PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KONSENTRASI AMONIA DAN Volatile Fatty Acid (VFA) DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK DI SEKUM LANDAK (Hystrix javanica)
SKRIPSI ROSSY ENDAH AYU ANGGREINI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
i
RINGKASAN ROSSY ENDAH AYU ANGGREINI. D24080226. 2012. Pengaruh Pemberian Pakan terhadap Konsentrasi Amonia dan Volatile Fatty Acid (VFA) dan Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik di Sekum Landak (Hystrix javanica). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Ir. Widya Hermana, MSi.
Landak jawa (Hystrix javanica) merupakan binatang liar yang populasinya semakin menurun. Hal ini dikarenakan perburuan liar dengan tujuan utama mendapatkan daging, duri, ekor dan benzoar (batu landak), dan tujuan lain untuk dijadikan binatang peliharaan oleh para hobbiest; berkurangnya habitat alami juga menurunkan populasi landak. Penangkaran perlu dilakukan untuk menyelamatkan kepunahan landak sebagai satwa liar. Dalam proses penangkaran, pemberian pakan yang sesuai sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan daya hidup dan perkembangbiakan landak. Landak dapat mengkonsumsi pakan jenis baru yang sesuai dengan ketersediaannya di lokasi atau tempat penangkaran atau pemeliharaannya. Pakan kontrol yang diberikan saat pemeliharaan adalah daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis; pakan kontrol ini juga ditambah dengan pakan pelet koi sebagai perlakuan lainnya. Pakan jenis baru harus diberikan dalam jumlah kecil terlebih dahulu, proses ini dilakukan agar mikroba sekum dapat beradaptasi dengan pakan baru tersebut. Proses fermentasi pakan di dalam sekum landak belum banyak dipelajari, dan proses tersebut dapat dipengaruhi oleh mikroba yang berada di dalam digesta sekum. Dalam percobaan ini, digesta telah mengalami penyimpanan sejak landak dipotong, maka pengaruh waktu inkubasi juga dipelajari untuk melihat kemampuan mikroba digesta landak dalam proses fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian pakan landak dan waktu inkubasi terhadap konsentrasi amonia dan volatile fatty acid (VFA), dan degradabilitas bahan kering (DBK) dan bahan organic (DBO) di dalam sekum landak. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial (2x2) dengan empat ulangan. Faktor A adalah faktor pemberian pakan, yaitu A0 = pakan kontrol dan A1 = A0+7,3% pelet koi. Faktor B adalah waktu inkubasi, yaitu B0 = 0 jam dan B1 = 1 jam. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan uji ortogonal kontras untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Hasil memperlihatkan bahwa konsentrasi amonia dan VFA pada landak yang diberi pakan kontrol lebih tinggi daripada landak yang diberikan perlakuan pakan kontrol dan pelet koi (P<0,05), namun hasil DBK dan DBO tidak dipengaruhi oleh perbedaan pemberian pakan. Waktu inkubasi pada 0 dan 1 jam tidak mengakibatkan perbedaan terhadap semua peubah yang diamati. Hal ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi amonia dan VFA, dan DBK dan DBO pada landak jawa (Hystrix javanica) tidak meningkat dengan pemberian pelet koi, dan penyimpanan digesta tidak mempengaruhi aktivitas mikroba sekum dalam proses fermentasi. Kata kunci : landak jawa, pakan kontrol, pelet koi, fermentabilitas, degradabilitas
ii
ABSTRACT Ammonia and Volatile Fatty Acid (VFA) Concentrations, and Dry Matter and Organic Matter Degradabilities in Cecum of Javan porcupine (Hystrix javanica) as Affected by Feeding Different Diets Rossy E. A. Anggreini, Anita S. Tjakradidjaja, Widya Hermana
The experiment was conducted to study the effect of feeding of control and control+koi fish pellet feeds and influence of storing cecal digesta on NH3 and VFA concentrations, dry matter (DMD) and organic matter degradabilities (OMD) of javan porcupine (Hystrix javanica). This experiment used a randomized complete block with factorial design (2x2) with four replications. The treatments consisted of two factors. Factors A was feeds which were A0 = control feed and A1 = A0 + koi fish pellet feed. Control feed (A0) consisted of forest jaat leaf, yam, belitung taro, tomato, siamesse banana and sweet corn. Factor B was incubation periodes that were B0 = 0 hour and B1 = 1 hour. Data were analyzed with analysis of variance (ANOVA) and differences between treatment means were determined with contrast orthogonal. The result showed that giving control and control+koi fish pellet feeds influenced significantly NH3 and VFA concentrations (P<0.05). However, the effects of treatments were not significant on dry matter and organic matter degradabilities. There were no significant effects of incubation periodes at 0 and 1 hour on all variables measured. It is concluded that NH3 and VFA concentrations, and DMD and OMD of javan porcupine (Hystrix javanica) were not increased with koi fish pellet, and storing the digesta did not affect cecal microbial activity on fermentation and degradation.
Keywords : Javan porcupine, control feed, koi fish pellet, fermentability, degradability
iii
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KONSENTRASI AMONIA DAN Volatile Fatty Acid (VFA) DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK DI SEKUM LANDAK (Hystrix javanica)
ROSSY ENDAH AYU ANGGREINI D24080226
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
iv
Judul
:
Pengaruh Pemberian Pakan Terhadap Konsentrasi Amonia dan Volatile Fatty Acid (VFA) dan Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik di Sekum Landak (Hystrix Javanica)
Nama :
Rossy Endah Ayu Anggreini
NIM
D24080226
:
Menyetujui,
Pembimbng Utama
Pembimbing Anggota
(Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc.) NIP. 19610930 198603 2 003
(Ir. Widya Hermana, MSi.) NIP. 19680110 199203 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 9 Agustus 2012
Tanggal Lulus:
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1990 di Lamongan Jawa Timur. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Fachrur Rozzi dan Ibu Endang Sri Mulyowati. Penulis mengawali pendidikan TK pada tahun 1993 dan selesai pada tahun 1995 di TK Nusa Indah Lamongan. Pendidikan dasar dimulai tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri Jetis 4 Lamongan dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai tahun 2002 dan diselesaikan tahun 2005 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Lamongan. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lamongan tahun 2002 dan diselesaikan tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Penulis aktif dalam anggota Purna Paskibra Indonesia, panitia dalam International Scholarship Education Expo tahun 2009 dan 2010, Leadership Entrepreneur School, Olimpiade Mahasiswa IPB. Penulis pernah menjadi penyaji seminar dalam The Second Annual Indonesian Scholars Conference in Taiwan dengan judul Utilization of Milled Tea Waste in Diet to Reduce Methane Production tahun 2011. Penulis pernah mengikuti magang di Charoen Pokhpand Tbk Balaraja Tangerang selama dua minggu pada tahun 2010. Penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 sampai 2012 penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa. Bogor, Juli 2012
Rossy Endah Ayu Anggreini D24080226
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbilallamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar dan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Pakan terhadap Konsentrasi Amonia dan Volatile Fatty Acid (VFA) dan Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik di Sekum Landak (Hystrix javanica)“. Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari zaman kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Landak jawa merupakan hewan liar yang dilindungi oleh Undang-Undang Binatang Liar, namun populasi landak saat ini berkurang karena adanya perburuan liar, sehingga landak perlu ditangkarkan. Landak yang ditangkarkan diberikan pakan yang biasa dikonsumsi di penangkaran dan pakan tambahan berupa pelet koi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pakan dan waktu penyimpanan digesta terhadap konsentrasi amonia dan Volatile Fatty Acid (VFA) dan degradasi bahan kering dan bahan organik landak jawa yang ditangkarkan. Penulisan skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi ini, sehingga diharapkan penjelasan dan informasi dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang turut membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, semoga Allah Yang Maha pengasih membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN............................................................................................. i ABSTRACT...............................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………..
iii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………
v
KATA PENGANTAR……………………………………………………
vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………......
vii
DAFTAR TABEL………………………………………………………..
ix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
xi
PENDAHULUAN……………………………………………………….
1
Latar Belakang........................................................................... Tujuan......................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
1 2 3
Landak jawa (Hystrix javanica)................................................. Morfologi...................................................................... Habitat.......................................................................... Reproduksi.................................................................... Sistem Pencernaan........................................................ Jenis Pakan……………………………………………………. Daun Jaat Hutan…………………………………….. Bengkuang………………………………………….. Talas Belitung………………………………………. Jagung Manis………………………………………... Pisang Siam…………………………………………. Tomat……………………………………………….. Pelet Koi……………………………………………..
3 3 4 5 6 9 11 11 12 12 13 14 14
MATERI DAN METODE..........................................................................
15
Waktu dan Lokasi....................................................................... Bahan dan Alat...........................................................................
15 15
viii
Prosedur Persiapan Sampel…………………………………..... Analisis Bahan Kering dan Bahan Organik Digesta Sekum Landak.............................................................. Analisis Konsentrasi Amonia Berdasarkan Meode Difusi Mikro Conway.................................................. Analisis Konsentrasi VFA Total dengan Metode Steam Destillation Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik....... Rancangan Percobaan dan Analisis Data................................... Rancangan Percobaan………………………………... Analisis Data ………………………………………… Perlakuan…………………………………………….. Peubah yang Diamati…………………………………
15 15 16 16 17 17 18 18 18 18 19
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................
20
Konsentrasi Amonia…………………………………………... Konsentrasi VFA Total……………………………………….. Degradabilitas Bahan Kering…………………………………. Degradabilitas Bahan Organik………………………………...
20 22 25 26
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………..
28
Kesimpulan…………………………………………………… Saran…………………………………………………………
28 28
UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. LAMPIRAN...............................................................................................
29 30 35
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Komposisi Zat Makanan Pakan Penelitian (100% BK)……...
10
2.
Rataan Hasil Konsumsi Bahan Kering……………………….
10
3.
Konsentrasi Amonia………………………………………….
20
4.
Konsentrasi VFA Total………………………………………
22
5.
Degradasi Bahan Kering (DBK)…………………………….
25
6.
Degradasi Bahan Organik (DBO)……………………………
26
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Landak Jawa……………………………………………………..
3
2.
Sistem Pencernaan Landak…………….………………………..
8
3.
Daun Jaat Hutan...……………………………………………….
11
4.
Bengkuang……………………………………………………….
12
5.
Talas Belitung…………………………………………………...
12
6.
Tipe Bulir Jagung………………………………………………..
13
7.
Buah Tomat……………………………………………………...
14
8.
Setelah Pemotongan Landak…………………………………….
16
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Bahan Kimia Pembuatan Media Putih....…………………………
36
2.
Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsentrasi Amonia…………………………………………………………… Uji Lamjut Kontras Ortogonal Amonia…………………………..
