PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT, ASURANSI, DAN INCOTERM
Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.
Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP)
i
Judul: PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II): TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT, ASURANSI, DAN INCOTERM Penulis: Dr. H. Djafar Al Bram, S.H.,S.E.,M.H.,M.M.,Bc.KN.,CPM.,M.AP.
Editor: Endra Wijaya Deni Bram Hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang pada penulis. Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP). Alamat PKIH FHUP: Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 2, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 12640. Cetakan ke-1: Oktober 2011. ISBN: 978 – 602 – 99279 – 2 – 4 (No. Jil. Lengkap) ISBN: 978 – 602 – 99279 – 4 – 8 (Jil. II) Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini sebagai sumbernya.
ii
KATA PENGANTAR Seiring mengucapkan Alhamdulillahi Rabil Alamin, segala kemuliaan, ilmu pengetahuan, dan kebenaran berpikir serta bertindak hanyalah milik Allah Subhanahu Wa’ala, sedangkan milik penulis hanyalah kekeliruan dan kesalahan. Oleh sebab itu, perkenankanlah permohonan penulis bila terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam buku yang diberi judul Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II): Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm yang sangat sederhana ini kiranya dimaafkan sepenuh hati oleh pembaca yang berbahagia. Buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku II): Tanggung Jawab Pengangkut, Asuransi, dan Incoterm ialah suatu kajian teoretis tentang hukum dalam praktik pengangkutan laut, yang juga merupakan kelanjutan dari penjelasan yang telah diberikan melalui buku Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian, AsasAsas, Hak dan Kewajiban Para Pihak. Hal terpenting ialah perpaduan antara praktisi dan akademisi yang dimiliki penulis sebagai dosen di berbagai Akademi Ilmu Pelayaran, seperti Akademi Maritim Indonsia (AMI), Bitung, Medan, dan Makassar, serta Politeknik Ilmu Pelayaran dan Transportasi Laut Kementerian Perhubungan Makassar, dan Jakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan yang diperoleh ialah atas berkat bantuan dan dukungan dari berbagai fihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang kepada: 1. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTM, S.H., Sp.A. (K), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. iii
2. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. 3. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab, S.H. dkk. selaku pembimbing. 4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. dkk. selalu pembimbing. 5. Juga kepada Adinda Deni Bram yang berkenaan untuk merampungkan naskah yang ada, serta kepada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP) sebagai lembaga penerbit dan wadah diskusi selama ini. Merupakan suatu ekspektasi dan kehormatan penulis, jika buku ini akan dipergunakan oleh para mahasiswa fakultas hukum yang mendalami masalah pengangkutan laut, lain dari itu juga oleh para stakeholder penguna jasa pengangkutan laut, agen pelayaran, penguna jasa kepabeanan, serta pelaku bisnis pelayaran, perdagangan internasional, ekspor impor, maupun masyarakat pada umumnya yang ingin memahami permasalahan yang berkaitan dengan pengangkutan laut. Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat memberi manfaat nilai tambah positif bagi para pembaca. Selain itu, kritik dan saran sangat diharapkan bagi kesempurnaan penulisan berikutnya.
Jakarta, Oktober 2011
Djafar Al Bram.
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
iii v
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 4. Batas Ganti Kerugian B. Menurut The Hague Rules 1. Memahami Konosemen menurut The Hague Rules 2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut 3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 5. Batas Ganti Kerugian C. Menurut The Hamburg Rules 1. Periode Tanggung Jawab 2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut 4. Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian
BAB II PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan atas .Adanya Unsur Kesalahan
v
1 1 1 3 12 17 23 25 27 29 32 38 41 44 46 51 53 56 56
B. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan .Asas Praduga C. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak D. Prinsip Limitation of Liability BAB III ASURANSI LAUT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
57 58 58
60
BAB IV INCOTERM DALAM PENGANGKUTAN BARANG A. Tujuan Incoterm B. Pencantuman Incoterm ke dalam .Kontrak Penjualan C. Penyampaian Risiko dan Ongkos Berkaitan .dengan Barang D. Cost Insurance and Freight E. Kewajiban Penjual F. Kewajiban Pembeli
65 65
DAFTAR PUSTAKA
73
vi
66 66 67 68 70
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
BAB I TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT
A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yang dalam hal ini ialah pengangkut dan pengirim barang. Di satu pihak, pengangkut ingin memikul tanggung jawab yang sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim barang mengharapkan pertanggungjawaban yang besar-besarnya dari pengangkut. Oleh karena itulah, baik dalam undang-undang nasional maupun konvensi internasional telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab dalam proses pengangkutan. 1. Periode Tanggung Jawab Pengangkut Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 468 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD), bahwa kewajiban pengangkut yang utama ialah menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang yang diangkut mulai diterimanya dari pengirim sampai diserahkannya kepada penerima barang. Hal itu berarti, periode (jangka waktu) mulai dan berakhirnya tanggung jawab pengangkut tergantung kepada saat penerimaan dan saat penyerahan barang. Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut di atas, dengan adanya istilah “saat diterima” dan “saat diserahkannya”, maka hal itu dapat menimbulkan suatu masalah, yaitu saat kapankah dianggap telah terjadi penerimaan oleh pengangkut? Dan selanjutnya, kapankah saat terjadinya penyerahan oleh pengangkut? Perlu diketahui, bahwa barang-barang yang diangkut dapat diterima pengangkut melalui gudang, di samping kapal, atau bahkan di -1-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
suatu tempat lain. Oleh karena ketentuan KUHD sebagaimana yang telah disebutkan di atas tidak memberikan kejelasan yang rinci, maka untuk itu perlu di dalam surat perjanjian pengangkutan ditegaskan tentang: 1. Cara penerimaan barang dari pengirim barang kepada pengangkut, serta; 2. Cara penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang. Apabila ditentukan penerimaan barang melalui gudang, hal ini berarti barang-barang yang akan diangkut diserahterimakan oleh pengirim barang kepada pengangkut di luar gudang pelabuhan pemuatan atau gudang lini I. Maka, mulai dari pintu luar gudang pemuatan barang-barang tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut sampai barang diangkut serta diserahkan di pelabuhan tujuan. Dengan demikian, apabila telah diperjanjikan, bahwa selama barang itu masih di gudang, maka dia masih menjadi tanggung jawab pengirim barang, pengangkut barulah mulai bertanggung jawab sejak barang tadi dikeluarkan dari gudang untuk diangkut. Demikian pula, jika penyerahan barang melalui gudang, maka pengangkut bertanggung jawab sampai barang itu diserahkan kepada penerima di pintu luar gudang pelabuhan atau gudang lini I. Selama berada dalam gudang, maka pengangkut masih bertanggung jawab atas barang tersebut. Ketidakjelasan pengaturan oleh KUHD mengenai periode tanggung jawab ini dalam praktiknya cukup mendapatkan perhatian. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu pula kiranya diperhatikan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang pada saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu PP Nomor 2 Tahun 1969 tentang Pengusahaan dan Penyelenggaraan Angkutan Laut, yang di dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)-nya menjelaskan bahwa: (1) Perusahaan pelayaran bertanggung jawab sebagai pengangkut barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari pengirim sampai menyerahkan barang yang diangkutnya kepada penerima sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku atau syarat-syarat perjanjian
-2-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran. (2) Dalam suatu perusahaan pelayaran menguasai gudang laut seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan (3), perusahaan pelayaran yang bersangkutan bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan barang selama barang-barang tersebut berada dalam gudang laut. Bunyi Pasal 14 ayat (1) tersebut dinyatakan lebih jelas dan tegas dari bunyi pengaturan pada Pasal 468 ayat (1) KUHD. Masih terkait dengan masalah penentuan secara pasti periode tanggung jawab, apabila tidak ada pengaturannya dalam perundang-undangan, tidak diatur secara jelas tentang periode tanggung jawab pengangkut, maka hal itu dapat dilihat dari syarat perjanjian pengangkutan dan kelaziman yang berlaku dalam bidang pelayaran. Jika dalam perjanjian pengangkutan ada mengatur mengenai periode tersebut secara jelas, maka dengan sendirinya masalah pada saat kapan barang dianggap telah diterima dan diserahkan oleh pengangkut tidak lagi menjadi persoalan antara pengangkut dengan pengirim barang. Pertanggungjawaban yang dipikul oleh pengangkut merupakan suatu kenyataan (fakta) yang timbul akibat adanya pelaksanaan perjanjian pengangkutan. Pengangkut dalam perjanjian pengangkutan itu ialah pihak yang telah mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu jasa kepada pihak lain (pihak pengirim dan penerima barang). 2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut Dasar tanggung jawab pengangkut ialah kewajiban yang timbul dari perjanjian pengangkutan. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1 KUHD yang menyatakan bahwa “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seberapa jauh dari padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 KUHD tersebut, maka ketentuan umum mengenai perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berlaku pula bagi
-3-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
perjanjian pengangkutan laut kecuali ada ketentuan yang bersifat khusus. Untuk itu perlu diperhatikan (dikutip) Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238 KUHPerdata. Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”. Selanjutnya, Pasal 1236 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”. Kemudian, Pasal 1237 menjelaskan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berhutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”. Dan lebih lanjut Pasal 1238 menjelaskan bahwa “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Di samping pasal-pasal tersebut di atas, Pasal 1706 dan Pasal 1707 mengenai penitipan kiranya dapat pula diperlakukan sebagai dasar pertanggungjawaban pihak pengangkutan. Pasal 1706 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Si penerima titipan diwajibkan mengenai perawatan barang yang dipercayakan padanya, memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang-barangnya sendiri”. Selanjutnya, Pasal 1707 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Ketentuan pasal yang lalu harus dilakukan lebih keras: 1. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya; 2. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah yang menyimpan itu;
-4-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan; 4. Jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian”. Kemudian, menurut Pasal 468 ayat (3) KUHD, tanggung jawab pengangkut juga meliputi segala perbuatan mereka yang dipekerjakan bagi kepentingan pengangkutan itu dan segala barang (alat-alat) yang dipakainya untuk menyelenggarakan pengangkutan itu. Jadi, tanggung jawab pengangkut meliputi: 1. Perbuatan orang-orang yang dipekerjakan untuk pengangkutan ini. Hal itu adalah wajar, karena orang-orang tersebut bekerja untuk kepentingan pengangkut, bukan untuk orang lain. Orang-orang yang dimaksud tadi termasuk juga nakhoda kapal, anak buah kapal, serta cabang atau agen-agen dari pengangkut. Mengenai hal di atas, ialah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 321 KUHD, yang menjelaskan bahwa “Pengusaha adalah terikat oleh segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka, yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya, di dalam jabatan mereka dalam lingkungan kekuasaan mereka. Dia adalah bertanggung jawab untuk segala kerugian yang diterbitkan pada pihak ke tiga, oleh sesuatu perbuatan melanggar hukum dari mereka yang bekerja tetap atau sementara pada kapalnya atau yang melakukan sesuatu pekerjaan di kapal guna kepentingan kapal atau muatannya, asal perbuatan melanggar hukum tadi dilakukan dalam jabatan mereka atau pada waktu mereka itu sedang melakukan pekerjaan mereka”. Ketentuan tersebut setidaknya memiliki arti bahwa ada 2 (dua) macam tanggung jawab pengusaha kapal/pengangkut, yaitu: a. Bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang-orang pekerja dari kapal dalam lingkungan kewenangannya. b. Bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dari mereka yang dalam
-5-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
melakukan pekerjaan untuk kapal atau muatannya, dengan syarat perbuatan itu dilakukan dalam lingkungan pekerjaannya. Pertanggungjawaban dalam hal yang pertama ialah suatu hakekat hukum yang sudah termuat dalam Pasal 1792 KUHPerdata mengenai pemberian kuasa (lastgeving). Hakekat hukum ini menurut Wirjono Prodjodikoro ialah “Bahwa apabila seseorang memberi kuasa kepada orang lain guna melakukan sesuatu untuk si pemberi kuasa, maka kini terselip suatu perwakilan langsung dari si pemberi kuasa seolah-olah melakukan sendiri perbuatan hukum itu”. 1 Oleh karena itu, sudah semestinya bahwa tanggung jawab pengangkut terhadap orang-orang yang dia pekerjakan itu dibatasi hanya dalam lingkungan kewenangan untuk melakukan pekerjaan masingmasing. 2. Penyelenggaraan atas kapalnya (to make the ship sea worthy) dan penyelenggaraan ruang-ruang muatan, serta penempatan barang yang untuk selanjutnya diangkut ke pelabuhan tujuan (cargo worthiness of the ship). Jadi, dalam hal ini kapal yang digunakan untuk melakukan pengangkutan itu harus layak melaut. Jika kapal secara teknis cukup layak melaut, namun ternyata ruangan muatan tidak cukup wajar untuk barang yang diangkut, maka kapal tersebut menjadi tidak layak melaut. Pengangkut yang melaksanakan pengangkutan tidak dengan sewajarnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kehilangan barangbarang, maka pengangkut itu harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan karena kelalaian atau kesalahannya tadi. Pasal 468 ayat (2) KUHD mewajibkan kepada pengangkut untuk mengganti kerugian pengirim apabila barang yang diangkutnya tidak dapat diserahkannya atau mengalami kerusakan, kecuali jika tidak dapat diserahkannya atau rusaknya barang itu disebabkan oleh: 1. Suatu melapetaka yang tidak dapat dihindarkan terjadinya. 1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut bagi Indonesia (Sumur, 1984), hal. 93.
-6-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
2. Sifat, keadaan, atau cacat dari barang itu sendiri. 3. Suatu kelalaian atau kesalahan si pengirim sendiri. Mengenai hal tersebut di atas, maka terlihat adanya kesamaan dengan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Perbedaannya hanya terletak dalam perumusan keadaan memaksa. Untuk itu, sebaiknya perlu disimak isi kedua pasal tersebut. Pasal 1244 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Kemudian, Pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Pasal 1244 KUHPerdata menggunakan kata-kata “Suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabakan”, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata menggunakan “keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja”, dan Pasal 468 KUHD menggunakan “Suatu melapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya”. Ketentuan Pasal 468 ayat (2) ini dapat memberikan pengertian yang kabur, karena tidak jelas melapetaka yang mana dan yang berupa apa yang tidak selayaknya dapat dicegah atau dihindarkan. Hal tersebut tidak juga dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya. Dengan adanya ketentuan yang demikian, sering dalam praktiknya pengangkut berdalih bahwa telah terjadi force majeur untuk menolak tuntutan ganti kerugian pemilik/penerima barang. Namun sebenarnya peristiwa yang berupa force majeur tersebut tidaklah membebaskan sama sekali pengangkut dari kewajiban melakukan dengan sewajarnya untuk menghindarkan atau memperkecil
-7-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kehilangan atau kerusakan barang yang diangkut. Jadi, meskipun dalam konosemen telah ditegaskan mengenai pembebasan tanggung jawab dari kehilangan atau kerusakan barang yang disebabkan oleh force majeur, pengangkut harus tetap membuktikan bahwa dia telah berusaha menghindarkan atau mengurangi akibat dari force majeur itu secara wajar. Misalnya, dalam hal terjadinya angin topan, maka harus tetap dibuktikan apakah si pengangkut telah mengikat dengan sebaik-baiknya (dengan erat) barang-barang yang diangkutnya. Jika pengangkut tidak dapat membuktikan usahanya untuk mengikat dengan baik itu, maka pengangkut harus tetap memberi ganti kerugian. Selain itu, undang-undang memperbolehkan pengangkut untuk tidak mengganti kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang-barang yang diangkut yang disebabkan oleh sifat dan cacat barang itu sendiri atau karena kesalahan pengirim. Misalnya, barang rusak karena akibat pembungkusan yang tidak sempurna, atau apabila barang yang dikirimkannya memang sudah terlalu matang, sedangkan jarak yang akan ditempuh oleh kapal sangat jauh, sehingga menurut sifatnya barang itu dapat menjadi busuk sesampainya di tempat consignee. Maka, jika si pengangkut dapat membuktikan kesalahan si pengirim dalam pembungkusan barang atau cacat barang tersebut ialah karena faktor sifatnya, pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian itu. Pasal 469 KUHD menjelaskan bahwa “Untuk dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lain-lain barang berharga, uang dan surat-surat berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab, melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya”. Dengan demikian, kalau orang mengirim barang berharga maka dia harus memberitahukan kepada pengangkut, bahwa barang itu ialah emas dan harus pula memberitahukan harganya. Apabila si pengirim tidak memberitahukan sebelum barang itu diserahkannya untuk diangkut, atau pada saat barang itu akan diangkut, maka jika barang itu hilang atau rusak di dalam perjalanan, ini merupakan suatu hal yang wajar saja kalau akhirnya si pengangkut tidak mau bertanggung jawab.
