PENYUSUNAN BASELINE DEFORESTASI BERBASIS SPASIAL PADA BEBERAPA KABUPATEN DI PROVINSI JAMBI
SRI CHAIRI MULYANI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyusunan Baseline Deforestasi Berbasis Spasial pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Sri Chairi Mulyani NIM E14090013
ABSTRAK SRI CHAIRI MULYANI. Penyusunan Baseline Deforestasi Berbasis Spasial pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA. Penelitian ini fokus dalam mengidentifikasi permasalahan deforestasi yang terjadi di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi. Untuk menganalisis dan mendeteksi adanya deforestasi, maka digunakan teknik perubahan tematik dan citra multi-waktu. Penelitian ini menggambarkan tentang perkembangan laju deforestasi berbasis tipologi. Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu membangun model baseline deforestasi, tipologi deforestasi, serta mengidentifikasi faktor pendorong penyebab terjadinya deforestasi. Tipologi kecamatan dibangun dengan metode pengelompokkan berdasarkan jarak kedekatan dengan rumus Standardized Euclidean Distance. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pendorong yang paling berpengaruh terhadap penyebab deforestasi adalah pertumbuhan jumlah penduduk dan penggunaan lahan untuk perkebunan seperti kebun sawit dan kebun karet. Model baseline deforestasi berbasis spasial di beberapa kecamatan dapat dibangun menggunakan persamaan LHDF = (1.5119 x 10283) Th-84.01391243 untuk memprediksi luas hutan pada tahun tertentu dengan mempertimbangkan deforestasi dan LHTD = (5.2406 x 10277) Th-82.33622829 untuk memprediksi luas hutan pada tahun tertentu tanpa adanya deforestasi, dan laju deforestasi pada periode 1990-2000 dan 2000-2011 adalah sekitar 29 926.14 ha/tahun dan 23 081.22 ha/tahun secara berturut-turut. Kata kunci : tipologi, klastering, baseline, deforestasi, gas rumah kaca
ABSTRACT SRI CHAIRI MULYANI. Developing Spatial-based Deforestation Baseline in Several Regencies in Jambi Province. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA. This research was focused on identifying the problem of deforestation in several regencies of Jambi Province. Deforestation was analyzed and detected by using thematic change technique and multitemporal image analysis. The main objective of this research is to build a baseline model of deforestation, deforestation typology, as well as to identify the driving force of deforestation. The district typology was built by clustering method based on the nearest distance with Standardized Euclidean Distance formula. The results of this study indicate that the most significant driving forces of deforestation are population growth and plantation land such as oil palm and rubber plantation. The baseline model of deforestation for the district considered are LHDF = (1.5119 x 10283) Th-84.01391243 for estimating forest area at a certain year with deforestation (deforestation is considered) and LHTD = (5.2406 x 10277) Th-82.33622829 for estimating forest area at a certain year without deforestation (deforestation is considered absent or zero), and the rate of deforestation during the period of 1990-2000 and 2000-2011 are 29 926.14 ha per year and 23 081.22 ha per year, repectively. Keywords : typology, clustering, baseline, deforestation, greenhouse gas
PENYUSUNAN BASELINE DEFORESTASI BERBASIS SPASIAL PADA BEBERAPA KABUPATEN DI PROVINSI JAMBI
SRI CHAIRI MULYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Penyusunan Baseline Deforestasi Berbasis Spasial pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi Nama : Sri Chairi Mulyani NIM : E14090013
Disetujui oleh
Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F trop Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dengan judul Penyusunan Baseline Deforestasi Berbasis Spasial pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi berhasil diselesaikan. Penelitian dan penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka melengkapi salah satu syarat kelulusan sebagai Sarjana Kehutanan IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat, dan motivasi dalam menyelesaikan proses penyususan skripsi ini. Penghargaan terbesar penulis sampaikan kepada Ayah (Jafri) dan Ibu (Dewi Fitriani), beserta seluruh keluarga besar atas segala doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Dr Ir I Nyoman Jaya Wistara, MS dan Bapak Dr Ir Budi Kuncahyo, MS atas ilmu dan masukan yang telah diberikan. Selanjutnya terima kasih penulis sampaiakan kepada Bapak Uus Saepul atas bimbingannya, Bang Putu Ananta atas masukan dan sarannya, Kak Reflyani atas arahan dan masukannya, Putu Ika, Artika Afifatus, Finitya Arlini, Bunga Mentari, Sofian Hadi, Sonya Dyah, Criston, Geanisa, Hastuti, dan rekan-rekan seperjuangan Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS, serta DMNH 46 atas dukungan, semangat, dan kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Sri Chairi Mulyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
3
Lokasi dan Waktu Penelitian
3
Data
4
Alat, Hardware, dan Software
4
Tahapan Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Pembangunan Tipologi Kecamatan
13
Sebaran Spasial Deforestasi
21
Baseline Deforestasi dan Baseline Gas Rumah Kaca (GRK)
22
Faktor Pendorong Deforestasi (Driving Force)
27
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
30
DAFTAR TABEL Karakteristik band/saluran pada Landsat TM Kategori kelas tutupan lahan Tipologi peubah deforestasi Klastering Kecamatan Tipologi Kecamatan Laju deforestasi pada setiap interval waktu Akurasi tipologi dengan 1 peubah (Tipo_1v) Akurasi tipologi dengan 2 peubah (Tipo_2v) Akurasi tipologi dengan 3 peubah (Tipo_3v) Akurasi tipologi dengan 3a peubah (Tipo_3av) Akurasi tipologi dengan 4 peubah (Tipo_4v) Akurasi tipologi dengan 5 peubah (Tipo_5v) Akurasi tipologi dengan 8 peubah (Tipo_8v) Akurasi merge dengan 1 peubah (Tipo_1v) Akurasi merge dengan 2 peubah (Tipo_2v) Akurasi merge dengan 3 peubah (Tipo_3v) Akurasi merge dengan 3a peubah (Tipo_3av) Akurasi merge dengan 4 peubah (Tipo_4v) Akurasi merge dengan 5 peubah (Tipo_5v) Akurasi merge dengan 8 peubah (Tipo_8v) Luas hutan dan laju deforestasi di beberapa kecamatan berdasarkan periode waktu 22. Prediksi luas hutan tahun 2015 sampai dengan tahun 2060
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
5 7 11 13 15 16 16 16 16 17 17 17 17 18 18 18 18 18 19 19 23 24
DAFTAR GAMBAR 1. Lokasi Penelitian 2. Peta batas kecamatan wilayah studi 3. Dendogram dengan peubah (a) x1, (b) x1, x6, (c) x1, x4, x5, (d) x1, x4,x6 ,(e) x1, x2, x4, x6, (f) x1, x2, x4 x5, x6, dan (g) x1, x2, x3, x4, x5, x6,x7, x8 4. Tipologi kecamatan terbaik dengan 2 peubah (a) sebelum digabung (merge), dan (b) setelah digabung (merge) 5. Peta sebaran deforestasi di wilayah studi (a) periode 1990-2000, (b) periode 2000-2011 6. Kelas deforestasi berbasis tipologi periode 1990-2000 7. Kelas deforestasi berbasis tipologi periode 2000-2011 8. Kurva penurunan luas hutan, luas deforestasi, luas tanpa deforestasi, dan laju deforestasi 9. a) Kurva Baseline Deforestasi, (b) Kurva Baseline Emisi GRK (tC/Ha)
4 10 14 20 21 22 22 23 25
DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta deforestasi periode 1990-2000 2. Peta deforestasi periode 2000-2003 3. Peta deforestasi periode 2003-2006 4. Peta deforestasi periode 2006-2009 5. Peta deforestasi periode 2009-2011 6. Peta deforestasi periode 2000-2011 7. Kelas deforestasi kecamatan menurut periode waktu 8. Luas hutan pada tahun pengamatan di wilayah studi (ha) 9. Luas deforestasi setiap periode waktu (ha) 10. Persentase deforestasi setiap periode waktu (%) 11. Laju deforestasi setiap periode waktu (ha/tahun)
30 30 31 31 32 32 33 33 34 34 35
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan hutan Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan akibat dari masalah deforestasi yang semakin luas seiring dengan perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk. Di Indonesia, laju deforestasi berkisar antara 1.6 juta hingga 2.5 juta ha per tahun dimana di dalam kawasan hutan terdapat 54.6 juta ha lahan rusak dan di luar kawasan hutan 41.7 juta ha lahan rusak (BAPLAN 2002). Tahun 2009, luas tutupan hutan Indonesia yaitu 88.17 juta ha atau sekitar 46.33% dari luas daratan Indonesia tercatat sekitar 15 158 922 ha luas Indonesia yang terdeforestasi pada periode 2000-2009 (FWI 2011). Permasalahan deforestasi bukan menjadi sebuah hal yang mustahil lagi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan lahan untuk bercocok tanam, tempat tinggal, dan perdagangan, serta industri yang semakin meningkat. Kerusakan hutan yang semakin meluas memicu laju deforestasi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Menurut Fraser (1996) yang diacu dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1996) mengemukakan bahwa pertumbuhan kepadatan penduduk merupakan penjelasan fundamental akan masalah deforestasi di Indonesia. Pertambahan jumlah penduduk akan mensimulasikan kebutuhan penduduk untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Tingkat penggunaan sumberdaya alam yang berlebihan akan mengakibatkan kehancuran ekologi yang mengakibatkan deforestasi. Beberapa studi kasus di negara-negara tropis menunjukkan bahwa populasi mempengaruhi setengah atau lebih dari penyebab deforestasi di seluruh dunia. Namun, Carr et al. (2005) berpendapat bahwa driver atau penyebab utama deforestasi bukan semata-mata karena faktor demografi akan tetapi berjalan seiring dengan proses-proses politik, ekonomi, dan ekologis pada kondisi tertentu. Nawir et al. (2008) mengemukakan berbagai macam faktor pendorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya deforestasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung deforestasi diantaranya adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan. Penyebab tidak langsung antara lain yaitu kegagalan pasar, kegagalan kebijakan, serta persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya secara umum. Hal lain yang menjadi masalah kompleks hingga terjadinya deforestasi adalah kebutuhan masyarakat akan lahan sehingga terjadi konversi hutan secara besar-besaran untuk pengembangan lahan pertanian dan perkebunan seperti kelapa sawit dan kebun karet. Penelitian Sasaki et al. (2011) menemukan sekitar 10 peubah yang menjadi pemicu terjadinya deforestasi yaitu: (a) penjualan lahan, (b) pembangunan pemukiman, (c) pembukaan ladang/kebun, (d) pencarian kayu bakar, (e) kebakaran hutan alami, (f) pembakaran untuk persiapan lahan, (g) pembalakan liar untuk kepentingan komersil, (h) pembalakan liar untuk kebutuhan lokal (subsisten), (i) pembangunan perkebunan, dan (j) bencana alam. Pemicu deforestasi tersebut dapat dikelompokkan kedalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Geist dan Lambin (2002) mengemukakan hubungan kedekatan (proximate) antara deforestasi dengan faktor penyebabnya. Pada studi kasus yang
