Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah* I.
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi fenomena ini terutama disebabkan oleh alasan politik. Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting didalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan pusat atau terpusat yang cenderung otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal yang dipilih langsung oleh masyarakat. Alasan lainnya atas maraknya proses desentralisasi adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan kepada masyarakat oleh penyelenggara pemerintahan. Didalam konteks ini titik berat desentralisasi adalah pelayanan bukan kekuasaan. Dengan kata lain desentralisasi adalah suatu upaya mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya (bringing the State closer to the people). Seiring dengan telah terselesaikannya kendala kehidupan politik di Indonesia yang ditandai dengan telah terbentuknya penyelenggara pemerintahan yang baru hasil suatu proses yang cukup demokratis, maka harapan akan membaiknya perekonomian dan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya di Indonesia menjadi terbuka, dan semoga dalam tempo yang tidak terlalu lama harapan tersebut akan menjadi kenyataan. Selain itu juga semangat reformasi dan perubahan diberbagai bidang serta dorongan dan dampak dari proses demokratisasi telah menggugah pemerintah bersama dengan parlemen untuk melahirkan dua undang-undang yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan dasar bagi proses desentralisasi dan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari provider menjadi fasilitator.
I.
Pembagian Kewenangan Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Agar desentralisasi dapat berjalan dengan baik maka sebagai langkah awal adalah pembagian kewenangan. Dengan pembagian ini akan jelas siapa melakukan apa, dan *
Dr. Ir. Deddy Supriady Bratakusumah, BE, MURP, MSc, adalah Tenaga Ahli Pengembangan Otonomi Daerah Bappenas-red.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
1
siapa membiayai apa. Pemisahan dan pemilahan ini akan berdampak pada tatanan kelembagaan dan akhirnya pada penyediaan dan penempatan pegawai. Pembagian kewenangan dari sudut pandang masyarakat dapat ditentukan dengan siapa yang akan menerima manfaat dan siapa yang akan menanggung beban atau resiko atau dampak. Sebagai contoh penyelenggaraan upaya pertahanan negara akan bermanfaat bagi seluruh bangsa dan harus didanai oleh seluruh bangsa secara nasional, oleh karenanya bidang pertahanan merupakan kewenangan pemerintahan nasional (pusat). Namun "lampu penerangan jalan" misalnya, hanya bermanfaat bagi penghuni kota atau permukiman tertentu dan dapat didanai oleh masyarakat setempat, karenanya hal ini mutlak kewenangan pemerintahan kota. Secara garis besar UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan jelas telah mengatur masalah pembagian kewenangan ini. Undang-undang menyuratkan bahwa kewenangan pemerintah di tingkat lokal akan bertambah dan mencakup kewenangan pada hampir seluruh bidang pemerintahan. Sementara itu kewenangan yang terdapat pada pemerintah pusat terbatas hanya pada kewenangan di bidang: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan keamanan; (c) peradilan; (d) moneter dan fiskal; (e) agama; dan (f) kewenangan di bidang lain. Khusus mengenai kewenangan dan tanggung jawab di bidang lain yang masih dimiliki oleh pusat sebagaimana dijelaskan didalam pasal 7, UU No. 22 Tahun 1999 meliputi kewenangan: (a) perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro; (b) dana perimbangan keuangan; (c) sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (d) pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (e) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis; (f) konservasi; dan (g) standarisasi nasional. Di dalam UU No.22 Tahun 1999 secara tegas dinyatakan bahwa kewenangan daerah adalah: "Mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.1" Kewenangan ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan yang masih harus berada ditangan pusat. Lebih rinci lagi kewenangan daerah yang terdapat di dalam undang-undang adalah: 1.
Mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan,2
2.
Mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai kearah laut lepas dan berwenang melakukan: - ekplorasi, ekploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; - pengaturan kepentingan administratif;
1 2
Pasal 1 huruf i, UU No. 22/1999 Pasal 10 ayat 1, UU No. 22/1999
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
2
- pengaturan tata ruang; - penegakan hukum; dan - perbantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. 3.
Melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendididkan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.3
4.
Membiayai pelaksanaan tugas pemerintah daerah dan DPRD.4
5.
Melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan atau luar negeri dengan persetujuan DPRD dan Pusat untuk pinjaman luar negeri.5
6.
Menentukan tarif dan tata cara pemungutan retribusi dan pajak daerah.6
7.
Membentuk dan memiliki Badan Usaha Milik Daerah.7
8.
Menetapkan APBD.8
9.
Melakukan kerjasama antar daerah atau badan lain, dan dapat membentuk Badan Kerjasama baik dengan mitra didalam maupun diluar negeri.9
10. Menetapkan pengelolaan Kawasan Perkotaan.10 11. Pemerintahan kota/kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola kawasan perkotaan.11 12. Membentuk, menghapus, dan menggabungkan desa yang ada di wilayahnya atas usul dan prakarsa masyarakat dan persetujuan DPRD.12 13. Mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa.13 14. Membentuk Satuan Polisi Pamong Praja.14 Lebih jauh lagi Pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 mengatur kewenangan propinsi sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administrasi. Kewenangan tersebut meliputi:
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pasal 76, UU No. 22/1999 Pasal 78, UU No. 22/1999 Pasal 81, UU No. 22/1999 Pasal 82, UU No. 22/1999 Pasal 84, UU No. 22/1999 Pasal 86, UU No. 22/1999 Pasal 87 dan 88, UU No. 22/1999 Pasal 91 UU No. 22/1999 Pasal 91, UU No. 22/1999 Pasal 93, UU No. 22/1999 Pasal 111, UU No. 22/1999 Pasal 120, UU No. 22/1999
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
3
1.
Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya,
2.
Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/ kota.
3.
Sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
Selain kewenangan-kewenangan umum yang telah disebutkan diatas, bagi daerah kabupaten dan daerah kota diwajibkan menyelenggarakan kewenangan wajib sebagai berikut: (1) pekerjaan umum; (2) kesehatan; (3) pendidikan dan kebudayaan; (4) pertanian; (5) perhubungan; (6) industri dan perdagangan; (7) penanaman modal; (8) lingkungan hidup; (9) pertanahan; (10) koperasi; dan (11) tenaga kerja. Untuk daerah kota disamping kewajiban diatas juga diwajibkan untuk menyediakan kebutuhan utilitas kota sesuai kondisi dan kebutuhan kota yang bersangkutan, utilitas kota ini antara lain: (1) pemadam kebakaran; (2) kebersihan; (3) pertamanan; dan (4) tata kota.15 Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota diatas berlaku juga di kawasan otorita yang terletak didaerahnya. Kawasan otorita yang dimaksud meliputi:16 (1) badan otorita; (2) kawasan pelabuhan; (3) kawasan bandar udara; (4) kawasan perumahan; (5) kawasan industri; (6) kawasan perkebunan; (7) kawasan pertambangan; (8) kawasan kehutanan; (9) kawasan pariwisata; (10) kawasan jalan bebas hambatan; (11) kawasan lain yang sejenis. Selain itu, berbagai kewenangan yang dipunyainya daerah juga dapat ditugasi oleh pusat untuk membantu melaksanakan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh pusat (Tugas Pembantuan). Untuk penugasan ini undang-undang mensyaratkan harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya daerah wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 1999 secara eksplisit merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Karenanya pemerintah daerah harus menjadikan otonomi daerah dan desentralisasi sebagai modal awal bagi upaya peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah yang berorientasi untuk kepentingan daerah. Sehingga paradigma "pembangunan di daerah" akan berubah menjadi "pembangunan daerah", di daerah, oleh daerah, untuk kepentingan daerah. Di masa depan hanya program pembangunan yang memiliki karakter kepentingan nasional (national interest) atau bersifat strategis nasional (national strategic) yang masih tetap akan dilakukan oleh pemerintah pusat guna memelihara kepentingan 15 16
Penjelasan Pasal 11 ayat 2, UU No. 22/1999 Pasal 119, UU No. 22/1999
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
4
nasional dalam rangka negara kesatuan. Salah satu contoh dari upaya pusat didalam kegiatan ini adalah pelaksanaan program pembangunan infrastruktur lintas wilayah dalam rangka meningkatkan arus sumber daya lintas wilayah, dan program-program di berbagai bidang dalam rangka pemerataan pembangunan antar wilayah, antar daerah, dan antar kelompok.
