banyak negara dalam melakukan pembangunan ekonomi. Target utama strategi pertumbuhan ekonomi tersebut adalah peningkatan output sektor-sektor ekonomi yang dominan sehingga dengan demikian pendapatan nasional negara
45 bersangkutan akan meningkat. Dan melalui proses penetesan ke bawah (trickle down
effect)
hasil-hasil
pembangunan
yang diperoleh
dengan
strategi
pertumbuhan ekonomi kemudian diharapkan akan mengalir kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat secara umum menjadi meningkat. Tabel 3. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi
p e n e r i m a a n
N e r a c a E n d o g e n
Faktor Produksi
1
Institusi
2
Kegiatan Produksi
3
Neraca Eksogen
4
Pengeluaran Neraca Endogen Neraca Eksogen Faktor Institusi Kegiatan Produksi Produksi 1 2 3 4 0 0 T13 X1 Distribusi Pendapatan Nilai Eksogen Tambah Fakt. Prod. T21 T22 0 X2 Pendapatan Transfer Pendapatan Institusi dari Antar Institusi Faktor Institusi Dari Produksi Eksogen 0 T32 T33 X3 Permintaan Transaksi Ekspor Akhir Antar Keg. dan Domestik (I-O) Investasi L1 Peng. Ekso. Fakt. Prod.
L2 Tabungan
L3 Impor & Pjk Tak langsung Jumlah 5 Y1 Y2 Y3 Juml. Pengl. Juml. Penl. Juml. Fakt. Prod. Institusi Pengl. Keg. Prod. Sumber : Thorbecke, 1988 : 210, dimodifikasi dalam BPS (2003)
R Trans. Antar Eksogen Juml. Pengl. Eksogen
Total
5 Y1 Jumlah Pendapatan Fakt. Prod Y2 Jumlah Pendapatan Institusi Y3 Jumlah Output Kegiatan Produksi Juml. Pend. Eksogen
SNSE merupakan salah satu cara yang lain untuk memantau masalah pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan di suatu wilayah baik negara ataupun bagian suatu negara (propinsi, kabupaten). Instrumen ini dibangun dalam matrix yang terdiri dari kolom dan baris yang menunjukkan arus uang (finansial) masuk dan keluar pada berbagai sector dalam perekonomian. SNSE merupakan sistem social account dengan single entry, dimana dapat digunakan untuk menelusuri arus keuangan dalam perekonomian. Disamping itu SNSE dapat pula digunakan untuk menganalisa dampak suatu kebijakan, memprediksi dan menguji keterkaitan antara aspek social dan pembangunan ekonomi (Allen 1998, dalam Kinslein 2003).
46 Titik
awal penyusunan kerangka SNSE dalam menjelaskan hubungan
ekonomi dan sosial masyarakat dimulai dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah komoditas. Total permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output atau produk. Untuk dapat menghasilkan output tersebut,
sektor
produksi
membutuhkan
faktor-faktor
produksi,
seperti
tenagakerja, modal dan sebagainya. Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor produksi tenagakerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji; sedangkan terhadap faktor produksi modal memberikan balas jasa berupa keuntungan, dividen, bunga, sewa rumah, dsb (disebut juga sebagai pendapatan kapital). Distribusi pendapatan yang diterima masing-masing faktor produksi dan dirinci menurut sektor ekonomi yang menghasilkan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Jumlah upah dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital akan menghasilkan nilai tambah (value added); dan total nilai tambah tersebut dikenal sebagai PDB atau PDRB.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah serta peningkatan pertumbuhan ekonomi (Astana dan Erwidodo, 2001). Menurut Badan Pusat Statistik (2004), devisa negara Indonesia dari produk hasil hutan selama periode 1991 – 2001 berkisar US$ 3.46 – 5.43 miliar dimana setiap tahun meningkat 5% - 10%.
Peningkatan tersebut
berdasarkan nilai ekspor, tetapi volume ekspor hasil hutan tersebut cenderung turun. Lebih lanjut menurut Haeruman (2005), nilai devisa produk hasil hutan sejak tahun 1990 – 1997 sebesar 30% dari nilai ekspor industri nasional. Sedangkan pada saat krisis tahun 1998 – 2002, nilai devisa hasil hutan berkisar 12 % dari total produk industri. Berdasarkan pengalaman empiris, sektor kehutanan mampu menggerakkan sektor lain. Hasil hutan memberi dukungan modal dan teknologi yang berasal dari impor dan dukungan modal bagi pembangunan infrastruktur industri di dalam negeri.
Di samping itu sektor kehutanan juga mendukung penyediaan lahan
seluas 30 juta ha kawasan hutan yang dapat dikonversi untuk pertanian, perkebunan, transmigrasi dan lai-lain Pada kegiatan konversi hutan untuk keperluan non kehutanan, kawasan hutan mampu menyediakan kayu melalui ijin pemanfaatan kayu (IPK), dimana sejak tahun 1994 sampai tahun 1999 produksi hasil kayu IPK sebesar 5 –10 juta m3 yang nilainya sekitar Rp 1.75 triliun (Haeruman, 2005). Sektor kehutanan secara nyata mempu memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pendapatan wilayah.
Kontribusi sektor hutan lindung
terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) mempunyai share sebesar Rp 54 502 juta, atau 0.48% di wilayah ekonomi Kabupaten-Kotamadya Bandung. Nilai share tersebut lebih besar dibanding kontribusi sektor hutan produksi yang besarnya Rp 8 744 juta atau 0.08%. Efisiensi sektor hutan lindung menempati peringkat paling tinggi dibandingkan terhadap efis iensi sektor lainnya. dimana
48 nilai surplus usaha sebesar 97.5%. Surplus usaha untuk sektor hutan produksi 64.4%. Sedang sektor industri, penyumbang PDRB terbesar, mempunyai efisiensi paling rendah, dengan nilai surplus usaha sebesar 12 % (Supriadi, 1997). Peran ekonomi kehutanan yang berupa manfaat air di wilayah Das Citarun Hulu, diukur oleh besarnya nilai tambah yang diperoleh ekonomi untuk setiap pemakaian 1 m3 air, adalah sebesar Rp 2 155 /m3. Nilai hidrologi hutan lindung, diukur berdasarkan peran ekonomi air di wilayah Das Citarum Hulu, adalah sebesar Rp 46.86 juta/ha/tahun, untuk kawasan diatas ketinggian 1000m. Untuk kawasan dibawah ketinggian 1000m, sebesar Rp 20.43 juta/ha/tahun. Total nilai hidrologi hutan di wilayah Das Citarum Hulu terhadap perekonomian, adalah sebesar Rp 1.9 triliun/tahun (angka 1994/1995) atau sekitar 16.8% dari nilai total PDRB daerah Kabupaten-Kotamadya Bandung (Supriadi, 1997). Menurut Haeruman (2005), peranan lain yang dihasilkan dari kegiatan kehutanan adalah sumbangan terhadap penerimaan daerah. Sumbangan sektor kehutanan kepada penerimaan daerah tersebut terdapat dalam bentuk hasil bukan pajak, yang jumlahnya amat kecil yaitu kurang dari 3%.
Sebagai ilustrasi
penerimaan daerah sebelum dan sesudah adanya peraturan perundangan tentang desentralisasi sebagaimana Tabel 4. Tabel 4. Sumber Penerimaan Daerah Propinsi dan Kabupaten di Indonesia Jenis sumber penerimaan daerah A. Provinsi 1. Penerimaan asli daerah 2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 3. Pinjaman daerah 4. Sumbangan pemerintah pusat B. Kabupaten 1. Penerimaan asli daerah 2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 3. Pinjaman daerah 4. Sumbangan pemerintah pusat dan provinsi Sumber : Haeruman (2005)
Tahun 1989/1990
(%) 1997/1998
28.84 3.07 0.35 62.54
42.17 3.92 0.41 48.77
27.86 2.16 0.88 66.74
26.10 4.47 1.15 65.35
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bersama sama dengan Departemen Kehutanan (2001) telah melakukan perhitungan nilai ekonomi total
49 hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Hasil perhitungan menunjukkan nilai total ekonomi hutan lahan kering sebesar Rp 124.3 juta/ha/tahun – Rp 199.4 juta/ha/tahun yang terdiri nilai guna yang berkisar 16% - 27% dan bukan nilai guna sekitar 84% - 73%. Selanjutnya nilai total ekonomi hutan lahan basah sebesar Rp 115.1 juta/ha/tahun – Rp 150.3 juta/ha/tahun yang terdiri nilai guna yang berkisar 52% - 68% dan bukan nilai guna sebesar Rp 48% - 32%. Rincian perhitungan nilai ekonomi total hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bersama sama dengan Departemen Kehutanan (2001) tersebut sebagaimana Tabel 5. Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah Lokasi/ Jenis Manfaat A. Jambi 1. Nilai Guna a. Langsung
Hutan Lahan Kering (Rp/ha/tahun) (%)
Hutan Lahan Basah (Rp/ha/tahun) (%)
485 014
0.2
524 645
0.3
31 578 779
15.8
101 875 565
67.8
1 723
0.0
1 041
0.0
b. Keb eradaan
167 385 132
83.9
47 933 039
31.9
Nilai Total Ekonomi
199 450 648
100.0
150 334 290
100.0
2 214 014
4.5
1 180 423
1.5
11 211 083
22.8
40 708 556
51.0
1 631
0.0
1 681
0.0
b. Keberadaan
35 703 679
72.7
37 880 007
47.5
Nilai Total Ekonomi
124 380 528
100.0
115 052 479
100.0
b. Tak Langsung 2. Bukan Nilai Guna a. Nilai opsi
B. Kalteng 1. Nilai Guna a. Langsung b. Tak Langsung 2. Bukan Nilai Guna a. Nilai opsi
Sumber : Fakultas Kehutanan IPB dan Departemen Kehutanan (2001) Lebih lanjut menurut Astana (2002), penurunan potensi produksi kayu dari hutan alam akan berdampak negatif terhadap perekonomian baik di tingkat makro maupun mikro.
Pada Tingkat mikro, dampak negatif tersebut dapat ditujukkan
oleh penurunan pendapatan dari individu-individu yang bekerja pada kegiatan
50 eksploitasi hutan maupun industri kehutanan. Sedangkan pada tingkat makro, dampak negatif ditunjukkan oleh penurunan penerimaan devisi, pajak dan bukan pajak, penyerapan tenaga kerja dan product domestic bruto (PDB) sektor kehutanan. Manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan rakyat sebagai berikut : (1) hutan rakyat murni memiliki nilai NPV sebesar Rp 11.05 juta/ha/daur pada tingkat suku bunga 15%, dan (2) hutan rakyat agroforestry menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 4.97 juta/ha/tahun. Berdasrkan manfaat ekonomi tersebut maka hutan rakyat agroforestry lebih menguntungkan untuk dikembangkan (Nurfatriani, 2002) 3.2. Kerangka Pelaksanaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka perlu dirumuskan kerangka penelitian untuk menjelaskan tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan. Tahap awal penelitian dimulai dari melakukan penelaahan teori yang berkaitan dengan sektor kehutanan yaitu sumberdaya hutan, manfaat ekonomi hutan baik yang telah dihitung dan atau dipasarkan maupun yang belum dihitung. kontribusi
Dari hasil telaahan teori tersebut dapat diketahui seberapa besar sektor
regional/wilayah.
kehutanan
dalam
pendapatan
atau
perekonomian
Dalam penghitungan manfaat ekonomi hutan terdapat hasil-
hasil yang dihitung atau dimasukkan
ke perhitungan pendapatan sektor non
kehutanan. Disamping itu dalam teori sumberdaya hutan dapat diketahui manfaat non ekonomi yang menjadi potensi sebagai sumber pendapatan wilayah dimasa yang akan datang, juga terdapat potensi sumber pendapatan yang hilang akibat faktor alam maupun faktor manusia misalnya erosi, ilegal logging, ilegal trading dan sebagainya. Potensi manfaat hutan yang belum terhitung maupun yang hilang tersebut akan menjadi sumber kebocoran pendapatan wilayah. Sumber kebocoran tersebut dapat berasal dari faktor produksi yang tidak dimanfaatkan dan faktor produksi yang hilang karena sulit perhitungannya. Mengingat bahwa pada suatu sektor memiliki beberapa faktor produksi maka kebocoran sektor maka akan langsung berpengaruh pada bocornya pendapatan wilayah.
Kebocoran sektor
tertentu dalam kegiatan perekonomian tidak akan berdiri sendiri, melainkan
51 terkait dengan sektor-sektor lain sehingga pengaruh kebocoran pada suatu sektor mungkin akan berdampak yang besar pada perubahan nilai sektor lain.
SUMBERDAYA HUTAN DAN KEHUTANAN MANFAAT NON EKONOMI
MANFAAT EKONOMI Sektor Kehutanan
Sektor Non Kehutanan
KONTRIBUSI PEREKONOMIAN WILAYAH
TERHITUNG UNDERVALUE BELUM TERHITUNG
KEBOCORAN EKONOMI WILAYAH
KEBOCORAN SEKTOR HASIL VALUASI MANFAAT HUTAN
Telaah Teori
Analisis Kebijakan
Aplikasi Hasil valuasi
Data /Informasi sekunder dan Penelitian Lapangan
MODEL I-O DAN SNSE
Simulasi Model
Dampak Distribusi Kesejahteraan pada Masyarakat
REKOMENDASI PENELITIAN
Peranan Ekonomi Kehutanan di Wilayah dan Implikasi Kebijakan
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian
52 Oleh karena itu dalam menghitung kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor tertentu harus menggunakan metode yang bersifat sistemik, yaitu ketergantungan dan keterkaitan antara sektor sangat besar. Dengan menggunakan hasil-hasil valuasi manfaat hutan secara lengkap dan dengan masukan data sekunder maupun primer yang diolah dengan Model Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi akan diketahui jumlah dan dampak manfaat ekonomi sektor kehutanan secara keseluruhan. Melalui simulasi model dan analisis kebijakan maka akan dapat diajukan rekomendasi penaggulangan kebocoran pendapatan wilayah yang bersumber dari sektor kehutanan. Uraian tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 7. 3.3. Kebocoran Ekonomi dari Sektor Kehutana n Kebocoran ekonomi (leakage) adalah aliran pendapatan suatu wilayah atau suatu sektor yang keluar
ataupun hilang dari siklus pendapatan yang
bersangkutan. Berdasarkan pola pendapatan dan pernelanjaan oleh Blair (1991) bahwa kebocoran ekonomi sebagaimana Gambar 8.
Usaha Sektor Kehutanan
Pendapatan Wilayah
Bocor keluar
Bocor keluar Sumber : Balir – dimodifikasi (1991) Gambar 8. Pola kebocoran ekonomi
Kebocoran ekonomi hutan adalah suatu nilai ekonomi yang keluar dari siklus pendapatan sektor kehutanan di suatu wilayah tertentu.
Pendapatan
53 tersebut berasal dari manfaat ekonomi hutan yang berupa penerimaan hasil hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan kebocoran
ekonomi hutan dapat bersumber dari manfaat ekonomi maupun manfaat non ekonomi
Disamping itu kebocoran ekonomi juga dapat berupa nilai ekonomi
kegiatan deforestasi misalnya perambahan lahan hutan dan konversi lahan hutan untuk keperluan non kehutanan, pengurangan kapasitas hutan yang beupa erosi, nilai tambah yang hilang, kelembagan yang belum efektif, serta aktivitas ilegal misalnya illegal logging dan illegal trading pada penyelenggaraan usaha sektor kehutanan. Keluarnya nilai ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh tindakan manusia ataupun aktivitas alam.
Tindakan manusia berupa aktivitas legal pada saat
melakukan manajemen hutan mulai dari perencanaan/perijinan, pelaksanaan eksploitasi hutan, dan pengawasan kegiatan. Aktivitas alam berupa hujan, erosi, angin, dan bencana alam yang dapat merusak kondisi fisik hutan dan lingkunganya. 3.4. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran penelitian, dapat disusun hipotesis sebagai berikut : 1. Kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan bersumber dari manfaat ekonomi hutan yang hilang misalnya nilai tambah, nilai deforestasi, nilai erosi, nilai illegal logging, nilai illegal trading, dan kelembagaan yang belum efektif, akan berpengaruh negatif terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah. 2. Manfaat ekonomi hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung serta dampak lingkungan dalam perhitungan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) akan berimplikasi terhadap pemerataan pendapatan dari sektor kehutanan.
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa memiliki potensi sumberdaya hutan yang rela tif kecil yaitu sekitar 21% dari luas wilayah atau sekitar 0.8% dari luas hutan Indonesia, tetapi sebagai ekosistem penyangga kehidupan bagi penduduk sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia sehingga layak untuk menjadi obyek penelitian ekonomi makro regional; 2. Dalam pembangunan ekonomi, provinsi Jawa Tengah berada pada posisi ditengah diantara provinsi lain di Pulau Jawa baik dari segi geografis maupun tingkat kemajuannya. Provinsi Jawa tengah memberikan prioritas pada sektor industri, pertanian, pariwisata, dan sektor lain yang terkait langsung dengan sektor kehutanan. 3. Perekonomian provinsi Jawa Tengah sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang ekonomi kehutanan regional yang memasukkan nilai manfaat hutan secara menyeluruh dan kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat
di wilayah
tersebut. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang relevan antara lain: 1. Tabel Input-Output Jawa Tengah, 2000 (BPS) 2. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) menurut lapangan usaha dan penggunaan Tahun 2002-2003 (BPS) 3. SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) modul Konsumsi Tahun 2002 (BPS) 4. SAKERNAS (Survei Tenaga Kerja Nasional) Tahun 2002 (BPS)
55
5. SKTIR (Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah tangga) tahun 2002 (BPS) 6. SKIO (Survei Khusus Input Output) Jawa Tengah Tahun 2000 (BPS) 7. APBD Jawa Tengah, Tahun 2002-2003 (Pemerintah Provinsi Jateng) 8. Jawa Tengah dalam Angka, Tahun 2004 (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) 9. Data Pengelolaan Hutan Jawa Tengah, Tahun 1990 -2000 (Perum Perhutani) 10. Data Pengelolaan DAS di Jawa Tengah, 2000 (Ditjen RLPS Dephut) 11. Data Survei Rumah Tangga di Kawasan Hutan 2004 (BPS-Departemen Kehutanan) 12. Hasil-Hasil Penelitian yang terkait dengan perekonomian kehutanan di Jawa Tengah seperti nilai air, jasa wisata, tingkat deforestasi, ekonomi ilegal logging dan lain-lain. 4.3. Penentuan Sektor Penentuan sektor didasarkan pembagian sektor pada proses penyusunan Input – Output (I-O) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 untuk dilakukan RAS (penyesuaian ke tahun 2004), dan selanjutnya khusus untuk sektor kehutanan dilakukan disagregasi menjadi beberapa sektor sesuai kebutuhan dan keterseidaan datanya.
Dasar disagregasi sektor kehutanan tersebut dilakukan den gan
menambah sektor
yang nilai ekonominya belum dimasukkan pada proses
penghitungan I-O provinsi oleh BPS (2000). Penambahan sektor tersebut akan menggambarkan manfaat ekonomi kehutanan yang belum diperhitungkan sebagai pendapatan atau masuk sektor lain, dan tingkat kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan. Di samping itu untuk sub sektor industri primer kehutanan (pengger gajian, kayu lapis,
meubel, dan pengolahan dengan bahan baku kayu) di
pindahkan dari sektor non kehutanan ke dalam sektor kehutanan. Adapun sektor setelah dilakukan disagregasi antara lain : 1.
Hasil kayu
2.
Hasil non kayu ( getah, damar, madu, bambu dan lain-lain)
3.
Manfaat jasa wisata
4.
Pemanfaatan air dari kawasan hutan
5.
Pemanfaatan hasil hutan langsung oleh masyarakat (kayu bakar, kayu rencek, makanan ternak).
56
6.
Kegiatan deforestasi.
7.
Pengurangan kapasitas hutan ( nilai erosi).
8.
Kegiatan illegal logging .
9.
Rehabilitasi hutan dan lahan.
10. Penyediaan udara bersih. 11. Kehilangan nilai tambah. 12. Nilai keberadaan, pilihan, dan pelestarian. 13. Illegal trading 14. Kelembagaan yang kurang efektif. 15. Industri penggergajian dan awetan. 16. Industri kayu lapis 17. Industri meubel dan bahan bangunan. 18. Industri pengolahan dengan bahan baku kayu. 4.4. Metode Aplikasi Hasil Valuasi Sektor Kehutanan Metode aplikasi atau penerapan hasil valuasi sektor kehutanan (18 sub sektor) menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu pertama , penggunaan langsung data sekunder untuk sub sektor yang telah lengkap jumlah dan nilainya. Data sekunder langsung tersebut antara lain nilai kayu, non kayu, jasa wisata, dan industri primer kehutanan
yang bersumber dari BPS Provinsi Jawa Tengah,
Kedua, proksi dari data sekunder yang terkait dengan sub sektor yang akan dimasukkan dalam perhitungan pendapatan yaitu rehabilitasi hutan, kehilangan nilai tambah, illegal trading, dan efektifitas kelembagaan kehutanan serta deforestasi dan illegal logging.
Ketiga, penerapan hasil valuasi nilai manfaat
ekonomi hutan dari penelitian sebelumnya terutama yang berlokasi di Pulau Jawa. Penerapan hasil penelitian tersebut antara lain manfaat air, udara bersih, manfaat langsung ke masyarakat, keberadaan atau pilihan hutan dan erosi. Pendekatan pertama dan kedua sekunder.
dilakukan dengan pengumpulan data
Sedangkan pendekatan ketiga yaitu penerapan hasil valuasi nilai
manfaat ekonomi hutan dari penelitian sebelumnya yang kemudian dilakukan pembuatan formula dengan faktor koreksi sesuai metode penelitian yang
57
bersangkutan.
Faktor koreksi didapatkan dari data sekunder.
Pendekatan -
pendekatan tersebut dapat dijelaskan pada uraian berikut. 4.4.1
Pemanfaatan Air Nilai manfaat air dari kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah
adalah
penjumlahan dari nilai manfaat air dari hutan lindung dan hutan produksi, hutan Taman Nasional dan hutan rakyat yang dirumuskan sebagai berikut : NA ht = NAhlp + NAhtn + NA hrt…………………………….……. dimana : NAht
:
(3)
Total nilai manfaat air dari kawasan hutan
NAhlp :
Nilai manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi
NAhtn :
Nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nas ional.
NAhrt :
Nilai manfaat air dari hutan rakyat.
Nilai pemanfaatan air dari kawasan hutan lindung dan hutan produksi menggunakan hasil penelitian Supriyadi (1997). Hasil penelitian tersebut antara lain sebagai berikut : a. Nilai total air dari hutan lindung dan hutan produksi adalah sebesar Rp. 54.5 milyar/tahun dari kawasan hutan seluas 76 273.19 hektar di kabupaten dengan jumlah penduduk sebanyak 3.3 juta jiwa. b. Kontribusi sektor hutan lindung dan hutan produksi terhadap total produk domestik regional bruto (PDRB)
sebesar 0.48% di wilayah ekonomi
Kabupaten Bandung. Pendekatan yang dipergunakan pada penelitian tersebut adalah nilai kesediaan untuk membayar (willingness to pay/WTP) air yang dihasilkan dari kawasan hutan dengan metode kontingensi. Sebagaimana Sanim (2003), WTP mempresentasikan kurva demand, maka secara alamiah besarnya nilai air tersebut ditentukan oleh kesediaan masyarakat untuk membayar konsumsi air dan kuantitas hutan (dalam hal ini luas hutan). Tingkat konsumsi air ditentukan oleh banyaknya konsumen yang tidak lain adalah penduduk suatu wilayah. Semakin padat atau banyak masyarakat maka konsumsi air cenderung makin meningkat dan harga air akan semakin tinggi.
Oleh karena itu untuk digunakan di tempat
lain, maka hasil penelitian Supriyad i (1997) tersebut perlu diberikan koreksi jumlah penduduk dan luas kawasan hutan. Berdasarkan hasil di atas maka nilai
58
manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi
Jawa Tengah sebagai
berikut : n
L hlp
Gi
NA hlp = S i =1
X 76 273.19
X 0.48………. % PDRBi
...........
(4)
3.3 juta
dimana : NAhlp
: Nilai manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi
Lhlp
: Luas hutan lindung dan hutan produksi di kabupaten ke-i
n
: Jumlah kab. yang memiliki hutan lindung dan produksi
PDRB
: Produk domestik regional bruto kabupaten
Gi
: Jumlah penduduk di kabupaten ke-i
Sedangkan nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional menggunakan hasil penelitian Darusman (1993) yang dilakukan di Taman Nasional Gede Pangrango. Hasil penelitian memperlihatkan nilai total manfaat air dari Taman Nasional sebesar Rp 280 juta/ha/tahun. Pendekatan penelitian tersebut menggunakan metode kontingensi individu yang dituangkan dalam kurva permintaan (demand ) air.
Permintaan tersebut diturunkan dari pernyataan
preferensi individu untuk bersedia membayar air yang berasal dari kawasan Taman Nasional Gede Pangrango.
Pernyataan preferensi individu tersebut
diperoleh dari survey dengan menggunakan kuesioner. Oleh karena penelitian tersebut sudah menggambarkan nilai air dalam satuan luas dan tahun di Pulau Jawa, maka
untuk digunakan di tempat lainnya di Pulau Jawa memerlukan
koreksi jumlah penduduk.
Oleh karena itu dengan koreksi jumlah penduduk
maka nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional Jawa Tengah adalah : n
NAhtn = dimana : NAhtn
Gi
S i =1
. X Rp 280 000 000
……..…………..
2.3 juta
: Nilai manfaat air dari kawasan Taman Nasional
Li
: Luas kawasan Taman Nasional di Kabupaten ke-i
i
: Kabupaten ke-i
n
: Jumlah Kab. yang memiliki Taman Nasional.
Gi
: Jumlah penduduk kabupaten ke-i
(5)
59
Selanjutnya nilai manfaat air dari hutan rakyat diproksi dari nilai manfaat air hutan produksi dengan faktor koreksi sebesar 50%. Faktor koreksi tersebut ditetapkan dengan asumsi bahwa kerapatan hutan rak yat di Pulau Jawa hanya sekitar 50 % dari kerapatan hutan produksi. Oleh karena itu nilai manfaat air dari hutan rakyat Jawa Tengah adalah sebagai berikut: NA hrt = 50 % X NA hlp ...........................................................
(6)
dimana :
4.4.2
NAhrt
: Nilai manfaat air dari hutan rakyat
NAhlp
: Nilai manfaat air dari hutan produksi
Pemanfaatan Hasil Hutan Langsung Oleh Masyarakat Nilai pemanfaatan hasil hutan langsung oleh masyarakat (kayu bakar dan
makanan ternak) di Pulau Jawa telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda (Yogasara,2000).
Kayu bakar dan makanan ternak tersebut diambil
langsung oleh masyarakat dari kawasan hutan tanpa dikenakan pembayaran. Hal tersebut terjadi karena sifat keberadaan hutan yang terbuka bagi masyarakat di dalam dan disekitar hutan.
Hasil penelitian Tatuh (1992) antara lain ditemukan
fakta bahwa 82.5% penduduk didalam dan disekitar hutan di Pulau Jawa mengkonsumsi kayu bakar dari hutan, dan 66.9% penduduk tergantung rumput dan daun-daunan dari hutan untuk makanan ternak. Kebutuhan makanan ternak bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa sebesar 3 300 kg/KK/tahun. Selanjutnya berdasarkan
survey kayu bakar tahun 1985 Departemen Kehutanan (2003)
menunjukkan tingkat konsumsi kayu bakar masyarakat pedesaan di dalam dan di sekitar hutan di Pulau Jawa sebesar 1 050 kg/KK/tahun. Oleh karena penelitian dan survey tersebut dilakukan di Pulau Jawa maka dapat digunakan untuk Provinsi Jawa Tengah.
Dengan demikian nilai manfaat langsung hutan ke
masyarakat dapat dirumusnya sebagai berikut : Nhhlm = (82.5 % x PKKsh x CKB x PK B) ...………………...... + (66.9 % x PKKsh ) x CM K x PMK) dimana: Nhhlm : Nilai manfaat hasil hutan langsung oleh masyarakat PKKsh
: Jumlah KK sekitar hutan di Jaw a Tengah
(7)
60
4.4.3
CKB
: Konsumsi kayu bakar per KK
CMK
: Konsumsi makanan ternak per KK
PKB
: Kayu bakar
PMK
: Makanan ternak
Penggantian Kegiatan Deforestasi Nilai ekonomi penggantian kegiatan deforestasi (konversi hutan,
perambahan hutan, dan kerusakan lahan hutan yang lain) menggunakan hasil perhitungan Perum Perhutani Jawa Tengah (data sekunder). 4.4.4
Penggantian Pengurangan Kapasitas Hutan ( Nilai Erosi) Nilai ekonomi penggantian adanya pengurangan kapasitas hutan yang
direfleksikan dari nilai erosi, dihitung berdasarkan biaya penggantian erosi. Nilai penggantian erosi tersebut telah dilakukan oleh Magrath (1989).
Hasil
perhitungan Magrath (1989) tersebut antara lain nilai penggantian erosi di Jawa Tengah sebesar 1% untuk on site dan 4% untuk off site dari nilai usaha tani lahan kering. Oleh karena erosi terjadi di hampir seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah maka nilai penggantian erosi tersebut lebih tepat sebesar 4% dari nilai usaha tani lahan kering. Apabila hasil usaha tani tersebut berupa padi, maka penghitungan nilai erosi di Provinsi Jawa Tengah dapat dirumuskan sebagai berikut: NEht = 4% x Llk x Ylk x Plk
…………………………....
(8)
dimana :
4.4.5
NE ht
: Nilai pengganti erosi kawasan hutan/ tahun
Llk
: Luas lah an kering
Ylk
: Produksi padi rata-rata lahan kering (ton/ha/tahun)
Plk
: Harga rata-rata padi (Rp/ton)
Penggantian Kegiatan Illegal Logging. Nilai penggantian kegiatan illegal logging di Jawa Tengah menggunakan
data sekunder yaitu laporan Perum Perhutani Jawa Tengah (data sekunder).
61
4.4.6
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Total nilai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Jawa Tengah
diproksi dari jumlah anggaran instansi kehutanan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan penghijauan yang telah berlangsung sejak tahun 2003.
Total nilai tersebut
dihitung berdasarkan jumlah anggaran rata-rata per tahun yang ada di seluruh instansi kehutanan di daerah ( BPDAS, BKSDA, Perum Perhutani) untuk kegiatan reboisasi dan penghijauan. 4.4.7
Penyediaan Udara Bersih Penentuan nilai karbon dalam penelitian ini difokuskan pada hutan primer
(lindung, wisata, taman nasional dan konservasi) dan hutan sekunder (hutan produksi/areal kerja Perum Perhutani). Produksi udara bersih (O 2) menggunakan hasil penelitian Kirsfianti (2004), yaitu. rata-rata sebanyak 41.6 ton/ha/tahun atau pada kisaran produksi 19.2 – 85.7 ton/ha/tahun. Penelitian tersebut dilakukan pada kawasan hutan campuran (agroforestry)
di
wilayah DAS Citanduy
Kabupaten Ciamis dan Tasik Malaya Jawa Barat. Kemampuan produksi udara bersih tertinggi pada kawasan hutan primer, sedangkan produksi rara-rata pada hutan sekunder. Oleh karena penelitian tersebut dilakukan di
Jawa Barat yang
lokasinya relatif sama dengan Jawa Tengah, produksi udara bersih hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk menduga produksi udara bersih di Jawa tengah. Untuk nilai karbon digunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar international yaitu sebesar Rp 18 000 per ton (Kompas 18 September 2004). Penentuan nilai udara bersih di Jawa Tengah dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : NUBht
= ({Lp x Kcp} +{Ls x Kcs}) x Hc
dimana : NUBht
: Nilai penyediaan udara bersih (Rp)
Lp
: Luas hutan primer (hektar)
Ls
: Luas hutan sekunder (hektar)
..................... ....
(9)
62
4.4.8
Kcp
: Kemampuan produksi udara bersih hutan primer (ton/ha)
Kcs
: Kemampuan produksi udara bersih hutan sekunder (ton/ha)
Hc
: Harga udara bersih (Rp per ton)
Kehilangan Nilai Tambah Nilai ekonomi dari kehilangan nilai tambah adalah nilai penggantian dari
selisih harga jual hasil hutan olahan dengan harga jual hasil hutan asalan. Untuk sektor ini terbatas pada hasil hutan kayu. Bersarnya kehilangan nilai tambah dihitung berdasarkan jumlah kayu hasil hutan Jawa Tengah yang yang tidak diolah di provinsi sendiri dikalikan faktor nilai tambah hasil penelitian Darusman (1989). 4.4.9
Nilai Keberadaan, Pilihan, dan Pelestarian Nilai ekonomi keberadaan, pilihan, dan pelestarian untuk seluruh kawasan
hutan di Jawa Tengah menggunakan dasar hasil penelitian Widad a (2004). Metode yang dipergunakan pada penelitian tersebut kontingensi, yaitu kepada individu-individu secara langsung ditanyakan tentang kesediaan mereka membayar untuk barang dan jasa yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya hutan. Menurut Sanim (2003), metode kontingensi sangat tepat untuk barang dan jasa lingkungan kawasan hutan yang tidak ada pasar yang relevan.
Dengan
pertimbangan lokasi di Pulau Jawa dan metodenya cukup tepat, maka hasil penelitian tersebut dapat dipergunakan di Provinsi Jawa Tengah dengan memasukkan faktor koreksi luas dan jumlah penduduk.
Rumus perhitungan
tersebut : Lht
Wjt
NKPP ht =
x 38 175 ha
x Rp 8.07 miliar 2 892 orang
............ (10)
dimana : NKPP ht : Nilai pelestarian, pilihan, dan keberadaan (Rp) Lht
: Luas
hutan Jawa Tengah (hektar)
Wit
: Jumlah penduduk Jawa Tengah (orang)
63
4.4.10 Efisiensi Kelembagaan Nilai efisiensi atau efektifitas kelembagaan diproksi dari nilai efisiensi atau surplus usaha sektor kehutanan di Jawa Tengah yaitu prosentase selisih total biaya produksi dengan nilai produk yang dihasilkan.
Nilai prosentase tersebut
dikalikan PDRB maka akan didapat nilai efisiensi kelembagaan. 4.4.11 Moral Hazard yang Berupa Illegal Trading Nilai ekonomi moral hazard yang berupa illegal trading yaitu transaksi ilegal pada penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan di Provinsi Jawa Tengah diproksi dari nilai ekonomi dari perbedaan atau selisih produksi hasil hutan dengan yang diedarkan/diolah dan stock dikalikan harga yang berlaku. Besarnya sub sektor hasil kayu, hasil non kayu, jasa wisata dan industri primer kehutan digunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut telah tersedia pada Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003. 4.5. Metode Analisis dan Pembentukan Model Untuk menganalisis besarnya
kontribusi manfaat ekonomi hutan yang
belum diperhitungkan dan kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor kehutanan di wilayah Provinsi Jawa Tengah terhadap perekonomian wilayah tersebut
digunakan
Model
Input-Output
Modifikasi.
Sedangkan
untuk
menganalisis dampak manfaat ekonomi hutan yang belum diperhitungkan sebagai unsur pendapatan dan kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor kehutanan terhadap kesejahteraan rumah tangga digunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi / SNSE (Social Acounting Matrices / SAM). 4.5.1
Pembentukan Model Input – Output Modifikasi Model atau Tabel Input Output ( I-0) Modifikasi dibangun atau dibentuk
dengan prinsip memasukkan seluruh sektor/sub sektor transaksinya jelas maupun yang belum jelas.
Pemasukkan sektor-sektor tersebut dilakukan dengan cara
sebagai berikut : a. Sektor kehu t an an y an g p ihak p rod u sen d an ko ns umenny a su d ah je las ( h as il kayu , no n k ayu, jas a wis at a, h as il la ng su ng, ileg al lo g g ing , ile g a l tr ad ing ,
64
r eh ab ilitas i h ut an , k eh ila ng an n ila i t amb ah ) mak a d imasu kk an k e d a lam ne rac a p ro d u ks i. b . Sekto r man fa at air d an ud ar a b ers ih d imasuk k an d a la m n erac a p ro d uk si te t ap i terb a tas s eb agai h as il s amp ing an d iman a inp ut an t ar an y a no l s eh ingg a d imasu kk an d a lam s u rp lus u s ah a. c . Sekto r ind us tr i p rimer k eh ut an an (p engg erg a jia n, k ayu lap is , maub e l d an p eng o lah an y an g b ah an b ak un y a k ayu ) y ang d alam Mo d el I-O J awa Teng ah (Stan d ar) s eb agai s ek to r n o n k eh utan an d ip ind ah k an men jad i s ek to r kehu tan an. d . Sekto r d efo res tas i, ero s i, k eb e rad an d an p ilih an hut an, d an efis ie ns i ke lemb ag aan yang b e lu m je las p ih ak p ro d usen d an ko ns umenn ya d i masuk kan d alam p erh itu ng an s eb ag a i n er ac a no n ek o no mi Sektor-sektor tersebut
dapat diilustrasikan dengan menyederhanakan
Tabel I-0 menjadi tiga sektor produksi (3x3)sebagai berikut : Permintaan Antara
Alokasi Output
Permintaan Akhir
Total Output
Sektor Produksi Susunan Input 1 2 3
x11 x21 x31
x 12 x 22 x 32
Jumlah input primer - Komoditi impor - Upah dan gaji - Surplus usaha - Pajak tak langsung - Nilai tambah bruto
V1
V2
V3
Total input
X1
X2
X3
Neraca Produksi
x 13 x 23 x 33
F1 F2 F3
X1 X2 X3
Neraca non ekonomi Z1 Z2 Z3 (stock) Sumber : Badan Pusat Statistik (2003)- dimodifikasi Baris
mendatar pada tabel tersebut terdapat isian-isian angka yang
memperlihatkan tingkat output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai untuk
65
memenuhi permintaan akhir.
Permintaan antara adalah permintaan terhadap
barang dan jasa yang digunakan untuk proses lebih lanjut pada sektor produksi. Sedangkan permintaan akhir adalah permintaan untuk konsumsi akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor. Isian angka menurut garis vertikal atau kolom, menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sector-sektor lain untuk pelaksanaan produksi. Input primer dalam istilah yang lebih popular disebut nilai tambah, yang terdiri dari upah/gaji, sewa tanah, bunga netto dan surplus usaha. Setiap angka atau sel dalam sistem matriks tersebut mempunyai pengertian ganda. Misalnya di kuadran pertama yaitu transaksi antara (permintaan antara dan input antara). Dilihat secara horizontal angka tersebut merupakan alokasi output suatu sektor tertentu kepada sektor lainnya. Selanjutnya pada waktu yang bersamaan dilihat secara vertikal merupakan input dari suatu sektor yang diperoleh dari sektor lainnya. Gambaran di atas menunjukkan bahwa susunan angka-angka dalam bentuk matriks memperlihatkan suatu jalinan yang saling terkait (interdependent) di antara beberapa sektor. Dengan mengambil contoh dari ilustrasi di atas, dapat dijelaskan bahwa sektor 1 dengan output yang berjumlah Xj, dialokasikan secara baris sebanyak X11, X12, X13 berturut-turut kepada sektor 1, 2 dan 3 sebagai permintaan antara, serta sebanyak Fi, untuk memenuhi permintaan akhir. Output X2 dan X3 masing-masing dari sektor 2 dan 3, alokasinya dapat diperiksa dengan cara yang sama. Alokasi output itu secara keseluruhan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut : X11 + X 12 + X13 + F 1 = X 1 X21 + X 22 + X23 + F 2 = X 2 ……………………………... X31 + X 32 + X33 + F 3 = X 3 Secara umum persamaan di atas dapat dirumuskan kembali menjadi 3
S
Xij + Vi = Xi
untuk
i = 1,2,3,
…………….......
(11)
(12)
j=1 dimana Xj adalah banyaknya output sektor-i yang dipergunakan sebagai input oleh sektor j, dan Fj adalah permintaan akhir terhadap sektor -i.
66
Isian secara vertikal atau kolom terutama di sektor produksi, menunjukkan struktur input suatu sektor. Dengan mengikuti cara membaca seperti di atas, persamaan aljabar secara keseluruhan dapat dirumuskan sebagai barikut : X11 + X12 + X13 + V1 = X 1 X21 + X 22 + X23 + V 2 = X 2 X31 + X 32 + X33 + V 3 = X 3 3
S
………………………............
(13)
………………………........
(14)
Xij + Vi = Xi Untuk j= 1,2,3,
j=1 dimana Vj adalah input primer (nilai tambah) dari sektor j. Dalam analisa input-output sistem persamaan -persamaan tersebut di atas memegang peranan penting sebagai dasar analisa ekonomi yang akan dibuat. Apabila aij = Xij /X j (aij = koefisien input) atau Xij = aijXj, maka persamaan (11) dapat disubstitusikan menjadi : a11 X1 + a12 X 2 + a 13X 3 + F 1 = X 1 a21 X1 + a22 X 2 + a32X 3 + F 2 = X 2 ……………………….. a31 X1 + a32X 2 + a32X 3 + F 3 = X 3
(15)
dalam bentuk persamaan matriks, persamaan (15) akan menjadi : a 11 a 12 a13 a 21 a22 a32 a 31 a32 a32 A atau
x1 x2 x3
+
F1 F2 F3
=
X1 X2 X3
X + F = X X = ( I – A )-1 F ……………………………………..
(16)
Dari persamaan (16) ini terlihat bahwa output mempunyai hubungan fungsional terhadap permintaan akhir, dengan (I-A)-1 sebagai koefisien arahnya. Selanjutnya disebut sebagai matriks pengganda output dan menjadi dasar pengembangan Model Input-Output. Keterkaitan antara sektor pada kegiatan perekonomian pada kuadran I Model Input-Output dipilah menjadi 2 (dua) yaitu "analisis produksi" dan "analisis dampak" dengan menggunakan teknik kajian deskriptif. Analisis produksi merupakan analisis berdasarkan data dan informasi yang terdapat dikuadran-kuadran dalam tabel I-O, sedangkan analisis dampak menggambarkan bagaimana dan sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan
67
suatu variabel (peubah) terhadap variabel lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini kelompok variabel yang mempengaruhi disebut sebagai “exogeneous variabel” sedangkan variabel yang akan dipengaruhi disebut sebagai “endogenous variabel”. Selain dapat melihat keterkaitan antar kegiatan ekonomi (kuadran I) dari tabel I-O juga dapat dilihat perolehan pendapatan masyarakat (termasuk rumahtangga) yang diciptakan oleh berbagai sektor ekonomi yaitu pada kuadran III, sedangkan rincian permintaan akhir termasuk konsumsi rumahtangga dapat dilihat pada kuadran II. Selanjutnya hubungan antara pendapatan dan konsumsi tersebut termasuk transaksi- transaksi ekonomi lainnya yang digambarkan dalam Tabel I-O. Dalam
penyusunan
Tabel
I-O
maupun
analisis
ekonomi
yang
menggunakan model I-O, terdapat beberapa besaran (variabel) yang perlu untuk dijelaskan. Besaran tersebut menyangkut output, input antara, input primer (nilai tambah), permintaan akhir dan impor. 4.5.1.1 Output Output merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh sektor-sektor ekonomi yang ada di suatu wilayah. Ada tiga jenis produksi yang dicakup dalam penyusunan output setiap sektor, yaitu : 1. Produksi Utama (main product), yaitu produksi yang memberikan nilai terbesar pada keseluruhan kegiatan usaha perusahaan. 2. Produksi Ikutan (by product), yaitu produksi yang dihasilkan bersama produksi utama dalam suatu proses yang tunggal,misal jerami yang dihasilkan bersama padi, guntingan kaleng pada proses pembuatan ember, dan sebagainya. 3. Produksi Sampingan (secondary product), yaitu produksi yang dihasilkan bersama produksi utama tetapi tidak dari satu proses yang sama. Produk ini biasanya berfungsi sebagai penunjang produksi utama, misal produksi botol untuk menunjang produksi kecap dan minuman, kemasan kotak yang digunakan dalam pabrik rokok. Dalam klasifikasi sektor pada tabel I-O, produksi sampingan tidak selalu mempunyai kode sektor yang sama dengan produksi utamanya.
68
Output dinilai atas dasar harga produsen (harga pabrik), yaitu harga yang benar-banar diterima oleh produsen. Penggunaan harga eceran atau harga pasar tentunya tidak tepat, karena di dalamnya sudah termasuk margin distribusi yang seharusnya menjadi output dari sektor perdagangan dan pengangkutan. Sementara itu, output untuk kegiatan jasa merupakan nilai dari jasa yang diberikan pada pihak lain. Dalam kerangka model I-O, output biasanya dinotasikan dengan X (X i, acau X j) sedangkan dalam penyajian Tabel I-O, diberikan kode 210. 4.5.1.2
Input Antara Input antara mencakup penggunaan berbagai barang dan jasa oleh suatu
sektor dalam kegiatan produksi. Barang dan jasa tersebut berasal dari produksi sektor-sektor lain, dan juga produksi sendiri. Barang-barang yang digunakan sebagai input antar biasanya habis sekali pakai, seperti bahan baku, bahan penolong, bahan bakar dan sejenisnya. Dalam model I-0, penggunaan input antara diterjemahkan sebagai keterkaitan antara sektor dan dinotasikan dengan Xij, yaitu input antara yang berasal dari produksi sektor-i yang digunakan oleh sektor-j dalam rangka menghasilkan output Xj. Sx ij disebut sebagai total input antara sektor-j, dan dalam tabel I-0 Kehutanan Provinsi Jawa Tengah diberikan kode 190. Dalam suatu Tabel I-O, input antara dinilai dengan dua jenis harga. Input antara atas dasar Harga Pembeli menggunakan harga beli konsumen sebagai dasarnya. Dalam harga tersebut tentunya margin distribusi(keuntungan pedagang dan ongkos angkut) sudah termasuk di dalamnya. Sebaliknya input antara atas dasar Harga Produsen penggunaan harga pabrik sebagai dasarnya, yang tentunya margin distrib usi tidak termasuk di dalamnya. Margin distribusi selanjutnya diperlukan sebagai input yang berasal dari sektor perdagangan dan angkutan. Input antara sebenarnya mencakup dua komponen, komponen input yang berasal dari produksi wilayah sendiri dan komponen impor (dari provinsi lain dan luar negeri). 0leh karena itu suatu Tabel I-0 yang ingin menggambarkan secara langsung hubungan produksi di suatu wilayah (domestik) dengan berbagai sektor pemakai, harus memisahkan komponen impor dari setisp input antara. Dalam model I-0, analisis dengan menggunakan input antara domestik lehih sering dipakai.
69
4.5.1.3
Input Primer (Nilai Tambah) Input primer atau lebih dikenal dengan nilai tambah merupakan balas jasa.
yang diciptakan/diberikan kepada faktor-faktor produksi yang berperan dalam proses produksi. Balas jasa tersebut mencakup upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Upah dan gaji merupakan balas jasa yang diberikan kepada buruh/karyawan, baik dalam bentuk uang maupun barang, termasuk dalam upah dan gaji, semua tunjangan (perumahan, kendaraan, kesehatan) dan bonus, uang lembur yang diberikan perusahaan kepada pekerja. Semua pendapatan pekerja tersebut masih dalam bentuk bruto atau sebelum dipotong pajak penghasilan. Surplus usaha mencakup sewa properti (tanah, hak cipta/patent), bunga netto (bunga yang diterima dikurangi bunga yang dibayar) dan keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan dalam bentuk bruto, yaitu sebelum dibagikan kepada pemilik saham berupa dividen dan sebelum dipotong pajak perseroan. Penyusutan merupakan nilai penyisihan keuntungan perusahaan untuk akumulasi pengganti barang modal yang habis dipakai. Sedangkan pajak tak langsung merupakan pajak yang dikenakan pemerintah untuk setiap transaksi penjualan yang dilakukan oleh perusahaan seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam model I-O, nilai tambah biasanya dinotasikan dengan Vj, dan untuk setiap komponennya menggunakan notasi h. Jadi Vhj merupakan nilai tambah yang diciptakan disektor j untuk komponen h. Untuk I-0 Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, komponen nilai tambah berkode 201 sampai dengan 204 dan jumlah niiai tambah untuk setiap sektor diberi kode 209. 4.5.1.4 Permintaan Akhir dan Impor Permintaan akan barang dan jasa dibedakan antara permintaan oleh sektorsektor produksi untuk proses produksi disebut permintaan antara dan permintaan oleh konsumen akhir disebut permintaan akhir. Dalam Tabel I-0, permintaan akhir mencakup
pengeluaran
konsumsi
rumah
tangga,
pengeluaran
konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, ekspor dan impor. Pengeluaran Konsumsi Rumah tangga (kode 301) mcncakup semua pembelian barang dan jasa oleh rumah tangga, baik untuk makanan maupun non-
70
makanan. Termasuk pula pembelian barang-barang tahan lama (durable goods), seperti perlengkapan rumah tangga, kendaraan bermotor dan sebagainya. Satusatunya pembelian yang tidak termasuk dalam konsumsi rumah tangga adaiah bangunan tempat tinggal, karena dianggap sebagai pembentukan modal di sektor persewaan bangunan. Konsumsi rumah tangga mencakup pula barang -barang hasil produksi sendiri dan pemberian pihak lain. Pengeluaran konsumsi pemerintah (kode 302) mencakup semua pembelian barang dan jasa oleh pemerintah yang bersifat rutin (Current Expenditure), termasuk pembayaran gaji para pegawai (belanja pegawai). Sedangkan pengeluaran pembangunan untuk pengadaan sarana dan berbagai barang modal, termasuk dalam pembentukan modal. Pembentukan modal tetap (kode 303) mencakup semua pengeluaran untuk pengadaan barang modal baik dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta. Barang modal dapat terdiri dari bangunan/konstruksi, mesin dan peralatan, kendaraan dan angkutan serta barang modal lainnya. Sedangkan perubahan stock (kode 304) sebenarnya juga merupakan pembentukan modal (tidak tetap) yang diperoleh dari selisih antara stok akhir dan stok awal periode penghitungan. Stok biasanya dipegang oleh produsen merupakan hasil produksi yang belum sempat dijual, oleh pedagang sebagai barang dagangan yang belum sempat dijual dan oleh konsumen sebagai bahan bahan/inventori yang belum sempat digunakan. Ekspor dan impor (kode 305 dan 409) merupakan kegiatan atau transaksi barang dan jasa antara penduduk Provinsi dengan penduduk luar provinsi , baik penduduk provinsi lain maupun luar negeri. Perbandingan ekspor dan impor baik keseluruhan maupun untuk setiap kelompok komoditi menunjukkan terjadinya surplus atau defisit perdagangan antara provinsi dengan provinsi lain atau luar negeri. 4.5.2
Pembentukan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) disusun dalam bentuk baris
dan kolom. Vektor baris menunjukkan perincian penerimaan, sedangkan vector kolom menunjukkan perincian pengeluaran. Untuk kegiatan yang sama, jumlah baris sama dengan jumlah kolom, dengan kata lain jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran. Susunan SNSE secara sederhana dapat dilihat pada Tabel 5.
71
Tabel 5. Susunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
p e n e r i m a a n
N e r a c a E n d o g e n
Faktor Produksi
1
Institusi
2
Kegiatan Produksi
3
Neraca Eksogen
4
Jumlah
5
Pengeluaran Neraca Endogen Faktor Institusi Kegiatan Produksi Produksi 1 2 3 0 0 T13 Distribusi Nilai Tambah T22 Transfer Antar Institusi
0
T32 Permintaan Akhir Domestik
T33 Transaksi Antar Keg. (I-O)
L1 Peng. Ekso. Fakt. Prod.
L2 Tabungan
Y1 Juml. Pengl. Fakt. Prod.
Y2 Juml. Penl. Institusi
L3 Impor & Pjk Tak langsung Y3 Juml. Pengl. Keg. Prod.
T21 Pendapatan Institusi dari Faktor Produksi 0
Neraca Eksogen
Total
4 X1 Pendapatan Eksogen Fakt. Prod.
5 Y1 Jumlah Pendapata n Fakt. Prod Y2 Jumlah Pendapata n Institusi Y3 Jumlah Output Kegiatan Produksi Juml. Pend. Eksogen
X2 Pendapatan Institusi Dari Eksogen X3 Ekspor dan Investasi R Trans. Antar Eksogen Juml. Pengl. Eksogen
Sumber : Thorbecke, 1989 : 210, dimodifikasi dalam BPS (2003) Untuk setiap baris, kolom 5 merupakan kolom 1, 2, 3 dan 4. Demikian pula untuk setiap kolom, baris 5 merupakan penjumlahan baris 1, 2, 3 dan 4. Karena jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran, maka baris 5 merupakan transpose dari kolom 5. Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah analisis kontribusi faktor atau sektor, ketimpangan pendapatan, analisis efek pengganda 1. Kontribusi Faktor Kontribusi faktor digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan faktorial (antar faktor produksi).
Dalam proses produksi suatu industri,
diasumsikan hanya menggunakan 2 (dua) faktor produksi, yaitu Modal (capital = K) dan tenaga kerja (labour = L), untuk menghasilkan produk (Q). Selanjutnya dengan model fungsi produksi Cobb Douglas, maka formulasi kontribusi tersebut sebagai berikut : Q = A Ka Lß, dimana a + ß = 1. ………………………………….
(17)
72
2. Ketimpangan Pendapatan Untuk menganalisis distribusi pendapatan institusional (antar golongan rumah tangga) digunakan ketimpangan pendapatan perkapita, yaitu perbandingan antara pendapatan perkapita golongan rumah tangga terhadap pendapatan perkapita golongan rumah tangga yang paling rendah. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan perbandingan pendapatan masyarakat yang proporsional. Hal ini berbeda dengan analisis yang menggunakan Rasio Gini dimana distribusi jumlah penduduknya sama antar golongan. 3. Analisis Pengganda Neraca Pengganda neraca merupakan analisis dampak dengan solusi yang belum optimal yang dapat melihat dinamika variabel-varaiabel endogen (sektor) tertentu, akibat berubahnya neraca eksogen (PDB). Penjelasan model tersebut adalah sebagai berikut a. Kecenderungan Pengeluaran Rata-rata dan Pengganda Neraca Pada prosedur awal dari derivasi pengganda harga tetap pada kerangka SNSE adalah mengenal apa yang disebut sebagai kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity) dan pengganda neraca (accounting multiplier). Pendapatan neraca endogen (yaitu neraca produksi, neraca institusi dan neraca sektor produksi) akan berubah sebesar Ma unit akibat perubahan neraca eksogen sebesar 1 unit. Secara matematis kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity) dapat dirumuskan sebagai berikut : Aij = T ij t j-1 …………………………………………………......
(18)
dimana: Aij
= kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity) baris ke-i, kolom ke-j
Tij
tj
-1
= neraca baris ke-i; kolom ke-j
= total kolom ke-j
Karena Ai.j dan Tij merupakan suatu matrik dimana unsur Ai.j bersifat konstan dan matrik Tij mempunyai vektor Xi untuk masing-masing i = 1, 2, 3, 4, maka didapatkan persamaan matrik sebagai berikut :
73
T1 T2
=
T3
0
0
A1.3
t1
A2.1
A2.2
0
t2
0
A3.2
A3.3
t3
X1 +
X2 X3
dan t4 = A4.2 t2 + A4.3 t3 + X4………………………..................
(19)
Dari persamaan (19) dapat terlihat bahwa nilai t4 dapat dicari bila t 2 dan t3 diketahui.
Neraca t4 dan neraca Zi (i=1, 2, 3, 4) merupakan neraca
eksogen dalam kerangka SNSE. Persamaan (19) dapat ditulis dalam notasi matrik sebagai berikut : t = At + X…………………………………………..............
(20)
sehingga t = (I – A) -1 X ………………………………………..........
(21)
t = Ma X…………………………………………………..
(22)
atau
dimana Ma = (I – A)-1 yang disebut sebagai pengganda neraca (accounting multiplier). Persamaan (22) menjelaskan bahwa pendapatan neraca endogen, yaitu neraca faktor produksi, neraca institusi dan neraca sektor produksi, akan berubah sebesar ‘Ma’ akibat adanya perubahan neraca eksogen sebesar 1 unit. b. Dekomposisi Pengganda Neraca Pengganda neraca Ma dapat didekomposisi dengan memperhatikan proses perubahan neraca endogen akibat dari perubahan neraca eksogen. Dekomposisi matrik Ma dapat dilakukan dalam bentuk perkalian (multiplicative) atau dalam bentuk pertambahan (additive). Persamaan (19) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dituliskan menjadi persamaan matrik sebagai berikut: t1 t2 t3
0 =
0
0
t1
0 A2.2 0
t2
0
t3
0 A3.3
0
0
A1.3
t1
X1
0
t2
+ X2
A3.2 0
t3
X3
+ A2.1 0 0
(23)
74
Penulisan persamaan (23) tersebut diatas dimaksudkan untuk dapat memisahkan elemen -elemen diagonal matrik A, yaitu A2.2 dan A3.3 dari elemen-elemen lainnya seperti A
2.1,
A 3.2 , dan A 1.3
Kalau matrik Ma (24) adalah: I Ma.1 =
0
0
0 (I – A2.2 )-1 0
0
………………
0
(24)
(I – A3.3 ) -1
maka, persamaan (23) dapat dituliskan sebagai (25): T = A * t + M a.1 X
…………………………………
(25)
dimana : 0 A* =
Ma.1
0
A1.3
A2.1 0
0
0
0
A3.2
…………….
(26)
Dengan asumsi kebalikan matrik (I – A2.2)-1 1 dan (I – A3.3)-1 ada (exist), maka kedua matrik tersebut dapat dituliskan sebagai: (I – Ai.j)-1 = I + Ai.j2 + Ai.j3 + ………………………….
(27)
Berarti (I –Ai.j) -1 mempunyai nilai yang selalu lebih besar dari I karena, semua elemen Ai.j adalah positif. Oleh karena itu Ma.1 ada (exist). Persamaan (25) dapat dituliskan sebagai: T = (I - A*)-1 Ma.1 X ………………………………………
(28)
-1
dengan asumsi bahwa matrik kebalikan (I - A*) ada, maka matrik kebalikan (I - A*)-1 dapat dituliskan sebagai: (I – A*) -1 = I + A * + A*2 + A*3 + ……………………) = (I + A* + A*2 ) (I + A *3 + A *6 ) + …………) = (I + A* + A*2 ) (I - A*3 ) –1 Sehingga T = Ma.3 Ma.2 Ma.1 X *
*2
…………………
(29)
…………………………………
(30)
*3 -1
dengan Ma.3 = (I + A + A ) dan Ma.2 = (I - A )
Oleh karena itu terlihat bahwa matrik ‘Ma’ dapat didekomposisi menjadi: Aa = Ma.3 Ma.2 Ma.1 ……………………………….......
(31)
Matrik ‘Ma’ dapat juga didekomposisi dalam bentuk pertambahan sebagai berikut:
75
Ma = I + (Ma.1 – I) + (Ma.2 – I)Ma.1 + (Ma.3 – I) Ma.2 Ma.1 = I + Ta + Oa + Ca……………………………………
(32)
dimana transfer multiplier (Ta), open loop multiplier (Oa), dan closed loop multiplier (Ca). Pengganda transfer (transfer multiplier) menunjukkan dampak yang terjadi di dalam set neraca dimana injeksi awal diberikan.
Misalnya,
injeksi awal diberikan terhadap neraca sektor produksi, maka penggand a transfer akan bekerja pada neraca sektor produksi. Pengganda lompatan terbuka (open loop multiplier) menunjukkan dampak yang terjadi terhadap neraca yang lain sebagai akibat adanya injeksi awal yang diberikan kepada suatu neraca tertentu. Misalnya, injeksi awal yang diberikan kepada neraca sektor produksi menyebabkan kenaikan output sektor produksi, maka sebagai akibatnya adalah kenaikan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa telah terjadi suatu dampak terhadap neraca faktor produksi dan neraca institusi sebagai akibat adanya injeksi terhadap neraca sektor produksi. Pengganda lompatan tertutup (close loop multiplier) menunjukkan dampak yang terjadi terhadap neraca awal yang diinjeksi sebagai akibat perubahan pada neraca yang dipengaruhi dan berulang lagi pada neraca lainnya sedemikian sehingga dampaknya menjadi kecil sekali dan dapat diabaikan. 4. Structural Path Analysis Untuk mengidentifikasi transaksi-transaksi yang mengikuti sebuah alur keterkaitan dari suatu sektor asal ke sektor-sektor tujuan digunakan Structural Path Analysis (SPA).
Caranya dengan menganalisis dampak perubahan
output suatu sektor Model SNSE terhadap pendapatan rumah tangga didistribusikan oleh perubahan pada variabel-variabel endogen.
Analisis ini
memerlukan matriks bentukan baru, yaitu matriks average expenditure propensity, A n dan accounting multiplier, Ma yang diperoleh setelah melalui analisis tahapan 3) di atas yaitu analisis pengganda dan dekomposisi.
76
4.5.3
Asumsi Analisis Asumsi analisis ditujukan agar model SNSE dapat menggambarkan dan
meramalkan kinerja perekonomian Provinsi Jawa Tengah secara valid. Adapun beberapa asumsi yang dipergunakan adalah sebagai berikut : 1. Keseragaman
(homogenity),
yang
mensyaratkan
bahwa
tiap
sektor
memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda. 2. Kesebandingan (proportionality), yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor merupakan fungsi linier yaitu jumlah tipa jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sekot-sektor tersebut. 3. Penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek masing-masing kegiatan. 4. Ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya, sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan, sehingga interaksi permintaan dan penawaran tidak pernah menimbulkan kesenjangan antar a keduanya. Konsekuensinya, harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat eksogen (tidak muncul dalam persamaan SNSE) 4.6. Simulasi Tujuan simulasi adalah untuk mengetahui dampak perubahan variabel eksogen (sektor) kebijakan tertentu terhadap neraca endogen (PDRB). Sektor kehutanan memiliki 2 (dua) kebijakan yang terkait dengan upaya penanggulangan kebocoran pendapatan.
Pertama, upaya mengeliminir kebocoran pendapatan
yang berasal dari illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan.