2 6 dilakukannya menunjukkan adanya korelasi antara kedua hal tersebut dan hasilnya cukup beragam dan tidak ada pola yang berbeda. Adapun penyebab utama deforestasi pada penelitian kali ini yaitu perladangan berpindah dan pertambahan jumlah penduduk. Faktor-faktor penyebab diukur dengan menentukan hubungan kedekatan (korelasi) dan juga diidentifikasi untuk mengungkapkan sistem dinamika yang biasanya menyebabkan deforestasi. Faktor penyebab deforestasi dikelompokkan kedalam 3 faktor yaitu (i) faktor ekonomi yaitu kekuatan mendasar yang berpengaruh dari deforestasi (81%), (ii) faktor-faktor kelembagaan (78%), dan (iii) faktor teknologi (70%) dalam proses perubahan agrotechnological. Pada penelitian Carr (2004) menghasilkan sebuah korelasi positif antara pertumbuhan penduduk dan deforestasi dalam spasial skala besar dan waktu. Deforestasi yang terjadi khususnya di daerah tropis secara ekplisit mengkategorikan penyebab-penyebab terdekat (proximate) yaitu ekspansi pertanian, ekstraksi kayu, dan pembangunan infrastruktur (perkebunan). Dengan bertambahnya jumlah penduduk secara tidak langsung mengubah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk dapat merangsang pertanian intensifikasi dan peningkatan ekonomi melalui perkebunan. Dengan kata lain, pertambahan penduduk memberikan dampak positif terhadap penggunaan lahan (deforestasi positif). Penelitian Wulandari (2011) mengemukakan bahwa hal yang mempengaruhi laju deforestasi adalah semakin tingginya akses untuk menuju tepi hutan. Jarak yang semakin dekat dengan jalan akan memudahkan untuk melaksanakan kegiatan merambah hutan. Tidak jauh berbeda dengan penelitian Mulyanto dan Jaya (2004) pada studi kasus di Sumatera Barat, juga menjelaskan bahwa deforestasi secara signifikan dipengaruhi oleh jarak dari pusat desa/pemukiman dengan hutan. Pentingnya pembangunan dari sektor non-kehutanan mengakibatkan berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui Hak Pengusahaan Hutan dan pemenuhan kebutuhan kayu industri melalui Hutan Tanaman Industri merupakan faktor-faktor lainnya yang menjadi pendorong terjadinya deforestasi. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia telah dilakukan secara besar-besaran. Perlu adanya upaya serius untuk menghindari kerusakan serta berusaha untuk melakukan perbaikan yaitu dengan membentuk ideologi pembangunan berupa modernisasi industrialisasi. Modernisasi telah memberikan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun, berdampak negatif terhadap lingkungan yang berakibat pada deforestasi dan perubahan iklim. Disinilah negara berkembang perlu melakukan upaya mitigasi yang sebenarnya merupakan inisiatif dari negara-negara maju tanpa ikut terlibat tetapi masih dapat mengambil keuntungan dari misi yang akan dijalankan (Siswoko 2008). Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi terbesar di Pulau Sumatera yang mengalami deforestasi yang cukup besar yaitu sekitar 360 605.33 ha pada tahun 2000-2009 atau sekitar 0.4% dari luas tutupan hutan Indonesia (FWI 2011). Saat ini, Provinsi Jambi menjadi pusat perhatian bagi peneliti mengenai permasalahan deforestasi yang semakin terus meningkat, mengingat tutupan lahan
3 di Provinsi Jambi didominasi oleh areal perkebunan seperti kebun sawit dan karet, dan areal pertanian. Menurut Santilli et al. (2005), deforestasi akan berdampak negatif dalam peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) namun deforestasi juga dimungkinkan dalam hal upaya global untuk menstabilkan gas rumah kaca. Seperti kasus di negara Brazil yang termasuk salah satu negara penyumbang emisi terbesar akibat deforestasi yaitu sekitar 0.2 (PgC yr-1). Permasalahan deforestasi telah menjadi masalah nasional karena sangat berdampak terhadap kondisi perekonomian nasional, penghidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati hutan dunia. Kajian-kajian mengenai berbagai penyebab terjadinya deforestasi khususnya di Provinsi Jambi, maka perlu adanya antisipasi atau usaha penanggulangan dimasa yang akan datang dengan pembentukan model baseline deforestasi. Dalam membangun data dasar atau baseline deforestasi agar lebih akurat maka perlu didukung oleh sistem pengelompokkan atau klastering (clustering) dalam bentuk Tipologi, sehingga fokus pemecahan masalah deforestasi akan lebih cepat terselesaikan dan lebih spesifik. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah membangun model baseline deforestasi dan tipologi kecamatan berbasis deforestasi, serta mengidentifikasi faktor-faktor pendorong terjadinya deforestasi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan rencana penanggulangan atau pengurangan laju deforestasi di Provinsi Jambi.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jambi dengan wilayah studi meliputi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo. Secara geografis lokasi penelitian berada di antara koordinat 101.149o BT dan 104.511o BT serta 0.753o LS dan 2.817o LS. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Tahap pra-pengolahan citra dilaksanakan pada bulan Juli 2013 yang bertempat di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data lapang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2013 di Provinsi Jambi. Pengolahan data, analisis data, dan penyusunan laporan dilaksanakan pada bulan September - November 2013 yang bertempat di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
4 6
Gambar 1 Lokasi Penelitian Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Satelit Landsat TM Multitemporal (Path/Raw : 124/6, 125/61, 125/62, 126/61, dan 126/62 ; Tanggal Perekaman : 3 Juni 1990, 4 September 2000, 23 Mei 2003, 7 Oktober 2006, 7 Oktober 2009, dan 9 Mei 2011), Peta Tutupan Hutan dan Lahan Kementrian Kehutanan tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011, Peta batas administrasi dan Peta jaringan jalan Provinsi Jambi, serta data statistik Kabupaten Dalam Angka Provinsi Jambi tahun 2011. Alat, Hardware, dan Software Alat yang digunakan untuk pengukuran dan observasi lapang adalah Global Positioning System (GPS), kamera, kompas, suunto, tally sheet, pita ukur diameter, dan alat tulis. Untuk pengolahan data digunakan perangkat keras (Hardware) berupa satu unit laptop yang dilengkapi dengan perangkat lunak (Software) seperti Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.2 dilengkapi Extention Kappa dan Dendogram (Jaya’s) Ver 1.6, ArcGis 9.3, dan Microsoft Excel 2007. Tahapan Penelitian Pengumpulan Data Pengumpulan data meliputi pengumpulan literatur yang berhubungan dengan topik penelitian, data citra Landsat multitemporal, peta batas administrasi dan jaringan jalan Provinsi Jambi, dan data Statistik Kabupaten Dalam Angka Provinsi Jambi 2011 meliputi Kabupaten Bungo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Tebo.
5 Pra-Pengolahan Citra Beberapa citra Landsat Multitemporal yang digunakan terdiri dari Landsat TM 5 dan Landsat 7 ETM+ diperoleh dari Badan Planologi (BAPLAN) Kementrian Kehutanan masih berbentuk format TIFF sehingga perlu dikonversi ke format imagine melalui proses layer stack terhadap masing-masing band. Berdasarkan karakteristik spasial citra Landsat, band/saluran yang digunakan dalam proses layer stack adalah band 1-5 dan 7 karena memiliki resolusi spasial yang sama yaitu 30 meter x 30 meter. Band tersebut terdiri dari band Blue, Green, Red, NIR, dan MIR yang dirancang untuk pantauan vegetasi dan satu band untuk pembedaan jenis buatan menjadikan Landsat TM mempunyai resolusi lebih tinggi (Sutanto 1986). Berikut karakteristik band/saluran Landsat TM disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik band/saluran pada Landsat TM Band/saluran Panjang gelombang (µm) Resolusi spasial (m) 1 0.45 - 0.52 30 x 30 2 0.52 - 0.60 30 x 30 3 0.63 - 0.69 30 x 30 4 0.76 - 0.90 30 x 30 5 1.55 - 1.75 30 x 30 6 2.08 - 2.35 120 x 120 7 10.40 - 12.50 30 x 30 Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)
Analisis Pengolahan Citra Analisis pengolahan citra dilakukan identifikasi kelas tutupan hutan dan lahan dan interpretasi citra dengan mengklasifikasikan tutupan hutan dan lahan menggunakan data citra Landsat Multitemporal di Provinsi Jambi. Citra Landsat yang digunakan yaitu tahun perekaman 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2011. Adapun klasifikasi kelas tutupan hutan dan lahan merujuk pada kriteria tutupan hutan dan lahan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Terdapat 23 kelas tutupan hutan dan lahan yang terdiri dari 7 kelas hutan (hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman) dan 15 kelas (semak belukar, belukar rawa, rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, pemukiman, transmigrasi, bandara, rawa, air, dan awan) bukan hutan serta kelas tertutup awan (BAPLAN 2008a). Citra Landsat mengalami kerusakan permanen pada SLC (Scan Line Corrector) tahun 2003, atau yang sekarang disebut dengan SLC-Off. Sebagai akibat daripada kerusakan tersebut maka data citra terdapat gap atau bagian yang terlewatkan oleh sapuan sensor sebesar 22%. Artinya bahwa pada setiap scene data yang dihasilkan satelit tersebut kehilangan informasi sebesar 7529.5 km2 dari luas liputan Landsat 7 yang seharusnya sebelum kerusakan SLC yakni 34.225 km2 (Loppies 2010). Adapun kelemahan lainnya dari citra Landsat adalah banyaknya terdapat awan dan bayangan awan sehingga dapat menghambat dalam melakukan pengidentifikasian terhadap kelas tutupan hutan dan lahan.
