Pengantar Redaksi Jurnal Kimia dan Kemasan Volume 34 Nomor 1 bulan April 2012 merupakan terbitan pertama di tahun 2012. Tujuh artikel kami sajikan dari berbagai bidang disiplin ilmu. Artikel pertama berjudul “Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri Temugiring (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) dan Temukunci (Kaempheria pandurata Roxb.) Hasil Distilasi Air-Uap”. Distilasi uap-air merupakan metode yang murah untuk mendapatkan minyak atsiri. Hasil analisa menunjukkan bahwa komponen utama temugiring adalah acetophenone sebanyak 18,93% dan camphor sebanyak 17,89%, sedangkan komponen utama temukunci adalah camphor sebanyak 32,22% dan transocimene 26,98%. Artikel kedua, dengan judul “Pengaruh Iradiasi Gamma Pada Sifat Fisik dan Mekanik Film Kitosan”. Aplikasi radiasi untuk pengembangan bahan polimer yang berasal dari produk laut. Analisa sifat fisik dan mekanik film kitosan yang diiradiasi pada dosis 10 kGy sampai 50 kGy dengan laju dosis 7 kGy/j kemudian dibandingkan dengan film yang tidak diiradiasi sebagai kontrol. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa DD, perpanjangan putus, dan tegangan putus film kitosan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis iradiasi yang disertai perubahan warna. Artikel ketiga, “Pengaruh Penggunaan Kitosan Terhadap Sifat Barrier Edible Film Tapioka Termodifikasi“. Secara umum lembaran film yang dihasilkan memiliki nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang cukup besar (>200 g/m2/24jam) dan memiliki sifat kedap terhadap oksigen yang cukup baik, ditandai dengan rendahnya nilai laju transmisi oksigen (O2TR) (<1cc/m2/24jam). Dari hasil analisis SEM terlihat filler kitosan yang ditambahkan sudah merata mengisi pori-pori atau celah ikatan antar polimer yang terbentuk. Artikel keempat, “Rekayasa Masker Anti Polutan Gas Buang Kendaraan Berbasis Katalis Komposit TiO2-AC-ZAL-T”. Katalis komposit yang terdiri dari titania, karbon aktif, dan zeolit alam Lampung diaplikasikan sebagai bahan masker. Kinerja katalis komposit terbaik untuk mengeliminasi polutan adalah TiO2 10,0% AC 8,2% ZAL T 81,8%. Semakin tinggi konsentrasi awal polutan maka laju eliminasi polutan semakin besar, dengan ambang batas baku mutu lebih lama. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masker anti polutan yang direkayasa sudah cukup layak untuk mendegradasi polutan CO, NOx, dan HC secara simultan, sehingga potensi aplikasinya cukup menjanjikan. Artikel kelima, dengan judul “Sintesis Hidroksiapatit Berpori dengan Porogen Kitosan dan Karakterisasinya”. HAp disintesis dari kalsium yang direaksikan dengan asam fosfat. Kalsium yang digunakan diekstrak dari cangkang telur ayam dan asam fosfat, karena kitosan sifatnya yang biokompatibel, aman bagi tubuh manusia, dan dipakai untuk merekonstruksi tulang yang rusak. Karakterisasi dengan XRD menunjukkan telah terbentuk HAp dengan kemurnian tinggi. Analisa SEM menunjukkan terbentuk pori-pori dengan ukuran 1 sampai 2 mikrometer, uji pelepasan Ca pada SBF menunjukkan kondisi negatif setelah pengamatan selama 21 hari. Artikel keenam berjudul “Monitoring Merkuri pada Kosmetika dengan Standar Uji ASEAN Document ACM THA 05”. Peraturan Menteri Kesehatan No.445/Menkes/Per/V/1998 menginstruksikan untuk melarang penggunaan merkuri pada kosmetika. SNI 16-4954-1998 hanya menyebutkan secara kualitatif kandungan merkuri dengan metode uji yang telah divalidasi, tanpa menjabarkan metode uji yang valid. Dari hasil analisa terhadap kosmetika yang ada di pasaran menunjukkan krim wajah dan sabun mengadung merkuri dalam level konsentrasi persen. Artikel ketujuh dengan judul “Komposit Nano TiO2 Dengan PCC, Zeolit atau Karbon Aktif Untuk Menurunkan Total Krom dan Zat Organik Pada Air Limbah Industri Penyamakan Kulit”. Hasil penelitian menunjukkan pengolahan terbaik untuk penurunan kadar krom total adalah dengan menggunakan komposit TiO2 : PCC = 8:2 yang dapat menurunkan krom total hampir 100% pada menit ke-170 dengan konsentrasi awal 214,35 mg/L. Untuk penurunan kadar zat organik, pengolahan terbaik dengan menggunakan komposit TiO2 : PCC = 9:1 yang dapat menurunkan kadar zat organik hingga 100% pada menit ke-180. Akhir kata semoga artikel-artikel di atas dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Kritik tertulis yang konstruktif akan redaksi terima dengan senang hati.
DEWAN REDAKSI
IDENTIFIKASI KOMPONEN KIMIA MINYAK ATSIRI TEMUGIRING (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) DAN TEMUKUNCI (Kaempheria pandurata Roxb.) HASIL DISTILASI AIR-UAP (CHEMICAL COMPONENT IDENTIFICATION OF TEMUGIRING (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) AND TEMUKUNCI (Kaempheria pandurata Roxb.) ESSENTIAL OIL THROUGH WATER-STEAM DISTILLATION)
Chicha Nuraeni dan Retno Yunilawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 19 Januari 2012 ; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Distilasi uap-air merupakan metode yang murah untuk mendapatkan minyak atsiri temugiring (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) dan temukunci (Kaemferia pandurata Roxb.). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi komponen kimia minyak atsiri temugiring dan temukunci sehingga dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh pengguna. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi komponen kimia minyak atsiri temugiring dan temukunci. Minyak atsiri hasil distilasi dianalisa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS). Hasil analisa menunjukkan bahwa minyak atsiri temugiring mengandung komponen utama acetophenone (18,93%) dan camphor (17,89%), sedangkan minyak atsiri temukunci mengandung komponen utama camphor (32,22%) dan trans-ocimene (26,98%). Kata kunci : Temugiring, Curcuma heyneana Val. & v. Zijp, Temukunci, Kaemferia pandurata Roxb., Distilasi airuap
ABSTRACT Water-steam distillation is an inexpensive method to produce essential oils of temugiring (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) and temukunci (Kaemferia pandurata Roxb.). The purpose of research was to identify the chemical compounds of essential oils temugiring and temukunci for further utilization by the users. Distillation results of essential oil were analyzed by using Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS). Analysis results show that the essential oil of temugiring contains 18.93% of acetophenone and 17.89% of camphor as major components, whereas essential oils of temukunci contains 32.22% of camphor and 26.98% of trans-ocimene as major components. Key words : Temugiring, Curcuma heyneana Val. & v. Zijp, Temukunci, Kaemferia pandurata Roxb., Watersteam distillation
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berpotensi dalam produksi minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan minyak nabati yang diproses dari berbagai bagian tanaman seperti bunga, daun, biji, buah, akar atau rimpang. Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu kamar karena titik uapnya rendah, beraroma wangi,
berasa getir dan larut dalam pelarut organik (Baharuddin dan Taskirawati 2009). Minyak atsiri merupakan salah sat u komoditi yang memiliki prospek dalam perdagangan karena dibutuhkan di berbagai industri seperti industri parfum, kosmetika, industri farmasi/obat-obatan, industri makanan dan
Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri…… Chicha Nuraeni dan Retno Yunilawati
187
minuman. Tahun 2007, nilai ekspor minyak atsiri mencapai US$ 101.140.080, namun demikian Indonesia juga mengimpor minyak atsiri. Pada tahun 2007 impor minyak atsiri mencapai nilai US$ 381.940.000 (Sukamto 2009). Minyak atsiri dari rimpang tanaman temugiring (Curcuma heyneana Val. & v. Zijp) dan temukunci (Kaemferia pandurata Roxb.) adalah sebagian dari minyak atsiri yang terbukti berkhasiat sebagai obat tradisional dan layak untuk dikembangkan. Tanaman temugiring (memiliki nama lain temu poh (Bali) atau temu reng (Jawa)) mudah dibudidayakan dengan cara vegetatif dengan menggunakan rimpang dengan waktu panen pendek (10 bulan) dan mudah pemeliharaannya (Hariana 2006). Temukunci banyak dimanfaatkan sebagai salah satu bumbu penyedap masakan. Temukunci yang banyak tumbuh liar di hutan jati ini pada umumnya dapat tumbuh di berbagai tempat yang tidak tergenang air dan terkena panas langsung. Perbanyakan tumbuhan ini dapat dilakukan dengan penanaman rimpang yang sudah tua dan memiliki anak tunas. Selain itu perbanyakan dapat juga dilakukan dengan memisahkan anakan dari tumbuhan dewasa. Minyak atsiri dapat diperoleh dengan beberapa cara yakni ekspresi, distilasi, dan ekstraksi. Pada penelitian ini, minyak atsiri diperoleh dengan cara distilasi yaitu suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Pada proses distilasi, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah menguap lebih dulu (Rochim 2009). Proses distilasi ini dipilih karena proses mudah dan murah. Dengan bahan baku yang mudah dibudidayakan dan proses yang sederhana, diharapkan komoditi minyak atsiri temugiring dan temukunci dapat menjadi penggerak industri kecil menengah. Menurut Rochim (2009) terdapat 3 macam cara distilasi minyak atsiri yakni distilasi air, distilasi air-uap, dan distilasi uap. Distilasi airuap memiliki kelebihan yaitu penetrasi uap terjadi secara merata ke dalam jaringan bahan º dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 C. Waktu distilasi relatif lebih singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik jika dibandingkan dengan minyak hasil dari sistem distilasi dengan air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komponen kimia minyak atsiri temugiring dan temukunci hasil distilasi airuap.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temugiring dan temukunci yang diperoleh dari daerah Cibubur. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Proses yang ada di Balai Besar Kimia dan Kemasan pada bulan Agustus - November 2011. Bahan baku yang berupa rimpang temugiring dan temukunci dicuci hingga bersih. Selanjutnya diiris-iris tipis dengan ketebalan berkisar 3 mm dan dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering kemudian dihitung kadar airnya. Distilasi minyak atsiri dilakukan menggunakan sistem distilasi air-uap. Bahan baku kering ditimbang sebanyak 1 kg, dimasukkan ke dalam tabung pada alat distilasi, kemudian ditambahkan air sekitar 5 L. Tabung distilasi ditutup rapat dan dipanaskan hingga air mendidih. Distilasi dilakukan selama kurang lebih 5 jam. Distilat yang dihasilkan dimasukkan ke dalam corong pisah untuk memisahkan minyak dengan air. Kuantitas hasil distilat dicatat untuk mendapatkan persen rendemennya dan diamati sifat fisiknya. Minyak yang sudah terpisah dari air diberi Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan air yang masih terdapat dalam minyak, kemudian dimasukkan ke dalam botol penyimpan sampel. Sampel yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrophotometer (GCMS) (Agilent 6890). Kolom yang digunakan adalah kolom DB 5 MS dengan mode constant flow. Fasa gerak menggunakan gas helium. Suhu oven diatur pada 100ºC. Kenaikan suhu pada oven dibuat bertingkat sebanyak 3 kali. Kenaikan suhu pertama 15ºC per menit hingga tercapai suhu 190ºC, dilanjutkan 3ºC per menit hingga 210ºC dan dilanjutkan lagi 15ºC hingga 280ºC. Metode yang digunakan ini adalah metoda internal, yang sudah dioptimasi. Data hasil analisa GCMS berupa grafik kromatogram, waktu retensi, jenis senyawa, dan persen kelimpahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air dan Rendemen Kadar air rimpang temugiring dan temukunci masing-masing sebesar 12,29% dan 13,17%. Kadar air tersebut sesuai untuk menghasilkan minyak atsiri yang berkualitas
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 187-191
188
yakni kadar air bahan sekitar 10% sampai dengan 15% (Rochim 2009). Pada proses distilasi uap dan air, saat air direbus dan mendidih, uap yang terbentuk melalui sarangan lewat lubang-lubang kecil dan melewati celah-celah bahan. Minyak atsiri dalam bahan ikut bersama uap panas tersebut melalui pipa. Selanjutnya, uap air dan minyak mengembun dan ditampung dalam wadah kondensat yang direndam dalam es batu. Rendemen minyak atsiri adalah sebesar 0,21% untuk temugiring dan 0,35% untuk temukunci. Secara fisik, minyak atsiri yang dihasilkan dari kedua bahan baku tersebut juga berbeda. Minyak atsiri temugiring berwarna coklat tua, sedangkan minyak atsiri temukunci berwarna coklat jernih. Komponen Kimia Minyak Atsiri Temugiring Analisa komponen minyak atsiri temugiring yang dilakukan menggunakan GCMS menghasilkan kromatogram seperti pada Gambar 1. Pada kromatogram tampak terdapat 9 puncak yang mewakili sembilan senyawa komponen yang terdapat dalam minyak atsiri temugiring. Puncak tertinggi tampak pada waktu retensi 0,55 dan 3,52 yang menunjukkan dua macam komponen terbanyak dalam minyak atsiri temugiring yaitu acetophenone dan champor. Hasil analisa masing-masing puncak jenis komponen dalam minyak atsiri temugiring selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Acetophenone merupakan bahan aktif pada pembuatan parfum, sebagai pelarut organik, dan digunakan untuk sintesa beberapa bahan farmasi.
Tabel 1. Hasil uji komponen kimia dan persentase kelimpahan minyak atsiri temugiring hasil distilasi Waktu retensi
Nama senyawa
Struktur kimia
% kelimpahan
3,52
Acetopheno ne (C8H8O)
18,93
0,55
Camphor (C10H16O)
17,89
0,33
Champene (C10H16)
8,39
2,38
Epicurzereno n (C15H18O2)
8,16
1.26
β-elemene (C15H24)
6,75
2,90
Germacrone (C15H22O)
6,38
0.39
1,8-cineole (C10H18O)
6,09
1,74
α-guaiene (C15H24)
4,10
1,77
Curzerene (C15H20O)
0,55
Abundance
180000
TIC: TEMU GIRING 181010.D 3.52
0.55
170000 160000 150000 140000 130000 120000 110000 100000
0.33 1.77
90000 80000 0.39 70000
1.26
60000
2.38 2.91
50000 40000
1.74
30000 2.55
20000 10000 0 1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
Time-->
Gambar 1. Kromatogram minyak atsiri temugiring
Camphor banyak digunakan dalam industri farmasi sebagai counter-iritasi (menimbulkan peradangan untuk mencegah peradangan lebih dalam) dan sebagai obat antigatal (Seager and Slabaugh 2000). Komponen lain yang teridentifikasi adalah camphene, 1,8cineole, β-elemene, α-guaiene, curzerene, curzerenone, dan germacrone.
Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri…… Chicha Nuraeni dan Retno Yunilawati
189
Camphene merupakan senyawa intermediet dalam sintesis parfum. Senyawa 1,8cineole digunakan dalam industri farmasi. Senyawa 1,8-cineole merupakan komponen dalam minyak atsiri temugiring memiliki aktivitas anti jamur (Charunia 2009). Senyawa ini juga memiliki khasiat sebagai obat pelega tenggorokan (ekspektoran) (Jamal dkk 1996). Senyawa β-elemene memiliki aktivitas antikanker, salah satunya adalah memiliki kemampuan dalam menginduksi apoptosis sel leukemia (Zou et al. 2001). Senyawa curzerene berkhasiat untuk menyembuhkan dan mencegah kanker payudara (Ai-li et al. 2009). Komponen Kimia Minyak Atsiri Temukunci Analisa komponen minyak atsiri temukunci yang dilakukan menggunakan GCMS meng-hasilkan kromatogram seperti tertera pada Gambar 2. Jumlah kromatogram tampak lebih sedikit puncak dibandingkan kromatogram minyak atsiri temugiring. Hasil analisa masingmasing puncak dan jenis komponen dalam minyak atsiri temukunci selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Komponen yang terdapat dalam minyak atsiri temukunci antara lain camphor, transocimene, geraniol, cis-ocimene, dan camphene. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Arniputri dkk (2007) dengan metode distilasi uap (distilasi Stahl) yang menyebutkan bahwa minyak atsiri temukunci mengandung enam senyawa utama, yaitu camphene, 1,8-cineole, trans-ocimene, geraniol, camphor, dan metil sinamat.
TIC: TEMU KUNCI.D 0.38 1100000 0.54 1000000 900000 800000
600000
Waktu retensi
Nama senyawa
0,54
Camphor
0,38
Transocimene
0,77
geraniol
0.37
Cisocimene
0,32
Champene
Struktur kimia
% kelimpahan 32,22
C15H24 C10H16O
26,98 23,40
C15H24 13,74
C10H16 3,66
C10H16
Komponen utama minyak atsiri temukunci adalah camphor, yaitu sebanyak 32,22%. Selain camphor, senyawa lain yang banyak jumlahnya adalah trans-ocimene merupakan bahan aktif dalam pembuatan parfum. KESIMPULAN
Abundance
700000
Tabel 2. Hasil uji komponen kimia dan persentase kelimpahan minyak atsiri temukunci hasil distilasi
0.77 0.36
500000 400000
Komponen kimia minyak atsiri temugiring dari hasil distilasi uap dan air adalah acetophenone sebanyak 18,93%, camphor sebanyak 17,89%, camphene sebanyak 8,39%, dan sisanya berupa 1,8-cineole, β-elemene, α-guaiene, curzerene, curzerenone, dan germacrone. Sedangkan komponen kimia minyak atsiri temukunci adalah camphor sebanyak 32,22%, trans-ocimene sebanyak 26,98%, geraniol sebanyak 23,40%, cis-ocimene sebanyak 13,74%, dan champene sebanyak 3,66%.
300000 200000
0.32
DAFTAR PUSTAKA
100000
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 Time-->
Gambar 2. Kromatogram minyak atsiri temukunci
Ai-li, S., Yin Yu-Kun, Li Jing-Wei, Liu Xiao-Fei, Hu Qian. 2009. Study of Curzerene Curing the Animal Model Of Breast Precancer Rats induced by DMBA.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 187-191
190
http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDT OTAL-ZYHS200912008.htm (diakses tanggal 2 Oktober 2011) Arniputri, R.B., A.T. Sakya, dan M. Rahayu. 2007. Identifikasi Komponen Utama Minyak Atsiri Temukunci (Kaemferia pandurata Roxb.) pada Ketinggian Tempat yang Berbeda. Biodiversitas (8) : 135-137. Charunia, D. 2009. Formulasi Salep Minyak Atsiri Rimpang Temugiring (Curcuma Heyneana Val. & V. Zijp.) dan Uji Aktivitas Candida Albicans In Vitro Menggunakan Basis Polietilenglikol 4000 dan Polietilenglikol 400. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah. Jamal, Y., Trimuningsih, dan P.N Evita. 1996. Identifikasi Minyak Atsiri dan Uji Kuantitatif dari Lengkuas Merah (Alpinia galanga). Hal 77 – 80. Dalam: D. Gandawidjaja, G. Panggabean, B. Wahjoedi, A. Mustafa, dan M. Hadad. E.A. Prosiding Simposium Nasional 1 Tumbuhan Obat dan Aromatik APINMAP. Bogor: Puslitbang BiologiLIPI. Rochim, A. 2009. Memproduksi 15 Jenis Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar Swadaya. Seager, S.L and M.R Slabaugh. 2000. Organic and Biochemistry for Today. 4th ed. USA: Brooks/cole Publishing Company. Zou L., W. Liu, and L. Yu. 2001. Βeta-elemene induces apoptosis of K562 leukemia cells. Zhonghua Zhong Liu Za Zhi 23(3): 196 – 198.
Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri…… Chicha Nuraeni dan Retno Yunilawati
191
PENGARUH IRADIASI GAMMA PADA SIFAT FISIK DAN MEKANIK FILM KITOSAN (THE EFFECT OF GAMMA IRRADIATION ON PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF CHITOSAN FILM) Erizal1, Basril Abbas1, Sudirman2,3, Deswita2 dan Emil Budianto3 1)
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No.49, Jakarta 12070 2) Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan 3) Departemen Kimia, FMIPA-Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok E-mail:
[email protected] Received 27 Januari 2012; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Aplikasi radiasi gamma untuk pengembangan bahan polimer yang berasal dari produk laut, banyak dikembangkan. Pada penelitian ini, pengaruh iradiasi gamma terhadap sifat fisik dan mekanik film kitosan dilakukan. Sifat fisik dan mekanik film kitosan yang diiradiasi pada dosis 10 kGy sampai 50 kGy dengan laju dosis 7 kGy/j dibandingkan dengan film yang tidak diiradiasi sebagai kontrol. Karakterisasi film kitosan dilakukan dengan Fourier Transform Infra Red spectroscopy (FTIR) untuk mempelajari perubahan derajat deasetilasi (DD) kitosan. Sifat mekanik dan perubahan warna film kitosan diinvestigasi menggunakan instron meter dan chromameter. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa DD, perpanjangan putus, dan tegangan putus film kitosan cenderung menurun dengan meningkatnya dosis iradiasi yang disertai perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi gamma dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk mengontrol berat molekul kitosan selain dengan reaksi enzimatis. Kata kunci : Kitosan, Radiasi gamma, Sifat fisik, Sifat mekanik.
ABSTRACT The application of gamma irradiation on the development of polymeric materials derived from marine plants is being developed. The physical-mechanical characteristics of locally produced chitosan in films form have been evaluated on the influence of gamma irradiation. Chitosan film was irradiated using γ-ray (Co-60) in the doses range from 10 kGy to 50 kGy. The physical and mechanical properties of the irradiated chitosan film were examined and compared with unradiated chitosan film. Fourier transformed infra red spectroscopy (FTIR) analysis was used for characterization and determination of deacetylation (DD) degree of chitosan films. The characteristic physics and colour changes of chitosan film were measured by instron meter and chromameter, respectively. After evaluation, it was found that degree of deacetylation, tensile strength, and elongation at break of chitosan film tend to decrease with increased irradiation doses and followed by colour changes. Gamma irradiation can be used as a tool to control the physical-mechanical properties of chitosan instead of enzymatic reactions. Key words : Chitosan, Gamma irradiation, Physical, Mechanical.