37
Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsentrasi VFA……………………………………………………………… Uji Lanjut KOntras Ortogonal VFA……………………………...
37
Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Degradasi Bahan Kering…………………………………………………….. Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Degradasi Bahan Organik……………………………………………………
38
3. 4. 5. 6. 7.
37
37
38
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Landak adalah satwa liar yang dilindungi oleh Undang-Undang Binatang Liar Nomor 266 tahun 1931 (Sutedja, 1993), namun saat ini populasi landak setiap tahun menurun 50.000 ekor dalam 15 tahun terakhir (Vivanews, 2011) penurunan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utama adalah perburuan liar yang banyak dilakukan dengan tujuan mendapatkan daging, duri, ekor dan batu landak (benzoar). Selain berkhasiat untuk kesehatan manusia, binatang landak juga diburu dan banyak dijual bebas sebagai binatang kesayangan untuk para hobbiest (hobiis). Faktor yang lain adalah semakin berkurangnya hutan sebagai habitat asli binatang ini, sehingga perlu dilakukan penangkaran untuk menyelamatkan kepunahan landak sebagai satwa liar. Dalam proses penangkaran, pemberian pakan yang sesuai sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan daya hidup dan perkembangbiakan landak. Bahan pakan utama yang biasa dikonsumsi landak adalah umbi, akar, batang, kulit kayu, ranting dan daun-daunan (Van Jaarsveld dan Knight-Eloff, 1984). Landak mampu mencerna pakan tersebut karena landak adalah hewan hindgut fermentor. Menurut Alexander (1993), hewan hindgut fermentor mempunyai kemampuan yang optimal pada proses fermentasi hijauan berkualitas tinggi. Kemampuan ini berkaitan dengan adanya digesta yang mengandung bakteri sekum (<45 µm) (Vispo dan Hume, 1995). Pada sekum landak juga terdapat berbagai endoparasit dan ektoparasit yang meliputi cacing pita, cacing gelang, protozoa, tungau dan kutu (Dubey et al., 1992). Landak dapat mengkonsumsi pakan jenis baru yang sesuai dengan ketersediaannya di lokasi tempat penangkaran atau pemeliharaannya. Pemberian pakan jenis baru harus diberikan dalam jumlah kecil terlebih dahulu, proses ini dilakukan agar mikroba sekum dapat beradaptasi terhadap pakan baru tersebut. Penelitian yang telah dilakukan oleh Farida dan Ridwan (2011) memperlihatkan bahwa landak dapat mengkonsumsi pakan berupa jagung manis, kentang, kelapa, mentimun, bengkuang, kunyit, kangkung, daun kitengis, talas dan pelet ikan koi. Menurut Farida (2007), pelet dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk landak yang dikandangkan karena pegaturan pemberian pakan yang lebih mudah. Konsumsi pelet menempati urutan ke-empat setelah bengkuang, ketimun dan talas; karena
1
pelet mengandung bahan kering dan protein yang tinggi, namun serat kasar yang rendah (Farida dan Ridwan, 2011). Pelet juga banyak dikonsumsi oleh landak karena kandungan fosfor (P) yang tinggi (Dahlan et al., 1995). Penggunaan pakan kontrol berupa daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis maupun pakan kontrol yang ditambah dengan pelet ikan koi telah dicoba pada landak yang dipelihara di penangkaran. Proses penggunaan pakan berkaitan dengan proses fermentasi di dalam sekum landak karena landak termasuk hewan dengan sistem pencernaan fermentatif di sekum (Alexander, 1993). Proses fermentasi pakan di sekum landak belum banyak dipelajari sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena sampel yang digunakan telah mengalami proses penyimpanan maka perlu dipelajari aktivitas mikroba sekum terhadap proses fermentasi melalui pengujian waktu inkubasi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian pakan landak terhadap konsentrasi amonia dan VFA, degradabilitas bahan kering dan bahan organik di dalam sekum landak, dan mempelajari pengaruh waktu inkubasi terhadap fermentabilitas dan degradabilitas.
2
TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Landak jawa atau sunda porcupine (Gambar 1) merupakan binatang liar yang asli endemik dari Indonesia. Landak jawa telah diidentifikasi dan secara taksonomi termasuk kedalam kingdom: Animalia, filum: Chordata, kelas: Mammalia, ordo: Rodentia, familia: Hystricidae, genus: Hystrix spesies: Hystrix javanica (IUCN, 2008).
Gambar 1. Landak Jawa Sumber: Dokumen Pribadi (2011)
Morfologi Landak jawa (Hystrix javanica) atau dalam bahasa Inggris disebut sunda porcupine adalah nama untuk sejenis mamalia berwarna coklat kehitaman dengan rambut keras (biasa disebut duri) yang menutupi tubuh bagian atas, rambut landak berfungsi sebagai alat pertahanan diri (Safrudin, 2010). Landak jawa merupakan rodentia yang berukuran besar, panjang tubuhnya 37-47 cm, panjang ekor 23-36 cm, dengan berat badan 13-27 kg, tubuh landak tertutup oleh rambut yang keras di bagian separuh badan ke muka dan bagian bawah, sedangkan di bagian punggung belakang sampai ekor tampak rambut (Safrudin, 2010). Ekor pendek landak terdiri dari dua tipe duri, yaitu pertama adalah duri lancip, panjang, berwarna hitam dan putih; kedua adalah duri yang menggerincing, yang didalamnya berlubang, ujungnya terbuka dan berbentuk silinder (Suwelo et al., 1978). Menurut Safrudin, (2010), landak jawa mempunyai mata sempit berwarna hitam dan bentuk telinga seperti kepingan uang logam. Landak jawa mampu bertahan hidup hingga 27 tahun (Safrudin, 2010). Morfologi landak jawa berbeda dengan landak raya (Hystrix brachyura). Menurut Yong (2008), landak raya mempunyai panjang tubuh antara 63-80 cm
3
dengan panjang ekor antara 10,5-13 cm. Landak raya mempunyai berat antara 5-6 kg, bentuk tubuhnya agak bulat dan bergeraknya lambat. Landak raya berwarna lebih cerah dibandingkan landak jawa. Habitat Landak
termasuk
keluarga
Hystricidae dan
Erethizontidae.
Landak
Hystricidae hidup di area terestrial, sedangkan Erethizontidae sebagian besar hidup di daerah arboreal. Landak hidup secara nokturnal dan merupakan binatang herbivora. Landak di Amerika Utara hidup dalam iklim tropis dan sub tropis dengan suhu berkisar 21-27 ˚C. Menurut Bartos (2004), landak yang hidup di daerah tropis dapat hidup pada kelembaban 35% dengan kelembaban terbaik sekitar 45%-60%. Perubahan udara yang direkomendasikan bergantung kepada ukuran kandang dan jumlah landak (Bartos, 2004). Menurut Kingdon (1984), semua landak aktif di malam hari dan landak yang dikandangkan mempunyai siklus cahaya yang aktif 13-14 jam pada siang hari dan 10-11 jam pada malam hari. Meskipun landak termasuk hewan nokturnal, landak dapat didorong untuk aktif pada siang hari dengan cara menyembunyikan pakan landak untuk mendorongnya mencari makan. Landak umumnya ditemukan di semua tipe hutan, perkebunan, area, berbatuan, padang rumput, gunung, padang pasir dan tempat yang mempunyai ketinggian 3500 meter di atas permukaan laut (Nowak, 1999). Landak raya merupakan hewan terestial dan memerlukan area horisontal yang luas (Bartos, 2004). Pada musim dingin landak mengkonsumsi daun cemara jarum, lapisan kambium dan kulit pohon. Selama musim semi dan musim panas landak mengkonsumsi tunas, ranting tender, akar, batang, daun bunga, biji, buah, kacangkacangan dan vegetasi lainnya. Landak juga menyukai garam dan sisa tulang atau tanduk karena kandungan mineralnya yang tinggi (Banfield, 1974). Landak biasanya hidup dalam suatu koloni yang terdiri dari 6-8 individu (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak Amerika Utara cenderung memiliki wilayah individu. Landak betina memiliki wilayah eksklusif dibandingkan landak jantan. Menurut Roze (1989), landak keluarga Hystricidae memiliki ciri hidup secara soliter (individu), sedangkan landak keluarga Erethizontidae dan Hystrix africaeaustralis hidup secara monogami (hidup dengan satu pasangan). 4
Reproduksi Landak hidup berkelompok, dapat mencapai 20 ekor setiap kelompok (Kingdon, 1984). Landak jantan dan betina memiliki berat yang hampir sama sekitar 12-18 kg saat dewasa (Van Aarde, 1987). Ciri-ciri landak mengalami dewasa kelamin satu sampai dua tahun pertama (Van Aarde dan Skinner, 1986), monogami (Morris dan Van Aarde, 1985) dan kawin pada musim penghujan. Landak betina bunting setiap satu tahun sekali dengan panjang gestasi = 93 hari, anoestrus laktasional = 101 ± 37,8 hari dan periode steril = 90-210 hari (Van Aarde, 1985). Landak memiliki siklus estrus rata-rata 30-35 hari, dengan periode bunting mulai 93-110 hari. Landak yang baru lahir memiliki berat 3% dari berat tubuh induknya. Menurut Nowak dan Paradiso (1991), landak betina mencapai dewasa seksual pada umur 9-16 bulan, sedangkan jantan 8-18 bulan. Satu ekor landak ratarata dapat menghasilkan 3 ekor anak per tahun dalam satu kali kelahiran. Dengan panjang gestasi 100-110 hari. Landak yang baru dilahirkan dapat mengkonsumsi pakan secara normal setelah berumur 2-3 minggu (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak yang berasal dari Amerika Utara berkembang biak pada musim gugur atau awal musim dingin. Landak betina yang tidak mengalami pembuahan akan mengalami siklus pembentukan ovarium pada hari ke 25-30 selama 8-12 jam. Masa bunting pada landak yang berasal dari Amerika Utara adalah 205-217 hari dan biasanya akan lahir pada bulan April sampai Juni. Lama laktasi pada landak rata-rata berlangsung selama 127 hari. Landak Amerika Utara akan mengalami kematangan seksual pada umur 2,5 tahun (Nowak dan Paradiso, 1991). Landak jantan mempunyai skrotum sejati yang dapat teraba dengan tekanan dari arah belakang (Roze, 1989). Landak betina tidak agresif terhadap landak jantan, namun lebih agresif pada orang asing. Landak jantan kawin melalui pendekatan ke betina, namun betina mundur perlahan dan mengeluarkan suara mencicit. Ketika siap untuk kawin landak betina akan meratakan duri dan menaikkan ekornya. Setelah kawin, kopulasi yang dilakukan landak jantan menyebabkan terjadinya gel yang terbentuk dari semen segar (Roze, 1989). Terjadi perbedaan dengan landak dari Afrika, landak yang berasal dari Amerika Utara biasanya hidup soliter dan proses kawin terjadi dengan cara landak betina yang mengalami estrus membuka membran vagina kemudian lendir yang tebal dikeluarkan sebagai sinyal penciuman bagi landak
5