Kebijakan tersebut telah dijadikan program proritas
Departemen Kehutanan yang didukung oleh instansi terkait, baik penegak hukum maupun pelaksana pengelolaan hutan. Kebijakan pertama tersebut sepenuhnya dibawah kendali pelaksanan sehingga dapat dihilangkan sama sekali atau sesuai dengan keinginan. O leh karena itu simulasi dapat dilakukan dengan memberikan besaran pada tingkat 0%. 25%, 50%, dan 75% dan 100%. Kebocoran illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan
77
lebih lanjut dalam bahasan ini disebut “Kebocoran manusiawi”. Upaya eliminasi pada tingkat 0% maksudnya bahwa kebijakan penanggulangan kebocoran tersebut sama sekali tidak efektif. Dan sebaliknya, jika upaya eleminasi mencapai 100% berarti tidak terjadi illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan kelembagaan sangat efektif. Kedua , skenario kebijakan pengurangan laju erosi. Skenario kebijakan ini dilatarbelakangi adanya upaya pemerintah untuk melakukan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang mempunyai target 3 juta ha selama 5 tahun sejak tahun 2003. Meskipun seandainya terget reboisasi dan rehabilitasi lahan terealisir 100% tetapi laju erosi tidak dapat langsung berkurang hingga 0% tetapi mungkin hanya akan turun 5%, 10%, 15% atau maksimum 20%. Oleh karena itu simulasi pengurangan erosi dan deforerstasi yang dapat diajukan pada angka-angka tersebut. 1. Skenario 1 (berkaitan dengan upaya eliminasi kegiatan illegal, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan) a. Memasukkan nilai illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan sebesar 0% dalam perhitungan. b. Memasukkan nilai illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan sebesar 25% dalam perhitungan. c. Memasukkan nilai illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan sebesar 50% dalam perhitungan. d. Memasukkan nilai illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan sebesar 75% dalam perhitungan. e. Memasukkan nilai illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan sebesar 100% s dalam perhitungan. 2. Skenario 2 (berkaitan dengan dampak erosi dan deforetasi) a. Besarnya erosi dan deforestasi sebesar 5%
ke dalam perhitungan.
b. Besarnya erosi dan deforestasi sebesar 10%
ke dalam perhitungan .
c. Besarnya erosi dan deforestasi sebesar 15%
ke dalam perhitungan .
d. Bes arnya erosi dan deforestasi sebesar 20%
ke dalam perhitungan .
V. FAKTA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH 5.1 Kondisi Umum Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah mempunyai luas wilayah sekitar 3 254 412 ha terletak pada posisi 108o 30’ - 111o 30’ Bujur Timur dan 5o 40’ - 8 o 30’ Lintang Selatan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 31 691 866 orang yang terdiri dari 15 787 143 laki-laki dan 15 904 723 perempuan. Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 Kabupaten, 6 Kota, 563 Kecamatan dan 8 553 Desa/Kelurahan.
Sebaran luas dan jumlah penduduk di setiap kabupaten/
kota sebagaimana Tabel 6. Tabel 6. Sebaran Luas dan Jumlah Penduduk per Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Jumlah
Kabupaten/Kota
Luas (ha)
Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
Sumber : Badan Pusat Staristik Jawa Tengah (2004a)
213 851 132 759 77 765 106 974 128 274 103 482 98 468 108 573 101 507 65 556 46 666 182 237 77 220 94 649 197 585 179 440 101 410 149 120 42 517 100 416 89 743 94 868 87 023 100 227 78 895 83 613 101 190 87 970 165 773 1 812 4 403 5 296 37 367 4 496 3 449 3 254 412
Jml. Penduduk (org) 1 630 832 1 472 122 795 874 848 317 1 176 102 705 272 750 939 1 127 714 906 530 1 167 613 799 493 974 353 786 557 855 948 1 289 937 821 588 566 288 1 171 785 718 253 999 635 1 009 863 842 242 710 991 859 471 674 307 819 397 1 343 951 1 410 057 1 728 806 116 498 488 168 163 079 1 455 994 265 829 238 059 31 691 866
79
Berdasarkan catatan 24 stasiun klimatologi yang ada di JawaTengah selama tahun 1998 - 2003, kondisi iklim sebagai berikut : (1) suhu rata-rata terendah 17.6o C dan rata-rata tertinggi 33.2o C, (2) kelembaban rata-rata berkisar 73 – 88 persen, dan (3) hari hujan rata-rata berkisar 59 – 203 hari per tahun. Suhu terendah tersebut terjadi di Kabupaten Magelang dan suhu tertinggi terjadi di Kabupaten Pati. Sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kabupaten Boyolali dan tertinggi terjadi di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data iklim tersebut di atas maka Provinsi Jawa Tengah tidak
terjadi perubahan cuaca yang ekstrim.
Oleh karena itu kond isi vegetasi atau penutupan lahan di provinsi tersebut cukup baik. Dengan demikian kondisi iklim tersebut akan sangat mendorong tingginya produktifitas hasil-hasil pertanian secara luas. Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 tercatat 3.25 juta hektar atau sekitar 25% dari luas Pulau Jawa, terdiri dari 995 000 hektar (30.59%) lahan persawahan dan 2.26 juta hektar (69.41%) lahan bukan persawahan. Selama tahun 1998 – 2003 terjadi penyusutan lahan persawahan sekitar 300 hektar (0.3%) per tahun menjadi lahan bukan sawah. Sebagian besar lahan persawahan di Provinsi Jawa Tengah yaitu sekitar 40% dari luas seluruh persawahan dipergunakan sebagai lahan berpengairan teknis dan sisanya sekitar 60% berupa lahan sawah berpengairan
setengah teknis, sederhana, dan tadah
hujan. Sebagian besar lahan bukan persawahan di Provinsi Jawa Tengah yaitu sekitar 34% berupa lahan tegalan/perkebunan.
Pengunaan lahan bukan
persawahan lain yang cukup besar di Provinsi Jawa Tengah adalah untuk kehutanan yaitu sekitar 25% dan untuk perumahan/bangunan sekitar 23% dari luas lahan bukan persawahan.
Secata totalitas persentase penggunaan lahan di
Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Gambar 9. 5.2. Profil Perekonomian Provinsi Jawa Tengah Perkembangan perekonomian dapat dicerminkan oleh perkembangan Produk Domestik Bruto Regional (PDRB), pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dukungan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
Perkembangan
perekonomian Provinsi Jawa Tengah disusun oleh masing-masing sektor yaitu : (1) pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan, (2)
pertambangan dan
80
penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas, dan air bersih, (5) konstruksi, (6) perdagangan, hotel dan restouran, (7) transportasi dan komunikasi, (8) keuangan, sewa dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa pelayanan pemerintah. Oleh karena itu
pengkajian peranan setiap sektor termasuk sektor kehutanan
akan dapat mengetahui sejauh mana kontribusi yang telah dan akan terjadi pada perekonomian setempat.
Lain-lain 11%
Sawah 39%
Hutan 26%
Kebun 24%
Gambar 9. Penggunaan lahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 5.2.1 Perkembangan PDRB Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah selama tahun 1996 – 2003 berdasarkan patokan harga konstan 1993 dan harga berlaku sebagaimana Tabel 6. Perkembangan PDRB berdasarkan dua patokan harga tersebut berbeda. Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah berdasarkan harga berlaku selalu mengalami kenaikan, yaitu tahun 1996 sebesar 52 505.36 milyar rupiah meningkat terus hingga 173 852.79 milyar rupiah. Sedangkan PDRB Provinsi Jawa Tengah berdasarkan harga konstan tahun 1993, dimana pada tahun 1997 sebesar 43 129.84 milyar rupiah
ternyata
pada tahun 1998
mengalami
penurunan sebesar – 13.3% menjadi 38 065.27 milyar rupiah. Penurunan PDRB tersebut merupakan dampak dari krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak petengahan tahun 1997 yang ditandai dengan depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar.
81
Berdasarkan data pada Tabel 7, maka dengan menggunakan patokan harga berlaku, PDRB Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 511.65% (lima kali lipat) selama sepuluh tahun sejak tahun 1993. Sementara itu pada periode yang sama berdasarkan harga konstan, PDRB mengalami peningkatan sebesar 134.07% (satu setengah kali lipat). Tabel 7. PDRB dan Perkembangannya Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 1993 di Provinsi Jawa Tengah tahun 1996 – 2003
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PDRB Harga Berlaku Jumlah Perkembangan (juta Rp) (%) 52 505 360.63 60 296 426.87 84 610 222.51 101 509 193.76 117 782 925.19 136 131 480.16 156 418 300.46 173 852 789.13
PDRB Harga Konstan 1993 Jumlah Perkembangan (%) (juta Rp)
154.52 177.45 249.01 298.74
41 862 203.72 43 129 838.90 38 065 273.35 39 394 513.74
123.20 126.93 112.03 115.94
346.54
40 941 667.09
120.46
400.34
42 305 176.42
124.50
460.34
43 775 693.08
128.83
511.65
45 557 108.45
134.07
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004b) Hal tersebut menunjukkan bahwa perekonomian di Provinsi Jawa Tengah berkembang cukup baik.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain usaha di sektor industri pengolahan dan transportasi yang menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah berdasarkan lapangan usaha dan sektor dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Berdasarkan data-data pada Tabel 8, kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah dengan patokan Harga Berlaku adalah Industri pengolahan yaitu sebesar 29%, di urutan kedua Pertanian sebesar 25%, ketiga perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 23%, keempat adalah jasa-jasa 9% dan sisanya sebanyak 13% adalah pertambangan, listrik, gas, air, bangunan, kontruksi, angkutan dan komunikasi serta keuangan.
82
Tabel 8. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003 (Juta Rp) LAPANGAN USAHA (1) 01. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkeburian c. Petemakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan
02. PERTAMBANGAN a. Minyak & Gas Bumi PENGGALIAN/ b. Pertambangan tanpa Wgas
1999
2000
2001
2002
2003
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
25 468 190.45 19 340 567.48
30 181 351.72 22 124 730.60
33 326 727.47 23 309 586.70
36 607 342.07 37 202 419.18 25 327 525.63 25 975 216.06
1 257 885.40 2 666 945.50 760 731.59 1 441 960.48
1 718 325.15 3 560 789.76 783 219.12 1 994 287.09
1 968 789.13 4 607 208.53 934 890.49 2 506 252.32
1 5 1 2
997.38 039.67 309.06 470.33
2 019 097.75 5 781 593.00 726 784.% 2 699 727.41
1 016 023.22 85 634.85
1 14O 8O7.60 84 930.24
1 352 985.84 100 671.07
1 469 178. 12 90 201.17
1 744 236.87 37 255.74
976 220 021 561
8 782.36
7 789.19
8 750.92
10 136.5.9
8 153 72
921 606.01
1 048 088.17
1 243 563.85
1 368 911.00
1 648 827.41
a. Industri Migas
29 543 972.67 4 739 996.19
33 618 628.42 5 489 220.76
39 682 735.09 7 920 74374
46 333 578.23 52 671 590.76 11 607 693.46 14 133 565.56
b. Industri Non Migas 1) Mak., Min. & Tembakau
24 803 976.48 14 238 841.90
28 129 407.66 16 474 580.58
31 761 991.35 18 616 472.92
34 725 884.77 38 538 025.20 20 532 646.82 23 123 567.13
2) Tekstil, Brg Kulit & Alas kaki
5 646 067.60
6 329 952.24
6 716 361,62
7 214 041.72
7 870 744.04
3) Brg Kayu & Hasil Hutan Lain 4) Kertas & Brg Cetakan
874 100.38 310 652.16
954 048.59 327 976.47
1 035 866.95 374 158.72
1 132 975.63 396 427.99
1 189 111.81 431 241.77
2 282 853.40 751 544.41
2 463 693.76 822 400.46
3 181 911.61 932 513.51
3 310 973.32 1 078 031.29
3 638 340.27 1 191 156.78
c. Penggalian
03. INDUSTRI PENGOIAHAN
5) Pupuk, Kimia & Barang dari Karet 6) Semen & Brg Lain Bukan Logam 7) Logam Dasar Besi & Baja 8) Aiat Angk., Mesin Peralatan 9) Barang lainnya
72 181.64
74 514.94
70 758.60
82 896.57
90 998.19
570 648.10
621 996.84
749 478.11
832 384.79
896 428.48
57 086.89
60 243.78
84 469.31
95 456.64
106 436.73
655 019.61
870 163.83
1 042 818.07
1 574 604.84
2 043 587.54
05. BANGUNAN 06. PERDAGANGAN, HOTEL, RESTORAN/ DAN RESTAURANT
504 362.52 150 657.09 3 982 983.09
703 932.72 166 231.11 4 788 002.60
852 628.99 190 189.08 5 395 143.17
1 306 080.61 268 24.23 6 042 690.05
1 691 075.83 352 511.71 6 972 031.84
23 332 684.92
27 473 249.83
32 626 491.47
37 405 734.52 42 050 781.97
a. Perdagangan Besar dan Eceran
19 584 991.91
23 258 519.24
27 274 359.68
30 996 969.67 34 894 604.11
389 614.87
485 249.68
581 752.74
655 459.97
728 776.03
3 358 078.14 4 172 495.40
3 729 480.91 5 181 562.32
4 770 379.05 6 253 791.95
5 753 30-1.88 7 923 981.26
6 427 401.83 9 898 924.55
3 314 900.80 100 101.79
4 197 561 .45 128 364.66
5 036 825.12 142 062.58
6 199 092.71 176 183.47
7 716 720.05 209 520.28
2 632 528.19
3 336 927.54
4 029 084.26
4 968 121.84
6 235 931.82
380 589.11
495 534.08
603 495.79
770 573.83
938 664.99
6 195 857 709 147
388.15 293.56 594.60 995.29 599.31
8 114.11 228 621.06 98 000.87 792 848.32 191 152.55
8 185.80 253 996.69 1 216 966.83 993 815.51 223 151.32
10 090.95 274 122.62 1 724 888.55 1 431 448.23 293 440.32
11 429.16 321 173.80 2 182 204.50 1 820 913.73 361 290.77
3 700 158.84
4 340 625.96
4 968 064.67
5,767,937.39
6 448 270.23
a. Bank
382 424.05
396 943.52
454 287.15
525 168.38
583 068. 43
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan
537 067.26 456.76
581 300.74 503.45
678 910.00 611.13
792 586.95 701.37
862 898.12 791.66
d. Sewa Bangunan
2 611 800.86
3 186 413.81
3 629 566.95
4 214 435.08
4 743 272.48
e. Jasa Perusahaan
168 409.91
175 464.44
204 689.44
235 045.61
258 239.54
04. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Air Bersih/ Water Supply
b. Hotel c. Restoran 07. ANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan/ Transport 1) Angk. Rel/ Railway Transport 2) Angkutan Jalan Raya/Road Trasp 3) Angkutan Laut/Sea Transport 4) Angkutan Udaia/A'r Transport 5) Jasa Penunjang Angkutan/ b. Komunikasi 1) Pos & Telekomunikasi 2) Jasa Telekomunikasi
08. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN
83
Tabel 8. lanjutan LAPANGAN USAHA (1) 09. JASA -JASA
1999
2000
2001
(2)
(3)
(4)
9 637 665.56 10 188 532.91 11 482 722.43 7 484 747.63 7 763 928.72 8 512 742.60 2 152 917.93 2 424 604.19 2 969 979.83
a. Pemerintahan Umum b. Swasta/Private 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan dan Rekreasi 3) Perorangan dan Rumah Tangga PDRB TOTAL
684 593.09 89 703.64 1 378 621.20
842 626.41 92 764.29 1 489 213.49
1 000 906.38 98 692.23 1 870 381.22
2002
2003
(5)
(6)
13 293 253.98 14 820 946.19 9 856 116.18 11 004 701.53 3 437 137.80 3 816 244.66 1 256 750.01 102 149.19 2 078 238.60
1 407 169.65 111 608.64 2 297 466.37
101 509 193.76 117 782 925.19 136 131 480.16 156 418 300.46 173 852 789.13
PDRB TANPA MIGAS/
96 683 562.72 112 208 774.19 128 110 065.35 144 720 405.83 159 631 967.83
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004b) Dengan menggunakan harga yang berlaku PDRB Kehutanan Propinsi Jawa Tengah berturut-turut dari tahun 1999 hingga tahun 2003 berjumlah Rp 760 731.59 juta; Rp 783 219.12 juta; Rp934 890.49 juta; Rp 1 021 309.06 juta; Rp 726 784 juta. Jika dipersentasekan, maka jumlah tersebut meningkat sebesar 34.25% dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Tetapi dari tahun 2002 hingga tahun 2003 mengalami penurunan yang signifikan sebesar 28.84%. Untuk lebih jelasnya lihat grafik pada Gambar 10.
1200000 1000000 800000 600000
PDRB Kehutanan
400000 200000
20 03
20 01
19 99
0
Gambar 10. Grafik Perkembangan PDRB Kehutanan Jawa Tengah
Selanjutnya jika dibandingkan dengan produk pertanian yang lain seperti tanaman Bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan; maka PDRB dari Kehutanan menempati posisi paling kecil atau berturut-turut dari
84
tahun 1999 hingga 2003 sebesar 0.88%; 0.75%; 0.69%; 0.74%; 0.51%. Persentase PDRB kehutanan dibandingkan dengan PDRB pertanian yang lainnya sebagaimana Gambar 11. Kecilnya kontribusi sektor kehutanan di Provinsi Jawa Tengah disebabkan beberapa faktor, antara lain : (1) luas kawasan hutan di provinsi tersebut relatif kecil, (2) hasil yang dicatat dalah hasil hutan kayu dan non kayu yang volume dan nilainya kecil, dan (3) industri kehutanan tidak termasuk dalam perhitungan.
11% peternakan
3% kehutanan
6% perkebunan
5% perikanan
75% tanaman pangan
Gambar 11. Perbandingan PDRB Kehutanan dengan PDRB Pertanian lainnya. Tabel 9. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999 – 2003 LAPANGAN USAHA (1) 01. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 02. PERTAMBANGAN a. Minyak & Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 03. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Non Migas 1) Mak., Min. & Tembakau 2)Tekstil, Brg Kulit & Alas
1999
2000
2001
2002
(2)
(3)
(f)
(5)
2003 (6)
8 184 670.67 5 517 339.49 419 596.94 1 352 280.12
8 455 973.17 5 413 544.95 503 154.30 1 613 449.84
8 598 967.98 5 284 475.59 506 897.71 1 820 013.42
8 667 627.13 5 429 359.64 500 028.25 1 731 292.57
8 593 295.01 5 458 816.90 495 321.63 1 737 268.22
347 942.23 547 511.89
317 086.46 608 737.62
331 408.38 656 172.88
348 794.21 658 152.46
232 952.6/ 668 935.59
575 612.99 28 439.73
589 963.73 25 576.46
642 027.09 29 271.76
667 593.55 31 481.77
703 109.51 29 215.07
3 875.85
3 117.09
2 803.29
2 636.49
2 032.21
543 297.41 561 270.18 12 036 861.68 12 421 426.24
609 952.04 12 819 594.90
2 463 584,14
2 683 416.32
2 832 066.17
9 573 277.54
9 738 009.92
9 987 528.73
5 692 388.17 2 104 319.80
5 829 793.22 2 136 659.99
5 982 952.10 2 109 543.49
633 475.29 671 862.23 13 374 259.62 14 210 959.35 3 188 519.93
3 455 270 4-i
10 185 739.69 10,755,688.91 6 123 058.09 2 135 501.54
6 472 709.67 2 228 087.70
85
Tabel 9. lanjutan LAPANGAN USAHA (1) 3) Brg Kayu & Ha:sil Hutan Lain 4) Kertas & Brg Otakan/ 5) Pupuk, Kimia 8. Brg dari Karet/ 6) Semen & Brg Lain non Logam/ 7) Logam Dasar Eesi & Baja 8) Alat Angk., Meiin & 9) Barang lainnya 04. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik/E/ecMcrfy b. Air Bersih/ Water Supply 05. BANGUNAN 06. PERDAGANGAN, HOTEL, RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran/ b. Hotel/Hote/ c. Restoran/Res(au/an/ 07. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan l) Angk. Rel 2) Angkutan Jalan Raya 3) Angkutan Laut 4) Angkutan Jalan 5) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1) Pos &Telekomunikasi 2) Jasa Telekomunikasi 08. KEUANGAN, PERSFWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank-Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan 09. JASA -JASA a. Pemerintahan Umum b. Swasta 1) Sosial Kemasyar^lkatan/ 2) Hiburan dan Rekreasi/ 3) Perorangan dan Rumah Tangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1999
2000
2001
2002
(2)
(3)
(f)
(5)
2003 (6)
304 678.31 130 148.56
300 244.69 123 962.51
296 433.57 122 418.31
304 000.74 121 590.06
318 318.84 128 208 87
769 087.79
774 976.16
860 027.77
855 784.53
921 36762
268 904.92
266 703.40
273 566.47
288 078.51
306 319,25
29 694.40
28 584.82
25 278.66
27 175.40
27 640.68
248 392.56 25 663.03
251 689.12 25 396.01
283 893.52 33,414.84
295 493.83 35 056.99
314 849.00 38 187.28
450 221.11 357 644.61 92 576.50
493 724.43 395,269.32 98 455.11
509 108.39 403 308.53 105 799.86
564 173.77 447 198.31 116 975.46
574 766.33 446 866.74 127 899.59
1 626 238.40
1 650 463.27
1 693 045.33
1 767 960.23
1 837 807.02
9 026 900.22
9 638603.63
10 092 087.90
7 770 374.91
8 291 946.43
8 579 263.54
8 859 566.24
9 364 654.90
149 271.90 1 107 253.41
180 198.89 1 160 458.31
192 596.58 1 320 227.78
199 955.34 1 399 898.99
210 455.55 1 513 241.48
1 946 926.99 1 426 016.03
2 053 018.42 1 521 996.06
2 219 896.60 1 631 647.25
2 339 634.18 1 711 664.53
2 487 687.39 1 798 618.17
31 222.92 1 140 511.30
35 567.64 1 214 046.26
30 124.78 1 315 877.16
27 244.40 1 381 844.44
27 145.35 1 456 896.95
164 885.67 1 749.03 87 647.11
180 285.99 1 865.61 90 230.56
188 921.69 1 619.41 95 104.21
202 456.12 1 675.46 98 444.11
210 577.09 1 758.64 102 240.14
520 910.96 460 310.16
531 022.36 460 792.16
588 249.35 515 156.87
627.969.65 546 868.06
689 069.22 601 953.43
10 459 420.57 11 088 351.92
60 600.80
70 230.20
73 092.48
81 101.59
87 115.79
1 559 305.07
1 605 968.13
1 622 747.76
1 674 959.71
1 723 100.52
149 565.51
150 402.97
151 016.27
156 547.05
165 781.02
242 221.98 189.87
254 633.37 202.86
260 422.80 216.04
272 565.89 232.71
283 245.10 248.27
1 098 456.85
1 131 177.47
1 138 759.12
1 171 131.85
1 197 091.58
68 870.86
69 551.46
72 333.53
74 482.21
76 734.55
3 987 776.61 2 873 223.66
4 038 526.07 2 891 612.29
4 107 700.47 4 260 01^4.32 2 920 723.99 3 032 313.45
4 338 031.40 3 093 500.64
1 114 552.95
1 146 913.78
1 186 976.48
1 227 750.87
1 244 530.76
334 121.69 46 358.47 734 072.79
342 229.74 46 176.66 758 507.38
352 254.13 46 395.37 788 326.98
357 432.68 46 473.70 823 844.49
365 084.90 46 674.74 832 771.12
39 394 513.74 40 941 667.09
42 305 176.42
43 775 693.08 45 557 108.45
36 902 489.87 38 232 674.31
39 443 838.49
40 555 691.38 42 072 622.94
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004b) Berdasarkan data pada Tabel 8 diketahui PDRB total Provinsi Jawa Tengah pada harga konstan meningkat sebesar 14 % dari tahun 1999 hingga tahun 2003 atau rara-rata meningkat 3.5% per tahun. Hal ters ebut menunjukkan aktivitas perekonomian cukup baik sehingga mampu mendatangkan penerimaan
86
yang cukup besar. Peningkatan PDRB Provinsi Jawa Tengah tersebut dapat dilihat sebagaimana Gambar 12. 41000000 40000000 39000000 38000000
PDRB Total
37000000 36000000 35000000 1999
2001
2003
Gambar 12. Grafik perkembangan PDRB total Provinsi Jawa Tengah
Sedangkan kontribusi PDRB dari Pertanian
tahun 1999 hingga tahun
2003 cenderung terus naik meskipun pada kisaran angka yang relatif kecil yaityu sebesar 5%. Sementara itu kontribusi PDRB Kehutanan dari tahun 1999 hingga tahun 2003
cenderung mengalami penurunan cukup tajam yaitu pada nilai
sebesar 33%.
Penurunan kontribusi PDRB dari sektor kehutanan tersebut
sebagaimana Gambar 13. 400000 350000 300000 250000 PDRB Kehutanan
200000 150000 100000 50000 0 1999
2001
2003
Gambar 13. Perkembangan PDRB Sektor Kehutanan di Jawa T engah Sedangkan kontribusi setiap sektor (lapangan usaha) terhadap PDBR Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 10. Kontribusi terbesar dari sektor
87
industri pengolahan
yaitu berkisar pada nilai 28.54% - 30.30%. Selanjutnya
pada urutan kedua adalah sektor 21.40% -25.68%.
pertanian mempunyai kontribusi sebesar
Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran
mempunyai kontribusi sebesar 22.99% - 24.15%.
Dengan demikian kontribusi
sektor pertanian berimbang dengan sektor perdagangan. Hal tersebut menunjukan bahwa intensitas pertanian dan perdagangan
sama pentingnya dalam
mempengaruhi kegiatan perekonomian masyarakat Provinsi Jawa Tengah. Tabel 10. Persentase Kontribusi Sektor pada Produk Domestik Bruto Jawa Tengah Tahun 1998 – 2003 (%) LAPANGAN USAHA (1) 01. PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Petemakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 02. PERTAMBANGAN a. Minyak & Gas Bumi b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian 03. INDUSTRI PENGOLAHAN a. Iridustri Migas b. Industri Non Migas 1) Mak., Min. & Tembakau 2) Tekstil, Brg Kulit & Alas kaki/ 3) Brg Kayu & Hasil Hutan Lain/ 4) Kertas & Brg Cetakan/g 5) Pupuk, Kimia & Brr dari Karet 6) Semen & Brg Lain non Logam 7) Logam Dasar Besi & Baja 8)AlatAngk., Mesin & Peralatan 9) Barang lalnnya 04. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Air Bersih 05. BANGUNAN 06. PERDAGANGAN, HOTEL, DAN RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
a. Pengangkutan/ Transport 1) Angk. Rel 2) Angkutan Jslan Raya 3) Angkutan Laut
Tahun 1998 pada Harga Ktan Blku (2)
20.78 14.01 1.07 3.43 0.88 1.39 1.46 0.07 0.01 1.38 30.55 6. 215 24.30 14.45 5.34 0.77 0.33 1.95 0.&8 0.08 0.63 0.07 1.14 0.91 0.23 4.13 22.91 19.72 0.38 2.81 4.94 3.62 0.08 2.90 0.42
Tahun 1999 pada Harga Ktan Blku
(3) (4) 25.09 20.65 19.05 13.22 1.24 2.63 0.75 1.42 1.00 0.08 0.01 0.91 29.10 4.67 24.44 14.03 5.56 0.86 0.31 2.25 0.74 0.07 0.56 0.06 0.65 0.50 0.15 3.92 22.99
1.23 3.94 0.77 1.49 1.44 0.06 0.01 1.37 30.34 6.55 23.79 14.24 5.22 0.73 0.30 1.89 0.65 0.07 0.61 0.06 1.21 0.97 0.24 4.03 23.53
19.29 20.25 0.38 0.44 3.31
4.11 3.27 0.10 2.59 0.37
2.83 5.01 3.72 0.09 2.97 0.44
Tahun 2001 pada Harga Ktan Blku
(5) (6) 25.62 20.33 18.78 12.49 1.46 3.02 0.66 1.69 0.97 0.07 0.01 0.89 28.54 4.66 23.88 13.99 5.37 0.81 0.28 2.09 0.70 0.06 0.53 0.05 0.74 0.60 0.14 4.07 23.33
1.20 4.30 0.78 1.55 1.52 0.07 0.01 1.44 30.30 6.69 23.61 14.14 4.99 0.70 0.29 2.03 0.65 0.06 0.67 0.08 1.20 0.95 0.25 4.OO 23.86
19.75 20.28 0.41 0.46 3.17
4.40 3.56 0.11 2.83 0.42
3.12 5.25 3.S6 0.07 3.11 0.45
Tahun 2002 Pada Harga Ktan Blku
(7) (8) 24.48 19.80 17.12 12.40 1.45 3.38 0.69 1.84 0.99 0.07 0.01 0.91 29.15 5.82 23.33 13.68 4.93 0.76 0.27 2.34 0.69 0.05 0.55 0.06 0.77 0.63 0.14 3.96 23.97
1.14 3.95 0.80 1.50 1.53 0.07 0.01 1.45 30.55 7.28 23.27 13.99 4.88 0.69 0.28 1.95 0.66 0.06 0.68 0.08 1.29 1.02 0.27 4.04 23.89
20.04 20.24 0.43 0.46 3.50
4.59 3.70 0.10 2.96 0.44
3.20 5.34 3.91 0.06 3.16 0.46
Tahun 2003 Pada Harga Ktan Blku
(9) (10) 23.40 18.86 16.51 11.98 1.26 3.34 0.65 1.64 0.94 0.06 0.01 0.88 29.62 7.42 22.20 13.16 4.61 0.72 0.25 2.12 0.69 0.05 0.53 0.06 1.01 0.83 0.17 3.86 23.91
1.09 3.81 0.51 1.47 1.54 0.06 0.00 1.47 31.19 7.58 23.61 14.21 4.89 0.70 0.28 2.02 0.67 0.06 0.69 0.08 1.26 0.98 0.28 4.03 24.34
19.82 20.56 0.42 0.46 3.68
5.07 3.96 0.11 3.18 0.49
3.32 5.46 3.95 0.06 3.20 0.46
(11) 21.40 14.94 1.16 3.33 0.42 1.55 1.00 0.05 0.00 0.95 30.30 8.13 22.17 13.30 4.53 0.68 0.25 2.09 0.69 0.05 0.52 0.06 1.18 0.97 0.20 4.01 24.19 20.07 0.42 3.70
5.69 4.44 0.12 3.59 0.54
88
Tabel 10. lanjutan
LAPANGAN USAHA (1)
4) Angkutan Udara 5) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1) Pos &Telekcmunikasi 2) Jasa Telekomunikasi 08. KEUANGAN, PtERSEWAAN & JS PERUSAHAAN a. Bank-Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusanaan 09. JASA -JASA a. Pemerintahan Umum b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan/ 2) Hiburan dan Rekreasi 3) Perorangan dan Rumahtangga PDRB Total
Tahun 1999 pada Harga Ktan Blku (2) (3)
Tahun 1999 pada Harga Ktan Blku (4) (5)
Tahun 2001 pada Harga Ktan Blku (6) (7)
Tahun 2002 Pada Harga Ktan Blku (8) (9)
Tahun 2003 Pada Harga Ktan Blku (10) (11)
0.00 0.22 1.32 1.17 0.15 3.96
0.01 0.19 0.84 0.70 0.15 3.65
0.00 0.22 1.30 1.13 0.17 3.92
0.01 0.19 0.84 0.67 0.16 3.69
0.00 0.22 1.39 1.22 0.17 3.84
0.01 0.19 0.89 0.73 0.16 3.65
0.00 0.22 i.43 1.25 0.19 3.83
0.01 0.01 1.10 0.92 0.19 3.69
0.00 0.22 1.51 1.32 0.19 3.78
0.01 0.01 1.26 1.05 0.21 3.71
0.38 0.61 0.00 2.79 0.17 10.12 7.29 2.83 0.85 0.12 1.86
0.38 0.53 0.00 2.57 0.17 9.49 7.37 2.12 0.67 0.09 1.36
0.37 0.62 0.00 2.76 0.17 9.86 7.06 2.80 0.84 0.11 1.85
0.34 0.49 0.00 2.71 0.15 8.65 6.59 2.06 0.72 0.08 1.26
0.36 0.62 0.00 2.69 0.17 9.71 6.90 2.81 0.83 0.11 1.86
0.33 0.50 0.00 2.67 0.15 8.44 6.25 2.18 0.74 0.07 1.37
0.36 0.62 0.00 2.68 0.17 9.73 6.93 2.80 0.82 0.11 i.88
0.34 0.51 0.00 2.69 0.15 8.50 6.30 2.20 0.80 0.07 1.33
0.36 0.62 0.00 2.63 0.17 9.52 6.79 2.73 0.80 0.10 1.83
0.34 0.50 0.00 2.73 0.15 8.S2 6.33 2.20 0.81 0.06 1.32
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.00 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ket: Ktan = harga konstan dan Blku = harga berlaku Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa tengah (2004)
30 25 20 harga konstan harga berlaku
15 10 5 0 1999 2000 2001 2002 2003
Gambar 14. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDRB Jawa Tengah 19992003 Perkembangan besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jawa Tengah sebagaimana Gambar 14 tersebut di atas cenderung semakin menurun.
89
Padahal sektor pertanian di Jawa Tengah memegang peranan penting dalam menghasilkan PDRB, maka sektor non pertanian semakin meningkat pesat. Hal tersebut dimungkinkan karena lahan pertanian di Jawa Tengah seperti daerah lain di Pulau Jawa semakin menyempit akibat perluasan perumahan dan industri. Sementara itu indek perkembangan PDRB sektor pertanian dan sektor lain terkait dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Indek Perkembangan PDRB Sektor Pertanian dan Industri Terkait Pertanian Provinsi Jawa Tengah Tahun 1999- 2003 (Tahun 1993 = 100) Uraian (1)
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Petemakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Ind. Mak., Min. & Tembakau Ind.Tekstil, Brg Kulit & Alas kaki Ind. Brg Kayu & Hasil Hutan Lain/ Ind. Kertas & Brg Cetakan Ind.Pupuk, Kimia & Brg dari Karet
Tahun 1999 pada Harga Ktan Blku (2) (3)
Tahun 1999 pada Harga Ktan Blku (4) (5)
Tahun 2001 pada Harga Ktan Blku (6) (7)
Tahun 2002 Pada Harga Ktan Blku (8) (9)
Tahun 2003 Pada Harga Ktan Blku (10) (11)
110.5 58.3 127.2 56.8 129.1 125.4 114.1 88.9 74.5 104.0
108.4 69.9 151.8 51.7 143.6 128.4 115.9 87.62 70.9 104.8
105.8 70.5 171.3 54.1 154.7 131.8 114.4 86.5 70.1 116,3
108.7 69.51 162.9 56.9 155.2 134.8 115.8 88.7 69.6 115.7
109.3 68.9 163.5 38.03 157.8 142.5 120.8 92.9 73.4 124.6
387.4 174.8 251.0 124.2 340.1 313.6 306.2 255.0 177.9 308.7
443.1 238.8 335.1 127.8 470.4 313.6 306.2 255.0 177.9 308.7
466.9 273.6 433.6 152.6 591.2 410.1 364.3 302.2 214.2 430.3
517.3 274.8 491.3 166.7 604.2 453.4 391.3 330.6 227.0 447.7
520.3 280.6 544.1 118.6 636.8 509.4 426.9 347.0 246.9 492.0
Keterangan : Ktan = harga konstan dan Blku = harga berlaku Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004) Berdasarkan data-data pada Tabel 11 di atas dapat diketahui bah wa indeks perkembangan PDRB terbesar pada akhir tahun 2003 adalah sektor peternakan dan hasil-hasilnya bernilai sebesar 544.1 pada harga berlaku atau 163.5 pada harga konstan. Hal tersebut menggambarkan bahwa potensi ternak di Provinsi Jawa Tengah cukup besar terutama ternak sapi, kerbau dan kambing. Sapi dan kerbau cukup banyak disebabkan ternak tersebut dapat berfungsi ganda yaitu sebagai tenaga untuk membantu mengolah lahan dan sebagai kekayaan yang dapat dijual setiap saat.
Sementara indeks perkembangan terkecil adalah sektor
kehutanan hanya sebesar 38.03 pada harga konstan atau 118.6 pada harga berlaku.
90
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
harga konstan harga berlaku
1999
2000
2001
2002
2003
Gambar 15. Indeks perkembangan PDRB Sektor Kehutananan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1999-2003 Sementara itu berdasarkan kelompok migas dan non migas, maka PDRB Provinsi Jawa Tengah selama 5 tahun terakhir memiliki proporsi yang hampir seimbang yaitu migas 45% dan non migas sebesar 55%. Sebagai contoh pada tahun 2003, total penerimaan PDRB Propinsi Jawa Tengah dari sektor minyak dan gas bumi mencapai Rp 41,8 triliun, sedangkan dari sektor non minyak dan gas bumi mencapai Rp 45.3 triliun. 5.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Pada periode tahun 1997 –1998, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa tengah menurun yang cukup sig nifikan yaitu minus 11.74%. Namun pada periode 1999 s/d 2003 perekonomian Provinsi Jawa Tengah menunjukkan adanya perbaikan yaitu tumbuh sekitar 3% – 4%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa tengah selama 10 tahun sebagaimana Tabel 12. Sejak tahun 1999, pertumbuhan sektor ekonomi di Provinsi Jawa Tengah mengalami perbaikan yang cukup signifikan, yaitu berkisar pada angka 3.33% – 4.87%. Meskipun angka pertumbuhan tersebut cukup baik tetapi belum dapat menampung pertumbuhan tenaga kerja di wilayah tersebut yang mencapai angka rata-rata 7.3%.
91
Tabel 12. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah Tahun 1995 – 2004 Tahun
Pertumbuhan (%)
Tahun
Pertumbuhan (%)
1995
7.34
2000
3.93
1996
7.30
2001
3.33
1997
3.03
2002
3.48
1998
-11.74
2003
4.07
1999
3.49
2004
4.87*)
*) angka sementara Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004a) 5.2.3. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang terampil, merupakan potensi sumberdaya manusia yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era globalisasi. Menurut Badan Pusat Statistik, penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas dan dibedakan sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk tiap tahun akan berpengaruh terhadap pertumbuhan angkatan kerja. Berdasarkan hasil Susenas 2004, angkatan kerja di Jawa Tengah tahun 2003 mencapai 16,11 juta orang atau naik sebesar 2.37% dibanding tahun sebelumnya. Dengan angka tersebut tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk Jawa Jengah mencapai 60.83%. Sedangkan angka pengangguran di Jawa Tengah relatif kecil, yaitu sebesar 5.66% (Survey Sosial Ekonomi Nasional, BPS, 2004). Adapun menurut status pekerjaan utamanya, sebagian besar sebagai buruh karyawan, yakni 39.53%. Sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap tercatat sebesar 20.56%, berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain sebesar 19.34%, berusaha sendiri dengan bantuan buruh tetap sebesar 3.17%, dan pekerja tak dibayar sebesar 17.45%. (Survey Sosial Ekonomi Nasional, BPS, 2004a). Sektor primer dimasuki sekitar 44.59% pekerja dan merupakan sektor terbanyak menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak memerlukan pendidikan khusus. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor sekunder dan tersier, masing-masing 21.16% dan 34.25%.
92
Jumlah tenaga kerja Propinsi Jawa Tengah berdasarkan lapangan pekerjaan utama (primer, sekunder, tersier) pada tahun 1999 hingga tahun 2003 dengan penggolongan penduduk yang bekerja adalah berumur 10 tahun ke atas dijelaskan pada Tabel 13 berikut ini: Tabel 13. Jumlah Tenaga Kerja Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 1999 - 2003 (orang) Jenis Primer Sekunder Tersier Total Tahun 1999 6 316 920 2 897 020 5 352 179 14 566 119 2000 6 135 828 2 960 148 5 395 246 14 491 222 2001 6 730 367 3 226 964 5 109 211 15 066 542 2002 6 180 379 3 372 602 5 198 107 14 751 088 2003 6 776 309 3 215 193 5 204 763 15 196 265 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004a) Berdasarkan Tabel 13 di atas jumlah tenaga kerja yang bekerja pada lapangan kerja primer mengalami peningkatan dari tahun 1999 (6 316 920) hingga tahun 2003 (6.776.309) atau dengan persentase peningkatan 7.3%. Sementara jumlah tenaga kerja pada lapangan kerja sekunder mengalami peningkatan dari tahun 1999 (2.897.020) hingga 2003 (3.215.193) atau dengan persentase peningkatan 11%. Sedangkan jumlah tenaga kerja pada lapangan kerja tersier mengalami penurunan dari tahun 1999 (5.352.179) hingga tahun 2003 (5.204.763) atau dengan persentase penurunan sebesar 3%. Total jumlah tenaga kerja menurut lapangan kerja utama (primer, sekunder, tersier) mengalami peningkatan dari tahun 1999 (14.556.119) hingga pada tahun 2003 (15.196.265). Persentase peningkatan jumlah tenaga kerja adalah sebesar 4.4%. Sedangkan jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah jam kerja selama seminggu di Propinsi Jawa Tengah (tahun 2004) yaitu pada kisaran ratarata 37.72 – 39.35 jam per minggu. Peningkatan tenaga kerja tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.
93
15200000 15000000 14800000 14600000
jumlah tenaga kerja
14400000 14200000 14000000 1999 2000 2001 2002 2003
Gambar 16. Grafik Peningkatan Jumlah Tenaga Kerja Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama Total jam kerja dari tahun 1999 hingga tahun 2003 terus mengalami peningkatan dari 38.10 jam (tahun 1999) menjadi 39.35 jam (tahun 2003). Berarti terjadi peningkatan rata-rata jam kerja. Sedangkan jumlah tenaga kerja juga mengalami peningkatan dari tahun 1999 hingga tahun 2003. Peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan jumlah rata-rata jam kerja menunjukkan adanya korelasi yang positif. Namun dengan adanya peningkatan rata-rata jam kerja belum tentu meningkatkan produktivitas tenaga kerja. 5.2.3. Pengangguran Jumlah pengangguran, termasuk pencari kerja di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan lapangan usaha pada akhir tahun 2003
sebagaimana Tabel 14.
Jumlah pengangguran menurut jumlah pencari kerja di Propinsi Jawa Tengah pada akhir tahun 2003 berjumlah sekitar 45826 orang dengan tingkat pengangguarn terbesar terjadi pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan yaitu sebesar 11269. Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya tingkat pengangguran pada tahun 1999 berjumlah 107129, tahun 2000 (72411), tahun 2001 (33190), tahun 2002 (33576). Berarti dapat disimpulkan terjadi penurunan jumlah pengangguran berdasarkan lapangan usaha dari tahun 1999 hingga tahun 2003 sebesar 57%. Jumlah pengangguran menurut jumlah pencari kerja dan berdasarkan tingkat pendidikan tertinngi di Propinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 15.
94
Tabel 14. Jumlah Pengangguran di Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lapangan Usaha pada Akhir Tahun 2003 Lapangan Usaha
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, air Bangunan Perdagangan besar, eceran, rumah makan, hotel Angkutan Keuangan, asuransi, usaha persewaan, jasa perusahaan 9 Jasa permasyarakatan, sosial dan perseorangan 10 Kegiatan yang belum jelas batasnya Jumlah 2003 Jumlah 2002 Jumlah 2001 Jumlah 2000 Jumlah 1999 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004 a)
No
Jml Pengangguran (orang) 1 587 203 8 311 523 8 039 10 351 2 584 2 959 11 269 0 45 826 33 576 33 190 72 411 107 129
Tabel 15. Jumlah Pengangguran di Propinsi Jawa Tengah Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Tahun 1999 – 2003 (orang) Pendidikan 1999 2000 2001 2002 2003
1
Sekolah dasar
50 700
21 962
8 325
8 357
1 911
2
SLTP
36 200
18 796
16 500
15 003
1 820
3
SMU
102 079
52 805
37 413
58 225
9 573
4
Sarjana muda
2 609
3 909
3 830
5 832
2 373
5
Sarjana
27 380
12 130
8 436
13 082
5 861
Jumlah
219 048
109 602
74 504
100 499
21 638
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004 a) Berdasarkan data-data pada Tabel 15 di atas diketahui bahwa pada tahun 1999 jumlah pengangguran sebesar 219048 dengan jumlah pengangguran terbesar terjadi pada tingkat pendidikan SMU (102079) dan jumlah pengangguran terkecil terdapat pada tingkat pendidikan Sarjana muda (2609) Selanjutnya pada tahun 2000 jumlah pengangguran berjumlah 109.602 dengan jumlah pengangguran tertinngi terjadi pada tingkat pendidikan SMU (52805) dan jumlah pengangguran
95
terkecil terdapat pada tingkat pendidikan Sarjana Muda (3909). Pada tahun 2001 jumlah pengangguran berkurang menjadi 74505 dengan jumlah pengangguran tertinggi terjadi pada tingkat pendidikan SMU (37.413) dan terkecil pada tingkat pendidikan Sarjana Muda (3830). Selanjutnya pada tahun 2002 jumlah tingkat pengangguran naik kembali menjadi 100499 dengan tingkat pengangguran tertinggi terdapat pada pendidikan SMU (58255) dan terendah pada pendidikan Sarjana Muda (5832). Sedangkan pada akhir tahun 2003 jumlah tingkat pengangguran berkurang secara signifikan menjadi 21638 dengan tingkat pengangguran tertinggi terdapat pada tingkat pendidikan SMU (9573) dan terendah terdapat pada tingkat pendidikan SLTP (1.820). Secara umum total jumlah pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapai telah mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga tahun 2003 sebesar 90%. Cukup mengejutkan, karena pengurangan jumlah pengangguarn berdasarkan tingkat pendidikan terjadi sangat signifikan, mudah -mudahan tidak ada manipulasi data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Tengah. Dari hasil pengolahan data terhadap jumlah pengangguran baik berdasarkan lapangan usaha dan berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapai telah terjadi penurunan jumlah pengangguran yang sangat signifikan yaitu 57% (berdasarkan lapangan usaha) dan 90% (berdasarkan tingkat pendidikan yang di capai). 5.2.4. Investasi Perkembangan perekonomian daerah, tidak lepas dari peranan investasi yang ditanamkan di Jawa Tengah, dimana realisasi investasi selama periode tahun 1999 hingga 2003 berfluktuatif. Penanaman Modal Daerah Dalam Negeri (PMDN) berdasarkan Surat Persetujuan Tetap (SPT) pada tahun 2003 telah disetujui sebanyak 21 proyek dengan total investasi sebesar 3.61 triliun rupiah dengan perkiraan tenaga kerja ynag akan diserap sebanyak 24 000 orang. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) SPT yang dikeluarkan sebanyak 57 proyek dan diperk irakan mamapu menyerap tenaga kerja sebanyak 44.000 orang dengna nilai investasi sebesar 80.02 Juta Dollar Amerika (Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, 2004).
96
Berikut ini secara rinci dijelaskan bahwa banyaknya proyek dan nilai investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang telah mendapat persetujuan tetap (SPT) sebagaimana Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 16. Penanaman Modal Dalam Negeri Provinsi Jawa Tengah No 1
2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan usaha Pertanian 1. Bahan makanan 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Kehutanan 5. Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan dan Telekomunikasi Keuangan, Sewa, Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah 2003 Jumlah 2002 Jumlah 2001 Jumlah 2000 Jumlah 1999
Jumlah Proyek 2 0 0 2 0 0 0 15 0 2 1 0 0 1 21 14 27 34 26
Nilai Investasi (juta Rp) 26 295.88 0 0 26 295.88 0 0 0 3 557 794.17 0 13 753.54 1 500.00 0 0 8 310.00 3 607 653.59 1 541 259.60 3 211 218.97 2 451 203.42 1 038 689.12
Sumber: Badan Pusat statistik Propinsi Jawa Tengah (2004a) Tabel 17. Penanaman Modal Asing Provinsi Jawa Tengah No 1
2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan usaha Pertanian 1. Bahan makanan 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Kehutanan 5. Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan dan Telekom Keuangan,Sew a,Jasa Persh Jasa-jasa Jumlah 2003 Jumlah 2002 Jumlah 2001 Jumlah 2000 Jumlah 1999
Jumlah Proyek 2 2 0 0 0 0 0 40 0 1 8 0 0 6 57 44 57 56 72
Nilai Investasi (ribu US$) 3 038.73 3 038.73 0 0 0 0 0 35 165.89 0 280.00 40 451.12 0 0 1 082.63 80 018.37 91 765.00 96 681.99 72 072.43 127 915.53
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional, BPS Jawa Tengah (2004b)
97
Dari jumlah proyek dan nilai investasi yang telah mendapat Persetujuan Surat Tetap, jumlah yang direalisasikan dari Proyek dan Investasi Penanaman Modal menurut lapangan Usaha di jawa Tengah tahun 2003 sebagaimana Tabel 18. Tabel. 18. Realisasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No
Lapangan usaha
Penanaman Dlm negeri Proyek
Penanaman Modal Asing Proyek Nilai (ribu US $) 0 0 0 0
0 0
Nilai (juta rupiah) 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
21
46
55 747.94
0 0 0
1 035.00 197.55 0 0 0
0 0 0
0 0 0
0
0
0
0
1
1 555.00
6
4 932.35
25 406.00 1 062 158.55 777 116.97 756 172.00 666 078.00 300 574.44 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004a)
0 52 56 43 17 22
0 60 680.29 73 435.00 66 847.00 163 599.00 159 658.44
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian 1. Bahan makanan 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Kehutanan 5. Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan dan Telekomunikasi Keuangan, Sewa, Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah 2003 Jumlah 2002 Jumlah 2001 Jumlah 2000 Jumlah 1999
3 25 35 21 13 23
5.2.5. Inflasi Informasi inflasi merupakan tolok ukur kestabilan ekonomi daerah. Tingkat inflasi Kota Semarang untuk tahun kalender 2003 (6.07%), lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi nasional (5.06%). Ini menunjukkan bahwa tingkat perubahan harga yang terjadi di Semarang lebih tinggi dibandingkan perubahan
98
harga nasional. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya angka inflasi Kota Semarang lebih rendah, dari 13.56% pada tahun 2002 menjadi 6.07% pada tahun 2003. Besarnya angka inflasi dipengaruhi oleh perubahan harga menurut kelompok barang. Secara umum naiknya indeks harga masing-masing kelompok barang pada tahun 2003 lebih rendah bila dibandingkan tahun sebelumnya. Angka inflasi pada tahun ini terutama karena meningkatnya harga kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 21.63%. Sedangkan kenaikan indeks terendah tercatat pada kelompok bahan makanan sebesar negatif 1.25%. Perkembangan inflasi Kota Semarang tersebut terinci sebagaimana Tabel 19, dan juga dapat dilihat pada Gambar 17 Tabel 19. Laju Inflasi di Kota Semarang 1999-2003 (%) Tahun
Bahan Makan an
1999
-6.57
Makanan jadi,Minum, Rokok,dan tembakau 2.18
rumah
Sandang
Kese hatan
6.05
0.51
1.39
Pendidika, Transport Umum Rekreasi, & Olahraga Komuni kasi 13.94 6.38 1.51
2000
2.53
10.07
11.24
12.13
5.96
13.27
13.71
8.73
2001
18.47
13.72
15.11
6.67
8.23
9.03
11.40
13.98
2002
6.00
10.08
22.75
4.99
2.52
23.32
19.15
13.56
2003
-1.25
5.35
11.07
2.38
1.56
21.63
1.58
6.07
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional, BPS Jawa Tengah (2004b) 5.2.6. Ekspor dan impor Perolehan devisa sektor minyak dan gas (migas) yang cenderung menurun, telah memacu sektor non migas untuk berkembang. Hal tersebut ditunjukkan oleh besarnya niali ekspor Jawa Tengah pada tahun 2003 yang mencapai 2.13 miliar dolar amerika, terdiri dari ekspor migas sebesar 264.08 juta dolar amerika (12.40%) dan ekspor non migas sebesar 1.87 miliar dolar amerika (87.60%). Jika dibandingkan dengan tahun 2002 nilai ekspor Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 9.17%.
99
16 14
13.98 13.56
12 10 8.73
8
Inflasi Kota Semarang 6.07
6 4 2
1.51
0 1999
2000
2001
2002
2003
Gambar 17. Inflasi Kota Semarang Tahun 1999-2003
Sedangkan realisasi nilai impor Jawa Tengah tahun 2003 mencapai 3,40 miliar Dolar Amerika. Nilai Impor tersebut mengalami peningkatan sebesar 20,29 % dari tahun 2002 (Januari-Desember). Dari data yang ada, nampak bahwa nilai impor selama lima tahun (1999-2003) masih cenderung lebih tinggi dibanding nilai ekspor, padahal yang diharapkan akan berlaku sebaliknya, sehingga akan memperbesar penerimaan devisa. Jumlah ekspor dan impor Jawa Tengah Tahun 1999-2003sebagaimana Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20. Nilai Ekspor Jawa Tengah Terhadap Total Ekspor Indonesia 1999-2003 Tahun
Nilai Ekspor (US $) Indonesia Jawa Tengah 1999 48 665 452 518 1 890 685 050 2000 62 124 016 182 2 096 864 199 2001 56 320 904 904 1 972 541 795 2002 57 158 771 616 1 950 705 620 2003 61 058 246 995 2 129 680 357 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004b)
100
Tabel 21. Nilai Impor Jawa Tengah Terhadap Total Impor Indonesia 1999-2003 Tahun
Nilai Ekspor (US $). Indonesia Jawa Tengah 1999 24 003 282 212 2 093 224 573 2000 33 514 805 420 2 921 742 066 2001 30 962 141 083 2 925 102 864 2002 31 288 853 094 2 826 718 710 2003 32 550 684 286 3 400 242 178 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004b) 5.2.7. Pengeluaran Pemerintah Dana pembangunan nasional dari anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBN) yang dialokasikan ke Propinsi Jawa Tengah, untuk pembangunan 20 sektor/kegiatan tahun anggaran 2003 tercatat sebesar 2.27 triliun rupiah., naik 14.69% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Pemuda dan Olahraga mendapatkan anggaran yang paling tinggi yaitu sebesar 657.85 milyar (29.01 persen) dari total alokasi APBN. Sementara itu dengan kondisi yang sama, realisasi pendapatan asli daerah pada tahun anggaran 2003 terhimpun sekitar 1.48 triliun rupiah naik sekitar 19.37% dibandingkan dengan tahun anggaran 2002. Pada tahun 2003, realisasi penerimaan daerah kabupaten/kota dibanding dengan pengeluarannya menunjukkan posisi yang positif. Tabel 22 berikut ini menunjukkan posisi realisasi pengeluaran Pemerintah Jawa Tengah. Tabel 22. Realisasi Anggaran Pemerintah Jawa Tengah Tahun 1999-2003 Tahun
(Rp1000) Total
1999
Belanja Aparatur Daerah 2 370 827 963
Belanja Pelayanan Publik 646 683 760
3 017 511 723
2000
2 437 130 890
670 516 604
3 107 647 494
2001
6 434 223 063
1 685 701 466
8 119 924 529
2002
6 330 894 502
2 078 521 620
8 409 416 122
2003
7 186 966 331
5 442 532 498
12 629 498 829
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004a)
101
5.2.8. Pengeluaran perkapita (Konsumsi) Besarnya pendapatan yang dit erima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dalam kegiatan Susenas data ini didekati melalui data pengeluaran rumah tangga.
14000000000 12000000000 10000000000 8000000000 6000000000 4000000000
Belanja Pelayanan Publik Belanja Aparatur Daerah
2000000000
19 99 20 00 20 01 20 02 20 03
0
Gambar 18. Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Jawa Tengah 1999-2003 Pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan dapat menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah berbeda, namun nilai pengeluaran rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan penduduk antar propinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2002 tercatat sebesar Rp172 620. Rata-rata pengeluaran di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yakni Rp 212 030 berbanding Rp 143 570. Dengan kata lain, rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di pedesaan hanya 67.71% dari pengeluaran di daerah perkotaan .
102
Distribusi pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di negara berkembang dengan tingkat gizi yang masih rendah, pemenuhan kebutuhan makanan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup masih merupakan prioritas utama. Hal yang sama terjadi di Jawa Tengah, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Tahun 2002, sebesar 55.54% pengeluaran perkapita di perkotaan digunakan untuk kebutuhan makanan, sedangkan di pedesaan tercatat sebesar 63.42%. Dibandingkan tahun 1999, terlihat adanya penurunan persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada tahun tersebut, persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan pedesaan masing-masing 59.39% dan 67.21%. Pengeluaran per kapita di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 23. Tabel 23. Jumlah Pengeluaran Perkapita (Konsumsi) Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah Periode 1990-2002 (Rp1000) Klpk Barang Makanan
1990 1993 1996 Kota Desa Kota Desa Kota Desa 17721 13706 25042 17632 38420 29004
Bukan Makanan Jumlah
14418
7611
21559
11870 35022
17402
61935
34632
94264 52516
32139
21317 46601
29502 73442
46406
152517
105615
212034 143572
1999 Kota Desa 90582 70983
2002 Kota Desa 117770 91056
Sumber : Badan Pusat Statistik, Jawa Tengah (2004)
5.3. Profil Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 5.3.1. Luas Hutan Kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 647 596.81 ha (tidak termasuk Karimun Jawa) tersebar pada 32 Kabupaten/Kota atau 20 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH).
Sebaran luas hutan pada setiap kabupaten/kota
sebagaimana Tabel 24. Berdasarkan data-data pada Tabel 24, diketahui jumlah luas hutan terbesar untuk hutan produksi adalah kabupaten Blora (82 099.32 ha) sedangkan luas hutan produksi terkecil adalah Karanganyar (126.00 ha). Jumlah luas hutan Suaka alam terbesar yaitu Cilacap (126.20 ha) dan terkecil Wonogiri (8.3 ha). Jumlah
103
luas hutan Lindung terbesar adalah Banyumas (8.473.05 ha), sedangkan terkecil adalah Klaten (38.30 ha). Tabel 24. Luas Kawasan Hutan per Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No
Kabupaten
KPH
Luas Kawasan Hutan (ha) Produksi
Suaka alam
Lindung
Jumlah
1 Brebes
Balapulang Pekalongan Brt Jumlah
22 591.77 25 820.76 48 412.53
48.50 48.50
1 383.00 1 383.00
22 591.77 27 252.26 49 844.03
2 Tegal
Balapulang Pemalang Pekalongan Brt Jumlah
7 228.06 8 494.30 6 097.92 21 820.28
6.60 2.10 8.70
2 273.20 2 273.20
7 228.06 8 500.09 8 373.32 24 102.18
3 Pemalang
Pemalang Pekalongan Brt Pekalongan Tmr Jumlah Pekalongan Tmr Pekalongan Tmr kendal Jumlah Kendal Kedu Utara Jumlah Banyumas Tmr Banyumas Brt Jumlah Banyumas Tmr Banyumas Brt Kedu Selatan Jumlah Kedu Selatan Banyumas Tmr Jumlah Banyumas Tmr Kedu selatan Kedu Utara Jumlah Kedu Selatan Kedu Selatan Kedu Utara Kedu Utara Kedu utara Semarang Jumlah
15 873.90 3 454.25 11 710.40 31 038.55 28 237.13 9 734.10 5 241.50 14 975.60 13 280.86 1 632.19 14 913.05 3 520.15 47 850.67 51 370.82 7 811.52 7 700.89 2 887.91 18 400.22 6 310.45 11 329.20 17 639.65 13 134.86 9 720.82 3 232.16 12 952.98 17 445.48 8 291.54 7 452.41 4 427.50 407.77 8 286.83 8 694.60
48.60 3.50 52.10 80.10 80.10 33.20 33.20 126.20 126.20 58.50 47.90 106.40 7.10 39.60 46.70 18.30 18.30
1 720.80 1 720.80 3 129.00 3 129.00 3 345.60 3 345.60 8 473.05 8 473.05 724.10 724.10 1 457.20 6 695.30 6 695.30 6 135.00 5 911.73 3 207.90 3 207.90
15 922.50 5 178.55 11 710.40 32 811.45 28 237.13 12 863.10 5 321.60 18 184.70 13 314.06 4 977.79 18 291.85 3 646.35 47 850.67 51 497.02 16 284.57 7 700.79 2 887.91 26 873.27 6 368.95 12 101.20 18 470.15 14 592.06 9 727.92 9 967.06 19 694.98 17 445.48 8 291.54 13 587.41 10 339.23 3 633.97 8 286.83 11 920.80
4 Pekalongan 5 Batang
6 Kendal
7 Cilacap
8 Banyumas
9 Banjarnegara
10 Purbalingga 11 Wonosobo
12 13 14 15 16
Kebumen Purworejo Temanggung Magelang Semarang
104
Tabel 24. lanjutan No
Kabupaten
KPH
Luas Kawasan Hutan (ha) Produksi
17 Boyolali
18 Klaten 19 Sragen
20 21 22 23 24
Karanganyar Sukoharjo Wonogiri Demak Grobogan
25 Kudus
26 Pati
27 Jepara Rembang
29 Blora
30 Bojonegoro 31 Tuban
32 Kota Semarang JUMLAH
Surakarta Semarang Telawa Jumlah Surakarta Surakarta Telawa Jumlah Surakarta Surakarta Surakarta Semarang Semarang Telawa Gundih Purwodadi Randublatung Pati Jumlah Purwodadi Pati Jumlah Pati Purwodadi Jumlah Pat i Mantingan Kebonharjo Jumlah Mantingan Blora Kebonharjo Cepu Randublatung Pati Jumlah Cepu Kebonharjo Cepu Jumlah Kendal Semarang Jumlah
Suaka alam
Lindung
Jumlah
4 339.30 4 339.30 383.30
4 339.30 1 206.90 12 463.30 18 009.50 1 025.20
103.90 103.90 64.30 7 442.70 8.30 3 112.30 - 1 937.30 - 1 937.30 - 2 681.60 - 2 681.60 63.00 6 628.80 62.20 2 497.70 62.20 2 497.70 30.00 25.40 55.40 877.30 73 477.88
4 629.40 643.80 5 273.20 7 633.00 374.50 20 081.74 3 421.80 15 915.70 5 608.60 30 409.50 18 134.22 370.60 169.70 70 248.32 94.00 3 532.20 3 626.20 21 141.85 1 431.31 22 573.16 13 984.11 10 959.68 13 050.20 24 009.88 5 787.52 15 105.00 1 792.90 27 099.00 32 093.50 276.80 82 154.72 5 832.50 2 987.00 116.60 3 103.60 1 765.80 296.10 2 062.10 647 596.81
1 206.90 12 463.30 13 670.20 642.90 4 525.50 643.80 5 169.30 126.00 374.50 16 961.14 3 421.80 15 915.70 5 608.60 30 409.50 18 134.22 370.60 169.70 70 248.32 94.00 1 594.90 1 688.90 18 460.25 1 431.31 19 891.56 7 292.31 10 959.68 10 490.30 21 449.98 5 787.52 15 105.00 1 792.90 27 069.00 32 068.10 276.80 82 099.32 5 832.50 2 987.00 116.60 3 103.60 1 765.80 296.10 2 062.10 573 241.63
-
Sumber : Dinas Kehutanan Prov. Jawa Tengah (2004)
105
Sementara itu total luas hutan seluruhnya di Jawa Tengah yaitu 647 596.81 ha. Dengan jumlah luas hutan Produksi mencapai 88.5% atau seluas 573 241.63 ha. Jumlah luas hutan Suaka alam hanya sekitar 0.13% (877.30 ha). Sedangkan luas hutan lindung sebesar 11.3% (73 477.88 ha). Dari persentase luas hutan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar hutan di Jawa Tengah digunakan untuk hutan produksi. Dengan luasnya hutan produksi di Jawa Tengah ini akan mengancam kelestarian flora dan fauna karena jika dibandingkan dengan luas hutan suaka alam dan luas hutan lindung persentasenya berbanding terbalik atau sangat kecil. 5.3.2. Luas Kawasan Hutan Konservasi Kawasan hutan konservasi di wilayah Provinsi Jawa Tengah terdapat di beberapa beberapa kabupaten. Kawasan hutan konservasi tersebut pada umumnya memiliki luas yang relatif kecil setiap lokasinya. R incian luas dan lokasi kawasan hutan konservasi tersebut sebagaimana Tabel 25. Tabel 25. Luas dan Lokasi Kawasan Hutan Konservasi di Provinsi Jawa Tengah NO 1.