PENDAHULUAN Kitosan adalah salah satu polimer alam yang popular diperoleh dari hasil ektraksi kerangka tubuh binatang berkulit keras seperti
kepiting dan udang. Kitosan dengan rumus molekul poli - ( β -1 – 4 ) - 2 amino – 2 – deoksi D - glukopiranosa mewakili nama sebagian atau
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 192-198
192
keseluruhan kitin yang terdeasetilasi (Jones & Mawhinney 2006). Senyawa tersebut telah dibuktikan bersifat biokompatibel, biodegradable, dan antimikroba yang berfungsi sebagai penyembuh luka. Oleh karena itu, kitosan paling banyak dimanfaatkan di bidang farmasi antara lain drug delivery systems, muco-adhesive forms, rapid release forms, colonic drug delivery systems, dan gene delivery (Minami et al. 1996). Kitosan dapat digunakan untuk mengurangi obesitas dan hypercholesterolaemia yang dijual sebagai food supplement untuk perangkap lemak (Martibde 2007, Illum 1998, Gades 2003). Beragam perlengkapan kesehatan yang mengandung kitosan seperti haemostatic Celox yang digunakan untuk mengatasi perdarahan dan pembalut yang digunakan untuk mengontrol perdarahan dengan merk dagang Hemcon dan QuickClot, banyak diperoleh di pasaran Eropa dan Amerika (Millner et al. 1996). Selain itu, kitosan juga dapat digunakan sebagai growth promoter di bidang pertanian (El-sawy et al. 2010) dan membran komposit di bidang periodontal dan orthopedic (Kuo et al. 2009, Hu et al. 2004). Kitosan diketahui sangat mudah terdegradasi dalam kondisi larutan asam encer, sedangkan pada aplikasi klinis dibutuhkan kitosan yang dapat larut pada pH netral. Oleh karena itu, modifikasi kitosan adalah sangat penting untuk meningkatkan biodegradabilitasnya pada cairan tubuh manusia. Salah satu cara untuk memenuhi hal tersebut adalah menurunkan berat molekulnya. Hal ini pada umumnya dilakukan dengan cara reaksi enzimatis (Ren et al. 2004). Namun demikian kelemahan dari reaksi enzimatis ini adalah prosesnya relatif tidak mudah dan harga enzimnya relatif mahal. Iradiasi gamma dan elektron merupakan cara yang paling popular dimanfaatkan untuk sterilisasi di bidang kesehatan dan pengawetan makanan (Abraham et al. 2010, Maity et al. 2009, Kyriakos & Rignakos 2010, Mrad et al. 2010, David et al. 2011). Selain itu, kedua cara tersebut dapat dimanfaatkan untuk surface coating dan pembuatan heat shrinkable cable (Lucio et al. 2010, Mishra et al. 2008, Chattopadhyay et al. 2000). Pada saat ini kedua jenis sumber energi tersebut telah dimanfaatkan lebih jauh untuk proses ikatan silang dan degradasi monomer/polimer. Keunggulan radiasi gamma dan elektron adalah prosesnya relatif cepat, tidak ada residu yang tersisa, dan dosis iradiasi dapat diatur sesuai keperluan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dimanfaatkan radiasi gamma untuk men-
degradasi/menurunkan berat molekul kitosan dengan mempelajari sifat fisik dan mekaniknya. Dalam hal ini iradiasi kitosan akan dilakukan dalam bentuk film dengan menggunakan radiasi sinar gamma pada dosis 0 kGy sampai 50 kGy. Film kitosan hasil iradiasi dikarakterisasi menggunakan FTIR untuk melihat perubahan derajat deasetilasi (DD) yang dihitung berdasarkan spektrum FTIR. Perubahan perpanjangan putus, tegangan putus, dan perubahan warna film kitosan juga dipelajari berdasarkan perubahan dosis radiasi yang diberikan. BAHAN DAN METODE Bahan Kitosan yang digunakan berasal dari kulit kepiting hasil produksi PT. Biotech Surindo, Cirebon, dengan derajat deasetilasi 90%. Asam asetat glasial buatan Merck. Pereaksi lainnya yang dipakai kualitas pro analisis. Pembuatan dan Iradiasi Film Kitosan Pembuatan film kitosan dilakukan dengan membuat larutan 2% kitosan dalam asam asetat. Kemudian larutan kitosan diaduk dengan pengaduk magnit hingga homogen pada suhu kamar selama 8 jam. Pengadukan dilanjutkan kembali untuk menghilangkan busa yang terjebak dalam larutan kitosan. Selanjutnya larutan kitosan dituangkan ke dalam cetakan plastik 10 cm x 10 cm x 0,1 cm selanjutnya dikeringkan pada 40 ºC hingga berat konstan. Film kitosan transparan yang diperoleh dari hasil pengeringan, dikemas dalam kantong plastik dan selanjutnya diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 10, 20, 30, 40, 50 kGy dan laju dosis 7 kGy/j dengan fasilitas iradiasi IRKA (iradiator karet), PATIR-BATAN. Film kitosan hasil iradiasi dikarakterisasi sifat fisik dan mekaniknya. Spektrophotometer FTIR Prestige 21 model 8400 S, Shimadzu, digunakan untuk menganalisis perubahan struktur kimia kitosan. Pengujian tegangan putus (tensile strength) film kitosan dilakukan dengan Stereograph, Toyoseki, yang yang dikalibrasi menggunakan pemberat standar ukuran 1 kg. Perubahan warna film kitosan diukur dengan chromameter. Iradiasi bahan digunakan sumber iradiasi gamma dan dikalibrasi dengan dosimeter Friecke. Pengukuran Spektrum FTIR Film Kitosan Spektrum FTIR film kitosan hasil iradiasi dan kontrol diukur menggunakan FTIR Shimadzu Prestige-21 dengan teknik Attennated
Pengaruh Iradiasi Gamma pada Sifat Fisik …………………... Erizal dkk
193
Total Reflectance (ATR). Film kitosan diletakkan pada wadah ATR dan diukur spektrumnya pada daerah bilangan gelombang 700 cm-1 sampai 4000 cm-1. Derajat deasetilasi (DD) film kitosan hasil iradiasi dan kontrol dihitung berdasarkan hasil spektrum FTIR dengan persamaan (Islam et al. 2011) : DD = 100 - [(A1655/A3450) x 100/1.33]……..……(1) A 1655 A
3450
= Absorbansi puncak absolut gugus amida pada bilangan gelombang 1655 cm-1 = Absorbansi puncak absolute gugus hidroksil pada bilangan gelombang 3450 cm-1
Penentuan Kekuatan Tarik (Tensile Strength) dan Perpanjangan Putus (Elongation at Break) Film Kitosan Kekuatan tarik dan perpanjang putus merupakan parameter yang penting dari film kitosan, mewakili tegangan tarik maksimum selama proses perpanjangan uji putus dan persentase pertambahan panjang (elastisitas) sampel uji yang dialami akibat tegangan tarik. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan metode standar American Standard Testing Mechanical (ASTM) menggunakan alat instron. Film kitosan berbentuk dumbbell ukuran standar. Pengukuran dilakukan 5 kali ulangan dengan kecepatan penarikan 30 mm/menit pada suhu kamar. Data hasil pengukuran direcord. Perpanjangan putus dihitung dengan persamaan:
Perpanjangan putus = L1 - Lo /Lo X 100 % .....(2) Lo = Ukuran panjang awal L1 = Ukuran panjang akhir Tegangan putus dihitung dengan persamaan : Tegangan putus = F/A….……………...……….(3) F = Beban dari alat hingga bahan putus (kg) A = Luas penampang bahan (cm2) Pengujian Perubahan Warna Film Kitosan Perubahan warna film kitosan diuji menggunakan Chromameter, Minolta CR-200b. Film kitosan diletakkan pada measuring head dari sumber cahaya. Sumber dinyalakan dan nilai L, a, dan b dari sampel akan tampil pada layar monitor. Nilai L menyatakan cahaya pantul untuk menghasilkan warna kromatik putih, abuabu, dan hitam. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran warna merah dan hijau yang terdiri dari nilai a+ (0 sampai 100) untuk warna merah dan a- (0 sampai 80) untuk warna hijau, dan nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru dan kuning yang terdiri dari nilai b+ (0 sampai 100) untuk warna biru dan nilai b(0 sampai -70) untuk warna kuning. HASIL DAN PEMBAHASAN Spektra FTIR Kitosan Spektrum FTIR film kitosan hasil iradiasi dan kontrol ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Spektrum FTIR film kitosan hasil iradiasi dan kontrol (0 kGy)
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 192-198
194
Karakteristik gugus-gugus fungsi film kitosan yang tanpa diiradiasi (kontrol) dicirikan dengan puncak gugus hidroksil, CH2 vibrasi ulur dalam lingkar piranosa, C=O pada gugus amida, NH2 pada gugus amino, CH3 dalam gugus amida, dan C-O-C dalam rantai glikosida yang terletak pada daerah panjang gelombang secara berturut-turut 3450 cm-1, 2920 cm-1, 1660 cm-1, 1590 cm-1, 1380 cm-1, dan 1150 cm-1 sampai -1 1040 cm . Jika spektrum kitosan kontrol dibandingkan dengan spektrum film kitosan hasil iradiasi 10, 20, 30, 40, dan 50 kGy, terlihat bahwa tidak tampak adanya puncak gugus-gugus baru dalam spektrum. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi hingga 50 kGy tidak menyebabkan terjadinya degradasi pada film kitosan. Hasil yang sama dilaporkan oleh Kai Shen dkk ( Shen et al. 2011) dan Ismail Zainol (Zainol et al. 2009) yang melakukan investigasi pada kitosan hasil iradiasi gamma dalam bentuk batang dan kitosan dalam bentuk serbuk.
semikristal pada kitosan (Bangyekan et al. 2006). Bentuk pola spektrum XRD yang sama dari kitosan juga dilaporkan oleh Islam dkk (Islam et al. 2011) dengan 2 puncak difraksi º º pada sudut 2θ = 10 dan 21 . Yen dan Mau memperoleh bentuk 2 kristal kitosan yang terdifraksi pada sudut 2θ = 9,7º º dan 19,9 dan Prashant dkk (Prashanth et al. 2002) memperoleh bentuk pola spektrum XRD kitosan dari kulit udang dengan 2 puncak yang º º besar pada sudut 2θ = 9,9 sampai 10,7 dan º º 19,8 sampai 20,7 . Oleh karena hal tersebut dan karena tidak terjadi perubahan yang signifikan pada spektrum XRD hasil iradiasi hingga 50 kGy dibandingkan kontrol, hal ini mengindikasikan bahwa iradiasi hingga 50 kGy pada film kitosan tidak menyebabkan perubahan pada struktur kristal film kitosan. Pengaruh Dosis Iradiasi pada Derajat Deasetilasi Film Kitosan Derajat deasetilasi (DD) merupakan salah satu karakteristik kimia kitosan yang penting berkaitan dengan pengaruh kinerjanya (Bangyekan et al. 2006). DD film kitosan diukur berdasarkan hasil spektrum FTIR dengan membandingkan puncak absorbansi gugus amida terhadap gugus hidroksil yang nilainya dihitung berdasarkan Persamaan 1 (Islam et al. 2011).
Spektrum X-Ray Diffraction (XRD) Film Kitosan Spektrum XRD film kitosan kontrol ditunjukkan pada Gambar 2. Pola spektrum XRD film kitosan kontrol dan iradiasi secara umum memperlihatkan 2 puncak difraksi pada sudut 2θ 10º sampai 11º dan 20º sampai 22º yang merupakan ciri khas (finger print) bentuk
Intensitas (cps)
50 kGy
40 kGy
30 kGy
20 kGy
10 kGy kontrol 0
10
20
30
40
50
2θ (degree)
60
70
80
90
Gambar 2. Spektrum XRD film kitosan hasil iradiasi dan kontrol
Pengaruh Iradiasi Gamma pada Sifat Fisik …………………... Erizal dkk
195
Hasil pengukuran DD film kitosan hasil iradiasi dan kontrol ditunjukkan pada Tabel 1. Terlihat bahwa dengan meningkatnya dosis iradiasi hingga 50 kGy, DD film kitosan menurun dari 84% (kontrol) secara berturut-turut menjadi 81% (10 kGy), 80,6 % (20 kGy), 80,1% (30 kGy), 76%(40 kGy), dan 75% (50 kGy). Berkurangnya DD film kitosan dengan meningkatnya dosis iradiasi bukanlah disebabkan oleh meningkatnya gugus amida, tetapi disebabkan oleh berkurangnya gugus NH2 akibat efek pemutusan (degradasi) rantai molekul kitosan pada pemaparan radiasi gamma (Zainol et al. 2009). Mekanisme reaksi degradasi kitosan dalam bentuk padat dapat dijelaskan berdasarkan skema reaksi berikut :
hilangnya kekuatan tarik film kitosan dibandingkan kontrol. Kemampuan polimer untuk menahan muatan sangat bergantung pada ukuran rantai molekul yang secara langsung berkaitan erat dengan berat molekul. Pada umumnya, semakin besar berat molekulnya semakin besar pula kekuatan mekaniknya dibandingkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi terhadap derajat deasetilasi (DD) film kitosan
R – H → R ( C4-C6) + H. .....................(4) R – H + H. → R (C1-C6) + H2 .....................(5) R ( C1 - C4) → F1 + F2 (pemutusan rantai molekul) .......................................... ........(6) R - NH2 + H → R. (C2) + NH3 ................................(7)
DD (%)
kontrol 10 20 30 40 50
84,0 81,0 80,6 80,1 76,0 75,0
800 Tegangan putus (kg/cm2)
R-H dan R-NH2 adalah makromolekul kitosan, R.(Cn) adalah makroradikal kitosan yang terlokalisasi pada karbon atom Cn, F1, dan F2 adalah fragmen-fragmen rantai utama kitosan hasil degradasi. Berdasarkan persamaan reaksi 4, pada iradiasi kitosan beberapa gugus NH2 kitosan akan terpotong dan menghasilkan gas amoniak setelah bereaksi dengan radikal hidrogen.
Dosis iradiasi (kGy)
600
400
200
0 0
10
20
30
40
50
60
Dosis (kGy)
Gambar 3. Hubungan dosis iradiasi dengan tegangan putus film kitosan
60 Perpajngan putus (%)
Pengaruh Dosis Iradiasi Pada Tegangan Putus dan Perpanjangan Putus Film Kitosan Tegangan putus dan perpanjangan putus film kitosan yang diiradiasi dan kontrol disajikan pada Gambar 3 dan 4. Pola reduksi tegangan putus dan perpanjangan putus film kitosan dengan meningkatnya dosis iradiasi terlihat dengan jelas, yaitu dengan meningkatnya dosis iradiasi hingga 50 kGy terjadi penurunan tegangan putus dari 700 kg/cm2 (kontrol) menjadi 400 kg/cm2 (50 kGy) dan tegangan putus berkurang dari 70% menjadi 40%. Berkurangnya kedua sifat mekanik film kitosan ini disebabkan oleh berkurangnya berat molekul rata-rata (MV) kitosan karena pemutusan rantai molekulnya. Oleh karena itu, diharapkan bahwa pemaparan film kitosan pada sinar gamma menginduksi reaksi pemutusan rantai molekul kitosan menghasilkan film kitosan dengan rantai molekul yang lebih pendek dan jumlah lilitan (engtanglement) berkurang. Berkurangnya jumlah rantai utama dan lilitan, disebabkan oleh
40
20
0 0
10
20
30
40
50
60
Dosis (kGy)
Gambar 4. Hubungan dosis iradiasi dengan perpanjangan putus film kitosan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 192-198
196
Pengaruh Dosis Iradiasi Pada Perubahan Warna Film Kitosan Nilai perubahan warna film kitosan (kontrol) dan film yang diiradiasi hingga 50 kGy ditunjukkan pada Tabel 2. Terlihat bahwa nilai Lab kontrol dan kitosan hasil iradiasi 10, 20, 30, 40, dan 50 kGy relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi hingga 50 kGy, warna kitosan cendrung tidak menjadi gelap. Selain itu, nilai a kontrol jika dibandingkan film kitosan hasil iradiasi 10, 20, 30, 40, dan 50 kGy relatif menurun, sedangkan nilai b relatif meningkat dengan meningkatnya dosis iradiasi. Hal ini menunjukkan bahwa film kitosan mengalami perubahan warna yang tajam menjadi browning dengan meningkatnya dosis iradiasi. Ismail Zainol dkk (Zainol et al., 2009) melaporkan bahwa perubahan warna yang relatif tajam (browning) dengan meningkatnya dosis iradiasi menunjukkan bahwa efek browning terjadi karena paparan iradiasi gamma yang meningkatkan konsentrasi gugus C=O akibat pemutusan rantai molekul kitosan. Tabel 2. Pengaruh iradiasi dosis 10-50 kGy terhadap nilai perubahan warna film kitosan yang diukur dengan chromameter
Dosis iradiasi (kGy)
Lab*
a*
b*
kontrol 10 20 30 40 50
89,70 87,76 87,76 88,26 87,43 86,57
-2,17 -5,03 -6,47 -5,90 -6,50 -6,2
-2,47 8,66 10,63 11,83 13,10 14,37
Keterangan : Lab = Jarak cahaya pantul, a = warna kromatik campuran + warna merah dan hijau dengan yang terdiri dari nilai a ( 0 sampai 100) untuk warna merah dan a (0 sampai 80) untuk warna hijau, b = warna kromatik campuran biru dan + kuning yang terdiri dari nilai b (0 sampai 100) untuk warna biru dan nilai b (0 sampai -70) untuk warna kuning, dan * = nilai rata-rata 5 kali pengukuran.
KESIMPULAN Secara visual, film kitosan yang dipapari sinar gamma menyebabkan perubahan warna yang merefleksikan perubahan signifikan pada sifat fisik. Dari hasil penelitian ini, jelas terlihat bahwa iradiasi gamma memberikan pengaruh browning pada film kitosan dengan konsekuensi mereduksi sifat mekanik film kitosan melalui reaksi pemutusan rantai molekul kitosan. Namun
demikian, yang perlu dicatat bahwa iradiasi gamma tidak menyebabkan perubahan gugus fungsi kitosan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada rekan-rekan di fasilitas Iradiator Karet (IRKA) bidang Fasilitas Radiasi, PATIR-BATAN yang telah banyak membantu dalam iradiasi sampel, serta ucapan yang sama disampaikan kepada Ibu Dewi S.P. yang telah membantu penelitian ini hingga selesai. DAFTAR PUSTAKA Abraham, A.C., Czayka M.A., Fisch M.R. 2010. Radiat. Phys. and Chem. 79: 83-92. Bangyekan, C., Aht-Ong D., Srikulkit. 2006. Polym. 63: 61-71. Chattopadhyay, S., Chaki T.K., Bhownick A.K. 2000. Radiat. Phys. Chem. 59: 501510. David, H.Y., Morgan A.F., Mark R.F. 2011. The Journal of Arthroplasty. 26: 303-308. El-Sawy, N.M., El-Rehim H.A., Elbarbary M.E., Hegazy E.A. 2010. Carbohyr Polym. 79(3): 555-562. Gades, M.D. 2003. Obes.Res. 11(5): 6383-688. Hu, Q., Li B., Wang M., Shen J. 2004. Biomaterial. 25: 779-785. Illum. 1998. Pharm.Res. 15(9):1326-1331. Islam, M.M., Masum S.M., Rahman M.M., Islam Molla M.A, Shaikh S.K.R. 2011. Int.J. of Basic & Applied Sciences UBAsIJENS. 11:10-16. Jones, D.S., Mawhinney H.J. 2006. Chitosan. Handbook of Pharmaceutical Excipient. 5th edition. American Pharmaceutical Association and The Pharmaceutical Press: 159-162. Kuo, S.M., Chang S.J., Niu G.C.C., Lan C.W., Cheng W.T., Yang C.Z. 2009. Polym. Scie. 112: 3127-3134. Kyriakos, A., Rignakos A. 2010. Irradiation and Food Commodities: 23-42. Lucio, C.S., Francisco A.K.L., Marcel A.G.B., Alex C.S., Luci D.B.M. 2010. Progress in Nuclear Energy. 52: 93-103. Maity,J.P., Kar S., Banerje S., Chacreborty A., Santra S.C. 2009. Radiat. Phys. Chem. 78: 1006-1010. Martindale. 2007. The Complete Drug Reference. 35th edition. Pharmaceutical Press.