jantan (Roze, 1989). Landak jantan kemudian mendekati landak betina dan berdiri dengan menggunakan kaki belakang dan mendengus dan menghujani landak betina dengan urinnya. Landak jantan akan meringkuk di bagian punggung landak betina. Senggama biasanya berlangsung 1-5 menit, namun dapat berulang beberapa jam. Semen yang dikeluarkan landak jantan pada saat kawin akan menempel pada vagina, sehingga mengurangi kesempatan landak betina kawin dengan landak jantan yang lain. Testis pada landak jantan berada di perut dan akan turun ke dalam skrotum selama musim kawin (Bartos, 2004). Sistem Pencernaan Herbivora adalah mamalia yang memakan tumbuhan dengan badan yang besar dengan usus halus yang panjang (Anon, 1971). Menurut Landry (1970), banyak ahli zoologi yang menyatakan bahwa herbivora adalah mamalia yang memakan tumbuhan, bukan hewan yang memakan daging atau campuran antara daging dan tumbuhan. Herbivora nonruminan meliputi kuda nil, hamster, kanguru, kukang dan beberapa primata lainnya yang mempunyai perut kotak atau berkantung yang digunakan untuk aktivitas mikroba (Hintz et al., 1978). Herbivora nonruminansia bergantung kepada usus belakang yang digunakan sebagai lokasi fermentasi. Kelompok hewan herbivora nonruminan dibagi menjadi dua: 1) hewan yang melakukan fermentasi utama di sekum dan menggunakan metode coprophagy, dan 2) hewan yang melakukan fermentasi di sekum dan kolon, namun tidak melakukan metode coprophagy; contoh tipe hewan pertama adalah kelinci, sedangkan contoh tipe hewan kedua adalah kuda (Hintz et al., 1978). Kelinci mempunyai kemampuan memproduksi soft faeces dan hard faeces, soft faeces merupakan hasil fermentasi pakan di sekum yang mengandung nutrisi tinggi dan akan dicerna kembali, sedangkan hard faeces adalah sampah yang harus dikeluarkan (Marounek et al., 2005). Kuda mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mencerna dan menyerap pati (McDonald et al., 2002). Menurut McDonald et al. (2002), pati difermentasi di usus besar untuk menghasilkan asam laktat, sehingga menurunkan pH dan kemudian diserap di pra-sekum yang merupakan tempat utama penyerapan pati. Herbivora nonruminan mempunyai kerugian karena pencernaan serat tidak efisien dibandingkan dengan ruminansia dan fermentasi berada di ujung usus yang
6
merupakan tempat utama penyerapan dan pencernaan. Pencernaan serat pada hewan hindgut bergantung pada pencernaan mikroba, tetapi biasanya efisiensinya lebih rendah pada hewan nonruminansia dalam mencerna serat. Misalnya rata-rata pencernaan serat rumput pada kuda kira-kira efisiensinya 2/3 dari efisiensi sapi (Hintz, 1969). Namun herbivora nonruminan juga mempunyai keuntungan yaitu lebih efisien memanfaatkan karbohidrat yang mudah larut, herbivora tersebut dapat langsung menyerap gula tanpa mengubah menjadi Volatile Fatty Acid (VFA) terlebih dahulu dan dapat secara langsung memanfaatkan protein berkualitas tinggi. Laju perjalanan digesta lebih cepat dibanding ruminansia meskipun pencernaan serat lebih lambat. Pencernaan hindgut merupakan adaptasi yang bagus dalam pencernaan serat rumput, asalkan pakan yang dimakan tidak dibatasi jumlahnya (Hintz et al., 1978). Sekum dan kolon landak mengandung protozoa dan bakteri yang sama dengan ruminan, terdiri dari 30% pencerna protein, 75%-85% pencerna karbohidrat dan 15%-30% pencerna karbohidrat larut (McDonald et al., 2002). Jumlah spesies bakteri tergantung pada keragaman nutrien, kompetisi antar substrat dan proses metabolik dalam saluran pencernaan (Mackie dan McSweeney, 1991). Saluran pencernaan pada landak terdiri atas usus halus 41% dari total saluran pencernaan secara keseluruhan dan distal kolon 38% (Gambar 1). Landak tidak mempunyai kelenjar cardiogastric dan bukan
merupakan hewan
coprophagy
(Vispo dan Hume, 1995). Sebagian besar pencernaan serat pada landak terjadi di dalam sekum termasuk fermentasi dan produksi VFA. Sedangkan usus halus dan kolon mempunyai sedikit peran dalam proses pencernaan serat pada landak. Di dalam sekum juga terdapat akumulasi sodium sebesar 76% (Grant, 2011). Landak mempunyai kemampuan mengunyah makanan menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga meningkatkan area permukaan untuk fermentasi. Pada musim semi landak menghasilkan feses yang basah, hal ini diakibatkan kurangnya kalium dalam bahan pakannya (Weeks dan Kirkpatrick, 1978). Bahan pakan utama yang biasa dikonsumsi landak adalah umbi, akar, batang, kulit kayu, ranting dan daun-daunan (Haim et al., 1992). Feses yang dihasilkan akan berbentuk cair yang berhubungan dengan perubahan pakan yang tidak biasa dimakan oleh landak. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara adaptasi populasi mikroba terhadap serat yang dicerna. Jenis pakan baru yang diberikan pada landak,
7
harus diberikan dalam persentase kecil dahulu karena dapat mempengaruhi populasi mikroba yang terdapat di dalam proses pencernaan.
Keterangan: 1. Lambung, 2. Usus Halus, 3. Sekum, 4. Ascending Colon, 5. Transverse Colon, 6. Descending Colon
Gambar 2. Pencernaan Hewan Landak Sumber: Van Jaarsveld (1983)
Sekum landak merupakan tempat fermentasi dan produksi asam lemak terbang (VFA) (Johnson dan McBee, 1967). Absorbsi VFA secara langsung terjadi di sekum dan di kolon bagian proksimal. Produksi VFA sebanyak 83% terjadi di sekum dan langsung diserap oleh darah dan sisanya diserap di usus besar (Johnson dan McBee, 1967). Kandungan utama VFA di sekum adalah asam asetat sebanyak 72,2%, asam butirat 13,8% dan asam propionat 12% (Vispo dan Hume, 1995), selain itu VFA rantai cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat juga ditemukan di bagian cardiac perut. Absorbsi butirat dan propionat lebih cepat daripada asetat. Fermentasi di sekum menghasilkan 18%-19% energi yang dibutuhkan oleh landak (Vispo dan Hume, 1995). Menurut Johnson dan McBee (1967) dalam Hintz et al. (1978), energi yang digunakan landak 16% berasal dari VFA. Pada ruminansia VFA hasil fermentasi menghasilkan asam asetat 63%, asam propionat 22% dan asam butirat 15% (Hungate, 1988). Hasil fermentasi VFA pada ruminansia diserap melalui kedua dinding rumen yang digunakan sebagai sumber energi sekitar 55%-65% (Parakkasi, 1999). Penyerapan VFA pada ruminansia 8
melalui vili-vili dinding rumen 75%, abomasum 20% dan usus halus 5% (McDonald et al., 2002). Asetat merupakan produk utama dari VFA pada semua spesies yang diikuti oleh propionat dan butirat; namun, pada kelinci, landak dan berang-berang, kandungan butirat pada VFA lebih tinggi daripada propionat (Hintz et al., 1978). Kandungan VFA dalam cairan sekum landak adalah 74% asetat, 12% propionat dan 14% butirat (Hintz et al., 1978) dan pada kelinci 62,8% asetat, 10,1% propionat dan 22,7% butirat (Marounek et al., 2005). Pada Cyopus yang merupakan rodentia air mempunyai kadar propionat yang lebih tinggi dibandingkan dengan butirat, yaitu 73,9% asetat, 18,6% propionat dan 7,4% butirat (Marounek et al., 2005). Kontribusi VFA untuk energi bergantung kepada tipe serat, kira-kira berkisar antara 15%-30% untuk masing-masing spesies (Hintz et al., 1978). Perbedaan konsentrasi VFA parsial pada setiap spesies disebabkan perbedaan habitat, kemampuan mencerna pakan, morfologi saluran pencernaan yang berbeda dan mikroorganisme di dalam sekum yang berbeda (Marounek et al., 2005). Penyerapan amonia pada hewan herbivora nonruminasia terdapat pada sekum dan kolon dan penyerapan asam amino terjadi pada kolon, namun pada kuda tidak terjadi karena mikroorganisme yang mensintesis asam amino tidak dimanfaatkan. Landak mempunyai kemampuan mencerna serat yang baik, karena mempunyai sekum dan kolon yang besar, sehingga dapat mensuplai 16% kebutuhan energi basal (Johnson dan McBee, 1967) dan distal kolon landak empat kali lebih besar daripada berang-berang (Vispo dan Hume 1995). Di dalam sekum landak juga terdapat fungi anaerobik yang dapat membantu mencerna dinding sel bahan pakan (Theodorou et al., 1988). Pencernaan N pada landak dipengaruhi oleh kandungan tannin dalam bahan pakan. Namun hewan marsupialia mempunyai kemampuan menurunkan kandungan tannin dalam bahan pakan karena aktivitas mikroba pada ceca, sehingga hewan marsupialia rodensia dapat menurunkan ikatan protein-tannin melalui urin (McArthur dan Sanson, 1991). Jenis Pakan Pada penelitian Farida dan Ridwan (2011), landak Hystrix javanica yang ditangkarkan diberi pakan kontrol berupa jagung manis, ubi jalar, kelapa, mentimun, bengkuang, kunyit, kangkung, daun kitengis dan talas, dan dibandingkan dengan
9
pakan kontrol dengan tambahan pelet. Bengkuang, mentimun, talas dan pelet merupakan bahan pakan yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi (Farida dan Ridwan, 2011). Prayudi (data yang belum dipublikasikan; Tabel 1 dan Tabel 2) memberikan pakan kontrol berupa daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam, dan jagung manis, dan pakan tambahan yang digunakan adalah pelet koi; konsumsi BK bengkuang dan total dari pakan kontrol menurun (P<0,05) dengan penambahan pelet koi ke dalam perlakuan pakan kontrol. Tabel 1. Komposisi Kimia Pakan Penelitian (100% BK) BK (% Segar)
Abu
Bahan Pakan
PK
LK
Daun Jaat Hutan
20,00
24,13
35,29
3,99
Bengkuang
12,32
10,79
8,49
Talas Belitung
7,88
24,49
Tomat
6,93
Pisang Siam
SK
BETN
GE (Kal/g)
25,69
10,90
5039
1,04
9,69
69,99
4527
0,00
0,90
54,37
20,24
3831
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4133
46,23
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3393
Jagung Manis
35,53
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4776
Pelet Koi
94,52
18,48
25,05
5,77
10,22
40,48
4745
-----------------------------(%)-----------------------
Keterangan : Hasil analisa laboratorium Ilmu Nutrisi, LIPI Cibinong, Kabupaten Bogor. Sumber : Prayudi (data belum dipublikasikan)
Tabel 2. Rataan Hasil Konsumsi Bahan Kering Perlakuan Pakan
Pakan Kontrol
Kontrol + Pellet (g/ekor/hari) Daun jaat hutan 8,435±0,713 6,045±0,845 Bengkuang 36,044±1,192a 28,073±1,413b Talas Belitung 12,992±1,651 10,153±1,958 Tomat 6,030±0,327 5,195±0,388 Pisang Siam 71,244±0,231 71,0,92±0,274 Jagung manis 91,047±2,703 82,017±3,206 Total Konsumsi Pakan Kontrol 225,792±2,871a 202,575±3,405b Pelet koi 45,178±5,826 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan data yang berbeda nyata (P<0,05) Sumber: Prayudi (data belum dipublikasikan)
10
Daun Jaat Hutan (Phaselous sp.) Daun jaat hutan (Phaselous sp.) (Gambar 3) merupakan suku polongpolongan dan satu famili dengan kacang buncis (Phaseolus. vulgaris). Daun Phaselous sp. mempunyai kandungan protein yang tinggi sekitar 30,92 % (Apriyani, 2010) sehingga sangat baik jika digunakan sebagai pakan. Menurut Farida (2007), di dalam suku ini banyak tanaman penting dengan bermacam-macam kegunaan, sebagai bahan makanan, minuman, bumbu masak, zat pewarna, pupuk hijau, pakan ternak dan bahan pengobatan.