6 Data citra Landsat perekaman tahun 1990, 2000, 2003, 2009, dan 2011 hampir 70% tertutup awan dan juga terdapat gap, sehingga tidak mungkin dilakukan pengidentifikasian. Oleh karena itu, digunakan data pendukung Peta Tematik Tutupan Hutan dan Lahan dari Kementrian Kehutanan yang telah tersedia yaitu tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2011 untuk membantu mengidentifikasi kelas tutupan hutan dan lahan. Analisis Perubahan Tutupan Lahan Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan menumpangtindihkan (overlay) data tutupan hutan dan lahan pada periode waktu tahun 1990-2000, 2003-2006, 2006-2009, dan 2009-2011. Selanjutnya, dianalisis Thematic Change dengan menggunakan formula sebagai contoh [Tuplah_90]++ “_” ++[Tuplah_00], sehingga diperoleh data perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non-hutan atau yang mengalami deforestasi. Peta deforestasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 6. Penentuan Lokasi Titik Pengamatan (Groundchek) Lokasi titik pengamatan lapangan ditentukan berdasarkan lokasi-lokasi tutupan lahan yang terjadi perubahan berdasarkan periode waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan disesuaikan dengan buffer jaringan jalan selebar 500 m agar pemeriksaan lapang (groundcheck) dapat dengan mudah dijangkau. Titik groundcheck tersebut digunakan untuk melakukan verifikasi terhadap data Peta Tematik Kementrian Kehutanan yang telah disusun. Pengambilan data di lapangan bertujuan untuk mencocokan tutupan lahan yang ada pada peta dengan kondisi tutupan lahan yang sebenarnya di lapang. Data yang diambil berupa kondisi tutupan lahan, kondisi topografi, dan foto lapang. Analisis Spasial dan Temporal Operasi spasial (overlay) antara berbagai layer seperti batas administrasi berupa batas desa, kecamatan, dan kabupaten Provinsi Jambi dengan jaringan jalan lalu dilakukan join atau penggabungan data tabular yang telah diinput dari buku Kabupaten Dalam Angka Tahun 2011 yang diperoleh dari pusat penyedia data BPS (Badan Pusat Statistik). Buku Kabupaten Dalam Angka meliputi Kabupaten Bungo (BPS 2011a), Tanjung Jabung Barat (BPS 2011b), Tanjung Jabung Timur (BPS 2011c), dan Tebo (BPS 2011d). Data tabular ini akan digunakan sebagai peubah-peubah dalam membangun tipologi kecamatan di wilayah studi berdasarkan dari masing-masing kecamatan. Kategori Kelas Tutupan Lahan/Tuplah Kategori kelas tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kategori yang mencakup beberapa jenis tutupan lahan yang ditemukan di lapangan yang sesuai dengan kategori kelas tutupan lahan dari Departemen Kehutanan. Kelas tutupan lahan yang ditemukan di lapangan meliputi hutan lahan kering, hutan tanaman, badan air, belukar rawa, pertanian lahan kering campur (PLKC), semak belukar, sawah, pemukiman, kebun karet, kebun sawit, kebun campuran, rawa, tanah terbuka, dan bandara. Pada Tabel 2 disajikan 15 kategori kelas tutupan lahan yang ada pada lokasi penelitian.
7
Tabel 2 Kategori kelas tutupan lahan No
Kelas
Koordinat Bujur (lon) Lintang (Lat)
Deskripsi
Tutupan lahan
Tapak
Vegetasi berkayu, vegetasi bawah, liana
Tidak ada
1
Hutan lahan kering
102° 49' 4" BT
1° 12' 26” LS
Seluruh kenampakan hutan yang berada pada ketinggian tertentu, perbukitan, pegunungan baik hutan primer ataupun sekunder*)
2
Hutan tanaman
103° 40' 49” BT
1° 24' 43" LS
Seluruh kawasan hutan tanaman baik yang ada di dataran rendah ataupun tinggi*)
Vegetasi berkayu, tumbuhan bawah, rumput-rumputan
Tidak ada
3
Hutan Karet
103° 27' 27" BT
1° 22' 44" LS
Seluruh kawasan hutan karet baik yang ada di dataran rendah ataupun tinggi*)
Vegetasi berkayu dominan karet, vegetasi bawah
Tidak ada
104° 8' 0.25" BT
1° 12' 20" LS
Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamun, dan lain-lain*)
Laut, sungai, tambak, danau
Tidak ada
103° 32' 7" BT
1° 15' 3" LS
Semak, belukar, rerumputan
Rawa
4
Badan air
5
Belukar rawa
Semak/belukar dari bekas hutan didaerah rawa**)
Kenampakan di citra
Foto lapang
7
8
Tabel 2 Lanjutan 6 No
6
Kelas
Pertanian lahan kering campur
Koordinat Bujur (Lon)
103° 47' 7" BT
Lintang (Lat)
Deskripsi
Tutupan lahan
Tapak
1° 35' 51" LS
Semua tutupan lahan dimana dihasilkan dari aktivitas pertanian di lahan kering, berselang seling dengan semak, belukar, dan hutan bekas tebangan**)
Ladang, kebun masyarakat
Tidak ada
Vegetasi bawah: alang-alang, paku-pakuan, rumput liar
Tidak ada
7
Semak belukar
103° 18' 42" BT
1° 18' 23" LS
Vegetasi perdu/semak atau belukar pada lahan kering yang telah tumbuh kembali, dan didominasi oleh vegetasi bawah**)
8
Sawah
103° 30' 29" BT
1° 30' 3" LS
Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematangan*)
Sawah Irigasi, sawah tadah hujan
Tidak ada
Perumahan, pabrik industri, jalan, gedung perkantoran
Tidak ada
Vegetasi karet, vegetasi bawah
Tidak ada
9
Pemukiman
103° 30' 57" BT
1° 36' 29" LS
Bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal dan bekerja*)
10
Kebun karet
103° 15' 33" BT
1° 54' 49" LS
Seluruh area yang ditanami tanaman karet yang dikelola dengan pola tanaman tertentu*)
Kenampakan di citra
Foto lapang
9
Tabel 2 Lanjutan No
Kelas
Koordinat Bujur (lon) Lintang (Lat)
Deskripsi
Tutupan lahan
Tapak
Kenampakan di citra
Foto lapang
7
11
Kebun sawit
12
Kebun campuran
13
14
15
Rawa
Tanah terbuka
Bandara
Sumber :
103° 14' 13" BT
103° 41' 27" BT
103° 21' 45" BT
103° 39' 3" BT
103° 38' 15" BT
1° 56' 8" LS
Seluruh area yang ditanami tanaman sawit yang dikelola dengan pola tanaman tertentu*)
Vegetasi kelapa sawit, vegetasi bawah
Tidak ada
1° 34' 2" LS
Seluruh kawasan yang ditanami tanaman tahunan dan dengan tanaman beranekaragam jenis*)
Tanaman berbuah musiman seperti durian, manggis, duku, coklat
Tidak ada
1° 7' 49" LS
Lahan yang tergenang air secara terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan sudah tidak berhutan**)
Areal berawa, semak, belukarbelukar
Rawa
1° 25' 55" LS
Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi*)
Areal bekas tebangan, persiapan lahan untuk perkebunan/HTI, areal bekas kebakaran
Tidak ada
1° 37' 56" LS
Kenampakan bandara yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri*)
Terminal bandara, landasan pacu
Tidak ada
*) JICA dan Fahutan IPB (2010) **) BAPLAN (2008a)
9
10 Pembangunan Tipologi Tipologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe/jenis. Pembangunan tipologi ini dilakukan menggunakan pendekatan klastering. Klastering dapat didefinisikan sebagai suatu teknik klasifikasi atau identifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun. Holland (2006) menyebutkan analisis klaster merupakan teknik yang dirancang untuk menemukan kelompok jenis yang serupa (similarity) di dalam satu set data. Menurut Jaya (2010), analisis klaster bertujuan untuk menemuka struktur kategori yang sesuai dengan observasi (finding the natural group). Pengklasteran dilakukan pada wilayah studi yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo yang dikelaskan dalam bentuk kecamatan. Dari keempat kabupaten tersebut, terdapat 19 kecamatan atau 19 klaster (Lihat Gambar 2).