-8-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Apabila telah diberitahukan sifat dan harga barang yang menjadi objek pengangkutan, maka barulah si pengangkut diwajibkan untuk memberi ganti kerugian jika terjadi kerusakan atau kehilangan atas barang tadi. Dengan adanya pemberitahuan kepada pengangkut, dia dapat menentukan suatu tempat yang aman di dalam kapal untuk barangbarang berharga tersebut. Demikian pula, dia dapat menentukan biaya angkutannya (uang tambang). Dari sudut tuntutan ganti kerugian, pengirim barang juga mempunyai kepentingan untuk memberitahukan adanya barang berharga tersebut. Apabila tidak diberitahukan harganya, jika barang berharga itu hilang, maka pengangkut hanya mengganti kerugian berdasarkan harga barang-barang biasa saja. Sebaliknya, jika diberitahukan harganya, maka penggantian kerugian didasarkan kepada harga yang sebenarnya dari barang-barang berharga tersebut. Dalam praktik, saat penyerahan barang-barang yang akan diangkut dari pengirim kepada pengangkut, barang-barang itu telah dikemas dalam koli-koli 2 dan diberi tanda merek atau tanda pengenal lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerugian karena kerusakan atau kehilangan barang dalam pengangkutan. Merek atau tanda pengenal tersebut sangat penting bagi pengangkut sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pengangkutan barang. Mengenai kebenaran dari merek atau tanda pengenal sebagaimana telah diberitahukan kepada pengangkut ialah menjadi tanggung jawab pengirim barang. Demikian juga tentang isi dan berat koli barang menjadi tanggung jawab pengirim barang. Pengangkut hanya berpegang pada keterangan dari pengirim barang, karena barang sudah dikemas dalam koli. Oleh karena itu, pada konosemen dicantumkan perkataan “said to weight” untuk berat koli dan “said to contain” untuk isi koli. Hal ini berarti bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab atas isi dan berat koli jika ternyata isi dan berat koli berkurang atau mengalami kerusakan, asalkan koli barang diserahkan kepada penerima barang dalam keadaan seperti ketika diterimanya dari pengirim barang. Sebaliknya, jika pengangkut menerima barang dari pengirim barang dalam keadaan utuh tetapi ketika menyerahkannya kepada 2
Dalam bahasa Belanda, “colli” berarti barang kiriman atau peti kiriman.
-9-
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
penerima barang dalam keadaan rusak atau berkurang jumlahnya, maka pengangkut harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian. Di samping hal tersebut di atas, dalam Pasal 477 KUHD ditetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pemilik barang jika pengangkut terlambat menyerahkan barang-barang kepada penerima, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tadi disebabkan oleh kejadian yang menurut kepantasan tidak dapat dihindari atau dicegah oleh pengangkut. Kejadian yang dapat memperlambat penyerahan barang kepada penerima yang bisa dianggap sebagai force majeur ialah dalam hal-hal sebagai berikut: 3 1. Mesin atau baling-baling rusak sehingga terpaksa pelayaran ditunda untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Bagian-bagian kapal yang rusak yang dapat diperbaiki sampai kapal berlayar tidak termasuk dalam kategori ini. 2. Kapal melakukan penyimpangan dari rute yang seharusnya dilayari untuk menghindari topan. 3. Kapal menolong orang yang berada dalam keadaan bahaya di lautan, misalnya penumpang kapal yang tenggelam. 4. Kapal terpaksa memasuki suatu pelabuhan yang bukan pelabuhan yang akan disinggahi untuk meminta pertolongan dokter atau untuk menurunkan penumpang atau awal kapal yang perlu segera mendapatkan pertolongan dari dokter untuk menyelamatkan jiwanya. 5. Kapal dihadang oleh kapal bajak laut, tetapi berhasil melepaskan diri melalui perjuangan dan perlawanan yang berat. Kejadian-kejadian yang dialami kapal seperti yang disebutkan di atas harus dibuktikan oleh nakhoda agar pengangkut dapat bebas dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Selanjutnya, dalam Pasal 478 dan Pasal 479 KUHD ditetapkan hak pengangkut atas tuntutan ganti kerugian terhadap pemilik barang dalam hal pengangkut menderita kerugian: 3
Radiks Purba, Angkutan Muatan Laut, Jilid III (Jakarta: Bharata Karya Ahsna, 1982), hal. 143.
- 10 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
1. Karena surat-surat yang perlu untuk pengangkutan barangbarang tidak diberikan kepadanya sebagaimana mestinya. Surat-surat tersebut ialah surat-surat yang harus disediakan oleh pengirim barang. Misalnya, tembusan surat pemberitahuan ekspor barang tidak diberikan, sehingga kapal tertunda meninggalkan pelabuhan muat yang berarti ada tambahan biaya bagi kapal untuk berlabuh. 2. Karena kepadanya tidak diberitahukan dengan sebenarnya keadaan wujud dan sifat-sifat barang oleh pemilik barang. Atas kerugian yang diderita oleh pengangkut, yaitu sebesar tambahan biaya tersebut, pengangkut berhak memperoleh penggantian dari pengirim barang. Dalam hal ini pengangkut juga berhak memusnahkan atau membuang barang-barang yang membahayakan barang-barang lain atau membahayakan kapal, barang selundupan, tanpa mengganti kerugian kepada pemilik barang. Barang-barang yang dapat membahayakan kapal dan muatan kapal terdiri dari barang-barang bahaya seperti dinamit, serta barang-barang yang mudah terbakar, misalnya korek api, dan mesiu. Pemilik barang harus memberitahukan kepada pengangkut dengan lengkap dan sebenarnya mengenai keadaan wujud dan sifat-sifat dari barang-barang tersebut. Jika dia tidak memberitahukan secara lengkap dan sebenarnya kepada pengangkut, maka apabila pengangkut menderita kerugian disebabkan barang-barang itu, pemilik barang wajib mengganti kerugian yang diderita oleh pengangkut. Pemberitahuan tersebut diperlukan agar pengangkut dapat mengatur pemadatannya di dalam palka kapalnya sedemikian rupa, sehingga barang-barang itu dan kapal pengangkutnya sendiri dapat terhindar dari kerusakan. Hal yang demikian tentunya sesuai dengan prinsip pada proses pengangkutan barang, yaitu bahwa tujuan terakhir dari pengangkutan barang-barang ialah penyerahan barang-barang yang diangkut oleh pengangkut kepada penerima barang di pelabuhan tujuan dapat dilakukan dengan selamat. Pasal 480 KUHD mengatur cara-cara penyerahan barang-barang oleh pengangkut kepada penerima di pelabuhan tujuan (pembongkaran)
- 11 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
atau di suatu tempat yang berdekatan dengan pelabuhan tujuan, yaitu tempat di mana kapal bisa dengan mudah, aman, dan tepat dalam keadaan terapung melakukan pembongkaran. Jika penerima barang menerima barang-barangnya di samping kapal, maka dia akan menerimanya di dermaga atau dengan menggunakan perahu-perahu. Dengan diserahkannya barang-barang oleh pengangkut kepada penerima (consignee), maka menurut ketentuan Pasal 468 KUHD, berakhir pula tanggung jawab pengangkut terhadap barang-barang tersebut. Namun sebenarnya pengangkut masih belum lepas sama sekali dari tanggung jawabnya. Atas permintaan penerima barang, maka pengangkut dapat mengadakan pemeriksaan, pengukuran atau penimbangan barang yang diserahkan oleh pengangkut kepada penerima barang, atau mengawasi perhitungan, pengukuran atau penimbangan barang-barang yang diserahkan itu. Dalam Pasal 481 ayat (2) KUHD, ditetapkan bahwa perhitungan, pengukuran atau penimbangan mengikat pengangkut dan penerima barang, kecuali kalau dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Hal tersebut dapat terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak penerima barang maupun pengangkut merasa tidak puas dengan hasil survei, maka yang berkeberatan harus dapat membuktikan ketidakbenarannya. Biaya yang timbul untuk pelaksanaan survei itu dipikul bersama, artinya oleh pengangkut dan penerima barang. Akan tetapi, jika pemeriksaan barang itu diminta oleh penerima barang saja, maka biayanya menjadi beban penerima barang. Namun demikian, berdasarkan Pasal 482 KUHD, nakhoda dapat menolak diadakannya survei dengan alasan akan menghambat keberangkatan kapalnya. Hal ini tentunya merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, yaitu terkait dengan kecepatan dalam melakukan pemuatan, pelayaran, dan pembongkaran. 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut Apabila diperhatikan pasal-pasal di dalam KUHD, maka dapat dibedakan 3 (tiga) macam pertanggungjawaban pengangkut:
- 12 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
1. Pengangkut wajib untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkutnya, dan menjadi tanggung jawabnya apabila barang itu seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan atau menjadi rusak (Pasal 468 ayat (1) dan (2) KUHD). Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan tersebut ialah sebagai berikut: a. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan. b. Dia bertanggung jawab apabila barang seluruhnya atau sebagian menjadi rusak. c. Dia bertanggung jawab apabila dia terlambat menyerahkan barang yang diangkutnya. Jika ketiga hal tersebut di atas terjadi berarti si pengangkut diwajibkan membayar ganti kerugian. 2. Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya (Pasal 477 KUHD). 3. Pengangkut bertanggung jawab untuk perbuatan dari orangorang yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan. Periode yang ditetapkan dalam undang-undang kepada pengangkut untuk bertanggung jawab adalah cukup panjang, yaitu mulai saat penerimaan sampai pada saat penyerahan barang. Berarti, tanggung jawabnya tidak hanya selama barang di dalam kapal saja, tetapi juga sebelum dimuat serta sesudah dibongkar ke dan dari kapal, asal barang itu masih berada dalam kekuasaannya, baik di lapangan terbuka maupun di dalam gudang, tetapi menjadi tanggung jawabnya. Segala peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu tersebut yang menyebabkan dia tidak dapat menyerahkan seluruh atau sebagian barang, seluruh atau sebagian barang menjadi rusak karenanya, serta yang mengakibatkan dia terlambat menyerahkan barang yang diangkutnya, ialah merupakan tanggung jawabnya. Tentu saja hal ini merupakan suatu hal yang berat bagi si pengangkut. Namun demikian, dalam Pasal 468 ayat (2) KUHD juga dinyatakan bahwa pengangkut dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan ganti kerugian apabila dia
- 13 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
dapat membuktikan bahwa kewajibannya tidak dapat dilakukan sebagai akibat dari: 1. Suatu peristiwa yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau; 2. Cacat dari barang itu sendiri, atau; 3. Oleh karena kesalahan dari pengirim. Sebagai contoh, misalnya terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan kapal tenggelam, sehingga si pengangkut menderita kerugian yang besar, maka dia harus tetap mengumpulkan bukti-bukti. Bukti-bukti ini ialah agar dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, sehingga bisa dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian kepada pengirim barang. Dia (pengangkut) harus dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau rusaknya barang tadi ialah karena suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah ataupun dihindarkannya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penafsiran terhadap kalimat “malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah” dapat bermacam-macam, sehingga dapat mengundang pengertian yang kabur (menimbulkan keragu-raguan). Tidak ada satu pasalpun di dalam KUHD yang memberikan kejelasan tentang kalimat tersebut. Namun, jika kerugian yang timbul itu terjadi sebagai akibat perbuatan dari orang yang dipekerjakannya (pihak yang disuruh olehnya untuk melakukan pekerjaan pengangkutan) dan diakibatkan penggunaan peralatan yang tidak semestinya dalam menyelenggarakan pengangkutan tadi, maka pengangkut tidaklah bebas dari pertanggungjawaban. Mengingat beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pengangkut, maka diadakan pula ketentuan-ketentuan yang memperkenankan pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya. Hal ini dapat dimengerti, sebab jika pengangkut sama sekali tidak diperkenankan membatasi tanggung jawabnya, maka ada kemungkinan akan sangat kecil atau bahkan tidak ada pihak yang mau menyediakan diri sebagai pengangkut. Akibat ketiadaan pihak pengangkut dalam pengangkutan laut justru akan menimbulkan dampak yang sangat luas bagi kehidupan negara pada umumnya, atau pada negara-negara maritim khususnya.
- 14 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
KUHD mengadakan pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam beberapa pasalnya. Pasal 469 KUHD menetapkan bahwa untuk dicurinya atau hilangnya emas, perak, permata dan lainlain barang berharga, uang dan surat-surat berharga, begitupun untuk kerusakan pada barang-barang berharga yang mudah mendapat kerusakan, tidaklah si pengangkut bertanggung jawab, melainkan apabila tentang sifat dan harga barang-barang tersebut, diberitahukan kepadanya, sebelum atau sewaktu barang-barang tadi diterimanya. Kemudian, Pasal 470 ayat (1) KUHD menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan kepada si pengangkut untuk minta diperjanjikan, bahwa dia tidak bertanggung jawab atau tidak selamanya sampai suatu harga yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang diusahakannya akan pemeliharaan, perlengkapan alat pengangkutannya, ataupun kurang diusahakannya kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan, ataupun yang disebabkan karena salah memperlakukannya atau kurang penjagaannya terhadap barang yang diangkut. Janji-janji yang bermaksud demikian ialah batal. Salah memperlakukan barang dalam Pasal 470 ayat (1) tersebut maksudnya ialah sebagai perlakuan yang salah atau keliru terhadap barang itu sendiri, misalnya meletakkan atau menumpukkan berjenisjenis barang dalam satu tempat, yang menurut sifatnya sebenarnya tidak boleh disatukan. Contohnya, seperti barang-barang besi yang disatukan serta ditumpukkan pada barang-barang pecah belah. Demikian juga dengan pemeliharaan yang kurang baik terhadap mesin pendingin, sehingga menyebabkan buah-buahan yang diangkut menjadi busuk, hal ini termasuk pula dalam perlakukan yang salah terhadap barang. Dari pasal tersebut ditegaskan bahwa segala apa yang terjadi, si pengangkut tidak dapat melepaskan kewajibannya yang utama, yaitu: 1. Untuk mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutannya. 2. Untuk mengusahakan kesanggupan atau pengangkutan itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan.
- 15 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Untuk memperlakukan dan menjaga barang yang diangkut dengan baik. Perjanjian yang bertujuan untuk melepaskan diri dari kewajibankewajiban tersebut di atas tidaklah diperkenankan. Bahkan ditegaskan lagi oleh Pasal 517b, bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 470 KUHD tidak boleh diberikan untuk melakukan pengangkutan dari pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Selanjutnya, disebutkan pula bahwa pengangkut diperkenankan untuk menjanjikan bahwa dia untuk suatu potong barang masing-masing yang diangkut hanya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak boleh ditetapkan kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) kecuali apabila sebelum barang diserahkan kepadanya dia diberitahu tentang sifat dan harga dari barang tersebut. Tentang jumlah tertentu yang disebutkan tidak boleh kurang dari Rp. 600,- (enam ratus rupiah) sebenarnya tidaklah tepat, karena kata “rupiah” itu diterjemahkan dari kata “gulden”, sedangkan nilai gulden tidaklah sama dengan nilai rupiah. Terlihat bahwa ketentuan tersebut sudah ditinggalkan di dalam praktik, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Demikian pula ketentuan tersebut sudah tentu tidak berlaku bagi muatan curah, misalnya minyak atau terigu, yang dimuatkan di kapal tidak dalam unit-unit yang kecil, seperti kaleng minyak, melainkan seluruh muatan tadi dicurahkan dalam ruangan muatan kapal. Kepada pengangkut diperkenankan pula untuk memperjanjikan, bahwa dia tidak akan memberikan sesuatu ganti kerugian, apabila sifat dan harga barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Ketentuan ini ada hubungannya dengan asas pendaftaran yang mengatakan bahwa apabila pengangkut telah diberitahu tentang sifat dan harga barang muatan, maka pengangkut menerima tanggung jawab yang lebih besar terhadap barang muatan tersebut dan akibatnya dia berhak menuntut uang angkutan lebih tinggi. Dari pihak pengirim sendiri jika dia memberitahukan secara khusus sifat dan harga barang muatan berarti dia menginginkan pemeliharaan dan perhatian istimewa pula dari pengangkut, sehingga dia pun akan merasa berkewajiban untuk membayar uang angkutan yang lebih tinggi.
- 16 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Selanjutnya, Pasal 470a KUHD menentukan pula bahwa sejauh manapun pertanggungjawaban pengangkut dibatasi dalam suatu perjanjian pengangkut, pengangkut harus selalu membuktikan dia sudah secara cukup agar alat-alat pengangkutannya dipelihara dan dilengkapi secara baik serta agar alat-alat itu dapat digunakan sesuai dengan perjanjian pengangkutan, apabila ternyata kerugian yang timbul itu diakibatkan oleh sesuatu catatan dari alat pengangkut itu. Ketentuan tersebut merupakan peraturan mutlak (dwingend recht), artinya tidak dapat dikesampingkan walaupun dibuat dalam perjanjian pengangkutan. Begitupun dalam Pasal 471, dikatakan bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan, bahwa dari pihak pengangkut atau dari orang-orang suruhannya ada kesalahan atau kelalaian dalam melakukan tugas. Menurut Wirjono Prodjodikoro, istilah “kesalahan dan kelalaian” (schuld and nalatigheid) ini diartikan dalam tantangan dengan kesengajaan dan kesalahan yang agak besar, opzet atau culpa (grove schuld). Dengan demikian, harus disimpulkan, bahwa tidak diperbolehkan pengangkut menjanjikan bebas dari pertanggungjawaban, apabila dari pihaknya ada kesengajaan atas kelalaian yang agak besar (culpa). 4 4. Batas Ganti Kerugian Seperti yang telah dijelaskan di atas, KUHD dalam beberapa pasalnya telah memberikan kesempatan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dengan membuat ketentuan-ketentuan khusus dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan. Di samping pembatasan-pembatasan itu, undang-undang juga telah memberikan kemungkinan kepada pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dalam jumlah uang. Dalam Pasal 472 KUHD diatur tentang besarnya ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pengangkut dalam hal barang yang diangkutnya tidak sampai, baik seluruhnya ataupun untuk sebagian. Apabila pengangkut tidak dapat menyerahkan barang seluruhnya atau sebagian, maka ganti kerugian itu harus dihitung menurut harga 4
Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 134.
