Pengaruh Pemberian Metode Bermain Untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Anak Azmi Nur Aliyati 0803192 Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
[email protected] Abstrak The purpose of this research is to understand implementation of role play method to affect children assertive act. In this research we use TK ABA Kanggotan Pleret class A.1 as the group subject experiment and class A.2 as the group subject control in the school year 2012/2013. The research scheme using pre post test control group design, data collecting method using child behavioral checklist (CBCL), and the analyzing method using statistics non parametric with mann whitney test as the comparison with dual samples independent and wilcoxon test as the comparison with dual samples dependent. From mann whitney test the result is p=0,003 (p<0,05) and from wilcoxon test the result is 0,012 (p<0,05) for experiment group, meanwhile the result for control group is p=0,066 (p<0,05). From the data analyze we can conclude that role play method effective to improve the children assertive act. So that, the hypothesis in this reaserch, which is that role play method is effective to affect the children assertive act can be accepted. Keywords : play, role play, assertive behavior.
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh pemberian metode bermain peran terhadap peningkatan perilaku asertif anak. Subjek yang digunakan adalah siswasiswi TK ABA Kanggotan Pleret kelas A.1 sebagai kelompok eksperimen dan A.2 sebagai kelompok kontrol tahun ajaran 2012/2013. Rancangan penelitian menggunakan pre-post test control group design, metode pengumpulan data dengan ceklist perilaku anak, sedang teknik analisisnya menggunakan statistik non parametrik dengan uji mann whitney sebagai komparasi independen dua sampel dan uji wilcoxon sebagai komparasi dependen dua sampel. Dari hasil uji mann whitney di peroleh p=0,003 (p<0,05) dan hasil uji wilcoxon diperoleh hasil 0,012 (p<0,05) pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok kontrol p=0,066 (p<0,05). Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode bermain peran terhadap peningkatan perilaku asertif anak. Sehingga, hipotesis dalam penelitian, yaitu ada pengaruh metode bermain peran terhadap peningkatan perilaku asertif anak dapat diterima. Kata kunci
: Bermain peran, perilaku asertif.
PENDAHULUAN I.
Latar Belakang Masalah Hubungan teman sebaya sangat kuat mempengaruhi perkembangan seorang anak, di antaranya dalam bidang penyesuaian diri dengan tuntutan-tuntutan kelompok, melatih kemandirian anak dalam berpikir dan berperilaku, serta yang terpenting adalah pembentukan konsep diri dari seorang anak (Hurlock, 2002). Pengaruh ini sangat besar didukung karena pada masa ini anak cenderung ingin untuk diterima oleh kelompok dan sebagian besar pada kenyataannya anak menggunakan waktu lebih banyak dengan teman sebaya. (Hurlock, 2002). Dalam suatu investigasi, Santrock (Desmita, 2005), mengatakan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun. Akan tetapi, dengan perkembangan jaman muncul masalah-masalah yang timbul dari bergaul atau lingkungan sosial, salah satunya adalah tiba-tiba anak menangis karena mainannya diambil dengan paksa oleh temannya, diam saja ketika antri untuk bermain kemudian diserobot oleh temannya serta tidak bisa mengambil keputusan ketika disuruh memilih dan masih banyak yang lainnya yang sering kita jumpai. (Majalah Ibu Dan Balita, 13 Desember 2009). Dari contoh kasus di atas, anak tergolong mempunyai kendala dalam hal menyatakan perasaan & pendapat secara jujur atau dikenal dengan kurangnya perilaku asertif (Majalah Ibu Dan Balita, 13 Desember 2009). Perilaku asertif adalah perilaku interpersonal berupa pernyataan perasaan yang jujur dan relatif langsung (Rim dan Master dalam Marini & Andriani, 2005). Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa perilaku asertif dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa hormat serta harga diri (Devito dalam Marini & Andriani, 2005). Dari temuan masalah di lapangan yang dilakukan dengan metode wawancara dan observasi di lingkungan TK ABA Kanggotan di Kecamatan Pleret, banyak sekali kasus dimana anak cenderung diam dan menerima apa saja perlakuan dari teman-temannya, cenderung terlihat sebagai anak buah, tidak bisa memberi keputusan ketika dia diberi pilihan baju oleh orang tuanya, serta kurang komunikatif dengan apa yang dirasakan. Sedangkan di lingkungan sekolah TK ABA Kanggotan yang berada di Kecamatan Pleret, perilaku asertif belum dipelajari atau dijelaskan secara detail. Anak hanya diberikan penjelasan bagaimana harus bicara dengan baik serta bagaimana harus meminta dan meminjam dengan baik. Yuriastien & Febry (2009), menyarankan untuk meningkatkan perilaku asertif anak dapat dilakukan dengan cara bermain peran. Lebih lanjut, Yuriastien & Febry (2009) menyatakan dalam bermain peran, anak akan memerankan suatu peran, anak dapat menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan nyata maupun yang terdapat dalam media massa atau televisi. Bermain peran berguna untuk mempelajari banyak peran dan mempengaruhi perkembangan kognitif (pemikiran) menjadi semakin baik,
karena dengan bermain peran anak akan berfantasi dan meniru peran-peran yang dapat mengajarkan anak untuk terampil dalam bergaul, komunikatif karena perbendaharaan kata semakin bertambah serta mengajarkan anak tentang nilai-nilai kemanusiaan. (Yuriastien, Prawitasari & Febry, 2009). Pemilihan peningkatan perilaku asertif dengan bermain peran dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku asertif menurut Galassi & Galassi (Porpitasari, 2007) diantaranya adalah modelling (pengamatan) dan memberikan kesempatan untuk berperilaku yang sesuai, karena tahapan dari bermain peran mengandung unsur modelling atau pengamatan dan pemberian kesempatan untuk belajar berperilaku. Ramdhani (2002) menegaskan sebagaimana proses belajar yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual atau kognitif saja, akan tetapi juga aspek emosi atau afektif dan psikomotor. Perubahan yang meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta dilibatkan dalam proses pelatihan berperilaku melalui bermain peran yang harus dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling dari beberapa ketrampilan sehingga, demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis serta relevan dengan peserta (Ramadhani, 2002). Penelitian ini menggunakan subjek anak-anak pra sekolah karena pada perkembangan anak usia pra sekolah, anak mulai belajar interaksi sosial dengan lingkungan yang lebih luas, tidak lagi hanya sebatas interaksi dengan keluarga (Sujanto, 1996). Oleh karenanya, anak-anak perlu diajarkan sejak dini perilaku dimana dapat mengutarakan perasaan, pikiran dan pendapatnya tanpa merasa takut akan menyakiti orang lain atau tidak disukai orang lain (Yuriastien & Febry 2009). Kenyataannya, bermain peran sudah tidak asing lagi untuk anak-anak, karena role play mulai tampak terlihat saat anak mulai mempunyai kemampuan berpikir simbolik, contohnya, ketika anak berkhayal menyuapi bonekanya seolah-olah boneka itu adalah anaknya,dll (Tedjasaputra, 2001). Menurut Garvey dan Singer (Tedjasaputra,2001) anak menyukai permainan bermain peran tersebut seperti bermain ibu-ibuan, ayah-ayahan, bahkan kesatria yang gagah berani, karena dengan bermain dramatik semacam ini dapat membantu anak untuk mencoba berbagai peran sosial yang diamatinya, memantapkan peran sesuai jenis kelaminnya, melepaskan ketakutan atau kegembiraannya, mewujudkan khayalan, serta bekerja sama dan bergaul dengan anak-anak lainnya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti memilih untuk membuat penelitian dengan judul ” PENGARUH METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF ANAK ”. Kajian Teori I. Perilaku Asertif A. Pengertian Perilaku Asertif
Menurut Rathus & Nevid (2009) perilaku asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok. Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang melibatkan kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan orang yang ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain, karena seperti halnya keterampilan sosial, perilaku asertif seseorang menunjukkan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri. (Gunarsa, 2007). Definisi lain yang dikemukakan oleh Galassi & Galassi (Porpitasari, 2007) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah pengungkapan secara langsung kebutuhan, keinginan dan pendapat seseorang tanpa menghukum, mangancam atau menjatuhkan orang lain. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa asertif adalah perilaku interpersonal individu untuk berani tegas, jujur dan terbuka dalam menyatakan pikiran, perasaan dan keinginan agar mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya dengan ekpresi emosi yang tepat sehingga tidak melukai, menghukum atau mengancam orang lain. a. Ciri-ciri Perilaku Asertif Alberti dan Emmons (2002) mengklasifikasikan perilaku asertif dan non asertif sebagai berikut: Tabel 1. Perilaku Asertif Menurut Alberti dan Emmons (2002) Perilaku Asertif Perilaku Non Asertif No. Pelaku Pelaku 1. Perbaikan / peningkatan diri Penyangkalan diri 2. Ekspresif Kecenderungan menahan 3. Bisa meraih tujuan yang Tidak meraih tujuan yang diinginkan diinginkan 4. Pilihan untuk diri sendiri Pilihan dari orang lain 5. Merasa nyaman dengan dirinya Tidak tegas, cemas, memandang sendiri. rendah diri. No. Penerimaan Penerimaan 1. Memahami / menyadari situasi / Tidak sabar, merasa bersalah, marah. keadaan orang lain. 2. Menghargai pelaku. Tidak ada penghargaan dari pelaku 3. Bisa mencapai keinginan- Meraih tujuan-tujuan dari pelaku keinginannya. b. Aspek-aspek Perilaku Asertif aspek-aspek perilaku asertif menurut Galassi & Galassi (Porpitasari, 2007) ada tiga kategori yaitu: 1. Mengungkapkan perasaan positif (expressing positive feelings). Pengungkapan perasaan positif antara lain: Dapat memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada orang lain dengan cara asertif adalah ketrampilan yang sangat penting. Individu mempunyai hak untuk memberikan balikan positif kepada
2.
3.
1)
2)
orang lain tentang aspek-aspek yang spesifik seperti perilaku, pakaian, dan lain-lain Menerima pujian minimum dengan ucapan terima kasih, senyuman, atau seperti “Saya sangat menghargainya”. Aspek meminta pertolongan termasuk di dalamnya yaitu meminta kebaikan hati dan meminta seseorang untuk mengubah perilakunya. Manusia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dalam kehidupannya, seperti misalnya meminjam uang. Aspek mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang kepada orang yang disenangi. Kebanyakan orang mendengar atau mendapatkan ungkapan tulus merupakan hal yang menyenangkan dan hubungan yang berarti serta selalu memperkuat dan memperdalam hubungan antara manusia. Aspek memulai dan terlibat percakapan. Aspek ini diindikasikan oleh frekuensi senyuman dan gerakan tubuh yang mengindikasi reaksi perilaku, respon, kata-kata yang menginformasikan tentang diri/pribadi, atau bertanya langsung. Afirmasi diri (self affirmations) Afirmasi diri terdiri dari tiga perilaku yaitu: a) Mempertahankan hak Mengekspresikan mempertahankan hak adalah relevan pada macam-macam situasi dimana hak pribadi diabaikan atau dilanggar. Misalnya situasi orang tua dan keluarga, seperti anak tidak diizinkan/dibolehkan menjalani kehidupan sendiri, tidak mempunyai hak pribadi sendiri, dan situasi hubungan teman dimana hakmu dalam membuat keputusan tidak dihormati. b) Menolak permintaan Individu berhak menolak permintaan yang tidak rasional dan untuk permintaan yang walaupun rasional, tapi tidak begitu diperhatikan. Dengan berkata “tidak” dapat membantu kita untuk menghindari keterlibatan pada situasi yang akan membuat penyesalan karena terlibat, mencegah terjadinya suatu keadaan dimana individu akan merasa seolah-olah telah mendapatkan keuntungan dari penyalahgunaan atau memanipulasi ke dalam sesuatu yang diperhatikan untuk dilakukan. c) Mengungkapkan pendapat Setiap individu mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara asertif. Mengungkapkan pendapat pribadi termasukdi dalamnya dapat mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain atau berpotensi untuk menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain, contohnya adalah mengungkapkan ketidaksepahaman dengan orang lain. Mengungkapkan perasaan negatif (expressing negative feelings) Perilaku ini meliputi pengungkapan perasaan negatif tentang orang per-orang. Perilaku-perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah: Mengungkapkan ketidaksenangan Ada banyak situasi dimana individu berhak jengkel atau tidak menyukai perilaku orang lain, seseorang melanggar hakmu, teman meminjam barang tanpa permisi, teman yang selalu datang terlambat ketika berjanji, dll. Mengungkapkan kemarahan.