Pengaruh Iradiasi Gamma pada Sifat Fisik …………………... Erizal dkk
197
Millner,R.W.J., Lockhart A.S., Bird H., Alexiou C. 1996. Ann.Thirac.Surg. 87: e13-e14. Minami,S., Okamoto Y., Miyatake K., Matshuashi A., Shigema SA.Y., Fukumoto Y. 1996. Chitosan –inducing hermorrhagic pneumonia in dogs. 29: 241-246. Mishra,J.K., Chang Y.W., Lee B.C., Ryu S.H. 2008. Radiat.Phys.Chem. 77: 675-679. Mrad, O.,Sannier J., Chodur C.A., Rosillo Y., Agnelly F., Aubert P., Vigneron J., Etcheberry N.A., Yagouchi N. 2010. Radiat. Phys. and Chem. 79: 93-103. Prashanth, K.V.H., Kittur F.S., Tharanathan R.N. 2002. Carbohydr. Polym. 50: 27-33. Ren, D, Yi H., Wang W., Ma X. 2004. Carbohydrate Research. 340(15): 2403-2410. Shen, K., Hu Q., Wang Z., Qu J. 2011. Mater. Scie. & Eng.C. Zainol, I., Akil H.M., Mastor A. 2009. Mater. Scie. and Eng C. 29: 292-297.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 192-198
198
PENGARUH PENGGUNAAN KITOSAN TERHADAP SIFAT BARRIER EDIBLE FILM TAPIOKA TERMODIFIKASI (THE EFFECT OF CHITOSAN USAGE ON THE BARRIER PROPERTIES OF MODIFIED STARCH EDIBLE FILMS)
Guntarti Supeni dan Suryo Irawan Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 10 Januari 2012; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Penelitian pengaruh kitosan terhadap sifat barrier edible film tapioka termodifikasi dilakukan. Hal ini dilakukan karena lembaran film yang diperoleh pada penelitian sebelumnya masih memerlukan peningkatan sifat barrier dan kestabilan film pada penyimpanan. Seperti diketahui tapioka bersifat hidrofilik, sehingga perlu campuran bahan yang bersifat hidrofobik. Salah satu bahan yang mempunyai sifat tersebut adalah kitosan, dengan penambahan aditif lain diharapkan dapat memperbaiki sifat film. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kitosan terhadap sifat barrier edible film tapioka termodifikasi. Penelitian dilakukan dengan metode pencampuran larutan edible film tapioka termodifikasi dengan larutan kitosan. Variabel yang digunakan adalah penambahan konsentrasi kitosan pada larutan edible film tapioka termodifikasi, dengan menitikberatkan parameter uji pada nilai laju O2TR dan nilai laju WVTR dari edible film yang dihasilkan. Secara umum lembaran 2 film yang dihasilkan masih memiliki laju transmisi uap air (WVTR) yang cukup besar (>200 g/m /24 jam) dan memiliki sifat kedap terhadap oksigen yang cukup baik, ditandai dengan rendahnya nilai laju transmisi oksigen 2 (O2TR) (<1cc/m /24jam). Penggunaan paling optimal 1:0,75 dihasilkan nilai laju WVTR minimum sebesar 2 2 2 215,48 g/m /24 jam dan nilai laju O TR sebesar 0,376 (cc/m /24jam). Pada hasil analisis SEM terlihat bahwa pada penambahan filler kitosan sebesar 75% mempunyai sifat barrier terhadap uap air yang baik, hal ini disebabkan filler kitosan yang ditambahkan sudah merata mengisi pori-pori atau celah ikatan antar polimer yang terbentuk. Penambahan kitosan tidak dapat meningkatkan grade pada JIS Z 1707-1997, Plastic Film for Food Packaging. Kata kunci : Kitosan, Edible film, Tapioka termodifilkasi
ABSTRACT Research on the effects of chitosan on barrier properties of modified tapioca edible films was carried out in order to improve the film sheet obtained in the previous studies, which is still need improvement on their barrier properties and the storage stability of the film. As known tapioca is hydrophilic material, which needs addition of hydropobic materials. Addition of hydropobic material is expected to improve the film properties. The purpose of this research was to determine the effect of chitosan on permeability properties of edible films of modified tapioca. The research was carried out by mixing of a tapioca edible film solution and a chitosan. In this research, the composition of chitosan solution to tapioca edible films are varied with the focus on the O2TR and WVTR of 2 edible film produced. In general, the WVTR of the film still quite large (> 200 g/m /24jam), however the 2 impermeability to oxygen is quite well, indicated by low 0.376 (cc/m /24jam). The most optimal use is 1:0.75 2 available values for a minimum WVTR rate and exchange rate of 215.48 g/m /24jam O2TR of 2 0.376 (cc/m /24jam). SEM analysis shows that the addition of 75% chitosan have optimal WVTR due to the chitosan evenly fill the pores or gaps between the polymer bonds are formed. Addition chitosan can not improve grade on JIS Z 1707-1997, Plastic Films for Food Packaging. Key words : Chitosan, Edible packaging, Modified starch
Pengaruh Penggunaan Kitosan …………………... Guntarti Supeni dan Suryo Irawan
199
PENDAHULUAN Pengemasan merupakan proses perlindungan suatu produk pangan yang bertujuan menjaga keawetan dan konsistensi mutu. Produk yang dikemas akan memiliki masa simpan relatif lebih lama dibanding dengan tanpa kemasan. Banyak konsumen yang lebih memilih produk yang dikemas dengan kemasan yang lebih menarik. Seperti yang telah kita ketahui, kemasan pada makanan banyak menggunakan polimer yang berasal dari sintesis minyak bumi. Kelemahan polimer ini adalah limbahnya sulit diuraikan oleh mikroorganisme dan hanya sedikit dari polimer ini yang bisa didaur ulang sehingga menimbulkan permasalahan pencemaran terhadap lingkungan. Plastik merupakan bahan kemasan yang banyak digunakan masyarakat karena ringan, transparan, dapat mengikuti bentuk produk yang dikemas, kuat, ringan, dan harga relatif murah. Namun dewasa ini sampah kemasan plastik tersebut sudah menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan yang cukup serius, terutama karena sampah plastik pada dasarnya sulit hancur oleh perombakan mikroorganisme. Disamping itu, penghancuran sampah plastik dengan pembakaran dinilai kurang tepat karena dapat menimbulkan pencemaran udara dan menghasilkan residu yang cukup berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup. Plastik yang berasal dari resin sintetik dalam jangka waktu kurang lebih 400 sampai 500 tahun baru akan terdegradasi di tanah. Sebagai contoh pada tahun 2007 sampah plastik di Indonesia mencapai 6 juta ton (Harian Pelita 2010). Selain itu plastik dalam proses pembuatannya menggunakan minyak bumi dan merupakan produk turunan dari polyester, yang ketersediaannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbarui. Salah satu cara untuk menanggulangi limbah plastik adalah dengan menggunakan kemasan plastik ramah lingkungan yang mampu urai hayati (biodegradable packaging) yang berasal dari polimer alam, hal ini sesuai dengan Directive 94/62 (Packaging & Packaging Waste). Penelitian kemasan plastik ramah lingkungan yang mampu urai hayati (biodegradable packaging) yang berasal dari polimer alam telah banyak dilakukan, baik di dalam dan di luar negeri, bahkan sudah banyak yang dipatenkan dan diperdagangkan. Namun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut, karena lembaran film yang diperoleh masih memerlukan peningkatan sifat, baik sifat mekanik maupun barrier dan juga pada
kestabilan film pada penyimpanan. Seperti diketahui tapioka bersifat hidrofilik, sehingga perlu campuran bahan yang bersifat hidrofobik (Guntarti Supeni 2007). Salah satu alternatif bahan yang mempunyai sifat tersebut adalah menggunakan kitosan sebagai filler dan dengan penambahan aditif lain diharapkan dapat memperbaiki sifat film yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya. Meskipun penggunaan edible film kelihatan masih baru, penelitian untuk mengembangkan edible film telah dimulai sejak 35 tahun yang lalu (Gennadios dan Weller 1990). Tetapi hanya sedikit dari film-film tersebut yang diaplikasikan secara komersial. Kenyataan ini berkaitan dengan adanya keterbatasan sifat edible film dibandingkan dengan sifat film polimer lainnya. Industri polimer sudah mampu menyediakan material pembungkus makanan yang mempunyai sifat fisik dan penghalang yang lebih baik dibandingkan edible film. Berdasarkan keuntungan yang dimiliki edible film dibandingkan dengan film polimer sintetik, edible film akan lebih banyak digunakan sebagai kemasan makanan pada masa-masa yang akan datang. Beberapa keuntungan dari penggunaan edible film adalah dapat dimakan, biaya umumnya rendah, kegunaannya dapat mengurangi limbah, mampu meningkatkan sifat organoleptik dan mekanik pada makanan dan mampu menambah nilai nutrisi, dapat berfungsi sebagai carrier/zat pembawa untuk senyawa antimikroba dan antioksidan, dan dapat digunakan sebagai kemasan primer makanan Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992). Kitosan mengandung cukup banyak polisakarida setelah selulosa (Hoagland dan Parris 1996). Berat molekul kitosan 1,036 x 105 dalton (Knorr 1982). Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin maka semakin kuat interaksi antarion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Ornum 1992). Kitosan tidak bersifat racun dan merupakan polimer yang bisa diuraikan oleh alam serta mempunyai kesamaan dengan selulosa. Perbedaan antara kitosan dan kitin adalah gugus amina (-NH2) pada posisi C-2 dari kitosan sedangkan pada selulosa terdapat gugus hidroksil (-OH). Kitosan memiliki muatan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 199-206
200
ion positif yang secara kimia memberikan kemampuan berikatan dengan muatan negatif, yaitu lemak, lipid, kolesterol ion logam, protein, dan makromolekul (Li et al. 1992). Kelebihan ini membuat kitin dan kitosan mempunyai nilai komersial yang menarik karena sifat alami kitosan yang sangat bagus dalam hal biokompatibilitas, biodegradable, penyerapan dan kemampuan untuk dibentuk menjadi film, dan penyerapan ion logam (Rout 2001). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kitosan terhadap sifat barrier edible film tapioka termodifikasi. BAHAN DAN METODE Bahan Kitosan, dengan spesifikasi sebagai berikut: kadar air 7,65%, kadar abu <1%, derajat deasetilasi >66,42%, viscositas >200 Cps, tapioka, etanol, asam asetat glacial 1%, aquades, natrium asetat, gliserol teknis. Alat Neraca, hot plate dengan stirrer, alat uji ketebalan, alat uji WVTR, alat uji O2TR, pompa vakum, media cetak (akrilik), hygrometer, termometer, alat-alat gelas laboratorium. Metode Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pembuatan edible film dan tahap pengujian sifat barrier edible film. Tahap Pembuatan Edible Film Pembuatan edible film merupakan tahap penelitian utama, dimana pada tahap ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu pembuatan larutan edible kitosan, pembuatan larutan edible tapioka termodifikasi, dan pembuatan edible film tapioka. Pembuatan Larutan Edible Kitosan (modifikasi metode Vojdani dan Torres (1989) dalam Butler dkk. (1996)) Tiga gram kitosan dilarutkan dengan 100 mL asam asetat glacial 1%, pada temperatur 50ºC selama 60 menit dengan pengadukan. Larutan kitosan kemudian divakum dan disaring dengan bantuan pompa vakum, agar gelembung udara dan kotoran yang terperangkap didalam larutan kitosan dapat hilang. Kemudian larutan kitosan dipanaskan kembali pada temperatur 50ºC selama 15 menit, selama pemanasan dilakukan pengadukan dan penambahan plasticizer (gliserol). Setelah batas
waktu 15 menit tercapai, diharapkan campuran telah homogen. Pembuatan Larutan Edible Tapioka Termodifikasi Pada tahapan ini diawali dengan pembuatan pelarut, yaitu larutan asetat (CH3COOH + CH3COONa) pH 7 yang akan digunakan sebagai pelarut tepung pada proses hidrolisis. Setelah itu hidrolisis dilakukan dengan memanaskan campuran 50 gram tepung tapioka dalam 50 mL pelarut sampai campuran mengental. Pemanasan dilakukan dalam suhu 40ºC. Kemudian dilakukan tahapan pembuatan formulasi untuk lembaran film dengan menggunakan gliserol 15%. Pembuatan Edible Film Pada tahap ini dilakukan penelitian dengan memvariasikan konsentrasi filler pada konsentrasi tertentu, sampai didapatkan konsentrasi yang sesuai sehingga didapatkan nilai dari hasil pengujian sifat fisik/mekanik dari edible film. Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan. Pada tahap ini dilakukan pencampuran antara larutan edible tapioka termodifikasi dengan larutan edible kitosan, dengan memvariasikan penambahan jumlah larutan edible kitosan yang ditambahkan. Tahap I (trial and error), tahap satu dilakukan untuk mengetahui jumlah penambahan filler yang optimum. Dimana larutan edible tapioka termodifikasi (100%) ditambah filler (larutan edible kitosan) sebesar 0%, 50%, 100%, 150%, dan 200%. Tahap II, tahap dua dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penambahan filler terhadap sifat barrier optimal dari edible film yang dihasilkan. Dimana larutan edible tapioka termodifikasi (100%) ditambah filler (larutan edible kitosan) sebesar 25%, 50%, 75%, 100%, dan 125%. Pencampuran dilakukan dengan pengadukan selama 30 menit, pada temperatur 40ºC. Larutan edible film yang terbentuk kemudian dituangkan ke media cetak (akrilik) dengan ukuran 20 cm x 20 cm, kemudian edible film yang telah siap didinginkan pada temperatur º 22 C selama kurang lebih 24 jam. Pendinginan ini dimaksudkan agar larutan edible film tersebut membeku dan membentuk lembaran edible film. Lembaran edible film kemudian dikelupas dari media cetak, untuk kemudian dilakukan pengujian terhadap karakteristik/sifat barrier dari edible film tersebut.
Pengaruh Penggunaan Kitosan …………………... Guntarti Supeni dan Suryo Irawan
201
Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri (ASTM E 96/E96M-10) Laju transmisi uap air terhadap edible film diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (desikan) diletakkan dalam mangkuk alumunium, kemudian sampel diletakkan di atas mangkuk tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi mangkuk tersebut. Tuangkan lilin cair untuk menutupi bagian antara wadah dengan sampel sehingga tidak ada udara masuk. Cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001 gram kemudian diletakkan dalam humidity chamber Yamato IH-42H, ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan penambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat dan waktu, nilai WVTR dihitung dengan rumus: WVTR = slope / luas sampel x 100 x 100 m2 = g/m2/24 jam (92% RH, 38°C)...…..(1)
Pada tahap penelitian selanjutnya komposisi penambahan kitosan divariasikan menjadi 25%, 50%, 75%, 100% dan 125%, dengan komposisi tapioka tetap (100%). Dari formulasi tersebut di atas, edible film yang dihasilkan diuji ketebalan dan sifat barriernya dengan hasil seperti terlihat pada Grafik 1 dan Grafik 2. Tabel 1. Hasil analisa trial and error pada nilai WVTR dan O2TR No
Komposisi (T:K) (%)
WVTR 2 (g/m /24jam)
O2TR 2 (cc/m /24jam)
1.
Blanko (100 : 0)
244,26
63,467
2.
Sampel 1 (100 : 50)
248,01
0,568
3.
Sampel 2 (100 : 100)
235,14
0,629
4.
Sampel 3 (100 : 150)
480,12
0,095
5.
Sampel 4 (100 : 200)
356,88
0,063
Laju Transmisi Oksigen Laju transmisi oksigen terhadap edible film diukur dengan menggunakan Metode
0.07
0.06
0.059 0.0546
Ketebalan (mm)
0.05 0.0462 0.04
0.0426 0.0392
0.03
0.02
0.01
0 0
25
50
75
100
125
150
Perbandingan Penambahan Khitosan (%)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Grafik 1. Hasil uji ketebalan edible film
Nilai Laju WVTR Edible Film 400 357.24
350 300
285.36 248.01
250
235.14
2
WVTR (g/m /24jam)
Hasil Analisis Pengujian Dari data yang dihasilkan pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa, nilai WVTR terendah adalah 235,14 (g/m2/24jam) pada sample 2 dengan perbandingan tapioka (T) dengan kitosan (K) sebesar 100% (T) : 100% (K). Laju Oksigen 2 (O2TR) terendah 0,063 (cc/m /24jam) pada sampel 4 dengan perbandingan Tapioka (T) dengan Kitosan (K) sebesar 100% (T) : 200% (K). Jika diperhatikan pada kolom O2TR dapat terlihat bahwa sejalan dengan penambahan komposisi kitosan, maka nilai O2TR cenderung turun. Pada penelitian ini sampel 2 dinyatakan optimum karena memiliki nilai WVTR yang terendah dan nilai O2TR kurang dari 1 cc/m2/24jam.
Optimum
Nilai Ketebalan Edible Film
Manometer (ASTM D 1438-82 Reapproved 1998).
Pengolahan Data Data yang diperoleh dari pengukuran dan penimbangan, kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan rumus yang terdapat pada masing-masing prosedur pengujian. Hasil yang didapat dari perhitungan kemudian dibandingkan dengan literatur yang ada untuk kemudian dibuat kesimpulan data, yang juga merupakan data akhir dari percobaan.
Ket
200
215.48
150 100 50 0 0
25
50 75 100 125 Perbandingan Penambahan Khitosan (%)
150
Grafik 2. Hasil uji WVTR edible film
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 199-206
202
Hasil Analisis Ketebalan Ketebalan edible film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan dan ketebalan cetakan. Dengan cetakan yang sama, edible film yang terbentuk akan lebih tebal apabila volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan lebih banyak. Hasil analisa ketebalan didapatkan bahwa edible film yang ditambahkan kitosan memiliki nilai ketebalan terendah 0,0392 mm dan tertinggi sebesar 0,059 mm. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan rata-rata ketebalan edible film dengan adanya penambahan kitosan. Hasil Analisis Laju Transmisi Uap Air (WVTR) Perpindahan uap air akan terjadi apabila di dalam makanan terdapat perbedaan aktivitas ai r (a w ). Perbedaan kel em baban produk makanan dengan lingkungan sekitarnya ini dapat dikontrol dengan mengatur aw pada makanan, ataupun dengan membungkusnya dengan suatu lapisan edible film yang mempunyai sifat penghalang (barrier) yang baik terhadap transmisi uap air dan secara efektif akan mampu mencegah kehilangan uap air. Transmisi uap air sangat dipengaruhi oleh RH, temperatur, ketebalan, jenis dan konsentrasi plasticizer serta sifat bahan pembentuk edible film. Umumnya edible film yang terbuat dari bahan protein dan polisakarida mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidogen yang besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada RH tinggi. Akibatnya, penyerapan air tersebut akan mengganggu interaksi rantai intermolekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusifitas dan mampu menyerap uap air dari udara (Krochta et al. 1994). Dalam penelitian ini digunakan kitosan sebagai bahan filler. Berdasarkan hasil photo SEM Gambar 1 memperlihatkan struktur polimer pembentuk kitosan berupa polimer serat panjang dan mempunyai pori yang besar. Penyerapan uap air yang terjadi disebabkan karena adanya proses difusi aktif yang melibatkan pelarutan uap air pada edible film, kemudian berdifusi melalui edible film dan dilepaskan pada sisi yang lain. Selain itu, ketika film hidrofilik menyerap air dan menggumpal, molekul air yang ditambahkan kemudian akan bersifat mobile, menyebabkan mobilitas rata-rata dari molekul air meningkat dan akibatnya terjadi peningkatan barrier (laju transmisi uap air) (Krochta et al. 1994).
Gambar 1. Photo SEM kitosan
Sifat barrier pada edible film yang ditambahkan larutan kitosan sebagai filler memiliki nilai terendah 215,48 g/m2/24jam dan nilai tertinggi 357,24 g/m2/24jam. Besarnya nilai barrier uap air pada edible film dengan penambahan filler kitosan, disebabkan karena edible film yang dihasilkan masih dipengaruhi oleh sifat bahan baku (tapioka) dan filler (kitosan) yang hidrofilik. Gambar 2 memperlihatkan edible film tapioka dengan penam-bahan gliserol pada konsentrasi 15%.
Gambar 2. Foto SEM edible film tapioka tanpa penambahan filler kitosan
Pengaruh Penggunaan Kitosan …………………... Guntarti Supeni dan Suryo Irawan
203
Pada penambahan gliserol konsentrasi 15%, molekul-molekul gliserol masuk kedalam celah-celah rantai molekul polimer kitosan secara merata. Irisan yang dilakukan pada edible film tapioka dengan penambahan gliserol 15% memperlihat-kan bahwa selain gliserol berfungsi sebagai pengisi celah antar rantai molekul polimer, juga berfungsi membentuk lapisan pada permukaan edible film yang dihasilkan. Penambahan komposisi filler kitosan ke dalam larutan edible film tapioka, mempengaruhi laju barrier uap air. Pada penambahan 25% sampai 50% filler kitosan ke dalam 100% larutan edible film tapioka, menghasilkan nilai WVTR yang relatif menurun. Hal ini disebabkan filler kitosan yang ditambahkan ke dalam larutan edible film tapioka, belum merata mengisi poripori atau celah ikatan antar polimer yang terbentuk (Gambar 3a). Pada penambahan filler kitosan sebesar 75% mempunyai nilai WVTR yang optimal, hal ini disebabkan filler kitosan yang ditambahkan sudah merata mengisi pori-pori atau celah ikatan antar polimer yang terbentuk (Gambar 3b). Penambahan filler kitosan pada konsentrasi lebih dari 75%, akan mengakibatkan nilai laju WVTR akan bertambah besar. Hal ini disebabkan karena filler yang ditambahkan akan membentuk lapisan di atas edible film tapioka yang terbentuk (Gambar 3c). Dari data di atas dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi larutan edible kitosan (kitosan dan gliserol) mengakibatkan peningkatan nilai barrier uap air dari edible film tapioka. Hal ini disebabkan karena gliserol (plasticizer) dan kitosan dalam pembuatan larutan edible kitosan mempunyai sifat yang hidrofilik, sehingga kitosan dan gliserol justru akan menghasilkan penyerapan uap air. Hasil Analisis Laju Transmisi Gas Oksigen (O2TR) Pengaturan konsentrasi oksigen dalam produk makanan dimaksudkan untuk mempertahankan/memperpanjang masa simpan makanan. O ksigen berhubungan dengan berbagai reaksi degradasi yang terjadi dalam penyimpanan, RH, penambahan plasticizer, dan tipe produk yang akan dikemas. Edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida mempunyai jumlah besar, gugus hidroksil tersebut makanan seperti ketengikan minyak, pertumbuhan sifat barrier yang sangat baik terhadap oksigen (Gontard et al. 1993). Hal ini disebabkan karena polisakarida mempunyai gugus hidroksil dalam
(a)
Edible film tapioka dengan penambahan filler kitosan 50%
(b) Edible film tapioka dengan penambahan filler kitosan 75%
(c) Edible film tapioka dengan penambahan filler kitosan 100% Gambar 3. Foto SEM edible film (pembesaran 500 x)
mikroba, reaksi browning enzimatis, respirasi, dan lain-lain. Oleh karena itu sifat barrier film terhadap oksigen sangat diperlukan. Sifat barrier terhadap gas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat alami gas, struktur material, temperatur, waktu menciptakan interaksi rantai polimer yang kuat sehingga membatasi
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 199-206
204
pergerakan rantai dan menyebabkan sifat barrier terhadap oksigen menjadi rendah (Krochta et al. 1994). Dari hasil percobaan diperoleh nilai barrier oksigen edible film yang mendapat tambahan filler kitosan, memiliki nilai barrier terhadap oksigen yang cenderung turun. Nilai barrier terhadap oksigen terendah 0,074 cc/m2/24jam dan nilai tertinggi 0,94 cc/m2/24jam. Pada konsentrasi penambahan filler kitosan sebesar 100%, nilai O2TR mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena timbulnya porositas pada edible film tapioka yang terbentuk (Grafik 3). Dari keseluruhan hasil penelitian, maka edible film yang terbentuk masuk dalam Grade 5 dari standar JIS Z 1707-1997. Edible film tersebut sangat baik diaplikasikan sebagai bahan pengemas buah-buahan, sayur-sayuran, dodol dan makanan berminyak. Perbandingan Hasil Penelitian Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan edible film sebagai salah satu bentuk kemasan yang efektif. Perbandingan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan suatu edible film yang terbuat dari bahan yang berbeda. Karakteristik edible film yang akan dibandingkan hanya karakteristik ketebalan, barrier terhadap uap air, dan barrier terhadap gas oksigen. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa edible film hasil penelitian yang dilakukan, mempunyai ketebalan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kualitas edible film sangat ditentukan oleh besar kecilnya nilai laju transmisi uap air (WVTR) dan laju transmisi gas oksigen (O2TR),
semakin kecil nilai WVTR dan O2TR yang dihasilkan oleh suatu edible film maka kualitas edible film tersebut akan semakin baik karena tidak hanya dapat diaplikasikan pada sayur dan buah-buahan. Tetapi penggunaan edible film tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya nilai laju WVTR dan O2TR, melainkan dari bagaimana karakteristik daripada produk yang akan dikemas. Nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan mempunyai nilai yang relatif sama, dibandingkan dengan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Nilai laju transmisi gas oksigen (O2TR) yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan mempunyai nilai yang relatif lebih kecil, dibandingkan dengan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. KESIMPULAN 1. Penambahan kitosan pada edible film tapioka dapat memperkecil laju barrier terhadap oksigen. 2. Penggunaan paling optimal adalah tapioka: kitosan (1:0,75), didapat nilai laju WVTR minimum sebesar 215,48 g/m2/24jam dan nilai laju O2TR sebesar 0,376 (cc/m2/24jam). 3. Dari hasil analisis SEM terlihat pada penambahan filler kitosan sebesar 75% mempunyai nilai WVTR yang optimal, hal ini disebabkan filler kitosan yang ditambahkan sudah merata mengisi pori-pori atau celah ikatan antar polimer yang terbentuk. 4. Penambahan kitosan tidak dapat meningkatkan grade pada JIS Z 1707- 1997, Plastic Film for Food Packaging. DAFTAR PUSTAKA
Nilai Laju O2TR Edible Film 1 0.94
0.9 O 2TR (cc/m2 /24jam)
0.8 0.7 0.629 0.6
0.568
0.5 0.4 0.376 0.3 0.2 0.1
0.074
0 0
25
50
75
100
125
Perbandingan Penambahan Khitosan (%)
150
ASTM. Standard Test Methods for Water Vapour Transmission Rate of Materials. E 96. ASTM. Reapproved 1998. Standard Test Methods for Oxygen Gas Transmission Rate of Materials. D1438-82. Buttler, B. L., P. J. Vergant, R. F. Testin, J. M. Bunn, and J. L. Wiles. 1996. Mechanical properties barrier properties of edible chitosan films as effected by composition and storage. J. Of Food Sci. 61 (5): 953-961.