- 17 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
barang serta jenis dan keadaan yang sama di tempat penyerahan, pada saat barang tersebut seharusnya diserahkan. Jumlah itu kemudian dipotong dengan apa yang telah ditentukan dalam soal bea, biaya, dan upah pengangkutan. Sedangkan apabila terjadi kerusakan atas barang, ditetapkan oleh Pasal 473 KUHD, bahwa jumlah yang harus diganti yaitu berdasarkan harga barang sejenis, seharga dan seperti keadaan pada saat barang itu seharusnya diserahkan, dikurangi dengan harga barang yang rusak itu, serta selanjutnya dikurangi lagi dengan biaya lain, yaitu bea, uang angkutan dan lain-lain, yang seharusnya dikeluarkan oleh penerima, seandainya barang-barang itu telah diterima dengan utuh. Contoh: Harga barang seluruhnya jika sampai tidak rusak : Rp. 50.000.000,Harga barang yang sampai .: Rp. 40.000.000,Hilang/rusak : Rp. 10.000.000,Upah angkut, bea dan cukai untuk seluruh barang: Rp. 1.000.000,Upah angkut, bea dan cukai untuk barang yang sampai/tidak rusak
.
: Rp.
700.000,-
Upah angkut, bea dan cukai untuk barang yang tidak sampai/rusak
.
: Rp.
300.000,-
Jadi, yang harus diganti ialah: Rp. 10.000.000,- - Rp. 300.000,- = Rp. 9.700.000,- 5 Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu peraturan yang bersifat khusus dari peraturan-peraturan umum tentang hukum perjanjian mengenai wanprestasi yang diatur dalam KUHPerdata, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, bahwa biaya 5
Sapto Sardjono, Hukum Dagang Laut bagi Indonesia (Jakarta: CV. Simplex, 1985), hal. 86.
- 18 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdiri pada umumnya atas yang telah dideritakannya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya. Namun, sesuai dengan sifat yang tidak memaksa dari peraturan mengenai hukum perjanjian pada umumnya, maka lazim besarnya ganti kerugian terhadap tidak diserahkannya/kehilangan barang-barang yang diangkut ditentukan berdasarkan hasil perundingan/negosiasi antara pengangkut dengan penerima/pemilik barang. Artinya, untuk penentuan jumlah penggantian kerugian, para pihak dapat membuat ketentuanketentuan yang mereka sepakati bersama. Sebelum menetapkan besarnya kerugian tersebut, maka atas permintaan pengangkut atau penerima dapat menunjuk beberapa orang ahli untuk menetapkan keadaan barang pada waktu sampai di pelabuhan. Hasil pemeriksaannya, bagi hakim pada acara pemeriksaan di muka persidangan, hanya dapat dibantah dengan membuktikan kekeliruannya. Jika tidak diadakan pemeriksaan yang demikian, maka barang-barang yang diserahkan kepada penerima dianggap sudah sesuai dengan keadaan pada waktu mulai diangkut. Apabila ada kekurangan atau cacat yang kelihatan dari luar pada barangnya, penerima sebelum atau pada saat itu memberitahukan kepada pengangkut atau wakilnya dan apabila kekurangan atau cacat barang itu tidak kelihatan dari luar, diberitahukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sesudah dia menerima barangnya. Dalam hal ini, penerima ada kemungkinan mendapatkan ganti kerugian dari pengangkut. Menurut Pasal 487 KUHD, gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian tersebut hanya dapat diajukan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah barangnya diserahkan atau seharusnya diserahkan kepada si penerima. Dalam Pasal 474 KUHD ditetapkan bahwa tanggung jawab pengangkut yang sekaligus sebagai pemilik kapal terhadap kerugian yang ditimbulkan pada barang-barang yang diangkutnya dengan kapal yang bersangkutan terbatas sejumlah Rp. 50,- (lima puluh rupiah) per meter kubik, isi bersih kapal tersebut ditambah dengan isi ruangan mesin. Jadi, dalam hal ini dibedakan antara: 1. Pengangkut sebagai pemilik kapal. 2. Pengangkut bukan sebagai pemilik kapal.
- 19 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Pasal 474 KUHD hanya berlaku jika pengusaha kapal ialah selaku pengangkut, dan oleh karena itu, dia bertanggung jawab atas semua barang yang diangkutnya dengan kapal tersebut. Pengangkut tidak selalu merupakan pemilik kapal. Sebagai pengangkut dia hanya mengangkut sebagian muatan kapal atau beberapa potong darinya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pada kemampuan kapal untuk memuat, tetapi dihubungkan dengan hak tuntutannya kepada pemilik kapal. Dengan adanya ketentuan pembatasan jumlah ganti kerugian yang demikian, maka pengangkut yang pemilik kapal itu sejak semula sudah dapat memperhitungkan risiko yang menjadi bebannya. Pemilik kapal tersebut dapat mengasuransikan jumlah risiko tadi pada perusahaan asuransi yang cukup bonafide. Suatu dokumen yang sangat penting dalam pengangkutan barang-barang melalui laut ialah apa yang dikenal dengan konosemen. Mengenai hal itu, lazim juga dipergunakan nama lain seperti bill of lading atau surat muatan. KUHD mengatur konosemen ini mulai dari Pasal 504 sampai dengan Pasal 517d. Melihat cukup banyaknya pasal yang memuat pengaturan tentang konosemen, kiranya dapat menunjukkan pentingnya masalah konosemen ini. Fungsi konosemen mempunyai kaitan dengan masalah tanggung jawab pengangkut. Pertama-tama perlu diperhatikan ketentuan Pasal 504 KUHD yang menyatakan bahwa pengirim barang dapat meminta suatu konosemen dengan menukarkannya dengan recu. Hal ini menunjukkan bahwa penerbitan konosemen oleh pengangkut tidaklah merupakan suatu keharusan. Namun di dalam praktik pengangkutan laut, tidak dapat disangkal lagi, konosemen senantiasa dipergunakan. Adapun yang dimaksud dengan konosemen adalah suatu surat yang bertanggal dalam mana si pengangkut menerangkan bahwa dia telah menerima barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tertentu dan menyerahkannya di situ kepada seorang tertentu, begitu pula menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang itu akan diserahkannya. Orang ini boleh disebutkan namanya, boleh disebutkan sebagai si yang ditunjuk oleh si pengirim maupun seorang ke tiga, dan
- 20 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
boleh pula disebutkan sebagai pembawa, baik dengan, baik tanpa penyebutan seorang tertentu di sampingnya. Perkataan “atas tunjuk” saja harus dianggap sebagai bermaksud atas penunjukan si pengirim. Apabila konosemen diberikannya setelah barang-barang dimasukkan ke dalam kapal, maka haruslah di situ atas permintaan pengirim disebutkan nama kapal tersebut. Apabila konosemen diberikan sebelum barang-barang dimuat dalam kapal, tanpa penyebutan nama kapal dalam mana barang-barang tadi akan dimuatkannya, maka bolehlah pengirim meminta supaya dalam konosemen tadi masih juga oleh pengangkut dituliskan nama kapal itu dan hari dimuatnya barang-barang, segera setelah itu dilakukan. Jadi, konosemen tersebut juga dapat memuat penetapan kepada siapa barang-barang yang disebut dalam konosemen itu harus diserahkan oleh pengangkut. Hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Atas nama, dalam hal ini nama si penerima (op naam) disebut dengan jelas dalam konosemen. 2. Kepada pembawa (aan loonder), dalam hal ini nama si penerima tidak disebut dalam konosemen, atau meskipun disebut satu nama di belakangnya ditambah dengan kata-kata “atau pembawa”. 3. Kepada pengganti (aan order), artinya merupakan order dari pengirim barang (orang yang akan ditunjuk oleh pengirim). Berdasarkan Pasal 510 KUHD, setiap pemegang konosemen berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di tempat tujuan kecuali jika konosemen itu diperoleh berlawanan dengan hukum. Surat-surat yang oleh si pemegang konosemen telah diberikannya kepada orang-orang ke tiga untuk dipakai menerima sebagian dari barang-barang yang tersebut dalam konosemen, tidak memberikan suatu hak tersendiri kepada para pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barangnya dari si pengangkut. Konosemen tersebut dikeluarkan dalam 2 (dua) lembaran yang dapat diperdagangkan. Lembaran-lembaran itu berlaku kesemuanya untuk 1 (satu) dan 1 (satu) untuk kesemuanya. Artinya, apabila yang 1 (satu) sudah digunakan untuk mengambil barang, maka yang lain tidak
- 21 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
berlaku lagi. Hal ini mempunyai hubungan dengan periode tanggung jawab pengangkut, yang berakhir jika barang tersebut telah diserahkan kepada si penerima. Pengangkut tidak bertanggung jawab lagi atas apa yang terjadi terhadap barang-barang yang pernah diangkutnya sejak konosemen itu telah kembali kepadanya. Dikatakan dalam Pasal 509 KUHD, bahwa penyerahan barang hanya dilakukan dengan mengembalikan semua lembaran dari konosemen yang dapat dipergunakan atau apabila tidak dapat dikembalikan seluruhnya, harus dibuat surat jaminan untuk menanggung kerugian jika timbul akibat karena tidak diserahkannya konosemen tersebut. Ditegaskan lagi dalam Pasal 515 KUHD, bahwa setiap pemegang konosemen yang telah melaporkan diri untuk menerima barang-barang yang tersebut di dalamnya, apabila barang-barang ini telah diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, wajiblah dia memberikan konosemen tadi setelah dibubuhi tanda penerimaan. Selanjutnya, dalam konosemen itu dapat pula dicantumkan halhal yang membatasi tanggung jawab pengangkut. Misalnya, apabila dalam konosemen dicantumkan perkataan mengenai isi, keadaan, jumlah atau ukuran tertentu, maka segala penyebutan tentang isi, keadaan, jumlah atau ukuran barang-barang yang dituliskan dalam konosemen itu tidak akan mengikat pengangkut. Kecuali, apabila pengangkut mengetahuinya atau dia mengadakan perhitungan, penimbangan di depan pengangkut. Demikian pula apabila konosemen tidak menyebutkan keadaan barangnya, maka selama tidak dibuktikan sebaliknya, dianggap pengangkut telah menerima barang tersebut dalam keadaan baik sekedar itu nampak dari luar. Dalam praktik hal ini disebut dengan klausula the apparent order and condition of goods. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan tersebut di atas, maka terlihat bahwa konosemen itu mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu: 1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal maupun penerimaan untuk dikapalkan. 2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan.
- 22 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Sebagai suatu surat berharga (document of title), yaitu dapat diperdagangkan dengan cara mengalihkan hak pengambilan barang orang lain, dengan menandatangani di bagian belakang dari konosemen (di-endosir). Ketentuan yang juga penting untuk diperhatikan mengenai konosemen ini ialah bahwa semua konosemen yang isinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 470 tidak boleh diberikan untuk melakukan pengangkutan dari pelabuhan Indonesia (Pasal 517b). Maksudnya ialah, bahwa si pengangkut tidak boleh memuat dalam konosemen ketentuanketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa dia sama sekali tidak bertanggung jawab (bebas sepenuhnya dari tanggung jawab sebagai pengangkut). B. Menurut The Hague Rules Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan mengenai pengangkutan laut yang diadakan oleh masing-masing negara secara nasional tidak mampu menampung masalah-masalah internasional yang timbul terkait praktik pengangkutan laut. Dalam perjanjian pengangkutan laut, yang selalu menjadi permasalahan sejak dulu ialah tentang tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengangkutan itu. Di satu pihak, pengangkut berupaya untuk memikul tanggung jawab sekecil-kecilnya, sedangkan di lain pihak, pengirim berkeinginan agar pengangkut mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap barang-barang yang diangkutnya. Oleh karena itu, dibentuklah peraturan di tingkat internasional (konvensi internasional), antara lain, yaitu: International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bills of Lading, yang kemudian terkenal dengan nama The Hague Rules. The Hague Rules merupakan konvensi yang berisikan peraturanperaturan yang diciptakan untuk menyeragamkan ketentuan dalam pengangkutan di laut. The Hague Rules dibuat atas usaha International Law Association pada tahun 1921 di Den Haag, yang kemudian disempurnakan lagi di Brussel pada tahun 1924. Jadi, The Hague Rules itu sebenarnya merupakan hasil dari pertemuan para ahli hukum
- 23 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
internasional. Terhadap adanya The Hague Rules, dianjurkan agar negara-negara yang ikut serta menyelenggarakan perdagangan internasional juga menggunakan (mengadopsi) ketentuan ini. The Hague Rules terdiri dari 16 (enam belas) artikel, yaitu: Artikel I sampai dengan Artikel VIII mengatur tentang pengangkutan laut yang dilindungi oleh konosemen (bill of lading), dan tentang tanggung jawab pengangkut serta pembatasannya. Artikel IX mengatur tentang mata uang seperti yang tersebut dalam artikel IV (5), harus didasarkan pada nilai emas. Artikel X sampai dengan Artikel XVI mengatur agar The Hague Rules diterima sebagai undang-undang negara dan cara pengesahannya, cara pengumumannya serta cara mengadakan amandemen terhadap artikel-artikelnya. Bagi Indonesia, Pasal 517c KUHD dapat dianggap telah memberi kebebasan kepada The Hague Rules untuk diberlakukan di Indonesia bagi barang-barang yang dimasukkan ke wilayah Indonesia. Karena Indonesia tidak meratifikasi The Hague Rules, maka pasal-pasal dalam KUHD yang mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pengangkut dalam pengangkutan laut, sampai saat ini masih dianggap berlaku. Walaupun demikian, oleh perusahaan pelayaran Indonesia yang melakukan pelayaran ke dan dari luar negeri digunakan ketentuanketentuan dari The Hague Rules tersebut dengan maksud untuk mempermudah dan memperlancar hubungan perdagangan dengan negara-negara lain. Berkenaan dengan perjanjian pengangkutan laut, The Hague Rules memberikan pengertian tentang “pengangkut”, “perjanjian pengangkutan barang”, dan “kapal pengangkut barang”. Pengangkut adalah pemilik kapal atau pencarter kapal yang mengadakan perjanjian dengan pengirim barang. Dalam pengertian ini, maka pengangkut tidak harus merupakan seorang pemilik kapal, cukup apabila dia ialah seorang pencarter kapal. Yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan hanya mengenai kontrak pengangkutan yang dilindungi oleh konosemen (bill of lading) atau dokumen sejenis sepanjang dokumen tersebut mengenai pengangkutan barang-barang melalui laut, termasuk setiap konosemen
- 24 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
atau setiap dokumen sejenis itu yang diterbitkan berdasarkan charter party, sejak waktu mana konosemen atau dokumen sejenis itu mengatur hubungan antara pengangkut dan pemegang konosemen. Pengertian barang termasuk pula barang-barang buatan pabrik, barang dagangan dan alat-alat setiap jenis apa saja, kecuali binatang hidup dan barang muatan, yang menurut kontrak pengangkutan dinyatakan sebagai barang yang diangkut di atas geladak dan memang diangkut demikian. Kemudian, kapal berarti adalah setiap kapal yang digunakan untuk mengangkut barang-barang melalui laut. Sedangkan yang dimaksud dengan pengangkut barang-barang meliputi suatu jangka waktu sejak barang-barang mulai dimuat sampai pada waktu dibongkar dari kapal. 1. Memahami Konosemen menurut The Hague Rules Dalam The Hague Rules tidak ditemukan suatu pengertian (definisi) tentang apa yang dimaksud dengan konosemen (bill of lading). Tetapi secara sepintas istilah bill of lading itu telah disebutkan dalam ketentuan-ketentuan berikut: 1. Artikel I (b): “Contract of carriage applies only to contract of carriage covered by a bill of lading or any similar document of title, in so far as such document relates to the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued under a pursuant to a charterparty from the moment at which such bill of lading or similar document of title regulates the relations between a carrier and a holder of the same”. 2. Artikel III (3): “After receiving the goods into his charge the carrier or the master or agent of the carrier shall on demand of the shipper issue to the shipper a bill of lading showing among other things: (a) The leading marks necessary for identification of the goods as the same are furnished in writing by the shipper before loading of such goods starts, provided such marks are stamped or otherwise shown clearly upon the goods
- 25 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
if uncovered, or on the case or coverings in which such a manner as should ordinarily remain legible until the end of the voyage. (b) Either the number of packages or pieces or the quantity or weight, as the case may be, as furnished in writing by the shipper. (c) The apparent order and condition of the goods. Provided that to carrier, master or agent of the carrier shall be bound to state or show in the bill of lading any marks, number, quantity or weight which he has reasonable ground for suspecting not accurately to represent the goods actually received, or which he has no reasonable means of checking. 3. Artikel III (4): “Such a bill of lading shall be prima facie evidence of the receipt by the carrier of the goods as here in described in accordance with paragraphs (3a), (3b), and (3c). However, proof to the contrary shall not be admissible when the bill of lading has been transferred to a third party acting in good faith”. Mengingat pentingnya fungsi bill of lading, maka di berbagai negara telah diadakan peraturan perundang-undangan tersendiri mengenai bill of lading. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat Federal Bill of Lading Act 1916, yang kemudian dituangkan lagi dalam Carriage of Goods by Sea Act 1936. Kemudian, apakah fungsi dari konosemen (bill of lading) tersebut? Walaupun The Hague Rules tidak memberikan batasan yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan konosemen, namun dari bunyi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya, dapat disimpulkan tentang fungsi dari konosemen. Konosemen sebagai suatu dokumen perkapalan mempunyai 3 (tiga) macam fungsi, yaitu: 1. Sebagai tanda bukti penerimaan, baik penerimaan di atas kapal maupun penerimaan untuk dikapalkan, sebagaimana yang tercantum dalam Artikel III (3) dan Artikel III (7). 2. Sebagai surat persetujuan pengangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Artikel I (b).