Gambar 3. Daun Jaat Hutan Sumber: Apriyanti (2010)
Bengkuang (Pachyrrizus erosus) Tanaman bengkuang (Pachyrrizus erosus) menghasilkan buah bengkuang yang berupa umbi (Gambar 4). Buah ini mempunyai ciri kulit berwarna putih kecoklatan, daging buah berwarna putih, dan kadar air buah yang tinggi. Bengkuang terdiri dari 33,07% BK; 3,24% abu; 5,25% protein kasar; 0,96 lemak kasar; 5,66% serat kasar dan 84,89% nitrogen bebas berdasarkan % BK (Farida dan Ridwan, 2011). Bengkuang mempunyai total energi 3,739 kal/g dengan kandungan Ca 0,65% dan P 0,29%. Menurut Nusifera dan Kurniawan (2009), bengkuang hanya dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi segar, padahal sebenarnya bengkuang mempunyai potensi industri yang cukup besar. Bengkuang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan tepung yang kaya akan akan protein (Nusifera dan Kurniawan, 2009).
11
Gambar 4. Bengkuang Sumber: Wikipedia (2012)
Talas belitung (Xanthosoma sagitifolium) Talas belitung (Xanthosoma sagitifolium) atau biasanya disebut kimpul (Gambar 5) termasuk famili Areacea dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu yang sebenarnya adalah tangkai daun. Kandungan talas belitung 70,92% BK; 8,23% abu; 13,60% protein kasar; 2,43% lemak kasar; 13,11% serat kasar dan 62,63% nitrogen bebas berdasarkan % BK. Kandungan energi total pada talas belitung 3,990 kal/g dengan kandungan Ca 1,14% dan P 0,32% (Farida dan Ridwan, 2011) Pada umumnya tanaman ini diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun. Rataan produksi per rumpun berkisar antara 0,25-20 kg (Palupi, 2012). Tanaman talas belitung mempunyai perbedaan dengan talas bogor yaitu daun talas bogor yang berbentuk hati dengan ujung pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah (Palupi, 2012).
Gambar 5. Talas Belitung Sumber: Departemen Pertanian (2009)
Jagung Manis (Zea mays var. saccharata Sturt) Jagung manis merupakan jagung yang popular saat ini. Jagung manis berbeda dengan jagung biasanya. Jagung manis mempunyai biji yang lebih tertata rapi dibandingkan dengan jagung lainnya (Gambar 6). Jagung manis memiliki nama latin (Zea mays var. saccharata Sturt). Menurut Farida dan Ridwan (2011), jagung manis 12
mempunyai komposisi kimia 20,67% BK; 3,03% abu; 14,16% protein kasar; 7,16% lemak kasar; 1,62% serat kasar dan 74,03% nitrogen bebas berdasarkan 100% BK. Jagung manis juga mengandung 4,411 kal/g energi total dan mengandung 0,08% Ca dan 0,50% P (Farida dan Ridwan, 2011). Kadar gula pada endosperm jagung manis sebesar 5%-6%, gula yang disimpan dalam biji jagung manis adalah sukrosa yang dapat mencapai 11% dan kadar pati 10%–11%, sedangkan jagung biasa kadar gulanya hanya 2%–3% atau setengah dari kadar gula jagung manis (Irianto, 2007).
Gambar 6. Tipe bulir dari kiri ke kanan pod corn, soft corn ,pop corn, sweet corn, flint corn, den corn. Sumber: Morisson (1961)
Pisang Siam (Musa paradisica var. sapientum L.) Pisang siam (Musa paradisica var. sapientum L.) juga termasuk jenis pisang buah yang masih satu marga dengan jenis pisang yang lain, yaitu Musaceae. Pisang siam mempunyai KA 72,25%; abu 1,72%; protein 1,52%; lemak 0,78%; serat 4,75%; 18,98% karbohidrat (Endra, 2006). Pisang ini memiliki beberapa macam keunggulan spesifik bila dibandingkan dengan pisang lain yang masih satu marga. Pisang siam apabila dikonsumsi harus dimasak terlebih dahulu, berbeda dengan pisang ambon, raja, mas dan cavendish yang dapat dikonsumsi langsung setelah masak pohon. Pisang mentah memiliki senyawa utama karbohidrat masih berupa pati, sedangkan pada pisang yang masak terdiri dari gula-gula penyusun yang pada setiap tingkat pemasakan secara garis besarnya terdapat rasio glukosa, fruktosa, dan sukrosa 20:15:65 (Endra, 2006). Total kandungan gula pada pisang siam sekitar 5,83% (Endra, 2006). Jenis gula lain yang ditemukan dalam jumlah sedikit adalah maltosa 13
dalam kultivar gros michel dan trigliserida serta fruktosil sukrosa dalam kultivar cavendish (Endra, 2006). Jenis karbohidrat lain yang ditemukan dalam daging buah pisang adalah serat kasar dan pektin. Kandungan serat kasar terdiri dari 60% lignin, 25% selulosa, dan 15% hemiselulosa (Endra, 2006). Tomat (Lycopersicum esculentum) Tomat (Lycopersicum esculentum) (Gambar 7) sekitar 50% dari berat keringnya terdiri dari gula-gula pereduksi (terutama glukosa dan fruktosa), sisanya asam-asam organik mineral, pigmen, vitamin dan lipid (Maulida dan Zulkarnaen, 2010). Tomat mengandung lemak dan kalori dalam jumlah rendah, bebas kolesterol, dan merupakan sumber serat dan protein yang baik. Selain itu, tomat kaya akan vitamin A dan C, beta-karoten, kalium dan antioksidan likopen (Kailaku et al., 2007). Sebanyak 100 g, buah tomat mengandung KA 93,76 g, abu 0,42 g; protein 0,85 g; lemak 0,33 g; serat 1,1 g dan karbohidrat 4,64 g (Kailaku et al., 2007).
Gambar 7. Buah Tomat Sumber: Rayya (2009)
Pelet Koi Pelet koi
merupakan pakan yang diberikan kepada ikan hias dan
mengandung bahan wheat flour, bungkil kedelai, polard, tepung ikan, choline chloride, vitamin dan mineral. Komposisi nutrisi pelet koi: 98,39% BK; 4,86% abu; 25,84% protein kasar; 4,67% lemak kasar; 3,86% serat kasar dan 60,77% nitrogen bebas dalam 100% BK. Pelet koi mengandung 4900 kal/g total energy dan mineral Ca 0,51% dan P 0,51% (Farida dan Ridwan, 2011). Kandungan karbohidrat mudah dicerna pelet koi cukup tinggi, namun kandungan serat kasar rendah dan mineral Ca dan P yang seimbang (Farida dan Ridwan, 2011). Pelet koi dapat digunakan sebagai pakan alternatif bagi landak Hystrix brachyura yang ditangkarkan (Farida, 2007). 14
MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2011 sampai Maret 2012. Pemeliharaan, pengamatan bobot badan, penyembelihan dan pengamatan sifat non karkas landak dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor; sedangkan analisis konsentrasi amonia dan VFA, degradabilitas bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) bertempat di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah digesta sekum dari landak betina enam ekor dan landak jantan dua ekor yang memiliki umur rata-rata lebih dari satu tahun yang telah dipelihara selama tiga bulan di LIPI Cibinong. Larutan pengencer (larutan mineral makro dan mikro dan aquadest), larutan asam borat berindikator merah metil dan hijau kresol bromo, larutan Na2CO3 jenuh, larutan H2SO4 (0,005 N dan 15%), larutan NaOH 0,5 N, dan larutan HCl 0,5 N. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat-alat analisa VFA, NH3, DBK dan DBO seperti timbangan digital, tabung fermentor, cawan Conway, pipet, tabung reaksi, magnetic stirer, fortex, botol film, termos, kain belacu, kertas saring Whatman No. 41, oven 105 ºC, tanur 600 ºC, alat titrasi dan sentrifuse. Prosedur Persiapan Sampel Persiapan sampel dilakukan setelah pemeliharaan landak selama tiga bulan di LIPI Cibinong. Landak dipotong (Gambar 3), dibedah dan digesta diambil dari dalam sekum. Digesta ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung sampel yang telah ditimbang sebelumnya.