Grafik 3. Hasil uji O2TR edible film
Pengaruh Penggunaan Kitosan …………………... Guntarti Supeni dan Suryo Irawan
205
Directive 94/62/EC. Packaging and Packaging Waste. Gontard, N. and S. Guilbert. 1993. Water and glycerol as plasticizers effect mechanical and water vapor barrier properties of edible wheat gluten film. Journal Food Science. 57: 190-195. Gannadios, A. and L.W. Curtis. 1990. Edible film and coating for wheat and corn proteins. Journal of Food Technology. Guntarti Supeni dkk. 2007. Laporan Penelitian Formulasi dan Aplikasi Kemasan Layak Santap (Edible film) dari Tapioka Termodifikasi. Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI. Hoagland, P.D. and N. Parris. 1996. Chitosan / Pectin laminated film. Journal Agricultural. Food Chemical. 44: 19151919. Harian Pelita, Kamis 16 September 2010. Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. J. Food Sci. 47: 593-595. Krochta, J.M., E.A. Baldwin and M.O. NisperosCarriedo.1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publication. Co. Inc., USA. Li, Q., Dunn, E.T., Grandmaison, E.W. and Goosen M.F.A. 1992. Applications and properties of chitosan. J. Bioactive and Compatible Polym. 7: 370-397. Ornum, J.U. 1992. Shrimp Waste Must It Be Wasted. Infofish. 6: 48. Rout, S. K. 2001. Physicochemical, Functional, and Spectroscopic analysis of crawfish chitin and chitosan as affected by process modification. Dissertation. Suryo Irawan. 2008. Thesis Karakterisasi Edible film dari Kitosan. Program PascaSarjana FMIPA-Kimia, Universitas Indonesia.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 199-206
206
REKAYASA MASKER ANTI POLUTAN GAS BUANG KENDARAAN BERBASIS KATALIS KOMPOSIT TiO2-AC-ZAL-T (MASK MODIFICATION FOR ANTI VEHICLE EXHAUST GAS POLLUTANT BASED ON TIO2-AC-ZAL-T COMPOSITE CATALYST)
Slamet, Ikha Muliawati, dan Muhamad Ibadurrohman Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik-Universitas Indonesia Kampus UI, Depok E-mail:
[email protected] Received 8 Maret 2012; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Katalis yang dibuat dari komposit titania, karbon aktif, dan zeolit alam Lampung (TiO2-AC-ZAL) telah berhasil disintesis dengan metode pencampuran mekanik untuk diaplikasikan sebagai bahan masker. Komposit TiO2-ACZAL dilapiskan ke alumunium foil dan serat nanas untuk diuji kinerjanya dalam mengeliminasi polutan CO, NOx, dan senyawa hidrokarbon (HC) secara simultan. Kinerja komposit dalam mendegradasi polutan tergantung dari komposisinya, dan komposisi terbaik untuk mengeliminasi ketiga polutan tersebut adalah TiO2 10,0% AC 8,2% ZAL T 81,8%. Kinerja katalis semakin efektif seiring dengan bertambahnya jumlah komposit dalam masker (hingga 10 g). Pada penelitian ini, pengaruh konsentrasi awal polutan juga dipelajari dan diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi awal polutan maka laju eliminasi polutan semakin besar, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ambang batas baku mutu lebih lama. Secara keseluruhan, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masker anti polutan yang direkayasa sudah cukup layak untuk mendegradasi polutan CO, NOx, dan HC secara simultan, sehingga potensi aplikasinya cukup menjanjikan. Kata kunci : Masker anti polutan, CO, NOx, HC, Katalis komposit, TiO2-AC-ZAL
ABSTRACT Catalyst based on titania, activated carbon, and Lampung natural zeolite (TiO2-AC-ZAL) composites have been succesfully prepared by mechanical mixing methods to be applied as mask fabrics. As prepared TiO2-AC-ZAL composite was then coated on aluminum foil and pineapple leaf fiber surface, prior to performance test for elimination of CO, NOx, and HC (hydrocarbons) simultaneously. The performance of composite in degrading those pollutants depends on their composition, while TiO2 10.0% AC 8.2% ZAL T 81.8% being the best elemental composition. Performance of catalyst increase as the number of composites in the mask (up to 10 g). In this study, effect of the initial concentration of the pollutants were also investigated. It was observed that higher initial concentration of pollutants would lead to faster degradation rate, although it required longer time to achieve the standard emission limit threshold. These overall results indicate that the mask designed in this study is feasible to degrade CO, NOx, and HC pollutants simultaneously. Therefore, we found that the potential application of the mask are promising. Key words : Anti polutant mask, CO, NOx, HC, Composite catalyst,TiO2-AC-ZAL
PENDAHULUAN Polusi udara bukanlah suatu hal yang asing lagi di Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta. Jakarta menempati urutan ketiga sebagai kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia setelah Meksiko dan Thailand.
70% polutan udara di kota Jakarta berasal dari sektor transportasi. Polutan yang dihasilkan dari sektor ini didominasi oleh gas buang kendaraan seperti karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), dan senyawa hidrokarbon (HC).
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
207
CO merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Jika CO terakumulasi secara simultan di dalam tubuh, maka manusia dapat mengalami gangguan denyut jantung, sesak nafas, nyeri dada, kerusakan janin, dan kerusakan otak. NOx juga merupakan gas yang tidak berwarna dan bersifat toksik karena dapat menyebabkan sulit bernafas, infeksi paru paru, dan asma. HC yang biasanya berupa gas metana juga sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menyebabkan leukimia dan kanker. Untuk mengurangi risiko terkena penyakit yang disebabkan oleh polutan udara, masyarakat memerlukan masker. Secara umum, terdapat tiga jenis masker berdasarkan caranya mengeliminasi polutan udara yang masuk ke dalam tubuh, yaitu masker berprinsip filtrasi, adsorpsi, dan fotokatalisis. Pertama, masker berprinsip filtrasi, contohnya adalah masker medis (surgical mask) berbahan dasar kertas berpori khusus. Masker ini hanya dapat memfilter partikulat seperti debu dan yang sejenisnya. Kedua, masker berprinsip adsorpsi, seperti masker moncong babi yang menggunakan karbon aktif berdesain fix bed sebagai adsorbennya. Permasalahan dari masker ini adalah adsorben tidak dapat mendegradasi polutan karena adsorben hanya dapat memindahkan polutan dari udara ke dalam adsorben, sehingga adsorben pun menjadi cepat jenuh (Alfat 2009). Ketiga, masker berprinsip fotokatalisis yang dapat mendegradasi polutan gas berbahaya secara in situ sehingga masker dapat dipakai dalam jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi, masker ini memiliki kelemahan yaitu daya adsorpsi fotokatalis terhadap polutan sangat rendah (Chun 2008, Durgakumari et al. 2002) sehingga polutan yang terdegradasi pun sedikit. Selain itu, desain photocatalyst mask mirip dengan masker medis sehingga waktu kontak antara polutan dengan fotokatalis juga masih relatif singkat, akibatnya degradasi polutan menjadi tidak maksimal. Penelitian ini mencoba untuk merekayasa masker anti polutan yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan dari masker berprinsip adsorpsi dan fotokatalisis, dengan cara mensinergikan kedua mekanisme tersebut. Penggabungan mekanisme adsorpsi dan fotokatalisis dinyatakan dalam rekayasa material komposit (Chun 2008, Ichiura et al. 2002) yang terdiri dari fotokatalis (TiO2) dan adsorben (karbon aktif dan zeolit alam). Karbon aktif dipilih sebagai adsorben karena memiliki luas permukaan yang besar dan bersifat non-polar sehingga dapat
mengadsorpsi senyawa non-polar seperti hidrokarbon (Amora et al. 2009). Adapun, zeolit alam Lampung juga dipilih sebagai adsorben karena ketersediaannya melimpah dan harganya murah (Suwardi dan Mulyanto 2010). Selain itu, zeolit juga bersifat polar sehingga dapat mengadsorpsi NOx (Despres 2003) dan CO (Tezel and Apolonatos 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi optimal dari katalis komposit TiO2-AC-ZAL-T untuk mendegradasi CO, NOx, dan HC. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh berat komposit dan konsentrasi awal dari katalis komposit. Tujuan lainnya, yaitu didapatkannya desain masker anti polutan yang dapat mendukung degradasi polutan secara fotokatalitik, persamaan laju degradasi polutan, dan persamaan waktu degradasi polutan hingga mencapai batas baku mutu. BAHAN DAN METODE Treatment Zeolit Alam Lampung Treatment zeolit alam Lampung (ZAL-T) ini diawali dengan mencuci 130 g ZAL dengan 300 mL air demin sebanyak dua kali, lalu melakukan penyaringan. Kemudian slurry zeolit hasil penyaringan dikeringkan dengan memasukkannya ke furnace pada suhu 120ºC selama 2 jam. Setelah dikeringkan seluruh ZAL dimasukkan ke dalam 480 mL HF 2%, lalu campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit. Kemudian ZAL dibilas dengan 5 L air demin, lalu dilakukan penyaringan kembali. Setelah itu, campuran ZAL direfluks º dengan 240 mL HCl 6 M pada suhu 90 C selama 30 menit. ZAL kemudian dibilas dan disaring. Setelah itu, ZAL direndam dalam 480 mL NH4Cl 0,1 M selama 5 hari disertai pengadukan dengan stirrer selama 3 jam/hari. ZAL kemudian dibilas dan disaring lagi. Kemudian, tahapan terakhir adalah dengan mengkalsinasi ZAL selama 5 jam º pada suhu 500 C di dalam furnace. Treatment Serat Nanas Treatment serat nanas dilakukan dengan membuat larutan NaOH 5% sebanyak 1600 mL. Kemudian sebanyak 80 g serat nanas direndam ke dalam larutan NaOH 5% selama 1 jam. Serat nanas kemudian dicuci dengan air demin. Setelah itu, serat nanas dikeringkan dengan furnace selama 24 jam pada suhu 70ºC. Preparasi Katalis Komposit Preparasi katalis komposit diawali dengan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
208
memasukkan sejumlah massa TiO2 ke dalam air demin dengan perbandingan berat total katalis komposit dan air demin adalah 1:10. Kemudian, campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 15 menit. Campuran kemudian disonikasi selama 10 menit dengan intensitas 30%. Lalu, ke dalam campuran ditambahkan beberapa tetes HNO3 sampai pH-nya 3. Campuran kemudian kembali disonikasi selama 3 menit dengan intensitas 3%. Lalu, ke dalam campuran dimasukkan sejumlah massa AC dan ZAL. Campuran kemudian diaduk dengan magnetic stirrer selama 15 menit. Setelah itu, dilakukan sonikasi kembali selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 3 tetes tetraethoxyorthosilicate (TEOS) per 10 gram berat total katalis komposit ke dalam campuran. Terakhir, dilakukan sonikasi kembali selama 3 menit. Coating Katalis Komposit Proses coating katalis komposit ini dilakukan pada dua substrat, yaitu ke aluminium foil dengan metode spray coating dan serat nanas dengan metode dip coating. Berikut adalah uraian tahapan keduanya. Coating ke Aluminium Foil Proses coating ini diawali dengan membagi slurry katalis komposit menjadi dua bagian. Bagian pertama digunakan untuk spray coating yang diencerkan sampai volume slurry mencapai 250 mL. Campuran kemudian diaduk dengan magnetic stirrer selama 15 menit dan disonikasi selama 10 menit dengan intensitas 100%. Campuran kemudian diaduk ke dalam alat spray coater. Penyemprotan dilakukan secara cepat selama 5 kali berturut-turut pada aluminium foil, lalu dikeringkan dengan dryer selama 5 menit. Tahapan penyemprotan diulang sebanyak 7 kali. Setelah itu, aluminium foil dikeringkan di dalam furnace selama 2 jam pada suhu 200ºC. Coating ke Serat Nanas Proses coating ini diawali dengan membagi slurry katalis komposit menjadi dua bagian. Bagian kedua digunakan untuk dip coating, yang diencerkan sampai volume 300 mL. Campuran kemudian diaduk dengan magnetic stirrer selama 15 menit, lalu disonikasi selama 10 menit dengan intensitas 100%. Campuran kemudian dibagi menjadi dua bagian yang sama banyaknya lalu dituangkan ke dalam wadah aluminium. Setelah itu, serat dicelupkan ke dalam campuran katalis komposit selama 5 menit dengan kecepatan penurunan selama
2 mm/s. Serat kemudian diangkat dengan kecepatan penaikan 2 mm/s, lalu serat dikeringkan dengan dryer selama 5 menit. Tahapan pencelupan ini diulang sampai 7 kali. Setelah itu, serat nanas dikeringkan di dalam furnace º selama 12 jam pada suhu 70 C. Uji Kinerja Masker Proses uji kinerja masker ini diawali dengan memasukkan masker yang akan diuji dan menutup kotak uji dengan lem mati. Ball valve pada saluran konektor kemudian dibuka. Gas analyzer, kemudian dinyalakan dan didiamkan selama 30 menit hingga kinerja analisis analyzer telah stabil. Kemudian, Ball valve pada saluran konektor kemudian ditutup. Sejumlah polutan dari asap kendaraan bermotor dimasukkan ke dalam kotak uji. Kemudian, konsentrasi awal polutan CO, NOx, dan HC dengan menekan tombol (X) pada analyzer. Angka konsentrasi polutan yang terbaca dicatat setelah menunggu sampai 15 detik. Pompa gas analyzer kemudian dimatikan dengan menekan tombol (O) untuk menghindari kevakuman kotak uji. Alat-alat yang digunakan pada uji kinerja masker dapat dilihat pada Gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Katalis Komposit dan Zeolit Alam Hasil Treatment Karakterisasi dengan XRF Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa zeolit alam Lampung treatment (ZAL-T) terdiri dari beberapa senyawa kimia dengan SiO2 dan Al2O3 sebagai penyusun utamanya, yaitu 94,77% untuk silika dan 3,41% untuk alumina. Untuk mengetahui lebih lengkapnya komposisi kimia ZAL-T dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Uji kinerja masker
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
209
Tabel 1. Hasil karakterisasi XRF pada ZAL-T Formula kimia Al Si K Ca Ti Fe
% Berat 3,0489 92,413 1,3587 0,9045 0,3785 1,8964
Formula kimia Al2O3 SiO2 K2O CaO TiO2 Fe2O3
% Berat 3,4103 94,7729 0,4933 0,3753 0,1838 0,7644
Dari Tabel 1, dapat dihitung rasio Si/Al dari ZAL-T yaitu 27,79. Proses treatment pada zeolit alam Lampung, ternyata berhasil meningkatkan secara signifikan rasio Si/Al zeolit alam yaitu dari 6,8 menjadi 27,79. Hal ini terutama diakibatkan oleh adanya proses dealuminasi dengan larutan HCl dalam rangkaian proses treatment zeolit alam Lampung. Karakterisasi dengan XRD Pada Gambar 2, yaitu pada spektrum TiO2 50%-AC 4,5 %-ZAL 45,5 % terlihat bahwa peak yang muncul di area θ ≥ 25o adalah peak milik TiO2. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan peak tersebut dengan peak referensi pada spektrum TiO2 P-25 Degussa pada Gambar 2. Pada TiO2 P-25 Degussa, peak yang muncul adalah peak anatase yang karakteristiknya berada pada sudut difraksi (2Theta) 25,4o, 38,1o, 48,2o, 53,9o, 55,1o (Dharma 2011). Pada Gambar 2, yaitu pada spektrum TiO2 50%-AC 4,5 %-ZAL 45,5 % terlihat adanya peak yang muncul di area 2θ = 23o. Peak tersebut bukanlah milik TiO2 karena TiO2 P-25 Degussa tidak memiliki peak di 2θ = 23o. Spektrum TiO2 P-25 Degussa
Karena struktur AC bukanlah kristal, dapat disimpulkan bahwa peak yang muncul pada katalis komposit TiO2-AC-ZAL di area 2θ = 23o adalah peak milik ZAL. Telah diketahui bahwa pada zeolit alam akan muncul peak pada sudut difraksi 10o, 23o, dan 30o (Hunger et al. 2010). Hal ini dapat dibuktikan dengan spektrum Zeolit Alam Lampung hasil treatment. Pada Gambar 2, yaitu pada spektrum zeolit alam Lampung hasil treatment terlihat adanya peak-peak yang muncul di 2-Theta 20oo o o 23 , 30 , 36 . Jika dibandingkan dengan spektrum referensi klinoptilolit dan mordenit, maka spektrum zeolit alam Lampung memiliki karakteristik peak tertinggi yang sama dengan dengan klinoptilolit. Berdasarkan referensi juga telah dinyatakan bahwa zeolit alam yang memiliki peak pada 10o, 23o, dan 30o adalah zeolit dengan struktur klinoptilolit (Tezel and Apolonatos 1993). Dapat disimpulkan bahwa zeolit alam Lampung yang digunakan adalah zeolit berstruktur klinoptilolit. Kemudian untuk peak yang muncul di Theta 20o-23o dan 36o juga menunjukkan bahwa ZAL-T yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kristal SiO2 dan AL2O3 yang tidak lain merupakan komponen penyusun utama dari zeolit. Karakterisasi dengan BET Dengan karakterisasi BET, dapat diketahui luas permukaan masing-masing komponen penyusun katalis komposit, yaitu TiO2, karbon aktif (AC), dan zeolit alam Lampung hasil treatment (ZAL-T). Selain itu, juga dapat dibandingkan luas permukaan masing-masing komponen dengan luas permukaan katalis komposit yang diperoleh. Berikut ini dapat dilihat perbandingannya pada Tabel 2. Tabel 2.