KAWASAN KONSERVASI CA Kembang
KAB. JEPARA
2.
CA Keling I a, b, c
KAB. JEPARA 3.
CA KELING II / III
KAB. JEPARA 4.
CA GUNUNG CELERING
KAB. JEPARA 5.
CA GUNUNG BUTAK KAB. REMBANG
Dasar Penunjukan / SK
FISIK SK
Surat Kepala Brigade II Planologi Kehutanan No. 2736/V/6/Pl..K. tanggal 3 Agustus 1961
Ada (Salinan/ fotokopi)
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 tanggal 21-2-1919 Staatblad Th. 1919 No. 90
Ada (Salinan/ fotokopi)
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 tanggal 21-2-1919 Staatblad Th. 1919 No. 90
Ada (Salinan/
LUAS (Ha)
PANJANG BATAS (Km)
1.8
0.7
Tidak ada
6.8
2.39
Ada
61.0
4.33
PETA • Denah (1981) • Peta tanpa tahun
fotokopi)
SK Menteri Pertanian No. 634/Kpts/Um/12/1975 tanggal 23 Desember 1973
Ada (Salinan/ fotokopi)
Ada
1 328.4
30.09
SK Menteri Pertanian No. 55/Kpts/Um/2/1975 tanggal 17 Februari 1975
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada (Peta Situasi Lampiran SK) 1 : 5.000
45.1
6.50
106
Tabel 25. lanjutan NO 6.
7.
KAWASAN KONSERVASI CA BEKUTUK KAB. BLORA
CA CABAK I / II
KAB. BLORA
8.
CA GEBUGAN
KAB. SEMARANG 9.
CA SEPAKUNG
Dasar Penunjukan / SK
FISIK SK
PETA
LUAS (Ha)
PANJANG BATAS (Km)
SK Menteri Pertanian No. 596/Kpts/Um/9/1979 tanggal 21 September 1979
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada
25.4
2.31
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 tanggal 21-2-1919 Staatblad Th. 1919 No. 90
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada (Peta Ichtisar th 1972) 1: 25..000
30
6.50
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 36 tanggal 4-2-1924 Staatblad Th. 1924 No. 43
Ada (Salinan/
Ada (th 2000) 1: 10.000
1.8
0.61
Ada
10
1.45
Fotokopi)
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 36 tanggal 4-2-1924 Staatblad Th. 1924 No. 43
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Surat Kepala Brigade Planologi Kehutanan No. 1160/V/6/Plk. Tanggal 30 Maret1961
Ada
Ada 1: 10.000
8.3
1.80
KAB. WONOGIRI 11.
CA GETAS
m
pm
pm
pm
pm
12.
CA PANTODOMAS
Surat Kepala Brigade II Planologi Kehutanan No. 1219/V/6/Pl..k. Tanggal 6 April 1961
Ada
Ada 1: 10.000
4.1
2.50
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 25 tanggal 8-12-1922 Staatblad Th. 1922 No. 765
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada (th 2000)
69.7
7.28
SK Hoofd Inspectuur No. 25 (data lain menyebutkan tanggal 11 Januari 1925)
Tidak ada arsip
Ada (th 2000)
48.5
3.57
KAB. SEMARANG 10.
CA DONOLOYO
KAB. WONOSOBO 25.
CA ULOLANANG KECUBUNG
KAB. BATANG 26.
CA TELOGO RANJENG
KAB. BREBES
(th 2000)
27.
CA BANTARBOLANG KAB. PEMALANG
SK Hoofd Inspectuur No. 2980 tanggal 19 Mei 1930
Tidak ada arsip
Ada (lampira n BA TB th 1979)
24.5
2.00
28.
CA PESON SUBAH I KAB. BATANG
Besluit Gubernur Jender al Hindia Belanda No. 83 tanggal 11-7-1919 Staatblad Th. 1919 No. 392
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada (th 2000)
10.40
1.39
107
Tabel 25. lanjutan NO
KAWASAN KONSERVASI
29.
30.
32.
34.
10
3.50
Ada (lampira n SK) 1: 5.000
64.3
9.00
Ada (lampira n SK) 1: 10.000
17.1
2.84
Ada (lampira n SK 580)
6.5
1.40
39.60
1.00
Ada (th 1990) 1: 5.000
126.2
12.00
Ada
103.9
10.30
CA PESON SUBAH II KAB. BATANG
Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 83 tanggal 11-7-1919 Staatblad Th. 1919 No. 392
Ada (Salinan/ Fotokopi)
TWA GROJOGAN SEWU
SK Menteri Pertanian No. 264/Kpts/Um/10/1968 tanggal 12-10-1968
Ada (Salinan/ Fotokopi)
TWA SUMBER SEMEN
SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1975
Ada (Salinan/
KAB. REMBANG
tanggal 17-2-1975
Fotokopi)
TWA TUK SONGO
SK Menteri Pertanian No. 59/Kpts/Um/2/1975 tanggal 18-2-1975
Ada (Salinan/ Fotokopi)
TWA TELOGO WARNO / TELOGO PENGILON KAB. WONOSOBO
TWA GUNUNG SELOK KAB. CILACAP
35.
Ada 1: 5.000
PETA
KOPENG KAB. SEMARANG 33.
PANJANG BATAS (Km)
FISIK SK
KAB. KARANGANYAR 31.
LUAS (Ha)
Dasar Penunjukan / SK
SM GUNUNG TUNGGANGAN KAB. SRAGEN
7-1940 - SK Menteri Pertanian No. 59/Kpts/Um/2/1975 tanggal 18-2-1975
-
SK Menteri Pertanian No. 399/Kpts/Um/10/1975 tanggal 9-10-1975
Surat KKPH Surakarta No. 4603/ UM/V/6/Ska tanggal 2 Agustus 1961
Ada (Salinan/ Fotokopi)
Ada (Salinan/ Fotokopi) Ada (Salinan)
1: 10.000 Ada (th 1990) 1: 5.000
Sumber : Balai KSDA Semarang (2004) Berdasarkan data-data kawasan hutan konservasi pada tabel diketahui bahwa luas Total kawasan hutan konservasi di Jawa Tengah mencapai 983 ha. Kawasan konservasi (cagar alam) terluas terdapat pada kabupaten Jepara (cagar alam Gunung Celering) dengan luas mencapai 1 328.4 ha. Sedangkan luas kawasan konservasi (cagar alam) terkecil terdapat pada kabupaten Cilacap (cagar alam Karang Bolong) dengan luasnya sekitar 0.5 ha.
108
5.3.3. Luas Areal Potensial Hutan Rakyat di Propinsi Jawa Tengah Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di atas lahan milik.
Pada
umumnya hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah berada pada lahan milik masyarakat berada pada perbukitan. Luas dan lokasi hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 26. Luas areal potensial hutan rakyat di Jawa Tengah mencapai 550 773.8 ha, sedangkan menurut sumber prosiding semiloka yang diadakan tanggal 16 Juli 2004 luas areal hutan rakyat sebenarnya yaitu 224 462.66 ha. Berarti terdapat perbedaan sebesar 50% lebih antara yang tidak digunakan dengan yang digunakan sebagai hutan rakyat. Oleh karena itu potensi pengembangan hutan rakyat sangatlah besar. Potensial pengembangan hutan rakyat terbesar terdapat kabupaten Wonogiri sebesar 75677.8 ha dan potensi pengembangan hutan rakyat terkecil terdapat pada Kabupaten Demak yaitu sebesar 255 ha. Tabel 26. Luas dan Lokasi Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Tengah No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Banjarnegara Banyumas Batang Blora Boyolali Brebes Cilacap Demak Grobogan Jepara Karanganyar Kebumen Kendal Klaten Kudus Magelang Pati Pekalongan Pemalang Purbalingga Purworejo Rembang Semarang Sragen
Kelas Potensi/Kerapatan (ha) Kosong Kurang Sedang Rapat S. Rpt 2331.8 6240.8 21591 16294.4 34.1 219.1 2730.7 5788.9 1995.6 6.1 3186.7 2750.9 6453.4 943 107 20.4 2352.3 75.6 1115.9 6729.6 12045.8 2760.2 0.1 1879.4 3879.2 5820.1 2216.3 2.0 2067.5 2165.6 4781 2826.1 1.5 36.7 75.6 234.1 8.6 1863.1 1732.3 825 32.3 465.6 530.1 692.6 107.3 1782.4 4100.7 2133.2 129.7 2482.4 4442.5 20976.8 10752.8 1.9 3938.4 4205 12627.2 2614.7 23.7 77.7 553.4 475.8 179 147 372.3 64.3 1965.5 3805.9 8293.4 8557.4 49.4 1163 330.1 184.6 72.2 2485.5 3173.5 7762.9 1166.7 1628.9 3567.3 7390.3 1669.7 342.5 1345.1 4703.5 2458.9 3.7 2319 4603.5 25683 14917 1.7 10791.6 5701.1 1125.8 44.9 1243.3 4601.6 14584.3 9322.7 1.4 4263.9 4425.4 415.0 2.4
Total 46492.1 12712.3 13334 13148.3 22651.6 13797 11841.7 255 4452.7 1795.6 8146 38656.4 22375.3 1130.5 762.6 22671.6 1749.9 14588.6 14256.2 8853.7 47524.2 17663.4 29753.3 9106.7
109
Tabel 26. lanjutan No
Kabupaten Kosong
25 26 27 28 29
Sukoharjo Tegal Temanggung Wonogiri Wonosobo Jumlah
Kelas Potensi/Kerapatan (ha) Kurang Sedang Rapat S. Rpt
2302.7 1195.4 74.0 1777.8 3391.2 6042.7 5511 6408.9 16226 30553 32258.1 12324.1 5642.1 8128.4 15378.3 105243.8 125095.4 215058.3
1166.6 10511.8 542.6 13596.8 105250.8
0.4 23.2 125.5
Total 3572.1 12378.3 38658.1 75677.8 42768.8 550773.8
Sumber : Dinas Kehutanan Prov. Jawa Tengah (2004b) Selanjutnya potensi hutan rakyat dengan lahan kosong yang perlu dikembangkan paling luas terdapat pada Kabupaten Wonogiri (30533.00 ha) dan paling kecil luasnya terdapat di Kabupaten Klaten (23.7 ha). Sedangkan potensi hutan rakyat yang kurang rapat terluas adalah kabupaten Wonogiri (32258.10 ha) dan tersempit pada Kabupaten Demak (75.6 ha). Untuk hutan rakyat yang rapat terluas di Kabupaten Banjarnegara (2944.40 ha) dan tersempit di Kabupaten Sragen (2.4%). Terakhir hutan rakyat yang sangat rapat terluas terdapat pada Kabupaten Magelang (49.4%) dan tersempit di Kabupaten Boyo lali (0.10 ha). Selain itu kondisi yang mendukung berpeluangnya hutan rakyat untuk dikembangkan adalah masih kurangnya luas hutan Propinsi Jawa Tengah dari kondisi ideal (30% dari total luas daratan), sebagai berikut : -
Luas propinsi Jawa tengah 3 254 412 ha
-
Luas lahan ideal yang berfungsi sebagai hutan 976 323.69 (30%)
-
Luas hutan negara dan hutan rakyat 873 282.69 ha
-
Berarti masih kekurangan lahan yang berfungsi sebagai hutan 103 196.91 ha Di Jawa Tengah sendiri luas hutan rakyat terus bertambah sekitar 10% setiap
tahunnya (Proseeding Semiloka: 2004). Pertambahan ini merupakan wujud keseriusan pemerintah daerah dalam mengembangkan hutan rakyat. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah daerah sekaligus meningkatkan prestise dan peluang pengembangan hutan rakyat adalah terjadinya defisit kebutuhan bahan baku kayu sebagai akibat dari pesatnya perkembangan jumlah industri pengolah kayu yang mendorongnya kebutuhan terhadap bahan baku kayu, sementara hutan alam yang dulunya sebagai pemasok utama, sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut.
110
5.3.4. Pembinaan Sumber Daya Hutan Sumber daya hutan perlu dilestarikan, terutama untuk keperluan generasi mendatang. Hutan menyimpan banyak keanekaragaman hayati maupun nonhayati. Pembinaan sumberdaya hutan baik produksi maupun non-produksi harus dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah Jawa Tengah berusaha melakukan pembinaan sumberdaya hutan agar terjaga kelestariannya dan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Luas tanaman hutan per sistem Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun 1999-2003 sebagaimana Tabel 27. Tabel 27. Luas Tanaman Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Tahun
Sistem tanam tumpang sari (ha) Jati
Rimba
Jumlah
Sistem tanam banjar harian (ha) Jati
1999 11 455 7 595 19 050 1 279 2000 13 370 6 739 20 109 2 818 2001 13 820 6 304 20 124 3 031 2002 14 243 7 362 21 605 956 2003 15 338 5 466 20 804 2 498 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2004)
Rimba
Jumlah
1 186 1 369 1 809 1 179 960
2 465 4 187 4 840 2 135 3 458
Berdasarkan data pada Tabel 26, luas tanaman jati dengan sistem tumpang sari mengalami peningkatan dari 11 455 ha tahun 1999 menjadi 15 338 ha pada tahun 2003 (dengan persentase peningkatan 34%). Sedangkan dengan sistem Banjarharian luas tanaman jati mengalami peningkatan dari 1 279 ha menjadi 2 498 ha pada tahun 2003 (dengan persentase peningkatan sebesar 95%) Luas hutan rimba dengan menggunakan sistem tanam tumpang sari mengalami penurunan dari 7 595 ha pada tahun 1999 menjadi 5 466 ha tahun 2003 (sekitar 39%). Sedangkan dengan sistem Banjarharian juga mengalami penurunan cukup signifikan dari 1 186 ha tahun 1999 menjadi 960 ha pada tahun 2003 (sekitar 20%). Secara spesifik berikut ini disajikan luas tanaman jati (Tumpangsari dan Banjarharian di setiap kabupaten sebagaimana Tabel 28. Secara umum jumlah luas tanaman jati di jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 40% dari tahun 199 hingga tahun 2003. Pada tahun 1999 luas tanaman jati tertinggi adalah KPH Pemalang (5 468 ha) dan terendah adalah KPH Gundih (67 ha). Selanjutnya pada tahun 2000 luas
111
tanaman jati tertinggi adalah KPH Randublatung (2113 ha) dan terendah adalah KPH Surakarta (79 ha). Pada tahun 2001 luas tanaman jati tertinggi diraih oleh KPH Pati (2836 ha), sedangkan terendah adalah KPH Surakarta (235 ha). Pada tahun 2002 luas tanaman jati paling luas adalah KPH Purwodadi (2436 ha) dan terkecil KPH Banyumas Timur (158 ha). Terakhir pada tahun 2003 yang memiliki luas tanaman jati paling tinggi yaitu KPH Randublatung (2261 ha), dan paling rendah adalah KPH Pekalongan Timur (210 ha). Sedangkan jumlah luas tanaman rimba tiap KPH secara rinci dijelaskan pada Tabel 29. Tabel 28. Luas Tanaman Jati di Setiap Kabupaten Tahun 1999-2003 Luas tanaman jati (ha) No KPH
2001
2002
2003
Balapulang 399 1608 1365 Blora 661 462 760 Banyumas Barat 1243 504 1160 Banyumas Timur 380 96 449 Cepu 955 1700 1273 Gundih 67 208 389 Kebonharjo 325 1139 693 Kedu Selatan 162 417 399 Kendal 433 694 794 Kedu Utara Mantingan 975 978 930 Pati 2926 1877 2836 Pekalongan Barat PekalonganTimur Pemalang 5468 1224 1024 Purwodadi 948 903 804 Randublatung 1350 2113 965 Semarang 739 1431 1612 Surakarta 92 79 235 Telawa 533 755 1163 Jumlah 12734 16188 16851 Sumber : Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2004)
831 795 1237 158 1149 525 495 313 1005 685 1822 665 2436 746 932 409 996 15199
768 733 1792 320 1306 977 271 426 946 918 1855 210 873 1080 2261 1285 671 1144 17836
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1999
2000
Luas tanaman rimba seperti yang terlihat pada tabel di atas jumlah luasnya semakin kecil dari tahun 1999 hingga tahun 2003 (dengan persentase penurunan sebesar 27%). Luas tanaman rimba tahun 1999 terluas adalah KPH Banyumas Barat (1646 ha) dan terkecil Randublatung (18 ha). Pada tahun 2000 tanaman Rimba terluas yaitu KPH Banyumas Timur (1581 ha) dan terkecil yaitu KPH
112
Balapulang (1 ha). Selanjutnya pada tahun 2001 tanaman rimba terluas terdapat pada KPH Kedu Selatan (2229 ha), dan terkecil terdapat pada KPH Semarang (21 ha). Sedangkan pada tahun 2002 luas tanaman rimba terluas adalah KPH Kedu Selatan (1843 ha) dan terkecil adalah KPH Blora (1 ha). Terakhir pada tahun 2003, tanaman rimba terluas terdapat pada KPH Kedu Selatan (2104 ha), dan terkecil terdapat pada KPH Balapulang (10 ha). Tabel 29. Luas Tanaman Rimba per KPH di Provinsi Jawa Tengah Luas tanaman rimba (ha) No
KPH
1999
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Balapulang 178 Blora 203 Banyumas Barat 1646 Banyumas Timur 621 Cepu 79 Gundih 674 Kebonharjo 224 Kedu Selatan 1122 Kendal 59 Kedu Utara 584 Mantingan Pati 242 Pekalongan Barat 442 Pekalongan Timur 687 Pemalang 175 Purwodadi 206 Randublatung 18 Semarang 70 Surakarta 1451 Telawa 100 Jumlah 8781 Sumber : Perum Perhutani Unit I (2004)
2000
2001
2002
2003
1 67 1014 1561 46 319 90 1186 816 204 466 863 84 131 38 1215 7 8108
51 43 1471 1095 130 117 32 2229 24 733 110 221 422 813 80 28 38 21 455 8113
607 1 520 454 33 50 14 1843 421 104 1010 980 861 910 55 12 10 345 311 8541
10 13 456 462 22 12 2014 42 337 41 653 498 564 559 34 59 488 162 6426
5.3.5. Produksi Hasil Hutan Produksi hasil hutan dari Provinsi Jawa Tengah cukup beragam mulai dari kayu bulat, kayu olahan, dan hasil hutan non kayu yang berupa getah pin us, kopal, madu, daun kayu putih dan sebagainya. Selama periode 1999 – 2003, produksi hasil hutan dari Provinsi Jawa Tengah senagaimana Tabel 30.
113
5.3.6. Pemasaran Hasil hutan Penjualan hasil produksi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah terdiri dari penjualan dalam negeri dan penjualan ekspor.
Penjualan dalam negeri hasil
hutan kayu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun 1999-2003 sebagaimana Tabel 31. Tabel 30. Produksi Hasil Hutan Provinsi Jawa Tengah Tahun 1999-2003 No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hasil Hutan Kayu Bulat - Jati - Rimba Kayu rakyat *) Kayu bakar Kayu Olahan Getah pinus Kopal Madu Daun kayu putih Kokon ulat sutera Arang Bambu Kapuk Terpentin Gondorukem
Satuan M3 M3 M3 SM M3 ton ton ton ton ton 1000 btg ton 1000 Ltr Ton
1999
2000
321477 287137 1432345 35010 531299 47826 1210 18.2 8094 2.5 30769 78629 361 911 31996
279648 221423 1347902 28227 672901 40672 1059 13.6 8296 1.3 31063 105188 271 7802 27481
Tahun 2001 278032 189528 1538112 21579 741988 35367 1065 11.1 7746 4.0 31361 140716 189 6793 24534
2002
2003
266575 319556 1529672 28213 673982 47178 1024 15.3 4364 1.4 41002 157446 195 7943 32644
238427 203437 1552087 27473 702611 45507 1016 15.7 9640 1.2 45465 161562 203 7633 31321
Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah (2004a) *) data sementara
Pada Tabel 31 di atas dapat diketahui volume penjualan kayu bundar sebesar
419 693 m3(tahun 2003). Sedangkan volume penjualan kayu bakar
adalah 14 459 m3 (tahun 2003). Volume penjualan kayu selain kayu bundar dan kayu bakar berjumlah 9488 m2 (akhir tahun 2003).
Jumlah volume penjualan
kayu bundar mengalami penurunan dari tahun 1999 hingga tahun 2003 (sebesar 19%). Jumlah volume penjualan kayu bakar juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 1999-2003 (61%). Sedangkan volume penjualan kayu selain kayu bundar dan kayu bakar mengalami penurunan drastis pada tahun 2003 dibandingkan tahun 1999 (92%).
114
Tabel 31. Penjualan Dalam Negeri Hasil Hutan Kayu Perum Perhu tani Unit I Jawa Tengah tahun 1999-2003 No
Jenis
Satuan
Tahun 1999
2000
2001
2002
2003
1
Kayu Bundar Jati
M3
228 373
232 491
240 075
235 679
210 575
2
Kayu Bundar rimba
M3
292 316
213 920
195 245
314 986
209 118
Jumlah
M3
520 689
446 411
435 320
550 665
419 693
3
Kayu Bakar Jati
SM
11 857
11 858
9 273
7 878
4 684
4
Kayu Bakar Rimba
SM
24 916
16 791
13 316
21 388
9 775
Jumlah
SM
36 773
28 649
22 589
29 266
14 459
5
Parquet Mozaik
M2
339
24 284
32 925
952
437
6
Parquet Block
M2
46 180
33 944
20 794
2 364
3 336
7
Lamparquet
M2
139
7 358
64 127
2 048
2 723
8
Vinir
M2
77 530
34 173
204 180
49 513
-
9
Wall Panel/teakdeck
M2
1 218
4 909
4 875
3 003
2 199
10
Plinth/skirting
M2
351
8 495
7 080
-
412
11
List ceiling
M2
-
-
-
-
-
12
Pintu Jati
Buah
232
127
144
587
381
Sumber : Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ( 2004 ) Nilai penjualan dalam negeri hasil hutan kayu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah selama periode 1999 – 2003 dapat dilihat pada Tabel 32. Berdasarkan Tabel 32 di atas menjelaskan jumlah pendapatan dari hasil penjualan kayu bundar mencapai Rp 388 miliar pada akhir tahun 2003, padahal jika dibandingkan tahun 1999 (Rp 350 miliar) maka terjadi penurunan penjualan kayu bundar sebesar 11%. Selanjutnya pendapatan penjualan kayu bakar pada akhir tahun 2003 menunjukkan jumlah sebesar Rp 549.1 juta, dan dibandingkan pendapatan penjualan kayu bakar pada tahun 1999 (Rp 853.2 juta) telah terjadi penurunan yang cukup tajam (36%). Untuk pendapatan penjualan kayu parquet mozaik dari tahun 1999 hingga tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 22%. Pendapatan penjualan kayu lainnya yang menurun persentasenya adalah parquet block dan vinir masing masing sebesar 95% dan 100%. Sedangkan pendapatan penjualan kayu yang mengalami peningkatan terjadi pada lamparquet (2000%), finish flooring (90%), plinth (131%), pintu jati (52%).
115
5.3.7. Kayu Masuk ke Jawa Tengah Hasil hutan kayu bulat yang masuk melalui Pelabuhan di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 33. Berdasarkan data pada Tabel 32 tersebut ternyata jumlah kayu masuk terutama yang berupa kayu bulat ke Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 1999 – 2003 cenderung meningkat. Pada tahun 1999, jumlah kayu masuk hanya sekitar 287224,20 m3 meningkat sekitar 400% menjadi 839304.13 m3 pada tahun 2003.
Peningkatan tersebut menggambarkan bahwa industri
primer hasil hutan kayu di provinsi tersebut cukup prospektif. Hal ini disebabkan pasar produksinya sudah cukup mantap di wilayah tersebut. Tabel 32. Pendapatan Penjualan Dalam Negeri Hasil Hutan Kayu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun 1999 -2003 No
Jenis
Satuan Rupiah
Tahun 1999
2000
2001
2002
2003
1
Kayu bulat Jati
X 1000
303903834
314558086
349174347
354700450
335879618
2
Kayu bulat rimba
X 1000
47069625
43655424
40394784
70818174
52364948
Jumlah
X 1000
350973459
358213510
389569131
42518624
388244566
3
Kayu Bakar Jati
X 1000
535 044
598 176
521 082
547 316
371 354
4
Kayu Bkr Rimba
X 1000
318 195
221 739
175 348
334 179
177 698
Jumlah
X 1000
853 239
819 915
696 430
881 495
549 052
5
Parquet Mozaik
X 1000
9 492
273 685
129 092
11 517
7 416
6
Parquet Block
X 1000
1891806
775 912
1 253 825
1 691 867
103 181
7
Lamparquet
X 1000
12 126
578 748
5 719 615
237 092
273 651
8
Vinir
X 1000
192 857
94 918
939 231
227 759
-
9
Finish flooring
X 1000
84 391
321 057
482 687
360 953
159 945
10
Plinth/skirting
X 1000
1 314
46 359
36 395
-
3 041
11
Pintu jati
X 1000
266 636
150 348
96 948
447 517
405 260
12
Lain-lain
X 1000
378 639
613 351
460 000
16980831
7 660 292
Sumber : Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2004)
116
Tabel 33. Kayu Bulat Masuk Melalui Pelabuhan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2998 –2003 Jumlah melalui pelabuhan No
Tahun
Sat
1
1998
M3
7 152.40
279 317.50
754.30
-
Pm
287 224.20
2
1999
M3
1 630.20
277 449.10
10 992.20
46.711.00
Pm
470 017.50
3
2000
M3
321.30
120 319.80
34 523.10
-
516 11.92
672 076.12
4
2001
M3
210.10
146 731.14
2 692.45
-
529 63.13
679 296.81
5
2002
M3
7 549.20
337 547.80
3 635.31
-
603498.90
952 231.29
6
2003
M3
3 414.67
400 959.10
3 558.52
-
431371.83
839 304.13
Juwana
Semarang
Tegal
Cilacap
Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah ( 2004)
PT.KLI
Jumlah
VI. MANFAAT HUTAN DALAM PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TENGAH 6.1. Perhitungan Ekonomi Manfaat Hutan Manfaat hutan dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah telah dirasakan oleh masyarakat di provinsi tersebut sejak penjajahan Belanda (Yogasara, 2000). Hal terseb ut ditunjukkan adanya hasil-hasil hutan telah diperdagangkan dari Provinsi Jawa Tengah baik perdagangan ekspor maupun perdagangan domestik. Perdagangan hasil hutan tersebut terutama berupa kayu bulat dan kayu setengah jadi maupun produk jadi yang berupa meubel, komponen rumah, dan kayu ukirukiran merupakan komoditi andalan yang berperan besar dalam menggerakkan perekonomian Provinsi Jawa Tengah. Perkembangan lebih lanjut, manfaat hutan di Provinsi Jawa Tengah baik yang berupa kegiatan maupun komoditi yang ditangani oleh Instansi Kehutanan (Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Semarang, Balai Taman Nasional Karimun Jawa, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jratunseluna, dan Perum Perhutani Unit I) maupun yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik Jawa Tengah terdapat 18 manfaat ekonomi hutan yaitu, yang berupa komoditi antara lain (1) kayu, (2) non-kayu ( getah, damar, madu, bambu dan lain-lain), (3) jasa wisata hutan, (4) air, (5) uadara bersih, (6) hasil hutan yang langsung dikonsumsi masyarakat (kayu bakar/rencek, daun, makanan ternak), dan yang berupa kegiatan antara lain (7) deforestasi, (8) pengurangan kapasitas hutan (nilai erosi), (9) illegal logging, (10) rehabilitasi hutan dan lahan, (11) illegal trading, (12) industri penggergajian dan awetan, (13) industri kayu lapis, (14) industri meubel dan bahan bangunan, (15) industri pengolahan dengan bahan baku kayu, serta yang berupa campuran komoditi dan kegiatan antara lain (16) kehilangan nilai tambah, (17) keberadaan, pilihan, dan pelestarian, dan (18) efisiensi kelembagaan.
Penghitungan ke-18 manfaat hutan tersebut sebagian
besar ( 9 manfaat) telah dilakukan oleh instansi-instansi tersebut di atas khususnya untuk komoditi dan kegiatan yang jelas pasarnya (transaksinya). Misalnya BPS dan Perum Perhutani telah menghitung 7 (tujuh) manfaat yaitu nomor (1)s/d (3) dan nomor (12) s/d (15), selanjutnya Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani telah menghitung nilai kegiatan deforestasi (7) dan illegal logging (9). Sedangkan 9
118 (sembilan) manfaat lain belum dihitung oleh intansi-instansi tersebut karena tidak jelas transaksinya. Tetapi beberapa peneliti telah melakukan perhitungan baik di Provinsi Jawa Tengah maupun di wilayah lain.
Oleh karena itu dengan
melakukan aplikasi dari hasil-hasil perhitungan tersebut dapat diketahui nilai dari seluruh manfaat hutan tersebut. Aplikasi hasil valuasi 18 variabel dari manfaat hutan di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Hasil Perhitungan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Dengan menggunakan dasar Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah tahun 2000 (standar) yang kemudian dilakukan penyesuaian (RAS) ke tahun 2003 maka didapatkan hasil perhitungan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 (standar). Klasifikasi baku sektor pada perhitungan PDRB tersebut sebanyak 22 sektor yang disusun berdasarkan Satuan Kelompok Komoditas dan Satuan Aktivitas dengan mengacu kepada International Standar of Industrial Clasification for Economic Activities (ISIC) tahun 1993. Kehutanan sebagai satuan aktivitas produksi disusun dalam 2 (dua) satuan kelompok komoditas yaitu kayu dan non kayu (terbatas pada getah, rotan bambu, madu dan sebagainya). Berdasarkan perhitungan klasifikasi baku dapat diketahu i bahwa nilai manfaat hutan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 2.367 triliun atau sekitar 0.68% dari total output Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 345.984 triliun. Setelah dilakukan pencermatan lebih lanjut terhadap (PDRB) Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 (standar) tersebut, terdapat klasifikasi sektor manfaat hutan yang masuk sektor non kehutanan yaitu jasa wisata hutan terhitung ke dalam sektor jasa-jasa lainnya, serta industri-industri primer kehutanan (industri penggergajian, industri kayu lapis, industri bangunan dari kayu, dan industri pengolahan dengan bahan baku kayu) terklasifikasi sebagai sektor non kehutanan yaitu sebagi satuan aktivitas industri. Dengan demikian setelah dilakukan pencermatan maka total manfaat hutan yang lebih tepat dalam perhitungan Badan Pusat Statistik ( BPS) Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 sebesar Rp 7.687 triliun atau sekitar 2.22% dari total output provinsi tersebut.
119 Rincian manfaat hutan dalam perhitungan (PDRB) Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 (standar) sebagaimana Tabel 34. Tabel 34. Manfaat Hutan pada Perhitungan Input-Output Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (standar) No
Sektor/Variabel
1
Hasil kayu
2
Hasil non kayu
3
Jasa wisata hutan
4
Industri Kayu Gergajian dan Awetan Industri Kayu Lapis dan sejenisnya Industri bahan bangunan dari kayu Industri barang-barang lainnya dari kayu Jumlah
5 6 7
Nilai manfaat hutan (Juta Rp) 725 764.20
-
1 642 982.13
-
83 114.47 2 270 474.86 1 175 578.08 1 733 260.17 55 594.94
Keterangan
masuk sektor kehutanan masuk sektor kehutanan masuk sektor kehutanan masuk sektor kehutanan masuk sektor kehutanan
non non non non non
7 686 768.85
Jasa wisata hutan memerlukan sistem pengelolaan sendiri dimana input lahan, tenaga, dan modal bersifat khusus yaitu dari instansi kehutanan yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA), Taman Nasional, dan Perum Perhutanani yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga output jawa wisata hutan tersebut akan tepat sebagai penghasilan sektor kehutanan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka klasifikasi baku sektor perlu dicermati secara lebih mendalam. 2. Hasil Proksi Data Sekunder Proksi data sekunder manfaat hutan meliputi sektor/variabel rehabilitasi hutan dan lahan, kehilangan nilai tambah, illegal trading , kelembagaan kehutanan,
deforestasi dan illegal logging.
efektifitas
Data sekunder
manfaat hutan dalam kelompok ini dikumpulkan dari intansi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 35.
Hasil proksi data sekunder tersebut sebagaimana
120 2.1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nilai rehabilitasi lahan ditentukan berdasarkan jumlah anggaran yang di pergunakan untuk kegiaran rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, Dinas Kehutanan Provinsi, BPDAS Jratunseluna Semarang, BKSDA Jawa Tengah, dan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan di Provinsi Jawa Tengah dilaksanakan sejak tahun 2003 dengan jumlah anggaran Rp 64.15 miliar. Dana yang dipergunakan untuk penyediaan anggaran tersebut bersumber dari Dana Reboisasi (DR) yang diku mpulkan oleh Pemerintah (Departemen Kehutanan) baik yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah maupun wilayah lain terutama luar Pulau Jawa.
Rincian lengkap nilai kegiatan rehablitasi lahan per
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Lampiran 7. Tabel 35. Tambahan Manfaat Hutan Hasil Proksi Data Sekunder Instansi Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No
Sektor/Variabel
1
Rehabilitasi hutan
Nilai manfaat hutan (Juta Rp) 64 146.91
2
Ilegal trading
106 810.19
3
Ilegal logging
61 649.61
4
Kehilangan nilai tambah
5
Deforestasi
6
Efisiensi kelembagaan
217.74 10 484.41 218 035.20
Keterangan
data proyek proksi neraca kayu data resmi proksi neraca kayu data resmi proksi
efisiensi
usaha Jumlah
461 344.06
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan merupakan aktivitas perekonomian yang menggunaan imput dana dari luar Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu kegiatan tersebut akan sangat menunjang peningkatan pendapatan wilayah sebab ada dana masuk ke dalam wilayah tanpa mengeluarkan dana kompensasinya. Disamping itu, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan berupa penyiapan lahan, pengadaan bibit, dan penanaman yang seluruhnya melibatkan masyarakat di sekitar lokasi di pedesaan sehingga sasaran akhir penerima dana tersebut tentunya masyarakat
pedesaan. Dengan demikian
121 kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan mempunyai dampak ganda yaitu peningkatan aset pemerintah yang berupa hutan tanaman dan juga penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat pedesaan. Kedua dampak tersebut dapat secara langsung akan menentukan besarnya perhitungan PDRB wilayah. 2.2 Illegal Logging dan Illegal trading Kegiatan illegal logging dan illegal trading termasuk aktivitas ekonomi pemanfaatan sumberdaya hutan yang transaksinya tidak melalui pasar legal. Oleh karena itu dengan menggunakan pendekatan nilai kerugian yang diakibatkan oleh kedua kegiatan illegal tersebut maka dapat diketahui besarnya aktivitas perekonomian yang ditimbulkannya. Nilai kerugian akibat illegal logging tersedia dari data Laporan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, dimana pada tahun 2003 sebesar Rp 61.65 miliar.
Rincian lengkap
nilai kerugian akibat illegal logging di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Lampiran 6. Besarnya nilai kerugian illegal logging dan illegal trading akan bersifat additive terhadap PDRB aktual, sebab selama ini kedua kegiatan tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan. Oleh karena itu dengan memasukkan kedua kegiatan illegal ke dalam perhitungan PDRB maka dapat diartikan sebagai mendapatkan kembali (rebound) pendapatan yang hilang.
Padahal
kenyataanya, pendapatan illegal tersebut tidak hilang melainkan hanya tidak tercatat. Hal tersebut terjadi karena pihak pelaku aktivitas illegal tetap merasa untung meskipun aktivitas tersebut dilarang. Hasil penghitungan menunjukan bahwa ilegal logging terbesar terjadi tahun 2001.
Hal tersebut dapat dipahami bahwa sejak era reformasi
berlangsung sejak 1998 ada kesempatan yang relatif bebas untuk menjarah kekayaan negara termasuk hutan.
Oleh karena itu baik kuantitas maupun
kualitas pencurian kayu meningkat hingga tahun 2001 dimana pada saat itu seolah-olah aparat tidak mampu mengatasi. Tetapi sejak tahun 2002 sampai saat ini besarnya ilegal logging di Provinsi Jawa Tengah cenderung menurun. bahwa tahun 2004 jumlahnya hampir sama dengan tahun 1999.
Illegal
122 logging terjadi di Wilayah Provinsi Jawa Tengah khususnya kabupaten yang memiliki kawasan hutan. Sedangkan nilai kerugian kegiatan illegal trading diproksi dari selisih kayu bulat yang tercatat dengan kayu yang diolah. Kayu bulat yang tercatat adalah kayu yang diproduksi
di wilayah Provinsi Jawa Tengah ditambah
dengan kayu bulat yang masuk di wilayah tersebut. Oleh karena itu besarnya illegal trading tersebut dapat berupa salah catat produksi dan salah catat peredaran. Sementara itu kayu yang diolah di wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah total pengolahan industri kayu primer. Sehingga selisih antara kayu yang tercatat dengan kayu yang diolah merupakan kayu pasar gelap. Rincian lengkap proksi kegiatan illegal trading tersebut sebagaimana Lampiran 11. Gambaran jumlah kayu salah catat produksi dan salah edar di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 36. Tabel 36. Jumlah Kayu Salah Catat di Jawa Tengah 2003 No
Uraian
Kayu Jati (m3)
A. Salah Catat Produksi 1 Stock akhir 2002 2 Stock awal 2003 Jumlah B. Salah Catat Peredaran 1 Jumlah penjualan lokal 2 Jumlah pengolahan lokal Jumlah
Kayu Rimba (m3)
53 935 68 272 14 337
7 188 6 387 801
39 345 45 003 5 658
839 304 851 406 12 102
Faktor lain yang menjadi sumber kebocoran pendapatan adalah illegal trading .
Hal tersebut dimungkinkan karena di Pulau Jawa khususnya
Provinsi Jawa Tengah terdapat 2 (dua) sumber kayu yaitu: (1) kayu produksi Jawa Tengah terutama Perum Perhutani Unit I. luar Jawa.
dan
( 2) kayu masuk dari
Kedua sumber kayu tersebut mungkin sekali salah catat.
Kesalahan catat juga dapat dibuktikan dengan hasil penelitian Universitas Gajah Mada (2004) yaitu dari total kayu bulat yang diolah di Propinsi tersebut pada tahun 2000 - 2003 rata-rata sebesar 2 500 000 m3 tetapi yang diproduksi oleh Provinsi Jawa Tengah hanya 639 891 m3 ( jati 355 917 m3 dan rimba 283 974 m3).
Selanjutnya berdasarkan catatan resmi peredaran kayu bulat
123 dari luar Jawa yang diterima oleh Jawa Tengah pada periode yang sama hanya 769 107 m3.
Dengan demikian terdapat pengolahan kayu bulat
sebanyak 1 091 002 m3 tidak jelas dari mana asalnya. Sementara itu produksi kayu rakyat Provinsi Jawa Tengah yang dicatat oleh Astratatmadja (2002) hanya 65 000 m3. Hal-hal tersebut di atas juga menunjukkan adanya selisih
produksi
kayu bulat dengan pengolahan bahan baku industri yang cukup besar di Provinsi Jawa Tengah. Selisih produksi kayu bulat dan pengolahan industri tersebut mengkibatkan terjadinya kelebihan permintaan (over demand ). Oleh karena itu dengan adanya kelebihan permintaan kayu bulat di Provinsi Jawa Tengah maka dapat dipertanyakan bagaimana untuk menutupinya. Salah satu jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya adalah adanya pasokan kayu tidak resmi (ilegal). baik ilegal logging maupun ilegal trading. Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dengan pasokan kayu ilegal antara lain pencuri kayu, penebang liar, mapun petugas pemerintah yang terkait.
Oleh karena itu
selama permintaan kayu masih lebih besar dibanding produksi yang tersedia maka ilegal logging dan ilegal trading masih akan terus berlangsung. 2.3 Kehilangan Nilai Tambah Kehilangan nilai tambah merupakan ekspektasi nilai tambah yang dapat dihasilkan apabila produk dari hasil hutan langsung diolah di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Ekspektasi ini menggambarkan nilai kegiatan yang akan muncul dari kegiatan lanjutan pengolahan kayu, baik kegiatan industri pengolahan kayunya maupun jasa-jasa penunjang pengolahan tersebut. Nilai ini diperoleh dari turunan jumlah kayu yang langsung diperdagangkan ke luar wilayah. Kehilangan nilai tambah merupakan aktivitas ekonomi yang terjadi dari peredaran kayu bulat yang berasal dari produksi Provinsi Jawa Tengah yang diolah di luar wilayah provinsi tersebut. Oleh karena itu dalam perhitungan PDRB sektoral maupun regional kehilangan nilai tambah yang bersifat additive dari kondisi aktual.
124 Bersarnya kehilangan nilai tambah dihitung berdasarkan jumlah kayu hasil hutan Jawa Tengah yang yang tidak diolah di provinsi sendiri dikalikan faktor nilai tambah hasil penelitian Darusman (1989). Jumlah kayu yang tidak diolah di Jawa Tengah tahun 2003 terdiri dari kayu jati sebanyak 1600 m3 dan kayu rimba sebanyak 250 m3, dan faktor nilai tambah sebesar 7.9. maka nilai tambah yang hilang sebesar Rp 217 juta. relatif kecil.
Nilai tersebut secara umum
Hal tersebut disebabkan hasil hutan khususnya kayu bulat
produksi Provinsi Jawa Tengah yang dibawa ke luar wilayah relatif kecil yaitu kayu jati hanya berkisar 8000 – 21000 35000 – 76000 m3 dibanding
m3 dan kayu rimba hanya berkisar
kayu bulat yang diolah di provinsi tersebut
sekitar 2 500 000 m3 per tahun. Rincian kehilangan nilai tambah di Provinsi Jawa Tengah tahun 1999 sampai dengan 2003 sebagaimana Lampiran 9. 2.4 Deforestasi Deforestasi merupakan kegiatan perusakan kawasan hutan yang meliputi perambahan kawasan, perusakan tanaman, pengembalaan liar, dan kebakaran hutan.
Deforestasi dapat digolongkan sebagai aktivitas ekonomi sebab
kegiatan tersebut bersifat pengurangan kapital lahan dan atau pohon hutan. Sehingga apabila deforestasi terjadi stock kapital akan berkurang. Nilai kerugian akibat deforestasi (perambahan hutan, dan kerusakan lahan hutan yang lain) menggunakan hasil perhitungan Perum Perhutani Jawa Tengah.
Data kerugian
tersebut tersedia lengkap untuk setiap tahunnya,
karena Perum Perhutani mempunyai kepentingan terhadap keutuhan kapital yang dimilikinya. Nilai kerugian deforestasi pada tahun 1999 sebesar Rp 33.46 miliar cenderung turun hingga tahun 2003 hanya sekitar Rp 10.48 miliar. Rincian lengkap nilai kerugian deforestasi selama 5 tahun terakhir sebagaimana Lampiran 4. Permasalahan untuk dimasukkan dalam perhitungan PDRB adalah tidak jelasnya siapa yang membayar nilai kerugian deforestasi.
Hal tersebut
disebabkan deforestasi bersifat majemuk baik dari sisi penyebab maupun akibatnya.
Sebagai contoh perambahan hutan yang disebabkan oleh
masyarakat yang memerlukan timpat tinggal, untuk usaha dan sebagainya,
125 yang sulit ditentukan siapa yang bertanggung jawab. Di samping itu akibat yang ditimbulkan
harus ditanggung pihak mana juga sulit ditentukan.
Dengan demikian deforestasi dalam perekonomian bersifat komplek dan menyeluruh. 2.5 Efisiensi Kelembagaan Efisiensi kelembagaan merupakan aktivitas ekonomi yang terjadi dari efisiensi usaha institusi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah yang yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Oleh karena itu dalam perhitungan PDRB
sektoral maupun regional efisiensi kelembagaan bersifat additive dari kondisi aktual. Nilai efisiensi kelembagaan juga dapat dibandingkan dengan output atau nilai tambah sektor kehutanan yang ada sebab nilai-nilai tersebut menunjukan efisiensi atau produktifitas lembaga di dalam mengelola sektor kehutanan. Nilai ekonomi efisiensi kelembagaan diproksi dari nilai efisiensi atau surplus usaha sektor kehutanan di Jawa Tengah yaitu prosentase selisih total biaya produksi dengan nilai produk yang dihasilkan.
Nilai prosentase
tersebut dikalikan PDRB maka akan didapat nilai ekonomi kelembagaan. Berdasarkan data sekunder dari Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah diketahui efisiensi usaha kehutanan yang dioperasikan tahun 2003 sebesar 0.70 dimana PDRB kehutanan sebesar Rp 726.78 miliar maka
efisiensi
kelembagaan yang belum dimanfaatkan sebesar Rp. 218.03 miliar. Rincian efisiensi kelembagan di Jawa Tengah tahun 2000 – 2004 sebagaimana Lampiran 10. Kelembagan pada pengelolaan sumberdaya hutan mempunyai implikasi terhadap upaya pengendalian interaksi berbagai kepentingan yang mengatur hak dan kewajiban “apa dan siapa” dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada perekonomian suatu wilayah. Pengaturan hak dan kewajiban tersebut akan melibatkan semua pelaku ekonomi yaitu pemerintah. masyarakat dan pihak swasta/pengusaha. Oleh karena itu pengaturan hak dan kewajiban par a pihak di wilayah khususnya Provinsi Jawa Tengah dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi salah satu item yang mempengaruhi pendapatan
126 sektor kehutanan.
Lebih lanjut dalam ruang lingkup property right. maka
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa hutan adalah milik negara yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Penanggung jawan pengelolaan hutan adalah pemerintah yang dapat dilakukan oleh lembaga atau badan hukum (BUMN, Swasta, Koperasi). kelompok masyarakat ataupun perorangan. Demikan pula sesuai dengan ciri batas yurisdiksi kelembagaan maka batas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan areal hutan dan hasil hutan dapat dijadikan sebagai cara untuk melestarikan sumberdaya hutan.
Kelembagaan yang berperan dalam
pengeleloaan hutan di Provinsi Jawa Tengah antara lain Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas-Dinas di seluruh kabupaten/kota wilayah Provinsi Jawa Tengah yang menangani urusan kehutanan, Perum Perhutani Unit I, Balai KSDA Jawa Tengah, dan Balai Taman Nasional Karimun Jawa. 3. Aplikasi Hasil Penelitian 3.1 Air Air merupakan produk yang penting dari hutan sebab salah satu fungsi hutan adalah menahan air hujan lalu dilepas secara perlahan-lahan melalui sumber air maupun sungai-sungai (Suparmoko, 2000).
Di Jawa Tengah,
sebagian besar air yang mengalir di sungai-sungai berasal dari daerah aliran sungai yang berhutan baik hutan negara maupun hutan rakyat. Sungai-sungai tersebut menjadi pemasok utama bendungan, waduk yang berfungsi untuk penyediaan kebutuhan air kepada masyarakat baik di desa-desa untuk pertanian maupun masyarakat kota untuk air minum. Oleh karena itu air di Provinsi Jawa Tengah merupakan komoditi ekonomi yang sangat vital bagi masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan oleh pemerintah provinsi yang telah membentuk intitusi Dinas Pengelolaan Air. Air harus digunakan sebagai barang ekonomis dan penggunaannya harus diatur agar tercapai kesejahteraan masyarakat secara optimal. Apalagi dengan perkembangan jumlah penduduk Jawa Tengah yang melebihi 32 juta orang dan kemajuan teknologi, akan menyebabkan permintaan air menjadi semakin besar. Sementara itu persediaan air secara alamiah semakin sedikit.
Oleh
127 karena itu perlu ditentukan suatu kebijakan agar air yang tersedia dapat digunakan secara efisien dengan menetapkan suatu harga tertentu, baik air bersih untuk minum maupun air untuk pertanian atau industri. Perhitungan manfaat air dari kawasan hutan di provinsi Jawa Tengah adalah penjumlahan dari nilai manfaat air dari hutan lindung dan hutan produksi, hutan Taman Nasional dan Cagar Alam dan hutan rakyat.
Nilai
manfaat air dari kawasan hutan lindung dan produksi Jawa Tengah dapat dihitung dengan menggunakan dasar hasil penelitian Supriyadi (1997) yang besarnya 0.45 dari PDRB. Sedangkan nilai manfaat air dari kawasan hutan Taman Nasional di Jawa Tengah dihitung menggunakan hasil penelitian Darusman (1993) yaitu sebesar Rp 28 juta/ha dengan faktor koreksi jumlah penduduk. Serta manfaat air dari hutan rakyat diproksi dari nilai manfaat air hutan produksi den gan faktor koreksi sebesar 50%. Maka nilai manfaat air dari kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah adalah sebagaimana Tabel 37 dan rincian lengkap pada Lampiran 1. Tabel 37. Nilai Air dari Kawasan Hutan di Jawa Tengah Tahun 2003 No
Jenis Hutan
1
Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Cagar Alam, dan Taman Nasional Hutan Rakyat
2 3
Jumlah
Nilai Air (juta Rp)
Keterangan
54 072
-
5 505 734 992
-
16 513
Kerapatan 50 % ht produksi
5 505 896 578
Sumbangan nilai air terbesar dari kawasan hutan cagar alam, hutan lindung dan taman nasional sebesar Rp. 5.51 triliun atau 98% dari nilai output produksi air. Padahal dari segi luas kawasan, hutan cagar alam, hutan lindung dan taman nasional hanya sekitar 12% dari total luas kawasan hutan negara atau sekitar 6.5% dari total hutan di Provinsi Jawa Tengah.
Hal tersebut
menunjukkan pentingnya keberadaan kawasan hutan hutan cagar alam, hutan lindung dan taman nasional dalam penyediaan air bagi masyarakat. Sebaran lokasi hutan produksi, cagar alam, hutan lindung dan taman nasional terbatas
128 pada 18 kabupaten dari 35 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Nilai produksi air dari 18 kabupaten tersebut sebagaimana Tabel 38. Kontribusi nilai manfaat air dari kawasan hutan produksi sebesar Rp 54.02 milyar atau sekitar 1.2% dari nilai output produksi air. Hal tersebut dapat dipahami mengingat fungsi hutan produksi lebih banyak diarahkan untuk produksi hasil kayu maupun non kayu (getah -getahan). Disamping itu kawasan hutan produksi biasanya ditanami tanaman yang sejenis dan kerapatannya relatif jarang sehingga kurang dapat memproduksi air secara optimal. Sedangkan hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah yang luasnya sekitar 80% dari luas hutan negara, ternyata hanya berkontribusi nilai air sebesar Rp 16.50 milyar atau sekitar 0.3% dari nilai total produksi air. Hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah ataupun di provinsi lain berada pada lahan hak yang menyebar sporadis pada beberapa lokasi serta mempunyai kerapatan pohon yang rendah maka kemampuan produksi air relatif kecil. Sehingga kontribusi nilai air juga kecil. Tabel 38. Nilai Produksi Air per Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kabupaten Cilacap Banjarnegara Wonosobo Boyolali Wonogiri Karanganyar Sragen Blora Rembang Jepara Semarang Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Magelang Surakarta
Luas Hutan (ha) 51 370.02 17 639.65 12 952.98 13 670.20 20 073.44 7 569.70 5 170.93 82 099.30 23 947.68 13 921.11 11 902.50 18 104.60 32 759.35 31 038.55 21 820.28 48 412.53 14 766.73 13 670.20
Nilai Produksi Air ( juta Rp) 25 055.252 10 988 287 4 269 251 1 582 487 642 984 250 6 157 031 10 826 626 5 541 075 4 288 031 25 055 252 3 820 751 004 1 876 369 3 473 756 820 895 7 990 190 8 524 155 1 493 434 10 207 472
129 Total hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 647 596.81 ha negara dan hutan rakyat 550773.8 ha. Hutan Negara yang terdiri atas hutan produksi 573 241.63 ha, hutan cagar alan dan taman nasional 877.30 ha, hutan lindung 77 477.88 ha dan hutan rakyat ters ebut mampu memberikan sumbangan output produksi air senilai Rp 5.51 trilun atau sekitar 1.6% dari total output Rp 346.98 triliun.
Dengan demikian kontribusi air dari hutan terhadap PDRB
Provinsi Jawa Tengah sukup signifikan. 3.2 Hasil Hutan Dikonsumsi Langsung Masyarakat Perhitungan nilai pemanfaatan hasil hutan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat
dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi hasil
penelitian Tatuh (1992) dengan hasil survey kayu bakar Departemen Kehutanan (1985) dengan pendekatan harga pasar. Hasil penelitian Tatuh (1992) antara lain ditemukan fakta bahwa 82.5% penduduk didalam dan disekitar hutan di Pulau Jawa mengkonsumsi kayu bakar dari hutan, dan 66.9% penduduk tergantung rumput dan daun-daunan dari hutan untuk makanan ternaknya. Dimana besarnya konsumsi makanan ternak per KK adalah 3300 kg/tahun.
Selanjutnya menurut hasil survey
Departemen
Kehutanan tahun 1985 diketahui konsumsi kayu bakar per KK adalah 1050 kg/tahun.
Dengan demikian nilai ekonomi hasil hutan langsung oleh
masyarakat di Jawa Tengah pada tahun 2003 sebagaimana Tabel 39 dan rincian lengkapnya pada Lampiran 2. Tabel 39. Jumlah dan Nilai Hasil Hutan yang Dikosumsi Langsung Masyarakat Jawa Tengah Tahun 2003 No 1 2
Jenis Komoditi Kayu bakar/rencek Rumput/daun makanan ternak Jumlah
Jumlah konsumsi (ton) 8 362 614.75 8 780 745.49
Berdasarkan nilai Tabel 39 di atas,
Nilai ekonomi (juta Rp) 10 035.14 6 585.56 16 620.70
masyarakat di dalam dan disekitar
hutan sangat tergantung dari keberadaan hutan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan rencek/kayu bakar dan makanan ternak mereka dapat langsung mengambil dari hutan tanpa harus membayar.
Apabila
kebutuhan mereka akan kayu bakar dan makanan ternak tersebut harus
130 membayar maka pengeluaran rumah tangganya akan menjadi besar, yaitu pengeluaran untuk rencek sebesar Rp 10.04 milyar dan untuk makanan ternak sebesar Rp.6.59 milyar per tahun untuk seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hal tersebut di atas maka hutan berfungsi sebagai salah satu sumberdaya
yang dapat menopang kehidupan masyarakat di dalam dan
disekitarnya. Hal tersebut disebabkan kebutuhan sehati-hari masyarakat di dalam dan sekitar hutan sangat tergantung dari keberadaan hutan tersebut. Kebutuhan sehari-hari tersebut antara
kayu kayu bakar/rencek, rumput
makanan ternak, daun dan sebagainya yang dapat diambil dari kawasan hutan tanpa membayar.
Padahal nilai kebutuhan tersebut cukup signifikan bila
diperhitungkan terhadap pendapatannya. 3.3 Jasa Wisata Manfaat jasa wisata dari kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah sudah cukup baik, sebab dengan luas hutan wisata 384.85 ha atau sekitar 0.05% dari luas kawasan hutan pada 16 lokasi mampu memberikan output senilai Rp 83.05 milyar atau sekitar 3.5% dari output hasil hutan senilai Rp 2.45 triliun. Sumbangan
jasa wisata hutan
tersebut
pada perhitungan pendapatan
provinsi, oleh Badan Pusat Statistik dimasukkan sebagai penerimaan sub sektor hiburan dan jasa lainnya sesuai dengan standard klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia. Kontribusi sektor tersebut dalam pembentukan pendapatan regional sebesar Rp
3.7 miliar. Besar pendapatan tersebut
merupakan penjumlahan dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja sebesar Rp 55 miliar, kapital Rp 20 miliar dan pajak tidak langsung neto Rp 10 miliar. Nilai sumbangan jasa wisata hutan relatif kecil dibanding hasil produk lain misalnya kayu maupun non kayu, tetapi biaya pengelolaannya relatif kecil. Kecilnya nilai sumbangan jasa wisata hutan juga disebabkan kecilnya tarif karcis masuk kawasan hutan wisata tersebut. Bahkan tarif karcis masuk di beberapa tempat wisata hutan misalnya kali urang, guci dan sebagainya masih nol rupiah. Tarif masuk hanya dikenakan pada sarana permainan yang ada di dalam hutan wisata tersebut.
Nilai terbesar dari jasa hutan wisata di
131 Jawa Tengah adalah Hutan Wisata Grojokan Sewu di Kabupaten Karanganyar yang memberikan output sebesar Rp 9.6 juta/ha/tahun. Angka tersebut diperoleh dari penelitian Bahruni (1993). Penyebaran lokasi wisata dan nilai jasa wisata di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 40.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa kabupaten -
kabupaten Cilacap, Sragen, Karanganyar, dan Semarang mempunyai hasil jasa wisata hutan yang cukup besar. Tabel 40. Nilai Jasa Wisata di Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 14 15
Cilacap Wonogiri Karanganyar Sragen Blora Rembang Jepara Semarang Kendal Batang Pemalang Tegal Brebes Magelang Jumlah
Luas hutan wisata (ha) 126.2 8.3 64.3 103.9 55.4 62.2 63 18.3 33.2 80.1 52.1 8.7 48.5 18.3 384.85
Nilai Jasa Wisata ( juta Rp) 784.47 14.81 4 413.32 222.43 4.20 170.31 2 437.07 97.10 6.07 38.14 15.99 5.39 11.42 29.64 8 340.89
Lebih lanjut bahwa peran kehutanan dalam memberikan jasa lingkungan khususnya jasa wisata sangat potensiil dan berkembang dalam menggerakkan perekonomian apabila dikelola dengan tepat. Arah perkembangan ekonomi yang dibentuk oleh sektor wisata hutan erat kaitannya dengan adanya bentang alam yang indah dan khas yang tern ah habis dikonsumsi. Peran jasa wisata tidak menghasilkan langsung begi kehutanan, tetapi justru sangat penting bagi daerah maupun nasional secara lebih luas. Dimasa depan, jasa wisata hutan akan menjadi primadona untuk penghasil devisa, maka peran kehutanan menjadi amat setrategis bagi perkembangan eknomi makro dan juga bagi ekonomi mikro di daerah dan di sekitar obyek wisata hutan tersebut. Dengan demikian, kehutanan tidak hanya berkaitan dengan ekonomi perkayuan saja,
132 tetapi lebih jauh menjangkau berbagai sistem ekonomi, sosial dan budaya yang beranekaragam, serta juga merupakan potensi untuk pengembangan ilmu dan teknologi. 3.4 Erosi Nilai ekonomi penggantian adanya pengurangan kapasitas hutan direfleksikan dari nilai erosi, yang dihitung berdasarkan biaya penggantian erosi yang telah dilakukan oleh Magrath (1989). Hasil perhitungan Magrath (1989) tersebut, bahwa nilai penggantian erosi di Jawa Tengah sebesar 4 % dari nilai usaha tani lahan kering. Angka 4% tersebut akan berdampak sangat berpengaruh sebab dengan 3 (tiga) musim panen dalam setahun maka secara komulatif akan menjadi lebih besar. Berdasarkan data pada BPDAS Jratunseluna Semarang luas lahan kering di Provinsi Jawa Tengan tahun 2003 seluas 526368.40 ha.
Selanjutnya
berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah tahun 2003, diketahui produksi gabah lahan kering rata-rata sebesar 2500 kg/ha dan harga gabah sebesar Rp 1700/kg. Dengan menggunakan rumus tersebut di atas didapatkan nilai kerugian akibat erosi Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 8.95 trliun. Rincian kerugian erosi per Kabupate/Kota sebagaimana Lampiran 5. Erosi terjadi diseluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah baik di dalam kawan hutan maupun di kawasan-kawasan lain antara lain pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan dan sebagainya.
Berdasarkan luas
lahan kritis disetiap wilayah serta tingkat kekritisannya makan nilai kerugian erosi tersebut sebagaimana Tabel 41. Kawasa kehutanan, pertanian secara luas, dan pertambangan dan galian penyumbang terbesar terjadinya erosi. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa ketiga kawasan tersebut terdapat pembukaan lahan baik yang resmi maupun illegal.
Penebangan.
Pembukaan lahan secara resmi misalnya tebangan
tahunan, pembuaatan kebun dan ladang, galian C dan sebagainya. Sedangkan pembukaan lahan yang illegal antara lain perambahan hutan, penebangan liar, galian liar dan sebagainya.
Sementara itu kawasan perumahan yang cukup
besar mengakibatkan erosi adalah pembukaan lahan untuk perumahan, dan pengurugan lahan.
133 Tabel 41. Nilai Kerugian Erosi untuk Setiap Kawasan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003. No
Kawasan
1 2 3 4
Kehutanan Pertanian Perkebunan Pertambangan dan galian Peternakan Perumahan Industri Lain-Lain
5 6 7 8
Luas Lahan Kritis Nilai Kerugian Erosi (Ha) (Juta Rp) 722 2 131 970 67 287 836 50 226 844 48 6 268 938 37 48 82 102
Berdasarkan Lampiran 5
sebanyak
169 197 519 363 103 776 8 948 263 29 kabupaten/kota dari seluruh
kabupaten/kota (35 kabupaten/kota) di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan kapasitas hutan akibat erosi. Penurunan kapasitas hutan akibat erosi di kabupaten -kabupaten tersebut relatif besar yaitu
nilai ekonominya
(kerugiannya) di atas Rp 40 milyar. Bahkan. untuk kabupaten-kabupaten Purbalingga. Banjarnegara. Kebumen, Purworejo, Karanganyar, Sragen, Pati. Semarang, Pekalongan, menanggung nilai kerugian akibat erosi di atas Rp 300 milyar per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dan lahan wilayah Provinsi Jawa Tengah sudah sangat rawan terhadap bahaya erosi. Bahaya erosi sudah dirasakan oleh masyarakat Provinsi Jawa Tengah maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagai gambaran jelas yaitu bahaya erosi akan mempengaruhi langsung produktivitas padi.
Hal tersebut
dibuktikan dari catatan BPS Jawa Tengah ( 2004), bahwa sejak tahun 1998 hingga 2003 produktivitas
padi dari lahan kering sebesar 25.3 kuintal per
hektar cenderung turun 5.34 % per tahun. Sehingga pada tahun 2003 produksi padi di provinsi tersebut turun 7.17 %. Hal tersebut tentunya akan berdampak kepada perekonomian wilayah mengingat hasil padi Provinsi Jawa Tengah adalah komoditi strategis dan sekaligus andalan bagi penyangga pangan nasional. Dampak erosi akan mengancam kondisi sosial ekonomi masyarakat di Pulau Jawa. Daerah atas (up land) telah menerawang terang tanpa pepohonan yang rimbun. sehingga ketika hujan turun, air dari perbukitan mengalir deras
134 membawa lumpur. batuan dan humus yang tidak dapat diserap lagi oleh tanah. Lahan menjadi miskin hara dan produktivitas tanaman pangan menurun. 3.5 Udara bersih Nilai ekonomi udara bersih tersebut pada saat ini masih bersifat potensial, sebab dalam perhitungan output wilayah belum dapat dimasukkan. Hal tersebut disebabkan nilai produksi udara bersih yang berasal dari alam tidak tidak dihargai sebab tidak jelas pihak produsenya maupun inputnya. Oleh karena itu nilai udara bersih bagi konsumennya dianggap nol rupiah atau gratis. Padahal kebutuhan manusia terhadap udara bersih bersifat mutlak baik untuk bernafas atau untuk aktifitas lain dalam pengaturan perubahan iklim global dan rekayasa sumberdaya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Undang-Undang
Nomor
41
Tahun
1999
tentang
Kehutanan
mencantumkan penjelasan bahwa kawasan hutan memiliki 3 (tiga) dimensi manfaat, yaitu manfaat ekologi yang berarti melestarik an keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; manfaat ekonomi yang berarti mampu menciptakan peluang dan kesempatan kerja; dan manfaat sosial yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hutan sebagai ekosistem alam
memiliki arti yang luas, baik menyangkut fisik lahan maupun pohon-pohon yang dapat berfungsi sebagai penentu perubahan iklim.