Gambar 2 Peta batas kecamatan wilayah studi Klastering yang didasarkan pada ukuran kesamaan (similarity) dapat menggunakan beberapa ukuran jarak statistik yaitu berupa Euclidean Distance, Standardized Euclidean Distence, Minkowsky Distance/City Block, dan Mahalanobis (Hotelling) Distance (Jaya 2010). Pada penelitian ini digunakan metode klastering berdasarkan jarak euclidean yang terstandarisasi (Standardized Euclidean Distance) karena dapat digunakan untuk membandingkan peubah yang memiliki satuan unit yang berbeda. Jarak antara 2 kecamatan (klaster) dihitung dengan metode Standardized Euclidean Distance (SdED) yang perhitungannya menggunakan rumus sebagai berikut (Jaya 2010) : Keterangan : 2 n ( xij xik ) Si = keragaman dari peubah ke-i SdEDJK Xik = nilai peubah ke i dari klaster k Si2 i 1 Xij = nilai peubah ke i dari klaster j
11 Salah satu tehnik yang digunakan untuk memudahkan dalam melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster serta penyusunan urutan pengelompokkan klaster dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil, maka dapat digunakan sebuah grafik dikotomi yang sering disebut dengan dendrogram. Teknik penggambaran tersebut sering dikenal dengan istilah ”Nested atau Hierarchical Classification”. Metode penggambaran yang digunakan adalah metode tetangga terdekat (Nearest Neighbour Method) yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster. Metode ini sering juga disebut dengan Single Linkage Method. Salah satu faktor pendorong terjadinya deforestasi sangat erat kaitannya dengan peubah-peubah sosial ekonomi masyarakat dan kondisi biofisik serta penggunaan lahan yang ada di setiap desa atau kecamatan. Guna mendapatkan informasi yang lebih akurat terhadap deforestasi, maka dibangun tipologi kecamatan berdasarkan peubah-peubah berikut pada Tabel 3. Peubah-peubah yang digunakan berdasarkan buku Kabupaten Dalam Angka Tahun 2011 dari penyedia data Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel 3 Tipologi peubah deforestasi Peubah (x) x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
Data Pre_PD90 MrdSDup J_SD_up Pertan_ha Swtkrt_ha Pkbn_ha Swtkr_ton Ptnian_ton
Keterangan Penduduk tahun 1990 per kecamatan Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi Jumlah sekolah SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering (ha) Luas sawit dan karet (ha) Perkebunan (termasuk sawit dan karet) (ha) Produksi sawit dan karet (ton) Produksi hasil-hasil pertanian keseluruhan (ton)
Sumber : BPS Kabupaten Dalam Angka Tahun 2011
Pengelompokkan atau pengklasteran dalam penelitian kali ini digunakan 8 peubah seperti yang disajikan pada Tabel 3, yang masing-masing akan dibangun tipologi berdasarkan jumlah peubah-peubah yang digunakan. Berikut ini adalah rincian jumlah peubah yang digunakan untuk membuat grafik dendogram, sebagai berikut : a. Tipologi menggunakan 1 peubah (Tipo_1v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) b. Tipologi menggunakan 2 peubah (Tipo_2v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x6 (Perkebunan (termasuk sawit dan karet)) c. Tipologi menggunakan 3 peubah (Tipo_3v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x4 (Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering) x5 (Luas sawit dan karet) d. Tipologi menggunakan 3a peubah (Tipo_3av) : :x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x4 (Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering) x6 (Perkebunan (termasuk sawit dan karet))
12 e. Tipologi menggunakan 4 peubah (Tipo_4v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x2 (Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi) x4 (Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering) x6 (Perkebunan (termasuk sawit dan karet) f. Tipologi menggunakan 5 peubah (Tipo_5v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x2 (Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi) x4 (Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering) x5 (Luas sawit dan karet) x6 (Perkebunan (termasuk sawit dan karet)) g. Tipologi menggunakan 8 peubah (Tipo_8v) : x1 (Penduduk tahun 1990 per kecamatan) x2 (Jumlah murid SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi) x3 (Jumlah sekolah SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi) x4 (Luas lahan pertanian sawah dan sawah lahan kering) x5 (Luas sawit dan karet) x6 (Perkebunan (termasuk sawit dan karet)) x7 (Produksi sawit dan karet) x8 (Produksi hasil-hasil pertanian keseluruhan) Penentuan jumlah peubah yang digunakan ditentukan berdasarkan dari faktor yang paling berpengaruh terhadap penyebab deforestasi hingga faktor yang relatif masih diprediksi sebagai faktor penyebab terjadinya deforestasi. Peubahpeubah tersebut direkapitulasi menjadi data tabular yang diperoleh dari buku Kabupaten Dalam Angka Tahun 2011 meliputi Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo. Berdasarkan Tipologi yang dibangun dengan masing-masing jumlah peubah yang telah ditentukan, maka hasil klastering kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tipologi kecamatan dibangun berdasarkan klaster-klaster, oleh karena itu guna mendapatkan akurasi yang tinggi maka dilakukan analisis akurasi. Analisis akurasi dapat dilakukan dengan membuat matriks kontingensi dengan menghitung besarnya akurasi pembuat (Producer’s Accuracy/PA) dan akurasi pengguna (User’s Accuracy/UA) dari setiap kelas. Akurasi pembuat adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi klaster yang benar dengan jumlah total klaster per kelas. Pada akurasi ini akan terjadi kesalahan omisi, oleh karena itu akurasi pembuat ini juga dikenal dengan istilah omission error. Sebaliknya, jika jumlah klaster yang benar dibagi dengan total klaster dalam kolom akan menghasilkan akurasi pengguna yang juga dikenal dengan isitilah commission error. Secara matematis akurasi dapat dihitung dengan persamaan : 𝑥𝑖𝑖 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟 ′ 𝑠 𝐴𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 PA = 𝑥 100% 𝑥𝑖+ 𝑥𝑖𝑖 𝑈𝑠𝑒𝑟 ′ 𝑠 𝐴𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 UA = 𝑥 100% 𝑥+𝑖
13 Tabel 4 Klastering Kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Barat Tebo Tebo Tebo Tebo Bungo Bungo Bungo Bungo Bungo Bungo
Kecamatan Mendahara Dendang Muara Sabak Rantau Rasau Nipah Panjang Sadu Tungkal Ulu Pengabuan Tungkal Ilir Tebo Ilir Tebo Tengah Rimbo Bujang Tebo Ulu Pelepat Muara Bungo Rantau Pandan Tanah Sepenggal Tanah Tumbuh Jujuhan
Klaster C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C18 C19
Estimasi Model Baseline Deforestasi dan Baseline Gas Rumah Kaca Baseline deforestasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Power yaitu hubungan antara luas hutan dengan deforestasi dan luas hutan tanpa deforestasi. Persamaan model baseline deforestasi adalah sebagai berikut : LHDF = (1.5119 x 10283) Th-84.01391243 LHTD = (5.2406 x 10277) Th-82.33622829 Untuk perhitungan Baseline Gas Rumah Kaca (BGRK) digunakan persamaan sebagai berikut : BGRK = (LHTD - LHDF) x SC dimana : LHTD = Luas hutan tanpa deforesatasi LHDF = Luas hutan dengan deforestasi SC = Sediaan (stock) karbon hutan primer: 164.4167 tCha-1 (Jaya 2013) Th = Tahun
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembangunan Tipologi Kecamatan Berdasarkan analisis klastering menggunakan Standardized Euclidean Distance (SdED), maka diperoleh grafik dendogram menggunakan beberapa kombinasi peubah sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
14
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g) Gambar 3 Dendogram dengan peubah (a) x1, (b) x1, x6, (c) x1, x4, x5, (d) x1, x4,x6 ,(e) x1, x2, x4, x6, (f) x1, x2, x4 x5, x6, dan (g) x1, x2, x3, x4, x5, x6,x7, x8
15 Lebih lanjut berdasarkan kedekatan jarak menggunakan metode Single Lingkage Method, selanjutnya dilakukan pengelompokkan klaster kecamatan dalam tiga kelas tipologi kecamatan yaitu Tipologi 1 (T1), Tipologi 2 (T2), dan Tipologi 3 (T3). Kelas tipologi dibuat berdasarkan jumlah peubah yang digunakan dengan hasil tipologi kecamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Tipologi Kecamatan Klaster
Kecamatan
Tipo_1v
Tipo_2v
Tipo_3v
Tipo_3av
Tipo_4v
Tipo_5v
Tipo_8v
C1
Mendahara
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C2
Dendang
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C3
Muara Sabak
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C4
Rantau Rasau
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C5
Nipah Panjang
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C6
Sadu
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C7
Tungkal Ulu
T1
T1
T1
T1
T1
T2
T3
C8
Pengabuan
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T2
C9
Tungkal Ilir
T3
T3
T3
T3
T3
T3
T3
C10
Tebo Ilir
T3
T3
T3
T3
T3
T3
T2
C11
Tebo Tengah
T2
T3
T3
T3
T3
T3
T2
C12
Rimbo Bujang
T3
T3
T3
T3
T3
T3
T2
C13
Tebo Ulu
T2
T3
T3
T3
T3
T3
T2
C14
Pelepat
T2
T3
T3
T3
T3
T3
T2
C15
Muara Bungo
T1
T1
T1
T1
T1
T1
T1
C16
Rantau Pandan
T1
T2
T2
T2
T2
T2
T2
C17
Tanah Sepenggal
T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2
C18
Tanah Tumbuh
T2
T2
T2
T2
T2
T2
T2
C19
Jujuhan
T1
T2
T2
T2
T2
T2
T2
Jumlah
T1
11
9
9
9
9
8
7
Jumlah
T2
5
4
4
4
4
5
10
Jumlah
T3
3
6
6
6
6
6
2
Berdasarkan kelas tipologi kecamatan pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah T1, T2, dan T3 pada tipologi yang menggunakan 2, 3, 3a, dan 4 peubah menghasilkan jumlah tipologi yang sama. Untuk mendapatkan akurasi tipologi yang terbaik perlu dilakukan pengkelasan terhadap kelas-kelas deforestasi yang sesuai dengan tipologi kecamatan pada Tabel 5. Pengujian akurasi dapat menggunakan akurasi pengguna (User’s Accuraccy) dan akurasi pembuat (Producer’s Accuraccy). Guna melakukan pengujian tersebut maka dibuat kelaskelas deforestasi yaitu D1 (deforestasi rendah), D2 (deforestasi sedang), dan D3 (deforestasi tinggi). Kelas deforestasi berdasarkan kecamatan menurut periode waktu dapat dilihat pada Lampiran 7. Kelas deforestasi dikelaskan berdasarkan laju deforestasi pada periode waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Laju deforestasi tersebut meliputi periode tahun 1990-2000, 2000-2003, 2003-2006, 2006-2009, dan 2009-2011. Kelas deforestasi yang dibuat disajikan pada Tabel 6.
