PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST
Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU 802008120
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2013
i
ii
iii
iv
PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST Maria Nugraheni Mardi Rahayu Chr. Hari Soetjiningsih Aloysius L. S. Soesilo Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena kematian suami pada periode empty-nest, mencakup anteseden kesepian, perasaan yang muncul saat kesepian, serta respon terhadap perasaan kesepian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dan partisipan penelitian ini berjumlah tiga orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepian yang dialami oleh ketiga partisipan muncul karena adanya kesenjangan antara harapan terhadap keberadaan orang-orang yang dikasihi dengan kenyataan yang terjadi. Anteseden kesepian yang dialami oleh partisipan antara lain ialah terminasi, perpisahan fisik, perubahan situasi, kekhawatiran akan stigma masyarakat, kondisi kesehatan partisipan, dan pengalaman masa kecil yang terbiasa dikelilingi banyak orang. Selain anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara berlarut-larut, yaitu perubahan perkembangan, kondisi lingkungan yang akrab dan mendukung, kehadiran teman atau orang lain yang dipercaya, dan memiliki pekerjaan dan aktivitas yang produktif. Perasaan yang muncul saat para partisipan merasa kesepian antara lain kekosongan dalam hidup, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kematian dan kesendirian saat meninggal, merindukan kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masamasa yang telah berlalu. Respon partisipan terhadap perasaan kesepian ialah dengan melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan kesepian yaitu peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama dan keyakinan. Kata kunci: wanita, orangtua tunggal, kematian pasangan hidup, periode empty nest, pengalaman kesepian.
v
PENDAHULUAN Dalam proses pengasuhan anak, orangtua akan diperhadapkan pada proses untuk melepaskan, yaitu ketika anak-anak telah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk membangun kehidupannya sendiri. Tahap transisi orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah dikenal dengan istilah empty-nest period atau periode sarang kosong (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Laswell dan Laswell (1987) mengemukakan bahwa kepergian anak terakhir dari rumah merupakan fase empty-nest dalam kehidupan keluarga. Marks, Bumpass, dan Jun (dalam Papalia dkk., 2009) menyatakan bahwa proses tersebut biasanya mendekati atau mencapai puncaknya ketika orangtua memasuki usia dewasa madya. Masa empty-nest dapat dianggap sebagai salah satu kejadian penting dan menantang yang dihadapi saat dewasa madya (Clelland & Chaytors, 1981). Fase ini dapat menimbulkan berbagai emosi yang bertentangan. Beberapa orangtua menganggap masa empty-nest sebagai masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan saat memiliki tanggungjawab mengasuh anak (DeGenova & Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang sudah dewasa dapat memberi peluang adanya bulan madu kedua (Papalia dkk., 2009). Akan tetapi bagi orangtua lain fase ini terasa lebih sulit dilalui karena mereka beranggapan bahwa tugas mereka sebagai orangtua berakhir (Papalia dkk., 2009). Anggapan ini membuat banyak orangtua menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif ketika masa tersebut hampir tiba. Akibatnya masa tua menjadi masa yang tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang kehilangan makna hidup setelah bertahun-tahun dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak. Hasil penelitian Lai (2002) menunjukkan bahwa masa empty-nest menimbulkan berbagai perasaan yang campur aduk dan rumit pada ibu, 1
antara lain sedih, merasa hidup kembali, bertanya-tanya tentang diri sendiri, merasa rindu pada anak-anak, menyesuaikan diri dengan perubahan, mengatasi kecemasan, serta mencari dukungan dari orangorang di sekitar. Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan istri akan sangat diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah tangga menjadi lebih baik, serta memperkuat pernikahan. Ketika anak-anak telah pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orangtua akan memiliki waktu yang lebih banyak dan dapat melakukan aktivitasaktivitas bersama. Kemudian mereka juga dapat saling mendukung untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi, serta mengatasi kesepian dan kekosongan yang kerap kali muncul pada periode ini. Hal ini dapat membuat para ibu menjadi lebih mudah merelakan kepergian anak-anaknya dan menikmati keberhasilan menjadi orangtua. Di lain sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini tidak sedikit wanita yang menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam mengasuh anak-anaknya. Mereka tidak memiliki pasangan (suami) yang dapat bersama-sama menghadapi transisi ini. Ada beberapa peristiwa yang menyebabkan seorang wanita menjadi orangtua tunggal, antara lain adalah
kematian
pasangan
hidup,
perceraian,
perpisahan,
atau
ditinggalkan oleh pasangannya tanpa tanggung jawab atau bantuan untuk merawat anak (Kotwal & Prabhakar, 2009). Dari berbagai peristiwa tersebut kematian pasangan hidup merupakan kejadian yang paling traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005). Hoyer dan Roodin (2003) menyatakan bahwa dalam peringkat kejadian yang menyebabkan stres, kematian pasangan hidup secara konsisten merupakan kejadian yang paling menyebabkan stres. Hal ini menjadi lebih rumit ketika kematian suami terjadi ketika istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa dewasa 2
madya. Berk (2012) memaparkan bahwa kehilangan pasangan hidup di masa dewasa awal atau pertengahan merupakan sebuah peristiwa tidak biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Ketika hal ini terjadi, tidak jarang di antara mereka menjadi terpuruk dalam duka cita, kesulitan keuangan, merasa kesepian, merasakan gangguan fisik dan mengalami gangguan psikologis (Santrock, 1999). Selain bergelut dengan perasaan kehilangan, individu yang kehilangan pasangan hidupnya pada usia muda dan paruh baya seringkali harus menanggung peran lebih besar dalam menghibur orang lain, terutama anak-anak (Lopata, dalam Berk, 2012). Kemudian mereka pun harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal harus mengambil tanggung jawab untuk berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kotwal dan Prabhakar (2009) di India menunjukkan bahwa wanita yang menjadi orangtua tunggal melaporkan bahwa mereka merasa kesepian, tidak memiliki harapan, mengalami depresi, serta kesulitan dalam mengambil tanggung jawab merawat anak-anak sendirian. Ketika masa-masa sulit mengasuh anak telah dilalui, wanita yang menjadi orangtua tunggal pada saatnya akan mengalami masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan rumah sehingga kekosongan dalam rumah pun akan semakin terasa (Andriyani, 2007). Dalam masa ini, perasaan kesepian menjadi semakin sulit terelakkan. Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu rasakan pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri penting (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Kesepian dapat berlangsung ketika seseorang mengalami hubungan yang memuaskan sampai perubahan tertentu terjadi dalam hidupnya, seperti terpisah dari teman dan orang yang dicintai, atau mengakhiri hubungan yang penting karena kematian, 3
perceraian atau perpisahan. Lebih lanjut, Perlman dan Peplau (1981) menyatakan bahwa kesepian akan lebih dirasakan oleh seseorang kurang dari enam tahun pertama setelah perpisahan. Perpisahan dengan orang terdekat dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat kepuasan terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan ketakutan bahwa hubungan tersebut akan semakin melemah karenanya (Perlman & Peplau, 1981). Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman emosi yang sering ditemui pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Peristiwa kematian pasangan hidup yang diikuti dengan perpisahan dengan anak-anaknya yang telah dewasa merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan kesepian. Ketika mengalami kesepian, individu akan cenderung merasakan keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression) (Rubenstein, Shaver, dan Peplau, 1979). Hal ini tidak berarti bahwa kesepian akan terasa sama setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Sinaga, 2007). Individu tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan kesepian yang ia rasakan. Dalam mengatasi perasaan tersebut, setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) menyatakan terdapat enam jenis strategi koping yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi kesepian. Keenam strategi tersebut adalah refleksi dan penerimaan (reflection and acceptance), pengembangan dan pemahaman diri (selfdevelopment and understanding), jaringan dukungan sosial (social support network), menjaga jarak dan penyangkalan (distancing and
4
denial), agama dan iman (religion and faith), serta peningkatan aktivitas (increased activity). Kesepian merupakan pengalaman subyektif dan tentunya dirasakan berbeda-beda oleh setiap orang yang mengalaminya. Penelitian yang mengkaji mengenai pengalaman kesepian telah dilakukan melalui berbagai metode penelitian dan juga dalam berbagai kelompok sosial yang memiliki resiko tinggi mengalami kesepian. Meskipun demikian, masih perlu dilakukan penelitian yang dapat mendeskripsikan secara detail pengalaman kesepian yang dialami oleh kelompok sosial yang memiliki resiko tinggi mengalami kesepian, yang salah satunya ialah pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Peplau (1982) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian mengenai pengalaman kesepian terdapat beberapa kunci pertanyaan yang perlu dipaparkan lebih lanjut, diantaranya adalah anteseden dari perasaan kesepian yang dialami, perasaan dan pikiran yang sering muncul pada orang-orang yang mengalami kesepian, dan strategi koping yang sering dilakukan serta dampak dari satu strategi koping dibandingkan dengan yang lain. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, yang mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi koping terhadap kesepian. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: Seperti apakah pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest yang mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi koping terhadap kesepian? 5
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan
dari
penelitian ini
adalah
untuk mendeskripsikan
pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest yang mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian serta strategi koping terhadap kesepian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan ilmiah untuk perkembangan teori-teori psikologi khususnya dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Bagi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dan keluarga, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan deskripsi pengalaman kesepian sehingga dapat lebih mampu mengatasi kesepian yang dialami serta membangun komunikasi yang baik. TINJAUAN PUSTAKA Kesepian Sears dkk., (1985) menyatakan kesepian (loneliness) berbeda dengan kesendirian (aloneness). Kesepian merupakan pengalaman subjektif, tergantung interpretasi orang tersebut terhadap berbagai situasi. Sedangkan kesendirian merupakan kondisi objektif yang dapat diamati. Hawkley (2006) mendefinisikan kesepian sebagai pengalaman yang menyebabkan stres yang muncul ketika hubungan sosial seseorang yang diterima kurang dalam kuantitas, dan lebih lagi dalam kualitas, dibandingkan dengan yang diharapkan. Selaras dengan hal tersebut, Perlman dan Peplau (1982) mengemukakan bahwa kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Lebih lanjut Perlman dan Peplau (1981) mengemukakan bahwa kesepian memiliki tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yang pertama kesepian merupakan hasil dari kekurangan dalam hubungan 6
sosial seseorang. Kedua, kesepian merupakan fenomena subyektif (bukan merupakan sinonim dari isolasi obyektif, dimana seseorang bisa sendirian tanpa merasa kesepian). Ketiga, kesepian merupakan hal yang tidak menyenangkan dan menimbulkan distres. Terdapat beberapa hal yang dapat dipakai untuk membedakan jenis-jenis kesepian. Menurut Weiss (dalam Perlman & Peplau, 1981) terdapat 2 tipe kesepian, yang didasarkan pada kurangnya keterlibatan sosial. Dua tipe kesepian yang dikemukakan oleh Weiss yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness). Pada perkembangan selanjutnya, Perlman dan Peplau (1981) menyatakan bahwa waktu juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membedakan jenis kesepian. Kesepian dapat dipandang sebagai “keadaan” sementara yang mungkin dihubungkan dengan kejadian spesifik seperti pindah ke dalam komunitas baru. Kesepian dapat juga dipandang sebagai “sifat” yang lebih kronis. Individu dapat merasakan “pengalaman” kesepian dalam jangka waktu yang relatif yang singkat, atau individu tersebut merupakan “orang yang kesepian”. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subyektif yang tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan distres yang terjadi karena adanya kekurangan hubungan sosial yang dicapai dibandingkan dengan yang diharapkan baik dalam kuantitas maupun kualitas. 1. Dimensi Kesepian De Jong Gierveld (1998) mengemukakan bahwa kesepian merupakan fenomena
yang multidimensi. Lebih lanjut De
Jong Gierveld
mengemukakan tiga dimensi kesepian, yaitu bentuk keterpisahan sosial, perspektif waktu, dan dimensi emosi.