Ekosistem hutan
mempunyai kemampuan menyerap karbon hasil pembakaran bahan bakar fosil, sehingga dapat menciptakan udara bersih (oksigen) yang sangat vital bagi kesehatan.
Kemampuan menyerap karbon untuk menciptakan udara
bersih bagi kesehatan tersebut tentunya dapat dihitung nilai ekonominya. Hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas 647 596.81 ha dimana hutan primer seluas 74 354.81 ha dan hutan sekunder seluas 573 242 ha maka produktivitas O2 pada hutan primer sebanyak
85.7 ton/ha/tahun dan hutan sekunder
sebanyak 41.6 ton/ha/tahun, sehingga total produksi
udara bersih sebanyak
29 897 450 ton/tahun. Dengan menggunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar international sebesar Rp 18 000 per ton (Kompas 18 September 2004), maka nilai output udara bersih yang dipruksi oleh hutan di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2003 sebesar Rp 429.24 milyar. Rincian lengkap nilai produksi udara bersih per kabupat en sebagaima Lampiran 8.
135 Perubahan iklim global dan upaya rekayasa sumberdaya alam akan berimplikasi terhadap produktivitas lahan untuk pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Tetapi upaya tersebut juga mengandung resiko terjadinya degradasi lingkungan baik pencemaran udara maupun perubahan iklim dan pemanasan global. Di Indonesia fenomena dampak perubahan iklim dan pemanasan global sudah terindikasi dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam antara lain kekeringan, kebakaran hutan, tanah longsor, berkurangan luas lahan
pertanian,
penurunan
produktivitas
tanaman,
pengurangan
keaneragaman hayati, penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air. Bencana tersebut silih berganti sehingga mengakibatkan kemampuan produksi kegiatan perekonomian berkurang.
Bahkan menurut Hidayat (2001),
perubahan iklim yang berujung pada anomali iklim sperti El-Nino, La -Nina dan sebagainya telah menyebabkan turunnya produktivitas beras sebanyak 600.000 ton per tahun). Anomali iklim tersebut membawa pengaruh dan intensitas dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Indonesia. Tingkat pengaruh dan intensitas dampak tersebut tergantung pada tingkat penyimpangan iklim itu sendiri. Menurut Haeruman (2005), dampak dari penyimpangan iklim bagi sektor kehidupan di Indonesia antara lain : 1) Terganggunya sistem produksi di kawasan budidaya pertanian akibat kegagalan panen.
Keadaan ini akan berpengaruh pada terganggunya
sistem kehidupan di perkotaan. 2) Terjadinya kebakaran hutan yang mempengaruhi produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta mengancam kelestarian hutan lindung, cagar alam dan kawasan konservasi lain. 3) Meningkatnya acaman bencana alam yang berupa banjir, erosi, tanah longsor dan lamanya kemarau yang akan menurunkan produksi pangan. 4) Meningkatnya erosi dan abrasi serta in frastruktur di kawasan pantai yang berakibat luas mangrove berkurang sehingga kondisi ekonomi masyarakat pantai dan pesisir menjadi lebih miskin.
136 5) Terjadinya migrasi penduduk antar wilayah akibat ketersediaan pangan tidak berimbang dengan jumlah penduduknya. Implikasi dari hal tersebut merebaknya penyakit buruk gizi dan busung lapar. 3.6 Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian Keberadaan hutan akan mempunyai nilai manfaat langsung (direct benefit), nilai manfaat tidak langsung (indirect benefit), dan nilai manfaat pilihan (option benefit). Nilai manfaat langsung adalah nilai dari sumberdaya alam dan ekosistem kawasan hutan yang diperoleh secara langsung melalui konsumsi atau produksinya.
Sedangkan manfaat tidak langsung adalah nilai
atau manfaat yang diperoleh secara tidak langsung dari sumberdaya kawasan hutan yang memberikan jasa pada aktivitas ekonomi atau mendukung kehidupan manusia. Dalam hal ini termasuk di dalamnya manfaat fungsional dari proses-proses ekologi yang secara terus menerus memberikan peranannya pada masyarakat dan ekosistem. Peran terus menerus sebagai pengatur tata air dan perlindungan dan pengendalian banjir, pengatur iklim mikro, mendukung kehidupan global (menyerap karbon dan mengendalikan perubahan iklim), wahana penelitian dan pendid ikan konservasi, siklus nutrisi, dan mendukung kesehatan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan hasil penelitian Widada (2004) yaitu sebagaimana Tabel 42.
Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa nilai
keberadaan, pilihan dan pelestarian hutan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 sebesar Rp 5.213 triliun atau sekitar 1.56 % dari nilai total output provinsi.
Dari sisi jumlah nominal nilai keberadaan hutan tersebut cukup
signifikan terhadap total output provinsi.
Tetapi secara riil nilai tersebut
bersifat semu sebab nilai keberadaan hutan masih bersifat potensi dan tidak dapat dimasukkan sebagai faktor ekonomi.
Meskipun demikian dimasa
mendatang sebenarnya keberadaan hutan dapat ditelusuri dari perolehannya terutama jika hutan tersebut berupa hutan tanaman. Keberadaan hutan tanaman
dapat
ditelusuri
perolehannya
melalui
biaya
penanaman,
pemeliharaan, dan perlindungan hutan. Sedangkan hutan alam sulit diketahui nilai perolehannya karena tumbuh dan berkembang dari proses vegetasi alam.
137 Rincian nilai keberadaan dan pelestarian hutan per tahun sebagaimana Lampiran 10. Tabel 42. Nilai Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian Hutan di Provinsi Jawa Tengah. No
Tahun
Luas Hutan (ha)
Jumlah Penduduk (orang)
1
2000
647 596.81
29 687 677
Nilai Keberadaan, Pilihan, dan Pelestarian (juta Rp) 4 883 439.45
2
2001
647 596.81
30 572 118
5 028 924.53
3
2002
647 596.81
31 038 741
5 105 681.13
4
2003
647 596.81
31 691 866
5 213 116.16
5
2004
651 750.23
31 834 512
5 179 896.27
Nilai Keberadaan adalah nilai yang bukan dihasilkan dari institusi pasar dan tidak ada kaitannya dengan fungsi perlindungan aset produktif atau proses produksi secara langsung maupun tidak langsung. Nilai keberadaan hutan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat, baik itu penduduk setempat maupun pengunjung terhadap kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai Pilihan dan pelestarian adalah nilai harapan untuk masa yang akan datang terhadap sumberdaya hutan dan ekosistemnya, dan didasarkan pada penilaian berapa besarnya seorang individu atau masyarakat mau membayar (willingness to pay = WTP) untuk melindungi kawasan hutan untuk kepentingan masa depan.
Keanekaragaman flora dan fauna merupakan
sumberdaya alam hutan yang disisihkan untuk dimanfaatkan di masa datang atau merupakan sumberdaya genetik untuk kepentingan masa depan. Keberadaan sumberdaya alam hutan yang pada umumnya belum diketahui secara pasti, saat ini
tidak memiliki nilai pasar atau nilai ekonomi tinggi.
Nilai pilihan dan pelestarian hutan juga dapat dimaknai sebagai korbanan yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk menjaga kelestarian hutan agar tetap utuh untuk diberikan pada generasi yang akan datang. Ekosistem hutan mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam perekonomian wilayah.
Ekosistem hutan meliputi makna sumberdaya lahan
138 dan komoditi yang dihasilkan serta sumberdaya mineral yaitu berbagai tambang, margasatwa, obat-obatan, air dan lain -lain.
Bahkan di dalam
kawasan hutan juga terdapat masyarakat rimba seperti suku terasing. Dengan demikian ekosistem hutan merupakan keseluruhan sumberdaya yang ruang lingkupnya sangat besar sebagai penyangga kehidupan. Nilai ekosistem hutan menggambarkan nilai keberadaan kawasan hutan terhadap perekonomian masyarakat. Nilai kawasan hutan sebagaimana nilainilai sumberdaya yang lain harus selalu diupayakan meningkat agar terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Nilai keberadaan kawasan hutan
beraneka ragam baik berupa nilai hasil materiil, jasa lingkungan dan jasa sosial bagi masyarakat terutama yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Upaya peningkatan nilai kawasan hutan akan banyak tergantung kepada kemampuan pengelolaan kawasan hutan dan hasil-hasilnya. Pengelolaan kawasan hutan dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, pengelolaan hutan berdasarkan substansi nilai tambah dapat secara terus menerus memberikan hasil barang dan jasa yang optimal bagi pemenuhan keperluan masyarakat.
Kedua, pengelolaan hutan substansi
ekologis harus dapat menjaga keseimbangan lingkungan agar terjaga dari ancaman bencana alam yang merugikan masyarkat.
Tujuan pengelolaan
kawasan hutan untuk meningkatkan nilai tambah dapat dicapai apabila sumberdaya hutan terpelihara dan terjaga dari berbagai ancaman kelestarian sehingga
meningkatkan lapangan kerja, kesempatan berusaha bagi
masyarakat lokal maupun nasional. 6.2. Manfaat Hutan dalam Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto Peran sektor kehutanan sebagai penggerak perekonomian bertumpu pada beberapa hal, yaitu : Pertama, penyediaan lahan untuk mendukung pembangunan sektor lain misalnya perumahan, perkebunan, pertanian, dan industri. Kedua, penyedia devisa yang berasal dari komoditi kayu, non kayu maupun proses industri yang memberikan nilai tambah untuk meningkatkan kinerja ekonomi mikro maupun makro.
Kinerja ekonomi mikro yang didorong oleh sektor
kehutanan terutama ekonomi masyarakat miskin di dalam dan di sekitar hutan
139 yang kehidupannya tergantung dari keberadaan hutan. Dan, ekonomi makro yang dipengaruhi sektor kehutanan adalah kemampuan ekonomi daerah maupun ekonomi nasional. Ketiga, penyediaan jasa lingkungan hidup dan lingkungan sosial masyarakat yang berupa jasa wisata, air, udara bersih dan sebagainya. Keempat, penyedia sarana untuk kegiatan illegal (baik logging maupun trading) serta aktivitas dampak erosi dan deforestasi. Lebih lanjut, keempat hal tersebut dapat dirinci secara lebih detail menjadi 18 variabel yang dalam proses pengolahan data dengan metoda Input–Output (IO) diberikan istilah sektor atau lapangan usaha. Pada penyusunan Tabel InputOutput Provinsi Jawa Tengah standar, manfaat hutan pada perekonomian terinci dalam 7 variabel/sektor yaitu 2 (dua) variabel yang berupa hasil kayu, hasil non kayu, jasa wisata yang dikelompokkan sebagai sektor produksi kehutanan dan 5 (lima) variabel yang berupa industri penggergajian, industri kayu lapis, industri bahan bangunan dari kayu, dan industri barang lain yang berbahan baku kayu, serta jasa wisata. Kelima varibel terakhir tersebut termasuk dalam kelompokkan sektor produksi non kehutanan. 6.2.1
Model Input-Output Standar Pada Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah tahun 2000 yang kemudian
dilakukan penyesuaian (RAS) ke tahun 2003 sebagaimana Lampiran 14, dapat diketahui bahwa variabel sektor kehutanan yang menjadi faktor produksi dalam perekonomian terbatas pada hasil kayu (bulat), hasil hutan non kayu (getah, madu, arang, bambu dan lain -lain), dan jasa wisata hutan. Sektor jasa wisata itupun berdasarkan standard klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia masuk dalam faktor produksi non kehutanan. Berdasarkan Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah standar peran sektor kehutanan sebesar Rp 1.80 triliun atau sekitar 0.52 % dari total output provinsi tersebut sebesar Rp 342.15 triliun. Dari Lampiran 14 dapat dilihat bahwa dari seluruh nilai produksi (bruto) yang dihasilkan di provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 342.15 triliun, sekitar Rp171.31 triliun atau sebesar 50.07 persen diturunkan dalam bentuk nilai tambah bruto. Sementara itu bila dilihat dari aspek pendapatan nilai tambah bruto yang sebesar Rp Rp171.31 triliun adalah merupakan balas jasa atau kompensasi yang
140 dibayarkan ke faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar Rp 110.91 triliun, sebesar Rp 50.65
triliun merupakan kompensasi yang dibayarkan terhadap
penggunaan kapital, termasuk pula didalamnya keuntungan usaha, dan sisanya Rp 9.75 triliun merupakan komponen pajak tidak langsung neto. Apabila dilihat output per sektor, maka sektor perdagangan, restoran dan hotel merupakan sektor yang mempunyai nilai tambah terbesar. Output sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 66.05 triliun. Kemudian sektor yang kedua dan ketiga terbesar yang menciptakan output di propinsi Jawa Tengah adalah sektor Industri lainnya, (yang terdiri dari industri tekstile, industri kertas, industri kimia, industri logam, industri mesin dan industri yang belum terkelompokan), serta industri makanan. Besar output pada tahun 2003 untuk kedua sektor tersebut masing-masing sebesar Rp 64.93 triliun dan Rp 45.95 triliun. Kemudian output untuk kegiatan sektor yang berkaitan dengan sumberdaya hutan, masing-masing outputnya adalah sebagai berikut; sektor hutan selain kayu Rp 968.10 miliar, sektor kayu Rp 770.39 miliar dan sektor jasa lingkungan sebesar Rp 83.0 miliar. Rincian lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 43. Tabel 43. Sepuluh Sektor Terbesar Beserta Sektor Kehutanan Menurut Peringkat Output di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2003 Rangkin g
Kode
1
19
Perdagangan, Restoran, dan Hotel
66 052 037
19.09
2
15
Industri Pengolahan Lainnya
64 934 285
18.77
3
13
Industri Makanan dan Minuman
45 954 243
13.37
4
8
Industri Migas
30 116 766
9.24
5
14
Tanaman bahan makanan
29 741 143
8.70
6
22
Jasa lainnya
25 552 180
7.39
7
20
Angkutan dan Komunikasi
18 769 932
5.43
8
18
Konstruksi
17 059 763
4.93
9
21
Bank, Lembaga Keuangan Lainnya
10 327 551
2.98
10
10
Peternakan
9 191 747
2.83
18
2
Hasil non kayu
968 097
0.28
20
1
Kayu
770 394
0.22
21
3
Jasa lingkungan
83 006
0.02
Sektor Lainnya
23 341 224
6.75
342 152 829
100.00
Sektor
Total
Nilai (juta Rp)
Persen
Bila dilihat dari penciptaan nilai tambah brutonya, maka dari lampiran 14 atau tabel 44, dapat diketahui bahwa sektor perdagangan, restoran dan hotel masih
141 menempati peringkat tertinggi dengan peranannya yang mencapai 23.62 persen terhadap total nilai tambah bruto yang besarnya Rp171.31 triliun. Pada tabel yang sama dapat juga diketahui sektor tanaman bahan makanan menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 24.30 triliun atau sekitar 15.14 persen dari total nilai tambah bruto, sehingga berada pada posisi kedua dalam menghasilkan nilai tambah bruto. Peringkat ketiga ditempati oleh sektor industri makanan dan minuman dengan sumbangan 13.37 persen terhadap penciptaan nilai tambah total Jawa Tengah. Sementara itu, sektor hasil hutan selain kayu, sektor kayu, dan sektor jasa lingkungan secara berturut-turut menempati peringkat ke 15, 17, dan 22 dari keseluruhan sektor yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Adapun besar nilai tambah bruto yang disumbangkan oleh ketiga sektor tersebut dalam pembentukan PDRB propinsi Jawa Tengah tahun 2003 masing-masing sebesar Rp 694.1 miliar, Rp 438.8 miliar dan Rp 3.7 miliar. Tabel 44. Sepuluh Sektor Terbesar beserta Sektor Kehutanan Menurut Peringkat Nilai Tambah di Jawa Tengah Tahun 2003 Nilai (juta Rp)
Rangking Kode
Sektor
1
19
Perdagangan, Restoran, dan Hotel
41 376 911
2
8
Tanaman bahan makanan
24 295 163
15.14
3
13
Industri Makanan dan Minuman
23 120 282
13.37
4
22
Jasa lainnya
14 821 224
8.46
5
15
Industri Pengolahan Lainnya
14 416 164
8.23
6
14
Industri Migas
14 137 150
8.07
7
20
Angkutan dan Komunikasi
9 899 010
5.65
8
18
Konstruksi
6 972 031
3.98
9
21
Bank, Lembaga Keuangan Lainnya
6 448 467
3.68
10
10
Peternakan
5 727 776
3.62
15
2
Hasil non kayu
694 137
0.40
17
1
Kayu
438 813
0.25
22
3
Jasa lingkungan Lainnya Total
Persen 23.62
3 718
0.00
9 668 315
5.52
171 309 623
100.00
Besaran nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh suatu sektor merupakan balas jasa faktor produksi karena adanya aktivitas produksi di suatu sektor. Dalam Tabel Input-Output, nilai tambah dirinci menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa tanah, bunga dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah pada masing-masing sektor akan ditentukan oleh besarnya
142 output (nilai produksi) yang dihasilkan dan perbandingan antara nilai tambah terhadap outputnya. Oleh sebab itu, suatu sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar pula karena penciptaan nilai tambah juga ditentukan oleh perbandingan nilai tambah terhadap output yang disebut dengan efisiensi Bila dibandingkan antara peringkat output dan nilai tambah dengan klasifikasi 22 sektor, maka sektor kehutanan tidak termasuk dalam kelompok sepuluh terbesar peringkat nilai tambah, maupun peringkat output
Hal ini
menunjukkan bahwa sektor kehutanan bukan merupakan sektor utama atau sektor kunci (key sektor) di Provinsi Jawa Tengah. 6.2.2
Membangun Kerangka Model Input-Output Modifikasi Dalam membangun kerangka model Input-Output
perekonomian di
Provinsi Jawa Tengah telah dilakukan pengelompokan terhadap seluruh manfaat ekonomi hutan manfaat hutan pada perekonomian sebanyak 18 (delapan belas) variabel/sektor
untuk
dimasukan
dalam
perhitungan
model
tersebut.
Pengelompokkan sektor-sektor tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Sektor Keh u t an an y an g p ih ak p ro d u sen d an ko n su menny a su d ah je las ( h as il kayu , no n k ayu, jas a wis at a, h as il la ng su ng, ileg al lo g g ing , ile g a l tr ad ing , r eh ab ilitas i h ut an , k eh ila ng an n ila i t amb ah ) mak a d imasu kk an k e d a lam ne rac a p ro d u ksi. S ek to r-s ek to r
te rseb ut
men gg un ak an in p ut d ar i f ak to r
p rod uksi k eh u t an an maup un sekto r-s ekto r lain d eng an k o ns umen o u tp utny a d ap at b er as al d ari ru mah tan gg a mau p u n ins t itu s i. b . Sekto r man fa at air d an ud ar a b ers ih d imasuk k an d a la m n erac a p ro d uk si te t ap i terb a tas s eb agai h as il s amp ing an d iman a inp ut an t ar an y a no l s eh ingg a d imasu kk an d a lam s urp lu s u sah a. C ar a in id ik en al s eb ag ai t ekn ik inp u tas i inp u t. Sed an gk an k o ns ums i o utp u t d ar i air d an u d a ra b ers ih b erb ed a. O utp ut air d ik o n su ms i o leh ru mah tang ga, ind u str i, mau p un s eb ag ai f akto r p ro d uk si p ertan ian . Semen t ara itu o u tp ut u d ara b ers ih d iasu ms ik an d ik o ns ums i me r at a p ad a s e lu ru h ru mah d i P ro v ins i J awa Ten g ah. c . Sekto r ind us tr i p rimer k eh ut an an (p engg erg a jia n, k ayu lap is , maub e l d an p eng o lah an y an g b ah an b ak un y a k ayu ) y ang d alam Mo d el I-O J awa Teng ah
143 (Stan d ar) s eb agai s ek to r n o n k eh utan an d ip ind ah k an men jad i s ek to r kehu tan an. d . Sekto r d efo res tas i, ero s i, k eb e rad an d an p ilih an hut an, d an efis ie ns i ke lemb ag aan yang b e lu m je las p ih ak p ro d usen d an ko ns umenn ya d i masuk kan d alam p erh itu ng an s eb ag a i n er ac a no n ek o no mi Dibandingkan dengan Tabel Input-Output standar, kelompok sektor produksi kehutanan bertambah 5 (lima) variabel yaitu industri penggergajian, industri kayu lapis, industri bahan bangunan dari kayu, dan industri lain bahan bakunya dari kayu, serta jasa wisata hutan atau lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan bahwa industri kayu primer (industri penggergajian, industri kayu lapis, industri bahan bangunan dari kayu, dan industri lain bahan bakunya dari kayu) menjadi urusan Departemen Kehutanan (sebelumnya merupakan urusan Departemen Perindustrian). Kedua, kelompok sektor produksi kehutanan lainnya yang terdiri atas hasil langsung ke masyarakat, ilegal logging, ilegal trading, kehilangan nilai tambah, rehabilitasi hutan dan lahan, manfaat air, dan manfaat udara bersih. Kelompok sektor produksi kehutanan lainnya tersebut pada proses penyusunan Tabel Input- Output Provinsi Jawa tengah standar belum dihitung. Ketiga, kelompok manfaat hutan non ekonomi sektor kehutanan yang terdiri atas 4 (empat) variabel nilai-nilai deforestasi, penggantian erosi, keberadaan hutan, dan kelembagaan. Kelompok ketiga terakhir tersebut dalam proses penyusunan Tabel Input-Output tidak dapat dimasukkan sebagai sektor produksi sebab sulit ditentukan tranfer antar sektornya karena tidak jelas pihak yang memproduksinya. Oleh karena itu keempat variabel manfaat hutan non ekonomi tersebut pada sistem neraca perekonomian Provinsi Jawa Tengah dianggap sebagai persediaan (stock). Nilai dari persediaan tersebut terdapat 2 (dua) variabel/sektor yang dinilai sebagai pengurang (negatif) yaitu deforestasi dan erosi. Kedua variabel tersebut dalam pembangunan perekonomian bersifat merugikan karena sebagai biaya ekonomi (economic-cost) atau penghasilan/pendapatan yang hilang (leakages). Dari 18 (delapan belas) variabel/sektor manfaat hutan pada perekonomian Provinsi Jawa Tengah, terdapat 11 variabel/sektor yaitu nilai manfaat air, hasil
144 langsung ke masyarakat, ilegal logging, ilegal trading, kehilangan nilai tambah, dan rehabilitasi hutan dan lahan, deforestasi, penggantian erosi, keberadaan hutan, kelembagaan, dan udara bersih telah dilakukan aplikasi hasil valuasi dengan metode yang telah ditetapkan pada Bab terdahulu. Sementara itu 7 (tujuh) variabel lain yaitu kayu nilai hasil kayu, non kayu, industri penggergajian, industri kayu lapis, industri bahan bangunan dari kayu, dan industri lain bahan bakunya dari kayu digunakan data lapangan usaha atau klasifikasi pada Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah standar. 6.2.3
Analisis Output Bagian ini akan menjelaskan tentang keterkaitan antar kegiatan ekonomi
(lapangan usaha) terutama yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan di Provinsi Jawa Tengah. Sesuai dengan konsep pendekatan, keterkaitan antar kegiatan ekonomi (lapangan usaha) ini dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu "analisis produksi" dan "analisis dampak" dengan menggunakan teknik kajian deskriptif. Analisis produksi merupakan analisis berdasarkan data dan informasi yang terdapat dikuadran-kuadran dalam tabel I-O, sedangkan analisis dampak menggambarkan bagaimana dan sejauh mana pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan suatu variabel (peubah) terhadap variabel lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini kelompok variabel yang mempengaruhi disebut sebagai “exogeneous variabel” sedangkan variabel yang akan dipengaruhi disebut sebagai “endogenous variabel”. Kondisi makro ekonomi suatu negara berkembang memerlukan suatu aliran pendapatan yang berkesinambungan agar proses pembangunan dapat berjalan sesuai
yang
direncanakan
(Todaro,
2000).
Aliran
pendapatan
dapat
berkesinambungan apabila terdapat sumberdaya yang dimanfaatkan untuk menggerakan kegiatan atau aktivitas perekonomian. Salah satu sumberdaya yang potensial yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Tengah adalah kawasan hutan. Berdasarkan pengalaman empiris, ternyata sumberdaya hutan di Provinsi Jawa Tengah telah memberikan kontribusi yang relatif signifikan karena sumberdaya hutan merupakan salah satu kekayaan alam (natural capital) yang dapat dimanfaatkan untuk dapat memberikan aliran pendapatan bagi pemerintah provinsi maupun masyarakat. Sumbangan sumberdaya hutan bagi perekonomian
145 provinsi tersebut biasanya diukur dengan ukuran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan nilai tambah dari setiak sektor perekonomian maka dapat diketahui PDRB.
Selanjutnya PDRB dapat digunakan untuk melihat dan
mengevaluasi besarnya pendapatan regional yang dapat diciptakan olek suatu wilayah. Selain dapat melihat keterkaitan antar kegiatan ekonomi (kuadran I) dari tabel I-O juga dapat dilihat perolehan pendapatan masyarakat (termasuk rumahtangga) yang diciptakan oleh berbagai sektor ekonomi yaitu pada kuadran III, sedangkan rincian permintaan akhir termasuk konsumsi rumahtangga dapat dilihat pada kuadran II. Selanjutnya hubungan antara pendapatan dan konsumsi tersebut termasuk transaksi-transaksi ekonomi lainnya yang digambarkan dalam tabel I-O dapat dilihat pada Lampiran 15. Untuk melihat manfaat sektor kehutanan yang lebih lengkap, maka sektor tersebut dalam analisisnya meski digabung ke dalam aktifitas sektor kehutanan. Ada beberapa aktifitas sektor kehutanan yang memang belum diperhitungkan dalam penghitungan pendapatan regional. Kegiatan ekonomi tersebut adalah nilai hasil langsung kehutanan, kegiatan illegal logging, kehilangan nilai tambah sektor kehutanan, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, serta nilai illegal trading. Selain kegiatan sektor kehutanan, ada juga aktifitas yang muncul akibat adanya kawasan hutan, yang biasa juga disebut dengan fungsi non ekonomi kawasan sumberdaya hutan. Sehingga aktifitas sektor kehutanan secara langsung maupun tidak akan berdampak pada nilai kegiatan tersebut. Manfaat non ekonomi kawasan hutan ini biasanya bersifat berbanding terbalik dengan eksploitasi sumberdaya hutan. Kegiatan atau manfaat yang dimaksud antara lain adalah nilai penggantian deforestasi, nilai penggantian erosi, nilai keberadaan kawasan hutan, nilai manfaat air kawasan hutan, serta nilai udara bersih kawasan hutan. Disamping itu juga ada nilai kelembagaan yang mengurusi sektor kehutanan. Manfaat non ekonomi tidak dapat dimasukkan ke dalam transaksi tabel input output. Faktor non ekonomi tersebut nantinya menjadi persediaan atau parameter koefisien perubahan biaya yang harus dikeluarkan jika sektor ekonomi mengalami perubahan.
146 Sebagaimana
telah
diuraikan
terdahulu,
sektor
kehutanan
hanya
berkontribusi sebesar Rp 1.80 trliun atau sekitar 0.52 % terhadap total output Provinsi Jawa Tengah. Setelah dilakukan disagregasi sekaligus memasukkan nilai-nilai yang belum terhitung (hasil langsung ke masyarakat, ilegal logging, kehilangan nilai tambah, rehabilitasi hutan dan lahan, serta ilegal trading) dan juga menempatkan kembali sektor industri primer kehutanan dan jasa wisata hutan sesuai posisinya
maka total output Propinsi Jawa Tengah meningkat dari
Rp 342.15 triliun menjadi Rp 354.19 triliun, atau meningkat sebesar Rp 12.04 triliun yaitu sekitar 3.51%. Total peran sektor
kehutanan yang berpengaruh
sebagai faktor ekonomi sebesar Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23% dari total output provinsi.
Peningkatan output tersebut didapatkan dari manfaat-manfaat
hutan yang belum diperhitungkan pada PDRB standar. Manfaat hutan tersebut menyebabkan terciptanya nilai tambah bruto (PDRB) baru (tambahan) sebesar Rp 6.06 triliun. Dengan demikian, PDRB propinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 171.31 triliun menjadi Rp175.29 trilun. Perubahan nilai PDRB tersebut dapat dilihat pada tabel 45. Tabel 45 PDRB Sebelum dan Sesudah Ada Tambah an Penghitungan Kegiatan Sektor Kehutanan (juta Rp) Lapangan Usaha Kayu Hasil hutan lainnya Jasa lingkungan Nilai hasil langsung Illegal Logging Kehilangan nilai tambah Sektor Kehutanan Rehabilitasi hutan dan lahan Lainnya Nilai ilegal trading Manfaat air Nilai Udara bersih Sektor Non Kehutanan PDRB Komoditi Domestik Kehutanan
PDRB Awal 438 813 694 138 3 719 170 172 953 171309 623
PDRB PDRB Tambahan Total 438 813 694 138 3 719 6 586 6 586 1 1 218 218 16 039 16 039 106 810 106 810 5 505 896 5 505 896 429 243 429 243 - 170 172 953 6 064 793 177 390 454
Peran sektor kehutanan yang berpengaruh sebagai faktor ekonomi sebesar Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23 % dari total output provinsi. Sehingga selama ini pada penyusunan Tabel Input-Output Provinsi Jawa Tengah terjadi miscalulation dari output sektor kehutanan sebesar Rp 12.04 triliun atau 3.93 % dari total output provinsi.
Disamping pada sektor kehutanan terjadi mis-calulation
147 lain yang bersumber dari variabel/sektor kehutanan yang bukan faktor ekonomi. Sektor ini juga masih memiliki peran sebagai penyedia/stock yaitu nilai-nilai deforestasi, penggantian erosi, keberadaan hutan, dan kelembagaan 14.69 triliun atau sekitar 4.29 % dari total output provinsi.
sebesar Rp.
Namun mengingat
kegiatan deforestasi dan erosi telah mengangkibatkan penurunan produktifitas lahan maka nilai kedua sektor tersebut bersifat negatif atau biaya
ekonomi,
sehingga nilai stock berkurang dari Rp. 9.49 triliun menjadi sebesar Rp 5.73 triliun atau sekitar 1.68 % dari total output provinsi. Nilai persediaan atau stock non ekonomi dari sektor kehutanan tersebut pada dasarnya nilai potensial ekonomi yang dapat digali untuk menjad i penerimaan wilayah sepanjang jelas perolehannya dan siapa yang memanfaatkannya. Dengan demikian apabila seluruh manfaat hutan di Provinsi Jawa Tengah diperhitungkan sebagai kontribusi terhadap pendapatan wilayah maka nilai total manfaat ekonominya sebes ar Rp 20.22 trilun atau sekitar 5.91 % dari total output provinsi.
Kontribusi manfaat
hutan tersebut jauh lebih besar dibanding kontribusi sektor perkebunan, peternakan, perikanan masing -masing 1.16 %, 3.33 %, dan 1.55 %. Sektor kehutanan mempunyai kontribusi terhadap PDRB aktual sebesar Rp. 8.42 triliun atau sekitar 4.65 % dari total PDRB aktual Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 177.39 triliun.
Secara umum kontribusi kehutanan tersebut sudah
hampir sama dengan dibanding sektor-sektor lain seperti pertanian tanaman pangan, industri makanan dan minuman, perdagangan dan restoran yang nilai kontribusinya sekitar 5 – 15 %.
Hal tersebut disebabkan sub sektor kehutanan
yang meliputi hasil kayu bulat, hasil non kayu, jasa wisata, hasil langsung ke masyarakat, industri-industri yang bahan bakunya hasil hutan,
kegiatan
rehablitasi hutan dan lahan, serta kegiatan ilegal (logging dan trading) secara regional banyak yang tidak tercatat. Di samping itu juga ikut berpengaruh dalam menentukan besarnya kontribusi tersebut adalah balas jasa baik terhadap kapital hutan relatif kecil.
Sub sektor atau kegiatan ilegal logging, ilegal trading, hasil
langsung kemasyarakat yang hampir tidak ada pajak tak langsungnya. Hal tersebut disebabkan Sedangkan untuk sub sektor hasil hutan kayu, non kayu dan jasa wisata meskipun volumenya kecil tetapi persentase balas jasanya relatif besar yaitu mencapai sekitar 98%.
148 Dari Lampiran 15 dapat dilihat bahwa dari seluruh nilai produksi (bruto) yang dihasilkan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 354.19 triliun rupiah (baris 190 kolom 600), sekitar Rp 177.39 triliun (baris 209 kolom 180) atau sebesar 50.08% diturunkan dalam bentuk nilai tambah bruto. Sementara itu bila dilihat dari aspek pendapatan nilai tambah bruto yang sebesar Rp 177.39 triliun adalah merupakan balas jasa atau kompensasi yang dibayarkan ke faktor produksi tenaga kerja adalah sebesar Rp110.98 triliun (baris 201 kolom 180), dan sebesar Rp 56.66 triliun merupakan kompensasi yang dibayarkan terhadap penggunaan kapital, serta pajak tak langsung sebesar Rp 9.76 triliun, dan termasuk didalamnya keuntungan usaha (surplus usaha) dari air dan udara bersih sebesar Rp 5.94 triliun. Dengan
adanya
penambahan
output
maupun
nilai
tambah
akibat
memperhitungkan manfaat hutan secara lebih akurat maka daerah akan lebih memperhatikan pembangunan kehutanan lebih besar. Penambahan output dan juga nilai tambah tersebut tidak mengurangi kontribusi sektor lain, sehingga pemerintah daerah dapat lebih intensif untuk mengelola sumberdaya hutan. Namun demikian pengelolaan hutan mempunyai andil dalam kerusakan lingkungan terutama bahaya erosi. Oleh karena itu dalam perhitungan PDRB seharusnya juga memperhatikan biaya kerusakan lingkungan seperti erosi dan deforestasi. Besarnya nilai tambah pada masing-masing sektor akan ditentukan oleh besarnya output (nilai produksi) yang dihasilkan dan perbandingan antara nilai tambah terhadap outputnya. Oleh sebab itu, suatu sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar pula karena penciptaan nilai tambah juga ditentukan oleh perbandingan nilai tambah terhadap output yang disebut dengan efisiensi.
Setiap sektor mempunyai nilai balas jasa terhadap
tenaga kerja dan kapital serta nilai pajak tak langsung. Mengingat nilai erosi dan deforestasi bersifat negatif terhadap PDRB maka nilai PDRB aktual akan berkurang. Nilai akhir setelah dikurangi dampak erosi dan deforestasi menjadi PDRB hijau (Green PDRB). Nilai tambah yang tercipta merupakan balas jasa faktor produksi karen a adanya aktivitas produksi. Sehingga struktur nilai tambah penyusun PDRB aktual setiap sektor terdiri dari balas jasa terhadap tenaga kerja berupa upah dan gaji,
149 balas jasa terhadap kapital berupa surplus usaha (sewa tanah, bunga dan keuntungan, dan penyusutan), serta pajak tak langsung. Untuk aktivitas sektor kehutanan, balas jasa terhadap kapital dan pajak tak langsung yang dapat berupa pajak pemasaran hasil hutan, provisi sumber daya hutan (PSDH) dan retribusi lain misalnya dana reboisasi (DR). Oleh karena itu agar sektor kehutanan dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar maka aktivitasnya pengelolaan hutan harus banyak menyerap tenaga kerja, diversifikasi hasil hutan yang dipungut, dan peningkatan efektifitas pemungutan pajak tak langsung. PDRB aktual Provinsi Jawa Tengah setelah memperhitungkan seluruh manfaat hutan sebesar Rp 177.39 triliun tersebut sebenarnya masih mengandung resiko kerusakkan lingkungan khususnya sumberdaya alam hutan sebesar Rp 8.94 triliun. Resiko tersebut berupa kerusahan hutan dan erosi. Total nilai erosi dan deforestasi di Propinsi Jawa Tengah sebesar Rp 8.94 triliun atau sekitar 4.94% dari PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Mengingat terjadinya erosi dan
deforestasi pada lahan di semua sektor maka PDRB setiap sektor juga harus dikurangi sesuai besarnya nilai erosi dan deforestasi tersebut.
Pengurangan
PDRB per sektor sebesar biaya erosi dan deforestasi yang harus ditanggung oleh masing-masing sektor.
Perhitungan biaya erosi dan deforestasi per sektor
didasarkan pada proporsi luas lahan terbuka dan tingkat erosifitas lahan pada masing-masing sektor sebagaimana Tabel 46. Tabel 46. Proporsi Luas Lahan Terbuka dan Tingkat Kekritisan dalam Perhitungan PDRB Hijau di JawaTengah Tahun 2003 Sektor Luas Lahan Tingkat Proporsi terbuka (ha) kekritisan Hasil kayu Hasil non kayu Jasa lingkungan Industri Kayu Gergajian Industri Kayu Lapis Industri bhn bangunan dr. kayu Industri barang-lainnya dari kayu Ilegal logging Rehabilitasi lahan hutan Tanaman bahan makanan Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan dan Minuman Air Minum Konstruksi Lain-lain
560 24 15 12 9 8 11 123 61 47 50 37 30 78 24 18 12 29
Kritis Potensial kritis Potensial kritis Agak kritis Agak kritis Agak kritis Agak kritis Kritis Agak kritis Agak kritis Agak kritis Agak kritis Potensial kritis Sangat kritis Potensial kritis Agak kritis Sangat kritis Potensial kritis
2.41 27.98 2.12 6.17 4.92 8.17 0.17 1.79 0.05 6.10 5.08 5.29 1.59 44.75 1.28 5.17 22.61 12.94
150 Tabel 47. PDRB berdasarkan nilai tambah per sektor tahun 2003 Lapangan Usaha/ Sektor
K E H U T A N A N
N O N K E H U T A N
A N
Hasil kayu Hasil non kayu Jasa lingkungan Industri Kayu Gergajian Industri Kayu Lapis Industri bhn bangunan dr. ky Industri baranglainnya dr kayu Nilai hasil lasng ke masy. Illegal logging Nilai tambah kayu olahan Rehabilitasi lahan hutan Nilai ilegal trading Nilai air Nilai Udara bersih
Balas Jasa Tk
Balas Jasa Kpl
Pajak Tak Lsg
PDRB Aktual
(juta Rp) Biaya Green Erosi & PDRB Defrst
131 333
299 419
8 062
438 813
1 467 915
(1 029 102)
402 024
289 877
2 237
694 138
255 782
438 355
2 540 285 084
166 238 256
1 012 26 162
3 719 549 502
2 180 66 070
1 462 483 432
247 978
2 722
7 829
258 528
39 527
219 001
361 040
8 630
11 542
381 212
58 277
322 935
9 211
6 420
761
16 393
1 705
14 688
0
6 586
0
6 586
1 323
5 262
5 270
10 770
0
16 040
223 600
(207 560)
73
140
5
218
28
190
14 328
830
881
16 039
2 143
13 895
49 644
57 166
0
106 810
3 420
103 390
0
5 505 896
0
5 505 896
-
5 505 896
0
429 243
0
429 243
-
429 243
Jumlah Kht
1 508 525
6 856 882
57 703
8 423 137
2 131 970
6 291 167
Tanaman bahan makanan Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Mknan dan Minuman Industri Migas Industri olahan Lainnya Listrik dan Gas Air Minum Konstruksi Perdagangan, Restn, dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Bank, Lembaga Keuangan Jasa lainnya
22 270 064
1 825 496
199 603
24 295 163
255 845
24 039 318
Jumlah Total
1 282 667
365 747
14 971
1 663 385
226 844
1 436 541
3 811 430
1 845 470
70 877
5 727 777
169 197
5 558 580
1 253 981 1 400 949
1 007 802 290 741
23 800 52 761
2 285 582 1 744 450
31 991 6 268 938
2 253 591 (4 524 487)
10 301 757
8 523 565
4 294 960
23 120 283
20 682
23 099 600
1 292 052
12 677 850
167 250
14 137 151
-
14 137 151
8 335 555
5 122 547
958 062
14 416 164
-
14 416 164
417 006
1 249 188
25 799
1 691 994
-
1 691 994
79 750
282 594
5 378
367 722
83 094
284 628
5 773 704
843 278
355 050
6 972 032
519 363
6 452 669
31 881 810
6 636 024
2 859 077
41 376 912
-
41 376 912
5 229 433
4 503 060
166 517
9 899 010
-
9 899 010
1 472 154
4 606 135
370 178
6 448 467
-
150 039 931
14 665 482
22,290
133 453
14 821 225
-
14 821 225
110 907 004
50 647 278
9 755 342
177 390 454
8 948 263
168 442 191
151 Keterbukaan lahan yang luas dan kondisi lahan kritis cenderung memiliki proporsi distribusi kerugian erosi dan deforestasi semakin besar. Hal tersebut dimungkinkan karena dengan lahan yang terbuka dan mudah erosi maka laju erosi akan semakin besar. Sehingga, laju penurunan produktivitas lahan yang terbuka tersebut
akan semakin besar, yang pada akhirnya penurunan pendapatan
masyarakat akan semakin nyata. Proporsi luas lahan terbuka dan tingkat erosifitas tersebut menentukan distribusi besarnya nilai pengurangan PDRB aktual menjadi PDRB bersih (Green PDRB) sebagaimana Tabel 47. Resiko akibat erosi dan deforestasi oleh masing masing individu
tidak
langsung berdampak penurunan pendapatan karena tidak dirasakan secara jelas. Deforestasi dan erosi berdampak langsung terdapat difisiensi hara dan pengurangan
lapisan top soil, sehingga tanaman menjadi tidak subur.
Selanjutnya, masyarakat akan merasakan penurunan produksi tanaman. Dampak tersebut tidak hanya berhenti pada penurunan produktivitas lahan, erosi dan deforestasi juga akan mengakibatkan terjadinya banjir ataupun tanah longsor jika hujan tiba secara besar. Sehingga kerugian yang harus ditanggung masyarakat tersebut diatas akan meningkat lagi. Oleh karena itu penurunan produktivitas lahan dan kerugian masyarakat lainnya tersebut harus dicerminkan dalam perhitungan PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 177.39 triliun berkurang menjadi Rp 168.44 triliun. Berdasarkan perhitungan PDRB untuk setiap aktivitas perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang terkait dengan pengelolaan lahan secara langsung atau mempunyai dampak terhadap kerusakan lahan mengalami pengurangan menjadi PDRB hijau.
maka PDRB aktualnya akan Aktivitas atau sub sektor yang
mengalami penurunan mencolok hingga bernilai negatif adalah penebangan kayu, illegal logging , dan pertambangan dan penggalian. PDRB hijau ketiga aktivitas ekonomi tersebut masing-masing minus Rp 1.02 triliun, Rp 207.56 miliar, dan Rp 4.52 triliun. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan di masa yang akan datang ketiga aktivitas tersebut dapat dipertimbangkan untuk tidak dilaksanakan.
Ketiga aktivitas tersebut dapat dipertahankan untuk tetap
dilaksanakan sepanjang telah dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya secara efektif.
Dengan demikian pelaksanaan ketiga aktivitas tersebut memerlukan
152 pengawasan yang ketat dari pemerintah dan dibarengi dengan pemberian sanksi yang tegas dari aparat penegak hukum. Secara keseluruhan dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah, komponen terbesar dalam pembentukan nilai tambah berasal dari upah dan gaji yaitu mencapai 54.83%, terbesar kedua terbesar berasal dari surplus usaha dan penyusutan yang mencapai porsi 29.60%. Sementara komponen pajak tak langsung neto mencapai porsi 5.57%. Tetapi pola yang berbeda diperlihatkan oleh sektor kehutanan dalam penyusunan nilai tambahnya, dimana komponen terbesarnnya berasal dari surplus usaha dan penyusutan sebesar 51.83%, komponen upah dan gaji sebesar 47.17%, dan pajak tak langsung sebesar 1%. Komponen surplus usaha dan penyusutan sektor kehutanan lebih besar dibanding sektor lain non kehutanan. Tingginya surplus usaha di sektor kehutanan tersebut disebabkan antara lain terdapat hasil hutan yang bersifat sampingan tetapi nilainya sangat besar. Sebagai contoh hasil air dan udara bersih merupakan hasil sampingan dari kegiatan menanam pohon atau reboisasi yang harapan utamanya adalah kayu. Oleh karena itu hasil sampingan tersebut berjumlah besar titapi tidak memerlukan input tersendiri. Sedangkan komponen pajak tak langsung neto mempunyai porsi
yang
relatif kecil yaitu sebesar 1.00% dari nilai tambah sektor kehutanan atau sekitar 20% dari pajak tak langsung sektor-sektor non kehutanan. Hal in menunjukkan bahwa sektor kehutanan belum optimal dalam mendukung penerimaan negara yang berupa pajak. Penerimaan negara dari sektor kehutanan yang besar justru yang bukan pajak seperti provisi sumberdaya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) dan juga iuran ijin usaha (lisen fee) kehutanan. Berdasarkan tarif penerimaan negara bukan pajak sektor kehutanan yang berlaku saat ini antara lain PSDH berkisar Rp 50 000 s/d Rp 150 000 per m3 tergantung jenis kayu, DR berkisar 12 US$ s/d 16 US$ per m3 tergantung jenis kayu dan wilayah kerja, dan Iuran Ijin Usaha Kehutanan berkisar Rp 15 000 s/d Rp 50 000 per ha tergantung jenis usahanya. Dengan demikian untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor kehutanan tidak digali dari pajak melainkan dari yang bukan pajak.
153 Tabel 48. Komposisi Nilai Tambah Sektor Kehutanan di Jawa Tengah Tahun 2003 Sektor Upah dan gaji
Sektor Kehutanan Seluruh Perekonomian (%) (%) 47.17 54.83
Surplus usaha dan penyusutan
51.83
29.60
Pajak tak langsung neto
1.00
5.57
100.00
100.00
Jumlah
Surplus usaha belum tentu dapat langsung dinikmati oleh masyarakat karena surplus usaha tersebut sebagian ada yang tersimpan atau ditanam perusahaan dalam bentuk laba yang ditahan. Dengan rendahnya komponen upah dan gaji tersebut di sektor kehutanan, mengindikasikan bahwa tenaga kerja di sektor kehutanan sebagai fak tor produksi belum memperoleh penghasilan yang memadai atas balas jasa yang dihasilkannya. Upah dan gaji menjadi pendorong utama bagi manusia untuk bekerja oleh karena manusia perlu memenuhi kebutuhan dasarnya bahkan bila mungkin meningkatkan standar hidupnya, maka upah yang layak sangat mereka butuhkan. Namun perlu juga dicermati bahwa perusahaan dalam menentukan upah dan gaji juga mempertimbangkan berbagai aspek seperti masa kerja, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki pekerja, serta variabel lainnya. Konsep pengupahan perlu juga mempertimbangkan produktivitas pekerja. 6.2.4
Analisis Input Struktur biaya untuk penggunaan berbagai input suatu sektor dikelompokan
kedalam dua kelompok besar, yaitu input antara dan input primer. Input antara mencerminkan jenis-jenis biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing sektor atas biaya pemakaian barang dan jasa yang habis digunakan untuk proses produksi. Sedangkan input primer atau sering disebut dengan nilai tambah bruto, mencerminkan seluruh biaya yang digunakan untuk pembayaran balas jasa faktor produksi. Komponen ini terdiri dari upah/gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Adapun yang dimaksud dengan input adalah
154 pengeluaran yang digunakan untuk membeli bahan baku dan penolong yang merupakan output dari sektor-sektor yang lain. Hasil penghitungan tabel input output propinsi Jawa Tengah tahun 2003 menunjukan bahwa total input seluruh sektor ekonomi besarnya mencapai Rp.354.19 triliun.
Dari total input tersebut, yang merupakan komponen nilai
tambah bruto sebesar Rp 177.39 triliun atau sekitar 50.08%. Berarti yang merupakan komponen input antara besarnya mencapai 49.92%. Dari besar input antara tersebut, hanya sekitar 66.12 % nya yang bahan bakunya berasal dari produk domestik propinsi Jawa Tengah, sisanya 33.88% merupakan impor dari luar propinsi Jawa Tengah. Bahkan untuk sektor kehutanan secara keseluruhan memiliki struktur input domestik sebesar 74.16% dan input dari luar Provinsi Jawa Tengah sebesar 25.84%. Gambaran struktur input untuk setiap sektor dapat dilihat pada Tabel 49. Dengan relatif kecilnya input sektor kehutanan dibanding sektor-sektor non kehutanan maka sektor kehutanan dapat dikembangkan secara lebih luas dengan mengandalkan bahan baku dari Jawa Tengah sendiri. Namun harus dipahami bahwa sektor kehutanan yang membuat kecilnya input adalah manfaat air dan udara bersih yang inputnya dianggap nol. Sementara itu untuk sektor kehutanan lain misalnya industri primer kehutanan tetap mengandalkan input dari luar provinsi, karena dari domestik hanya mampu mensuplai 30% dari kebutuhan industri kayu yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Bahkan sektor jasa wisata, penggunaan struktur inputnya sampai 95.5% yang merupakan output dari sektorsektor lainnya. Disamping itu. dari tabel 49 tersebut juga dapat diketahui bahwa sektor hasil hutan non kayu merupakan sektor yang rasio penggunaan input antaranya paling kecil, yaitu hanya sebesar 28.3%. Hal ini menunjukan bahwa sektor tersebut bukan merupakan sektor yang padat
modal.
Oleh
karena
itu
untuk
mengembangkan sektor hasil hutan non kayu tersebut masyarakat pedesaan, koperasi dan sebagainya keterlibatannya.
yang kemampuan modalnya kecil dapat intensifkan
Intensifikasi keterlibatan akan sangat mendukung program
pengamanan kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah, sebab dengan terlibat dalam
155 pemungutan hasil hutan non kayu maka otomatis masyarakat akan mengamankan keberadaan hutannya sendiri. Tabel 49 Struktur Input Sektor Ekonomi propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (juta Rp) Input Antara Sektor
Impor
Nilai Tambah Total
Total Input
Bruto
Kayu
314 604.7
18 977.6
333 582.3
438.813.1
772 395.4
Hasil non kayu
258 221.8
15 754.3
273 976.1
694 137.8
968 113.9
Jasa lingkungan
73 361.4
5 927.2
79 288.7
3 718.6
83 007.3
773 890.1
352 243.1
1 126 133.2
549 502.3
1 675 635.5
468 966.0
212 676.3
681 642.3
258 528.4
940 170.7
691 418.2
313 558.4
1 004 976.6
381 211.6
1 386 188.3
20 047.4
9 091.5
29 138.8
16 392.9
45 531.8
Komoditi Domestik Industri Kayu Gergajian dan Awetan Kehutanan Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya Industri bahan bangunan dari kayu Industri barang-barang lainnya dari kayu Hasil langsung ke masyarakat Illegal logging Fungsi Lain Nilai tambah Sektor Rehabilitasi lahan hutan Kehutanan Nilai ilegal trading
4.0
6 585.6
6 589.6
40 903.0
4.0
761.5
41 664.5
16 039.8
57 704.3
622.2
10.6
632.8
217.7
850.5
41 033.5
6.055.8
47 089.2
16 038.8
63 128.0
8.0
106 810.2
106 818.2
8.0
-
-
Manfaat air
0
0
0
0
Nilai Udara Bersih
0
0
0
0
0 0
Tanaman bahan makanan
7 273 461.4
1 553 717.3
8 827 178.7
24 295 163.4
Perkebunan
1 900 387.5
297 487.2
2 197 874.7
1 663 385.3
3 861 260.1
Peternakan
4 289 963.7
104 312.0
4 394 275.7
5 727 777.9
10 122 052.7
Perikanan
1 507 290.2
86 643.2
1 593 933.4
2 285 582.3
3 879 515.8
33 122 342.1
Pertambangan dan Penggalian
625 698.6
72 803.1
698 501.7
1 744 450.3
2.442.952.1
Industri Makanan dan Minuman
18 675 399.0
4 605 778.3
23 281 177.3
23 120 283.7
46 401 460.0
4 389 490.1
11 590 132.1
15 979.622.2
14 137 151.9
30.116.773.2 64.935.188.0 7.831.139.5
Komoditi Industri Migas Domestik Industri Pengolahan Lainnya Selain Kehutanan Listrik dan Gas Air Minum Konstruksi Perdagangan. Restoran. dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Bank. Lembaga Keuangan Lainnya Jasa lainnya Total
Domestik
37 119 626.9
13 399 396.7
50 519.023.6
14 416 164.3
3 206 914.6
2 932 230.9
6 139.145.5
1 691 994.9
1 138 102.7
161 399.5
1 299.502.2
367 722.0
1.667.224.2 17.067.186.2
7 654 828.6
2 440 325.8
10 095.154.3
6 972 032.8
13 551 386.4
11 123 885.6
24 675 272.1
41 376 912.6
66.052.183.7
1 814 593.8
7 056 360.3
8 870 954.1
9 899 010.1
18.769.964. 3
2 033 527.0
3 879 085.8
6 448 467.9
10.327.553.8
9 213 650.3
1 517 353.2
10 731 003.5
14 821 225.8
25.552.228.4
116.889 433.7
59 910 408.4
176.799 841.5 177 390 454.7 354 190 296.2
1 845 558.9
Sektor illegal loging , sektor kehilangan nilai tambah dari fungsi hutan, sektor rehabilitasi lahan hutan, sektor industri pengolahan lainnya, sektor listrik dan gas, serta sektor air minum. Sektor-sektor tersebut merupakan sektor yang meminta output sektor lain sebagai input antaranya cukup besar. Sehingga dapat dikatakan, seandainya sektor-sektor ini bergerak makan output sektor-sektor yang lain juga akan tertarik untuk bergerak juga.
Dengan demikian secara makro
156 ekonomi kegiatan illegal logging dan industri pengolahan kayu dapat mendorong bergeraknya aktivitas ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu aktivitas illegal
logging dan pengolahan kayu tidak bijaksana untuk dihilangkan secara mendadak tetapi harus ditertibkan secara perlahan.
Keberhasilan penertiban tersebut
tergantung dari pelaksana dan penegak hukum 6.2.5
Backward Linkage dan Forward Linkage Keterkaitan suatu sektor dengan sektor-sektor ekonomi lainnya tidak hanya
digambarkan melalui
besaran transaksi input
produksi) antar sektor-sektornya tetapi
bisa
maupun output (keterkaitan
juga dinyatakan dalam ukuran -
ukuran lain seperti derajat kepekaan (backward linkage) dan daya penyebaran (forward linkage). Ukuran ini merupakan analisis yang juga dapat diturunkan dari tabel I-O yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat dari adanya perubahan dalam permintaan terhadap sisi penyediaannya, yang pada akhirnya disebut sebagai analisis dampak. Dalam pengertian yang sederhana. analisis dampak ini menggambarkan hubungan sebab akibat dari suatu sistem mata rantai kegiatan ekonomi dalam suatu kaitan proses produksi. Apabila terjadi perubahan pada permintaan akhir (variabel exogenous), maka akan diukur sampai seberapa besar pengaruhnya terhadap perubahan pada sektor-sektor ekonomi lainnya (variabel endogenous). Atau dengan kata lain apabila terjadi perubahan permintaan (akhir) maka akan terjadi juga perubahan pada sektor-sektor
ekonomi
lainnya,
baik secara
langsung maupun tidak langsung (dampak ganda). Apabila dalam struktur input yang dibahas pada bagian sebelumnya hanya menjelaskan transaksi barang dan jasa yang diperlukan oleh setiap sektor untuk memproduksi outputnya, maka pada analisis dampak dapat dilihat perubahan perubahan yang terjadi sebagai akibat terjadinya perubahan pada komponen lain. Pada struktur input tersebut tidak memperlihatkan sedikitpun mengenai dampak dampak atau pengaruh-pengaruh selanjutnya apabila terjadi perubahan -perubahan pada komponen lain. Dengan perkataan lain. perubahan permintaan terhadap suatu sektor akan mempunyai dampak secara langsung dan dampak tidak langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi sebagai suatu keterkaitan antar pelaku
157 ekonomi. Oleh sebab itu. salah satu keunggulan analisis dengan model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan antar berbagai sektor produksi tersebut. Hubungan yang dapat digambarkan ini berupa: (1) Hubungan ke depan (forward linkage) atau keterkaitan dengan penjualan produk akhir kepada sektor-sektor ekonomi lainnya (2) Hubungan ke belakang (backward linkage) yang menggambarkan keterkaitan
(hubungan) dengan asal bahan mentah ataupun bahan baku
yang digunakan dalam proses produksinya. Jadi besaran tingkat keterkaitan ini juga bisa dilihat dari dua sisi. yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau disebut juga sebagai "derajat kepekaan" dan tingkat keterkaitan ke belakang atau disebut sebagai "daya penyebaran". Selama ini
para ahli telah menggunakan kedua indeks pada ukuran tersebut dalam
menganalisa dan menentukan sektor-sektor kunci (key sektors) yang perlu dan akan dikembangkan dalam pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Selain itu juga untuk mengkaji apabila input yang digunakan untuk proses produksi dalam sektor tersebut tidak bisa dihasilkan di wilayah tersebut. sehingga diperlukan adanya impor. Untuk melihat derajat kepekaan dan daya penyebaran suatu sektor terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya disajikan pada tabel-tabel di bawah ini. Gambaran derajat kepekaan dan daya penyebaran sektor terhadap seluruh sektor-sektor ekonomi di Propinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 50. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa secara total nilai derajat kepekaan berada diantara 1.00 dan 2.56 dimana yang terkecil merupakan rasio dari sektor nilai illegal trading. sedangkan rasio yang terbesar dari sektor jasa lingkungan. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui besaran total daya penyebaran yang berada diantara 1.00 dan 2.09 dimana yang terkecil berada pada sektor kehilangan nilai tambah dan sektor rehabilitasi lahan hutan. dan yang terbesar pada pada sektor jasa wisata. Berdasarkan nilai keterkaitan antar sektor yang ditunjukkan oleh derajat kepekaan dan daya penyebaran maka sektor jasa wisata sangat potensial untuk dikembangkan karena sangat mendorong sektor-sektor lain baik keperluan input maupun outputnya.
158 Tabel 50. Derajat Kepekaan dan Daya Penyebaran Sektor-Sektor Propinsi jawa Tengah Tahun 2003 Sektor
Komoditi Domestik Kehutanan
Forward Linkages
Indeks
Koefisien
Indeks
Kayu
1.6642
1.0004
1.5077
0.9064
Hasil non kayu
1.3820
0.8308
1.0297
0.6190
Jasa wisata
2.5650
1.5419
2.0459
1.1788
Ind. Kayu Gergajian dan Awetan
1.8234
1.0961
1.5760
0.9474
Ind. Kayu Lapis dan Sejenis nya
1.8863
1.1340
1.5072
0.9060
Ind. bahan bangunan dari kayu
1.8863
1.1339
1.5031
0.9036
Ind. Barang lainnya dari kayu
1.7824
1.0715
1.0376
0.6237
Hasil langsung ke masyarakat
1.0011
0.6018
1.0008
0.6016
Illegal logging
2.2348
1.3434
1.0172
0.6115
2.2805
1.3709
1.0000
0.6011
2.2502
1.3527
1.0000
0.6011
Fungsi Lain Nilai tambah Sektor Rehabilitasi lahan hutan Kehutanan Nilai ilegal trading
1.0000
0.6012
1.0047
0.6039
Manfaat Air
1.0000
0.5765
1.0244
0.5906
Nilai Udara bersih
1.0000 1.0528
0.5765 0.6069
1.0000 1.0544
0.5765 0.6079
Perkebunan
1.1419
0.6583
1.0288
0.5931
Peternakan
1.1327
0.6530
1.0270
0.5921
Perikanan
1.1064
0.6378
1.0138
0.5844
Pertambangan dan Penggalian
1.1010
0.6347
1.0397
0.5994
Industri Makanan dan Minuman
1.1522
0.6643
1.2110
0.6981
Industri Migas
1.0621
0.6123
1.4393
0.8297
Industri Pengolahan Lainnya
1.2513
0.7214
1.9712
1.1364
Listrik dan Gas
1.1741
0.6768
1.7845
1.0288
Air Minum
1.2608
0.7269
1.2665
0.7301
Tanaman bahan makanan
Komoditi Domestik Selain Kehutanan
Backward Linkages Koefisien
Konstruksi
1.1878
0.6847
1.0018
0.5775
Perd.. Restoran. dan Hotel
1.0828
0.6242
1.0438
0.6017
Angkutan dan Komunikasi Bank. Lembaga Keuangan Lainnya dan Jasa Perusahaan
1.0429
0.6012
1.1993
0.6914
1.0726
0.6183
1.1208
0.6461
1.1439
0.6595
1.1132
0.6418
1.6635
1.0000
1.1435
1.0000
Jasa lainnya Rata-rata
Untuk memudahkan melihat sektor-sektor yang berpengaruh terhadap perekonomian. maka masing-masing nilai koefisien derajat kepekaan dan daya penyebaran tersebut dibagi dengan rata-rata seluruh koefisien. sehingga diperoleh indeks derajat kepekaan dan daya penyebaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sektor yang mempunyai nilai indeks derajat kepekaan dan daya penyebaran diatas satu berarti mempunyai peran yang penting dalam menggairahkan perekonomian propinsi Jawa Tengah.
159 Sektor yang mempunyai indeks derajat kepekaan tertinggi adalah sektor jasa lingkungan atau wisata. dengan besar indek derajat kepekaan sebesar 1.54. Nilai indek tersebut diperoleh dari angka koefisien sebesar 2.56 yang artinya apabila permintaan terhadap sektor jasa lingkungan bertambah satu satuan. maka output seluruh sektor ekonomi di propinsi Jawa Tengah akan bertambah sebesar 2.56 satuan. Oleh karena itu sektor jasa wisata dari kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah dapat menjadi sektor primadona dimasa yang akan datang. Pengembangan jasa wisata di Provinsi Jawa Tengah telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa sampai saat inisektor ini mempunyai kontribusi nominal sekitar 83 miliar per tahun, tetapi keterkaitan dengan sektor-sektor lain sangat besar. Hasil tersebut juga berlaku secara nasional sebagaimana hasil penelitian Rusman (2005), yaitu sektor jasa wisata mampu menngerakkan sektor perekonomian lain secara signifikan. 6.2.6
Kebocoran Pendapatan Regional Kebocoran ekonomi pada dasarnya aliran pendapatan yang keluar dari
wilayah yang bersangkutan. Dalam hal in kebocoran tersebut termasuk kebocoran regional (regional leakages). Oleh karena konsep pendapatan wilayah merupakan agregasi dari pendapatan sektoral maka dalam sub ini juga akan diuraikan kebocoran sektor (sektor leakages) kehutanan. Dari Lampiran 15 dapat diperlihatkan bahwa pendapatan faktor produksi tenaga kerja Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 sebesar Rp 110.98 triliun . Sedangkan pendapatan bukan tenaga kerja atau pendapatan kapital sebesar Rp 56.66 triliun.