- 26 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Sebagai suatu surat berharga yang mungkin untuk dialihkan kepada pihak ke tiga yang beritikad baik, seperti yang dinyatakan dalam Artikel III (4). Selain ketiga fungsi tersebut di atas, dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut, dikeluarkannya konosemen juga akan ikut mempengaruhi sampai seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung jawab pengangkut. Dengan demikian, berdasarkan The Hague Rules, konosemen juga dapat memberikan peluang bagi pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dalam proses pengangkutan barang melalui klausula-klausula yang dimuat dalam konosemen. Berdasarkan Artikel III (7), konosemen dapat dibagi atas: 1. Konosemen to be shipped yang berarti pengangkut telah menerima barang-barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal tertentu dan pada waktu tertentu. Namun dalam hal ini, barang-barang tersebut belum dimuat di kapal. Jika barangbarang telah dimuat di atas kapal, maka konosemen to be shipped diubah menjadi konosemen shipped. 2. Konosemen shipped, yaitu mengandung pengakuan pengangkut bahwa barang-barang seperti yang dicantumkan dalam konosemen itu benar-benar telah dimuat di atas kapal yang disebutkan namanya dan yang akan berangkat pada tanggal tertentu. 2. Periode Tanggung Jawab Pengangkut The Hague Rules menempatkan tentang periode tanggung jawab pengangkut di dalam Artikel I (e) yang berbunyi sebagai berikut: “Carriage of goods covers the period from the time when the goods are loaded on to the time when they are discharged from the ship”. Jadi, pertanggungjawaban pengangkut tersebut ialah sejak saat barang dimuat sampai barang itu dibongkar. Pertanggungjawaban pada muatan tidak akan dibebankan kepada pengangkut sebelum pemuatan dan sesudahnya pembongkaran muatan. The Hague Rules memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk membuat perjanjian mengenai hal-hal yang
- 27 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
mengangkut barang pada saat sebelum pemuatan dan sesudah pembongkaran. Alasan-alasan untuk hal itu ialah: 1. Risiko-risiko di tengah laut lebih besar daripada di darat, dan oleh karena itu prinsip-prinsip tanggung jawab harus berbeda. 2. Karena prosedur penanganan barang terkadang berbeda di berbagai negara, sehingga sebaiknya dalam menentukan periode sebelum pemuatan dan sesudah pembongkaran diserahkan kepada ketentuan hukum dari masing-masing negara yang berkontrak. 3. Kapal pengangkut menolak setiap usaha untuk menambah tanggung jawab mereka atas kejadian-kejadian yang tidak dapat mereka kuasai, misalnya hal-hal yang terjadi sesudah pembongkaran dan sebelum pengiriman kepada alamat si penerima. Pada pokoknya, periode tanggung jawab pengangkut dimulai sejak barang dimuat di kapal, selama barang dalam pelayaran, dan berakhir sampai barang itu selesai dibongkar dari kapal. Sehubungan dengan periode yang telah ditentukan tersebut, timbul masalah yang berasal dari definisi tentang kapal yang diberikan The Hague Rules. Konvensi ini menyatakan bahwa “Ship means any vessel used for the carriage of goods by sea”. Apabila 1 (satu) tongkang membawa barang-barang untuk dimuat di atas kapal, maka bagaimana tanggung jawab atas muatan yang diangkut oleh tongkang tersebut? Pengapalan tersebut merupakan bagian pemuatan yang telah tercakup dalam periode tanggung jawab menurut The Hague Rules. Sedangkan tongkang tidak termasuk dalam pengertian kapal, karena tongkang tidak membawa barang di laut. Hal itu menimbulkan rasa kurang puas terhadap periode tanggung jawab yang ditentukan oleh The Hague Rules. Pengertian kapal, menurut The Hague Rules, berarti setiap kapal yang digunakan untuk mengangkut barang-barang melalui laut. Kesulitan (kerancuan arti) yang demikian tidak akan ditemui dalam pengaturan The Hamburg Rules, karena begitu carrier mengambil alih barang-barang dia akan bertanggung jawab atas operasi/pelaksanaan pemuatan dengan tongkang, sampan dan lain-lain.
- 28 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Dalam praktik, batas tanggung jawab pengangkut menurut The Hague Rules lazim disebut dengan from end of the tackle to end of the tackle atau sering disingkat from tackle to tackle. Artinya, batas tanggung jawab pengangkut meliputi sejak saat barang dikaitkan pada sling kemudian lepas dari dermaga pelabuhan pemuatan, selama pengangkutan, dan terakhir sampai pada saat barang menyentuh permukaan dermaga pelabuhan pembongkaran serta lepas dari sling. Di luar batas tanggung jawab pengangkut itu barang-barang menjadi tanggung jawab pengirim atau penerima barang. Selama periode from end of the tackle to end of the tackle barang dilindungi oleh surat muatan menurut The Hague Rules dengan syarat bahwa dalam surat muatan dicantumkan berlakunya The Hague Rules untuk perjanjian pengangkutan yang bersangkutan. Sehingga apabila timbul masalah kehilangan atau kerusakan barang, akan diselesaikan menurut The Hague Rules. 3. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Artikel III (1) The Hague Rules ditentukan bahwa sebelum atau pada waktu dimulainya pelayaran, pengangkut berkewajiban melaksanakan dengan sewajarnya atau to exercise due diligence untuk: 1. Menjadi kapal layak laut (sea worthy). Layak laut artinya kondisi kapal harus memenuhi syarat-syarat untuk menyelenggarakan pengangkutan di laut secara baik dan aman. 2. Mencukupkan anak buah, perlengkapan dan perbekalan kapal. Dalam hal ini kapal diawaki dengan anak buah kapal, dilengkapi dan diberi persediaan sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayaran. 3. Menyiapkan dan membereskan semua ruangan kapal tempat pemadatan barang-barang agar barang-barang dapat disimpan di dalamnya dan diangkut dalam keadaan aman (cargo worthy). Kewajiban-kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab perwakilan-perwakilan agen dan semua pegawai pengangkut yang pada hakekatnya disuruh pengangkut sehubungan dengan pelaksanaan
- 29 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
pengangkutan termasuk nakhoda. Apabila pengangkut menyerahkan barang yang diangkut kepada pengangkut lain, maka pemenuhan kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut lain itu juga. Dari ketentuan di atas terlihat bahwa kewajiban pertama (yang utama) pihak pengangkut ialah melakukan penyelenggaraan atas kapalnya sehubungan dengan proses pengangkutan barang dengan sebaik-baiknya (to make the ship sea worthy, properly man, equip and supply the ship). Sedangkan kewajiban ke dua pengangkut ialah penyelenggaraan ruang-ruang muatan, di mana muatan akan ditempatkan dan untuk selanjutnya akan dibawa ke pelabuhan tujuannya. Walaupun kapal itu sendiri secara teknis telah cukup memenuhi persyaratan untuk berlayar, namun jika ruang muatannya ternyata tidak siap sewajarnya, maka kapal itu dapat dinyatakan tidak layak melaut. Berarti segala akibatnya pun harus ditanggung oleh pengangkut. Apabila terjadi suatu bencana atas kapal yang menyebabkan timbulnya kerugian atau kerusakan pada muatan, maka hal pertama yang akan dinilai ialah apakah pengangkut sudah berusaha dengan layak untuk memenuhi kewajibannya tersebut? Jika dia lalai atau tidak berusaha dengan layak untuk memenuhi kewajibannya, maka dia harus bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat kelalaiannya itu. Sebaliknya, kalau terbukti bahwa si pengangkut sudah berusaha dengan wajar, dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti kerugian yang diajukan kepadanya. Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut atas kapal ini, perlu diperhatikan bunyi Artikel III (1) yang memuat kata-kata “before and at the beginning of the voyage”, yang justru dapat menimbulkan keragu-raguan. Jangka waktu manakah yang dimaksud dengan perkataan “sebelum dan pada permulaan pelayaran” itu? Untuk masalah tersebut di atas, selanjutnya perlu pula memperhatikan kutipan dalam perkara Maxine Footwear Co. Ltd. v. Canadian Government Merchant Marine Ltd. (1959), yaitu “When the cargo had been loaded on a vessel, she was destroyed by fire before she sailed on her voyage. The fire had been caused by negligence when some scupper pipes had been thawed out by an employee of an
- 30 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
independent contractor on the authority of the master of the ship. The bill of lading incorporated The Hague Rules. The shippers claimed to recover damages for non delivery of the goods. But the ship owners contended that they had exercised due diligence to make the ship seaworthy “before and at the beginning of the voyage” within the meaning of art. III. r.1, since the ship was sea worthy at the time of loading, and the moment of the beginning of the voyage was never reached. Held, by the Judicial committee of the Privy Council, that the obligation to exercise due diligence was a condition one which the ship owners had not fulfilled since the negligence had occurred during the relevant period”. 6 Dari kutipan pengadilan pada perkara tersebut, ternyata diperoleh simpulan bahwa “Under The Rules the words “before and the beginning of the voyage” mean the periode form at least the beginning of lading until the vessel starts on her voyage”. Selanjutnya, Artikel III (2) The Hague Rules menegaskan bahwa “The carrier shall properly and carefully load, handle, stow, carry, keep, care for and discharge the goods carried”. Dengan demikian, artikel itu menekankan bahwa pihak pengangkut hendaknya memuat dengan pantas dan berhati-hati, dalam menangani, memadati, mengangkut, menyimpan, menjaga, serta membongkar barang-barang yang diangkutnya itu. Secara lebih rinci, pihak pengangkut bertanggung jawab atas keselamatan dan keutuhan barang, yaitu saat: 1. Pada waktu pemuatan sejak barang-barang dikaitkan pada derek (end of tackle) di pelabuhan pemuatan. 2. Dalam pemadatannya di palka-palka kapal. 3. Selama pengangkutan mulai dari pelabuhan pemuatan hingga di pelabuhan pembongkaran. 4. Pada waktu pembongkaran sampai barang-barang berada di atas dermaga atau perahu-perahu dalam posisi masih terkait pada derek (end of tackle) di pelabuhan pembongkaran.
6
E.R. Hardy Ivamy, Case Book on Carriage by Sea (London: Lloyds of London Press Ltd., 1985), hal. 101.
- 31 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan bill of lading. Artikel III (3) The Hague Rules menentukan bahwa “After receiving the goods into his charge the carrier or the master or agent of the carrier shall on demand of the shipper issue to the shipper a Bill of Lading”. 4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut The Hague Rules mengatur pula beberapa klausula yang membatasi tanggung jawab pengangkut: 1. Dalam Artikel III (1) mengenai due diligence clause. Yaitu apabila terbukti pengangkut telah menyelenggarakan dengan wajar agar kapal yang dipergunakan di dalam dinas pelayarannya layak melaut, kapal telah diawaki secukupnya, dan membawa bahan keperluan kapal secukupnya untuk menempuh pelayaran yang direncanakan, serta untuk keperluan muatan, semua palka, kamar pendingin dan lain-lain telah siap untuk menerima muatan, memadatkannya dengan baik, serta mengangkutnya sampai ke tempat tujuan dengan aman dan selamat, maka dia dapat membebaskan diri dari tuntutan ganti kerugian yang mungkin diajukan kepadanya. 2. Dalam Artikel III (4) mengenai prima facie evidence. Dengan adanya syarat-syarat ini dalam suatu perjanjian pengangkutan, pengangkut menyatakan bahwa dia menyanggupi untuk mengangkut sejumlah muatan berdasarkan penilaian atas barang sebagaimana keadaan itu tampak dari luar. Artinya, pengangkut dapat menolak tuntutan ganti kerugian apabila sebuah peti yang keadaannya baik, akan tetapi pada waktu dibuka kedapatan isinya rusak atau kurang. Alasan penolakannya ialah bahwa pengangkut menerima barang dalam keadaan baik dan barang yang sama diserahkan kepada consignee juga dalam keadaan baik, sama seperti keadaan waktu untuk di kapal. 3. Dalam Artikel IV (2a) mengenai negligence clause. Dalam hal ini, ditetapkan bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi karena atau diakibatkan oleh tindakan, ketidakwaspadaan atau
- 32 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kelalaian nakhoda, anak buah kapal, pandu atau orang-orang lain yang bekerja dalam dinas pengangkut, dalam hal navigasi dan manajemen kapal. Dengan adanya ketentuan ini, apabila terjadi kerugian atau kerusakan karena kesalahan navigasi atau manajemen, hal itu semata-mata merupakan tanggung jawab nakhoda atau orang-orang lain yang dimaksud. Latar belakang pemikiran ketentuan ini ialah bahwa nakhoda serta orang-orang lain itu menjalankan pekerjaan yang menjadi keahliannya, dan merekapun mempunyai sertifikat (ijazah) yang mengatakan kecakapan serta hak masing-masing untuk menjalankan pekerjaan itu dengan bebas tanpa kata perintah oleh siapapun. Pemilik kapal yang telah mempekerjakan mereka dalam jabatannya masing-masing, tidak dapat memberi instruksi dalam menjalankan navigasi dan manajemen kapal. 4. Dalam Artikel IV (4) mengenai deviation clause. Apabila diperhatikan setiap lembaran bill of lading, maka akan selalu ditemui ketentuan-ketentuan yang menetapkan bahwa kapal tidak diharuskan untuk berlayar melalui jalur yang biasanya dilayari atau yang sudah diumumkan akan dilayari. Mengenai ketentuan itu, berikut salah satu contoh dari deviation clause yang dimuat dalam suatu konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan pelayaran, yang berbunyi: “The carrier does not contract to proceed by the shortest or by she geographical or customary or advertised route (if any) and the ship or other method of conveyance may for any purpose what so ever whether on the current voyage or on a prior or subsequent voyage or whether connected with the joint adventure or not and whether before the beginning or at any time or stage of the voyage proceed by any course or route what so ever although in contrary direction to or out of or beyond the direct or geographical or customary or advertised route to the place of delivery once or more often in any order back wards without notice to shippers or consignees and for any purpose may all and/or remain or omit to call and/or remain at any port or ports place what so ever and may carry the goods back to the
- 33 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
port of loading or to any port or place whether beyond the port of delivery or not and may make any delay what so ever at or in sailing from the port of lading or any port or place as aforesaid”. Untuk dapat menetapkan kepada siapakah risiko penyimpangan arah itu dibebankan telah ditegaskan pula dalam The Hague Rules mengenai penyimpangan yang dianggap sah dan penyimpangan yang dianggap tidak sah. Penyimpangan-penyimpangan yang dianggap sah ialah jika penyimpangan arah itu dilakukan dalam rangka usaha untuk: a. Menyelamatkan atau berusaha menyelamatkan nyawa dan harta benda di laut. b. Menjaga kepentingan pengangkut dan para pemilik muatan, misalnya kapal berlindung dalam pelabuhan yang tidak termasuk dalam rencana perjalanan sebagai usaha untuk menghindari topan yang sedang lewat di daerah jalur pelayaran kapal yang bersangkutan. Ini berarti, segala kerugian dan kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari penyimpangan arah seperti yang disebutkan di atas berada di luar tanggung jawab pengangkut, sehingga pengangkut tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian dan kerusakan yang terjadi. 5. Dalam Artikel III (3) mengenai un-acquaintance clause. Dalam hal pengangkut akan membawa barang-barang muatan yang terdiri dari barang kecil, maka akan dibuatkan un-acquaintance clause ini. Pengangkut menyatakan, bahwa dia menerima barang untuk dikapalkan dalam bungkusan-bungkusan, tetapi tidak menghitung isi atau jumlah barang-barang yang terdapat dalam tiap-tiap bungkusan itu. Hal seperti ini juga terjadi dalam pengiriman barang-barang yang terdiri dari biji-bijian, seperti jagung atau beras, di mana pengangkut menyatakan tidak mengetahui timbangan muatan itu dengan tepat. Yang menjadi pegangan bagi pengangkut ialah jumlah timbangan yang diberitahukan kepadanya oleh pengirim barang. Dalam konosemen (bill of lading) yang dikeluarkan untuk pengangkutan barang kecil-kecil seperti itu biasanya ketentuan
- 34 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
yang menjadi pegangan bagi pengangkut dinyatakan sebagai berikut (contoh): 50 casses Bicycle Spokes. Said to contain: 10.000 pieces. 500 bags of rice. Said to weight: 50.000 Kgs. Kemudian, mengenai paramount clause. Paramount clause atau basic contract ialah klausula yang menyebutkan hukum apa yang digunakan sebagai dasar perjanjian pengangkutan. Klausula ini penting sebagai pedoman apabila terjadi sengketa antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan, yaitu antara pengangkut dan pengirim barang. Misalnya, apabila di dalam bill of lading ditetapkan bahwa The Hague Rules 1924 sebagai paramount clause, maka jika timbul perselisihan akan digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam The Hague Rules 1924 itu untuk proses penyelesaian sengketa. Ketentuan ini dibuat juga untuk memberikan batas pasti yang dapat dipikul oleh pengangkut, yang artinya erat pula kaitannya dengan masalah tanggung jawab maksimum dalam pemberian ganti kerugian oleh pengangkut. Dalam hubungannya dengan pembatasan tanggung jawab pengangkut, telah ditegaskan pada Artikel III (8) bahwa setiap klausula, janji atau persetujuan dalam kontrak pengangkutan yang meringankan tanggung jawab pengangkut atau kapal terhadap kerugian atau kerusakan atau dalam hubungannya dengan barang-barang yang timbul dari kelalaian, kesalahan atau kegagalan dalam tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah ditetapkan atau mengurangi tanggung jawab secara lain dari apa yang ditetapkan adalah batal dan tidak berlaku. Namun untuk pengangkutan-pengangkutan yang bersifat khusus, pengangkut diberi kebebasan untuk melepaskan seluruh atau sebagian hak serta kekebalan atau kebebasannya itu, atau menambah sesuatu kewajiban atau tanggung jawab di luar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam The Hague Rules ini, sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Misalnya, pengangkut dapat menyatakan dalam surat perjanjian pengangkutan, bahwa dia menyetujui untuk mengurus penyerahan barang sampai gudang pemilik
- 35 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
muatan di pelabuhan tujuannya (system door to door service). Tentang penyerahan seperti itu harus dinyatakan di dalam bill of lading. Tetapi selain hal tersebut, juga secara tegas, The Hague Rules dalam Artikel IV telah mengatur tentang hak-hak dan kekebalan dari pengangkut. Ditegaskan dalam Artikel IV (2), bahwa baik pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab terhadap kerugian atau kerusakan yang timbul atau sebagai akibat dari: 1. Perbuatan, kelalaian atau kegagalan nakhoda, pelaut, pandu atau buruh-buruh dari pengangkut bidang navigasi atau pengurusan kapal. 2. Api, kecuali diakibatkan oleh kesalahan yang sesungguhnya atau kesalahan pribadi pengangkut. 3. Bencana, bahaya dan kecelakaan laut atau diperairan yang dapat dilayari lainnya. 4. Takdir Tuhan. 5. Tindakan perang. 6. Musuh masyarakat/negara. 7. Penangkapan atau penahanan oleh raja, pemerintahan atau rakyat, atau penyita menurut hukum. 8. Pembatasan-pembatasan karantina. 9. Perbuatan atau kealpaan pengiriman atau pemilik barangbarang, agennya atau perwakilan. 10. Pemogokan atau penutupan perusahaan, penghentian atau perintangan pekerjaan dengan alasan apapun, apakah sebagian atau seluruhnya. 11. Kerusuhan dan pemberontakan. 12. Penyelamatan atau usaha menyelamatkan jiwa manusia atau harta benda di lautan. 13. Penyusutan dalam jumlah atau berat atau setiap kerugian atau kerusakan lain yang timbul dari cacat yang melekat kualitas atau sifat buruk dari barang-barang. 14. Pengepakan yang tidak baik. 15. Merk-merk yang tidak cukup jelas atau tahan lama. 16. Cacat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan.