7
2. Anteseden Kesepian Menurut Perlman dan Peplau (1981) anteseden kesepian dapat dibedakan menjadi dua yaitu kejadian-kejadian yang memicu munculnya kesepian (precipitating events) dan faktor-faktor penyerta individu untuk menjadi kesepian (predisposing factors). Kejadian yang memicu munculnya kesepian terbagi menjadi dua kategori yaitu perubahan pada pencapaian hubungan sosial seseorang yang terdiri dari terminasi, perpisahan fisik, dan perubahan status, dan perubahan dalam hasrat seseorang
akan
hubungan
sosial
yang
terdiri
dari
perubahan
perkembangan, perubahan situasional, dan perubahan dalam ekspektasi. Sedangkan faktor penyerta individu merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu seperti karakteristik personal, kepribadian, budaya dan situasi sosial yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk mengalami kesepian. 3. Perasaan yang muncul saat Kesepian Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Rubenstein dkk., (1979) terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression). Keempat jenis perasaan kesepian ini menunjukkan adanya peningkatan dari ketidakpuasan yang terkadang muncul pada satu situasi sosial, menjadi lebih kronis dan keidakpuasan yang lebih intens, dan pada akhirnya, jika hal tersebut tidak menjadi lebih baik, akan menjadi kebencian diri (self-hatred) dan mengasihani diri (self-pity). 4. Respon terhadap Kesepian Seperti perasaan yang muncul saat kesepian, respon atau reaksi individu terhadap pengalaman kesepian juga berbeda-beda. Rubenstein dkk., (1979) menyatakan bahwa saat mengalami kesepian, ada beberapa orang yang menjadi pasif (sad passivity). Di sisi lain, ada pula orang 8
yang aktif melakukan kegiatan (active solitude) dalam usaha melupakan kesepian mereka. Selain itu, ada pula orang yang melakukan kontak sosial
(social
contact)
saat
mengalami
kesepian
atau
dengan
menghabiskan uang (spending money) yaitu dengan berbelanja. Penelitian lain yang mengkaji tentang bagaimana seseorang memberikan respon terhadap rasa kesepian, khususnya melalui strategi koping, dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) yang menghasilkan enam jenis strategi koping terhadap kesepian, yaitu: a. Refleksi dan penerimaan (Reflection and acceptance) b. Pertumbuhan
dan
pemahaman
diri
(Self-Development
and
understanding) c. Agama dan keyakinan (Religion and faith) d. Jaringan dukungan sosial (Social Support Network) e. Pemisahan dan penyangkalan (Distancing and denial) f. Peningkatan aktivitas (Increased activity) Wanita yang berperan sebagai Orangtua Tunggal Menurut Duval dan Miller (dalam Sinaga, 2007), orangtua tunggal didefinisikan sebagai orangtua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya. Sedangkan Kotwal dan Prabhakar (2009) mendefinisikan keluarga dengan orangtua tunggal sebagai keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah tunggal yang merawat sendiri anak-anak
mereka. Dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah tunggal yang merawat sendiri anak-anak mereka tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya, yang disebabkan oleh meninggalnya pasangan atau karena perceraian. Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi antara lain karena kematian salah satu orangtua atau perceraian (Papalia dkk., 2009). Dari kedua penyebab tersebut peristiwa kematian pasangan hidup merupakan 9
kejadian yang paling traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005). Matlin (2008) menyatakan bahwa lebih banyak wanita yang kehilangan pasangan hidupnya karena kematian dibandingkan pria. Hal ini disebabkan antara lain karena harapan hidup wanita cenderung lebih panjang dibandingkan pria, wanita cenderung menikah dengan pria yang lebih tua darinya, dan lebih sedikit wanita yang memutuskan untuk menikah kembali setelah pasangannya meninggal dibandingkan dengan pria. Peristiwa kematian pasangan hidup akan menjadi lebih berat ketika terjadi ketika istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa dewasa madya. Menurut Berk (2012), kematian pasangan hidup di masa dewasa awal atau pertengahan merupakan suatu peristiwa yang tidak biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Kemudian wanita yang kehilangan pasangan hidupnya pun harus menghadapi kenyataan bahwa mereka adalah orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, yang menuntut mereka untuk berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Periode Empty-Nest Kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua mereka adalah sesuatu yang wajar dalam siklus kehidupan berkeluarga. Anak-anak yang telah dewasa pada masanya akan mulai membangun kehidupannya sendiri. Masa ini biasa dikenal dengan istilah empty-nest period, atau periode sarang kosong. Clelland dan Chaytors (1981) menyatakan bahwa masa empty-nest adalah masa dalam kehidupan orangtua
ketika
anak-anak
telah
mulai
beranjak
dewasa
dan
meninggalkan rumah mereka. Senada dengan itu, Papalia dkk. (2009) mendefinisikan periode sarang kosong sebagai sebuah tahap transisi orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah orangtua. Masa empty-nest dianggap sebagai salah satu kejadian yang penting dan menantang yang perlu dihadapi oleh individu pada usia 10
dewasa madya (Clelland & Chaytors, 1981). Pada masa ini, orangtua akan merasakan berbagai emosi-emosi yang bertentangan. Beberapa orangtua menganggap masa empty-nest membuat mereka menjadi lebih bahagia dibandingkan masa-masa sebelumnya (Lee, dalam DeGenova & Rice, 2005) dan sebagian lainnya berpendapat bahwa masa itu menjadi sesuatu yang mengesalkan (Lewis, Volk & Duncan, dalam DeGenova & Rice, 2005). Orangtua yang menganggap masa ini membuat mereka menjadi lebih bahagia, akan merasakan masa empty-nest sebagai masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan saat memiliki tanggung jawab mengasuh anak (DeGenova & Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya bulan madu kedua (Papalia dkk., 2009). Pada pasangan yang identitasnya bergantung pada peran orangtua, masa empty-nest akan terasa lebih sulit untuk dilalui (Papalia dkk., 2009). Mereka beranggapan bahwa tugas sebagai orangtua berakhir sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan mereka masing-masing. Tidak jarang orangtua merasakan kesepian, kesedihan, dan perasaan kosong akan rumah mereka yang terasa menjadi semakin sepi (Shakya, 2009). Akibatnya masa tua menjadi masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah bertahun-tahun dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak (Papalia dkk., 2009). Meskipun demikian, sebenarnya kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua mereka tidak menandai akhir menjadi orangtua. Sebaliknya, hal ini merupakan masa peralihan ke tahapan baru hubungan antara orangtua dengan anak-anak yang sudah dewasa (Papalia dkk., 2009).