III. Hubungan Antara Pusat dan Daerah dan Hubungan Antardaerah Pasal 4 ayat 1 dan 2, UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota tidak lagi mempunyai hubungan hierarki. Karenanya masing-masing daerah secara otonom mempunyai wewenang untuk: (1) merencanakan; (2) melaksanakan; dan (3) mengawasi pembangunan di daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah kabupaten/kota tidak lagi diatur dan tergantung kepada pemerintah daerah propinsi. Demikian pula halnya dengan pemerintah propinsi tidak diatur dan tergantung pada pemerintah pusat, kecuali untuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi dan pembantuan. Hubungan hierarki secara implisit sudah tidak ada lagi namun demikian hubungan fungsional dan koordinatif masih tetap diperlukan dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam alam desentralisasi yang demokratis yang diwujudkan dengan otonomi yang luas tersebut, "pengarahan" akan diganti oleh "konsultasi dan koordinasi yang mendalam dan meluas", sehingga menghasilkan konsensus yang positif dan produktif. Yang perlu dihindari adalah bahwa otonomi yang akan terjadi justru akan menghilangkan keduanya - pengarahan dan konsultasi - sehingga menjadi anarkis bahkan menjauhkan kita dari tujuan otonomi dalam kerangka negara kesatuan yang kita cita-citakan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Mencegah hal ini, menjadi tugas dan tanggung jawab pembuat kebijakan dalam proses perencanaan untuk mengembangkannya. Urusan-urusan dan wewenang yang sudah diserahkan kepada daerah kabupaten/kota kegiatannya tidak akan diusulkan ke pusat melalui propinsi. Kegiatankegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota cukup dikoordinasikan di tingkat kabupaten/kota bagi kelurahan/desa dan kecamatan yang ada di wilayahnya. Sedangkan usulan kegiatan yang mencakup lintas kabupaten atau kota dan atau bersifat strategis propinsi cukup dibahas ditingkat propinsi. Usulan kegiatan yang mencakup lintas propinsi dan atau bersifat kepentingan nasional dapat diusulkan dan dibahas ditingkat nasional. Forum "Konasbang" didalam masa transisi dan dimasa depan diharapkan akan lebih sederhana, bersifat konsultasi dan koordinasi sebagai upaya pemadu-serasian antara perencanaan makro dan perencanaan regional serta daerah. Usulan yang dibahaspun akan semakin sedikit jumlahnya. Pendanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, mekanisme dan dasar pengalokasiannyapun akan berubah sesuai dengan jiwa UU No. 25/1999. Dana transfer dari pusat yang berupa alokasi umum akan bersifat "block grant", yang besarannya untuk setiap daerah sudah tetap dan baku sesuai dengan formula yang saat ini sedang dirumuskan. Dengan demikian pada setiap akhir tahun anggaran yang berjalan daerah dapat memperkirakan berapa dana yang akan diterimanya dari pusat sebagai dana alokasi umum.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
5
IV.
Penutup
Dengan akan segera diterbitkannya berbagai peraturan pelaksanaan atas UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, maka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dapat segera dilakukan. Namun demikian persiapan untuk pelaksanaan di daerah seyogyanya segera dimulai tanpa menunggu terbitnya peraturan tersebut. Desentralisasi dan perluasan otonomi daerah adalah suatu kesempatan yang baik bagi penyelenggara pemerintahan di daerah dalam menunjukan kinerjanya melayani masyarakat dan sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah untuk meningkatkan diri didalam menghadapi pelaksanaannya. Sehingga melalui desentralisasi dan perluasan otonomi daerah akan dihasilkan suatu penyelenggraan pemerintahan di daerah yang bersifat melayani masyarakat, efisien, demokratis, aspiratif, responsif, terbuka dan bertanggung jawabÂ
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
6
Daftar Pustaka
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor Pemerintahan Daerah, Jakarta 1999.
22
Tahun
1999
tentang
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta 1999.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
7