Luas permukaan katalis komposit dan komponen penyusunnya
Intensitas, cps
Spektrum TiO2 50%-AC 4,5%-ZAL 45,5 %
Jenis material
Spektrum Zeolit Alam Lampung Hasil Treatment Spektrum SiO2
Komposit TiO2-AC-ZAL TiO2 AC ZAL-T
Spektrum Al2O3
Spektrum Mordenit
Spektrum Klinoptilolit
a,d b
Gambar 2. Hasil karakterisasi XRD
c
Luas permukaan 2 (m /g) a
45,50 b 53,60 c 670 d 58,53
Diameter pori (Å) a
112,90 b 69 c 0-20 d 92,48
Hasil karakterisasi BET dari Lab RPKA, Teknik Kimia UI Sumber: Widyanto, 2009 Sumber: Deming, 2011
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
210
Komposit yang dianalisis dengan BET ini adalah komposit dengan komposisi TiO2 10%, AC 8,2%, dan ZAL-T 81,8%. Dari Tabel 2, dapat diketahui perubahan luas permukaan dari tiaptiap komponen, yaitu TiO2, AC, dan ZAL-T ketika ketiganya dicampur menjadi suatu komposit. Data pada Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa luas permukaan dari katalis komposit menjadi lebih kecil dibandingkan dengan komponenkomponen penyusunnya. Hasil karakterisasi BET yang didapat tidak sesuai dengan teori bahwa multikomponen dalam suatu komposit akan membuat partikel dari masing-masing komponen akan saling menempel, dan luas permukaan pun bertambah (Durgakumari et al. 2002). Seharusnya luas permukaan dari komposit minimal lebih besar dari luas permukaan terkecil dari komponennya 2 yaitu TiO2 sebesar 53,60 m /g. Fenomena penurunan luas permukaan pada komposit ini disebabkan karena adanya proses thermal treatment yang dilakukan saat sintesis katalis komposit. Karakterisasi dengan SEM dan EDX Karakterisasi SEM digunakan untuk melihat morfologi permukaan pada penyangga yaitu aluminium dan serat nanas yang dilapisi oleh katalis komposit TiO2-AC-ZAL. Sedangkan karakterisasi EDX digunakan untuk mengetahui kandungan unsur yang terdapat dalam komposit yang telah di-coating ke penyangga. Dalam penelitian ini, EDX dilakukan pada aluminium foil yang telah di-coating dengan komposit TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%. Berdasarkan Tabel 3 dan Gambar 3, dapat dilihat bahwa proses katalis komposit telah berhasil ter-coating ke aluminium foil (Gambar 3a) dengan spray coating. Kemudian komposit juga berhasil di-coating ke serat nanas (Gambar 3b) dengan dip coating. Dengan metode dip coating, katalis komposit berhasil tercoating pada fibril-fibril serat nanas baik pada fibril bagian luar maupun pada fibril yang ada di bagian dalam. Tabel 3. Hasil EDX pada aluminium foil Jenis atom C O Al Si Ti
Area 1 0,61 51,88 5,16 36,25 5,69
Jumlah atom hasil EDX (%) Jumlah atom Area 2 Area 3 Rata-rata 0,62 29,77 45,42 21,13 2,80
0,68 34,11 35,17 26,36 3,44
0,64 38,59 28,58 27,91 3,98
(a)
(b) Gambar 3. Hasil karakterisasi SEM katalis komposit yang tercoating pada penyangga; (a) aluminium foil dengan perbesaran 500 x (b) serat nanas dengan perbesaran 2000x.
Pengaruh Keberadaan Adsorben dan Fotokatalis Dalam penelitian ini, mekanisme yang diharapkan dapat mengeliminasi polutan adalah pada percobaan ini dibandingkan besar eliminasi polutan oleh keduanya. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Polutan CO Berdasarkan Gambar 4a, dapat disimpulkan bahwa ternyata keberadaan adsorben dan fotokatalis sangat berpengaruh dalam mengeliminasi polutan CO. Hal ini dapat dilihat dengan cara membandingkan kurva “Tanpa Adsorben & Tanpa Fotokatalis” dengan ketiga kurva lainnya yang melibatkan adsorben dan fotokatalis. Dar i G am bar 4a, t er l i hat bahwa m e k a n i sm e y a n g p a l i n g e f e k t i f d a l a m mengeliminasi polutan CO adalah secara fotokatalitik. Berikutnya dari Gambar 4a, juga dapat diketahui bahwa kinerja AC dan ZAL tidak jauh
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
211
Acuan Adsorpsi oleh ZAL Adsorpsi oleh AC
TiO2 [CO]o = 2800 ppm AC [CO]o = 7800 ppm ZAL [CO]o = 7800 ppm Tanpa Adsorben/Fotokatalis [CO]o = 7800 ppm
Fotokatalisis
Waktu (menit)
TiO2 [NOX]o = 4 ppm AC [NOX]o = 4 ppm ZAL [NOX]o = 4 ppm Tanpa Adsorben/Fotokatalis [NOX]o = 4 ppm
(a)
Waktu (menit)
(b)
Acuan Adsorpsi oleh AC Adsorpsi oleh ZAL Fotokatalisis
TiO2 [HC]o = 116 ppm AC [HC]o = 432 ppm ZAL [HC]o = 405 ppm Tanpa Adsorben/Fotokatalis [HC]o = 355 ppm
Waktu (menit)
(c) Gambar 4. Pengaruh adsorben dan fotokatalis pada eliminasi polutan (a) CO, (b) NOx, dan (c) HC
berbeda dalam mengeliminasi polutan CO, bahkan kinerja ZAL terlihat sedikit lebih baik dibanding AC. Hal ini membuktikan keberhasilan treatment ZAL dalam meningkatkan rasio Si/Al sehingga dapat mengadsorpsi CO dengan baik. AC dapat mengadsorpsi CO yang adalah senyawa polar dengan baik karena AC merupakan adsorben polar. Polutan NOx (lihat Gambar 4b) CO dan NOx sama-sama polar, sehingga sesuai dengan teori akan lebih tertarik dengan adsorben polar seperti zeolit alam Lampung. Hal ini ditunjukkan oleh kurva “ZAL” yang lebih cepat mengeliminasi NOx, yaitu sudah nol pada menit ke-20, dibanding dengan “TiO2” dan “AC” yang baru mencapai titik nol di menit ke-40. Fenomena yang ditunjukkan oleh kurva “ZAL” sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa zeolit merupakan adsorben yang memiliki performa sangat baik dalam mengadsorpsi NO x (Iman et al. 2011, Macala and Pandova 2007,
Panov et al. nd). Kemudian, fenomena yang ditunjukkan oleh kurva TiO2 juga diperkuat dengan teori bahwa konsentrasi NOx yang kecil menyebabkan potensi bertemunya molekul gas NOx dengan radikal hidroksil semakin rendah (Ao and Lee 2005). Polutan HC Berbeda dengan kedua polutan sebelumnya, HC merupakan polutan yang bersifat non polar, sehingga akan lebih tertarikdengan adsorben yang non-polar seperti karbon aktif. Hal ini ditunjukkan oleh kurva “AC” (lihat Gambar 4c) yang mengalami penurunan kurva yang sedikit lebih cepat dibanding dengan kurva “TiO2” dan “ZAL”. Dari Gambar 4c juga kita dapat melihat perbandingan kurva “AC” dan “ZAL” yang tidak jauh berbeda. Hal ini juga menguatkan indikasi bahwa zeolit yang telah ditreatment juga telah berhasil mengadsorp polutan non-polar dengan baik, dan kinerja ZAL dalam mengadsorp hidrokarbon (HC) juga tidak kalah dengan karbon aktif. Performa ZAL juga
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
212
cukup baik dalam mengadsorpsi HCx, sedangkan kemampuan zeolit mengadsorbsi HCx juga cukup baik (Muzara and Jacobus 2004). Pengaruh Komposisi Katalis Komposit terhadap Eliminasi Polutan Untuk mengetahui pengaruh komposisi katalis komposit (keterangan lihat Tabel 4) terhadap eliminasi polutan, maka pada percobaan ini dibandingkan banyaknya polutan yang dapat dieliminasi pada berbagai variasi katalis komposit. Hasil pengujian ini dapat dilihat
pada Gambar 5. Polutan CO Menurut Gambar 5a diketahui bahwa katalis komposit yang terbaik untuk mengeliminasi polutan adalah katalis komposit dengan komposisi TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa katalis komposit dengan komposisi TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8% adalah komposisi yang paling optimal dalam mengeliminasi polutan CO.
Tabel 4. Penotasian katalis komposit berdasarkan komposisinya Notasi katalis komposit TiO2 0 %-AC 9,1%-ZAL 90,9%
Arti notasi Komposit hanya terdiri dari 9,1 g (9,1% wt) AC; dan 90,9 g (90,9% wt) ZAL
TiO2 10 %-AC 8,2%-ZAL 81,8%
Komposit terdiri dari 1 g (10% wt) TiO2; 0,82 g (8,2% wt) AC; dan 8,18 g (81,8% wt) ZAL Komposit terdiri dari 3 g (10% wt) TiO2; 0,64 g (8,2% wt) AC; dan 6,46 g (81,8% wt) ZAL
TiO2 30 %-AC 6,4%-ZAL 64,6% TiO2 50 %-AC 4,5%-ZAL 45,5%
Komposit terdiri dari 5 g (10% wt) TiO2; 0,45 g (4,5% wt) AC; dan 4,55 g (45,5% wt) ZAL
Acuan TiO2 10% TiO2 0% TiO2 30% TiO2 50%
[CO]o = 7800 ppm [CO]o = 4200 ppm [CO]o = 4200 ppm [CO]o = 7800 ppm
TiO2 0% -AC 9,1 %-ZAL 90,9 % TiO2 10%-AC 8,2 %-ZAL 81,8 % TiO2 30%-AC 6,4 %-ZAL 64,6 % TiO2 50%-AC 4,5 %-ZAL 45,5 %
TiO2 0% -AC 9,1 %-ZAL 90,9 % TiO2 10%-AC 8,2 %-ZAL 81,8 % TiO2 30%-AC 6,4 %-ZAL 64,6 % TiO2 50%-AC 4,5 %-ZAL 45,5 %
(a)
[NOX]o = 4 ppm [NOX]o = 4 ppm [NOX]o = 4 ppm [NOX]o = 4 ppm
(b) Acuan TiO2 10%
TiO2 30%
TiO2 0%
Keterangan untuk gambar (a), (b), dan (c)
TiO2 50%
TiO2 0% -AC 9,1 %-ZAL 90,9 % TiO2 10%-AC 8,2 %-ZAL 81,8 % TiO2 30%-AC 6,4 %-ZAL 64,6 % TiO2 50%-AC 4,5 %-ZAL 45,5 %
[HC]o = 390 ppm [HC]o = 201 ppm [HC]o = 191 ppm [HC]o = 355 ppm
(c) Gambar 5. Pengaruh komposisi katalis komposit pada eliminasi polutan (a) CO, (b) NOx, (c) HC
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
213
Berikutnya dari Gambar 5a juga dapat diketahui bahwa kinerja komposit yang hanya melibatkan adsorben saja itu sama dengan kinerja komposit yang melibatkan fotokatalis dan adsorben pada komposisi TiO2 30%-AC 6,4%-ZAL 64,6%. Artinya penambahan loading TiO2 > 30% pada katalis komposit tidak akan berpengaruh dalam meningkatkan persen eliminasi polutan CO. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa pada level tertentu loading TiO2 tidak akan berpengaruh dalam peningkatan laju fotodegradasi (Durgakumari et al. 2002). Polutan NOx Berdasarkan Gambar 5b, diketahui bahwa komposit yang paling baik kinerjanya dalam mengeliminasi polutan NOx adalah katalis komposit dengan komposisi TiO2 10%-AC 8,2%ZAL 81,8%. Mekanisme fotokatalisis bersinergi dengan mekanisme adsorpsi dalam mengeliminasi polutan (Matos et al. 2010). Dengan adanya mekanisme fotokatalisis, maka polutan yang teradsorb di adsorben dapat segera didegradasi, sehingga daya adsorpsi dari adsorben pun tidak akan menurun. Akibatnya, laju eliminasi oleh katalis komposit lebih cepat dibanding dengan eliminasi oleh adsorben saja. Berdasarkan tren grafik yang terdapat pada Gambar 5b, dapat disimpulkan bahwa ternyata komposit dengan loading (jumlah) TiO2 yang paling sedikit memiliki kinerja yang semakin baik. Semakin banyak loading TiO2 dalam katalis komposit ternyata tidak dapat menambah efektivitas katalis komposit tersebut dalam mengeliminasi polutan NOx. Polutan HC Dari Gambar 5c terlihat secara jelas terdapat dua macam komposit yang unggul dalam mengeliminasi polutan hidrokarbon, yaitu komposit yang hanya terdiri dari adsorben saja, atau komposit TiO2 0%-AC 9,1%-ZAL 90,9% dan komposit yang terdiri dari campuran adsorben dan fotokatalis dengan komposisi TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%. Hal ini dapat dilihat dari kedua kurva komposit tersebut yang hampir berhimpitan setelah menit ke 60. Fenomena kedua kurva ini juga dapat menggambarkan mekanisme eliminasi yang terjadi dalam proses eliminasi polutan hidrokarbon. Jika diamati, tren kurva katalis komposit “TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%” pada range waktu 0 ≤ t < 30 menit memiliki penurunan konsentrasi yang tidak signifikan dibanding dengan kurva “TiO2 0%-AC 9,1%-ZAL 90,9%”, sampai akhirnya kedua kurva ini mencapai
tingkat eliminasi polutan yang sama pada menit ke-30. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme fotokatalitik sangat berperan untuk meningkatkan kinerja komposit dalam mengeliminasi polutan dalam waktu yang lama, sedangkan mekanisme adsorpsi menjadi mekanisme utama yang berperan dalam mengeliminasi polutan pada menit-menit awal. Penentuan Loading TiO2 Optimal untuk Eliminasi Polutan Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat pengaruh dari loading TiO2 pada katalis komposit untuk setiap gas polutan. Terlihat dari trendline kurva “Gas CO” (lihat kurva berwarna merah) dan kurva “Gas HC” (lihat kurva berwarna hijau) bahwa ternyata kinerja katalis komposit tidak dipengaruhi oleh loading TiO2. Berdasarkan bentuk grafik pada Gambar 6, dapat dinyatakan bahwa semakin banyak persentase adsorben dibanding fotokatalis pada katalis komposit, maka mekanisme eliminasi yang lebih dominan adalah adsorpsi yang ditunjukkan oleh Area I pada Gambar 6, sedangkan jika persentase fotokatalis lebih banyak dibanding adsorben, maka mekanisme yang lebih dominan adalah fotokatalisis yang ditunjukkan oleh Area II pada Gambar 6 (Durgakumari et al. 2002). Jika titik puncak minimum dari masingmasing trendline disebut sebagai lowest performance point (LPP), maka titik tersebut adalah titik yang menunjukkan komposit dengan komposisi yang paling tidak optimal. Namun, LPP bisa menjadi komposisi optimal komposit ketika aspek kesehatan dan lifetime ikut dipertimbangkan. Jika, masker hanya terdiri dari adsorben saja, tentu polutan tidak akan dapat terdegradasi.
Area I
Dominan adsorpsi
Area II
Dominan fotokatalisis
Gambar 6. Grafik pengaruh loading TiO2 pada katalis komposit terhadap % eliminasi polutan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
214
Kemudian, masker yang berupa komposit dari fotokatalis dan adsorben akan memiliki lifetime yang lebih lama karena polutan yang teradsorp dapat segera didegradasi oleh fotokatalis, sehingga adsorben pun menjadi tidak cepat jenuh, dan lifetime masker pun menjadi lebih lama. Pengaruh Berat Total Katalis Komposit terhadap Eliminasi Polutan Dalam penelitian ini, juga dilakukan uji kinerja katalis komposit dengan variasi berat katalis. Katalis komposit yang digunakan adalah TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%. Ada dua variasi berat katalis yang digunakan yaitu 6,7 gram dan 10 gram. Dari Gambar 7, dapat disimpulkan bahwa semakin berat katalis komposit yang digunakan maka semakin meningkat kinerja katalis komposit tersebut dalam mengeliminasi polutan. Hal ini berhubungan dengan mekanisme itu sendiri, sampai batas tertentu, semakin berat katalis komposit, maka TiO2, AC, dan ZAL yang melekat pada penyangga, yaitu aluminium foil dan serat nanas, juga akan semakin banyak. Dengan demikian, agen pengeliminasi polutan, baik itu adsorben maupun fotokatalis juga akan semakin banyak. Jumlah adsorben yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan sehingga daya adsorpsi pun semakin meningkat. Begitu juga dengan fotokatalis, semakin banyak fotokatalisnya maka hole dan radikal hidroksi yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Kedua mekanisme eliminasi ini akan saling bersinergi sehingga dapat meningkatkan persentase eliminasi polutan.
Pengaruh Konsentrasi Awal Polutan terhadap Eliminasi Polutan Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi awal polutan terhadap eliminasi polutan, maka pada percobaan ini dibandingkan banyaknya polutan yang tereliminasi pada berbagai variasi konsentrasi awal polutan. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa semakin banyak konsentrasi awal, maka % eliminasinya pun semakin banyak. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme dominan yang membantu peningkatan % eliminasi polutan ketika jumlah polutan itu semakin banyak. Karakteristik eliminasi seperti ini merupakan karakteristik yang dimiliki oleh adsorpsi. Laju adsorpsi suatu gas pada adsorben padatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya luas permukaan dari adsorben, sifat dari gas yang akan diadsorb, temperatur, dan tekanan. Dari keempat faktor tersebut, yang berkaitan langsung dengan jumlah polutan adalah tekanan. Ketika jumlah polutan semakin meningkat, maka tekanan juga akan meningkat. Pada temperatur yang konstan, maka adsorpsi gas juga akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan tekanan. Kemudian, pada temperatur yang rendah, misalnya temperatur ruang, dengan kenaikan sedikit tekanan saja mampu meningkatkan adsorpsi gas dengan sangat signifikan. Kinetika Reaksi Degradasi CO, NOx, dan HC secara Fotokatalitik Mekanisme degradasi polutan CO, NOx, dan HC mengikuti mekanisme LangmuirHinselwood (Hwang et al. 2003, Kachina and Anna 2008, Hunger et al. 2010) seperti pada persamaan 1. r
dC kKC dt 1 KC
(1)
Untuk mendapatkan persamaan kinetik eliminasi polutan, nilai ro dihitung untuk setiap konsentrasi awal polutan. Berdasarkan data eliminasi polutan pada setiap konsentrasi awal polutan, dapat diregresi grafik seperti pada Gambar 7 dalam bentuk persamaan 2. y = a1xn + a2xn-1+…+a4x + a5
(2)
Jika persamaan 2 diturunkan akan menjadi: Gambar 7. Konsentrasi awal polutan CO untuk masing-masing katalis dibuat sama yaitu 4200 ppm.
dy na1x n 1 (n 1)a 2 x ( n 2) ... a 4 dx
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
(3)
215
[CO]o (ppm) 2300 4200 14600
ro polutan (ppm/menit) 29,43 44,04 133,10
[NOx]o (ppm)
ro polutan (ppm/menit)
4 9 24
0,103 0,210 0,511
Waktu (menit)
Waktu (menit)
(a)
(b)
[HC]o (ppm) 127 410 438
ro polutan (ppm/menit) 2,515 5,890 6,412
Jenis Polutan CO
[CO]o (ppm) 2300 4200 14600
Jenis Polutan NOx
[NOx]o (ppm) 4 9 24
Jenis Polutan HC
[HC]o (ppm) 127 410 438
Persamnaan kurva regresi [CO] = 0,180 t2 – 29,43 t + 2286 [CO] = 0,256 t2 – 44,04 t + 4153 [CO] = 0,532 t2 – 133,1 t + 15108 Persamnaan kurva regresi -6 3
2
[NOx] = - 4.10 t + 0,001 t – 0,103 t + 2,428 [NOx] = - 3.10-6 t3 + 0,001 t2 – 0,210 t + 9,415 [NOx] = - 5.10-6 t3 + 0,002 t2 – 0,511 t + 27,55
R2 0,976 0,991 0,990 R2 0,574 0,912 0,931
Persamnaan kurva regresi
R2
[HC] = 0,055 t2 – 6,412 t + 436 [HC] = 0,047 t2 – 5,890 t + 399,8 [HC] = 2.10-10 t6 - 1.10-7 t5 + 2.10-5 t4 – 0,002 t3 + 0,101 t 2 – 2,515 t + 125,9
0,981 0,988 0,989
Waktu (menit)
(c) Gambar 8. Grafik C vs t pada setiap konsentrasi awal gas (a) CO, (b) NOx, dan (c) HC
Karena sumbu y pada grafik adalah C (konsentrasi), sedangkan sumbu x pada grafik adalah t (waktu), maka persamaan 2 akan menjadi sama dengan persamaan 4 berikut: dC na 1t n 1 (n 1)a 2 t ( n 2 ) ... a 4 dt
( 4)
Untuk menghitung ro, nilai t pada persamaan 4 harus disubtitusi dengan 0, sehingga nilai ro yang didapat akan sama dengan nilai –a4 (lihat persamaan 1). 1 1 1 1 r kK C k
(5)
Dengan menggunakan persamaan 5 yang dimodifikasi dari persamaan 1, maka nilai nilai k (konstanta kesetimbangan laju reaksi) dan K (konstanta adsorpsi Langmuir) dapat dihitung, yaitu dengan membuat grafik invers dari ro terhadap invers Co untuk setiap polutan. Dengan
memasukkan nilai k dan K ke persamaan persamaan 1, maka persamaan laju reaksi pun didapatkan, seperti terlihat pada Tabel 5. Perhitungan Waktu Degradasi Dengan mengintegralkan persamaan laju degradasi pada Tabel 6, maka didapatkan persamaan waktu degradasi polutan hingga baku mutunya, yaitu berdasarkan KepMen KLH No.41/MENKLH/1999 adalah 20 ppm untuk gas CO, 0,05 ppm untuk gas NOx, dan 0,24 ppm untuk gas HC. Dengan memvariasikan nilai Co (konsentrasi awal) tiap polutan pada hasil pengintegralan persamaan laju reaksi, maka didapatkan grafik waktu degradasi sebagai fungsi konsentrasi awal polutan. Dari grafik tersebut kemudian, dapat diregresi persamaan waktu degradasi polutan hingga baku mutu sebagai fungsi konsentrasi awal polutan seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
216
Tabel 5. Nilai k, K, dan persamaan laju degradasi polutan K -1 (ppm )
Persamaan Laju Degradasi
Polutan
k (ppm/menit)
CO
3,333x10
4,175x10
NOx
1,961
1,379x10
HC
1,613x10
2
1
-5
r
dC (1,390x10 2 )C dt 1 ( 4,175x10 5 )C
-2
r
dC (2,700 x10 2 )C dt 1 (1,379 x10 2 )C
-3
r
dC ( 2,350x10 2 )C dt 1 (1,455x10 3 )C
1,455x10
Tabel 6. Persamaan waktu degradasi setiap polutan Gas Polutan
Persamaan waktu degradasi, dengan t = waktu (jam); [X]o konsentrasi awal polutan X (ppm)
CO
t = 1,200*ln [CO]o – 3,598
NOx
t = 0,618*ln [NOx]o + 1,851
HC
t = 0,712*ln [HC]o + 1,014
Dengan persamaan pada Tabel 6, dapat dihitung untuk polutan CO, dengan konsentrasi polutan di Jakarta pada tahun 2011, misalnya di sekitar Bundaran HI mencapai 50 ppm sampai 75 ppm per hari, dibutuhkan waktu 66 menit sampai 95 menit untuk mengeliminasi sampai ke tingkat baku mutu, yaitu 20 ppm (Dharma 2011). Kemudian, untuk polutan NOx dengan kadarnya di jalan mencapai 0,15 ppm sampai 0,30 ppm di sekitar Stasiun Thamrin, Jakarta (Saepudin dan Admono 2005), dibutuhkan waktu 41 menit sampai 66 menit untuk mengeliminasi polutan hingga ke titik baku mutunya, yaitu 0,05 ppm (Dharma 2011). Selanjutnya, untuk polutan HC dengan kadar di jalan mencapai 3 ppm sampai 5 ppm di sekitar Stasiun Thamrin, Jakarta (Saepudin dan Admono 2005), dibutuhkan waktu 108 sampai 130 menit untuk mengeliminasi HC sampai ke baku mutu, yaitu 0,24 ppm (Dharma 2011). Oleh karena itu, masker anti polutan ini juga dinilai layak difungsikan untuk mengeliminasi CO, NOx, dan HC. KESIMPULAN Katalis komposit yang terdiri dari titania, karbon aktif, dan zeolit alam Lampung (TiO2-ACZAL) dapat mengeliminasi polutan CO, NOx, dan HC secara simultan, sehingga bisa diaplikasikan sebagai bahan masker. Pada berbagai komposisi, komposit tersebut dapat
mengeliminasi polutan dengan baik meskipun kinerja optimalnya tergantung pada komposisinya. Komposisi terbaik untuk mengeliminasi ketiga polutan tersebut adalah TiO2 10%-AC 8,2%-ZAL 81,8%. Semakin banyak jumlah komposit dalam masker (hingga 10 gram), maka kinerja masker semakin efektif. Begitu pula semakin banyak konsentrasi awal polutan maka laju eliminasi polutan semakin besar, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai batas baku mutu lebih lama. Masker anti polutan yang direkayasa sudah cukup layak untuk mendegradasi polutan CO, NOx, dan HC secara simultan, sehingga potensi aplikasinya cukup menjanjikan. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), yang telah membiayai sebagian kegiatan penelitian ini melalui proyek PKMP (Program Kreatifitas Mahasiswa-Penelitian) Tahun Anggaran 2011. DAFTAR PUSTAKA Alfat MA. 2009. Rekayasa alat dan uji kinerja katalis komposit TiO2-adsorben alam untuk degradasi polutan asap rokok. Skripsi. Universitas Indonesia. Amora MR, Canabrava DV, Bastos NM, Torres AEB, Cavalcante CL, Azevero DCS. 2009. Equilibrium adsorption of binary mixtures of light hydrocarbons in activated carbon. Latin American Applied Research (no. 39): 153-156. Ao CH, Lee, SC. 2005. Indoor air purification by photocatalyst TiO2 immobilized on an activated carbon filter installed in an air cleaner. Chemical Engineering Science (no.60): 103-109.