11
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini disesuaikan
dengan
tujuan
penelitian,
sehingga
menghasilkan
karakteristik yaitu, wanita yang suaminya meninggal pada saat ia berusia dewasa madya (40-65 tahun), pada saat pengambilan data anak-anak telah pergi dari rumah untuk berkuliah, atau bekerja, atau telah menikah, dan tinggal di kota yang berbeda dengan ibunya, dan rentang waktu anak terakhir yang meninggalkan rumah orangtuanya dengan pengambilan data tidak lebih dari 6 tahun. Dalam penelitian ini sumber data akan disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan penelitian akan dipilih oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan penelitian yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Berdasarkan karakteristik tersebut peneliti memperoleh tiga partisipan penelitian yang bersedia terlibat dalam penelitian ini. Dalam
penelitian
ini
peneliti
menggunakan
dua
metode
pengumpulan data, yaitu wawancara semi-terstruktur dan observasi. Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri dari empat tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012), yaitu: 1. Pengumpulan data 2. Reduksi data 3. Display data 4. Kesimpulan Pengujian keabsahan data digunakan untuk memastikan kebenaran dari data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik trianggulasi dan member check.
12
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita yang menjadi orangtua tunggal sejak suami mereka meninggal dan saat pengambilan data sedang berada dalam periode empty-nest, yaitu Ibu Kenanga, Ibu Lavender dan Ibu Seruni (nama samaran). Berikut akan dijabarkan gambaran partisipan dalam tabel di bawah ini: Ibu Kenanga (P1)
Ibu Lavender (P2)
Ibu Seruni (P3)
Usia
52 tahun
64 tahun
58 tahun
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Karwayan swasta
Guru SMA
(13ension) 2 orang anak
2 orang anak (laki-laki
2 orang anak
perempuan
dan perempuan)
perempuan
Tangerang
Jakarta
Jakarta
Agama
Kristen
Kristen
Kristen
Lama suami
6 tahun
8 tahun
6 tahun
1 tahun
2 tahun
2 tahun
Jumlah anak
Tempat tinggal anak
meninggal Lama tinggal sendiri Tabel 1. Gambaran Partisipan Peristiwa Kematian Pasangan Hidup dan Peran sebagai Orangtua Tunggal Ketiga partisipan penelitian kehilangan pasangan hidup masingmasing saat mereka berada pada usia dewasa madya (40-65 tahun). Kesedihan dan dukacita akibat kehilangan sosok yang penting dalam hidup mereka menjadi perasaan yang tidak terhindarkan. Kekagetan atas kepergian suami yang sedemikian cepat dan tiba-tiba juga dirasakan oleh ketiga partisipan. DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan bahwa 13
kematian pasangan hidup merupakan salah satu kejadian yang paling traumatis pada usia berapa pun. Selain itu, Schaie dan Willis (dalam Sawitri, 2007) juga menyatakan bahwa kematian suami pada masa dewasa madya merupakan episode yang mungkin terlalu cepat dalam kehidupan individu. Dalam menghadapi dukacita atas kematian pasangan hidup mereka, para partisipan merasa amat terbantu dengan kehadiran serta dukungan dari keluarga serta teman-teman terdekat. Partisipan pertama (Ibu Kenanga) berusaha menjadi tegar dan kuat dalam menghadapi kehilangan ini untuk anak-anaknya. P1 juga merasa bersyukur dengan adanya dukungan dari keluarganya serta teman-teman dekatnya. Demikian pula dengan partisipan kedua (Ibu Lavender) yang merasa sangat terbantu dengan adanya salah seorang saudara yang bersedia tinggal di Salatiga dan menemaninya melewati masa-masa berduka, sementara kedua anaknya harus kembali melanjutkan studi mereka di luar kota. Partisipan ketiga (Ibu Seruni) juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran keponakan yang bersedia tinggal di rumahnya untuk menemaninya selama beberapa waktu setelah suaminya meninggal. Selain menghadapi dukacita, kehilangan sosok penting yang dicintai juga menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan para partisipan. Kepergian suami yang berperan sebagai tulang punggung keluarga membuat para partisipan mengalami perubahan kondisi keuangan, terutama pada P1 dan P2 yang masih harus menghidupi anakanak yang belum mandiri. Dalam menghadapi perubahan kondisi keuangan keluarga tersebut, baik P1 maupun P2 mampu menemukan jalan keluar untuk menghidupi keluarganya dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Berbeda dengan P3 yang memiliki pekerjaan tetap dan anak-anaknya telah bekerja tidak mengalami kesulitan dalam kondisi keuangan keluarganya.
14
Kepergian suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga tentu juga membawa perubahan dalam kehidupan keluarga. Ketiadaan sosok kepala rumah tangga yang seringkali menjadi pengambil keputusan dalam keluarga mendorong para partisipan berusaha untuk mengambil peran tersebut dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Dalam menghadapi berbagai perubahan ini, para partisipan juga merasa terbantu dengan anak-anak mereka yang dapat bekerja sama dan memahami kondisi keluarga. Periode Empty-Nest sebagai tahap dalam kehidupan berkeluarga Dalam kehidupan berkeluarga, ada masanya ketika anak-anak yang telah dewasa memutuskan untuk pergi dari rumah dan membangun kehidupannya sendiri. Masa tersebut dikenal dengan istilah periode empty-nest. Kepergian anak-anak dari rumah orangtuanya dapat didorong oleh beberapa hal diantaranya melanjutkan pendidikan di luar kota, memperoleh pekerjaan di kota lain, atau menikah dan membangun rumah tangganya sendiri. Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan penelitian. Anak-anak para partisipan yang telah dewasa kemudian memutuskan untuk tinggal di luar kota dan meninggalkan rumah orangtua mereka. Peristiwa kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua mereka menimbulkan berbagai perasaan yang berbeda-beda bagi ketiga partisipan. P1 merasa sangat kehilangan terutama ketika anak bungsunya menyusul kakaknya untuk tinggal di luar kota karena memperoleh pekerjaan di kota tersebut. P1 merasa bahwa ia dan anak bungsunya masih saling membutuhkan dan belum bisa berpisah. Akan tetapi P1 juga tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki anaknya, sehingga ia berusaha untuk merelakan anak bungsunya pergi. Perasaan sedih dan kehilangan dirasakan oleh P1 saat berpisah dengan anak bungsunya. Di sisi lain P1 juga merasa bahagia karena anakanaknya kini telah dewasa dan dapat membangun kehidupannya sendiri. 15
Berbeda dengan P1, P2 tidak merasa berkeberatan saat anakanaknya melanjutkan pendidikan maupun bekerja di luar kota, bahkan di luar negeri. Pengalaman merantau dan jauh dari orangtua saat muda membuat P2 tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki anakanaknya dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk mengambil keputusan dalam hidup. Demikian pula dengan P3. Sejak masa pengasuhan, P3 dan suaminya memberikan kelonggaran kepada anak-anaknya dalam mengambil keputusan. Sebagai orangtua, P3 dan suami hanya memberikan nasehat atau pandangan kepada anak-anaknya, akan tetapi tidak memaksakan keinginan mereka pada anak-anak. Demikian pula halnya saat anak-anak P3 memutuskan untuk bekerja di luar kota, P3 menilai anak-anaknya telah dewasa dan menghormati keputusan yang diambil oleh anak-anaknya. Pengalaman yang berbeda dialami oleh P3 beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada saat anak bungsunya ingin melanjutkan pendidikan di luar kota setelah lulus SMP. P3 yang merasa anaknya belum cukup dewasa dan mandiri sebenarnya merasa keberatan dan khawatir. Ia juga merasa sangat kehilangan karena tidak dapat berjumpa dengan anaknya setiap hari. Akan tetapi karena telah berjanji, P3 tetap mengijinkan anaknya bersekolah di luar kota dan tinggal di rumah saudara. P3 juga sebenarnya merasa keberatan saat anak sulungnya akan menerima pekerjaan di luar Jawa karena dirasa terlalu jauh serta memiliki kondisi daerah yang kurang nyaman. Meskipun pada akhirnya P3 menyerahkan keputusan kepada anaknya, perasaan keberatan dan tidak rela tetap dirasakan oleh P3. Jarak yang terlalu jauh dan kondisi lingkungan yang kurang sehat menjadi faktor yang membuat P3 merasa tidak rela, dan lebih lega saat anaknya memutuskan untuk menolak pekerjaan tersebut. Saat anak-anak mulai meninggalkan rumah, sebenarnya para partisipan mengaku memiliki harapan untuk dapat tinggal berdekatan 16
atau bersama-sama dengan anak-anak. Meskipun demikian, ketiga partisipan penelitian menyadari bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masih serta membuat mereka tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Demikian halnya dengan para partisipan yang juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut ketiga partisipan memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dan melanjutkan pekerjaan atau aktivitas yang dimiliki meskipun harus sendiri. Perasaan tidak ingin meninggalkan rumah yang telah ditempati bertahun-tahun dan memiliki kenangan bersama orang yang dicintai juga menjadi alasan ketiga partisipan tidak memilih tinggal bersama dengan anak-anak mereka. Seperti
yang
dialami
oleh
ketiga
partisipan,
hal
serupa