16 Tabel 6 Laju deforestasi pada setiap interval waktu Kelas Deforestasi D1 D2 D3 Keterangan
Laju deforestasi pada setiap periode waktu (ha/tahun) LDY90_00 694.68 815.78 4983.36 : LDY90_00 LDY00_03 LDY03_06 LDY06_09 LDY09_11 LDY00_11
LDY00_03 LDY03_06 LDY06_09 LDY09_11 LDY00_11 1687.59 444.32 821.55 81.03 591.56 6750.34 1777.27 3286.21 324.13 2366.26 15 188.27 3998.86 7393.98 729.29 5324.08 : Laju deforestasi periode tahun 1990-2000 : Laju deforestasi periode tahun 2000-2003 : Laju deforestasi periode tahun 2003-2006 : Laju deforestasi periode tahun 2006-2009 : Laju deforestasi periode tahun 2009-2011 : Laju deforestasi periode tahun 2000-2011
Pengujian keakuratan tipologi kecamatan disajikan pada Tabel 7 sampai Tabel 13. Tabel 7 Akurasi tipologi dengan 1 peubah (Tipo_1v) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 6 3 2 11 0.55
D3 2 1
Total 3 1 1 5 0.20
3 0.33
11 5 3 19
PA 0.55 0.20 0.33
Tabel 8 Akurasi tipologi dengan 2 peubah (Tipo_2v) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 6 1 4 11 0.55
D3 1 1 1 3 0.33
Total 2 2 1 5 0.20
PA 9 4 6 19
0.67 0.25 0.17
Tabel 9 Akurasi tipologi dengan 3 peubah (Tipo_3v) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 6 1 4 11 0.55
D3 1 1 1 3 0.33
Total 2 2 1 5 0.20
9 4 6 19
PA 0.67 0.25 0.17
17 Tabel 10 Akurasi tipologi dengan 3a peubah (Tipo_3av) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 6 1 4 11 0.55
D3 1 1 1 3 0.33
Total 2 2 1 5 0.20
9 4 6 19
PA 0.67 0.25 0.17
Tabel 11 Akurasi tipologi dengan 4 peubah (Tipo_4v) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 6 1 4 11 0.55
D3 1 1 1 3 0.33
Total 2 2 1 5 0.20
PA 9 4 6 19
0.67 0.25 0.17
Tabel 12 Akurasi tipologi dengan 5 peubah (Tipo_5v) D1 T1 T2 T3 Total
D2 5 2 4 11 0.45
UA
D3 1 1 1 3 0.33
Total 2 2 1 5 0.20
8 5 6 19
PA 0.63 0.20 0.17
Tabel 13 Akurasi tipologi dengan 8 peubah (Tipo_8v) D1 T1 T2 T3 Total UA
D2 4 5 2 11 0.36
D3
Total
1 2
2 3
3 0.67
5 0.00
7 10 2 19
PA 0.57 0.20 0.00
Guna melakukan klasifikasi tipologi terhadap klaster-klaster yang mirip, maka perlu penyederhanaan kelas melalui penggabungan atau merge. Hal ini biasanya dilakukan dalam rangka meningkatkan akurasi (mengurangi kesalahan pengkelasan). Penggabungan kelas dilakukan berdasarkan jarak antar klaster. Pada Tabel 7 sampai dengan Tabel 13 dapat dilihat bahwa akurasi yang dihasilkan kurang memuaskan sehingga dilakukan penggabungan yaitu kelas T2 dengan T3 menjadi notasi “T2/T3”, dan kelas D2 dengan D3 menjadi notasi “D2/D3”.
18 Penggabungan antar dua kelas tersebut dilakukan agar menghasilkan akurasi yang besar. Hasil uji akurasi setelah penggabungan disajikan pada Tabel 14 sampai dengan Tabel 20. Tabel 14 Akurasi merge dengan 1 peubah (Tipo_1v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
6 5 0.55 0.46
D2/D3
PA 5 3 0.38
0.55 0.63 0.47 0.59
Rata-rata PA
Tabel 15 Akurasi merge dengan 2 peubah (Tipo_2v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
6 5 0.55 0.59
D2/D3
PA 3 5 0.63
0.67 0.5 0.58 0.58
Rata-rata PA
Tabel 16 Akurasi merge dengan 3 peubah (Tipo_3v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
6 5 0.55 0.59
D2/D3
PA 3 5 0.63
0.67 0.50 0.58 0.58
Rata-rata PA
Tabel 17 Akurasi merge dengan 3a peubah (Tipo_3av) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
6 5 0.55 0.59
D2/D3
PA 3 5 0.63
0.67 0.50 0.58 0.58
Rata-rata PA
Tabel 18 Akurasi merge dengan 4 peubah (Tipo_4v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
6 5 0.55 0.59
D2/D3
PA 3 5 0.63
Rata-rata PA
0.67 0.50 0.58 0.58
19 Tabel 19 Akurasi merge dengan 5 peubah (Tipo_5v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
5 6 0.45 0.54
D2/D3
PA 3 5 0.63
0.63 0.55 0.53 0.59
Rata-rata PA
Tabel 20 Akurasi merge dengan 8 peubah (Tipo_8v) D1 T1 T2/T3 UA Rata-rata UA
4 7 0.36 0.49
D2/D3
PA 3 5 0.63
Rata-rata PA
0.57 0.58 0.47 0.58
Berdasarkan hasil penggabungan klaster tersebut diketahui bahwa tipologi yang memberikan akurasi terbaik adalah tipologi menggunakan 2, 3, 3a, dan 4 peubah, karena menghasilkan uji akurasi yang besar yaitu Producer’s Accuracy (PA) sebesar 58% dan User’s Accuracy (UA) sebesar 59%. Untuk menentukan tipologi mana yang harus dipilih antara klastering menggunakan 2 peubah, 3 peubah, 3a peubah, dan 4 peubah, maka dipilih tipologi yang menggunakan paling sedikit peubah yaitu tipologi menggunakan 2 peubah (jumlah penduduk dan luas perkebunan besar termasuk sawit dan karet (ha)). Penggunaan faktor atau peubah yang lebih banyak belum tentu menjadikan pembangunan tipologi kecamatan berbasis deforestasi ini menjadi lebih baik. Berdasarkan 2 peubah tersebut, tipologi berbasis deforestasi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelas tipologi yaitu T1 dan T2/T3 dengan rata-rata akurasi pembuat (average of producer’s accuracy) sekitar 58% dan rata-rata akurasi pengguna (average of user’s accuracy) sebesar 59% (Lihat Tabel 15). Hasil analisis klaster menunjukkan bahwa variasi terjadinya deforestasi berkaitan cukup erat dengan faktor-faktor sosial dan ekonomi masyarakat disuatu wilayah. Dari 8 faktor yang dikaji, diketahui 2 faktor yang sangat berpengaruh pada setiap kabupaten wilayah studi yaitu terdiri dari jumlah penduduk di awal terjadinya deforestasi serta kebutuhan perkebunan besar seperti pembangunan perkebunan kelapa sawit dan karet. Menurut studi yang dilakukan Wibowo dan Byron (1999), deforestasi yang terjadi memiliki mekanisme yang salah satu kategorinya yaitu Neo-Malthusian. Pendekatan Neo-Malthusian melihat bahwa tekanan penduduk dapat dijadikan sebagai penyebab deforestasi umumnya di hutan tropis. Negara-negara yang termasuk memiliki penghasilan rendah (negara berkembang) akan menunjukkan tingkat deforestasi yang lebih tinggi. Perluasan areal perkebunan juga penting untuk diperhatikan seperti halnya pada penelitian Grant (2013) mengambil studi kasus di Perusahaan Wilmar International yang merupakan salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia. Perusahaan tersebut menjamin untuk tidak melanggar kegiatan yang berdampak deforestasi seperti menebang hutan atau membakar lahan gambut untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit, serta tidak melakukan
20 penyalahgunaan hak asasi manusia dan masyarakat setempat. Akan tetapi hal ini tetap akan menjadi pusat kekhawatiran terjadinya deforestasi, mengingat perjuangan para aktivis lingkungan untuk menghentikan deforestasi yang luas di Indonesia dan bagian lain di Asia Tenggara. Perusahaan kelapa sawit telah dituduh menebang hutan dan membakar lahan gambut yang kaya akan karbon untuk membuat jalan bagi perkebunan. Akibat daripada itu adalah luas hutan Indonesia berkurang sedikit demi sedikit. Pada Gambar 4 disajikan klaster tipologi kecamatan di wilayah studi yang menggunakan 2 peubah, sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan kelas tipologi dan kelas deforestasi.
(a)
(b) Gambar 4 Tipologi kecamatan terbaik dengan 2 peubah (a) sebelum digabung (merge), dan (b) setelah digabung (merge) Menimbang dari kasus Wilmar, Jambi merupakan salah satu lokasi yang banyak didominasi oleh areal perkebunan khususnya perkebunan sawit dan karet. Berdasarkan data tutupan hutan dan lahan di wilayah studi, terdapat tutupan lahan
21 untuk perkebunan dengan luas sekitar 241 679.067 ha di tahun 2011. Luas perkebunan ini berkisar sekitar 11.45% dari luas setiap kabupaten wilayah studi (Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo) dengan total luas keempat kabupaten tersebut adalah sekitar 2 111 181.257 ha. Sebaran Spasial Deforestasi Deforestasi merupakan perubahan tutupan lahan berhutan menjadi tutupan lahan bukan hutan secara permanen. Pada kurun waktu 1990-2000 dan 2000-2011 tingkat deforestasi di wilayah studi cukup besar karena berada pada rentang waktu yang lama yaitu 10 dan 11 tahun. Sebaran spasial tipologi kecamatan berbasis deforestasi ini disajikan pada Gambar 5.