Jumlah kedua pendapatan tersebut sama dengan produk domestik
regional bruto (PDRB) atas dasar biaya faktor (at faktor costs), yaitu sebesar Rp 167.64 miliar. Dan bila ditambah dengan pajak tidak langsung neto yang sebesar Rp 9.76 triliun maka PDRB Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 diperkirakan sebesar Rp 177.39 triliun. Dari Lampiran 15 dapat juga diperlihatkan bahwa PDRB Provinsi Jawa Tengah yang sebesar Rp 177.39 triliun tersebut tidak semuanya diserap oleh Provinsi Jawa Tengah sendiri. sebagian mengalir ke luar Provinsi Jawa Tengah. Dengan perkataan lain. telah terjadi kebocoran regional (regional leakages) di
160 Provinsi Jawa Tengah. Dari total pendapatan sebesar Rp Rp 177.39 triliun yang bocor keluar Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp. 22.41 triliun atau sekitar 12.63%. Kebocoran dari pendapatan kapital sebesar Rp 13.06 triliun atau sekitar 7.36% dan kebocoran dari pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 9.35 triliun atau sekitar 5.27%. Kebocoran tersebut terjadi karena terdapat modal yang dioperasikan di Provinsi Jawa Tengah berasal dari luar Provinsi Jawa Tengah. Sebagai efeknya. balas jasa yang diperoleh oleh faktor produksi tersebut juga mengalir kembali ke luar Provinsi Jawa Tengah. Misalnya faktor produksi modal yang ditanamkan di Provinsi Jawa Tengah ternyata ada yang berasal dari luar Provinsi Jawa Tengah. sehingga balas jasa modal (returns to capital) yang diterima juga mengalir kembali ke daerah
mana
modal
tadi berasal. Dalam kasus ini. kebocoran
regional dapat juga berarti adanya pengiriman returns to capital kepada perusahaan -perusahaan induk yang berdomisili di luar Provinsi Jawa Tengah. Sebagai akibat adanya kebocoran regional tersebut maka tidak semua PDRB Provinsi Jawa Tengah dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat di provinsi ini. Walaupun terdapat kasus kebocoran regional. Provinsi Jawa Tengah juga mempunyai pendapatan yang berasal dari luar provinsi, sebagai akibat adanya modal yang ditanam (diinvestasikan) di luar provinsi. Pendapatan modal Provinsi Jawa Tengah yang ditanam (diinvestasikan) di luar provinsi mengalirkan pendapatan (returns to capital) sekitar Rp 19.86 triliun. Dengan perkataan lain. net faktor income Provinsi Jawa Tengah bernilai positif. yaitu Rp 2.55 triliun dari faktor produksi modal. 6.2.7
Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang berpengaruh dalam
perekonomian Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan perkembangan pembangunan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah sejak dahulu kala didominasi oleh sektorsektor yang berbasis sumberdaya alam (pertanian pangan. perkebunan. kehutanan. peternakan. perikanan dan lain-lain).
Dan sektor industrinya pun yang
memberikan kontribusi pada pembangunan perekonomian juga tergantung pada
161 hasil-hasil sumberdaya alam.
Oleh karena itu konsep pembangunan
perekonomian wilayah Provinsi Jawa Tengah lebih dekat dengan konsep berbasis sumberdaya. dimana pertumbuhan ekonomi wilayah sangat dipengaruhi oleh kekayaan alam (termasuk kehutanan) di wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi pada awalnya timbul akibat dari kemampuan wilayah tersebut menghasilkan barang dan jasa dari hasil-hasil sumberdaya alam untuk keperluan domestiknya dan juga mengekspornya (menjual keluar wilayah) dengan harga dan kualitas yang bersaing.
Kemampuan ekspor tersebut akan menciptakan menciptakan
pendapatan wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya. melalui efek multiplier akan memperluas pendapatan wilayah yang bersangkutan. Khusus kemampuan sektor kehutanan dalam menghasilkan barang dan jasa untuk mendukung pendapatan wilayah Provinsi Jawa Tengah terjadi kebocoran sektor yang berujung pada penurunan pendapatan dari sektor tersebut. Kebocoran -kebocoran sektor tersebut antara lain deforestasi, erosi, ilegal logging, ilegal trading , dan efisiensi kelembagaan. Dari total pendapatan sektor kehutanan berdasarkan biaya faktor (at faktor costs). yaitu sebesar Rp 8.42 triliun terdapat kebocoran sektor sebesar Rp 2.54 triliun atau sekitar 30.17%. Oleh karena itu kebocoran pendapatan sektor kehutanan tersebut lebih tinggi dibanding sektor-sektor lain.
Hal ini dapat
dipahami sebab sektor kehutanan mempunyai kontribusi kebocoran yang sangat besar dari erosi yang jumlahnya sekitar 25% dari seluruh kebocoran kehutanan. Oleh karena itu guna meningkatan pendapatan dari sektor kehutanan tersebut maka prioritas utamanya adalah mengatasi erosi. Rincian kebocoran pendapatan dari sektor kehutanan tersebut sebagaimana Tabel 51. Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana Tabel 51
terdapat 3 (tiga)
faktor utama yang menyebabkan kebocoran pendapatan sektor kehutanan yaitu kerugian erosi, efisiensi kelembagaan, dan illegal trading . Sementara itu 3 (tiga) faktor lainnya yaitu deforestasi, illegal logging dan kehilangan nilai tambah merupakan pendorong
faktor utama kebocoran
tersebut.
Uraian mengenai
lingkup dan dampak dari masing-masing faktor kebocoran pendapatan dari sektor kehutanan tersebut telah disajikan pada awal Bab ini.
162 Tabel 51. Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2003 Sumber Kebocoran
No
1 Deforestasi 2 Erosi 3 Ilegal Logging 4 Ilegal Trading 5 Kehilangan Nilai Tambah 6 Efisiensi Kelembagaan JUMLAH
Nilai Kebocoran (Jt Rp) 10 484.49 2 131 970.00 61 649.61 114 080.18 900.30 218 030.70 2 537 115.28
Persen thdp PDRB sektor kehutanan (%) 0.01 25.31 0.71 1.35 0.01 2.78 30.17
Deforestasi dan illegal logging merupakan pendorong meningkatnya laju erosi.
Sebab, dengan adanya deforestasi (perambahan kawasan, perusakan
tanaman, pengembalaan liar, dan kebakaran hutan) dan illegal logging secara langsung berimplikasi terhadap besarnya erosi.
Perambahan kawasan hutan
adalah aktivitas membuka dan menduduki kawasan hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang, sehingg a lahan kurang terpelihara dari bahaya erosi dan bahaya tanah longsor.
Selanjutnya perusakan tanaman jelas akan mengurangi tingkat
penutupan tajuk sehingga lahan menjadi terbuka. Selanjutnya, pengembalaan liar dapat mengakibatkan permukaan tanah rawan erosi karena terinjak -injak oleh ternak. Demikian juga, kebakaran hutan akan mengakibatkan hilangnya tanaman yang menutup permukaan lahan. Deforestasi dan erosi merupakan unsur kebocoran ekonomi yang tidak ada pihak manapun mendapat limpahan surplus. Yang terjadi justru semua sektor harus menanggung kerugian yang ditimbulkan. Oleh karena itu deforestasi dan erosi merupakan item yang penting dalam penghitungan PDRB hijau. Dalam penghitungan PDRB hijau sebagaimana telah diuraikan pada sub bab terdahulu yang dapat dimasukkan dalam penghitungan. Nilai kerugian akibat erosi dari hutan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 sebesar Rp 2.13 triliun. Nilai kerugian tersebut pada dasarnya biaya yang harus ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan kawasan hutan. Disamping intansi kehutanan. pihak-pihak yang memanfaatkan kawasan hutan cukup banyak yaitu
pertanian.
sebagainya.
perkebunan.
peternakan.
pertambangan.
perikanan
dan
Para pihak tersebut sulit ditentukan tanggungjawabnya sehingga
163 kerugian erosi tidak pernah dibayar.
Oleh karena itu nilai kerugian erosi
merupakan nilai negatif dalam perekonomian. Sebagaimana telah diuraikan pada Sub Bab terdahulu bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kebocoran pendapatan di Provinsi Jawa Tengah adalah illegal logging. Menurut Yulianto (2002), latar belakang atau penyebab illegal logging di Provinsi Jawa Tengah
antara lain : (1) kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang masih sangat rendah, (2) sistem pengawasan dan pengamanan hutan yang kurang efektif, (3) struktur pasar dan industri kayu yang tidak seimbang dimana permintaan jauh lebih tinggi dibanding produksi, (4) penegakan hukum yang tidak tegas dan kurang adil, (5) penyelewengan atau moral hazard aparat pemerintah baik sipil maupun militer, (6) terbatasnya akses masyarakat untuk ikut mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan , dan (7) karakteristik potensi hutan di Jawa Tengah yang mudah dicuri. 6.3. Manfaat Hutan Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Kontribusi pendapatan dari sektor kehutanan terhadap perekonomian dianalisis dengan metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 sebagaimana Lampiran 17.
Tabel SNSE Provinsi Jawa
Tengah 2003 tersebut telah mamasukan perhitungan manfaat hutan secara keseluruhan baik yang bersifat positif maupun negatif. manfaat hutan terhadap sosial ekonomi tangga dapat digunakan analisis
Untuk menjelaskan
masyarakat sampai di tingkat rumah
distrbusi faktor produksi dan distribusi
pendapatan pada Tabel SNSE tersebut. 6.3.1
Distribusi Pendapatan Faktor Produksi Faktor produksi yang berupa tenaga kerja di Propinsi Jawa Tengah pada
tahun 2003 berjumlah 15.4 juta orang, baik yang bekerja dengan mendapat upah dan gaji maupun mereka yang bekerja dengan tidak mendapat upah dan gaji (yang bekerja sendiri atau pekerja keluarga atau yang sejenisnya). Tenga kerja tersebut terdiri dari tenaga kerja kehutanan, kelompok tenaga kerja pertanian selain kehutanan, kelompok tenaga buruh kasar, operator alat angkut dan operator manual, kelompok tenaga tata usaha jasa, tata usaha perdagangan dan tata usaha, serta kelompok tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, profesional dan
164 militer. Masing-masing kelompok tenaga kerja tersebut dibagi menjadi pekerja dibayar (buruh) dan tenaga kerja tidak dibayar (pekerja keluarga). Pekerja sektor kehutanan sebanyak 12 538 orang atau sekitar 0.08% dari total pekerja Jawa Tengah. Pekerja sektor kehutanan tersebut terdiri dari buruh hutan sebanyak 1 858 orang (6.84%) dan 10 780 orang (93.16%) keluarga hutan. Dengan demikian masyarakat Provinsi Jawa Tengah tidak tergantung pada lapangan pekerjaan yang disediakan oleh sektor kehutanan. Hal ini terjadi karena masyarakat provinsi tersebut lebih menyenangi bekerja disektor pertanian tanaman pangan secara luas (persawahan, perkebunan), perdagangan, dan industri. sektor pertanian tanaman pangan sebesar sekitar
Penyerapan tenaga kerja
6 juta orang lebih (39%),
perdagangan sekitar 3.6 juta orang lebih (18%) dan industri sekitar 1.5 juta orang lebih (10%). Sedikitnya masyarakat Provinsi Jawa Tengah yang bekerja di sektor kehutanan juga disebabkan oleh cara memperoleh hasil atau manfaat hutan yang bersifat sampingan. Cara tersebut antara lain masyarakat sambil menggarap lahan pertanian yang lokasi dekat dengan hutan maka dapat langsung memungut atau memanfaatkan hasil-hasil hutan misalnya kayu rencek, makanan ternak, madu hutan, bambu, rotan dan sebagainya.
Bahkan untuk mengambil air hutan,
masyarakat petani tinggal mengalirkan ke sawah atau ladangnya.
Hal ini
dimungkinkan karena lokasi hutan di Provinsi Jawa Tengah pada umumnya dekat dengan pemukiman masyarakat pertanian. Meskipun jumlah masyarakat yang
bekerja
disektor kehutanan sedikit
dibanding sektor-sektor lain, tetapi jika dilihat dari balas jasa terhadap tenaga kerja yang berupa gaji dan upah sektor kehutanan lebih besar dibanding sektor lain terutama pertanian dan perkebunan. Besarnya balas jasa terhadap tenaga kerja sektor kehutanan seki tar Rp 8 283 s/d Rp 10 535 per tenaga kerja per hari, sedangkan tenaga kerja sektor pertanian dan perkebunan hanya sekitar Rp 4 621 s/d Rp 5 556 per tenaga kerja per hari. Oleh karena itu dari sisi pendapatan tenaga kerja, sektor kehutanan dimasa yang akan datang akan lebih menarik di banding sektor pertanian dan perkebunan. Rincian penyerapan dan distribusi pendapatan tenaga kerja dapat dilihat Lampiran 18, Lampiran 19, dan Lampiran 20.
165 6.3.2
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Distribusi pendapatan rumah tangga (masyarakat) dapat digambarkan
melalui distribusi pendapatan rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa pendapatan rumah tangga dapat digolongkan menjadi 3 sumber penerimaan yaitu: (1) pendapatan berupa upah dan gaji yang merupakan balas jasa bagi tenaga kerja, (2) pendapatan kapital, seperti bunga, dividen, sewa rumah, dan lain-lain sebagai balas jasa terhadap modal (returns to capital), dan (3) penerimaan transfer, seperti penerimaan rumah tangga dari hibah atau sumbangan. Selanjutnya rumah tangga menggunakan pendapatan tersebut untuk keperluan-keperluan antara lain (1) konsumsi akhir barang dan jasa, (2) pembayaran pajak langsung, (3) pembayaran transfer, dan (4) tabungan. sebagaimana Lampiran 18,
Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana sumber-sumber pendapatan dan pola pengeluaran
rumah tangga kehutanan secara agregat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 52. Tabel 52. Sumber Pendapatan Menurut Golongan Rumah Tangga Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Sumber Pendapatan Upah dan gaji Pendapatan kapital Tranfer Jumlah
Dibayar 221 214 40 273 305 596 567 083
Rumah Tangga Tak Dibayar 176 027 64 711 80 436 321 174
(juta Rp) PDRB Jumlah 397 241 104 984 386 032 888 257
1 508 525 6 914 585 8 423 137
Dari tabel tersebut dapat diperlihatkan pendapatan rumah tangga kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 888.26 miliar, diperoleh dari upah dan gaji sebesar 44.72%, balas jasa kapital sebesar 11.82% dan transfer sebesar 12.74%. Jika pendapatan rumah tangga tersebut dibandingkan dengan pendapatan sektor kehutanan (PDRB) sebesar RP 8.42 triliun, maka pendapatan sektor kehutanan yang dinikmati keluarga hanya sekitar 11%. Dengan demikian sebanyak Rp 7.53 triliun atau sekitar 89% dari pendaptan sektor kehutanan dinikmati industri dan pengusaha kehutanan serta sektor lain non kehutanan. Memang pendapatan sektoral kehutanan tersebut di atas tidak hanya terdistribusi untuk tenaga kerja saja melainkan juga untuk pengembalian kapital dan keuntungan investor. Tetapi jika menggunakan kriteria analisis proyek yang
166 lazim yang unsur tenaga kerja sebesar 30% maka rumah tangga yang hanya menikmati pendapatan sektoral sebesar 11% masih jauh dari kelaziman tersebut. Hal tersebut menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan masyarakat di Jawa Tengah
khususnya
antara
pekerja
sektor
kehutanan
dengan
tuannya.
Ketimpangan pendapatan tersebut disebabkan oleh struktur pengupahan yang lebih berpihak kepada industri (pengusaha) kehutanan. Ketimpangan pendapatan masyarakat dapat ditunjukan dengan perbandingan besaran pendapatan disposibel perkapita masing-masing golongan rumahtangga sebagaimana Lampiran 21. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 21 tersebut, pendapatan disposibel perkapita terendah terjadi pada golongan rumah tangga buruh pertanian selain kehutanan, dengan besar pendapatan perkapita rata-rata sebesar Rp 5.27 juta per tahun. Sedangkan pendapatan disposibel perkapita tertinggi diperoleh rumahtangga bukan pertanian golongan atas, dengan besar pendapatan disposibel rata-rata mencapai Rp 11.22 juta per tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 mencapai 1.0 : 2.1 (satu berbanding dua). Ketimpangan pendapatan juga terjadi pada golongan rumah tangga non pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Total pendapatan untuk golongan tersebut sebanyak 34.1% dari toal pendapatan rumah tangga yang mencapai Rp 239.5 triliun tetapi jumlah anggota rumah tangga golongan tersebut mencapai 37.0 persen dari total penduduk yang mencapai 32.0 juta jiwa. Dengan demikian pendapatan per kapita untuk golongan rumahtangga ini menjadi lebih rendah lagi. Lebih lanjut bahwa pendapatan kapital rumah tangga kehutanan lebih besar dibanding upah dan gaji disebabkan sektor kehutanan mempunyai hasil sampingan yang berupa air dan udara bersih yang terdistribusi sebagai pendapatan kapital. Dengan demikian rumah tangga sektor kehutanan juga menikmati hasil yang proses produksinya tidak menggunakan faktor input. Dari toral pendapatan sektor rumah tangga kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebagaimana Tabel 53 sebesar Rp 888.26 miliar, dikeluarkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan barang jasa yang dikonsumsi akhir sebesar
53.58%,
pembayaran pajak sebesar 1.63%, transfer sebesar 9.25% dan ditabung sebesar 35.54%.
Berdasarkan pola pengeluaran tersebut maka rumah tangga kehutanan
167 di Provinsi Jawa Tengah senang membelanjakan pendapatannya untuk membeli barang dan jasa di perlukan sehari-hari baik untuk proses produksi maupun untuk investasi rumah tangga dalam bentuk barang keperluan rumah tangga. Tabel 53. Pola Pengeluaran Menurut Golongan Rumah Tangga Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (juta Rp) Pengeluaran RT Dibayar RT Tak Jumlah Persen Dibayar Konsumsi akhir 327 168 148 770 475 938 53.58 Pajak langsung 6 310 8 198 14 508 1.63 Tranfer 39 869 42 263 82 132 9.25 Tabungan 193 736 121 943 315 679 35.54 Jumlah 567 083 321 174 888 257 100.00 6.3.3
Multiplier Sektor Kehutanan Pemanfaatan analisis deskriptif dari matrik multiplier
digunakan untuk
menelusuri kegiatan sektor apa saja yang akan terdorong oleh sektor-sektor yang dimaksud. Sebagaimana diketahui dari analisis input-output, sektor jasa lingkungan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya didalam menggerakan perekonoman lainnya. dengan kemampuan multiplier sebesar 2.56 satuan output seluruh sektor. Apabila ditelusuri ke dalam rincian matrik multiplier pada Tabel SNSE (Lampiran 22), ternyata sektor utama yang akan terdorong oleh kegiatan sektor jasa lingkungan adalah sektor industri pengolahan lainnya. Yaitu, apabila sektor jasa lingkungan naik sebesar satu satuan maka permintaan terhadap sektor industri pengolahan lainnya akan meningkat sebesar 0.93 satuan. Kemudian diikuti oleh sektor industri migas 0.14 satuan. sektor angkutan dan komunikasi 0.13 satuan. sektor bank dan lembaga keuangan sebesar 0.11 satuan. Berdasarkan Tabel Lampiran 22 dapat diketahui bahwa jika permintaan terhadap output sektor kayu naik sebesar satu satuan, maka total output seluruh sektor akan meningkat sebesar 1.66 satuan. Adapun sektor yang paling besar terdorong oleh pergerakan sektor hasil hutan kayu bulat adalah sektor industri pengolahannya
(yang terdiri dari industri penggergajian, industri kayu lapis,
industri bahan bangunan dari kayu,
industri mesin dan industri yang belum
terkelompokan) dan sektor industri migas. Dimana pertumbuhan kedua sektor tersebut terdorong sampai sekitar 0.16 satuan dan 0.12 satuan.
168 Untuk sektor industri kayu lapis, jika permintaan akhir terhadap sektor ini meningkat sebesar satu satuan. maka total output seluruh sektor akan meningkat sebesar 1.89 satuan. Adapun sektor yang paling besar terdorong oleh pergerakan sektor kayu lapis adalah sektor industri kayu gergajian, sektor industri bahan bangunan dari kayu, industri pengolahan lainnya (yang terdiri industri kimia, industri logam, industri mesin dan industri yang belum terkelompokan), serta sektor listrik dan gas. Dimana pertumbuhan untuk masing-masing sektor tersebut terdorong sampai sekitar 0.14 satuan untuk sektor industri kayu gergajian, 0.12 satuan untuk sektor industri bahan bangunan dari kayu, 0.15 satuan untuk industri pengolahan lainnya, dan 0.15 satuan untuk sektor listrik dan gas. Lebih lanjut setiap satu satuan kenaikan output industri gerajian kayu, maka ia akan mendorong secara langsung maupun tidak langsung peningkatan pendapatan rumahtangga bukan pertanian golongan bawah sebesar 0.399 satuan dan meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 0.093 satuan. Apabila kita memperhatikan kolom yang sama dengan baris faktor produksi tenaga kerja, maka dapat diketahui bahwa setiap satu satuan kenaikan output industri gergajian kayu mampu mendorong balas jasa tenaga kerja kelompok buruh kasar, operator alat angkut dan operator manual sebesar 0.243 satuan. Jika diasumsikan upah dan gaji yang dibayarkan tetap, maka dapat diartikan akan tercipta lapangan pekerjaan sebesar 0.243 satuan. Dengan cara yang sama kita juga dapat melihat kemampuan fungsi lain sektor kehutanan dan nilai neraca lingkungan sumberdaya hutan terhadap pendapatan institusi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Analisis tersebut merupakan dampak global dari suatu kebijakan. Apabila ingin mengetahui arus kebijakan tersebut dapat dianalisi melalui dekomposisi multiplier. 6.3.4
Dekomposisi Dekomposisi matrik Ma dapat dilakukan dalam bentuk perkalian
(multiplicative) atau dalam bentuk pertambahan (additive). Sebagaimana jelaskan pada metode analisis di Bab IV terdahulu, hasil matrik dekomposisi dalam bentuk perkalian Ma. 3 Ma. 2 Ma. 1
menunjukkan
matrik identitas yang
menggambarkan dampak awal injeksi terhadap neraca endogen. Misalnya terdapat
169 kenaikan permintaan sektor penggergajian kayu dari perdagangan luar negeri (ekspor). Kenaikan permintaan ini disebut sebagai injeksi awal.
Hasil
dekomposisi matrik Ma dalam bentuk penjumlahan Ta, Oa, dan Ca menunjukkan tarnsfer (Ta), open loop (Oa), dan closed loop multiplier (Ca). Transfer multiplier menunjukkan dampak yang terjadi di dalam set neraca itu sendiri. Misalnya, kenaikan permintaan terhadap sektor penggergajian yang dicontohkan di atas akan menyebabkan kenaikan output kayu gergajian itu sendiri dan sektor-sektor produksi yang lain. Pada contoh ini proses pengganda bekerja di dalam set neraca produksi. Contoh yang lain misalnya, adalah kenaikan pendapatan perusahaan yang menyebabkan kenaikan pendapatan pemerintah melalui penerimaan pajak. Pada contoh ini proses pengganda bekerja pada set neraca institusi. Open loop multiplier menunjukkan dampak yang terjadi pada suatu neraca yang diakibatkan oleh set neraca yang lain. Misalnya, kenaikan permintaan terhadap sektor padi seperti dicontohkan diatas akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap jumlah tenaga kerja. Pada contoh ini terlihat bahwa, perubahan pada neraca sektor menyebabkan perubahan terhadap neraca faktor produksi. Closed loop multiplier menunjukkan dampak yang terjadi pada suatu set neraca yang diakibatkan oleh set neraca yang lain, dan kembali lagi ke set neraca yang pertama. Proses tersebut terus berulang sampai dampak suatu injeksi menjadi semakin kecil dan selanjutnya dapat diabaikan. Misalnya, akibat kenaikan terhadap sektor penggergajian maka output sektor ini akan meningkat. Guna memenuhi kenaikan output tersebut, maka diperlukan tambahan sejumlah tenaga kerja. Dengan demikian, pendapatan tenaga kerja akan bertambah, yang berarti pendapatan rumah tangga juga akan meningkat. Dengan kenaikan pendapatan rumat hangga tersebut, maka konsumsi rumah tangga juga akan meningkat. Akhirnya, output sektor penggergajian (dan sektor-sektor lainnya misalnya kayu bulat, kayu lapis, bahan bangunan kayu, dan industri pengolahan hasil hutan, hotel dan restoran dan sebagainya) juga ikut meningkat Gambaran lebih jelas dari dekomposisi matrik multiplier ini akan lebih jelas apabila dilihat melalui simulasi kebijakan. Dalam sub bab ini hanya akan dijelaskan mengenai dekomposisi multiplier dari kebijakan sektor industri
170 penggergajian
yang naik sebesar satu -satuan, melanjutkan contoh pengganda
neraca diatas. Untuk menganalisis matrik dekomposisi kita melihat setiap kolo m sektor dalam matrik pengganda transfer, open loop dan close loop. Bahwa ketika output sektor industri penggergajian kayu naik sebesar satu satuan, maka ia akan meminta bahan baku dari sektor yang lain sehingga sektor yang lain akan meningkat outputnya. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan akibat aktivitas industri penggergajian adalah sektor kayu yang besarnya mencapai 0.508 satuan, dan sektor industri pengolahan lainnya yang besarnya 0.186 satuan, serta sektor angkutan mencapai 0.0983 satuan .
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa output
industri penngergajian di Provinsi Jawa Tengah tergantung aktivitas sektor kayu, industri pengolahan lain, dan sektor angkutan. Ketergantungan tersebut menyangkut bahan baku, tenaga kerja, dan pemanfaatan outputnya. Oleh karena itu untuk pengembangan industri penggergajian di Jawa Tengah perlu mempertimbangkan penyediaan bahan baku serta tenaga kerjanya. Gambaran dampak open loop dan close loop untuk peningkatan output sektor industri penggergajian kayu dapat diketahui pada Tabel 54 di bawah ini. Tabel 54. Dekomposisi Matrik Pengganda Sektor Industri Penggergajian Injeksi
Transfer
Open loop
Close loop
1
-
-
0.0008
0.0000
2
-
-
0.0022
0.0000
3
-
-
0.0054
0.0000
4
-
-
0.0125
0.0000
5
-
-
0.1454
0.0000
6
-
-
0. 0843
0.0000
7
-
-
0.0751
0.0000
8
-
-
0.1275
0.0000
9
-
-
0.0045
0.0000
10
-
-
0.0010
0.0000
11
-
-
0.2649
0.0000
12
-
-
0.0018
0.0000
13
-
-
0.0022
0.0000
14
-
-
0.1342
0.0000
15
-
-
0.0784
0.0000
16
-
-
0.2351
0.0000
17
-
-
0.0649
0.0000
18
-
-
0.1385
0.0000
19
-
-
0.0757
0.0000
20
-
-
0.0739
0.0000
171
Tabel 54. lanjutan Injeksi
6.3.5
Transfer
Open loop
Close loop
21
-
0.0508
-
0.0000
22
-
0.0057
-
0.0000
23
-
0.0002
-
0.0000
24
1,0000
0.0868
-
0.0000
25
-
0.0552
-
0.0000
26
-
0.0778
-
0. 0000
27
-
0.0023
-
0.0000
28
-
0.0000
-
0.0000
29
-
0.0020
-
0.0000
30
-
0.0000
-
0.0000
31
-
0.0000
-
0.0000
32
-
0.0001
-
0.0000
33
-
0.0050
-
0.0000
34
-
0.0000
-
0.0000
35
-
0.0175
-
0.0001
36
-
0.0075
-
0.0000
37
-
0.0169
-
0.0000
38
-
0.0062
-
0.0000
39
-
0.0067
-
0.0000
40
-
0.0861
-
0.0001
41
-
0.0497
-
0.0001
42
-
0.1863
-
0.0001
43
-
0.0894
-
0.0000
44
-
0.0060
-
0.0000
45
-
0.0040
-
0.0000
46
-
0.3924
-
0.0001
47
-
0.0983
-
0.0000
48
-
0.0220
-
0.0000
49
-
0.0205
-
0.0000
50
-
0.4607
-
0.0001
Analisis Alur Struktural Analisis alur struktural atau Structural Path Analysis (SPA) dilakukan untuk
mengidentifikasi transaksi-transaksi
dari suatu sektor asal ke sektor-sektor
tujuan. Pengujian SPA tersebut menggunakan analisis dampak perubahan output suatu sektor matriks
terhadap pendapatan rumah tangga.
Analisis ini memerlukan
average expenditure propensity ( An ) dan accounting multiplier (Ma )
pengganda neraca sebagaimana Lampiran 22.
Pengujian alur pada penelitian
ini dilakukan terhadap komoditi atau aktivitas ekonomi kehutanan yang memiliki output melebihi Rp 400.00 miliar. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa dengan output yang besar diharapkan kontribusi terhadap pembentukan
172 PDRB juga besar dan memiliki dampak terhadap sektor lain yang signifikan. Komoditi dan aktivitas ekonomi kehutanan tersebut antara lain hasil kayu, non kayu, air, udara bersih dan erosi, illegal logging, dan illegal trading. Alur masingmasing sektor utama dapat diringkas seperti. Alur dari perubahan masing-masing sektor tersebut dapat dilihat Tabel 55 dan alur masing komoditi sebagaimana Lampiran 32 s/d Lampiran 38. Tabel 55. Hasil Analisis Pengujian Alur Sektor Kehutanan
No
Sektor Utama
Rumah Tangga Tujuan
Sektor/F aktor Yang Dilalui
(13)
(32) (2) (32) (5) (32) (2) (32) (5) (32) (11) (32) (5) (32) (11) (32) (2) (29) (2) (29) (5) (29) (6) (29) (5) (29) (6) (29) (2) (29) (5) (29) (6) (29) (11) (29) (6) (29) (6)
(14)
(16) 1
Illegal Trading (62)
(18)
(13)
(14)
(16) 2
Illegal Logging (59) (18)
(19) (18) (17)
(%) 94.55 1.56 4.53 1.26 17.19 10.10 22.11 5.51 18.70 4.17 0.65 3.46 1.65 0.84 2.76 1.46 22.80 2.11 1.53
173 Tabel 55. lanjutan No
3
Sektor Utama
Manfaat Air (63)
Rumah Tangga Tujuan
Sektor/Faktor Yang Dilalui
(16)
(33) (11) (33) (11) (33) (11) (33) (11) (22) (2) (22) (5) (22) (2) (22) (5) (22) (11) (22) (5) (22) (11) (22) (2) (22) (11) (21) (2) (21) (2) (21) (5) (21) (2) (21) (5) (21) (11) (69) (39) (5) (69) (39) (5) (51) (21) (11) (69) (39) (6)
(18) (19) (20)
4
Hasil Non Kayu (38)
(13) (14)
(16)
(15)
(19) (13)
(16) 5
Manfaat Kayu (51)
(18) (14) (19) (14)
6
Penanggulangan Erosi (85)
(16)
% 40.44 47.48 69.94 29.24 93.28 8.59 2.82 6.99 6.14 19.22 14.27 6.17 27.70 79.80 1.33 5.47 1.63 6.50 42.71 13.01 10.86
1.78
11.72
174 Tabel 55. lanjutan No
Sektor Utama
Rumah Tangga Tujuan
(18)
(19)
7
Udara Bersih (64)
(16) (18) (19) (20)
Sektor/Faktor Yang Dilalui (69) (39) (5) (69) (39) (6) (51) (21) (11) (69) (39) (11) (51) (21) (11) (34) (11) (34) (11) (34) (11) (34) (11)
% 9.18
10.94
2.42
11.64
9.04 40.44 47.48 69.40 29.24
Keterangan : (2) : Bukan Penerima Upah dan Gaji Kehutanan (5) : Penerima Upah dan Gaji; Buruh Kasar, Operator Angkutan dan Manual (6) : Bukan Penerima Upah dan Gaji ; Buruh Kasar, Operator Angkutan dan Manual. (11) : Modal (13) : Pengusaha Kehutanan (14) : Buruh Pertanian Selain Kehutanan (15) : Pengusaha Pertanian Selain Kehutanan (16) : Golongan Rendah (18) : Golongan Atas (19) : Perusahaan (20) : Pemerintah (21) : Kayu (22) : Hasil Non kayu (29) : Illegal Logging (32) : Illegal Trading (33) : Manfaat Air (39) : Pertambangan dan Penggalian (51) : Kayu (Margin Perdagangan dan Pengangkutan) (69) : Pertambangan dan Penggalian (Margin Perdagangan dan Pengangkutan)
Berdasarkan Tabel 55, alur kebocoran pendapatan sector kehutanan yang berasal dari illegal trading (62) mempunyai 4 alur rumah tangga pengusaha kehutanan (13), rumah tangga buruh tani selain kehutanan (14), rumah tangga bukan pertanian golongan bawah (16), dan rumah tangga bukan pertanian
175 golongan atas (18).
Yang terbesar adalah melalui rumah tangga pengusaha
kehutanan sebesar 94.55% sementara yang paling sedikit melalui rumah tangga pertanian golongan bawah (operator, buruh dan lain -lain) sebesar 1.26 %. Sementara itu untuk kebocoran pendapatan sector kehutanan yang berasal dari illegal logging mempengaruhi seluruh lapisan rumah tangga di wilayah Jawa Tengah dimana yang terbesar melalui perusahaan dan yang terkecil melalui buruh kasar dan operator. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka kegiatan illegal kehutanan sebagian besar dampaknya akan berpengaruh kepada rumah tangga perusahaan sementara itu untuk buruh dan operator hanya menikmati dalam prosentase yang sangat kecil.
Oleh karena itu seyogianya illegal logging harus
diberantas agar tidak terjadi kebocoran pendapatan yang lebih besar lagi. Lebih lanjut untuk manfaat air dan udara bersih mempunyai pengaruh terhadap pengurangan kapital atau modal
sebesar
40.44% - 69% untuk
menambah pendapatan rumah tangga. Sesuai faktor/sektor tujuan dari manfaat air dan udara bersih tersebut pada golongan atas dan perusahaan sebesar.
Oleh
karena itu dalam mengelola manfaat air harus betul-betul dilakukan diskriminasi peruntukan seuai kemampuan masing-masing kelompok rumah tangga. Sementara itu terhadap dampak erosi
akan berpengaruh pada sektor
pertambangan dan penggalian, serta sektor pertanian tanaman pangan. Penanggulangan erosi akan mengurangi output produk domestik sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0.6847 satuan, yang dampaknya juga akan mengurangi lagi kegiatan sektor pertambangan dan penggalian yang akan berkurang sebesar 0.7894
satuan.
Berkurangnya
output
sekor
tersebut
menyebabkan balas jasa faktor produksi yang diperoleh tenaga kasar, operator alat angkut dan operator manual berkurang sebesar 0.2659 satuan untuk buruh dan berkurang 0.2722 satuan untuk pengusahanya. Dan berkurangnya balas jasa modal sebesar 0.1216 satuan. Berkurangnya balas jasa faktor produksi tersebut menyebabkan penerimaan rumahtangga juga berkurang. Golongan rumah tangga yang paling banyak dipengaruhi oleh penguraangan balas jasa faktor produksi tersebut adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah. Selain terhadap sektor pertambangan dan penggalian, pengaruh cukup besar dari pengendalian erosi juga akan dialami oleh sektor pertanian tanaman
176 pangan. Pengaruh erosi terhadap produk domestik mencapai sekitar 0.1492 satuan, yang selanjutnya juga mempengaruhi sektor pertanian tanaman pangan sebesar 0.9837 satuan. Selanjutnya, perubahan kegiatan sektor pertanian tersebut akan mempengaruhi pendapatan faktor produksi tenaga kehutanan, baik buruh maupun pengusaha; tenaga kasar, operator alat angkut dan operator manual, baik buruh maupun pengusaha; maupun balas jasa modal. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Jika diperhatikan, maka rumah tangga bukan pertanian golongan bawah yang paling banyak terkena pengaruhnya.
VII. SIMULASI KEBIJAKAN DAN IMPLIKASINYA 7.1 Simulasi Kebijakan Terdapat 2 (dua) skenario kebijakan yang dipergunakan dalam melakukan simulasi. Pertama, upaya mengeliminir kebocoran pendapatan yang berasal dari illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan. Kebijakan tersebut telah dijadikan program proritas Departemen Kehutanan selaku penanggung jawab yang didukung oleh instansi terkait, baik penegak hukum maupun pelaksana pengelolaan hutan.
Kebijakan pertama
tersebut dapat dihapuskan sama sekali karena bersifat manusiawi. Penghapusan aktivitas illegal tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu sesaat, melainkan perlu dilakukan secara bertahap yang diperkirakan dapat tuntas selama 5 tahun. Sehingga simulasi dapat dilakukan dengan memberikan besaran pada tingkat 0%, 25%, 50%,
75% dan 100%.
Kebocoran illegal logging, illegal trading,
kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan lebih lanjut dalam bahasan ini disebut Kebocoran Manusiawi. Upaya eliminasi pada tingkat 0% maksudnya bahwa kebijakan penanggulangan kebocoran tersebut sama sekali tidak efektif. Dan sebaliknya, jika upaya eleminasi mencapai 100% berarti tidak terjadi illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan kelembagaan sangat efektif. Kedua, skenario kebijakan pengurangan laju erosi.
Skenario kebijakan ini
dilatarbelakangi adanya upaya pemerintah untuk melakukan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan yang mempunyai target 3 juta ha selama 5 tahun sejak tahun 2003. Meskipun seandainya terget reboisasi dan rehabilitasi lahan terealisir 100% tetapi laju erosi tidak dapat langsung berkurang hingga 0% tetapi mungkin hanya akan turun 5%, 10%, 15% atau maksimum 20%. Oleh karena itu simulasi pengurangan erosi dan deforerstasi yang
dapat diajukan pada angka-angka
tersebut. Kebocoran manusiawi pada tingkat 0% artinya hasil illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan efektifitas kelembagaan yang masuk dalam perekonomian dengan kata lain bahwa terdapat kebocoran.
Sebaliknya
kebocoran tersebut sama sekali tidak
Kebocoran manusiawi pada tingkat 100%
artinya seluruh hasil illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, dan
178
efektifitas kelembagaan
masuk dalam perekonomian tidak dapat diatasi.
Sedangkan simulasi penanggulangan kebocoran pendapatan akibat erosi pata tingkat 0% berarti efektifitas pengurangan erosi tidak berhasil. Dan sebaliknya simulasi pada tingkat tertinggi sebesar 20% berarti efektifitas pengurangan erosi dapat berhasil 20% dari kondisi saat ini. Oleh karena itu pada simulasi kebocoran ini dapat dibuat 4 (empat) skenario yaitu 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil perhitungan skenari-skenario tersebut sebagaimana Tabel 56 dan Tabel 57. Tabel 56. Hasil Simulasi Penaggulangan Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Terhadap Output di Provinsi Jawa Tengah ( Juta Rp) Skenario
Uraian Transfer
A.Simulasi Penanggulangan Kebocoran Manusiawi Skenario 1 Faktor 0% Institusi Sektor Skenario 2 Faktor 25% Institusi Sektor Skenario 3 Faktor 50% Institusi Sektor Skenario 4 Faktor 75% Institusi Sektor Skenario 5 Faktor 100% Institusi Sektor B.Simulasi enanggulangan Kebocoran Erosi Skenario 6 Faktor 5% Institusi Sektor Skenario 7 Faktor 10% Institusi Sektor
Dampak Total Open loop Close Loop
-96 095.16 30 331.22 60 662.41 90 993.60 121 324.8
-153 758.89 -172 202.32 35 590.54 39 631.33 71.181.09 79 262.66 106 771.64 118 893.99 142 362.16 158 525.29 -
-93 829.28 -104 442.04 -220 047.45 23 324.66 25 975.20 54 855.01 46 649.30 51 950.38 109 710.01 69 973.95 77 925.57 169 565.05 93 394.69 103 900.73 219 425.70
-247 588.17 -276 644.34 -492 777.21 58 915.19 65 606.50 85 186.22 117 830.37 131 213.02 170 372.44 145 762.30 137 982.93 260 558.65 235 660.76 262 426.05 340 745.45
619.33 379 278.65 1 228.67 758 557.38
379 266.47 419 555.45 3 559.81 758 532.96 839 110.86 7 117.25
632 548.32 703 437.60 979 053.5 1 265 098.69 1 406 875.19 1 958 104.99
1 137 799.42 1 258 666.32 10 675.85
253 282.86 283 267.84 596 216.13 506 565.74 566 535.67 1 192 430.79 769 848.58 849 803.51 1 788 645.63 1 013 131.45 1 133 071.34 2 384 860.85
Skenario 8 15%
Faktor Institusi Sektor
Skenario 9 20%
Faktor
1 842.99 1 137 836.01 -
Institusi
2 457.33
1 678 221.74
1 517 114.71
14 234.43
Sektor
Perubahan Output
472 467.83
1 897 648.01 2 110 312.80 2 937 157.48 2 530 197.34 2 823 750.40 3 916 240.01
179
Tabel 57. Hasil Simulasi Penaggulangan Kebocoran Pendapatan Sektor Kehutanan Terhadap Rumahtangga Kehutanan di Jawa Tengah ( Juta Rp) No.
Skenario Kebijakan
1
Skenario 1
Rumahtangga Buruh Kehutanan - 2 552.5
2
Skenario 2
240.0
3
Skenario 3
4
Rumahtangga Pengusaha Kehutanan - 11 315.5
Rumahtangga Lainnya
Total
- 197 686.8
- 211 544.8
402.6
52 814.6
53 457.2
479.9
805.2
105 629.2
106 914.3
Skenario 4
719.9
1 207.8
158 443.8
160 371.5
5
Skenario 5
959.9
1 610.4
211 258.3
213 828.7
6
Skenario 6
1 987.1
3 408.1
576 996.0
582 391.3
7
Skenario 7
3 974.3
6 816.2
1 153 992.1
1 164 782.6
8
Skenario 8
5 961.4
10 224.3
1 770 988.2
1 747 173.8
9
Skenario 9
13 632.3
13 632.3
2 307 984.2
2 329 565.1
Berdasarkan hasil simulasi tersebut pad a Tabel 56 dan Tabel 57 di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa kebijakan menghapus sama sekali kegiatan illegal kehutanan pada jangka pendek akan berdampak penurunan output di tingkat wilayah dan juga penurunan pendapatan di tingkat rumah tangga. Hal ini terjadi karena kegiatan illegal kehutanan di Provinsi Jawa Tengah mempunyai kaitan yang sangat luas dengan sektor-sektor lain maupun berbagai faktor produksi maupun institusi rumah tangga, swasta, pemerintah sebagaimana telah diuraikan pada Sub Bab terdahulu (foward backward lingkage dan analisis alur struktural).
Disamping itu kaitan tersebut
khususnya.
Dengan demikian
perubahan aktivita illegal kehutanan akan berpengaruh langsung terhadap output maupun pendapatan. Lebih lanjut berdasarkan hasil simulasi tersebut juga dapat diketahui bahwa rumah tangga buruh hanya menikmati hasil kegiatan illegal kehutanan lebih kecil dibanding rumah tangga pengusaha pada seluruh ringkatan skenario. Oleh karena itu jika dilakukan kegiatan penghapusan kegiatan illegal tersebut maka yang paling besar penurangan pendapatan adalah rumah tangga pengusaha. Meskipun demikian karena rumah tangga buruh kehutanan pada umumnya tidak memiliki tabungan sebagaimana rumah tangga pengusaha maka buruh kehutanan tersebut akan paling merasakannya.
Penjelasan secara rinci masing-masing skenario
dapat diuraikan pada point-point sub bab berikut.
180
7.1.1
Penaggulangan Kebocoran Manusiawi pada Tingkat 0% Hasil penghitungan menunjukan bahwa penekanan kegiatan illegal dan
kehilangan nilai tambah akan mempengaruhi permintaan terhadap output sektor produksi yang lain. Penjumlahan dari effek transfer, open loop dan close loop merupakan effek total dari pengaruh penghapusan kegiatan ilegal dan kehilangan nilai tambah sampai 0 %. Dampak dari penghilangan tersebut akan menyebabkan output seluruh sektor akan berkurang sampai Rp 492.78 miliar.
Dengan
menghapuskan kegiatan illegal tersebut secara makro keonomi berdampak kepada pengurangan pendapatan. Oleh karena itu kebijakan menekan kegiatan illegal sampai 0% pada jangka pendek akan akan berdampak negatif bagi perekonomian wilayah. Oleh karena itu penghapusan kegiatan illegal harus dilakukan secara bertahap. Lebih lanjut berdasarkan hasil simulasi penanggulangan kegiatan illegal hingga 0% sebagaimana Lampiran 23, dapat diketahui bahwa sektor produksi yang paling banyak di pengaruhi pengeluarannya adalah sektor listrik dan gas, dan industri pengolahan kayu yang masing -masing mengalami pengurangan permintaan output sampai sekitar Rp 26.6 miliar dan Rp 13.6 miliar. Dengan demikian penghilangan kegiatan illegal
sektor kehutanan terkait dengan
konsumsi listrik, gas, dan juga pasokan bahan baku industri perkayuan. Menurunnya permintaan output sektor produksi menyebabkan produksi yang dilakukan oleh setiap sektor juga berkurang. Dampak selanjutnya, pemakaian faktor produksi untuk kegiatan produksi juga menjadi berkurang, yang pada akhirnya akan mempengaruhi besar balas jasa yang diperoleh oleh faktor produksi. Gambaran tersebut terlihat, bahwa balas jasa yang d iperoleh oleh tenaga kerja buruh kasar, operator alat angkut dan operator manual penerima upah/gaji turun sampai Rp 23.5 miliar. Kemudian balas jasa kelompok tenaga kerja lainnya yang cukup besar berkurang balas jasanya adalah tenaga kerja kehutanan bukan penerima upah/gaji (Rp 19.3 miliar) dan tenaga kerja buruh kasar, operator alat angkut dan operator manual bukan penerima upah/gaji (Rp 13.7 miliar). Sedangkan modal, balas jasanya berkurang Rp 83.4 miliar.
181
7.1.2
Penaggulangan Kebocoran Manusiawi pada Tingkat 25% Hasil penghitungan menunjukan bahwa apabila dari kegiatan illegal hanya
terjadi sebanyak 25 persen dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 24, akan meningkatkan output sektor sebesar Rp. 85.19 miliar. maka sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output adalah sektor industri pengolahan kayu, sekitar Rp 6.6 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp 5.5 miliar, sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 4.1 miliar dan sektor industri migas sebesar Rp 3,2 miliar.
Lebih lanjut faktor
produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 58.91 miliar dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 65.61 miliar.
Berdasarkan
kenyataan tersebut maka kegiatan illegal sektor kehutanan mendorong kehidupan industri pengolahan kayu, perdagangan, makanan dan minuman serta migas. Hal tersebut dapat dipahami bahwa industri pengolahan kayu di Jawa Tengah banyak tergantung dengan kegiatan illegal kehutanan, sebab secara regional pemanfaatan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu lebih besar dibanding tingkat produksi resmi kayu bahan baku. Sehingga terjadi over demand kayu.
Oleha
karena itu kegiatan illegal kehutanan sulit diberantas karena aktivitasnya didorong oleh sektor-sektor lain. 7.1.3
Penaggulangan Kebocoran Manusiawi pada Tingkat 50% Hasil penghitungan menunjukan bahwa apabila dari kegiatan illegal hanya
terjadi sebanyak 50 persen dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 25, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp. 170.37 miliar. maka sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output adalah sektor industri pengolahan kayu
sekitar Rp 13.20 miliar.
Kemudian diikuti oleh sektor
perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp 6.32 miliar, sektor industri makanan dan min uman sebesar Rp 8,30 miliar dan sektor industri migas sebesar Rp 3,7 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 117.83 miliar dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 131.21 miliar. Berdasarkan hal tersebut maka ada kecenderungan kenaikan output tenaga kerja maupun institusi rumah tangga yang lebih besar dibanding
182
kenaikan output sektor. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan illegal kehutanan banyak dinikmati oleh tenaga kerja dan rumah tangga. 7.1.4
Penaggulangan Kebocoran Manusiawi pada Tingkat 75% Hasil penghitungan menunjukan bahwa apabila dari kegiatan illegal hanya
terjadi sebanyak 75 persen dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 26, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp. 90.99 miliar. maka sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output adalah sektor industri pengolahan kayu sekitar Rp 19.79 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 12.46 miliar, sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp 9.48 miliar, dan sektor industri migas sebesar Rp 5.64 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 145. 76 miliar dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 137.98 miliar. Berdasarkan hal tersebut maka ada kecenderungan kenaikan output tenaga kerja maupun institusi rumah tangga
jika kegiatan illegal naik, tetapi
output sektor mengalami penurunan jika dibanding kegiatan illegal 50%. Hal ini memperkuat bahwa kegiatan illegal kehutanan banyak dinikmati oleh tenaga kerja dan rumah tangga sebagaimana angka-angka skenario lain. 7.1.5
Penaggulangan Kebocoran Manusiawi pada Tingkat 100% Hasil penghitungan menunjukan bahwa apabila dari kegiatan illegal hanya
terjadi sebanyak 100 persen dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 27, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp. 340.74 miliar. maka sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output adalah sektor industri pengolahan kayu sekitar Rp 26.39 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 16.61 miliar, sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp 12.65 miliar, dan sektor industri migas sebesar Rp 7.52 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 235.66 miliar dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 262.43 miliar. Hal yang menarik dari skenario ini adalah jika kondisi illegal dihitung seluruhnya dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan kegiatan illegal tersebut sama sekali tidak ada maka masih terjadi minus pendapatan sekitar Rp 152.03
183
miliar.
Dengan demikian pilihan membiarkan kegiatan illegal tetap kurang
menguntungkan dibanding memberantas sama sekali. Oleha karena itu meskipun kegiatan memberantas kegiatan illegal berpengaruh terhadap penurunan pendapatan tetapi lebih baik jika membiarkannya. 7.1.6
Penaggulangan Kebocoran Erosi pada Tingkat 5% Skenario ini merupakan simulasi yang menggambarkan upaya penekanan
terjadinya deforestasi dan erosi sebesar 5%. Penekanan deforestasi dan erosi tersebut dilakukan dengan mengendalikan kegiatan sektor produksi dan pengeluaran institusi pelaku ekonomi. Hal tersebut menyebabkan dampak pertama dari efek transfer langsung mempengaruhi sektor ekonomi dan pendapatan institusi rumahtangga. Berkurangnya output sektor produksi dan pengeluaran institusi tersebut kemudian mempengaruhi dampak open loop terhadap selurh neraca, baik neraca faktor produksi, neraca institusi dan neraca sektor. Karena pengaruh open loop dari sektor adalah faktor produksi dan institusi, sedangkan pengaruh open loop dari institusi adalah sektor produksi dan faktor produksi. Kemudian dalam pengaruh close loop, seluruh neraca juga terpenuhi. Hasil penghitungan menunjukan bahwa penanggulangan deforestasi dan erosi efektif pada tingkat 5% dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 28, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp. 979.06 miliar. Sektor produksi yang
langsung
perdagangan
memperoleh
peningkatan
output
terbesar
adalah
sektor
sekitar Rp 197.92 miliar. Kemudian diikuti oleh sek tor industri
pengolahan sebesar Rp 163.81 miliar, sektor migas sebesar Rp 128.29 miliar, dan sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 106.71 miliar dan pertanian tanaman pangan sebesar Rp 91.27 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 632.55 miliar dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 703.44 miliar. Berdasarkan kenyataan tersebut bahwa erosi sangat mempengaruhi produktitas perdagangan, industri dan pertanian. 7.1.7
Penaggulangan Kebocoran Erosi pada Tingkat 10% Hasil penghitungan menunjukan bahwa penanggulangan deforestasi dan
erosi efektif pada tingkat 10% dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 29,
184
akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp 1.96 trilun. Sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output terbesar adalah sektor perdagangan
sekitar Rp 395.85 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor industri
pengolahan sebesar Rp 327.61 miliar, sektor migas sebesar Rp 256.58 miliar, dan sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 213.41 miliar dan pertanian tanaman pangan sebesar Rp 182.53 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 1.27 triliun dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 1.41 triliun. 7.1.8
Penaggulangan Kebocoran Erosi pada Tingkat 15% Hasil penghitungan menunjukan bahwa penanggulangan deforestasi dan
erosi efektif pada tingkat 15% dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 30, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp 2.94 trilun. Sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output terbesar adalah sektor perdagangan
sekitar Rp 593.77 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor industri
pengolahan sebesar Rp 491.42 miliar, sektor migas sebesar Rp 384.87 miliar, dan sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 320.11 miliar dan pertanian tanaman pangan sebesar Rp 273.80 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 1.90 triliun dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 2.11 triliun. 7.1.9
Penaggulangan Kebocoran Erosi pada Tingkat 20% Hasil penghitungan menunjukan bahwa penanggulangan deforestasi dan
erosi efektif pada tingkat 20% dari kondisi saat ini sebagaimana Lampiran 31, akan meningkatkan output sektor kehutanan sebesar Rp 3.92 trilun. Sektor produksi yang langsung memperoleh peningkatan output terbesar adalah sektor perdagangan
sekitar Rp 791.70 miliar. Kemudian diikuti oleh sektor industri
pengolahan sebesar Rp 655.22 miliar, sektor migas sebesar Rp 513.17 miliar, dan sektor industri makanan dan minuman sebesar Rp 426.83 miliar dan pertanian tanaman pangan sebesar Rp 365.08 miliar. Lebih lanjut faktor produksi akan mendapatkan tambahan output Rp 2.53 triliun dan institusi rumah tangga mendapatkan tambahan output sebesar Rp 2.82 triliun.
185
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan mengurangi erosi sebesar 5% maka kenaikkan output sebesar Rp 1.00 miliar atau sekitar 0.6% dari PDRB Provinsi Jawa Tengah. 7.2 Implikasi Kebijakan. 7.2.1
Penghargaan Produk Hasil Hutan dan Manfaat Hutan Sumberdaya hutan secara totalitas di Propinsi Jawa Tengah telah memberi
berbagai manfaat ekonomi bagi masyarakat berupa barang/bahan untuk sandang, pangan, dan papan serta jasa lingkungan yang cukup dirasakan oleh masyarakat. Secara kuantitatif manfaat ekonomi hutan di Provinsi Jawa Tengah mencapai 2.8% dari total output atau sekitar 5.3% dari PDRB wilayah tersebut. Sebagai gambaran untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat tingkat harga–harga hasil hutan di provinsi tersebut sebagaimana Tabel 58.
1.
Tabel 58. Harga Nominal Hasil Hutan di Provinsi Jawa Tengah T ahun 2003 Harga Nominal Keterangan Hasil Hutan (Rp 1000) Kayu Jati 1 668.60/m3 logs
2
Kayu rimba
3
Gondorukem
3 516.58/ton
-
5.
Terpentin
3 940.27/ton
-
6
Kayu putih
76.46/kg
-
7
Kopal
5 773.9/ton
8
Rotan
1.50/btg
-
9
Madu
10.00/kg
-
10
Air dari hutan
0/liter
Belum dihargai
11
Udara bersih
0/ton
Belum dihargai
12
Jasa wisata hutan
No
250.70/m3
0–
logs
butiran
-
1000/pengunjung
13
Flora dan fauna hutan
pm
Tidak jelas
14
Jasa penelitilian
pm
Belum dihargai
186
Harga-harga tersebut di atas sepintas cukup tinggi tetapi bila diperhitungkan nilai perolehan yang terdiri dari penanaman Rp 5 juta/ha, pemeliharaan 1.5 juta per tahun, dan eksploitasi Rp 100.000,-/m3 (Perum Perhutani, 2004), maka harga kayu tersebut relatif rendah.
Apalagi bila
diperhitungkan dampak negatif dari kegiatan eksploitasi hutan, maka nilai kayu saat ini masih sangat rendah. Sementara itu nilai hasil hutan non kayu yang bersifat hasil sampingan maka harga-harga tersebut di atas cukup prospektif sebagai sumber pendapatan. Selanjutnya hasil air, udara bersih, flora dan fauna hutan, jasa penelitian dan lainnya sampai saat ini belum dihargai. Hal tersebut terjadi karena belum ada mekanisme penghargaan hasil-has il tersebut. Harga-harga tersebut di atas sepintas cukup tinggi tetapi bila diperhitungkan nilai perolehan yang terdiri dari penanaman Rp 5 juta/ha, pemeliharaan 1.5 juta per tahun, dan eksploitasi Rp 100.000,-/m3 (Perum Perhutani, 2004), maka harga kayu tersebut relatif rendah.
Apalagi bila
diperhitungkan dampak negatif dari kegiatan eksploitasi hutan, maka nilai kayu saat ini masih sangat rendah. Sementara itu nilai hasil hutan non kayu yang bersifat hasil sampingan maka harga-harga tersebut di atas cukup prospektif sebagai sumber pendapatan. Selanjutnya hasil air, udara bersih, flora dan fauna hutan, jasa penelitian dan lainnya sampai saat ini belum dihargai. Hal tersebut terjadi karena belum ada mekanisme penghargaan hasil-hasil tersebut. Penghargaan terhadap hasil dan manfaat hutan dapat tempuh melalui beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Mekanisme penghargaan langsung dapat ditempuh melalui intervensi pemerintah terhadap pasar, misalnya kontrol kualitas dan kuantitas hasil dan manfaat hutan. Sedangkan mekanisme tidak langsung dapat ditempuh melalui pengenaan pungutan dan pajak terhadap hasil dan manfaat hutan (Suparmoko, 2000). Namun demikian mekanisme penghargaan hasil dan dan manfaat hutan tersebut tidak mudah diterapkan karena akan terkendala adanya
anggapan
masyarakat bahwa hutan adalah anugerah Tuhan, sehingga tidak perlu dilakukan pembayaran bagi siapa-siapa yang memanfaatkan.
Anggapan tersebut
mengakibatkan terjadinya eksploitasi hutan yang berlebihan. Meskipun terdapat dana yang terkumpul dari pungutan dan retribusi tetapi tidak cukup untuk
187
mengadakan reboisasi dan pemeliharaan sumberdaya hutan.
Oleh karena itu
anggapan “hutan adalah anugerah Tuhan” harus dirubah menjadi “hutan adalah amanah dari Tuhan” untuk dijaga, dihargai, dan dimanfaatkan secara bijaksana. Penghargaan produk hasil hutan dan manfaat hutan harus terus ditingkatkan sebab kehutanan (hutan dan industrinya) mempunyai beberapa keunggulan dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan (FAO, 1974 dalam Darusman 1995). Keunggulan kehutanan tersebut dicirikan beberapa hal antara lain: a. Kayu adalah adalah bahan baku yang multi guna dan diperlukan oleh banyak jenis industri dan juga dapat diproses dalam wujud kayu semula seperti : kayu gergajian, kayu lapis atau dalam wujud serpihan dan serat seperti papan partikel, kertas dan lain sebagainya. Bahkan dapat dalam wujud bahan kimia seperti alkohol, gula, rayon, dan sebagainya. b. Konsumsi dan pasar hasil hutan selalu berkembang dengan stabil, baik pada masyarakat berp enghasilan tinggi maupun yang menengah dan rendah. Sehingga prospek dan penanaman modal dalam dunia usaha kehutanan dan industrinya sangat baik dan beresiko rendah dimasa sekarang maupun yang akan datang. c. Kebanyakan hasil hutan olahan masih berupa barang setengah jadi dan merupakan bahan baku berbagai jenis industri lanjutan. Dengan demikian dapat memberi dampak penggandaan ekonomi yang besar terhadap pembangunan wilayah. Disamping itu, bahan baku industri pengolahan hasil hutan hampir seluruhnya berasal dari dalam negeri, sehingga akan memberikan dampak penghematan devisa negara. d. Tingkat teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia yang dibutuhkan dalam kegiatan kehutanan dan industrinya bersifat fleksibel pada tingkat yang rendah sampai dengan yang tingkat tinggi, sehingga selalu dapat mendukung setiap tahap pembangunan. e. Kehutanan bersifat menyebar dari pusat kota hingga ke pelosok wilayah karena sifat proses produksinya yang harus mendekati sumber bahan baku atau mendekati pasar atau pembeli. Sehingga pembangunan kehutanan dapat menjadi nukleus bagi perkembangan ekonomi di desa-desa dan pemerataan pembangunan.
188
7.2.2
Pembiayaan Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan di Provinsi Jawa Tengah sebagai sumberdaya tidak
berbeda dengan pengelolaan sumberdaya yang lain memerlukan biaya untuk mengoptimalkan manfaat yang akan dicapai. Apalagi dalam pengelolaan hutan terdapat dampak negatif yang dapat menurunkan pendapatan wilayah, maka untuk mengoptimalkan manfaat sekaligus untuk mengurangi dampak negatif diperlukan biaya yang memadai. Dengan tersedianya biaya yang memadai maka upaya penanggulangan illegal logging, illegal trading, deforetasi dan erosi dapat dilaksanakan secara baik. Dengan demikian kebocoran pendapatan sektor kehutanan dapat diminimalisasi sehingga pada akhirnya pendapatan wilayah dan masyarakat meningkat. Hutan adalah kekayaan negara yang semua pihak dapat mengaksesnya atau dengan kata lain hutan sebagai barang publik, sehingga kurang menarik bagi individu intuk secara langsung bertanggung jawab dalam pengelolaan kekayaan tersebut meskipun yang bersangkutan menikmati hasil dan manfaat hutan. Tidak semua hasil dan manfaat hutan dapat langsung dinikmati individu tertentu, tetapi orang atau pihak lain yang tidak ikut serta membiayai atau menjaga juga akan menikmati hasil dan manfaat hutan. Individu yang mengelola sumberdaya hutan kesulitan menarik biaya dari orang atau pihak lain tersebut. Oleh karena itu Pemerintah harus bertanggungjawab secara keseluruhan dan mengatur sedemikian rupa dengan berbagai instrumen kebijakan dan mekanisme sehingga pihak-pihak yang memanfaatkan hutan dapat dengan sadar membayar kewajibannya. 7.2.3
Pengenaan Pajak dan Restribusi Air dan Udara Bersih Meskipun pajak dan restribusi bersifat disinsentif, tetapi kebijakan ini
perlu diterapkan mengingat air dan udara bersih dapat mengalami krisis ataupun tercemar bila tidak dijaga sumbernya (Suparmoko, 2000). Oleh karena itu pajak dan restribusi air maupun udara bersih lebih diarahkan kepada pengendalian sumberdaya tersebut agar dipergunakan secara arif dan hemat. Dengan demikian pengenaan pajak dan restribusi tersebut dilakukan secara diskriminasi sesuai tingkat kearifan dan kehematan penggunaannya.