dikemukakan oleh Gonyea, Hudson, dan Seltzer (1990, dalam Papalia dkk., 2009) bahwa “tua di rumah sendiri” merupakan sebuah hal yang masuk akal bagi mereka yang mampu mengatur diri sendiri atau hanya membutuhkan sedikit bantuan, memiliki pendapatan yang cukup untuk perawatan rumah dan keperluan sehari-hari, serta merasa bahagia di lingkungannya dan ingin mandiri, memiliki privasi, tetap dekat dengan teman-teman. Ketiga partisipan menyampaikan bahwa mereka memiliki pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri, memiliki temanteman yang dekat, merasa nyaman dengan lingkungan yang ditempati, serta memiliki kondisi kesehatan yang masih baik. Pada P2, meskipun mulai mengalami penurunan kondisi fisik seiring bertambahnya usia, namun ia masih dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Selain itu P2 juga memperoleh bantuan dari pembantu rumah tangga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Hubungan dengan Anak-anak yang Telah Dewasa Meskipun berpisah dengan anak-anak yang telah dewasa, kemajuan teknologi memudahkan para partisipan untuk tetap berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Berbagai fasilitas komunikasi yang ada 17
dimanfaatkan oleh para partisipan untuk berkomunikasi dengan anakanak meskipun dipisahkan oleh jarak. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh DeGenova dan Rice (2005) bahwa orangtua terutama ibu, secara konsisten memiliki derajat tinggi dalam melakukan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain termasuk anak-anak yang telah menikah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa biasanya wanita lansia lebih dekat dengan anak-anak mereka, dibandingkan dengan pria lansia meskipun telah tinggal di tempat yang berbeda. Diungkapkan oleh Papalia dkk., (2009) bahwa hal tersebut dipengaruhi antara lain karena peran sebagai ibu membuat mereka melewatkan waktu lebih banyak dalam pengasuhan sejak kecil sehingga menciptakan kedekatan antara keduanya. Kendati demikian, para partisipan menyadari kesibukan dan tanggung jawab anak-anak mereka, sehingga para partisipan berusaha untuk menyesuaikan waktu untuk berkomunikasi. P1 mengaku tidak memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. P1 memutuskan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya saat merasa ingin namun tetap menyesuaikan dengan waktu kesibukan anak-anaknya. Demikian pula P2 dan P3, yang lebih sering berkomunikasi dengan anakanaknya di malam hari ataupun akhir pekan supaya tidak mengganggu pekerjaan anak-anaknya. Meskipun tidak lagi tinggal bersama, kedekatan para partisipan dengan anak-anak mereka dirasakan tetap sama oleh para partisipan. Anak-anak partisipan yang telah dewasa masih sering menceritakan halhal yang dialami kepada ibunya, baik dalam pekerjaan ataupun permasalahan yang sedang dihadapi. Demikian juga sebaliknya, para partisipan juga tidak segan untuk menceritakan hal-hal yang mereka alami kepada anak-anak. Kedekatan yang terbangun antara para partisipan dengan anak-anak mereka yang telah dewasa tidak terlepas dari hubungan baik yang terbentuk sejak masa pengasuhan. 18
P1 mengaku merasa dekat dengan anak-anaknya dan memiliki hubungan yang terbuka. Akan tetapi di sisi lain, P1 juga menyadari bahwa kedua anaknya membatasi pembicaraan mereka pada hal kesehatan dan pekerjaan namun lebih tertutup dalam masalah pribadi. Menurut P1, anak-anaknya memang cenderung tertutup untuk hal-hal tertentu. Oleh sebab itu, P1 mencoba untuk memancing anak-anaknya supaya menceritakan hal-hal yang belum diceritakan tanpa memaksa mereka. Sedangkan P2 merasa anak-anaknya sangat terbuka kepadanya dan menceritakan hal-hal yang mereka alami baik dalam pekerjaan maupun hubungan dengan orang lain. P2 mengungkapkan bahwa sejak kecil mereka memang sering bercerita kepada ibunya mengenai hal-hal yang dialami di sekolah atau di lingkungan rumah. P2 menilai bahwa keterbukaan tersebut juga nampak dari hubungan antara kedua anaknya yang tidak ragu untuk bercerita atau meminta saran kepada satu sama lain. Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh P3, yang menilai bahwa anak sulungnya lebih terbuka kepada orangtuanya dibandingkan dengan anak bungsunya. P3 menilai bahwa kurang terbukanya anak bungsu kepada orangtuanya antara lain karena anak bungsunya telah tinggal di luar kota sejak remaja. Keterbatasan fasilitas untuk berkomunikasi saat itu membuat mereka jarang berbicara panjang lebar dan hanya bertemu satu minggu sekali. Sedangkan anak sulung yang tinggal di rumah hingga selesai kuliah lebih terbiasa berdiskusi dengan kedua orangtuanya. Secara umum ketiga partisipan memiliki hubungan yang baik dan dekat dengan anak-anak mereka bahkan ketika anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Hal tersebut tidak terlepas dari hubungan yang terbentuk sejak anak-anak masih dalam pengasuhan kedua orangtuanya. Belsky (dalam Lasswell & Laswell, 1987) mengungkapkan bahwa orangtua yang dulu hangat dan mendukung saat 19
di masa kanak-kanak pertengahan dan remaja lebih berpeluang memiliki kontak dan kedekatan dengan anak mereka di masa dewasa awal. Pengalaman Kesepian Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama anakanak dan terlebih lagi setelah pasangan hidup tiada, menimbulkan perasaan kesepian dalam diri para partisipan pada waktu-waktu tertentu. Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Sears dkk., (1985) mengungkapkan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif individu, yaitu tergantung pada interpretasi individu terhadap berbagai situasi yang dialaminya. Kesepian berbeda dengan kesendirian, yang merupakan kondisi objektif yang dapat diamati. Selaras dengan pandangan tersebut, ketiga partisipan dalam penelitian ini mempunyai pandangannya masing-masing terhadap pengalaman kesepian yang mereka alami. P1 memandang bahwa perasaan kesepiannya tidak selalu muncul setiap ia sendirian di rumahnya. Bagi P1, perasaan kesepian ia rasakan ketika tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan yang harus dilakukan saat berada di rumah sendiri. Tidak memiliki kegiatan dan teman di rumah membuat P1 sering memikirkan ketidakhadiran orang-orang yang disayanginya dan pemikiran tersebut memunculkan perasaan kesepian pada diri P1. Perasaan kesepian yang dirasakan P1 juga muncul karena adanya kesenjangan antara harapan dengan apa yang ia alami. Meskipun merelakan anak-anaknya tinggal di luar kota, P1 sebenarnya memiliki keinginan untuk dapat selalu berkumpul dan dekat dengan keluarganya, terutama dengan anak bungsunya. Ketika anak bungsunya memutuskan untuk tinggal di luar kota, sebenarnya P1 masih meyakini bahwa ia dan anak bungsunya masih saling membutuhkan. Karena tidak ingin menghalangi masa depan dan kesempatan yang dimiliki anaknya, P1 20
berusaha merelakan anaknya pindah ke luar kota. Akan tetapi perpisahan tersebut tetap membuatnya merasa sedih dan kesepian jika mengingat hal tersebut. Perasaan kesepian yang dialami oleh P1 merupakan kesepian emosional, yang muncul karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim. Sedangkan bagi P2, kesepian dirasakan ketika ia tidak dapat berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya pada waktu-waktu yang ia harapkan yaitu pada saat hari raya keagamaan seperti paskah atau natal. Sudah menjadi tradisi bagi keluarga P2 bahwa hari-hari raya merupakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi setelah anak-anaknya bekerja di luar kota, tidak setiap hari libur mereka dapat berkumpul dikarenakan kesibukan masing-masing sehingga ketika pada hari-hari tersebut ia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya partisipan merasa kesepian. Kenangan akan kebersamaan keluarganya menimbulkan perasaan kehilangan dalam diri P2. Hal serupa juga dirasakan oleh P3. Kebiasaan berkumpul pada saat hari raya keagamaan membuat partisipan merasa tidak lengkap jika tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Perasaan kesepian juga dirasakan oleh P3 saat ia harus menghadapi suatu masalah sendirian. P3 yang terbiasa memperoleh bantuan dari suaminya merasa kehilangan teman berdiskusi dan kesepian saat harus menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan sendirian. Dari pandangan ketiga partisipan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty nest tidak selalu muncul, namun merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama saat harapan partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihinya pada saat-saat tertentu tidak terpenuhi. Rubenstein dan Shaver (dalam Peplau, 1982) mengemukakan bahwa kesepian seperti rasa lapar, yang merupakan sinyal alami yang memberitahu bahwa salah satu kebutuhan penting tidak 21