Rekayasa Masker Anti Polutan …………………... Slamet dkk
217
Chun OW. 2008. Effect of Fe contents in FeAC/TiO2 composites on photodegradation behaviors of methylene blue. Journal of the Korean Ceramic Society 45(6): 324-330. Despres Joel. 2003. Adsorption and catalytic oxidation of nitrogen monoxide in lean exhaust for future automotive DeNOx techniques. Thesis. University Louis Pasteur. Dharma A. 2011. Baku Mutu Lingkungan dan Mekanisme Pemantauan. Bahan Kuliah Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Jakarta: Universitas Gunadarma. Durgakumari V, Subrahmanyam M, Subba RKV, Ratnamala A, Noorjahan M, and Keiichi T. 2002. An easy and efficient use of TiO2 supported HZSM-5 and TiO2+HZSM-5 zeolite combinate in the photodegradation of aqueous phenol and p-chlorophenol. Applied Catalysis A: General (no.234): 155-165. Hunger M, Husken G, Brouwers HJH. 2010. Photocatalytic degradation of air pollutants – from modeling to large scale application. Cement and Concrete Research (no. 40): 313-320. Hwang S, Myung CL, Wonyong Choi. 2003. Highly enhanced photocatalytic oxidation of CO on titania deposited with Pt nano particles: kinetics and mechanism. Applied Catalysis B: Enviromental (no. 46): 49-63. Ichiura H, Kitaoka T, Tanaka H. 2002. Preparation of composite TiO2-zeolite sheets using a papermaking technique and their application to environmental improvement. Journal of Materials Science (no. 37): 2937-2941. Iman YC, Candra DB, Sumardi S. 2011. Lampung zeolite utilization as gas emission adsorbant on charcoal making process. International Journal of Civil and Environmentl Engineering 11(2): 60-67. Kachina, Anna. 2008. Gas-phase photocatalytic oxidation of volatile organic compound. Thesis. Lappeenranta University of Technology. Finland. Macala J, Pandova I. 2007. Natural zeolite clinoptilolite-raw material serviceable in the reduction of toxical components at combustion engines noxious gases. Gospodarka Surowcami Mineralnymi (no. 23).
Matos J, Garcia A, Chovelon JC, Ferronato C. 2010. Combination of adsorption on activated carbon and oxidative photocatalysis on TiO2 for gaseous toluene remediation. The Open Materials Science Journal (no.4): 2325. Muraza O, Jacobus CJ. 2004. An exploratory study for zeolite membrane application in hydrocarbon separation. Journal of the Indonesien Oil and Gas Community. Ngamsopasiriskun C, Saijai C. 2010. Removal of phenol in aqueous solution by nanocrystallyine TiO2/acivated carbon composite catalyst. Natural Science (no.44): 1176-1182. Panov AG, Tonkyn R, Yoon SA, Barlow S, Balmer ML (n.d.). NOx reduction behaviour of alumina and zeolite catalysts in combination with nonthermal plasma. Pacific Northwest National Laboratory. Saepudin A, Admono T. 2005. Kajian Pencemaran Udara Akibat Emisi Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta. Jurnal Teknologi Indonesia 28. Suwardi, Mulyanto B. 2010. Prospek zeolit sebagai bahan penyerap dalam remediasi lahan bekas tambang. Presentasi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Tezel FH, Apolonatos G. 1993. Gas Sep. Purif 7 (1): 11.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 207-218
218
SINTESIS HIDROKSIAPATIT BERPORI DENGAN POROGEN KITOSAN DAN KARAKTERISASINYA (SYNTHESIS OF HYDROXYAPATITE POROUS WITH CHITOSAN POROGEN AND ITS CHARACTERIZATION)
Sulistioso GS1, Deswita1, Armi Wulanawati2, dan Ayu Romawati2 1)
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan 2) Dept. Kimia – FMIPA IPB E-mail :
[email protected] Received 27 Januari 2012; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Telah dilakukan sintesis hidroksiapatit (HAp) berpori dengan porogen kitosan, menggunakan metode sol gel. HAp disintesis dari kalsium yang direaksikan dengan asam fosfat. Kalsium yang digunakan diekstrak dari cangkang telur ayam dan asam fosfat teknis. Kitosan sebagai porogen merupakan material yang biokompatibel, sehingga aman bagi tubuh manusia, karena hidroksiapatit digunakan untuk merekonstruksi tulang yang rusak. Analisis sampel dilakukan dengan menggunakan X-ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), dan Simulated Body Fluid (SBF). Pola difraksi hidroksiapatit menunjukkan terbentuknya HAp dengan kemurnian tinggi dengan seluruh puncak yang muncul adalah puncak HAp. Dari foto-foto SEM menunjukkan telah terbentuk pori-pori dengan ukuran 1 sampai 2 mikrometer, uji pelepasan Ca pada SBF menunjukkan kondisi negatif setelah pengamatan selama 21 hari. Kata kunci : Hidroksiapatit, Porogen kitosan, Sol-gel, Cangkang telur.
ABSTRACT Synthesis of hydroxyapatite (HAp) porous with chitosan porogen, using sol gel method was carried out. HAp is synthesized from calcium reacted with phosphoric acid while calcium used was extracted from chicken eggshell. Chitosan was selected as a porogen which being as a biocompatible material, and safe for the human body, because the application of hydroxyapatite is to reconstruct the damaged bone. Sample analysis was performed by using X-ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), dan Simulated Body Fluid (SBF). Characterization by XRD shows the diffraction pattern of hydroxyapatite formed with high purity HAp with a peak that appears entirely is the culmination HAp. SEM photos show pores with a size of 1 until 2 micrometers are formed, the release of Ca test in SBF showed a negative condition after observation for 21 days. Key words : Hydroxyapatite , Chitosan porogen, Sol-gel , Eggshell.
PENDAHULUAN Pemilihan biomaterial yang tepat sangat diperlukan dalam proses pengganti tulang, antara lain mudah diperoleh, biokompatibel, bioaktif, dan tidak toksik (Riyani 2005). Material pengganti tulang yang umum digunakan adalah autograf (penggantian satu bagian tubuh dengan
bagian tubuh lainnya dalam satu individu), allograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari manusia lain), xenograf (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari hewan). Namun, material
Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit …………………... Sulistioso GS dkk
219
pengganti tulang ini biasanya tersedia dalam jumlah terbatas (Ratih et al. 2003). Adanya keterbatasan dalam setiap material, memicu perkembangan riset dibidang biomaterial. Hingga saat ini studi mengenai biomaterial terus berkembang, terutama material hidroksiapatit (HAp) yang merupakan senyawa mineral dan bagian dari kelompok mineral apatit, dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 . Sebagai suatu bahan keramik yang memiliki kesamaan komposisi kimia dengan jaringan tulang (Bahrololoom et al. 2009). HAp dapat diperoleh dari sumber alami atau melalui sintesis kimia. Material HAp dapat disintesis dengan menggabungkan sumber Ca dan P dengan nisbah Ca/P sebesar 1,67 (Prabakaran et al. 2005). HAp memiliki sifat biokompatibel dan bioaktif. Akhir-akhir ini, berkembang penelitian pada morfologi HAp berpori dan HAp berpori telah digunakan dalam aplikasi biomedis khususnya regenerasi jaringan tulang, pada seminar sehari Biomaterial yang diadakan oleh PTBIN – BATAN pada tanggal 12 Oktober 2011 DR. Fauzi Kamal spesialis orthopedi dari RSCM mengatakan bahwa hidroksiapatit berpori sangat efektif untuk merekonstruksi tulang yang rusak, karena pori-pori dari HAp akan menjadi pemicu tumbuhnya sel-sel tulang baru, saat ini hidroksiapatit berpori masih impor dan harganya mencapai 10 juta rupiah untuk 5 gram. Pembentukan HAp berpori dapat dilakukan menggunakan bahan porogen yang akan menghilang selama proses kalsinasi. Bahanbahan yang dapat digunakan sebagai porogen antara lain parafin, naftalena, pati atau beberapa polimer seperti polylactic acid (PLA), polyglycolic acid (PGA), gelatin, alginat, dan kitosan (Sopyan 2007). Pada penelitian ini digunakan kitosan sebagai porogen karena kitosan adalah polimer alam yang memiliki sifat biodegradabel, tidak beracun, dan biokompatibel (Kim et. al 2007). Kitosan dapat diperoleh dari deasetilasi kitin dan tersusun atas unit berulang 2-amino-2-deoksi-Dglukopiranosa yang terhubung oleh ikatan β-1,4 glikosida. Sintesis hidroksiapatit dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode kering dan basah (Aoki 1991). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode basah yaitu metode sol gel. Menurut Madhavi et al. (2005), keuntungan menggunakan metode sol gel dalam prosesnya akan menghasilkan HAp yang memiliki kemurnian yang cukup tinggi. Proses sol gel diawali dengan pembentukan koloid yang memiliki padatan tersuspensi di dalam
larutannya (kondisi ini disebut sol). Sol ini kemudian akan mengalami perubahan fasa menjadi gel, yaitu koloid yang memiliki fraksi solid yang lebih besar daripada sol. Gel ini akan mengalami perubahan fasa padat menjadi keras, dan selanjutnya dipanaskan untuk membentuk keramik (Dawnay 1997). BAHAN DAN METODE Preparasi Larutan Kitosan Larutan kitosan dibuat melalui modifikasi metode Kim (2007). Larutan kitosan 4% dibuat dengan melarutkan 4 gram serbuk kitosan ke dalam larutan asam asetat 2% sebanyak 100 mL. Larutan ini diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm pada suhu kamar selama 3 jam kemudian didiamkan selama 24 jam untuk melarutkan kitosan. Preparasi Cangkang Telur Tahap pertama, cangkang telur ayam dicuci, untuk menghilangkan kotoran di permukaan, kemudian lapisan membran di bagian dalam cangkang telur ayam dihilangkan. Tahap selanjutnya cangkang telur yang sudah bersih dipanaskan di dalam furnace pada temperatur 1000°C, selama 6 jam (Pankaew 2010). Sintesis HAp Berpori Serbuk cangkang telur yang ditambahkan 50 mL etanol 96% kemudian dicampurkan dengan 3 mL H3PO4 80% yang dilarutkan dalam 50 mL etanol 96% dilakukan dengan penetesan dari buret sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian ke dalam campuran tersebut ditambahkan larutan kitosan dengan cara diteteskan dengan menggunakan buret. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm pada suhu 37°C selama 4 jam untuk mendapatkan campuran larutan yang homogen kemudian dipanaskan dalam media air bersuhu 60°C selama 1 jam. Setelah itu larutan diendapkan dalam suhu kamar selama 24 jam, kemudian diaduk pada suhu 60°C sampai larutan berubah menjadi gel. Gel yang diperoleh dipanaskan dalam furnace pada suhu 1000°C selama 5 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme Terjadinya Pori Larutan kitosan dicampurkan ke dalam campuran CaO dan H3PO4, kemudian dipanaskan, pada saat suhu mencapai diatas
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 219-224
220
100°C, campuran CaO dan H3PO4 membentuk cluster, karena kitosan tidak larut di dalam campuran CaO dan H3PO4, maka larutan kitosan terjebak di dalam cluster-cluster tersebut (Gambar 1a dan Gambar 1b). Selama proses pemanasan campuran CaO dan H3PO4 akan bereaksi membentuk fasa stabil hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2, dan kitosan yang terjerab akan terurai. Reaksi lengkap pembentukan hidroksiapatit : 10CaCO3+6H3PO4
Ca10(PO4)6(OH)2+10CO2+8H2O…..(1)
Kitosan akan terbakar pada suhu 600°C dan terurai menjadi unsur-unsurnya pada suhu 1000°C. Sehingga pada pemanasan 1000°C, kitosan akan menghilang dan akan meninggalkan pori-pori pada HAp (Gambar 1b) (Ramli et al 2011). Karakterisasi Kitosan yang digunakan berasal dari Departemen Biokimia IPB, yang dibuat dari kulit udang. Gambar struktur molekul kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.
Pola Difraksi dari Kitosan Gambar pola difraksi dari kitosan pada Gambar 3 adalah sama dengan gambar pola difraksi selulosa pada umumnya, kitosan yang digunakan pada penelitian ini mempunyai derajat kristalinitas 68%, yang dihitung dari luas puncak area kristal dibandingkan luas area amorf. Pola Difraksi dari Cangkang Telur Ayam Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan pola difraksi dari cangkang telur ayam sebelum dan setelah dipanaskan. Sebelum dipanaskan tampak bahwa fasa dari cangkang telur ayam adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dan setelah dipanaskan pada suhu 1000°C, selama 6 jam, fasanya berubah menjadi CaO saja. Pola difraksi dari hidroksiapatit yang disintesis dari CaO yang diekstrak dari cangkang telur ayam dan direaksikan dengan H3PO4 teknis ditunjukkan pada Gambar 6. Kedua bahan tersebut di atas mudah didapat dan relatif murah, dan hasil yang didapat sudah murni. Pada umumnya hasil hidroksiapatit yang disintesis dari CaO dan H3PO4, masih menyisakan fasa CaO atau fasa apatit yang lain, tapi dari pola difraksi di bawah ini, tidak tampak fasa CaO ataupun fasa-fasa apatit yang lain. Keberadaaan dari fasa-fasa lain tetap masih mungkin, tapi ordenya dibawah 1%, karena difraksi sinar X yang ada di BBIN, tidak dapat mendeteksi fasa-fasa yang ordenya kecil. Pola difraksi pada Gambar 6 adalah pola difraksi dari hidroksiapatit yang sudah berpori, dengan porogen kitosan, ternyata keberadaan kitosan selama proses terjadinya pori, sampai seluruh kitosan hilang tidak mempengaruhi terjadinya fasa hidroksiapatit yang murni. Pola Difraksi Hidroksiapatit Analisis terjadinya pori pada hidroksiapatit diamati dengan Scanning Electron Microscopy. 350 300
Gambar 1. Mekanisme terjadinya pori Intensitas
250 200 150 100 50 0 0
20
40
60
80
2 tetha
Gambar 2. Struktur molekul kitosan (Hale 1986)
Gambar 3. Pola difraksi kitosan
Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit …………………... Sulistioso GS dkk
221
Gambar 4. Pola difraksi cangkang telur sebelum dipanaskan
Gambar 5. Pola difraksi cangkang telur setelah dipanaskan
600
+
500
+ HAp
Intensitas
400 + 300 + +
200
+ +
+
+
+
100
+
+ + +
+
+
+
+ +
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2 theta
Gambar 6. Difraksi hidroksiapatit berpori
Mekanisme terjadinya pori seperti pada penjelasan di atas, maka jumlah porogen akan mempengaruhi jumlah pori dan ukuran pori, tapi metode pembuatan HAp berpori yang dilakukan pada penelitian ini, penambahan jumlah porogen kitosan cenderung menambah jumlah pori, dibandingkan perbesaran ukuran pori. Atau dengan kata lain penambahan jumlah porogen kitosan, akan cenderung berpengaruh terhadap kuantitas pori dibandingkan kualitas pori. Karena semakin banyak jumlah porogen kitosan akan semakin banyak terjadi ”cluster” penjerab kitosan, tapi tidak menambah volume kitosan yang terjerab. Gambar 7 menunjukkan hidroksiapatit berpori dengan porogen kitosan. Tampak bahwa ukuran pori masih bervariasi, tapi hanya berkisar antara 1 sampai 2 µm.
Analisa Kandungan Ca Sampel direndam dalam larutan Simulated Body Fluid yang pada penelitian ini digunakan larutan infuse 0,9 NaCl dari pabrik Otsuka, setelah 6 hari perendaman didapat konsentrasi kalsium yang lebih besar dari konsentrasi kalsium dalam larutan SBF awal. Peningkatan konsentrasi kalsium dikarenakan adanya sampel yang direndam dalam larutan 2+ SBF, dimana ion Ca yang terkandung dalam sampel dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam larutan SBF. Dalam hal ini, terjadi pelepasan ion Ca2+ dari sampel dan larut dalam pelarut SBF. Penurunan konsentrasi kalsium terkait dengan pertumbuhan lapisan apatit pada sampel. Setelah 7 hari perendaman terjadi pengendapan kal sium pada sampel yang
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 219-224
222
(a). Hidroksiapatit tanpa porogen pori
Gambar 8. Variasi konsentrasi kalsium larutan SBF terhadap lamanya waktu perendaman
Gambar 8 memperlihatkan bahwa pada sampel yang memiliki porositas, konsentrasi Ca setelah perendaman 6 hari tercatat 8,3146 ppm, setelah 13 hari perendaman tercatat 7,3932 ppm, dan turun dengan drastis setelah perendaman 21 hari yaitu menjadi 0,8483 ppm. Hal ini menjelaskan bahwa pembentukan lapisan apatit pada permukaan HAp berpori berlangsung sangat cepat. Sedangkan pada HAp kontrol yang tidak memiliki porositas, terjadi penurunan konsentrasi kalsium yang tidak signifikan setelah 6 hari, 13 hari, dan 20 hari perendaman.
(b). Hidroksiapatit berpori pori
KESIMPULAN Sintesis hidroksiapatit berpori dengan bahan baku CaO yang diekstrak dari cangkang kulit telur dan H3PO4 teknis, dengan porogen kitosan berhasil dibuat dengan metode sol gel. Karakterisasi dengan XRD menunjukkan bahwa HAp berpori yang diperoleh sudah terbentuk fasa HAp murni. Analisis morfologi dengan SEM memperlihatkan HAp berpori dengan ukuran pori 1 sampai 2 µm. Uji in vitro menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukkan lapisan apatit setelah 21 hari perendaman dalam larutan SBF.
(c) Hidroksiapatit berpori Gambar 7. Foto-foto hidroksiapatit berpori
merupakan langkah awal dalam pertumbuhan apatit (Vijayalakshmi and Rajeswari 2006). HAp berpori menunjukkan potensi yang sangat baik untuk membentuk lapisan apatit di permukaannya. Karena adanya pori maka akan memudahkan pertukaran ion dari sampel dengan larutan SBF.
DAFTAR PUSTAKA Aoki, H. 1991. Science and medical application of hydroxyapatite. JAAS: Tokyo, Japan. Bahrololoom ME, Javidi M, Javadpour S, Ma J. 2009. Characterisation of natural hydroxyapatite extracted from bovin cortical bone ash. Journal of Ceramic Processing Research 10(2): 129-138. Dawnay EJC. 1997. Growth and characterization of semiconductor nanoparticles in
Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit …………………... Sulistioso GS dkk
223
porous sol-gel film. England: Departement of Elecrical and Electronic Engineering, Imperial College. Hale A.J. 1986. Chitin as a raw material for product development. Applied biotechnology. World Biotech Report 1, London. Hong Sun Kim, Jong Tae Kim, Young Jin Jung. 2007. Preparation of a porous chitosan /fibrola-hydroxyapatite composite matrix for tissue engineering. Macromolecular Research 15(1): 6573. Madhavi, S., Ferraris. C, White. T. 2005. Synthesis and crystallization of macroporous hydroxyapatite. J. Solid State Chem: 178-264. Pankaew P, Hoonnivathana E, Limsuwan P, Naemchanthara K. 2010. Temperature effect on calcium phosphate synthesized from chicken eggshells and ammonium phosphate. Journal of Applied Sciences 10(24): 3337-3342. Prabakaran K, Balamurugan A, Rajeswari S. 2005. Development of calcium phosphate based apatite from Hen’s eggshell. Bull Mater Sci 28(2): 115119. Ratih, Ngatijo, Widjaksana, Latief A, Bambang. 2003. Aplikasi hidroksiapatit di bidang medis. Yogyakarta: Proc. Riyani E. 2005. Karakterisasi senyawa kalsium fosfat karbonat hasil presipitasi menggunakan XRD, SEM, dan EDXA pengaruh perubahan ion F dan Mg. Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rozita Ahmad Ramli, Rohana Adnan, Mohammad Abu Bakar and Sam’an Malik Masudi. 2011. Synthesis and characterization of pure nanoporous hydroxyapatite. Journal of Physical Science 22(1): 25-37. Septiarini S. 2009. Pelapisan apatit pada baja tahan karat lokal dan ternitridasi dengan metode sol-gel. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sopyan I, Mel M, Ramesh S, Khalid KA. 2007. Porous hidroxyapatite for artificial bone application. Science and Technology of Advanced Materials 8:116-123.