Bagi konsumen yang arif dan
hemat air dan udara bersih dapat dikenakan pajak dan restribusi yang ringan atau
189
bahkan nol tetapi bagi konsumen yang boros maka pajak dan restribusi yang harus ditanggung lebih besar. Mekanisme pengenaan pajak dan restribusi air atau udara bersih harus adil bijaksana sebab konsumen komoditi tersebut mempunyai preferensi kebutuhan yang beragam. Untuk petani, konsumsi air terbanyak untuk proses produksi padi sedangkan untuk industri, hotel dan usaha besar lainnya, konsumsi air terbanyak kegiatan bisnis. Bahkan khusus industri memiliki potensi kontribusi yang besar dalam pencemaran udara, sehingga konsumsi udara bersihnya menjadi yang paling besar. Dengan demikian undustri dan hotel dapat dikenakan pajak dan restribusi air dan udara bersih yang paling besar. 7.2.4
Optimalisasi
Provisi
Sumberdaya
Hutan
(PSDH)
dan
Dana
Reboisasi(DR) Obyek pengenaan PSDH dan DR adalah terhadap hasil hutan kayu maupun non kayu. Instrumen kebijakan telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002
yang
meliputi mekanisme, tatacara, dan pengenaan serta penggunaan PSDH dan DR. Sedangkan tarif PSDH dan DR Kehutanan.
ditentukan secara periodik oleh Menteri
Dana PSDH dan DR disetor oleh wajib bayar yaitu pelaksana
pemungutan hasil hutan kayu maupun non kayu. Penyetoran ditujukan kepada Pemerintah melalui Kas Negara. Selanjutnya, dana PSDH dan DR yang terkumpul di Kas Negara, dipergunakan oleh Pemerintah untuk membiayai pengelolaan hutan antara lain program Reboisasi dan Rehabilitasi hutan dan lahan, pengadaan sarana prasarana pengemanan dan perlindungan hutan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan dan lain sebagainya. Permasalahan yang menonjol dalam pengumpulan PSDH dan DR adalah pemungutan kepada wajib bayar belum optimal karena masih sering terjadi penyimpangan dan juga rendahnya tarif.
Penyimpangan yang sering terjadi
adalah manipulasi volume dan jenis hasil hutan, dan ketidak tepatan waktu bayar. Sedangkan besarnya tarif belum berimbang dengan rent dari hutan karena masih mempertimbangkan insentif bagi pelaksana pemungutan hasil hutan, sehingga
190
tarif masih undervalue.
Oleh karena itu di masa yang akan datang upaya
optimalisasi PSDH dan DR harus terus ditingkatkan. 7.2.5
Pengenaan Denda Perusak Hutan dan Lingkungan Denda pada dasarnya instrumen pajak khusus yang dikenakan terhadap
perusak sumberdaya hutan dan lingkungan. Besarnya denda tersebut harus lebih besar dibanding pajak biasa. Denda tersebut dimaksudkan untuk mencegah dan menurunkan tingkat kerusakan hutan yang dilakukan oleh pelaku pengelolaan hutan (swasta, koperasi, badan hukum, maupun perorangan) dengan cara menginternalkan biaya lingkungan yang semula ditanggung oleh masyarakat. Biaya lingkungan tersebut sebesar biaya eksternal dari penurunan kualitas lingkungan, produktivitas sumberdaya lahan
maupun sumberdaya manusia
(Suparmoko, 2000). Di Provinsi Jawa Tengah terdapat aktivitas manusia yang merusak hutan yaitu perambahan hutan, perusakan tanaman, penggembalaan liar, kebakaran hutan dan illegal logging. Laju perusakan hutan selama perio de tahun 2000 – 2004 sekitar 4200- 6500 hektar per tahun dan denda perusak hutan sekitar Rp 50 juta – Rp 10 miliar (Undang-Undang nomor 41 tahun 1999) maka dana yang terkumpul karena denda cukup besar. Pengenaan denda tidak boleh diskrinatif, maka jika pelakunya dapat dibuktikan maka dikenakan kepada siapa saja termasuk Perum Perhutani. Di samping itu
di Provinsi Jawa Tengah terdapat bahaya perusakan
lingkungan yaitu aktivitas pembukaan lahan untuk tebangan hutan, pertanian, pertambangan, perkebunan, perumahan dan sebagainya yang berdampak timbulnya erosi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan tingkat erosi yang ditimbulkan oleh masing-masing aktivitas pembukaan lahan tersebut. Selanjutnya setiap pelakunya dikenakan denda sesuai ketentuan yang berlaku. 7.2.6
Asuransi Kerusakan dan Kebakaran Hutan Hutan sebagai asset yang mempunyai nilai yang cukup besar misalnya
hutan tanaman yang nilai perolehannya berkisar Rp 5 – 7 juta/hektar harus dijamin keberadaannya dengan polis asuransi. Penjaminan hutan tanaman sudah
191
lazim dilakukan oleh beberapa perusahaan di Indonesia. Penjaminan tersebut dilakukan untuk menjaga resiko hilangnya asset hutan tersebut dari bahaya kerusakan alam, kebakaran, dan sebagainya. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat asset hutan jati tanaman Perum Perhutani Unit I seluas 573 241.63 hektar yang layak untuk diasuransikan.
Namun sampai saat ini asuransi tersebut belum
dilakukan. 7.2.7
Pemanfaatan Dana Internasional Hutan mempunyai peranan global dalam menjaga keseimbangan
ekosistem lingkungan hidup.
Ekosistem lingkungan tersebut tidak mengenal
batas, sehingga dampak positif ataupun negatif di suatu wilayah maka mempengaruhi wilayah ataupun negara lain. Contoh kongkrit adalah pembakaran hutan dan lahan di Sumatera akan akan terjadi pencemaran udara (asap) ke negara-negara tetangga (Singapore, Malaysia dan Thailand).
Dengan adanya
pencemaran udara di wilayah -wilayah tersebut maka akan terjadi gangguan penerbangan internasional.
Oleh karena itu negara-negara maju telah
menyisihkan sebagian anggaran belanjanya untuk membentuk dana lingkungan global (global environmental fund). Dengan demikian karena Provinsi Jawa Tengah yang memiliki kawasan hutan seluas 647 596.81 hektar berpeluang untuk mendapatkan alokasi dana lingkungan global tersebut. 7.2.8
Efisiensi Bahan Baku Kayu Industri primer kehutanan yang terdiri dari industri penggergajian, industri
kayu lapis, industri meubel dan bahan bangunan, dan industri pengolahan dengan bahan baku kayu memberikan nilai output sebesar Rp 5.2 triliun per tahun. Industri-industri tersebut memerlukan bahan baku kayu yang diproduksi oleh Provinsi Jawa Tengah maupun kayu yang didatangkan dari luar provinsi. Kayu yang berasal dari produksi Perum Perhutani dan kayu rakyat di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan hanya mampu memberikan pasokan 50% dati total keperluan industri di wilayah ini.
Oleh karena itu untuk mempertahankan produktifitas
industri primer kehutanan di Provinsi Jawa Tengah perlu mendatangkan kayu dari luar provinsi terutama dari luar Pulau Jawa. Namun demikian untuk menambah
192
produksi maupun mendatangkan kayu dari luar daerah tidak mudah karena sumber-sumber produksinya juga sudah sangat terbatas. Oleh karena itu industri primer kehutanan dihadapkan tantangan efisiensi bahan baku yang optimal untuk mempertahankan operasionalnya. Di samping efisiensi bahan baku, industri primer kehutanan di Provinsi Jawa harus mampu menyerap seluruh produksi hasil hutan di wilayah tersebut sehingga nilai tambah hasil hutan tidak keluar dan dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Dengan adanya efisiensi bahan baku dan pengolahannya akan berdampak terhadap pengurangan luas dan volume tebangan per tahunnya di wilayah tersebut. 7.2.9
Alokasi Penggunaan Lahan Lahan merupakan masukan kapital (capital input) yang berfungsi sebagai
faktor produksi utama dari berbagai aktivitas manusia untuk pertanian (dalam arti luas), perumahan, industri, pertambangan, infrastruktur dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut secara langsung akan mempengaruhi output dalam penentuan pendapatan
wilayah,
penyerapan
tenaga
kerja,
investasi,
dan
aktivitas
perekonomian lainnya. Oleh karena itu alokasi penggunaan lahan secara langsung akan menentukan aktivitas perekonomian wilayah. Di sisi lain selama periode 1998-2003, penggunaan lahan di Provinsi Jawa Tengah seluas 3.25 juta hektar terdiri dari 995 000 hektar (30.59%) lahan persawahan dan 2.26 juta hektar (69.41%) lahan bukan persawahan (yaitu berupa lahan tegalan/perkebunan seluas 768 400 hektar,
hutan 647 597 hektar dan
perumahan dan bangunan seluas 618 400 hektar serta lain-lain seluas 225 600 hektar) selalu mengalami perubahan peruntukan. Perubahan tersebut mengarah pengurangan lahan sawah, kebun, hutan menjadi perumahan. Sebagai contoh pada periode
tahun 1998 – 2003 secara resmi terjadi penyusutan lahan
persawahan sekitar 1500 hektar menjadi perumahan (BPS Jawa Tengah, 2004). Fakta dilapangan, perubahan lahan sawah, hutan, dan kebun menjadi perumahan, hotel, industri, jalan dan lain-lain lebih besar dari angka resmi tersebut sebab masih banyak perubahan peruntukan yang tidak resmi. Kondisi tersebut masih diperparah bahwa lahan sawah, hutan, dan kebun yang dirubah tersebut
193
merupakan lahan sawah, hutan dan kebun yang subur, produktif, dan rawan erosi. Sehingga setelah lahan berubah fungsi maka terjadi penurunan produksi dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada tahun 2003, terjadi penurunan produksi padi sebesar 7%. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kebijakan yang perlu dilakukan agar dicapai manfaat lahan yang optimal perlu dilakukan alokasi penggunaan lahan secara tepat baik menyangkut lokasi dan jenis peruntukkannya. Alokasi penggunaan lahan yang tepat akan mempermudah perencanaan produksi secara mantap sehingga target yang telah ditetapkan akan mudah tercapai. Di samping itu alokasi lahan secara tepat akan mendorong pelaksanaan konservasi lahan (termasuk hutan) sehingga dampak kerusahan lahan (misalnya erosi) dapat kendalikan secara optimal. 7.2.10 Pemerataan Hak Kelola Hutan Keberhasilan pengelolaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan regional maupun nasional ditunjukkan kontribusinya terhadap pendapatan wilayah yang optimal, kelestariannya terjamin, dan kelembagaannya mantap. Apakah pengelolaan hutan di Provinsi Jawa Tengah telah telah berhasil?. Jawaban atas pertanyaan tersebut masih bersifat subyektif yaitu kontribusinya terhadap pendapatan wilayah hanya 2.80% sementara persentase luas hutan terhadap luas daratan provinsi sebesar 19%.
Kelestarian hasil hutan masih belum
menggembirakan karena sejak tahun 1998 hingga 2003 cenderung turun volume dan nilainya. Kelembagaan pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah masih didominasi oleh Pemerintah (Pusat), yaitu Perum Perhutani Unit I (BUMN), Balai Konservasi Sumberdaya Alam Semarang dan Balai Taman Nasional Karimun Jawa (Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan). Sementara itu belum ada lembaga masyarakat di provinsi tersebut yang diberikan wewenang pengelolaan kawasan hutan. Oleh karena itu hak kelola kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah sepenuhnya masih di tangan pemerintah.
Hal tersebut
apakah efektif?. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa penebangan pohon secara liar (illegal logging), dan perambahan kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah tetap terjadi meskipun telah diupayakan pencegahannya dengan berbagai cara.
194
Bahkan menurut kuantitas maupun kualitas pencurian kayu meningkat
sejak
tahun 1998 hingga tahun 2001 dimana pada saat itu seolah-olah aparat tidak mampu mengatasi (Yulianto, 2002).
Tetapi tahun 2002 dan 2003 aktivitas
penebangan pohon secara liar (illegal logging ), dan perambahan kawasan hutan sudah cenderung menurun namun jumlahnya tetap besar. Berdasarkan pengalaman empiris diberbagai tempat (provinsi) bahwa paradigma lama pengelolaan hutan oleh pemerintah kurang efektif, maka terdapat paradigma baru pengelolaan hutan oleh masyarakat menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan. Paradigma baru tersebut diharapkan dapat mencapai pemerataan hak kelola hutan, sehingga pengelolaan hutan dapat optimal mendukung pembangunan masyarakat. Menurut FAO (2005), pengelolaan hutan oleh masyarakat memang excellence. Beberapa faktor yang membuat excellence tersebut adalah penguatan hak-hak penguasaan dan tenurial, mata pencaharian masyarakat yang tergantung pada hutan, membangun kelembagaan dan kerangka kerja pengelolaan, manajemen ekosistem, partisipasi masyarakat, aplikasi manajemen bisnis, dan rencana manajemen secara formal. Selanjutnya menurut Haeruman (2005) , masyarakat lokal memang seharusnya memperoleh kesempatan lebih besar untuk mengelola hutan, baik hutan milik maupun hutan negara. Di Jawa Tengah, hutan rakyat pada lahan milik 550 773.8 hektar sudah menyebar luas pada 29 kabupaten di wilayah tersebut. Hutan rakyat tersebut telah mampu mensuplai bahan baku kayu bari industri pengolahan baik yang berskla kecil maupun skala besar di wilayah tersebut, sehingga mampu memberikan dorongan yang signifikan dalam perekonomian masyarakat. Dengan dapat mengambil contoh pada kasus tersebut di atas, apabila sebagian hak pengelolaan hutan negara diserahkan kepada masyarakat, maka kerawanan terhadap kegiatan illegal logging dan perambahan kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah dapat di atasi. Meskipun demikian, pengalihan sebagian hak kelola hutan kepada masyarakat
mempunyai kelemahan antara lain: (1)
mekanisme pengalihan kepada siapa yang berhak tidak jelas, (2) masyarakat didalam dan disekitar hutan mempunyai karakteristik miskin, pendidikan rendah, tergantung alam, tidak merata kepemilikan lahan, dan sebagainya. Oleh karena itu pengalihan sebag ian hak kelola tersebut harus dikondisikan terlebih dahulu
195
hingga masyarakat siap menerimanya. Salah satu yang harus dikondisikan adalah masyarakat dalam kelembagaan komunal, sehingga hak kelola hutan adalah hak komunal (Runge, 1992). Menurut Nugroho (2004), penyerahan sebagian hak kelola hutan negara kepada masyarakat harus melalui hak komunal, sebab hak komunal memiliki keuntungan-keuntungan yaitu : a. Hak komunal sulit untuk di pecah-pecah, dijual atau diwariskan sehingga keutuhannya dapat dipertahankan.
Apabila diberikan dalam bentuk hak
individu kemungkinan akan dijual lebih besar b. Pihak diluar komunitas sulit masuk baik untuk tujuan pengambilan manfaat maupun hak karena akan segera terdeteksi oleh anggota komunitas sehingga gangguan terhadap sumberdaya dapat diketahui secara dini. c. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mengamankan hutan dapat dibangun, baik pengaman dan perambahan maupun dari kebakaran hutan serta gangguan lainnya. d. Dengan hak komunal para anggota kelompok dapat memanfaatkan sumberdaya hutan, sehingga kesejahteraan sosial dapat lebih ditingkatkan. e. Ekses open access resources seperti mahalnya biaya eksklusi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan ketertiban dapat dihindari. Namun demikian hak komunal juga mempunyai permasalahan antara lain : (1) jumlah anggota kelompok yang terlau banyak dan beragam maka akan memunculkan perilaku penumpang gratis (free rider), tetapi anggota kelompok yang terlalu sedikit
akan menghadapi kendala kemampuan pelaksanaan dan
investasi, (2) kesenjangan kepemilikan informasi dan distribusi kekuasaan dari masing-masing anggota kelompok dalam pembuatan kesepakatan maka akan memunculkan perilaku otoriter dari yang kuat kepada yang lemah, (3) kesulitan membuat keputusan bersama apabila hak komunal tersebut diserahkan kepada marga/klan tertentu.
Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat
dipertimbangkan bahwa penerima sebagian hak kelola hutan adalah desa, sehingga keputusan-keputusan alokasi sumberdaya hutan ditentukan oleh penduduk desa melalui rembug desa.
196
Di samping itu penyerahan sebagian hak kelola hutan negara harus melalui suatu tahapan baik proses maupun waktu. Proses pengelolaan hutan dimulai dari perencanaan areal, penanaman, pemeliharaan, penebangan atau pemungutan hasil dan sebagainya. Oleh karena itu penyerahan sebagian hak kelola dapat dilakukan secara bertahap proses tersebut sesuai keseiapan dari komunitas masing-masing. Selanjutnya penyerahan sebagian hak kelola tersebut tidak dalam satu waktu tertentu melainkan dalam kurun waktu yang cukup agar kelompok tidak kelebihan beban. 7.2.11 Reorientasi Produksi Hutan Aktivitas perekonomian sektor kehutanan di Provinsi Jawa Tengah didominasi oleh Perum Perhutani selaku pelaku usaha kehutanan yang mendapatkan hak pengelolaan kawasan hutan di wilayah tersebut. Sementara pelaku-pelaku aktivitas ekonomi kehutanan lain tidak mempunyai hak kelola kawasan hutan. Oleh karena itu produksi hasil dari kawasan hutan di wilayah tersebut dapat dijelaskan dengan produksi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Meskipun demikian pelaku-pelaku ekonomi kehutanan non Perum Perhutani tidak dapat dinafikkan sebab pada umumnya memegang industri pengolahan hasil hutan misalnya industri penggergajian, industri plywood dan meubel yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan wilayah lebih besar dibanding Perum Perhutani. Tetapi hingga saat ini kontribusi industri-industri tersebut tercatat sebagai kontribusi non kehutanan. Jenis produksi dan nilai hasil hutan dari Perum Perhutani masih didominasi oleh hasil hutan kayu bulat 430 734.73 m3 dengan nilai sekitar Rp 430.91 miliar. Sementara itu hasil hutan non kayu sekitar 55 000 ton dengan nilai sekitar Rp 24.28 milyar, jasa wisata, air, sarang burung, dan hasil tambang (galian C) senilai Rp 568.32 juta. Seperti telah dijelaskan pada sub Bab terdahulu bahwa produksi kayu bulat mempunyai kontribusi terhadap erosi triliun.
sebesar Rp 1.354
Jika nilai erosi tersebut dikompensasikan terhadap hasil kayu maka
Provinsi Jawa Tengah mengalami kekurangan (minus) pendapatan sebesar Rp 1.02 trilun.
197
Kenyataan tersebut di atas mengakibatkan perlu pertimbangan lebih lanjut apakah Perum Perhutani tetap mengandalkan kayu sebagai produk utamanya.
Sementara itu hasil hutan non kayu serta jasa wisata, air dan
sebagainya masih relatif terabaikan. Padahal produksi hasil hutan non kayu tersebut relatif ramah terhadap bahaya erosi dan sebagainya. Sehingga untuk dimasa yang akan datang kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah perlu diubah orientasi produksinya menjadi produsen utama hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Perubahan orientasi produksi tersebut tidak mudah dilakukan sebab Perum Perhutani selaku pengelola perlu melakukan penyesuaian tenaga manusia, teknologi, dan permodalan kayu tersebut.
untuk dapat mengoptimalkan usaha kehutanan non
Menurut Riyadi (2005), penyesuaian tersebut perlu dibarengi
langkah-langkah yang sinergis dengan perkembangan globalisasi dan konservasi yaitu : a) Melaksanakan sistem produksi sektor kehutanan yang efisien dan berdaya saing dengan memperhatikan isu lingkungan, isu kualitas, isu property right, isu hak asasi manusia, dan isu ketenaga kerjaan b) Mempertimbangkan perilaku konsumsi yang lebih mementingkan kualitas dan persaingan harga barang/jasa yang berbasis sumber daya alam c) Menjaga proses produksi hasil hutan maupun industrinya agar tidak merusak tatanan, fungsi, dan proses ekologi, serta tidak membahayakan kehidupan manusia. 7.2.12 Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kondisi hutan dan lahan Indonesia saat ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak di dalam negeri maupun masyarakat global. Proses degradasi sumberdaya hutan dan lahan terus meningkat baik kualitas maupun kuantitas, sehingga pada akhir -akhir ini terjadi kecenderungan peningkatan bencana alam hidrometeorologi yaitu bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bencana tersebut telah mengakibatkan kegagalan panen, kebakaran hutan dan lahan, kekurangan gizi dan kelaparan baik penduduk maupun ternak. Kerusakan hutan dan lahan yang mengakibatkan terjadinya bencana hidrometeorologi tersebut disebabkan oleh akumulasi berbagai sebab mulai dari lemahnya peraturan dan
198
penegakan hukum, pengendalian pengusahaan hutan, praktek perladangan berpindah, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap ekosistem daerah aliran sungai (DAS) terutama di daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan dan juga tangkapan hujan (catchment area ). Oleh karena itu upaya penanggulangan yang diperlukan adalah mengembalikan fungsi daerah hulu sebagai daerah yang dapat menahan limpasan air permukaan (run off) dan menghindari terjadinya erosi yang tidak terkendali. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh potensi sumberdaya yang ada baik pemerintah, swasta, masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian sehingga mampu menjadi penggerak perekonomian wilayah. Di samping itu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan juga menciptakan lapangan usaha masyarakat terutama untuk pengelolaan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan lain-lain. Dana untuk membiayai kegiatan Rehabilitasi hutan dan lahan di Propinsi Jawa Tengah bersifat impor,
sebab
berasal dari DR yang dipungut dari propinsi-pro pinsi di luar pulau Jawa. Dengan adanya kegiatan rehabilitasi di Propinsi Jawa Tengah maka kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan wilayah meningkat. Kegiatan Rehabilitasi hutan dan lahan tersebut dapat disinergikan dengan pelestarian air melalui langkah langkah : a. Menjaga Daerah Aliran Sungai agar dapat tetap berfungsi secara hidroekologis yang optimal dengan cara rehabilitasi hutan dan lahan, bangunan sipil teknis dan membentuk masyarakat yang cinta pelestarian alam b. Memanfaatkan air secara bijaksana baik untuk masyarakat perkotaan, industri maupun pedesaan (pertanian). c. Menghindari aktivitas yang dapat mencemari air.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Ringkasan Hasil Pada tahun 2003, Provinsi Jawa Tengah memiliki sumberdaya hutan seluas 647 596.81 ha negara dan hutan rakyat 550 773.8 ha. Dengan menggunakan klasifikasi standar baku, peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1.73 triliun atau sekitar 0.51% dari total output provinsi tersebut yang berjumlah Rp 342.15 triliun
Klasifikasi standar baku sektor kehutanan
terbatas komoditi hasil kayu, non kayu (getah, madu, bambu dan sebagainya). Sedangkan hasil hutan dan aktivitas industri primer kehutanan (penggergajian, kayu lapis, bangunan kayu, dan industri yang berbahan baku kayu), dan jasa wisata hutan bernilai sebesar Rp 5.31 trilun (sekitar 1.55% dari total output provinsi), diklasifikasikan sebagai hasil sektor non kehutanan.
Klasifikasi
tersebut kurang tepat dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Indonesia nomor 34 Tahun 2002. Dengan melakukan perhitungan kembali yang menggunakan aplikasi hasil perhitungan dari intitusi resmi maupun berbagai penelitian, serta mengembalikan klasifikasi manfaat hutan yang tidak tepat, maka peranan ekonomi sektor kehutanan meningkat dari Rp 1.73 triliun menjadi Rp 14.49 triliun atau sekitar 4.23% dari total output provinsi, sehingga outpout Provinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 342.15 triliun menjadi Rp 354.19 triliun dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat dari Rp 171.13 triliun menjadi Rp 177.39 triliun . Peningkatan peranan ekonomi tersebut berasal dari hasil yang langsung dikonsumsi masyarakat sebesar Rp 16.62 miliar, illegal logging sebesar Rp 61.65 miliar, illegal trading sebesar Rp 106.81 miliar, nilai tambah sebesar Rp 217 juta, air sebesar Rp 5.51 triliun, dan udara bersih sebesar Rp 429.33 miliar. Di samping peranan ekonomi tersebut, sektor kehutanan juga memiliki potensi
peranan ekonomi lain yang berupa manfaat positif yaitu efisiensi
kelembagaan dan keberadaan/pelestarian hutan sebesar Rp 5.73 triliun,
serta
manfaat yang bersifat negatif berupa deforestasi dan erosi sebesar Rp 9.87 triliun. Dengan adanya manfaat hutan yang bersifat negatif tersebut maka PDRB bersih (Green PDRB) Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 168.44 triliun.
200
Berdasarkan
analisis derajat kepekaan (backward linkage) dan daya
penyebaran (forward linkage), sektor hasil hutan dan aktivitas kehutanan memiliki keterkaitan input dan output sebesar 1.00 s/d 2.56.
Dengan nilai keterkaitan >
1.00 tersebut maka sektor hasil hutan dan aktivitas kehutanan mempunyai peran yang penting dalam menggairahkan perekonomian Provinsi Jawa Tengah. Bahkan untuk sektor jasa wisata hutan koefisien kepekaan sebesar 2.56, maka akan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk bergerak secara signifikan. Lebih lanjut berdasarkan biaya faktor (at faktor costs), pendapatan sektor kehutanan
sebesar Rp 8.42 triliun terdapat kebocoran sebesar Rp 2.54 triliun
atau sekitar 30.17%. Kebocoran pendapatan sektor kehutanan tersebut lebih tinggi dibanding sektor-sektor lain yang besarnya sekitar 22.0%. Hal ini dapat dipahami sebab sektor kehutanan mempunyai kontribusi kebocoran yang sangat besar yang berasal dari erosi. Kebocoran erosi di sektor kehutanan sebesar Rp 2.31 triliun atau sekitar 25% dari seluruh kebocoran kehutanan. Oleh karena itu guna meningkatan pendapatan dari sektor kehutanan tersebut maka prioritas utamanya adalah mengatasi erosi. Rumah tangga kehutanan sebanyak 12 538 orang menikmati pendapatan sektor kehutanan sebesar sekitar 11% dari total pendapatan sektoral yang berjumlah Rp 8.42 triliun. Dengan demikian sekitar 89% dari pendapatan sektor kehutanan dinikmati industri dan pengusaha kehutanan serta sektor lain non kehutanan. Sementara itu pengeluaran rumah tangga kehutanan di Provinsi Jawa Tengah untuk pemenuhan kebutuhan barang jasa yang dikonsumsi akhir sebesar 53.58%, pembayaran pajak sebesar 1.63%, tranfer sebesar 9.25% dan ditabung sebesar 35.54%. Rasio pendapatan per kapita terendah dengan yang tertinggi dari rumah tangga kehutanan sebesar Rp 8.23 juta per tahun dibanding Rp10.53 juta per tahun (atau sekitar
8 : 10), sementara
rasio pendapatan per kapita rumah
pertanian non kehutanan sebesar Rp 4.52 juta per tahun disbanding Rp 10.31 juta per tahun. Ketimpangan pendapatan rumah tangga d i Provinsi Jawa Tengah pada umumnya sekitar 1 : 2.5. Dengan skenario memberantas kegiatan illegal kehutanan sampai dengan tidak terjadi sama sekali (0%) maka terjadi penurunan output sebesar sampai Rp
201
492.78 miliar
dan jika membiarkan kegiatan illegal dihitung seluruhnya
memberikan tambahan output sebesar Rp. 340.74 miliar. Dengan demikian Dengan demikian pilihan memberantas kegiatan illegal kehutanan tetap baik dibanding membiarkan kegiatan illegal tersebut berlangsung. Pilihan-pilihan kebijakan kehutanan yang terkait dengan peningkatan peranan ekonomi kehutanan dan penanggulangan kebocoran pendapatan di Provinsi Jawa Tengah pada masa mendatang agar difokuskan pada
(1)
penghargaan terhadap total manfaat hutan, (2) pembiayaan pengelolaan hutan, (3) pengenaan pajak dan retribusi air dan udara bersih, (4) optimalisasi PSDH dan DR, (6) pengenaan denda perusak hutan, (7) asuransi kerusakan dan kebakaran, (8) pemanfaatan dana internasional, (9) efisiensi bahan baku kayu, (10) alokasi penggunaan lahan, (11) pemerataan hak kelola hutan, (12) reorientasi produksi hutan, dan (13) rehabilitasi hutan dan lahan.. 8.2. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Peranan ekonomi kehutanan pada perhitungan PDRB Provinsi Jawa Tengah cukup signifikan, yaitu berkisar 0.51% (perhitungan
standar) -
4.23%
(perhitungan modifikasi) dari total output provinsi yang berjumlah Rp 342.15 triliun.
Peranan tersebut dapat bernilai lebih menonjol jika total
manfaat hutan baik sebagai penghasil barang (kayu, non kayu, air, udara bersih, dan sebagainya), maupun penyedia jasa dan kegiatan (wisata, rehabilitasi, konservasi, dan sebagainya) dapat dihitung dan dihargai secara realistis. 2. Perhitungan PDRB Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 dengan menggunakan klasifikasi baku standar
kurang akurat sebab terdapat manfaat hutan yang
belum terhitung (yaitu hasil langsung ke masyarakat, hasil illegal logging, hasil illegal trading, nilai tambah, rehabilitasi hutan, produksi air, udara bersih, nilai keberadaan, dan efisiensi kelembagaan), manfaat hutan yang masuk sektor non kehutanan (yaitu industri kayu primer), dan manfaat hutan bersifat negatif ( yaitu erosi dan deforestasi).
202
3. Terdapat manfaat hutan lain yang belum dapat dimasukkan dalam perekonomian yaitu manfaat keberadaan, pilihan dan pelestarian, serta efisiensi kelembagaan, yang akan menjadi sumber pendapatan wilayah yang sangat potensial masa yang akan datang. 4. Penebangan kayu di Provinsi Jawa Tengah yang kurang signifikan kontribusinya
terhadap PDRB, tetapi memiliki dampak yang riil terhadap
biaya erosi dan deforestasi maka pada jangka panjang perlu dipertimbangkan untuk dikurangi ataupun tidak dilakukan. 5. Hasil hutan di Provinsi Jawa Tengah selain kayu, yang mempunyai nilai manfaat nyata antara lain hasil hutan non kayu, jasa wisata dan air serta udara bersih. Hasil hutan tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor lain misalnya perdagangan, industri, minyak dan gas dan lain -lain, sehingga dapat menjadi pendorong aktivitas ekonomi sektor lain tersebut. 6. Kebocoran pendapatan di sektor kehutanan sebesar sekitar 30.17% dari total pendapatan menandakan efisiensi usaha sektor tersebut masih relatif rendah sebab kebocoran pendapatan regional hanya sekitar 22%. Sumber kebocoran pendapatan sektor kehutanan berasal dari biaya erosi yang mencapai 25% dari total kebocoran sektor. 7. Rumah tangga kehutanan di Provinsi Jawa Tengah mempunyai proporsi pendapatan sebesar 0.4% dari pendapatan wilayah, dan hanya menikmati sebagian kecil (11%) dari total pendapatan sektoral.
Oleh karena itu rumah
tangga kehutanan tersebut tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan pendapatan sektoral maupun regional. 8. Ketimpangan pendapatan rumah tangga kehutanan sebesar 8 dibanding 10, relatif lebih baik dibanding ketimpangan pendapatan rumah tangga pertanian non kehutanan yang besarnya 1 : 2.5. 9. Menghapus kegiatan illegal sektor kehutanan ( illegal logging, illegal trading, kehilangan nilai tambah, efisiensi kelembagaan) pada jangka pendek dapat mengurangi output wilayah. Tetapi secara ekonomi kegiatan tersebut masih lebih
menguntungkan
berlangsung.
dibanding
membiarkan
kegiatan
illegal tetap
Dengan demikian pemberantasan kegiatan illegal kehutanan
masih dapat menjadi pilihan untuk tetap dilaksanakan secara konsisten.
203
10. Peningkatan peranan ekonomi kehutanan dapat ditempuh melalui pemanfaatan hutan dan penanggulangan kebocoran pendapatan dengan menerapkan berbagai kebijakan optimalisasi dan penghargaan manfaat hutan yang memadai serta pemerataan hak kelola hutan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. 8.3. Saran Kebijakan Adapun saran yang dapat disampaikan agar kebijakan peningkatan peranan ekonomi kehutanan di Provinsi Jawa Tengah dapat direalisasikan antara lain : 1. Mengingat manfaat sumberdaya hutan bersifat multiguna, maka klasifikasi peranan ekonomi hutan disesuaikan dengan manfaat total ekonomi hutan baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap perhitungan PDRB.
Oleh
karena itu perlu kesepakatan para pihak untuk penetapan klasifikasi dengan mengacu pada peraturan yang berlaku baik nasional maupun internasioal. Pertimbangan yang perlu dipergunakan dalam penentuan klasifikasi sektor antara lain sebagai berikut : a. Kegiatan-kegiatan dikelompokkan
ekonomi menurut
sektor
kesamaan
termasuk struktur
sektor inputnya,
kehutanan meskipun
penggunaan outputnya berbeda. b. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghasilkan beberapa output tetapi output tersebut terkait langsung dengan inputnya misalnya industri penggergajian dengan logs maka dikelompokkan dalam satu sektor. c. Institusi
yang
bertanggung
jawab
terhadap
aktivitas
sektor
dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi sektor. d. Eksternalitas lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif perlu diperhitungkan. 2. Pemanfaatan hutan tidak hanya dipandang sebagai sumberdaya penghas il barang dan jasa melainkan juga harus dipandang sebagai ekosistem penyangga kehidupan. Sehingga penghargaan terhadap manfaat hutan tidak sebatas nilai finansial melainkan juga nilai instrinsik, keberadaan, dan kelestarian hutan. 3. Penebangan hutan sebaiknya tetap mempertimbangkan
aspek ekonomi
dengan aspek ekologi secara adil dan bijaksana yang mengutamakan
204
kepentingan masyarakat masa kini maupun masa yang akan datang, sehingga pendekatan pengelolaan hutan lestari (PHL) menjadi salah satu alternatif. 4. Masyarakat Jawa Tengah pada umumnya memiliki lahan sempit, maka penggunaan setiap jengkal lahan termasuk hutan harus memperhitungkan disesuaikan dengan tata ruang yang optimal dalam mendukung program pembanguan yang berkelanjutan. 5. Peningkatan efektivitas pengelolaan hutan terutama pemungutan hasil hutan non kayu maupun jasa wisata hutan dapat dicapai melalui pemerataan hak kelola hutan dengan mengoptimalkan kelembagaan komunal masyarakat di di Provinsi Jawa Tengah . 6. Penaggulangan kebocoran pendapatan sektor kehutanan perlu dilakukan dengan menerapkan program pengelolaan hutan yang partisipatif yang dibarengi dengan pengawasan yang ketat serta penegakan hukum yang adil dan konsisten. 7. Dalam mengatasi permasalahan sektor kehutanan perlu dicarikan berbagai alternatif atau solusi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sektor kehutanan mempunyai keterkaitan yang erat baik ke depan maupun kebelakang dengan sektor-sektor lain terutama dalam penyediaan lahan untuk berbagai aktivitas ekonomi sektor lain non kehutanan. 8.4. Saran Penelitian Lanjutan. Berdasarkan penelahaan lebih lanjut terhadap proses dan hasil penelitian ini maka dapat diajukan saran untuk penelitian lanjutan sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi teknis analisis, model input-output maupun Sistem Neraca Sosial Ekonomi yang digunakan pada penelitian ini bersifat statis, sehingga hasil analisis ini mempunyai akurasi stasioner pada tahun tertentu (tahun 2003). Oleh karena itu penelitian yang lebih bersifat time series perlu dilakukan dengan menerapkan model input-output dan SNSE dinamis 2. Pelaksanaan disagregasi variabel/sektor kehutanan menjadi subsektor belum baku sehingga subsektor yang dikreasikan pada penelitian ini belum dapat di uji kehandalannya terutama antar wilayah. Oleh karena itu penelitian ini perlu
205
dilanjutkan dengan melakukan disagregasi yang sama pada provinsi lain terutama di luar Pulau Jawa. 3. Pemanfaatan kawasan hutan bersifat lintas sektoral dan terkait dengan efisiensi penggunaan sumberdaya alam pada wilayah yang berpenduduk padat seperti di Pulau Jawa maka diperlukan penelitian penatagunaan lahan yang tepat untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan wilayah tersebut. 4. Kajian aspek ekologi (lingkungan) secara mendalam yang terkait dengan ekonomi dan sosial masyarakat
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
sehingga diketahui dampak kebijakan pemanfaatan hutan.
DAFTAR PUSTAKA Alfian, M. 2004. Valuasi Ekonomi Konservasi Hutan Mangrove Untuk Budidaya Tambak di Kecamatan Tinanggea Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. APHI. 2003. Peninjauan Menyeluruh Terhad ap Pungutan Sektor Usaha Kehutanan. Kerjasama antara APHI dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anwar, S. 2001. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Hutan Masyarakat Rimba. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astana, S., B.M. Purnama dan B.M. Sinaga. 2002. Optimalisasi Manfaat Ekonomi Hutan Alam Produksi. Jurnal Sosial Ekonomi, 3(1) : 1-21. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. ______ , D. Djaenudin dan M.Z. Muttaqin. 2003. Peranan Sektor Kehutanan Dalam Perekonomian Daerah. Jurnal Sosial Ekonomi, 4(1) : 1-26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2003. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________. 2004a. Jawa Tengah Dalam Angka. Statistik Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Badan Pusat
__________________. 2004b. Pendapatan Regional Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Bahruni. 1993. Penilaian Manfaat Wisata Alam Kawasan Konservasi dan Peranannya Terhadap Pembangunan Wilayah. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barlow, R. 1978. Land Resources Ekonomics. Third Edition. Prentice Hall Inc. Engelwood Cliffs, New Jersey. Bird, R.M. and F. Vaillancourt. 2000. Fiscal Desentralization in Developing Countries. Press Syndicate of the University of Cambridge, Cambridge. Blair, J.P. 1991. Urban and Regional Economics. Irwin Homewood, Boston. Bornschier, V. 1978. Cross-national Evidence of the Effects of Foreign Investment and Aid on Economic Growth and Inequality. American Journal of Sociology, 84 (3) : 651-683.
207
Brown, K. and D.W. Pearce. 1994. The Causes of Deforestion : The Economic and Statistical Analysis of the Factor Giving Rise to Loss of the Tropical Forest. University College Press, London, and the University of Bristish Columbia Press, Vancouver. Champ, P.A., Kevin J.Boyle and Thomas C. Brown. 2003. A Primer on NonMarket Valuation: The Economics of Non Market Goods and Resources. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Conrad, J.M. 1999. Resource Economics. Cambridge University Press, Cambridge. Darusman, D. 1989. Analisis Dampak Ekonomi Industri Pengolahan Hasil Hutan di Pulau Jawa serta Strategi Pengembangannya: Suatu Studi Pembangunan Wilayah. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ___________. 1993. Nilai Ekonomi Air Untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di Institut Teknologi Bandung, tanggal 28 dan 29 Juli 1993. ___________. 2000. Dimensi Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Hutan. Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Daryanto, A. 2001. Social Accounting Matrix Model for Development Policy Analysis. Mimbar Sosial Ekonomi, 6(3) : 19-36. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York. Defourny, J. and E. Thorbecke. 1988. Sructural Path Analysis and Multiplier Decomposition within a Social Accounting Matrix Framework. The Economic Journal, 94 (373) : 111-136. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. ___________________ . 2003. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2003. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dinas Kehutanan. 2004 a. Statistik Kehutanan Tahun 1999 – 2003. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. _______________. 2004b. Peran Hutan Rakyat Dalam Menunjang Industri Perkayuan di Jawa Tengah. Kerjasma Unisversitas Gajah Mada dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
208
Dixon, J.A. dan M.M. Hufschmidt. 1996. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan: Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Durst, P.B., Ch. Brown, H.D Tacio and M. Ishikawa. 2005. In Search of Excellence : Exemplary Forest Management in Asia and The Fasific. Food and Agriculture Organisation, Bangkok. Effendi. 2001. Peranan Penilaian Ekonomi Sumber Daya dalam Memperkuat Pengelolaan Kawasan Konservasi di Era Otonomi Daerah. National Resources Management, Jakarta. Fakulutas Kehutanan dan Departemen Kehutanan. 2001. Perhitungan Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haeruman, H. 2005. Paradikma Pengelolaan untuk Menyelematkan Hutan Tropika Indonesia. Membangun Etika Pengelolaan Hutan Lestari. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Kayu Rakyat di Pulau Jawa. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungat : Kasus Program Bersih di Kali Garang Jawa Tengah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bo gor, Bogor. Hartwick, J.M and N.D. Olewiler. 1986. The Economics of Natural Resource Use. Harper and Row Publishers, New York. Hayono, J. 1996. Analisis Pengembangan Pengusahaan Hutan Rakyat di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hendranata, A. 2002. Model Input Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya Untuk Analisis Dampak Ekonomi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heriawan, R. 2004. Dampak Pariwisata Pada Perekonomian Indonesia : Analisis Model Nesparnas, Input – Output, dan Social Accounting Matrix. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower and J.A. Dixon. 1983. Environment, Natural System and Development : An Economic Valuation Guide. The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Hulu, E. 1988. Beberepa Metode Non Survei Estimasi Koefisien Input Output. Pusat Antar Universitas Bidang Ekonomi, Univarsitas Indonesia, Jakarta.
209
Kim, Y.C. 2001. Pola Pengelolaan Hutan Tropika Berdasar Pada Konsep Nilai Ekonomi Total. Disertasi Doktor. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kindleberger, C.P. and B. Herrick 1977. Economic Development. McGraw -Hill Kogakusha Ltd., Tokyo. Kirsfianti, G., Y.C Wulan dan D. Djaenudin. 2004. Potential of Indonesia Smallholder Afroforestry in The SDM : A Case Study in The Upper Citanduy Watershed Area. Working Paper CC12. http://www.une.edu.au/febl/ Economics/Carbon. Kompas, 2004. Potensi Karbon Indonesia 175 Juta Ton. Halaman 10 Tanggal 18 September 2004. Gramedia Press, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1982. Modern Economics. The Macmillan Press Ltd. New York. Leontief, W. 1966. Methods of Intput-Output Economics. Oxford University Press, New York. Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Worth Publishers Inc., New York. Matsyukur. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta SKIM Kredit Rumah Tangga Miskin. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Miernyk, W.H. 1965. The Elements of Input-Output Analysis. Random House, New York. Miller, E.R and P.D. Blair, 1985. Input Output Analysis. Foundation and Extension. Prentice Hall Inc, New Jersey. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The World Bank, Washington D.C. Nugroho, B. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Makalah Lokakarya Sosialisasi Konvensi Keanekaragaman Hayati. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Nurfatriani, F. dan T. Puspitojati. 2001. Manfaat Ekonomis Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Pakpahan, A. 1989. Prespektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 37 (4) : 12-37.
210
Pearce, D. 1993. Valuing the Environment: Past Practice, Future Prospect. Working Paper in Proceeding of The First Annual International Conference on Enviro nmentally Sustainable Development. Held at The World Bank,. Washington, DC. ________. and J.J. Warford. 1993. World Without End: Economics, Environment, and Sustainable Development - A Summary. World Bank. Washington, D.C. Perhutani. 2004. Statistik Perum Perhutanai Tahun 1999 – 2003. Direksi Perum Perhutani, Jakarta. Prasetiantono, A.T. 2000. Keluar dari Krisis, Analisis Ekonomi Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rachmad. 2000. Penataan Hutan di Jawa dan Madura. Terjemahan Majalah Ilmu Kehutanan “Tektona” . XXIII. Yayasan Manggala Sylva Lestari Malang, Malang. Reksohadiprodjo, S. dan A.S.B. Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan (Suatu Pengantar). BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Riyadi, D. M. 2005. Paradikama Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia di Masa Mendatang: Makalah Seminar Paradikama Pengelolaan Untuk Menyelamatkan Hutan di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Runge, C.F. 1992. Common Property and Colective Action in Economic Development in Making the Common Work : Theory, Practice and Policy. ICS Press. Sanfransisco, California. Sanim, B. 2003a. Valuasi Ekonomi (Economic Valuation) Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Bagi Peningkatan Pembangunan Berkelanjutan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkunagan Lanjutan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ________. 2003b. Keterkaitan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pembangunan Ekonomi dan Manajemen Lingkungan. Materi Kuliah Ekonomi SDA dan Lingkungan (SEP-780) Kelas Khusus Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ________. 2003c. Environmental Protection and Regional Development. A Keynote Address at the 16th General Conference of IFSO – on Environmental Protection and Regional Development. Jakarta, 3-5 October 2003.
211
Santoso, I., B. Sukmananto dan A. Yustianto. 2004. Potensi Peranan Pengembangan Sektor Kehutanan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja. Makalah pada Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saragih, W.S. 2003. Peran Sektor Pertanian Dalam Pembangunan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara : Pendekatan Input–Output. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sarijanto, T. 2001. Kehutanan Menjawab Krisis. Grafika Citra Adijaya, Jakarta. Schmid, A. 1987. Property, Power and an Inguiri Info Law and Economics. Preager, New York. Scherr, S., J. 2002. Capturing the Value of Forest Carbon for Local Livelihoods. Forest Thrends Preservation to Conference on “Payments for Environmental Services in China”. Beijing, April 2002. http://www.forest-trends.org/whoweare/_ppt/scherr_carbon_bjg.ppt. Serafy, S. 2003. What Has Happened to Green Accounting?. Makalah Seminar Nasional III dan Kongres I Organisasi Profesi Praktisi Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia. Universitas Sudirman, Purwokerto. Soedomo, S. 2005. Menggungat Mitos Mitos Pengelolaan Hutan di Indonesia. Makalah Seminar Paradikama Pengelolaan Untuk Menyelamatkan Hutan di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soemarwoto, O. 2001. Protokol Kyoto dan Atur Diri Sendiri. Koran Pikiran Rakyat, tanggal, 2 Juli 2001. Sudradjat, A. dan Yustina. 2002. Mencari Format Desentralisasi Kehutanan.. Penerbit Nectar Indonesia, Jakarta. Suhardjito, D. 2005. Paradikma Baru Pengelolaan Hutan : Belajar dari Pengelolaan Ekosistem Hutan oleh Masyarakat. Makalah Seminar Paradikama Pengelolaan Untuk Menyelamatkan Hutan di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ____________ dan D. Darusman. 1998. Kehutanan Masyarakat. Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation, Bogor. Suhendang, E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan. Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsep Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
212
Sumardja, E.A. 2002. Pemanfaatan Sumber Hayati Secara Berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Aktivitas Penelitian Program Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kerjasama antara Pusat Penelitian Biologi LIPI, BCP-JICA, dan Direktorat Jenderal PHKA. Departemen Kehutanan, Jakarta. Sumarno. 2000. Mensikapi Sistem Suigeneris dan Perlindungan Varietas Tanaman dalam Pengelolaan Kekayaan Plasma Nutfah dan Varietas Unggul Nasional. Makalah disampaikan pada Simposiun Nasional Pengelolaan Plasma Nutfah dan Pemuliaan, di Bogor, tanggal 22 – 23 Agustus 2000. Kerjasama Perhimpunan Pemuliaan Indonesia (PERIPI) – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan – Komisi Plasma Nutfah, Jakarta. Sunderlin, W.D. 1998. Between Danger and Opportunity: Indonesia’s Forests in an Era of Economic Crisis and Political Change. CIFOR, Bogor. _____________. 2000. The Effect of Indonesia’s Economic Crisis on Small Farmers and Natural Forest Cover in the Outer Islands. Occasional Paper 28(E). Bogor, Indonesia: CIFOR. ISSN 0854-9818. _____________, A. Angelsen and S. Wunder. 2003. Forests and Poverty Alleviation. Chapter in State of the World’s Forests 2003, pp. 61-73. FAO, Rome. Suparmoko. 2000. Ekonomika Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Suparna, N. 2005. Kawasan Hutan Negara antara Legal Formal dan Kenyataannya. Makalah Seminar Paradikama Pengelolaan Untuk Menyelamatkan Hutan di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supranto, J. 1983. Linear Programming. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Supriadi, D. 1997. Peran Hidrologi Hutan Lindung Dalam Perekonomian Wilayah. Kasus DAS Citarum Hulu Jawa Barat. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutopo, M.F. 1992. Analisis Nilai Sewa Ekonomi Sebagai Sewa Sumberdaya Dalam Pengelolaan Hutan Tropis di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susmianto, A. 1995 Recreational Expenditure in Gunung Gede Pangrango National Park and Their Regional Economic Impacts. Master of Science Thesis. Department of Forestry, Michigan State University, Michigan.