terpenuhi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kesepian merupakan respon terhadap kekurangan dua kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan keintiman yaitu hubungan yang dekat dengan satu atau lebih orang yang istimewa dan kebutuhan akan komunitas yaitu perasaan memiliki pada jaringan dengan teman-teman atau rekan. Selain itu perasaan kesepian juga muncul saat partisipan mengingat atau memikirkan kembali kenangan-kenangan mereka bersama dengan orang-orang yang dikasihi namun telah tiada atau berpisah. Kenangan bersama dengan orang-orang yang dikasihi dapat menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi sesuatu yang menimbulkan perasaan kesepian serta kesadaran bahwa masa-masa tersebut telah berlalu. Anteseden Kesepian Perlman dan Peplau (1981) menyebutkan bahwa anteseden kesepian dapat dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian-kejadian yang memicu kesepian dan faktor-faktor penyerta kesepian. Kejadian yang memicu perasaan kesepian Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kejadian-kejadian yang memicu kesepian (precipitating events) yang dialami oleh para partisipan antara lain adalah terminasi (termination), perpisahan fisik (physical separation), dan perubahan situasional (situational changes) yang akan dipaparkan berikut ini: a. Terminasi (termination) Berakhirnya hubungan emosional yang dekat merupakan salah satu penyebab yang paling umum dalam munculnya perasaan kesepian. Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan setelah kepergian pasangan hidup mereka. Kematian pasangan hidup yang telah menikah dan hidup bersama dengan mereka selama bertahun-tahun menimbulkan perasaan kehilangan dan kekosongan tiba-tiba dalam diri ketiga partisipan. Ketidakhadiran sosok suami di rumah yang telah ditempati 22
keluarga mereka selama bertahun-tahun tentu dapat menimbulkan perasaan kesepian pada ketiga partisipan. Bagi P3 perasaan kekosongan tersebut terutama juga diperkuat karena selama beberapa tahun ia hanya tinggal berdua dengan suaminya setelah anak pertama mereka bekerja di luar kota lalu menikah dan anak kedua melanjutkan pendidikan di kota lain. Meskipun anak kedua masih rutin pulang ke rumah beberapa kali dalam satu bulan, P3 lebih banyak melewatkan waktu di rumah hanya berdua dengan suaminya. Selain itu, P3 dan suaminya juga sering mengikuti berbagai aktivitas bersama-sama. Oleh karena itu kepergian suami yang begitu tiba-tiba menimbulkan perasaan kesepian pada diri P3. Bahkan pada awal-awal kematian suaminya, P3 seringkali lupa bahwa suaminya sudah meninggal dan masih menunggu suaminya pulang ke rumah. Keyakinan bahwa ada Tuhan yang tetap menjaganya meski suaminya telah tiada membuat P3 merasa lebih kuat dan dapat menyesuaikan diri dengan kepergian suaminya. b. Perpisahan fisik (physical separation) Selain terminasi, perpisahan fisik dengan anak-anak sebagai orangorang yang dekat dan disayangi, juga memicu munculnya perasaan kesepian pada diri partisipan. Perpisahan fisik tentu mengurangi frekuensi interaksi antara para partisipan dengan anak-anak mereka. Jarak yang cukup jauh antara tempat tinggal para partisipan dengan tempat tinggal anak-anak mereka membuat mereka tidak dapat bertemu setiap hari dan hanya bertemu tiga atau empat kali dalam setahun serta hanya berkomunikasi melalui telepon atau surat elektronik. Perpisahan fisik membuat para partisipan tidak dapat berjumpa dengan anak-anak atau cucu mereka kapan pun mereka ingin. Meskipun dapat berkomunikasi melalui telepon, hal tersebut tentu tidak sama jika dibandingkan dengan kepuasan yang dirasakan para partisipan saat bertemu secara langsung dengan orang-orang yang dikasihi. 23
c. Perubahan situasi (situational changes) Perubahan situasi juga merupakan pemicu perasaan kesepian yang dialami oleh para partisipan. Seperti yang telah dikemukakan oleh Perlman dan Peplau (1981), bahwa hasrat seseorang untuk bersama dengan orang lain bukan merupakan sesuatu yang konstan. Demikian halnya yang dirasakan oleh para partisipan. Harapan untuk dapat bersama anak-anak dan orang-orang yang dikasihi muncul lebih kuat dalam diri para partisipan pada situasi-situasi tertentu. Keinginan P1 untuk bersama dengan anak-anaknya muncul lebih kuat saat ia sendirian di rumah dan tidak memiliki kegiatan. Bagi P1 pada saat-saat seperti itu ia merasa lebih nyaman jika ada orang lain yang bisa menemaninya. Kenangan akan kebersamaan dengan anak-anak dan suami di waktu lampau membuat P1 menyadari bahwa saat ini ia telah sendiri dan hal tersebut menimbulkan perasaan kesepian. Hal yang berbeda dirasakan oleh P2 dan P3 yang memiliki keinginan untuk bersama keluarganya (anak-anak) saat hari-hari raya keagamaan. Berbeda dengan P1 yang selalu dapat berkumpul bersama anak-anak di hari raya atau libur, P2 dan P3 tidak selalu bisa berkumpul dengan anak-anaknya pada waktu-waktu tersebut. Kesibukan pekerjaan dan kegiatan P2 dan P3 serta anak-anaknya membuat mereka tidak selalu dapat berkumpul bersama. Sedangkan pada waktu-waktu yang lampau, berkumpul bersama dengan keluarga di waktu-waktu istimewa sudah menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga, sehingga ketika para partisipan yang telah kehilangan suaminya tidak dapat berkumpul dengan anakanak di waktu yang diinginkan menyebabkan perasaan rindu dan juga kesepian. Bahkan ketika P3 ditemani oleh anggota keluarganya yang lain pun perasaan kekosongan akibat tidak dapat bertemu langsung dengan anak-anaknya masih tetap terasa. Bagi P3, keinginan untuk bersama orang lain terutama suami dan anak-anaknya juga muncul saat ia harus menghadapi suatu permasalahan 24
sendirian. P3 sudah terbiasa dengan bantuan dan nasehat dari suaminya saat mengalami suatu masalah atau harus mengambil keputusan, sehingga ketidakhadiran suami di saat-saat penting tersebut membuatnya merasa sangat kesepian dan merindukan suaminya. Tidak jarang pula P3 masih mengharapkan dan mengangankan suaminya masih ada di sampingnya. Pemikiran tersebut membuat partisipan semakin merasa kesepian dan sendirian. Faktor penyerta perasaan kesepian Selain kejadian yang memicu, terdapat pula faktor-faktor penyerta (predisposing factors) kesepian pada para partisipan. Faktor penyerta kesepian merupakan faktor yang lebih berisfat personal seperti kepribadian, nilai, juga karakteristik demografis dari individu yang mengalami kesepian yang dapat berkontribusi terhadap perasaan kesepian yang dialami. Setelah suaminya meninggal, P1 memiliki kekhawatiran terhadap pandangan negatif orang-orang disekitarnya yang dapat muncul jika ia terlalu sering bepergian atau dikunjungi oleh tamu pria yang bukan keluarga atau teman dari gereja yang sama. Dengan adanya kekhawatiran tersebut, P1 membatasi kegiatannya di luar rumah dan hanya bepergian untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rutin yang sering diikutinya atau untuk berbelanja. Untuk mencegah munculnya pandangan negatif dari orang-orang disekitarnya, P1 juga membatasi orang-orang yang boleh berkunjung ke tempat tinggalnya. P1 kerap kali menghindari percakapan dengan pria yang tidak terlalu dekat dan tidak mengatakan kondisi keluarganya yang sebenarnya. P1 bahkan tidak terlalu sering mengunjungi keluarganya yang berada di Salatiga jika tidak ada keperluan yang terlalu mendesak. Penelitian yang dilakukan Susanti (2010) menegaskan bahwa terdapat stigma masyarakat terhadap status “janda” yang seringkali dianggap sebagai makhluk lemah dan pantas untuk digoda. Adanya stigma 25
masyarakat tersebut terhadap status “janda” menimbulkan kekhawatiran pada diri P1 jika ia bisa mengalami kejadian buruk seperti dipandang rendah digoda oleh orang asing jika mereka mengetahui statusnya. Dengan
adanya
kekhawatiran
tersebut,
P1
mengurangi
kesempatannya untuk berinteraksi dengan orang lain serta lebih banyak meluangkan waktu sendiri di rumah jika tidak ada kegiatan yang harus diikuti. Berbeda dengan P1, kondisi kesehatan P2 yang semakin menurun membuatnya
memutuskan
untuk
mengurangi
kegiatan
yang
mengharuskannya bepergian jauh atau melakukan aktivitas yang berat. Selain itu karena tidak memiliki kendaraan pribadi, P2 terkadang memutuskan untuk tidak menghadiri ibadah atau pertemuan jika dilakukan di tempat yang jauh dari rumahnya atau jika tidak ada tumpangan dari teman. Keterbatasan kondisi fisik dan fasilitas yang dimiliki,
membuat
interaksi
P2
dengan
orang
lain
berkurang
dibandingkan dengan saat ia masih dalam kondisi fisik yang lebih baik. Hal tersebut membuat P2 lebih sering berada di rumah. Sedangkan pada P3, faktor penyerta yang berkontribusi pada perasaan kesepian yang dialami ialah perasaan terbiasa bersama dengan orang lain. Lahir dalam keluarga yang besar dan memiliki enam saudara membuat P3 lebih terbiasa hidup bersama banyak orang. Selain itu pada masa kecil, keluarga P3 tinggal bersama orangtua ibunya sehingga ia nyaris tidak pernah sendirian. Pengalaman masa kecil tersebut juga berlanjut hingga P3 berkeluarga. P3 mengaku bahwa ia tidak pernah benar-benar hidup sendiri dan kurang mandiri. Dengan pengalaman kehidupan seperti itu, P3 lebih merasa nyaman jika bisa bersama dengan orang lain dan kurang terbiasa dengan kesendirian, terutama setelah suaminya meninggal. Selain terdapat kejadian-kejadian yang memicu perasaan kesepian maupun faktor penyerta kesepian, ternyata ditemukan pula beberapa 26
faktor yang membuat partisipan tidak merasa kesepian secara terus menerus atau mengalami kesepian kronis. Faktor yang pertama ialah perubahan perkembangan (developmental changes). Perlman dan Peplau (1982) mengemukakan bahwa perubahan perkembangan akan berdampak pada harapan akan hubungan sosial, yang dapat memicu timbulnya kesepian. Para partisipan yang sedang berada dalam masa dewasa madya, bahkan sudah mendekati masa dewasa akhir menyadari bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Berada dalam masa dewasa madya membuat ketiga partisipan juga menyadari bahwa pada waktunya setiap orangtua akan melepaskan anakanaknya yang telah dewasa dan merangkai masa depan. Kesadaran tersebut membuat para partisipan tidak ingin menjadi penghalang bagi anak-anak
untuk
membangun
kehidupannya
sendiri.