Individu mempunyai tanggung jawab untuk tidak merendahkan, mempermalukan, atau memperlakukan dengan kejam kepada orang lain pada proses ini. Banyak orang telah mempelajari bahwa mereka seharusnya tidak mengekspresikannya. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif Menurut Galassi dan Galassi, (Porpitasari, 2007) terdapat 6 faktor yang mempengaruhi perilaku asertif yaitu: 1. Hukuman Orang kadang gagal untuk menjadi asertif dalam situasi – situasi tertentu karena di masa lalu dalam situasi yang sama ia merasa terhukum baik secara fisik maupun mental sehingga ia kesulitan dalam mengungkapkan dirinya. Hukuman demi hukuman yang terjadi berulang – ulang tersebut lama – kelamaan akan membentuk perilaku seseorang menjadi asertif, pasif, ataupun agresif. 2. Ganjaran Perilaku asertif dapat terbentuk karena perilakunya terganjar. Perilaku yang terganjar tersebut cenderung untuk muncul kembali dalam situasi yang sama. Reinforcement (penguatan) yang diberikan dapat membuat orang merasa termotivasi untuk melakukan kembali perilaku tersebut. Pemberian penguatan yang dilakukan secara tepat dapat membentuk perilaku asertif sesorang. 3. Modelling Perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang terdekat di sekitar individu memberikan pengaruh dalam perkembangan perilaku asertifnya. Hal ini bisa di dapat orang dari hasil modeling. Modeling meliputi proses mengamati dan meniru tingkah laku dari orang-orang tersebut. Dari proses modelling inilah individu belajar untuk berperilaku asertif, nonasertif, atau agresif. 4. Kesempatan untuk mengembangkan perilaku yang sesuai. Orang bisa gagal berperilaku asertif sebab mereka tidak memiliki kesempatan di masa lalu untuk belajar cara berperilaku yang tepat. Ketika dihadapkan pada situasi – situasi yang baru, orang tidak tahu harus berperilaku seperti apa atau merasa gugup karena kurangnya pengetahuan yang dimilikinya. 5. Standar budaya dan keyakinan pribadi. Ragam budaya yang telah dipelajari seseorang dalam kelompok mereka, membuat berbeda pula cara mereka berperilaku dalam suatu situasi sosial tertentu. Dalam hal ini keyakinan pribadi orang juga mempengaruhi cara orang tersebut untuk berperilaku dalam interaksi – interaksi sosialnya. Keyakinan ini meliputi keyakinan akan hak setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. 6. Keyakinan akan hak mutlak sebagai individu. Orang sering gagal berperilaku asertif dalam suatu situasi karena mereka tidak yakin akan haknya dalam situasi tersebut. Dalam hal ini orang tidak mempelajari apa yang menjadi haknya. Jika orang tidak yakin akan hak yang dimilikinya dan tidak memahami pula hak orang lain, kemungkinan dalam situasi yang kurang mantap orang akan sulit berperilaku asertif.
II. Bermain B. Pengertian bermain
Batasan mengenai bermain sangat luas dan sulit untuk menemukan pengertian bermain secara nyata dan tepat dalam arti satu batasan dapat mencakup seluruh pengertian bermain. Namun, ada beberapa batasan bermain menurut para ahli sebagai berikut: James Sully (Tedjasaputra, 2001) menyatakan bahwa yang penting dan perlu ada di dalam kegiatan bermain adalah rasa senang yang ditandai oleh tertawa. Hurlock (2002) menyatakan bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya,tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban (Hurlock, 2002). Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan jasmani yang dilakukan secara sukarela namun tetap pada aturan yang akan menghasilkan kesenangan. a. Kategori Bermain Sedangkan dalam kegiatan bermain Berger, dkk (Tedjasaputra, 2001), secara membedakan menjadi 3 kategori besar, yaitu : 1. Exploratory and manipulative play (bermain menjelajah dan manipulative) 2. Destruktif Play (bermain menghancurkan) 3. Imaginative atau make-believe play (bermain berkhayal atau pura-pura). b. Pengaruh Bermain Terhadap Perkembangan Anak Menurut Hurlock (2002), aktivitas bermain mempunyai pengaruh yang besar, diantaranya : 1.