- 36 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
17. Setiap sebab lain yang timbul tanpa kesalahan nyata dan pribadi dari pengangkut dan tanpa kesalahan atau kelalaian dari agen atau buruhnya pengangkut. Jadi, The Hague Rules sudah memberikan suatu pedoman yang jelas dalam hal mana pengangkut tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang timbul. Suatu hal penting yang mempunyai kaitan dengan tanggung jawab pengangkut menurut The Hague Rules ialah tentang konosemen (bill of lading). Perlu kembali diingat, bahwa The Hague Rules hanya berlaku bagi pengangkutan melalui laut yang dilindungi konosemen. Artikel III (7) menjelaskan bahwa “After the goods are loaded, the bill of lading to be issued by the carrier, master or agent of the carrier to the shipper shall, if the shipper so demands, be a “shipped” bill of lading…”. Maksudnya ialah bahwa setelah menerima barangbarang dalam kekuasaannya pengangkut berkewajiban mengeluarkan konosemen (bill of lading) atas permintaan pengirim barang, yang memuat antara lain: 1. Merk-merk utama yang diperlukan sebagai tanda pengenal atas barang-barang seperti yang telah disiapkan oleh pengirim secara tertulis sebelum pemuatan barang-barang itu dimulai. Merk tersebut dapat dicap atau dengan cara lain, yang dapat nampak jelas pada barang-barang jika tidak tertutup atau jika ditaruh dalam peti atau dalam bungkusan, sedemikian rupa sehingga dalam keadaan biasa merk-merk itu tetap dapat dibaca sampai akhir perjalanan. 2. Jumlah koli atau potong barang, begitu juga banyaknya atau beratnya, bagaimanapun keadaannya, sama seperti yang telah diberitahukan pengirim secara tertulis. 3. Keadaan barang-barang tersebut seperti yang kelihatan dari luar. Demikianlah, jadi dapat dipahami bahwa konosemen tersebut merupakan bukti penting penerimaan barang oleh pengangkut. Begitu juga dalam kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut, dikeluarkannya sebuah konosemen merupakan suatu hal yang penting pula. Hal ini disebabkan oleh karena dengan adanya klausula-klausula
- 37 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
yang tercantum dalam konosemen akan ikut mempengaruhi sampai seberapa jauh dan berapa besarnya tanggung jawab pengangkut. Dengan perkataan lain, bahwa di samping adanya kewajibankewajiban utama sebagaimana yang telah dijelaskan, The Hague Rules ternyata juga telah memberikan kemungkinan bagi pengangkut untuk membatasi tanggung jawabnya dengan (melalui) klausula-klausula yang dimuat dalam konosemen. 5. Batas Ganti Kerugian Dari uraian tersebut di atas telah diketahui bahwa pengangkut dapat membatasi tanggung jawabnya dengan mengadakan klausulaklausula yang bisa dicantumkan dalam bill of lading. Di samping hal itu, The Hague Rules menetapkan pula batas ganti kerugian maksimum yang harus dibayar oleh pengangkut apabila muatan yang diangkutnya mengalami kerusakan atau kerugian yang menjadi tanggung jawabnya. Ketentuan tentang maximum liability (ganti kerugian maksimum) ini akan berlaku dalam hal si pengirim barang tidak menerangkan sifat dan nilai barang (keterangannya tidak tercantum di dalam bill of lading). Mengenai penetapan maximum liability dari pihak pengangkut terdapat perbedaan antara yang diatur dalam The Hague Rules 1924 dan The Hague Visby Rules 1968. Di dalam The Hague Rules 1924 ditetapkan maximum liability tersebut adalah sebesar £ 100 per package atau unit (per collo muatan). Artinya, pengangkut hanya bertanggung jawab sebesar £ 100 per collo muatan, apabila muatan yang diangkutnya mengalami kerusakan atau kerugian yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini berarti pula bahwa The Hague Rules tidak mengatur tentang penggantian kerugian terhadap muatan curah dan pengangkutan barang dengan memakai kontainer. Ketentuan yang terdapat dalam The Hague Rules 1924 yang membatasi tanggung jawab pengangkut hanya sampai pada jumlah 100 pound sterling untuk setiap bungkus/koli atau unit barang menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak negara-negara shipper. Ketidakpuasan terhadap ketentuan yang membatasi penggantian kerugian itu menjadi salah satu alasan bagi negara-negara shipper untuk mengadakan perubahan terhadap The Hague Rules 1924.
- 38 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Selain ketidakpuasan terkait dengan masalah pembatasan ganti kerugian tersebut, terdapat juga beberapa masalah lain yang mendorong proses perubahan The Hague Rules 1924, antara lain, yaitu: 1. Beberapa negara peserta konvensi menginginkan agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi hendaknya dimasukkan ke dalam surat muatan (bill of lading) dari negara-negara yang menyelenggarakan pengangkutan barang-barang. Jadi, maksudnya agar ketentuan-ketentuan dalam konvensi tidak hanya berlaku bagi negara-negara peserta konvensi saja. 2. Batas ganti kerugian maksimum £ 100 per package atau unit, sebagai akibat adanya devaluasi dari pound sterling, tidak lagi memuaskan pihak shipper. 3. Di tahun-tahun terakhir, sebagian besar pengangkut laut telah menunjukkan kemajuan (perkembangan) dengan menggunakan kontainer. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, mulai tahun 1968, di Brussel, diadakan suatu protokol untuk menyempurnakan Artikel IV (5) dari The Hague Rules. Nama lengkap protokol itu ialah Protocol to Amend the International Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Bill of Lading. Hasil final protokol ditandatangani pada tanggal 23 Februari 1968, di Visby, sehingga protokol tersebut kemudian juga dikenal dengan sebutan The Hague Visby Rules. Protokol tersebut membawa perubahan terhadap maximum liability dari pengangkut dan ruang lingkup berlakunya ketentuanketentuan konvensi. Protokol itu telah menambahkan suatu sistem yang berdasarkan berat di samping per package atau unit. Sehingga, shipper dapat memperoleh dalam jumlah yang pasti, berdasarkan per package atau unit atau atas jumlah kilo (berat) dari barang yang rusak, terserah mana yang lebih tinggi. Maximum liability menurut protokol baru (The Hague Visby Rules) tersebut ialah 10.000,- franc per koli atau 30 franc per kilo dari berat kotor barang yang hilang atau rusak, mana saja yang lebih tinggi, sebagaimana ditentukan dalam Artikel IV (5a) yang berbunyi: “Unless the nature and value of such goods have been declared by the shipper before shipment and inserted in the Bill of Lading, neither the carrier
- 39 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
nor the ship shall in any event be or become liable for any loss or damage to or in connexion with the goods in amount exceeding the equivalent of franc 10.000,- per package or unit or franc 30 per kilo of gross weight of the goods lost or damage, whichever is the higher”. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam Artikel III (5a), bahwa “A Franc means a unit consisting of 65,5 milligrams of gold of millesimal fineness 900’. The date of conversion of the sum awarded in national currencies shall be governed by the law of the court seized of the case”. Maksudnya ialah bahwa 1 (satu) franc berarti 1 (satu) satuan uang yang bernilai 65,6 miligram emas dari campuran 900’ per seribu. Tanggal penukaran jumlah uang tersebut dengan uang nasional diatur oleh hukum pengadilan mengenai perkara itu. Selain menegaskan jumlah tersebut di atas, ditentukan pula baik pengangkut maupun kapal tidak akan berhak untuk memanfaatkan pembatasan tanggung jawab yang diberikan, apabila dapat dibuktikan bahwa kerusakan itu akibat dari suatu tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan kerusakan atau secara tidak hati-hati dan dengan kesadaran bahwa perbuatan itu dapat menimbulkan kerusakan. Dengan perkataan lain, kepada pengangkut tetap diberikan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayaran yang layak dan aman untuk mengangkut barang sampai ke tujuan. Kemudian, walaupun telah ditentukan jumlah maksimum tadi, The Hague Rules tetap memberikan kemungkinan kepada pengangkut, nakhoda, atau agen pengangkut untuk mengadakan persetujuan dengan pengirim untuk lebih menetapkan jumlah maksimum yang lain, asalkan lebih dari jumlah maksimum yang telah ditetapkan. Selanjutnya, pengangkut tidak akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa kerugian atau kerusakan pada atau yang berkaitan dengan barang-barang, jika sifat atau nilai dengan sengaja telah ditulis secara tidak benar oleh pengirim dalam konosemen. Selain menentukan liability dari pengangkut, The Hague Rules mengatur pula mengenai tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian. Dinyatakan, bahwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian harus secara tertulis. Apabila kerusakan itu segera dapat
- 40 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
diketahui oleh penerima barang, maka harus dilakukannya sebelum atau setelah penyerahan barang, yang ditujukan kepada pengangkut atau kepada agennya di tempat pelabuhan pembongkaran. Tetapi, kalau kerusakan itu tidak segera dapat diketahui, maka tenggang waktu untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian adalah 3 (tiga) hari setelah penyerahan barang, sebagaimana diatur dalam Artikel III (6): “If the loss or damage is not apparent the notice must be given within three days of the delivery”. Selanjutnya, dinyatakan pula dalam Artikel III (6), bahwa pengangkut dan kapal dalam setiap peristiwa dibebaskan dari semua tanggung jawab apapun terhadap barang-barang, kecuali jika ada gugatan jangka waktu 1 (satu) tahun sesudah penyerahan atau sejak barang-barang itu sedianya diserahkan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak. Pihak pengangkut juga dapat menolak gugatan (tuntutan) ganti kerugian yang diajukan kepadanya, akan tetapi harus sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditegaskan oleh konvensi ini. C. Menurut The Hamburg Rules Sebagai sebuah konvensi yang mengatur pengangkutan laut, The Hague Rules telah mengalami perubahan. Hal ini dimaksudkan agar The Hague Rules tetap dapat memenuhi kebutuhan para pihak yang berkepentingan dengan kegiatan pengangkutan laut. Perubahan terhadap The Hague Rules 1924 diadakan di Visby pada tahun 1968, dan hasil perubahannya dikenal dengan sebutan Protokol 1968 (The Hague Visby Rules). Ternyata The Hague Visby Rules belumlah memuaskan para pihak yang ada, terutama mereka yang berasal dari negara-negara berkembang yang sebagian besar bukanlah pihak pengangkut melainkan sebagai pengirim yang mewakili pemilik barang. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena masih ada masalahmasalah yang belum mampu dipecahkan oleh Protokol 1968, antara lain, misalnya mengenai tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan kontainer. Itulah sebabnya Protokol 1968 pada akhirnya
- 41 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
hanya diratifikasi oleh beberapa negara saja. Indonesia sendiri juga tidak meratifikasinya. Mengenai kelemahan yang dikandung oleh Protokol 1968 tersebut, Samin Mankabady mengatakan bahwa, “The reforms brought by the Protocol were minor. They have not resolved the overlap between cargo insurance and liability insurance, nor have they taken sufficient account of the modern techniques in cargo handling. Consequently, the Protocol was ratified by few countries. Many countries, especially the developing States, which are non-carrier countries were waiting to see the outcome of the Uncitral work. The Hamburg Rules brought radical reforms and in general they satisfy modern commercial needs”. 7 Kemudian, berdasarkan keadaan tersebut di atas, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1970 menerbitkan suatu usulan yang terperinci untuk mengadakan perubahan lagi terhadap The Hague Visby Rules. UNCTAD mengundang The United Nations Commission on International Trade Law untuk mempelajari kekurangan-kekurangan yang ada, dan mengusahakan perbaikan dari The Hague Visby Rules. Setelah melalui beberapa kali penyempurnaan, bertempat di Hamburg, kemudian lahirlah United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, pada tanggal 31 Maret 1970. Konvensi ini dikenal pula dengan sebutan The Hamburg Rules. The Hamburg Rules, secara garis besar, terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu: I. General Provisions. II. Liability of the Carrier. III. Liability of the Shipper. IV. Transport Document. V. Claim and Actions. VI. Supplementary Provisions.
7
Samir Mankabady, “The Hamburg Rules on the Carriage of Goods by Sea”, dalam Samir Mankabady ed., Comments on the Hamburg Rules (Boston: SythoffLeiden, 1978), hal. 34.
- 42 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Artikel 1 The Hamburg Rules memuat beberapa pengertian dari istilah-istilah berikut: 1. Carrier (pengangkut) ialah setiap orang, yang olehnya atau atas nama siapa telah ditutup kontrak pengangkutan barang melalui laut dengan pengirim. 2. Actual carrier (pengangkut sesungguhnya) ialah mereka yang melaksanakan pengangkutan barang atas sebagian pengangkutan yang telah dipercayakan kepadanya oleh pengangkut (carrier) dan termasuk pula orang lain terhadap siapa pelaksanaannya telah dipercayakan kepadanya. 3. Shipper (pengirim) ialah setiap orang yang olehnya atau atas nama siapa, atau bagi kepentingan siapa suatu kontrak pengangkutan barang-barang melalui laut telah ditutup dengan pengangkut atau setiap orang oleh siapa atau atas nama siapa atau untuk kepentingan siapa nyata-nyata telah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut dalam hubungannya dengan kontrak pengangkut laut. 4. Consignee (penerima) ialah orang yang berhak menerima penyerahan barang-barang. Konvensi ini mengartikan barang itu lebih luas, yaitu meliputi juga binatang-binatang yang hidup dan barang-barang yang dimasukkan di dalam container (tempat barang) atau seat (pembungkus). 5. Contract of carriage by sea (kontrak pengangkutan) ialah suatu kontrak, dengan mana pengangkut melakukan pekerjaan dengan pembayaran uang angkutan untuk mengangkut barang melalui laut dari suatu kontrak yang meliputi pengangkutan laut dan juga pengangkutan jenis lain, itu dianggap sebagai kontrak pengangkutan laut. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh konvensi ini, hanya sepanjang ada hubungannya dengan pengangkutan laut. 6. Bill of lading (konosemen) ialah dokumen yang membuktikan adanya kontrak pengangkutan laut dan pengambilan alih atau pemuatan barang-barang oleh pengangkut, dengan mana pengangkut melakukan penyerahan barang-barang atas dasar penyerahan dokumen. Suatu ketentuan dalam dokumen yang
- 43 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
menyatakan bahwa barang-barang diserahkan kepada orang tertentu yang ditunjuk, atau kepada pengganti atau kepada pembawa, menimbulkan wewenang untuk melakukan perbuatan semacam itu. 1. Periode Tanggung Jawab Artikel 4 (1) The Hamburg Rules menyatakan bahwa, “The responsibility of the carrier for the goods under this convention covers the period during which the carrier is in charge of the goods at the port of loading, during the carriage and at the port of discharge”. Artinya, tanggung jawab pengangkut terhadap barang meliputi jangka waktu selama pengangkut menguasai barang-barang itu di pelabuhan muatan, selama pengangkutan, dan di pelabuhan pembongkaran. Dengan perkataan lain, periode pertanggungjawaban pengangkut dimulai sejak saat barang ada di bawah penguasaan pengangkut sampai pada saat barang-barang itu diserahkan kepada consignee. Kemudian dijelaskan pula, bahwa pengangkut dianggap menguasai barang-barang muatan: 1. Mulai pada waktu pengangkut mengambil alih barang-barang itu dari: a. Pengirim atau orang yang bertindak atas namanya, atau; b. Penguasa berwenang atau pihak ke tiga lain yang menurut hukum atau peraturan yang berlaku di pelabuhan pemuatan, barang-barang harus diserahkan untuk pengapalannya. 2. Sampai saat pengangkut menyerahkan barang-barang itu: a. Kepada penerima; b. Dalam hal penerima tidak menerima barang-barang dari pengangkut, dengan cara menempatkan barang-barang itu dalam pengurusan di penerima sesuai dengan kontrak atau dengan hukum atau kebiasaan pada perdagangan khusus, yaitu berlaku di pelabuhan pembongkaran, atau; c. Dengan menyerahkan barang-barang kepada penguasa yang berwenang atau pihak ke tiga lain, yang menurut hukum atau peraturan yang berlaku di pelabuhan
- 44 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
pembongkaran barang-barang itu harus diserahkan kepadanya. Dengan adanya kata-kata “mengambil alih” (take over), berarti pada saat itu tanggung jawab pengangkut juga menyangkut pengawasan atas barang-barang. Dengan perkataan lain, pengawasan yang efektif ialah unsur yang penting dalam pengambilalihan barang-barang. Pengambilalihan barang-barang merupakan suatu faktor yang dapat dibuktikan dengan jelas, dan ini biasanya terjadi apabila bill of lading dikeluarkan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikatakan bahwa apabila pengangkut atau pengangkut pelaksana menerima barangbarang, atas permintaan pengirim, dia harus menyerahkan bill of lading kepada pengirim, sebagaimana dinyatakan dalam Artikel 14 (1) The Hamburg Rules, yaitu bahwa “When the carrier or the actual carrier takes the goods in his charge, the carrier must, on demand of the shipper, issue to the shipper a bill of lading”. Namun, dapat juga carrier mengambil alih barang-barang di bawah pengawasannya sebelum mengeluarkan bill of lading. Apabila pengangkut mengambil alih barang dari pengirim atau seorang yang berwenang, berarti dia kemudian bertanggung jawab menangani, menyimpan, memuat, dan membongkar barang-barang, tanggung jawab berlangsung sampai dia menyerahkan barang-barang ke tujuan. Misalnya, pengangkut telah mengambil alih barang-barang itu lalu diangkut dengan perahu-perahu kecil (tongkang) ke kapal, maka periode pengangkut untuk bertanggung jawab meliputi juga sejak barang-barang itu diterimanya, pemuatan ke tongkang-tongkang, kepindahannya ke kapal, sampai barang itu diterima di pelabuhan tujuan. Mengenai hal itu, perlu diperhatikan Artikel 23 The Hamburg Rules yang mengatakan bahwa di dalam bill of lading atau dokumen lain yang membuktikan adanya kontrak pengangkutan dapat dicantumkan syarat-syarat, asalkan syarat itu tidak menghapus langsung atau tidak langsung berlakunya ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini.