15
Gambar 8. Setelah Pemotongan Landak Sumber: Dokumen Pribadi (2011)
Untuk pengamatan konsentrasi amonia dan VFA, dan DBK dan DBO, digesta landak diambil 7 g dan dicampur dengan 21 ml media pengencer sambil dialiri CO 2. Komposisi media pengencer terdiri atas larutan mineral I dan larutan mineral II. Tabung fermentor kemudian diinkubasi selama 0 dan 1 jam dalam penangas air bergoyang 39 ºC. Proses fermentasi dihentikan dengan menambahkan larutan asam pekat, setelah itu tabung disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan digunakan untuk analisis amonia dan VFA total, sedangkan residu digunakan untuk analisis DBK dan DBO. Analisis Bahan Kering dan Bahan Organik Digesta Sekum Landak Sebanyak 1 g digesta sekum landak diletakkan dalam cawan porselen berlabel yang telah ditimbang. Digesta dalam cawan porselen tersebut dimasukkan ke dalam oven 105 ºC selama 24 jam. Setelah dikeringkan dalam oven 105 ºC, sampel ditimbang setelah didinginkan dalam suhu ruangan. Sampel yang sudah ditimbang lalu dimasukkan ke dalam tanur (suhu 600 ºC, 6 jam). Setelah itu sampel ditimbang kembali untuk menentukan kadar abu dan bahan organik. Analisis Konsentrasi Amonia Berdasarkan Metode Difusi Mikro Conway Analisis amonia menggunakan metode difusi mikro Conway (General Laboratory Prosedure, 1966). Bibir pada bagian tutup dan bawah cawan Conway diolesi dengan vaselin, supernatan sebanyak 1,0 ml ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway. Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1,0 ml ditempatkan pada ujung cawan Conway yang bersebelahan dengan supernatan. Larutan asam borat berindikator merah metil dan hijau kresol bromo sebanyak 1,0 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam bagian cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway lalu ditutup rapat hingga kedap udara. Larutan Na2CO3 dicampur
16
dengan supernatan hingga merata dengan cara menggoyang–goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah 24 jam dalam suhu kamar, cawan Conway dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan larutan H2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah jambu. Konsentrasi amonia dihitung berdasarkan rumus berikut : (volume H2SO4 x 0,005 N H2SO4 x 1000/1)/(Berat digesta x % BK digesta). Analisis Konsentrasi VFA Total dengan Metode Steam Distillation Analisa VFA total dilakukan dengan menggunakan teknik distilasi uap (steam distillation) (General Laboratory Prosedure, 1966). Supernatan (5 ml) dimasukkan ke dalam tabung distilasi, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Dinding tabung dibilas dengan aquadest dan tabung ditutup dengan menggunakan sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa distilasi (diameter ±0,5 cm). Ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat pendingin Leibig. Tabung distilasi dimasukkan ke dalam labu didih yang telah berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan air tersebut. Distilat yang terbentuk ditampung di dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N dan akan selesai jika volume distilat mencapai 250 ml. Distilat lalu ditambah dengan indikator phenolphtalein (PP) 2-3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah muda menjadi bening. Konsentrasi total VFA dihitung dengan rumus berikut : [(a-b) x HCl x 1000/5 ml sampel]/(Berat digesta x % BK digesta) dimana a= volume titrasi blanko, dan b= volume titrasi sampel. Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik Residu digunakan untuk mengukur DBK dan DBO. Residu diperoleh dengan cara disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 yang telah diketahui bobotnya dengan bantuan pompa vakum. Residu kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 24 jam untuk mengetahui BK. Sampel yang telah diketahui bobotnya kemudian diabukan dalam tanur 600 ºC selama 6 jam. Prosedur ini dilakukan untuk menentukan kadar abu dan BO residu. Degradabilitas bahan kering (DBK) dapat dihitung dengan rumus : [(BK digesta sampel awal - (BK digesta residu - BK blanko))/(BK digesta sampel awal x % BK digesta)] x 100%. Rumus yang sama digunakan untuk menghitung DBO, dengan cara mengganti BK dengan BO.
17
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) berpola faktorial 2x2. Faktor A terdiri atas perlakuan pemberian pakan kontrol (A0) dan pakan yang diberi pelet ikan koi (A1). Faktor B adalah waktu inkubasi (0 dan 1 jam). Landak digunakan sebagai ulangan sebanyak empat ekor. Model matematika yang digunakan adalah : Yijk
= µ + αi + βj+ αiβj + γk + εijk
Yijk
= Efek pemberian pakan ke-i, waktu inkubasi ke-j dan kelompok ke-k
µ
= Rataan umum
αi
= Efek perlakuan pemberian pakan ke-i
βj
= Efek perlakuan waktu inkubasi ke-j
αiβj
= Efek perlakuan interaksi antara pemberian ke-i dan waktu inkubasi ke-j
γk
= Efek perlakuan kelompok ke-k
εijk
= Galat pemberian pakan ke-i, waktu inkubasi ke-j dan kelompok ke-k
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh percobaan terhadap peubah yang diamati, dan uji ortogonal kontras untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1991). Perlakuan Penelitian ini menggunakan digesta sekum landak yang diberi dua perlakuan berbeda dan diperlakukan sebagai faktor A, yaitu : A0
= landak diberi pakan yang biasa dikonsumsi (kontrol)
A1 = A0+pelet ikan koi Pakan kontrol yang diberikan kepada landak meliputi: daun jaat hutan 50 g, bengkuang 300 g, talas belitung 200 g, tomat 100 g, pisang siam 150 g dan jagung manis 300 g, sedangkan landak yang diberi pakan pelet koi, yaitu pakan kontrol+pelet koi 80 g per hari. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ekor landak betina dan satu ekor landak jantan dengan rata-rata berumur lebih dari satu tahun dengan
18
bobot rata-rata 6,24 kg. Jumlah total landak yang digunakan dalam semua perlakuan adalah enam ekor landak betina dan dua ekor landak jantan. Sampel digesta landak diperoleh pada saat pemotongan dan disimpan di dalam freezer. Untuk mengetahui efek penyimpanan terhadap konsentrasi amonia dan total VFA maupun degradabilitas BK dan BO sebagai indikator dari aktivitas mikroba digesta sekum, maka proses fermentasi dilakukan pada waktu 0 dan 1 jam sebagai perlakuan faktor B. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsentrasi amonia yang diukur dengan metode difusi mikro Conway, konsentrasi VFA total dengan metode distilasi uap, DBK dan DBO.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian pelet koi pada landak bertujuan untuk efisiensi teknis penanganan landak yang ditangkarkan. Efisiensi teknis penanganan dilakukan untuk mengurangi tercecernya pakan saat pemberian pakan dan saat pengambilan pakan untuk dikonsumsi. Pemilihan pelet koi didasarkan pada penelitian Farida (2007) yang menggunakan landak Hystrix brachyura yang lebih memilih pelet koi dibandingkan pelet kelinci dan pelet domba. Pelet koi mengandung komposisi nutrisi yaitu: BK 94,52; abu 18,48; PK 25,05; LK 5,77; SK 10,22; BETN 40,48 dalam 100% BK (Prayudi, data yang belum dipublikasikan). Konsentrasi Amonia Konsentrasi amonia menunjukkan sifat degradabilitas protein bahan makanan di dalam rumen (Sutardi, 1980). Tabel 3 menunjukkan data konsentrasi amonia. Tabel 3. Konsentrasi Amonia Pakan Inkubasi
Kontrol (A0)
(jam)
Kontrol+Pelet Koi (A1)
Rataan
------------------------------------------(mM)---------------------------------------
0
25,87 ± 0,92
12,69 ± 4,02
18,90 ± 7,26
1
21,15 ± 4,49
12,01 ± 4,66
16,57 ± 6,46
Rataan
23,12 ± 3,84 A
12,35 ± 4,04 B
17,74 ± 9,83
Keterangan:
1)
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam baris yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01) A0 = Pakan daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis
Tabel 3 memperlihatkan bahwa konsentrasi amonia dipengaruhi oleh perlakuan pemberian pakan (P<0,01), namun tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan interaksi antara pemberian pakan dengan waktu inkubasi, konsentrasi amonia pada landak A0 lebih besar daripada landak A1. Konsentrasi amonia yang lebih besar pada landak A0 daripada A1 dapat diakibatkan oleh konsumsi pakan yang berbeda (Tabel 2). Konsumsi total pakan kontrol landak A0 lebih tinggi dibandingkan dengan landak A1, yaitu 225,792 g dan 202,575 g, namun konsumsi total landak A1 yang ditambah pelet koi mempunyai jumlah yang lebih besar (247,753 g). Pemberian pelet pada landak A1 hanya 7,3% dari total pakan dan jumlah pelet yang dikonsumsi hanya 45,178 g, hal ini sesuai dengan literatur bahwa pelet yang diberikan pada semua hewan tidak boleh melebihi
20
15%-20% dari total konsumsi ransum (Church et al., 1972). Penambahan pelet koi dapat menurunkan jumlah konsumsi pakan kontrol landak A1. Pakan kontrol mengandung bahan yang mudah didegradasi dan mengandung PK yang tinggi dalam BK, yaitu: daun jaat hutan 35,29%, tomat 16,98%, jagung manis 15,33%, bengkuang 8,49%, pisang siam 3,08%, talas belitung 0,00%, sedangkan PK pelet koi 20,05% (Tabel 1; Prayudi, data belum dipublikasikan). Efek penambahan pelet koi terhadap konsumsi BK pakan kontrol adalah menurunkan konsumsi bengkuang secara nyata (P<0,05), menurunkan konsumsi BK daun jaat hutan, talas belitung, tomat dan jagung manis, tetapi tidak nyata secara statistik dan tidak mempengaruhi konsumsi BK pisang siam (Tabel 2; Prayudi, data belum dipublikasikan). Dengan kondisi demikian maka konsentrasi amonia pada pakan kontrol (A0) akan lebih besar daripada pakan kontrol+pelet koi (A1). Bahan pakan yang terkandung dalam pelet koi adalah tepung ikan, bungkil kedelai, wheat flour dan polard. Bahan pakan penyusun pelet koi mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: 1) tepung ikan mengandung protein yang tinggi, namun mengalami perubahan struktur karena mengalami proses pemanasan dalam pengolahan, 2) bungkil kedelai mengandung PK yang tinggi, tetapi menurun karena mengandung antinutrisi berupa trypsin yang dapat meningkatkan sekresi enzim pankreas sehingga menyebabkan kandungan asam amino berkurang terutama asam amino sulfur (Liener, 1979); dan mengalami proses pemanasan dalam pengolahan bahan pakan, bungkil kedelai merupakan by product dari pembuatan soybean flour dan soybean oil (Morisson, 1961), 3) wheat flour merupakan tepung terigu yang mengandung serat kasar yang rendah dan protein yang tinggi berupa gliadin dan glutenin, namun protein yang terkandung di dalam wheat flour menurun karena adanya proses penggilingan dari biji gandum ke tepung terigu (McDonald et al., 2002) dan 4) polard merupakan dedak gandum yang merupakan by product dari proses pembuatan tepung terigu, polard mengandung serat kasar yang tinggi, protein yang rendah (McDonald et al., 2002). Pembuatan pelet juga melibatkan proses pemanasan yang mempengaruhi struktur protein sehingga protein sulit didegradasi menyebabkan konsentrasi amonia rendah. Menurut penelitian Musthaq (2009), sebagian hewan pengerat termasuk landak tidak menyukai tepung ikan karena landak tidak menyukai bahan pakan yang berasal dari hewan. Prosesing akan meminimalkan
21