2. a)
b)
c)
d)
e)
perkembangan fisik selain sebagai sarana pelepasan energy, bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan otot dan melatih semua bagian tubuhnya. Perkembangan emosi Fungsi bermain untuk perkembangan emosi : Kestabilan emosi Ada tawa, senyum dan ekspresi kegembiraan lain dalam bermain. Kegembiraan yang dirasakan bersama mengarah pada kestabilan emosi anak. Rasa kompetensi dan percaya diri Bermain menyediakan kesempatan pada anak-anak mengatasi situasi.Kemampuan ini akan membentuk rasa kompeten dan berhasil. Perasaan mampu ini pula dapat mengembangkan percaya diri anak-anak. Selain itu, anak-anak dapat membandingkan kemampuan pribadinya dengan temannya sehingga dia dapat memandang dirinya lebih wajar (mengembangkan konsep diri yang realistis). Menyalurkan keinginan Didalam bermain, anak-anak dapat menentukan pilihan, ingin menjadi apa dia. Bisa saja ia ingin menjadi ‘ikan’, bisa juga menjadi ‘komandan-anak dapat menentukan pilihan, ingin menjadi apa dia. Bisa saja ia ingin menjadi ‘ikan’, bisa juga menjadi ‘komandan’ atau menjadi ‘pasukan perang’nya atau menjadi seorang putri. Menetralisir emosi negatif Bermain menjadi “katup” pelepasan emosi negatif, misalnya rasa takut, marah, cemas dan memberi kesempatan untuk menguasai pengalaman traumatik. Mengatasi konflik
f)
3. a)
b)
c)
Di dalam bermain, sangat mungkin akan timbul konflik antar anak dengan lainnya, karena itu anak-anak bisa belajar alternatif untuk menyikapi atau menangani konflik yang ada. Menyalurkan agresivitas secara aman Bermain memberikan kesemapatan bagi anak-anak untuk menyalurkan agresivitasnya secara aman. Dengan menjadi ‘raja’ misalnya, anak dapat merasa ‘mempunyai kekuasaan’ dengan demikian anak-anak dapat mengekspresikan emosinya secara intens yang mungkin ada tanpa merugikan siapapun Perkembangan sosial Meningkatkan sikap sosial Ketika bermain, anak-anak harus memperhatikan cara pandang lawan bermainnya, dengan demikian akan mengurangi egosentrisnya. Dalam permainan itu pula anak-anak dapat mengetahui bagaimana bersaing dengan jujur, sportif, tahu akan hak dan peduli akan hak orang lain. Anak juga dapat belajar bagaimana sebuah tim dan semangat tim Belajar berkomunikasi Agar dapat melakukan permainan, seorang anak harus mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya, karena permainan, anak-anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan pendapatnya, juga mendengarkan pendapat orang lain. Belajar berorganisasi Permainan seringkali menghendaki adanya peran yang berbeda, olah karena itu dalam permainan, anak-anak dapat belajar berorganisasi sehubungan dengan penentuan ‘siapa’ yang akan menjadi ‘apa’. Dengan permainan, anak-anak dapat belajar bagaimana membuat peran yang harmonis dan melakukan kompromi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bermain peran dalam meningkatkan perilaku asertif anak Hipotesis Ada pengaruh metode bermain peran untuk meningkatkan perilaku asertif anak. Artinya, dengan menggunakan bermain peran maka perilaku asertif anak semakin meningkat, sebaliknya tidak ada peningkatan perilaku asertif anak tanpa pemberian metode bermain peran.
Metode penelitian a. Variabel Bebas b. Variabel Terikat
A. Identifikasi Variabel Penelitian : Metode Bermain Peran : Perilaku Asertif B. Definisi Operasional
1. Bermain Peran Penerapan bermain peran dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Scripting : improvisasi
memainkan kembali
menentukan peran
membaca naskah
b. Staging simultan
pengulangan
berperan
aktor berbeda
Gambar 1. Skema bermain peran menurut Silberman (2010). Metode bermain peran diberikan selama tiga kali pertemuan, tiap pertemuan membutuhkan waktu ± 40 menit. 2. Perilaku Asertif Pedoman observasi dalam penelitian ini berdasarkan pada aspek perilaku sertif, yaitu: a. Mengungkapkan perasaan positif 1) Memuji, menghargai 2) Meminta tolong 3) Mengungkapkan perasaan sayang, cinta. 4) Memulai atau memotong percakapan b. Afirmasi diri
1) Mempertahankan hak 2) Menolak permintaan 3) Mengungkapkan pendapat c. Mengungkapkan perasaan negative 1) Mengungkapkan ketidak senangan 2) Mengungkapkan kemarahan C. Subyek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi pada TK ABA Kanggotan kelas A.1 sebagai kelompok eksperimen dan kelas A.2 sebagai kelompok kontrol. Dengan ketentuan subjek adalah siswa yang memiliki skor perilaku asertif dengan kategori dibawah rata-rata berdasarkan hasil pretest. D. Materi Bermain Peran Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa naskah cerita contohcontoh perilaku asertif yang dibuat oleh peneliti dan guru TK ABA Kanggotan dengan panduan buku cerita anak berjudul “Aku Suka Tersenyum” . Serta penambahan pembelajaran sederhana perilaku asertif lain seperti, mengungkapakan kemarahan dengan baik serta pembelajaran tentang meminta hak dengan baik.