Berbagai
pengalaman hidup yang telah dilalui juga memberikan pengaruh pada para partisipan sehingga mereka memahami bahwa tanggungjawab dan pekerjaan anak-anak mereka membuat mereka harus berpisah, seperti saat mereka mulai meninggalkan orangtua mereka dulu. Perubahan perkembangan yang dialami oleh partisipan juga diiringi dengan bertambahnya pengalaman hidup. Dalam pengalaman hidupnya, P3 seringkali diingatkan oleh suaminya bahwa manusia tidak bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkan, sehingga setiap manusia harus belajar untuk menerima keadaan yang ada dan senantiasa bersyukur. Melalui pengalaman hidup tersebut, P3 belajar untuk berusaha menerima kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan dan tetap bersyukur. Meskipun memiliki harapan untuk dapat tinggal bersama atau lebih sering bertemu dengan anak-anak mereka, ketiga partisipan memiliki pendapat bahwa masa ini merupakan masa bagi anak-anaknya untuk membangun
kehidupannya
sendiri.
Para
partisipan
tidak
ingin
menghambat atau menghalangi masa depan anak-anak mereka. Dengan 27
adanya kesadaran tersebut maka terciptalah penerimaan akan kondisi dari periode yang sedang mereka alami saat ini sehingga para partisipan tidak berlarut-larut memikirkan keterpisahan mereka dengan anak-anak. Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal juga menjadi salah satu faktor yang membuat para partisipan tidak selalu merasa kesepian. Baik P1 dan P3 tinggal di lingkungan yang sama selama bertahun-tahun dan mengenal baik tetangga-tetangga di sekitarnya. P1 dan P3 pun terlibat secara aktif dalam aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggal mereka. Bahkan P3 mengaku ia sangat bersyukur dengan keberadaan tetanggatetangga dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para tetangganya. Kedekatan tersebut juga tampak dari kesediaan tetangga di sekitar rumah P3 untuk membantu jika terdapat pekerjaan perawatan rumah yang tidak dapat dikerjakan oleh P3 setelah suaminya meninggal. Sedangkan pada P1, ia memiliki hubungan yang baik dengan para tetangganya serta memiliki teman baik yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Keberadaan tetangga yang membantu saat P1 dan P2 mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan membuat mereka merasa nyaman tinggal di lingkungan tersebut dan terlebih lagi membuat mereka tidak merasa sendiri. Berbeda dengan P1 dan P3, kondisi lingkungan sekitar tempat tinggal P2 tidak tampak terlalu akrab dan hangat. Hal tersebut nampak dari jarak rumah satu dengan yang lainnya yang tidak terlalu rapat, serta pagar-pagar tinggi yang ada di setiap rumah. Selain itu, P2 juga mengaku ia tidak banyak terlibat dalam kegiatan di lingkungan tersebut, yang juga jarang dilakukan. Namun, P2 memiliki pembantu rumah tangga yang tinggal bersamanya di pagi hingga sore hari. Selain membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, P2 juga menilai bahwa kehadiran pembantu rumah tangga juga menjadi teman untuk bercakap-cakap. Meskipun hubungan antara P2 dengan pembantu rumah tangganya tidak
28
sangat dekat, tetapi kehadiran pembantu rumah tangga cukup untuk membuat P2 merasa terbantu dan memiliki teman di rumah. Memiliki hobi juga menjadi faktor lain yang membuat P1 dan P2 tidak merasa kesepian, bahkan menjadi salah satu strategi koping saat mengalami kesepian. Dengan memiliki hobi, P1 dan P2 memiliki kegiatan yang dapat dilakukan di rumah saat tidak memiliki pekerjaan yang harus dilakukan dengan demikian mereka tidak memiliki waktu untuk melamun dan memikirkan kesendirian. Hal tersebut sedikit berbeda dengan yang dialami oleh P3 yang tidak memiliki hobi khusus namun masih memiliki pekerjaan dan berbagai kesibukan. Pekerjaan sebagai guru SMA membuat P3 harus berada di sekolah dari pagi hingga siang. Selain mengajar, P3 juga menjadi pendamping siswa yang mengikuti lomba penelitian atau olimpiade mata pelajaran sehingga membuatnya berada di sekolah hingga sore hari pada waktu-waktu tertentu. Tidak jarang pula P3 masih harus melanjutkan pekerjaannya di rumah sehingga menurutnya tidak ada waktu untuk menganggur atau melamun. Di sisi lain kesibukan pekerjaan juga membuat frekuensi interaksinya dengan keluarga besar maupun kawan lama menjadi berkurang. Padatnya aktivitas juga membuatnya tidak dapat mengunjungi anak-anaknya meskipun sudah merasa sangat rindu sehingga hal ini juga dapat menjadi pemicu kesepian yang dialami oleh P3. Perasaan yang Muncul saat Kesepian Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang, demikian halnya yang dirasakan oleh ketiga partisipan. Saat mengalami kesepian, P1 merasa sangat merindukan kehadiran orang-orang yang disayanginya. Kesepian juga membuat P1 merasakan kekosongan dalam hidupnya dan muncul perasaan tidak berguna. P1 yang merasa masih muda dan seharusnya masih dapat melakukan sesuatu dan tidak hanya berada di 29
rumah membuatnya merasa tidak berguna. Meskipun demikian, P1 juga merasa lebih tenang karena memiliki waktu untuk sendiri. Saat mengalami kesepian P2 juga memiliki keinginan untuk bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Selain itu perasaan kesepian seringkali memunculkan pemikiran tentang kematian dalam diri P2. Pemikiran tentang kematian membuat P2 merasa khawatir jika suatu saat ia meninggal saat sendirian dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Pemikiran tersebut tentunya menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan dan membuat P2 merasa tidak nyaman dengan kesendirian terutama saat akan beristirahat di malam hari. Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 dan P3, namun dengan cara yang berbeda. Pemikiran tentang kematian yang dialami oleh P1 muncul saat memikirkan harapannya akan masa depan. P1 menyatakan akan siap “dipanggil Tuhan” ketika anak bungsunya sudah menikah, sehingga tanggung jawabnya sebagai orangtua telah selesai. Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 ketika ia mengingat almarhum suaminya. P1 mengingatkan diri sendiri bahwa suaminya sudah bahagia di surga, sehingga ia tidak perlu bersedih lagi. Sedangkan bagi P3 pemikiran tentang kematian telah menjadi topik percakapannya dengan suami semasa hidup. Melalui percakapanpercakapannya dengan suami mengenai kematian, P3 tidak memiliki kekhawatiran tentang kematian. P3 meyakini bahwa Tuhan telah merencanakan hidup setiap manusia dan manusia hanya menjalaninya. Seperti dua partisipan yang lain, saat mengalami kesepian P3 merasakan keinginan untuk ditemani oleh orang lain, terutama suaminya. P3 yang kerap mengalami kesepian saat harus menyelesaikan masalahnya sendiri, merasa sangat merindukan kehadiran suaminya dan berharap suaminya masih hidup. P3 juga berpikir bahwa jika suaminya masih hidup ia tidak akan merasa kesepian seperti yang dirasakannya, dan hal tersebut menimbulkan perasaan sedih dalam diri P3. P3 juga merasakan 30
kekosongan dan kurang lengkap saat harus melewatkan perayaan keagamaan tanpa anak-anaknya meskipun ia sedang bersama dengan sanak keluarganya yang lain. Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang muncul saat partisipan mengalami kesepian ialah kekosongan yang muncul dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kesendirian saat meninggal, dan timbulnya keinginan untuk bersama orang lain, terutama keluarga. Selain itu kenangan akan masa-masa yang telah berlalu juga sering menjadi muncul saat para partisipan merasa kesepian, meskipun pada beberapa situasi kenangan justru menjadi salah satu pemicu timbulnya perasaan kesepian. Strategi Koping untuk meringankan perasaan kesepian Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga partisipan menyadari akan perasaan kesepian yang dialami. Kesadaran tersebut ditunjukkan dari kemampuan partisipan untuk menjelaskan hal-hal yang memicu perasaan kesepiannya, serta apa yang dirasakan saat mengalami kesepian. Dengan menyadari perasaan kesepian yang dialami, partisipan memiliki kesadaran untuk melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan kesepian. Saat merasa kesepian, para partisipan berusaha untuk melakukan sesuatu sehingga perasaan kesepian yang dialami bisa menjadi lebih ringan. Dari keenam strategi koping terhadap kesepian yang dikemukakan oleh Rokach dan Brook (1998), terdapat tiga strategi koping yang diterapkan oleh partisipan, yaitu: a. Peningkatan aktivitas Rokach dan Brook (1998) mengemukakan bahwa peningkatan aktivitas menekankan pada usaha individu mencurahkan perhatian pada pekerjaan serta mengikuti kegiatan tambahan yang dapat membuat waktu yang seringkali dilewatkan sendirian menjadi lebih menyenangkan, produktif, dan berarti, atau bahkan dapat meningkatkan kontak dan hubungan sosial. Pada P1 dan P2 yang tidak memiliki pekerjaan tetap 31