- 45 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Dalam hal pertanggungjawaban pengangkut, ditegaskan pula bahwa dalam bill of lading diperkenankan untuk membuat syarat yang tujuannya meningkatkan tanggung jawab pengangkut. Jadi, periode tanggung jawab pengangkut dalam The Hamburg Rules ini adalah lebih tegas dan sekaligus memberi tanggung jawab yang besar kepada pengangkut. Pertanggungjawaban yang dipikul oleh pengangkut tersebut ialah suatu kenyataan, bahwa pengangkut dalam perjanjian pengangkutan itu merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk memberikan suatu jasa, sedangkan kepentingan pengirim sebagai pihak pemakai jasa tentulah yang lebih diutamakan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menjadikan banyak negara, terutama negara-negara Barat, menanggapi The Hamburg Rules itu secara pasif, sehingga mereka lebih condong untuk tetap menggunakan The Hague Rules atau The Hague-Visby Rules. Sebaliknya, negara-negara berkembang yang pada umumnya bertindak sebagai pemakai jasa justru menyambut baik hadirnya The Hamburg Rules ini. 2. Dasar Tanggung Jawab Pengangkut The Hamburg Rules menegaskan mengenai dasar tanggung jawab pengangkut dalam Artikel 5 yang berbunyi: “The carrier is liable for loss resulting from loss of or damage to the goods, as well as from delay in delivery, if the occurrence which caused the loss, damage or delay took place while the goods were in his charge as defined in article 4, unless the carrier proves that he, his servants and agents took all measures that could reasonably be required to avoid the occurrence and its consequences”. Hal tersebut berarti, bahwa apabila selama jangka waktu pertanggungjawabannya terjadi peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kerusakan barang-barang atas keterlambatan, pengangkut harus bertanggung jawab dan dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian. Jika terjadi peristiwa yang demikian itu, si pengangkutlah yang harus membuktikan bahwa dia, buruh-buruhnya, atau agennya telah melakukan langkah pantas yang dibutuhkan untuk menghindari
- 46 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
peristiwa dan akibatnya. Asas ini disebut juga dengan presumed fault or neglect. Jadi, tanggung jawab pengangkut meliputi: 1. Kerugian sebagai akibat kerugian/kehilangan atau kerusakan barang. 2. Kerugian karena keterlambatan penyerahan barang. Mengenai hal keterlambatan, dijelaskan dalam Artikel 5 (2), yaitu: “Delay in delivery occurs when the goods have not been delivered at the port of discharge provided for in the contract of carriage by sea within the time expressly agreed upon or, in the absence of such agreement, within the time which it would be reasonable to require of a deligent carrier, having regard to the circumstance of the case”. Maksudnya ialah bahwa keterlambatan penyerahan dianggap terjadi apabila barang-barang belum diserahkan di pelabuhan pembongkaran yang telah ditentukan dalam perjanjian pengangkutan laut dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama. Jika tidak dibuat perjanjian yang tegas tentang jangka waktu tersebut, maka menurut konvensi, diambil suatu jangka waktu yang layak dibutuhkan oleh seorang pengangkut yang hati-hati dan berpengalaman terhadap peristiwa-peristiwa dalam kasus itu. Apabila pengangkut tidak menyerahkan barang-barang dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari berturut-turut sesudah jangka waktu yang dijanjikan atau waktu yang layak dibutuhkan tersebut lewat, maka orang yang berhak membuat tuntutan bagi kerugian barang, dapat memperlakukan barang-barang sebagai hilang. Artinya, dia dapat menuntut pertanggungjawaban si pengangkut akibat hilangnya barang. Di samping hal-hal tersebut di atas, pengangkut bertanggung jawab pula: 1. Terhadap kerugian atau kerusakan barang yang disebabkan karena api, jika penuntut dapat membuktikan bahwa api itu timbul karena kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut, buruh, atau agen-agennya. 2. Untuk kerugian, kerusakan atau keterlambatan penyerahan yang dibutuhkan oleh penuntut sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian pengangkut, buruh-buruh, atau agen-agennya dalam mengambil tindakan-tindakan yang pantas dilakukan
- 47 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
untuk memadamkan api dan menghindari atau mengurangi akibat-akibatnya. Dalam peristiwa-peristiwa di atas, jika si penuntut atau pengangkut menghendaki, dapat diadakan penelitian-penelitian terhadap sebabmusabab dan keadaan yang sebenarnya. Apabila yang diangkut adalah binatang hidup, pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan sebagai akibat dari risiko khusus dalam pengangkutan hewan tersebut, apabila dia dapat membuktikan bahwa dia telah mentaati instruksi khusus dari pengirim mengenai binatang itu. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian, kerusakan atau keterlambatan apabila dibuktikan bahwa seluruh atau sebagian dari kerugian, kerusakan atau keterlambatan penyerahan diakibatkan karena kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut, buruh-buruh, atau agenagennya. Dalam hal ini pengirim yang harus membuktikan bahwa pengangkut telah melakukan kesalahan atau kelalaian. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab, jika kerugian atau keterlambatan penyerahan disebabkan tindakan-tindakan untuk menolong jiwa manusia atau karena tindakan-tindakan yang pantas/seperlunya untuk menyelamatkan harta benda di laut. Dengan perkataan lain, pengangkut dapat melepaskan tanggung jawab atau dikecualikan dari tanggung jawabnya apabila: 1. Dia (pengangkut) dapat membuktikan bahwa dia, buruhburuhnya, atau agen-agennya telah melakukan segala tindakan yang layak untuk menghindari peristiwa-peristiwa dan akibatakibatnya. Dalam menentukan tindakan yang layak/seperlunya, diperhatikan penilaian yang objektif terhadap seorang carrier yang teliti (bon pere de famille). 2. Kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh kebakaran dan penuntut tidak dapat membuktikan bahwa api berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengangkut, buruh-buruhnya, atau agen-agennya. Dalam hal ini, harus ada api, bukan hanya panas, mungkin juga barang rusak karena air untuk memadamkan api.
- 48 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Kerusakan atau kehilangan yang diakibatkan oleh binatangbinatang hidup, yang disebabkan sifat risiko-risiko khusus dalam pengangkutan hewan tersebut. 4. Kerusakan atau kehilangan yang diakibatkan oleh tindakantindakan untuk menyelamatkan jiwa manusia atau karena tindakan yang layak untuk menyelamatkan harta benda di laut. Namun terhadap terjadinya avarai umum, pengangkut tetap bertanggung jawab. Avarai umum adalah kerugian yang dalam keadaan darurat telah dengan sengaja ditimbulkan dan yang diderita sebagai akibat langsung dari tindakan itu dan biayabiaya luar biasa yang dalam keadaan darurat telah dikeluarkan guna keselamatan dan kesejahteraan umum kapal serta muatannya. Avarai umum ini dibebankan bersama kepada kapal, uang angkutan, dan muatan. Selain hal tersebut, Artikel 5 (7) The Hamburg Rules menyatakan pula bahwa “Where fault or neglect on the part of the carrier, his servants or agents combines with another cause to produce loss, damage or delay in delivery, the carrier is liable only to the extent that the loss, damage or delay in delivery is attributable to such fault or neglect, provided that the carrier proves the amount of the loss, damage or delay in delivery not attributable thereto”. Maksudnya ialah, walaupun diberikan perkecualian-perkecualian seperti tersebut di atas, tetapi jika terdapat kesalahan atau kelalaian dari pihak pengangkut, buruh-buruh, atau agen-agennya yang bergabung dengan suatu sebab lain yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atau keterlambatan penyerahan, pengangkut tetap bertanggung jawab. Pihak pengangkut bertanggung jawab hanya sejauh kesalahannya dalam menyebabkan kerugian itu, asalkan dia dapat membuktikan jumlah kerugian, kerusakan atau keterlambatan yang tidak diakibatkan olehnya. The Hamburg Rules mengandung suatu kekhususan jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUHD dan The Hague Rules. Di samping mengatur tentang tanggung jawab pengangkut, secara tersendiri diatur pula tentang tanggung jawab pelaksana pengangkut (actual carrier). Untuk hal itu perlu diperhatikan Artikel 10 (1) dari The Hamburg Rules yang menyatakan “Where the
- 49 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
performance of the carriage or part there of has been entrusted to an actual carrier, whether or not in pursuance of a liberty under the contract of carriage by sea to do so, the carrier nevertheless remains responsible for the entire carriage according to the provisions of this Conventions to the carriage performed by the actual carrier, for the acts and omission of the actual carrier and of his servants and agents acting within the scope of their employment”. Dalam ketentuan tersebut di atas terdapat suatu prinsip yang tegas, yaitu meskipun sebagian ataupun seluruh pelaksanaan pengangkutan oleh pengangkut telah dipercayakan kepada pelaksana pengangkut, namun pengangkut masih tetap bertanggung jawab terhadap seluruh pelaksanaan pengangkutan sesuai dengan ketentuan The Hamburg Rules ini. Ditegaskan lagi, bahwa carrier (pengangkut) tetap bertanggung jawab sehubungan dengan pengangkutan di laut yang dilaksanakan oleh actual carrier dan dari buruh-buruh atau agenagennya selama dalam lingkungan pekerjaannya. Seluruh ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban carrier berlaku pula bagi actual carrier. Namun apabila pengangkut mengadakan suatu persetujuan khusus dengan pengirim, yang memuat kewajiban yang tidak ditentukan oleh The Hamburg Rules, maka hal itu hanya akan berlaku bagi actual carrier jika dia memberikan persetujuannya secara tertulis dan tegas. Pengangkut (carrier) tetap terkait oleh kewajiban-kewajiban atau pelepasan hak yang timbul dari persetujuan khusus itu, tidak terpengaruh oleh apakah actual carrier menyetujui atau tidak. Selanjutnya, dalam Artikel 11 The Hamburg Rules mengatur pula tentang pertanggungjawaban pengangkut dalam pengangkutan terusan. The Hamburg Rules sebenarnya tidak memberikan penjelasan secara tegas (eksplisit) mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “pengangkut terusan”. Dalam Artikel 10 (1) diatur bahwa jika dalam suatu perjanjian pengangkutan, secara tegas ditentukan bahwa sebagian khusus pengangkutan yang ditutup oleh kontrak itu akan diselenggarakan bukan oleh pengangkut (carrier), maka dapat ditentukan dalam kontrak itu bahwa pengangkut (carrier) tidak bertanggung jawab atas kehilangan,
- 50 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kerusakan atau keterlambatan disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi sewaktu barang-barang itu dalam penguasaan pelaksanapelaksana pengangkut, selama dia melakukan pengangkutan yang menjadi bagiannya. Sebenarnya, masalah pertanggungjawaban seperti yang dinyatakan dalam pengangkutan terusan ini telah tercakup dalam ketentuan Artikel 10 tersebut. 3. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa The Hamburg Rules telah menetapkan secara lebih tegas mengenai tanggung jawab pengangkut daripada The Hague Rules. Pengangkut bertanggung jawab atas akibat dari hilang dan rusaknya barang, juga diperluas dengan bertanggung jawab atas keterlambatan penyerahan barang-barang, jika hal itu terjadi selama barang-barang tadi ada dalam penguasaan pengangkut. Kalau terjadi kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan barang oleh pihak pengangkut, maka pihak pengangkutlah yang harus membuktikan ketidaksalahan pengangkut, apabila terjadi tuntutan ganti kerugian yang disebabkan oleh karena adanya kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan dalam penyerahan barangbarang tersebut. Selain menegaskan tanggung jawab pengangkut, The Hamburg Rules melalui Artikel 6 (1a) menjelaskan pula mengenai batas tanggung jawab pihak pengangkut, yaitu bahwa “The liability of the carrier for loss resulting from loss of or damage to goods according to the provisions of article 5 is limited to an amount equivalent to 835 units of account per package or other shipping unit or 2,5 units of account per kilogram of gross weight of the goods lost or damaged, whichever is the higher”. Kemudian, Artikel 6 (1b) menjelaskan bahwa “The liability of the carrier for delay in delivery according to the provisions of article 5 is limited to an amount equivalent to two and a half times the payable for goods delayed, but not exceeding the total freight payable under the contract of carriage of goods by sea”. Maksudnya ialah bahwa pertanggungjawaban pengangkut atas kerugian yang diakibatkan karena
- 51 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kehilangan atau kerusakan barang-barang, dibatasi pada jumlah 835 satuan uang per koli atau 2,5 satuan uang per kilogram dari berat kotor barang yang rusak atau hilang, mana yang lebih tinggi. Satuan uang ini, menurut Artikel 26 The Hamburg Rules, adalah SDR yang nilainya ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF). Pertanggungjawaban pengangkut atas keterlambatan penyerahan barang dibatasi pada jumlah 2,5 kali dari angkutan yang harus dibayar bagi barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah seluruh uang angkutan yang harus dibayar. Jadi, batas tanggung jawab didasarkan atas per package (kemasan) unit pengapalan atau berat, yang mana yang tertinggi. Tanggung jawab atas keterlambatan dikaitkan dengan jumlah muatan. Pengaturan batas tanggung jawab seperti tersebut di atas, merupakan penyesuaian atas pengangkutan barang dengan menggunakan container. Dalam Artikel 6 (2a) The Hamburg Rules dinyatakan bahwa apabila suatu peti kemas besar atau alat pengangkut sejenis yang dipergunakan untuk mengumpulkan barang-barang, kemasan atau satuan-satuan lain barang kiriman dengan kapal yang disebutkan satu per satu dalam bill of lading (konosemen), maka dianggap sebagai kemasan atau satuan-satuan barang kiriman dengan kapal, kecuali jika barang-barang dalam alat pengangkut tersebut dianggap sebagai satu kesatuan kiriman dengan kapal. Selanjutnya, dalam Artikel 6 (2b) dijelaskan bahwa dalam hal alat pengangkut itu sendiri hilang atau rusak, maka alat pengangkutan tersebut, jika tidak merupakan milik atau disediakan oleh pengangkut, dipandang sebagai satuan perkapalan lain yang terpisah. Artikel 6 (4) The Hamburg Rules memperkenankan juga adanya perjanjian tersendiri antara pengangkut dan pengirim tentang pembatasan tanggung jawab yang jumlahnya melebihi batas yang telah ditentukan. Dalam hal ini, pengangkut kehilangan hak untuk membatasi tanggung jawab apabila terbukti bahwa kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan barang adalah akibat dari suatu perbuatan atau kelalaian pengangkut dengan maksud untuk menimbulkan kehilangan, kerusakan atau keterlambatan.