(a)
(b) Gambar 5 Peta sebaran deforestasi di wilayah studi (a) periode 1990-2000, (b) periode 2000-2011
22 Berdasarkan analisis perubahan penutupan hutan dan lahan, luas deforestasi periode tahun 1990-2000 dan tahun 2000-2011 disajikan pada Tabel 21. Hasil analisis menunjukkan bahwa deforestasi yang cukup tinggi terjadi pada Tipologi T1 pada periode tahun 1990-2000, sedangkan pada periode tahun 2000-2011 deforestasi yang tinggi terjadi pada Tipologi T2/T3. Secara langsung, batas kelompok kecamatan yang termasuk ke dalam kelas deforestasi rendah (D1) dan deforestasi tinggi (D2/D3) disajikan secara spasial pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 6 Kelas deforestasi berbasis tipologi periode 1990-2000
Gambar 7 Kelas deforestasi berbasis tipologi periode 2000-2011 Baseline Deforestasi dan Baseline Gas Rumah Kaca (GRK) Tata guna lahan dan perubahan penggunaan lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) menyumbang 17-20% konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan perubahan iklim. Untuk itu perlu adanya mitigasi yaitu upaya untuk menekan, mengendalikan, mencegah, dan menurunkan emisi.
23 Salah satu mekanisme Internasional untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) adalah melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation) atau upaya mengurangi emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana peran REDD terhadap proses mitigasi ini dijalankan. Penelitian Indartik et al. (2009) mengemukakan bahwa implementasi REDD perlu penekanan terhadap aspek infrastruktur teknis berupa ketersediaan data dasar (baseline) dan teknologi perhitungan karbon, aspek institusi berupa kebertadaan peraturan perundangan dan sumberdaya manusia dengan jumlah memadai dan bermutu, serta aspek sosial berupa pemahaman masyarakat terhadap deforestasi. Baseline deforestasi adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengetahui pola baseline pada kondisi terkini dan dimasa yang akan datang. Adapun informasi dasar yang diperlukan dalam membentuk sebuah baseline deforestasi disajikan pada Tabel 21 dan rincian data dapat dilihat pada Lampiran 8 sampai dengan Lampiran 11. Tabel 21 Luas hutan dan laju deforestasi di beberapa kecamatan berdasarkan periode waktu Tahun
1990
2000
Periode defororestasi Lama periode Luas hutan (ha) Laju deforestasi (ha/th) Luas deforestasi (ha/periode) Laju deforestasi (%/th) Luas hutan tanpa deforestasi
1990-2000 10 1 069 453.19 29 926.14 299 261.43 2.80 1 368 714.62
2000-2003 3 720 908.62 40 116.45 120 349.34 5.56 841 257.95
2003
2006
2009
2011
2003-2006 3 597 622.01 14 935.82 44 807.47 2.50 642 429.48
2006-2009 3 564 189.57 34 044.69 102 134.07 6.03 666 323.64
2009-2011 2 459 382.34 2620.00 5240.00 0.57 464 622.33
2000-2011 11 457 498.88 23 081.22 253 893.41 5.05 711 392.29
Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa luas deforestasi yang terbesar terjadi pada periode tahun 1990-2000 yaitu sekitar 299 261.43 ha/periode. Hal ini dikarenakan pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan besar di bidang politik dengan pergantian dari Orde Baru ke Era Reformasi. Perubahan yang dinamis tersebut yang menyebabkan dampak besar terhadap peningkatan laju deforestasi. Secara skematis, laju deforestasi dan luas hutan keseluruhan di wilayah studi dapat disajikan pada Gambar 8. 1600000 1400000
Luas (Ha)
1200000
Luas Hutan
1000000
Laju Deforestasi (Ha/Th) Luas Deforestasi (Ha/Periode) Luas Hutan Tanpa Deforestasi
800000 600000 400000 200000 0
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2015
Tahun
Gambar 8 Kurva penurunan luas hutan, luas deforestasi, luas tanpa deforestasi, dan laju deforestasi
24 Berdasarkan data luas hutan tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011, secara keseluruhan laju deforestasi mengalami penurunan dari 29 926.14 ha/tahun pada periode 1990-2000 menjadi sekitar 23 081.22 ha/tahun, turun sekitar 7%. Namun, untuk persentase laju deforestasi terhadap luas hutan awal, persentase laju deforestasi cenderung meningkat sangat tajam dari sekitar 2.8% pada periode tahun 1990-2000 menjadi 5.05% pada periode 2000-2011. Selama periode 19902011, rata-rata deforestasi sekitar 3.75% per tahun atau seluas 10 575.04 ha/tahun. Laju deforestasi di wilayah studi mengalami fluktuasi pada periode 19902000 dan 2000-2011. Periode waktu yang digunakan mempunyai rentang waktu yang cukup lama. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ewers et al. (2008) pada kasus laju deforestasi di Hutan Amazon Brazil, dimana dia tidak menemukan bukti statistik bahwa salah satu peubah secara sistematis menjadi penyebab dalam laju deforestasi. Dalam interval tahun 1990-2005, laju deforestasi di Amazon Brazil tidak mengalami fluktuasi yang sangat signifikan dan cenderung relatif stabil. Proporsi deforestasi yang terjadi di delapan dari sembilan negara tidak bervariasi secara signifikan dari waktu ke waktu. Pengecualian adalah satu negara yaitu Tocantins, yang pada tahun 1990 menyumbang 4% dari total deforestasi dan pada tahun 2005. Secara statistik, kecenderungan penurunan luas hutan akibat deforestasi dan tanpa adanya deforestasi, didapatkan dari persamaan menggunakan persamaan Power sebagai berikut : Dengan Deforestasi : Lh = (1.5119 x 10283) Th-84.01391243 Tanpa Deforestasi : Lh = (5.2406 x 10277) Th-82.33622829 dimana : Lh = Luas Hutan dan Th = Tahun Persamaan luas deforestasi dan luas tanpa deforestasi yang telah diperoleh, dapat digunakan sebagai persamaan untuk memprediksi luas hutan di tahun yang akan datang. Berikut ini adalah hasil prediksi luas hutan dan jumlah emisi gas rumah kaca dimasa yang akan datang disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Prediksi luas hutan tahun 2015 sampai dengan tahun 2060 Tahun
Lh dengan deforestasi
Persen *)
Lh tanpa deforestasi
Persen *)
Emisi GRK (tCha-1)
2015
375 360
17.78
454 816
21.54
13 063 909.19
2020
304 805
14.44
370 865
17.57
10 861 342.23
2025
247 640
11.73
302 563
14.33
9 030 218.83
2030
201 299
9.53
246 963
11.70
7 508 027.76
2035
163 713
7.75
201 682
9.55
6 242 723.11
2040
133 212
6.31
164 784
7.81
5 190 989.22
2045
108 449
5.14
134 704
6.38
4 316 788.55
2050
88 333
4.18
110 169
5.22
3 590 147.59
2055
71 985
3.41
90 147
4.27
2 986 142.74
2060 58 691 2.78 73 799 3.50 2 484 053.96 Catatan : *) Persen terhadap luas wilayah studi : 2 111 181.257 ha (Peta tuplah BAPLAN 2010) *) Sediaan karbon hutan primer (tCha-1) : 164.4167 (Jaya 2013)
25 Pada Tabel 22 diperoleh hasil prediksi penurunan luas hutan antara tahun 2015 sampai dengan 2060, dimana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo yang akan kehilangan hutan yang sangat luas dan akan didominasi oleh tutupan lahan perkebunan milik masyarakat khususnya. Setelah mendapatkan hasil prediksi penurunan luas hutan, maka selanjutnya dapat digambarkan kurva baseline deforestasi dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang disajikan pada Gambar 9.
500000 450000 400000
Luas (Ha)
350000 300000
Prediksi Luas Hutan dengan Deforestasi
250000
Luas hutan tanpa deforestasi
200000 150000 100000 50000 0
2010
2020
2030
2040
2050
2060
2070
Tahun
(a) 14000000
Emisi (tC/Ha)
12000000 10000000 8000000
Emisi GRK (tC/Ha)
6000000 4000000 2000000 0
2010
2020
2030
2040
2050
2060
2070
Tahun
(b) Gambar 9 a) Kurva Baseline Deforestasi, (b) Kurva Baseline Emisi GRK (tC/Ha)
26 Pada Gambar 9 disajikan model baseline deforestasi dan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan “Business As Usual” (BAU). BAU merupakan sebuah kondisi pada saat tanpa adanya upaya khusus mitigasi dan dijadikan sebagai dasar perhitungan pengurangan emisi. Salah satu penentu besarnya emisi dalam kondisi BAU adalah laju deforestasi. Dengan demikian, tanpa melakukan kebijakan pencegahan konversi hutan (deforestasi) dan perusakan hutan (degradasi) maka pada tahun 2060, luas hutan akan hanya tinggal sekitar 58 691 ha atau hanya sekitar 2.78% dari luas setiap kabupaten di wilayah studi. Dapat dilihat juga bahwa grafik penurunan luas hutan tanpa deforestasi pada Gambar 8 sangat drastis. Terbukti bahwa dengan dan tanpa adanya deforestasi, luas hutan di setiap kabupaten tersebut tetap akan mengalami penurunan secara terus menerus dan sangat signifikan. Model yang dibangun pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Fuller et al. (2011) pada studi kasus di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah. Model yang digunakan untuk mengevaluasi dampak dari deforestasi dengan skenario BAU menunjukkan bahwa di Kalimantan Tengah kemungkinan akan kehilangan hutan sekitar 45.1% periode waktu tahun 2005 sampai tahun 2020. Selanjutnya, model ini dapat mengidentifikasi efek potensi terjadinya deforestasi di Kalimantan Tengah. Tercatat bahwa di Kalimantan Tengah telah banyak dikonversi ke lahan pertanian, perkebunan dan terdegradasi akibat kegiatan logging sehingga emisi karbon semakin tinggi dan perlu adanya upaya mitigasi. Langkah pertama yang penting untuk mengembangkan skenario BAU adalah penerapan model Land Use Land Cover (LULC) yang dapat memproyeksikan perubahan jumlah potensi hutan disetiap periode waktu tertentu. Hutan bermanfaat sebagai penyerapan karbondioksida (CO2) serta penghasil oksigen (O2). Ketika hutan ditebang, biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan terurai dan melepaskan gas karbondioksida (CO2). Penurunan luas hutan sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan berkontributor secara signifikan dalam peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Emisi gas rumah kaca akibat deforestasi khususnya di daerah tropis berkisar 25% dari emisi GRK antropogenik global tahun 1990 (Sohngen et al. 2008). Total emisi yang dihasilkan tergantung pada laju deforestasi dan perubahan stok karbon per hektar pada tutupan hutan sebelum terdeforestasi. Stok karbon yang masih tersimpan akan berbeda sesuai dengan penggunaan lahannya, ekosistem, dan penggunaan biomassa hutannya. Penelitian Sohngen et al. (2008) menunjukkan bahwa tindakan untuk menghindari permasalahan deforestasi dan menjaga stok karbon hutan tetap lestari melalui pengukuran dan monitoring sebagai proses upaya mitigasi pencegahan deforestasi. Biaya yang diperkirakan untuk mencapai pengurangan ini juga cukup relatif besar. Sebuah studi ekonomi menurut Sohngen dan Sedjo (2006) menyebutkan bahwa sebagian besar (73% - 88%) dari potensi mitigasi karbon terletak di daerah tropis. Namun, adanya proses perubahan penggunaan lahan tentu akan tetap memperkirakan selisih atau net dari stok karbon yang tersisa. Berdasarkan laju deforestasi dan prediksi luas hutan sebagai akibat deforestasi, emisi GRK yang berasal dari deforestasi ini sekitar 13 juta tCha-1 pada tahun 2015, dan sekitar 2.5 juta tCha-1 pada tahun 2060 (Lihat Tabel 22).