peningkatan aktivitas dilakukan dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial atau mengerjakan hobi. Dengan adanya kegiatan sosial di lingkungan seperti Posyandu dan PKK, P1 dapat memiliki kegiatan yang produktif serta meningkatkan interaksinya dengan orang lain. P1 menjelaskan bahwa ia memiliki beberapa teman yang dekat melalui keikutsertaan dalam kegiatan tersebut. Selain itu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan masyarakat menimbulkan perasaan menyenangkan dan berguna dalam diri P1. Meskipun bagi P1 apa yang dilakukan olehnya tidak seberapa, tetapi hal tersebut menimbulkan perasaan dibutuhkan dan dihargai sehingga ia memiliki penghargaan yang lebih baik pada dirinya. Sedangkan bagi P2, peningkatan aktivitas dilakukan dengan mengikuti program penyediaan tempat tinggal (homestay) bagi mahasiswa dari luar negeri yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di Salatiga. Melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, P2 tidak hanya memperoleh tambahan pendapatan namun juga aktivitas untuk mempersiapkan kebutuhan mahasiswa asing. Selain itu P2 juga merasa senang karena ada orang lain yang menemaninya di rumah selama beberapa waktu serta dapat mempelajari lagi kemampuan bahasa asing yang dimilikinya. Selain kegiatan-kegiatan tersebut P1 dan P2 memilih untuk mengerjakan hobi mereka masing-masing di waktu luang yang dimiliki. P1 yang memiliki hobi menjahit serta berkebun mengaku bahwa dengan adanya hobi tersebut ia bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih produktif. Dengan hobi menjahit, P1 bisa menciptakan beberapa benda yang memanfaatkan kain-kain perca atau yang tidak terpakai. Ketika melihat hasil karyanya, P1 merasa senang dan bangga akan dirinya sendiri. Perasaan serupa juga dialami oleh P2 melalui hobi yang berbeda, yaitu memasak. Dalam waktu-waktu luangnya, P2 mencoba berbagai 32
resep masakan yang baru dipelajarinya atau yang sedang ingin ia buat. Melalui hobi itu pula, P2 dapat memperoleh tambahan pendapatan dengan membuat kue-kue yang dipesan oleh teman-temannya. Memiliki aktivitas atau hobi membuat wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest dapat merasa bahwa masa tua bisa menjadi tetap produktif dan menimbulkan perasaan dihargai dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dihargai dan masih dapat melakukan hal yang berguna dapat meringankan perasaan kesepian yang dialami oleh individu. b. Jaringan dukungan sosial Berkomunikasi orang lain di saat merasa kesepian merupakan salah satu strategi koping yang dilakukan oleh P2 dan P3. Rokach dan Brook (1998) menjelaskan bahwa strategi koping ini menekankan pada usaha individu untuk meningkatkan keterlibatan dan interaksi sosial dengan orang lain. Saat merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak, P2 berusaha untuk berkomunikasi melalui telepon dengan anak-anaknya. Hal ini juga dilakukan saat P2 tidak dapat berkumpul di hari-hari raya bersama dengan kedua anaknya, yang menimbulkan perasaan kesepian pada dirinya. Meskipun berkomunikasi melalui telepon tentu tidak memberikan kepuasan yang sama dengan jika bertemu secara langsung, tetapi dapat sedikit meringankan perasaan kesepian yang dialami oleh P2. Serupa dengan yang dialami oleh P2, P3 juga memilih untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya melalui telepon saat merasa kesepian. P3 juga tidak segan untuk menceritakan masalah atau pergumulan yang membuatnya merasa kesepian kepada anak-anaknya. Selain itu, saat merasa kesepian P3 juga menceritakan pergumulannya kepada sahabat yang sudah sangat dekat dengan keluarganya. Meskipun anak-anak atau sahabat kadang kala tidak dapat memberikan solusi secara konkret terhadap masalahnya, P3 tetap merasa lebih lega setelah bercakap-cakap dengan orang lain. 33
Keberadaan orang lain di sisi individu saat mengalami kesepian memiliki peran penting dalam membantu meringankan perasaan kesepian. Interaksi dengan orang lain yang dekat dan memberikan perhatian menimbulkan perasaan tidak sendiri dan dicintai pada individu yang mengalami kesepian. Dengan merasa tidak sendiri serta dicintai oleh orang lain, individu akan merasa lebih nyaman dan meringankan perasaan kesepian yang dialami. c. Agama dan keyakinan Agama dan keyakinan sebagai salah satu strategi koping terhadap kesepian menekankan pada perasaan memiliki dan bersekutu yang muncul melalui keterlibatan dalam kegiatan kerohanian serta kekuatan dan ketentraman batin yang diperoleh individu melalui keyakinan pada Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi (Rokach & Brook, 1998). Strategi koping ini merupakan strategi koping yang dianggap paling baik oleh ketiga partisipan penelitian. Baik P1, P2 maupun P3 menyampaikan bahwa melakukan ibadah dan berdoa membuat mereka memperoleh ketenangan batin yang tidak diperoleh dari kegiatan yang lain. Saat mengalami kesepian, ketiga partisipan memilih untuk berdoa dan mencurahkan apa yang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi serta segala kekhawatiran kepada Tuhan. Ketiga partisipan, yang semuanya beragama Kristen Protestan, juga memiliki keyakinan yang sama yaitu bahwa segala sesuatu telah diatur dan dipersiapkan oleh Tuhan bagi kehidupan umatnya. Para partisipan juga meyakini bahwa mereka akan diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan hingga kematian menjemput. Dengan keyakinan tersebut ketiga partisipan memperoleh ketenangan batin, ketentraman, serta kekuatan untuk menjalani kehidupannya dan mengatasi masalah-masalah yang mereka temui. Selain melakukan ibadah dan berdoa secara pribadi, para partisipan juga terlibat dalam komunitas keagamaan. Bahkan ketiga partisipan tidak 34
hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di komunitas keagamaan masing-masing, namun juga terlibat secara aktif dalam pelayanan gerejawi. P1 menyampaikan bahwa setelah pasangan hidupnya meninggal dan anak-anak telah dewasa serta meninggalkan rumah, ia ingin mengabdikan hidupnya melalui pelayanan gerejawi. Demikian pula dengan P3, yang kini tidak hanya mengikuti paduan suara gerejawi tetapi juga mengemban tugas sebagai majelis jemaat di gereja. Meskipun mengurangi keikutsertaan dalam pelayanan gereja karena kondisi kesehatan yang semakin menurun, P2 tetap terlibat dalam kegiatan-kegiatan di gereja sesuai dengan kemampuannya. Terlibat dalam komunitas keagamaan membuat para partisipan merasa memiliki komunitas yang membangun serta teman bahkan saudara seiman yang dapat menjadi tempat berbagi. Perasaan tersebut tampak dari perilaku para partisipan yang tidak segan untuk menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi kepada teman dekat yang berasal dari komunitas yang sama. Perasaan kesepian juga menjadi terasa lebih ringan dan dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa teman-teman mereka turut mendoakan dan memberikan dukungan sehingga mereka memperoleh kekuatan rohani. Kegiatan kerohanian serta keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi dapat memberikan ketenangan batin individu yang mengalami kesepian. Keyakinan kepada Tuhan yang senantiasa membantu dan memberikan kekuatan juga memunculkan perasaan bersyukur dalam diri individu. Melalui perasaan bersyukur, individu dapat menerima pengalaman-pengalaman yang pada mulanya dinilai pahit dan mengambil makna positif.
35
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtunggal dalam periode empty-nest yang akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Kehilangan pasangan hidup merupakan salah satu pengalaman yang menimbulkan rasa kaget, dukacita dan kesedihan yang mendalam dalam diri para partisipan. Adanya dukungan keluarga dan kerabat dirasakan sangat membantu para partisipan dalam menyesuaikan diri dengan kondisi yang mereka alami. 2. Setelah menghadapi perasaan dukacita karena kehilangan pasangan hidup, para partisipan kemudian juga harus menghadapi periode empty-nest. Menyadari bahwa anak-anak telah tumbuh dewasa dan memiliki kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik membuat para partisipan merelakan kepergian anak-anak mereka. Meskipun terdapat perasaan kesedihan dan kehilangan, para partisipan
memiliki
kesadaran
bahwa
periode
empty-nest
merupakan bagian dan tahapan dalam kehidupan sehingga mereka dapat menerima hal tersebut dengan baik. 3. Harapan untuk dapat tinggal bersama atau berdekatan dengan anakanak dirasakan oleh para partisipan. Akan tetapi pekerjaan dan tanggung
jawab
para
partisipan
dan
anak-anak
mereka
mengharuskan mereka untuk berpisah dan tinggal di kota yang berlainan. Para partisipan masih dalam kondisi kesehatan yang masih baik serta memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Para partisipan penelitian juga memiliki keinginan untuk dapat berdekatan dengan teman-teman dan tetangga serta tidak ingin meninggalkan rumah yang telah ditempati keluarga selama
bertahun-tahun.