- 52 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Demikian pula dalam hal penuntutan dilakukan terhadap seorang buruh atau agen pengangkut yang melakukan perbuatan dalam batas pekerjaannya, mereka tidak berhak memanfaatkan pembatasan tanggung jawab yang telah ditetapkan tersebut apabila terbukti bahwa kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan penyerahan barang adalah akibat dari suatu perbuatan atau kelalaian dari buruh atau agen itu yang melakukan perbuatan dengan maksud untuk menimbulkan kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan. 4. Penyelesaian Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Artikel 19 The Hamburg Rules ditentukan, bahwa dalam hal tidak ada pemberitahuan tentang kerugian atau kerusakan tentang sifat umum dari kerugian atau kerusakan itu oleh si penerima kepada pengangkut dalam jangka waktu yang ditentukan, maka dianggap barang-barang telah diterima dalam keadaan baik. The Hamburg Rules ini menegaskan bahwa jika ada kerugian atau kerusakan yang jelas kelihatan, maka pemberitahuan tersebut harus dilakukan oleh penerima secara tertulis, paling lambat pada hari kerja berikutnya, setelah barangbarang diserahkan kepada penerima. Apabila kerugian atau kerusakan tidak tampak jelas, maka pemberitahuan tersebut harus diberikan dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah hari penyerahan barang-barang kepada penerima. Pemberitahuan secara tertulis itu tidak perlu dilakukan apabila pada saat barang itu diserahkan kepada penerima sedang diadakan penelitian oleh kedua belah pihak, dalam hal ini penerima sendiri dan pengangkut. Dalam hal tuntutan ganti kerugian sebagai akibat keterlambatan penyerahan barang, The Hamburg Rules mengharuskan si penerima untuk membuat pemberitahuan tertulis kepada pengangkut dalam waktu 60 (enam puluh) hari berturut-turut sesudah barang-barang diserahkan kepada penerima. Pemberitahuan yang telah dilakukan oleh penerima, baik kepada pengangkut atau kepada pelaksana pengangkut, telah merupakan pemenuhan kewajibannya itu. Artinya, pemberitahuannya itu cukup diberitahukan penerima kepada salah satu saja, apakah dia sebagai pengangkut atau sebagai pelaksana pengangkut.
- 53 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Selain memberikan hak untuk menuntut kepada penerima, The Hamburg Rules mengatur pula tentang hak pengangkut atau pelaksana pengangkut untuk menuntut pengirim. Pemberitahuan mengenai kerugian atau kerusakan itu diberikan secara tertulis oleh pengangkut atau pelaksana pengangkut kepada pengirim paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sesudah hari terjadinya kerugian atau kerusakan atau sesudah penyerahan barang-barang, mana saja yang lebih akhir. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada pemberitahuan yang demikian, maka dianggap bahwa kerugian atau kerusakan yang diderita pengangkut tidaklah disebabkan oleh karena kesalahan atau kelalaian pengirim, buruh-buruh, agen-agennya. Selanjutnya, setiap klaim mengenai pengangkutan barang tidak diperbolehkan jika proses pengadilan atau perwasitan belum diadakan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, seperti dinyatakan dalam Artikel 20 (1) bahwa “Any action relating to carriage of goods under this convention is time barred if judicial or arbitral proceedings have not been instituted within a period of two years”. Perkataan “any action” mengandung arti setiap klaim yang berhubungan dengan pengangkutan barang-barang, apakah itu berdasarkan kontrak, karena kesalahan atau karena hal lain. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan maksud dari Artikel 7 The Hamburg Rules yang menyatakan bahwa perlindungan dan pembatasan tanggung jawab yang telah ditetapkan dalam konvensi ini dapat digunakan untuk setiap penuntutan terhadap pengangkut berkaitan dengan kehilangan atau kerusakan pada barang-barang yang ditutup dengan kontrak pengangkutan laut dan juga keterlambatan dalam penyerahan, apakah penuntutan itu berdasarkan kontrak, karena kesalahan atau karena hal lain. Jadi, ada keseragaman mengenai batas waktu untuk mengajukan semua klaim, yaitu 2 (dua) tahun. Maka, pembatasan itu dimulai pada hari ketika pengangkut menyerahkan seluruh barang, atau sebagian darinya, atau dalam hal tidak ada barang yang diserahkan pada hari terakhir barang-barang itu seharusnya telah diserahkan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang, apabila oleh yang dituntut memberikan pernyataan tertulis kepada penuntut.
- 54 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Meskipun batas waktu 2 (dua) tahun tersebut sudah lewat, suatu tuntutan ganti kerugian masih mungkin dilakukan oleh shipper dengan jangka waktu yang diizinkan oleh hukum dari suatu negara di mana proses itu dilakukan. Namun, waktu yang diizinkan itu juga tidak boleh kurang dari 90 (sembilan puluh) hari sejak hari orang yang melakukan tuntutan ganti kerugian telah menyelesaikan gugatannya. Suatu hal yang menarik, The Hamburg Rules memberikan juga kemungkinan penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui lembaga arbitrase (perwasitan), asalkan saja para pihak menetapkannya secara tertulis. ***
- 55 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
BAB II PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
Pihak yang bertanggung jawab dalam pengangkutan laut, pada dasarnya, ialah pengangkut. Secara garis besar, terdapat 4 (empat) prinsip tanggung jawab pengangkut, yaitu: 8 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle). 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga (rebuttable presumption of liability principle). 3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability, absolute/strict liability principle). 4. Prinsip limitation of liability. A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan atas Adanya Unsur Kesalahan Prinsip ini disebut juga prinsip presumption of non-liability. Menurut prinsip ini, termasuk dalam pengertian kesalahan ialah perbuatan yang disengaja maupun kelalaian. Suatu hal yang sangat penting dalam prinsip ini ialah masalah beban pembuktian. Sebagai ketentuan umum, jika ada sengketa, adalah pihak pemilik barang (penggugat) yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pihak pengangkut (tergugat) telah melakukan perbuatan melanggar hukum, telah melakukan suatu kesalahan dan akibat kesalahannya itu menimbulkan kerugian pada pihak pemilik barang (penggugat).
8
E. Saefullah Wiradipradja, Tentang Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 19.
- 56 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Prinsip tersebut berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata ialah: 1. Adanya perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat. 2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. 3. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat dari kesalahan tersebut. Jadi, pengertian kesalahan di sini ialah dalam yang pengertian umum. Adapun yang menjadi ukuran perbuatan pelaku ialah perbuatan manusia normal yang dapat membedakan kapan dia harus melakukan sesuatu, dan kapan dia tidak boleh melakukan sesuatu. B. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Asas Praduga Prinsip ini disebut juga dengan prinsip presumption of liability. Prinsip ini menyatakan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, kecuali dia dapat membuktikan pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian tersebut atau bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Dengan adanya kata “dianggap” tersebut, maka jelas masih ada kemungkinan bagi penggugat untuk dapat membebaskan diri dari tanggung jawab itu. Pada prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga ini terdapat suatu pembalikan beban pembuktian. Artinya, pihak yang menderita kerugian tidak perlu membuktikan bahwa dia telah dirugikan, akan tetapi sebaliknya, pihak pengangkut yang dianggap selalu bertanggung jawab, kecuali apabila dia (pengangkut) dapat membuktikan bahwa dia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindari terjadinya kerugian, atau dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan kesalahan pengangkut, atau terjadinya kerugian itu dalam keadaan terpaksa dan memang tidak dapat dihindarkan. Jadi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan asas praduga, upaya pembuktian merupakan beban dari pihak pengangkut.
- 57 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
C. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault liability) sering disebut juga dengan absolute liability atau strict liability. Yang dimaksud dengan prinsip tanggung jawab mutlak ialah tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, tanggung jawab timbul dengan tidak memandang apakah terdapat kesalahan atau tidak. Pada prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak ada kemungkinan bagi pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali mungkin suatu hal telah terjadi, yaitu apabila kerugian yang timbul justru disebabkan karena kesalahan dari pihak yang mengalami kerugian itu sendiri. D. Prinsip Limitation of Liability Prinsip tanggung jawab terbatas artinya pihak pengangkut tanggung jawabnya dibatasi sampai jumlah tertentu. Batas jumlah tanggung jawab pengangkut pada pengangkutan barang melalui laut telah diatur dalam KUHD dan beberapa konvensi internasional. KUHD menetapkan batas maksimum tanggung jawab pengangkut atas barang muatan ialah sejumlah Rp. 600,- (enam ratus rupiah) per satu potong barang. The Hague Rules 1924 membatasi tanggung jawab pengangkut atas barang muatan hingga sejumlah £ 100 (seratus pound sterling Inggris) per koli. The Hague Visby Rules 1968, yang terkenal dengan Protokol 1968, menentukan batas tanggung jawab pengangkut tersebut menjadi 10.000,- france per koli atau 30 france per kilogram dari berat kotor barang yang rusak atau hilang, mana saja yang lebih tinggi. Ditegaskan pula bahwa 1 (satu) france berarti satu-satuan uang yang bernilai 65,5 (enam puluh lima koma lima) miligram emas dari campuran 900 per seribu. Carriage of Goods by Sea Act 1936, yang berlaku bagi barang muatan yang diangkut dari/ke Amerika Serikat, menetapkan bahwa tanggung jawab pengangkut dibatasi hingga sejumlah US $ 500 (lima ratus dollar Amerika Serikat) per collo.
- 58 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Kemudian, menurut United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea 1978, yang terkenal dengan The Hamburg Rules, batas tanggung jawab pengangkut ialah 835 satuan uang per kilo atau 2,5 satuan per kilogram dari berat kotor barang yang rusak atau hilang. Satuan uang ini menurut Pasal 26 konvensi tersebut ialah SDR yang nilainya ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF). Mengenai besarnya pembatasan jumlah ganti rugi yang tercantum dalam ketentuan-ketentuan di atas, mungkin memang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan praktik masa kini. Karena itu, khususnya untuk tingkat nasional, penentuan batas jumlah ganti rugi sebaiknya dilakukan melalui suatu peraturan pemerintah, agar mudah dilakukan perubahan sesuai dengan dinamika keadaan perekonomian. ***
- 59 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
BAB III ASURANSI LAUT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
Pada umumnya, barang-barang yang diangkut dengan kapal laut diasuransikan oleh pemiliknya, dalam hal ini oleh pengirim atau penerima, pada salah satu perusahaan asuransi. Hal tersebut dikarenakan, di dalam pengangkutan laut, pemilik barang selalu menghadapi risiko bahwa barang-barangnya yang diangkut itu kemungkinan sampai di tempat tujuan akan dapat berkurang nilai dan barangnya, baik karena hilang, karena kerusakan selama berlangsungnya pengangkutan, karena musnah, ataupun karena sebab yang lain. Pemilik barang dapat memperkecil risiko tadi dengan mengalihkannya kepada pihak lain, yaitu perusahaan asuransi. Untuk hal tersebut di atas, dibuatlah perjanjian pertanggungan laut, di mana perusahaan asuransi sebagai penanggung, dan pemilik barang sebagai tertanggung yang dalam hal ini berkewajiban untuk membayar premi. Apabila terhadap barang-barang yang diasuransikan itu terjadi kehilangan/kerusakan, maka pada hakekatnya pemilik barang dapat menuntut ganti kerugian langsung kepada perusahaan asuransi yang bersangkutan. Berhasil atau tidaknya tuntutan yang demikian tentunya bergantung pula pada polis asuransi yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Apabila ternyata terhadap tuntutan tersebut telah dibayarkan penggantian kerugian oleh pihak asuransi kepada penerima sebagai pemilik barang tadi, maka selanjutnya pihak perusahaan asuransi dapat bertindak atas nama penerima dan berhak kemudian menuntut kemungkinan pembayaran ganti kerugian kepada pihak pengangkut. Hal yang telah dijelaskan di atas disebut dengan hak subrogasi, yang dinyatakan dalam Pasal 284 KUHD yang berbunyi sebagai berikut: “Penanggung yang membayar kerugian dari suatu benda yang - 60 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
dipertanggungkan mendapat semua hak-hak yang ada pada si tertanggung terhadap orang-orang ke tiga mengenai kerugian itu dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak dari penanggung terhadap orang-orang ke tiga itu”. Sebaliknya, pihak pengangkut berhak pula meminta kepada pihak asuransi untuk menunjuk bukti yang sah, bahwa pengganti kerugian benar-benar telah dilakukan pada pihak penerima. Bukti keterangan ini disebut dengan subrogation form, di mana penerima menyatakan telah menerima penggantian kerugian dari pihak asuransi yang bersangkutan, dan dengan demikian hak menuntut kerugian telah berpindah kepada pihak asuransi. Jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi, maka penyelesaian tuntutan kerugian yang berhubungan dengan itu akan berlangsung antara pihak asuransi dan pihak pengangkut. Oleh karena itu, apabila timbul sengketa mengenai tanggung jawab pengangkut, maka yang muncul sebagai pihak-pihak ialah perusahaan pelayaran selaku tergugat, sedangkan perusahaan asuransi sebagai penggugat yang telah memperoleh hak subrogasi dari pemilik barang. Di samping asuransi yang ditutup oleh pemilik barang tadi, maka perusahaan pelayaran sebagai pengangkut dapat pula mengikat suatu perjanjian asuransi. Secara garis besar, di dalam asuransi terdapat 2 (dua) kelompok kepentingan yang berhubungan dengan kapal yang digunakan untuk pengangkutan. Pertama, kepentingan yang secara langsung berhubungan dengan kapalnya sendiri, berupa kerugian akibat dari rusak kapal. Terhadap kerugian ini, maka pemilik kapal akan memperoleh penggantian biaya kerusakan dari perusahaan asuransi dengan menutup hull and machinery insurance. Demikian pula apabila barang tidak sampai di tangan, sehingga pemilik kapal tidak menerima freight, maka kerugian inipun akan ditutup oleh perusahaan asuransi. Kepentingan yang ke dua, berupa kerugian pemilik kapal akibat dari tanggung jawabnya kepada pihak ke tiga. Apa yang terjadi selama dia mengoperasikan kapalnya, misalnya sebagai akibat dari adanya suatu perjanjian pengangkutan, maka pengangkut mempunyai
- 61 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kewajiban untuk membawa barang muatan sampai ke tempat tujuan. Pengangkutan melalui laut yang penuh bahaya dan kadang-kadang sulit untuk diduga, menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh pengangkut menjadi sangat berat. Oleh karena itu, di samping membuat klausula-klausula yang membatasi tanggung jawabnya tersebut, pengangkut dapat pula mengalihkan tanggung jawabnya itu kepada pihak lain. Perusahaan asuransi tidak selalu menyediakan diri sebagai penanggung. Untuk halhal yang tidak dapat diadakan penutupan asuransi biasa, maka lazimnya dalam praktik ditampung oleh Protection and Indemnity Club (P and I Club). Tanggung jawab dari perusahaan pelayaran sebagai pengangkut barang muatan dapat dibebankan kepada P and I Club tersebut. Setiap pemilik kapal, terutama pemilik kapal yang beroperasi ke luar negeri, pada dasarnya dapat menjadi anggota dari asosiasi dengan membayar iuran setiap tahun. Besarnya iuran didasarkan atas tonase (tonnage) kapal yang dimiliki anggota. Dari jumlah iuran yang dikumpulkan itu P and I Club dapat membayar kerugian yang diderita oleh anggotanya. Iuran yang dibayar anggota ini ialah semacam premi dalam asuransi. Sifat keanggotaannya ialah sukarela, sehingga perusahaan perkapalan bebas untuk masuk atau keluar dari P and I Club ini. Besarnya tanggung jawab P and I Club atas tanggung jawab yang dihadapi perusahaan perkapalan (anggotanya) serta klaim-klaim yang bagaimana yang akan diperoleh dari klub diatur dalam ketentuan tersendiri yang disebut P and I Rules. Jumlah klaim yang dibayar shipper hanya bisa diperolehnya dari klub kalau jumlah itu dibayar sesuai dengan kontrak pengangkutan. Oleh karenanya, klub pada umumnya selalu minta kepada pemilik kapal agar sebelum menyetujui suatu tanggung jawab kepada pihak lain memberitahukan hal tersebut terlebih dulu kepada Representatives dari P and I Club setempat.
- 62 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
Di samping itu, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemilik kapal agar klaim yang diajukan kepada klub dapat diterima ialah: 17 1. Keadaan kapal haruslah mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh Biro Klasifikasi, antara lain, kapal harus layak laut (sea worthy). Apabila tidak, maka klaim yang terjadi tidak akan dijamin oleh klub. 2. Pemilik kapal harus melakukan segala usaha untuk memperkecil kerugian. 3. Pemilik kapal jangan menyelesaikan sesuatu klaim atau menyetujui sesuatu tanggung jawab sebelum mendapatkan persetujuan dari klub. Jadi, untuk mengatasi masalah yang timbul berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut ini, maka perusahaan-perusahaan pelayaran dapat menjadi anggota dari P and I Club. Apabila terjadi kerugian atas barang muatan yang diangkutnya dan perusahaan pelayaran sebagai pengangkut harus bertanggung jawab, maka dia harus melaporkan kepada P and I Club di mana perusahaan pelayaran itu terdaftar sebagai anggota P and I Club. Dan klub inilah yang akan mengambil alih risiko yang dipikul oleh perusahaan pelayaran tadi. Sebagai contohnya, pertanggungjawaban atas risiko kekurangan dan/atau kerusakan terhadap barang/muatan yang diangkut oleh kapalkapal PT. Djakarta Lloyd telah diasuransikan kepada P and I Club, yaitu The Britannia Steam Ship Association Ltd., di London. Untuk setiap kasus yang bernilai lebih dari US $ 1.000.00 harus segera dilaporkan kepada P and I Club yang bersangkutan atau melalui P and I Local Correspondents untuk mendapatkan pengesahan dan penyelesaian yang baik dan tepat. Dengan demikian, apabila port claim agents menerima tuntutan klaim yang bernilai lebih dari US $ 1.000.00 hendaklah segera melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang diperlukan, dan segera pula diteruskan kepada general claims agent. General claims agent yang menerima klaim tersebut hendaklah meneliti lebih lanjut kelengkapannya serta dokumen-dokumen yang mendukungnya, untuk 17
J. Tinggi Sianipar, Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance), Prinsip-Prinsip Pokok dalam Pengurusan dan Penyelesaian Klaim (Jakarta), hal. 85.