kondisi asam di dalam rumen, namun tidak ada efek khusus dari proses penggilingan dan peleting dalam peningkatan bobot badan dan efisiensi bobot badan (McDonald et al., 2002). Kondisi ini juga dapat terjadi di dalam sekum. Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi amonia optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi berkisar antara 6-21 mM dan menurut Sutardi (1980), sebesar 4-12 mM, sedangkan kisaran konsentrasi amonia pada cyopus 14,1–32,5 mM dan pada kelinci 17,5–33,5 mM (Marounek et al., 2005). Kisaran konsentrasi amonia yang dihasilkan dari landak A0 dan A1 diduga dapat memenuhi kebutuhan mikroba untuk mensintesis protein, walaupun kebutuhan amonia tersebut di dalam sekum landak belum diketahui. Landak sebagai hewan herbivora hindgut fermentor mampu mencerna pakan yang tidak mengandung tannin ataupun pakan yang tidak berbentuk pelet hingga 92% (Felicetti et al., 2000). Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan pakan pelet dapat menurunkan konsentrasi amonia sebagaimana yang terjadi pada penelitian ini. Produk amonia dari pemecahan N di dalam sekum dan kolon dipakai untuk sintesis protein mikroba atau diserap melalui dinding kedua organ tersebut (Hintz et al., 1969). Konsentrasi VFA Total Konsentrasi VFA sangat berperan penting dalam pembentukan sumber energi dan sebagai sumber pembentuk protein mikroba (Arora, 1989). VFA terbentuk dari proses fermentasi karbohidrat yang dilakukan oleh mikroba dalam saluran pencernaan yang menghasilkan energi utama berupa asetat, propionat, butirat dan rantai cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat. Tabel 4. Konsentrasi VFA Total Pakan Inkubasi
Kontrol (A0)
(jam)
Kontrol+Pelet Koi (A1)
Rataan
------------------------------------------(mM)------------------------------------------
0
99,05 ± 2,22
85,20 ± 9,04
92,12 ± 9,58
1
97,03 ± 4,90
88,71 ± 6,64
92,87 ± 7,00
Rataan Keterangan:
98,04 ± 3,68
a
86,95 ± 7,58
b
92,5 ± 2,75
1)
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) A0 = Pakan daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis
22
Tabel 4 memperlihatkan bahwa konsentrasi total VFA dipengaruhi oleh perbedaan pakan (P<0,05), namun
tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan
interaksi antara pemberian pakan dengan waktu inkubasi. Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa konsentrasi VFA dari landak A0 pada inkubasi 0 jam dan 1 jam tidak memiliki perbedaan nyata, hal yang sama terjadi pada konsentrasi total VFA dari landak A1. Konsentrasi VFA dari landak yang diberi pakan kontrol lebih besar daripada landak yang diberikan pakan kontrol dan pelet koi (P<0,05). Tingginya konsentrasi VFA pada pakan kontrol menunjukkan bahwa pakan kontrol mengandung zat makanan yang mudah difermentasi. Penambahan pelet koi dapat menurunkan konsentrasi VFA. Konsumsi bahan pakan kontrol pada landak A0 lebih tinggi dibandingkan dengan landak A1, namun penambahan pelet koi pada landak A1 menambah jumlah total konsumsi landak A1. Kandungan BO pada pakan kontrol dari tertinggi sampai terendah adalah jagung manis 96,72%; tomat 90,40%; pisang siam 96,20%; bengkuang 89,21%; talas belitung 75,51%; daun jaat hutan 73,87%; sedangkan BO pelet koi 81,52% (Prayudi, data belum dipublikasikan). Rataan konsumsi BK pakan kontrol pada A0 (g/ekor/hari), yaitu daun jaat hutan 8,44; bengkuang 36,04; talas belitung 12,99; tomat 6,03; pisang siam 71,24 dan jagung manis 91,05; dan total konsumsi BK sebesar 225,79 (Prayudi, data belum dipublikasikan). Konsumsi BK pelet koi pada A1 (g/ekor/hari) 45,18; konsumsi BK pakan kontrol 202,58 dan konsumsi total pakan A1 247,75 (Prayudi, data belum dipublikasikan).
Hal ini sesuai pernyataan Huller dan Carpenter (1981) bahwa
pemberian pelet akan menurunkan 7% feed intake dari total pakan keseluruhan yang diberikan. Pada penelitian ini pelet koi menurunkan konsumsi pakan kontrol landak A1 sebesar 10,3% dibandingkan dengan landak A0. Penambahan pelet koi mengurangi jumlah konsumsi pakan kontrol pada landak A1 karena kandungan energi total yang relatif tinggi, yaitu sekitar 4745 kal/g; nilai energi total pelet koi berada di ururutan ke tiga setelah daun jaat hutan 5039 kal/g dan jagung manis 4776 kal/g. Penambahan pelet koi pada landak A1 menurunkan jumlah konsumsi jagung manis, daun jaat hutan, tomat dan talas belitung, tetapi tidak nyata; konsumsi bengkuang menurun secara nyata (P<0,05); sedangkan konsumsi pisang siam tidak berubah. Penurunan konsumsi jagung manis dapat menurunkan konsentrasi VFA yang dihasilkan landak A1 karena kandungan BO jagung manis paling tinggi
23
dibandingkan bahan pakan kontrol dan pelet koi. Menurut Morisson (1961), jagung manis muda mempunyai biji seperti susu yang banyak mengandung glukosa dan akan berupa menjadi pati jika matang, kandungan pati dan gula pada jagung manis lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hybrid atau dent corn (Morisson, 1961). Pelet koi mengandung bahan yang sulit difermentasi seperti tepung ikan, bungkil kedelai, wheat flour dan polard; bahan tersebut merupakan bahan yang mengalami pemanasan saat pembuatan pelet sehingga mengakibatkan denaturasi protein atau perubahan struktur karbohidrat dan menurunkan fermentabilitas karbohidrat (McDonald et al., 2002). Gandum yang dibuat pelet mempunyai dua keuntungan, yaitu: meningkatkan lemak yang lunak sehingga meningkatkan rantai cabang dan asam lemak dan menurunkan gangguan dalam saluran pencernaan daripada gandum tanpa diproses (McDonald et al., 2002). Menurut Huller dan Carpenter (1981), efek pemanasan bahan pakan akan mengurangi kadar air, kandungan gula dan lemak yang akan digunakan untuk oksidasi. Proses pemanasan saat pembuatan pelet merubah struktur zat makanan sumber energi. Perubahan ini dapat mengakibatkan penurunan fermentasi zat makanan tersebut sehingga konsentrasi VFA menjadi rendah. Menurut penelitian Johnson dan McBee (1967), VFA yang dihasilkan landak secara in vitro
pada inkubasi 0,5 jam mempunyai kisaran 95,18-104,84 mM,
sedangkan pada inkubasi 1 jam mempunyai kisaran 97,89-102,81 mM. Menurut Sutardi (1980), untuk menunjang pertumbuhan yang optimal, ternak ruminansia membutuhkan kadar total VFA 80-160 mM. Rataan konsentrasi total VFA yang diinkubasi pada 0 dan 1 jam tidak berbeda nyata, masing-masing memiliki nilai 92,12±9,58 mM dan 92,87±7,00 mM. Hasil ini sedikit lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh Johnson dan McBee (1967), tetapi hasil kedua penelitian ini dapat menyatakan tidak ada perubahan dalam proses fermentasi pada waktu inkubasi 0 atau 0,5 dan 1 jam. Total VFA yang dihasilkan landak tersebut berada di kisaran rata-rata VFA optimal yang dibutuhkan hewan landak. Menurut Church et al. (1972), penurunan produksi VFA pada hewan yang mengkonsumsi pelet belum diketahui, mungkin disebabkan oleh penurunan fungsi saluran pencernaan dalam produksi VFA, proses fermentasi dan kurangnya serat dalam saluran pencernaan. Pada hewan hindgut fermentor, kemampuan mencerna serat sangat dipengaruhi oleh kecepatan
24
digesta dan aktivitas amilase (McDonald et al., 2002). Menurut McDonald et al. (2002), pengolahan dalam serealia menentukan kecepatan pencernaan pati di usus. Landak merupakan salah satu binatang herbivora yang lebih efisien memanfaatkan karbohidrat mudah larut, yang dapat langsung menyerap gula tanpa mengubah menjadi VFA terlebih dahulu dan dapat secara langsung memanfaatkan protein berkualitas tinggi (Hintz et al., 1978). Menurut Johnson dan McBee (1976), rata-rata landak menggunakan VFA sebesar 16%-33% untuk kebutuhan energinya. Pada landak sekitar 88% VFA diserap di sekum dan sisanya sebanyak 12% VFA diserap di usus halus atau usus besar. Degradabilitas Bahan Kering Degradabilitas bahan kering (DBK) dari landak A0 dan A1 ditunjukkan pada Tabel 5. Nilai degradasi berkaitan dengan zat makanan yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Tabel 5. Degradabilitas Bahan Kering Pakan Inkubasi (jam)
Kontrol (A0) Kontrol+Pelet Koi (A1) Rataan ------------------------------------------(%)------------------------------------------
0
54,97 ± 8,84
52,66 ± 18,85
53,81 ± 7,26
1
49,02 ± 7,97
40,57 ± 17,71
44,80 ± 5,70
Rataan
51,99 ± 8,42
46,62 ± 18,11
49,31 ± 6,86
Keterangan:
A0 = Pakan daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis
Tabel 5 memperlihatkan bahwa DBK tidak dipengaruhi oleh perbedaan pakan, waktu inkubasi dan interaksi antara pemberian pakan dengan waktu inkubasi secara statistik. DBK landak A1 lebih rendah dibandingkan landak A0, tetapi penurunan DBK tidak nyata secara statistik. Tidak terjadi perbedaan dalam DBK dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: kadar BK pakan, konsumsi BK pakan dan kadar BK digesta, serta daya degradabilitas pelet koi. Kandungan BK pakan yang paling tinggi adalah pelet koi 94,52%, sedangkan urutan BK pakan kontrol dari tertinggi sampai terendah, yaitu: pisang siam 46,23%, jagung manis 35,53%, daun jaat hutan 20,00%, bengkuang 12,32%, talas belitung 7,88% dan tomat 6,93% (Prayudi, data belum dipublikasikan). Konsumsi pakan kontrol pada landak A0 lebih tinggi daripada landak A1, namun konsumsi total
25
landak yang diberikan tambahan pelet koi (A1) lebih tinggi dibandingkan A0. Kadar BK digesta sekum landak yang dihasilkan pada landak A0 lebih rendah daripada landak A1, yaitu 0,1±0,02 g dan 0,16±0,02 g; hal ini dapat disebabkan oleh kadar dan konsumsi BK pakan. Hasil yang berbeda terdapat pada kadar BO digesta landak antara kedua perlakuan tidak berbeda yaitu 0,85±0,04 g dan 0,84±0,06 g. Daya degradabilitas pellet koi yang rendah dibandingkan pakan kontrol sehingga menghasilkan nilai DBK yang rendah. Hal ini sebagai akibat penanganan dalam pengolahannya. Degradabilitas Bahan Organik Degradabilitas bahan organik memperlihatkan daya cerna mikroba dalam saluran pencernaan yang dapat mencerna zat organik yang terkandung dalam bahan pakan. Tabel 6 memperlihatkan nilai DBO bahan pakan yang diberikan pada landak A0 dan A1. Tabel 6. Degradabilitas Bahan Organik Pakan Inkubasi (jam)
Kontrol (A0)
Kontrol+Pelet Koi (A1)
Rataan
------------------------------------------(%)------------------------------------------
0
95,14 ± 1,49
90,68 ± 5,48
92,91 ± 4,42
1
94,63 ± 1,99
89,38 ± 6,71
92,01 ± 5,37
Rataan
94,89 ± 1,65
90,03 ± 5,71
92,46 ± 2,87
Keterangan:
A0 = Pakan daun jaat hutan, bengkuang, talas belitung, tomat, pisang siam dan jagung manis
Degradabilitas BO pada landak A0 dan A1 tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Faktor yang sama sebagaimana diterangkan untuk DBK juga terjadi pada DBO. Kandungan BO pada pakan kontrol, yaitu: jagung manis 96,72%; tomat 90,40%, pisang siam 96,20%; bengkuang 89,21%; talas belitung 75,51%; daun jaat hutan 73,87%; sedangkan BO pelet koi 81,52% (Prayudi, data belum dipublikasikan). Jumlah rata-rata konsumsi pakan kontrol pada landak A0 dan A1 yang tertinggi adalah jagung manis, pisang siam dan bengkuang. Ketiga bahan tersebut mengandung BO dan BETN yang tinggi, sedangkan konsumsi talas belitung, daun jaat hutan dan tomat yang mengandung BO dan BETN relatif rendah dikonsumsi dalam jumlah yang rendah. Pelet koi yang mengandung BO dan BETN dalam jumlah sedang dikonsumsi dalam jumlah yang tidak besar pada landak A1.