Pertimbangan-pertimbangan 36
tersebut
membuat para partisipan penelitian memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, meskipun harus hidup sendiri. 4. Meskipun tinggal berjauhan dengan anak-anak, para partisipan penelitian tetap berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka. Kemajuan teknologi sangat membantu para partisipan penelitian untuk berinteraksi dengan anak-anak meskipun berada di tempat yang jauh. Meskipun telah beranjak dewasa dan tinggal di tempat yang berbeda, anak-anak para partisipan tidak segan untuk menceritakan masalah atau kejadian yang mereka alami kepada ibunya. Dengan adanya komunikasi yang rutin dan keterbukaan, hubungan yang baik tetap terjalin antara para partisipan penelitian dengan anak-anak mereka. 5. Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama keluarga menimbulkan perasaan kesepian pada diri para partisipan pada waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama saat harapan partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihi pada saat-saat tertentu tidak dapat terpenuhi. Kesenjangan antara harapan dengan kenyataan menimbulkan perasaan kesepian dalam diri para partisipan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perasaan kesepian yang dirasakan oleh para partisipan cenderung mengarah pada kesepian emosional yaitu kesepian yang muncul karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim. 6. Anteseden perasaan kesepian yang dialami oleh partisipan dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian yang memicu kesepian dan faktor penyerta kesepian. Kejadian yang memicu kesepian antara lain terdiri dari terminasi atau berakhirnya hubungan emosional, perpisahan fisik dengan orang-orang yang dikasihi, dan perubahan situasi yaitu hasrat untuk bersama dengan orang lain yang berubah sesuai dengan situasi yang dialami. 37
Sedangkan faktor penyerta kesepian merupakan faktor yang lebih bersifat personal. Dalam penelitian ini ditemukan faktor penyerta kesepian dalam diri para partisipan antara lain kekhawatiran akan stigma masyarakat yang membuat partisipan membatasi pergaulan, kondisi kesehatan partisipan yang mulai menurun seiring pertambahan
usia
yang
membuat
partisipan
mengurangi
keterlibatan dalam komunitas, dan pengalaman masa kecil yang terbiasa dikelilingi banyak orang. 7. Selain adanya anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara berlarut-larut, yaitu perubahan perkembangan, kondisi lingkungan yang akrab dan mendukung, kehadiran teman atau orang lain yang dipercaya, dan memiliki pekerjaan atau hobi dan aktivitas yang produktif. 8. Saat partisipan mengalami kesepian, perasaan-perasaan yang muncul dalam diri partisipan antara lain ialah kekosongan dalam hidup, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kematian dan kesendirian saat meninggal, merindukan kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-masa yang telah berlalu. 9. Respon terhadap perasaan kesepian ditunjukkan melalui adanya usaha untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan perasaan kesepian yaitu strategi koping terhadap kesepian. Strategi koping terhadap kesepian yang diterapkan oleh partisipan adalah peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama dan keyakinan. Dengan strategi koping tersebut partisipan dapat membuat waktu sendirian menjadi lebih menyenangkan, produktif, menimbulkan perasaan yang menyenangkan, dibutuhkan, dihargai, dan berguna sehingga meningkatkan penghargaan terhadap diri
38
sendiri, serta memperoleh ketenangan batin dan kedamaian yang diperoleh melalui kegiatan religius.
SARAN Bagi peneliti selanjutnya Pengalaman kesepian merupakan pengalaman yang tidak terlepas dari pengaruh budaya atau nilai yang dianut oleh individu. Dalam penelitian ini faktor budaya serta nilai-nilai yang dianut oleh individu masih kurang tergali dan tidak menjadi fokus penelitian. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat meneliti dengan lebih mendalam hubungan antara budaya dengan pengalaman kesepian. Selain itu, penelitian ini hanya meneliti pengalaman kesepian pada wanita atau ibu yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest. Bagi peneliti selanjutnya dapat pula mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh pria atau ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, atau pada kedua orangtua. Dalam penelitian ini, metode observasi kurang dapat menghasilkan data yang maksimal dikarenakan pengalaman kesepian merupakan fenomena psikologis yang sulit untuk diamati. Maka dari itu selain menerapkan metode pengambilan data dengan wawancara dan observasi, peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat menerapkan metode pengambilan data yang lain sehingga bisa memeroleh data yang lebih lengkap dan mendalam. Salah satu metode pengambilan data yang disarankan peneliti untuk penelitian selanjutnya antara lain penggunaan skala psikologi yang dapat mengukur tingkat kesepian pada partisipan penelitian sebelum melakukan wawancara. Dengan menggunakan skala pengukuran kesepian, peneliti selanjutnya dapat memperoleh gambaran mengenai tingkat kesepian yang dialami partisipan penelitian dan dapat menggali lebih dalam pengalaman kesepian partisipan melalui wawancara. 39
Bagi partisipan dan pembaca khususnya wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang akan atau sedang berada dalam periode empty-nest Melalui penelitian ini, peneliti hendak memberikan saran agar wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest sebaiknya tetap memiliki kegiatan atau hobi untuk dilakukan di masa tua. Dengan memiliki kegiatan atau hobi, pembaca dapat lebih menikmati waktu luang yang dimiliki dan tidak larut dalam perasaan kesepian. Terlibat secara aktif dalam suatu komunitas sosial atau pelayanan keagamaan juga baik untuk dilakukan. Turut serta dalam kegiatan sosial atau pelayanan keagamaan dapat membantu pembaca untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain serta menimbulkan penghargaan diri yang positif. Saran lain untuk pembaca ialah perlunya menyadari perasaan-perasaan yang dialami serta mencari solusi atau melakukan strategi koping yang positif. Bagi keluarga dan kerabat wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest Meskipun tidak lagi tinggal bersama, komunikasi antar anggota keluarga tetap perlu untuk dipertahankan serta ditingkatkan. Komunikasi yang baik dan terbuka dapat mencegah munculnya perasaan kesepian, juga dapat membantu para wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest untuk meringankan perasaan kesepian yang dialami. Selain komunikasi, kesempatan untuk berkumpul bersama dengan keluarga pada waktu-waktu istimewa juga perlu untuk diadakan sehingga para wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dapat menikmati momen istimewa bersama orang-orang yang dikasihi. Bagi organisasi sosial dan keagamaan Melalui penelitian ini, organisasi sosial dan keagamaan disarankan untuk dapat menyediakan kegiatan yang produktif untuk orangtua, terutama wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, yang memasuki 40
masa empty-nest. Selain itu organisasi sosial dan keagamaan disarankan untuk melibatkan secara aktif wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest dalam kegiatan atau pelayanan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Andriyani, E. W. (2007). Tingkat kecemasan menghadapi periode emptynest pada wanita single parent. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Berk, L. E. (2012). Development through lifespan jilid 2 (Edisi Kelima). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brooks, J. (2009). The process of parenting (8th Ed). New York: McGrawHill International Edition. Clelland, W., & Chaytors, G. (1981). The role of family physicians in „empty-nest‟ transitions. Canadian Family Physician, 27, 1827-1830. DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate relationships, marriages, and families (6th Ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc. De Jong Gierveld, J. (1998). A review of loneliness: concept and definitions, determinants and consequences. Clinical Gerontology, 8, 73-80. De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness and social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), Cambridge handbook of personal relationships (pp. 485-500). Cambridge: Cambridge University Press. Hawkley, L. (2007). Loneliness. In R. F. Baumeister & K. D. Vohs (Eds.), Encyclopedia of social psychology (pp. 532-534). Newbury Park, CA: Sage. Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Hoyer, W. J & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging (5th ed). New York: McGraw-Hill. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Kotwal, N., & Prabhakar, B. (2009). Problem faced by single mother. Journal of Social Science, 21(3), 197-204. Lai, Hui-Ling. (2002). Transition to the empty-nest: a phenomenological study. Diakses dari http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/ content/91-3/11.pdf tanggal 2 Januari 2012. Lasswell, M. & Lasswell, T. (1987). Marriages and family. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Liu, Li-Juan, & Guo, Q. (2008). Life satisfaction in a sample of empty-nest elderly: a survey in the rural area of mountainous county in China. Quality Life Research, 17, 823-830. Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6th Ed). Belmont: Thomson Higher Education. Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda. 41
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Perkembangan manusia jilid 2 (Edisi 10). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Peplau, L. A. (1982). In search of intimacy: a report on loneliness and what to do about it. Journal of Psychosocial Nursing and Mental Health Services, 20(11), 38-39. Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social psychological theory of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and attraction (pp. 99-108). Oxford, England: Pergamon. Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social psychology of loneliness. In S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal relationships in disorder (pp. 31-56). London: Academic Press. Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current theory, research, and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley Interscience Publication. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Rokach, A., Orzeck, T., & Neto, F. (2004). Coping with loneliness in old age: A cross cultural comparison. Current psychology: Development, Learning, Personality, Social, 23(2), 124-137. Rokach, A., & Brook, H. (1998). Coping with Loneliness. Journal of Psychology, 132(1), 107-127. Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979). Loneliness. Human Nature, 2, 58-65. Sawitri, D. R. (2007). Menjalani hidup sepeninggal suami: kenangan, perjuangan, dan harapan. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id /8588/1/MenjalaniHidupSepeninggalSuami.pdf pada tanggal 4 September 2011. Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985). Psikologi sosial jilid 1 (Edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga. Setyowanti. (2009). Perbedaan tingkat kesepian pada pensiunan ditinjau dari jabatan sebelum pensiun (manager dan mon-manager). Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Shakya, D. R. (2009). Empty nest syndrome – an obstacle for alcohol abstinence. Journal of Nepal Health Research Council, 7(15), 135137. Sinaga, H. J. (2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Spence, D., & Lonner, T. (1971). The empty nest : A transition within motherhood. The Family Coordinator, 10, 369-375. Sugiyono. (2010). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta. Susanti, H. (2010). Penyesuaian diri janda jawa. Skripsi (tidak diterbitkan. Salatiga: Fakutlas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana. 42