Vijayalakshmi U and Rajeswari S. 2006. Preparation and characterization of microcrystalline hydroxyapatite using sol gel method. Trends Biomaterial Artificial Organs 19(2): 57-62.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 219-224
224
MONITORING MERKURI PADA KOSMETIKA DENGAN STANDAR UJI ASEAN DOCUMENT ACM THA 05 (MONITORING OF MERCURY IN THE COSMETICS USING TEST STANDARD ASEAN DOCUMENT ACM 05 THA ) Irma Rumondang dan Annisa Lestari Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 2 Januari 2012; accepted 11 April 2012
ABSTRAK Peraturan Menteri Kesehatan No. 445/Menkes/Per/V/1998 menginstruksikan untuk melarang penggunaan merkuri pada kosmetika. SNI 16-4954-1998 hanya menyebutkan bahwa secara kualitatif kandungan merkuri dengan metode uji yang telah divalidasi, tanpa menjabarkan metode uji yang valid. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kandungan merkuri pada kosmetik di pasaran yang diracik menggunakan metode ACM THA 05 revisi 1. Untuk memastikan bahwa hasil analisa kosmetik dapat dipertanggung jawabkan maka terlebih dahulu dilakukan verifikasi terhadap metode uji tersebut dengan parameter presisi, akurasi, linearitas, dan limit deteksi dimana hasil verifikasi menunjukkan nilai yang memenuhi batasan yang dipersyaratkan. Dari hasil analisa terhadap kosmetika yang ada di pasaran menunjukkan krim wajah dan sabun mengadung merkuri dalam level konsentrasi persen. Kata kunci : Merkuri, Kosmetik, Verifikasi.
ABSTRACT Regulation of the Minister of Health No.445/Menkes/Per/V/1998 prohibit the use of mercury in cosmetics. SNI 164954-1998 describe the qualitative content of mercury with the approved test method, without discription of rightfull test methods. Purpose of the reseach was aimed to analyze the content of mercury in cosmetics formulated on the market by using method of the ACM 05 revision THA 1. To ensure that The result of cosmetic analysis can be justified then be verified prior to the assay method with the parameters of precision, accuracy, linearity, and detection limits in which the results of verification value has been meets with the standard required. Analysis of the results shows that cosmetic on the market which is face cream and soap are contains of mercury with limit of concentration in percent level. Key words : Mercury, Cosmetic, Verification.
PENDAHULUAN Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat (Permenkes 220/1976). Kosmetika menjadi salah satu bagian yang sulit dipisahkan dengan manusia terutama
wanita. Meningkatnya pendapatan seseorang akan meningkatkan kepedulian seseorang terhadap penampilannya. Penampilan yang mayoritas disukai oleh wanita adalah kulit yang mulus dan bersih bahkan sebagian besar menyukai kulitnya menjadi lebih putih. Oleh karena itu banyak produk kosmetika yang beredar, menjanjikan kulit lebih cerah dan putih, bahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan ( B P O M) se r i n g m e n g a d a k a n r a zi a d a n
Monitoring Merkuri Pada Kosmetika ………………... Irma Rumondang dan Annisa Lestari
225
penarikan terhadap kosmetika ilegal yang beredar di masyarakat yang ternyata mengandung raksa/mercury (Hg). Peraturan Menteri Kesehatan No.445/Menkes/Per/V/1998 menginstruksikan untuk melarang penggunaan merkuri pada kosmetika dengan bentuk sediaan krim pemutih, bedak kompak, sabun, pearl cream. Akan tetapi peraturan ini tidak didukung dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang hanya melarang penggunaan merkuri pada krim pemutih kulit (SNI 16-4954-1998), sedangkan pada kosmetika lain tidak diatur mengenai pelarangan penggunaan merkuri. Cara uji merkuri yang disebutkan hanya cara uji secara kualitatif dengan metode uji yang telah divalidasi, dengan demikian tidak ada metode yang valid dan seragam yang digunakan oleh analis untuk mengklaim bahwa kosmetik tertentu positif mengandung merkuri dengan konsentrasi yang diketahui nilainya, karena serendah apapun konsentrasi merkuri dalam kosmetik tidak diperbolehkan. Berdasarkan hal tersebut diatas, perlunya dilakukan verifikasi dengan menggunakan metode harmonisasi ASEAN dengan nomor dokumen ACM THA 05. Adapun metode ini sebenarnya telah disepakati sejak 2004 dengan melalui beberapa kali modifikasi akhirnya disetujui dan ditetapkan pada bulan Juli 2006. BAHAN DAN METODE Bahan dan metode yang digunakan berdasarkan Standar ASEAN dengan nomor dokumen ACM THA 05 revisi 1, pertanggal 12 Juli 2006 dengan judul “Determination of Heavy Metals (Arsenic, Cadmium, Lead, and Mercury) in Cosmetic Products”. Bahan Semua bahan kimia yang digunakan merupakan grade pro analisis, antara lain : asam nitrat, 1,1 % timah (II) klorida/SnCl2 dalam 3% asam klorida (HCl), 0,2% sodium borohidrat dalam 0,05% sodium hidroksida, air dengan resistivitas ≥ 18,2 MΩ, larutan standar mercury (Hg) yang tertelusur ke NIST dengan deret 0,5; 1; 2; 3; dan 5 µg/L dalam 3% volume/volume asam hidroklorida. Adapun peralatan yang digunakan antara lain : penangas air, labu digesi 50 mL, pendingin tegak, kertas saring Whatman No.40, lampu katoda berongga Hg dan Lab. Analyzer 254, Mercury Instrumen yang memakai sistem uji
injeksi (uap dingin) pada panjang gelombang 235,7 nm. Metode Prinsip metode ini adalah zat organik di dalam contoh uji dihancurkan dengan digesi basah dan penentuan kandungan raksa (Hg) dalam contoh uji dengan menggunakan sistem uji injeksi mengalir pada suhu ruangan pada panjang gelombang 235,7 nm. Metode persiapan contoh yang digunakan yaitu destruksi basah dengan cara kerja sebagai berikut yaitu dengan terlebih dahulu menyiapkan blanko bahan kimia tanpa menambahkan contoh uji dan diperlakukan sama seperti perlakuan terhadap contoh uji. Untuk contoh kosmetik ditimbang dengan seksama 0,5 gram contoh kedalam erlenmeyer tutup asah dan menambahkan 7 mL asam nitrat kemudian memanaskan larutan contoh diatas penangas bersuhu maksimum 60oC sekurangkurangnya 3 jam. Setelah itu larutan didinginkan dan ditambahkan dengan 50 mL air. Kemudian contoh didiamkan selama 24 jam dalam lemari pendingin untuk contoh krim dan lipstik. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas Whatman No.40. Larutan yang telah didigesti tersebut diatas kemudian dianalisa menggunakan teknik uap dingin (cold vapour mercury technique) dengan peralatan mercury analyzer. Dengan terlebih dahulu membuat deret larutan standar dengan konsentrasi 0,5; 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; dan 5,0 g/L. Setelah deret standar siap kemudian deret standar, blanko dan larutan contoh uji diukur absorbansinya. Larutan deret standar yang telah dibaca absorbansinya, dibuat kurvanya dengan memplot respons absorbansi terhadap konsentrasi dalam g/L kemudian memasukkan absorbansi larutan contoh terhadap persamaan linier yang didapat sehingga diperoleh konsentrasi contoh uji dalam g/L. Selanjutnya konsentrasi contoh dalam satuan berat per berat mengikuti persamaan sebagai berikut : Konsentrasi Hg = konsentrasi larutan (µg/L) x fp x vol larutan (ml) (µg/g) bobot contoh (g) x 1000
..…(1) HASIL DAN PEMBAHASAN Verifikasi Verifikasi yang dilakukan terhadap contoh bedak dengan ulangan sebanyak 3 kali dan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 225-230
226
parameter yang diamati adalah presisi, akurasi, linieritas, dan limit deteksi yang akan dibandingkan dengan batas yang telah ditetapkan pada metode standar tersebut. Adapun batasan nilai yang telah ditetapkan dalam standar tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Hal pertama yang dilakukan adalah analisa terhadap contoh bedak tanpa diperkaya dengan analit atau selanjutnya disebut contoh tanpa spike. Informasi dari contoh tanpa spike ini adalah untuk mengetahui apakah bedak yang akan dilakukan verifikasi mengandung analit Hg atau tidak. Dapat dilihat dari Tabel 2 bahwa bedak mengandung Hg sebesar 0,72 μg/L, nilai ini tidak dapat diabaikan karena untuk menentukan % perolehan kembali dari analit yang ditambahkan (% recovery). Pada penelitian ini dilakukan 2 kali tahapan yaitu yang pertama contoh bedak diperkaya dengan analit Hg untuk menentukan nilai dari parameter presisi dan akurasi, sedangkan tahapan kedua yaitu hanya menganalisa contoh bedak tanpa penambahan analit Hg untuk mengetahui nilai dari deteksi limit. Karena itu akan dimiliki 2 buah kurva kalibrasi yang akan mempunyai 2 nilai dari linearitas. Presisi Presisi ditentukan melalui metode replikasi pengujian yang bertujuan untuk melihat konsistensi hasil, kesesuain metode pengujian dengan contoh uji serta kestabilan peralatan ukur/instrumen (Anwar hadi 2005). Penentuan presisi yaitu dengan mencari nilai dari relative standard deviation dari 7 kali perlakuan ulangan, yaitu membagi nilai standar deviasi dengan rerata dan kemudian dikalikan dengan 100% (AOAC Guidelines 2002). Tabel 1.
Nilai untuk validasi metode berdasarkan pada Metode ACM THA 05
Parameter
Nilai yang diamati
Presisi
% Relative standard deviation
< 15
% recovery
95 sampai 108
%
>0,99815
-
Akurasi
Linearitas Limit deteksi
Koefisien korelasi, r
Batasan
0,5
Satuan
Ket.
%
Kandung-an Hg : 1 µg/g
Range 0,5 sampai 5,0 µg/L
µg/g
Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai presisi yang didapat adalah 1,38% dimana nilai ini jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan yaitu 15% (Tabel 1). Akurasi Akurasi adalah kedekatan suatu hasil pengujian atau rerata hasil pengujian ke nilai yang sebenarnya (Anwar Hadi 2005). Untuk akurasi/ketepatan dari pengujian yang dilakukan yaitu dengan mencari persentasi perolehan kembali (recovery) dari konsentrasi spike yang sengaja ditambahkan pada 7 kali ulangan. Nilai rerata dari persen recovery dari analisa bedak didapat 107,7% (Tabel 3) dimana nilai ini masuk dalam range yang dipersyaratkan standar yaitu 95 sampai 108% (Tabel 1).
Tabel 2. Data analisis uji Hg presisi pada contoh bedak Ulangan
Absorbansi
Konsentrasi (μg/L)
Contoh tanpa spike
0,0216
0,72
1
0,0622
2,93
2
0,0613
2,88
3
0,0617
2,89
4
0,0602
2,82
5
0,0617
2,91
6
0,0607
2,85
7
0,0607
2,84
Rerata
0,0612
2,8743
SD
0,0007
0,0395
RSD (%)
1,38%
Tabel 3. Data analisis uji akurasi Hg dalam contoh bedak Konsentrasi + spike (μg/L)
Konsentrasi non spike (μg/L)
Konsentrasi (μg/L)
% Recovery
2,93
0,72
2,21
110,5
2,88
0,72
2,16
108
2,89
0,72
2,17
108,5
2,82
0,72
2,10
105
2,91
0,72
2,19
109,5
2,85
0,72
2,13
106,5
2,84
0,72
2,12
106
Rerata
2,1543
107,7
SD
0,0395
Sumber : ACM THA 05 revisi 1, pertanggal 12 Juli 2006
Monitoring Merkuri Pada Kosmetika ………………... Irma Rumondang dan Annisa Lestari
227
Linearitas Nilai linearitas didapat dengan mencari nilai regresi dari persamaan garis linear yang diperoleh dari data kalibrasi larutan standar Hg. Pada penelitian kali ini didapat nilai linearitas yaitu 0,99972 (Tabel 4) untuk penentuan uji presisi–akurasi dan 0,99889 (Tabel 5) untuk penentuan uji parameter limit deteksi. Kedua nilai tersebut berada diatas nilai yang ditetapkan yaitu 0,99815 (Tabel 1). Tabel 4. Data kalibrasi larutan standar Hg penetapan uji presisi dan akurasi Standar
Absorbansi
0,5
0,0167
1,0
0,0276
2,0
0,0456
3,0
0,0638
4,0
0,0808
5,0
0,1004
Persamaan garis linier : y=a+bx
……….(2)
Y = 0,0183x + 0,0085 R = 0,99972 Tabel 5. Data kalibrasi larutan standar Hg penetapan limit deteksi metode (LDM) Standar
Absorbansi
0,5
0,0114
Pada Tabel 6 terlihat bahwa limit deteksi metode ini adalah 0,405 µg/l, dengan bobot contoh 0,5 gram yang dilarutkan dalam 50 mL sehingga limit deteksi metode (LDM) adalah 0,0405 µg/g. Hasil Analisa Kandungan Merkuri Dalam Contoh Kosmetika Setelah dipastikan bahwa metode uji tersebut stabil selanjutnya dilakukan analisa terhadap contoh kosmetika yang disampling di pasaran dan salon kecantikan dengan metode tersebut. Contoh kosmetika didapat dari konsumen yang secara sadar mengujikan kosmetika yang digunakannya untuk dianalisa keamanan kosmetiknya dan sebagian lagi berasal dari teman di lingkungan kantor yang kesemuanya merupakan kosmetika racikan yang didapat dari para medis dan klinik kecantikan. Adapun hasil analisa kandungan Hg dari beberapa kosmetika tersebut dapat dilihat dari Tabel 7 dengan tidak menyebutkan para medis atau klinik kecantikan yang meraciknya. Hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan, kandungan merkuri dalam kosmetik sangat mencengangkan karena kandungan merkuri bukan berada dalam level bagian per juta (part per million/ppm) tetapi berada dalam level konsentrasi persen, hal ini jauh diatas ambang batas maksimum yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 0,5 ppm yang ditujukan untuk pengobatan penyakit tertentu dibawah pengawasan dokter ahli. Tabel 6. Pengamatan konsentrasi penentuan limit deteksi metode (LDM)
1,0
0,0170
2,0
0,0324
3,0
0,0496
Ulangan
Absorbansi
Konsentrasi (μg/L)
4,0
0,0654
1
0,0297
1,75
2
0,0252
1,47
3
0,0226
1,30
4
0,0252
1,47
5
0,0243
1,41
6
0,0257
1,50
7
0,0283
1,66
8
0,0278
1,64
9
0,0278
1,63
Rerata
0,0260
1,5157
Persamaan garis linear y=a+bx Y = 0,01570x + 0.00218 R = 0,99889 Limit Deteksi Limit deteksi adalah konsentrasi terkecil dari analit yang masih dapat diestimasi dengan nilai yang dapat diterima, penentuan nilai limit deteksi yaitu dengan menjumlahkan blanko bahan kimia dengan 3 kali standar deviasi dari 7 kali ulangan contoh (AOAC Guideline 2002).
SD
0,0021
0,1350
LDM
0,4049
0,4050
LDM (µg/g)
0,0405
0,0405
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 225-230
228
Tabel 7. Hasil analisa kandungan Hg dalam kosmetik
Tgl
Kode contoh
Bobot (g)
Volume (mL)
Absorbansi
Kons (µg/L)
12 Maret 2010
0068/KA/10 0069/KA/10 0089/KA/10 0090/KA/10 0317/KA/10 0318/KA/10 0319/KA/10 0320/KA/10 A (cream siang < 40 thn) B (cream malam < 40 thn) C (cream siang > 40 thn) D (cream malam > 40 thn) E (sabun muka) F (krim malam)
0,5037 0,5208 0,5541 0,5808 0,5629 0,5440 0,5724 0,5163 0,5071 0,5547 0,5081 0,5466 0,5136 0,5213
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
0,0554 0,1332 0,1054 0,1845 0,0864 0,0745 0,1153 0,0555 0,0473 0,0654 0,0786 0,0670 0,0184 0,0455
56.501,8 169.951 46.509,3 41.460,3 221.326 190.496 296,161 5648,1 190701 262939 315402 269181 60,63 183590
23 Maret 2010 10 2010
Agustus
2 Agustus 2011
Dari Tabel 7 terlihat hanya sabun muka yang mengandung merkuri dalam konsentrasi ppm sedangkan semua krim yang melekat pada wajah berjam-jam mengandung merkuri dalam level konsentrasi persen. Tidak dapat dibayangkan andaikan terus menerus digunakan maka merkuri akan masuk ke dalam jaringan darah dan tubuh kita yang akan berakibat panjang dan fatal. Efek jangka pendek sebenarnya dapat dirasakan oleh pengguna, yaitu apabila penggunaan krim dihentikan maka akan menimbulkan bercak-bercak hitam pada kulit yang akhirnya bukan mempercantik melainkan memperburuk kulit. Efek Merkuri terhadap Kesehatan Berdasarkan temuan Diner dan Brenner (1998) serta Frackelton dan Christensen (1998) dikatakan bahwa diagnosa klinis keracunan Hg tidaklah mudah dan sering dikaburkan dengan diagnosa kelainan psikiatrik dan autisme. Kesukaran diagnosa tersebut disebabkan oleh karena panjangnya periode laten dari mulai terpapar sampai timbulnya gejala dan tidak jelasnya bentuk gejala yang timbul, yang mirip dengan kelainan psikiatrik. Paparan oleh Hg (biasanya berupa metil merkuri) pada saat prenatal akan nampak setelah bayi lahir yang dapat berupa cerebral palsy maupun retardasi mental. Keracunan Hg yang akut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan saluran pencernaan, gangguan kardiova sculer, kegagalan ginjal akut maupun shock. Pada pemeriksaan laboratorium tampak terjadinya denaturasi protein enzim yang tidak aktif dan kerusakan membran sel (Sudarmaji dkk).
Faktor pengenceran 50 50 20 10 62,5 62.5 62,5 25 62500 62500 62500 62500 50 62500
Konst. (%) 0,56 1,63 0,42 0,36 1,96 1,75 2,59 0,055 1,88 2,37 3,10 2,46 5,9 mg/kg 1,75
KESIMPULAN Metoda ACM THA 05 revisi 1, pertanggal 12 Juli 2006 dengan judul “Determination of Heavy Metals (Arsenic, Cadmium, Lead, and Mercury) in Cosmetic Products” dapat dipergunakan untuk menganalisa merkuri dalam kosmetik dengan memperhatikan parameter validasi antara lain presisi, akurasi, linearitas, dan deteksi limit menghasilkan nilai yang memenuhi batasan yang dipersyaratkan dalam standar tersebut. Merkuri tidak diperbolehkan dengan konsentrasi berapapun di kosmetik, akan tetapi pada kenyataannya didapat merkuri dalam level persen yaitu kisaran 0,6 sampai 3,1% di dalam krim hasil racikan dari pihak medis, salon, dan klinik kecantikan yang berasal dari contoh produk krim dan sabun yang ada di pasaran. Hal ini merupakan peringatan untuk memperhatikan semua kosmetik yang beredar di masyarakat dengan memperkuat peraturan dan standar yang dapat dijadikan acuan seragam untuk menentukan kadar merkuri dalam kosmetik. DAFTAR PUSTAKA ASEAN Standard. 2006. ACM THA 05 revisi 1 “Determination of Heavy Metals (Arsenic, Cadmium, Lead and Mercury) in Cosmetic Products”. AOAC Guidelines. 2002. Guidelines for Single Laboratory Validation of Chemical Methods for Dietary Supplements and Botanicals. Badan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 164380-1996 Pembersih kulit muka. Jakarta: BSN.