26
Jagung manis merupakan bahan pakan memiliki jumlah paling tinggi dikonsumsi oleh landak, karena jagung manis memiliki kadar air yang tinggi dan rasa yang manis. Dalam penelitian Inayatullah (2006), jagung berada di urutan kedua setelah kacang tanah yang paling banyak dikonsumsi oleh landak. Pemilihan makanan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh nilai kalorigenik, palatabilitas dari jenis pakan dan perilaku spesies (Musthaq, 2009). Komposisi nutrisi dalam bahan pakan juga mempengaruhi preferensi hewan untuk memilih bahan pakan, seperti: lemak, protein, karbohidrat, protein (Musthaq, 2009) Degradasi DBK landak lebih rendah jika dibandingkan dengan ruminansia. Hal ini dikarenakan kemampuan hewan hindgut fermentor dalam mencerna pakan membutuhkan waktu yang lama dan banyak protein dan vitamin yang tidak dapat diserap oleh dinding sekum atau kolon (McDonal et al., 2002). Menurut Hintz et al. (1978), herbivora nonruminan mempunyai kerugian karena pencernaan serat tidak efisien dibandingkan dengan ruminansia dan fermentasi berada di ujung usus yang merupakan tempat utama penyerapan dan pencernaan. Mikroba dalam sekum tidak mempunyai banyak waktu untuk mencerna serat sehingga efisiensinya lebih rendah daripada hewan ruminansia (Hintz et al., 1978). Meskipun demikian, DBO pakan yang dihasilkan termasuk pakan yang mudah didegradasi. Farida dan Ridwan (2011) menunjukkan kecernaan BO yang relatif tinggi (≥ 90%) pada landak yang diberi pakan kontrol ataupun pakan kontrol yang diberi tambahan pelet koi yang diformulasi.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian pakan kontrol menyebabkan konsentrasi amonia dan VFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan landak yang diberi pakan kontrol+pelet koi, tetapi tidak mengakibatkan perbedaan dalam degradabilitas bahan kering dan bahan organik. Perbedaan waktu inkubasi 0 dan 1 jam tidak memperlihatkan pengaruh dalam fermentabilitas dan degradabilitas dan mengindikasikan bahwa penyimpanan tidak mengubah aktivitas mikroba dalam proses tersebut.
Saran Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui bahan pakan yang berkualitas untuk menghasilkan konsentrasi amonia, VFA total, degradabilitas bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) yang tinggi. Demikian pula, kontribusi dari produk fermentasi di dalam sekum terhadap proses nutrisi dan penampilan produksi landak perlu dipelajari.
28
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillahirabbilallamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar dan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Pakan terhadap Konsentrasi Amonia dan Volatile Fatty Acid(VFA) dan Degradasi Bahan Kering dan Bahan Organik di Sekum Landak (Hystrix Javanica)“. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari jaman kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Pada penulisan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan berupa materi, sumbangan pemikiran dalam penyusunan dan penyempurnaan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti penelitian bersama, memberikan bimbingan, pengarahan serta motivasi dan Ir. Widya Hermana, MSi. selaku dosen pembimbing anggota dan dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukkan atas kemajuan skripsi ini. Kepada Ir. Kukuh Budi Santoto, MS sebagai penguji seminar, Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MSc. dan Baihaqi, S.Pt., MSc. sebagai penguji sidang yang telah memberikan saran dan kritik demi kemajuan skripsi. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian bersama. Kepada Ibu Dian dan Ibu Andriyani yang telah membantu dalam penelitian penulis, teman-teman satu laboratorium Nutrisi Ternak Perah, teman satu penelitian Prayudhi dan Sarah, serta teman-teman INTP 45. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Mama Endang Sri Mulyowati, Ayah Fahrur Rozzi, Kakak Ryzzal Endra Yudhanta dan Romy Endra Yudharna, Kakak Ipar Dewi Mayangsari atas motivasi, kasih sayang dan doa yang tidak pernah padam. Akhir kata penulis berharap, semoga usaha kecil ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi masyarakat yang membutuhkannya. Bogor, Juli 2012 Penulis
29
DAFTAR PUSTAKA Anon. 1971. Webster’s Seventh New Collegiate Dictionary. G & C Merriam Co. Chicago, IL. Alexander, R. McN. 1993. The relative merits of foregut and hindgut fermentation. J. Zool. 231: 391-401. Apriyanti, Y. 2010. Analisis proksimat dan penentuan bruto energi pakan hijauan bagi satwa liar. Laporan Kerja Praktik. Universitas Nusa Bangsa, Bogor Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Bartos, C. 2004. Husbandry Standars for Keeping Porcupine in Captivity. Baltimore Zoo. Druid Hill Park, Baltimore, MD 21217. Banfield, A. W. 1974. The Mammals of Canada. University of Toronto Press XXV. Ontario, Canada. Pp. 438. Church, D. C., G. E. Smith., J. P. Fotenot & A. T. Ralston. 1972. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. Volume 2 Nutrition. D. C. Church Published, Corvallis. Orgeon, Amerika Serikat. Dahlan, I., A. A. Salam, B. S. Amin & Osman. 1995. Preference and intake of feedstuff by crested porcupines (Hystrix brachyura) in captivity. Ann Zootech. 44: 271. Departemen Pertanian. 2009. Umbi-umbian. http://bukabi.wordpress.com /2009/01/27/umbi-umbian-talas/ [30 September 2012] Dubey, J. P., A. N. Hamir, C. Brown & C. E. Rupprecht. 1992. Sarcocystis sehi (Protozoa: Sarcocystidae) from the porcupine (Erethizon dorsatum). J. Helm. Soc. Wash. 59 (1): 127-129. Endra, Y. 2006. Analisis proksimat dan komposisi asam amino buah pisang batu (Musa balbisiana colla). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farida, W. R. 2007. Kemampuan cerna dan konsumsi pakan pada landak raya (Hystrix brachyura) di Penangkaran. Laporan Teknik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI: Hal. 683-689. Farida, W. R. & R. Ridwan. 2011. Giving formulated pelet on Javan Porcupine (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823): Effects on feed intake, feed conversion, and digestibility in pre-domestication condition. J. Biol. Indon.7 (1): 157170.