E. Metode Pengumpulan Data A. Ceklist Perilaku Anak Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penilaian dari hasil observasi didalam eksemplar model ceklist perilaku anak. B. Rancangan Eksperimen Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen yaitu rancangan eksperimen pre-post test control group design, dimana penelitian ini dilakukan dengan memberikan skala sebagai test sebelum dan sesudah dikenai perlakuan (Azwar, 2009). Tujuannya agar hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat karena dapat membandingkan keadaan sebelum dan sesudah mendapat perlakuan. (Suryabrata, 2010). C. Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah penghitungan dengan statistik Uji MannWhitney yaitu pengujian non parametrik dari perbedaan dua himpunan data yang berasal dari sampel yang independen (Harinaldi, 2005). Serta, menggunakan Uji Wilcoxon yaitu pengujian non parametrik untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah diberi perlakuan dengan sampel dependen. Analisis non parametrik dimaksudkan untuk mengungkap perbedaan antara pre-test dengan post-test dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan populasi sampel dibawah 30 subjek. Penghitungan statistik tersebut mengggunakan program SPSS 15.00 for windows. Hasil Penelitian Setelah semua data dari rater terkumpul, selanjutnya eksemplar ceklist perilaku anak ditabulasikan. Untuk analisis data menggunakan analisis statistik non parametrik uji
Mann Whitney terhadap gain score kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, seperti dibawah ini. Tabel 10. Data Penelitian Skor Total Kelompok Eksperimen Subjek Skor Perilaku Asertif Pretest Posttest Gain score 3 9,75 16,75 7 4 12,25 20 7,75 6 7,25 16,25 9 11 9,25 14,5 5,25 13 10,25 18,5 8,25 15 8,75 13 4,25 21 6 12,75 6,75 24 8 14,5 6,5 Total 54.75 Rata-rata 6.84
Tabel 11. Data Penelitian Skor Total Kelompok Kontrol Subjek Skor Perilaku Asertif Pretest Posttest Gain score 2 12,25 13 0,75 6 9,25 9,25 0 9 9 11 2 15 8,75 12,5 3,75 21 11 13 2 Total 8,5 Rata-rata 1,7 Tabel 12. Perbandingan Rerata Skor Pretest dan Posttest pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Kelompok Pretest Posttest Eksperimen 71,5 126.25 Kontrol 50,25 58,75 a. Uji homogenitas Uji ini dilakukan menggunakan Levene’s test,Berdasarkan uji homogenitas pada hasil data pretest diperoleh p=0,756. Dengan demikian, data tersebut berasal dari populasi yang mempunyai varians sama (homogen). Hipotesis komparatif adalah dugaan terhadap perbandingan dua sampel atau lebih (Sugiyono, 2011). Dalam hal komparasi ini terdapat dua macam, yaitu : 1) Komparasi independen dalam dua sampel atau lebih. Pengujian pada jenis ini dengan teknik statistik Mann Whitney. Berdasarkan uji Mann Whitney terhadap gain score kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh hasil
p=0,003 (p<0,05), dengan demikian terdapat perbedaan peningkatan skor perilaku asertif antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 2) Komparasi dependen dalam dua sampel atau lebih. Teknik statistik untuk menguji perbedaan antara nilai variabel dari dua sampel yang berhubungan. Pengujian ini menggunakan teknik statistik non parametrik Wilcoxon. Hasil dari pengujian kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum diberi perlakuan (pretest) dan sesudah diberi perlakuan (posttest) dengan uji Wilcoxon dapat dilihat pada tabel dibawah : Tabel 13. Hasil Uji Wilcoxon Kelompok Sign Ket p<0,05 Eksperimen 0,012 (signifikan) p>0,05 Kontrol 0,066 (tidak signifikan) Berdasarkan uji Wilcoxon pada kelompok eksperimen diperoleh hasil p=0,012 (p<0,05), maka terdapat perbedaan skor perilaku asertif yang signifikan pada kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan dan sesudah perlakuan. Sedangkan, pada kelompok kontrol diperoleh hasil p=0,066 (p>0,05), berarti pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan. Hasil uji analisis diatas dapat disimpulkan ada peningkatan skor perilaku