213
Syaukat, Y. 2003. Ekonomi Sumbardaya Lahan: Handout Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Lanjutan. Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tatuh, J. 1992. Analisis Kontrak Dalam Kegiatan Peremajaan Hutan Negra di Jawa dengan Acuan Kontrak Tumpangsari dan Perhutanan Sosial: Penelitian di KPH Pati dan Cepu Jawa Tengah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Timothy, C.H. and E. Kenneth Mc. Connell. 2003. Valuing Environmental and Natural Resources: The Econometrics of Non-Market Valuation. Edward Elgar Publishing Inc., Massachusetts. Tietenberg, T. 1992. Environmental and Natural Resources Economics. Harper Collins Publisher Inc., New York. Todaro, M.P. 1971. Development Planning, Models and Methods. Oxford Univerrsity Press, New York ___________. 1978. Development Planning, Models and Methods. Oxford University Press, New York. ___________. 2000. Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang. Terjemahan. Akedemi Pressindo, Jakarta. Turner, R.K. 1988. Sustainable Environmental Economics and Management. Belhaven Press, London. Widada, 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan PemanfaatanTaman Nasional Gunung Halimun Bagi Masyarakat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. World Bank. 1994. Indonesia : Environment and Development. A World Bank Country Study. World Bank, Washington, D.C. Yulianto, M. 2002. Analisis Sosial Ekonomi Pencurian Kayu : Studi Kasus Kabupaten Blora Jawa Tengah. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Young, M.D. 1992. Sustainable Investment and Resource Use Equity, Environmental Integrity and Economic Efficiency. The Parthenon Publishing Group, Paris.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Nilai Manfaat Air dari Kawasan Hutan di Jawa Tengah Tahun 2003 No
Kab/Kota
PDRB (1000 Rp)
Jml Penddk (org)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak
9 276 311 3 568 354 2 123 063 2 893 919 2 965 532 2 662 839 1 850 752 3 752 812 3 605 349 4 290 007 3 598 725 2 773 428 3 518 511 2 318 337 2 418 069 1 968 797 2 042 947 3 398 763
1 630 832 1 472 122 795 874 848 317 1 176 102 705 272 750 939 1 127 714 906 530 1 167 613 799 493 974 353 786 557 855 948 1 289 937 821 588 566 288 1 171 785 718 253 1 630 832 1 472 122
11 923 270
3 965 466 2 742 022
Luas Ht Luas CA Lin+Prod +TN (Ha) (Ha) 51 370 126 26 873 41 592 18 364 106 17 445 8 292 19 648 47 10 339 3 670 14 339 1 025 375 20 073 8 7 570 64 5 170 104 70 248 82 099 55 23 948 62 22 573 3 626 51 370 126 26 873 -
Luas Hutan Nilai Air dari Nilai Air dari Rakyat htan Lin+Prod hutan CA + (Ha) (1000 Rp) TN (1000 Rp) 11 842 14 820 25 055 252 12 712 2 692 8 854 1 340 46 492 860 10 988 287 38 656 1 160 47 524 297 42 769 521 4 269 251 22 672 834 22 652 229 1 582 487 642 1 131 98 3 572 21 75 678 1 034 984 520 8 146 400 6 157 031 9 107 196 10 826 626 4 453 4 179 13 148 2 533 5 541 075 17 663 528 4 288 031 1 750 1 714 763 592 11 842 14 820 25 055 252 12 712 2 692 -
Nilai Air dari HR (1000 Rp) 1 708 637 143 1 088 1 286 851 567 915 706 54 98 1 950 215 172 132 203 195 66 62 1 708 637
Lampiran 1. lanjutan No
Kab/Kota
PDRB (1000 Rp)
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Solo Kota Salatiga Kota Semarang
3 916 833 2 294 872 5 522 227 2 417 231 3 480 070 3 521 722 3 049 391 4 775 607 1 074 496 4 177 491 803 578 19 151798 1 925 403 1 197 449
Kota Pekalongan
Kota Tegal Jumlah
Jml Penddk (org) 999 635 1 009 863 842 242 710 991 859 471 674 307 819 397 1 343 951 1 410 057 1 728 806 116 498 488 168 163 079 1 455 994
Luas Ht Luas CA Lin+Prod +TN (Ha) (Ha) 13 921 31 396 3 422 11 903 18 13 587 18 259 33 18 105 10 28 231 80 32 759 52 24 093 9 49 796 49 2 062 -
Total Sumber : 1) Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004) 2) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2004) 3) Darusman (1993) 4) Supriyadi (1997)
Luas Hutan Nilai Air dari Nilai Air dari Rakyat htan Lin+Prod hutan CA + (Ha) (1000 Rp) TN (1000 Rp) 1 796 1 052 3 820 751 004 255 181 29 753 749 1 876 369 38 658 423 22 375 1 653 3 473 758 13 334 563 820 895 14 589 1 535 7 990 190 14 256 2 957 8 524 155 12 378 1 976 1 493 434 13 797 7 840 10 207 472 1 097 54 072 5 505 734 992 5 505 805 578
Nilai Air dari HR (1000 Rp) 68 7 936 601 1 013 207 397 643 508 1 086 16 513
Lampiran 2. Tabel Nilai Manfaat Hutan Langsung ke Masyarakat Tahun
Jml KK
Konsumsi Kayu bakar (ton)
Konsumsi Makan Ternak (ton)
Harga Kayu Bakar (Rp per kg)
Harga Makan Ternak (Rp per kg)
Nilai Kayu Bakar (1000 Rp)
1999
7575523
7 954 299.15
8 352 014.108
750
500
5 965 724.36
4 176 007.05
2000
7796173
8 185 981.65
8 595 280.733
800
600
6 548 785.32
5 157 168.44
2001
7986443
8 385 765.15
8 805 053.408
850
700
7127 900.38
6163 537.39
2002
8180450
8 589 472.51
9 018 946.125
900
700
7 730 525.25
6 313 262.29
2003
7964395
8 362 614.75
8 780 745.488
1200
750
10 035 137.70
6 585 559.12
Sumber : Tatuh (1992), Departemen Kehutanan (1985), Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004)
Nilai Makan Ternak (1000 Rp)
Lampiran 3. Tabel Nilai Manfaat Jasa Wisata Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung
Luas Ht Wisata ( Ha)
Luas CA + TN (Ha)
Jml Pengunjung DN (org)
Jml Pengunjung LN (org)
Jml Total Pengunjung (org)
Nilai Jasa Wisata Ht. Wisata (Rp)
Nilai Jasa Wisata CA + TN (Rp)
Total Nilai Jasa Wisata (Rp)
126.2
126.5
481920
1479
483399
106.4
364872
241
365113
46.7
159814
12936
172750
3013 452
139019 500939 166839
81041054.49 0 0 51607034.66 0 0 10717041.62 0 0 0 0 1532823.794 42789360.73 23027834.87 0 434727.1023 17631206.86 0 0 45248477.1 0 10052642.5 0
703432872.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13273291.71 370528999.7 199406592.5 0 3764463.774 152675182.1 0 0 391823403.6 0 87049572.73 0
784473927.1 0 0 51607034.66 0 0 10717041.62 0 0 0 0 14806115.51 413318360.4 222434427.4 0 4199190.876 170306389 0 0 437071880.7 0 97102215.22 0
8.3 64.3 103.9
8.3 64.3 103.9
139019 497926 166387
55.4 62.2
55.4 62.2
5907 213379
63
63
533872
6787
540659
18.3
18.3
408568
4945
413513
5907 213379
Lampiran 3. lanjutan No
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Kab/Kota
Luas Ht Wisata ( Ha)
Luas CA + TN (Ha)
Jml Pengunjung DN (org)
Kendal 33.2 137653 Batang 10 172222 80.1 Pekalongan Pemalang 52.1 1.5 185000 Tegal 8.7 466125 Brebes 48.5 177213 Kota Mglang Kota Solo Kota Salatiga Kota Smrang 18.3 800579 Kota Pekalongan 35 Kota Tegal Jumlah Sumber : 1) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2004) 2) Bahruni (1997) 3) Widada (2004)
Jml Pengunjung LN (org)
Jml Total Pengunjung (org)
Nilai Jasa Wisata Ht. Wisata (Rp)
Nilai Jasa Wisata CA + TN (Rp)
Total Nilai Jasa Wisata (Rp)
137653 172222
6071049.1 18325723.31 0 12804111.06 5387690.299 11417665.02 0 0 0 19635511.94
0 19811393.08 0 3192194.714 0 0 0 0 0 0
6071049.1 38137116.39 0 15996305.77 5387690.299 11417665.02 0 0 0 19635511.94
0 0 357723954.4
0 0 1944957967
0 0 2302681921
44
185000 466169 177213
7123
807702
Lampiran 4. Tabel Nilai Kerugian Akibat Kegiatan Deforestasi Tahun
2000
Perambahan Hutan Ha 1000 Rp 1549 681 741
Nilai kerugian Untuk Perusakan Hutan Penggembalaan Liar Ha 1000 Rp Ha 1000 Rp 511 2 547 230 625 103 470
Kebakaran hutan Ha 1000 Rp 3 665 549 840
2001
591
240 284
1960
6 176 534
801
120 431
3 278
1 230 071
2002
221
104 224
537
1 299 222
763
126 614
20 148
3 736 122
2003
931
371 425
1253
8 681 415
578
81 776
7 067
1 349 877
2004
112
52 300
44
78 945
156
24 777
4 215
880 247
Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2004)
Lampiran 5. Tabel Nilai Pengurangan Kapasitas Hutan ( Erosi ) di Jawa Tengah Tahun 2003 No
Kota/kabupaten
Potensi kritis (ha)
Agak Kritis (ha)
Kritis (ha)
Sangat kritis (ha)
Jumlah lahan kering (ha)
Besarnya Erosi (ton/tahun)
Nilai Penggantian Erosi (Juta RP)
1 2
Cilacap Banyumas
7 051 5 886
4 941 15 504
87 965.5 9 471.9
373 810.1
50 165.25 15 836
2 029 506 1 539 923
269 212 218 402
3
Purbalingga
8 752
6 773.4
10 169
0
12 847.2
3 324 991
487 529
4
Banjarnegara
20 708 25 011.3
7 659.3
3977.7
28 678.15
2 116 616
326 790
5
Kebumen
12 830 12 769.9
12 846
0
19 222.95
2 667 514
313 868
6
Purworejo
6 256
12 845.7
17 824
0
18 462.85
2 958 591
556 793
7
Wonosobo
22 542
30 124
12 271.4
567.6
32 752.5
1 325 685
188 046
8
Magelang
9 180
6 486
5 320
1137
11 061.5
1 603 223
213 180
9 10 11
Boyolali Klaten Sukoharjo
11 319 958 8 752
1 612 6 249 10 070
12 149 3 326 4 570
0 0 422
12 540 5 266.5 11 907
640 643 1 130 925 2 029 506
89 531 202 419 269 212
12
Wonogiri
33 268
49 443
18 551
6 181
53 721.5
1 539 923
218 402
Lampiran 5. lanjutan No
Kota/kabupaten
Potensi kritis
Agak Kritis
Kritis
Sangat kritis
Jumlah lahan kering
Besarnya Erosi
Nilai Penggantian Erosi (Juta RP)
13
Karanganyar
11 983
22 344
6 381
1 186
20 947
6 369 473
913 266
14 15
Sragen Grobogan
12 319 1 162
9 984 6 336
10 041 4 592
0 533
16 172 6 311.5
2 084 873 1 671 713
356 099 274 924
16 17 18 19 20 21 22
Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang
11 972 4 282 39 790 880 27 672 0 5 923
6 794 6 099 3 032 1 867 5 702 0 9 395
7 336 3 709 10 309 994 6 710 0 12 942
5 172 1 107 3 976 1 499 818 0 763
15 637 7 598.5 28 553.5 2 620 20 451 0 14 511.5
973 245 2 931 645 1 071 218 2 961 285 690 563 0 1 496 505
107 296 265 829 129 175 485 410 44 540 0 347 667
23
Temanggung
20 419
2 381
11 382
15
17 098.5
2 201 565
246 696
24 25 26
Kendal Batang Pekalongan
4 856 3 377 10 141
26 242 26 653 5 980
5 938 7 942 2 629
0 1 672 1 035
18 518 19 822 9 892.5
1 613 220 1 733 055 2 529 615
290 675 314 806 336 974
Lampiran 5. lampiran No
Kota/kabupaten
Potensi kritis
Agak Kritis
Kritis
Sangat kritis
Jumlah lahan kering
Besarnya Erosi
Nilai Penggantian Erosi (Juta RP)
27
Pemalang
2 993
11 218
4 641
23
9 437.5
957 338
168 173
28 29 30
Tegal Brebes Kota Magelang
3 196 7 969 0
2 884 10 671 0
9 309 1 540 0
1 493 367 0
8 441 10 273.5 0
1 007 633 1 741 890 765 840
160 438 143 497 174 650
31
Kota Solo
0
0
0
0
0
0
0
32
Kota Salatiga
0
0
0
0
0
0
0
33
Kota semarang
29 709
10 612
14 923
0
27 622
2 411 528
469 574
34
Kota Pekalongan
0
0
0
0
0
0
0
35
Kota Tegal
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah 346 156 350 024 323 414 33 127.4 526 368.4 65 463 808 Catatan: Produksi gabah lahan Kering rata-rata 2500 kg/Ha dan Harga gabah Rp 1700 / kg. Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2004), BPDAS Jratunseluna Semarang (2004) -diolah
8 948 263
Lampiran 6. Tabel Nilai Kerugian Akibat Kegiatan Illegal Logging Tahun
Pencurian Hutan
2000
Jumlah pohon 1685676
Nilai (1000 Rp) 358727919
2001
1832980
2002
Kayu pertukangan M3 1000 Rp
Pencurian kayu diluar hutan Kayu Bakar SM 1000Rp
Kayu lainnya 1000Rp
1
20
0
0
53383
372485988
12
1742
0
0
38763
1158970
169556587
44
26675
0
0
15258
2003
261060
61649605
42
29813
0
0
3765
2004
154215
31721923
0
0
0
0
10250
Jumlah
5092901
994142022
99
58250
0
0
121419
Sumber : Perum Perhutanai Unit I Tahun (2000 – 2004 )- diolah
Lampiran 7. Tabel Nilai Pemanfaatan Anggaran Intansi Kehutanan Untuk Kegiatan Rehabilitasi lahan Nama Instansi Jumlah Anggaran 2003 (Rp) Dinas Pertanian Kab. Banjarnegara 683 009 000 Kantor Kehutanan Kab. Blora 1 711 049 000 Distanbun dan Kehutanan Kabupaten Boyolali 3 359 974 000 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Demak 900 882 000 Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hutbun Kab. Grobogan 2 403 871 000 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara 1 748 039 000 Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar 1 731 345 000 Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen 2 953 066 000 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten 1 162 224 000 Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Salatiga 587 615 000 Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Kudus 715 397 000 Dinas Pertanian Kabupaten Magelang 477 438 000 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati 1 439 888 000 Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo 1 617 980 000 Dinas Pertanian Kabupaten Rembang 657 042 000 Dinas Pertanian Kota Semarang 1 128 722 000 Dinas Pertanian Kabupaten Semarang 3 238 287 000 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sragen 2 307 066 000 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo 1 263 050 000 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Temanggung 1 650 665 000 Dinas L,H, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri 5 782 112 000
Jumlah Anggaran 2004 (Rp) 44 930 000 2 945 377 500 5 056 837 500 1 243 002 500 3 726 302 500 2 456 085 000 3 002 085 000 4 175 665 000 1 639 612 500 826 345 000 989 215 000 626 317 500 1 951 190 000 2 280 115 000 907 487 500 1 595 085 000 4 955 862 500 3 248 660 000 1 786 717 500 2 347 277 500 8 949 992 500
Lampiran 7. lanjutan Nama Instansi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap Dinas Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purbalingga Dinas Kehutanan Prop. Jateng JUMLAH TOTAL Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2004)
Jumlah Anggaran 2003 (Rp) 1 285 403 000 1 725 960 000 1 725 960 000 928 596 000 4 163 185 000 47 347 825 000
Jumlah Anggaran 2004 (Rp) 1 780 047 500 2 456 225 000 2 456 225 000 1 315 355 000 484 904 000 64 146 919 000
Lampiran 8. Tabel Nilai Penyediaan Udara Bersih No
Kabupaten Brebes Tegal Pemalang Pekalongan Batang Kendal Cilacap Banyumas Banjarnegara Purbalingga Wonosobo Kebumen Purworejo Temanggung Magelang Semarang Boyolali Klaten Sragen Karanganyar Sukoharjo Wonogiri Demak Grobogan Kudus
Luas Ht Sekunder (Ha)
Luas Ht Primer (Ha)
48 412.5
1 431.5
21 820.3 31 038.6 28 237.1 14 975.6 14 913.1 51 370.8 18 400.2 17 639.7 13 134.9 12 953.0 17 445.5 8 291.54 7 452.41 4 427.5 8 694.6 13 670.2 642.9 5 169.3 126.0 374.5 16 961.1 3 421.8 70 248.3 1 688.9
2 281.9 1 772.9 0 80.1 3129.0 3 378.8 0 8 473.1 830.5 1 457.2 6742.0 0 0 6 135.0 5 911.7 3 226.2 4 339.3 383.3 103.9 7 507.0 0 3 120.6 0 0
Nilai Udara Bersih (1000 Rp) 38 459 511.90 19 859 084.60 25 976 541.78 21 143 962.94 11 337 291.54 15 993 687.24 43 678 606.90 13 778 084.74 26 279 096.85 11 116 512.47 11 947 068.14 23 463 384.62 6 208 705.15 5 580 364.61 12 779 163.00 15 629 951.18 15 212 981.88 7 175 207.70 4 462 050.42 254 624.94 11 860 723.80 12 700 501.63 737 6081.40 52 601 942.02 1 264 648.32
Lampiran 8. lanjutan No Kabupaten Pati Jepara Rembang Blora Bojonegoro Tuban Kota Semarang JUMLAH
Luas Ht Sekunder (Ha) 19 891.6 7 292.3 21 450.0 82 099.3 5 832.5 3 103.6 2 062.1 573 242.0
Luas Ht Primer (Ha) 1 937.3 2 681.6 6 691.8 2 559.9 55.4 0 0
Nilai Udara Bersih (1000 Rp)
0
Catatan: Produktivitas O2 Hutan Primer = 85.7 ton/ha/tahun dan Hutan Sekunder = 41.6 ton/ha/tahun. Harga O2 = Rp 18.000,-/ton Sumber : Kirsfianti (2004), dan Dinas Kehutanan Prov. Jawa Tengah (2004)
17 883 279.11 9 597 117.88 26 384 515.70 65 424 872.56 4 452 836.04 2 323 975.68 1 544 100.48 429 243 332.50
Lampiran 9. Tabel Nilai Kehilangan Nilai Tambah No 1
2
Kayu yang keluar propinsi
Satuan
Tahun 1999
2000
2001
2002
2003
Kayu Bulat Jati - Volume - Harga - Kehilangan Nilai tambah
M3 1000 Rp 1000 Rp
21895 1330 230050.77
13941 1350 148680.77
8083 1450 92590.77
16837 1500 199518.45
11700 1600 147888
Kayu Bulat Rimba - Volume - Harga - Kehilangan nilai Tambah
M3 1000 Rp 1000 Rp
73842 161 93919.64
47826 180 6800.86
78095 225 13881.39
40672 230 73901.02
35367 250 69849.83
1000 Rp
323970.41
155481.63
106472.16
273419.47
217737.83
Total Kehilangan nilai Tambah
Catatan: Kehilangan Nilai tambah = satuan x harga per satuan x 7.9 Sumber : Darusman (1989), dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2004) diolah
Lampiran 10. Tabel Nilai Keberadaan, Pilihan dan Pelestarian dari Hutan Tahun 2003 No Tahun Luas Hutan Jumlah Penduduk Nilai Keberadaan, Pilihan, dan Pelestarian (Jt Rp)* 1 2000 647 596.81 29 687 677 4 883 439.45 2
2001
647 596.81
30 572 118
5 028 924.53
3
2002
647 596.81
31 038 741
5 105 681.13
4
2003
647 596.81
31 691 866
5 213 116.16
5
2004
651 750.23
31 834 512
5 179 896.27
*) pendekatan hasil Widada, 2004
Lampiran 11. Tabel Nilai Ekonomi Kelembagaan No Tahun Total biaya Nilai Produk Produksi (1000 Rp) (1000 Rp) 1 2000 381847200 469043495
PDRB Kehutanan (1000 Rp) 783219120
Eff usaha thdp PDRB 1.11
Eff operasi Usaha 0.83
2
2001
422324061
428779505
934 89490
0.69
0.75
3
2002
421428499
441411916
1021309060
0.20
0.72
4
2003
399745049
517965793
726784010
1.69
0.88
5
2004
371763957
466596990
1035211500
0.92
0.70
0.89
0.77
Rata-rata Sumber : PerumPerhutani Unit I Jawa Tengah (2000 – 2004) -diolah
Lampiran 12. Tabel Nilai Kerugian Akibat Ilegal Trading No
Tahun
salah catat produksi (m3)
salah catat peredaran (m3) Jati Rimba 6 714 31 298
1
2000
Jati 11 453
Rimba 608
2
2001
3 697
1 458
476
3
2002
9 872
2 167
4
2003
14 337
5
2004
5 688
Harga kayu (1000Rp)
Perkiraan Nilai Ilegal Trading (jt Rp)
Jati 1330
Rimba 161
52 678.98
39 872
1350
180
48 172.95
8 721
16 739
1450
225
43 463.70
801
5 658
12 102
1500
230
106 810.19
1 195
5 381
30 746
1600
250
52 695.65
Sumber : Perum Perhutani Unit I dan Catatan Peredaran Kayu di Dinas Kehutanan (2004) - diolah
Lampiran 13. Tabel Perbandingan Besarnya Variabel/Sektor Perekonomian pada Model I-O Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Sektor pada model I-O standar
Kelompok Sektor Produksi Kehutanan
Kayu Hasil hutan lainnya Jasa wisata
Sektor pada model I-O modifikasi Nilai (juta Rp) 770 394.17 968 097.66
Produksi Kehutanan Lainnya
Produksi Non Kehutanan
Jumlah Tanaman bahan makanan Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan dan Minuman Industri Kayu Gergajian dan Awetan Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya Industri bahan bangunan dari kayu Industri barang-barang lainnya dari kayu Industri Migas Industri Pengolahan Lainnya Listrik dan Gas
1 738 491.83 29 741 143.49 3 260 647.63 9 191 747.09 3 398 741.92 2 442 880.37 45 954 243.58 1 672 106.23 9 38 044.43 1 383 053.39 45 440.86 30 116 766.82 64 934 285.61 7 824 850.26
Hasil kayu Hasil non kayu Jasa wisata Industri Kayu Gergajian dan Awetan Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya Industri bahan bangunan dari kayu Industri barang-barang lainnya dari kayu Nilai hasil langsung ke masyarakat Illegal logging Kehilangan nilai tambah Rehabilitasi lahan hutan Nilai ilegal trading Manfaat air kawasan hutan Nilai udara bersih kawasan hutan Jumlah Tanaman bahan makanan Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Makanan dan Minuman
Industri Migas Industri Pengolahan Lainnya Listrik dan Gas
Nilai (juta Rp) 772 395.37 968 113.91 83 007.27 1 675 635.50 940 170.72 1 386 188.26 45 531.75 6 589.56 57 704.34 850.54 63 128.01 106 818.19 5 505 895.58 429 243.33 12 041 272.33 33 122 342.11 3 861 260.11 10 122 052.71 3 879 515.69 2 442 952.09 46 401 460.03
30 116 773.20 64 935 187.95 7 831 139.48
Lampiran 13. lanjutan Kelompok Sektor
Sektor pada model I-O standar Air Minum Konstruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Bank, Lembaga Keuangan Lainnya Jasa lainnya termasuk jasa wisata hutan Jumlah
Jumlah Total
Sektor pada model I-O modifikasi 1 665 913.13 17 059 763.55 66 052 037.79 18 769 932.24 10 327 552.85 25 351 187.51 340 414 337.63 342 152 829.46
Air Minum Konstruksi Perdagangan, Restoran, dan Hotel Angkutan dan Komunikasi Bank, Lembaga Keuangan Lainnya Jasa lainnya Jumlah Total Deforestasi Penggantian erosi Keberadaan hutan Kelembagaan Jumlah
1 667 224.23 17 067 186.180 66 052 183.69 18 769 964.26 10 327 553.80 25 552 228.41 342 149 023.94 354 190 296.27 10 484.49 8 948 263.00 5 213 116.16 218 038.79 14 389 902.44
342 152 829.46
Jumlah Total
368 580 198.71
Non Ekonomi Sektor Kehutanan
Jumlah Total
Lampiran 14. lanjutan 5
6
7
15
16
17
18
19
20
21
1
53.269,05
78.537,01
2.277,14
11.130,92
32.476,73
15.706,60
3.832,22
1.790,34
2.114,79
0,00
2
4.958,69
7.310,82
211,97
86,13
6,92
3,99
265,55
0,00
97,83
0,00
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
98.431,46
145.122,03
4.207,75
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
19,00
5
59.007,73
86.997,81
2.522,46
11.130,92
32.476,73
15.706,60
3.832,22
1.790,34
2.114,79
0,00
6
86.997,81
128.264,87
3.718,98
86,13
6,92
3,99
265,55
0,00
97,83
0,00 0,00
7
2.538,31
3.742,35
108,51
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
0,00
0,00
692.931,51
0,00
174.979,22
1.425,98
0,00
4.086.937,26
0,00
16
577,05
850,76
24,67
1.000,23
30.474,37
38.114,80
3,83
0,00
1.923.675,93
212,64
17
0,00
0,00
0,00
149.247,20
10.755,66
23.539,50
960,29
0,00
2.449.743,21
0,00
18
0,00
0,00
0,00
65.772,76
2.233,06
4.497,39
47.038,48
0,00
653.606,41
0,00 1.533.674,36
19
2,07
3,06
0,09
0,00
0,00
10,21
0,00
580,56
0,00
20
318,92
470,20
13,63
0,00
12.962,09
2.477.519,93
174.871,41
0,00
7.334.088,70
0,00
21
8.428,14
12.426,00
360,29
42.855,64
47.883,77
67.678,53
288.165,18
86.973,07
604.050,60
1.093.482,31
22
38.458,99
56.701,87
1.644,04
2.221.332,63
489.566,36
101.861,58
88.042,12
57.622,32
7.565,92
565.041,84
23
91.303,69
134.613,23
3.903,05
332.555,55
392.085,04
311.231,68
323.138,99
286.424,16
551.844,44
456.426,55
24
3.015,78
4.446,31
128,92
84.799,44
51.948,77
63.007,65
60.394,83
116.294,65
169.245,85
29.497,30
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
26
1,97
2,91
0,08
11,80
3,49
3.459,88
6,02
12,91
128,79
316,64
27
6.508,20
9.595,34
278,21
273.123,64
187.606,64
56.468,06
21.252,60
18.320,72
176.801,66
110.064,13
28
9.766,61
14.399,37
417,50
2.148,42
2.538,47
2.478,26
11.797,36
36.061,93
136.185,06
552.381,66
29
3.255,28
4.799,41
139,16
4.040,85
6.740,02
3.379,24
1.211,79
19.742,92
129.869,52
48.367,30
190
466.839,76
688.283,34
19.956,46
3.892.262,77
1.299.775,04
3.359.658,13
1.026.516,43
625.626,90
18.228.182,59
4.389.483,71
200
212.676,27
313.558,41
9.091,48
1.553.717,32
297.487,20
104.311,98
86.643,17
72.803,10
4.605.778,29
11.590.132,12
201
247.978,26
361.039,51
9.211,33
22.270.064,34
1.282.666,79
3.811.429,69
1.253.980,52
1.400.949,26
10.301.757,20
1.292.051,61
2.721,64 7.828,51
8.630,21 11.541,93
6.420,19 761,40
1.825.496,16 199.602,91
365.747,40 14.971,21
1.845.470,22 70.877,07
1.007.801,71 23.800,10
290.740,60 52.760,51
8.523.565,37 4.294.960,14
12.677.849,54 167.249,83
202+203 204+205 209
258.528,41
381.211,64
16.392,92
24.295.163,40
1.663.385,39
5.727.776,98
2.285.582,32
1.744.450,37
23.120.282,71
14.137.150,99
210
938.044,43
1.383.053,39
45.440,86
29.741.143,49
3.260.647,63
9.191.747,09
3.398.741,92
2.442.880,37
45.954.243,58
30.116.766,82
Lampiran 14. lanjutan 22
23
24
25
26
27
28
29
180
301
1
22.439,41
0,00
0,00
185.918,39
3.077,01
694,11
0,00
550,70
552.763,69
476.422,24
2
3.194,14
0,00
0,00
7,33
851,63
0,00
0,00
194,65
25.674,65
1.010.035,14
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
47.517,28
4
20,00
21,00
22,00
23,00
24,00
25,00
26,00
27,00
414.950,80
0,00
5
22.439,41
0,00
0,00
185.918,39
3.077,01
694,11
0,00
550,70
578.870,29
0,00
6
3.194,14
0,00
0,00
7,33
851,63
0,00
0,00
194,65
371.472,18
0,00
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10.693,21
0,00
15
2.743,29
0,00
0,00
0,00
314.962,89
355,38
0,00
81.824,82
5.357.225,31
31.787.023,69
16
533.835,88
0,00
0,00
0,00
47.580,15
186,66
2,84
8.068,78
2.586.923,80
1.126.821,76
17
24.760,21
0,00
0,00
0,00
133.132,80
1.010,18
0,00
11.350,84
2.805.212,89
1.966.877,09
18
456,82
0,00
0,00
0,00
86.842,70
318,81
0,00
3.734,86
866.923,43
1.544.918,90
19
102.649,87
54.184,41
11.295,73
86.140,32
16,97
71,68
0,00
212,44
1.788.918,26
210.468,18
20
513.320,37
0,00
0,00
0,00
4.384.858,39
82.514,34
3.583,53
442.085,35
15.430.574,19
22.033.371,77
21
2.363.348,71
1.175.602,08
245.075,63
1.432.796,80
2.365.293,33
0,00
152.989,67
847.956,05
10.970.233,59
32.756.251,80
22
31.316.157,52
459.027,37
95.692,60
4.872.738,12
2.644.897,50
600.077,90
665.577,57
4.931.704,93
49.405.004,60
12.229.921,54
23
518.463,84
279.737,03
562.727,05
566.476,81
775.403,26
312.402,95
101.220,57
304.591,36
6.512.035,14
1.290.842,31
24
120.013,09
27.278,83
56.867,67
58.982,49
54.066,85
22.689,12
32.262,32
114.181,32
1.081.765,91
568.914,95
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
7.420,48
0,00
26
330,96
311.948,66
65.031,37
82,61
1.144,67
213,88
96,82
1.280,89
384.225,35
1.087,18
27
364.176,70
266.995,76
55.660,12
34.136,66
701.484,41
253.517,76
703.271,20
1.234.088,17
4.615.356,81
388.587,94
28
415.765,85
66.603,13
13.884,63
73.736,26
868.786,14
210.252,28
59.259,51
1.096.384,48
3.633.970,61
5.444.996,20
29
791.414,37
559.227,10
30.534,83
150.441,42
1.164.889,19
329.537,64
127.266,88
134.620,53
3.539.410,01
2.297.314,63
190
37.118.724,60
3.200.625,36
1.136.791,64
7.647.405,92
13.551.240,54
1.814.561,80
1.845.556,92
9.213.602,51
110.939.625,19
115.181.372,58
200
13.399.396,68
2.932.230,93
161.399,48
2.440.325,79
11.123.885,62
7.056.360,28
2.033.526,97
1.517.353,23
59.903.580,54
14.587.659,42
201
8.335.555,19
417.006,32
79.749,51
5.773.703,88
31.881.810,07
5.229.432,67
1.472.154,40
14.665.481,55
110.907.003,55
202+203 204+205
5.122.546,91 958.062,22
1.249.188,21 25.799,43
282.594,14 5.378,36
843.278,45 355.049,51
6.636.024,31 2.859.077,26
4.503.060,03 166.517,45
4.606.135,18 370.178,39
22.290,26 133.453,06
50.647.277,85 9.755.342,34
209
14.416.164,32
1.691.993,97
367.722,01
6.972.031,84
41.376.911,63
9.899.010,16
6.448.467,97
14.821.224,87
171.309.623,74
210
64.934.285,61
7.824.850,26
1.665.913,13
17.059.763,55
66.052.037,79
18.769.932,24
10.327.551,85
25.552.180,61
342.152.829,46
Lampiran 14. lanjutan 302
303+304
305
309
310
409
509
600
700
1
0,00
-275.129,85
22.547,14
223.839,53
776.603,22
0,00
6.209,17
770.394,05
776.603,22
2
0,00
51.060,11
556.649,38
1.617.744,62
1.643.419,28
0,00
675.321,62
968.097,66
1.643.419,28
3
0,00
-24.773,95
60.263,58
83.006,90
83.006,90
0,00
0,00
83.006,90
83.006,90
4
0,00
1.843.992,19
8.002,60
1.851.994,78
2.266.945,58
0,00
594.839,36
1.672.106,23
2.266.945,58
5
0,00
571.575,49
23.006,02
594.581,51
1.173.451,80
0,00
235.407,36
938.044,43
1.173.451,80
6
0,00
800.418,49
558.234,63
1.358.653,12
1.730.125,30
0,00
347.071,91
1.383.053,39
1.730.125,30
7
0,00
9.131,95
35.678,89
44.810,84
55.504,05
0,00
10.063,19
45.440,86
55.504,05
15
0,00
-2.312.475,44
3.795.378,38
33.269.926,62
38.627.151,94
0,00
8.886.008,44
29.741.143,49
38.627.151,94
16
0,00
-337.101,35
313.646,25
1.103.366,66
3.690.290,47
0,00
429.642,84
3.260.647,63
3.690.290,47
17
0,00
-583.604,04
5.712.371,63
7.095.644,67
9.900.857,56
0,00
709.110,47
9.191.747,09
9.900.857,56
18
0,00
-294.022,36
2.228.537,45
3.479.433,99
4.346.357,42
0,00
947.615,50
3.398.741,92
4.346.357,42
19
0,00
47.918,29
980.308,80
1.238.695,27
3.027.613,53
0,00
584.733,15
2.442.880,37
3.027.613,53
20
0,00
-300.739,16
22.580.116,12
44.312.748,73
59.743.322,91
0,00
13.789.079,33
45.954.243,58
59.743.322,91
21
0,00
-2.653.198,39
500.000,00
30.603.053,41
41.573.287,00
0,00
11.456.520,18
30.116.766,82
41.573.287,00
22
0,00
-169.800,85
26.335.616,03
38.395.736,71
87.800.741,31
0,00
22.866.455,70
64.934.285,61
87.800.741,31
23
0,00
21.972,82
0,00
1.312.815,13
7.824.850,26
0,00
0,00
7.824.850,26
7.824.850,26
24
0,00
5.551,37
9.680,90
584.147,22
1.665.913,13
0,00
0,00
1.665.913,13
1.665.913,13
25
0,00
17.041.775,68
10.567,40
17.052.343,07
17.059.763,55
0,00
0,00
17.059.763,55
17.059.763,55
26
0,00
-95.913,11
2.466.746,89
2.371.920,96
2.756.146,31
0,00
-63.295.891,48
66.052.037,79
2.756.146,31
27
0,00
-2.215,09
1.081.987,48
1.468.360,33
6.083.717,14
0,00
-12.686.215,10
18.769.932,24
6.083.717,14
28
0,00
1.331,32
1.247.253,73
6.693.581,25
10.327.551,85
0,00
0,00
10.327.551,85
10.327.551,85
29
19.729.556,03
-14.100,07
0,00
22.012.770,59
25.552.180,61
0,00
0,00
25.552.180,61
25.552.180,61
190
19.729.556,03
13.331.654,03
68.526.593,27
216.769.175,92
327.708.801,11
0,00
-14.444.028,35
342.152.829,46
327.708.801,11
200
213,88
96,82
0,00
14.587.970,12
74.491.550,66
0,00
14.444.028,35
0,00
74.491.550,66
201 202+203 204+205 209 210
Lampiran 15. lanjutan Kode
2
3
4
5
6
7
1
405,14
4,18
88.406,56
53.269,05
78.537,01
2.277,14
2
29,95
1,48
8.238,06
4.958,69
7.310,82
211,97
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
2,00
3,00
166.907,57
98.431,46
145.122,03
4.207,75
5
405,14
4,18
100.068,37
59.007,73
86.997,81
2.522,46
6
29,95
1,48
147.535,41
86.997,81
128.264,87
3.718,98
7
0,00
0,00
4.304,03
2.538,31
3.742,35
108,51
8
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
9
16,17
0,17
3.529,21
2.126,24
3.134,82
90,89
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
0,08
0,20
0,07
0,04
0,06
0,00
13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
620,71
444,26
0,00
0,00
0,00
16
0,00
61,21
2.254,02
577,05
850,76
24,67
17
0,00
86,11
626,89
0,00
0,00
0,00
18
21,12
28,33
60,17
0,00
0,00
0,00
19
0,00
1,61
74,90
2,07
3,06
0,09
20
0,00
3.353,57
613,75
318,92
470,20
13,63
21
49.859,64
6.432,41
13.989,21
8.428,14
12.426,00
360,29
22
44.238,32
37.410,87
62.853,28
38.458,99
56.701,87
1.644,04
23
18.942,19
5.776,41
130.628,11
91.303,69
134.613,23
3.903,05
24
2.124,82
866,16
5.005,66
3.015,78
4.446,31
128,92
25
0,00
0,00
7.420,48
0,00
0,00
0,00
26
4,11
9,72
125,62
1,97
2,91
0,08
27
112.911,30
9.361,53
10.457,98
6.508,20
9.595,34
278,21
28
8.042,23
8.316,94
15.017,29
9.766,61
14.399,37
417,50
29
21.189,63
1.021,20
5.329,16
3.255,28
4.799,41
139,16
190
258.221,81
73.361,44
773.890,06
468.966,04
691.418,22
20.047,35
200
15.754,26
5.927,24
352.243,12
212.676,27
313.558,41
9.091,48
201
402.024,12
2.540,28
285.084,12
247.978,26
361.039,51
9.211,33
202+203 204+205
289.876,92 2.236,80
165,97 1.012,35
238.255,81 26.162,38
2.721,64 7.828,51
8.630,21 11.541,93
6.420,19 761,40
209
694.137,84
3.718,59
549.502,31
258.528,41
381.211,64
16.392,92
210
968.113,91
83.007,27
1.675.635,50
940.170,72
1.386.188,26
45.531,75
86.556,24
412.182,93
125.039,23
76.590,73
112.921,24
3.303,12
1.054.670,15
495.190,20
1.800.674,73
1.016.761,45
1.499.109,51
48.834,87
28 29 30 31 JUMLAH
Lampiran 15. lanjutan Kode
8
9
10
11
12
13
1
0,00
2.011,62
28,03
461,36
0,00
2
0,00
8,65
0,12
0,02
0,00
0,00
3
0,00
1.304,52
18,17
98,65
0,00
0,00
4
4,00
0,00
6,00
7,00
8,00
0,00
5
0,00
0,00
28,03
461,36
0,00
0,00
6
0,00
0,00
0,12
0,02
0,00
0,00
7
0,00
0,00
18,17
98,65
0,00
0,00
8
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
9
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
18
0,00
92,79
1,29
0,00
0,00
0,00
19
0,00
0,00
0,00
213,76
0,00
0,00
20
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
21
0,00
2.591,56
36,11
3.555,54
0,00
0,00
22
0,00
1.877,51
26,16
12.091,87
0,00
0,00
23
0,00
20.921,05
291,48
7.028,66
0,00
0,00
24
0,00
10.433,04
145,36
16.375,36
0,00
0,00
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
26
0,00
0,46
0,01
0,20
0,00
0,00
27
0,00
372,20
5,19
84,71
0,00
0,00
28
0,00
1.193,62
16,63
182,98
0,00
0,00
29
0,00
96,00
1,34
373,33
0,00
0,00
190
4,00
40.903,04
622,19
41.033,48
8,00
0,00
200
0,00
761,48
10,61
6.055,75
0,00
0,00
201
0,00
0,00
5.269,79
73,42
14.327,65
49.644,49
0,00
202+203 204+205
6.585,56 0,00
10.770,01 0,02
139,81 4,51
830,05 881,07
57.165,70 0,00
5.505.895,58 0,00
209
6.585,56
16.039,82
217,74
16.038,77
106.810,19
5.505.895,58
210
6.589,56
57.704,34
850,54
63.128,01
106.818,19
5.505.895,58
447,75
3.945,30
54,27
4.361,33
7.262,00
0,00
7.037,31
61.649,63
904,81
67.489,34
114.080,18
5.505.895,58
28 29 30 31 JUMLAH
Lampiran 15. lanjutan Kode
14
15
16
17
18
19
1
0,00
11.130,92
32.476,73
15.706,60
3.832,22
2
0,00
86,13
6,92
3,99
265,55
1.790,34 0,00
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
0,00
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
5
0,00
11.130,92
32.476,73
15.706,60
3.832,22
1.790,34
6
0,00
86,13
6,92
3,99
265,55
0,00
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8
0,00
0,00
0,00
6.585,56
0,00
0,00
9
0,00
444,29
1.296,32
626,93
152,96
71,46
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
0,00
0,24
0,07
69,75
0,12
0,26
13
0,00
3.380.754,08
599.316,10
923.023,37
480.620,69
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
0,00
692.931,51
0,00
174.979,22
1.425,98
0,00
16
0,00
1.000,23
30.474,37
38.114,80
3,83
0,00
17
0,00
149.247,20
10.755,66
23.539,50
960,29
0,00
18
0,00
65.772,76
2.233,06
4.497,39
47.038,48
0,00
19
0,00
0,00
0,00
10,21
0,00
580,56
20
0,00
0,00
12.962,09
2.477.519,93
174.871,41
0,00
21
0,00
42.855,64
47.883,77
67.678,53
288.165,18
86.973,07
22
0,00
2.221.332,63
489.566,36
101.861,58
88.042,12
57.622,32
23
0,00
332.555,55
392.085,04
311.231,68
323.138,99
286.424,16
24
0,00
84.799,44
51.948,77
63.007,65
60.394,83
116.294,65
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
26
0,00
11,80
3,49
3.459,88
6,02
12,91
27
0,00
273.123,64
187.606,64
56.468,06
21.252,60
18.320,72
28
0,00
2.148,42
2.538,47
2.478,26
11.797,36
36.061,93
29
0,00
4.040,85
6.740,02
3.379,24
1.211,79
19.742,92
190
0,00
7.273.461,39
1.900.387,52
4.289.963,74
1.507.290,20
625.698,62
200
0,00
1.553.717,32
297.487,20
104.311,98
86.643,17
72.803,10
201
0,00
22.270.064,34
1.282.666,79
3.811.429,69
1.253.980,52
1.400.949,26
202+203 204+205
429.243,33 0,00
1.825.496,16 199.602,91
365.747,40 14.971,21
1.845.470,22 70.877,07
1.007.801,71 23.800,10
290.740,60 52.760,51
209
429.243,33
24.295.163,40
1.663.385,39
5.727.776,98
2.285.582,32
1.744.450,37
210
429.243,33
33.122.342,11
3.861.260,11
10.122.052,71
3.879.515,69
2.442.952,09
0,00
495.742,61
439.548,51
338.480,44
352.495,30
0,00
429.243,33
33.618.084,72
4.300.808,62
10.460.533,14
4.232.010,99
2.442.952,09
28 29 30 31 JUMLAH
Lampiran 15. lanjutan Kode
20
21
22
23
24
25
26
1
2.114,79
0,00
22.439,41
0,00
0,00
185.918,39
3.077,01
2
97,83
0,00
3.194,14
0,00
0,00
7,33
851,63
3
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4
14,00
19,00
20,00
21,00
22,00
23,00
24,00
5
2.114,79
0,00
22.439,41
0,00
0,00
185.918,39
3.077,01
6
97,83
0,00
3.194,14
0,00
0,00
7,33
851,63
7
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
8
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
9
84,41
0,00
895,67
0,00
0,00
7.420,97
122,82
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12
2,60
6,38
6,67
6.289,21
1.311,10
1,67
23,08
13
447.129,44
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
14
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
4.086.937,26
0,00
2.743,29
0,00
0,00
0,00
314.962,89
16
1.923.675,93
212,64
533.835,88
0,00
0,00
0,00
47.580,15
17
2.449.743,21
0,00
24.760,21
0,00
0,00
0,00
133.132,80
18
653.606,41
0,00
456,82
0,00
0,00
0,00
86.842,70
19
0,00
1.533.674,36
102.649,87
54.184,41
11.295,73
86.140,32
16,97
20
7.334.088,70
0,00
513.320,37
0,00
0,00
0,00
4.384.858,39
21
604.050,60
1.093.482,31
2.363.348,71
1.175.602,08
245.075,63
1.432.796,80
2.365.293,33
22
7.565,92
565.041,84
31.316.157,52
459.027,37
95.692,60
4.872.738,12
2.644.897,50
23
551.844,44
456.426,55
518.463,84
279.737,03
562.727,05
566.476,81
775.403,26
24
169.245,85
29.497,30
120.013,09
27.278,83
56.867,67
58.982,49
54.066,85
25
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
26
128,79
316,64
330,96
311.948,66
65.031,37
82,61
1.144,67
27
176.801,66
110.064,13
364.176,70
266.995,76
55.660,12
34.136,66
701.484,41
28
136.185,06
552.381,66
415.765,85
66.603,13
13.884,63
73.736,26
868.786,14
29
129.869,52
48.367,30
791.414,37
559.227,10
30.534,83
150.441,42
1.164.889,19
190
18.675.399,04
4.389.490,10
37.119.626,95
3.206.914,58
1.138.102,74
7.654.828,56
13.551.386,44
200
4.605.778,29
11.590.132,12
13.399.396,68
2.932.230,93
161.399,48
2.440.325,79
11.123.885,62
201
10.301.757,20
1.292.051,61
8.335.555,19
417.006,32
79.749,51
5.773.703,88
31.881.810,07
202+203 204+205
8.523.565,37 4.294.960,14
12.677.849,54 167.249,83
5.122.546,91 958.062,22
1.249.188,21 25.799,43
282.594,14 5.378,36
843.278,45 355.049,51
6.636.024,31 2.859.077,26
209
23.120.282,71
14.137.150,99
14.416.164,32
1.691.993,97
367.722,01
6.972.031,84
41.376.911,63
210
46.401.460,03
30.116.773,20
64.935.187,95
7.831.139,48
1.667.224,23
17.067.186,18
66.052.183,69
327.932,26
0,00
0,00
0,00
161.007,70
175.751,43
0,00
46.729.392,29
30.116.773,20
64.935.187,95
7.831.139,48
1.828.231,93
17.242.937,62
66.052.183,69
28 29 30 31 JUMLAH
Lampiran 15. lanjutan Kode
27
28
29
180
301
302
303+304
1
694,11
0,00
550,70
555.264,70
476.422,24
0,00
2
0,00
0,00
194,65
25.683,44
1.010.035,14
0,00
-275.629,54 51.067,57
3
0,00
0,00
0,00
1.421,35
47.517,28
0,00
-26.194,94
4
25,00
26,00
27,00
414.975,80
0,00
0,00
1.847.496,46
5
694,11
0,00
550,70
579.359,68
0,00
0,00
573.212,38
6
0,00
0,00
194,65
371.472,32
0,00
0,00
803.553,23
7
0,00
0,00
0,00
10.810,04
0,00
0,00
9.106,02
8
0,00
0,00
0,00
6.585,56
0,00
0,00
-22,92
9
27,71
0,00
21,98
22.064,11
19.146,26
0,00
15.465,34
10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
49,06
11
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
62.865,77
12
4,31
1,95
25,82
7.743,92
99.066,27
0,00
-428,64
13
0,00
0,00
0,00
5.830.843,68
1.027.707,02
0,00
-1.352.655,12
14
0,00
0,00
0,00
0,00
429.243,33
0,00
0,00
15
355,38
0,00
81.824,82
5.357.225,31
31.787.023,69
0,00
1.068.723,17
16
186,66
2,84
8.068,78
2.586.923,80
1.126.821,76
0,00
263.511,13
17
1.010,18
0,00
11.350,84
2.805.212,89
1.966.877,09
0,00
346.701,58
18
318,81
0,00
3.734,86
867.017,51
1.544.918,90
0,00
186.657,33
19
71,68
0,00
212,44
1.789.132,02
210.468,18
0,00
47.776,25
20
82.514,34
3.583,53
442.085,35
15.430.574,19
22.033.371,77
0,00
146.477,29
21
0,00
152.989,67
847.956,05
10.976.416,79
32.756.251,80
0,00
-2.659.375,21
22
600.077,90
665.577,57
4.931.704,93
49.419.000,13
12.229.921,54
0,00
-182.894,04
23
312.402,95
101.220,57
304.591,36
6.540.276,32
1.290.842,31
0,00
20,85
24
22.689,12
32.262,32
114.181,32
1.108.719,68
568.914,95
0,00
-20.091,29
25
0,00
0,00
0,00
7.420,48
0,00
0,00
17.049.198,31
26
213,88
96,82
1.280,89
384.226,02
1.087,18
0,00
-95.767,89
27
253.517,76
703.271,20
1.234.088,17
4.615.818,91
388.587,94
0,00
-2.645,17
28
210.252,28
59.259,51
1.096.384,48
3.635.363,83
5.444.996,20
0,00
-59,96
29
329.537,64
127.266,88
134.620,53
3.539.880,68
2.297.314,63
19.729.556,03
-14.522,93
190
1.814.593,82
1.845.558,87
9.213.650,31
116.889.433,17
116.756.535,46
19.729.556,03
17.841.594,08
200
7.056.360,28
2.033.526,97
1.517.353,23
59.910.408,39
14.587.659,42
213,88
96,82
201
5.229.432,67
1.472.154,40
14.665.481,55
110.976.318,90
202+203 204+205
4.503.060,03 166.517,45
4.606.135,18 370.178,39
22.290,26 133.453,06
56.657.907,89 9.756.227,93
209
9.899.010,16
6.448.467,97
14.821.224,87
177.390.454,72
210
18.769.964,26
10.327.553,80
25.552.228,41
354.190.296,27
28
0,00
29 30 31 JUMLAH
10.031,29
0,00 0,00 18.769.964,26
0,00 10.327.553,80
0,00
3.220.734,57
25.552.228,41
0,00 357.411.030,85
8.948.262,80 1.957.382,59
12.331,13
23.629,68
1.957.382,59
517.965,79 9.488.591,02
23.629,68
Lampiran 15. lanjutan Kode
304 a
305
309
310
409
509
1
0,00
22.547,14
223.339,84
778.604,54
0,00
6.209,17
2
0,00
556.649,38
1.617.752,09
1.643.435,53
0,00
675.321,62
3
0,00
60.263,58
81.585,92
83.007,27
0,00
0,00
4
0,00
8.002,60
1.855.499,06
2.270.474,86
0,00
594.839,36
5
0,00
23.006,02
596.218,40
1.175.578,08
0,00
235.407,36
6
0,00
558.234,63
1.361.787,86
1.733.260,17
0,00
347.071,91
7
0,00
35.678,89
44.784,90
55.594,94
0,00
10.063,19
8
0,00
26,92
4,00
6.589,56
0,00
0,00
9
0,00
1.028,63
35.640,22
57.704,34
0,00
0,00
10
0,00
801,48
850,54
850,54
0,00
0,00
11
0,00
262,23
63.128,01
63.128,01
0,00
0,00
12
0,00
436,64
99.074,27
106.818,19
0,00
0,00
13
0,00
0,00
-324.948,10
5.505.895,58
0,00
0,00
14
0,00
0,00
429.243,33
429.243,33
0,00
0,00
15
0,00
3.795.378,38
36.651.125,24
42.008.350,55
0,00
8.886.008,44
16
0,00
313.646,25
1.703.979,15
4.290.902,95
0,00
429.642,84
17
0,00
5.712.371,63
8.025.950,29
10.831.163,18
0,00
709.110,47
18
0,00
2.228.537,45
3.960.113,68
4.827.131,19
0,00
947.615,50
19
0,00
980.308,80
1.238.553,23
3.027.685,25
0,00
584.733,15
20
0,00
22.580.116,12
44.759.965,18
60.190.539,37
0,00
13.789.079,33
21
0,00
500.000,00
30.596.876,59
41.573.293,38
0,00
11.456.520,18
22
0,00
26.335.616,03
38.382.643,52
87.801.643,65
0,00
22.866.455,70
23
0,00
0,00
1.290.863,15
7.831.139,48
0,00
0,00
24
0,00
9.680,90
558.504,56
1.667.224,23
0,00
0,00
25
0,00
10.567,40
17.059.765,71
17.067.186,18
0,00
0,00
26
0,00
2.466.746,89
2.372.066,18
2.756.292,21
0,00
-63.295.891,48
27
0,00
1.081.987,48
1.467.930,25
6.083.749,16
0,00
-12.686.215,10
28
0,00
1.247.253,73
6.692.189,97
10.327.553,80
0,00
0,00
29
0,00
0,00
22.012.347,73
25.552.228,41
0,00
0,00
190
0,00
68.529.149,18
222.856.834,75
339.746.267,92
0,00
-14.444.028,35
200
0,00
0,00
14.587.970,12
74.498.378,51
0,00
14.444.028,35
28
10.031,29
10.031,29
29
8.948.262,80
8.948.262,80
30
1.993.343,40
5.214.077,97
31 JUMLAH
517.965,79 11.469.603,29
517.965,79 14.690.337,86
201 202+203 204+205 209 210
0,00
0,00
Lampiran 15. lanjutan Kode
600
700
1
772.395,37
778.604,54
2
968.113,91
1.643.435,53
3
83.007,27
83.007,27
4
1.675.635,50
2.270.474,86
5
940.170,72
1.175.578,08
6
1.386.188,26
1.733.260,17
7
45.531,75
55.594,94
8
6.589,56
6.589,56
9
57.704,34
57.704,34
10
850,54
850,54
11
63.128,01
63.128,01
12
106.818,19
106.818,19
13
5.505.895,58
5.505.895,58
14
429.243,33
429.243,33
15
33.122.342,11
42.008.350,55
16
3.861.260,11
4.290.902,95
17
10.122.052,71
10.831.163,18
18
3.879.515,69
4.827.131,19
19
2.442.952,09
3.027.685,25
20
46.401.460,03
60.190.539,37
21
30.116.773,20
41.573.293,38
22
64.935.187,95
87.801.643,65
23
7.831.139,48
7.831.139,48
24
1.667.224,23
1.667.224,23
25
17.067.186,18
17.067.186,18
26
66.052.183,69
2.756.292,21
27
18.769.964,26
6.083.749,16
28
10.327.553,80
10.327.553,80
29
25.552.228,41
25.552.228,41
190
354.190.296,27
339.746.267,92
200
0,00
74.498.378,51
201 202+203 204+205 209 210 28 29 30 31 JUMLAH
Lampiran 18. Tabel Distribusi Pendapatan Tenaga kerja Propinsi Jawa Tengah, 2003 (Miliar Rp) Tanaman bahan makanan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kayu
Hasil hutan lainnya
Pertambangan dan Penggalian
Industri Makanan dan Minuman
Industri Kayu Gergajian dan Awetan
Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya
Industri bahan bangunan dari kayu
Industri barangbarang lainnya dari kayu
Industri Migas
Lapangan Usaha
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Tenaga kerja dibayar
1
tidak dibayar
2
Pertanian lainnya selain kehutanan
dibayar
3
tidak dibayar
4
Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual
dibayar
5
tidak dibayar
6
Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
dibayar
7
tidak dibayar
8
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
9
Kehutanan
Total
Dibayar Tidak Dibayar
Total
10
-
-
-
-
11.27
8.30
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
15.66
72.81
-
-
-
-
-
-
-
5,446.68
707.23
1,006.81
421.09
1.48
1.62
-
-
-
-
-
-
-
18,731.03
900.25
2,602.00
758.49
11.51
49.73
-
-
-
-
-
-
-
106.55
23.04
79.26
26.59
55.68
152.81
635.48
4,694.19
183.06
111.33
164.64
3.12
702.58
58.17
5.80
7.85
8.27
25.23
100.66
650.70
4,352.31
85.57
126.99
182.49
5.66
-
96.56
19.75
66.89
25.11
5.33
5.28
67.02
878.58
11.49
5.68
6.68
0.19
362.67
26.04
5.12
5.01
4.87
3.05
7.85
33.78
262.27
3.36
2.77
3.67
0.10
-
9.90
9.54
34.64
5.02
1.27
1.88
11.64
97.42
1.04
0.83
2.42
0.08
226.81
16.37
5.70
8.96
4.55
0.86
1.09
2.33
16.98
0.56
0.38
1.15
0.07
-
5,659.70
759.57
1,187.60
477.80
75.02
169.89
714.13
5,670.19
195.59
117.84
173.74
3.38
1,292.05
18,831.61
916.87
2,623.83
776.18
56.31
232.14
686.82
4,631.57
89.49
130.14
187.30
5.83
-
24,491.31
1,676.43
3,811.43
1,253.98
131.33
402.02
1,400.95
10,301.76
285.08
247.98
361.04
9.21
1,292.05
Lampiran 18. lanjutan
34
36
37
38
39
40
Jasa lainnya
Jasa lingkungan
Angkutan dan Komunikasi
Perdagangan, Restoran, dan Hotel
Konstruksi
Air Minum
35
Bank, Lembaga Keuangan Lainnya dan Jasa Perusahaan
Tenaga kerja
Listrik dan Gas
Industri Pengolahan Lainnya
Lapangan Usaha
41
Total
42
dibayar
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
tidak dibayar
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
88.47
Pertanian lainnya selain kehutanan
dibayar
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7,584.90
tidak dibayar
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
23,053.02
Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual
dibayar
5
4,983.16
246.31
35.62
4,283.43
1,336.51
2,257.67
74.68
1.38
3,784.97
23,942.05
tidak dibay ar
6
2,582.96
26.05
-
1,173.93
950.95
1,835.48
21.72
0.27
1,344.24
13,545.32
Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
dibayar
7
535.77
129.08
31.16
194.33
8,978.36
753.09
1,007.07
0.56
5,958.00
19,138.63
tidak dibayar
8
70.42
7.41
-
27.27
20,527.11
348.18
61.24
0.20
1,151.69
22,551.41
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
9
114.33
7.16
12.96
88.14
71.25
28.52
269.86
0.09
2,175.71
3,170.51
Kehutanan
Total
Total
10
19.57
48.93
0.99
-
6.61
17.62
6.50
37.58
0.05
250.88
428.13
Dibayar
5,633.25
382.55
79.75
4,565.89
10,386.12
3,039.28
1,351.61
2.02
11,918.68
53,855.66
Tidak Dibayar
2,702.31
34.46
-
1,207.81
21,495.69
2,190.15
120.54
0.52
2,746.81
59,666.35
8,335.56
417.01
79.75
5,773.70
31,881.81
5,229.43
1,472.15
2.54
14,665.48
113,522.01
Lampiran 19. Tabel Distribusi Tenaga kerja Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (orang) Tanaman bahan makanan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kayu
Hasil hutan lainnya
Pertambangan dan Penggalian
Industri Makanan dan Minuman
Industri Kayu Gergajian dan Awetan
Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya
Industri bahan bangunan dari kayu
Industri barangbarang lainnya dari kayu
Industri Migas
Lapangan Usaha
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Tenaga kerja
dibayar
-
-
-
-
846
1,012
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,346
9,334
-
-
-
-
-
-
-
1,116,985
88,750
115,751
43,173
141
213
-
-
-
-
-
-
-
4,354,888
146,577
384,543
93,137
1,174
7,446
-
-
-
-
-
-
-
13,469
2,520
8,031
2,528
3,065
13,972
53,608
446,030
38,789
17,065
49,321
327
7,679
9,933
826
1,060
837
1,453
10,074
67,694
525,709
28,146
38,452
80,716
861
-
9,671
1,958
5,953
1,938
182
427
4,633
65,225
1,795
626
1,128
19
3,008
tidak dibayar
4,277
625
561
420
115
657
3,267
26,713
601
517
689
12
-
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
726
812
2,781
339
25
107
568
5,541
125
69
323
6
1,152
1,935
648
889
346
21
75
161
1,351
87
50
189
6
-
Dibayar
1,140,851
94,040
132,517
47,977
4,259
15,730
58,809
516,796
40,709
17,760
50,772
352
11,840
Tidak Dibayar
4,371,032
148,676
387,053
94,740
4,108
27,588
71,121
553,774
28,834
39,019
81,594
879
-
5,511,883
242,716
519,570
142,716
8,367
43,318
129,930 1,070,570
69,543
56,779
132,365
1,231
11,840
Kehutanan tidak dibayar Pertanian lainnya selain kehutanan
Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual
Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
Total
Total
dibayar tidak dibayar dibayar tidak dibayar dibayar
Lampiran 19. lanjutan
Listrik dan Gas
Air Min um
Konstruksi
Perdagangan, Restoran, dan Hotel
Angkutan dan Komunikasi
Bank, Lembaga Keuangan Lainnya dan Jasa Perusahaan
Jasa lingkungan
Jasa lainnya
Tenaga kerja
Industri Pengolahan Lainnya
Lapangan Usaha
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Total
dibayar
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,858
tidak dibayar
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10,680
Pertanian lainnya selain kehutanan
dibayar
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,365,012
tidak dibayar
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4,987,765
Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual
dibayar
5
848,343
9,752
2,003
585,461
122,283
262,691
4,746
236
395,141
2,887,060
tidak dibayar
6
574,520
1,317
-
234,625
99,397
264,198
1,582
62
169,352
2,110,815
Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
dibayar
7
79,123
3,437
905
20,115
712,950
65,201
39,717
71
553,728
1,571,810
tidak dibayar
8
14,546
258
-
3,516
1,952,562
42,381
3,054
35
131,569
2,186,371
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
9
13,545
159
303
6,033
4,135
1,642
5,342
10
152,544
196,286
Kehutanan
Total
Total
10
7,951
27
-
690
1,228
517
866
7
22,944
39,988
Dibayar
941,011
13,348
3,212
611,609
839,368
329,534
49,805
317
1,101,413
6,022,026
Tidak Dibayar
597,016
1,602
-
238,831
2,053,187
307,095
5,502
104
323,865
9,335,620
1,538,027
14,950
3,212
850,440
2,892,555
636,629
55,307
421
1,425,278
15,357,646
Lampiran 20. Tabel Distribusi Pendapatan Per Tenaga kerja Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (Ribu Rp.) Tanaman bahan makanan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kayu
Hasil hutan lainnya
Pertambangan dan Penggalian
Industri Makanan dan Minuman
Industri Kayu Gergajian dan Awetan
Industri Kayu Lapis dan Sejenisnya
Industri bahan bangunan dari kayu
Industri barangbarang lainnya dari kayu
Industri Migas
Lapangan Usaha
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Tenaga kerja dibayar
-
-
-
- 13,321.79
8,205.73
-
-
-
-
-
-
-
tidak dibayar
Kehutanan
-
-
-
- 11,633.45
7,800.17
-
-
-
-
-
-
-
dibayar
4,876.24
7,968.77
8,698.09
9,753.52 10,487.76
7,585.85
-
-
-
-
-
-
-
tidak dibayar
4,301.15
6,141.82
6,766.48
8,143.87
9,801.35
6,678.66
-
-
-
-
-
-
-
dibayar
7,910.93
9,144.82
9,868.38
10,520.12 18,165.50
10,936.65
11,854.26
10,524.39
4,719.40
6,524.06
3,338.15
9,537.40
91,487.61
tidak dibayar
5,856.26
7,022.67
7,408.10
9,881.03 17,366.17
9,991.31
9,612.45
8,278.93
3,040.40
3,302.70
2,260.82
6,573.11
-
dibayar
9,985.43
10,085.61
11,235.35
29,364.46
12,368.98
14,464.18
13,469.89
6,403.02
9,070.54
5,921.64
tidak dibayar
6,088.41
8,189.18
8,940.73
11,595.99 26,603.88
11,943.59
10,340.98
9,818.10
5,587.58
5,355.58
5,327.70
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
13,636.04
11,757.82
12,456.62
14,825.42 50,164.19
17,655.90
20,482.54
17,580.87
8,326.81
12,010.76
7,494.47
12,453.51 196,884.18
8,457.82
8,794.60
10,077.70
13,130.35 41,174.46
14,446.88
14,537.56
12,568.79
6,392.91
7,481.94
6,073.33
11,121.67
4,960.95
8,077.07
8,961.88
9,959.12 17,617.64
10,799.96
12,143.24
10,971.81
4,804.69
6,635.16
3,421.95
9,619.14 109,128.48
4,308.27
6,166.89
6,778.99
8,192.73 13,705.55
8,414.49
9,657.03
8,363.65
3,103.63
3,335.26
2,295.54
6,631.11
4,443.36
6,906.98
7,335.74
8,786.54 15,696.68
9,280.75
10,782.34
9,622.69
4,099.39
4,367.44
2,727.60
7,484.51 109,128.48
Pertanian lainnya selain kehutanan Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
Total
Dibayar Tidak Dibayar
Total
12,958.19
10,103.98 120,556.80 8,505.10
-
-
-
Lampiran 20. lanjutan
(Ribu Rp.)