Monitoring Merkuri Pada Kosmetika ………………... Irma Rumondang dan Annisa Lestari
229
Badan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 164399-1996 Sediaan tabir surya. Jakarta: BSN. Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 164954-1998 Krim pemutih kulit (Bleaching cream). Jakarta: BSN. Hadi, Anwar. 2005. Konsep Dasar Pengendalian Mutu Laboratorium Pengujian. Jakarta: Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Kesehatan. 1998. Peraturan Menteri Kesehatan No.445/Menkes/ Per/V/1998, Bahan kimia yang dilarang pada kosmetik. Jakarta: Kemenkes. Sudarmaji, dkk, 2006. Toksikologi Logam Berat B3 Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Lingkungan, vol.2, No. 2 Januari 2006 : 129-142, FKM Universitas Airlangga.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 225-230
230
KOMPOSIT NANO TiO2 DENGAN PCC, ZEOLIT ATAU KARBON AKTIF UNTUK MENURUNKAN TOTAL KROM DAN ZAT ORGANIK PADA AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT (COMPOSITE OF NANO TiO2 WITH PCC, ZEOLIT OR ACTIVATED CARBON TO DECREASE THE TOTAL CHROME AND ORGANIC MATTERS IN TANNERY INDUSTRIAL WASTEWATER)
Bumiarto Nugroho Jati, Siti Naimah, Silvie A.A, dan Rahyani Ermawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Received 11 April 2012; accepted 27 April 2012
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk menurunkan total krom dan zat organik pada limbah industri penyamakan kulit dengan menggunakan nano TiO2 yang dikompositkan dengan adsorben karbon aktif, zeolit, dan Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dalam suatu reaktor fotokatalitik yang disusun secara batch dan dilengkapi dengan 6 buah lampu UV dan magnetic stirrer. Penurunan kadar krom total diukur dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) dan penurunan zat organik dianalisa dengan menggunakan titrasi permanganatometri. Hasil penelitian menunjukkan pengolahan terbaik untuk penurunan kadar krom total adalah dengan menggunakan komposit TiO2:PCC = 8:2 yang dapat menurunkan total krom hampir 100% pada menit ke-170 dengan konsentrasi awal 214,35 mg/L. Untuk penurunan kadar zat organik, pengolahan terbaik dengan menggunakan komposit TiO2:PCC = 9:1 yang dapat menurunkan kadar zat organik hingga 100% pada menit ke-180. Kata kunci : krom, industri penyamakan kulit, Precipitated Calcium Carbonate (PCC), karbon aktif, TiO2, fotokatalitik
ABSTRACT The aims of this study is to determine the reduction level of chromium and organic matters from tannery industrial wastewater. Decreased levels of total chromium and degradation of organic matters from the leather tanning industry waste were done by using nano TiO2 which is respectively composted with activated carbon, zeolite, or Precipitated Calcium Carbonate (PCC) in a photocatalytic reactor and arranged in a batch, equipped with six UV lamps and magnetic stirrer. The research was carried out by adding TiO2-PCC, TiO2-zeolite, or TiO2activated carbon to determine the reduction levels of total chromium and organic matter. Furthermore, reduction levels of total chromium were measured using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) and a decrease in organic matter was analyzed using titration permanganatometri. The results of this study suggest the best treatment for reduction levels of total chromium occured by using composite TiO2 : PCC = 8:2, which could decrease up to 100% at minute 170 with the initial concentration of 214.35 mg/L. Moreover, reduction levels of organic matter processed by using composite TiO2 : PCC = 9:1 could achive a reduction levels of organic matter up to 100% at minute 180. Key words : Chrom, leather tanning industry, Precipitated Calcium Carbonate (PCC), activated carbon, photocatalytic
PENDAHULUAN Pengelolaan limbah memiliki nilai penting dalam suatu kegiatan industri, terutama dengan semakin ketatnya peraturan lingkungan dan juga
berkembangnya kesadaran di masyarakat. Hal yang penting dalam konsep pengolahan limbah industri adalah usaha mencegah atau menekan
Komposit Nano TiO2 dengan PCC, Zeolit …………………... Bumiarto Nugroho Jati dkk
231
beban pencemaran seminimal mungkin, yaitu melalui pengendalian proses produksi. Pada tahap selanjutnya adalah pengolahan limbah yang dihasilkan agar tidak mencemari lingkungan. Dengan semakin pesatnya perkembangan industri dan semakin ketatnya peraturan mengenai limbah industri serta tuntutan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan maka teknologi pengolahan limbah yang efektif dan efisien menjadi sangat penting dan utama. Salah satu limbah yang berbahaya adalah limbah logam berat kromium (Cr) dan limbah bahan organik yang berasal dari industri penyamakan kulit. Logam berat kromium dapat menyebabkan kanker paru-paru, kerusakan hati, dan ginjal. Jika kontak dengan kulit maka dapat menyebabkan iritasi bahkan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kanker kulit dan jika tertelan dapat menyebabkan sakit perut, muntah, dan pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kanker pada saluran pencernaan (Santi 2004). Adanya logam berat dalam lingkungan perairan telah diketahui menyebabkan beberapa kerusakan pada kehidupan air. Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu (Santi 2004). Di samping itu terdapat fakta bahwa logam berat krom dapat membunuh mikroorganisme selama perlakuan biologis pada limbah sebagai akibat kelambatan proses pemurnian air. Hampir semua garam-garam logam berat larut dalam air dan membentuk larutan sehingga tidak dapat dipisahkan dengan pemisahan fisik biasa (Hussein 2004). Pada industri penyamakan kulit, selain dihasilkan berbagai macam produk utama untuk kebutuhan manusia juga dihasilkan hasil samping yang merugikan manusia sendiri dan lingkungan yaitu berupa limbah cair penyamakan kulit. Limbah cair ini mengandung total padatan, padatan tersuspensi, garam sulfida, zat organik, dan logam krom sehingga memerlukan penanganan secara tepat agar tidak mengganggu lingkungan (Hartanto et al. 2002). Pada dasarnya kadar krom dalam limbah industri penyamakan kulit dapat mengalami degradasi secara alamiah oleh adanya cahaya matahari namun berjalan lebih lambat sehingga laju akumulasi krom lebih tinggi dari degradasinya. Proses fotodegradasi krom dapat
dipercepat oleh keberadaan fotokatalis seperti TiO2, CdO, dan Fe2O3 (Aisawati 2011). Fotokatalis adalah suatu proses yang dibantu oleh cahaya dan material katalis. Dengan pencahayaan ultraviolet (254 nm) permukaan TiO2 mempunyai kemampuan mengionisasi reaksi kimiawi. Dalam media air, kebanyakan senyawa organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air, berarti proses tersebut dapat membersihkan air dari pencemar organik. Penggunaan titanium dioksida akan lebih efektif jika digunakan dengan menggunakan adsorben. Adsorben yang digunakan adalah karbon aktif, zeolit dan Precipitated Calcium Carbonate (PCC). Karbon aktif adalah bahan padat berpori yang berwarna hitam sebagai hasil pembakaran tidak sempurna dalam bentuk granular atau bubuk yang telah melalui proses aktivasi sehingga pori-porinya lebih terbuka dan memiliki luas permukaan yang besar yaitu 300 sampai 3500 m2/g. Sedangkan zeolit adalah mineral alam yang pada keadaan normal ruang hampa dalam kristal zeolit terisi oleh molekul air bebas yang membentuk bulatan di sekitar kation. Bila kristal tersebut dipanaskan selama beberapa jam, biasanya pada temperatur 25°C sampai 900°C, maka kristal zeolit yang bersangkutan berfungsi menyerap gas atau cairan. Daya serap (adsorbansi) zeolit tergantung dari jumlah ruang hampa dan luas permukaan. Selanjutnya nilai KTK dari zeolit juga sangat ditentukan sifat pergerakan logam-logam alkali tanah yang ada di dalamnya K, Na, Ca, Mg, dan Fe (Nurimaniwathy 2004). Biasanya mineral zeolit mempunyai luas permukaan beberapa ratus meter persegi untuk setiap gram berat. Beberapa jenis mineral zeolit mampu menyerap gas sebanyak 30% dari beratnya dalam keadaan kering. PCC adalah kalsium karbonat yang dihasilkan dari proses presipitasi dengan kemurnian yang tinggi. PCC merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus kimia CaCO3, akan tetapi PCC memiliki struktur kristal yang berbeda dengan kalsium karbonat lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan TiO2 dan adsorben karbon aktif, zeolit, dan PCC terhadap penurunan kadar krom total (Cr-T) dan zat organik dalam limbah industri penyamakan kulit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi terhadap masalah pencemaran lingkungan oleh limbah industri dan dapat mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat diterapkan pada
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 231-236
232
penanganan limbah cair yang mengandung krom maupun zat organik dalam indutri penyamakan kulit dengan penggunaan katalis TiO2. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah TiO2, zeolit alam Lampung (ZAL), karbon aktif, Precipitated Calcium Carbonat (PCC), HF 2%, HCl 6 M, NH4Cl 0.1 M, aquadest, Tetraethylenorthosilicate (TEOS). Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah reaktor fotokatalitik, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), hotplate and stirrer, alat sonikasi, tanur. Metode Preparasi Zeolit Alam Lampung Preparasi zeolit alam Lampung (ZAL) ini diawali dengan mencuci 50 gram ZAL dengan air. Kemudian dilarutkan dengan HF 2% sebanyak 200 mL lalu dilakukan sentrifuse selama kurang lebih 10 menit. Lalu dilakukan pencucian bebas asam dengan aquadest sampai larutan atasnya menjadi jernih tak berwarna. HCl 6 M ditambahkan sebanyak 200 mL. Lalu dilakukan refluks pada suhu 90°C selama 30 menit kemudian lakukan sentrifuse selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pencucian bebas Cl- dengan aquadest sampai larutan atasnya jernih tak berwarna. Selanjutnya endapan diambil, dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan NH4Cl 0,1 M kurang lebih 200 mL. Endapan direndam sehari semalam dan dilakukan refluks terhadap endapan tersebut selama 3 jam/hari selama 5 hari. Kemudian dipanaskan di atas hotplate 90°C dan dikalsinasi pada suhu 500°C selama 5 jam. Penambahan asam dan garam disini bertujuan untuk mempermudah terjadinya proses pertukaran kation-kation pada zeolit (Breck 1974, Sceneider 1974), sedangkan pemanasan bertujuan untuk memperluas permukaan bidang kontak adsorben zeolit (Othmer 1981). Preparasi Nanokomposit TiO2-Adsorben (PCC, Karbon Aktif dan Zeolit) Cara kerja pembuatan nanokomposit TiO2 dan adsorben adalah sebagai berikut: timbang masing-masing TiO2 dan adsorben secara terpisah sesuai dengan perbandingannya dengan berat maksimum keseluruhan 5 gram. TiO2 yang telah ditimbang dilarutkan dengan
100 mL aquadest, dilanjutkan dengan mensonikasi TiO2 tersebut selama 30 menit dan dilanjutkan dengan menambahkan Tetraethylenorthosilicate (TEOS) sebanyak 0,10 mL (2 tetes), dan disonikasi kembali selama kurang lebih 2 menit. Selanjutnya ditambahkan adsorben (PCC, karbon aktif atau zeolit) yang telah ditimbang sesuai perbandingan yang dibutuhkan yaitu 9:1 atau 8:2 lalu diaduk sampai homogen. Selanjutnya disonikasi kembali selama 30 menit. Dilanjutkan dengan dipanaskan di atas hot plate pada suhu 80°C sampai 90°C sambil diaduk dengan stirrer sampai airnya bersisa kurang lebih 20 mL sampai 30 mL, kemudian dikalsinasi dalam tanur pada suhu 300°C selama 1 jam dan didinginkan serta digerus dalam lumpang. Aplikasi Nanokomposit TiO2-Karbon Aktif, TiO2-PCC, dan TiO2-Zeolit Pada Industri Penyamakan Kulit Sampel limbah industri penyamakan kulit dihomogenkan lalu 100 mL air limbah diencerkan hingga 400 mL dengan aquadest, selanjutnya ditutup dan dihomogenkan. Dilanjutkan dengan pengolahan limbah menggunakan reaktor fotokatalitik dan nanokomposit (TiO2-adsorben). Sampel air limbah yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam wadah kaca tahan panas. Kemudian ditambahkan nanokomposit TiO2-adsorben yang telah siap sebanyak 3 gram ke dalam wadah. Sebanyak 300 mL sampel air limbah kulit dimasukkan ke dalam reaktor fotokatalitik. Selanjutnya dilakukan sampling setiap 10 menit. Sampel yang telah diambil selanjutnya dianalisa total krom dan total zat organik. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil percobaan yang akan dibahas meliputi karakterisasi katalis komposit dan zeolit alam sebelum dan sesudah hasil treatment, pengaruh konsentrasi awal polutan terhadap pengurangan total krom, keberadaan adsorben dan fotokatalis, pengaruh komposisi katalis komposit terhadap pengurangan total krom dan zat organik. Karakterisasi Zeolit Alam, Zeolit Yang Telah Diaktifkan dan Komposit TiO2-Zeolit Zeolit dapat dihasilkan dari sintesis sendiri maupun aktivasi dari alam, yang masingmasing mempunyai aspek kelebihan dalam kehandalan dan aspek ekonomi. Zeolit dengan sifat adsorben yang akan diteliti lebih lanjut untuk mendukung proses fotokatalitik.
Komposit Nano TiO2 dengan PCC, Zeolit …………………... Bumiarto Nugroho Jati dkk
233
Ketersediaan zeolit di Indonesia yang cukup melimpah juga menjadi salah satu pertimbangan dipakainya zeolit sebagai adsorben dalam mendukung proses fotokatalitik. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa zeolit alam Lampung sebelum aktivasi terdiri dari beberapa senyawa kimia dengan SiO2 dan Al2O3 sebagai penyusun utama. Dari Tabel 1 terlihat dari zeolit alam dengan komposisi yang dominan adalah Si dan Al sebesar 70,78% dan 11,53%. Setelah dilakukan aktivasi terhadap zeolit alam tersebut maka komposisi hanya bergeser menjadi 69,03% dan 10,79% untuk Si dan Al. Dari Tabel 1 dan 2, dapat dihitung rasio Si/Al dari sebelum dan sesudah proses aktivasi pada zeolit alam. Ternyata dengan proses aktivasi berhasil meningkatkan secara signifikan rasio Si/Al zeolit alam yaitu dari 5,5 menjadi 5,74. Hal ini terutama diakibatkan adanya proses dealuminasi dengan larutan HCl dalam proses aktivasi zeolit alam (Slamet et al. tt)
Pengaruh Konsentrasi Air Limbah Awal Terhadap Penurunan Total Krom dan Total Zat Organik Pengaruh konsentrasi air limbah awal terhadap penurunan total krom dan total zat organik dapat diketahui dengan membandingkan air limbah awal dan air limbah setelah diencerkan dengan air kran sebanyak empat kali. Hasil pengujian untuk mengetahui seberapa jauh penurunan total krom dan zat organik pada berbagai interval waktu limbah kontak dengan komposit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi awal limbah cair, setelah 180 menit, konsentrasi total krom masih 397,61 mg/L sedangkan total zat organik 93,22 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa ada batas maksimum dalam penurunan total krom dan total zat organik dengan komposit TiO2PCC. Sedangkan dengan konsentrasi awal sebesar 214,35 mg/L, setelah 180 menit, total krom tereliminasi secara sempurna, demikian juga total zat organik.
Tabel 3. Hasil karakterisasi XRF pada zeolit alam Formula kimia
% Berat
Formula kimia
% Berat
Al
6,10
Al2O3
11,53
Si
33,09
SiO2
70,78
K
1,89
K2O
2,28
Ca
1,58
CaO
2,21
Ti
0,07
TiO2
0,11
Fe
1,41
Fe2O
2,02
Na
0,54
NaO2
0,73 0,61
Mg Mn
0,37 0,02
MgO MnO
0,02
Tabel 2. Hasil karakterisasi XRF pada zeolit alam setelah aktivasi
Tabel 3. Hasil pengolahan limbah penyamakan kulit dengan Komposit TiO2 : PCC = 9:1 Konsentrasi awal Waktu (menit)
Konsentrasi air limbah setelah pengenceran empat kali
Krom total (mg/L)
Konsentrasi zat organik (mg/L)
Krom total (mg/L)
Konsentrasi zat organik (mg/L)
0
815,4200
345,0700
214,3500
53,5875
10
800,6900
270,1800
203,5600
50,8900
20
774,1200
243,3200
192,7300
48,1825
30
739,5400
189,6000
181,5200
45,3800
40
692,3050
169,0600
176,4000
44,1000
50
621,1500
164,3200
159,3200
39,8300
60
590,2100
132,7200
148,4700
37,1175
70
575,0900
129,0000
140,6700
35,1675
80
560,2100
126,0000
135,4400
33,8600
90
543,6640
123,2400
115,3600
28,8400
100
520,1500
119,0000
100,9700
25,2425
110
490,3800
114,5000
97,5100
24,3775
Formula kimia
% Berat
Formula kimia
% Berat
Al
5,71
Al2O3
10,79
Si
32,28
SiO2
69,03
K
1,78
K2O
2,14
120
479,2050
110,6000
72,4550
18,11375
Ca
1,41
CaO
1,97
130
462,0600
107,0000
71,6500
17,9125
Ti
0,07
TiO2
0,11
140
445,2400
104,0000
64,2800
16,0700
Fe
1,36
Fe2O
1,95
150
420,0650
101,1200
60,6000
15,1500
Na
0,60
NaO2
0,80
160
412,1100
99,0000
40,6100
10,1525
Mg
0,33
MgO
0,55
170
404,2300
96,5000
7,9400
1,9850
Mn
0,02
MnO
0,02
180
397,6100
93,2200
0,0000
0,0000
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 231-236
234
Gambar 1. Penurunan total krom dan total zat organik setelah pengolahan dengan menggunakan nanokomposit TiO2 : PCC
250
krom (TiO2- zeolit = 9:1) zat organik (TiO2- zeolit = 9:1) krom (TiO2- zeolit = 8:2) zat organik (TiO2- zeolit = 8:2)
200 Konsentrasi mg/ L
Hasil pengujian penggunaan nanokomposit TiO2-PCC dengan perbandingan 9:1 dan 8:2 terhadap penurunan total krom dan total zat organik pada limbah cair industri penyamakan kulit dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat setelah perlakuan selama 180 menit, baik dengan nanokomposit TiO2-PCC 9:1 maupun TiO2-PCC 8:2, total krom sudah sempurna tereliminasi. Walaupun pada menit ke-170, untuk nanokomposit TiO2 : PCC = 9:1 baru menurunkan 96,296% sedangkan TiO2 : PCC = 8:2 sudah bisa menurunkan hampir sempurna sampai dengan 99,997%. Sedangkan perlakuan dengan menggunakan nanokomposit TiO2 : zeolit dengan perbandingan 9:1 dan 8:2, hasil analisanya dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setelah perlakuan dengan nanokomposit TiO2 : zeolit setelah waktu berjalan 180 menit, hasil analisa total krom memperlihatkan bahwa total krom belum tereliminasi sempurna atau dengan kata lain masih ada sisa total krom sebesar kurang lebih 55,98% dengan perbandingan TiO2 : zeolit = 9:1 dan 61,12 % dengan menggunakan TiO2 : zeolit = 8:2. Sedangkan untuk sisa total zat organik sebesar 55,98% untuk TiO2 : zeolit = 9:1 dan 61,12% untuk TiO2 : zeolit = 8:2. Gambar 3 menunjukkan hasil analisa pengolahan dengan menggunakan nanokomposit TiO2:karbon aktif dengan perbandingan 9:1 dan 8:2. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa setelah 180 menit, total krom yang bisa dieleminasi adalah 94,29% sedangkan untuk zat organik sebesar 71,54% dengan menggunakan nanokomposit TiO2 : karbon aktif dengan perbandingan 9:1. Sedangkan untuk nanokomposit dengan perbandingan TiO2 : karbon aktif = 8:2, krom total yang bisa dieliminasi adalah 95,93% sedangkan zat organik yang dapat dieliminasi sebesar 95,93%.
150
100
50
0 0
25
50
75
100 125 Waktu (menit)
150
175
200
Gambar 2. Penurunan total krom dan total zat organik setelah pengolahan dengan menggunakan nanokomposit TiO2 : zeolit
KESIMPULAN Dari keseluruhan hasil, dapat disimpulkan bahwa pengolahan terbaik untuk penurunan kadar krom total adalah dengan menggunakan komposit TiO2 : PCC = 8 : 2 dengan hasil presentasi penurunan mencapai 100% pada menit ke-170. Sedangkan untuk penurunan zat organik, pengolahan terbaik menggunakan komposit TiO2 : PCC = 9:1 yang dapat menurunkan zat organik hingga 100% pada menit ke-180.
Gambar 3. Penurunan total krom dan total zat organik setelah pengolahan dengan menggunakan nanokomposit TiO2 : karbon aktif
Komposit Nano TiO2 dengan PCC, Zeolit …………………... Bumiarto Nugroho Jati dkk
235
DAFTAR PUSTAKA Anisawati, R. 2011. Pengaruh ion Kromium (VI) terhadap degradasi fotokatalisis zat warna tekstil congo red dengan suspensi TiO2. Tugas Akhir. Malang: Universitas Airlangga. Breck, D.W. 1974. Zeolite molecular sieves, structure, chemistry, and use. New York: John wiley & sons, inc. Hartanto, B.S., S. Bastaman, P. Citroreksoko. 2002. Pengaruh penambahan khitosan dan lama pengendapan terhadap hasil penanganan limbah cair industri penyamakan kulit. Bogor: BBPPIP. Hussein. 2004. Biosorption of heavy metal from waste water using Pseudomonas sp. Electronic Journal of Technology 7 (1). Kementerian Lingkungan Hidup.1995. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 582 tahun 1995 tentang standard baku mutu air limbah di indonesia. Keputusan Gubenur DKI Jakarta. Kismolo, E. 2003. Pemanfaatan lempung Nanggulan untuk mengolah limbah chrom. Dalam: Prosiding seminar nasional II Perkembangan teknologi keramik. Bandung: Balai Besar Keramik. Kismolo, E. 2008. Optimasi pemanfaatan zeolit alam dari Gunung Kidul untuk reduksi kadar cesium dalam limbah radioaktif. Dalam: Prosiding seminar nasional, penelitian dan pengelolaan perangkat nuklir. Yogyakarta: PTATB Batan. Nurimaniwathy. 2004. Karakterisasi kapasitas tukar kation zeolit dari gedangsari Gunung Kidul. Dalam: Prosiding seminar pranata nuklir. Yogyakarta: P3TM-Batan. Othmer, K. 1981. Encyclopedia of chemical technology, 3 th ed., vol. 15. New York: John Wiley & Sons. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan pemerintah RI nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Jakarta. Santi, D.N. 2004. Pengelolaan limbah cair pada industri penyamakan kulit, industri pulp dan kertas industri kelapa sawit. Laporan belum dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara. Schneider, K. 1974. Use of local minerals in the treatment of radioactive waste. Technical report series no. 136. IAEA.
Slamet, Ikha Muliawati, Muhamad Ibadurrohman. Tanpa tahun. Rekayasa masker anti polutan gas buang kendaraan berbasis katalis komposit Tio2-ac-zal. Laporan belum dipublikasikan. Universitas Indonesia. Susetyaningsih, R., Kismolo, E., dan Prayitno. 2009. Karakterisasi zeolit alam pada reduksi chrom pada limbah cair. Dalam: Prosiding seminar V SDM nuklir. Yogyakarta, Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir Batan: 741-747.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol.34 No.1 April 2012 : 231-236
236