30
Felicetti, L. A., L. A. Shipley, G. W. Witmer & C. T. Robbins. 2000. Digestibility, nitrogen excretion, and mean retention time by North American Porcupines (Erethizon dorsatum) consuming natural forages. J. Physiol. Biochem. Zool. 73 (6): 772-780. General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of Wisconsin, Madison. Grant, K. 2011. Nutrition of the north american porcupine, Erethizon dorsatum. www.softwarelabs.com. [22 Agustus 2011] Haim, A., R. J. Van Aarde & J. D. Skinner. 1992. Urinary characteristics of the cape porcupine Hystrix africaeaustralis; effect of photoperiode and temperature. J. Basic. Clin. Physiol. Pharmaco.l 3 (2) : 166. Hintz, H. F. 1969. Review article: comparison of digestion coefficients obtained with cattle, sheep, rabbits and horses. J. Vet. 6: 45-51. Hintz, H. F., H. F. Schryver & C. E. Stevens. 1978. Digestion and absorption in the hindgut of nonruminant herbivores. J. Anim. Sci. 46 (6) : 1803. Huller, R. F. & Carpenter, K. J. 1981. The estimation of available lysine in foodstuffs after Maillard reactions. Prog. Food. Nutri. Sci. 5 : 159-176. Hungate, R. E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, New York. Inayatullah, M. 2006. To study the dietary habits of local porcupine (Hystrix indica). (unpublished) M. Phil. thesis, Quaid-i-Azam Univ, Islamabad Pakistan. 57 pp. http://prr.hec.gov.pk/Thesis/403S.pdf. [21 April 2012] IUCN. 2012. IUCN Red list of thereated animal. http://www.iucnredlist.org. [26 April 2012]. Irianto. 2007. Respon tanaman jagung manis (Zea mays saccharata sturt) terhadap pemberian kompos sampah kota. J. Agro. 11:95-98. http://jurnalagronomi.files.wordpress.com/2012/02/11-02-08-irianto.pdf. [21 April 2012] Johnson, J. L. & R. H. McBee. 1967. The porcupine cecal fermentation. J. Nutr. 91: 540-546. Kailaku, S. I., K. T. Dewandari & Sunarmani. 2007. Potensi likopen dalam tomat untuk kesehatan. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume 3. Departemen Pertanian. Jakarta. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/publikasi/bulletin/2007_7 .pdp [21 April 2012]
31
Kingdon, J. 1984. East African Mammals, an Atlas of Evolution in Africa. Volume 2 Part B (Hares and Rodents) Pp. 687 – 695. Landry, S. O. 1970. Rodentia as omnivores. The Quarterly Review of Biology 45351-372. Liener, I. E. 1979. The nutritional significance of plant protease inhibitors. Proc. Nutr. Soc. 38: 109-113. Mackie, R. I. & C. S. McSweeney. 1991. Microbiology of Foregut and Hindgut Fermentation. Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Illions. Marounek, M., M. Skrivan, P. B. Ezina & I. Hoza. 2005. Digestive Organs, Caecal Metabolites and Fermentation Pattern In Coypus (Myocastor coypus) and Rabbits (Oryctolagus cuniculus). J. Acta. Vet. Brno. 74: 3–7. Maulida, D. & N. Zulkarnaen. 2010. Ekstraksi antioksidan (likopen) dari buah tomat dengan menggunakan solven campuran, n – heksana, aseton, dan etanol. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. http://eprints.undip.ac.id/13454/1/ pdf [24 Maret 2012] McArthur, C & G. D. Sanson. 1991. Effects of tannins on digestion in the common ringtail possum (Pseudocheirus peregrinus), a specialized marsupial folivore. J. Zool. 225:233-251. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhall & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Prentice Hall, Essex, UK. Morisson, F. B. 1961. Feeds and Feeding Abridged. Ninth Edition. The Morisson Publishing Company. Clinton, Iowa. Morris, D. & R. I. Van Aarde. 1985. Sexual behaviour of the female porcupine Hystrix arfricaeaustralis. Hormon and Behavior 19: 400-412. Musthaq, M. 2009. Evaluation of different bait formulations for the management of indian crested porcupine, Hystrix indica Kerr. Department of Zoology Faculty of Science Pir Mehr Ali Shah Arid Agriculture University Rawalpindi. Pakistan. http://prr.hec.gov.pk/Thesis/403S.pdf [22 April 2012] Nowak, R. M. & J. L. Paradiso. 1991. Walkers Mammals of the World. The Johns Hopkins University Press. Baltimore. Pp. 794 – 798. Nowak, R. M. 1999. Walker’s Mammals of the World. Volume 6 th Edision. The Johns Hopkins University Press. Baltimore. Nusifera, S. & A. Kurniawan. 2009. Tanaman bengkuang budidaya (Pachyrhizuz erosus L. Urban) terhadap pemangkasan reproduktif untuk karakter hasil dan kualitas ubi. J. Bionatura 11: 1-10.
32
Palupi, S. 2012. Upaya sosialisasi makanan tradisional umbi–umbian sebagai pengganti makanan pokok. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Parakasi. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Prayudi, T. Data Belum Dipublikasikan. Perbaikan performa landak jawa (Hystrix javanica) dengan penambahan pelet ikan koi ke dalam ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rayya. 2009. Khasiat buah tomat. http://rayyaa.wordpress.com/2009/04/05/khasiatbuah-tomat/ [30 Agustus 2012] Roze, U. 1989. The North American Porcupine. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C. Safrudin, A. 2010. Laporan studi lapang landak jawa (Hystrix javanica). Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Steel, R. G. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: M. Syah. Edisi Ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sutardi, T. 1980. Ketahanan Potein bahan makanan ternak terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produksi ternak. Proceeding Seminar dan Penunjang Peternakan. LPP, Bogor. Sutedja, I. 1993. Mengenal Lebih Dekat Satwa Yang Dilindungi : Mamalia. Biro Hubungan Masyarakat. Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan, Jakarta. Suwelo, I. S., A. Somantri, N. Sugiri, H. S. Hardjasasmita, E. A. Sumardja, T. Djuhanda, E. Rachman, D. Waluyo, S. Murod, Boeadi, Soegardjito, Subianto, W. Insan & Soersasno. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka, Mammalia, Reptilia dan Amphibia. Jilid I. Direktorat Jendral Kehutanan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Bogor. Theodorou, M. K., S. E. Lowe & A. P. J. Trinci. 1988. The fermentative characteristics of anerobic rumen fungi. J. BioSystems 21: 371-376. Van Aarde, R. J. 1985. Reproduction in eaplive female Cape porcupines (Hystrix africaeaustralis). Journals of Reproduction &Fertility 75: 577-582. Van Aarde, R. J. 1987. Pre and postnatal growth of the Cape porcupine Hystrix africaeaustralis. J. Zool. 211: 25-33.
33
Van Aarde, R. J. & J. D. Skinner. 1986. Reproductive biology of the male cape porcupine, Hystrix africaeaustralis. Journals of Reproduction & Fertility 76: 545 - 552. Van Jaarsveld, A. S. 1983. Aspects of the digestion in the cape porcupine. South African. J. Anim. Sci. 13: 31-33. Van Jaarsveld, A. S & A. K. Knight-Eloff. 1984. Digestion in the porcupine Hystrix africaeaustralis. South African J. Zool. 19: 109-111. Vispo, C. & I. D. Hume. 1995. Digestive tract and digestive function in the North American porcupine and beaver. Canadian. J. Zool. 73: 967-974. Vivanews. 2011. Landak terancam punah dalam 15 tahun terakhir. http://m.news.viva.co.id/news/read/241019-landak-terancam-punah-dalam15-tahun. [14 Juni 2012]. Weeks, H. P. Jr. & C. M. Kirkpatrick. 1978. Salt preferences and sodium drive phenology in fox squirrels and woodchucks. J. Mammal. 59 (3): 531-542. Wikipedia. 2012. Bengkuang. http://id.wikipedia.org/wiki/Bengkuang [30 Agustus 2012] Yong, M. Y. M. 2008. Landak. http://www.geocities.com/datahaiwan/faktahaiwan landak.htm. [12 Desember 2011]
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Komposisi dan Cara Pembuatan Media Pengenceran Komposisi Media Pengencer Larutan Mineral I
7,5
ml
Larutan Mineral II
7,5
ml
Cystein
0,05
g
Na2CO3
0,3
g
Resazurin (0,1%)
0,1
ml
Amilum
0,4
g
Glukosa
0,4
g
Selobiosa
0,4
g
Casein
0,4
g
Aquades
100
ml
K2HPO4
0,6
g
Aquades
100
ml
NaCl
1,2
g
(NH4)2SO4
0,3
g
KH2PO4
0,6
g
CaCl2
0,2
g
MgSO4.7H2O
0,25
g
Aquadest
100
ml
Komposisi Larutan Mineral I
Komposisi Larutan Mineral II
Cara Pembuatan
:
Pembuatan media pengencer dilakukan dengan cara mencampur amilum, glukosa, selobiosa dan casein masing-masing 0,4 g dicampur dengan Larutan Mineral I; Larutan Mineral II; Cystein0,05 g; Na2CO30,3 g, Resazurin (0,1%) 0,1 ml. Larutan Mineral I dibuat dengan cara mencampurkan 100 ml aquadest dengan 0,6 g K2HPO4, sedangkan untuk pembuatan Larutan Mineral II mencampurkan
NaCl 1,2 g; (NH4)2SO4 0,3 g; KH2PO4
0,6g;
CaCl2 0,2 g;
MgSO4.7H2O.
36
Lampiran 2. Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsentrasi Amonia
Sumber Keragaman (SK) Perlakuan Kelompok Faktor A 1vs2 Faktor B A*B Eror Total
Derajat Bebas (db) 3 3 1 1 1 1 9 15
Jenis Keragaman (JK) 497,116 78,357 464,564 464,564 21,616 10,936 107,147 682,620
Kuadrat Tengah (KT) 165,705 26,119 464,564 464,564 21,616 10,936 11,905 45,508
F. hit 13,919 2,194 39,022 39,022 1,816 0,919
F 0,05 3,863 3,863 5,117 5,117 5,117 5,117
F. hit 39,022
F 0,05 5,117
F 0,01 6,992 6,992 10,561 10,561 10,561 10,561
Lampiran 3. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Amonia Kontras 1 vs 2
Perlakuan A0 1
Perlakuan A1 -1
JK 464,564
F 0,01 10,561
Lampiran 4. Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsentrasi VFA SK
db
JK
KT
F. hit
F 0,05
F 0,01
Perlakuan
3
523,892
174,631
4,322
3,863
6,992
Kelompok Faktor A 1 vs 2 Faktor B
3 1 1 1
100,334 491,110 491,110 2,212
33,445 491,110 491,110 2,212
0,828 12,154 12,154 0,055
3,863 5,117 5,117 5,117
6,992 10,561 10,561 10,561
A*B Eror
1 9
30,570 363,666
30,570 40,407
0,757
5,117
10,561
Total
15
987,892
65,859
Lampiran 5. Uji Lanjut Kontras Ortogonal VFA Kontras 1 vs 2
Perlakuan A0 1
Perlakuan A1 -1
JK 491,110
F. hit 12,154
F 0,05 5,117
F 0,01 10,561
37
Lampiran 6. Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Degradasi Bahan Kering SK Perlakuan Kelompok Faktor A Kontras Faktor B A*B Eror Total
db 3 3 1 1 1 1 9 15
JK 478,353 614,038 115,708 43,027 324,937 37,709 1817,231 2909,623
KT 159,451 204,679 115,708 43,027 324,937 37,709 201,915 193,975
F. hit 0,790 1,014 0,573 0,213 1,609 0,187
F 0,05 3,863 3,863 5,117 5,117 5,117 5,117
F. 0,01 6,992 6,992 10,561 10,561 10,561 10,561
Lampiran 7. Hasil Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Degradasi Bahan Organik SK Perlakuan Kelompok Faktor A Kontras Faktor B A*B Eror Total
db 3 3 1 1 1 1 9 15
JK 98,209 93,076 94,359 38,8555 3,235 0,615 150,741 342,027
KT 32,736 31,025 94,359 38,855 3,235 0,615 16,749 22,802
F. hit 1,955 1,852 5,634 2,320 0,193 0,037
F 0,05 3,863 3,863 5,117 5,117 5,117 5,117
F 0,01 6,992 6,992 10,561 10,561 10,561 10,561
38