27 Faktor Pendorong Deforestasi (Driving Force) Berdasarkan kajian faktor-faktor sosial ekonomi serta hasil dari wawancara dengan beberapa sumber informan yang dilakukan di beberapa kecamatan di wilayah studi, maka faktor-faktor pemicu atau pendorong terjadinya deforestasi (driving force) utamanya adalah karena faktor ekonomi dengan rincian sebagai berikut: 1. Perluasan perkebunan besar (sawit dan karet). 2. Peningkatan penduduk yang menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang untuk sarana dan prasarana tempat tinggal dan usaha. Adapun faktor-faktor lain seperti pembalakan liar, perladangan liar, kebakaran hutan, pencarian kayu bakar dan penebangan untuk kebutuhan rumah tangga kurang begitu besar pengaruhnya. Demikian juga deforestasi, karena faktor alam seperti longsor, banjir, dan kebakaran hutan sudah relatif kecil. Lebih lanjut diperlukan adanya aksi nyata atas upaya penanggulangan penurunan laju deforestasi agar kelestarian hutan dapat dijaga dan dipertahankan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Model baseline deforestasi berbasis spasial pada beberapa kabupaten di wilayah studi dapat dibangun dengan menggunakan persamaan LHDF = (1.5119 x 10283)Th-84.01391243 dan LHTD = (5.2406 x 10277) Th-82.33622829. 2. Tipologi berbasis deforestasi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelas yaitu T1 dan T2/T3 yang dibangun dengan akurasi pembuat (Producer’s Accuraccy) sekitar 58% dan akurasi pengguna (User’s Accuracy) sekitar 59% menggunakan 2 peubah yang terdiri dari perkebunan besar (termasuk sawit dan karet) dan jumlah penduduk. Tipologi kesatu (T1) umumnya mempunyai laju deforestasi sekitar 0-591.56 ha/tahun dan tipologi kedua dan ketiga (T2/T3) mempunyai laju deforestasi sekitar 2366.26-5324.08 ha/tahun. 3. Secara umum, rata-rata laju deforestasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo, dan Tebo relatif cukup tinggi, yaitu sekitar 3.75% per tahunnya atau sekitar 10 575.04 ha/tahun. 4. Faktor utama pendorong deforestasi umumya berkaitan dengan faktor sosial ekonomi masyarakat yaitu perluasan pembangunan perkebunan besar (sawit dan karet) dan peningkatan jumlah penduduk. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan di lokasi yang sama dengan membuat pemodelan spasial deforestasi dan menentukan sebaran biomassa dan karbon berdasarkan jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.
28
DAFTAR PUSTAKA [BAPLAN] Badan Planologi Kehutanan, Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Bapan Planologi Kehutanan, Kementrian Kehutanan. 2002. Penyempurnaan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-RHL) Nasional. Jakarta (ID): Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. _______________________________________. 2008a. Pemantauan Sumber Daya Hutan. Jakarta (ID): Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011a. Bungo Dalam Angka 2011. Jakarta (ID): BPS Kabupaten Bungo. _______________________. 2011b. Tanjung Jabung Barat Dalam Angka 2011. Jakarta (ID): BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat. _______________________. 2011c. Tanjung Jabung Timur Dalam Angka 2011. Jakarta (ID): BPS Kabupaten Tanjung Jabung Timur. _______________________. 2011d. Tebo Dalam Angka 2011. Jakarta (ID): BPS Kabupaten Tebo. Carr DL. 2004. Proximate population factors and deforestation in tropical agricultural frontiers. Pop and Environm. 25(6):585-612. Carr DL, Suter L, Barbieri A. 2005. Population dynamics and tropical deforestation: state of the debate and conceptual challenges. Pop and Environm. 27(1):89-113.doi: 10.1007/s11111-005-0014-x. Ewers, Robert M, Laurance, William F. 2008. Temporal fluctuations in Amazonia deforestation rates. Environm Conserv. 35(4):303-310. [FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia: Periode Tahun 2000-2009. Bogor (ID): Forest Watch Indonesia. Fuller DO, Meijaard E, Hardiono M. 2011. Deforestation projections for carbonrich peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Environm Managmt. 48:436–447. Holland SM. 2006. Cluster Analisis. Athens, GA 30602-2501: Department of Geology, University of Georgia. Geist H, Lambin EF. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. Bioscience. 52(2):143-150. Grant J. 2013. Wilmar bows to SE Asia deforestation concerns over palm oil. FT.com. Indartik, Djaenudin D, Ginoga KL. 2009. Faktor penentu keberhasilan implementasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan: studi kasus Riau. J Sos dan Eko Hut. 6(2):83-98. Loppies R. 2010. Karakteristik dan Spesifikasi Satelit LANDSAT (Bagian 1) [Internet]. [diacu 2013 Desember 13]. Tersedia dari: http://satelitinderaja.blogspot.com/2010/10/karakteristik-dan-spesifikasi-satelit.html. Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital : Teori dan Praktek penggunaan ERDAS IMAGINE. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Jaya INS. 2013. Laporan Akhir Penelitian Strategis IPB: Pengembangan Metode Geospasial dalam Menyusun Peta Biomasa Lanskap Resolusi Sedang Menggunakan Data Terestris dan Citra Satelit. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.