34
36
37
38
39
40
Jasa lainnya
Jasa lingkungan
Angkutan dan Komunikasi
Perdagangan, Restoran, dan Hotel
Konstruksi
Air Minum
35
Bank, Lembaga Keuangan Lainnya dan Jasa Perusahaan
Tenaga kerja
Listrik dan Gas
Industri Pengolahan Lainnya
Lapangan Usaha
41
Total
42
dibayar
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10,535.33
tidak dibayar
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8,283.30
Pertanian lainnya selain kehutanan
dibayar
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5,556.65
tidak dibayar
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4,621.91
Buruh Kasar, Operator Angkutan, dan Manual
dibayar
5
5,873.99
25,256.26
17,781.91
7,316.34
10,929.66
8,594.39
15,735.41
5,827.80
9,578.78
8,292.88
tidak dibayar
6
4,495.86
19,777.67
-
5,003.43
9,567.22
6,947.36
13,729.86
4,405.59
7,937.53
6,417.10
Tata Usaha, Penjualan, dan Jasa-Jasa
dibayar
7
6,771.28
37,558.16
34,427.60
9,660.62
12,593.25
11,550.20
25,356.11
7,880.66
10,759.79
12,176.17
tidak dibayar
8
4,841.23
28,711.18
-
7,758.06
10,512.91
8,215.49
20,051.96
5,598.58
8,753.52
10,314.54
Kepemimpinan, Tatalaksana, dibayar Profesional, dan Militer tidak dibayar
9
8,440.38
45,105.01
42,720.28
14,609.25
17,232.27
17,373.33
50,518.04
8,967.26
14,262.83
16,152.47
10
Kehutanan
Total
Total
6,153.73
37,316.00
-
9,569.39
14,343.72
12,579.97
43,412.27
6,659.92
10,934.38
10,706.40
Dibayar
5,986.38
28,659.73
24,828.62
7,465.38
12,373.74
9,222.96
27,138.08
6,386.63
10,821.26
8,943.11
Tidak Dibayar
4,526.36
21,508.29
-
5,057.18
10,469.42
7,131.84
21,908.78
4,958.81
8,481.33
6,391.26
5,419.64
27,893.40
24,828.62
6,789.08
11,022.02
8,214.25
26,617.87
6,033.91
10,289.56
7,391.89
Lampiran 21. Total Pendapatan dan Pengeluaran Menurut Golongan Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 (Rp Juta) Kehutanan
Pertanian Selain Kehutanan
Jumlah Buruh Jumlah Penduduk (jiwa)
Pengusaha
Buruh
Pengusaha
Bukan Pertanian Golongan Rendah
Bukan Angkatan Kerja
Golongan Atas
32,052,840
74,294
31,549
10,730,121
3,119,718
11,857,843
2,924,927
3,314,388
7,964,395
17,702
7,921
2,625,496
731,410
2,805,069
932,259
844,538
113,522,010.89
221,213.98
176,026.79
21,571,330.32
14,436,899.08
42,381,282.59
10,336,831.05
24,398,427.08
39,855,160.33
40,272.82
64,710.69
3,150,581.43
5,737,052.80
14,554,149.11
4,728,936.00
11,579,457.48
- RT
15,483,103.45
77,436.28
10,470.15
10,281,582.69
1,285,318.01
2,301,246.14
1,091,105.81
435,944.36
- Perusahaan
4,021,561.70
32,879.84
8,450.51
1,027,776.37
556,023.44
629,418.37
9,332,628.55
24,677.04
3,529.52
4,447,030.45
880,412.31
2,285,327.14
1,390,517.40
301,134.69
57,309,542.92
170,603.50
57,986.58
19,536,529.30
5,475,196.86
19,516,035.83
5,780,940.63
6,772,250.24
239,524,007.84
567,083.46
321,174.23
60,014,830.57
28,370,902.50
81,667,459.16
23,722,899.78
44,859,658.14
3,724,182.59
6,309.88
8,197.56
611,003.76
643,226.28
557,353.41
155,371.61
1,742,720.09
235,799,825.25
560,773.58
312,976.67
59,403,826.81
27,727,676.22
81,110,105.75
23,567,528.17
43,116,938.05
15,483,103.45
16,545.53
25,738.22
1,472,790.35
2,885,538.42
4,948,998.85
1,367,237.89
4,766,254.18
4,676,361.98
12,398.29
11,045.64
1,373,009.34
782,368.96
751,640.19
609,085.18
1,136,814.37
215,640,359.83
531,829.75
276,192.81
56,558,027.13
24,059,768.83
75,409,466.71
21,591,205.10
37,213,869.49
149,303,559.88
338,093.62
154,249.59
47,477,844.47
14,686,986.31
53,885,090.24
13,935,554.46
18,825,741.19
66,336,799.94
193,736.13
121,943.22
9,080,182.66
9,372,782.53
21,524,376.47
7,655,650.64
18,388,128.30
Jumlah Rumah tangga (jiwa)
1. Upah dan gaji 2. Pendapatan kapital 3. Penerimaan transfer dari :
- Pemerintah - Luar Negeri 4. Jumlah pendapatan 5. Pembayaran pajak langsung 6. Pendapatan RT setelah pajak
394,568.88
1,372,444.28
7. Pembayaran transfer ke : - RT - Luar Negeri 8. Pendapatan Disposabel 9. Pengeluaran konsumsi 10. Tabungan
Tabel……. Rata-rata Pendapatan dan Pengeluaran perkapita Menurut Golongan Rumahtangga Propinsi Jawa Tengah, Tahun 20 03 (Rp Ribu) Kehutanan Jumlah Jumlah Penduduk (jiwa)
Buruh
Pengusaha
Pertanian Selain Kehutanan Buruh
Pengusaha
Golongan Rendah
Bukan Pertanian Bukan Angkatan Kerja
Golongan Atas
32,052,840
74,294
31,549
10,730,121
3,119,718
11,857,843
2,924,927
3,314,388
Jumlah Rumah tangga (jiwa)
7,964,395
17,702
7,921
2,625,496
731,410
2,805,069
932,259
844,538
1. Upah dan gaji
3,541.71
2,977.54
5,579.46
2,010.35
4,627.63
3,574.11
3,534.0 5
7,361.37
1,243.42
542.07
2,051.11
293.62
1,838.97
1,227.39
1,616.77
3,493.69
483.05
1,042.29
331.87
958.20
412.00
194.07
373.04
131.53
125.47
442.56
267.85
95.78
178.23
53.08
134.90
414.09
291.16
332.15
111.87
414.44
282.21
192.73
475.40
90.86
1,787.97
2,296.33
1,837.98
1,820.72
1,755.03
1,645.83
1,976.44
2,043.29
7,472.79
7,632.95
10,180.15
5,593.12
9,094.06
6,887.21
8,110.59
13,534.82
116.19
84.93
259.84
56.94
206.18
47.00
53.12
525.80
7,356.60
7,548.02
9,920.32
5,536.18
8,887.88
6,840.21
8,057.47
13,009.02
483.05
222.70
815.82
137.26
924.94
417.36
467.44
1,438.05
145.90
166.88
350.11
127.96
250.78
63.39
208.24
342.99
6,727.65
7,158.44
8,754.39
5,270.96
7,712.16
6,359.46
7,381.79
11,227.98
4,658.04
4,550.75
4,889.20
4,424.73
4,707.79
4,544.26
4,764.41
5,680.01
2,069.61
2,607.69
3,865.19
846.23
3,004.37
1,815.20
2,617.38
5,547.97
2. Pendapatan kapital 3. Penerimaan transfer dari : - RT - Perusahaan - Pemerintah - Luar Negeri 4. Jumlah pendapatan 5. Pembayaran pajak langs ung 6. Pendapatan RT setelah pajak 7. Pembayaran transfer ke : - RT - Luar Negeri 8. Pendapatan Disposabel 9. Pengeluaran konsumsi 10. Tabungan
Lampiran 22. Matrik Pengganda Neraca (Multiplier ) Sektor Kehutanan Jateng 2003 Kayu
Hasil non kayu
Jasa lingkungan
Industri gergajian
Industri kayu lapis
Industri bahan bangunan
Industri kayu lainnya
1
0.0159
0.0096
0.0006
0.0011
0.0012
0.0012
0.0011
2
0.0349
0.1175
0.0024
0.0034
0.0036
0.0036
0.0033
3
0.0331
0.0351
0.0446
0.0289
0.0294
0.0294
0.0292
4
0.0901
0.0962
0.1172
0.0785
0.0802
0.0801
0.0795
5
0.2030
0.2782
0.1823
0.2428
0.2505
0.2508
0.2017
6
0.1038
0.1665
0.0979
0.1294
0.2077
0.2045
0.1968
7
0.1199
0.1120
0.1535
0.1110
0.1107
0.1096
0.1078
8
0.1208
0.1166
0.1367
0.1248
0.1291
0.1288
0.1236
9
0.0233
0.0220
0.0338
0.0179
0.0176
0.0184
0.0189
10
0.0038
0.0036
0.0043
0.0027
0.0027
0.0031
0.0038
11
0.6924
0.5836
0.3594
0.4404
0.3201
0. 3230
0.4388
12
0.0114
0.0145
0.0039
0.0032
0.0032
0.0032
0.0031
13
0.0224
0.0683
0.0035
0.0036
0.0038
0.0038
0.0036
14
0.2745
0.2927
0.3777
0.2507
0.2555
0.2553
0.2465
15
0.1547
0.1600
0.1768
0.1349
0.1409
0.1405
0.1441
16
0.4501
0.4891
0.5121
0.3992
0.4139
0.4131
0.4097
17
0.1290
0.1356
0.1496
0.1114
0.1135
0.1134
0.1147
18
0.2733
0.2913
0.2833
0.2325
0.2347
0.2344
0.2388
19
0.1985
0.1673
0.1065
0.1264
0.0920
0.0929
0.1259
20
0.3138
0.2662
0.6163
0.2314
0.2078
0.2084
0.2296
21
1.0733
0.0063
0.0371
0.0711
0.0740
0.0740
0.0673
22
0.0047
1.0044
0.0077
0.0072
0.0074
0.0074
0.0070
23
0.0026
0.0028
1.0031
0.0022
0.0022
0.0022
0.0022
24
0.0153
0.0117
0.0162
1.0951
0.0984
0.0983
0.0893
25
0.0590
0.0067
0.0111
0.0643
1.0665
0.0665
0.0602
26
0.0110
0.0069
0.0113
0.0882
0.0913
1.0913
0.0825
27
0.0003
0.0001
0.0003
0.0025
0.0026
0.0026
1.0024
28
0.0000
0.0000
0.0001
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
29
0.0037
0.0015
0.0023
0.0030
0.0030
0.0030
0.0028
30
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
31
0.0004
0.0004
0.0006
0.0003
0.0003
0.0003
0.0004
32
0.0010
0.0014
0.0011
0.0007
0.0007
0.0007
0.0007
33
0.0218
0.0227
0.0304
0.0193
0.0197
0.0197
0.0194
34
0.0024
0.0026
0.0027
0.0021
0.0021
0.0021
0.0021
35
0.1603
0.1728
0.2027
0.1399
0.1433
0.1431
0.1422
36
0.0194
0.0195
0.0370
0.0179
0.0177
0.0177
0.0174
37
0.0239
0.0248
0.0394
0.0211
0.0213
0.0213
0.0210
38
0.0144
0.0129
0.0160
0.0107
0.0109
0.0109
0.0108
39
0.0198
0.0095
0.0642
0.0123
0.0100
0.0101
0.0116
40
0.1259
0.1335
0.1565
0.1133
0.1162
0.1160
0.1146
41
0.2264
0.2045
0.2053
0.1618
0.1675
0.1673
0.1634
42
0.2714
0.2549
0.3466
0.2315
0.2363
0.2362
0.2299
43
0.1171
0.0612
0.0748
0.1379
0.1565
0.1565
0.1439
44
0.0176
0.0124
0.0233
0.0136
0.0138
0.0138
0.0133
45
0.1012
0.1105
0.1203
0.0881
0.0845
0.0844
0.0859
46
0.3210
0.2943
0.3575
0.3440
0.3554
0.3551
0.3399
47
0.1100
0.1962
0.1335
0.1068
0.1104
0.1103
0.1059
48
0.0865
0.0594
0.0797
0.0562
0.0583
0.0583
0.0566
Lampiran 22. lanjutan Hasil langsung
Ilegal logging
Nilai tambah
Rehabilitasi lahan hutan
Ilegal trading
Manfaat air
Nilai udara bersih
1
0.0002
0.0007
0.0086
0.0075
0.0187
0.0002
0.0002
2
0.0010
0.0876
0.0189
0.0487
0.1232
0.0009
0.0009
3
0.0319
0.0285
0.0291
0.0300
0.0367
0.0308
0.0308
4
0.0875
0.0776
0.0793
0.0816
0.1010
0.0849
0.0849
5
0.1133
0.1393
0.1791
0.2085
0.2832
0.1086
0.1086
6
0.0576
0.0656
0.0882
0.1107
0.1593
0.0548
0.0548
7
0.0961
0.1220
0.1270
0.1360
0.1010
0.0921
0.0921
8
0.0880
0.1210
0.1274
0.1450
0.1033
0.0850
0.0850
9
0.0211
0.0229
0.0236
0.0489
0.0210
0.0201
0.0201
10
0.0026
0.0027
0.0033
0.0046
0.0039
0.0025
0.0025
11
1.1641
0.5752
0.5600
0.3955
0.7537
1.2201
1.2201
12
0.0029
0.0084
0.0071
0.0087
0.0186
0.0028
0.0028
13
0.0026
0.0506
0.0128
0.0293
0.0723
0.0025
0.0025
14
0.2566
0.2306
0.2456
0.2581
0.3029
0.2463
0.2463
15
0.1682
0.1291
0.1361
0.1339
0.1707
0.1670
0.1670
16
0.4438
0.3816
0.3978
0.4122
0.5156
0.4374
0.4374
17
0.1356
0.1088
0.1131
0.1133
0.1450
0.1340
0.1340
18
0.2920
0.2336
0.2386
0.2382
0.3141
0.2919
0.2919
19
0.3331
0.1649
0.1606
0.1135
0.2158
0.3488
0.3488
20
0.3845
0.2673
0.2648
0.2241
0.2956
0.3631
0.3631
21
0.0093
0.0415
0.0431
0.0137
0.0059
0.0070
0.0070
22
0.0044
0.0038
0.0041
0.0038
0.0046
0.0041
0.0041
23
0.0027
0.0234
0.0224
0.0038
0.0030
0.0026
0.0026
24
0.0114
0.0097
0.0184
0.0102
0.0124
0.0105
0.0105
25
0.0062
0.0071
0.0348
0.0117
0.0067
0.0057
0.0057
26
0.0065
0.0059
0.0097
0.0062
0.0072
0.0060
0.0060
27
0.0001
0.0001
0.0167
0.0013
0.0001
0.0001
0.0001
28
1.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
29
0.0009
1.0014
0.0010
0.0008
0.0016
0.0008
0.0008
30
0.0000
0.0000
1.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
31
0.0004
0.0004
0.0004
1.0004
0.0005
0.0004
0.0004
32
0.0007
0.0016
0.0012
0.0012
1.0015
0.0006
0.0006
33
0.0204
0.0186
0.0193
0.0199
0.0235
1.0195
0.0195
34
0.0024
0.0021
0.0021
0.0022
0.0028
0.0023
1.0023
35
0.1572
0.1381
0.1412
0.1457
0.1819
0.1533
0.1533
36
0.0175
0.0170
0.0172
0.0186
0.0195
0.0159
0.0159
37
0.0225
0.0208
0.0212
0.0218
0.0256
0.0211
0.0211
38
0.0117
0.0118
0.0119
0.0110
0.0135
0.0114
0.0114
39
0.0214
0.0202
0.0205
0.0175
0.0085
0.0178
0.0178
40
0.1190
0.1120
0.1147
0.1204
0.1369
0.1163
0.1163
41
0.1504
0.2350
0.2350
0.2371
0.1718
0.1468
0.1468
42
0.1906
0.2574
0.2584
0.4155
0.2037
0.1849
0.1849
43
0.0373
0.4485
0.4352
0.2319
0.0391
0.0353
0.0353
44
0.0099
0.1856
0.1778
0.2636
0.0101
0.0089
0.0089
45
0.1047
0.0894
0.0873
0.0884
0.1187
0.1031
0.1031
46
0.2332
0.3322
0.3457
0.3838
0.2576
0.2259
0.2259
47
0.0735
0.1182
0.1208
0.1191
0.0783
0.0709
0.0709
48
0.0464
0. 0706
0.0709
0.0542
0.0504
0.0451
0.0451
Lampiran 22. lanjutan Deforestasi
Erosi
Keberadaan huta
Kelembagaan
1
0.0129
0.0026
0.0008
0.0006
2
0.0283
0.0098
0.0028
0.0026
3
0.0513
0.0401
0.0476
0.0376
4
0.1372
0.1064
0.1248
0.1025
5
0.1930
0.3003
0.1815
0.2277
6
0.1000
0.2254
0.0980
0.1211
7
0.1218
0.1410
0.1549
0.2146
8
0.1257
0.1623
0.1310
0.1438
9
0.0233
0.0227
0.0360
0.0572
10
0.0037
0.0032
0.0045
0.0069
11
0.6692
0.4772
0.3459
0.3371
12
0.0098
0.0048
0.0042
0.0038
13
0.0186
0.0078
0.0038
0.0033
14
0.2829
0.3066
0.4067
0.3951
15
0.1631
0.1723
0.1862
0.1606
16
0.4609
0.5052
0.5385
0.4909
17
0.1312
0.1388
0.1585
0.1503
18
0.2813
0.2921
0.2952
0.2516
19
0.1918
0.1366
0.1034
0.0965
20
0.3132
0.2414
0.6997
1.2542
21
0.8668
0.1630
0.0438
0.0354
22
0.0047
0.0202
0.0086
0.0075
23
0.0027
0.0044
0.0033
0.0032
24
0.0146
0.0149
0.0179
0.0124
25
0.0490
0.0169
0.0124
0.0084
26
0.0102
0.0103
0.0126
0.0074
27
0.0002
0.0002
0.0003
0.0001
28
0.0001
0.0002
0.0001
0.0000
29
0.0031
0.0256
0.0027
0.0052
30
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
31
0.0004
0.0005
0.0007
0.0005
32
0.0009
0.0011
0.0012
0.0008
33
0.0384
0.0272
0.0324
0.0245
34
0.0025
0.0026
0.0029
0.0027
35
0.1688
0.1855
0.2151
0.1834
36
0.0213
0.0310
0.0404
0.0220
37
0.1941
0.0335
0.0428
0.0272
38
0.0147
0.0149
0.0170
0.0139
39
0.0185
0.5496
0.0749
0.1140
40
0.1616
0.1437
0.1576
0.1475
41
0.2186
0.2153
0.2027
0.1971
42
0.2628
0.2611
0.2752
0.3159
43
0.1090
0.1451
0.0656
0.0678
44
0.0174
0.0479
0.0239
0.0193
45
0.1028
0.1553
0.1287
0.1231
46
0.3379
0.4375
0.3375
0.3408
47
0.1119
0.1317
0.1108
0.1228
48
0.0803
0.0679
0.0662
0.0741
Lampiran 22. lanjutan Kayu
Hasil non kayu
Jasa lingkungan
Industri gergajian
Industri kayu lapis
Industri bahan bangunan
Industri kayu lainnya
49
0.1774
0.1708
0.3118
0.1407
0.1325
0.1328
0.1403
50
0.3971
0.3665
0.4447
0.4249
0.4383
0.4380
0.4196
51
0.0745
0.0064
0.0377
0.0722
0.0752
0.0752
0.0684
52
0.0078
0.0072
0.0127
0.0118
0.0121
0.0121
0.0115
53
0.0027
0.0028
0.0031
0.0022
0.0022
0.0022
0.0022
54
0.0207
0.0158
0.0219
0.1283
0.1328
0.1328
0.1205
55
0.0732
0.0083
0.0138
0.0798
0.0826
0.0825
0.0748
56
0.0137
0.0086
0.0140
0.1094
0.1133
0.1133
0.1024
57
0.0003
0.0002
0.0003
0.0031
0.0032
0.0032
0.0029
58
0.0000
0.0000
0.0001
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
59
0.0037
0.0015
0.0023
0.0030
0.0030
0.0030
0.0028
60
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
61
0.0004
0.0005
0.0006
0.0003
0.0004
0.0004
0.0004
62
0.0010
0.0014
0.0011
0.0007
0.0007
0.0007
0.0007
63
0.0218
0.0227
0.0304
0.0193
0.0197
0.0197
0.0194
64
0.0024
0.0026
0.0027
0.0021
0.0021
0.0021
0.0021
65
0.2039
0.2198
0.2578
0.1780
0.1823
0.1820
0.1809
66
0.0215
0.0215
0.0409
0.0198
0.0195
0.0195
0.0192
67
0.0257
0.0267
0.0423
0.0227
0.0229
0.0229
0.0226
68
0.0177
0.0159
0.0197
0.0131
0.0134
0.0134
0.0133
69
0.0250
0.0121
0.0813
0.0156
0.0127
0.0128
0.0146
70
0.1795
0.1903
0.2231
0.1616
0.1657
0.1655
0.1635
71
0.3143
0.2839
0.2850
0.2246
0.2325
0.2322
0.2268
72
0.3725
0.3498
0.4757
0.3178
0.3244
0.3242
0.3155
73
0.1175
0.0614
0.0750
0.1384
0.1570
0.1570
0.1444
74
0.0177
0.0125
0.0234
0.0136
0.0139
0.0139
0.0134
75
0.1033
0.1129
0.1228
0.0899
0.0863
0.0862
0.0877
76
0.3356
0.3076
0.3737
0.3596
0.3714
0.3712
0.3553
77
0.1110
0.1979
0.1347
0.1078
0.1114
0.1113
0.1068
78
0. 0897
0.0616
0.0827
0.0583
0.0605
0.0605
0.0587
79
0.1783
0.1717
0.3134
0.1415
0.1332
0.1335
0.1410
80
0.4805
0.4588
0.4944
0.6419
0.6713
0.6710
0.6327
81
0.3906
0.4317
0.4314
0.3242
0.3271
0.3268
0.3322
82
0.0435
0.0411
0.0509
0.0422
0.0433
0.0432
0.0419
84
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
0.0000
0.0000
0.0001
85
0.0629
0.0533
0.1235
0.0464
0.0416
0.0417
0.0460
86
0.1514
0.1096
0.8713
0.1177
0.1244
0.1244
0.1145
87
0.0036
0.0031
0.0071
0.0027
0.0024
0.0024
0.0027
Lampiran 22. lanjutan Hasil langsung
Ilegal logging
Nilai tambah
Rehabilitasi lahan hutan
Ilegal trading
Manfaat air
Nilai udara bersih
49
0.1956
0.1800
0.1785
0.1540
0.1594
0.1854
0.1854
50
0.2911
0.3879
0.4058
0.4597
0.3217
0.2821
0.2821
51
0.0095
0.0422
0.0438
0.0139
0.0060
0. 0071
0.0071
52
0.0072
0.0063
0.0067
0.0062
0.0076
0.0068
0.0068
53
0.0027
0.0235
0.0224
0.0038
0.0031
0.0026
0.0026
54
0.0154
0.0131
0.0249
0.0137
0.0168
0.0141
0.0141
55
0.0077
0.0088
0.0432
0.0145
0.0083
0.0071
0.0071
56
0.0080
0.0073
0.0120
0.0077
0.0090
0.0075
0.0075
57
0.0001
0.0001
0.0205
0.0016
0.0002
0.0001
0.0001
58
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
59
0.0009
0.0014
0.0010
0.0008
0.0016
0.0008
0.0008
60
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
61
0.0004
0.0004
0.0004
0.0004
0.0005
0.0004
0.0004
62
0.0007
0.0016
0.0012
0.0012
0.0015
0.0006
0.0006
63
0.0204
0.0186
0.0193
0.0199
0.0235
0.0195
0.0195
64
0.0024
0.0021
0.0021
0.0022
0.0028
0.0023
0.0023
65
0.1999
0.1757
0.1796
0.1853
0.2314
0.1950
0.1950
66
0.0193
0.0188
0.0190
0.0205
0.0215
0.0176
0.0176
67
0.0242
0.0224
0.0228
0.0234
0.0275
0.0227
0.0227
68
0.0145
0.0146
0.0147
0.0136
0.0167
0.0140
0.0140
69
0.0271
0.0256
0.0260
0.0222
0.0108
0.0225
0.0225
70
0.1697
0.1597
0.1636
0.1717
0.1952
0.1659
0.1659
71
0.2087
0.3262
0.3262
0.3291
0.2384
0.2038
0.2038
72
0.2616
0.3532
0.3547
0.5702
0.2796
0.2537
0.2537
73
0.0374
0.4500
0.4366
0.2327
0.0392
0.0354
0.0354
74
0.0099
0.1862
0.1783
0.2644
0.0101
0.0089
0.0089
75
0.1069
0.0913
0.0891
0.0903
0.1212
0.1053
0.1053
76
0.2438
0.3473
0.3613
0.4012
0.2693
0.2362
0.2362
77
0.0741
0.1193
0.1219
0.1201
0.0790
0.0715
0.0715
78
0.0482
0.0733
0.0735
0.0563
0.0523
0.0468
0.0468
79
0.1966
0.1809
0.1794
0.1548
0.1602
0.1864
0.1864
80
0.3307
0.5835
0.5925
0.6298
0.3667
0.3218
0.3218
81
0.4040
0.3459
0.3374
0.3440
0.4641
0.4005
0.4005
82
0.0341
0.0423
0.0438
0.0464
0.0376
0.0331
0.0331
84
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
0.0001
85
0.0770
0.0536
0.0530
0.0449
0.0592
0.0727
0.0727
86
0.0891
0.1237
0.1229
0.1136
0.0921
0.0244
0.0244
87
0.0045
0.0031
0.0031
0.0026
0.0034
0.0042
0.0042
Lampiran 22. lanjutan Deforestasi
Erosi
Keberadaan huta
Kelembagaan
49
0.1766
0.1538
0.3451
0.5899
50
0.4185
0.5405
0.4201
0.4242
51
0.8811
0.1657
0.0445
0.0360
52
0.0077
0.0333
0.0142
0.0124
53
0.0027
0.0044
0.0033
0.0032
54
0.0197
0.0201
0.0241
0.0167
55
0.0608
0.0209
0.0154
0.0104
56
0.0127
0.0128
0.0156
0.0092
57
0.0003
0.0003
0.0004
0.0002
58
0.0001
0.0002
0.0001
0.0000
59
0.0031
0.0256
0.0027
0.0052
60
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
61
0.0004
0.0005
0.0007
0.0005
62
0.0009
0.0011
0.0012
0.0008
63
0.0384
0.0272
0.0324
0.0245
64
0.0025
0.0026
0.0029
0.0027
65
0.2147
0.2360
0.2736
0.2333
66
0.0235
0.0342
0.0446
0.0243
67
0.2087
0.0360
0.0460
0.0293
68
0.0181
0.0183
0.0210
0.0171
69
0.0234
0.6962
0.0949
0.1444
70
0.2305
0.2050
0.2248
0.2103
71
0.3034
0.2988
0.2813
0.2735
72
0.3607
0.3584
0.3776
0.4335
73
0.1093
0.1456
0.0658
0.0680
74
0.0175
0.0481
0.0239
0.0193
75
0.1049
0.1585
0.1314
0.1257
76
0.3531
0.4573
0.3528
0.3562
77
0.1129
0.1329
0.1118
0.1239
78
0.0833
0.0704
0.0687
0.0768
79
0.1775
0.1547
0.3470
0.5930
80
0.4764
0.5161
0.4589
0.4705
81
0.3976
0.4046
0.4563
0.4434
82
0.0560
0.0635
0.0491
0.0506
84
1.0001
0.0001
0.0002
0.0003
85
0.0628
1.0484
0.1402
0.2513
86
0.1337
0.0559
1.0402
0.0335
87
0.0036
0.0028
0.0081
1.0145
Catatan: Klasifikasi sektor lihat lampiran tabel
Lampiran 23. Dampak Pengurangan Kegiatan Ilegal Logging, Ilegal Trading dan Kehilangan Nilai Tambah Sampai 0 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Dampak Total
Illegal tradin g
Kehilga n N.T.
Transfer
Open loo p
Perubahan Dampak Pengurangan
Cloose loop
Total
Output awal
Total perubahan
1
-
-
-
-
2,155.45
17.26
2,172.71
25,262.46
23,089.75
2
-
-
-
-
19,313.04
129.93
19,442.97
172,091.60
152,648.62
3
-
-
-
-
357.64
4,817.76
5,175.40
7,581,806.70
7,576,631.30
4
-
-
-
-
805.12
13,441.65
14,246.77
20,376,771.99
20,362,525.22
5
-
-
-
-
23,457.20
10,246.00
33,703.21
23,965,899.38
23,932,196.17
6
-
-
-
-
13,662.69
6,133.26
19,795.94
13,559,716.53
13,539,920.59
7
-
-
-
-
4,551.95
10,929.09
15,481.03
19,140,648.97
19,125,167.94
8
-
-
-
-
5,002.57
11,647.54
16,650.11
22,553,004.54
22,536,354.43
9
-
-
-
-
799.22
2,056.57
2,855.80
3,172,664.84
3,169,809.05
10
-
-
-
-
239.92
262.11
502.03
428,451.87
427,949.84
11
-
-
-
-
83,414.09
34,148.11
117,562.2 0
75,240,723.59
75,123,161.39
12
-
-
-
-
2,354.16
198.38
2,552.53
596,995.58
594,443.04
13
-
-
-
-
11,105.75
209.79
11,315.53
426,647.40
415,331.87
14
-
-
-
-
21,628.76
17,707.67
39,336.42
59,702,154.97
59,662,818.55
15
-
-
-
-
12,788.69
10,927.95
23,716.64
27,657,861.14
27,634,144.50
16
-
-
-
-
40,862.02
29,743.12
70,605.14
80,380,231.23
80,309,626.09
17
-
-
-
-
11,716.23
8,105.44
19,821.67
23,210,686.25
23,190,864.58
18
-
-
-
-
25,977.28
18,229.62
44,206.91
43,514,809.00
43,470,602.09
19
-
-
-
-
23,839.56
9,759.45
33,599.01
32,348,752.89
32,315,153.88
20
-
-
-
-
21,929.87
9,560.62
31,490.49
44,667,406.51
44,635,916.02
21
-
-
-
2,554.95
-
535.82
3,090.77
875,716.70
872,625.93
22
-
-
-
129.41
-
964.79
1,094.20
1,729,991.78
1,728,897.58
23
-
-
-
1,332.16
-
55.86
1,388.02
495,190.20
493,802.18
24
-
-
-
145.29
-
28.31
173.60
2,395,514.09
2,395,340.49
25
-
-
-
267.01
-
95.23
362.24
1,252,168.82
1,251,806.58
26
-
-
-
177.15
-
116.45
293.60
1,846,181.42
1,845,887.82
27
-
-
-
25.43
-
6.48
31.90
58,898.06
58,866.16
28
-
-
-
0.91
-
2.42
3.33
7,037. 31
7,033.98
29
61,649.63
-
-
10.00
-
222.58
61,882.21
61,649.63
(232.58)
30
-
-
904.81
0.12
-
0.13
905.06
904.81
(0.26)
Lampiran 23. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilgan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output awal perubahan
31
-
-
-
2.87
-
0.31
3.17
67,489.34
67,486.17
32
-
114,080.18
-
34.22
-
212.26
114,326.6 6
114,080.18
(246.48)
33
-
-
-
318.79
-
4,398.80
4,717.59
5,505,895.58
5,501,177.99
34
-
-
-
-
-
380.82
380.82
429,243.33
428,862.52
35
-
-
-
1,120.85
-
30,750.67
31,871.52
42,504,093.17
42,472,221.64
36
-
-
-
553.42
-
2,271.28
2,824.69
4,730,451.46
4,727,626.77
37
-
-
-
1,048.82
-
4,045.67
5,094.49
11,169,643.62
11,164,549.13
38
-
-
-
451.86
-
2,127.77
2,579.63
5,179,626.49
5,177,046.86
39
-
-
-
1,110.84
-
1,676.73
2,787.58
3,027,685.25
3,024,897.67
40
-
-
-
4,185.73
-
29,997.39
34,183.12
60,518,471.62
60,484,288.50
41
-
-
-
9,688.28
-
33,230.92
42,919.20
41,573,293.38
41,530,374.18
42
-
-
-
13,651.79
-
35,671.78
49,323.57
87,801,643.65
87,752,320.08
43
-
-
-
26,562.92
-
4,237.80
30,800.73
7,831,139.48
7,800,338.75
44
-
-
-
11,281.69
-
1,081.89
12,363.58
1,828,231.93
1,815,868.35
45
-
-
-
115.97
-
12.47
128.44
17,242,937.62
17,242,809.18
46
-
-
-
11,869.34
-
33,513.04
45,38 2.38
66,052,183.69
66,006,801.31
47
-
-
-
4,452.08
-
9,815.84
14,267.91
18,769,964.26
18,755,696.35
48
-
-
-
2,324.61
-
6,975.50
9,300.11
10,327,553.80
10,318,253.70
49
-
-
-
2,678.65
-
17,618.44
20,297.09
25,552,228.41
25,531,931.32
50
-
-
-
12,172.14
-
39,495.94
51,668.07
75,982,106.58
75,930,438.51
Lampiran 24. Dampak Pengurangan Kegiatan Ilegal Logging, Ilegal Trading dan Kehilangan Nilai Tambah Sampai 25 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Transfer
Open loop
Cloose loop
1
-
-
-
-
240.13
3.92
2
518.35
Total 244.05
23,089.75
23,333.80
26.21
544.56
152,648.62
153,193.18
203.52
1,240.28
1,443.80
7,576,631.30
7,578,075.10
-
-
-
-
3
-
-
-
-
4
-
-
-
-
477.63
3,462.68
3,940.32
20,362,525.22
20,366,465.54
5
-
-
-
-
3,129.54
2,453.52
5,583.06
23,932,196.17
23,937,779.23
6
-
-
-
-
1,896.19
1,501.27
3,397.45
13,539,920.59
13,543,318.04
7
-
-
-
-
5,316.22
2,563.56
7,879.78
19,125,167.94
19,133,047.72
8
-
-
-
-
10,734.29
2,911.63
13,645.92
22,536,354.43
22,550,000.35
9
-
-
-
-
215.02
446.83
661.85
3,169,809.05
3,170,470.89
10
-
-
-
-
46.57
57.74
104.31
427,949.84
428,054.15
11
-
-
-
-
12,813.08
8,657.02
21,470.09
75,123,161.39
75,144,631.48
12
-
-
-
-
191.59
48.38
239.97
594,443.04
594,683.01
13
-
-
-
-
353.68
48.93
402.61
415,331.87
415,734.48
14
6,093.92
4,350.24
10,444.16
59,662,818.55
59,673,262.71
-
-
-
-
15
-
-
-
-
4,009.27
2,736.35
6,745.62
27,634,144.50
27,640,890.11
16
-
-
-
-
11,498.30
7,353.09
18,851.38
80,309,626.09
80,328,477.47
17
-
-
-
-
3,209.49
2,010.21
5,219.69
23,190,864.58
23,196,084.27
18
-
-
-
-
7,015.92
4,537.81
11,553.73
43,470,602.09
43,482,155.82
19
-
-
-
-
3,661.95
2,474.16
6,136.10
32,315,153.88
32,321,289.98
20
-
-
-
-
3,597.21
2,416.03
6,013.24
44,635,916.02
44,641,929.26
21
15,412.41
-
-
1,064.49
-
135.98
1,200.47
872,625.93
873,826.40
22
-
-
-
48.29
-
247.86
296.15
1,728,897.58
1,729,193.72
23
-
-
-
4.44
-
13.36
17.80
493,802.18
493,819.98
24
-
-
226.20
130.60
-
7.12
137.72
2,395,340.49
2,395,478.21
25
-
-
-
1,029.32
-
24.12
1,053.45
1,251,806.58
1,252,860.02
26
-
-
-
149.16
-
29.24
178.39
1,845,887.82
1,846,066.21
27
-
-
-
5.24
-
1.63
6.86
58,866.16
58,873.02
28
-
-
-
0.38
-
0.62
1.00
7,033.98
7,034.98
29
-
-
-
40.89
-
12.00
52.89
-
-
30
-
-
-
0.05
-
0.03
0.08
-
-
Lampiran 24. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilgan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
31
-
-
-
0.43
-
0.08
0.51
67,486.17
67,486.67
32
-
-
-
2.40
-
27.86
30.26
-
-
33
-
-
-
192.25
-
1,129.97
1,322.22
5,501,177.99
5,502,500.21
34
-
-
-
-
-
97.40
97.40
428,862.52
428,959.92
35
-
-
-
713.88
-
7,929.64
8,643.52
42,472,221.64
42,480,865.16
36
-
-
-
260.08
-
579.89
839.97
4,727,626.77
4,728,466.74
37
-
-
-
576.74
-
1,033.27
1,610.01
11,164,549.13
11,166,159.14
38
-
-
-
260.46
-
544.91
805.37
5,177,046.86
5,177,852.23
39
-
-
-
245.88
-
427.91
673.79
3,024,897.67
3,025,571.46
40
-
-
-
4,153.57
-
7,664.46
11,818.03
60,484,288.50
60,496,106.53
41
-
-
-
3,163.24
-
8,504.53
11,667.77
41,530,374.18
41,542,041.95
42
-
-
-
6,599.22
-
8,841.23
15,440.45
87,752,320.08
87,767,760.53
43
-
-
-
1,882.07
-
1,051.53
2,933.60
7,800,338.75
7,803,272.35
44
-
-
-
208.25
-
264.91
473.16
1,815,868.35
1,816,341.51
45
-
-
-
18.48
-
3.13
21.61
17,242,809.18
17,242,830.79
46
-
28,520.05
-
5,458.51
-
8,492.84
13,951.35
66,006,801.31
66,020,752.65
47
-
-
-
1,949.81
-
2,444.82
4,394.63
18,755,696.35
18,760,090.97
48
-
-
-
1,257.35
-
1,749.18
3,006.53
10,318,253.70
10,321,260.22
49
-
-
-
915.74
-
3,595.49
4,511.23
25,531,931.32
25,536,442.55
50
-
-
-
6,296.29
-
10,011.71
16,308.00
75,930,438.51
75,946,746.51
Lampiran 25. Dampak Pengurangan Kegiatan Ilegal Logging, Ilegal Trading dan Kehilangan Nilai Tambah Sampai 50 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
1
-
-
-
-
480.27
7.83
488.10
23,089.75
2
1,036.70
52.42
1,089.11
152,648.62
153,737.74
2,887.60
7,576,631.30
7,579,518.90
-
-
-
-
3
-
-
-
-
4
-
-
-
5
-
-
-
6
-
-
7
-
8
23,577.85
407.05
2,480.55
-
955.27
6,925.37
7,880.63
20,362,525.22
20,370,405.86
-
6,259.08
4,907.04
11,166.12
23,932,196.17
23,943,362.29
-
-
3,792.37
3,002.54
6,794.91
13,539,920.59
13,546,715.50
-
-
-
10,632.44
5,127.12
15,759.56
19,125,167.94
19,140,927.50
-
-
-
-
21,468.58
5,823.26
27,291.84
22,536,354.43
22,563,646.27
9
-
-
-
-
430.03
893.66
1,323.69
3,169,809.05
3,171,132.74
10
-
-
-
-
93.14
115.48
208.62
427,949.84
428,158.46
11
-
-
-
-
25,626.16
17,314.03
42,940.19
75,123,161.39
75,166,101.58
12
-
-
-
-
383.18
96.77
479.94
594,443.04
594,922.99
13
-
-
-
-
707.35
97.87
805.22
415,331.87
416,137.09
14
-
-
-
-
12,187.84
8,700.48
20,888.32
59,662,818.55
59,683,706.87
15
-
-
-
-
8,018.55
5,472.69
13,491.24
27,634,144.50
27,647,635.73
16
-
-
-
-
22,996.59
14,706.17
37,702.76
80,309,626.09
80,347,328.85
17
-
-
-
-
6,418.97
4,020.42
10,439.39
23,190,864.58
23,201,303.97
18
-
-
-
-
14,03 1.85
9,075.62
23,107.46
43,470,602.09
43,493,709.55
19
-
-
-
-
7,323.90
4,948.31
12,272.21
32,315,153.88
32,327,426.09
20
-
-
-
-
7,194.43
4,832.05
12,026.48
44,635,916.02
44,647,942.50
21
30,824.82
-
-
2,128.97
-
271.96
2,400.93
872,625.93
875,026.86
22
-
-
-
96.57
-
495.72
592.29
1,728,897.58
1,729,489.87
23
-
-
-
8.87
-
26.73
35.60
493,802.18
493,837.78
24
-
-
452.40
261.20
-
14.25
275.45
2,395,340.49
2,395,615.93
25
-
-
-
2,058.65
-
48.24
2,106.89
1,251,806.58
1,253,913.47
26
-
-
-
298.32
-
58.47
356.79
1,845,887.82
1,846,244.61
27
-
-
-
10.47
-
3.25
13.73
58,866.16
58,879.89
28
-
-
-
0.77
-
1.23
2.00
7,033.98
7,035.98
29
-
-
-
81.78
-
24.00
105.77
-
-
30
-
-
-
0.09
-
0.07
0.16
-
-
Lampiran 25. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
31
-
-
-
0.86
-
0.15
1.02
67,486.17
67,487.18
32
-
-
-
4.80
-
55.72
60.52
-
-
33
-
-
-
384.50
-
2,259.94
2,644.44
5,501,177.99
5,503,822.43
34
-
-
-
-
-
194.81
194.81
428,862.52
429,057.32
35
-
-
-
1,427.76
-
15,859.28
17,287.04
42,472,221.64
42,489,508.68
36
-
-
-
520.16
-
1,159.78
1,679.94
4,727,626.77
4,729,306.71
37
-
-
-
1,153.49
-
2,066.54
3,220.03
11,164,549.13
11,167,769.16
38
-
-
-
520.93
-
1,089.82
1,610.75
5,177,046.86
5,178,657.61
39
-
-
-
491.76
-
855.81
1,347.58
3,024,897.67
3,026,245.25
40
-
-
-
8,307.14
-
15,328.92
23,636.06
60,484,288.50
60,507,924.56
41
-
-
-
6,326.48
-
17,009.06
23,335.54
41,530,374.18
41,553,709.72
42
-
-
-
13,198.44
-
17,682.45
30,880.89
87,752,320.08
87,783,200.97
43
-
-
-
3,764.14
-
2,103.06
5,867.19
7,800,338.75
7,806,205.94
44
-
-
-
416.50
-
529.82
946.32
1,815,868.35
1,816,814.67
45
-
-
-
36.96
-
6.27
43.23
17,242,809.18
17,242,852.41
46
-
57,040.09
-
10,917.01
-
16,985.68
27,902.70
66,006,801.31
66,034,704.00
47
-
-
-
3,899.61
-
4,889.64
8,789.25
18,755,696.35
18,764,485.60
48
-
-
-
2,514.70
-
3,498.35
6,013.05
10,318,253.70
10,324,266.75
49
-
-
-
1,831.48
-
7,190.99
9,022.47
25,531,931.32
25,540,953.78
50
-
-
-
12,592.59
-
20,023.42
32,616.00
75,930,438.51
75,963,054.51
Lampiran 26. Dampak Pengurangan Kegiatan Ilegal Logging, Ilegal Trading dan Kehilangan Nilai Tambah Sampai 75 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Transfer
Cloose loop
Open loop
Total
1
-
-
-
-
720.40
11.75
-
23,089.75
23,821.90
2
-
-
-
-
1,555.05
78.62
-
152,648.62
154,282.29
3
-
-
-
-
610.57
3,720.83
-
7,576,631.30
7,580,962.70
4
-
-
-
-
1,432.90
10,388.05
-
20,362,525.22
20,374,346.17
5
-
-
-
-
9,388.62
7,360.56
-
23,932,196.17
23,948,945.35
6
-
-
-
-
5,688.56
4,503.80
-
13,539,920.59
13,550,112.95
7
-
-
-
-
15,948.67
7,690.68
-
19,125,167.94
19,148,807.28
8
-
-
-
-
32,202.87
8,734.89
-
22,536,354.43
22,577,292.19
9
-
-
-
-
645.05
1,340.49
-
3,169,809.05
3,171,794.59
10
-
-
-
-
139.71
173.23
-
427,949.84
428,262.77
11
-
-
-
-
38,439.24
25,971.05
-
75,123,161.39
75,187,571.67
12
-
-
-
-
574.77
145.15
-
594,443.04
595,162.96
13
-
-
-
-
1,061.03
146.80
-
415,331.87
416,539.70
14
-
-
-
-
18,281.76
13,050.72
-
59,662,818.55
59,694,151.03
15
-
-
-
-
12,027.82
8,209.04
-
27,634,144.50
27,654,381.35
16
-
-
-
-
34,494.89
22,059.26
-
80,309,626.09
80,366,180.23
17
-
-
-
-
9,628.46
6,030.62
-
23,190,864.58
23,206,523.66
18
-
-
-
-
21,047.77
13,613.43
-
43,470,602.09
43,505,263.29
19
-
-
-
-
10,985.85
7,422.47
-
32,315,153.88
32,333,562.19
20
-
-
-
-
10,791.64
7,248.08
-
44,635,916.02
44,653,955.73
21
46,237.22
-
-
3,193.46
-
407.94
3,193.46
872,625.93
876,227.33
22
-
-
-
144.86
-
743.58
144.86
1,728,897.58
1,729,786.02
23
-
-
-
13.31
-
40.09
13.31
493,802.18
493,855.58
24
-
-
678.61
391.80
-
21.37
391.80
2,395,340.49
2,395,753.65
25
-
-
-
3,087.97
-
72.37
3,087.97
1,251,806.58
1,254,966.91
26
-
-
-
447.47
-
87.71
447.47
1,845,887.82
1,846,423.00
27
-
-
-
15.71
-
4.88
15.71
58,866.16
58,886.75
28
-
-
-
1.15
-
1.85
1.15
7,033.98
7,036.98
29
-
-
-
122.67
-
36.00
122.67
-
-
-
-
-
0.14
-
0.10
0.14
-
-
30
Lampiran 26. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
31
-
-
-
1.29
-
0.23
1.29
67,486.17
67,487.69
32
-
-
-
7.20
-
83.58
7.20
-
-
33
-
-
-
576.75
-
3,389.91
576.75
5,501,177.99
5,505,144.65
34
-
-
-
-
-
292.21
-
428,862.52
429,154.73
35
-
-
-
2,141.64
-
23,788.92
2,141.64
42,472,221.64
42,498,152.20
36
-
-
-
780.23
-
1,739.68
780.23
4,727,626.77
4,730,146.68
37
-
-
-
1,730.23
-
3,099.82
1,730.23
11,164,549.13
11,169,379.17
38
-
-
-
781.39
-
1,634.73
781.39
5,177,046.86
5,179,462.98
39
-
-
-
737.64
-
1,283.72
737.64
3,024,897.67
3,026,919.04
40
-
-
-
12,460.71
-
22,993.38
12,460.71
60,484,288.50
60,519,742.59
41
-
25,513.59
9,489.72
41,530,374.18
41,565,377.49
87,752,320.08
87,798,641.42
-
-
-
9,489.72
42
-
-
-
19,797.65
-
26,523.68
19,797.65
43
-
-
-
5,646.21
-
3,154.58
5,646.21
7,800,338.75
7,809,139.54
44
-
-
-
624.75
-
794.73
624.75
1,815,868.35
1,817,287.82
45
-
-
-
55.44
-
9.40
55.44
17,242,809.18
17,242,874.02
46
-
85,560.14
-
16,375.52
-
25,478.53
16,375.52
66,006,801.31
66,048,655.35
47
-
-
-
5,849.42
-
7,334.46
5,849.42
18,755,696.35
18,768,880. 23
48
-
-
-
3,772.05
-
5,247.53
3,772.05
10,318,253.70
10,327,273.28
49
-
-
-
2,747.22
-
10,786.48
2,747.22
25,531,931.32
25,545,465.01
50
-
-
-
18,888.88
-
30,035.12
18,888.88
75,930,438.51
75,979,362.51
Lampiran 27. Dampak Pengurangan Kegiatan Ilegal Logging, Ilegal Trading dan Kehilangan Nilai Tambah Sampai 100 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
1
-
-
-
-
960.53
15.67
976.20
23,089.75
24,065.95
2
-
-
-
-
2,073.39
104.83
2,178.22
152,648.62
154,826.85
3
-
-
-
-
814.10
4,961.11
5,775.20
7,576,631.30
7,582,406.50
4
-
-
-
-
1,910.53
13,850.74
15,761.27
20,362,525.22
20,378,286.49
5
-
-
-
-
12,518.16
9,814.08
22,332.24
23,932,196.17
23,954,528.41
6
-
-
-
-
7,584.74
6,005.07
13,589.81
13,539,920.59
13,553,510.40
7
-
-
-
-
21,264.89
10,254.24
31,519.13
19,125,167.94
19,156,687.07
8
-
-
-
-
42,937.16
11,646.52
54,583.67
22,536,354.43
22,590,938.11
-
3,172,456.43
9
-
-
-
860.07
1,787.32
2,647.39
3,169,809.05
10
-
-
-
-
186.28
230.97
417.25
427,949.84
428,367.09
11
-
-
-
-
51,252.31
34,628.06
85,880.38
75,123,161.39
75,209,041.77
12
-
-
-
-
766.36
193.53
959.89
594,443.04
595,402.93
13
-
-
-
-
1,414.70
195.73
1,610.44
415,331.87
416,942.30
14
-
-
-
-
24,375.68
17,400.96
41,776.64
59,662,818.55
59,704,595.19
15
-
-
-
-
16,037.09
10,945.38
26,982.48
27,634,144.50
27,661,126.97
16
-
-
-
-
45,993.18
29,412.34
75,405.52
80,309,626.09
80,385,031.62
17
-
-
-
-
12,837.94
8,040.83
20,878.77
23,190,864.58
23,211,743.35
18
-
-
-
-
28,063.69
18,151.23
46,214.93
43,470,602.09
43,516,817.02
19
-
-
-
-
14,647.80
9,896.62
24,544.42
32,315,153.88
32,339,698.30
20
-
-
-
-
14,388.85
9,664.11
24,052.96
44,635,916.02
44,659,968.97
21
61,649.63
-
-
4,257.95
-
543.92
4,801.87
872,625.93
877,427.80
22
-
-
-
193.15
-
991.44
1,184.59
1,728,897.58
1,730,082.17
23
-
-
-
17.74
-
53.46
71.20
493,802.18
493,873.38
24
-
-
904.81
522.39
-
28.50
550.89
2,395,340.49
2,395,891.38
25
-
-
-
4,117.29
-
96.49
4,213.78
1,251,806.58
1,256,020.36
26
-
-
-
596.63
-
116.95
713.58
1,845,887.82
1,846,601.40
27
-
-
-
20.95
-
6.51
27.45
58,866.16
58,893.61
28
-
-
-
1.54
-
2.47
4.01
7,033.98
7,037.99
29
-
-
-
163.55
-
47.99
211.55
-
-
-
-
0.19
-
0.13
0.32
-
-
30
-
Lampiran 27. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Ilegal logging
Illegal trading
Dampak Total
Kehilangan N.T.
Open loop
Transfer
Cloose loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Total Output Total Baru perubahan
31
-
-
-
1.72
-
0.31
2.03
67,486.17
67,488.20
32
-
-
-
9.61
-
111.44
121.04
-
-
33
-
-
-
768.99
-
4,519.88
5,288.88
5,501,177.99
5,506,466.87
34
-
-
-
-
-
389.61
389.61
428,862.52
429,252.13
35
-
-
-
2,855.52
-
31,718.56
34,574.07
42,472,221.64
42,506,795.72
36
-
-
-
1,040.31
-
2,319.57
3,359.88
4,727,626.77
4,730,986.65
37
-
-
-
2,306.97
-
4,133.09
6,440.06
11,164,549.13
11,170,989.19
38
-
-
-
1,041.85
-
2,179.65
3,221.50
5,177,046.86
5,180,268.36
39
-
-
-
983.53
-
1,711.63
2,695.15
3,024,897.67
3,027,592.83
40
-
-
-
16,614.28
-
30,657.83
47,272.12
60,484,288.50
60,531,560.62
41
-
-
-
12,652.96
-
34,018.12
46,671.08
41,530,374.18
41,577,045.26
42
-
-
-
26,396.87
-
35,364.91
61,761.78
87,752,320.08
87,814,081.86
43
-
-
-
7,528.28
-
4,206.11
11,734.39
7,800,338.75
7,812,073.14
44
-
-
-
833.00
-
1,059.63
1,892.63
1,815,868.35
1,817,760.98
45
-
-
-
73.92
-
12.53
86.45
17,242,809.18
17,242,895.63
46
-
114,080.18
-
21,834.02
-
33,971.37
55,805.39
66,006,801.31
66,062,606.70
47
-
-
-
7,799.22
-
9,779.28
17,578.51
18,755,696.35
18,773,274.85
48
-
-
-
5,029.40
-
6,996.71
12,026.11
10,318,253.70
10,330,279.80
49
-
-
-
3,662.96
-
14,381.97
18,044.93
25,531,931.32
25,549,976.25
50
-
-
-
25,185.17
-
40,046.83
65,232.00
75,930,438.51
75,995,670.51
Lampiran 28. Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 5 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Deforestasi
Dampak Total
Erosi
Transfer
Open loop
Close loop
Perubahan Dampak Pengurangan
Total
Output awal
Output Setelah perubahan
1
-
-
-
1,138.24
42.56
1,180.80
25,262.46
24,081.66
2
-
-
-
4,119.16
282.45
4,401.61
172,091.60
167,689.98
3
-
-
-
3,561.13
13,567.46
17,128.59
7,581,806.70
7,564,678.11
4
-
-
-
7,527.97
37,880.08
45,408.04
20,376,771.99
20,331,363.95
5
-
-
-
93,348.19
26,399.32
119,747.51
23,965,899.38
23,846,151.87
6
-
-
-
80,865.51
16,244.24
97,109.75
13,559,716.53
13,462,606.78
7
-
-
-
28,899.41
27,418.66
56,318.07
19,140,648.97
19,084,330.91
8
-
-
-
37,836.12
31,662.18
69,498.30
22,553,004.54
22,483,506.24
9
-
-
-
3,272.70
4,675.82
7,948.52
3,172,664.84
3,164,716.32
10
-
-
-
581.08
606.75
1,187.83
428,451.87
427,264. 04
11
-
-
-
118,116.96
94,503.34
212,620.30
75,240,723.59
75,028,103.29
12
-
-
1.31
1,459.17
526.66
1,987.14
596,995.58
595,008.43
13
-
-
0.19
2,875.68
532.22
3,408.09
426,647.40
423,239.32
14
-
-
232.56
72,639.64
47,343.82
120,216.01
59,702,154.97
59,581,938.96
15
-
-
44.25
41,646.47
29,867.57
71,558.28
27,657,861.14
27,586,302.86
16
-
-
115.30
126,811.20
80,107.79
207,034.30
80,380,231.23
80,173,196.93
17
-
-
69.79
34,415.22
21,911.81
56,396.81
23,210,686.25
23,154,289.44
18
-
-
15.43
72,285.51
49,489.71
121,790.65
43,514,809.00
43,393,018.35
19
-
-
32,348,752.89
32,288,085.91
-
33,597.67
27,069.31
60,666.98
20
-
2,044.73
135.50
33,824.89
26,418.95
60,379.34
44,667,406.51
44,607,027.17
21
429.63
66,775.64
5,928.72
92.06
1,487.25
7,508.03
875,716.70
868,208.68
22
-
11,728.45
380.54
4.11
2,712.80
3,097.45
1,729,991.78
1,726,894.33
23
-
558.51
270.33
46.40
145.42
462.16
495,190.20
494,728.04
24
-
1,734.72
998.65
24.59
77.71
1,100.95
2,395,514.09
2,394,413.13
25
-
1,037.81
5,330.47
20.50
263.40
5,614.37
1,252,168.82
1,246,554.45
26
-
1,530.09
1,154.32
23.93
318.46
1,496.71
1,846,181.42
1,844,684.71
27
-
44.76
41.98
0.77
17.72
60.47
58,898.06
58,837.59
28
-
60.67
5.26
0.02
6.75
12.03
7,037.31
7,025.28
29
-
11,131.90
211.17
0.76
102.99
30
-
0.74
0.40
0.00
0.36
314.92 0.77
61,649.63 904.81
61,334.71 904.04
Lampiran 28. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Deforestasi
Erosi
Trans fer
Dampak Total Open Close loop Loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
31
-
53.72
3.00
0.02
0.84
3.87
67,489.34
67,485.47
32
-
82.00
58.65
1.08
289.09
348.82
114,080.18
113,731.36
33
-
-
2,969.69
9.14
12,347.83
15,326.66
5,505,895.58
5,490,568.92
34
-
-
-
1,060.40
1,060.40
429,243.33
428,182.93
35
-
6,717.36
4,484.03
31.33
86,750.72
91,266.08
42,504,093.17
42,412,827.09
36
-
5,955.92
1,748.81
12.00
6,339.31
8,100.12
4,730,451.46
4,722,351.33
37
94.59
4,217.49
4,085.01
31.43
11,297.86
15,414.29
11,169,643.62
11,154,229.32
38
-
839.95
1,707.15
15.03
5,961.81
7,683.99
5,179,626.49
5,171,942.50
39
-
306,359.53
2,835.50
28.87
4,679.95
7,544.32
3,027,685.25
3,020,140.93
40
-
543.03
22,783.61
153.82
83,768.88
106,706.31
60,518,471.62
60,411,765.31
41
-
-
34,888.64
350.13
93,054.15
128,292.92
41,573,293.38
41,445,000.46
42
-
-
67,282.00
527.63
95,997.57
163,807.19
87,801,643.65
87,637,836.46
43
-
-
50,594.35
949.74
11,453.51
62,997.60
7,831,139.48
7,768,141.87
44
-
2,181.67
15,734.37
391.42
2,882.24
19,008.04
1,828,231.93
1,809,223.90
45
-
23,814.47
129.54
1.01
34.21
164.76
17,242,937.62
17,242,772.86
46
-
-
104,777.05
478.85
92,668.15
197,924.05
66,052,183.69
65,854,259.64
47
-
-
30,234.55
176.40
26,563.63
56,974.58
18,769,964.26
18,712,989.68
48
-
-
10,829.83
89.26
19,044.28
29,963.37
10,327,553.80
10,297,590.43
49
-
-
9,811.03
98.31
36,887.93
46,797.27
25,552,228.41
25,505,431.14
50
-
-
121,232.23
501.07
109,245.09
230,978.40
75,982,106.58
75,751,128.18
-
Lampiran 29. Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 10 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan Deforestasi
Erosi
Transfer
Dampak Total Open loop Close loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
1
-
-
-
2,276.49
85.12
2,361.60
25,262.46
22,900.86
2
-
-
-
8,238.33
564.90
8,803.23
172,091.60
163,288.37
3
-
-
-
7,122.26
27,134.93
34,257.19
7,581,806.70
7,547,549.52
4
-
-
-
15,055.93
75,760.16
90,816.09
20,376,771.99
20,285,955.90
5
-
-
-
186,696.38
52,798.65
239,495.03
23,965,899.38
23,726,404.35
6
-
-
-
161,731.03
32,488.48
194,219.51
13,559,716.53
13,365,497.03
7
-
-
-
57,798.81
54,837.32
112,636.13
19,140,648.97
19,028,012.84
8
-
-
-
75,672.25
63,324.36
138,996.61
22,553,004.54
22,414,007.93
9
-
-
-
6,545.41
9,351.64
15,897.05
3,172,664.84
3,156,767.80
10
-
-
-
1,162.16
1,213.49
2,375.65
428,451.87
426,076.22
11
-
-
-
236,233.91
189,006.69
425,240.60
75,240,723.59
74,815,482.99
12
-
-
2.63
2,918.34
1,053.32
3,974.29
596,995.58
593,021.29
13
-
-
0.38
5,751.36
1,064.43
6,816.17
426,647.40
419,831.23
14
-
-
465.12
145,279.27
94,687.64
240,432.03
59,702,154.97
59,461,722.94
15
-
-
88.50
83,292.93
59,735.13
143,116.56
27,657,861.14
27,514,744.58
16
-
-
230.61
253,622.40
160,215.58
414,068.59
80,380,231.23
79,966,162.64
17
-
-
139.57
68,830.43
43,823.61
112,793.62
23,210,686.25
23,097,892.63
18
-
-
30.86
144,571.02
98,979.43
243,581.30
43,514,809.00
43,271,227.70
19
-
-
-
67,195.34
54,138.63
121,333.96
32,348,752.89
32,227,418.92
20
-
4,089.46
271.00
67,649.77
52,837.90
120,758.67
44,667,406.51
44,546,647.84
21
859.27
133,551.27
11,857.44
184.13
2,974.49
15,016.05
875,716.70
860,700.65
22
-
23,456.89
761.08
8.22
5,425.60
6,194.89
1,729,991.78
1,723,796.88
23
-
1,117.02
540.67
92.81
290.84
924.31
495,190.20
494,265.89
24
-
3,469.43
1,997.30
49.18
155.42
2,201.90
2,395,514.09
2,393,312.18
25
-
2,075.62
10,660.93
41.00
526.81
11,228.74
1,252,168.82
1,240,940.08
26
-
3,060.19
2,308.65
47.85
636.92
2,993.42
1,846,181.42
1,843,188.00
27
-
89.52
83.96
1.54
35.43
120.94
58,898.06
58,777.12
28
-
121.34
10.52
0.04
13.50
24.06
7,037.31
7,013.25
29
-
22,263.80
422.35
1.53
205.97
629.85
61,649.63
61,019.79
30
-
1.47
0.80
0.01
0.73
1.54
904.81
903.27
Lampiran 29. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Deforestasi
Erosi
Dampak Total Close Open Loop loop
Transfer
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
Total
31
-
107.45
6.01
0.04
1.69
7.73
67,489.34
67,481.60
32
-
164.00
117.31
2.15
578.18
697.64
114,080.18
113,382.54
33
-
-
5,939.38
18.28
24,695.66
30,653.32
5,505,895.58
5,475,242.26
34
-
-
-
-
2,120.80
2,120.80
429,243.33
427,122.53
35
-
13,434.71
8,968.05
62.67
173,501.43
182,532.15
42,504,093.17
42,321,561.01
36
-
11,911.84
3,497.63
24.00
12,678.63
16,200.25
4,730,451.46
4,714,251.21
37
189.18
8,434.97
8,170.02
62.86
22,595.71
30,828.58
11,169,643.62
11,138,815.03
38
-
1,679.90
3,414.30
30.06
11,923.62
15,367.97
5,179,626.49
5,164,258.52
39
-
612,719.07
5,671.01
57.73
9,359.90
15,088.63
3,027,685.25
3,012,596.61
40
-
1,086.05
45,567.23
307.63
167,537.76
213,412.62
60,518,471.62
60,305,059.00
41
-
-
69,777.28
700.26
186,108.30
256,585.85
41,573,293.38
41,316,707.53
42
-
-
134,564.00
1,055.26
191,995.13
327,614.39
87,801,643.65
87,474,029.26
43
-
-
101,188.69
1,899.49
22,907.03
125,995.21
7,831,139.48
7,705,144.27
44
-
4,363.34
31,468.75
782.84
5,764.49
38,016.07
1,828,231.93
1,790,215.86
45
-
47,628.94
259.08
2.03
68.41
329.52
17,242,937.62
17,242,608.10
46
-
-
209,554.10
957.71
185,336.30
395,848.10
66,052,183.69
65,656,335.58
47
-
-
60,469.11
352.79
53,127.26
113,949.16
18,769,964.26
18,656,015.10
48
-
-
21,659.66
178.52
38,088.57
59,926.75
10,327,553.80
10,267,627.05
49
-
-
19,622.07
196.62
73,775.86
93,594.55
25,552,228.41
25,458,633.86
50
-
-
242,464.46
1,002.14
218,490.19
461,956.79
75,982,106.58
75,520,149.79
Lampiran 30. Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 15 % (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Dampak Total Close loop
Deforestasi
Erosi
Transfer
Open loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
1
-
-
-
3,414.73
127.67
3,542.40
25,262.46
21,720.06
2
-
-
-
12,357.49
847.35
13,204.84
172,091.60
158,886.76
3
-
-
-
10,683.39
40,702.39
51,385.78
7,581,806.70
7,530,420.92
4
-
-
-
22,583.90
113,640.23
136,224.13
20,376,771.99
20,240,547.86
5
-
-
-
280,044.57
79,197.97
359,242.54
23,965,899.38
23,606,656.84
6
-
-
-
242,596.54
48,732.72
291,329.26
13,559,716.53
13,268,387.27
7
-
-
-
86,698.22
82,255.98
168,954.20
19,140,648.97
18,971,694.78
8
-
-
-
113,508.37
94,986.54
208,494.91
22,553,004.54
22,344,509.63
9
-
-
-
9,818.11
14,027.46
23,845.57
3,172,664.84
3,148,819.27
10
-
-
-
1,743.23
1,820.24
3,563.48
428,451.87
424,888.39
11
-
-
-
354,350.87
283,510.03
637,860.90
75,240,723.59
74,602,862.69
12
-
-
3.94
4,377.52
1,579.98
5,961.43
596,995.58
591,034.14
13
-
-
0.57
8,627.04
1,596.65
10,224.26
426,647.40
416,423.15
14
-
-
697.67
217,918.91
142,031.46
360,648.04
59,702,154.97
59,341,506.93
15
-
-
132.74
124,939.40
89,602.70
214,674.84
27,657,861.14
27,443,186.29
16
-
-
345.91
380,433.61
240,323.37
621,102.89
80,380,231.23
79,759,128.34
17
-
-
209.36
103,245.65
65,735.42
169,190.43
23,210,686.25
23,041,495.82
18
-
-
46.29
216,856.52
148,469.14
365,371.95
43,514,809.00
43,149,437.05
19
-
-
100,793.01
81,207.94
182,000.95
32,348,752.89
32,166,751.94
101,474.66
79,256.85
181,138.01
44,667,406.51
44,486,268.50
20 21
1,288.90
6,134.19
406.51
200,326.91
17,786.15
276.19
4,461.74
22,524.08
875,716.70
853,192.62
1,141.61
12.32
8,138.40
9,292.34
1,729,991.78
1,720,699.43
22
-
35,185.34
23
-
1,675.53
811.00
139.21
436.26
1,386.47
495,190.20
493,803.73
24
-
5,204.15
2,995.95
73.77
233.13
3,302.86
2,395,514.09
2,392,211.23
25
-
3,113.43
15,991.40
61.50
790.21
16,843.11
1,252,168.82
1,235,325.71
26
-
4,590.28
3,462.97
71.78
955.38
4,490.13
1,846,181.42
1,841,691.29
27
-
134.27
125.95
2.32
53.15
181.41
58,898.06
58,716.65
28
-
182.01
15.78
0.06
20.24
36.08
7,037.31
7,001.23
Lampiran 30. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Deforestasi
Dampak Total
Erosi
Transfer
Open loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
29
-
33,395.70
633.52
2.29
308.96
944.77
61,649.63
60,704.86
30
-
2.21
1.20
0.01
1.09
2.31
904.81
902.50
31
-
161.17
9.01
0.06
2.53
11.60
67,489.34
67,477.74
32
-
246.00
175.96
3.23
867.27
1,046.46
114,080.18
113,033.72
33
-
-
8,909.07
27.42
37,043.48
45,979.97
5,505,895.58
5,459,915.61
34
-
-
3,181.20
3,181.20
429,243.33
426,062.13
35
-
20,152.07
13,452.08
94.00
260,252.15
273,798.23
42,504,093.17
42,230,294.94
36
-
17,867.76
5,246.44
36.00
19,017.94
24,300.37
4,730,451.46
4,706,151.08
37
283.77
12,652.46
12,255.02
94.28
33,893.57
46,242.87
11,169,643.62
11,123,400.74
38
-
2,519.86
5,121.45
45.08
17,885.43
23,051.96
5,179,626.49
5,156,574.53
39
-
919,078.60
8,506.51
86.60
14,039.84
22,632.95
3,027,685.25
3,005,052.29
40
-
1,629.08
68,350.84
461.45
251,306.64
320,118.93
60,518,471.62
60,198,352.69
41
-
-
104,665.92
1,050.40
279,162.45
384,878.77
41,573,293.38
41,188,414.61
42
-
-
201,846.00
1,582.89
287,992.70
491,421.58
87,801,643.65
87,310,222.07
43
-
-
151,783.04
2,849.23
34,360.54
188,992.81
7,831,139.48
7,642,146.67
44
-
6,545.00
47,203.12
1,174.26
8,646.73
57,024.11
1,828,231.93
1,771,207.83
45
-
71,443.41
3.04
102.62
17,242,937.62
17,242,443.34
46
-
-
314,331.15
1,436.56
278,004.44
593,772.16
66,052,183.69
65,458,411.53
47
-
-
90,703.66
529.19
79,690.89
170,923.73
18,769,964.26
18,599,040.53
48
-
-
32,489.49
267.78
57,132.85
89,890.12
10,327,553.80
10,237,663.68
49
-
-
29,433.10
294.93
110,663.80
140,391.82
25,552,228.41
25,411,836.59
50
-
-
363,696.70
1,503.21
327,735.28
692,935.19
75,982,106.58
75,289,171.39
-
388.62
-
494.28
Lampiran 31. Dampak Pengendalian Deforestasi dan Erosi sampai 20 % Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Deforestasi
Dampak Total
Erosi
Transfer
Open loop
Close loop Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
1
-
-
-
4,552.97
170.23
4,723.20
25,262.46
20,539.26
2
-
-
-
16,476.65
1,129.80
17,606.46
172,091.60
154,485.14
3
-
-
-
14,244.52
54,269.86
68,514.37
7,581,806.70
7,513,292.33
4
-
-
-
30,111.87
151,520.31
181,632.18
20,376,771.99
20,195,139.82
5
-
-
-
373,392.75
105,597.30
478,990.05
23,965,899.38
23,486,909.32
6
-
-
-
323,462.05
64,976.96
388,439.01
13,559,716.53
13,171,277.52
7
-
-
-
115,597.62
109,674.64
225,272.26
19,140,648.97
18,915,376.71
8
-
-
-
151,344.50
126,648.72
277,993.22
22,553,004.54
22,275,011.33
9
-
-
-
13,090.82
18,703.27
31,794.09
3,172,664.84
3,140,870.75
10
-
-
-
2,324.31
2,426.99
4,751.30
428,451.87
423,700.57
11
-
-
-
472,467.83
378,013.37
850,481.20
75,240,723.59
74,390,242.39
12
-
-
5.26
5,836.69
2,106.64
7,948.58
596,995.58
589,047.00
13
-
-
0.76
11,502.71
2,128.87
13,632.34
426,647.40
413,015.06
14
-
-
930.23
290,558.55
189,375.28
480,864.06
59,702,154.97
59,221,290.91
15
-
-
176.99
166,585.87
119,470.26
286,233.12
27,657,861.14
27,371,628.01
16
-
-
461.21
507,244.81
320,431.16
828,137.18
80,380,231.23
79,552,094.04
17
-
-
279.15
137,660.87
87,647.23
225,587.24
23,210,686.25
22,985,099.01
18
-
-
61.72
289,142.03
197,958.85
487 ,162.60
43,514,809.00
43,027,646.40
19
-
-
-
134,390.67
108,277.25
242,667.93
32,348,752.89
32,106,084.96
8,178.92
542.01
135,299.54
105,675.80
241,517.35
44,667,406.51
44,425,889.16
267,102.54
23,714.87
368.25
5,948.98
30,032.11
875,716.70
845,684.60
20 21
1,718.53
22
-
46,913.78
1,522. 15
16.43
10,851.21
12,389.79
1,729,991.78
1,717,601.99
23
-
2,234.05
1,081.34
185.61
581.67
1,848.63
495,190.20
493,341.57
24
-
6,938.86
3,994.60
98.36
310.84
4,403.81
2,395,514.09
2,391,110.28
25
-
4,151.24
21,321.86
82.00
1,053.62
22,457.48
1,252,168.82
1,229,711.34
26
-
6,120.37
4,617.29
95.71
1,273.84
5,986.84
1,846,181.42
1,840,194.58
27
-
179.03
167.93
3.09
70.87
241.88
58,898.06
58,656.18
28
-
242.68
21.04
0.08
26.99
48.11
7,037.31
6,989.20
29
-
44,527.60
844.69
3.06
411.94
1,259.69
61,649.63
60,389.94
30
-
2.94
1.61
0.01
1.46
3.08
904.81
901.73
Lampiran 31. lanjutan (Juta Rupiah) Injeksi pengurangan
Deforestasi
Dampak Total
Erosi
Transfer
Open loop
Total
Perubahan Dampak Pengurangan Output Setelah Output awal perubahan
31
-
214.90
12.02
0.08
3.37
15.47
67,489.34
67,473.87
32
-
328.00
234.61
4.31
1,156.37
1,395.29
114,080.18
112,684.90
33
-
-
11,878.76
36.56
49,391.31
61,306.63
5,505,895.58
5,444,588.95
34
-
-
-
-
4,241.60
4,241.60
429,2 43.33
425,001.73
35
-
26,869.42
17,936.10
125.33
347,002.87
365,064.30
42,504,093.17
42,139,028.86
36
-
23,823.68
6,995.26
47.99
25,357.25
32,400.50
4,730,451.46
4,698,050.96
37
378.37
16,869.94
16,340.03
125.71
45,191.42
61,657.16
11,169,643.62
11,107,986.45
38
-
3,359.81
6,828.60
60.11
23,847.23
30,735.95
5,179,626.49
5,148,890.54
39
-
1,225,438.14
11,342.02
115.46
18,719.79
30,177.27
3,027,685.25
2,997,507.98
40
-
2,172.10
91, 134.46
615.26
335,075.52
426,825.24
60,518,471.62
60,091,646.38
41
-
-
139,554.56
1,400.53
372,216.60
513,171.69
41,573,293.38
41,060,121.69
42
-
-
269,128.00
2,110.52
383,990.27
655,228.78
87,801,643.65
87,146,414.87
43
-
-
202,377.38
3,798.98
45,814.05
251,990.41
7,831,139.48
7,579,149.07
44
-
8,726.67
62,937.49
1,565.67
11,528.97
76,032.14
1,828,231.93
1,752,199.79
45
-
95,257.88
518.16
4.06
136.83
659.04
17,242,937.62
17,242,278.58
46
-
-
419,108.21
1,915.41
370,672.59
791,696.21
66,052,183.69
65,260,487.48
47
-
-
120,938.22
705.58
106,254.52
227,898.31
18,769,964.26
18,542,065.95
48
-
-
43,319.32
357.03
76,177.14
119,853.50
10,327,553.80
10,207,700.31
49
-
-
39,244.13
393.24
147,551.73
187,189.10
25,552,228.41
25,365,039.31
50
-
-
484,928.93
2,004.28
436,980.37
923,913.58
75,982,106.58
75,058,193.00
Lampiran 32. Alur Kebijakan Penanggulangan Illegal Trading
Lampiran 33. Alur Kebijakan Penanggulangan Illegal Logging
Lampiran 34. Alur Kebijakan Manfaat Udara Bersih
0.1386
0.2421 0.10162
Lampiran 35. Alur Kebijakan Manfaat Air
Lampiran 36 Alur Kebijakan Penanggulangan Erosi
Lampiran 37 ALur Kebijakan Manfaat Kayu
Lampiran 38.Alur Kebijakan Manfaat Hasil Non Kayu