asertif yang signifikan pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok control tidak ada peningkatan skor perilaku asertif. Pembahasan Berdasarkan uji Mann Whitney terhadap gain score kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diperoleh hasil p=0,003 (p<0,05) maka, ada perbedaan berupa peningkatan skor perilaku asertif antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Artinya, pemberian metode bermain peran berpengaruh pada peningkatan perilaku asertif anak pada kelompok eksperimen setelah mendapatkan perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Galassi dan Galassi (Porpitasari, 2007) yang menyatakan bahwa modeling dan kesempatan untuk menjadi salah satu faktor dalam mengembangkan perilaku yang sesuai menurut perilaku asertif. Anak yang diberikan stimulus bermain peran untuk perilaku asertif secara terus menerus, maka perilaku asertif anak akan lebih baik, terutama pada anak pra sekolah atau Taman Kanak-kanak sebagai tambahan pembelajaran (Porpitasari, 2007) . Menurut Van Fleet (2001) dengan metode bermain peran, anak dapat belajar berperilaku adaptif, mengatasi kesulitan berperilaku anak dan melepaskan kesulitankesulitan yang menyebabkan anak tidak berani untuk mengungkapakan perasaan, ide dan kebutuhan dengan jujur. Dari hasil penelitian, proses dari pelepasan kesulitan untuk berperilaku asertif, yaitu : 1. Ketika subjek dengan sukarela memilih peran yang akan dimainkan kemudian memerankan, maka akan ada pelepasan keinginan yang terpenuhi (Hurlock, 2002). Selama proses memerankan tersebut, subjek belajar bagaimana untuk berperilaku asertif sehingga subjek mempunyai pengalaman dan ketika dalam dunia nyata, subjek menerapkannya dengan benar (Galassi dan Galassi dalam Porpitasari, 2007).
a. b. c.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
Proses munculnya pengalaman dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu : Aspek kognitif : menurut Bloom (Wellington, 2006) adanya pengetahuan baru yang diproses oleh subjek menjadi sebuah pemahaman akan diterapkan dalam dunia nyata. Aspek afektif: menurut Krathwol (Stones, 2012) adanya penerimaan dari pengetahuan baru akan membuat subjek merespon, merasakan dan menilai pengetahuan baru tersebut. Aspek psikomotor: setelah aspek kognitif dan afektif tercapai, subjek akan menirukan pengetahuan baru yang diperoleh kemudian memanipulasinya dengan berlatih untuk berperan, sehingga muncul ketepatan berperilaku dalam dunia nyata (Dave, dalam Seel, 2011). Modal utama untuk berani tampil di depan orang lain adalah perasaan mampu di dalam diri subjek untuk memarankan peran yang dipilih, dari rasa percaya terhadap diri sendiri tersebut dapat menghapus hambatan-hambatan subjek untuk berperilaku asertif seperti rasa takut dan cemas (Hurlock, 2002). Maka, muncul kebaranian untuk jujur dalam menyampaikan perasaan dan pendapatnya dalam kehidupan nyata (Galassi dan Galassi, dalam Porpitasari, 2007). Menurut Silberman (2010) proses bermain peran diakhiri dengan evaluasi. Individu menerima ide-ide baru dari orang lain tentang bagaimana orang lain akan mereaksi terhadap perilaku yang akan dibawakannya (Lewin dalam psychologymania.com). Sehingga, individu akan mempertahankan perilaku yang baik dan mengubah perilaku yang dapat membuat orang lain memberi reaksi yang negatif (Lewin dalam psychologymania.com). Pengalaman yang muncul dari hasil bermain peran dapat dijelaskan dengan mengadopsi prinsip-prinsip dari experiential learning menurut, Lewin (Baharuddin dan Wahyuni, 2007), yaitu : Pendekatan belajar didasarkan pada pencarian (inquire) dan penemuan (discovery). Hal ini dapat meningkatkan motivasi subjek untuk belajar dan berkomitmen untuk mengimplementasikan penemuan tersebut pada masa yang akan datang. Belajar akan lebih efektif bila merupakan sebuah proses yang aktif. Subjek mempelajari sebuah teori, konsep atau mempraktikkan atau mencobanya, sehingga subjek akan memahami lebih sempurna dan mengintegrasikannya dengan apa yang dia pelajari sebelumnya serta akan mengingatnya lebih lama. Dalam penelitian ini, subjek dihadapkan dalam peran baru yang belum pernah dialami oleh subjek, sehingga subjek berperan aktif mempelajari peran baru yang dimainkan. Perubahan hendaknya tidak terpisah-pisah antara kognitif, afektif dan perilaku. Ketiga elemen tersebut merupakan sebuah sistem dalam proses belajar yang saling berkaitan satu sama lain, teratur, dan sederhana. Dalam penelitian ini, subjek diharuskan untuk berperan aktif sehingga kognitif, afektif dan perilakunya bekerjasama dengan baik. Pengubahan tentang persepsi diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum melakukan pengubahan pada kognitif, afektif dan perilaku. Dalam penelitian yang telah dilakukan, dukungan dari lingkungan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan subjek dalam memerankan suatu peran, diantaranya: tepuk tangan, pujian dan kata-kata motivasi dari guru dan peneliti. Perubahan perilaku tidak akan bermakna bila kognitif, afektif dan perilaku itu sendiri tidak berubah. Keterampilan-keterampilan baru mungkin dapat dikuasai atau dipraktikkan, tetapi tanpa melakukan perubahan atau belajar terus menerus, maka keterampilan tersebut akan menjadi luntur dan hilang. Dengan penelitian ini, diharapkan
memberi wawasan baru untuk para pendidik agar memberikan keterampilan-keterampilan baru yang melibatkan kognitif, afektif dan perilaku secara bersamaan, sehingga perubahan yang merupakan tujuan dari belajar tidak mudah hilang. Berdasarkan hasil pretest perilaku asertif pada kelas A.1 TK ABA Kanggotan
diketahui bahwa diatas 60% memiliki perilaku asertif dibawah rata-rata ( x < 12,5). Ini dibuktikan dengan masih banyak muncul anak-anak yang mengikuti teman yang selalu menyuruhnya, saat antri bermain, dia selalu mengalah pada teman yang menyerobot antriannya. Ada pula yang diam saja ketika ada teman mengambil mainan yang sedang dimainkannya. Akan tetapi, setelah pemberian bermain peran perilaku asertif perilaku tersebut semakin berkurang. Ini dapat dilihat dari hasil posttest pada kelompok eksperimen bahwa perilaku asertif anak semakin meningkat. Berdasarkan analisis uji wilcoxon, pada kelompok eksperimen diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai p=0,012 (p<0,05), sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan nilai p=0,066 (p<0,05). Artinya, ada perbedaan skor perilaku asertif pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Hal ini disebabkan anak-anak pada kelompok eksperimen diberi kesempatan untuk belajar berperilaku yang menunjukkan pendapat dan perasaannya melalui permainan drama yang sederhana serta pembelajaran sederhana, sehingga terjadi peningkatan skor perilaku asertif yang signifikan. Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah pengambilan data pretest dan posttest yang singkat yaitu dua hari dengan durasi 2 – 3 jam/hari. Karena keterbatasan waktu maka, perilaku anak tidak muncul secara keseluruhan. Selain itu, penggunaan sampel yang sedikit membuat penelitian ini hanya berlaku untuk subjek penelitian saja, tidak untuk populasi yang lebih luas. Kesimpulan Berdasarkan hasil analsis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran berpengaruh pada peningkatan perilaku asertif anak. Daftar Pustaka Azwar, S. 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Hurlock, Elizabeth. B. (2000). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga. Porpitasari, Desy Mustika. 2007. Pengaruh Perilaku Asertif Terhadap Hubungan Interpersonal Pada Siswa Kelas XI SMK Islam 1 Blitar. Skripsi. (tidak diterbitkan). Malang : Universitas Islam Negeri. Rathus, S. A & Nevid, J. S. 2009. Adjustment and growth: The challenges of life. New York: CBS College Publishing. Silberman, M. 2010. 101 Cara Pelatihan & Pembelajaran Aktif. Jakarta: PT Indeks.
Sujarweni, V. W. 2008. Belajar Mudah SPSS Untuk Penelitian. Yogyakarta: PT. Global Media Informasi.