- 63 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
kemudian diteruskan kepada P and I Club yang bersangkutan melalui local correspondent yang ada. Selanjutnya, penyelesaian klaim ini berada di tangan general claims agent melalui konsultasi P and I Club. Pada akhir setiap tahun, general claims agent harus memberitahukan P and I Club mengenai semua kasus klaim yang diterima dan diselesaikan selama tahun itu dengan mengirimkan tembusan dari semua claim sheets. Apabila nilai klaim yang bersangkutan melebihi voyage deductible sebagaimana dinyatakan dalam asuransi P and I yang ditutup, maka general claims agent hendaklah mengurus dan melaksanakan claim re-imbursement langsung dengan P and I Club serta tembusan kepada Biro Hukum, Klaim dan Asuransi Kantor Pusat di Jakarta. Bagi perusahaan pelayaran yang beroperasi di dalam negeri kurang dirasakan manfaatnya menjadi anggota P and I Club ini. Hal tersebut disebabkan, antara lain, tidak terdapatnya keseimbangan antara pendapatan dan premi yang dirasakan cukup berat untuk dibayar oleh pihak perusahaan pelayaran. ***
- 64 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
BAB IV INCOTERM DALAM PENGANGKUTAN BARANG
A. Tujuan Incoterm Tujuan incoterm ialah untuk menyediakan seperangkat aturan internasional bagi penafsiran ketentuan perdagangan yang secara umum banyak digunakan dalam perdagangan luar negeri. Dengan demikian, ketidakpastian akibat perbedaan penafsiran ketentuan di negara-negara yang berbeda dapat dihindari atau setidaknya dikurangi hingga suatu tingkatan yang dapat dipertimbangkan. Cakupan incoterm hanyalah terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan hak serta kewajiban pihak-pihak yang terdapat dalam kontrak penjualan berkaitan dengan pengiriman barang yang terjual. 9 Penting sekali bagi eksportir dan importir untuk mempertimbangkan hubungan yang amat praktis antara berbagai kontrak yang diperlukan untuk menampilkan suatu transaksi penjualan internasional, di mana bukan hanya kontrak penjualan saja yang dibutuhkan namun juga kontrak mengenai pengangkutan, asuransi, dan pendanaan incoterm. Incoterm diterapkan dengan suatu jumlah kewajiban yang dikenali yang ditetapkan pada pihak-pihaknya, seperti misalnya kewajiban penjual untuk menempatkan barang pada tempat yang ditentukan pembeli, atau menyerahkan suatu barang itu untuk segera diadakan pengangkutan, atau mengantar barang tadi pada suatu tujuan serta dengan distribusi risiko di antara para pihak yang terikat dalam perjanjian pengangkutan. Incoterm diterapkan dengan kewajiban untuk mengurus barang untuk ekspor dan impor, pengepakan barang, kewajiban pembeli untuk pengambilan pengiriman, sebagaimana juga kewajiban untuk 9
R.P. Suyono, Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut (Jakarta: PPM, 2003), hal. 351.
- 65 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
menyerahkan bukti bahwa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan telah sepenuhnya dipenuhi. Secara umum, incoterm tidaklah diterapkan dengan maksud menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaan kontrak dan/atau bagi pembebasan manapun dari kewajiban karena adanya kendala dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Pertanyaan-pertanyaan (permasalahan) yang kemudian timbul justru harus diselesaikan ulang dengan kondisi yang lain (kondisi yang baru) dalam kontrak penjualan dan hukum yang berlaku. Incoterm sejak awal dimaksudkan untuk proses jual beli, di mana barang yang dijual ialah untuk pengiriman lintas negara. Jadi, ini sebenarnya merupakan terminologi dalam proses dagang internasional. Akan tetapi, incoterm dalam praktiknya, di saat yang sama juga diadopsi dalam kontrak untuk penjualan barang pada lingkup pasar yang murni lokal. B. Pencantuman Incoterm ke dalam Kontrak Penjualan Dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang dilakukan pada incoterm dari waktu ke waktu, maka adalah penting untuk menjamin bahwa pihak-pihak dalam kontrak bermaksud untuk mencantumkan incoterm dalam kontrak penjualan mereka, suatu rujukan yang jelas selalu dibuat pada versi incoterm yang ada. Kelalaian dalam mengacu suatu versi yang ada mungkin bisa berdampak perselisihan berkaitan dengan apakah para pihak dalam kontrak bermaksud untuk mencantumkan versi itu atau versi yang sebelumnya sebagai bagian dari kontraknya. Para pedagang yang bermaksud untuk menggunakan Incoterm 2000 oleh karenanya bisa secara jelas menyebutkan bahwa kontrak mereka diatur oleh Incoterm 2000 tersebut. 10 C. Penyampaian Risiko dan Ongkos Berkaitan dengan Barang Risiko hilang atau kerugian pada barang, sebagaimana kewajiban untuk mengeluarkan ongkos berkaitan dengan barang, beralih 10
Amir M.S., Seluk-Beluk dan Tehnik Perdagangan Luar Negeri (Jakarta: Victory Jaya Abadi, 2003), hal. 133.
- 66 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
dari penjual kepada pembeli ketika penjual telah memenuhi kewajibannya dalam menyerahkan barang. Oleh karena pembeli tidak boleh diberikan kemungkinan untuk menunda penyampaian risiko dan pengeluarannya, semua tahap yang terkondisikan dalam penyampaian risiko dan ongkos dapat terjadi bahkan sebelum pengapalan, jika pembeli tidak melakukan pengiriman sebagaimana disetujui atau lalai untuk memberi perintah demikian (berkenaan dengan waktu untuk pengiriman dan/atau tempat pengiriman) sebagaimana diminta oleh penjual dengan maksud untuk memenuhi kewajibannya untuk mengirimkan barang. D. Cost Insurance and Freight Cost insurance and freight (CIF) artinya penjual melakukan penyerahan barang-barang bila barang-barang melewati rel/pagar (derek/crane menuju) kapal di pelabuhan pengapalan. Penjual membayar semua ongkos dan biaya pengapalan yang perlu untuk mengangkut barang sampai ke pelabuhan tujuan yang telah ditetapkan, tetapi risiko kehilangan dan kerusakan barang, berikut setiap biaya tambahan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi setelah waktu penyerahan itu, dialihkan dari penjual ke pembeli. Akan tetapi, dalam CIF, penjual juga wajib menutup asuransi laut terhadap risiko kehilangan atau kerusakan barang yang mungkin diderita pembeli selama dalam perjalanan. Berdasarkan hal tersebut, penjual melakukan percukupan asuransi dan membayar premi asuransi. Pembeli perlu mengetahui bahwa berdasarkan ketentuan CIF, penjual diwajibkan menutup asuransi hanya dengan syarat berhubungan minimum. Jika pembeli ingin mendapatkan perlindungan penutupan yang lebih luas, maka pembeli harus menyetujuinya dengan penjual secara jelas, atau pembeli sendiri harus mengurus asuransi tambahan itu. Ketentuan CIF mengharuskan penjual untuk mengurus segala sesuatu sehingga barang siap untuk diekspor. Ketentuan ini hanya dapat digunakan bagi pengangkutan lewat laut atau pengangkutan lewat sungai atau danau saja.
- 67 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
E. Kewajiban Penjual 1. Ketentuan barang sesuai dengan kontrak. Penjual menyediakan barang dan faktur dagang, atau pesan yang dikirimkan melalui alat elektronik, yang sesuai dengan kontrak penjualan dan bukti lain yang ditetapkan dalam kontrak. 2. Perizinan, kuasa dan formalitas. Penjual menyediakan atas risiko dan biaya sendiri izin ekspor dan surat lainnya dari pemerintah yang berwenang di mana dapat diterapkan semua formalitas kepabeanan yang diperlukan untuk keperluan eksportir barang. 3. Kontrak pengangkutan dan asuransi: a. Kontrak pengangkutan. Penjual harus membuat perjanjian sesuai dengan syarat-syarat yang lazim atas biaya sendiri untuk pengangkutan barang-barang ke pelabuhan tujuan yang ditetapkan melalui rute yang lazim untuk pelayaran yang biasa di laut dengan yang secara normal digunakan untuk pengangkutan barang sesuai dengan rincian kontrak. b. Kontrak asuransi. Penjual menutup atas biaya sendiri asuransi muatan sebagaimana disepakati dalam kontrak, bahwa pembeli, atau siapapun yang berkepentingan terhadap pengasuransian barang yang bersangkutan, akan berhak untuk mengajukan tuntutan secara langsung ke perusahaan asuransi yang bersangkutan sepanjang pembeli telah diberi polis asuransi atau bukti penutupan asuransi lainnya. Asuransi ini diperjanjikan dengan penanggung atau suatu perusahaan asuransi yang mempunyai reputasi baik dan harus sesuai dengan penutupan minimum dari Institute Cargo Clause atau beberapa susunan clause yang hampir sama. 4. Penyerahan barang. Penjual mengirim barang di atas kapal di pelabuhan pengapalan pada tanggal atau periode yang telah disepakati. 5. Pengalihan risiko. Penjual, berdasar ketentuan, menanggung semua risiko kehilangan atau kerusakan atas barang sampai
- 68 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
pada waktu barang-barang melewati rel/pagar kapal di pelabuhan pengapalan. 6. Pembagian ongkos. Penjual, dengan ketentuan membayar: a. Semua ongkos yang berkaitan dengan barang sampai dengan barang tersebut dikirimkan sesuai ketentuan yang disepakati, dan; b. Ongkos pengangkutan dan semua biaya termasuk ongkos pemuatan barang ke atas kapal, dan; c. Ongkos sesuai yang ditentukan, dan; d. Ongkos bongkar di pelabuhan pembongkaran yang ditentukan yang merupakan beban penjual berdasarkan kontrak pengangkutan, dan membayar biaya asuransi, dan; e. Jika dapat diterapkan, membayar semua ongkos formalitas kepabeanan dan juga bea, pajak, dan biaya lain yang dibayarkan saat ekspor, dan bagi pengalihan barang itu melalui negara lain jika barang itu merupakan beban penjual berdasarkan kontrak pengangkutan. 7. Pemberitahuan kepada pembeli. Penjual memberitahukan dalam waktu yang cukup kepada pembeli bahwa barang telah dikirimkan serta hal-hal lain yang perlu diberitahukan kepada pembeli untuk melakukan langkah-langkah yang perlu untuk mengambil barang yang bersangkutan. 8. Bukti pengiriman, dokumen pengangkutan atau pesan elektronik sejenis. Penjual menyediakan untuk pembeli, atas biaya penjual dengan secepatnya dokumen pengangkutan yang lazim untuk persetujuan pelabuhan tujuan yang ditetapkan. Dokumen yang bersangkutan (misalnya bill of lading yang negotiable, atau dokumen pengangkutan barang) harus memuat kontrak barang-barang tersebut, ditanggali dalam periode yang disetujui untuk pengapalan, agar pembeli dapat mengajukan tuntutan barang yang bersangkutan dari maskapai pelayaran di pelabuhan tujuan dan, terkecuali jika sebaliknya disepakati, yang menyerahkan pembeli dari menjual barangbarang di pelabuhan transit dengan memindahkan dokumen
- 69 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
pada pembeli berikutnya (bill of lading yang negotiable) atau dengan memberitahu pihak pengangkut. Apabila suatu dokumen transit diterbitkan dalam beberapa lembar asli, 1 (satu) set asli harus diserahkan kepada pembeli. Jika penjual dan pembeli telah menyepakati untuk berkomunikasi secara elektronik, dokumen tersebut di atas dapat diganti dengan yang sama yang dikirimkan secara electronic data interchange (EDI). 9. Pemeriksaan, pengepakan, pemberian tanda. Penjual membayar semua ongkos atas pemeriksaan (misalnya mutu, kubikasi, berat, penghitungan) yang diperlukan sehubungan dengan penyerahan barang. Penjual menanggung biaya pengepakan sendiri (terkecuali jika perjanjian tidak mensyaratkan pengepakan) yang diperlukan bagi pengangkutan barang yang diatur oleh penjual. Pengepakan diberi tanda secara benar. 10. Kewajiban lain. Penjual menyediakan untuk pembeli atas permintaan, risiko dan biaya pembeli, setiap bantuan dalam memperoleh dokumen atau pesan yang dikirim secara elektronik yang diterbitkan atau dikirim/ditransmisikan dari negara pengiriman dan/atau negara asal agar pembeli dapat mengurus pengimporannya, termasuk jika perlu, untuk transit melalui negara lain. Penjual harus menyediakan bagi pembeli, atas permintaan informasi yang diperlukan untuk menyediakan bagi mendapatkan asuransi. F. Kewajiban Pembeli 1. Pembayaran harga. Pembeli harus membayar harga sebagaimana yang terdapat pada kontrak penjualan. 2. Perizinan, kuasa dan formalitas. Pembeli harus memperoleh atas risiko dan biaya sendiri setiap izin impor maupun kuasa resmi lainnya yang dapat diterapkan dan menyelesaikan semua formalitas kepabeanan dalam rangka pengimporan barangbarang dan bagi pengalihannya melalui negara lain.
- 70 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
3. Kontrak pengangkutan dan asuransi: a. Kontrak pengangkutan: tidak ada kewajiban. b. Kontrak asuransi: tidak ada kewajiban. 4. Penerimaan barang. Pembeli menerima barang ketika barang telah dikirim, dan menerimanya dari pengangkut di pelabuhan tujuan yang disebutkan. 5. Pengalihan risiko. Pembeli harus menanggung semua risiko kehilangan atau kerusakan barang sejak barang melalui rel/pagar kapal pada pelabuhan muat pengapalan yang disebutkan. Pembeli, jika gagal memberitahukan penjual tentang waktu pengapalan dan/atau pelabuhan tujuan, maka pembeli menanggung semua risiko kehilangan atau kerusakan barang mulai dari tanggal disetujui atau tanggal berakhirnya dari periode yang ditentukan untuk pengapalan barang yang bersangkutan asalkan penyerahan barang tersebut tidak sesuai dengan perjanjian yang dibuat. 6. Pembagian ongkos. Pembeli sejalan ketentuan, membayar: a. Semua ongkos sejak barang tersebut dikirimkan sesuai ketentuan perjanjian, dan; b. Setiap ongkos dan biaya berkenaan dengan waktu transit hingga di pelabuhan tujuan, kecuali ongkos-ongkos dan biaya tersebut merupakan beban penjual sesuai kontrak pengangkutan, dan; c. Ongkos pembongkaran termasuk ongkos tongkang dan dermaga, kecuali ongkos dan biaya tersebut merupakan beban penjual berdasarkan kontrak pengangkutan, dan; d. Setiap ongkos tambahan yang terjadi karena pembeli telah lalai dalam memberikan pemberitahuan, untuk barang sejak tanggal yang disepakati atau tanggal berakhirnya dari periode yang ditentukan untuk pengapalan asalkan pengapalan barang telah sesuai dengan kontrak yang dibuat, dan; e. Semua bea, pajak, dan biaya lain serta ongkos formalitas kepabeanan yang dibayarkan saat pengimporan barang
- 71 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
dan bagi pengalihan melalui negara lain, kecuali termasuk dalam biaya kontrak pengangkutan. 7. Pemberitahuan kepada penjual. Pembeli berhak untuk menentukan waktu untuk pengapalan barang dan/atau pelabuhan tujuan serta memberitahukan kepada penjual mengenai hal tersebut. 8. Bukti pengiriman, dokumen pengangkutan, atau pesan elektronik sejenis. Pembeli menerima bukti pengiriman barang (dokumen pengapalan) sepanjang sesuai dengan kontrak. 9. Pemeriksaan barang. Pembeli membayar ongkos setiap pemeriksaan prapengapalan, terkecuali mandat pemeriksaan diperintahkan oleh pihak yang berwenang dari negara pengekspor. 10. Kewajiban lain. Pembeli membayar semua ongkos dan biaya yang terjadi dalam mendapatkan dokumen atau pesan secara elektronik yang disebut dan membayar kembali semua biaya yang ditanggung penjual atas bantuannya dalam pengurusan tersebut. Atas permintaan, pembeli harus menyediakan untuk penjual informasi yang diperlukan bagi penutupan asuransi. 11 ***
11
International Chamber of Commerce, Incoterms 2000 (Paris: ICC, 1999),
hal. 57.
- 72 -
PENGANTAR HUKUM PENGANGKUTAN LAUT (BUKU II)
DAFTAR PUSTAKA International Chamber of Commerce. Incoterms 2000. Paris: ICC, 1999. Ivamy, E.R. Hardy. Case Book on Carriage by Sea. London: Lloyds of London Press Ltd., 1985. Mankabady, Samir. “The Hamburg Rules on the Carriage of Goods by Sea”. Dalam Mankabady, Samir, ed. Comments on the Hamburg Rules. Boston: Sythoff-Leiden, 1978. M.S., Amir. Seluk-Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: Victory Jaya Abadi, 2003. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Laut bagi Indonesia. Sumur, 1984. Purba, Radiks. Angkutan Muatan Laut, Jilid III. Jakarta: Bharata Karya Ahsna, 1982. Sardjono, Sapto. Hukum Dagang Laut bagi Indonesia. Jakarta: CV. Simplex, 1985. Sianipar, J. Tinggi. Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance) Prinsip-Prinsip Pokok dalam Pengurusan dan Penyelesaian Klaim. Jakarta. Suyono, R.P. Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor melalui Laut. Jakarta: PPM, 2003. UNCTAD. “Review of Maritime Transport 1987”. New York, 1988. Wiradipradja, E. Saefullah. Tentang Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1989. *** - 73 -