29 [JICA-FAHUTAN IPB] Japan International Coorperation Agency dan Fakultas Kehutanan IPB.2011. Manual Penafsiran Citra ALOS-PALSAR Untuk Mengenali Penutupan Lahan/Hutan di Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Penafsiran Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing dan Image Interpretation. Mulyanto, Jaya INS. 2004. Analisis spasial degradasi hutan dan deforestasi: studi kasus di PT. Duta Maju Timber, Sumatera Barat. J Man Hut Trop. 10(1):29-42. Nawir AA, Muniarti, Rumboko L. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). Santilli A, Moutinho P, Schwartzman S, Nepstad D, Curran L, Nobre C. 2005. Tropical deforestation and the kyoto protocol. Climatic Change. 71:26276.doi:10.1007/s10584-005-8074-6. Sasaki T.S. Ahmad AH., Ahmad ZA. 2011. REDD development in Cambodia. potential carbon emission reduction in REDD project. FORMATH.10:1-23. Siswoko BD. 2008. Pembangunan, deforestasi dan perubahan iklim. J Man Hut Trop. 14(2):88-95. Sohngen B, Beach RH, Andrasko K. 2008. Avoided deforestation as a greenhouse gas mitigation tool: economic issues. J Environm Qlty.37(4):1368-1375. Sohngen B, Sedjo R. 2006. Carbon sequestration in global forests under different carbon price regimes. J The Energy. 3:109-126. Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1996. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Paper No (9). Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1 dan 2. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada Press. Wibowo DH, Byron RN. 1999. Deforestation mechanisms: a survey. J Soc Econm. 26(1/2/3):455-474. Wulandari R. 2011. Pemodelan spasial deforestasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, periode 2000-2010 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
30 Lampiran 1 Peta deforestasi periode 1990-2000
Lampiran 2 Peta deforestasi periode 2000-2003
31 Lampiran 3 Peta deforestasi periode 2003-2006
Lampiran 4 Peta deforestasi periode 2006-2009
32 Lampiran 5 Peta deforestasi periode 2009-2011
Lampiran 6 Peta deforestasi periode 2000-2011
33 Lampiran 7 Kelas deforestasi kecamatan menurut periode waktu Klaster
Kecamatan
1900-2000
2000-2003
2003-2006
2006-2009
2009-2011
2000-2011
C1
Mendahara
D1
D1
D3
D1
D1
D1
C2
Dendang
D3
D1
D3
D1
D2
D2
C3
Muara Sabak
D1
D3
D1
D3
D3
D3
C4
Rantau Rasau
D1
D1
D1
D1
D3
D1
C5
Nipah Panjang
D1
D2
D2
D2
D2
D2
C6
Sadu
D1
D1
D1
D1
D1
D1
C7
Tungkal Ulu
D3
D2
D3
D3
D3
D3
C8
Pengabuan
D3
D2
D3
D1
D1
D1
C9
Tungkal Ilir
D3
D1
D3
D3
D1
D3
C10
Tebo Ilir
D3
D1
D1
D3
D1
D3
C11
Tebo Tengah
D2
D2
D2
D2
D2
D2
C12
Rimbo Bujang
D2
D2
D2
D2
D2
D2
C13
Tebo Ulu
D1
D1
D1
D1
D1
D1
C14
Pelepat
D1
D1
D1
D1
D1
D1
C15
Muara Bungo
D2
D3
D2
D3
D3
D3
C16
Rantau Pandan
D1
D1
D1
D1
D1
D1
C17
Tanah Sepenggal
D1
D1
D1
D1
D1
D1
C18
Tanah Tumbuh
D2
D2
D2
D2
D2
D2
C19
Jujuhan
D1
D1
D1
D1
D1
D1
Lampiran 8 Luas hutan pada tahun pengamatan di wilayah studi (ha) Kecamatan
1990
2000
2003
2006
Mendahara
66 369.05
29 793.15
16 793.72
16 568.06
13 819.33
13 819.33
Dendang
58 326.83
20 355.99
20 304.35
11 390.72
7921.03
7085.03
Muara Sabak
22 057.71
17 019.54
15 684.31
11 809.72
9586.84
8309.52
Rantau Rasau
27 318.86
19 016.09
19 016.09
19 016.09
19 011.14
19 011.14
Nipah Panjang
51 431.42
37 687.24
37 687.24
37 687.24
37 653.65
37 653.65
Sadu
2009
2011
42 686.01
31 964.28
31 964.28
31 964.28
31 798.03
31 798.03
156 517.53
94 056.75
85 720.72
76 681.10
57 722.28
55 534.40
Pengabuan
30 672.90
13 428.00
9791.33
6378.36
202.21
122.53
Tungkal Ilir
90 001.75
16 573.58
12 473.04
6959.32
5397.89
5397.89
Tungkal Ulu
Tebo Ilir Tebo Tengah Rimbo Bujang Tebo Ulu Pelepat Muara Bungo Rantau Pandan Tanah Sepenggal Tanah Tumbuh Jujuhan
73 070.50
47 418.92
35 860.28
34 961.52
12 779.57
12 779.57
167 426.77
153 014.85
107 450.03
107 450.03
94 322.82
94 322.82
2135.40
2135.40
0.00
0.00
0.00
2135.40
127 290.66
110 604.91
78 375.91
76 436.06
57 936.39
56 959.24
48 005.25
45 448.48
45 448.48
45 894.81
45 423.23
45 423.23
5648.53
1485.04
145.85
145.85
119.96
1459.15
25 411.55
22 748.94
22 748.94
22 748.94
16 585.02
16 585.02
1111.76
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
73 956.73
58 157.45
58 157.45
58 097.47
49 102.94
49 102.94
13.97
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
34 Lampiran 9 Luas deforestasi setiap periode waktu (ha) Kecamatan
1900-2000
2000-2003
2003-2006
2006-2009
2009-2011
2000-2011
Mendahara
26 598.93
12 373.78
11 996.58
2225.18
0.00
23 572.22
Dendang
37 970.85
51.64
6330.02
916.24
836.01
7620.04
5038.16
1335.23
2374.46
2040.56
12 77.32
6028.97
Muara Sabak Rantau Rasau
8302.77
0.00
0.00
4.96
0.00
4.96
Nipah Panjang
13 744.18
0.00
0.00
33.59
0.00
33.59
Sadu
10 721.74
0.00
0.00
166.25
0.00
166.25
Tungkal Ulu
46 914.10
6608.32
9134.68
19 859.85
21 87.88
32 920.21
Pengabuan
17 244.91
3636.67
3299.64
1407.54
79.69
7010.46
Tungkal Ilir
49 833.61
2570.90
8788.38
5972.70
0.00
14 582.74
Tebo Ilir
27 093.76
12 669.78
898.77
22 181.95
0.00
34 639.35
Tebo Tengah
14 411.92
45 564.82
0.00
13 127.21
14.25
58 564.85
Rimbo Bujang
0.00
2135.40
0.00
0.00
0.00
0.00
15 812.73
32 063.61
19 24.93
18 988.47
844.86
53 480.22
Pelepat
1822.67
0.00
0.06
25.25
0.00
25.25
Muara Bungo
4163.50
1339.19
0.00
25.89
0.00
25.89
Rantau Pandan
2662.61
0.00
0.00
6163.92
0.00
6163.92
Tanah Sepenggal
1111.76
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15 799.28
0.00
59.98
8994.53
0.00
9054.51
13.97
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Tebo Ulu
Tanah Tumbuh Jujuhan
Lampiran 10 Persentase deforestasi setiap periode waktu (%) Kecamatan
1900-2000
2000-2003
2003-2006
2006-2009
2009-2011
2000-2011
Mendahara
0.40
0.42
0.71
0.13
0.00
1.71
Dendang
0.65
0.00
0.31
0.08
0.11
1.08
Muara Sabak
0.23
0.08
0.15
0.17
0.13
0.73
Rantau Rasau
0.30
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Nipah Panjang
0.27
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sadu
0.25
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
Tungkal Ulu
0.30
0.07
0.11
0.26
0.04
0.59
Pengabuan
0.56
0.27
0.34
0.22
0.39
57.22
Tungkal Ilir
0.55
0.16
0.70
0.86
0.00
2.70
Tebo Ilir
0.37
0.27
0.03
0.63
0.00
2.71
Tebo Tengah
0.09
0.30
0.00
0.12
0.00
0.62
Rimbo Bujang
0.00
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Tebo Ulu
0.12
0.29
0.02
0.25
0.01
0.94
Pelepat
0.04
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Muara Bungo
0.74
0.90
0.00
0.18
0.00
0.02
Rantau Pandan
0.10
0.00
0.00
0.27
0.00
0.37
Tanah Sepenggal
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Tanah Tumbuh
0.21
0.00
0.00
0.15
0.00
0.18
Jujuhan
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
35 Lampiran 11 Laju deforestasi setiap periode waktu (ha/tahun) Kecamatan
1900-2000
2000-2003
2003-2006
2006-2009
2009-2011
2000-2011
Mendahara
2659.89
4124.59
3998.86
741.73
0.00
2142.93
Dendang
3797.08
17.21
2110.01
305.41
418.00
692.73
503.82
445.08
791.49
680.19
638.66
548.09
Rantau Rasau
830.28
0.00
0.00
1.65
0.00
0.45
Nipah Panjang
1374.42
0.00
0.00
11.20
0.00
3.05
Sadu
1072.17
0.00
0.00
55.42
0.00
15.11
Tungkal Ulu
4691.41
2202.77
3044.89
6619.95
1093.94
2992.75
Pengabuan
1724.49
1212.22
1099.88
469.18
39.84
637.31
Tungkal Ilir
4983.36
856.97
2929.46
1990.90
0.00
1325.70
Tebo Ilir
2709.38
4223.26
299.59
7393.98
0.00
3149.03
Tebo Tengah
1441.19
15 188.27
0.00
4375.74
7.13
5324.08
Muara Sabak
Rimbo Bujang
0.00
711.80
0.00
0.00
0.00
0.00
1581.27
10 687.87
641.64
6329.49
422.43
4861.84
Pelepat
182.27
0.00
0.02
8.42
0.00
2.30
Muara Bungo
416.35
446.40
0.00
8.63
0.00
2.35
Rantau Pandan
266.26
0.00
0.00
2054.64
0.00
560.36
Tanah Sepenggal
111.18
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1579.93
0.00
19.99
2998.18
0.00
823.14
1.40
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Tebo Ulu
Tanah Tumbuh Jujuhan
36
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1991 di Pariaman, Sumatera Barat sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Jafri dan Ibu Dewi Fitriani. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 11 Lubuk Buaya, Padang tahun 2003. Pendidikan menengah pertama penulis tempuh di MTsN Model Padang (2003-2006), kemudian pendidikan menengah atas penulis tempuh di SMU Negeri 1 Parit Malintang, Padang Pariaman dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 pula penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah menjadi anggota PASKIBRA (Pasukan Pengibar Bendera) IPB tahun 2009-2010. Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yaitu pengurus Himpunan Profesi Forest Management Student Club (FMSC) sebagai anggota divisi PSDM tahun 2010-2011 dan menjadi Penanggung Jawab (PJ) Kelompok Studi Perencanaan divisi Keprofesian FMSC tahun 2011-2012. Penulis juga pernah terlibat dalam kepanitian Masa Perkenalan Fakultas yaitu BCR (Bina Corps Rimbawan) sebagai anggota divisi Komisi Disiplin tahun 2011. Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Dendrologi tahun 2011, mata kuliah Ekologi Hutan tahun 2012, mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2012, mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2012 dan 2013, mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan tahun 2013, dan mata kuliah Analisis Biaya Pengelolaan Hutan tahun 2013. Selain aktif menjadi asisten mata kuliah di Departemen Manajemen Hutan, penulis juga pernah menjadi asisten Pelatihan Sistem Informasi Geografis Tingkat Dasar (Basic Training on Geographic Information System) tahun 2013, asisten Pelatihan Penyusunan Model Allometrik Penduga Biomasa dan Karbon Hutan dari Kementrian Kehutanan tahun 2013, dan juga pernah menjadi peserta The Collaborative Courseof Terestrial Laser Scanning-Remote Sensing from The Ground, organized jointly by the Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University and George-August-Universitat Gottingen, in Bogor, 2013. Penulis melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Gunung Sawal dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat tahun 2011, Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi tahun 2012, dan Praktik Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT.Trisetia Intiga, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah tahun 2013. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Penelitian dan menyusus skripsi dengan judul “Penyusunan Baseline Deforestasi Berbasis Spasial pada Beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi” di bawah bimbingan Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr.