Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif Rahayu Ningtyas* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Pengolahan air limbah secara biologis dilakukan untuk mengurangi tingkat BOD suatu limbah sehingga aman dibuang ke lingkungan. Proses yang paling umum digunakan diantaranya adalah proses lumpur aktif. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sedimentasi primer, reaksi pada tangki aerasi, sedimentasi sekunder, resirkulasi, serta penghilangan lumpur sisa. Limbah yang masuk ke dalam sistem disedimentasi untuk mengendapkan partikel pengotor. Selanjutnya reaksi biokimia dengan komponen organik lumpur terjadi di reaktor aerasi. Biomassa terbentuk karena adanya substrat dalam lumpur. Pengendapan biomassa terjadi dalam tangki pengendapan sekunder. Bagian solid dalam tangki tersebut kemudian disirkulasi ke dalam tangki aerasi untuk mempertahankan konsentrasi biomassa dalam reaktor sehingga berpengaruh tehadap efisiensi sistem. Lumpur sisa dari pengolahan ini kemudian diarahkan menuju tempat pengolahan lumpur. Selain itu pada proses ini terjadi nitrifikasi dan denitrifikasi oleh mikroba. Permasalahan yang sering terjadi pada proses lumpur aktif diantaranya adanya fenomena bulking dan foaming yang disebabkan oleh bakteri berfilamen pada bak aerasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, proses sedimentasi sekunder dapat digantikan dengan membran ultrafiltrasi. Saat ini proses lumpur aktif dapat digantikan dengan bioreaktor membran. Beberapa manfaat dari bioreaktor membran diantaranya adalah efluen yang dihasilkan lebih baik, ruangan yang dibutuhkan lebih sedikit, serta lumpur sisa yang dihasilkan lebih sedikit sehingga lebih hemat dan proses cleaning yang dilakukan lebih sedikit intensitasnya. Kata kunci : proses lumpur aktif, activated sludge process, bioreaktor membran
1. Pendahuluan Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan sistem biakan tersuspensi telah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk pengolahan air limbah domestik. Proses ini secara prinsip merupakan proses aerobik dimana senyawa organik dioksidasi menjadi CO2, H2O, NH4 dan sel biomassa baru. Sumber oksigen dapat diperoleh dengan cara aerasi. Sistem pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi yang paling umum digunakan adalah proses pengolahan dengan Sistem Lumpur Aktif (Activated Sludge Process) [1]. Beberapa karakteristik dari proses ini adalah kualitas air output yang tinggi. Namun proses ini cukup sulit diaplikasikan dibandingkan dengan metode penanganan limbah lain karena teknologi yang rumit serta konsumsi energi listrik yang lebih tinggi untuk proses aerasi [2]. Saat ini, proses lumpur aktif sering digunakan pada penanganan limbah hasil dari reaktor anaerob. Sistem ini diduga dapat mengurangi
konsumsi energi serta menghasilkan sedikit sisa lumpur. Tujuan dari penanganan dengan proses lumpur aktif diantaranya adalah penghilangan BOD, nitrifikasi, serta denitrifikasi [3]. Pada penghilangan BOD, umpan limbah dimetabolisme oleh mikroba pada lumpur aktif sebagai substrat sehingga terkonversi menjadi biomassa, air, karbon dioksida, dan gas lainnya. Pada proses nitrifikasi, terjadi oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri. Sedangkan proses denitrifikasi, nitrit dan nitrat terkonversi menjadi gas, khususnya adalah gas nitrogen. Biomassa terpisah pada tangki sedimentasi sekunder sehingga mengalami flokulasi dan pengendapan. Hal ini menyebabkan bakteri, protozoa, dan mikroorganisme lain membentuk floc makroskopis sehingga dapat tersedimentasi [2]. Pelekatan mikroorganisme ini dibantu oleh matriks polisakarida yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Activated sludge floc dapat dilihat pada Gambar 1.
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
2
melakukan pertumbuhan sehingga di dalam bak aerasi terjadi perkembangan biomassa dalam jumlah yang besar. Mikroorganisme ini yang akan menguraikan senyawa polutan dalam air limbah [1].
Gambar 1. Activated Sludge Floc [2] 2. Proses Pengolahan Terdapat empat proses utama yang terjadi pada sistem lumpur aktif, diantaranya adalah tangki aerasi, tangki pengendapan, resirkulasi lumpur, serta penghilangan lumpur sisa. Reaksi biokimia dengan komponen organik lumpur berada di biological reactor (aeration tank). Biomassa terbentuk karena adanya substrat dalam lumpur. Pengendapan biomassa terjadi dalam tangki pengendapan sekunder. Bagian solid dalam tangki tersebut kemudian disirkulasi ke dalam tangki aerasi untuk mempertahankan konsentrasi biomassa dalam reaktor sehingga berpengaruh tehadap efisiensi sistem. Lumpur sisa dari pengolahan ini kemudian diarahkan menuju tempat pengolahan lumpur. Sehingga dapat diketahui bahwa terdapat tiga jenis lumpur yang terlibat dalam proses ini, yaitu lumpur sisa, lumpur biomassa yang berada pada bak aerasi, serta lumpur sekunder yang berada pada tangki pengendapan [2]. Ilustrasi sederhana proses lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 2. Sebelum memasuki proses tersebut air limbah dapat diendapkan terlebih dahulu dalam bak pengendap awal. Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi sekitar 30-40 % serta BOD sekitar 25%. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan menuju bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembuskan dengan udara sehingga mikroorganisme menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang diperoleh mikroorganisme tersebut digunakan oleh mikroba untuk
Gambar 2. Ilustrasi sederhana pengolahan limbah degan metode lumpur aktif [4] Air kemudian dialirkan ke tangki pengendapan sekunder. Di dalam tangki ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan dari tangki pengendapan sekunder dialirkan menuju bak klorinasi. Disini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air dari proses klorinasi tersebut dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan konsentrasi BOD 250-300 mg/L dapat diturunkan kadar BOD-nya menjadi 20-30 mg/L. Surplus lumpur dari keseluruhan proses ditampung dalam bak pengering lumpur sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah [1]. Mikroorganisme yang ditemukan pada bak aerasi diantaranya adalah bakteri, protozoa, metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi. Sedangkan mikroorganisme yang paling berperan pada proses lumpur aktif adalah bakteri aerob [3]. Mikroorganisme memanfaatkan polutan organik terlarut dan partikel organik sebagai sumber makanan. Polutan organik terlarut dapat masuk ke dalam sel dengan cara absorpsi. Sedangkan partikel organik tidak dapat masuk ke dalam sel sebagai sumber makanan. Partikel organik pada limbah hanya menempel pada dinding sel (adsorpsi). Selanjutnya sel menghasilkan enzim agar dapat melarutkan partikel. Dengan cara ini, bakteri dapat menghilangkan polutan organik baik
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
3
yang terlarut maupun berupa partikel yang terdapat dalam limbah [5].
c) Mixed-Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS)
Nilai pH pada bak aerasi harus dikontrol agar sesuai dengan pertumbuhan mikroba. Untuk mengatur nilai pH maka dilakukan penambahan asam atau basa pada mixed liquor. Selain itu, terdapat penambahan urea dan asam posfat sebagai sumber N dan P untuk mibroba [6].
MVLSS merupakan material organik yang terkandung dalam MLSS, tanpa mikroba hidup, mikroba mati, serta hancuran sel. MVLSS diukur dengan memanaskan sampel filter yang telah kering pada temperatur 600-6500C. Nilai dari MVLSS biasanya mendekati 65-75% dari MLSS [1].
3. Variabel Operasional dalam Activated Sludge Process
d) Food to Microorganism Ratio atau Food to Mass Ratio (F/M Ratio)
Beberapa variabel operasional diperhatikan pada proses lumpur diantaranya adalah sebagai berikut.
Parameter ini menunjukkan jumlah zat organik (BOD) yang hilang dibagi dengan jumlah mikroorganisme di dalam bak aerasi. Besarnya nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kg BOD per kg MLSS per hari. Nilai F/M ratio dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.
yang aktif
a) Beban BOD (BOD Loading Rate atau Volumetric Loading Rate) Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor [1]. Beban BOD dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
Q.S0 BebanBOD kg / m3 .hari V Dengan: Q= debit air limbah yang masuk (m3/hari)
F/M
Q.( S0 S ) MLSS.V
Dengan : Q= debit air limbah yang masuk (m3/hari) S0= konsentrasi BOD dalam air limbah yang masuk (kg/m3) V= volume reaktor (m3)
S0= konsentrasi BOD dalam air limbah yang masuk (kg/m3)
S= konsentrasi BOD dalam effluent (kg/m3)
V= volume reaktor (m3)
MLSS = Mixed liquor suspended solid (kg/m3)
b) Mixed-Liquor Suspended Solid (MLSS)
Nilai F/M ratio dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari tangki pengendapan sekunder yang disirkulasikan menuj bak aerasi. Semakin tinggi laju sirkulasi lumpur maka semakin tinggi pula nilai F/M ratio. Standar F/M ratio untuk pengolahan limbah dengan sistem lumpur aktif yaitu 0,2-0,5 kg BOD / kg MLSS, namun nilai tersebut dapat lebih tinggi dari 1,5 kg BOD/kg MLSS. Rasio F/M yang rendah menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi semakin produktif dalam memetabolisme limbah. Semakin rendah rasio F/M maka sistem pengolahan limbah semakin efisien [1].
Campuran antara air limbah, biomassa, dan padatan tersuspensi lainnya yang berada di bak aerasi pada proses pemgolahan air limbah sering disebut mixed liquor. Sedangkan MLSS merupakan jumlah total dari padatan tersuspensiyang berupa material organik, mineral, serta mikroorganisme. MLSS dapat diketahui kadarnya dengan gravimetri, yaitu dengan cara menyaring lumpur dengan cara filtrasi, dikeringkan pada temperatur 1050C, dan ditimbang agar diketahui massanya [1].
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
4
e) Hydraulic Retention Time (HRT)
SSe= padatan tersuspensi dalam effluent (mg/L)
Waktu tinggal hidraulik (HRT) merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh influent pada tangki aerasi untuk menjalani proses lumpur aktif. Nilai HRT berbanding terbalik terhadap laju pengenceran.
SSw= padatan tersuspensi dalam influent (mg/L)
HRT
1 V D Q
Dengan: V= volume reaktor atau bak aerasi (m3) Q= debit air limbah yang masuk bak aerasi (m3/jam) D= laju pengenceran (jam-1) f) Hydraulic Recycle Ratio / Rasio Sirkulasi Lumpur (HRT) Rasio sirkulasi lumpur adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke dalam bak aerasi dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi [1]. g) Sludge Age (Umur Lumpur) Umur lumpur biasa dikenal juga dengan waktu tinggal rata-rata sel (mean cell residence time). Parameter ini menunjukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat mencapai hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan persamaan berikut.
Umurlumpur(hari)
MLSS.V SSe .Qe SS w . X .Qw
Dengan: MLSS= Mixed Liquor Suspended Solid (mg/L) V= volume reaktor atau bak aerasi (m3) Qw= laju influent air limbah (m3/hari) Qe= laju effluent air limbah (m3/hari)
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5-15 hari untuk sistem lumpur aktif konvensional. Umur lumpur pada musim dingin dapat lebih lama dibandingkan dengan saat musim panas. Parameter penting saat mengendalikan operasi lumpur aktif adalah beban organik/beban BOD, persebaran oksigen, serta pengendalian dan operasi pada tangki pengendapan. Tangki pengendapan memiliki dua fungsi yaitu untuk penjernihan (clarfification) dan pemekatan lumpur (thickening). Pengendapan lumpur tergantung pada rasio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase saat sumber karbon dan sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur dapat terjadi saat rasio F/M rendah. Dalam air limbah domestik, rasio F/M yang optimum yaitu antara 0,2-0,5. Sedangkan rata-rata waktu tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3-4 hari. Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi karena gangguan terhadap parameter fisik (temperatur, pH), kekurangan substrat pada lumpur, serta kehadiran zat toksik yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk. Kemampuan pengendapan lumpur dapat diketahui dengan menentukan Sludge Volume Index (SVI). Caranya adalah dengan memasukkan mixed liquor dari bak aerasi ke dalam silinder kerucut volume 1 L dan dibiarkan selama 30 menit. Selanjutnya volume lumpur dicatat. SVI menunjukkan besarnya volume yang dapat ditempati 1 gr lumpur. Jika nilai MLSS <3.500 mg/L, maka nilai SVI standar adalah 50-150 mL/g [1]. Nilai SVI dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
SVI (mL / g )
SV .1000 mL / g MLSS
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
Dengan: SV= Volume endapan lumpur dalam silinder kerucut setelah 30’ pengendapan (mL) h) Kebutuhan Oksigen Dalam kondisi aerob, oksigen dibutuhkan dalam metabolisme untuk menguraikan sumber karbon dan sumber nitrogen. Pada peristiwa denitrifikasi, oksigen dapat disimpan dalam tubuh mikroba [2]. i) Pengaruh Temperatur Temperatur cukup berpengaruh terhadap aktivitas biologis pada lumpur aktif. Temperatur operasi harus sesuai dengan mikroorganisme yang berada di lumpur aktif. Namun jika dibandingkan dengan sistem lain, proses lumpur aktif tidak terlalu sensitif terhadap perubahan temperatur. Jika kondisi operasi optimum mikoba tidak sesuai dengan
5
kondisi operasi sistem, maka dapat dilakukan aklimatisasi terhadap mikroba [2]. Aklimatisasi merupakan proses adaptasi mikroba hingga dapat tumbuh pada kondisi operasi yang diinginkan secara bertahap. j) Pengaruh Aliran Besarnya aliran influent yang masuk harus dikontrol agar sesuai dengan kemampuan mikroba dalam mengonsumsi komponen organik dalam limbah dan selanjutya mengendap. Tingginya aliran dapat mempersingkat waktu pengolahan, namun jika aliran terlalu tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme keluar hingga clarifier [7]. 4. Permasalahan dalam Activated Sludge Process Permasalahan yang sering timbul pada proses lumpur aktif dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Permasalahan dalam Activated Sludge Process [1] No. 1
2.
Masalah Pertumbuhan terdispersi (Dispersed Growth) Nonfilamentous bulking
3.
Pinpoint Floc
4.
Rising Sludge
5.
Foaming or Scum Formation
6.
Filamentous Bulking
Penyebab Masalah Mikroorganisme dalam sludge tidak membentuk flok, namun terdispersi menjadi flok kecil sehingga sulit mengendap. Mikroorganisme berada dalam jumla yang besar dan membentuk eksopolisakarida dalam jumlah besar (biofilm) Terbentuk flok berbentuk bola kasar dengan ukuran yang sangat kecil dan kompak. Ukuran flok yang lebih besar mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih beasr, sedangkan agregat yang lebih kecil akan lebih lama mengendap. Ekses dari proses denitrifikasi sehingga partikel lumpur menempel pada gelembung gas nitrogen yang terbentuk dan naik ke permukaan. Terdapat senyawa surfaktan yang tidak dapat terurai, serta akibat berkembang biaknya Nocardia dan Micothrix parvicella Terjadi ekses pertumbuhan mikroorganisme berfilamen dengan jumlah besar
Pengaruh terhadap Sistem Effluent menjadi tidak keruh, sludge yang mengendap pada bak pengendapan akhir sedikit sehingga jumlah sirkulasi lumpur berkurang Kecepatan pengendapan lumpur berkurang. Pada kondisi buruk dapat mengakibatkan lumpur terlepas dari bak pengendapan akhir. SVI rendah, efluen keruh
Efluen yang keruh, menurunkan efisieni penghilangan BOD
Terjadi buih pada permukaan bak aerasi dalam jumlah yang besar dan dapat meluap menuju bak pengendapan akhir. Mengurangi efektivitas kompaksi lumpur
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
Masalah yang sering ditemukan pada sistem lumpur aktif dintaranya adalah bulking. Bulking merupakan fenomena saat lumpur aktif berubah menjadi keputih-putihan dan sulit mengendap. Bulking terjadi ketika mikrorganisme berfilamen tumbuh dalam jumlah yang besar. Kerugian dari fenomena ini diantaranya kehilangan lumpur aktif yang besar sehingga mengurangi efektivitas pengolahan limbah, serta menyebabkan permasalahan lingkungan dan kerusakan pada alat [8]. Hal ini menyebabkan cairan supernatan yang dihasilkan memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi. Masalah lainnya adalah foaming. Terdapat beberapa foam yang tidak hilang dengan percikan air maupun antifoam. Foaming dapat disebabkan oleh bakteri berfilamen Nocardia dan M. parvicella. Penyebab lainnya adalah rendahnya DO, rendahnya rasio F/M, kekurangan nutrien pada limbah (sumber N/P), serta pH < 6 [3]. 5. Modifikasi Proses a. Extended Aeration System (Sistem Aerasi Berlanjut) Proses ini biasa dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem paket (package treatment) dengan ketentuan sebagai berikut. 1.
Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan dengan sistem konvensional. Usia lumpur pun lebih lama hingga 15 hari.
2.
Limbah yang masuk ke dalam reaktor tidak diolah dahulu dalam pengendapan primer.
3.
Sistem beroperasi dengan rasio F/M yang lebih rendah (<0,1 kg BOD/kg MLSS/hari) dibandingkan sistem lumpur aktif konvensional (0,2-0,5 kg BOD/kg MLSS/hari).
b. Oxidation Ditch (Proses dengan Sistem Oksidasi Parit) Sistem ini terdiri dari bak aerasi berupa saluran berbentuk oval yang dilengkapi dengan rotor
6
rotasi untuk aerasi. Saluran tersebut menerima limbah yang telah disaring dan memiliki nilai HRT mendekati 24 jam. Proses ini biasa digunakan untuk pengolahan air limbah domestik dengan komunitas kecil dan emerlukan luas lahan yang besar. c. Step Aeration (Proses dengan Aerasi Bertingkat) Pada sistem ini limbah hasil pengendapan primer masuk ke dalam bak aerasi melalui beberapa saluran sehingga meningkatkan distribusi dalam tangki aerasi dan penggunaan oksigen lebih efisien. Proses ini juga dapat meningkatkan kapasitas sistem pengolahan [1]. d. Contact Stabilization (Sistem Stabilisasi Kontak) Setelah mixed liquor bercampur dalam tangki reaktor kecil selama 20-40 menit, aliran tersebut kemudian dialirkan ke tangki penjerrnih dan lumpur dikembalikan ke dalam tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4-8 jam. Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur. e. Completely Mixed System (Sistem Aerasi dengan Pencampuran Sempurna) Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata. Sistem ini dapat menahan shock load dan toksik. f. High Rate Aeration (Sistem Aerasi Kecepatan Tinggi) Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi. Waktu tinggal hidraulik untuk proses ini sangat singkat. Sistem ini juga beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi. g. Pure Oxygen Aeration (Sistem Aerasi dengan Oksigen Murni) Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju transfer oksigen murni lebih tinggi dibandinkan dengan oksigen pada atmosfer. Pada proses ini efisiensi oksigen
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
terlarut menjadi tinggi sehingga meningkatkan efisiensi pengolahan dan produksi lumpur.
7
Perbedaan antara sistem tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Step Aeration
Contact Stabilization
Modified Aeration
High Rate Aeration
Pure Oxygen Aeration
BOD -MLSS Loading (kg/kg.hari) BODVolume Loading (kg/kg.hari) MLSS (g/L) Sludge age (hari) Kebutuhan udara (Qudara/Qair) Waktu aerasi (jam) Rasio sirkulasi lumpur : Qlumpur/Qli mbah (%) Efisiensi pengolahan (%)
Oxidation Ditch
Kriteria
Extended Aeration System
Tabel 2. Perbedaan modifikasi proses Activated Sludge Process [1]
0,03-0,05
0,03-0,05
0,2-0,4
0,2-0,6
1,5-3
0,02-0,04
0,2-1
0,15-0,25
0,1-0,2
0,4-1,4
0,8-1,4
0,6-2,4
0,6-2,6
1,6-4
3-6
3-6
2-3
3-6
0,4-0,8
3-6
6-8
15-30
15-30
2-4
4
-
2-4
8-20
>15
-
3-7
>12
2-3,5
>15
-
16-24
24-48
4-6
5
1,5-3
2-3
1-3
50-150
50-150
20-30
40-100
5-10
50-150
25-50
75-85
75-85
90
85-90
60-70
75-95
85-95
6. Bioreaktor Membran: Inovasi dari Proses Lumpur Aktif Secara umum, membran reaktor merupakan reaktor aliran sumbat yang mengandung tabung tambahan berupa material berpori atau padat di dalamnya [10]. Kelebihan dari teknologi ini diantaranya tidak melibatkan perubahan fasa atau tambahan bahan kimia, sederhana dalam konsep dan operasi, bersifat modular sehingga mudah scale up, efisiensi tinggi akan bahan baku dan potensi daur ulang produk samping, serta ukuran alat yang lebih kecil [11]. Perkembangan penggunaan membran pada proses pengolahan limbah terjadi secara bertahap seiring dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada proses lumpur aktif terjadi proses aerasi, sedimentasi, dan penghilangan lumpur sisa [16]. Membran pada proses lumpur aktif dapat digunakan setelah proses sedimentasi. Saat ini telah berkembang teknologi bioreaktor membran untuk proses pengolahan limbah [13]. Bioreaktor membran menggabungkan proses tersebut dan mengatasi beberapa kekurangan pada proses lumpur aktif. Selain itu, bioreaktor membran biasa digunakan untuk menangani limbah dengan kandungan ammonia yang tinggi [14]. Perbedaan antara bioreaktor membran dan proses lumpur aktif dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
Tabel 3 Perbandingan membran bioreaktor dan proses lumpur aktif [10]
33,4
Proses Lumpur Aktif 100,3
4,65
6,25
0,069
0,963
8,37
11,25
34,65
48,3
72%
100%
30%
100%
Membran Bioreaktor Luas Area (m2) Kebutuhan Listrik (kW) Jumlah Lumpur (m3/hari) Biaya Operasi ($/hari) Biaya Penanganan Lumpur ($/hari) Perbandingan Biaya Operasi Perbandingan Area
Berdasarkan Tabel 3, salah satu kelebihan dari membran bioreaktor adalah sedikitnya lumpur yang dihasilkan pada membran bioreaktor. Jika dibandingkan dengan proses pengolahan limbah lainnya, lumpur yang dihasilkan oleh sistem membran bioreaktor termasuk yang paling sedikit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan produksi lumpur [15] Proses Submerged MBR Structured media biological aerated filter (BAF) Trickling filter Proses lumpur aktif Granular media BAF
8
MBR karena dapat membatasi fluks maksimum yang dapat dicapai, membutuhkan pencucian, serta mengurangi umur membran [16]. Bioreaktor membran (BRM) dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis limbah, yaitu bioreaktor membran untuk pemisahan biomassa, bioreaktor membran aerasi, dan bioreaktor membran ekstraktif. Aplikasi yang paling luas diantaranya adalah BRM pemisahan biomassa. Kedua BRM lainnya masih dalam tahap pengembangan dan belum diaplikasikan secara luas di industri. Proses lumpur aktif biasa dikombinasikan dengan BRM pemisahan biomassa. Kemunculan BRM Aerasi (BRMA) dilatarbelakangi oleh rendahnya efisiensi proses aerasi konvensional pada pengolahan limbah secara biologis. BRMA merupakan alternatif yang baik untuk mencapai efisiensi aerasi yang tinggi. Mikroba pada BRMA berada dalam bentuk terikat /melekat pada media suport dan tumbuh dalam bentuk biofilm, tidak dalam bentuk suspensi. Kelebihan dari sistem BRMA adalah proses aerasi berlangsung melalui kontak langsung dengan mikroba tanpa melewati bulk sehingga lebih efisien. Skema BRMA dapat dilihat pada Gambar 3.
Produksi Lumpur (kg/kg BOD) 0-0,3 0,15-0,25 0,3-0,5 0,6 0,63-1,06
Pada proses ini, membran tidak hanya berperan untuk memisahkan produk namun juga terjadi reaksi di dalam sistem membran. Peran membran dalam bioreaktor membran diantaranya adalah dapat meningkatkan konversi dengan penghilangan langsung produk, meningkatkan kontak antara fasa yang bereaksi, serta dapat digunakan untuk reaksi multifasa [10]. Mikroorganisme dan lumpur aktif yang menempel pada membran akan membentuk lapisan biofilm sehingga menyebabkan biofouling. Biofouling telah membatasi aplikasi
Gambar 3. Bioreaktor membran aerasi [9] Bioreaktor Membran Ekstraktif (BRME) merupakan tipe bioreaktor membran yang ditekankan pada peningkatan efisiensi pengolahan limbah toksik dengan cara mengekstrak senyawa toksik tersebut dan
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
kemudian ditransfer menuju biofilm mikroba ya. Teknologi konvensional untuk fungsi ini adalah steam stripping dan adsorpsi karbon namun teknologi ini masih meninggalkan residu kontaminan pekat yang harus dibuang. Selain itu, BRME lebih hemat karena biaya pembuangan limbah dapat dipangkas dan biaya pengoperasian bioreaktor lebih murah dibandingkan biaya listrik yang dibutuhkan untuk proses konvensional. Efisiensi dari BRME pun lebih tinggi dengan metode konvensional. Skema alat BRME dapat dilihat pada Gambar 4.
9
Konfigurasi bioreaktor membran pemisahan biomassa pada awalnya berupa bioreaktor dan modul membran yang terpisah atau biasa dikenal dengan BRM eksternal. Namun kemudian muncul konfigurasi BRM dengan membran yang terendam langsung dalam bioreaktor. Perbedaan konfigurasi dapat dilihat pada Gambar 5.
(a)
Gambar 4. Bioreaktor membran ekstraktif [9] BRM pemisahan biomassa banyak digunakan hingga skala industri. BRM tipe ini digunakan untuk menggantikan peran bak sedimentasi sekunder pada proses lumpur aktif sehingga pemisahan tidak lagi tergantung pada karakteristik pengendapan lumpur. Manfaat yang diperoleh dari BRM diantaranya adalah penghematan ruang kualitas efluen yang lebih baik, retensi sempurna terhadap mikrba sehingga konsentrasi biomassa dapat dibuat setinggi-tingginya sekaligus sebagai proses desinfeksi terhdap efluen tanpa penambahan zat kimia. Lumpur sisa yang terbentuk dari proses BRM juga lebih sedikit, atau bahkan tidak ada. Sedangkan pada proses lumpur aktif lumpur sisa yang dihasilkan sangat banyak sehingga proses pembuangan lumpur dapat menghabiskan 50% dari total biaya pengolahan.
(b) Gambar 5. Bioreaktor membran (a) konfigurasi eksternal, dan (b) konfigurasi terendam [9] Bioreaktor membran jenis lainnya adalah Implanted Ends-Free Membrane Bioreactor. Bioreaktor jenis ini memiliki membran yang tertanam dalam satu modul bersama dengan lumpur aktif serta karbon aktif untuk menghilangkan pengotor berupa zat organic
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
serta warna dan bau [17]. Kelebihan dari bioreaktor jenis ini adalah kemungkinan fouling yang lebih rendah dari bioreaktor jenis membran yang terendam [10]. Cleaning dapat dilakukan untuk menghindari fouling. Perawatan membran dapat dilakukan secara rutin dengan tambahan reagen 100-500 mg/L natrium hipoklorit yang dilakukan secara mingguan hingga bulanan. Sedangkan untuk menangani fouling dapat dilakukan cleaning dengan tambahan reagen 0,3-0,5 w/w natrium hipoklorit [18]. Industri membran cukum banyak diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan, namun penggunaannya untuk industri pengolahan air mencapai 23% dari total aplikasi membran atau paling tinggi dibandingkan penggunaan membran untuk industri lain. Survey ini dilakukan pada tahun 2008 [19]. Terdapat beberapa perusahaan dunia yang fokus terhadap industri membran diantaranya Kubota (Jepang), Mitsubishi-Rayon (Jepang), dan Zenon (Kanada). Rincian bioreaktor membran yang dihasilkan oleh ketiga industri di atas dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Perbandingan bioreaktor membran [20] Kubota
Mitsubishi -Rayon
Zenon
1.578
374
331
Flat sheet
Hollow fiber
Hollow fiber
Konfigurasi
Vertikal
Horizontal
Vertikal
Ukuran modul (m2)
0,8
105
31,6
Ukuran pori (µm)
0,4
0,1/0,4
0,04
Relax
Relax
Backpulse, relax
Jumlah instalasi Membran
Metode cleaning Frekuensi cleaning (menit/ menit)
1/60
2/12
0,5/15
Metode recovery
Chlorine backwash
Chlorine backwash
Chemical soak
10
Teknologi membran saat ini mulai banyak diaplikasikan, khususnya untuk pengolahan limbah. Kelebihan yang dimiliki oleh teknologi ini dapat menggantikan teknologi konvensional yang ada sehingga lebih memberikan keuntungan. Tidak heran jika perkembangan aplikasi teknologi membran diperkirakan akan terus meningkat. Daftar Pustaka [1] Sholichin, M., ”Pengelolaan air limbah: Proses pengolahan air limbah tersuspensi”, Jurusan Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya, 2012. [2] Sperling, M.V., “Activated sludge and aerobic biofilm reactor”, Department of Sanitary and Environment Engineering, Federal University of Minas Gerais, Brazil, 2007. [3] Anderson, P., “Activated sludge design, startup, operation, monitoring, and troubleshooting”, Ohio Water Environment Association, 2010. [4] Pipeline, Spring 2003, Vol.14, No.2. [5] Snyder, R.; Wyant, D., “Activated sludge process control”, State of Michigan Department of Environmental Quality. [6] Sustarsic, M., “Wastewater treatment: Understanding the Activated Sludge Process”, Tetra Tech NUS, 2009. [7] Marx, C., “Introduction to activated sludge study guide”, Wisconsin Department of Natural Resorces Wastewater Operator Certification, 2010. [8] Seman, D.L., “Activated microbiology”, Youngstown WWTP.
sludge
[9] Wenten, I.G., “Bioreaktor membran untuk pengolahan limbah”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2004. [10] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Aryanti, P.T.P., “Diktat: Bioreaktor membran untuk pengolahan limbah industri”, Departemen
Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process), 2015, 1-11
Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. [11] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi membran: Prospek dan tantangannya”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi, 2015. [12] Metcalf; Eddy, “Wastewater engineering: Treatment, disposal, and reuse, 3rd”, Mc-Graw Hill, Inc., New York, 1991. [13] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Aryanti, P.T.P., “Diktat: Teknologi membran dalam pengolahan limbah”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. [14] Dewanti, B.S.D, “Pengolahan limbah cair industri secara aerobic dan anoxic dengan Membrane Bioreactor (MBR)”, Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, diakses pada Oktober 2015. [15] Till, S.; Mallia, H., “Membrane bioreactor: Wastewater treatment applications to achieve high quality effluent”, 64th Annual Water Industry Engineers and Operators Conference, 2011. [16] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi membran dalam pengolahan air”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014. [17] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi membran dan aplikasinya di Indonesia”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2010. [18] Judd, S., “The status of membrane bioreactor technology”, Elsevier (2007), doi: 10.1016/j.tibtech.2007.11.005. [19] Wenten, I.G., “Diktat: Industri membran dan perkembangannya”, Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014.
11
[20] Radjenovic, J.; Matosic, M.; Mijatovic, I.; Petrovic, M.; Barcelo, D., “Membrane bioreactor (MBR) as an advanced wastewater treatment technology”, Hdb Env Chem 5 (2007), 37-101.